buku seri etnografi kesehatan ibu dan anak 2012; etnik mamasa, desa makuang, kecamatan messawa,...

141

Upload: pusat-humaniora-kebijakan-kesehatan-pemberdayaan-masyarakat

Post on 03-Jan-2016

878 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 perlu dilakukan?Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap fakta untuk membantu penyelesaian masalah kesehatan berbasis budaya kearifan lokal. Kegiatan ini menjadi salah satu fungsi dari Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Dengan demikian akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan status kesehatan di Indonesia.Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 12 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak dengan memperhatikan kearifan lokal.Sentuhan budaya dalam upaya kesehatan tidak banyak dilakukan. Dengan terbitnya buku hasil penelitian Riset Etnografi ini akan menambah pustaka budaya kesehatan di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat
Page 2: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

i

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Etnik Mamasa Desa Makuang Kecamatan Messawa

Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat

Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanKementerian Kesehatan Republik Indonesia

2012

Page 3: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012ii

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012Etnik Mamasa Desa Makuang Kecamatan MessawaKabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat

Penulis :1. Lely Indrawati2. Suharjo3. Nur Anita4. Haniel dominggus5. Nurcahyo Tri Arianto6. Sugeng Rahanto

Editor :1. Nurcahyo Tri Arianto2. Sugeng Rahanto

Disain sampul : Agung Dwi LaksonoSetting dan layout isi : Sutopo (Kanisius) Indah Sri Utami (Kanisius) Erni Setiyowati (Kanisius)

ISBN : 978-602-235-232-7Katalog :No. Publikasi :Ukuran Buku : 155 x 235Diterbitkan oleh : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI

Dicetak oleh : Percetakan Kanisius

Isi diluar tanggungjawab Percetakan

Page 4: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

iii

Buku seri ini merupakan satu dari dua belas buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan ibu dan Anak tahun 2012 di 12 etnik.

Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.03.05/2/1376/2012, tanggal 21 Februari 2012, dengan susunan tim sebagai berikut:

Ketua Pengarah : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kese­hatan Kemkes RI

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH)Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MScSekretariat : dr. Trisa Wahyuni Putri, MKesAnggota Mardiyah SE, MM Drie Subianto, SE Mabaroch, SSosKetua Tim Pembina : Prof. Dr. Herman Sudiman, SKM, MKesAnggota : Prof. A.A.Ngr. Anom Kumbara, MA Prof. Dr. dr. Rika Subarniati, SKM Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, MKes Sugeng Rahanto, MPH, MPHMKetua tim teknis : Drs. Setia Pranata, MSiAnggota Moch. Setyo Pramono, SSi, MSi Drs. Nurcahyo Tri Arianto, MHum Drs. FX Sri Sadewo, MSiKoordinator wilayah 1. Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah : Dra. Rachmalina S Prasodjo,

MScPH2. Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo : dr. Betty Rooshermiatie,

MSPH, PhD3. Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua : Agung Dwi Laksono, SKM,

MKes4. Daerah Istimewa Yogjakarta, Jawa Timur, Bali : Drs. Kasnodihardjo

Page 5: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012iv

Page 6: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

v

KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 perlu dila­kukan ?

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indo nesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap fakta untuk membantu penyelesaian masalah kesehatan berbasis budaya kearifan lokal. Kegiatan ini menjadi salah satu fungsi dari Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.

Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara­cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat dengan kearifan lokal masing­masing daerah. Dengan demi­kian akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan status kesehatan di Indonesia.

Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 12 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna me­nyingkap kembali dan menggali nilai­nilai yang sudah tertimbun agar da pat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak dengan memperhatikan kearifan lokal.

Sentuhan budaya dalam upaya kesehatan tidak banyak dilakukan. Dengan terbitnya buku hasil penelitian Riset Etnografi ini akan menambah pustaka budaya kesehatan di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam

Page 7: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012vi

penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan­Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Desember 2012

Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI

Drg. Agus Suprapto, M.Kes

Page 8: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

vii

SAMBUTANKepala Badan Litbang Kesehatan

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur kepada Allah SWT kami panjatkan, karena hanya dengan rahmat dan karuniaNya Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 ini dapat diselesaikan. Buku seri merupakan hasil paparan dari penelitian etnografi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang merupakan langkah kon krit untuk memberikan gambaran unsur budaya terkait KIA yang berbasis il­miah.

Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menjadi prioritas utama Program pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia. Penyelesaian masalah KIA belum menunjukkan hasil sesuai harapan yaitu mencapai target MDGs berupa penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 23/1000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Upaya medis sudah banyak dilakukan, sedangkan sisi non medis diketahui juga berperan cukup kuat terhadap status Kesehatan Ibu dan Anak. Faktor non medis tidak terlepas dari faktor­faktor sosial budaya dan lingkungan dimana mereka berada.

Melalui penelitian etnografi ini, diharapkan mampu menguak sisi budaya yang selama ini terabaikan. Budaya memiliki kekhasan tertentu, sehingga pemanfaatan hasil penelitian ini memerlukan kejelian pelak-sana atau pengambil keputusan program kesehatan agar dapat berdaya guna sesuai dengan etnik yang dipelajari. Kekhasan masing­masing etnik merupakan gambaran keragaman budaya di Indonesia dengan berbagai permasalahan KIA yang juga spesifik dan perlu penanganan spesifik pula. Harapan saya, buku ini dapat dimanfaatkan berbagai pihak untuk mema-hami budaya setempat dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mengurai dan memecahkan permasalahan KIA pada etnik tertentu.

Ucapan terimakasih khususnya kepada tim peneliti dan seluruh pihak terkait merupakan hal yang sudah selayaknya. Kerja keras dan cerdas,

Page 9: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012viii

tanpa kenal lelah, merupakan bukti integritasnya sebagai peneliti Badan Litbangkes.

Akhir kata, bagi tim peneliti, selamat berkarya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan keejahteraan masyarakat. Semoga buku ini bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Wabillahitaufik wal hidayah, wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, Desember 2012

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

DR. dr. Trihono, MSc.

Page 10: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................................... iii

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KESEHATAN ........................................................ vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................................................................ ix

Daftar Gambar ............................................................................................................................................................ xi

Bab I PENDAHULUAN ......................................................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................. 1 1.2 Masalah Penelitian ................................................................................................................. 3 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................................................... 3 1.4 Metodologi Penelitian ....................................................................................................... 4

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN.......................................................................................... 7

2.1. Sejarah Kabupaten Mamasa ...................................................................................... 9 2.2 Geografi dan Kependudukan ..................................................................................... 20 2.3. Sistem Religi.................................................................................................................................... 35 2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan ......................................................... 44 2.5. Pengetahuan .................................................................................................................................. 49 2.6 Bahasa ................................................................................................................................................... 60 2.7 Kesenian .............................................................................................................................................. 62 2.8 Mata Pencaharian ................................................................................................................... 66 2.9 Teknologi dan Peralatan .................................................................................................. 70

BAB III BUDAYA KESEHATAN IBU DAN ANAK ................................................................ 73

3.1. Kesehatan Ibu ............................................................................................................................. 73 3.2. Kesehatan Anak (Neonatus dan Bayi) ............................................................ 88 3.3. Pola Pencarian Pengobatan (Health Seeking Behaviour) dalam KIA ........................................................................................................................................... 94 3.4 Kematian Ibu dan Bayi ....................................................................................................... 98 3.5 Penggunaan Jamkesmas dan Jampersal...................................................... 99

Page 11: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012x

BAB IV KEPERcAYAAN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK ................................................................................................................................. 103

4.1. Kepercayaan Masyarakat terhadap Bidan dalam Membantu Keha milan dan Persalinan .......................................................... 103

BAB V POTENSI DAN KENDALA BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN IBU DAN ANAK ...................................... 109

5.1 Perilaku Kesehatan Ibu dan Anak yang Menjadi Potensi (Stimulus) ................................................................................................................... 110 5.2 Perilaku Kesehatan Ibu dan Anak yang Menjadi Kendala (Ham batan) .................................................................................................................................... 112 5.3. Perilaku Masayarakat Makuang yang Menjadi Potensi Budaya da lam Mendukung Pengembangan Program KIA .................................................................................................................................... 114

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................... 115

6.1. Kesimpulan ..................................................................................................................................... 115 6.2. Saran ........................................................................................................................................................ 116

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................................... 119

DAFTAR ISTILAH ..................................................................................................................................................... 121

Page 12: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bapak Ma’dika sebagai tomakaka Makuang ............................. 17Gambar 2.2 Kegiatan posyandu di Dusun Kondo .................................................... 19Gambar 2.3 Peta Kabupaten Mamasa .................................................................................. 21Gambar 2.4 Peta Kecamatan Messawa ............................................................................... 23Gambar 2.5 Sketsa peta Desa Makuang ............................................................................. 25Gambar 2.6 Pola pemukiman di Dusun Dambuala, Desa Makuang ................................................................................................................ 30Gambar 2.7 Banua dan alang di Dusun Dambuala .............................................. 32Gambar 2.8 Tongkonan (rumah adat) di Desa Makuang ............................... 33Gambar 2.9 Alang (lumbung) dari tongkonan ............................................................ 34Gambar 2.10 Upacara manukappa’ ............................................................................................. 39Gambar 3.11 Ibu sedang memberi ASI .................................................................................... 90Gambar 3.12 Nenek mengasuh sang cucu. ........................................................................ 90Gambar 3.13 Bayi tidur di ayunan ................................................................................................. 91

Page 13: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012xii

Page 14: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

1

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan Negara ASEAN lainnya. Survei Demografi Indonesia (SDKI) 2007 memberikan data bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 34 per 1.000 kelahiran hidup. Berdasarkan ke-sepakatan global MDGs (Millenium Development Goals) tahun 2000 diharapkan 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup 1). Berbagai upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dilakukan untuk mengatasi perbedaan yang sangat besar antara AKI dan AKB di negara maju dan di negara berkembang seperti Indonesia. Upaya KIA dilakukan untuk menyelamatkan perempuan agar kehamilan dan persalinan dapat dilalui dengan sehat, aman, dan dihasilkan bayi yang sehat.

Data Susenas 2007 menunjukkan bahwa hanya sekitar 35% penduduk sakit yang mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Tam pak­nya cukup banyak penduduk yang tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan. Terbukti 55,4% persalinan terjadi di fasilitas kesehatan dan masih ba­nyak, yaitu 43,2% persalinan dilakukan di rumah. Dari jumlah ibu yang melahirkan di rumah terdapat sebanyak 51,9% yang ditolong oleh bidan dan sebanyak 40,2 persen yang ditolong oleh dukun bersalin (Riskesdas 2010). Data Riskesdas 2010 juga menunjukkan bahwa setahun sebelum survei, sebanyak 82,2% persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, namun masih ada kesenjangan antara pedesaan (72,5%) dan perkotaan (91,4%). Masih tingginya pemanfaatan dukun bersalin serta keinginan masyarakat untuk melahirkan di rumah ternyata berkaitan dengan faktor­faktor sosial budaya.

Page 15: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 20122

Masalah kesehatan ibu dan anak tidak terlepas dari faktor­faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat tempat mereka berada. Disadari atau tidak, faktor­faktor kepercayaan dan pengetahuan tradisional seperti konsepsi­konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab akibat antara makanan dan kondisi sehat­sakit, dan kebiasaan sering kali membawa dampak positif atau negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Salah satu sebab mendasar masih tingginya kematian ibu dan anak adalah budaya, selain faktor­faktor lain seperti kondisi geografi, penyebaran penduduk, atau kondisi sosial ekonomi.

Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari masalah sosial budaya. Rencana strategi Kementerian Kesehatan tahun 2010­2014 ten­tang program Gizi dan KIA menyebutkan bahwa indikator tercapainya sasaran hasil tahun 2014 yaitu persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih sebesar 90% dan kunjungan neonatal pertama (KN_1) sebesar 90%, serta persentase balita yang ditimbang berat badan­nya (jumlah balita ditimbang/balita seluruhnya atau D/S) sebesar 85% (Kemenkes, 2010).2)

Luaran yang diharapkan adalah meningkatnya kualitas pelayanan ibu dan anak serta pelayanan reproduksi. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan strategi pembangunan kesehatan seperti yang tertuang dalam Rencana Pengembangan Jangka Panjang Bidang Kesehatan tahun 2005­2025 yang antara lain menyebutkan tentang pemberdayaan masyarakat. Peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan semakin penting. Masalah kesehatan perlu diatasi oleh masyarakat sendiri dan pemerintah. Keberhasilan pembangunan kesehatan, penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan harus berangkat dari masalah dan potensi spesifik daerah, termasuk di dalamnya sosial dan budaya setempat. Pemberdayaan ma-sya rakat berbasis pada masyarakat artinya pembangunan kesehatan berbasis pada tata nilai perorangan, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan permasalahan, serta potensi masyarakat (Depkes RI, 2009, SKN)3)

Kekayaan budaya Indonesia dari berbagai suku bangsa yang ter­sebar di seluruh Indonesia telah mewarnai upaya kesehatan. Upaya kese hatan tersebut berupa pelayanan konvensional dan tradisional, serta komplementer berbagai kegiatan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya kesehatan diselenggarakan guna menjamin terca pai­nya derajat kesehatan masyarakat setinggi­tingginya. Dalam hal pelayanan kesehatan meliputi pula pelayanan kesehatan yang dilakukan dengan cara­

Page 16: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

3

cara tradisional oleh masyarakat yang belum tentu terjamin keamanan dan khasiatnya.

1.2 Masalah Penelitian

Masalah KIA terkait sosial budaya masyarakat menjadi permasala-han yang memerlukan suatu kajian lebih mendalam dan spesifik di setiap daerah dengan etnis tertentu. Wujud budaya dapat berupa suatu ide­ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain sebagainnya, yang sering dise­but “adat istiadat”. Wujud budaya yang lain berupa sistem sosial, yaitu aktivitas serta tindakan berpola yag dilakukan manusia dalam masyarakat. Wujud benda bisa pula berupa bentuk benda atau hal­hal yang dapat dili-hat, diraba, dan difoto, yaitu hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya seperti alat sunat, alat penumbuk jamu, dan lain sebagainya. Wujud bu-daya tersebut merefleksikan budaya dan identitas sosial masyarakatnya. Pengembangan atau inovasi dengan pelibatan sosial budaya lokal yang bermanfaat bagi upaya KIA sangat dibutuhkan untuk meningkatkan de-rajat kesehatan masyarakat tersebut melalui suatu intervensi yang dapat diterima oleh masyarakat pelakunya.

Mempersiapkan generasi penerus yang tangguh demi kesejahteraan bangsa Indonesia adalah tanggung jawab bersama. Maka, pemeliharaan kesehatan sejak dalam kandungan sempai remaja harus diprioritaskan. Permasalahan KIA sering kali merupakan masalah kesehatan yang lo­kal spesifik terkait dengan sosial budaya setempat yang perlu digali gu­na mengetahui permasalahan mendasar. Jika permasalahan dapat di­temukan, dapat segera dilakukan perbaikan atau pemberdayaan budaya yang berdampak positif bagi kesehatan. Dengan demikian, kekayaan budaya Indonesia yang baik dapat terus dikembangkan, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara lokal, bahkan bila memungkinkan secara nasional.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penulisan ini adalah untuk mendapat gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya masyarakat terkait kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Mamasa. Selain itu penulisan ini bertujuan pula untuk mengidentifikasi secara mendalam kondisi alam, kependudukan, dan tem­pat tinggal yang berpengaruh terhadap KIA.

Identifikasi secara mendalam organisasi sosial dan sistem kekerabatan, pengetahuan, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, kesenian, serta tingkat kepercayaan yang berpengaruh terhadap KIA pada masyarakat di Desa Makuang menjadi tujuan khusus penulisan ini.

Page 17: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 20124

1.4 Metodologi Penelitian

1.4.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep disusun berdasar teori Blum tentang status kese­hatan. Kerangka konsep yang digunakan dalam mempelajari status kesehatan ibu dan anak dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan faktor keturunan. Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya. Terkait dengan tujuan penelitian yang akan mengkaji budaya kesehatan ibu dan anak, maka tujuh unsur budaya yang merupakan kajian pokok untuk menggali budaya setempat, yaitu: 1) alam, kependudukan, dan tempat tinggal; 2) organisasi sosial dan sistem kekerabatan; 3) sistem teknologi; 4) sistem pengetahuan; 5) sistem mata pencaharian; 6) sistem religi; dan 7) kesenian. Faktor lingkungan budaya akan ditangani secara khusus melalui riset etnografi budaya. Tahap awal riset budaya diprioritaskan pada kesehatan ibu dan anak.

1.4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian adalah Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Ka­bupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat yang merupakan daerah unik (memiliki pola budaya khas) dengan potensi kesehatan ibu dan anak. Wilayah yang terpilih tersebut merupakan wilayah yang berpotensi ada masalah KIA menurut IPKM data Riskesdas 2007. Waktu penelitian dilakukan pada tahun 2012 dan pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juni.

1.4.3 Desain Penelitian

Riset ini didesain sebagai riset kesehatan nasional dengan desain eksploratif dengan menggunakan metode etnografi, yaitu peneliti selama dua bulan (Mei­Juni) berada di lapangan untuk melakukan wawancara mendalam dan mengumpulkan data­data lain yang diperlukan. Dalam metode etnografi, peneliti berada di lapangan selama pengumpulan da­ta yang diperoleh dari informan melalui wawancara mendalam (Ratna, 2010:88). Menurut Lecompte dan Schensul (1999 dalam Emzir, 2011:18) etnografi adalah sebuah metode penelitian yang bermanfaat dalam menemukan pengetahuan yang tersembunyi dalam suatu budaya dan komunitas. 4)

Page 18: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

5

1.4.4 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang ber­domisili di Desa Makuang. Sementara itu, sampelnya adalah masyarakat yang terlibat dan berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan anak, seperti remaja, ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui, kepala keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan penyedia layanan kesehatan seperti bidan desa dan paramedis.

Page 19: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 20126

Page 20: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

7

BAB IIDESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Sembilan Unsur Budaya di Bumi Penghasil Kopi

Kabupaten Mamasa merupakan hasil pemekaran Kabupaten/Kota Polewali Mamasa (POLMAS) berdasarkan UU No. 11 Tahun 2002 bersamaan dengan 22 kabupaten dan kota lainnya di era reformasi Indonesia pada tahun 2002. Dengan kata lain, Kabupaten Mamasa pada tahun ini genap memasuki umur sewindu, tepatnya per tanggal 11 Maret 2012.

Kabupaten Mamasa secara geografis terletak di antara 2O40’ 00” ­ 3O12’ 00” Lintang Selatan hingga 119O 00’ 49” ­ 119O 32’ 27” Bujur Timur. Semua wilayah berada di atas perbukitan dan pegunungn Quarles. Tidak ada wilayah yang berbatasan langsung dengan pantai atau laut.

Kota Mamasa sebagai ibu kota Kabupaten Mamasa berada sekitar 290 kilometer (km) di sebelah tenggara kota Mamuju (ibu kota Provinsi Sulawesi Barat) lewat Majene dan Polewali atau 340 km di sebelah utara kota Makasar (ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan). Wilayah kabupaten Mamasa sendiri berbatasan dengan wilayah lain sebagai berikut.

• Sebelah Utara dengan Kabupaten Mamuju Utara.• Sebelah Barat dengan Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Ma­

jene.• Sebelah Selatan dengan Kabupaten Polewali Mandar.• Sebelah Tenggara dengan Kabupaten Pinrang.• Sebelah Timur dengan Kabupaten Tana Toraja.

Luas wilayah Kabupaten Mamasa, yaitu 2.759,23 Km2 yang terbagi atas 188 desa/kelurahan yang tersebar di 17 kecamatan, yakni:

1. Kecamatan Mamasa di Mamasa (12 Desa/Kelurahan)2. Kecamatan Mambi di Mambi (16 Desa/Kelurahan)3. Kecamatan Pana’ di Pana’ (13 Desa/Kelurahan)

Page 21: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 20128

4. Kecamatan Sumarorong di Sumarorong (9 Desa/Kelurahan)5. Kecamatan Sesenapadang di Orobua (10 Desa/Kelurahan)6. Kecamatan Tanduk Kalua’ di Minake (12 Desa/Kelurahan)7. Kecamatan Messawa di Messawa (9 Desa/Kelurahan)8. Kecamatan Aralle di Aralle (17 Desa/Kelurahan)9. Kecamatan Tabulahan di Lakahang (15 Desa/Kelurahan)10. Kecamatan Tabang di Ponding (7 Desa/Kelurahan)11. Kecamatan Balla di Balla Kalua (8 Desa/Kelurahan)12. Kecamatan Bambang di Ranetlemo (27 Desa/Kelurahan)13. Kecamatan Nosu di Nosu (7 Desa/Kelurahan)14. Kecamatan Rante Bulahan Timur (8 Desa/Kelurahan)15. Kecamatan Tawalian di Tawalian (4 Desa/Kelurahan)16. Kecamatan Buntu Malangka di Sodangan (6 Desa/Kelurahan)17. Kecamatan Mehalaan di Mehalaan (7 Desa/Kelurahan)

Secara topografis, wilayah Kabupaten Mamasa menempati kawasan pegunungan dataran tinggi pada ketinggian antara 600–3000 m dari permukaan laut dengan jejeran bukit yang tingginya bervariasi.

Di sebelah utara kota Mamasa terbentang Pegunungan Verberg mulai dari Gunung Mambulillin, Gunung Landa Banua, sampai Gunung Buntu Karua di Tator. Dari pegunungan ini mengalir sejumlah sungai melalui daerah Kabupaten Mamasa menuju pantai antara lain:

• Sungai Mamasa, melalui Mamasa, Sumarorong bergabung de­ngan sungai Sa’dang di Pinrang.

• Sungai Masuppu, melalui Tabang dan Pana’ masuk sungai Sa’dang.

• Sungai Mambi, melalui Mambi/Aralle, bermuara di campalagian Kabupaten Polewali, Mandar.

• Sungai Hau, melalui Tabulahan bermuara di Mamuju.

Keempat induk sungai besar ini mengalirkan air sepanjang tahun secara kontinyu sekalipun musim kemarau, dan bermuara ke pesisir pantai yang umumnya bersumber dari Kabupaten Mamasa. Karena itu, wilayah Kabupaten Mamasa menjadi “hulu sungai” dan wilayah pesisir sebagai muara.

Page 22: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

9

2.1. Sejarah Kabupaten Mamasa

2.1.1 Arti Mamasa

Nama mamasa berasal dari dari kata sifat mamase yang berarti pe­murah, pengasih, peramah. Menurut cerita orang, dahulu kala Mamase adalah suatu daerah yang potensial. Orang yang pergi berburu atau men cari nafkah di daerah tersebut mudah untuk memperoleh rezeki yang memuaskan, seperti rusa, anoa, babi, ikan, dan berbagai hasil bu­mi lainnya pada masa itu. Oleh sebab itu, mereka menyatakan bahwa “mamase tongan dewatanna te padang e lako kita petaunna, dadi ia te padang e lakusangai padang mamase” yang artinya “Sungguh pengasih Tuhan kepada umat­Nya yang bermukim di daerah ini, jadi daerah ini akan kunamakan daerah Mamase.” Kata ini pada akhirnya menjadi nama suatu daerah atau wilayah Kabupaten Mamasa, yaitu ketika Belanda datang ke daerah ini sekitar tahun 1904, dan mulai muncul istilah mamasa di samping istilah mamase. Istilah mamasa mulai populer setelah pemerintah kolonial Belanda menguasai daerah ini sekitar tahun 1912.

Mengenai asal usul penduduk di Kabupaten Mamasa, terutama pen­duduk yang kali pertama mendiami wilayah Kabupaten Mamasa, lazim diceritakan secara turun-temurun dan diwariskan secara lisan, serta bersifat sakral. cerita tersebut dilatarbelakangi legenda, antara lain:

• Legenda Eran Dilangi’ yaitu adanya tangga langit dalam bentuk bukit kosmos dan disusul pohon kosmos (pohon kayu bilanden raksasa). cerita yang dikenal dengan sebutan Eran Dilangi’ ini termasuk pula legenda di Tana Toraja.

• Legenda Bussu Lebok Alam, yaitu adanya bencana bussu lebok alam (air bah) dan menutupi daratan, kecuali tempat tertentu.

Pertama, dalam legenda tersebut diceritakan bahwa manusia ditu­runkan dewata dari langit melalui Eran Dilangi’ dalam bentuk spirit (roh), termasuk munculnya padi, umbi-umbian, dan rumah dalam bentuk spirit. Kejadian ini berlangsung sampai menjelang berakhirnya air bah, dan manusia spirit tersebut mulai berkurang. Sejumlah cerita tentang manusia dalam bentuk spirit bernama Tokombong Dibura biasanya dilantunkan melalui pantun silsilah yang disebut Kada Barata pada pesta kematian kelas tinggi, dimulai dari Tokombong Dibura sampai lahirnya orang yang diupacarakan melalui upacara kematian. Ini disampaikan secara lisan dan sakral dari generasi ke generasi.

Page 23: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201210

Kedua, berdasarkan penuturan Bapak Demmaroa’, pada zaman da­hulu terjadi air bah yang melanda penduduk dan memakan banyak korban sehingga penduduk yang tersisa pada waktu itu di bawah pimpinan Tandayanlangi’, yang diberi gelar To Buttu Dilangi’,menemukan bekas ludah orang makan sirih di suatu tempat (ludah ini disebut berak). Ludah sirih ini merupakan jejak kelompok manusia lain sehingga mereka berusaha mencari jejak manusia lain tersebut dan berhasil menemukan sejumlah benda yang berasal dari busa air, lalu muncullah wanita­wanita cantik yang disebut Limbong Berak yang artinya kolam penuh ludah makan sirih. Kolam tersebut berlokasi di dekat Kampung Ladi, dekat Tabang/Masanda, perbatasan Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Tana Toraja, sekitar 37,8 km di sebelah timur Kota Mamasa.

Dari pertemuan kedua kelompok insan tersebut terjadilah pernikahan dan mereka kemudian mencari tempat pemukiman di sekitarnya yang disebut Ulunna Sa’dan. Tempat ini merupakan salah satu hulu Sungai Sa’dan melalui Sungai Masuppu’. Tokombong Dibura (Datu Mangira) dikawini To Buttu Dilangi’ (Tandayanlangi’) dan melahirkan sejumlah anak dan cucu. Cerita ini tercantum dalam lontar Mandar bahwa, “Pertama kali ada puang (bangsawan) di Mandar adalah turunan dari To’kombong Dibura dikawini To’Bisse Ditallang mendiami tempat bernama Ulu Sa’dan mopotta’na artinya Ulu Sa’dan menjadi pinggir daratan.” (Lontar Mandar Transliterasi: Abd. Mutalib, Makassar, 1985:34). Karena itu, lokasi tersebut bernama Ulu Sa’dan (Sungai Sa’dan) yang merupakan pinggiran laut akibat terjadi air bah, sementara wilayah pantai saat itu masih menjadi laut (meliputi wilayah Mandar, Bugis, dan Makassar). Lokasi Limbong Berak di Ladi/Tabang (sekarang wilayah Kecamatan Tabang, Kabupaten Mamasa) diperkirakan berada pada ketinggian sekitar 600 m di atas permukaan laut (dpl). Mereka mencari tempat yang tinggi untuk bermukim dan tempat itulah yang disebut Bukit Buyan Manuk, terletak di sebelah utara Tabang/Masanda dan wilayah ini disebut Ulunna Sa’dan.

Dalam perkembangan generasi selanjutnya, tepatnya generasi ke­13 sampai 17 dari keturunan Tandayanlangi’ tersebut, terjadilah model bangunan rumah yang memiliki tingkatan, mulai dari Banua Toban menjadi Banua Pon, Banua Longkarrin, Banua Lento Patondok, Banua Rapa’, dan Banua Sura’ (rumah ukir). Kemudian, pada generasi ke­21, lahirlah suatu tokoh bernama Sulo Allo bersaudara dan pada generasi ke­22 lahirlah tokoh bernama Pa’doran bersaudara. Pa’doran lalu kawin dengan Datu Arruan (Emba Datu). Mereka mendiami Bukit Pokko’ dan Koa di sebelah

Page 24: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

11

utara Tabang dan manusia semakin berkembang. Pada generasi ke­23 tampil sembilan nama terkenal dan mendiami pemukiman baru tersebut, antara lain:

• Bobolangi’ mendiami Kadundung, Belau (sekarang wilayah Keca­matan Pana’, Kabupaten Mamasa).

• Batara Goa (Lando Belue) mendiami Kalottok, lalu ibu ini mencari cucunya di bawah air sungai dan terdampar di Gowa (Makassar).

• Batara Tungka’ (To’pakiwa atau To’patottong) mendiami Patot-tong/Pokka Uru (Pokko) (sekarang wilayah Kecamatan Pana’, Kabupaten Mamasa).

• Batara Lumolang (To’le’ba) ke Koa’/Kendenan Pana’ (sekarang wilayah Kecamatan Pana’, Kabupaten Mamasa).

• Batara Tau (To’songka) mendiami Buttu Ullin Bittuang.• Usuk Sambamban (Paterengan Manuk) mendiami Karonaga,

Sa’dan/Tana Toraja.• Bura Padang mendiami Dambu/Balla (sekarang wilayah Keca­

matan Balla, Kabupaten Mamasa).• Lomben Susu mendiami Loke/Kalumpang (wilayah Kabupaten

Mamuju, Sulawesi Barat).• Pongka Padang ke Tabulahan (sekarang wilayah Kecamatan Tabu­

lahan, Kabupaten Mamasa).

Kelompok tersebut, kecuali kelompok Bobolangi dan kelompok Ba tara Goa, membagi wilayah kekuasaan melalui pertemuan di daerah Tandung (Tandunganna Kada Nenek) tempat mereka berasal, yaitu dari wilayah tujuh aliran sungai besar. Ketujuh aliran sungai yang dimaksud adalah: 1) Sungai Masuppu’, 2) Sungai Maulu’, 3) Sungai Sa’dan, 4) Sungai Mamasa, 5) Sungai Mambi, 6) Sungai Hau, dan 7) Sungai Karama sehingga mereka kemudian disebut Tau Pitu di Ulu Sa’da. Perkembangan selanjutnya, pemukiman bertambah, namun bagian barat lebih banyak kosong. Suatu ketika tokoh bernama Pongka Padang di Tabulahan bertemu dengan bidadari Indo cina (Cina Ray) yang perahunya terdampar di Bukit Kapussaan, maka kemudian tempat itu dikenal dengan Torige’ne (Belanda menulis Torije’ne). Di daerah Tabulahan yang sebagian daerahnya masih kosong terbentuklah pemukiman baru dan sebagian berkembang ke daerah pantai.

Adapun seorang tokoh yang bernama Lombensusu bertemu dengan Torigandang. Mereka kemudian mendiami Lohe dan berkembang ke utara

Page 25: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201212

Kalumpang (wilayah Kabupaten Mamuju) dan Seko Rongkong yang juga masih kosong penghuninya. Sementara di daerah Pana’, Bua Kayu, dan Bittuang sampai di Tana Toraja, perkembangan penghuninya lebih pesat dari turunan Ulu Sa’dan (Demmaroa’, 2011)

Sejarah perkembangan pemerintahan di wilayah Kabupaten Mamasa yang sempat tercatat yakni:1. Pemerintahan Hadat

• Hadat Pertama di sekitar Tabang/Masanda (dahulu kala Sebelum Masehi di Ulu Sa’dan).

• Hadat wilayah Pitu Ulunna Salu (PUS) berpusat di Tabulahan (Awal Masehi­1916).

• Hadat wilayah Kondosapata’ (Awal Masehi­1916).2. Pemerintahan Kolonial Belanda/Jepang

• Onder Afdeling Boven Binuang end Pitu Ulunna Salu di Mamasa (1916­1917).

• Dua Onderafdeling (1917­1927).• Onderafdeling Boven Binuang di Mamasa, terdiri atas Distrik:

Tawalian, Mamasa, Orobua, Osango, Malabo, Messawa, Pana’/Manipi’, Ulusalu, Rante Tangga/Tandung, Tabone, dan Nosu.

• Onderafdeling Pitu Ulunna Salu di Mambi, terdiri atas Distrik: Mambi, Rantebulahan, Aralle, Bambang, Tabulahan, dan Ma­tangga.

• Onder Afdeling Boven Binuang end Pitu Ulunna Salu (1927­1940) di Minake lalu di Mamasa.

• Onderafdeling Mamasa di Mamasa (1940­1946).3. Pemerintahan Indonesia

• Swapraja Neo Kondosapata’ di Mamasa (1947­1953).• Kewedanaan Mamasa di Mamasa (1953­1958), Kabupaten Man­

dar.• Kecamatan Lembang Mamasa di Mamasa (Distrik: Mamasa,

Tawalian, Orobua, Osango, Malabo, Messawa, dan Tabone).• Kecamatan Pitu Ulunna Salu di Mambi (Distrik: Mambi, Rante

Bulahan, Bambang, Aralle, Tabulahan, dan Matangga).• Kecamatan Tandalanggan di Pana’ (Distrik: Pana’, Ulusalu, Tan­

dung, dan Nosu).• Koordinator eks Kewedanaan Mamasa di Mamasa (1960­1963).• Kepala perwakilan Bupati di Mamasa (1964­1970).

Page 26: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

13

• Pembantu Bupati di Mamasa (1989­2001).• Kabupaten Mamasa (2002­sekarang). (Sumber : Demmaroa’, 2011).

2.1.2 Lahirnya Kabupaten Mamasa

Memasuki masa kemerdekaan RI, berdasarkan Surat Menteri Da-lam Negeri NIT (Negara Indonesia Timur) pada tanggal 17 Juli 1949 No. BZ.2/1/17 di Mamasa diadakan serangkaian rapat yang diikuti para kepala distrik (Parengge’) dan tokoh­tokoh masyarakat se­Onderafdeling Boven Binuang en Pitu Ulunna Salu. Rapat ini menjajaki kemungkinan dibentuknya suatu New Swapraja untuk daerah tersebut.

Dalam suatu rapat akbar di Mamasa pada tanggal 7 Juni 1948, setelah melalui perdebatan alot dan cukup lama yang dipimpin langsung Residen Celebes dari Makassar pada saat itu, maka ditetapkan nama swapraja baru tersebut, yaitu Swapraja Kondosapata’ dengan ibu kotanya di Mamasa.

Pada tahun 1953 NIT (Negara Indonesia Timur) ternyata dibubarkan berdasarkan Undang­undang yang ditetapkan saat itu, maka Swapraja Kondosapata’ juga ikut bubar. Selanjutnya terbentuk Kewedanaan Ma­masa yang periodenya berlangsung hingga tahun 1958. Pada masa Ne­gara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berdasarkan Undang­Undang Nomor 29 tahun 1959, Kabupaten Daerah Tk. II Polewali Mamasa ter-bentuk. Seharusnya Kawedanaan Mamasa sudah menjadi daerah Tk. II Mamasa pada saat itu, setara dengan Kawedanaan Mamuju dan Kawe­danaan Majene, yang masing­masing telah menjadi daerah Tingkat II (Kabupaten), namun kenyataannya Kawedanaan Mamasa digabung de­ngan Kawedanaan Polewali menjadi Kabupaten daerah Tk. II Polewali Mamasa, disingkat Kabupaten Pol­Mas. Hal ini terjadi karena pada masa perubahan status kawedanaan menjadi Kabupaten daerah Tingkat II pada tahun 1958, terjadi suatu masalah ke dalam antara Kawedanaan Ma masa dan Kawedanaan Polewali. Masalah ini memuncak pada tang­gal 31 Agustus 1958, yaitu Kawedanaan Mamasa dikosongkan oleh pe­tugas keamanan atas perintah atasannya di Polewali. Selain petugas keamanan, ikut pula pemerintahan sipil hijrah ke Polewali. Sejak saat itu hubungan Kawedanaan Polewali dan Kawedanaan Mamasa terputus total, baik lalu lintas maupun pemerintahan, terlebih komunikasi. Pada saat disahkan Undang­Undang No. 29 Tahun 1959, hubungan ke Mamasa masih terputus dan Kawedanaan Mamasa tidak memiliki pengetahuan tentang terbentuknya Kabupaten Polewali Mamasa. Hubungan Polewali

Page 27: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201214

dan Mamasa baru mulai terbuka kembali pada tahun 1961 ketika Bupati daerah Tk. II Polewali Mamasa yang pertama memerintah, yaitu Andi Hasan Mangga.

Pada tahun 1962 Masyarakat Eks Kawedanaan Mamasa kembali menuntut daerah Tingkt II Kabupaten Mamasa, namun ada banyak ham­batan sehingga prosesnya berjalan lambat. Atas restu Bupati KDH Tk. II Polmas Abdullah Madjid, maka terbentuklah panitia penuntut Kabu­paten Mamasa. Berdasarkan S.K. BKDH TK II Polmas Nomor 06/SK/BP/1966 tertanggal 17 Mei 1966 dibentuk perwakilan Panitia Penuntut Kabupaten Daerah Tk. II Mamasa di Makassar dengan ketua Abd. Djabbar, B.A., kemudian perwakilan di Jakarta di bawah pimpinan Urbanus Poly Bombong (Anggota DPR­GR di Jakarta mewakili Partai Kristen Indonesia dari Mamasa).

Selanjutnya, berdasarkan Surat Mandat Panitia Nomor 08/M/BP/66 tertanggal 9 Juli 1966 yang disetujui Bupati Kepala Daerah Tk. II Polmas, Kapten Infantri Abdullah Madjid, ditetapkan nama­nama delegasi yang akan berangkat ke tingkat pusat dalam rangka realisasi pembentukan Kabu paten Daerah Tk. II Mamasa sebagai berikut.

• D. Tandipuang sebagai ketua delegasi.• D. Pualillin sebagai wakil ketua delegasi.• J. Thumo’ sebagai anggota delegasi.• M. Lullulangi’, B.A., sebagai anggota delegasi.• Abd. Djabbar, B.A., sebagai anggota delegasi.• F. Polopadang sebagai anggota delegasi.

Sebagai realisasi di tingkat pusat, Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri Basuki Rahmat, menjanjikan bahwa Pemerintah Pusat tetap memperhatikan tuntutan masyarakat Mamasa untuk membentuk Daerah Otonom Tk. II Mamasa dengan ibu kota Mamasa, sambil menunggu ketentuan lanjut, juga agar BKDH Tk. II Polmas membentuk perwakilan BKDH Polmas di Mamasa untuk persiapan pembentukan Kabupaten Daerah Tk. II Mamasa. Berdasarkan petunjuk Menteri Dalam Negeri RI, maka terbentuklah perwakilan BKDH Polmas di Mamasa dengan susunan personalia sebagai berikut:

• Tamajoe, Bupati Muda sebagai kepala perwakilan.• S. Matasak, Penata Tatapraja sebagai anggota perwakilan.• Paipinan, Penata Muda Tatapraja sebagai anggota perwakilan.

Page 28: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

15

Selanjutnya berdasarkan SK BKDH Tk. II Polmas Nomor 71/PD/1968 tertanggal 18 Juli 1968, personalia perwakilan mengalami perubahan se­bagai berikut.

• S. Matasak, penata tatapraja sebagai ketua perwakilan.• Y. Depparinding, Penata Muda Tatapraja sebagai anggota perwa­

kilan.• B. Mangoli’, Penata Muda Tatapraja sebagai anggota perwakilan.• Y, Puatipanna, Penata Muda Tatapraja sebagai anggota perwa­

kilan.

Perwakilan BKDH Tk. II Polmas berlangsung hingga tahun 1971 dengan mengalami dua kali perubahan/pergantian personalia. Namun, dari tahun ke tahun tidak ada realisasi, kemudian vakum tanpa dibubarkan.

Perjuangan yang sama muncul pada tahun 1987, melalui surat panitia penuntut daerah Tk.II Mamasa Nomor 08/Pn/II/88 tertanggal 19 April 1988 yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri RI, Ketua DPR RI, Gubernur KDH Tk. I Sulsel, Ketua DPRD Tk. I Sulsel, Bupati KDH Polmas, Ketua DPRD Tk. II Polmas, dan tembusannya kepada para menteri Kabinet RI terkait, namun realisasinya tidak ada.

Masa reformasi kala itu membawa angin baik bagi Eks Kawedanaan Mamasa. Maka, pada awal tahun 1999, penuntutan Kabupaten Mamasa kembali menghangat dan akhirnya terealisasi pada tanggal 11 Maret 2002, yaitu Kabupaten Mamasa terbentuk bersamaan dengan peningkatan status Administratif Palopo menjadi Kota Palopo berdasarkan Undang­Undang No. 11 tahun 2002 yang diundangkan di Jakarta tanggal 7 Mei 2002. Ketika Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden RI menandatangani Undang­Undang tersebut, bersamaan itu pula terbentuk 20 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia secara serempak dalam perjuangan yang sama (Arianus Mandadung, 2005).

2.1.3 Sejarah Desa Makuang

Asal usul nenek moyang masyarakat Desa Makuang berasal dari Kam pung Rea di daerah Simbuang, Tana Toraja bernama Borrong Senga’. Diceritakan bahwa ketika Nenek Borrong Senga’ ini pertama kali menginjakkan kakinya di tempat ini, tempat pertama yang menjadi per­singgahannya adalah Barung (wilayah Dusun Kondo, salah satu dusun dari enam dusun yang ada di Desa Makuang). Di tempat inilah ia mulai membuka lahan dan bercocok tanam. Setelah beberapa lama tinggal di

Page 29: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201216

tempat ini timbul keinginan untuk pindah ke tempat yang lain karena tidak ada kesejahteraan yang dirasakan selama berada di tempat tersebut. Kemudian, dia mengadakan ritual dengan mengambil pare sappe (padi), wase manggasa’ (kapak), dan rara’ (kalung) lalu dikumpulkan menjadi satu di sebuah wadah dan dialirkannya ke sungai. Waktu itu dia membuat sebuah pernyataan bahwa di mana pun benda­benda tersebut berhenti di situlah nantinya ia akan mendirikan perkampungan yang baru. Tiga hari kemudian ia menelusuri sungai tersebut dengan membunyikan gendang di sepanjang perjalanannya sebagai tanda bahwa ada ritual yang sedang dilakukan. Akhirnya ia menemukan benda­benda tersebut di muara sungai yang kemudian dikenal dengan Minanga Tallu, sehingga konon di sekitar tempat inilah kemudian ia mendirikan perkampungan baru yang diberi nama Rea (sekarang wilayah Dusun Rea yang merupakan salah satu dari enam dusun di Desa Makuang), seperti nama kampung asalnya. Di tempat inilah ia kemudian memulai kehidupan.

Pemerintahan Desa Makuang yang dipimpin oleh seorang kepala desa berdiri sekitar tahun 1963 (masih zaman pemerintahan orde lama)dan disebut pertama kali sebagai “desa gaya baru”. Secara khusus, wilayah Kecamatan Messawa dulu dibagi dalam tiga pemerintahan desa, yaitu Desa Messawa, Desa Makuang, dan Desa Sepang, tetapi setelah tahun 1965 ketiga desa tersebut kembali disatukan menjadi satu desa, yaitu Desa Messawa.

Desa Makuang sendiri sebelum dimekarkan menjadi desa, merupakan bagian dari Desa Messawa, Kecamatan Sumarorong, Kabupaten Polewali Mamasa (Kabupaten Pol­Mas) dengan nama Dusun Makuang (dusun merupakan suatu wilayah perkampungan di bawah pemerintahan desa). Setelah tahun 1993, Makuang dimekarkan menjadi desa dengan nama desa persiapan Makuang, Kecamatan Sumarorong, Kabupaten Pol­Mas, yang wilayahnya terbagi dalam dua dusun, yaitu Dusun Makuang dan Dusun Kondo dengan kepala desa persiapan Makuang saat itu Bapak Tangga Baso’.

Desa Makuang, sebagai desa pemekaran, pada awalnya diprakarsai oleh Bapak Alm. WD Pasamboan. Ia pernah menjadi sekretaris Distrik Messawa, tetapi ia sudah lebih dulu meninggal dunia sebelum gagasannya terwujud. Setelah itu, gagasannya dilanjutkan oleh Bapak Dinan Sumampow (Mantan Kepala Desa Messawa) dengan alasan bahwa wilayah Desa Mes sawa waktu itu masih sangat luas (sekarang menjadi 8 desa dan 1 kelurahan). Selain itu, juga adanya dorongan dari tokoh­tokoh masyarakat

Page 30: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

17

dan intelektual muda/pelajar pada saat itu yang menginginkan pemekaran Desa Makuang dengan harapan ada pemerataan pembangunan.

Sekitar tahun 1999 desa ini melakukan pemilihan kepala desa secara demokratis untuk pertama kalinya, dan Bapak Yusuf Ama terpilih menjadi kepala desa waktu itu. Saat ini, pada tahun 2012, Desa Makuang memiliki enam dusun, yaitu Dusun Kondo, Dusun Dambuala’, Dusun Rea, Dusun Tondok Salu, Dusun Makuang, dan Dusun Pasapa Tippalu (Pastil) dengan kepala desanya Bapak Lolong. Seiring terjadinya pemekaran Kecamatan Messawa dan Kabupaten Mamasa tahun 2002 silam, maka Desa Makuang saat ini berada di wilayah Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa.

2.1.4 Arti Nama Makuang dan Perkembangannya

Nama Makuang berasal dari kata dikuangan, yang berarti kubangan. Menurut mereka, istilah ini muncul karena dulu daerah ini merupakan daerah yang kaya raya karena memiliki banyak harta benda (emas) sehingga dibuatkanlah kubangan untuk menyimpan harta benda tersebut agar aman dari perampokan dan pencurian. Nama ini kemudian disepakati menjadi nama Desa Makuang (sekarang Dusun Makuang merupakan kampung adat). Hal ini dibuktikan dengan masih berdiri dengan kokohnya rumah adat Makuang dan tempat bermukim Tomakaka Makuang (Bapak Ma’dika, lihat Gambar 1) saat ini.

Gambar 2.1 Bapak Ma’dika sebagai tomakaka Makuang.

Page 31: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201218

Kehidupan masyarakat Makuang pada zaman dulu dipengaruhi oleh aturan adat yang sangat kuat dan harus dilaksanakan, misalnya saat mau mengolah sawah, mereka harus melaksanakannya secara bersama­sama dan serempak serta harus dikomando oleh seorang tokoh adat yang disebut passo’bok. Passo’bok ini terlebih dahulu mengadakan ritual tersendiri sebelum masyarakat diperintahkan secara serempak untuk mengolah sawah mereka. Akan tetapi, keadaaan ini lambat laun telah mengalami pergeseran dan masyarakat sudah tidak bersamaan lagi mengolah sawah mereka dan cenderung mengabaikan perintah atau komando passo’bok. contoh lain dalam pertemuan yang diadakan oleh tokoh­tokoh adat terkait penyelesaian persolan/perselisihan yang terjadi di dalam masyarakat atau diistilahkan dengan “an tokkonan tallu. Dalam pertemuan tersebut jika ada warga masyarakat yang mengangkat tangannya saat dia sedang berbicara di depan tokoh­tokoh adat biasanya orang itu langsung dikenai sanksi adat berupa pemotongan babi. Namun, saat ini sanksi adat tersebut sudah tidak berlaku lagi.

Perkembangan Desa Makuang dari tahun ke tahun telah meng­alami peningkatan baik segi infrastruktur maupun kondisi ekonomi masyarakatnya. Diceritakan bahwa dulu kondisi infrastruktur, terutama jalan, masih sangat parah dan sempit, khususnya jalan menuju ke Dusun Kondo dan Dusun Dambuala’ yang wilayahnya berada di bagian bawah (lembah), sekitar 100 meter (m) dari jalan poros Polewali­Mamasa, hanya bisa dilewati pejalan kaki. Alat transportasi masyarakat pada waktu itu adalah kuda, itu pun tidak semua masyarakat memilikinya. Tetapi, saat ini kondisinya sudah sangat jauh berbeda. Akses jalan sudah baik dan rata­rata sudah diperkeras dengan batu kerikil. Kebanyakan alat transportasi yang ada adalah kendaraan bermotor. Rumah­rumah yang dulunya beratap alang­alang kini sudah digantikan dengan atap seng dan posisi rumah yang dulunya diharuskan menghadap ke karua (utara) yang diyakini dapat mendatangkan sumber berkat, lambat laun adat tersebut sudah mulai ditinggalkan masyarakat.

Desa Makuang sebagai hasil pemekaran tahun 1993 sudah memiliki banyak perubahan yang berarti. Hal ini terlihat dengan adanya fasilitas pendidikan berupa dua gedung sekolah dasar yang terdapat di dua dusun yaitu di Dusun Tondok Salu dan di Dusun Kondo. Penerangan dari PLN juga sudah dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat Desa Makuang. Begitu pula fasilitas kesehatan seperti pustu dan posyandu juga sudah ada, meskipun berdasarkan pengamatan dan penelusuran, dua posyandu

Page 32: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

19

yang ada di Desa Makuang tersebut sudah tidak pernah dipergunakan lagi akibat persoalan sengketa tanah. Maka, sejak tahun 2009, pelaksanaan posyandu di dua tempat itu dilaksanakan di bawah rumah panggung milik penduduk setempat (lihat Gambar 2.2). Berdasarkan penuturan masyarakat dan tokoh­tokoh masyarakat di Desa Makuang, tanah tempat bangunan posyandu, terutama yang terdapat di Dusun Kondo, merupakan tanah milik pribadi mantan kepala desa, sehingga ketika terjadi pergantian pemimpin pemerintahan desa, pihak keluarga mantan kepala desa menggugat tanah tersebut. Sementara tanah tempat bangunan posyandu yang terdapat di Dusun Makuang juga merupakan tanah pribadi milik salah satu warga, sehingga bangunan posyandu yang sebelumnya telah ada dipindahkan ke tempat lain, namun pembangunannya belum selesai hingga saat ini.

Gambar 2.2 Kegiatan posyandu di Dusun Kondo.

2.1.5 Berdirinya Pemerintahan Hadat

Bertambahnya penduduk dari waktu ke waktu menjadi alasan pen-dirian pemerintahan hadat untuk mengatur kehidupan masyarakat waktu itu. Pemerintahan hadat Makuang sendiri sebelumnya lahir di Kampung

Page 33: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201220

Kalutteong di Dadeko (wilayah Desa Malimbong, salah satu desa yang ada di Kecamatan Messawa) yang dipimpin oleh seorang yang dituakan yang diberi gelar tomatua, artinya dituakan dalam segala hal. Setelah perjalanan panjang pemimpin hadat dari generasi ke generasi, akhirnya timbul ide untuk memindahkan pemerintahan hadat dari Dadeko ke Makuang (tidak diketahui secara pasti alasan pemindahan hadat tersebut), kemungkinan besar dipicu karena suami pemimpin hadat/tomatua adalah orang Makuang (berdasarkan informasi bahwa Nenek Rewa’ yang orang Makuang menikah dengan pemimpin hadat atau tomatua di wilayah tersebut). Setelah perpindahan hadat tersebut disepakati, maka pemerintahan hadat yang semula berada di wilayah Dadeko tersebut secara resmi dipindahkan ke daerah Makuang dan pemimpin hadat diberi gelar Tomakaka Makuang.

Tugas pokok Tomakaka Makuang adalah memelihara lima pesan yang dikenal dengan pemali lima randanna (lima pokok dasar adat/aluk). Kelima aturan tersebut adalah: pa’bannetauan (pernikahan), pa’totiboyongan (pertanian), pandanan lettong (perumahan), pattuansanda (syukuran), dan rambu solo (kematian).

Kelima aturan ini memiliki tingkatan­tingkatan yang di dalamnya terdapat ritual/persembahan­pesembahan yang harus mereka kurbankan kepada dewa­dewa kepercayaan mereka, seperti kerbau, babi, ayam, dan sebagainya. Seiring berjalannya waktu, kelima aturan ini lambat laun mulai terkikis, terlebih ketika agama Kristen dan Islam masuk ke wilayah ini. Hanya penganut kepercayaan nenek moyang (aluktodolo) yang sampai saat ini masih tetap menjalankan ritual yang ada dalam setiap aturan­aturan tersebut. Meskipun begitu, sanksi­sanksi adat terhadap berbagai persoalan di masyarakat masih tetap dipegang teguh oleh masyarakat Makuang sampai saat ini, terutama yang terkait dengan perselisihan, pembunuhan, perzinahan, dan sebagainya. Mereka yang terlibat dalam persoalan ini akan dikenakan sanksi berupa pemotongan babi atau kerbau, tergantung tingkat pelanggaran yang mereka lakukan.

2.2 Geografi dan Kependudukan

2.2.1 Kabupaten Mamasa

Kabupaten Mamasa saat ini mempunyai luas wilayah 3.005,88 km2 yang terbagi atas 178 Desa/Kelurahan tersebar di 17 Kecamatan (lihat Gambar 3) dengan jumlah penduduk sebanyak 140.082 jiwa, terdiri atas

Page 34: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

21

laki­laki 71.089 jiwa dan perempuan 68.993 jiwa yang terdiri atas berbagai suku, yaitu Mandar, Toraja Barat, dan Bugis (Dinkes Mamasa). Secara geografis, Kabupaten Mamasa terletak di antara 2o39’216’ dan 3o19’288” LS serta 119o0’216” BT dan 119o38’144” BT (BPS Kabupaten Mamasa, 2011). Seluruh wilayah berada di atas perbukitan dan Pegunungan Quarles dan tidak ada wilayah yang berbatasan langsung dengan pantai atau laut.

Secara administratif, Kabupaten Mamasa memiliki batas­batas wi­layah yaitu: sebelah utara dan barat berbatasan dengan Kabupaten Mamuju, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Polewali Mandar. Untuk menuju Kabupaten Mamasa ada tiga alternatif, yaitu 1) jalur darat dari Mamuju ibu kota Provinsi Sulawesi Barat, melewati Majene dan Polewali Mandar sekitar 286 km, 2) dari Mamuju melewati Salu Batu­Aralle­

Gambar 2.3 Peta Kabupaten Mamasa.

Page 35: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201222

Mambi berjarak sekitar 148 km, dan 3) dari kota Makassar melewati Maros­Pangkep­Barru­Pare­Pare­Pinrang­Polewali Mandar sekitar 340 km (sumber Dinkes Kabupaten Mamasa tahun 2010). Kondisi jalan antara Kabupaten Polewali Mandar dan Mamasa saat ini dalam keadaan rusak berat karena sering diguyur hujan. Daerah ini dalam satu tahun memiliki 11 bulan musim hujan dan rata­rata hanya 1 bulan musim kemarau sehingga sering terjadi tanah longsor ke bahu jalan yang mengganggu transportasi, bahkan pekerjaan proyek jalan yang sedang dibuka antara Mamuju­ Mamasa melewati Mambi sering kali putus. Untuk akses transportasi udara, pemerintah daerah Kabupaten Mamasa juga sedang membangun Bandar Udara yang terletak di Kecamatan Sumarorong, berjarak sekitar 30 km dari ibu kota Kabupaten. Sampai saat ini tahap pembangunan bandara tersebut baru mencapai 60%.

Sarana untuk menunjang kesehatan yang dimiliki adalah Rumah Sakit Umum Kondosapata milik pemerintah dan Rumah Sakit Banua Mamase milik Yayasan Gereja Toraja Mamasa (GTM). Terdapat 8 puskesmas pera­watan dan 8 puskesmas nonperawatan. Sarana mobil puskesmas keliling sejumlah 16 buah yang tersebar di Kabupaten, sedangkan puskesmas pembantu (pustu) sejumlah 82 buah.

2.2.2 Kecamatan Messawa

Kecamatan Messawa adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Ma masa yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Sumarorong pada tahun 2001. Saat itu Kabupaten Mamasa masih bergabung dengan Kabupaten Polewali Mamasa. Letak geografis Kecamatan Messawa ber­ada pada bagian paling selatan Kabupaten Mamasa, dan Kecamatan Messawa ini berada pada titik koordinat bujur 119o20’ lintang 3o10’ dengan ketinggian antara 300 meter sampai dengan 1750 meter di atas permukaan laut (dpl), keadaan topografi berupa pegunungan dengan luas wilayah sekitar 150,88 km2 dan beriklim dingin. Secara geografis wilayah Kecamatan Messawa memiliki batas­batas sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sumarorong; sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pinrang, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Polewali Mandar (Profil Kecamatan Messawa, 2011).

Dalam struktur organisasi dan tata kerja Kecamatan Messawa ber­dasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Mamasa No.05 Tahun 2010, Kecamatan Messawa terbagi atas 1 Kelurahan dan 8 desa dan mempunyai

Page 36: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

23

42 dusun serta 2.093 KK. Desa dan kelurahan tersebut, yaitu Kelurahan Messawa, Desa Rippung, Desa Pasapa’ Mambu, Desa Makuang, Desa Malimbong, Desa Matande, Desa Sipai, Desa Sepang, dan Desa Persiapan Tondok Batu (lihat Gambar 4). Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah penduduk di desa dalam Kecamatan Messawa ditampilkan dalam tabel berikut ini.

Berdasarkan profil Kecamatan Messawa tahun 2011 jumlah penduduk sampai bulan Desember 2011 adalah sebanyak 8.145 jiwa terdiri atas laki-laki sebanyak 4.081 jiwa dan perempuan sebanyak 4.064 jiwa. Mata pencaharian 90% penduduknya adalah petani sawah dan kebun penghasil kopi, kakao, cengkeh, avokad, vanili dan seong (semacam rumput sebagai bahan baku makanan ringan), berternak babi, dan sebagian kecil pegawai. Di wilayah ini semua tanaman tumbuh subur, tetapi karena banyaknya curah hujan, maka hanya pada hamparan tertentu saja hasil pertanian/perkebunannya bagus. Tanaman kopi dan kakao akan menghasilkan buah kurang bagus apabila mendapat banyak curah hujan.

Mayoritas penduduk Messawa memeluk agama Kristen Protestan, sebagian Islam, dan Hindu dari aliran Aluktodolo (agama kepercayaan). Mereka hidup rukun berdampingan dan saling menghargai di antara pemeluk agama dan hukum adat masih berlaku di sebagian wilayah. Akses transportasi menuju desa­desa yang ada adalah sepeda motor (ojek) dan pete-pete (angkutan pedesaan), serta oto atau truk untuk angkutan hasil

Gambar 2.4 Peta Kecamatan Messawa.

Page 37: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201224

kebun seperti kopi, namun jumlahnya sangat sedikit dan jarang. Angkutan pedesaan cukup ramai apabila hari pasar, yaitu setiap hari senin saja.

Sarana kesehatan di Kecamatan Messawa berupa sebuah puskesmas yang dibangun tahun 1993 dan baru berfungsi tahun 1994. Bangunan Puskesmas Messawa berdiri di atas tanah seluas 1.060,96 m2 dan letaknya sangat strategis, yakni bersebelahan dengan Pasar Messawa dan berada di pinggir jalan raya antara Desa Rippung dan Kelurahan Messawa. Puskesmas ini memiliki bangunan induk yang berfungsi sebagai pelayanan administrasi dan pasien rawat jalan. Sementara pada sisi kiri terdapat bangunan untuk pelayanan pasien rawat inap dan persalinan. Di bagian belakang terdapat dua buah bangunan, masing­masing diperuntukkan sebagai rumah dinas dokter umum dan kepala puskesmas. Jenis ketenagaan yang dimiliki puskesmas ini adalah dokter umum, kesmas, bidan, perawat, sanitarian, tenaga administrasi, tenaga kebersihan, dan sopir ambulans yang seluruhnya berjumlah 26 orang. Beberapa tenaga administrasi masih berstatus honorer.

Secara organisatoris puskesmas memiliki 7 buah puskesmas pem-bantu (pustu) beserta tenaga bidan yang terdapat di tujuh desa, sedang­kan Desa Rippung dan Kelurahan Messawa dilayani secara langsung oleh Puskesmas Messawa. Terdapat 10 posyandu yang dibantu oleh tenaga kader, namun sebagian bangunan masih menumpang di rumah pen-duduk. Untuk pelayanan pasien kegawatdaruratan dan ibu melahirkan yang berisiko tinggi biasanya dirujuk ke RSUD Polewali dengan mengguna-kan ambulans. Pada tahun 2004 Puskesmas Messawa juga pernah bekerja sama dengan lembaga donor UNIcEF. Di samping memberikan bantuan peralatan medis, UNIcEF juga memberikan pelatihan kepada bidan dan toma’pakeanak (dukun bayi), tetapi sampai sekarang ini belum ada pe-nyegaran lagi.

Pada saat itu telah dibentuk kemitraan antara bidan dan toma’pa-keanak. Isinya antara lain kesepakatan dalam menangani persalinan, yaitu peranan bidan pada bagian perut ke bawah dan peranan toma’pakeanak pada bagian perut ke atas. Namun, dalam pelaksanaannya masih ada beberapa toma’pakeanak yang belum menaati kesepakatan tersebut.

2.2.3 Desa Makuang

Secara geografis bentuk wilayah Desa Makuang berbukit sampai bergunung mencapai 75%, dan mempunyai ketinggian 852 m di atas permukaan laut (dpl). Letak Desa Makuang dibelah oleh jalan poros antara

Page 38: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

25

Mamasa­Polman, dan memiliki batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Desa Malimbong, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Messawa, sebelah timur berbatasan dengan Desa Matande, dan sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Polman. Luas Desa Makuang adalah 18,14 Ha yang terdiri atas 6 dusun, yaitu Dusun Rea terdiri dari 2 RK dan 2 RT, Dusun Makuang terdiri dari 2 RK dan 2 RT, Dusun Tondok Salu terdiri dari 2 RK dan 2 RT, Dusun Dambuala terdiri dari 2 RK dan 2 RT, Dusun Kondo terdiri dari 1 RK dan 2 RT, dan Dusun Pasapa Tipalu (Pastil) terdiri dari 2 RK dan 1 RT. Pada gambar (Gambar 2.5) berikut tampak bahwa posisi Desa Makuang terletak pada bagian sisi sebelah kiri dan kanan jalan raya Mamasa dan Polman. Pemukiman penduduk berada pada bagian pinggir jalan, sedangkan bagian belakang merupakan perkebunan rakyat dan sebagian merupakan hutan yang masih dikuasai oleh Dinas Kehutanan.

Gambar 2.5 Sketsa peta Desa Makuang.

Jarak dan waktu tempuh menuju Desa Makuang dapat digambarkan sebagai berikut; jarak dari Kecamatan Messawa 3 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan selama 15 menit. Sementara dari Kabupaten Mamasa sejauh 66 km dan ditempuh dengan kendaraan selama 3 jam, sedangkan

Page 39: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201226

dari kota provinsi di Mamuju sejauh 376 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan selama 8 jam. Waktu tempuh perjalanan antarwilayah tersebut dapat dijangkau tepat waktu apabila kondisi jalan dan cuaca normal. Akan tetapi, kondisi jalan saat ini rusak berat apalagi curah hujan cukup tinggi dan sering terjadi tanah longsor sehingga transportasi sangat terganggu. Berdasarkan cerita seorang informan, ada ibu bersalin dirujuk ke RSUD Polewali. Jalan yang rusak parah membuat waktu tempuh lebih lama sehingga ibu tersebut melahirkan di mobil ambulans dalam perjalanan menuju ke rumah sakit.

Kantor Desa Makuang dibangun pada tahun 1995 di atas tanah seluas 450 meter persegi dengan luas bangunan 72 meter persegi, berukuran panjang 12 m dan lebar 6 m. Letak kantor desa ini berada di Dusun Tondok Salu. Posisinya di pinggir jalan poros, sedikit naik ke bukit, berhadapan dengan Sekolah Dasar Tondok Salu dan Puskesmas Pembantu (Pustu) Desa Makuang. Dalam menjalankan tugas pemerintahan, Kepala Desa dibantu oleh Sekretaris Desa (Sekdes) berstatus PNS dan 3 orang kepala urusan (Kaur) yang statusnya masih honorer. Masa jabatan Kepala Desa Makuang sudah 6 tahun dan terhitung sejak 1 Mei 2012 adalah masa definitif sehingga tugas sehari­hari di kantor secara formal dijalankan oleh Sekdes. Akan tetapi, pada praktiknya segala urusan warga yang berkaitan keabsahan surat­surat/akta (KTP, KK, Akta Nikah, dan lain­lain), untuk pengurusan sampai tingkat kabupaten, masih dilakukan dengan bantuan kepala desa. Kepala Desa Makuang juga sangat dekat dengan warganya yang meliputi enam dusun. Kepedulian Kepala Desa kepada warga yang berkaitan dengan KIA cukup besar, terutama dalam pembuatan kartu jaminan kesehatan (Jamkesmas). Kepala Desa juga mempunyai hubungan kerja sama yang cukup baik dengan bidan pustu berkaitan dengan kesehatan warga, baik dalam pelayanan dasar maupun dalam pemberian surat rujukan. Bidan selalu kooperatif dan selalau mau membantu warga. Belum lama ini bidan yang telah bertugas di pustu Desa Makuang selama 10 tahun, yaitu Bidan Supiyati, ditugaskan ke Puskesmas Messawa sehingga di Pustu Makuang terjadi kekosongan bidan. Karena kekosongan bidan tersebut, Kepala Desa segera mengusulkan penempatan kembali bidan pengganti kepada puskesmas dan koordinasi ke Dinas Kesehatan Kabupaten. Dan pada 1 juni 2012 posisi bidan di pustu Desa Makuang sudah terisi kembali sehingga pelayanan masyarakat, terutama pelayanan KIA, tidak terganggu.

Page 40: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

27

Sarana penerangan di lingkungan pemukiman penduduk pada mu­lanya menggunakan lampu pelita, lalu ada bantuan turbin yang dikelola secara swadaya, namun kini sudah mengalami kerusakan. Menurut data monografi di Desa Makuang, sejak tahun 1995 penerangan PLN mulai masuk dan dari 285 rumah, penduduk yang mampu memasang baru sekitar 75 rumah, sedangkan yang masih menggunakan lampu pelita sekitar 205 rumah, dan lampu petromaks sebanyak 5 rumah. Berdasarkan observasi, dijumpai sebagian penduduk yang belum memasang listrik di rumah, tetapi dapat menggunakan listrik. Ternyata mereka menyambung dari rumah tetangga dengan menggunakan kabel yang tidak standar sehingga bisa berbahaya ketika hujan turn atau pohon tumbang. Meskipun listrik telah masuk desa, tidak ada pemasangan lampu di jalan raya dan sekitar pemukiman penduduk, baik yang dipasang oleh pemerintah mau pun swadaya masyarakat. Di lingkungan pemukiman ini tidak ada aktivitas masyarakat pada malam hari dan suasana sangat lengang dan gelap. Masyarakat enggan keluar rumah karena suhu udara di luar sangat dingin. Penduduk yang tinggal di sekitar perbukitan dengan fasilitas jalan setapak, jika hendak bersalin pada malam hari, biasanya mereka memilih untuk melahirkan di rumah karena kondisi lingkungan geografi yang tidak mendukung.

2.2.4 Kependudukan

Jumlah penduduk Desa Makuang tahun 2011 sebanyak 1.100 jiwa terdiri atas penduduk laki­laki sebanyak 566 jiwa (51,4%) dan perempuam sebanyak 534 jiwa, serta jumlah KK sebanyak 285 KK, dengan kepadatan penduduk sekitar 3,29 jiwa per km2. Desa Makuang memiliki 6 dusun dengan jumlah penduduk masing­masing berjumlah: Dusun Rea 185 jiwa (16,8%), Dusun Makuang 164 jiwa (14,9%), Dusun Tondok Salu 309 jiwa (28%), Dusun Dambuala 182 jiwa (16,6%), Dusun Kondo 75 jiwa (6,9%) dan Dusun Pastil 185 jiwa (16,8%).

Berdasarkan laporan penduduk tahun 2011 yang disajikan dalam bentuk monografi, gambaran penduduk Desa Makuang dibuat kelompok umur dengan interval 5 tahun. Jumlah kelompok umur antara 0­15 ta­hun mendominasi penduduk Desa Makuang, yakni sejumlah 352 jiwa (32%) dan antara 31­35 tahun sejumlah 101 jiwa (9,1%). Selanjutnya, kelompok umur 16­20 tahun sejumlah 83 jiwa (7,5%), kelompok umur 21­25 tahun sejumlah 86 jiwa (7,8%), dan kelompok umur 26­30 sejumlah 92 jiwa (8,4%). Sementara usia kelompok tua, yakni kelompok umur 36­

Page 41: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201228

40 sejumlah 77 jiwa (7%), kelompok umur 41­45 sejumlah 67 jiwa (6%), kelompok umur 46­50 sejumlah 54 jiwa (5%), kelompok umur 51­55 sejumlah 60 jiwa (5,4%), kelompok umur 56­60 sejumlah 28 jiwa (2,5%), kelompok umur 61­65 sejumlah 35 jiwa (3,1%), dan kelompok umur 66 ke atas sejumlah 43 jiwa (3,9%).

Penduduk Desa Makuang hidup rukun berdampingan antar pemeluk agama yang ada. Mereka saling bertoleransi dan saling menghargai. Pe­meluk agama di Desa Makuang dari urutan yang terbanyak adalah Kristen Protestan sebanyak 612 orang (53,2%,) Hindu termasuk aliran Aluktodolo sebanyak 286 orang (24,9%), Islam sebanyak 139 orang (12%), dan Kristen Katolik sebanyak 113 orang (9,8%).

Penduduk di Desa Makuang sebagian besar memiliki pendidikan tamat Sekolah Dasar (SD). Berdasarkan data tahun 2011 pendidikan pen­duduk Desa Makuang yang tercatat belum sekolah atau tidak sekolah sebanyak 121 orang (11%), tamat SD sebanyak 510 orang (46,4%), tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 220 orang (20%), tamat Sekolah Menengah Umum (SU) sebanyak 175 orang (15,9%) dan tamat akademi/perguruan tinggi sebanyak 74 orang (6,7%).

Apabila dilihat dari jenis mata pencaharian mereka, sebagian besar adalah petani sawah, kopi, kakao dan lain­lain sebanyak 651 orang atau 59,1%, sedangkan sebagian yang menjadi pegawai PNS, misalnya guru, pegawai kecamatan, kantor desa, dan lain­lain sebanyak 29 orang (2,6%). Mata pencaharian lain adalah menjadi pedagang, misalnya warung bensin di rumah, warung kelontong, dan dagang di Pasar Messawa sebanyak 47 orang (4,3%). Selanjutnya, terdapat 373 orang (33,9%) dalam katagori bekerja lain­lain, seperti buruh, ojek, sopir, dan sebagainya.

Sarana penunjang kesehatan yang dimiliki Desa Makuang berupa sebuah bangunan puskesmas pembantu (pustu) di Dusun Tondok Salu, terletak berseberangan dengan Balai Desa Makuang, dan dua buah posyandu yang terletak di Dusun Makuang dan Dusun Kondo, namun statusnya masih menumpang di rumah warga. Sementara tenaga dukun bayi yang ada di desa ini sebanyak 3 orang dan berdomisili di Dusun Rea, Kondo, dan Pastil. Profesi mereka menjadi toma’pakeanak (dukun bayi) merupakan turunan dari orang tua atau neneknya.

Sumber air minum penduduk di Desa Makuang hampir 80 persen berasal dari mata air perbukitan yang dialirkan melalui sistem perpipaan dari bantuan pemerintah atau bantuan Bank Dunia yang disalurkan melalui LSM/PNPM yang dikerjakan melalui pemberdayaan masyarakat

Page 42: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

29

setempat. Tujuan PNPM itu sendiri adalah untuk membantu masyarakat, melalui program perekonomian, pendidikan, dan kesehatan. Jenis sumber air yang tercatat di kantor Desa Makuang dengan model perpipaan ada 4 lokasi, sumber air dari sungai ada 18 lokasi, dan sumur biasa ada 124 buah. Air dari perbukitan, di samping untuk air minum penduduk, juga sebagai pengairan sawah pertanian seluas 11,5 Ha. Juga terdapat kolam ikan seluas 5,25 Ha dan terdapat tanah yang belum tergarap seluas 96 Ha.

Berdasarkan profil Desa Makuang tahun 2011 terdapat Jenis tanaman keras yang ada di Desa Makuang, antara lain kopi robusta seluas 68 Ha, kopi arabika seluas 135 Ha, kakao seluas 12,5 Ha, cengkeh seluas 5 Ha, avokad seluas 2,5 Ha, dan vanili seluas 7 Ha. Sementara itu, berdasarkan sumber yang sama, jenis ternak yang biasa dipelihara dan dapat dikonsumsi penduduk di Desa Makuang adalah itik sebanyak 495 ekor, babi sebanyak 494 ekor, kerbau sebanyak 75 ekor, sapi sebanyak 41 ekor, kuda sebanyak 4 ekor, dan kambing sebanyak 4 ekor.

Kemudian sarana lain yang ada di Desa Makuang namun sifatnya sederhana dan dalam kapasitas kecil, antara lain: 21 kios, 2 buah bengkel, 1 bangunan sekolah Taman Kanak­kanak (TK) dengan jumlah guru sebanyak 4 orang, dan 2 buah bangunan SD dengan jumlah guru sebanyak 25 orang. Berdasarkan catatan desa, jumlah siswa TK sebanyak 26 anak, jumlah siswa SD sebanyak 139 anak, jumlah pengurus PKK sebanyak 12 orang, dan jumlah kader PKK sebanyak 249 orang. Berbagai kelompok terbentuk di Desa Makuang, seperti kelompok dasawisma sebanyak 11 kelompok, kelompok tani sebanyak 12 kelompok, kelompok tukang kayu dan batu sebanyak 9 kelompok.

Sarana umum yang dimiliki Desa Makuang antara lain, rumah adat sebanyak 4 lokasi, kuburan tua sebanyak 7 lokasi, air terjun 10 meter sebanyak 2 lokasi, sungai sebanyak 5 lokasi, fasilitas jalan aspal 7,5 km akan tetapi sepanjang 1,5 km rusak, Majelis taklim sebanyak 4 kelompok dan Majelis Gereja sebanyak 17 kelompok.

Data penduduk Desa Makuang dalam katagori sangat miskin ada di tiap dusun yakni, di Dusun Rea sebanyak 21,5%, di Dusun Tondok Salu sebanyak 26,2%, di Dusun Makuang sebanyak 26,9%, di Dusun Kondo sebanyak 15,7%, dan di Dusun Pastil sebanyak 27,5%.

Page 43: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201230

2.2.5 Pola Tempat Tinggal

Deskripsi pola pemukiman penduduk Desa Makuang yang terdiri atas 6 dusun berada di kaki bukit adalah menggerombol (lihat Gambar 2.6) seperti Dusun Dambuala, Kondo, dan Rea. Akan tetapi, 3 dusun lainnya, yakni Dusun Pastil, Tondok Salu, dan Makuang terlihat berpencar memanjang mengikuti arus jalan poros yang membelah Desa Makuang. Sebagian rumah berada di lereng bukit, di pinggir jalan, dan sebagian berada di dekat persawahan atau kebun tanaman kopi. Sementara akses jalan menuju rumah­rumah penduduk berupa jalan tanah setapak yang sempit dan sebagian sudah diurug dengan batu kerikil. Akan tetapi, dengan bantuan PNPM, sebagian jalan di lingkungan dusun sudah bagus karena dikeraskan dengan semen.

Gambar 2.6 Pola pemukiman di Dusun Dambuala’, Desa Makuang.

Secara umum, pembangunan rumah penduduk dipengaruhi oleh budaya turun­temurun dari nenek moyang zaman dahulu, yaitu rumah atau biasa disebut banua (rumah) berbentuk panggung dan memiliki lantai di atas yang terbuat dari papan. Ada aturan yang sebagian besar masih disepakti oleh penduduk dalam membangun rumah, yakni bagian atas atap, atau yang biasa mereka sebut bubungan, harus membujur ke arah karua (utara), dan pintu utama harus menghadap ke arah matahari

Page 44: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

31

terbit. Konon, menurut kepercayaan leluhur yang mereka yakini, hal tersebut akan mendatangkan rezeki, kesehatan, dan keselamatan bagi yang menempatinya.

Berdasarkan observasi selama berada di Desa Makuang terlihat hampir semua bangunan rumah penduduk memiliki bentuk dan denah yang seragam. Tetapi ada juga beberapa rumah yang sudah modern, yaitu terbuat dari batu merah, namun jumlahnya tidak banyak. Setiap rumah penduduk yang berbentuk panggung memiliki sebuah tangga pada bagian depan dan satu tangga lagi di bagian belakang, dekat kamar mandi. Fungsi tangga depan adalah untuk menghubungkan pintu utama dan pintu belakang, biasanya dari bagian dapur menuju ke kamar mandi yang biasanya dibuat terpisah dengan rumah induk. Kemudian, posisi bangunan dapur untuk memasak sehari­hari selalu dibuat di belakang dan menyilang dari bangunan induk. Pada bagian dapur ini juga dibuatkan lubang pembuangan asap tetapi besarnya tidak memenuhi syarat karena pada saat memasak, asap mengepul di dalam rumah, bahkan sampai ke ruang tamu dan kamar tidur sehingga dapat mengganggu pernapasan.

Kondisi di dalam rumah penduduk rata­rata sangat sederhana, yaitu hanya satu ruangan dengan plafon penuh jelaga berwarna hitam dan kurang atau tidak ada cahaya masuk. Meskipun sebagian rumah memiliki jendela, tetapi jendela tersebut jarang dibuka. Untuk standar rumah yang sehat, minimal cahaya matahari bisa masuk dan ventilasi cukup lebar. Sementara banyak bangunan rumah penduduk tidak memenuhi syarat sehingga dapat memicu timbulnya gangguan kesehatan.

Di sekitar Desa Makuang di lereng bukit tumbuh banyak pohon pinus yang diurus oleh Dinas Kehutanan. Meskipun sifatnya dikuasai oleh pemerintah, tetapi masyarakat boleh memanfaatkan sepanjang untuk keperluan sendiri dan tidak untuk diperdagangkan. Misalnya, penduduk yang akan membangun rumah bisa menebang kayu di hutan dengan catatan mendapat izin dari Kepala Desa supaya jelas penggunaannya.

Dari hasil pengamatan, semua rumah penduduk menggunakan bahan kayu, kecuali atap terbuat dari bahan seng dan ilalang. Umumnya, bahan bangunan rumah menggunakan papan dari kayu pinus dan kayu uru (jenis kayu yang berkualitas bagus/keras). Kayu pinus biasanya dibuat papan dan dipakai untuk dinding rumah, sedangkan kayu uru, karena keras dan tahan lama, dipergunakan untuk balok, tiang penyangga, dan lantai. Salah seorang informan menyampaikan bahwa membangun rumah tidak boleh menggunakan sembarang kayu yang sifatnya masam/manis,

Page 45: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201232

misalnya kayu nangka dan mangga, karena menurut kepercayaan mereka dapat menimbulkan tanggapan yang tidak baik bagi tamu yang datang.

Ada ritual yang harus dilaksanakan saat hendak membangun ru­mah, yaitu memotong ayam pada saat akan memulai dan pada saat me­naikkan atap rumah. Tomakaka Makuang (Pemangku hadat makuang) mengatakan bahwa penduduk dilarang mendirikan rumah pada saat tanaman padi sedang menguning. Apabila larangan itu dilanggar, maka penduduk akan dikenai sanksi adat berupa potong ayam untuk diritualkan di depan Tomakaka (Pemangku Hadat).

Rumah adat atau yang biasa disebut tongkonan, yaitu rumah besar yang dibangun bagian atap menyerupai kapal. Rumah adat terdiri atas dua bagian, yang pertama adalah bangunan induk (tongkonan); dulu untuk tinggal ketua adat, dan yang kedua adalah bangunan lumbung (alang); dulu untuk menyimpan padi dan benda pusaka, serta bagian bawah untuk duduk­duduk tamu yang datang (lihat Gambar2. 7). Bagian depan tongkonan ditopang dengan tiang tinggi yang terbuat dari batang kayu besar yang berkualitas (uru) dan ditaruh tanduk kerbau berjejer menjulang ke atas. Tanduk kerbau tersebut merupakan simbol yang me nandakan bahwa keluarga yang tinggal di rumah tersebut pernah melakukan upacara kedukaan (kematian) dan rumah tersebut pernah

Gambar 2.7 Banua dan alang di Dusun Dambuala.

Page 46: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

33

digunakan untuk menyimpan jenazah dalam waktu yang lama atau diallun. Sementara jumlah tanduk kerbau menggambarkan banyaknya kerbau yang dipotong untuk acara ritual kedukaan dan sekaligus menggambarkan tingkat kebangsawanan. Maka, semakin banyak kerbau yang dipotong semakin tinggi pula tingkat kebangsawanan pemilik rumah tersebut.

Rumah adat tersebut sekarang sudah tidak dihuni lagi oleh pemangku hadat (Tomakaka). Bangunan tersebut tidak lagi sebagai rumah tinggal penduduk atau ketua adat, namun dilestarikan sebagai cagar budaya. Biaya perawatannya dibantu oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Berhubung keberadaan hukum adat di Desa Makuang masih dijunjung tinggi, maka rumah adat tersebut juga masih berfungsi sebagai pengadilan adat dan tempat berkumpul para tokoh adat di Makuang (lihat Gambar2. 8 dan 2.9). Semua permasalahan di masyarakat, termasuk pelanggaran, dimusyawarahkan di tempat ini dan apabila tidak dapat diselesaikan secara adat barulah kemudian diserahkan kepada pemerintah.

Gambar 2.8 Tongkonan (rumah adat) di Desa Makuang.

Page 47: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201234

Gambar 2.9 Alang (lumbung) dari tongkonan.

Secara ekonomi kemampuan penduduk tidak sama sehingga luas pekarangan yang mereka miliki juga berbeda­beda. Rata­rata luasnya di atas 500 m2, sedangkan bangunan yang mereka tempati rata­rata luasnya sekitar 7 x 12 m2, tetapi ada yang lebih besar dari itu.

2.2.6 Kesehatan Terkait Interaksi dengan Lingkungan

Pada saat penelitian dilakukan antara bulan Mei dan Juni 2012 di Desa Makuang sering terjadi hujan dan sering muncul kabut tebal se­hingga udara terasa sangat dingin. Umumnya penduduk di sana terbiasa mengenakan kain sarung tebal untuk menghangatkan badan. Menurut pengakuan mereka, ada beberapa orang sakit asma terkait dengan suhu udara tersebut. Dan setelah dikonfirmasi ke petugas kesehatan di Puskesmas Messawa, asma memang mungkin terjadi karena kondisi udara yang dingin.

Page 48: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

35

Kebiasaan terkait dengan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) masya­rakat yang dijumpai di Desa Dambuala’ belum mencerminkan pola hidup yang bersih, meskipun petugas sanitasi Puskesmas Messawa sudah mem­berikan penyuluhan. Ada kebiasaan di keluarga tertentu bahwa anak­anak hanya mandi sekali dalam sehari, bahkan sama sekali tidak mandi. Anak­anak biasa kurang mendapat perhatian dari orang tuanya karena mereka seharian beraktivitas dan bermain apa saja, termasuk bermain dengan hewan (anjing) kesayangannya sehingga sangat mungkin rentan terkena penyakit. Di sisi lain, cara merawat peralatan untuk makan, minum, dan memasak terkesan tidak bersih pada saat sebelum dan sesudah mema­kainya. Setelah mencuci peralatan tersebut, warga menaruhnya di lantai di dalam atau di luar rumah, sementara ayam dan anjing bebas berkeliaran.

2.3. Sistem Religi

2.3.1 Kepercayaan Penduduk Makuang

Penduduk Desa Makuang menganut agama sesuai kepercayaan masing­masing, antara lain Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan kepercayaan Aluk Tudolo dari aliran Hindu. Di dalam sebuah keluarga biasanya terdapat pemeluk ajaran yang berbeda, misalnya Kristen dan Aluk Tudolo/Hindu, ada juga Hindu dan Islam, Islam dan Kristen, bahkan ada tiga agama yang berbeda dianut anggota keluarga dalam satu rumah. Akan tetapi, walaupun berbeda agama, mereka tidak membeda­bedakan. Semua hidup rukun dan damai. Terjalinnya kerukunan antarumat beragama dapat dijumpai pada saat upacara­upacara seperti upacara kematian, perkawinan, kelahiran, dan upacara-upacara adat lainnya. Mereka ikut ber partisipasi dan bertoleransi. Dalam setiap upacara, masing­masing pemeluk agama menghormati agama yang lain. Sebagai contoh, umat Islam tidak makan daging babi, maka apabila mereka mengikuti pesta, makanan mereka dipisahkan dan orang yang memasak adalah orang Islam.

2.3.2 Aluk Tudolo

Sebelum agama Kristen, Islam, dan Hindu masuk, masyarakat Desa Makuang sudah mengenal Tuhan yang mahakuasa sebagai mahatunggal, yang biasa disebut sebagai Batara Tua bagi yang menganut kepercayaan Aluk Tudolo/ kepercayaan orang dulu (saat ini bergabung dengan agama Hindu). Kepercayaan ini merupakan kepercayaan pertama yang dianut

Page 49: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201236

masyarakat Makuang dan sekitarnya. Saat ini pemeluk ajaran Aluk Tudolo di Desa Makuang sudah tidak sebanyak dahulu karena banyaknya ajaran agama lain yang masuk. Kepercayaan Aluk Tudolo telah ada sejak zaman dahulu kala, sejak manusia pertama. Sementara agama lain masuk ke Desa Makung sejak Belanda memerintah. Agama Kristen dibawa masuk salah satunya oleh orang Belanda yang datang ke daerah itu. Sementara Islam masuk ke daerah itu melalui perkawinan warga dengan orang Kabupaten Pol­Mas (Suku Mandar) dan yang paling banyak membawa ajaran Islam adalah gerombolan DITII yang memaksa warga memeluk agama Islam, mulai tahun 1950-an.

Berdasarkan pengakuan masyarakat, yang membawa ajaran Aluk Tudolo ke Desa Makuang dikenal dengan sebutan Borrongsenga’. Borrong senga juga merupakan orang yang pertama kali membawa ajaran Aluk Tudolo di wilayah Messawa (termasuk Makuang). Saat pertama Bor rongsenga’ datang, ia meminta kepada Tuhan ajaran apa yang akan dipakai di wilayah ini. Setelah mendapatkannya, maka dilaksanakanlah ajaran Aluk Tudolo tersebut yang diikuti oleh hampir semua penduduk di Makuang. Setelah Borrongsenga’ membawa ajaran tersebut kehidupan manusia pada saat itu hidup sejahtera, hidup sehat, jauh dari berbagai penyakit, aman tenteram, dan hasil mata pencaharian cukup baik.

Pada tahun 1979 pemerintah memprakarsai kepercayaan Aluk Tu-dolo untuk bergabung ke dalam ajaran agama Hindu. Sebelumnya, pe-merintah sempat ingin memasukkan ajaran Aluk Tudolo ke dalam agama Kristen karena pada saat itu Kristen (Protestan) merupakan agama paling banyak dianut warga di Mamasa. Namun, banyak pemeluk ajaran Aluk Tudolo menolak bergabung ke dalam agama Kristen dengan alasan kedua ajaran tersebut jauh berbeda. Pemeluk ajaran Aluk Tudolo yang berada di Tana Toraja juga menolak. Kala itu pemimpin mereka yang bernama Bato Ritta Palimbong mendatangi kantor Kementrian Agama pusat untuk me-nyelesaikan persoalan nasib ajaran Aluk Tudolo agar ajaran tersebut dapat diakui pemerintah sebagai agama. Namun, karena mereka tidak memiliki kitab ajaran Aluk Tudolo, maka pemerintah menyatakan kesulitan untuk mengesahkannya sebagai agama.

Kemudian, pemerintah mengirimkan utusan ke lokasi untuk mem­verifikasi kembali ajaran Aluk Tudolotudolo. Hasil verifikasi akhirnya me­mutuskan kepercayaan Aluk Tudolo dimasukkan ke dalam agama yang dianggap “berdekatan” ajarannya, yakni agama Hindu. Memang, ritual Aluk Tudolo dan Hindu tidak sama, namun kedua ajaran tersebut memiliki

Page 50: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

37

kepercayaan terhadap dewa­dewa yang sama, misalnya percaya kepada Dewa Tatak Maklitak (malaikat penguasa tanah), Dewata Wai (malaikat penguasa air), Dewa Tanete (malaikat penguasa gunung), Dewa Panggala’ (malaikat penguasa hutan), dan Bombo, yakni dewa yang menguasai angkasa, juga percaya dengan adanya dewa di ujung langit.

Hingga sekarang, pemeluk ajaran Aluk Tudolo merasa cocok ber-gabung dengan agama Hindu karena adanya beberapa kesamaan, ter­masuk pelaksanaan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kepada penduduk Makuang, para pemangku agama Hindu (Parisadha Hindu) memberikan naungan dan bantuan sehingga mempermudah proses integrasi. Bantuan yang diberikan Parisadha Hindu, salah satunya adalah bantuan beasiswa kuliah ke perguruan tinggi negeri di Bali setiap tahun bagi remaja pemeluk Aluk Tudolo.

Setelah Aluk Tudolo resmi terintegrasi dengan agama Hindu, sebagian penduduk masih menyebut pemeluk Aluk Tudolo dengan “Kepercayaan” dan sebagian menyebut pemeluk Aluk Tudolo merupakan pemeluk agama Hindu. Meski sebagian pemeluk Aluk Tudolo mengaku sebagai orang Hindu, namun mereka tetap menyadari bahwa agama Hindu yang mereka anut tidak sama dengan Hindu yang ada di Bali. Pemeluk Hindu (Aluk Tudolo) tetap menjalankan ritual dan ajaran Aluk Tudolo sebagaimana diajarkan oleh para nenek moyang mereka dahulu.

Ajaran Aluk Tudolo tidak berbentuk tulisan, tapi berbentuk lisan atau pesan/pasan. Pesan yang diajarkan sebagai pedoman hidup, yaitu berbuat baik kepada sesama, mengajarkan kebaikan, saling membantu, tidak berbuat dosa, manusia yang berbuat baik yaitu melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya, dan ketika manusia meninggal maka tuhan akan menilai perbuatan yang telah dilakukannya selama hidup di dunia. Jiwa dan roh manusia yang telah meninggal akan kembali kepada Batara Tua. Ini membutuhkan waktu lama karena setelah meninggal 2 atau 3 tahun disebut membadipuang (jiwanya masih melayang­layang) dan setelah 3 tahun lebih menbadidewata (sudah menyatu dengan Tuhan).

Pemeluk kepercayaan Aluk Tudolo mempercayai adanya arwah dan tempat yang dikeramatkan, seperti sungai, gunung, dan hutan. Tempat­tempat tersebut dinamakan Pemalaran, sedangkan kegiatan meminta doa di tempat­tempat tersebut dinamakan atau dikenal dengan memala. Aluk Tudolo memang tidak mengenal tempat ibadah karena dapat dilakukan di mana saja seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun, ada juga yang wajib dilakukan di rumah seperti upacara untuk kelahiran bayi.

Page 51: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201238

Mereka akan membawa persyaratan seperti babi dan ayam. Mereka percaya bahwa melalui memala, doa­doa yang mereka panjatkan akan terkabul. Warga yang hadir biasanya sampai ratusan orang, tergantung niat dari individu masing­masing, misalnya untuk memala di sungai, mereka berdoa meminta keturunan, kesehatan, dan keselamatan. Mengapa me­reka melakukan memala di sungai itu? Karena menurut kepercayaan mereka, nenek moyang mereka juga berada di air. Mereka juga akan pergi memala di kuburan ketika seseorang pernah bermimpi bertemu dengan nenek moyang mereka. Ini menandakan bahwa orang terebut mendapat teguran sehingga dia diwajibkan datang meminta keselamatan dengan membawa ayam atau disebut dengan Maklapparan.

Pesan dari nenek moyang wajib dijalankan atau dihindari. Beberapa larangan yang ada di Desa Makuang antara lain dilarang menebang pohon tanpa meminta izin kepada dewa, yaitu melakukan ritual terlebih dahulu dengan memotong ayam, dilarang membangun rumah dan pergi ke kuburan apabila padi di sawah belum menguning. Ini semua dipatuhi dan dijalankan. Apabila tidak mematuhinya, maka akan menimbulkan bencana. Hal inilah yang membuat masyarakat Makuang hingga kini masih percaya dan melakukan hal tersebut sampai sekarang.

2.3.3 Islam

Sebelum Belanda masuk ke Desa Makuang, pemeluk agama Islam sudah ada, tetapi jumlahnya tidak banyak. Saat ini Desa Makuang me­miliki satu bangunan masjid dan satu mushola yang dibangun secara permanen. Namun, gedung mushola masih dalam tahap pembangunan. Dahulu masjid yang ada di desa ini hanya berupa mushola yang beratap alang­alang dan berlantai pasir dengan luas hanya 3x3 m. Lama­kelamaan ada peningkatan dengan atap yang berganti dengan seng, kemudian lantai sudah disemen. Setelah mendapat bantuan dari pemerintah, masjid di-bangun kembali menjadi lebih luas.

Imam masjid setiap hari datang dan seminggu sekali mengajar anak­anak mengaji. Imam masjid di Desa Makuang tinggal jauh dari masjid, yakni sekitar 4 km. Setiap hari ia berjalan kaki karena tidak mempunyai kendaraan sendiri. Ia menjadi imam karena mengikuti jejak bapaknya yang juga imam masjid. Orang tuanya merupakan salah satu orang yang membangun mushola yang kemudian menjadi masjid. Ada bermacam­macam kegiatan di masjid setiap bulannya, seperti kegiatan pengajian dan pengajaran peningkatan pengamalan agama, mulai TPA (untuk anak­anak) hingga Majelis Taklim (bagi orang dewasa).

Page 52: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

39

Pemeluk agama Islam termasuk minoritas di desa ini. Di Dusun Dam­buala’, tempat peneliti tinggal, hanya dua rumah tangga yang merupakan keluarga muslim. Namun, di kampung­kampung tertentu terdapa beberapa rumah tangga yang memeluk agama Islam. Di dusun Makuang terdapat bangunan Kantor Urusan Agama (KUA) yang biasa membantu pernikahan keluarga muslim. Letak bangunan tersebut berada di pinggir jalan raya.

2.3.4 Kristen

Agama Kristen (Protestan) pertama kali masuk dibawa oleh orang Belanda yang datang sebagai penjajah. Dahulu kala, di Desa Makuang ada anggota Majelis Gereja yang sering mengajar agama Kristen di sekolah sejak tahun 1963. Melalui pendidikan tersebut menyebarlah agama Kristen dan semakin lama semakin banyak pemeluknya. Gereja pertama yang dibangun di wilayah Kecamatan Messawa, Desa Makuang adalah di Dusun Kondo. Gereja tersebut merupakan Gereja Toraja Mamasa yang menonjolkan tradisi dan budaya masyarakat Mamasa dan Tana Toraja dalam tata cara ibadahnya.

Dari tahun ke tahun pemeluk agama Kristen bertambah, sehingga jumlahnya menjadi paling banyak (mayoritas) baik di Desa Makuang mau­pun di Kabupaten Mamasa secara umum. Oleh karena itu, secara langsung maupun tidak langsung ajaran Kristen banyak mewarnai budaya dan tra­disi di masyarakat Desa Makuang dan Kabupaten Mamasa. Sebagian besar pemimpin masyarakat, baik formal maupun informal, merupakan pemeluk agama Kristen.

2.3.5 Tradisi/Adat yang Masih Bertahan

Manusia yang telah beragama akan berbuat sesuai dengan petunjuk kitab suci mereka. Masyarakat Makuang, selain masih melaksanakan ajaran berdasarkan kepercayaan yang dianut, juga mematuhi aturan adat dan tata caranya sebagai sistem nilai dan norma yang mengatur tata hidup mereka. Kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap pesan/bahasa lisan nenek moyang menjadi sumber yang menjiwai pertumbuhan adat istiadatnya, juga menumbuhkan kesadaran dalam diri bahwa melaksanakan aturan­aturan dan tata cara adat itu adalah suatu kewajiban. Ritual tersebut masih tetap dilaksanakan meskipun mereka sudah menganut agama. Di sini terjadi akulturasi, yaitu selain melakukan ritual­ritual dalam agama, mereka masih melakukan ritual­ritual yang berkaitan dengan adat istiadat yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka sejak dahulu kala.

Page 53: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201240

Upacara yang masih dijalankan oleh masyarakat Makuang adalah upacara­upacara syukuran seperti: upacara makburake (dilakukan setiap 3 tahun sekali apabila masyarakat hidup sejahtera), upacara makkaro (upacara sebelum menanam padi), dan upacara makkaringi (upacara menjelang panen). Sedangkan upacara yang wajib dilaksanakan di Desa Makuang adalah:

1. Upacara Manukappa (Upacara Hari Raya)

Upacara ini dilaksanakan di Balla (salah satu perkampungan di Dusun Tondok Salu) yang merupakan salah satu tempat ritual pemeluk ajaran Aluk Todolo. Upacara dipimpin oleh Tomammang (yang melaksanakan tata upacara) dan dilakukan dua kali setahun, yaitu pada bulan ke­6 dan bulan ke-12. Semua pemeluk kepercayaan Aluk Todolo melaksanakan upacara tersebut untuk meminta keselamatan. Dalam upacara tersebut mereka yang hadir membawa beras untuk dimasak ke dalam bambu atau disebut dengan ma’doda dan membawa bermacam-macam jenis ayam sebagai persembahan kepada para dewa (lihat Gambar 2.10).

Gambar 2.10 Upacara Manukappa’.

Page 54: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

41

2. Upacara-upacara Kelahiran Bayi

a. Upacara Maktatak Mata (upacara bagi bayi baru lahir)

Ritual ini wajib dilakukan pada saat bayi lahir. Misalnya bayi lahir hari ini, maka malam harinya dilaksanakan upacara ini. Tujuannya agar bayi yang dilahirkan terhindar dari makhluk halus yang sering mengganggu bayi baru lahir. Dalam upacara ini dipersembahkan satu ekor ayam berbulu hitam yang berumur satu minggu. Ayam tersebut dicincang, darahnya diambil, lalu dicampur dengan barra’ (beras), kapu’ (kapur), dan bolu (sirih). Kemudian, persembahan tersebut diletakkan di atas daun bere-bere dan diletakkan pada tiang rumah.

Dalam usaha menjaga keselamatan bayi baru lahir, penganut Aluk Todolo lebih mempercayai perlindungan Dewata atau Batara Tua yang diwujudkan dengan pelaksanaan ritual maktatak mata. Bagi mereka, de ngan melakukan tradisi ini, maka bayi akan terjaga keselamatannya, termasuk kesehatan seorang bayi.

b. Upacara Maktomatua (upacara syukuran keluarga menyambut bayi baru lahir)

Setelah upacara maktatak mata, upacara selanjutnya adalah makto-matua. Upacara ini diadakan di atas rumah keluarga bayi yang baru lahir. Dalam tradisi ini keluarga akan memotong dua ekor ayam, yakni ayam rame (ayam yang memiliki kaki berwarna putih) dan ayam bolong atau hitam (ayam yang memiliki bulu warna hitam).

Tujuan dilakukannya upacara ini adalah memperkenalkan bayi yang baru lahir kepada Dewata dan merupakan rasa syukur keluarga karena bayi sudah dilahirkan dengan selamat.

Setelah mengadakan upacara maktomatua selama tiga hari, keluarga tersebut tidak boleh meminjamkan barang­barang miliknya kepada orang lain.

c. Upacara Tokeran Ondoan (bayi pertama kali dinaikkan di ayunan)

Biasanya upacara ini dilakukan setelah bayi berumur 2-3 bulan. Dalam upacara ini, bagi keluarga yang mampu, mereka akan memotong babi. Sementara bagi keluarga yang kurang mampu, mereka akan memotong ayam dua ekor. Dalam upacara ini rambut bayi tersebut dipotong, kemu­dian ia dinaikkan ke dalam ayunan yang telah di siapkan.

Page 55: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201242

d. Upacara Lako Wai (bayi/anak di bawa ke sungai)

Upacara selanjutnya adalah lako wai. Upcara ini dilakukan setelah bayi atau anak berumur kurang lebih satu tahun. Dalam upacara ini bayi/anak tersebut dibawa ke sungai oleh orang tua sambil membawa dua ekor, ayam yakni ayam putih (bulunya berwarna putih) dan ayam merah (bulunya berwarna merah). Pada ritual ini bayi/ anak akan dibasuh dengan air sungai oleh orang tua sang bayi/anak. Prosesi ini dipimpin oleh to’mammang dan bertujuan agar anak tersebut bisa panjang umur, sehat, dan banyak rezeki.

e. Upacara Mangatta

Ada dua macam upacara mangatta, yaitu upacara yang dilaksanakan di dalam rumah dan di halaman rumah atau di pintu gerbang. Prosesnya selama tiga hari dan bisa dilaksanakan dengan banyak orang atau sedikit. Dalam upacara mangatta keluarga memotong empat ekor ayam untuk dipersembahkan kepada pencipta dan penyelamat alam serta roh leluhur. Di antara yang disembah tersebut, roh leluhur yang paling dihormati akan diberikan sesaji berupa ayam hitam. Ayam rame dipersembahkan untuk Dewa Wai (air), karena mereka yakin manusia tidak bisa hidup tanpa air. Sementara ayam merah dan ayam putih dipersembahkan kepada Tuhan Pencipta. Upacara mangatta ini dilakukan agar anak terhidar dari penyakit cacar yang biasa disebut dengan makpuang. Upacara mangatta biasanya dilakukan apabila yang bersangkutan sudah mampu karena dalam pelaksanaan upacara ini terdapat banyak larangan, seperti dilarang memakai pakaian berwarna hitam dan merah, orang yang masuk rumah tidak boleh memakai parang, dan selama 3 hari 3 malam to’mammang tidak boleh meninggalkan rumah.

3. Upacara Kematian

Upacara kematian merupakan upacara yang wajib dilaksanakan. Upacara ini merupakan penghormatan terakhir yang diberikan anak ke­pada orang tuanya. Pada upacara ini keluarga harus memotong hewan (kerbau dan babi). Darah hewan tersebut merupakan simbol untuk mem­permudah arwah yang meninggal menuju pullondong (akhirat).

Upacara ini terbagi dalam beberapa tingkatan berdasarkan lamanya mayat disimpan di dalam rumah, yaitu dipetallu (3 malam) , dipepitu (7 malam), dipekasera (9 malam), duangpitu (27 malam), duakkasera (29

Page 56: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

43

malam), dan yang paling tinggi adalah tallukasera (39 malam). Tingkatan tersebut membawa konsekuensi jumlah hewan yang harus dikurbankan.

Pada tingkatan pepitu, keluarga memotong 3 ekor kerbau, Bahkan, pada tingkatan yang paling tinggi, keluarga bisa memotong ratusan ker­bau. Namun, berdasarkan obeservasi kami di lapangan, pada saat melak­sanakan upcara kematian, keluarga hanya memotong satu atau dua ekor kerbau.

Dalam upacara kematian penganut Aluk Todolo terdapat beberapa kegiatan, antara lain makdoya, artinya menyanyi/melagukan lagu dengan iringan gendang. Jika orang yang meninggal memiliki kedudukan yang tinggi, maka sebelum babi dipotong, terlebih dahulu mayat tersebut didudukkan dan dirias atau disebut dipatokdang dan dipasangi perhiasan selama sehari. Setelah itu, mereka menyiapkan tempat mayat berupa peti yang terbuat dari kayu. Jika orang yang meninggal memiliki kedudukan yang tinggi, maka peti tersebut akan diukir dengan emas atau dipandan.

Selama mayat belum dikubur, keluarga meyakini mayat tersebut dianggap masih hidup atau disebut masseroh. Oleh karena itu, untuk ber-hubungan dengan mayat tersebut, mayat diberi sirih, pinang, dan kapur yang diistilahkan dengan makkatui. Selama mayat belum dikubur, keluarga tetap memberi makanan dan minuman kepada mayat tersebut yang diletakkan di samping mayat, termasuk berbagai alat yang dibutuhkan selama mayat nanti hidup di akhirat seperti sendal, pakaian, uang, dan sebagainya. Sejak hari pertama kematian, keluarga tidak diperbolehkan makan nasi beras, tetapi makan nasi jagung. Mereka akan kembali makan nasi beras setelah tiga hari mayat dikubur.

Apabila seseorang meninggal kemudian keluarga tidak memotong kerbau, tetapi memotong babi, maka suatu saat bila keluarganya itu mampu mereka harus memotong kerbau (istilahnya makpondi) dan bisa dilakukan bertahap, misalnya pada saat meninggal hanya memotong seekor, nanti pada saat keluarganya mampu, mereka akan memotong lagi (namanya makranganni). Saat upacara kematian biasanya hewan dipotong di depan rumah, sedangkan untuk rambu tuka (acara kegembiraan), maka binatang dipotong di belakang rumah.

Upacara kematian bagi kalangan keturunan bangsawan dikenal de ngan nama upacara rambu solo (upacara kematian). Pada upacara ter sebut, babi yang dipotong berjumlah paling sedikit 50 ekor. Yang membawa adalah keluarga mereka dan dianggap sebagai utang karena ketika keluarganya melaksanakan upacara kematian, mereka juga akan

Page 57: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201244

dibalas yang sama, yaitu dengan memberikan babi juga. Tak heran jika di masyarakat Makuang dan sekitarnya banyak orang memelihara babi yang akan dipakai untuk berbagai acara ritual/upacara atau kegiatan lainnya. Dan masyarakat Makuang percaya bahwa babi dan kerbau adalah penghantar jiwa/roh bertemu dengan Sang Pencipta.

2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan

Seperti umumnya tradisi di Kabupaten Mamasa, aturan adat istiadat berlaku pula pada penduduk yang tinggal di wilayah Kecamatan Messawa, termasuk di dalamnya Desa Makuang. Aturan adat yang ada berdasarkan prinsip yang disebut Ada’ Tuo, yaitu aturan hidup untuk kehidupan. Setiap warga yang menjalankan kewajiban dalam aturan adat tersebut, maka hak untuk hidup aman akan didapatkan. Prinsip Ada’ Tuo yang masih diyakini dan dijalankan warga adalah seperti ungkapan berikut: Tuo Tammate mapia tangkadake, Siriwa Ada’ Tuo, Ditampa Bulawan ditampa tedong yang artinya betapa pun sulitnya persoalan hidup selalu dapat diselesaikan dengan baik tanpa mengorbankan jiwa manusia. Prinsip ini terus digunakan dalam menyelesaikan semua persoalan sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika terjadi satu persoalan di antara warga dan mereka merasa tidak bisa menyelesaikannya sendiri, maka ada jalur penyelesaian lebih tinggi yang dapat ditempuh. Tingkatan yang paling atas adalah melalui tokoh masyarakat, biasanya akan berkoordinasi dengan pemimpin formal, seperti kepala desa. Tingkatan dibawahnya bisa melalui kepala RK (Rukun Keluarga) setempat bersama kepala dusun. Jika masih bisa diselesaikan dengan aturan adat yang ada, persoalan tersebut tidak akan masuk dalam ranah hukum. Bahkan, jika persoalan yang ada bisa diselesaikan melalui tingkatan paling bawah, yaitu melalui kesepakatan antarkeluarga saja, akan lebih baik.

2.4.1 Keluarga Inti

Keluarga inti biasanya terdiri atas ibu, bapak, dan anak kandung yg belum menikah. Dalam satu keluarga inti ditandai dengan satu dapur untuk memasak. Jika ada anak yang baru saja menikah, dan belum mampu membuat rumah sendiri, maka anak dan istri/suaminya akan tinggal bersama orang tuanya. Namun, anak yang sudah menikah umumnya akan memisahkan diri dari rumah orang tuanya dalam kurun waktu 1­2 tahun setelah menikah. Lokasi rumah anak yang sudah menikah bisa berada di sekitar keluarga istri, keluarga suami, atau di lokasi baru (neolokal).

Page 58: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

45

2.4.2 Sistem Kekerabatan

Sebagian besar penduduk desa Makuang dalam enam dusun meru­pakan keluarga besar karena ikatan perkawinan. Sejak dulu, asal bukan keluarga dekat (sepupu satu kali), perkawinan antarkeluarga lebih sering terjadi. Hingga sekarang, perkawinan dengan sepupu tiga kali masih dila­kukan, selain menikah dengan orang­orang di luar desanya. Oleh karena itu ada istilah tidak ada orang lain dalam desa tersebut.

Pembatasan perkawinan saat ini diyakini masyarakat akan meng­hasilkan keturunan yang cacat atau sakit. Pembatasan tersebut adalah tidak boleh menikah dengan sepupu satu kali, yakni tidak boleh saling kawin karena masih dianggap kelurga (dekat). Perjodohan dengan se­pupu dua kali kurang dianjurkan, namun jika keduanya memang saling suka, boleh dikawinkan. Perkawinan dengan keluarga (luas) yang masih dianjurkan adalah kawin dengan sepupu tiga kali.

Usia perkawinan yang dianjurkan untuk perempuan adalah minimal 16 tahun dan untuk laki-laki minimal 18 tahun. Pada usia tersebut, anak dianggap sudah matang untuk menjalani rumah tangga. Berdasarkan peng amatan, rata­rata usia perkawinan tersebut masih ditaati,yakni setelah mereka minimal lulus dari sekolah jenjang menengah (SMA/SMK). Namun, ada juga perempuan yang belum lulus sekolah menengah sudah dikawinkan karena telah hamil lebih dahulu.

Acara pesta perkawinan biasanya diadakan pada bulan dan hari-hari tertentu. Bulan Mei hingga Oktober merupakan bulan yang digemari masyarakat untuk mengadakan hajatan perkawinan. Sebagai gambaran, pada tahun 2012 ini, berdasarkan perhitungan salah satu tomatua yang menjadi informan, hari yang dianggap “paling baik” untuk perkawinan (juga mendirikan rumah) adalah hari Jumat dan Rabu minggu pertama menurut hitungan bulan Islam dan Jawa, bukan bulan Masehi. Sementara hari yang dianggap “tidak baik” adalah hari Kamis minggu pertama. Biasanya yang menentukan dan menghitung hari­hari baik adalah orang yang dituakan (orang tua) atau tokoh masyarakat. Jika orang tidak mengikuti perhitungan tersebut, maka perkawinan tersebut kelak tidak langgeng, rezekinya tidak lacar, dan sebagainya.

Secara umum ada tiga tahap yang biasa dilakukan masyarakat dalam tata cara perkawinan. Tahap pertama disebut mekutana’, yakni orang tua laki­laki (biasanya ibu laki­laki) datang berkunjung ke keluarga perempuan dengan maksud melamar calon istri anaknya. Sebelum melamar, ia akan

Page 59: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201246

mengutus orang untuk melakukan penjajakan apakah memang belum ada orang lain yang melamar perempuan tersebut. Kalau memang belum, maka maksud dan tujuan dilanjutkan. Jika ternyata sudah, maka utusan tersebut akan bercerita biasa-biasa saja. Meski tahapan ini masih dilakukan hingga sekarang, namun dalam kenyataannya tahap ini dilakukan hanya untuk memelihara tradisi yang ada karena ketika pasangan tersebut telah mempunyai hubungan dekat (pacaran), tentu kedua belah pihak telah tahu sama tahu.

Tahap selanjutnya adalah ma’pateka’ pangan, yakni pembicaraan mengenai rancangan perkawinan yang diinginkan sesuai dengan kemam­puan kedua belah pihak. Tempat perkawinan biasanya diadakan di rumah calon pengantin wanita. Acara ini biasanya dihadiri hanya oleh dua keluarga dekatnya karena dalam acara inilah akan dibicarakan berapa hewan ternak yang akan dipotong, siapa saja orang yang akan diundang, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kemampuan (harta) yang dimiliki untuk acara tersebut.

Bagi keluarga yang masih menjalankan budaya/tradisi Aluk Todolo, dalam mekutana’ dan ma’pateka’ pangan, pihak laki-laki membawa han-taran berupa boulu (daun sirih), kapu’ (kapur sirih), kalosi (buah pinang), dan sambako’ (tembakau) untuk diberikan kepada pihak perempuan. Pada zaman dahulu kita dapat melihat apakah sang calon pengantin laik­laki dari keluarga bangsawan atau keluarga biasa berdasarkan penataan dan jumlah hantaran tersebut. Namun, saat ini, dengan masuknya aga­ma­agama samawi seperti Kristen dan Islam, hantaran yang masih diper­tahankan hanya tembakau dalam bentuk rokok.

Tahap berikutnya adalah pesta perkawinan dan masarak, yakni pesta penyambutan pihak perempuan kepada pengantin laki­laki dan keluarganya. Tidak seperti dua tahap sebelumnya yang wajib dilakukan, tahap ini tidak wajib dilakukan. Namun, sebagian besar penduduk merasa ada yang kurang bila belum melakukan tahap ini. Kedua pesta tersebut (perkawinan dan masarak) biasanya dipengaruhi oleh agama/keyakinan kedua mempelai. Berbeda dengan kegiatan rambu solo (kematian) yang dihadiri oleh semua warga desa, pada kegiatan rambu tuka (perkawinan), maka warga hanya akan hadir jika diberi undangan oleh orang yang memiliki hajat. Umumnya, undangan pada pesta perkawinan dan masarak berupa dua batang rokok. Orang yang diutus untuk menyampaikan undangan (orang yang dianggap mampu menyampaikan acara) akan mendatangi rumah warga satu per satu sambil membawa rokok. Jika orang yang

Page 60: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

47

didatangi tidak ada di rumah, maka rokok tersebut ditinggalkan di rumah tersebut sebagai tanda undangan.

Dalam pesta perkawinan umumnya tamu (undangan) akan mem­bawa sumbangan berupa beras sekitar 5­6 liter. Bagi mereka yang mam­pu dan keluarga dekat akan membawa sumbangan berupa babi atau ayam. Semua sumbangan akan dicatat oleh keluarga pemilik hajatan. Meskipun tidak ada kewajiban untuk “mengganti” semua sumbangan itu, namun ada rasa tidak enak dan malu jika dibicarakan oleh orang lain yang mengetahui. Sementara pada peristiwa kematian, secara otomatis warga dalam satu desa akan datang bergantian ke rumah yang berduka, meski hanya sebentar. Selain beras, warga yang datang dalam upacara kematian akan membawa kayu bakar, babi, atau uang sebagai tanda duka. Umumnya semua warga yang datang akan mengenakan pakaian bewarna hitam sebagai tanda duka.

Dalam aturan adat diatur juga hal­hal yang dianggap melanggar perkawinan, yaitu kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, zina, maupun perceraian. Semuanya diatur secara adat. Bagi yang melanggar, sanksi akan diberikan tergantung keselahan atau pelanggaran yang dila kukan. Namun, secara garis besar, sanksi yang diberikan adalah pe­mo tongan hewan ternak berupa babi atau kerbau. Sanksi diberikan kepada pihak yang terbukti (secara adat) bersalah. Pihak yang tersakiti dilambangkan sebagai orang yang kehilangan babi (hewan), sehingga pihak yang bersalah meminta maaf dengan menyerahkan babi (hewan) tersebut. contoh pelanggaran berat dalam perkawinan adalah ketika sepasang suami­istri telah sepakat bercerai (termasuk hal yang dianggap buruk, melanggar adat, serta mempermalukan keluarga besar), namun kemudian keduanya diam­diam tetap melakukan “hubungan” suami­istri dan diketahui warga, maka keduanya dikenakan denda seekor kerbau yang dibayar dua kali lipat.

2.4.3 Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal

Garis keturunan orang tua diberikan kepada setiap anak, baik anak laki­laki maupun perempuan. Nama keluarga atau fam biasanya hanya dipakai jika nenek (bisa laki­laki atau perempuan) merupakan keturunan bangsawan atau tokoh yang disegani (unggul). Nama bangsawan yang masih digunakan di Desa Makuang adalah Pangloli dan Pasambuan yang merupakan tokoh adat (tomakaka) dari Messawa. Penggunaan nama marga saat ini mulai digunakan (di Kabupaten Mamasa) dengan tujuan­

Page 61: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201248

tujuan tertentu, seperti pencalonan anggota DPRD, pencalonan pimpinan formal, dan sebagainya.

Penduduk biasa (bukan keturunan bangsawan) tidak mempunyai nama fam (nama keluarga). Namun, orang tua biasa menggunakan nama nenek­nenek mereka untuk nama anak­anaknya. Kecenderungan sekarang ini banyak nama nenek diubah saat anak tersebut kawin dengan alasan nama tersebut tidak cocok digunakan saat ini. Artinya, meskipun anak sudah diberi nama oleh orang tuanya, berganti nama atau tetap memakai nama pemberian orang tua sepenuhnya merupakan pilihan anak.

Panggilan nama seseorang (ego) di tengah masyarakat akan berubah saat ego telah mempunyai anak. Sebagai contoh, X (laki­laki) sudah menikah dan memiliki 7 anak. Anak pertamanya bernama Burra dan anak terakhirnya bernama Messa, maka masyarakat akan memanggilnya Papa’ Burra (nama anak pertamanya) dan memanggil istrinya Mama’ Burra. Hal itu terjadi ketika orang tua masih berumur sekitar 20­40 tahun. Saat orang tua tersebut telah berumur sekitar 50 tahun, panggilan berganti menjadi Ambe’ (laki­laki) Burra dan Indo’ (perempuan) Burra. Ketika anak­anaknya telah berkeluarga dan memiliki keturunan, maka panggilan kedua orang tua tersebut berganti menjadi nenek (untuk laki­laki dan perempuan) Messa (nama anak terakhirnya). Panggilan nenek bagi seseorang yang telah mempunyai cucu terdengar lebih sopan dan halus, khususnya bagi anak­anak muda yang menyapa. Jika yang menyapa seumuran dengan nenek tersebut, panggilan Ambe’ Burra bisa juga digunakan.

Jika seorang meninggal dunia, maka hartanya akan dibagi kepada se mua anaknya setelah dikurangi biaya upacara kematian. Besarnya pembagian harta warisan bagi setiap anak (laki­laki dan perempuan) ber gantung besarnya “pengorbanan” yang diberikan anak pada upacara kematian orang tuanya. Pengorbanan dalam hal ini adalah banyaknya hewan (babi dan atau kerbau) yang disumbangkan dalam upacara kematian. Pengorbanan berupa hewan merupakan kewajiban yang harus dilakukan seorang anak sebagai tanda rasa hormat dan terima kasih untuk orang tuanya. Pembagian harta warisan biasanya dibantu oleh orang yang dituakan di masyarakat.

Hewan yang disembelih berupa bai (babi) dan kerbau. Kedua hewan tersebut menjadi simbol penting dalam upacara kematian di Kecamatan Messawa dan Mamasa secara umum. Orang dengan agama atau keyakinan apa pun, jika orang tersebut meninggal dan ingin dikuburkan di wilayah ini, maka wajib hukumnya memotong hewan berupa kerbau dan atau babi.

Page 62: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

49

Masyarakat meyakini bahwa dalam perjalanan dari dunia fana menuju alam baka, roh orang yang meninggal harus menyeberangi sebuah salu mariri (sungai kuning). Roh manusia tidak akan mampu menyeberangi sungai tersebut, tetapi roh babi dan kerbau bisa dipakai untuk menyeberangi sungai dengan cara mengendarainya (Mandadung, Arianus, 2004). Babi atau kerbau yang disembelih, sebagian dagingnya dimakan bersama tamu yang hadir dan sebagian lagi (sekitar setengahnya) akan dibawa pulang keluarga atau orang yang memberikan sumbangan.

Pembagian daging babi atau kerbau saat upacara kematian dan pem bagian babi atau pada pesta perkawinan (kerbau tidak dipakai da lam upacara perkawinan) juga merupakan gambaran tingkatan (strati fikasi) sosial di masyarakat. Tingkatan sosial tertinggi (terhormat) ditu jukan ke-pada ketua adat atau tomakaka yang dianggap “dituakan” dan merupakan pemimpin informal masyarakat. DEmikian pula dengan pe mimpin formal seperti kepala desa, meski yang menjabat masih muda, ia tetap “ditua-kan” oleh masyarakat. Ketika acara makan dimulai, mereka harus menda-patkan bagian tertentu yang disebut bukkula’pa, yakni bagian daging paha kerbau atau babi yang memperlihatkan tulang tertentu. Jadi, bukan kar-ena besarnya bagian daging tersebut, melainkan posisi daging tersebut harus dari bagian paha yang memperlihatkan tulang tertentu. Tuan rumah akan mendahulukan bagian tersebut karena jika tidak berarti ia dianggap tidak menghormati tetua masyarakat. Tingkatan dibawah tomakaka dan kepala desa adalah pemimpin agama dari semua agama yang ada, yakni imam masjid (Islam), pendeta (Kristen), dan tomma’mang (Aluk Todolo).

2.5. Pengetahuan

2.5.1 Konsep Sehat dan Sakit

Menurut masyarakat, seseorang dikatakan sakit apabila kondisi fisik­nya dirasakan lemah dan tidak bergairah dalam menjalankan aktivitas sehari­hari. Mereka membedakan kondisi sakit dalam tiga tingkatan, yaitu pertama sakit seperti influensa atau sakit kepala masih dianggap sesuatu yang biasa terjadi atau dianggap wajar sehingga kondisi ini terkadang tidak menghalangi mereka untuk menjalankan aktivitas sehari­hari. Kedua, sakit dianggap sedang jika mereka sudah tidak mampu lagi menjalankan aktivitas sehari­hari, kadang mereka hanya terbaring di rumah dan untuk pengobatannya terkadang mereka memanggil dukun penyembuh atau tenaga kesehatan yang ada di puskesmas/pustu untuk mengobati mereka.

Page 63: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201250

Ketiga, sakit yang dianggap sudah dalam atau dianggap mala’da’ (parah). Kondisi ini terlihat saat penyakit yang diderita tak kunjung sembuh atau penyakit yang diderita tergolong berat, seperti TBc, hepatitis, kanker, dan sebagainya. Biasanya mereka langsung membawa penderita ke puskesmas atau rumah sakit.

Bila seseorang merasa bahwa kesehatan tubuhnya terganggu, namun belum sampai membuatnya terbaring dan tidak dapat lagi menjalankan aktivitasnya sehari­hari, mereka akan melakukan pengobatan sendiri dengan cara meracik ramuan­ramuan tradisional yang mereka ketahui atau mereka meminta keluarganya untuk mengambilkan obat di puskesmas/pustu atau membelikannya di toko­toko obat yang ada.

Pemahaman mereka terhadap kondisi­kondisi gaib atau mistik terkesan masih sangat kuat. Ini terlihat dari cara pandang mereka terhadap suatu penyakit yang selama ini dianggap tidak mampu disembuhkan se cara medis. Mereka akan langsung menganggap penyakit tersebut merupakan akibat pengaruh setan/gaib atau ilmu­ilmu hitam yang biasa dikenal dengan istilah saki-saki tolino/disando-sando’i yang dilakukan oleh orang lain (semacam santet/tenung) sehingga ketika mereka dalam keadaan seperti itu, mereka akan meminta bantuan dukun/penyembuh tradisional yang dianggap mampu melepaskan mereka dari pengaruh­pengaruh jahat tersebut.

Sakit jiwa atau dalam bahasa lokal disebut kombengan/tattasan, me-nurut pemahaman mereka disebabkan pengaruh pikiran, faktor keturunan, dan ada juga yang diakibatkan oleh ilmu hitam. Untuk orang yang sakit jiwa/gila, terutama jika penderita sudah mulai memukul atau sakit jiwa­nya sudah parah, biasanya orang tersebut langsung di­“balanggung”. Balanggung merupakan tempat yang terbuat dari kayu. Modelnya disusun sedemikian rupa berbentuk segi empat dan orang yang berada ditempat ini tidak dapat berdiri, tetapi hanya bisa duduk. Tempat ini didesain untuk melemahkan kekuatannya. Menurut penuturan mereka, metode ini dapat mempercepat proses penyembuhannya, meskipun pada kenyataannya orang yang sakit jiwa tersebut tidak ada yang sembuh secara total, apalagi kalau sumber penyakit tersebut merupakan faktor keturunan.

2.5.2 Penyembuhan Tradisional

Dalam kehidupan masyarakat Makuang, mereka mengenal penyem­buh tradisional dengan sebutan toma’pakuli kuli. Setiap toma’pakuli kuli memiliki spesialisasi dalam menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu.

Page 64: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

51

Ada toma’pakuli kuli yang hanya mampu memberikan pengobatan se­cara khusus kepada anak­anak, seperti penyakit tilea’ dan ra’busan. Ada juga yang hanya mampu menyembuhkan penyakit yang dianggap oleh masyarakat karena kekuatan gaib dan tidak mampu disembuhkan secara medis, seperti penyakit kekkean. Tetapi, ada juga yang mampu menyembuhkan semua penyakit dan merangkap sebagai dukun bayi yang dikenal sebagai toma’pakeanak.

Terkait dengan kedudukan sosial dalam masyarakat, toma’pakuli kuli tersebut seperti warga masyarakat Makuang pada umumnya, tetapi mereka berprofesi sebagai penyembuh tradisional. Itulah yang membe-dakan mereka dengan warga masyarakat yang lain. Namun, mereka juga berprofesi sebagai petani sebagaimana pekerjaan yang pada umumnya dijalani oleh sebagian besar masyarakat Makuang. Ada juga toma’pakuli kuli yang mempunyai peran lain dalam masyarakat, seperti kepala dusun/ketua kelompok tani atau yang ditokohkan dalam masyarakat. Salah satu yang sempat kami temui adalah seorang penyembauh tradisional yang berdomisili di desa lain, tetapi merupakan penyembuh tradisional yang sering digunakan oleh masyarakat Desa Makuang.

Para penyembuh tradisional tersebut memperoleh metode penyem-buhan dari berbagai cara, sebagaimana yang akan dideskripsikan satu per satu dari tiga informan toma’pakuli kuli yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat Makuang, yakni:1. Pak Naya (Ambe’ Soma’). Penyembuh tradisional ini merupakan to-

ma’pakuli kuli yang secara khusus mampu menyembuhkan penyakit yang sering diderita oleh anak­anak, seperti penyakit tilea’ (sejenis “penyakit dalam” pada anak berusia 2 atau 3 bulan) dan ra’busan (anak­anak sering takut ketika melihat orang lain dan mendengar suara keras). Menurut informan, metode penyembuhan ini didapatkan dari orang tuanya dan merupakan warisan yang diturunkan. Hanya ia sendiri yang berhasil mendapatkannya dari 6 orang bersaudara, karena ia dianggap berhasil ketika pertama kali mengujicobakan metode penyembuhan ini.

2. Ibu Burra (Indo Manggimbo’). Toma’pakuli kuli ini secara khusus mampu menyembuhkan penyakit kekkean. Penyakit ini disebabkan oleh gigitan makhluk gaib bernama asu lao, sejenis anjing tetapi tidak bisa dilihat. Terkadang mereka yang sakit sebelumnya bermimpi digigit anjing, tetapi gigitan anjing tersebut mereka rasakan secara nyata, artinya antara sadar dan tidak sadar mereka merasa ada anjing

Page 65: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201252

menggigitnya. Penyakit ini sering menyerang tiga bagian tubuh, yaitu tangan, kaki, dan payudara serta rasanya sunguh ma’pakella-kella (menyakitkan) dan itu terasa pada malam hari. Gejalanya seperti ben jolan besar dan bernanah atau biasa dikenal dengan istilah ma’nana nana susi to bundangan. Menurut informan, metode pe-nyembuhan ini didapatkan dari orang tuanya (bapaknya) yang juga adalah penyembuh tradisional. Dan dari 7 orang bersaudara hanya dia yang berhasil mendapatkannya, sementara 6 orang saudaranya yang juga pernah mencoba memberikan pengobatan, namun tidak ada yang berhasil atau dianggap tidak mampu menerima warisan peyembuhan tersebut. Metode penyembuhan yang diturunkan atau diwariskan biasanya akan lebih mudah didapatkan jika diwariskan dari laki­laki ke perempuan, begitupun sebaliknya. Secara kebetulan, dari 7 bersaudara dalam keluarga tersebut, hanya informan yang berjenis kelamin perempuan sehingga hal ini menjadi alasan kuat mengapa informan dianggap mampu/berhasil mewarisi kemampuan tersebut. Sebenarnya, ada penyembuhan berbagai penyakit lain, selain penyakit kekkean, yang bisa diwariskan oleh orang tua kepada anaknya, tetapi dari semua penyakit tersebut, penyakit kekkean merupakan salah satu penyakit yang tidak mampu disembuhkan oleh penyembuh tradisional yang lain sehingga informan lebih memilih mendapatkan warisan penyembuhan penyakit tersebut dan juga karenak dappi’ (mantra) yang digunakan dalam penyembuhan tersebut dianggap paling singkat/pendek dibandingkan dappi’ untuk menyembuhkan penyakit lain. Menurutnya, untuk memperoleh metode penyembuhan tersebut, informan belajar dengan cara menghafal dappi’ tersebut setiap hari Ju’mat sampai informan betul­betul menghafalnya dan berhasil menyembuhkan penderita ketika diujicobakan pertama kalinya.

3. Pak Yosef (Ambe’ Mosal). Toma’pakuli kuli yang ketiga ini, mampu menyembuhkan semua penyakit, kecuali satu penyakit yang menurut informan tidak mampu disembuhkan, karena tidak memiliki obat atau ramuannya, yaitu penyakit kelean (kudis atau penyakit kulit). Selain itu, informan juga merupakan toma’pakeanak (dukun bayi). Berdasarkan pengakuan informan, metode penyembuhan yang infor man ketahui ini berasal dari sesuatu yang gaib atau di luar nalar manusia. Ketika ia berusia 10 tahun, ada seekor burung seperti burung merpati mendatanginya saat ia sedang berjalan­jalan di

Page 66: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

53

sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Kala itu, si burung berbicara kepadanya bahwa dia akan mampu memberikan pengobatan/penyembuhan kepada orang lain. Informan bertanya bagaimana mungkin dia bisa melakukan hal tersebut. Si burung menjawab bahwa dia akan bisa mengetahui setiap penyakit dan ramuan yang akan diberikan dengan cara melihatnya ke dalam air. Burung itu akan memberikan ilmu penyembuhan tersebut dengan satu syarat bahwa informan tidak boleh membeda­bedakan orang­orang yang meminta pertolongan kepadanya, apakah orang itu kaya atau miskin, juga ia harus selalu siap kapan saja dan di mana saja orang membutuhkan pertolongannya. Informan menyatakan kesediannya atas semua persyaratan yang diminta burung itu. Meskipun metode penyembuhan ini sudah diketahui sejak kecil, akan tetapi profesi sebagai toma’pakuli kuli dilakukan setelah informan menikah.

2.5.3 Teknik Penyembuhan

Teknik penyembuhan yang dilakukan oleh setiap toma’pakuli kuli berbeda­beda, bergantung penyakit yang mampu disembuhkan oleh penyembuh atau toma’pakuli kuli tersebut. Oleh karena itu, di bawah ini akan diuraikan secara singkat metode yang dilakukan oleh para toma’pakuli kuli berdasarkan informasi yang mereka berikan pada saat mereka melakukan penyembuhan, yakni:1. Teknik penyembuhan penyakit ra’busan. Untuk menyembuhkan

penyakit ini, informan mengunakan laiyah (jahe). Laiyah tersebut dikunyah sendiri oleh informan, kemudian diburrung (ditiup­tiupkan) ke sekujur tubuh si anak mulai dari kepala sampai pantatnya sambil membaca mantra atau didappi’. Menurutnya, penyakit ra’busan yang diderita si anak dapat diketahui dengan melihat kotorannya yang berwarna hijau. Sementara teknik penyembuhan/pengobatan penyakit tilea’ dilakukan dengan cara membuka seluruh pakaian yang dikenakan oleh si anak, kemudian informan meraba-raba badannya. Setelah itu, dia mengambil panini (bangle) yang telah disiapkan sebelumnya dan mengunyahnya sampai halus. Panini yang telah dikunyah kemudian dioleskan ke sekujur tubuh si anak. Setelah itu, tubuh si anak digoyang­goyang selama semenit menggunakan pakaian (baju) orang tuanya. Jika anaknya laki­laki, pakaian yang digunakan untuk mengoyang­goyang badan anak tersebut haruslah pakaian (baju) bapaknya, begitu juga sebaliknya. Menurut penuturannya,

Page 67: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201254

penyakit ini disebabkan karena si anak jatuh dari ayunan atau sering digendong bergantian oleh orang lain.

2. Teknik penyembuhan penyakit kekkean. Untuk menyembuhkan penyakit ini, informan menggunakan kamiri (kemiri), barra’ (beras), dan kulit kayu kadinge’ (kayu manis). Kulit kayu manis tersebut di iris kecil-kecil kemudian dikunyah bersama kemiri dan beras, lalu diludahkan ke tempat yang sakit sambil didappi’ (dibacakan mantra).

3. Teknik penyembuhan yang ketiga dilakukan dengan cara melihat terlebih dahulu penyakit yang diderita si pasien lewat media air. Menurut informan, lewat air itulah informan mengetahui jenis penyakit dan ramuan­ramuan yang akan diberikan kepada si pasien. Setelah jenis penyakit dan ramuan terlihat atau terbaca oleh infor-man, maka informan kemudian menyampaikan kepada si pasien tentang penyakit yang diderita dan ramuan yang akan digunakan. Menurutnya, ramuan atau tumbuhan yang sering digunakan sebagai obat biasanya harus dicari terlebih dahulu di dalam hutan karena tumbuhan tersebut hanya tumbuh di dalam hutan. Biasanya menurut informan, tumbuh­tumbuhan tersebut dicari sendiri oleh keluarga si pasien. Tetapi, jikalau keluarga si pasien tersebut tidak mengetahui jenis tumbuhan tersebut, maka terpaksa informan sendiri yang mencarinya. Setelah semua jenis ramuan itu didapat, maka informan meraciknya untuk kemudian diberikan kepada pasien.

Dalam ketiga proses penyembuhan ini, biasanya si pasien didampingi oleh orang tua atau keluarganya untuk membantu toma’pakuli kuli saat melakukan penyembuhan, terutama dalam mencari jenis ramuan/tum-buhan yang akan digunakan dalam penyembuhan penyakit. Pene liti hanya mampu menggambarkannya berdasarkan informasi yang disampaikan oleh masing­masing informan, karena selama berada di lokasi, peneliti tidak pernah melihat secara langsung bagaimana toma’pakuli kuli melakukan penyembuhan.

2.5.4 Pengetahuan Penyembuhan Tradisional dan Biomedikal

Dalam proses penyembuhan suatu penyakit, masyarakat Makuang pada umumnya sudah memanfaatkan pelayanan kesehatan, tetapi mereka masih tetap memanfaatkan ramuan­ramuan tradisional yang mereka racik sendiri atau dibuatkan oleh keluarga mereka. Mereka beranggapan bahwa

Page 68: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

55

jika mereka menggunakan ramuan tradisional, selain obat­obatan medis yang mereka dapatkan dari puskesmas/rumah sakit, akan mempercepat proses penyembuhan dan ramuan tradisional dianggap tidak memiliki efek samping ketika digabungkan dengan obat­obatan medis. Metode pengobatan secara tradisional ini diketahui banyak orang sejak kecil dan juga didapatkan dari toma’pakuli kuli (penyembuh tradisional) yang ada di daerah itu.

Secara tradisional, pengobatan sakit maag dilakukan dengan cara mengambil tangmesambu’ (sejenis tanaman yang tumbuh secara bebas d isetiap tempat dan memiliki bentuk daun agak lonjong). Tanaman ini diambil bersama dengan akarnya, lalu dicuci dengan air bersih. Setelah itu, dimasukkan ke dalam air mendidih. Air hasil rebusan ini diminum sebanyak dua kali sehari. Penyakit ini pun biasa diobati dengan menggunakan kunyit yang telah diparut, kemudian dicampur dengan kuning telur dan madu. Masyarakat juga sering memanfaatkan ujung daun (pucuk daun) jambu), daun dopang, daun tangmesambu’, dan panini (bangle). Daun­daun tersebut diambil pada siang hari saat daun­daun tersebut dalam keadaan kering, Ramuan­ramuan tersebut ditumbuk jadi satu, lalu diperas tanpa dicampur dengan air. Air hasil perasan itu kemudian diminum setelah makan. Sementara secara medis mereka menggunakan obat alumi yang mereka dapatkan dari Puskesmas Messawa atau pustu yang ada di Desa Makuang atau mereka beli di toko­toko obat yang ada di Kecamatan Messawa.

Untuk menyembuhkan influensa, mereka menggunakan puyer Bin­tang 7, sedangkan untuk menyembuhkan sakit kepala, mereka meng­gunakan parasetamol yang mereka peroleh dari puskesmas/pustu atau toko-toko obat.

Luka karena tersayat atau tertusuk diobati dengan menggunakan daun tangmesambu’ dan daun dopang yang diremas­remas kemudian dioleskan pada bagian tubuh yang luka. Selain itu, mereka juga sering menggunakan betadine untuk mengobati luka tersebut.

Kebanyakan masyarakat di Desa Makuang terkena hipertensi. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh lauk yang mereka konsumsi se-tiap harinya adalah ikan asin. Biasanya mereka mengobatinya dengan menggunakan daun so’ (daun seledri). caranya daun so’ di masukkan ke dalam gelas yang telah diisi dengan air hangat, kemudian airnya diminum. Biasanya mereka meminumnya dua kali sehari. Selain itu, mereka kadang juga mengambil daun kopi, kemudian merebusnya sampai mendidih.

Page 69: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201256

Setelah itu, air hasil rebusan tersebut diminum. Selain kedua jenis ta-naman tersebut, mereka juga kadang mengobati hipertensi dengan me­minum rebusan daun bandike’ (daun pepaya) yang telah didinginkan. Daun tersebut biasa juga digunakan untuk mengobati malaria dengan cara merebusnya, lalu meminum airnya.

Menurut pemahaman mereka, penyakit gula/diabetes terdiri atas dua jenis, yaitu gula kering dan gula basah. Gula kering menyerang orang yang bertubuh madoko’ (kurus), sedangkan gula basah menyerang orang yang bertubuh maloppo (gemuk). Penyakit ini secara tradisional dapat disembuhkan dengan menggunakan ramuan kuli’ lasse’ (kulit langsat), kulit batang kaokao (kulit batang pohon kapas), dan kunyit basah. Ketiganya ditumbuk lalu dimasukkan ke dalam gelas yang berisi air panas, lalu diminum. Kalau penderita penyakit gula memiliki luka, biasanya mereka menggunakan daun tangmesambu’ dan daun dopang yang ditumbuk lalu diberi sedikit minyak kelapa, kemudian dioleskan pada bagian tubuh yang luka.

Masyarakat Makuang menilai bahwa penyakit tebesean/ma’dokki’ (TBc) disebabkan karena faktor keturunan dan makanan. Mereka paham bahwa penderita TBc memiliki badan yang kurus, sering batuk­batuk ber­lendir, serta kelihatan tidak bergairah/loyo. Untuk mengobatinya, mereka menggunakan daun kassi’-kassi’, daun samangi tedong, daun jambu (klutuk), daun remba’-remba’, dan akar toto-toto (tanaman parasit yang biasa tumbuh pada pohon kakao). Semua ramuan ini ditumbuk menjadi satu kemudian dicampur dengan air hangat, lalu diminum. Selain itu, penyakit ini juga dapat disembuhkan dengan meminum rara asu malotong (darah anjing hitam), tetapi anjing hitam yang belum pernah bersetubuh dengan lawan jenisnya.

Tekanan darah rendah dapat diobati dengan menggunakan laiyah (jahe) yang ditumbuk kemudian dicampurkan dengan kuning telur ayam kampung dan gula merah. Ramuan itu lalu diminum sebanyak 3­4 kali dengan interval dua hari.

cacar pada anak­anak diobati dengan meminum campuran air kelapa, daun paria (daun pare) yang telah diremas­remas, dicampur dengan kunyit basah yang telah diparut atau ditumbuk, kemudian dimasukkan ke dalam gelas untuk diminum. Biasanya ramuan ini diminum 2­3 kali dan selama masih menggunakan ramuan tersebut, si anak dilarang mandi.

Kelean (sejenis kudis atau penyakit kulit), menurut pemahaman mereka, merupakan penyakit yang muncul dengan siklus 30 tahunan yang

Page 70: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

57

disebabkan oleh kondisi alam. Akan tetapi, tidak diketahui bagaimana mengobati penyakit tersebut.

Kondisi kolikan (bayi yang bertubuh kurus, terutama tangan dan kakinya mengecil) pada bayi yang baru lahir dapat diatasi dengan ramuan dari kunyit basah yang telah ditumbuk atau diparut, dicampur dengan kapur sirih, lalu dioleskan pada bagian pusar, telapak kaki, dan telapak tangan sebanyak satu atau dua kali. Menurut mereka, cara seperti ini akan membuat tubuh si bayi dapat kembali normal.

2.5.5 Pengetahuan tentang Makanan dan Minuman

Pada umumnya masyarakat Desa Makuang mengolah makanan layak nya masyarakat lain mengolah makanan, hanya saja mereka masih menggunakan kayu. Hanya beberapa warga yang sudah menggunakan gas elpiji. Dapur kayu tersebut didesain sedemikian rupa dan berada di bagian paling belakang rumah panggung yang merupakan bentuk rumah dominan masyarakat Makuang. Pada dapur tesebut terdapat tungku tempat memasak makanan. Tungku­tungku tersebut biasanya dibuat dua atau tiga bagian dan dalam setiap bagian diletakkan tiga batu sungai membentuk segitiga. Di atas tungku terdapat tempat menyimpan kayu bakar yang sudah kering atau biasa disebut dengan para. Jarak tungku dan para tersebut kira-kira 1,5 m.

Saat memasak nasi, mereka mencuci terlebih dahulu beras yang akan dimasak, kemudian memasukkannya ke dalam kurin (belanga) bersama air bersih secukupnya. Setelah itu kurin tersebut diletakkan di atas tungku yang telah menyala dengan menggunakan kayu kering. Ketika nasi diperkirakan hampir masak, kayu­kayu yang masih menyala tersebut dimatikan dan hanya baranya yang digunakan sampai nasi tersebut betul­betul masak. Setelah itu, kurin diangkat dan diletakkan di tempat yang sudah disediakan. Begitu pun saat memasak sayur, mereka mencuci terlebih dahulu sayur­sayur tersebut sampai bersih kemudian memasukkannya ke dalam belanga atau pamuttu (wajan), dan meletakkannya di atas tungku yang menyala. Terkadang mereka memasakknya dengan bumbu yang telah disiapkan seperti bawang merah atau bawang putih (ditumis), tetapi ada juga yang memasaknya hanya menggunaakan air, garam, dan piccin (penyedap rasa/vetsin) atau yang dikenal dengan istilah dimasak tiga. Sementara lauk pauk yang rata­rata adalah ikan kering biasanya digoreng menggunakan minyak kelapa asli (minyak kelapa yang diolah secara tradisional) di atas wajan. Tetapi, ada pula yang hanya ditunu (dibakar) di atas bara api.

Page 71: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201258

Setelah semua makanan sudah siap, makanan-makanan tersebut dile-takkan di atas meja dalam keadaan tertutup atau menyimpannya terlebih dahulu di dalam lemari makan yang terletak di bagian dapur sebelum akhirnya disantap bersama­sama dengan semua anggota keluarga (anak­anak, dewasa, maupun orang tua) saat waktu makan tiba. Begitu pun ketika ada makanan yang tersisa, mereka akan menyimpannya kembali ke dalam lemari makan atau ditutup di atas meja.

Menu makanan yang dikonsumsi setiap harinya berupa nasi, sayur­sayuran, dan juga bale (ikan). Jenis bale yang biasa dikonsumsi misalnya bale temban (ikan kering), tobarani (ikan terbang), atau lure (ikan terik) yang telah dikeringkan. Biasanya mereka membelinya di Pasar Messawa yang jaraknya sekitar 7 km dari Desa Makuang. Menurut salah satu informan, jika kondisi keuangan mereka mencukupi, mereka akan membeli bale bolu (ikan bandeng) atau ikan­ikan laut (ikan basah) yang sering diantar penjual menggunakan sepeda motor dari Polewali (Kabupaten Polewali Mandar). Tetapi, saat kondisi keuangan mereka sangat kurang, mereka akan mengonsumsi nasi dan sayur saja.

2.5.6 Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan (Pencarian Peng-obatan)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, meskipun mereka masih menggunakan pengobatan tradisional yang dibuat sendiri atau mendatangi para toma’pakuli kuli (penyembuh tradisional), pada umumnya masyarakat di Desa Makuang sudah memanfaatkan pengobatan medis seperti di Puskesmas Messawa dan pustu yang ada di desa mereka. Pustu tersebut dilayani oleh seorang bidan bernama Bidan Supiaty, tetapi kini Bidan Supiaty sudah pindah ke Puskesmas Messawa dan posisinya digantikan oleh Bidan Imelda. Selain itu, masyarakat juga mencari pengobatan di tempat praktik para tenaga kesehatan yang dulu pernah bekerja di Pus­kesmas Messawa, tetapi kini sudah pensiun, misalnya tempat praktik Mama Fery dan Bapak Endi yang berlokasi di Kelurahan Messawa.

Ketika mereka menderita suatu penyakit, terlebih jika kondisinya sudah cukup memprihatinkan, biasanya keluarga terdekat seperti orang tua, anak, atau suami/istri menyarankan untuk segera berobat ke tempat­tempat pengobatan medis atau memanggil para tenaga kesehatan agar memeriksa kondisi keluarga mereka yang sakit. Terkadang, atas saran tenaga kesehatan inilah mereka langsung dibawa ke Puskesmas Messawa agar bisa mendapatkan perawatan intensif. Namun, jika para tenaga

Page 72: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

59

kesehatan yang bertugas di Puskesmas Messawa merasa sudah tidak mampu lagi menangani penyakit tersebut, mereka langsung dirujuk ke RSUD Polewali Mandar yang ada di Kabupaten Polman (jarak dari desa Makuang ke Kabupaten Polman sekitar 30 km). Begitu pun saat ibu hamil akan melahirkan. Meskipun pada awalnya ibu hamil memiliki keinginan, yang didukung oleh keluarga, untuk melahirkan di rumah dengan bantuan toma’pakeanak (dukun bayi), tetapi jika dirasa sulit melahirkan di rumah, mereka akan membawanya ke Puskesmas Messawa untuk mendapatkan pertolongan dari bidan.

2.5.7 Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Kesehatan

Menurut penuturan beberapa informan, fasilitas kesehatan yang tersedia di Puskesmas Messawa dirasa sudah cukup memadai layaknya puskesmas pada umumnya, tetapi mereka menyadari juga bahwa fasilitas yang ada di Puskesmas tersebut pasti berbeda jauh dengan fasilitas yang ada di RSUD Polewali Mandar.

Mengenai pandangan mereka terhadap pelayanan tenaga kesehatan pun dianggap sudah cukup memuaskan, terutama bidan (khususnya Bidan Supiaty) yang bertugas di desa mereka saat itu. Mereka menganggap selama bertugas di desa mereka, Bidan Supiaty telah menyatu dengan masyarakat Desa Makuang. Meskipun Bidan Supiaty seorang muslim, dan tinggal dalam masyarakat Makuang yang mayoritas beragama Kristen, dia tidak pernah membeda­bedakan atau pilih kasih dalam memberikan pertolongan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Untuk pelayanan kesehatan secara tradisional biasanya mereka men-datangi rumah toma’pakuli kuli (penyembuh tradisional) seperti rumah Ambe’ Soma’, rumah Indo’ Mangimbo’ dan orang tuanya (Ambe’ Bura), atau penyembuh tradisional yang berada di luar desa mereka seperti Ambe’ Mosal yang ada di desa Rippung (desa Rippung berada sekitar 14 km dari Desa Makuang). Terkadang mereka memanggil toma’pakuli kuli tersebut untuk datang mengobati di rumah mereka. Setelah proses penyembuhan selesai biasanya mereka memberikan upah atas jasa to ma’pakuli kuli. Terkadang mereka memberinya uang atau seekor ayam, tetapi semua itu berdasarkan keikhlasan si pasien dan keluarganya. Ada juga toma’pakuli kuli yang menolak pemberian dalam bentuk apa pun atau dengan kata lain ia memberikan pengobatan secara cuma­cuma (gratis).

Page 73: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201260

2.6 Bahasa

Basa (Bahasa) yang digunakan masyarakat Desa Makuang pada umumnya hampir sama dengan bahasa yang digunakan sebagian besar masyarakat Mamasa atau biasa disebut basa Mamasa (Bahasa Mamasa), hanya saja ada perbedaan dilaek/logat di setiap daerah.

Ada informan yang mengatakan bahwa bahasa yang digunakan di wilayah Kabupaten Mamasa pada umumnya termasuk dialek Mamasa. Dialek Mamasa termasuk salah satu di antara dialek-dialek bahasa Toraja (Palenkahu et al, 1974: 20­22), namun ada juga yang menyatakan bahwa bahasa Mamasa termasuk subfamili Toraja Sa’dan (Grimes dan Barbara, 1985: 11). Pada tahun 1987 Balai Penelitian Bahasa Ujung Pandang (Makassar) mencari seberapa jauh persentase kesaman dan perbedaan bahasa Mamasa dengan bahasa Toraja dengan mengambil sampel 212 kosakata, dan dari 212 kosakata tersebut terdapat 68,4% kesaman kosakata seasal dan 31,6% ketidaksamaan kosakata seasal. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Toraja dan bahasa yang umum digunakan di wilayah Kabupaten Mamasa tersebut adalah dua bahasa yang bersubfamili.

Basa Mamasa pada umumnya digunakan sebagai alat komunikasi dalam berbagai aspek kehidupan sosial, baik dalam lingkungan keluarga maupaun di dalam masyarakat umum. Dalam hal­hal yang berkaitan dengan adat istiadat atau ritual yang dilaksanakan dalam agama keper­cayaan (Aluk Todolo), umumnya digunakan bahasa daerah tersebut. Akan tetapi, di dalam rapat dinas dan pertemuan resmi, para pembicara atau pejabat pemerintah memakai bahasa Indonesia sebagai pengantar. Pembicara yang tahu dan fasih berbahasa Mamasa, selain menggunakan Bahasa Indonesia, kadang­kadang memakai bahasa daerah tersebut. Hal ini biasa terjadi jika mereka berhadapan dengan anggota masyarakat yang dianggap kurang mengerti gagasan atau maksud yang ingin disampaikan atau kesuliatn mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Kantor-kantor pemerintah dan lembaga­lembaga pendidikan secara resmi menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar utama. Di samping itu, bahasa Mamasa juga sering dipergunakan sebagai alat komunikasi antarpegawai, antarguru, antara guru dan murid, dan antarmurid, baik dalam jam dinas atau belajar, maupun di luar jam dinas atau belajar.

Dalam menggunakan bahasa, masyarakat di Desa Makuang mengenal adanya tingkatan bahasa, antara lain:

Page 74: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

61

1. Bahasa tinggi yang diistilahkan dengan Kada Barata. Bahasa ini biasanya dilantunkan oleh tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh adat pada acara­acara tertentu, khususnya yang menyangkut adat­istiadat, terutama dalam ritual kepercayan AlukTodolo.

2. Bahasa yang umum digunakan sehari hari.

Selain ini, orang yang dianggap tua atau dituakan atau dianggap pamannya akan disapa dengan sebutan pua’ atau ambe’ bagi kaum pria atau indo’ bagi kaum perempuan. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk penghargaan/penghormatan kepada orang yang lebih tua atau diistilahkan dengan mendiada’. Sebagai contoh, seorang tamu datang. Pemilik rumah menyapa tamunya yang baru saja tiba di rumahnya dengan sapaa, “Mane saeko pua’/ambe’” atau “Mane saeko indo’.” Tuan rumah tidak boleh menyebut nama atau menyebut sapaan yang biasa diberikan oleh sebayanya, misalnya, “Mane saeko ambe’ Aris/indo’ Aris’.” Jika mereka seumuran atau umurnya lebih tua dari orang yang akan disapa, biasanya mereka tidak perlu menambahkan kata ambe’ atau indo’ di belakangnya, kecuali mengikutkan sapaan yang biasa diberikan kepadanya, misalnya ambe’ Langi’ atau indo’ Langi. Sebagai contoh, untuk menanyakan dia dari mana, kita bertanya, “Umba mungei sule?” Atau bisa juga dengan kalimat berikut, “Umba mungei sule ambe’ Langi/indo’ Langi’?”

Untuk orang yang telah berkeluarga dan telah memiliki anak, misal­kan nama anak pertamanya Ewa’, maka ia harus disapa dengan sebutan ambe’ Ewa’/indo’ Ewa’ atau papa’ Ewa’/mama’ Ewa’ dan sudah tidak boleh menyebut namanya lagi sebagaimana yang sering dilakukan saat dia belum berkeluarga.

Terkait dengan istilah­istilah kesehatan yang sering dipergunakan oleh masyarakat akan dijabarkan beberapa contoh, antara lain:

Basa Mamasa ArtinyaPa’di’ bua Sakit ulu hati /maagPa’di’ ulu Sakit kepalaPa’di’ tambuk Sakit perutMate sese Sebagian tubuh dirasakan sudah matiMapa’di’ Kalena Kondisi sakit di sekujur tubuhMapa’di’ penawa Sakit hatiTittai tilua Muntah berakTibollo Mencret-mencret

Page 75: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201262

Basa Mamasa ArtinyaKombengan/tattasan Sakit jiwaKoyong LukaPa’dik Boko’ Sakit belakangTebesean TBCBolokan Influenza Mala’da’ Sakit berat Lumua’ Ngilu­ngilu di bagian kepalaDisando sando’i Diguna­guna/disantetTilua rara Muntah darahBoboan SariawanLanggan rarana/tinggi darah Tekanan darah tinggiBalombongan Gigi berlubangRira’ rira’ pudu’na Bibir pecah-pecahBundangan BisulPanoan Panu

2.7 Kesenian

2.7.1 Seni Tradisional Mamasa

Untuk mewujudkan hasrat pencipta ”keindahan” atau keharuan ter­hadap suatu rangsangan, kadang kala manusia mewujudkannya melalui nyanyian, lukisan, atau syair sehingga orang lain yang melihatnya akan ikut terpengaruh atau setidak­tidaknya ikut merasakan apa yang dikandung oleh seniman itu.

Sejak dahulu kala daerah Mamasa sudah dikenal sebagai kediaman para pemusik tradisonal ulung dan vokalis, bahkan komponis lagu­lagu daerah terkenal di Pulau Sulawesi. Musik-musik ini dipakai untuk memuji para dewa dan alam, serta menjinakkan binatang­binatang tertentu, termasuk menghalau penyakit menular. Berikut ini sejumlah musik tradisional Mamasa yang masih dikenal dan digunakn sampai saat ini.1. Tulali, terbuat dari bambu berukuran panjang sekitar 30­60 cm,

berlubang lima, dan saat ditiup akan menghasilkan nada suara non­diatonis. Bagian ujung atas diberi bentuk lidah getar untuk ditiup. Bisa ditiup sendiri dan bisa dibawakan dalam bentuk grup pemusik bambu. Sementara alat musik bambu yang berlubang enam mengeluarkan nada suara diatonis, yang juga bisa ditiup baik sendiri maupun dalam grup. Keduanya dilakukan dalam upacara­upacara kegembiraan. Alat musik ini dipakai pada upacara bondesan yang

Page 76: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

63

diiringi dengan tari Bonde’ agar orang yang sedang sakit menggigil (terkena malaria) bisa sembuh.

2. Katapi atau kecapi, alat musik gesek bersenar dua bisa dimainkan oleh satu atau dua orang. Bentuknya panjang melengkung dan berongga, dari ujung ke ujung direntangkan dua buah tali senar yang menghasilkan bunyi ketika digesek. Alat ini digunakan untuk mengiringi lagu­lagu daerah dalam nada suara non­diatonis.

3. Gendang, terbuat dari kayu besar berongga dengan garis tengah kira­kira 20­30 cm dan 30­50 cm, tergantung fungsi gendang tersebut. Gendang terbuat dari kulit kerbau yang menghasilkan bunyi ge­muruh ketika ditabuh. Gendang berukuran kecil berfungsi sebagai pengiring tarian, sedangkan yang berukuran besar berfungsi untuk mengumpulkan masyarakat setempat untuk kebutuhan tertentu, serta dibunyikan pada upacara kedukaan bangsawan Mamasa.

4. Sattung, panjangnya sekitar 50 cm. Ujung dan pangkalnya dilubangi, memiliki empat tali yang terbuat dari kulit bambu, dua di sebelah atas dan dua lainnya di samping kiri dan kanan. Di bagian tengah sebelah atas dilubangi. Alat ini dipakai sebagai hiburan pada waktu santai bagi masyarakat Mamasa zaman dulu.

5. Gesok, panjangnya kira­kira 20­30 cm, bentuknya mirip gambus, namun tangkainya agak panjang dan kecil. Alat ini memiliki dua buah tali senar dan menghasilkan bunyi seperti bunyi biola digesek. Alat ini dipakai untuk mengiringi lagu dan tarian tradisional Mamasa.

6. Gonggak, panjangnya sekitar 20­30 cm. Ujung atas berlubang dua sebagai pengukur bunyi. Bambu tersebut dipecahkan di tengahnya sebelah­menyebelah dan akan bergetar ketika ditiup. Alat tersebut dipukul­pukulkan ke tangan sehingga menghasilkan bunyi. Alat ini dipergunakan pada waktu anak sedang menderita penyakit cacar (ma’ bulawan ataubulawanan) sampai sembuh.

7. Gongga’ Lawe, bambu diurut panjang dan pipih sekitar 4­8 cm. Bagian ujung dipasangi tali untuk ditarik­tarik. Alat ini dimasukkan ke mulut, kemudian tali pada ujung tersebut ditarik­tarik hingga menimbulkan getaran bunyi. Alat ini dipakai pada upacara­upacara ritual.

8. Kamaru, panjang sekitar 15­20 cm, terbuat dari kayu berbentuk bundar. Ditutup dengan kulit ular sawah dan dipasangi manik­manik sebelah menyebelah. Ketika digerakkan dengan tangan, maka manik-manik tersebut memukul-memukul kulit sawah tersebut dan menghasilkan bunyi. Alat ini dipakai pada waktu pengucapan

Page 77: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201264

syukur tradisional Mamasa (palambean/ burake) dan pesta­pesta kegembiraan bangsawan, penguasa, atau kepala hadat di Mamasa.

2.7.2 Alat Musik dan Kesenian di Desa Makuang

Pada zaman sekarang, pementasan seni dalam masyarakat Makuang sungguh sangat jarang kita lihat. Itu disebabkan pemerintah tidak ingin membangkitkan kesenian­kesenian tradisional yang ada, padahal ada berbagai macam jenis tarian yang berasal dari daerah setempat. Kesenian dipentaskan hanya dalam kegiatan karnaval 17­an. Itu pun dipentaskan di kantor kabupaten. Upacara ritual pun sudah sangat jarang dipentaskan. Dulu pernah ditampilkan tarian, tetapi itu pun dalam kegiatan di ke­camatan. Yang sering ditampilkan sekarang ini adalah drum band. Dahulu banyak jenis atau model seni yang biasa dilakukan oleh masyarakat ketika melakukan upacara ritual baik upacara adat, upacara syukuran, maupun upacara kedukaan.

Ada empat alat musik yang biasa dimainkan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu: pertama, gandang atau gendang yang ber fungsi untuk memanggil orang pada acara syukuran. Selain itu juga untuk mengiringi seni suara. Kedua, suling; suling ada dua macam, yaitu suling adat yang digunakan hanya pada acara adat dan suling biasa yang digunakan pada upacara mangatta dan pada perayaan pengantin, yaitu untuk menyambut pengantin yang datang dan juga pada saat mengantar pengantin. Ketiga, gesok; gesok berbentuk seperti biola yang terbuat dari tempurung kelapa dan digunakan pada acara mangatta. Keempat, gongga pudu yang terbuat dari belahan bambu yang dilipat dua, modelnya seperti jepitan, kemudian lipatan bambu dimainkan naik turun sehingga menghasilkan bunyi apabila bambu bersentuhan. Alat ini digunakan pada acara mangatta. Keempat alat musik tersebut dulu sering digunakan dalam berbagai kegiatan kesenian yang ada di Desa Makuang. Lambat laun penggunaan alat musik tersebut muali berkurang karena adanya kaset radio. Jadi, tari­tarian sekarang tidak menggunakan alat musik tradisional, tetapi memakai kaset yang sudah direkam sehingga alat musik yang dulu biasa digunakan sudah tidak begitu dikenal lagi oleh anak zaman sekarang, padahal alat musik seperti suling dan gongga biasa digunakan anak­anak untuk bermain.

Di masyarakat Makuang terdapat beberapa model seni, misalnya tarian dan alunan musik yang menggunakan keempat alat musik terebut. Misalnya, pada acara ma’burake sang banua, yaitu upacara yang dila­

Page 78: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

65

kukan di rumah ketika masih ada utang kepada orang mati dan pada upacara makburake tondok, yaitu upacara gembira atau mengucap syukur kepada Tuhan karena berhasil menyelesaikan suatu tugas atau nazar. Saat melakukan upacara tersebut, maka kesenian yang ditampilkan adalah tari Burake. Ada tambur yang ditabuh sehingga orang yang menari hampir kerasukan jika terlalu larut dalam tarian itu. Tarian ini biasa dilakukan di rumah adat Makuang. Gendang dan gesok­gesok digunakan sebagai instrumen pengiring. Ada pesta potong padi yang menampilkan tarian panggaemangngayo gandang, yaitu menari di atas gendang, dan tarian maserra-serra. Ada juga pentas menabuh gendang pada upacara kematian. Bunyi gendang yang indah dapat menghibur orang yang berduka. Ada juga tarian tomakranding, yaitu tarian perang yang khusus diadakan untuk mengantar mayat seorang pejuang yang disesuaikan dengan kedudukan dan kemampuannya. Dalam tarian itu para penari melompat-lompat sambil menghunus parang di tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Para penari juga memakai tanduk yang terbuat dari logam (kuningan) yang dihiasi bulu ayam dan di lehernya terdapat kalung yang terbuat dari taring buaya dan taring binatang buas. Para penari menari dengan gaya seorang pahlawan menghadapi musuh di medan laga. Dahulu juga ada tari­tarian dalam acara pesta perkawinan, yaitu tarian penyambutan untuk pengantin yang datang. Akan tetapi, sekarang sudah jarang dilakukan. Yang ada hanya musik electone serta biduan­biduannya. Dan sudah tidak ada lagi alat musik tradisional yang dimainkan pada acara tersebut.

Ada juga model seni raga namanya maktetta, maklogo, makkarumbean, yaitu mereka saling adu kekuatan otot. Kedua betis dipasang, lalu lawan menghantam kaki hingga ada yang mengaku kalah. Selain itu, ada juga makkala, yaitu seni keterampilan menganyam. Namun kini hampir semua model seni yang ada di Desa Makuang tidak pernah dipertunjukkan lagi. Salah satu kendala yang dihadapi ketika ingin menampilkan kesenian di Desa Makuang adalah alat­alat musik yang akan digunakan tidak bisa dikeluarkan atau dipakai begitu saja, bahkan membunyikan gendang saja ada persyaratanannya. Alat-alat musik tersebut bisa dikeluarkan selepas panen padi atau pada saat ada ritual kepercayaan Aluk Tudolo.

2.7.3 Seni Musik dalam Upacara Mangatta

Seni musik yang masih bertahan sampai sekarang dan masih bisa kita lihat dan dengar secara langsung adalah alunan musik alat gesok-gesok kacapi dan gongga puduk. Alat tersebut dimainkan pada upacara

Page 79: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201266

mangatta. Upacara mangatta adalah salah satu upacara untuk anak yang wajib dilakukan bagi pemeluk Aluk Tudolo/Hindu. Salah satu tujuan dilakukannya upacara tersebut adalah untuk menghindari penyakit cacar atau makpuang. Upacara tersebut dilaksanakan selama tiga hari tiga malam dengan puncak acara dilakukan di halaman rumah. Selama tiga hari alunan musik terus terdengar.

Pada upacara itu, mainan­mainan anak dipasang di dinding­dinding rumah dengan digantungkan pada bambu, misalnya mainan yang berbentuk ayam dari daun, juga ada beras yang digantung, berasnya dimasukkan ke dalam sappa-sappa. Pada acara mangatta/pesta anak­anak digunakan pula alat musik gesok­gesok yang dimainkan oleh tiga orang, juga ada suling dan gongga puduk. Musiknya enak di telinga orang yang mendengarnya. Untuk memainkan alat gesok-gesok memang tidak mudah. Alat ini hanya bisa dimainkan oleh orang yang biasa memainkannya. Gesok-gesok-nya pun tidak boleh digunakan sembarangan. Ada persyaratan untuk memakai alat tersebut.

Setelah mainan­mainan tersebut dipasang, suling, gesok-gesok, dan gonggak mulai dimainkan selama tiga hari tiga malam. Puncak acara dilakukan di halaman rumah, maka para pemain musik juga membawa alat musik ke halaman untuk dimainkan lagi. Hanya inilah yang tersisa dari kesenian masyarakat Makuang yang dapat kita dengar secara langsung atau ketika ada acara mangatta. Selain itu, sudah jarang kita temukan pementasan kesenian pada masyarakat Makuang.

2.8 Mata Pencaharian

Desa Makuang mempunyai wilayah geografis yang bergelombang, sebagian merupakan perbukitan, hutan dengan tumbuhan kayu pinus, dan sebagian lagi merupakan hamparan tanah ngarai yang teraliri air dari mata air perbukitan sehingga dapat ditanami padi. Sifat tanahnya seperti tanah liat, tetapi sangat subur sehingga semua jenis tanaman dapat tum­buh, terutama semua jenis sayuran, karena suhu udara yang dingin, yaitu berkisar antara 15oC - 20oc dan sering terjadi hujan.

Dengan kondisi wilayah yang memiliki ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan air laut dan disertai dengan kondisi iklim yang dingin serta banyak curah hujan, maka tidak semua tanaman bisa berbuah secara maksimal. Misalnya tanaman padi yang hanya cocok ditanam di ketinggian <300 meter dari permukaan air laut, sehingga tidak semua sawah dapat menghasilkan panen secara maksimal meskipun dalam setahun bisa dua

Page 80: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

67

kali. Demikian pula pada tanaman kebun yang diandalkan penduduk hanya tanaman kopi, itu pun apabila curah hujannya berkurang baru hasilnya bagus. Mereka akan panen antara bulan April­Juli. Sebenarnya, tanaman keras yang lain juga ada dan tumbuh subur di setiap pekarangan seperti kakao (cokelat), durian, langsat, vanili, avokad, jeruk, jambu, dan lain­lain, tetapi karena iklimnya yang terlalu dingin banyak buah menjadi busuk dan berjatuhan. Apabila kita membicarakan masalah perkebunan di lingkungan Mamasa, maka akan berbeda kondisinya karena setiap hamparan tanah memiliki iklim tidak sama sehingga hasil perkebunannya juga berbeda. Menurut hasil wawancara dengan salah salah satu informan (camat) dikatakan bahwa:

“Dulu sebagian wilayah kecamatan kopi ini bagus, cuma akhir-akhir ini agak kurang karena apa, sekarang ini mereka agak tertarik pada tanaman cokelat atau kakao. Dan untuk kakao sekarang urutan nomor satu pada sebagian wilayah. Apalagi kecamatan kami ini mendapat Gernas Kakao, bibitnya saja diberikan bantuan, juga pemeliharaan dan sebagainya, tapi mereka itu tidak dipungut biaya dari pemerintah dan bebas menjual hasilnya. Rencana program provinsi mau diekspor, karena menurut statistik kakao di Sulawesi Barat ini sangat-sangat bagus.”

Mata pencaharian penduduk Desa Makuang 95% adalah sebagai petani kopi dan padi yang mereka kelola secara manual, kemudian ada juga pedagang yang membuka warung kecil­kecilan dan sebagian lagi berstatus PNS atau guru. Pekerjaan sampingan tidak ada. Kaum muda biasanya meninggalkan desanya dan pergi ke Kota Makassar untuk bekerja sebagai pelayan rumah makan atau pembantu rumah tangga.

Penduduk Desa Makuang, yang rata­rata hanya tamat SD, bertumpu pada hasil tanaman keras dan yang bisa diandalkan hanya kopi. Di Desa Makuang terdapat dua jenis tanaman kopi, yaitu “kopi jember” (disebut demikian karena bibitnya dulu didatangkan dari daerah Jember, Jawa Timur) dan “kopi belanda” atau kopi robusta. Penduduk Makuang biasa lebih menyukai tanaman kopi jember karena mudah perawatannya diban-dingkan kopi belanda, meskipun harga jualnya lebih rendah. Apabila se­dang musim kopi, antara bulan April sampai Juli, penduduk menjual kopi jember dengan harga antara Rp13.000,00 ­ Rp14.000,00 per liter, masih dalam keadaan mentah dan kering namun sudah dikupas kulitnya,

Page 81: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201268

sedangkan harga jual kopi belanda sekitar Rp18.000,00. Kebun kopi me­reka dapat berbuah bagus apabila ada musim panas, tetapi jika banyak turun hujan dapat dikatakan petani tidak memiliki penghasilan karena buahnya tidak bagus, begitu pun dengan tanaman kakao yang buahnya membusuk karena hujan.

Hasil petani sawah juga tidak maksimal meskipun tanahnya sangat subur nam terlalu tinggi dari permukaan air laut sehingga padi yang dihasilkan tidak maksimal. Selain itu, dalam satu tahun, musim kemarau hanya sebentar jadi setahun hanya bisa dua kali panen. Sawahnya berupa petak­petak yang sempit dan hanya dapat dikerjakan secara manual atau dicangkul meskipun bantuan alat dompeng atau traktor sudah ada, tetapi tidak bisa masuk ke sawah yang berpetak­petak.

cara bertanam padi penduduk di sini tidaklah sulit karena biasa dikerjakan bersama antara lelaki dan perempuan. Untuk pekerjaan yang berat, seperti mencangkul sampai menghaluskan tanah dikerjakan oleh kaum lelaki, tetapi untuk mencabut bibit sampai menanam dilakukan oleh kaum perempuan. Untuk buruh tani, upah yang mereka terima untuk bekerja di sawah antara pukul 7.30 - 15.30 sebesar Rp30.000,00 - Rp40.000,00 dan diberi makan sekali, atau pekerjaan tersebut dapat dilakukan secara bergotong­royong secara bergantian dari masing­masing otang yang memiliki sawah. Bibit padi unggul atau varitas padi yang cocok untuk lahan di Desa Makuang, menurut penduduk setempat, disebut jenis “Thailand” dan “Kristal”. Dari kedua jenis padi ini, dalam setahun petani dapat panen dua kali, tetapi pada musim kemarau pada lahan yang kekurangan air hanya bisa satu kali panen. Kendala yang dihadapi oleh para petani pada saat ini adalah gangguan hama padi, yaitu hama penggerek dan tikus. Menurut pendapat informan penyuluh pertanian, hama tersebut muncul karena pola tanam yang tidak serempak. Tetapi, menurut sebagian penduduk yang menganut kepercayaan Aluk Todolo hama muncul karena ada pelanggaran adat. contoh pelanggaran itu adalah mulai padi ditanam sampai menjelang keluarnya buah padi, penduduk tidak boleh membongkar dan mendirikan rumah, membersihkan kubur, dan membawa daging ke sawah karena dianggap akan membawa petaka, termasuk munculnya hama padi. Apabila larangan tersebut dilanggar, maka sanksi paling ringan, yaitu potong ayam atau babi, tergantung berat ringannya pelanggaran dan itu harus diritualkan oleh seorang passo’bok setingkat tomakaka (tokoh adat) yang bertanggung jawab mengurus pengairan pertanian dalam lembaga adat.

Page 82: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

69

Pada musim kemarau, sawah basah tidak dapat ditanami padi karena tidak mendapatkan air. Namun, menurut lembaga adat penduduk tidak diperbolehkan menggantikannya dengan tanaman kering seperti tanaman palawija sebelum dilakukan ritual potong ayam di depan passo’bok.

Meskipun secara fisik penduduk Desa makuang memiliki kebun dan sawah, namun hasilnya tidak maksinal sehingga hanya cukup buat makan. Sementara pengeluaran lain, yang secara tidak langsung menjadi beban, adalah untuk sumbangan pesta perkawinan dan kedukaan (kematian). Budaya yang masih dilakukan oleh penduduk, baik yang beragama Hindu maupun Kristen, kecuali Islam, adalah saat peristiwa duka mereka harus mengadakan pesta dengan memotong babi dan kerbau. Budaya pesta yang terbesar boleh dibilang saat terjadi peristiwa duka. Jika orang yang berduka masih memiliki hubungan keluarga, maka sumbangan bisa dalam bentuk seekor babi, bahkan kerbau sehingga pengeluaran keuangan sulit diprediksi. Jangankan untuk menabung, untuk kebutuhan biaya sekolah anaknya saja banyak warga tidak mampu, apalagi jika ada keluarga sakit atau melahirkan, itu semua di luar perencanaan. Pada saat melakukan pesta, hewan babi selalu digunakan untuk acara ritual, maka umumnya hampir setiap rumah memelihara babi. Tetapi juga ada beberapa pen­duduk yang memelihara kerbau, namun jumlahnya tidak banyak sehingga untuk keperluan pesta duka harus membeli dari daerah lain. Banyak pula penduduk yang memelihara anjing. Selai dapat dikonsumsi dagingnya, anjing juga digunakan untuk berburu babi hutan dan sebagai penjaga rumah.

Pada waktu melakukan observasi ke rumah­rumah penduduk tidak tampak perabotan yang bernilai tinggi. Yang terlihat pada umumnya hanya satu set meja dan kursi tamu dari bahan kayu, ada juga yang dari plastik, bahkan hanya terbentang tikar di lantai. Sebagian warga memiliki sepeda motor dan radio tape, namun hanya sebagian warga saja yang memiliki televisi sebagai wahana hiburan dan informasi.

Menurut kepercaayan Aluk Todolo, perempuan yang sedang hamil atau setelah melahirkan dilarang pergi ke kebun, sawah, dan sungai karena mudah diganggu oleh makhluk halus yang disebut pokpok atau setang (setan), dan untuk menangkalnya saat keluar rumah ibu dianjurkan memakai panini (bangle), termasuk pada bayinya, dengan cara dioleskan pada bagian badan atau digantungkan pada bajunya.

Page 83: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201270

2.9 Teknologi dan Peralatan

Sebelum tahun 1995 alat penerangan penduduk masih menggunakan lampu pelita dan turbin (generator), kemudian setelah itu masuk pene­rangan dari PLN yang dipasok dari Kabupaten Polewali. Setelah listrik masuk, penduduk dapat menikmati tayangan televisi, tetapi karena daerahnya berbukit-bukit diperlukan peralatan tambahan berupa antena parabola. Sementara akses jaringan atau sinyal telepon belum bisa normal sebagaimana mestinya. Jika ingin mengirim pesan singkat (sms) atau berkomunikasi dengan telepon genggam, harus mencari sinyal di bukit tertentu yang letaknya tinggi karena tidak semua tempat dapat ditemukan sinyal. Dalam hal teknologi komunikasi, tidak hanya Desa Makuang yang terisolir, tetapi sekecamatan Messawa, mulai perbatasan Polewali sampai Desa Rippung, dekat Kecamatan Sumarorong. Kondisinya sama, ada sinyal tetapi tidak stabil.

Informasi untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan masyarakat, terutama untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak, yaitu tentang ibu hamil dan pola asuh balita, sebaiknya sering ditayangkan melalui media televisi. Penduduk Desa Makuang yang rata­rata hanya berpendidikan SD kurang minat pada media cetak, selain tidak tersedianya media cetak seperti koran dan majalah, juga tidak adanya kesempatan karena waktu mereka lebih banyak dipakai di kebun, dari pagi hingga sore. Sementara sarana komunikasi sekarang ini sudah menjadi kebutuhan dan bukan lagi merupakan barang mewah. Pada umumnya penduduk di Desa Makuang dapat dan mampu membeli telepon genggam, tetapi karena lemahnya sinyal (tidak ada tower dalam satu kecamatan dan sekitarnya), komunikasi menjadi tidak lancar. Untuk kepentingan yang bersifat darurat (emergency) misalnya ibu mau melahirkan dengan komplikasi atau risiko tinggi pada malam hari dan memerlukan pertolongan bidan atau mobil ambulans, jelas akan mengalami kendala karena yang tersedia pada umumnya hanya kendaraan roda dua, kondisi jalan di daerah perbukitan masih berupa jalan setapak, dan tidak ada lampu penerangan jalan. Dengan kondisi seperti itu mereka memilih melahirkan di rumah dengan memanggil dukun yang ada di dekat rumahnya.

Pada saat melakukan wawancara dengan salah satu toma’pakeanak (dukun bayi) diperlihatkan dan diperagakan alat­alat untuk menolong persalinan, seperti gunting, pisau, kater, sarung tangan (handscoon), tim­bangan bayi, benang pengikat tali pusar, betadine, dan kapas. Peralatan tersebut ditempatkan dalam boks aluminium berukuran 10 cm x 25

Page 84: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

71

cm dengan kondisi yang tidak bersih. Menurut pengakuan informan, ia termasuk dukun senior karena sudah berusia 93 tahun dan ia telah membantu persalinan sejak zaman penjajahan Jepang. Sampai saat ini ia masih dipercaya oleh sebagian penduduk sekecamatan Messawa dan sekitarnya karena ilmu gaib yang dimilikinya. Menurut tenaga medis di puskesmas, dukun tersebut juga sudah mendapat pelatihan dan kemitraan pada tahun 2004 dari program UNIcEF. Dahulu, sebelum mendapat alat (Dukun Kit), saat menolong persalinan ia masih menggunakan bambu yang ditajamkan (billa’) yang cukup disiram dengan air panas sebelum digunakan. Penggunaan billa’ sampai sekarang ini masih ada apabila tidak ada gunting dan cara penggunaannya sama, yaitu dengan disiram air panas, maksudnya supaya bersih. Gunting yang dipakai oleh dukun untuk menolong persalinan, dari segi kebersihan masih diragukan karena bukan gunting khusus untuk itu.

Dari segi kebersihan, penggunaan dan tata letak jenis­jenis per alat­an yang digunakan di dalam rumah kurang mendapa perhatian masing­masing keluarga, meskipun seksi kesling puskesmas sudah menyampaikan penyuluhan tentang PHBS ke masyarakat. Berdasarkan observasi, penggu-naan peralatan makan dan minum secara bersama­sama, misalnya piring, gelas, sendok, dan alat yang lain, tanpa disadari dapat memicu terjadinya penularan penyakit tertentu, seperti TBc yang cukup rentan terhadap imu-nitas anak balita. Penempatan peralatan makan dan memasak pun secara sembarangan, baik di dalam maupun di luar rumah, karena sama sekali tidak terlindung, sedangkan hewan seperti anjing dan ayam berkeliaran di sekitar peralatan tersebut. Penempatan peralatanyang tidak tertutup kemungkinan besar dapat tercemar bakteri. Dalam kehidupan sehari­hari, baik ibu maupun anaknya, setelah mencuci peralatan biasanya mereka meniriskan air supaya alat cepat kering dengan cara ditaruh dalam em-ber besar/baskom, lalu diletakkan di lantai rumah, bahkan terkadang di bagian luar rumah di atas atap kamar mandi. Anjing sering berlompatan, bahkan kadang tidur di atas atap. Ayam juga sering beterbangan di atasa atap.

Kebiasaan masyarakat Desa Makuang dalam hal kebersihan masih sangat kurang. Kebersihan anak kurang mendapat perhatian dari orang tua, misalnya anak hanya mandi sekali sehari, bahkan ada yang tidak mandi sama sekali. Anak­anak sering tidak memakai alas kaki saat bermain di luar rumah dan ketika masuk rumah dalam keadaan kaki kotor. Penggunaan air langsung dari mata air yang tidak tersaring. Hal ini mungkin dapat

Page 85: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201272

menimbulkan penyakit cacingan. Penggunaan kayu bakar untuk memasak mengakibatkan asap mencemari udara di dalam rumah karena ruangan dapur menyambung dengan ruangan lain. Banyak debu di dalam rumah karena rumah tidak berplafon, sehingga dapat menimbulkan penyakit ISPA pada anggota keluarga. Sangat sedikit cahaya atau sinar matahari yang bisa masuk ke dalam rumah. Kelembapan bisa menimbulkan penyakit tertentu, misalnya TBc. Kebersihan anak kurang terjaga. Hal ini terlihat pada saat anak memegang makanan tanpa dibiasakan mencuci tangan terlebih dahulu.

Page 86: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

73

BAB IIIBUDAyA KESEHATAN IBU DAN ANAK

3.1. Kesehatan Ibu

3.1.1 Remaja

Warga masyarakat Desa Makuang berusia Sekolah Menengah Umum (SMU) dan usia masuk kuliah sangat jarang kita temukan karena banyak kaum muda keluar kota untuk menuntut ilmu, yakni di Kabupaten Pol-Man dan Kota Makassar. Setelah lulus SMU, mereka akan keluar desa untuk bekerja, misalnya ke Kota Ambon, bahkan ke Papua. Remaja yang biasa ditemui peneliti di desa tersebut adalah remaja yang tidak bersekolah dan remaja yang tinggal dan bekerja di desa. Saat libur sekolah atau libur Natal tiba, maka suasana akan lebih ramai karena semua anak muda pulang dan berkumpul dengan keluarga serta warga di desa.

Para remaja pada saat berkumpul biasanya dalam kelompok besar dan berada di suatu tempat tertentu pada waktu menjelang sore hari. Mereka berkumpul untuk bercengkerama sehingga pergaulan mereka masih aman dan tidak melampaui batas. Menurut para remaja, pergaulan mereka yang bebas dan tidak terkontrol terjadi saat mereka merantau keluar kota untuk tujuan sekolah atau bekerja.

Larangan atau norma yang berlaku untuk remaja di Desa Makuang umumnya masih ditaati. Mereka tidak boleh bebas bergaul dan saat bermain harus mematuhi waktu atau jam pulang. Sebagai contoh, remaja boleh keluar rumah, tetapi ia harus pulang sebelum malam. Bila hal itu dilanggar biasanya akan mendapat teguran dari orang tuanya. Remaja perempuan dilarang keluar pada malam hari. Remaja sudah diberi kepercayaan oleh orang tuanya, maka mereka sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk dengan tetap dipantau oleh orang tua. Anak yang melanggar aturan orang tuanya biasanya akan ditegur. Sangat

Page 87: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201274

jarang orang tua memakai kekerasan terhadap anaknya sendiri, kecuali perbuatan anaknya sudah kelewatan, orang tua akan mengambil tindakan dengan memukul anaknya. Tetapi, hal ini sangat jarang dilakukan oleh para orang tua.

Masyarakat akan memberikan “hukuman” kepada remaja yang me lakukan pelanggaran norma dalam pergaulan antara laki­laki dan pe-

rempuan, misalnya jika mereka melakukan perbuatan zina. Menurut hadat tuo (aturan adat) yang berlaku di Messawa, jika ada seorang perempuan hamil di luar nikah dan belum melaksanakan pesta pernikahan, maka ia akan terkena sanksi adat, yaitu keluarga harus memotong seekor babi yang dihargai dua kali lipat. Babi yang harus dipotong pun bukan sembarang babi, melainkan babi yang dicuri dan dibunuh di kandang babi tersebut, dan setelah mati babi dibawa ke atas gunung, dibakar, dan dipotong­potong. Sebagian daging babi yang telah dimasak dimakan oleh orang­orang di atas gunung. Sebelumnya remaja tersebut diteriaki kesalahannya dan diminta untuk memohon ampun. Sebagian daging juga diberikan kepada tikus­tikus yang ada di gunung agar tidak mengganggu lahan masyarakat. Sebagian daging babi lalu dibawa ke rumah keluarga dan hanya laki­laki yang boleh memakan daging tersebut.

Di Desa Makuang, pada saat upacara kematian, kita bisa melihat banyak remaja datang. Mereka datang atas inisiatif sendiri dengan tu­juan untuk memberikan bantuan bagi keluarga yang berduka. Menurut pengakuan remaja, hal tersebut mereka lakukan karena dari dulu orang tua sudah mengajarkan kepada mereka bahwa apabila ada orang berduka, kita wajib datang membantu. Remaja perempuan membantu memasak dan membawakan makanan untuk tamu yang datang. Remaja laki­laki biasanya membantu mengangkat dan mengambil kayu di hutan. Mereka semua saling membantu.

Remaja yang tinggal di desa umumnya akan bekerja membantu orang tuanya di rumah dan dikebun. Remaja di Desa Makuang sejak kecil sudah diajarkan membantu pekerjaan orang tua di rumah, seperti me­masak, membersihkan rumah, dan menjaga saudara­saudaranya apabila orang tuanya pergi ke kebun. Bila sudah beranjak remaja mereka juga ikut membantu di kebun untuk memetik kopi. Sekitar pukul 06.00 mereka sudah berangkat ke kebun dengan membawa bekal makan siang dan mereka akan pulang pada sore hari sekitar pukul 17.00.

Makanan yang dikonsumsi oleh para remaja biasanya sama dengan makanan yang dimakan oleh orang tua mereka, yaitu nasi, sayur, dan ikan.

Page 88: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

75

Dalam sehari mereka makan sebanyak tiga kali sehari, yaitu pagi sebelum berangkat ke kebun, kemudian makan siang, terakhir makan malam.

Kondisi kesehatan reproduksi di kalangan remaja saat ini cenderung baik. Jarang ditemukan remaja mengalami penyakit atau kelainan da­lam hal kesehatan reproduksi. Tim kesehatan puskesmas yang ada di Ke camatan Messawa biasanya melakukan penyuluhan kepada anak sekolah di tingkat SD, SMP, dan SMU tentang bagaimana menjaga sistem reproduksi yang sehat, bagaimana seorang perempuan mengalami masa menarche, dan bagaimana seorang anak mulai menginjak masa pubertas. Semuanya dijelaskan dalam penyuluhan yang dilakukan oleh tim kesehatan puskesmas sehingga anak­anak tersebut bisa mengetahuinya.

Kebanyakan remaja di Desa Makuang menuntut ilmu di luar kota. Adapun remaja yang tidak melanjutkan sekolah atau kuliah karena orang tua mereka tidak mampu membiayai sekolah mereka. Beberapa remaja yang telah selesai menuntut ilmu di luar desa akan kembali ke desa untuk menjadi guru, pegawai kantoran, dan sebagainya.

Kaum muda menikah pada usia sekitar 18­25 tahun. Mereka yang telah menikah pada umur 18 tahun biasanya hanya berpendidikan sekolah menengah, sedangkan yang menikah di atas 18 tahun, yaitu pada umur 20­25 tahun biasanya sudah mendapatkan pekerjaan. Ada juga remaja yang hamil di luar nikah. Biasanya pada umur 16­18 tahun. Pergaulan bebas adalah penyebab utamanya. Pergaulan bebas terjadi saat mereka merantau (di kota). Apabila hal ini terjadi, mereka harus menjalani sanksi (hukuman) secara adat.

Sebelum remaja atau kaum muda menikah, orang tua biasanya akan memberikan pesan kepada anaknya. Pesan para orang tua, yakni harus menjadi istri dan suami yang bertanggung jawab terhadap keluarga, me­nafkahi keluarga, dan saling menghargai. Adapun larangan atau pan tangan ketika mendekati waktu menikah, yaitu dilarang bepergian jauh. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar acara pernikahan bisa berjalan lancar dan menghindari masalah menjelang acara pernikahan. Sebelum menikah juga ada pendidikan pranikah atau disebut pastoral bagi umat kristiani, yakni pemberian pedoman dan bimbingan selama tiga hari guna persiapan menikah. Bimbingan ini diberikan kepada pasangan calon suami istri yang hendak menikah di gereja, biasanya selama dua jam dalam bentuk pertanyaan­pertanyaan yang diberikan oleh pastor atau majelis.

Page 89: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201276

3.1.2 Pasangan Suami Istri yang Istrinya Belum Pernah Hamil

Pasangan yang belum mempunyai anak atau disebut to’tamanang biasanya akan banyak melakukan usaha-usaha untuk mendapatkan anak. Semua yang diperintahkan oleh orang tua dan mertua akan dilakukan agar kehadiran calon anak bisa terwujud. Sebelumnya, pasangan suami­istri tersebut akan memeriksakan kesehatannya ke dokter kandungan di fasilitas kesehatan (puskesmas) untuk mengetahui permasalahan yang terjadi.

Kebanyakan orang yang megalami kesulitan dalam memperoleh anak karena memiliki masalah kewanitaan, seperti sakit ketika datang bulan (menstruasi), sakit kepala, menggigil, serta dingin dan sakit pada bagian pinggang. Pasangan suami istri yang belum mempunyai anak selalu berupaya agar mereka mendapatkan anak dengan cara memanjatkan doa kepada Yang Mahakuasa agar diberi keturunan. Hampir pada setiap waktu dan kesempatan mereka selalu mengucap doa dan memohon. Apabila sudah bertahun­tahun belum juga mendapatkan keturunan, mereka tetap berusaha dan tidak putus asa.

Alternatif pemecahan “masalah” bagi istri yang belum hamil yang biasanya dilakukan setelah pemeriksaan kesehatan adalah pergi ke toma’pakuli kuli (penyembuh tradisional) untuk dipijat karena banyak orang percaya bahwa apabila seorang wanita belum mempunyai anak sebaiknya perutnya dipijat agar bisa mendapatkan anak. Dukun tersebut mengurut perut dengan minyak kelapa yang ditaruh dalam piring. cara mengurutnya mulai dari arah bawah ke atas, selama 15 menit. Biasanya seminggu sekali atau dua minggu sekali si ibu datang ke dukun untuk diurut perutnya. Setelah diurut, ibu diberi ramuan tradisional oleh dukun.

Usaha lain yang dilakukan pasangan suami istri yang belum memiliki anak yakni dengan mengambil atau memelihara anak angkat, biasanya bukan anak orang lain yang diambil, melainkan anak keluarganya sen­diri. Mereka mengangkat anak agar bisa “memancing” ibu agar bisa men­dapatkan keturunan.

Di Desa Makuang ada tradisi untuk bisa mendapatkan anak, yaitu pergi memala’ guna meminta keturunan. Tradisi tersebut dilakukan di sungai dengan membawa telur kemudian dilemparkan ke dalam sungai. Apabila permintaan mereka dapat terkabul (istri bisa hamil), maka setelah ibu melahirkan, mereka akan datang kembali ke sungai sambil membawa dua ekor ayam, yaitu ayam merah dan ayam rame. Jumlah ayam yang

Page 90: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

77

dibawa minimal adalah dua ekor, namun jika membawa lebih dari dua ekor tidak masalah. Bahkan, ada pasangan yang mengaku membawa sepuluh ekor ayam sebagai rasa syukur telah mendapatkan keturunan.

Tidak sembarang sungai bisa dijadikan tempat tradisi memala’. Sa-lah satu sungai yang biasa dijadikan tempat melakukan ritual tersebut an­tara lain Sungai Tarunrung. Sudah banyak orang dari daerah lain datang ke sungai tersebut untuk meminta keturunan. Mereka datang dari Kabu­paten PolMan, Pulau Kalimantan, bahkan dari Jakarta. Sudah banyak orang berhasil mendapatkan keturunan setelah datang ke sungai tersebut untuk meminta keturunan. Bagi mereka yang percaya, mereka akan kembali untuk melakukan ritual tersebut. contoh kasus di Desa Makuang ada seorang ibu telah menikah 9 tahun baru mendapatkan anak setelah melakukan memala’.

Seorang ibu, bila ditanya ingin anak perempuan atau anak laki­laki, jawabannya selalu terserah apa yang diberikan oleh Yang Mahakuasa. Apalagi bagi ibu yang membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan keturunan. Sementara bagi ibu yang telah mendapatkan anak tidak lama setelah mereka menikah, jawabannya bervariasi. Ada yang lebih mengin­kan anak laki­laki lebih dahulu, tetapi ada juga yang menginginkan anak perempuan. Saat ini pasangan suami istri berkecenderungan tidak ingin memiliki terlalu banyak anak, cukup dua atau tiga saja, dengan pertim-bangan beratnya biaya yang harus ditanggung jika memiliki banyak anak.

3.1.3 Masa Kehamilan (toke’battang)

Usia ibu hamil di Desa Makuang kebanyakan masih belasan, yaitu 17 dan 18 tahun dan merupakan kehamilan pertama bagi mereka. Bagi ibu hamil yang sudah pernah melahirkan sebelumnya, mereka tidak terlalu khawatir jika ada masalah karena sudah punya pengalaman sebelumnya.

Masa kehamilan adalah masa ketika ibu hamil menjalani proses awal hamil hingga menjelang kelahiran. Selama hamil, pemeriksaan kehamilan umumnya rutin dijalani oleh para ibu hamil di Desa Makuang. Pemeriksaan kehamilan merupakan hal terpenting bagi ibu hamil karena dengan memeriksakan kehamilan secara rutin akan membuat calon bayi yang dikandung sehat.

3.1.3.1 Pemeriksaan Kehamilan oleh Dukun (Toma’pakeanak)

Masyarakat Makuang meyakini bahwa ibu hamil berada dalam ke­adaan salah satu kakinya di kuburan dan kaki lainnya berada di bumi.

Page 91: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201278

Artinya, seseorang yang sedang hamil berada dalam kondisi berbahaya. Ibu yang tengah hamil jelas akan mengalami kesulitan, misalnya membawa anak dalam perut selama 9 bulan lebih, mengalami sakit, gangguan makan (ngidam), muntah­muntah, dan sebagainya. Selama masa hamil ibu hamil biasanya akan mengalami masalah­masalah kesehatan, maka mereka mencari penyelesaian (penyembuhan) ke dukun dan ke bidan.

Di Desa Makuang, orang yang biasa mengobati masalah kesehatan selama masa hamil salah satunya adalah dukun bayi (toma’pakeanak). Kebiasaan memeriksakan kehamilan ke toma’pakeanak muncul sejak da hulu ketika bidan maupun tenaga kesehatan masih sulit ditemui. Toma’pakeanak di Desa Makuang memiliki peran penting dalam masya­rakat, karena bagi sebagian besar masyarakat dukun bayi lebih dipercaya dibanding bidan. Ini terbukti ketika mendekati masa melahirkan, pi­hak pertama yang dipanggil untuk membantu melahirkan adalah to-ma’pakeanak.

Pada bulan ke-4 usia kehamilan biasanya ibu hamil mulai memerik-sakan kehamilannya ke toma’pakeanak. Selanjutnya, apabila ada kelainan yang dirasakan barulah ibu hamil akan memerikasan kembali kandungan-nya. Ibu hamil akan memeriksakan kehamilannya bila mengalami sesuatu, misalnya jatuh dan keseleo, maka mereka akan memeriksakan diri ke du-kun untuk diurut. Dukun akan menggunakan minyak kelapa untuk mengu-rut perut ibu hamil. Saat memeriksa ibu hamil, dukun akan mengurut­urut perut ibu hamil dari arah bawah pusar, atau ke samping pinggang naik ke atas, demikian berulang–ulang sampai kurang lebih 15 menit. Sebelum diurut, dukun akan membacakan doa atau mantra.

3.1.3.2 Pemeriksaan Kehamilan oleh Bidan

Kegiatan posyandu di Desa Makuang diadakan setiap bulan pada tanggal 6 sekitar pukul 10.00. Apabila pada tanggal 6 jatuh pada hari libur, maka kegiatan posyandu akan diadakan setelah hari libur tersebut. Kegiatan posyandu di desa ini dilaksanakan di kolong rumah penduduk setempat. Ibu­ibu dan anak balita terlihat sangat antusias apabila ada kegiatan posyandu karena selain untuk memeriksakan kesehatan ibu hamil, bayi, dan anak, juga untuk memeriksakan kesehatan secara umum. Maka, yang datang tidak hanya ibu hamil dan balita, terkadang masyarakat umu juga datang ke posyandu untuk memeriksakan kesehatannya. Masyarakat berpikir bahwa mereka tidak perlu jauh­jauh datang ke puskesmas jika ingin memeriksakan kesehatannya.

Page 92: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

79

Ibu hamil akan bertemu dengan bidan di posyandu. Apabila ada masalah kesehatan dan dukun sudah tidak mampu menanganinya, maka ibu hamil umumnya akan memeriksakan diri ke puskesmas .

Salah satu masalah yang menghambat para bidan di puskesmas adalah ketika seorang ibu hamil di luar nikah. Di Desa Makuang kami menemui beberapa ibu hamil yang hamil di luar nikah sehingga mereka merasa malu dan takut untuk memeriksakan kehamilannya di posyandu. Bahkan, ada ibu hamil dengan usia kehamilan sampai 8 bulan baru me­nikah. Mereka malu dan takut terhadap hukum adat yang berlaku. Ini berimbas terhadap kesehatan ibu dan anak karena pemeriksaan kehamilan tidak akan dilakukan baik ke dukun maupun ke bidan. Mereka hanya akan berada di dalam rumah, takut dan malu selama belum menikah. Jadi, selama belum menikah, ibu hamil tidak akan memeriksakan kesehatannya dan calon bayi yang dikandungnya. Maka, ketika terjadi kasus seperti ini, bidan desa yang bertugas akan berinisiatif untuk datang ke rumah guna memeriksa kesehatan ibu hamil di luar nikah tersebut.

Bagi perempuan Makuang, terdapat ciri­ciri seorang perempuan hamil, antara lain tidak mengalami haid, mual pada pagi hari, sering pusing, merasa malas, kurang bergairah untuk bekerja, dan terjadi perubahan emosi. Setelah itu, biasanya mereka akan melihat perubahan badan dan perut yang menjadi lebih besar.

Ibu hamil pada bulan ke-2 sampai bulan ke-3 berada dalam kondisi ngidam. Ibu hamil biasanya mengeluhkan rasa mual. Ketika banyak ibu mengalami masalah ngidam, maka para bidan di posyandu akan mengadakan penerangan kepada ibu hamil bahwa mereka dalam kondisi baik. Tenaga kesehatan akan menyarankan kepada ibu hamil jangan sampai saat ngidam tidak makan apa pun, juga dianjurkan agar makan sesering mungkin walaupun sedikit agar perut tidak kosong karena perut kosong akan menyebabkan asam lambung meningkat dan terjadi sakit maag.

Bulan­bulan berikutnya biasanya ibu hamil mengeluh sering sakit perut. Bila itu terjadi, bidan akan mengatakan bahwa mereka masih dalam keadaan normal karena rahim ibu hamil sudah mulai membesar, otomatis mempengaruhi daerah­daerah di sekitarnya, sehingga muncul kram pinggang dan kram perut. Bila itu terjadi, bidan menyarankan untuk mengurut­urut sendiri perutnya kalau pagi hari, biasanya setelah itu langsung terasa lebih enak atau bisa juga dengan mengurangi aktivitas yang biasa dilakukan oleh ibu hamil, misalanya kerja dalam posisi jongkok karena bisa mempengaruhi janin yang dikandung dan tidak boleh meng­

Page 93: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201280

angkat berat karena akan mengakibatkan sakit pada pinggang. Selama tidak terlalu mengganggu aktivitas ibu hamil, maka keadaan masih di­anggap normal.

Jika ada keluhan kaki bengkak pada ibu hamil itu disebabkan oleh kebiasaan tidur pada pagi hari. Karena dengan tidur pada pagi hari, kaki menjadi bengkak dan darah putih naik. Para bidan biasanya akan menyarankan ibu hamil untuk beristirahat lebih banyak setelah sebelumnya memeriksa tekanan darah ibu hamil. Jika ibu hamil mengalami pusing, bahu sakit dan tekanan darahnya tinggi, yang ditakutkan oleh bidan adalah ibu hamil akan mengalami preeklamsi. Bagi masyarakat, kejadian preeklamsi artinya keracunan kehamilan.

Pada bulan ke-7 biasanya ibu hamil merasa kram dan sampai usia kandungan 9 bulan, bayi di dalam kandungan sudah kuat goyangnya (gerakannya). Pada usia kehamilan 9 bulan biasanya ibu mengalami sering buang air kecil pada malam hari dan susah tidur kembali, sakit pinggang karena kepala bayi sudah mulai masuk panggul, dan garis hitam yang ada di perut sudah bertemu. Itu merupakan tanda bahwa sebentar lagi ibu akan melahirkan.

Tradisi masyarakat Makuang sangat berkaitan erat dengan luk Tudolo. Kesehatan juga tidak lepas dari budaya. Orang hamil di Desa Makuang memiliki banyak larangan atau pemulu, khususnya untuk suami, yakni tidak boleh potong rambut selama istrinya hamil karena dipercaya bahwa jika suami potong rambut, nanti anaknya akan botak sehingga rata­rata laki­laki di desa ini berambut gondrong saat istrinya hamil. Larang lainnya yaitu tidak boleh memotong binatang dan tidak boleh membunuh hewan demi keselamatan anaknya nanti. Larangan lainnya adalah saat keluar atau masuk rumah tidak boleh berdiri di pintu terlalu lama atau dikenal dengan mangammang jo’ babba, artinya jika masuk atau keluar rumah harus langsung, tidak boleh singgah atau berdiri lama di pintu karena akan mengakibatkan bayi susah dilahirkan. Banyak pamali untuk suami jika istrinya sedang hamil. Hal ini mengandung arti bahwa suami harus memperbaiki sikap-sikapnya.

Dahulu banyak orang hamil tidak bisa melahirkan dengan selamat atau dengan kata lain banyak ibu melahirkan meninggal dunia, sehingga orang tua memberi banyak larangan kepada ibu hamil. Ibu hamil tidak boleh melewati sungai besar karena ada setan di sungai itu. Larangan lain adalah, saat subuh dilarang keluar rumah dan kembali ke rumah tidak boleh lewat dari pukul 18.00. Jika melewati jam tersebut akan ada banyak

Page 94: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

81

setan mengganggu. Ibu hamil juga dilarang pergi ke sungai untuk mencuci karena nanti anak yang dikandung akan kembar atau rindu. Masyarakat percaya, anak kembar yang berasal dari sungai berbentuk seperti kadal, tetapi ukurannya kecil.

Pantangan lain untuk ibu hamil yaitu tidak boleh makan obat­obatan kimia, tetapi jika sudah melahirkan, boleh. Pantangan lainnya tergantung pada keadaan ibu tersebut. Jika ibu hamil sakit cacar jangan makan makanan yang asam dan sayuran yang membuat gatal, seperti daun labu. Makanan yang dilarang untuk dimakan selama hamil adalah makanan yang asin dan sayur lunak karena dipercaya akan berpengaruh terhadap janin. Ibu hamil juga tidak boleh makan nanas karena akan menyebabkan keguguran. Daun labu siam juga tidak boleh dimakan karena akan menyebabkan gatal­gatal. Saat berbelanja sayuran, ibu hamil tidak boleh membawa sayuran tersebut di dalam kantung bajunya. Jika itu dilakukan, bayi yang lahir akan mempunyai noda biru di badannya. Ketika hendak melahirkan, ibu makan madu dan telur supaya tidak terjadi pendarahan, lancar, dan darah kotor bisa keluar.

Selain itu, bidan juga akan menyarankan ibu hamil agar tidak sembarangan mengonsumsi obat, kecuali dari petugas kesehatan, juga tidak boleh minum tetraciklin karena akan berpengaruh pada gigi anak­anak. Tetraciklin adalah antibiotik yang sering diminum warga saat mereka diare. Ibu hamil tidak boleh meminum obat tersebut.

3.1.3.3 Makanan dan Obat yang Dianjurkan Agar Mudah Bersalin

Nasi atau makdoda umumnya merupakan hidangan dalam tradisi Aluk Todolo. Nasi tersebut dimasak di dalam bambu, dan merupakan makanan yang dianjurkan bagi ibu hamil agar proses melahirkan menjadi lebih mudah. Makdoda dimakan lansung saat matang setalah dikeluarkan dari bambu. Masyarakat percaya bahwa dengan memakan nasi tersebut ibu hamil akan mudah saat melahirkan. Makdoda biasanya ditemukan saat acara-acara kemasyarakatan.

Selain itu, masyarakat percaya terhadap kerbau yang dipotong pada hari Jumat. Tanduk kerbau itu akan diambil, tanduk tersebut dimasukkan ke dalam air, dan airnya diminum oleh ibu hamil. Namun, saat ini tanduk kerbau sudah sulit didapatkan karena tradisi/ritual yang ada adalah memotong babi dan ayam.

Larangan lain bagi ibu hamil adalah ibu hamil tidak diperbolehkan makan daging di acara orang mati. Hal ini diyakini masyarakat agar bayi selamat saat dilahirkan atau tidak mati saat dilahirkan.

Page 95: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201282

3.1.4 Persalinan dan Nifas

Tidak ada perbedaan jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi ibu­ibu hamil menjelang persalinan dibanding ibu­ibu yang tidak hamil. Hanya saja, saat usia kehamilan masuk bulan ke­8, sebagian keluarga (mama’ dan nenek perempuan) mulai memberi minyak kelapa (murni) yang dipercaya dapat melancarkan proses kelahiran. Minyak kelapa tersebut diminum setiap pagi saat ibu hamil baru bangun tidur sebanyak satu sendok makan, diminum saat perut dalam keadaan kosong. Umumnya minyak kelapa dibeli keluarga ibu hamil di pasar Messawa.

Sebagian ibu hamil mengetahui bahwa ada beberapa pantangan makanan selama hamil sampai menjelang persalinan. Buah nanas yang masih muda merupakan salah satu pantangan. Jika memakan buah nanas muda, ibu hamil akan keguguran, khususnya jika kandungan masih muda. Pantangan lain adalah daun kol. Ada anggapan bahwa jika ibu hamil makan sayur daun kol saat hamil hingga menjelang persalinan akan membuat kepala bayi menjadi besar sehingga mempersulit persalinan.

Selama hamil dan menjelang persalinan, ibu hamil biasanya tetap melakukan aktivitas sehari­hari seperti biasa, kecuali jika ada keluhan yang biasanya saat periksa kehamilah akan disarankan oleh bidan atau toma’pakeanak untuk tidak terlalu banyak beraktivitas. Jika tidak ada keluhan, ibu­ibu hamil tetap pergi ke kebun kopi, termasuk memanen, membersihkan, hingga menggiling (membuka kulit) kopi di sekitar rumah mereka. Mereka sudah menyadari bahwa beraktivitas membantu proses melahirkan secara normal sehingga proses menjadi lebih mudah.

Harapan bisa lahir dengan normal tanpa kelainan dimiliki oleh keseluruhan ibu hamil dan keluarganya. Oleh karena itu, mulai usia keha­milan 7 bulan ke atas, sebagian besar ibu hamil selalu datang ke posyandu setiap bulannya. Meskipun selalu melakukan antenatal care (ANc) di posyandu, sebagian besar ibu hamil juga memeriksakan kehamilannya di toma’pakeanak, khususnya jika ada keluhan menjelang persalinan. Frekuensi kunjungan ke rumah toma’pakeanak semakin sering jika keluhan dirasa ibu hamil sering terjadi.

Menjelang kelahiran, ibu hamil merasa mulas. Mereka akan tetap di rumah mereka atau orang tua mereka, minimal dalam hitungan beberapa jam atau maksimal satu hari, dengan harapan ibu dapat melahirkan secara “normal” di rumah. Berbagai alasan dikemukakan mengapa mereka lebih memilih melahirkan di rumah. Mereka merasa lebih nyaman melahirkan di rumah sendiri karena keluarga besar bisa menunggui, biaya lebih

Page 96: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

83

murah, dan hanya disaksikan keluarga terdekat saat bayi keluar sehingga ibu merasa tidak malu.

Tidak ada ruangan khusus yang disiapkan sebagai tempat melahirkan di rumah. Bayi bisa lahir di ruang tidur, ruang depan, ruang tengah, bahkan ada ibu yang mengaku melahirkan di dapur. Ini terjadi karena saat mulas hendak melahirkan, ibu hamil berjalan­jalan mengelilingi ruang­ruang di rumahnya dengan harapan mempermudah kelahiran.

Ketika rasa mulas mulai datang, biasanya ibu hamil melakukan be­berapa kebiasaan guna mempermudah keluarnya bayi. Membasuh muka dan kepala, khususnya di bagian ubun­ubun, dengan air yang dicampur dengan daun atau buah jeruk, merupakan salah satunya. Tindakan tersebut diyakini dapat mempermudah keluarnya bayi sekaligus mengeluarkan darah kotor yang ada di dalam tubuh ibu hamil setelah bayi lahir. Tidak ada patokan berapa kali pembasuhan air jeruk tersebut dilakukan. Pembasuhan dilakukan berulang­ulang setiap kali ibu mulai merasakan sakit dan bayi masih belum “terlihat” di jalan lahir. Jika bayi belum “terasa” akan lahir, pembasuhan air jeruk tidak boleh dilakukan karena pembilasan air jeruk menjadi tanda “pemanggilan” agar bayi segera lahir di dunia.

Selain dibasuh dengan air jeruk, kepala (ubun­ubun tepatnya) ibu yang hendak bersalin akan ditiup atau biasa dikenal dengan dira’bu guna mempercepat lahirnya bayi. Menurut Mama Rama, Misi, dan Yunita yang baru saja bersalin, ra’bu merupakan kebiasaan yang dilakukan orang­orang tua sejak dahulu. Meskipun sebagian informan tidak terlalu mempercayai kegunaan tersebut, mereka menurut saja jika memang demi kebaikan, menurut orang tua mereka.

Untuk mengurangi rasa sakit menjelang persalinan, ibu­ibu ha­mil memanfaatkan laiyah (jahe). Umumnya laiyah dipotong kecil­ke­cil kemudian digigit sedikit demi sedikit saat rasa sakit datang. Saat mengunyah laiyah terkadang diselingi dengan minum air putih untuk mengurangi rasa pedas di mulut. Selain digigit, potongan laiyah juga bisa dikunyah oleh mama’ atau toma’pakeanak, dan setelah hancur dibalurkan di perut ibu yang akan bersalin.

Setelah bayi lahir, tak lama kemudian keluar plasenta bayi atau ari-ari, dalam bahasa daerah Makuang disebut dengan toni. Toni (plasenta bayi) biasanya akan diberikan kepada keluarga bayi untuk dibawa pulang usai persalinan. Sesampai di rumah, toni akan dibersihkan dengan air hingga darah dan kotoran lain hilang. Setelah bersih, toni dimasukan ke dalam tempurung kelapa yang telah dibelah menjadi dua bagian dan

Page 97: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201284

ditutup, kemudian diikat dengan tali dari bambu. Jika bayi berjenis kelamin perempuan, maka toni yang telah masuk dalam tempurung kelapa akan dikubur di bawah tangga belakang rumah orang tuanya, sedangkan jika bayi berjenis kelamin laki-laki, toni akan dikubur di bawah tangga bagian depan rumah. Sebagian orang tua akan meletakkan toni yang telah masuk ke dalam tempurung kelapa itu di atas pohon, alasannya agar kelak anak laki­laki tersebut tidak takut ketinggian, termasuk berani memanjat pohon yang tinggi.

Tidak ada perawatan khusus untuk tali pusar bayi. Jika persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan, tali pusar diberi kain kasa kering dan dibersihkan sesering mungkin menggunakan alkohol. Jika persalinan di­tolong toma’pakeanak maupun keluarga sendiri, biasanya tali pusar dipotong menggunakan kulit bambu atau biasa disebut billa’ yang sebe­lumnya telah direndam dalam air panas. Billa’ terbuat dari kulit bambu bagian dalam yang berbentuk memanjang seperti pisau kecil. Billa’ biasanya dibuat seketika saat menjelang ibu mau bersalin. Sebagian toma’pakeanak yang telah bermitra dengan bidan telah menggunakan gunting untuk memotong tali pusar bayi.

Pemotongan tali pusar dapat dilakukan oleh siapa saja jika persalinan dilakukan di rumah. Terkadang toma’pakeanak, mama’ atau ibu, nenek perempuan, atau tetangga dekat yang biasa dan berani memotong tali pusar bayi. Sebagian besar yang biasa melakukannya adalah kaum perempuan.

Ketika bayi lahir dan sudah dibersihkan, pihak keluarga biasanya akan memberikan sedikit (1­2 tetes) air kopi pahit pada mulut bayi. Menurut masyarakat, air kopi tersebut bisa mencegah datangnya penyakit panas tinggi yang menyebabkan mata bayi naik atau tinggi. Keadaan tersebut biasa dikenal dengan sebutan penyakit mata tinggi. Pemberian air kopi tetap diberikan meskipun bayi lahir di fasilitas kesehatan (puskesmas/rumah sakit) karena pihak keluarga telah mempersiapkan dari rumah.

Masa melahirkan bayi merupakan masa cukup rawan bagi ibu dan bayi. Rawan karena ibu dan bayi baru saja melewati masa pertaruhan nyawa antara hidup dan mati. Masa nifas diakui oleh masyarakat sekitar 1­2 bulan setelah ibu melahirkan. Mereka percaya, selain kehadiran pencipta dan roh baik, masa tersebut rawan gangguan roh­roh jahat. Oleh karena itu, setelah melahirkan, mereka mengadakan upacara selamatan. Pada masyarakat penganut kepercayaan Hindu (Aluk Todolo) disebut upacara manga’taI, yaitu upacar untuk memohon perlindungan dari gangguan

Page 98: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

85

roh­roh jahat. Upacara selamatan pada masyarakat yang beragama Kristen dan Islam, biasa disebut syukuran, juga untuk memohon perlindungan sekaligus mengucap rasa syukur karena ibu dan bayi telah lahir dengan selamat.

Tradisi penggunaan panini (bangle) diyakini bisa memberi perlin­dungan bagi ibu dan bayi selama masa nifas, sekaligus pencegahan dari gangguan roh­roh jahat. Bagi ibu, bangle biasa dibawa atau diletakkan di saku baju atau tas baju saat ibu pergi ke luar rumah atau tempat­tempat yang rawan “didatangi” roh jahat. Salah satu contoh tempat yang rawan adalah tempat buang air besar (BAB). Sebagian besar kamar mandi dan tempat BAB penduduk berada di samping rumah atau di luar rumah yang merupakan kamar mandi umum (sumbangan program PNPM Mandiri). Bangle tersebut selalu dibawa saat ibu keluar rumah, khususnya pada saat sore hingga malam hari selama masa nifas.

Pencegahan dan perlindungan dari roh jahat juga diperlukan bagi bayi. Bangle biasa dipotong kecil­kecil, kemudian dipasang ke peniti (pengait), lalu peniti tersebut dipasang pada baju bayi. Penggunaan bangle pada bayi biasanya berlaku hingga bayi berumur sekitar 2 bulan, baik saat bayi di dalam rumah maupun saat bayi dibawa ke luar rumah. Tumbuhan bangle biasa ditanam ibu­ibu di halaman atau diambil dari dalam hutan.

Meskipun sebagian besar ibu masih melahirkan di rumah sendiri dan dibantu oleh toma’pakeanak dan atau keluarga, setelah bayi lahir biasanya mereka tetap meminta bantuan bidan (tenaga kesehatan). Selain memberitahu jika bayi sudah lahir dengan selamat, biasaya mereka meminta obat dan atau vitamin untuk ibu bersalin. Itu mereka lakukan segera setelah bayi lahir. Mereka sudah mulai menyadari pentingya perawatan medis bagi ibu sesudah melahirkan.

Selain pengobatan medis yang disadari penting bagi ibu melahirkan, ibu melahirkan juga menaati anjuran untuk memakan jenis makanan yang direbus dengan berbagai daun­daunan guna memulihkan tenaga dan kesehatan ibu. Makanan itu berupa ayam kampung dan ikan mas. Ayam kampung yang telah dibersihkan bulunya, lalu dibuang isi perutnya, kemudian kepala dan kaki-kaki ayam dibersihkan. Setelah itu, ayam utuh tersebut direbus bersama daun dan akar tanaman pegagan. Semakin banyak daun dan akar pegagan tersebut semakin baik. Bumbu masakannya hanya air, garam, dan vetsin (jika mau). Setelah matang, ayam beserta daun pegagan dimakan hanya untuk ibu sendiri. Air rebusannya pun juga diminum karena berkhasiat membersihkan tubuh ibu usai melahirkan.

Page 99: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201286

Begitu juga jika hendak makan ikan mas yang direbus. Ikan mas harus dimasak dalam keadaan hidup, dimasukkan ke dalam panci bersama daun­daunan yang menyehatkan. Air rebusan dan ikan mas tersebut harus habis dimakan oleh ibu.

Selain anjuran tersebut, ibu dalam masa nifas juga dilarang mengon­sumsi beberapa makanan tertentu. Oleh para mama’ (orang tua), ibu setalah melahirkan dilarang makan sayur daun labu siam atau biasa disebut daun ma’lapu, karena jika memakan sayur daun tersebut bisa mengakibatkan rahim gatal­gatal. Logikanya, setelah melahirkan, rahim dan vagina ibu dalam kondisi luka (sakit), sehingga jika gatal akan membuat penyembuhan semakin lama. Namun, pantangan itu hanya untuk daun labu siamnya saja, sedangkan buahnya boleh dimakan.

Umumnya, pada masa nifas, ibu belum sepenuhnya melakukan tugas nya sebagai ibu rumah tangga seperti biasanya. Selain menyusui, ibu lebih banyak beristirahat guna memulihkan tenaga dan tubuh usai melahirkan. Pekerjaan rumah tangga yang ringan seperti memasak air, membersihkan rumah dan halaman terkadang dilakukan ibu agar tidak bosan beristirahat seharian. Hanya saja, untuk keluar rumah, biasanya ibu belum diperbolehkan. Juga dengan bayinya. Menurut para tomatua (orang tua), bayi yang belum genap sebulan akan mudah terkena “gangguan”, baik dari yang tidak terlihat, lingkungan, maupun orang di sekitarnya. Dikhawatirkan, jika bayi dibawa keluar dan digendong banyak orang akan mudah keseleo.

3.1.5 Masa Menyusui

Air Susu Ibu (ASI) atau dikenal dengan bahasa Mamasa dengan air tetek mama’ merupakan makanan esensial bagi bayi. Hal ini sudah di­sadari ibu­ibu di desa ini. Bahkan, air susu ibu yang pertama keluar (kolostrum) usai melahirkan diberikan langsung kepada bayi. Sebagian ibu tidak mengetahui manfaat kolesterum tersebut, namun sebagian yang lain mengetahui bahwa air susu yang berwarna putih mengandung “obat” yang dibutuhkan bayi. Itu mereka ketahui dari tenaga kesehatan (bidan) saat di posyandu.

Untuk memperbanyak produksi ASI umumnya ibu-ibu mendapat anjuran untuk makan makanan tertentu. Daun kacang koro atau dikenal daun kambara merupakan salah satunya. Daun tersebut biasa dimasak menjadi tumis dengan bumbu garam dan air saja, dan disantap dengan nasi dan lauk ikan goreng. Tanaman ini banyak ditanam di pekarangan

Page 100: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

87

rumah penduduk, sehingga sangat mudah didapatkan. Alternatif lain untuk memperbanyak air ASI adalah buah pepaya muda. Biasanya pepaya muda dimasak tumis dengan santan. Sebagai camilan (makanan ringan) berbagai kacang­kacangan seperti kacang tanah goreng biasa dijadikan makanan selingan guna menambah produksi air susu ibu.

Tidak ada lauk­pauk khusus bagi ibu menyusui. Begitu pun dengan minuman, tidak ada minuman khusus, misalnya susu, bagi ibu pada masa nifas dan menyusui. Meskipun mereka menyadari pentingnya pemberian ASI sampai bayi berumur 6 bulan hingga 1 tahun, terkadang tidak dapat terpenuhi karena ASI sudah tidak keluar. Untuk menyambung ASI yang sudah tidak keluar, bayi terkadang diberikan susu formula yang dibeli di pasar. Jika karena keadaan ekonomi mereka tidak mampu membeli susu, bayi akan diberi makanan seperti buah pisang atau bubur nasi saring agar bayi tidak menangis saat lapar.

Syukuran atau selamatan bagi bayi baru lahir menjadi kebiasaan keluarga di Desa Makuang. Prosesi acara syukuran akan bergantung pada agama atau keyakinan yang dianut oleh orang tua bayi. Namun, apa pun agamanya, pada intinya mereka mengucapkan selamat atas lahirnya bayi dan keadaan ibu yang sehat, serta merupakan wujud syukur keluarga atas tambahnya anggota baru dalam rumah tangga tersebut. Acara syukuran biasanya dihadiri oleh tetangga dekat dan keluarga lain yang merasa menjadi bagian dalam “keluarga” tersebut. Tuan rumah biasanya akan memotong ayam sebagai jamuan dalam syukuran itu. Syukuran biasanya dilakukan ketika bayi baru lahir sampai berumur 1 bulan.

Tradisi syukuran ini dilakukan dengan memotong ayam sebagai hidangan makan bersama dan mengundang kerabat dan tetangga terdekat. Selain acara makan­makan, ada pula kegiatan bernuansa agama. Bagi mereka yang beragama Kristiani, mereka akan melakukan doa bersama dan bagi umat Muslim pada umumnya dibarengi dengan acara akikah. Bagi warga masyarakat yang mampu biasanya memotong kambing satu ekor untuk anak perempuan dan dua ekor untuk anak laki-laki. Setelah dilakukan pengajian dengan membacakan sholawat Nabi, acara ditutup dengan bersama, lalu ramah tamah dan makan bersama. Berdasarkan observasi, semua pemeluk agama diundang dan mereka bersedia datang. Mereka duduk berdampingan, saling toleransi, tidak membeda­bedakan, saling menghargai, dan tampak rukun.

Tidak ada ritual khusus untuk pemberian nama bayi. Bagi umat Kristiani (agama mayoritas), ketika bayi di baptis di gereja biasanya sudah

Page 101: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201288

diberi nama. Jika bayi belum diberi nama akan ada nama panggilan yang biasa digunakan di masyarakat. Untuk bayi perempuan yang belum diberi nama biasa dipanggil Bue’, sedangkan untuk bayi laki­laki dipanggil Uttong.

3.2. Kesehatan Anak (Neonatus dan Bayi)

Berdasarkan catatan posyandu di Desa Makuang, yakni posyandu Mata Bulawan (diperuntukkan bagi Dusun Rea, Makuang, dan Tondok Salu) dan posyandu Kondo (bagi Dusun Kondo, Dambuala, dan Pasapa Tipalu) pada bulan November dan Desember 2011 terdapat 71 anak balita. Dari jumlah itu, tercatat status gizi balita sebagai berikut: 65 balita berstatus gizi normal, 5 balita berstatus gizi gemuk, dan 1 balita berstatus gizi kurang. Anak tersebut berasal dari Dusun Dambuala.

Tradisi sunat dilakukan oleh sebagian masyarakat Desa Makuang, terutama pemeluk agama Islam. Sunat wajib hukumnya untuk anak laki­laki Muslim. Berikut petikan wawancara dengan salah satu informan:

“Masyarakat sudah mengerti masalah kesehatan barangkali da’ tahu apa sadar dari segi kesehatan dia apakah diperintahkan dari agamanya saya juga da’ tahu, yang jelas sudah banyakan juga biasa dilakukan di puskesmas. Biasa juga ada bakti sosial adik-adik mahasiswa dari Makassar, misalnya persatuan maha-siswa dari Katolik. Mereka datang dari pastoran, biasa adakan sunatan massal. Kemudian yang paling sering kita adakan sunatan massal di KUA. Kalau kita adakan biasa ya banyak yang ikut.”

Pelaksanaan sunat massal ini sifatnya hanya insidental. Mereka mem-buat proposal ke KUA atau ke Badan Amil Zakat. KUA bekerja sama dengan KUA kemudian meminta dana ke Badan Zakat Kabupaten. Sebagai contoh, panitia menargetkan 20 orang sasaran dengan biaya sebesar 3 juta rupiah. Jika dana berlebih biasanya akan digunakan untuk orang­orang di luar kalangan muslim. Dana tersebut sudah termasuk untuk jasa tenaga medis dan harga obat, termasuk untuk membeli dan mengganti kain kasanya.

Kerja sama dengan Badan Amil Zakat ini sudah menjadi rutinitas minimal setahun sekali. Pada tahun lalu (2011) diadakan sunat massal dua kali, hanya saat itu diarahkan untuk orang dewasa, yang akan menikah dalam waktu dekat. Meskipun kegiatan seperti ini bukan program peme­rintah, mereka merasa bertanggung jawab dari segi agama.

Page 102: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

89

Sebagian ibu yang memiliki bayi masih percaya adanya roh jahat yang akan mengganggu bayinya, maka pada badan atau baju si bayi dilekatkan/digantungkan sepotong panini (bangle) dengan menggunakan peniti supaya tidak diganggu pokpok atau setang (setan). Ada sebagian ibu memasang tali atau semacam benang pada perut bagian bawah pusar dengan tujuan agar lancar buang air besar. Ada juga yang memasang gelang dari bahan pernekel pada tangan si bayi agar bayi tidak panas atau kejang yang biasa mereka sebut mata tinggi. Ada juga yang memberi bayinya setetes air kopi ketika bayi lahir dengan tujuan agar badan bayi menjadi kuat dan tidak terkena penyakit panas yang sangat tinggi (stuip).

Ibu yang mempunyai bayi neonatus biasanya merawat anaknya de­ngan cara memandikannya dua kali sehari, tetapi ada juga yang hanya sekali dengan alasan dingin. Waktu memandikan bayi biasanya antara pukul 8.00­9.00 dan sore hari sekitar pukul 15.00. Yang melakukannya adalah orang tua si ibu (neneknya) karena ibu belum bisa memandikan anaknya, terutama ibu yang memiliki anak pertama kalinya. Air yang digunakan untuk memandikan bayi adalah air hangat dan ditempatkan di baskom. Air tersebut diberi kluwak dan bawang merah dengan tujuan yang mereka sendiri kurang jelas. Katanya, supaya baik dan itu hanya mengikuti orang tua zaman dulu.

Setelah selesai dimandikan, bayi diberikan kepada ibunya untuk dikeringkan dengan kain handuk lalu badan bayi diolesi minyak kayu putih dan diberi bedak baru kemudian dipakaikan baju yang semuanya masih serbabaru. Selanjutnya, sambil digendong, bayi diberi minum ASI oleh ibunya dan dibawa ke halaman untuk berjemur sekitar 10 menit, tujuannya supaya bayinya sehat. Menurut pengakuan seorang informan, setelah anak mandi pagi dan diberi ASI sampai kenyang biasanya langsung tidur, lalu anak ditaruh di ayunan yang digantung pada bagian dalam rumah atau di tempat tidur yang dilengkapi dengan krodong kelambu agar tidak diganggu lalat atau nyamuk.

Menurut pengakuan ibu dengan bayi neonatus yang menjadi salah satu informan, jika bayi sering kencing pada malam hari, hal ini dikarenakan suhu dingin. Tetapi, jika bayi sering menangis, itu pertanda bayi sakit yang umumnya akan diberi bawang merah yang telah dilumat lalu diborehkan pada bagian perutnya. Ada juga kebiasaan lain menurut kepercayaan mereka, ketika bayi tidur, pada bagian atas kepala bayi ditaruh kitab suci (Injil) dengan tujuan agar tidur bayi menjadi tenang dan tidak diganggu roh jahat.

Page 103: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201290

Gambar 3.11 Ibu sedang memberi ASI.

Gambar 3.12 Nenek mengasuh sang cucu.

Page 104: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

91

cara merawat bayi berumur kurang dari 1 tahun tidak berbeda jauh dengan cara merawat bayi neonatus, yakni dengan memandikannya setiap pagi antara pukul 8.00­9.00 dan sore pada pukul 15.00 dan diberikan perlengkapan pakaian. Bagi bayi mulai berumur 6 bulan akan diberi ma­kanan berupa bubur nasi yang dicampur sayur dari daun ubi atau bayam. Anak yang sudah tidur biasanya oleh ibunya ditaruh di ayunan supaya tidurnya nyenyak. Setiap hari bayi dijaga atau diasuh oleh ibunya sendiri, anggota keluarga yang lain, atau nenek. Pada usia tersebut anak juga mulai diperkenalkan mainan yang bisa berbunyi.

Gambar 3.13 Bayi tidur di ayunan.

3.2.1. Pola 3A (Asah, Asih, dan Asuh) Balita dan Anak

Dalam keseharian di rumah biasanya balita dan anak-anak lebih banyak bersama mama’ (ibu) dibandingkan papak (bapak), khususnya balita yang belum memasuki usia sekolah. Keseharian mereka dihabiskan di rumah dan sekitarnya. Mama’ bertugas memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari, mulai dari berbelanja, memasak, sampai menyajikannya.

Biasanya ibu berbelanja di pasar Messawa. Pasar akan penuh de-ngan penjual pada setiap hari Senin. Ibu akan berbelanja kebutuhan po­kok seperti beras, terigu, gula, minyak goreng, dan lain­lain. Ada juga yang membeli lauk­pauk, yakni telor ayam, ikan basah, dan berbagai

Page 105: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201292

ikan olahan (asin, bumbu). Ikan olahan yang sering dikonsumsi adalah ikan kering jenis temban karena harganya murah dan bisa tahan lama. Selain hari pasar, ibu biasanya berbelanja pada tukang sayur keliling yang mendatangi dusun­dusun dengan menggunakan sepeda motor. Pedagang sayur keliling datang dari Kabupaten Polewali Mandar dan sekitarnya sejak pagi hari. Di dusun Dambuala ada 2­3 orang pedagang yang datang pagi hari sekitar pukul 07.00 dan berselang 10­15 menit antarpedagang. Pedagang tersebut datang setiap hari, kecuali jika ada hajatan (kematian, perkawinan).

Sebagian besar ibu di Desa Makuang memiliki pekerjaan sebagai petani kopi atau bersawah. Bersama suaminya, ibu berangkat ke kebun sekitar pukul 06.00 atau 07.00 pagi. Jika orang tua pergi, balita akan dititipkan kepada nenek atau keluarga lain yang tinggalnya berdekatan. Alhasil, pengasuhan terbanyak, selain dengan ibunya, juga dengan nenek (perempuan) atau saudara perempuan ibu/bapak yang rumahnya berdekatan. Di rumah keluarga (luas) itu, balita dan anak “tinggal” sejak pagi hingga menjelang sore setiap hari, kecuali hari Minggu. Pada hari Minggu umumnya merupakan hari berkumpul (istirahat) seluruh anggota keluarga sekaligus hari ibadah ke gereja bagi sebagian besar penduduk yang beragama Kristen.

Pada sebagian keluarga, balita dan anak lain memiliki kakak yang sudah remaja, maka pengasuhan balita dan anak menjadi tanggung jawab kakaknya. Anak-anak perempuan di desa itu, sejak umur sekitar 7 tahun, sudah mulai diajari mama’­nya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring, mencuci baju, bersih­bersih rumah. Mereka juga diajari mengasuh adik­adiknya yang masih balita seperti menggendong, memandikan, menyuapi atau mengajak makan, dan menemani bermain. Sementara anak-anak laki-laki, sejak usia Sekolah Dasar mulai diajari papak­nya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga di luar rumah, seperti membersihkan halaman rumah, mencari dan membelah kayu bakar, membersihkan saluran air (sumber), dan memberi makan hewan peliharaan. Maka, ketika orang tua pergi ke kebun, anak­anak sudah terbiasa mandiri dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, termasuk menjaga dan merawat adik­adik yang masih balita.

Pengasuhan anak dan balita tidak selalu menjadi domain kaum hawa (mama’, nenek perempuan, atau kakak perempuan) saja, papak maupun nenek laki­laki juga bisa melakukannya. Berdasarkan observasi, nenek (laki­laki) biasa menemani balita saat mama’ dan papak pergi berladang

Page 106: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

93

atau ke sawah. Bersama neneknya, balita digendong, diberi makan, dan ditemani bermain sejak siang hingga sore hari.

Waktu sore hari hingga malam merupakan waktu berkumpul seluruh anggota keluarga di rumah. Papak telah kembali dari kebun/sawah dan mama’ biasanya pulang lebih awal untuk menyiapkan makan malam dan membersihkan rumah. Makan malam merupakan kegiatan bersama yang menjadi ajang berbagi cerita serta bercengkrama antara anak dan orang tua. Pada jam tersebut, anak­anak tetangga berkumpul untuk sekadar menumpang menonton televisi atau bermain bersama. Meskipun di desa tersebut listrik menyala sepanjang hari, namun penerangan jalan hampir tidak ada sehingga selepas sore sudah tidak ada anak­anak yang bermain di luar rumah.

Anak­anak yang telah memasuki usia Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama (di Kecamatan Messawa ada SD dan SMP) masih tinggal bersama orang tua di rumah. Sementara jika sudah memasuki Sekolah Menengah Atas, anak­anak biasanya bersekolah di luar desa, bahkan di kabupaten lain. Mereka akan tinggal di rumah saudara atau kos. Pada setiap hari Sabtu sore, mereka akan pulang ke desa hingga hari minggu untuk berkumpul bersama keluarga. Mama’ merupakan orang yang lebih banyak mengarahkan dan mengingatkan anak­anak untuk bersekolah dan menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan sekolah anak-anaknya saat di rumah.

3.2.2 Pola Pemberian ASI dan Makanan Tambahan pada Balita

Air Susu Ibu (ASI) yang pertama keluar pada hari pertama hingga kelima usai persalinan (kolestrum) biasa diberikan kepada bayi. Meski tidak mengetahui kandungan dan manfaat kolestrum tersebut, namun ibu bersalin terbiasa memberikan ASI untuk bayinya hingga usia tertentu.

Ibu akan memberi ASI pada bayi jika bayi mulai menangis. Bagi ibu, bayi menangis pertanda lapar dan memerlukan asupan minuman atau makanan. Para ibu berpatokan bahwa jika bayi menangis kemudian diberi ASI cukup namun bayi tetap menangis, berarti bayi tersebut sudah membutuhkan “makanan” tambahan selain ASI. Jadi, jika bayi menangis kemudian diberi ASI cukup lama dan tetap menangis, maka ibu akan mencoba memberi makanan tambahan, misalnya susu formula. Ibu-ibu akan tetap memberi ASI, meski bayi/anak diberi susu formula, hingga usia anak berkisar 1-2 tahun.

Page 107: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201294

Makanan pendamping ASI yang biasa diberikan pada bayi­bayi adalah bubur beras yang disaring. Bubur bayi lain yang diberikan bayi berupa bubur pabrikan, seperti merk SUN dan merk lain. Bayi terkadang juga diberi makanan pendamping berupa buah­buahan yang dihancurkan, seperti pepaya, pisang, dan lain­lain. Makanan tersebut diberikan pada bayi yang berumur 6 bulan ke atas. Ibu­ibu akan memberikan makanan itu berdasarkan kemauan bayi. Jika pada awal diperkenalkan makanan pendamping itu bayi menyukai dan berprilaku “tenang” saat tidur, maka akan diberikan seterusnya. Tetapi, jika sejak memakan makanan itu kotoran bayi saat BAB berubah warna (menjadi hitam, cair) berarti makanan tersebut tidak cocok bagi bayi.

Ketika anak menginjak usia satu tahun, ibu­ibu mulai mencoba mem­perkenalkan nasi (makanan dewasa) sesekali. Ada juga yang diperkenalkan makanan pokok lain seperti jagung rebus, ubi manis, atau ubi jalar (singkong) yang direbus. Kebiasaan makan jenis makanan tertentu lebih dikarenakan kesenangan anak masing­masing. Orang tua (ibu) akan se­nang jika anak sudah mulai mau makan nasi atau makanan pokok lain karena lauk­pauk dan sayur yang dimasak akan disamakan dengan ma­kanan orang dewasa. Jenis lauk yang diberikan untuk anak, seperti ikan kering, tempe, atau telur goreng, sama dengan yang diperuntukan bagi orang dewasa, sedangkan sayuran yang paling sering dimasak adalah sayur daun ubi bumbu garam, sayur bening kangkung atau bayam, atau berbagai oseng­oseng sayur lain.

3.3. Pola Pencarian Pengobatan (Health Seeking Behaviour) dalam KIA

Masa kehamilan merupakan masa “rentan” terkena gangguan baik yang disebabkan hal­hal yang berhubungan dengan kesehatan maupun yang berhubungan dengan nonkesehatan (gaib/supranatural). Gangguan yang disebabkan oleh makhluk gaib dapat terjadi pada ibu dan bayi yang baru lahir sampai berumur 2 bulan. Menurut pemahaman mereka, ibu dan bayi biasanya diikuti oleh makhluk gaib/setan sehingga mereka diharuskan menaruh panini (bangle) pada baju si ibu dan bayinya. Mereka berkeyakinan bahwa panini dapat menjauhkan mereka dari cengkeraman atau gangguan makhluk­makhluk gaib/setan.

Kambaroan disebabkan karena adanya gangguan setan. Orang yang terkena penyakit ini biasanya ketika suhu tubuhnya tinggi (panas), dia akan sembarang berbicara, bahkan sering berteriak­teriak dan terkadang memukul tetapi dia berada dalam keadaan tidak sadar. Menurut pema­

Page 108: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

95

haman mereka, kondisi ini terjadi karena dia bertemu dengan setan yang mengganggunya. Untuk penyembuhannya, mereka menggunakan panini yang dilarutkan ke dalam air lalu diminum. Terkadang panini diiris tipis­tipis kemudian dicampur dengan minyak kelapa, lalu dioleskan ke seluruh tubuhnya sambil diurut-urut.

Sebagian besar ibu hamil, jika mengalami gangguan atau sakit yang disebabkan kehamilannya, seperti pegal­pegal di kaki hingga punggung, akan pergi ke rumah toma’pakeanak. Jika rasa sakit itu datang dengan frekuensi sering, maka sesering itulah ibu hamil akan datang mencari pengobatan ke rumah dukun bayi tersebut.

Wanita yang tamanang (mandul) dianggap memiliki tiga penyebab/masalah, yaitu, pertama kandungan/rahimnya lengket ke belakang, se­hingga mengakibatkan kandungan/rahimnya mengecil. Kondisi ini dapat diketahui dengan melihat jumlah haidnya yang sedikit, tetapi pedas/sakit rasanya. Penyebab yang kedua karena kandungan/rahimnya terlipat, se­hingga tidak bisa menerima bibit (sperma) dari pasangannya. Hal ini diketahui dengan melihat kondisi haid yang tidak lancar, terkadang satu atau dua bulan sekali, tetapi jumlah haidnya banyak. Yang ketiga dipercaya karena adanya gangguan dari narokmokki dewata wai (setan air) atau biasa diistilahkan dengan karamokan. Kondisi ini diketahui dengan melihat jumlah haid yang terkadang banyak, terkadang sedikit, juga kadang dalam satu bulan mengalami haid sampai tiga kali.

Untuk pengobatannya, mereka hanya mengandalkan penyembuhan dari toma’pakuli kuli (penyembuh tradisional) dengan cara mengurut perut wanita yang mandul tersebut dan meminum ramuan yang telah dibuat oleh toma’pakuli kuli.

Menurut pengakuan masyarakat dan penyembuh tradisional yang sempat kami temui, banyak wanita yang selama ini dianggap madul berhasil hamil menggunakan jasa penyembuh tradisional tersebut dibandingkan mereka yang tidak pernah memanfaatkannya.

Air kopi pahit merupakan salah satu minuman untuk mencegah pe nyakit pada bayi/balita. Satu hingga dua tetes air kopi pahit biasanya diberikan pada bayi baru lahir untuk mencegah penyakit panas tinggi. Panas tinggi pada bayi/balita merupakan gejala yang cukup banyak dialami di sini. Jika bayi/balita mengalami gejala tersebut dan orang tua tidak berhasil mengobati atau mendinginkan suhu tubuh bayi/balita maka mata anak menjadi tinggi (mendelik). Oleh karenanya masyarakat menyebut kejadian itu dengan penyakit mata tinggi.

Page 109: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201296

Penyakit lain yang sering terjadi pada bayi dan balita adalah infeksi saluran pernapasan dengan gejala suhu tubuh panas (demam) dan batuk. Penyakit lain yang terjadi pada bayi/balita adalah sakit perut yang mengakibatkan anak mencret saat BAB. Selain itu, berdasarkan observasi, beberapa balita ada yang terkena penyakit gatal­gatal yang mengakibatkan luka/bekas luka pada lengan dan kaki. Rasa gatal itu umumnya dikarenakan gigitan serangga atau kutu yang ada di sekitar halaman, kandang hewan ternak (babi), atau di hutan. Halaman rumah dan hutan merupakan salah satu tempat bermain balita dan anak-anak.

Bagi para orang tua di Makuang, penyakit­penyakit tersebut meru­pakan penyakit yang “biasa” terjadi pada bayi dan balita. Oleh karena itu, beberapa orang tua biasa membiarkan gejala/penyakit itu tanpa diberi pengobatan jika masih dalam 1­2 hari. Ada juga orang tua yang melakukan pengobatan dengan menggunakan ramuan herbal, yakni dengan daun­daunan yang biasa ditanam di pekarangan rumah. Bagi sebagian orang tua, ramuan tersebut “lebih cocok” mengobati penyakit anak­anaknya dibanding pengobatan medis. Kecocokan tersebut ditandai dengan tidak berulangya gejala/penyakit itu dalam waktu dekat.

Salah satu ramuan herbal bagi penyakit/gejala panas dan batuk terdiri dari empat jenis daun, yakni daun lasuna bluwak (daun bawang rambut), tangmesambu (meniran), balinongko dan daun tomat. Keempat daun tersebut, setelah dicuci dengan air dan dikeringkan, diremas bersama hingga air daun tersebut keluar, kemudian dibalurkan pada bagian dahi bayi/balita hingga daun menjadi kering. Remasan daun tersebut bisa juga dibalurkan pada badan dan lengan bayi/balita jika gejala panas sangat tinggi. Menurut pengakuan ibu, ramuan tradisional tersebut diberikan sampai tiga kali, maka suhu panas akan turun. Ramuan tersebut juga bisa digunakan untuk mengobati penyakit mata tinggi pada bayi.

Untuk mengobati sakit perut atau diare orang tua si bayi/anak akan menggunakan ramuan herbal, yaitu daun balinongko (bewarna merah dengan pinggiran hijau) yang biasa ditanam di samping/belakang rumah penduduk. caranya, setelah daun diambil dalam jumlah ganjil (bisa 5, 7, 9, dan seterusnya) kemudian dicuci dengan air panas hingga bersih. Setelah itu, daun diperas dan airnya diminum langsung atau bisa juga dicampur dengan madu jika ada karena air perasan daun tersebut rasanya pahit. Perasan daun ini juga berkhasiat menyembuhkan penyakit batuk. Alternatif lain bagi penyakit diare adalah menggunakan perasan pucuk daun jambu biji yang cara menggunakannya dengan dicampur daun balinongko.

Page 110: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

97

Ramuan daun balinongko dan pucuk jambu biji juga bisa menyembuhkan penyakit diare pada orang dewasa.

Sebagian orang tua biasanya mempercayakan ramuan herbal guna mengobati penyakit pada bayi dan balita. Biasanya mereka akan meng­gunakannya hingga sekitar satu minggu. Jika sudah lewat satu minggu dan penyakit/gejala tersebut tidak mereda, maka merka akan pergi berobat ke puskesmas atau tenaga kesehatan lainnya untuk mendapatkan pengobatan medis. Tempat pengobatan medis yang paling banyak dikunjungi ibu saat balitanya sakit adalah puskesmas, yaitu ke Bidan Supiyati yang dulu bertugas di pustu desa tersebut dan Mama Feri, mantan perawat puskesmas Messawa yang saat ini membuka tempat praktik di pasar pada hari pasar dan juga di rumahnya. Mama Feri selain memberi obat­obat medis juga memberi mantera (jampi) yg “dimasukkan” dalam air putih guna menyembuhkan penyakit.

Toma’pakeanak penyembuh atau biasa dikenal dengan orang yang melakukan pengobatan pakuli kuli (tradisional) merupakan alternatif penyembuhan bagi balita yang sakit. Penyembuhan melalui toma’pakeanak merupakan usaha penyembuhan awal bagi penyakit­penyakit tertentu sejak bayi/balita merasakan sakit. Penyakit­penyakit itu seperti tilea atau salah urat, biasa orang­orang sini menyebutnya dengan penyakit dalam. Tilea biasa terjadi pada bayi berumur 2-3 bulan. Penyebabnya adalah karena bayi sering digendong­gendong oleh banyak orang. Penyembuhan dilakukan menggunakan laiyahh (jahe) yang dikunyah oleh toma’pakeanak penyembuh kemudian disemburkan ke bayi.

Penyakit lain yang biasa disembuhkan oleh toma’pakeanak pe nyem-buh adalah penyakit ra’busan, yakni penyakit bayi yang ditandai dengan gejala bayi menangis secara terus­menerus tanpa penyebab yang jelas. Menurut masyarakat, ra’busan disebabkan oleh penampakan makhlus halus dengan maksud mengganggu bayi atau keluarganya. Penyembuhan biasa dilakukan menggunakan panini (bangle) yang diparut kemudian dibalurkan di sekujur tubuh bayi oleh toma’pakeanak penyembuh tersebut sambil dilakukan pemijatan.

Panini selain menyembuhkan penyakit ra’busan juga digunakan sebagai pencegahan bagi bayi dan balita. Potongan panini biasa diletakan pada baju bayi guna mencegah bayi diganggu berbagai penyakit yang disebabkan oleh makhluk halus (jahat). Selain itu, panini juga biasa di­gantung di dekat jendela rumah yang memiliki bayi dan balita. Ketika balita atau anak bepergian ke luar desa dan tinggal lama di desa lain, orang tua

Page 111: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 201298

juga biasa “membekali” anak dengan potongan panini guna mencegah dan melindungi anak dari gangguan makhluk halus yang diyakini ada di setiap kampung.

3.4 Kematian Ibu dan Bayi

Berdasarkan laporan Profil Puskesmas Kecamatan Messawa Tahun 2011 pada tabel 8 dilaporan jumlah kematian di 8 desa (Pasapa Mambu, Rippung, Makuang, Malimbong, Matande, Sipai, Tanete Batu, dan Sepang) dan 1 kelurahan (Messawa) tidak ada kejadian kematian ibu. Padahal ketika melihat catatan bidan desa Makuang dan catatan kejadian di kantor Desa Makuang (lahir, mati, dan pindah) tercatat pada tahun 2011 terdapat 1 orang ibu yang mengalami kematian ketika bersalin. Berdasarkan catatan bidan/perawat, ibu tersebut mengalami panas (demam) dan batuk berlendir.

Mengapa kejadian kematian ibu yang telah tercatat dalam buku bidan desa dan catatan kantor desa bisa berbeda dengan laporan Puskesmas? Menurut petugas kesehatan, jika ada kematian yang terjadi ketika dirujuk ke luar desa, bahkan luar kabupaten, maka kematian tersebut tidak perlu dicatatkan pada profil meskipun penduduk tersebut berasal dari wilayah kerja puskesmas tersebut. Padahal, tentu saja rumah sakit (rujukan) yang berada di luar wilayah desa maupun kabupaten tidak akan mencatat penduduk tersebut karena asalnya bukan dari wilayah tersebut. Hal ini mengakibatkan laporan menjadi bias atau tidak sesuai kenyataan yang ada.

Tahun 2010, berdasarkan catatan bidan desa dan kantor desa Ma-kuang, terdapat dua orang ibu yang mengalami kematian saat bersalin. Kedua ibu tersebut mengalami kematian ketika dalam perjalanan dirujuk ke fasilitas kesehatan di luar wilayah desa, kecamatan, bahkan di luar wilayah kabupaten, karena rumah sakit terdekat adalah di Kabupaten Polewali Mandar. Hal ini, tentu saja mengakibatkan kematian ibu tersebut tidak tercatat dalam laporan Profil Puskesmas jika petugas menganggap kejadian di luar wilayah mereka tidak perlu dicatat.

Begitu pun dengan kejadian kematian neonatus dan bayi. Pada cata-tan profil Puskesmas Messawa tahun 2011 di Desa Makuang tidak ter-dapat kematian bayi, namun berdasarkan catatan bidan desa ditambah pengakuan warga desa ada bayi yang meninggal ketika dilahirkan.

Berdasarkan catatan bidan desa Makuang, kejadian ibu yang me­ninggal saat bersalin terjadi di rumah yang bersangkutan dan ditolong oleh

Page 112: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

99

dukun bayi. Umur ibu tersebut masih muda, yakni berusia 25 tahun. Ibu tersebut tinggal di Kampung Pamumbun Dusun Rea yang kondisi jalannya naik-turun cukup terjal dan belum diaspal. Keadaan jalan masih sulit saat penelitian ini dilakukan.

Beberapa kejadian kematian ibu dan bayi saat bersalin terjadi di rumah sakit rujukan tempat ibu hamil datang dalam keadaan sangat parah (sakit berat) atau umur kehamilan sudah terlalu tua. Kejadian kematian ibu atau bayi lahir di fasilitas kesehatan dipersepsikan ibu­ibu lain (masyarakat desa) bahwa sama saja persalinan yang dilakukan di rumah atau di fasilitas kesehatan bisa membuat ibu atau bayi meninggal juga. Pada tahun 2012, ada bayi meninggal di fasilitas kesehatan (di rumah sakit rujukan) karena umur kehamilan terlalu tua.

Kurangnya pengetahuan akan deteksi dini kehamilan yang berisiko tinggi membuat lambatnya keputusan membawa ibu ke fasilitas kese­hatan hingga berakibat fatal, ibu atau bayi mati. Kejadian ini makin pe­lik dengan minimnya pengetahuan yang diberikan bidan (petugas ke­sehatan) saat mengadakan posyandu. Berdasarkan pengamatan, bidan hanya menanyakan keluhan ibu saat hamil. Jika tidak ada, maka ia hanya mengatakan nanti jika bersalin ke fasilitas kesehatan tanpa menerangkan mengapa ia harus ke sana dan mengapa tidak bisa melahirkan di saja seperti keinginan semua ibu di desa itu.

3.5 Penggunaan Jamkesmas dan Jampersal

Berdasarkan catatan profil puskesmas, hampir sebagian besar (80%) warga di Desa Makuang adalah warga yang kurang mampu sehingga memiliki kartu Jamkesmas. Sebagian besar warga menyatakan senang dan terbantu dengan memiliki kartu tersebut karena biaya pengobatan menjadi gratis. Hanya saja, untuk warga di luar Desa Makuang seperti desa­desa lain yang jauh dari puskesmas, mereka merasa biaya transportasi untuk berobat cukup mahal.

Berdasarkan laporan pelaksanaan program Jamkesmas tahun 2011, terdapat tiga penyakit terbanyak yang dialami warga (termasuk warga Desa Makuang), yakni penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan bagian Atas), penyakit kulit (alergi), dan gastritis. Hal ini sesuai dengan keluhan yang diceritakan warga, yaitu ISPA dan alergi sering terjadi pada anak balita dan penyakit gastritis (termasuk gejala maag) sering dialami oleh remaja hingga orang dewasa.

Page 113: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012100

Ketiga penyakit tersebut lebih sering tidak dianggap “penyakit” atau tidak dirasakan sebagai gangguan, karena gejala yang ada tidak mem buat seseorang menjadi tidak mampu beraktivitas. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Kalangie (1994:42) sebagai tipe Kotak 2, yakni yang menunjukkan bahwa secara klinis maupun laboratoris seseorang mendapat serangan suatu penyakit, tetapi ia tidak merasa sakit atau tidak dirasakan sebagai sakit (disease but no illness). Dalam kenyataannya, kotak ini adalah yang paling banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dari kenyataan ini muncullah konsep “sehat” menurut masyarakat, yaitu orang yang dapat bekerja atau menjalankan pekerjaannya sehari­hari; dan konsep “sakit”, yaitu orang yang sudah tidak dapat bangkit dari tempat tidur, sehingga tidak dapat menjalankan pekerjaannya sehari­hari.

Persepsi ini menambah penyakit tersebut menjadi kronik dan lama sembuhnya. Sebagian besar penduduk dewasa warga Makuang memiliki keluhan gastritis. Meski mereka menyadari hal tersebut merupakan gang guan kesehatan (penyakit), namun mereka sering mengabaikannya. Gangguan ini menjadi parah karena kebiasaan makan mereka yang tidak akan makan bila belum lapar. Sarapan atau makan pagi tidak wajib namun minum kopi merupakan “kewajiban” sehingga jika perut kosong kemudian diisi air kopi membuat gangguan perut mudah datang.

Ketika keluhan maag atau gastritis menjadi kian parah, maka proses penyembuhannya pun semakin sulit. Obat­obatan generik yang tersedia di puskesmas menjadi kurang manjur mengobati. Berbagai cara pengobatan alternatif biasanya menjadi jalan keluar penyembuhan, seperti penggunaan herbal (tumbuh­tumbuhan), pengobatan china dan terapi doa diyakini dan dibuktikan warga lebih mujarab mengurangi keluhan pencernaan tersebut.

Penyakit gastritis juga banyak dialami oleh ibu­ibu berusia muda. Mereka umumnya masih aktif mencari nafkah guna membantu ekonomi keluarga. Gejala pencernaan dan darah tinggi (hipertensi) merupakan masalah terbanyak pada ibu­ibu hamil di Desa Makuang. Meskipun me­reka sedikit mengetahui jika kedua penyakit tersebut disebabkan oleh pola makan, namun sebagian besar ibu tidak mengetahui cara pencegahan yang benar guna mengontrol agar penyakit tidak kambuh kembali.

Program Jampersal (Jaminan Persalinan) belum banyak diketahui oleh ibu­ibu di Desa Makuang dan sekitarnya. Kalaupun warga mengeta-hui bahwa bersalin di fasilitas kesehatan dengan pertolongan tenaga ke­sehatan tidak dikenakan biaya alias gratis, mereka belum mempercayainya

Page 114: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

101

secara penuh. Apalagi jika nanti persalinan harus dirujuk ke rumah sakit, tentu akan membutuhkan biaya cukup besar.

Hal yang masih menjadi permasalahan mengenai Jampersal di te­naga kesehatan adalah belum keluarnya pembayaran (klaim) terhitung sejak tahun 2011 hingga Juni 2012. Padahal semua catatan dan bukti telah terkumpul dengan rapi. Ternyata hal ini tidak hanya terjadi pada bidan di Desa Makuang, namun di semua desa dan kecamatan di Kabupaten Mamasa. Meski begitu, tenaga kesehatan di desa tetap melayani dan menggratiskan persalinan yang ditolong di fasilitas kesehatan.

Page 115: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012102

Page 116: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

103

BAB IVKEPERcAyAAN TERHADAP PELAyANAN

KESEHATAN IBU DAN ANAK

Ibu-ibu hamil dan balita mendapat pelayanan kesehatan ibu dan anak dari tenaga kesehatan di posyandu dan puskesmas pembantu yang terdapat di Desa Makuang, sedangkan fasilitas pelayanan kesehatan lain yang berada di luar desa adalah Puskesmas Kecamatan Messawa. Pelayanan kesehatan tersebut dalam hal ini adalah pelayanan kesehatan medis (biomedikal). Meskipun banyak penduduk masih menggunakan pelayanan kesehatan tradisional guna mengobati dan menjaga kesehatan ibu dan anak, namun dalam bagian ini hanya akan dibahas hubungan kepercayaan masyarakat (termasuk toma’pakeanak) terhadap pelayanan kesehatan dari tenaga medis formal.

4.1. Kepercayaan Masyarakat terhadap Bidan dalam Membantu Keha-milan dan Persalinan

Masalah kesehatan masyarakat, khususnya di Desa Makuang, secara umum sudah dapat dilayani di posyandu, pustu, dan puskesmas, serta RSUD Polewali Mandar (Polman) sebagai rujukan terakhir yang terdekat. Bila memerlukan rujukan, masyarakat lebih memilih ke RSUD Polman karena posisinya lebih dekat dibandingkan Ke kota Mamasa yang jaraknya lebih jauh serta jalan Makuang­Mamasa dalam kondisi rusak berat. Untuk pemeriksaan kesehatan ibu hamil dan anak balita (KIA) di Desa Makuang biasanya dapat dilayani di posyandu meskipun terjadwal hanya satu bulan sekali, yang dilakukan oleh bidan penanggung jawab pustu dibantu tenaga kader desa setempat serta tenaga paramedis dari Puskesmas Messawa.

Tenaga bidan yang ditempatkan di Desa Makuang telah memiliki dasar pendidikan formal kebidanan (D1­D3) sehingga dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan KIA secara profesi dapat dipertanggungjawabkan

Page 117: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012104

secara mandiri, meskipun usianya masih di bawah 30 tahun. Bidan tersebut telah melayani masyarakat sejak tahun 2000-an atau sduah lebih dari 10 tahun.

Pada awal bertugas, sebagian ibu masih enggan memeriksakan ke­hamilannya ke posyandu atau petugas kesehatan yang ada. Mereka ma­sih mempercayakan sepenuhnya kepada toma’pakeanak atau bantuan keluarga. Ini mereka lakukan karena orang tua mereka dan nenek moyang mereka sejak dahulu melakukan hal tersebut, yakni meminta bantuan toma’pakeanak. Jikapun saat bersalin, bayi atau ibu tidak tertolong (meninggal), bagi mereka sudah menjadi takdir atau karena kesalahan ibu maupun keluarga/nenek moyang mereka.

Dengan berjalannya waktu, kesadaran ibu­ibu hamil untuk memerik­sakan kehamilannya semakin tinggi. Bagi mereka, mengetahui keadaan kesehatan bayinya dalam kandungan merupakan hal utama bagi ibu dan keluarga. Tak jarang, ibu hamil datang ke posyandu ditemani oleh ke­luarganya, seperti mertua, mama’ atau anggota keluarga yang lain. Pihak keluarga akan mengingatkan jika ibu lupa atau malas datang ke posyandu.

Meskipun keluarga memiliki peran penting dalam penyadaran pen­tingnya pemeriksaan kehamilan, ternyata pihak suami tidak ambil peran secara langsung. Artinya, suami tidak pernah mengantarkan istri pergi ke posyandu. Berdasarkan pengamatan memang jarang sekali suami/laki­laki mengantarkan istrinya ke posyandu. Namun, bukan berarti suami melarang istrinya pergi.

Selain pemeriksaan kehamilan, ibu­ibu datang ke posyandu atau puskesmas untuk meminta alat­alat pencegahan kehamilan (KB) dengan tujuan menjarangkan jarak umur anak. Alat­alat KB yang diminati oleh sebagian besar ibu­ibu adalah pil dan suntik. Alat­alat KB lainnya tidak diminati ibu­ibu karena mereka merasa tidak nyaman (malu) saat pema­sangan alat tersebut harus membuka “bagian­bagian dalam” ibu.

Kesadaran yang tinggi dalam memeriksakan kehamilan dengan bantuan tenaga kesehatan (bidan) ternyata tidak diikuti dengan kesadaran ibu­ibu untuk melahirkan dibantu oleh bidan. Persalinan yang diharapkan sebagian besar ibu yakni dibantu oleh toma’pakeanak. Bagi ibu­ibu hamil dan keluarganya, melahirkan dibantu keluarga (mama’) jika mampu atau dibantu oleh toma’pakeanak sudah cukup “aman” sehingga sebagian besar persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (bidan) adalah persalinan yang sudah tidak tertangani oleh toma’pakeanak atau persalinan yang berisiko tinggi.

Page 118: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

105

Keinginan dan harapan dari keluarga dan ibu­ibu hamil saat bersalin adalah melahirkan di rumah dan ditunggui oleh keluarga dan toma’pakeanak. Oleh karena itu, keluarga tidak mempersiapkan segala keperluan jika ternyata ibu harus ditolong oleh tenaga kesehatan fasilitas kesehatan (puskesmas/rumah sakit). Padahal jika hal tersebut terjadi, sudah pasti keluarga harus menyiapkan kendaraan untuk membawa ibu hamil, uang untuk ongkos, perlengkapan administrasi (KTP dan KK), dan keperluan ibu untuk menginap di fasilitas kesehatan. Ketidaksiapan tersebut membuat lamanya waktu yang diperlukan keluarga, padahal keadaan ibu semakin kritis.

Ketika ibu bersalin mengalami kesulitan dalam melahirkan dan toma’pakeanak sudah tidak mampu membantu, maka pihak keluarga akan mencari bantuan ke tenaga kesehatan (bidan desa atau puskesmas). Ketika keadaan ibu yang hendak bersalin sangat kritis dan berbahaya tentu saja pihak puskesmas akan merujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas dan tenaga kesehatan lebih lengkap. Hal ini makin membuat keluarga makin tidak siap untuk memenuhi kebutuhan persalinan. Akibatnya, proses keputusan keluarga untuk setuju dirujuk seperti saran tenaga kesehatan atau tidak setuju semakin lama.

4.2 Kepercayaan Toma’pakeanak (Dukun Bayi) terhadap Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Pada umumnya toma’pakeanak yang ada di Desa Makuang sudah memiliki kepercayaan terhadap keberadaan pelayanan kesehatan. Hal ini terlihat pada kemauan mereka menjalin kemitraan dengan tenaga kesehatan (bidan) yang pernah terlaksana sekitar 10 tahun yang lalu, meskipun saat ini kemitraan tersebut sudah tidak berjalan lagi dan bahkan ada toma’pakeanak yang saat ini menjadi kader kesehatan. Ter wujudnya kemitraan antara toma’pakeanak dengan nakes (bidan) merupakan gagasan pemerintah (Departemen Kesehatan RI), dengan harapan agar para toma’pakeanak tersebut memiliki pengetahuan yang baik saat memberikan pertolongan persalinan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat masih menaruh kepercayaan yang be­sar terhadap peran toma’pakeanak dibanding dengan bidan, karena toma’pakeanak dianggap memiliki banyak pengalaman dibanding bidan serta biaya persalinan yang cenderung murah. Sementara dari sudut pandang kesehatan (medis) sendiri, aktivitas para toma’pakeanak saat memberikan pertolongan persalinan kepada ibu yang bersalin ditenggarai

Page 119: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012106

menjadi penyebab utama tingginya kematian ibu dan anak, yaitu akibat penggunaan peralatan yang tidak memadai serta pengetahuan seadanya.

Berdasarkan penuturan salah satu toma’pakeanak yang ada di Desa Makuang, saat dirinya diminta memberikan pertolongan persalinan, ia akan memberikan pilihan kepada si ibu dan keluarga untuk memilih melahirkan dengan dibantu toma’pakeanak ataukah ingin melahirkan di puskesmas dengan bantuan nakes/bidan. Hal ini menunjukkan bahwa toma’pakeanak juga mempercayai tenaga kesehatan untuk membantu pelaksanaan proses persalinan selain dirinya.

“Kalau saya dipanggil orang mau melahirkan, ya saya tawarkan dulu mi apa mau ditolong bidan atau mau ke puskesmas, tapi yaitu dia bilang tidak mi nanti-nanti saja .…”

Namun, jika toma’pakeanak sudah tidak mampu lagi atau kewalahan memberikan pertolongan, maka langkah yang diambil oleh toma’pakeanak adalah menyarankan agar ibu tersebut dibawa ke puskesmas agar dibantu oleh bidan atau dokter yang ada seperti pengakuan toma’pakeanak berikut ini.

“Kalau saya bantu orang melahirkan, trus saya tidak bisa tolong dia lagi, ya saya suruh ke bidan saja atau pergi ke puskesmas untuk melahirkan di sana.”

Dari penuturan tersebut tampak bahwa sebenarnya para toma’pa-keanak sendiri menyadari kemampuan mereka yang sangat terbatas dibandingkan dengan kemampuan para tenaga kesehatan yang ada.

Keberadaan dan peran toma’pakeanak (dukun bayi) dalam menolong persalinan pada intinya lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang sampai saat ini masih menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap mereka. Berdasarkan pengamatan, tingginya kepercayaan masyarakat terhadap toma’pakeanak tersebut disebabkan karena:

1. Masyarakat Makuang belum menyadari sepenuhnya akan bahaya yang kemungkinan besar dihadapi oleh ibu bersalin jika tidak ditangani secara medis.

2. Pada umumnya masyarakat Makuang lebih senang bersalin di rumah ketimbang bersalin di Puskesmas.

3. Biaya bersalin relitif murah, bahkan cenderung gratis, saat dito­long oleh toma’pakeanak dibandingkan dengan pertolongan tenaga kesehatan.

Page 120: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

107

4. Tradisi secara turun temurun, yaitu keluarga mereka sebelumnya mendapatkan pertolongan persalinan dari toma’pakeanak dan mereka tidak melihat hambatan yang ditimbulkan saat para toma’pakeanak tersebut memberikan pertolongan persalinan kepada keluarga mereka sebelumnya.

Page 121: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012108

Page 122: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

109

BAB VPOTENSI DAN KENDALA BUDAyA DALAM

PEMBANGUNAN KESEHATAN IBU DAN ANAK

Sistem medis atau sistem perawatan kesehatan (health care sys-tem) ibu dan anak di Desa Makuang dan sekitarnya melibatkan peran terintegrasi antara keluarga besar, toma’pakeanak, dan bidan sebagai tenaga kesehatan. Sistem ini terbentuk beradaptasi dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan dan teknologi (termasuk sarana dan prasarana) yang ada.

Menurut Fred Dunn dalam Nico Kalangi (1994), sistem medis adalah pola­pola dari pranata­pranata sosial dan tradisi­tradisi budaya yang berkaitan dengan perilaku yang sengaja untuk meningkatkan kesehatan, meskipun hasilnya belum tentu berhasil atau mendatangkan kesehatan yang baik (kesembuhan). Sistem medis ini termasuk dalam pola­pola dan pemilihan perawatan kehamilan serta penolong persalinan ibu­ibu di Desa Makuang.

Bagi sebagian besar ibu hamil dan keluarganya, pilihan menggunakan toma’pakeanak atau dukun bayi sejak awal perawatan kehamilan hingga bersalin masih menjadi pilihan terbaik, selain tentu saja bantuan keluarga besar itu sendiri. Meskipun mereka menyadari bahwa persalinan meru-pakan hal yang cukup berbahaya, ternyata kemampuan keluarga (biasanya mama’) dan toma’pakeanak dianggap cukup mampu melewati masa berbahaya tersebut, seperti yang sudah dialami para mama’ dan nenek mereka waktu dahulu. Jika nantinya, keluarga dan toma’pakeanak tidak mampu menangani, maka bidan atau tenaga kesehatan lain menjadi jalan pamungkas.

Berbagai perilaku masyarakat yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak dapat diterangkan dengan model Kombinasi Alternatif Penyakit dan Sakit yang dikemukakan oleh F. Dunn (Kalangie 1994:42)

Page 123: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012110

yaitu pada dasarnya perilaku yang disengaja atau tidak sengaja membawa akibat yang menguntungkan bagi individu dan sebaliknya dapat berakibat merugikan. Perilaku yang menguntungkan dan merugikan mengenai kesehatan ibu dan anak nantinya akan menjadi potensi (stimulus) dan kendala (hambatan) budaya.

5.1 Perilaku Kesehatan Ibu dan Anak yang Menjadi Potensi (Stimulus)

Sebagian ibu­ibu muda yang sudah menikah namun belum memiliki anak akan mencari bantuan ke penyembuh tradisional (toma’pakuli kuli). Umumnya toma’pakuli kuli akan memeriksa perut ibu dan jika su-dah diketahui keadaan “sakit”­nya maka perut ibu akan diurut. Bagi masyarakat, tommanang atau perempuan yang belum memiliki anak artinya mengalami “sakit” pada bagian rahimnya. Sakit tersebut bisa disebabkan oleh berbagai hal, termasuk diganggu oleh makhluk­makhluk halus. Perilaku mengurut perut ibu merupakan upaya penyembuhan yang dilakukan secara sadar guna mendapatkan keturunan.

Ketika perempuan telah hamil, perilaku menjaga kesehatan janin me ru pakan sesuatu hal yang sangat penting. Mereka akan pergi ke pos­yandu untuk diperiksa perkembangan janin dan sekaligus kesehatan ibunya. Selain itu, pergi “memeriksakan” kandungan dengan bantuan toma’pakeanak merupakan tradisi keluarga yang masih dilakukan hingga saat ini. Bagi ibu, pergi ke posyandu dan ke rumah toma’pakeanak disadari akan menguntungkan bagi kesehatan ibu dan calon anak.

Toma’pakeanak dan toma’pakuli kuli merupakan profesi yang sangat dicari oleh penduduk ketika mereka mengalami gangguan kesehatan, termasuk saat ibu hamil. Pengobatan yang dilakukan toma’pakuli kuli umumnya menggunakan bahan alami (tradisional). Seperti kala ibu hamil mengalami penyakit darah tinggi (hipertensi), salah satu ramuan alam yang digunakan terdiri dari air kelapa muda yang dimasak kemudian disimpan dalam wadah terbuka. Keesokan paginya, setelah minum air putih, air kelapa tersebut diminum, kemudian meminum air hangat, kuning, telur dan gula merah yang diaduk guna menstabilkan tenaga ibu. Ada juga ramuan sederhana lain seperti menggunakan daun so’ (daun seledri) atau daun bandike’ (daun pepaya) atau daun kopi yang direbus kemudian air daun tersebut diminum. Semua pengobatan itu dilakukan oleh ibu secara sadar karena mereka yakin akan mendapatkan kesembuhan. Keyakinan itu terjadi karena telah dibuktikan oleh mereka sendiri dan keluarga mereka sebelumnya.

Page 124: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

111

Selain hipertensi, ibu hamil umumnya menyadari dan mengetahui jika sedang hamil dan saat mengalami sakit, mereka menghindari obat­obatan kimia (medis). Kesadaran dan pengetahuan itu mendorong ibu hamil dan keluarga mencari pengobatan tradisional karena jika menggunakan obat­obatan kimia akan memberikan efek negatif (merugikan) bagi kesehatan ibu dan calon anak yang tengah dikandung.

Meski dalam keadaan hamil, umumnya ibu­ibu yang memiliki profesi petani (di sawah, di kebun kopi atau kakao) tetap akan pergi bekerja. Para suami hanya mengingatkan untuk mengurangi jam kerja agar tidak terlalu lelah. Bahkan hingga usia kehamilan telah tua, ibu­ibu petani tetap bekerja di ladang atau di kebun karena mereka menyadari dengan banyak bergerak akan mempermudah proses kelahiran.

Ada beberapa larangan yang harus dipatuhi oleh ibu hamil. Sebagian besar ibu hamil mematuhi larangan tersebut meskipun tidak mengetahui manfaatnya. Bagi mereka, mematuhi larangan atau aturan nenek moyang pasti akan memberi manfaat dan menghindari diri dari malapetaka. La­rang an­larangan tersebut antara lain, dilarang memakan daging dalam acara­acara ritual kematian. Sebagian ibu hamil tidak sadar/tidak menge­tahui bahwa dengan tidak memakan daging berarti telah melakukan pencegahan penyakit hipertensi yang akan membahayakan ibu hamil. Larangan lainnya adalah ibu hamil tidak diperbolehkan beraktivitas di dekat sungai, khususnya sungai yang besar. Tentu saja larangan ini berguna untuk menghindari bahaya (terpeleset, jatuh, dan diganggu binatang buas air) yang mungkin terjadi saat ibu hamil berada di sungai.

Ketika proses persalinan terjadi dengan bantuan toma’pakeanak atau keluarga, umumnya setelah bayi keluar maka toni atau tali pusar bayi akan dipotong dengan menggunakan billa’ yang telah disiram air panas sebelumnya. Perilaku penggunaan bila yang dilakukan toma’pakeanak atau keluarga ibu merupakan perilaku pencegahan penyakit tetanus pada bayi yang telah mereka sadari dan ketahui. Dengan menyiram atau merebus billa’ menggunakan air panas akan membuat billa’ tersebut bersih (higienis).

Tidak ada ramuan tradisional yang diberikan ibu usai bersalin. Hanya, ada menu makanan khusus yang disediakan oleh mama’ atau ibu dari ibu yang bersalin guna memulihkan tenaga ibu usai bersalin. Masakan tersebut yakni seekor ayam kampung utuh yang direbus dengan akar dan daun pegagan dalam jumlah banyak. Daging ayam, daun, beserta akar pegagan harus dimakan habis oleh ibu. Ibu­ibu menyadari dengan memakan habis

Page 125: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012112

ayam dan daun tersebut akan mengobati fisiknya yang lelah usai bersalin. Jika ayam kampung tidak ada bisa diganti dengan ikan.

Meski sebagian besar ibu ketika bersalin menginginkan ditunggui oleh toma’pakeanak dan keluarga di rumah masing­masing, tetapi setelah bersalin biasanya keluarga (suami) akan pergi memberi tahu tenaga ke­sehatan (bidan) yang dipercaya untuk meminta vitamin dan tablet darah yang diperlukan ibu. Keluarga telah dengan sadar mengetahui bahwa peng obatan medis juga diperlukan oleh ibu usai bersalin guna memulih-kan tenaganya.

Tak lama setelah bayi lahir, keluarga akan segera memberikan sedikit air kopi kepada bayi tersebut. Mereka menyadari bahwa perilaku terse-but dapat mencegah bayi terkena penyakit mata tinggi (stuip). Pun ketika bayi lahir di fasilitas kesehatan, air kopi itu tetap diberikan. Karena jika bayi tidak langsung diberikan, badan bayi akan sering mengalami panas yang tinggi pada malam hari yang akan membuat mata bayi/anak menjadi naik/tinggi.

5.2 Perilaku Kesehatan Ibu dan Anak yang Menjadi Kendala (Ham batan)

Pada umumnya penduduk Desa Makuang belum menyadari kegu­naan berbagai kartu/surat yang berhubungan dengan administrasi kependudukan. Kartu tersebut berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Kelahiran, dan Kartu Keluarga (KK). Mereka tidak mengetahui dan tidak menyadari bahwa karena tidak memiliki kartu tersebut khusus, khususnya KTP dan KK, akan mempersulit ibu hamil dan keluarga saat harus menjalani persalinan di rumah sakit yang dirujuk. Akibatnya, mereka menjadi ragu dan bimbang jika harus pergi ke fasilitas kesehatan karena tidak memiliki dana yang cukup. Padahal jika mereka memiliki kartu­kartu tersebut, semua biaya persalinan akan ditiadakan atau dibebankan ke pemerintah melalui program Jamkesmas dan Jampersal.

Ketidaktahuan kepala keluarga maupun anggota keluarga lainnya akan pentingnya makanan sehat dan bergizi bagi ibu hamil tentu merugikan kesehatan ibu hamil dan calon anak dalam kandungan. Umumnya ibu hamil hanya makan makanan “biasa” yang biasa dimakan jika ibu tidak hamil. Pun jumlah kalori yang dimakan ibu hamil umumnya juga sama, bahkan berkurang dibanding saat ibu tersebut tidak hamil. Selain kendala ketiadaan uang untuk membeli makanan bergizi, keluarga ibu hamil tidak menyadari pentingnya mendahulukan (memprioritaskan) kebutuhan makanan bergizi bagi ibu hamil.

Page 126: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

113

Ibu hamil yang belum menikah (hamil di luar nikah) tidak akan ke luar rumah, termasuk pergi ke posyandu. Sebenarnya ibu hamil tersebut menyadari pentingnya memeriksakan kandungan, namun karena ia me­rasa bersalah dan melanggar peraturan adat karena hamil di luar nikah, membuat dirinya tidak berani melawan aturan adat. Tentu saja, dengan tidak pergi memeriksakan kehamilannya sejak awal, membuat deteksi dini kelainan kehamilan terlewati. Secara psikologis ibu merasa bersalah dan berdosa atas kehamilannya yang belum disyahkan secara negara dan adat. Hal ini menyebabkan gangguan psikologis tersebut menular ke calon anak yang ada dalam kandungan.

Sejak ibu hamil muda, keluarga dan ibu hamil mengharapkan persalinan bisa dilakukan di rumah dibantu keluarga dan atau toma’pakeanak. Ke-luarga tidak menyadari pentingnya antisipasi jika ternyata ibu hamil mengalami keadaan tertentu yang membuat ibu tidak dapat melahirkan secara normal. Pada saat terdapat penyulit dalam persalinan, tentu saja ibu harus dirujuk untuk melahirkan di luar desa/kabupaten. Jika hal tersebut terjadi tentu akan mudah prosesnya jika keluarga sudah menyiapkan berbagai kebutuhan untuk membawa ibu ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap, seperti menyiapkan dana, menyewa/meminjam kendaraan untuk mengangkut ibu dan keluarga, dan tentu saja mempersiapkan berbagai keperluan administrasi agar memperingan biaya yang harus ditanggung. Ketika itu semua tidak dipersiapkan sebelumnya, proses keputusan merujuk dan membawa ibu ke rumah sakit menjadi lama dan terhambat. Akibatnya, berpotensi membahayakan keselamatan ibu dan anak.

Keluarga akan memanggil tenaga kesehatan (bidan) jika ibu sudah kesulitan melahirkan, biasanya sudah melewati satu malam sejak ibu mulai merasa kesakitan. Keluarga tidak menyadari bahwa dengan memanggil bantuan bidan pada saat ibu sudah kelelahan dan tidak berdaya karena berusaha melahirkan sendiri selama satu malam akan berdampak pada keselamatan ibu dan calon anak. Padahal, jika keluarga memanggil bidan (tenaga kesehatan) sejak ibu mulai mengalami kesakitan tentu keadaan kesehatan ibu masih baik (sehat dan kuat) dan kemungkinan untuk menyelamatkan ibu dan bayi menjadi lebih besar dibandingkan jika meminta bantuan saat ibu sudah dalam keadaan kelelahan karena menahan sakit semalaman.

Page 127: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012114

5.3. Perilaku Masayarakat Makuang yang Menjadi Potensi Budaya da-lam Mendukung Pengembangan Program KIA

Dengan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada di Desa Ma­kuang, terdapat nilai­nilai positif yang bisa mendukung berjalannya pro gram kesehatan pada umumnya dan kesehatan ibu dan anak pada khususnya, antara lain:

1. Masih patuhnya warga terhadap peraturan adat setempat dengan catatan penggerak utama adalah tokoh adat dan tokoh desa yang merupakan orang yang dihormati karena memiliki tingkah laku cukup baik di mata masyarakat.

2. Tokoh desa dan tokoh adat memiliki peran sentral dalam me-merintah dan memberi contoh pada inovasi dan program­program yang baru.

3. Solidaritas antarwarga cukup besar di setiap kegiatan kema­syarakatan, sehingga kekuatan ini bisa digunakan dalam bentuk program yang melibatkan kelompok­kelompok guna mencapai tujuan bersama.

4. Toleransi tinggi masyarakata terhadap perbedaan apa pun, termasuk perbedan agama/kepercayaan, pilihan partai politik, dan lain sebagainya.

5. Masih banyaknya perayaan atau upacara adat. Hal ini bisa menjadi media (wadah) program kesehatan ibu dan anak pada masa mendatang.

Page 128: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

115

BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Beberapa simpulan yang dapat kami ambil adalah sebagai berikut.1. Sebagian besar ibu hamil telah memiliki kesadaran yang baik

untuk memeriksakan kehamilannya di posyandu (bidan) meski pemeriksaan oleh toma’pakenak (dukun bayi) juga mereka lakukan. Namun, untuk melahirkan, masih banyak ibu yang memilih melahirkan di rumah dengan berbagai alasan seperti lebih nyaman, lebih mudah, dan lebih murah.

2. Di Desa Makuang (khususnya) dan di Kecamatan Messawa (umum­nya) terdapat banyak toma’ pakuli kuli (penyembuh tradisional) dengan berbagai metode, termasuk penggunaan ramuan herbal (tanaman) yang masih digunakan sebagian besar warga untuk menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk masalah kesehatan pada ibu dan anak.

3. Sakit dibedakan penduduk Makuang dalam tiga tingkatan, yaitu pertama, ketika keadaan tubuh masih bisa beraktivitas mes­ki terkena penyakit “biasa”, yakni influesa dan atau sakit ke­pala, sehingga mereka biasanya “mengobati”­nya dengan isti­rahat (tidur) saja. Kedua, ketika tubuh terkena penyakit yang mengakibatkan mereka tidak bisa beraktivitas, maka pengobatan yang dilakukan adalah meminta bantuan penyembuh tradisional atau tenaga kesehatan terdekat. Ketiga, ketika tubuh terkena penyakit ma’lada atau berat/parah seperti kanker, TBc, dan hepatitis yang tak kunjung sembuh. Biasanya mereka akan mencari pengobatan ke puskesmas atau rumah sakit terdekat.

4. Prinsip hidup atau biasa disebut “Ada’ Tuo, yaitu aturan hidup untuk kehidupan, masih diyakini dan ditaati sebagian besar

Page 129: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012116

penduduk Makuang dalam berbagai aspek kehidupan. Aplikasinya tergambar dalam ketaatan warga mematuhi “hari­hari baik” yang ditentukan para tomatua (orang yang dituakan) di masyarakat dalam hal perkawinan, pembuatan rumah baru, pembelian mobil/motor, dan lain sebagainya.

5. Dalam hal administrasi, sebagian besar penduduk di Desa Ma­kuang belum memiliki surat­surat kelengkapan penduduk, se­perti Kartu Keluarga (KK), akte kelahiran, dan bahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) karena kendala jauh dan sulitnya mengurus su-rat tersebut dari desa ke kabupaten. Hal ini menjadi kendala ad-ministratif penduduk dalam memanfaatkan program pemerintah yang ada, termasuk program kesehatan seperti Jampersal bagi ibu hamil dan bersalin yang kurang mampu secara ekonomi.

6. Kebanyakan sarana jalan di Desa Makuang rusak dan berlubang, bahkan masih banyak jalan setapak di sekitar rumah penduduk. Hal ini menjadi kendala secara geografis bagi keluarga saat harus mengantar ibu hamil untuk bersalin ke fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

7. Minimnya transportasi umum, yakni hanya ada satu pete-pete (angkutan desa) pada hari pasar saja, menjadi hambatan bagi penduduk dalam mobilitas sehari­hari untuk menjangkau pusat perekonomian, pendidikan, maupun kesehatan seperti untuk memperoleh akses ke fasilitas kesehatan (puskesmas atau RSUD) yang ada.

8. Sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian sebagai petani kopi dengan lahan kopi di sekitar bukit dan gunung­gunung. Penduduk hanya sebatas menanam dan memanen dengan masa panen setahun sekali. Setelah dipetik, buah kopi dibersihkan dari kulit kemudian dijemur hingga kering,lalu biji kopi dijual ke pasar. Hanya ada satu atau dua orang warga yang memiliki mesin penggilingan kopi yang bisa menggiling biji kopi menjadi bubuk kopi yang siap untuk dikonsumsi.

6.2. Saran

Berdasarkan observasi yang kami lakukan di lapangan, kami menyampaikan saran-saran berikut ini.

1. Menguatkan program kemitraan antara bidan dan tomma’pa-keanak (dukun bayi) yang saling menguntungkan dan egaliter.

Page 130: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

117

2. Melibatkan tokoh masayarakat dan tokoh adat dalam memberi pemahaman akan pentingnya persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan bersama toma’pakeanak terlatih.

3. Perlunya para tenaga kesehatan, khususnya bidan desa, mem­pelajari karakter dan budaya masyarakat, jika perlu melakukan tradisi­tradisi yang dilakukan toma’pakeanak dalam menolong persalinan guna menambah kepercayaan (sugesti) ibu saat dibantu persalinannya.

4. Mengkaji lebih lanjut program kesehatan, khususnya perawatan kehamilan dan pertolongan persalinan, yang diinginkan war­ga setempat sesuai dengan kebudayaan dan adat istiadat se­tempat.

5. Membangun sarana dan prasarana di desa dan sekitarnya guna menguatkan penggunaan pelayanan kesehatan yang ada, ter­masuk pembangunan gedung posyandu, jalan, sarana pendi­dikan dan ekonomi yang mandiri bagi warga desa.

Page 131: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012118

Page 132: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

119

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2007. Survey Demografi Kesehatan Indonesia. Ja­karta.

Departemen Kesehatan RI. 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.Emzir. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif - Analisis Data. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada. Demmaroa’. 2011. Dasar Adat Istiadat dan Pengembangannya di Kabu-

paten Mamasa, Lembaga Pelestarian Budaya dan Lingkungan Hidup Indonesia­Mamasa ( LPBLH­IM), Mamasa Sulawesi Barat.

Grimes E. Charles & Grimes D. Barbara. 1985. “Bahasa-bahasa Daerah di Sulawesi Selatan: Ringkasan Suatu Studi Leksiko­Statistik” dalam Lontarak, Majalah Universitas Hasanuddin No.28 Tahun XXIV­1985.

Mandadung, A. 2005. Keunikan Budaya Pitu Ulunna Salu Kondosapata Mamasa.

Mutalib, A. 1986. Translate Lontar Mandar Balanipa. Makassar: Depar-temen Pendidikan dan Kebudayaan.

Palenkahu R.A, et al. 1974. Peta Bahasa Sulawesi Selatan.Usmar, A. 1987. Struktur Bahasa Mamasa. Ujung pandang: Balai Penelitian

Bahasa.Dinas Kesehatan Kabupaten Mamasa. 2010. Profil Dinas Kesehatan

Kabupaten Mamasa Tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat.

Badan Pusat Statistik. 2011. Mamasa dalam Angka Tahun 2011.Pemerintah Daerah Kecamatan Messawa. 2011. Profil Kecamatan Messawa

Tahun 2011, Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat.Kalangi, Nico S. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pela-

yanan Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosio-Budaya. Ja­karta: Kesaint Blanc.

Page 133: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012120

Page 134: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

121

DAFTAR ISTILAH

A

Ada’ Tuo = Ada’ = aturan, Tuo = hidup, Ada’ Tuo berarti aturan hidup untuk kehidupan. Ada’ Tuo merupakan dasar adat istiadat di Kabupaten Mamasa dengan ungkapan Tuo Tammate mapia tangkadake , Siriwa Ada’ Tuo Ditampa Bulawan Dikondo Tedong. Yang berarti, persoalan betapa pun sulitnya selalu dapat diselesaikan dengan baik tanpa mengorbankan jiwa manusia.

Air tetek mama’ air susu ibu (ASI) Alang lumbung Aluk Todolo Aluk = kepercayaan, Todolo = Pendahulu. Aluk Todolo adalah

kepercayaan leluhur yang diwariskan pendahulu. Kepercayan Aluk Todolo ini masih dianut oleh sebagian masyarakat Kecamatan Sumarorong dan Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa. Aluk Todolo ini kemudian berafiliasi ke dalam agama Hindu dharma untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah RI.

Ambe’ Panggilan yang ditujukan kepada kaum pria yang telah memiliki anak atau orang yang sudah dianggap tua (berdasarkan usia).

Ao’ bambu

B

Ba’ba pintuBai babiBale ikanBale-bale ikan terbangBale bolu ikan bandengBanua rumah,

Dalam jenis dan tingkatan, rumah adat dan rumah tradisional Mamasa dibedakan menjadi:

Page 135: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012122

Banua Layuk = Rumah besar dan tinggi, lengkap dengan ukiran. Rumah ini milik pemangku hadat atau pemimpin dalam masyarakat. Kata banua berarti rumah dan layuk berarti tinggi, sehingga banua layuk berarti rumah tinggi, baik bentuknya maupun status penghuninya yang merupakan bangsawan atau penguasa. Rumah ini memiliki empat sampai lima kamar utama, kadang­kadang ada ruangan santai di depan rumah, dan dilengkapi dengan sejulah lumbung padi (alang pare) yang berada di depan dan di samping rumah. Khusus rumah semacam ini, ada pula kamar rahasia (tambing buni) yang hanya dihuni oleh suami istri dan anak yang masih kecil dari penguasa hadat dan juga sering digunakan untuk melakukan pembicaraan rahasia empat mata kedua pemimpin yang sedang berunding.

Banua Sura’ adalah rumah Mamasa yang dilengkapi dengan ukiran, tetapi tidak setinggi banua layuk. Kata sura’ berarti ukir. Rumah ini dihuni oleh bangsawan, baik pemimpin atau penguasa hadat maupun bangsawan tinggi lainnya dan memiliki empat kamar atau lebih, dilengkapi dengan ruang santai di depan rumah serta memiliki lumbung padi.

Banua Bolong adalah rumah Mamasa berwarna hitam. Kata bolong berarti hitam. Rumah ini dihuni oleh orang kaya dan pemberani dalam masyarakat. Rumah ini memiliki empat kamar atau lebih, terdapat serambi depan rumah dan dilengkapi lumbung padi.

Banua Rapa’ adalah rumah Mamasa dengan warna asli (tidak diukir dan dihitamkan), dimiliki oleh masyarakat biasa, sering dilengkapi dengan penyimpan padi yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk bulat (talukun).

Banua Longkarrin adalah rumah Mamasa yang bagian tiang paling bawahnya bersentuhan dengan tanah dengan dialasi kayu (longkarrin). Rumah ini juga dihuni oleh masyarakat biasa.

Barra’ berasBilla terbuat dari bambu yang sangat tipis menyerupai pisau yang biasa

digunakan untuk memotong atau mengiris. Alat ini juga sering digunakan oleh para dukun bayi untuk memotong tali pusar bayi.

Boulu daun sirihBubungan bagian atas atap rumah yang menjulang tinggi. Buku la’pa bagian daging paha kerbau atau babi yang memperlihatkan

tulang tertentu. Bagian ini merupakan simbol penghargaan kepada

Page 136: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

123

orang­orang yang ditokohkan atau dituakan dalam masyarakat Makuang seperti tomakaka atau Kepala Desa.

D

Daun bandike’ daun pepayaDaun bere-bere daun dadap, biasa digunakan sebagai alas makan peng­

ganti piring dalam upacara manuk’ appa’ (tradisi Aluk Todolo). Se telah upacara selesai, daun tersebut digantung di depan pintu luar pemeluk ajaran ini. Daun yang telah diikat dibiarkan ter­gantung hingga mengering dan akan tergantikan ketika perayaan manuk’appa’ berikutnya.

Daun putti daun pisangDaun do’ daun seledriDiallun merupakan upacara kedukaan atau kematian yang memiliki

tingkatan paling tinggi dari semua upacara kedukaan menurut adat Mamasa. Biasanya mayat disimpan di atas rumah dalam waktu yang cukup lama, kadang sampai setahun atau lebih, sebelum dipestakan. Dalam perayaan ini puluhan hingga ratusan babi dan kerbau dipotong dan hanya golongan orang­orang bangsawan saja yang melakukan perayaan ini.

Diburrung salah satu metode penyembuhan yang sering dilakukan oleh penyembuh tradisional dengan cara meniup­niup bagian tubuh si pasien yang sakit sambil membaca mantra.

Didappi’ dijampi atau dibacakan mantra.Dimasak tiga metode memasak dengan hanya menggunakan air, garam,

dan vetsin (penyedap rasa)Dipatadongkon salah satu prosesi dalam acara kematian masyarakat

Mamasa, yaitu mayat didudukkan di atas sebuah kursi dan dirias sedemikian rupa dengan menggunakan pakaian adat Mamasa. Hal ini menandakan bahwa si mayat tersebut berasal dari keluarga yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat (golongan bangsawan). Biasanya harus ada kerbau yang dikorbankan dalam acara tersebut.

Ditunu dibakar

G

GTM singkatan dari Gereja Toraja Mamasa yang merupakan induk Gereja­gereja Kristen Protestan yang ada di Mamasa dan bernaung dibawah PGI (Persekutuan Gereja­gereja di Indonesia).

Page 137: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012124

I

Indo’ panggilan yang ditujukan kepada kaum perempuan yang telah m emi­liki anak. atau orang yang sudah dianggap tua (berdasarkan usia).

K

Kada Barata istilah bahasa tinggi dalam bahasa Mamasa. Biasanya hanya orang­orang tertentu yang bisa melafalkan bahasa ini, seperti tokoh­tokoh adat atau orang­orang yang dituakan dalam kampung.

Kadinge’ kayu manisKalosi buah pinangKambaroan penyakit yang dipercaya disebabkan pengaruh roh­roh jahat,

biasanya kondisi suhu badan seseorang sangat tinggi serta berbicara atau berteriak­teriak dalam keadaan tidak sadar.

Karamokan kondisi yang diakibatkan oleh pengaruh roh­roh jahat, misalkan wanita yang tidak dapat hamil salah satu penyebabnya adalah adanya gangguan setan/roh jahat.

Kelean sejenis kudis atau penyakit kulit yang dipercaya muncul setiap 30 tahun disebabkan oleh kondisi alam.

Kaokao kapasKamiri kemiriKapu’ kapur (kapur sirih)Kombengan sakit jiwa/gilaKolikan bayi yang sangat kurus.Kuli’Lasse’ kulit langsatKurin belanga

L

Laiyah jaheLan Tokkonan Tallu rapat atau pertemuan hadat. Lure ikan teri

M

Ma’doya menyanyi lagu dalam acara kematian. Madoko’ kurusMala’da’ sakit parah atau kondisi sakit yang sudah sangat parah. Mala’pa bulu­bulu halus yang dapat mengakibatkan rasa gatal, biasanya

terdapat pada daun labu dan pohon bambu.Maloppo bertubuh gemuk

Page 138: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

125

Mama’ Sapaan yang diberikan kepada orang tua perempuan. Istilah Mama’ sendiri memiliki pengertian yang sama dengan indo’. Sa-paan ini merupakan pengaruh bahasa Indonesia.

Mangngatta merupakan sebuah upacara/ritual dalam kepercayaan Aluk Todolo pada saat mereka mendapatkan keturunan dengan tujuan supaya anak tersebut berumur panjang serta terhindar dari gang-guan penyakit cacar.

Manuk a’pa’ merupakan sebuah upacara/ritual yang dijalankan oleh pengikut kepercayaan Aluk Todolo setiap dua kali setahun untuk menghindarkan mereka dari gangguan penyakit.

Ma’pateka’ pangangan Merupakan tahapan yang kedua setelah pihak perempuan menerima lamaran dari pihak laki-laki. Dalam acara ini diadakan pembicaraan mengenai rancangan perkawinan yang diinginkan sesuai dengan kemampuan kedua belah pihak. Acara ini biasanya dihadiri hanya oleh keluarga dekat masing­masing pihak, karena di sinilah akan dibicarakan segala sesuatu untuk kelancaran proses pernikahan nantinya.

Massarak tradisi masyarakat Mamasa untuk menyambut mempelai wanita dan keluarganya di rumah mempelai pria setelah mereka selesai melaksanakan prosesi pernikahan.

Mata Tinggi stuip pada bayi.Mekutana tahapan awal yang dilakukan saat seseorang akan melangsung-

kan pernikahan. Dalam prosesi ini ibu dari laki­laki akan berkunjung ke rumah sang perempuan dan menemui keluarganya sembari me-nyampaikan niat anak laki­lakinya yang ingin menikahi si perem-puan tersebut. Sebelumnya, ibu dari laki-laki tersebut melakukan penjajakan apakah memang belum ada orang lain yang melamar perempuan tersebut. Kalau memang belum, maka maksud dan tujuan dilanjutkan. Jika ternyata sudah, maka si ibu tersebut akan bercerita biasa-biasa saja.

Memala’ acara ritual yang dijalankan oleh pengikut kepercayaan Aluk Todolo seperti memohon sesuatu atau mengucapkan rasa syukur kepada para dewa yang mereka sembah.

Membalipuang menyatu dengan Sang Pencipta, merupakan istilah untuk orang yang sudah meninggal.

N

Nenek panggilan yang diberikan kepada orang yang sudah lansia baik itu pria maupun wanita atau bagi mereka yang sudah memiliki cucu.

Page 139: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012126

P

Pamuttu wajan, penggorenganPanini bangle, selain dimanfatkan sebagai bumbu dapur, bangle juga

dipercaya dapat mengusir roh­roh jahat.Papa’ sapaan yang diberikan kepada orang tua laki­laki. Istilah Papa’

memiliki pengertian yang sama dengan ambe’. Sapaan ini meru-pakan pengaruh bahasa Indonesia.

Parengge’ gelar para pemimpin distrik pada zaman kolonial Belanda dan parengge’ juga merupakan pemangku hadat. Parengge’ memiliki pengertian sebagai pemerintah atau penguasa dalam wilayah ke­hadat-an.

Passo’bok gelar yang diberikan kepada tokoh adat dalam wilayah hadat Makuang yang tugasnya memberikan komando/memimpin ritual pada saat akan bercocok tanam (menanam padi).

Pemali lima randanna lima pokok aturan dilarang. Kelima aturan ini antara lain pa’bannetauan (perkawinan), pa’totiboyongan (pertanian), pandanan lettong (perumahan), pattuansanda (syukuran), dan rambu solo (kematian). Dulu aturan adat (ada’) dan kepercayaan (aluk) sangat sukar dipisahkan dan menjadi satu kesatuan dalam hidup bermasyarakat, karena itu lazim dikenal dengan sebutan pemali lima randanna (lima pokok aturan dilarang) sebelum ma­syarakat mengenal agama. Dan setelah mengenal agama (Kristen dan Islam), maka dasar adat istiadat adalah lima randanna (empat pokok dasar adat istiadat) sementara aluk/pemali diadopsi agama melalui kitab suci masing­masing.

Pete’-pete’ mobil mikroletPiccin vetsin (penyedap rasa)

R

Ra’busan kondisi sakit ketika penderita mengalami ketakutan yang amat tinggi baik saat melihat orang lain maupun mendengar suara yang keras.

Rambu Solo secara harfiah kata rambu berarti asap yang kemudian melahirkan makna sebagai sebuah pesta/upacara, sedangkan ka­ta solo berarti menurun, melahirkan makna sebagai sebuah pelak­sanaan yang tidak dapat ditunda, dalam hal ini “kematian” sehingga kata rambu solo memberikan pengertian tentang pesta/upacara

Page 140: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Etnik MaMasa DEsa Makuang

Kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Barat

127

kematian (dukacita). Rambu solo ditandai dengan kostum hitam (warna gelap) dan sifatnya bertolak belakang dengan rambu tuka sehingga jika ada rambu solo, rambu tuka dapat diundur/ditunda pelaksanaannya.

Rambu Tuka secara harafiah, kata rambu berarti asap yang kemudian melahirkan makna sebagai sebuah pesta/upacara, sedangkan kata tuka berarti naik, sehingga rambu tuka memberikan pengertian tentang pesta/upacara sukacita yang dilakukan pada saat matahari mulai terbit dan sifatnya direncanakan sebelumnya dan dapat ditunda pelaksanaannya bila memungkinkan, seperti perayaan pernikahan dan syukuran.

S

Sarampa penyakit cacar

T

Tana’ bassi merupakantingkat kelas sosial (kasta) untuk golongan orang­orang kaya yang dahulu pernah berlaku dalam masyarakat Mamasa.

Tana’ bulawan merupakan tingkat kelas sosial (kasta) untuk golongan orang­orang bangsawan.

Tana’ karurung merupakan tingkat kelas sosial (kasta) untuk golongan masyarakat biasa (tidak menyuruh dan tidah disuruh/diperbudak).

Tana’ kokoa merupakan tingkat kelas sosial (kasta) untuk golongan budak atau hamba.

Tebesean penyakit TBCTemban ikan ikan asinTilea’ sejenis penyakit dalam pada anak-anak berusia 2-3 bulan.Tokeba’tang hamilToma’pakeanak sebutan untuk dukun bayi.Toma’pakuli kuli sebutan untuk para penyembuh tradisional.Tomakaka gelar bagi pemangku hadat Makuang.Tomammang gelar yang diberikan kepada para pemimpin ritual (semacam

imam atau pendeta) dalam kepercayaan Aluk Todolo.Tongkonan rumah adat TorajaToni tali pusar bayi/plasenta bayiTotamanang sebutan bagi keluarga yang tidak memiliki keturunan.

Page 141: Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Mamasa, Desa Makuang, Kecamatan Messawa, Kabupaten Mamasa,Provinsi Sulawesi Barat

Buku sEri Etnografi kEsEhatan Ibu dan Anak 2012128