buletin salingka alam khusus 2013

17
Buletin Edisi Khusus 2013 Buletin Salingka Alam diterbitkan oleh Perkumpulan Qbar sebagai penyedia informasi dan dokumentasi tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal, Kehidupan Sosial, Perkembangan Hak Asasi Manusia untuk mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Upload: san-first

Post on 31-Mar-2016

226 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Buletin Salingka Alam merupakan Buletin yang diterbitkan oleh Perkumpulan Qbar, memuat mengenai kajian-kajian, sudut pandang serta artikel lain tentang pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat berdasarkan kearifan lokal.

TRANSCRIPT

Page 1: Buletin Salingka alam khusus 2013

Buletin Edisi Khusus 2013

Buletin Salingka Alam diterbitkan oleh Perkumpulan Qbar sebagai penyedia informasi dan dokumentasi tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal, Kehidupan Sosial, Perkembangan Hak Asasi Manusia untuk mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Page 2: Buletin Salingka alam khusus 2013

Pojok Redaksi

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru

Perkumpulan Qbar Tidak seperti halnya nama lembaga atau organisasi lain, nama Qbar bukanlah sebuah singkatan (abbreviation). Kata Qbar berasal dari dua suku kata, yaitu Q (equilibrium—keseimbangan) dan bar (line—garis). Jadi, Qbar berarti ‗Garis Keseimbangan‘. Pilihan nama ini diambil atas kesadaran bahwa untuk mewujudkan sebuah ‗sistem‘ yang demok-ratis dan adil, perlu adanya keseimbangan. Alam secara arif telah mengajarkan kepada kita bahwa, untuk menciptakan suatu keharmonisan system alam semesta, keseimbangan diantara sub-system yang ada didalamnya mutlak diperlukan.

Visi dari Perkumpulan Qbar adalah Terwujudnya tatanan kehidupan kebangsaan dan kerakyatan yang adil dan demokratis untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Guna mencapai visi tersebut Perkumpulan Qbar merumuskan beberapa misi yang harus dijalankan yakni Lahirnya hukum dan kebijakan untuk memenuhi keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat; semakin kuatnya rakyat untuk memenuhi keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran; dan menguatnya kemampuan Qbar dalam mencapai visinya. Semua hal ini dicapai melalui (1) fasilitasi proses penumbuhan dan peningkatan kapasitas pemerintah dalam pembuatan hukum dan kebijakan yang responsif dalam memenuhi keadilan dan kesejahteraan; (2) fasilitasi penguatan basis (rakyat) untuk memenuhi keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran serta pengembangan, dan (3) penguatan institusi Qbar.

Keberadaan masyarakat adat serta kearifan lokal, semakin hari kian terpinggirkan. Padahal dibalik budaya dan hukum adat terdapat sebuah nilai yang arif dan mendalam. Hal ini, menjadi perhatian khusus bagi kami, bagaimana keberadaan masyarakat adat, hukum adat, budaya dalam konteks pengeloaan sumber daya alam menjadi pertimbangan dan perhatian bagi penyelenggara dalam membuat serta mengambil sebuah kebijakan. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan dan penyajian buletin ini, untuk itu kami sangat membutuhkan kritik dan saran agar buletin ini dapat menjadi lebih baik. Kami berharap hadirnya buletin ini dapat memberikan tambahan informasi dan bermanfaat bagi pembaca. Terimakasih Pemimpin Redaksi

SALAM ALAM LESTARI Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Buletin Salingka Alam Edisi Khusus 2013. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berkontribusi membentu terbitnya buletin ini. Buletin Salingka Alam merupakan buletin yang diterbitkan oleh Perkumpulan Qbar, yang bertujuan sebagai penyedia informasi serta media komunikasi Perkumpulan Qbar dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dan kearifan lokal. Sumber daya alam menjadi titik penting dalam membangun dan mewujudkan sebuah negara yang berkeadilan sosial.

Page 3: Buletin Salingka alam khusus 2013

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru

Daftar Isi Kearifan Lokal..................................1 Kajian................................................ 3 Feature.............................................. 5 Opini................................................. 6 Galeri................................................8 Berita................................................11 Sudut Pandang................................13

Redaksi menerima artikel, tulisan, gambar serta foto ataupun data-data seputar Pengelolaan Sumber Daya Alam berbasis Masyarakat dan Kearifan Lokal, Kehidupan Sosial serta Hak Asasi Manusia, dari pihak luar untuk dipublikasikan di buletin ini, dengan memberikan hak untuk mengubah dan mengedit tanpa mengurangi substansi. Alamat : Jalan Sawahan III No. 3B, Padang Web : qbar-padang.or.id Email : [email protected] Telp : 0751-28911

Penerbit : Perkumpulan Qbar Penanggung Jawab : Mora Dingin, S.Sos, M.Si Pemimpin Redaksi : First San Hendra Rivai, S.H Dewan Redaksi : Rahma Weliza, S.Sos Nora Hidayati, S.H Redaktur : Armanda Pransiska S.H Editor : Roky Septiari, S.H

Beranda

Page 4: Buletin Salingka alam khusus 2013

Kearifan Lokal

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru 1

Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Lokal Nagari Guguak Malalo

Qbar-Secara geografis Nagari Guguak Malalo terletak di pantai barat Danau Singkarak den-gan bentang alam nagari 16 km dari utara ke selatan dan 9,5 km dari timur ke barat. Ben-tuk topografi nagari Guguk Malalo berbukit yang kemudian melandai hingga tepi danau Singkarak pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata 23° C. Batas nagari Guguak Malalo adalah : Sebelah utara berbatas dengan nagari

Padang Laweh Malalo; Sebelah Selatan berbatas dengan nagari

Paninggahan (Batang Seributan); Sebelah Barat berbatas dengan kabu-

paten Padang Pariaman (Bukit Paru Anggang);

Sebelah timur berbatas dengan Nagari Simawang.

Wilayah Nagari guguak malalo adalah wilayah yang berada di lereng–lereng per-bukitan dengan tingkat kecuraman tinggi. Permukiman masyarakat berada di lereng-lereng bukit dan sebagian lagi pada tepi pan-tai Danau Singkarak. Untuk wilayah perbuki-tan 280 Ha dan wilayah lereng dan dataran 5000 Ha, sehingga luas Nagari Guguak Malalo adalah 5280 Ha. Hubungan Antara Ulayat dengan masyarakat adat nagari guguak malalo adalah hubungan sosiokultural, politik dan ekonomi. Nagari guguak Malalo merupakan kesatuan tertinggi struktur politik, social dan budaya masyarakat adat nagari guguak malalo sehingga eksistensi nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sekaligus struktur politik adat mempen-garuhi konsep penguasaan terhadap ulayat di Nagari Guguak Malalo.

Penguasaan hak ulayat di nagari Guguak Malalo adalah hak guna komunal, yang dar-dasarkan struktur masyarakat nagari guguak malalo di bagi ke dalam Status hak ulayat di-antaranya adalah : Ulayat Nagari adalah seluruh wilayah

yang dimiliki dan dikuasai oleh seluruh anak nagari yang lahir secara turun te-murun yang diatur menurut adat nagari dan dilaksanakan oleh pemerintahan nagari;

Ulayat suku adalah seluruh wilayah yang dimiliki dan dikuasai oleh semua anggota sesukuan secara turun temurun yang diatur oleh niniak mamak pasu-kuan dan diawasi oleh penghulu pucuk suku;

Ulayat kaum adalah seluruh wwlayah yang dimiliki dan dikuasai oleh semua anggota kaum secara turun temurun yang diatur oleh mamak kepada waris dan diawasi oleh niniak mamak kaum.

Hutan Adat Nagari Guguak Malalo Kawasan hutan di Nagari Guguak Malalo se-luas 2707 Ha atau 51,3 % dari luas wilayah Nagari Guguak Malalo secara Keseluruhan. Hutan berada pada wilayah perbukitan sam-pai dengan permukiman penduduk di lereng perbukitan. Hutan nagari ini adalah wilayah tangkapan air dimana wilayah tersebut mengeluarkan anak-anak air yang kemudian mengalir menjadi sungai-sungai kecil yang bermuara ke Danau Singkarak. Pengelolaan Hutan di Nagari Guguak Malalo berada pada status hutan ulayat kaum, hutan ulayat suku dan hutan ulayat nagari. Sistem pemerintahan adat (kelembagaan adat) hubungannya dengan penguasaan hutan ulayat di Nagari Malalo yaitu sebagai berikut :

Ke Halaman 2

Page 5: Buletin Salingka alam khusus 2013

Kearifan Lokal

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru 2

No Tingkat Kekerabatan

Hutan Dalam Status ulayat

Struktur adat Pola Penguasaan

1 Kaum Hutan ulayat kaum

tungganai Dikuasai oleh suatu kaum tertentu

Kaum tertentu tersebut adalah bagian suku tertentu yang ada di nagari

Pengaturan pengelolaan atas persetujuan tungganai seba-gai pemimpin kaum

Pengaturan pengelolaan atas persetujuam tungganai seba-gai pemimpin kaum

2 Suku Hutan ulayat suku

Penghulu suku Dikuasai oleh suatu suku ter-tentu

Pengaturan pengelolaan atas persetujuan panghulu suku sebagai pemimpin suku

3 Nagari Hutan Ulayat Nagari

Penghulu-penghulu suku yang ada di na-gari penghulu pu-cuk

dikuasai oleh suku-suku yang ada di nagari

pengaturan pengelolaan atas persetujuan penghulu-penghulu suku yang ada di nagari dan memperhatikan pertimbangan panghulu pu-cuk

Pada status ulayat kaum dan ulayat suku secara secara territorial lebih dekat dengan pemukian dan sebagian besar dimanfaatkan oleh anggota kaum dan anggota suku sebagai parak sedang-kan ulayat nagari lebih jauh dari pemukinan dan masih di dominasi hutan alami. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan kemudian dibagi beberapa bagian dimana pembagian ini berdasarkan kepada kesepaka-tan niniak mamak nagari guguak malalo, pem-bagian hutan di nagari Guguak Malalo dianta-ranya adalah: a. Hutan Larangan

Adalah hutan ulayat nagari yang belum terbagi kepada sebelas suku yang letaknya di atas pa-tok bosweisen dan tidak boleh dimanfaatkan baik kayunya maupun non kayu, jadi sifatnya dilindungi;

b. Hutan Cadangan

Terletak diatas bosweisen, belum terbagi kepada sebelas suku akan tetapi memung-kinkan untuk dibagi kepada sebelas suku dan dimanfaatkan sebagai parak ketika jumlah penduduk sudah banyak. Baik kayu maupun non kayu sudah boleh dimanfaatkan dengan prosedur tertentu dengan seizin ninik mamak dalam KAN.

c. Hutan Paramuan (hutan untuk bahan anak kemenakan untuk mengambil kayu untuk rumah) Hutan ulayat nagari yang sudah terbagi kepada suku-suku dan sudah boleh diman-faatkan oleh anak nagari untuk memenuhi kebutuhan kayu maupun perladangan ceng-keh, pala, kemiri dan tanaman bernilai ekono-mis lainnya. (*)

Page 6: Buletin Salingka alam khusus 2013

Kajian

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru 3

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.35/PUU-X/2012 Terhadap Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Qbar—Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 35/PUU-X/2012 terkait uji materi Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberikan sebuah pemaknaan dan cara pandang baru dalam melihat hutan adat. Putusan MK ini hadir dari permohonan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kesepuhan Cisitu atas peralihan hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya untuk kemudian dijadikan sebagai hutan negara. Pemohon dalam uji materi ini memohonkan beberapa pasal yakni Pasal 1 angka 6; Pasal 4 ayat (3); Pasal 5 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 67 ayat (1),(2),(3) UU Kehutanan. Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi melalui putusannya mengabulkan sebagaian dari permohonan pemohon.

Pemohon berpandangan bahwa Undang-Undang Kehutanan dijadikan alat bagi negara untuk mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya untuk kemudian dijadikan hutan negara. Melalui berbagai skema perizinan diserahkan kepada para pemilik modal untuk dieskploitasi tanpa memperhatikan hak serta kearifan lokal masyarakat hukum adat diwilayah itu.

Mahkamah Konsitusi menyatakan bahwa Pasal 1 angka 6 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, frasa ―negara‖ bertentangan dengan Pasal 18 B UUD 1945. Sebelumnya, Pasal 1 angka 6 ini berbunyi ―hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat‖. Setelah putusan MK, pasal ini berubah menjadi ―hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat‖. Pasal ini berdampak luas atas beberapa aturan sektoral agraria dan kehutanan. Hal ini berakibat pada kewenangan dan hak untuk mengatur dan mengurus sumber daya alam yang sebelumnya melekat pada negara, sekarang melekat pada masyarakat adat, termasuk dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan. Akan tetapi, dalam pengakuan masyarakat adat sebagai subjek pemegang atas hak tetap melalui peraturan daerah. Artinya, putusan ini memberikan tanggung jawab yang besar kepada pemerintah daerah untuk menetapkan keberadaan masyarakat adat, karena konsekuensinya, ketika pemerintah daerah mengeluarkan perda penetapan masyarakat adat secara conditio sine quanon kawasan hutan yang berada dalam ruang lingkup ulayat masyarakat adat menjadi kawasan hutan adat, serta tidak ada lagi campur tangan negara dalam mengatur dan mengurusnya.

Ke halaman 4

Page 7: Buletin Salingka alam khusus 2013

Kajian

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru 4

— Namun, keberadan masyarakat adat tetap mengikuti indikator penjelasan Pasal 67 UU Kehutanan yakni masyarakat masih berada dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeeschap); adanya kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; ada wilayah hukum adat yang jelas; ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan diwilayah sekitarnya untuk pemenuhan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Disamping itu, kebijakan pemerintah yang dahuluhnya diramalkan akan membuka ruang masyarakat adat untuk mengelola hutan seperti hutan desa dan htan kemasyarakatan tidak lagi menjadi jalan tengah dimata masyarakat adat, karena kebijakan tersebut membuat negara dengan masyarakat adat memiliki gap, sehingga masyarakat adat harus membuat skema hutan negara diatas hutan ada mereka. keberadaan hutan adat sebagai hutan hak pasca putusan MK, tentu menjadi pilihan prioritas masyarakat adat untuk mengelola hutan mereka yang dahulunya diklaim negara sebagai hutan negara. Hutan Adat Sebagai Hutan Hak Berdasarkan putusan MK yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara tapi hutan hak. Mahkamah berpandangan bahwa Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 merupakan pengakuan atas keberadaan hutan adat sebagai kesatuan dari wilayah adat masyarakat hukum adat. Hal ini memberikan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai ―living law‖ yang sudah berlangsung sejak lama dan diteruskan sampai sekarang. Oleh karena itu, menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Selanjutnya, Mahkamah berpendapat mengenai Pasal 5 ayat (1) bahwa pasal ini mengatur tentang kategorisasi hubungan hukum antara subjek hukum terhadap hutan,

termasuk tanah yang diatasnya terdapat hutan maka ―hutan adat‖ sebagai salah satu kategorinya haruslah disebutkan secara tegas sebagai salah satu kategori dimaksud, sehingga ketentuan mengenai ―kategori hutan hak didalamnya haruslah dimasukkan hutan adat‖, sehingga hutan hak terdiri dari hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum. Pada Pasal 1 huruf e UU Kehutanan menyatakan ―hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah‖. Sedangkan, hak atas tanah diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria , hak atas tanah memberi kewenangan untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar dipergunakan untuk kepentingan yang berhubungan langsung dengan penggunaan tanah. Dalam UUPA hak atas tanah dibagi menjadi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut. Kemudian UUPA hanya menjadikan perorangan dan badan hukum menjadi subjek hak atas tanah. Rekomendasi : 1. Adanya pengakuan terhadap masyarakat

hukum adat sebagai subjek hukum dalam Peraturan Daerah.

2. Pengaturan mengenai hak ulayat harus

diatur secara khusus, karena hak ulayat tidak dapat disamakan dengan hak-hak atas tanah dalam UUPA

3. Harus ada mekanisme pendaftaran tanah

adat diatas hutan yang tidak sama dengan hak atas tanah dalam UUPA.(*)

Page 8: Buletin Salingka alam khusus 2013

Feature

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru 5

Harapan Jaya, Harapan dari Balik Kampung Batak

Giri Maju, Pasaman Barat— Tiga tahun sudah perjalanan untuk mendapatkan izin pencadangan dari Menteri Kehutanan. Namun, SK yang diimpikan belum juga ada titik terangnya. Kelompok Tani Harapan Jaya, merupakan salah satu kelompok tani yang bernaung di Kelompok HKm Talago Bawah Gunung menaruh harapan besar kepada izin pengelolaan dan pelestarian hutan ini. Kelompok tani ini terdiri dari 18 kepala keluarga. Mereka biasa dikenal dengan Kampung Batak, karena semua anggota kelompok tinggal dalam satu kampung. Kampung Batak berada diujung Jorong Giri Maju, Nagari Koto Baru. Untuk mencapai kampung ini membutuhkan waktu sekitar 50 menit dari pusat pemerintahan Nagari Koto Baru. Perjalanan harus menempuh kebun plasama inti rakyat yang berada disekitar sana. Melewati jalan berbatu yang belum diaspas, untung tahun ini 2014 ada proyek PIP untuk pembangunan jalan menuju kesana. Tanpa penerangan, tanpa aliran listrik serta tanpa ada sumber air bersih, keluarga-keluarga di Kampung Batak menjalani aktivitas sehari-hari. Suasana riang bahagia tersirat diwajah anak-anak kampung batak, sepulang dari sekolah yang berjarak kurang lebih 5km dari kampung mereka. Tanpa alas sepatu, senyum bahagia masih terselip dibalik wajah mereka. Parahnya lagi ketika turun hujan, maka jalan tanah yang ada disana terkadang tergenang air dan lumpur. Walaupun demikian, anak-anak Kampung Batak tetap semangat untuk sekolah, merajut mimpi untuk mencapai impian mereka. Semangat Kelompok Tani Harapan Jaya ini patut diapresiasi dan contoh. Saat ini mereka sudah mampu membuat sistem keuangan mikro tersendiri layaknya sebuah bank. Sistem kerja dalam pengolahan lahan pun dikerjakan secara gotong royong.

Sehingga, tidak ada satupun anggota kelompok yang tidak dapat mengelolah lahan pertanian mereka. Sepertinya pesan Emha Ainun Najib telah terlaksana dalam kehidupan masyarakat Kampung Batak, yakni ―Kesederhanaan Adalah Moral yang Tangguh, Kebersamaan adalah Jiwa yang Utuh‖. Impian itu Bernama Hutan Kemasyarakatan Potensi sumber daya alam di hutan Giri Maju cukup beraneka ragam, melalui skema hutan kemasyarakatan, masyarakat bermimpi dapat mengelola untuk kesejahteraan mereka. Disamping itu, mereka juga tidak merasa was-was karena sebagain dari peladangan mereka berada dikawasan hutan lindung. Harapan ini terselip agar masyarakat memiliki legalitas yang sah dalam mengelola kawasan hutan, tapi dengan catatan ada aturan dalam pengelolaan tersebut, tidak sembarangan sehingga dapat berakibat fatal. Saat ini, masyarakat juga kesulitan dalam mencegah ataupun menindak pelaku penebangan liar yang ada hutan mereka, karena alasan mereka tidak memiliki legalitas dalam penindakan. Keinginan masyarakat ini seharunsya menjadi catatan penting bagi Pemerintah Daerah Kab. Pasaman Barat yang saat ini hanya memiliki tiga polisi hutan dalam menjaga kawasan hutan Pasaman Barat. Melalui legalitas hutan kemasyarakatan maka akan ada kerjasama antara Polisi Kehutanan dengan masyarakat dalam mencegah ataupun menindaklanjuti penebangan liar dikawasan hutan.

Semua jalan terus ditempuh, harapan masih terselip dibalik hutan kemasyarakatan Giri Maju. Lestarikan Hutan serta tingkatkan ekonomi rakyat. (*)

Page 9: Buletin Salingka alam khusus 2013

Opini

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru 6

POTENSI KONFLIK DIBALIK MP3EI, ANCAMAN KEDAULATAN MASYARAKAT ADAT

Oleh : First San Hendra Rivai

Spesialis Pembaharuan Hukum dan Kampanye Perkumpulan Qbar Koordinator Simpul Pemetaan Partisipatif Sumatera Barat

―...apapun yang akan terjadi, aku tak akan lari, apalagi bersembunyi, tak kan pernah terjadi. Air mata darah telah tumpah demi ambisi membangun negeri, kalaulah ini pengorbanan tentu bukan milik segelintir orang. Belum cukupkah semua ini, apakah tidak berarti.‖ (Untukmu Negeri, Iwan Fals) Konflik, MP3EI dan Masyarakat Adat Tanah, bukan sekedar identitas masyarakat adat. Tanah menjadi ruang hidup, ruang sosial, ruang religi serta ruang politik masyarakat adat. Tanpa tanah masyarakat adat hanyalah kumpulan orang hampa nilai. Hak ulayat muncul dari interaksi yang dibangun oleh masyarakat adat dengan tanah. Penulis melihat akan ada pemisahan dan pencerabutan masyarakat adat atas tanah mereka (tanah ulayat). Hak ulayat dengan semangat komunal akan tereduksi. Pemisahan dan pencerabutan itu diterjemahkan kedalam megaproyek yang saat ini berjalan yakni MP3EI. MP3EI secara gamblang dengan berbagai argumen investasi dan pembangunan membagi Indonesia kedalam 6 koridor ekonomi yakni Koridor Sumatera sebagai Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional; Koridor Jawa sebagai Pendorong Industri dan Jasa Nasional; Koridor Kalimantan sebagai Pusat Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional ; Koridor Bali-Nusa Tenggara sebagai Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional; serta Koridor Papua-Kepulauan Maluku sebagai Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional.

Megaprogram dan Megaproyek MP3EI terbagi dalam 8 program utama yakni; pertanian, pertambangan, energi, indutri, kelautan, pariwisata, telematika serta pengembangan kawasan strategis. Ekspansi proyek sesuai dengan koridor dan fokus kegiatan ekonomi menjadi serangan telak bagi kedaulatan masyarakat adat. Baik halus maupun kasar, tanah-tanah masyarakat adat dirampas. Pembukaan lahan pertambangan, perkebunan, atau eksplorasi sumber daya alam secara besar-besaran sesuai dengan proyek dan proyeksi MP3EI. Penulis berfikir bahwa perampasan tanah kedepan akan menjadi hal lumrah antara masyarakat dengan pemerintah. Konflik struktural akibat perebutan tanah semakin meluas. Akan ada jurang dalam antara terutama masyarakat adat sebagai penguasa dan pemilik tanah ulayat dengan Negara. Relasi antara masyarakat adat dengan Negara akhir-akhir kian hangat. Buktinya, Mahkamah Konstitusi memutuskan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Hutan Adat dinyatakan inskonstitusional. Semula, Hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat. Namun, penulis melihat kemunculan MP3EI malah mencederai relasi mulia ini. Kembali akan muncul resistensi masyarakat adat terhadap Negara karena negara/pemerintah serta hubungannya dengan pihak swasta berusaha merebut kembali ruang hidup masyarakat adat.

Ke halaman 5

Page 10: Buletin Salingka alam khusus 2013

Opini

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru 7

Penyusunan MP3EI bukan untuk mengganti dokumen perencanaan pembangunan yang telah ada seperti RPJPN dan RPJMN, namun akan menjadi dokumen yang teritegrasi dan komplementer, serta penting dan khusus untuk melakukan percepatan dan perluasaan pembangunan ekonomi. Sehingga, baagaimana pun perumusan RPJD dan RPJMD di daerah harus menjadikan MP3EI sebagai acuan dalam menintegrasikan pembangunan daerah dengan proyek MP3EI, sehingga kita heran, rata-rata dokumen RPJD dan RPJMD di Kabupaten/Kota lahir pada tahun 2011, setelah lahirnya dokumen MP3EI. Relasi Negara dengan masyarakat adat dalam konteks pembangunan sebenarnya mempunyai batu uji untuk melihat apakah relasi yang dibangun ini berjalan baik atau malah berpotensi konflik. Batu uji ini yang dikenal dengan Prinsip FPIC (Free, Prior, Informed, Consent). Prinsip ini tersebar di berbagai aturan mulai konvensi internasional hingga aturan daerah. Prinsip FPIC memberikan kebebasan kepada masyarakat adat untuk bebas memilih, memberikan persetujuan terhadap suatu kegiatan pembangunan yang berkibat pada tercerabutnya masyarakat adat terhadap tanahnya. Hak untuk diberikan informasi selengkap-selengkapnya tentang kegiatan tersebut. Diberikan hak prioritas dalam pemenuhan hak-hak asal usul mereka, serta kesepakatan yang harus lahir tanpa adanya tekanan. Prinsip ini yang sepertinya dilupakan atau berusaha dilupakan oleh Negara dalam proses pelaksanaan MP3EI. Karena, pasti negara kemudian memandang tidak gampang menerapkan prinsip ini dalam pembangunan. Semangat, pesismisme dan tidak mau repot ini penulis lihat menjadi cikal bakal hadirnya UU No. 2 Tahun 2012.

Dalam undang-undang ini jika tidak ada kesepakatan maka ganti rugi secara sepihak akan ditetapkan dan dititipkan ke Pengadilan Negari setempat.

Jika masyarakat tidak menerima, maka mau tidak mau gerakan penuntutan hak akan

meluas, konflik akan menyebar, disinilah kemudian tugas dari UU No. 7 Tahun 2012 tentang Pengendalian Konflik Sosial. TNI/Polri dengan sigap menangani masyarakat yang menolak pembangunan, yang berujung konflik, dengan ditetapkannya situasi konflik sosial. Semua, sudah dipersiapkan. Penolakan masyarakat batang terhadap rencana pembangunan PLTU Batang menjadi contoh konkret. Salah satu pembangunan yang masuk dalam skema MP3EI. Menurut LBH Semarang selaku kuasa hukum, ‖walaupun secara hukum dan HAM masyarakat ini mempunyai hak untuk keberatan tapi mereka dianggap oleh pemerintah sebagai masyarakat yang melawan pemerintah. Banyak nilai-nilai HAM dalam rencana pembangunan PLTU Batang yang diabaikan dan dilanggar, hal tersebut dapat dibuktikan bahwa adanya kriminalisasi terhadap sejumlah warga yang menolak. Dalam menangani kasus PLTU Batang, Polri dan TNI langsung menggunakan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri yang mengatur penanganan khusus terhadap konflik sosial yang sangat membahayakan situasi dalam negeri karena melibatkan TNI seperti di era

Orde Baru. “Jangan berlindung dalam Inpres No. 2 tahun 2013 karena di Batang ini tidak ada konflik”, tutup Wahyu Nanda Herawan, Staff LBH Semarang. (www.mongabay.co.id) (*).

Page 11: Buletin Salingka alam khusus 2013

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru 8

Galeri

Foto 1 : Semangat, sebelum berangkat pemetaan lapangan areal kawasan hutan kemasyarakat Kelompok Tani Maju Bersama Nagari Kajai, Pasaman Barat.

Foto 2 : Arahan dari perwakilan Dinas Kehutanan Prov. Sumbar tentang kawasan hutan kepada Kelompok Tani Maju Bersama, sebelum berangkat pemetaan.

Foto 3 : Senyum bahagia terpencar dari wajah Kelompok Tani Maju Bersama, saat pemetaan lokasi hutan kemasyarakatan, Nagari Kajai

Ke halaman 9

Page 12: Buletin Salingka alam khusus 2013

Galeri

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru 9

Foto 4 : Sosialisasi keberadaan hutan adat dan hutan kemasyarakatan bersama Pokja Timbalun dan Dinas Kehutanan Kab. Pasaman di Nagari Simpang.

Foto 5 : Fasilitator (Rivai Lubis) menerangkan alur perumusan rencana starategis Nagari Simpang dalam pengelolaan sumber daya alam.

Foto 6 : Diskusi kelompok yang terdiri dari perwakilan ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan pemuda membahas mengenai rencana kelola sumber daya alam Nagari Simpang.

Page 13: Buletin Salingka alam khusus 2013

Berita

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru 10

Kumpulan Berita Pilihan

Page 14: Buletin Salingka alam khusus 2013

Berita

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru 11

Kumpulan Berita Pilihan

Page 15: Buletin Salingka alam khusus 2013

Sudut Pandang

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru 12

Nagari dan Hutan Adat

Qbar-Polemik keberadaan hak atas hutan adat yang menghadapkan masyarakat hukum adat dengan negara akhirnya berujung di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 35/PUU-X/2012 men-yatakan bahwa hutan adat bukan lagi masuk dalam kawasan hutan negara melainkan ma-suk kedalam rezim hutan hak yang berada di wilayah territorial masyarakat hukum adat. Hal ini tentu berpengaruh dengan tata kelola hutan adat atas hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat, termasuk diwilayah Provinsi Sumatera Barat. Nagari secara normatif dalam Peraturan Daerah Prov. Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 menyatakan bahwa Nagari adalah Ke-satuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasar-kan filosofi ada Minangkabau (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. Artinya, keberadaan Nagari menjadi simbol ke-beradaan masyarakat hukum adat di Su-matera Barat. Dengan kata lain, Nagari memiliki hubungan erat terhadap peguasaan dan pemanfaatan Hutan Adat di Sumatera Barat yang rata-rata keberadaannya berada pada wilayah ulayat nagari sebuah Nagari. Perda No. 2 Tahun 2007, perda ini tidak hanya mengatur bahwa nagari adalah pemerintahan terendah, namun juga dalam pasal 16 mengatur mengenai kekeyaan nagari, juga mengatur mengeani kewenangan nagari dalam mengelola sumber daya alam yang di ulayatnya. Untuk konteks Sumbar tidak terlepas dari konteks pengelolaan ulayat.

Pengelolaan Ulayat di Sumbar jelas, bahwa ulayat dikelola secara komunal, turun temurun.

Terkait dengan praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat nagari, masyarakat dalam mengelola hutan sudah ada kesepakatan yang tekah dibentuk didalam masyarakat nagari. Seperti adanya asas kelayakan dan kepatutan Masyarakat sudah memiliki penentuan kawasan hutan berdasarkan hukum adat, seperti adanya hutan larangan, hutan simpanan, hutan kelola. Berdasarkan pengelolaan hutan sistem ulayat, dapat ditarik sebagai berikut : Bahwa pengelolaan hutan di sumbar

berbasis keadilan gender. Pengelolaan dilakukan secara komunal. Putusan MK terkait dengan hutan adat : Hutan adat yang semula berada di

kawasan hutan negara beralih menjadi hutan hak.

Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, artinya hak menguasai negara beralih ke masyarakat adat.

Pengakuan masyarakt hukum adat di akui melalui perda.

Hubungan Eksistensi Nagari dengan Putusan MK 35/2012 : Nagari diakui sebagai satuan masyarakat

hukum adat sebagai pengelola hutan adat Atau ada subjek hukum lai yang berhak

menjadi pengelola hutan adat. (*)

Ke halaman 13

Page 16: Buletin Salingka alam khusus 2013

Sudut Pandang

Salingka Alam Alam Takambang Jadi Guru 13

Skema Pengajuan Hutan Adat di Sumatera Barat

Ada beberapa hal yang harus dilakukan, karena proses pengakuan dan pengukuhan masyarakat hukum akan berimplikasi penuh terhadap peralihan hak penguasaan dari Negara ke masyarakat hukum adat. Untuk itu diperlukan beberapa tahapan dalam pengajuan hutan adat ke pemerintah daerah. Pemetaan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan wilayah adat, merupakan langkah awal dalam proses ini. Pemetaan awal dapat dilakukan melalui metode PRA (Partisipatif Rural Apraisal), yakni metode pendekatan pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat, dimana nantinya diharapkan masyarakat bisa menggali potensi-potensi yang ada di Nagari. kemudian, potensi-potensi tersebut fapat menjadi dokumen untuk nagari dalam mengelola dan memanfaatkan potensi tersebut untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat. Didalam PRA juga dilakukan riset potensi. Kegiatan ini dikoordinasikan dengan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, SKPD, DRPD serta Biro Hukum didaerah-daerah.

Setelah dilakukan PRA, pada tataran nagari harus terbangun kesepahaman bersama serta kesepakatan masyarakat untuk pengusulan hutan adat baik itu dalam tataran kaum, suku serta nagari sendiri. Setelah kesepakatan sudah didapat maka langkah berikutnya adalah menyusun strategi advokasi dan fasilitasi pengusulan hutan adat, langkah strategi ini seperti menyiapkan dokumen pengusulan hutan adat, yang diadalamnya terangkum mengenai profil nagari (sejarah, demografi, monografi, serta potensi nagari), peta wilayah (peta wilayah adat, kesepakatan dengan sepadan) , kelembagaan adat serta struktur adat, serta aturan-aturan lokal. Setelah semua dokumen telah siap, maka berdasarkan koordinasi dengan pemerintah provinsi, pemerintah daerah, SKPD, DPRD serta biro hukum maka diajukan kebijkan daerah tentang pengukuhan wilayah adat yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Pasca kebijakan sudah ada, maka yang perlu disusun adalah rencana pengelolaan hutan adat, pemenuhan syarat-syarat teknis pemanfaatan hutan guna proses pelepasan kawasan hutan. ketika itu semua selesai, kawasan sudah dilepaskan maka masyarakat secara legal dapat melalukan pegelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat. (*)

Page 17: Buletin Salingka alam khusus 2013