bulet in hukum 10020508

Upload: masiroel

Post on 30-Oct-2015

188 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Law Journal

TRANSCRIPT

  • Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi

    Kriminalisasi Kebijakan dan Keuangan Negara

    Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi

    (Tinjauan Yuridis Atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara)

    Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia

    Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari

    Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak Dan Gas Bumi

    Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei Agustus 2012

    Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei Agustus 2012

    HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

    BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

  • Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia

    PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

    Penanggung JawabAhmad Fuad, Christina Sani, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe

    Pemimpin RedaksiLibraliana Badilangoe

    Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi

    Dewan RedaksiImam Subarkah, Sukarelawati Permana, Amsal C. Appy, Rosalia Suci,

    Arief R. Permana, Hari Sugeng Raharjo, Endang R. Budi Astuti

    Redaksi PelaksanaAgus Susanto Pratomo, Ellia Syahrini, Kesumawati, Kuwat Wijayanto,

    Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja

    Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM

    Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH

    Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,

    Departemen Hukum Bank Indonesia

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

    Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DepartemenStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]

    Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

    Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan

    publikasi, kemudian pilih publikasi

  • Halaman ini sengaja dikosongkan

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10 Nomor 2, Edisi Mei s.d Agustus 2012 kembali hadir

    ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya.

    Topik utama Buletin menyoroti mengenai Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi, yang ditulis oleh Dr. Tini

    Kustini, SH. Mediasi merupakan salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang dapat menyelesaikan

    permasalahan dengan damai, cepat, murah, memuaskan tanpa mengurangi rasa keadilan dan kewajaran dan tentunya

    perikemanusiaan.

    Selain topik utama diatas dalam edisi kali ini Buletin juga menurunkan 4 artikel lainnya, yaitu :

    1. Kriminalisasi Kebijakan dan Keuangan Negara oleh Prof. Hikmahanto Juwana SH. PhD.

    2. Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Yuridis Atas Undang-Undang

    No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara) oleh Soehirman, SH., MS.

    3. Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia oleh Fred B.G. Tumbuan,

    4. Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari Penerimaan

    Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak Dan Gas Bumi oleh Indrawati, SH., LL.M

    Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan

    memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Mei sampai

    dengan Agustus 2012, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin

    mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

    Selamat membaca.

    Jakarta, Agustus 2012

    Redaksi

    i

    DARI MEJA REDAKSI

  • Halaman ini sengaja dikosongkan

  • Halaman

    Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i

    Daftar Isi................................................................................................................................................. iii

    Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi ...................................................................................... 1 - 13

    Dr. Tini Kustini, SH, (Analis Bank Madya Senior), Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan,

    Bank Indonesia

    Kriminalisasi Kebijakan dan Keuangan Negara......................................................................................... 15 - 19Prof. Hikmahanto Juwana SH. PhD, Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UI.,

    Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia

    Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi

    (Tinjauan Yuridis Atas Undang-Undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara) .......................... 21 - 28

    Soehirman, SH., MS, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga

    Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia ................................................................................. 29 - 37

    Fred B.G. Tumbuan, Pengacara Senior

    Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara

    Yang Bersumber Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak Dan Gas Bumi........................ 39 - 54

    Indrawati, SH., LL.M, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga

    Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Agustus 2012.............. 55 - 57

    Tim Informasi Hukum

    (Departemen Hukum, Bank Indonesia)

    Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Agustus 2012........ 59 - 86

    Tim Informasi Hukum

    (Departemen Hukum Bank Indonesia)

    BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

    VOLUME 10, NOMOR 2, MEI AGUSTUS 2012

    iii

  • Halaman ini sengaja dikosongkan

  • I. PENDAHULUAN

    Hukum Perdata mengatur mengenai hubungan

    hukum antara para pihak yang timbul antara lain dari

    suatu perjanjian. Perjanjian bertujuan untuk mengatur

    hubungan hukum dan melahirkan seperangkat hak

    dan kewajiban diantara para pihak, sehingga hanya

    mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian.

    Dengan adanya suatu perjanjian, maka terdapat suatu

    fakta hukum bahwa terdapat hubungan hukum antara

    para pihak, misalnya bank dengan nasabahnya, dan

    apabila terjadi sengketa maka dapat diselesaikan

    sesuai dengan perjanjian atau hukum yang berlaku.

    Penyelesaian sengketa perdata sepenuhnya diserahkan

    kepada kehendak masing-masing pihak, yaitu dapat

    dilaksanakan di pengadilan (court system) atau di luar

    pengadilan (out of court system). Salah satu cara

    penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan

    adalah mediasi.

    Mediasi merupakan salah satu bentuk dari Alternatif

    Penyelesaian Sengketa (APS). Masyarakat internasional

    (sipil atau publik)1 menghendaki setiap sengketa dan

    ketidaksepahaman diselesaikan dengan damai, cepat,

    murah, memuaskan tanpa mengurangi rasa keadilan

    dan kewajaran dan tentunya perikemanusiaan.2

    Hal ini berkaitan dengan adanya reformasi di bidang

    hukum, salah satu yang berkembang adalah

    restorative justice sebagai langkah pembaharuan di

    bidang peradilan informal, pembaharuan hak korban

    dan ganti rugi. Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan

    menganjurkan pendayagunaan konsep restorative

    justice secara lebih luas dalam sistem peradilan tidak

    hanya terkait peradilan perdata namun diperluas ke

    peradilan pidana,3 yang menekankan penyelesaian

    masalah melalui mekanisme di luar pengadilan (out

    of court system). Prinsip dasar dari restorative justice

    adalah keadilan dengan memperbaiki pihak yang

    dirugikan dan para pihak diberi kesempatan untuk

    berpartisipasi dalam penyelesaian sengketa dan

    membuat segalanya baik (making things right).

    Di berbagai negara telah terjadi pergeseran konsep

    keadilan dalam penyelesaian perkara dari keadilan

    atas dasar pembalasan menjadi keadilan dalam

    bentuk kebenaran dan rekonsiliasi yang mengarah

    pada keadilan yang menekankan pada kepentingan

    1

    PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MELALUI MEDIASI

    Oleh : Dr. Tini Kustini, SH,*

    Abstrak

    Penyelesaian sengketa perdata sepenuhnya diserahkan kepada kehendak masing-masing pihak, yaitu dapat

    dilaksanakan di pengadilan (court system) atau di luar pengadilan (out of court system).

    Salah satu cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan adalah mediasi. Mediasi melibatkan pihak

    ketiga yang netral yang akan bertindak untuk menghubungkan para pihak.

    Key words : mediasi, Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), wanprestasi

    * Analis Bank Madya Senior, Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia

    1 Lihat Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

    2 Prof. DR. H. Priyatna Abdurrasyid, SH, PhD, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Fikahati Aneska, Jakarta, 2009, hlm.iii.

    3 Lihat United Nation Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters.

  • penyembuhan bagi pihak yang dirugikan. Restorative

    justice merupakan suatu paradigma pergeseran atau

    perubahan dalam peradilan (shift in justice).

    Alternatif Penyelesaian Sengketa berada pada jalur

    doktrin yang baku, yakni pertama: doktrin

    internasionalisme, bahwa dimanapun di dunia, filsafat,

    prinsip, aturan dan kebiasaan APS dapat dikatakan

    sama dan sebangun; kedua: doktrin universal, yakni

    sengketa/ketidaksepahaman bentuk apapun, apakah

    yang sipil/perdata maupun publik dapat diselesaikan

    melalui APS. Artinya sengketa/selisih di bidang publik

    dapat pula diselesaikan melalui APS, misalnya Prof.

    Dr. Mochtar Kusumaatmadja SH, LL.M pernah

    diangkat oleh para pihak anggota PBB menyelesaikan

    sengketa perbatasan Iraq dan Kuwait. Selanjutnya,

    Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, SH, PhD pernah

    dipilih dan diangkat oleh para pihak sebagai arbiter

    tunggal penyelesaian sengketa antara RRC - Indonesia

    dalam sengketa Slot Satelit di orbit geostasioner.4

    Penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi akan

    dibahas melalui bagan alur sebagai berikut:

    2

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    4 Ibid, hlm.iii iv.

    Putusan Pengadilan (Akte van Dading), Perjanjian Perdamaianmemiliki kekuatan eksekutorial

    Tidak TercapaiTidak Tercapai

    HUKUM PERDATA

    PERJANJIAN

    SENGKETA

    COURT SYSTEM OUT OF COURT SYSTEM

    PERADILAN APS

    MEDIASI *) MEDIASI

    WANPRESTASI

    Wanprestasi

    Pemeriksaan Pokok Perkara

    Putusan Pengadilan

    Dapat dilakukan Upaya Hukum

    Perjanjian Perdamaian(Final and Binding)

    Putusan Pengadilan (Akte van Dading)

    memiliki kekuatan eksekutorial

    Perjanjian Perdamaian(Final and Binding)

    Tidak daftar di Pengadilan

    ArbitrasePengadilan (Gugatan)

    MEDIASI *)

    Gugatan

    Tercapai Tercapai

    FINALTidak dapat dilakukan

    Upaya Hukum

    Daftar di Pengadilan

    FINALTidak dapat dilakukan

    Upaya Hukum

    = Perjanjian PerdamaianTidak memiliki kekuatan

    eksekutorial

    Gugatan ke pengadilan a/d Wanprestasi Perjanjian

    Perdamaian

  • II. PERJANJIAN

    Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana

    satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

    satu orang lain atau lebih.5 Dalam suatu perjanjian

    tercipta hubungan hukum antara dua orang.6 Artinya,

    perjanjian merupakan suatu perhubungan hukum

    antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji

    atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal

    atau untuk tidak melakukan sesuatu hal yang disebut

    dengan debitur7, sedang pihak lain berhak menuntut

    pelaksanaan janji itu yang disebut dengan kreditur.8

    Artinya, perjanjian merupakan perbuatan untuk

    memperoleh seperangkat hak dan kewajiban, yaitu

    akibat-akibat hukum yang merupaka konsekuensinya.9

    Perjanjian yang bertujuan untuk mengatur hubungan

    hukum dan melahirkan seperangkat hak dan

    kewajiban diantara para pihak, sehingga hanya

    mengikat para pihak yang mengadakan kesepakatan,10

    mengakibatkan semua perjanjian yang dibuat secara

    sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak

    yang membuatnya.11

    Kehendak para pihak merupakan faktor utama untuk

    terjadinya perjanjian, tanpa adanya kehendak, tidak

    mungkin tercipta perjanjian. Suatu perjanjian sudah

    dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan atau

    suatu perjanjian pada hakikatnya sudah dianggap

    terjadi dengan adanya persetujuan (konsensus) dari

    para pihak12 atau perjanjian sudah dilahirkan dan

    mengikat pada saat atau detik tercapainya

    konsensus.13 Para pihak wajib melaksanakan perjanjian

    dan tidak dibenarkan untuk membatalkan atau

    mengakhiri perjanjian tanpa persetujuan kedua belah

    pihak atau tanpa alasan yang dibenarkan oleh Undang-

    Undang.14

    Perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi empat

    syarat, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan

    dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

    (3) suatu hal yang tertentu; (4) suatu sebab yang

    halal.15 Tidak terpenuhinya syarat perjanjian16 akan

    membuat perjanjian itu menjadi tidak sah, yaitu syarat

    nomor satu dan dua merupakan syarat subyektif

    karena mengenai subyek yang mengadakan perjanjian,

    sedangkan syarat nomor tiga dan empat merupakan

    syarat obyektif karena mengenai obyek perjanjian.

    Dalam hal syarat obyektif tidak terpenuhi, maka

    perjanjian batal demi hukum (nul and void), artinya

    secara hukum sejak awal atau dari semula dianggap

    tidak pernah dilahirkan atau ada suatu perjanjian.

    Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian

    tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum

    adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar

    untuk saling menuntut di depan hakim atau dikatakan

    bahwa perjanjian itu null and void.

    Dalam hal salah satu atau kedua syarat subyektif

    tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan

    pembatalan oleh salah satu pihak. Salah satu pihak

    mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian

    dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat menuntut

    pembatalan kepada hakim melalui pengadilan. Pihak

    yang dapat meminta pembatalan perjanjian adalah

    pihak yang tidak cakap atau pihak yang tidak bebas

    dalam memberikan sepakatnya. Akibatnya perjanjian

    yang telah dibuat tetap mengikat selama tidak

    dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang

    Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    3

    14 Lihat Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata.

    15 Lihat Pasal 1320 KUHPerdata.

    16 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan IV, Intermasa, Jakarta, 1979, hlm.17. Lihat pula Prof. Ahmad Miru, SH, MS, dan Sakka Pati, SH, MH, Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Cetakan ke-3, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.67.

    5 Lihat Pasal 1313 KUHPerdata.

    6 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IX, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm.161.

    7 Ibid, hlm.13.

    8 Ibid, hlm.13.

    9 Dikutip pada http://legalakses.com/perjanjian/ (12 Januari 2012).

    10 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas ... Op.Cit., hlm.9.

    11 Lihat Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

    12 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas ... Op.Cit., hlm.164.

    13 Prof. R. Subekti, SH, Aneka Perjanjian, cetakan kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm.3.

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    berhak meminta pembatalan. Perjanjian ini dinamakan

    voidable atau vernietigbaar.

    III.SENGKETA PERDATA

    Perjanjian yang telah disepakati mengakibatkan

    terikatnya para pihak, oleh karenanya para pihak

    mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi

    sesuai dengan perjanjian. Namun, dalam

    pelaksanaannya ada kemungkinan terjadi sengketa

    yang pada akhirnya akan mempengaruhi tujuan

    perjanjian.

    Apakah sengketa itu dan mengapa terjadi sengketa?

    Sengketa adalah perbedaan pendapat yang telah

    mengemuka. Sengketa adalah perselisihan atau

    perbedaan pendapat (persepsi) yang terjadi antara

    dua pihak atau lebih karena adanya pertentangan

    kepentingan yang berdampak pada terganggunya

    pencapaian tujuan yang diinginkan oleh para pihak.17

    Pemicu sengketa adalah (1) kesalahan pemahaman;

    (2) perbedaan penafsiran; (3) ketidak jelasan

    penafsiran; (4) ketidak puasan; (5) ketersinggungan;

    (6) kecurigaan; (7) tindakan tidak patut, curang dan

    tidak jujur; (8) kesewenang-wenangan, ketidak adilan;

    dan (9) terjadi keadaan yang tidak terduga.

    Sengketa dalam bahasa Inggris adalah dispute yang

    mempunyai pengertian menurut Blacks Law

    Dictionary adalah:18

    Dispute is a conflict or controversy; a conflict of

    claims or right; an assertion of a right, claim, or

    demand on one side, met by contrary claims or

    allegations on the other. The subject of litigation;

    the matter for which a suit is brought and upon

    which issue is joined, and in relation to which jurors

    are called and witnesses examined.

    Sengketa dapat diselesaikan melalui jalur litigasi atau

    non litigasi yaitu APS. Pilihan cara penyelesaian

    sengketa melalui jalur litigasi akan menghasilkan

    putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan

    eksekutorial, namun akan memakan waktu lama

    (lambat), memerlukan biaya yang besar (mahal),

    formal dan bersifat permusuhan.19 Sementara itu,

    jalur non litigasi merupakan penyelesaian sengketa

    melalui musyawarah mufakat.

    Sengketa berawal dari adanya perasaan tidak puas

    dari salah satu pihak karena pihak lain tidak memenuhi

    prestasi atau wanprestasi. Suatu perjanjian dikatakan

    telah terlaksana apabila para pihak telah memenuhi

    prestasinya sesuai dengan perjanjian.

    IV.WANPRESTASI

    Perjanjian menghendaki adanya suatu prestasi dari

    para pihak. Yang dimaksud dengan prestasi adalah

    seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan

    sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu.20 Artinya,

    seseorang dapat dikatakan melakukan wanprestasi

    apabila (1) tidak melakukan apa yang disanggupi

    akan dilakukannya, (2) melakukan apa yang

    diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan,

    (3) melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,

    dan (4) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian

    tidak boleh dilakukan.

    Wanprestasi adalah suatu keadaan karena adanya

    kelalaian atau kesalahan, dimana debitur tidak dapat

    memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan

    dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan

    memaksa.21 Istilah wanprestasi dalam bahasa Inggris

    4

    17 Candra Irwana, SH, M.Hum, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm.2.

    18 Blaks Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm.472.

    19 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.71.

    20 Sesuai dengan Pasal 1234 KUHPerdata yang berbunyi: Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Lihat pula Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas ... Op.Cit., hlm.173.

    21 Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Cet.1, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003, hlm. 21.

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    adalah breach of contract yaitu failure, without legal

    excuse, to perform any promise which forms the

    whole or part of a contract.22 Dengan demikian,

    wanprestasi adalah suatu keadaan dimana debitur

    tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi

    sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian.

    Wanprestasi dapat timbul karena kesengajaan atau

    kelalaian debitur itu sendiri atau adanya keadaan

    memaksa (overmacht).

    Wanprestasi berkaitan erat dengan adanya perjanjian

    antara para pihak, baik berdasarkan perjanjian sesuai

    Pasal 1338 s.d Pasal 1431 KUHPerdata maupun

    perjanjian yang bersumber dari Undang-Undang

    berdasarkan Pasal 1352 s.d Pasal 1380 KUHPerdata.

    Apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi,

    maka menjadi alasan bagi pihak lainnya untuk

    mengajukan gugatan.

    Dalam restatement of the law of contacts (Amerika

    Serikat), wanprestasi disebut dengan breach of

    contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1)

    total breachts, artinya pelaksanaan perjanjian tidak

    mungkin dilaksanakan, dan (2) partial breachts,

    artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk

    dilaksanakan. Sementara wanprestasi di Indonesia

    dikenal beberapa bentuk, yaitu:23

    1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali, yang

    disebabkan debitur memang tidak mau berprestasi

    atau debitur secara obyektif tidak mungkin

    berprestasi lagi atau secara subyektif tidak ada

    gunanya lagi untuk berprestasi.

    2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya

    atau terlambat berprestasi, dimana para pihak

    masih mengharapkan memenuhi prestasinya.

    3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru

    berprestasi, dimana debitur memenuhi prestasinya

    namun keliru. Debitur beranggapan telah

    memenuhi prestasinya, tetapi dalam kenyataannya,

    kreditur menerima prestasi berbeda dari yang

    diperjanjikan. Apabila prestasi yang keliru tersebut

    tidak dapat diperbaiki lagi, maka debitur dikatakan

    tidak memenuhi prestasi sama sekali.

    Penentuan terjadinya wanprestasi tidak mudah, namun

    apabila dalam perjanjian telah ditentukan suatu waktu

    tertentu sebagai tanggal pelaksanaan hak dan

    kewajiban, maka dengan lewatnya waktu sudah

    dapat dikatakan terjadi wanprestasi. Berbeda halnya

    apabila dalam perjanjian tidak ditentukan waktu

    tertentu untuk melaksanakan suatu prestasi, maka

    akan sulit menentukan terjadinya wanprestasi. Oleh

    karenanya, kreditur terlebih dahulu harus memberikan

    peringatan atau somasi kepada debitur untuk

    memenuhi prestasinya.24 Wanprestasi memerlukan

    pernyataan lalai terlebih dahulu25 atau adanya klausul

    dalam perjanjian yang menyatakan debitur langsung

    dianggap lalai tanpa melalui somasi.26

    Somasi diartikan sebagai teguran dari kreditur kepada

    debitur agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan

    isi perjanjian yang telah disepakati oleh keduanya.27

    Artinya debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah

    ada somasi,28 dan apabila debitur setelah dilakukan

    somasi namun melewatkan tenggang waktu somasi

    tanpa memberikan prestasinya, maka debitur

    dianggap wanprestasi. Namun demikian, debitur

    dapat langsung dinyatakan wanprestasi tanpa

    memerlukan somasi, dalam hal sebagai berikut:

    5

    22 Blaks Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm.188.

    23 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Cet.6, Putra Abadin, Jakarta, 1999, hlm.18.

    24 Lihat Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUHPerdata.

    25 Lihat Pasal 1243 KUHPerdata.

    26 Yurisprudensi Mahkamah Agung No.186K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 menyatakan: Apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur.

    27 Salim H.S. Hukum Kontrak, Cet. Ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 96.

    28 Apabila debitur telah diberikan somasi oleh kreditur, dimana somasi dilakukan minimal tiga kali, maka apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa permasalahannya ke pengadilan untuk memutuskan wanprestasi yang dilakukan debitur.

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    1. Perjanjian menentukan termin waktu.

    2. Debitur menolak pemenuhan atau debitur sama

    sekali tidak memenuhi prestasi.

    Kreditur tidak perlu mengajukan somasi apabila

    debitur menolak pemenuhan prestasinya, sehingga

    kreditur dapat menganggap suatu somasi atas

    sikap penolakan debitur tidak akan menimbulkan

    suatu perubahan.

    3. Debitur mengakui kelalaiannya atau

    memberitahukan bahwa debitur dalam keadaan

    wanprestasi.

    Pengakuan debitur atas kelalaiannya dapat

    dilakukan secara tegas atau diam-diam dengan

    menawarkan ganti rugi.

    4. Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan.

    Debitur wanprestasi tanpa adanya somasi, apabila

    prestasi (di luar peristiwa overmacht) tidak mungkin

    dilakukan, misalnya karena debitur kehilangan

    barang yang harus diserahkan atau barang tersebut

    musnah.

    5. Pemenuhan tidak berarti lagi.

    Apabila pemenuhan prestasi debitur digantungkan

    dalam batas waktu tertentu, dan debitur

    memenuhi prestasinya namun dengan waktu yang

    telah lampau.

    6. Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana

    mestinya atau debitur keliru memenuhi prestasi.

    7. Ditentukan dalam Undang-Undang bahwa

    wanprestasi terjadi demi hukum.29

    Akibat dari adanya wanprestasi adalah: (1) Perjanjian

    tetap ada; (2) Debitur harus membayar ganti rugi

    kepada kreditur;30 (3) Prinsip dasar wanprestasi adalah

    ganti rugi berupa biaya, kerugian, dan bunga,31

    dimana debitur bertanggungjawab dengan seluruh

    harta bendanya;32 (4) Beban risiko beralih untuk

    kerugian debitur, jika halangan timbul setelah debitur

    wanprestasi, kecuali apabila terdapat kesalahan dari

    kreditur, dimana peralihan risiko terjadi sejak saat

    terjadinya wanprestasi, dan risiko atas obyek perjanjian

    menjadi tanggungan debitur.33 Dalam hal berupa

    perjanjian timbal balik, maka kreditur dapat

    membebaskan diri dari kewajibannya memberikan

    kontra prestasi.34

    V. ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

    Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) diatur dalam

    Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

    dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) yang

    memberikan pengertian pada APS sebagai lembaga

    penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui

    prosedur yang disepakati para pihak, yakni

    penyelesaian di luar pengadilan dengan cara

    konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian

    ahli.35 Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan

    hanya dapat ditempuh apabila para pihak telah

    menyepakati bahwa sengketanya akan diselesaikan

    melalui jalur penyelesaian di luar pengadilan.36

    6

    29 Misalnya Pasal 1626 KUHPerdata yang berbunyi:Sekutu yang diwajibkan memasukkan sejumlah uang dan tidak melakukannya itu, menjadi berutang bunga atas jumlah itu demi hukum dan dengan tidak usah ditagihnya pembayaran uang tersebut, terhitung sejak hari uang tersebut sedianya harus dimasukkan.Hal yang sama berlaku terhadap jumlah-jumlah uang yang telah diambilnya dari kas bersama, terhitung sejak hari ia telah mengambilnya guna kepentingannya pribadi.Kesemuanya itu tidak mengurangi penggantian tambahan biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.

    30 Pasal 1243 KUHPerdata.

    31 Lihat Pasal 1246, 1247, 1248, dan Pasal 1267 KUHPerdata.

    32 Sesuai dengan Pasal 1131 KUHPerdata.

    33 Lihat Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata.Teori Hukum mengenal ajaran tentang risiko, resicoleer, yaitu seseorang wajib memikul kerugian apabila terjadi suatu kejadian atas obyek perjanjian di luar kesalahan salah satu pihak. KUHPerdata mengatur risiko dalam beberapa pasal, yaitu:1. Pasal 1237 KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian

    pemberian kebendaan, maka sejak saat perjanjian dilahirkan kebendaan tersebut menjadi tanggungan debitur.

    2. Pasal 1460 KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian jual beli, maka sejak saat pembelian barang yang sudah ditentukan menjadi tanggungan pembeli meskipun belum dilakukan levering (penyerahan), sementara penjual mempunyai hak untuk menuntut pembayaran atas harga barang dimaksud.

    3. Pasal 1545 KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian tukar menukar, apabila suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat mengajukan tuntutan atas kembalinya barang yang telah diberikan dalam tukar menukar.

    4. Pasal 1553 ayat (1) KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian sewa menyewa, apabila selama waktu sewa, barang yang disewakan musnah sama sekali karena kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa menyewa menjadi gugur demi hukum.

    34 Pasal 1266 KUHPerdata.

    35 Pasal 1 angka 10 UU AAPS.

    36 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.7.

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    Sengketa yang dapat diselesaikan oleh para pihak

    melalui APS hanyalah sengketa di bidang perdata,

    dan hanya akan tercapai apabila didasarkan pada

    itikad baik dan tekad untuk menyampingkan pilihan

    penyelesaian litigasi melalui pengadilan.37

    Pengertian APS menurut Stanford M. Altschul:

    Alternative Dispute Resolution (ADR) is a trial of a

    case before a private tribunal agreed to by the parties

    so as to save legal costs, avoid publicity, and avoid

    lengthy trial delays,38

    APS sebagai suatu pemeriksaan sengketa oleh majelis

    swasta yang disepakati oleh para pihak dengan tujuan

    menghemat biaya perkara, meniadakan publisitas

    dan meniadakan pemeriksaan yang bertele-tele.

    Sementara Hukum Amerika memberikan pengertian:

    Alternative Dispute Resolution is a mechanism by

    which different types of legal disputes are resolved

    through out-of-court processes like arbitration, and

    mediation as an alternative to civil litigation. ADR

    methods can be effective in reducing the time, money,

    and adversarial nature associated with traditional

    court-based proceedings.39

    Tujuan APS sebagaimana disebutkan oleh Phillip D.

    Bostwick:

    Alternative Dispute Resolution (ADR) is a set of

    practices and legal techniques that aims to permit

    legal disputes to be resolved outside the courts for

    the benefit of all disputants, to reduce the cost of

    conventional litigation and the delay to which it is

    ordinary subjected, to prevent legal dispute that

    would otherwise likely be brought to the courts.40

    Dalam APS para pihak akan menetapkan sendiri

    keputusan finalnya, melalui suatu proses yang dipilih

    oleh para pihak, seperti negosiasi dimana para pihak

    menyelesaikan sengketanya secara langsung, atau

    mediasi dimana para pihak dalam menyelesaikan

    sengketanya meminta bantuan pihak ketiga sebagai

    penengah, namun pihak ketiga ini tidak menetapkan

    suatu keputusan.

    Dalam proses litigasi adakalanya pihak yang menang

    perkara akan mengambil segala sesuatu yang

    disengketakan, winner takes all. Hal ini berbeda

    dengan proses non litigasi, APS, yang menyelesaikan

    sengketa secara kooperatif,41 win win solutions,

    dimana semua pihak sama-sama merasa menang.

    Ilustrasi penyelesaian win win solutions sebagaimana

    diuraikan oleh Fisher dan Ury adalah:42

    A win-win solution with the traditional example of

    two young girls wanting an orange. On the

    Approaches to Dispute Resolution diagram above,

    the win lose solution would be for one girl to get

    the whole orange and for the other to get none. The

    compromise solution would be for one girl to get

    half the orange and for the other girl to get half.

    The win-win solution would be to look for the needs

    or interests of the girls. Why do they want the orange?

    It may be that one wants a drink of the juice and

    the other wants the peel to bake a cake, or even the

    seed to plant for a science experiment. In this situation,

    it would be possible for a co-operative solution to

    enable both girls to get their needs met. To find a

    co-operative solution requires people to expand their

    thinking and to look for creative solutions, that fulfil

    the requirements of each of the parties in dispute.

    Contoh tersebut di atas memperlihatkan bahwa solusi

    menang kalah akan terjadi apabila hanya satu pihak

    mendapatkan seluruh benda yang disengketakan,

    7

    37 Dr. Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, 2009, hlm.5-6.

    38 Stanford M. Altschul, The Most Important Legal Terms Youll Ever Need To Know, 1994, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.12.

    39 Dikutip pada http://openjurist.org/law/alternative-dispute-resolution (2 Februari 2012).

    40 Phillip D. Bostwick, Going Private With the Judicial System, 1994, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.12.

    41 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.13.

    42 Fisher dan Ury, Getting to Yes, 1981, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.14.

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    sedangkan pihak yang lain sama sekali tidak akan

    mendapatkan apa-apa. Dengan pendekatan

    kompromis, win win solutions, diperlukan pemikiran

    yang lebih luas dan mencari penyelesaian kreatif,

    sehingga para pihak yang bersengketa akan

    mendapatkan sesuai dengan keinginan masing-

    masing.

    Sebagaimana diketahui bahwa penyelesaian sengketa

    perdata, disamping dapat diajukan ke peradilan

    umum, juga terbuka kemungkinan diajukan melalui

    arbitrase dan APS sebagaimana diatur dalam UU

    AAPS. Salah satu cara penyelesaian sengketa di luar

    pengadilan adalah mediasi.43

    Dalam sidang perkara perdata di pengadilan sebelum

    dilaksanakan pemeriksaan pokok gugatan, pertama-

    tama hakim wajib mendamaikan para pihak yang

    berperkara. Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg44

    memberikan suatu kewajiban kepada hakim untuk

    terlebih dahulu mengupayakan proses perdamaian

    sebelum dimulainya proses pengadilan, hal ini

    diperkuat dengan terbitnya Peraturan Mahkamah

    Agung Republik Indonesia No.1 Tahun 2008 tentang

    Prosedur Mediasi di Pengadilan,45 dengan sanksi

    apabila tidak menempuh proses mediasi adalah

    ancaman putusan batal demi hukum. Pelembagaan

    proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat

    memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga

    pengadilan dalam penyelesaian sengketa, disamping

    proses pengadilan yang bersifat memutus (adjukatif).46

    VI.MEDIASI

    Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui

    proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan

    para pihak dengan dibantu oleh mediator.47 Artinya,

    mediasi merupakan suatu prosedur penengahan

    dimana seseorang bertindak sebagai kendaraan48

    untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga

    pandangan mereka yang berbeda atas sengketa

    tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan,

    tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu

    perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.

    Mediasi merupakan suatu metode untuk menyelesaikan

    sengketa di luar pengadilan (out of court system)

    dengan melibatkan pihak ketiga yang netral yang

    akan bertindak untuk menghubungkan para pihak,

    hal ini sesuai dengan pengertian mediasi menurut

    Blacks Law Dictionary, Mediation is a method of

    settling disputes outside of a court setting; the

    imposition of a neutral third party to act as a link

    between the parties.49 Proses mediasi dibantu oleh

    8

    (2) Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini.

    (3) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.

    (4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

    46 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.47- 48.

    47 Pasal 1 angka 7 Perma Mediasi.

    48 Dr. Frans Hendra Winarta, SH, MH, Hukum Penyelesaian Sengketa, Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.15-16.

    49 Blacks Law Dictionary, Third Edition, Steven H. Gifis, Barons Educational Series, Inc, New York, 1991, hlm.295.

    43 Pasal 1 angka 10 UU AAPS yang berbunyi:Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

    44 Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg.Pasal 130 HIR (Herziene Indonesisch Reglement), jika pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka. Jika perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta (surat) dimana kedua belah pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang dibuat. Akta tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan pengadilan biasa. Sesuai dengan Pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun kasasi. Karena telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akta perdamaian tersebut langsung memiliki kekuatan eksekutorial. Apabila putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan eksekusi kepada pengadilan. Oleh karena itu, mengingat akta perdamaian berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi, maka terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum baik banding maupun kasasi.

    45 Pasal 2 Perma Mediasi. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma Mediasi) yang berbunyi:(1) Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang

    terkait dengan proses berperkara di Pengadilan.

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    pihak ketiga yang netral yang disebut dengan mediator

    untuk mencapai kesepakatan, namun mediator tidak

    berwenang memaksa para pihak, keputusan tetap

    berada pada para pihak, sebagaimana disebutkan

    dalam Blacks Law Dictionary: Mediation is a private,

    informal disputes resolution process in which a neutral

    third person, the mediator, helps disputing parties to

    reach an agreement. The mediator has no power to

    impose a decision on the parties.50 Dalam mediasi,

    maka mediator bertindak sebagai fasilitator netral

    dengan tujuan mendapatkan penyelesaian yang

    arif dan tidak berat sebelah bagi para pihak yang

    bersengketa.

    Beberapa prinsip mediasi adalah bersifat sukarela

    atau tunduk pada kesepakatan para pihak, pada

    bidang perdata, sederhana, tertutup, dan rahasia,

    serta bersifat menengahi atau bersifat sebagai

    fasilitator. Dengan adanya prinsip ini, maka para pihak

    dapat menjaga kerahasiaan dan ketertutupan yang

    tidak ada dalam proses litigasi. Mediasi dapat dilakukan

    dalam proses pengadilan (berdasarkan Pasal 130 HIR

    dan Pasal 154 RBg serta Perma Mediasi) dan dapat

    pula dilakukan secara pribadi atau di luar pengadilan

    (berdasarkan UU AAPS).

    Mediasi dalam proses pengadilan dikenal dengan

    Mediasi Hukum merupakan proses mediasi yang

    dilakukan sebagai akibat dari adanya gugatan perdata

    ke pengadilan, dan diberdayakan kembali sejak tahun

    2002.51 Ketentuan dalam Pasal 130 HIR dan Pasal

    154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh

    proses perdamaian dengan cara mengintegrasikan

    proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di

    Pengadilan Negeri (litigasi). Tujuan penerapan mediasi

    di pengadilan pada awalnya adalah untuk pembatasan

    kasasi, namun kemudian Mahkamah Agung

    menyadari bahwa mediasi merupakan salah satu

    proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan

    murah, serta dapat memberikan akses yang lebih

    besar kepada para pihak dalam menemukan

    penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa

    keadilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses

    beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu

    instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan

    perkara di pengadilan serta memperkuat dan

    memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam

    penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan

    yang bersifat memutus (adjudikatif).52

    Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg mengatur tentang

    perdamaian (dading) dalam proses beracara perdata

    di pengadilan. Pada hari sidang pertama, hakim

    menawarkan dan memberi kesempatan kepada kedua

    belah pihak yang berperkara untuk melakukan

    perdamaian dan melaporkannya pada hari sidang

    berikutnya. Sikap hakim pasif dan tidak ada sanksi

    apabila hakim lalai untuk mendamaikan kedua belah

    pihak terlebih dahulu. Namun, dengan berlakunya

    Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

    No.01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

    Pengadilan (Perma Mediasi),53 maka apabila hakim

    lalai untuk mendamaikan para pihak terlebih dahulu,

    maka putusan pengadilan menjadi batal demi

    hukum.54 Hakim mendorong para pihak untuk aktif

    9

    50 Blaks Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm.981.

    51 Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai, yang selanjutnya diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dan terakhir diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

    52 Konsiderans Menimbang huruf a. dan huruf b. Perma Mediasi.

    53 Berdasarkan Perma Mediasi terkait mediasi dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:1. Mediasi wajib (mandatory) atas seluruh perkara perdata yang

    diajukan ke pengadilan tingkat pertama.2. Hakim mewajibkan para pihak menempuh lebih dahulu proses

    mediasi.3. Hakim wajib memunda sidang dan memberikan kesempatan para

    pihak untuk mediasi.4. Hakim wajib memberikan penjelasan tentang prosedur mediasi dan

    biayanya.5. Apabila para pihak diwakili Penasehat Hukum, maka setiap keputusan

    yang diambil harus memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak.6. Proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk umum,

    kecuali para pihak menghendaki lain, sedangkan mediasi untuk kepentingan publik terbuka untuk umum.

    54 Pasal 2 ayat (3) Perma Mediasi.

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    melakukan mediasi,55 artinya mediasi dilakukan oleh

    para pihak, karena sesuai dengan falsafah mediasi

    bahwa keputusan mediasi diambil secara sukarela

    (volunteer) dan berdasarkan kata sepakat kedua

    belah pihak, sehingga mediasi tidak akan berhasil

    dan berjalan baik apabila tidak didasari oleh kemauan

    dan itikad baik bersama diantara para pihak untuk

    berdamai.56

    Mediasi pribadi atau di luar pengadilan diatur dan

    dilakukan oleh para pihak sendiri dibantu oleh

    mediator atau mengikuti pendapat ahli tanpa adanya

    proses perkara di pengadilan, dengan tujuan

    menyelesaikan sengketa para pihak untuk mencapai

    kesepakatan secara damai dan saling menguntungkan.

    Dalam proses mediasi, semua pihak bertemu langsung

    dengan mediator, untuk saling tukar informasi dan

    dokumen terkait dengan sengketa. Mediator tidak

    dalam posisi memaksa, namun lebih pada

    mengoptimalkan para pihak untuk menentukan

    keinginan sesuai dengan kebutuhannya. Mediator

    memfasilitasi diskusi, mengklarifikasi keinginan para

    pihak, memandu, meluruskan perbedaan pandangan,

    dan membantu para pihak untuk menyelesaikan

    sengketa sesuai dengan kebutuhannya. Artinya, para

    pihak sendirilah yang menyelesaikan masalah yang

    disengketakan sesuai dengan keinginannya untuk

    mencapai win-win solution. Apabila sudah tercapai

    kesepakatan, maka para pihak membuat suatu

    kesepakatan tertulis yang memuat kesepakatan yang

    telah dicapai dan ditandatangani oleh para pihak

    dan mediator. Kesepakatan tertulis ini mempunyai

    kekuatan sama dengan perjanjian sehingga disebut

    dengan perjanjian perdamaian yang bersifat final

    and binding. Namun, muncul pertanyaan, bagaimana

    apabila salah satu pihak tidak mau melaksanakan

    Perjanjian Perdamaian secara sukarela? Apakah

    pelaksanaan Perjanjian Perdamaian dapat dipaksakan?

    Apabila salah satu pihak tidak melaksanakannya,

    maka harus menempuh jalur pengadilan dengan

    mengajukan gugatan ke pengadilan. Masalah yang

    diajukan gugatan bukanlah masalah semula tetapi

    masalah wanprestasi karena salah satu pihak tidak

    melaksanakan isi dalam Perjanjian Perdamaian. Suatu

    Perjanjian Perdamaian bersifat final and binding yang

    mengikat para pihak, namun Perjanjian Perdamaian

    tidak memiliki daya eksekusi sebagaimana halnya

    dengan Putusan Pengadilan dengan irah-irah Demi

    Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

    yang merupakan salah satu persyaratan daya eksekusi.

    Produk hukum dari suatu proses mediasi adalah

    kesepakatan para pihak dalam bentuk perjanjian

    sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (6), (7)

    dan ayat (8) Undang-Undang No.30 Tahun 1999

    tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

    (UU AAPS) bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa

    atau beda pendapat yang telah tercapai dibuat dalam

    bentuk tertulis adalah final dan mengikat (final and

    binding), para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad

    baik (te goede trouw) serta wajib didaftarkan57 di

    Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga

    puluh) hari sejak penandatanganan oleh semua pihak

    yang terkait, sehingga Perjanjian Perdamaian memiliki

    kekuatan eksekutorial yang dapat dipaksakan

    pelaksanaannya dan dapat memberikan suatu

    kepastian hukum terhadap para pihak yang

    menyepakatinya. Artinya, walaupun Perjanjian

    Perdamaian telah memiliki kekuatan mengikat (final

    and binding), namun untuk mendapatkan kekuatan

    eksekutorial perjanjian damai tersebut wajib

    didaftarkan di Pengadilan Negeri. Pendaftaran

    dilakukan untuk memperoleh Akta Perdamaian

    dengan cara mengajukan gugatan terhadap pihak

    lawan dalam Perjanjian Perdamaian. Apabila Perjanjian

    Perdamaian tidak didaftarkan, maka Perjanjian

    Perdamaian tidak memiliki kekuatan eksekutorial

    sebagaimana halnya putusan pengadilan dan menjadi

    seperti suatu perjanjian biasa yang mengikat para

    pihak berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata (asas pacta

    sunt servanda). Pelaksanaan Perjanjian Perdamaian

    55 Pasal 7 ayat (3) Perma Mediasi.

    56 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.127.

    10

    57 Pasal 23 Perma Mediasi.

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak

    pendaftaran di Pengadilan Negeri.

    Proses mediasi di pengadilan, dalam hal tercapai

    kesepakatan, maka sesuai dengan Pasal 17 ayat (5)

    Perma Mediasi para pihak dapat mengajukan

    Perjanjian Perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan

    dalam bentuk Akta Perdamaian dan akan ditempelkan

    dalam Putusan Pengadilan (Akte van Dading)

    sebagaimana diatur dalam pasal 130 HIR. Keputusan

    dari Akte van Dading tidak dapat dilakukan upaya

    hukum.58 Kekuatan hukum yang melekat pada Akta

    Perdamaian (Akte van Dading) adalah sebagai

    berikut:59

    1. Disamakan dengan putusan yang berkekuatan

    hukum tetap.

    Sesuai dengan Pasal 1858 KUHPerdata, maka

    perdamaian diantara para pihak sama kekuatannya

    seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal ini

    ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (2) HIR bahwa

    Putusan Akta Perdamaian memiliki kekuatan sama

    seperti putusan yang telah berkekuatan hukum

    tetap.

    2. Mempunyai kekuatan eksekutorial.

    Sesuai dengan Pasal 130 ayat (2) HIR bahwa

    Putusan Akta Perdamaian berkekuatan sebagai

    putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan

    hukum tetap, dan juga berkekuatan eksekutorial

    (execotorial kracht) sebagaimana halnya putusan

    pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

    Salah satu persyaratan daya eksekusi adalah harus

    memiliki irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan

    Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Putusan Akta

    Perdamaian tercantum amar kondemnatoir,

    sehingga apabila putusan tidak ditaati dan

    dipenuhi secara sukarela, dapat dipaksakan

    pemenuhannya melalui eksekusi oleh pengadilan.

    3. Putusan perdamaian tidak dapat dibanding.

    Sesuai dengan Pasal 130 ayat (3) HIR, maka

    Putusan Akta Perdamaian tidak dapat dibanding,

    dengan kata lain terhadap putusan tersebut

    tertutup upaya hukum (baik banding maupun

    kasasi). Larangan ini sejalan dengan ketentuan

    yang mempersamakan kekuatan Putusan Akta

    Perdamaian sebagai putusan yang telah

    berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada

    lagi upaya hukum yang dapat dilakukan. Artinya,

    secara teknis dan yuridis pada Putusan Akta

    Perdamaian dengan sendirinya melekat kekuatan

    eksekutorial sebagaimana layaknya putusan

    pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

    Selanjutnya, dalam hal para pihak tidak mengajukan

    Perjanjian Perdamaian kepada hakim untuk memperoleh

    Akta Kesepakatan, maka Perjanjian Perdamaiannya

    harus memuat klausul pencabutan gugatan atau

    pernyataan perkara telah selesai.60 Sementara itu,

    dalam hal tidak tercapai kesepakatan pada proses

    mediasi, maka para pihak berdasarkan kesepakatan

    secara tertulis dapat mengajukan penyelesaian

    sengketa melalui lembaga arbitrase, sebagaimana

    diatur dalam Pasal 6 ayat (9) UU AAPS. Sementara

    mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa

    proses mediasi telah gagal dan memberitahukannya

    kepada hakim, dan hakim akan melanjutkan untuk

    memeriksa pokok perkara sebagaimana diatur dalam

    Pasal 18 Perma Mediasi.

    11

    58 Putusan bersifat final and binding, artinya putusan bersifat inkracht atau mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Istilah final berarti putusan tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan, artinya sengketa yang diperiksa diakhiri atau diputuskan. Pengertian binding adalah memberikan beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subyek hukum. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal Teori res adjudicata pro veritare habetur, artinya apabila suatu putusan sudah tidak mungkin diajukan upaya hukum, maka dengan sendirinya putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Dengan demikian putusan mengikat para pihak dan wajib ditaati oleh para pihak. Lihat Dr. Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Mediasi ... Op.Cit., hlm.49.

    59 Moch. Faisal Salam, SH, MH, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm.192-193. 60 Pasal 17 ayat (6) Perma Mediasi.

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    VII.PENUTUP

    Berdasarkan uraian tersebut di atas, sebagai penutup

    dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

    1. Mediasi merupakan salah satu satu cara APS

    dalam penyelesaian sengketa perdata di luar

    pengadilan (out of court system).

    2. Terdapat perbedaan dalam penyelesaian sengketa

    mediasi, yaitu Perma Mediasi mengatur prosedur

    mediasi di pengadilan, sehingga mediasi

    dimasukkan dalam suatu rangkaian proses

    pemeriksaan di pengadilan, sementara UU AAPS

    mengatur upaya mediasi di luar pengadilan.

    3. Produk dari mediasi berupa Perjanjian Perdamaian

    yang memiliki kekuatan mengikat (final and

    binding).

    4. Perjanjian Perdamaian dapat dikuatkan menjadi

    Akta Perdamaian yang diperoleh melalui suatu

    gugatan di Pengadilan Negeri.

    5. Akta Perdamaian ditempelkan dalam Putusan

    Pengadilan (Akte van Dading) sehingga memiliki

    kekuatan eksekutorial dan tidak dapat dilakukan

    upaya hukum.

    12

  • 13

    Prof. DR. H. Priyatna Abdurrasyid, SH, PhD, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif Penyelesaian

    Sengketa (ADR), Fikahati Aneska, Jakarta, 2009

    Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IX, Mandar Maju, Bandung, 2011

    Prof. R. Subekti, SH, Aneka Perjanjian, cetakan kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

    Prof. Ahmad Miru, SH, MS, dan Sakka Pati, SH, MH, Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456

    BW, Cetakan ke-3, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011

    Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan IV, Intermasa, Jakarta, 1979

    Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Cet.1, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003

    R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Cet.6, Putra Abadin, Jakarta, 1999

    Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Fikahati Aneska, Jakarta, 2009

    Salim H.S. Hukum Kontrak, Cet. Ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, 2006

    Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003

    Dr. Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta,

    2009

    Dr. Frans Hendra Winarta, SH, MH, Hukum Penyelesaian Sengketa, Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional,

    Sinar Grafika, Jakarta, 2011

    Moch. Faisal Salam, SH, MH, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Mandar Maju, Bandung,

    2007

    Yurisprudensi Mahkamah Agung No.186K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959

    Blacks Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997

    Candra Irwana, SH, M.Hum, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative

    Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung

    KUH Perdata

    Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

    United Nation Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters

    DAFTAR PUSTAKA

  • Halaman ini sengaja dikosongkan

  • Pengantar

    Dalam beberapa tahun terakhir para pejabat Negara

    gundah dan khawatir mengingat kebijakan yang dibuat

    kerap berujung pada masalah pidana, khususnya tindak

    pidana korupsi.

    Istilah yang kerap digunakan adalah kriminaliasi kebijakan.

    Menjadi pertanyaan apakah kebijakan dapat

    dikriminalisasi.

    Tulisan ini akan membahas mungkin tidaknya kebijakan

    dikriminalkan. Di samping itu tulisan ini juga akan

    membahas keuangan negara yang dikaitkan dengan

    tindak pidana korupsi.

    Kebijakan

    Kebijakan (policy) berbeda dengan kebijaksanaan, meski

    keduanya terkait dengan pengambilan keputusan.

    Kebijakan merupakan basis untuk pengambilan

    keputusan, sedangkan kebijaksanaan merupakan

    keputusan yang bersumber dari diskresi (discretion) yang

    dimiliki oleh pejabat yang berwenang.

    Dalam konteks kenegaraan, kebijakan dapat bersifat

    umum ataupun khusus. Kebijakan yang bersifat umum,

    antara lain, kebijakan luar negeri (foreign policy), kebijakan

    pertahanan (defence policy), kebijakan fiskal (fiscal policy),

    kebijakan pemberantasan korupsi.

    Kebijakan yang bersifat khusus, antara lain, adalah

    kebijakan rekonstruksi pasca Tsunami, kebijakan

    penyaluran subsidi kepada orang yang berhak, kebijakan

    ujian nasional.

    Sementara kebijaksanaan secara sederhana dapat

    dicontohkan sebagai polisi yang mengarahkan lalu lintas

    untuk berjalan melawan arus yang seharusnya. Tujuannya

    adalah untuk mengurangi kemacetan. Apa yang dilakukan

    oleh polisi tersebut tentu melanggar hukum. Namun atas

    dasar diskresi yang dimiliki, polisi sebagai pejabat yang

    berwenang diperbolehkan untuk membuat kebijaksanaan

    yang melanggar aturan demi kemaslahatan yang besar.

    Bila dicermati dalam bailout Bank Century oleh Komite

    Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK), keputusan yang

    diambil lebih tepat bila dikatagorikan sebagai suatu

    kebijakan daripada kebijaksanaan. Sebagaimana

    disampaikan oleh Presiden, keputusan bailout merupakan

    15

    KRIMINALISASI KEBIJAKAN DAN KEUANGAN NEGARA

    Oleh : Hikmahanto Juwana*

    Abstrak

    Kebijakan yang dibuat pejabat negara kerap berujung pada masalah pidana,

    khususnya tindak pidana korupsi Kebijakan merupakan basis untuk pengambilan keputusan.

    Sedangkan kebijaksanaan merupakan keputusan yang bersumber dari

    diskresi (discretion) yang dimiliki oleh pejabat yang berwenang.

    Key words ; kebijakan, sanksi pidana, keuangan negara.

    1 *Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UI. Meraih SH dari UI (1987), LL.M dari Keio University, Jepang (1992) dan Ph.D dari University of Nottingham, Inggris (1997).

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    kebijakan untuk menyelamatkan dunia perbankan dan

    perekonomian nasional dari krisis.

    Kebijakan yang menjadi basis dari sejumlah keputusan

    di sektor publik diambil karena kewenangan yang dimiliki

    oleh seseorang yang memegang jabatan berdasarkan

    peraturan perundang-undangan. Presiden, Menteri,

    Gubernur, Bupati, Camat hingga Ketua Rukun Tetangga

    (RT) dalam hal dan situasi tertentu berwenang dan

    diharuskan mengambil kebijakan yang disertai dengan

    keputusan.

    Pasca pengambilan kebijakan serta keputusan maka

    evaluasi pun dapat dilakukan. Evaluasi dapat dilakukan

    oleh atasan langsung, DPR terhadap Pemerintah seperti

    dalam bailout Bank Century, bahkan oleh pers dan publik.

    Bila evaluasi atas kebijakan serta keputusan dilakukan,

    agar fair tentunya harus berdasar situasi dan kondisi

    ketika kebijakan serta keputusan tersebut diambil. Bila

    kebijakan serta keputusan masa lalu dievaluasi dengan

    kacamata hari ini maka bisa jadi apa yang telah diambil

    akan salah semua.

    Di sini pentingnya Panitia Angket Bank Century

    memperoleh data, fakta dan informasi dari berbagai

    pihak yang terlibat untuk dapat merekonstruksi situasi

    dan kondisi ketika kebijakan serta keputusan diambil.

    Hasil evaluasi atas kebijakan dan keputusan secara garis

    besar dapat dibagi dalam dua katagori. Benar atau Salah.

    Menjadi pertanyaan apakah hasil evaluasi yang

    menyatakan suatu kebijakan berikut keputusan salah

    dapat mengakibatkan pengambil kebijakan terkena sanksi

    pidana? Jawaban atas hal ini membawa kontroversi.

    Sanksi Pidana?

    Dalam ilmu hukum, bila berbicara tentang kebijakan,

    keputusan berikut para pelakunya maka akan masuk

    dalam ranah hukum administrasi negara. Hukum

    administrasi negara tentu harus dibedakan dengan

    hukum pidana yang mengatur sanksi pidana atas

    perbuatan jahat.

    Bila kebijakan serta keputusan dianggap salah dan

    pelakunya dapat dipidana maka ini berarti kesalahan

    dari pengambil kebijakan serta keputusan merupakan

    suatu perbuatan jahat (tindak pidana). Ini tentu tidak

    benar.

    Pada prinsipnya kesalahan dalam pengambilan kebijakan

    atau keputusan tidak dapat dipidana. Dalam hukum

    administrasi negara tidak dikenal sanksi pidana. Sanksi

    yang dikenal dalam hukum administrasi negara, antara

    lain, teguran baik lisan maupun tertulis, penurunan

    pangkat, demosi dan pembebasan dari jabatan, bahkan

    diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan. Namun

    demikian terhadap prinsip umum bahwa kebijakan serta

    keputusan yang salah tidak dapat dikenakan sanksi

    pidana, terdapat pengecualian. Ada paling tidak tiga

    pengecualian.

    Pertama adalah kebijakan serta keputusan dari pejabat

    yang bermotifkan melakukan kejahatan internasional

    atau dalam konteks Indonesia diistilahkan sebagai

    pelanggaran Hak Asasi Manusia berat. Dalam doktrin

    hukum internasional yang telah diadopsi dalam peraturan

    perundang-undangan di sejumlah negara, kebijakan

    pemerintah yang bertujuan melakukan kejahatan

    internasional telah dikriminalkan. Adapun kejahatan

    internasional yang dimaksud ada empat katagori yaitu

    kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan

    perang dan perang agresi.

    Kedua, meski suatu anomali, kesalahan dalam pengambil

    kebijakan serta keputusan yang secara tegas ditentukan

    dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh

    di Indonesia adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal

    165 Undang-undang Pertambangan Mineral dan

    Batubara. Ketentuan tersebut memungkinkan pejabat

    yang mengeluarkan izin dibidang pertambangan

    dikenakan sanksi pidana.

    Ketiga, adalah kebijakan serta keputusan yang bersifat

    koruptif atau pengambil kebijakan dalam mengambil

    kebijakan serta keputusan bermotifkan kejahatan. Disini

    yang dianggap sebagai perbuatan jahat bukanlah

    kebijakannya, melainkan niat jahat (evil intent/mens rea)

    16

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    dari pengambil kebijakan serta keputusan ketika

    membuat kebijakan. Contohnya adalah pejabat yang

    membuat kebijakan serta keputusan untuk menyuap

    pejabat publik lainnya. Atau kebijakan yang diambil oleh

    pejabat karena ada motif untuk memperkaya diri sendiri

    atau orang lain.

    Keuangan Negara dan Tipikor

    Di Indonesia, salah satu bentuk korupsi berkaitan erat

    dengan pengelolaan keuangan negara. Tidak heran bila

    para pejabat negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

    maupun entitas yang menggunakan uang yang berasal

    dari keuangan negara terjerat oleh Undang-undang

    Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

    Namun perlu dipahami tindakan koruptif dalam

    pengelolaan keuangan yang bertujuan untuk memperkaya

    diri sendiri atau pihak lain bisa juga terjadi pada entitas

    swasta atau non-publik.

    Tidak heran bila perbuatan korupsi dalam United Nations

    Convention Against Corruption yang telah diratifikasi

    oleh Indonesia mencakup pengelolaan keuangan di sektor

    swasta. Pasal 21 dan 22 mengatur tentang penyuapan

    dan penggelapan di sektor swasta sebagai korupsi.

    Hanya saja berdasarkan UU Tipikor perbuatan jahat yang

    terkait dengan pengelolaan keuangan masih terbatas

    pada keuangan negara. Ini terlihat dari Pasal 2 ayat (1)

    dan 3 UU Tipikor yang menggunkan kata keuangan

    negara. Sementara untuk pengelolaan keuangan yang

    bukan keuangan negara berlaku tindak pidana umum,

    antara lain, penggelapan.

    Dua Pendapat

    Dalam perdebatan tentang keuangan negara, inti

    perdebatan terletak pada apakah uang yang dikelola

    oleh BUMN ataupun entitas yang didirikan oleh negara,

    seperti LPS, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)

    atau Badan Hukum Milik Negara, dianggap sebagai

    keuangan negara atau bukan? Ada dua pendapat terkait

    dengan hal ini.

    Pendapat pertama adalah pendapat yang mengatakan

    bahwa keuangan BUMN atau entitas yang didirikan oleh

    negara bukan merupakan keuangan negara.

    Pendapat ini didasarkan pada doktrin bahwa entitas

    yang didirikan oleh negara dan berstatus badan hukum

    bukanlah bagian dari negara. Entitas tersebut memiliki

    kepribadian hukumnya sendiri. Oleh karenanya perlu

    dilakukan pembedaan antara uang publik (negara)

    dengan uang privat (entitas yang didirikan oleh negara).

    Memang bila menilik peraturan perundang-undangan

    yang menjadi dasar bagi negara dalam mendirikan suatu

    entitas terdapat kalimat kekayaan negara yang dipisahkan.

    Pasal 4 ayat 1 UU BUMN, misalnya, menyebutkan Modal

    BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara

    yang dipisahkan.

    Dari segi akutansi, tentu negara yang telah melakukan

    penyetoran modal pada entitas yang didirikan akan

    mencatatnya sebagai saham yang dimiliki atau setoran

    modal yang telah dilakukan. Sementara uang yang telah

    disetor oleh negara akan dicatat sebagai kekayaan dari

    entitas yang didirikan.

    Dalam konteks ini suatu kejanggalan bila memperhatikan

    penjelasan pasal 8 UU 49 Prp Tahun 1960. Disitu disebutkan

    bahwa piutang BUMN merupakan piutang negara.

    Janggal karena piutang BUMN adalah aset BUMN dan

    bukan aset/kekayaan negara. Bila piutang BUMN adalah

    piutang negara berarti piutang tersebut akan dicatat

    dalam pembukuan Negara dan pembukuan BUMN.

    Menjadi lain jika penjelasan pasal 8 diinterpretasi sebagai

    penyelesaian piutang BUMN bisa di-urus atau

    diselesaikan oleh Panitia Piutang Negara (sesuai judul

    dari UU), disamping oleh BUMN itu sendiri.

    Selanjutnya, pendapat kedua adalah pendapat yang

    mengatakan keuangan BUMN atau entitas yang didirikan

    oleh negara merupakan keuangan negara. Pendapat ini

    didasarkan pada hukum positif dan sejumlah putusan

    pengadilan.

    17

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    Berdasarkan penjelasan umum UU Tipikor disebutkan

    bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara

    dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak

    dipisahkan. Pada huruf (b) diperjelas dengan kalimat

    berada dalam penguasaan, pengurusan, dan

    pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan

    Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan

    perusahaan yang menyertakan modal negara, atau

    perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga

    berdasarkan perjanjian dengan Negara.

    Selanjutnya dalam Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara,

    menyebutkan keuangan negara sebagai, kekayaan

    negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh

    pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,

    serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,

    termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan

    negara/ perusahaan daerah.

    Demikian pula menurut Pasal Pasal 1 angka (1) UU

    Perbendaharaan Negara yang menyebutkan

    Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan

    pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk

    investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan

    dalam APBN dan APBD.

    Sejumlah putusan pengadilan-pun yang menghukum

    para pejabat BUMN telah menafsirkan keuangan BUMN

    sebagai keuangan negara.

    Unsur

    Terlepas dari perdebatan apakah uang BUMN atau entitas

    yang didirikan oleh negara merupakan keuangan negara

    atau bukan, satu hal yang pasti dalam menjadikan

    seseorang sebagai tersangka, terdakwa maupun

    terhukum yaitu harus dibuktikan adanya unsur niat dan

    perbuatan jahat untuk memperkaya diri sendiri atau

    orang lain atau korporasi.

    Pembuktian unsur ini sangat penting mengingat tindakan

    koruptif bisa terjadi dimana saja baik institusi publik

    ataupun swasta. Oleh karenanya perdebatan tentang

    keuangan negara ataupun swasta tidak terlalu relevan.

    Dengan demikian niat dan perbuatan jahat untuk

    memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi

    yang akan menjadi faktor penentu apakah kerugian

    negara merupakan akibat dari korupsi, atau semata-

    mata karena keputusan bisnis yang tidak selalu

    mendatangkan keuntungan, bahkan suatu kebijakan

    pengelolaan keuangan yang pasca dievaluasi dinilai salah.

    Perlu dipahami perbuatan korupsi merupakan kejahatan

    yang didasarkan pada adanya kesengajaan. Ini dapat

    dilihat dalam UU Tipikor dimana terdapat kata dengan

    sengaja.

    Dalam konteks pembuktian maka kesengajaan harus

    memenuhi dua syarat yaitu adanya niat jahat (mens rea)

    dan adanya implementasi niat tersebut dalam bentuk

    perbuatan jahat (actus reus).

    Konsekuensinya perbuatan koruptif atas pengelolaan

    keuangan tidak mungkin didasarkan pada kelalaian atau

    ketidak-sengajaan. Kelalaian dalam hukum berarti tidak

    adanya unsur niat jahat, namun adanya unsur perbuatan

    jahat.

    Disinilah aparat penegak hukum harus menelusuri dan

    mendapatkan bukti adanya niat dan perbuatan jahat

    untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

    korporasi bila seseorang yang melakukan pengelolaan

    keuangan dituduh melakukan korupsi.

    Unsur niat dan perbuatan jahat penting untuk dibuktikan

    agar tidak ada orang yang dipersalahkan secara pidana

    hanya karena dianggap telah merugikan keuangan

    negara.

    18

  • 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31

    Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara .

    4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

    5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2001 Tentang Badan Usaha Milik Negara.

    DAFTAR PUSTAKA

    19

  • Halaman ini sengaja dikosongkan

  • Pendahuluan

    Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

    Keuangan Negara, dinyatakan bahwa Keuangan Negara

    adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai

    dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang atau

    barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan

    dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

    Adapun dalam pengelolaan keuangan negara / daerah

    dikenal dan diterapkan dengan menggunakan asas-asas

    pengelolaan keuangan negara antara lain terdiri dari:

    Asas Tahunan;

    Asas Universalitas;

    Asas Kesatuan; dan

    Asas Spesialitas maupun asas-asas baru sebagai

    pencerminan best practices penerapan kaidah-kaidah

    yang baik dalam pengelolaan keuangan negara/

    daerah, antara lain terdiri dari:

    - Akuntabilitas berorientasi pada hasil;

    - Profesionalitas;

    - Proporsionalitas;

    - Keterbukaan;

    - Pemeriksaan keuangan oleh pemeriksa yang bebas

    dan mandiri.

    Asas-asas Umum tersebut diperlukan guna menjamin

    terselenggaranya pemerintahan yang baik sebagaimana

    terumus dalam Bab VI UUD 1945. Dengan dianutnya

    asas-asas umum tersebut dalam Undang-undang Nomor

    17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pelaksanaan

    undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi

    menejemen keuangan negara sekaligus dimaksudkan

    untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi

    dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik

    Indonesia.

    Adapun kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara

    dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan,

    yang memegang kekuasaan pengelolaan keuangan

    negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.

    21

    PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DALAM KAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TINJAUAN YURIDIS ATAS UNDANG-UNDANG NO.17

    TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA)Oleh :

    Soehirman, SH., MS*

    Abstrak

    Pada hakekatnya Hukum Keuangan Negara adalah masuk dalam ruang lingkup Hukum Administrasi yamg kemudian

    disebut Administrasi Perbendaharaan atau comptabel Administratief recht, dan pengelolaannya menjadi sentral yang

    penting dan strategis, karena kedudukannya sebagai urat nadi negara. Dalam pada itu pemerintah menempati posisi

    yang sangat penting dan strategis dalam pengambilan kebijakan keuangan negara untuk melaksanakan roda pemerintahan.

    Key words : pengelolaan, urat nadi negara, kebijakan keuangan, fungsi anggaran

    * Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat

    umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk

    membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan

    yang dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut

    dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola

    fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan

    negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan

    lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang

    kementerian Negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri

    Keuangan sebagai Pembantu Presiden dalam bidang

    keuangan pada hakikatnya adalah Chief Financial Officer

    (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sedangkan Menteri/

    Pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief

    Operational Officer (COO) Pemerintah Republik Indonesia

    untuk satu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini

    perlu dilaksanakan secara konsisten, agar didapat kejelasan

    dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab,

    terlaksananya mekanisme checks and balances serta

    mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam

    penyelenggaraan tugas pemerintahan.

    Adapun bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi

    pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi

    makro, penganggaran, administrasi perpajakan,

    administrasi kepabean, perbendaharaan, dan pengawasan

    keuangan.

    Sesuai dengan Asas Desentralisasi dalam penyelenggaraan

    pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden

    diserahkan kepada Gubernur/Buapati/Walikota selaku

    pengelola keuangan daerah. Untuk mencapai stabilitas

    nilai rupiah, tugas menetapkan dan melaksanakan

    kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga

    kelancaran sistem pembayaran yang dilakukan oleh Bank

    Sentral.

    Dalam pada itu, setiap penyelenggara negara wajib

    mengelola keuangan negara/daerah secara tertib, taat

    pada perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif,

    transparan, dan bertanggung jawab dengan

    memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

    Pada hakekatnya Hukum Keuangan Negara adalah masuk

    dalam ruang lingkup Hukum Administrasi yamg kemudian

    disebut Administrasi Perbendaharaan atau comptabel

    Administratief recht. Pemerintah dalam pengelolaan

    keuangan negara mempunyai posisi yang sangat strategis

    dalam pengambilan kebijakan keuangan negara guna

    kepentingan yang mendesak bagi penyelenggaraan

    pemerintahan dan pembangunan nasional.

    Dalam sisi yang lain, keputusan Presiden adalah mengatur

    tata cara pelaksanaan APBN dalam kerangka memberikan

    landasan operasional bagi pelaksanaan dan penggunaan

    keuangan negara melalui APBN sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya

    berbagai kasus korupsi di negara Indonesia ini, baik di

    lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif

    menggambarkan pengelolaan keuangan negara tidak

    berjalan dengan baik walaupun sudah dibekali dengan

    berbagai peraturan perundang-undangan dan sanksi

    yang berat untuk menjerat pelaku korupsi (koruptor).

    Dengan melihat adanya fenomena banyaknya pejabat

    negara baik itu Menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati/Walikota,

    serta berpuluh anggota DPR/DPRD, Direktur Bank, dan

    lain sebagainya yang ditangkap oleh KPK, hal ini

    menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan negara

    tersebut sangat jelek, tidak transparan dan kurang

    bertanggung jawab. Kebanyakan pejabat negara tersebut

    kurang memperhatikan aspek-aspek kejujuran,

    profesionalisme, transparansi dan bertanggung jawab.

    Hal ini kemudian ditambah lagi pola kerja yang seharusnya

    bersifat praktis, ekonomis, dinamis, harmonis, bebas,

    aktif, transparan, dan bertanggung jawab. Adapun

    jabaran pola kerja di atas di atas adalah sebagai berikut:

    Aspek Praktis: karena tidak terlalu bertele dengan

    teori melulu, langsung membawa manfaat praktis

    bagi rakyat.

    Aspek ekonomis: karena penganggaran itu dilakukan

    sehemat mungkin sesuai dengan kebutuhan (bilamana

    dipandang perlu) dan jauh dari pemborosan dan

    kebocoran keuangan negara yang dikelolanya.

    Aspek dinamis: karena pengelolaan keuangan negara

    itu mampu menggerakkan rakyat untuk ikut dalam

    berpartisipasi dalam setiap gerak pembangunan

    nasional sesuai dengan keadaan dan potensinya

    masing-masing.

    22

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    Aspek harmonis: karena sifat kebersamaan tanpa

    pamrih dalam partisipasinya pada pembangunan

    nasional.

    Aspek bebas: karena setiap kebijakan yang dibuat

    pejabat itu tidak kaku, melainkan sangat luwes, dan

    mengacu pada kepentingan masyarakat atau rakyat.

    Aspek aktif: karena diharapkan pejabat dan rakyat

    bersama secara gotong royong ikut partisipasi dalam

    setiap gerak pembangunan yang ada.

    Aspek transparan: karena setiap sen uang yang berasal

    dari rakyat dan semua pengelolaan sumber daya alam

    yang ada di negara kita baik berupa pajak, non pajak,

    BUMN/BUMD dan lain-lain sumber dana perusahaan

    negara/daerah, harus ditransparansikan ke rakyat

    agar rakyat tahu untuk apa uang/dana itu digunakan.

    Aspek bertanggung jawab: karena semua kegiatan

    pengelolaan keuangan negara itu harus bisa

    dipertanggungjawabkan secara hukum kepada

    masyarakat.

    Untuk itu semua dibutuhkan jiwa kepemimpinan yang

    berkesadaran, yaitu selalu mentaati dan melaksanakan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam

    pengelolaan keuangan negara.

    Adapun permasalahan dalam tulisan ini adalah: apakah

    pengelolaan keuangan negara itu telah dilaksanakan

    dengan baik, efektif, efisien sesuai dengan peraturan

    perundang-undangan yang berlaku (Vide Undang-

    Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara

    dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang

    Perbendaharaan Negara).

    Dalam hal ini permasalahan pengelolaan keuangan negara

    itu menyangkut :

    Pola atau bentuk penyimpangan apa saja yang

    merupakan perilaku korupstif dalam pengelolaan

    keuangan negara.

    Apa sanksi-sanksi yang diterapkan kepada para pelaku

    korupsi sudah sesuai dengan rasa keadilan yang ada

    dalam masyarakat dan peraturan perundang-

    undangan yang berlaku (vide UU No. 31 Tahun 1999

    tentang Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun

    2011 tentang Pidana Korupsi).

    Dalam penyelenggaraan keuangan negara itu dikenal

    adanya fungsi anggaran yang terurai sebagai berikut :

    1. Fungsi Otorisasi, yaitu dasar untuk melaksanakan

    pendapatan dan belanja pada tahun yang

    bersangkutan.

    2. Fungsi Perencanaan, yaitu pedoman bagi

    menejemen dalam perencanaan kegiatan pada tahun

    yang bersangkutan.

    3. Fungsi Pengawasan, yaitu pedoman untuk menilai

    apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan

    negara sudah sesuai dengan ketentuan yang

    ditetapkan.

    Bidang Pengelolaan Keuangan Negara yang luas ini

    kemudian dikelompokkan menjadi sub bidang

    pengelolaan fiskal, sub bidang pengeloaan moneter,

    dan sub bidang pengeloaan negara yang dipisahkan.

    Pertanggungjawaban Keuangan Negara

    Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi

    dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah

    penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan

    pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu

    dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi

    pemerintah yang telah diterima secara umum.

    Adapun Laporan keuangan tersebut terdiri atas :

    Laporan realisasi anggaran;

    Neraca;

    Laporan arus kas;

    Catatan atas laporan keuangan yang tersusun secara

    standar akuntansi pemerintahan.

    Ketentuan Pidana, Sanksi Administrasi dan Ganti

    Rugi

    Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota

    yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan

    yang telah ditetapkan dalam Undang-undang APBN/

    Peraturan daerah tentang APBD diancam dengan Pidana

    Penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-

    undang.

    23

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/

    Satuan Kerja Perangkat yang terbukti melakukan

    penyimpangan kegiatan anggaran yang telah

    ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Perda

    tentang APBD diancam dengan Pidana Penjara dan

    Denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

    Dalam pada itu Presiden dapat memberikan sanksi

    administrasi sesuai dengan ketentuan undang-undang

    kepada Pegawai Negeri serta pihak-pihak lain yang tidak

    memenuhi kewajibannya sesuai dengan undang-undang

    yang berlaku.

    Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undang

    No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi

    Jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang

    Tindak Pidana Korupsi

    Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa setiap

    orang yang secara melawan hukum melakukan perbuiatan

    memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

    korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

    perekonomian negara dipidana dengan Pidana seumur

    hidup atau Pidana Penjara paling singkat 4 (empat)

    tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan

    denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus

    juta rupiah).

    Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut dilakukan

    dalam keadaan tertentu, maka pidana mati dapat

    dijatuhkan.

    Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri

    sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (menyalah-

    gunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada

    padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

    merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

    dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau

    pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

    lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling

    sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan

    paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar

    rupiah), hal ini tertuang dalam Pasal 3 Undang-undang

    di atas.

    Pengembalian kerugian negara atau perekonomian

    negara tidak menghapuskan dipidananya Pelaku Tindak

    Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal

    3 undang-undang tersebut di atas.

    Dalam undang-undang itu juga dinyatakan demi

    kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan

    keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta

    benda milik isteri atau suami, anak, dan harta benda

    setiap orang atau korporasi yang diketahui dan/atau

    yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak

    pidana korupsi yang dilakukan tersangka.

    Pegawai Negeri atau penyelenggara negara baik langsung

    maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam

    pemborongan, pengadaan, persewaan yang saat

    dilakukan perbuatan untuk seluruh/sebagian ditugaskan

    untuk mengurus/mengawasinya dipidana minimal 4

    (empat) tahun maksimal 20 (dua puluh tahun) dengan

    denda minimal Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)

    maksimal Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) (suatu

    contoh Kasus eskalator Pasar Turi) > Pasal 12 huruf

    (i) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang

    Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban

    Keuangan Negara

    Dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 15 tahun 2004

    tersebut dinyatakan bahwa Setiap orang dipidana paling

    lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda

    Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), bila :

    Ayat (1): Tidak menjalankan kewajiban, menyerahkan

    dokumen, memberikan keterangan demi

    kepentingan kelancaran pemeriksaan

    sebagaimana dimaksud Pasal 10 undang-

    undang ini.

    Ayat (2): Mencegah, menghalangi, menggagalkan

    pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana

    dimaksud Pasal 10 undang-undang ini.

    24

  • Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012

    Ayat (3) : Menolak pemanggilan yang dilakukan oleh

    BPK sebagaimana dimaksud Pasal 11 undang-

    undang ini tanpa alasan penolakan secara

    tertulis.

    Ayat (4) : Memalsukan atau membuat dokumen palsu,

    dokumen yang diserahkan sebagaimana

    dimaksud ayat (1) dipidana paling lama 3

    (tiga) tahun dan/atau denda

    Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

    TAP MPR NO. VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan

    Berbangsa

    Penyadaran tentang arti penting tegaknya eti