buletin random (iii) 2014

16
Edisi Dua Tahun 2014 DICARI PEMIMPIN? Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta KRITIS - AKTUAL - JUJUR - INDEPENDEN

Upload: lkm-unj

Post on 07-Apr-2016

217 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Dicari Pemimpin?

TRANSCRIPT

Page 1: Buletin random (iii) 2014

Edisi Dua Tahun 2014

DICARI PEMIMPIN?

Lembaga Kajian MahasiswaUniversitas Negeri Jakarta

KRITIS - AKTUAL - JUJUR - INDEPENDEN

Page 2: Buletin random (iii) 2014

2 Buletin Kaji Edisi II, 2014

2

2

DAFTAR ISI

Pembina: Irsyad RidhoPenanggungjawab: Muhammad KhambaliRedaksi: Muhammad Khambali, Rizki Pujianto, Rahmat Mustakim, Restu suci CKomik: Agus purnomoDesain layout: Annisa Dewanti Putri

Kritik dan Saran :Aang (083862104778)

Agus Purnomo (087887227391)

Tim Redaksi

Pendapat: Tipologi pemimpin politik, Silaturahmi wakil rakyat.

Cerpen: Dua Sen TujuhBelas Sou

Bang kaji: yang penting hepi

Esai: thukul

Sekretariat LKM UNJ Jl. Rawamangun Muka, KampusA UNJ, Gedung G, Ruang 305

@lkmunj

www.lkm-unj-blogspot.com

www.facebook.com/LembagaKajianMahasiswa

Kontak Kami

Sapa Redaksi

Salam, Selamat membaca

3

6

12

16

Page 3: Buletin random (iii) 2014

3

Apabila dulu politik dimaknai perlawanan terhadap

kuasa kolonial, maka zaman ini politik sering dikaitkan dengan penyelewengan kekuasaan oleh politikus melalui politik tikus. Yakni politik yang tidak berpihak pada rakyat, tetapi suguhan watak binatang rakus yang memakan kekayaan negara. Kasus seperti dinasti Ratu Atut di Banten menjadi gambaran politik tikus. Sebuah politik feodal lama dengan wajah baru dalam demokrasi kita.

Timbul kekhawatiran pemilu boleh jadi bukan ruang demokrasi bagi masyarakat. Tetapi lebih tepat panggung partai politik dalam memperebutkan kekuasaan politik. Sementara masyarakat kecil seolah sebagai penonton dalam panggung demokrasi tersebut. Dalam wawasan politik

yang minim, masyarakat kecil kita ibaratkan semata anak tangga untuk mereka naik panggung kekuasaan. Jika seperti itu pemimpin politik bangsa kita, maka politik seperti apa yang bisa kita harapkan?

Noccolo Machiavelli dalam The Princes (1957) membuat tipologi dua jenis pemimpin politik dalam mendapatkan kekuasaanya: atas kemampuan sendiri, dan atas pihak lain atau kekayaan. Pertama, pemimpin politik atas kemampuan sendiri dikatakan oleh Machiavelli berjuang dari bawah meniti karir politiknya, militan, dan memiliki karakter kepemimpinan yang kuat. Ia naik panggung karena rakyat mempercayai, atas dasar legitimasi rasional maupun karismatik.

Tipologi Pemimpin politikMuhammad Khambali

Di tahun 2014 ini banyak yang mengatakan sebagai tahun politik. Momen diadakannya hajat pemilihan umum. Tentu

saja dengan pengharapan ada perbaikan, ada perubahan lebih baik pada bangsa ini. Namun kita juga tidak menampik ada kegundahan mengenai hak pilih. Bagaimana tidak, sebagian

orang terlanjur menganggap politik itu buruk, pemilu itu hanya memilih orang-orang kotor.

PENDAPAT

Page 4: Buletin random (iii) 2014

4 Buletin Kaji Edisi II, 2014

Kedua, pemimpin politik atas pihak lain atau kekayaannya: Kepemimpinan diperoleh atas legitimasi tradisional. Dalam legitimasi ini pemimpin diterima karena kewibawaan dan rasa hormat kepada asal usulnya. Seringkali semata perpanjangan silsilah penguasa sebelumnya. Sementara kekayaan pun menjadi “mesin pencetak suara”. Resiko pemimpin politik semacam itu cenderung minim pengalaman, tidak karismatik, dan kepribadian memimpin yang kurang. Bagi Machiavelli, banyak pemimpin jenis ini akan kelimpungan ketika memimpin.

Sejarah kepemimpinan bangsa kita telah mencatat berbagai jenis kepemimpinan dalam tipologi Machiavelli tersebut. Sukarno dan SBY adalah pemimpin yang kita katakan sebagai pemimpin politik dengan legitimasi karismatik. Karisma Sukarno terletak dalam dirinya yang ahli retorika, sebagai “penyambung lidah rakyat”. Kita mengingat bagaimana pidato-pidato politiknya menggelorakan semangat rakyat di zamannya. Sedangkan SBY menjadi karismatik lewat selera figur pemimpin dalam masyarakat kita yang kental akan simbolisasi militer dan jawanisasi.

Sementara berturut-turut Suharto, Habibie, Gus Dur, dan

Megawati adalah gambaran pemimpin politik kita yang meraih kekuasaannya atas pihak lain. Entah berdasar asal usul pemimpin politik seperti Megawati karena putri seorang proklamator dan Gus Dur adalah cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Maupun melalui berbagai intrik politik “tangan-tangan tersembunyi” seperti ketika Suharto naik kepanggung kepemimpinan politiknya.

Tipologi dari Machiavelli tersebut kita gunakan untuk menilai para calon pemimpin politik dalam pemilu nanti. Apakah mereka orang-orang yang muncul sebagai tradisi kalangan tertentu, dari partai politik yang sudah mapan, dari kepemilikan media dan korporasi. Kita tentu tidak menantikan pemimpin politik yang nampak karismatik karena olahan media, atau pemimpin politik yang tenar menggandalkan asal-usulnya.

Berangkat dari hal tersebut, sepanjang tahun politik ini masyarakat harus kritis. Dituntut agar nalar tidak mati lemas dengan retorika pencintraan para calon pemimpin politik. Kita tidak memilih calon pemimpin yang “mendadak artis” sering muncul di berbagai media, tetapi yang merakyat jauh-jauh hari sebelum tahun politik ini. Masyarakat

Page 5: Buletin random (iii) 2014

5

merindukan figur pemimpin yang tak cukup punya karisma. Tetapi pemimpin yang bekerja mengurai penderitaan masyarakat demi mendapatkan legitimasi rasional.

Sudah pasti di tahun politik ini kita akan dijejali iklan politik di televisi, koran, pamflet, baliho-baliho yang besar di sudut-sudut keramaian. Kita akan sering disapa wajah-wajah tersenyum dengan slogan dan visi-misi. Berbagai iklan politik yang penuh makna estetisasi. Bagaimana iklan politik menjadi mesin reproduksi untuk mendulang suara masyarakat.

Tak salah untuk menyatakan kita perlu pengetahuan politik yang memadai. Menyadari saratnya kepentingan politis jelang pemilu. Seperti kemunculan bantuan sosial yang menjadi kampanye terselubung. Sementara memilih

Sumber: Lukisan

calon pemimpin politik yang nonggol di televisi bisa jadi sama halnya membeli sabun pemutih wajah atau pelangsing tubuh. Jangan sampai kita kecewa, karena tak ada perubahan setelah “membelinya”.

Page 6: Buletin random (iii) 2014

6 Buletin Kaji Edisi II, 2014

Kita sering melihat ketika lebaran tiba sebagian besar orang

berbondong-bondong mudik ke desa mereka masing-masing, tidak peduli berdiri semalaman ataupun terjebak kemacetan dalam perjalanan. Semua itu mereka lakukan hanya sekedar bisa melakukan silaturahmi dengan keluarga, sanak saudara, atau sahabat dekat. Kenyataan bahwa kunjungan merupakan sarana utama mempererat hubungan antar manusia dalam mewujudkan kepedulian adalah kenyataan yang tidak bisa ditampikan.

Bahkan ketika terjadi bencana, kita menyaksikan kedatangan para pejabat negara di sambut antusias oleh warganya. Ini saja sudah membuat warga bahagia dengan kedatangan para pejabat. Betapa pentingnnya jalinan silaturahmi dalam kehidupan kita guna membangun rasa harmonis dan semangat kesatuan sebagai anggota masyarakat. Bukan mempersoalkan kedatangan bantuan, namun mereka

menantikan silaturahmi para pejabat sebagai bentuk kepedulian.

Namun sering terjadi saat ini silaturahmi mereka selalu saja memiliki kepentingan politis, kedatangan mereka hanya pada jadwal skenario politik saja, misalnya pada saat kampanye mereka berbondong-bondong blusukan serta silaturahmi, berlagak mendengarkan beban rakyat dengan berdialog sambil diiringi penyebaran pamflet dan permohonan doa restu kepada rakyat.

Kita dapat merasakan berkumpul bersama wakil rakyat hanya pada moment tertentu dan momen itu sangat sakral menentukan maa depan nasib kita menjelang pemilu.

kita masih saja dibohongi silaturahmi para pejabat, terkadang kita merasa bosan dengan ulah para caleg, yang meninggalkan silaturahmi kepada rakyat, ketika mereka sudah menjabat. Kita tidak menginginkan silaturahmi lima tahun sekali mereka, tapi kita menginginkan kedatangan

Silaturahmi Wakil RakyatRizki Pujianto

ESAI

Page 7: Buletin random (iii) 2014

7

silaturahmi murni mereka sebagai wakil aspirasi rakyat.

Padahal dari kisah khalifah Umar Bin Khattab, sang pangeran pemimpin rela mengelilingi rumah warganya melihat apakah ada warga yang kelaparan, tentunya ini bisa menjadi kiblat bakal bagi para calon pemimpin.

Dengan mendekatkan diri pada rakyat, diharapkan para wakil rakyat dapat melihat secara objektif masalah yang dihadapi rakyat sebenarnnya, dengan berdialog, bertukar pikiran, dan saling berpendapat dalam sebuah ruang, secara sering melalui silaturahmi serta blusukan. Dengan ini kita dapat menjembatani jurang pemisah antara kita sebagai rakyat dan mereka para pejabat.

Jika semua pejabat melakukan konsep silaturahmi dan blusukan, mereka telah membuat konsep simbiosis mutalisme dengan rakyat bukan simbiosis parasitisme yang merugikan rakyat. Sekaligus menjadi ide kreatif bagi para pejabat untuk mengenali lebih dekat kondisi rakyat, bukan mengasingkan rakyat.

:Lukisan, Sumber

Page 8: Buletin random (iii) 2014

8 Buletin Kaji Edisi II, 2014

Namun paling tidak, ia mengimbuhkan sebuah nota yang layak diperhatikan.

Dan lanjut GM, seorang Thukul menunjuk pada sejilid teks yang lengkap sekalipun selalu meninggalkan satu-dua perkara yang masih merundungnya.

*Kisahnya begitu memilu. Ketika –pada masa pelariannya– ia dikejar-kejar serdadu. Gara-gara melawan penguasa (rezim Soeharto, baca: Orde Baru) yang sejak itu berkeadaan terpontang-panting. Ingin segera tumbang. Di mana, inflasi terjadi: merosotnya nilai uang (kertas) karena peredarannya terlalu berlebih. Harga barang seketika naik, para ibu menjerit. Kurs mengamuk: Dollar merangkak menuju langit, sedang Rupiah urung mau melejit.

Biarpun pelo, bila penyair yang bertubuh kerempeng ini berdeklamasi atas sajaknya di tengah masyarakat, seperti penghasut bicaranya. Maka Thukul dicap berbahaya, lalu ditenggelamkan. Dan sampai kini, tak ada siapa pun mengetahui pasti: akan keberadaan genangan air itu.

Sajak-sajak Thukul dianggap radikal, bahkan sampai ia dikatakan: membenci Orde Baru.

*Tempo mencatat, bermulakan dari kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Medan, Juni 1996. Yakni upaya pendongkelan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umumnya. Di mana, pada akhirnya terjadi kerusuhan –Soerjadi merebut kantor PDI di Jalan Diponegoro, Menteng,

THUKULRahmat Mustakim

Wiji Thukul (bernama asli: Widji Widodo) adalah penyair dalam palung. Namanya tak begitu mentereng di mahaluasnya laut

kesusastraan kita. Ia makhluk tiada dangkal dekat tepi daratan. Bahkan pula, catatan kaki. Bukan judul atau tokoh di tengah

halaman. Begitu pikir Goenawan Mohamad (GM). Dalam “caping” majalah Tempo –edisi khusus, bulan Mei 2013 silam.

ESAI

Page 9: Buletin random (iii) 2014

9

(sehingga terjadi dualisme kepemimpinan). Disebutlah Partai Rakyat Demokratik (PRD) jadi dalang di balik kerusuhan tersebut. Thukul yang semenjak itu menjabat ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) di Solo, dinyatakan sebagai daftar orang paling dicari. Sebabnya karena Jaker adalah badan yang kerap merapat ke PRD. Istilahnya, “tangan kanannya”.

Dari situ, kepolisian segera bergerak mendatangi kediaman Thukul di Solo. Namun ia cerdik. Berdalih temannya Thukul yang bertamu ke rumah, para polisi itu percaya. Upaya membekuk Thukul pun sia-sia. Ia mengelabui para polisi dengan keinginannya pergi ke warung – sejenak. Kemudian Thukul berlari. Dibantu rekan prodemokrasinya, ia bersembunyi di banyak tempat: Salatiga, Yogyakarta, Magelang, Jakarta sampai pulau Kalimantan. Thukul berpindah-pindah ke banyak tempat tersebut dengan cara menyamar.

“Ruangan/rumah yang ia datangi/tempati mesti memiliki akses keluar alternatif untuk melarikan diri. Saat tinggal sendirian di rumah persembunyian, ia akan mematikan listrik dan air, berdiam diri di kamar, sehingga mengesankan tak ada orang di rumah itu.” (halaman 109)

Dalam masa getir itu, Thukul tetap menulis sajak. Walhasil, barisan kata-kata yang terdengar adalah suara represi. Salah satu ciri khas sastra Indonesia –pasca kemerdekaan. Jauh dari saat ini: kata-kata yang terdengar adalah suara anggur dan rembulan. Padahal mereka tuna wicara, bukankah begitu, Rendra?Upaya keras Tempo berlanjut –selain memperbincangkannya– sampai pada sajak-sajak dari masa pelarian Thukul berhasil dikumpul, lalu dibukukan kecil. Di bawah judul: Para Jenderal Marah-Marah. Yang sajak-sajaknya terbagi menjadi tiga bagian: (1) Puisi Pelarian, (2) Puisi Jawa, dan (3) Puisi Lepas. Berikut ini salah satu sajak Thukul dalam part Puisi Pelarian yang diperuntukkan kepada anak sulung perempuannya, bernama Wani:

WANI, BAPAKMU HARUS PERGI

Wani,bapakmu harus pergikalau teman-temanmu tanyakenapa bapakmu dicari-cari polisijawab saja:“karena bapakku orang berani”

kalau nanti ibu didatangi polisi lagimenangislah sekuatmubiar tetangga kanan kiri datangdan mengira ada pencuri

Page 10: Buletin random (iii) 2014

10 Buletin Kaji Edisi II, 2014

"Bagaimanapun, upaya menulis sajak tak bisa terlepas dari membaca sajak

orang lain, terlebih dahulu."

masuk rumah kita.

Para Jenderal Marah-Marah setidaknya memberi gambaran sekilas akan bagaimana rupa dari sajak Thukul. Buku kecil tersebut juga coba untuk melengkapi berbagai antologi puisi Thukul yang sudah terbit. Seperti misal, Puisi Pelo dan Darman dan Lain-lain (keduanya diterbitkan Taman Budaya Surakarta, 1984); Mencari Tanah Lapang (Manus Amici, Belanda, 1994); serta Aku Ingin Jadi Peluru (Indonesia Tera, 2000). Dengan begitu, Tempo sudah bersikeras dalam upayanya menghimpun ketika sebuah judul ditulis: Sajak-sajak Thukul yang Tercerai Berai.

Kumpulan sajak Thukul, seperti halnya diary. Entah dalam Puisi Pelarian, Puisi Jawa –yang sepenuhnya tertulis dengan memakai bahasa Jawa (bukan simbol-simbol honocoroko)– atau Puisi Lepas. Menggambarkan atas situasi yang mencekam.

Hemat saya, situasinya mirip pembantaian massal (orang-orang yang diduga simpatisan PKI) pada tahun 1965-1966. PRD selaiknya berkiblat kiri: Marxisme-Leninisme.

Sehingga mereka (orang-orang yang diduga simpatisan PRD), banyak diculik dan masih tak ditemukan sampai kini. Sedikitnya ada 12 orang tercatat oleh Tempo, selain Thukul.

*

Thukul dikenal, barangkali, karena terdapat suatu kalimat dalam sajaknya berjudul Peringatan, tulisnya pada 1986. Yang tenarnya dapat disamakan dengan “Aku Ini Binatang Jalang” dalam sajak Aku, kepunyaan penyair Chairil Anwar. Tapi sebetulnya, ia meminjam kalimat itu dari Pardi, kawan senior Thukul di teater Jagat –tempatnya berkesenian. Beber Tempo:

“Puisi Pardi itu berjudul Sumpah Bambu Runcing. Pada sajak Pardi, kalimat Hanya satu kata: lawan,

yang digunakan untuk sebuah sajak mengenai

perjuangan melawan Belanda, oleh Thukul diambil untuk perjuangan buruh.” (halaman 92)

Namun Pardi tak mesti resah. Ucapnya: sebagai sesama seniman, kami saling mempengaruhi, itu wajar. Hal demikian memang benar. Bagaimanapun, upaya

Page 11: Buletin random (iii) 2014

11

menulis sajak tak bisa terlepas dari membaca sajak orang lain, terlebih dahulu.

Saya menilai, sajak-sajak Thukul adalah bening. Serupa terjaganya air dalam gentong. Jernih, mengisahkan secara jujur keadaan yang riskan ketika ia berlari sana-sini. Ia tak menampilkan diksi cukup puitis. Itu karena, Thukul hidup dalam jeratan rantai kemiskinan, jauh dari istilah: “kemanjaan”. Seperti kehidupan manusia-manusia di era modernisme sekarang ini.

*

Kita haruslah bersyukur, sudah hidup dalam kerangkeng Orde Reformasi. Tak bisa terbayang mungkin. Bilamana kita memasang foto Bung Karno di kamar hanya karena parasnya tampan. Tiba-tiba aparat datang, lalu menyeret kita keluar rumah untuk memberhentikan secara paksa: nafas kita.

Sejarah kita pun sudah kelam. Tapi apapun keadaannya, ia (sejarah) adalah cerminan. Dalam tujuan: melihat sisi maya kita saat ini: siapa kita, bagaimana kita? Selebihnya, saya utarakan –seandainya masih kecil– suatu keinginan padamu, Thukul. Begitu ketika puisi berteriak:

HANYA SATU KATA: LAWAN! :Wiji Thukul

Kalau saja di tahun-tahun pelarianmu,masa kanak-kanakku sudah mengerti arti kemanusiaandan ayah tak melarangku menonton TV di rumahyang memuat berita kerusuhan

maka aku ingin bertemu denganmu, di kamarku yang gelapkita menulis sajak bersama, tanpa peduliorang-orang di sana: mencari-cari kita berada di mana: yang dianggap (r)awan! Ah tidak, kau ‘kan pelo.

Ditulis: 31 Januari 2014

:Lukisan, Sumber

Page 12: Buletin random (iii) 2014

12 Buletin Kaji Edisi II, 2014

Dua Sen Tujuh Belas Sou

Hari telah larut, kedinginan kota tak bisa membuatnya terlelap. Lelaki tua bertubuh

pendek dan bongkok itu masih saja berdoa di sebuah altar berbalut kain putih yang menguning persis di samping tempat tidurnya yang reot. Tak jauh dari situ, ada perapian yang menghangatkan.

Tuan Marius, begitu ia dikenal. Ia terkenal taat oleh warga sekitar. Raut mukanya yang memelas memperlihatkan bagaimana ia khusuk berdoa. Lebih dari taat, ia bahkan seorang pria suci yang dikagumi orang, tak banyak yang sepertinya di negeri yang carut marut ini.

Ia tinggal bersama dengan seorang anak angkat perempuan berusia 12 tahun dan seorang budak, bernama Nyonya Madelaine di sebuah rumah di sebelah Katedral tua. Budak perempuan bermata biru ini masih perawan diusianya 43 tahun. Entah apa alasannya. Padahal ia cantik meski terlihat sedikit pucat. Parasnya cukup jadi pemikat lelaki bila ia ingin.

Tuan Marius adalah uskup kota Portlier. Sebuah kota kecil bila dibanding dengan kemegahan Roma. Bahkan sangat kecil dan miskin. Hari-hari Tuan Marius dilalui dengan melayani jamaat. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang miskin. Terlalu banyak

Restu Suci Cahyaningrum

:Lukisan, Sumber

Page 13: Buletin random (iii) 2014

13

yang ia bantu. Padahal, dirinya sendiri tak punya cukup uang. Gaji sebagai uskup tidak seberapa, ia hanya dapat 3 sen setiap bulan belum dipotong untuk pajak, habis untuk donasi.

“Tuan! Mau sampai kapan Anda terus berikan lebih dari setengah gaji Anda untuk mereka kaum miskin?”, ujar Nyonya Madelaine yang tiba-tiba masuk kamar Tuan Marius yang terbuka.

“Kita sudah tidak punya uang sekarang! Tuan, kita juga sudah tidak memiliki bahan makanan!”, tambahnya.

Kedatangan Nyonya Madelaine membuat Tuan Marius terkejut sampai menghentikan doanya. Tanpa bicara, ia berjalan melewati dua ruang kosong yang hanya difungsikan untuk menampung gelandang yang tidak memiliki tempat tinggal menuju ruang ruang makan di lantai bawah. Ia duduk di kursi goyangnya sambil memandangi lukisan Bunda Maria. Sejenak ia terlihat merenung sambil sesekali mengucap syukur. Sedang, Nyonya Madelaine terus berkeluh kesah seakan protes atas kedermawanan sang Uskup.

“Bagaimana saya bisa menyajikan makanan yang layak untuk Tuan? Bagaimana Anda bisa makan sup di kala malam dingin. Bagaimana Anda bisa menikmati keju dengan

segelas anggur merah yang semua tak pernah Anda nikmati sebelumnya, selama hidup Anda?”, tanya Nyonya Madelaine sambil menyalakan perapian.

Ya Tuan! Anda terlalu baik. Anda satu-satunya orang suci yang saya temui. Bagimana bisa mereka menggaji Anda dengan 2 sen 17 sou. Mereka potong gaji Anda dengan dalih pajak tinggi, tapi mereka beri Anda tanggung jawab untuk menyejahterahkan orang-orang Portlier?”, ujarnya dengan kesal.

Tuan Marius tak bergeming. Ia masih menutup mulutnya. Raut mukanya memperlihatkan jika ia tak memperdulikan segala ucapan Nyonya Madelaine. Ia pun tak terlihat kesal ketika disinggung soal gaji yang dipotong. Sikapnya itu mengkhawatirkan Madelaine.

“Tuan, Anda mendengarkan saya?”, tungkas perempuan itu dengan nada cemas.

“Tuan, Anda dengar saya?”, ia mengulangi dua kali lagi.

“Ya Madelaine, jawab Uskup dengan senyum.

“Saya ini uskup, tugas saya adalah melayani mereka, tentu saya bantu mereka dengan segala yang saya miliki. Tuhan berkati kita”, tambahnya.

Page 14: Buletin random (iii) 2014

14 Buletin Kaji Edisi II, 2014

Seperti biasa, perkataannya itu adalah jawaban yang selalu ia dipertahankan. Madelaine hafal betul. Sebenarnya, Madelaine tidak ingin mengeluh. Ia sendiri tak tega melihat kondisi Uskup setiap kali ia dapat gaji dengan potongan besar. Padahal, ia sudah lakukan banyak untuk mereka; kaum yang seharusnya diurusi negara. Madelaine tidak terima dengan ketidakadilan ini. Ia merasa, Uskup pantas dapatkan lebih. Bahkan jabatan uskup yang disandangnya selama 25 tahun juga tak jadi pertimbangan besaran gaji yang ia dapat. Sedang di pusat kota sana, mereka berfoya.

“Tuan, Anda harus kirim surat ke Walikota!”, seru Nyonya Madelaine dengan antusias.

Belakangan ia mendesak Tuan Marius menghadap Walikota. Namun, usulannya tidak pernah didengar Uskup. Sebenarnya setiap dua bulan, Uskup lakukan kunjungan ke kota, tapi ia tidak pernah gunakan untuk bertemu Tuan Digne, Walikota Portlier yang terkenal tamak.

“Anda harus kirim surat Tuan! Jika, gaji Anda terus dipotong, Anda tidak bisa lagi menolong orang-orang Portlier yang kelaparan”, kata perempuan dengan penuh harap usulnya akan dilakukan Uskup suci itu.

Malam itu, seakan malam yang panjang bagi Uskup. Jarum jam menunjuk ke angka 11. Suasana sepi sekali. Hanya sesekali ada suara cetukan api di perapian bersama demonstrasi Nyonya Madelain yang sedikit diabaikan Uskup. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang seketika menyumbat mulut Madelaine berbicara.

“Tuan Marius buka pintunya!”, kata seorang lelaki teriak dari luar rumah.

“Tuan, tolong buka pintunya,” ia mengulangi sekali lagi dengan nafas tersengal.

Uskup bergegas lari membukakan pintu. Nyonya Madelaine yang mengikuti di belakangnya, terlihat waspada dengan kedatangan orang di malam hari. Ia bersiap dengan sapu di tangan kirinya.

“Tuan, aku lapar. Aku tidak punya uang. Sudah dua hari aku perutku tidak terisi. Aku sudah berjalan jauh, namun tak ada seorang pun yang memberi makanan. Tolong Tuan Uskup berhati mulia, berikan aku semangkuk nasi dan sup

Page 15: Buletin random (iii) 2014

15

hangat”, ungkap lelaki malang itu sambil berlutut memegangi perutnya yang kecil dengan tangan kananya sedangkan tangan kirinya menopang badannya yang lemas, ada koran yang terjepit di sela jari tengah dan manis.

Kejadian tersebut bukanlah yang pertama bagi Uskup dan Madelaine. Rumah mereka memang sering dijambangi orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Sang Uskup segera mempersilakan lelaki itu masuk dan duduk di meja makan bersamanya. Kemudian, Tuan Marius meminta Madelaine memasakkan sup untuk lelaki itu.

“Ta...ta...tapi Tuan... Kita sudah tidak punya bahan makanan. Sup yang ada hanya untuk Tuan esok hari. Jika kita berikan sup itu untuknya, besok Tuan tidak makan”, jawab Madelaine.

Nyonya Madelaine sepintas membaca koran yang dibawa lelaki itu. Di halaman depan dengan huruf kapital tertulis jika berita Tuan Digne sedang membangun sebuah istana kediamannya bersama

Nyonya Louise.

“Lihat berita ini Tuan! Pajak yang mereka dapat, mereka gunakan untuk membangun istana, dengan bangunan berlapis emas di dalamnya kamar tidur berisi ranjang mewah dan empuk”, jelas Madelaine.

“Yaaa...sekarang waktunya Anda segera temui Walikota. Atau tidak, kirimkan surat untuknya. Katakan Anda minta pertambahan uang”, ungkapnya sambil menuangkan minuman hangat untuk tamunya.

Kali ini Madelaine terus mendesak. Ia terus meyakinkan Uskup kalau dirinya berhak dapat gaji lebih. Gaji itu bukan hanya untuk hidupnya tapi juga untuk hidup orang lain. Potongan pajak yang tinggi sungguh membuat Madelaine geram. Pada akhirnya, Uskup pun luluh. Ia menuruti permintaan Madelaine untuk menemui Tuan Digne.

“Kau masak saja sup nya! Biarlah besok aku sarapan dengan segelas susu dari sapi kita dan sepotong

“Anda harus kirim surat Tuan! Jika, gaji Anda terus dipotong, Anda tidak bisa lagi menolong orang-

orang Portlier yang kelaparan”, kata perempuan dengan penuh harap

Page 16: Buletin random (iii) 2014

16 Buletin Kaji Edisi II, 2014

Agus Purnomo

"Hati Senang, Walaupun Kuliah Ngulang...woo.."

-Koes Minoes-

Yang penting hepi