cara menyeleksi hadist

5
Perbedaan antara hadist shahih dengan hadist palsu memang sangat tipis. Bahkan keduanya sering kali sulit dibedakan. Bahkan telah banyak hadist-hadist yang sebenarnya palsu, dianggap dan diyakini sebagai hadist shahih, sehingga dijadikan sebagai pegangan (sumber) ajaran. Namun demikian, memilah hadist shahih dan palsu bukan berarti tidak bisa dilakukan. Para pakar hadist telah memberikan rambu-rambu yang dapat digunakan untuk menyeleksi antara hadist shahih dan hadist yang dianggap palsu. Palsu dan tidaknya sebuah hadist, seperti yang ditulis oleh Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, bisa dilihat dari dua aspek, yaitu aspek sanad dan aspek matan[1] . 1. Aspek Sanad a. Perawi yang mengakui kedustaannya, seperti yang dilakukan oleh Abdul Karim al-Wadhdha’. Maka hadist-hadist yang diriwayatkan oleh orang ini layak dimasukkan dalam katagori hadist-hadist palsu. b. Seseorang yang meriwayatkan hadist dari seseorang yang tidak jelas sumbernya. Misalnya ia meriwayakan sebuah hadist dari seseorang yang tidak pernah ia temui, sementara ia menggunakan redaksi yang menunjukkan bahwa ia mendengar dan menatap, atau meriwayatkan dari seorang guru di suatu tempat, padah ia belum pernah ke tempat itu, dan atau meriwayatkan dari seorang guru, padahal guru tersebut telah wafat sebelum ia lahir.

Upload: shinfaani

Post on 13-Apr-2016

60 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

Cara Menyeleksi Hadist

TRANSCRIPT

Page 1: Cara Menyeleksi Hadist

Perbedaan antara hadist shahih dengan hadist palsu memang sangat tipis. Bahkan keduanya

sering kali sulit dibedakan. Bahkan telah banyak hadist-hadist yang sebenarnya palsu,

dianggap dan diyakini sebagai hadist shahih, sehingga dijadikan sebagai pegangan (sumber)

ajaran.

Namun demikian, memilah hadist shahih dan palsu bukan berarti tidak bisa dilakukan.

Para pakar hadist telah memberikan rambu-rambu yang dapat digunakan untuk menyeleksi

antara hadist shahih dan hadist yang dianggap palsu. Palsu dan tidaknya sebuah hadist,

seperti yang ditulis oleh Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, bisa dilihat dari dua aspek, yaitu

aspek sanad dan aspek matan[1].

1. Aspek Sanad

a. Perawi yang mengakui kedustaannya, seperti yang dilakukan oleh Abdul Karim al-

Wadhdha’. Maka hadist-hadist yang diriwayatkan oleh orang ini layak dimasukkan

dalam katagori hadist-hadist palsu.

b. Seseorang yang meriwayatkan hadist dari seseorang yang tidak jelas sumbernya.

Misalnya ia meriwayakan sebuah hadist dari seseorang yang tidak pernah ia temui,

sementara ia menggunakan redaksi yang menunjukkan bahwa ia mendengar dan

menatap, atau meriwayatkan dari seorang guru di suatu tempat, padah ia belum

pernah ke tempat itu, dan atau meriwayatkan dari seorang guru, padahal guru tersebut

telah wafat sebelum ia lahir.

c. Perawi yang memang dikenal sebagai pendusta dalam meriwayatkan suatu hadist,

kemudian ia meriwayatkan hadist seorang diri, dan tidak ada perawi tsiqah yang

meriwayatkannya

2. Apek Matan

a. Bertentangan dengan teks-teks al-Qur’an dan Sunah

b. Kejanggalan redaksi hadist yang diriwayatkan, apabila dirasa tidak mencerminkan

sabda yang datang dari Nabi.

Page 2: Cara Menyeleksi Hadist

c. Kekacauan makna hadist. Misalnya hadist-hadist yang memiliki unsur dusta, karena

tidak sesuai dengan akal sehat, seperti ungkapan yang berbunyi : “terong merupakan

obat segala penyakit”

d. Setiap hadist yang mendakwakan kesepakatan sahabat untuk menyembunyikan sesuatu

dan tidak menyebarkannya.

e. Hadist yang tidak memiliki relevansi dengan realitas historis pada masa Nabi.

f. Hadist yang memiliki keterkaitan erat dengan latar belakang seorang rawi, misalnya

perawinya termasuk figure sangat ekstrem terhadap aliran tertentu.

g. Hadist tersebut memuan kandungan sesuatu yang luar biasa, tetapi hanya diriwayatkan

oleh satu orang.

Pada bagian ini penulis menganggap penting untuk menjadikan masalah hadist palsu sebagai

masalah yang serius untuk terus dikaji dan diteliti, karena tidak menutup kemungkinan

hadist-hadist palsu masih tetap ada dan lepas dari penelitian yang telah dihasilkan oleh

kalangan ulama hadist, terutama hadist-hadist yang memiliki kaitan dengan masalah

keagamaan (fadla’ilul a’mal). Hadist-hadist semacam ini, sangat mengesankan memang

berasal dari Nabi, karena menggunakan materi yang akrab dengan apa yang menjadi

kecenderungan umat Islam, sehingga bisa jadi akan mudah dianggap sebagai hadist asli,

padahal sebenarnya termasuk hadist palsu, tanpa sepengetahuan umat Islam.

Dalam konteks ini, untuk mengantisipasi kenyataan itu, menurut hemat penulis perlu

dilakukan re-evaluasi terhadap posisi hadist yang terdapat dalam beberapa kitab hadist,

termasuk dalam hadist yang dikumpulkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim. Sebab,

tidak menutup kemungkinan dalam kitab tersebut, masih terdapat hadist-hadist yang perlu

mendapatkan koreksi dan penelitian lebih serius dari umat Islam. Artinya, sekalipun dalam

kitab hadist Bukhari dan kitab Muslim diyakini sebagai kumpulan hadist paling sahih karena

pendekatan penelitian yang dianggap lebih akurat dan berhati-hati, tetapi meletatkan

keduanya sebagai hasil usaha manusia yang tidak menutup kemungkinan memunculkan

kesalahan, layak terjadi.

Re-evaluasi secara kritis mutlak harus dilakukan sebagai salah satu upaya untuk

menyelamatkan hadist-hadist agar tetap searah dengan apa yang dikatakan, dilakukan dan

Page 3: Cara Menyeleksi Hadist

yang ditetapkan oleh Rasulullah dan al-Qur’an. Re-evaluasi tersebut bisa dilakukan dalam

beberapa hal penting :

Pertama, evaluasi kritis terhadap sanad dan rijalul hadist hadist. Aspek ini telah

menjadi mainstream penelitian para ulama hadist, sehingga melahirkan klasifikasi bentuk

hadist, baik sahih, dha’if, hasan dan lain sebagainya. Sanad dan rawil hadist tetap harus

menjadi obyek kritik, terutama menyangkut latar belakang dan sosio cultural seorang

periwayat hadist, karena tidak menutup kemungkinan seorang periwayat hadist yang sudah

dinyatakan sebagai perawi tanpa cela oleh para ulama, masih menyisakan satu masalah serius

yang harus dikaji lebih obyektif lagi, misalnya posisi Abu Hurairah sebagai salah seorang

periwayat hadist yang cukup spektakuler. Sebab, dalam kemelut konfilik politik umat Islam

pada masa-masa Mu’awiyah, Abu Hurairah dianggap menjadi salah seorang bagian penting

dalam gerakan politik yang dilakukan oleh Mu’awiyah dan dianggap sebagai pereka-

perekayasa hadist (palsu) untuk menyudutkan Ali, demi kepentingan kubu Mu’awiyah.[2]

Kedua, evaluasi terhadap matan (isi) hadist dan relevansinya dengan al-Qur’an.

Apabila ada hadist yang isinya berlawanan denga apa yang dijelaskan dalam al-Qur’an harus

diwaspadai dan dievalusi sekritis mungkin, karena tidak menutup kemungkinan ada materi

hadist yang berlawanan dengan apa yang disampaikan oleh al-Qur’an. Artinya, sesahih

apapun sebuah hadist, apabila tidak sejalan dengan isi yang ada dalam al-Qur’an

keberadaannya harus tetap dipertimbangkan untuk tidak diterima, karena setiap (yang diduga)

hadist yang tidak sejalan dengan kandungan al-Qur’an sudah bisa dipastikan bukan hadist

yang sebenarnya, karena tidak mungkin Rasulullah akan bersabda dengan sabda yang

melenceng jauh dari ketentuan al-Qur’an.

[1] ‘Ajaj al-Khatib, Muhammad. 2007. Ushul al-Hadist Pokok-Pokok Ilmu Hadist.

Jakarta: Media Pratama. Halaman 368-371

[2] Juynboll, G.H.A. 1999. Kontroversi Hadist di Mesir [1890-1960], terjemah Ilyas

Hasan. Bandung: Mizan. Halaman 141.