buku panduan praktikum00

152
Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. TUJUAN a. Mengetahui definisi geologi struktur, struktur primer, struktur sekunder. b. Mengetahui gambaran tiga dimensi dari struktur bidang dan struktur garis ( metode proyeksi orthogonal ). 1.2. DEFINISI Geologi Struktur : Adalah suatu ilmu yang mempelajari perihal bentuk arsitektur, struktur kerak bumi beserta gejala-gejala geologi yang menyebabkan terjadinya perubahan – perubahan bentuk (deformasi) pada batuan. Geologi struktur pada intinya mempelajari struktur batuan (struktur geologi), yaitu struktur primer dan struktur sekunder. (Bagian terbesar, terutama mempelajari struktur sekunder ini). Struktur geologi dipelajari dan dianalisis dengan tiga cara, yaitu : 1. Secara Deskriptif Mempelajari struktur geologi dengan mengamati, mengukur unsur-unsur geometri (struktur bidang dan struktur garis) di lapangan, dan menyajikannya dalam peta, penampang, diagram dan analisis statistik. 2. Secara Kinematik Meliputi pergerakan atau pergeseran dari struktur tersebut (analisis), identifikasi dan klasifikasi (penamaan). 3. Secara Genetik Meliputi pemahaman serta penjabaran mengenai pembentukan struktur geologi yang berkaitan dengan pola tegasan pembentuknya. Struktur Primer : Adalah struktur batuan yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan batuan. Contoh :

Upload: budi-pratama

Post on 06-Dec-2015

107 views

Category:

Documents


32 download

DESCRIPTION

jnjn

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. TUJUAN a. Mengetahui definisi geologi struktur, struktur primer, struktur sekunder. b. Mengetahui gambaran tiga dimensi dari struktur bidang dan struktur garis

( metode proyeksi orthogonal ).

1.2. DEFINISI Geologi Struktur :

Adalah suatu ilmu yang mempelajari perihal bentuk arsitektur, struktur kerak bumi beserta gejala-gejala geologi yang menyebabkan terjadinya perubahan – perubahan bentuk (deformasi) pada batuan. Geologi struktur pada intinya mempelajari struktur batuan (struktur geologi), yaitu struktur primer dan struktur sekunder. (Bagian terbesar, terutama mempelajari struktur sekunder ini). Struktur geologi dipelajari dan dianalisis dengan tiga cara, yaitu : 1. Secara Deskriptif

Mempelajari struktur geologi dengan mengamati, mengukur unsur-unsur geometri (struktur bidang dan struktur garis) di lapangan, dan menyajikannya dalam peta, penampang, diagram dan analisis statistik.

2. Secara Kinematik Meliputi pergerakan atau pergeseran dari struktur tersebut (analisis), identifikasi dan klasifikasi (penamaan).

3. Secara Genetik Meliputi pemahaman serta penjabaran mengenai pembentukan struktur

geologi yang berkaitan dengan pola tegasan pembentuknya. Struktur Primer :

Adalah struktur batuan yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan batuan. Contoh :

Page 2: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 2

- Pada batuan sedimen: Pada batuan sedimen struktur primer identik dengan struktur sedimen. Perlapisan /laminasi sejajar perlapisan/laminasi silangsiur

(cross bedding), perlapisan bersusun (graded bedding). Secara umum merupakan struktur sedimen.(Gambar 1.1 , 1.2 & 1.3).

- Pada batuan beku : Kekar kolom (columnar joint), kekar melembar (sheeting joint), vesikuler

(Gambar 1.4, 1.5). - Pada batuan metamorf: Foliasi (Gambar 1.6).

Gambar 1.1 Struktur sedimen laminasi sejajar

Gambar 1.2 Struktur sedimen silangsiur (cross bedding)

Gambar 1.4 Kekar kolom vertikal (columnar joint) pada batuan beku basalt, perhatikan

bentuk poligonal pada penampang atasnya.

Gambar 1.3 Struktur sedimen perlapisan bersusun (graded bedding)

Page 3: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 3

Struktur Sekunder: Adalah struktur batuan yang terbentuk setelah proses pembentukan batuan yang diakibatkan oleh deformasi tektonik. Contoh: kekar, sesar, lipatan (Gambar 1.7., 1.8, 1.9).

Gambar 1.7 Struktur Kekar

Gambar 1.8 Struktur sesar turun (sesar normal)

Gambar 1.5 Struktur kekar melembar pada batuan beku

(sheeting joint)

Gambar 1.6 Struktur foliasi pada batuan metamorf

(Slate)

Page 4: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 4

1.3 Membuat model tiga dimensi dari struktur bidang berdasarkan metode proyeksi orthogonal . 1.3.1 Alat dan bahan

1. Busur derajat 2. Jangka 3. Plastik mika 4. Penggaris 5. Pensil warna 6. Alat tulis.

1.3.2 Prosedur pembuatan model tiga dimensi (maket ). Membuat model tiga dimensi (maket), dengan data sebagai berikut :

a. Ketinggian 225-480 m merupakan lapisan batupasir

b. Ketinggian 115-225 m merupakan lapisan batulempung

c. Ketinggian 0-115m merupakan lapisan batugamping

d. Dan lapisan paling muda yaitu breksi Semua lapisan dalam keadaan normal dengan skala 1 : 10000

Gambar 1.9 Struktur lipatan antiklin dan

sinklin

Page 5: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 5

Gambar 1.10. Pola maket

Page 6: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 6

Langkah kerja:

1. Mebuat balok dengan bahan kertas karton dengan ukuran panjang 12 cm, lebar 8 cm, tinggi 10 cm

2. Membuat orientasi arah utara pada sisi balok bagian atas 3. Menngeplotkan data yang ada, di sisi depan balok 4. Menghubungkan garis di sisi depan balok yang telah diplotkan ke ssisi

samping dan belakan balok sebagai bidang perlapisan dari litologi yang ada 5. Memberi simbol litologi dan warna litologi pada maket.

Gambar 1.11 Hasil maket

Page 7: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 7

BAB 2

STRUKTUR BIDANG 2.1. TUJUAN

a. Mengetahui definisi struktur bidang b. Menggambarkan geometri struktur bidang ke dalam proyeksi dua dimensi

(secara grafis). c. Menentukan kedudukan bidang dari dua atau lebih kemiringan semu. d. Menentukan kedudukan bidang berdasarkan “problem tiga titik” ( three

point problem ). e. Melakukan ploting simbol-simbol geologi dengan geometri bidang pada

peta.

2.2. DEFINISI Struktur bidang adalah struktur batuan yang membentuk geometri bidang.

Kedudukan awal struktur bidang (bidang perlapisan) pada umumnya membentuk kedudukan horizontal. Kedudukan ini dapat berubah menjadi miring jika mengalami deformasi atau pada kondisi tertentu, misalnya pada tepi cekungan atau pada lereng gunung api, kedudukan miringnya disebut initial dip. Di samping struktur perlapisan, struktur geologi lainnya yang membentuk struktur bidang adalah: bidang kekar, bidang sesar, bidang belahan, bidang foliasi dll.

Page 8: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 8

Istilah-istilah struktur bidang (Gambar 2.1): - Jurus (strike) : arah garis horisontal yang dibentuk oleh perpotongan

antara bidang yang bersangkutan dengan bidang bantu horisontal, dimana besarnya jurus / strike diukur dari arah utara.

- Kemiringan (dip) : besarnya sudut kemiringan terbesar yang dibentuk oleh bidang miring yang bersangkutan dengan bidang horisontal dan diukur tegak lurus terhadap jurus / strike.

- Kemiringan semu : sudut kemiringan suatu bidang yang bersangkutan (apparent dip) dengan bidang horisontal dan pengukuran dengan arah

tidak tegak lurus jurus / strike. - Arah kemiringan : arah tegak lurus jurus yang sesuai dengan arah (dip direction) miringnya bidang yang bersangkutan dan diukur dari arah

utara. 2.3 CARA PENGUKURAN STRUKTUR BIDANG Pengukuran struktur bidang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

a. Pengukuran jurus dan kemiringan strike / dip b. Pengukuran “kemiringan dan arah kemiringan” (dip,dip direction)

a. Pengukuran jurus dan kemiringan strike / dip (Gambar 2.1, 2.2, & 2.3) Pengukuran strike dilakukan dengan menempelkan sisi “E” kompas pada

bidang yang diukur dalam posisi kompas horizontal (gelembung berada pada pusat lingkaran nivo mata sapi). Angka azimuth yang ditunjuk oleh jarum “N” merupakan arah strike yang diukur (jangan lupa menandai garis strike yang akan dipakai untuk pengukuran dip). Misal hasil dari pembacaan N 185o E.

Pengukuran dip dilakukan dengan menempelkan sisi “W” kompas pada bidang yang diukur dalam posisi kompas tegak lurus garis strike (posisi nivo tabung berada di atas). Putar klinometer sampai gelembung berada pada pusat nivo tabung. Pembacaan besarnya dip yang diukur lihat gambar di bawah ini. Misal hasil dari pembacaan dip adalah 50o.

Page 9: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 9

Gambar 2.1 Pengukuran kedudukan struktur bidang

Gambar 2.2 Cara pembacaan derajat dip

Gambar 2.3 Kenampakan Struktur Bidang Di Lapangan

Page 10: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 10

B

D

C

L

K

OA

b. Cara pengukuran “kemiringan dan arah kemiringan” (dip,dip direction) (Gambar 2.4)

Pengukuran arah kemiringan dilakukan dengan menempelkan sisi “S” kompas pada bidang yang diukur dalam posisi kompas horizontal (gelembung berada pada pusat lingkaran nivo mata sapi). Angka azimuth yang ditunjuk oleh jarum “N” merupakan arah kemiringan yang diukur. Misal hasil dari pembacaan adalah N 275o E.

Pengukuran dip dilakukan dengan cara sama seperti pada gambar di atas. Maka notasi kedudukan bidang yang diukur adalah 60o, N 275o E.

Strike

Gambar 2.4 A – B : Jurus (strike) bidang ABCD diukur terhadap arah utara α : Kemiringan (dip) bidang ABCD diukur tegak lurus AB β : Kemiringan semu (apparent dip) A– O : Arah kemiringan (dip direction)

Page 11: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 11

2.4. APLIKASI METODA GRAFIS UNTUK STRUKTUR BIDANG

Di alam kadang-kadang kemiringan sebenarnya (true dip) sulit didapatkan, terutama pada kondisi bawah permukaan dimana data kemiringan hanya diperoleh dari data pemboran. Sehingga untuk mengetahui kedudukan sebenarnya digunakan metode grafis.

2.4.1. Alat Dan Bahan

a. Alat tulis lengkap. b. Jangka, penggaris, busur derajat. c. Peta topografi

2.4.2. Aplikasi metode grafis yang akan diterapkan pada praktikum ini meliputi:

a. Menentukan Kemiringan Semu. b. Menentukan Kedudukan Bidang dari Dua Kemiringan Semu pada

Ketinggian yang sama. c. Menentukan Kedudukan Bidang dari Dua Kemiringan Semu pada

Ketinggian yang berbeda. d. Menentukan Kedudukan Bidang Berdasarkan Problem Tiga Titik (Three

Point Problems). e. Melakukan ploting simbol struktur bidang pada peta topografi.Di bawah

ini diberikan petunjuk penyelesaian kasus A – E.

Page 12: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 12

A. Menentukan Kemiringan Semu (Apparent Dip).

Suatu bidang ABCD dengan kedudukan N X°E / α°. Berapakah kemiringan semu yang diukur pada arah N Y° E ? Penyelesaian secara grafis : (Gambar 2.5)

1. Membuat proyeksi horizontal bidang ABCD pada kedalaman “d” yaitu dengan membuat jurus yang selisih tingginya “h” dengan besar dip α°.

2. Menggambarkan proyeksi horizontal garis arah N Y° E sehingga memotong jurus yang lebih rendah di titik L ( garis AL ).

3. Membuat garis sepanjang d melalui L dan tegak lurus terhadap garis AL (garis AK).

4. Menghubungkan A dan K, maka sudut KAL adalah kemiringan semunya.

Gambar 2.5

Menentukan kemiringan semu dengan grafis

A

C

B

D

K

L

N x° E

d

A

B

DK

L

d

N x

° E

N y° E

d(a) (b)

N

d

d

Page 13: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 13

B. Menentukan Kedudukan Bidang dari Dua Kemiringan Semu pada Ketinggian yang Sama

Pada bidang ABEF di lokasi O, terukur dua kemiringan semu pada titik C dan D (ketinggian sama) masing -masing sebesar α1° pada arah N X° E dan α2° pada arah N Y° E. Berapakah kedudukan bidang ABEF sebenarnya (true dip) ? Penyelesaian secara grafis: (Gambar 2.6) 1. Menggambarkan rebahan masing-masing kemiringan semu sesuai dengan

arahnya dari lokasi O (pada kedalaman d). 2. Menghubungkan titik D dengan C, maka CD merupakan proyeksi horizontal

strike bidang ABEF. 3. Melalui O membuat garis OL tegak lurus CD. 4. Dari L diukur sepanjang d sehingga didapatkan titik K maka sudut KOL (β1)

adalah true dip dari bidang ABEF. 5. Kedudukan bidang ABEF adalah N Z° E / β1°

(a)

A

O

B

F

C

K

E

D

L

d

?

d

N x° E

N y° E

(b)

N

d

d

d

O

F

d

d

C

d

K

L

d

dE

D

Gambar 2.6

Menentukan kedudukan bidang dari dua kemiringan semu pada ketinggian yang sama.

Page 14: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 14

C. Menentukan Kedudukan Bidang dari Dua Kemiringan Semu pada Ketinggian yang Berbeda

Pada bidang ABEF di lokasi O (ketinggian 400 m) terukur kemiringan semu αl° pada arah N Y° E, sedangkan pada lokasi P (ketinggian 300 m) terukur kemiringan semu α2° pada arah N X°E. Letak lokasi P terhadap O sudah diketahui. Berapakah kedudukan bidang ABEF sebenarnya (true dip)? Penyelesaian secara grafis: (Gambar 2.7) Langkah kerja : 1. Menggambarkan rebahan kemiringan semu di O dan P sesuai arah dan

besarnya. 2. Gambarkan lokasi ketinggian 300 m pada jalur O yaitu lokasi Q. 3. Membuat garis tegak lurus OQ sepanjang d (QR), dan sepanjang 2d (ST). 4. Menggambarkan lokasi ketinggian 200 m pada jalur O yaitu lokasi P. 5. Membuat garis tegak lurus OP sepanjang d sehingga didapat UV. 6. Hubungkan titik Q dan P. Garis ini merupakan strike bidang sebenarnya pada

ketinggian 300 m. 7. Hubungkan titik Q dan S yang merupakan kesejajaran garis QP. Garis ini

merupakan strike bidang sebenarnya pada ketinggian 200 m. 8. Buat garis sejajar QP melalui titik O. Garis ini merupakan strike pada

ketinggian 400 m. 9. Buat garis tegak lurus O sehingga didapat garis OW. 10. Buat garis sepanjang d pada garis strike 200 dan sepanjang 2d pada garis

strike 300 (WX). 11. Hubungkan titik O dan X. Sudut WOX merupakan nilai dip sebenarnya.

Page 15: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 15

P

(a)

N

400

R

Q

d

2d200

O

V

U

d

300

T

(c) Gambar 2.7

Tahapan menentukan kedudukan bidang dari dua kemiringan semu pada ketinggian berbeda. (a) penggambaran dua kemiringan

semu, (b) pembukaan kontur struktur, (c) penggambaran 3D soal

(b)

N

S

300P

O

400 300 200

Q

2d

2d

T

R

d

dW

X

U

V

d

SR

Q

d

d

P

SR

Q

PO

B

U

T

W

X

S400A

300

200

d

V

R

Q

d

d

dP

Page 16: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 16

D. Menentukan Kedudukan Bidang Berdasarkan Problem Tiga Titik (Three Point Problems)

Maksudnya menentukan kedudukan bidang dari tiga titik yang diketahui posisi dan ketinggiannya. Diketahui tiga titik, masing-masing : A ketinggian 200 m, B ketinggian 150 m, dan C ketinggian 100 m. Ketiga titik tersebut terletak pada bidang PQRS, menentukan bidang PQRS. Penyelesaian sceara grafis: (Gambar 2.8) 1. Menggambarkan kedudukan ketiga titik tersebut sesuai data kemudian

menghubungkan antara lokasi tertinggi (A) dengan lokasi terendah. (C). 2. Antara A dan C, bagilah menjadi dua bagian dengan pertolongan garis 1,

sehingga CE = EA 3. Berarti ketinggian E adalah 150 m, maka garis BE merupakan jurus

ketinggian 150 m dari bidang PQRS. 4. Melalui A dan C dapat dibuat jurus 200 m dan 100 m yang sejajar dengan garis

BE. 5. Menentukan kemiringannya dengan menggunakan selisih ketinggian jurus. 6. Kedudukan bidang PQRS adalah N X°E / α°

C

B

A

E

CI

BI

AI

BI I

d

d

d c

200

150

100

100

A

BI

B

d

d

CI

P Q

SR

200

150

100

C

Gambar 2.8 Menentukan kedudukan berdasarkan tiga titik.

Page 17: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 17

300 300

300

A

450A

2.5. CARA PENULISAN SIMBOL STRUKTUR BIDANG 2.5.1. Struktur Bidang Penulisan (notasi) struktur bidang dinyatakan dengan dua cara, yaitu: A. Jurus (strike) / Kemiringan (dip) B. Besar Kemiringan (dip), Arah Kemiringan (dip direction)

A. Jurus (strike) / Kemiringan (dip) Penulisan struktur bidang dengan cara ini dapat dilakukan berdasarkan sistem azimuth dan sistem kuadran. Sistem Azimuth: (Gambar 2.9)

N X ° E / Y° X : jurus / strike, besarnya 0° - 360° Y : kemiringan / dip, besarnya 0°- 90° Contoh : N 0° E / 30° (notasi ini menunjukkan struktur bidang yang diukur

miring ke arah timur) NO AZIMUTH KWADRAN

NOTASI GAMBAR NOTASI GAMBAR 1

N 1450 E/ 300

S0350E/ 300 SW

atau N0350 W/ 300 SW

2

300, N0450 E

450, N0900E

atau 450,

S0900E

(Gambar 2.9)Penggambaran simbol struktur bidang (A) dengan kemiringan ke arah Barat Daya / SW dan simbol (B) dengan bearing ke arah Timur Laut/ NE dan

penunjaman 300

Page 18: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 18

Sistem Kuadran : (Gambar 2.9)

( N / S) A° ( E / W) / B°C dimana : A : strike, besarnya 0° - 360° B : dip, besarnya 0° - 90° C : dip direction, menunjukkan arah kemiringan (dip) Contoh: N 35° W / 30° SW atau S 35° E / 30° SW. (dalam sistem Azimuth:

N 145° E / 30°) 2.6 PENGGAMBARAN SIMBOL STRUKTUR BIDANG DI PETA (Gambar 2.10) 1). Memplot garis jurus, tepat sesuai arah pengukuran pembacaan kompas di titik

lokasi dimana struktur bidang tersebut diukur. 2). Membuat tanda kemiringan (dip) digambarkan pada tengahnya dan tegak

lurus, searah jarum jam, dimana panjang tanda kemiringan (dip) sepertiga panjang garis jurus.

3). Tulis besar kemiringan pada ujung tanda kemiringan.

500

Gambar 2.10

Penggambaran kedudukan batuan pada peta lokasi ditunjukkan oleh lokasi 12, 13, dan 14

Page 19: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 19

Simbol-Simbol Struktur Bidang : Bidang perlapisan ( pada batuan sedimen ) Bidang miring 30o (angka 30o menunjukkan “top” lapisan) Bidang tegak 90 o (angka 90o menunjukkan “top” lapisan) Bidang horizontal

Lapisan terbalik (angka 30o menunjukkan “bottom” lapisan) Bidang foliasi ( pada batuan metamorf ) Foliasi miring Foliasi tegak Foliasi horizontal Bidang kekar ( bidang rekahan ) Kekar miring (terisi mineral & tidak) Kekar vertikal (terisi mineral & tidak) Kekar horisontal

30O

30O

30O

30O

30O

Page 20: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 20

30O

30O

Bidang Sesar :

Sesar naik

Sesar turun Sesar mendatar kiri

Bidang Sumbu Lipatan

Antiklin menunjam ke 30 NE

Sinklin menunjam ke 30 NE

Page 21: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 21

BAB 3

STRUKTUR GARIS 3.1 TUJUAN

a. Mengetahui definisi dan mampu menggambarkan struktur garis ke dalam proyeksi dua dimensi (secara grafis).

b. Menentukan plunge dan rake/pitch suatu garis pada suatu bidang. c. Menentukan kedudukan struktur garis yang merupakan perpotongan dua

bidang.

3.2 DEFINISI Struktur garis adalah struktur batuan yang membentuk geometri garis,

antara lain gores garis, sumbu lipatan, dan perpotongan dua bidang. Struktur garis dapat dibedakan menjadi stuktur garis riil, struktur garis semu. Pengertian :

Struktur Garis Nyata struktur garis yang arah dan kedudukannya dapat diamati dan diukur langsung di lapangan, contoh: gores garis yang terdapat pada bidang sesar.

Struktur Garis Semu Semua struktur garis yang arah atau kedudukannya ditafsirkan dari orientasi unsur-unsur struktur yang membentuk kelurusan atau liniasi, contoh: liniasi fragmen breksi sesar, liniasi mineral-mineral dalam batuan beku, arah liniasi struktur sedimen (groove cast, flute cast) dan sebagainya.

Berdasarkan saat pembentukannya, struktur garis dapat dibedakan menjadi struktur garis primer yang meliputi: liniasi atau penjajaran mineral-mineral pada batuan beku tertentu, dan arah liniasi struktur sediment. Struktur garis sekunder yang meliputi: gores garis, liniasi memanjang fragmen breksi sesar, garis poros lipatan dan kelurusan-kelurusan dari topografi, sungai dan sebagainya.

Page 22: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 22

Kedudukan struktur garis dinyatakan dengan istilah-istilah : arah

penunjaman (trend), penunjaman (plunge, baca : planj), arah kelurusan (bearing, baca : biring) dan rake atau pitch. 3.2.1. DEFINISI ISTILAH - ISTILAH DALAM STRUKTUR GARIS. Arah penunjaman (trend) :

Azimuth yang menunjukkan arah penunjaman garis tersebut, dan hanya menunjukkan satu arah tertentu (Gambar 3.1).

Arah kelurusan (bearing): Azimuth yang menunjukkan arah kelurusangaris tersebut. Kelurusan ini memiliki dua pembacaan dimana salah satu arahnya merupakan sudut pelurusnya (Gambar 3.1).

Plunge : Dip penunjaman (Gambar 3.1).

Rake/pitch : Besar sudut antara struktur garis dengan garis horisontal yang diukur pada bidang dimana garis tersebut terdapat dan membentuk sudut terkecil (sudut lancip) (Gambar 3.1)

3.2.2. STRUKTUR GARIS Penulisan (notasi) struktur garis dapat dinyatakan berdasarkan dua sistem : A. Sistem azimuth B. Sistem kuadran Penulisan struktur garis dengan cara ini dapat dilakukan berdasarkan sistem azimuth dan sistem kuadran, yaitu: A. Sistem Azimuth: Y°, N X°E

dimana : Y = penunjaman / plunge, besarnya,0° - 90° X = arah bearing, besarnya 0° -360° contoh : 78°, N 042° E

Page 23: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 23

B.Sistem Kuadran : tergantung pada posisi kuadran Contoh : 45° SE, S 065° E (atau dalam sistem azimuth sama dengan 45°, N 115° 45° NW, S 065° E (atau dalam sistem azimuth sama dengan 45°, N 295° Penggambaran simbol struktur garis : (Gambar 3.1) 1). Bearingnya digambarkan dengan tanda panah. 2). Tulis besar penunjamannya (plunge) pada ujung tanda panah tersebut.

Simbol: 40° terbaca 40°, N 90° E (sistem azimuth).

Gambar 3.1 Struktur garis dalam blok tiga dimensi

Keterangan : A – L : Struktur garis pada bidang ABCD A – K : Arah penunjaman (trend) A – L / K – A : Arah kelurusan (bearing) = azimuth NAK β : Penunjaman (plunge) γ : Rake (pitch)

A

B

C

N

K

L

Page 24: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 24

Gambar 3.2 Kenampakan struktur garis dilapangan 3.3. CARA PENGUKURAN STRUKTUR GARIS A. Cara pengukuran struktur garis yang mempunyai arah penunjaman (trend) B. Cara pengukuran struktur garis yang tidak mempunyai arah penunjaman (trend) A.Cara pengukuran struktur garis yang mempunyai arah penunjaman (trend ) Cara pengukuran arah penunjaman (trend ) : (Gambar 3.2)

1. Menempelkan alat bantu (buku lapangan atau clipboard) pada posisi tegak dan sejajar dengan arah yakni struktur garis yang diukur.

2. Menempelkan sisi “W” atau “E” kompas pada posisi kanan atau kiri alat bantu dengan visir kompas (sigthing arm) mengarah pada penunjaman struktur garis tersebut.

3. Menghorizontalkan kompas (nivo mata sapi dalam keadaan horizontal/gelembung berada di tengah nivo), maka harga yang ditunjuk oleh jarum utara kompas adalah harga arah penunjamannya (trend).

Page 25: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 25

Cara pengukuran sudut penunjaman (plunge) : (Gambar 3.2.a dan 3.2.e )

1. Menempelkan sisi “W” kompas pada sisi atas alat bantu yang masih dalam keaadan vertikal.

2. Memutar klinometer hingga gelembung pada nivo tabung berada di tengah nivo dan besar sudut penunjaman (plunge) merupakan besaran sudut vertikal yang ditunjukkan oleh penunjuk pada skala klinometer.

Cara pengukuran Rake/Pitch : (Gambar 3.2.b) 1. Membuat garis horizontal pada bidang dimana struktur garis tesebut

terdapat (garis horizontal sama dengan jurus dari bidang tersebut) yang memotong struktur garis.

2. Mengukur besar dari sudut lancip yang dibentuk oleh garis horizontal (dengan menggunakan busur derajat).

Cara pengukuran arah kelurusan (bearing) : (Gambar 3.2.c) 1. Arah fisir kompas sejajar dengan unsur-unsur kelurusan struktur garis

yang akan diukur, misalnya sumbu terpanjang pada fragmen breksi sesar. 2. Menghorizontalkan kompas (gelembung nivo mata sapi berada di tengah

nivo), dengan catatan, posisi kompas masih seperti no.1 tersebut di atas, maka harga yang ditunjuk oleh jarum utara kompas adalah harga arah bearing-nya.

B. Cara pengukuran struktur garis yang tidak mempunyai arah penunjaman (trend ) / horizontal (pengukuran kelurusan/ linement) Adapun yang termasuk struktur garis yang tidak mempunyai arah penunjaman (trend) umumnya berupa arah-arah kelurusan, misalnya : arah liniasi fragmen breksi sesar, arah kelurusan sungai, dan arah kelurusan gawir sesar

Page 26: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 26

Gambar 3.3 Cara pengukuran struktur garis (a) Pengukuran plunge, (b) pengukuran rake, (c),(d) & (e) pengukuran arah kelurusan.

a b

c d

e

Page 27: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 27

3.4. APLIKASI STRUKTUR GARIS Aplikasi yang akan dibahas meliputi pemecahan dua masalah utama struktur garis: A. Menentukan plunge dan rake sebuah garis pada sebuah bidang. B. Menentukan kedudukan garis hasil perpotongan dua buah bidang. 3.4.1 Alat Dan Bahan.

1. Penggaris, busur derajat 2. Jangka dan alat tulis lengkap

A. Menentukan plunge dan rake sebuah garis pada sebuah bidang

Pada bidang ABCD dengan kedudukan N 000° E/45°, terletak garis AQ dengan arah penunjaman N 135° E. Berapa besarnya plunge dan rake garis AQ Penyelesaian secara grafis: (Gambar 3.3) 1. Membuat proyeksi horisontal bidang ABCD dengan kedalaman 'd'. 2. Dari titik 'A' membuat garis dengan arah N 135°E, sehingga memotong jurus

pada kedalaman 'd' di titik 'P'. 3. Melalui 'P' membuat garis PQ ( panjang = d ) tegak lurus AP, maka sudut PAQ

adalah besarnya "plunge" = 35°.

4. Memutar bidang ABCD sampai posisinya horisontal dengan "folding line" garis AB, yakni dengan memanjangkan garis AD, ke 'Dr' dengan pusat putar titik A.

5. Dari 'Dr' membuat garis sejajar lurus (AB), maka garis ini merupakan jurus pada kedalaman 'd' setelah bidang ABCD diputar ke posisi horisontal.

6. Membuat melalui 'P' garis tegak lurus pada garis butir (5), serta memotongnya dititik 'Lr'.

7. Menghubungkan 'Lr' dengan 'A', maka sudut 'BALr' adalah besarnya rake 54°.

Page 28: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 28

P

Gambar 3.3 Penentuan plunge dan rake:

(a) penggambaran dalam blok diagram (b) analisis secara grafis

B. Menentukan Kedudukan Garis Perpotongan dari Dua Buah Bidang Dua buah bidang yang masing-masing kedudukannya diketahui, yaitu

bidang ABEK dan CDFK saling berpotongan tegak lurus. Perpotongan antara keduanya merupakan suatu garis lurus dan dapat ditentukan kedudukannya yaitu dinyatakan dengan : plunge, rake, bearing (Gambar 3.7)

Keterangan : KL adalah trace (garis potong), sudut OKL adalah plunge ( β ), sudut δ1 adalah rake KL pada bidang ABEK, sudut δ2 adalah rake KL pada bidang CDFK, arah KO adalah bearing, diukur terhadap arah utara.

A45°

D

d

Dr

Q

C

(b)

N 135° E

Lr

N

A

B

C

D

K

L

d

(a)

Page 29: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 29

500

30 0

FL

O1

Kedu

duka

n In

trusi Kedudukan Batugamping

FL

DIP

DIP

O2

O3

Contoh soal . : Batugamping dengan kedudukan N 312°E / 300 terpotong intrusi dyke dengan kedudukan N 201 °E / 50°, sehingga pada jalur perpotongannya terdapat mineralisasi. Tentukan kedudukan jalur perpotongannya ! Penyelesaian secara grafis:

1. Menggambar strike batugamping dan intrusi dyke yang berpotongan di O. Kemudian membuat kontur struktur dari masing-masing strikenya. (Gambar 3.4)

Gambar 3.4 Penggambaran Strike dari Batugamping dan Intrusi

2. Setelah itu menghubungkan garis dengan titik pertemuan O1, O2 dan O3 yang merupakan bearingnya kemudian mengukur sudut bearing tersebut dari garis hijau yang merupakan garis bearing terhadap arah utara, garis putus-putus hijau menunjukkan besaran dari bearingnya.( Gambar 3.5)

Page 30: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 30

500

30 0

FL

O1

Kedu

duka

n In

trusi Kedudukan Batugamping

O2

O3

Bearing UPlunge

DIP

D IP

FL

3. Langkah selanjutnya membuat garis tegak lurus dari titik O2 sepanjang

1cm dan dari titik O3 sepanjang 2 cm, kemudian dari tersebut dihubungkan dengan membuat garis dari O1 ke bagian ujung dari garis-garis tersebut, garis berwarna pink merupakan garis plunge. Besaran sudut dari plunge diukur dari garis bearing terhadap garis plunge. Garis putus-putus pink merupakan besaran sudut dari plungenya. ( Gambar 3.5)

Gambar 3.5 Penggambaran Bearing dan Plunge

4. Setelah itu dilanjutkan dengan membuat rake dari Batugamping dan rake

dari intrusi. Caranya dengan membuat KS Bantu ditarik menggunakan jangka dari titik awal strike masing-masing kedudukan lapisan, kemudian dibuat putus-putus. Setelah itu dititik O2 dibuat garis tegak lurusnya ke masing-masing KS Bantu baik pada KS Bantu kedudukan Batugamping dan intrusi. Setelah itu hubungkan garis tadi dengan titik O1. Maka akan

Page 31: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 31

500

30 0

FL

O1

Kedu

duka

n In

trusi Kedudukan Batugamping

O2

O3

Bearing UPlungeRake Intrusi

Rake Batugamping

DIPD I

P

FLFL

terbentuk garis rakenya. Untuk besaran sudutnya hitung besaran sudut yang terkecil dari perpotongan garis rake dengan KS Bantu. (Gambar 3.6)

Gambar 3.6 Penggambaran Rake Intrusi dan Rake Batugamping

Page 32: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 32

Gambar 3.7

Kedudukan struktur garis perpotongan dari dua buah bidang dalam kenampakan tiga dimensi

Keterangan K – L : Struktur garis dari perpotongan bidang ABEK

dan bidang CDEK K – O : Arah penunjaman (trend) K – O / O – K : Arah kelurusan (bearing) = azimuth NKO Β : Penunjaman (plunge) α1 : Rake (pitch) terhadap bidang ABEK α2 : Rake (pitch) terhadap bidang CDFK

A

C

DL

B

F

E

K

O

Page 33: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 33

BAB 4

PROYEKSI STEREOGRAFIS DAN PROYEKSI KUTUB

4.1. TUJUAN a. Mengetahui definisi proyeksi stereografis dan proyeksi kutub b. Memecahkan masalah geometri bidang dan geometri garis secara

stereografis. c. Menggunakan proyeksi stereografis sebagai alat bantu dalam tahap awal

analisis data yang diperoleh di lapangan untuk berbagai macam data struktur.

4.2 DEFINISI

Penggambaran yang didasarkan pada perpotongan bidang / garis dengan suatu permukaan bola. Unsur struktur geologi akan lebih nyata, lebih mudah dan cepat penyelesaiannya bila digambarkan dalam bentuk proyeksi permukaan bola. Permukaan bola tersebut meliputi suatu bidang dengan pusat bola yang terlihat pada bidang tersebut maka bidang tersebut memotong permukaan bola sepanjang suatu lingkaran, yaitu lingkaran besar. (Gambar 4.1) menunjukkan perbandingan antara proyeksi orthografi dengan proyeksi permukaan bola.

Yang dipakai sebagai gambaran posisi struktur di bawah permukaan adalah belahan bola bagian bawah. Selanjutnya proyeksi permukaan bola digambarkan pada permukaan bidang horisontal dalam bentuk proyeksi stereografis. Hal tersebut didapat dari perpotongan antara bidang horisontal yang melalui pusat bola dengan garis yang menghubungkan titik-titik pada lingkaran besar terhadap titik zenithnya. Gambaran proyeksi yang didapat disebut dengan stereogram dan hubungan sudut di dalam proyeksi stereografi seperti nampak pada Gambar 4.2. Dari gambar tersebut tampak bahwa pengukuran besar sudut selalu dimulai dari 0 di tepi lingkaran (lingkaran primitif) dan 90° di pusat lingkaran.Hubungan antara proyeksi permukaan bola dengan pembuatan lingkaran besar dan lingkaran kecil seperti pada Gambar 4.3

Page 34: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 34

Gambar 4.1 perbandingan antara proyeksi orthografi dengan proyeksi stereografi

Gambar 4.2 hubungan sudut di dalam proyeksi stereografi

W

S

N

E

EN

W

S

Bidang dasar

Zn

0

20 20

45 45

70 7090

0W

S

E

N

Zn

Stereografis

Page 35: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 35

Gambar 4.3 Hubungan antara proyeksi permukaan bola dengan pembuatan lingkaran besar dan lingkaran kecil

Macam-macam proyeksi sterografi :

1. Equal angle projection net atau Wulf net. 2. Equal area projection net atau Schmidt net. 3. Orthographic net.

Dalam proyeksi ini, penggunaan ketiga jaring tersebut pada prinsipnya sama, yaitu 0° dimulai dari lingkaran primitif dan 90° di pusat lingkaran.

Page 36: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 36

Wulf Net

Misalkan pada bidang kedudukan N 000° E/ 45° terletak garis dengan arah N 045° E. Maka hubungan antara proyeksi gambaran orthografi, stereografis, dan stereogramnya dapat dilihat pada Gambar 4.4.a, 4.4.b, dan 4.4.c.

Gambar 4.4 Penggambaran stereografis

Keterangan gambar : Struktur bidang : strike = NS (gambar a, b, & c)

dip = sudut COC' (gambar b) atau EC' (gambar c)

Struktur garis OB' : bearing = busur NF (gambar c) rake/pitch = busur NB' (gambar c) plunge = B'F (gambar c)

Stereogram struktur bidang adalah busur NB'C'S (gambar c) Stereogram struktur garis adalah garis OB' (gambar c)

S

E

FN

O

C’

B’

W

N

E

S

0

C

B

C

B

W

S

N

E

B

C

C

B

F

Zna b

c

Page 37: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 37

4.2.1. STRUKTUR BIDANG

Stereogram struktur bidang selalu diwakili oleh lingkaran besar, sehingga besar sudut kemiringan selalu diukur pada arah E - W jaring, yaitu 0° pada lingkaran primitif dan 90° di pusat lingkaran. Contoh: Penggambaran stereogram bidang N 045° E/300 sebagai berikut : Letakkan kertas kalkir di atas stereonet dan gambarkan lingkaran

primitifnya. Beri tanda N, E, S, dan W serta titik pusat lingkaran. Gambar garis strike melalui pusat lingkaran sesuai dengan harganya (Gambar

4.5.a). Putar kalkir sampai garis strike berimpit dengan garis N - S jaring. Lalu

gambar garis busur lingkaran besar sesuai dengan besarnya dip (ingat prinsip aturan tangan kanan) (Gambar 4.5.b).

Putar kalkir sehingga N kalkir berimpit dengan jaring, maka nampak stereogram dari bidang N O45° E / 30° (Gambar 4.5.c)

Gambar 4.5 Tahapan penggambaran stereogram bidang N 045° E/300

N

E

S

N

S

E

Dip30

O

450N

E

W

S

E

N

Dip

a b

c

Page 38: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 38

4.2.2. STRUKTUR GARIS

Stereogram struktur garis berupa suatu garis lurus dari pusat lingkaran. Besarnya plunge dihitung 0° pada lingkaran primitif dan 90° di pusat lingkaran dan diukur pada kedudukan bearing berimpit dengan N-S atau E-W jaring. Contoh: Penggambaran stereogram garis kedudukan 30° ,N 045° E sebagai berikut : Tentukan titik pada lingkaran primitif sesuai harga bearing, dan hubungkan

dengan pusat lingkaran, sehingga merupakan garis lurus (Gambar 4.6.a). Putar kalkir sehingga garis tersebut berimpit dengan N-S atau E-W jaring,

kemudian ukur besarnya plunge (Gambar 4.6.b). Putar kalkir sehingga N-kalkir berimpit dengan N-jaring maka OD merupakan

stereogram garis kedudukan 30°, N 045° E (Gambar 4.6.c).

Gambar 4.6

Penggambaran stereogram garis kedudukan 30° ,N 045° E

45 0N

E

F

F

S

E

W

D

F

O

O

D

S E

3O

S

N45 0

F

EO

S

DPlunge

a b

c

Page 39: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 39

4.3 APLIKASI METODE STEREOGRAFIS Aplikasi metode Stereografis yang akan diterapkan pada praktikum ini yaitu : A. Menentukan Apparent Dip, Plunge dan Rake Suatu Garis B. Menentukan Kedudukan Bidang Dari Dua Kemiringan Semu C. Menentukan Kedudukan Garis Potong Dari Dua Bidang Yang Berpotongan Di bawah ini diberikan contoh-contoh cara penyelesaian kasus A – C. 4.3.1. ALAT – ALAT PRAKTIKUM

1. Alat tulis lengkap, stereonet dan paku pines 2. Kalkir ukuran 20 x 20 cm ( 4 lembar )

A. Menentukan Apparent Dip, Plunge dan Rake Suatu Garis Suatu bidang kedudukan N 050° E/50°. Tentukan apparent dip pada arah N 080° E! Penyelesaian : Gambar stereogram bidang N 050° E / 50° dan garis arah apparent dip N 080°

E (Gambar 4.7.a). Putar kalkir sampai garis arah N 080° E tersebut berimpit dengan E-W jaring

dan baca besarnya apparent dip pada garis tersebut dimana 0° pada lingkaran primitif (Gambar 4.7.b).

Jika pada bidang N 050° E / 50° ini terletak garis yang arahnya N 080° E, dengan cara seperti di atas didapat besarnya plunge garis tersebut adalah 31° (Gambar 4.8.a dan 4.8.b). Sedangkan besarnya rake/pitch didapat sebagai berikut: a. Putar kalkir sehingga garis strike bidang N 050° E/ 50° berimpit dengan N-S

jaring. Dan besarnya rake dihitung pada busur lingkaran besar bidang tersebut dengan menggunakan lingkaran kecil serta dipilih yang lebih kecil dari 90°, yaitu dimulai dari N-jaring sampai ke perpotongan garis dengan busur lingkaran besar bidang tesebut, besarnya didapat 12° (Gambat 4.8.c).

Page 40: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 40

Gambar 4.7 Penggambaran stereogram bidang N 050° E / 50° dan garis arah apparent dip N 080° E

Gambar 4.8 Penentuan plunge dan rake/pitch dari garis N 080° E pada bidang N 050° E / 50°

S

N

E

50

FO

50° 80°

S

N

EF

O31° apparent dip

a b

S

N

EF

O31° plunge

42°

rake

S

N

E

50

FO

50° 80°

(a)

( c )

(b)a b

c

Page 41: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 41

B. Menentukan Kedudukan Bidang Dari Dua Kemiringan Semu Dua kemiringan semu suatu lapisan batupasir diketahui sebagai berikut :

A. 25° pada arah N 010° E B. 34° pada arah N 110° E

Tentukan arah kedudukan batupasir tersebut! Penyelesaian : Gambar masing-masing arah kemiringan semunya, yaitu N 010° E dan N ll0°

E (Gambar 4.9.a). Putar kalkir sehingga arah kemiringan semu N 010° E berimpit dengan E-W

jarring, plot besar kemiringan semu 25° dihitung dari lingkaran primitif, yaitu titik A (Gambar 4.9.b).

Begitu juga untuk kemiringan semu 34° pada arah N llO° E, yaitu titik B (Gambar 4.9.c).

Kalkir diputar-putar sehingga titik A dan B terletak dalam satu lingkaran besar. Dan gambar lingkaran besar tersebut beserta garis strike-nya, serta hitung besarnya dip, yaitu didapat 42° (Gambar 4.9.d).

Putar kalkir sehingga N kalkir berimpit dengan N jaring maka kedudukan batupasir dapat dibaca, yaitu N 340° E / 42° (Gambar 4.9.e)

Page 42: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 42

EW

N

S

EW

N

S

EW

N

S

10o

110o

E

W

N

S

E

W

N

S

E

W

N

S

10o

110o

A

E

W

N

S

E

W

N

S

E

W

N

S

10o

110o

A

BEW

N

S

EW

N

S

EW

N

S

10o

110o

A

B

dip42

o

EW

N

S

EW

N

S

EW

N

S

A

B

dip

a b

(a) (b) c d

(c) (d)

e

(e) Gambar 4.9 Tahapan menentukan Kedudukan Bidang Dari Dua Kemiringan Semu

Page 43: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 43

C. Menentukan Kedudukan Garis Perpotongan Dari Dua Bidang Suatu bidang A kedudukan N 010° E / 30° berpotongan dengan bidang B kedudukan N 130° E/ 50°. Tentukan kedudukan garis potonganya! Penyelesaian : Gambarkan stereogram kedua bidang tersebut (Gambar 4.10.a). OB adalah stereogram garis potongnya, sedangkan busur NEF adalah bearing

OB yang diukur pada saat N kalkir berhimpit N jaring. Busur BF adalah plunge, diukur pada posisi OF berhimpit dengan E-W / N-S

jaring (Gambar 4.10.b). Busur CB adalah rake OB pada bidang N 010° E / 30°, diukur pada posisi

strike bidang tersebut berimpit dengan N-S jaring. Begitu juga busur DB adalah rake OB pada bidang S 050° E / 50° SW (Gambar 4.10.c)

Page 44: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 44

EW

N

S

EW

N

S

EW

N

S

10o

30o

50o

(a) (b) c

(c) Gambar 4.10

Menentukan Kedudukan Garis Perpotongan Dari Dua Bidang

Page 45: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 45

4.4. PROYEKSI KUTUB 4.4.1. DEFINISI

Proyeksi kutub suatu bidang berupa suatu titik hasil proyeksi permukaan bola (Gambar 4.11), sedangkan proyeksi kutub suatu garis merupakan suatu titik tembus suatu garis terhadap permukaan bola pada bidang horizontal (Gambar 4.12). Catatan : Pengeplotan proyeksi kutub struktur bidang 0° dimulai dari pusat lingkaran

sedangkan 90° dimulai atau terletak pada lingkaran primitif. Pengeplotan proyeksi kutub struktur garis 0° dimulai dari lingkaran primitif,

sedangkan 90° terletak pada pusat lingkaran. 4.4.2. SCHMIDT NET

Dibuat berdasarkan luas daerah yang sama dari titik-titik proyeksi pada kedudukan tertentu yang tercakup di dalamnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari distribusi yang tidak merata apabila diadakan pengukuran dalam jumlah yang besar dalam analisa secara statistik.

Suatu bidang dengan jurus N-S dan dip ke arah E, proyeksi kutubnya digambarkan sebagai titik pada garis E-W ke arah barat dimana harga dip-nya dihitung 0° dari pusat lingkaran sedangkan 90° pada lingkaran primitif (Gambar 4.13 a). Sedangkan suatu garis dengan plunge tepat ke arah selatan, proyeksi kutubnya berupa titik pada garis N-S jaring sebelah selatan dengan harga plunge 20° dimulai dari lingkaran primitif dan 90° pada pusat lingkaran, dihitung dari S-jaring (Gambar 4.13 b).

Page 46: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 46

Perbedaan Utama : Wulf Net yaitu lingkaran besar dan lingkaran kecil didapat dari proyeksi permukaan bola ke arah titik zenit. Schmidt Net yaitu lingkaran besar dan kecil dibuat berdasarkan luas yang mendekati kesamaan dari jaring yang dihasilkan oleh perpotongannya sehingga interval tiap lingkaran akan merata pada setiap kedudukan.

Zn

W

N

E

S

Zn

N

EW Zn

A

C

D

S

Gambar 4.11 Gambar 4.12

Proyeksi kutub struktur bidang Proyeksi kutub struktur garis

Gambar 4.13

(a) Proyeksi kutub dan stereografi bidang (P), (b) Proyeksi kutub struktur garis (P) dengan bearing ke arah S dan plunge 20o

a b

Page 47: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 47

4.4.3 PENGGAMBARAN PROYEKSI KUTUB PADA SCHMIDT NET 1. Penggambaran struktur bidang:

Contoh: Struktur Bidang N 135° E / 60° (Gambar 4.15) Memutar kalkir berlawanan dengan arah jarum jam sehingga N kalkir

berimpit dengan harga strike. Kemudian menentukan proyeksi kutubnya berdasarkan besar dip (90° dari

dip) , dimana 0° dimulai dari pusat lingkaran. Memutar kalkir hingga N kalkir berimpit dengan jaring maka kedudukan

titik pada jaring (titik P) merupakan proyeksi kutub dari bidang dengan kedudukan N 135° E/ 60°.

N

WS

P

E

E

S

W

N

P

(a) (b)

Gambar 4.15 Penggambaran proyeksi kutub pada Schmidt Net untuk bidang dengan kedudukan N

135° E / 60°

Page 48: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 48

2. Penggambaran struktur garis: Contoh:

Struktur garis 30°, N 225° E (Gambar 4.16) Memutar kalkir berlawanan dengan arah jarum jam sehingga N kalkir

berimpit dengan harga bearing-nya. Kemudian menentukan proyeksi kutubnya berdasarkan besar plunge (90°

dari plunge), dimana 0° dimulai dari lingkaran primitif. Memutar kalkir hingga N kalkir berimpit dengan N jaring maka

kedudukan yang diperoleh kedudukan titik P merupakan proyeksi kutub dari garis 30°, N 225° E.

N

WS

P

E

E

S

W

N

P

(a) (b)

Gambar 4.16 Penggambaran proyeksi kutub pada Schmidt Net untuk struktur garis 30°, N 225° E

4.4.4. PENGGAMBARAN PROYEKSI KUTUB PADA POLAR EQUAL AREA NET

Dalam pengeplotan penggambarannya, kertas kalkir posisinya tetap (tidak diputar-putar). Prinsip dan hasilnya sama dengan bila menggunakan Schmidt Net, tetapi di sini lebih praktis. 1. Struktur bidang dengan sistem azimuth (Gambar 4.17)

Untuk mempermudah penggambarannya maka pembagian derajat pada jaring dimulai dari titik W (jurus 0°) searah dengan jarum jam. Sedangkan besar kemiringan 0° dihitung dari pusat lingkaran dan 90° pada tepi lingkaran. Proyeksi kutubnya berupa titik.

Page 49: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 49

2. Struktur garis dengan sistem azimuth dan kwadran (Gambar 4.18) pembagian derajat pada jaring dimulai dari titik N (bearing 0°) searah dengan jarum jam. Sedangkan besar penunjaman 0° dihitung dari lingkaran luar (Lingkaian primitif) dan 90° pada tengah lingkaran. Proyeksi kutubnya berupa titik.

Gambar 4.17 Cara penggambaran proyeksi kutub suatu bidang dengan kedudukan N040°E / 60°

Gambar 4.18 Cara penggambaran proyeksi kutub suatu garis dengan kedudukan 40°, N 60°E

N

EW

S

80

50

40

30

6070

20

10

0

90

270

180

P

N

EW

S

0 1020

30

40

50

60

70

80

90

P

P

Page 50: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 50

4.5 CARA PENGGUNAAN STEREONET 4.5.1. Proyeksi stereografis a. Wulf Net * Struktur Bidang.

- Strike : 0° dimulai dari arah utara / North (N) pada Wulf Net. - Dip : 0° dimulai dari lingkaran primitiv (tepi) dan 90° berada di

pusat Wulf Net. * Struktur Garis.

- Bearing : 0° dimulai dari arah utara North (N) pada Wulf Net. - Plunge : 0° dimulai dari lingkaran primitiv (tepi) dan 90° berada pada

pusat Wulf Net.

b. Scmidth Net. * Struktur Bidang.

- Strike : 0° dimulai dari arah utara / North (N) pada Smicdth Net. - Dip : 0° dimulai dari lingkaran primitiv (tepi) dan.90° berada di

pusat Smicdth Net. * Struktur Garis.

- Bearing : 0° dimulai dari arah utara / North (N) pada Smicdth Net. - Plunge : 0° dimulai dari lingkaran primitiv (tepi) dan 90° berada pada

pusat Smith Net.

4.5.2. Proyeksi Kutub (menggunakan Polar Equal Area Net) * Struktur Bidang.

- Strike : 0° dimulai dari sisi West (W) pada Polar equal area net. - Dip : 0° dimulai dari pusat dan 90° berada di lingkaran primitiv

(tepi) * Struktur Garis.

- Bearing : 0° dimulai dari North (N). - Plunge : 0° dari ligkaran primitiv (tepi) dan 90° berada di pusat

Page 51: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 51

BAB 5

METODE STATISTIK 5.1 TUJUAN

a. Mengetahui definisi metode statistik b. Menentukan arah umum dari data struktur lapangan yang diambil di

lapangan. 5.2 DEFINISI Metode Statistik :

Adalah suatu metode yang diterapkan untuk mendapatkan kisaran harga rata-rata atau harga maksimum dari sejumlah data acak, dari metode ini maka dapat diketahui kecenderungan-kecenderungan bentuk pola ataupun kedudukan umum dari jenis struktur yang sedang dianalisa. Metode statistik disini terdiri dari dua metode yang pengelompokannya didasarkan atas banyaknya parameter yang digunakan.yaitu:

1. Metode statistik dengan satu parameter. 2. Metode statistik dengan dua parameter

5.2.1 METODE STATISTIK DENGAN SATU PARAMETER

Yang dimaksud satu parameter adalah data-data yang akan dibuat diagramnya hanya terdiri dari satu unsur pengukuran, misalnya data-data jurus dari kekar vertikal, arah-arah (bearing) liniasi struktur sedimen, arah liniasi ftagmen breksi sesar, arah kelurusan gawir, dsb. Jenis diagram dari metode adalah:

a) Diagram kipas b) Diagram roset c) Histogram.

Page 52: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 52

a) Diagram kipas

Tujuan diagram ini dimaksudkan untuk mengetahui arah kelurusan umum yang datanya hanya menggunakan satu unsur pengukuran saja (data bearing dan mengabaikan trend. Contoh data liniasi adalah arah-arah kelurusan sungai, kelurusan morfologi, kelurusan kekar (kekar vertikal), kelurusan liniasi mineral, dll. Data-data pengukuran dimasukkan dalam suatu tabel sehingga mempermudah proses dalam pembuatan diagramnya.

Cara Pembuatan Diagram Kipas : Dari pengukuran dilapangan didapatkan data arah liniasi kekar gerus vertikal seperti dibawah ini :

1. Membuat tabulasi data dari data-data diatas. 2. Menentukan jari-jari diagram dengan cara yaitu jumlah data terbanyak

sebagai jari-jari maksimum dalam soal berarti 6 interval dimana tiap interval berharga 4%.

3. Membagi sisi paling luar dari busur sesuai dengan pembagian arahnya, dari situ ditarik garis-garis kearah pusat busur (Gambar 5.1 & 5.2)

4. Terakhir memasukkan hasil perhitungan prosentase (Tabel 7.2) kedalam gambar sehingga didapatkan analisa arah umum kekar gerusnya N007°E (Gambar 5.3).

Page 53: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 53

Tabel 5.1 : Tabulasi data untuk pembuatan diagram kipas

ARAH NOTASI JUMLAH PROSENTASE N........°E N ........ °E 0 - 5 180 - 185 III 4 16% 5 - 10 185 - 190 IIIII I 6 24% 10 - 15 190 - 195 IIIII 5 20% 15 - 20 195 - 200 II 2 8% 20 - 25 200 - 205 III 3 12% 25 - 30 205 - 210 30 - 35 210 - 215 35 - 40 215 - 220 40 - 45 220 - 225 45 - 50 225 - 230 50 - 55 230 - 235 55 - 60 235 - 240 60 - 65 240 - 245 65 - 70 245 - 250 70 - 75 250 - 255 75 - 80 255 - 260 80 - 85 260 - 265 85 - 90 265 - 270 90 - 95 270 - 275

95 - 100 275 - 280 100 - 105 280 - 285 105 - 110 285 - 290 110 -115 290 - 295 115 - 120 295 - 300 120 - 125 300 - 305 125 - 130 305 - 310 130 -135 310 - 315 135 - 140 315 - 320 140 - 145 320 - 325 145 - 150 325 - 330 150 - 155 330 - 335 155 - 160 335 - 340 160 - 165 340 - 345 165 - 170 345 - 350 II 2 8% 170-175 350 - 355 175 - 180 355 - 360 III 3 12%

Page 54: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 54

Gambar 5.1 Jari – jari diagram setengah lingkaran dalam pembuatan diagram roset

Gambar 5.2

Pembagian interval dari pusat bujur

Gambar 5.3

Hasil analisis arah umum kekar

0 10 2030

4050

60

70

80

9024201612840

350340330

320310

300

290

280

270

0 10 2030

4050

60

70

80

9024201612840

350340330

320310

300

290

280

270

0 4 8 12 16 20 24

Page 55: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 55

b) Diagram roset

Tujuan : Diagram ini dimaksudkan untuk mengetahui arah kelurusan umum dari data-data dengan satu parameter, yaitu trend. Tabulasi data: Data-data yang ada dimasukkan dalam tabel dengan tujuan untuk mempermudah akan tetapi tabelnya berbeda dengan tabel pada diagram kipas.

Cara Pembuatan Diagram Roset:

Pada prinsipnya pembuatan diagram roset sama dengan diagram kipas, perbedaannya terletak pada bentuknya. Diagram kipas berbentuk setengah lingkaran sedangkan diagram roset berbentuk lingkaran penuh. Dengan demikian pencantuman tanda dan arahnya berbeda.

CONTOH SOAL, didapat data-data seperti di bawah ini : 50 data pengukuran arah struktur sedimen (memiliki trend) "FLUTE CAST" (Gambar 5.4 & Gambar 5.5)

Tabel: 5.2 Data pengukuran trend flute cast N ........ °E N .......°E N ....... . °E N .... °E N ....... °E N ........ °E N…..°E

175 169 157 109 127 118 122 136 162 307 126 141 111 128 116 132 106 148 144 302 146 166 112 134 142 123 133 113 138 304 130 127 129 163 126 131 297 107 143 223 151 121 168 114 111 124 47 108 97

Tabel 5.3 Tabulasi data untuk pembuatan diagram rosset

ARAH NOTA

SI JML

PROSEN

ARAH NOTASI

JML PROSENTAS

E 0-5 I 1 4% 180 - 185

6 - 10 185-189 11 - 15 189 -195 16 - 20 195 - 200 21 - 25 200 -205 26 - 30 205 - 210

Page 56: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 56

31 - 35 210 -215 36 - 40 215 -220 40 - 45 220 - 225 1 1 4% 45 - 50 I I 4% 225 - 230 50 - 55 230 - 235 55 - 60 235 - 240

60 - 65 240 - 245 65 - 70 245 - 250 70 - 75 250 - 255 75 - 80 255 - 260

80 - 85 260 - 265 85 - 90 265 - 270 90 - 95 I l 4% 270 - 275 95 - 100 275 - 280

100 -105 II 2 8% 280 - 285 105 - 110 III 3 12% 285 - 290 110 - 115 III 3 12% 290 - 295 115 - 120 II 1 8% 295 - 300 1 1 4%

120 - 125 IIII 4 16% 300 - 305 11 2 8% 125 - 130 IIIIII 6 24% 305 - 310 I 1 4% 130 -135 IIIII 5 20% 310 - 315 135 -140 ll 2 8% 315 - 320 140 -145 IIII 4 16% 320 - 325 145 - 150 II 2 8% 325 - 330 150 -155 I I 4% 330 - 335 155 - 160 1 I 4% 335 - 340 160 -165 II 2 8% 340 - 345 165 -170 III 3 12% 345 - 350 170 .175 I l 4% 350 - 355 175 - 180 355 - 360

Page 57: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 57

3600 10 20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

120

130

140

150160170180190200

210

220

230

240

250

260

270

280

290

300

310

320

330340 350

N

Gambar 5.4 Analisis diagram roset

Gambar 5.5 Kenampakan struktur sedimen flute cast

Trend arah aliran arus purba

Page 58: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 58

c) Histogram

Tujuan : Seperti yang lain yaitu mengetahui arah kelurusan umum dari unsur–unsur struktur. Tabulasi data dan prinsip sama dengan diagram kipas yaitu data bearing tanpa memperhatikan trend dimasukkan dalam satu tabel (tabulasi data) seperti pada diagram kipas (Tabel 5.2) Cara pembuatan Histogram:

Contoh pembuatan histogram yang diberikan disini diambil dari data data pengukuran kekar gerus vertikal sebanyak 50 buah (Tabel 5.1). Dari pemasukan data pengukuran ke (Tabel 5.2) diperoleh prosentase 0%,4%,…..24%. Harga-harga ini diperoleh pada ordinat (sumbu vertikal), dari 0% ke atas hingga harga maximum 21% dengan skala bebas (Gambar 5.5). Pada absis (sumbu horizontal) diplot arah-arah dari barat ke timur dengan patokan arah utara dibagian tengahnya (Gambar 5.5).

Langkah terakhir, masukkan basil perhitungan (Tabel 5.2) ke dalam gambar 5.3 sehingga didapatkan diagram berupa batang dengan puncak yang paling menunjukkan hasil analisa arah umum kekar gerus N007°E / 30° (Gambar 5.5). Maka harga kedudukan umum akan sama dengan yang ditunjuk oleh diagram kipas (lihat Gambar 5.3)

W270 280 290 300310 320 330 340 350 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

ENArah N.... Eo

0

4

8

12

16

20

24

Gambar 5.6 Hasil Analisa Histogram

Frekuensi maksimum arah kekar gerus

Page 59: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 59

5.2.2 METODE STATISTIK DENGAN DUA PARAMETER

Metode statistik dengan data yang menggunakan dua unsur pengukuran seperti pada struktur garis (datanya terdiri dari bearing dan plunge), atau struktur bidang (datanya terdiri dari strike dan dip). Metode yang digunakan adalah menggunakan diagram kontur, yaitu diagram yang pembuatannya didasarkan pada prinsip-prinsip proyeksi kutub. Pembuatan diagram kontur : Cara pembuatan diagram kontur terdiri dari tiga tahap:

Tahap 1, Pengeplotan data. Tahap 2, Perhitungan kerapatan data. Tahap 3, "Countouring” titik-titik kerapatan.

Sebagai contoh di sini akan diuraikan tahap pembuatan diagram kontur dari 25 data pengukuran kekar tarik (extention joint). Lihat gambar 5.6 dan 5.7 32/70, 20/68, 15/50, 33/58, 34/67, 28/71, 20/67, 20/50, 37/60, 10/50, 73/57, 70/59, 64/61, 70/70, 80/75, 70/59, 76/58, 65/66, 81/40, 67/30 TAHAP 1 : Mengeplotkan 25 data kedudukan kekar tarik yang ada ke dalam Polar Equal Area sehingga didapatkan 25 titik yang merupakan proyeksi kutubnya

Gambar 5.7 Memplotkan kedudukan di Polar Equal

Page 60: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 60

TAHAP 2 :

Menghitung kerapatan titik-titik tersebut ke dalam Kalsbeek Counting Net. Setiap segi enam dari segitiga-segitiga yang bersebelahan dalam jaring ini membentuk suatu segi enam (hexagonal) yang luasnya berharga 1 % terhadap luas total jaring. Letakkan kalkir berisi hasil pengeplotan tahap 1 di atas Jaring kalsbeek pada suatu posisi yang tetap dan tidak tergantung pada arah-arah mat angin, posisi tetap ini diusahakan tidak berubah sampai proses perhitungan kerapatannya selesai. Hitunglah jumlah titik-titik yang masuk ke dalam setiap bentuk segi enam dan cantumkan angka pada titik pusat segi enam yang bersangkutan, sesuai dengan jumlah (kerapatan) titik yang masuk ke dalam segi enam yang bersangkutan.

Gambar 5.8 Plot hasil perhitungan kerapatan titik pada pusat-pusat segi enam pada jaring Kalsbeek

Page 61: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 61

Untuk titik-titik yang jatuh pada tempat-tempat tertentu pada jaring kalsbeek, perhitungannya tidak menggunakan bentuk segi enam, tetapi dapat berbentuk lingkaran, separuh lingkaran, separuh segi enam dan segi lima (Gambar 5. 8), tetapi pada prinsipnya jumlah segi tiganya tetap 6. Untuk titik-titik pusat segienam yang letaknya di pinggir jaring bentuknya menjadi separuh segi enam atau separuh lingkaran (Gambar 5.8) angka kerapatan yang dicantumkan pada pusatnya merupakan jumlah titik-titik kutub dari dua bentuk separuh lingkaran atau segi enam yang saling berseberangan. Untuk segienam-segienam yang tidak mempunyai angka kerapatan, cantumkan angka-angka nol pada pusat-pusatnya yang akan berfungsi sebagai batas penarikan atau penyebaran kontur kerapatannya (Gambar 5.8).

TAHAP 3 : Setelah semua angka-angka kerapatan selesai dicantumkan pada pusat-pusat segi enamnya, tariklah garis kontur yang menghubungkan titik-titik kerapatan yang sama (Gambar 5. 9). Penarikan garis kontur disini sama dengan prinsip penarikan garis kontur topografi. Semua garis kontur yang di tarik harus bersifat tertutup, sehingga jika ada garis kontur yang memotong garis tepi jaring harus dibuat tertutup melalui titik-titik berseberangan dengan titik-titik potong dengan tepi jaring . Beri tanda yang berbeda untuk setiap daerah yang dibatasi oleh dua kontur kerapatan yang berbeda. Dengan demikian setiap tanda yang dibuat akan menunjukkan kisaran atau interval harga-harga kerapatannya. Karena jumlah pengukuran di sini = 50 data, maka harga satu titik kerapatannya adalah 1 / 50 x 100% = 2%. Harga persentase tertinggi atau maksimal dianggap sebagai "Pole" kedudukan umumnya. Tentukan titik pusat dari pole ini dan baca kedudukannya dengan "Polar equal area".

Page 62: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 62

Gambar 5.9. Diagram kontur yang dihasilkan, dengan kerapatan data tertinggi ditunjukan oleh warna merah yang dianggap sebagai kedudukan umum data

kekarnya , di peroleh arah umum Shear 1 N0230E/670, Shear 2 N0700E/600

Page 63: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 63

BAB 6

KEKAR 6.1. TUJUAN

a. Mengetahui definisi dari kekar dan mekanisme pembentukannya. b. Menganalisis struktur kekar baik secara statistik (diagram kipas)

maupun secara stereografis.

6.2. DEFINISI Kekar adalah bidang rekahan yang tidak memperlihatkan pergeseran yang

berarti (bagian masanya masih berhubungan/bergabung). Kekar dapat terbentuk baik secara primer (bersamaan dengan pembentukan batuan, misalnya kekar kolom dan kekar melembar pada batuan beku) maupun secara sekunder (setelah proses pembentukan batuan, umumnya merupakan kekar tektonik). Pada acara praktikum ini yang akan dibahas adalah kekar tektonik. 6.3. KLASIFIKASI KEKAR TEKTONIK

Kekar tektonik berdasarkan genesanya, dibagi menjadi : 1. Shear joint (kekar gerus), yaitu kekar yang terjadi akibat tegasan kompresif

(compressive stress). 2. Tension joint (kekar tarik) ,yaitu kekar yang terjadi akibat tegasan tarikan

(tension stress), yang dibedakan menjadi : a. Extension joint, terjadi akibat peregangan / tarikan. b. Release joint, terjadi akibat hilangnya tegasan yang bekerja. Pola tegasan yang membentuk kekar-kekar tersebut terdiri dari tegasan

utama maksimum (1) , tegasan utama menengah (2) dan tegasan utama minimum (3). Tegasan utama maksimum (1) membagi sudut lancip yang dibentuk oleh kedua shear joint , sedangkan tegasan utama minimum (3) membagi sudut tumpul yang dibentuk oleh kedua shear joint. (Gambar 6.1)

Page 64: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 64

Gambar 6. 1 (a)Tegasan yang bekerja pada suatu kubus dan pola kekar yang terbentuk

(b)Hubungan antara tegasan utama dengan sudut geseran dalam

- Ф :sudut geseran dalam dari batuan (angle of internal friction) - α :sudut antara tegasan utama maksimum ( 1) dengan shear joint - θ :sudut antara tegasan utama minimum (3) dengan shear joint

Secara teoritis, rekahan atau bidang geser yang terbentuk adalah AA dan

BB (Gambar 6.1 b) yang saling tegak lurus, tetapi karena setiap batuan mempunyai koefisien geseran dalam masing-masing, maka bidang geser yang terbentuk adalah SS (Gambar 6.1 b). 6.4. ANALISIS KEKAR TEKTONIK 6.4.1. Alat Dan Bahan

1. Stereonet 2. Pinnes 3. Alat tulis (Jangka, busur derajat, penggaris) 4. Kalkir 20 X 20 cm sebanyak 2 lembar

Sh. j

Gb. g - 1

Rls. j

Ex . j

3

2

1

3 3

1

1

A S S B

B ASSGb. 9 - 2

a b

Page 65: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 65

6.4.2 Prosedur Analisis Kekar Tektonik Secara skematis prosedur yang dilakukan pada pengambilan data lapangan

sampai interpretasi terbentuknya (sejarah terbentuknya) kekar adalah sebagai berikut :

Untuk analisa data digunakan metode statistik yang dilakukan dengan

menggunakan diagram kipas / roset, histogram dan diagram kontur (menggunakan stereonet). Dalam praktikum ini analisis yang dilakukan terdiri dari: A. Analisis Kekar dengan Diagram Kipas B. Analisa Kekar dengan Proyeksi Stereografi (Wulf Net) A. Analisis Kekar dengan Diagram Kipas

Analisis dengan Diagram Kipas, digunakan untuk kekar-kekar vertikal (kemiringan/dip 80°-90°), jadi data kekar yang dianalisa adalah jurus kekar saja. Data jurus dari 25 kekar: 336 007 008 015 327 338 008 014 017 327 337 007 012 018 326 004 007 013 326 328 005 006 014 327 022

Page 66: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 66

Langkah yang dilakukan adalah sbb: 1. Memasukkan data ke dalam tabel dengan pembagian skala 5° ( Tabel 6.1)

Tabel 6.1 Tabulasi data untuk pembuatan diagram kipas

ARAH NOTASI JUMLAH PROSENTASE N........°E N ....... °E 0 - 5 181 - 185 II 2 8% 6 - 10 186 - 190 IIIII I 6 24% 11 - 15 191 - 195 IIIII 5 20% 16 - 20 196 - 200 II 2 8% 21 - 25 201 - 205 I 1 4% 26 - 30 206 - 210 31 - 35 211- 215 36 - 40 216 - 220 41 - 45 221 - 225 46 - 50 226 - 230 51 - 55 231 - 235 56 - 60 236 - 240 61 - 65 241 - 245 66 - 70 246 - 250 71 - 75 251 - 255 76 - 80 256 - 260 81 - 85 261 - 265 86 - 90 266 - 270 91 - 95 271 - 275

96 - 100 276 - 280 101 - 105 281 - 285 106 - 110 286 - 290 111 -115 291 - 295 116 - 120 296 - 300 121 - 125 301 - 305 126 - 130 306 - 310 131 -135 311 -315 136 - 140 316 - 320 141 - 145 321 - 325 146 - 150 326 - 330 IIIII I 6 24% 151 - 155 331 - 335 III 3 12% 156 - 160 336 - 340 161 - 165 341 - 345 166 - 170 346 - 350 171-175 351 - 355 176 - 180 356 - 360

25 100%

Page 67: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 67

2. Membuat diagram kipas, yaitu berupa setengah lingkaran dengan pembagian

jari-jarinya, sesuai dengan prosentase data terbanyak. (seperti contoh Tabel 6.1 data terbanyak 6 atau 24% maka jari-jarinya disesuaikan dengan angka maksimum tersebut Gambar 6.2.

3. Memasukkan data dalam tabel ke dalam diagram kipas yang telah dilakukan pembagian skala sebesar 5°, selanjutnya menentukan kedudukan umum shear joint dan kedudukan tegasan-tegasan pembentuknya (1,2, dan 3).

Gambar 6.2 Diagram kipas yang dihasilkan berdasarkan Tabel 6.1

Dengan nilai kedudukan umumnya N3280E dan N0070E.

Page 68: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 68

Analisis tegasan berdasarkan arah umum kekar pada diagram kipas.

1. Bila sudut antara dua kedudukan umum merupakan sudut tumpul, maka sudut baginya merupakan arah dari σ3. (Gambar 6.3)

2. Bila sudut antara dua kedudukan umum merupakan sudut lancip maka sudut baginya merupakan arah dari σ1.

Gambar 6.3 Analisis tegasan pada diagram kipas yang dihasilkan

Gambar 6.3 Analisis tegasan kekar : (a) Diagram kipas yang dihasilkan (b) model kekar dan tegasan (1 = N 327° E), (2=

vertikal pada sumbu diagram), (3= N 077° E)

a. b.

Page 69: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 69

B. Analisa Kekar dengan Diagram Stereografi (Wulf Net) Digunakan untuk menganalisa kekar-kekar dengan kedudukan yang bervariasi (bukan kekar vertikal, dengan dip < 80°). Contoh data kekar :

32/70, 20/68, 15/50, 33/58, 34/67, 28/71, 20/67, 20/50, 37/60, 10/50, 73/57, 70/59, 64/61, 70/70, 80/75, 70/59, 76/58, 65/66, 81/40, 67/30

Langkah Kerja: 1. Mencari kedudukan umum kekar (shear joint) dengan diagram kontur

seperti pada Bab Metode Statistik (Bab 5) (Lihat Gambar 5.7 & Gambar 5.8).

2. Setelah itu dari data tersebut buat kontur dan tentukan kedudukan umum kekar tersebut ( lihat Gambar 5.9), dengan hasil Shear joint 1 N0230E/670

dan Shear joint 2 N0700E/600 3. Mengeplotkan kedudukan umum tersebut ke dalam Wulf Net. (Gambar 6.4) 4. Perpotongan kedua shear joint pada (Gambar 6.4) adalah σ2

Gambar 6.4 Perpotongan antar shear di Plotkan sebagai σ2.

Page 70: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 70

5. σ2 diletakkan pada garis East - West (garis EW), kemudian membuat

bidang bantu yaitu 90° dari σ2 melewati pusat dihitung pada pembagian skala yang terdapat di garis EW (bidang bantu tetap pada posisi NS).

6. Perpotongan antara bidang bantu dengan kedua shear joint (Gambar 6.5). - Apabila membentuk sudut lancip, maka sudut baginya adalah σ1, dan

σ3 dibuat 90° dari σ1 pada bidang bantu (dimana bidang bantu tetap pada kedudukan NS)

- Apabila membentuk sudut tumpul, maka sudut baginya adalah σ3 dan σ1 dibuat 90° dari σ3 pada bidang bantu (dimana bidang bantu tetap pada kedudukan NS).

Page 71: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 71

Gambar 6.5 Pembagian Arah tegasan berdasarkan besaran sudut

Page 72: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 72

7. Membuat kedudukan dari extension joint yaitu melalui σ1 dan σ2. 8. Membuat kedudukan dari release joint yaitu melalui σ3 dan σ2.

(Gambar 6.6)

Gambar 6.6 Analisa kekar pada Wulf Net, dengan kedudukan : Shear 1 N023oE/ 67o

Shear 2 N070oE/ 60o Extension Joint N045oE/ 61o

Release Joint N 135oE/ 78o 1 = 08°, N 050° E 2 = 60°, N 155° E 3 = 27°, N 308° E

Page 73: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 73

Gambar 6.7

Kenampakan kekar vertikal di lapangan

Gambar 6.8 Kenampakan kekar yang terisi mineral sekunder (Misalnya, kalsit atau kuarsa). Kekar

semacam ini disebut Urat (Vein)

Page 74: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 74

BAB 7

S E S A R

7.1. TUJUAN a. Mengetahui definisi dan anatomi sesar b. Mengenali serta dapat menentukan pergerakan sesar, baik secara

langsung di lapangan maupun secara stereografis c. Menganalisa berdasarkan data-data yang menunjang serta unsur-

unsur penyertanya dengan menggunakan metode stereogafis secara statistik.

7.2. DEFINISI

Sesar adalah suatu rekahan yang memperlihatkan pergeseran cukup besar dan sejajar terhadap bidang rekahan yang terbentuk. Pergeseran pada sesar dapat terjadi sepanjang garis lurus (translasi) atau terputar (rotasi).

7.3. ANATOMI SESAR (UNSUR-UNSUR SESAR) (Gambar 7.1)

1. Bidang sesar (fault plane) adalah suatu bidang sepanjang rekahan dalam batuan yang tergeserkan.

2. Jurus sesar (strike) adalah arah dari suatu garis horizontal yang merupakan perpotongan antara bidang sesar dengan bidang horizontal.

3. Kemiringan sesar (dip) adalah sudut antara bidang sesar dengan bidang horizontal dan diukur tegak lurus jurus sesar.

4. Atap sesar (hanging wall) adalah blok yang terletak diatas bidang sesar apabila bidang sesamya tidak vertikal.

5. Kaki sesar (Foot wall) adalah blok yang terletak dibawah bidang sesar. 6. Hade adalah sudut antara garis vertikal dengan bidang sesar dan

merupakan penyiku dari dip sesar. 7. Heave adalah komponen horizontal dari slip / separation, diukur pada

bidang vertikal yang tegak lurus jurus sesar.

Page 75: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 75

8. Throw adalah komponen vertikal dari slip / separation,diukur pada bidang vertikal yang tegak turus jurus sesar.

9. Slickensides yaitu kenampakan pada permukaan sesar yang memperlihatkan pertumbuhan mineral-mineral fibrous yang sejajar terhadap arah pergerakan.

Gambar 7.1 Anatomi Sesar

Gambar 7.2 Kenampakan sesar naik

Page 76: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 76

Sifat pergeseran sesar dapat dibedakan menjadi :

a. Pergeseran semu (separation). Jarak tegak lurus antara bidang yang terpisah oleh gejala sesar dan diukur pada bidang sesar. Komponen dari separation diukur pada arah tertentu, yaitu sejajar jurus (strike separation) dan arah kemiringan sesar (dip separation). Sedangkan total pergeseran semu ialah net separation namun pergeserannya bukan berdasarkan slip atau gores garis (Gambar 7.4)

b. Pergesaran relatif sebenarnya (slip) Pergeseran relatif pada sesar, diukur dari blok satu ke lainnya pada bidang sesar dan merupakan pergeseran titik yang sebelumnya berhimpit. Total pergeseran disebut Net Slip (Gambar 7.5)

Gambar 7.4 Gambar 7. 5

Net separation Net Slip (A – A’)

Page 77: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 77

7.4. KLASIFIKASI SESAR

Sesar dapat diklasifikasikan dengan pendekatan geometri yang berbeda, di mana aspek yang terpenting dari geometri tersebut adalah pergeseran. Atas dasar sifat pergeserannya, maka sesar dibagi menjadi : 7.4.1. Berdasarkan Sifat Pergeseran Semu (Separation) a. Strike separation - Left -separation fault

Jika pergeseran ke kirinya hanya dilihat dari satu kenampakan horizontal. - Right -separation fault.

Jika pergeseran ke kanannya hanya dilihat dari satu kenampakan horizontal. b. Dip separation - Normal -separation fault

Jika pergeseran normalnya hanya dilihat dari satu penampang vertikal. - Reverse -separation fault

Jika pergeseran naiknya hanya dilihat dari satu penampang vertikal. 7.4.2. Berdasarkan Sifat Pergeseran Relatif Sebenarnya (Slip) a. Strike slip Strike-slip fault yaitu sesar yang mempunyai pergerakan sejajar terhadap arah jurus bidang sesar kadang-kadang disebut wrench faults, tear faults atau transcurrent faults.

- Left -slip fault Blok yang berlawanan bergerak relatif sebenarnya ke arah kiri.

- Right -slip fault Blok yang berlawanan bergerak relatif sebenarnya ke arah kanan.

Gambar 7.6 Permodelan Sesar Strike-Slip (a) dextral, (b) sinistral

a b

Page 78: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 78

b. Dip slip. Dip-slip fault yaitu sesar yang mempunyai pergerakan naik atau turun sejajar terhadap arah kemiringan sesar

- Normal -slip fault. Blok hanging wall bergerak relatif turun.

- Reverse - slip fault. Blok hanging wall bergerak relatif naik.

Gambar 7.7 Permodelan Sesar Dip-Slip c. Oblique slip Oblique-slip fault yaitu pergerakan sesar kombinasi antara strike-slip dan dip-slip

- Normal left -slip fault. - Normal right -slip fault.

- Reverse left - slip fault. - Reverse right -slip fault.

- Vertikal oblique -slip fault.

Gambar 7.8 Permodelan Sesar Oblique Slip

Page 79: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 79

7.4.3 Indikasi sesar dilapangan Dilapangan sesar dapat dicirikan dengan....: 1. Zona sesar (shear zone)

- Breksi sesar 2. Bidang sesar

- Cermin sesar 3. Pergeseran Sesar

- drag fold - micro fold - offset

- Breksi Sesar

Gambar 7.9 kenampakan foto breksi sesar di lapangan

Highlite zona sesar - Milonit / Filonit dan Gouge

Gambar 7.10 kenampakan foto Milonit dan Gouge yang merupakan produk hancuran dari

suatu sesar

Breksi sesar

Page 80: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 80

- Slickensides (Cermin sesar) & Striation (gores-garis)

Gambar 7.11 kenampakan Slickenside pada bidang sesar dilapangan.

- Drag (Fault drag/Drag Fold)

Gambar 7.12 Drag Fold merupakan salah satu fenomena dari sebuah lipatan yang mengalami

pensesaran naik diakibatkan oleh rezim gaya Compression. Hal tersebut terjadi apabila gaya tegasan utama melebihi daya elastic dan plastisitas batuan.

7.5. ANALISIS SESAR DENGAN BANTUAN KEKAR

Contoh yang akan diberikan di bawah ini adalah untuk kasus di mana data-data sesar yang dijumpai di lapangan tidak menunjukkan adanya bukti pergeseran (slip indicator) Misalnya offset lapisan, drag fold dsb. Data yang didapat berupa unsur-unsur penyerta pada suatu jalur sesar biasanya terdiri dari kekar-kekar (Shear Fracture/SF dan Gash Fracture/GF) dan Breksiasi (zona hancuran)

Page 81: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 81

7.5.1 ALAT DAN BAHAN

1. Stereonet dan Pines. 2. Kalkir 20 x 20 = 4 lembar. 3. Alat tulis ( Pensil, pensil warna , penggaris , jangka ).

Contoh Kasus 1. Pada Lokasi Pengamatan (LP) 48 di Sungai Lhokseumawe terdapat jalur breksiasi pada satu satuan batuan yang memiliki sifat fisik cenderung brittle, sehingga berkembang dengan baik struktur penyerta rekahan terbuka (gash fracture) dan rekahan gerus (shear fracture) yang dapat dibedakan dengan jelas di lapangan, namun tidak dijumpai bidang sesar. Maka seorang mahasiswa geologi melakukan pengukuran kekar yang hasilnya sebagai berikut :

Tabel 7.1 Data untuk analisa sesar dengan bantuan kekar Shear Fracture N……˚E / …..˚ Gash Fracture N……˚E / …..˚

316/52 318/61 325/52 326/48 333/56 359/60

335/60 342/58 345/55 346/64 352/58 353/60

248/60 252/70 256/74 257/60 259/72 262/63

262/65 262/68 262/74 266/70 275/67 276/72

Breksiasi N…..˚ E

024 024 025

022 205 205

021 204 022

022 027 025

024 204 027

Page 82: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 82

Penyelesaian : 1. Memplotkan semua data SF dan GF pada kertas kalkir di atas "Polar Equal

Area Net" (Gambar 7.13) 2. Memplotkan hasil pengeplopatan SF dan GF pada kertas kalkir (nomor 1) pada

"Kalsbeek Counting Net", kemudian mulai menghitungnya (Gambar 7.14) 3. Membuat diagram kontur berdasarkan hasil perhitungan nomor 2 (Gambar

7.15) 4. Menghitung prosentase kerapatan data, yaitu (ketinggian/jumlah data) x 100

% (Gambar 7.15) 5. Membaca arah umum kedudukan dari SF dan GF dari titik tertinggi.

Didapatkan arah umum dari GF N 260 °E / 69 ° dan SF N 348° E/58°. 6. Menentukan arah umum dari breksiasi dengan diagram kipas, didapatkan N

024 ° E (Gambar 7.16) 7. Kemudian dari ketiga data arah umum tersebut melakukan analisis dengan

menggunakan Wulf Net (Gambar 7.17) Caranya : a. Mengeplotkan kedudukan umum SF dan GF. b. Perpotongan antara SF dan GF didapatkan titik σ2σ2' c. σ2σ2' diletakkan di sepanjang W-E stereonet, kemudian hitunglah 90° ke

arah pusat stereonet, kemudian buatlah busur melalui titik 90° tersebut maka didapat bidang bantu (garis putus-putus).

d. Perpotongan GF dengan bidang Bantu didapatkan titik σ1'. e. Mengeplotkan arah umum breksiasi. Kemudian diletakkan pada N-S

stereonet. Buatlah busur melalui σ2σ2' maka didapatkan bidang sesar. f. Perpotongan bidang sesar dengan bidang bantu adalah net slip. g. Mengukur kedudukan bidang sesar dan rake net slip. h. Bidang bantu diletakkan pada N-S stereonet. Perhatikan posisi SF dan GF. i. Apabila sudut antara σ1'dengan net slip yang diukur sepanjang bidang

Bantu mempunyai kisaran 45°-75°, maka pergerakan sesar menuju sudut lancipnya.

j. Sedangkan sudut antara SF dengan net slip mempunyai kisaran 15°-.45°, maka pergeseran sesar menuju sudut tumpulnya.(harding)

Page 83: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 83

k. Mengeplotkan arah pergeseran pada net slipnya (simbol pergeseran sesar). 8. Dari hasil analisis didapatkan sebagai berikut :

Bidang sesar : N 024 °E / 74° σ1 : 34°, N 230°E Net Slip : 30°, N 195°E σ2 : 54°, N 048°E Rake : 32° σ3 : 03°, N 014°E Gash fracture : N 260°E / 69° σ1’ : 26°, N 271°E Shear friacture : N 348°E/58° σ2': 54°, N 048°E σ3’ : 22°, N 196°E

9. Penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (Gambar 7.18). Caranya : merekonstruksi pergeseran sesar berdasarkan net slipnya, apakah naik atau turun dan kiri atau kanan. Misal slipnya adalah kiri - turun, maka pada diagram Rickard yang ditutup pada bagian kanan dan naik. Kemudian data dip sesar dan rake net slip dimasukkan. Nama sesar dibaca sesuai dengan nomor yang terdapat pada kotak.

10. Berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972, nama sesarnya adalah Normal Right Slip Fault. (nomor 11)

Gambar 7.13

Plot kedudukan SF dan GF dalam "Polar Equal Area Net"

Gambar 7.14 Perhitungan nilai kontur pada

kalsbeek net

Page 84: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 84

Gambar 7.15 Penggambaran kontur dan perhitungan prosentase berdasarkan

perhitungan nilai kontur pada kalsbeek net

Gambar 7.16 Arah umum breksiasi

Gambar 7.16 Arah umum sumbu panjang breksias

Arah Umum

Page 85: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 85

22’

Gambar 7.17 Analisis sesar pada Wulf Net dengan hasil

Bidang sesar : N 024 °E / 74° σ1 : 34°, N 230°E Net Slip : 30°, N 195°E σ2 : 54°, N 048°E Rake : 32° σ3 : 03°, N 314°E Gash fracture : N 260°E / 69° σ1’ : 26°, N 271°E Shear fracture : N 348°E/58° σ2': 54°, N 048°E σ3’ : 22°, N 196°E

Page 86: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 86

0

10

45

80

90

80

45

10

0

0

10

45

80

90

80

45

10

1

2

6

3 5

4

7

8

9

10

11

12

14

17

16

18

13

15

19

2022

21

45

4545

45

Thru

stLa

gN

orm

al S

lipR

ever

se S

lipRight SlipLeft Slip

Pitch o

f net

slip

Dip of fault

Dip

of f

ault

10

20

3040

5060

70

80

90

80

70

60

50

40

30

20

10

0102030405060708090

Gambar 7.18 Diagram klasifikasi sesar menurut Rickard, 1972

1. Thrust Slip Fault 12. Lag Slip Fault 2. Reverse Slip Fault 13. Normal Slip Fault 3. Right Thrust Slip Fault 14. Left Lag Slip Fault 4. Thrust Right Slip Fault 15. Lag Left Slip Fault 5. Reverse Right Slip Fault 16. Normal Left Slip Fault 6. Right Reverse Slip Fault 17. Left Normal Slip Fault 7. Right Slip Fault 18. Left Slip Fault 8. Lag Right Slip Fault 19. Thrust Left Slip Fault 9. Right Lag Slip Fault 20. Left Thrust Slip Fault 10. Right Normal Slip Fault 21. Left Reverse Slip Fault 11. Normal Right Slip Fault 22. Reverse Left Slip Fault

Page 87: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 87

Gambar 7.20 Simple – Shear model dalam himpunan suatu system “ Wrench Fault “ , Harding 1974.

Page 88: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 88

Gambar 7.21(A) Sesar berskala besar dengan pergeseran berpuluh-puluh kilometer (B) Sesar berskala kecil dengan pergeseran 60 cm

Page 89: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 89

BAB 8

L I P A TA N

8.1.TUJUAN.

a. Mengetahui definisi lipatan dan mekanisme gaya yang membentuk lipatan.

b . Mengetahui unsur – unsur lipatan, jenis dan klasifikasi lipatan c. Mampu menganalisa dan merekonstruksi lipatan.

8.2.DEFINISI

Lipatan merupakan hasil perubahan bentuk dari suatu bahan yang ditunjukkan sebagai lengkungan atau kumpulan dari lengkungan pada unsur garis atau bidang di dalam bahan tersebut. Pada umumnya di dalam lipatan akan terdapat bidang perlipatan, foliasi, dan liniasi. Mekanisme gaya yang menyebabkannya ada dua macam :

1. Bending (pelengkungan), disebabkan oleh gaya tekan yang arahnya tegak

lurus permukaan lempeng (Gambar 8.1.a) 2. Buckling (melipat) disebabkan oleh gaya tekan yang arahnya sejajar

dengan permukaan lempeng (Gambar 8.1.b)

Gambar 8.1

Mekanisme gaya yang menyebabkan terbentuknya lipatan (a) Bending, (b) Buckling

Page 90: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 90

8.3. UNSUR – UNSUR LIPATAN.

Hinge, adalah titik pelengkungan maksimum dari lipatan. Hinge line / axial line merupakan garis khayal yang menghubungkan titik-titik pelengkungan maksimum tersebut. Sedangkan Hinge surface / Axial surface adalah bidang khayal dimana terdapat semua hinge line dari suatu lipatan.

Crest, adalah titik tertinggi dari lipatan. Crestal line merupakan garis khayal yang menghubungkan titik-titik tertinggi pada lipatan tersebut. Sedangkan Crestal surface adalah bidang khayal dimana terdapat semua Crestal line.

Trough, adalah titik dasar terendah dari lipatan. Trough line merupakan garis khayal yang menghubungkan titik-titik dasar terendah pada lipatan. Trough surface adalah bidang khayal dimana terdapat semua trough line pada suatu lipatan.

Plunge, sudut penunjaman dari hinge line terhadap bidang horizontal dan diukur pada bidang vertikal.

Bearing, sudut horizontal yang dihitung terhadap arah tertentu dan ini merupakan arah dari penunjaman suatu hinge line / axial line.

Rake, sudut antara hinge line / axial line dengan bidang / garis horizontal yang diukur pada axial surface.

Page 91: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 91

Gambar 8.2.a Unsur-unsur Lipatan

Gambar 8.2.b Unsur-unsur Lipatan

Page 92: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 92

8.4. Jenis-jenis Lipatan.

1. Antiklin, struktur lipatan dengan bentuk convex (cembung) di mana lapisan batuan yang tua berada di bagian tengah lipatan.

2. Sinklin, struktur lipatan dengan bentuk concave (cekung) di mana lapisan batuan yang muda berada di bagian luar lipatan.

3. Antiform, struktur lipatan seperti antiklin namun umur batuan tidak diketahui.

4. Sinform, struktur lipatan seperti sinklin namun umur batuan tidak diketahui.

5. Sinklin Antiformal, struktur lipatan dengan bentuk convex (cembung) di mana lapisan batuan seperti sinklin.

6. Antiklin Sinformal, struktur lipatan dengan bentuk concave (cekung) di mana lapisan batuan seperti antiklin.

7. Struktur kubah (Dome) yaitu suatu jenis tertentu antiklin di mana lapisan batuan mempunyai kemiringan ke segala arah yang menyebar dari satu titik.

8. Struktur depresi (Basinal) adalah suatu jenis unik sinklin di mana kemiringan lapisan batuan menuju ke satu titik.

Page 93: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 93

Gambar 8.3 a. Antiklin dan Sinklin (penampang melintang). b. Antiform dan Sinform (penampang

melintang). c. Antiklin dan Sinklin dengan penunjaman ganda (kenampakan peta). d. Dome dan basin (kenampakan peta). e. Antiformal sinklin dan Sinformal Antiklin (dalam penampang melintang), C,O dan S menunjukan batuan berumur Kambrium,

Ordovisium, dan Silur ( Moore, 1992,hal 224 )

Page 94: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 94

8.5. Klasifikasi Lipatan.

Klasifikasi lipatan yang digunakan dalam praktikum ini adalah klasifikasi menurut Fluety, 1964 dan Rickard 1971 .

1. Fluety,1964

a. Berdasarkan besarnya "interlimb angle" Tabel 8.1

Klasifikasi lipatan berdasarkan interlimb angle ( Fleuty, 1964 )

Interlimb Angle Description of Fold 1800 – 1200

1200-700

700-300

300-00

00

Negative Angle

Gentle

Open Close Tight

Isoclinal Mushroom

b. Berdasarkan besarnya dip dari hinge surface dan plunge dari hingeline, dibedakan atas :

Tabel 8.2. Klasifikasi lipatan berdasarkan dip dari sumbu lipatan dan

plunge dari hinge line (Fluety, 1964)

Angle Term Dip of H. Surface Plunge of H. Line 00

10-100

100-300

300-600

600-800

800-890

900

Horizontal

Subhorizontal Gentle Moderate Steep Subvertical Vertical

Recumbent Fold

Recumbent Fold Gentle Inclined Fold Moderately Inclined Fold Steeply Inclined Fold Upright Fold Upright Fold

Horizontal Fold

Horizontal Fold Gentle Plunging Fold Moderately Plunging Fold Steeply Plunging Fold Vertical Fold Vertical Fold

Contoh penamaan lipatan :

Misalkan didapat besarnya dip of hinge surface 65° dan plunge of hinge line 15°, maka untuk penamaan lipatannya dikombinasikan sehingga menjadi Steeply inclined gently plunging fold (Fluety, 1964).

Page 95: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 95

2. Rickard, 1971

Dalam klasifikasi ini digunakan diagram segitiga seperti Gambar 8.5. Klasifikasi ini berdasarkan pada nilai besarnya kemiringan hinge surface, penunjaman hinge line dan pitch/rake hinge surface.

Cara penggunaannya:

Misal didapatkan dip dari hinge surface 70° dan plunge dari hinge line 45 °. Plotkan kedua nilai tersebut pada diagram segitiga 1 (Gambar 8.4.a). Sehingga didapat nilai perpotongannya. Letakkan di atas diagram segitiga ke-2, (Gambar 8.4.b) maka titik tadi akan menunjukkan jenis lipatannya yaitu Inclined fold (Gambar 8.4.c)

Page 96: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 96

Gambar 8.4.a Gambar 8.4.b

Gambar 8.4.c Klasifikasi lipatan berdasarkan dip, sumbu lipatan, rake

dan plunge dari hinge line (Rickard, 1971

Page 97: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 97

8.6. ANALISA LIPATAN

Analisis Lipatan dilakukan untuk mengetahui arah lipatan, kedudukan bidang sumbu dan garis sumbu, bentuk lipatan, penunjaman dan pola tegasan yang berpengaruh terhadap pembentukan lipatan. Di samping itu analisis ini juga bertujuan untuk mengetahui jenis suatu struktur lipatan (klasifikasinya) secara deskriptif. Untuk struktur lipatan berukuran kecil (micro fold) dan bentuk tiga dimensinya dapat ditafsirkan, analisisnya dilakukan di lapangan dengan cara mengukur langsung unsure – unsurnya (kedudukan bidang dan garis sumbu lipatan, bentuk lipatan, dan arah penunjaman). Analisis untuk lipatan yang berskala besar (major fold) di dasarkan pada:

1. Mengukur kedudukan struktur bidang yang terlipat, yaitu bidang perlapisan (bedding orientation) pada batuan sedimen dan bidang-bidang foliasi pada batuan metamorf.

2. Mengukur kedudukan Cleavage (Cleavage Orientation) yaitu rekahan rapat yang berorientasi sejajar dan umumnya, sejajar pula dengan kedudukan bidang sumbu lipatan (Axial Plane Cleavages).

3. Mengukur bidang-bidang dan garis-garis sumbu lipatan-lipatan kecil (hingelines of small fold).

4. Mengukur perpotongan bidang-bidang perlapisan dengan Cleavage (Cleavage Bedding Intersection).

Analisis Lipatan dengan menggunakan Wulf Net 1. Masukkan kedudukan umum sayap lipatan yang didapatkan dari

diagram kontur (titik potongnya adalah σ2 ) (Gambar 8.5) 2. Membuat garis dari pusat lingkaran melalui σ2: garis ini adalah garis

sumbu lipatan. 3. Membuat bidang sumbu lipatan:

Membuat bidang bantu dengan cara menarik garis tegak lurus sumbu lipatan dan membuat busur pada garis tersebut sebesar 90°

dari titik σ2.

Page 98: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 98

Busur bidang bantu akan memotong bidang-bidang sayap lipatan di L1 dan L2.

Titik tengah perpotongan antara dua sayap lipatan adalah σ3

(baik lancip maupun tumpul). σ 1 dibuat 90° dari σ3 pada bidang

bantu di mana bidang bantu tetap pada posisi NS. Buatlah : hinge-surface dengan menghubungkan σ2 dan σ3.

4. Bacalah kedudukan hinge surface dan hinge linenya dan tentukan jenisnya dengan menggunakan klasifikasi Rickard atau Fluety.

δ 1

δ 2

Gambar 8.5 Analisis lipatan pada Wulf Net dengan hasil: Sayap Lipatan 1 : N 174 °E / 35° σ1 : 12° , N 285°E Sayap Lipatan 2 : N 030 °E / 15° σ2 : 08°, N 182°E Hinge Surface : N 016 °E / 82° σ3 : 64°, N 057°E Hinge Line : 9°,N 182°

Upright Horizontal fold (Fluety, 1964) Upright Horizontal fold (Rickard, 1971)

Page 99: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 99

8.7. REKONSTRUKSI LIPATAN

Rekonstruksi lipatan umumnya dilakukan berdasarkan hasil pengukuran kedudukan lapisan dari lapangan, atau pembuatan suatu penampang dari peta geologi. Rekonstruksi lipatan hanya dilakukan pada batuan sedimen dan berdasarkan pada suatu lapisan penunjuk (key bed).

1. Metode Busur Lingkaran (arc method) Metode ini dipakai untuk lipatan pada batuan yang competent, misalnya

lipatan parallel. Dasar dari metode ini adalah anggapan bahwa lipatan merupakan bentuk busur dari suatu lingkaran dengan pusatnya adalah perpotongan antara sumbu-sumbu kemiringan yang berdekatan.

Rekonstruksinya dapat dilakukan dengan menghubungkan busur lingkaran secara langsung bila data yang ada hanya kemiringan dan batas lapisan hanya setempat. Contoh : Pada lintasan tepat timur-barat dari suatu penyelidikan, didapatkan data pengukuran kemiringan (dip lapisan) dengan jurus utara-selatan. Dimulai dari

lokasi A paling barat berturut-turut sebagai berikut: A=200 E, B=100 W ( A dan

B merupakan batas lithologi yang sama), C=450 W, D=100 W, E=horizontal,

F=250 E, G=750 E, H=500 E, I=200 E. Permasalahan : Rekontruksi bentuk lipatan daerah tersebut. Rekontruksi : (Gambar 8.6)

1. Buat garis sumbu kemiringan lapisan pada setiap lokasi pengukuran 2. Garis-garis sumbu tersebut akan saling berpotongan di titik O1,O2,O3 dst. 3. Maka titik-titik O1,O2,O3 dst tersebut sebagai pusat lingkaran untuk

membuat busur sebagai rekonstruksi lipatannya.

Page 100: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 100

4. Apabila batas-batas lapisannya dijumpai berulang pada lintasan yang akan direkonstruksi, maka pembuatan busur lingkaran dilakukan dengan intrapolasi.

Rekonstruksi cara interpolasi dapat dikerjakan menurut cara Higgins (1962) dan cara Busk (1928).

Gambar 8.6 Rekonstruksi lipatan Arc Method

Page 101: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 101

2. Metode Interpolasi Higgins (1962) Pada lintasan / penampang arah E-W, di lokasi A dan B dijumpai batas

lapisan yang sama dengan kedudukan yang berlawanan. Di lokasi A kemiringan

400 ke barat dan B miring ke timur sebesar 600. Permasalahan : Rekontruksi bentuk lipatan daerah tersebut. Rekontruksi :(Gambar 8.7)

1. Tarik garis tegak lurus dan sama panjang dari A (A-OA) dan B (B-D) sehingga berpotongan di titik C.

2. Hubungkabn titik D dan Oa serta buatlah bisektor D-Oa sehingga memotong garis BD di Ob .

3. Tarik garis Oa-Ob sampai melewati batas busur yang akan di buat (garis ini merupakan batas busur lingkaran).

4. Buatlah busur dari titik A dengan pusat di Oa sampai memotong garis Oa-Ob di titik F.

5. Buatlah busur dari titik B dengan pusat di Ob dan memotong garis Oa-Ob di titik F (busur dari titik A dan titik B bertemu di garis Oa-Ob).

Gambar 8.7 Rekonstruksi lipatan metode Interpolasi Higgins (1962)

Page 102: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 102

3. Metode Interpolasi Busk (1929) Contoh : Pada lintasan arah E-W dijumpai batas lapisan yang sama di lokasi A dan

D,masing- masing kemiringannya 500 ke timur dan 650 ke barat. Di lokasi B dan C

dijumpai singkapan dengan masing-masing kemiringannya 350 ke barat dan 500 ke timur. Permasalahan : Rekontruksi bentuk lipatan daerah tersebut. Rekontruksi :(Gambar 8.8)

1. Secara teoritis bentuk lipatan adalah AHIJ dengan pusat lingkaran di O1, O2 dan O3.

2. Buat garis sumbu di A, B, C dan D 3. Buat busur lingkaran dengan pusat O1 dan O3, sehingga memotong garis sumbu

kemiringan di titik H dan K. 4. Melalui H dan K tarik garis HM dan Kt masing-masing tegak lurus pada garis

sumbu kemiringan serta berpotongan di N. 5. Melalui N tarik garis OP tegaklurus AD (arah lintasan / penampang) sehingga

memotong garis sumbu kemiringan di R dan S. AHIJ, dengan pusat busur lingkaran di R dan S

6. Maka titik R sebagai pusat busur lingkaran dengan jari-jari RK dan titik S sebagai pusat busur lingkaran dengan jari-jari SH

8. Lipatannya dapat direkonstruksi yaitu AHTKD.

Page 103: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 103

O1 L O M

W N O3 E

A

350

B

250

H

A C

340

K

D J

650

I R

O2

S

P Gambar 8.8

Rekonstruksi lipatan metode interpolasi Busk (1929)

Page 104: Buku Panduan Praktikum00

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 104

4. Kombinasi Metode Busur Lingkaran (Arc Method) dan Free Hand Method Kombinasi ini digunakan untuk lipatan yang melibatkan batuan incompetent, dimana terjadi penipisan dan penebalan yang tak teratur. Free Hand Method khusus pada interpolasi yang tidak dapat dilakukan dengan Arc Method (Gambar 8.9)

Gambar 8.9 Rekonstruksi lipatan dengan metode gabungan

Arc Method dan Free Hand Method

Page 105: Buku Panduan Praktikum00

105 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

5. Metode Kink Metode kink merupakan metode rekontrusi penampang dengan menggunakan

”dip domain” sebagai batas dimana suatu kemiringan lapisan berubah. Lipatan yang

terbentuk pada jalur anjakan lipatan umumnya tidak membentuk suatu kurva halus

namun justru membentuk beberapa”dip domain” sesuai dengan perubahan dip yang ada

(Usdansky & Groshong, 1984; Fail, 1969 op cit Marshak & Woodward, 1988).

Penggunaan metode kink dalam restorasi penampang seimbang sangat berperan penting

karena memudahkan dalam perhitungan panjang lapisan dan luas area lapisan.

Langkah pertama dalam rekonstruksi penampang dengan menggunakan metode

kink yaitu dengan penyajian data kedudukan lapisan dan data batas satuan stratigrafi

sebagai data dasar. (Gambar8.10).

Gambar 8.10 Penyajian data kedudukan pada penampang

(Wotjal,1988 dalam Marshak dan Mitra, 1988).

Page 106: Buku Panduan Praktikum00

106 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Kemudian penentuan domain dip dilakukan dengan cara membuat garis bagi sudut

antara dua kemiringan lapisan yang berbeda. (Gambar 8.11).

Gambar 8.11 Penentuan domain dip diantara dua kedudukan

(Wotjal,1988 dalam Marshak dan Mitra, 1988).

Setelah semua domain dip dibuat berdasar kan setiap adanya perubahan

kemiringan lapisan, kemudian tiap-tiap batas stratigrafi ditarik berdasarkan domain

kemiringan lapisan tersebut sehingga terbentuk profil penampang akhir yang lengkap.

(Gambar 8.12).

Gambar8.12 Profil lengkap dari struktur lipatan

(Wotjal,1988 dalam Marshak dan Mitra, 1988).

Page 107: Buku Panduan Praktikum00

107 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

BAB 9

ANALISIS ARUS PURBA DENGAN PROYEKSI STEREOGRAFI

9.1. TUJUAN a. Mengetahui definisi dari arus purba dan struktur sedimen yang dapat

digunakan untuk analisis arus purba b. Mampu menganalisis arus purba

9.2.DEFINISI

Analisis arus purba (paleo current), merupakan analisis untuk mengetahui asal arah (sumber) dari mana batuan sedimen tersebut diendapkan, dan hal ini lebih ditekankan pada analisa orientasi dari cekungan-cekungan sedimen dan tubuh-tubuh batupasir yang ada.

Penentuan atau analisa arus purba dapat dilakukan dengan menggunakan struktur sedimen, khususnya pada struktur-struktur sedimen yang dapat memperlihatkan indikasi arah transport sedimen, baik berupa bidang maupun garis. Beberapa struktur tersebut antara lain :

Cross bedding Flute cast (Gambar 9.1) Groove cast Ripple mark (asimetri) Dll

Dalam penentuan atau analisa arus purba dengan menggunakan struktur sedimen di atas harus memperhatikan geometri dari struktur sedimen tersebut baik berupa bidang atau berupa garis,karena terdapat perbedaan khas dalam cara penentuan arah arus purbanya, antara lain:

Pada struktur sedimen dengan geometri garis, arah arus purba akan searah dengan sumbu dari struktur sedimen. Struktur sedimen tersebut antara lain: flute cast, groove cast, dll.

Page 108: Buku Panduan Praktikum00

108 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 9.1 a) Kenampakan arah arus dari Flute Cast

b) Kenampakan struktur Flute Cast

Pada struktur sedimen dengan geometri bidang, arah arus purba akan tegak

lurus jurus struktur sedimen tersebut dan searah dengan dip perlapisan. Struktur sedimen tersebut antaralain : cross bedding,ripple mark, dll. 9.3 ANALISIS ARUS PURBA 9.3.1 Alat Dan Bahan

1. Stereonet , pines & kalkir 20 X 20 cm =3 lembar 2. Alat tulis (Pensil, pensil warna).

9.3.2 Analisis Arus Purba Pada lokasi pengamatan di daerah Singkawang didapati data hasil pengukuran berupa kedudukan batupasir N 0420 E / 500, dan dijumpai juga struktur sedimen flute cast dengan arah bearing N 0700 E. Penyelesaian: 1. Gambarkan kedudukan bidang dimana flute cast tersebut terdapat yaitu N 0420 E / 500 . (Gambar 9.2) 2. Gambarkan arah bearing dari flute cast yaitu N 0700 E.

Arah arus

Arah arus

a

b

Page 109: Buku Panduan Praktikum00

109 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

3. Perpotongan antara stereogram bidang perlapisan batupasir dengan bearing dari flute cast akan didapatkan plunge dari flute cast yaitu 290 . 4. Untuk menentukan kedudukan aslinya yaitu dengan cara menghorizontalkan kedudukan bidang dengan sumbu putarnya pada strike bidang perlapisan tersebut. 5. Tempatkan strike bidang perlapisan pada arah utara-selatan stereonet. 6. Pada perpotongan bearing flute cast dengan bidang perlapisan dihubungkan ke lingkaran primitif stereonet dengan jaring-jaring kecil. 7. Arah arus purba adalah perpotongan antara lingkaran primitif dengan jaring-jaring tersebut diukur dari arah utara stereonet sepanjang lingkaran primitif. (Gambar 9.2)

Page 110: Buku Panduan Praktikum00

110 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

N

S

EW

kedu

dukan

batup

asir

bearing flutecast

arah arus purba

Gambar 9.2 Tahapan Analisis Arus Purba

Kedudukan Batupasir : N 0420 E / 500

Flute Cast: 290 , N 0700 E Kedudukan Asal Batupasir : N 0420 E / 00

Flute Cast Asal : 00 , N 0810 E Arah Arus Purba: N 0810 E

Page 111: Buku Panduan Praktikum00

111 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

BAB 10 PETA GEOLOGI

10.1. TUJUAN

a. Memahami definisi peta geologi dan unsur-unsurnya. b. Memahami pola singkapan, tebal, kedalaman dan pembuatan penampang geologi d. Membaca dan memahami dasar-dasar pembuatan peta geologi.

10.2. PENDAHULUAN

Permukaan bumi merupakan salah satu bagian yang harus dipelajari dalam penguasaan ilmu geologi karena ekspresi topografi dapat menunjukkan keadaan geologi baik struktur maupun litologinya. Dengan demikian, geomorfologi sangat terkait dalam mempelajari geologi struktur. Bentukan-bentukan morfologi yang kita jumpai sekarang merupakan hasil dari gaya yang bekerja baik itu berasal dari dalam maupun dari luar bumi. Bentukan-bentukan tersebut akan berbeda-beda bentuknya tergantung dari sistem yang mempengaruhinya. Misalnya, perkembangan sistem tektonik di suatu daerah akan memberikan konstribusi bagi perkembangan struktur geologi yang secara langsung maupun tidak langsung akan terilustrasi dipermukaan.

Pada sisi lain litologi juga berperan dalam mengekspresikan topografi. Nilai resisten dan tidaknya litologi akan memberikan relief yang berbeda-beda di permukaan. Litologi yang keras (resisten) cenderung membentuk relief yang lebih menonjol (tinggi) daripada daerah dengan litologi yang lebih lunak (kurang resisten). Misalnya daerah yang disusun oleh litologi batugamping (resisten) akan membentuk suatu pola bentang alam "karst topography" sebagai pola yang sangat khas (tersendiri). Bentukan yang berlainan dari kedudukan litologi dan bentuk morfologi mengakibatkan terbentuknya pola penyebaran litologi di permukaan atau disebut pola singkapan.

Page 112: Buku Panduan Praktikum00

112 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Dalam membaca dan memahami dasar-dasar pembuatan peta geologi dibutuhkan pengertian unsur-unsur pendukung peta geologi.

10.3. DEFINISI Peta geologi Peta geologi adalah bentuk informasi geologi suatu daerah / wilayah / kawasan dengan tingkat kualitas yang tergantung pada skala peta dan menggambarkan informasi tektonik, stratigrafi, struktur, jenis dan sifat batuan yang disajikan dalam bentuk gambar dengan warna, simbol dan corak atau gabungan ketiganya. Pola singkapan Perpotongan antara bidang litologi dan bidang permukaan bumi. Peta lintasan Suatu peta yang menggambarkan lintasan, lokasi pengamatan, dan hasil pengamatan lapangan (litologi, struktur, pengambilan sample dan gejala geologi yang lain, misalnya mata air, gerakan tanah, penambangan). Penampang geologi Gambaran secara vertikal bawah permukaan geologi suatu daerah, sehingga dari gambaran ini akan diketahui hubungan antara satu dengan yang lain. Legenda Keterangan litologi yang disusun secara stratigrafis. Keterangan Menjelaskan simbol-simbol dalam peta. Tebal lapisan Jarak terpendek antara dua bidang sejajar yang merupakan batas bawah dan atas (top & bottom) lapisan tersebut. Kedalaman Jarak vertikal dari ketinggian tertentu (umumnya permukaan bumi) ke arah bawah terhadap suatu titik, garis atau bidang.

Page 113: Buku Panduan Praktikum00

113 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

10.4. POLA SINGKAPAN Faktor-faktor yang mempengaruhi luas dan bentuk pola singkapan suatu lapisan batuan: 1. Ketebalan lapisan Ketebalan suatu lapisan menentukan luas sebaran pola singkapannya. 2. Kemiringan lapisan

Kemiringan lapisan yang berbeda akan menunjukkan pola singkapan berbeda pula meskipun slope dan ketebalan lapisannya sama.

3. Bentuk morfologi Morfologi yang berbeda akan memberikan pola singkapan yang berbeda meskipun dalam lapisan dengan tebal dan dip yang sama, dikenal dengan hukum V (V rule).

4. Bentuk struktur lipatan Struktur lipatan akan membentuk pola singkapan yang khas. Untuk lipatan yang menunjam yang terdiri dari sinklin dan antiklin, akan membentuk pola "zig-zag", biasanya menunjukan ekspresi topografi punggungan.

10.4.1 Contoh Soal 1. Pada pemetaan geologi di daerah "SAMAN" diperoleh data-data bahwa di

lokasi A tersingkap kontak antara batupasir dan lanau. Setelah dilakukan pengukuran didapatkan kedudukan N 090°E /20°. Data tersebut terplotkan dalam peta (Gambar 10.1). Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana membuat pola singkapan (peta geologi) daerah tersebut, dan bagaimana kedudukan stratigrafinya.

Page 114: Buku Panduan Praktikum00

114 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Tahap penyelesaian : 1. Membuat kemiringan bidang lapisan sebesar 20° diukur dari folding line

(garisOB). 2. Membuat kontur struktur di bawahnya dengan interval yang disesuaikan

dengan skala peta 3. Memberi tanda titik pada setiap perpotongan antara kontur struktur

dengan garis kontur yang mempunyai ketinggian sama. 4. Menghubungkan titik-titik potong yang sudah ditandai tersebut secara

berurutan. Garis penghubung tersebut merupakan pola singkapannya, sehingga didapatkan peta geologi daerah “SAMAN”. Dari peta tersebut dengan memperhatikan arah kemiringan lapisan maka disimpulkan bahwa batupasir terletak dibawah batulanau

Gambar 10.1 Rekonstruksi pola singkapan daerah Saman berdasarkan batas litologi batulanau dan

batupasir dengan kedudukan N 090° E/20°

dip

strike

Page 115: Buku Panduan Praktikum00

115 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

10.5 Hukum "V" (V Rule)

Hukum ini menyatakan hubungan antara lapisan yang mempunyai kemiringan dengan relief topografi yang menghasilkan suatu pola singkapan. Hukum tersebut sebagai berikut :

Gambar 10.3 Ekspresi Hukum “V” yang menunjukkan hubungan kedudukan lapisan dengan morfologi

a b c

d e f

a b c

d e f

Page 116: Buku Panduan Praktikum00

116 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Penjelasan Gambar 10.2

a. Lapisan horisontal akan membentuk pola singkapan yang mengikuti pola garis kontur (Gambar 10.2.a).

b. Lapisan dengan dip berlawanan arah dengan slope akan membentuk pola singkapan berbentuk huruf "V" yang memotong lembah dimana pola singkapannya berlawanan dengan arah kemiringan lembah (Gambar 10.2.b).

c. Lapisan tegak akan membentuk pola singkapan berupa garis lurus, dimana pola singkapan ini tidak dipengaruhi oleh keadaan topografi (Gambar 10.2.c).

d. Lapisan dengan dip searah dengan arah slope dimana dip lapisan lebih besar dari pada slope, akan membentuk pola singkapan dengan huruf “V" mengarah sama (searah) dengan arah slope (Gambar 10.2.d).

e. Lapisan dengan dip searah dengan slope dan besarnya dip sama dengan slope, maka pola singkapannya terpisah oleh lembah (Gambar 10.2.e.)

f. Lapisan dengan dip yang searah dengan slope, dimana besar dip lebih kecil dari slope, maka pola singkapannya akan membentuk huruf "V" yang berlawanan dengan arah slope (Gambar 10.2.f) Penggambaran kenampakan 3 dimensi hukum “v” dan peta kontur dapat dilihat pada Gambar 10.3

Page 117: Buku Panduan Praktikum00

117 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 10.3 Pendekatan real Ekspresi Hukum “V” pada blok peta kontur

Page 118: Buku Panduan Praktikum00

118 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

10.6. PENENTUAN KEMIRINGAN SEMU

Dalam penggambaran lapisan pada penampang geologi jika sayatan tidak tegak lurus dengan strike, maka kita tidak bisa langsung menggunakan kemiringan yang diukur (true dip). Untuk itu kita harus menggunakan apparent dip (kemiringan semu). Nilai ini didapatkan dengan cara mengkoreksi true dip. Penentuan nilai apparent dip (kemiringan semu) didapat dengan beberapa cara, yaitu :

1. Menggunakan rumus. 2. Menggunakan Alignment Diagram (Gambar 10.4.). 3. Menggunakan Tabel 10.1

A. Rumus ini digunakan untuk menghitung koreksi dip :

Arc Tg β = Tg α . Sin δ Dimana : β: Kemiringan semu (apperent dip) α: Kemiringan sebenarnya (true dip). δ : Sudut antara strike dengan arah sayatan penampang geologi

B. Dengan menggunakan Alignment Diagram - Cari angle between strike of beds and line section (sudut antara strike

lapisan dengan arah sayatan) - Hubungkan dengan true dip (dip lapisan) - Maka akan didapatkan apparent dip (dip semu)

Page 119: Buku Panduan Praktikum00

119 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 9.6.

Gambar 10.4 Cara mendapatkan apparent dip dengan Alignment Diagram

Angle between strike of beds and line of section 300

Apparent dip 400

True dip 600

Page 120: Buku Panduan Praktikum00

120 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

C. Dengan Menggunakan Tabel (konsepnya sama seperti penggunaan

Alignment Diagram)

Tabel 10.1 pembacaan koreksi dip berdasarkan sudut yang dibentuk antara strike dan dip direction

Page 121: Buku Panduan Praktikum00

121 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

10.7. MEMBUAT PENAMPANG GEOLOGI

Syarat utama dalam pembuatan penampang geologi adalah tegak lurus dengan arah umum strike, hal ini akan mengurangi faktor kesalahan dalam mengeplotkan dip pada penampang. Jika penarikan garis tidak tegak lurus dengan strike maka didapatkan adalah apparent dip (kemiringan semu) yang tentu saja besarnya akan berbeda dengan true dip (pembuatan penampang struktur lipatan lihat pada bab lipatan).

Sebagai contoh : Pada suatu peta geologi ( Gambar 10.5) dibuat penampang geologi melalui A-A’ Rekonstruksinya adalah : 1. Membuat sayatan dengan arah tegak lurus dengan strike. 2. Membuat Base Line yang panjangnya sama dengan panjang garis sayatan. 3. Membuat End line membaginya sesuai dengan ketinggian yang kita

dapatkan tidak harus dimulai dengan angka nol. 4. Mengeplotkan ketinggian kontur yang terpotong dengan sayatan dan

menghubungkannya. 5. Menggambarkan keadaan geologi termasuk di dalamnya pengeplotan

kemiringan lapisan serta strukur geologi yang berkembang di daerah / sayatan tersebut

Page 122: Buku Panduan Praktikum00

122 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 10.5 Kenampakan penyebaran batuan pada penampang tegak lurus strike dan kenampakan urutan stratigrafinya

Page 123: Buku Panduan Praktikum00

123 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 9.5. Rekonstruksi Sayatan

Gambar 10.6 a) Peta geologi terintegrasi dengan, b) penampang geologi, c) kolom stratigrafi

b

a

c

Page 124: Buku Panduan Praktikum00

124 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

10.8. TEBAL DAN KEDALAMAN

Tebal lapisan adalah jarak terpendek antara dua bidang sejajar yang merupakan batas bawah dan atas (top & bottom) suatu lapisan. Karena itu, dengan kata lain perhitungan ketebalan adalah jarak tegak lurus antara dua bidang yang merupakan batas top & bottom lapisan tersebut (Gambar 10.7). Jika pengukuran di lapangan dilakukan tidak tegak lurus strike maka jarak dan sudut terukur di lapangan perlu dikoreksi terlebih dahulu (Gambar 10.8).

Kedalaman ialah jarak vertikal dari ketinggian tertentu (umumnya permukaan bumi) ke arah bawah terhadap suatu titik, garis atau bidang (Gambar 10.7)

10.8.1. KETEBALAN

Ketebalan lapisan bisa ditentukan dengan beberapa cara, baik secara langsung maupun yang tidak langsung. Pengukuran secara langsung dapat dilakukan pada suatu keadaan tertentu, misalnya lapisan horisontal yang tersingkap pada tebing vertikal (Gambar 10.8 a). Lapisan vertikal yang tersingkap pada topografi datar (Gambar 10.8 b). Apabila keadaan medan, struktur yang rumit, atau keterbatasan alat yang dipakai tidak memungkinkan pengukuran secara langsung, diadakan pengukuran secara tidak langsung, tetapi sebaiknya diusahakan pengukuran mendekati secara langsung.

Pengukuran tidak langsung yang paling sederhana adalah pada lapisan miring, tersingkap pada permukaan horisontal, di mana lebar singkapan sebenarnya (diukur tegak lurus jurus), yaitu w (Gambar 10.7). Dengan mengetahui kemiringan lapisan (δ) maka ketebalannya:

t= w sin δ (Gambar 10.7) Apabila pengukuran lebar singkapan tidak tegak lurus (l) maka lebar

singkapan sebenarnya (w) harus dikoreksi lebih dahulu dengan rumus w = l sin ß, di mana ß adalah sudut antara jurus dengan arah pengukuran. Ketebalan yang didapat adalah:

t= l sin ß sin δ

Page 125: Buku Panduan Praktikum00

125 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 10.7

Pengukuran tebal (a) kenampakan permukaan, (b) kenampakan bawah permukaan

Gambar 10.8

Pengukuran tebal secara langsung pada (a) lapisan vertikal dan (b) lapisan horizontal

Page 126: Buku Panduan Praktikum00

126 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Cara yang sama dapat dipakai apabila pengukuran lebar singkapan dilakukan pada topografi miring dengan slope tertentu. Dalam hal ini ketebalan merupakan fungsi dari dip ( δ ) dan slope ( σ ). Beberapa posisi lapisan dengan slope tertentu dan perhitungan ketebalannya ditunjukkan pada Gambar 10.9

Pendekatan lain untuk mengukur ketebalan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan mengukur jarak antara titik yang merupakan batas lapisan sepanjang lintasan tegak lurus strike.

Pengukuran ini dilakukan apabila bentuk lereng tidak teratur. Bisa juga menghitung ketebalan lapisan pada Peta Geologi. Beberapa kemungkinan posisi lapisan terhadap lereng dan ketebalannya ditunjukkan dalam Gambar 10.10 Untuk mengukur ketebalan pada lereng, apabila pengukuran tidak tegak lurus strike digunakan persamaan trigonometri

t = l [ |sin δ cos σ Sin β ± sin σ cosδ| ]

Dimana : t : tebal lapisan yang diukur l : panjang pengukuran yang tidak tegak lurus strike σ : slope terukur. δ : dip lapisan β : sudut antara strike dan arah pengukuran.

Perhitungan dengan cara yang lain dapat juga dilakukan dengan mencari lebih dahulu slope yang tegak lurus strike Gambar 10.11

Page 127: Buku Panduan Praktikum00

127 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Untuk mencari kemiringan lereng yang tegak lurus jurus lapisan (w) dapat dilakukan beberapa cara, yaitu dengan menggunakan Alignment nomograph dengan menganggap kemiringan lereng terukur sebagai kemiringan semu dan kemiringan lereng tegak lurus jurus sebagai kemiringan sebenarnya. Dengan menggunakan persamaan:

Tan σ = sin β tan φ Dimana :

σ : sudut lereng terukur β : sudut antara jurus dengan arah pengukuran. φ : Sudut lereng tegak lurus jurus

Dari perhitungan di atas didapat lebar singkapan yang tegak lurus jurus (w), dengan menggunakan persamaan :

Sin σ W = l

Sin φ

Gambar 10.9 Posisi pengukuran dan perhitungan

Page 128: Buku Panduan Praktikum00

128 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 10.10 Pengukuran ketebalan pada lereng dengan pengukuran tidak tegak lurus jurus

sepanjang CA

Gambar 10.11 Pengukuran ketebalan dengan slope tegak lurus strike sepanjang W

Page 129: Buku Panduan Praktikum00

129 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Dengan menggunakan salah satu persamaan Gambar 9.11. dapat ditentukan ketebalannya. Untuk mendapatkan ketebalan tanpa perhitungan. yang rumit dapat digunakan alignment diagram (Gambar 9.12.). Prosedur penggunaan alignment diagram: Pada topografi yang mempunyai slope:

1. Mengamati arah kemiringan terhadap slope apakah berlawan ataukah searah dengan kemiringan.

2. Memplotkan pada skala azimuth of traves bagian bawah nol derajat jika searah dengan sudut yang dibentuk antara atas pengukuran dengan jurus lapisan.

3. Memplotkan pada bagian atas nol derajat jika berlawanan. 4. Menghubungkan dengan besarnya dip yang arahnya tegak horisontal yang

berada di tengah. 5. Menghubungkan garis yang berada di tengah dengan slope distance (lebar

singkapan ) sampai garis garis horizontal bagian bawah yang menunjukkan besarnya ketebalan ( thickness of strata )

Page 130: Buku Panduan Praktikum00

130 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 10.12.

Alignment diagram untuk mencari ketebalan

Page 131: Buku Panduan Praktikum00

131 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

10.8.2. KEDALAMAN Menghitung kedalaman lapisan ada beberapa cara, di antaranya :

Menghitung secara matematis Dengan Alignment diagram Secara grafis (pada contoh soal)

Dengan cara perhitungan matematis, yang perlu diperhatikan ialah : kemiringan lereng, kemiringan lapisan dan jarak jurus dari singkapan ke titik tertentu. Pada permukaan horisontal, kedalaman lapisan (d) dapat dihitung dengan rumus.

d = m tan σ (Gambar 10.13.a) Di mana :

d = kedalaman yang diukur m = jarak tegak lurus dari singkapan ke titik tertentu σ = kemiringan lapisan

Apabila tidak tegak lurus jurus, maka kemiringan lapisan yang dipakai adalah kemiringan semu ( α )

d = m tan α

Untuk kemiringan lapisan dan kemiringan lereng tertentu kedalaman dapat dicari dengan menggunakan rumus pada Gambar 10.13. sedang rumus umumnya

d = m [ sin Δ ± cos Δ tan σ ] Dimana :

m = jarak tegak lurus jurus pada bidang miring σ = kemiringan lapisan Δ = kemiringan lereng

Page 132: Buku Panduan Praktikum00

132 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Dengan menggunakan Alignment diagram, cara penggunannya sama dengan waktu mencari ketebalan dan yang beda hanya alignment diagramnya (Gambar 10.14

Gambar 10.13 Beberapa posisi pengukuran dan kedudukan lapisan dan perhitungan kedalaman

Keterangan : d = kedalaman yang diukur m = jarak terukur σ = kemiringan lapisan Δ = kemiringan lereng

m dσ

m

d

α

E

a

b c

d e

Page 133: Buku Panduan Praktikum00

133 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 10.14

Alignment diagram untuk mencari kedalaman

100 20 30 40 50 60 70 901020304050607090

10

20

30

40

50

60

70

5

590

1015202530354045505560657075

80

85

75

65

55

45

35

25

15

100200

300400

500600

700800

9001000

15002000

25003000

40005000

10000

10020

030040

050060

07008009001000

150020

00250030

00400050

00

10000

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

200

300

400

500

600

700

800

900

100

0 0

Azimuth of transverse (d scale)Use this when and are in the same direction δ α

Azimuth of transverse (d scale)Use this when and are in opposite direction δ α

Angl e of dip (

scale) δ

Angle of slope ( scale) α

t scale

Slope d

istanc

e (s s

cale) Slope distance (s scale)

Depth to a stratum (d scale)

Page 134: Buku Panduan Praktikum00

134 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

10.8.3. APLIKASI TEBAL DAN KEDALAMAN Contoh soal dan penyelesaian : 1. Suatu singkapan dengan lebar masing masing 320 m, 385 m, 275 m, dan 400

m, yang diukur pada lintasan dengan arah N 055° E sambil menuruni lereng dengan kemiringan 30°. Dari atas dijumpai berturut - turut yaitu batupasir, batulempung, batugamping dan breksi, kedudukan keempat lapisan batuan selaras yaitu N 030° E / 65°. Skala 1 : 10.000. (Gambar 10.15.) Pertanyaan : A. Tentukan ketebalan masing-masing lapisan batuan secara matematis ! B. Apabila kita akan melakukan suatu pemboran vertikal, di lokasi titik akhir

dijumpai breksi, berapa kedalaman yang akan dicapai untuk menjumpai batas atas batupasir dan batas bawah batulempung ?

Langkah pengerjaan :

3. Gambarkan lintasan dengan arah N 055° E 4. Gambarkan strike dari perlapisan dengan jarak seperti pada soal 5. Gambarkan slopenya 6. Gambarkan foldingline dan buka dip dari perlapisan. 7. Gambarkan slope terkoreksi dan hitung tebal berdasarkan jarak pada

garis slope terrkoreksi

Page 135: Buku Panduan Praktikum00

135 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 10.15 Penyelesaian soal (a) penyelesaian grafis, (b)penggambaran 3 dimensi

a

b

Page 136: Buku Panduan Praktikum00

136 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

2. Pada daerah Gedung Kuning dijumpai adanya singkapan kontak

batugamping dengan batupasir pada lokasi A (700 m), B(700 m), C(800 m). Pada lokasi D (900 m) dijumpai singkapan kontak antara batupasir dengan breksi di mana kedudukannya selaras. (Gambar 10.16.) Pertanyaan : A. Tentukan kedudukan lapisan batuan tersebut ! B. Tentukan ketebalan batugamping secara grafis !

Langkah pengerjaan :

1. Carilah kedudukan dengan metode three point problem 2. Hubungkan titik dengan nilai yang sama 3. Tentukan jarak “y” secara grafis 4. Hitung tebal “x” batupasir dengan rumus trigonometri sederhana

berdasarkan dip yang diperoleh dan jarak “y” yang diperoleh

Page 137: Buku Panduan Praktikum00

137 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 10.16 Penyelesaian soal no 2

Page 138: Buku Panduan Praktikum00

138 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

10.9. PETA GEOLOGI BERDASAKAN BADAN STANDARISASI NASIONAL (BSN, 1998) Peta Geologi

peta geologi adalah bentuk ungkapan data dan informasi geologi suatu daerah/wilayah/kawasan dengan tingkat kualitas berdasarkan skala. Peta geologi menggambarkan informasi sebaran dan jenis serta sifat batuan, umur, stratigrafi, struktur, tektonika, fisiografi dan sumberdaya mineral serta energi. Peta geologi disajikan berupa gambar dengan warna, simbol dan corak atau gabungan ketiganya. Penjelasan berisi informasi, misalnya situasi daerah, tafsiran dan rekaan geologi, dapat diterangkan dalam bentuk keterangan pinggir (legenda). Pengertian Skala dan Macam-Macam Peta Geologi (BSN,1998) 1. Skala peta merupakan skala perbandingan jarak di peta dengan jarak

sebenarnya yang dinyatakan dengan angka atau garis atau gabungan keduanya.

a. Peta geologi berskala 1:250.000 dan yang lebih besar (1:100.000 ; 1:50.000 dan seterusnya) disebut peta geologi skala besar, bertujuan menyediakan informasi geologi. Peta geologi berskala 1:50.000 menyajikan informasi yang lebih rinci dari peta geologi berskala 1:100.000 dan seterusnya.

b. Peta geologi berskala 1:500.000 dan yang lebih kecil (1:1.000.000; 1:2.000.000 dan 1:5.000.000) disebut peta geologi berskala kecil, bertujuan menyajikan tataan geologi regional dan sintesisnya.

Page 139: Buku Panduan Praktikum00

139 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

2. Kualitas peta geologi dapat dibedakan atas peta geologi standar dan peta

geologi tinjau/ permulaan . a. Peta geologi standar adalah peta geologi yang dalam penyajiannya

memenuhi seperti persyaratan teknis yang tercantum dalam uraian 2 dengan proses pembuatan mengikuti seperti dalam unsur tambahan utama uraian 3.

b. Peta geologi tinjau/permulaan adalah peta geologi yang dalam penyajian dan pembuatannya belum seluruhnya mengikuti kaidah-kaidah peta geologi standar.

3. Peta geologi dibedakan atas peta geologi sistematik dan peta geologi tematik.

a. Peta geologi sistematik adalah peta geologi yang menyajikan data dasar geologi dengan nama dan nomor lembarnya mengacu pada SK Ketua Bakosurtanal No.019.2.2/1/1975 atau SK Penggantinya.

b. Peta geologi tematik adalah peta geologi yang menyajikan data geologi untuk tujuan tertentu, misalnya peta geologi teknik, peta geologi kuarter.

4. Seluruh wilayah daratan Indonesia tercakup dalam peta geologi sistematik dari berbagai skala sebagai berikut :

a. 1007 lembar peta geologi skala 1:100.000. b. 198 lembar peta geologi skala 1:250.000. c. 76 lembar peta geologi skala 1:500.000. d. 16 lembar peta geologi skala 1:1.000.000. e. 2 lembar peta geologi skala 1:2.000.000. f. 1 lembar peta geologi skala 1:5.000.000.

5. Peta geologi diterbitkan oleh instansi pemerintah atau badan usaha yang ditunjuk pemerintah. Instansi yang berwenang menerbitkan peta geologi sistematik adalah Pusat Survey Geologi (disingkat PSG, dahulu Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G)), Direktorat Jenderal Geologi

Page 140: Buku Panduan Praktikum00

140 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

dan Sumberdaya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi Republik Indonesia.

Persyaratan Teknis Pembuatan Peta Geologi (BSN,1998) Simbol Merupakan tanda yang dipakai untuk menggambarkan sesuatu pada peta geologi, berupa singkatan huruf, warna, simbol dan corak, atau gabungannya. Singkatan Huruf Satuan kronostratigrafi pada peta geologi ditunjukkan dengan singkatan huruf (Gambar 10.17). Sebagai dokumen/acuan satuan kronostratigrafi adalah tabel (chart) yang dibuat oleh Elsevier (1989) atau revisinya. 1. Huruf pertama (huruf besar) menyatakan jaman, misalnya P untuk Perem,

TR untuk Trias, T untuk Tersier. 2. Huruf kedua (huruf kecil) menyatakan seri, misalnya Tm berarti kala

Miosen dalam jaman Tersier. 3. Huruf ketiga (huruf kecil) menyatakan nama formasi atau satuan litologi,

misalnya Tmc berarti Formasi Cipluk berumur Miosen. 4. Huruf Keempat (huruf kecil) menyatakan jenis litologi atau satuan peta yang

lebih rendah (anggota), misalnya Tmcl berarti anggota batugamping Formasi Cipluk yang berumur Miosen.

5. Huruf kelima digunakan hanya untuk batuan yang mempunyai kisaran umur panjang, misalnya Tpokc berarti Anggota Cawang Formasi Kikim berumur Paleosen-Oligosen.

6. Huruf pT (p kecil sebelum T besar ) digunakan untuk singkatan umur batuan sebelum Tersier yang tidak diketahui umur pastinya.

7. Untuk batuan yang mempunyai kisaran umur panjang, urutan singkatan umur berdasarkan dominasi umur batuan, misalnya QT untuk batuan berumur Tersier hingga Kuarter yang didominasi batuan berumur Quarter; JK untuk batuan berumur Jura hingga Kapur yang didominasi batuan berumur Jura.

Page 141: Buku Panduan Praktikum00

141 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

8. Batuan beku dan malihan yang tak terperinci susunan dan umurnya cukup

dinyatakan dengan satu atau dua buah huruf, misalnya a untuk andesit, b untuk basal, gd untuk granodiorit, um untuk ultramafik atau ofiolit dan s untuk sekis.

9. Batuan beku dan malihan yang diketahui umurnya menggunakan lambing huruf jaman, misalnya Kg berarti granit berumur Kapur.

10. Pada peta geologi skala kecil, himpunan batuan cukup dinyatakan dengan huruf di belakang lambang era, jaman atau sub-jaman; misalnya Pzm berarti batuan malihan berumur Paleozoikum, Ks berarti sedimen berumur Kapur, Tmsv berarti klastika gunungapi berumur Miosen, Tpv berarti batuan gunungapi berumur Paleogen, Tni berarti batuan terobosan berumur Neogen. Satuan bancuh dinyatakan dengan notasi m.

Page 142: Buku Panduan Praktikum00

142 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 10.17

Singkatan huruf satuan kronostratigrafi yang digunakan pada peta geologi

Page 143: Buku Panduan Praktikum00

143 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Tata Warna

Warna dipakai untuk membedakan satuan peta geologi, dipilih berasaskan jenis batuan, umur satuan dan satuan geokronologi. 1. Warna dasar yang digunakan adalah kuning, magenta (merah) dan sian

(biru) serta gabungannya. 2. Warna yang dipilih untuk membedakan satuan batuan sedimen dan endapan

permukaan sepenuhnya menganut sistem warna berdasarkan jenis dan umur. Untuk membedakan beberapa satuan seumur dapat digunakan corak. (Gambar 10.18).

3. Batuan malihan dibedakan berdasarkan (1) derajat dan fasies serta (2) umur nisbi batuan pra-malihan dan litologi. Tata warna batuan malihan sama dengan batuan sedimen atau mengunakan bakuan warna khusus. Corak untuk membedakan litologi tertera.

4. Warna batuan beku menyatakan susunan kimianya : asam, menengah, basa, dan ultrabasa. Untuk membedakannya dipilih warna yang berdekatan, dan singkapan huruf seperti tercantum dalam uraian 2.1.1 atau menurut kunci warna yang sudah dibakukan. Bila diperlukan, dapat digunakan corak dengan bakuan khusus.

5. Batuan gunung api yang berlapis dan dan diketahui umurnya, mengikuti tata warna untuk batuan sedimen. Perbedaan litologi untuk lahar, breksi gunungapi dan tuf dinyatakan dengan corak (Gambar 10.18). Beberapa satuan batuan gunungapi pada suatu lembar peta geologi dapat dibedakan berdasarkan susunan kimianya, dengan bakuan warna khusus.

Page 144: Buku Panduan Praktikum00

144 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 10.18 Skema corak dasar yang digunakan dalam peta geologi

batulempung serpih napal

batulanau batupasir batupasir konglomerat konglomerat

breksi batugamping batugamping pasiran dolomit

chert batusabak sekis

tuff breksi gunungapilahar

aluvium

Corak Dasar Batuan Sedimen

Corak Dasar Batuan Metamorf

Corak Dasar Batuan Volkanik

Corak Dasar Batuan Beku

menengah basa ultrabasa

hipabisal

lava

asam

Page 145: Buku Panduan Praktikum00

145 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Simbol dan Corak Geologi Simbol dan notasi (corak) yang tertera pada peta geologi harus tertera pada legenda dan sebaliknya. Bentuk dan ukurannya harus sama (Gambar 10.19).

Page 146: Buku Panduan Praktikum00

146 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Page 147: Buku Panduan Praktikum00

147 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 10.19.Simbol-simbol yang digunakan dalam peta geologi

Page 148: Buku Panduan Praktikum00

148 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Istilah

Peristilahan geologi yang digunakan mengacu pada Glossary of Geology (American Geological Institute, 1972); Peristilahan geologi dan ilmu berhubungan (M.M. Purbo Hadiwidjojo, 1975) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Keterangan Peta

Keterangan peta ditulis dalam bahasa Indonesia dan terjemahannya dalam bahasa Inggris yang dicetak dengan huruf miring. Penyajiaan Peta 1. Bagan bakuan tata letak peta geologi mengikuti seperti pada gambar peta

geologi daerah Perbukitan Jiwo penyimpangan tata letak dapat dilakukan selama proses kartografi, yaitu berdasarkan atas pertimbangan teknik kekartografiannya.

2. Korelasi satuan peta diwujudkan dalam gambar, dimana formasi atau satuan batuan yang terdapat pada lembar peta dikelompokkan ke dalam endapan permukaan, batuan sedimen, batuan gunungapi, batuan malihan, batuan beku atau terobosan dan tektonik. Setiap satuan dinyatakan dengan kotak berlambang huruf dan disusun sesuai dengan kedudukan stratigrafinya.

3. Uraian singkat setiap satuan a. Kotak satuan atau formasi berisi simbol huruf dan warna b. Di belakang kotak dituliskan nama satuan atau formasi dengan

huruf besar c. Di belakang nama diikuti titik dua (:) dan diuraikan macam

batuannya yang dimulai dari yang paling banyak menguasai.

Page 149: Buku Panduan Praktikum00

149 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Keterangan berikutnya menerangkan : - informasi tebal lapisan dan atau runtunan satuan/formasi - fosil petunjuk, umur dan lingkungan pengendapan - hubungan antar satuan - sumberdaya mineral dan energi - unsur penting yang akan menunjang kelengkapan data Penerbitan Bahan Baku Peta geologi yang disajikan dalam bentuk gambar, setelah melalui proses kartografi, dicetak di atas kertas HVS dengan berat 115 g atau kertas konstruk yang tahan cuaca. Ukuran 1). Peta geologi berskala besar dicetak di atas kertas berukuran 100 cm x 65 cm. 2). Peta geologi berskala kecil menggunakan kertas berukuran 115 cm x 85 cm. Spesifikasi 1). Peta geologi skala besar menggunakan peta dasar topografi dengan proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator). 2). Peta geologi skala kecil menggunakan peta dasar topografi dan batimetri dengan proyeksi kerucut sama bentuk Lambert. 3). Pencantuman batimetri atau kedalaman laut pada peta geologi berskala besar bukan merupakan keharusan. 4). Peta geologi skala besar dilengkapi dengan penampang geologi. 5). Peta geologi digolongkan menjadi peta geologi standar dan peta geologi tinjau/permulaan.

Page 150: Buku Panduan Praktikum00

150 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

a). Peta geologi standar mempunyai data dan informasi yang lengkap dan akurat setara dengan besar skala. b). Peta geologi tinjau/permulaan masih memerlukan pemutakhiran data. Peta ini dapat hanya dibuat dari hasil penafsiran citra inderaan jauh. 6). Peta geologi seyogyanya menyajikan data dasar dan informasi geologi selengkap mungkin untuk pemakainya, dan berguna untuk tujuan keilmuan dan terapan. a). Keilmuan, karena data dan informasinya dapat dipakai sebagai titik tolak pembuatan hipotesis dan sintesis. b). Terapan, karena dapat digunakan sebagai landasan petunjuk awal dalam prospeksi dan eksplorasi mineral & sumberdaya energi dan pengembangan wilayah. - Peta geologi mencantumkan adanya petunjuk keterdapatan sumberdaya mineral dan energi. Peta geologi menggambarkan adanya sebaran gunungapi dan jalur lemah di permukaan bumi, yang dapat memberikan informasi dasar bagi kerekayasaan sipil, pertanian, perkebunan, kehutanan, dan kepariwisataan. Suatu lembar peta geologi yang lengkap mencakup:

1. Peta geologi 2. Penampang geologi 3. Keterangan pinggir

Page 151: Buku Panduan Praktikum00

151 Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta

Gambar 10.20 Peta geologi

Page 152: Buku Panduan Praktikum00