bu let in hukum 09091211

83
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011 Aspek Hukum Kepailitan Dan Insolvensi Bank Di Negara-Negara Asean Pembenahan Hukum Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Resensi Buku: Kepalitian Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Suatu Bank Cakrawala Hukum: Laporan Mengikuti Sosialisasi RUU Pencegahan Dan Pendanaan Terorisme Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2011 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, September - Desember 2011

Upload: dimot2001

Post on 29-Nov-2015

63 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bu Let in Hukum 09091211

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Aspek Hukum Kepailitan Dan Insolvensi Bank Di Negara-Negara Asean

Pembenahan Hukum Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan

Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia

Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009

Resensi Buku: Kepalitian Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Suatu Bank

Cakrawala Hukum: Laporan Mengikuti Sosialisasi RUU Pencegahan Dan Pendanaan Terorisme

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2011

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, September - Desember 2011

Page 2: Bu Let in Hukum 09091211

Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDirektorat Hukum Bank Indonesia

PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

Penanggung JawabAhmad Fuad, Christina Sani, Heru Pranoto

Pemimpin RedaksiChristina Sani

Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi

Dewan Redaksi Imam Subarkah, Sudarmaji, Arief R. Permana, Amsal Chandra Appy, Rosalia Suci, Rika S. Dewi,

Amy Rachmy Budiati, Hari Sugeng Raharjo, Suprianto, Umi Widji R.

Redaksi PelaksanaDyah Pratiwi, Hernowo Koentoadji, Ellia Syahrini, Kesumawati,

Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo

Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM

Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH

Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,

Direktorat Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DirektoratStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]

Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile(021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan

publikasi, kemudian pilih publikasi”

Page 3: Bu Let in Hukum 09091211

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 4: Bu Let in Hukum 09091211

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9 Nomor 3, Edisi September s.d Desember2011 kembali hadir

ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya.

Dalam rangka menyongsong berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 yang menandakan lahirnya

babak baru hubungan kerjasama ekonomi regional di antara negara-negara ASEAN, pemahaman yang memadai mengenai

berbagai sistem hukum dan ketentuan terkait dengan bidang-bidang yang relevan dengan terbentuknya MEA merupakan

suatu keharusan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kajian mengenai aspek hukum insolvensi dan kepailitan bank di negara-

negara ASEAN dimaksudkan untuk melengkapi persiapan-persiapan yang diperlukan dalam rangka perundingan-perundingan

menuju terbentuknya MEA tahun 2015. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Buletin edisi ini akan diterbitkan artikel

mengenai Aspek Hukum Kepailitan dan Insolvensi Bank di Negara-Negara Asean.

Selain itu, Buletin juga menurunkan 2 artikel lainnya, yaitu :

1. Pembenahan Hukum Prasyarat Pertubuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan, oleh Dr. Dian Ediana Rae, SH.,

LLM.

2. Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia

Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Dan Dengan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009, oleh Sri Hariningsih, SH., MH.

Selanjutnya, redaksi juga menyajikan resensi buku “Kepailitan Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam

Kepailitan Suatu Bank yang ditulis oleh Dr. Silvia Janistriwati, SH., M Hum. Dalam hal ini resensi ditulis oleh Ellia Syahrini SH.,

CN, Analis Hukum Senior Bank Indonesia.

Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan memuat

daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Juni sampai dengan Desember

2011, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca

dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Selamat membaca.

Jakarta, Desember 2011

Redaksi

Dari Meja Redaksi

i

Page 5: Bu Let in Hukum 09091211

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 6: Bu Let in Hukum 09091211

Halaman

Dari Meja Redaksi............................................................................................................................................ i

Daftar Isi.......................................................................................................................................................... iii

Aspek Hukum Kepailitan Dan Insolvensi Bank Di Negara-Negara Asean............................................................ 1 - 34

Rosalia Suci, SH, LLM; Teddy Yusuf, SH., LLM; Isnu Yuwana, SH., LLM; Safari Kasiyanto, SH., LLM;

Dwi Kartika Siregar, SH.

Pembenahan Hukum Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan............................ 35 - 38

Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM

Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang

Bank Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6

Tahun 2009..................................................................................................................................................... 39 - 45

Sri Hariningsih, SH., MH

Resensi Buku:

Kepalitian Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Suatu Bank............................... 47 - 50

Ellia Syahrini, SH., CN

Cakrawala Hukum:

Laporan Mengikuti Sosialisasi RUU Pencegahan Dan Pendanaan Terorisme....................................................... 51 - 55

Redaksi

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Juni - Desember 2011................... 57 - 59

Tim Informasi Hukum

(Direktorat Hukum Bank Indonesia)

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Juni - Desember 2011............................................................................. 61 - 75

Tim Informasi Hukum

(Direktorat Hukum Bank Indonesia)

Buletin Hukum Perbankan dan KebanksentralanVolume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

iii

Page 7: Bu Let in Hukum 09091211

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 8: Bu Let in Hukum 09091211

Abstrak

Dalam rangka menyongsong berlakunya Masyarakat

Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 yang menandakan

lahirnya babak baru hubungan kerjasama ekonomi regional

di antara negara-negara ASEAN, pemahaman yang

memadai mengenai berbagai sistem hukum dan ketentuan

terkait dengan bidang-bidang yang relevan dengan

terbentuknya MEA sebagaimana tercantum dalam ASEAN

Economic Community Blueprint (AEC Blueprint) merupakan

suatu keharusan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Kajian mengenai aspek hukum insolvensi dan kepailitan

bank di negara-negara ASEAN dimaksudkan untuk

melengkapi persiapan-persiapan yang diperlukan dalam

rangka perundingan-perundingan menuju terbentuknya

MEA tahun 2015. Dengan demikian, pada saat terbentuknya

MEA dimana aliran barang, jasa, investasi dan tenaga kerja

bergerak secara bebas (tahun 2015) dan terjadinya liberalisasi

sub sektor jasa perbankan (tahun 2020), telah terdapat

prinsip-prinsip atau standar hukum yang berlaku secara

regional terkait dengan penyelesaian insolvensi dan kepailitan

bank termasuk bank yang beroperasi secara lintas batas

(cross border) di ASEAN. Kajian mengenai aspek hukum

insolvensi dan kepailitan bank meliputi aspek-aspek

pengaturan insolvensi dan kepailitan dalam sistem hukum

dan perundang-undangan di masing-masing negara ASEAN,

otoritas yang berwenang dalam insolvensi dan kepailitan

bank, prioritas pembayaran dalam penyelesaian kepailitan

bank, cross border insolvency termasuk di dalamnya

pengakuan dan pelaksanaan putusan kepailitan pengadilan

asing.

Secara umum, pengaturan insolvensi dan kepailitan bank

di masing-masing negara ASEAN diatur dalam undang-

undang tersendiri disamping adanya undang-undang

kepailitan yang berlaku secara umum.

Terkait dengan otoritas yang berwenang dalam proses

pengajuan insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara

ASEAN, hampir semua negara mengatur bahwa hal tersebut

merupakan kewenangan otoritas moneter atau Bank

Sentral. Sementara itu, khususnya terkait dengan likuidasi

bank, pada umumnya dilakukan melalui proses penetapan

pengadilan berdasarkan pengajuan dari bank sentral kecuali

di Indonesia yang proses likuidasinya merupakan

kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan tanpa perlu

adanya penetapan pengadilan.

Dalam tata urutan prioritas pembayaran terkait dengan

penyelesaian harta debitur pailit, hampir semua negara

ASEAN menggolongkan nasabah bank dalam kategori

kreditur konkuren. Namun demikian, dalam rangka

memberikan perlindungan kepada nasabah bank, negara-

negara Anggota ASEAN menerapkan sistem penjaminan

atas simpanan nasabah bank yang nilai nominal

penjaminannya berbeda-beda di masing-masing negara.

Pengaturan proses insolvensi yang debiturnya mempunyai

aset atau kreditur di luar negeri termasuk pengakuan

putusan pengadilan asing (cross border insolvency) berbeda-

beda antara negara yang satu dengan negara lainnya.

Beberapa negara mengatur bahwa hukum kepailitan hanya

berlaku terhadap aset-aset debitur yang berada di dalam

negeri. Sementara itu, negara-negara lainnya mengatur

bahwa putusan kepailitan pengadilan negara-negara tersebut

selain berlaku terhadap aset-aset debitur yang berada di

dalam negeri juga menjangkau terhadap aset-aset debitur

yang berada di luar negeri.

Terkait dengan pengaturan pengakuan putusan pengadilan

asing, beberapa negara tidak mengakui putusan pengadilan

kepailitan asing. Negara lainnya mengakui putusan kepailitan

pengadilan asing dengan syarat negara tersebut telah

menandatangani perjanjian bilateral/multilateral mengenai

pengakuan putusan kepailitan pengadilan asing, atau

institusi yang dipailitkan didirikan di negara tersebut.

1

1 Tim Moneter dan Sistem Pembayaran, Direktorat Hukum Bank Indonesia

Aspek Hukum Kepailitan Dan Insolvensi Bank Di Negara-Negara ASEANRosalia Suci, SH., LLM; Teddy Yusuf, SH., LLM; Isnu Yuwana, SH., LLM; Safari Kasiyanto, SH., LLM; Dwi Kartika Siregar, SH.1

Page 9: Bu Let in Hukum 09091211

Permasalahan hukum yang mungkin timbul dari pengaturan

kepailitan bank yang berbeda-beda, khususnya adalah

tidak dapat dilaksanakannya suatu putusan kepailitan dari

pengadilan suatu negara atas kepailitan bank yang

mempunyai kreditur dan aset di luar negara tersebut

dikarenakan tidak diakuinya putusan kepailitan bank

tersebut oleh negara lainnya. Kondisi tersebut berpotensi

menciptakan tidak adanya kepastian hukum dalam

penyelesaian kasus-kasus cross border insolvency.

Idealnya, untuk mengatasi permasalahan hukum tersebut

diperlukan harmonisasi hukum khususnya terkait dengan

pengaturan cross border insolvency. Harmonisasi ketentuan

insolvensi dan kepailitan bank tersebut merupakan salah

satu infrastruktur penunjang yang diperlukan apabila

nantinya disepakati akan beroperasi qualified ASEAN banks

secara lintas batas di kawasan ASEAN dan akan melengkapi

infrastruktur lain yang diperlukan seperti cross border bank

supervision dan cross border bank resolution.

Sebelum langkah harmonisasi hukum dilaksanakan, terlebih

dahulu perlu dilakukan assesment secara mendalam atas

hukum kepailitan dan ketentuan perbankan terkait dengan

insolvensi dan kepailitan bank di masing-masing negara

ASEAN. Namun demikian, sebagaimana lazimnya dalam

suatu organisasi internasional, untuk dapat dilakukannya

proses assesment di masing-masing negara-negara ASEAN

terlebih dahulu perlu adanya kesepakatan dalam forum

ASEAN mengenai pentingnya assesment atas ketentuan

mengenai insolvensi dan kepailitan bank sebagai langkah

awal mempersiapkan harmonisasi hukum terkait dengan

berlakunya MEA.

Dari sudut pandang Indonesia, pemikiran mengenai perlunya

dilakukan harmonisasi hukum insolvensi dan kepailitan

bank harus dikaitkan dengan tinjauan dari aspek kepentingan

dan strategi bisnis dan ekonomi sehingga Indonesia dapat

memanfaatkan pasar bersama ASEAN di bidang perbankan

dengan memperhatikan potensi, kekuatan dan kelemahan

yang dimiliki oleh Indonesia.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam rangka menyongsong berlakunya Masyarakat

Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 yang

menandakan lahirnya babak baru hubungan

kerjasama ekonomi regional di antara negara-

negara ASEAN, pemahaman yang memadai

mengenai berbagai sistem hukum dan ketentuan

terkait dengan bidang-bidang yang relevan dengan

terbentuknya MEA sebagaimana tercantum dalam

ASEAN Economic Community Blueprint (AEC

Blueprint) merupakan suatu keharusan dan tidak

bisa ditawar-tawar lagi. Salah satu upaya yang telah

dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka

mencapai tujuan tersebut adalah dengan melakukan

penelitian studi komparasi sistem hukum dan

ketentuan terkait dengan lalu lintas modal,

kelembagaan dan insolvensi di negara-negara

ASEAN bekerja sama dengan 2 (dua) universitas di

Bandung yaitu Fakultas Hukum Universitas

Padjadjaran dan Fakultas Hukum Universitas

Parahyangan.

Penelitian mengenai sistem hukum dan ketentuan

terkait dengan kelembagaan serta insolvensi di

negara-negara ASEAN tersebut masih bersifat

umum dan belum secara spesifik meneliti institusi

bank secara komprehensif. Oleh karena itu, untuk

lebih memperdalam dan memperoleh gambaran

secara lebih menyeluruh terkait dengan topik

penelitian tersebut, diperlukan kajian yang lebih

khusus dan mendalam mengenai salah satu materi

yang relevan dengan tugas BI yaitu terkait dengan

aspek hukum insolvensi dan kepailitan bank di

negara-negara ASEAN.

Kajian mengenai aspek hukum insolvensi dan

kepailitan bank di negara-negara ASEAN tersebut

dimaksudkan untuk melengkapi persiapan-

persiapan yang diperlukan dalam rangka

perundingan-perundingan menuju terbentuknya

MEA tahun 2015. Dengan demikian, pada saat

terbentuknya MEA dimana aliran barang, jasa,

investasi dan tenaga kerja bergerak secara bebas

(tahun 2015) dan terjadinya liberalisasi sub sektor

jasa perbankan (tahun 2020), telah terdapat prinsip-

prinsip atau standar hukum yang berlaku secara

regional terkait dengan penyelesaian insolvensi

dan kepailitan bank termasuk bank yang beroperasi

secara lintas batas (cross border) di ASEAN.

2

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 10: Bu Let in Hukum 09091211

1.2. Identifikasi Masalah

Beberapa permasalahan yang akan dibahas dan

didiskusikan dalam kajian ini meliputi :

a. Bagaimanakah pengaturan insolvensi dan

kepailitan bank dalam ketentuan dan peraturan

perundang-undangan di negara-negara ASEAN?

b. Bagaimanakah proses insolvensi dan kepailitan

bank di negara-negara ASEAN dan siapakah

otoritas yang berwenang dalam proses insolvensi

dan kepailitan tersebut ?

c. Bagaimanakah pengaturan prioritas pembayaran

dalam penyelesaian insolvensi dan kepailitan

bank dan aspek perlindungan nasabah di

negara-negara ASEAN?

d. Bagaimanakah pengaturan cross border

insolvensi dan pengakuan putusan pengadilan

kepailitan asing di negara-negara ASEAN?

e. Apakah potensi permasalahan hukum yang

mungkin timbul dari pengaturan insolvensi dan

kepailitan bank yang berbeda-beda di negara-

negara ASEAN?

1.3. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini adalah

untuk mengidentifikasi norma-norma atau prinsip-

prinsip yang seyogyanya diberlakukan sebagai

standar dalam ketentuan insolvensi dan kepailitan

bank termasuk bank yang beroperasi lintas batas

di negara-negara ASEAN.

1.4. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan

masukan bagi Bank Indonesia dalam rangka

mempersiapkan dan mengantisipasi negosiasi

terkait jasa perbankan dalam rangka terbentuknya

MEA tahun 2015 dan liberalisasi sub sektor

perbankan tahun 2020.

II. GAMBARAN UMUM TENTANG SISTEM HUKUM DAN

KETENTUAN TERKAIT DENGAN INSOLVENSI DAN

KEPAILITAN BANK DI NEGARA-NEGARA ASEAN

2.1. Pendahuluan

Pada umumnya hampir di semua negara manapun

di dunia termasuk di negara-negara ASEAN,

pengaturan mengenai insolvensi dan kepailitan

diatur dalam peraturan perundang-undangan

tersendiri. Pengaturan mengenai insolvensi dan

kepailitan tersebut selain diatur dalam undang-

undang juga diatur dalam ketentuan dan peraturan

lain di bawah undang-undang seperti peraturan

pemerintah, peraturan presiden dan peraturan

lainnya sebagai peraturan tambahan atau peraturan

pelaksanaan dari undang-undang kepailitan tersebut.

Peraturan perundang-undangan terkait dengan

insolvensi dan kepailitan di masing-masing negara

mengatur mengenai berbagai aspek mengenai

insolvensi dan kepailitan secara umum atas debitur

yang mengalami keadaan insolven atau yang tidak

dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh

tempo termasuk juga mekanisme permintaan atau

gugatan pailit oleh debitur sendiri atau pihak kreditur

melalui proses pengadilan.

Untuk pengaturan tentang insolvensi dan kepailitan

bank, sistem pengaturan di masing-masing negara

cukup bervariasi. Sebagian negara mengaturnya

dalam peraturan perungan-undangan yang

mengatur insolvensi dan kepailitan secara umum,

di beberapa negara lain mengaturnya secara

tersendiri dalam perundang-undangan yang

mengatur tentang perbankan.

Kajian hukum ini akan fokus terutama pada

berbagai isu terkait dengan insolvensi dan kepailitan

bank dengan tetap mengulas beberapa hal pokok

tentang ketentuan insolvensi dan kepailitan secara

umum. Pengumpulan bahan-bahan dan informasi

yang digunakan dalam kajian ini terutama diperoleh

melalui internet dan sebagian dari bank-bank sentral

negara-negara yang menjadi objek kajian. Adapun

negara-negara yang menjadi objek dalam kajian

ini adalah Filipina, Vietnam, Thailand, Indonesia,

Singapura, dan Malaysia.

2.2. Peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai insolvensi dan kepailitan bank di

negara-negara Asean

2.2.1Filipina

Pengaturan mengenai insolvensi dan

3

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 11: Bu Let in Hukum 09091211

kepailitan secara umum terdapat dalam the

Civil Code of Philippines khususnya buku IV

title XIX mengenai Concurrence and

Preference of Credits dan dalam the

Corporation Code of Philippines tahun 1980

khususnya Title XIV mengenai Dissolution,

section 11 sampai dengan section 122.

Selanjutnya, insolvensi dan kepailitan diatur

secara lebih detail dalam undang-undang

khusus yaitu Undang-Undang No.1956 tahun

1909 (dikenal dengan nama the Insolvensi

Law) dan Dekrit Presiden (Presidential Decree)

No.902.A tahun 1976 sebagaimana telah

diamandemen tahun 1981.

Sementara itu, untuk insolvensi dan kepailitan

bank, tunduk pada peraturan perundang-

undangan tersendiri (lex specialis) yaitu the

New Central Bank Act No.7653 tahun 1993

(the New Central Bank Act) khususnya section

30, 31, dan 32.

2.2.2Vietnam

Pengaturan mengenai insolvensi dan

kepailitan secara umum terdapat dalam Law

No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004

tentang Bankruptcy Law. Namun demikian,

dalam klausul 2 Article 2 Bankruptcy Law

diatur bahwa terhadap perusahaan tertentu

antara lain untuk perbankan, pemerintah

harus mengatur lebih lanjut termasuk

bagaimana penerapan Bankruptcy Law

dimaksud. Disamping itu, mengenai

insolvensi dan kepailitan bank, terdapat

pengaturan yang cukup rinci dalam Law No.

47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010 tentang

Credit Institution yang mulai berlaku pada

tanggal 1 Januari 2011.

2.2.3Thailand

Secara umum, pengaturan mengenai

insolvensi dan kepailitan di Thailand terdapat

dalam the Bankruptcy Act, B.E. 2483 tahun

1940 (the Bankrupcty Act 1940) dan dalam

the Civil and Commercial Code khususnya

section 1247 sampai dengan 1273. The

Bankruptcy Act 1940 telah mengalami

beberapa kali perubahan yaitu dengan the

Bankruptcy Act (No.4) B.E.2541 tahun 1998,

the Bankruptcy Act (No.5),B.E 2542 (1999)

dan the Bankruptcy Act (No.7), B.E.2547

tahun 2004.

The Bankruptcy Act 1940 dan perubahannya

mengatur mengenai prosedur kepailitan dan

rehabilitasi bagi debitur pailit baik yang

berbentuk perorangan maupun korporasi

termasuk pula commercial bank, finance

company, finance and securities company or

a credit financing company. Sementara itu,

the Civil and Commercial Code mengatur

mengenai prosedur likuidasi sukarela dari

debitur yang mengalami pailit.

2.2.4Indonesia

Pengaturan mengenai kepailitan secara

umum terdapat dalam Undang-Undang No.

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(Undang-Undang Kepailitan) yang mencabut

Undang-Undang tentang Kepailitan

(Faillissementsverordening Staatsblad

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) dan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1998 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-

Undang (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3778). Dalam Undang-Undang tersebut

terdapat ketentuan yang mengatur bahwa

untuk bank permohonan pernyataan pailit

hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia2.

Disamping itu, pengaturan mengenai likuidasi

bank diatur tersendiri dalam Undang-Undang

No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan

4

2 Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 12: Bu Let in Hukum 09091211

sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang No.10 tahun 1998 dan Undang-

Undang No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga

Penjamin Simpanan (UULPS) yang mulai

berlaku pada tanggal 22 September 2005.

2.2.5Singapura

Pengaturan mengenai insolvensi, kepailitan

secara umum serta penutupan/pembubaran

perusahaan terdapat dalam Bankruptcy Act

(Statute of The Republic of Singapore, Chapter

20) dan Companies Act (Statute of the

Republic of Singapore, Chapter 50).

Sedangkan pengaturan lebih lanjut mengenai

penutupan bank diatur dalam Banking Act

(Statute of the Republic of Singapore, Chapter

19).

2.2.6Malaysia

Secara umum, pengaturan mengenai

insolvensi dan kepailitan di Malaysia diatur

dalam :

1) Bankruptcy Act 1964, berlaku untuk

proses kepailitan bagi debitur individual;

2) Companies Act 1965, khususnya Bab VII,3

Bab VIII4 dan Bab X5, berlaku untuk proses

kepailitan bagi debitur perusahaan; dan

3) Banking and Financial Institution Act 1989

(BAFIA), berlaku khusus untuk proses

insolvensi dan kepailitan bagi bank,

khususnya Bab X yang mengatur

mengenai Kewenangan Pengawasan dan

Pengendalian, serta Pasal 72 sampai

dengan Pasal 81.

Dengan demikian, pengaturan mengenai

insolvensi dan kepailitan untuk bank di

Malaysia diatur dalam suatu undang-undang

tersendiri terpisah dari aturan umum

mengenai kepailitan yang diatur dalam

Bankruptcy Act 1964 dan Company Act 1965.

2.3. Otoritas yang berwenang dalam proses

insolvensi dan kepailitan bank

2.3.1Filipina

Otoritas yang berwenang untuk menyatakan

bahwa suatu bank6 mengalami keadaan

insolvensi dan oleh karena itu terhadap bank

tersebut perlu dilakukan upaya-upaya

penyelamatan atau dilikuidasi adalah the

Banko Central Monetary Board (the Monetary

Board). Sementara itu lembaga yang ditunjuk

oleh the Monetary Board untuk melakukan

upaya rehabilitasi atau melikuidasi bank yang

mengalami insolvensi adalah the Philippine

Depository Insurance Corporation (PDIC).

Sesuai dengan section 30 the New Central

Bank Act diatur bahwa apabila berdasarkan

laporan kepala departemen pengawasan, the

Banko Central Monetary Board (the Monetary

Board) menemukan indikasi bahwa suatu

bank mengalami kondisi-kondisi tersebut di

bawah ini:

1) tidak mampu membayar kewajiban yang

telah jatuh tempo namun tidak termasuk

kewajiban-kewajiban luar biasa yang

disebabkan oleh kepanikan dalam

komunitas perbankan.

2) diperintahkan oleh Bank Sentral Filipina

untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya

kepada Bank Sentral.

3) tidak dapat melanjutkan kegiatan

usahanya dan apabila dilanjutkan

kemungkinan akan menimbulkan

kerugian bagi nasabah penyimpan atau

krediturnya.

4) secara sadar melanggar keputusan the

Monetary Board yang telah final terkait

dengan sanksi atau perintah penghentian

sementara kegiatan usaha tertentu dari

5

3 Scheme of Arrangement/Reconstruction.

4 Receivers & Managers.

5 Winding Up.

6 Sesuai dengan section 3 the New Central Bank Act, bank dibedakan menjadi bank dan quasi bank. Quasi bank adalah perusahaan keuangan dan lembaga keuangan non bank yang melaksanakan fungsi seperti layaknya bank.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 13: Bu Let in Hukum 09091211

bank sesuai dengan section 377 the New

Central Bank Act termasuk juga tindakan-

tindakan atau transaksi-transaksi curang

yang bertujuan untuk menghilangkan

aset bank.

Maka tanpa memerlukan pembahasan atau

hearing dengan bank yang bersangkutan

terlebih dahulu, the Monetary Board dapat

melarang bank untuk melanjutkan kegiatan

usahanya dan selanjutnya menunjuk PDIC

sebagai receiver (pengelola sementara)8.

Khususnya untuk quasi bank9 setiap orang

yang diakui memiliki kompetensi dibidang

keuangan dan perbankan dapat ditunjuk

sebagai receiver. Setelah mendapat

penunjukan dari the Monetary Board, PDIC

segera melakukan langkah-langkah sebagai

berikut:

1) Mengumpulkan semua aset-aset dan

mengambil alih kewajiban-kewajiban

bank yang bersangkutan

2) Melaksanakan kewenangan-kewenangan

umum sebagaimana diatur dalam the

Revised Rules of Court kecuali untuk

melakukan pembayaran-pembayaran

biaya administratif, mengalihkan atau

menjual aset-aset bank. Namun demikian,

PDIC diperbolehkan untuk menempatkan

dana-dana bank dalam bidang-bidang

investasi yang tidak bersifat spekulatif.

Selanjutnya dalam waktu tidak lebih dari 90

(sembilan puluh) hari, PDIC akan memutuskan

apakah bank tersebut dapat atau tidak dapat

direhabilitasi atau diiziinkan untuk beroperasi

kembali dan aman bagi nasabah penyimpan,

kreditur dan kepentingan umum. Keputusan

untuk mengizinkan bank tersebut beroperasi

kembali tetap tunduk pada persetujuan dari

the Monetary Board.

Dalam hal PDIC memutuskan bahwa bank

yang bersangkutan tidak dapat direhabilitasi

atau diizinkan untuk beroperasi kembali,

the Monetary Board akan memberitahukan

secara tertulis kepada manajemen bank dan

memerintahkan PDIC untuk melakukan proses

likuidasi bank tersebut. Setelah menerima

perintah likuidasi dari the Monetary Board,

PDIC melakukan tindakan-tindakan sebagai

berikut :

1) Meminta penetapan secara ex parte10

kepada pengadilan regional yang tepat

untuk melakukan proses likudiasi atas

bank yang bersangkutan sesuai dengan

the liquidation plan yang diadopsi oleh

PDIC untuk semua bank-bank yang

ditutup. Dalam hal quasi bank, the

liquidation plan ditentukan oleh the

Monetary Board. Berdasarkan

kewenangannya, pengadilan akan

mengadili tuntutan-tuntutan kepada bank,

membantu pelaksanaan pemenuhan

kewajiban-kewajiban pemegang saham

secara individu, pengurus dan karyawan

bank serta memutuskan isu-isu lain yang

mempunyai nilai material bagi

pelaksanaan the liquidation plan.

2) Mencairkan aset-aset bank untuk

membayar kewajiban-kewajiban bank

sesuai dengan ketentuan prioritas

pembayaran sebagaimana diatur dalam

the Civil Code of Philipines. PDIC dengan

bantuan counsel diberikan pula wewenang

6

7 Section 37 the New Central Bank Act menyebutkan beberapa sanksi administrative yang dapat diterapkan terhadap bank dan quasi bank yang melanggar ketentuan perundang-undangan perbankan yang berlaku meliputi :a. Denda dalam jumlah yang ditentukan oleh the Monetary Board

tetapi tidak melebihi 30.000 peso perhari per pelanggaran b. Penundaan pemberian fasilitas atau akses kredit dari Bank Sentral

Filipina c. Penundaan dalam kegiatan kliring antar bank d. Pencabutan izin quasi bank

8 PDIC adalah lembaga pemerintah yang berperan sebagai penjamin simpanan, receiver dan likuidator untuk institusi perbankan di Filipina.

9 Dalam Section 3 the New Central Bank Act No.7653 disebutkan bahwa quasi bank mengacu pada perusahaan-perusahaan keuangan dan lembaga-lembaga keuangan non bank yang melaksanakan fungsi-fungsi quasi bank (menyerupai bank)

10 Bahasa latin yang berarti satu pihak saja atau tanpa perlu adanya pemberitahuan atau persetujuan dari pihak yang lain (Black’s Law Dictionary)

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 14: Bu Let in Hukum 09091211

untuk dan atas nama bank untuk

mengumpulkan, mengembalikan dan

mempertahankan aset-aset bank dari

tuntutan atau klaim dari pihak lain.

Seluruh aset bank yang berada dibawah

pengawasan PDIC dan dalam porses

likuidasi dianggap berada dalam status

custodia legis11 di tangan PDIC dan oleh

karenanya dari sejak bank berada dalam

pengelolaan PDIC dan likudasi aset-aset

bank tersebut dikecualikan dari proses

garnishment12, levy13, sita, atau eksekusi.

Keputusan the Monetary Board untuk

memerintahkan PDIC melikuidasi bank

bermasalah yang sudah tidak dapat

direhabilitas bersifat final, mengikat dan tidak

dapat dikesampingkan oleh pengadilan.

Namun demikian, keputusan tersebut masih

dapat di challenge melalui gugatan certiorari14

ke pengadilan dengan dasar gugatan bahwa

the Monetary Board telah bertindak melebihi

atau menyalahgunakan kewenangannya.

Gugatan certiorari tersebut harus diajukan

oleh pemegang saham mayoritas dalam

waktu 10 hari sejak the Board of Director

Bank menerima pemberitahuan penyerahan

bank ke PDIC atau bank akan dilikuidasi.

2.3.2Vietnam

Otoritas yang berwenang untuk menetapkan

penanganan atas suatu bank yang mengalami

kesulitan keuangan yang mengancam

keamanan sistem perbankan adalah The

State Bank of Vietnam (Bank Sentral Vietnam).

Penanganan yang dilakukan dapat meliputi

pembelian saham bank, keputusan untuk

melakukan penggabungan usaha, peleburan,

atau pembubaran bank, sampai dengan

melakukan tugas dan kewenangan sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan

yang mengatur kepailitan dari credit

institutions (termasuk bank yang merupakan

salah satu bentuk dari credit institutions)15.

Pengaturan mengenai kepailitan dan likuidasi

diatur dalam Chapter VIII (Special Control,

Reorganization, Bankruptcy, Dissolution and

Liquidation of Credit Institution), Law

No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010

tentang Credit Institution. Dalam Chapter VIII

antara lain diatur bahwa ketika suatu bank

mengalami kesulitan likuiditas dan menghadapi

adanya kemungkinan insolvensi, maka bank

dimaksud harus segera melapor kepada the

State Bank mengenai status keuangannya,

penyebab terjadinya kesulitan likuiditas, serta

langkah-langkah yang telah dan akan dilakukan

untuk mengatasi kesulitan dimaksud.16 The

State Bank dapat menempatkan bank, yang

menghadapi kemungkinan insolvensi, dalam

pengawasan khusus, yaitu pengawasan

langsung dari the State Bank.17

The State Bank akan menempatkan suatu

bank dalam pengawasan khusus dalam hal

bank mengalami hal-hal sebagai berikut:18

1. Menghadapi kemungkinan insolvensi;

2. Terdapat kewajiban-kewajiban yang tidak

dapat dipenuhi yang kemungkinan dapat

menyebabkan insolvensi;

7

11 bahasa latin yang berarti dalam penguasaan hukum atau aset dalam pengawasan pengadilan selama berlangsungnya proses litigasi terhadap aset tersebut (Black’s Law Dictionary)

12 Suatu proses hukum dimana seorang kreditur meminta pengadilan agar memerintahkan pihak ketiga yang berhutang kepada debitur atau memegang jaminan debitur menyerahkan tagihan atau aset debitur yang dikuasai oleh pihak ketiga tersebut kepada kreditur (Black’s Law Dictionary).

13 Pengenaan denda atau pajak (Black’s Law Dictionary)

14 Bahasa latin yang berarti perintah pengadilan banding yang memerintahkan pengadilan dibawahnya untuk mengirimkan berkas perkara kepada pengadilan banding untuk proses review.

15 Point 12, Article 4, Law No. 46/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang The State Bank of Vietnam. Mengenai pengertian credit institution dan bank terdapat dalam Point 1 dan 2 Article 4, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.

16 Article 145, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.

17 Article 146, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.

18 Article 147, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 15: Bu Let in Hukum 09091211

3. Memiliki kerugian yang secara kumulatif

melebihi 50% dari nilai aktual modal

disetor dan dana cadangan yang tercantum

dalam financial statement hasil audit

terakhir.

4. Memiliki peringkat “poor” berdasarkan

ketentuan the State Bank dalam 2 tahun

berturut-turut.

5. Mengalami kegagalan untuk memelihara

rasio modal minimal sebagaimana dimaksud

dalam Point b, Clause 1, Article 130 Law

No. 47/2010/QH12 dalam 1 tahun atau

rasio dimaksud turun menjadi dibawah

4% dalam 6 bulan berturut-turut.

Dalam menempatkan bank dalam pengawasan

khusus, the State Bank juga membentuk

Special Control Board yang bertugas untuk19:

1. Memberikan arahan kepada direksi bank

yang berada dalam pengawasan khusus

dalam memformulasikan suatu Rencana

Konsolidasi Organisasi dan Operasional.

2. Memberikan arahan dan pengawasan

dalam pengimplementasian langkah-

langkah penanganan yang tercantum

dalam Rencana Konsolidasi Organisasi

dan Operasional yang telah disetujui oleh

Special Control Board.

3. Memberikan laporan kepada the State

Bank mengenai operasional bank dan

hasil pelaksanaan Rencana Konsolidasi

Organisasi dan Operasional.

Dalam melaksanakan tugasnya, Special Control

Board memiliki kewenangan antara lain20 :

1. Menghentikan kegiatan operasional yang

tidak sesuai dengan Rencana Konsolidasi

Organisasi dan Operasional atau

bertentangan dengan praktek perbankan

yang sehat yang dapat merugikan

kepentingan nasabah penyimpan dana.

2. Mengusulkan kepada the State Bank

untuk memperpanjang atau

menghentikan pengawasan khusus,

memberikan atau menghentikan

pinjaman kepada bank, membeli saham

bank, melikuidasi atau mencabut izin

usaha, atau mewajibkan untuk

menerima, menggabungkan usaha,

meleburkan, atau mengambilalih bank.

3. Meminta kepada bank untuk

mengajukan permohonan kepailitan

kepada pengadilan berdasarkan the

Bankruptcy Law.

Tugas Special Control akan berakhir dalam

hal credit institution:21

a. beroperasi kembali secara normal;

b. telah dilakukan penggabungan usaha

atau peleburan dengan credit institution

lain selama dalam pengawasan khusus;

c. credit institution tidak dapat dipulihkan;

Jika pengakhiran status dalam pengawasan

khusus dihentikan karena credit institution

tidak dapat dipulihkan maka the State Bank

akan menyampaikan dokumen-dokumen

terkait penghentian upaya penyehatan credit

institution kepada pengadilan.22

Terkait dengan upaya penyehatan credit

institution, Deposit Insurer dapat menyediakan

bantuan finansial dalam bentuk loan

provision, guarantee, atau debt re-purchase

kepada credit institution dalam hal menurut

the State Bank pembubaran atau kepailitan

dari suatu credit institution dapat berpengaruh

terhadap keamanan sistem keuangan dan

perbankan nasional serta kondisi politik dan

sosial ekonomi Bantuan finansial dari Deposit

Insurer ini harus dibayar kembali oleh credit

instituion yang menerimanya sebelum

8

19 Clause 1, Article 148, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.

20 Clause 2, Article 148, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.

21 Article 152, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.

22 Clause 3, Article 152, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 16: Bu Let in Hukum 09091211

pembayaran utang-utang lainnya oleh credit

institution.23

Setelah the State Bank menerbitkan dokumen

penghentian pengawasan khusus atau

penghentian atau tidak dipenuhinya langkah-

langkah penyehatan. Dalam hal credit

institution tetap dalam kondisi pailit maka

credit institution harus mengajukan

permohonan kepada pengadilan untuk

putusan pernyataan pailit.24 Setelah menerima

permohonan pernyataan pailit, pengadilan

akan memulai proses penyelesaian

permohonan pernyataan pailit dan segera

menerapkan prosedur untuk melikuidasi aset

credit institution berdasarkan the Bankruptcy

Law.25

2.3.3Thailand

Secara umum, ada 3 (tiga) jenis prosedur

kepailitan yang tersedia di Thailand yaitu :

1) prosedur kepailitan langsung;

2) prosedur restrukturisasi atau prosedur

reorganisasi;

3) prosedur likuidasi.

Dalam prosedur kepailitan langsung untuk

segala jenis debitur termasuk bank komersial

dan lembaga keuangan lainnya, pemohon

kepailitan dapat merupakan kreditur preferen,

kreditur konkuren ataupun likuidator yang

telah ditunjuk.

Untuk prosedur restrukturisasi atau reorganisasi,

pihak-pihak yang dapat menjadi pemohon

kepada pengadilan diatur sebagai berikut :

1) Seorang kreditur atau beberapa orang

kreditur yang jumlah piutang secara

keseluruhannya mencapai lebih dari 10

juta baht.

2) Debitur yang memiliki kualifikasi sebagai

berikut :

a) Perseroan terbatas atau juristic person26

apapun sebagaimana diatur dalam

peraturan menteri.

b) Mengalami pailit

c) Memiliki hutang kepada satu atau

beberapa kreditur yang secara

keseluruhan mencapai lebih dari 10

juta baht tanpa memandang apakah

hutang tersebut akan jatuh tempo

dalam waktu dekat atau jatuh tempo

pada masa yang akan datang.

d) Tidak ada putusan pengadilan yang

memerintahkan aset debitur insolven

ditempatkan dalam absolut custody.

3) Bank of Thailand dalam hal debitur insolven

adalah bank komersial, lembaga keuangan,

perusahaan keuangan dan sekuritas atau

perusahaan pembiayaan kredit.

4) The Office of the Securities and Exchange

Commision dalam hal debitur pailit adalah

perusahaan sekuritas.

5) Perusahaan asuransi dalam hal debitur

insolven adalah perusahaan asuransi

kecelakaan atau kematian.

6) Agen-agen pemerintah (government

agencies) yang diberikan kewenangan

untuk mengawasi kegiatan usaha debitur.

Dalam prosedur likuidasi, keputusan untuk

melikuidasi suatu institusi atau debitur insolven

berada pada rapat umum pemegang saham.

Setelah adanya keputusan dari rapat umum

pemegang saham untuk melikuidiasi debitur

insolven tersebut dilanjutkan dengan

penunjukan likuidator. Selanjutnya, likuidator

akan mengajukan permohonan likuidasi

kepada pengadilan.

9

23 Article 14, Article 15 Circular State Bank of Vietnam No. 03/2006/TT-NHNN tanggal 25 April 2006 tentang Guiding the implementation of several contents of the Decree No. 89/1999/ND-CP dated 01/09/1999 of the Government on deposit insurance and the Decree No.109/2005/ND-CP dated 24/8/2005 of the Government on the amandment, supplement of several articles of the Decree No. 89/1999/ND-CP.

24 Clause 1, Article 155, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.

25 Clause 2, Article 155, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.

26 Disebut juga sebagai artificial person yang berarti entitas seperti perusahaan yang diciptakan oleh hukum dan diberikan hak dan kewajiban tertentu sebagaimana layaknya manusia. (Black’s Law Dictionary)

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 17: Bu Let in Hukum 09091211

Dalam prosedur rehabilitasi atau restrukturisasi

debitur insolven berupa bank, permohonan

diajukan oleh Bank of Thailand ke pengadilan.

Dalam hal pengadilan telah menerima

permohonan rehabilitasi dari Bank of Thailand,

pengadilan akan menunjuk the planner

(pengelola sementara) yang akan diberikan

tugas untuk mengelola bisnis dan aset bank,

membayar kreditur, memperoleh kredit,

menjual aset dan mewakili bank di muka

pengadilan. Selanjutnya, dalam hal bank

tersebut tidak dapat direhabilitasi dikarenakan

aset bank tidak mencukupi untuk menutup

seluruh kewajibannya maka the planner akan

mengajukan proses likuidasi bank tersebut

ke pengadilan yang mewilayahi.

2.3.4Indonesia

Otoritas yang berwenang dalam menangani

bank yang mengalami kesulitan yang dapat

membahayakan kelangsungan usahanya

adalah Bank Indonesia (BI). Keadaan suatu

bank dikatakan mengalami kesulitan yang

membahayakan kelangsungan usahanya

apabila berdasarkan penilaian BI kondisi

usaha bank semakin memburuk antara lain

ditandai dengan menurunnya permodalan,

kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta

pengelolaan bank yang tidak dilakukan

berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas

Perbankan yang sehat.27

Dalam rangka menangani bank yang

mengalami kesulitan yang dapat

membahayakan kelangsungan usahanya

tersebut, Bank Indonesia dapat melakukan

tindakan-tindakan sebagai berikut :28

a. pemegang saham menambah modal;

b. pemegang saham menganti Dewan

Komisaris dan atau Direksi bank;

c. bank menghapusbukukan kredit atau

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah

yang macet dan memperhitungkan

kerugian bank dengan modalnya;

d. bank melakukan merger atau konsolidasi

dengan bank lain;

e. bank dijual kepada pembeli yang bersedia

mengambil alih seluruh kewajiban;

f. bank menyerahkan pengelolaan seluruh

atau sebagian kegiatan bank kepada

pihak lain;

g. bank dijual sebagian atau seluruh harta

dan atau kewajiban bank kepada bank

atau pihak lain.

Tindakan-tindakan tersebut di atas dilakukan

agar tidak terjadi pencabutan izin usaha

dan/atau likuidasi. Dengan kata lain, tindakan-

tindakan tersebut dilakukan dalam rangka

mempertahankan/menyelamatkan bank

sebagai lembaga kepercayaan masyarakat.29

Selanjutnya, apabila tindakan tersebut diatas

masih belum cukup untuk mengatasi kesulitan

yang dihadapi bank dan menurut penilaian

BI dapat membahayakan sistem Perbankan,

BI dapat mencabut izin usaha bank dan

memerintahkan Direksi bank untuk segera

menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang

Saham guna membubarkan badan hukum

bank dan membentuk tim likuidasi.30 Dalam

hal Direksi bank tidak menyelenggarakan

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), BI

meminta kepada pengadilan untuk

mengeluarkan penetapan yang berisi

pembubaran badan hukum bank, penunjukan

tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan

likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.31

10

27 Penjelasan Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan.

28 Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan.

29 Penjelasan Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan.

30 Pasal 37 ayat 2 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan.

31 Pasal 37 ayat 3 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan jo. Pasal 14 ayat (1).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 18: Bu Let in Hukum 09091211

Dalam proses kepailitan bank, otoritas yang

berwenang untuk mengajukan permohonan

pernyataan pailit adalah BI dan pernyataan

pailit dimaksud ditetapkan oleh putusan

Pengadilan Niaga.32 Berbeda dengan

pertimbangan permohonan pailit untuk

institusi lain, diajukan atau tidak diajukannya

permohonan pernyataan pailit suatu bank

ke pengadilan niaga oleh BI, didasarkan pada

penilaian atas kondisi keuangan bank yang

bersangkutan yang dikaitkan pula dengan

kondisi perbankan secara keseluruhan dan

bukan semata-mata pada pertimbangan

persyaratan kepailitan sebagaimana diatur

Undang-Undang Kepailitan.33 Walaupun

permohonan pernyataan pailit untuk bank

hanya dapat diajukan oleh BI, namun

kewenangan BI untuk mengajukan pernyataan

pailit tersebut tidak menghapuskan

kewenangan BI untuk melakukan pencabutan

izin usaha bank, pembubaran badan hukum,

dan likuidasi bank sesuai peraturan

perundang-undangan34. Dalam prakteknya,

sampai dengan saat ini BI belum pernah

mempergunakan mekanisme kepailitan dalam

rangka penyelesaian bank yang mengalami

keadaan insolvensi, namun cenderung

menggunakan mekanisme sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang Perbankan.

Setelah berlakunya Undang-Undang No. 24

Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin

Simpanan, Selanjutnya, otoritas yang

menangani suatu bank yang dicabut izin

usahanya adalah Lembaga Penjamin

Simpanan (LPS). Penanganan tersebut

meliputi pengambilalihan hak dan wewenang

pemegang saham, termasuk hak dan

wewenang Rapat Umum Pemegang Saham

(RUPS)35. Dengan diambilalihnya hak dan

wewenang RUPS tersebut, LPS segera

memutuskan pembubaran badan hukum

bank, pembentukan Tim Likuidasi (TL),

penetapan status bank sebagai “Bank Dalam

Likuidasi”, serta penonaktifan seluruh Direksi

dan Dewan Komisaris. TL kemudian akan

menangani likuidasi dan pembubaran badan

hukum bank tersebut, dan melaporkan

pelaksanaan tugas tersebut kepada LPS.

2.3.5Singapura

Article 253 huruf g Companies Act (Statute

of the Republic of Singapore, Chapter 50)

menyebutkan bahwa dalam hal perusahaan

bergerak di bidang usaha perbankan,

perusahaan tersebut dapat ditutup (baik

secara sukarela ataupun tidak), berdasarkan

putusan Pengadilan atas permohonan the

Monetary Authority of Singapore (MAS).

Dalam hal bank akan atau menjadi insolven,

atau Bank tidak memenuhi kewajibannya,

atau Bank telah menunda atau akan menunda

pembayarannya, maka Bank tersebut harus

segera menginformasikan kepada MAS.36

MAS berwenang untuk melakukan tindakan-

tindakan tertentu dalam hal menurut

pendapat MAS, bank menjalankan kegiatan

usaha dengan cara-cara yang mungkin akan

merugikan nasabahnya atau mengalami

keadaan insolven atau tidak dapat memenuhi

kewajibannya dan melanggar ketentuan

undang-undang perbankan. Tindakan-

tindakan tertentu tersebut misalnya dengan

meminta bank untuk melakukan atau tidak

melakukan hal-hal yang terkait dengan usaha

bank, menunjuk satu atau lebih statutory

11

32 Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

33 Persyaratan kepailitan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi sebagai berikut “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

34 Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

35 Pasal 3 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 001/PLPS/2010 tentang Likuidasi Bank.

36 Article 48 Banking Act

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 19: Bu Let in Hukum 09091211

adviser, menunjuk satu orang atau lebih

statutory manager.37

Apabila setelah MAS melakukan tindakan-

tindakan tersebut di atas dan bank tetap

tidak bisa diselamatkan, maka MAS dapat

mengajukan permohonan winding up atas

Bank tersebut ke pengadilan.

2.3.6Malaysia

Sesuai Pasal 72 dan Pasal 73 ayat (1) huruf

(b) BAFIA, bank yang mengalami insolvensi

dapat diketahui melalui dua cara, yakni:

1) Dari bank yang bersangkutan, yang

kemudian diharuskan memberitahukan

hal tersebut kepada Bank Negara Malaysia

(BNM) selaku bank sentral;38 atau

2) Ditetapkan oleh BNM.39

Terhadap bank yang mengalami insolvensi

tersebut, BNM dengan terlebih dahulu

mendapat persetujuan dari Menteri

Keuangan40 dapat melakukan tindakan-

tindakan sebagai berikut:

1) Meminta bank dimaksud untuk mengambil

langkah-langkah yang diperlukan41 terkait

dengan kelembagaan, kegiatan usaha,

direktur maupun pegawai bank yang

bersangkutan, dalam jangka waktu

tertentu sebagaimana tertuang dalam

perintah BNM kepada bank tersebut;42

2) Melarang bank dimaksud untuk

melakukan ekspansi kredit dalam jangka

waktu tertentu, termasuk membuat

pengecualian-pengecualian atas larangan

tersebut dan memberlakukan

persyaratan-persyaratan yang harus

dipenuhi oleh bank terkait pengecualian-

pengecualian tersebut;43

3) Memberhentikan pegawai bank dimaksud

terhitung sejak tanggal efektif sebagaimana

ditetapkan dalam perintah BNM;44

4) Melakukan penggantian satu atau lebih

direktur pada bank tersebut;45 atau

5) Menunjuk seorang advisor bagi bank

tersebut, yang pembayaran remunerasinya

menjadi beban bank yang bersangkutan.46

12

37 Article 49 Banking Act

38 Lihat Pasal 72 BAFIA, yang berbunyi: “Any licensed institution which considers that it is insolvent, or is likely to become unable to meet all or any of its obligations, or, that it is about to suspend payment to any extent, shall immediately inform the Bank of that fact.” Sesuai Pasal 2 ayat (1) BAFIA, “’Bank’ means the Central Bank of Malaysia established by the Central Bank of Malaysia Act 1958.”

39 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (b) BAFIA, yang berbunyi: “whether after an examination under section 69 or 70, or otherwise howsoever, the Bank is satisfied that a licensed institution—(i) is carrying on its business in a manner detrimental to the interests

of its depositors, or its creditors, or the public generally;(ii) is insolvent, or has become or is likely to become unable to meet

all or any of its obligations, or is about to suspend payment to any extent; or

(iii) has contravened any provision of this Act or the Central Bank of Malaysia Act 1958, or any condition of its licence, or any provision of any written law, regardless that there has been no criminal prosecution in respect thereof… “.

40 Lihat Pasal 73 ayat (1) paragraf kedua yang berbunyi: “….Provided that the powers of the Bank… shall be exercised only with the prior concurrence of the Minister.”

41 Termasuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan adalah melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

42 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (A) BAFIA, yang berbunyi: “the Bank may, by order in writing, exercise any one or more of the following powers, as it deems necessary:(A) require the licensed institution to take any steps, or any action, or to do or not to do any act or thing, whatsoever, in relation to the institution, or its business, or its directors or officers, which the Bank may consider necessary and which it sets out in the order, within such time as may be set out therein”

43 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (B) BAFIA, yang berbunyi: “…(B) prohibit a licensed institution from extending any further credit facility for such period as may be set out in the order, and make the prohibition subject to such exceptions, and impose such conditions in relation to the exceptions, as may be set out in the order, and, from time to time, by further order similarly made, extend the aforesaid period”

44 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (C) BAFIA, yang berbunyi: “…(C) notwithstanding anything in any written law, or any limitations contained in the constituent documents of the licensed institution, for reasons to be recorded by it in writing, remove from office, with effect from such date as may be set out in the order, any officer of the licensed institution”

45 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (D) BAFIA, yang berbunyi: “…(D) notwithstanding anything in any written law, or any limitations contained in the constituent documents of the licensed institution, and, in particular, notwithstanding any limitation therein as to the minimum or maximum number of directors, for reasons to be recorded by it in writing— (i) remove from office, with effect from such date as may be set out

in the order, any director of the licensed institution; or(ii) appoint any person or persons as a director or directors of the

licensed institution, and provide in the order for the person or persons so appointed to be paid by the institution such remuneration as may be set out in the order”

46 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (E) BAFIA, yang berbunyi: “…(E) appoint a person to advise the licensedinstitution in relation to the proper conduct of its business, and provide in the order for the person so appointed to be paid by the institution such remuneration as may be set out in the order”

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 20: Bu Let in Hukum 09091211

Dalam hal bank yang mengalami insolvensi

adalah bank lokal Malaysia, maka terlepas

apakah BNM telah atau belum mengambil

tindakan-tindakan sebagaimana tersebut di

atas, maka BNM harus merekomendasikan

kepada Menteri Keuangan, dan selanjutnya

Menteri Keuangan berdasarkan rekomendasi

dari BNM tersebut segera mengeluarkan

perintah yang dimuat dalam Berita Negara,

terkait dengan hal-hal sebagai berikut:

1) Bagi BNM untuk mengendalikan dan

menjalankan seluruh harta kekayaan dan

kegiatan bisnis dari bank tersebut, atau

menunjuk pihak lain untuk melakukan

pengendalian tersebut untuk dan atas

nama BNM, serta dengan beban biaya

BNM, atau remunerasi bagi pihak yang

ditunjuk tersebut dapat di settle dengan

harta kekayaan bank dengan segera

(preferen);47

2) Mengizinkan BNM untuk mengajukan

penetapan kepada Pengadilan Tinggi

terkait penunjukan kurator atau pengampu

untuk mengelola harta kekayaan dan

menjalankan bisnis bank tersebut, serta

melakukan seluruh perintah pengadilan

tinggi baik yang bersifat prinsipiil, insidentil

maupun supporting, sesuai dengan

arahan dari BNM;48

3) Mengizinkan BNM untuk mengajukan

gugatan ke pengadilan tinggi untuk

pembubaran bank.49

Perintah dari BNM yang berisi tindakan-

tindakan yang harus dilakukan bank yang

mengalami insolvensi sebagaimana tersebut

di atas maupun perintah dari Menteri

Keuangan yang dimuat dalam Berita Negara,

dari waktu ke waktu dapat dimodifikasi,

diubah, disesuaikan atau diganti.50

Lebih lanjut, aturan-aturan dalam BAFIA

yang terkait dengan penunjukan: (1) pihak

lain untuk mengelola/menjalankan bisnis

bank, (2) direktur baru, atau (3) advisor bagi

bank yang mengalami insolvensi adalah

sebagai berikut:

1) Penunjukan dilakukan untuk jangka

waktu tidak lebih dari 2 (dua) tahun.

Meskipun demikian, yang bersangkutan

dapat ditunjuk kembali untuk periode 3

(tiga) kali berturut-turut dengan masing-

masing periode tidak lebih dari 1 (satu)

tahun. Pihak yang ditunjuk wajib

menjalankan tugas sesuai dengan

perintah BNM.51

2) Syarat dan ketentuan yang berlaku bagi

pihak yang ditunjuk oleh BNM disesuaikan

dengan perintah yang mendasari

penunjukan dimaksud. Syarat dan

ketentuan dimaksud dibuat oleh BNM

dan harus mengikat juga bank yang

mengalami insolvensi yang berada di

bawah pengelolaannya.52

3) Pihak yang ditunjuk oleh BNM tidak

boleh dibebani dengan kewajiban atau

tanggung jawab semata-mata karena

penunjukannya.53

13

47 Lihat Pasal 73 ayat (2) huruf (a) BAFIA, yang berbunyi: “…(a) for the Bank to assume control of the whole of the property, business and affairs of the licensed institution, and carry on the whole of its business and affairs, or to assume control of such part of its property, business and affairs, and carry on such part of its business and affairs, as may be set out in the order, or for the Bank to appoint any person to do so on behalf of the Bank, and for the costs and expenses of the Bank, or the remuneration of the person so appointed, as the case may be, to be payable out of the funds and properties of the institution as a first charge thereon”

48 Lihat Pasal 73 ayat (2) huruf (b) BAFIA, yang berbunyi: “…(b) whether or not an order has been made under paragraph (a), to authorize an application to be made by the Bank to the High Court to appoint a receiver or manager to manage the whole of the business, affairs and property of the licensed institution, or such part thereof as may be set out in the order, and for all such incidental, ancillary or consequential orders or directions of the High Court in relation to such appointment as may, in the opinion of the Bank, be necessary or expedient”

49 Lihat Pasal 73 ayat (2) huruf (c) BAFIA, yang berbunyi: “…(c) whether or not an order has been made under paragraph (a) or (b), to authorize the Bank to present a petition to the High Court for the winding up of the institution”

50 Lihat Pasal 73 ayat (3) BAFIA.

51 Pasal 74 ayat (1) BAFIA.

52 Pasal 74 ayat (2) BAFIA.

53 Pasal 74 ayat (4) BAFIA.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 21: Bu Let in Hukum 09091211

4) Penggantian direktur bank yang

mengalami insolvensi tidak membatasi

kemungkinan bank untuk menunjuk

direktur lagi jika anggaran dasar bank

tersebut memungkinkan hal itu dan

penunjukan direktur oleh BNM belum

membuat jumlah maksimum direktur

sebagaimana diatur dalam anggaran

dasar terpenuhi.54

5) Jika seorang kurator atau manager telah

ditunjuk oleh pengadilan tinggi, maka

seluruh biaya, beban dan pengeluaran

yang wajar, termasuk remunerasi untuk

kurator atau manager tersebut harus

dapat dibayar dengan harta kekayaan

dari bank. Kewajiban pembayaran ini

bersifat preferens dibandingkan dengan

kewajiban-kewajiban lainnya.55

Terkait dengan perintah dari BNM kepada

pegawai atau direktur tertentu dari bank yang

mengalami insolvensi untuk meninggalkan

kantor bank dimaksud, BAFIA mengatur hal-

hal sebagai berikut:

1) Pegawai atau direktur bank yang

diperintahkan untuk meninggalkan kantor

oleh BNM harus menghentikan seluruh

kegiatannya di kantor terhitung sejak

tanggal diperintahkan.

2) Pegawai atau direktur dimaksud juga

dilarang memegang posisi atau jabatan

di kantor lain pada bank dimaksud, atau

secara langsung maupun tidak langsung

turut berperan atau terlibat dalam

tindakan atau kegiatan apapun terkait

dengan bank.56

3) Perintah dari BNM kepada pegawai atau

direktur bank untuk meninggalkan kantor

adalah sah menurut hukum, terlepas dari

isi kontrak atau perjanjian yang dibuat

oleh pegawai atau direktur tersebut, dan

orang yang diperintahkan meninggalkan

kantor tidak diberikan hak untuk menuntut

ganti rugi atas kerugian yang timbul dari

perintah untuk meninggalkan kantor

tersebut.57

Terkait dengan pengambilalihan bank oleh

BNM atau pihak lain yang ditunjuk oleh BNM,

BAFIA mengatur hal-hal sebagai berikut:

1) Dalam hal BNM mengambil alih bank

yang mengalami insolvensi, maka bank

dimaksud beserta seluruh direktur dan

pegawainya harus menyerahkan harta

kekayaan, kegiatan usaha dan tindakan-

tindakannya dan menyediakan bagi BNM

atau pihak yang ditunjuk oleh BNM

seluruh fasilitas yang diminta guna

meneruskan kegiatan usaha dari bank

tersebut.58

2) Dalam hal BNM atau pihak yang ditunjuk

oleh BNM telah mengambil alih bank,

maka BNM atau pihak yang ditunjuk

tersebut harus menjalankan kendali atas

bank untuk dan atas nama bank sampai

jangka waktu yang disebutkan dalam

perintah berakhir.59

3) Selama periode kontrol, BNM atau pihak

yang ditunjuk diberikan kekuasaan penuh

atas bank dimaksud beserta seluruh

direkturnya.60

4) Selama jangka waktu pengambil alihan

kendali tersebut, tidak seorang direktur

pun pada bank dimaksud dibenarkan

untuk, baik langsung maupun tidak

langsung, terlibat dalam kegiatan usaha

bank, kecuali diminta atau disetujui oleh

BNM atau pihak yang ditunjuk oleh BNM,

serta tidak dibenarkan untuk membayar

remunerasi kepada direktur tersebut

terkait dengan aktivitas yang diminta

atau disetujui untuk dijalankan oleh BNM,

14

54 Pasal 74 ayat (3) BAFIA.

55 Pasal 74 ayat (5) BAFIA.

56 Pasal 75 ayat (1) BAFIA.

57 Pasal 75 ayat (2) BAFIA.

58 Pasal 76 ayat (1) BAFIA.

59 Pasal 76 ayat (2) BAFIA.

60 Pasal 76 ayat (3) BAFIA.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 22: Bu Let in Hukum 09091211

kecuali telah mendapat persetujuan

tertulis dari BNM atau pihak yang ditunjuk

oleh BNM.61

5) Untuk menghindari keragu-raguan, UU

menyatakan bahwa perintah yang

dikeluarkan oleh BNM atau Menteri

Keuangan tidak boleh berdampak pada

pengalihan title/kepemilikan atau

kepentingan atas harta kekayaan bank

kepada BNM atau pihak yang ditunjuk

BNM.62

6) Kewenangan yang diberikan kepada BNM

atau pihak yang ditunjuk sesuai BAFIA

adalah penambahan kewenangan

sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat

(1) Companies Act 1965.63

Lebih lanjut, dalam hal BNM atau pihak yang

ditunjuk oleh BNM mengambil alih kendali

dari bank yang mengalami insolvensi, dan

modal disetor dari bank tersebut mengalami

penurunan atau tidak tercerminkan dari asset

yang ada, BNM atau pihak yang ditunjuk

dapat meminta penetapan kepada Pengadilan

Tinggi agar memerintahkan pengurangan

modal ditempatkan (share capital) bank

dengan membatalkan sebagian dari modal

disetor yang hilang/turun atau yang tidak

tercermin dari asset yang ada.64 Dalam hal

kemudian Pengadilan Tinggi memerintahkan

penurunan modal ditempatkan atas bank,

maka:

a. berdasarkan permintaan BNM atau pihak

yang ditunjuk; dan

b. jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh

hari) sejak tanggal permintaan bank

kepada shareholders untuk menambah

modal, permintaan dimaksud tidak

dipenuhi, pengadilan juga dapat

memerintahkan pembatalan atas

permintaan penambahan modal yang

belum dibayar tersebut.65 Jika modal

ditempatkan telah diturunkan atau

permintaan penambahan modal telah

dibatalkan, maka BNM atau pihak yang

ditunjuk dapat memerintahkan perubahan

anggaran dasar dari bank tersebut.

Terkait dengan kewenangan Pengadilan

Tinggi, apabila permintaan telah dibuat oleh

BNM kepada Pengadilan Tinggi, maka:

a. Pengadilan Tinggi memiliki kewenangan

sebagaimana dimaksud pada Pasal 64

Companies Act 1965, khususnya terkait

dengan “application for confirmation”;

dan

b. Pasal 64 ayat (9) dan ayat (10) dari

Companies Act 1965 berlaku.66

Lebih lanjut, dalam hal BNM menganggap

bahwa suatu bank tidak akan dapat

memenuhi seluruh atau sebagian dari

kewajibannya atau akan menghentikan

pembayaran, maka dengan tanpa

mengabaikan ketentuan Pasal 31 dan

dengan memperhatikan Pasal 42 Central

Bank of Malaysia Act 1958, maka BNM atas

persetujuan Menteri Keuangan dapat:

a. memberikan pinjaman kepada bank

dengan jaminan surat berharga yang

dapat berupa: (1) saham dari bank

tersebut, (2) saham perusahaan lain, atau

(3) surat berharga lainnya dalam jumlah

yang cukup;

b. membeli saham dari bank tersebut

dengan maksud mengendalikan kegiatan

usaha bank; atau

c. memberikan pinjaman kepada perusahaan

lain untuk membeli saham, atau seluruh

atau sebagian harta dan kewajiban dari

bank tersebut.67

15

61 Pasal 76 ayat (4) BAFIA.

62 Pasal 76 ayat (5) BAFIA.

63 Pasal 77 ayat (4) BAFIA.

64 Pasal 77 ayat (1) BAFIA.

65 Pasal 77 ayat (2) BAFIA.

66 Pasal 77 ayat (4) BAFIA.

67 Pasal 78 ayat (1) BAFIA.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 23: Bu Let in Hukum 09091211

BNM atau perusahaan yang diberi pinjaman

untuk membeli saham bank sebagaimana

tersebut di atas harus segera mengalihkan

saham yang telah dibeli pada saat BNM

berpendapat bahwa alasan untuk memiliki

saham tersebut telah tidak ada.68 Dalam

melaksanakan kewenangan tersebut, BNM

harus berkonsultasi dengan Advisory Panel,

yakni panel yang dibentuk berdasarkan Pasal

31A (2) Central Bank of Malaysia Act 1958.69

Terkait dengan penggunaan istilah “bank”

dalam Bab X, untuk bank yang mengalami

insolvensi, maka istilah tersebut harus dibaca

(termasuk):

a. perusahaan terkait dengan bank; dan

b. orang yang dikendalikan oleh direktur

bank, atau oleh orang yang bertindak

untuk kepentingan direktur bank.70

Lebih lanjut, Menteri Keuangan memiliki

kewenangan sebagai berikut:71

1) Berdasarkan rekomendasi dari BNM jika

dirasa menguntungkan bagi deposan

bank, dan melalui suatu perintah yang

dipublikasikan melalui Berita Negara,

maka Menteri Keuangan dapat:

a. melarang bank menjalankan kegiatan

usahanya, baik sebagian atau

seluruhnya;

b. melarang bank untuk melakukan

aktivitas atau fungsi terkait dengan

kegiatan usahanya;

c. mengizinkan BNM untuk mengajukan

penetapan kepada pengadilan tinggi

agar memerintahkan dalam jangka

waktu maksimal 6 (enam) bulan

dilakukan atau dilangsungkannya

tindakan atau proses perdata oleh

atau melawan bank terkait dengan

kegiatan usaha bank tersebut;

d. membekukan izin bank dimaksud

untuk suatu periode tertentu jika

dianggap perlu; atau

e. melakukan langkah-langkah yang

diperlukan untuk efektivitas pengenaan

sanksi termasuk menaruh di bawah

kustodian atau kontrol BNM atas harta

kekayaan, buku, dokumen atau

kepemilikan bank.

Perintah dari Menteri Keuangan

sebagaimana tersebut di atas dari waktu

ke waktu dapat dimodifikasi, diubah,

disesuaikan atau diganti.

2.4. Prioritas pembayaran dalam proses insolvensi

dan kepailitan bank dan aspek Perlindungan

nasabah

2.4.1Filipina

Kedudukan nasabah bank dalam perkara

insolvensi dan kepailitan bank sesuai dengan

ketentuan the New Central Bank Act termasuk

dalam kategori kreditur konkuren. Namun

demikian, nasabah bank tetap memperoleh

perlindungan dari pemerintah melalui

penjaminan simpanan oleh PDIC sebesar

maksimum P 500.000 (sekitar Rp.100 juta,

kurs P 1 = Rp.200,00 ) per nasabah. Dengan

demikian, dalam hal terjadi suatu bank

mengalami insolvensi dan kemudian dilikuidasi

berdasarkan suatu putusan pengadilan maka

nasabah bank berhak untuk mengajukan

klaim kepada PDIC terkait dengan simpanannya

maksimum senilai P 500.000. Sementara itu

dalam penyelesaian aset dan harta aset bank,

PDIC mengacu kepada section 31 the New

Central Bank Act dan the civil code terkait

dengan kedudukan dan urutan kreditur

preferen dan konkuren.

Sesuai dengan section 31 the New Central

Bank Act diatur bahwa dalam hal suatu bank

atau quasi bank dilikuidasi maka aset dan

harta bank akan dicairkan untuk memenuhi

kewajiban-kewajiban bank dengan urutan

16

68 Pasal 78 ayat (2) BAFIA.

69 Pasal 78 ayat (3) BAFIA.

70 Pasal 79 BAFIA.

71 Kewenangan Menteri Keuangan Malaysia ini diatur dalam Pasal 80

BAFIA.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 24: Bu Let in Hukum 09091211

sebagai berikut :

1) pembayaran biaya perkara di pengadilan;

2) biaya dan fee PDIC yang diizinkan oleh

pengadilan;

3) pembayaran kewajiban-kewajiban bank

berdasarkan perintah pengadilan yang

berpedoman pada ketentuan kreditur

konkuren dan preferen sebagaimana

diatur dalam the Civil Code.

2.4.2Vietnam

Setiap credit institution yang memperoleh

izin untuk melakukan kegiatan perbankan di

Vietnam, wajib berpartisipasi dalam deposit

insurance72. Maksimum simpanan per nasabah

yang dapat dibayar penjaminannya adalah

sebesar 50 juta Dong sedangkan perubahan

atas besarnya nilai penjaminan akan

ditetapkan oleh Perdana Menteri73.

Dalam hal hakim mengeluarkan putusan

untuk melakukan likuidasi, maka terhadap

utang-utang yang dijamin dengan properties

mortgaged atau pledge yang telah dilakukan

sebelum pengadilan menerima permohonan

penetapan kepailitan akan diprioritaskan

untuk dibayar kembali dengan penjualan

harta yang dijaminkan. Dalam hal nilai harta

yang dijaminkan tidak mencukupi untuk

pembayaran utang dimaksud maka

pembayaran sisa utang akan dibayarkan dari

hasil likuidasi kekayaan debitur pailit. Dalam

hal nilai harta yang dijadikan jaminan lebih

besar dari utang maka kelebihannya akan

ditambahkan menjadi kekayaan debitur pailit.74

Bagi badan usaha yang telah mendapatkan

bantuan dari negara untuk melakukan

penyehatan usaha namun tetap gagal dan

dilikuidasi maka badan usaha dimaksud wajib

mengembalikan biaya yang dikeluarkan oleh

negara untuk melakukan penyehatan,

sebelum dilakukan pembagian harta kekayaan

badan usaha kepada para kreditur.75

Selanjutnya, pembagian sisa harta kekayaan

badan usaha yang dilikuidasi diatur berdasarkan

urutan pembayaran sebagai berikut76:

1. biaya kepailitan;

2. utang gaji, pesangon, asuransi sosial untuk

karyawan, dan kepentingan karyawan

lainnya berdasarkan kesepakatan dan

perjanjian dengan karyawan;

3. unsecured debts yang dapat dibayar

kepada para kreditur yang tercantum

dalam daftar kreditur berdasarkan prinsip

bahwa jika nilai kekayaan debitur pailit

mencukupi untuk pembayaran kembali

utang-utangnya, setiap kreditur akan

dibayar sejumlah piutangnya; jika nilai

kekayaan debitur pailit tidak mencukupi

untuk pembayaran utang-utangnya,

setiap kreditur akan dibayar berdasarkan

pembagian sesuai dengan rasio tertentu.

Dalam hal masih terdapat sisa nilai kekayaan

badan usaha setelah dilakukan pembayaran

atas utang-utang sesuai dengan urutan

pembayaran tersebut di atas, maka sisa

kekayaan akan menjadi milik dari77:

1. cooperative members;

2. para pemilik dari private enterprises;

3. members of companies; the shareholders

of joint-stock companies;

4. para pemilik dari State enterprises.

17

72 Section 1, point 1.a., Circular State Bank of Vietnam No. 03/2006/TT-NHNN tanggal 25 April 2006 tentang Guiding the implementation of several contents of the Decree No. 89/1999/ND-CP dated 01/09/1999 of the Government on deposit insurance and the Decree No.109/2005/ND-CP dated 24/8/2005 of the Government on the amandment, supplement of several articles of the Decree No. 89/1999/ND-CP.

73 Article 4, Decree No. 89/1999/ND-CP tanggal 1 September 1999, tentang Deposit Insurance sebagaimana telah diubah dengan Decree No. 109/2005/ND-CP tanggal 24 Agustus 2005.

74 Article 35, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law.

75 Article 36, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law.

76 Clause 1 Article 37, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law.

77 Clause 2 Article 37, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 25: Bu Let in Hukum 09091211

2.4.3Thailand

Sesuai dengan the Bankruptcy Act dan the

Civil and Commercial Act, kreditur preferen

(secured creditor) yaitu kreditur-kreditur yang

memegang hak-hak kebendaan atas aset-

aset debitur dalam bentuk mortgage, pledge,

atau hak retensi atau seorang kreditur yang

memegang hak-hak preferensi yang sejenis

dengan pledge, memiliki hak untuk mengklaim

aset-aset debitur pailit terlebih dahulu

sebelum dikeluarkannya perintah pengadilan

untuk menempatkan aset-aset debitur pailit

dibawah pengawasan dan pengelolaan

kurator (receiver).78 Namun demikian,

kreditur preferen harus mengizinkan kurator

untuk memeriksa legalitas dan keabsahan

aset-aset debitur tersebut. Selanjutnya,

setelah kreditur preferen mengeksekusi aset-

aset debitur dan ternyata aset debitur

tersebut belum cukup untuk memenuhi

kewajiban debitur maka kreditur preferen

tersebut dapat mengajukan klaim untuk sisa

kewajiban debitur yang belum dipenuhi.

Dalam hal kepailitan bank, nasabah bank

termasuk ke dalam golongan kreditur

konkuren berdasarkan the Bankruptcy Act

dan the Civil and Commercial Code.

Dengan demikian, nasabah bank berada

dalam prioritas yang rendah dalam proses

penyelesaian pembayaran kewajiban-

kewajiban bank pailit.79

Namun demikian, dalam rangka memberikan

kepercayaan kepada nasabah penyimpan,

pemerintah menyediakan skim penjaminan

untuk nasabah bank terkait dengan

simpanannya dalam hal terjadi kepailitan atau

likuidasi bank. Perlindungan nasabah bank

tersebut diatur dalam the Deposit Insurance

Act BE 2551 tahun 2008 yang mulai berlaku

pada tanggal 10 Agustus 2008. Dalam

undang-undang tersebut diatur bahwa dari

sejak berlakunya the Deposit Insurance Act

sampai dengan tanggal 11 Agustus 2011,

nasabah bank mendapatkan penjaminan 100

% (seratus persen) atas seluruh simpanannya.

Selanjutnya, sejak tanggal 11 Agustus 2011

sampai dengan tanggal 10 Agustus 2012,

nilai penjaminan simpanan turun menjadi 50

(lima puluh) juta baht atau setara dengan

Rp.15 milyar dan sejak tanggal 10 Agustus

2012, nilai penjaminan simpanan nasabah

bank diberikan hanya sebesar 1 (satu) juta

baht atau setara dengan Rp.300 juta.

2.4.4Indonesia

Pengaturan mengenai prioritas pembayaran

dalam proses insolvensi dan kepailitan bank

dalam kerangka Undang-Undang Kepailitan

mengacu kepada Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata Pasal 1134, 1139, dan 1149,

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-

benda yang Berkaitan dengan Tanah

(Undang-Undang Hak Tanggungan) dan

Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

sebagaimana telah diubah terakhir dengan

Undang-Undang No. 16 Tahun 2009.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut,

dapat disimpulkan bahwa prioritas

pembayaran dalam hal terjadi kepailitan

bank mengikuti tata urutan sebagai berikut:

a. ongkos pengadilan dan biaya-biaya lelang;

b. pajak-pajak;

c. klaim dari kreditur-kreditur preferen yaitu

kreditur yang memegang hak-hak

kebendaan seperti gadai, hipotik, fidusia

dan hak tanggungan atas aset-aset

debitur sebagaimana diatur dalam Pasal

1134 KUH Perdata, dan Undang-Undang

Hak Tanggungan;

d. klaim dari kreditur-kreditur yang memiliki

hak privileged sebagaimana diatur dalam

Pasal 1139 dan 1149 KUH Perdata yaitu

18

78 Lorenz & Partner, Legal, tax and Business Consultants, Bankruptcy and Business Reorganization, hal 9.

79 Dr.Andrew M. Goodman,Thailand’s Deposit Insurance Law : Recent Changes and How They Can Affect You, hal 2

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 26: Bu Let in Hukum 09091211

antara lain terkait dengan penjual barang

bergerak dan tidak bergerak yang belum

terbayar, biaya penyimpanan gudang

yang belum terbayar, gaji karyawan dan

upah buruh yang belum terbayar, klaim

berkenaan dengan biaya pengangkutan,

legal fees;

e. kreditur konkuren.

Nasabah bank termasuk dalam kategori

kreditur konkuren dalam penyelesaian harta

bank yang dipailitkan. Namun demikian,

nasabah bank mendapatkan jaminan atas

simpanannya sebagaimana diatur dalam Pasal

10 dan Pasal 11 Undang-Undang tentang

Lembaga Penjamin Simpanan.80

Berbeda dengan prioritas pembayaran dalam

prosedur kepailitan bank sebagaimana diatur

dalam KUH Perdata, prioritas pembayaran

dalam proses likudasi bank diatur sebagai

berikut :

a. penggantian atas talangan pembayaran

gaji pegawai yang terutang;

b. penggantian atas pembayaran talangan

pesangon pegawai;

c. biaya perkara di pengadilan, biaya lelang

yang terutang, dan biaya operasional

kantor;

d. biaya penyelamatan yang dikeluarkan

oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

dan/atau pembayaran atas klaim

Penjaminan yang harus dibayarkan oleh

LPS;

e. pajak yang terutang;

f. bagian simpanan dari nasabah penyimpan

yang tidak dibayarkan penjaminannya

dan simpanan dari nasabah penyimpan

yang tidak dijamin; dan

g. hak dari kreditur lainnya.

2.4.5Singapura

Kewajiban bank yang harus dibayarkan

sebagaimana diatur dalam Section 62

Banking Act harus diprioritaskan dari

kewajiban konkuren bank lainnya selain dari

utang yang harus didahulukan sebagaimana

diatur dalam Section 328 (1) Companies Act.

Section 62 Banking Act mengatur tata urutan

pendistribusian kewajiban dalam hal terjadi

penutupan Bank sbb :

1) Kontribusi premi yang jatuh tempo dan

harus dibayarkan berdasarkan the Deposit

Insurance Act (Cap. 77A);

2) Kewajiban bank yang timbul terkait

simpanan yang diasuransikan, sampai

dengan jumlah kompensasi yang

dibayarkan dengan dana oleh the

Singapore Deposit Insurance Corporation

(SDIC) berdasarkan Deposit Insurance

Act terkait simpanan yang diasuransikan

dimaksud;

3) Kewajiban bank terkait simpanan yang

timbul dari nasabah non bank selain yang

dispesifikasikan pada angka 2 dan 4;

4) Kewajiban bank terkait simpanan yang

timbul dengan nasabah non-bank apabila

mengoperasikan Asian Currency Unit yang

disetujui berdasarkan section 77.

Kewajiban dimaksud harus :

1) diperingkatkan sebagaimana di atas, akan

tetapi dalam hal kewajiban tersebut

berada pada kelas yang sama maka harus

diperingkatkan setara di antara mereka;

2) dibayarkan penuh kecuali apabila aset

bank tidak cukup memenuhi, maka harus

dibagi dengan proporsi yang adil di antara

mereka.

Lebih lanjut, dalam Section 62 A juga diatur

bahwa dalam hal terjadi penutupan bank di

Singapore, likuidator harus terlebih dahulu

melakukan set off atas kewajiban nasabah

terhadap bank (baik di dalam ataupun di luar

Asian Currency Unit di bank tersebut)

19

80 Pasal 10 UULPS mengatur bahwa LPS menjamin Simpanan nasabah bank yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Pasal 11 ayat (1) berbunyi bahwa Nilai Simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 27: Bu Let in Hukum 09091211

terhadap segala simpanan nasabah yang

ditempatkan dalam bank selain dalam Asian

Currency Unit di bank dimaksud.

Sedangkan tata urutan pendistribusian harta

bank menurut Section 328 (1) Companies

Act yang memiliki hak didahulukan

dibandingkan floating chargeholder dan

kreditor konkuren diatur sebagai berikut:

1) pembayaran biaya dan pengeluaran

terkait penutupan;

2) pembayaran penghasilan atau gaji

sampai dengan lima kali gaji pegawai

atau S$7,500 (yang mana yang lebih

kecil);

3) pembayaran manfaat retrenchment dan

pembayaran ex gratia berdasarkan

Companies Act dengan jumlah maksimal

S$7,500;

4) pembayaran kompensasi pekerja atas

kerugian yang diderita selama bekerja

berdasarkan ketentuan dalam Work Injury

Compensation Act;

5) pembayaran kontribusi kepada national

superannuation scheme;

6) pembayaran remunerasi yang dibayarkan

terkait cuti liburan;

7) pembayaran pajak;

8) manfaat penghargaan dan retrenchment

berdasarkan Employment Act.

Apabila tidak terdapat aset perusahaan yang

cukup untuk membayar kewajiban yang

didahulukan dimaksud, kewajiban dimaksud

akan dibagi secara proporsional. Selanjutnya,

kewajiban yang berada pada peringkat yang

lebih rendah dan kreditur tanpa jaminan

lainnya tidak dibayarkan.

Sisa harta bank setelah pembayaran kepada

secured, preferred dan unsecured creditors

akan dibagikan kepada para pemegang

saham. Dalam hal terdapat saham preferen,

hak atau preferensi akan dilakukan berdasarkan

ketentuan dalam Memorandum of Association

perusahaan dimaksud. Sedangkan pemegang

saham biasa akan berpartisipasi sama rata

atas sisa aset.

Dalam hal bank (yang termasuk dalam Deposit

Insurance Scheme) insolven, simpanan

nasabah paling banyak sebesar S$ 50,000

mendapatkan perlindungan dari Pemerintah

dan berhak untuk mendapatkan kompensasi.

Sesuai Section 21 Deposit Insurance and

Policy Owners’ Protection Schemes Act 2011,

MAS akan memerintahkan SDIC untuk

membayarkan kompensasi kepada nasabah,

dalam hal terdapat putusan pengadilan untuk

menutup bank (yang termasuk dalam Deposit

Insurance Scheme member) tersebut; atau

MAS menetapkan bank tersebut insolven,

tidak mampu atau akan tidak mampu

memenuhi kewajibannya atau akan menunda

pembayarannya.

2.4.6Malaysia

Kedudukan nasabah bank dalam perkara

insolvensi dan kepailitan bank sesuai dengan

ketentuan Pasal 81 ayat (1) BAFIA termasuk

dalam kategori kreditur preferen dibandingkan

dengan seluruh kewajiban lainnya yang

menjadi tanggung jawab bank tersebut.81

Namun demikian, dalam menentukan seluruh

kewajiban dari bank tersebut, maka:

1) bank dilarang memperhitungkan dana

simpanan nasabah pada bank dimaksud

yang pembukaan rekeningnya dilakukan

bertentangan dengan ketentuan pada

BAFIA dan yang dibuat setelah tanggal

efektif, atau yang dibuat sebelum atau

setelah tanggal efektif namun dilakukan

secara melawan hukum.

2) hak untuk melakukan set-off

diberlakukan.82

Sesuai Pasal 81 ayat (4) BAFIA, ketentuan

mengenai kewajiban pembayaran ini tetap

berlaku walaupun terdapat ketentuan hukum

lain selain BAFIA yang mengatur secara berbeda.

20

81 Pasal 81 ayat (1) BAFIA.

82 Pasal 81 ayat (2) dan ayat (3) BAFIA

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 28: Bu Let in Hukum 09091211

2.5. Pengaturan insolvensi dan kepailitan bank

yang beroperasi lintas batas (cross border

insolvency)

2.5.1Filipina

Filipina menganut asas bahwa pengadilan

atau lembaga-lembaga administratif Filipina

tidak mempunyai yurisdiksi yang efektif

terhadap aset-aset debitur korporasi yang

berada diluar negeri apabila debitur korporasi

tersebut tidak memiliki kontrol terhadap

aset-aset diluar negeri tersebut. Hal ini sejalan

dengan asas lex situs83 yang dianut Filipina

dan Article 16 Civil Code yang mengatur

sebagai berikut : “real property as well as

personal property is subject to the law of

the country where it is situated”.84

Terkait dengan asas dan ketentuan tersebut,

dalam hal suatu institusi dipailitkan di Filipina

maka pengadilan Filipina hanya akan

menjangkau aset dan harta debitur pailit

yang berada di yurisdiksi Filipina. Dengan

demikian, dalam hal debitur pailit tersebut

memiliki aset dan harta di luar negeri maka

status aset dan harta tersebut tunduk dan

bergantung pada putusan pengadilan negara

dimana aset tersebut berada karena aset

dan harta debitur pailit yang berada diluar

negeri sepenuhnya tunduk pada hukum dan

perundang-undangan negara setempat.

Demikian pula, dalam hal suatu institusi

dipailitkan di suatu negara dan memiliki aset

dan harta yang berada di Filipina maka tidak

mudah untuk mengeksekusi putusan

pengadilan asing terkait dengan aset dan

harta debitur pailit di Filipina karena

pengadilan Filipina beranggapan bahwa

pengadilan asing tidak mempunyai yurisdiksi

yang memadai terhadap aset debitur pailit

yang berada di Filipina.85

Tidak ada diskriminasi perlakuan antara

kreditur asing dengan kreditur lokal terkait

dengan prioritas pembayaran. Demikian pula

tidak ada persyaratan khusus atau tambahan

agar klaim dari kreditur asing diakui oleh

pengadilan Filipina.

2.5.2Vietnam

Hukum kepailitan (the Bankruptcy Law)

Vietnam tidak mengatur secara spesifik

bahwa putusan pengadilan kepailitan

Vietnam menjangkau aset-aset debitur yang

berada di luar negeri. Namun demikian, the

Bankruptcy law berlaku selain terhadap

debitur-debitur korporasi yang didirikan di

Vietnam juga badan hukum asing atau warga

negara asing yang berada di Vietnam.86

The Bankruptcy Law tidak membedakan

pengaturan terhadap kreditur lokal dan

kreditur asing dan oleh karena itu kreditur

asing dan kreditur lokal diperlakukan sama

didepan pengadilan dalam proses kepailitan.

2.5.3Thailand

Hukum Kepailitan Thailand tidak menjangkau

aset-aset debitur korporasi yang berada

terletak di luar yurisdiksi Thailand. Hukum

kepailitan Thailand hanya berlaku terhadap

aset-aset debitur pailit yang berada wilayah

kerajaan Thailand.87

Hukum kepailitan asing tidak dapat

menjangkau atau mempunyai dampak

terhadap aset-aset debitur pailit yang berada

di Thailand. Aset-aset debitur pailit yang

berada di luar wilayah kerajaan Thailand

tunduk pada hukum kepailitan negara

dimana aset debitur pailit tersebut berada.

21

83 Bahasa latin, mengandung pengertian bahwa hukum yang berlaku bagi suatu aset dan/atau property adalah hukum negara dimana aset dan/atau property itu berada (Black’s Law Dictionary, seventh edition)

84 Asean Development Bank, Promoting Regional Cooperation in the Development of Insolvency reform, Country Report for Singapore Conference Cross-Border Insolvency – Indonesia, Korea, Philippines and Thailand

85 Asean Development Bank, Regional Technical Assistance Project No.5795-REG. Insolvency Law Reforms Report on Philippines, hal 61.

86 www.insol.org/pdf/cross_pdfs/Vietnam.pdf

87 Section 177 the Bankruptcy Act

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 29: Bu Let in Hukum 09091211

Klaim dari kreditur asing diakui berdasarkan

section 91 the Bankruptcy Act B.E.2541.

Namun demikian terdapat ketentuan khusus

terkait dengan klaim dari kreditur asing yang

menyebutkan bahwa adanya bukti bahwa

kreditur Thailand juga mendapatkan perlakuan

yang sama berdasarkan hukum negara

dimana negara asing tersebut bertempat

tinggal. Dalam hal kreditur asing tersebut

telah menerima sebagian pembayaran klaim

di negara asalnya maka kreditur tersebut

harus bersedia untuk menyerahkan hasil

pembayaran tersebut untuk ditambahkan

dalam harta debitur yang berada di Thailand.88

Thailand bukan negara anggota dari konvensi

internasional terkait dengan persoalan-

persoalan insolvensi. Namun demikian,

Thailand menunjuk wakilnya untuk menghadiri

the Working Group on Insolvency Law yang

diinisiasi oleh the United Nations Commision

on International Trade Law dalam rangka

penyusunan draft UNCITRAL Model Legislative

Provision on Cross Border Insolvency.

2.5.4Indonesia

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang

Kepailitan, harta debitur pailit meliputi semua

kekayaan debitur pada saat putusan

pernyataan pailit termasuk kekayaan yang

diperoleh selama proses kepailitan.89 Harta

debitur pailit tersebut juga meliputi harta

debitur pailit yang berada di luar wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia.90

Dalam prakteknya, pelaksanaan eksekusi

putusan kepailitan terhadap aset-aset debitur

pailit yang berada di luar negeri tentunya

tidak mudah untuk dilakukan karena tidak

semua negara secara otomatis mengakui

putusan kepailitan pengadilan asing.

Tidak ada ketentuan khusus dan perbedaan

perlakuan antara kreditur asing dengan

kreditur lokal dalam prioritas pembayaran.

Kreditur asing dapat turut serta dalam proses

kepailitan dan memperoleh pembayaran

dengan menunjukkan bukti-bukti yang

mendukung.

2.5.5Singapura

Singapura adalah sebuah negara common

law yang banyak dipengaruhi oleh hukum

Inggris. Terkait dengan hukum perusahaan,

hukum Singapura mirip dengan hukum

perusahaan yang berlaku di Inggris dan

negara-negara commonwealth lainnya seperti

Australia, Canada, dan Malaysia.

Terkait dengan pengaturan cross border

insolvency, Singapura menerapkan hukum

dimana perusahaan didirikan (the law of the

place of incorporation of a company).

Berdasarkan hukum tersebut diatur bahwa

dalam hal suatu perusahaan didirikan di

Singapura, hukum insolvensi Singapura

menjangkau semua aset-aset yang dimiliki

oleh perusahaan tersebut dimanapun berada.

Di sisi lain, dalam hal suatu perusahaan asing

baik yang terdaftar maupun yang tidak

terdaftar di Singapura mengalami kepailitan

maka hukum insolvensi Singapura hanya

berlaku terhadap aset-aset perusahaan asing

tersebut yang ada di Singapura.91

Tidak ada diskriminasi terhadap kreditur-

kreditur asing yang memiliki hak tagih kepada

debitur pailit di Singapura. Kreditur asing

berhak untuk datang dan mengikuti proses

likuidasi dan berpartisipasi dalam proses

rehabilitasi sebagaimana layaknya kreditur-

kreditur lokal.

22

88 www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_tha_p.pdf.

89 Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan mengatur bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.

90 Pasal 212 Undang-Undang Kepailitan menyebutkan bahwa Kreditor yang setelah putusan pernyataan pailit diucapkan mengambil pelunasan seluruh atau sebagian piutangnya dari benda yang termasuk harta pailit yang terletak diluar wilayah Negara Republik Indonesia, yang tidak diperikatkan kepadanya dengan hak untuk didahulukan wajib mengganti kepada harta pailit segala apa yang diperolehnya. 91 www.adb.org/documents/others/insolvensy

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 30: Bu Let in Hukum 09091211

2.5.6Malaysia

Berdasarkan hukum dan prinsip-prinsip

hukum perselisihan Malaysia di atur bahwa

Likuidator Malaysia dipandang memiliki

yurisdiksi terhadap aset-aset debitur korporasi

yang didirikan (incorporated) di Malaysia yang

berada diluar negeri. Selanjutnya, melalui

kerjasama antar negara, diharapkan bahwa

berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum

privat internasional, pengadilan asing dimana

aset-aset debitur tersebut berada akan

mengakui keberadaan Likuidator Malaysia.

Tidak terdapat perbedaan atau diskriminasi

dalam Hukum Malaysia terkait dengan klaim

dari kreditor lokal maupun asing. Selain itu,

tidak terdapat ketentuan khusus atau

persyaratan tambahan bagi kreditor asing

untuk dapat melakukan klaim, khususnya

terkait dengan prioritas pembayaran. Satu-

satunya ketentuan yang terkait dengan klaim

kreditor asing adalah Exchange Control Act

1953 yang mewajibkan kreditor asing

mendapatkan izin dari Malaysian Controller

of Exchange Control (Bank Negara Malaysia)

untuk membawa hasil klaimnya ke luar dari

wilayah Malaysia. Dalam praktiknya, izin

dimaksud sangat jarang tidak dikabulkan.

2.6. Pengakuan dan pelaksanaan putusan

pengadilan asing terkait dengan kepailitan

bank

2.6.1Filipina

Pengadilan Filipina tidak mengakui proses

peradilan dan putusan pengadilan asing

terkait dengan harta debitur pailit yang berada

di Filipina. Dengan demikian, walaupun terjadi

suatu pengadilan asing telah memutuskan

kepailitan suatu debitur dan kepailitan

tersebut juga meliputi aset dan harta debitur

pailit di Filipina maka dalam prakteknya

putusan pengadilan asing tersebut sulit untuk

diakui dan dieksekusi di Filipina. Oleh karena

itu, apabila kreditur asing atau lembaga asing

akan mengklaim aset debitur pailit yang

berada di Filipina, harus dilakukan dengan

mengajukan gugatan pailit ke pengadilan

Filipina dengan mengacu pada persyaratan-

persyaratan yang ditetapkan dalam the

Insolvency Law of the Philippines.

Filipina mengakui keberadaan UNICITRAL

Model Law on Cross Border Insolvency, namun

tidak ada satupun ketentuan dan perundang-

undangan Philippines terkait dengan insolvensi

dan kepailitan yang mengadopsi model law

tersebut.92

2.6.2Vietnam

Berdasarkan the Civil Procedure Code93 (the

CPC) diatur bahwa putusan pengadilan

negara asing akan diakui di Vietnam apabila

negara asing tersebut menandatangani

perjanjian dengan Vietnam terkait dengan

pengakuan dan eksekusi putusan pengadilan

asing atau negara asing tersebut merupakan

co-signatory sebuah international treaty

tentang pengakuan dan eksekusi putusan

pengadilan asing dimana Vietnam juga

terikat dengan perjanjian tersebut.94 Pada

saat ini Vietnam telah menandatangani

perjanjian bilateral dengan 11 Comecon

countries95 terkait dengan pengakuan dan

pelaksanaan putusan pengadilan asing.

Namun demikian Vietnam belum

menandatangani perjanjian bilateral terkait

dengan pengakuan dan pelaksanaan

putusan pengadilan asing dengan negara-

negara ASEAN. Sampai dengan saat ini,

23

92 Opcit.

93 The Civil Procedure Code (the CPC) adalah kodifikasi atau kumpulan ketentuan-ketentuan dan prosedur terkait dengan civil court, economic court dan labour court dan prosedur pengakuan dan eksekusi putusan pengadilan asing dan dan arbitrase asing. The CPC disahkan oleh the National Assembly Vietnam pada tanggal 15 Juni 2004 dan mulai berlaku efektif tanggal 1 Januari 2005.

94 www.herbersmith.com

95 Comecon countries adalah sebuah organisasi ekonomi yang didirikan pada masa pemerintahan Uni Sovyet yang terdiri dari negara-negara blok Timur dan negara-negara komunis di seluruh dunia. (sumber wikipedia)

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 31: Bu Let in Hukum 09091211

Vietnam juga bukan merupakan negara

penandatangan perjanjian internasional

terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan

putusan pengadilan asing.

2.6.3Thailand

Hukum Thailand tidak mengakui proses

peradilan insolvensi yang dilakukan di luar

wilayah kerjaan Thailand termasuk juga tidak

memberikan akses kepada kurator asing

untuk turut serta dalam proses peradilan

kepailitan di Thailand. Kurator asing harus

terlebih dahulu melakukan gugatan ke

pengadilan untuk meminta pembayaran atas

hutang-hutang debiturnya.

Thailand mengakui keberadaan UNICITRAL

Model Law on Cross Border Insolvency.

Namun demikian, tidak ada satupun ketentuan

dan perundang-undangan Thailand terkait

dengan insolvensi dan kepailitan yang

mengadopsi model law UNCITRAL tersebut.96

2.6.4Indonesia

Secara umum, hukum Indonesia tidak

mengakui putusan pengadilan asing termasuk

putusan kepailitan yang dilakukan di luar

negeri kecuali dalam hal antara negara-negara

dimana debitur dan kreditur bertempat tinggal

memiliki hubungan bilateral atau terikat dalam

suatu perjanjian regional atau internasional

terkait dengan pengakuan putusan pengadilan

asing.97

Putusan-putusan yang dihasilkan dari proses

kepailitan di luar negeri tidak diakui dan tidak

memiliki kekuatan eksekutorial dalam sistem

hukum Indonesia. Putusan-putusan tersebut

hanya diakui sebagai bukti pendukung dalam

proses kepailitan di Indonesia.98 Sebagai

konsekuensinya, hukum Indonesia pun tidak

mengakui kurator yang ditunjuk dalam proses

kepailitan asing. Dengan demikian, kurator

asing tidak berhak untuk mengklaim,

mengendalikan, mengambil alih aset debitur

pailit asing yang berada di Indonesia. Namun

demikian, dalam hal aset-aset debitur pailit

asing dijaminkan kepada kreditur dan diikat

dengan suatu hak kebendaan, maka kurator

asing dapat mengklaim dan mengambil alih

aset-aset debitur yang berlokasi di Indonesia

sepanjang kurator asing tersebut tunduk

pada ketentuan hukum jaminan sebagaimana

diatur dalam hukum Indonesia.

Indonesia menyadari adanya keberadaan

UNICITRAL Model Law on Cross Border

Insolvency, namun tidak ada satupun

ketentuan perundang-undangan Indonesia

terkait dengan insolvensi dan kepailitan yang

mengadopsi model law UNCITRAL tersebut.99

2.6.5Singapura

Berdasarkan the law of the place of

incorporation of a company yang diterapkan

Singapura, dalam hal suatu perusahaan

mengalami kepailitan di negara dimana

perusahaan tersebut didirikan, maka

pengadilan Singapura akan mengakui

putusan pengadilan kepailitan asing atas

perusahaan tersebut. Sebaliknya, Singapura

tidak akan mengakui putusan putusan

pengadilan negara lain diluar negara dimana

perusahaan tersebut didirikan.

Putusan yang menyangkut uang (Money

judgments) dari High Court negara-negara

Commonwealth dapat didaftarkan di

Singapore berdasarkan the Reciprocal

Enforcement of Commonwealth Judgments

Act dan dilaksanakan sebagai putusan

Pengadilan Singapore.

24

96 Opcit.

97 Blake Dawson Waldron Lawyer, Asian Development Bank, Promoting Regional Cooperation in the Development of Insolvency Reform, Country Report for Singapore, Conference Cross Border Insolvency – Indonesia, Korea, Philippines and Thailand.

98 Ibid

99 Opcit.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 32: Bu Let in Hukum 09091211

Selain itu, terdapat juga the Reciprocal

Enforcement of Foreign Judgments Act, akan

tetapi hingga saat ini ketentuan dimaksud

belum diberlakukan ke negara mana pun.

Money judgments dari negara-negara lain

dapat dilaksanakan di Singapore dengan

mengajukan tindakan hukum baru terkait

putusan ke pengadilan Singapore. Tidak

terdapat ketentuan di Singapore yang

mengakui putusan pengadilan asing di luar

money judgments.

Singapura mengakui keberadaan UNICITRAL

Model Law on Cross Border Insolvency, namun

tidak ada satupun ketentuan dan perundang-

undangan Singapore terkait dengan insolvensi

dan kepailitan yang mengadopsi model law

tersebut.

2.6.6Malaysia

Malaysia mengakui proses kepailitan yang

dilakukan di luar wilayah yurisdiksi Malaysia

termasuk likuidator asing yang ditunjuk di

negara asing. Namun demikian dalam

prakteknya, walaupun berdasarkan section

340 (2) the Companies Act mengakui

keberadaan likuidator asing, the High Court

mungkin akan menunjuk likuidator lokal

untuk mengambil alih/menjual aset debitur

yang ada di Malaysia dan membayar hasil

penjualan aset debitur tersebut kepada

likuidator asing (setelah dikurangi dengan

kewajiban-kewajiban debitur asing tersebut

kepada kreditur lokal).100

Malaysia menyadari keberadaan UNICITRAL

Model Law on Cross Border Insolvency, namun

demikian sampai dengan saat ini tidak ada

satupun ketentuan dan perundang-undangan

malaysia terkait dengan insolvensi dan

kepailitan yang mengadopsi model law

tersebut.

III. GAMBARAN UMUM UNCITRAL MODEL LAW ON

CROSS BORDER INSOLVENCY

3.1. Pendahuluan

UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency

(UNCITRAL Model Law) adalah suatu model law

yang disusun oleh the United Nations Commisions

on International Trade Law (UNCITRAL) bekerja

sama dengan the International Association of

Insolvency Practitioners (INSOL) yang

direkomendasikan kepada negara-negara anggota

PBB untuk diadopsi dalam perundang-udangan

nasional negara-negara tersebut terkait dengan

pengaturan cross border insolvency. UNCITRAL

Model Law dirancang untuk membantu negara-

negara memiliki hukum insolvensi yang modern,

harmonis dan adil dalam menyelesaikan berbagai

macam kasus cross border insolvency secara efektif.

Kasus-kasus tersebut termasuk kasus-kasus dimana

debitur insolven memiliki aset atau kreditur di

beberapa negara selain dari negara tempat

berlangsungnya proses peradilan insolvensi.

Negara-negara yang mengadopsi UNCITRAL Model

Law (the enacting states) akan memasukkan

tambahan-tambahan pengaturan yang bermanfaat

dan sekaligus melakukan penyempurnaan-

penyempurnaan dalam regime hukum insolvensi

nasional

Walaupun UNCITRAL Model Law direkomendasikan

untuk diadopsi dalam hukum nasional terkait

dengan pengaturan cross border insolvency,

UNCITRAL Model Law tetap menghormati

perbedaan-perbedaan sistem hukum diantara

negara-negara dan tidak bermaksud untuk

melakukan unifikasi hukum insolvensi terkait

dengan pengaturan cross border insolvency. Oleh

karena itu, the enacting states masih diberikan

kebebasan untuk mengubah atau menyesuaikan

beberapa ketentuan dalam UNCITRAL Model Law

yang dianggap tidak sesuai atau tidak relevan

dengan sistem hukumnya.

25

100www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_mal_p.pdf

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 33: Bu Let in Hukum 09091211

UNCITRAL Model Law menawarkan solusi-solusi

yang moderate tetapi dengan cara-cara yang

signifikan terkait dengan hal-hal sebagai berikut:101

a. memberikan kewenangan kepada kurator atau

likudator asing untuk dapat mengakses

langsung ke pengadilan negara-negara yang

telah mengadopsi UNCITRAL model law (the

enacting states) dan oleh karena itu memberikan

hak kepada kurator atau likuidator asing untuk

meminta temporary breathing space102 kepada

pengadilan the enacting states sekaligus

memberikan kesempatan kepada pengadilan

the enacting states menentukan jenis koordinasi

diantara yurisdiksi-yurisdiksi atau solusi lain bagi

penyelesaian insolvency yang optimal;

b. menentukan kapan sebuah proses peradilan

insolvensi asing harus diakui dan konsekuensi

dari pengakuan proses peradilan insolvensi asing

tersebut;

c. menyediakan regime yang transparan terkait

dengan hak-hak kreditur asing untuk

memprakarsai atau turut serta dalam proses

peradilan insolvensi di the enacting states;

d. mengizinkan pengadilan the enacting state

bekerja sama lebih efektif dengan pengadilan-

pengadilan dan kurator-kurator asing yang

terlibat dalam permasalahan insolvensi;

e. memberikan kewenangan kepada pengadilan-

pengadilan dan kurator the enacting state untuk

meminta bantuan ke luar negeri;

f. menentukan jurisdiksi pengadilan dan

menetapkan peraturan-peraturan terkait

dengan koordinasi atas proses peradilan

insolvensi yang berlangsung secara bersamaan

di the enacting state dan di negara asing;

g. menetapkan peraturan-peraturan yang mengatur

mengenai koordinasi terkait bantuan yang

diberikan oleh the enacting states kepada dua

atau lebih proses peradilan insolvensi yang

sedang berlangsung di negara-negara asing

untuk debitur yang sama.

3.2 Pokok-pokok pengaturan dalam UNCITRAL

Model Law on Cross Border Insolvency

Sistematika UNCITRAL Model Law terdiri dari

preamble, 5 chapter dan 32 Article yang secara

umum meliputi hal-hal sebagai berikut:103

a. Ruang lingkup

UNCITRAL Model law dapat diterapkan pada

beberapa situasi cross border insolvency sebagai

berikut:104

1) Dalam kasus adanya permintaan pengakuan

suatu putusan pengadilan asing ke the

enacting states.

2) Dalam kasus adanya permintaan dari

pengadilan atau kurator the enacting states

terkait dengan pengakuan proses insolvensi

yang dilaksanakan berdasarkan hukum the

enacting states di negara asing.

3) Koordinasi proses insolvensi yang sedang

berlangsung secara bersamaan di dua negara

atau lebih.

4) Partisipasi kreditur asing dalam proses

insolvensi yang sedang berlangsung di the

enacting states.

Dalam ruang lingkup juga diatur mengenai hak

dan kewenangan the enacting states untuk

mengecualikan beberapa institusi meliputi

antara lain bank dan perusahaan asuransi dari

ruang lingkup Model Law dalam hal institusi-

institusi tersebut akan atau telah diatur dalam

ketentuan tersendiri (special regulatory regime).

b. Bantuan pihak asing untuk proses peradilan

insolvensi yang sedang berlangsung di the

enacting states.

UNCITRAL Model Law memberikan guidance

kepada pengadilan-pengadilan the enacting

states dalam menghadapi adanya permintaan

pengakuan putusan pengadilan dari negara-

negara asing. Selain itu, UNCITRAL Model Law

juga memberikan kewenangan kepada

pengadilan-pengadilan the enacting states

26

101UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enacment, United Nations, New York, 1999

102Dalam Black’s law Dictionary dinamakan breathing room yang berarti masa setelah bankruptcy dimana debitur diberikan kesempatan untuk memformulasikan rencana penyelesaian hutang-hutangnya tanpa adanya intervensi dari kreditur.

103Ibid104Lihat Article 1

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 34: Bu Let in Hukum 09091211

untuk meminta bantuan kepada pengadilan

asing terkait dengan proses peradilan insolvensi

yang sedang berlangsung di the enacting

states.105 UNCITRAL Model Law juga mengisi

kekosongan hukum di the enacting states terkait

dengan pengaturan koordinasi dan mekanisme

permintaan bantuan kepada pengadilan asing.

c. Akses kurator asing terhadap pengadilan the

enacting states

Salah satu tujuan penting dari UNCITRAL Model

Law adalah memberikan kemudahan kepada

kurator asing untuk mengakses ke pengadilan-

pengadilan the enacting states tanpa perlu

bergantung pada adanya komunikasi atau surat

permintaan bantuan melalui saluran diplomatik

yang mungkin yang sangat memakan waktu.

UNCITRAL Model Law lebih mengutamakan

pendekatan kerjasama dan koordinasi agar

penyelesaian kasus-kasus cross border insolvency

dapat diselesaikan secara cepat. Disamping

menetapkan prinsip-prinsip terkait dengan

akses langsung kurator asing ke pengadilan

the enacting states, UNCITRAL Model Law juga

mengatur hal-hal sebagai berikut :

1) Menetapkan persyaratan-persyaratan

pembuktian yang sederhana terkait dengan

permintaan pengakuan putusan pengadilan

asing seperti antara lain tidak disyaratkannya

legalisasi putusan pengadilan secara notaril

atau dengan consular procedures.106

2) Menetapkan bahwa kurator asing memiliki

hak untuk memprakarsai proses insolvensi

di the enacting states dan bahwa bahwa

kurator asing dapat berpartisipasi dalam proses

peradilan insolvensi di the enacting states.107

3) Menegaskan akses kreditor-kreditor asing

untuk memprakarasi proses peradilan

insolvensi atau turut serta dalam proses

insolvensi di the enacting states dengan

tetap tunduk pada persyaratan-persyaratan

yang ditetapkan oleh the enacting states.108

4) Memberikan hak kepada kurator asing

untuk mengintervensi proses peradilan

insolvensi di the enacting states dalam hal

terdapat aksi atau gugatan individual

terhadap debitur atau asetnya di the

enacting states.109

d. Pengakuan putusan peradilan asing

UNCITRAL Model Law menentukan kriteria

pengakuan putusan peradilan asing yang harus

diakui110 dan mengatur bahwa dalam kasus-

kasus yang tepat, pengadilan boleh menetapkan

putusan sela sebelum diterbitkannya putusan

terkait dengan pengakuan.111 Putusan sela

tersebut juga termasuk menentukan apakah

putusan peradilan asing dimaksud merupakan

peradilan insolvensi asing yang utama atau

bukan (main or non main foreign insolvency

proceeding). Sebuah putusan peradilan asing

dianggap sebagai putusan peradilan utama

jika peradilan tersebut dilaksanakan di negara

dimana debitur memiliki pusat kepentingan

(centre of main interest). Penentuan putusan

peradilan utama dan bukan utama mempengaruhi

sifat bantuan yang akan diberikan kepada

kurator asing.

Dampak dari diberikannya pengakuan atas

putusan peradilan asing yaitu terhentinya aksi-

aksi atau gugatan individual terhadap debitur

atau terhentinya eksekusi atas aset debitur dan

ditundanya hak-hak debitur untukmengalihkan

aset-asetnya di the enacting states.112 Terhentinya

gugatan, eksekusi dan transfer aset tersebut

sifatnya wajib atau otomatis berlaku setelah

diberikannya pengakuan.

e. Kerjasama lintas negara

UNCITRAL Model Law mengisi kesenjangan

hukum yang ditemukan dalam hukum nasional

negara-negara dengan memberikan kewenangan

27

109Lihat Article 24

110Lihat Article 15 - 17

111Lihat Article 19

112Lihat Article 20

105Lihat Article 2

106Lihat Article 15

107Lihat Article 11 dan 12

108Lihat Article 13

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 35: Bu Let in Hukum 09091211

pengadilan untuk memperluas kerjasama dalam

bidang-bidang yang diatur dalam UNCITRAL

Model Law.113 Demikian pula, UNCITRAL Model

Law menetapkan peraturan-peraturan terkait

dengan koordinasi antara pengadilan di the

enacting state dengan kurator asing dan antara

kurator lokal dengan pengadilan asing atau

kurator asing.114

IV. ANALISIS PENGATURAN INSOLVENSI DAN

KEPAILITAN BANK DI NEGARA-NEGARA ASEAN

DIKAITKAN DENGAN BERLAKUNYA MEA 2015

4.1. Pendahuluan

Dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN

(MEA) pada 2015, idealnya tercipta suatu kondisi

dimana anggota-anggota MEA menerapkan

ketentuan atau peraturan yang standar dan seragam

terkait dengan berbagai hal yang relevan dengan

terbentuknya MEA termasuk juga pengaturan

mengenai insolvensi dan kepailitan bank.

Dalam kenyataannya saat ini untuk insolvensi dan

kepailitan bank, masing-masing negara ASEAN

masih mengaturnya secara berbeda-beda, seperti

misalnya terkait dengan pengaturan insolvensi dan

kepailitan debitur bank yang memiliki aset atau

kreditur di luar negeri (cross border insolvency) dan

pengaturan mengenai pengakuan dan pelaksanaan

putusan pengadilan kepailitan asing (the recognition

and enforcement of foreign bankruptcy judments).

Dalam konteks terbentuknya MEA 2015 dimana

aliran barang, jasa, investasi dan tenaga kerja

bergerak secara bebas, kondisi tersebut tentunya

akan menjadi kontra produktif terhadap cita-cita

terbentuknya MEA itu sendiri terlebih setelah

berlakunya liberalisasi sub sektor perbankan pada

tahun 2020. Dalam hal ini, pengaturan yang

berbeda-beda tersebut dapat menjadi salah satu

potensi masalah dalam penyelesaian kepailitan

bank yang beroperasi secara lintas batas (cross

border insolvency).

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam bab ini

akan dilakukan analisis terhadap pengaturan

insolvensi dan kepailitan bank di masing-masing

negara dan selanjutnya akan dikaji mengenai potensi

permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam

kaitan dengan terbentuknya MEA.

4.2. Analisis perbedaan sistem hukum dan

ketentuan terkait insolvensi dan kepailitan

bank di Negara-Negara ASEAN dikaitkan

dengan terbentuknya MEA

Negara-negara ASEAN memandang permasalahan

insolvensi dan kepailitan bank sebagai sesuatu hal

yang sangat penting dan oleh karena itu pada

umumnya masing-masing negara ASEAN tersebut

mengatur insolvensi dan kepailitan bank dalam

peraturan perundang-undangan tersendiri seperti

di Filipina tercantum dalam the New Central Bank

Act No.7653, Vietnam diatur dalam Law

No.47/2010/QH12 tentang Credit Institution,

Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, Singapura dalam

Banking Act dan Malaysia diatur dalam Banking

and Financial Institutions Act (BAFIA) 1989.

Selanjutnya, dalam beberapa hal pengaturan

insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara

ASEAN memiliki persamaan antara lain terkait

otoritas yang berwenang untuk mengajukan

permohonan kepailitan bank ke pengadilan dan

aspek perlindungan nasabah bank. Di sisi lain,

dalam beberapa hal lainnya juga terdapat

perbedaan pengaturan yang cukup signifikan di

antara negara-negara tersebut antara lain terkait

dengan pengaturan cross border insolvency dan

pengakuan putusan insolvensi pengadilan asing.

Dalam tata urutan prioritas pembayaran terkait

dengan penyelesaian harta debitur pailit, hampir

semua negara ASEAN menggolongkan nasabah

bank sebagai kreditur konkuren bersamaan dengan

kreditur lainnya. Namun demikian, dalam rangka

memberikan perlindungan kepada nasabah bank,

negara-negara ASEAN menerapkan sistem

penjaminan atas simpanan nasabah bank yang

28

113Lihat Article 25 - 27

114Lihat Article 26

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 36: Bu Let in Hukum 09091211

nilai nominal penjaminannya berbeda-beda di

masing-masing negara.

Pengaturan proses insolvensi yang debiturnya

mempunyai aset atau kreditur di luar negeri

(cross border insolvency) berbeda-beda antara

negara yang satu dengan negara lainnya. Beberapa

negara seperti Filipina, Vietnam, dan Thailand

mengatur dalam sistem hukumnya bahwa hukum

kepailitan hanya berlaku terhadap aset-aset debitur

yang berada di dalam negeri karena aset-aset

debitur yang berada diluar negeri tunduk pada

hukum negara dimana aset-aset debitur tersebut

berada. Sementara itu negara-negara lainnya yaitu

Indonesia, Singapura, dan Malaysia mengatur

bahwa putusan kepailitan pengadilan negara-

negara tersebut selain berlaku terhadap aset-aset

debitur yang berada di dalam negeri juga berlaku

terhadap aset-aset debitur yang ada di luar negeri.

Khususnya untuk Indonesia, ketentuan mengenai

cross border insolvency tersebut terdapat dalam

Pasal 21 dan Pasal 212 Undang-Undang No. 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

Praktek pengakuan putusan pengadilan asing

termasuk putusan tentang kepailitan berbeda-

beda di masing-masing negara ASEAN. Sistem

hukum Filipina mengatur bahwa pengadilan Filipina

tidak mengakui sama sekali putusan pengadilan

kepailitan asing. Vietnam mengatur ketentuan

yang lebih fleksibel dimana pada dasarnya

pengadilan Vietnam tidak mengakui putusan

pengadilan asing namun putusan pengadilan asing

dapat diakui di Vietnam dalam hal negara asing

tersebut menandatangani perjanjian bilateral

dengan Vietnam terkait dengan pengakuan dan

pelaksanaan putusan pengadilan asing atau negara

asing tersebut merupakan co-signatory sebuah

internasional treaty terkait dengan pengakuan dan

pelaksanaan putusan pengadilan asing dimana

Vietnam juga terikat dengan perjanjian internasional

tersebut. Sistem hukum Indonesia mengatur bahwa

hukum Indonesia tidak mengakui proses kepailitan

yang dilakukan di negara asing kecuali apabila

negara asing tersebut menandatangani perjanjian

bilateral dengan Indonesia atau antara negara

asing tersebut dan Indonesia terikat dalam suatu

perjanjian internasional mengenai pengakuan dan

pelaksanaan putusan pengadilan asing. Singapura

memiliki sistem hukum yang berbeda dimana

pengadilan Singapura mengakui putusan pengadilan

asing terkait dengan kepailitan suatu institusi yang

didirikan di negara asing tersebut. Demikian pula

Malaysia mengakui proses kepailitan dan putusan

pengadilan asing yang dilakukan di luar wilayah

yurisdiksi Malaysia walaupun dalam prakteknya

pelaksanaan putusan pengadilan asing tersebut

tidak mudah karena biasanya the High Court

Malaysia akan menunjuk likuidator lokal untuk

menjual aset-aset debitur yang berada di Malaysia

dan kemudian membayarkan hasil penjualan aset-

aset tersebut kepada likuidator asing setelah

dikurangi dengan kewajiban-kewajiban debitur

kepada kreditur lokal Malaysia.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, pengaturan

dan praktek yang berbeda-beda terkait dengan

insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara

ASEAN khususnya mengenai cross border insolvency

termasuk pengakuan putusan kepailitan pengadilan

asing dapat menjadi potensi permasalahan hukum

pada saat berlakunya MEA tahun 2015.

Permasalahan hukum tersebut terutama terkait

dengan tidak dapat dilaksanakannya suatu putusan

kepailitan suatu negara atas kepailitan bank yang

mempunyai kreditur dan aset diluar negeri

dikarenakan tidak diakuinya putusan kepailitan

bank tersebut oleh negara lainnya. Kondisi tersebut

tentunya tidak dikehendaki oleh kalangan investor

atau pelaku usaha yang menginginkan adanya

kepastian hukum dan penyelesaian yang pasti

dalam hal terjadinya kasus-kasus cross border

insolvensy.

4.3. Kemungkinan Harmonisasi Hukum Insolvensi

dan Kepailitan Bank di antara Negara-Negara

ASEAN

Dengan terbentuknya pasar tunggal ASEAN, di

mana masyarakat, pelaku usaha, dan institusi

perbankan menjadi lebih bebas dalam bertransaksi

serta berusaha, seharusnya hal tersebut diikuti pula

29

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 37: Bu Let in Hukum 09091211

dengan adanya standardisasi atau persamaan

perlakuan diantara negara-negara ASEAN, khususnya

terkait dengan pengaturan penyelesaian kepailitan

bank yang beroperasi secara lintas batas (cross

border insolvency), termasuk didalamnya pengakuan

putusan kepailitan bank asing. Dengan kata lain,

diperlukan harmonisasi hukum terkait dengan

pengaturan cross border insolvency termasuk

pengakuan putusan pengadilan asing dalam rangka

memberikan kepastian hukum kepada para pelaku

usaha, investor dan masyarakat ASEAN secara

keseluruhan.

Secara teoritis, model harmonisasi hukum insolvensi

dan kepailitan bank tersebut dapat dilakukan melalui

3 (tiga) cara yaitu :115

a. Pembentukan perjanjian internasional secara

regional;

b. Penundukan diri atau pengadopsian atas Uniform

Laws (Hukum Seragam) seperti UNCITRAL Model

Law on Cross Border Insolvency; atau

c. Menerapkan Uniform Rules (Aturan Seragam)

sebagaimana The Uniform Customs and Practice

for Documentary Credits diterapkan dalam

international trading.

Berdasarkan praktek yang berlaku saat ini, di mana

negara-negara menganut prinsip yurisdiksi teritorial

yang berarti bahwa negara-negara tersebut secara

ekslusif menetapkan aturan-aturan terhadap warga

negara dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi

di wilayah yurisdiksinya, tidak mudah untuk

membuat suatu perjanjian internasional regional

ASEAN sebagai pilihan model harmonisasi ketentuan

kepailitan bank di ASEAN. Hal tersebut dikarenakan

adanya pemikiran bahwa apabila suatu negara

menandatangani suatu perjanjian internasional,

berarti akan menghilangkan sebagian kedaulatan

dari negara penandatangan (yakni berupa hak

mengatur) dan timbulnya konsekuensi-konsekuensi

hukum yang melekat sebagai akibat dari

menandatangani perjanjian tersebut. Sehubungan

dengan hal tersebut, model harmonisasi pengaturan

kepailitan bank yang lebih mungkin untuk diterapkan

di kawasan ASEAN yaitu melalui penundukan diri

atau pengadopsian Uniform Laws seperti UNCITRAL

Model Law on Cross Border Insolvency karena

belum ada Uniform Rules dalam bidang kepailitan.

Agar proses harmonisasi hukum insolvensi dan

kepailitan di Negara-negara ASEAN berjalan

dengan baik maka sebagai langkah awal sebelum

dilakukannya proses harmonisasi, perlu dilakukan

assesment atas hukum kepailitan dan ketentuan

perbankan yang terkait dengan insolvensi dan

kepailitan bank di masing-masing negara ASEAN.

Hal tersebut penting dilakukan dalam rangka

mengidenfikasi kekuatan, potensi, kelemahan dan

faktor-faktor lain yang relevan dan mendukung

untuk berhasilnya proses harmonisasi hukum

dimaksud. Untuk terjadinya proses asesmen

tersebut, negara-negara ASEAN harus terlebih

dahulu memiliki komitmen yang sama dan

menyepakati mengenai perlunya dilakukan

assesment atas ketentuan mengenai insolvensi

dan kepailitan bank dalam rangka harmonisasi

hukum terkait dengan berlakunya MEA.

Dari sudut pandang Indonesia, pemikiran mengenai

perlu tidaknya dilakukan harmonisasi hukum

insolvensi dan kepailitan bank dalam rangka

menyongsong berlakunya MEA dan sejauh mana

substansi hukum yang perlu atau dapat

diharmonisasikan tentunya harus didasarkan pada

tinjauan dari aspek kepentingan dan strategi

perekonomian nasional agar Indonesia dapat

memanfaatkan pasar bersama ASEAN di bidang

perbankan secara optimal dengan memperhatikan

potensi, kekuatan dan kelemahan yang dimiliki

oleh Indonesia.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hal-hal yang telah dibahas pada bab-bab

sebelumnya maka dapat disusun kesimpulan dan

rekomendasi sebagai berikut :

30

11 Huala Adolf, Diskusi Terbatas “Aspek Hukum Insolvensi dan Kepailtian Bank di Negara-Negara ASEAN” tanggal 22 s.d 23 September 2011, Hotel Grand Preanger, Bandung.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 38: Bu Let in Hukum 09091211

5.1. Kesimpulan

1) Pada umumnya pengaturan insolvensi dan

kepailitan bank di masing-masing negara ASEAN

diatur dalam perundang-undang tersendiri

disamping adanya undang-undang kepailitan

yang berlaku secara umum.

2) Secara umum, otoritas yang berwenang untuk

mengajukan proses insolvensi dan kepailitan

bank di negara-negara ASEAN adalah otoritas

moneter atau Bank Sentral. Terkait dengan

likuidasi bank di negara-negara ASEAN, pada

umumnya dilakukan melalui proses penetapan

pengadilan berdasarkan pengajuan dari bank

sentral kecuali di Indonesia yang proses

likuidasinya merupakan kewenangan Lembaga

Penjamin Simpanan tanpa perlu adanya

penetapan pengadilan.

3) Dalam tata urutan prioritas pembayaran terkait

dengan penyelesaian harta debitur pailit,

hampir semua negara ASEAN menggolongkan

nasabah bank dalam kategori kreditur konkuren.

Namun demikian, dalam rangka memberikan

perlindungan kepada nasabah bank, negara-

negara Anggota ASEAN menerapkan sistem

penjaminan atas simpanan nasabah bank yang

nilai nominal penjaminannya berbeda-beda di

masing-masing negara.

4) Pengaturan proses insolvensi yang debiturnya

mempunyai aset atau kreditur di luar negeri

termasuk pengakuan putusan pengadilan asing

(cross border insolvency) berbeda-beda antara

negara yang satu dengan negara lainnya.

Beberapa negara mengatur bahwa hukum

kepailitan hanya berlaku terhadap aset-aset

debitur yang berada di dalam negeri. Sementara

itu, negara-negara mengatur bahwa putusan

kepailitan pengadilan negara-negara tersebut

selain berlaku terhadap aset-aset debitur yang

berada di dalam negeri juga menjangkau

terhadap aset-aset debitur yang berada di luar

negeri.

5) Terkait dengan pengaturan pengakuan putusan

pengadilan asing, beberapa negara tidak

mengakui putusan pengadilan kepailitan asing.

Negara lainnya mengakui putusan kepailitan

pengadilan asing dengan syarat negara tersebut

telah menandatangani perjanjian bilateral/

multialteral mengenai pengakuan putusan

kepailitan pengadilan asing, atau institusi yang

dipailitkan didirikan di negara tersebut.

6) Permasalahan hukum yang mungkin timbul

dari pengaturan kepailitan bank yang berbeda-

beda, khususnya adalah tidak dapat

dilaksanakannya suatu putusan kepailitan dari

pengadilan suatu negara terkait dengan

kepailitan bank yang mempunyai kreditur dan

aset di luar negeri dikarenakan tidak diakuinya

putusan kepailitan bank tersebut oleh negara

lainnya. Kondisi tersebut berpotensi

menciptakan tidak adanya kepastian hukum

dalam penyelesaian kasus-kasus cross border

insolvency. Idealnya, untuk mengatasi

permasalahan hukum tersebut diperlukan

harmonisasi hukum khususnya terkait dengan

pengaturan cross border insolvency. Harmonisasi

ketentuan insolvensi dan kepailitan bank

tersebut merupakan salah satu infrastruktur

penunjang yang diperlukan apabila nantinya

disepakati akan beroperasi qualified ASEAN

banks secara lintas batas di kawasan ASEAN.

Harmonisasi ketentuan insolvensi dan kepailitan

bank tersebut akan melengkapi infrastruktur

lain yang diperlukan seperti cross border bank

supervision dan cross border bank resolution.

5.2 Rekomendasi

1) Dalam upaya menjembatani adanya perbedaan

sistem hukum dan pengaturan terkait dengan

insolvensi dan kepailitan bank khususnya

mengenai cross border bank insolvency, perlu

dilakukan upaya harmonisasi hukum dan

ketentuan terkait dengan cross border bank

insolvency di negara-negara ASEAN. Hal ini

dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum di

bidang cross border bank insolvency dan

31

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 39: Bu Let in Hukum 09091211

terdapat standardisasi pengaturan dan perlakuan

dalam penyelesaian kasus-kasus cross border

bank insolvency di antara negara-negara ASEAN.

2) Perlu dilakukan assesment secara mendalam

atas hukum kepailitan dan ketentuan perbankan

terkait dengan insolvensi dan kepailitan bank

di masing-masing negara ASEAN sebelum

dilakukannya proses harmonisasi hukum

tersebut. Sebagaimana lazimnya dalam suatu

organisasi internasional, untuk dapat

dilakukannya proses assesment di masing-

masing negara-negara ASEAN terlebih dahulu

perlu adanya kesepakatan dalam forum ASEAN

mengenai pentingnya assesment atas ketentuan

mengenai insolvensi dan kepailitan bank sebagai

langkah awal mempersiapkan harmonisasi

hukum terkait dengan berlakunya MEA.

3) Dari sudut pandang Indonesia, pemikiran

mengenai perlunya dilakukan harmonisasi

hukum insolvensi dan kepailitan bank harus

dikaitkan dengan tinjauan dari aspek

kepentingan dan strategi perekonomian nasional

sehingga Indonesia dapat memanfaatkan pasar

bersama ASEAN di bidang perbankan dengan

memperhatikan potensi, kekuatan dan

kelemahan yang dimiliki oleh Indonesia.

32

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 40: Bu Let in Hukum 09091211

Peraturan Perundang-undangan

a. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

b. Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 tahun 1998.

c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun. 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009

d. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 001/PLPS/2010 tentang Likuidasi Bank

e. the New Central Bank Act of Philippines No.7653

f. the Central Bank of Malaysia Act 1958

g. Law No. 46/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010 regarding The State Bank of Vietnam

h. Banking Act of Singapore

i. Bankruptcy act of Singapore (chapter 20)

j. Decree No. 89/1999/ND-CP tanggal 1 September 1999, tentang Deposit Insurance

k. Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010 regarding Credit Institutions

l. Banking and Financial Institusion Act 1989

m. Circular State Bank of Vietnam No. 03/2006/TT-NHNN tanggal 25 April 2006 tentang Guiding the implementation of several

contents of the Decree No. 89/1999/ND-CP dated 01/09/1999 of the Government on deposit insurance and the Decree

No. 109/2005/ND-CP dated 24/8/2005 of the Government on the amandment, supplement of several articles of the Decree

No. 89/1999/ND-CP.

n. Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law

o. Decree No. 89/1999/ND-CP tanggal 1 September 1999 regarding Deposit Insurance as amended by Decree No. 109/2005/ND-

CP dated 24 Agustus 2005.

p. the Thailand Deposit Insurance Act BE 2551

q. the bankrupcy of Act of Thailand

r. the Civil and Commercial Act of Thailand

s. UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enactment, United Nations, New York, 1999

Artikel/hasil kajian

a. Lorenz & Partner, Legal, tax and Business Consultants, Bankruptcy and Business Reorganization, page 9

b. Dr.Andrew M. Goodman,Thailand’s Deposit Insurance Law : Recent Changes and How They Can Affect You, page 2

c. Asean Development Bank, Promoting Regional Cooperation in the Development of Insolvency reform, Country Report for

Singapore Conference Cross-Border Insolvency – Indonesia, Korea, Philippines and Thailand

d. Asean Development Bank, Regional Technical Assistance Project No.5795-REG. Insolvency Law Reforms Report on Philippines,

page 61.

Daftar Pustaka

33

Page 41: Bu Let in Hukum 09091211

Diskusi Terbatas

Huala Adolf, Diskusi Terbatas “Aspek Hukum Insolvensi dan Kepailtian Bank di Negara-Negara ASEAN” tanggal 22 s.d 23

September 2011, Hotel Grand Preanger, Bandung.

Lain-lain

a. Black’s Law Dictionary)

b. Wikipedia

c. www.insol.org/pdf/cross_pdfs/Vietnam.pdf

d. www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_tha_p.pdf.

e. www.adb.org/documents/others/insolvensy

f. www.herbersmith.com

g. www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_mal_p.pdf

34

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 42: Bu Let in Hukum 09091211

Pendahuluan

Salah satu yang menjadi pertimbangan banyak lembaga

pemeringkat (rating agencies) belum menaikan peringkat

Indonesia ke tingkat peringkat investasi (investment grade)

adalah masalah kepastian hukum, disamping masalah

lambatnya pembangunan infrastruktur dan apa yang disebut

dengan political infighting. Tentu penyelesaian masalah ini

bukanlah hal yang gampang. Menangani masalah kepastian

hukum memerlukan waktu dan tenaga yang tidak

terhingga. Dalam konteks hal peringkat Negara dan kegiatan

usaha ekonomi lainnya, banyak orang memahami bahwa

persoalan ketidakpastian hukum ini hanya terkait dengan

ketidakpastian hukum dibidang hukum ekonomi. Apabila

kita mendalaminya dengan baik, masalah kepastian hukum

ini jauh melampaui area hukum ekonomi, dan terkait erat

dengan tingkat kematangan suatu Negara didalam

mengimplementasi apa yang disebut dengan konsep “the

rule of law” sebagai salah satu prasyarat untuk dapat

dikategorikan sebagai Negara demokrasi yang maju. Pada

dasarnya semua sistem hukum dan sistem peradilan (legal

and justice system) akan menjadi penilaian lembaga rating.

Hal ini dapat dimaklumi bukan saja karena suatu transaksi

perekonomian hanya dapat dilakukan dalam suasana

kepastian hukum yang tinggi, melainkan juga kesaling-

terkaitan dan saling mendukung antara berbagai area

hukum didalam menjamin lingkungan perekonomian yang

sehat dan kondusif.

Mungkin penilaian lembaga pemeringkat tidak begitu

penting apabila dilihat selintas saja mengingat begitu

banyaknya persoalan yang harus kita hadapi dewasa ini,

akan tetapi dengan mengingat ketergantungan Indonesia

terhadap pembiayaan dan investasi asing dan domestik

didalam memacu pertumbuhan ekonominya, maka persoalan

penilaian lembaga pemeringkat dan gambaran persepsi

Indonesia secara umum menjadi sangat penting. Kematangan

hukum suatu Negara akan terlihat dari seberapa jauh hukum

dapat melindungi hak-hak individu dan korporasi, bagaimana

menghukum para pelanggar hukum, bagaimana mengatur

persaingan usaha dan perlindungan konsumen, bagaimana

hukum dapat menjamin persamaan perlakuan warga Negara

dan warga Negara asing. Tingkat “kematangan” hukum

suatu Negara pada hakekatnya merupakan komponen

terpenting didalam upaya kita memudahkan pembiayaan

keuangan internasional bagi pembangunan Indonesia serta

meningkatkan investasi, baik portfolio maupun investasi

langsung yang sangat penting dalam memacu pertumbuhan

ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan. Jadi tidak

benar apabila tahanan yang bisa berjalan-jalan keluar negeri

atau ada sekelompok massa yang main hakim sendiri tidak

akan berpengaruh kepada persepsi negara kita. Kedua

contoh in merupakan contoh kasat mata betapa lemahnya

peranan lembaga hukum didalam menerapkan hukum secara

benar.

Menggantungkan diri kepada pembangunan perangkat

keras semata sudah dapat dipastikan tidak akan berjalan

optimal didalam mendorong pembangunan ekonomi.

Kematangan hukum ini tidak terkait dengan apakan

suatu Negara itu berukuran kecil atau besar ataupun

berideologi tertentu, melainkan sangat tergantung kepada

kemampuannya memberdayakan institusi-institusi hukum

di negaranya secara optimal. Didalam sistem Negara yang

demokratis pemberdayaan institusi-institusi hukum ini

merupakan hal sangat penting dan merupakan tugas semua

cabang kekuasaan Negara yaitu Eksekutif, Legislatif maupun

Yudikatif, serta dukungan masyarakat luas seperti civil

societies dan akademisi.

Kondisi hukum Indonesia sekarang

Belakangan ini kita kita semakin dibuat risih dengan

permasalahan hukum yang dihadapi oleh Negara kita. Kasus

demi kasus yang menggemparkan, baik dalam kasus korupsi

seperti kasus Gayus Tambunan, kasus tuduhan suap Miranda

Gultom, kasus mantan Bendahara Partai Demokrat Nazarudin,

maupun dalam bentuk kekerasan massa, dan kejanggalan-

35

Pembenahan Hukum Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan BerkesinambunganOleh: Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM.(Dosen luar biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Universitas Tarumanegara dan Universitas 17 Agustus 1945. Saat ini menjabat Kepala Perwakilan Bank Indonesia London)

Page 43: Bu Let in Hukum 09091211

kejanggalan keputusan Hakim diberbagai tahap peradilan

semakin menjadikan citra Negara kita sebagai Negara hukum

menjadi sangat terpuruk, dan bahkan bisa dikatakan ada

dalam titik nadir.

Kita menyadari betapa lemahnya penegakan hukum yang

dilakukan oleh Indonesia saat ini, kita bisa merasakan

begitu kuatnya tangan politik, tangan kekuasaan dan

tangan kekuatan ekonomi didalam mempengaruhi

efektivitas implementasi hukum. Kondisi ini sungguh

merupakan kondisi yang anomali dari Indonesia sebagai

Negara yang menyatakan dirinya Negara hukum. Dari satu

pemerintahan ke pemerintahan lainnya konsep “Negara

hukum” masih saja dijadikan slogan politik yang hampa

dan tanpa makna. Hukum terkesan seperti pisau, tajam

kebawah tapi tumpul keatas. Hukum hanya dijunjung

ketika tidak mengenai diri sendiri dan kelompoknya. Hukum

hanya ditegakan ketika tidak ada perlindungan politik dan

perlindungan ekonomi dari kekuasaan resmi maupun

kekuasaan tidak resmi. Hukum bahkan digunakan untuk

menjatuhkan lawan politik atau lawan bisnis. Rule of law

sebagai prinsip politik dan moral bangsa kita nampaknya

semakin jauh ditinggalkan. Banyak orang berpaling kepada

kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan bahkan

kekuasaan massa didalam memecahkan berbagai persoalan

yang dihadapinya.

Penundukan diri terhadap hukum dari orang yang memiliki

kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi yang besar

memang memerlukan suatu tingkat moralitas dan budaya

hukum yang sangat tinggi. Sementara itu, bagi para penegak

hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman

“kewenangan” yang dimiliki dapat menjadi komoditas politik

dan komoditas ekonomi apabila tidak mampu menghadap

tekanan dan godaan politik dan ekonomi. Pertarungan

antara rule of law dan kekuasaan politik dan kekuasaan

ekonomi ini nampaknya sedang berlangsung dengan keras

di Indonesia. Perlu ada upaya-upaya yang lebih terukur

untuk memberdayakan (empowering) para penegak hukum,

baik secara substansi, moralitas, kewenangan, dan sekaligus

mensejahterakan secara ekonomi untuk dapat mengimbangi

“godaan” kekuasaan politik dan ekonom yang demikian

besar.

Sebagaimana dikatakan oleh filosof Inggris John Lock pada

tahun 1690 bahwa “whenever law ends, tyranny begins”.

Didalam suatu Negara demokrasi yang belum matang

secara hukum, tirani ini dapat berupa kekuasaan politik,

kekuasaan ekonomi, dan bahkan dapat berupa kekuasaan

massa. Hukum dalam format yang modern, dan didalam

masyarakat yang pluralistis seperti Indonesia harus mampu

menghilangkan tirani ini, dan seharusnya hukum menjadi

panglima yang dapat melindungi hak azasi manusia,

kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan

beragama, menjamin keamanan, membatasi kekuasaan

politik dan ekonomi, penindakan pelanggaran hukum

secara efektif, perlindungan hak atas harta benda dan

kekayaan intelektual. The rule of law juga menunjukkan

bahwa semua orang pada dasarnya sama dimuka hukum,

dan oleh karenanya tidak dapat dibenarkan privelese

kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi dimuka hukum.

Hukum harus dimungkinkan melakukan penetrasi yang

sangat dalam terhadap semua relung-relung kekuasaan

politik dan ekonomi. Apabila hal ini tidak dapat tercapai

dapat diperkirakan bahwa akan terdapat “distrust” terhadap

berjalannya hukum yang akan membawa konsekuensi yang

serius dalam bentuk menjamurnya mafia hukum, rekayasa

hukum, dan main hakim sendiri didalam masyarakat yang

akan mengancam sendi-sendi kehidupan bernegara yang

tertib berdasarkan rule of law.

Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan satu-

satunya untuk membentuk dan mengimplementasikan

hukum harus benar-benar memiliki kredibilitas yang tinggi.

Negara tidak boleh membiarkan kekuasaan lain ikut

memainkan peran penegakkan dan implementasi hukum

untuk kepentingan self-interest, dan memaksakan berlakunya

hukum dengan cara dan perangkat diluar yang sudah diatur

Negara. Kegagalan Negara didalam menjaga kredibilitas

hukum akan berakibat serius terhadap wibawa Negara

secara keseluruhan, dan akan mengganggu efektivitas

pemerintahan. Kebutuhan membangun wibawa Negara

melalui implementasi rule of law ini akan semakin dirasakan

didalam Negara yang menganut sistem demokrasi. Kebebasan

berpikir dan bertindak dari begitu banyak komponen

masyarakat harus dapat diimbangi dengan implementasi

hukum yang efektif, dimana kebebasan berpikir dan bertindak

dari satu orang akan dibatasi dengan kebebasan berpikir

dan bertindak orang lain. Hukum harus mampu menciptakan

harmoni diantara pihak-pihak yang saling bertentangan

didalam masyarakat, baik secara sosial, politik maupun

ekonomi. Didalam Negara demokrasi ketaatan terhadap

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

36

Page 44: Bu Let in Hukum 09091211

rule of law akan menjadi kunci untuk mencapai cita-cita

Negara demokrasi itu sendiri. Mengorbankan rule of law

demi tujuan politik, ekonomi atau tujuan lainnya akan

menjadikan hukum menjadi sterile dan kosong yang akan

menjadikan “chaos” didalam kehidupan bernegara dan

bermasyarkat.

Pembangunan infrastruktur hukum setelah reformasi,

termasuk pendirian Mahkamah Konstitusi, independensi

Mahkamah Agung, pemisahan Kepolisian dari Tentara

Nasional Indonesia, pendirian Komisi Pemberantasan

Korupsi, dan sederet perangkat hukum lainnya yang

dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi hukum Indonesia

di berbagai bidang, baik politik, ekonomi maupun sosial

harus benar-benar dijaga agar dapat menjamin perlindungan

hak-hak warga negara, penegakan hukum yang adil dan

konsisten, perlindungan diri dan harta kekayaan, menjamin

berlangsungnya kepastian berusaha. The rule of law ini

juga diperkirakan bisa mengatasi atau setidaknya

mengurangi persoalan pertikaian politik yang kerap terjadi

didalam suatu negara demokratis yang dapat berakibat

kepada tidak efektifnya suatu pemerintahan atau bahkan

terjadinya pemerintahan yang tidak berfungsi (dysfunctional

government). Dalam hal ini tentu saja bidang Hukum Tata

Negara dan Administrasi Negara bisa memainkan perannya

dengan baik. Pengalaman Amerika Serikat dimana Presiden

bersitegang dengan Kongres mengenai batas atas utang

(debt ceiling) yang hampir membawa Amerika Serikat

menjadi negara yang gagal bayar utang (defaulting country)

harus dijadikan cermin yang baik. Konstitusi Amerika (14th

Amendment) ternyata sudah menegaskan mengenai

kedudukan utang negara, dan diperkuat pula dengan

yurisprudensi. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi harus

mampu menjawab persoalan-persoalan mendasar

kenegaraa seperti perlindungan hak-hak kaum minoritas

(Hak Asasi Manusia).

Untuk dapat berfungsinya hukum dengan tingkat

kematangan yang tinggi diperlukan kekuasaan Negara

yang kuat dan kredibel. Salah satu ukuran yang diutamakan

didalam mengukur kematangan hukum di zaman modern

ini adalah efektifitasnya. Hukum baru dapat dikatakan

matang apabila berwujud dalam peraturan perundang-

undangan dan dapat diimplementasikan dengan fair dan

konsisten. Dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Negara

dapat memainkan peranannya yang sangat dominan.

Bagaimana keluar dari krisis hukum ini

Carut marut dunia hukum ini terjadi terutama karena mereka

yang seharusnya paling memahami hukum dan berkewajiban

menerapkan hukum ikut terlibat didalam proses pembusukan

hukum itu sendiri. Hampir semua profesi hukum telah

terkena virus kekuasaan dan uang. Alih-alih hukum dijadikan

benteng moral bangsa dan negara, hukum malah dijadikan

komoditi politik dan bisnis yang sangat menguntungkan.

Perombakan dunia hukum kita tidak dapat lagi bersifat

piece-meal melainkan harus dilakukan secara fundamental.

Sense of urgency dan sense of emergency harus ada disemua

kalangan, baik kalangan professional (hukum), pemerintahan

maupun kalangan masyarakat luas. Shock therapy dan

prinsip catch the biggest fishes dalam cara penegakan hukum

kita seperti yang dilakukan oleh lembaga ad hoc seperti KPK

pada dasarnya memiliki banyak keterbatasan. Kepemimpinan

KPK yang merupakan produk seleksi politik dapat menjadi

titik lemah yang dapat membahayakan kredibilitas hukum

itu sendiri. Secara mendasar kita harus tetap fokus untuk

membenahi lembaga-lembaga hukum permanen.

Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis hukum yang

berat didalam, tapi nampaknya tidak ada upaya yang nyata

untuk bagaimana keluar dari krisis hukum ini dengan,

apabila perlu, melakukan overhaul terhadap seluruh legal

and justice system yang kita praktekan sekarang ini. Kita

harus jujur bahwa diperlukan perombakan terhadap sistem

pendidikan hukum kita yang cenderung mengedepankan

legalitas diatas moralitas kebenaran dan keadilan (suka tidak

suka nampaknya pengaruh The Pure Theory of Law dari

H.Kelsen sangat menonjol dalam dunia pendidikan hukum

kita), kita harus meninjau ulang sistem kerja kejaksaan,

kepolisian dan kehakiman yang berorientasi kepada

kewenangan dan kekuasaan semata, dan kurang berorientasi

kepada penegakan hukum yang benar dan adil.

Kalangan penegak hukum harus memiliki komitmen moral

yang tinggi. Benteng moral bangsa ini sangat tergantung

kepada mereka. Apabila mereka “memperjual-belikan”

hukum dengan politik dan uang maka akan hapus harapan

bangsa kita untuk menjadi bangsa yang kompetitif dibidang

ekonomi. Kalangan pemerintahan harus memposisikan diri

sebagai the guardian of the legal and justice system.

Pemerintah dengan perangkat hukum kejaksaan dan

kepolisian hendaknya benar-benar memberdayakan

37

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 45: Bu Let in Hukum 09091211

Kepolisian dan Kejaksaan untuk menjadi lebih professional

dengan melakukan reformasi birokrasi yang memungkinkan

sistem kerja yang lebih efektif, reformasi hendaknya tidak

ditujukan semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan

secara ekonomis.

Kalangan akademisi harus menjadi benteng pertahanan

ilmu hukum yang berlandaskan kepada objektivitas keilmuan,

moralitas dan kebenaran. Keterlibatan dosen dan para guru

besar hukum didalam pemerintahan, konsultan hukum dan

pengacara telah memperlemah “kredibilitas ilmiah” mereka.

Reformasi birokrasi terhadap dunia pendidikan hukum harus

segera terjadi, kesejahteraan mereka harus ditingkatkan

secara signifikan. Kita sekarang menyaksikan betapa para

dosen dan guru besar berlomba mencari proyek, mengejar

jabatan melalui aktivitas mereka di partai politik dan atau

mengajar di pendidikan hukum eksekutif. Hal ini antara lain

diduga menjadi penyebab terjadinya degradasi kualitas dan

kredibilitas pendidikan hukum di Indonesia.

Walaupun terdengar agak naif, penetapanan undang-undang

khusus bagi para penegak hukum dan profesi hukum menjadi

sangat penting sebagai undang-undang “darurat”. Harus

ada hukum yang akan memberikan efek deterrent terhadap

mereka yang memahami dan berkecimpung didalam dunia

hukum tapi malah ikut serta melakukan pembusukan

terhadap hukum itu sendiri. Sanksi berat harus benar-benar

dikenakan terhadap mereka ini.

Era reformasi hanyalah akan menjadi era tanpa makna

bagi pembangunan hukum di Indonesia seandainya tidak

ada reformasi yang sungguh-sungguh di sektor hukum.

Kita juga bisa bercermin kepada negara-negara lain yang

telah lebih baik membenahi bidang hukum ini. Didalam

masyarakat yang sudah "globalized" ini banyak institusi

hukum berdasarkan desakan kebutuhan akan menjadi

semakin mengarah kepada hukum yang sama atau

sekurang-kurangnya "comparable" diantara bangsa-bangsa

di dunia. Diperkenalkannya institusi-institusi hukum baru

nampak dengan jelas dalam hal perkembangan hukum

ekonomi Indonesia. Fenomena ini terjadi antara lain sebagai

dampak perkembangan ekonomi dunia yang demikian

drastis, sehingga hukum dituntut untuk menyesuaikan diri

dengan berbagai perkembangan ekonomi tersebut. Kondisi

ini harus dijadikan kesempatan bagi Indonesia untuk

melakukan reformasi hukum yang memungkinkan kita

menjadi bagian negara-negara yang memiliki kematangan

hukum yang baik.

Pembenahan mendasar berbagai bidang hukum di Indonesia

akan menjadi kata kunci untuk pertumbuhan ekonomi

Indonesia yang tinggi dan berkelanjutan. Hukum harus

mampu memainkan perannya sebagai ”pembeda” mana

yang benar dan salah diberbagai sektor kehidupakan bangsa

kita. Begitu besar tantangan yang akan dihadapi, tapi kapan

lagi kalau tidak Pemerintahan ini yang memulai. Sudah

terbukti dari sejarah berbagai negara di dunia bahwa

perubahan pada hakekatnya terjadi karena seorang

pemimpin pemerintahan dan negara yang memiliki visi yang

baik bagi bangsa dan negaranya, dan perserverence didalam

memperjuangkannya. Kita berharap jangan lagi ada istilah

menunggu ratu adil untuk mengubah semua ini.

Semoga....

38

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 46: Bu Let in Hukum 09091211

I. UMUM

Beberapa prinsip guna memahami makna suatu

ketentuan Peraturan Perundang-undangan adalah :

1. norma (ketentuan) yang diatur/dituangkan dalam

Pasal harus dibaca dan dicermati maknanya secara

utuh (komprehensif) atas seluruh ketentuan yang

diatur dan tidak boleh dimaknai hanya berdasarkan

ketentuan Pasal demi Pasal kemudian telah

mengambil suatu kesimpulan. Guna memperoleh

pemahaman yang tepat, harus dicermati keterkaitan

makna dari satu Pasal dengan Pasal yang lain.

Demikian juga harus dicermati Penjelasan Umum

dan penjelasan dari masing-masing Pasal tersebut,

agar diperoleh pemahaman secara komprehensif

mengenai keseluruhan konsepsi dari Peraturan yang

bersangkutan.

2. untuk menerapkan atau melaksanakan suatu Pasal

tidak boleh hanya tertumpu pada ketentuan Pasal

yang bersangkutan, tetapi harus dilihat adakah

keterkaitan makna Pasal tersebut dengan makna

yang diatur dalam Pasal yang lain .

3. perlu dipahami adanya asas pembentukan dan asas

materi muatan dari Peraturan Perundang-undangan

itu sendiri, sudahkah hal tersebut diterapkan oleh

pembentuk Undang-Undang. Asas tersebut yakni:

a. Asas Pembentukan (vide Pasal 5 UU Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan), yang mensyaratkan

dipenuhinya ketentuan yang mencakup :

1) kejelasan tujuan;

2) kelembagaan atau organ pembentuk yang

tepat;

3) kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi

muatan;

4) dapat dilaksanakan;

5) kedayagunaan dan kehasilgunaan;

6) kejelasan rumusan; dan

7) keterbukaan.

b. Asas Materi Muatan (vide Pasal 6 UU Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan), yang mensyaratkan

bahwa dalam materi muatan harus tercermin

asas :

1) pengayoman;

2) kemanusiaan;

3) kebangsaan;

4) kekeluargaan;

5) kenusantaraan;

6) bhineka tunggal ika;

7) keadilan;

8) kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan;

9) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

10)keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Dan ditambah asas lain sesuai dengan bidang hukum

Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

39

*) - Mantan Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Dep Huk & HAM-RI- Mantan Tenaga Ahli Perundang-undangan pada Deputi Perundang- undangan Setjen DPR-RI

Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009

Oleh: Sri Hariningsih SH., MH. *)

Page 47: Bu Let in Hukum 09091211

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

II. TINJAUAN TERHADAP KETENTUAN PASAL 34 UU BI

1. Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 berbunyi

sebagai berikut :

Pasal 34

(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh

lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang

independen,dan dibentuk dengan undang-

undang.

(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan

selambat-lambatnya 31 Desember 2010.

2. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa guna

melaksanakan atau menerapkan ketentuan suatu

Pasal harus dicermati keterkaitannya dengan

ketentuan dalam Pasal yang lain agar tidak

menimbulkan permasalahan dalam penerapannya.

Dalam penerapan Pasal 34 ini, perlu dicermati atau

dikaji masing-masing ketentuan yang diatur pada

ayat (1) dan pada ayat (2) sebagai berikut :

a. Terkait dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1).

1) Pengaturan Pasal 34 UU BI sangat terkait

dengan ketentuan Pasal 8 huruf c, Pasal

9, Pasal 24, dan Pasal 27. Demikian juga

ketentuan Pelaksanaan Pasal 8, Pasal 9,

Pasal 24, dan Pasal 27 tersebut, bersumber

dari tugas dan wewenang yang diberikan

kepada Bank Indonesia selaku lembaga

negara independen, sebagaimana diatur

dalam Pasal 4 ayat (2).

Pasal 4 ayat (2) berbunyi : Bank Indonesia

adalah lembaga negara yang independen

dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya, bebas dari campur tangan

Pemerintah dan/atau pihak lain,kecuali

untuk hal-hal yang secara tegas diatur

dalam Undang-Undang ini.

2) mengenai tugas Bank Indonesia

sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)

tersebut dijabarkan lagi dalam ketentuan

Pasal 8 yang mencakup:

a. menetapkan dan melaksanakan

kebijakan moneter;

b. mengatur dan menjaga kelancaran

sistem pembayaran;dan

c. mengatur dan mengawasi Bank.

Mengenai tugas Bank Indonesia yang diatur

dalam Pasal 8 ini, pada dasarnya merupakan

salah satu aktualisasi dari konsepsi yang

tertuang dalam latar belakang pemikiran,

maksud, dan tujuan pembentukan Undang-

Undang tentang Bank Indonesia

sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan

Umum, antara lain untuk mencapai dan

memelihara kesetabilan nilai rupiah.

3) mengenai pelaksanaan tugas Bank Indonesia

sebagaimana diatur dalam Pasal 8 tersebut

yakni termasuk tugas mengatur dan

mengawasai Bank (yang tercantum dalam

Pasal 8 huruf c), dilarang adanya campur

tangan dari pihak manapun.

Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 9

yang berbunyi :

Pasal 9

(1) Pihak lain dilarang melakukan segala

bentuk campur tangan terhadap

pelaksanaan tugas Bank Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

(2) Bank Indonesia wajib menolak dan

atau mengabaikan segala bentuk

campur tangan dari pihak mana pun

dalam rangka pelaksanaan tugasnya.

Selanjutnya penjelasan Pasal 9 ayat (1)

berbunyi sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan pihak lain adalah

semua pihak di luar Bank Indonesia,

termasuk Pemerintah dan atau lembaga-

lembaga lainnya.

40

Page 48: Bu Let in Hukum 09091211

Yang dimaksud dengan segala bentuk

campur tangan adalah segala perbuatan

pihak lain yang secara langsung atau tidak

langsung dapat mempengaruhi kebijakan

dan pelaksanaan tugas Bank.

Ketentuan ini dimaksudkan agar Bank

Indonesia dapat melaksanakan tugas dan

wewenangnya berdasarkan Undang-

Undang ini secara efektif.

Tidak termasuk dalam pengertian campur

tangan adalah kerja sama yang dilakukan

oleh pihak lain atau bantuan teknis yang

diberikan oleh pihak lain atas permintaan

Bank Indonesia dalam rangka mendukung

pelaksanaan tugas Bank Indonesia

sebagaimana diamanatkan dalam Undang-

Undang ini.

4) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam

Pasal 9 tidak bisa dianggap ringan, karena

dikenakan sanksi pidana yang cukup berat

sebagaimana diatur dalam Pasal 67 untuk

pelanggaran Pasal 9 ayat (1) dan dalam

Pasal 68 untuk pelanggaran Pasal 9 ayat

(2).

Pasal 67 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67

Barangsiapa yang melakukan campur

tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 9 ayat (1), diancam dengan pidana

penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun

dan paling lama 5 (lima) tahun, serta denda

sekurang-kurangnya Rp2.000.000.000,00

(dua miliar rupiah) dan paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 68 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 68

Anggota Dewan Gubernur dan atau pejabat

Bank Indonesia yang melanggar ketentuan

Pasal 9 ayat (2) diancam dengan pidana

penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun

dan paling lama 5 (lima) tahun, serta denda

sekurang-kurangnya Rp2.000.000.000,00

(dua miliar rupiah) dan paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

5) Pengertian Bank tentunya adalah

sebagaimana tercantum dalam Pasal 1

angka 5 yang berbunyi : Bank adalah Bank

Umum dan Bank Perkreditan Rakyat

sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang tentang Perbankan yang berlaku.

6) Jika kita cermati ketentuan Pasal 8 huruf

c yang memberikan tugas kepada Bank

Indonesia untuk mengatur dan

mengawasi Bank dan kemudian kita

kaitkan dengan ketentuan dalam Padal 9

beserta penjelasanya, maka nampak jelas

bahwa tugas pengawasan terhadap

Bank merupakan tugas Bank Indonesia

dan dilarang untuk dilakukan oleh pihak

lain.

Ketentuan mengenai tugas dan wewenang

Bank Indonesia untuk mengawasi Bank

dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 24

dan Pasal 27 yang masing-masing berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 24

Dalam rangka melaksanakan tugas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf

c, Bank Indonesia menetapkan peraturan,

memberikan dan mencabut izin atas

kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu

dari Bank, melaksanakan pengawasan

Bank dan mengenakan sanksi terhadap

Bank sesuai dengan peraturan Perundang-

undangan.

Penjelasan : Dalam hal ini, pengaturan dan

pengawasan Bank mengacu pada Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998.

41

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 49: Bu Let in Hukum 09091211

Pasal 27

Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24

adalah pengawasan langsung dan tidak

langsung.

Penjelasan : Yang dimaksud dengan

pengawasan langsung adalah dalam

bentuk pemeriksaan yang disusul dengan

tindakan-tindakan perbaikan.

Yang dimaksud dengan pengawasan tidak

langsung terutama dalam bentuk

pengawasan dini melalui penelitian, analisis,

dan evaluasi laporan Bank.

7) Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) yang

menentukan bahwa tugas pengawasan

Bank akan dilakukan oleh lembaga

pengawasan jasa keuangan yang

independen, jelas tidak sejalan bahkan

ketentuan tersebut bertentangan

(kontradiktif) dengan ketentuan keempat

Pasal tersebut (Pasal 8 huruf c, Pasal 9,

Pasal 24, dan Pasal 27).

8) Pengaturan lebih lanjut dari ketentuan

Pasal 34 ayat (1) tidak dapat mengabaikan

atau mengesampingkan ketentuan dalam

Pasal 8 huruf c, Pasal 9, Pasal 24 dan Pasal

27 serta pemahaman secara utuh atas

konsepsi pembentukan Undang-Undang

tentang Bank Indonesia yang tertuang

dalam Penjelasan Umum. Demikian juga

ketentuan terhadap sanksi atas

pelanggaran Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 9

ayat (2) sebagaimana ditegaskan masing-

masing dalam Pasal 67 dan Pasal 68, perlu

dilakukan penyesuaian.

9) Jika adanya saling keterkaitan antara Pasal-

Pasal dimaksud tidak diperhatikan, maka

akan terjadi tumpang tindih pengaturan

yang saling bertentangan satu dengan yang

lain, sehingga mengakibatkan kerancuan

bahkan kekacauan di bidang Peraturan

Perundang-undangan.

10) Terjadinya tumpang tindih pengaturan

bahkan saling bertentangan satu dengan

yang lain, jelas tidak mencerminkan asas

pembentukan peraturan perundang-

undangan (khususnya yang terkait dengan

”kejelasan tujuan” dan ”kedayagunaan

dan kehasilgunaan”) dan juga tidak

mencerminkan asas yang harus tercermin

dalam materi muatan (khususnya asas

”ketertiban dan kepastian hukum” dan

asas ”keseimbangan, keserasian, dan

keselarasan”).

11) Jika dilakukan pembentukan lembaga

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat

(1) maka :

a. terlebih dahulu harus dilakukan

perubahan terhadap ketentuan 4

(empat) Pasal tersebut diatas beserta

uraian konsepsi yang terdapat dalam

Penjelasan Umum;

b. perlu dipertimbangkan secara

seksama/cermat terkait dengan prinsip

kehasilgunaan dan kedayagunaan

pembentukan lembaga yang baru

dibandingkan dengan mengintensifkan

atau melakukan perbaikan kinerja dari

lembaga yang sudah ada ;dan

c. perlu dipertimbangkan secara seksama/

cermat dari sisi efisiensi dan efektifitas

pembentukan lembaga baru (untuk

menangani hal yang sama yang

sebenarnya sudah ada lembaga yang

menangani), mengingat pembentukan

lembaga baru pasti terkait antara lain

dengan penyediaan infrastruktur baru

yang berakibat pembengkakan

anggaran negara dan penyelesaian

masalah status kepegawaian dari

lembaga yang lama yang mungkin tidak

mudah penyelesaiannya.

12) pemberian kewenangan kepada Bank

Indonesia walaupun merupakan lembaga

independen, bukan berarti tanpa batas.

Hal tersebut secara jelas terlihat dari uraian

42

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 50: Bu Let in Hukum 09091211

yang terdapat dalam alinea terakhir

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor

23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,

yang berbunyi: Agar independensi yang

diberikan kepada Bank Indonesia

dilaksanakan dengan penuh tanggung

jawab, kepada Bank Indonesia dituntut

untuk transparan dan memenuhi prinsip

akuntabilitas publik dalam menerapkan

kebijakannya serta terbuka bagi

pengawasan oleh masyarakat.

b. terkait dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2).

1) Pasal 34 ayat (2) menentukan bahwa :

Pembentukan lembaga pengawasan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan

dilaksanakan selambat-lambatnya 31

Desember 2010.

Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2) ini tidak

sama perlakuannya dengan ketentuan

dalam Pasal-Pasal yang lain terkait dengan

limit atau jangka waktu berlakunya.

2) Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2) ini

memuat pembatasan secara eksplisit

mengenai masa berlaku penerapannya,

yakni hanya sampai tanggal 31 Desember

2010.

Pasal 34 ayat (2) ini secara jelas memberikan

peringatan kepada Pembentuk UU (DPR

dan Presiden) bahwa jika akan membentuk

UU tentang lembaga pengawasan jasa

keuangan maka tidak boleh melewati batas

waktu tanggal 31 Desember 2010. Batas

waktu tersebut secara eksplisit dirumuskan

dalam frasa ”selambat-lambatnya 31

Desember 2010”.

3) Ketentuan dalam pasal yang lain yang secara

eksplisit tidak menentukan batas waktu

penerapannya, masih berlaku sampai

dinyatakan secara tegas dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-

Undang tersendiri.

4) Setelah lewat dari jangka waktu yang

ditentukan (yakni 31 Desember 2010),

ketentuan Pasal 34 ayat (2) tidak dapat lagi

dijadikan legitimasi atau dasar hukum

pembentukan lembaga yang didelegasikan

oleh ketentuan pada ayat (1). Oleh karena

itu, Pembentuk Undang-Undang (DPR dan

Presiden) tidak dapat lagi menggunakan

dasar hukum ketentuan Pasal 34 ayat (2)

untuk membentuk Undang-Undang tentang

Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan.

5) Mengingat ketentuan dalam Pasal 8 huruf

c, Pasal 9, Pasal 24, dan Pasal 27 dikaitkan

dengan ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2)

khususnya yang terkait dengan pembatasan

jangka waktu pembentukan lembaga

pengawasan jasa keuangan, maka :

• Jika lembaga pengawasan jasa

keuangan akan dipaksakan dibentuk

dengan mendasarkan pada ketentuan

dalam Pasal 34 ayat (1), maka

pembentukan tersebut bertentangan

dengan ketentuan dalam Pasal 8 huruf

c, yang memberikan tugas pengawasan

terhadap bank kepada Bank Indonesia,

dengan Pasal 9 yang menyatakan

pihak lain dilarang melakukan

segala bentuk campur tangan

terhadap pelaksanaan tugas Bank

Indonesia dan Bank Indonesia wajib

menolak dan atau mengabaikan

segala bentuk campur tangan dari

pihak mana pun dalam rangka

pelaksanaan tugasnya, selanjutnya

bertentangan juga dengan Pasal 24,

dan Pasal 27 serta tidak sejalan dengan

konsepsi yang diuraikan dalam

Penjelasan Umum.

• Jika lembaga pengawasan jasa

keuangan akan dipaksakan dibentuk

dengan mengabaikan ketentuan dalam

Pasal 34 ayat (2) yang secara eksplisit

membatasi sampai 31 Desember 2010,

maka pembentukan tersebut akan cacat

43

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 51: Bu Let in Hukum 09091211

hukum karena tidak mempunyai

legitimasi lagi

• Pengabaian terhadap ketentuan suatu

Pasal UU pasti ada konsekuensi

hukumnya. (Bandingkan pada waktu

dilakukan perubahan atas ketentuan

Pasal 11 ayat (5) UU BI yang menghapus

ketentuan tentang batas waktu.

Demikian juga mengenai pembentukan

UU tentang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi yang diberi batas waktu

berdasarkan putusan MK).

6) Jika terdapat keinginan untuk memberikan

wewenang pengawasan Bank kepada

lembaga lain selain Bank Indonesia, maka:

ketentuan Pasal 8 huruf c, Pasal 9 beserta

penjelasannya, Pasal 24, Pasal 27, dan Pasal

34 ayat (2), Pasal 67, dan Pasal 68 serta

konsepsi yang dituangkan dalam Penjelasan

Umum harus diubah terlebih dahulu.

III. PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN BERDASARKAN KETENTUAN DALAM

UU NOMOR 12 TAHUN 2011

Dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan

terdapat 2 (dua) asas yang harus diperhatikan yakni

asas pembentukan (vide Pasal 5) dan asas dari materi

muatan (vide Pasal 6).

Dalam kaitan dengan rencana pembentukan UU tentang

lembaga pengawasan jasa keuangan yang hanya

mendasarkan pada perintah Pasal 34 UU BI kekhawatiran

yang muncul adalah :

1. Apakah UU tersebut kira-kira dapat dilaksanakan,

karena akan terdapat pertentangan dengan

ketentuan Pasal 8 huruf c, Pasal 9, Pasal 24, dan

Pasal 27, Pasal 67 dan Pasal 68 termasuk konsepsi

yang tertuang dalam Penjelasan Umum UU BI.

2. Apakah UU tersebut akan mempunyai kedayagunaan

dan kehasilgunaan, mengingat kemungkinan

kewenangannya akan berbenturan dengan

kewenangan BI yang keberadaan lembaganya walau

dengan nama yang lain (Bank Sentral) adalah

legitimasi dari UUD (vide Pasal 23 D).

3. Pembentukan UU tentang lembaga pengawasan

jasa keuangan yang didasarkan pada ketentuan

Pasal 34 jelas akan memunculkan ketidak pastian

hukum karena :

a. Selama wewenang Bank Indonesia sebagaimana

diatur dalam Pasal 8 huruf c, dalam Pasal 9, Pasal

24, dan Pasal 27 termasuk ketentuan sanksi

pidana atas pelanggaran Pasal 9 sebagaimana

diatur dalam Pasal 67 dan Pasal 68 serta konsepsi

yang tertuang dalam Penjelasan Umum tidak

dilakukan penyesuaian/perubahan maka akan

terjadi tumpang tindih kewenangan pengawasan

terhadap Bank dan bahkan terjadi pertentangan

kewenangan.

b. Ketentuan mengenai pembatasan waktu yang

diatur dalam Pasal 34 ayat (2) jika diabaikan

jelas akan merusak asas ketertiban dan

kepastian hukum.

4. Proses pembentukan UU tentang lembaga

pengawasan jasa keuangan sebagaimana

didelegasikan oleh Pasal 34 harus mengacu pada

ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 UU No.12 Tahun

2011 (khususnya asas kejelasan tujuan,

kehasilgunaan dan kedayagunaan,asas ketertiban

dan kepastaian hukum, serta asas keseimbangan,

keserasian, dan keselarasan), maka UU tersebut

terdapat kemungkinan dapat dilakukan judicial

review oleh pihak yang berkepentingan atau yang

dirugikan mengingat tidak sesuai dengan prosedur

pembentukannya.

44

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 52: Bu Let in Hukum 09091211

45

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

3 Tahun 2004 dan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Daftar Pustaka

Page 53: Bu Let in Hukum 09091211

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 54: Bu Let in Hukum 09091211

Salah satu pelaksanaan reformasi hukum dalam bidang

hukum kepailitan ditandai dengan disempurnakannya

ketentuan tentang kepailitan yaitu terbentuknya Undang

Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut

dengan Undang-Undang KPKPU.

Perdefinisi dalam Undang Undang KPKPU, pengertian

kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur

pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh

kurator dibawah pengawasan hakim pengawas. Secara

umum pengertian kepailitan atau biasa disebut bangkrut/

bankrupt atau insolven berasal dari bahasa Italia, banca

rotta atau artinya meja yang patah, yang merupakan simbol

atau lambang bagi peminjam/debitur yang insolven.

Kepailitan lahir dari adanya utang debitur atau tagihan/klaim

kreditur yang muncul karena adanya perikatan utang

piutang/transaksi bisnis antara satu orang debitur/pemilik

utang/yang berutang dengan dua atau lebih kreditur/pemilik

piutang/pemberi utang, dimana seorang debitur yang

memiliki dua atau lebih kreditur tersebut tidak mampu

membayar lunas sedikitnya satu utangnya yang telah jatuh

tempo dan dapat ditagihkan padanya, maka debitur tersebut

dapat dinyatakan pailit.

Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-

undang No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) secara umum

dinyatakan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih

kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang

yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit

oleh pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun

atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Dari persyaratan

dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang KPKPU, menurut

penulis, memberikan pengertian bahwa Undang Undang

Kepailitan tidak melihat apakah debitur mampu atau tidak

mampu melunasi utangnya, sepanjang utang itu telah jatuh

waktu dan dapat ditagih, dan saat itu dia tidak mampu

membayar atau tidak maunya debitur melunasi utangnya,

maka akan mengakibatkan debitur tersebut dinyatakan

pailit.

Undang-Undang KPKPU telah membuat pengaturan khusus

yang berbeda bagi debitur berbentuk badan hukum

perbankan dibandingkan dengan pengaturan terhadap

debitur pada umumnya. Pernyataan pailit bagi debitur

berbentuk badan hukum perbankan, permohonan

pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

Bank sebagai debitur tidak dapat mengajukan sendiri

permohonan pernyataan pailit bagi dirinya sendiri

sebagaimana halnya yang dapat dilakukan oleh debitur pada

umumnya. Demikian pula kreditur/nasabah bank juga tidak

dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap

bank sebagai debiturnya, sebagaimana yang dapat dilakukan

oleh kreditur pada umumnya terhadap debiturnya.

Mengenai pengaturan khusus tentang pernyataan pailit

bagi debitur berbentuk badan hukum perbankan yang

hanya merupakan kewenangan bagi Bank Indonesia, lebih

lanjut disitir penulis dari pendapat Mudofir Hadi bahwa hal

tersebut seharusnya diartikan bahwa Bank Indonesia

dijadikan filter dari setiap permohonan kreditur dari bank

yang hendak mempailitkan bank/debitur, artinya kreditur

akan menemui jalan buntu apabila dia akan mengajukan

bank sebagai debiturnya untuk pernyataan pailit tanpa

melalui Bank Indonesia. Demikian pula sebaliknya dalam

47

Resensi Buku

Judul : Kepalitian Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Suatu Bank

Penulis : Dr. Silvia Janisriwati, SH., M Hum.Penerbit : Logoz PublishingHalaman : 190 halamanOleh : Ellia Syahrini, SH., CN.

Page 55: Bu Let in Hukum 09091211

hal bank/debitur itu sendiri tidak dapat secara semena-

mena mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri,

tanpa melalui Bank Indonesia, yang dapat merugikan para

nasabahnya.

Dalam kepailitan dikenal adanya tiga kategori dasar dalam

hukum kepailitan yaitu pertama, Penagihan hutang atau

Debt collection, merupakan konsep pembalasan kreditur

terhadap debitur pailit dengan menagih klaimnya terhadap

debitur atau harta debitur, yang dapat dimanifestasikan

dalam bentuk Likuidasi aset. Kedua adalah pengampunan

utang atau Debt forgiveness, merupakan konsep meringankan,

mengecualikan atau membebaskan kewajiban debitur yang

dimanifestasikan dalam bentuk asset exemption, yaitu

pengecualian harta debitur terhadap budel pailit, moratorium

yaitu penundaan pembayaran untuk jangka waktu tertentu,

relief from imprisonment (membebaskan dari hukuman

penjara karena gagal membayar hutang), discharge of

indebtedness (pembebasan debitur atau harta debitur untuk

utang yang benar benar tidak dapat dipenuhinya). Dan

terakhir adalah penyesuaian utang atau debt adjustment

merupakan aspek dalam hukum kepailitan yang dimaksudkan

merubah hak distribusi dari para kreditur sebagai grup,

implementasi dari konsep ini adalah prinsip pro rata

distribution atau structured prorate (pembagian berdasarkan

kelas kreditur)

Sementara itu beberapa prinsip yang dikenal dalam hukum

kepailitan yaitu, prinsip paritas creditorium yang dikenal di

Indonesia dalam pasal 1131 KUHPerdata. Prinsip ini bermakna

bahwa semua harta kekayaan debitur baik yang ada dan

yang akan ada, baik bergerak maupun tetap, terikat pada

penyelesaian kewajiban debitur. Pada prinsip ini semua

kreditur kedudukannya disamaratakan. Hal ini merupakan

ketidakadilan karena selain penyamarataan kedudukan

kreditur, harta debitur yang tidak terkait dalam utang tersebut

akan turut menjadi terikat untuk penyelesaian utangnya.

Selain itu prinsip pari passu pro rata parte, diatur dalam

pasal 1132 KUH Perdata, adalah prinsip yang mengenal

harta kekayaan debitur merupakan jaminan bersama untuk

para kreditur yang harus dibagikan secara proporsional

kecuali jika diantara kreditur tersebut terdapat kreditur yang

berdasarkan Undang-Undang harus didahulukan dalam

penerimaan pembayaran tagihannya serta prinsip structured

creditur, yaitu prinsip mengkelompokkan berbagai macam

kreditur sesuai dengan kelasnya masing-masing.

Sesuai asas dan tujuan kepailitan bahwa pengertian kepailitan

adalah sebagai sita umum atas kekayaan debitur pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator

dibawah pengawasan hakim pengawas dan dimaksudkan

untuk menghindari adanya sita/eksekusi oleh para kreditur

secara sendiri sendiri yang dapat menimbulkan kecurangan

dan terabaikan hak kreditur lainnya, maka para kreditur dari

debitur yang dipailitkan untuk mendapatkan pemenuhan

haknya, harus bertindak secara bersama sama (concursus

creditorum) sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1132 KUH

Perdata.

Dengan demikian meskipun berdasarkan jenisnya dalam

hukum kepailitan terdapat kreditur separatis yaitu kreditur

yang piutangnya dijamin dengan agunan hak kebendaan,

dan kreditur preferen yaitu kreditur dengan hak istimewa

khusus dan hak istimewa umum berdasarkan Pasal 1139

dan 1149 KUH Perdata, tagihannya didahulukan terhadap

hasil penjualan harta kekayaan debitur yang telah dibebani

dengan hak tertentu bagi kepentingan kreditur serta kreditur

konkuren, yaitu kreditur yang mempunyai hak sama dan

harus berbagi dengan kreditur lain secara proporsional,

namun dalam pelaksanaan kepailitan tetap saja diupayakan

pemenuhan hak para kreditur dalam kepailitan dilakukan

secara bersama-sama (concursus creditorum) dan dengan

pembagian harta kekayaan debitur diantara para kreditur

sesuai dengan asas pari passu.

Di sisi lain, Undang Undang Kepailitan yang merupakan

proses pelaksanaan ketentuan pasal 1131 dan 1132 KUH

Perdata pada pokoknya memberi perlindungan kepada

kreditur apabila debitur tidak mampu membayar lunas

hutangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,

diharapkan dapat memberikan jalan keluar untuk

pendistribusian kekayaan debitur secara pasti dan adil.

Berbeda halnya dengan Undang Undang Kepailitan di

Indonesia, dalam Undang Undang KPKPU setelah adanya

tindakan pemberesan tidak mengenal adanya financial fresh

start, baik kepada debitur perorangan maupun badan hukum.

Artinya apabila setelah pemberesan/likuidasi ternyata masih

terdapat utang debitur yang tidak terlunasi, maka debitur

tersebut masih berkewajiban melunasi semua utang

utangnya, tetapi kepada debitur tersebut masih diberikan

kewenangan untuk melakukan tindakan hukum berkaitan

dengan usahanya. Artinya pasca kepailitan debitur tersebut

48

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 56: Bu Let in Hukum 09091211

masih tetap eksis dan melakukan usahanya sehingga pada

akhirnya mampu menyelesaikan utang/kewajibannya yang

lalu yang belum terlunasi.

Keterkaitan antara Kepailitan dan Likuidasi adalah bahwa

pada dasarnya kepailitan merupakan likuidasi secara paksa,

sehingga aset dan harta debitur dapat dijual secara paksa

untuk membayar utang debitur dan dibagi kepada para

kreditur secara pro rata, kecuali ada diantaranya kreditur

yang harus didahulukan menurut ketentuan pasal 1132

KUH Perdata.

Menurut penulis apa yang dipersyaratkan dalam pasal 2

ayat (1) Undang Undang KPKPU bahwa debitur yang

mempunyai dua atau lebih kreditur dan debitur tidak

membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh

waktu dan dapat ditagih kepada salah satu krediturnya

dapat dinyatakan pailit, apabila diterapkan kepada debitur

berbentuk badan hukum perbankan akan menjadi kurang

tepat dan sangat riskan, karena sangat mudah terpenuhinya

persyaratan dimaksud, mengingat banyaknya jumlah

kreditur/nasabah bagi bank sebagai debitur, meskipun pada

dasarnya tidak selalu terpenuhinya kriteria insolven.

Dengan demikian untuk melindungi kepentingan kreditur

sesuai teori keadilan, dikemukakan oleh penulis, seharusnya

ketentuan dalam pasal 2 ayat (3) Undang Undang KPKPU

harus diubah dengan menyertakan para kreditur sebagai

pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan

pailit bagi debitur berbentuk badan hukum perbankan,

selain kewenangan sepenuhnya berada pada Bank Indonesia.

Lebih lanjut penulis mengusulkan agar ketentuan dalam

pasal 2 ayat (3) diubah menjadi, “dalam hal debiturnya

adalah bank, maka yang dapat mengajukan permohonan

pernyataan pailit adalah Bank Indonesia atau para kreditur

dari bank tersebut,” dengan pertimbangan sesuai teori

keadilan kreditur memiliki hak untuk mendapatkan pemenuhan

utangnya sesuai kontrak yang telah disepakati. Bahwa hanya

melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu

menjamin pelaksanaan pemenuhan hak sekaligus

mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang.

Disamping itu, Penulis menambahkan beberapa catatan

yang perlu menjadi perhatian yaitu:

1. Penolakan Bank Indonesia sebagai pihak yang mempunyai

kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (3)

UU KPKPU untuk mengajukan permohonan pernyataan

pailit terhadap bank adalah bertentangan dengan prinsip

hukum perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, asas

pacta sunt servanda, dan asas konsesualisme karena

akan menghilangkan hak kreditur dihadapan hakim yang

secara bebas dapat menggugat debitur yang telah cidera

janji. Selain itu penolakan tersebut juga bertentangan

dengan asas lex specialis derogate legi genarali.

2. Apabila Bank Indonesia menolak mengajukan pernyataan

pailit terhadap bank di Pengadilan Niaga tanpa adanya

upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para kreditur

tentunya hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian

hukum dan tidak memberi perlindungan hukum terhadap

pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini bank bukannya

tidak dapat dipailitkan tetapi pemailitan bank tersebut

membutuhkan itikad baik dari Bank Indonesia yang

mempunyai kewenangan. Para kreditur/nasabah

penyimpan dana akan tetap mendapatkan perlindungan

hukum apabila Bank Indonesia mau mempergunakan

kewenangannya yang diberikan oleh Undang Undang

Kepalitan.

3. Pada dasarnya penyelesaian bank bermasalah dilakukan

dengan general insolvency law oleh bankruptcy court

sehingga bank diperlakukan sama sebagaimana

perusahaan pada umumnya atau adanya aturan kepailitan

khusus yang berlaku bagi bank yang dikelola oleh

supervisory authority atau lembaga penjamin simpanan,

sebagaimana di Amerika dan Inggris. Menurut penulis

hal demikian dapat pula diterapkan di Indonesia dengan

menggunakan general insolvency law dan melakukan

proses kepailitan melalui pengadilan yang akan lebih

cepat waktu penyelesaian dan transparan.

Undang Undang KPKPU mengatur satu-satunya lembaga

yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit

terhadap debitur berbentuk badan hukum perbankan

hanyalah Bank Indonesia. Berdasarkan Undang Undang

No. 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang

No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia

adalah otoritas perbankan yang kewenangannya meliputi

penetapan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas

kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank,

melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi

terhadap bank. Selaku otoritas perbankan maka kebijakan

pengaturan dan pengawasan bank yang dirumuskan dan

diimplementasikan oleh Bank Indonesia bertujuan untuk

mengupayakan terciptanya individu bank yang sehat

49

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 57: Bu Let in Hukum 09091211

yang pada gilirannya mendukung sistem perbankan yang

sehat.

Untuk melindungi kepercayaan masyarakat kepada dunia

perbankan, bank sebagai debitur tidak serta merta dan

sedemikian mudahnya dapat dimintakan permohonan pailit

manakala terdapat satu saja utang bank/debitur yang telah

jatuh waktu dan dapat ditagihkan kepadanya dari salah satu

krediturnya/nasabahnya. Dalam hal ini diatur pengecualian

permohonan pernyataan pailit bagi debitur berbentuk badan

hukum perbankan sepenuhnya merupakan kewenangan

Bank Indonesia yang didasarkan atas penilaian kondisi

keuangan dan perbankan secara keseluruhan. Sementara

itu dalam prakteknya Bank Indonesia akan melakukan

tindakan secara persuasif yang diakhiri dengan likuidasi

tanpa perlu pernyataan pailit terhadap bank yang mengalami

insolvensi atau masalah kesulitan dana yang dapat

membahayakan keberadaan bank

50

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 58: Bu Let in Hukum 09091211

Pemerintah Indonesia telah menyusun Rancangan Undang-

Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pendanaan Terorisme (RUU PPTPPT). Dalam rangka

pendalaman materi berkaitan dengan penyusunan RUU

dimaksud, Bank Indonesia diundang oleh Pusat Pelaporan

dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk bersama-

sama Pemerintah mengikuti kegiatan counter financing of

terrorism study tour, di Sydney-Australia, tanggal 25 – 29

September 2011.

Penyusunan RUU tersebut dilatarbelakangi RUU disusun

dengan latar belakang bahwa :

a. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan

yang mengancam kedaulatan setiap negara. Negara

wajib melindungi masyarakat dari ancaman tindak pidana

terorisme dan aktifitas yang mendukung terorisme;

b. Pendanaan merupakan faktor penting dalam aksi

terorisme sehingga upaya penanggulangan terorisme

harus diikuti dengan pencegahan dan pemberantasan

terhadap pendanaan terorisme;

c. Dengan telah diratifikasinya Konvensi Internasional

Pemberantasan Pendanaan Terorisme, maka Indonesia

wajib untuk membuat atau menyelaraskan peraturan

perundang-undangan terkait pendanaan terorisme

sehingga sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang

diatur dalam konvensi tersebut;

d. Peraturan PerUUan yang berkaitan dengan pendanaan

terorisme belum mengatur pencegahan dan pemberantasan

tindak pidana pendanaan terorisme secara memadai

dan komprehensif.

e. Dalam perspektif internasional Indonesia harus menaruh

perhatian penuh untuk memperbaiki kelemahan dalam

memenuhi 9 Rekomendasi Khusus FATF mengenai

Pendanaan Terorisme. Berdasarkan hasil penilaian Mutual

Evaluation (ME), penanganan anti pendanaan terorisme

di Indonesia dipandang masih lemah.

Berdasarkan realitas bahwa upaya penanggulangan

tindak pidana terorisme tidak akan optimal tanpa diikuti

dengan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap

pendanaan terorisme, maka sebagai negara yang beberapa

kali mengalami serangan terorisme, Indonesia perlu

memperluas jangkauan upaya pencegahan dan pemberantasan

tindak pidana terorisme dengan upaya memutus ”mata

rantai” atau alur pendanaan terorisme disamping melakukan

upaya-upaya untuk menangkap dan menghukum secara

fisik para teroris.

Pada pokoknya tujuan dari menyusunan RUU tersebut,

adalah (i) memberikan dasar hukum yang kuat dan

kemudahan dalam pendeteksian, pembekuan, penyitaan

dan perampasan dana atau aset yang diketahui atau patut

diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung

atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi

teroris, atau teroris perseorangan; (ii) mendukung dan

meningkatkan efektivitas upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme; dan

(iii) menyesuaikan pengaturan mengenai pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme

sehingga sejalan dengan konvensi yang telah diratifikasi

oleh Pemerintah Indonesia dan standar internasional di

bidang pencegahan dan pemberantasan pendanaan

terorisme.

Sasaran utama dari penyusunan RUU tersebut, adalah (i)

ikut memelihara dan menjaga stabilitas ekonomi, sosial

budaya, dan keamanan dan ketertiban nasional; (ii) memutus

alur pendanaan terorisme sekaligus mencegah terjadinya

lagi serangan atau aksi-aksi terorisme di seluruh tanah air;

dan (iii) menunjukkan komitmen Indonesia yang kuat dan

serius dalam pencegahan dan pemberantasan pendanaan

terorisme.

Australia adalah salah satu negara yang memiliki pengaturan

yang komprehensif mengenai pencegahan dan pemberantasan

pendanaan terorisme. Pengaturan yang dibangun telah

mendorong terwujudnya integrasi dan efektifitas lembaga-

lembaga terkait mencegah dan memberantas tindak pidana

51

Cakrawala Hukum:Laporan Mengikuti Sosialisasi RUU Pencegahan Dan Pendanaan TerorismeOleh: Tim Redaksi

Page 59: Bu Let in Hukum 09091211

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

pendanaan terorisme. Berkaitan dengan pemberantasan

tindak pidana terorisme, Pemerintah Australia berdasar pada

hukum nasional dan hukum internasional yang langsung

diadopsi menjadi hukum nasional serta kerja sama

internasional. Hukum internasional yang diadopsi ke dalam

hukum nasional Australia berasal dari resolusi Dewan

Keamanan PBB dan rekomendasi-rekomendasi FATF. Hal ini

sejalan dengan konstitusi, yang memberikan dasar bagi

hukum internasional dapat berlaku setelah adanya

persetujuan parlemen (termasuk yang berupa resolusi dan

rekomendasi).

Di Australia, lembaga yang berwenang dalam bidang analisis

dan pelaporan transaksi keuangan adalah AUSTRAC yang

didirikan pada tahun 1989 berdasarkan the Financial

Transaction Reports Act 1988 (FTR Act). Secara umum

pendekatan yang dilakukan berdasarkan FTR Act 1988

adalah “prescriptive”. Selanjutnya berdasarkan anti-Money

Laundering/Counter Terrorism Financing atau yang dikenal

dengan AML/CFT Act 2006, pendekatan dilakukan

berdasarkan “risk-based”. AUSTRAC merupakan Financial

Intelligence Unit (FIU) yang bertipe Administratif dan

merupakan menjadi bagian dari Australian Government

Attorney-Generals Department. Keberadaan AUSTRAC

dalam AML/CFT Act 2006 tercantum dalam bagian 209.

AUSTRAC memiliki 6 kantor yang terdiri dari 1 kantor pusat

di New South Wales dan 5 kantor regional di 5 state yang

berbeda (Victoria, ACT, Qld, WA, dan SA). AUSTRAC memiliki

peran ganda yaitu sebagai regulator dalam mengatur dan

mengawasi pelaksanaan dan pemenuhan kepatuhan pihak

pelapor terhadap ketentuan anti pencucian uang dan

pendanaan terorisme di Australia (the AML/CTF Act and FTR

Act); dan sebagai lembaga di bidang intelijen keuangan

/financial intelligence unit AUSTRAC menerima, menganalisis

dan menyediakan atau menyampaikan informasi kepada

pihak terkait yang berwenang di dalam negeri (partner

agencies) maupun di luar negeri (international counterparts).

Informasi AUSTRAC digunakan oleh pihak terkait dimaksud

dalam penyelidikan berbagai tindak pidana seperti pencucian

uang, penipuan/fraud, obat terlarang, penyelundupan, dan

kejahatan serius lainnya.

Jenis laporan yang diterima AUSTRAC dari pihak pelapor

sesuai AML/CFT Act terdiri dari Suspicious Matter Reports

(SMR), Threshold Transaction Report (TTR), dan International

Fund Transfer Instruction (IFTI) serta Cross Border Movement

(CBM). Berkenaan dengan domestic dan international

coordination diketahui pada saat ini yang menjadi domestic

partner agencies AUSTRAC meliputi law enforcement,

national security, social justice, revenue collection, regulatory.

Sedangkan jumlah FIU yang telah menandatangi MOU

dengan AUSTRAC sebanyak 59 FIU. Pihak-pihak yang diatur

dan diawasi oleh AUSTRAC terdiri dari pihak pelapor yang

melakukan kegiatan salah satu dari 71 designated services,

yang meliputi:

a. Provision of an account

b. Pemberian pinjaman (Making a loan)

c. Leasing dan penyewaan (Some leasing and hire purchase

agreement)

d. Penerbitan kartu debit, money order, travel cek atau

store value card

e. Penerimaan taruhan dan atau pembayaran kepada

pemenang taruhan (accepting bets and/or paying

winnings)

Berdasarkan FTR Act dan AML/CFT Act, pihak-pihak yang

memiliki kewajiban pelaporan kepada AUSTRAC yakni:

lembaga keuangan (financial institutions);pedagang valuta

asing (bureau de changes); pedagang emas dan permata

(bullion sellers); penyedia jasa pengiriman uang (money

transfer remmitters); pembawa uang tunai/cash carriers;

perjudian/casinos; penyelenggara undian/TAB/bookmakers.

Beberapa hal yang dapat disimpulkan berkenaan dengan

materi RUU PPTPPT, sebagai berikut :

1. Pada hakikatnya, pendekatan yang dilakukan dalam

rangka pencegahan dan pemberantasan Pendanaan

Terorisme adalah pendekatan “Follow the Money”, yang

menyakini bahwa uang dan segala bentuk property yang

dimiliki oleh individual terrorist maupun terrorist group

adalah merupakan jantungnya kegiatan pendanaan

terorisme itu.

2. Key tools yang dipakai dalam strategi pemberantasan

Pendanaan Terorisme haruslah ditujukan bagi Detection;

Disruption; Prevention (termasuk melakukan upaya

perlawanan atas radikalisasi teroris); dan Response.

3. Pencegahan dan pemberantasan Pendanaan Terorisme

membutuhkan respon dari multiagensi, yang meliputi:

52

Page 60: Bu Let in Hukum 09091211

a. Penetapan mekanisme pencegahan yang efektif,

dan juga kemampuan khusus di dalam investigasi

pelaku pendanaan terorisme.

b. Koordinasi-koordinasi kebijakan antar lembaga

c. Instrument-instrumen penegakan yang memadai

d. Sasaran yang ditujukan dengan jelas untuk mencegah

dan memberantas pendanaan terorisme.

e. Peranan dan kesadaran dari lembaga-lembaga yang

masih belum dapat merasakan bahwa keterlibatan

lembaga mereka sangat penting, dan untuk itu

mereka juga harus memperluas keikutsertaan mereka

di dalam pencegahan dan pemberantasan pendanaan

terorisme tersebut, seperti kantor pajak, lembaga

negara yang memiliki kewenangan untuk mengatur

mengenai yayasan-yayasan sosial, atau lembaga

charity lainnya.

f. Penguatan kerjasama internasional karena

mengingat sifat dan hakikat pendanaan terorisme

bersifat transnasional, yang membutuhkan adanya

kerjasama internasional untuk pencegahan dan

pemberantasannya. Kerjasama internasional yang

perlu dikuatkan tersebut antara lain kerjasama antar

Financial Intellegence Units (FIUs), lembaga-lembaga

pengawas dan pengatur mengenai charity, regulator

sektor finansial (Bank Sentral), Kepolisian,

Kepabeanan, Pengadilan, dll).

4. Komunitas internasional telah menyetujui standar-standar

yang harus dipedomani dalam rangka penguatan rezim

Counter Financing of Terrorism meliputi bidang-bidang

pertukaran informasi, baik yang informal, bersifat

intelligence, maupun yang dapat digunakan sebagai

bukti adanya keterlibatan orang secara pribadi ataupun

group dalam pendanaan terorisme tersebut.

5. Kriminalisasi pendanaan terorisme ditentukan dalam SR

II dan SR III dari 9 Special Recommendation of FATF. Pada

hakikatnya perbuatan yang harus dikriminalisasikan

sebagai tindak pidana pendanaan terorisme adalah

meliputi tindakan menyediakan atau mengumpulkan

dana yang dimaksudkan untuk digunakan oleh organisasi

teroris atau teroris perorangan, untuk semua tujuan.

Dengan demikian pendanaan terorisme harus diperluas

sehingga menjadi sebagai berikut:

a. Dana-dana (termasuk di dalamnya semua property)

yang digunakan untuk pendanaan terorisme diperoleh

dari sumber-sumber yang sah (legitimate) maupun

yang haram (illegitimate).

b. Dana-dana tersebut yang walaupun pada

kenyataannya tidak jadi digunakan untuk melakukan

terorisme, dan tidak harus dihubungkan dengan

kegiatan terorisme tertentu.

c. Kegiatan untuk pendanaan terorisme baik yang

dilakukan oleh organisasi teroris maupun teroris

perorangan, yang dilakukan di tempat yang sama

maupun di tempat yang berbeda dari penanggung

jawab di bidang keuangan terorisnya.

6. Kriminalisasi harus pula meliputi perbuatan-perbuatan

pidana lainnya, seperti percobaan, penyertaan, konspirasi.

7. Dibandingkan dengan konvensi, maka elemen-elemen

yang terkandung dalam SR II lebih luas, meliputi

perbuatan untuk menyediakan atau mengumpulkan

dana, yang sengaja disediakan untuk digunakan oleh

organisasi teroris atau teroris perseorangan untuk tujuan

apapun. Tantangan-tantangan dihadapi dalam

implementasi, antara lain, bahwa berdasarkan kriteria

penting yang ada di dalam SR II. 1, pengaturan mengenai

pendanaan terorisme belum seluruhnya meliputi

pendanaan terorisme untuk kegiatan terorisme, organisasi

terorisme dan individual terorisme.

a. Tidak semua treaty tentang kejahatan-kejahatan

sebagaimana ada dalam lampiran konvensi telah

mencakup mengenai kegiatan pendanaan terorisme.

Negara-negara yang belum menjadi peserta dalam

suatu treaty dapat melakukan kriminalisasi atas

kegiatan pendanaan terorisme. Untuk proses

penuntutan harus pula dapat dibuktikan bahwa

tindak pidana yang dilakukan ditujukan untuk tujuan

khusus tertentu, seperti untuk melakukan intimidasi

pada suatu pemerintah tertentu, dll.

8. Terkait dengan standar internasional untuk pembekuan

dana/aset, SR III mengharuskan negara-negara untuk

melakukan pembekuan dana ataupun aset lainnya dari

orang-orang yang telah ditentukan oleh UNSCR (United

Nations Security Council Resolution) Number 1267,

yaitu Al Qaeda dan Taliban, termasuk di dalamnya

adalah orang atau organisasi, kelompok, perusahaan

maupun asosiasi-asosiasi lainnya yang berafiliasi dengan

Al Qaeda dan Taliban tersebut. Nama-nama tersebut

53

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 61: Bu Let in Hukum 09091211

dikirimkan kepada delegasi Dewan Keamanan PBB dan

kemudian diedarkan kembali kepada negara-negara

yang berwenang. Prosedur pembekuan aset-aset untuk

kelompok tersebut haruslah “without delay and without

prior notice to targets”. Hal tersebut dilakukan untuk

mencegah dilakukannya pemindahan aset oleh mereka

yang akan mengakibatkan sulitnya pelacakan dan

pembekuan aset. Pembekuan dana atau aset lainnya

dari Orang yang telah ditentukan oleh UN sebagai

teroris menurut masing-masing Pemerintah negara,

berdasarkan Resolution Number 1373, misalnya LTTE

di Malaysia, dll. Resolusi ini tidak diperuntukkan bagi

taliban atau Al Qaeda, dan tidak termasuk nama-nama

yang sudah masuk dalam daftar teroris yang dikeluarkan

oleh UN.

9. Diaturnya prosedur pelacakan, pembekuan, penyitaan

aset-aset teroris dalam proses penyidikan kasus terorisme

maupun dalam proses lainnya dalam kasus pendanaan

terorisme. Setiap negara juga diwajibkan untuk memiliki

hukum dan prosedur untuk:

a. Melakukan pembekuan dana dan aset lainnya dari

teroris maupun pihak-pihak lain yang berafiliasi

dengan prinsip without delay and without prior

notice to targets;

b. Menerima permohonan negara lain atas diterapkannya

Resolusi 1373 dalam rangka tindakan pembekuan

asetnya;

c. Mengkonfirmasi mengenai permohonan oleh negara

tersebut apakah yang menjadi landasan pengajuannya,

apakah berdasarkan pada alasan yang reasonable

atau memiliki dasar hukum yang tepat untuk

dimintakannya tindakan pembekuan tersebut;

d. Melakukan tindakan untuk membekukan aset untuk

merespon permintaan tersebut, jika sesuai, dilakukan

tanpa ditunda dan tanpa pemberitahuan terlebih

dahulu kepada orang yang diduga melakukan

pendanaan terorisme tersebut.

10.Sebagai response atas Resolusi 1267 dan 1373, maka

pada pelaksanaan rezim Extraordinary ini menghendaki

2 (dua) hal, yaitu:

a. Mensyaratkan kemungkinan tetap dilakukannya

pembekuan atas aset sekalipun tiada penuntutan.

b. Dapat melingkupi proses administratif dan juga

proses peradilan, dengan maksud adalah:

- Untuk tetap menjaga dana tetap dibekukan

selama proses pembuktian ataupun prses

investigasi terhadap tindak pidana pendanaan

terorismenya berjalan.

- Harus menyertakan keterlibatan institusi

keuangan secara langsung di dalam

melaksanakan kewajibannya, serta orang-orang

yang memegang aset untuk melakukan

pembekuan without undue delay.

11.Lingkup penerapan Resolusi 1267 dan 1373 pada

hakikatnya menghendaki adanya perluasan makna

pelaksanaan freezing atau pembekuan yaitu terhadap

dana ataupun aset lainnya:

a. Yang seluruhnya atau yang secara bersama-sama

dimiliki atau dikuasai, secara langsung maupun tidak

langsung, oleh orang-orang yang telah ditetapkan,

sebagai teroris, yang memberikan pendanaan untuk

kegiatan terorisme pada teroris ataupun organisasi

teroris; dan

b. Yang dihasilkan atau didapatkan dari dana atau aset

lainnya yang dimiliki atau dikontrol secara langsung

ataupun tidak langsung oleh orang-orang yang telah

ditetapkan sebagai teroris, yang memberikan

pendanaan untuk kegiatan terorisme pada teroris

ataupun organisasi terorisme.

12.Berdasarkan c. III. 5 Resolusi 1267 dan 1373, maka

diwajibkan bagi negara-negara untuk dapat menerapkan

mekanisme komunikasi kepada sektor keuangan maupun

pihak-pihak lainnya terkait dengan prosedur freezing.

Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan efektif,

mengingat proses freezing menjadi hal penting dalam

konteks pendanaan terorisme, dan harus dilaksanakan

dengan sifatnya yang urgen.

13.Berdasarkan c. III.6 Resolusi 1267 dan 1373, maka untuk

menciptakan proses freezing yang efektif, negara-negara

harus membuat pedoman yang jelas bagi institusi-institusi

keuangan dan pihak-pihak lain atau badan hukum yang

mungkin menguasai dana-dana atau aset-aset yang

menjadi target pembekuan.

14.Terkait dengan SR III, maka seharusnya terdapat sistem

monitoring yang memadai untuk memantau kepatuhan

dari pihak-pihak di bawah rezim freezing terhadap

54

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 62: Bu Let in Hukum 09091211

ketentuan hukum yang relevan, peraturan dan kebijakan,

dan menerapkan sanksi bagi pihak-pihak yang non

compliance secara tepat.

15.Mekanisme lain yang seharusnya diterapkan pula

berdasarkan Resolusi 1267 dan 1373, adalah bahwasannya

negara-negara harus mengimplementasikan pula

prosedur pemberitahuan kepada publik untuk:

a. Permintaan untuk melakukan delisting (c.III.7);

b. Permintaan dilakukannya unfreezing atas dana-dana

atau aset dari orang yang dimintakan delisting

tersebut (c.III.7);

c. Permintaan untuk unfreezing atau dana-dana atau

aset dari orang atau badan hukum lainnya yang

terkena imbas dari mekanisme pembekuan, misalnya

beberapa kasus yang telah diverifikasi karena adanya

kesalahan identitas atau terjadi kekeliruan (c.III.8);

d. Pihak-pihak atau perusahaan yang dana atau asetnya

telah dibekukan tersebut diperbolehkan melakukan

CHALLENGE kepada pengadilan atas tindakan

pembekuan yang telah dilakukan.

16.Menurut c. III.9 Resolusi 1267 sejalan dengan Resolusi

1425, ada pula kewajiban dari pihak berwenang untuk

mengakses dana atau aset yang dibekukan untuk

menentukan biaya-biaya dan pembayaran atas berbagai

tipe tambahan biaya, seperti biaya hipotek, biaya-biaya

yang telah dikeluarkan lainnya.

55

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 63: Bu Let in Hukum 09091211

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 64: Bu Let in Hukum 09091211

57

Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI)Juni - Desember 2011

13/25/PBI/2011

13/24/PBI/2011

13/23/PBI/2011

13/22/PBI/2011

13/21/PBI/2011

13/20/PBI/2011

13/19/PBI/2011

13/18/PBI/2011

13/17/PBI/2011

13/16/PBI/2011

13/15/PBI/2011

Tanggal Satker PerihalPeraturan

09/12/2011

01/12/2011

02/11/2011

30/09/2011

30/09/2011

30/09/2011

22/09/2011

01/08/2011

01/08/2011

01/08/2011

23/06/2011

DPNP

DPM

DPbS

DInt

DSM

DPM

DPNP

DPU

DPU

DPU

DSM

Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan

Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain

Operasi Moneter Syariah.

Penerapan Manajemen Resiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha

Syariah.

Kewajiban Pelaporan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.

Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank

Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri

Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang

Laporan Berkala Bank Umum.

Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/28/PBI/2004

Tentang Pengeluaran Dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan

100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004

Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005

Tentang Pengeluaran Dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan

50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005.

Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/29/PBI/2004

Tentang Pengeluaran Dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan

20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004

Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank

Page 65: Bu Let in Hukum 09091211

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 66: Bu Let in Hukum 09091211

Tanggal Satker PerihalPeraturan

13/29/DPNP

13/28/DPNP

13/27/DPM

13/26/DPNP

13/25/DPNP

13/24/DPNP

13/23/DPNP

13/22/DASP

13/21/DSM

13/20/DPM

13/19/DSM

09/12/ 2011

09/12/2011

01/12/2011

30/11/2011

25/11/2011

25/10/2011

25/10/2011

18/10/2011

15/08/2011

08/08/2011

10/06/2011

DPNP

DPNP

DPM

DPNP

DPNP

DPNP

DPNP

DASP

DSM

DPM

DSM

Penerapan Manajemen Risiko pada Bank Umum yang Melakukan Layanan

Nasabah Prima

Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum

Tata Cara Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Syariah Negara Dengan

Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah

Perubahan atas SE No. 13/8/DPNP tanggal 28 Maret 2011 tentang Uji

Kemampuan dan Kepatutan (fit and proper test)

Pencabutan SE BI No. 29/02/UPPB tgl. 31 Juli 1996 perihal Tatacara

Penerimaan, Penatausahaan, Pelaporan Setoran Penerimaan Negara

dan Pengenaan Sanksi.

Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.

Perubahan atas Surat Edaran No. 5/21/DPNP perihal Penerapan

Manajemen Risiko bagi Bank Umum

Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification

Number pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan di

Indonesia

Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa lembaga Bukan Bank.

Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/18/DPM

tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka.

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/31/DSM

tanggal 1 Desember 2003 perihal Laporan Bulanan Bank Umum Syariah

59

Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank IndonesiaJuni - Desember 2011

Page 67: Bu Let in Hukum 09091211

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 68: Bu Let in Hukum 09091211

61

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Juni - Desember 2011

RINGKASAN PBINOMOR PBI

13/25/PBI/2011 1. Tujuan pengaturan ini adalah :

a. Agar bank dapat berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya dan mengoptimalkan

pelaksanaan fungsinya sebagai lembaga intermediasi sejalan dengan semakin kompleks

dan beragamnya kegiatan usaha dalam menghadapi pesatnya perkembangan dunia

usaha dan ketatnya tingkat persaingan

b. Agar bank menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam penyerahan

sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain (alih daya) sehingga bank dapat

meminimalisasi risiko yang mungkin timbul atas penyerahan pekerjaan tersebut; dan

c. Agar terdapat kejelasan atas tanggung jawab terhadap pekerjaan yang diserahkan

kepada pihak lain tersebut dan terjaganya aspek perlindungan nasabah.

2. Dalam melakukan Alih Daya, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen

risiko.

3. Bank wajib memastikan bahwa pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan oleh Perusahaan

Penyedia Jasa sesuai dengan perjanjian yang dibuat dan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

4. Bank tetap bertanggung jawab atas pekerjaan yang dialihdayakan kepada Perusahaan

Penyedia Jasa.

5. Bank dilarang melakukan Alih Daya yang mengakibatkan beralihnya tanggung jawab atau

risiko Bank dari obyek pekerjaan yang dialihdayakan kepada Perusahaan Penyedia Jasa.

6. Bank hanya dapat melakukan Alih Daya atas pekerjaan penunjang pada alur kegiatan

usaha Bank dan pada alur kegiatan pendukung usaha Bank.

7. Pekerjaan penunjang sebagaimana dimaksud dalam angka 6 diatas paling kurang memenuhi

kriteria sebagai berikut:

a. berisiko rendah;

b. tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi yang tinggi di bidang perbankan; dan

c. tidak terkait langsung dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi

operasional bank.

Page 69: Bu Let in Hukum 09091211

62

RINGKASAN PBINOMOR PBI

8. Bank hanya dapat melakukan perjanjian Alih Daya dengan Perusahaan Penyedia Jasa yang

paling kurang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. berbadan hukum Indonesia;

b. memiliki ijin usaha yang masih berlaku dari instansi berwenang sesuai bidang usahanya;

c. memiliki kinerja keuangan dan reputasi yang baik serta pengalaman yang cukup;

d. memiliki Sumber Daya Manusia yang mendukung pelaksanaan pekerjaan yang

dialihdayakan; dan

e. memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam Alih Daya.

9. Bank wajib melakukan penelitian, analisis dan penilaian atas pemenuhan kriteria Perusahaan

Penyedia Jasa.

10. Perjanjian Alih Daya paling kurang mencakup aspek-aspek: ruang lingkup pekerjaan;

jangka waktu perjanjian; nilai kontrak; struktur biaya dan mekanisme pembayaran; hak,

kewajiban dan tanggung jawab bank maupun perusahaan penyedia jasa, termasuk

didalamnya adalah kesediaan Perusahaan Penyedia Jasa untuk memberikan akses pemeriksaan

kepada Bank Indonesia bersama-sama dengan Bank dalam hal diperlukan; ukuran dan

standar pelaksanaan pekerjaan; kriteria atau kondisi early termination; sanksi dan penalti;

dan penyelesaian perselisihan.

11. Bank wajib menyampaian laporan kepada Bank Indonesia yang mencakup:

a. Laporan rencana Alih Daya; dan

b. Laporan Alih Daya yang bermasalah.

12. Bank yang telah melakukan Alih Daya atas pekerjaan selain pekerjaan yang diperbolehkan

wajib melakukan langkah-langkah berikut:

a. menghentikan Alih Daya sejak berakhirnya perjanjian atau paling lama 1 (satu) tahun

sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.

b. dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari 1 (satu) tahun tetapi tidak lebih dari

2 (dua) tahun, Bank wajib menghentikan Alih Daya pada saat berakhirnya perjanjian

atau dapat meperpanjang perjanjian paling lama 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya

Peraturan Bank Indonesia ini.

c. dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari 2 (dua) tahun, Bank wajib menghentikan

perjanjian Alih Daya paling lama 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank

Indonesia ini.

d. menyusun dan menyampaikan laporan rencana tindak (action plan) dalam rangka

penyesuaian Alih Daya sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c.

13. Pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi kewajiban membayar dan/atau

sanksi administratif, antara lain berupa :

a. teguran tertulis;

b. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau

c. pembekuan kegiatan usaha tertentu.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 70: Bu Let in Hukum 09091211

63

NOMOR PBI RINGKASAN PBI

13/24/PBI/2011

13/23/PBI/2011

Bank Indonesia berwenang menghentikan Alih Daya yang dilakukan Bank apabila menurut

penilaian Bank Indonesia Alih Daya tersebut berpotensi mengganggu kelangsungan usaha Bank.

1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dilakukan dalam rangka meningkatkan efektifitas

pelaksanaan pengendalian moneter dan pemenuhan prinsip-prinsip syariah dalam pelaksanaan

transaksi khususnya transaksi yang memiliki second leg serta dalam rangka penyempurnaan

ketentuan mengenai Operasi Moneter Syariah (OMS) khususnya Pasal 18 mengenai

pengenaan sanksi terhadap transaksi operasi moneter syariah yang dinyatakan batal.

2. Dalam hal transaksi Operasi Moneter Syariah batal, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan

dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi repo dan dalam

hal harga surat berharga pada transaksi second leg lebih rendah dari harga surat

berharga pada transaksi first leg, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa

kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi first leg dan harga

pada transaksi second leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang di-

repo-kan.

b. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi reverse repo dan

dalam hal harga pasar SBSN pada transaksi second leg lebih tinggi dari harga pada

transaksi first leg, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar

sebesar selisih harga pada transaksi second leg dan harga pada transaksi first leg,

setelah dikalikan dengan nominal SBSN yang di-reverse repo-kan.

3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2011.

I. Tujuan pengaturan untuk mengakomodasi karakteristik kegiatan usaha Bank Umum Syariah

(BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang tidak sepenuhnya sama dengan perbankan

konvensional dan dalam rangka memenuhi amanah Pasal 38 UU No. 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah. Penerapan Manajemen Risiko pada BUS dan UUS disesuaikan dengan

tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan BUS dan UUS.

II. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini antara lain meliputi:

1. Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, untuk BUS dilakukan secara

individual maupun konsolidasi dengan perusahaan anak, sedangkan untuk UUS dilakukan

terhadap seluruh kegiatan usaha UUS yang merupakan satu kesatuan dengan penerapan

Manajemen Risiko pada Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS (BUK induk).

2. Penerapan Manajemen Risiko paling kurang mencakup :

a. pengawasan aktif Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah;

b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Manajemen Risiko;

c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian Risiko

serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan

d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 71: Bu Let in Hukum 09091211

64

RINGKASAN PBINOMOR PBI

3. BUS dan UUS wajib menerapkan Manajemen Risiko yang mencakup 10 risiko, yaitu

Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko

Reputasi, Risiko Stratejik, Risiko Kepatuhan, Risiko Imbal Hasil (rate of return risk), dan

Risiko Investasi (equity investment risk). Penerapan Risiko Imbal Hasil (rate of return

risk) dan Risiko Investasi (equity investment risk) belum diperhitungkan dalam penilaian

Risiko (risk profile) BUS dan UUS. BUS dan UUS wajib melakukan penilaian terhadap

Risiko Imbal Hasil dan Risiko Investasi meskipun penilaian kedua jenis risiko dimaksud

belum diperhitungkan dalam penilaian Risiko (risk profile) BUS dan UUS.

4. Peringkat risiko dikategorikan menjadi 5 peringkat, yaitu 1 (Low), 2 (Low to Moderate),

3 (Moderate), 4 (Moderate to High), dan 5 (High).

5. Implementasi/pelaksanaan manajemen risiko harus dilakukan dengan cara yang tidak

bertentangan dengan prinsip Syariah.

6. Penerapan Manajemen Risiko UUS adalah sebagai berikut :

a. Manajemen Risiko UUS merupakan satu kesatuan dengan Manajemen Risiko BUK

induk.

b. Fungsi pengawasan aktif terbatas sampai dengan Direktur UUS.

c. Kebijakan, prosedur dan penetapan limit UUS merupakan bagian tidak terpisahkan

dari Manajemen Risiko BUK induk.

d. Sistem Informasi Manajemen Risiko UUS dapat menggunakan teknologi sistem

informasi yang digunakan dalam system informasi Manajemen Risiko BUK induk.

e. Pelaksanaan sistem pengendalian intern untuk UUS dapat digabung dengan sistem

pengendalian intern dari BUK induk.

f. Komite Manajemen Risiko dan satuan kerja Manajemen Risiko untuk UUS dapat

dibentuk secara tersendiri atau digabungkan dengan BUK induk sesuai dengan

ukuran dan kompleksitas usaha UUS serta Risiko yang melekat pada UUS.

Dalam hal Komite Manajemen Risiko untuk UUS dibentuk secara tersendiri, maka

keanggotaan Manajemen Risiko UUS paling kurang terdiri dari :

1) Direktur UUS

2) Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan BUK

3) Pejabat eksekutif terkait.

Dalam hal komite Manajemen Risiko untuk UUS digabung dengan komite Manajemen

risiko BUK induk maka dalam pembahasan yang terkait dengan Manajemen Risiko

UUS, Direktur UUS wajib diikutsertakan sebagai salah satu anggota komite Manajemen

Risiko BUK induk.

7. Pemberian masa transisi untuk UUS sebagai berikut:

a. kewajiban penyampaian laporan profil Risiko untuk UUS berlaku sejak laporan posisi

bulan Juni 2012.

b. penyesuaian pengungkapan Manajemen Risiko untuk UUS berlaku pertama kali

pada laporan tahunan BUK induk posisi akhir Desember 2012.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 72: Bu Let in Hukum 09091211

65

RINGKASAN PBINOMOR PBI

13/22/PBI/2011

8. BUS dan UUS menyampaikan laporan profil risiko secara triwulanan kepada Bank

Indonesia paling lambat 15 hari kerja setelah akhir bulan laporan dan mengungkapkan

Manajemen Risiko dalam laporan tahunan sesuai dengan ketentuan transparansi

kegiatan usaha bank.

9. Dengan diberlakukannya PBI ini, maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003

tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, dan Peraturan Bank Indonesia

Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dinyatakan tidak

berlaku bagi BUS dan UUS.

I. Latar Belakang

1. Dana valuta asing yang berasal dari penarikan devisa utang luar negeri diharapkan

dapat menjadi salah satu alternatif untuk memasok sumber dana valuta asing yang

relatif stabil, dibandingkan dana yang berasal dari investasi portfolio pihak asing. Dengan

pasokan dan permintaan di pasar valuta asing domestik yang lebih berimbang dengan

sumber pasokan dari dari dalam negeri, diharapkan mendukung upaya menjaga stabilitas

makroekonomi khususnya stabilitas nilai tukar.

2. Mempertimbangkan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu mengeluarkan

kebijakan yang mewajibkan penarikan devisa utang luar negeri dilakukan melalui Bank

Devisa. Untuk memastikan bahwa kebijakan penarikan devisa utang luar negeri tersebut

berjalan efektif, maka Debitur ULN diwajibkan melaporkan penarikan devisa utang luar

negeri kepada Bank Indonesia.

II. Pokok-pokok Pengaturan

1. Debitur Utang Luar Negeri (ULN) wajib melaporkan setiap penarikan Devisa Utang Luar

Negeri (DULN) yang dilakukannya melalui Bank Devisa kepada Bank Indonesia.

2. Laporan penarikan DULN wajib disampaikan kepada Bank Indonesia setiap bulan dengan

waktu penyampaian dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 pada bulan berikutnya

dan apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka

laporan penarikan DULN disampaikan pada hari kerja berikutnya.

3. Laporan penarikan DULN wajib disertai dokumen pendukung.

4. Penyampaian laporan penarikan DULN dapat dilakukan melalui media online, media

offline atau menggunakan hardcopy.

5. Pelapor DULN yang terlambat dan yang tidak menyampaikan laporan penarikan DULN

serta pelapor DULN yang terlambat dan yang tidak menyampaikan dokumen pendukung

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 73: Bu Let in Hukum 09091211

66

NOMOR PBI RINGKASAN PBI

13/21/PBI/2011

kepada Bank Indonesia dikenakan sanksi administratif berupa denda yang disetorkan

ke rekening Kas Negara.

6. Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum

berlakunya PBI ini, dikecualikan dari kewajiban pelaporan penarikan DULN.

7. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2012 dan pengenaan

sanksinya mulai diberlakukan untuk laporan penarikan DULN bulan Juni 2012 yang

disampaikan pada bulan Juli 2012.

1. Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) merupakan pelaporan mengenai perpindahan

aset dan kewajiban fiansial antara penduduk dengan bukan penduduk termasuk perpindahan

aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. Pelaksanaan pelaporan Kegiatan

LLD diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlandaskan pada UU No.24 tahun 1999

tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Tujuan pelaporan tersebut adalah untuk

mendukung perumusan dan pelaksanaan kebijakan, baik di bidang moneter, perbankan,

maupun sistem pembayaran. Adapun keterangan dan data yang diperoleh dari pelaporan

ini diperlukan untuk penyusunan statistik, antara lain satistik Neraca Pembayaran Indonesia

(NPI), Posisi Investasi Internasional Indonesia (PIII), serta statistik lainnya.

2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/21/PBI/2011 tanggal 30 September 2011 tentang

Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank merupakan penyempurnaan dari Peraturan

Bank Indonesia (PBI) sebelumnya. Penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan

kelengkapan dan akurasi data/informasi LLD, termasuk untuk mendukung pelaksanaan

ketentuan mengenai penerimaan devisa hasil ekspor (DHE). Beberapa aspek yang

disempurnakan dalam ketentuan dimaksud terutama terkait dengan cakupan data maupun

pelapor, periodisasi, dan sanksi pelaporan. Berbeda dengan PBI sebelumnya yang juga

mengatur Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB), PBI baru ini hanya mengatur bank, mengingat

terdapat perbedaan karakteristik kegiatan usaha antara bank dengan LKNB.

3. Pelapor LLD yang diatur dalam peraturan ini adalah seluruh bank umum yang berkedudukan

di Indonesia.

4. Bank sebagaimana disebutkan di atas wajib menyampaikan laporan LLD yang secara umum

mencakup data/informasi tentang:

a. Transaksi bank dan/atau nasabah yang mempengaruhi Aset Finansial Luar Negeri (AFLN)

dan/atau Kewajiban Finansial Luar Negeri (KFLN) bank, dan/atau

b. Posisi dan perubahan AFLN dan/atau KFLN bank.

Dalam hal terdapat transaksi terkait ekspor nasabah, bank wajib menyampaikan rincian

transaksi ekspor dan dokumen pendukungnya kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur

dalam PBI yang mengatur mengenai penerimaan devisa hasil ekspor.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 74: Bu Let in Hukum 09091211

67

RINGKASAN PBINOMOR PBI

13/20/PBI/2011

5. Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD, bank yang tidak menyampaikan Laporan

LLD, serta Bank yang menyampaikan Laporan LLD secara tidak benar dikenakan sanksi

administratif berupa denda. Pembebanan sanksi denda dilakukan dengan cara mendebet

rekening giro bank di Bank Indonesia untuk kemudian disetorkan ke rekening Kas Negara

yang berada di Bank Indonesia.

6. PBI LLD ini diberlakukan sejak data bulan Oktober 2011 yang disampaikan bulan November

2011.

7. Pengenaan sanksi untuk penyampaian rincian transaksi terkait Ekspor Nasabah mulai berlaku

untuk data PL bulan Januari 2012 yang disampaikan bulan Februari 2012.

8. Dengan berlakunya PBI Pemantauan Kegiatan LLD bank yang baru, maka PBI No.1/9/PBI/1999

tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga

Keuangan Non Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali pasal-pasal yang mengatur

mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa lembaga keuangan non bank untuk data

sampai dengan periode laporan bulan Desember 2011 yang disampaikan bulan Januari 2012.

I. Latar Belakang dan Tujuan

Pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang memadai dan

berkesinambungan. Sementara itu, pasokan valuta asing di pasar domestik yang sebagian

besar dalam bentuk investasi portofolio jangka pendek merupakan salah satu sumber dana

pembangunan ekonomi yang rentan terhadap risiko pembalikan (sudden capital reversal).

Sumber dana lain yang sifatnya stabil (sustainable) dapat berasal dari Devisa Hasil Ekspor

(DHE) dan Devisa Utang Luar Negeri (DULN). Dalam hal penempatannya dilakukan melalui

perbankan Indonesia, DHE dan DULN dimaksud dapat memberikan kontribusi yang optimal

secara nasional dan juga bermanfaat untuk mendorong terciptanya pasar keuangan yang

lebih sehat serta mendukung upaya menjaga kestabilan nilai rupiah.

Dalam pelaksanaannya tidak seluruh DHE dan DULN ditempatkan pada perbankan Indonesia

sehingga diperlukan pengaturan yang dapat memastikan penerimaan DHE dan penarikan

DULN dilakukan melalui perbankan Indonesia. Pengaturan ini tetap berlandaskan pada

sistem devisa bebas yang berlaku selama ini, dimana setiap penduduk dapat dengan bebas

memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24

Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

II. Materi Pengaturan

A. Kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa di Indonesia

1. Seluruh DHE wajib diterima oleh Eksportir melalui Bank Devisa di Indonesia.

2. Penerimaan DHE melalui Bank Devisa wajib dilakukan paling lama 90 (sembilan

puluh) hari kalender setelah tanggal Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 75: Bu Let in Hukum 09091211

68

RINGKASAN PBINOMOR PBI

3. Penerimaan DHE melalui Bank Devisa, yang dilakukan dengan cara pembayaran

usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya

melebihi atau sama dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal PEB,

wajib dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal jatuh

tempo pembayaran yang bersangkutan.

4. Eksportir harus menyampaikan informasi yang tercantum pada PEB terkait DHE

yang diterima, kepada Bank Devisa. Informasi dimaksud disampaikan kepada Bank

Devisa paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah DHE diterima oleh Eksportir melalui

Bank Devisa yang kemudian diteruskan kepada Bank Indonesia.

5. Eksportir yang akan menerima DHE dengan cara pembayaran usance L/C, konsinyasi,

pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan

90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal PEB, harus menyampaikan

penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung yang dipersyaratkan,

kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. Penjelasan tertulis

disertai dengan bukti dokumen pendukung tersebut disampaikan paling lama 14

(empat belas) hari kalender setelah tanggal PEB.

6. DHE yang diterima oleh Eksportir harus sesuai dengan Nilai PEB. Eksportir yang

menerima DHE lebih kecil dari nilai PEB, harus menyampaikan penjelasan tertulis

disertai dengan dokumen pendukung kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada

Bank Indonesia. Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung tersebut

disampaikan kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia paling

lama tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima oleh Eksportir melalui Bank

Devisa.

7. Dalam hal selisih kurang antara DHE dan nilai PEB karena maklon, jasa perbaikan,

dan/atau operational leasing atau financial leasing, maka DHE yang diterima dianggap

sesuai dengan nilai PEB sehingga Eksportir harus tetap menyampaikan penjelasan

tertulis disertai dengan dokumen pendukung.

8. Dalam hal selisih kurang antara DHE dan nilai PEB karena biaya administrasi sebesar

10% (sepuluh persen) dari nilai PEB atau paling banyak ekuivalen Rp10.000.000,00

(sepuluh juta rupiah), maka DHE yang diterima dianggap sesuai dengan nilai PEB

sehingga Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung.

9. Eksportir yang tidak menerima DHE atau menerima DHE lebih kecil dari nilai PEB

melalui Bank Devisa karena importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan

memaksa (force majeure), harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan

dokumen pendukung kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia.

Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung tersebut disampaikan

paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal PEB. Namun demikian,

untuk DHE dengan cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian,

dan/atau collection yang jatuh temponya sama atau melebihi 90 (sembilan puluh)

hari kalender setelah tanggal PEB, penjelasan tertulis disertai dengan dokumen

pendukung disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal

jatuh tempo pembayaran.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 76: Bu Let in Hukum 09091211

69

RINGKASAN PBINOMOR PBI

B. Kewajiban penarikan DULN melalui Bank Devisa

1. Setiap DULN wajib ditarik oleh Debitur ULN melalui Bank Devisa.

2. Kewajiban penarikan DULN oleh Debitur ULN berlaku bagi DULN yang berbentuk

dana tunai yang berasal dari:

a. ULN berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement) dalam bentuk non revolving

yang tidak digunakan untuk refinancing;

b. Selisih fasilitas refinancing dengan jumlah ULN lama; dan

c. ULN berdasarkan surat utang (debt securities) dalam bentuk Bonds, Medium

Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN), Promissory Notes (PN), dan

Commercial Paper (CP).

3. Penarikan DULN wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.

4. Nilai akumulasi penarikan DULN harus sama dengan nilai komitmen. Dalam hal nilai

akumulasi penarikan DULN melalui Bank Devisa oleh Debitur ULN lebih kecil dari

komitmen, Debitur ULN harus menyampaikan penjelasan tertulis kepada Bank

Indonesia.

C. Pemantauan DHE dan DULN

1. Bank Indonesia melakukan penelitian dokumen atas kepatuhan Eksportir terhadap

pemenuhan kewajiban penerimaan DHE.

2. Bank Indonesia melakukan penelitian atas kepatuhan Debitur ULN terhadap

pemenuhan kewajiban penarikan DULN.

3. Dalam melakukan penelitian kepatuhan Eksportir dan Debitur ULN, Bank Indonesia

dapat meminta bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa

melibatkan instansi terkait.

D. Pengenaan sanksi

1. Eksportir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DHE melalui

Bank Devisa dikenakan sanksi administratif berupa denda. Pengenaan sanksi denda

tersebut dilakukan dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs tengah

Bank Indonesia pada tanggal pengenaan sanksi denda.

2. Dalam hal Eksportir tidak membayar sanksi administratif dan/atau tidak memenuhi

kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa, dikenakan sanksi penangguhan

atas pelayanan Ekspor sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai

kepabeanan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Debitur ULN yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban penarikan DULN

melalui Bank Devisa dikenakan sanksi administratif berupa denda. Pengenaan sanksi

tidak menggugurkan kewajiban penerimaan DHE dan penarikan DULN melalui Bank

Devisa.

4. Pembayaran sanksi administratif berupa denda disetorkan ke rekening Kas Negara

yang berada di Bank Indonesia.

5. Pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan setelah Bank

Indonesia menerima dan melakukan verifikasi atas bukti pembayaran sanksi

administratif dan/atau bukti penerimaan DHE melalui Bank Devisa.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 77: Bu Let in Hukum 09091211

70

RINGKASAN PBINOMOR PBI

13/19/PBI/2011

E. Penyampaian informasi dan laporan

1. Prosedur penyampaian informasi serta penjelasan tertulis dan dokumen pendukung

dalam kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa dilakukan sesuai dengan

ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan lalu lintas

devisa.

2. Prosedur penyampaian laporan serta penjelasan tertulis dan dokumen pendukung

dalam kewajiban penarikan DULN melalui Bank Devisa dilakukan sesuai dengan

ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan penarikan

DULN.

F. Ketentuan peralihan

1. Penerimaan DHE yang diperjanjikan tidak melalui Bank Devisa atau dikaitkan dengan

pembayaran kewajiban Eksportir yang sudah ditandatangani sebelum berlakunya

PBI ini, tidak wajib diterima melalui Bank Devisa sampai dengan 12 (dua belas)

bulan setelah berlakunya PBI ini. Penerimaan DHE tersebut harus dilaporkan Eksportir

kepada Bank Indonesia dilengkapi dengan penjelasan tertulis disertai dokumen

pendukung paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal PEB.

2. Khusus bagi penerimaan DHE yang berasal dari PEB yang dikeluarkan tahun 2012,

kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa berlaku 6 (enam) bulan setelah

tanggal PEB.

3. Penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting tagihan Eksportir dengan kewajiban

Eksportir hanya dapat dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2012 dan

dilengkapi dengan dokumen pendukung.

4. Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum

berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tidak wajib dilakukan melalui Bank Devisa,

kecuali untuk penarikan DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena

adanya perubahan perjanjian (amendment) yang ditandatangani setelah berlakunya

PBI ini.

G. Ketentuan penutup

1. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2012.

2. Ketentuan yang mengatur mengenai sanksi mulai berlaku pada tanggal 2 Juli 2012.

1. Latar belakang dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini adalah:

a. perlu percepatan waktu penyampaian beberapa laporan di LBBU dalam rangka optimalisasi

pemanfaatan laporan lain yang telah dipercepat penyampaiannya.

b. perlu penyempurnaan formulir laporan pos-pos neraca mingguan dan laporan profil

maturitas.

c. perlu penambahan laporan baru yaitu (i) laporan perhitungan ATMR untuk risiko kredit

dengan metode standar dan (ii) laporan perhitungan suku bunga dasar kredit (SBDK).

d. perlu penyempurnaan beberapa pengaturan di ketentuan LBBU dalam rangka

penyelarasan dengan ketentuan lain mengenai pelaporan.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 78: Bu Let in Hukum 09091211

71

RINGKASAN PBINOMOR PBI

13/18/PBI/2011

2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI tersebut meliputi antara lain:

a. Penyampaian beberapa laporan di LBBU untuk bank secara individu dimajukan dari

periode penyampaian III (paling lambat tanggal 21) menjadi periode penyampaian I

(paling lambat tanggal 6) dengan masa transisi sebagai berikut:

1. sejak posisi laporan tanggal akhir bulan September 2011 s.d posisi laporan tanggal

akhir bulan Maret 2012, penyampaian beberapa laporan di LBBU dimajukan dari

periode penyampaian III (paling lambat tanggal 21) menjadi periode penyampaian

II (paling lambat tanggal 13);

2. selanjutnya, dimajukan menjadi periode penyampaian I (paling lambat tanggal 6).

b. Tambahan data mengenai laporan perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan

Metode Standar dan laporan perhitungan SBDK bagi Bank Umum Konvensional mulai

berlaku sejak tersedianya sistem pelaporan data dimaksud di LBBU, yang akan

diberitahukan kemudian oleh Bank Indonesia.

c. Bank dan UUS yang dikecualikan untuk menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU

secara online karena hal-hal tertentu sebagaimana diatur dalam PBI tersebut, wajib

menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU secara offline paling lama 1 (satu) hari

kerja setelah periode penyampaian yang sama.

d. Dalam hal batas akhir periode penyampaian LBBU dan/atau koreksi LBBU jatuh pada

hari Sabtu, hari Minggu, dan/atau hari libur, maka penyampaian LBBU dan/atau koreksi

LBBU secara online tetap dilakukan pada hari yang sama. Dalam hal terdapat pertimbangan

tertentu, waktu penyampaian LBBU dan/atau koreksi LBBU dapat disesuaikan oleh Bank

Indonesia.

1. Perubahan unsur pengaman pada desain uang kertas (UK) rupiah pecahan 100.000 (seratus

ribu) tahun emisi 2004 dilakukan dengan pertimbangan untuk lebih mengoptimalkan

fungsi elemen pada desain UK Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004

sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua

atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/28/PBI/2004 tentang Pengeluaran dan Pengedaran

Uang Kertas Rupiah Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004 meliputi:

a. Uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 terbuat dari bahan

serat kapas;

b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar 100.000 (seratus ribu);

c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun

pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2011,

antara lain sebagai berikut:

1. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65mm;

2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna merah;

3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan electrotype

berupa ornamen;

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 79: Bu Let in Hukum 09091211

72

RINGKASAN PBINOMOR PBI

13/17/PBI/2011

4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan

”BI100000” yang utuh atau terpotong sebagian dan akan berubah warna dari

emas menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;

5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga.

d. Ciri uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun

pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011, antara lain sebagai berikut:

1. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65mm;

2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna merah;

3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan electrotype

berupa ornamen;

4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan

”BI100000” yang utuh atau terpotong sebagian dan akan berubah warna dari

emas menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;

5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga.

6. rainbow printing dalam bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna

apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;

7. elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye ditengahnya

berwarna putih.

e. Uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 yang dikeluarkan

oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap

berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.

1. Perubahan unsur pengaman pada desain uang kertas (UK) rupiah pecahan 50.000 (lima

puluh ribu) tahun emisi 2005 dilakukan dengan pertimbangan untuk lebih mengoptimalkan

fungsi elemen pada desain UK Rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005

sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua

atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran

Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005 meliputi:

a. Uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 terbuat dari

bahan serat kapas;

b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar 50.000 (lima puluh ribu);

c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 untuk tahun

pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2011,

antara lain sebagai berikut:

1. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65mm;

2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna biru;

3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan electrotype

berupa logo BI dan ornamen daerah Bali;

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 80: Bu Let in Hukum 09091211

73

RINGKASAN PBINOMOR PBI

13/16/PBI/2011

4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan

”BI50000” berulang-ulang dan akan berubah warna dari magenta menjadi hijau

apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;

5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga.

d. Ciri uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 untuk tahun

pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011, antara lain sebagai berikut:

1. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65mm;

2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna biru;

3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan electrotype

berupa logo BI dan ornamen daerah Bali;

4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan

”BI50000” berulang-ulang dan akan berubah warna dari magenta menjadi hijau

apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;

5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga berwarna hitam;

6. rainbow printing dalam bidang berbentuk segi empat;

7. elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye ditengahnya

berwarna putih.

e. Uang kertas rupiah pecahan 50.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2005 yang dikeluarkan

oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap

berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.

1. Perubahan unsur pengaman pada desain uang kertas (UK) rupiah pecahan 20.000 (dua

puluh ribu) tahun emisi 2004 dilakukan dengan pertimbangan untuk lebih mengoptimalkan

fungsi elemen pada desain UK Rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004

sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua

atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/29/PBI/2004 tentang Pengeluaran dan Pengedaran

Uang Kertas Rupiah Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004 meliputi:

a. Uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 terbuat dari

bahan serat kapas;

b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar 20.000 (dua puluh ribu);

c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun

pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2011,

antara lain sebagai berikut:

1. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65mm;

2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna hijau;

3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata;

4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan

”BI20000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah, biru dan kuning

di bawah sinar ultra violet;

5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah persegi panjang.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 81: Bu Let in Hukum 09091211

74

RINGKASAN PBINOMOR PBI

13/15/PBI/2011

d. Ciri uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun

pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011, antara lain sebagai berikut:

1. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65mm;

2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna hijau;

3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata;

4. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah persegi panjang berwarna hitam;

5. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan

”BI20000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah, biru dan kuning

di bawah sinar ultra violet;

6. rainbow printing dalam bidang berbentuk persegi panjang;

7. elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna hijau ditengahnya

berwarna putih.

e. Uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 yang dikeluarkan

oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap

berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.

1. Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) merupakan pelaporan mengenai perpindahan

aset dan kewajiban fiansial antara penduduk dengan bukan penduduk termasuk perpindahan

aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. Pelaksanaan pelaporan Kegiatan

LLD diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlandaskan pada UU No.24 tahun 1999

tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Adapun tujuan pelaporan tersebut untuk

pemantauan kegiatan LLD yang sangat diperlukan dalam rangka penyusunan statistik,

antara lain satistik Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), Posisi Investasi Internasional Indonesia

(PIII), serta untuk mendukung perumusan kebijakan.

2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 tanggal 23 Juni 2011 tentang Pemantauan

Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank merupakan penyempurnaan dari ketentuan

pelaporan Kegiatan LLD sebelumnya. Penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka

meningkatkan kelengkapan dan akurasi data/informasi LLD. Disamping itu, juga untuk

mengeliminir redudansi data laporan perusahaan yang disampaikan kepada Bank Indonesia

selama ini, seperti dalam pelaporan Utang Luar Negeri, dan laporan tentang kegiatan

pedagang valuta asing. Beberapa aspek yang disempurnakan dalam ketentuan pelaporan

LLD dimaksud terutama terkait dengan cakupan data maupun pelapor, periodisasi dan

sanksi pelaporan.

3. Pelapor LLD yang diatur dalam peraturan ini adalah Lembaga Bukan Bank (LBB) yang

memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:

a. BUMN;

b. BUMD yang memiliki utang luar negeri;

c. Lembaga Keuangan Non Bank;

d. Perusahaan Publik;

e. Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan minyak dan gas;

f. Perusahaan yang memiliki kegiatan ekspor dan/atau impor barang;

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 82: Bu Let in Hukum 09091211

75

RINGKASAN PBINOMOR PBI

g. Perusahaan yang bergerak di sektor jasa;

h. Perusahaan penanaman modal asing;

i. BUMS yang memiliki utang luar negeri;

j. Badan Lainnya yang memiliki utang luar negeri; dan/atau

k. LBB di luar huruf a sampai dengan huruf j yang memiliki total aset atau omset tertentu

yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.

4. LBB sebagaimana disebutkan di atas wajib menyampaikan laporan LLD yang secara umum

mencakup data/informasi tentang:

a. Transaksi perdagangan barang, jasa dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan

Penduduk; dan/atau

b. Posisi dan perubahan Aset Finansial Luar Negeri (AFLN) dan/atau Kewajiban Finansial

Luar Negeri (KFLN).

5. PBI LLD ini diberlakukan sejak data bulan Juni 2011 yang disampaikan bulan Juli 2011

dengan masa uji paralel selama 7 bulan.

6. Dengan berlakunya PBI Pemantauan Kegiatan LLD LBB yang baru maka :

a. Ketentuan mengenai pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Keuangan Non

Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/9/PBI/1999 tanggal

28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga

Keuangan Non Bank;

b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang

Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan; dan

c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/1/PBI/2003 tanggal 31 Januari 2003 tentang

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tanggal 28 Maret 2002

tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan,

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan Januari 2012 yang disampaikan

bulan Februari 2012.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011

Page 83: Bu Let in Hukum 09091211

Halaman ini sengaja dikosongkan