caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

51
Suksesi Senin, 14 April 2014 Ditulis dalam bentuk tembang yang merdu, Babad Tanah Jawi adalah kisah pertempuran bengis yang sambung-menyambung. Tentang kekuasaan. Syahdan, dalam keadaan sakit dan terbaring di Balai Kuning, Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram, memberikan pesannya yang terakhir. Ia menetapkan bahwa salah seorang putranya, Ki Adipati Anom, menggantikannya. "Segenap putraku hormatilah penggantiku…." Dalam versi terjemahan bahasa Indonesia yang diterbitkan Amanah-Lontar (dengan editor penyair Sapardi Djoko Damono), dikisahkan bagaimana Raja wafat dan istana berkabung. Tak lama kemudian, orang kepercayaannya, Mangkubumi, mengumumkan kepada khalayak ramai: "Wahai orang-orang di Mataram, ketahuilah bahwa kini Pangeran Adipati bertakhta menjadi raja di Mataram. Hai segenap putra dan kerabat, siapa yang tidak setuju, mengamuklah, aku ini lawanmu." Mendengar itu, orang Mataram ketakutan. Tampaknya bibit-bibit ketegangan sudah terasa. Ini mulai mengemuka ketika salah seorang pangeran, yang lebih tua, kemudian tak hendak datang menghadap raja yang baru. Mula-mula suasana damai: raja muda itu cukup bijaksana untuk tak menggunakan kekerasan. Ia malah memberi kakaknya, Pangeran Puger, kekuasaan di Demak, sebuah wilayah satelit Mataram. Tapi tak lama. Dari Demak Puger, yang kemudian disebut Adipati Demak, menyatakan kedaulatannya sendiri. Demak ingin lepas. Tak ayal, perang pun terjadi. Dipimpin sendiri oleh Baginda, bala tentara Mataram bergerak ke utara. "Dilihat dari kejauhan seperti laut tanpa tepi, diseling gunung terbakar." Ribuan

Upload: ekho109

Post on 15-May-2017

228 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Suksesi

Senin, 14 April 2014

Ditulis dalam bentuk tembang yang merdu, Babad Tanah Jawi adalah kisah pertempuran bengis yang sambung-menyambung. Tentang kekuasaan. 

Syahdan, dalam keadaan sakit dan terbaring di Balai Kuning, Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram, memberikan pesannya yang terakhir. Ia menetapkan bahwa salah seorang putranya, Ki Adipati Anom, menggantikannya. "Segenap putraku hormatilah penggantiku…." 

Dalam versi terjemahan bahasa Indonesia yang diterbitkan Amanah-Lontar (dengan editor penyair Sapardi Djoko Damono), dikisahkan bagaimana Raja wafat dan istana berkabung. Tak lama kemudian, orang kepercayaannya, Mangkubumi, mengumumkan kepada khalayak ramai: "Wahai orang-orang di Mataram, ketahuilah bahwa kini Pangeran Adipati bertakhta menjadi raja di Mataram. Hai segenap putra dan kerabat, siapa yang tidak setuju, mengamuklah, aku ini lawanmu." 

Mendengar itu, orang Mataram ketakutan. Tampaknya bibit-bibit ketegangan sudah terasa. Ini mulai mengemuka ketika salah seorang pangeran, yang lebih tua, kemudian tak hendak datang menghadap raja yang baru. 

Mula-mula suasana damai: raja muda itu cukup bijaksana untuk tak menggunakan kekerasan. Ia malah memberi kakaknya, Pangeran Puger, kekuasaan di Demak, sebuah wilayah satelit Mataram. 

Tapi tak lama. Dari Demak Puger, yang kemudian disebut Adipati Demak, menyatakan kedaulatannya sendiri. Demak ingin lepas. Tak ayal, perang pun terjadi. Dipimpin sendiri oleh Baginda, bala tentara Mataram bergerak ke utara. "Dilihat dari kejauhan seperti laut tanpa tepi, diseling gunung terbakar." Ribuan tombak kadang-kadang tampak seperti kilat, kadang-kadang seperti sinar pelangi. 

Dan pertempuran terjadi. Terpojok, Adipati Demak melawan dengan berani. Ia sakti, demikian cerita Babad Tanah Jawi, dan sempat membunuh banyak prajurit Mataram. Tapi akhirnya ia terperangkap jaring dan diringkus. Demak ditaklukkan. 

Raja tak menghukum mati kakaknya yang memberontak itu. Ia hanya dicopot dari jabatannya. Tapi konflik tak berakhir. Dari Ponorogo, adik Baginda, Pangeran Jayaraga, juga melawan. Ia pun segera dijinakkan. Namun kemudian Mataram melancarkan perang baru, perang penaklukan ke Jawa Timur…. 

Sampai jilid yang terakhir, pupuh-pupuh Babad Tanah Jawi menunjukkan bahwa "tanah Jawa" bukanlah sebuah kosmos yang terjamin dan tanpa konflik. 

Page 2: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Ditulis di abad ke-18, karya ini, meskipun mengandung "mitologi, legenda, folklor" (seperti tertulis di bawah judul versi Indonesianya), sebenarnya juga menunjukkan sebuah perspektif yang modern: melihat sejarah sebagai kisah yang tak menampilkan sifat sakral kekuasaan. Takhta selalu bersifat sementara. Babad ini boleh dikatakan disunting dari riwayat raja-raja yang bangun dan jatuh. Perang suksesi tak kunjung berhenti. 

Penguasa dan para pecundang dalam buku ini memang menyebut "kehendak Tuhan" ketika mereka memilih sebuah tindakan. Tapi hanya sejenak Tuhan hadir. Hanya dalam momen itu, hanya dalam ucapan itu. Selebihnya: manusia. 

Dan manusia, di sini, menunjukkan bahwa tak ada sesuatu yang transendental di dasar "harmoni" sosial sebuah kerajaan. Yang menonjol adalah status quo sesudah atau sebelum pertarungan politik—pertarungan yang mencoba menutup-nutup dirinya. 

Dari segi ini penulis Babad Tanah Jawi mirip dengan Machiavelli. Orang Firenze ini menuliskan gagasannya dari Italia abad ke-16 yang penuh persengketaan. Risalahnya yang termasyhur, Il Principe dan Discorsi, bukanlah, seperti umumnya ditafsirkan, serangkaian nasihat jahat kepada penguasa. Machiavelli hanya memperlihatkan bahwa sejarah kekuasaan selalu bersifat serba mungkin, penuh risiko, dan genting. Dalam keadaan demikian, diperlukan politik yang tepat, laku dengan sikap tertentu, terutama yang berani dan cerdik. Dan itu bisa dipelajari dan didapatkan siapa saja. 

Dengan kata lain, kekuasaan sebagai Il Principe bisa didapatkan siapa saja. Untuk memakai kata-kata Claude Lefort, ia sebuah "tempat kosong", un lieu vide, karena tak ada yang sudah niscaya mengisinya. Ia tempat yang diperebutkan. 

Tentu saja kata "tempat kosong" bisa menyesatkan. Takhta sebagai "tempat" sama sekali tak kosong, meskipun ketika tidak ada seorang pun yang duduk di sana. Takhta mengandung sebuah pesona, mungkin candu, juga banyak hal yang najis dan destruktif. 

Yang menarik ialah bahwa Babad Tanah Jawi juga memperlihatkan takhta sebagai wilayah kosong (dan tak jarang penuh najis) yang diperebutkan. Secara tersirat ia bercerita tentang tak adanya monopoli kuasa yang dipegang selama-lamanya. Tak ada hak istimewa untuk itu. Tak ada legitimasi terus-menerus. 

Bahkan jika dibaca lebih jauh, akan kita ketahui bahwa asal-usul raja-raja Jawa bermula dari campuran antara takdir dan kebetulan dalam kehidupan rakyat biasa: ayah dari Panembahan Senapati—yang sebelum naik jenjang bernama Sutowijoyo—adalah seorang petani, Ki Ageng Pemanahan, yang tanpa disengaja meminum air kelapa yang mengandung nasib baik. 

Konon di negeri lain, katakanlah di Jepang dan Prancis sebelum Revolusi, mereka yang bertakhta dianggap tubuh yang sebagian berisi roh dari langit. Babad Tanah Jawi, sebaliknya, tak akan meyakinkan bila ia menampilkan Raja Amangkurat yang buas itu sebagai separuh titisan Tuhan. 

Tentu akan aneh bila dikatakan bahwa cerita raja-raja Jawa itu mengajari kita wawasan demokrasi. Tapi bagaimana juga, semangat demokrasi tumbuh ketika—setelah

Page 3: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

membaca Babad Tanah Jawi—kita sadar, tiap kekuasaan politik pada akhirnya hanya menunda kekalahan. 

Goenawan Mohamad

Page 4: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Koalisi

Sabtu, 12 April 2014

Putu Setia

Tanpa mengurangi rasa hormat akan keilmuannya, saya bosan mendengar uraian para pengamat di televisi tentang hasil pemilu legislatif. Selain orangnya itu-itu saja, pengamatannya terlalu metropolitan, kurang memahami apa yang ada di desa.

Misalnya, soal efek-efekan. Ada efek Jokowi yang dianggap gagal mendongkrak suara PDI Perjuangan. Lalu ada efek Rhoma Irama yang berhasil mendongkrak suara PKB. Yang saya amati (meski saya tak menyandang predikat pengamat) orang desa bukannya tak mendukung Jokowi menjadi presiden. Mereka mendukung, tapi itu nanti pada pemilihan presiden. Orang di desa cenderung memilih caleg yang dekat dengan lingkungannya karena merekalah yang setiap saat membantu warga. Tak peduli partainya. Tentang suara PKB yang melonjak, ini lebih pada warga NU yang "pulang ke rumah". Sulit membayangkan para kiai mencoblos PKB hanya karena Rhoma Irama, meski dia Raja Dangdut.

Soal koalisi, konon sudah mengerucut. Tiga partai teratas yang sudah punya calon presiden menjadi "komandan" koalisi. Tapi, apa benar begitu, saya ingin pendapat pengamat wong ndeso. Siapa lagi kalau bukan Romo Imam. "Ah, percuma, kamu yang sudah mendukung Jokowi pasti menyanggah," kata Romo, begitu saya meminta komentar soal koalisi.

Saya hanya nyengir kuda--bisa menebak kuda nyengir? Romo melanjutkan: "Sudah ada tiga partai besar yang semua punya calon presiden. PDIP dengan Jokowi, Golkar dengan ARB, dan Gerindra dengan Prabowo. Saya ingin ada koalisi keempat, di luar ketiga partai itu, agar Jokowi punya lawan."

Saya tersentak. Bukankah lawan Jokowi sudah jelas ARB dan Prabowo? Atau Romo Imam menganggap Jokowi pasti menang mudah melawan kedua tokoh itu? Saya tak berani bertanya, Romo langsung berkata: "Kalau tiga saja partai menengah berkoalisi, sudah bisa mengusung calon presiden, yaitu Demokrat, PKB, dan PAN. Lalu tokoh yang dimunculkan adalah Anies Baswedan, peserta konvensi capres Demokrat, dan Mahfud Md. Tentu ketiga pimpinan partai itu harus legowo, siapa yang jadi presiden dan wakilnya. Bisa Mahfud-Anies, bisa Anies-Mahfud. Pasangan ini akan menjadi pesaing tanggung Jokowi, siapa pun yang jadi wakilnya."

Saya tentu kaget, tapi saya sembunyikan. "Jokowi itu gesturnya belum presiden. Bicaranya dalam menjawab pertanyaan spontan sering tak fokus, ha-ha-he-he… Wawasannya masih kurang…." Ucapan Romo ini langsung saya sanggah: "Romo, itu karena kita terbiasa punya presiden yang menjaga citra dan penampilan. Kita ingin sesekali punya presiden yang merakyat, yang bisa naik bak sampah, yang bisa mencebur ke got, rakyat menyukai ini."

Page 5: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Romo terbahak dan tawanya agak aneh. Saya langsung diam. "Sudah saya bilang, kamu pasti marah kalau saya komentari Jowoki dengan cara saya," kata Romo dan mengajak saya minum. "Kalau ada koalisi sesama partai menengah, pertarungan jadi seru. Terserah siapa dipilih rakyat, Jokowi atau pasangan alternatif itu. Ingat, dalam pemilihan presiden yang dilihat bukan partainya, tapi tokohnya. Orang tak melihat lagi PDI Perjuangan, Demokrat, PKB, Golkar, atau Gerindra, tapi yang dilihat Anies Baswedan, Mahfud Md., Jokowi, Prabowo, dan Ical. Siapa yang paling bersih, jujur, dan punya wawasan," kata Romo.

Romo menyambung: "Tentu, kalau pasangan alternatif ini terpilih, akan ada perlawanan dari parlemen. Tapi, kalau kerjanya bagus, menterinya profesional, dan bukan bagi-bagi jatah partai, rakyat akan berkoalisi dengan pemerintah." Saya tetap diam dan akhirnya sadar, inilah risikonya minta pendapat pada pengamat ndeso. Anggap saja selingan.

Page 6: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Puan

Senin, 14 April 2014

Amarzan Loebis, [email protected]

Puan terutama menonjol dalam tata istiadat Melayu-pesisir. Khususnya dalam rangkaian upacara mengikat jodoh, puan nyaris tak bisa ditinggalkan. Di berbagai kawasan Melayu-pesisir, puanlah yang lebih dulu disorongkan sebelum orang bertutur sapa, jauh sebelum pepatah-petitih dipertarungkan. Karena itu, untuk masyarakat awam yang berjarak dengan kebudayaan Melayu-pesisir, mudah timbul pertanyaan: apakah puan?

Puan adalah tempat sirih, tak lebih tak kurang. Perangkat makan sirih (Jawa: nginang) orang Melayu meliputi tiga perabot: tepak (dilafalkan seperti pada "sepak"), cerana, dan puan. Masing-masing mewakili segmen sosial dan segmen ritualnya sendiri. Kalau menggunakan kategori kasta, tepak merupakan kasta paling bawah, tapi yang sama sekali tak boleh dihinakan.

Tepak adalah tempat sirih biasa, lazim ditemukan di rumah tangga Melayu-pesisir, bahkan sudah seperti kelengkapan hidup. Dalam istiadat bertamu, tepaklah yang disorongkan setelah tuan rumah dan tamu beruluk salam. Tepak terbuat dari kayu (hanya dari kayu), dan sering kali dicat dengan warna merah atawa kuning. Dalam perjalanan hidup saya, belum pernah saya menemukan tepak berwarna biru, misalnya.

Setingkat di atas tepak adalah cerana (dilafalkan seperti pada "celana"). Sementara tepak mengambil bentuk kotak persegi panjang, kadang-kadang mirip perahu, cerana merupakan dulang berkaki, mirip wadah untuk menyuguhkan makanan puyonghai atawa capcai di restoran Cina yang bertata krama. Cerana terbuat dari kuningan atawa perak, dan diberi hiasan ornamental. Barang ini mudah dicari di kawasan Little India, Singapura, termasuk di toko Mustafa yang termasyhur itu.

Setelah cerana tersebutlah puan, yang biasanya terbuat dari perak atawa emas. Bentuknya mendekati tepak, kecuali bahwa bahan bakunya merupakan logam tak sembarangan. Di kalangan masyarakat yang tak punya puan, biasanya digunakan tepak yang disalut dengan kain songket berwarna emas, sehingga terbentuklah puan-puanan.

Biar namanya tepak, cerana, atawa puan, isinya tetap sama. Harus ada daun sirih, gambir, kapur, dan irisan buah pinang sebagai kandungan substansial. Kandungan pelengkap bisa macam-macam, misalnya buah cengkih dan kayu manis. Terselip juga perangkat aksesori, misalnya kacip (untuk membelah pinang), dan gobek (untuk menumbuk ramuan sirih bagi

Page 7: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

orang yang sudah tak bisa mengunyah karena ompong total). Singkat kata, puan adalah perangkat, alat, wadah, yang tidak bisa "main sendiri". Ia harus "dimainkan".

Tentu ada juga makna puan yang lain. Di kawasan Melayu-pesisir, ia bersanding dengan tuan. Karena itu biasa kita dengar, "Yang terhormat tuan-tuan dan puan-puan." Tapi, di sekitar Sulawesi Selatan, puan merupakan semacam panggilan kehormatan, dan tak terbatas pada perempuan semata. Dalam percakapan di sana, puan biasanya dilafalkan "puang".

Dalam legenda Melayu-pesisir Sumatera Timur, puan juga merupakan nama sebuah tanjung imajiner, tempat hantu laut bermukim. Karena itu, di sana ada pantun-mantera yang berbunyi:

Sebacung si duo bacung

Bacung terpacak di haluan

Bagaimano gubang tak langsung

Ruso manghadang di Tanjung Puan

Page 8: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Darurat Koalisi

Senin, 14 April 2014

M. Nafiul Haris, Peneliti

Hasil pemilihan legislatif memperlihatkan perubahan-perubahan penting dalam peta politik Indonesia. Kendati hasil penghitungan suara resmi masih kita tunggu, hasil hitung cepat oleh berbagai lembaga survei menunjukkan fakta-fakta menarik. Tiga besar perolehan suara diraih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI), disusul Partai Golkar, dan Partai Gerindra.

Berdasarkan ambang batas presiden 20 persen, tidak ada partai yang bisa mengajukan calon presiden tanpa berkoalisi. Kegagalan PDIP meraih target dan terlebih apabila juga gagal meraih ambang batas presiden, sudah pasti akan memperoleh perhatian serius partai tersebut. Terutama terkait dengan pendeklarasian Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden. Demikian pula partai lain, mereka juga harus berkoalisi agar bisa mengajukan capres dan cawapres. Kondisi itu memaksa para elite partai berpikir keras untuk menggandeng partai lain agar mau diajak berkoalisi untuk memajukan capres dan cawapres. Kini, para petinggi parpol mulai menghitung untung-rugi mengajak kolega lain bergabung. Mereka harus penuh perhitungan. Memilih rekan berkoalisi harus menguntungkan, bukan merugikan. Karena itu, PDIP jangan memilih parpol yang justru bisa menjadi bumerang bila menggandengnya.

Katakanlah orang banyak mendukung Jokowi, tapi begitu menggandeng cawapres dari parpol yang dipimpin tokoh bermasalah, tentu langkah itu negatif. Koalisi memang tidak mudah. Bisa saja koalisi memperkuat posisi di parlemen, tapi menjatuhkan di depan rakyat. Memang pemerintahan yang kuat di parlemen itu penting agar tidak menjadi bulan-bulanan anggota legislatif. Jadi, kunci koalisi haruslah demi keuntungan rakyat. Siapa pun yang digandeng dalam koalisi, keluarannya harus benar-benar demi orientasi pada kepentingan rakyat.

Apa pun detail dan bentuk koalisi, pijakannya adalah kepentingan rakyat. Jika pun di parlemen diganggu legislator-legislator busuk, jika berjuang demi kesejahteraan rakyat, masyarakat akan berada di belakang pemerintah. Karena itu, PDIP sebagai pemenang pemilu harus membuat perhitungan agar koalisi yang dibangun mampu menerjemahkan janji-janji kampanye menjadi kenyataan. PDIP tidak boleh memikirkan kepentingan partai sebagai tolok ukur berkoalisi.

Gejala perilaku pemilih dengan sikap "Jokowi yes, PDIP no" tampaknya telah terbukti dengan kegagalan PDIP meraih suara mayoritas. Elektabilitas Jokowi tidak signifikan mendongkrak popularitas PDIP. Fenomena itu perlu menjadi bahan introspeksi bagi PDIP dan menjadi pelajaran bahwa memenangi pemilu tidak cukup bermodal efek Jokowi. Hasil

Page 9: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

hitung cepat itu menunjukkan pula kecerdasan pemilih, bahwa pemilih bisa membedakan antara partai dan figur.

Gambaran ke depan yang sudah jelas tampak adalah koalisi. Parlemen akan terdiri atas kekuatan-kekuatan partai yang terdistribusi secara merata. Pemerintahan koalisi tidak terhindarkan lagi. Publik berharap pemerintahan mendatang tidak terjebak pada koalisi bagi-bagi kekuasaan yang gagap memberikan solusi bagi persoalan-persoalan bangsa. Sekali lagi, kepentingan rakyat harus diletakkan di garda terdepan dalam menghitung untung dan rugi koalisi. Percayalah, jika mengutamakan masyarakat, sampai kapan pun mereka akan dibela. Sebaliknya, jika melupakan rakyat, sampai kapan pun akan dimusuhi.

Page 10: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Merindukan Pemimpin Sejati

Ivan Hadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education

Dalam Pemilu 2014 ini, semakin terasa kerinduan rakyat akan sosok pemimpin sejati, yaitu dia yang dicintai dan dipercaya luas. Tindakannya terasa dipenuhi niat baik untuk kemaslahatan rakyat. Ketegasannya, menyiratkan kecintaan pada keadilan. Keberpihakannya, teruji untuk yang lemah demi kesejahteraan semua.

Perilakunya tulus, bukan sekadar pencitraan. Ia menjadi teladan, bersih dari tindakan koruptif dan manipulatif, memiliki sense of crisis serta menunjukkan keprihatinan atas berbagai beban yang sedang dan bakal dipikul rakyat, terutama rakyat miskin.

Dalam gegap gempita kampanye Pemilu 2014, saya teringat akan buku Jean Ziegler, Les Nouveaux Maitres du Monde (2002). Dalam bab tentang demokrasi, Ziegler bercerita tentang Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark, di mana para pejabat tingginya berjalan kaki, naik sepeda, atau menggunakan kendaraan umum ke kantor. Seorang presiden yang berangkat kerja dengan mobil dikawal belasan mobil dan sepeda motor polisi dengan sirene meraung-raung diyakini mengurangi suara untuk terpilih kembali.

Rumah para pemimpin terkenal Eropa, seperti Olof Palmes (Swedia) dan Bruno Kresky (Austria), pun terbilang sederhana dan ditempati sepanjang paruh terakhir hidup mereka. Jelas, jauh berbeda dengan "istana" kebanyakan pemimpin negara berkembang, termasuk Indonesia. Ziegler menarik kesimpulan, semakin miskin sebuah bangsa, sering kali semakin mewah kehidupan dan "perilaku aneh" elite penguasanya. Hal yang lumrah di negeri ini. Betapa tidak.

Tampaknya, dari tiga slogan revolusi Prancis yang mewarnai sistem demokrasi, terjadi kecenderungan berikut. Ketika "kebebasan" politik merebak secara global, termasuk di negeri ini, padanannya berupa "kesetaraan" dan "persaudaraan" nyaris dilupakan. Welfare state yang mewajibkan negara memberi perlindungan bagi warga miskin dianggap "jalan sesat" Eropa. Dalam paradigma neo-liberal yang mendominasi praktek ekonomi global saat ini, pemerataan dianggap bukanlah alat ampuh dalam melawan kemiskinan. Bahkan hal tersebut dianggap memperparah keadaan.

Semua itu dilandasi argumentasi yang sekilas terkesan masuk akal (plausible). Pertama, pemerataan akan mengurangi kuota investasi. Setiap rupiah yang konon diinvestasikan kaum kaya bersifat produktif, sebaliknya hanya akan dikonsumsi kaum papa. Kedua, sebagian besar bantuan tidak akan sampai sasaran karena dikorup birokrasi. Ketiga, yang menjadi asumsi Bank Dunia, pemerataan akan membahayakan stabilitas politik dan bisa bermuara pada

Page 11: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

konflik kekerasan karena membuat marah para "elite" (World Bank Report, Attacking Poverty, 2000:56f).

Namun, bagi Erhard Berner (Hilfe-lose Illusionen, E+Z, 2005:6), semua itu secara teoretis rapuh, secara empiris salah, dan bila dipraktekkan menjadi sesuatu yang sinis. Sebab, apa salahnya orang miskin menggunakan dana bantuan untuk membeli makan, membayar uang sekolah, dan menebus obat? Asumsi kelompok elite akan marah dan mendestabilisasi pemerintahan di negara berkembang yang menjalankan strategi pembangunan pro-poor mungkin realistis. Namun, apakah layak untuk ikut membatasi kebijakan itu? Sementara itu, asumsi orang miskin sama sekali tidak berinvestasi adalah sebuah ignoransi.

Bagi pembangunan, yang lebih penting daripada "investasi produktif" adalah investasi bagi human capital masyarakat miskin, terutama kesehatan dan pendidikan anak-anak. Dulu, banyak negara melakukan itu dan kini menuai hasil, misalnya Malaysia dan Korea Selatan. Tanpa itu, berlaku "lingkaran setan". Peningkatan tenaga kerja murah akan menurunkan pendapatan yang tidak memungkinkan mereka untuk sehat dan pintar.

Dengan pertumbuhan ekonomi (termasuk pro-poor growth), kondisi ini tidak bisa diatasi. Bagi peneliti kemiskinan Michael Lipton, "Kesenjangan ekstrem adalah penyebab utama terganjalnya pertumbuhan." Kemiskinan massal, menurut dia, bukan hanya akibat stagnasi ekonomi, tapi juga penyebab terpenting stagnasi ekonomi itu sendiri (Pro-poor Growth and Pro-growth Poverty Reduction: Meaning, Evidence, and Policy Implications, 2000).

Bersama Eastwood, Lipton menganjurkan strategi cerdas pro-growth poverty reduction. Dalam kerangka ini, pengeluaran sosial untuk pendidikan dan kesehatan bukan biaya sia-sia, melainkan investasi produktif dan pilar kebijakan ekonomi. Cerita sukses di Brasilia, Vietnam, dan beberapa negara industri baru membenarkan analisis Lipton.

Pada tataran makro-ekonomi, Howard White (National and International Redistribution as Tools for Poverty Reduction, 2001) secara empiris menunjukkan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi lewat pemerataan. Pemerataan ikut meningkatkan kebebasan politik, kesetaraan, dan persaudaraan anak bangsa. Karena itu, tanpa terwujudnya kesetaraan dan persaudaraan yang berarti pemerataan belum dijadikan paradigma yang mewarnai kebijakan ekonomi sebuah bangsa, siapa pun yang pernah menjadi pemimpin kelak akan dilupakan, atau bahkan dihujat oleh rakyatnya sendiri.

Page 12: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Ujian Nasional sampai Kapan?

Selasa, 15 April 2014

Darmaningtyas, Aktivis Pendidikan Tamansiswa

Ujian nasional (UN) yang sering menimbulkan stres tahunan bagi murid, guru, dan orang tua kembali digelar pada 2014 ini. Berdasarkan pengalaman lebih dari satu dekade terakhir sejak diterapkannya kebijakan UN, perhelatan ini selalu penuh kehebohan, karena membuat stres murid, guru, dan orang tua.

Perdebatan tentang perlu-tidaknya UN terus terjadi setiap tahun, tapi UN tetap berjalan terus. Mereka yang mendukung UN mengatakan, "bagaimana murid punya semangat belajar kalau tidak ada UN? Ada UN saja mereka malas belajar, apalagi tidak ada UN?" Kelompok ini mewakili pandangan bahwa pengajaran di sekolah itu sekadar untuk mengerjakan soal-soal ujian atau tes.

Salah satu tokoh dalam kelompok ini adalah Jusuf Kalla (JK), Wakil Presiden RI 2004–2009. Karena itu, amat mengherankan bila JK santer disebut-sebut paling pas mendampingi Jokowi. Tentu saja, bila itu terjadi, dapat dipastikan pemerintah Jokowi-bila terpilih-akan terus digoyang oleh mereka yang menolak UN.

Mereka yang menolak UN berpandangan bahwa belajar untuk mengetahui, memahami, mendalami, dan mempraktekkan itu jauh lebih bermakna daripada sekadar untuk tes. Pendidikan justru gagal ketika hanya mampu mendorong murid untuk belajar demi menghadapi ujian atau tes. Padahal, semestinya yang dilakukan adalah memberi motivasi kepada murid untuk menjadi manusia pembelajar sepanjang hayat, bukan sekadar untuk menghadapi ujian.

Cara pandang kelompok pendukung UN tersebut justru menjadi titik awal kegagalan bangsa ini, karena masyarakatnya tidak termotivasi untuk menjadi manusia pembelajar sepanjang hayat, mengingat setelah lulus sekolah menengah atas tidak ada UN lagi. Kecuali itu, wilayah Indonesia amat luas dan beragam (ada yang sudah sangat maju seperti Jakarta), tapi banyak yang masih terbelakang dengan jumlah guru yang masih terbatas. Menjadi tidak adil bila hanya satu standar yang sama yang diterapkan.

Beberapa SMAN di pulau-pulau kecil di Maluku Tenggara, misalnya, sampai 2013 lalu tidak memiliki guru biologi, kimia, dan fisika. Murid diajar oleh guru yang tidak memiliki kualifikasi cukup, tapi mereka ikut UN yang standarnya sama dengan UN di Jakarta. Bila mereka lulus dengan baik, tentu hasilnya penuh dengan manipulasi.

Page 13: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Kecuali itu, ini yang lebih penting, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai tahun ajaran 2014/2015 ini akan melaksanakan Kurikulum 2013. Semangat dari Kurikulum 2013 ini adalah menumbuhkan manusia pembelajar. Karena itu, bila sistem evaluasinya masih menggunakan UN, hal itu sangat bertolak belakang. Bila kebijakan UN tetap dipaksakan untuk dilaksanakan, sesungguhnya itu kebijakan yang mubazir.

Atau, pemerintah tinggal memilih, kalau ingin mempertahankan UN, batalkan implementasi Kurikulum 2013, karena keduanya itu bertolak belakang. Yang konsisten adalah Kurikulum 2013 menggunakan sistem evaluasi portofolio. Daripada dana Rp 500 miliar lebih yang dipakai UN menjadi sia-sia, lebih baik dana itu digunakan untuk menambah jumlah guru di daerah-daerah terpencil dan meningkatkan kualitas guru.

Page 14: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Koalisi untuk Kepentingan Siapa?

Selasa, 15 April 2014

Andi Irawan, Dosen Universitas Bengkulu

Koalisi. Tema ini merupakan isu sentral dalam banyak pembicaraan publik selepas pemilu legislatif 9 April yang lalu.Berkaitan dengan pembicaraan tentang koalisi ini, menurut saya, hal ini tidak boleh dibiarkan hanya menjadi kepentingan elite. Koalisi harus ditempatkan pada wacana publik dan untuk kepentingan publik.

Artinya, dalam konteks ini, publik harus mencermati dan menilai bagaimana para elite itu bermanuver dalam pembentukan koalisi politik mereka, yang dilakukan untuk menentukan pasangan kandidat pemimpin tertinggi eksekutif di negara ini. Kalangan masyarakat madani perlu mengawal agar tujuan pembentukan koalisi tetap dalam lingkup public interest, bukan elite interest.

Saya kira penting bagi media cetak ataupun elektronik, para aktivis media sosial, intelektual, mahasiswa, dan para pengamat untuk bersikap kritis terhadap pembentukan koalisi dari sejumlah kekuatan politik. Diduga kuat mereka akan tampil dalam pemilihan presiden 9 Juli mendatang. Jadi, yang perlu dipertanyakan, apakah hal itu berorientasi publik atau tidak?

Isu utama koalisi tidak boleh dibiarkan berkisar tentang siapa yang harus dipasangkan dengan calon presiden tertentu. Tidak pula boleh dibiarkan hal ini hanya berbicara tentang partai apa bergabung kepada partai apa, lalu, berapa poros yang akan hadir dalam konstestasi calon wakil presiden dan calon presiden 9 Juli nanti. Sebab, ketika hanya berbicara masalah itu, tidak akan ada titik temunya dengan kepentingan publik.

Kita harus mengupayakan bahwa koalisi yang terbentuk akan memberi ekspektasi positif tentang Indonesia selama 2014–2019. Sebagai contoh, apa kontribusi koalisi yang terbentuk terhadap masalah kesejahteraan rakyat, khususnya dalam aspek kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat dan penurunan angka kemiskinan yang subtansial?

Perlu disadari, garis kemiskinan yang kita pakai sebagai dasar perhitungan angka kemiskinan tidak mencerminkan kesepakatan pandangan dunia tentang kemiskinan yang sesungguhnya. Garis kemiskinan yang disepakati oleh dunia internasional adalah penghasilan US$ 2 per hari per kapita, sedangkan kita menggunakan angka sekitar US$ 1 per hari per kapita. Parameter internasional harusnya berani ditetapkan sebagai garis kemiskinan nasional guna menentukan angka kemiskinan. Dengan demikian, penurunan angka kemiskinan yang terjadi benar-benar keberhasilan subtansial yang diakui dunia, bukan keberhasilan yang bersifat pencitraan.

Page 15: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Pemerintah selama ini bias pada pertumbuhan ekonomi dan abai terhadap masalah keadilan ekonomi. Kita memang telah termasuk dalam kelompok negara dengan pendapatan menengah-atas dengan pendapatan per kapita sebesar US$ 3.542,9. Tapi hal itu menjadi tidak bermakna ketika kita memahami bahwa yang menikmati kue pembangunan Indonesia itu sebenarnya tidak proporsional. Ada 10 persen penduduk, jika merujuk pada Indikator Pembangunan Dunia dari Bank Dunia pada 2013, yang memiliki 65,4 persen dari aset total nasional. Dalam hal ini, Indonesia berada di peringkat 17 negara yang kesenjangan ekonominya paling tinggi dari 150 negara yang disurvei.

Tidak mengherankan jika kemudian angka indeks Gini juga semakin melebar dari 0,329 pada 2002 menjadi 0,413 pada 2011, apalagi kalau dibandingkan pada era Orde Baru yang sebesar 0,3. Hal itu menunjukkan kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan miskin di era Reformasi ini semakin melebar.

Ketimpangan (kesenjangan) ekonomi, ditambah dengan semakin sulitnya akses rakyat miskin terhadap pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan, adalah bahaya laten yang bukan saja bisa menimbulkan goncangan sosial. Seperti yang dikemukakan Stiglitz, dalam bukunya, The Price of Inequality (2012), hal ini menjadi sesuatu yang bisa menghancurkan demokrasi itu sendiri.

Pemerintah di masa mendatang harus berani mengambil sikap politik yang impelementatif dalam mengatasi masalah kesenjangan ekonomi yang semakin melebar dan menurunkan angka kemiskinan yang subtansial. Untuk itu, DPR dan pemerintah periode 2014–2019 (hasil koalisi yang terbentuk) harus berani menjadikan angka penurunan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi menjadi paremeter penting pembangunan, yakni dengan cara memasukkan parameter-parameter tersebut menjadi asumsi dasar dan target penting dalam APBN. Belum ada satu pemerintah pun pada era Reformasi ini yang berani menjadikan penurunan kesenjangan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan signifikan sebagai kemauan politik (political will) dalam APBN yang mereka susun.

Masyarakat madani perlu mengedukasi para pemilih untuk memaksa para politikus yang bermanuver tentang koalisi calon presiden agar tidak sekadar berbicara tentang siapa mendukung siapa dan mendapat apa, tapi bagaimana koalisi itu memberi ekspektasi tentang Indonesia yang lebih adil, makmur, dan sejahtera. Bahkan, sebaliknya, kekuatan-kekuatan politik yang hanya mempertontonkan koalisi yang sarat dengan kepentingan elite layak dihukum. Caranya adalah dengan tidak memilih kekuatan koalisi tersebut dalam pemilihan presiden 9 Juli nanti.

Page 16: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Militer

Selasa, 15 April 2014

Goenawan Mohamad, @gm_gm

Ada dua takhayul dalam politik Indonesia. Tentang militer.

Takhayul pertama: bahwa mantan jenderal adalah calon pemimpin politik nasional yang bisa diandalkan-sebagai orang "kuat".

Yang dilupakan, pengalaman para perwira itu terbatas. Mereka cuma pernah memimpin pasukan, yang bajunya seragam dan suaranya seragam, "siap!".

Memang ada Soeharto dan Ali Sadikin, yang terbukti efektif sebagai pemimpin bangunan politik yang terdiri atas anasir beragam. Tapi itu terjadi dalam keadaan ketika politik dibekukan, dan perbedaan pendapat dikelola dengan ketat.

Yang perlu juga dilihat, baik Ali Sadikin maupun Soeharto menempuh karier militernya antara 1945 sampai sekitar 1960-an, ketika politik sipil berperan besar dan kalangan militer terpaksa menyesuaikan diri. Kedua orang itu, selain punya leadership, telah ditempa dengan keharusan menyesuaikan diri dalam hubungan-hubungan politik non-militer. Dengan kata lain, mereka punya keterampilan politik yang tak cukup dimiliki generasi TNI Orde Baru.

SBY membuktikan bahwa ia bisa mengelola republik di dalam kehidupan politik yang demokratis. Tapi ia bukan orang kuat. Ia bukan orang kuat karena ia tak cukup punya keterampilan politik, tak cukup pintar menghimpun dukungan, terutama di parlemen. Bahkan ia tak cukup kuat mengendalikan partainya sendiri.

Ia juga bukan orang kuat karena ia kurang mampu mengambil keputusan pada saat yang diperlukan.

Pada akhirnya kelihatan: para jenderal hanya kuat sebatas ia memimpin pasukan dan sebatas ia masih punya akses ke pasukan. Para pensiunan yang sekarang adalah orang-orang yang kekuatannya bahkan tak sebesar orang sipil yang berada di pemerintahan ataupun di dunia bisnis.

Tapi orang sering terkecoh...juga para politikus sipil yang sebenarnya lebih berkuasa.

Page 17: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Takhayul kedua: bahwa militer adalah kekuatan politik yang masih menentukan dalam percaturan dewasa ini.

Ini termasuk takhayul yang terlambat. Pada masa Orde Baru, militer memang memegang posisi di mana-mana. Tapi, pada akhirnya, Orde Baru bukanlah sebuah kekuasaan junta militer. Yang ada adalah kekuasaan seorang otokrat, yaitu Soeharto, yang menentukan siapa yang memimpin militer. Dari segi ini tampak bahwa waktu itu pun militer (bangunan kekuatan yang aktif) disubordinasikan oleh seorang sipil-Soeharto, mantan tentara, yang tak punya akses lagi ke pasukan.

Dari segi jumlah dan teknologi, ABRI juga tak bisa dibilang kuat. Jumlah personelnya kurang dari setengah juta, di sebuah negeri berpenduduk 240 juta. Anggaran pertahanan Indonesia di masa itu termasuk paling rendah di Asia, jauh lebih rendah ketimbang Singapura. TNI berbeda dengan militer Mesir, yang diperkuat dan memperkuat diri karena suasana perang yang panjang dengan Israel.

Kalangan militer juga, yang sekarang merasa agak terpojok, tak punya sejarah yang gemilang di masa Orde Baru. Reputasinya cacat oleh korupsi dan tindakan represif, termasuk pembunuhan dan penculikan orang-orang sipil.

Sudah saatnya kedua takhayul ini diungkapkan sebagai takhayul, bukan sebagai kenyataan faktual.

Page 18: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Persoalan Beras untuk Rakyat Miskin

Rabu, 16 April 2014

Kadir, bekerja di Badan Pusat Statistik

Beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pemerintah mengevaluasi dan membenahi program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin). Pasalnya, program ini dianggap tidak memenuhi unsur "enam T", yakni tepat sasaran, tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu, tepat harga, dan tepat administrasi, yang dijadikan sebagai indikator efektivitas program (Koran Tempo, 5 April 2014).

Sudah menjadi rahasia umum, di lapangan, selama ini penyaluran beras murah memang bermasalah. Beras bersubsidi ini acap kali menyasar golongan mampu dan tidak menjangkau rumah tangga yang pantas menerima. Penyalurannya pun telat, kurang layak untuk dikonsumsi, dan harus ditebus dengan harga yang lebih tinggi oleh rumah tangga berpendapatan rendah.

Ditengarai, beras murah juga sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin meraup rente ekonomi, karena harganya yang lebih rendah dibanding harga pasar. Alih-alih dikonsumsi oleh rumah tangga miskin, beras ini sering dijual kembali di pasar dengan harga pasar. Jadi, frasa "beras untuk rakyat miskin" menjadi kehilangan makna.

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pada Maret 2013, jumlah rumah tangga penerima raskin mencapai 31,2 juta rumah tangga atau sekitar 49,45 persen dari jumlah total rumah tangga di Indonesia. Padahal, pada tahun lalu, program beras murah ini hanya menyediakan beras bersubsidi untuk 15,5 juta rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM), atau 20 persen rumah tangga dengan taraf kesejahteraan terendah.

Hal ini memberi konfirmasi bahwa selama ini beras murah memang menyasar rumah tangga mampu, yang seharusnya tidak menerima bantuan. Menurut hasil Susenas pula, dari sekitar 6,6 juta rumah tangga penerima beras murah, 20 persennya justru termasuk rumah tangga dengan taraf kesejahteraan tertinggi.

Meskipun demikian, terlepas dari berbagai masalah yang melingkupinya, program ini harus tetap dipertahankan. Sebab, beras adalah komoditas yang sangat penting bagi penduduk miskin. Menurut data statistik, dalam kondisi normal (tanpa ada gejolak harga), sekitar 20–25 persen pengeluaran penduduk miskin ditujukan untuk membeli beras.

Bila harga beras naik tajam, porsi pengeluaran penduduk miskin yang tersedot untuk

Page 19: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

membeli beras bakal meningkat. Konsekuensinya, pemenuhan kebutuhan pangan lain seperti protein dan kebutahan nonpangan (kesehatan dan pendidikan) bakal terganggu. Pengalaman menunjukkan, memburuknya kondisi kemiskinan sepanjang 2005–2006 dipicu oleh meroketnya harga-harga bahan makanan, terutama beras, sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Sebetulnya, berbagai persoalan yang menjadi penyebab tidak terpenuhinya unsur "enam T" dalam pelaksanaan program beras murah sudah lama diketahui. Karena itu, sudah semestinya pemerintah segera melakukan pembenahan. Semua ini diperlukan agar program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial di bidang pangan, yang menyedot Rp 21,4 triliun dana negara ini, benar-benar efektif dan memberi maslahat bagi 15,5 juta rumah tangga kurang mampu.

Page 20: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Tafsiran, Insinuasi, atau Fakta

Rabu, 16 April 2014

Dion Pare, Peminat masalah sosial

Pemilihan anggota legislatif baru saja berlalu. Semuanya berjalan dengan relatif aman dan tertib. Di tengah suasana yang tenang ini, artikel tentang intelijen dari Soleman B. Ponto perlu ditanggapi (Koran Tempo, Sabtu, 12 April 2014). Ia mengulangi argumentasi dalam artikel sebelumnya (Koran Tempo, 28 Februari 20014). Argumennya bertolak dari keputusan MK bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945. Dalam keputusan itu, MK juga menegaskan bahwa keputusan ini baru akan berlaku pada 2019. Artinya, dalam Pemilu 2014, berlaku status quo (proses pemilu yang sedang berjalan dilanjutkan).

Nah, dari sini muncul polemik ketika undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD masih dipakai sebagai dasar pelaksanaan Pemilu 2014. Menurut pengkritiknya, keputusan tersebut menyebabkan pemilu ini tidak konstitusional dan hasilnya pun pasti inkonstitusional. Pandangan itu tentu saja bisa dipahami. Banyak orang berbagi pandangan itu. Menariknya, para pengritik ini menerima keputusan MK tentang keserentakan pemilihan umum, tapi menolak penundaan pelaksanaannya. Padahal MK mengatakan bahwa keputusan itu harus dibaca sebagai satu kesatuan, tidak dipisahkan, apalagi dipertentangkan.

Ketika tulisan dengan nada yang sama dimuat lagi dalam media ini dari orang yang sama, penulis pun bertanya-tanya apa sebenarnya yang hendak disampaikan. Penulis menangkap tiga hal yang menyembul keluar dari kedua artikel tersebut.

Pertama, itu satu tafsiran. Jika ada lebih dari satu tafsiran, tafsiran dari lembaga yang berwenanglah yang berlaku. Hingga saat ini, tampaknya partai-partai, walaupun mungkin tidak setuju, secara implisit menerimanya. Buktinya, mereka bersedia mengikuti pemilu atas dasar keputusan itu.

Kedua, Soleman B. Ponto tidak hanya beropini. Ia memperkirakan bahwa, karena inkonstitusional, pihak-pihak yang bertarung, terutama yang kalah, tidak menerima hasil pemilu tersebut. Ia mensinyalir adanya pihak yang tidak menerima kekalahan. Ia juga menyebutkan sinyalemen salah satu partai yang mengatakan ada indikasi gerakan untuk mengacaukan Pemilihan Umum 2014. Situasinya menjadi chaos, dan hal itu mendorong TNI untuk melakukan kudeta konstitusional demi keselamatan negara.

Karena tidak disebutkan nama partai-partai itu, bisa muncul tuduhan satu terhadap yang lain.

Page 21: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Mereka akan saling mengawasi dan mengamati, dan saling mencurigai. Penulis tidak mau berdramatisasi bahwa sikap-sikap itu akan berlanjut dengan keadaan chaos. Penulis hanya bertanya: partai politik manakah yang mencoba bermain dengan dua agenda itu: memenangi pemilu dan, jika tidak, membuat kekacauan? Ini tentu saja merupakan suatu insinuasi yang memanaskan situasi.

Ketiga, sebagai orang dengan latar belakang intelijen, mungkin Soleman B. Ponto mempunyai data telik sandi kategori valid. Seandainya ya, mengapa ia menyampaikan kepada publik? Data intelijen itu bukanlah untuk konsumsi publik, karena akan menimbulkan kepanikan. Jika ia menyimpan hal-hal itu, ada baiknya ia menyerahkan kepada lembaga yang tepat demi tindakan antisipatif ketimbang menyebarkan insinuasi dan isu-isu yang sama-sama mencemaskan itu.

Page 22: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Gubernur Jenderal Papua?

Rabu, 16 April 2014

Amiruddin al-Rahab pemerhati sejarah-politik Papua

Herman Willem Daendels, pasti semua tahu sang Gubernur Jenderal Hindia Belanda di awal abad ke-19 ini. Ia, gubernur jenderal terbesar Hindia Belanda, dengan kerja paksa menguasai Jawa dan sekaligus menaklukkan raja-rajanya. Bagi Jawa, gubernur jenderal adalah kaca buram kenangan pahit yang terpatri dalam jiwa. Tetapi tidak di Papua.

Papua di era kolonial Belanda tidak mengenal gubernur jenderal, hanya gubernur, yang memerintah sejak pasca-KMB, yaitu S.L.J. Van Waardenburg, J. Van Baal, dan P.J. Platteel (1950-62). Bisa dikatakan tidak ada memori Papua tentang gubernur jenderal. Jika saat ini muncul permintaan perlu adanya gubernur jenderal di Papua, tentu menarik diperhatikan.

Gubernur Papua saat ini, Lukas Enembe, meminta adanya jabatan Gubernur Jenderal Papua melalui draf RUU Otsus Plus kepada Presiden, awal Februari 2014 lalu.

Ketika Menteri Dalam Negeri Gamawan, 3 Maret 2014, menyampaikan permintaan Papua agar ada Gubernur Jenderal Papua (GJP) dalam suatu sidang di DPR RI, Priyo B. Santoso, Wakil Ketua DPR RI, kaget dan meminta Mendagri mengulanginya lagi agar lebih jelas. "Apa kita mau kembali ke zaman koempeni?" tanya Priyo. Setelah Mendagri menjelaskan bahwa GJP itu baru diusulkan dari Papua, dengan maksud untuk mengkoordinasikan para gubernur yang ada, Wakil Ketua DPR RI itu bisa memaklumi karena baru usul Papua, belum menjadi kebijakan pemerintah.

Dalam draf RUU Otsus Plus Papua itu, pengertian GJP adalah "koordinator kewilayahan, bertanggung jawab mengawasi jalannya pemerintahan di Provinsi Tanah Papua dan sebagai wakil pemerintah di Provinsi". GJP harus orang asli Papua. Diangkat oleh presiden berdasarkan usul dari gubernur dan DPRP dengan persetujuan MRP. Masa jabatan GJP adalah 7 tahun.

GJP bertugas dan berwenang melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan pemerintah, pemprov, dan pemkab/kota yang terkait dengan pelaksanaan kewenangan khusus dan perlindungan hak-hak dasar orang asli Papua; memantau serta mengevaluasi pelaksanaan pemerintahan dan pelayanan publik; memberikan arahan dan masukan kepada pemerintah, pemprov, dan pemkab/kota tentang pembuatan Perdasus/Perdasi; pemanfaatan SDA. Kemudian, memfasilitasi penyelesaian sengketa hukum antarprovinsi dan antarkelompok masyarakat yang bersifat masif dan berdampak serius terhadap kamtibmas.; memfasilitasi

Page 23: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

penyelesaian masalah-masalah pemerintahan dan kemasyarakatan di antara pemerintah dengan pemprov dan pemkab/kota.

Untuk bisa menjalankan seluruh kewenangan, GJP memiliki hak meminta keterangan ke semua pihak, melakukan rapat koordinasi berkala, menyusun program kerja dan anggaran tahunan, melakukan monitoring dan supervisi, serta mendapatkan hak protokoler dan keuangan.

Jika kita simak secara seksama, tugas dan kewenangan GJP dalam draf RUU itu tampak tidak jauh berbeda dengan tugas-tugas dan wewenang gubernur sebagaimana diatur dalam UU Otsus saat ini. Lantas, untuk apa? Jika pun GJP ini dibentuk, ia hanya akan kian merumitkan penyelenggaraan pemerintahan di Papua, karena pemerintahan di seluruh Papua akan berjalan dengan empat kaki, yaitu GJP, gubernur, DPRP, dan MRP. Rumit karena muasal legitimasi setiap badan berbeda-beda. GJP yang ditunjuk oleh presiden akan berhadapan dengan DPRP yang merupakan representasi partai politik, serta MRP yang merupakan representasi kultural. Maka, tidak akan mudah mengambil kata sepakat.

Atau GJP yang dibayangkan Gubernur Enembe itu adalah seorang pejabat senior yang menjadi titik tumpu bagi Papua untuk bernegosiasi dengan Jakarta dalam kerangka memperkuat otonomi khusus. Artinya, GJP bisa menjadi benteng bagi Papua dari intervensi pusat yang berlebihan. Dengan demikian, tangan Jakarta berhenti di GJP. Sedangkan ke dalam, GJP adalah representasi utama Papua dan sekaligus pengikat Papua secara keseluruhan. Jika konstruksi politik GJP seperti itu, Enembe perlu melangkah lebih jauh, yaitu bupati dan wali kota di Papua cukup berkoordinasi dengan gubernur dan tidak perlu lagi ke Jakarta. Adapun para gubernurlah yang berurusan dengan GJP. Dengan kata lain, para gubernur se-Papua tidak lagi menjadi wakil pusat di daerah.

Jika demikian, Gubernur Enembe bisa dikatakan jenius dalam menempatkan titik tawar dengan Jakarta, karena gubernur sebelumnya tidak pernah berani sejauh itu. Itulah esensi Otonomi Khusus Papua sebagai asimetri otonomi.

Dengan posisi seperti itu, ada dua pesan tersirat dari permintaan GJP ini. Pertama, MRP, yang selama ini hendak dijadikan simbol representasi pemersatu Papua, tidak memadai. Kedua, gubernur sebagai wakil pusat di Papua kurang diberi tempat yang layak oleh presiden dan para kementerian, sehingga dibutuhkan GJP untuk jembatan berkoordinasi dan berkomunikasi. Jika memang seperti itu, penunjukan GJP semestinya hak prerogatif presiden sebagai kepala negara.

Tantangan terberatnya adalah, elite-elite Papua harus bisa menyakinkan orang-orang di luar Papua bahwa kehadiran GJP bukan untuk membuat jarum sejarah berputar ke belakang. Sekaligus bukan pula sebagai ancaman. Ke dalam Papua, GJP harus menjadi pemersatu, bukan lagi tempat bertengkar baru. Semoga.

Page 24: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Pembangunan yang Menyejahterakan

Kamis, 17 April 2014

Nunung Nuryartono, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi IPB

Fokus penting dalam setiap kebijakan ekonomi adalah upaya untuk memacu pertumbuhan seoptimal mungkin agar mampu menyejahterakan rakyat. Secara simultan juga mengeliminasi berbagai persoalan yang muncul, seperti kemiskinan dan pengangguran.

Dogma tersebut sejatinya dimaknai, terutama oleh kalangan pengambil keputusan, bahwa pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan masyarakat tidak berarti kemiskinan akan hilang begitu saja. Pertumbuhan ekonomi tanpa pengelolaan yang memadai memunculkan persoalan serius lainnya, yaitu ketimpangan.

Seperti dilansir Dana Moneter Internasional (IMF) dalam research paper Februari 2014 yang bertajuk "2014 Redistribution Inequality and Growth", ketimpangan merupakan sesuatu yang membahayakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Apakah peringatan IMF ini sebagai kesadaran yang terlambat?

Jika menengok berbagai literatur dan hasil kajian yang dilakukan oleh berbagai scholar, peringatan itu merupakan sinyal yang telat. Sudah begitu lama banyak negara mengacu pada paradigma "Konsensus Washington" yang lebih menekankan aspek pertumbuhan. Namun akhirnya harus menyadari kesalahannya yang abai terhadap proses redistribusi. Sebut saja Bourguignon (2001), yang menyimpulkan bahwa ketimpangan membahayakan upaya penurunan penduduk miskin secara nyata.

Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 secara tegas disebutkan, agenda pertama adalah pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Ukuran yang acap digunakan adalah pendapatan per kapita.

Dari sudut pandang tersebut, Indonesia memang telah masuk kelas middle income country dengan tingkat pendapatan per kapita pada 2013 mencapai US$ 1.731 atau setara US$ 4.875 PPP (World Development Indicator 2014). Cukupkah hal ini menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia?

Pasalnya, tingkat ketimpangan pendapatan (Gini Ratio) selama lima tahun terakhir ini yang semakin meningkat, dari sekitar 0,37 menjadi 0,41. Hal ini menunjukkan, pertumbuhan ekonomi yang tidak terdistribusi secara merata akan mengakibatkan jurang pemisah yang semakin dalam antarkelas masyarakat.

Page 25: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Pada 2013, angka kemiskinan poverty headcount masih 11,37 persen, jauh dari target pemerintah, yang 9,5 persen. Memang ada penurunan, tapi lajunya tidak sejalan dengan rumusan yang telah ditetapkan pemerintah. Lebih memprihatinkan lagi, adanya kenaikan angka kedalaman kemiskinan yang bermakna kondisi penduduk miskin semakin jauh di bawah garis kemiskinan. Begitu pun tingkat keparahan kemiskinan, yang juga meningkat. Hal ini dimaknai bahwa perbedaan tingkat pendapatan antarkelompok masyarakat miskin semakin lebar.

Ketiga indikator tersebut semakin memperkuat argumen bahwa proses pembangunan yang tidak terdistribusi secara baik mengakibatkan masyarakat makin terpuruk. Khususnya kelompok di bawah garis kemiskinan.

Saat ini, mayoritas penduduk miskin berada di pedesaan dan wilayah pesisir, yang mayoritas bekerja sebagai petani dan nelayan. Sedangkan karakteristik perekonomian Indonesia tidak lain adalah dualistik ekonomi, yaitu berdampingannya petani-petani gurem (landless farmers) yang hanya menguasai lahan sawah sekitar 0,39 hektare (sensus pertanian 2013) dihadapkan pada perkebunan besar yang rata-rata luas lahannya mencapai ribuan hektare.

Selain itu, usaha mikro-kecil yang jumlahnya jutaan unit berhadapan dengan usaha besar yang hanya ratusan. Namun skala usaha besar lebih mampu mengakses berbagai sumber daya secara lebih baik (modal, teknologi, pasar). Jika hal ini terus dibiarkan tanpa ada intervensi nyata dari pemerintah, pertumbuhan ekonomi hanya akan menciptakan ketimpangan yang semakin parah. Kualitas pertumbuhan ekonomi pun makin buruk.

Pembangunan pedesaan harus menjadi prioritas, dan salah satu fokus utamanya pembangunan sektor pertanian yang terintegrasi kuat dengan industri. Dengan begitu, berbagai nilai tambah dapat dinikmati langsung oleh para pelaku khususnya petani.

Hasil studi (Suparto, Nuryartono, dan Waluyadi, 2011) menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertanian akan memberikan efek pengurangan penduduk miskin yang signifikan, sekaligus meningkatkan proses distribusi pendapatan yang lebih baik. Pemerintah harus secara jelas mampu menyebarkan pembangunan. Tidak hanya berfokus di kawasan Barat, tapi juga kawasan timur Indonesia.

Koreksi kesalahan dalam strategi pembangunan demi distribusi pendapatan yang lebih merata harus segera dilakukan. Hal ini memerlukan komitmen kuat dan visi yang jelas ke depan. Berbagai anggaran pemerintah dapat diarahkan untuk mencapai pembangunan yang benar-benar menyejahterakan.

Cita-cita para founding fathers Indonesia adalah negara yang mampu menyejahterakan rakyatnya tanpa terkecuali. Karena itu, siapa pun yang memimpin Indonesia lima tahun ke depan harus mampu mengemban amanah dan cita-cita luhur berdirinya bangsa Indonesia dan menjaga keutuhan NKRI menuju negara yang menyejahterakan. Semoga!

Page 26: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Basa-basi Poros Tengah

Kamis, 17 April 2014

Bambang Arianto, Peneliti Politik di Bulaksumur Empat Yogyakarta

Banyak kalangan menilai kenaikan suara partai Islam lebih disebabkan oleh adanya sentimen politik Islam, yang akhirnya membantu mengkonsolidasikan kesadaran kolektif kalangan muslim bila umat Islam juga memiliki saluran-saluran politik. Prediksi sigi sejumlah lembaga survei yang menilai akan mandulnya suara partai Islam dalam Pemilu 2014 tidak terbukti.

Hasil hitung cepat (quick count) yang dilansir CSIS memaparkan terdongkraknya suara partai Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (9,3 persen) dan Partai Amanat Nasional (7,4 persen). Sedangkan yang lain cenderung stagnan, seperti PKS (6,9 persen), PPP (6,6 persen), dan PBB (1,6 persen). Dengan asumsi perolehan suara gabungan, terdapat lebih dari 30 persen suara umat Islam dalam Pileg 2014. Sinyal ini membuka mimpi lama partai Islam yang ingin mengajukan calon presiden dan wakil presiden sendiri.

Dalam historiografi politik Islam, memang pernah dikenal istilah penyatuan politik Islam, kala digelarnya konvensi pada awal November 1945, yang melahirkan Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam. Sayangnya, setelah periode tersebut, justru konflik dan perpecahan politik Islam yang lebih mengemuka. Hal yang sama pernah terjadi ketika poros tengah pada Pemilu 1999 mampu mengusung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden terpilih. Namun kala itu juga langkah politik poros tengah (minus PKB) akhirnya memaksa turun Gus Dur dari kursi kepresidenan.

Sinyalemen politik ini sebenarnya membuktikan bahwa sejak ritual Pemilu 1999, 2004, dan 2009, Islam politik di Indonesia tidak tunggal. Ideologinya sama tapi pemaknaannya variatif, simbolik dan figur-figurnya beraneka ragam. Islam di Indonesia memang dikenal berdimensi banyak. Tapi, untuk urusan politik, tetap berdimensi tunggal. Jadi, bila dimensi tunggal bersentuhan dengan politik, kepentinganlah yang akan mengedepan. Tingginya ego elite politik Islam membuat partai Islam di Indonesia tidak solid secara politik. Alhasil, basa-basi poros tengah jilid dua benar adanya. Gagasan poros Islam terkesan hanya sebatas politik elektoral semata atau bertujuan menaikkan posisi tawar partai Islam.

Sementara itu, ekses efek Jokowi memang tidak berlaku dalam pemilihan legislatif 2014, tapi hal ini akan berbeda dalam gelaran pemilihan presiden 2014. Tentu saja hal ini didasari oleh hasil exit poll yang dilansir SMRC bahwa suara pemilih partai berbasis massa Islam dan berideologi Islam akan lari ke calon presiden dari PDIP, Jokowi, dan capres Gerindra, Prabowo Subianto.

Page 27: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Hal ini diperkuat oleh konflik internal yang terjadi dalam tubuh PPP. Seakan memberikan sinyal bahwa klaim Mukernas PPP telah menyatakan jauh-jauh hari telah memutuskan mendukung calon presiden dari PDI Perjuangan. Jadi kegalauan sikap politik, baik PAN, PKB, maupun PPP, jelas mempersulit lahirnya poros Islam, kecuali PKS.

Partai Islam seharusnya berkaca untuk tidak bersikap pada satu arah, tapi mampu lebih ke tengah. Indonesia perlu perpaduan Islam-nasionalis. Politik aliran bukan masanya lagi. Poros Islam diyakini semakin memaksa massa pemilih umat Islam untuk terus membelah diri. Sinyalemen politik yang berkembang membuktikan peluang poros tengah jilid dua hanyalah sebatas basa-basi.

Page 28: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Serba Cepat

Kamis, 17 April 2014

Iwel Sastra, Komedian @iwel_mc

Saya selalu tersenyum saat membaca kembali anekdot tentang seorang pria tua yang setiap kali naik kereta memilih tempat duduk di gerbong paling depan. Alasannya agar sampai duluan. Saya juga masih geli sendiri mengingat anekdot tentang orang kaya super-pelit yang tidak mau naik kereta shinkansen--kereta berkecepatan tinggi di Jepang. Alasannya rugi bayar mahal, karena baru duduk sudah sampai. Anekdot-anekdot ini menggambarkan bahwa untuk cepat sampai di tujuan oleh setiap orang dimaknai berbeda, sehingga melahirkan strategi yang berbeda pula.

Saat ini kita hidup di zaman serba cepat. Bukan hanya bidang transportasi seperti anekdot di atas, tapi juga pada bidang informasi hingga makanan cepat saji. Berita kehidupan rumah tangga selebritas yang kurang harmonis cepat sampai ke telinga kita. Kecepatan informasi ini membuat saya mau enggak mau jadi tahu bahwa Bopak Costello akan bercerai dengan istrinya. Kenapa saya harus tahu? Padahal Bopak sendiri tidak tahu bahwa saya tahu dia akan bercerai. Makanan cepat saji semakin menjadi pilihan di tengah makin tingginya kesibukan masyarakat urban. Saya tidak terlalu suka makanan cepat saji, saya lebih suka makanan yang cepat dibayarin.

Segala yang serba cepat ini menular ke ranah politik. Pemenang pemilu telah terlebih dulu ditentukan oleh hasil hitung cepat. Padahal saat ini masih tersisa berbagai persoalan pemilu. Petinggi partai politik sudah tidak peduli mengenai adanya sejumlah surat suara yang tertukar, sehingga harus dilakukan pemilu ulang di beberapa tempat pemungutan suara. Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dianggap cukup sebagai dasar untuk melakukan koalisi secara cepat. Seakan "hitung lambat" yang dilakukan KPU, yang merupakan hasil hitung resmi, menjadi tidak penting lagi.

Ada beberapa faktor penyebab politik Indonesia masuk ke era serba cepat. Pertama, karena rakyat ingin segera merasakan perubahan. Sepertinya selama ini rakyat merasa perubahan berjalan lamban. Kondisi bangsa semakin terpuruk, sehingga peralihan tampuk pimpinan nasional harus disiapkan dengan cepat untuk percepatan perubahan. Kedua, elite politik ibarat anak kecil yang sedang antre permainan di taman bermain, sudah tidak sabar gantian untuk ikut merasakan permainan kuda-kudaan. Apalagi yang merasa dirinya berada di antrean paling depan, merasa lebih pantas untuk menaiki kuda-kudaan lebih dulu.

Dalam hal perasaan, bangsa kita sudah lebih cepat lagi menganut paham serba cepat. Cepat

Page 29: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

suka, cepat benci. Sepuluh tahun yang lalu, rasa suka dengan cepat tertuju kepada Susilo Bambang Yudhoyono, yang saat itu maju sebagai calon presiden. Rasa suka itu pun dengan cepat berbalik arah di tengah jalan. Sekarang Jokowi dan Prabowo, yang disebut sebagai calon kuat calon presiden sama-sama menggunakan prinsip siapa cepat dia dapat, untuk mendapatkan rasa suka rakyat. Isu-isu yang saling menjatuhkan beredar dengan sangat cepat.

Bagaimanapun, sekarang kita hidup di zaman serba cepat. Ketertinggalan dari negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, bahkan Vietnam, membuat rakyat sudah tidak sabar untuk merasakan perubahan dengan cepat. Meski semuanya sekarang serba cepat, saya yakin prinsip serba cepat ini tidak disukai oleh pengantin baru. Bahkan pengantin baru punya prinsip, makin lama makin baik. Jangan mikir yang aneh-aneh dulu, maksudnya tentu pengantin baru ingin rumah tangga mereka bertahan lama.

Page 30: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Menakar Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Sabtu, 19 April 2014

Teuku Faizasyah, Juru Bicara Presiden Bidang Hubungan Internasional

Laporan Lowy Institute (Februari 2014) mengenai politik luar negeri berjudul More Talk than Walk: Indonesia as a Foreign Policy Actor menarik dicermati pada tahun politik ini. Laporan tersebut berpendapat bahwa politik luar negeri Indonesia masih belum cukup berpengaruh-tidak hanya di masa kini, namun juga untuk lima tahun mendatang.

Tulisan ini menyoal laporan tersebut dari dua perspektif. Pertama, dengan melihat sepuluh tahun politik luar negeri Indonesia di era Presiden Yudhoyono (SBY). Kedua, dengan menerawang harapan atas wajah politik luar negeri Indonesia pada era setelah pemerintah Presiden SBY.

Sejatinya, dalam sepuluh tahun terakhir, politik luar negeri Indonesia dan tampilan diplomasinya masih merupakan satu kelanjutan kontinum politik luar negeri. Indonesia terbukti memiliki kapasitas untuk mempengaruhi dinamika diplomasi, baik di tataran kawasan maupun global.

Pada 2009, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dengan lugas menyatakan bahwa politik luar negeri yang akan dijalankan merupakan continuity and change. Dalam perjalanannya, wajah diplomasi Indonesia juga diwarnai oleh minat tinggi Presiden SBY atas politik luar negeri dan diplomasi.

Bali Democracy Forum (BDF) yang diluncurkan pada 2008 juga merupakan suatu inovasi diplomasi. BDF merupakan satu-satunya forum antar-pemerintah di Asia yang memungkinkan terjadinya saling tukar pengalaman terbaik mengenai penerapan nilai-nilai demokrasi-home-grown democracy.

Inovasi diplomasi juga dimajukan melalui instrumen soft diplomacy. Program Presidential Friends of Indonesia yang digelar sejak 2008 adalah contoh soft diplomacy yang berhasil melahirkan banyak sahabat-sahabat baru Indonesia.

Sementara itu, dalam penanganan isu-isu global, adalah satu keniscayaan bahwa Indonesia memang memiliki keterbatasan untuk dapat mempengaruhi penanganan isu-isu global tertentu. Konflik Arab-Israel adalah contoh konflik regional dengan ramifikasi global yang sulit diatasi.

Page 31: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Presiden SBY berpendapat bahwa geo-politik di Timur Tengah menyebabkan Indonesia bersikap realistis dalam melihat apa yang dapat dilakukannya melalui diplomasi. Ihwal konflik Suriah, misalnya, dan dalam konteks upaya global memelihara perdamaian dan keamanan internasional, Indonesia aktif mendorong komunitas internasional untuk memperkuat mekanisme Chapter VI and half dari piagam PBB. Pendekatan ini memungkinkan PBB untuk "memaksakan perdamaian" (enforcing peace).

Rasanya tidak adil apabila kondisi obyektif dalam konteks global ini tidak cukup diperhitungkan Lowy Institute dalam menilai kapasitas Indonesia. Sama halnya, tidak adil rasanya apabila upaya Indonesia mengarus-utamakan secara global agenda pembangunan berkelanjutan (sustainable growth with equity) juga dinihilkan. Presiden SBY-dalam kapasitasnya sebagai ketua bersama panel internasional tingkat tinggi untuk merumuskan agenda pembangunan global pasca-MDGs 2015-berhasil mendorong penerimaan panel atas agenda ini.

All politics is local yang menjadi mantra dalam dunia perpolitikan di AS rupanya juga menjadi keniscayaan dalam perpolitikan di Indonesia. Setidaknya, politik luar negeri Indonesia bukanlah topik yang mendapat perhatian tinggi dalam wacana politik lintas partai menjelang pemilihan legislatif dan mungkin juga menjelang pemilihan presiden nanti.

Namun, terlepas dari kenyataan ini, bukanlah suatu kesia-siaan apabila berbagai komponen masyarakat di Indonesia dan negara-negara sahabat Indonesia mulai diakrabkan dengan platform politik luar negeri masing-masing partai. Apabila tidak atas isu-isu khusus, setidaknya besaran politik luar negeri yang akan dijalankan nantinya tepat waktu untuk dikomunikasikan.

Sejatinya, banyak pihak berharap politik luar negeri Indonesia selepas pemerintah Presiden SBY masih merupakan suatu keberlanjutan kebijakan (continuity). Perubahan (change) bukanlah ditabukan, karena berkaitan dengan platform partai pemenang pemilu serta sejauh mana presiden terpilih menaruh minat pada politik luar negeri. Sebagai salah satu negara anggota G-20, mau-tidak mau Presiden RI nantinya layak menaruh minat pada politik luar negeri.

Wujud minat Presiden SBY atas politik luar negeri tampak nyata saat KTT Climate Change di Kopenhagen (Desember 2009). Dalam KTT ini, Presiden SBY dan Presiden Obama merupakan dua dari 26 kepala negara/pemerintah yang secara langsung menegosiasikan (drafting) dokumen akhir konferensi-Copenhagen Accord. Hingga tengah malam, mereka tekun memperdebatkan paragraf demi paragraf dari Accord tersebut.

Menutup tulisan ini, kiranya patut untuk direnungkan satu kisah keberhasilan Presiden SBY membangun kenyamanan dalam hubungan antarnegara di kawasan. Dalam satu pertemuan tertutup pada Maret 2013, seorang presiden negara tetangga dengan berkaca-kaca menyampaikan apresiasinya atas peran Presiden SBY dalam membangun persahabatan di antara kedua negara, bangsa, dan di antara kedua pemimpin. Presiden tersebut

Page 32: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

mempertanyakan masa depan hubungan bilateral negaranya dengan Indonesia selepas masa pemerintahan Presiden SBY.

Saat itu, Presiden SBY tidaklah bisa memberi jawaban yang pasti, karena jawabannya berpulang pada Presiden RI mendatang.

Page 33: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Paus Fransiskus dan Penyandang Cacat

Sabtu, 19 April 2014

Tom Saptaatmaja, Alumnus Seminari St Vincent de Paul

Agenda Paus Fransiskus pada Kamis Putih (17 April) sudah diberitakan oleh berbagai media di dunia dan langsung menjadi buah bibir. Sebab, pada hari itu, Paus asal Argentina ini membasuh kaki para penyandang cacat (disabilitas), mengikuti teladan Yesus yang membasuh kaki 12 murid-Nya sebelum disalibkan.

Apa yang dilakukan Paus selalu mencengangkan. Pada Kamis Putih tahun lalu, misalnya, dia membasuh kaki para tahanan. Bila tahun ini Paus memilih membasuh kaki para penyandang cacat, Paus jelas mau mengajak dunia untuk lebih menghargai kehadiran mereka.

Sebab, jujur, kaum cacat masih sering terpinggirkan. Bahkan ada kaum difabel yang dipasung seumur hidup. Banyak orang tua yang tahu anaknya cacat, kerap kali berpikir dunia sudah kiamat. Mungkin sebagian orang berpikir lebih baik si anak tidak pernah terlahir saja.

Padahal, jika kita berpikir seperti itu, jelas ada yang mati dalam kehidupan kita, menurut Norman Cousins, wartawan New York Post. Mengapa? Sebab, itu tanda bahwa kita sebenarnya tidak mampu menerima kehadiran dan keberadaan kaum cacat. Padahal kaum cacat adalah penanda betapa beragamnya manusia.

Terlepas dari apa pun respons kita, yang pasti di sekitar kita kini ada cukup banyak orang yang terlahir dalam kondisi cacat. Di negeri kita, ada yang menyebut sekitar 25 juta dari total 250 juta penduduk Indonesia adalah penyandang cacat.

Lalu, siapakah yang bisa dimasukkan ke kategori ini? Menurut UU Nomor 4 Tahun 1997, Pasal 1 (ayat 1), penyandang cacat adalah orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau menghalangi serta dapat menjadi hambatan bagi dirinya untuk melakukan kegiatan yang normal, dan hambatan tersebut dapat meliputi: (a) cacat fisik, (b) cacat mental, dan (c) keduanya, yaitu mental dan fisik.

Melihat batasan itu, jelas bahwa kondisi cacat bukan berarti sudah dimulai sejak lahir ke dunia saja. Siapa pun bisa dan punya peluang menjadi penyandang cacat, meski kita tidak mengharapkan. Di sekitar kita cukup banyak penyandang cacat baru, karena menjadi korban dalam kecelakaan lalu lintas, terkena tanah longsor, kecelakaan kerja, dan sebagainya.

Jangan lupa, UU Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 8 sudah mengamanatkan bahwa pemerintah

Page 34: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang cacat. Lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU Nomor 4 Tahun 1997 tersebut dinyatakan bahwa: "Setiap kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas." Pasal 10 ayat (2) menyebutkan penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang agar penyandang cacat bisa hidup dalam masyarakat. Salah satu akses yang sangat penting adalah akses pendidikan bagi para penyandang cacat. Pemerintah dan kita semua perlu mewujudkannya.

Paus Fransiskus sudah memberi teladan. Dan kita semua diajak menghargai dan memanusiakan setiap penyandang cacat. Tidak boleh ada lagi kaum difabel yang dibatasi aksesnya. Sebab, selama mereka ditolak, didiskriminasi, atau dilecehkan, itu membuktikan ada yang mati dalam kehidupan kita.

Page 35: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

Presiden Republik Sinetron

Sabtu, 19 April 2014

Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan

Indonesia semakin menyerupai republik sinetron, serba gebyar dan instan. Berkat media, seseorang mendadak populer, jadi idola massa dan digadang-gadang jadi presiden tanpa harus memiliki jam terbang politik yang tinggi khas politikus pejuang.

Para aktivis politik, yang selama ini berdarah-darah, pun frustrasi. Fenomena ini dianggap ganjil. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah memperjuangkan perubahan dan mengorganisasi rakyat bisa mengalami mobilitas vertikal begitu cepat, bahkan sangat berpotensi menjadi presiden? Tradisi ketokohan orang-orang besar, seperti Sukarno, Hatta, dan Sjahrir, yang erat dengan pertarungan ideologis, perjuangan politik, pengap penjara, serta pahatan-pahatan penderitaan, seolah pupus.

Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan tokoh-tokoh lainnya adalah tipikal politikus pejuang. Tradisi yang mereka tempuh adalah tradisi proses. Proses itu berupa rangkaian panjang ujian, baik secara intelektual (ideologis), mental, sosial, politik, ekonomi, maupun kultural.

Tradisi proses berbicara soal kemampuan menggali, mengeksploitasi ide, dan mewujudkannya ke dalam tindakan secara intensif, kontinu, serta konsisten. Penderitaan menjadi ongkos yang harus dibayar. Kekuatan menjalani proses dan ketangguhan menjawab tantangan menjadikan mereka eksis, hadir. Ketokohan adalah risiko yang harus mereka sandang. Dalam ketokohan, terbangun institusi nilai yang menjadi acuan publik. Publik pun menaruh hormat dan kepercayaan kepada tokoh. Tanpa bimbang, publik pun memberikan peran sosial kepada tokoh, misalnya menjadi presiden atau penyelenggara negara lainnya.

Tradisi proses untuk "menjadi" (istilah Erich Fromm) itulah yang kini semakin pudar dalam jagat politik di negeri ini. Peran industri media telah mengubah tradisi proses menjadi instan. Umumnya, media lebih bicara dari apa yang "menarik", dan bukan apa yang "penting". Terminologi "menarik" berkaitan dengan sensasi. Adapun terminologi "penting" berhubungan dengan substansi. Atas nama kepentingan pasar dan demi meraup keuntungan material yang besar, media menjual sensasi, bukan substansi.

Media, terutama televisi, menjadi penguasa yang sangat menentukan siapa pun yang menjadi "tokoh". Kini makna tokoh tereduksi menjadi pesohor. Politikus, penegak hukum, pedagang, pelaku kriminal yang tobat, tokoh agama, seniman, dukun, tukang survei, bintang sinetron/film, birokrat, orang parlemen, pelawak, penyanyi, militer, semua memiliki derajat

Page 36: caping_cari angin+kolom tempo 13.4.2014-19.4.2014

yang sama: pesohor. Tak penting gagasannya, tapi sensasinya.

Obsesi para tokoh nasional saat ini adalah mampu menjadi media darling, sehingga sangat sering tampil di banyak media. Elektabilitas mereka pun bisa terdongkrak. Maka, banyak tokoh, termasuk para capres, mengerahkan segala kemampuannya untuk disukai media.

Bangsa ini menjadi celaka jika pilpres hanya menghasilkan presiden kelas sinetron atau sosok yang tidak memiliki otentisitas personal dan intelektual khas negarawan. Mitos-mitos tentang popularitas dan pencitraan harus dirobohkan karena telah memperbodoh publik. Para pemimpin yang melumuri diri dengan pencitraan dan popularitas terbukti tak mampu bekerja secara maksimal untuk menyejahterakan rakyat, kecuali untuk hedonisme.