peradilan in absentia dalam upaya …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-t28985-peradilan...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA PENGEMBALIAN
ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
TESIS
RIESA SUSANTI NPM. 0906581510
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA JULI 2011
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA PENGEMBALIAN
ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum
RIESA SUSANTI NPM. 0906581510
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA JULI 2011
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
viii
ABSTRAK
Nama : Riesa Susanti Program Studi : Pascasarjana Judul : Peradilan In Absentia dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil
Tindak Pidana Korupsi Ketidakhadiran terdakwa dalam proses persidangan perkara tindak pidana korupsi mengakibatkan kerugian negara tidak dapat dieksekusi dan terganggunya proses penanganan perkara lain yang berkaitan dengan perkara tersebut. Untuk itu Pasal 38 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) mengatur tentang peluang dilakukannya pemeriksaan dalam persidangan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa (peradilan in absentia) dengan maksud untuk menyelamatkan kekayaan negara. Namun dalam penerapannya, peradilan in absentia masih belum menyentuh tujuan utama tersebut. Di sisi lain, peradilan in absentia dihadapkan pada prinsip bahwa kehadiran terdakwa adalah untuk memberikan ruang kepada hak-hak asasi sebagai manusia. Permasalahan yang muncul adalah bagaimanakah penerapan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yang selanjutnya memunculkan pertanyaan bagaimanakah konsepsi peradilan in absentia apabila dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) dalam hal ini hak asasi terdakwa tindak pidana korupsi, bagaimanakah penerapan hukum peradilan in absentia dalam UU TPK dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, dan bagaimanakah peranan peradilan in absentia dalam memaksimalkan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan terhadap bahan pustaka atau data sekunder yang dilakukan melalui studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study) dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Peradilan in absentia harus dilaksanakan berdasarkan KUHAP terutama berkaitan dengan tata cara pemanggilan yang sah. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan hak terdakwa untuk menghadiri sidang guna melakukan pembelaan terhadap dirinya, namun terdakwa secara sengaja tidak berkeinginan menggunakan hak tersebut. Dalam konteks ini, hak membela diri terdakwa dapat ditunda pemenuhannya. Instrumen yang dapat digunakan dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi adalah penyitaan dan perampasan sebagaimana diatur dalam KUHAP dan UU TPK. Sedangkan untuk aset yang berada di luar negeri, Indonesia mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam United Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC/Konvensi Anti Korupsi/KAK) yang telah diratifikasi Indonesia. Peradilan in absentia dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berhadapan dengan berbagai permasalahan terutama berkaitan dengan ketidaksamaan persepsi dalam menyikapi ketentuan-ketentuan yang berlaku terutama dalam peradilan in absentia dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, kesulitan-kesulitan teknis dalam tahap penyidikan sampai eksekusi, dan perbedaan sistem hukum Indonesia dengan negara lain yang sangat mempengaruhi proses pengembalian aset. Kata kunci : peradilan, in absentia, korupsi, aset.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
ix
ABSTRACT
Nama : Riesa Susanti Study Program : Postgraduate Title : In Absentia Trial in Recovering The Proceeds of Corruption The absence of the defendant in a trial, specifically corruption, not only can hamper the attempt to recover the stolen assets but also vex the case handling process on relate matter. In order to fill the gap between the inability bring the defendant into the court and the compulsory need to present the defendant has became the essence of Article 38 Act No. 20 of 2001 on Eradication of the Criminal Act of Corruption (UU TPK) that regulates in absentia trial by means to enable the recovering of the stolen assets. However, in its implementation the in absentia trial process has not yet brought any sufficient results. Whereas, the process is resulted the debate from the human rights' point of view on whether the system must ensure that every person has the right to defend him/herself in front of the fair trial and cannot be self adjudicated by the evidence solely deliberate from the prosecutor (government). Thus, this thesis will discuss three main issues in regard to the in absentia trial for corruption case. First, it will discuss on the conceptual view on how the in absentia trial in colliding with the human right view. It will discuss the necessity to have the in absentia trial whilst the necessity for the government to ensure the establishment on fair trial before the court for every person. The second issue, will discuss on the implementation of the in absentia trial in regards to the attempt to repatriate the stolen asset. Third, the discussion will also elaborate on the optimum utilization of the in absentia trial as an alternate choice in conducting stolen asset recovery. The thesis is using the normative research method based on library literatures or usually called as secondary data based on literature study/documentary study and being analyzed using qualitative descriptive methods. The implementation the in absentia trial is based on KUHAP, specifically on the chapter that relates to the summoning procedures. KUHAP regulates that any defendant has the right to defend him/herself before the court and despite the fact that this has not been effectively exercise due to the the defendants' own desire. And under special circumstance the exercise of that right also can be adjourned. The instruments that applies in the repatriation of stolen assets recovery are the seize and confiscate as mentioned under the KUHAP. Whereas for the assets that locate in a foreign jurisdictions, Indonesia is referring to the regulations under the UNCAC that had been ratified under Indonesia law. In absentia trial in recovering the proceeds of corruption is dealing with the various problems mainly related to the perception of inequality in concerning the regulations of in absentia trial and the repatriate stolen assets, technical difficulties in the process from investigation phase until execution, and Indonesia’s legal system difference with other countries will influence the attempt to recover the assets. Key words : trial, in absentia, corruption, asset.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv KATA PENGANTAR …………………………………………………........ v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …................... vii ABSTRAK ………………………………………………………………...... viii ABSTRACT .................................................................................................... ix DAFTAR ISI ………………………………………………………...........… x BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian ........................................................... 1 1.2. Pernyataan Masalah ................................................................... 5 1.3. Pertanyaan Penelitian .................................................................. 5
1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian ................................................... 6 1.5. Kegunaan Penelitian ................................................................... 6 1.6. Kerangka Teori ………………………………………………... 7 1.7. Kerangka Konsepsional ……………………………………...... 13 1.8. Metode Penelitian ……………………………………………... 14 1.8.1. Jenis dan Sumber Data ………………………………..... 14 1.8.2. Metode Pengumpulan Data …………………………...... 15 1.8.3. Pengolahan dan Analisis Data ………………………...... 16 1.9. Sistematika Laporan Penelitian ………………………………... 17 BAB II TEORI NEGARA HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA 2.1. Teori Negara Hukum ………………………………………..... 18 2.2. Teori Sistem Peradilan Pidana ………………………………... 25 2.3. Teori Keadilan Sosial ………………………………………..... 31 BAB III PERADILAN IN ABSENTIA DAN PENGEMBALIAN ASET HASIL
TINDAK PIDANA KORUPSI 3.1. Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan In Absentia ………….. 37 3.2. Prinsip Hadirnya Terdakwa di Sidang Pengadilan ………….... 40 3.3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi
dalam Instrumen Hukum Internasional dan Nasional ………... 47 BAB IV PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA PENGEMBALIAN
ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI 4.1. Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak
Tersangka/Terdakwa ............................................................... 66 4.2. Penerapan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi ………………………...... 73 4.2.1. Penyidikan dalam Perkara Tindak Pidana
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
xi
Korupsi …..................................................................... 74 4.2.2. Penuntutan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi ................................................................…..... 79 4.2.3. Pemeriksaan dan Persidangan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi ....………………………..... 80
4.2.4. Upaya Pengembalian Aset dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi ……………………………... 91
4.2.5. Putusan Pengadilan yang Menyidangkan Terdakwa Tindak Pidana Korupsi secara In Absentia ………..... 102
4.2.5.1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST tanggal 22 Maret 2002 atas nama Hendra Rahardja (Terdakwa I), Eko Edi Putranto (Terdakwa II) dan Sherny Kojongian (Terdakwa III) ..…………………………. 102
4.2.5.2. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 339/PID.B/2010/PN.JKT.PST tanggal 30 November 2010 atas nama Hesham Talaat Mohamed Besheer Alwarraq alias Alwarraq. Als. Hesham Al Warraq (Terdakwa I) dan Rafat Ali Rizvi (Terdakwa II) .................................. 111
4.3. Peranan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi ................................................ 118
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ............................................................................ 131 5.2. Saran ...................................................................................... 134 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 136
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Pembentukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) dilandasi
pemikiran bahwa korupsi sudah sangat akut dan menggerogoti seluruh sendi
kehidupan berbangsa, sehingga dalam pemberantasannya tidak cukup hanya
dengan perluasan perbuatan yang dirumuskan sebagai korupsi dan menggunakan
cara-cara konvensional, melainkan diperlukan metode dan cara tertentu yaitu
dengan menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).1
Hal ini dikarenakan karakter korupsi sangat kriminogen (dapat menjadi sumber
kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan berbagai
dimensi kepentingan).2
Dengan mempertimbangkan kerugian hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat sebagai akibat korupsi, UU TPK memuat berbagai ketentuan yang
semangat terbesarnya dapat disimpulkan adalah untuk memulihkan hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat yang bersifat materiil, disamping mencantumkan
ketentuan ancaman pidana yang lebih berat untuk memberikan efek jera pada
pelakunya. Dengan demikian, hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat menjadi
perhatian dan sasaran utama para pembentuk undang-undang dalam perumusan
undang-undang pemberantasan korupsi melalui upaya sekeras-kerasnya untuk
1 Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana
tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pula dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa, Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, LN No.137, TLN No. 4250, Penjelasan Umum.
2 Romli Atmasasmita, Pengkajian Hukum tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta : Departemen Hukum dan HAM RI - Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2008), hal. 1.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
2
mengembalikan uang negara yang telah dikorupsi yang kemudian oleh negara
dimanfaatkan untuk pemulihan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.3
Salah satu upaya dimaksud adalah peluang dilakukannya pemeriksaan
dalam persidangan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa (peradilan in
absentia). Peluang dilaksanakannya peradilan in absentia diatur dalam Pasal 38
ayat (1) UU TPK, yang berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal terdakwa telah
dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah
maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”. Selanjutnya dalam
penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU TPK dapat diketahui bahwa maksud dari
ketentuan mengenai peradilan in absentia adalah untuk menyelamatkan kekayaan
negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, terdakwa dapat diperiksa dan
diputus oleh Hakim.
Terdapat beberapa keuntungan apabila suatu perkara korupsi diperiksa
dan diputus secara in absentia yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan agar
aset-aset dari pelaku tindak pidana korupsi bisa langsung disita dan dieksekusi
oleh jaksa melalui putusan hakim. Namun di sisi lain, KUHAP menganut asas
kehadiran terdakwa yang dihadapkan di muka persidangan oleh Jaksa Penuntut
Umum. Seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan harus dalam
keadaan bebas dan merdeka, artinya tidak dalam keadaan terbelenggu baik
jasmani maupun rohaninya.4 Prinsip pentingnya kehadiran terdakwa di sidang
pengadilan diatur dalam Pasal 1 angka 15 KUHAP yaitu bahwa terdakwa adalah
seorang yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan, dan Pasal 189
ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang
terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang
diketahuinya sendiri atau dialami sendiri. Hal ini juga diatur dalam Pasal 12 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU
Kehakiman) yang menyatakan bahwa : ”Pengadilan memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang
menentukan lain”.
3 Edy Wibowo, Peranan Hakim dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, (Varia
Peradilan Majalah Hukum Tahun XXIV No. 279 Februari 2009), hal. 49. 4 Lihat Pasal 154 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
3
Kehadiran terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana hakekatnya untuk
memberikan ruang kepada terdakwa sebagai manusia yang berhak membela diri
dan mempertahankan hak-hak kebebasannya, harta benda ataupun
kehormatannya. Tujuan utamanya adalah agar terdakwa dapat mengerti benar-
benar apa yang didakwakan, bagaimana keterangan saksi, ahli dan alat-alat bukti
yang lain, sehingga ia bebas dan leluasa mengatur jawaban dan pembelaannya.5
Pada praktiknya upaya menyidangkan terdakwa perkara korupsi secara in
absentia bukanlah suatu hal yang baru. Sejak tahun 2002, terdapat 6 (enam)
perkara korupsi yang diperiksa dan diputus secara in absentia dan kesemuanya
merupakan terdakwa perkara korupsi BLBI. Dalam perkara korupsi BLBI Bank
Harapan Sentosa, Hendra Rahardja, Eko Adi Putranto dan Sherly Konjogian
diadili secara in absentia ketika ketiganya telah melarikan diri ke luar negeri.
Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan dalam perkara BLBI Bank Surya
diadili secara in absentia ketika yang bersangkutan berada di Singapura. David
Nusa Wijaya dalam perkara BLBI Bank Servitia juga telah divonis 1 (satu) tahun
penjara secara in absentia oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena melarikan
diri.
Perkara terbaru yang diperiksa dan diputus dalam pengadilan in absentia
adalah perkara korupsi dan pencucian uang dengan terpidana mantan pemilik
Bank Century yaitu Hesyam Talaat Mohamed Besher Alwarraq alias Hesham
Alwarraq dan Rafat Ali Rizvi. Vonis yang dijatuhkan terhadap keduanya adalah
penjara 15 (limabelas) tahun, uang pengganti sebesar Rp 3.115.889.000.000,-
(tiga triliun seratus lima belas milyar delapan ratus delapan puluh sembilan juta
rupiah) dan pidana denda Rp 15.000.000.000,- (limabelas milyar rupiah).6
Keberadaan kedua terpidana yang tidak diketahui tersebut membuat eksekusi
hukuman penjara menjadi sulit dilaksanakan karena menyangkut perjanjian
ekstradisi antar negara. Selain itu dalam upaya penyitaan aset menemui beberapa
kendala antara lain berkaitan dengan adanya upaya perlawanan hukum dari negara
5 Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung : PT Alumni, 2007), hal. 89.
6 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 339/PID.B/2010/PN.JKT.PST, Jakarta, 2010, hal. 256.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
4
tempat aset bermasalah itu disembunyikan karena menganggap aset tersebut
bukan merupakan hasil tindak pidana.
Dalam perkara-perkara korupsi tersebut di atas, dapat diketahui bahwa
tujuan utama peradilan in absentia dalam upaya untuk menyelamatkan kekayaan
negara melalui pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, belum tercapai. Hal
ini antara lain dikarenakan terdapat kesulitan dalam proses eksekusi terkait
dengan proses ekstradisi yang rumit dan terbatasnya jumlah negara yang
mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi KPK, terdapat beberapa perkara
dimana tersangkanya melarikan diri yaitu antara lain Anggoro Widjojo dalam
perkara penyuapan terkait pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT)
di Departemen Kehutanan yang menjadi buronan sejak Juni 2008. Kondisi ini
mengakibatkan penanganan perkara tersebut mengambang dan tidak jelas di
tingkat penyidikan. Perkara-perkara yang berkaitan langsung dengan perkara
tersebut mengalami kesulitan ketika akan diproses lebih lanjut karena menunggu
tertangkapnya ”tersangka utama”. Selain itu, harta benda yang diduga berasal dari
perbuatan korupsi yang telah dilakukan tidak jelas statusnya karena belum ada
ketetapan hukumnya.
Perasaan keadilan masyarakat yang menuntut ditegakkannya hukum
terhadap pelaku tindak pidana korupsi berhadapan dengan kenyataan bahwa
pelaku tindak pidana korupsi memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah selama
belum terdapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
(presumption of innocence) melalui due process of law. Padahal, apabila mengacu
pada pendapat Loebby Loqman, UU TPK pada prinsipnya mempunyai tujuan
prevensi untuk melindungi harta kekayaan/perekonomian negara. Tujuan
represifnya disamping untuk melakukan pemidanaan bagi mereka yang
melakukan korupsi juga untuk menyelamatkan harta kekayaan negara. Dalam
perkara korupsi, perlindungan serta penyelamatan terhadap harta kekayaan negara
menjadi prioritas utama.7
7 Loebby Loqman, Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, 1996), hal. 49.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
5
1.2. Pernyataan Masalah
Dalam perkembangan penanganan perkara tindak pidana korupsi pada
akhir-akhir ini, muncul fenomena yang berkaitan dengan ketidakhadiran terdakwa
dalam proses persidangan dikarenakan terdakwa melarikan diri. Hal ini
menimbulkan kebuntuan dalam upaya penyelesaian perkara tindak pidana korupsi
yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian negara yang diakibatkan tindak
pidana korupsi tersebut tidak dapat dilakukan eksekusi dan terganggunya proses
penanganan perkara lain yang berkaitan langsung dengan perkara tersebut.
Pembahasan mengenai peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana
korupsi menarik untuk dicermati dikarenakan maksud dari ketentuan mengenai
peradilan in absentia adalah untuk menyelamatkan kekayaan negara yang
merupakan bentuk perlindungan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat dari
dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Namun dalam penerapan
peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi masih belum
menyentuh tujuan utama tersebut terutama dalam upaya pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi. Di sisi lain, peradilan in absentia dihadapkan dengan
prinsip bahwa kehadiran terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana pada
hakekatnya adalah untuk memberikan ruang kepada hak-hak asasi terdakwa
sebagai manusia. Berdasarkan uraian di atas, khususnya yang berkaitan dengan
pentingnya peradilan in absentia dalam upaya menyelamatkan kekayaan negara,
maka pokok permasalahan dalam tesis ini adalah penerapan peradilan in absentia
dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan masalah tersebut di atas, maka dalam penelitian
tesis ini akan dibatasi dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konsepsi peradilan in absentia apabila dikaitkan dengan hak
asasi manusia (HAM) dalam hal ini hak asasi terdakwa tindak pidana korupsi?
2. Bagaimanakah penerapan hukum peradilan in absentia dalam UU TPK dalam
upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi?
3. Bagaimanakah peranan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi?
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
6
1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian
Sesuai identifikasi pertanyaan penelitian tersebut di atas, penelitian ini
mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui konsepsi peradilan in absentia apabila dikaitkan dengan hak asasi
manusia (HAM) dalam hal ini hak asasi terdakwa tindak pidana korupsi.
2. Mengetahui penerapan hukum peradilan in absentia dalam UU TPK dalam
upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
3. Mengetahui peranan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi.
1.5. Kegunaan Penelitian
Penelitian terhadap permasalahan di atas yang akan dituangkan dalam
penulisan tesis ini diharapkan akan mempunyai kegunaan sebagai berikut :
(1) Teoritis
a. Sebagai sumbangan pemikiran untuk mengembangkan wawasan dan ilmu
pengetahuan di bidang hukum pidana, khususnya di bidang pemberantasan
tindak pidana korupsi terutama dalam upaya pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi melalui peradilan in absentia.
b. Sebagai bagian dari usaha pembinaan hukum nasional dan pemecahan
masalah yang berkaitan dengan peradilan in absentia.
(2) Praktis
a. Sebagai sumbang saran dan pemikiran kepada pemerintah Indonesia dan
dunia perguruan tinggi tentang peradilan in absentia terkait dengan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai bagian integral dari
strategi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia;
b. Sebagai sumbang saran dan pemikiran kepada pemerintah Indonesia dan
dunia perguruan tinggi dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung maupun tidak
langsung dengan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
7
1.6. Kerangka Teori
Dimitri Vlasis8 mengungkapkan bahwa masyarakat dunia, baik di negara
berkembang maupun negara maju, semakin frustasi dan menderita akibat
ketidakadilan dan kemiskinan yang diakibatkan tindak pidana korupsi.
Masyarakat dunia menjadi pasrah dan sinis ketika menemukan bahwa aset hasil
tindak pidana korupsi, termasuk yang dimiliki oleh para pejabat negara, tidak
dapat dikembalikan karena telah ditransfer dan ditempatkan di luar negeri melalui
pencucian uang yang dalam praktik dilakukan dengan maksud untuk
menghilangkan jejak. Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para
koruptor banyak yang dilarikan dan disembunyikan di luar negeri. Hasil korupsi
disembunyikan di rekening bank di luar negeri melalui mekanisme pencucian
uang sehingga upaya dalam melacak serta mengembalikan aset tersebut menjadi
sulit.
Pengembalian aset merupakan salah satu tujuan pemidanaan baru dalam
hukum pidana terutama tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Menurut Michael Levi9, justifikasi sebagai dasar pengembalian aset adalah :
1. Alasan pencegahan (prohylactic) adalah untuk mencegah pelaku tindak pidana
memiliki kendali atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah untuk
melakukan tindak pidana lain di masa yang akan datang;
2. Alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana tidak
mempunyai hak yang pantas atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah;
3. Alasan prioritas atau mendahului, yaitu karena tindak pidana memberikan
prioritas kepada negara untuk menuntut aset yang diperoleh secara tidak sah
daripada hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana.
4. Alasan kepemilikan (proprietary), yaitu karena aset tersebut diperoleh secara
tidak sah, maka negara memiliki kepentingan selaku pemilik aset tersebut.
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai bagian dari upaya
pemulihan kesejahteraan sosial, berdasarkan pendekatan konvensional hukum
pidana merupakan salah satu bentuk pemidanaan. Terutama terhadap tindak
8 Dimitri Vlasis, The United Nations Convention Against Corruption, Overview of Its
Contents and Future Action, Resource Material Series No. 66. hal. 118. 9 Michael Levi, Tracing and Recovering The Proceeds of Crime, (Georgia : Cardiff
University, Wales, UK, Tbilisi, 2004), hal. 17.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
8
pidana yang berkaitan dengan keuangan atau yang bertujuan memperoleh
keuntungan materiil. Justifikasi pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
sebagai bentuk pemidanaan merupakan gabungan dari 3 (tiga) teori, yaitu teori
keadilan retributif, keadilan restoratif dan utilitarianisme.10
Menurut Howard Zehr,11 dalam keadilan retributif, tindak pidana adalah
pelanggaran terhadap negara dan hukum, keadilan diterapkan dengan cara
mempersalahkan dan memberikan rasa sakit, keadilan merupakan perseteruan
antara pelaku tindak pidana dengan negara. Menurut Zehr keadilan retributif
merupakan paradigma lama yang pernah membentuk cara berpikir dan merespon
kejahatan. Ada banyak definisi teori keadilan restoratif, salah satunya
dikemukakan oleh Walgrave, yang mengatakan bahwa teori keadilan restoratif
adalah setiap perbuatan yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan
memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari tindak pidana. Teori ini menyatakan
bahwa korban atau keluarganya dapat kembali kepada keadaan semula seperti
sebelum terjadinya tindak pidana12.
Menurut Kent Roach,13 keadilan restoratif sebagai bagian dari teori
keadilan harus direkonsiliasi dengan teori keadilan restributif. Keadilan restoratif
merupakan pelengkap yang berguna bagi teori keadilan restributif. Purwaning
mengatakan dengan menggabungkan utilitarianisme, pandangan Roach tersebut
sesuai dengan tujuan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, karena tindak
pidana korupsi itu mengandung unsur-unsur, baik menurut teori keadilan restoratif
maupun teori keadilan restibutif, dan pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi merupakan perbaikan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh tindak
pidana korupsi (mengandung prinsip restoratif). Pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh pelaku yang mengakibatkan kerugian
keuangan negara dan hilangnya peluang bagi individu dan masyarakat untuk
10 Purwaning M Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung : PT Alumni, 2007), hal. 25. 11 Howard Zehr, Restorative Justice, Restorative Justice Symposium,
http://www.ojp.gov/nij/rest-just/, hal. 2, diakses tanggal 2 Maret 2011. 12 L. Walgrave, Met Het Oog op Herstel : Bakens voor een Constructief Jeugsantierecht,
(Leuven : Univesitaire Pers Leuven, 2000), hal. 34 sebgaimana dikutip dalam Purwaning M Yanuar, Op. cit., hal. 91.
13 Kent Roach, Changing Punishment at the Turn of the Century : Restorative Justice on the Rise, (Canadian Journal of Criminology, Number 7, 2000), hal. 249 – 280.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
9
hidup layak dalam mencapai kesejahteraan.14
Teori keadilan retributif adalah teori yang menyatakan bahwa korban atau
keluarganya mempunyai hak untuk memperlakukan terpidana sama seperti
terpidana memperlakukan korban. Tindak pidana menuntut balasan yang bersifat
pemidanaan. Pernyataan klasik ini dikatakan oleh Hegel (1770-1831) yang
mempresentasikan tindak pidana dan pidana dalam batasan saling menegaskan
atau membatalkan. Pemidanaan adalah baik karena menghapuskan atau
meniadakan kejahatan, baik secara hukum secara moral. Karena itu, secara moral
pidana harus dijatuhkan. Negara memiliki hak dan kewajiban untuk menjatuhkan
pidana15.
Mengenai utilitarianisme, George P. Fletcher16 mengatakan bahwa
pandangan yang paling sering dikemukakan tentang alasan-alasan moral dalam
tradisi Anglo-American adalah dengan menggunakan analisis biaya/keuntungan
sebagai penyeimbang persaingan antara keuntungan dan kerugian dalam
mengadopsi rencana aksi tertentu, Semua keputusan hukum, baik keputusan
individu maupun putusan pengadilan, harus dilakukan sesuai dengan
konsekuensinya. Konsekuensi yang tepat dipertimbangkan dengan seksama dalam
upaya yang hati-hati dan dalam kesenangan manusia. Jalan pikiran tersebut
tercermin dalam pembenaran sementara tentang kebutuhan yang menyatakan
bahwa pelanggaran hukum dapat dibenarkan jika dapat memberikan manfaat yang
lebih besar. Menurut tokoh utilitarianisme, Jeremy Bentham, pemidanaan harus
bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan kerasnya pidana tidak boleh melebihi
jumlah yang diperlukan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan
tertentu. Pemidanaan hanya dibenarkan jika dapat mencegah terjadinya tindak
pidana yang lebih besar.17
Pengembalian aset memiliki peran vital bagi masyarakat dalam
menggagalkan suatu tindak pidana kejahatan. Ian McWalters,18 menyatakan
bahwa terdapat 4 (empat) peran penting pengembalian aset dalam penanganan
14 Ibid., hal. 91 – 92. 15 John Rawls, A Theori of Justice, (Oxford University Press, 1999), hal. 276 – 277. 16 George P. Fletcher, Basic Concept of Legal Thought, (Oxford University Press, 1996),
Op.cit., hal. 25. 17 Ibid., hal. 26. 18 Ian McWalters, Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan untuk Indonesia, (Surabaya :
JP Books, 2006), hal. 192 – 193.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
10
kasus kejahatan yaitu : (1) menggagalkan penerimaan penerimaan keuntungan
bagu pelaku tindak kejahatan. Hukuman tanpa kurungan ataupun yang lebih
ringan tidak akan cukup untuk mencegah pelaku menikmati hasil kejahatannya;
(2) pemulihan aset dapat menambah dukungan masyarakat dan menjadi pesan
penting bahwa pemerintah bersungguh-sungguh dalam memerangi kejahatan; (3)
mencerminkan dukungan terhadap hukum-hukum yang berlaku dalam
memberantas kejahatan. Ketika denda yang diberikan kepada pelaku dinilai tidak
cukup, maka pelaksanaan pengembalian aset dapat menjadi senjata ampuh
pemerintah; dan (4) pengembalian aset dapat berperan sebagai peringatan penitng
bagi meraka yang hendak melakukan suatu tindak kejahatan.
Menurut Matthew H. Flemming, dalam perspektif pemberantasan tindak
pidana korupsi, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi umumnya dianggap
sebagai alat atau sarana untuk memerangi tindak pidana yang sangat berorientasi
pada keuntungan, termasuk tindak pidana akuisitif (tindak pidana yang didorong
oleh nafsu keserakahan) dan tindak pidana terorganisasi. Dalam praktik dan dalam
istilah yang paling umum, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
merupakan proses yang banyak tahapannya dan cabang dari sejumlah
kompleksitas, meliputi sejumlah lembaga, termasuk polisi (dalam pengertian yang
luas yang meliputi kepolisian, kepabeanan dan badan-badan investigasi lainnya,
kejaksaan, pengadilan dan bisa juga para penerima hasil tindak pidana tersebut). 19
Pengembalian aset korupsi merupakan sistem penegakan hukum yang
menghendaki adanya suatu proses peniadaan hak atas aset pelaku dari negara
korban dengan cara antara lain meniadakan hak atas aset pelaku secara perdata
maupun pidana, bisa dilakukan dengan penyitaan, pembekuan, perampasan, baik
dalam kompetensi lokal, regional maupun internasional sehingga kekayaan dapat
dikembalikan kepada negara (korban) yang sah.20 Sedangkan teori pengembalian
aset adalah teori hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian aset
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas
dan tanggung jawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk
memberikan perlindungan dan peluang kepada individu-individu masyarakat
19 Matthew H. Flemming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An
Economic Taxonomy : Draft for Comments, (London : University College, 2005), hal. 3. 20 Indriyanto Seno Adji, Op.cit., hal. 149 – 150.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
11
dalam mencapai kesejahteraan.21 Teori ini dilandaskan pada prinsip dasar :
berikan kepada negara apa yang menjadi hak negara. Di dalam hak negara
terkandung kewajiban negara yang merupakan hak individu masyarakat, sehingga
prinsip tersebut setara dan sebangun dengan prinsip berikan kepada rakyat apa
yang menjadi hak rakyat.22
Pengembalian aset tidak hanya merupakan proses, tetapi juga merupakan
upaya penegakan hukum melalui serangkaian mekanisme hukum tertentu.
Purwaning M. Yanuar merumuskan pengertian pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi sebagai suatu sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh
negara korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan
hak atas aset hasil tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan
mekanisme, baik secara pidana dan perdata, aset hasil tindak pidana korupsi, baik
yang ada di dalam maupun luar negeri, dilacak, dibekukan, dirampas, disita,
diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban tindak pidana korupsi,
sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana korupsi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi
menggunakan aset hasil tindak pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk
melakukan tindak pidana lainnya, dan memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau
calon pelaku tindak pidana korupsi.23
Dari rumusan pengertian tersebut terdapat beberapa unsur-unsur penting
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yaitu :24
(1) Pengembalian aset merupakan sistem penegakan hukum;
(2) Penegakan hukum tersebut dilakukan baik melalui jalur pidana maupun jalur
perdata;
(3) Melalui kedua jalur tersebut aset hasil tindak pidana korupsi dilacak,
dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara
korban tindak pidana korupsi;
(4) Pelacakan, pembekuan, perampasan, penyitaan, penyerahan dan
pengembalian dilakukan terhadap aaset hasil tindak pidana korupsi baik yang
21 Ibid., hal. 30. 22 Ibid. 23 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 104. 24 Ibid., hal. 104 – 105;
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
12
ditempatkan di dalam negeri maupun di luar negeri;
(5) Sistem penegakan hukum dilakukan oleh negara korban tindak pidana
korupsi yang dilaksanakan oleh institusi penegak hukum;
(6) Sistem ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut :
a. Mengembalikan kerugian negara korban tindak pidana korupsi yang
ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi;
b. Mencegah penggunaan atau pemanfaatan aset-aset tersebut sebagai alat
atau sarana oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk melakukan tindak
pidana lainnya, misalnya tindak pidana pencucian uang, terorisme dan
tindak pidana lintas negara lainnya;
c. Memberikan efek jera bagi pihak lain yang beritikad melakukan tindak
pidana korupsi.
Terdapat 2 (dua) jenis perampasan aset yang berkembang dalam sistem
common law yaitu ordinary common law forfeiture (perampasan yang berlaku
berdasarkan putusan pengadilan) dan statutory forfeiture (perampasan yang
berlaku berdasarkan undang-undang). Ordinary common law forfeiture terjadi
menyusul ditetapkannya putusan pengadilan atas kejahatan yang dilakukan
terdakwa. Pihak otoritas berwenang memandang perampasan sebagai konsekuensi
dari pidana tersebut. Ordinary common law forfeiture menjadi perampasan in
personam dan jika telah diputuskan dalam putusan pengadilan, perampasan
meliputi semua properti nyata dan pribadi yang dimiliki terpidana, tidak hanya
benda-benda atau alat-alat yang digunakan dalam tindak pidana.25
Sedangkan statutory forfeiture diberlakukan tanpa memerlukan putusan
pengadilan sebelumnya. Akan tetapi dibatasi pada properti yang digunakan dalam
melakukan pelanggaran hukum. Statutory forfeiture disebut dengan perampasan in
rem perdata. Konsep bahwa properti sebagai pihak yang bersalah dan bukan
orang, menjadi legal-fictionguilty property, dengan mengambil alih properti
tersebut sebelum merugikan pihak lain.26
25 Muhammad Yusuf, Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi melalui NCB Asset
Forfeiture, (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 616.
26 Ibid., hal. 167.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
13
1.7. Kerangka Konsepsional
Untuk memudahkan dan membatasi permasalahan serta menghindari
perbedaan pengertian mengenai istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian
ini, dibawah ini diberikan definisi operasional sebagai berikut.
Peradilan in absentia adalah suatu upaya memeriksa serta mengadili dan
memutuskan suatu perkara tanpa dihadiri terdakwa, secara yuridis formal hanya
dapat diberlakukan dalam tindak pidana tertentu karena diberi ruang oleh undang-
undang tertentu.27 Menurut Djoko Prakoso, sesungguhnya pengertian mengadili
atau menjatuhkan hukuman secara in absentia, ialah mengadili seseorang
terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri.28
Pengertian korupsi sesuai materi dalam penulisan ini dibagi atas dua
pengertian yaitu : pertama, berdasarkan definisi yang mengacu kepada pengertian
korupsi menurut Transparency International yaitu perilaku pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Kedua,
berdasarkan perbuatan yang dikategorikan korupsi, mengacu kepada UU TPK,
bahwa yang disebut sebagai tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang
tercantum pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UU TPK, yang meliputi : delik
merugikan keuangan negara (Pasal 2 dan Pasal 3); delik penyuapan ( Pasal 5, 6,
dan 11); delik penggelapan dalam jabatan ( Pasal 8, 9, dan 10); delik pemerasan
dalam jabatan (Pasal 12); delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7);
dan delik gratifikasi (Pasal 12 B, 12 C dan Pasal 13).
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi adalah upaya yang
dilakukan untuk mengambil langkah-langkah strategis yang bertujuan
mengamankan harta kekayaan yang diduga diperoleh dari hasil tindak pidana
korupsi.29 Istilah pengembalian aset mengandung pengertian bahwa penguasaan
aset oleh pelaku tindak pidana tidak didasarkan pada hal yang sah, karena
27 Marwan Effendy, Peradilan In Absentia dan Koneksitas, (Jakarta : PT Timpani Publishing, 2010), hal. 11.
28 Djoko Prakoso, Peradilan In Absentia di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal. 54.
29 Eka Martiana Wulansari, Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 664.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
14
merupakan hasil kejahatan. Oleh karena itu, aset tersebut harus dikembalikan
kepada pihak yang memiliki hak yang sah atas aset tersebut, yaitu negara. Melalui
tindakan pengembalian aset maka negara mengambil kembali atau memulangkan
aset yang menjadi haknya dari pelaku tindak pidana korupsi yang telah menguasai
aset tersebut secara tidak sah.30
1.8. Metode Penelitian
Metode penelitian diperlukan guna mengumpulkan sejumlah bahan yang
digunakan untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam pertanyaan
penelitian. Untuk keperluan itulah maka metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.8.1. Jenis dan Sumber Data
Penelitian hukum normatif dilakukan terhadap bahan pustaka atau data
sekunder yang terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier.31 Data sekunder (secondary data) adalah data yang diperoleh
peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumen, yang merupakan hasil
penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk
laporan atau dokumen yang biasanya disediakan di perpustakaan, atau milik
pribadi.32
Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
(1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,33 seperti :
a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
30 Jeane Neltje Saly, Pengembalian Aset Negara Hasil Korupsi di Indonesia dalam
Perspektif United Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC), (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 667 – 668.
31 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 2007), hal. 52.
32 Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 1995), hal. 65.
33 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 12.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
15
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peradilan in
absentia dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi;
d. Putusan hakim yang berkaitan dengan penelitian ini.
(2) Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer,34 seperti buku-buku teks hukum,
hasil-hasil penelitian hukum, jurnal-jurnal di bidang hukum, artikel-artikel
yang dibuat ahli hukum di bidang hukum pidana, hasil simposium, seminar
atau diskusi di bidang hukum baik yang berupa laporan maupun proceeding
yang terkait dengan peradilan in absentia dan pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi.
(3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,35 berupa
kamus-kamus seperti kamus bahasa Indonesia, Inggris, kamus-kamus
keilmuan seperti kamus istilah hukum serta ensiklopedia, indeks kumulatif
dan sebagainya.
1.8.2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah melalui studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study).36 Data
sekunder dimaksud dikumpulkan dengan melakukan studi kepustakaan, pada
tempat-tempat sebagai berikut :
(1) Perpustakaan Pascasarjana Universitas Indonesia, Perpustakaan Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Perpustakaan KPK, Pusat Dokumentasi Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia;
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi;
(3) Kejaksaan Agung RI dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat;
(4) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
34 Ibid. 35 Ibid. 36 Ibid., hal. 201 – 205.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
16
1.8.3. Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah pengolahan
data dan analisis data.37 Data yang diperoleh akan diolah dengan cara melakukan
sistematisasi bahan-bahan hukum yaitu membuat klasifikasi terhadap bahan-
bahan hukum. Data selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif berdasarkan data-
data penelitian serta disusun dan didasarkan pada peraturan perundang-undangan,
kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum
sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.
1.9. Sistematika Laporan Penelitian
Sistematika dalam penulisan ini disusun dalam bab-bab sebagai berikut :
BAB I : Merupakan Bab Pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang
Penelitian, Rumusan Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian,
Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konseptual,
Metode Penelitian dan Sistematika Laporan Penelitian.
BAB II : Bab dua adalah tentang Teori Negara Hukum dan Sistem
Peradilan Pidana yang akan menguraikan tentang teori negara
hukum, teori sistem peradilan pidana dan teori keadilan sosial
dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
BAB III : Dalam bab tiga tentang Peradilan In Absentia dan Pengembalian
Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi akan diuraikan mengenai
konsepsi dan dasar hukum peradilan in absentia, prinsip
hadirnya terdakwa di sidang pengadilan, dan pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi dalam instrumen hukum
internasional dan nasional.
BAB IV : Bab empat - Peradilan In Absentia dalam Upaya Pengembalian
Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, merupakan bab yang
berisikan penyajian tentang peradilan in absentia dalam perkara
tindak pidana korupsi dikaitkan dengan hak asasi manusia
(HAM) dalam hal ini hak asasi terdakwa tindak pidana korupsi,
penerapan hukum peradilan in absentia berdasarkan UU TPK
37 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 19.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
17
dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dan
peranan peradilan in absentia dalam memaksimalkan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Dalam bab ini
juga akan dikaji beberapa putusan yang berkaitan dengan
rumusan masalah tesis ini.
BAB V : Merupakan bab Penutup yang terdiri atas kesimpulan yaitu
jawaban atas semua permasalahan penulisan tesis ini, dan saran
yaitu pendapat penulis berkaitan dengan pokok bahasan yaitu
mengenai peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi.
Berdasarkan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, kerangka teori, kerangka konseptual, metode penelitian dan
sistematika laporan penelitian yang telah diuraikan di atas, pada bab selanjutnya
akan dibahas dan diuraikan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan
pelaksanaan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi yaitu teori negara hukum, teori sistem peradilan pidana dan teori
keadilan sosial.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
18
BAB II
TEORI NEGARA HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA
2.1. Teori Negara Hukum
Ide negara hukum selain berkaitan erat dengan konsep rechtsstaat dan the
rule of law, juga berkaitan dengan konsep nomocrazy yang berasal dari kata
nomos dan cratos. Nomos berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan.
Faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum, oleh
karena itu, istilah nomokrasi berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau
prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.38 Ide negara hukum dilahirkan untuk
membendung adanya kesewenang-wenangan dari kekuasaan yang mempraktikkan
sistem absolute dan mengabaikan hak-hak dari rakyat itu sendiri.39
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah,
sebab rumusan atau pengertian negara hukum terus berkembang mengikuti
sejarah perkembangan umat manusia. Untuk itu, dalam rangka memahami secara
tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran
sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan
berkembangnya konsepsi negara hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie, gagasan
kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi
Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum.40
Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang negara hukum dikembangkan
oleh para filusuf besar Yunani Kuno seperti Plato (429-347 s.M) dan Aristoteles
(384-322 s.M). Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin
dijalankan. Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) macam pemerintahan yang dapat
diselenggarakan yaitu : (1) pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan
(2) pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum.41 Sedangkan konsep
negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum yang
38 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI), 2005, hal. 151. 39 Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2011), hal. 4. 40 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya
di Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal. 11. 41 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban yang Adil,
(Jakarta : Grasindo, 2004), hal. 36 – 37.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
19
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada
keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi
warga negara yang baik. Bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara
bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa
sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.42
Pada zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental
dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte
dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman yaitu rechtsstaat.43 Pemikiran
negara hukum timbul sebagai reaksi dari adanya konsep negara polisi (polizei
staat). Polizei staat berarti negara menyelenggarakan keamanan dan ketertiban
serta memenuhi seluruh kebutuhan masyarakatnya. Tetapi konsep negara ini lebih
banyak diselewengkan oleh penguasa.44 Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika,
konsep negara hukum dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan the rule of
law.45
Immanuel Kant46 dalam karya ilmiahnya yang berjudul Methaphysiche
Ansfangsgrunde menyatakan bahwa konsep negara hukum adalah sebagai berikut:
”Sebagaimana dikemukakan bahwa pihak yang bereaksi terhadap negara polizei ialah ”orang-orang kaya dan cendekiawan.” Orang kaya (borjuis) dan cendekiawan ini menginginkan agar hak-hak kebebasan pribadi tidak diganggu, yang mereka inginkan ialah mereka hanya ingin kebebasan mengurusi kepentingannya sendiri, kongkritnya ialah agar permasalahan perekonomian menjadi urusan mereka dan negara tidak ikut campur dalam penyelenggaraan tersebut.”
Jadi fungsi negara dalam konsep ini adalah hanya menjaga ketertiban dan
keamanan. Konsep ini disebut dengan nachtwachkerstaats atau
nachtwachterstaats dan dikenal dengan negara hukum liberal.
Dalam kutipan yang sama, Friedrich Julius Stahl berpendapat bahwa
konsep negara hukum yang disebut dengan rechtsstaat mencakup 4 (empat) unsur
42 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta : PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988), hal. 153. 43 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan ...., Op.cit. 44 Abdul Aziz Hakim, Op.cit., hal. 14. 45 Jimly Asshiddiqie, Op.cit. 46 Immanuel Kant, Methaphysiche Ansfangsgrunde, sebagaimana dikutip dalam Abdul
Aziz Hakim, Op.cit., hal. 16.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
20
utama sebagai berikut :47
(1) Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia;
(2) Untuk melindungi hak-hak asasi manusia, maka penyelenggaraan negara
harus berdasarkan theory atau konsep trias politica (pemisahan atau
pembagian kekuasaan);
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah dibatasi oleh undang-undang
(wetmatigheid van bestuur);
(4) Apabila dalam melakanakan tugas pemerintah masih melangar hak asasi maka
ada pengadilan administrasi yang mengadilinya.
Dari konsep ini diketahui bahwa negara hukum bertujuan untuk melindungi hak-
hak asasi manusia dan membatasi kekuasaan terhadapnya.
Albert Van Dicey mengetengahkan 3 (tiga) ciri penting dari the rule of
law yaitu : (1) supremacy of law adalah yang mempunyai kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara adalah hukum (kedaulatan hukum), (2) equality before the law
merupakan kesamaan bagi kedudukan di depan hukum untuk semua warga
negara, baik selaku pribadi maupun statusnya sebagai pejabat negara, dan (3)
constitution based on individual right, dimana konstitusi bukan merupakan
sumber dari hak asasi manusia dan jika hak asasi manusia diletakkan dalam
konstitusi hanyalah sebagai penegasan bahwa hak asasi manusia itu harus
dilindungi.48
Keempat prinsip rechtsstaat tersebut pada pokoknya dapat digabungkan
dengan ketiga prinsip rule of law untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern
di zaman sekarang. Bahkan oleh The International Commission of Jurists, prinsip-
prinsip negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan yang bebas dan
tidak memihak (independence and impartiality of judiciary). Prinsip-prinsip yang
dianggap ciri penting negara hukum menurut The International Commission of
Jurists itu adalah : (1) negara harus tunduk pada hukum, (2) pemerintah
menghormati hak-hak individu, dan (3) peradilan yang bebas dan tidak
memihak.49
Pada abad ke XX, negara hukum mengalami perkembangan dan mendapat
47 Ibid., hal. 16 – 17. 48 Ibid., hal. 13. 49 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan ..., Op.cit., hal. 152.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
21
perhatian dari para pemikir dari berbagai bangsa yang menginginkan kehidupan
yang demokratis, berkemanusiaan dan sejahtera, diantaranya adalah Paul
Scholten. Paul Scholten50 mengemukakan terdapat 2 (dua) unsur utama dalam
membahas negara hukum yaitu : (1) adanya hak warga terhadap negara/raja, dan
(2) adanya pembatasan kekuasaan. Scholten mengemukakan terdapat 3 (tiga)
kekuasaan yang harus terpisah satu sama lain, yaitu kekuasaan pembentuk
undang-undang (legislatif), kekuasaan pelaksana undang-undang (eksekutif) dan
kekuasaan peradilan (yudikatif).
Profesor Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara
hukum klasik, dan negara hukum materiil atau negara hukum modern. Negara
hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit,
yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan negara hukum
materiil mencakup pula pengertian keadilan didalamnya.51 Menurut Jimly
Asshiddiqie, Wolfgang Friedman dalam bukunya Law in a Changing Society
membedakan antara rule of law dalam arti formil yaitu dalam arti organized
public power, dan rule of law dalam arti materiil yaitu the rule of just law.52
Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara
hukum, keadilan tidak serta merta akan terwujud secara substantif, terutama
karena pengertian mengenai hukum dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian
hukum formil dan hukum materiil. Jika hukum dipandang kaku dan sempit dalam
arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum
yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin
keadilan substantif. Oleh karena itu, disamping istilah the rule of law oleh
Friedman juga dikembangkan istilah the rule of just law untuk memastikan bahwa
dalam pengertian tentang the rule of law tercakup pengertian keadilan yang lebih
esensial daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam
arti sempit.53
Konsep negara hukum di Indonesia secara konstitusional ada sejak
dideklarasikan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Hal ini terbukti dalam
50 Abdul Aziz Hakim, Op.cit., hal. 17. 51 Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hal. 152 – 153. 52 Ibid., hal. 153. 53 Ibid.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
22
Penjelasan UUD 1945 disebut bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Meskipun
dalam naskah UUD 1945 yang asli tidak ditemukan istilah negara hukum tetapi
pencantuman beberapa kalimat dalam Penjelasan UUD 1945 merupakan
penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Selain itu, ciri-ciri umum
negara hukum dapat ditemukan dalam UUD 1945 yaitu (1) pengakuan terhadap
hak-hak dan kewajiban warga negara, (2) adanya pembagian kekuasaan; dengan
adanya lembaga-lembaga negara menunjukan adanya pembagian kekuasaan, (3)
setiap perbuatan atau tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum dan undang-
undang, dan (4) adanya kekuasaan kehakiman yang bebas.
Jimly Asshiddiqie menyampaikan 4 (empat) prinsip yang secara bersama-
sama merupakan ciri-ciri pokok konsep negara hukum (rechtsstaat) yang
dirumuskan secara tegas dalam UUD 1945 yaitu :54
(1) Pembatasan kekuasaan diatur seperti dengan dirumuskannya prinsip
pembagian kekuasaan yang tercermin dalam struktur kelembagaan negara baik
vertikal maupun horizontal;
(2) Ide perlindungan hak asasi manusia dan hak-hak warga-negara;
(3) Asas legalitas dan prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
(4) Prinsip peradilan bebas yang tidak memihak, dan bahkan kemudian
dirumuskan pula ide peradilan administrasi untuk memungkinkan
warganegara menuntut hak-haknya atas kekuasaan publik.
Berkaitan dengan UUD 1945, menurut Moh. Mahfud M.D sebagai ciri
pertama dari negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan atas hak-
hak asasi manusia. Ciri ini bisa ditemui di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh
UUD 1945. Di dalam Pembukaan alinea I dinyatakan bahwa kemerdekaan adalah
hak segala bangsa, kemudian di dalam alinea IV disebutkan pula salah satu dasar
yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dalam Batang Tubuh UUD 1945
dapat ditemui beberapa pasal seperti Pasal 27 (persamaan kedudukan setiap warga
negara di dalam hukum dan pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan dan
54 Jimly Asshiddiqie, Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan
dan Realitas Masa Depan, Pidato diucapkan pada upacara pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 13 Juni 1998, hal. 5.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
23
penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan untuk berserikat dan
berkumpul serta mengeluarkan pikiran), Pasal 29 (jaminan kemerdekaan untuk
memeluk agama dan beribadat), dan Pasal 31 (jaminan hak untuk mendapatkan
pengajaran).55
Ciri-ciri rechtsstaat yang lain dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon yaitu:
(1) adanya UUD atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan
antara penguasa dan rakyat, (2) adanya pembagian kekuasaan negara, (3) diakui
dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.56 Dalam kaitan ini, Sri Soemantri
juga mengemukakan adanya 4 (empat) unsur terpenting negara hukum yaitu : (1)
Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas
hukum atau peraturan perundang-undangan, (2) adanya jaminan terhadap hak-hak
asasi manusia (warga negara), (3) adanya pembagian kekuasaan (distribution of
power) dalam negara, dan (4) adanya pengawasan (dari badan-badan peradilan).57
Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa meskipun terdapat perbedaan
latar belakang mengenai konsep the rule of law dan konsep rechtsstaat, terdapat
kesamaan bahwa pada dasarnya kedua konsep negara hukum tersebut berkaitan
erat dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Hal ini memperkuat
gagasan bahwa konsep negara hukum sangat erat berkaitan dengan hak-hak asasi
manusia sehingga dapat dikatakan bahwa negara hukum adalah sebagai wadah
dan hak-hak asasi manusia sebagai isinya.58 Suatu negara yang berdasarkan atas
hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk
kemerdekaan individu untuk menggunakan hak-hak asasinya. Hal ini merupakan
conditio sine quanon, mengingat bahwa negara hukum lahir sebagai hasil
perjuangan individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan
sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah, penguasa tidak boleh bertindak
sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannya pun harus dibatasi.59
Kedudukan dan hubungan individu dengan negara menurut teori negara
55 Moh. Mahfud M.D, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta : UII Press, 1993), hal. 96 – 98.
56 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya : PT Bina Ilmu, 1987), hal. 76.
57 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, sebagaimana dikutip dalam Mien Rukmini, Op.cit., hal. 37.
58 Ibid. 59 Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, (Bandung : Alumni, 1983), hal.
3.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
24
hukum tersebut dikatakan oleh Sudargo Gautama sebagai berikut : “... dalam
suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap
perseorangan. Negara tidak maha kuasa. Negara tidak dapat bertindak sewenang-
wenang. Tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum.”60 Jadi dalam
negara hukum selain terdapat persamaan (equality) juga terdapat pembatasan
(restriction). Sarana yang dipergunakan untuk membatasi kedua kepentingan itu
adalah hukum. Baik negara maupun individu adalah subyek hukum yang memiliki
hak dan kewajiban. Oleh karena itu, dalam suatu negara hukum, kedudukan dan
hubungan individu dengan negara senantiasa dalam suasana keseimbangan.
Keduanya memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi hukum.61 Namun harus
diperhatikan jangan sampai pembatasan itu “membunuh” baik hak asasi individu
maupun hak negara. Artinya, karena negara mempunyai tujuan dan fungsi yang
harus dicapai pembatasan itu jangan sampai sedemikian rupa sehingga negara
tidak dapat menjalankan fungsinya dan mencapai tujuannya; demikian pula
terhadap individu. Keterlibatan individu dalam negara untuk mencapai tujuan dan
menjalankan fungsinya harus lebih terjamin mengingat bahwa partispasi individu
tersebut merupakan pengejawantahan hak asasinya.62
Untuk mewujudkan cita-cita negara hukum, adalah suatu syarat mutlak
bahwa rakyat juga sadar akan hak-haknya dan siap sedia untuk berdiri tegak
membela hak-haknya tersebut. Apa gunanya orang diberikan hak untuk
melindungi kebebasan-kebebasannya apabila ia tidak ingin atau tidak tahu
bagaimana melaksanakan perlindungan haknya tersebut.63 Setiap individu harus
sadar dan mengetahui akan perlindungan hak asasinya serta tiada satu pihakpun
termasuk negara dapat melanggarnya, karena ia dilindungi hukum. Apabila terjadi
pelanggaran, berarti melanggar hukum dan dalam hal ini individu dapat meminta
bantuan negara dalam hal ini pengadilan untuk memproses pelanggaran yang
dilakukan itu, termasuk pelanggaran yang dilakukan oleh negara sendiri
(onrechtmatige overheidsdaad).64 Oleh karena itu, dalam suatu negara hukum,
negara dan aparaturnya juga harus tunduk kepada hukum. Dalam suatu negara
60 Ibid. 61 Ibid. 62 Mien Rukmini, Op.cit., hal. 21. 63 Sudargo Gautama, Op.cit. 64 Ibid., hal. 26.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
25
hukum, kekuasaan negara dibatasi dan ditentukan hukum. Ketentuan ini juga
berlaku bagi alat perlengkapan negara sehingga dalam melaksanakan tugasnya
harus bersumber dan berakar pada hukum.
Sebagaimana pendapat Nozick bahwa negara tetap merupakan suatu
keharusan, namun suatu keharusan tidak boleh mengurangi kebebasan bertindak
para warga negara melebihi dari yang seharusnya.65 Berkaitan dengan pemikiran
Nozick, Dworkin berpendapat bahwa :66
“Semua hak ini berasal dari hak-hak asasi yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlakuan sebagai orang yang sederajat yang sesungguhnya, berasal dari prinsip utama liberalisme yang menyatakan, bahwa setiap orang harus diperlakukan dengan rasa hormat dan perhatian yang sama.”
2.2. Teori Sistem Peradilan Pidana
Tujuan utama hukum acara pidana adalah melaksanakan proses hukum
yang adil (due process of law). Pada kerangka ini terdapat 2 (dua) kepentingan
yang harus diperhatikan yaitu kepentingan negara dan kepentingan pencari
keadilan yaitu tersangka dan terdakwa. Proses hukum yang adil ini merupakan hal
yang tidak dapat dipisahkan dengan sistem peradilan pidana. Hal ini dikarenakan
sistem peradilan pidana merupakan wadah dari proses hukum yang adil dan
sebaliknya, proses hukum yang adil merupakan roh dari sistem peradilan pidana
yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan
terdakwa.67
Sistem peradilan pidana merupakan suatu bentuk sistem yang unik karena
berbeda dengan sistem-sistem sosial yang lain. Perbedaan ini terletak pada
kesadarannya untuk memproduksi segala sesuatu yang sifatnya unwelfare dalam
skala yang besar, guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare (berupa rehabilitasi
pelaku tindak pidana, pengendalian dan penekanan tindak pidana serta
kesejahteraan sosial). Segala sesuatu yang bersifat unwelfare tersebut dapat
berupa perampasan kemerdekaan, stigmatisasi, perampasan harta benda, bahkan
kadang-kadang hilangnya nyawa manusia atau di beberapa negara berupa derita
65 Scoot Davidson, Hak Asasi Manusia Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Penerjemah A. Hadyana Pudjaatmaka, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1994), hal. 44.
66 Ibid., hal. 47. 67 Mardjono Reksodiputro, Op.cit.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
26
fisik (misalnya pukulan dengan rotan).68
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar
hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science di Amerika Serikat
sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum
dan institusi penegakan hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya
kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa itu, pendekatan
yang digunakan dalam penegakan hukum adalah hukum dan ketertiban (law and
order approach) dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut
dikenal dengan istilah law enforcement.69
Mardjono Reksodiputro memberikan batasan bahwa yang dimaksud sistem
peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat
untuk menanggulangi masalah kejahatan.70 Menanggulangi berarti adalah usaha
untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan
maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan”
dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan
bersalah serta mendapat pidana. Gambaran ini merupakan apa yang paling terlihat
dan diharapkan oleh masyarakat. Namun, hal ini belum merupakan keseluruhan
tugas dan tujuan sistem. Tugas yang sering kurang diperhatikan adalah yang
berhubungan dengan mencegah terjadinya korban kejahatan dan mencegah pelaku
untuk mengulangi kejahatan. Karena itu, tujuan sistem peradilan pidana dapat
dirumuskan sebagai :71
(1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
(2) Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
(3) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
68 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995), hal. 21. 69 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2010), hal. 27. 70 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994), hal. 84.
71 Ibid., hal. 84 – 85.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
27
Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan
jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana
utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum
pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam kerangka atau
konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk
kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa
ketidakadilan.72
Menurut Muladi, Frank Hagan membedakan pengertian antara criminal
justice process dan criminal justice system. Criminal justice process adalah setiap
tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses
yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan criminal justice
system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat
dalam proses peradilan pidana.73 Berkaitan dengan hal ini, Mardjono
Reksodiputro berpendapat bahwa proses peradilan pidana merupakan suatu
rangkaian kesatuan (continuum) yang menggambarkan peristiwa-peristiwa yang
maju secara teratur, mulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan
dan diperiksa oleh pengadilan, diputus oleh hakim, dipidana dan akhirnya kembali
ke masyarakat.74 Sementara itu, Barda Nawawi Arief menurut Heri Tahir
mengartikan sistem peradilan pidana sebagai suatu proses penegakan hukum
pidana. Oleh karena itu berhubungan erat dengan perundang-undangan pidana itu
sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana. Pada
dasarnya, perundang-undangan pidana merupakan penegakan hukum pidana in
abstracto yang akan diwujudkan ke dalam penegakan hukum in concreto.75
Berdasar pada pandangan Barda Nawawi Arief tersebut, nampak jelas relevansi
sistem peradilan pidana dengan proses hukum yang adil. Hal ini dikarenakan
sistem peradilan pidana sebagai sistem penegakan hukum dengan sendirinya harus
mencerminkan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa.
Sedangkan hak-hak tersangka dan terdakwa yang terdapat dalam sistem peradilan
pidana merupakan prasyarat terselenggaranya proses hukum yang adil.
72 Muladi, Op.cit., hal. 4. 73 Ibid., hal. 2. 74 Mardjono Reksodiputro, Op.cit., hal. 93. 75 Heri Tahir, Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,
(Yogyakarta : LaksBang Pressindo, 2010), hal. 9.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
28
Tobias dan Petersen,76 mengatakan bahwa due process of law berasal dari
Inggris yaitu dalam dokumen Magna Charta 1215 merupakan : “constitutional
guaranty … that no person will be derived of life, liberty of property for reasons
that are arbitrary. … protects the citizen againts arbitrary actions of the
government.” Oleh karena itu, maka unsur-unsur minimal dari due process itu
adalah : “hearing, counsel, defense, evidence and a fair and impartial court”
(mendengar tersangka dan terdakwa, penasihat hukum, pembelaan, pembuktian
dan pengadilan yang adil dan tidak memihak).77 Selanjutnya dikatakan bahwa
peradilan yang adil (due process of law) hanya dikaitkan dengan penerapan
aturan-aturan hukum acara pidana dalam proses terhadap tersangka dan terdakwa.
Arti dari peradilan yang adil adalah lebih jauh dari sekedar penerapan hukum atau
peraturan perundang-undangan secara formal. Dalam pengertian peradilan yang
adil terkandung pengertian penghargaan atas hak kemerdekaan seorang warga
negara.
Pendapat yang dikemukakan Tobias dan Petersen tersebut, senada dengan
pendapat Mardjono Reksodiputro yang menyatakan bahwa hal-hal yang tercakup
dalam proses hukum yang adil adalah hak-hak tersangka dan terdakwa untuk
didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan terjadi; dalam
pemeriksaan terhadapnya dia diberi hak didampingi oleh penasihat hukum; dia
pun berhak memajukan pembelaannya dan penuntut umum harus membuktikan
kesalahan terdakwa di muka suatu pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang
tidak berpihak.78 Jaminan bahwa sistem peradilan pidana berpegang teguh pada
proses hukum yang adil sangat penting apabila menyadari bahwa setelah
seseorang menjadi tersangka, status hukumnya sebagai bagian masyarakat telah
berubah. Seorang tersangka akan mengalami berbagai pembatasan dalam
kemerdekaannya dan sering pula mengalami degradasi secara fisik dan moral.
Adanya kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan dalam menentukan
seorang menjadi tersangka, yang pada hakekatnya akan membatasi pula
76 Marc Weber Tobias dan R. David Petersen, Pretrial Criminal Procedure, A Survey of Constitutional Rights, Charles C. Thomas Publisher, hal. 3 sebagaimana dikutip dalam Mardjono Reksodiputro, Op.cit., hal. 93.
77 Mien Rukmini, Op.cit., hal. 99. 78 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan
Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kelima, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 2007), hal. 9.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
29
kemampuannya membela diri terhadap persangkaan tersebut, menjadikan proses
hukum yang adil merupakan sesuatu yang harus dilindungi oleh konstitusi negara
yang bersangkutan.79
Di dalam hukum positif Indonesia, ketentuan tentang proses hukum yang
adil telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP merupakan pengganti hukum acara
pidana yang terdapat dalam HIR 1941 (het Herziene Inlandsch Reglement). Pada
waktu HIR diundangkan, hal ini dianggap sebagai kemajuan penting untuk
tatacara penyidikan kasus kejahatan bagi golongan non-Eropa (Bumiputera) di
Indonesia. Hal ini dikarenakan banyaknya kritik yang muncul berkaitan dengan
tidak dipergunakannya proses hukum yang adil terhadap orang Indonesia (yang
dibedakan dari orang Eropa).80
Penjelasan KUHAP, antara lain menunjukkan pentingnya “…
penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta
kewajiban warganegara … (yang) perlu diwujudkan pula dalam dan dengan
adanya hukum acara pidana ini.” Dalam penjelasan ini dipergunakan 2 (dua)
macam istilah yaitu “hak asasi manusia” dan “hak serta kewajiban warganegara”.
Perlu dipahami bahwa hak asasi manusia (human rights) mengandung 3 (tiga)
elemen utama yaitu : (1) hak warganegara (civil rights, burgerrechten), (2) hak
politik (political rights), dan (3) hak sosial (social rights). Menurut pandangan
Mardjono Reksodiputro, hak warganegara adalah yang utama, dibandingkan
dengan hak politik dan sosial. Hal ini dikarenakan apabila hak warganegara benar-
benar dimiliki dan dipertahankan oleh pengadilan, maka barulah hak politik dan
hak sosial mempunyai arti. Hak-hak seorang tersangka, terdakwa dan terpidana
adalah “hak warganegara” dan harus dijamin oleh konstitusi serta undang-undang
pidana. Oleh karena itu, pernyataan dalam KUHAP bahwa pelaksanaan hak (serta
kewajiban) warganegara perlu terwujud dalam sistem peradilan pidana Indonesia,
merupakan pengakuan pembuat undang-undang Indonesia bahwa due process of
law (proses hukum yang adil) merupakan sikap-batin (spirit) dari KUHAP.
Seluruh elemen dalam sistem peradilan pidana, mulai dari kepolisian, kejaksaan,
pengadilan sampai kepada lembaga pemasyarakatan, harus menafsirkan setiap
79 Ibid., hal. 10. 80 Ibid., hal. 10 – 11.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
30
ketentuan dalam KUHAP menurut sikap-batin tersebut.81
Dalam KUHAP terdapat desain prosedur (procedural design) sistem
peradilan pidana. Sistem ini secara garis besar dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahap
yaitu : (1) tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap pra-adyudikasi (pre-
ajudication), (2) tahap sidang pengadilan atau tahap adyudikasi (ajudication), dan
(3) tahap setelah pengadilan atau tahap purna-adyudikasi (post-ajudication). Dari
ketiga tahap tersebut, Mardjono Reksodiputro mendukung pandangan bahwa
tahap adyudikasi atau tahap sidang pengadilan harus dianggap “dominan” dalam
seluruh proses. Pendapat yang memberi peran “dominan” pada tahap adyudikasi
mendasarkan diri pada KUHAP yang menyatakan bahwa baik dalam hal putusan
bebas, maupun putusan bersalah, hal ini harus didasarkan pada “fakta dan keadaan
serta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang.”82
Suatu sistem peradilan pidana yang berkeinginan secara jujur melindungi
hak seseorang warganegara yang merupakan terdakwa, akan paling jelas
terungkapkan dalam tahap adyudikasi. Hanya di dalam tahap persidanganlah
terdakwa dan pembelanya dapat berdiri tegak sebagai pihak yang benar-benar
bersamaan derajatnya berhadapan dengan penuntut umum. Di dalam tahapan ini
terdapat kewajiban menjamin sepenuhnya hak-hak kedua belah pihak, hak
penuntut umum adalah mendakwa dan hak terdakwa adalah membela dirinya
terhadap dakwaan. Jaminan yang penuh ini harus diberikan oleh pengadilan dan
dalam kenyataannya hanya dapat berlangsung apabila kita selalu dapat meyakini
kenetralan dan kebebasan hakim-hakimnya. Suatu proses hukum yang adil dimana
terdapat keyakinan adanya pengadilan yang bebas adalah sangat penting bagi rasa
aman masyarakat, tidak kalah penting dari usaha menanggulangi kejahatan itu
sendiri.83
Berkaitan dengan pentingnya tahap adyudikasi tersebut, Mien Rukmini
berpendapat apabila sidang pengadilan mendasarkan diri terutama pada data dan
bukti yang dikumpulkan dalam tahap penyidikan (pra-adyudikasi), pengadilan
akan sangat tergantung kepada apa yang disampaikan oleh polisi dan jaksa
tentang perkara tersebut. Terdakwa dan pembelanya akan berada dalam posisi
81 Ibid., hal. 15 – 16. 82 Ibid., hal. 18. 83 Ibid.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
31
yang tidak menguntungkan. Bukti-bukti baru, kesaksian a de charge dan setiap
pendapat terdakwa terhadap peristiwa atau fakta dalam perkaranya, selalu akan
dinilai oleh hakim dengan memperbandingkannya terhadap pandangan jaksa
(berdasarkan pemeriksan oleh kepolisian). Nampak jelas bahwa kesempatan
pembelaan dalam sidang pengadilan akan sangat berkurang.84
Untuk itu, hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan, yang harus
diartikan bahwa pengadilan tidak dapat memeriksa suatu perkara tindak pidana
apabila terdakwa tidak dapat dihadirkan oleh jaksa. Dengan berpedoman pada
proses hukum yang adil, bagaimanapun kuatnya bukti-bukti yang dimiliki polisi
atau penuntut umum, tetapi “sudut pandang” terdakwa masih harus
dipertimbangkan. Apabila terdakwa tidak dapat hadir atau dihadirkan, sedang
proses peradilan pidana tetap juga dijalankan, maka dapat dikatakan telah
melanggar hak untuk membela diri seorang warga negara.85
2.3. Teori Keadilan Sosial
Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang dimotivasi oleh
kepentingan pribadi dan mengakibatkan tidak terwujudnya kesejahteraan umum.
Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa tindak pidana korupsi mengancam
pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, konsolidasi demokrasi dan moral
bangsa. Bank Dunia mengungkapkan bahwa korupsi menghambat efisiensi
ekonomi, mengalihkan sumber-sumber dari orang miskin kepada orang kaya,
meningkatkan biaya dalam menjalankan usaha, mendistorsi pengeluaran-
pengeluaran publik dan membuat jera investor-investor asing; korupsi juga
mengikis perwakilan program-program pembangunan dan mengurangi masalah-
masalah kemanusiaan.
Korupsi mempengaruhi manusia tidak hanya dalam kehidupan ekonomi
dan politiknya belaka, melainkan juga dalam pertumbuhan rohaniah dan
filsafatnya. Di antara akibat-akibat korupsi tersebut, yang paling jelas adalah
berbagai bentuk ketidakadilan yang mempengaruhi pribadi-pribadi yang tidak
terbilang banyaknya, di saat-saat yang sangat menyedihkan.86 Menurut Alatas,
84 Mien Rukmini, Op.cit., hal. 102. 85 Ibid., hal. 107. 86 Alatas, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi, (Jakarta : LP3ES, 1987), hal. 177.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
32
Stanislav Andreski dalam bukunya The African Predicament memberikan contoh
ketidakadilan yang terjadi di Afrika Selatan antara lain adalah di rumah-rumah
sakit para pasien harus membayar juru rawat untuk mengambilkan pispot, dokter-
dokter harus disuap, para pasien yang tidak sanggup membayar akan disuntik
dengan air yang diberi zat pewarna, dan obat-obatan dicuri dari apotik. Sistem
pemerintahan yang korup tersebut oleh Andreski disebut kleptokrasi dan
akibatnya adalah sebagai berikut : “kerugian yang disebabkan oleh korupsi jauh
melebihi keuntungan yang diperoleh daripadanya, karena kecurangan merusak
perekonomian. Keputusan-keputusan penting ditentukan oleh maksud-maksud
terselubung tanpa peduli pada akibat-akibat yang bakal menimpa masyarakat
luas.”87
Jong-Sung You88 menyatakan bahwa korupsi lebih sering dilihat sebagai
persoalan keadilan sosial daripada persoalan pembangunan, tetapi tidak ada teori
keadilan ataupun literatur tentang korupsi yang membahas korupsi sebagai bentuk
ketidakadilan. Salah satu unsur penting dalam teori keadilan sosial adalah bahwa
kesejahteraan umum masyarakat tidak boleh dilanggar; maksudnya adalah bahwa
kesejahteraan umum tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan pribadi.
Tindakan yang mengancam kesejahteraan umum merupakan ketidakadilan
sosial.89
Berangkat dari konsep keadilan yang dikemukakan oleh para filsuf, antara
lain Plato, Aristoteles, Niccolo Machiavelli, Rene Descantes, Thomas Aquinas,
John Locke dan Immanuel Kant, muncul pemikiran tentang keadilan sosial dari
dialektika materialisme Karl Max, positivisme Aguste Comte, liberalisme John
Stuart Mill dan Luigi Taparelli, dan John Rawls. Penekanan pada keadilan sosial
berkaitan dengan munculnya pertentangan antara kepentingan individu dan
kepentingan negara pada saat itu.
Teori Rawls didasarkan atas 2 (dua) prinsip yaitu : equal right dan
economic equality. Dalam equal right harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu
different principles bekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain
87 Ibid., hal. 178. 88 Jong-Sung You, A Normative Theory of Corruption as Injustice, makalah yang
dipresentasikan dalam Comparative Politics Research Workshop, Harvard University, November 2003, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 37.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
33
prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada yang dicabut (tidak ada
pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung.
Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga
prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan secara
ekonomi akan valid jika tidak merampas hak dasar manusia.90 Pemikiran Rawls
tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social contract) yang pada awalnya
diusung oleh para pemikir kenamaan seperti John Locke, Jean Jacques Rousseau,
dan Immanuel Kant.
Terdapat 2 (dua) prinsip keadilan menurut Rawls dalam bukunya Theory
of Justice sebagaimana dikutip oleh Jufrina Rizal dan Agus Brotosusilo yaitu :91
“First : each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others. Second : social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be to everyone’s advantage, and (b) attached to positions and offices open to all …”
Menurut Purwaning M. Yanuar, keadilan sosial yang dikemukakan John Rawls
mengembangkan konsep keadilan dari perspektif bahwa manusia adalah merdeka
dan sederajat. Kemerdekaan terletak pada kemampuan memiliki 2 (dua)
kekuasaan moral yaitu kemampuan memiliki naluri keadilan dan kemampuan
memahami konsepsi tentang hal yang baik. Apabila individu-individu memiliki 2
(dua) kekuasaan moral tersebut pada tingkat yang diperlukan untuk menjadi
anggota masyarakat yang sepenuhnya kooperatif, maka pribadi-pribadi dalam
masyarakat adalah sederajat.92 Dalam pandangan Rawls, masih dalam kutipan
yang sama, naluri keadilan adalah kemampuan untuk mengerti, menerapkan dan
bertindak berdasarkan konsepsi publik tentang keadilan yang
mendeskripsikan/menggambarkan istilah-istilah yang sesuai dengan ketentuan-
ketentuan tentang kerja sama.93
90 Arif Wibowo, Teori Keadilan John Rawls, http://staff.blog.ui.ac.idteori-keadilan-john-
rawls, diakses 30 April 2011. 91 Jufrina Rizal dan Agus Brotosusilo, Bahan Bacaan Program Magister Filsafat Hukum,
Buku Ke-1, (Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hal. 468.
92 Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 59. 93 Ibid.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
34
Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah situasi
sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat
digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas
ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for redress)
masyarakat pada posisi asli (people on original position). Dalam posisi dasar
inilah kemudian dibuat persetujuan asli antar (original agreement) anggota
masyarakat secara sederajat. Terdapat 3 (tiga) syarat supaya manusia dapat
sampai pada posisi asli, yaitu:94
(1) Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang
pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya,
intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial yang lain;
(2) Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten untuk
memegang pilihannya tersebut;
(3) Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu dan
baru kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan alami manusia
yang harus diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan.
Keadilan sosial sebagai ilmu pengetahuan sosial (teori), menurut
Purwaning M. Yanuar pertama kali dikemukakan Luigi Taparelli dalam bukunya
Theoretical Treatise on Natural Law Based on Fact. Menurut Taparelli, keadilan
sosial adalah keadilan yang spesifik mengatur hubungan antara berbagai jenis
lembaga. Keadilan sosial adalah norma dan kebiasaan dalam bentuk kebajikan
sosial yang terkandung dalam institusi politik, institusi hukum, dan institusi
budaya dalam masyarakat untuk mempromosikan kesejahteraan umum dengan
memberikan dukungan untuk melaksanakan hak kebebasan individu, khususnya
kebebasan dari hak asosiasi-asosiasi penengah/intermediari, sesuai dengan
prinsip-prinsip pelengkap solidaritas dan subsidiaritas.95
Pandangan Taparelli tersebut senada dengan definisi klasik keadilan yang
dikemukakan Louis Kelso dan Mortomer Adler yaitu bahwa keadilan dalam
formulasi yang paling umum, menekankan kewajiban-kewajiban moral atau
perintah bagi manusia yang bergabung dalam tujuan-tujuan hidup yang umum,
94 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 146; 95 Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 60 – 61.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
35
yaitu : bertindak demi kesejahteraan umum (common good)96 bagi semua, tidak
hanya bagi kepentingan eksklusif pribadi manusia; tidak mencederai satu sama
lain; memberikan apa yang merupakan hak tiap manusia; dan bertindak adil
terhadap sesama dalam pertukaran barang-barang dan dalam distribusi kekayaan,
jabatan, status, penghargaan dan penghukuman.97
Definisi Kelso dan Adler tersebut menunjukkan bahwa dalam formulasi
umum, keadilan menetapkan kewajiban-kewajiban moral atau perintah yang
berkaitan dengan tujuan-tujuan umum dalam kehidupan manusia. Kewajiban-
kewajiban atau perintah-perintah tersebut terdiri dari 4 (empat) hal yaitu : (1)
bertindak bagi kesejahteraan umum untuk semua orang, bukan untuk kepentingan
pribadi secara eksklusif; (2) mencegah pencederaan satu sama lain; (3)
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya; dan (4) berlaku adil
terhadap satu dengan lainnya dalam tukar menukar barang dan distribusi
kemakmuran, jabatan, status, penghargaan dan penghukuman.98
Kewajiban-kewajiban moral yang dikemukakan Kelso dan Adler pada
hakikatnya merupakan kebajikan-kebajikan yang menjadi dasar martabat
kepribadian manusia. Menurut Purwaning M. Yanuar, Kurland mengatakan bahwa
martabat kepribadian manusia merupakan dasar dari semua teori keadilan.99
Masih menurut Purwaning M. Yanuar, William Ferree menyatakan bahwa
keadilan sosial merupakan satu dari kebajikan-kebajikan utama dalam filsafat
moral yang dikenal sebagai moralitas sosial. Moralitas sosial mewajibkan manusia
untuk melaksanakan dan memperhatikan kesejahteraan umum. Ferree juga
memberikan arti common good yang sinonim dengan general welfare atau
kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum didefinisikan oleh Ferree sebagai
jaringan kerja kebiasaan-kebiasaan, hukum, organisasi sosial, lembaga-lembaga
96 Terdapat perbedaan mengenai arti istilah kesejahteraan umum. Istilah tersebut mengacu
kepada beberapa konsep yang berbeda-beda. Dalam arti populer, istilah ini mendeskripsikan kebaikan yang dibagikan dan bermanfaat bagi semua anggota komunitas. Pengertian ini yang umum diartikan dalam filsafat, etika, dan ilmu politik. Dalam etika dan ilmu politik, memajukan kesejahteraan umum berarti memberikan manfaat bagi anggota-anggota masyarakat. Ini berarti melakukan kesejahteraan umum sama dengan membantu semua orang. Dalam pengertian ini, istilah common good sinonim dengan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum biasanya dianggap sebagai cita-cita utilitarian, yaitu merepresentasikan sebesar mungkin kesejahteraan bagi sebanyak mungkin individu.
97 Ibid., hal. 61 – 62. 98 Ibid., hal. 62. 99 Ibid.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
36
yang membuat keteraturan sosial dan sangat menentukan kualitas budaya.100
Berdasarkan uraian tersebut, apabila dihubungkan dengan teori keadilan
sosial, pengembalian aset pada hakikatnya adalah kewajiban moral yang
merupakan salah satu kebajikan sosial untuk bertindak dalam rangka mencapai
kepentingan kesejahteraan umum, baik dalam skala nasional maupun
internasional; mengatasi dan mencegah penderitaan masyarakat akibat kemiskinan
yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi; memberikan kepada negara korban
tindak pidana korupsi apa yang menjadi haknya; dan penegakan keadilan bagi
masyarakat. Hakikat pengembalian aset sebagai salah satu kebajikan sosial,
menurut teori keadilan sosial tidak ditujukan kepada kesejahteraan individu, tetapi
kesejahteraan masyarakat sebagai keseluruhan atau kebaikan kesejahteraan
umum.101
Dengan mengacu pada teori-teori tersebut di atas, pada bab selanjutnya
akan dibahas dan diuraikan mengenai konsepsi dan dasar hukum peradilan in
absentia, prinsip hadirnya terdakwa di sidang pengadilan, dan pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi dalam instrumen hukum internasional dan nasional.
100 Ibid., hal. 62 – 63. 101 Ibid., hal. 67.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
37
BAB III
PERADILAN IN ABSENTIA DAN PENGEMBALIAN ASET HASIL
TINDAK PIDANA KORUPSI
3.1. Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan In Absentia
Sesungguhnya pengertian mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in
absentia adalah mengadili seseorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa
dihadiri oleh terdakwa itu sendiri.102 In absentia berasal dari bahasa Latin
absentia yang berarti tidak hadir.103 Menurut Andi Hamzah, istilah in absentia
berasal dari bahasa Latin in absentia atau absentium, yang dalam istilah dan
peribahasa hukum bahasa Latin berarti ‘dalam keadaan tidak hadir” atau
“ketidakhadiran”.104 Dalam bahasa Perancis disebut absentia dan dalam bahasa
Inggris absent atau absentie.105 Dalam istilah hukum, pengadilan in absentia
adalah suatu upaya memeriksa serta mengadili dan memutuskan suatu perkara
perkara tanpa dihadiri oleh terdakwa.106 Istilah in absentia secara yuridis formal
mulai dipergunakan di Indonesia dengan keluarnya Undang-Undang Nomor
11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi disebut dengan “in
absensia” sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan :
“Apabila terdakwa setelah dua kali berturut-turut dipanggil secara sah tidak hadir
di sidang, maka Pengadilan berwenang mengadilinya di luar kehadirannya (in
absensia)”.
Istilah in absentia pada perkembangannya tidak lagi disebut dalam
berbagai produk legislasi, tetapi tetap diatur dengan menggunakan istilah “tidak
hadir” setelah dipanggil secara sah atau patut. Kedua istilah ini tidak berbeda dan
mengandung arti suatu proses pemeriksaan dan mengadili seseorang atau
beberapa orang terdakwa di depan sidang pengadilan dan penjatuhan putusan
tanpa dihadiri oleh terdakwa. Seorang terdakwa dapat dijatuhi hukum pidana oleh
hakim di pengadilan dalam suatu proses pengadilan in absentia.107
102 Djoko Prakoso, Op.cit., 1984, hal. 54.. 103 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 5. 104 Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1986), hal. 98. 105 Marwan Effendy, Ibid. 106 Ibid., hal. 11. 107 Ibid., hal. 6.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
38
Secara umum peradilan in absentia lazim diterapkan terhadap pemeriksaan
perkara perdata yang dalam pelaksanaannya hanya dihadiri oleh wakil atau kuasa
dari pihak-pihak yang berperkara, sedangkan yang bersangkutan sendiri tidak
perlu hadir dalam pemeriksaan sidang tersebut. Mengadili atau menjatuhkan
putusan tanpa hadirnya tergugat dapat selalu dilakukan oleh hakim, yaitu setelah
dilakukan pemanggilan secara sah menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Sebaliknya, dalam perkara pidana umumnya menghendaki hadirnya terdakwa
dalam pemeriksaan sidang yang bersifat terbuka sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1 angka 15 KUHAP yang menyatakan bahwa : “Terdakwa adalah seorang
tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.”
KUHAP tidak mengatur secara tegas ketentuan mengenai peradilan in
absentia, baik di dalam ketentuan pasal-pasal maupun penjelasannya. Namun di
dalam Pasal 196 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1) dan (2) KUHAP disebutkan
sebagai berikut :
Pasal 196 (1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam
hal undang-undang ini menentukan lain. Pasal 214 (1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara
dapat dilanjutkan. (2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar
putusan segera disampaikan kepada terpidana.
Secara yuridis formal, peradilan in absentia hanya dapat diberlakukan
dalam tindak pidana tertentu karena diberi ruang oleh undang-undang tertentu.
Terdapat beberapa tindak pidana tertentu yang mempunyai kewenangan mengadili
secara in absentia yaitu :
(1) Tindak pidana ekonomi berdasarkan Pasal 16 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi jo Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1962,
(2) Tindak pidana pencucian uang berdasarkan Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang,
(3) Tindak pidana terorisme berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
39
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme menjadi Undang-Undang jo Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002,
(4) Tindak pidana perikanan berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan, dan
(5) Tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU TPK.
Terhadap tindak pidana korupsi, sebenarnya peradilan in absentia telah
diatur sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana bunyi Pasal 23 ayat (1) yaitu
: “Jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang
pengadilan tanpa memberi alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan
diputus oleh hakim tanpa kehadirannya.” Dalam perkembangannya, dengan
merujuk pada ketentuan Pasal 26 UU TPK yang menyatakan bahwa :
“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak
pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Selanjutnya dalam Pasal 37 ayat (1)
UU TPK menyatakan bahwa : “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Jadi apabila terdakwa tidak
memanfaatkan hak yang diberikan oleh pasal ini dan terdakwa tidak hadir di
depan persidangan tanpa memberikan alasan yang sah atau alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, maka persidangan perkara korupsi dimaksud dapat
diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa (in absentia).108
Pengaturan tentang peradilan in absentia dalam tindak pidana korupsi
diatur dalam Pasal 38 UU TPK yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
108 Ibid., hal. 12.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
40
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.
(6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding.
(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Berdasarkan ketentuan Pasal 38 UU TPK tersebut, peradilan in absentia
hanya dapat dilaksanakan apabila terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak
hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah dan sepanjang usaha aparat
penegak hukum (dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum) untuk mencari dan
menghadirkan terdakwa ke pemeriksaan sidang pengadilan sudah maksimal tapi
tidak membawa hasil. Ketentuan ini dipastikan hanya diperuntukkan bagi
terdakwa yang tidak ditahan, sebab bagi terdakwa yang ditahan untuk menghadap
persidangan tanpa diperlukan panggilan, karena merupakan tanggung jawab Jaksa
Penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa ke muka persidangan.109
Peradilan in absentia dapat diterapkan kepada pelaku tindak pidana
korupsi yang keberadaannya tidak diketahui, padahal sudah dipanggil secara sah
atau patut sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dilakukan
semaksimal mungkin dengan alasan :110
(1) Demi pengembalian dan penyelamatan harta negara dalam kasus tindak
pidana korupsi. Semangat Pasal 38 ayat (1) UU TPK menempatkan kejahatan
korupsi sebagai kejahatan luar biasa ( ordinary crime) yang penegakan
hukumnya di luar kebiasaan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Secara
filosofis, terobosan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak hanya
dimaksudkan untuk memberi efek jera bagi pelakunya, ia juga berorientasi
pada usaha pengembalian harta negara yang dijarah oleh para koruptor. Selain
itu, secara teoritik dibenarkan dengan alasan melakukan proses rechtvinding
(penemuan hukum) atas sebuah kasus yang belum tegas aturannya.
109 Ibid., hal. 13. 110 Ibid., hal. 61 – 63.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
41
(2) Inti Pasal 38 ayat (1) UU TPK adalah dalam hal lembaga pengadilan telah
memanggil terdakwa secara resmi dengan surat ke alamat terdakwa dan
terdakwanya tidak hadir, maka pengadilan secara hukum memiliki peluang
untuk meneruskan persidangan. Apabila terdakwa tidak hadir tanpa alasan
yang sah dengan telah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya namun tidak
dapat dihadirkan meskipun dengan paksa (vide Pasal 154 ayat (6) KUHAP),
maka dapat dilaksanakan peradilan in absentia.
(3) Pengecualian prosedur atau eksepsionalitas disebabkan korupsi dianggap
sebagai kejahahatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana yang serius,
karena bukan kejahatan biasa maka penyelesaiannya mesti dilakukan dengan
cara-cara yang luar biasa. Jika melalui prosedur yang biasa akan menghadapi
kendala untuk menghadapkan terdakwa ke depan persidangan sehingga tidak
bisa menembus jaringan kejahatan itu. Oleh karena itu dalam pemberantasan
korupsi, oleh pembuat undang-undang dibuka ruang yang menyimpang dari
tradisi hukum yang sudah mengakar dan bersifat khusus yang memungkinkan
pelaksanaan peradilan in absentia dibenarkan secara hukum.
(4) Untuk meminimalisir kerugian negara dalam upaya mengembalikan kerugian
negara dengan cara mempercepat proses hukumnya, sehingga dengan adanya
putusan pengadilan in absentia tersebut pengembalian kerugian negara
mempunyai landasan hukum yang jelas sebagai wujud kepastian hukum.
Sepanjang diperoleh bukti yang kuat bahwa kekayaan terdakwa yang disita
tersebut diperoleh dan berasal dari hasil tindak pidana korupsi.
(5) Sekalipun terdakwa tidak hadir dalam persidangan, tetapi yang diperlukan
adalah unsur-unsur Pasal 183 KUHAP yang menyatakan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”.
Sedangkan terdakwa di dalam persidangan hanya dibutuhkan keterangan dan
sistem pembuktian yang dianut oleh rezim hukum acara pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa alat bukti
yang sah tidak hanya keterangan terdakwa tetapi juga meliputi alat bukti lain
yaitu (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, dan (4) petunjuk. Di
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
42
samping itu, dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP ditegaskan bahwa keterangan
terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang
ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Begitu juga dinyatakan
dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
Inti keterangan terdakwa yang dapat dijadikan dasar untuk membentuk
keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang
didakwakan sesungguhnya adalah keterangan yang berisi pengakuan, bukan
sebaliknya berupa penyangkalan. Namun, keterangan yang berisi pengakuan
terdakwa ini haruslah ditunjang oleh isi dari alat bukti lainnya, antara lain
keterangan saksi.111
Terhadap penerapan peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana
korupsi dipengaruhi oleh perbedaan pendapat para ahli hukum mengenai
keabsahan peradilan in absentia. Terdapat 3 (tiga) kecenderungan yang
mempengaruhi yaitu :112
(1) Yang menganggap bahwa pemeriksaan di pengadilan memutlakkan hadirnya
terdakwa. Pendapat ini secara ekstrim menolak diberlakukannya sidang in
absentia. Pasal-pasal yang menjadi acuan adalah pasal-pasal yang termuat
dalam KUHAP yang meliputi Pasal 145 ayat (5), Pasal 154 ayat (5), Pasal 155
ayat (1), Pasal 203 dan Pasal 205. Pemahaman atas ketentuan pasal-pasal
tersebut adalah tidak mungkin sebuah perkara diperiksa dan diadili tanpa
hadirnya terdakwa. Bahwa para penyidik akan mengalami kesulitan yang
substansial dalam menyusun berita acara pemeriksaan, karena bagaimana
mungkin pemeriksaan dilakukan tanpa adanya obyek yang diperiksa.
(2) Pandangan bahwa demi alasan pengembalian harta negara dalam perkara
tindak pidana korupsi dan pemenuhan keadilan di masa transisi, maka pasal-
pasal dalam UU TPK harus diberi nafas dan terobosan. Hal ini secara teoritik
dibenarkan dengan alasan melakukan proses penemuan hukum (rechtvinding)
atas sebuah kasus yang belum tegas aturannya. Acuan yang dipergunakan
111 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : PT Alumni,
2006), hal. 98. 112 Dwiyanto Prihartono, Sidang Tanpa Terdakwa, Dilema Peradilan In Absentia dan
Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003), hal. 26 – 27.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
43
pendapat ini adalah Pasal 38 ayat (1) UU TPK yang semangatnya adalah
menempatkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang penegakan
hukumnya pun di luar kebiasaan sebagaimana diatur dalam KUHAP sebagai
suatu prosedur pengecualian (eksepsionalitas) untuk menyelamatkan kekayaan
negara. Pada prinsipnya eksepsionalitas dalam hukum acara merupakan
prosedur yang bersifat luar biasa seperti pengesampingan asas non-rektroaktif
pada kasus pelanggaran HAM, kewenangan mengesampingkan perkara oleh
Jaksa Agung ataupun in absentia. Eksepsionalitas diberlakukan pada peradilan
in absentia perkara tindak pidana korupsi mengingat kejahatan korupsi
senantiasa berkaitan dengan jabatan atau disebut dengan kejahatan okupasi
(occupational crime) yaitu kejahatan yang dalam pelaksanaannya
mensyaratkan adanya suatu jabatan atau jenis pekerjaan tertentu yang
dilindungi undang-undang sehingga setiap pelaku kejahatan okupasi yang
tergolong powerfull sulit dijangkau oleh hukum. Karena berkaitan dengan
jabatan, maka tindak pidana korupsi sering dikelompokkan sebagai kehajatan
kerah putih (white collar crime) sehingga tindak pidana korupsi dalam hal ini
dikategorikan sebagai kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crime).
(3) Pendapat yang paling moderat, bahwa sidang in absentia dapat saja dilakukan,
tetapi dalam praktek tetap harus melewati proses kerja normal yang maksimal.
Pendapat ini beranggapan bahwa kedua pendapat sebelumnya sama-sama
merupakan produk hukum yang memiliki kekuatan hukum sama sehingga
perlu dipertemukan menjadi suatu kekuatan dalil baru. Pandangan moderat
berpendapat bahwa pada dasarnya peradilan in absentia merupakan suatu
amanat undang-undang yang pelaksanaannya harus benar-benar sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Kepastian akan pelaksanaan peradilan in absentia dalam perkara tindak
pidana korupsi tidak dapat dilepaskan dari penerapan sistem hukum di Indonesia
yang mengacu pada faktor tatanan kelembagaan, materi hukum dan budaya
hukum. Suatu kondisi yang signifikan disikapi sebagai terobosan (breaktrough)
yang dapat menimbulkan efek jera dan optimalisasi pengembalian harta kekayaan
negara. Suatu terobosan yang bermuara kepada terciptanya kepastian hukum yang
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
44
dapat dijadikan sebagai indikator adanya penegakan hukum dengan tujuan : 113
(1) Pengungkapan kebenaran (truth) atau kesalahan (wrong).
(2) Pengakuan dan penyesalan pelaku akan kesalahannya.
(3) Penghukuman terhadap pelaku.
(4) Pemulihan hak korban jika tindak pidana itu melahirkan korban yang riil
seperti dalam kasus pelanggaran HAM.
3.2. Prinsip Hadirnya Terdakwa di Sidang Pengadilan
Hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang
pengadilan merupakan prinsip yang sangat penting dalam KUHAP. Hal ini
dikarenakan KUHAP menganut asas pemeriksaan akusator yang berarti tersangka
atau terdakwa lebih dipandang sebagai subyek dan berhak memberikan
keterangan secara bebas dalam mengajukan pembelaan.114 Hal ini diatur dalam
Pasal 1 angka 15 KUHAP yang menyatakan bahwa : ”Terdakwa adalah seseorang
yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan,” dan Pasal 189 ayat (1)
KUHAP yang menyatakan bahwa : ”Keterangan terdakwa ialah apa yang
terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang
diketahuinya sendiri dan dialami sendiri.” Prinsip pentingnya kehadiran terdakwa
di sidang pengadilan juga diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU Kehakiman yang
menyatakan bahwa : ”Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain”.
Pemeriksaan sidang di pengadilan dilakukan oleh hakim, terbuka untuk
umum secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.
Ketentuan ini berbeda dengan acara perdata dimana tergugat dapat diwakili oleh
kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan artinya bukan tertulis
antara hakim dan terdakwa. Tujuan utamanya adalah agar terdakwa dapat
mengerti benar-benar apa yang didakwakan, bagaimana keterangan saksi, ahli,
dan alat-alat bukti lain, sehingga ia bebas dan leluasa mengatur jawaban dan
pembelaannya.115 Selain itu terdakwa dapat berhadapan langsung dan berdialog
dengan hakim, sehingga hakim dapat memperhatikan pula sifat-sifat, sikap serta
113 Marwan Effendy, Op.cit., hal 23. 114 Mien Rukmini, Op.cit., hal. 87. 115 Ibid., hal. 89.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
45
keadaan terdakwa yang sesungguhnya.116
Tanpa hadirnya terdakwa di persidangan, pemeriksaan perkara oleh
pengadilan tidak dapat dilakukan. Untuk itulah pentingnya bagaimana cara
menghadirkan terdakwa di sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 154
KUHAP. Pada prinsipnya Pasal 154 terutama ayat (2), (4) dan (6) merupakan
pedoman menghadirkan terdakwa dalam persidangan untuk membuat terang dan
jelas suatu perkara yang didakwakan pada terdakwa. Kehadiran terdakwa tersebut
juga sebagai upaya untuk melakukan perlawanan atau keberatan atas dakwaan
penuntut umum.117
Rangkaian upaya menghadirkan terdakwa di persidangan diawali dengan
perintah hakim ketua sidang supaya terdakwa dipanggil masuk ke dalam ruang
persidangan. Akan tetapi apabila terdakwa pada sidang yang telah ditentukan
tidak hadir, hakim ketua sidang akan meneliti apakah terdakwa telah dipanggil
secara sah. Dalam penelitian tersebut akan dijumpai beberapa kemungkinan yaitu:
(1) Terdakwa ternyata dipanggil ”secara tidak sah”, dalam hal ini hakim ketua
sidang akan menunda persidangan dan memerintahkan kepada penuntut umum
supaya memanggil terdakwa sekali lagi untuk hadir pada tanggal hari sidang
berikutnya;
(2) Terdakwa ternyata sudah dipanggil ”secara sah”, dalam hal ini sekalipun
terdakwa telah dipanggil secara sah, namun tidak datang menghadiri
persidangan tanpa alasan yang sah; berdasarkan ketentuan Pasal 154 ayat (4)
dan (6), maka pemeriksaan perkara tidak dapat dilangsungkan dan hakim
ketua sidang akan menunda atau mengundurkan persidangan pada tanggal hari
sidang berikutnya seraya memerintahkan penuntut umum untuk memanggil
terdakwa sekali lagi pada tanggal hari sidang yang telah ditentukan. Apabila
kemudian setelah terdakwa dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, namun
tetap juga tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, maka dalam hal
ini hakim ketua sidang dapat memerintahkan kepada penuntut umum untuk
menghadirkan terdakwa dengan paksa pada tanggal hari sidang pertama
berikutnya.
Menurut Adami Chazawi, yang dimaksud dengan tanpa alasan yang sah
116 Ibid. 117 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 9.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
46
terdapat beberapa kemungkinan yaitu :118 (1) sama sekali tidak memberikan
alasan apapun; atau (2) memberikan alasan tetapi alasan itu dinilai tidak patut,
berupa alasan yang tidak ada relevansinya dengan ketidakhadirannya, misalnya
tidak dapat hadir karena akan mengantarkan anak ke sekolah; atau (3) alasan patut
ternyata tidak benar/bohong, yaitu alasan yang ada relevansinya, namun ternyata
terbukti alasan itu palsu, misalnya dengan alasan sakit ternyata tidak sakit karena
surat keterangan dokter dipalsu olehnya.119
Suatu panggilan dapat dikatakan sah atau tidak sah apabila memenuhi atau
tidak memenuhi ketentuan Pasal 145 KUHAP. Syarat-syarat sahnya suatu
pemanggilan kepada terdakwa dimaksud adalah sebagai berikut :120
(1) Suatu panggilan kepada terdakwa disampaikan di alamat tempat tinggalnya
atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat
kediaman terakhir,
(2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman
terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah
hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir,
(3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan
kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara,
(4) Penerimaan surat panggilan terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain atau
melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan,
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat
panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang
berwenang mengadili perkaranya.
Menurut ketentuan Pasal 152 ayat (2) KUHAP, penuntut umum yang
menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal
146 ayat (1) menentukan bentuk surat panggilan yang harus memuat tanggal, hari,
serta jam sidang, dan untuk perkara apa ia dipanggil, yang harus sudah diterima
oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang
118 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang :
Bayumedia Publishing, 2005), hal. 393. 119 Ibid. 120 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal.
237 – 238.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
47
dimulai.121
Berkaitan dengan alasan sakit yang diperkuat dengan surat keterangan
dokter (yang tidak dipalsukan) atau karena halangan yang patut atau wajar seperti
misalnya terdakwa mengalami musibah adalah merupakan alasan yang dapat
dibenarkan atau alasan yang sah. Alasan yang sah ini dengan sendirinya
menghapuskan wewenang hakim ketua sidang untuk memerintahkan terdakwa
dihadirkan dengan paksa di persidangan. Namun demikian, penentuan sah atau
tidaknya suatu alasan yang diajukan terdakwa tetap merupakan kewenangan
hakim.
Seandainya hakim menilai alasan yang dikemukakan terdakwa sah,
tindakan hakim adalah menunda dan mengundurkan persidangan dan selanjutnya
memerintahkan penuntut umum memanggil terdakwa pada tanggal hari sidang
berikutnya. Akan tetapi apabila hakim ketua sidang menilai alasan yang
dikemukakan terdakwa tidak sah, maka hakim akan menerapkan substansi Pasal
154 ayat (4) dan (6) KUHAP. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui
bahwa walau peradilan in absentia diberi ruang atau dibenarkan oleh undang-
undang tindak pidana korupsi, tetapi dalam pelaksanaannya harus tetap
memperhatikan hak-hak terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (3), (4)
dan (6) UU TPK.
3.3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam Instrumen
Hukum Internasional dan Nasional
Pengembalian aset korupsi merupakan sistem penegakan hukum yang
menghendaki adanya suatu proses peniadaan hak atas aset pelaku dari negara
korban dengan cara antara lain meniadakan hak aset pelaku secara perdata
maupun pidana, bisa dilakukan dengan penyitaan, pembekuan, perampasan, baik
dalam kompetensi lokal, regional maupun internasional sehingga kekayaan dapat
dikembalikan kepada negara (korban) yang sah.122
Pengembalian aset melalui jalur hukum pidana umumnya terdiri dari
ketentuan-ketentuan mengenai proses pengembalian aset melalui 4 (empat) tahap
121 Ibid., hal. 238. 122 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta : Diadit Media, 2009),
hal. 149 – 150.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
48
sebagai berikut : tahap pertama, pelacakan aset untuk melacak aset-aset; tahap
kedua, tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan aset-aset
melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan; tahap ketiga, penyitaan. Setelah
melalui dan memenuhi tahapan-tahapan tersebut, baru dapat dilaksanakan tahap
keempat yaitu penyerahan aset dari negara penerima aset kepada negara korban
tempat aset diperoleh secara tidak sah.123
Berkaitan dengan tahapan-tahapan pengembalian aset, dapat dijelaskan
hal-hal sebagai berikut :
(1) Tahap pertama, pelacakan aset.
Tahap ini sangat penting dan menentukan tahapan selanjutnya. Tujuan
investigasi atau pelacakan aset ini adalah untuk mengidentifikasikan aset,
lokasi penyimpanan aset, bukti kepemilikan aset, dan hubungannya dengan
tindak pidana yang dilakukan. Tahapan ini sekaligus merupakan pengumpulan
alat-alat bukti. Untuk menjaga lingkup dan arah tujuan investigasi menjadi
fokus, menurut John Conyngham124 otoritas yang melakukan investigasi atau
melacak aset-aset tersebut bermitra dengan firma-firma hukum dan firma
akuntansi. Untuk kepentingan investigasi dirumuskan praduga bahwa pelaku
tindak pidana akan menggunakan dana-dana yang diperoleh secara tidak sah
untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Dengan demikian, pasti terdapat
hubungan yang disamarkan antara individu dengan aset-aset tersebut. Praduga
kedua adalah bahwa pihak-pihak ketiga akan dimanfaatkan dalam proses
penyembunyian aset-aset tersebut. Ketika perburuan aset dimulai, pihak-pihak
ketiga tersebut patut dicurigai untuk didekati. Selain menjadikan mereka
menjadi target, yurisdiksi yang akan dilacak harus dapat diperkirakan. Hal ini
sangat penting karena kemenangan baru tercapai apabila aset yang dapat
diidentifikasi berada dalam yurisdiksi yang tidak menerapkan ketentuan
pengembalian yang rumit dalam sistem hukumnya.125
123 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 123. 124 John Conyngham, Esq., Recovering Dictator’s Plunder, Testimony of John
Conyngham, Esq., Global Director of Investigations, (Control Risks Group Limited Before the Committee on Financial Services Subcommittee on Financial Institutions and Customer Credit US House of Representative, 9 Mei 2002), hal. 2, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M. Yanuar, hal. 207.
125 Ibid., hal. 208.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
49
(2) Tahap kedua, pembekuan atau perampasan aset.
Kesuksesan investigasi dalam melacak aset-aset yang diperoleh secara tidak
sah memungkinkan pelaksanaan tahap pengembalian aset berikutnya, yaitu
pembekuan atau perampasan aset. Menurut KAK, pembekuan atau
perampasan berarti larangan sementara untuk mentransfer, mengkonversi,
mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara dianggap
sebagai ditaruh di bawah perwalian atau di bawah pengawasan berdasarkan
perintah pengadilan atau badan yang berwenang lainnya.126 Berdasarkan
pengertian tersebut, badan yang berwenang lainnya diartikan sebagai pihak
kepolisian, kejaksaan dan badan negara yang diberikan otoritas untuk
melakukan tindakan tersebut, misalnya KPK, PCGG di Filipina yaitu suatu
otoritas non yudisial yang khusus dibentuk dan diberi wewenang untuk
melakukan investigasi atas aset-aset keluarga Ferdinand Marcos.127
(3) Tahapan ketiga, penyitaan aset-aset.
KAK memberikan pengertian penyitaan, termasuk penyerahan manakala
diperlukan adalah pencabutan kekayaan secara permanen berdasarkan perintah
pengadilan atau otoritas yang berkompeten lainnya. Apabila dihubungkan
dengan tindak pidana korupsi, penyitaan, termasuk penyerahan, apabila
diperlukan, merupakan pencabutan secara permanen aset-aset dari penguasaan
dan/atau kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan perintah
pengadilan atau badan yang berwenang yang mencabut hak-hak pelaku tindak
pidana korupsi atas aset-aset hasil tindak pidana korupsi.128 Jadi, penyitaan
merupakan perintah pengadilan atau badan yang berwenang yang mencabut
hak-hak pelaku tindak pidana korupsi atas aset-aset hasil tindak pidana
korupsi. KAK tidak secara tegas menyatakan apakah penyitaan merupakan
hukuman/penalti seperti yang didefinisikan dalam Konvensi tentang
Pencucian, Pelacakan, Perampasan dan Penyitaan atas Hasil-hasil Kejahatan
dari Dewan Eropa (Convention on Laundering, Search, Seizure and
Confiscation of the Proceeds from Crime/CLSCPC) dari Council of Europe.
Dalam CLSCPC, penyitaan diartikan sebagai hukuman atau tindakan, yang
126 Pasal 2 huruf f KAK. 127 Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 211. 128 Ibid.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
50
diperintahkan oleh pengadilan sebagai kelanjutan dari proses yang
berhubungan dengan pelanggaran pidana atau pelanggaran-pelanggaran
pidana sebagai pencabutan yang permanen atas kekayaan.129
Penyitaan dijustifikasi oleh prinsip yang berakar pada hukum yang
menetapkan bahwa orang dilarang mendapatkan keuntungan dari kegiatan
yang tidak berdasarkan hukum pada umumnya, dan tindak pidana pada
khususnya. Prinsip ini mengikuti syarat bahwa jika hukum adalah untuk
mempengaruhi tingkah laku orang, hukum itu harus menyampaikan pesan-
pesan yang koheren. Pesan-pesan itu tidak lagi koheren ketika pada satu sisi
berusaha untuk mencegah bentuk khusus tingkah laku, tetapi di sisi yang lain
membiarkan seseorang yang melakukan bentuk khusus tingkah laku yang
berusaha dicegah tersebut, mendapatkan keuntungan.130
(4) Tahap keempat, setelah melalui tahap penyitaan barulah dapat dilakukan tahap
keempat terhadap aset-aset yang disita, yaitu pengembalian dan penyerahan
aset-aset kepada negara korban.131 Agar dapat melakukan pengembalian aset-
aset, baik negara penerima maupun negara korban perlu melakukan tindakan
legislatif dan tindakan lainnya menurut prinsip-prinsip hukum nasional
masing-masing negara sehingga badan yang berwenang dapat melakukan
pengembalian aset-aset tersebut.
Pengembalian aset negara sebagai hasil tindak pidana korupsi yang
bersifat transnasional ini memerlukan perangkat hukum nasional maupun
internasional, karenanya perangkat melalui Mutual Legal Assistance (MLA)
maupun Konvensi Internasional, seperti United Nation Convention Against
Corruption 2003 (UNCAC 2003) atau Konvensi Anti Korupsi (KAK) yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) menjadi amanat yang wajib
dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia.
Pengembalian aset merupakan prinsip dasar KAK. Hal ini dijelaskan
129 Lihat : Pasal 1 huruf d CLSCPC, European Treaty Series, No. 141, Strasbourg, 8, XI,
1990. 130 Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 217 – 218. 131 Ibid., hal. 231 – 232.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
51
dalam Bab V mengenai pengembalian aset Pasal 51 tentang ketentuan umum yang
menyatakan : “The return of assets pursuant to this chapter is a fundamental
principle of this Convention, and States Parties shall afford one another the
widest measures of cooperation and assistance in this regard.” Dalam KAK tidak
dijelaskan pengertian pengembalian132 aset.133 Menurut Matthew H. Flemming,134
dalam dunia internasional tidak ada definisi pengembalian aset yang disepakati
bersama. Flemming sendiri tidak mengemukakan rumusan definisi, tetapi
menjelaskan bahwa pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan
yang dicabut, dirampas dan dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana.
Flemming melihat pengembalian aset sebagai : (1) pengembalian aset sebagai
proses pencabutan, perampasan dan penghilangan; (2) yang dicabut, dirampas
dihilangkan adalah hasil atau keuntungan dari tindak pidana; (3) salah satu tujuan
pencabutan, perampasan dan penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak
dapat menggunakan hasil serta keuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai
alat bantu atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya.135
Pelaksanaan KAK mengedepankan aspek kerjasama internasional dalam
rangka memerangi praktik korupsi seperti ekstradisi136 dan bantuan hukum timbal
balik.137 Dengan mengimplementasikan KAK ke dalam hukum nasional negara-
negara pihak, maka seharusnya tidak ada lagi kekebalan dan tempat berlindung
bagi para pelaku tindak pidana korupsi kemanapun mereka pergi dan
menempatkan aset hasil tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan KAK
merupakan sarana hukum internasional yang besifat komprehensif dan tidak
menggunakan faktor pendekatan tunggal dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi.138
Beberapa prinsip penting dalam KAK terkait dengan pengembalian aset
132 Dalam Black's Law Dictionary 8th ed., West Group, 2004, menjelaskan kata recovery
sebagai istilah hukum yang diartikan sebagai : “(1) The regaining or restoration of something lost or taken away, (2) The obtained of a right to something by a judgement or decree, (3) An amount awarded in or collected from a judgement or decree.”
133 Ibid., aset berarti : “(1) An item that is owned and has value, (2) The entries of property owned, including cash, inventory, real estate, accounts receivable, and goodwill, (3) All the property of a person available for paying debts.”
134 Matthew H. Flemming, Op.cit., hal. 27. 135 Ibid., hal. 31. 136 Pasal 44 KAK. 137 Pasal 46 KAK. 138 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 122.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
52
pada negara adalah sebagai berikut :
(1) Prinsip Asset Recovery
Asas atau prinsip asset recovery ini diatur secara eksplisit dalam KAK.
Prinsip ini dapat diketahui dari Chapter V (Bab V) mengenai Asset Recovery
(Pengembalian Aset), khususnya Article 51 UNCAC/Pasal 51 KAK yang
berbunyi : “The return of assets pursuant to this chapter is a fundamental
principle of this Convention, and State Parties shall afford one another the widest
measure of cooperation and assistance in this regard.” (Pengembalian aset-aset
menurut bab ini merupakan suatu prinsip yang mendasar dari Konvensi ini, dan
negara-negara peserta wajib saling memberi kerja sama dan bantuan yang seluas-
luasnya mengenai hal ini).
KAK khususnya mengenai pengembalian aset ini menurut Adil
Surowidjojo lebih memfokuskan pada pencegahan transportasi hasil korupsi,
meskipun negara-negara disyaratkan untuk meningkatkan antisipasi institusi-
institusi keuangannya dalam mengantisipasi transaksi keuangan dan kegiatan-
kegiatan dalam sektor perbankan melalui langkah-langkah pencegahan.
Pendekatan ini dipasangkan dengan kerja sama regional, interregional, dan
multilateral yang ditargetkan untuk memerangi pencucian uang (money
laundering), diantaranya pemberdayaan otoritas domestik untuk melakukan
penyelidikan dan berbagi informasi dengan otoritas yang relevan139. Pencegahan
dan pemberantasan korupsi melalui lembaga keuangan dan memerangi pencucian
uang sebagai salah satu mata rantai korupsi menjadi sangat logis dengan
pertimbangan seperti dikemukakan oleh I Gede Made Sadguna bahwa lembaga
keuangan bisa dimiliki atau dikuasai oleh penjahat yang pintar dengan tujuan
utama memakainya sebagai sarana pencucian uang. Produk dan jasa keuangan
dimanfaatkan untuk “mencuci” harta hasil kejahatan. Hasil akhirnya bukan saja
penjahat tersebut dapat dengan aman menikmati hasil kejahatannya, melainkan
juga dapat membiayai kembali operasi kejahatannya140.
Ketentuan Pasal 51 KAK secara teknis memungkinkan tuntutan, baik
139 Adil Surowidjojo, The United Nations Convention Against Corruption : How Will It
Help Us?, (Jentera, Jurnal Hukum, Edisi 9, Tahun III, Juni 2005), hal. 71. 140 I. Gede Made Sadguna, Peranan PPATK dalam Pemberantasan Korupsi Menuju
Good Corporate Governance Sektor Keuangan, (Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24, Nomor 3, Tahun 2005), hal. 17.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
53
secara perdata (melalui gugatan) maupun secara pidana pengembalian aset negara
yang telah diperoleh oleh seseorang melalui perbuatan korupsi. Kemungkinan
menempuh prosedur hukum dalam rangka pengembalian aset ini juga berlaku bagi
negara peserta lain yang telah dirugikan (damages to another state party) atau
dalam rangka menegakkan hak atas atau kepemilikan atas kekayaan yang
diperoleh melalui perbuatan kejahatan korupsi (to establish title to or ownership
of property acquired through the commission of an offence establish in
accordance with this Convention).
Prinsip KAK tersebut dengan demikian tidak hanya menekankan
pentingnya kebijakan dan praktik pencegahan anti korupsi (preventive anti
corruption policies and practices) yang lebih bersifat pidana – kriminalisasi dan
penegakan hukum (criminalization and law enforcement). Kepentingan utama
lainnya, yaitu tindakan-tindakan perdata berupa gugatan pengembalian aset
negara yang dikorupsi dalam istilah yang lebih populer disebut dengan “stolen
assets recovery (STAR)”.
KAK memungkinkan dilakukannya tindakan-tindakan perampasan atas
kekayaan tanpa pemidanaan (without a criminal conviction), dalam hal pelaku
tidak dapat dituntut dengan alasan meninggal dunia, lari (kabur) atau tidak hadir
atau dalam kasus-kasus lain yang sama. Prinsip tersebut diatur dalam Pasal 54
ayat (1) huruf c KAK . Prinsip ini menunjukkan bahwa gugatan perdata dilakukan
ketika mekanisme peradilan pidana gagal melakukan penuntutan karena kondisi-
kondisi terdakwa meninggal dunia, lari (kabur), atau in absentia. Ungkapan lain
yang terkandung di dalam pasal ini adalah merekomendasi negara peserta
menggunakan/mengatur non-criminal systems of confiscation.
Prinsip yang diatur dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c KAK yang kemudian
melahirkan konsep in rem forfeiture atau forfeiture actions to be brought against
the stolen property it self, seperti diterapkan di Afrika Selatan dan Amerika
Serikat141. Sehubungan dengan prinsip pengembalian aset ini, KAK mengatur
mengenai kewajiban negara-negara peserta, termasuk Indonesia untuk
memungkinkan 3 (tiga) hal, yaitu :
141 U4 – Anti-corruption Resource Centre, http://www.u4.no/themes/uncac/asset-
recovery.ctm, diunduh tanggal 24 April 2011.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
54
(a) Negara peserta lain mengajukan gugatan perdata di pengadilan Indonesia
(Pasal 53 ayat (1) KAK);
(b) Orang-orang yang telah melakukan tindak pidana korupsi untuk membayar
kompensasi atau ganti rugi pada negara peserta lain yang telah dirugikan atas
tidak pidana korupsi itu dan dananya dilarikan atau dilakukan pencucian di
Indonesia (Pasal 53 ayat (2) KAK);
(c) Mengembalikan kekayaan yang telah disita oleh badan yang berkompeten di
Indonesia kepada negara peserta lain (yang mengajukan permintaan) - (Pasal
57 ayat (2) KAK).
(2) Gugatan Perdata sebagai Alternatif Pengembalian Aset Negara
Berdasarkan KAK, prinsip pengembalian aset (asset recovery) disertai
dengan prinsip mengenai upaya hukum gugatan perdata. Di samping instrumen
gugatan perdata, KAK juga memungkinkan cara lain, yaitu “permintaan”
perampasan. Sebenarnya perampasan menjadi inti pengembalian aset, sedangkan
gugatan perdata menjadi komplemen atau alternatif ketika aset yang dikorupsi
belum berhasil dilakukan perampasan (confiscation). Kondisi ini utamanya terjadi
ketika hasil korupsi dicuci (money laundering) di negara lain. Pengembalian aset
melalui gugatan perdata dimungkinkan berdasarkan Pasal 53 KAK.
Pengembalian aset melalui gugatan perdata tersebut secara teknis tidak diatur
dalam KAK. KAK hanya mewajibkan negara peserta untuk memfasilitasinya
sesuai dengan hukum nasional masing-masing. Negara-negara yang menganut
common law system gugatan perdata sebagaimana diatur KAK tersebut dikenal
dengan instrumen civil forfeiture yang dibedakan dengan criminal forfeiture142.
Civil forfeiture merupakan gugatan untuk pengembalian aset, sedangkan criminal
forfeiture merupakan tuntutan pidana terhadap orang.
Civil forfeiture tidak mengharuskan penggugat untuk membuktikan unsur-
unsur dan kesalahan orang yang melakukan tindak pidana (personal culpability).
Penggugat cukup membuktikan adanya probable cause atau adanya dugaan
bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana.
142 Ario Wandatama dan Detania Sukarja, Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di
Indonesia untuk Mendukung Stolen Asset Recovery (STAR) Initiative, makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional, 2007, hal. 22 – 23.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
55
Penggugat cukup membuktikan dengan standar preponderance of evidence
(pembuktian formil) bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan suatu aset telah
dihasilkan, digunakan atau terlibat dengan tindak pidana tersebut. Pemilik aset
tersebut kemudian harus membuktikan dengan standar yang sama bahwa aset
yang digugat tidak merupakan hasil, digunakan atau berkaitan dengan tindak
pidana yang dituntut143.
Adanya ratifikasi KAK memberi arti terbukanya kemungkinan Indonesia
untuk melakukan gugatan di pengadilan-pengadilan asing, sesuai dengan
mekanisme dan prosedur yang berlaku di negara yang bersangkutan, khususnya
negara peserta apabila terdapat cukup bukti uang hasil korupsi (stolen assets)
dilakukan pencucian uang (money laundering) dengan segala bentuknya atau
“disimpan” di luar negeri.
(3) Litigasi Multiyurisdiksi (Multi-jurisdictional Litigation)
Prinsip assets recovery melalui gugatan perdata sebagaimana diatur oleh
KAK tidak dapat dilepaskan dari prinsip multi-jurisdictional litigation atau litigasi
multiyurisdiksi atau litigasi lintas yurisdiksi. Gugatan perdata dapat dilakukan
oleh suatu negara yang menjadi korban (victim countries) dari tindak pidana
korupsi yang diajukan melalui negara lain (yang menjadi peserta KAK) tempat
dilarikannya kekayaan negara (dilakukannya pencucian uang). Hal ini tersurat
dalam Pasal 53 KAK. Prinsip tersebut dengan demikian memberikan konsekuensi
pada negara peserta untuk memfasilitasi atau mengatur dalam hukum nasionalnya
sehingga memungkinkan atau mengizinkan negara peserta lain melakukan litigasi
untuk non-criminal avenue for recovery.
(4) Pembekuan (Freezing) atau Penyitaan (Seizure) dan Perampasan
(Confiscation) dari Hasil Korupsi atau Kekayaan yang Dicuci (Laundering) di
Negara Lain
Pembekuan atau penyitaan berbeda dengan perampasan. Perampasan
sebagaimana diatur dalam Pasal 54 – 55 KAK, pengertiannya sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 huruf g KAK adalah pencabutan kekayaan untuk selamanya.
143 Ibid., hal. 24.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
56
Sedangkan pembekuan (freezing) atau penyitaan (seizure) sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 huruf f KAK, berarti larangan transfer, perubahan, pengalihan atau
pemindahan kekayaan, yang bersifat sementara. Pasal 2 huruf f KAK menyatakan
bahwa :
”For the purpose of this Convention : “Freezing” or “seizure” shall mean temporarity prohibiting the transfer, conversion, disposition or movement of property or temporarity assuming custody or control of property on the basis of an order issued by a court or other competent authority. (“Pembekuan” atau “penyitaan” berarti melarang untuk sementara waktu dilakukannya transfer, perubahan, pengalihan atau pemindahan kekayaan, atau untuk sementara waktu menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berwenang.)”
Pembekuan atau penyitaan aset ini merupakan tindakan yang
memungkinkan dilakukannya perampasan (confiscation). Hal ini tampak dari
ketentuan Pasal 31 KAK. Perampasan itu sendiri sebenarnya merupakan konsep
dalam hukum pidana. KAK tidak memberi batasan konsep perampasan hanya
pada perkara pidana, menunjukkan bahwa konsep tersebut juga berlaku untuk
kepentingan gugatan perdatanya. Hakikatnya, perampasan (confiscation) dalam
hukum perdata merupakan dikabulkannya gugatan pengembalian aset itu sendiri.
Dikabulkannya gugatan pengembalian aset, maka aset tersebut dinyatakan sah
untuk dirampas oleh negara yang dirugikan tersebut.
Dalam sistem hukum nasional, upaya pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi dalam UU TPK menggunakan 2 (dua) jenis instrumen, yaitu
instrumen perdata dan pidana. Instrumen perdata yang terdapat dalam UU TPK
memberikan dasar hukum kepada negara yang direpresentasikan oleh Jaksa
Pengacara Negara atau pihak instansi yang dirugikan untuk melakukan gugatan
perdata terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan atau ahli warisnya.
Penggunaan instrumen perdata ini membawa konsekuensi prosedur pengembalian
aset sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata yang berlaku, baik
materiil maupun formil.144 Hubungan antara aset-aset dengan seseorang, apakah ia
pelaku atau bukan pelaku tindak pidana, diatur dalam hukum kebendaan yang
masuk dalam wilayah hukum sipil atau hukum perdata.
144 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 149.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
57
Pendekatan melalui jalur perdata dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan
UU TPK sebagai berikut :
(1) Pasal 32 ayat (1) UU TPK menetapkan bahwa dalam hal penyidik menemukan
dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak
terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan
tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau
diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Dalam
ayat (2) kemudian ditetapkan bahwa putusan bebas dalam perkara tindak
pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap
keuangan negara.
(2) Pasal 33 UU TPK menyatakan bahwa dalam hal tersangka meninggal dunia
pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli
warisnya.
(3) Pasal 34 UU TPK mengatur bahwa dalam hal terdakwa meninggal dunia pada
saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata
telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera
menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara atau diserahkan pada instansi yang dirugikan untuk
dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
(4) Pasal 38 C UU TPK menetapkan apabila setelah putusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda
milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana
korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan
perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
Pengajuan gugatan dengan menerapkan instrumen hukum perdata
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) dan Hukum Acara Perdata, hanya berlaku sepanjang benda tersebut
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
58
berada di wilayah Indonesia atau di atas kapal berbendera Indonesia. Dengan
demikian, apabila benda tersebut berada di luar wilayah Indonesia, masalah
kepemilikan dan hak kebendaan lainnya akan diatur menurut hukum perdata yang
berlaku di wilayah negara tersebut.145
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi menggunakan instrumen
pidana dilakukan melalui proses penyitaan dan perampasan. Instrumen pidana
dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku tindak pidana
korupsi dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut untuk dirampas oleh Hakim
dan dikembalikan kepada kas negara.
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan
atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan.146 Menurut Andi Hamzah, definisi penyitaan dalam
pasal ini agak panjang tetapi terbatas pengertiannya, karena hanya untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pasal 134
Ned. Sv. juga diberikan definisi penyitaan (inbeslagneming) yang lebih pendek
tetapi lebih luas pengertiannya yaitu “dengan penyitaan sesuatu benda diartikan
pengambilalihan atau penguasaan benda itu guna kepentingan acara pidana.” Jadi,
tidak dibatasi hanya untuk pembuktian. Persamaan kedua definisi tersebut di atas
adalah pengambilan dan penguasaan milik orang.147
Penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi diatur secara khusus dalam
UU TPK, sehingga ketentuan KUHAP yang mengatur tentang penyitaan tidak
berlaku.148 Berkaitan dengan tugas penyidikan perkara tindak pidana korupsi,
penyidik atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, dapat
melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri.149 Selanjutnya penyidik
wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dan salinan berita acara
tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarganya.150
Mardjono Reksodiputro membedakan antara “penyitaan” dan
145 Ibid., hal. 150. 146 Pasal 1 angka 16 KUHAP. 147 Andi Hamzah, Hukum Acara …, Op.cit., hal. 147. 148 Pasal 47 ayat (2). 149 Pasal 47 ayat (1). 150 Pasal 47 ayat (3).
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
59
“perampasan”. Penyitaan sebagaimana didefinisikan dalam KUHAP adalah
berasal dari istilah Belanda “beslag”, yaitu “mengambil dan menahan barang oleh
alat negara dengan persetujuan atau menurut keputusan pengadilan”. Menyita
(beslag leggen) adalah tindakan sementara, menunggu keputusan selanjutnya dari
pengadilan. Sedangkan perampasan yang disebut sebagai pidana tambahan dalam
Pasal 10 huruf b angka 2 KUHAP/WvS Indonesia 1918 adalah berasal dari istilah
Belanda “verbauren” (verbeurdverklaring – pernyataan dirampas). Merampas
adalah pidana yang ditujukan pada benda dan tagihan milik terpidana untuk
diambil alih menjadi milik negara tanpa ada kompensasi.151
Perampasan menurut Martiman Prodjohamidjojo152 adalah tindakan hakim
yang berupa putusan tambahan pada pidana pokok sebagaimana diputuskan dalam
Pasal 10 KUHP, yaitu mencabut hak dari kepemilikan seseorang atas suatu benda.
Dengan demikian, berdasarkan penetapan hakim, benda tersebut dirampas dan
kemudian dapat dirusak atau dibinasakan atau bahkan dapat dijadikan milik
negara.
Pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi selain berupa
pidana tambahan dalam KUHP juga termasuk pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 UU TPK yaitu berupa:153
(1) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang
yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dan tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula harga dan barang yang menggantikan barang-
barang tersebut;
(2) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dan tindak pidana korupsi;
(3) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun. Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) huruf c disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan “penutupan seluruh atau sebagian perusahaan” adalah
151 Mardjono Reksodiputro, Penyitaan dan Perampasan Aset dalam Tindak Pidana
Korupsi dan Pencucian Uang (Catatan untuk Diskusi), makalah disampaikan pada Forum Group Discussion (FGD) di PPATK tanggal 21 Juli 2009, hal. 1.
152 Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas KUHAP, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1990), hal.36.
153 Pasal 18 ayat (1) UU TPK.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
60
pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan sementara sesuai dengan
putusan pengadilan.
(4) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.
Dalam pasal ini terlihat jelas bahwa konsep pengembalian aset sudah
dicakup secara substansial, walaupun terminologi yang dipergunakan berbeda.
Istilah aset yang dipergunakan dalam KAK tidak dikenal dalam UU TPK, namun
pengertiannya telah tercakup dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU TPK tersebut. Di
samping hasil tindak pidana korupsi berasal dari keuangan atau perekonomian
negara, juga hal-hal yang dipergunakan untuk memfasilitasi tindak pidana korupsi
(to facilitate crime), termasuk perusahaan milik terpidana.154
Mengenai pembayaran uang pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 18
ayat (1) huruf b, ayat (2) dan (3) UU TPK ditentukan bahwa pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sama dengan hasil korupsi. Apabila tidak dibayar,
maka paling lama 1 (satu) bulan setelah keputusan hakim berkekuatan hukum
tetap maka harta benda terpidana disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi
uang pengganti, dan apabila hasil lelang tidak mencukupi, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak boleh melebihi ancaman maksimum dari
pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan UU TPK.
Dalam kaitannya dengan uang pengganti yang dipandang oleh Utrecht
sebagai pidana tambahan yang dapat ditetapkan disamping pidana pokok, Utrecht
mengemukakan pandangan bahwa pidana tambahan dan pidana pokok
mempunyai karakter berbeda.155 Pidana tambahan hanya dapat diterapkan di
samping pidana pokok.156 Apabila hakim tidak dapat menetapkan pidana pokok
maka tidak dapat ditentukan pidana tambahan sebagai pengganti. Selain itu, Pasal
18 ayat (2) UU TPK mengandung upaya yang bersifat fakultatif bagi jaksa.
Akibatnya Pasal 18 ayat (3) dalam praktik sering menjadi jalan keluar yang secara
hukum tidak salah namun tidak mencakup pengaturan yang dituju dalam
pengaturan asset recovery dalam KAK.
154 Jeane Neltje Saly, Op.cit., hal. 684. 155 Ibid. 156 Jeane Neltje Saly, Op.cit.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
61
UU TPK telah mengatur pula mengenai pembalikan beban pembuktian
terhadap perolehan harta kekayaan terdakwa. Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang kekayaan yang seimbang dengan penghasilan atau sumber
penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4) UU TPK). Namun demikian apabila terdakwa
dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari pokok perkara,
maka tuntutan perampasan harta benda harus ditokah oleh hakim (Pasal 37 huruf
B UU TPK).157
Menindaklanjuti UU TPK, pemerintah pada tahun 2007 membentuk
panitia yang bertugas untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Perampasan
Aset (RUU PA). Namun hingga akhir tahun 2010, RUU dimaksud belum dibahas
oleh DPR. RUU PA mempunyai arti yang penting bagi upaya pengembalian aset
hasil tindak pidana yang disembunyikan di luar negeri. Hal ini dikarenakan paling
tidak diperlukan 2 (dua) syarat utama dalam pengembalian aset dimaksud yaitu
:158
(1) Indonesia harus mempunyai sistem peradilan yang jelas dan tegas melawan
korupsi, dalam hal ini UU TPK, KPK dan Pengadilan Tipikor),
(2) Indonesia juga harus mempunyai undang-undang yang jelas dalam “merampas
kembali” aset yang dicuri oleh para koruptor (baik aset yang disembunyikan
di dalam negeri maupun di luar negeri).
Kedua syarat ini sangat penting terutama jika Indonesia ingin merampas (recover)
aset koruptor Indonesia yang berada di luar negeri. Hal ini dikarenakan Indonesia
tidak akan dapat begitu saja meminta/merampas aset koruptor Indonesia di luar
negeri, melainkan harus melalui jalur hukum negara dimana aset tersebut
ditempatkan.159
RUU PA pada intinya adalah mengatur mekanisme perampasan aset secara
komprehensif, mulai dari penelusuran, pemblokiran, penyitaan dan hukum acara
157 Yunus Husein, Perampasan Hasil Tindak Pidana di Indonesia, (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 569.
158 Mardjono Reksodiputro, Tambahan Catatan dalam Rangka Sosialisasi RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, makalah disampaikan pada Sosialisasi RUU oleh Ditjend PP Depkumham tanggal 3 Agustus 2009, hal. 1 – 2.
159 Ibid.,
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
62
pemeriksaan di pengadilan. Selain itu diatur pula mengenai pengelolaan aset,
rehabilitasi, kompensasi dan perlindungan terhadap pihak ketiga, asset sharing
dan kerjasama internasional dalam pengembalian aset.
Pengaturan perampasan aset secara khusus dimaksud dipandang perlu
untuk memasukkan sistem perampasan yang memungkinkan dilakukannya
pengembalian aset hasil tindak pidana melalui “mekanisme perdata” yang
menekankan perampasan aset hasil tindak pidana secara in rem (kebendaan) yang
dikenal dengan konsep non conviction based (NCB/perampasan aset tanpa
pemidanaan). NCB merupakan terobosan dalam menghadapi mekanisme
perampasan yang selama ini sangat terbatas karena memerlukan suatu putusan
pengadilan dan ini berarti putusan tersebut harus memberikan hukuman bersalah
kepada seseorang serta dalam mekanisme tersebut tindakan hukumannya selalu
ditujukan terhadap orangnya (in personam/pelaku kejahatan) dan tindakan
perampasan merupakan bagian dari tuntutan pidana terhadapnya.160 Pelaku
kejahatan yang dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
kejahatan berdasarkan suatu putusan pengadilan bukan merupakan prasyarat yang
harus dipenuhi guna dilakukannya perampasan aset (sarana/hasil tindak
pidananya).161
Mekanisme NCB membuka kesempatan yang luas untuk merampas segala
aset yang diduga merupakan hasil pidana (proceed of crimes) dan aset-aset lain
yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana
(instrumentalities) untuk melakukan tindak pidana. NCB juga dapat digunakan
sebagai alternatif untuk memperoleh kompensasi atau uang pengganti atas
kerugian negara. Dengan demikian aset yang baru ditemukan di kemudian hari
dan tidak tercantum dalam daftar aset yang dapat disita atau dirampas berdasarkan
putusan pidana yang sudah in kracht, tetap dapat disita dan dirampas melalui
mekanisme ini. Selain itu, kendala-kendala yang timbul dalam upaya
pengembalian aset melalui mekanisme pidana dapat teratasi, walaupun pelakunya
sakit atau tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia, perampasan aset tetap
160 Supriyadi Widodo Eddyono, Masa Depan Hukum Pengembalian Aset Kejahatan di
Indonesia, (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 722.
161 Yunus Husein, Op.cit., hal. 570.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
63
dapat dilakukan secara fair karena tetap melalui suatu sidang pengadilan.162
Melalui NCB, sistem pembalikan beban pembuktian dapat ditempatkan
secara tepat sesuai dengan standar internasional yang menggariskan bahwa sistem
pembalikan beban pembuktian tidak patut diterapkan dalam peradilan pidana
dimana kegagalan dalam pembuktian menurut sistem tersebut dijadikan sebagai
dasar untuk menghukum atau memidana seseorang secara fisik. Mekanisme ini
sejalan dengan Pasal 54 ayat (1) huruf c KAK dan memenuhi standar Revised
40+9 Recommendations Financial Action Task Force (FATF) yang menggariskan
pentingnya rezim perampasan aset tanpa pemidanaan.
Adapun pokok-pokok pengaturan dalam RUU PA adalah sebagai berikut
:163
(1) Memperkenalkan mekanisme perampasan in rem atau yang di negara-negara
common law system dikenal dengan sebutan civil forfeiture atau non-convicted
based. Mekanisme ini memungkinkan dilakukannya penyitaan dan
perampasan asset tanpa perlu adanya tersangka atau terdakwa/terpidana.
Proses hukum difokuskan pada masalah asset/kebendaan (in rem) dan bukan
pada orang (in personan).
(2) Memperluas bentuk-bentuk aset yang dapat disita atau dirampas sehingga
mencakup (a) aset hasil tindak pidana; (b) aset yang digunakan atau akan
digunakan sebagai sarana (instrumen) untuk melakukan tindak pidana; (c)
asset yang diduga diperoleh atau berasal dari kegiatan tidak sah atau
memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum; dan (d) aset
yang merupakan barang temuan.
(3) Mengatur pembalikan beban pembuktian secara lengkap. Sebenarnya dalam
konteks ini reserve burden of proof diperkenankan untuk diterapkan.
Mekanisme ini sangat “tidak fair” bila diterapkan pada pemeriksaan perkara
pidana dimana kegagalan seseorang dalam membuktikan sebaliknya dijadikan
sebagai dasar untuk menghukum orang tersebut. Beberapa undang-undang
termasuk UU TPK sudah memperkenalkan mekanisme ini namun lebih
diarahkan pada pemidanaan sehingga dalam praktiknya sulit untuk diterapkan.
(4) Mengukuhkan perlunya mekanisme asset sharing atas aset hasil rampasan
162 Ibid. 163 Ibid., hal. 572 – 573.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
64
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perampasan aset tersebut. Dengan
mekanisme ini kesulitan dalam penganggaran dan pembiayaan kegiatan-
kegiatan dalam alian seupaya penegakan hukum termasuk capacity building
dapat teratasi. Dengan demikian diharapkan aparat penegak hukum dapat lebih
kuat dalam menangkal masuknya pengaruh kekuasaan.
Khusus mengenai pembalikan pembuktian sebagaimana tersebut di atas,
dalam rangka perampasan aset hasil kejahatan yang mengadopsi konsep NCB
tidaklah ditujukan untuk menghukum pelaku tindak pidana, tetapi hanyalah proses
yang sebagian besar bersifat perdata untuk menyita harta kekayaan hasil pidana
untuk diserahkan kepada negara. NCB bukan merupakan pengganti penuntutan
pidana dan dimungkinkan apabila penuntutan pidana tidak tersedia atau tidak
berhasil.164 Konsep NCB tetap menekankan adanya suatu proses pidana terhadap
seseorang terdakwa, namun sebelum ada putusan bersalah maupun sebelum ada
putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht) dapat dimintakan putusan
(putusan sela) untuk merampas aset tersebut. Jadi, NCB tetap harus berdasarkan
pada putusan pengadilan, meskipun terdakwanya belum dinyatakan bersalah.165
Terdapat polemik menyangkut pertentangan dengan asas praduga tak
bersalah dan non self incrimination. Berkaitan dengan hal ini apabila pembalikan
beban pembuktian dilakukan untuk menghukum terdakwa, maka ini bertentangan
dengan asas hukum pidana yaitu asas praduga tak bersalah (presumption of
innocence) dan non self incrimination. Namun, apabila pembalikan beban
pembuktian pada perampasan NCB bukan untuk memberikan hukuman badan
kepada pelaku tindak pidana tersebut.166
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, pada bab selanjutnya akan dibahas
dan diuraikan mengenai peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi yang akan membahas mengenai peradilan in absentia
dalam perkara tindak pidana korupsi dikaitkan dengan hak tersangka/terdakwa,
penerapan peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi dalam upaya
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, dan peranan peradilan in absentia
dalam perkara tindak pidana korupsi dalam upaya pengembalian aset hasil tindak
164 Ibid., hal. 573. 165 Mardjono Reksodiputro, Penyitaan dan ….,, Op.cit., hal. 3. 166 Yunus Husein, Op.cit., hal. 573.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
65
pidana korupsi.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
66
BAB IV
PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA
PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
4.1. Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dikaitkan
dengan Hak Tersangka/Terdakwa
Permasalahan yang sering ditemukan dalam proses penyidikan tindak
pidana korupsi adalah adanya seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka
tidak dapat diketahui dan ditemukan keberadaannya, meskipun telah dipanggil
sesuai ketentuan yang berlaku. Atas keadaan tersebut, penyidik berusaha mencari
dan menemukan tersangka seoptimal mungkin sehingga bisa menemukannya.
Namun dalam kenyataan seringkali terhadap tersangka yang dicari tidak dapat
diketemukan keberadaannya sehingga tidak memungkinkan dibawa dengan upaya
paksa melalui penangkapan atau penahanan.
Apabila kondisi ini berlanjut sampai pada tahap penuntutan dan
pemeriksaan di persidangan, maka Pasal 38 ayat (1) UU TPK memungkinkan
dilaksanakannya peradilan in absentia yaitu perkara tindak pidana korupsi dapat
diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Peradilan in absentia dimaksud
dapat diterapkan kepada pelaku tindak pidana korupsi yang keberadaannya tidak
diketahui, padahal sudah dipanggil secara sah atau patut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dilakukan semaksimal mungkin.167
Selanjutnya tujuan penerapan peradilan in absentia dalam tindak pidana korupsi
dapat diketahui dari penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU TPK yaitu untuk
menyelamatkan kekayaan negara.
Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan merupakan salah satu dari 10
(sepuluh) asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap “keluhuran harkat
serta martabat manusia” sebagaimana terdapat dalam Penjelasan KUHAP.168 Hal
167 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 61. 168 Menurut Mardjono Reksodiputro dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan
Pidana, dalam Penjelasan KUHAP kita dapat menemukan 10 (sepuluh) asas yang yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap “keluhuran harkat serta martabat manusia” yaitu : (1) Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun; (2) Praduga tidak bersalah; (3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
67
ini menunjukkan bahwa KUHAP dan penjelasannya telah memberikan pedoman
bagaimana hak-hak sipil (hak-hak warga negara) dilindungi dalam proses
peradilan pidana. Proses peradilan pidana dilaksanakan berlandaskan proses
hukum yang adil (due process of law), dimana hak-hak
tersangka/terdakwa/terpidana dilindungi dan dianggap sebagai bagian dari hak-
hak warga negara (civil rights) dan karena itu merupakan bagian dari HAM.
Peradilan harus menjaga bahwa selalu ada kemungkinan untuk menuntut dan
memperolehnya apabila hak-hak tersebut dilanggar.169
Berkaitan dengan pandangan yang menolak diterapkannya peradilan in
absentia dalam perkara tindak pidana korupsi karena cenderung melanggar HAM
dengan alasan sebagai berikut :170
(1) Hak-hak terdakwa untuk membela diri antara lain sudah diatur dalam Pasal 51
dan 52 KUHAP.
(2) Sesuai dengan Pasal 27 UUD 1945 dimana setiap warga negara di hadapan
hukum kedudukannya sama, sehingga walaupun terdakwa melarikan diri
seharusnya kewajiban penegakan hukum untuk menghadirkannya melalui
kerjasama Interpol atau perjanjian ekstradisi atau terdakwa dapat melarikan
diri karena tidak segera dikenal, sehingga dalam hal ini aparat hukum perlu
berusaha semaksimal mungkin untuk menghadirkan terdakwa.
(3) Penerapan peradilan in absentia terhadap pelaku tindak pidana korupsi terkait
dengan hak-hak asasi terdakwa sebagai manusia yang berhak membela diri
dalam pembelaannya di persidangan, yaitu hak untuk membantah (terhadap
barang bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, maupun keterangan saksi),
dan hak untuk memberikan tanggapan, meskipun terdakwa masih diberikan
(4) Hak untuk mendapat bantuan hukum; (5) Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan; (6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana; (7) Peradilan yang terbuka untuk umum; (8) Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan) harus didasarkan pada undangpundang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
(9) Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya; dan
(10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya. Kesepuluh asas ini harus dikembangkan lebih lanjut dan dijadikan pedoman bagi pelaksanaan KUHAP yang benar-benar memperhatikan dan melindungi hak-hak sipil (HAM).
169 Ibid., hal. 57. 170 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 72 – 73.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
68
hak untuk mengajukan upaya hukum banding terhadap putusan pengadilan
tanpa kehadirannya, karena selama belum ada putusan/vonis dari hakim, hak-
hak asasi terdakwa dijamin oleh hukum dianggap belum bersalah (asas
presumption of innocence).
Pelanggaran HAM dimaksud dalam pelaksanaan peradilan in absentia
berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 14 Konvensi Internasional Hak Sipil dan
Politik/The International Covenant on Civil and Political Rights (KIHSP). KIHSP
merupakan salah satu bagian dari 3 (tiga) instrument pokok hak asasi manusia
internasional dalam International Bill of Human Rights. KIHSP disusun
berdasarkan hak-hak yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia/Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) yang lebih luas dan
dengan penjabaran yang lebih spesifik, seperti misalnya penjabaran hak-hak yang
bersifat non-derogable dan hak-hak mana yang bersifat permissible yang
berkaitan dengan hak sipil dan politik.171 KIHSP mengandung hak-hak demokratis
yang esensial, sebagian besar berkaitan dengan berfungsinya suatu negara dan
hubungannya dengan warga negaranya. Hak untuk hidup dan kebebasan
merupakan hal yang harus dihormati oleh negara. Kebebasan individu dapat
meningkatkan kualitas hidup dan menggambarkan hubungan antara negara
dengan tiap individu. Namun demikian, semua HAM mencerminkan pembatasan
pada level tertentu yang sengaja dibuat suatu negara untuk warga negaranya. Hak-
hak dan kebebasan-kebebasan jarang sekali yang bersifat absolut. Jadi sebuah
negara diperbolehkan membatasi hak seseorang atas privasi absolut ketika negara
misalnya melakukan investigasi tindak pidana.172
Pasal 14 KIHSP secara khusus mengatur tentang persamaan di muka
pengadilan dan hak atas suatu persidangan yang adil dan terbuka untuk umum
yang dilakukan oleh pengadilan yang kompeten, mandiri dan tidak memihak yang
ditetapkan oleh hukum.173 Pasal 14 KIHSP menyatakan sebagai berikut :
(1) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu
171 Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : Pusat Studi Hak Asasi
Manusia (PUSHAM) UII, 2008), hal. 36 – 37. 172 Ibid., hal. 93. 173 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 69.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
69
gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral , ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, di mana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.
(2) Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.
(3) Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh: (a) Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang
dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya;
(b) Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri;
(c) Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; (d) Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara
langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya;
(e) Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya;
(f) Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan;
(g) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.
(4) Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka.
(5) Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum.
(6) Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
70
baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu, sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri.
(7) Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara.
Kalimat pertama dari Pasal 14 ayat (1) KIHSP menandakan pentingnya
semua orang harus diberikan tanpa diskriminasi hak yang sama atas akses ke
pengadilan. Kalimat kedua Pasal 14 ayat (1) KIHSP berkaitan dengan hak atas
peradilan yang fair dan terbuka untuk umum oleh sebuah pengadilan yang
kompeten, mandiri dan tidak memihak serta ditetapkan oleh undang-undang.
Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (2) dinyatakan tentang asas presumption of
innocence (praduga tak bersalah). Ketentuan ini berarti bahwa beban pembuktian
dalam suatu peradilan pidana tergantung pada penuntutan dan si tertuduh
mempunyai keuntungan sebagai orang yang diragukan. Asas praduga tak bersalah
harus dipertahankan tidak hanya selama persidangan berhadapan dengan
terdakwa, tetapi juga berhubungan dengan seseorang atau tertuduh dalam seluruh
tahap sebelum persidangan.174 Pasal 14 KIHSP selanjutnya diatur ketentuan yang
berkaitan dengan hak-hak terdakwa yaitu antara lain berupa hak :
(1) Jaminan prosedural minimal pemberitahuan dalam penentuan terhadap pidana
seseorang;
(2) Hak atas fasilitas-fasilitas dan waktu yang memadai untuk menyiapkan suatu
pembelaan;
(3) Hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya;
(4) Hak diadili dengan kehadiran terdakwa;
(5) Hak atas saksi dalam keadaan apapun saksi tidak boleh diperiksa tanpa
hadirnya terdakwa maupun pengacara;
(6) Hak untuk tidak dipaksa dalam memberikan keterangan yang memberatkan
dirinya atau dipaksa mengaku bersalah (asas non self-incrimination);
174 Ibid.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
71
(7) Hak untuk banding.
Hak-hak tersebut dalam Pasal 14 KIHSP tersebut telah tercantum dalam Pasal 50
sampai dengan 68 KUHAP.
Jika mengacu pada Pasal 14 ayat (3) huruf d KIHSP tersebut di atas, maka
pelaksanaan peradilan in absentia terlihat seperti melanggar HAM. Namun harus
diingat bahwa dalam instrumen hak asasi manusia terdapat 2 (dua) macam sifat
mengikat suatu instrumen hak asasi manusia yaitu derogasi (derogable) dan non
derogable. Derogasi adalah “pengecualian”, yaitu suatu mekanisme di mana suatu
negara menyimpangi tanggung jawabnya secara hukum karena adanya situasi
yang darurat.175 Alasan yang diperbolehkan digunakan untuk membuat derogasi
adalah keadaan darurat yang esensial dan mengancam kelanjutan hidup suatu
negara, ancaman esensial terhadap keamanan negara dan disintegrasi bangsa.176
Dalam Pasal 4 KIHSP dinyatakan bahwa :
(1) Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.
(2) Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.
(3) Setiap Negara Pihak Kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukannya kepada Negara-negara Pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengenai ketentuan-ketentuan yang dikuranginya, dan mengenai alasan-alasan pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang sama pada saat berakhirnya pengurangan tersebut.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) KIHSP tersebut, Pasal 14 KIHSP merupakan pasal
yang tidak termasuk dalam rumpun hak fundamental atau non derogable rights,
yaitu suatu hak yang tidak dapat ditunda pemenuhannya dalam situasi apapun.177
Atau dengan kata lain, Pasal 14 KIHSP merupakan hak asasi yang dapat ditunda
175 Rhona K.M. Smith, Op.cit., hal. 41 – 42. 176 Ibid., hal. 42. 177 Ibid., hal. 71.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
72
pemenuhannya (derogable rights).
Hal ini diperkuat dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi yang dengan menetapkan korupsi sebagai
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Komitmen pemerintah ini jelas
tertuang dalam huruf a pertimbangan UU KPK yang menyatakan : 178
”Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.”
Ketentuan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 29 DUHAM menegaskan
bahwa pembatasan hak-hak asasi individu dapat dibenarkan sepanjang bertujuan
untuk melindungi hak-hak asasi yang lebih luas dengan syarat diatur dalam
bentuk-bentuk undang-undang.179 Ketentuan-ketentuan di dalam Pasal 14 KIHSP
telah diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (UU HAM) yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 17, 18 dan 19 UU
HAM. Selanjutnya dalam Pasal 73 UU HAM diatur tentang hak derogasi dimana
Pasal 17, 18, dan 19 UU HAM tidak termasuk non-derogable rights.
Berdasarkan hal tersebut di atas, pelaksanaan peradilan in absentia dalam
perkara tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan tanpa melanggar HAM apabila
negara telah menjalankan keharusan mengemukakan alasan-alasan atas
ketidakmampuan negara menghadirkan tersangka. Artinya, ketidakmampuan
negara dikemukakan dan dibuktikan di depan pengadilan sebagai suatu alasan
yang obyektif. Dalam proses dan prosedur pelaksanaan peradilan in absentia,
harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam hal ini KUHAP,
terutama berkaitan dengan tata cara melakukan pemanggilan secara layak dan
diberitahukan di media massa terhadap tersangka tetapi yang bersangkutan tidak
hadir dan tidak menggunakan haknya.180 Hal ini sangat penting karena mengingat
syarat mutlak dilaksanakannya peradilan in absentia adalah : (1) harus dipanggil
terlebih dulu secara sah, dan (2) tidak hadir tanpa alasan yang sah.
Mengenai ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan in absentia, di satu
178 Lihat Penjelasan Umum UU KPK. 179 Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 13. 180 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 71 – 72.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
73
sisi KUHAP memberikan hak kepada terdakwa untuk menghadiri sidang
pengadilan dan hak tersebut merupakan hak utama terdakwa untuk seluas-luasnya
melakukan pembelaan terhadap dirinya, melakukan perlawanan atau keberatan
atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Bahkan juga diberikan keleluasaan apabila
pada waktu persidangan sedang berjalan akan tetapi belum mencapai putusan,
terdakwa dapat hadir, maka pada sidang berikutnya pengadilan wajib mendengar
dan memeriksa terdakwa. Untuk mencapai tujuan pemeriksaan, persidangan
dilakukan dengan mengacu kepada prinsip persidangan yang sederhana, cepat dan
murah, tetapi karena pengadilan juga harus memperhatikan hak-hak terdakwa,
maka harus dicari keseimbangan antara kepentingan terdakwa dengan kecepatan
pemeriksaan yang dituntut dalam suatu perkara, terutama perkara korupsi.181
Di sisi lain, terdakwa sendiri secara sengaja memang tidak berkeinginan
menggunakan hak yang diberikan KUHAP tersebut. Dalam hal ini berarti
terdakwa telah memilih untuk tidak menggunakan haknya untuk membela diri di
muka persidangan. Ketidakhadiran terdakwa di pemeriksaan sidang pengadilan
tanpa alasan yang sah walaupun telah dilakukan pemanggilan secara sah
merupakan upaya terdakwa secara sengaja menghindarkan diri dari pemeriksaan
yang berakibat pada kebuntuan proses pemeriksaan.182 Dalam konteks ini, hak
untuk membela diri di muka persidangan dapat ditunda pemenuhannya
dikarenakan kesengajaan dari terdakwa yang melarikan diri.
4.2. Penerapan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi
Pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi merupakan hukum acara
khusus, sehingga dengan demikian ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
KUHAP dikesampingkan terkait dengan sifat kekhususan yang ada dalam UU
TPK, termasuk pemeriksaan secara in absentia. Namun, proses peradilan in
absentia pada tindak pidana korupsi tidak terlepas dari proses peradilan tindak
pidana yang secara umum yang meliputi proses penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam pelaksanaan proses penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dilaksanakan berdasarkan
181 Loebby Loqman, Op.cit., 182 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 19.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
74
hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UU TPK.
Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dimaksud dilaksanakan berdasarkan
perintah dan bertindak untuk dan atas nama KPK.183
4.2.1. Penyidikan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi
Dalam tindak pidana korupsi, suatu perkara tindak pidana korupsi dapat
ditingkatkan ke tahap penyidikan setelah melalui proses penyelidikan. Suatu
perkara dapat ditingkatkan ke tingkat penyidikan apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut :184
(1) Ditemukannya bukti permulaan yang cukup adanya TPK;
(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada
informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik
secara biasa maupun elektronik atau optik.
Berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU TPK, penyidikan tindak pidana
korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditetapkan lain
dalam undang-undang ini. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam penyidikan
perkara tindak pidana korupsi tetap menggunakan ketentuan-ketentuan di dalam
KUHAP kecuali ditentukan lain oleh UU TPK. Dikarenakan dalam UU TPK tidak
disebutkan secara spesifik pengertian penyidikan, maka penyidikan dimaksud
dalam UU TPK mengacu pada pengertian penyidikan sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 2 KUHAP yaitu :
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Dalam proses penyidikan, penyidik dengan kewenangan yang dimilikinya harus
mencari keterangan-keterangan dan mengumpulkan barang bukti yang
mempunyai nilai pembuktian untuk dijadikan alat bukti yang sah di dalam
pemeriksaan di persidangan, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
183 Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU TPK. 184 Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU KPK.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
75
melakukannya.185
Alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) terdiri
dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Khusus untuk alat bukti berupa petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188
ayat (2) KUHAP, UU TPK melengkapi dengan ketentuan bahwa untuk tindak
pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : (a) alat bukti lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu; dan (b) dokumen, yakni setiap rekaman data
atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik,
yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka,
atau perforasi yang memiliki makna.186
Selanjutnya dalam Pasal 46 ayat (1) UU KPK disebutkan bahwa dalam hal
seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal
penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan
tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain dinyatakan tidak
berlaku berdasarkan UU KPK. Prosedur khusus dimaksud adalah kewajiban
memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan
pemeriksaan.187 Dalam ayat (2) disebutkan bahwa : “Pemeriksaan tersangka
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-
hak tersangka.”
Berkaitan dengan kewenangan dalam penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi, Pasal 38 UU KPK menyatakan :
(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
185 Pasal 183 KUHAP. 186 Pasal 26 A UU TPK. 187 Penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU KPK.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
76
Dengan demikian pelaksanaan penyidikan dalam perkara korupsi tetap mengacu
pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP tentang wewenang penyidik berlaku juga
pada penyidikan tindak pidana korupsi. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 26
UU TPK disebutkan bahwa kewenangan Penyidik pada pasal ini termasuk
wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretaping).
Selain kewenangan penyidik yang diatur dalam KUHAP, UU KPK dan
UU TPK juga memberikan kewenangan meliputi :
(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik
dapat melakukan penyitaaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan
dengan tugas penyidikannya (Pasal 47 ayat (1) UU KPK);
(2) Meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa (Pasal 29 ayat (1) UU TPK);
(3) Meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka
atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi (Pasal 29 ayat (4) UU TPK);
(4) Membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui melalui pos,
telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan
perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (Pasal 30 UU TPK).
Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan
untuk memberikan kewenangan kepada penyidik dalam rangka mempercepat
proses penyidikan yang pada dasarnya di dalam KUHAP untuk membuka,
memeriksa atau menyita surat harus memperoleh izin terlebih dahulu dari
ketua Pengadilan Negeri.
Selanjutnya Pasal 28 UU TPK mengatur tentang kewajiban tersangka berupa
kewajiban memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang
diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan tersangka.
Dalam pelaksanaan proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi,
terdapat beberapa kondisi khusus berkaitan dengan penghentian penyidikan
perkara tindak pidana korupsi yaitu :
(1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur
tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
77
ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk
dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan
untuk mengajukan gugatan. yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada
kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung
jumlahnya berdasarkan hasil temuan isntansi yang berwenang atau akuntan
publik yang ditunjuk. Selanjutnya ditentukan bahwa putusan bebas dalam
perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut
kerugian terhadap keuangan negara. Putusan bebas dimaksud adalah putusan
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan (2)
KUHAP.188
(2) Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik
segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata terhadap ahli
warisnya. Ahli waris dimaksud adalah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.189
Hal dimaksud menunjukkan bahwa meskipun perkara ditutup demi kepentingan
hukum, tetapi jika diketahui secara nyata bahwa telah terjadi kerugian keuangan
negara, maka tidak menutup kemungkinan tanggungjawab pengembalian
keuangan negara tersebut kepada ahli warisnya.
Mengenai formulasi berkas perkara hasil penyidikan in absentia, tidak
berbeda dengan berkas perkara tindak pidana yang lazim selama ini dibuat oleh
Penyidik. Letak perbedaannya hanya pada Berita Acara Permintaan Keterangan
Tersangka. Jika pada berkas perkara hasil penyidikan yang biasa terdapat
keterangan tersangka yang tertuang dalam Berita Acara Permintaan Keterangan
Tersangka, tetapi dalam berkas perkara hasil penyidikan in absentia keterangan
tersangka tidak ada. Meskipun keterangan tersangka tidak ada, namun Berita
Acara Permintaan Keterangan seharusnya tetap dilampirkan dan wajib memuat
identitas tersangka secara lengkap mengacu pada ketentuan Pasal 143 ayat (2)
188 Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU TPK dan penjelasannya. 189 Pasal 33 UU TPK dan penjelasannya.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
78
huruf a KUHAP yaitu memuat nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal
lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
Pentingnya identitas ini karena akan dituangkan di dalam dan menjadi syarat
formil dari sahnya suatu surat dakwaan yang akan diajukan ke depan
persidangan.190
Ketidakhadiran tersangka tidak memberikan keterangan, oleh penyidik
dituangkan pada Berita Acara sebagai catatan, bahwa tersangka telah dipanggil
secara patut, tetapi tidak hadir atau dengan kata lain tidak memenuhi panggilan
permintaan keterangan. Catatan dimaksud dilengkapi dengan masing-masing
nomor dan tanggal surat, alamat yang dituju, nama penerimanya dan relaas dari
surat panggilan serta ditutup dengan tanda tangan penyidik yang mendapat
perintah untuk melakukan permintaan keterangan.191
Meskipun tidak diatur dalam undang-undang, untuk membuktikan
tindakan penyidik telah optimal, sebaiknya dimintakan bantuan berbagai pihak
untuk turut serta mencari tersangka dan dibuat Daftar Pencarian Orang (DPO).
Untuk kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan, sebaiknya surat panggilan,
relaas, surat permintaan bantuan pencarian tersangka dan DPO dilampirkan dalam
berkas perkara menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.192 Untuk
lengkapnya susunan berkas hasil penyidikan in absentia mengacu kepada susunan
secara umum disesuaikan dengan kebutuhan berkas perkara menurut Pasal 8, 12,
75, 110, 121 dan 138 KUHAP.
Berkas perkara hasil penyidikan baru dapat dilimpahkan ke Pengadilan
apabila memenuhi kelengkapan formil dan materiil. Kelengkapan formil berkas
perkara hasil penyidikan antara lain seperti setiap tindakan yang dituangkan dalam
berita acara harus dibuat oleh pejabat yang berwenang (penyidik) atas kekuatan
sumpah jabatan dan ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat tindakan
tersebut, memuat identitas tersangka, saksi atau ahli secara lengkap, surat
panggilan yang dilakukan secara patut terhadap tersangka, pelaksanaan upaya
paksa (penggeledahan dan penyitaan) sesuai dengan ketentuan hukum acara
pidana dan tindakan lain yang dibenarkan undang-undang. Sedangkan
190 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 29. 191 Ibid. 192 Ibid.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
79
kelengkapan materiil antara lain dalam berita acara pemeriksaan saksi, ahli dan
tindakan lain tersebut harus memuat perbuatan melawan hukum sesuai dengan
pasal dari tindak pidana yang disangkakan, adanya kesalahan yang didukung
minimal 2 (dua) alat bukti yang memenuhi unsur pasal yang disangkakan, tempus
dan locus delictie. Kelengkapan formil dan materiil ini sangat penting mengingat
berkas perkara hasil penyidikan adalah dasar dari substansi surat dakwaan
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Jika surat
dakwaan tidak memenuhi dimaksud, maka surat dakwaan dapat dinyatakan batal
demi hukum.193
4.2.2. Penuntutan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi
Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik menyerahkan berkas
perkara kepada Penuntut Umum KPK. Penuntut Umum mempunyai waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas
perkara dari penyidik, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada
Pengadilan Negeri.194 Tuntutan dalam perkara in absentia tidak berbeda dengan
tuntutan dalam perkara biasa. Dalam tuntutan pidana perkara in absentia seperti
lazimnya dalam perkara biasa memuat identitas terdakwa, dakwaan, uraian fakta
hukum alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan serta analisa pembuktian
unsur-unsur pasal yang dirumuskan di dalam dakwaan mengacu kepada alat bukti
yang diperoleh di depan persidangan. Selain itu, dalam tuntutan harus memuat
alasan memberatkan dan meringankan yang menjadi dasar permintaan Jaksa
Penuntut Umum yang dituangkan dalam diktum tuntutan pidana.195
Dalam proses penuntutan berkaitan dengan pembuktian terdapat beberapa
ketentuan yang bersifat khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 37 dan 37 A UU
TPK yaitu :
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi,
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan
193 Ibid., hal. 31 – 32. 194 Pasal 52 ayat (1) UU KPK. 195 Op.cit., hal. 32.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
80
sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti,
(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan
harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi
yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan,
(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya, maka
keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi,
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan
tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU TPK dan Pasal 5
sampai dengan 12 UU ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.
Ketentuan pasal tersebut di atas merupakan penyimpangan dari ketentuan
KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya
tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini, apabila terdakwa dapat
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, penuntut umum
tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya atau membuktikan bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian ini disebut
dengan sistem semi terbalik.196 Penerapan sistem pembuktian terbalik dalam
tindak pidana korupsi menunjukkan bahwa terdakwa mendapatkan perlindungan
hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar dan berkaitan
dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan tidak
mempersalahkan dirinya sendiri (non-self incrimination).
4.2.3. Pemeriksaan dan Persidangan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi
Pada dasarnya pemeriksaan terhadap terdakwa dalam sidang pengadilan
mengharuskan kehadiran terdakwa, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 154
ayat (4) KUHAP dan Pasal 18 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan
Pasal 18 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa pengadilan
196 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil …., Op.cit., hal. 409.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
81
memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa kecuali
apabila undang-undang menentukan lain. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui
bahwa kehadiran terdakwa di sidang pengadilan merupakan suatu keharusan atau
kewajiban. Namun, undang-undang juga menentukan adanya pengecualian jika
undang-undang yang berlaku khusus menentukan lain.
Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat
(1) UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, yakni menyangkut ketentuan adanya
pengecualian dalam undang-undang khusus yang menentukan lain. Ketentuan ini
menunjuk pula pada penjelasan Pasal 154 ayat (4) KUHAP yang menyebutkan
bahwa kehadiran terdakwa di sidang merupakan kewajiban terdakwa, bukan
merupakan hak, jadi terdakwa harus hadir di sidang pengadilan. Dengan
demikian, tanpa kehadiran terdakwa, pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
perkara tindak pidana tidak dapat dilangsungkan. Terkecuali apabila undang-
undang menentukan lain, maksud lain dari undang-undang yang bersifat khusus
ini adalah adanya pengecualian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa
kehadiran terdakwa pemeriksaan terus berlanjut sampai dengan penjatuhan
hukuman tanpa hadirnya terdakwa.
Terdapat beberapa kondisi ketidakhadiran terdakwa di sidang pengadilan
dalam perkara tindak pidana korupsi yaitu :
(1) Ketidakhadiran terdakwa tersebut berlangsung secara terus-menerus sejak
sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim197
sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya
dalam perkara tindak pidana korupsi, atau
(2) Ketidakhadiran terdakwa tersebut hanya berlangsung pada satu atau beberapa
kali di antara sidang-sidang pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan
dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim198 sampai dengan sidang
pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak
pidana korupsi.
Agar sidang pengadilan dapat dilangsungkan tanpa kehadiran terdakwa,
oleh Pasal 38 ayat (1) ditentukan harus dipenuhi beberapa syarat yaitu : (1)
terdakwa telah dipanggil secara sah; dan (2) terdakwa tidak hadir di sidang
197 Lihat : Pasal 153 ayat (3) KUHAP. 198 Lihat : Pasal 154 ayat (3) dan (4) KUHAP.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
82
pengadilan tanpa alasan yang sah. Pemeriksaan dan diputusnya perkara tindak
pidana korupsi baru boleh dilakukan apabila terdakwa telah dipanggil secara sah
dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah. Jadi, syarat mutlak
dilaksanakannya pemeriksaan dan persidangan in absentia adalah : (1) harus
dipanggil terlebih dulu secara sah, dan (2) tidak hadir tanpa alasan yang sah.
Sedangkan apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang sah", baik di dalam
KUHAP maupun di dalam UU TPK tidak ada ketentuan yang dapat memberikan
petunjuk, sehingga apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang sah" dalam
Pasal 38 ayat (1) sepenuhnya tergantung dari pertimbangan hakim untuk
menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan oleh terdakwa.199
Dalam UU TPK syarat-syarat pemanggilan dimaksud tidak diatur secara
khusus sehingga dalam pelaksanaannya mengacu pada ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 145 dan 146 KUHAP yaitu :
(1) Panggilan berbentuk surat panggilan
Pasal 145 ayat (1) mengatur bahwa panggilan terhadap terdakwa atau saksi
harus berbentuk surat panggilan. Pasal 146 ayat (1) selanjutnya menentukan hal-
hal yang harus dipenuhi surat panggilan yaitu harus memuat : (a) tanggal, hari
serta jam sidang, (b) tempat persidangan, (c) alasan pemanggilan (dalam perkara
atau tindak pidana yang didakwakan).
(2) Panggilan harus disampaikan
Bagi terdakwa yang berada di luar tahanan :
(a) Surat panggilan disampaikan secara langsung kepada terdakwa di alamat
tempat tinggalnya.
(b) Surat panggilan disampaikan di tempat kediaman terakhir, apabila tempat
tinggal terdakwa tidak diketahui
(c) Surat panggilan disampaikan melalui Kepala Desa yang berdaerah hukum
di tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir terdakwa jika terdakwa
tidak berada atau dijumpai di tempat tinggalnya atau tempat kediaman
terakhir. Jadi jika terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau secara
kebetulan sedang tidak ada, maka surat panggilan dapat disampaikan
melalui Kepala Desa tanpa mengabaikan ketentuan Pasal 227 ayat (2)
199 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal. 654.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
83
KUHAP yang menegaskan bahwa petugas yang menyampaikan panggilan
bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil.
(d) Surat panggilan ditempelkan pada papan pengumuman di pengadilan yang
mengadili perkara tersebut apabila tempat tinggal maupun tempat
kediaman terakhir terdakwa tidak diketahui atau tidak dikenal. Mengacu
pada Pasal 145 ayat (5) ini, surat panggilan agar dapat berdaya guna
sebenarnya dapat dilakukan melalui media cetak atau elektronik.
(3) Surat tanda penerimaan
Pasal 145 ayat (4) mengatur bahwa setiap orang yang menerima surat
panggilan, baik terdakwa atau saksi harus menandatangani surat tanda penerimaan
(relaas). Relaas merupakan bukti telah disampaikannya surat panggilan. Ini
merupakan hal yang sangat penting bagi kepastian hukum. Hal ini dikarenakan
pada masa lalu sering terjadi hakim mengeluarkan perintah penangkapan atas
alasan keingkaran terdakwa menghadiri persidangan sekalipun panggilan sudah
disampaikan kepadanya secara sah, dalam persidangan terdakwa membantah dan
menganggap penangkapan tidak sah karena panggilan tidak pernah disampaikan
penuntut umum kepadanya.
Untuk menghindari saling salah menyalahkan, maka Pasal 145 ayat (4)
sebagai alat pembuktian tentang sampai tidaknya suatu panggilan. Ketentuan ini
memperluas orang-orang yang dapat menerima surat panggilan, yaitu bukan
hanya terdakwa atau Kepala Desa saja, tetapi dapat diterima juga oleh orang lain
atau melalui orang lain. Orang lain tersebut harus menerima surat panggilan
dengan tanda penerimaan. Orang lain dimaksud, menurut penjelasan Pasal 145
ayat (4) ialah keluarga atau penasihat hukum. Surat panggilan yang disampaikan
penuntut umum melalui keluarga atau penasihat hukum di alamat tempat tinggal
atau tempat kediaman terakhir terdakwa, dianggap telah dilakukan dengan
sempurna dan panggilan telah dianggap sah.
Keluarga atau penasihat hukum yang menerima surat panggilan harus
membuat surat tanda penerimaan. Hal ini diharapkan dapat mempercepat proses
pemeriksaan. Penyampaian surat panggilan kepada keluarga atau penasihat hukum
dianggap rasional dan wajar sebab keluarga atau penasihat hukum terdakwa
adalah orang yang secara moral dan hukum ikut bertanggungjawab menghadirkan
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
84
terdakwa di depan sidang pengadilan.200 Terdapat kemungkinan orang yang
dipanggil atau yang menerima surat panggilan tidak mau menandatangani relaas.
Dalam hal seperti ini, petugas mencatat alasannya (Pasal 227 ayat (2) KUHAP).
(5) Tenggang waktu penyampaian surat panggilan
Surat panggilan sudah diterima selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum
hari persidangan dimulai. Penuntut umum harus memperhatikan ketentuan ini.
Surat panggilan yang disampaikan kurang dari tenggang waktu ini dianggap tidak
sah dan tidak ada kewajiban hukum bagi terdakwa untuk mematuhi panggilan
tersebut. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 227 ayat (1) KUHAP yang mengatur
tentang tenggang waktu penyampaian surat panggilan memuat kata “harus” yang
secara lengkap berbunyi :
“Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir.”
Selain itu, tujuan tenggang waktu 3 (tiga) hari dimaksudkan untuk memberi
kesempatan waktu yang memadai bagi terdakwa untuk mempersiapkan
pembelaan diri atau untuk mencari penasihat hukum yang diperlukan.201
Ketentuan tenggang waktu pemanggilan dan pemberitahuan berlaku untuk semua
tingkat pemeriksaan baik kepada terdakwa, saksi atau ahli.
Ketentuan terkait tenggang waktu sifatnya tidak mutlak karena seandainya
surat panggilan sidang disampaikan penuntut umum kepada terdakwa kurang dari
3 (tiga) hari sebelum sidang dimulai, namun demikian terdakwa bersedia dengan
rela perkaranya disidangkan, kerelaan seperti ini tidak menghalangi sahnya
pemeriksaan dilakukan. Asal benar-benar ditanya kerelaan dan kesediaan
terdakwa untuk diperiksa dalam sidang pengadilan. Jika terdakwa keberatan, tidak
ada alternatif lain selain memundurkan sidang pada hari dan tanggal yang
ditentukan kemudian. Apalagi jika diperhatikan angka 18 Lampiran Keputusan
Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03/1983 batas waktu 3 (tiga) hari
tersebut ditolerir. Sekalipun tenggang waktu pemanggilan ditolerir dalam
keputusan dimaksud, terkait dengan Pasal 112 ayat (1) yaitu pemanggilan dalam
200 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 26. 201 Ibid., hal. 27.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
85
taraf penyidikan tetapi keputusan tersebut meliputi juga pemanggilan dalam
pemeriksaan pemanggilan. Keputusan Menteri Kehakiman tersebut dalam
pelaksanaannya terkait dengan “pengertian tenggang waktu yang wajar”,
disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat, dan tidak dapat dianalogikan
dengan penjelasan Pasal 152 ayat (2) dimana ditentukan waktu 3 (tiga) hari.202
Apabila tempat tinggalnya tidak dikenal, untuk perkara dalam proses
penuntutan ditempelkan di papan pengumuman pengadilan yang berwenang
mengadilinya. Sedangkan dalam proses penyidikan untuk memudahkan
pemanggilan dapat dilakukan melalui media cetak nasional dan lokal.203 Demikian
pemanggilan secara sah, apabila setelah diumumkan tidak juga hadir maka sidang
in absentia dapat dilakukan.204
Dalam penyidikan dan persidangan in absentia, prosedur pemanggilan
tersangka dan terdakwa memegang peranan penting sebab jika prosedur
pemanggilan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak sah
menurut perintah ketentuan undang-undang, maka surat dakwaan akan dinyatakan
tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penyidikan yang sah
jika itu merupakan putusan judex factie karena pemanggilan terdakwa tidak
dilaksanakan sebagaimana mestinya dan putusan judex factie dapat dibatalkan
oleh judex juris mengacu kepada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2026
K/Pid/1986 tanggal 29 Agustus 1987 dalam perkara in absentia atas nama
terdakwa Frans Limanax yang didakwa melanggar Pasal 16 ayat (7) jo ayat (8)
Undang-Undang Nomor 7/Drt/Tahun 1955 jo Undang-Undang Nomor
15/Perpu/1962 jo Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1969 tentang Penetapan
Berbagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang menjadi Undang-
Undang.205
Permasalahan yang muncul kemudian adalah terkait ketidakhadiran
terdakwa sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum
oleh hakim (Pasal 153 ayat (3) KUHAP) secara terus-menerus dengan alasan yang
sah. Apakah sidang pengadilan dapat berlangsung terus tanpa kehadiran
202 Ibid. 203 Ibid., hal. 28. 204 Adami Chazawi, Op.cit., hal. 392. 205 Ibid.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
86
terdakwa? Ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU TPK tidak dapat diterapkan, karena
tidak dipenuhinya salah satu syarat, yaitu tidak hadirnya terdakwa tersebut di
sidang pengadilan harus tanpa alasan yang sah. Cara yang dapat ditempuh adalah
dengan mengikuti Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 2 Februari 2001 Nomor
1846 K/Pid/2000 tersebut di atas yaitu karena terdakwa terus-menerus tidak dapat
hadir di sidang pengadilan dengan alasan yang sah, maka tuntutan Penuntut
Umum dinyatakan tidak dapat diterima.
Sebelum putusan Mahkamah Agung RI tersebut, telah ada Putusan
Mahkamah Agung RI tanggal 23 Desember 1980 Nomor 121 K/Kr/1980 dan atas
dasar putusan Mahkamah Agung RI ini, Mahkamah Agung RI lalu memberikan
petunjuk seperti tertuang di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 22
Januari 1981 Nomor 1 Tahun 1981,206 yaitu dalam hal perkara yang diajukan oleh
Penuntut Umum, terdakwanya sejak semula tidak hadir dan sejak semula tidak
ada jaminan bahwa terdakwa dapat dihadapkan di persidangan, perkara demikian
dinyatakan tidak dapat diterima.
Sebagaimana telah ditentukan, yang dimaksud tanpa kehadiran terdakwa
di sidang pengadilan seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (1) UU TPK
adalah termasuk tanpa kehadiran terdakwa pada satu atau beberapa kali di antara
sidang-sidang pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka
untuk umum oleh hakim sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim
menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi. Berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) UU TPK, dapat
diketahui bahwa jika terdakwa yang semula tidak (pernah) hadir di sidang
pengadilan dan kemudian hadir di sidang pengadilan, maka pada waktu terdakwa
hadir di sidang pengadilan, wajib dilakukan pemeriksaan oleh hakim. Jadi,
meskipun diperkenankan adanya sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa
dalam perkara tindak pidana korupsi, tetapi jika sampai terdakwa hadir di sidang
pengadilan, terdakwa wajib diperiksa oleh hakim.
Dalam sidang pengadilan tersebut, yaitu pada waktu terdakwa hadir Pasal
38 ayat (2) UU TPK ditentukan lebih lanjut sebagai berikut :
(1) Saksi yang telah memberikan keterangan di sidang pengadilan pada waktu
206 Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1979 – 1985, hal. 84.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
87
terdakwa tidak hadir dianggap telah memberikan keterangannya di sidang
pengadilan pada waktu terdakwa hadir. Jadi, saksi tidak perlu dipanggil lagi
untuk diminta keterangannya dan hakim dapat menolak jika ada permintaan
dari terdakwa agar saksi tersebut dipanggil lagi.
(2) Surat-surat yang dibacakan di sidang pengadilan pada waktu terdakwa tidak
hadir, dianggap telah dibacakan di sidang pengadilan pada waktu terdakwa
hadir.
Jadi, surat-surat tidak perlu dibaca lagi dan hakim dapat menolak jika ada
permintaan dari terdakwa agar surat-surat tersebut dibaca lagi.
Ketentuan tentang saksi dan surat-surat sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 38 ayat (2) UU TPK sifatnya tidak imperatif, maka hakim dapat saja
memenuhi apa yang diminta oleh terdakwa seperti di atas, hanya jika sampai
hakim memenuhi permintaan terdakwa tersebut, asas peradilan yang dilakukan
dengan cepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan
Kehakiman berkurang fungsinya.
Yang dimaksud dengan "tanpa kehadiran terdakwa" dalam Pasal 38 ayat
(3) UU TPK adalah tanpa kehadiran terdakwa di sidang pengadilan tanpa alasan
sah ketika hakim menjatuhkan putusannya, meskipun terdakwa tersebut telah
dipanggil secara sah. Tidak menjadi masalah apakah tidak hadirnya terdakwa
tersebut berlangsung secara terus-menerus atau hanya pada satu atau beberapa kali
sidang pengadilan, tetapi yang menjadi tolok ukur adalah ketika hakim
menjatuhkan putusan terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang sah, meskipun
terdakwa tersebut telah dipanggil secara sah.
Setelah hakim menjatuhkan putusannya, tindak lanjut dari Penuntut Umum
adalah seperti yang ditentukan juga dalam Pasal 38 ayat (3) UU TPK, yaitu
dengan alternatif sebagai berikut:
(1) Mengumumkan putusan hakim tersebut pada : papan pengumuman
pengadilan, yaitu adalah papan pengumuman pengadilan negeri, papan
pengumuman pada kantor pemerintah daerah, atau
(2) Putusan hakim tersebut diberitahukan kepada kuasa dari terdakwa.
Putusan hakim yang diumumkan atau yang diberitahukan kepada kuasa dari
terdakwa tersebut, oleh penjelasan Pasal 38 ayat (3) UU TPK cukup berupa
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
88
petikan surat putusan pengadilan, yaitu seperti yang dimaksud oleh ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 226 ayat (1) KUHAP.
Jika pemeriksaan sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi,
terdakwanya lebih dari seorang dan ketika hakim menjatuhkan putusan ada
terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah, meskipun terdakwa tersebut
telah dipanggil secara sah, maka tindak lanjut dari Penuntut Umum adalah juga
seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (3) UU TPK. Dalam hal terdakwa
hadir di sidang pengadilan setelah hakim menjatuhkan putusan berupa pidana,
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (3) huruf d
KUHAP dapat mengajukan permohonan banding terhadap putusan hakim
tersebut.
Upaya hukum yang berupa banding ini, menurut ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 38 ayat (4) UU TPK juga dapat diajukan oleh terdakwa yang tidak
hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, meskipun terdakwa tersebut
telah dipanggil secara sah.207 Dengan demikian, dalam perkara tindak pidana
korupsi, apakah terdakwa hadir atau tidak hadir di sidang pengadilan dan
ketidakhadirannya tanpa alasan yang sah, terdakwa dapat mengajukan upaya
hukum, yaitu permohonan banding terhadap putusan hakim tersebut.
Ketentuan tersebut secara langsung akan mendorong terdakwa perkara
tindak pidana korupsi untuk tidak hadir di sidang pengadilan dengan berbagai
macam alasan, karena dengan melalui kuasanya terdakwa masih dapat
mengajukan permohonan banding. Dalam rangka mengantisipasi hal tersebut,
mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA RI) tanggal 10
Desember 1988 Nomor 6 Tahun 1988 tentang Penasihat Hukum atau Pengacara
yang Menerima Kuasa dari Terdakwa atau Terpidana In Absentia, memerintahkan
agar Ketua Pengadilan Tinggi dan Negeri menolak atau tidak melayani Penasihat
Hukum atau Pengacara yang mendapat kuasa dari terdakwa yang tidak hadir,
sehingga hal terdakwa untuk mengajukan upaya hukum menjadi tertutup.
SEMA RI tersebut sejalan dengan ketentuan pasal 38 ayat (6) UU TPK
karena tujuan persidangan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi adalah
dalam rangka menyelamatkan keuangan negara atau mengembalikan kerugian
207 Perhatikan perumusan Pasal 38 ayat (4) yang menentukan: " ... atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)".
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
89
negara, maka penetapan pengadilan merampas barang-barang yang disita diajukan
dalam persidangan oleh penuntut umum dinyatakan tidak dapat dimintakan
banding.208 Sebagai penetapan pengadilan, maka sudah tepat jika Pasal 38 ayat (6)
menentukan bahwa penetapan perampasan barang-barang sebagaimana yang
dimaksud Pasal 38 ayat (5) tidak dapat dimohonkan banding, karena yang dapat
dimohonkan banding menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 KUHAP
hanya putusan pengadilan.
Selanjutnya Penjelasan Pasal 38 ayat (7) UU TPK menyebutkan bahwa
ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga yang
beritikad baik. Berdasarkan ketentuan ini, dapat diketahui bahwa sebenarnya yang
dimaksud dengan kalimat "orang yang berkepentingan" dalam Pasal 38 ayat (7)
UU TPK adalah pihak ketiga yang beritikad baik. Dengan demikian, jika
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (7) UU TPK dibandingkan dengan
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19 ayat (2) UU TPK, akan ditemui
persamaan dan perbedaan antara lain sebagai berikut :
(1) Persamaan Pasal 38 ayat (7) UU TPK dan Pasal 19 ayat (2) UU TPK adalah :
(a) Memberikan hak kepada pihak ketiga untuk mengajukan keberatan
terhadap putusan atau penetapan pengadilan tentang perampasan barang-
barang, karena ternyata terdapat barang-barang kepunyaan yang didapat
dengan itikad baik;
(b) Keberatan diajukan oleh pihak ketiga ke pengadilan yang telah
menjatuhkan putusan atau penetapan perampasan barang-barang karena
ternyata terdapat barang-barang kepunyaannya yang didapat dengan itikad
baik.
(2) Perbedaan Pasal 38 ayat (7) UU TPK dan Pasal 19 ayat (2) UU TPK adalah :
(a) Tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (7) UU TPK untuk
mengajukan keberatan adalah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal pengumuman penetapan yang dikeluarkan pengadilan tanpa
kehadiran terdakwa, sedang tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal
19 ayat (2) UU TPK untuk mengajukan keberatan adalah dalam waktu 2
(dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk
208 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 15 – 17.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
90
umum;
(b) Produk yang dikeluarkan oleh pengadilan atas dasar ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 38 ayat (7) UU TPK adalah berbentuk penetapan,
sedangkan apa yang dijatuhkan oleh pengadilan berdasarkan Pasal 19 ayat
(2) UU TPK adalah berbentuk putusan;
(c) Pada waktu pengadilan mengeluarkan penetapan tentang perampasan
barang-barang seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (2) UU TPK
terdakwa telah meninggal dunia sebelum penetapan pengadilan
dikeluarkan, sedangkan pada waktu pengadilan menjatuhkan putusan
pidana tambahan berupa perampasan barang-barang seperti yang
ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) UU TPK, terdakwa belum meninggal
dunia.
Jika ketentuan Pasal 38 ayat (7) UU TPK dikaitkan dengan Pasal 38 ayat
(3) dan (5) UU TPK dapat diketahui hal-hal sebagai berikut :
(1) Jika keberatan diajukan masih dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan pengadilan oleh Penuntut
Umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah atau
sejak diberitahukan kepada kuasa terdakwa, maka pemeriksaan terhadap
keberatan dilakukan oleh pengadilan yang telah mengeluarkan penetapan
tersebut.
(2) Jika keberatan ternyata tidak benar, pengadilan mengeluarkan penetapan yang
isinya menolak keberatan tersebut. Terhadap penetapan pengadilan ini oleh
Pasal 38 tidak ditentukan adanya suatu upaya hukum yang dapat dipergunakan
oleh pihak ketiga yang telah mengajukan keberatan.
(3) Jika keberatan ternyata diterima, pengadilan mengeluarkan penetapan yang
isinya membenarkan keberatan tersebut. Penetapan ini selanjutnya oleh jaksa
dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk tidak melaksanakan penetapan
pengadilan tentang perampasan barang-barang yang terbatas hanya yang
disebutkan dalam penetapan pengadilan yang membenarkan keberatan
tersebut.
(4) Jika keberatan diajukan sudah lewat tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari
terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan oleh penuntut umum pada
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
91
papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah atau sejak
diberitahukan kepada kuasa terdakwa, keberatan diajukan dengan cara
gugatan perdata ke pengadilan negeri sesuai dengan kompetensi relatifnya209
Dalam penjelasan Pasal 38 ayat (7) UU TPK disebutkan bahwa tenggang
waktu 30 (tigapuluh) hari tersebut dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan
putusan pengadilan tentang perampasan barang-barang yang memang berasal dari
tindak pidana korupsi. Berdasarkan hal tersebut, maka sebelum lewat tenggang
waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan tentang
perampasan barang-barang, jaksa sebaiknya jangan melaksanakan penetapan
pengadilan tersebut, karena masih dimungkinkan pihak ketiga mengajukan
keberatan dan keberatan masih dimungkinkan diterima oleh pengadilan, tetapi jika
tenggang waktu sudah lewat, jaksa tidak perlu khawatir untuk melaksanakan
penetapan pengadilan yang dimaksud.
Di dalam penjelasan Pasal 38 ayat (7) UU TPK tidak disebutkan seperti
halnya pada penjelasan Pasal 19 ayat (3) UU TPK bahwa apabila keberatan pihak
ketiga diterima oleh hakim setelah pelaksanaan penetapan pengadilan, negara
berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang
atas barang-barang yang dirampas. Penjelasan Pasal 19 ayat (3) UU TPK dapat
diterapkan pada pelaksanaan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 38 ayat (7)
UU TPK, karena dengan diterimanya keberatan, pihak ketiga yang beritikad baik
harus mendapat perlindungan hukum seperti yang disebutkan dalam penjelasan
Pasal 19 ayat (3) UU TPK, yaitu negara mengganti kerugian kepada pihak ketiga
sebesar nilai hasil lelang atas barang-barang yang dirampas.
4.2.4. Upaya Pengembalian Aset dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi
Salah satu instrumen dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi adalah dengan menggunakan instrumen pidana yang dilakukan melalui
proses penyitaan dan perampasan. Untuk aset-aset hasil tindak pidana korupsi
yang berada di wilayah Indonesia, penyitaan dilakukan berdasarkan Pasal 47 UU
KPK. Sedangkan perampasan adalah berupa putusan tambahan pada pidana pokok
yaitu selain berupa pidana tambahan dalam KUHP juga termasuk pidana
209 Pasal 118 HIR - Pasal 142 Rbg.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
92
tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU TPK.
Berkaitan dengan pidana tambahan, Pasal 17 UU TPK mengatur bahwa :
“Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal
5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18.” Kata “dapat” dalam pasal ini menciptakan situasi yang
tidak pasti karena apakah terdakwa dituntut dan dijatuhi hukuman tambahan
sangat tergantung dari itikad baik jaksa penuntut dan hakim yang memutus
perkara korupsi.
Peluang untuk tidak membayar uang pengganti secara penuh juga muncul
dalam Pasal 18 ayat (3) yang menyebutkan :
“Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam UU ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.”
Adanya substitusi dari keharusan membayar uang pengganti dengan kurungan
badan yang lamanya tidak melebihi ancaman hukuman maksimum pidana
pokoknya, menciptakan peluang bagi pelaku tindak korupsi untuk memilih
memperpanjang masa hukuman badan dibandingkan harus membayar uang
pengganti.
Pasal 18 ayat (1) huruf a UU TPK menyatakan bahwa perampasan harta
atau kekayaan hanya ditujukan kepada terpidana. Padahal modus
menyembunyikan harta kekayaan hasil korupsi biasanya dengan menggunakan
keluarga, sanak saudara atau orang kepercayaan. Ketentuan ini dapat
mengakibatkan strategi untuk menyembunyikan harta dan kekayaan hasil tindak
pidana korupsi menjadi lebih mudah. Pembatasan besaran uang pengganti
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor, juga berpotensi
menyulitkan usaha memaksimalkan pengembalian hasil tindak pidana korupsi.
Pembatasan dimaksud adalah bahwa besaran uang pengganti yang bisa dijatuhkan
sama dengan uang yang diperoleh dari kejahatan korupsi atau sebesar yang bisa
dibuktikan di pengadilan. Pemahaman ini sangat konvensional, mengingat tindak
pidana korupsi adalah tergolong kejahatan luar biasa yang tidak dapat disamakan
dengan kejahatan lain yang dikategorikan biasa. Argumentasinya, dampak korupsi
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
93
bukan hanya merugikan keuangan negara, akan tetapi membawa penderitaan
sosial, merusak lingkungan hidup, membengkaknya angka kemiskinan yang tidak
dapat sekedar dibayar dengan uang pengganti yang nilainya sama dengan uang
yang dikorupsi.
Tata cara menyembunyikan harta hasil tindak pidana korupsi semakin
berkembang dengan berbagai modusnya. Lazimnya, pelaku tindak pidana korupsi
akan melakukan investasi besar-besaran dari hasil tindak pidana korupsinya dalam
berbagai jenis dan kegiatan usaha. Modus yang sering ditemukan adalah
pembelian properti berupa rumah, apartemen, hotel, tanah dan lain-lain. Selain itu
juga investasi dalam bentuk emas, saham dan asuransi jiwa. Untuk menghapus
jejaknya, pelaku tindak pidana korupsi seringkali mengatasnamakan harta
kekayaannya kepada orang lain.
Kesulitan untuk mendeteksi hasil tindak pidana korupsi semakin
bertambah apabila kegiatan memindahkan harta kekayaan sudah melampaui batas
negara. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan pelaku ke
luar negeri ini dapat dilakukan dengan mengacu pada ketentuan KAK adalah
terdiri dari 4 (empat) tahap yang terdiri dari : (1) pelacakan aset untuk melacak
aset, (2) tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan aset-aset
melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan, (3) penyitaan, dan hanya setelah
melalui dan memenuhi tahapan-tahapan tersebut baru dapat dilaksanakan tahap
(4) penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat aset
diperoleh secara tidak sah. Salah satu sorotan dalam pembentukan KAK adalah
upaya pengembalian aset yang langsung maupun tidak langsung dibeli/diperoleh
secara tidak sah. Seringkali aset-aset tersebut sedemikian besar jumlahnya
sehingga dalam pengembaliannya memerlukan prosedur yang tidak mudah.210
Keberhasilan pelacakan tindak pidana pencucian uang, tindak pidana
korupsi di sektor publik, dan tindak pidana ekonomi pada umumnya, sangat
bergantung kepada kemampuan investigator dalam mencari jejak kepemilikan
uang dan aset-aset yang diperoleh secara tidak sah atau mencari pelaku-
pelakunya.211 Pelacakan seringkali memperlihatkan adanya itikad jahat,
210 Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 210 211 William R Schoeder, A Review Article, How To Do Financial Asset Investigations : A
Practical Guide for Private Investigators, Collections Personnel, and Asset Recovery Specialists,
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
94
mengidentifikasi pelaku serta dapat membuka jalan sampai pada perampasan dan
penyerahan hasil yang diperoleh secara tidak sah.
Untuk kepentingan investigasi dan pelacakan aset-aset yang diperoleh
secara tidak sah, KAK mengharuskan negara pihak melakukan tindakan-tindakan
yang diperlukan agar dapat mengidentifikasi dan melacak aset-aset tersebut dalam
sistem hukum nasional masing-masing negara dengan tujuan untuk penyitaan.212
Jika badan yang berwenang negara korban asal tempat aset diperoleh secara tidak
sah hendak mengidentifikasi dan melacak aset-aset yang diperoleh secara tidak
sah yang berada dalam yurisdiksi hukum negara penerima, badan yang berwenang
negara korban harus harus mengajukan permintaan kepada badan yang berwenang
negara korban. Atas permintaan tersebut, badan yang berwenang negara penerima
harus melakukan tindakan-tindakan mengidentifikasikan dan melacak aset-aset
tersebut.213
Pada tahap pembekuan atau perampasan aset, jika aset-aset yang
dibekukan atau dirampas berada dalam yurisdiksi hukum negara korban,
berdasarkan perintah tersebut pembekuan atau perampasan dapat langsung
dilaksanakan. Jika aset-aset tersebut berada di luar yurisdiksi hukum negara
korban, tetapi berada dalam yurisdiksi hukum negara lain (negara penerima),
pelaksanaan perintah pembekuan dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui
otoritas yang berkompeten dari negara penerima. Terdapat 2 (dua) kemungkinan
cara melaksanakan perintah pembekuan atau perampasan dari negara korban
dalam yurisdiksi hukum negara penerima yaitu :
(1) Jika hukum nasional negara penerima mengizinkan badan yang berwenang
negara tersebut melaksanakan perintah pembekuan dan perampasan yang
dikeluarkan oleh badan berwenang negara lain tempat asal aset diperoleh
secara tidak sah, perintah dari badan yang berwenang negara korban dapat
langsung dilaksanakan.
(2) Jika hukum nasional negara penerima tidak mengizinkan badan-badannya
melaksanakan perintah pembekuan dan perampasan dari badan yang
The FBI Law Enforcement Bulletin, July, 2001, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M. Yanuar, hal. 209.
212 Pasal 31 ayat (2) KAK. 213 Pasal 55 ayat (2) KAK.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
95
berwenang negara lain, otoritas negara korban harus mengajukan permintaan
kepada badan yang berwenang negara penerima untuk mengeluarkan perintah
pembekuan atau perampasan aset-aset yang secara tidak sah ditempatkan di
negara penerima tersebut.214
Idealnya negara penerima harus melakukan tindakan yang diperlukan
untuk mengizinkan badan yang berwenang negara penerima membekukan atau
merampas aset-aset berdasarkan perintah pembekuan atau perampasan yang
dikeluarkan pengadilan atau badan yang berwenang dari negara korban.
Perintah pembekuan atau penyitaan dari badan yang berwenang negara
korban setidak-tidaknya harus memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu (1) perintah
tersebut harus mengandung dasar yang beralasan, sehingga badan yang
berwenang negara penerima yakin bahwa terdapat alasan-alasan yang cukup
untuk melakukan tindakan tersebut; dan (2) aset-aset yang dimintakan pembekuan
atau perampasannya merupakan obyek perintah yang dikeluarkan oleh otoritas
yang berwenang.215
Negara penerima dapat melakukan pembekuan dan perampasan aset
berdasarkan keyakinan yang beralasan, tanpa terlebih dahulu mendapatkan
perintah dari negara korban.216 Ketentuan ini sering diterapkan di Switzerland
dimana jaksa sebagai penuntut umum melakukan tindakan pembekuan aset-aset
dengan dasar keyakinan yang beralasan, tanpa adanya perintah pengadilan dari
negara korban. Sedangkan di Inggris berlaku sebaliknya, Home Office tidak akan
melakukan tindakan sebelum adanya tuntutan pidana di negara korban dan telah
memenuhi syarat bahwa tuntutan tersebut dilakukan secara tepat di negara
korban.217
Salah satu syarat penting untuk melakukan tindakan pembekuan atau
perampasan oleh badan yang berwenang di negara penerima adalah bahwa aset-
aset tersebut merupakan obyek dari perintah penyitaan. Dengan kata lain,
pembekuan atau perampasan aset-aset tersebut merupakan pengamanan sebelum
214 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 211 – 212. 215 Tim Daniel, Repatriation of Looted State Assets : Selected Case Studies and The UN
Convention Against Corruption, (Tranparency International, Bab 5, 6 Januari 2004), hal. 104 – 105, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M. Yanuar, hal. 212.
216 Ibid., hal. 213. 217 Ibid.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
96
dilakukan penyitaan untuk selanjutnya dapat dilakukan penyerahan aset dari
negara penerima kepada negara korban.218
Selanjutnya pada tahap penyitaan aset-aset, perintah penyitaan biasanya
dikeluarkan oleh pengadilan atau badan yang berwenang dari negara penerima
setelah ada putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana pada pelaku tindak
pidana di negara korban. Penyitaan dapat dilakukan tanpa adanya putusan
pengadilan dalm hal pelaku tindak pidana telah meninggal atau menghilang atau
tidak ada kemungkinan bagi jaksa selaku penuntut umum melakukan
penuntutan.219
Dengan perintah penyitaan, pengadilan atau badan yang berwenang dari
negara korban meminta negara penerima untuk melaksanakan perintah penyitaan
tersebut. Ketika hukum nasional negara penerima mengizinkan badan yang
berwenang untuk melaksanakan perintah penyitaan tersebut, perintah penyitaan
dapat dilaksanakan. Namun, jika hukum nasional negara penerima tidak
mengizinkan otoritasnya melaksanakan perintah penyitaan dari negara lain
(negara korban), badan yang berwenang dari negara korban harus mengajukan
permintaan kepada otoritas negara penerima untuk menerbitkan perintah
penyitaan atas aset-aset tersebut.220
Terkadang badan yang berwenang dari negara korban menghadapi
yurisdiksi negara penerima yang tidak kooperatif. Jika hal itu terjadi, terdapat 2
(dua) alternatif sikap yang dapat diambil badan yang berwenang dari negara
korban, yaitu menyerah atau melakukan tindakan-tindakan sepihak. Tindakan-
tindakan sepihak biasanya melanggar hukum dan melanggar yurisdiksi kedaulatan
negara penerima yang tidak kooperatif. Hal ini dapat menimbulkan persoalan
diplomatik yang berdampak pada rusaknya hubungan diplomatik dan dapat
membuat negara penerima yang tidak kooperatif tersebut dengan kedaulatannya
memberlakukan peraturan-peraturan yang lebih ketat yang akan semakin
mempersulit negara korban memperoleh dukungan dan kerja sama dalam
penyitaan aset.221
218 Ibid., hal. 215. 219 Pasal 54 ayat (1) huruf c KAK. 220 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 216. 221 Ibid., hal. 217.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
97
Ketentuan-ketentuan penyitaan dalam KAK mewajibkan negara pihak
untuk melakukan tindakan-tindakan yang perlu dalam rangka melaksanakan
permohonan penyitaan dari negara korban. KAK juga meminta negara pihak
untuk melakukan tindakan-tindakan legislasi dan tindakan-tindakan lain yang
perlu untuk melaksanakan perintah penyitaan dari negara korban. Namun,
tindakan-tindakan tersebut harus berdasarkan sistem hukum nasional negara
pihak.222
KAK tidak mengatur jenis penyitaan dalam pengembalian aset. Sementara
prosedur-prosedur penyitaan beragam menurut sistem-sistem hukum yang
berbeda. Hal ini menimbulkan dilema hukum dalam pelaksanaan penyitaan.
Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan penyitaan adalah : (1) biaya
pelaksanaan, harus seimbang antara biaya investigasi dan biaya selama proses
pengembalian aset dengan nilai aset yang akan kembali, (2) berkaitan dengan hak,
termasuk hak asasi manusia, dari pemilik atas kekayaan yang menjadi pokok
sengketa yang dituntut.223 Kedua hal ini mempunyai hubungan yang krusial.
Semakin lemah hak-hak pelaku tindak pidana atas aset-aset tersebut yang
mungkin disebabkan oleh pembalikan beban pembuktian, penyitaan tanpa
perintah pengadilan, kewajiban untuk memaparkan laporan-laporan yang lengkap
dari profesional yang memberikan jasa kepada si pelaku (bankir, praktisi hukum,
akuntan), alat-alat bukti lain, biaya pengembalian aset makin berkurang.224
Terdapat 2 (dua) sistem penyitaan yaitu (1) sistem penyitaan berdasarkan
properti/kekayaan (in rem system) dan sistem yang berdasarkan nilai (in personam
system). Sehubungan dengan adanya perbedaan sistem tersebut, terdapat masalah
penting yang yang perlu dipahami negara korban dalam tahapan penyitaan yaitu
sebagai berikut :
(1) Sistem hukum penyitaan yang digunakan negara penerima. Hal ini penting
untuk diketahui sejak merencanakan investigasi atau pelacakan aset di negara
penerima untuk memutuskan pencarian aset-aset, apakah hanya aset-aset yang
222 Ibid., hal. 218. 223 Lihat : Pasal 14 ayat (1) KIHSP. 224 Peter Alldridge, Money Laundering Law : Forfeiture, Confiscation, Civil Recovery,
Criminal Laundering and Taxation of the Proceeds of Crime, (Hart Publishing, Oxford and Portland Oregon, 2003), hal . 45, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M. Yanuar, hal. 218 – 219.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
98
diperoleh dari hasil tindak pidana atau semua aset yang dimiliki pelaku tindak
pidana. Jika sistem hukum nasional menganut in rem system, penyitaan
dilakukan atas kekayaan yang berhubungan dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku. Sedangkan jika sistem hukum nasional menganut in
personam system, penyitaan dilakukan hanya atas kekayaan yang dimiliki oleh
pelaku tindak pidana, tanpa melihat apakah ada hubungan antara kekayaan
tersebut dengan tindak pidana. Berdasarkan sistem ini kekayaan apapun yang
dimiliki pelaku tindak pidana, baik yang diperoleh sebelum maupun setelah
dilakukannya tindak pidana, dapat menjadi obyek penyitaan, selama kekayaan
tersebut berada di bawah hak milik pelaku atau terpidana.225
(2) Adanya putusan pengadilan di negara korban dipersyaratkan dalam rangka
melaksanakan perintah penyitaan di negara penerima.226 Sebagian besar
negara memiliki ketentuan-ketentuan penyitaan yang merupakan bagian dari
proses penghukuman pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini berarti untuk
melaksanakan penyitaan dipersyaratkan adanya putusan pengadilan terlebih
dahulu. Namun terdapat juga beberapa negara yang dapat melakukan
penyitaan sekalipun belum ada putusan pengadilan yang menyatakan pelaku
bersalah. Penyitaan dimaksud dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu :
(a) Penyitaan dalam proses peradilan pidana dapat dilakukan tanpa adanya
pemidanaan yang menyatakan terdakwa bersalah.
(b) Penyitaan di luar proses pidana, misalnya melalui proses perdata atau
proses hukum administrasi. Proses penyitaan secara perdata dapat
dilaksanakan tersendiri atau bersamaan dengan proses pidananya.
(3) Standar pembuktian, dalam tahap penyitaan negara-negara harus memahami
standar-standar pembuktian dalam penyitaan di negara penerima. Penyitaan
biasanya dianggap sebagai bagian dari hukuman terhadap terpidana. Hal lain
yang terkait dengan masalah penyitaan adalah perkembangan penggunaan
sistem pembuktian terbalik dalam penyitaan. Kebanyakan negara menerapkan
sistem hukum yang meletakkan kewajiban pembuktian kepada jaksa penuntut
umum. Namun di beberapa negara terjadi perkembangan penggunaan sistem
pembuktian terbalik, yaitu pihak terdakwa harus membuktikan bahwa aset
225 Ibid., 220 – 222. 226 Ibid.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
99
yang dimilikinya bukan merupakan hasil yang diperoleh secara tidak sah.
Penggunaan sistem pembuktian terbalik ini merupakan wewenang pengadilan.
Lazimnya digunakan ketika badan pemerintah telah mengajukan beberapa
bukti yang menunjukkan bahwa kemungkinan aset diperoleh secara tidak sah
atau terdakwa tidak mungkin mendapatkan aset-aset yang dimilikinya
berdasarkan perhitungan penghasilannya yang sah atau resmi.227
Salah satu masalah penting dalam penyitaan adalah hubungan antara
pemidanaan dengan penyitaan; apakah negara korban dapat memperoleh perintah
penyitaan hanya terhadap aset-aset yang berhubungan langsung dengan tindak
pidana pelaku yang telah dihukum atau apakah perintah penyitaan dapat juga
meliputi kekayaan yang diperoleh sebelum pelaku dijatuhi pidana. Di banyak
negara, baik yang menganut sistem kekayaan maupun sistem nilai, yang
menerapkan sistem pembuktian terbalik dapat membuat perintah penyitaan yang
meliputi kekayaan yang diperoleh sebelum pelaku dipidana. ada juga negara yang
menerapkan sistem penyitaan berdasarkan nilai, yang memberlakukan perintah
yang mengandung nilai uang atas seluruh kekayaan terpidana, baik yang diperoleh
secara sah maupun tidak.228
Setelah melalui keseluruhan proses, barulah dapat dilakukan pengembalian
dan penyerahan aset-aset kepada negara korban. Salah satu masalah penting
dalam tahap ini adalah soal pembagian aset antara negara penerima dengan negara
korban. Mayoritas negara-negara mengatur pembagian dan penerimaan aset
melalui perjanjian bantuan hukum dan timbal balik. Terdapat beberapa syarat
yang perlu diperhatikan sebelum melakukan pembagian aset adalah :
(1) Pembagian dan penerimaan aset-aset berlaku hanya dalam kasus-kasus dimana
bantuan diberikan berdasarkan permintaan dari negara korban untuk
membekukan dan menyita aset-aset. Pembagian aset tidak berlaku dalam hal
pemberian bantuan yang berupa investigasi.
(2) Pembagian aset ditetapkan hanya untuk kasus-kasus dengan total nilai aset
lebih dari US$ 1,3 juta.
(3) Pembagian aset dapat dilakukan terhadap kekayaan yang disita dan bukan
dalam hubungan dengan penyitaan nilai tunai
227 Ibid., hal. 230. 228 Ibid., hal. 231.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
100
Karena kebanyakan negara tidak mengatur secara khusus ketentuan pembagian
aset-aset yang dibekukan dan disita, umumnya masalah pembagian aset diatur
dalam perjanjian bantuan hukum timbal balik antara negara korban dan negara
penerima.229
Berdasarkan Pasal 46 KAK yang mengatur tentang kerjasama
internasional, diharapkan upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi efektif dan efisien dapat terlaksana. Tindak pidana korupsi yang diikuti
dengan penempatan aset-aset hasil tindak pidana korupsi di luar negeri merupakan
salah satu tindak pidana yang bersifat global. Para pelaku tindak pidana korupsi
mampu melintas dengan bebas batas yurisdiksi dan geografis antar negara.
Sementara para penegak hukum tidak mudah menembus batas-batas yurisdiksi
dan melakukan penegakan hukum dalam yurisdiksi negara-negara lain.
Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan adanya instrumen hukum
internasional berupa bantuan hukum timbal balik yang memungkinkan kerjasama
antar negara dalam upaya pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi.
Proses-proses hukum untuk memenuhi tahapan-tahapan pengembalian aset
tersebut di atas dapat diadakan dalam yursidiksi negara korban melalui kerjasama
internasional pengembalian aset, antara lain melalui instrumen bantuan hukum
timbal balik. Selain itu, dapat juga dilakukan dalam yurisdiksi negara tempat aset-
aset berada atau ditempatkan, dengan cara pengembalian aset melalui penyitaan
sebagai eksekusi dalam pemidanaan perkara.
Cara tradisional pengembalian aset-aset yang berada di luar yurisdiksi
negara korban adalah melalui bantuan hukum timbal balik. Penyelidikan dan
penyidikan dilakukan di negara korban. Ketika aset-aset hasil tindak pidana
korupsi ditempatkan di luar negeri, negara korban yang diwakili penyelidik atau
penyidik meminta kerjasama dengan negara penerima untuk 2 (dua) tujuan yaitu
mendapatkan alat bukti bagi kepentingan persidangan dan untuk mengamankan
aset-aset tersebut guna kepentingan penyitaan.230
Dengan adanya ketentuan tentang mekanisme pengembalian aset dalam
KAK, persoalan tersebut diharapkan tidak lagi terjadi, sebab ketentuan-ketentuan
ini bertujuan mendorong negara-negara untuk memastikan bahwa hukum nasional
229 Ibid., hal. 232 – 233. 230 Ibid., hal. 235.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
101
mengijinkan pengadilan untuk melaksanakan permintaan penyitaan dan
pembekuan aset dari para pelaku tindak pidana korupsi. Hingga saat ini syarat-
syarat untuk mendapatkan bukti, pengamanan alat-alat bukti yang diperoleh
melalui penyitaan dan pembekuan aset masih tergantung pada perjanjian-
perjanjian bilateral bantuan hukum timbal balik.231
Adanya penyidikan dan penuntutan di negara penerima selain penting
untuk memfasilitasi pembuatan perjanjian bantuan hukum timbal, juga dapat
memperluas cakupan bantuan yang dapat diberikan seperti meliputi bantuan yang
mengesampingkan hukum kerahasiaan bank dalam yurisdiksi negara penerima.
Instrumen hukum bantuan hukum timbal balik terdiri dari 2 (dua) kategori yaitu
(1) permintaan bantuan untuk tujuan-tujuan peradilan, dan (2) permintaan bantuan
polisi dalam pelacakan.232 Sedangkan menurut KAK, pengertian ”bantuan”
dirumuskan lebih luas, yaitu tindakan-tindakan bantuan hukum timbal balik yang
seluas mungkin dalam penyidikan, penuntutan dan proses pengadilan. Bantuan
hukum timbal balik dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian bilateral.
Jenis-jenis bantuan yang dapat diminta oleh negara korban kepada negara
penerima dapat meliputi : (1) tindakan-tindakan investigatif untuk melacak aset-
aset, (2) tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan aset-aset melalui
mekanisme pembekuan dan penyitaan, (3) penyitaan, dan (4) pengembalian aset
dari negara penerima kepada negara korban. Upaya-upaya pengembalian aset
berhadapan dengan rintangan sistem hukum internasional. Masalah ini meliputi
pengumpulan alat-alat bukti yang relevan, keharusan adanya kesaksian, dan
penggunaan alat bukti yang diperoleh dalam investigasi proses pidana untuk
gugatan perdata. Untuk mengatasi rintangan tersebut, KAK menghimbau agar
negara korban dan negara penerima membuat instrumen hukum bantuan hukum
timbal balik. Bantuan hukum timbal balik itu didasarkan pada traktar bilaterat dan
traktat multilateral.
231 Ibid. 232 Ibid., hal. 236.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
102
4.2.5. Putusan Pengadilan yang Menyidangkan Terdakwa Tindak Pidana
Korupsi secara In Absentia
4.2.5.1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :
1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST tanggal 22 Maret 2002 atas nama
Hendra Rahardja (Terdakwa I), Eko Edi Putranto (Terdakwa II)
dan Sherny Kojongian (Terdakwa III)
(1) Kasus Posisi
Para terdakwa diduga secara bersama-sama telah melakukan tindak pidana
korupsi pada tahun 1992 sampai dengan 1996 bertempat di kantor PT Bank
Harapan Sentosa (BHS) yang beralamat di jalan Gajah Mada Nomor 7 Jakarta
Pusat dengan cara menyalurkan kredit kepada perusahaan grup BHS dengan
melampaui batas kredit. BHS mempunyai modal dasar dari para pemegang saham
juga mendapat modal dana yang dihimpun dari masyarakat berbentuk tabungan,
deposito, giro dan lain-lain. Di sampaing itu BHS juga menerima fasilitas Kredit
Likuidasi Bank Indonesia (KLBI) dalam bentuk Kredit Investasi Kecil (KIK) dan
Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), selain itu juga menerima fasilitas
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam bentuk fasilitas overdraft.
Dana-dana tersebut digunakan terdakwa untuk memperkaya diri sendiri
atau memperkaya perusahaan grup BHS. Pada saat BHS mengalami rush, yaitu
pengambilan dana besar-besaran dari masyarakat, BHS kekuarangan dana karena
sebagian besar masih dikuasai oleh perusahaan grup BHS selaku debitur BHS.
Karena kekurangan dana, BHS memohon kepada pemerintah dalam hal ini Bank
Indonesia untuk diberikan bantuan berupa fasilitas overdraft. Pada tanggal 1
November 1997, BHS sudah dalam keadaan tidak sehat dan akhirnya dilikuidasi.
Pada saat itu BHS belum dapat mengembalikan hutangnya pada Bank Indonesia
sehingga mengakibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung telah
merugikan keuangan negara.
Pada saat penghentian operasional dan likuidasi itu berlangsung, Hendra
Rahardja yang menjabat sebagai komisaris sekaligus pemegang saham mayoritas
tidak ditahan dan dengan mengantongi Surat Pernyataan Release and Discharge
kemudian berangkat ke Sidney, Australia, dan bermukim disana. Penyidik Polri
kemudian meminta bantuan Interpol untuk menangkap dan menahan Hendra
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
103
Rahardja yang berada di Sidney, Australia. Alasan penangkapan tersebut adalah
karena Hendra Rahardja diduga melakukan tindak pidana pencucian uang di
Sidney, yang uangnya berasal dari hasil tindak pidana yang dilakukannya di
Indonesia. Interpol kemudian mengeluarkan Interpol Red Notice. Pada tanggal 1
Juni 1999, Hendra Rahardja ditahan oleh Australia Federal Police dan 3 (tiga)
hari kemudian dipindahkan dari tahanan polisi Sidney ke penjara Silverwater di
Sidney. Surat perintah penahanan Hendra Rahardja baru diterbitkan di Indonesia
pada tanggal 18 Juni 1999.
Hendra Rahardja yang ditahan di Sidney mengajukan keberatan atas
penahanannya dan menolak untuk diekstradisi ke Indonesia. Dalam putusan
Federal Court of Australia New South Wales District Registry No. N531 of 2000
tertanggal 1 Agustus 2000, hakim memutuskan untuk tidak mengabulkan
permohonan ektradisi Hendra Rahardja ke Indonesia. Hendra Rahardja kemudian
mengajukan gugatan Habeas Corpus atas penahanannya di New South Wales-
Australia. Kasus tersebut menyangkut penahanan Hendra Rahardja yang terdiri
atas permintaan POLRI kepada Interpol dan pihak Kepolisian Federal Australia
memenuhi permintaan tersebut dan menahannya untuk kemudian diekstradisi ke
Indonesia.
Pengadilan Australia menunda ekstradisi sampai selesainya pemeriksaan
perkara Habeas Corpus yang dilakukan oleh Kuasa Hukum Hendra Rahardja,
Brett Walker, di Sidney – NSW. Pelaksanaan ekstradisi tersebut tertunda karena
adanya dugaan perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.233
Kekhawatiran bahwa Hendra Rahardja akan disiksa dan ditekan dalam penyidikan
membatalkan ekstradisi, sekalipun antara Pemerintah Australia dan Pemerintah
Indonesia telah dibuat perjanjian ekstradisi. 234
(2) Dakwaan
Para terdakwa didakwa dengan surat dakwaan yang disusun secara
kumulatif oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan kesatu terhadap Terdakwa
I, II, dan III dengan Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-
233 Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 188. 234 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi
antara Republik Indonesia dan Australia.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
104
Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal
1 ayat (2) jo Pasal 55 ayat (1) sub 1e jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dakwaan kedua
khusus terdakwa III dengan Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34c
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
(3) Putusan
Setelah diperiksa dan diadili secara in absentia oleh pengadilan Negeri
Jakarta Selatan melalui Putusan Nomor 1032/PID/B/2001/ PN. JKT.PST tanggal
22 Maret 2002 menjatuhkan putusan terhadap terdakwa :
1. HENDRA RAHARDJA, umur 58 tahun, tempat tanggal lahir Makasar 3
Desember 1942, jenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia, tempat
tinggal Jl. Widya Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan, agama Budha, pekerjaan
Mantan Komisaris Utama PT. Bank Harapan Santosa.
2. EKO EDI PUTRANTO, umur 34 tahun, tempat tanggal lahir Jakarta 9 Maret
1967, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Jl. Widya
Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan, agama Budha, pekerjaan Mantan Komisaris
PT. Bank Harapan Sentosa.
3. SHERNY KOJONGIAN, umur 38 tahun, tempat tanggal lahir Manado, jenis
kelamin perempuan, kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Taman Kebon
Jeruk Blok 1.8 No. 6 Jakarta Barat, agama Kristen, pekerjaan Mantan Direktur
PT. Bank Harapan Sentosa.
Amar putusan dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa I, II, dan III yang diadili secara in absentia terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana Korupsi secara
bersama-sama dan berlanjut;
2. Menghukum kepada para terdakwa in absentia tersebut masing-masing :
Terdakwa I dengan pidana penjara seumur hidup, terdakwa II dengan pidana
penjara 20 (dua puluh) tahun, dan terdakwa III dengan pidana penjara 20 (dua
puluh) tahun;
3. Menghukum para terdakwa dengan pidana denda masing-masing sebesar Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
105
dibayarkan harus diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
4. Menyatakan barang bukti yang berupa tanah dan bangunan berikut surat-
suratnya yang terlampir dalam daftar barang bukti dan barang bukti pengganti
berupa hasil lelang barang bukti sebesar Rp. 13.529.150.800,- (tiga belas
milyar lima ratus dua puluh sembilan juta seratus lima puluh ribu delapan
ratus rupiah) dirampas untuk negara;
5. Menghukum para terdakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang
pengganti sebesar Rp. 1.950.995.354.200,- (satu triliun sembilan ratus lima
puluh empat ribu dua ratus rupiah);
6. Menghukum masing-masing terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah);
Pertimbangan Majelis Hakim memeriksa dan mengadili perkara tersebut
secara in absentia adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan penetapan Hakim Ketua Majelis tertanggal 20 Agustus 2001
Nomor : 1032/Pid.B/2001/PN.JKT.PST., telah ditetapkan bahwa pemeriksaan
dalam perkara ini dilakukan tanpa hadirnya para terdakwa (in absentia)
dengan alasan para terdakwa telah dipanggil secara patut oleh Jaksa Penuntut
Umum dan pula atas perintah Majelis Hakim Jaksa Penuntut Umum telah
melakukan pemanggilan melalui surat kabar : Media Indonesia, Terbit,
Republika, dan Suara Pembaruan akan tetapi para terdakwa tidak hadir.
2. Bahwa seperti dimaklumi pada saat ini Pemerintah telah berupaya segiat-
giatnya memberantas tindak pidana korupsi, akan tetapi ternyata dalam
menindaklanjuti seringkali banyak hambatan-hambatan karena terbentur atau
adanya kesulitan-kesulitan untuk mendatangkan para tersangka, mengingat
yang bersangkutan tidak berada lagi di Negara Republik Indonesia akan tetapi
telah berada di negara lain (luar negeri), sedangkan para tersangka tersebut
telah diduga merugikan keuangan negara yang jumlahnya tidak sedikit serta
tidak dapat dipastikan kapan mereka ini kembali ke tanah air (Indonesia).
3. Bahwa apabila hal yang demikian ini dibiarkan berlarut-larut yaitu
pemeriksaan dalam tahap penyelidikan dan penyidikannya menunggu para
tersangka kembali ke tanah air sedangkan kembalinya belum dapat diketahui,
akan mengakibatkan kerugian lebih banyak lagi karena harta kekayaan atau
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
106
aset-aset yang ada di dalam negeri tidak dapat diapa-apakan, sedangkan di lain
pihak masyarakat selalu menuntut agar segala bentuk kejahatan khususnya
yang menyangkut tindak pidana korupsi segera diberantas.
4. Bahwa dengan adanya hambatan-hambatan dan kesulitan-kesulitan untuk
memeriksa orang-orang yang disangka telah melakukan tindak pidana
korupsi dengan meninggalkan tanah air, maka Majelis dengan
mendasarkan pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14
Tahun 1974 yang menentukan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan wajib menggali, mengikuti dan menggali nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat.
5. Bahwa bertitik tolak pada ketentuan tersebut Majelis akan memberikan jalan
upaya agar mereka yang berada di luar negeri yang disangka melakukan
tindak pidana korupsi dapat diperiksa dan diadili sudah barang tentu dengan
tetap berpedoman kepada asas praduga tak bersalah.
6. Bahwa jalan atau upaya Majelis Hakim yaitu dengan mengartikan tentang
pengertian in absentia tidak diartikan secara sempit akan tetapi diartikan
secara luas, yaitu pemeriksaan in absentia harus diartikan dan/atau dikenakan
kepada siapa saja yang menurut sangkaan dan dugaan telah melakukan
perbuatan tindak pidana korupsi dapat diperiksa secara in absentia baik orang
tersebut diketahui maupun tidak diketahui keberadaannya di luar maupun di
dalam negeri dan telah dipanggil secara patut, sehingga hal yang demikian itu
akan mempermudah pemerintah untuk memeriksa kepada yang bersangkutan.
7. Bahwa selanjutnya mungkin timbul pertanyaan, apakah hal yang demikian itu
bukankah merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, menurut hemat
Majelis adalah tidak, karena yang bersangkutan telah dipanggil secara patut
dan dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU TPK oleh karenanya
apabila mereka akan menggunakan hak-haknya untuk beracara baik tingkat
penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan dimuka persidangan dapat
kembali ke tanah air.
Sebelum majelis menjatuhkan putusan terhadap para terdakwa, terlebih
dahulu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal-hal
yang memberatkan adalah :
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
107
1. Akibat perbuatan para terdakwa telah merugikan keuangan negara sangat
besar;
2. Para terdakwa telah menikmati hasil korupsi;
3. Para terdakwa tidak mempunyai rasa tanggung jawab kepada bangsa dan
negara, terbukti setelah melakukan perbuatan mereka melarikan diri;
4. Perbuatan para terdakwa merupakan salah satu potensi yang merusak
perekonomian negara yang ditandai dengan terjadinya krisis moneter.
Sedangkan hal-hal yang meringankan tidak ada.
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 125/PID/2002/PT.DKI
tanggal 8 November 2002 menerima permintaan banding dari terdakwa I Hendra
Rahardja. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 22
Maret 2002 Nomor 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST yang dimohonkan banding
sehingga amar selengkapnya menjadi berbunyi :
1. Menyatakan terdakwa I, II dan III yang telah dipanggil dengan secara sah
tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah;
2. Menyatakan terdakwa I, II dan III telah terbukti dengan sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama dan berlanjut;
3. Menghukum kepada terdakwa tersebut masing-masing : Terdakwa I dengan
pidana penjara seumur hidup, terdakwa II dengan pidana penjara 20 (dua
puluh) tahun, dan terdakwa III dengan pidana penjara 20 (dua puluh) tahun;
4. Menghukum para terdakwa dengan pidana denda masing-masing sebesar Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak
dibayarkan harus diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
5. Menyatakan barang bukti yang berupa tanah dan bangunan berikut surat-
suratnya yang terlampir dalam daftar barang bukti dan barang bukti pengganti
berupa hasil lelang barang bukti sebesar Rp. 13.529.150.800,- (tiga belas
milyar lima ratus dua puluh sembilan juta seratus lima puluh ribu delapan
ratus rupiah) dirampas untuk negara;
6. Menghukum para terdakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang
pengganti sebesar Rp. 1.950.995.354.200,- (satu triliun sembilan ratus lima
puluh empat ribu dua ratus rupiah);
7. Menghukum terdakwa I membayar biaya perkara dalam kedua tingkat
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
108
peradilan, biaya mana untuk tingkat pertama sebesar Rp. 7.500,- (tujuh ribu
lima ratus rupiah) dan untuk tingkat banding sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu
rupiah).
Pertimbangan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperbaiki putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, intinya adalah :
1. Di dalam hukum acara pidana, penempatan kata in absentia dalam amar
putusan kurang tepat dan tidak berdasarkan alasan hukum yang benar, karena
istilah in absentia tidak dikenal dalam hukum acara pidana yang berlaku. Yang
dikenal dan diatur adalah mengadili dan menjatuhkan putusan tanpa hadirnya
terdakwa seperti yang diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 tahun
1971 jo UU TPK.
2. Kepada terdakwa telah diberikan hak untuk hadir di muka persidangan seperti
diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 jo UU TPK. Hak
yang diberikan UU kepada terdakwa tersebut adalah sepenuhnya kewenangan
terdakwa untuk menggunakan atau tidak, bukan menjadi kewajiban terdakwa
untuk hadir seperti yang diatur secara umum dalam perkara pidana biasa.
3. Karena tidak terbukti secara aktif dan proporsional terdakwa dalam
menggunakan haknya untuk hadir di muka sidang melainkan justru
menggunakan atau memanfaatkan keberadaannya dalam tahanan di Australia
sebagai alasan untuk tidak hadir, maka Majelis Hakim tingkat banding tidak
dapat lain kecuali berkesimpulan terdakwa telah melepaskan haknya untuk
berusaha hadir memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi
justru menikmati atau memanfaatkan keberadaannya di Australia sebagai
alasan tidak hadir.
4. Sesuai dengan yurisprudensi yang berlaku dalam putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan tanggal 4 Agustus 1982 Nomor 4321/7/B/JS/PID/1982 jo
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 17 November 1982 Nomor
89/1982/PT.Pidana jo Putusan MARI tanggal 19 November 1984 Nomor
492/K/Pid/1983 telah dipertimbangkan karena panggilan telah disampaikan ke
alamat tempat terdakwa terakhir berada sehingga walaupun panggilan itu tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) dan (5)
KUHAP, panggilan tersebut tetap dapat dianggap telah dilakukan dengan
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
109
semestinya.
5. Dengan mengambilalih seluruh pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama
kecuali hal in absentia seperti pertimbangan di depan tentang kesalahan
terdakwa yang terbukti dengan sah dan meyakinkan, maka pertimbangan dan
putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama telah tepat dan benar, oleh karena itu
diambil alih seluruhnya oleh Majelis Hakim Tingkat Banding sebagai
pertimbangannya sendiri dalam tingkat banding, dengan memperbaiki putusan
tersebut sebagaimana lengkapnya dalam amar tersebut di atas.
(4) Analisis Penerapan Peradilan In Absentia dalam Upaya Pengembalian Aset
dalam Perkara Hendra Rahardja
Memperhatikan pertimbangan Majelis Hakim dalam memeriksa dan
memutuskan perkara Hendra Rahardja secara in absentia, telah menggambarkan
pentingnya proses pemanggilan secara patut dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum. Majelis Hakim dalam perkara ini mengedepankan pentingnya
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dengan tetap berpedoman kepada
asas praduga tak bersalah. Pengertian in absentia dalam perkara ini diartikan
secara luas, yaitu pemeriksaan in absentia harus diartikan dan/atau dikenakan
kepada siapa saja yang menurut sangkaan dan dugaan telah melakukan perbuatan
tindak pidana korupsi dapat diperiksa secara in absentia baik orang tersebut
diketahui maupun tidak diketahui keberadaannya di luar maupun di dalam negeri
dan telah dipanggil secara patut.
Terkait HAM, dikarenakan yang bersangkutan telah dipanggil secara patut
dan dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU TPK maka tidak terjadi
pelanggaran HAM. Majelis Hakim juga telah memerintahkan Jaksa Penuntut
Umum untuk melakukan pemanggilan melalui berbagai surat kabar. Majelis
Hakim tetap memberikan kesempatan apabila terdakwa kembali ke tanah air dapat
menggunakan hak-haknya untuk beracara baik tingkat penyidikan dan penuntutan
serta pemeriksaan dimuka persidangan.
Majelis Hakim dalam perkara ini juga mempertimbangkan upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi yang tengah digalakkan oleh pemerintah
dan tuntutan masyarakat luas agar perkara tindak pidana korupsi diberantas
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
110
berdasarkan asas keadilan dan asas kepastian hukum. Terlebih lagi mengingat
kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan tindak pidana korupsi tersebut
sangat besar.
Dalam amar putusan perkara Hendra Rahardja ini, dapat diketahui bahwa
Majelis Hakim dapat menerima secara hukum proses penyidikan yang sejak awal
dilakukan secara in absentia. Berita Acara Hasil Penyidikan in absentia dan
prosedur pemanggilan terhadap para tersangka dan terdakwa tersebut sah menurut
hukum. Selanjutnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sependapat dengan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, bakwa para terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana korupsi dan memandang sah para terdakwa diperiksa dan diadili
tanpa kehadiran diri mereka di persidangan. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak
sependapat dengan penggunaan istilah in absentia dalam amar putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dan diganti dengan kata ”tanpa hadirnya terdakwa.”
Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa dalam perkembangannya istilah in
absentia tidak lagi disebutkan dalam berbagai produk legislasi, tetapi digunakan
istilah ”tidak hadir” setelah dipanggil secara sah atau patut. Kedua istilah ini tidak
berbeda dan mengandung arti yang sama.
Dalam konteks pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam
perkara Hendra Rahardja, meskipun Indonesia dan Australia telah memiliki
perjanjian ekstradisi dan dan Mutual Legal Assistance (MLA), namun dalam
kenyataannya tidak dapat menjamin kelancaran proses ekstradisi dan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Aset-aset Hendra Rahardja yang
tersebar di Australia dan Hongkong tidak serta merta dapat dikembalikan.
Pengembalian aset-aset Hendra Rahardja dilakukan melalui proses yang panjang
dan akhirnya Pemerintah Indonesia menerima lebih dari AUD 642.000. Dalam
proses pengembalian aset-aset Hendra Rahardja, pemerintah membentuk Tim
Terpadu Pencari Terpidana dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi. Tim Terpadu
dibentuk terakhir berdasarkan Keputusan Menko Polhukam Nomor : Kep-
23/Menko/Polhukam/02/2006 tanggal 28 Februari 2006 tentang Tim Terpadu
Pencari Terpidana dan Tersangka Perkara Tindak Pidana Korupsi.235
235 Info Unit Kerja Kejaksaan Agung R.I., Tim Terpadu, http://www.kejaksaan.go.id,
diakses tanggal 26 Mei 2011.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
111
Berkaitan dengan permintaan bantuan pelacakan dan penarikan kembali
aset-aset Hendra Rahardja yang ditransfer dari Australia ke Hong Kong,
Pemerintah Australia melalui Keputusan The New South Wales Supreme Court
telah memerintahkan kepada South East Group (SEG) di Hong Kong untuk
mengalihkan asset terpidana Hendra Rahardja sebesar USD 398,478,87 ke
Australia untuk diserahkan kepada Pemerintah RI. Guna tindak lanjutnya
pemerintah Australia telah meminta kepada Direktur Perjanjian Internasional
Ditjen AHU Departemen Hukum dan HAM agar dibuka rekening khusus untuk
menerima/menampung dana sebesar USD 398,478,87 tersebut.
Perkembangan terakhir untuk penanganan aset terpidana Hendra Rahardja,
pada tanggal 8 Desember 2009 bertempat di Departemen Hukum dan HAM telah
dilakukan penyerahan aset tersebut secara simbolis dari pihak berwenang
Australia kepada Tim Terpadu dan pihak Departemen Hukum dan HAM sebagai
Central Authority, dana sebesar 493.647,07 Dollar Australia yang akan ditransfer
ke Nomor Rekening : 000001933-01-000638-30-1 atas nama bendaharawan
pengeluaran Kejaksaan Agung RI.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :
339/PID.B/2010/PN.JKT.PST tanggal 30 November 2010 atas nama
Hesham Talaat Mohamed Besheer Alwarraq alias Alwarraq. Als.
Hesham Al Warraq (Terdakwa I) dan Rafat Ali Rizvi (Terdakwa II)
(1) Kasus Posisi
Bahwa terdakwa I dan II pada waktu antara tahun 2001 sampai dengan
2008, bertempat di kantor Bank CIC Internasional Tbk (PT Bank CIC) dan atau di
kantor PT Bank Century Gedung Sentral Senayan II Jalan Asia Afrika Nomor 8
Jakarta Pusat, melakukan atau turut serta melakukan, secara melawan hukum
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan cara melakukan
transaksi pembelian, penempatan dan atau pertukaran surat-surat berharga valuta
asing (SSB valas) Bank CIC. Sebagian surat berharga dimaksud merupakan surat
berharga yang tergolong dalam structured product yang tidak memiliki peringkat
(non rating), tidak memiliki harga pasar dan memberikan imbal hasil yang
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
112
rendah. Sehingga pada saat surat berharga jatuh tempo, Bank CIC tidak menerima
dana secara tunai melainkan justru dibayar dengan saham perusahaan Global
Opportunities Fund yang dimiliki terdakwa II.
Selain Bank CIC, pada saat itu Bank Pikko dan Danpac juga mengalami
permasalahan pembelian/pertukaran surat-surat berharga, sehingga pada tanggal 6
Desember 2004 dilakukan merger atas ketiga bank tersebut dan berganti nama
menjadi PT Bank Century Tbk (Bank Century). SSB valas yang berkualitas buruk
yang sebelumnya berasal dari Bank CIC berlanjut menjadi beban Bank Century
yang mengakibatkan kondisi keuangan Bank Century memburuk dan
dikategorikan tidak sehat/macet. Terhadap kondisi ini, Bank Indonesia meminta
Bank Century untuk menjual SSB tersebut dan mewajibkan untuk menambah
modal.
Pada tanggal 4 Oktober 2005, terdakwa I dan II menandatangani Letter of
Commitment (LoC) yang pada pokoknya menyatakan kesanggupan
bertanggungjawab untuk menyelesaikan permasalahan permasalahan likuiditas
bank dan untuk menjual SSB valas hingga batas waktu 31 Desember 2005.
Dengan adanya permasalahan ini maka Bank Indonesia melakukan
pemeriksaan/investigasi terhadap Bank Century bahwa pertukaran SSB Bank
Century telah mengalami kesulitan likuiditas dan solvabilitas. Karena kondisi
keuangan Bank Century semakin menurun ditambah pertimbangan likuiditas dan
penurunan permodalan, Bank Indonesia memutuskan memberikan Fasilitas
Pendanaan Jangka Panjang (FPJP). Tanggal 15 Oktober 2008, terdakwa I dan II
menandatangani LoC kepada Bank Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan
SSB tersebut.
(2) Dakwaan
Para terdakwa didakwa dengan surat dakwaan yang disusun secara
kumulatif oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan kesatu terhadap terdakwa I
dan II dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55
Ayat (1) bagian ke satu KUHP dan dakwaan kedua dengan Pasal 3 ayat (1) huruf
g UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas UU Nomor 15 tahun 2002
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
113
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 Ayat (1).
(3) Putusan
Dalam perkara ini Pengadilan Jakarta Pusat menjatuhkan putusan terhadap
terdakwa :
1. HESHAM TALAAT MOHAMED BESHEER ALWARRAQ Alias
ALWARRAQ. Als. HESHAM AL WARRAQ, umur 51 tahun, tempat tanggal
lahir Cairo – Mesir 12 April 1958, jenis kelamin laki-laki, berkebangsaan
Saudi Arabia, tempat tinggal Kingdom Tower 20 Floor, Riyadh, 11622
Kingdom of Saudi Arabia PO Box 88014 Riyadh 11622, Saudi Arabia, agama
Islam, pekerjaan Shareholder of First Gulf Asia Holding.
2. RAFAT ALI RIZVI, Umur 50 tahun, tempat tanggal lahir Pakistan 22 Oktober
1960, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan United Kingdom, tempat tinggal
First Gulf Asia Holding Ltd, Offshore Group Chamber PO Box CB 12751,
Nassau – New Providence Bahamas, agama Islam, pekerjaan Shareholder of
Chinkara Capital Ltd/First Gulf Asia Holding.
Amar putusan dimaksud adalah sebagai berikut :
(1) Menyatakan terdakwa I dan II yang diadili secara in absentia terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak
Pidana Pencucian Uang secara bersama-sama;
(2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I dan II dengan pidana penjara
masing-masing 15 (lima belas) tahun;
(3) Membebankan kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti yang
dibayar secara tanggung renteng sebesar Rp. 3.115.889.000.000,- (tiga triliun
seratus lima belas milyar delapan ratus delapan puluh sembilan juta rupiah),
apabila para terdakwa tidak membayar uang pengganti selama 1 (satu) bulan
setelah perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya
dapat disita oleh Jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut dan apabila
para terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti dipidana dengan pidana penjara selama 5 (lima)
tahun penjara;
(4) Menjatuhkan pidana denda terhadap masing-masing terdakwa sebesar Rp.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
114
15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan
kurungan.
(5) Membebankan kepada para terdakwa untuk membayar biaya perkara masing-
masing sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
Pertimbangan Majelis Hakim memeriksa dan mengadili perkara tersebut
secara in absentia adalah sebagai berikut :
(1) Bahwa untuk memeriksa dan mengadili perkara terdakwa-terdakwa dalam
status Daftar Pencarian Orang (DPO), Majelis Hakim telah menetapkan hari
persidangan dengan perintah agar Penuntut Umum tetap melakukan
pemanggilan terhadap para terdakwa sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-
turut sesuai ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), yakni : untuk persidangan
pertama pada hari Kamis tanggal 18 Maret 2010; persidangan kedua pada hari
Senin tanggal 19 April 2010 dan untuk persidangan ketiga pada hari Rabu
tanggal 19 Mei 2010;
(2) Bahwa untuk ketiga persidangan tersebut, terdakwa tidak pernah hadir dan
atas ketidakhadiran tersebut pra terdakwa tidak pernah mengirimkan surat
sebagai pemberitahuan alasan ketidakhadirannya;
(3) Bahwa pada saat persidangan yang ketiga, penuntut umum telah mengajukan
permohonan secara lisan agar persidangan terhadap kedua terdakwa tersebut,
mengingat dakwaan terhadap kedua terdakwa berisi tindak pidana korupsi dan
tindak pidana pencucian uang, dan penuntut umum pun telah melakukan
pemanggilan secara sah dan patut terhadap kedua dakwaan tersebut;
(4) Bahwa atas surat dakwaan penuntut umum dan permohonan penuntut umum
agar perkara ini dilanjutkan secara tanpa hadirnya terdakwa berdasarkan
putusan sebagai berikut :
a. Menyatakan terdakwa I berkewarganegaraan Saudi Arabia dan terdakwa II
berkewarganegaraan United Kingdom, telah dipanggil secara sah dan patut
untuk hadir menghadapi persidangan perkara pidana di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, tetapi kedua terdakwa tersebut tidak pernah hadir (in
absentia);
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
115
b. Memerintahkan pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi dan tindak
pidana pencucian uang atas nama terdakwa I dan II dilanjutkan secara
tanpa hadirnya kedua terdakwa tersebut;
c. Memerintahkan kepada penuntut umum untuk mengumumkan putusan
sela ini;
d. Menangguhkan biaya perkara ini sampai dengan putusan akhir;
(5) Bahwa meskipun putusan sela dalam perkara ini telah diumumkan dalam mass
media nasional dan internasional, namun kedua terdakwa tidak pernah
muncul di persidangan sehingga perkara ini tetap dilanjutkan secara in
absentia;
Sebelum majelis menjatuhkan putusan terhadap para terdakwa, terlebih
dahulu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal-hal
yang memberatkan adalah :
(1) Perbuatan kedua terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang
sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi dan money laundering;
(2) Perbuatan kedua terdakwa tersebut berdampak pada kurangnya kepercayaan
masyarakat terhadap program-program pemerintah dalam pengawasan
perbankan.
Sedangkan hal-hal yang meringankan tidak ada.
Pertimbangan lain adalah bahwa tujuan pemidanaan dalam perkara
korupsi ini diharapkan bersifat komprehensif, integratif dan teleologis, yang
memperhatikan terdakwa (memasyarakatkan terdakwa/terpidana dan
membebaskan rasa bersalah), maupun yang bersifat melindungi masyarakat
(mencegah dilakukannya tindak pidana demi mengayomi masyarakat), serta
mengembalikan kehidupan sosial.
(4) Analisis Penerapan Peradilan In Absentia dalam Upaya Pengembalian Aset
dalam Perkara Hesham dan Rafat
Pertimbangan Majelis Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara
Hesham dan Rafat secara in absentia, didasarkan pada adanya 2 (dua) jenis
kejahatan yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Mekanisme dalam persidangan ini menggunakan ketentuan sebagaimana diatur
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
116
dalam Pasal 36 UU TPPU yang mengatur :
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hadir, Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.
(2) Apabila dalam sidang berikutnya sebelum perkara diputus terdakwa hadir, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan apabila terdakwa telah hadir sejak semula.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum dalam papan pengumuman pengadilan yang memutus dan sekurang-kurangnya dimuat dalam 2 (dua) surat kabar yang memiliki jangkauan peredaran secara nasional sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 3 (tiga) hari atau 3 (tiga) kali penerbitan secara terus-menerus.
Berdasarkan ketentuan dimaksud, mekanisme dimaksud adalah : (1) dilakukan
pemanggilan 3 (tiga) kali secara sah terdakwa tidak hadir, maka (2) Majelis
Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa
kehadiran terdakwa.
Ketentuan ini bersifat lebih spesifik dari Pasal 145 KUHAP yang tidak
mengatur berapa kali panggilan harus disampaikan. Selanjutnya dalam penjelasan
Pasal 36 ayat (1) UU TPK dijelaskan bahwa maksud ketentuan ini adalah agar
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam
pelaksanaan peradilannya dapat berjalan dengan lancar, maka sekalipun terdakwa
dengan alasan yang sah tetapi apabila sampai 3 (tiga) kali dilakukan pemanggilan
untuk sidang tidak hadir, perkara tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran
terdakwa. Jadi, pasal ini mensyaratkan meskipun dengan alasan yang sah tetapi
sudah dipanggil 3 (tiga) kali tidak hadir maka peradilan in absentia dapat tetap
dilaksanakan.
Majelis Hakim dalam perkara ini juga mempertimbangkan hal-hal yang
berkaitan dengan tujuan pemidanaan dalam perkara korupsi yang diharapkan
bersifat komprehensif, integratif dan teleologis, yang memperhatikan terdakwa
(memasyarakatkan terdakwa/terpidana dan membebaskan rasa bersalah), maupun
yang bersifat melindungi masyarakat (mencegah dilakukannya tindak pidana demi
mengayomi masyarakat), serta mengembalikan kehidupan sosial.
Dalam amar putusan perkara Hesham dan Rafat, dapat diketahui bahwa
Majelis Hakim dapat menerima secara hukum prosedur pemanggilan terhadap
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
117
para terdakwa tersebut. Hal ini berarti pemanggilan telah dilakukan secara sah.
Selain itu, dikarenakan para terdakwa selama proses persidangan tidak pernah
hadir dan perkaranya telah diperiksa serta diputus tanpa kehadiran kedua terdakwa
(in absentia), Majelis Hakim mewajibkan untuk mengumumkan putusan
dimaksud sebagaimana ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU TPK.
Dalam konteks pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam
perkara Hesham dan Rafat, Majelis Hakim menetapkan sejumlah uang, rekening
bank yang berada di Hongkong atas nama terdakwa I, dan rekening bank atas
nama terdakwa 2 serta beberapa aset dirampas untuk negara cq. Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Putusan pengadilan ini selanjutnya akan menjadi dasar
dalam penelusuran aset dan pemblokiran.
Menindaklanjuti putusan tersebut, pemerintah melalui Tim Pengembalian
Aset yang diketuai Wakil Jaksa Agung melakukan pembekuan aset yang berada di
Hongkong. Pada saat ini seluruh aset Bank Century di Hong Kong sudah
dilakukan pembekuan oleh otoritas setempat. Peradilan di Hong Kong sudah
memberikan kesempatan pengajuan keberatan oleh Robert Tantular, mantan
pemilik Bank Century terkait pembekuan asetnya. Jika sudah ada putusan dari
Pengadilan Hong Kong, maka aset yang dibekukan tersebut dapat dirampas untuk
negara. Seluruh proses pengembalian aset dari Hongkong tersebut dilakukan
melalui Mutual Legal Assistance (MLA).
Sedangkan untuk aset yang berada di Swiss, pembekuan aset Century di
Dresdner Bank Swiss senilai US$155 juta terganjal oleh sistem hukum yang
berlaku di negara tersebut. Pemerintah Swiss menilai uang Hesham dan Rafat
bukan termasuk kategori hasil tindak pidana korupsi. Pemerintah Swiss
menyarankan upaya gugatan perdata yang harus diajukan oleh Bank Mutiara
(sebelumnya Bank Century) yang memunyai kompetensi dan kepentingan
langsung. Perkembangan terakhir pihak Bank Mutiara sudah mengajukan gugatan
perdata atas aset tersebut.
Terdapat beberapa kendala dalam perampasan aset hasil tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Hesham dan Rafat, yaitu antara lain kemungkinan
terjadinya penyusutan nilai aset Bank Century yang dapat disita negara. Hal ini
dikarenakan berdasarkan hasil penelusuran Tim Pengembalian Aset, tidak semua
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
118
aset buron tersebut merupakan hasil kejahatan kasus Bank Century. Tim
Pengembalian Aset masih perlu membuktikan asal-muasal kekayaan kedua
terpidana. Jika aset tersebut berasal dari aset nasabah yang digelapkan, maka aset
ini dapat disita untuk dikembalikan kepada negara.
Aset Hesham dan Rafat yang dapat disita mencapai Rp 13 triliun. Data
tersebut berdasarkan laporan yang diberikan Bank Hongkong, Swiss, dan Inggris,
tempat kekayaan Hesham dan Rafat disimpan. Namun, jumlah aset dari hasil
pidana kasus Bank Century yang berhasil diidentifikasi hanya sekitar Rp 1 triliun
yang berada di dalam negeri. Sisanya, aset yang berada di luar negeri dan masih
dalam tahap identifikasi. Upaya yang dapat dilakukan untuk memudahkan
pengejaran aset tersebut adalah melalui audit forensik. Audit tersebut adalah
teknik audit khusus untuk menemukan bukti finansial yang mendukung
pembuktian ada atau tidaknya tindakan kejahatan untuk mengetahui aliran dana
bailout Bank Century. Upaya lain untuk mengetahui aset Bank Century yang
digelapkan adalah melalui penangkapan Hesham dan Rafat karena akan
mempermudah inventarisasi aset.
Berdasarkan putusan yang menyidangkan terdakwa tindak pidana korupsi
secara in absentia yaitu perkara dengan terdakwa Hendra Rahardja serta terdakwa
Hesham dan Rafat, dapat diketahui bahwa proses pemanggilan secara patut sangat
penting dalam peradilan in absentia. Pemanggilan yang patut ini menjadi
justifikasi bagi hakim untuk melaksanakan peradilan in absentia tanpa melanggar
hak asasi terdakwa. Berkaitan dengan upaya pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi sebagai tindak lanjut putusan peradilan in absentia, berdasarkan
kedua putusan tersebut dapat diketahui bahwa meskipun Indonesia telah memiliki
perjanjian ekstradisi dan MLA, namun dalam pelaksanaannya tidak dapat
menjamin kelancaran proses pengembalian aset dimaksud. Proses pengembalian
aset dilaksanakan melalui proses yang rumit dan memakan waktu yang lama serta
jumlah aset yang dikembalikan masih belum maksimal.
4.3. Peranan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi
dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi
Tujuan diaturnya peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
119
korupsi secara jelas dituangkan dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU TPK yaitu
untuk menyelamatkan kekayaan negara. Pengertian menyelamatkan kekayaan
negara adalah identik dengan pengertian dalam pasal-pasal UU TPK yaitu
menyelamatkan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal-pasal
dimaksud adalah Pasal 2 dan 3 UU TPK yang menyebutkan bahwa salah satu
unsur tindak pidana korupsi adalah dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 4 UU TPK,
pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan pidananya pelaku
tindak pidana korupsi tetapi hanya merupakan salah satu alasan meringankan
hukuman atau clementie.236
Peradilan in absentia efektif dianggap dalam upaya pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi yang telah dijarah oleh pelaku tindak pidana korupsi
dikarenakan hal-hal sebagai berikut :237
(1) Penyelesaian perkaranya lebih cepat dan jaksa sebagai wakil pemerintah dapat
mengejar harta kekayaan negara dimaksud apabila :
a. Harta/aset kekayaan yang diduga merupakan harta yang diperoleh dari
kejahatan tersebut dapat disita secara sah dan dikembalikan kepada negara.
b. Pada saat proses penyidikan harta kekayaan pelaku telah diinventarisasi
dengan benar dan telah disita secara sah, sehingga setelah adanya putusan
pengadilan langsung dapat dieksekusi.
(2) Putusan peradilan in absentia merupakan sarana yang sah untuk penyelamatan
kerugian negara, apabila prosedur pelaksanaannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, sehingga pengembalian kerugian keuangan negara dapat
direalisasikan tanpa khawatir mendapat gugatan dari pihak lain.
(3) Mempercepat proses peradilan karena prosedurnya tidak berlarut-larut
sehingga dalam perkara tindak pidana tersebut akan memperkecil tunggakan
perkara dan adanya kepastian hukum.
(4) Sepanjang aset-aset terdakwa jelas status kepemilikannya sehingga
memudahkan dilakukan penyitaan. Apabila tidak jelas kepemilikannya akan
menimbulkan masalah pada waktu proses penyitaan.
(5) Secara teoritis dapat mengefektifkan upaya penyelamatan kekayaan negara,
236 Darwin Prints, Op.cit., hal. 62. 237 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 65.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
120
namun dalam penerapannya masih terdapat kendala, khususnya dalam
pelaksanaan eksekusi uang pengganti sebagai upaya penyelamatan kerugian
negara.
Pengembalian keuangan negara merupakan salah satu aspek yang sangat
strategis dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini mengingat
tindak pidana korupsi kejahatan korupsi juga membuat kehancuran dalam bidang
politik, sosial dan ekonomi. Dalam berbagai contoh perkara tindak pidana korupsi
dimana pelakunya melarikan diri ke luar negeri dengan membawa serta uang hasil
tindak pidana korupsinya telah memberikan keuntungan kepada negara yang
menampung uang hasil tindak pidana korupsi tersebut. Kemudahan-kemudahan
berupa keringanan pajak, izin tinggal (permanent residence) bahkan sampai
pemberian kewarganegaraan menjadi daya tarik bagi pelaku tindak pidana korupsi
untuk melarikan diri ke luar negeri karena menjadikan mereka untouchable.
Fenomena ini merupakan indikator bahwa tindak pidana korupsi bukan lagi
merupakan kejahatan nasional melainkan sudah bertransformasi menjadi
kejahatan trans-nasional.238
Jika mengacu pada proses dan prosedur peradilan in absentia sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, ketentuan perundang-undangan yang berkaitan
dengan peradilan in absentia telah memberikan rambu-rambu yang cukup jelas
dalam pelaksanaannya dengan tetap mempertimbangkan hak-hak pelaku tindak
pidana korupsi. Namun dalam pelaksanaan proses peradilan in absentia terdapat
banyak permasalahan. Terdapat ketidaksamaan persepsi didalam menyikapi
aturan-aturan hukum yang berlaku, terutama tindak pidana korupsi, sehingga hal
ini menimbulkan tidak berjalannya sistem peradilan pidana. Dalam sistem
peradilan pidana maka semua unsur yang terkait dalam proses peradilan pidana
harus mempunyai persepsi yang sama terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku. Akan tetapi dalam praktek sering terjadi ketidaksamaan persepsi atau
perbedaan persepsi tentang suatu tindak pidana maupun di dalam mengkaji
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat menyebabkan proses
peradilan pidana tidak dapat mencapai kebenaran materil yang diharapkan,
terutama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
238 Todung Mulya Lubis, Singapore Paradox, http://naration.wordpress.com/2009, diakses tanggal 18 Mei 2011.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
121
Persepsi berbeda dimaksud antara lain adalah dalam menyikapi ketentuan-
ketentuan yang berlaku, misalnya dalam hal penuntutan tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh beberapa orang terdakwa. Dalam hal ini Jaksa Penuntut
Umum dapat menjadikannya dalam satu berkas penuntutan atau dapat dipecah-
pecah menjadi beberapa berkas perkara. Biasanya pemecahan perkara ini
dilakukan apabila kekurangan saksi-saksi, sehingga perlu diadakan “saksi
mahkota”, dimana pelaku yang 1 (satu) menjadi saksi untuk pelaku yang lainnya.
Dalam praktek sering terjadi perbedaan persepsi dimana hal pemecahan perkara
(splitsing)239 tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 168 huruf c KUHAP yang
menentukan bahwa tidak boleh didengar sebagai saksi dan dapat mengundurkan
diri sebagai saksi adalah suami/isteri terdakwa. Ketentuan tentang suami atau
isteri terdakwa mudah dimengerti, tetapi yang bersama-sama sebagai terdakwa
dalam satu perkara korupsi masih sering ada perbedaan persepsi antara penegak
hukum dalam prakteknya.
Terdapat ketentuan bahwa apabila terdakwa dijatuhi putusan secara in
absentia, maka terdakwa atau kuasa hukumnya dapat mengajukan banding. Pada
Pasal 38 ayat (4) UU TPK memang tidak menentukan secara tegas siapa yang
mempunyai hak untuk upaya hukum, sehingga dalam praktek sering ditafsirkan
bahwa upaya hukum ini dapat dilakukan oleh “kuasa atau penasihat hukumnya
tanpa kehadiran terdakwa”. Hal ini dapat menyebabkan dan mendorong tersangka
pelaku tindak pidana korupsi untuk melarikan diri karena hak-haknya sebagai
terdakwa tetap dilindungi oleh hukum melalui kuasa atau penasihat hukumnya.
Dalam pasal ini, tidak terdapat penjelasan secara tegas, sehingga sering
ditafsirkan hal ini dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Secara implisit
ketentuan banding ini dapat dilihat dalam Pasal 233 KUHAP, menyebutkan :
(1) Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang khususnya dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.
(2) Hanya permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) boleh diterima oleh Panitera PN dalam waktu tujuh hari sesudah putusan
239 Menurut Andi Hamzah dalam Hukum Acara …, Op.cit., hal. 164, dalam Pedoman
Pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa biasanya splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling manjadi saksi, sehingga untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap tersangka maupun saksi.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
122
dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2).
(3) Tentang permintaan itu oleh panitera dibuat sebuah surat keterangan yang ditandatangani olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya diberikan kepada pemohon yang bersangkutan.
(4) Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera dengan disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis dalam daftar perkara pidana.
Melihat ketentuan dalam Pasal 233 KUHAP tersebut, maka untuk tindak pidana
korupsi yang diputus tanpa kehadiran atau dihadiri terdakwa (in absentia),
terdakwa melalui kuasa hukumnya dapat mengajukan banding sesuai ketentuan
itu. Ketentuan ini menjadi faktor pendorong bagi terdakwa untuk tidak hadir
dalam sidang pengadilan misalnya dengan melarikan diri. Hal ini dimungkinkan
karena tanpa kehadiranpun, maka hak-hak terdakwa tetap dilindungi oleh
ketentuan hukum yang berlaku (Pasal 38 ayat (4) UU TPK).
Kesulitan-kesulitan teknis berkaitan dengan pelaksanaan peradilan in absentia
terjadi sejak tahap penyidikan, yaitu antara lain (1) kesulitan mengumpulkan alat-alat
bukti, dan (2) kesulitan melakukan penyitaan aset-aset hasil tindak pidana korupsi
terutama yang telah dialihkan ke tangan orang lain dan atau dilarikan ke luar negeri.
Sedangkan dalam proses persidangan dan eksekusi permasalahan yang dihadapi
adalah : (1) perbedaan keterangan saksi-saksi, (2) perbedaan jumlah barang bukti
yang disita dari terdakwa, dan (3) barang bukti yang disita kurang mencukupi uang
pengganti. Permasalahan selanjutnya adalah berkaitan dengan kesulitan dalam
eksekusi badan, denda dan uang pengganti, nilai barang bukti yang disita megalami
penurunan/penyusutan karena rusak atau hancur.240
Terkait kewenangan yang dimiliki KPK, hanya bisa digunakan pada saat
seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa. Sedangkan untuk
menetapkan status seseorang menjadi tersangka tidaklah mudah mengingat KPK
tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Hal ini tentu saja
kurang mendukung upaya KPK dalam menghadapi kompleksitas modus dalam
mengaburkan dan menghapuskan jejak hasil tindak pidana korupsi. Kesulitan untuk
mendeteksi hasil tindak pidana korupsi ini semakin bertambah ketika pemindahan
hasil tindak pidana korupsi ke luar negeri sudah dilakukan. Dari pengalaman
240 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 67 – 68.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
123
berbagai negara yang berusaha mendapatkan kembali hasil tindak pidana korupsi
yang dilarikan ke luar negeri, dibutuhkan waktu yang panjang dan usaha yang
serius baik dalam skala domestik maupun internasional.241
Meskipun Indonesia telah meratifikasi KAK ternyata masih banyak
menemui kendala. Perjanjian ekstradisi dan Mutual Legal Assistance (MLA)
dengan negara lain juga tidak menjadi jaminan kelancaran proses pengembalian
aset. Permasalahan tersebut antara lain berkaitan dengan perbedaan sistem hukum
yang diterapkan negara satu dengan yang lain sehingga sangat mempengaruhi
proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Pengembalian aset di luar
negeri sangat tergantung dengan perjanjian hukum antar dua negara korban
dengan negara penerima. Selain itu perlu ada mekanisme kesepakatan antara
negara yang tertuang dalam MLA. Kendala lain adalah adanya persyaratan dari
beberapa negara yaitu bahwa harus ada perintah tertulis pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi dalam putusan hakim. Sedangkan peraturan perundang-
undangan di Indonesia belum mencantumkan ketentuan mengenai hal ini.
Permasalahan fundamental berkaitan dengan aset hasil tindak pidana
korupsi di Indonesia selama ini adalah karena aset hasil tindak pidana korupsi
cenderung diabaikan dan hanya diberi atribut sebagai barang bukti hasil kejahatan
sebagaimana diatur dalam KUHAP sehingga penanganannya menjadi kabur dan
menciptakan kesemrawutan penegakan hukum oleh aparat hukum. Pengabaian
terhadap aset hasil tindak pidana korupsi ini ditempatkan sebagai dasar kajian
formulasi hukum dalam RUU PA.242 Konsideran RUU PA menyebutkan bahwa
sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak pidana
korupsi berikut instrumen yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, pada
saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Definisi aset dalam RUU PA adalah semua benda bergerak atau benda
tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan yang mempunyai
nilai ekonomis. Definisi aset dalam RUU PA ini sejalan dengan istilah hasil tindak
241 Laporan World Bank, Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative : Challenges
Opportunities and Action Plan, (Washington DC, 2007), hal. 18 – 25. 242 Baryanto, Tinjauan RUU Perampasan Aset dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, (Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXV No. 296 Juli 2010), hal. 57.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
124
pidana korupsi yaitu setiap aset yang diperoleh secara langsung maupun tidak
langsung dari suatu tindak pidana termasuk kekayaan yang kedalamnya kemudian
dikonversi, diubah, atau digabungkan dengan kekayaan yang dihasilkan atau
diperoleh langsung dari tindak pidana tersebut, termasuk pendapatan, modal,
atau keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut dari
waktu ke waktu sejak terjadinya tindak pidana tersebut. Istilah aset ini memiliki
pengertian yang berbeda dengan istilah benda dalam KUHAP.243 Benda dalam
KUHAP lebih menekankan kepada benda (barang) yang terkait dengan tindak
pidana, sedangkan aset lebih ditujukan pada benda bergerak atau benda tidak
bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan yang mempunyai nilai
ekonomis serta aset tersebut diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana.
Formulasi aset dalam RUU PA tidak sama dengan jenis aset yang dapat
dirampas sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) RUU PA yang didalamnya
mencakup pula mengenai aset yang dipergunakan secara langsung untuk
melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya dan bahkan aset yang
diduga akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Kerancuan ini terjadi
karena belum ada kesamaan rumusan istilah dalam RUU PA. Karena RUU PA
ingin mengatur tentang aset seharusnya secara kontekstual harus digunakan istilah
aset, tidak menggunakan istilah benda.
Proses perampasan aset diatur dalam RUU PA meliputi tindakan-tindakan
sebagai berikut :
(1) Penelusuran
Penelusuran adalah upaya untuk mengikuti, mengungkap atau memastikan
keberadaan suatu aset hasil tindak pidana melalui pencarian atau penelitian
terhadap bahan keterangan atau bukti yang ditemukan.244 Penelusuran ini
dilakukan oleh institusi penegak hukum antara lain penyelidik, penyidik atau
Jaksa Penuntut Umum.245 Ketentuan ini memberikan ruang seluas-luasnya kepada
penegak hukum untuk menelusuri aset secara optimal. Wewenang penelusuran
aset ini dapat diupayakan dan dilaksanakan sejak tahap penyelidikan hingga
penuntutan.
243 Lihat : penjelasan Pasal 1 angka 16 KUHAP. 244 Pasal 1 angka 3 RUU PA. 245 Pasal 2 ayat (1) RUU PA.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
125
Tindakan hukum penelusuran aset memungkinkan dibentuknya suatu
satuan tugas gabungan yang terdiri dari instansi-instansi terkait yang dalam
melaksanakan penelusuran aset dapat bekerjasama dengan badan-badan lain baik
dari dalam negeri maupun luar negeri. Hasil penelusuran yang substansinya
mendukung proses pembuktian tindak pidana selanjutnya diberitahukan kepada
penyidik atau penuntut umum.246
(2) Pemblokiran
Pemblokiran adalah pembekuan sementara aset dengan tujuan untuk
mencegah dialihkannya atau dipindahtangankan.247 Pemblokiran dapat dilakukan
apabila penyidik atau penuntut umum terhadap aset yang dapat diterangkan oleh
pemilik atau yang menguasainya, tidak terang siapa pemiliknya, serta aset yang
diduga diperoleh dari memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara
melawan hukum atau aset yang diduga merupakan hasil dan/atau alat melakukan
perbuatan melanggar hukum.248 Pemblokiran dilakukan oleh Penyedia Jasa
Keuangan atas perintah penyidik atau penuntut umum sesuai kewenangan
berdasarkan undang-undang.249
Terkait jangka waktu, pemblokiran dilakukan untuk jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari dan selama pemblokiran, penyidik atau penuntut umum
mengumumkan aset tersebut sekurang-kurangnya di papan pengumuman
pengadilan negeri, media massa, media elektronik, dan internet guna memberikan
kesempatan kepada orang yang berhak atau pihak ketiga yang beritikad baik
untuk mengajukan keberatan.
(3) Penyitaan
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih
atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian, penyidikan,
penuntutan dan peradilan.250 Penyitaan dalam RUU PA identik dengan penyitaan
yang diatur dalam KUHAP. Namun, RUU PA memungkinkan juga penyitaan di
luar KUHAP yang dilakukan oleh Jaksa Agung dengan surat izin penyitaan dari
246 Pasal 4, 5 dan 7 RUU PA. 247 Pasal 1 angka 5 RUU PA. 248 Pasal 14 RUU PA. 249 Pasal 15 RUU PA. 250 Pasal 1 angka 6 RUU PA.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
126
Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 21 RUU PA menyatakan bahwa yang dapat dikenakan penyitaan
adalah : (1) benda sebagaimana diatur di dalam hukum acara pidana; (2) aset hasil
tindak pidana; (3) benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana; (4)
benda yang akan digunakan untuk melakukan tindak pidana; (5) benda lain yang
mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan; dan (6) benda yang berada dalam sitaan karena perkara
perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk sepanjang memenuhi
ketentuan ayat (1). Penyidik diwajibkan mengumumkan penyitaan yang telah
dilakukan kepada masyarakat melalui surat kabar daerah, surat kabar
nasional, papan pengumuman pengadilan negeri di daerah hukum tempat benda
disita dan secara on line paling lambat 3 hari kerja sejak dilakukan penyitaan.251
Terhadap penyitaan ini dapat dilakukan upaya hukum berupa keberatan
kepada Ketua Pengadilan Negeri dan diajukan paling lambat 60 (enampuluh) hari
sejak aset tersebut disita. Apabila dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak
barang disita tidak ada pihak yang mengajukan keberatan terhadap benda yang
disita, maka penyidik mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk
menetapkan benda yang disita tersebut sebagai milik negara.252
(4) Perampasan In Rem
Definisi perampasan yaitu upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan
atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang
dari tindak pidana yang dilakukannya baik di Indonesia aatau di negara asing.253
Aset yang dapat dikenakan perampasan adalah :254
(a) benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian
diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
(b) benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya;
(c) benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak
pidana;
251 Pasal 23 dan 24 RUU PA. 252 Pasal 26 dan 27 RUU PA. 253 Pasal 1 angka 7 RUU PA. 254 Pasal 29 RUU PA.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
127
(d) benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
(e) benda lain yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung
dengan tindak pidana yang dilakukan;
(f) benda yang diduga diperoleh atau berasal dari kegiatan tidak sah atau
memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum;
(1) benda yang merupakan barang temuan.
Perampasan menurut RUU PA dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu :
perampasan in rem dan perampasan pidana.
Perampasan in rem adalah tindakan negara mengambil alih aset melalui
putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih
kuat bahwa aset tersebut yang diduga berasal dari tindak pidana atau digunakan
untuk tindak pidana.255 Perampasan in rem dilaksanakan dengan cara Jaksa
Agung memberikan kuasa khusus kepada Jaksa Pengacara Negara di daerah
hukum tempat barang atau aset untuk diserhakan kepada Badan Pengelola Aset
(BPA), kemudian Jaksa Pengacara negara mengajukan permohonan tertulis
dengan memuat sekurang-kurangnya : (a) jenis, jumlah dan taksiran nilai barang
yang akan dirampas, (b) tempat barang ditemukan atau disita, (c) dari siapa
barang disita, dan (d) alasan perampasan in rem.256
Berkaitan dengan barang yang akan dirampas, Jaksa Pengacara Negara
mengajukan bukti minimum di depan persidangan untuk membuktikan bahwa
barang yang digugat adalah diduga kuat berasal dari suatu tindak pidana dan/atau
merupakan hasil tindak pidana dan/atau digunakan untuk melakukan suatu tindak
pidana dan/atau merupakan aset diperoleh dari kegiatan tidak sah. Bukti minimum
dimaksud adalah dugaan yang didapat dari kegiatan penelusuran.257 Hakim
selanjutnya menilai kekuatan bukti-bukti yang diajukan tersebut dengan tidak
terikat pada ketentuan alat bukti sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata.
Hasil penilaian Hakim diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari sejak permohonan diajukan. Ketua Pengadilan Negeri
mengeluarkan penetapan atas permohonan tersebut yang dapat berupa penetapan
mengabulkan atau menolak permohonan perampasan in rem. Dalam proses ini
255 Pasal 1 angka 8 RUU PA. 256 Pasal 30 RUU PA. 257 Pasal 31 RUU PA.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
128
pihak ketiga dapat mengajukan keberatan kepada BPA. Atas penolakan BPA,
pihak ketiga dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Pihak ketiga yang
merasa mempunyai kepentingan atas harta perampasan in rem yang telah
mendapat penetapan Pengadilan Negeri dapat mengajukan keberatan kepada
BPA. Dalam hal ini berlaku asas actori incumbis probatio (pihak yang
mendalilkan, yang harus membuktikan dalilnya tersebut) bagi pihak ketiga.258
(5) Perampasan Pidana
Perampasan pidana adalah tindakan negara menuntut mengambil alih aset
melalui putusan pengadilan dalam perkara pidana.259 Perampasan pidana
dilakukan terhadap barang yang terkait langsung dengan tindak pidana dan
dijadikan sebagai barang bukti di dalam berkas perkara. Tata cara perampasan
pidana dimaksud dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana.260 Sesuai
hukum acara pidana maka perampasan pidana dilakukan oleh jaksa sebagai
pelaksana/eksekutor putusan pidana.
Ketentuan-ketentuan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam
RUU Aset telah mencerminkan ketentuan-ketentuan dan tahapan-tahapan di
dalam KAK, meskipun masih banyak terdapat beberapa kerancuan istilah.
Menjadi suatu hal yang penting adanya persamaan persepsi dan visi, bukan saja
berkaitan dengan penerjemahan melainkan juga pada tahapan proses
pengembalian hasil tindak pidana.261 Misalnya berkaitan dengan upaya penyitaan
yang jika mengacu pada proses pengadilan menurut KUHAP dan urutan yang
selalu disebutkan dalam KAK, selalu menyebutkan urutan proses tindakan. Pasal
31 KAK disebutkan sebagai freezing, seizure, dan confiscation. Hal ini
menggambarkan tentang proses pembekuan pada saat penuntutan. Seizure atau
forfeiture adalah proses penyitaan sebelum putusan pengadilan dan confiscation
adalah untuk tahap perampasan pada saat telah ada putusan pengadilan.
Confiscation dalam KAK adalah penyitaan setelah putusan, yang jika disesuaikan
258 Pasal Pasal 32 – 34 RUU PA. 259 Pasal 1 angka 9 RUU PA. 260 Pasal 35 RUU PA. 261 Yenti Garnarsih, Asset Recovery Act sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil
Korupsi, (Jakarta, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 633.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
129
dengan KUHAP disebut sebagai perampasan.262 Jadi dalam putusan harus
disebutkan dengan tegas perintah untuk perampasan.
Dalam setiap putusan pengadilan yang berkaitan dengan upaya
pengembalian aset dari tersangka, terdakwa dan terpidana tindak pidana korupsi
terutama jika asetnya berada di luar negeri maka putusan pengadilan
memerintahkan untuk perampasan aset tersebut secara tegas dan detail tentang
bentuk kebendaan, lokasi dan dalam penguasaan atau kepemilikan siapa.
Konsekuensi yang lain, Indonesia juga perlu mengatur ketentuan perundang-
undangan untuk melaksanakan putusan hakim dari negara lain tentang
perampasan aset yang ada di Indonesia.263
Selain berkaitan dengan peristilahan, dalam membangun sistem hukum
tentang pengembalian hasil tindak pidana korupsi, Indonesia dihadapkan pada
permasalahan perbedaan sistem hukum. Indonesia menganut Civil Law System
yang hanya menganut gugatan in personam dimana pengembalian aset hanya
berdasarkan tuntutan pidana atau criminal forfeiture. Hal ini mengingat bahwa
dalam melaksanakan kerjasama internasional dalam pengembalian aset akan
selalu berhubungan dengan negara lain yang menganut sistem hukum common
law. Untuk itu perlu dipikirkan pembangunan sistem hukum pengembalian hasil
tindak pidana korupsi dengan gugatan in rem atau non convicted conviction atau
civil forfeiture. Selain itu juga harus dipikirkan mengenai hukum acara permintaan
in rem dan juga in personam ke negara lain, mengingat diperlukan suatu putusan
pengadilan dari Indonesia. Sejauh ini Indonesia belum mempunyai dasar hukum
dan prosedur bagi hakim untuk memutuskan pengembalian (perampasan) hasil
korupsi.
Permasalahan selanjutnya adalah berkaitan dengan central authority, yaitu
dalam menentukan lembaga yang paling tepat untuk melakukan permohonan
pengembalian hasil tindak pidana korupsi atau sebaliknya.264 Indonesia
menetapkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) sebagai central
authority. Keberadaan Kemkumham nampaknya tidak tepat dan berpotensi akan
ditolaknya permintaan pengembalian hasil tindak pidana korupsi yang berada di
262 Ibid. 263 Ibid., hal. 234. 264 Ibid., hal. 641.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
130
luar negeri. Hal ini dikarenakan Kemkumham merupakan lembaga yang hanya
memiliki kewenangan administrasi dan tidak memiliki kewenangan langsung
untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pada beberapa
negara, central authority berada pada Departement of Justice yang membawahi
secara langsung proses penyidikan dan penuntutan. Mengacu pada hal tersebut,
sebaiknya central authority Indonesia berada di bawah Kejaksaan Agung.
Meskipun hingga saat ini RUU Perampasan Aset masih dalam
pembahasan, hal-hal tersebut di atas dapat menjadi argumentasi pentingnya
pengaturan yang khusus berkaitan dengan pengembalian hasil tindak pidana
korupsi. Setelah Indonesia meratifikasi KAK, implikasi logis yang muncul adalah
Indonesia harus segera menyesuaikan hukum nasionalnya dengan ketentuan
KAK. Harus dipahami dengan benar, bahwa proses pengembalian hasil tidak
pidana korupsi tidaklah semudah seperti apa yang telah diatur dalam KAK karena
masih ada beberapa persyaratan yang bersifat khusus. Selain itu, Indonesia juga
mengatur Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2006 dimana salah satu prinsipnya adalah resiprokal yaitu jika Indonesia
menginginkan aset yang dilarikan ke negara lain dikembalikan ke Indonesia,
maka Indonesia juga harus menyediakan mekanisme yang mengatur aset dari
negara lain yang disembunyikan di Indonesia.
Dalam konteks rumitnya proses pengembalian hasil tindak pidana korupsi
tersebut di atas, menjadi sangat penting untuk memberikan batas perkara-perkara
mana saja yang diprioritaskan menggunakan proses peradilan in absentia yaitu
terhadap perkara yang asetnya besar dan dapat disita. Besarnya aset yang dapat
disita harus sebanding dengan biaya yang dikeluarkan negara dalam proses
pengembalian aset dimaksud. Selain itu perlu dipertimbangkan juga efek jera dari
suatu perkara sehingga upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat
mencapai tujuan yang diinginkan yaitu memberikan efek jera dan mengembalikan
kerugian atau kekayaan negara.
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut di atas, pada bab selanjutnya akan
disampaikan kesimpulan yang merupakan jawaban atas semua permasalahan yang
telah diuraikan sebelumnya, dan saran yang berkaitan dengan peradilan in
absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
131
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Proses peradilan pidana dilaksanakan berdasarkan proses hukum yang adil
(due process of law) dimana hak-hak pelaku tindak pidana dilindungi dan
dianggap sebagai bagian dari hak-hak warga negara (civil rights) yang
merupakan bagian dari HAM. Salah satu hak dimaksud adalah hak kehadiran
terdakwa di muka pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3)
huruf d KIHSP. Pelaksanaan peradilan in absentia dalam perkara tindak
pidana korupsi seakan-akan telah melanggar hak tersebut. Dengan
menggunakan asas derogasi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
KIHSP, diketahui bahwa hak-hak yang terdapat di dalam Pasal 14 KIHSP
merupakan hak asasi yang dapat ditunda pemenuhannya (derogable rights).
Ketentuan ini diperkuat dengan Pasal 29 DUHAM yang menegaskan bahwa
pembatasan hak-hak asasi individu dapat dibenarkan sepanjang bertujuan
untuk melindungi hak- hak asasi yang lebih luas, dalam hal ini adalah hak
negara, dengan syarat diatur dalam bentuk undang-undang. Berdasarkan
ketentuan ini, pelaksanaan peradilan in absentia harus dilakukan berdasarkan
KUHAP terutama berkaitan dengan tata cara pemanggilan yang sah.
Ketidakmampuan negara untuk menghadirkan terdakwa di muka persidangan
harus dikemukakan dan dibuktikan sebagai alasan yang obyektif. Hal ini
sangat penting dikarenakan syarat mutlak dapat dilaksanakannya peradilan in
absentia adalah (1) harus dipanggil terlebih dulu secara sah, dan (2) tidak
hadir tanpa alasan yang sah. Mengenai ketidakhadiran terdakwa, di satu sisi
KUHAP memberikan hak untuk menghadiri sidang untuk melakukan
pembelaan terhadap dirinya. Namun di sisi lain, terdakwa secara sengaja tidak
berkeinginan menggunakan hak tersebut. Hal ini merupakan upaya terdakwa
secara sengaja menghindarkan diri dari pemeriksaan. Dalam konteks ini, hak
membela diri terdakwa dapat ditunda pemenuhannya.
2. Penerapan peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi tidak
terlepas dari proses peradilan tindak pidana pada umumnya yang meliputi
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
132
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam perkara
tindak pidana korupsi, pelaksanaan proses dimaksud berdasarkan pada hukum
acara yang berlaku (KUHAP) kecuali ditentukan lain dalam UU TPK.
Berkaitan dengan penyidikan dan persidangan in absentia, prosedur
pemanggilan tersangka dan terdakwa memegang peranan yang penting. Hal
ini dikarenakan jika prosedur pemanggilan tersebut tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya atau tidak sah menurut KUHAP, maka surat dakwaan
akan dinyatakan tidak dapat diterima.
Tujuan dilaksanakannya peradilan in absentia adalah untuk menyelamatkan
kekayaan negara melalui pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Salah
satu instrumen yang digunakan dalam pengembalian aset dimaksud adalah
melalui instrumen pidana berupa penyitaan dan perampasan sebagaimana
diatur dalam KUHAP dan UU TPK. Terhadap aset hasil tindak pidana korupsi
yang berada di dalam negeri, instrumen pidana dimaksud dapat secara
langsung dilaksanakan. Sedangkan untuk aset yang dilarikan atau
disembunyikan pelaku tindak pidana korupsi ke luar negeri, Indonesia
mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KAK yang telah
diratifikasi Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Ketentuan-ketentuan dalam KAK mengatur tahapan-tahapan pengembalian
aset yang meliputi : (1) pelacakan aset, (2) pembekuan atau perampasan aset,
(3) penyitaan aset-aset, dan (4) pengembalian dan penyerahan aset-aset kepada
negara korban. Tahapan-tahapan ini mengedepankan kerjasama internasional
dalam pelaksanaannya yaitu antara lain berupa perjanjian ekstradisi dan
bantuan hukum timbal balik. Selain itu, diperlukan juga dukungan hukum
nasional berupa implementasi KAK ke dalam sistem hukum nasional.
Berkaitan dengan hal ini, Indonesia telah memiliki UU KPK dan UU TPK.
Untuk memperkuat kedua undang-undang tersebut, pemerintah sedang
menyusun RUU Pengembalian Aset yang menagtur mekanisme perampasan
aset secara komprehensif dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan di
dalam KAK.
Berdasarkan 2 (dua) putusan yang menyidangkan terdakwa tindak pidana
korupsi secara in absentia yaitu perkara dengan terdakwa Hendra Rahardja
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
133
serta terdakwa Hesham dan Rafat, dapat diketahui bahwa proses pemanggilan
secara patut sangat penting dalam peradilan in absentia. Pemanggilan yang
patut ini menjadi justifikasi bagi hakim untuk melaksanakan peradilan in
absentia tanpa melanggar hak asasi terdakwa. Berkaitan dengan upaya
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai tindak lanjut putusan
peradilan in absentia, meskipun Indonesia telah memiliki perjanjian ekstradisi
dan MLA, namun dalam pelaksanaannya tidak dapat menjamin kelancaran
proses pengembalian aset dimaksud. Proses pengembalian aset dilaksanakan
melalui proses yang rumit dan memakan waktu yang lama serta jumlah aset
yang dikembalikan masih belum maksimal.
3. Pelaksanaan peradilan in absentia dalam peranannya berkaitan dengan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berhadapan dengan sejumlah
permasalahan yang berkaitan dengan peradilan in absentia itu sendiri maupun
proses pengembalian aset. Permasalahan mendasar adalah berkaitan dengan
masih terdapatnya ketidaksamaan persepsi dalam menyikapi ketentuan-
ketentuan yang berlaku terutama dalam peradilan in absentia yaitu dalam hal
penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh beberapa orang
terdakwa terkait dengan pemecahan perkara (splitsing) dan penafsiran hak
untuk mengajukan upaya hukum dalam perkara in absentia yang lebih lanjut
dapat menyebabkan dan mendorong pelaku tindak pidana korupsi untuk
melarikan diri dan tidak menghadiri persidangan. Selain itu muncul kesulitan-
kesulitan teknis yang terjadi sejak tahap penyidikan sampai dengan eksekusi.
Permasalahan lain adalah berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki KPK
yang hanya bisa digunakan pada tahap penyidikan, sedangkan proses untuk
menetapkan tersangka tidak mudah mengingat KPK tidak memiliki
kewenangan untuk menghentikan penyidikan.
Sedangkan permasalahan fundamental yang berkaitan dengan pengembalian
aset adalah aset hasil tindak pidana korupsi cenderung diabaikan dan hanya
diberi atribut sebagai barang bukti hasil kejahatan sebagaimana diatur dalam
KUHAP sehingga penanganannya tidak maksimal. Selain itu, perbedaan
sistem hukum Indonesia dengan negara lain sangat mempengaruhi proses
pengembalian aset. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya mekanisme
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
134
kesepakatan antar negara yang tertuang dalam MLA dan persyaratan harus
adanya perintah tertulis pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam
putusan hakim, sedangkan perundang-undangan di Indonesia belum
mengaturnya.
5.2. Saran
1. Perlu segera dilakukan penyesuaian dan persamaan persepsi ketentuan-
ketentuan dalam hukum nasional dengan ketentuan KAK terkait pemahaman
konsepsi dan ketentuan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi. Ketentuan-ketentuan dimaksud yaitu antara lain
dalam hal : (1) penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
beberapa orang terdakwa terkait dengan pemecahan perkara (splitsing), (2)
hak untuk mengajukan upaya hukum dalam perkara in absentia (Pasal 38 ayat
(4) UU TPK), (3) perluasan kewenangan yang dimiliki KPK terutama dalam
rangka mendeteksi hasil tindak pidana korupsi yang disembunyikan atau
dilarikan, dan (4) ketentuan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan
putusan hakim dari negara lain tentang perampasan aset yang ada di Indonesia
dan hukum acaranya.
2. Perlu segera dilakukan penyempurnaan dan pengesahan RUU Perampasan
Aset dengan terlebih dahulu melakukan penyesuaian terhadap persepsi dan
visi KAK. Penyesuaian dimaksud terutama berkaitan dengan : (1) ruang
lingkup aset hasil tindak pidana korupsi yang selama ini cenderung diabaikan
dan hanya diberi atribut sebagai barang bukti hasil kejahatan sebagaimana
diatur dalam KUHAP sehingga penanganannya tidak maksimal, (2) istilah-
istilah dalam RUU PA dengan KAK untuk menghindari kerancuan istilah,
terutama berkaitan dengan istilah aset, dan (3) tahapan proses pengembalian
aset yang menggambarkan urutan proses tindakan.
3. Dalam masa transisi sebelum penyesuaian-penyesuaian dan pengesahan RUU
Perampasan Aset dilakukan, untuk sementara waktu perlu segera diatur
ketentuan yang mengharuskan Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutan
pidananya mencantumkan tindakan perampasan dan pengembalian pada kas
negara terhadap harta benda pelaku tindak pidana korupsi serta adanya
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
135
perintah tertulis pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam putusan
hakim pada perkara tindak pidana korupsi yang memenuhi unsur merugikan
keuangan negara atau kekayaan negara. Oleh karena ketentuan ini bersifat
teknis maka dapat diatur dalam peraturan yang bersifat teknis juga seperti
misalnya dalam Standart Operating Procedure (SOP/Prosedur Operasi Baku)
Kejaksaan Agung dan KPK dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).
Diharapkan dengan adanya pengaturan tentang keharusan adanya perintah
tertulis pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam putusan hakim
ini dapat mempermudah proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
terutama yang disembunyikan atau dilarikan ke luar negeri.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
136
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta : Diadit Media, 2009.
Adji, Indriyanto Seno dan Juan Felix Tampubolon. Perkara H.M. Soeharto. Jakarta : Multi Mediametri, 2001.
Alam, Paku. Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi – Implementasinya di Indonesia. Jakarta : Forum Lintas Generasi, 2008.
Alatas. Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta : LP3ES, 1987.
Asshiddiqie, Jimly. Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta : Mahkamah Konstitusi RI, 2005.
_____________. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005.
_____________. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.
Atmasasmita, Romli. Pengkajian Hukum tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB. Jakarta : Departemen Hukum dan HAM RI - Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2008.
_____________. Pengkajian mengenai Implikasi Konvensi Menentang Korupsi 2003 ke dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Proposal, Departemen Kehakiman dan HAM RI – Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2004.
_____________. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010.
Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT Alumni, 2006.
_____________. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang : Bayumedia Publishing, 2005.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Davidson, Scoot. Hak Asasi Manusia Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional. Penerjemah A. Hadyana Pudjaatmaka. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1994.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
137
Effendy, Marwan. Peradilan In Absentia dan Koneksitas. Jakarta : PT Timpani Publishing, 2010.
Flemming, Matthew H. Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic Taxonomy : Draft for Comments, Version Date. London : University College, 2005.
Gautama, Sudargo. Pengertian tentang Negara Hukum. Bandung : Alumni, 1983.
Hadikusuma, Hilman. Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum. Bandung : Mandar Maju, 1995.
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya : PT Bina Ilmu, 1987.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika, 2003.
Hakim, Abdul Aziz. Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011.
Hamzah, Andi. Hukum Pidana Ekonomi. Jakarta : Erlangga, 1986.
_____________. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988.
Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban yang Adil. Jakarta : Grasindo, 2004.
Loqman, Loebby. Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, 1996.
McWalters, Ian. Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan untuk Indonesia. Surabaya : JP Books, 2006.
M.D, Moh. Mahfud. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta : UII Press, 1993.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995.
Pieth, Mark. Recovering Stollen Assets. Bern : Internationaler Verlag der Wissenschaften, 2008
Prakoso, Djoko. Peradilan In Absentia di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
138
Prihartono, Dwiyanto. Sidang Tanpa Terdakwa, Dilema Peradilan In Absentia dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003.
Prodjohamidjojo, Martiman. Komentar atas KUHAP. Jakarta : Pradnya Paramita, 1990.
Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Ketiga. Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994.
_____________. Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kelima. Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 2007.
Rizal, Jufrina dan Agus Brotosusilo. Bahan Bacaan Program Magister Filsafat Hukum, Buku Ke-1. Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.
Rukmini, Mien. Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Peradilan Pidana Indonesia. Bandung : PT Alumni, 2007.
Smith, Rhona K.M. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII, 2008.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia Press, 2007.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Tahir, Heri. Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Yogyakarta : LaksBang Pressindo, 2010.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Yanuar, Purwaning M. Pengembalian Aset Hasil Korupsi – Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung : Alumni, 2007.
Jurnal/Makalah/Internet/Bahan Lain
Asshiddiqie, Jimly. Undang-Undang Dasar 1945 : Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan. Pidato diucapkan pada upacara pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 13 Juni 1998.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
139
Eddyono, Supriyadi Widodo. “Masa Depan Hukum Pengembalian Aset Kejahatan di Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Husein, Yunus. “Perampasan Hasil Tindak Pidana di Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Noor, Rasyid. “Korupsi dan Pemberantasannya di Indonesia”. Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIV No. 285 Agustus 2009.
Reksodiputro, Mardjono. Penyitaan dan Perampasan Aset dalam Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang (Catatan untuk Diskusi). Makalah disampaikan dalam Forum Group Discussion (FGD), PPATK tanggal 21 Juli 2009.
_____________. Tambahan Catatan dalam Rangka Sosialisasi RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. Makalah disampaikan dalam Sosialisasi RUU oleh Ditjend PP Depkumham, Hotel Maharani Jakarta tanggal 3 Agustus 2009.
Roach, Kent. ”Changing Punishment at the Turn of the Century : Restorative Justice on the Rise”. Canadian Journal of Criminology, Number 7, 2000.
Sadguna, I. Gede Made. “Peranan PPATK dalam Pemberantasan Korupsi Menuju Good Corporate Governance Sektor Keuangan”. Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24, Nomor 3, 2005.
Saly, Jeane Neltje. “Pengembalian Aset Negara Hasil Korupsi di Indonesia dalam Perspektif United Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC)”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Surowidjojo, Adil. “The United Nations Convention Against Corruption : How Will It Help Us?”. Jentera, Jurnal Hukum, Edisi 9, Tahun III, Juni 2005.
Wandatama, Ario dan Detania Sukarja. “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk Mendukung Stolen Asset Recovery (STAR) Initiative”. Makalah disampaikan dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional, Hotel Milenium Jakarta tanggal 28 – 29 Nopember 2007.
Wibowo, Edy. “Peranan Hakim dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi”. Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIV No. 279 Februari 2009.
Wulansari, Eka Martiana. “Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”. Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
140
dan Hak Asasi Manusia RI.
Yusuf, Muhammad. “Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi melalui NCB Asset Forfeiture”. Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Zehr, Howard. “Restorative Justice”. Restorative Justice Symposium, 1990.
Black's Law Dictionary 8th ed., West Group, 2004.
Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1979 – 1985.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 339/PID.B/2010/PN.JKT.PST tanggal 30 November 2010.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST tanggal 22 Maret 2002.
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 125/PID/2002/PT.DKI tanggal 8 November 2002.
Arif Wibowo, Teori Keadilan John Rawls, http://staff.blog.ui.ac.idteori-keadilan-john-rawls/.
Info Unit Kerja Kejaksaan Agung R.I., Tim Terpadu, http://www.kejaksaan.go.id.
U4 – Anti-corruption Resource Centre, http://www.u4.no/themes/uncac/asset-recovery.ctm.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. LN Tahun 2010 Nomor 122, TLN Nomor 5164.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN Nomor 5076.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003). LN Tahun 2006 Nomor 32, TLN Nomor 4620.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. LN Tahun 2002 Nomor 137, TLN Nomor 4250.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011
141
Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. LN Tahun 2001 Nomor 134, TLN Nomor 4150.
Indonesia. Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. LN Tahun 1999 Nomor 165, TLN Nomor 3886.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia. LN Tahun 1994 Nomor 61, TLN Nomor 3568.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. LN Tahun 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, tanggal 13 Nopember 1998.
Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011