cerebral palsy
DESCRIPTION
REFERATTRANSCRIPT
REFERAT
PALSI SEREBRAL PADA ANAK
Oleh :
RUSTHAVIA AFRILIANTI
NIM: FAA 110 001
Pembimbing :
dr. ARIETA RACHMAWATI KAWENGIAN, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSUD dr. DORIS SYLVANUS/PSPD-UNPAR
PALANGKARAYA
MARET
2014
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………………………… 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………………... 2
2.1. DEFINISI PALSI SEREBRAL ...……………………………………………………. 2
2.2. EPIDEMIOLOGI PALSI SEREBRAL ...……………………………………………. 2
2.3. ETIOLOGI PALSI SEREBRAL ..…………………………………………………... 3
2.4. PATOGENESIS PALSI SEREBRAL.……………………………………………….. 5
2.5. KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS PALSI SEREBRAL...……………... 7
2.6. DIAGNOSIS PALSI SEREBRAL ..…………………………………………………. 12
2.7. PENATALAKSANAAN PALSI SEREBRAL ..…………………………………….. 17
2.8. PROGNOSIS PALSI SEREBRAL ..………………………………………………… 24
2.9 PENCEGAHAN PALSI SEREBRAL………………………………………………... 28
BAB III. PENUTUP………………………………………………………………………………… 29
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Etiology of spastic cerebral palsy syndromes…………………………………………… 4
Tabel 2.2 Etiology of extrapiramidal cerebral palsy syndromes…………………………………… 4
Tabel 2.3 Klasifikasi Palsi Serebral Berdasarkan Derajat Penyakit ………………………………. 11
Tabel 2.4 Klasifikasi Palsi Serebral dan Penyebab Utamanya ..…………………………………. 14
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagian-bagian otak yang mengalami kelainan pada beberapa bentuk CP .…………… 7
Gambar 2.2 Tipe Cerebral Palsy dan area kerusakannya diotak…………………………………… 8
Gambar 2.3 Gambaran spastisitas pada anak penderita CP ………..………………………………. 9
Gambar 2.4 Obat-obat yang digunakan untuk terapi spastisitas pada CP…..……………………… 18
Gambar 2.5 Cara kerja toksin botulinum toksin A………………………………………………… 21
BAB I
PENDAHULUAN
Palsi Serebral (CP) adalah ensefalopati statis yang mungkin didefinisikan sebagai kelainan postur
dan gerakan non-progresif, sering disertai dengan epilepsi dan ketidaknormalan bicara, penglihatan,
kecerdasan akibat dari cacat atau lesi otak yang sedang berkembang. Keadaan ini pertama kali diuraikan
hampir 150 tahun yang lalu oleh Little, ahli bedah ortopedik.1
Seorang dokter bedah ortopedik bernama William Little, pada tahun 1843 pertama kali
mendeskripsikan satu penyakit membingungkan yang pada saat itu menyerang anak-anak pada usia tahun
pertama. Penyakit ini menyebabkan kekakuan otot tungkai dan lengan. Anak-anak tersebut mengalami
kesulitan memegang obyek, merangkak, dan berjalan. Penderita tersebut tidak bertambah membaik
dengan bertambahnya usia tetapi juga tidak bertambah memburuk. Sebagian besar penderita lahir
prematur atau mengalami komplikasi saat persalinan dan Little menyatakan kondisi tersebut merupakan
hasil dari kekurangan oksigen selama kelahiran/asfiksia neonatorum. Kekurangan oksigen tersebut
menyebabkan kerusakan jaringan otak yang sensitif dalam mengendalikan pusat pergerakan. Kondisi ini
disebut Little’s disease selama berapa tahun, yang sekarang lebih dikenal sebagai Spastic Diplegia.
Penyakit ini kemudian menjadi salah satu dari penyakit yang mengenai pengendalian fungsi pergerakan
dan digolongkan dalam terminologi Palsi Serebral atau umumnya disingkat CP.
Pada tahun 1897, psikiatri terkenal Sigmund Freud memiliki pendapat yang tidak sama dengan
Little. Dalam penelitiannya, pada anak-anak CP dijumpai banyak mempunyai masalah lain misalnya
retardasi mental, gangguan visual, dan kejang. Freud menyatakan bahwa penyakit tersebut mungkin
sudah terjadi pada awal kehidupan yaitu selama perkembangan otak janin. Kesulitan persalinan hanya
merupakan satu keadaan yang menimbulkan efek yang lebih buruk dimana akan sangat mempengaruhi
perkembangan janin didalam kandungan.2,3
Sampai saat ini penyebab pasti CP belum di ketahui. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa
penyebab CP merupakan multifaktor.4 Palsi Serebral bukan merupakan penyakit tersendiri, melainkan
merupakan kumpulan gejala abnormalitas pengendalian fungsi motorik yang disebabkan oleh kerusakan
yang terjadi diawal kehidupan.5 Namun seiring dengan perkembangan penelitian biomedis, faktor yang
semula tidak diketahui mulai dapat diidentifikasi, khususnya paparan intrauterine terhadap infeksi,
penyakit koagulasi, dan lain-lain. Identifikasi pada bayi akan memberikan kesempatan pada penderita
untuk mendapatkan penanganan berupa terapi medikasi dan pembedahan yang optimal dalam upaya
memperbaiki kecacatan sensoris dan perbaikan koordinasi saraf serta otot sebagai terapi penyakit yang
berhubungan dengan CP.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Palsi Serebral (CP) merupakan suatu sindrom klinis daripada penyakit tertentu. Meskipun
pengertian yang lama berfokus pada gangguan motorik, definisi terbaru dari America Academy for Palsi
Serebral and Developmental Medicine memperluasnya dengan memasukkan gangguan yang
menyertainya:
“Palsi Serebral (CP) dideskripsikan sebagai kumpulan gangguan perkembangan pergerakan dan
sikap (motorik) yang menyebabkan keterbatasan aktivitas, yang berkaitan dengan gangguan non-
progresif yang terjadi saat perkembangan janin atau otak bayi. Gangguan motorik CP sering
kali disertai dengan gangguan sensorik, kognitif, komunikasi, persepsi, dan/tanpa gangguan
perilaku, dan/tanpa disertai kejang.” 6
William Little yang pertama kali mempublikasikan tentang kelainan ini menyebutnya dengan
istilah “Cerebral Diplegia”. Sigmund Freud menyebutnya dengan “Infatil Cerebral Paralysis”
sedangkan Sir William Osier adalah yang pertama kali memperkenalkan istilah “Palsi Serebral” atau
nama lainnya adalah “Static Encephalopathies of Childhood”.7
2.2 EPIDEMIOLOGI
Insidensi CP diperkirakan 3 dari 1.000 kelahiran hidup, hal ini membuat CP menjadi penyebab
tersering dalam ketidakmampuan fisik anak-anak di negara berkembang.6
Pada penelitian yang dilakukan
oleh Collaborative Perinatal Project, dimana sekitar 45.000 anak secara teratur dipantau sejak dalam
kandungan hingga umur 7 tahun, melaporkan angka prevalensi CP sekitar 4 dari 1.000 bayi lahir hidup.1
Di Amerika, prevalensi penderita CP dari yang ringan hingga yang berat berkisar antara 1,5-2,5
tiap 1.000 kelahiran hidup. Angka ini didapatkan berdasarkan data yang tercatat pada pelayanan
kesehatan, yang dipastikan lebih rendah dari angka yang sebenarnya.8
Di Indonesia, prevalensi penderita CP diperkirakan sekitar 1-5 dari 1.000 kelahiran hidup. Laki-
laki lebih banyak dari anak perempuan. Seringkali terdapat pada anak pertama. Hal ini mungkin
dikarenakan kelahiran pertama lebih sering mengalami kelahiran macet. Angka kejadian lebih tinggi
pada berat bayi lahir rendah dan kelahiran kembar. Umur ibu seringkali lebih dari 40 tahun, terlebih lagi
pada multipara.7 Rata-rata 70% ada pada tipe spastik, 15% tipe atetosis, 5% ataksia, dan sisanya
campuran.9
2.3 ETIOLOGI
Penyebab CP dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu prenatal, perinatal, dan pasca natal.8
a) Prenatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada janin misalnya oleh lues,
toksoplasmosis, rubela dan penyakit inklusi sitomegalik. Kelainan yang mencolok biasanya
gangguan pergerakan dan retardasi mental. Anoksia dalam kandungan, terkena radiasi sinar-
X dan keracunan kehamilan dapat menimbulkan “Palsi Serebral”.8
b) Perinatal
1. Anoksia/hipoksia
Penyebab yang terbanyak ditemukan dalam masa perinatal adalah “brain injury”.
Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal ini terdapat pada keadaan
presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalo-pelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi
plasenta, partus menggunakan instrumen tertentu dan lahir dengan seksio kaesar.8
2. Perdarahan otak
Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar membedakannya,
misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernafasan dan
peredaran darah sehingga terjadi anoksia. Perdarahan dapat terjadi diruang subaraknoid
akan menyebabkan penyumbatan CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus. Perdarahan
diruang subdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastis.8
3. Prematuritas
Bayi yang kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak yang
lebih banyak daripada bayi yang cukup bulan karena pembuluh darah, enzim, dan faktor
pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna.8
Otak belum matang pada bayi prematur memiliki lebih banyak ekuipotensial atau
plastisitas. Keduanya merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kemampuan yang jauh lebih besar dari bagian terluka otak belum matang untuk
mengasumsikan fungsi bagian yang cedera.10
4. Ikterus
Ikterus pada neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang permanen
akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan inkompatibilitas
golongan darah.8
Bentuk CP yang sering terjadi adalah atetosis, hal ini disebabkan karena frekuensi yang
tinggi pada bayi yang lahir dengan mengalami hiperbilirubinemia tanpa mendapatkan
terapi yang diperlukan untuk mencegah peningkatan konsentrasi unconjugated
bilirubin. Gejala-gejala kern ikterus yang terdapat pada bayi yang mengalami ikterik
biasanya tampak setelah hari kedua dan ketiga kelahiran. Bayi menjadi lesu dan tidak
dapat menyusu dengan baik. Kadang-kadang demam dan tangisan menjadi lemah. Sulit
mendapatkan refleks moro dan tendon pada mereka dan pergerakan otot secara umum
menjadi berkurang. Setelah beberapa minggu tonus meningkat dan bayi tampak
mengekstensikan punggung dengan opisthotonus dan diikuti dengan ekstensi
ekstremitas.11
5. Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya akan
mengakibatkan gejala sisa berupa CP.8
c) Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat menyebabkan
CP, misalnya pada trauma kapitis, meningitis, ensefalitis dan luka parut pada otak pasca-
operasi, dan juga kern ikterus seperti kasus pada gejala sekuele neurogik dan eritroblastosis
fetal atau defisiensi enzim hati.8,12
Trauma lahir bisa menimbulkan gejala sisa akibat lesi irreversible pada otak. Perdarahan
dalam otak bisa meninggalkan ruangan yang bisa berhubungan dengan ventrikel atau berupa
kista yang mengandung cairan. Dinding kista itu terdiri dari jaringan ganglia, yang bereaksi
setelah terjadi perdarahan. Kista tersebut dinamakan porensefalus dan pada umumnya sering
di jumpai pada konveksitas hemisferium. CP, konvulsi, dan retardasi mental merupakan
manifestasi dari porensefalus.13
Tabel 2.1
Tabel 2.2
2.4 PATOGENESIS
Diperkirakan bahwa penyebab sebagian besar kasus yang disebut CP adalah akibat adanya cedera
(injury) pada sistem saraf yang terjadi saat kelahiran. Hal ini sangat mungkin terjadi bahwa luka pada
sistem saraf pada saat proses kelahiran dan pada sesaat setelah lahir bertanggung jawab terhadap
kelainan/kecacatan yang terjadi pada beberapa kasus.19
Perkembangan otak manusia dan waktu puncak terjadinya meliputi sebagai berikut:
a. Primer neurolation (minggu ke 3-4 kehamilan)
b. Perkembangan prosenchepalic (bulan ke 2-3 kehamilan)
c. Proliferasi neuronal (bulan ke 3-4 kehamilan)
d. Migrasi neuronal (bulan ke 3-5 kehamilan)
e. Organisasi (bulan ke 5 kehamilan sampai bertahun-tahun pasca kelahiran)
f. Mielinasi (lahir sampai bertahun-tahun pasca kelahiran)9
Perkembangan janin sangat rentan terhadap kerusakan terutama pada beberapa bulan pertama
perkembangannya. Kerusakan-kerusakan ini dapat disebabkan oleh infeksi maternal, terutama infeksi
TORCH (toksoplasma, rubella, cytomegalovirus). Faktor-faktor lain yang dapat merugikan
perkembangan janin antara lain ionisasi radiasi, malnutrisi pada ibu dan konsumsi obat-obatan.
Prematuritas juga merupakan penyebab yang umum terjadi pada kejadian defisiensi mental dan CP.
Dalam periode perinatal faktor-faktor yang signifikan menjadi penyebab adalah trauma saat
proses kelahiran dan anoksia sesaat setelah selang waktu kelahiran. Inkompatibilitas Rh, seringkali
disertai oleh hiperbilirubinemia dan kern ikterus.
Pada periode neonatal, otak dapat cedera akibat adanya trauma, lesi pada vaskular serebral,
infeksi, dan malnutrisi. Serangan kejang yang tiba-tiba dan berlangsung lama, apapun sebabnya dapat
mengakibatkan kerusakan otak yang parah bila terjadi anoksia yang berat.19
Perkembangan susunan saraf dimulai dengan terbentuknya neural tube yaitu induksi dorsal yang
terjadi pada minggu ke 3 dan 4 masa gestasi dan induksi ventral yang berlangsung pada minggu ke 5 dan
6 masa gestasi. Setiap gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan terjadinya kelainan kongenital seperti
kraniokisis totalis, anensefali, hidrosefalus dan lain sebagainya.
Fase selanjutnya terjadi proliferasi neuron yang terjadi pada masa gestasi bulan ke 2 dan 4.
Gangguan pada fase ini dapat menyebabkan mikrosefali dan makrosefali. Stadium selanjutnya yaitu
stadium migrasi yang terjadi pada masa gestasi bulan ke 3-5. Migrasi terjadi melalui 2 cara yaitu radial
dan tangensial. Gangguan pada masa ini dapat mengakibatkan kelainan kongenital seperti agenesis korpus
kalosum.
Stadium organisasi terjadi pada masa gestasi bulan ke 6 sampai beberapa tahun pasca natal.
Gangguan pada stadium ini akan menyebabkan translokasi genetik dan gangguan metabolisme. Stadium
mielinisasi terjadi pada saat lahir sampai beberapa tahun pasca natal. Stadium ini terjadi proliferasi
neuron dan pembentukan selubung mielin.
Perkembangan otak prenatal dan bayi yang sangat kompleks menyebabkan cedera atau
perkembangan yang abnormal dapat terjadi setiap saat,sehingga presentasi klinis CP bervariasi. Misalnya
pada cedera otak sebelum 20 minggu kehamilan dapat mengakibatkan defisit migrasi neural. Cedera
antara minggu ke 26 dan minggu ke 34 dapat mengakibatkan periventrikular leukomalacia.9
Periventrikuler leukomalacia (PVL) adalah nekrosis dari substansia alba sekitar ventrikel akibat
menurunnya kadar oksigen dan arus darah pada otak yang biasanya terjadi pada diplegia spastik. Daerah
substansia alba yang rentan nekrosis tersebut merupakan daerah-daerah yang bertanggung jawab atas
kontrol motorik dan tonus kaki sehingga apabila cedera dapat menyebabkan diplegia spastik.
Periventrikuler leukomalacia umumnya simetris. Cedera asimetris pada periventrikuler dapat
menghasilkan satu sisi tubuh yang lebih terpengaruh dari yang lain. Hasilnya meniru hemiplagia spastik
tetapi lebih baik dicirikan sebagai kejang diplegia asimetris. Matriks germinal kapiler di daerah
periventrikuler sangat rentan terhadap cedera hipoksia-iskemik karena lokasi yang terletak di sebuah
perbatasan vaskular antara zona akhir arteri striate dan thalamus. Selain itu, karena kebutuhan kapiler otak
ini terhadap metabolisme oksidatif yang sangat tinggi.
Periventikuler leukomalacia sering terjadi bersamaan dengan lesi haemoragic dan potensi terjadi
selama apnea pada bayi prematur. Baik periventrikular leukomalacia dan lesi haemoragic, keduanya
dapat menyebabkan displegia spastik. Cedera antara minggu ke 34 dan ke 40 dapat menyebabkan cedera
otak fokal atau multifokal.9,20
Saat matur, ketika sirkulasi ke otak paling menyerupai sirkulasi serebral dewasa, cedera
pembuluh darah pada saat ini cenderung terjadi paling sering pada distribusi arteri serebral tengah yang
menyebabkan CP hemiplagia spastik. Namun otak matur juga rentan terhadap hipoperfusi yang sebagian
besar menargetkan daerah aliran dari korteks (misalnya akhir dari zona arteri serebral utama) dapat
menyebabkan CP quadriplegia spastik. Ganglia basal juga dapat dipengaruhi sehingga menjadi CP
ekstrapiramidal diskinetik.9
Adanya malformasi hambatan pada vaskular, atrofi, hilangnya neuron, dan degenerasi laminar
dapat menyebabkan narrow gyrus, sulkus, dan berat otak yang rendah. Kelainan neuropatologik yang
terjadi tergantung pada berat dan ringannya kerusakan. Jadi kelainan neuropatologik yang terjadi sangat
kompleks dan difus yang bisa mengenai korteks motorik traktus piramidalis, daerah periventrikuler,
ganglia basalis batang otak dan serebelum.
Kern ikterus secara klinik memberikan gambaran kuning pada seluruh tubuh dan akan menempati
ganglia basalis, hipokampus, sel-sel nukleus batang otak sehingga dapat menyebabkan Palsi Serebral
atetosis, gangguan pendengaran dan retardasi mental. Infeksi otak dapat mengakibatkan perlengketan
meningen, sehingga terjadi obstruksi subaraknoid dan timbul hidrosefalus. Perdarahan otak dapat
meninggalkan rongga yang berhubungan dengan ventrikel.
Trauma lahir akan menimbulkan kompresi serebral atau perobekan sekunder. Trauma lahir ini
menimbulkan gejala yang irreversible. Lesi lainnya akibat trauma adalah terjadi sikatriks pada sel-sel
hipokampus yaitu kornu ammonis, yang bisa menyebabkan bangkitan epilepsi.9
2.5 KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS
Pada otak terdapat 3 bagian berbeda yang bekerja bersama menjalankan dan mengontrol kerja
otot yang berpengaruh pada pergerakan dan postur tubuh. Bila terjadi kerusakan pada bagian otak itulah
yang membuat seseorang menderita CP. Bagian-bagian otak tersebut adalah sebagai berikut:14
Gambar 2.1 Bagian-bagian otak yang mengalami kelainan pada beberapa bentuk CP.
Diplegia spastik merupakan salah satu bentuk penyakit yang dikenal selanjutnya sebagai CP.
Hingga saat ini, CP di klasifikasikan berdasarkan kerusakan gerakan yang terjadi dan dibagi menjadi 4
kategori, yaitu:
1. Palsi Serebral spastik
Merupakan bentukan CP terbanyak (70-80%). Otot mengalami kekakuan dan secara
permanen akan menjadi kontraktur. Jika kedua tungkai mengalami spastisitas pada saat
seseorang berjalan, kedua tungkai tampak bergerak kaku dan lurus. Gambaran klinis ini
membentuk karakteristik berupa ritme berjalan yang dikenal dengan galt gunting (scissor
gait). Anak dengan hemiplagia spastik dapat disertai tremor hemiparesis, dimana seseorang
tidak dapat mengendalikan gerakan pada tungkai pada satu sisi tubuh. Jika tremor memberat
akan terjadi gangguan gerakan berat.15
Palsi Serebral spastik dapat dikelompokkan menurut kelainan pokoknya, yaitu berdasarkan
jumlah ekstremitas yang terkena:15,16
a. Monoplegia
Bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan.15
b. Diplegia
Anak spastik dengan kelumpuhan UMN pada kedua belah sisi tubuh. Substrat
patologiknya adalah ansefalomalasia. Bayi-bayi prematur banyak yang menjadi diplegia.
Tergantung pada luas dan derajat kerusakan serebral, maka dengan gangguan motorik
UMN, yang dapat diketahui sejak bayi dilahirkan itu, kemungkinan untuk dapat berjalan
masih ada. Pada umumnya hanya sebagian kecil kelompok ini yang disertai retardasi
mental (7,5%).16
Keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat daripada
kedua lengan.15
c. Tetraplegia/Quadriplegia
Tetraplegia bila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah mengenai kedua
lengan dan 1 kaki. Quadriplegia bila keempat ekstremitas terkena dengan derajat yang
sama.15
Tetraplegia/Quadriplegia atau lebih dikenal sebagai Little’s disease. Patologinya ialah
degenerasi substansia alba akibat ensefalomalasia, udema, dan kista-kista. Bila anak dapat
berjalan maka gaya berjalannya adalah “scissor gait”. Retardasi mental dalam kelompok
ini adalah lebih sering, juga kejang umum epileptik timbul pada 50% kelompok ini.16
d. Hemiplegia
Bila mengenai salah satu sisi tubuh dan lengan terkena lebih berat.15
Kerusakan otak yang mendasari hemiplegia pada anak spastik berupa porensefali atau
mikrogiria dan gliosis periventrikular. Anak-anak prematur sering berkembang menjadi
Palsi Serebral hemiplegia. Kira-kira 28% dari anak-anak tersebut merupakan anak
terbelakang secara mental. Serangan epilepsi fokal tidak begitu umum, tetapi secara
banding lebih sering dijumpai pada anak hemiplegia spastik daripada anak non-spastik.16
Gambar 2.2 Tipe Palsi Serebral dan area kerusakannya diotak.
Gambar 2.3 Gambaran spastisitas pada anak penderita CP41
2. Palsi Serebral atetosis/diskenetik/koreoatetosis
Bentuk CP ini mempunyai karakteristik gerakan menulis yang tidak terkontrol dan
perlahan.15
Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang ditampakkan
adalah gerakan-gerakan yang involunter dengan ayunan yang melebar.11,17,18
Gerakan abnormal ini mengenai lengan atau tungkai dan pada sebagian besar kasus, otot
muka dan lidah menyebabkan anak-anak menyeringai dan selalu mengeluarkan air liur.
Gerakan sering meningkat selama periode peningkatan stress dan hilang pada saat tidur.
Pasien juga mengalami masalah koordinasi gerakan otot bicara (disartria). CP atetosis terjadi
pada 10-20% penderita CP.15
Atetosis dibagi menjadi:
a. Distonik
Kondisi ini sangat jarang sehingga penderita yang mengalami distonik dapat mengalami
misdiagnosis. Gerakan distonia tidakseperti kondisi yang ditunjukkan oleh distonia
lainnya. Umumnya menyerang otot kai dan lengan sebelah proksimal. Gerakan yang
dihasilkan lambat dan berulang-ulang, terutama pada leher dan kepala.
b. Diskinetik
Didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan-gerakan involunter tidak terkontrol,
berulang-ulang dan kadang melakukan gerakan stereotipe. 11,17,18
3. Palsi Serebral ataksid
Kondisi ini melibatkan cerebelum. Jarang dijumpai, mengenai keseimbangan dan persepsi
dalam. Penderita yang terkena sering menunjukkan koordinasi yang buruk, berjalan tidak
stabil dengan gaya berjalan kaki terbuka lebar, meletakkan kedua kaki dengan posisi saling
berjauhan, kesulitan dalam melakukan gerakan cepat dan tepat, misalnya menulis, atau
mengancingkan baju.
Mereka juga mengalami tremor, dimulai dengan gerakan volunteer misalnya buku,
menyebabkan gerakan seperti menggigil pada bagian tubuh baru digunakan dan tampak
memburuk sama dengan saat penderita akan menunjuk obyek yang dikehendaki.15
Otak mengalami kehilangan koordinasi muskular sehingga gerakan-gerakan yang dihasilkan
mengalami kekuatan, irama dan akurasi yang abnormal. 11,17,18
Bentuk ataksid ini mengenai
5-10% penderita CP. 15
4. Palsi Serebral campuran
Sering ditemukan pada seorang penderita yang mempunyai lebih dari satu bentuk CP yang
dijabarkan diatas. CP campuran menunjukkan manifestasi spastik dan ekstrapiramidal,
seringkali ditemukan adanya komponen ataksia. 11,17,18
Berdasarkan defisit neurologis, Palsi Serebral terdiri dari:15
1. Tipe spastik atau piramidal
Pada tipe ini gejala yang selalu ada adalah:
- Hipertoni (fenomena pisau lipat)
- Hiperfleksi yang disertai klonus
- Kecenderungan timbul kontraktur
- Refleks patologis
2. Tipe ekstrapiramidal
Akan berpengaruh pada bentuk tubuh, gerakan involunter, seperti atetosis, distonia, dan
ataksia. Tipe ini sering disertai gangguan emosional dan retardasi mental. Selain itu juga di
jumpai gejala hiertoni, hiperfleksi ringan, jarang sampai menimbulkan klonus. Pada tipe ini
kontraktur jarang ditemukan apabila mengenai saraf otak bisa terlihat wajah yang asimetris
dan disartria.
Berdasarkan perkiraan tingkat keparahan dan kemampuan penderita untuk melakukan aktivitas
normal, dapat diklasifikasikan menurut derajat kemampuan fungsional yaitu:11,18
a) Level 1 (ringan)
Anak dapat berjalan tanpa pembatasan/tanpa alat bantu, tidak memerlukan pengawasan
orangtua, cara berjalan cukup stabil, dapat bersekolah biasa, aktivitas kehidupan sehari-hari
100% dapat dilakukan sendiri.
b) Level 2 (sedang)
Anak berjalan dengan/tanpa alat bantu. Alat untuk ambulasi adalah brace, tripod atau tongkat
ketiak. Kaki atau tungkai masih dapat berfungsi sebagai pengontrol gaya berat badan.
Sebagian besar aktivitas kehidupan sehari-hari dapat dilakukan sendiri dan dapat bersekolah.
c) Level 3 (berat)
Mampu untuk makan dan minum sendiri, dapat duduk, merangkak atau mengesot. Dapat
bergaul dengan teman sebaya dan aktif. Pengertian kejiwaan dan rasa keindahan masih ada,
aktivitas kehidupan sehari-hari perlu bantuan tapi masih datang bersekolah. Alat ambulansi
yang tepat adalah kursi roda.
d) Level 4 (berat sekali)
Tidak ada kemampuan untuk menggerakkan tangan atau kaki. Kebutuhan hidup yang
vital (makan dan minum) tergantung pada orang lain. Tidak dapat berkomunikasi, tidak
dapat ambulansi, kontak kejiwaan dan rasa keindahan tidak ada.
CP juga dapat di klasifikasikan berdasarkan estimasi derajat beratnya penyakit dan kemampuan
penderita untuk melakukan aktivitas normal (tabel 3).
Tabel 2.3 Klasifikasi Palsi Serebral Berdasarkan Derajat Penyakit. 15
Klasifikasi Perkembangan Motorik Gejala Penyakit Penyerta
Minimal Normal, hanya
terganggu secara
kualitatif
- Kelainan tonus
sementara
- Refleks primitif
menetap terlalu lama
- Kelainan postur ringan
- Gangguan gerakan
motorik kasar dan
halus, misalnya clumpsy
- Gangguan
komunikasi
- Gangguan
belajar spesifik
Ringan Berjalan umur 24 bulan - Beberapa kelainan pada
pemeriksaan neurologi
- Perkembangan refleks
primitif abnormal
- Respon postular
terganggu
- Gangguan motorik,
misalnya tremor
Sedang Berjalan umur 3 tahun,
kadang memerlukan
bracing
Tidak memerlukan alat
khusus
- Berbagai kelainan
neurologis
- Refleks primitif
menetap dan kuat
- Respon postular
terlambat
- Retardasi
mental
- Gangguan
belajar dan
komunikasi
- Kejang
Berat Tidak bisa berjalan, atau
berjalan dengan alat
bantu. Kadang
memerlukan operasi
- Gejala neurologis
dominan
- Refleks primitif
menetap
- Respon postural tidak
muncul
2.6 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gambaran awal pada penderita CP biasanya tampak pada usia <3 tahun dan orang tua sering
mencurigai ketika kemampuan perkembangan motorik yang tidak sesuai dengan perkembangan
seperti anak biasanya. Bayi dengan CP sering mengalami keterlambatan perkembangan,
misalnya tengkurap, duduk, merangkak, tersenyum dan berjalan.
Pada CP dapat ditemukan gejala gangguan motorik berupa kelainan fungsi dan lokasi serta
kelainan bukan motorik yang menyulitkan gambaran klinis “Palsi Serebral”.
Kelainan fungsi motorik terdiri dari:
a. Spastisitas
Terdapat peningkatan tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan refleks
babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak hilang meskipun
penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu
gabungan otot karena itu tampak sikap yang khas dengan kecenderungan terjadi
kontraktur, misalnya lengan dalam adduksi, fleksi pada sendi siku dan pergelangan tangan
dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di telapak
tangan. Tungkai dalam sikap adduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam fleksi
palantar dan telapak kai berputar kedalam.8
Tonic neck reflex dan refleks neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya
terletakdi traktus kortikospinalis. Bentuk kelumpuhan spastisitas biasanya mengenai 2/3
sampai 3/4 penderita Palsi Serebral dan tergantung kepada letak serta besarnya kerusakan
yaitu monoplagia/monoparesis, hemiplagia/hemiparesis, diplegia/diparesis, atau
tetralegia/tetraparesis/quadriplegia.8
b. Tonus otot yang berubah
Pada bayi, hipotonia berat merupakan tanda awal yang paling penting dari adanya
kerusakan neurologis. Bayi yang mengalami lemas (floppy) dapat berkembang menjadi
distonia atau diskinesia sampai akhir tahun pertama usia kehidupannya. Sedikitnya
variabilitas pada gerakan tungkai atau gerakan yang terus-menerus atau cramped postures
juga merupakan indikasi adanya kerusakan motorik.21
Pada bayi golongan ini, usia bulan pertama tampak flaksid dan berbaring seperti kodok
terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor neuron (LMN). Menjelang
umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan
berbaring tampak flaksid dan sikapnya seperti kodok terlentang tetapi bila di rangsang atau
mulai diperiksa tonus ototnya berubah menjadi spastik. Refleks otot yang normal dan
refleks babinski yang negatif tetapi yang khas adalah refleks neonatal dan tonic neck reflex
menetap. Kerusakan biasanya terjadi di batang otak dan disebabkan oleh asfiksia perinatal
atau ikterus. Golongan ini meliputi 10-20% dari kasus CP.
c. Koreo-atetosis
Kelainan yang khas adalah sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi dengan
sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak bayi flaksid tetapi
sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan tampak
adanya perubahan tonus otot. Data timbul juga gejala spastisitas dan ataksia.
Kerusakan terletak di ganglia bangsal dan disebabkan oleh asfiksia berat atau kern ikterus
pada masa neonatus. Golongan ini meliputi 5-15% dari kasus CP.8
d. Ataksia
Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid dan
menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan tampak bila
mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan
kaku. Kerusakan terletak di serebelum. Terdapat kira-kira 5% dari CP.8
e. Gangguan pendengaran
Kehilangan pendengaran berhubungan mikrosefali, mikroftalmia, dan penyakit jantung
bawaan, dimana disarankan untuk memeriksakan kehamilan terhadap infeksi TORCH
(toksoplasma, rubella, sitomegalovirus, dan herpes simpleks). Pada sebagian besar
penderita diskinesia dan kern ikterus dapat menyebabkan ketulian sensorineural frekuensi
tinggi.
Gangguan pendengaran ini terdapat pada golongan koreo-atetosis. Gangguan berupa
gangguan neurogen terutama persepsi nada tinggi sehingga sulit menangkap kata-kata.
Terdapat pada 5-10% anak dengan CP.8,21
f. Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan yang terjadi
dengan sendirinya di bibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut
sehingga anak sukar membentuk kata-kata dan sering tampak berliur.
g. Gangguan penglihatan
Gangguan penglihatan biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi. Pada
asfiksia yang berat dapat terjadi katarak. Hampir 25% penderita CP menderita kelainan
penglihatan dan 11% yang mengalami kerusakan penglihatan yang parah.
Pada anamnesis, biasanya ditanyakan tentang:
1. Keluhan utama
Pasien datang dapat dengan keluhan berupa pola gerak anak yang abnormal, terlambat dalam
perkembangan berdiri dan berjalan, paresis sentral (hemiparesis, paraparesis, atau
tetraparesis), spastisitas (kekakuan), ataksia, koreo-atetosis, retardasi mental, kejang epilepsi,
gelisah, sulit berkonsentrasi, gangguan penglihatan, pendengaran dan berbicara serta
deformitas tulang dan sendi.
2. Riwayat penyakit sekarang (scared seven)
3. Riwayat kehamilan dan pemeriksaan kehamilan ibu
Untuk mengetahui adanya kemungkinan terkena penyakit infeksi atau trauma selama masa
kehamilan.
4. Riwayat persalinan bayi
5. Riwayat perawatan saat bari baru lahir
6. Riwayat keluarga
Tabel 2.4 Klasifikasi Palsi Serebral dan Penyebab Utamanya8,22
Kelainan motorik Neuropatologi Penyebab utama
Displegia spastic Periventrikular leukomalacia
(PVL)
Prematuritas, iskemia, infeksi,
kelainan endokrin/metabolik
(penyakit tiroid)
Quadriplegia spastic Periventrikular leukomalacia
(PVL)
Iskemia, infeksi
Multicystic encephalomalacia kelainan endokrin/metabolik,
genetik/perkembangan
Hemiplegia Stroke: intrauterine atau neonatal Thrombophilic disorders, infeksi,
genetik/perkembangan,
periventrikular hamorrhagic
infarction.
Ekstrapiramidal (atetosis,
diskinesia)
Patologi putamen, globus
pallidus, thalamus, ganglia basal
Asfiksia, kern ikterus, kelainan
mitokondria, genetik/metabolik
2. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan tonus
2. Pemeriksaan muskuloskeletal
a. Panggul
- Kontraktur fleksi, rotasi internal dan eksternal, adduksi, panjang tidak simetris
- Thomas test: kontraktur fleksi
- Ely test: kontraksi quadriceps
- Adduksi, rotasi
b. Lutut
Sudut poplitea
c. Kaki dan pergelangan
Kontraktur dan torsi tibia
d. Punggung
Postur, skoliosis, asimetris
e. Ekstremitas atas
Posisi saat istirahat, gerak spontan, grip, koordinasi motorik halus
3. Pemeriksaan refleks
a. Refleks tendon
b. Refleks patologis/klonus
c. Refleks primitif menetap
- Asymmetric tonic neck reflex
- Neck righting reflex
- Graps reflex
d. Refleks protektif terlambat
Parachute
Dalam menegakan diagnosis CP perlu dilakukan pemeriksaan kemampuan motorik bayi dan
melihat kembali riwayat medis, mulai dari riwayat kehamilan, persalinan dan kesehatan bayi. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan refleks dan mengukur perkembangan lingkar kepala anak.
Perlu juga memeriksa penggunaan tangan, kecenderungan untuk menggunakan tangan kanan atau
kiri. Jika pemeriksa memegang obyek di depan dan pada sisi dari bayi, bayi akan mengambil benda
tersebut dengan tangan yang cenderung di pakai, walaupun obyek di dekatkan pada tangan disebelahnya.
Sampai usia 12 bulan, bayi masih belum menunjukan kecenderunganmenggunakan tangan terpilih. Tetapi
bayi dengan hemiplegia spastik akan menunjukan perkembangan pemilihan tangan yang lebih dini, sejak
tangan pada sisi yang tidak terkena mulai lebih kuat dan banyak digunakan.
Langkah selanjutnya dalam mendiagnosis CP adalah menyingkirkan penyakit lain yang
menyebabkan masalah pergerakan. Yang terpenting harus ditentukan bahwa kondisi anak tidak bertambah
buruk. Walaupun gejala dapat berubah bersama waktu, CP sesuai dengan definisinya tidak dapat menjadi
progresif. Jika anak secara progesif kehilangan kemampuan motorik, ada kemungkinan terdapat masalah
yang berasal dari penyakit lain, misalnya penyakit genetik, penyakit muskuler, kelainan metabolik, atau
tumor SSP.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Electroencephalogram (EEG)
EEG dapat dilakukan dari usia bayi sampai dewasa.merupakan salah satu pemeriksaan
penting pada pasien dengan kelainan susunan saraf pusat. Alat ini bekerja dengan prinsip
mencatat aktivitas elektrik di dalam otak, terutama pada bagian korteks (lapisan luar otak
yang tebal). Dengan pemeriksaan ini, aktifitas sel-sel saraf otak di korteks yang fungsinya
untuk kegiatan sehari-hari, seperti tidur, istirahat, dan lain-lain, dapat direkam.
Pada infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis, pemeriksaan EEG perlu
dilakukan untuk melihat kemungkinan, misalnya terjadi kejang yang tersembunyi atau
adanya bagian otak yang terganggu.23
b. Elektromiografi (EMG) dan Nerve Conduction Velocity (NCV)
Alat ini berguna untuk membuktikan dugaan adanya kerusakan pada otot atau saraf. NCV
digunakan terlebih dahulu sebelum EMG, dan digunakan untuk mengukur kecepatan saat
dimana saraf-saraf mentransmisikan sinyal.
Selama oemeriksaan NCV, elektroda ditempelkan pada kulit yang dilalui saraf yang
spesifik untuk suatu otot atau sekelompok otot. Prinsip kerja NCV adalah memberikan
stimulus elektrik yang dihantarkan melalui electrode, kemudian respon dari otot di deteksi,
diolah dan ditempelkan. Kekuatan dari sinyal yang diberikan juga dihitung. Kondisi
neurologis dapat menyebabkan NCV melambat atau menjadi lebih lambatpada salah satu
sisi tubuh.
EMG mengukur impuls dari saraf dalam otot. Electrode kecil diletakkan dalam otot pada
lengan dan kaki dan respon elektronik diamati dengan menggunakan suatu alat yang
menampilkan gerakan suatu arus listrik (oscilloscope). Alat ini mendeteksi bagaimana otot
bekerja.7
c. Tes laboratorium
- Analisa kromosom
Analisis kromosom dapat menunjukkan identifikasi suatu anomali genetic, contohnya
Down’s syndrome, ketika anomali tersebut muncul pada sistem organ.
- Tes fungsi tiroid
Tes fungsi tiroid dapat menunjukkan kadar hormon tiroid yang rendah dapat
menyebabkan beberapa cacat bawaan dan retardasi mental berat.
- Tes kadar ammonia darah
Kadar ammonia yang tinggi dalam darah (hiperammonemia) bersifat toksik terhadap
sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Defisiensi beberapa enzim
menyebabkan kerusakan asam amino yang menimbulkan hiperammonemia. Hal ini
dapat disebabkan oleh kerusakan hati atau kelainan metabolisme bawaan.
d. Imaging test
Imaging test sangat membantu dalam mendiagnosis hidrosefalus, abnormalitas
structural,dan tumor. Informasi yang diberikan dapat membantu dalam menentukan
prognosis jangka panjang seorang anak.
- Computed Tomography Scan (CT Scan)
Teknik ini merupakan gabungan sinar X dan teknologi computer yang menghasilkan
suatu gambar yang memperlihatkan setiap bagian tubuh secara terinci termasuk tulang,
otot, lemak dan organ-organ tubuh. CT scan kepala dapat menjabarkan struktur
jaringan otak, seperti area otak yang kurang berkembang, kista abnormal, malformasi
bawaan, haemoragic dan PVL pada bayi.
Dengan informasi dari CT scan, dokter dapat menentukan prognosis penderita CP.7,23
- Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk menciptakan gambar
dan struktur internal otak. Dilakukan pada anak-anak yang lebih tua.
MRI adalah teknik imaging yang canggih, menghasilkan gambar yang lebih baik
dalam hal struktur atau area abnormal dengan lokasi dekat dengan tulang
dibandingkan CT Scan kepala. MRI dapat mendefinisikan abnormalitas dari
substansia alba (white matter) dan korteks motorik lebih jelas daripada metode-metode
lainnya.
Dikatakan neuroimaging direkomendasikan jika dalam evaluasi anak dengan CP
etiologinya tidak dapat ditemukan.23
- Ultrasonography (USG)
USG menggunakan echo dari gelombang suara yang dipantulkan kedalam tubuh untuk
membentuk suatu gambar yang disebut sonogram. Alat ini dapat menggambarkan
masalah dalam jaringan otak. USG dapat digunakan pada bayi sebelum tulang kepala
mengeras dan UUB tertutup. Walaupun hasilnya kurang akurat dibandingkan MRI dan
CT Scan, pemeriksaan ini dapat mendeteksi kista dan struktur otak, lebih murah dan
tidak membutuhkan periode lama pemeriksaannya.23
2.7 PENATALAKSANAAN
Perawatan pada anak CP memerlukan pengertian dan kerjasama yang baik dari pihak
orangtua/keluarga penderita. Hal ini akan sangat tercapai dengan baik jika diorganisasi terpadu pada satu
pusat klinik khusus. CP yang dikelola tenaga-tenaga dari berbagai multi-disipliner, seperti dokter anak,
neurologis, dokter ahli ortopedi, bedah saraf, THT, dan guru luar biasa.
Perlu ditekankan pada orangtua penderita CP, bahwa tujuan dari pengobatan bukan membuat
anak menjadi seperti anak normal lainnya. Tetapi mengembangkan sisa kemampuan yang ada pada anak
tersebut seoptimal mungkin, sehingga diharapkan anak tersebut dapat melakukan aktivitas sehari-hari
tanpa bantuan atau hanya membutuhkan sedikit bantuan saja.8
Penatalaksaan penderita CP secara garis besar adalah sebagai berikut: 2,6
1. Aspek medis
a. Aspek medis umum
- Gizi
Gizi yang baik perlu bagi setiap anak, khususnya bagi penderita CP. Karena sering
terdapat kelainan pada gigi, kesulitan menelan, sukar untuk menyatakan keinginan
untuk makan. Pencatatan rutin perkembangan berat badan anak perlu dilaksanakan.
- Hal-hal lain seperti imunisasi dan perawatan kesehatan juga perlu diperhatikan dan
dilakukan. Anak dengan CP seringkali terjadi konstipasi dan dekubitus pada anak-
anak yang sering tidak berpindah-pindah posisi.
b. Medikamentosa
Diberikan obat-obat sesuai dengan kebutuhan anak, seperti obat-obat untuk relaksasi otot,
anti kejang, untuk atetosis, ataksia, psikotropik, dan lain lain.
- Obat anti-spastis
Biasanya indikasi pemberian obat anti spasitas pada penderita CP, karena:
1. Spasitas penderita sangat hebat yang disertai rasa nyeri sehingga mengganggu
program rehabilitasi.
2. Keadaan hiperfleksi yang sangat mengganggu fungsi motorik, misalnya klonus
kaki yang hebat.
3. Kontraksi fleksi pada tungkai yang progresif.
4. Spasitas penderita yang mempersulit perawatan.
Gambar 2.4 Obat-obat yang digunakan untuk terapi spastisitas pada CP
Obat yang digunakan untuk mengatasi spastisitas pada penderita CP adalah:
1. Baclofen
Baclofen merupakan terapi lini pertama dalam pengobatan spatisitas pada anak
dengan CP. Baclofen adalah analog struktur dari penghambat neurotransmitter asam
gamma-aminobutirat (GABA) yang bekerja pada reseptor GABA di sistem saraf
pusat. Analog ini menghambat ekskresi neurotransmitter yang menyebabkan
spastisitas. Baclofen diabsorpsi dengan baik melalui oral, tetapi hanya 30% yang
terikat protein dan memiliki kelarutan lipid yang rendah, sehingga tidak mudah
melintasi sawar darah otak.24
Meskipun baclofen oral dianggap sebagai terapi lini pertama, beberapa uji klinis
mengevaluasi penggunaanya pada anak-anak dengan CP.25,26
Informasi terakhir dari
studi plasebo-kontrol pada tahun 2006 menunjukkan peningkatan fungsi pada anak
penderita CP.25
Efek samping dari baclofen adalah mengantuk, kebingungan, hilang ingatan, dan
defisit perhatian, serta dilaporkan juga efek samping berupa kelemahan, ataksia, dan
hipotensi ortostatik.
Efek baclofen pada aktivitas kejang masih tidak jelas. Baclofen dilaporkan dapat
meningkatkan, menurunkan atau tidak memiliki efek terhadap insidensi terjadinya
kejang.28
Penghentian mendadak penggunaan baclofen dapat menyebabkan peningkatan
rebound spastisitas, rhabdomiolisis, disorientasi, halusinasi dan kejang.27,29,30
2. Diazepam
Obat ini bekerja sebagai relaksan umum otak dan tubuh. Pada anak usia <6 bulan
tidak direkomendasikan.
Diazepam (benzodiazepin) merupakan salah satu terapi tertua dalam pengobatan
spastisitas pada CP.29
Benzodiazepin meningkatkan afinitas GABA terhadap
reseptornya. Studi yang membandingkan baclofen dan diazepam, menemukan bahwa
keduanya memiliki efektivitas yang sama dalam mengatasi spastisitas. Pada uji
pembanding, pasien yang menerima diazepam mempunyai insidensi sedasi yang
lebih tinggi ibandingkan pasien yang menerima baclofen.31
Efek sedatif diazepam
membatasi penggunaan klinisnya. Efek samping tersering yang lain adalah gangguan
memori, penurunan perhatian, ataksia, kelemahan, konstipasi dan retensi urin.30
Insiden sedasi dan gangguan memori serta perhatian secara khusus menyangkut pada
anak usia sekolah.
Jika diazepam dihentikan tiba-tiba atau dosisnya diturunkan terlalu cepat, pasien
akan mengalami withdrawal syndrome. Gejala mungkin termasuk kecemasan,
agitasi, gelisah, lekas marah, tremor, mual, hiperpireksia, dan kejang.30
3. Dantrolene Sodium
Dantrolene menghambat penuh kontraksi otot dan spastisitas dengan cara
menghambat pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma sel otot rangka.
Penghambatan penuh kontraksi otot menyebabkan kelemahan otot general, namun
tidak mempengaruhi otot polos atau otot jantung.
Uji klinis menunjukkan dantrolene yang lebih unggul dengan plasebo dalam
pengobatan anak-anak dengan spastisitas akibat CP. Dantrolene dimetabolisme
secara ekstensif oleh hati.
Hal ini menyebabkan interaksi obat, seperti penggunaan bersamaan dengan
verapamil dapat mengakibatkan hiperkalemia, penggunaan dantrolene dan estrogen
dapat meningkatkan hepatotoksisitas, dan digunakan dengan depresan SSP lainnya
dapat meningkatkan sedasi. Toksisitas dantrolene mungkin juga akan meningkat bila
digunakan dengan monoamine oxidase inhibitors.32
Peran Dantrolene dalam
pengobatan spastisitas terbatas karena hubungannya dengan hepatotoksisitas.
Hepatitis yang fatal dan nonfatal telah dilaporkan. Dilaporkan kejadian
hepatotoksisitas dari 2% dan kejadian hepatitis fatal di 0,3%.30
Tes fungsi hati harus
diperoleh sebelum memulai terapi dan secara teratur dilakukan setelahnya.
4. Clonidine dan Tizanidine (Centrally acting alpha2 –agonists)
Clonidine dan Tizanidine bekerja di sumsum tulang belakang untuk mengurangi
spastisitas yang disebabkan hiperpolarisasi neuron motorik dan mengurangi rangsang
pelepasan asam amino.30
Tizanidine tidak direkomendasikan pada anak-anak dan
hanya tersedia dalam bentuk tablet.16
Clonidine memiliki keuntungan dari berbagai
bentuk sediaan yang berbeda. Tersedia berupa tablet, patch, dan suspensi.10
Clonidine biasanya digunakan sebagai terapi tambahan untuk pengobatan
spastisitas.32
Efek samping dari alpha2-agonis ini meliputi sedasi, hipotensi, dan gangguan
pencernaan. Tidak mengherankan, dampak buruk dari hipotensi lebih umum dengan
penggunaan clonidine. Peningkatan enzim hati berkaitan dengan terapi
menggunakan tizanidine.30
5. Intrathecal Baclofen (ITB)
Bagi banyak pasien, obat-obatan oral tidak akan cukup mengendalikan spastisitas.
Untuk pasien tersebut, baclofen intratekal dapat menjadi pilihan. Baclofen
dimasukkan langsung ke sumsum tulang belakang melalui perangkat implan yang
dapa meningkatkan kontrol terhada spastisitas dengan efek samping yang kurang .
Baclofen intratekal menghasilkan konsentrasi baclofen di cairan serebrospinal
lumbal 30 kali lebih besar daripada yang bisa dicapai dengan oral.33
Tujuan terapi baclofen intratekal (ITB) adalah untuk memperlambat atau mencegah
kontraktur, meningkatkan kenyamanan dan posisi , serta meringankan beban
perawatan pada pasien non-fungsional. Kontraindikasi adalah adanya infeksi pada
saat pemeriksaan, riwayat alergi terhadap baclofen, dan ketidakmampuan untuk
menanamkan pompa 2,5 cm dari permukaan kulit.32,34
Disarankan berat badan anak
minimal 15 kg atau usia minimal 4 tahun.32,39
Ada banyak penelitian
menggambarkan kemanjuran ITB dalam mengobati spastisitas akibat Palsi Serebral
pada orang dewasa serta anak-anak.35,36,37,38
Efek samping dari ITB adalah konstipasi kronis, hipotonia, mengantuk, sakit kepala,
muntah, dan parestesia. ITB memang memiliki potensi untuk beberapa komplikasi
parah yang berhubungan dengan kebocoran cairan serebrospinal, dan infeksi. 32,34,35
Baclofen intratekal diberikan peringatan kotak hitam oleh FDA untuk mengingatkan
dokter bahwa dapat terjadi withdrawal syndrome yang sangat serius dengan
penghentian terapi ITB.32
Withdrawal syndrome biasanya merupakan hasil dari
pompa atau kerusakan kateter atau kelalaian dalam mengisi reservoir. Withdrawal
ringan ditandai dengan pruritus, agitasi, diaphoresis, dan peningkatan tonus.
Withdrawal sedang sampai berat dapat berupa demam, takikardia, dan kejang otot.
Withdrawal syndrome dapat berkembang menjadi kejang, halusinasi, delirium,
rhabdomyolysis, dan kematian. Semua pasien yang menerima terapi ITB harus
diedukasi tentang withdrawal syndrome dan harus memiliki baclofen oral yang dapat
digunakan saat darurat.32
6. Terapi Intramuskular local
Toksin botulinum yang dihasilkan oleh bakteri anaerob, Clostridium botulinum. Ada
tujuh subtipe toksin (A, B, C, D, E, F, dan G), akan tetapi hanya A dan B yang
tersedia secara komersial. Toksin akan menghambat asetilkolin yang dilepaskan ke
celah sinaptik sehingga dapat mencegah kontraksi otot. Dalam sel saraf, vesikula
yang mengandung asetilkolin akan melebur bersama membran sel saraf sehingga
asetilkolin dilepaskan. Pengikatan vesikel difasilitasi oleh sebuah apparatus fusi
sinaptik yang disebut protein soluble NSF attachment receptor (SNARE).
Toksin botulinum memotong protein fusi sehingga kompleks SNARE tidak
terbentuk. Hal ini mencegah vesikel yang penuh dengan asetilkolin melebur dengan
membran sel dan melepaskan asetilkolin (Gambar 2.5). Transmisi neuromuskular
yang dicegah mengakibatkan kelumpuhan flaksid dan kelemahan otot.32
Gambar 2.5 Cara kerja toksin botulinum toksin A.
- Obat psikotropik
- Antikonvulsan
Pada penderita dengan kejang diberikan obat antikonvulsan rumat yang sesuai
dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin, dan sebagainya.
c. Pembedahan ortopedi
Banyak yang dapat dibantu dengan bedah ortopedi, misalnya tendon yang memendek
akibat kekakuan/spastisitas otot, rasa sakit yang terlalu mengganggu dan lain-lain yang
dengan fisioterapi tidak berhasil.
Salah satu indikasi dilakukan tindakan ortopedi jika sudah terjadi deformitas akibat
proses spasme otot atau telah terjadi kontraktur pada otot dan tendon. Dalam hal ini perlu
dipertimbangkan secara matang beberapa faktor sebelum melakukan tindakan
pembedahan. Tujuan dari tindakan bedah ini adalah untuk stabilitas, melemahkan otot
yang terlalu kuat atau untuk transfer dari fungsi.
d. Fisioterapi
Fisioterapi merupakan salah satu terapi dasar bagi penderita CP. Fisioterapi cepat
dilaksanakan pada penderita yang masih muda pada tahap dini manfaatnya jauh lebih
nyata jika dibandingkan dengan penderita yang lebih lambat. Fisioterapi ini dilakukan
sepanjang hidup.8
Adapun jenisnya adalah:
- Teknik tradisional
Latihan luas gerak sendi, stretching, latihan penguatan dan peningkatan daya tahan
otot, latihan duduk, latihan berdiri, latihan jalan, latihan pindah. Contohnya adalah
teknik dari Deaver, yaitu menggunakan extensive bracing, membatasi semua kecuali
dua gerakan ekstremitas.
- Motor function training dengan menggunakan sistem khusus yang umumnya
dikelompokkan sebagai neuromuscular facilitation exercise. Dimana digunakan
pengetahuan neurofisiologidan neuropatologi dari refleks didalam latihan untuk
mencapai suatu postur dan gerakan yang dikehendaki. Secara umum konsep latihan
ini berdasarkan prinsip bahwa dengan beberapa bentuk stimulasi akan menimbulkan
reaksi otot yang dikehendaki, yang kemudian bila ini dilakukan berulang-ulang akan
berintegrasi kedalam pola gerak motorik yang bersangkutan. Contohnya pada teknik
dari Phelps, Fay-Doman, Bobath, Brunnstorm, Kabat-Knott-Vos.
e. Terapi okupasi
Terutama untuk latihan melakukan aktivitas sehari-hari, evaluasi penggunaan alat-alat
bantu, latihan keterampilan tangan,dan aktivitas bimanual. Latihan bimanual ini
dimaksudkan agar menghasilkan pola dominan pada salah satu sisi hemisfer otak.
f. Ortotik
Menggunakan brace dan bidai (splint), tongkat ketiak, tripod, walker, kursi roda, dan
lain-lain.
Secara umum program bracing bertujuan:
- Untuk stabilitas, terutama bracing untuk tungkai dan tubuh.
- Mencegah kontraktur.
- Mencegah kembalinya deformitas setelah operasi.
- Agar tangan lebih berfungsi.
g. Terapi wicara
Angka kejadian gangguan bicara pada penderita CP diperkirakan berkisar 30-70%.
Gangguan bicara dapat berupa disfonia, disritmia, disartria, disfasia dan bentuk
campuran. Terapi wicara dilakukan oleh terapis wicara.
h. Psikolog
Psikolog dibutuhkan untuk membantu penderita dan keluarga menghadapi tekanan
khusus dan kebutuhan dari penderita CP. Pada banyak kasus, psikolog dapat mengatur
terapi dengan memodifikasi perilaku yang tidak membantu atau destruktif.
2. Aspek non-medis
a. Pendidikan
Mengingat setelah kecacatan motorik, juga disertai kecacatan mental, maka pada
umumnya pendidikannya memerlukan pendidikan khusus (sekolah luar biasa). Mereka
sebaiknya diperlakukan sama seperti anak yang normal yaitu pulang kerumah dengan
kendaraan bersama-sama sehingga mereka tidak merasa diasingkan hidup dalam suasana
normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan.
b. Pekerjaan
c. Tujuan ideal dari suatu rehabilitasi adalah agar oenderita dapat bekerja produktif,
sehingga dapat berpenghasilan untuk membiayai hidupnya. Mengingat keadaannya
seringkali tujuan tersebut sulit tercapai. Tetapi meskipun dari segi ekonomis tidak
menguntungkan, pemberian keselamatan kerja tetap diperlukan, agar dapat menimbulkan
harga diri bagi penderita CP.
d. Problem dan pekerja sosial
Bila terdapat masalah sosial, diperlukan peranan pekerja sosial untuk membantu
penderita CP dan keluarga hidup dalam komunitas dan bermasyarakat.
Penderita, keluarga dan pengasuh merupakan kunci keberhasilan terapi, mereka seharusnya
terlibat jauh pada semua tingkat rencana, pembuatan keputusan,dan pengaplikasikan terapi. Penelitian
menujukkan bahwa dukungan keluarga dan determinasi personal adalah dua dari prediktor-prediktor yang
sangat penting untuk mencapai kemajuan jangka panjang.2,6,41
2.8 PROGNOSIS
Prognosis sangat tergantung pada ada atau tidaknya kecacatan yang terkait, dan secara khusus
pada kecerdasan anak. Dengan kecerdasan yang normal, masalah-masalah pada sebagian besar kecacatan
motorik dapat teratasi. Kualitas penatalaksanaan juga mempengaruhi prognosis.42
Kesembuhan dalam arti regenerasi otak yang sesungguhnya, tidak pernah terjadi pada CP. Tetapi
terjadi perbaikan sesuai dengan tingkat maturitas otak yang sehat sebagai kompensasinya. Pengamatan
jangka panjang dari sebuah penelitian menunjukkan adanya tendensi perbaikan fungsi koordinasi dan
fungsi motorik dengan bertambahnya umur pada anak yang mendapat stimulasi dengan baik. Morbiditas
dan mortalitas berhubungan dengan tingkat keparahan CP dan bersamaan dengan komplikasi medis lain
seperti kesulitan pernafasan dan kelainan gastrointestinal. Pada penderita quadriplegia lebih berisiko
mengalami epilepsi, abnormalitas ekstrapiramidal dan kelainan kognitif berat daripada mereka yang
menderita diplegia atau hemiplegia.
Epilepsi terjadi pada 15–60 % penderita CP dan lebih sering terjadi pada pasien dengan spastic
quadriplegia atau retardasi mental. Ketika dibandingkan dengan kontrol, anak-anak penderita CP
memiliki insidensi epilepsi lebih tinggi dengan onset selama tahun pertama kehidupannya dan lebih
banyak memiliki riwayat kejang neonatal, status epilepticus, politerapi dan pengobatan dengan
menggunakan anti konvulsan baris kedua.
Di Inggris dan Skandinavia sebanyak 20-30% dari penderita dengan kelainan ini mampu bekerja
sebagai buruh penuh. Sedangkan 30-35% penderita yang disertai dengan retardasi mental, memerlukan
perawatan khusus. Prognosis yang paling baik pada derajat fungsional ringan. Prognosis bertambah berat
bila disertai retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan penglihatan dan pendengaran. Angka kematian
penyakit ini adalah 53% pada tahun pertama dan 11% meninggal pada umur 7 tahun.8,40
Faktor – faktor yang mempengaruhi prognosis palsi serebral:
a. Tipe klinis Palsi Serebral.
b. Beratnya keterlambatan perkembangan
c. Refleksi patologis
d. Derajat kecerdasan
Pada posisi serba tipe spastik diplegia 50% dapat berjalan di usia 3 tahun tetapi sering
tidak abnormal. Anak dengan spastik kuadriplegia 25% memerlukan perawatan total, 33%
dapat berjalan.
Untuk menilai fungsi motorik kasar dan halus pada anak palsi serebal diperlukan alat
ukur yang tidak hanya mampu menilai ketidakmampuan fisik, tetapi juga untuk mengevaluasi
keberhasilan intervensi yang sudah di lakukan. Gross motor function classification system
(GMFCS) dan Gross motor function measures (GMFM) merupakan alat yang sering di gunakan
untuk menilai fungsi motorik kasar pada anak dan menilai derajat berat ringannya palsi serebral.
Kedua alat ini juga di gunakan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi atau intervensi yang
sudah di lakukan pada anak palsi serebral.
Pembagian GMFCS berdasarkan usia dikelompokkan menjadi:
a. Usia<2 tahun
b. Usia 2-4 tahun
c. Usia 4-6 tahun
d. Usia 6-12 tahun
a. Usia<2 tahun
Tingkat 1:
Bayi dapat duduk dengan ke dua tangan bebas untuk memanipulasi benda.
Bayi merangkak dengan kedua tangan dan lututnya serta dapat berdiri dan melangkah
dengan memegang perabot. Bayi berjalan pada usia 18 bln – 2 th tanpa alat bantu.
Tingkat 2 :
Bayi duduk dengan ke dua tangan menopang lantai untuk menjaga keseimbangan
Bayi merangkak dengan perutnya atau ke dua tangan dan lututnya. Bayi dapat berdiri
dan melangkah dengan memegang perabot.
Tingkat 3:
Bayi mempertahankan posisi duduk dengan punggung ditopang orang lain.
Tingkat 4:
Bayi dapat mempertahankan kepalanya tetapi untuk duduk harus di bantu sepenuhnya.
Bayi dapat berguling untuk terlentang atau telungkup
Tingkat 5:
Keterbatasan gerak bayi dapat mempertahankan anti gravitasi kepala dan badannya.
Bayi membuthkan bantuan orang dewasa untuk berguling.
b. Usia 2 – 4 tahun
Tingkat 1:
Anak duduk di lantai dengan kedua tangan bebas memanipulasi benda.Berdiri pada posisi
duduk tanpa bantuan orang dewasa.
Berjalan tanpa bantuan alat bantu gerak.
Tingkat 2:
Anak dapat duduk dan mungkin mengalami gangguan keseimbangan ketika kedua tanpa
bantuan orang dewasa.
Dapat berdiri dengan posisi stabil. Dapat merangkak dengan kedua tangan dan lututnya.
Berjalan dengan bantuan alat bantuan alat bantu gerak.
Tingkat 3:
Anak duduk dengan posisi W, mungkin memerlukan bantuan orang dewasa untuk
mempertahankan posisinya.
Dapat berdiri pada posisi stabil dan bergerak sedikit. Merangkak dengan perutnya atau
kedua lengan dan lutut. Dapat berjalan dalam ruangan dengan alat bantu dan
memerlukan bantuan orang dewasa untuk berputar.
Tingkat 4:
Anak dapat duduk ketika diposisikan di lantai dan tidak dapat mempertahankan
keseimbangan tanpa di topang oleh ke dua oleh kedua tangan. Sering kali membutuhkan
alat untuk duduk dan berdiri dapat bergerak pendek dalam ruangan dengan berguling.
Merangkak dengan perut atau kedua lengan dan lutut tanpa gerak kaki yang bergantian.
Tingkat 5:
Keterbatasan gerak, tidak dapat mempertahankan antigravitasi kepala dan badannya.
Semua area fungsi motorik terbatas.
Keterbatasan fungsi duduk dan berdiri tidak sepenuhnya terbantu dengan teknologi.
Anak tidak dapat melakukan gerak sendiri yang harus berarti dan harus di angkat.
Beberapa anak dapat bergerak sendiri dengan bantuan kursi roda dengan adaptasi yang
sulit.
c. Usia 4 – 6 tahun
Tingkat 1:
Anak duduk dan berdiri dari kursi tanpa bantuan tangan. Anak dapat berdiri sendiri dari
posisi duduk di lantai atau kursi tanpa bantuan objek untuk menopang.
Berjalan di dalam dan di luar rumah, memanjat tangga kecenderungan untuk berlari dan
melompat.
Tingkat 2:
Anak dapat duduk di kursi dengan ke dua tangan bebas. Berdiri dari posisi duduk dengan
memgang suatu permukaan yang stabil untuk mengangkat badannya.
Berjalan dalam ruangan tanpa alat bantuan dan berjalan sedikit di luar ruangan.Menaiki
tangga dengan memegang pinggir tangga.
Tingkat 3:
Anak dapat duduk di kursi biasa tapi dengan badan dan punggung di topang. Berdiri dari
posisi duduk dengan memegang suatu permukaan yang stabil untuk mengangkat
badannya.
Berjalan dalam ruangan dengan alat bantu dan memanjat tangga dengan bantuan orang
dewasa. Anak sering kali diangkut jika dibawa jauh di luar ruangan atau tanah yang tidak
rata.
Tingkat 4:
Anak dapat duduk di kursi tetapi perlu kontrol adaftif untuk kontrol badan dan
memaksimalkan fungsi tangan. Berdiri dari posisi duduk dengan bantuan orang dewasa
atau permukaan yang stabil untuk mengangkat badannya.
Berjalan dalam ruangan dengan alat bantu dan supervisi orang dewasa tetapi sulit untuk
berputar dan mempertahankan keseimbangan pada tanah yang tidak rata. Anak sering
kali diangkut dalam komunitas. Anak dapat bergerak sendiri menggunakan kursi roda
automatis.
Tingkat 5 :
Sama dengan usia 2 – 4 tahun.
d. Usia 6 – 12 tahun
Tingkat 1 :
Anak dapat berjalan di dalam dan di luar ruangan serta dapat memanjat tangga tanpa
keterbatasan.
Anak dapat berlari dan melompat tetapi kecepatan, keseimbangan, dan koordinasinya
menurun.
Tingkat 2:
Anak dapat berjalan di dalam dan luar ruangan serta dapat memanjat tangga dengan
memegang pinggiran tangga tetapi terbatas berjalan pada permukaan yang tidak rata dan
mendaki serta daerah yang padat dan sempit.
Kemampuan minimal berlari dan melompat.
Tingkat 3:
Anak dapat berjalan di dalam dan di luar ruangan dengan alat bantu gerak. Anak mungkin
dapat memanjat tangga dengan menggunakan pinggiran tangga. Bergantung pada fungsi
alat gerak atas, anak dapat mendorong kursi roda secara manual atau digendong saat
berada di luar tanah lapang yang tidak rata.
Tingkat 4:
Anak mungkin mempertahankan fungsi sebelum usia 6 th atau mengandalkan kursi roda
saat di rumah, sekolah, atau komunitas. Anak mungkin dapat bergerak sendiri
menggunakan kursi roda automatis.
Tingkat 5 :
Gangguan kontrol gerak volunteer dan tidal dapat mempertahankan posisi tubuh dan
kepala.Semua area fungsi motorik terbatas. Anak tidak dapat melakukan gerak sendiri
yang berarti dan harus di angkut. Beberapa anak dapat bergerak sendiri dengan bantuan
kursi roda dengan adaptasi yang sulit.
GMFM merupakan alat untuk menilai fungsi motorik kasar dan perubahannya setelah di
lakukan terapi pada anak CP. GMFM biasanya di gunakan pada anak usia 5 bl – 16 th. Terdapat
beberapa item penilaian kemampuan motorik kasar anak pada GMFM yang di kelompokkan
dalam 5 domain yaitu terbalik dan mengangkat kepala (lying and rolling),
berjalan/berlari/melompat (walking/running/jumping). Penilaian ini lebih detail atau terperinci
dan hasilnya di tentukan dengan nilai atau skor 0 – 100, sehingga GMFM merupakan alat yang
bersifat kuantitatif dan dapat di gunakan dalam penelitian.43
2.9 PENCEGAHAN
Beberapa penyebab CP dapat dicegah atau diterapi, sehingga kejadian CP pun bisa dicegah. Palsi
serebral dapat dicegah dengan cara menghilangkan faktor-faktor etiologi kerusakan jaringan otak pada
masa prenatal, perinatal dan postnatal. “Prenatal dan perinatal care” yang baik dapat mengurangi insidens
terjadinya CP.
Adapun penyebab CP yang dapat dicegah atau diterapi antara lain:
1. Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada bayi baru lahir dengan fototerapi,
jika tidak mencukupi dapat dilakukan transfuse tukar.inkompatibilitas faktor rhesus mudah
diidentifikasi dengan pemeriksaan darah rutin ibu dan bapak. Inkompatibilitas tersebut tidak
selalu menimbulkan masalah pada kehamilan pertama, karena secara umum tubuh ibu hamil
tersebut belum memproduksi antibodi yang tidak diinginkan hingga saat persalinan. Pada
sebagian besar kasus, serum khusus yang berikan setelah kelahiran dapat mencegah produksi
antibodi tersebut.
2. Rubella atau campak jerman dapat dicegah dengan memberikan imunisasi sebelum hamil.
3. Sangat baik jika kita berpedoman untuk menghasilkan yang baik dengan cara asuhan
prenatal yang teratur dan nutrisi yang optimal dan melakukan eleminasi rokok, konsumsi
alkohol dan penyalahgunaan obat. Walaupun semua usaha terbaik yang sudah dilakukan oleh
orangtua dan dokter, tapi masih ada anak yang terlahir dengan CP, hal tersebut karena
sebagian kasus CP masih tidak diketahui etiologinya.1,8
BAB III
PENUTUP
Palsi Serebral (CP) merupakan suatu sindrom klinis yang berhubungan dengan gangguan kontrol
motorik pada anak. Menurut America Academy for Palsi Serebral and Developmental Medicine, CP
adalah kumpulan gangguan perkembangan pergerakan dan sikap (motorik) yang menyebabkan
keterbatasan aktivitas, yang berkaitan dengan gangguan non-progresif yang terjadi saat perkembangan
janin atau otak bayi. Gangguan motorik CP sering kali disertai dengan gangguan sensorik, kognitif,
komunikasi, persepsi, dan/tanpa gangguan perilaku, dan/tanpa disertai kejang. Kelainan ini pertama kali
di perkenalkan oleh seorang dokter bedah ortopedik bernama William Little pada tahun 1843.
Insidensi CP diperkirakan 3 dari 1.000 kelahiran hidup, hal ini membuat CP menjadi penyebab
tersering dalam ketidakmampuan fisik anak-anak di negara berkembang. Di Indonesia, prevalensi
penderita CP diperkirakan sekitar 1-5 dari 1.000 kelahiran hidup. Angka kejadian lebih tinggi pada berat
bayi lahir rendah dan kelahiran kembar. Rata-rata 70% ada pada tipe spastik, 15% tipe atetosis, 5%
ataksia, dan sisanya campuran.
Sampai saat ini penyebab pasti CP belum di ketahui. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa
penyebab CP merupakan multifaktor. Namun seiring dengan perkembangan penelitian biomedis, faktor
yang semula tidak diketahui mulai dapat diidentifikasi, seperti adanya faktor prenatal (infeksi saat
kehamilan), perinatal (kekurangan oksigen berat pada otak atau trauma kepala selama proses persalinan
dan stroke akibat kelainan koagulasi pada ibu), dan pascanatal (ikterus neonatorum).
CP dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan kerusakan gerakan yang terjadi, yaitu CP spastik (70-80%),
CP atetosis/diskinetik (10-20%), CP ataksid (5-10%) dan CP campuran serta berdasarkan defisit
neurologis yang terjadi, CP dibagi menjadi tipe piramidal dan ekstrapiramidal.
Gambaran awal pada penderita CP biasanya tampak pada usia <3 tahun dan orang tua sering
mencurigai ketika kemampuan perkembangan motorik yang tidak sesuai dengan perkembangan seperti
anak biasanya. Pasien datang dapat dengan keluhan berupa pola gerak anak yang abnormal, terlambat
dalam perkembangan berdiri dan berjalan, paresis sentral (hemiparesis, paraparesis, atau tetraparesis),
spastisitas (kekakuan), ataksia, koreo-atetosis, retardasi mental, kejang epilepsi, gelisah, sulit
berkonsentrasi, gangguan penglihatan, pendengaran dan berbicara serta deformitas tulang dan sendi.
Perawatan pada anak CP memerlukan pengertian dan kerjasama yang baik dari pihak
orangtua/keluarga penderita. CP dikelola tenaga-tenaga dari berbagai multi-disipliner. Perlu ditekankan
pada orang tua penderita CP bahwa tujuan dari pengobatan bukan membuat anak menjadi seperti anak
normal lainnya. Tetapi mengembangkan sisa kemampuan yang ada pada anak tersebut secara optimal.
Prognosis sangat tergantung pada ada atau tidaknya kecacatan yang terkait, dan secara khusus
pada kecerdasan anak. Kesembuhan dalam arti regenerasi otak yang sesungguhnya, tidak pernah terjadi
pada CP. Prognosis bertambah berat bila disertai retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan
penglihatan dan pendengaran. Angka kematian penyakit ini adalah 53% pada tahun pertama dan 11%
meninggal pada umur 7 tahun.