peradilan in absentia dalam upaya …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-t28985-peradilan...

152
UNIVERSITAS INDONESIA PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI TESIS RIESA SUSANTI NPM. 0906581510 FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JULI 2011 Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Upload: buidan

Post on 26-Apr-2018

219 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

UNIVERSITAS INDONESIA

PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA PENGEMBALIAN

ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

TESIS

RIESA SUSANTI NPM. 0906581510

FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA

JAKARTA JULI 2011

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Administrator
Note
Silakan klik bookmarks untuk meihat atau link ke hlm
Page 2: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

UNIVERSITAS INDONESIA

PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA PENGEMBALIAN

ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum

RIESA SUSANTI NPM. 0906581510

FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA

JAKARTA JULI 2011

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 3: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 4: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 5: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 6: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 7: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 8: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

viii

ABSTRAK

Nama : Riesa Susanti Program Studi : Pascasarjana Judul : Peradilan In Absentia dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil

Tindak Pidana Korupsi Ketidakhadiran terdakwa dalam proses persidangan perkara tindak pidana korupsi mengakibatkan kerugian negara tidak dapat dieksekusi dan terganggunya proses penanganan perkara lain yang berkaitan dengan perkara tersebut. Untuk itu Pasal 38 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) mengatur tentang peluang dilakukannya pemeriksaan dalam persidangan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa (peradilan in absentia) dengan maksud untuk menyelamatkan kekayaan negara. Namun dalam penerapannya, peradilan in absentia masih belum menyentuh tujuan utama tersebut. Di sisi lain, peradilan in absentia dihadapkan pada prinsip bahwa kehadiran terdakwa adalah untuk memberikan ruang kepada hak-hak asasi sebagai manusia. Permasalahan yang muncul adalah bagaimanakah penerapan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yang selanjutnya memunculkan pertanyaan bagaimanakah konsepsi peradilan in absentia apabila dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) dalam hal ini hak asasi terdakwa tindak pidana korupsi, bagaimanakah penerapan hukum peradilan in absentia dalam UU TPK dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, dan bagaimanakah peranan peradilan in absentia dalam memaksimalkan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan terhadap bahan pustaka atau data sekunder yang dilakukan melalui studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study) dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Peradilan in absentia harus dilaksanakan berdasarkan KUHAP terutama berkaitan dengan tata cara pemanggilan yang sah. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan hak terdakwa untuk menghadiri sidang guna melakukan pembelaan terhadap dirinya, namun terdakwa secara sengaja tidak berkeinginan menggunakan hak tersebut. Dalam konteks ini, hak membela diri terdakwa dapat ditunda pemenuhannya. Instrumen yang dapat digunakan dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi adalah penyitaan dan perampasan sebagaimana diatur dalam KUHAP dan UU TPK. Sedangkan untuk aset yang berada di luar negeri, Indonesia mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam United Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC/Konvensi Anti Korupsi/KAK) yang telah diratifikasi Indonesia. Peradilan in absentia dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berhadapan dengan berbagai permasalahan terutama berkaitan dengan ketidaksamaan persepsi dalam menyikapi ketentuan-ketentuan yang berlaku terutama dalam peradilan in absentia dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, kesulitan-kesulitan teknis dalam tahap penyidikan sampai eksekusi, dan perbedaan sistem hukum Indonesia dengan negara lain yang sangat mempengaruhi proses pengembalian aset. Kata kunci : peradilan, in absentia, korupsi, aset.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 9: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

ix

ABSTRACT

Nama : Riesa Susanti Study Program : Postgraduate Title : In Absentia Trial in Recovering The Proceeds of Corruption The absence of the defendant in a trial, specifically corruption, not only can hamper the attempt to recover the stolen assets but also vex the case handling process on relate matter. In order to fill the gap between the inability bring the defendant into the court and the compulsory need to present the defendant has became the essence of Article 38 Act No. 20 of 2001 on Eradication of the Criminal Act of Corruption (UU TPK) that regulates in absentia trial by means to enable the recovering of the stolen assets. However, in its implementation the in absentia trial process has not yet brought any sufficient results. Whereas, the process is resulted the debate from the human rights' point of view on whether the system must ensure that every person has the right to defend him/herself in front of the fair trial and cannot be self adjudicated by the evidence solely deliberate from the prosecutor (government). Thus, this thesis will discuss three main issues in regard to the in absentia trial for corruption case. First, it will discuss on the conceptual view on how the in absentia trial in colliding with the human right view. It will discuss the necessity to have the in absentia trial whilst the necessity for the government to ensure the establishment on fair trial before the court for every person. The second issue, will discuss on the implementation of the in absentia trial in regards to the attempt to repatriate the stolen asset. Third, the discussion will also elaborate on the optimum utilization of the in absentia trial as an alternate choice in conducting stolen asset recovery. The thesis is using the normative research method based on library literatures or usually called as secondary data based on literature study/documentary study and being analyzed using qualitative descriptive methods. The implementation the in absentia trial is based on KUHAP, specifically on the chapter that relates to the summoning procedures. KUHAP regulates that any defendant has the right to defend him/herself before the court and despite the fact that this has not been effectively exercise due to the the defendants' own desire. And under special circumstance the exercise of that right also can be adjourned. The instruments that applies in the repatriation of stolen assets recovery are the seize and confiscate as mentioned under the KUHAP. Whereas for the assets that locate in a foreign jurisdictions, Indonesia is referring to the regulations under the UNCAC that had been ratified under Indonesia law. In absentia trial in recovering the proceeds of corruption is dealing with the various problems mainly related to the perception of inequality in concerning the regulations of in absentia trial and the repatriate stolen assets, technical difficulties in the process from investigation phase until execution, and Indonesia’s legal system difference with other countries will influence the attempt to recover the assets. Key words : trial, in absentia, corruption, asset.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 10: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

x

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv KATA PENGANTAR …………………………………………………........ v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …................... vii ABSTRAK ………………………………………………………………...... viii ABSTRACT .................................................................................................... ix DAFTAR ISI ………………………………………………………...........… x BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian ........................................................... 1 1.2. Pernyataan Masalah ................................................................... 5 1.3. Pertanyaan Penelitian .................................................................. 5

1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian ................................................... 6 1.5. Kegunaan Penelitian ................................................................... 6 1.6. Kerangka Teori ………………………………………………... 7 1.7. Kerangka Konsepsional ……………………………………...... 13 1.8. Metode Penelitian ……………………………………………... 14 1.8.1. Jenis dan Sumber Data ………………………………..... 14 1.8.2. Metode Pengumpulan Data …………………………...... 15 1.8.3. Pengolahan dan Analisis Data ………………………...... 16 1.9. Sistematika Laporan Penelitian ………………………………... 17 BAB II TEORI NEGARA HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA 2.1. Teori Negara Hukum ………………………………………..... 18 2.2. Teori Sistem Peradilan Pidana ………………………………... 25 2.3. Teori Keadilan Sosial ………………………………………..... 31 BAB III PERADILAN IN ABSENTIA DAN PENGEMBALIAN ASET HASIL

TINDAK PIDANA KORUPSI 3.1. Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan In Absentia ………….. 37 3.2. Prinsip Hadirnya Terdakwa di Sidang Pengadilan ………….... 40 3.3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

dalam Instrumen Hukum Internasional dan Nasional ………... 47 BAB IV PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA PENGEMBALIAN

ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI 4.1. Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan Hak

Tersangka/Terdakwa ............................................................... 66 4.2. Penerapan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi ………………………...... 73 4.2.1. Penyidikan dalam Perkara Tindak Pidana

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 11: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

xi

Korupsi …..................................................................... 74 4.2.2. Penuntutan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi ................................................................…..... 79 4.2.3. Pemeriksaan dan Persidangan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi ....………………………..... 80

4.2.4. Upaya Pengembalian Aset dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi ……………………………... 91

4.2.5. Putusan Pengadilan yang Menyidangkan Terdakwa Tindak Pidana Korupsi secara In Absentia ………..... 102

4.2.5.1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST tanggal 22 Maret 2002 atas nama Hendra Rahardja (Terdakwa I), Eko Edi Putranto (Terdakwa II) dan Sherny Kojongian (Terdakwa III) ..…………………………. 102

4.2.5.2. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 339/PID.B/2010/PN.JKT.PST tanggal 30 November 2010 atas nama Hesham Talaat Mohamed Besheer Alwarraq alias Alwarraq. Als. Hesham Al Warraq (Terdakwa I) dan Rafat Ali Rizvi (Terdakwa II) .................................. 111

4.3. Peranan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi ................................................ 118

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ............................................................................ 131 5.2. Saran ...................................................................................... 134 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 136

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 12: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Pembentukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) dilandasi

pemikiran bahwa korupsi sudah sangat akut dan menggerogoti seluruh sendi

kehidupan berbangsa, sehingga dalam pemberantasannya tidak cukup hanya

dengan perluasan perbuatan yang dirumuskan sebagai korupsi dan menggunakan

cara-cara konvensional, melainkan diperlukan metode dan cara tertentu yaitu

dengan menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).1

Hal ini dikarenakan karakter korupsi sangat kriminogen (dapat menjadi sumber

kejahatan lain) dan viktimogin (secara potensial dapat merugikan berbagai

dimensi kepentingan).2

Dengan mempertimbangkan kerugian hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat sebagai akibat korupsi, UU TPK memuat berbagai ketentuan yang

semangat terbesarnya dapat disimpulkan adalah untuk memulihkan hak-hak sosial

dan ekonomi masyarakat yang bersifat materiil, disamping mencantumkan

ketentuan ancaman pidana yang lebih berat untuk memberikan efek jera pada

pelakunya. Dengan demikian, hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat menjadi

perhatian dan sasaran utama para pembentuk undang-undang dalam perumusan

undang-undang pemberantasan korupsi melalui upaya sekeras-kerasnya untuk

1 Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana

tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pula dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa, Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, LN No.137, TLN No. 4250, Penjelasan Umum.

2 Romli Atmasasmita, Pengkajian Hukum tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta : Departemen Hukum dan HAM RI - Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2008), hal. 1.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 13: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

2

mengembalikan uang negara yang telah dikorupsi yang kemudian oleh negara

dimanfaatkan untuk pemulihan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.3

Salah satu upaya dimaksud adalah peluang dilakukannya pemeriksaan

dalam persidangan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa (peradilan in

absentia). Peluang dilaksanakannya peradilan in absentia diatur dalam Pasal 38

ayat (1) UU TPK, yang berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal terdakwa telah

dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah

maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”. Selanjutnya dalam

penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU TPK dapat diketahui bahwa maksud dari

ketentuan mengenai peradilan in absentia adalah untuk menyelamatkan kekayaan

negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, terdakwa dapat diperiksa dan

diputus oleh Hakim.

Terdapat beberapa keuntungan apabila suatu perkara korupsi diperiksa

dan diputus secara in absentia yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan agar

aset-aset dari pelaku tindak pidana korupsi bisa langsung disita dan dieksekusi

oleh jaksa melalui putusan hakim. Namun di sisi lain, KUHAP menganut asas

kehadiran terdakwa yang dihadapkan di muka persidangan oleh Jaksa Penuntut

Umum. Seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan harus dalam

keadaan bebas dan merdeka, artinya tidak dalam keadaan terbelenggu baik

jasmani maupun rohaninya.4 Prinsip pentingnya kehadiran terdakwa di sidang

pengadilan diatur dalam Pasal 1 angka 15 KUHAP yaitu bahwa terdakwa adalah

seorang yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan, dan Pasal 189

ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang

terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang

diketahuinya sendiri atau dialami sendiri. Hal ini juga diatur dalam Pasal 12 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU

Kehakiman) yang menyatakan bahwa : ”Pengadilan memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang

menentukan lain”.

3 Edy Wibowo, Peranan Hakim dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, (Varia

Peradilan Majalah Hukum Tahun XXIV No. 279 Februari 2009), hal. 49. 4 Lihat Pasal 154 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 14: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

3

Kehadiran terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana hakekatnya untuk

memberikan ruang kepada terdakwa sebagai manusia yang berhak membela diri

dan mempertahankan hak-hak kebebasannya, harta benda ataupun

kehormatannya. Tujuan utamanya adalah agar terdakwa dapat mengerti benar-

benar apa yang didakwakan, bagaimana keterangan saksi, ahli dan alat-alat bukti

yang lain, sehingga ia bebas dan leluasa mengatur jawaban dan pembelaannya.5

Pada praktiknya upaya menyidangkan terdakwa perkara korupsi secara in

absentia bukanlah suatu hal yang baru. Sejak tahun 2002, terdapat 6 (enam)

perkara korupsi yang diperiksa dan diputus secara in absentia dan kesemuanya

merupakan terdakwa perkara korupsi BLBI. Dalam perkara korupsi BLBI Bank

Harapan Sentosa, Hendra Rahardja, Eko Adi Putranto dan Sherly Konjogian

diadili secara in absentia ketika ketiganya telah melarikan diri ke luar negeri.

Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan dalam perkara BLBI Bank Surya

diadili secara in absentia ketika yang bersangkutan berada di Singapura. David

Nusa Wijaya dalam perkara BLBI Bank Servitia juga telah divonis 1 (satu) tahun

penjara secara in absentia oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena melarikan

diri.

Perkara terbaru yang diperiksa dan diputus dalam pengadilan in absentia

adalah perkara korupsi dan pencucian uang dengan terpidana mantan pemilik

Bank Century yaitu Hesyam Talaat Mohamed Besher Alwarraq alias Hesham

Alwarraq dan Rafat Ali Rizvi. Vonis yang dijatuhkan terhadap keduanya adalah

penjara 15 (limabelas) tahun, uang pengganti sebesar Rp 3.115.889.000.000,-

(tiga triliun seratus lima belas milyar delapan ratus delapan puluh sembilan juta

rupiah) dan pidana denda Rp 15.000.000.000,- (limabelas milyar rupiah).6

Keberadaan kedua terpidana yang tidak diketahui tersebut membuat eksekusi

hukuman penjara menjadi sulit dilaksanakan karena menyangkut perjanjian

ekstradisi antar negara. Selain itu dalam upaya penyitaan aset menemui beberapa

kendala antara lain berkaitan dengan adanya upaya perlawanan hukum dari negara

5 Mien Rukmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas

Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung : PT Alumni, 2007), hal. 89.

6 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 339/PID.B/2010/PN.JKT.PST, Jakarta, 2010, hal. 256.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 15: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

4

tempat aset bermasalah itu disembunyikan karena menganggap aset tersebut

bukan merupakan hasil tindak pidana.

Dalam perkara-perkara korupsi tersebut di atas, dapat diketahui bahwa

tujuan utama peradilan in absentia dalam upaya untuk menyelamatkan kekayaan

negara melalui pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, belum tercapai. Hal

ini antara lain dikarenakan terdapat kesulitan dalam proses eksekusi terkait

dengan proses ekstradisi yang rumit dan terbatasnya jumlah negara yang

mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi KPK, terdapat beberapa perkara

dimana tersangkanya melarikan diri yaitu antara lain Anggoro Widjojo dalam

perkara penyuapan terkait pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT)

di Departemen Kehutanan yang menjadi buronan sejak Juni 2008. Kondisi ini

mengakibatkan penanganan perkara tersebut mengambang dan tidak jelas di

tingkat penyidikan. Perkara-perkara yang berkaitan langsung dengan perkara

tersebut mengalami kesulitan ketika akan diproses lebih lanjut karena menunggu

tertangkapnya ”tersangka utama”. Selain itu, harta benda yang diduga berasal dari

perbuatan korupsi yang telah dilakukan tidak jelas statusnya karena belum ada

ketetapan hukumnya.

Perasaan keadilan masyarakat yang menuntut ditegakkannya hukum

terhadap pelaku tindak pidana korupsi berhadapan dengan kenyataan bahwa

pelaku tindak pidana korupsi memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah selama

belum terdapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap

(presumption of innocence) melalui due process of law. Padahal, apabila mengacu

pada pendapat Loebby Loqman, UU TPK pada prinsipnya mempunyai tujuan

prevensi untuk melindungi harta kekayaan/perekonomian negara. Tujuan

represifnya disamping untuk melakukan pemidanaan bagi mereka yang

melakukan korupsi juga untuk menyelamatkan harta kekayaan negara. Dalam

perkara korupsi, perlindungan serta penyelamatan terhadap harta kekayaan negara

menjadi prioritas utama.7

7 Loebby Loqman, Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, 1996), hal. 49.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 16: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

5

1.2. Pernyataan Masalah

Dalam perkembangan penanganan perkara tindak pidana korupsi pada

akhir-akhir ini, muncul fenomena yang berkaitan dengan ketidakhadiran terdakwa

dalam proses persidangan dikarenakan terdakwa melarikan diri. Hal ini

menimbulkan kebuntuan dalam upaya penyelesaian perkara tindak pidana korupsi

yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian negara yang diakibatkan tindak

pidana korupsi tersebut tidak dapat dilakukan eksekusi dan terganggunya proses

penanganan perkara lain yang berkaitan langsung dengan perkara tersebut.

Pembahasan mengenai peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana

korupsi menarik untuk dicermati dikarenakan maksud dari ketentuan mengenai

peradilan in absentia adalah untuk menyelamatkan kekayaan negara yang

merupakan bentuk perlindungan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat dari

dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Namun dalam penerapan

peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi masih belum

menyentuh tujuan utama tersebut terutama dalam upaya pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi. Di sisi lain, peradilan in absentia dihadapkan dengan

prinsip bahwa kehadiran terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana pada

hakekatnya adalah untuk memberikan ruang kepada hak-hak asasi terdakwa

sebagai manusia. Berdasarkan uraian di atas, khususnya yang berkaitan dengan

pentingnya peradilan in absentia dalam upaya menyelamatkan kekayaan negara,

maka pokok permasalahan dalam tesis ini adalah penerapan peradilan in absentia

dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pernyataan masalah tersebut di atas, maka dalam penelitian

tesis ini akan dibatasi dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konsepsi peradilan in absentia apabila dikaitkan dengan hak

asasi manusia (HAM) dalam hal ini hak asasi terdakwa tindak pidana korupsi?

2. Bagaimanakah penerapan hukum peradilan in absentia dalam UU TPK dalam

upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi?

3. Bagaimanakah peranan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset

hasil tindak pidana korupsi?

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 17: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

6

1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian

Sesuai identifikasi pertanyaan penelitian tersebut di atas, penelitian ini

mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui konsepsi peradilan in absentia apabila dikaitkan dengan hak asasi

manusia (HAM) dalam hal ini hak asasi terdakwa tindak pidana korupsi.

2. Mengetahui penerapan hukum peradilan in absentia dalam UU TPK dalam

upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

3. Mengetahui peranan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset

hasil tindak pidana korupsi.

1.5. Kegunaan Penelitian

Penelitian terhadap permasalahan di atas yang akan dituangkan dalam

penulisan tesis ini diharapkan akan mempunyai kegunaan sebagai berikut :

(1) Teoritis

a. Sebagai sumbangan pemikiran untuk mengembangkan wawasan dan ilmu

pengetahuan di bidang hukum pidana, khususnya di bidang pemberantasan

tindak pidana korupsi terutama dalam upaya pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi melalui peradilan in absentia.

b. Sebagai bagian dari usaha pembinaan hukum nasional dan pemecahan

masalah yang berkaitan dengan peradilan in absentia.

(2) Praktis

a. Sebagai sumbang saran dan pemikiran kepada pemerintah Indonesia dan

dunia perguruan tinggi tentang peradilan in absentia terkait dengan

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai bagian integral dari

strategi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia;

b. Sebagai sumbang saran dan pemikiran kepada pemerintah Indonesia dan

dunia perguruan tinggi dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung maupun tidak

langsung dengan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset

hasil tindak pidana korupsi.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 18: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

7

1.6. Kerangka Teori

Dimitri Vlasis8 mengungkapkan bahwa masyarakat dunia, baik di negara

berkembang maupun negara maju, semakin frustasi dan menderita akibat

ketidakadilan dan kemiskinan yang diakibatkan tindak pidana korupsi.

Masyarakat dunia menjadi pasrah dan sinis ketika menemukan bahwa aset hasil

tindak pidana korupsi, termasuk yang dimiliki oleh para pejabat negara, tidak

dapat dikembalikan karena telah ditransfer dan ditempatkan di luar negeri melalui

pencucian uang yang dalam praktik dilakukan dengan maksud untuk

menghilangkan jejak. Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para

koruptor banyak yang dilarikan dan disembunyikan di luar negeri. Hasil korupsi

disembunyikan di rekening bank di luar negeri melalui mekanisme pencucian

uang sehingga upaya dalam melacak serta mengembalikan aset tersebut menjadi

sulit.

Pengembalian aset merupakan salah satu tujuan pemidanaan baru dalam

hukum pidana terutama tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

Menurut Michael Levi9, justifikasi sebagai dasar pengembalian aset adalah :

1. Alasan pencegahan (prohylactic) adalah untuk mencegah pelaku tindak pidana

memiliki kendali atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah untuk

melakukan tindak pidana lain di masa yang akan datang;

2. Alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana tidak

mempunyai hak yang pantas atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah;

3. Alasan prioritas atau mendahului, yaitu karena tindak pidana memberikan

prioritas kepada negara untuk menuntut aset yang diperoleh secara tidak sah

daripada hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana.

4. Alasan kepemilikan (proprietary), yaitu karena aset tersebut diperoleh secara

tidak sah, maka negara memiliki kepentingan selaku pemilik aset tersebut.

Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai bagian dari upaya

pemulihan kesejahteraan sosial, berdasarkan pendekatan konvensional hukum

pidana merupakan salah satu bentuk pemidanaan. Terutama terhadap tindak

8 Dimitri Vlasis, The United Nations Convention Against Corruption, Overview of Its

Contents and Future Action, Resource Material Series No. 66. hal. 118. 9 Michael Levi, Tracing and Recovering The Proceeds of Crime, (Georgia : Cardiff

University, Wales, UK, Tbilisi, 2004), hal. 17.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 19: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

8

pidana yang berkaitan dengan keuangan atau yang bertujuan memperoleh

keuntungan materiil. Justifikasi pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi

sebagai bentuk pemidanaan merupakan gabungan dari 3 (tiga) teori, yaitu teori

keadilan retributif, keadilan restoratif dan utilitarianisme.10

Menurut Howard Zehr,11 dalam keadilan retributif, tindak pidana adalah

pelanggaran terhadap negara dan hukum, keadilan diterapkan dengan cara

mempersalahkan dan memberikan rasa sakit, keadilan merupakan perseteruan

antara pelaku tindak pidana dengan negara. Menurut Zehr keadilan retributif

merupakan paradigma lama yang pernah membentuk cara berpikir dan merespon

kejahatan. Ada banyak definisi teori keadilan restoratif, salah satunya

dikemukakan oleh Walgrave, yang mengatakan bahwa teori keadilan restoratif

adalah setiap perbuatan yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan

memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari tindak pidana. Teori ini menyatakan

bahwa korban atau keluarganya dapat kembali kepada keadaan semula seperti

sebelum terjadinya tindak pidana12.

Menurut Kent Roach,13 keadilan restoratif sebagai bagian dari teori

keadilan harus direkonsiliasi dengan teori keadilan restributif. Keadilan restoratif

merupakan pelengkap yang berguna bagi teori keadilan restributif. Purwaning

mengatakan dengan menggabungkan utilitarianisme, pandangan Roach tersebut

sesuai dengan tujuan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, karena tindak

pidana korupsi itu mengandung unsur-unsur, baik menurut teori keadilan restoratif

maupun teori keadilan restibutif, dan pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi merupakan perbaikan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh tindak

pidana korupsi (mengandung prinsip restoratif). Pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi yang dilakukan oleh pelaku yang mengakibatkan kerugian

keuangan negara dan hilangnya peluang bagi individu dan masyarakat untuk

10 Purwaning M Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung : PT Alumni, 2007), hal. 25. 11 Howard Zehr, Restorative Justice, Restorative Justice Symposium,

http://www.ojp.gov/nij/rest-just/, hal. 2, diakses tanggal 2 Maret 2011. 12 L. Walgrave, Met Het Oog op Herstel : Bakens voor een Constructief Jeugsantierecht,

(Leuven : Univesitaire Pers Leuven, 2000), hal. 34 sebgaimana dikutip dalam Purwaning M Yanuar, Op. cit., hal. 91.

13 Kent Roach, Changing Punishment at the Turn of the Century : Restorative Justice on the Rise, (Canadian Journal of Criminology, Number 7, 2000), hal. 249 – 280.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 20: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

9

hidup layak dalam mencapai kesejahteraan.14

Teori keadilan retributif adalah teori yang menyatakan bahwa korban atau

keluarganya mempunyai hak untuk memperlakukan terpidana sama seperti

terpidana memperlakukan korban. Tindak pidana menuntut balasan yang bersifat

pemidanaan. Pernyataan klasik ini dikatakan oleh Hegel (1770-1831) yang

mempresentasikan tindak pidana dan pidana dalam batasan saling menegaskan

atau membatalkan. Pemidanaan adalah baik karena menghapuskan atau

meniadakan kejahatan, baik secara hukum secara moral. Karena itu, secara moral

pidana harus dijatuhkan. Negara memiliki hak dan kewajiban untuk menjatuhkan

pidana15.

Mengenai utilitarianisme, George P. Fletcher16 mengatakan bahwa

pandangan yang paling sering dikemukakan tentang alasan-alasan moral dalam

tradisi Anglo-American adalah dengan menggunakan analisis biaya/keuntungan

sebagai penyeimbang persaingan antara keuntungan dan kerugian dalam

mengadopsi rencana aksi tertentu, Semua keputusan hukum, baik keputusan

individu maupun putusan pengadilan, harus dilakukan sesuai dengan

konsekuensinya. Konsekuensi yang tepat dipertimbangkan dengan seksama dalam

upaya yang hati-hati dan dalam kesenangan manusia. Jalan pikiran tersebut

tercermin dalam pembenaran sementara tentang kebutuhan yang menyatakan

bahwa pelanggaran hukum dapat dibenarkan jika dapat memberikan manfaat yang

lebih besar. Menurut tokoh utilitarianisme, Jeremy Bentham, pemidanaan harus

bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan kerasnya pidana tidak boleh melebihi

jumlah yang diperlukan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan

tertentu. Pemidanaan hanya dibenarkan jika dapat mencegah terjadinya tindak

pidana yang lebih besar.17

Pengembalian aset memiliki peran vital bagi masyarakat dalam

menggagalkan suatu tindak pidana kejahatan. Ian McWalters,18 menyatakan

bahwa terdapat 4 (empat) peran penting pengembalian aset dalam penanganan

14 Ibid., hal. 91 – 92. 15 John Rawls, A Theori of Justice, (Oxford University Press, 1999), hal. 276 – 277. 16 George P. Fletcher, Basic Concept of Legal Thought, (Oxford University Press, 1996),

Op.cit., hal. 25. 17 Ibid., hal. 26. 18 Ian McWalters, Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan untuk Indonesia, (Surabaya :

JP Books, 2006), hal. 192 – 193.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 21: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

10

kasus kejahatan yaitu : (1) menggagalkan penerimaan penerimaan keuntungan

bagu pelaku tindak kejahatan. Hukuman tanpa kurungan ataupun yang lebih

ringan tidak akan cukup untuk mencegah pelaku menikmati hasil kejahatannya;

(2) pemulihan aset dapat menambah dukungan masyarakat dan menjadi pesan

penting bahwa pemerintah bersungguh-sungguh dalam memerangi kejahatan; (3)

mencerminkan dukungan terhadap hukum-hukum yang berlaku dalam

memberantas kejahatan. Ketika denda yang diberikan kepada pelaku dinilai tidak

cukup, maka pelaksanaan pengembalian aset dapat menjadi senjata ampuh

pemerintah; dan (4) pengembalian aset dapat berperan sebagai peringatan penitng

bagi meraka yang hendak melakukan suatu tindak kejahatan.

Menurut Matthew H. Flemming, dalam perspektif pemberantasan tindak

pidana korupsi, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi umumnya dianggap

sebagai alat atau sarana untuk memerangi tindak pidana yang sangat berorientasi

pada keuntungan, termasuk tindak pidana akuisitif (tindak pidana yang didorong

oleh nafsu keserakahan) dan tindak pidana terorganisasi. Dalam praktik dan dalam

istilah yang paling umum, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi

merupakan proses yang banyak tahapannya dan cabang dari sejumlah

kompleksitas, meliputi sejumlah lembaga, termasuk polisi (dalam pengertian yang

luas yang meliputi kepolisian, kepabeanan dan badan-badan investigasi lainnya,

kejaksaan, pengadilan dan bisa juga para penerima hasil tindak pidana tersebut). 19

Pengembalian aset korupsi merupakan sistem penegakan hukum yang

menghendaki adanya suatu proses peniadaan hak atas aset pelaku dari negara

korban dengan cara antara lain meniadakan hak atas aset pelaku secara perdata

maupun pidana, bisa dilakukan dengan penyitaan, pembekuan, perampasan, baik

dalam kompetensi lokal, regional maupun internasional sehingga kekayaan dapat

dikembalikan kepada negara (korban) yang sah.20 Sedangkan teori pengembalian

aset adalah teori hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian aset

berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial yang memberikan kemampuan, tugas

dan tanggung jawab kepada institusi negara dan institusi hukum untuk

memberikan perlindungan dan peluang kepada individu-individu masyarakat

19 Matthew H. Flemming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An

Economic Taxonomy : Draft for Comments, (London : University College, 2005), hal. 3. 20 Indriyanto Seno Adji, Op.cit., hal. 149 – 150.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 22: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

11

dalam mencapai kesejahteraan.21 Teori ini dilandaskan pada prinsip dasar :

berikan kepada negara apa yang menjadi hak negara. Di dalam hak negara

terkandung kewajiban negara yang merupakan hak individu masyarakat, sehingga

prinsip tersebut setara dan sebangun dengan prinsip berikan kepada rakyat apa

yang menjadi hak rakyat.22

Pengembalian aset tidak hanya merupakan proses, tetapi juga merupakan

upaya penegakan hukum melalui serangkaian mekanisme hukum tertentu.

Purwaning M. Yanuar merumuskan pengertian pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi sebagai suatu sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh

negara korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan

hak atas aset hasil tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan

mekanisme, baik secara pidana dan perdata, aset hasil tindak pidana korupsi, baik

yang ada di dalam maupun luar negeri, dilacak, dibekukan, dirampas, disita,

diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban tindak pidana korupsi,

sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh

pelaku tindak pidana korupsi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi

menggunakan aset hasil tindak pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk

melakukan tindak pidana lainnya, dan memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau

calon pelaku tindak pidana korupsi.23

Dari rumusan pengertian tersebut terdapat beberapa unsur-unsur penting

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yaitu :24

(1) Pengembalian aset merupakan sistem penegakan hukum;

(2) Penegakan hukum tersebut dilakukan baik melalui jalur pidana maupun jalur

perdata;

(3) Melalui kedua jalur tersebut aset hasil tindak pidana korupsi dilacak,

dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara

korban tindak pidana korupsi;

(4) Pelacakan, pembekuan, perampasan, penyitaan, penyerahan dan

pengembalian dilakukan terhadap aaset hasil tindak pidana korupsi baik yang

21 Ibid., hal. 30. 22 Ibid. 23 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 104. 24 Ibid., hal. 104 – 105;

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 23: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

12

ditempatkan di dalam negeri maupun di luar negeri;

(5) Sistem penegakan hukum dilakukan oleh negara korban tindak pidana

korupsi yang dilaksanakan oleh institusi penegak hukum;

(6) Sistem ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut :

a. Mengembalikan kerugian negara korban tindak pidana korupsi yang

ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi;

b. Mencegah penggunaan atau pemanfaatan aset-aset tersebut sebagai alat

atau sarana oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk melakukan tindak

pidana lainnya, misalnya tindak pidana pencucian uang, terorisme dan

tindak pidana lintas negara lainnya;

c. Memberikan efek jera bagi pihak lain yang beritikad melakukan tindak

pidana korupsi.

Terdapat 2 (dua) jenis perampasan aset yang berkembang dalam sistem

common law yaitu ordinary common law forfeiture (perampasan yang berlaku

berdasarkan putusan pengadilan) dan statutory forfeiture (perampasan yang

berlaku berdasarkan undang-undang). Ordinary common law forfeiture terjadi

menyusul ditetapkannya putusan pengadilan atas kejahatan yang dilakukan

terdakwa. Pihak otoritas berwenang memandang perampasan sebagai konsekuensi

dari pidana tersebut. Ordinary common law forfeiture menjadi perampasan in

personam dan jika telah diputuskan dalam putusan pengadilan, perampasan

meliputi semua properti nyata dan pribadi yang dimiliki terpidana, tidak hanya

benda-benda atau alat-alat yang digunakan dalam tindak pidana.25

Sedangkan statutory forfeiture diberlakukan tanpa memerlukan putusan

pengadilan sebelumnya. Akan tetapi dibatasi pada properti yang digunakan dalam

melakukan pelanggaran hukum. Statutory forfeiture disebut dengan perampasan in

rem perdata. Konsep bahwa properti sebagai pihak yang bersalah dan bukan

orang, menjadi legal-fictionguilty property, dengan mengambil alih properti

tersebut sebelum merugikan pihak lain.26

25 Muhammad Yusuf, Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi melalui NCB Asset

Forfeiture, (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 616.

26 Ibid., hal. 167.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 24: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

13

1.7. Kerangka Konsepsional

Untuk memudahkan dan membatasi permasalahan serta menghindari

perbedaan pengertian mengenai istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian

ini, dibawah ini diberikan definisi operasional sebagai berikut.

Peradilan in absentia adalah suatu upaya memeriksa serta mengadili dan

memutuskan suatu perkara tanpa dihadiri terdakwa, secara yuridis formal hanya

dapat diberlakukan dalam tindak pidana tertentu karena diberi ruang oleh undang-

undang tertentu.27 Menurut Djoko Prakoso, sesungguhnya pengertian mengadili

atau menjatuhkan hukuman secara in absentia, ialah mengadili seseorang

terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri.28

Pengertian korupsi sesuai materi dalam penulisan ini dibagi atas dua

pengertian yaitu : pertama, berdasarkan definisi yang mengacu kepada pengertian

korupsi menurut Transparency International yaitu perilaku pejabat publik, baik

politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal

memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan

menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Kedua,

berdasarkan perbuatan yang dikategorikan korupsi, mengacu kepada UU TPK,

bahwa yang disebut sebagai tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang

tercantum pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UU TPK, yang meliputi : delik

merugikan keuangan negara (Pasal 2 dan Pasal 3); delik penyuapan ( Pasal 5, 6,

dan 11); delik penggelapan dalam jabatan ( Pasal 8, 9, dan 10); delik pemerasan

dalam jabatan (Pasal 12); delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7);

dan delik gratifikasi (Pasal 12 B, 12 C dan Pasal 13).

Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi adalah upaya yang

dilakukan untuk mengambil langkah-langkah strategis yang bertujuan

mengamankan harta kekayaan yang diduga diperoleh dari hasil tindak pidana

korupsi.29 Istilah pengembalian aset mengandung pengertian bahwa penguasaan

aset oleh pelaku tindak pidana tidak didasarkan pada hal yang sah, karena

27 Marwan Effendy, Peradilan In Absentia dan Koneksitas, (Jakarta : PT Timpani Publishing, 2010), hal. 11.

28 Djoko Prakoso, Peradilan In Absentia di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal. 54.

29 Eka Martiana Wulansari, Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 664.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 25: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

14

merupakan hasil kejahatan. Oleh karena itu, aset tersebut harus dikembalikan

kepada pihak yang memiliki hak yang sah atas aset tersebut, yaitu negara. Melalui

tindakan pengembalian aset maka negara mengambil kembali atau memulangkan

aset yang menjadi haknya dari pelaku tindak pidana korupsi yang telah menguasai

aset tersebut secara tidak sah.30

1.8. Metode Penelitian

Metode penelitian diperlukan guna mengumpulkan sejumlah bahan yang

digunakan untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam pertanyaan

penelitian. Untuk keperluan itulah maka metode penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.8.1. Jenis dan Sumber Data

Penelitian hukum normatif dilakukan terhadap bahan pustaka atau data

sekunder yang terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier.31 Data sekunder (secondary data) adalah data yang diperoleh

peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumen, yang merupakan hasil

penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk

dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk

laporan atau dokumen yang biasanya disediakan di perpustakaan, atau milik

pribadi.32

Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

(1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,33 seperti :

a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

30 Jeane Neltje Saly, Pengembalian Aset Negara Hasil Korupsi di Indonesia dalam

Perspektif United Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC), (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 667 – 668.

31 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 2007), hal. 52.

32 Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 1995), hal. 65.

33 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 12.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 26: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

15

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peradilan in

absentia dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi;

d. Putusan hakim yang berkaitan dengan penelitian ini.

(2) Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer,34 seperti buku-buku teks hukum,

hasil-hasil penelitian hukum, jurnal-jurnal di bidang hukum, artikel-artikel

yang dibuat ahli hukum di bidang hukum pidana, hasil simposium, seminar

atau diskusi di bidang hukum baik yang berupa laporan maupun proceeding

yang terkait dengan peradilan in absentia dan pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi.

(3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,35 berupa

kamus-kamus seperti kamus bahasa Indonesia, Inggris, kamus-kamus

keilmuan seperti kamus istilah hukum serta ensiklopedia, indeks kumulatif

dan sebagainya.

1.8.2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah melalui studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study).36 Data

sekunder dimaksud dikumpulkan dengan melakukan studi kepustakaan, pada

tempat-tempat sebagai berikut :

(1) Perpustakaan Pascasarjana Universitas Indonesia, Perpustakaan Pascasarjana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Perpustakaan KPK, Pusat Dokumentasi Hukum

Fakultas Hukum Universitas Indonesia;

(2) Komisi Pemberantasan Korupsi;

(3) Kejaksaan Agung RI dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat;

(4) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

34 Ibid. 35 Ibid. 36 Ibid., hal. 201 – 205.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 27: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

16

1.8.3. Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah pengolahan

data dan analisis data.37 Data yang diperoleh akan diolah dengan cara melakukan

sistematisasi bahan-bahan hukum yaitu membuat klasifikasi terhadap bahan-

bahan hukum. Data selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif berdasarkan data-

data penelitian serta disusun dan didasarkan pada peraturan perundang-undangan,

kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum

sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.

1.9. Sistematika Laporan Penelitian

Sistematika dalam penulisan ini disusun dalam bab-bab sebagai berikut :

BAB I : Merupakan Bab Pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang

Penelitian, Rumusan Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian,

Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konseptual,

Metode Penelitian dan Sistematika Laporan Penelitian.

BAB II : Bab dua adalah tentang Teori Negara Hukum dan Sistem

Peradilan Pidana yang akan menguraikan tentang teori negara

hukum, teori sistem peradilan pidana dan teori keadilan sosial

dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

BAB III : Dalam bab tiga tentang Peradilan In Absentia dan Pengembalian

Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi akan diuraikan mengenai

konsepsi dan dasar hukum peradilan in absentia, prinsip

hadirnya terdakwa di sidang pengadilan, dan pengembalian aset

hasil tindak pidana korupsi dalam instrumen hukum

internasional dan nasional.

BAB IV : Bab empat - Peradilan In Absentia dalam Upaya Pengembalian

Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, merupakan bab yang

berisikan penyajian tentang peradilan in absentia dalam perkara

tindak pidana korupsi dikaitkan dengan hak asasi manusia

(HAM) dalam hal ini hak asasi terdakwa tindak pidana korupsi,

penerapan hukum peradilan in absentia berdasarkan UU TPK

37 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 19.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 28: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

17

dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dan

peranan peradilan in absentia dalam memaksimalkan

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Dalam bab ini

juga akan dikaji beberapa putusan yang berkaitan dengan

rumusan masalah tesis ini.

BAB V : Merupakan bab Penutup yang terdiri atas kesimpulan yaitu

jawaban atas semua permasalahan penulisan tesis ini, dan saran

yaitu pendapat penulis berkaitan dengan pokok bahasan yaitu

mengenai peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset

hasil tindak pidana korupsi.

Berdasarkan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian,

kegunaan penelitian, kerangka teori, kerangka konseptual, metode penelitian dan

sistematika laporan penelitian yang telah diuraikan di atas, pada bab selanjutnya

akan dibahas dan diuraikan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan

pelaksanaan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi yaitu teori negara hukum, teori sistem peradilan pidana dan teori

keadilan sosial.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 29: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

18

BAB II

TEORI NEGARA HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA

2.1. Teori Negara Hukum

Ide negara hukum selain berkaitan erat dengan konsep rechtsstaat dan the

rule of law, juga berkaitan dengan konsep nomocrazy yang berasal dari kata

nomos dan cratos. Nomos berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan.

Faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum, oleh

karena itu, istilah nomokrasi berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau

prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.38 Ide negara hukum dilahirkan untuk

membendung adanya kesewenang-wenangan dari kekuasaan yang mempraktikkan

sistem absolute dan mengabaikan hak-hak dari rakyat itu sendiri.39

Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah,

sebab rumusan atau pengertian negara hukum terus berkembang mengikuti

sejarah perkembangan umat manusia. Untuk itu, dalam rangka memahami secara

tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran

sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan

berkembangnya konsepsi negara hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie, gagasan

kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi

Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum.40

Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang negara hukum dikembangkan

oleh para filusuf besar Yunani Kuno seperti Plato (429-347 s.M) dan Aristoteles

(384-322 s.M). Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin

dijalankan. Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) macam pemerintahan yang dapat

diselenggarakan yaitu : (1) pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan

(2) pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum.41 Sedangkan konsep

negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum yang

38 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI), 2005, hal. 151. 39 Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2011), hal. 4. 40 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya

di Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal. 11. 41 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban yang Adil,

(Jakarta : Grasindo, 2004), hal. 36 – 37.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 30: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

19

menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi

tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada

keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi

warga negara yang baik. Bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara

bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa

sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.42

Pada zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental

dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte

dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman yaitu rechtsstaat.43 Pemikiran

negara hukum timbul sebagai reaksi dari adanya konsep negara polisi (polizei

staat). Polizei staat berarti negara menyelenggarakan keamanan dan ketertiban

serta memenuhi seluruh kebutuhan masyarakatnya. Tetapi konsep negara ini lebih

banyak diselewengkan oleh penguasa.44 Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika,

konsep negara hukum dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan the rule of

law.45

Immanuel Kant46 dalam karya ilmiahnya yang berjudul Methaphysiche

Ansfangsgrunde menyatakan bahwa konsep negara hukum adalah sebagai berikut:

”Sebagaimana dikemukakan bahwa pihak yang bereaksi terhadap negara polizei ialah ”orang-orang kaya dan cendekiawan.” Orang kaya (borjuis) dan cendekiawan ini menginginkan agar hak-hak kebebasan pribadi tidak diganggu, yang mereka inginkan ialah mereka hanya ingin kebebasan mengurusi kepentingannya sendiri, kongkritnya ialah agar permasalahan perekonomian menjadi urusan mereka dan negara tidak ikut campur dalam penyelenggaraan tersebut.”

Jadi fungsi negara dalam konsep ini adalah hanya menjaga ketertiban dan

keamanan. Konsep ini disebut dengan nachtwachkerstaats atau

nachtwachterstaats dan dikenal dengan negara hukum liberal.

Dalam kutipan yang sama, Friedrich Julius Stahl berpendapat bahwa

konsep negara hukum yang disebut dengan rechtsstaat mencakup 4 (empat) unsur

42 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

(Jakarta : PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988), hal. 153. 43 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan ...., Op.cit. 44 Abdul Aziz Hakim, Op.cit., hal. 14. 45 Jimly Asshiddiqie, Op.cit. 46 Immanuel Kant, Methaphysiche Ansfangsgrunde, sebagaimana dikutip dalam Abdul

Aziz Hakim, Op.cit., hal. 16.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 31: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

20

utama sebagai berikut :47

(1) Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia;

(2) Untuk melindungi hak-hak asasi manusia, maka penyelenggaraan negara

harus berdasarkan theory atau konsep trias politica (pemisahan atau

pembagian kekuasaan);

(3) Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah dibatasi oleh undang-undang

(wetmatigheid van bestuur);

(4) Apabila dalam melakanakan tugas pemerintah masih melangar hak asasi maka

ada pengadilan administrasi yang mengadilinya.

Dari konsep ini diketahui bahwa negara hukum bertujuan untuk melindungi hak-

hak asasi manusia dan membatasi kekuasaan terhadapnya.

Albert Van Dicey mengetengahkan 3 (tiga) ciri penting dari the rule of

law yaitu : (1) supremacy of law adalah yang mempunyai kekuasaan tertinggi

dalam suatu negara adalah hukum (kedaulatan hukum), (2) equality before the law

merupakan kesamaan bagi kedudukan di depan hukum untuk semua warga

negara, baik selaku pribadi maupun statusnya sebagai pejabat negara, dan (3)

constitution based on individual right, dimana konstitusi bukan merupakan

sumber dari hak asasi manusia dan jika hak asasi manusia diletakkan dalam

konstitusi hanyalah sebagai penegasan bahwa hak asasi manusia itu harus

dilindungi.48

Keempat prinsip rechtsstaat tersebut pada pokoknya dapat digabungkan

dengan ketiga prinsip rule of law untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern

di zaman sekarang. Bahkan oleh The International Commission of Jurists, prinsip-

prinsip negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan yang bebas dan

tidak memihak (independence and impartiality of judiciary). Prinsip-prinsip yang

dianggap ciri penting negara hukum menurut The International Commission of

Jurists itu adalah : (1) negara harus tunduk pada hukum, (2) pemerintah

menghormati hak-hak individu, dan (3) peradilan yang bebas dan tidak

memihak.49

Pada abad ke XX, negara hukum mengalami perkembangan dan mendapat

47 Ibid., hal. 16 – 17. 48 Ibid., hal. 13. 49 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan ..., Op.cit., hal. 152.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 32: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

21

perhatian dari para pemikir dari berbagai bangsa yang menginginkan kehidupan

yang demokratis, berkemanusiaan dan sejahtera, diantaranya adalah Paul

Scholten. Paul Scholten50 mengemukakan terdapat 2 (dua) unsur utama dalam

membahas negara hukum yaitu : (1) adanya hak warga terhadap negara/raja, dan

(2) adanya pembatasan kekuasaan. Scholten mengemukakan terdapat 3 (tiga)

kekuasaan yang harus terpisah satu sama lain, yaitu kekuasaan pembentuk

undang-undang (legislatif), kekuasaan pelaksana undang-undang (eksekutif) dan

kekuasaan peradilan (yudikatif).

Profesor Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara

hukum klasik, dan negara hukum materiil atau negara hukum modern. Negara

hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit,

yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan negara hukum

materiil mencakup pula pengertian keadilan didalamnya.51 Menurut Jimly

Asshiddiqie, Wolfgang Friedman dalam bukunya Law in a Changing Society

membedakan antara rule of law dalam arti formil yaitu dalam arti organized

public power, dan rule of law dalam arti materiil yaitu the rule of just law.52

Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara

hukum, keadilan tidak serta merta akan terwujud secara substantif, terutama

karena pengertian mengenai hukum dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian

hukum formil dan hukum materiil. Jika hukum dipandang kaku dan sempit dalam

arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum

yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin

keadilan substantif. Oleh karena itu, disamping istilah the rule of law oleh

Friedman juga dikembangkan istilah the rule of just law untuk memastikan bahwa

dalam pengertian tentang the rule of law tercakup pengertian keadilan yang lebih

esensial daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam

arti sempit.53

Konsep negara hukum di Indonesia secara konstitusional ada sejak

dideklarasikan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Hal ini terbukti dalam

50 Abdul Aziz Hakim, Op.cit., hal. 17. 51 Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hal. 152 – 153. 52 Ibid., hal. 153. 53 Ibid.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 33: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

22

Penjelasan UUD 1945 disebut bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum

(Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Meskipun

dalam naskah UUD 1945 yang asli tidak ditemukan istilah negara hukum tetapi

pencantuman beberapa kalimat dalam Penjelasan UUD 1945 merupakan

penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Selain itu, ciri-ciri umum

negara hukum dapat ditemukan dalam UUD 1945 yaitu (1) pengakuan terhadap

hak-hak dan kewajiban warga negara, (2) adanya pembagian kekuasaan; dengan

adanya lembaga-lembaga negara menunjukan adanya pembagian kekuasaan, (3)

setiap perbuatan atau tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum dan undang-

undang, dan (4) adanya kekuasaan kehakiman yang bebas.

Jimly Asshiddiqie menyampaikan 4 (empat) prinsip yang secara bersama-

sama merupakan ciri-ciri pokok konsep negara hukum (rechtsstaat) yang

dirumuskan secara tegas dalam UUD 1945 yaitu :54

(1) Pembatasan kekuasaan diatur seperti dengan dirumuskannya prinsip

pembagian kekuasaan yang tercermin dalam struktur kelembagaan negara baik

vertikal maupun horizontal;

(2) Ide perlindungan hak asasi manusia dan hak-hak warga-negara;

(3) Asas legalitas dan prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan;

(4) Prinsip peradilan bebas yang tidak memihak, dan bahkan kemudian

dirumuskan pula ide peradilan administrasi untuk memungkinkan

warganegara menuntut hak-haknya atas kekuasaan publik.

Berkaitan dengan UUD 1945, menurut Moh. Mahfud M.D sebagai ciri

pertama dari negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan atas hak-

hak asasi manusia. Ciri ini bisa ditemui di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh

UUD 1945. Di dalam Pembukaan alinea I dinyatakan bahwa kemerdekaan adalah

hak segala bangsa, kemudian di dalam alinea IV disebutkan pula salah satu dasar

yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dalam Batang Tubuh UUD 1945

dapat ditemui beberapa pasal seperti Pasal 27 (persamaan kedudukan setiap warga

negara di dalam hukum dan pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan dan

54 Jimly Asshiddiqie, Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan

dan Realitas Masa Depan, Pidato diucapkan pada upacara pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 13 Juni 1998, hal. 5.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 34: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

23

penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan untuk berserikat dan

berkumpul serta mengeluarkan pikiran), Pasal 29 (jaminan kemerdekaan untuk

memeluk agama dan beribadat), dan Pasal 31 (jaminan hak untuk mendapatkan

pengajaran).55

Ciri-ciri rechtsstaat yang lain dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon yaitu:

(1) adanya UUD atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan

antara penguasa dan rakyat, (2) adanya pembagian kekuasaan negara, (3) diakui

dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.56 Dalam kaitan ini, Sri Soemantri

juga mengemukakan adanya 4 (empat) unsur terpenting negara hukum yaitu : (1)

Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas

hukum atau peraturan perundang-undangan, (2) adanya jaminan terhadap hak-hak

asasi manusia (warga negara), (3) adanya pembagian kekuasaan (distribution of

power) dalam negara, dan (4) adanya pengawasan (dari badan-badan peradilan).57

Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa meskipun terdapat perbedaan

latar belakang mengenai konsep the rule of law dan konsep rechtsstaat, terdapat

kesamaan bahwa pada dasarnya kedua konsep negara hukum tersebut berkaitan

erat dengan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Hal ini memperkuat

gagasan bahwa konsep negara hukum sangat erat berkaitan dengan hak-hak asasi

manusia sehingga dapat dikatakan bahwa negara hukum adalah sebagai wadah

dan hak-hak asasi manusia sebagai isinya.58 Suatu negara yang berdasarkan atas

hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk

kemerdekaan individu untuk menggunakan hak-hak asasinya. Hal ini merupakan

conditio sine quanon, mengingat bahwa negara hukum lahir sebagai hasil

perjuangan individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan

sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah, penguasa tidak boleh bertindak

sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannya pun harus dibatasi.59

Kedudukan dan hubungan individu dengan negara menurut teori negara

55 Moh. Mahfud M.D, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta : UII Press, 1993), hal. 96 – 98.

56 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya : PT Bina Ilmu, 1987), hal. 76.

57 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, sebagaimana dikutip dalam Mien Rukmini, Op.cit., hal. 37.

58 Ibid. 59 Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, (Bandung : Alumni, 1983), hal.

3.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 35: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

24

hukum tersebut dikatakan oleh Sudargo Gautama sebagai berikut : “... dalam

suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap

perseorangan. Negara tidak maha kuasa. Negara tidak dapat bertindak sewenang-

wenang. Tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum.”60 Jadi dalam

negara hukum selain terdapat persamaan (equality) juga terdapat pembatasan

(restriction). Sarana yang dipergunakan untuk membatasi kedua kepentingan itu

adalah hukum. Baik negara maupun individu adalah subyek hukum yang memiliki

hak dan kewajiban. Oleh karena itu, dalam suatu negara hukum, kedudukan dan

hubungan individu dengan negara senantiasa dalam suasana keseimbangan.

Keduanya memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi hukum.61 Namun harus

diperhatikan jangan sampai pembatasan itu “membunuh” baik hak asasi individu

maupun hak negara. Artinya, karena negara mempunyai tujuan dan fungsi yang

harus dicapai pembatasan itu jangan sampai sedemikian rupa sehingga negara

tidak dapat menjalankan fungsinya dan mencapai tujuannya; demikian pula

terhadap individu. Keterlibatan individu dalam negara untuk mencapai tujuan dan

menjalankan fungsinya harus lebih terjamin mengingat bahwa partispasi individu

tersebut merupakan pengejawantahan hak asasinya.62

Untuk mewujudkan cita-cita negara hukum, adalah suatu syarat mutlak

bahwa rakyat juga sadar akan hak-haknya dan siap sedia untuk berdiri tegak

membela hak-haknya tersebut. Apa gunanya orang diberikan hak untuk

melindungi kebebasan-kebebasannya apabila ia tidak ingin atau tidak tahu

bagaimana melaksanakan perlindungan haknya tersebut.63 Setiap individu harus

sadar dan mengetahui akan perlindungan hak asasinya serta tiada satu pihakpun

termasuk negara dapat melanggarnya, karena ia dilindungi hukum. Apabila terjadi

pelanggaran, berarti melanggar hukum dan dalam hal ini individu dapat meminta

bantuan negara dalam hal ini pengadilan untuk memproses pelanggaran yang

dilakukan itu, termasuk pelanggaran yang dilakukan oleh negara sendiri

(onrechtmatige overheidsdaad).64 Oleh karena itu, dalam suatu negara hukum,

negara dan aparaturnya juga harus tunduk kepada hukum. Dalam suatu negara

60 Ibid. 61 Ibid. 62 Mien Rukmini, Op.cit., hal. 21. 63 Sudargo Gautama, Op.cit. 64 Ibid., hal. 26.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 36: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

25

hukum, kekuasaan negara dibatasi dan ditentukan hukum. Ketentuan ini juga

berlaku bagi alat perlengkapan negara sehingga dalam melaksanakan tugasnya

harus bersumber dan berakar pada hukum.

Sebagaimana pendapat Nozick bahwa negara tetap merupakan suatu

keharusan, namun suatu keharusan tidak boleh mengurangi kebebasan bertindak

para warga negara melebihi dari yang seharusnya.65 Berkaitan dengan pemikiran

Nozick, Dworkin berpendapat bahwa :66

“Semua hak ini berasal dari hak-hak asasi yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlakuan sebagai orang yang sederajat yang sesungguhnya, berasal dari prinsip utama liberalisme yang menyatakan, bahwa setiap orang harus diperlakukan dengan rasa hormat dan perhatian yang sama.”

2.2. Teori Sistem Peradilan Pidana

Tujuan utama hukum acara pidana adalah melaksanakan proses hukum

yang adil (due process of law). Pada kerangka ini terdapat 2 (dua) kepentingan

yang harus diperhatikan yaitu kepentingan negara dan kepentingan pencari

keadilan yaitu tersangka dan terdakwa. Proses hukum yang adil ini merupakan hal

yang tidak dapat dipisahkan dengan sistem peradilan pidana. Hal ini dikarenakan

sistem peradilan pidana merupakan wadah dari proses hukum yang adil dan

sebaliknya, proses hukum yang adil merupakan roh dari sistem peradilan pidana

yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan

terdakwa.67

Sistem peradilan pidana merupakan suatu bentuk sistem yang unik karena

berbeda dengan sistem-sistem sosial yang lain. Perbedaan ini terletak pada

kesadarannya untuk memproduksi segala sesuatu yang sifatnya unwelfare dalam

skala yang besar, guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare (berupa rehabilitasi

pelaku tindak pidana, pengendalian dan penekanan tindak pidana serta

kesejahteraan sosial). Segala sesuatu yang bersifat unwelfare tersebut dapat

berupa perampasan kemerdekaan, stigmatisasi, perampasan harta benda, bahkan

kadang-kadang hilangnya nyawa manusia atau di beberapa negara berupa derita

65 Scoot Davidson, Hak Asasi Manusia Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Penerjemah A. Hadyana Pudjaatmaka, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1994), hal. 44.

66 Ibid., hal. 47. 67 Mardjono Reksodiputro, Op.cit.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 37: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

26

fisik (misalnya pukulan dengan rotan).68

Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar

hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science di Amerika Serikat

sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum

dan institusi penegakan hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya

kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa itu, pendekatan

yang digunakan dalam penegakan hukum adalah hukum dan ketertiban (law and

order approach) dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut

dikenal dengan istilah law enforcement.69

Mardjono Reksodiputro memberikan batasan bahwa yang dimaksud sistem

peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat

untuk menanggulangi masalah kejahatan.70 Menanggulangi berarti adalah usaha

untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi

masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan

maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan”

dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan

bersalah serta mendapat pidana. Gambaran ini merupakan apa yang paling terlihat

dan diharapkan oleh masyarakat. Namun, hal ini belum merupakan keseluruhan

tugas dan tujuan sistem. Tugas yang sering kurang diperhatikan adalah yang

berhubungan dengan mencegah terjadinya korban kejahatan dan mencegah pelaku

untuk mengulangi kejahatan. Karena itu, tujuan sistem peradilan pidana dapat

dirumuskan sebagai :71

(1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

(2) Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan

(3) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya.

68 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 1995), hal. 21. 69 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta : Kencana

Prenada Media Group, 2010), hal. 27. 70 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana

Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994), hal. 84.

71 Ibid., hal. 84 – 85.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 38: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

27

Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan

jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana

utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum

pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam kerangka atau

konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk

kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa

ketidakadilan.72

Menurut Muladi, Frank Hagan membedakan pengertian antara criminal

justice process dan criminal justice system. Criminal justice process adalah setiap

tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses

yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan criminal justice

system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat

dalam proses peradilan pidana.73 Berkaitan dengan hal ini, Mardjono

Reksodiputro berpendapat bahwa proses peradilan pidana merupakan suatu

rangkaian kesatuan (continuum) yang menggambarkan peristiwa-peristiwa yang

maju secara teratur, mulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan

dan diperiksa oleh pengadilan, diputus oleh hakim, dipidana dan akhirnya kembali

ke masyarakat.74 Sementara itu, Barda Nawawi Arief menurut Heri Tahir

mengartikan sistem peradilan pidana sebagai suatu proses penegakan hukum

pidana. Oleh karena itu berhubungan erat dengan perundang-undangan pidana itu

sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana. Pada

dasarnya, perundang-undangan pidana merupakan penegakan hukum pidana in

abstracto yang akan diwujudkan ke dalam penegakan hukum in concreto.75

Berdasar pada pandangan Barda Nawawi Arief tersebut, nampak jelas relevansi

sistem peradilan pidana dengan proses hukum yang adil. Hal ini dikarenakan

sistem peradilan pidana sebagai sistem penegakan hukum dengan sendirinya harus

mencerminkan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa.

Sedangkan hak-hak tersangka dan terdakwa yang terdapat dalam sistem peradilan

pidana merupakan prasyarat terselenggaranya proses hukum yang adil.

72 Muladi, Op.cit., hal. 4. 73 Ibid., hal. 2. 74 Mardjono Reksodiputro, Op.cit., hal. 93. 75 Heri Tahir, Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,

(Yogyakarta : LaksBang Pressindo, 2010), hal. 9.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 39: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

28

Tobias dan Petersen,76 mengatakan bahwa due process of law berasal dari

Inggris yaitu dalam dokumen Magna Charta 1215 merupakan : “constitutional

guaranty … that no person will be derived of life, liberty of property for reasons

that are arbitrary. … protects the citizen againts arbitrary actions of the

government.” Oleh karena itu, maka unsur-unsur minimal dari due process itu

adalah : “hearing, counsel, defense, evidence and a fair and impartial court”

(mendengar tersangka dan terdakwa, penasihat hukum, pembelaan, pembuktian

dan pengadilan yang adil dan tidak memihak).77 Selanjutnya dikatakan bahwa

peradilan yang adil (due process of law) hanya dikaitkan dengan penerapan

aturan-aturan hukum acara pidana dalam proses terhadap tersangka dan terdakwa.

Arti dari peradilan yang adil adalah lebih jauh dari sekedar penerapan hukum atau

peraturan perundang-undangan secara formal. Dalam pengertian peradilan yang

adil terkandung pengertian penghargaan atas hak kemerdekaan seorang warga

negara.

Pendapat yang dikemukakan Tobias dan Petersen tersebut, senada dengan

pendapat Mardjono Reksodiputro yang menyatakan bahwa hal-hal yang tercakup

dalam proses hukum yang adil adalah hak-hak tersangka dan terdakwa untuk

didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan terjadi; dalam

pemeriksaan terhadapnya dia diberi hak didampingi oleh penasihat hukum; dia

pun berhak memajukan pembelaannya dan penuntut umum harus membuktikan

kesalahan terdakwa di muka suatu pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang

tidak berpihak.78 Jaminan bahwa sistem peradilan pidana berpegang teguh pada

proses hukum yang adil sangat penting apabila menyadari bahwa setelah

seseorang menjadi tersangka, status hukumnya sebagai bagian masyarakat telah

berubah. Seorang tersangka akan mengalami berbagai pembatasan dalam

kemerdekaannya dan sering pula mengalami degradasi secara fisik dan moral.

Adanya kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan dalam menentukan

seorang menjadi tersangka, yang pada hakekatnya akan membatasi pula

76 Marc Weber Tobias dan R. David Petersen, Pretrial Criminal Procedure, A Survey of Constitutional Rights, Charles C. Thomas Publisher, hal. 3 sebagaimana dikutip dalam Mardjono Reksodiputro, Op.cit., hal. 93.

77 Mien Rukmini, Op.cit., hal. 99. 78 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan

Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kelima, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 2007), hal. 9.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 40: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

29

kemampuannya membela diri terhadap persangkaan tersebut, menjadikan proses

hukum yang adil merupakan sesuatu yang harus dilindungi oleh konstitusi negara

yang bersangkutan.79

Di dalam hukum positif Indonesia, ketentuan tentang proses hukum yang

adil telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP merupakan pengganti hukum acara

pidana yang terdapat dalam HIR 1941 (het Herziene Inlandsch Reglement). Pada

waktu HIR diundangkan, hal ini dianggap sebagai kemajuan penting untuk

tatacara penyidikan kasus kejahatan bagi golongan non-Eropa (Bumiputera) di

Indonesia. Hal ini dikarenakan banyaknya kritik yang muncul berkaitan dengan

tidak dipergunakannya proses hukum yang adil terhadap orang Indonesia (yang

dibedakan dari orang Eropa).80

Penjelasan KUHAP, antara lain menunjukkan pentingnya “…

penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta

kewajiban warganegara … (yang) perlu diwujudkan pula dalam dan dengan

adanya hukum acara pidana ini.” Dalam penjelasan ini dipergunakan 2 (dua)

macam istilah yaitu “hak asasi manusia” dan “hak serta kewajiban warganegara”.

Perlu dipahami bahwa hak asasi manusia (human rights) mengandung 3 (tiga)

elemen utama yaitu : (1) hak warganegara (civil rights, burgerrechten), (2) hak

politik (political rights), dan (3) hak sosial (social rights). Menurut pandangan

Mardjono Reksodiputro, hak warganegara adalah yang utama, dibandingkan

dengan hak politik dan sosial. Hal ini dikarenakan apabila hak warganegara benar-

benar dimiliki dan dipertahankan oleh pengadilan, maka barulah hak politik dan

hak sosial mempunyai arti. Hak-hak seorang tersangka, terdakwa dan terpidana

adalah “hak warganegara” dan harus dijamin oleh konstitusi serta undang-undang

pidana. Oleh karena itu, pernyataan dalam KUHAP bahwa pelaksanaan hak (serta

kewajiban) warganegara perlu terwujud dalam sistem peradilan pidana Indonesia,

merupakan pengakuan pembuat undang-undang Indonesia bahwa due process of

law (proses hukum yang adil) merupakan sikap-batin (spirit) dari KUHAP.

Seluruh elemen dalam sistem peradilan pidana, mulai dari kepolisian, kejaksaan,

pengadilan sampai kepada lembaga pemasyarakatan, harus menafsirkan setiap

79 Ibid., hal. 10. 80 Ibid., hal. 10 – 11.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 41: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

30

ketentuan dalam KUHAP menurut sikap-batin tersebut.81

Dalam KUHAP terdapat desain prosedur (procedural design) sistem

peradilan pidana. Sistem ini secara garis besar dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahap

yaitu : (1) tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap pra-adyudikasi (pre-

ajudication), (2) tahap sidang pengadilan atau tahap adyudikasi (ajudication), dan

(3) tahap setelah pengadilan atau tahap purna-adyudikasi (post-ajudication). Dari

ketiga tahap tersebut, Mardjono Reksodiputro mendukung pandangan bahwa

tahap adyudikasi atau tahap sidang pengadilan harus dianggap “dominan” dalam

seluruh proses. Pendapat yang memberi peran “dominan” pada tahap adyudikasi

mendasarkan diri pada KUHAP yang menyatakan bahwa baik dalam hal putusan

bebas, maupun putusan bersalah, hal ini harus didasarkan pada “fakta dan keadaan

serta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang.”82

Suatu sistem peradilan pidana yang berkeinginan secara jujur melindungi

hak seseorang warganegara yang merupakan terdakwa, akan paling jelas

terungkapkan dalam tahap adyudikasi. Hanya di dalam tahap persidanganlah

terdakwa dan pembelanya dapat berdiri tegak sebagai pihak yang benar-benar

bersamaan derajatnya berhadapan dengan penuntut umum. Di dalam tahapan ini

terdapat kewajiban menjamin sepenuhnya hak-hak kedua belah pihak, hak

penuntut umum adalah mendakwa dan hak terdakwa adalah membela dirinya

terhadap dakwaan. Jaminan yang penuh ini harus diberikan oleh pengadilan dan

dalam kenyataannya hanya dapat berlangsung apabila kita selalu dapat meyakini

kenetralan dan kebebasan hakim-hakimnya. Suatu proses hukum yang adil dimana

terdapat keyakinan adanya pengadilan yang bebas adalah sangat penting bagi rasa

aman masyarakat, tidak kalah penting dari usaha menanggulangi kejahatan itu

sendiri.83

Berkaitan dengan pentingnya tahap adyudikasi tersebut, Mien Rukmini

berpendapat apabila sidang pengadilan mendasarkan diri terutama pada data dan

bukti yang dikumpulkan dalam tahap penyidikan (pra-adyudikasi), pengadilan

akan sangat tergantung kepada apa yang disampaikan oleh polisi dan jaksa

tentang perkara tersebut. Terdakwa dan pembelanya akan berada dalam posisi

81 Ibid., hal. 15 – 16. 82 Ibid., hal. 18. 83 Ibid.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 42: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

31

yang tidak menguntungkan. Bukti-bukti baru, kesaksian a de charge dan setiap

pendapat terdakwa terhadap peristiwa atau fakta dalam perkaranya, selalu akan

dinilai oleh hakim dengan memperbandingkannya terhadap pandangan jaksa

(berdasarkan pemeriksan oleh kepolisian). Nampak jelas bahwa kesempatan

pembelaan dalam sidang pengadilan akan sangat berkurang.84

Untuk itu, hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan, yang harus

diartikan bahwa pengadilan tidak dapat memeriksa suatu perkara tindak pidana

apabila terdakwa tidak dapat dihadirkan oleh jaksa. Dengan berpedoman pada

proses hukum yang adil, bagaimanapun kuatnya bukti-bukti yang dimiliki polisi

atau penuntut umum, tetapi “sudut pandang” terdakwa masih harus

dipertimbangkan. Apabila terdakwa tidak dapat hadir atau dihadirkan, sedang

proses peradilan pidana tetap juga dijalankan, maka dapat dikatakan telah

melanggar hak untuk membela diri seorang warga negara.85

2.3. Teori Keadilan Sosial

Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang dimotivasi oleh

kepentingan pribadi dan mengakibatkan tidak terwujudnya kesejahteraan umum.

Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa tindak pidana korupsi mengancam

pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, konsolidasi demokrasi dan moral

bangsa. Bank Dunia mengungkapkan bahwa korupsi menghambat efisiensi

ekonomi, mengalihkan sumber-sumber dari orang miskin kepada orang kaya,

meningkatkan biaya dalam menjalankan usaha, mendistorsi pengeluaran-

pengeluaran publik dan membuat jera investor-investor asing; korupsi juga

mengikis perwakilan program-program pembangunan dan mengurangi masalah-

masalah kemanusiaan.

Korupsi mempengaruhi manusia tidak hanya dalam kehidupan ekonomi

dan politiknya belaka, melainkan juga dalam pertumbuhan rohaniah dan

filsafatnya. Di antara akibat-akibat korupsi tersebut, yang paling jelas adalah

berbagai bentuk ketidakadilan yang mempengaruhi pribadi-pribadi yang tidak

terbilang banyaknya, di saat-saat yang sangat menyedihkan.86 Menurut Alatas,

84 Mien Rukmini, Op.cit., hal. 102. 85 Ibid., hal. 107. 86 Alatas, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi, (Jakarta : LP3ES, 1987), hal. 177.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 43: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

32

Stanislav Andreski dalam bukunya The African Predicament memberikan contoh

ketidakadilan yang terjadi di Afrika Selatan antara lain adalah di rumah-rumah

sakit para pasien harus membayar juru rawat untuk mengambilkan pispot, dokter-

dokter harus disuap, para pasien yang tidak sanggup membayar akan disuntik

dengan air yang diberi zat pewarna, dan obat-obatan dicuri dari apotik. Sistem

pemerintahan yang korup tersebut oleh Andreski disebut kleptokrasi dan

akibatnya adalah sebagai berikut : “kerugian yang disebabkan oleh korupsi jauh

melebihi keuntungan yang diperoleh daripadanya, karena kecurangan merusak

perekonomian. Keputusan-keputusan penting ditentukan oleh maksud-maksud

terselubung tanpa peduli pada akibat-akibat yang bakal menimpa masyarakat

luas.”87

Jong-Sung You88 menyatakan bahwa korupsi lebih sering dilihat sebagai

persoalan keadilan sosial daripada persoalan pembangunan, tetapi tidak ada teori

keadilan ataupun literatur tentang korupsi yang membahas korupsi sebagai bentuk

ketidakadilan. Salah satu unsur penting dalam teori keadilan sosial adalah bahwa

kesejahteraan umum masyarakat tidak boleh dilanggar; maksudnya adalah bahwa

kesejahteraan umum tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan pribadi.

Tindakan yang mengancam kesejahteraan umum merupakan ketidakadilan

sosial.89

Berangkat dari konsep keadilan yang dikemukakan oleh para filsuf, antara

lain Plato, Aristoteles, Niccolo Machiavelli, Rene Descantes, Thomas Aquinas,

John Locke dan Immanuel Kant, muncul pemikiran tentang keadilan sosial dari

dialektika materialisme Karl Max, positivisme Aguste Comte, liberalisme John

Stuart Mill dan Luigi Taparelli, dan John Rawls. Penekanan pada keadilan sosial

berkaitan dengan munculnya pertentangan antara kepentingan individu dan

kepentingan negara pada saat itu.

Teori Rawls didasarkan atas 2 (dua) prinsip yaitu : equal right dan

economic equality. Dalam equal right harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu

different principles bekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain

87 Ibid., hal. 178. 88 Jong-Sung You, A Normative Theory of Corruption as Injustice, makalah yang

dipresentasikan dalam Comparative Politics Research Workshop, Harvard University, November 2003, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 37.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 44: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

33

prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada yang dicabut (tidak ada

pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung.

Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga

prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan secara

ekonomi akan valid jika tidak merampas hak dasar manusia.90 Pemikiran Rawls

tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social contract) yang pada awalnya

diusung oleh para pemikir kenamaan seperti John Locke, Jean Jacques Rousseau,

dan Immanuel Kant.

Terdapat 2 (dua) prinsip keadilan menurut Rawls dalam bukunya Theory

of Justice sebagaimana dikutip oleh Jufrina Rizal dan Agus Brotosusilo yaitu :91

“First : each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others. Second : social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be to everyone’s advantage, and (b) attached to positions and offices open to all …”

Menurut Purwaning M. Yanuar, keadilan sosial yang dikemukakan John Rawls

mengembangkan konsep keadilan dari perspektif bahwa manusia adalah merdeka

dan sederajat. Kemerdekaan terletak pada kemampuan memiliki 2 (dua)

kekuasaan moral yaitu kemampuan memiliki naluri keadilan dan kemampuan

memahami konsepsi tentang hal yang baik. Apabila individu-individu memiliki 2

(dua) kekuasaan moral tersebut pada tingkat yang diperlukan untuk menjadi

anggota masyarakat yang sepenuhnya kooperatif, maka pribadi-pribadi dalam

masyarakat adalah sederajat.92 Dalam pandangan Rawls, masih dalam kutipan

yang sama, naluri keadilan adalah kemampuan untuk mengerti, menerapkan dan

bertindak berdasarkan konsepsi publik tentang keadilan yang

mendeskripsikan/menggambarkan istilah-istilah yang sesuai dengan ketentuan-

ketentuan tentang kerja sama.93

90 Arif Wibowo, Teori Keadilan John Rawls, http://staff.blog.ui.ac.idteori-keadilan-john-

rawls, diakses 30 April 2011. 91 Jufrina Rizal dan Agus Brotosusilo, Bahan Bacaan Program Magister Filsafat Hukum,

Buku Ke-1, (Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hal. 468.

92 Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 59. 93 Ibid.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 45: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

34

Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah situasi

sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat

digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas

ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for redress)

masyarakat pada posisi asli (people on original position). Dalam posisi dasar

inilah kemudian dibuat persetujuan asli antar (original agreement) anggota

masyarakat secara sederajat. Terdapat 3 (tiga) syarat supaya manusia dapat

sampai pada posisi asli, yaitu:94

(1) Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang

pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya,

intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial yang lain;

(2) Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten untuk

memegang pilihannya tersebut;

(3) Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu dan

baru kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan alami manusia

yang harus diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan.

Keadilan sosial sebagai ilmu pengetahuan sosial (teori), menurut

Purwaning M. Yanuar pertama kali dikemukakan Luigi Taparelli dalam bukunya

Theoretical Treatise on Natural Law Based on Fact. Menurut Taparelli, keadilan

sosial adalah keadilan yang spesifik mengatur hubungan antara berbagai jenis

lembaga. Keadilan sosial adalah norma dan kebiasaan dalam bentuk kebajikan

sosial yang terkandung dalam institusi politik, institusi hukum, dan institusi

budaya dalam masyarakat untuk mempromosikan kesejahteraan umum dengan

memberikan dukungan untuk melaksanakan hak kebebasan individu, khususnya

kebebasan dari hak asosiasi-asosiasi penengah/intermediari, sesuai dengan

prinsip-prinsip pelengkap solidaritas dan subsidiaritas.95

Pandangan Taparelli tersebut senada dengan definisi klasik keadilan yang

dikemukakan Louis Kelso dan Mortomer Adler yaitu bahwa keadilan dalam

formulasi yang paling umum, menekankan kewajiban-kewajiban moral atau

perintah bagi manusia yang bergabung dalam tujuan-tujuan hidup yang umum,

94 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Apa dan Bagaimana

Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 146; 95 Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 60 – 61.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 46: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

35

yaitu : bertindak demi kesejahteraan umum (common good)96 bagi semua, tidak

hanya bagi kepentingan eksklusif pribadi manusia; tidak mencederai satu sama

lain; memberikan apa yang merupakan hak tiap manusia; dan bertindak adil

terhadap sesama dalam pertukaran barang-barang dan dalam distribusi kekayaan,

jabatan, status, penghargaan dan penghukuman.97

Definisi Kelso dan Adler tersebut menunjukkan bahwa dalam formulasi

umum, keadilan menetapkan kewajiban-kewajiban moral atau perintah yang

berkaitan dengan tujuan-tujuan umum dalam kehidupan manusia. Kewajiban-

kewajiban atau perintah-perintah tersebut terdiri dari 4 (empat) hal yaitu : (1)

bertindak bagi kesejahteraan umum untuk semua orang, bukan untuk kepentingan

pribadi secara eksklusif; (2) mencegah pencederaan satu sama lain; (3)

memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya; dan (4) berlaku adil

terhadap satu dengan lainnya dalam tukar menukar barang dan distribusi

kemakmuran, jabatan, status, penghargaan dan penghukuman.98

Kewajiban-kewajiban moral yang dikemukakan Kelso dan Adler pada

hakikatnya merupakan kebajikan-kebajikan yang menjadi dasar martabat

kepribadian manusia. Menurut Purwaning M. Yanuar, Kurland mengatakan bahwa

martabat kepribadian manusia merupakan dasar dari semua teori keadilan.99

Masih menurut Purwaning M. Yanuar, William Ferree menyatakan bahwa

keadilan sosial merupakan satu dari kebajikan-kebajikan utama dalam filsafat

moral yang dikenal sebagai moralitas sosial. Moralitas sosial mewajibkan manusia

untuk melaksanakan dan memperhatikan kesejahteraan umum. Ferree juga

memberikan arti common good yang sinonim dengan general welfare atau

kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum didefinisikan oleh Ferree sebagai

jaringan kerja kebiasaan-kebiasaan, hukum, organisasi sosial, lembaga-lembaga

96 Terdapat perbedaan mengenai arti istilah kesejahteraan umum. Istilah tersebut mengacu

kepada beberapa konsep yang berbeda-beda. Dalam arti populer, istilah ini mendeskripsikan kebaikan yang dibagikan dan bermanfaat bagi semua anggota komunitas. Pengertian ini yang umum diartikan dalam filsafat, etika, dan ilmu politik. Dalam etika dan ilmu politik, memajukan kesejahteraan umum berarti memberikan manfaat bagi anggota-anggota masyarakat. Ini berarti melakukan kesejahteraan umum sama dengan membantu semua orang. Dalam pengertian ini, istilah common good sinonim dengan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum biasanya dianggap sebagai cita-cita utilitarian, yaitu merepresentasikan sebesar mungkin kesejahteraan bagi sebanyak mungkin individu.

97 Ibid., hal. 61 – 62. 98 Ibid., hal. 62. 99 Ibid.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 47: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

36

yang membuat keteraturan sosial dan sangat menentukan kualitas budaya.100

Berdasarkan uraian tersebut, apabila dihubungkan dengan teori keadilan

sosial, pengembalian aset pada hakikatnya adalah kewajiban moral yang

merupakan salah satu kebajikan sosial untuk bertindak dalam rangka mencapai

kepentingan kesejahteraan umum, baik dalam skala nasional maupun

internasional; mengatasi dan mencegah penderitaan masyarakat akibat kemiskinan

yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi; memberikan kepada negara korban

tindak pidana korupsi apa yang menjadi haknya; dan penegakan keadilan bagi

masyarakat. Hakikat pengembalian aset sebagai salah satu kebajikan sosial,

menurut teori keadilan sosial tidak ditujukan kepada kesejahteraan individu, tetapi

kesejahteraan masyarakat sebagai keseluruhan atau kebaikan kesejahteraan

umum.101

Dengan mengacu pada teori-teori tersebut di atas, pada bab selanjutnya

akan dibahas dan diuraikan mengenai konsepsi dan dasar hukum peradilan in

absentia, prinsip hadirnya terdakwa di sidang pengadilan, dan pengembalian aset

hasil tindak pidana korupsi dalam instrumen hukum internasional dan nasional.

100 Ibid., hal. 62 – 63. 101 Ibid., hal. 67.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 48: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

37

BAB III

PERADILAN IN ABSENTIA DAN PENGEMBALIAN ASET HASIL

TINDAK PIDANA KORUPSI

3.1. Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan In Absentia

Sesungguhnya pengertian mengadili atau menjatuhkan hukuman secara in

absentia adalah mengadili seseorang terdakwa dan dapat menghukumnya tanpa

dihadiri oleh terdakwa itu sendiri.102 In absentia berasal dari bahasa Latin

absentia yang berarti tidak hadir.103 Menurut Andi Hamzah, istilah in absentia

berasal dari bahasa Latin in absentia atau absentium, yang dalam istilah dan

peribahasa hukum bahasa Latin berarti ‘dalam keadaan tidak hadir” atau

“ketidakhadiran”.104 Dalam bahasa Perancis disebut absentia dan dalam bahasa

Inggris absent atau absentie.105 Dalam istilah hukum, pengadilan in absentia

adalah suatu upaya memeriksa serta mengadili dan memutuskan suatu perkara

perkara tanpa dihadiri oleh terdakwa.106 Istilah in absentia secara yuridis formal

mulai dipergunakan di Indonesia dengan keluarnya Undang-Undang Nomor

11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi disebut dengan “in

absensia” sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan :

“Apabila terdakwa setelah dua kali berturut-turut dipanggil secara sah tidak hadir

di sidang, maka Pengadilan berwenang mengadilinya di luar kehadirannya (in

absensia)”.

Istilah in absentia pada perkembangannya tidak lagi disebut dalam

berbagai produk legislasi, tetapi tetap diatur dengan menggunakan istilah “tidak

hadir” setelah dipanggil secara sah atau patut. Kedua istilah ini tidak berbeda dan

mengandung arti suatu proses pemeriksaan dan mengadili seseorang atau

beberapa orang terdakwa di depan sidang pengadilan dan penjatuhan putusan

tanpa dihadiri oleh terdakwa. Seorang terdakwa dapat dijatuhi hukum pidana oleh

hakim di pengadilan dalam suatu proses pengadilan in absentia.107

102 Djoko Prakoso, Op.cit., 1984, hal. 54.. 103 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 5. 104 Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1986), hal. 98. 105 Marwan Effendy, Ibid. 106 Ibid., hal. 11. 107 Ibid., hal. 6.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 49: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

38

Secara umum peradilan in absentia lazim diterapkan terhadap pemeriksaan

perkara perdata yang dalam pelaksanaannya hanya dihadiri oleh wakil atau kuasa

dari pihak-pihak yang berperkara, sedangkan yang bersangkutan sendiri tidak

perlu hadir dalam pemeriksaan sidang tersebut. Mengadili atau menjatuhkan

putusan tanpa hadirnya tergugat dapat selalu dilakukan oleh hakim, yaitu setelah

dilakukan pemanggilan secara sah menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Sebaliknya, dalam perkara pidana umumnya menghendaki hadirnya terdakwa

dalam pemeriksaan sidang yang bersifat terbuka sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 1 angka 15 KUHAP yang menyatakan bahwa : “Terdakwa adalah seorang

tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.”

KUHAP tidak mengatur secara tegas ketentuan mengenai peradilan in

absentia, baik di dalam ketentuan pasal-pasal maupun penjelasannya. Namun di

dalam Pasal 196 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1) dan (2) KUHAP disebutkan

sebagai berikut :

Pasal 196 (1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam

hal undang-undang ini menentukan lain. Pasal 214 (1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara

dapat dilanjutkan. (2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar

putusan segera disampaikan kepada terpidana.

Secara yuridis formal, peradilan in absentia hanya dapat diberlakukan

dalam tindak pidana tertentu karena diberi ruang oleh undang-undang tertentu.

Terdapat beberapa tindak pidana tertentu yang mempunyai kewenangan mengadili

secara in absentia yaitu :

(1) Tindak pidana ekonomi berdasarkan Pasal 16 ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak

Pidana Ekonomi jo Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1962,

(2) Tindak pidana pencucian uang berdasarkan Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang,

(3) Tindak pidana terorisme berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 50: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

39

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme menjadi Undang-Undang jo Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002,

(4) Tindak pidana perikanan berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2004 tentang Perikanan, dan

(5) Tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU TPK.

Terhadap tindak pidana korupsi, sebenarnya peradilan in absentia telah

diatur sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana bunyi Pasal 23 ayat (1) yaitu

: “Jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang

pengadilan tanpa memberi alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan

diputus oleh hakim tanpa kehadirannya.” Dalam perkembangannya, dengan

merujuk pada ketentuan Pasal 26 UU TPK yang menyatakan bahwa :

“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak

pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku kecuali

ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Selanjutnya dalam Pasal 37 ayat (1)

UU TPK menyatakan bahwa : “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan

bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Jadi apabila terdakwa tidak

memanfaatkan hak yang diberikan oleh pasal ini dan terdakwa tidak hadir di

depan persidangan tanpa memberikan alasan yang sah atau alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan, maka persidangan perkara korupsi dimaksud dapat

diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa (in absentia).108

Pengaturan tentang peradilan in absentia dalam tindak pidana korupsi

diatur dalam Pasal 38 UU TPK yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.

(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.

(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.

108 Ibid., hal. 12.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 51: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

40

(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.

(6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding.

(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Berdasarkan ketentuan Pasal 38 UU TPK tersebut, peradilan in absentia

hanya dapat dilaksanakan apabila terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak

hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah dan sepanjang usaha aparat

penegak hukum (dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum) untuk mencari dan

menghadirkan terdakwa ke pemeriksaan sidang pengadilan sudah maksimal tapi

tidak membawa hasil. Ketentuan ini dipastikan hanya diperuntukkan bagi

terdakwa yang tidak ditahan, sebab bagi terdakwa yang ditahan untuk menghadap

persidangan tanpa diperlukan panggilan, karena merupakan tanggung jawab Jaksa

Penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa ke muka persidangan.109

Peradilan in absentia dapat diterapkan kepada pelaku tindak pidana

korupsi yang keberadaannya tidak diketahui, padahal sudah dipanggil secara sah

atau patut sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dilakukan

semaksimal mungkin dengan alasan :110

(1) Demi pengembalian dan penyelamatan harta negara dalam kasus tindak

pidana korupsi. Semangat Pasal 38 ayat (1) UU TPK menempatkan kejahatan

korupsi sebagai kejahatan luar biasa ( ordinary crime) yang penegakan

hukumnya di luar kebiasaan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Secara

filosofis, terobosan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak hanya

dimaksudkan untuk memberi efek jera bagi pelakunya, ia juga berorientasi

pada usaha pengembalian harta negara yang dijarah oleh para koruptor. Selain

itu, secara teoritik dibenarkan dengan alasan melakukan proses rechtvinding

(penemuan hukum) atas sebuah kasus yang belum tegas aturannya.

109 Ibid., hal. 13. 110 Ibid., hal. 61 – 63.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 52: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

41

(2) Inti Pasal 38 ayat (1) UU TPK adalah dalam hal lembaga pengadilan telah

memanggil terdakwa secara resmi dengan surat ke alamat terdakwa dan

terdakwanya tidak hadir, maka pengadilan secara hukum memiliki peluang

untuk meneruskan persidangan. Apabila terdakwa tidak hadir tanpa alasan

yang sah dengan telah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya namun tidak

dapat dihadirkan meskipun dengan paksa (vide Pasal 154 ayat (6) KUHAP),

maka dapat dilaksanakan peradilan in absentia.

(3) Pengecualian prosedur atau eksepsionalitas disebabkan korupsi dianggap

sebagai kejahahatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana yang serius,

karena bukan kejahatan biasa maka penyelesaiannya mesti dilakukan dengan

cara-cara yang luar biasa. Jika melalui prosedur yang biasa akan menghadapi

kendala untuk menghadapkan terdakwa ke depan persidangan sehingga tidak

bisa menembus jaringan kejahatan itu. Oleh karena itu dalam pemberantasan

korupsi, oleh pembuat undang-undang dibuka ruang yang menyimpang dari

tradisi hukum yang sudah mengakar dan bersifat khusus yang memungkinkan

pelaksanaan peradilan in absentia dibenarkan secara hukum.

(4) Untuk meminimalisir kerugian negara dalam upaya mengembalikan kerugian

negara dengan cara mempercepat proses hukumnya, sehingga dengan adanya

putusan pengadilan in absentia tersebut pengembalian kerugian negara

mempunyai landasan hukum yang jelas sebagai wujud kepastian hukum.

Sepanjang diperoleh bukti yang kuat bahwa kekayaan terdakwa yang disita

tersebut diperoleh dan berasal dari hasil tindak pidana korupsi.

(5) Sekalipun terdakwa tidak hadir dalam persidangan, tetapi yang diperlukan

adalah unsur-unsur Pasal 183 KUHAP yang menyatakan :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”.

Sedangkan terdakwa di dalam persidangan hanya dibutuhkan keterangan dan

sistem pembuktian yang dianut oleh rezim hukum acara pidana sebagaimana

diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa alat bukti

yang sah tidak hanya keterangan terdakwa tetapi juga meliputi alat bukti lain

yaitu (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, dan (4) petunjuk. Di

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 53: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

42

samping itu, dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP ditegaskan bahwa keterangan

terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang

ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Begitu juga dinyatakan

dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan

terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

Inti keterangan terdakwa yang dapat dijadikan dasar untuk membentuk

keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang

didakwakan sesungguhnya adalah keterangan yang berisi pengakuan, bukan

sebaliknya berupa penyangkalan. Namun, keterangan yang berisi pengakuan

terdakwa ini haruslah ditunjang oleh isi dari alat bukti lainnya, antara lain

keterangan saksi.111

Terhadap penerapan peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana

korupsi dipengaruhi oleh perbedaan pendapat para ahli hukum mengenai

keabsahan peradilan in absentia. Terdapat 3 (tiga) kecenderungan yang

mempengaruhi yaitu :112

(1) Yang menganggap bahwa pemeriksaan di pengadilan memutlakkan hadirnya

terdakwa. Pendapat ini secara ekstrim menolak diberlakukannya sidang in

absentia. Pasal-pasal yang menjadi acuan adalah pasal-pasal yang termuat

dalam KUHAP yang meliputi Pasal 145 ayat (5), Pasal 154 ayat (5), Pasal 155

ayat (1), Pasal 203 dan Pasal 205. Pemahaman atas ketentuan pasal-pasal

tersebut adalah tidak mungkin sebuah perkara diperiksa dan diadili tanpa

hadirnya terdakwa. Bahwa para penyidik akan mengalami kesulitan yang

substansial dalam menyusun berita acara pemeriksaan, karena bagaimana

mungkin pemeriksaan dilakukan tanpa adanya obyek yang diperiksa.

(2) Pandangan bahwa demi alasan pengembalian harta negara dalam perkara

tindak pidana korupsi dan pemenuhan keadilan di masa transisi, maka pasal-

pasal dalam UU TPK harus diberi nafas dan terobosan. Hal ini secara teoritik

dibenarkan dengan alasan melakukan proses penemuan hukum (rechtvinding)

atas sebuah kasus yang belum tegas aturannya. Acuan yang dipergunakan

111 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : PT Alumni,

2006), hal. 98. 112 Dwiyanto Prihartono, Sidang Tanpa Terdakwa, Dilema Peradilan In Absentia dan

Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003), hal. 26 – 27.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 54: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

43

pendapat ini adalah Pasal 38 ayat (1) UU TPK yang semangatnya adalah

menempatkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang penegakan

hukumnya pun di luar kebiasaan sebagaimana diatur dalam KUHAP sebagai

suatu prosedur pengecualian (eksepsionalitas) untuk menyelamatkan kekayaan

negara. Pada prinsipnya eksepsionalitas dalam hukum acara merupakan

prosedur yang bersifat luar biasa seperti pengesampingan asas non-rektroaktif

pada kasus pelanggaran HAM, kewenangan mengesampingkan perkara oleh

Jaksa Agung ataupun in absentia. Eksepsionalitas diberlakukan pada peradilan

in absentia perkara tindak pidana korupsi mengingat kejahatan korupsi

senantiasa berkaitan dengan jabatan atau disebut dengan kejahatan okupasi

(occupational crime) yaitu kejahatan yang dalam pelaksanaannya

mensyaratkan adanya suatu jabatan atau jenis pekerjaan tertentu yang

dilindungi undang-undang sehingga setiap pelaku kejahatan okupasi yang

tergolong powerfull sulit dijangkau oleh hukum. Karena berkaitan dengan

jabatan, maka tindak pidana korupsi sering dikelompokkan sebagai kehajatan

kerah putih (white collar crime) sehingga tindak pidana korupsi dalam hal ini

dikategorikan sebagai kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crime).

(3) Pendapat yang paling moderat, bahwa sidang in absentia dapat saja dilakukan,

tetapi dalam praktek tetap harus melewati proses kerja normal yang maksimal.

Pendapat ini beranggapan bahwa kedua pendapat sebelumnya sama-sama

merupakan produk hukum yang memiliki kekuatan hukum sama sehingga

perlu dipertemukan menjadi suatu kekuatan dalil baru. Pandangan moderat

berpendapat bahwa pada dasarnya peradilan in absentia merupakan suatu

amanat undang-undang yang pelaksanaannya harus benar-benar sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

Kepastian akan pelaksanaan peradilan in absentia dalam perkara tindak

pidana korupsi tidak dapat dilepaskan dari penerapan sistem hukum di Indonesia

yang mengacu pada faktor tatanan kelembagaan, materi hukum dan budaya

hukum. Suatu kondisi yang signifikan disikapi sebagai terobosan (breaktrough)

yang dapat menimbulkan efek jera dan optimalisasi pengembalian harta kekayaan

negara. Suatu terobosan yang bermuara kepada terciptanya kepastian hukum yang

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 55: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

44

dapat dijadikan sebagai indikator adanya penegakan hukum dengan tujuan : 113

(1) Pengungkapan kebenaran (truth) atau kesalahan (wrong).

(2) Pengakuan dan penyesalan pelaku akan kesalahannya.

(3) Penghukuman terhadap pelaku.

(4) Pemulihan hak korban jika tindak pidana itu melahirkan korban yang riil

seperti dalam kasus pelanggaran HAM.

3.2. Prinsip Hadirnya Terdakwa di Sidang Pengadilan

Hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang

pengadilan merupakan prinsip yang sangat penting dalam KUHAP. Hal ini

dikarenakan KUHAP menganut asas pemeriksaan akusator yang berarti tersangka

atau terdakwa lebih dipandang sebagai subyek dan berhak memberikan

keterangan secara bebas dalam mengajukan pembelaan.114 Hal ini diatur dalam

Pasal 1 angka 15 KUHAP yang menyatakan bahwa : ”Terdakwa adalah seseorang

yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan,” dan Pasal 189 ayat (1)

KUHAP yang menyatakan bahwa : ”Keterangan terdakwa ialah apa yang

terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang

diketahuinya sendiri dan dialami sendiri.” Prinsip pentingnya kehadiran terdakwa

di sidang pengadilan juga diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU Kehakiman yang

menyatakan bahwa : ”Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara

pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain”.

Pemeriksaan sidang di pengadilan dilakukan oleh hakim, terbuka untuk

umum secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.

Ketentuan ini berbeda dengan acara perdata dimana tergugat dapat diwakili oleh

kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan artinya bukan tertulis

antara hakim dan terdakwa. Tujuan utamanya adalah agar terdakwa dapat

mengerti benar-benar apa yang didakwakan, bagaimana keterangan saksi, ahli,

dan alat-alat bukti lain, sehingga ia bebas dan leluasa mengatur jawaban dan

pembelaannya.115 Selain itu terdakwa dapat berhadapan langsung dan berdialog

dengan hakim, sehingga hakim dapat memperhatikan pula sifat-sifat, sikap serta

113 Marwan Effendy, Op.cit., hal 23. 114 Mien Rukmini, Op.cit., hal. 87. 115 Ibid., hal. 89.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 56: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

45

keadaan terdakwa yang sesungguhnya.116

Tanpa hadirnya terdakwa di persidangan, pemeriksaan perkara oleh

pengadilan tidak dapat dilakukan. Untuk itulah pentingnya bagaimana cara

menghadirkan terdakwa di sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 154

KUHAP. Pada prinsipnya Pasal 154 terutama ayat (2), (4) dan (6) merupakan

pedoman menghadirkan terdakwa dalam persidangan untuk membuat terang dan

jelas suatu perkara yang didakwakan pada terdakwa. Kehadiran terdakwa tersebut

juga sebagai upaya untuk melakukan perlawanan atau keberatan atas dakwaan

penuntut umum.117

Rangkaian upaya menghadirkan terdakwa di persidangan diawali dengan

perintah hakim ketua sidang supaya terdakwa dipanggil masuk ke dalam ruang

persidangan. Akan tetapi apabila terdakwa pada sidang yang telah ditentukan

tidak hadir, hakim ketua sidang akan meneliti apakah terdakwa telah dipanggil

secara sah. Dalam penelitian tersebut akan dijumpai beberapa kemungkinan yaitu:

(1) Terdakwa ternyata dipanggil ”secara tidak sah”, dalam hal ini hakim ketua

sidang akan menunda persidangan dan memerintahkan kepada penuntut umum

supaya memanggil terdakwa sekali lagi untuk hadir pada tanggal hari sidang

berikutnya;

(2) Terdakwa ternyata sudah dipanggil ”secara sah”, dalam hal ini sekalipun

terdakwa telah dipanggil secara sah, namun tidak datang menghadiri

persidangan tanpa alasan yang sah; berdasarkan ketentuan Pasal 154 ayat (4)

dan (6), maka pemeriksaan perkara tidak dapat dilangsungkan dan hakim

ketua sidang akan menunda atau mengundurkan persidangan pada tanggal hari

sidang berikutnya seraya memerintahkan penuntut umum untuk memanggil

terdakwa sekali lagi pada tanggal hari sidang yang telah ditentukan. Apabila

kemudian setelah terdakwa dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, namun

tetap juga tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, maka dalam hal

ini hakim ketua sidang dapat memerintahkan kepada penuntut umum untuk

menghadirkan terdakwa dengan paksa pada tanggal hari sidang pertama

berikutnya.

Menurut Adami Chazawi, yang dimaksud dengan tanpa alasan yang sah

116 Ibid. 117 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 9.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 57: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

46

terdapat beberapa kemungkinan yaitu :118 (1) sama sekali tidak memberikan

alasan apapun; atau (2) memberikan alasan tetapi alasan itu dinilai tidak patut,

berupa alasan yang tidak ada relevansinya dengan ketidakhadirannya, misalnya

tidak dapat hadir karena akan mengantarkan anak ke sekolah; atau (3) alasan patut

ternyata tidak benar/bohong, yaitu alasan yang ada relevansinya, namun ternyata

terbukti alasan itu palsu, misalnya dengan alasan sakit ternyata tidak sakit karena

surat keterangan dokter dipalsu olehnya.119

Suatu panggilan dapat dikatakan sah atau tidak sah apabila memenuhi atau

tidak memenuhi ketentuan Pasal 145 KUHAP. Syarat-syarat sahnya suatu

pemanggilan kepada terdakwa dimaksud adalah sebagai berikut :120

(1) Suatu panggilan kepada terdakwa disampaikan di alamat tempat tinggalnya

atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat

kediaman terakhir,

(2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman

terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah

hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir,

(3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan

kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara,

(4) Penerimaan surat panggilan terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain atau

melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan,

(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat

panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang

berwenang mengadili perkaranya.

Menurut ketentuan Pasal 152 ayat (2) KUHAP, penuntut umum yang

menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal

146 ayat (1) menentukan bentuk surat panggilan yang harus memuat tanggal, hari,

serta jam sidang, dan untuk perkara apa ia dipanggil, yang harus sudah diterima

oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang

118 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang :

Bayumedia Publishing, 2005), hal. 393. 119 Ibid. 120 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal.

237 – 238.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 58: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

47

dimulai.121

Berkaitan dengan alasan sakit yang diperkuat dengan surat keterangan

dokter (yang tidak dipalsukan) atau karena halangan yang patut atau wajar seperti

misalnya terdakwa mengalami musibah adalah merupakan alasan yang dapat

dibenarkan atau alasan yang sah. Alasan yang sah ini dengan sendirinya

menghapuskan wewenang hakim ketua sidang untuk memerintahkan terdakwa

dihadirkan dengan paksa di persidangan. Namun demikian, penentuan sah atau

tidaknya suatu alasan yang diajukan terdakwa tetap merupakan kewenangan

hakim.

Seandainya hakim menilai alasan yang dikemukakan terdakwa sah,

tindakan hakim adalah menunda dan mengundurkan persidangan dan selanjutnya

memerintahkan penuntut umum memanggil terdakwa pada tanggal hari sidang

berikutnya. Akan tetapi apabila hakim ketua sidang menilai alasan yang

dikemukakan terdakwa tidak sah, maka hakim akan menerapkan substansi Pasal

154 ayat (4) dan (6) KUHAP. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui

bahwa walau peradilan in absentia diberi ruang atau dibenarkan oleh undang-

undang tindak pidana korupsi, tetapi dalam pelaksanaannya harus tetap

memperhatikan hak-hak terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (3), (4)

dan (6) UU TPK.

3.3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam Instrumen

Hukum Internasional dan Nasional

Pengembalian aset korupsi merupakan sistem penegakan hukum yang

menghendaki adanya suatu proses peniadaan hak atas aset pelaku dari negara

korban dengan cara antara lain meniadakan hak aset pelaku secara perdata

maupun pidana, bisa dilakukan dengan penyitaan, pembekuan, perampasan, baik

dalam kompetensi lokal, regional maupun internasional sehingga kekayaan dapat

dikembalikan kepada negara (korban) yang sah.122

Pengembalian aset melalui jalur hukum pidana umumnya terdiri dari

ketentuan-ketentuan mengenai proses pengembalian aset melalui 4 (empat) tahap

121 Ibid., hal. 238. 122 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta : Diadit Media, 2009),

hal. 149 – 150.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 59: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

48

sebagai berikut : tahap pertama, pelacakan aset untuk melacak aset-aset; tahap

kedua, tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan aset-aset

melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan; tahap ketiga, penyitaan. Setelah

melalui dan memenuhi tahapan-tahapan tersebut, baru dapat dilaksanakan tahap

keempat yaitu penyerahan aset dari negara penerima aset kepada negara korban

tempat aset diperoleh secara tidak sah.123

Berkaitan dengan tahapan-tahapan pengembalian aset, dapat dijelaskan

hal-hal sebagai berikut :

(1) Tahap pertama, pelacakan aset.

Tahap ini sangat penting dan menentukan tahapan selanjutnya. Tujuan

investigasi atau pelacakan aset ini adalah untuk mengidentifikasikan aset,

lokasi penyimpanan aset, bukti kepemilikan aset, dan hubungannya dengan

tindak pidana yang dilakukan. Tahapan ini sekaligus merupakan pengumpulan

alat-alat bukti. Untuk menjaga lingkup dan arah tujuan investigasi menjadi

fokus, menurut John Conyngham124 otoritas yang melakukan investigasi atau

melacak aset-aset tersebut bermitra dengan firma-firma hukum dan firma

akuntansi. Untuk kepentingan investigasi dirumuskan praduga bahwa pelaku

tindak pidana akan menggunakan dana-dana yang diperoleh secara tidak sah

untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Dengan demikian, pasti terdapat

hubungan yang disamarkan antara individu dengan aset-aset tersebut. Praduga

kedua adalah bahwa pihak-pihak ketiga akan dimanfaatkan dalam proses

penyembunyian aset-aset tersebut. Ketika perburuan aset dimulai, pihak-pihak

ketiga tersebut patut dicurigai untuk didekati. Selain menjadikan mereka

menjadi target, yurisdiksi yang akan dilacak harus dapat diperkirakan. Hal ini

sangat penting karena kemenangan baru tercapai apabila aset yang dapat

diidentifikasi berada dalam yurisdiksi yang tidak menerapkan ketentuan

pengembalian yang rumit dalam sistem hukumnya.125

123 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 123. 124 John Conyngham, Esq., Recovering Dictator’s Plunder, Testimony of John

Conyngham, Esq., Global Director of Investigations, (Control Risks Group Limited Before the Committee on Financial Services Subcommittee on Financial Institutions and Customer Credit US House of Representative, 9 Mei 2002), hal. 2, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M. Yanuar, hal. 207.

125 Ibid., hal. 208.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 60: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

49

(2) Tahap kedua, pembekuan atau perampasan aset.

Kesuksesan investigasi dalam melacak aset-aset yang diperoleh secara tidak

sah memungkinkan pelaksanaan tahap pengembalian aset berikutnya, yaitu

pembekuan atau perampasan aset. Menurut KAK, pembekuan atau

perampasan berarti larangan sementara untuk mentransfer, mengkonversi,

mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara dianggap

sebagai ditaruh di bawah perwalian atau di bawah pengawasan berdasarkan

perintah pengadilan atau badan yang berwenang lainnya.126 Berdasarkan

pengertian tersebut, badan yang berwenang lainnya diartikan sebagai pihak

kepolisian, kejaksaan dan badan negara yang diberikan otoritas untuk

melakukan tindakan tersebut, misalnya KPK, PCGG di Filipina yaitu suatu

otoritas non yudisial yang khusus dibentuk dan diberi wewenang untuk

melakukan investigasi atas aset-aset keluarga Ferdinand Marcos.127

(3) Tahapan ketiga, penyitaan aset-aset.

KAK memberikan pengertian penyitaan, termasuk penyerahan manakala

diperlukan adalah pencabutan kekayaan secara permanen berdasarkan perintah

pengadilan atau otoritas yang berkompeten lainnya. Apabila dihubungkan

dengan tindak pidana korupsi, penyitaan, termasuk penyerahan, apabila

diperlukan, merupakan pencabutan secara permanen aset-aset dari penguasaan

dan/atau kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan perintah

pengadilan atau badan yang berwenang yang mencabut hak-hak pelaku tindak

pidana korupsi atas aset-aset hasil tindak pidana korupsi.128 Jadi, penyitaan

merupakan perintah pengadilan atau badan yang berwenang yang mencabut

hak-hak pelaku tindak pidana korupsi atas aset-aset hasil tindak pidana

korupsi. KAK tidak secara tegas menyatakan apakah penyitaan merupakan

hukuman/penalti seperti yang didefinisikan dalam Konvensi tentang

Pencucian, Pelacakan, Perampasan dan Penyitaan atas Hasil-hasil Kejahatan

dari Dewan Eropa (Convention on Laundering, Search, Seizure and

Confiscation of the Proceeds from Crime/CLSCPC) dari Council of Europe.

Dalam CLSCPC, penyitaan diartikan sebagai hukuman atau tindakan, yang

126 Pasal 2 huruf f KAK. 127 Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 211. 128 Ibid.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 61: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

50

diperintahkan oleh pengadilan sebagai kelanjutan dari proses yang

berhubungan dengan pelanggaran pidana atau pelanggaran-pelanggaran

pidana sebagai pencabutan yang permanen atas kekayaan.129

Penyitaan dijustifikasi oleh prinsip yang berakar pada hukum yang

menetapkan bahwa orang dilarang mendapatkan keuntungan dari kegiatan

yang tidak berdasarkan hukum pada umumnya, dan tindak pidana pada

khususnya. Prinsip ini mengikuti syarat bahwa jika hukum adalah untuk

mempengaruhi tingkah laku orang, hukum itu harus menyampaikan pesan-

pesan yang koheren. Pesan-pesan itu tidak lagi koheren ketika pada satu sisi

berusaha untuk mencegah bentuk khusus tingkah laku, tetapi di sisi yang lain

membiarkan seseorang yang melakukan bentuk khusus tingkah laku yang

berusaha dicegah tersebut, mendapatkan keuntungan.130

(4) Tahap keempat, setelah melalui tahap penyitaan barulah dapat dilakukan tahap

keempat terhadap aset-aset yang disita, yaitu pengembalian dan penyerahan

aset-aset kepada negara korban.131 Agar dapat melakukan pengembalian aset-

aset, baik negara penerima maupun negara korban perlu melakukan tindakan

legislatif dan tindakan lainnya menurut prinsip-prinsip hukum nasional

masing-masing negara sehingga badan yang berwenang dapat melakukan

pengembalian aset-aset tersebut.

Pengembalian aset negara sebagai hasil tindak pidana korupsi yang

bersifat transnasional ini memerlukan perangkat hukum nasional maupun

internasional, karenanya perangkat melalui Mutual Legal Assistance (MLA)

maupun Konvensi Internasional, seperti United Nation Convention Against

Corruption 2003 (UNCAC 2003) atau Konvensi Anti Korupsi (KAK) yang telah

diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang

Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) menjadi amanat yang wajib

dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia.

Pengembalian aset merupakan prinsip dasar KAK. Hal ini dijelaskan

129 Lihat : Pasal 1 huruf d CLSCPC, European Treaty Series, No. 141, Strasbourg, 8, XI,

1990. 130 Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 217 – 218. 131 Ibid., hal. 231 – 232.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 62: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

51

dalam Bab V mengenai pengembalian aset Pasal 51 tentang ketentuan umum yang

menyatakan : “The return of assets pursuant to this chapter is a fundamental

principle of this Convention, and States Parties shall afford one another the

widest measures of cooperation and assistance in this regard.” Dalam KAK tidak

dijelaskan pengertian pengembalian132 aset.133 Menurut Matthew H. Flemming,134

dalam dunia internasional tidak ada definisi pengembalian aset yang disepakati

bersama. Flemming sendiri tidak mengemukakan rumusan definisi, tetapi

menjelaskan bahwa pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan

yang dicabut, dirampas dan dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana.

Flemming melihat pengembalian aset sebagai : (1) pengembalian aset sebagai

proses pencabutan, perampasan dan penghilangan; (2) yang dicabut, dirampas

dihilangkan adalah hasil atau keuntungan dari tindak pidana; (3) salah satu tujuan

pencabutan, perampasan dan penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak

dapat menggunakan hasil serta keuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai

alat bantu atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya.135

Pelaksanaan KAK mengedepankan aspek kerjasama internasional dalam

rangka memerangi praktik korupsi seperti ekstradisi136 dan bantuan hukum timbal

balik.137 Dengan mengimplementasikan KAK ke dalam hukum nasional negara-

negara pihak, maka seharusnya tidak ada lagi kekebalan dan tempat berlindung

bagi para pelaku tindak pidana korupsi kemanapun mereka pergi dan

menempatkan aset hasil tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan KAK

merupakan sarana hukum internasional yang besifat komprehensif dan tidak

menggunakan faktor pendekatan tunggal dalam pemberantasan tindak pidana

korupsi.138

Beberapa prinsip penting dalam KAK terkait dengan pengembalian aset

132 Dalam Black's Law Dictionary 8th ed., West Group, 2004, menjelaskan kata recovery

sebagai istilah hukum yang diartikan sebagai : “(1) The regaining or restoration of something lost or taken away, (2) The obtained of a right to something by a judgement or decree, (3) An amount awarded in or collected from a judgement or decree.”

133 Ibid., aset berarti : “(1) An item that is owned and has value, (2) The entries of property owned, including cash, inventory, real estate, accounts receivable, and goodwill, (3) All the property of a person available for paying debts.”

134 Matthew H. Flemming, Op.cit., hal. 27. 135 Ibid., hal. 31. 136 Pasal 44 KAK. 137 Pasal 46 KAK. 138 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 122.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 63: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

52

pada negara adalah sebagai berikut :

(1) Prinsip Asset Recovery

Asas atau prinsip asset recovery ini diatur secara eksplisit dalam KAK.

Prinsip ini dapat diketahui dari Chapter V (Bab V) mengenai Asset Recovery

(Pengembalian Aset), khususnya Article 51 UNCAC/Pasal 51 KAK yang

berbunyi : “The return of assets pursuant to this chapter is a fundamental

principle of this Convention, and State Parties shall afford one another the widest

measure of cooperation and assistance in this regard.” (Pengembalian aset-aset

menurut bab ini merupakan suatu prinsip yang mendasar dari Konvensi ini, dan

negara-negara peserta wajib saling memberi kerja sama dan bantuan yang seluas-

luasnya mengenai hal ini).

KAK khususnya mengenai pengembalian aset ini menurut Adil

Surowidjojo lebih memfokuskan pada pencegahan transportasi hasil korupsi,

meskipun negara-negara disyaratkan untuk meningkatkan antisipasi institusi-

institusi keuangannya dalam mengantisipasi transaksi keuangan dan kegiatan-

kegiatan dalam sektor perbankan melalui langkah-langkah pencegahan.

Pendekatan ini dipasangkan dengan kerja sama regional, interregional, dan

multilateral yang ditargetkan untuk memerangi pencucian uang (money

laundering), diantaranya pemberdayaan otoritas domestik untuk melakukan

penyelidikan dan berbagi informasi dengan otoritas yang relevan139. Pencegahan

dan pemberantasan korupsi melalui lembaga keuangan dan memerangi pencucian

uang sebagai salah satu mata rantai korupsi menjadi sangat logis dengan

pertimbangan seperti dikemukakan oleh I Gede Made Sadguna bahwa lembaga

keuangan bisa dimiliki atau dikuasai oleh penjahat yang pintar dengan tujuan

utama memakainya sebagai sarana pencucian uang. Produk dan jasa keuangan

dimanfaatkan untuk “mencuci” harta hasil kejahatan. Hasil akhirnya bukan saja

penjahat tersebut dapat dengan aman menikmati hasil kejahatannya, melainkan

juga dapat membiayai kembali operasi kejahatannya140.

Ketentuan Pasal 51 KAK secara teknis memungkinkan tuntutan, baik

139 Adil Surowidjojo, The United Nations Convention Against Corruption : How Will It

Help Us?, (Jentera, Jurnal Hukum, Edisi 9, Tahun III, Juni 2005), hal. 71. 140 I. Gede Made Sadguna, Peranan PPATK dalam Pemberantasan Korupsi Menuju

Good Corporate Governance Sektor Keuangan, (Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24, Nomor 3, Tahun 2005), hal. 17.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 64: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

53

secara perdata (melalui gugatan) maupun secara pidana pengembalian aset negara

yang telah diperoleh oleh seseorang melalui perbuatan korupsi. Kemungkinan

menempuh prosedur hukum dalam rangka pengembalian aset ini juga berlaku bagi

negara peserta lain yang telah dirugikan (damages to another state party) atau

dalam rangka menegakkan hak atas atau kepemilikan atas kekayaan yang

diperoleh melalui perbuatan kejahatan korupsi (to establish title to or ownership

of property acquired through the commission of an offence establish in

accordance with this Convention).

Prinsip KAK tersebut dengan demikian tidak hanya menekankan

pentingnya kebijakan dan praktik pencegahan anti korupsi (preventive anti

corruption policies and practices) yang lebih bersifat pidana – kriminalisasi dan

penegakan hukum (criminalization and law enforcement). Kepentingan utama

lainnya, yaitu tindakan-tindakan perdata berupa gugatan pengembalian aset

negara yang dikorupsi dalam istilah yang lebih populer disebut dengan “stolen

assets recovery (STAR)”.

KAK memungkinkan dilakukannya tindakan-tindakan perampasan atas

kekayaan tanpa pemidanaan (without a criminal conviction), dalam hal pelaku

tidak dapat dituntut dengan alasan meninggal dunia, lari (kabur) atau tidak hadir

atau dalam kasus-kasus lain yang sama. Prinsip tersebut diatur dalam Pasal 54

ayat (1) huruf c KAK . Prinsip ini menunjukkan bahwa gugatan perdata dilakukan

ketika mekanisme peradilan pidana gagal melakukan penuntutan karena kondisi-

kondisi terdakwa meninggal dunia, lari (kabur), atau in absentia. Ungkapan lain

yang terkandung di dalam pasal ini adalah merekomendasi negara peserta

menggunakan/mengatur non-criminal systems of confiscation.

Prinsip yang diatur dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c KAK yang kemudian

melahirkan konsep in rem forfeiture atau forfeiture actions to be brought against

the stolen property it self, seperti diterapkan di Afrika Selatan dan Amerika

Serikat141. Sehubungan dengan prinsip pengembalian aset ini, KAK mengatur

mengenai kewajiban negara-negara peserta, termasuk Indonesia untuk

memungkinkan 3 (tiga) hal, yaitu :

141 U4 – Anti-corruption Resource Centre, http://www.u4.no/themes/uncac/asset-

recovery.ctm, diunduh tanggal 24 April 2011.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 65: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

54

(a) Negara peserta lain mengajukan gugatan perdata di pengadilan Indonesia

(Pasal 53 ayat (1) KAK);

(b) Orang-orang yang telah melakukan tindak pidana korupsi untuk membayar

kompensasi atau ganti rugi pada negara peserta lain yang telah dirugikan atas

tidak pidana korupsi itu dan dananya dilarikan atau dilakukan pencucian di

Indonesia (Pasal 53 ayat (2) KAK);

(c) Mengembalikan kekayaan yang telah disita oleh badan yang berkompeten di

Indonesia kepada negara peserta lain (yang mengajukan permintaan) - (Pasal

57 ayat (2) KAK).

(2) Gugatan Perdata sebagai Alternatif Pengembalian Aset Negara

Berdasarkan KAK, prinsip pengembalian aset (asset recovery) disertai

dengan prinsip mengenai upaya hukum gugatan perdata. Di samping instrumen

gugatan perdata, KAK juga memungkinkan cara lain, yaitu “permintaan”

perampasan. Sebenarnya perampasan menjadi inti pengembalian aset, sedangkan

gugatan perdata menjadi komplemen atau alternatif ketika aset yang dikorupsi

belum berhasil dilakukan perampasan (confiscation). Kondisi ini utamanya terjadi

ketika hasil korupsi dicuci (money laundering) di negara lain. Pengembalian aset

melalui gugatan perdata dimungkinkan berdasarkan Pasal 53 KAK.

Pengembalian aset melalui gugatan perdata tersebut secara teknis tidak diatur

dalam KAK. KAK hanya mewajibkan negara peserta untuk memfasilitasinya

sesuai dengan hukum nasional masing-masing. Negara-negara yang menganut

common law system gugatan perdata sebagaimana diatur KAK tersebut dikenal

dengan instrumen civil forfeiture yang dibedakan dengan criminal forfeiture142.

Civil forfeiture merupakan gugatan untuk pengembalian aset, sedangkan criminal

forfeiture merupakan tuntutan pidana terhadap orang.

Civil forfeiture tidak mengharuskan penggugat untuk membuktikan unsur-

unsur dan kesalahan orang yang melakukan tindak pidana (personal culpability).

Penggugat cukup membuktikan adanya probable cause atau adanya dugaan

bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana.

142 Ario Wandatama dan Detania Sukarja, Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di

Indonesia untuk Mendukung Stolen Asset Recovery (STAR) Initiative, makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional, 2007, hal. 22 – 23.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 66: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

55

Penggugat cukup membuktikan dengan standar preponderance of evidence

(pembuktian formil) bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan suatu aset telah

dihasilkan, digunakan atau terlibat dengan tindak pidana tersebut. Pemilik aset

tersebut kemudian harus membuktikan dengan standar yang sama bahwa aset

yang digugat tidak merupakan hasil, digunakan atau berkaitan dengan tindak

pidana yang dituntut143.

Adanya ratifikasi KAK memberi arti terbukanya kemungkinan Indonesia

untuk melakukan gugatan di pengadilan-pengadilan asing, sesuai dengan

mekanisme dan prosedur yang berlaku di negara yang bersangkutan, khususnya

negara peserta apabila terdapat cukup bukti uang hasil korupsi (stolen assets)

dilakukan pencucian uang (money laundering) dengan segala bentuknya atau

“disimpan” di luar negeri.

(3) Litigasi Multiyurisdiksi (Multi-jurisdictional Litigation)

Prinsip assets recovery melalui gugatan perdata sebagaimana diatur oleh

KAK tidak dapat dilepaskan dari prinsip multi-jurisdictional litigation atau litigasi

multiyurisdiksi atau litigasi lintas yurisdiksi. Gugatan perdata dapat dilakukan

oleh suatu negara yang menjadi korban (victim countries) dari tindak pidana

korupsi yang diajukan melalui negara lain (yang menjadi peserta KAK) tempat

dilarikannya kekayaan negara (dilakukannya pencucian uang). Hal ini tersurat

dalam Pasal 53 KAK. Prinsip tersebut dengan demikian memberikan konsekuensi

pada negara peserta untuk memfasilitasi atau mengatur dalam hukum nasionalnya

sehingga memungkinkan atau mengizinkan negara peserta lain melakukan litigasi

untuk non-criminal avenue for recovery.

(4) Pembekuan (Freezing) atau Penyitaan (Seizure) dan Perampasan

(Confiscation) dari Hasil Korupsi atau Kekayaan yang Dicuci (Laundering) di

Negara Lain

Pembekuan atau penyitaan berbeda dengan perampasan. Perampasan

sebagaimana diatur dalam Pasal 54 – 55 KAK, pengertiannya sebagaimana diatur

dalam Pasal 2 huruf g KAK adalah pencabutan kekayaan untuk selamanya.

143 Ibid., hal. 24.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 67: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

56

Sedangkan pembekuan (freezing) atau penyitaan (seizure) sebagaimana diatur

dalam Pasal 2 huruf f KAK, berarti larangan transfer, perubahan, pengalihan atau

pemindahan kekayaan, yang bersifat sementara. Pasal 2 huruf f KAK menyatakan

bahwa :

”For the purpose of this Convention : “Freezing” or “seizure” shall mean temporarity prohibiting the transfer, conversion, disposition or movement of property or temporarity assuming custody or control of property on the basis of an order issued by a court or other competent authority. (“Pembekuan” atau “penyitaan” berarti melarang untuk sementara waktu dilakukannya transfer, perubahan, pengalihan atau pemindahan kekayaan, atau untuk sementara waktu menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berwenang.)”

Pembekuan atau penyitaan aset ini merupakan tindakan yang

memungkinkan dilakukannya perampasan (confiscation). Hal ini tampak dari

ketentuan Pasal 31 KAK. Perampasan itu sendiri sebenarnya merupakan konsep

dalam hukum pidana. KAK tidak memberi batasan konsep perampasan hanya

pada perkara pidana, menunjukkan bahwa konsep tersebut juga berlaku untuk

kepentingan gugatan perdatanya. Hakikatnya, perampasan (confiscation) dalam

hukum perdata merupakan dikabulkannya gugatan pengembalian aset itu sendiri.

Dikabulkannya gugatan pengembalian aset, maka aset tersebut dinyatakan sah

untuk dirampas oleh negara yang dirugikan tersebut.

Dalam sistem hukum nasional, upaya pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi dalam UU TPK menggunakan 2 (dua) jenis instrumen, yaitu

instrumen perdata dan pidana. Instrumen perdata yang terdapat dalam UU TPK

memberikan dasar hukum kepada negara yang direpresentasikan oleh Jaksa

Pengacara Negara atau pihak instansi yang dirugikan untuk melakukan gugatan

perdata terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan atau ahli warisnya.

Penggunaan instrumen perdata ini membawa konsekuensi prosedur pengembalian

aset sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata yang berlaku, baik

materiil maupun formil.144 Hubungan antara aset-aset dengan seseorang, apakah ia

pelaku atau bukan pelaku tindak pidana, diatur dalam hukum kebendaan yang

masuk dalam wilayah hukum sipil atau hukum perdata.

144 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 149.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 68: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

57

Pendekatan melalui jalur perdata dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan

UU TPK sebagai berikut :

(1) Pasal 32 ayat (1) UU TPK menetapkan bahwa dalam hal penyidik menemukan

dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak

terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan

negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan

tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau

diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Dalam

ayat (2) kemudian ditetapkan bahwa putusan bebas dalam perkara tindak

pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap

keuangan negara.

(2) Pasal 33 UU TPK menyatakan bahwa dalam hal tersangka meninggal dunia

pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian

keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil

penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada

instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli

warisnya.

(3) Pasal 34 UU TPK mengatur bahwa dalam hal terdakwa meninggal dunia pada

saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata

telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera

menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa

Pengacara Negara atau diserahkan pada instansi yang dirugikan untuk

dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

(4) Pasal 38 C UU TPK menetapkan apabila setelah putusan pengadilan telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda

milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana

korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan

perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.

Pengajuan gugatan dengan menerapkan instrumen hukum perdata

sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Perdata) dan Hukum Acara Perdata, hanya berlaku sepanjang benda tersebut

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 69: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

58

berada di wilayah Indonesia atau di atas kapal berbendera Indonesia. Dengan

demikian, apabila benda tersebut berada di luar wilayah Indonesia, masalah

kepemilikan dan hak kebendaan lainnya akan diatur menurut hukum perdata yang

berlaku di wilayah negara tersebut.145

Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi menggunakan instrumen

pidana dilakukan melalui proses penyitaan dan perampasan. Instrumen pidana

dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku tindak pidana

korupsi dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut untuk dirampas oleh Hakim

dan dikembalikan kepada kas negara.

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan

atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,

berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,

penuntutan dan peradilan.146 Menurut Andi Hamzah, definisi penyitaan dalam

pasal ini agak panjang tetapi terbatas pengertiannya, karena hanya untuk

kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pasal 134

Ned. Sv. juga diberikan definisi penyitaan (inbeslagneming) yang lebih pendek

tetapi lebih luas pengertiannya yaitu “dengan penyitaan sesuatu benda diartikan

pengambilalihan atau penguasaan benda itu guna kepentingan acara pidana.” Jadi,

tidak dibatasi hanya untuk pembuktian. Persamaan kedua definisi tersebut di atas

adalah pengambilan dan penguasaan milik orang.147

Penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi diatur secara khusus dalam

UU TPK, sehingga ketentuan KUHAP yang mengatur tentang penyitaan tidak

berlaku.148 Berkaitan dengan tugas penyidikan perkara tindak pidana korupsi,

penyidik atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, dapat

melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri.149 Selanjutnya penyidik

wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dan salinan berita acara

tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarganya.150

Mardjono Reksodiputro membedakan antara “penyitaan” dan

145 Ibid., hal. 150. 146 Pasal 1 angka 16 KUHAP. 147 Andi Hamzah, Hukum Acara …, Op.cit., hal. 147. 148 Pasal 47 ayat (2). 149 Pasal 47 ayat (1). 150 Pasal 47 ayat (3).

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 70: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

59

“perampasan”. Penyitaan sebagaimana didefinisikan dalam KUHAP adalah

berasal dari istilah Belanda “beslag”, yaitu “mengambil dan menahan barang oleh

alat negara dengan persetujuan atau menurut keputusan pengadilan”. Menyita

(beslag leggen) adalah tindakan sementara, menunggu keputusan selanjutnya dari

pengadilan. Sedangkan perampasan yang disebut sebagai pidana tambahan dalam

Pasal 10 huruf b angka 2 KUHAP/WvS Indonesia 1918 adalah berasal dari istilah

Belanda “verbauren” (verbeurdverklaring – pernyataan dirampas). Merampas

adalah pidana yang ditujukan pada benda dan tagihan milik terpidana untuk

diambil alih menjadi milik negara tanpa ada kompensasi.151

Perampasan menurut Martiman Prodjohamidjojo152 adalah tindakan hakim

yang berupa putusan tambahan pada pidana pokok sebagaimana diputuskan dalam

Pasal 10 KUHP, yaitu mencabut hak dari kepemilikan seseorang atas suatu benda.

Dengan demikian, berdasarkan penetapan hakim, benda tersebut dirampas dan

kemudian dapat dirusak atau dibinasakan atau bahkan dapat dijadikan milik

negara.

Pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi selain berupa

pidana tambahan dalam KUHP juga termasuk pidana tambahan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 18 UU TPK yaitu berupa:153

(1) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang

yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dan tindak

pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana

korupsi dilakukan, begitu pula harga dan barang yang menggantikan barang-

barang tersebut;

(2) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama

dengan harta benda yang diperoleh dan tindak pidana korupsi;

(3) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)

tahun. Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) huruf c disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan “penutupan seluruh atau sebagian perusahaan” adalah

151 Mardjono Reksodiputro, Penyitaan dan Perampasan Aset dalam Tindak Pidana

Korupsi dan Pencucian Uang (Catatan untuk Diskusi), makalah disampaikan pada Forum Group Discussion (FGD) di PPATK tanggal 21 Juli 2009, hal. 1.

152 Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas KUHAP, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1990), hal.36.

153 Pasal 18 ayat (1) UU TPK.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 71: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

60

pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan sementara sesuai dengan

putusan pengadilan.

(4) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh

atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh

Pemerintah kepada terpidana.

Dalam pasal ini terlihat jelas bahwa konsep pengembalian aset sudah

dicakup secara substansial, walaupun terminologi yang dipergunakan berbeda.

Istilah aset yang dipergunakan dalam KAK tidak dikenal dalam UU TPK, namun

pengertiannya telah tercakup dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU TPK tersebut. Di

samping hasil tindak pidana korupsi berasal dari keuangan atau perekonomian

negara, juga hal-hal yang dipergunakan untuk memfasilitasi tindak pidana korupsi

(to facilitate crime), termasuk perusahaan milik terpidana.154

Mengenai pembayaran uang pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 18

ayat (1) huruf b, ayat (2) dan (3) UU TPK ditentukan bahwa pembayaran uang

pengganti yang jumlahnya sama dengan hasil korupsi. Apabila tidak dibayar,

maka paling lama 1 (satu) bulan setelah keputusan hakim berkekuatan hukum

tetap maka harta benda terpidana disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi

uang pengganti, dan apabila hasil lelang tidak mencukupi, maka dipidana dengan

pidana penjara yang lamanya tidak boleh melebihi ancaman maksimum dari

pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan UU TPK.

Dalam kaitannya dengan uang pengganti yang dipandang oleh Utrecht

sebagai pidana tambahan yang dapat ditetapkan disamping pidana pokok, Utrecht

mengemukakan pandangan bahwa pidana tambahan dan pidana pokok

mempunyai karakter berbeda.155 Pidana tambahan hanya dapat diterapkan di

samping pidana pokok.156 Apabila hakim tidak dapat menetapkan pidana pokok

maka tidak dapat ditentukan pidana tambahan sebagai pengganti. Selain itu, Pasal

18 ayat (2) UU TPK mengandung upaya yang bersifat fakultatif bagi jaksa.

Akibatnya Pasal 18 ayat (3) dalam praktik sering menjadi jalan keluar yang secara

hukum tidak salah namun tidak mencakup pengaturan yang dituju dalam

pengaturan asset recovery dalam KAK.

154 Jeane Neltje Saly, Op.cit., hal. 684. 155 Ibid. 156 Jeane Neltje Saly, Op.cit.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 72: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

61

UU TPK telah mengatur pula mengenai pembalikan beban pembuktian

terhadap perolehan harta kekayaan terdakwa. Dalam hal terdakwa tidak dapat

membuktikan tentang kekayaan yang seimbang dengan penghasilan atau sumber

penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk

memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak

pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4) UU TPK). Namun demikian apabila terdakwa

dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari pokok perkara,

maka tuntutan perampasan harta benda harus ditokah oleh hakim (Pasal 37 huruf

B UU TPK).157

Menindaklanjuti UU TPK, pemerintah pada tahun 2007 membentuk

panitia yang bertugas untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Perampasan

Aset (RUU PA). Namun hingga akhir tahun 2010, RUU dimaksud belum dibahas

oleh DPR. RUU PA mempunyai arti yang penting bagi upaya pengembalian aset

hasil tindak pidana yang disembunyikan di luar negeri. Hal ini dikarenakan paling

tidak diperlukan 2 (dua) syarat utama dalam pengembalian aset dimaksud yaitu

:158

(1) Indonesia harus mempunyai sistem peradilan yang jelas dan tegas melawan

korupsi, dalam hal ini UU TPK, KPK dan Pengadilan Tipikor),

(2) Indonesia juga harus mempunyai undang-undang yang jelas dalam “merampas

kembali” aset yang dicuri oleh para koruptor (baik aset yang disembunyikan

di dalam negeri maupun di luar negeri).

Kedua syarat ini sangat penting terutama jika Indonesia ingin merampas (recover)

aset koruptor Indonesia yang berada di luar negeri. Hal ini dikarenakan Indonesia

tidak akan dapat begitu saja meminta/merampas aset koruptor Indonesia di luar

negeri, melainkan harus melalui jalur hukum negara dimana aset tersebut

ditempatkan.159

RUU PA pada intinya adalah mengatur mekanisme perampasan aset secara

komprehensif, mulai dari penelusuran, pemblokiran, penyitaan dan hukum acara

157 Yunus Husein, Perampasan Hasil Tindak Pidana di Indonesia, (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 569.

158 Mardjono Reksodiputro, Tambahan Catatan dalam Rangka Sosialisasi RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, makalah disampaikan pada Sosialisasi RUU oleh Ditjend PP Depkumham tanggal 3 Agustus 2009, hal. 1 – 2.

159 Ibid.,

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 73: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

62

pemeriksaan di pengadilan. Selain itu diatur pula mengenai pengelolaan aset,

rehabilitasi, kompensasi dan perlindungan terhadap pihak ketiga, asset sharing

dan kerjasama internasional dalam pengembalian aset.

Pengaturan perampasan aset secara khusus dimaksud dipandang perlu

untuk memasukkan sistem perampasan yang memungkinkan dilakukannya

pengembalian aset hasil tindak pidana melalui “mekanisme perdata” yang

menekankan perampasan aset hasil tindak pidana secara in rem (kebendaan) yang

dikenal dengan konsep non conviction based (NCB/perampasan aset tanpa

pemidanaan). NCB merupakan terobosan dalam menghadapi mekanisme

perampasan yang selama ini sangat terbatas karena memerlukan suatu putusan

pengadilan dan ini berarti putusan tersebut harus memberikan hukuman bersalah

kepada seseorang serta dalam mekanisme tersebut tindakan hukumannya selalu

ditujukan terhadap orangnya (in personam/pelaku kejahatan) dan tindakan

perampasan merupakan bagian dari tuntutan pidana terhadapnya.160 Pelaku

kejahatan yang dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

kejahatan berdasarkan suatu putusan pengadilan bukan merupakan prasyarat yang

harus dipenuhi guna dilakukannya perampasan aset (sarana/hasil tindak

pidananya).161

Mekanisme NCB membuka kesempatan yang luas untuk merampas segala

aset yang diduga merupakan hasil pidana (proceed of crimes) dan aset-aset lain

yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana

(instrumentalities) untuk melakukan tindak pidana. NCB juga dapat digunakan

sebagai alternatif untuk memperoleh kompensasi atau uang pengganti atas

kerugian negara. Dengan demikian aset yang baru ditemukan di kemudian hari

dan tidak tercantum dalam daftar aset yang dapat disita atau dirampas berdasarkan

putusan pidana yang sudah in kracht, tetap dapat disita dan dirampas melalui

mekanisme ini. Selain itu, kendala-kendala yang timbul dalam upaya

pengembalian aset melalui mekanisme pidana dapat teratasi, walaupun pelakunya

sakit atau tidak dapat ditemukan atau meninggal dunia, perampasan aset tetap

160 Supriyadi Widodo Eddyono, Masa Depan Hukum Pengembalian Aset Kejahatan di

Indonesia, (Jakarta : Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 722.

161 Yunus Husein, Op.cit., hal. 570.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 74: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

63

dapat dilakukan secara fair karena tetap melalui suatu sidang pengadilan.162

Melalui NCB, sistem pembalikan beban pembuktian dapat ditempatkan

secara tepat sesuai dengan standar internasional yang menggariskan bahwa sistem

pembalikan beban pembuktian tidak patut diterapkan dalam peradilan pidana

dimana kegagalan dalam pembuktian menurut sistem tersebut dijadikan sebagai

dasar untuk menghukum atau memidana seseorang secara fisik. Mekanisme ini

sejalan dengan Pasal 54 ayat (1) huruf c KAK dan memenuhi standar Revised

40+9 Recommendations Financial Action Task Force (FATF) yang menggariskan

pentingnya rezim perampasan aset tanpa pemidanaan.

Adapun pokok-pokok pengaturan dalam RUU PA adalah sebagai berikut

:163

(1) Memperkenalkan mekanisme perampasan in rem atau yang di negara-negara

common law system dikenal dengan sebutan civil forfeiture atau non-convicted

based. Mekanisme ini memungkinkan dilakukannya penyitaan dan

perampasan asset tanpa perlu adanya tersangka atau terdakwa/terpidana.

Proses hukum difokuskan pada masalah asset/kebendaan (in rem) dan bukan

pada orang (in personan).

(2) Memperluas bentuk-bentuk aset yang dapat disita atau dirampas sehingga

mencakup (a) aset hasil tindak pidana; (b) aset yang digunakan atau akan

digunakan sebagai sarana (instrumen) untuk melakukan tindak pidana; (c)

asset yang diduga diperoleh atau berasal dari kegiatan tidak sah atau

memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum; dan (d) aset

yang merupakan barang temuan.

(3) Mengatur pembalikan beban pembuktian secara lengkap. Sebenarnya dalam

konteks ini reserve burden of proof diperkenankan untuk diterapkan.

Mekanisme ini sangat “tidak fair” bila diterapkan pada pemeriksaan perkara

pidana dimana kegagalan seseorang dalam membuktikan sebaliknya dijadikan

sebagai dasar untuk menghukum orang tersebut. Beberapa undang-undang

termasuk UU TPK sudah memperkenalkan mekanisme ini namun lebih

diarahkan pada pemidanaan sehingga dalam praktiknya sulit untuk diterapkan.

(4) Mengukuhkan perlunya mekanisme asset sharing atas aset hasil rampasan

162 Ibid. 163 Ibid., hal. 572 – 573.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 75: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

64

kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perampasan aset tersebut. Dengan

mekanisme ini kesulitan dalam penganggaran dan pembiayaan kegiatan-

kegiatan dalam alian seupaya penegakan hukum termasuk capacity building

dapat teratasi. Dengan demikian diharapkan aparat penegak hukum dapat lebih

kuat dalam menangkal masuknya pengaruh kekuasaan.

Khusus mengenai pembalikan pembuktian sebagaimana tersebut di atas,

dalam rangka perampasan aset hasil kejahatan yang mengadopsi konsep NCB

tidaklah ditujukan untuk menghukum pelaku tindak pidana, tetapi hanyalah proses

yang sebagian besar bersifat perdata untuk menyita harta kekayaan hasil pidana

untuk diserahkan kepada negara. NCB bukan merupakan pengganti penuntutan

pidana dan dimungkinkan apabila penuntutan pidana tidak tersedia atau tidak

berhasil.164 Konsep NCB tetap menekankan adanya suatu proses pidana terhadap

seseorang terdakwa, namun sebelum ada putusan bersalah maupun sebelum ada

putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht) dapat dimintakan putusan

(putusan sela) untuk merampas aset tersebut. Jadi, NCB tetap harus berdasarkan

pada putusan pengadilan, meskipun terdakwanya belum dinyatakan bersalah.165

Terdapat polemik menyangkut pertentangan dengan asas praduga tak

bersalah dan non self incrimination. Berkaitan dengan hal ini apabila pembalikan

beban pembuktian dilakukan untuk menghukum terdakwa, maka ini bertentangan

dengan asas hukum pidana yaitu asas praduga tak bersalah (presumption of

innocence) dan non self incrimination. Namun, apabila pembalikan beban

pembuktian pada perampasan NCB bukan untuk memberikan hukuman badan

kepada pelaku tindak pidana tersebut.166

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, pada bab selanjutnya akan dibahas

dan diuraikan mengenai peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset

hasil tindak pidana korupsi yang akan membahas mengenai peradilan in absentia

dalam perkara tindak pidana korupsi dikaitkan dengan hak tersangka/terdakwa,

penerapan peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi dalam upaya

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, dan peranan peradilan in absentia

dalam perkara tindak pidana korupsi dalam upaya pengembalian aset hasil tindak

164 Ibid., hal. 573. 165 Mardjono Reksodiputro, Penyitaan dan ….,, Op.cit., hal. 3. 166 Yunus Husein, Op.cit., hal. 573.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 76: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

65

pidana korupsi.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 77: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

66

BAB IV

PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA

PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

4.1. Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dikaitkan

dengan Hak Tersangka/Terdakwa

Permasalahan yang sering ditemukan dalam proses penyidikan tindak

pidana korupsi adalah adanya seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka

tidak dapat diketahui dan ditemukan keberadaannya, meskipun telah dipanggil

sesuai ketentuan yang berlaku. Atas keadaan tersebut, penyidik berusaha mencari

dan menemukan tersangka seoptimal mungkin sehingga bisa menemukannya.

Namun dalam kenyataan seringkali terhadap tersangka yang dicari tidak dapat

diketemukan keberadaannya sehingga tidak memungkinkan dibawa dengan upaya

paksa melalui penangkapan atau penahanan.

Apabila kondisi ini berlanjut sampai pada tahap penuntutan dan

pemeriksaan di persidangan, maka Pasal 38 ayat (1) UU TPK memungkinkan

dilaksanakannya peradilan in absentia yaitu perkara tindak pidana korupsi dapat

diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Peradilan in absentia dimaksud

dapat diterapkan kepada pelaku tindak pidana korupsi yang keberadaannya tidak

diketahui, padahal sudah dipanggil secara sah atau patut sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan dilakukan semaksimal mungkin.167

Selanjutnya tujuan penerapan peradilan in absentia dalam tindak pidana korupsi

dapat diketahui dari penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU TPK yaitu untuk

menyelamatkan kekayaan negara.

Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan merupakan salah satu dari 10

(sepuluh) asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap “keluhuran harkat

serta martabat manusia” sebagaimana terdapat dalam Penjelasan KUHAP.168 Hal

167 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 61. 168 Menurut Mardjono Reksodiputro dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan

Pidana, dalam Penjelasan KUHAP kita dapat menemukan 10 (sepuluh) asas yang yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap “keluhuran harkat serta martabat manusia” yaitu : (1) Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun; (2) Praduga tidak bersalah; (3) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 78: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

67

ini menunjukkan bahwa KUHAP dan penjelasannya telah memberikan pedoman

bagaimana hak-hak sipil (hak-hak warga negara) dilindungi dalam proses

peradilan pidana. Proses peradilan pidana dilaksanakan berlandaskan proses

hukum yang adil (due process of law), dimana hak-hak

tersangka/terdakwa/terpidana dilindungi dan dianggap sebagai bagian dari hak-

hak warga negara (civil rights) dan karena itu merupakan bagian dari HAM.

Peradilan harus menjaga bahwa selalu ada kemungkinan untuk menuntut dan

memperolehnya apabila hak-hak tersebut dilanggar.169

Berkaitan dengan pandangan yang menolak diterapkannya peradilan in

absentia dalam perkara tindak pidana korupsi karena cenderung melanggar HAM

dengan alasan sebagai berikut :170

(1) Hak-hak terdakwa untuk membela diri antara lain sudah diatur dalam Pasal 51

dan 52 KUHAP.

(2) Sesuai dengan Pasal 27 UUD 1945 dimana setiap warga negara di hadapan

hukum kedudukannya sama, sehingga walaupun terdakwa melarikan diri

seharusnya kewajiban penegakan hukum untuk menghadirkannya melalui

kerjasama Interpol atau perjanjian ekstradisi atau terdakwa dapat melarikan

diri karena tidak segera dikenal, sehingga dalam hal ini aparat hukum perlu

berusaha semaksimal mungkin untuk menghadirkan terdakwa.

(3) Penerapan peradilan in absentia terhadap pelaku tindak pidana korupsi terkait

dengan hak-hak asasi terdakwa sebagai manusia yang berhak membela diri

dalam pembelaannya di persidangan, yaitu hak untuk membantah (terhadap

barang bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, maupun keterangan saksi),

dan hak untuk memberikan tanggapan, meskipun terdakwa masih diberikan

(4) Hak untuk mendapat bantuan hukum; (5) Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan; (6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana; (7) Peradilan yang terbuka untuk umum; (8) Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan) harus didasarkan pada undangpundang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);

(9) Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya; dan

(10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya. Kesepuluh asas ini harus dikembangkan lebih lanjut dan dijadikan pedoman bagi pelaksanaan KUHAP yang benar-benar memperhatikan dan melindungi hak-hak sipil (HAM).

169 Ibid., hal. 57. 170 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 72 – 73.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 79: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

68

hak untuk mengajukan upaya hukum banding terhadap putusan pengadilan

tanpa kehadirannya, karena selama belum ada putusan/vonis dari hakim, hak-

hak asasi terdakwa dijamin oleh hukum dianggap belum bersalah (asas

presumption of innocence).

Pelanggaran HAM dimaksud dalam pelaksanaan peradilan in absentia

berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 14 Konvensi Internasional Hak Sipil dan

Politik/The International Covenant on Civil and Political Rights (KIHSP). KIHSP

merupakan salah satu bagian dari 3 (tiga) instrument pokok hak asasi manusia

internasional dalam International Bill of Human Rights. KIHSP disusun

berdasarkan hak-hak yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia/Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) yang lebih luas dan

dengan penjabaran yang lebih spesifik, seperti misalnya penjabaran hak-hak yang

bersifat non-derogable dan hak-hak mana yang bersifat permissible yang

berkaitan dengan hak sipil dan politik.171 KIHSP mengandung hak-hak demokratis

yang esensial, sebagian besar berkaitan dengan berfungsinya suatu negara dan

hubungannya dengan warga negaranya. Hak untuk hidup dan kebebasan

merupakan hal yang harus dihormati oleh negara. Kebebasan individu dapat

meningkatkan kualitas hidup dan menggambarkan hubungan antara negara

dengan tiap individu. Namun demikian, semua HAM mencerminkan pembatasan

pada level tertentu yang sengaja dibuat suatu negara untuk warga negaranya. Hak-

hak dan kebebasan-kebebasan jarang sekali yang bersifat absolut. Jadi sebuah

negara diperbolehkan membatasi hak seseorang atas privasi absolut ketika negara

misalnya melakukan investigasi tindak pidana.172

Pasal 14 KIHSP secara khusus mengatur tentang persamaan di muka

pengadilan dan hak atas suatu persidangan yang adil dan terbuka untuk umum

yang dilakukan oleh pengadilan yang kompeten, mandiri dan tidak memihak yang

ditetapkan oleh hukum.173 Pasal 14 KIHSP menyatakan sebagai berikut :

(1) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu

171 Rhona K.M. Smith, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : Pusat Studi Hak Asasi

Manusia (PUSHAM) UII, 2008), hal. 36 – 37. 172 Ibid., hal. 93. 173 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 69.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 80: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

69

gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral , ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, di mana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.

(2) Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.

(3) Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh: (a) Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang

dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya;

(b) Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri;

(c) Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; (d) Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara

langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya;

(e) Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya;

(f) Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan;

(g) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.

(4) Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka.

(5) Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum.

(6) Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 81: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

70

baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu, sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri.

(7) Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara.

Kalimat pertama dari Pasal 14 ayat (1) KIHSP menandakan pentingnya

semua orang harus diberikan tanpa diskriminasi hak yang sama atas akses ke

pengadilan. Kalimat kedua Pasal 14 ayat (1) KIHSP berkaitan dengan hak atas

peradilan yang fair dan terbuka untuk umum oleh sebuah pengadilan yang

kompeten, mandiri dan tidak memihak serta ditetapkan oleh undang-undang.

Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (2) dinyatakan tentang asas presumption of

innocence (praduga tak bersalah). Ketentuan ini berarti bahwa beban pembuktian

dalam suatu peradilan pidana tergantung pada penuntutan dan si tertuduh

mempunyai keuntungan sebagai orang yang diragukan. Asas praduga tak bersalah

harus dipertahankan tidak hanya selama persidangan berhadapan dengan

terdakwa, tetapi juga berhubungan dengan seseorang atau tertuduh dalam seluruh

tahap sebelum persidangan.174 Pasal 14 KIHSP selanjutnya diatur ketentuan yang

berkaitan dengan hak-hak terdakwa yaitu antara lain berupa hak :

(1) Jaminan prosedural minimal pemberitahuan dalam penentuan terhadap pidana

seseorang;

(2) Hak atas fasilitas-fasilitas dan waktu yang memadai untuk menyiapkan suatu

pembelaan;

(3) Hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya;

(4) Hak diadili dengan kehadiran terdakwa;

(5) Hak atas saksi dalam keadaan apapun saksi tidak boleh diperiksa tanpa

hadirnya terdakwa maupun pengacara;

(6) Hak untuk tidak dipaksa dalam memberikan keterangan yang memberatkan

dirinya atau dipaksa mengaku bersalah (asas non self-incrimination);

174 Ibid.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 82: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

71

(7) Hak untuk banding.

Hak-hak tersebut dalam Pasal 14 KIHSP tersebut telah tercantum dalam Pasal 50

sampai dengan 68 KUHAP.

Jika mengacu pada Pasal 14 ayat (3) huruf d KIHSP tersebut di atas, maka

pelaksanaan peradilan in absentia terlihat seperti melanggar HAM. Namun harus

diingat bahwa dalam instrumen hak asasi manusia terdapat 2 (dua) macam sifat

mengikat suatu instrumen hak asasi manusia yaitu derogasi (derogable) dan non

derogable. Derogasi adalah “pengecualian”, yaitu suatu mekanisme di mana suatu

negara menyimpangi tanggung jawabnya secara hukum karena adanya situasi

yang darurat.175 Alasan yang diperbolehkan digunakan untuk membuat derogasi

adalah keadaan darurat yang esensial dan mengancam kelanjutan hidup suatu

negara, ancaman esensial terhadap keamanan negara dan disintegrasi bangsa.176

Dalam Pasal 4 KIHSP dinyatakan bahwa :

(1) Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.

(2) Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.

(3) Setiap Negara Pihak Kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukannya kepada Negara-negara Pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengenai ketentuan-ketentuan yang dikuranginya, dan mengenai alasan-alasan pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang sama pada saat berakhirnya pengurangan tersebut.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) KIHSP tersebut, Pasal 14 KIHSP merupakan pasal

yang tidak termasuk dalam rumpun hak fundamental atau non derogable rights,

yaitu suatu hak yang tidak dapat ditunda pemenuhannya dalam situasi apapun.177

Atau dengan kata lain, Pasal 14 KIHSP merupakan hak asasi yang dapat ditunda

175 Rhona K.M. Smith, Op.cit., hal. 41 – 42. 176 Ibid., hal. 42. 177 Ibid., hal. 71.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 83: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

72

pemenuhannya (derogable rights).

Hal ini diperkuat dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi yang dengan menetapkan korupsi sebagai

kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Komitmen pemerintah ini jelas

tertuang dalam huruf a pertimbangan UU KPK yang menyatakan : 178

”Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.”

Ketentuan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 29 DUHAM menegaskan

bahwa pembatasan hak-hak asasi individu dapat dibenarkan sepanjang bertujuan

untuk melindungi hak-hak asasi yang lebih luas dengan syarat diatur dalam

bentuk-bentuk undang-undang.179 Ketentuan-ketentuan di dalam Pasal 14 KIHSP

telah diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia (UU HAM) yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 17, 18 dan 19 UU

HAM. Selanjutnya dalam Pasal 73 UU HAM diatur tentang hak derogasi dimana

Pasal 17, 18, dan 19 UU HAM tidak termasuk non-derogable rights.

Berdasarkan hal tersebut di atas, pelaksanaan peradilan in absentia dalam

perkara tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan tanpa melanggar HAM apabila

negara telah menjalankan keharusan mengemukakan alasan-alasan atas

ketidakmampuan negara menghadirkan tersangka. Artinya, ketidakmampuan

negara dikemukakan dan dibuktikan di depan pengadilan sebagai suatu alasan

yang obyektif. Dalam proses dan prosedur pelaksanaan peradilan in absentia,

harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam hal ini KUHAP,

terutama berkaitan dengan tata cara melakukan pemanggilan secara layak dan

diberitahukan di media massa terhadap tersangka tetapi yang bersangkutan tidak

hadir dan tidak menggunakan haknya.180 Hal ini sangat penting karena mengingat

syarat mutlak dilaksanakannya peradilan in absentia adalah : (1) harus dipanggil

terlebih dulu secara sah, dan (2) tidak hadir tanpa alasan yang sah.

Mengenai ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan in absentia, di satu

178 Lihat Penjelasan Umum UU KPK. 179 Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 13. 180 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 71 – 72.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 84: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

73

sisi KUHAP memberikan hak kepada terdakwa untuk menghadiri sidang

pengadilan dan hak tersebut merupakan hak utama terdakwa untuk seluas-luasnya

melakukan pembelaan terhadap dirinya, melakukan perlawanan atau keberatan

atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Bahkan juga diberikan keleluasaan apabila

pada waktu persidangan sedang berjalan akan tetapi belum mencapai putusan,

terdakwa dapat hadir, maka pada sidang berikutnya pengadilan wajib mendengar

dan memeriksa terdakwa. Untuk mencapai tujuan pemeriksaan, persidangan

dilakukan dengan mengacu kepada prinsip persidangan yang sederhana, cepat dan

murah, tetapi karena pengadilan juga harus memperhatikan hak-hak terdakwa,

maka harus dicari keseimbangan antara kepentingan terdakwa dengan kecepatan

pemeriksaan yang dituntut dalam suatu perkara, terutama perkara korupsi.181

Di sisi lain, terdakwa sendiri secara sengaja memang tidak berkeinginan

menggunakan hak yang diberikan KUHAP tersebut. Dalam hal ini berarti

terdakwa telah memilih untuk tidak menggunakan haknya untuk membela diri di

muka persidangan. Ketidakhadiran terdakwa di pemeriksaan sidang pengadilan

tanpa alasan yang sah walaupun telah dilakukan pemanggilan secara sah

merupakan upaya terdakwa secara sengaja menghindarkan diri dari pemeriksaan

yang berakibat pada kebuntuan proses pemeriksaan.182 Dalam konteks ini, hak

untuk membela diri di muka persidangan dapat ditunda pemenuhannya

dikarenakan kesengajaan dari terdakwa yang melarikan diri.

4.2. Penerapan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana

Korupsi dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi merupakan hukum acara

khusus, sehingga dengan demikian ketentuan-ketentuan yang diatur dalam

KUHAP dikesampingkan terkait dengan sifat kekhususan yang ada dalam UU

TPK, termasuk pemeriksaan secara in absentia. Namun, proses peradilan in

absentia pada tindak pidana korupsi tidak terlepas dari proses peradilan tindak

pidana yang secara umum yang meliputi proses penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam pelaksanaan proses penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dilaksanakan berdasarkan

181 Loebby Loqman, Op.cit., 182 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 19.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 85: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

74

hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UU TPK.

Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dimaksud dilaksanakan berdasarkan

perintah dan bertindak untuk dan atas nama KPK.183

4.2.1. Penyidikan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

Dalam tindak pidana korupsi, suatu perkara tindak pidana korupsi dapat

ditingkatkan ke tahap penyidikan setelah melalui proses penyelidikan. Suatu

perkara dapat ditingkatkan ke tingkat penyidikan apabila memenuhi kriteria

sebagai berikut :184

(1) Ditemukannya bukti permulaan yang cukup adanya TPK;

(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan

sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada

informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik

secara biasa maupun elektronik atau optik.

Berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU TPK, penyidikan tindak pidana

korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditetapkan lain

dalam undang-undang ini. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam penyidikan

perkara tindak pidana korupsi tetap menggunakan ketentuan-ketentuan di dalam

KUHAP kecuali ditentukan lain oleh UU TPK. Dikarenakan dalam UU TPK tidak

disebutkan secara spesifik pengertian penyidikan, maka penyidikan dimaksud

dalam UU TPK mengacu pada pengertian penyidikan sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 angka 2 KUHAP yaitu :

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Dalam proses penyidikan, penyidik dengan kewenangan yang dimilikinya harus

mencari keterangan-keterangan dan mengumpulkan barang bukti yang

mempunyai nilai pembuktian untuk dijadikan alat bukti yang sah di dalam

pemeriksaan di persidangan, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu

tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

183 Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU TPK. 184 Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU KPK.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 86: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

75

melakukannya.185

Alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) terdiri

dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Khusus untuk alat bukti berupa petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188

ayat (2) KUHAP, UU TPK melengkapi dengan ketentuan bahwa untuk tindak

pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : (a) alat bukti lain yang berupa informasi

yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat

optik atau yang serupa dengan itu; dan (b) dokumen, yakni setiap rekaman data

atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat

dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas

kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik,

yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka,

atau perforasi yang memiliki makna.186

Selanjutnya dalam Pasal 46 ayat (1) UU KPK disebutkan bahwa dalam hal

seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal

penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan

tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain dinyatakan tidak

berlaku berdasarkan UU KPK. Prosedur khusus dimaksud adalah kewajiban

memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan

pemeriksaan.187 Dalam ayat (2) disebutkan bahwa : “Pemeriksaan tersangka

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-

hak tersangka.”

Berkaitan dengan kewenangan dalam penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan tindak pidana korupsi, Pasal 38 UU KPK menyatakan :

(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

185 Pasal 183 KUHAP. 186 Pasal 26 A UU TPK. 187 Penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU KPK.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 87: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

76

Dengan demikian pelaksanaan penyidikan dalam perkara korupsi tetap mengacu

pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP tentang wewenang penyidik berlaku juga

pada penyidikan tindak pidana korupsi. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 26

UU TPK disebutkan bahwa kewenangan Penyidik pada pasal ini termasuk

wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretaping).

Selain kewenangan penyidik yang diatur dalam KUHAP, UU KPK dan

UU TPK juga memberikan kewenangan meliputi :

(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik

dapat melakukan penyitaaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan

dengan tugas penyidikannya (Pasal 47 ayat (1) UU KPK);

(2) Meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau

terdakwa (Pasal 29 ayat (1) UU TPK);

(3) Meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka

atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi (Pasal 29 ayat (4) UU TPK);

(4) Membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui melalui pos,

telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan

perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (Pasal 30 UU TPK).

Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan

untuk memberikan kewenangan kepada penyidik dalam rangka mempercepat

proses penyidikan yang pada dasarnya di dalam KUHAP untuk membuka,

memeriksa atau menyita surat harus memperoleh izin terlebih dahulu dari

ketua Pengadilan Negeri.

Selanjutnya Pasal 28 UU TPK mengatur tentang kewajiban tersangka berupa

kewajiban memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta

benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang

diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana

korupsi yang dilakukan tersangka.

Dalam pelaksanaan proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi,

terdapat beberapa kondisi khusus berkaitan dengan penghentian penyidikan

perkara tindak pidana korupsi yaitu :

(1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur

tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 88: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

77

ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas

perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk

dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan

untuk mengajukan gugatan. yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada

kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung

jumlahnya berdasarkan hasil temuan isntansi yang berwenang atau akuntan

publik yang ditunjuk. Selanjutnya ditentukan bahwa putusan bebas dalam

perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut

kerugian terhadap keuangan negara. Putusan bebas dimaksud adalah putusan

pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan (2)

KUHAP.188

(2) Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan,

sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik

segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa

Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada

instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata terhadap ahli

warisnya. Ahli waris dimaksud adalah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.189

Hal dimaksud menunjukkan bahwa meskipun perkara ditutup demi kepentingan

hukum, tetapi jika diketahui secara nyata bahwa telah terjadi kerugian keuangan

negara, maka tidak menutup kemungkinan tanggungjawab pengembalian

keuangan negara tersebut kepada ahli warisnya.

Mengenai formulasi berkas perkara hasil penyidikan in absentia, tidak

berbeda dengan berkas perkara tindak pidana yang lazim selama ini dibuat oleh

Penyidik. Letak perbedaannya hanya pada Berita Acara Permintaan Keterangan

Tersangka. Jika pada berkas perkara hasil penyidikan yang biasa terdapat

keterangan tersangka yang tertuang dalam Berita Acara Permintaan Keterangan

Tersangka, tetapi dalam berkas perkara hasil penyidikan in absentia keterangan

tersangka tidak ada. Meskipun keterangan tersangka tidak ada, namun Berita

Acara Permintaan Keterangan seharusnya tetap dilampirkan dan wajib memuat

identitas tersangka secara lengkap mengacu pada ketentuan Pasal 143 ayat (2)

188 Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU TPK dan penjelasannya. 189 Pasal 33 UU TPK dan penjelasannya.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 89: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

78

huruf a KUHAP yaitu memuat nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal

lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.

Pentingnya identitas ini karena akan dituangkan di dalam dan menjadi syarat

formil dari sahnya suatu surat dakwaan yang akan diajukan ke depan

persidangan.190

Ketidakhadiran tersangka tidak memberikan keterangan, oleh penyidik

dituangkan pada Berita Acara sebagai catatan, bahwa tersangka telah dipanggil

secara patut, tetapi tidak hadir atau dengan kata lain tidak memenuhi panggilan

permintaan keterangan. Catatan dimaksud dilengkapi dengan masing-masing

nomor dan tanggal surat, alamat yang dituju, nama penerimanya dan relaas dari

surat panggilan serta ditutup dengan tanda tangan penyidik yang mendapat

perintah untuk melakukan permintaan keterangan.191

Meskipun tidak diatur dalam undang-undang, untuk membuktikan

tindakan penyidik telah optimal, sebaiknya dimintakan bantuan berbagai pihak

untuk turut serta mencari tersangka dan dibuat Daftar Pencarian Orang (DPO).

Untuk kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan, sebaiknya surat panggilan,

relaas, surat permintaan bantuan pencarian tersangka dan DPO dilampirkan dalam

berkas perkara menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.192 Untuk

lengkapnya susunan berkas hasil penyidikan in absentia mengacu kepada susunan

secara umum disesuaikan dengan kebutuhan berkas perkara menurut Pasal 8, 12,

75, 110, 121 dan 138 KUHAP.

Berkas perkara hasil penyidikan baru dapat dilimpahkan ke Pengadilan

apabila memenuhi kelengkapan formil dan materiil. Kelengkapan formil berkas

perkara hasil penyidikan antara lain seperti setiap tindakan yang dituangkan dalam

berita acara harus dibuat oleh pejabat yang berwenang (penyidik) atas kekuatan

sumpah jabatan dan ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat tindakan

tersebut, memuat identitas tersangka, saksi atau ahli secara lengkap, surat

panggilan yang dilakukan secara patut terhadap tersangka, pelaksanaan upaya

paksa (penggeledahan dan penyitaan) sesuai dengan ketentuan hukum acara

pidana dan tindakan lain yang dibenarkan undang-undang. Sedangkan

190 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 29. 191 Ibid. 192 Ibid.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 90: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

79

kelengkapan materiil antara lain dalam berita acara pemeriksaan saksi, ahli dan

tindakan lain tersebut harus memuat perbuatan melawan hukum sesuai dengan

pasal dari tindak pidana yang disangkakan, adanya kesalahan yang didukung

minimal 2 (dua) alat bukti yang memenuhi unsur pasal yang disangkakan, tempus

dan locus delictie. Kelengkapan formil dan materiil ini sangat penting mengingat

berkas perkara hasil penyidikan adalah dasar dari substansi surat dakwaan

sebagaimana ditentukan oleh Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Jika surat

dakwaan tidak memenuhi dimaksud, maka surat dakwaan dapat dinyatakan batal

demi hukum.193

4.2.2. Penuntutan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik menyerahkan berkas

perkara kepada Penuntut Umum KPK. Penuntut Umum mempunyai waktu paling

lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas

perkara dari penyidik, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada

Pengadilan Negeri.194 Tuntutan dalam perkara in absentia tidak berbeda dengan

tuntutan dalam perkara biasa. Dalam tuntutan pidana perkara in absentia seperti

lazimnya dalam perkara biasa memuat identitas terdakwa, dakwaan, uraian fakta

hukum alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan serta analisa pembuktian

unsur-unsur pasal yang dirumuskan di dalam dakwaan mengacu kepada alat bukti

yang diperoleh di depan persidangan. Selain itu, dalam tuntutan harus memuat

alasan memberatkan dan meringankan yang menjadi dasar permintaan Jaksa

Penuntut Umum yang dituangkan dalam diktum tuntutan pidana.195

Dalam proses penuntutan berkaitan dengan pembuktian terdapat beberapa

ketentuan yang bersifat khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 37 dan 37 A UU

TPK yaitu :

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan

tindak pidana korupsi,

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak

pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan

193 Ibid., hal. 31 – 32. 194 Pasal 52 ayat (1) UU KPK. 195 Op.cit., hal. 32.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 91: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

80

sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti,

(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan

harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi

yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan,

(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak

seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya, maka

keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk

memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan

tindak pidana korupsi,

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan

tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal

3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU TPK dan Pasal 5

sampai dengan 12 UU ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk

membuktikan dakwaannya.

Ketentuan pasal tersebut di atas merupakan penyimpangan dari ketentuan

KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya

tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini, apabila terdakwa dapat

membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, penuntut umum

tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya atau membuktikan bahwa

terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian ini disebut

dengan sistem semi terbalik.196 Penerapan sistem pembuktian terbalik dalam

tindak pidana korupsi menunjukkan bahwa terdakwa mendapatkan perlindungan

hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar dan berkaitan

dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan tidak

mempersalahkan dirinya sendiri (non-self incrimination).

4.2.3. Pemeriksaan dan Persidangan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

Pada dasarnya pemeriksaan terhadap terdakwa dalam sidang pengadilan

mengharuskan kehadiran terdakwa, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 154

ayat (4) KUHAP dan Pasal 18 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan

Pasal 18 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa pengadilan

196 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil …., Op.cit., hal. 409.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 92: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

81

memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa kecuali

apabila undang-undang menentukan lain. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui

bahwa kehadiran terdakwa di sidang pengadilan merupakan suatu keharusan atau

kewajiban. Namun, undang-undang juga menentukan adanya pengecualian jika

undang-undang yang berlaku khusus menentukan lain.

Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat

(1) UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, yakni menyangkut ketentuan adanya

pengecualian dalam undang-undang khusus yang menentukan lain. Ketentuan ini

menunjuk pula pada penjelasan Pasal 154 ayat (4) KUHAP yang menyebutkan

bahwa kehadiran terdakwa di sidang merupakan kewajiban terdakwa, bukan

merupakan hak, jadi terdakwa harus hadir di sidang pengadilan. Dengan

demikian, tanpa kehadiran terdakwa, pemeriksaan di sidang pengadilan dalam

perkara tindak pidana tidak dapat dilangsungkan. Terkecuali apabila undang-

undang menentukan lain, maksud lain dari undang-undang yang bersifat khusus

ini adalah adanya pengecualian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa

kehadiran terdakwa pemeriksaan terus berlanjut sampai dengan penjatuhan

hukuman tanpa hadirnya terdakwa.

Terdapat beberapa kondisi ketidakhadiran terdakwa di sidang pengadilan

dalam perkara tindak pidana korupsi yaitu :

(1) Ketidakhadiran terdakwa tersebut berlangsung secara terus-menerus sejak

sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim197

sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya

dalam perkara tindak pidana korupsi, atau

(2) Ketidakhadiran terdakwa tersebut hanya berlangsung pada satu atau beberapa

kali di antara sidang-sidang pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan

dinyatakan terbuka untuk umum oleh hakim198 sampai dengan sidang

pengadilan ketika hakim menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak

pidana korupsi.

Agar sidang pengadilan dapat dilangsungkan tanpa kehadiran terdakwa,

oleh Pasal 38 ayat (1) ditentukan harus dipenuhi beberapa syarat yaitu : (1)

terdakwa telah dipanggil secara sah; dan (2) terdakwa tidak hadir di sidang

197 Lihat : Pasal 153 ayat (3) KUHAP. 198 Lihat : Pasal 154 ayat (3) dan (4) KUHAP.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 93: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

82

pengadilan tanpa alasan yang sah. Pemeriksaan dan diputusnya perkara tindak

pidana korupsi baru boleh dilakukan apabila terdakwa telah dipanggil secara sah

dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah. Jadi, syarat mutlak

dilaksanakannya pemeriksaan dan persidangan in absentia adalah : (1) harus

dipanggil terlebih dulu secara sah, dan (2) tidak hadir tanpa alasan yang sah.

Sedangkan apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang sah", baik di dalam

KUHAP maupun di dalam UU TPK tidak ada ketentuan yang dapat memberikan

petunjuk, sehingga apa yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang sah" dalam

Pasal 38 ayat (1) sepenuhnya tergantung dari pertimbangan hakim untuk

menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan oleh terdakwa.199

Dalam UU TPK syarat-syarat pemanggilan dimaksud tidak diatur secara

khusus sehingga dalam pelaksanaannya mengacu pada ketentuan sebagaimana

diatur dalam Pasal 145 dan 146 KUHAP yaitu :

(1) Panggilan berbentuk surat panggilan

Pasal 145 ayat (1) mengatur bahwa panggilan terhadap terdakwa atau saksi

harus berbentuk surat panggilan. Pasal 146 ayat (1) selanjutnya menentukan hal-

hal yang harus dipenuhi surat panggilan yaitu harus memuat : (a) tanggal, hari

serta jam sidang, (b) tempat persidangan, (c) alasan pemanggilan (dalam perkara

atau tindak pidana yang didakwakan).

(2) Panggilan harus disampaikan

Bagi terdakwa yang berada di luar tahanan :

(a) Surat panggilan disampaikan secara langsung kepada terdakwa di alamat

tempat tinggalnya.

(b) Surat panggilan disampaikan di tempat kediaman terakhir, apabila tempat

tinggal terdakwa tidak diketahui

(c) Surat panggilan disampaikan melalui Kepala Desa yang berdaerah hukum

di tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir terdakwa jika terdakwa

tidak berada atau dijumpai di tempat tinggalnya atau tempat kediaman

terakhir. Jadi jika terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau secara

kebetulan sedang tidak ada, maka surat panggilan dapat disampaikan

melalui Kepala Desa tanpa mengabaikan ketentuan Pasal 227 ayat (2)

199 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal. 654.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 94: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

83

KUHAP yang menegaskan bahwa petugas yang menyampaikan panggilan

bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil.

(d) Surat panggilan ditempelkan pada papan pengumuman di pengadilan yang

mengadili perkara tersebut apabila tempat tinggal maupun tempat

kediaman terakhir terdakwa tidak diketahui atau tidak dikenal. Mengacu

pada Pasal 145 ayat (5) ini, surat panggilan agar dapat berdaya guna

sebenarnya dapat dilakukan melalui media cetak atau elektronik.

(3) Surat tanda penerimaan

Pasal 145 ayat (4) mengatur bahwa setiap orang yang menerima surat

panggilan, baik terdakwa atau saksi harus menandatangani surat tanda penerimaan

(relaas). Relaas merupakan bukti telah disampaikannya surat panggilan. Ini

merupakan hal yang sangat penting bagi kepastian hukum. Hal ini dikarenakan

pada masa lalu sering terjadi hakim mengeluarkan perintah penangkapan atas

alasan keingkaran terdakwa menghadiri persidangan sekalipun panggilan sudah

disampaikan kepadanya secara sah, dalam persidangan terdakwa membantah dan

menganggap penangkapan tidak sah karena panggilan tidak pernah disampaikan

penuntut umum kepadanya.

Untuk menghindari saling salah menyalahkan, maka Pasal 145 ayat (4)

sebagai alat pembuktian tentang sampai tidaknya suatu panggilan. Ketentuan ini

memperluas orang-orang yang dapat menerima surat panggilan, yaitu bukan

hanya terdakwa atau Kepala Desa saja, tetapi dapat diterima juga oleh orang lain

atau melalui orang lain. Orang lain tersebut harus menerima surat panggilan

dengan tanda penerimaan. Orang lain dimaksud, menurut penjelasan Pasal 145

ayat (4) ialah keluarga atau penasihat hukum. Surat panggilan yang disampaikan

penuntut umum melalui keluarga atau penasihat hukum di alamat tempat tinggal

atau tempat kediaman terakhir terdakwa, dianggap telah dilakukan dengan

sempurna dan panggilan telah dianggap sah.

Keluarga atau penasihat hukum yang menerima surat panggilan harus

membuat surat tanda penerimaan. Hal ini diharapkan dapat mempercepat proses

pemeriksaan. Penyampaian surat panggilan kepada keluarga atau penasihat hukum

dianggap rasional dan wajar sebab keluarga atau penasihat hukum terdakwa

adalah orang yang secara moral dan hukum ikut bertanggungjawab menghadirkan

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 95: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

84

terdakwa di depan sidang pengadilan.200 Terdapat kemungkinan orang yang

dipanggil atau yang menerima surat panggilan tidak mau menandatangani relaas.

Dalam hal seperti ini, petugas mencatat alasannya (Pasal 227 ayat (2) KUHAP).

(5) Tenggang waktu penyampaian surat panggilan

Surat panggilan sudah diterima selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum

hari persidangan dimulai. Penuntut umum harus memperhatikan ketentuan ini.

Surat panggilan yang disampaikan kurang dari tenggang waktu ini dianggap tidak

sah dan tidak ada kewajiban hukum bagi terdakwa untuk mematuhi panggilan

tersebut. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 227 ayat (1) KUHAP yang mengatur

tentang tenggang waktu penyampaian surat panggilan memuat kata “harus” yang

secara lengkap berbunyi :

“Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir.”

Selain itu, tujuan tenggang waktu 3 (tiga) hari dimaksudkan untuk memberi

kesempatan waktu yang memadai bagi terdakwa untuk mempersiapkan

pembelaan diri atau untuk mencari penasihat hukum yang diperlukan.201

Ketentuan tenggang waktu pemanggilan dan pemberitahuan berlaku untuk semua

tingkat pemeriksaan baik kepada terdakwa, saksi atau ahli.

Ketentuan terkait tenggang waktu sifatnya tidak mutlak karena seandainya

surat panggilan sidang disampaikan penuntut umum kepada terdakwa kurang dari

3 (tiga) hari sebelum sidang dimulai, namun demikian terdakwa bersedia dengan

rela perkaranya disidangkan, kerelaan seperti ini tidak menghalangi sahnya

pemeriksaan dilakukan. Asal benar-benar ditanya kerelaan dan kesediaan

terdakwa untuk diperiksa dalam sidang pengadilan. Jika terdakwa keberatan, tidak

ada alternatif lain selain memundurkan sidang pada hari dan tanggal yang

ditentukan kemudian. Apalagi jika diperhatikan angka 18 Lampiran Keputusan

Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03/1983 batas waktu 3 (tiga) hari

tersebut ditolerir. Sekalipun tenggang waktu pemanggilan ditolerir dalam

keputusan dimaksud, terkait dengan Pasal 112 ayat (1) yaitu pemanggilan dalam

200 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 26. 201 Ibid., hal. 27.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 96: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

85

taraf penyidikan tetapi keputusan tersebut meliputi juga pemanggilan dalam

pemeriksaan pemanggilan. Keputusan Menteri Kehakiman tersebut dalam

pelaksanaannya terkait dengan “pengertian tenggang waktu yang wajar”,

disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat, dan tidak dapat dianalogikan

dengan penjelasan Pasal 152 ayat (2) dimana ditentukan waktu 3 (tiga) hari.202

Apabila tempat tinggalnya tidak dikenal, untuk perkara dalam proses

penuntutan ditempelkan di papan pengumuman pengadilan yang berwenang

mengadilinya. Sedangkan dalam proses penyidikan untuk memudahkan

pemanggilan dapat dilakukan melalui media cetak nasional dan lokal.203 Demikian

pemanggilan secara sah, apabila setelah diumumkan tidak juga hadir maka sidang

in absentia dapat dilakukan.204

Dalam penyidikan dan persidangan in absentia, prosedur pemanggilan

tersangka dan terdakwa memegang peranan penting sebab jika prosedur

pemanggilan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak sah

menurut perintah ketentuan undang-undang, maka surat dakwaan akan dinyatakan

tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penyidikan yang sah

jika itu merupakan putusan judex factie karena pemanggilan terdakwa tidak

dilaksanakan sebagaimana mestinya dan putusan judex factie dapat dibatalkan

oleh judex juris mengacu kepada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2026

K/Pid/1986 tanggal 29 Agustus 1987 dalam perkara in absentia atas nama

terdakwa Frans Limanax yang didakwa melanggar Pasal 16 ayat (7) jo ayat (8)

Undang-Undang Nomor 7/Drt/Tahun 1955 jo Undang-Undang Nomor

15/Perpu/1962 jo Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1969 tentang Penetapan

Berbagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang menjadi Undang-

Undang.205

Permasalahan yang muncul kemudian adalah terkait ketidakhadiran

terdakwa sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum

oleh hakim (Pasal 153 ayat (3) KUHAP) secara terus-menerus dengan alasan yang

sah. Apakah sidang pengadilan dapat berlangsung terus tanpa kehadiran

202 Ibid. 203 Ibid., hal. 28. 204 Adami Chazawi, Op.cit., hal. 392. 205 Ibid.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 97: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

86

terdakwa? Ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU TPK tidak dapat diterapkan, karena

tidak dipenuhinya salah satu syarat, yaitu tidak hadirnya terdakwa tersebut di

sidang pengadilan harus tanpa alasan yang sah. Cara yang dapat ditempuh adalah

dengan mengikuti Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 2 Februari 2001 Nomor

1846 K/Pid/2000 tersebut di atas yaitu karena terdakwa terus-menerus tidak dapat

hadir di sidang pengadilan dengan alasan yang sah, maka tuntutan Penuntut

Umum dinyatakan tidak dapat diterima.

Sebelum putusan Mahkamah Agung RI tersebut, telah ada Putusan

Mahkamah Agung RI tanggal 23 Desember 1980 Nomor 121 K/Kr/1980 dan atas

dasar putusan Mahkamah Agung RI ini, Mahkamah Agung RI lalu memberikan

petunjuk seperti tertuang di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 22

Januari 1981 Nomor 1 Tahun 1981,206 yaitu dalam hal perkara yang diajukan oleh

Penuntut Umum, terdakwanya sejak semula tidak hadir dan sejak semula tidak

ada jaminan bahwa terdakwa dapat dihadapkan di persidangan, perkara demikian

dinyatakan tidak dapat diterima.

Sebagaimana telah ditentukan, yang dimaksud tanpa kehadiran terdakwa

di sidang pengadilan seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (1) UU TPK

adalah termasuk tanpa kehadiran terdakwa pada satu atau beberapa kali di antara

sidang-sidang pengadilan sejak sidang pengadilan dibuka dan dinyatakan terbuka

untuk umum oleh hakim sampai dengan sidang pengadilan ketika hakim

menjatuhkan putusannya dalam perkara tindak pidana korupsi. Berdasarkan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) UU TPK, dapat

diketahui bahwa jika terdakwa yang semula tidak (pernah) hadir di sidang

pengadilan dan kemudian hadir di sidang pengadilan, maka pada waktu terdakwa

hadir di sidang pengadilan, wajib dilakukan pemeriksaan oleh hakim. Jadi,

meskipun diperkenankan adanya sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa

dalam perkara tindak pidana korupsi, tetapi jika sampai terdakwa hadir di sidang

pengadilan, terdakwa wajib diperiksa oleh hakim.

Dalam sidang pengadilan tersebut, yaitu pada waktu terdakwa hadir Pasal

38 ayat (2) UU TPK ditentukan lebih lanjut sebagai berikut :

(1) Saksi yang telah memberikan keterangan di sidang pengadilan pada waktu

206 Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1979 – 1985, hal. 84.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 98: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

87

terdakwa tidak hadir dianggap telah memberikan keterangannya di sidang

pengadilan pada waktu terdakwa hadir. Jadi, saksi tidak perlu dipanggil lagi

untuk diminta keterangannya dan hakim dapat menolak jika ada permintaan

dari terdakwa agar saksi tersebut dipanggil lagi.

(2) Surat-surat yang dibacakan di sidang pengadilan pada waktu terdakwa tidak

hadir, dianggap telah dibacakan di sidang pengadilan pada waktu terdakwa

hadir.

Jadi, surat-surat tidak perlu dibaca lagi dan hakim dapat menolak jika ada

permintaan dari terdakwa agar surat-surat tersebut dibaca lagi.

Ketentuan tentang saksi dan surat-surat sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 38 ayat (2) UU TPK sifatnya tidak imperatif, maka hakim dapat saja

memenuhi apa yang diminta oleh terdakwa seperti di atas, hanya jika sampai

hakim memenuhi permintaan terdakwa tersebut, asas peradilan yang dilakukan

dengan cepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan

Kehakiman berkurang fungsinya.

Yang dimaksud dengan "tanpa kehadiran terdakwa" dalam Pasal 38 ayat

(3) UU TPK adalah tanpa kehadiran terdakwa di sidang pengadilan tanpa alasan

sah ketika hakim menjatuhkan putusannya, meskipun terdakwa tersebut telah

dipanggil secara sah. Tidak menjadi masalah apakah tidak hadirnya terdakwa

tersebut berlangsung secara terus-menerus atau hanya pada satu atau beberapa kali

sidang pengadilan, tetapi yang menjadi tolok ukur adalah ketika hakim

menjatuhkan putusan terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang sah, meskipun

terdakwa tersebut telah dipanggil secara sah.

Setelah hakim menjatuhkan putusannya, tindak lanjut dari Penuntut Umum

adalah seperti yang ditentukan juga dalam Pasal 38 ayat (3) UU TPK, yaitu

dengan alternatif sebagai berikut:

(1) Mengumumkan putusan hakim tersebut pada : papan pengumuman

pengadilan, yaitu adalah papan pengumuman pengadilan negeri, papan

pengumuman pada kantor pemerintah daerah, atau

(2) Putusan hakim tersebut diberitahukan kepada kuasa dari terdakwa.

Putusan hakim yang diumumkan atau yang diberitahukan kepada kuasa dari

terdakwa tersebut, oleh penjelasan Pasal 38 ayat (3) UU TPK cukup berupa

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 99: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

88

petikan surat putusan pengadilan, yaitu seperti yang dimaksud oleh ketentuan

yang terdapat dalam Pasal 226 ayat (1) KUHAP.

Jika pemeriksaan sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi,

terdakwanya lebih dari seorang dan ketika hakim menjatuhkan putusan ada

terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah, meskipun terdakwa tersebut

telah dipanggil secara sah, maka tindak lanjut dari Penuntut Umum adalah juga

seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (3) UU TPK. Dalam hal terdakwa

hadir di sidang pengadilan setelah hakim menjatuhkan putusan berupa pidana,

menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (3) huruf d

KUHAP dapat mengajukan permohonan banding terhadap putusan hakim

tersebut.

Upaya hukum yang berupa banding ini, menurut ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 38 ayat (4) UU TPK juga dapat diajukan oleh terdakwa yang tidak

hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, meskipun terdakwa tersebut

telah dipanggil secara sah.207 Dengan demikian, dalam perkara tindak pidana

korupsi, apakah terdakwa hadir atau tidak hadir di sidang pengadilan dan

ketidakhadirannya tanpa alasan yang sah, terdakwa dapat mengajukan upaya

hukum, yaitu permohonan banding terhadap putusan hakim tersebut.

Ketentuan tersebut secara langsung akan mendorong terdakwa perkara

tindak pidana korupsi untuk tidak hadir di sidang pengadilan dengan berbagai

macam alasan, karena dengan melalui kuasanya terdakwa masih dapat

mengajukan permohonan banding. Dalam rangka mengantisipasi hal tersebut,

mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA RI) tanggal 10

Desember 1988 Nomor 6 Tahun 1988 tentang Penasihat Hukum atau Pengacara

yang Menerima Kuasa dari Terdakwa atau Terpidana In Absentia, memerintahkan

agar Ketua Pengadilan Tinggi dan Negeri menolak atau tidak melayani Penasihat

Hukum atau Pengacara yang mendapat kuasa dari terdakwa yang tidak hadir,

sehingga hal terdakwa untuk mengajukan upaya hukum menjadi tertutup.

SEMA RI tersebut sejalan dengan ketentuan pasal 38 ayat (6) UU TPK

karena tujuan persidangan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi adalah

dalam rangka menyelamatkan keuangan negara atau mengembalikan kerugian

207 Perhatikan perumusan Pasal 38 ayat (4) yang menentukan: " ... atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)".

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 100: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

89

negara, maka penetapan pengadilan merampas barang-barang yang disita diajukan

dalam persidangan oleh penuntut umum dinyatakan tidak dapat dimintakan

banding.208 Sebagai penetapan pengadilan, maka sudah tepat jika Pasal 38 ayat (6)

menentukan bahwa penetapan perampasan barang-barang sebagaimana yang

dimaksud Pasal 38 ayat (5) tidak dapat dimohonkan banding, karena yang dapat

dimohonkan banding menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 KUHAP

hanya putusan pengadilan.

Selanjutnya Penjelasan Pasal 38 ayat (7) UU TPK menyebutkan bahwa

ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga yang

beritikad baik. Berdasarkan ketentuan ini, dapat diketahui bahwa sebenarnya yang

dimaksud dengan kalimat "orang yang berkepentingan" dalam Pasal 38 ayat (7)

UU TPK adalah pihak ketiga yang beritikad baik. Dengan demikian, jika

ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (7) UU TPK dibandingkan dengan

ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19 ayat (2) UU TPK, akan ditemui

persamaan dan perbedaan antara lain sebagai berikut :

(1) Persamaan Pasal 38 ayat (7) UU TPK dan Pasal 19 ayat (2) UU TPK adalah :

(a) Memberikan hak kepada pihak ketiga untuk mengajukan keberatan

terhadap putusan atau penetapan pengadilan tentang perampasan barang-

barang, karena ternyata terdapat barang-barang kepunyaan yang didapat

dengan itikad baik;

(b) Keberatan diajukan oleh pihak ketiga ke pengadilan yang telah

menjatuhkan putusan atau penetapan perampasan barang-barang karena

ternyata terdapat barang-barang kepunyaannya yang didapat dengan itikad

baik.

(2) Perbedaan Pasal 38 ayat (7) UU TPK dan Pasal 19 ayat (2) UU TPK adalah :

(a) Tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (7) UU TPK untuk

mengajukan keberatan adalah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung

sejak tanggal pengumuman penetapan yang dikeluarkan pengadilan tanpa

kehadiran terdakwa, sedang tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal

19 ayat (2) UU TPK untuk mengajukan keberatan adalah dalam waktu 2

(dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk

208 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 15 – 17.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 101: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

90

umum;

(b) Produk yang dikeluarkan oleh pengadilan atas dasar ketentuan yang

terdapat dalam Pasal 38 ayat (7) UU TPK adalah berbentuk penetapan,

sedangkan apa yang dijatuhkan oleh pengadilan berdasarkan Pasal 19 ayat

(2) UU TPK adalah berbentuk putusan;

(c) Pada waktu pengadilan mengeluarkan penetapan tentang perampasan

barang-barang seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (2) UU TPK

terdakwa telah meninggal dunia sebelum penetapan pengadilan

dikeluarkan, sedangkan pada waktu pengadilan menjatuhkan putusan

pidana tambahan berupa perampasan barang-barang seperti yang

ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) UU TPK, terdakwa belum meninggal

dunia.

Jika ketentuan Pasal 38 ayat (7) UU TPK dikaitkan dengan Pasal 38 ayat

(3) dan (5) UU TPK dapat diketahui hal-hal sebagai berikut :

(1) Jika keberatan diajukan masih dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari

terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan pengadilan oleh Penuntut

Umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah atau

sejak diberitahukan kepada kuasa terdakwa, maka pemeriksaan terhadap

keberatan dilakukan oleh pengadilan yang telah mengeluarkan penetapan

tersebut.

(2) Jika keberatan ternyata tidak benar, pengadilan mengeluarkan penetapan yang

isinya menolak keberatan tersebut. Terhadap penetapan pengadilan ini oleh

Pasal 38 tidak ditentukan adanya suatu upaya hukum yang dapat dipergunakan

oleh pihak ketiga yang telah mengajukan keberatan.

(3) Jika keberatan ternyata diterima, pengadilan mengeluarkan penetapan yang

isinya membenarkan keberatan tersebut. Penetapan ini selanjutnya oleh jaksa

dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk tidak melaksanakan penetapan

pengadilan tentang perampasan barang-barang yang terbatas hanya yang

disebutkan dalam penetapan pengadilan yang membenarkan keberatan

tersebut.

(4) Jika keberatan diajukan sudah lewat tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari

terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan oleh penuntut umum pada

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 102: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

91

papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah atau sejak

diberitahukan kepada kuasa terdakwa, keberatan diajukan dengan cara

gugatan perdata ke pengadilan negeri sesuai dengan kompetensi relatifnya209

Dalam penjelasan Pasal 38 ayat (7) UU TPK disebutkan bahwa tenggang

waktu 30 (tigapuluh) hari tersebut dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan

putusan pengadilan tentang perampasan barang-barang yang memang berasal dari

tindak pidana korupsi. Berdasarkan hal tersebut, maka sebelum lewat tenggang

waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan tentang

perampasan barang-barang, jaksa sebaiknya jangan melaksanakan penetapan

pengadilan tersebut, karena masih dimungkinkan pihak ketiga mengajukan

keberatan dan keberatan masih dimungkinkan diterima oleh pengadilan, tetapi jika

tenggang waktu sudah lewat, jaksa tidak perlu khawatir untuk melaksanakan

penetapan pengadilan yang dimaksud.

Di dalam penjelasan Pasal 38 ayat (7) UU TPK tidak disebutkan seperti

halnya pada penjelasan Pasal 19 ayat (3) UU TPK bahwa apabila keberatan pihak

ketiga diterima oleh hakim setelah pelaksanaan penetapan pengadilan, negara

berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang

atas barang-barang yang dirampas. Penjelasan Pasal 19 ayat (3) UU TPK dapat

diterapkan pada pelaksanaan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 38 ayat (7)

UU TPK, karena dengan diterimanya keberatan, pihak ketiga yang beritikad baik

harus mendapat perlindungan hukum seperti yang disebutkan dalam penjelasan

Pasal 19 ayat (3) UU TPK, yaitu negara mengganti kerugian kepada pihak ketiga

sebesar nilai hasil lelang atas barang-barang yang dirampas.

4.2.4. Upaya Pengembalian Aset dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

Salah satu instrumen dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi adalah dengan menggunakan instrumen pidana yang dilakukan melalui

proses penyitaan dan perampasan. Untuk aset-aset hasil tindak pidana korupsi

yang berada di wilayah Indonesia, penyitaan dilakukan berdasarkan Pasal 47 UU

KPK. Sedangkan perampasan adalah berupa putusan tambahan pada pidana pokok

yaitu selain berupa pidana tambahan dalam KUHP juga termasuk pidana

209 Pasal 118 HIR - Pasal 142 Rbg.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 103: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

92

tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU TPK.

Berkaitan dengan pidana tambahan, Pasal 17 UU TPK mengatur bahwa :

“Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal

5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 18.” Kata “dapat” dalam pasal ini menciptakan situasi yang

tidak pasti karena apakah terdakwa dituntut dan dijatuhi hukuman tambahan

sangat tergantung dari itikad baik jaksa penuntut dan hakim yang memutus

perkara korupsi.

Peluang untuk tidak membayar uang pengganti secara penuh juga muncul

dalam Pasal 18 ayat (3) yang menyebutkan :

“Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam UU ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.”

Adanya substitusi dari keharusan membayar uang pengganti dengan kurungan

badan yang lamanya tidak melebihi ancaman hukuman maksimum pidana

pokoknya, menciptakan peluang bagi pelaku tindak korupsi untuk memilih

memperpanjang masa hukuman badan dibandingkan harus membayar uang

pengganti.

Pasal 18 ayat (1) huruf a UU TPK menyatakan bahwa perampasan harta

atau kekayaan hanya ditujukan kepada terpidana. Padahal modus

menyembunyikan harta kekayaan hasil korupsi biasanya dengan menggunakan

keluarga, sanak saudara atau orang kepercayaan. Ketentuan ini dapat

mengakibatkan strategi untuk menyembunyikan harta dan kekayaan hasil tindak

pidana korupsi menjadi lebih mudah. Pembatasan besaran uang pengganti

sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor, juga berpotensi

menyulitkan usaha memaksimalkan pengembalian hasil tindak pidana korupsi.

Pembatasan dimaksud adalah bahwa besaran uang pengganti yang bisa dijatuhkan

sama dengan uang yang diperoleh dari kejahatan korupsi atau sebesar yang bisa

dibuktikan di pengadilan. Pemahaman ini sangat konvensional, mengingat tindak

pidana korupsi adalah tergolong kejahatan luar biasa yang tidak dapat disamakan

dengan kejahatan lain yang dikategorikan biasa. Argumentasinya, dampak korupsi

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 104: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

93

bukan hanya merugikan keuangan negara, akan tetapi membawa penderitaan

sosial, merusak lingkungan hidup, membengkaknya angka kemiskinan yang tidak

dapat sekedar dibayar dengan uang pengganti yang nilainya sama dengan uang

yang dikorupsi.

Tata cara menyembunyikan harta hasil tindak pidana korupsi semakin

berkembang dengan berbagai modusnya. Lazimnya, pelaku tindak pidana korupsi

akan melakukan investasi besar-besaran dari hasil tindak pidana korupsinya dalam

berbagai jenis dan kegiatan usaha. Modus yang sering ditemukan adalah

pembelian properti berupa rumah, apartemen, hotel, tanah dan lain-lain. Selain itu

juga investasi dalam bentuk emas, saham dan asuransi jiwa. Untuk menghapus

jejaknya, pelaku tindak pidana korupsi seringkali mengatasnamakan harta

kekayaannya kepada orang lain.

Kesulitan untuk mendeteksi hasil tindak pidana korupsi semakin

bertambah apabila kegiatan memindahkan harta kekayaan sudah melampaui batas

negara. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan pelaku ke

luar negeri ini dapat dilakukan dengan mengacu pada ketentuan KAK adalah

terdiri dari 4 (empat) tahap yang terdiri dari : (1) pelacakan aset untuk melacak

aset, (2) tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan aset-aset

melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan, (3) penyitaan, dan hanya setelah

melalui dan memenuhi tahapan-tahapan tersebut baru dapat dilaksanakan tahap

(4) penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat aset

diperoleh secara tidak sah. Salah satu sorotan dalam pembentukan KAK adalah

upaya pengembalian aset yang langsung maupun tidak langsung dibeli/diperoleh

secara tidak sah. Seringkali aset-aset tersebut sedemikian besar jumlahnya

sehingga dalam pengembaliannya memerlukan prosedur yang tidak mudah.210

Keberhasilan pelacakan tindak pidana pencucian uang, tindak pidana

korupsi di sektor publik, dan tindak pidana ekonomi pada umumnya, sangat

bergantung kepada kemampuan investigator dalam mencari jejak kepemilikan

uang dan aset-aset yang diperoleh secara tidak sah atau mencari pelaku-

pelakunya.211 Pelacakan seringkali memperlihatkan adanya itikad jahat,

210 Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 210 211 William R Schoeder, A Review Article, How To Do Financial Asset Investigations : A

Practical Guide for Private Investigators, Collections Personnel, and Asset Recovery Specialists,

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 105: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

94

mengidentifikasi pelaku serta dapat membuka jalan sampai pada perampasan dan

penyerahan hasil yang diperoleh secara tidak sah.

Untuk kepentingan investigasi dan pelacakan aset-aset yang diperoleh

secara tidak sah, KAK mengharuskan negara pihak melakukan tindakan-tindakan

yang diperlukan agar dapat mengidentifikasi dan melacak aset-aset tersebut dalam

sistem hukum nasional masing-masing negara dengan tujuan untuk penyitaan.212

Jika badan yang berwenang negara korban asal tempat aset diperoleh secara tidak

sah hendak mengidentifikasi dan melacak aset-aset yang diperoleh secara tidak

sah yang berada dalam yurisdiksi hukum negara penerima, badan yang berwenang

negara korban harus harus mengajukan permintaan kepada badan yang berwenang

negara korban. Atas permintaan tersebut, badan yang berwenang negara penerima

harus melakukan tindakan-tindakan mengidentifikasikan dan melacak aset-aset

tersebut.213

Pada tahap pembekuan atau perampasan aset, jika aset-aset yang

dibekukan atau dirampas berada dalam yurisdiksi hukum negara korban,

berdasarkan perintah tersebut pembekuan atau perampasan dapat langsung

dilaksanakan. Jika aset-aset tersebut berada di luar yurisdiksi hukum negara

korban, tetapi berada dalam yurisdiksi hukum negara lain (negara penerima),

pelaksanaan perintah pembekuan dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui

otoritas yang berkompeten dari negara penerima. Terdapat 2 (dua) kemungkinan

cara melaksanakan perintah pembekuan atau perampasan dari negara korban

dalam yurisdiksi hukum negara penerima yaitu :

(1) Jika hukum nasional negara penerima mengizinkan badan yang berwenang

negara tersebut melaksanakan perintah pembekuan dan perampasan yang

dikeluarkan oleh badan berwenang negara lain tempat asal aset diperoleh

secara tidak sah, perintah dari badan yang berwenang negara korban dapat

langsung dilaksanakan.

(2) Jika hukum nasional negara penerima tidak mengizinkan badan-badannya

melaksanakan perintah pembekuan dan perampasan dari badan yang

The FBI Law Enforcement Bulletin, July, 2001, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M. Yanuar, hal. 209.

212 Pasal 31 ayat (2) KAK. 213 Pasal 55 ayat (2) KAK.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 106: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

95

berwenang negara lain, otoritas negara korban harus mengajukan permintaan

kepada badan yang berwenang negara penerima untuk mengeluarkan perintah

pembekuan atau perampasan aset-aset yang secara tidak sah ditempatkan di

negara penerima tersebut.214

Idealnya negara penerima harus melakukan tindakan yang diperlukan

untuk mengizinkan badan yang berwenang negara penerima membekukan atau

merampas aset-aset berdasarkan perintah pembekuan atau perampasan yang

dikeluarkan pengadilan atau badan yang berwenang dari negara korban.

Perintah pembekuan atau penyitaan dari badan yang berwenang negara

korban setidak-tidaknya harus memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu (1) perintah

tersebut harus mengandung dasar yang beralasan, sehingga badan yang

berwenang negara penerima yakin bahwa terdapat alasan-alasan yang cukup

untuk melakukan tindakan tersebut; dan (2) aset-aset yang dimintakan pembekuan

atau perampasannya merupakan obyek perintah yang dikeluarkan oleh otoritas

yang berwenang.215

Negara penerima dapat melakukan pembekuan dan perampasan aset

berdasarkan keyakinan yang beralasan, tanpa terlebih dahulu mendapatkan

perintah dari negara korban.216 Ketentuan ini sering diterapkan di Switzerland

dimana jaksa sebagai penuntut umum melakukan tindakan pembekuan aset-aset

dengan dasar keyakinan yang beralasan, tanpa adanya perintah pengadilan dari

negara korban. Sedangkan di Inggris berlaku sebaliknya, Home Office tidak akan

melakukan tindakan sebelum adanya tuntutan pidana di negara korban dan telah

memenuhi syarat bahwa tuntutan tersebut dilakukan secara tepat di negara

korban.217

Salah satu syarat penting untuk melakukan tindakan pembekuan atau

perampasan oleh badan yang berwenang di negara penerima adalah bahwa aset-

aset tersebut merupakan obyek dari perintah penyitaan. Dengan kata lain,

pembekuan atau perampasan aset-aset tersebut merupakan pengamanan sebelum

214 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 211 – 212. 215 Tim Daniel, Repatriation of Looted State Assets : Selected Case Studies and The UN

Convention Against Corruption, (Tranparency International, Bab 5, 6 Januari 2004), hal. 104 – 105, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M. Yanuar, hal. 212.

216 Ibid., hal. 213. 217 Ibid.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 107: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

96

dilakukan penyitaan untuk selanjutnya dapat dilakukan penyerahan aset dari

negara penerima kepada negara korban.218

Selanjutnya pada tahap penyitaan aset-aset, perintah penyitaan biasanya

dikeluarkan oleh pengadilan atau badan yang berwenang dari negara penerima

setelah ada putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana pada pelaku tindak

pidana di negara korban. Penyitaan dapat dilakukan tanpa adanya putusan

pengadilan dalm hal pelaku tindak pidana telah meninggal atau menghilang atau

tidak ada kemungkinan bagi jaksa selaku penuntut umum melakukan

penuntutan.219

Dengan perintah penyitaan, pengadilan atau badan yang berwenang dari

negara korban meminta negara penerima untuk melaksanakan perintah penyitaan

tersebut. Ketika hukum nasional negara penerima mengizinkan badan yang

berwenang untuk melaksanakan perintah penyitaan tersebut, perintah penyitaan

dapat dilaksanakan. Namun, jika hukum nasional negara penerima tidak

mengizinkan otoritasnya melaksanakan perintah penyitaan dari negara lain

(negara korban), badan yang berwenang dari negara korban harus mengajukan

permintaan kepada otoritas negara penerima untuk menerbitkan perintah

penyitaan atas aset-aset tersebut.220

Terkadang badan yang berwenang dari negara korban menghadapi

yurisdiksi negara penerima yang tidak kooperatif. Jika hal itu terjadi, terdapat 2

(dua) alternatif sikap yang dapat diambil badan yang berwenang dari negara

korban, yaitu menyerah atau melakukan tindakan-tindakan sepihak. Tindakan-

tindakan sepihak biasanya melanggar hukum dan melanggar yurisdiksi kedaulatan

negara penerima yang tidak kooperatif. Hal ini dapat menimbulkan persoalan

diplomatik yang berdampak pada rusaknya hubungan diplomatik dan dapat

membuat negara penerima yang tidak kooperatif tersebut dengan kedaulatannya

memberlakukan peraturan-peraturan yang lebih ketat yang akan semakin

mempersulit negara korban memperoleh dukungan dan kerja sama dalam

penyitaan aset.221

218 Ibid., hal. 215. 219 Pasal 54 ayat (1) huruf c KAK. 220 Purwaning M. Yanuar, Op.cit., hal. 216. 221 Ibid., hal. 217.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 108: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

97

Ketentuan-ketentuan penyitaan dalam KAK mewajibkan negara pihak

untuk melakukan tindakan-tindakan yang perlu dalam rangka melaksanakan

permohonan penyitaan dari negara korban. KAK juga meminta negara pihak

untuk melakukan tindakan-tindakan legislasi dan tindakan-tindakan lain yang

perlu untuk melaksanakan perintah penyitaan dari negara korban. Namun,

tindakan-tindakan tersebut harus berdasarkan sistem hukum nasional negara

pihak.222

KAK tidak mengatur jenis penyitaan dalam pengembalian aset. Sementara

prosedur-prosedur penyitaan beragam menurut sistem-sistem hukum yang

berbeda. Hal ini menimbulkan dilema hukum dalam pelaksanaan penyitaan.

Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan penyitaan adalah : (1) biaya

pelaksanaan, harus seimbang antara biaya investigasi dan biaya selama proses

pengembalian aset dengan nilai aset yang akan kembali, (2) berkaitan dengan hak,

termasuk hak asasi manusia, dari pemilik atas kekayaan yang menjadi pokok

sengketa yang dituntut.223 Kedua hal ini mempunyai hubungan yang krusial.

Semakin lemah hak-hak pelaku tindak pidana atas aset-aset tersebut yang

mungkin disebabkan oleh pembalikan beban pembuktian, penyitaan tanpa

perintah pengadilan, kewajiban untuk memaparkan laporan-laporan yang lengkap

dari profesional yang memberikan jasa kepada si pelaku (bankir, praktisi hukum,

akuntan), alat-alat bukti lain, biaya pengembalian aset makin berkurang.224

Terdapat 2 (dua) sistem penyitaan yaitu (1) sistem penyitaan berdasarkan

properti/kekayaan (in rem system) dan sistem yang berdasarkan nilai (in personam

system). Sehubungan dengan adanya perbedaan sistem tersebut, terdapat masalah

penting yang yang perlu dipahami negara korban dalam tahapan penyitaan yaitu

sebagai berikut :

(1) Sistem hukum penyitaan yang digunakan negara penerima. Hal ini penting

untuk diketahui sejak merencanakan investigasi atau pelacakan aset di negara

penerima untuk memutuskan pencarian aset-aset, apakah hanya aset-aset yang

222 Ibid., hal. 218. 223 Lihat : Pasal 14 ayat (1) KIHSP. 224 Peter Alldridge, Money Laundering Law : Forfeiture, Confiscation, Civil Recovery,

Criminal Laundering and Taxation of the Proceeds of Crime, (Hart Publishing, Oxford and Portland Oregon, 2003), hal . 45, sebagaimana dikutip dalam Purwaning M. Yanuar, hal. 218 – 219.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 109: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

98

diperoleh dari hasil tindak pidana atau semua aset yang dimiliki pelaku tindak

pidana. Jika sistem hukum nasional menganut in rem system, penyitaan

dilakukan atas kekayaan yang berhubungan dengan tindak pidana yang

dilakukan oleh pelaku. Sedangkan jika sistem hukum nasional menganut in

personam system, penyitaan dilakukan hanya atas kekayaan yang dimiliki oleh

pelaku tindak pidana, tanpa melihat apakah ada hubungan antara kekayaan

tersebut dengan tindak pidana. Berdasarkan sistem ini kekayaan apapun yang

dimiliki pelaku tindak pidana, baik yang diperoleh sebelum maupun setelah

dilakukannya tindak pidana, dapat menjadi obyek penyitaan, selama kekayaan

tersebut berada di bawah hak milik pelaku atau terpidana.225

(2) Adanya putusan pengadilan di negara korban dipersyaratkan dalam rangka

melaksanakan perintah penyitaan di negara penerima.226 Sebagian besar

negara memiliki ketentuan-ketentuan penyitaan yang merupakan bagian dari

proses penghukuman pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini berarti untuk

melaksanakan penyitaan dipersyaratkan adanya putusan pengadilan terlebih

dahulu. Namun terdapat juga beberapa negara yang dapat melakukan

penyitaan sekalipun belum ada putusan pengadilan yang menyatakan pelaku

bersalah. Penyitaan dimaksud dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu :

(a) Penyitaan dalam proses peradilan pidana dapat dilakukan tanpa adanya

pemidanaan yang menyatakan terdakwa bersalah.

(b) Penyitaan di luar proses pidana, misalnya melalui proses perdata atau

proses hukum administrasi. Proses penyitaan secara perdata dapat

dilaksanakan tersendiri atau bersamaan dengan proses pidananya.

(3) Standar pembuktian, dalam tahap penyitaan negara-negara harus memahami

standar-standar pembuktian dalam penyitaan di negara penerima. Penyitaan

biasanya dianggap sebagai bagian dari hukuman terhadap terpidana. Hal lain

yang terkait dengan masalah penyitaan adalah perkembangan penggunaan

sistem pembuktian terbalik dalam penyitaan. Kebanyakan negara menerapkan

sistem hukum yang meletakkan kewajiban pembuktian kepada jaksa penuntut

umum. Namun di beberapa negara terjadi perkembangan penggunaan sistem

pembuktian terbalik, yaitu pihak terdakwa harus membuktikan bahwa aset

225 Ibid., 220 – 222. 226 Ibid.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 110: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

99

yang dimilikinya bukan merupakan hasil yang diperoleh secara tidak sah.

Penggunaan sistem pembuktian terbalik ini merupakan wewenang pengadilan.

Lazimnya digunakan ketika badan pemerintah telah mengajukan beberapa

bukti yang menunjukkan bahwa kemungkinan aset diperoleh secara tidak sah

atau terdakwa tidak mungkin mendapatkan aset-aset yang dimilikinya

berdasarkan perhitungan penghasilannya yang sah atau resmi.227

Salah satu masalah penting dalam penyitaan adalah hubungan antara

pemidanaan dengan penyitaan; apakah negara korban dapat memperoleh perintah

penyitaan hanya terhadap aset-aset yang berhubungan langsung dengan tindak

pidana pelaku yang telah dihukum atau apakah perintah penyitaan dapat juga

meliputi kekayaan yang diperoleh sebelum pelaku dijatuhi pidana. Di banyak

negara, baik yang menganut sistem kekayaan maupun sistem nilai, yang

menerapkan sistem pembuktian terbalik dapat membuat perintah penyitaan yang

meliputi kekayaan yang diperoleh sebelum pelaku dipidana. ada juga negara yang

menerapkan sistem penyitaan berdasarkan nilai, yang memberlakukan perintah

yang mengandung nilai uang atas seluruh kekayaan terpidana, baik yang diperoleh

secara sah maupun tidak.228

Setelah melalui keseluruhan proses, barulah dapat dilakukan pengembalian

dan penyerahan aset-aset kepada negara korban. Salah satu masalah penting

dalam tahap ini adalah soal pembagian aset antara negara penerima dengan negara

korban. Mayoritas negara-negara mengatur pembagian dan penerimaan aset

melalui perjanjian bantuan hukum dan timbal balik. Terdapat beberapa syarat

yang perlu diperhatikan sebelum melakukan pembagian aset adalah :

(1) Pembagian dan penerimaan aset-aset berlaku hanya dalam kasus-kasus dimana

bantuan diberikan berdasarkan permintaan dari negara korban untuk

membekukan dan menyita aset-aset. Pembagian aset tidak berlaku dalam hal

pemberian bantuan yang berupa investigasi.

(2) Pembagian aset ditetapkan hanya untuk kasus-kasus dengan total nilai aset

lebih dari US$ 1,3 juta.

(3) Pembagian aset dapat dilakukan terhadap kekayaan yang disita dan bukan

dalam hubungan dengan penyitaan nilai tunai

227 Ibid., hal. 230. 228 Ibid., hal. 231.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 111: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

100

Karena kebanyakan negara tidak mengatur secara khusus ketentuan pembagian

aset-aset yang dibekukan dan disita, umumnya masalah pembagian aset diatur

dalam perjanjian bantuan hukum timbal balik antara negara korban dan negara

penerima.229

Berdasarkan Pasal 46 KAK yang mengatur tentang kerjasama

internasional, diharapkan upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak pidana

korupsi efektif dan efisien dapat terlaksana. Tindak pidana korupsi yang diikuti

dengan penempatan aset-aset hasil tindak pidana korupsi di luar negeri merupakan

salah satu tindak pidana yang bersifat global. Para pelaku tindak pidana korupsi

mampu melintas dengan bebas batas yurisdiksi dan geografis antar negara.

Sementara para penegak hukum tidak mudah menembus batas-batas yurisdiksi

dan melakukan penegakan hukum dalam yurisdiksi negara-negara lain.

Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan adanya instrumen hukum

internasional berupa bantuan hukum timbal balik yang memungkinkan kerjasama

antar negara dalam upaya pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi.

Proses-proses hukum untuk memenuhi tahapan-tahapan pengembalian aset

tersebut di atas dapat diadakan dalam yursidiksi negara korban melalui kerjasama

internasional pengembalian aset, antara lain melalui instrumen bantuan hukum

timbal balik. Selain itu, dapat juga dilakukan dalam yurisdiksi negara tempat aset-

aset berada atau ditempatkan, dengan cara pengembalian aset melalui penyitaan

sebagai eksekusi dalam pemidanaan perkara.

Cara tradisional pengembalian aset-aset yang berada di luar yurisdiksi

negara korban adalah melalui bantuan hukum timbal balik. Penyelidikan dan

penyidikan dilakukan di negara korban. Ketika aset-aset hasil tindak pidana

korupsi ditempatkan di luar negeri, negara korban yang diwakili penyelidik atau

penyidik meminta kerjasama dengan negara penerima untuk 2 (dua) tujuan yaitu

mendapatkan alat bukti bagi kepentingan persidangan dan untuk mengamankan

aset-aset tersebut guna kepentingan penyitaan.230

Dengan adanya ketentuan tentang mekanisme pengembalian aset dalam

KAK, persoalan tersebut diharapkan tidak lagi terjadi, sebab ketentuan-ketentuan

ini bertujuan mendorong negara-negara untuk memastikan bahwa hukum nasional

229 Ibid., hal. 232 – 233. 230 Ibid., hal. 235.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 112: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

101

mengijinkan pengadilan untuk melaksanakan permintaan penyitaan dan

pembekuan aset dari para pelaku tindak pidana korupsi. Hingga saat ini syarat-

syarat untuk mendapatkan bukti, pengamanan alat-alat bukti yang diperoleh

melalui penyitaan dan pembekuan aset masih tergantung pada perjanjian-

perjanjian bilateral bantuan hukum timbal balik.231

Adanya penyidikan dan penuntutan di negara penerima selain penting

untuk memfasilitasi pembuatan perjanjian bantuan hukum timbal, juga dapat

memperluas cakupan bantuan yang dapat diberikan seperti meliputi bantuan yang

mengesampingkan hukum kerahasiaan bank dalam yurisdiksi negara penerima.

Instrumen hukum bantuan hukum timbal balik terdiri dari 2 (dua) kategori yaitu

(1) permintaan bantuan untuk tujuan-tujuan peradilan, dan (2) permintaan bantuan

polisi dalam pelacakan.232 Sedangkan menurut KAK, pengertian ”bantuan”

dirumuskan lebih luas, yaitu tindakan-tindakan bantuan hukum timbal balik yang

seluas mungkin dalam penyidikan, penuntutan dan proses pengadilan. Bantuan

hukum timbal balik dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian bilateral.

Jenis-jenis bantuan yang dapat diminta oleh negara korban kepada negara

penerima dapat meliputi : (1) tindakan-tindakan investigatif untuk melacak aset-

aset, (2) tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan aset-aset melalui

mekanisme pembekuan dan penyitaan, (3) penyitaan, dan (4) pengembalian aset

dari negara penerima kepada negara korban. Upaya-upaya pengembalian aset

berhadapan dengan rintangan sistem hukum internasional. Masalah ini meliputi

pengumpulan alat-alat bukti yang relevan, keharusan adanya kesaksian, dan

penggunaan alat bukti yang diperoleh dalam investigasi proses pidana untuk

gugatan perdata. Untuk mengatasi rintangan tersebut, KAK menghimbau agar

negara korban dan negara penerima membuat instrumen hukum bantuan hukum

timbal balik. Bantuan hukum timbal balik itu didasarkan pada traktar bilaterat dan

traktat multilateral.

231 Ibid. 232 Ibid., hal. 236.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 113: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

102

4.2.5. Putusan Pengadilan yang Menyidangkan Terdakwa Tindak Pidana

Korupsi secara In Absentia

4.2.5.1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :

1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST tanggal 22 Maret 2002 atas nama

Hendra Rahardja (Terdakwa I), Eko Edi Putranto (Terdakwa II)

dan Sherny Kojongian (Terdakwa III)

(1) Kasus Posisi

Para terdakwa diduga secara bersama-sama telah melakukan tindak pidana

korupsi pada tahun 1992 sampai dengan 1996 bertempat di kantor PT Bank

Harapan Sentosa (BHS) yang beralamat di jalan Gajah Mada Nomor 7 Jakarta

Pusat dengan cara menyalurkan kredit kepada perusahaan grup BHS dengan

melampaui batas kredit. BHS mempunyai modal dasar dari para pemegang saham

juga mendapat modal dana yang dihimpun dari masyarakat berbentuk tabungan,

deposito, giro dan lain-lain. Di sampaing itu BHS juga menerima fasilitas Kredit

Likuidasi Bank Indonesia (KLBI) dalam bentuk Kredit Investasi Kecil (KIK) dan

Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), selain itu juga menerima fasilitas

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam bentuk fasilitas overdraft.

Dana-dana tersebut digunakan terdakwa untuk memperkaya diri sendiri

atau memperkaya perusahaan grup BHS. Pada saat BHS mengalami rush, yaitu

pengambilan dana besar-besaran dari masyarakat, BHS kekuarangan dana karena

sebagian besar masih dikuasai oleh perusahaan grup BHS selaku debitur BHS.

Karena kekurangan dana, BHS memohon kepada pemerintah dalam hal ini Bank

Indonesia untuk diberikan bantuan berupa fasilitas overdraft. Pada tanggal 1

November 1997, BHS sudah dalam keadaan tidak sehat dan akhirnya dilikuidasi.

Pada saat itu BHS belum dapat mengembalikan hutangnya pada Bank Indonesia

sehingga mengakibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung telah

merugikan keuangan negara.

Pada saat penghentian operasional dan likuidasi itu berlangsung, Hendra

Rahardja yang menjabat sebagai komisaris sekaligus pemegang saham mayoritas

tidak ditahan dan dengan mengantongi Surat Pernyataan Release and Discharge

kemudian berangkat ke Sidney, Australia, dan bermukim disana. Penyidik Polri

kemudian meminta bantuan Interpol untuk menangkap dan menahan Hendra

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 114: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

103

Rahardja yang berada di Sidney, Australia. Alasan penangkapan tersebut adalah

karena Hendra Rahardja diduga melakukan tindak pidana pencucian uang di

Sidney, yang uangnya berasal dari hasil tindak pidana yang dilakukannya di

Indonesia. Interpol kemudian mengeluarkan Interpol Red Notice. Pada tanggal 1

Juni 1999, Hendra Rahardja ditahan oleh Australia Federal Police dan 3 (tiga)

hari kemudian dipindahkan dari tahanan polisi Sidney ke penjara Silverwater di

Sidney. Surat perintah penahanan Hendra Rahardja baru diterbitkan di Indonesia

pada tanggal 18 Juni 1999.

Hendra Rahardja yang ditahan di Sidney mengajukan keberatan atas

penahanannya dan menolak untuk diekstradisi ke Indonesia. Dalam putusan

Federal Court of Australia New South Wales District Registry No. N531 of 2000

tertanggal 1 Agustus 2000, hakim memutuskan untuk tidak mengabulkan

permohonan ektradisi Hendra Rahardja ke Indonesia. Hendra Rahardja kemudian

mengajukan gugatan Habeas Corpus atas penahanannya di New South Wales-

Australia. Kasus tersebut menyangkut penahanan Hendra Rahardja yang terdiri

atas permintaan POLRI kepada Interpol dan pihak Kepolisian Federal Australia

memenuhi permintaan tersebut dan menahannya untuk kemudian diekstradisi ke

Indonesia.

Pengadilan Australia menunda ekstradisi sampai selesainya pemeriksaan

perkara Habeas Corpus yang dilakukan oleh Kuasa Hukum Hendra Rahardja,

Brett Walker, di Sidney – NSW. Pelaksanaan ekstradisi tersebut tertunda karena

adanya dugaan perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.233

Kekhawatiran bahwa Hendra Rahardja akan disiksa dan ditekan dalam penyidikan

membatalkan ekstradisi, sekalipun antara Pemerintah Australia dan Pemerintah

Indonesia telah dibuat perjanjian ekstradisi. 234

(2) Dakwaan

Para terdakwa didakwa dengan surat dakwaan yang disusun secara

kumulatif oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan kesatu terhadap Terdakwa

I, II, dan III dengan Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-

233 Purwaning M Yanuar, Op.cit., hal. 188. 234 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi

antara Republik Indonesia dan Australia.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 115: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

104

Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal

1 ayat (2) jo Pasal 55 ayat (1) sub 1e jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dakwaan kedua

khusus terdakwa III dengan Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34c

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

jo Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

(3) Putusan

Setelah diperiksa dan diadili secara in absentia oleh pengadilan Negeri

Jakarta Selatan melalui Putusan Nomor 1032/PID/B/2001/ PN. JKT.PST tanggal

22 Maret 2002 menjatuhkan putusan terhadap terdakwa :

1. HENDRA RAHARDJA, umur 58 tahun, tempat tanggal lahir Makasar 3

Desember 1942, jenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia, tempat

tinggal Jl. Widya Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan, agama Budha, pekerjaan

Mantan Komisaris Utama PT. Bank Harapan Santosa.

2. EKO EDI PUTRANTO, umur 34 tahun, tempat tanggal lahir Jakarta 9 Maret

1967, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Jl. Widya

Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan, agama Budha, pekerjaan Mantan Komisaris

PT. Bank Harapan Sentosa.

3. SHERNY KOJONGIAN, umur 38 tahun, tempat tanggal lahir Manado, jenis

kelamin perempuan, kebangsaan Indonesia, tempat tinggal Taman Kebon

Jeruk Blok 1.8 No. 6 Jakarta Barat, agama Kristen, pekerjaan Mantan Direktur

PT. Bank Harapan Sentosa.

Amar putusan dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa I, II, dan III yang diadili secara in absentia terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana Korupsi secara

bersama-sama dan berlanjut;

2. Menghukum kepada para terdakwa in absentia tersebut masing-masing :

Terdakwa I dengan pidana penjara seumur hidup, terdakwa II dengan pidana

penjara 20 (dua puluh) tahun, dan terdakwa III dengan pidana penjara 20 (dua

puluh) tahun;

3. Menghukum para terdakwa dengan pidana denda masing-masing sebesar Rp.

30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 116: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

105

dibayarkan harus diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;

4. Menyatakan barang bukti yang berupa tanah dan bangunan berikut surat-

suratnya yang terlampir dalam daftar barang bukti dan barang bukti pengganti

berupa hasil lelang barang bukti sebesar Rp. 13.529.150.800,- (tiga belas

milyar lima ratus dua puluh sembilan juta seratus lima puluh ribu delapan

ratus rupiah) dirampas untuk negara;

5. Menghukum para terdakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang

pengganti sebesar Rp. 1.950.995.354.200,- (satu triliun sembilan ratus lima

puluh empat ribu dua ratus rupiah);

6. Menghukum masing-masing terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.

7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah);

Pertimbangan Majelis Hakim memeriksa dan mengadili perkara tersebut

secara in absentia adalah sebagai berikut :

1. Berdasarkan penetapan Hakim Ketua Majelis tertanggal 20 Agustus 2001

Nomor : 1032/Pid.B/2001/PN.JKT.PST., telah ditetapkan bahwa pemeriksaan

dalam perkara ini dilakukan tanpa hadirnya para terdakwa (in absentia)

dengan alasan para terdakwa telah dipanggil secara patut oleh Jaksa Penuntut

Umum dan pula atas perintah Majelis Hakim Jaksa Penuntut Umum telah

melakukan pemanggilan melalui surat kabar : Media Indonesia, Terbit,

Republika, dan Suara Pembaruan akan tetapi para terdakwa tidak hadir.

2. Bahwa seperti dimaklumi pada saat ini Pemerintah telah berupaya segiat-

giatnya memberantas tindak pidana korupsi, akan tetapi ternyata dalam

menindaklanjuti seringkali banyak hambatan-hambatan karena terbentur atau

adanya kesulitan-kesulitan untuk mendatangkan para tersangka, mengingat

yang bersangkutan tidak berada lagi di Negara Republik Indonesia akan tetapi

telah berada di negara lain (luar negeri), sedangkan para tersangka tersebut

telah diduga merugikan keuangan negara yang jumlahnya tidak sedikit serta

tidak dapat dipastikan kapan mereka ini kembali ke tanah air (Indonesia).

3. Bahwa apabila hal yang demikian ini dibiarkan berlarut-larut yaitu

pemeriksaan dalam tahap penyelidikan dan penyidikannya menunggu para

tersangka kembali ke tanah air sedangkan kembalinya belum dapat diketahui,

akan mengakibatkan kerugian lebih banyak lagi karena harta kekayaan atau

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 117: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

106

aset-aset yang ada di dalam negeri tidak dapat diapa-apakan, sedangkan di lain

pihak masyarakat selalu menuntut agar segala bentuk kejahatan khususnya

yang menyangkut tindak pidana korupsi segera diberantas.

4. Bahwa dengan adanya hambatan-hambatan dan kesulitan-kesulitan untuk

memeriksa orang-orang yang disangka telah melakukan tindak pidana

korupsi dengan meninggalkan tanah air, maka Majelis dengan

mendasarkan pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14

Tahun 1974 yang menentukan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan

keadilan wajib menggali, mengikuti dan menggali nilai-nilai hukum yang

hidup dalam masyarakat.

5. Bahwa bertitik tolak pada ketentuan tersebut Majelis akan memberikan jalan

upaya agar mereka yang berada di luar negeri yang disangka melakukan

tindak pidana korupsi dapat diperiksa dan diadili sudah barang tentu dengan

tetap berpedoman kepada asas praduga tak bersalah.

6. Bahwa jalan atau upaya Majelis Hakim yaitu dengan mengartikan tentang

pengertian in absentia tidak diartikan secara sempit akan tetapi diartikan

secara luas, yaitu pemeriksaan in absentia harus diartikan dan/atau dikenakan

kepada siapa saja yang menurut sangkaan dan dugaan telah melakukan

perbuatan tindak pidana korupsi dapat diperiksa secara in absentia baik orang

tersebut diketahui maupun tidak diketahui keberadaannya di luar maupun di

dalam negeri dan telah dipanggil secara patut, sehingga hal yang demikian itu

akan mempermudah pemerintah untuk memeriksa kepada yang bersangkutan.

7. Bahwa selanjutnya mungkin timbul pertanyaan, apakah hal yang demikian itu

bukankah merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, menurut hemat

Majelis adalah tidak, karena yang bersangkutan telah dipanggil secara patut

dan dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU TPK oleh karenanya

apabila mereka akan menggunakan hak-haknya untuk beracara baik tingkat

penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan dimuka persidangan dapat

kembali ke tanah air.

Sebelum majelis menjatuhkan putusan terhadap para terdakwa, terlebih

dahulu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal-hal

yang memberatkan adalah :

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 118: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

107

1. Akibat perbuatan para terdakwa telah merugikan keuangan negara sangat

besar;

2. Para terdakwa telah menikmati hasil korupsi;

3. Para terdakwa tidak mempunyai rasa tanggung jawab kepada bangsa dan

negara, terbukti setelah melakukan perbuatan mereka melarikan diri;

4. Perbuatan para terdakwa merupakan salah satu potensi yang merusak

perekonomian negara yang ditandai dengan terjadinya krisis moneter.

Sedangkan hal-hal yang meringankan tidak ada.

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 125/PID/2002/PT.DKI

tanggal 8 November 2002 menerima permintaan banding dari terdakwa I Hendra

Rahardja. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 22

Maret 2002 Nomor 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST yang dimohonkan banding

sehingga amar selengkapnya menjadi berbunyi :

1. Menyatakan terdakwa I, II dan III yang telah dipanggil dengan secara sah

tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah;

2. Menyatakan terdakwa I, II dan III telah terbukti dengan sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama dan berlanjut;

3. Menghukum kepada terdakwa tersebut masing-masing : Terdakwa I dengan

pidana penjara seumur hidup, terdakwa II dengan pidana penjara 20 (dua

puluh) tahun, dan terdakwa III dengan pidana penjara 20 (dua puluh) tahun;

4. Menghukum para terdakwa dengan pidana denda masing-masing sebesar Rp.

30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak

dibayarkan harus diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;

5. Menyatakan barang bukti yang berupa tanah dan bangunan berikut surat-

suratnya yang terlampir dalam daftar barang bukti dan barang bukti pengganti

berupa hasil lelang barang bukti sebesar Rp. 13.529.150.800,- (tiga belas

milyar lima ratus dua puluh sembilan juta seratus lima puluh ribu delapan

ratus rupiah) dirampas untuk negara;

6. Menghukum para terdakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang

pengganti sebesar Rp. 1.950.995.354.200,- (satu triliun sembilan ratus lima

puluh empat ribu dua ratus rupiah);

7. Menghukum terdakwa I membayar biaya perkara dalam kedua tingkat

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 119: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

108

peradilan, biaya mana untuk tingkat pertama sebesar Rp. 7.500,- (tujuh ribu

lima ratus rupiah) dan untuk tingkat banding sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu

rupiah).

Pertimbangan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperbaiki putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, intinya adalah :

1. Di dalam hukum acara pidana, penempatan kata in absentia dalam amar

putusan kurang tepat dan tidak berdasarkan alasan hukum yang benar, karena

istilah in absentia tidak dikenal dalam hukum acara pidana yang berlaku. Yang

dikenal dan diatur adalah mengadili dan menjatuhkan putusan tanpa hadirnya

terdakwa seperti yang diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 tahun

1971 jo UU TPK.

2. Kepada terdakwa telah diberikan hak untuk hadir di muka persidangan seperti

diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 jo UU TPK. Hak

yang diberikan UU kepada terdakwa tersebut adalah sepenuhnya kewenangan

terdakwa untuk menggunakan atau tidak, bukan menjadi kewajiban terdakwa

untuk hadir seperti yang diatur secara umum dalam perkara pidana biasa.

3. Karena tidak terbukti secara aktif dan proporsional terdakwa dalam

menggunakan haknya untuk hadir di muka sidang melainkan justru

menggunakan atau memanfaatkan keberadaannya dalam tahanan di Australia

sebagai alasan untuk tidak hadir, maka Majelis Hakim tingkat banding tidak

dapat lain kecuali berkesimpulan terdakwa telah melepaskan haknya untuk

berusaha hadir memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi

justru menikmati atau memanfaatkan keberadaannya di Australia sebagai

alasan tidak hadir.

4. Sesuai dengan yurisprudensi yang berlaku dalam putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan tanggal 4 Agustus 1982 Nomor 4321/7/B/JS/PID/1982 jo

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 17 November 1982 Nomor

89/1982/PT.Pidana jo Putusan MARI tanggal 19 November 1984 Nomor

492/K/Pid/1983 telah dipertimbangkan karena panggilan telah disampaikan ke

alamat tempat terdakwa terakhir berada sehingga walaupun panggilan itu tidak

memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) dan (5)

KUHAP, panggilan tersebut tetap dapat dianggap telah dilakukan dengan

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 120: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

109

semestinya.

5. Dengan mengambilalih seluruh pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama

kecuali hal in absentia seperti pertimbangan di depan tentang kesalahan

terdakwa yang terbukti dengan sah dan meyakinkan, maka pertimbangan dan

putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama telah tepat dan benar, oleh karena itu

diambil alih seluruhnya oleh Majelis Hakim Tingkat Banding sebagai

pertimbangannya sendiri dalam tingkat banding, dengan memperbaiki putusan

tersebut sebagaimana lengkapnya dalam amar tersebut di atas.

(4) Analisis Penerapan Peradilan In Absentia dalam Upaya Pengembalian Aset

dalam Perkara Hendra Rahardja

Memperhatikan pertimbangan Majelis Hakim dalam memeriksa dan

memutuskan perkara Hendra Rahardja secara in absentia, telah menggambarkan

pentingnya proses pemanggilan secara patut dilakukan oleh Jaksa Penuntut

Umum. Majelis Hakim dalam perkara ini mengedepankan pentingnya

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dengan tetap berpedoman kepada

asas praduga tak bersalah. Pengertian in absentia dalam perkara ini diartikan

secara luas, yaitu pemeriksaan in absentia harus diartikan dan/atau dikenakan

kepada siapa saja yang menurut sangkaan dan dugaan telah melakukan perbuatan

tindak pidana korupsi dapat diperiksa secara in absentia baik orang tersebut

diketahui maupun tidak diketahui keberadaannya di luar maupun di dalam negeri

dan telah dipanggil secara patut.

Terkait HAM, dikarenakan yang bersangkutan telah dipanggil secara patut

dan dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU TPK maka tidak terjadi

pelanggaran HAM. Majelis Hakim juga telah memerintahkan Jaksa Penuntut

Umum untuk melakukan pemanggilan melalui berbagai surat kabar. Majelis

Hakim tetap memberikan kesempatan apabila terdakwa kembali ke tanah air dapat

menggunakan hak-haknya untuk beracara baik tingkat penyidikan dan penuntutan

serta pemeriksaan dimuka persidangan.

Majelis Hakim dalam perkara ini juga mempertimbangkan upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi yang tengah digalakkan oleh pemerintah

dan tuntutan masyarakat luas agar perkara tindak pidana korupsi diberantas

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 121: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

110

berdasarkan asas keadilan dan asas kepastian hukum. Terlebih lagi mengingat

kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan tindak pidana korupsi tersebut

sangat besar.

Dalam amar putusan perkara Hendra Rahardja ini, dapat diketahui bahwa

Majelis Hakim dapat menerima secara hukum proses penyidikan yang sejak awal

dilakukan secara in absentia. Berita Acara Hasil Penyidikan in absentia dan

prosedur pemanggilan terhadap para tersangka dan terdakwa tersebut sah menurut

hukum. Selanjutnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sependapat dengan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, bakwa para terdakwa bersalah melakukan

tindak pidana korupsi dan memandang sah para terdakwa diperiksa dan diadili

tanpa kehadiran diri mereka di persidangan. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak

sependapat dengan penggunaan istilah in absentia dalam amar putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan dan diganti dengan kata ”tanpa hadirnya terdakwa.”

Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa dalam perkembangannya istilah in

absentia tidak lagi disebutkan dalam berbagai produk legislasi, tetapi digunakan

istilah ”tidak hadir” setelah dipanggil secara sah atau patut. Kedua istilah ini tidak

berbeda dan mengandung arti yang sama.

Dalam konteks pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam

perkara Hendra Rahardja, meskipun Indonesia dan Australia telah memiliki

perjanjian ekstradisi dan dan Mutual Legal Assistance (MLA), namun dalam

kenyataannya tidak dapat menjamin kelancaran proses ekstradisi dan

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Aset-aset Hendra Rahardja yang

tersebar di Australia dan Hongkong tidak serta merta dapat dikembalikan.

Pengembalian aset-aset Hendra Rahardja dilakukan melalui proses yang panjang

dan akhirnya Pemerintah Indonesia menerima lebih dari AUD 642.000. Dalam

proses pengembalian aset-aset Hendra Rahardja, pemerintah membentuk Tim

Terpadu Pencari Terpidana dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi. Tim Terpadu

dibentuk terakhir berdasarkan Keputusan Menko Polhukam Nomor : Kep-

23/Menko/Polhukam/02/2006 tanggal 28 Februari 2006 tentang Tim Terpadu

Pencari Terpidana dan Tersangka Perkara Tindak Pidana Korupsi.235

235 Info Unit Kerja Kejaksaan Agung R.I., Tim Terpadu, http://www.kejaksaan.go.id,

diakses tanggal 26 Mei 2011.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 122: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

111

Berkaitan dengan permintaan bantuan pelacakan dan penarikan kembali

aset-aset Hendra Rahardja yang ditransfer dari Australia ke Hong Kong,

Pemerintah Australia melalui Keputusan The New South Wales Supreme Court

telah memerintahkan kepada South East Group (SEG) di Hong Kong untuk

mengalihkan asset terpidana Hendra Rahardja sebesar USD 398,478,87 ke

Australia untuk diserahkan kepada Pemerintah RI. Guna tindak lanjutnya

pemerintah Australia telah meminta kepada Direktur Perjanjian Internasional

Ditjen AHU Departemen Hukum dan HAM agar dibuka rekening khusus untuk

menerima/menampung dana sebesar USD 398,478,87 tersebut.

Perkembangan terakhir untuk penanganan aset terpidana Hendra Rahardja,

pada tanggal 8 Desember 2009 bertempat di Departemen Hukum dan HAM telah

dilakukan penyerahan aset tersebut secara simbolis dari pihak berwenang

Australia kepada Tim Terpadu dan pihak Departemen Hukum dan HAM sebagai

Central Authority, dana sebesar 493.647,07 Dollar Australia yang akan ditransfer

ke Nomor Rekening : 000001933-01-000638-30-1 atas nama bendaharawan

pengeluaran Kejaksaan Agung RI.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :

339/PID.B/2010/PN.JKT.PST tanggal 30 November 2010 atas nama

Hesham Talaat Mohamed Besheer Alwarraq alias Alwarraq. Als.

Hesham Al Warraq (Terdakwa I) dan Rafat Ali Rizvi (Terdakwa II)

(1) Kasus Posisi

Bahwa terdakwa I dan II pada waktu antara tahun 2001 sampai dengan

2008, bertempat di kantor Bank CIC Internasional Tbk (PT Bank CIC) dan atau di

kantor PT Bank Century Gedung Sentral Senayan II Jalan Asia Afrika Nomor 8

Jakarta Pusat, melakukan atau turut serta melakukan, secara melawan hukum

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan cara melakukan

transaksi pembelian, penempatan dan atau pertukaran surat-surat berharga valuta

asing (SSB valas) Bank CIC. Sebagian surat berharga dimaksud merupakan surat

berharga yang tergolong dalam structured product yang tidak memiliki peringkat

(non rating), tidak memiliki harga pasar dan memberikan imbal hasil yang

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 123: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

112

rendah. Sehingga pada saat surat berharga jatuh tempo, Bank CIC tidak menerima

dana secara tunai melainkan justru dibayar dengan saham perusahaan Global

Opportunities Fund yang dimiliki terdakwa II.

Selain Bank CIC, pada saat itu Bank Pikko dan Danpac juga mengalami

permasalahan pembelian/pertukaran surat-surat berharga, sehingga pada tanggal 6

Desember 2004 dilakukan merger atas ketiga bank tersebut dan berganti nama

menjadi PT Bank Century Tbk (Bank Century). SSB valas yang berkualitas buruk

yang sebelumnya berasal dari Bank CIC berlanjut menjadi beban Bank Century

yang mengakibatkan kondisi keuangan Bank Century memburuk dan

dikategorikan tidak sehat/macet. Terhadap kondisi ini, Bank Indonesia meminta

Bank Century untuk menjual SSB tersebut dan mewajibkan untuk menambah

modal.

Pada tanggal 4 Oktober 2005, terdakwa I dan II menandatangani Letter of

Commitment (LoC) yang pada pokoknya menyatakan kesanggupan

bertanggungjawab untuk menyelesaikan permasalahan permasalahan likuiditas

bank dan untuk menjual SSB valas hingga batas waktu 31 Desember 2005.

Dengan adanya permasalahan ini maka Bank Indonesia melakukan

pemeriksaan/investigasi terhadap Bank Century bahwa pertukaran SSB Bank

Century telah mengalami kesulitan likuiditas dan solvabilitas. Karena kondisi

keuangan Bank Century semakin menurun ditambah pertimbangan likuiditas dan

penurunan permodalan, Bank Indonesia memutuskan memberikan Fasilitas

Pendanaan Jangka Panjang (FPJP). Tanggal 15 Oktober 2008, terdakwa I dan II

menandatangani LoC kepada Bank Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan

SSB tersebut.

(2) Dakwaan

Para terdakwa didakwa dengan surat dakwaan yang disusun secara

kumulatif oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan kesatu terhadap terdakwa I

dan II dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55

Ayat (1) bagian ke satu KUHP dan dakwaan kedua dengan Pasal 3 ayat (1) huruf

g UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas UU Nomor 15 tahun 2002

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 124: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

113

tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 Ayat (1).

(3) Putusan

Dalam perkara ini Pengadilan Jakarta Pusat menjatuhkan putusan terhadap

terdakwa :

1. HESHAM TALAAT MOHAMED BESHEER ALWARRAQ Alias

ALWARRAQ. Als. HESHAM AL WARRAQ, umur 51 tahun, tempat tanggal

lahir Cairo – Mesir 12 April 1958, jenis kelamin laki-laki, berkebangsaan

Saudi Arabia, tempat tinggal Kingdom Tower 20 Floor, Riyadh, 11622

Kingdom of Saudi Arabia PO Box 88014 Riyadh 11622, Saudi Arabia, agama

Islam, pekerjaan Shareholder of First Gulf Asia Holding.

2. RAFAT ALI RIZVI, Umur 50 tahun, tempat tanggal lahir Pakistan 22 Oktober

1960, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan United Kingdom, tempat tinggal

First Gulf Asia Holding Ltd, Offshore Group Chamber PO Box CB 12751,

Nassau – New Providence Bahamas, agama Islam, pekerjaan Shareholder of

Chinkara Capital Ltd/First Gulf Asia Holding.

Amar putusan dimaksud adalah sebagai berikut :

(1) Menyatakan terdakwa I dan II yang diadili secara in absentia terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak

Pidana Pencucian Uang secara bersama-sama;

(2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I dan II dengan pidana penjara

masing-masing 15 (lima belas) tahun;

(3) Membebankan kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti yang

dibayar secara tanggung renteng sebesar Rp. 3.115.889.000.000,- (tiga triliun

seratus lima belas milyar delapan ratus delapan puluh sembilan juta rupiah),

apabila para terdakwa tidak membayar uang pengganti selama 1 (satu) bulan

setelah perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya

dapat disita oleh Jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut dan apabila

para terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk

membayar uang pengganti dipidana dengan pidana penjara selama 5 (lima)

tahun penjara;

(4) Menjatuhkan pidana denda terhadap masing-masing terdakwa sebesar Rp.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 125: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

114

15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan

kurungan.

(5) Membebankan kepada para terdakwa untuk membayar biaya perkara masing-

masing sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

Pertimbangan Majelis Hakim memeriksa dan mengadili perkara tersebut

secara in absentia adalah sebagai berikut :

(1) Bahwa untuk memeriksa dan mengadili perkara terdakwa-terdakwa dalam

status Daftar Pencarian Orang (DPO), Majelis Hakim telah menetapkan hari

persidangan dengan perintah agar Penuntut Umum tetap melakukan

pemanggilan terhadap para terdakwa sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-

turut sesuai ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), yakni : untuk persidangan

pertama pada hari Kamis tanggal 18 Maret 2010; persidangan kedua pada hari

Senin tanggal 19 April 2010 dan untuk persidangan ketiga pada hari Rabu

tanggal 19 Mei 2010;

(2) Bahwa untuk ketiga persidangan tersebut, terdakwa tidak pernah hadir dan

atas ketidakhadiran tersebut pra terdakwa tidak pernah mengirimkan surat

sebagai pemberitahuan alasan ketidakhadirannya;

(3) Bahwa pada saat persidangan yang ketiga, penuntut umum telah mengajukan

permohonan secara lisan agar persidangan terhadap kedua terdakwa tersebut,

mengingat dakwaan terhadap kedua terdakwa berisi tindak pidana korupsi dan

tindak pidana pencucian uang, dan penuntut umum pun telah melakukan

pemanggilan secara sah dan patut terhadap kedua dakwaan tersebut;

(4) Bahwa atas surat dakwaan penuntut umum dan permohonan penuntut umum

agar perkara ini dilanjutkan secara tanpa hadirnya terdakwa berdasarkan

putusan sebagai berikut :

a. Menyatakan terdakwa I berkewarganegaraan Saudi Arabia dan terdakwa II

berkewarganegaraan United Kingdom, telah dipanggil secara sah dan patut

untuk hadir menghadapi persidangan perkara pidana di Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, tetapi kedua terdakwa tersebut tidak pernah hadir (in

absentia);

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 126: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

115

b. Memerintahkan pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi dan tindak

pidana pencucian uang atas nama terdakwa I dan II dilanjutkan secara

tanpa hadirnya kedua terdakwa tersebut;

c. Memerintahkan kepada penuntut umum untuk mengumumkan putusan

sela ini;

d. Menangguhkan biaya perkara ini sampai dengan putusan akhir;

(5) Bahwa meskipun putusan sela dalam perkara ini telah diumumkan dalam mass

media nasional dan internasional, namun kedua terdakwa tidak pernah

muncul di persidangan sehingga perkara ini tetap dilanjutkan secara in

absentia;

Sebelum majelis menjatuhkan putusan terhadap para terdakwa, terlebih

dahulu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal-hal

yang memberatkan adalah :

(1) Perbuatan kedua terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang

sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi dan money laundering;

(2) Perbuatan kedua terdakwa tersebut berdampak pada kurangnya kepercayaan

masyarakat terhadap program-program pemerintah dalam pengawasan

perbankan.

Sedangkan hal-hal yang meringankan tidak ada.

Pertimbangan lain adalah bahwa tujuan pemidanaan dalam perkara

korupsi ini diharapkan bersifat komprehensif, integratif dan teleologis, yang

memperhatikan terdakwa (memasyarakatkan terdakwa/terpidana dan

membebaskan rasa bersalah), maupun yang bersifat melindungi masyarakat

(mencegah dilakukannya tindak pidana demi mengayomi masyarakat), serta

mengembalikan kehidupan sosial.

(4) Analisis Penerapan Peradilan In Absentia dalam Upaya Pengembalian Aset

dalam Perkara Hesham dan Rafat

Pertimbangan Majelis Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara

Hesham dan Rafat secara in absentia, didasarkan pada adanya 2 (dua) jenis

kejahatan yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

Mekanisme dalam persidangan ini menggunakan ketentuan sebagaimana diatur

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 127: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

116

dalam Pasal 36 UU TPPU yang mengatur :

(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hadir, Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.

(2) Apabila dalam sidang berikutnya sebelum perkara diputus terdakwa hadir, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan apabila terdakwa telah hadir sejak semula.

(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum dalam papan pengumuman pengadilan yang memutus dan sekurang-kurangnya dimuat dalam 2 (dua) surat kabar yang memiliki jangkauan peredaran secara nasional sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 3 (tiga) hari atau 3 (tiga) kali penerbitan secara terus-menerus.

Berdasarkan ketentuan dimaksud, mekanisme dimaksud adalah : (1) dilakukan

pemanggilan 3 (tiga) kali secara sah terdakwa tidak hadir, maka (2) Majelis

Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa

kehadiran terdakwa.

Ketentuan ini bersifat lebih spesifik dari Pasal 145 KUHAP yang tidak

mengatur berapa kali panggilan harus disampaikan. Selanjutnya dalam penjelasan

Pasal 36 ayat (1) UU TPK dijelaskan bahwa maksud ketentuan ini adalah agar

upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam

pelaksanaan peradilannya dapat berjalan dengan lancar, maka sekalipun terdakwa

dengan alasan yang sah tetapi apabila sampai 3 (tiga) kali dilakukan pemanggilan

untuk sidang tidak hadir, perkara tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran

terdakwa. Jadi, pasal ini mensyaratkan meskipun dengan alasan yang sah tetapi

sudah dipanggil 3 (tiga) kali tidak hadir maka peradilan in absentia dapat tetap

dilaksanakan.

Majelis Hakim dalam perkara ini juga mempertimbangkan hal-hal yang

berkaitan dengan tujuan pemidanaan dalam perkara korupsi yang diharapkan

bersifat komprehensif, integratif dan teleologis, yang memperhatikan terdakwa

(memasyarakatkan terdakwa/terpidana dan membebaskan rasa bersalah), maupun

yang bersifat melindungi masyarakat (mencegah dilakukannya tindak pidana demi

mengayomi masyarakat), serta mengembalikan kehidupan sosial.

Dalam amar putusan perkara Hesham dan Rafat, dapat diketahui bahwa

Majelis Hakim dapat menerima secara hukum prosedur pemanggilan terhadap

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 128: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

117

para terdakwa tersebut. Hal ini berarti pemanggilan telah dilakukan secara sah.

Selain itu, dikarenakan para terdakwa selama proses persidangan tidak pernah

hadir dan perkaranya telah diperiksa serta diputus tanpa kehadiran kedua terdakwa

(in absentia), Majelis Hakim mewajibkan untuk mengumumkan putusan

dimaksud sebagaimana ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU TPK.

Dalam konteks pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam

perkara Hesham dan Rafat, Majelis Hakim menetapkan sejumlah uang, rekening

bank yang berada di Hongkong atas nama terdakwa I, dan rekening bank atas

nama terdakwa 2 serta beberapa aset dirampas untuk negara cq. Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS). Putusan pengadilan ini selanjutnya akan menjadi dasar

dalam penelusuran aset dan pemblokiran.

Menindaklanjuti putusan tersebut, pemerintah melalui Tim Pengembalian

Aset yang diketuai Wakil Jaksa Agung melakukan pembekuan aset yang berada di

Hongkong. Pada saat ini seluruh aset Bank Century di Hong Kong sudah

dilakukan pembekuan oleh otoritas setempat. Peradilan di Hong Kong sudah

memberikan kesempatan pengajuan keberatan oleh Robert Tantular, mantan

pemilik Bank Century terkait pembekuan asetnya. Jika sudah ada putusan dari

Pengadilan Hong Kong, maka aset yang dibekukan tersebut dapat dirampas untuk

negara. Seluruh proses pengembalian aset dari Hongkong tersebut dilakukan

melalui Mutual Legal Assistance (MLA).

Sedangkan untuk aset yang berada di Swiss, pembekuan aset Century di

Dresdner Bank Swiss senilai US$155 juta terganjal oleh sistem hukum yang

berlaku di negara tersebut. Pemerintah Swiss menilai uang Hesham dan Rafat

bukan termasuk kategori hasil tindak pidana korupsi. Pemerintah Swiss

menyarankan upaya gugatan perdata yang harus diajukan oleh Bank Mutiara

(sebelumnya Bank Century) yang memunyai kompetensi dan kepentingan

langsung. Perkembangan terakhir pihak Bank Mutiara sudah mengajukan gugatan

perdata atas aset tersebut.

Terdapat beberapa kendala dalam perampasan aset hasil tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh Hesham dan Rafat, yaitu antara lain kemungkinan

terjadinya penyusutan nilai aset Bank Century yang dapat disita negara. Hal ini

dikarenakan berdasarkan hasil penelusuran Tim Pengembalian Aset, tidak semua

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 129: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

118

aset buron tersebut merupakan hasil kejahatan kasus Bank Century. Tim

Pengembalian Aset masih perlu membuktikan asal-muasal kekayaan kedua

terpidana. Jika aset tersebut berasal dari aset nasabah yang digelapkan, maka aset

ini dapat disita untuk dikembalikan kepada negara.

Aset Hesham dan Rafat yang dapat disita mencapai Rp 13 triliun. Data

tersebut berdasarkan laporan yang diberikan Bank Hongkong, Swiss, dan Inggris,

tempat kekayaan Hesham dan Rafat disimpan. Namun, jumlah aset dari hasil

pidana kasus Bank Century yang berhasil diidentifikasi hanya sekitar Rp 1 triliun

yang berada di dalam negeri. Sisanya, aset yang berada di luar negeri dan masih

dalam tahap identifikasi. Upaya yang dapat dilakukan untuk memudahkan

pengejaran aset tersebut adalah melalui audit forensik. Audit tersebut adalah

teknik audit khusus untuk menemukan bukti finansial yang mendukung

pembuktian ada atau tidaknya tindakan kejahatan untuk mengetahui aliran dana

bailout Bank Century. Upaya lain untuk mengetahui aset Bank Century yang

digelapkan adalah melalui penangkapan Hesham dan Rafat karena akan

mempermudah inventarisasi aset.

Berdasarkan putusan yang menyidangkan terdakwa tindak pidana korupsi

secara in absentia yaitu perkara dengan terdakwa Hendra Rahardja serta terdakwa

Hesham dan Rafat, dapat diketahui bahwa proses pemanggilan secara patut sangat

penting dalam peradilan in absentia. Pemanggilan yang patut ini menjadi

justifikasi bagi hakim untuk melaksanakan peradilan in absentia tanpa melanggar

hak asasi terdakwa. Berkaitan dengan upaya pengembalian aset hasil tindak

pidana korupsi sebagai tindak lanjut putusan peradilan in absentia, berdasarkan

kedua putusan tersebut dapat diketahui bahwa meskipun Indonesia telah memiliki

perjanjian ekstradisi dan MLA, namun dalam pelaksanaannya tidak dapat

menjamin kelancaran proses pengembalian aset dimaksud. Proses pengembalian

aset dilaksanakan melalui proses yang rumit dan memakan waktu yang lama serta

jumlah aset yang dikembalikan masih belum maksimal.

4.3. Peranan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

dalam Upaya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Tujuan diaturnya peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 130: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

119

korupsi secara jelas dituangkan dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU TPK yaitu

untuk menyelamatkan kekayaan negara. Pengertian menyelamatkan kekayaan

negara adalah identik dengan pengertian dalam pasal-pasal UU TPK yaitu

menyelamatkan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal-pasal

dimaksud adalah Pasal 2 dan 3 UU TPK yang menyebutkan bahwa salah satu

unsur tindak pidana korupsi adalah dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 4 UU TPK,

pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan pidananya pelaku

tindak pidana korupsi tetapi hanya merupakan salah satu alasan meringankan

hukuman atau clementie.236

Peradilan in absentia efektif dianggap dalam upaya pengembalian aset

hasil tindak pidana korupsi yang telah dijarah oleh pelaku tindak pidana korupsi

dikarenakan hal-hal sebagai berikut :237

(1) Penyelesaian perkaranya lebih cepat dan jaksa sebagai wakil pemerintah dapat

mengejar harta kekayaan negara dimaksud apabila :

a. Harta/aset kekayaan yang diduga merupakan harta yang diperoleh dari

kejahatan tersebut dapat disita secara sah dan dikembalikan kepada negara.

b. Pada saat proses penyidikan harta kekayaan pelaku telah diinventarisasi

dengan benar dan telah disita secara sah, sehingga setelah adanya putusan

pengadilan langsung dapat dieksekusi.

(2) Putusan peradilan in absentia merupakan sarana yang sah untuk penyelamatan

kerugian negara, apabila prosedur pelaksanaannya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan, sehingga pengembalian kerugian keuangan negara dapat

direalisasikan tanpa khawatir mendapat gugatan dari pihak lain.

(3) Mempercepat proses peradilan karena prosedurnya tidak berlarut-larut

sehingga dalam perkara tindak pidana tersebut akan memperkecil tunggakan

perkara dan adanya kepastian hukum.

(4) Sepanjang aset-aset terdakwa jelas status kepemilikannya sehingga

memudahkan dilakukan penyitaan. Apabila tidak jelas kepemilikannya akan

menimbulkan masalah pada waktu proses penyitaan.

(5) Secara teoritis dapat mengefektifkan upaya penyelamatan kekayaan negara,

236 Darwin Prints, Op.cit., hal. 62. 237 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 65.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 131: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

120

namun dalam penerapannya masih terdapat kendala, khususnya dalam

pelaksanaan eksekusi uang pengganti sebagai upaya penyelamatan kerugian

negara.

Pengembalian keuangan negara merupakan salah satu aspek yang sangat

strategis dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini mengingat

tindak pidana korupsi kejahatan korupsi juga membuat kehancuran dalam bidang

politik, sosial dan ekonomi. Dalam berbagai contoh perkara tindak pidana korupsi

dimana pelakunya melarikan diri ke luar negeri dengan membawa serta uang hasil

tindak pidana korupsinya telah memberikan keuntungan kepada negara yang

menampung uang hasil tindak pidana korupsi tersebut. Kemudahan-kemudahan

berupa keringanan pajak, izin tinggal (permanent residence) bahkan sampai

pemberian kewarganegaraan menjadi daya tarik bagi pelaku tindak pidana korupsi

untuk melarikan diri ke luar negeri karena menjadikan mereka untouchable.

Fenomena ini merupakan indikator bahwa tindak pidana korupsi bukan lagi

merupakan kejahatan nasional melainkan sudah bertransformasi menjadi

kejahatan trans-nasional.238

Jika mengacu pada proses dan prosedur peradilan in absentia sebagaimana

telah diuraikan sebelumnya, ketentuan perundang-undangan yang berkaitan

dengan peradilan in absentia telah memberikan rambu-rambu yang cukup jelas

dalam pelaksanaannya dengan tetap mempertimbangkan hak-hak pelaku tindak

pidana korupsi. Namun dalam pelaksanaan proses peradilan in absentia terdapat

banyak permasalahan. Terdapat ketidaksamaan persepsi didalam menyikapi

aturan-aturan hukum yang berlaku, terutama tindak pidana korupsi, sehingga hal

ini menimbulkan tidak berjalannya sistem peradilan pidana. Dalam sistem

peradilan pidana maka semua unsur yang terkait dalam proses peradilan pidana

harus mempunyai persepsi yang sama terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang

berlaku. Akan tetapi dalam praktek sering terjadi ketidaksamaan persepsi atau

perbedaan persepsi tentang suatu tindak pidana maupun di dalam mengkaji

ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat menyebabkan proses

peradilan pidana tidak dapat mencapai kebenaran materil yang diharapkan,

terutama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

238 Todung Mulya Lubis, Singapore Paradox, http://naration.wordpress.com/2009, diakses tanggal 18 Mei 2011.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 132: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

121

Persepsi berbeda dimaksud antara lain adalah dalam menyikapi ketentuan-

ketentuan yang berlaku, misalnya dalam hal penuntutan tindak pidana korupsi

yang dilakukan oleh beberapa orang terdakwa. Dalam hal ini Jaksa Penuntut

Umum dapat menjadikannya dalam satu berkas penuntutan atau dapat dipecah-

pecah menjadi beberapa berkas perkara. Biasanya pemecahan perkara ini

dilakukan apabila kekurangan saksi-saksi, sehingga perlu diadakan “saksi

mahkota”, dimana pelaku yang 1 (satu) menjadi saksi untuk pelaku yang lainnya.

Dalam praktek sering terjadi perbedaan persepsi dimana hal pemecahan perkara

(splitsing)239 tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 168 huruf c KUHAP yang

menentukan bahwa tidak boleh didengar sebagai saksi dan dapat mengundurkan

diri sebagai saksi adalah suami/isteri terdakwa. Ketentuan tentang suami atau

isteri terdakwa mudah dimengerti, tetapi yang bersama-sama sebagai terdakwa

dalam satu perkara korupsi masih sering ada perbedaan persepsi antara penegak

hukum dalam prakteknya.

Terdapat ketentuan bahwa apabila terdakwa dijatuhi putusan secara in

absentia, maka terdakwa atau kuasa hukumnya dapat mengajukan banding. Pada

Pasal 38 ayat (4) UU TPK memang tidak menentukan secara tegas siapa yang

mempunyai hak untuk upaya hukum, sehingga dalam praktek sering ditafsirkan

bahwa upaya hukum ini dapat dilakukan oleh “kuasa atau penasihat hukumnya

tanpa kehadiran terdakwa”. Hal ini dapat menyebabkan dan mendorong tersangka

pelaku tindak pidana korupsi untuk melarikan diri karena hak-haknya sebagai

terdakwa tetap dilindungi oleh hukum melalui kuasa atau penasihat hukumnya.

Dalam pasal ini, tidak terdapat penjelasan secara tegas, sehingga sering

ditafsirkan hal ini dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Secara implisit

ketentuan banding ini dapat dilihat dalam Pasal 233 KUHAP, menyebutkan :

(1) Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang khususnya dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.

(2) Hanya permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) boleh diterima oleh Panitera PN dalam waktu tujuh hari sesudah putusan

239 Menurut Andi Hamzah dalam Hukum Acara …, Op.cit., hal. 164, dalam Pedoman

Pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa biasanya splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling manjadi saksi, sehingga untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap tersangka maupun saksi.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 133: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

122

dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2).

(3) Tentang permintaan itu oleh panitera dibuat sebuah surat keterangan yang ditandatangani olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya diberikan kepada pemohon yang bersangkutan.

(4) Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera dengan disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis dalam daftar perkara pidana.

Melihat ketentuan dalam Pasal 233 KUHAP tersebut, maka untuk tindak pidana

korupsi yang diputus tanpa kehadiran atau dihadiri terdakwa (in absentia),

terdakwa melalui kuasa hukumnya dapat mengajukan banding sesuai ketentuan

itu. Ketentuan ini menjadi faktor pendorong bagi terdakwa untuk tidak hadir

dalam sidang pengadilan misalnya dengan melarikan diri. Hal ini dimungkinkan

karena tanpa kehadiranpun, maka hak-hak terdakwa tetap dilindungi oleh

ketentuan hukum yang berlaku (Pasal 38 ayat (4) UU TPK).

Kesulitan-kesulitan teknis berkaitan dengan pelaksanaan peradilan in absentia

terjadi sejak tahap penyidikan, yaitu antara lain (1) kesulitan mengumpulkan alat-alat

bukti, dan (2) kesulitan melakukan penyitaan aset-aset hasil tindak pidana korupsi

terutama yang telah dialihkan ke tangan orang lain dan atau dilarikan ke luar negeri.

Sedangkan dalam proses persidangan dan eksekusi permasalahan yang dihadapi

adalah : (1) perbedaan keterangan saksi-saksi, (2) perbedaan jumlah barang bukti

yang disita dari terdakwa, dan (3) barang bukti yang disita kurang mencukupi uang

pengganti. Permasalahan selanjutnya adalah berkaitan dengan kesulitan dalam

eksekusi badan, denda dan uang pengganti, nilai barang bukti yang disita megalami

penurunan/penyusutan karena rusak atau hancur.240

Terkait kewenangan yang dimiliki KPK, hanya bisa digunakan pada saat

seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa. Sedangkan untuk

menetapkan status seseorang menjadi tersangka tidaklah mudah mengingat KPK

tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Hal ini tentu saja

kurang mendukung upaya KPK dalam menghadapi kompleksitas modus dalam

mengaburkan dan menghapuskan jejak hasil tindak pidana korupsi. Kesulitan untuk

mendeteksi hasil tindak pidana korupsi ini semakin bertambah ketika pemindahan

hasil tindak pidana korupsi ke luar negeri sudah dilakukan. Dari pengalaman

240 Marwan Effendy, Op.cit., hal. 67 – 68.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 134: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

123

berbagai negara yang berusaha mendapatkan kembali hasil tindak pidana korupsi

yang dilarikan ke luar negeri, dibutuhkan waktu yang panjang dan usaha yang

serius baik dalam skala domestik maupun internasional.241

Meskipun Indonesia telah meratifikasi KAK ternyata masih banyak

menemui kendala. Perjanjian ekstradisi dan Mutual Legal Assistance (MLA)

dengan negara lain juga tidak menjadi jaminan kelancaran proses pengembalian

aset. Permasalahan tersebut antara lain berkaitan dengan perbedaan sistem hukum

yang diterapkan negara satu dengan yang lain sehingga sangat mempengaruhi

proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Pengembalian aset di luar

negeri sangat tergantung dengan perjanjian hukum antar dua negara korban

dengan negara penerima. Selain itu perlu ada mekanisme kesepakatan antara

negara yang tertuang dalam MLA. Kendala lain adalah adanya persyaratan dari

beberapa negara yaitu bahwa harus ada perintah tertulis pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi dalam putusan hakim. Sedangkan peraturan perundang-

undangan di Indonesia belum mencantumkan ketentuan mengenai hal ini.

Permasalahan fundamental berkaitan dengan aset hasil tindak pidana

korupsi di Indonesia selama ini adalah karena aset hasil tindak pidana korupsi

cenderung diabaikan dan hanya diberi atribut sebagai barang bukti hasil kejahatan

sebagaimana diatur dalam KUHAP sehingga penanganannya menjadi kabur dan

menciptakan kesemrawutan penegakan hukum oleh aparat hukum. Pengabaian

terhadap aset hasil tindak pidana korupsi ini ditempatkan sebagai dasar kajian

formulasi hukum dalam RUU PA.242 Konsideran RUU PA menyebutkan bahwa

sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak pidana

korupsi berikut instrumen yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, pada

saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan

meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.

Definisi aset dalam RUU PA adalah semua benda bergerak atau benda

tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan yang mempunyai

nilai ekonomis. Definisi aset dalam RUU PA ini sejalan dengan istilah hasil tindak

241 Laporan World Bank, Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative : Challenges

Opportunities and Action Plan, (Washington DC, 2007), hal. 18 – 25. 242 Baryanto, Tinjauan RUU Perampasan Aset dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana

Indonesia, (Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXV No. 296 Juli 2010), hal. 57.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 135: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

124

pidana korupsi yaitu setiap aset yang diperoleh secara langsung maupun tidak

langsung dari suatu tindak pidana termasuk kekayaan yang kedalamnya kemudian

dikonversi, diubah, atau digabungkan dengan kekayaan yang dihasilkan atau

diperoleh langsung dari tindak pidana tersebut, termasuk pendapatan, modal,

atau keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut dari

waktu ke waktu sejak terjadinya tindak pidana tersebut. Istilah aset ini memiliki

pengertian yang berbeda dengan istilah benda dalam KUHAP.243 Benda dalam

KUHAP lebih menekankan kepada benda (barang) yang terkait dengan tindak

pidana, sedangkan aset lebih ditujukan pada benda bergerak atau benda tidak

bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan yang mempunyai nilai

ekonomis serta aset tersebut diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana.

Formulasi aset dalam RUU PA tidak sama dengan jenis aset yang dapat

dirampas sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) RUU PA yang didalamnya

mencakup pula mengenai aset yang dipergunakan secara langsung untuk

melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya dan bahkan aset yang

diduga akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Kerancuan ini terjadi

karena belum ada kesamaan rumusan istilah dalam RUU PA. Karena RUU PA

ingin mengatur tentang aset seharusnya secara kontekstual harus digunakan istilah

aset, tidak menggunakan istilah benda.

Proses perampasan aset diatur dalam RUU PA meliputi tindakan-tindakan

sebagai berikut :

(1) Penelusuran

Penelusuran adalah upaya untuk mengikuti, mengungkap atau memastikan

keberadaan suatu aset hasil tindak pidana melalui pencarian atau penelitian

terhadap bahan keterangan atau bukti yang ditemukan.244 Penelusuran ini

dilakukan oleh institusi penegak hukum antara lain penyelidik, penyidik atau

Jaksa Penuntut Umum.245 Ketentuan ini memberikan ruang seluas-luasnya kepada

penegak hukum untuk menelusuri aset secara optimal. Wewenang penelusuran

aset ini dapat diupayakan dan dilaksanakan sejak tahap penyelidikan hingga

penuntutan.

243 Lihat : penjelasan Pasal 1 angka 16 KUHAP. 244 Pasal 1 angka 3 RUU PA. 245 Pasal 2 ayat (1) RUU PA.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 136: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

125

Tindakan hukum penelusuran aset memungkinkan dibentuknya suatu

satuan tugas gabungan yang terdiri dari instansi-instansi terkait yang dalam

melaksanakan penelusuran aset dapat bekerjasama dengan badan-badan lain baik

dari dalam negeri maupun luar negeri. Hasil penelusuran yang substansinya

mendukung proses pembuktian tindak pidana selanjutnya diberitahukan kepada

penyidik atau penuntut umum.246

(2) Pemblokiran

Pemblokiran adalah pembekuan sementara aset dengan tujuan untuk

mencegah dialihkannya atau dipindahtangankan.247 Pemblokiran dapat dilakukan

apabila penyidik atau penuntut umum terhadap aset yang dapat diterangkan oleh

pemilik atau yang menguasainya, tidak terang siapa pemiliknya, serta aset yang

diduga diperoleh dari memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara

melawan hukum atau aset yang diduga merupakan hasil dan/atau alat melakukan

perbuatan melanggar hukum.248 Pemblokiran dilakukan oleh Penyedia Jasa

Keuangan atas perintah penyidik atau penuntut umum sesuai kewenangan

berdasarkan undang-undang.249

Terkait jangka waktu, pemblokiran dilakukan untuk jangka waktu paling

lama 30 (tiga puluh) hari dan selama pemblokiran, penyidik atau penuntut umum

mengumumkan aset tersebut sekurang-kurangnya di papan pengumuman

pengadilan negeri, media massa, media elektronik, dan internet guna memberikan

kesempatan kepada orang yang berhak atau pihak ketiga yang beritikad baik

untuk mengajukan keberatan.

(3) Penyitaan

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih

atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,

berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian, penyidikan,

penuntutan dan peradilan.250 Penyitaan dalam RUU PA identik dengan penyitaan

yang diatur dalam KUHAP. Namun, RUU PA memungkinkan juga penyitaan di

luar KUHAP yang dilakukan oleh Jaksa Agung dengan surat izin penyitaan dari

246 Pasal 4, 5 dan 7 RUU PA. 247 Pasal 1 angka 5 RUU PA. 248 Pasal 14 RUU PA. 249 Pasal 15 RUU PA. 250 Pasal 1 angka 6 RUU PA.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 137: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

126

Ketua Pengadilan Negeri.

Pasal 21 RUU PA menyatakan bahwa yang dapat dikenakan penyitaan

adalah : (1) benda sebagaimana diatur di dalam hukum acara pidana; (2) aset hasil

tindak pidana; (3) benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana; (4)

benda yang akan digunakan untuk melakukan tindak pidana; (5) benda lain yang

mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan tindak pidana

yang dilakukan; dan (6) benda yang berada dalam sitaan karena perkara

perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk sepanjang memenuhi

ketentuan ayat (1). Penyidik diwajibkan mengumumkan penyitaan yang telah

dilakukan kepada masyarakat melalui surat kabar daerah, surat kabar

nasional, papan pengumuman pengadilan negeri di daerah hukum tempat benda

disita dan secara on line paling lambat 3 hari kerja sejak dilakukan penyitaan.251

Terhadap penyitaan ini dapat dilakukan upaya hukum berupa keberatan

kepada Ketua Pengadilan Negeri dan diajukan paling lambat 60 (enampuluh) hari

sejak aset tersebut disita. Apabila dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak

barang disita tidak ada pihak yang mengajukan keberatan terhadap benda yang

disita, maka penyidik mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk

menetapkan benda yang disita tersebut sebagai milik negara.252

(4) Perampasan In Rem

Definisi perampasan yaitu upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan

atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang

dari tindak pidana yang dilakukannya baik di Indonesia aatau di negara asing.253

Aset yang dapat dikenakan perampasan adalah :254

(a) benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian

diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

(b) benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak

pidana atau untuk mempersiapkannya;

(c) benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak

pidana;

251 Pasal 23 dan 24 RUU PA. 252 Pasal 26 dan 27 RUU PA. 253 Pasal 1 angka 7 RUU PA. 254 Pasal 29 RUU PA.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 138: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

127

(d) benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

(e) benda lain yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung

dengan tindak pidana yang dilakukan;

(f) benda yang diduga diperoleh atau berasal dari kegiatan tidak sah atau

memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum;

(1) benda yang merupakan barang temuan.

Perampasan menurut RUU PA dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu :

perampasan in rem dan perampasan pidana.

Perampasan in rem adalah tindakan negara mengambil alih aset melalui

putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih

kuat bahwa aset tersebut yang diduga berasal dari tindak pidana atau digunakan

untuk tindak pidana.255 Perampasan in rem dilaksanakan dengan cara Jaksa

Agung memberikan kuasa khusus kepada Jaksa Pengacara Negara di daerah

hukum tempat barang atau aset untuk diserhakan kepada Badan Pengelola Aset

(BPA), kemudian Jaksa Pengacara negara mengajukan permohonan tertulis

dengan memuat sekurang-kurangnya : (a) jenis, jumlah dan taksiran nilai barang

yang akan dirampas, (b) tempat barang ditemukan atau disita, (c) dari siapa

barang disita, dan (d) alasan perampasan in rem.256

Berkaitan dengan barang yang akan dirampas, Jaksa Pengacara Negara

mengajukan bukti minimum di depan persidangan untuk membuktikan bahwa

barang yang digugat adalah diduga kuat berasal dari suatu tindak pidana dan/atau

merupakan hasil tindak pidana dan/atau digunakan untuk melakukan suatu tindak

pidana dan/atau merupakan aset diperoleh dari kegiatan tidak sah. Bukti minimum

dimaksud adalah dugaan yang didapat dari kegiatan penelusuran.257 Hakim

selanjutnya menilai kekuatan bukti-bukti yang diajukan tersebut dengan tidak

terikat pada ketentuan alat bukti sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata.

Hasil penilaian Hakim diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri selambat-

lambatnya 3 (tiga) hari sejak permohonan diajukan. Ketua Pengadilan Negeri

mengeluarkan penetapan atas permohonan tersebut yang dapat berupa penetapan

mengabulkan atau menolak permohonan perampasan in rem. Dalam proses ini

255 Pasal 1 angka 8 RUU PA. 256 Pasal 30 RUU PA. 257 Pasal 31 RUU PA.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 139: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

128

pihak ketiga dapat mengajukan keberatan kepada BPA. Atas penolakan BPA,

pihak ketiga dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Pihak ketiga yang

merasa mempunyai kepentingan atas harta perampasan in rem yang telah

mendapat penetapan Pengadilan Negeri dapat mengajukan keberatan kepada

BPA. Dalam hal ini berlaku asas actori incumbis probatio (pihak yang

mendalilkan, yang harus membuktikan dalilnya tersebut) bagi pihak ketiga.258

(5) Perampasan Pidana

Perampasan pidana adalah tindakan negara menuntut mengambil alih aset

melalui putusan pengadilan dalam perkara pidana.259 Perampasan pidana

dilakukan terhadap barang yang terkait langsung dengan tindak pidana dan

dijadikan sebagai barang bukti di dalam berkas perkara. Tata cara perampasan

pidana dimaksud dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana.260 Sesuai

hukum acara pidana maka perampasan pidana dilakukan oleh jaksa sebagai

pelaksana/eksekutor putusan pidana.

Ketentuan-ketentuan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam

RUU Aset telah mencerminkan ketentuan-ketentuan dan tahapan-tahapan di

dalam KAK, meskipun masih banyak terdapat beberapa kerancuan istilah.

Menjadi suatu hal yang penting adanya persamaan persepsi dan visi, bukan saja

berkaitan dengan penerjemahan melainkan juga pada tahapan proses

pengembalian hasil tindak pidana.261 Misalnya berkaitan dengan upaya penyitaan

yang jika mengacu pada proses pengadilan menurut KUHAP dan urutan yang

selalu disebutkan dalam KAK, selalu menyebutkan urutan proses tindakan. Pasal

31 KAK disebutkan sebagai freezing, seizure, dan confiscation. Hal ini

menggambarkan tentang proses pembekuan pada saat penuntutan. Seizure atau

forfeiture adalah proses penyitaan sebelum putusan pengadilan dan confiscation

adalah untuk tahap perampasan pada saat telah ada putusan pengadilan.

Confiscation dalam KAK adalah penyitaan setelah putusan, yang jika disesuaikan

258 Pasal Pasal 32 – 34 RUU PA. 259 Pasal 1 angka 9 RUU PA. 260 Pasal 35 RUU PA. 261 Yenti Garnarsih, Asset Recovery Act sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil

Korupsi, (Jakarta, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hal. 633.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 140: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

129

dengan KUHAP disebut sebagai perampasan.262 Jadi dalam putusan harus

disebutkan dengan tegas perintah untuk perampasan.

Dalam setiap putusan pengadilan yang berkaitan dengan upaya

pengembalian aset dari tersangka, terdakwa dan terpidana tindak pidana korupsi

terutama jika asetnya berada di luar negeri maka putusan pengadilan

memerintahkan untuk perampasan aset tersebut secara tegas dan detail tentang

bentuk kebendaan, lokasi dan dalam penguasaan atau kepemilikan siapa.

Konsekuensi yang lain, Indonesia juga perlu mengatur ketentuan perundang-

undangan untuk melaksanakan putusan hakim dari negara lain tentang

perampasan aset yang ada di Indonesia.263

Selain berkaitan dengan peristilahan, dalam membangun sistem hukum

tentang pengembalian hasil tindak pidana korupsi, Indonesia dihadapkan pada

permasalahan perbedaan sistem hukum. Indonesia menganut Civil Law System

yang hanya menganut gugatan in personam dimana pengembalian aset hanya

berdasarkan tuntutan pidana atau criminal forfeiture. Hal ini mengingat bahwa

dalam melaksanakan kerjasama internasional dalam pengembalian aset akan

selalu berhubungan dengan negara lain yang menganut sistem hukum common

law. Untuk itu perlu dipikirkan pembangunan sistem hukum pengembalian hasil

tindak pidana korupsi dengan gugatan in rem atau non convicted conviction atau

civil forfeiture. Selain itu juga harus dipikirkan mengenai hukum acara permintaan

in rem dan juga in personam ke negara lain, mengingat diperlukan suatu putusan

pengadilan dari Indonesia. Sejauh ini Indonesia belum mempunyai dasar hukum

dan prosedur bagi hakim untuk memutuskan pengembalian (perampasan) hasil

korupsi.

Permasalahan selanjutnya adalah berkaitan dengan central authority, yaitu

dalam menentukan lembaga yang paling tepat untuk melakukan permohonan

pengembalian hasil tindak pidana korupsi atau sebaliknya.264 Indonesia

menetapkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) sebagai central

authority. Keberadaan Kemkumham nampaknya tidak tepat dan berpotensi akan

ditolaknya permintaan pengembalian hasil tindak pidana korupsi yang berada di

262 Ibid. 263 Ibid., hal. 234. 264 Ibid., hal. 641.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 141: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

130

luar negeri. Hal ini dikarenakan Kemkumham merupakan lembaga yang hanya

memiliki kewenangan administrasi dan tidak memiliki kewenangan langsung

untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pada beberapa

negara, central authority berada pada Departement of Justice yang membawahi

secara langsung proses penyidikan dan penuntutan. Mengacu pada hal tersebut,

sebaiknya central authority Indonesia berada di bawah Kejaksaan Agung.

Meskipun hingga saat ini RUU Perampasan Aset masih dalam

pembahasan, hal-hal tersebut di atas dapat menjadi argumentasi pentingnya

pengaturan yang khusus berkaitan dengan pengembalian hasil tindak pidana

korupsi. Setelah Indonesia meratifikasi KAK, implikasi logis yang muncul adalah

Indonesia harus segera menyesuaikan hukum nasionalnya dengan ketentuan

KAK. Harus dipahami dengan benar, bahwa proses pengembalian hasil tidak

pidana korupsi tidaklah semudah seperti apa yang telah diatur dalam KAK karena

masih ada beberapa persyaratan yang bersifat khusus. Selain itu, Indonesia juga

mengatur Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2006 dimana salah satu prinsipnya adalah resiprokal yaitu jika Indonesia

menginginkan aset yang dilarikan ke negara lain dikembalikan ke Indonesia,

maka Indonesia juga harus menyediakan mekanisme yang mengatur aset dari

negara lain yang disembunyikan di Indonesia.

Dalam konteks rumitnya proses pengembalian hasil tindak pidana korupsi

tersebut di atas, menjadi sangat penting untuk memberikan batas perkara-perkara

mana saja yang diprioritaskan menggunakan proses peradilan in absentia yaitu

terhadap perkara yang asetnya besar dan dapat disita. Besarnya aset yang dapat

disita harus sebanding dengan biaya yang dikeluarkan negara dalam proses

pengembalian aset dimaksud. Selain itu perlu dipertimbangkan juga efek jera dari

suatu perkara sehingga upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat

mencapai tujuan yang diinginkan yaitu memberikan efek jera dan mengembalikan

kerugian atau kekayaan negara.

Berdasarkan hasil pembahasan tersebut di atas, pada bab selanjutnya akan

disampaikan kesimpulan yang merupakan jawaban atas semua permasalahan yang

telah diuraikan sebelumnya, dan saran yang berkaitan dengan peradilan in

absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 142: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

131

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

1. Proses peradilan pidana dilaksanakan berdasarkan proses hukum yang adil

(due process of law) dimana hak-hak pelaku tindak pidana dilindungi dan

dianggap sebagai bagian dari hak-hak warga negara (civil rights) yang

merupakan bagian dari HAM. Salah satu hak dimaksud adalah hak kehadiran

terdakwa di muka pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3)

huruf d KIHSP. Pelaksanaan peradilan in absentia dalam perkara tindak

pidana korupsi seakan-akan telah melanggar hak tersebut. Dengan

menggunakan asas derogasi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)

KIHSP, diketahui bahwa hak-hak yang terdapat di dalam Pasal 14 KIHSP

merupakan hak asasi yang dapat ditunda pemenuhannya (derogable rights).

Ketentuan ini diperkuat dengan Pasal 29 DUHAM yang menegaskan bahwa

pembatasan hak-hak asasi individu dapat dibenarkan sepanjang bertujuan

untuk melindungi hak- hak asasi yang lebih luas, dalam hal ini adalah hak

negara, dengan syarat diatur dalam bentuk undang-undang. Berdasarkan

ketentuan ini, pelaksanaan peradilan in absentia harus dilakukan berdasarkan

KUHAP terutama berkaitan dengan tata cara pemanggilan yang sah.

Ketidakmampuan negara untuk menghadirkan terdakwa di muka persidangan

harus dikemukakan dan dibuktikan sebagai alasan yang obyektif. Hal ini

sangat penting dikarenakan syarat mutlak dapat dilaksanakannya peradilan in

absentia adalah (1) harus dipanggil terlebih dulu secara sah, dan (2) tidak

hadir tanpa alasan yang sah. Mengenai ketidakhadiran terdakwa, di satu sisi

KUHAP memberikan hak untuk menghadiri sidang untuk melakukan

pembelaan terhadap dirinya. Namun di sisi lain, terdakwa secara sengaja tidak

berkeinginan menggunakan hak tersebut. Hal ini merupakan upaya terdakwa

secara sengaja menghindarkan diri dari pemeriksaan. Dalam konteks ini, hak

membela diri terdakwa dapat ditunda pemenuhannya.

2. Penerapan peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi tidak

terlepas dari proses peradilan tindak pidana pada umumnya yang meliputi

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 143: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

132

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam perkara

tindak pidana korupsi, pelaksanaan proses dimaksud berdasarkan pada hukum

acara yang berlaku (KUHAP) kecuali ditentukan lain dalam UU TPK.

Berkaitan dengan penyidikan dan persidangan in absentia, prosedur

pemanggilan tersangka dan terdakwa memegang peranan yang penting. Hal

ini dikarenakan jika prosedur pemanggilan tersebut tidak dilaksanakan

sebagaimana mestinya atau tidak sah menurut KUHAP, maka surat dakwaan

akan dinyatakan tidak dapat diterima.

Tujuan dilaksanakannya peradilan in absentia adalah untuk menyelamatkan

kekayaan negara melalui pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Salah

satu instrumen yang digunakan dalam pengembalian aset dimaksud adalah

melalui instrumen pidana berupa penyitaan dan perampasan sebagaimana

diatur dalam KUHAP dan UU TPK. Terhadap aset hasil tindak pidana korupsi

yang berada di dalam negeri, instrumen pidana dimaksud dapat secara

langsung dilaksanakan. Sedangkan untuk aset yang dilarikan atau

disembunyikan pelaku tindak pidana korupsi ke luar negeri, Indonesia

mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KAK yang telah

diratifikasi Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.

Ketentuan-ketentuan dalam KAK mengatur tahapan-tahapan pengembalian

aset yang meliputi : (1) pelacakan aset, (2) pembekuan atau perampasan aset,

(3) penyitaan aset-aset, dan (4) pengembalian dan penyerahan aset-aset kepada

negara korban. Tahapan-tahapan ini mengedepankan kerjasama internasional

dalam pelaksanaannya yaitu antara lain berupa perjanjian ekstradisi dan

bantuan hukum timbal balik. Selain itu, diperlukan juga dukungan hukum

nasional berupa implementasi KAK ke dalam sistem hukum nasional.

Berkaitan dengan hal ini, Indonesia telah memiliki UU KPK dan UU TPK.

Untuk memperkuat kedua undang-undang tersebut, pemerintah sedang

menyusun RUU Pengembalian Aset yang menagtur mekanisme perampasan

aset secara komprehensif dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan di

dalam KAK.

Berdasarkan 2 (dua) putusan yang menyidangkan terdakwa tindak pidana

korupsi secara in absentia yaitu perkara dengan terdakwa Hendra Rahardja

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 144: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

 

133

serta terdakwa Hesham dan Rafat, dapat diketahui bahwa proses pemanggilan

secara patut sangat penting dalam peradilan in absentia. Pemanggilan yang

patut ini menjadi justifikasi bagi hakim untuk melaksanakan peradilan in

absentia tanpa melanggar hak asasi terdakwa. Berkaitan dengan upaya

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai tindak lanjut putusan

peradilan in absentia, meskipun Indonesia telah memiliki perjanjian ekstradisi

dan MLA, namun dalam pelaksanaannya tidak dapat menjamin kelancaran

proses pengembalian aset dimaksud. Proses pengembalian aset dilaksanakan

melalui proses yang rumit dan memakan waktu yang lama serta jumlah aset

yang dikembalikan masih belum maksimal.

3. Pelaksanaan peradilan in absentia dalam peranannya berkaitan dengan

pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berhadapan dengan sejumlah

permasalahan yang berkaitan dengan peradilan in absentia itu sendiri maupun

proses pengembalian aset. Permasalahan mendasar adalah berkaitan dengan

masih terdapatnya ketidaksamaan persepsi dalam menyikapi ketentuan-

ketentuan yang berlaku terutama dalam peradilan in absentia yaitu dalam hal

penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh beberapa orang

terdakwa terkait dengan pemecahan perkara (splitsing) dan penafsiran hak

untuk mengajukan upaya hukum dalam perkara in absentia yang lebih lanjut

dapat menyebabkan dan mendorong pelaku tindak pidana korupsi untuk

melarikan diri dan tidak menghadiri persidangan. Selain itu muncul kesulitan-

kesulitan teknis yang terjadi sejak tahap penyidikan sampai dengan eksekusi.

Permasalahan lain adalah berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki KPK

yang hanya bisa digunakan pada tahap penyidikan, sedangkan proses untuk

menetapkan tersangka tidak mudah mengingat KPK tidak memiliki

kewenangan untuk menghentikan penyidikan.

Sedangkan permasalahan fundamental yang berkaitan dengan pengembalian

aset adalah aset hasil tindak pidana korupsi cenderung diabaikan dan hanya

diberi atribut sebagai barang bukti hasil kejahatan sebagaimana diatur dalam

KUHAP sehingga penanganannya tidak maksimal. Selain itu, perbedaan

sistem hukum Indonesia dengan negara lain sangat mempengaruhi proses

pengembalian aset. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya mekanisme

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 145: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

134

kesepakatan antar negara yang tertuang dalam MLA dan persyaratan harus

adanya perintah tertulis pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam

putusan hakim, sedangkan perundang-undangan di Indonesia belum

mengaturnya.

5.2. Saran

1. Perlu segera dilakukan penyesuaian dan persamaan persepsi ketentuan-

ketentuan dalam hukum nasional dengan ketentuan KAK terkait pemahaman

konsepsi dan ketentuan peradilan in absentia dalam upaya pengembalian aset

hasil tindak pidana korupsi. Ketentuan-ketentuan dimaksud yaitu antara lain

dalam hal : (1) penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

beberapa orang terdakwa terkait dengan pemecahan perkara (splitsing), (2)

hak untuk mengajukan upaya hukum dalam perkara in absentia (Pasal 38 ayat

(4) UU TPK), (3) perluasan kewenangan yang dimiliki KPK terutama dalam

rangka mendeteksi hasil tindak pidana korupsi yang disembunyikan atau

dilarikan, dan (4) ketentuan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan

putusan hakim dari negara lain tentang perampasan aset yang ada di Indonesia

dan hukum acaranya.

2. Perlu segera dilakukan penyempurnaan dan pengesahan RUU Perampasan

Aset dengan terlebih dahulu melakukan penyesuaian terhadap persepsi dan

visi KAK. Penyesuaian dimaksud terutama berkaitan dengan : (1) ruang

lingkup aset hasil tindak pidana korupsi yang selama ini cenderung diabaikan

dan hanya diberi atribut sebagai barang bukti hasil kejahatan sebagaimana

diatur dalam KUHAP sehingga penanganannya tidak maksimal, (2) istilah-

istilah dalam RUU PA dengan KAK untuk menghindari kerancuan istilah,

terutama berkaitan dengan istilah aset, dan (3) tahapan proses pengembalian

aset yang menggambarkan urutan proses tindakan.

3. Dalam masa transisi sebelum penyesuaian-penyesuaian dan pengesahan RUU

Perampasan Aset dilakukan, untuk sementara waktu perlu segera diatur

ketentuan yang mengharuskan Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutan

pidananya mencantumkan tindakan perampasan dan pengembalian pada kas

negara terhadap harta benda pelaku tindak pidana korupsi serta adanya

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 146: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

135

perintah tertulis pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam putusan

hakim pada perkara tindak pidana korupsi yang memenuhi unsur merugikan

keuangan negara atau kekayaan negara. Oleh karena ketentuan ini bersifat

teknis maka dapat diatur dalam peraturan yang bersifat teknis juga seperti

misalnya dalam Standart Operating Procedure (SOP/Prosedur Operasi Baku)

Kejaksaan Agung dan KPK dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).

Diharapkan dengan adanya pengaturan tentang keharusan adanya perintah

tertulis pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam putusan hakim

ini dapat mempermudah proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi

terutama yang disembunyikan atau dilarikan ke luar negeri.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 147: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

136

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta : Diadit Media, 2009.

Adji, Indriyanto Seno dan Juan Felix Tampubolon. Perkara H.M. Soeharto. Jakarta : Multi Mediametri, 2001.

Alam, Paku. Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi – Implementasinya di Indonesia. Jakarta : Forum Lintas Generasi, 2008.

Alatas. Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta : LP3ES, 1987.

Asshiddiqie, Jimly. Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta : Mahkamah Konstitusi RI, 2005.

_____________. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005.

_____________. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.

Atmasasmita, Romli. Pengkajian Hukum tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB. Jakarta : Departemen Hukum dan HAM RI - Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2008.

_____________. Pengkajian mengenai Implikasi Konvensi Menentang Korupsi 2003 ke dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Proposal, Departemen Kehakiman dan HAM RI – Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2004.

_____________. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010.

Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT Alumni, 2006.

_____________. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang : Bayumedia Publishing, 2005.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Davidson, Scoot. Hak Asasi Manusia Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional. Penerjemah A. Hadyana Pudjaatmaka. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1994.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 148: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

137

Effendy, Marwan. Peradilan In Absentia dan Koneksitas. Jakarta : PT Timpani Publishing, 2010.

Flemming, Matthew H. Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic Taxonomy : Draft for Comments, Version Date. London : University College, 2005.

Gautama, Sudargo. Pengertian tentang Negara Hukum. Bandung : Alumni, 1983.

Hadikusuma, Hilman. Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum. Bandung : Mandar Maju, 1995.

Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya : PT Bina Ilmu, 1987.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika, 2003.

Hakim, Abdul Aziz. Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011.

Hamzah, Andi. Hukum Pidana Ekonomi. Jakarta : Erlangga, 1986.

_____________. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.

Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988.

Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban yang Adil. Jakarta : Grasindo, 2004.

Loqman, Loebby. Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, 1996.

McWalters, Ian. Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan untuk Indonesia. Surabaya : JP Books, 2006.

M.D, Moh. Mahfud. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta : UII Press, 1993.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995.

Pieth, Mark. Recovering Stollen Assets. Bern : Internationaler Verlag der Wissenschaften, 2008

Prakoso, Djoko. Peradilan In Absentia di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 149: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

138

Prihartono, Dwiyanto. Sidang Tanpa Terdakwa, Dilema Peradilan In Absentia dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003.

Prodjohamidjojo, Martiman. Komentar atas KUHAP. Jakarta : Pradnya Paramita, 1990.

Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Ketiga. Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994.

_____________. Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kelima. Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 2007.

Rizal, Jufrina dan Agus Brotosusilo. Bahan Bacaan Program Magister Filsafat Hukum, Buku Ke-1. Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.

Rukmini, Mien. Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Peradilan Pidana Indonesia. Bandung : PT Alumni, 2007.

Smith, Rhona K.M. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII, 2008.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia Press, 2007.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Tahir, Heri. Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Yogyakarta : LaksBang Pressindo, 2010.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Yanuar, Purwaning M. Pengembalian Aset Hasil Korupsi – Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung : Alumni, 2007.

Jurnal/Makalah/Internet/Bahan Lain

Asshiddiqie, Jimly. Undang-Undang Dasar 1945 : Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan. Pidato diucapkan pada upacara pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 13 Juni 1998.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 150: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

139

Eddyono, Supriyadi Widodo. “Masa Depan Hukum Pengembalian Aset Kejahatan di Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Husein, Yunus. “Perampasan Hasil Tindak Pidana di Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Noor, Rasyid. “Korupsi dan Pemberantasannya di Indonesia”. Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIV No. 285 Agustus 2009.

Reksodiputro, Mardjono. Penyitaan dan Perampasan Aset dalam Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang (Catatan untuk Diskusi). Makalah disampaikan dalam Forum Group Discussion (FGD), PPATK tanggal 21 Juli 2009.

_____________. Tambahan Catatan dalam Rangka Sosialisasi RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. Makalah disampaikan dalam Sosialisasi RUU oleh Ditjend PP Depkumham, Hotel Maharani Jakarta tanggal 3 Agustus 2009.

Roach, Kent. ”Changing Punishment at the Turn of the Century : Restorative Justice on the Rise”. Canadian Journal of Criminology, Number 7, 2000.

Sadguna, I. Gede Made. “Peranan PPATK dalam Pemberantasan Korupsi Menuju Good Corporate Governance Sektor Keuangan”. Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24, Nomor 3, 2005.

Saly, Jeane Neltje. “Pengembalian Aset Negara Hasil Korupsi di Indonesia dalam Perspektif United Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC)”. Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Surowidjojo, Adil. “The United Nations Convention Against Corruption : How Will It Help Us?”. Jentera, Jurnal Hukum, Edisi 9, Tahun III, Juni 2005.

Wandatama, Ario dan Detania Sukarja. “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk Mendukung Stolen Asset Recovery (STAR) Initiative”. Makalah disampaikan dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional, Hotel Milenium Jakarta tanggal 28 – 29 Nopember 2007.

Wibowo, Edy. “Peranan Hakim dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi”. Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIV No. 279 Februari 2009.

Wulansari, Eka Martiana. “Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”. Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 151: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

140

dan Hak Asasi Manusia RI.

Yusuf, Muhammad. “Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi melalui NCB Asset Forfeiture”. Jurnal Legislasi Indonesia Volume 7 Nomor 4 Desember 2010, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Zehr, Howard. “Restorative Justice”. Restorative Justice Symposium, 1990.

Black's Law Dictionary 8th ed., West Group, 2004.

Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1979 – 1985.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 339/PID.B/2010/PN.JKT.PST tanggal 30 November 2010.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST tanggal 22 Maret 2002.

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 125/PID/2002/PT.DKI tanggal 8 November 2002.

Arif Wibowo, Teori Keadilan John Rawls, http://staff.blog.ui.ac.idteori-keadilan-john-rawls/.

Info Unit Kerja Kejaksaan Agung R.I., Tim Terpadu, http://www.kejaksaan.go.id.

U4 – Anti-corruption Resource Centre, http://www.u4.no/themes/uncac/asset-recovery.ctm.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. LN Tahun 2010 Nomor 122, TLN Nomor 5164.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN Nomor 5076.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003). LN Tahun 2006 Nomor 32, TLN Nomor 4620.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. LN Tahun 2002 Nomor 137, TLN Nomor 4250.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011

Page 152: PERADILAN IN ABSENTIA DALAM UPAYA …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270384-T28985-Peradilan in... · Konsepsi dan Dasar Hukum Peradilan . ... dalam Instrumen Hukum Internasional

141

Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. LN Tahun 2001 Nomor 134, TLN Nomor 4150.

Indonesia. Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. LN Tahun 1999 Nomor 165, TLN Nomor 3886.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia. LN Tahun 1994 Nomor 61, TLN Nomor 3568.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. LN Tahun 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, tanggal 13 Nopember 1998.

Peradilan in..., Riesa Susanti, FHUI, 2011