buku feb 2007 no. 01 feb 2007.compressed.pdf3 linguistik indonesia, tahun ke 25, no. 1, februari...

117

Upload: others

Post on 21-Mar-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Daftar Isi

Pergeseran Kategori Nomina dan Verba dalam Linguistics Across Cultures dan Linguistik di Pelbagai Budaya

Dwi Haryanti ........................................................................... 1 Masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat: Tinjauan Pemilihan Bahasa di Kota Sekadau

Chong Shin ................................................................................ 19

Distribusi Bahasa Duri dan Bahasa Toraja: Suatu Analisis Geografi Dialek

Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed .................................... 35

Kesantunan Berbahasa dalam Mengungkapkan Perintah Yeni Mulyani Supriatin ............................................................ 53

Reformulasi Perancangan Program ESP di Perguruan Tinggi Kusni ........................................................................................ 63

Tinjauan Preskriptif terhadap Pemakaian Kata Di Mana dalam Tulisan Mahasiswa I Dewa Putu Wijana ................................................................. 73

Fungsi dan Batas Kesemenaan Urutan Kata Bahasa Rusia dalam Kajian Perspektif Kalimat Fungsional

Mohd. Nasir Latief ................................................................... 85

Peran Stereotipe dalam Komunikasi Lintas Budaya: Kasus Indonesia-Jerman

Setiawati Darmojuwono ........................................................... 97 Masalah Relasi Gramatikal Bahasa Rongga: Sebuah Kajian Awal J. Kosmas dan I Wayan Arka ................................................ 107 Resensi Buku: Joan Kelly Hall, Teaching and Researching Language and Culture.

Diresensi oleh Rahayu Surtiati Hidayat ................................ 117

2

Dwi Haryanti

Di samping itu, observasi awal menunjukkan bahwa pergeseran kate-gori nomina dan verba mendominasi atau banyak terjadi pada buku LadoLinguistics Across Cultures (1957) dan buku Dardjowidjojo Linguistik diPelbagai Budaya (1979). Alasan lain yang mendukung adalah bahwa kegiatanpenerjemahan tidak hanya dilakukan oleh lulusan dari jurusan bahasa Inggristetapi juga dilakukan oleh lulusan nonbahasa Inggris. Adapun alasan lain yangmendesak adalah bahwa pada kenyataannya ada penerjemah yang hanyamenggeser kelas kata tanpa mempertimbangkan pesan sehingga penggeserankelas kata justru menggeser pesan yang dimaksud dalam bahasa sumbernya.Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan penelitian lebih mendalam terhadappergeseran terjemahan.

Berikut ini merupakan fenomena pergeseran kategori nomina danverba yang terjadi dalam buku Linguistics Across Cultures dan terjemahannyadalam Linguistik di Pelbagai Budaya. Dengan memakai BSu sebagai singkatanuntuk bahasa sumber dan BSa sebagai bahasa sasaran marilah kita telaahmasalah ini.

060/TPP/HA4/HT5BSu: The failure in the use of these lay in disregarding their language content.BSa: ‘Metode ini juga gagal dan oleh sebab yang sama pula.’

Kata failure termasuk kategori nomina dalam bahasa Inggris denganpemarkah the yang berada di depan kata tersebut diterjemahkan ke dalam kate-gori ajektiva gagal dalam bahasa Indonesia. Kata gagal merupakan kate-goriajektiva dan berfungsi sebagai predikat dalam kalimat Metode ini juga gagaldan oleh sebab yang sama pula.

090/TPP/HA6/HT6BSu: We test him on his comprehension of the grammatical meaning of the

sentence, or we test his ability to express a grammatical meaningthrough the patterns of the foreign language.

BSa: Yang kita tes ialah komprehensi dari arti gramatik sebuah kalimat, ataupengungkapan suatu arti gramatik melalui pola-pola bahasa asing itu.

Kategori verba (to) express dalam bahasa Inggris di atas diterjemahkanke dalam kategori nomina pengungkapan dalam BSa.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengklasifikasi variasi pergeserankategori (category shifts) nomina (nouns) dan verba (verbs) dari bahasa Inggriske dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, peneliti berusaha mendeskripsikanketepatan pesan BSa terhadap BSu-nya.

Pesan merupakan salah satu kata kunci dalam penerjemahan karenapenerjemahan merupakan proses pengalihan pesan dari BSu ke dalam BSadengan mempertimbangkan padanan dan ragam teksnya. Seorang penerjemahsebaiknya menguasai BSu, BSa, budaya yang melatarbelakangi kedua bahasatersebut, materi yang diterjemahkan, dan ragam dan teks yang diterjemahkan.McGuire (1991: 54) menyatakan bahwa “translator should have a perfectknowledge of both source language and target language”. Pandangan inididukung oleh Brislin (1976: 47) saat dia menyatakan bahwa “translator

3

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

should know both the source and receptor languages, should be familiar withthe subject matter, and should have facility of expression in the receptorlanguage. Oleh karena itu, dengan dikuasainya BSu, BSa, dan teks yangditerjemahkan penerjemah dapat menuliskan pesan sebagai hasil terjemahanyang sepadan dengan BSu-nya.

Kesepadanan dalam terjemahan harus dicapai tidak hanya pada pesantetapi juga pada setiap bentuk bahasanya. Baker (dalam Leonardi 2000: 9-11)menyebutkan tataran padanan yang harus dicapai oleh penerjemah dalam hasilterjemahannya adalah dari tingkat kata, gramatikal, tekstual, dan pragmatik.Kata merupakan tataran bentuk bahasa terkecil yang harus diperhatikan pener-jemah. Lebih lanjut Baker menjelaskan bahwa penerjemah harus menetapkanpadanan gramatikal bahasa agar teks yang dihasilkannya wajar sehingga mu-dah dipahami pembaca. Oleh karena itu, diharapkan penerjemah memahamistruktur BSu dan BSa secara total, yaitu, perbedaan gramatikal, leksikal, mak-na, dan semua sistem yang ada pada keduanya sehingga kesepadanan tekstualdan pragmatik dapat dicapai (Catford dan Baker dalam Leonardi 2000: 8-10).

Berkait dengan kesepadanan pragmatik tersebut, penerjemah harus me-mahami konteks teks dan koteks yang diterjemahkannya. Gutt (dalam Hickey1998: 43) menjelaskan context also includes the text surrounding an utter-ance, what has sometimes been called the co-text. Bahwa setiap teks terdapatjalinan bentuk dan makna yang tidak dapat dipisahkan sehingga dalam mener-jemahkan teks jalinan tersebut harus tetap dipahami oleh penerjemah meskipundia berusaha melakukan pergeseran-pergeseran dalam menerjemahkan. Perge-seran yang dimaksud adalah pergeseran tataran, pergeseran kelas kata, perge-seran intra-system, dan pergeseran gramatikal (Catford dalam Leonardi 2000:6-7).

Pergeseran gramatikal dalam terjemahan tak dapat dihindarikarena struktur suatu bahasa dapat berbeda dengan struktur bahasa yanglain. Di samping pergeseran gramatikal terdapat pergeseran kategori,yakni, pergeseran salah satu kelas kata BSu ke dalam kelas kata yanglain dalam BSa. Hal tersebut terjadi karena kelas kata sama dalam duabahasa belum tentu mempunyai konsep yang sama pula. Larson (1984:58) menyatakan bahwa penerjemah harus berusaha menentukan padanankategori kata BSu ke dalam BSa tanpa terikat pada kategori yang ada.Kesepadanan pesan tidak dapat dijamin hanya dengan memadankankategori atau kelas katanya, misalnya, nomina diterjemahkan ke dalamnomina. Oleh karena itu, penerjemah dapat melakukan pergeserankategori untuk mencapai kesepadanan.

Pergeseran kategori (category shifts) dibagi ke dalam structureshifts, class shifts, unit shifts, dan intra-system shifts. Structure shiftsadalah perge-seran struktur yang terjadi dari suatu struktur BSu kedalam struktur yang berbeda dalam BSa. Catford (dalam Shuttleworth1997: 159-160) menjelaskan bahwa structure shift is a type of category

4

Dwi Haryanti

shift which involves a change in grammatical structure between ST andTT.

Class shifts dalam terjemahan terjadi ketika kelas kata hasilterjemahan berubah dari kelas kata BSu-nya. Catford (1974: 78)menjelaskan bahwa class shifts occurs when the translation equivalentof a SL item is a member of a different class from the original item. Dia(dalam Shuttleworth 1997: 18) selanjutnya menjelaskan bahwa classshifts is a type of category shift which involves translating an SL item bymeans of a TL item belonging to a different grammatical class.Misalnya: a medical student diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia‘seorang mahasiswa kedokteran’. Medical masuk jenis kata ajektivatetapi kata kedokteran merupakan kata benda.

Unit shifts merupakan pergeseran yang terjadi apabila adapergeseran antara suatu satuan lingual dalam satu tataran BSu dengansatuan lingual dalam tataran yang berbeda dalam BSa. Catford (1974:79). Adapun intrasystem shifts merupakan pergeseran terjemahan yangterjadi karena adanya pergeseran intrasystem dari BSu ke dalam BSa(Catford dalam Shuttleworth 1997: 88).

Berkait dengan tipe-tipe pergeseran di atas, dalam penelitian inidikhu-suskan pada penelitian kategori nomina dan verba dari bahasaInggris ke dalam bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, kategori kata nominadan verba bahasa Inggris dan bahasa Indonesia diuraikan dalam makalahini.

Kata benda atau nomina merupakan jenis kata paling pentingkarena kalimat dapat disusun dengan menggabungkannya dengan katakerja saja (Frank 1991: 6). Lebih lanjut dijelaskan bahwa jenis nominadalam bahasa Inggris antara lain proper nouns, concrete nouns, abstractnouns, countable nouns, uncountable nouns, collective nouns, compoundnouns, dan derivative nouns. Contoh proper nouns antara Mrs. Smith,John, Jones, Indonesian, Islam, Sunday, Monday, June, November,Nature, dan Liberty.

Kata benda konkret adalah kata yang mengacu pada objek yang dapatdirasakan oleh panca indra, misalnya, flower, tree, boy, father, dan nose. Katabenda abstrak adalah kata yang mengacu pada konsep yang hanya ada dalambenak manusia; contohnya beauty, justice, mankind, kindness, frienship. Katabenda yang dapat dihitung (countable nouns) adalah kata yang biasanya dalammenjamakkannya ditambah dengan –s, -es, dan -en (five chairs, three books,oxen, children), sedangkan kata benda yang tak dapat dihitung adalah katayang tidak memerlukan sufiks dalam menjamakkannya (mass, coffee, iron).

Collective nouns adalah kata yang mengacu pada kelompok manusia,hewan, atau benda yang dianggap sebagai satu kesatuan. Misalnya, audience,committee, class, crew, crowd, dan enemy. Di samping itu, terdapat nominamajemuk, yakni, nomina yang terdiri atas dua kata atau lebih yang menyatu

5

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

menjadi satu kosakata dan membentuk satu jenis kata. Dalam bahasa Inggriskata benda majemuk terdiri atas beberapa bentuk seperti bentuk-bentuk (a)noun + noun: bathroom, department store; (b) possessive noun + noun: lady’smaid, artist’s model; (c) adjective + noun: blackbird, common sense; (d) verb+ noun: pickpocket, flashlight; (e) noun + verb: handshake; (f) gerund +noun: dining room; (g) noun + gerund: fortune telling; (h) preposition + noun:overalls, by-way; (i) verb + preposition-adverb: breakdown; dan (j) noun +preposition phrase: son-in-law, editor-in-chief.

Kategori nomina jenis lainnya berasal dari kategori ajektiva yang di-awali dengan artikel the, misalnya, the poor, the have, the rich. Selain itu, jeniskata adjective yang berakhiran –ch, -sh, -ese, -an juga masuk kelas kata benda,misalnya, the French, the Irish, the chinese, American, Italian, Indonesian.Bentuk adjective yang dimasukkan dalam bentuk kata benda juga bisa bentukcomparative, misalnya, the richest are not always the happiest) dan kemung-kinan juga dimodifikasi dengan adverb, misalnya, the newly rich, the very poordan juga dimodifikasi dengan adjective lain, misalnya, the deprived poor; thearrogant dan selfish rich. Adjective berakhiran –ed digunakan sebagai katabenda yang mengacu pada orang dalam bentuk tunggal, misalnya, hisbetrothed, the accused, the deceased. Bentuk adjective lain yang berfungsisebagai kata benda, misalnya, Greek philosophers were searching for the good,the true and the beautiful; The best is still not good enough for him; Please buysome margarine for me; The cheapest is good enough. Kategori nomina yanglain adalah kategori verba dalam bentuk gerund (-ing) merupakan kata benda,misalnya, Swimming is a great sport; Seeing is believing. Di samping itu, jugaterdapat beberapa kata yang berfungsi sebagai adverb juga mungkin digunakansebagai noun, misalnya, from there, by now dsb (Frank 1991: 6-9).

Kategori kedua adalah verba. Verba dalam bahasa Inggris merupakanjenis kata yang paling kompleks. Jenis verba pertama adalah predicating ataulinking verbs. Kata kerja jenis ini merupakan inti kata dalam predikat yangmenyatakan sesuatu mengenai objeknya. Secara tradisional biasanya bentuk inidisebut dengan a verb of action, namun saat ini jenis kata kerja ini juga meli-puti kata kerja yang non-action dan linking verbs, sehingga istilah yangdigunakan adalah event. Contoh kata kerja predikat adalah remember, cry,write, needs, bring, play, dan type.

Lingking verbs merupakan predikat yang tidak lengkap dan kata kerjatersebut menjelaskan bahwa predikat yang sebenarnya akan mengikutinya.Kata penting dalam pelengkap (complement) biasanya adjective atau noun,misalnya, The boy is handsome; The girl is pretty; She is a pretty girl. Linkingverb paling umum yang digunakan dalam bahasa Inggris adalah appear, be,become, get (in the sense of become), look, remain, seem, feel, taste, smell,sound. The milk tastes sour; The rose smells sweet.

Selain kategori nomina dan verba dalam bahasa Inggris di atas, berikutini dijelaskan dua kategori tersebut dalam bahasa Indonesia. Kategori nominabahasa Indonesia dipandang dari tiga segi, yakni, segi semantis, segi sintaktis,dan segi bentuk. Dari segi semantis, nomina adalah kata yang mengacu padamanusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian, seperti kucing, meja,

6

Dwi Haryanti

dan kebangsaan.Dari segi sintaktis nomina mempunyai ciri-ciri berikut: (1) dalam

kalimat yang predikatnya verba, nomina cenderung menduduki fungsi subjek,objek, atau pelengkap, (2) nomina tidak dapat diingkarkan dengan kata tidak.Kata pengingkarnya ialah bukan, (3) nomina pada umumnya dapat diikuti olehajektiva, baik secara langsung maupun dengan diantarai oleh kata yang (Alwidkk 2003: 213-215).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari segi bentuk morfologisnya, nominaterdiri atas dua bentuk, yakni, nomina yang berbentuk kata dasar dan nominaturunan. Nomina turunan dapat dilakukan dengan afiksasi, perulangan, danpemajemukan. Nomina dasar adalah nomina yang hanya terdiri atas satu mor-fem dan terdapat nomina dasar umum, seperti, malam, rumah, meja, buku,kesatria, kayu, sabit, kursi, tas, dan pensil.

Nomina turunan dapat dibuat melalui afiksasi, perulangan, dan pema-jemukan. Afiksasi nomina adalah proses pembentukan nomina dengan menam-bahkan afiks tertentu pada kata dasar. Di samping itu, terdapat reduplikasi atauperulangan, yakni, proses penurunan kata dengan perulangan, baik secara utuhmaupun secara sebagian. Alwi dkk. (213: 238-247) menjelaskan bahwareduplikasi nomina dapat dibagi menjadi empat, yakni, perulangan utuh,perulangan salin suara, perulangan sebagian, dan perulangan yang disertaipengafiksan.

Kategori lainnya adalah verba. Verba merupakan salah satu satuan gra-matikal yang sangat penting dalam struktur sintaksis. Alwi dkk (2003: 87-90)menjelaskan bahwa ciri-ciri verba dapat diketahui dengan mengamati (1)perilaku semantis, (2) perilaku sintaktis, dan (3) bentuk morfologisnya. Ada-pun ciri yang dimaksud adalah (a) verba mempunyai fungsi utama sebagaipredikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat walaupun dapat jugamempunyai fungsi lain; (b) verba mengandung makna inheren perbuatan(aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas; (c) verba, khu-susnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefiks ter- yang berarti'paling'. Verba seperti mati atau suka, misalnya, tidak dapat diubah menjadi*termati atau *tersuka; (d) pada umumnya verba tidak dapat bergabungdengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan. Tidak ada bentukseperti *agak belajar, *sangat lari.

Berdasarkan perilaku semantisnya verba dapat dibagi menjadi verbaperbuatan (mendekat, mencuri, mandi, naik haji, menakut-nakuti, dan memu-kuli), verba proses (jatuh, kebanjiran, meninggal, terbakar, mengering, danjatuh), verba keadaan (mati, berguna), dan verba pengalaman (mendengar,melihat, tahu, lupa, ingat, menyadari, dan merasa). Dari segi perilaku sintak-sisnya verba dapat berkaitan erat dengan makna dan sifat ketransitifannya,verba dapat dibagi menjadi verba transitif, ekatransitif, dwitransitif, semitran-sitif, taktransitif, dan verba berpreposisi.

Dari segi bentuknya, verba bahasa Indonesia dapat dibentuk dengandua dasar, yaitu, (1) dasar yang tanpa afiks apa pun telah memiliki kategorisintaksis dan mempunyai makna yang dapat berdiri sendiri (misalnya, marah,darat, dan pergi), (2) dasar yang kategori sintaksis maupun maknanya baru

7

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

dapat ditentukan setelah diberi afiks (misalnya, juang, temu, dan selenggara).Berdasarkan dua macam dasar tersebut, terdapat dua macam verba, yakni,verba asal (tidur, ada, datang, makan, mandi, suka, tinggal, dan turun) danverba turunan (Alwi dkk 2003: 87-98).

1 METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif sehingga peneliti akan mendes-kripsikan permasalahan pergeseran kategori terjemahan nouns dan verbs secaramendalam sesuai dengan permasalahan yang sudah dirumuskan. Di sampingitu, peneliti juga akan berusaha menemukan dan mendeskripsikan ketepatanpenerjemahan dengan terjadinya pergeseran terjemahan nouns dan verbs baha-sa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.

Sumber data penting yang digunakan dalam penelitian ini adalah doku-men yang berupa dua buku yang teah disebutkan di atas, yakni, LinguisticsAcross Cultures (LPA), karya Robert Lado, dan terjemahannya Linguistik diPelbagai Budaya (LPB) oleh Soenjono Dardjowidjojo. Data dalam penelitianini berupa kalimat-kalimat yang mengandung pergeseran kategori terjemahannouns dan verbs dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Data dianalisisdengan metode padan translasional dengan penentu langue lain dan metodeagih untuk menentukan pergeseran terjemahan kategori nomina dan verba danmetode padan referensial dengan alat penentu referen untuk menentukan kete-patan penerjemahan

2 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis data yang berupa kalimat-kalimat yang mengandung no-mina dan verba dalam buku LAC dan terjemahannya dalam bahasa IndonesiaLPB didapat beberapa temuan sebagai berikut.

2. 1 Pergeseran Terjemahan Nomina dan Ketepatannya

Pergeseran terjemahan kategori nomina bahasa Inggris ke dalam bahasa Indo-nesia pada teks linguistik di atas terdapat 16 variasi, yakni, ke dalam verba,ajektiva, pronomina ‘ini’, nomina, frasa nomina, frasa nomina+nya, nominamajemuk, nomina+nya, nomina jamak ke dalam nomina tunggal, nominajamak ke frasa nomina, nomina jamak ke nomina tunggal+nya, nomina tunggalke nomina jamak, nomina tunggal ke nomina jamak+nya, nomina diadopsi,nomina diadaptasi, dan nomina tidak diterjemahkan. Berikut diberikan contohdan pembahasan singkat agar temuan jelas.

2.1.1 Nomina Diterjemahkan ke dalam Verba

059/TPP/HA4/HT5BSu: The reaction against rules and lists of words turned to what seemed

like "common sense" solution: the use of connected materials.BSa: ‘Sebagai reaksi terhadap metode ini timbullah metode “common

sense” yang memakai rangkaian materi sebagai bahan pelajaran.’

8

Dwi Haryanti

Kategori nomina use pada frasa the use of connected materials padakali-mat bahasa Inggris diterjemahkan menjadi kategori verba memakai.Pergeseran terjemahan dari nomina ke dalam verba tersebut tidak mengubahpesan karena fungsi frasa secara keseluruhan memberikan penjelas pada katamajemuk common sense dengan adanya tanda baca titik dua (:) di depannya.Munculnya kata yang pada yang memakai juga menjelaskan common sense.Perlu dicermati pula bahwa memakai yang berkategori verba tersebut didahuluidengan kata yang sehingga dalam konteks tersebut verba berubah kategorimenjadi nomina. Namun demikian, pergeseran nomina ke verba dalam terje-mahan tersebut tidak mengubah pesan sehingga terjemahan di atas dapatdikatakan tepat.

2.1.2 Nomina Diterjemahkan ke dalam Ajektiva

060/TPP/HA4/HT5BSu: The failure in the use of these lay in disregarding their language

content.BSa: ‘Metode ini juga gagal dan oleh sebab yang sama pula.’

Kategori kata failure merupakan nomina turunan dari ajektiva fail yangmendapat sufiks –ure. Nomina failure dalam kalimat bahasa Inggris berfungsisebagai subjek dengan artikel the, sedangkan kata gagal dalam kalimat bahasaIndonesia di atas merupakan kategori ajektiva yang berfungsi sebagai predikatsehingga terjadi pergeseran letak dan fungsi. Oleh karena itu, terdapat perge-seran terjemahan dari nomina failure menjadi ajektiva gagal namun tidakmengubah pesan secara kontekstual sehingga terjemahan tersebut berterimadalam bahasa Indonesia, bila diperhatikan kalimat sebelum dan sesudahnya.

2.1.3 Nomina Diterjemahkan ke dalam Pronomina ‘ini’

034/TPP/HA3/HT3BSu: The untrained teacher and student may get the impression that

the book does simplify the learning of the language.BSa: ‘Guru yang tak terlatih bisa tergelincir, karena dia akan menganggap

bahwa ini betul-betul mempermudah cara belajar.’

Terjemahan di atas mempunyai kesepadanan pesan dengan BSu walau-pun terjadi pergeseran kategori nomina menjadi pronomina ini. Kategorinomina book pada frasa the book yang diterjemahkan ke dalam pronomina inidapat mewakili makna yang terkandung dalam BSu. Namun demikian, terdapatkekurangtepatan terjemahan karena tidak diterjemahkannya kata student dalamkalimat sumber sehingga ada bagian informasi yang hilang tetapi pesan secarakeseluruhan konteks tidak berubah.

9

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

2.1.4 Nomina Diterjemahkan ke dalam Nomina

051/TPP/HA4/HT4BSu: The professionally trained teacher should notice not only a "foreign”

accent or an "incorrect" form but a clear-cut, specificdistortion of a sound, construction, or cultural pattern.

BSa: Seorang guru profesionil harus bisa melihat tidak hanya "aksen" asingdan bentuk yang "salah" saja, tetapi juga distorsi yang spesifik dalambunyi, konstruksi, maupun pola-pola budaya.’

Kalimat bahasa Inggris di atas mempunyai tujuh kategori nomina yangditerjemahkan ke dalam nomina juga dalam bahasa Indonesia. Nomina teacherditerjemahkan ke dalam guru, accent diterjemahkan ke aksen, form ke dalambentuk, distortion ke dalam distorsi, sound ke dalam suara, construction kedalam konstruksi, pattern ke dalam pola-pola. Oleh karenanya, setelah diper-hatikan pesan BSa tidak berbeda dengan BSu sehingga terjemahan kalimat diatas merupakan terjemahan yang dapat diterima.

2.1.5 Nomina Diterjemahkan ke dalam Frasa Nomina

035/TPP/HA3/HT3BSu: But in reality it does not teach the foreign language; it merely

entertains teacher and student in easy but unproductive activity.BSa: Apa yang sebenarnya terjadi ialah bahwa buku tadi tidak mengajarkan

sebuah bahasa asing, melainkan menghibur sang guru beserta parasiswanya dengan suatu cara yang tidak produktif.’

Nomina teacher pada kalimat di atas diterjemahkan ke dalam frasa no-mina sang guru dan activity diterjemahkan ke dalam suatu cara. Terjadinyapergeseran terjemahan nomina bahasa Inggris ke dalam frasa nomina bahasaIndonesia pada kalimat di atas tidak mengurangi makna dan pesan BSu.

2.1.6 Nomina Diterjemahkan ke dalam Frasa Nomina+nya

027/TPP/HA2/HT2BSu: On the surface, most textbooks look pretty much alike.BSa: Dari bentuk luarnya kebanyakan buku pelajaran kelihatannya sama.’

Nomina surface pada frasa the surface diterjemahkan ke dalam nomina+nya, bentuk luar+nya, dan secara keseluruhan kalimat ini tidak mengubahpesan meskipun terjadi pergeseran terjemahan kategori nomina. Hal tersebutdilakukan oleh penerjemah untuk mencapai nilai keterbacaan dalam BSasehingga mudah dipahami oleh pembaca. Partikel –nya sebenarnya menunjukpada the pada the surface yang mengacu pada konteks sebelumnya karena yangditerjemahkan adalah wacana utuh.

10

Dwi Haryanti

2.1.7 Nomina Diterjemahkan ke dalam Nomina Majemuk

037/TPP/HA3/HT3BSu: Textbooks should be graded as to grammatical structure,

pronunciation, vocabulary, and cultural content.BSa: Buku pelajaran harus dinilai dari segi struktur gramatik, ucapan,

kosakata, dan isi budayanya.’

Nomina majemuk kosakata merupakan terjemahan dari nominavocabulary. Kalimat terjemahan tersebut mempunyai pesan yang sama denganBSu sehingga pergeseran kategori nomina ke dalam nomina majemuk tidakmengurangi makna yang ada.

2.1.8 Nomina Diterjemahkan ke dalam Nomina + nya

021/TPP/HA2/HT2BSu: In practice a teacher may be called upon to apply this knowledge

under various circumstances.BSa: Dalam prakteknya, seorang guru yang demikian itu bisa dimintai

bantuan untuk mempraktekkan ilmunya dalam berbagai-bagai situasi.

Knowledge yang merupakan nomina dalam bahasa Inggris diterje-mahkan ke dalam nomina+nya ilmunya dalam bahasa Indonesia dan tidakmengubah pesan sehingga terjemahan tersebut tepat. Partikel –nya dalamkonteks di atas tidak aneh dilakukan penerjemah karena penerjemah bukanmenghadapi kalimat lepas tetapi wacana yang berkohesi dan koherensi yangditerjemahkannya.

2.1.9 Nomina Jamak Diterjemahkan ke dalam Nomina Tunggal

149/TPP/HA9/HT11BSu: Phonemes are units of sound that exist in all the languages we

know, whether or not they have ever been written.BSa: Fonim adalah kesatuan bunyi yang terdapat di semua bahasa,

baik bahasa itu mempunyai tulisan atau tidak.

Nomina jamak phonemes dan units diterjemahkan ke dalam nominatunggal fonim dan kesatuan. Pergeseran tersebut tidak mengurangi pesankarena terdapat sistem yang berbeda antara BSu dengan BSa. Salah satupemarkah nomina jamak pada bahasa Inggris adalah penambahan –s atau -essedangkan dalam bahasa Indonesia nomina yang bermakna jamak tidak harusmempunyai pemarkah tetapi berdasarkan konteks yang mengikutinya.

2.1.10 Nomina Jamak Diterjemahkan ke dalam Frasa Nomina

013/TPP/HA2/HT2BSu: The teacher of foreign languages may wonder why he has to go

through the painful business of comparing languages.BSa: Guru bahasa bisa bertanya mengapa dia harus bersusah payah

membandingkan bahasa yang dia ajarkan dengan bahasa para siswa.’

11

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

Pergeseran terjemahan terjadi pada data di atas, yakni, nomina jamakditerjemahkan ke dalam frasa nomina. Nomina languages diterje-mahkan ke dalam bahasa yang dia ajarkan dengan bahasa para siswayang merupakan frasa nomina dengan kata pusatnya bahasa kemudianpewatas belakang yang panjang dimulai dengan kata yang. Pergeserantersebut memperjelas pesan kalimat sehingga tidak mengubah pesan.

2.1.11 Nomina Jamak Diterjemahkan ke dalam Nomina Tunggal + nya

028/TPP/HA2/HT2BSu: Publishers see to it that their books look attractive and that the

titles sound enticing.BSa: Penerbitan selalu berusaha agar buku mereka kelihatan rapi dan

menarik, termasuk judulnya.

Kalimat di atas mengandung nomina jamak titles yang diterjemahkanke dalam nomina tunggal+nya, yakni, judulnya. Partikel –nya dalam judulnyamerujuk pada buku yang dikeluarkan oleh penerbit dan makna -nya jugatersurat dalam the sebagai artikel dalam frasa the titles karena artikel themerujuk pada sesuatu yang sudah jelas yang biasanya sudah disebutkan sebe-lumnya.

2.1.12 Nomina Tunggal Diterjemahkan ke dalam Nomina Jamak

003/TPP/HA1/HT1BSu: …The most effective materials are those that are based upon a

scientific description of the language to be learned, carefullycompared with a parallel description of the native language of thelearner."

BSa: Bahan-bahan yang efektif haruslah didasarkan atas suatu deskripsiilmiah dari bahasa yang akan dipelajari dan yang kemudiandibandingkan dengan bahasa ibu dari para pelajar.

Pada buku LAC dan terjemahannya terdapat pergeseran dari nominatunggal ke dalam nomina jamak. Kasus tersebut terdapat dalam data 003/TPP/HA1/HT1, yakni, nomina tunggal learner diterjemahkan ke dalam parapelajar. Para merupakan salah satu pemarkah jamak dalam bahasa Indonesiadan dalam hal ini sebagai pemarkah jamak nomina pelajar. Pergeseran terje-mahan di atas tidak mengurangi pesan yang disampaikan di dalam BSa.

2.1.13 Nomina Tunggal Diterjemahkan ke dalam Nomina Jamak + nya

035/TPP/HA3/HT3BSu: But in reality it does not teach the foreign language; it merely

entertains teacher and student in easy but unproductive activity.BSa: Apa yang sebenarnya terjadi ialah bahwa buku tadi tidak mengajarkan

sebuah bahasa asing, melainkan menghibur sang guru beserta parasiswanya dengan suatu cara yang tidak produktif.

12

Dwi Haryanti

Selain pergeseran di atas, nomina tunggal dapat diterjemahkan ke da-lam nomina jamak+nya, yakni, student menjadi para siswanya. Terjemahanyang digeser tersebut tidak mengurangi pesan yang dimaksud dalam BSu.

2.1.14 Nomina Diadopsi

198/TPP/HA11/12/HT14BSu: Since the transfer is usually in one direction, from the native language

to the foreign language, an analysis with English as the foreignlanguage is not the same as one with English as the native language.

BSa: Karena transfer biasanya menuju ke satu arah, yakni, dari bahasa ibuke bahasa asing, maka suatu analisa di mana Bahasa Inggris (BI)dipakai sebagai bahasa asing tidak sama dengan analisa di mana BIdipakai sebagai bahasa ibu.

Kategori nomina transfer pada frasa the transfer diadopsi ke dalamterjemahan bahasa Indonesia. Diadopsi berarti diambil semua bentuk dan tidakada penyesuaian tulisan dalam BSa sehingga ada kemungkinan tidak mengu-bah makna. Hal ini dapat dilakukan apabila kata tersebut sudah umum digu-nakan, nama orang, tempat, atau elemen budaya lain yang tidak mempunyaipadanan dekat dengan BSa.

2.1.15 Nomina Diadaptasi

061/TPP/HA4/HT5BSu: The number of passages and compositions that could be expressed in

language are infinite, and it is easy to find a passage or a compositiontopic in which one might do badlyeven knowing the language.

BSa: Jumlah bacaan atau komposisi yang bisa ditulis dalam suatu bahasatidak terbatas. Karena itu sangat mudah untuk mendapatkan sebuahmateri yang bisa menjatuhkan siapa saja yang menempuh tes tadi.

Nomina turunan dalam bahasa Inggris compositions di atas diadap-tasikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi komposisi. Diadaptasi berartipeminjaman kata asing (dalam hal ini BSu), disesuaikan dengan BSa dengancara mengubah tulisan dan ucapan tetapi masih tampak terpengaruh kata asingtersebut. Dalam kasus adaptasi tersebut tidak ada perubahan makna dan pesan.

2.1.16 Nomina tidak Diterjemahkan

048/TPP/HA3/4/HT4BSu: The teacher will at all times in working with his students be faced with

the need to diagnose quickly and accurately the problems troubling astudent.

BSa: Dalam menghadapi para siswa, seorang gürü selalu diharapkan untukbisa memberikan diagnose secara cepat dan tepat terhadap kesukaran-kesukaran yang dihadapi para siswa.

13

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

Salah satu data yang mengandung nomina tetapi tidak diterjemahkanadalah data nomor 048/TPP/HA3/HT4. Tidak diterjemahkannya nomina timespada frasa all times dan need pada frasa the need pada data di atas menye-babkan pesan menjadi berkurang karena ada informasi yang tidak disampaikandalam kalimat BSa. Namun demikian karena struktur BSa disusun wajar makatidak sulit untuk dipahami.

3 PERGESERAN TERJEMAHAN VERBA DAN KETEPATANNYA

Verba bahasa Inggris dalam LAC diterjemahkan ke dalam 10 variasi, yakni,verba yang diterjemahkan ke dalam nomina, ajektiva, kata tanya, klausa, frasapreposisi, verba, frasa verba, verba+partikel (-nya dan –lah), men + transfer,dan verba yang tidak diterjemahkan.

3.1 Verba Diterjemahkan ke dalam Nomina

090/TPP/HA6/HT6BSu: We test him on his comprehension of the grammatical meaning of the

sentence, or we test his ability to express a grammatical meaningthrough the patterns of the foreign language.

BSa: Yang kita tes ialah komprehensi dari arti gramatik sebuah kalimat, ataupengungkapan suatu arti gramatik melalui pola-pola bahasa asing itu.

Pergeseran kategori verba terjadi dari BSu ke dalam BSa pada LACdan terjemahannya. Salah satu variasi pergeseran tersebut adalah dari verba kedalam nomina, yakni, verba express diterjemahkan menjadi pengungkapanyang berkategori nomina. Pewatas verba adalah ada to pada to express danpewatas nomina dalam BSa adalah konfiks pe - an pada pengungkapan yangberkatadasar ungkap. Secara keseluruhan makna kalimat di atas tidak menga-lami perubahan meskipun terjadi pergeseran dari verba ke nomina.

3.2 Verba Diterjemahkan ke dalam Ajektiva

005/TPP/HA1/HT1BSu: The same assumption, that in the comparison between Native and

foreign language lies the key to ease or difficulty in foreign languagelearning, was applied to the preparation of language achievement testsby Lado.4

BSa: Landasan yang sama, yakni, bahwa perbandingan antara bahasa ibudengan bahasa asing merupakan kunci terhadap efektif tidaknya suatupengajaran bahasa asing, telah juga dipraktekkan dalam memper-siapkan “achievement test” oleh Lado.

Kategori verba (to) ease diterjemahkan ke dalam ajektiva efektif dalamBSa dan tidak mengubah pesan dari bahasa aslinya. Penerjemah berusaha me-nyusun BSa sewajarnya sehingga pesan tidak berubah dan kalimat mudahdipahami oleh pembaca.

14

Dwi Haryanti

3.3 Verba Diterjemahkan ke dalam Kata Tanya

014/TPP/HA2/HT2BSu: Is it not his responsibility simply to teach a foreign language?BSa: Apakah tugas dia bukan hanya mengajar bahasa asing itu saja?

Kata tanya merupakan salah satu variasi pergeseran terjemahan kate-gori verba dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Kata tanya tersebutmerupakan terjemahan lingking verbs yang berada paling depan dalam kalimattanya (interrogative sentence), misalnya, is, am, are, was, were, appear,become, dan smell. Dalam kasus di atas is diterjemahkan ke dalam apakah.

3.4 Verba Diterjemahkan ke dalam Klausa

045/TPP/HA3/HT3/4BSu: Commonly, the teacher finds that he is given an assigned Textbook that

he finds inadequate both as to linguistic and cultural content.BSa: Tidak jarang terjadi bahwa seorang guru mendapat buku yang dia

pakai tidak sempurna, baik ditinjau dari segi linguistik maupun darsegi budaya.

Lexical verb atau auxiliary verbs dalam kalimat bahasa Inggris di atas,yakni, is given diterjemahkan ke dalam klausa dia pakai. Klausa dia pakaibersubjek dia dan berpredikat pakai. Terjemahan tersebut lebih sederhana dariBSu tetapi informasi yang disampaikan tidak berubah.

3.5 Verba Diterjemahkan ke dalam Frasa Preposisi

073/TPP/HA5/HT5BSu: The application of the techniques of linguistic comparison tocultural

comparison is now being explored and has already shown positiveresults for testing of cultural understanding.

BSa: Dalam perbandingan budaya, pengetrapan ini masih dalam tarafpenyelidikan, meskipun sudah ada hasil-hasil positif yang telahdicapai.

Salah satu jenis verba dalam bahasa Inggris adalah auxiliary verb ataulexical verb yang dapat juga disebut verb phrase karena terdiri atas lebih darisatu verb. Dalam datum nomor 073/TPP/HA5/HT5 lexical verb-nya adalah isbeing explored. Terjemahan yang berupa masih dalam taraf penyelidikan me-rupakan frasa preposisi dengan pemarkah kata dalam. Pesan BSa sesuai denganBSu meskipun terdapat pergeseran kategori dan perubahan struktur kalimat.

3.6 Verba Diterjemahkan ke dalam Verba

135/TPP/HA8/HT9BSu: The following chapters present working techniques to carry out

specific comparison of two systems of pronunciation, grammaticalstructure, vocabulary, writing, and cultural behavior

15

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

BSa: Bab-bab berikut menyajikan teknik-teknik untuk melaksanakanperbandingan spesifik dari dua sistem ucapan, struktur gramatik, kosakata, tulisan, dan tingkah-laku budaya.

Terdapat dua verba yang diterjemahkan ke dalam verba pada kalimatdi atas. Verba present diterjemahkan ke dalam menyajikan dan carry out diter-jemahkan ke dalam melaksanakan dan tidak mengubah pesan yang ada dalamBSu.

3.7 Verba Diterjemahkan ke dalam Frasa Verba

078/TPP/HA5/HT5BSu: We used to talk in vague terms about foreign accent,

comprehensibility, amusing errors in pronunciation, and the like, orwe avoided the problem of testing pronunciation altogether.

BSa: Dulu kita hanya berbicara tentang aksen asing, tentang pengertian kitaterhadap sebuah bacaan, tentang kesalahan-kesalahan yang lucu dalamucapan dan sebagainya. Kadang-kadang kita malah tidak mengindah-kan hal-hal semacam ini samasekali.

Di samping terjemahan dari verba ke verba terdapat variasi lain, yakni,dari verba ke dalam frasa verba. Pada kalimat di atas verba avoided diterjemah-kan ke dalam frasa verba malah tidak mengindahkan. Dalam kasus di atas,penerjemah berusaha menangkap pesan BSu kemudian mengungkap pesanyang sama dalam BSa.

3.7 Verba Diterjemahkan ke dalam Verba+partikel (-nya dan –lah)

027/TPP/HA2/HT2BSu: On the surface, most textbooks look pretty much alike.BSa: Dari bentuk luarnya kebanyakan buku pelajaran kelihatannya sama.

Verba look diterjemahkan ke dalam verba + partikel -nya menjadikelihatannya. Pergeseran terjemahan di atas tidak mengurangi pesan dan infor-masi yang disampaikan dalam BSa.

3.8 Verba Diterjemahkan ke dalam men + transfer

011/TPP/HA2/HT2BSu: … that individuals tend to transfer the forms and meanings, and the

distribution of forms and meanings …BSa: Dengan kata lain kita katakan bahwa pelajar mempunyai kecen-

derungan untuk men”transfer” bentuk, arti, dan distribusi dari bahasaatau budaya yang sedang mereka pelajari…

Verba transfer dialihkan ke dalam men“transfer”, yakni, verba dialih-kan sebagian, yakni, dengan menambahkan sufiks men- pada kata aslinya dansecara kontekstual tidak mengubah pesan yang disampaikan.

16

Dwi Haryanti

3.9 Verba tidak Diterjemahkan.

107/TPP/HA7/HT7BSu: Good experimental test items have been worked out from the

information yielded by that partial comparison of cultural behavior,and we have every reason to believe that much more complete testingof cultural understanding can be carried out with present tools.

BSa: Banyak percobaan yang telah dilakukan dalam bidang ini, dan kitapercaya bahwa testing pengertian budaya yang lebih sempurna akanbisa dilaksanakan dengan saksama.

Dalam buku LAC dan LPB terdapat verba yang tidak diterjemahkandan tidak mengubah pesan yang disampaikan dalam BSa tetapi ada sedikitinformasi yang kurang lengkap. Verba yang tidak diterjemahkan dalam kalimatdi atas adalah yielded (by).

4 SIMPULAN

Berdasarkan semua uraian di atas, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa da-lam Linguistics Across Cultures karya Robert Lado dan terjemahannyaLinguistik di Pelbagai Budaya oleh Soenjono Dardjowidjojo terdapat perge-seran kategori sebagai berikut.

1. Nomina diterjemahkan ke dalam 16 variasi, yakni, ke dalam verba,ajektiva, pronomina ‘ini’, nomina, frasa nomina, frasa nomina+nya,nomina majemuk, nomina+nya, nomina jamak ke dalam nomina tung-gal, nomina jamak ke frasa nomina, nomina jamak ke nominatunggal+nya, nomina tunggal ke nomina jamak, nomina tunggal kenomina jamak+nya, nomina diadopsi, nomina diadaptasi, dan nominatidak diterjemahkan.

2. Verba diterjemahkan ke dalam 10 variasi, yakni, verba diterjemahkanke dalam nomina, ajektiva, kata tanya, klausa, frasa preposisi, verba,frasa verba, verba+partikel (-nya dan –lah), men + transfer, verba tidakditerjemahkan.

3. Hasil terjemahan pada dasarnya mempunyai ketepatan yang baik dantidak ada perubahan pesan namun ada sedikit kekurangan informasikarena ada kata dan kalimat yang tidak diterjemahkan ke dalam BSa.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, dan Anton M. Moeliono. 2003. TataBahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Baker, M. 1995. In Other Words: A Course Book on Translation. London andNew York: Routledge.

Brislin, R. W. 1976. Translation: Application and Research. New York:Gardner Press Inc.

17

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation. Oxford: OxfordUniversity Press.

Dardjowidjojo, Soenjono. 1979. Linguistik di Pelbagai Budaya. Bandung:Ganaco N.V. Terjemahan buku Lado, Linguistics Across Cultures.

Haryanti, Dwi. 2005. Pergeseran Terjemahan Nouns dan Verbs dalam TheOldman and the Sea, A Farewell to Arms, dan Terjemahannya dalamBahasa Indonesia. Hasil Penelitian Dosen Muda. Surakarta: LembagaPenelitian UMS.

Frank, Marcella. 1991. Modern English: A Practical Reference Guide. NewJersey: Prentice Hall.

Hickey, Leo. 1998. The Pragmatics of Translation. Clevedon: British LibraryCataloging in Publication Data.

Lado, Robert. 1974. Linguistics Across Cultures. Michigan: The University ofMichigan Press.

Larson, M. L. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-LanguageEquivalence. America: University Press of America.

Leonardi, Vanessa. 2000. “Equivalence in Translation: Between Myth andReality”. Translation Journal, Vol. 4, No. 4.

Nord, Christiane. 2001. Translating as a Purposeful Activity. Manchester: St.Jerome Publishing.

Shuttleworth, Mark dan Moira Cowie. 1997. Dictionary of Translation Studies.Manchester: St Jerome Publishing.

19

MASYARAKAT TIONGHOA KALIMANTAN BARAT:TINJAUAN PEMILIHAN BAHASA DI KOTA

SEKADAU1

Chong ShinInstitut Alam dan Tamadun Melayu

Universiti Kebangsaan Malaysia

Abstract

Although the Chinese community is stpread throughout Indonesia,the linguistic study of this minority group has been focused only inJava. To compensate for this discrepancy, a sociliolinguistic studywas conducted outside Jawa, that is, in the city of Sekadau, WestKalimantan. The research is to reveal how the Chine community inthe Sekadau multilingual area choses a language to use in their socialinteraction. The theory used is based on Fishman’s 1970 work,particularly in the social domain for the the language choice.

PENGENALAN

Masyarakat Tionghoa merupakan suku minoritas yang tampak dan tersebar diseluruh Indonesia. Namun demikian, hampir semua penelitian linguistik Sino-logi mengenainya berfokus kepada masyarakat Tionghoa di Pulau Jawa saja(Chong 2003: 1). Memandang kelemahan sumber ilmiah ini, penelitian sosio-linguistik asasi telah dilakukan di kota Sekadau. Dalam makalah ini, dibahaspemilihan dan penggunaan bahasa dalam hubungan interetnik dan intraetnikoleh masyarakat Tionghoa di kota ini dengan berdasarkan kerangka teoriFishman (1970), yaitu, ranah (domain) dan pemilihan bahasa. SesudahPengenalan ada empat bagian lain: Bagian 1 -- Masyarakat Tionghoa di KotaSekadau; Bagian 2 -- Kerangka Teori Pemilihan Bahasa; Bagian 3 – Masya-rakat Tionghoa dan Pemilihan Bahasa; dan, Bagian 4 -- Kesimpulan.

1 MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA SEKADAU

Bagian ini menguraikan kondisi geografi dan sosial-masyarakat di kotaSekadau. Dari segi geografi, kota Sekadau terletak di muara Sungai Sekadau,yaitu, sebuah anak sungai Kapuas yang terletak kira-kira 300 km dari pantaiKalimantan Barat (Lihat Peta 1). Berdasarkan wilayah administratif RepublikIndonesia, kota ini terletak di kecamatan Sekadau Hilir2, yang berbatas dengankecamatan Belitang Hilir di utara, kecamatan Sepauk, (kabupaten Sintang) diTimur, kecamatan Sekadau Hulu di Selatan dan kecamatan Mukok di barat(Kecamatan Sekadau 1996:1-2).

Di kota Sekadau, terdapat tiga suku yang utama, yaitu, suku Melayu,Dayak 3 dan suku Tionghoa. Suku Tionghoa berjumlah kira-kira 1200 orangdan kebanyakan mereka merupakan peniaga runcit. Dalam kominitas Tionghoa

20

Chong Shin

ini, terdapat dua subsuku: suku Khek (suku mayoritas) dan Hoklo (suku mino-ritas). Dari segi sejarah migrasi orang Tionghoa di lembah Kapuas, kedua sukuTionghoa ini berasal dari wilayah Selatan negara China (Lihat Peta 2).Golongan ini semula berhijrah ke Kalimantan Barat sekitar akhir abad ke-17untuk bekerja di tambang-tambang emas di persisir pantai (Lihat Peta 3). Aki-bat kehabisan sumber emas, terutama di wilayah Mandor, pada tahun 1832,orang Tionghoa ini mula berpindah ke anak sungai Landak dan melombong dilembah Belentian. Pada tahun 1851, sekumpulan besar dari mereka telah ber-hijrah ke Bonan dan di lembah ulu Tayan. Dari situ, mereka menembusi lebihmendalam ke lembah Kapuas (Lihat Peta 4). Pada awal abad ke-19, orangTionghoa telah berpindah sampai di Sekadau dan Sintang. Seawal tahun 1820-an, terdapat lebih 200 orang Tionghoa yang bekerja di tambang emas di SungaiAyak dan sekitar Sekadau (Jackson, 1970: 26; Lihat juga Heidhues, 2003).

Dari segi bahasa, orang Tionghoa di kota Sekadau hidup dikelilingioleh pelbagai bahasa yang dituturkan oleh suku pribumi di lembah Sekadau.Mengikuti pengetahuan lokal, terdapat 12 bahasa yang dikenal dan diberikannama di lembah Sekadau (Chong 2003 dan 2005). Menurut Chong (2005),walaupun kadar diversiti bahasa memang tinggi di lembah Sekadau, hanya 4bahasa yang sering diguna-pakai oleh orang Tionghoa kota Sekadau, yakni,bahasa Indonesia, dialek Melayu Sekadau, bahasa Khek dan bahasa Hoklo–kedua-dua bahasa terakhir adalah bahasa Sinitik4. Dalam interaksi harian,bahasa Khek merupakan bahasa interaksi interetnik (sesama suku TionghoaKhek-Khek dan Khek-Hoklo). Dialek Melayu Sekadau dan bahasa Indonesiamasing-masing merupakan bahasa hubungan intraetnik utama (sesama sukuTionghoa-Melayu/Dayak). Setiap bahasa yang diguna-pakai untuk interaksi,baik Khek, Hoklo, Indonesia maupun Melayu Sekadau, masing-masingberbeda-beda mengikut ranah. Makalah ini berusaha membicarakannya berda-sarkan ranah sosial yang dikemukakan oleh Fishman (1970).

3 KERANGKA TEORI PEMILIHAN BAHASA

Dalam menganalisis pemilihan bahasa, Fishman dan Greenfield (1970 dalamFishman 1971: 250-255) memperkenalkan konsep ranah5. Konsep ini ditafsir-kan oleh Winford (2003: 114) dengan pengertian berikut:

… domain analysis has provided much insight into the general patternsof language choice in bilingual communities. The concept provides alink between the micro-level organization of society, with its “socio-cultural norms and expectations,” and the micro-level organization oflanguage use manifested in “individual behavior at the level of face-to-face verbal encounters.

Semasa meneliti pemilihan bahasa oleh masyarakat Puerto Rico (NewYork), Greenfield, yang sesudah setahun lebih melakukan partisipasi observasidan mengumpul data, telah membentuk lima ranah, yaitu. ranah keluarga,persahabatan, agama, pendidikan, dan pekerjaan untuk menilai pemilihanbahasa oleh komunitas ini. Setiap ranah yang dibentuk berdasarkan peserta,tempat dan topik pembicaraan. Model tersebut adalah seperti berikut:

21

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No.1, Februari 2007

Ranah Peserta Tempat Topik

Keluarga Ibu bapak Rumah Bagaimana untuk menjadianak yang baik.

Persahabatan Kawan Pantai Macamana untuk bermainsesuatu permainan.

Agama Pastor Gereja Bagaimana untuk menjadipenganut yang baik.

Pendidikan Guru Sekolah Bagaimana untuk menyele-saikan masalah algebra.

Pekerjaan Pekerja Tempatkerja

Bagaimana untuk melakukankerja dengan lebih efisien.

TABEL 1: Model Ranah dalam Pemilihan Bahasa (Fishman, 1971: 250)

3 MASYARAKAT TIONGHOA DAN PEMILIHAN BAHASA

Bagian ini membicarakan beberapa kasus pemilihan bahasa (Khek, Hoklo,Indonesia, dan Melayu Sekadau) oleh orang Tionghoa dalam sesuatu ranah.Data yang digunakan untuk diskusi ini merupakan data wawancara (dan jugapartisipasi observasi) dengan 30 orang Tionghoa yang bersuku Khek, Hoklo,campuran Khek-Hoklo dan campuran Tionghoa-pribumi. Terdapat 3 ranahyang dilihat: ranah kekeluargaan, ranah masyarakat, dan ranah keagamaan dankebudayaan, seperti yang ditampilkan dalam Tabel 2 halaman berikut:

3.1 Ranah Kekeluargaan

Anggota keluarga yang melatari ranah ini ialah seperti ibu bapak dan saudara-saudara. Pada lazimnya, bahasa ibunda (Khek ataupun Hoklo) merupakanbahasa komunikasi utama dalam keluarga Tionghoa untuk topik-topik pembi-caraan. Kajian Erinita (2001: 70) melaporkan bahwa mahasiswa Tionghoa dikota Pontianak (Kalbar) memilih berbahasa Tionghoa, yakni, bahasa Ibundadalam keluarga. Namun demikian, di kota Sekadau, penggunaan dan pemilihanbahasa tampaknya lebih kompleks. Berikut adalah uraiannya.

22

Chong Shin

Keluarga Tionghoa Khek

Hasil wawancara dengan 18 orang Tionghoa Khek di kota Sekadau mendapatibahawa 17 orang daripadanya mengaku diri mereka berbahasa Khek denganibu bapa dan saudara di rumah. Ini ditampilkan dalam Tabel 4.

Ranah Keanggotaan TempatKekeluargaan Ahli-ahli keluarga Rumah dan

sekitarnya

Masyarakat Masyarakat berbilang suku,misalnya Tionghoa, Melayu,Dayak dan suku-suku lain.

Tempat berkumpul,toko makan danminum, tempat-tempat umum(seperti studioradio), sekolah dansebagainya.

Keagamaan dankebudayaan

Penganut-penganut yangseagama

Gereja, klentengdan tempat ibadahKonfucu.

Tabel 3: Ranah-ranah Penggunaan Bahasa di Kota Sekadau.

______________________________________________________Bahasa Khek Hoklo Jumlah______________________________________________________Bilangan 17 1 18______________________________________________________

Tabel 4: Penggunaan Bahasa Dalam Keluarga Tionghoa Khek di Rumah.

Pada kebiasaannya, bahasa yang digunakan dalam keluarga Tionghoaadalah sejajar dengan afiliasi keturunan mereka. Maksudnya mereka yangmengaku diri sebagai suku Khek memang berbahasa Khek dalam keluarga.Namun, terdapat satu kasus yang memaparkan kelainan, yaitu, sebuah keluargayang mengaku mereka suku Khek tetapi mereka berbahasa Hoklo di rumah.Rupanya, pertukaran bahasa dalam keluarga Tionghoa ini bermula sejakgenerasi nenek mereka. Jadi sehingga hari ini, bahasa Hoklo merupakan bahasadi rumah mereka, walaupun mereka merupakan suku Khek. Perubahan bahasakeluarga sesudah beberapa generasi turut dilaporkan oleh Dédé (1987: 107).Menurutnya di Pasuruan, terdapat masyarakat Tionghoa Peranakan yangmengubah kode bahasa keluarga dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia karenapengaruh ibu pada generasi yang lalu. Menurut Fishman (1977 dalam Appeldan Musyken 1987: 12) dimensi patrimony6 telah mempengaruhi bentukpemilihan bahasa.

23

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No.1, Februari 2007

Keluarga Tionghoa Hoklo

Orang Tionghoa Hoklo di kota Sekadau memang tidak banyak. Kerena itu,jumlah orang yang diwawancarai terbatas. Sepanjang wawancara, sebanyaktiga orang informan Hoklo yang telah diajak bicara. Mereka mengaku berba-hasa Hoklo dalam keluarga.

Keluarga Tionghoa Campuran

Terdapat 2 kategori suku Tionghoa campuran pribumi yang diwawacarai: (1)Khek (bapa)-Dayak Kerabat (ibu); dan (2) Tionghoa Hoklo (bapak)-DayakKetungau (ibu)7. Bentuk penggunaan bahasa dalam keluarga mereka ialah:

Suku Tionghoa Khek-Kerabat

Informan ini berbahasa Khek dengan bapaknya dan berbahasa Kerabatdengan ibunya. Dengan saudara di pihak bapak (yang bersukuTionghoa Khek atau Hoklo), dia berbahasa bahasa Khek atau Hoklo.Dengan ibunya yang bersuku Dayak Kerabat, dia berbahasa DayakKerabat. Semasa mengunjungi kampung ibunya, dia berbahasa DayakKerabat dengan saudara pihak ibunya.

Suku Tionghoa Hoklo-Ketungau

Dia berbahasa Hoklo semasa berkomunikasi dengan bapaknya (yangsuku Hoklo).Dengan ibunya yang bersuku Dayak Ketungau, dia berbahasa Hoklodan bahasa Ketungau.Dengan saudaranya, biasanya bahasa Indonesia dan Hoklo yangdigunakan.

Suku Tionghoa Campuran Khek-Hoklo

Untuk keluarga Tionghoa yang berbeda afiliasi etnisnya, yaitu, Khek-Hokloatau Hoklo-Khek, secara umum mereka berbahasa Khek, Hoklo atau kedua-duanya dalam rumah. Sepintas lalu, dari 7 informan yang diwawancarai, 2 darimereka mengaku berbahasa Khek; 2 orang berbahasa Hoklo; dan, 3 orangberbahasa Khek dan Hoklo di rumah.

Dalam keluargan kawin campur, biasanya penggunaan bahasa tidakstatik. Contohnya, dalam sebuah keluarga campuran Tionghoa Hoklo (bapak)-Khek (ibu)8 bahasa sehari-hari di keluarganya adalah bahasa Khek. Tetapi padasuatu hari, apabila isterinya berangkat ke Pontianak, pertukaran bahasa berlaku.Bapak di rumah itu mulai berbahasa Hoklo dengan anak-anaknya. Begitu juga,anaknya membalas dan bertutur bahasa Hoklo dengan bapaknya (Chong 2002:55). Sekembali ibunya itu (yaitu, penutur Khek) ke rumah, dengan sendirinyabahasa harian diubah balik ke bahasa Khek.

24

Chong Shin

Terdapat seorang pria Khek yang menghadapi masalah berbicara (cacatwicara), yaitu, tidak bisa menyebut sistem tona bahasa Khek9. Dengan itu,dialek Melayu Sekadau yang tidak bersistem tona didefaultkan10 sebagai ba-hasa komunikasi di rumah. Perlu dinyatakan bahwa walaupun bahasaIndonesia adalah bahasa interaksi penting di kota Sekadau, hanya dialekMelayu Sekadau saja yang dipilihnya karena (1) dialek Melayu Sekadausendiri adalah bahasa lokal dominan di kota Sekadau, dan (2) Tetangganyaadalah suku-suku Dayak -- dan dialek Melayu Sekadau umum digunakandalam interaksi suku-suku Dayak yang berbeda bahasa. Artinya tiada bahasaDayak yang majoritas di kalangan suku-suku ini dan pada kebiasaannya, dialekMelayu Sekadau digunakan sebagai bahasa pengantar.

3.2 Ranah Masyarakat

Ranah ini melihat interaksi interetnik dan intraetnik di tempat-tempat umumyang formal dan tidak formal. Situasi formal melibatkan tempat-tempat yangberunsurkan urusan resmi seperti di pemerintahan, sekolah, studio, dan gereja.Situasi tidak formal merujuk kepada situasi sosial yang lebih akrab dalaminteraksi sosial Contohnya, dalam aktivitas perniagaan, pembicaraan di tempatawam dan sebagainya. Sesungguhnya, setiap situasi mempunyai penggunaanbahasa yang berbeda-beda.

Urusan Resmi

Dalam konteks negara Indonesia, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasaformal dalam urusan resmi, seperti dalam hal-hal pelaksanaan pemerintahan,pengeluaran surat resmi, pengumuman, dan rapat. Namun demikian, dalamaspek komunikasi lisan seperti di kalangan staf-staf; ataupun, di antara stafdengan penduduk lokal yang datang berurusan, seringkali dialek MelayuSekadau yang digunakan. Masyarakat Tionghoa tidak terkecuali dari polapenggunaan bahasa ini. Segala urusan resmi tertulis, misalnya, urusan surat-menyurat, dilakukan dalam bahasa Indonesia; sebaliknya semasa bertuturdengan pegawai kantor, mereka menggunakan kedua-dua bahasa -- bahasaIndonesia dan dialek Melayu Sekadau.

Sekolah-sekolah

Di Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa formal di sekolah. Namundemikian, pelajar sekolah itu menyadari bahwa bahasa Indonesia menghadapi“saingan” dari dialek Melayu Sekadau11, yaitu, dialek Melayu Sekadau seringdipakai di dalam kelas, malahan kadang-kadang guru dari suku DayakKetungau berbahasa Melayu Sekadau semasa mengajar di dalam kelas.

Dari aspek pendidikan, pemuda Tionghoa di kota Sekadau rata-ratanyamenerima pendidikan formal hingga ke peringkat SMU. Di antara 4 buah SMUdi kota ini, Sekolah Menengah Umum Karya (SMUK)12 merupakan sekolahpilihan utama masyarakat Tionghoa13. Menurut pelajar di SMUK, bahasapergaulan pelajar-pelajar Tionghoa di sekolah berdasarkan suku pihak lawan

25

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No.1, Februari 2007

bicara. Maksudnya, bahasa Khek dituturkan sesama suku Tionghoa (baikTionghoa Khek maupun Tionghoa Hoklo). Semasa berinteraksi dengan pelajarDayak dan Melayu, pelajar-pelajar Tionghoa biasanya berbahasa MelayuSekadau ataupun bahasa Indonesia.

Tempat-tempat Awam

Dari sudut sosiolinguistik, menurut Dédé (1987: 56-59), bahasa Indonesiaberperan sebagai: (1) instrumen penanda stratifikasi sosial oleh masyarakatkota besar, (2) lambang prestij yang ditiru oleh golongan yang kemudianmemasuki golongan kelas menengah, dan (3) bahasa yang membawa citra“moden”. Di kota Sekadau, bahasa Indonesia menduduki hieraki diaglosik14

yang tinggi. Seorang informan Tionghoa memilih berbahasa Indonesia denganguru sekolah menengah, yakni. golongan yang berstatus tinggi dalam hierakisosial kota Sekadau dan berbahasa Melayu Sekadau dengan masyarakat umum(yang berstatus sosial setara dengannya).

Di kota Sekadau tampak bahwa aktivitas yang melibatkan masyarakatumum berhubungan erat dengan pemilihan bahasa15. Di aktivitas senamanaerobik, yakni, sejenis aktivitas senaman yang dianggap “berprestij” tinggi16

dalam masyarakat Sekadau, didapati bahwa jurulatih Tionghoa (wanita)berbahasa Indonesia semasa memberi petunjuk gerak-gerik senam kepada ahli-ahli yang terdiri dari suku Tionghoa dan Dayak. Ini ternyata berbeda denganaktivitas yang “tidak berprestij”, misalnya, mencuci baju di “ranting17 di tepisungai Kapuas”. Semasa mencuci baju, wanita, baik Tionghoa, Dayak maupunMelayu berkomunikasi sesama mereka dengan dialek Melayu Sekadau.

Di studio Dermaga Ria, terdapat seorang juruhebah Tionghoa (sukucampuran Hoklo-Ketungau) yang ditugaskan mengendalikan 2 siaran radioyang berbeda, yaitu, (1) siaran yang dalam bahasa Indonesia, dan (2) siarandalam bahasa Khek dan Hoklo pada setiap hari Jum’at. Dalam siaran harian,bahasa Indonesia digunakan olehnya untuk melaporkan berita, membuatpengumuman, mengendalikan acara hiburan dan sebagainya. Pada setiap hariJum’at, dalam segmen bahasa Tionghoa yang sebenarnya bahasa Khek danHoklo mesti digunakan secara berganti-ganti setiap minggu (misalnya minggupertama berbahasa Khek dan minggu berikutnya bahasa Hoklo). Juruhebah inikelihatan menggunakan kedua-dua bahasa ini. Diperhatikan juga bahwa bahasaKhek sering digunakan pada minggu yang sebenarnya dikhususkan untuk si-aran bahasa Hoklo; malah, kadang-kadang seluruh segmen Hoklo itu dilang-sungkan dalam bahasa Khek karena bahasa Khek merupakan bahasa Tionghoadominan di kota Sekadau. Jadi, tidak heranlah sekiranya bahasa Hoklo kurangdipakai.

3.3 Ranah Keagamaan dan Kebudayaan

Bagian ini berfokus kepada pemilihan bahasa dalam keagamaan dan budayamasyarakat Tionghoa. Aspek ini diberi perhatian karena telah dikesani bahwaterdapat hubungan di antara aspek agama/budaya dengan pemilihan bahasa.

26

Chong Shin

Agama Katolik

Di kota Sekadau, suku-suku Dayak dan Tionghoa merupakan penganut utamaagama Katolik. Dalam aktivitas gereja bahasa Indonesia merupakan mediumbahasa utama dalam berkhotbah, membaca doa, menyanyi lagu rohani dansebagainya. Menurut pihak gereja, pada suatu ketika dahulu terdapat Kitab Injildwibahasa (bahasa Mandarin dan Indonesia) yang khusus digunakan olehorang Tionghoa. Penganut yang dimaksudkan ini ialah mereka yang pernahmenerima pendidikan bahasa Mandarin, yaitu, golongan yang berusia 50 tahunke atas18. Namun demikian, sekarang hanya Kitab Injil dalam bahasa Indonesiasaja yang dipakai.

Agama Protestan

Mirip dengan ranah keagamaan di gereja Katolik, bahasa pengantar dalamaktivitas gereja Protestan -- Gereja Kristen Nasional Injili Jemaah Filipi -- ialahbahasa Indonesia. Yang menarik, terdapat seorang penganut Tionghoa (30tahun, bersuku Khek) yang menggunakan bahasa Khek19, apabila dia mene-rangkan hal-hal keagamaan kepada bapak kawannya (60 tahun; bersuku Hoklo-Khek) yang lebih tua daripadanya, di dalam rumah kawannya. Maksudnyaistilah agama yang biasanya disebutkan dalam bahasa Indonesia, diterjemahkanke dalam bahasa Khek. Di sini, jelas ada 2 faktor yang mempengaruhi pemi-lihan bahasa: lokasi dan umur. Di ruangan rumah yang peribadi, bahasa Khekdigunakan dan bukannya bahasa Indonesia. Kedua, seperti yang dinyatakanoleh Saville-Troike (2003: 83), orang tua biasanya dikenal memiliki statussosial yang lebih tinggi. Karena itu, menggunakan bahasa Tionghoa untukberbicara dengan orang tua Tionghoa merupakan suatu penanda hormat dansopan.

Agama Taoisme dan Kepercayaan Konfucu

Kleteng Fuk De dan tempat ibadah Konfucu merupakan dua tempat ibadahTionghoa yang melibatkan penggunaan bahasa Mandarin. Di kleteng Fuk De,ayat-ayat pedoman kehidupan dituliskan dalam kaligrafi Mandarin di dindingklenteng. Ini berbeda dengan laporan Dédé (1987: 181), yaitu, tulisan-tulisan diklenteng-klenteng di Pasuruan mempunyai terjemahan dalam bahasa Indone-sia. Di kota Sekadau, menurut petugas klenteng, antara syarat yang dipertim-bangkan oleh masyarakat Tionghoa semasa memilih petugas klenteng ialahmelihat keupayaannya berbahasa Mandarin. Tujuannya antara lain ialah supayadapat menerangkan pedoman-pedoman agama yang dalam Mandarin kepadapenganut sekiranya dimintai. Menurutnya biasanya dia akan menerangkannyadalam bahasa Khek. Ini berbeda dengan tempat ibadah Konfucu. Menurutinforman, di tempat ibadah Konfucu, bahasa Mandarin digunakan sebagaibahasa pengantar dalam upacara beribadah karna para master Konfucu berasaldari Taiwan20.

27

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No.1, Februari 2007

Kebudayaan dan Bahasa Mandarin

Bahasa bukan setakat instrumen penyampaian pesan untuk komunikasi (Appeldan Musyken 1987: 12). Peran bahasa Mandarin dalam masyarakat Tionghoakota Sekadau adalah contoh yang relevan. Sepanjang penelitian lapangan,diobservasikan bahwa bahasa Mandarin tidak digunakan dalam percakapansehari-hari oleh masyarakat Tionghoa, kecuali dengan penulis21. Walaupundemikian, suratkhabar dan majalah Mandarin seperti Xin Sheng Ri Bao,Indonesia dan Asean dan Mandarin Pos dibeli secara teratur oleh segelintirkecil pelanggan. Menurut penjual suratkhabar, pelanggan-pelanggan utamaialah orang Tionghoa yang pernah menerima pendidikan bahasa Mandarin.

Berdasarkan hasil wawancara, golongan tua yang bisa berbahasaMandarin mengaku berasa janggal/malu untuk menuturkannya karena kononmereka lama tidak menuturkannya. Hadirnya bahasa Mandarin dalam komuni-tas Tionghoa ini lebih membawa makna sebagai penanda identitas kebudayaanTionghoa. Sewaktu Imlek, misalnya, setiap keluarga Tionghoa akan menem-pelkan tulisan-tulisan (kaligrafi) Mandarin yang ditulis pada kertas merah dipintu rumah. Warga Tionghoa yang masih tahu menulis dan berbahasa Man-darin sering disuruh oleh teman atau jiran untuk menulis kartu-kartu undanganperkawinan. Bahkan dalam majlis perkawinan, orang yang fasih berbahasaMandarin ditugaskan sebagai pengacara majlis perkawinan22.

3 KESIMPULAN

Makalah ini menunjukan bahwa bahasa Khek, Hoklo, Melayu Sekadau, danIndonesia merupakan 4 bahasa utama di kota Sekadau. Setiap bahasa yangdipilih oleh masyarakat Tionghoa mempunyai koneksi dengan ranah. Dalamranah keluarga, bahasa dalam keluarga, baik bahasa Khek ataupun Hok Lo,merupakan bahasa komunikasi utama dalam keluarga Tionghoa. Di bawahranah masyarakat, di tempat yang formal, penutur Tionghoa rata-ratanya berba-hasa Indonesia. Sebaliknya dalam situasi tidak formal, dialek Melayu Sekadauyang merupakan lingua franca lokal, dipilih. Dalam ranah agama, orangTionghoa menggunakan bahasa yang berbeda berdasarkan aliran agama.Penganut agama Kristian, baik di gereja Katolik maupun Protestan, berbahasaIndonesia; di klenteng berbahasa Khek atau Hok Lo. Di tempat ibadat Konfucubahasa Mandarin digunakan; Dalam ranah kebudayaan, seperti dalam perka-winan, tampaknya komunitas Tionghoa berusaha berbahasa Mandarin karenabahasa ini melambangkan identitas Tionghoa. Namun demikian, pemilihan ba-hasa dalam ranah-ranah yang disebutkan tadi dipengaruhi oleh faktor sepertistatus lawan pembicara, umur, tempat, dan topik berbicara.

28

Chong Shin

DAFTAR PUSTAKA

Appel, René dan Pieter Musyken. 1987. Language Contact and Bilingualism.London: Edward Arnold.

Chong Shin. 2002. “Sosiolinguistik Golongan Minoriti di Sekadau, KalimantanBarat”. Majalah Dewan Bahasa. 2(6):52-57.

_____. 2003. “Etnolinguistik Minoriti Cina di Pedalaman Kalimantan: Kajiandi Sekadau”. Kertas Kerja Seminar Brunei Darussalam-Jepun: KajianBrunei-Borneo. Universiti Brunei Darussalam, 11-12 August.

_____. 2004. “Masyarakat Multilingual di Lembah Sekadau, KalimantanBarat”. Makalah di Konferensi Linguistik Tahunan Ama Jaya Ke-2:Nasional (KOLITA-2), Jakarta, 24 dan 25 Februari.

_____. 2005. “Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Multilingual: MinoritiCina di Pekan Sekadau, Pulau Borneo”. Disertasi Doktoral. UniversitiKebangsaan Malaysia.

Dédé Oetomo. 1987. “The Chinese of Pasuruan: Their Language and Iden-tity”. Pacific Linguistics. Series D (63).

_____. 1990. “The Bahasa Indonesia of the Middle Class”. Prisma. 50: 68-79.Erinita, Dwi Agus S.S. 2001. Pemertahanan Bahasa Etnis TiongHoa: Kasus

Mahasiswa Kota Pontianak. Pontianak: Kantor Bahasa Pontianak.Ferguson, Charles. 2003. Diaglossia. Dalam. Paulston, Christina Bratt dan

Richard G. Tucker, (pnyt). Sociolinguistics: The Essential Readings,hlm. 345-358. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.

Fishman, Joshua A. 1971. “The Sociology of Language: An InterdisciplinarySocial Science Approach to Language in Society”. Dalam. Fishman,Joshua A. (pnyt). Advances in Sociology of Language, hlm. 217-404.Paris: The Hague.

_____. 1986. Domains and “The Relationship Between Micro- and Macro-sociolinguistics”. Dalam.Gumperz, J.J dan Dell Hymes, (pnyt).Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication, hlm.435-453. New York: Basil Backwell.

Herman, Simon R. 1972. “Explorations in the Social Psychology of LanguageChoice”. Dalam Fishman, Joshua A. (pnyt). Readings in the Sociology ofLanguage. Paris: The Hague.

Heidhues, Mary F. Somers. 2003. Golddiggers, Farmers, and Traders in the"Chinese Districts" of West Kalimantan, Indonesia. New York :Southeast Asia Program Publications, Southeast Asia Program, CornellUniversity.

Jackson, James C. 1974. Chinese in the West Borneo Goldfields: A Study inCultural Geography. Hull: University of Hull Publications.

Kecamatan Sekadau. 1996. Kecamatan Sekadau Hilir dalam Angka Tahun1996. Sanggau: Mantri Statistik Kecamatan Sekadau Hilir.

Leo, Suryadinata. 1986. The Chinese Minority in Indonesia: Seven Papers.Singapore: Chopmen Enterprises.

29

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No.1, Februari 2007

Mackie, J.A.C. 1976. “Anti-Chinese Outbreaks in Indonesia”. Dalam Mackie,J.A.C. (pnyt). The Chinese in Indonesia, hlm 77-138. Honolulu: TheUniversity Press of Hawai’i.

Nothofer, Bernd. 1996. “Migrasi Orang Melayu Purba: Kajian Awal”. Sari. 14:33-53

Profil Kabupaten Sekadau. 2001. Pontianak: Panitia Pembentukan KabupatenSekadau.

Reid, Anthony. 2001. “Long-term Chinese Interaction with Southeast Asia”.Dalam Reid, Anthony (pnyt.). Sojourners and Settlers: Histories ofSoutheast Asia and the Chinese, hlm. 15-50. Honolulu: University ofHawai’i Press.

Saville-Troike, Muriel. 2003. The Ethnography of Communication: AnIntroduction. 3rd editions. Oxford: Blackwell Publishing.

PETA 1: LOKASI KOTA SEKADAU

KotaSekadau

30

Chong Shin

Peta 2: Suku-suku tionghoa di selatan negara china yang bermigrasi ke AsiaTenggara

(Sumber: Reid, 2001)

Peta 3: Kawasan pertambangan emas di Borneo Barat

(Sumber: Jackson, 1974)

31

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No.1, Februari 2007

Peta 4: Tempat orang Tionghoa di lembah kapuaspada abad ke-19

(Sumber: Jackson, 1974)

CATATAN

1 Makalah ini dibentangkan di Konferensi Linguistik Nasional-Masyarakat LinguistikIndonesia (KLN-MLI) di Universitas Negeri Padang, 18-21 Julai 2005.2 Pada tahun 2003, lembah Sekadau dan sekitarnya telah dijadikan kabupaten yangberibu kota di kota Sekadau dengan keluasan 5,945.300 km2 yang mencakup 8kecamatan: Sekadau Hilir, Sekadau Hulu, Nanga Taman, Nanga Mahap, Belitang Hilir,Belitang Hulu, Belitang, dan Mukok (Profil Kabupaten Sekadau, 2001).3 Suku Dayak mempunyai pelbagai subsuku seperti suku Ketungau, Kerabat, Menterapdan sebagainya.4 Deskripsi linguistik untuk bahasa Khek, Hoklo dan Melayu Sekadau dapat dirujukpada Chong (2005). Sepintas lalu, bahasa Khek merupakan bahasa sinitik cabangKejia; bahasa Hoklo merupakan varian bahasa Min Selatan (yang mirip dengan bahasaHokkien), kedua-dua bahasa ini menduduki cabang tersendiri dalam silsilah bahasaSinitik Purba. Artinya penutur kedua-dua bahasa ini tidak akan saling mengerti bahasalawan bicara sekiranya mereka tidak mempelajarinya. Dialek Melayu Sekadau jugamerupakan bahasa varian Melayu Borneo Barat (lihat Nothofer 1996) yang sangat jauhbeda dengan bahasa Indonesia.5 Fishman (1986: 441) mendefinisikan ranah sebagai “…institutional contexts and theircongruent behavioral co-occurences. They attempt to sumate the major clusters ofinteraction that occur in clusters of multilingual settings and involving clusters ofinterlocutors”.6 Sesuatu pewarisan dari keturunan sebelumnya (Fishman 1977 dalam Appel danMusyken 1987: 12).

32

Chong Shin

7 Suku Dayak Kerabat dan Ketungau merupakan dua suku Dayak di lembah Sekadau.Bahasa Kerabat merupakan bahasa cabang Melayik dan bahasa Ketungau mendudukicabang Ibanik, dalam salasilah rumpun bahasa Austronesia.8 Dari 15 Desember 2001-15 Januari 2002 dan 20 Mei 2002-20 Agustus 2002, penulistinggal dalam keluarga ini. Jadi observasi yang dilaporkan di sini merupakan hasilpemerhatian yang cukup akrab dan berterusan.9 Tona atau nada dalam bahasa Khek (bahasa Sinitik) adalah fonemik.10 Istilah ini diadarankan oleh J. Collins.11 Dalam komunikasi peribadi dengan seorang pelajar di SMUN 1, Restituta (18 tahun)12 Dimiliki oleh gereja Katolik.13 Menurut masyarakat Tionghoa, sistem pendidikan di SMUK lebih berkualitasdaripada sekolah-sekolah menengah yang lain.14 Istilah “diaglosia” diperkenalkan oleh Ferguson (1959). Secara tradisi, istilah iniditerapkan dalam menangani masalah pengklasifikasian bahasa Arab di Baghdad.Dalam masyarakat Baghdad, bahasa Arab dituturkan dalam dua varian, yaitumasyarakat Arab yang beragama Kristian menuturkan “dialek Arab Kristian” dikalangan komuniti mereka, tetapi menuturkan “dialek Arab muslim” dengan komunitiumum. Jadi, ini berarti terdapat dua hieraki bahasa dalam sosial, yaitu, bahasa Tinggi(H) dan bahasa Rendah (L). Pada kebiasaanya, bahasa tinggi (H) merangkumi bahasastandard yang digunakan dalam pendidikan, agama dan aspek budaya yang tinggi,sebaliknya bahasa Rendah (L) umumnya merujuk kepada bahasa harian yangdituturkan dalam sosial seperti di tempat kerja, rumah dan sebagainya (Fishman 2003:359); dan, juga dialek-dialek tempatan (Ferguson 2003: 346).15 Menurut Herman (1972: 492):In a multilingual society instances are readily observable of choice of language whichis determinted by considerations other than the requirements of the particularconversation. These consideration would appear generally to be related to thespeaker’s reference to groups in the wider social milieu.16 Ditafsirkan sebagai aktivitas “berprestij tinggi” karena senaman ini merupakansenaman yang moden, yaitu, biasanya dilakukan oleh masyarakat di bandar besar.17 Tempat terapung di atas air yang dibina untuk kegunaan mencuci baju, sayur, mandidan sebagainya.18 Di Indonesia, gerakan anti Cina yang mencetus dari tahun 1959-69 (Mackie, 1976),telah mengakibatkan penutupan sekolah aliran Cina dengan sepenuhnya pada tahun1965 (Leo, 1986: 154). Ini mengakibatkan golongan yang lahir sesudah jaman ini tidakberpeluang menerima sistem pendidikan Mandarin.19 Biasanya diobservasikan bahwa pemuda ini, baik semasa membicarakan hal keaga-maan maupun berdiskusi tentang hal gereja dengan teman-temannya, adalah dalambahasa Indonesia.20 Bahasa Nasional Taiwan ialah bahasa Mandarin.21 Penulis berkompetensi dalam berbahasa Mandarin dan pernah menerima pendidikanMandarin dari SD ke SMU.

33

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No.1, Februari 2007

22 Penggunaan bahasa Mandarin dalam upacara perkawinan tidak banyak berbedadengan masyarakat Tionghoa totok di Pasuruan, sebagaimana yang dilaporkan olehDédé (1987: 181).

35

DISTRIBUSI BAHASA DURI DAN BAHASATORAJA: Suatu Analisis Geografi Dialek

Nurdin Yatim dan Hamzah MachmoedUniversitas Hasanuddin

AbstractThis study is to find out language variations and lexicaldifferences and to observe closely interlanguage influenceswhich would enable to classify groups of language, dialect, andsubdialect areas based on lexical variation. This study is also tocompare the distance location with the percentage of lexicaldistance of the villages.

The result indicates that the linguistic distance betweenthe localties cannot be used to determine the difference of thelexical contrast and the distance between two neighboringvillages. There is high degree of similarity of phonic substances,segments of sound in a stream of speech, revealing that there isa high degree of mutual intelligibility among most speakers ofboth speech communities.

It can, therefore, be concluded that both Dun and Tora-ja languages spoken in margina1 areas of Alla and Mengkendeksubdistricts have a high degree of genetic relation.

PENDAHULUAN

Bahasa Duri yang digunakan di Kecamatan Alla. Kabupaten Enrekang,berbatas langsung dengan bahasa Toraja dialek Gandangbatu yangdigunakan di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja.Kontak dan tingkat mobilitas penduduk di kedua wilayah itu cukuptinggi terutama di dua desa yang terdapat di Kecamatan Mengkendekbagian selatan seperti Desa Gandangbatu dan Desa Uluway (Sande1980:3). Pada daerah yang relatif kecil seperti Kecamatan Alla danKecamatan Mengkendek ini dapat diduga terjadi sentuh bahasa diantara bahasa Duri dan bahasa Toraja dialek Gandangbatu. "Persa-ingan", "pertikaian", atau "saling melengkapi" antar bahasa menam-pilkan daerah-pakai suatu bahasa yang meliputi daerah-inti bahasa itudan juga daerah-pengaruh bahasa itu terhadap daerah-pakai bahasa lain(Lauder 1990:6).

Situasi geografi kedua kecamatan ini adalah tempat jalan porosMakassar-Tana Toraja melintas. Pada beberapa desa di KecamatanMengkendek terdapat kantong-kantong penutur bahasa Duri, dansebaliknya di wilayah Kecamatan Alla terdapat kantong-kantongpenutur bahasa Toraja.

36

Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed

1 GAMBARAN RINGKAS BAHASA DURI DANBAHASA TORAJA

Bahasa Duri: Tampak jelas dalam matriks di bawah bahwa bahasaDuri memiliki keseragaman oleh karena pada keempat dialeknya,yakni, dialek Baroko, Bilajin, Cakke dan Baraka tidak terdapatperbedaan yang signifikan (Valkama 1990:75). Persamaan leksikaldengan bahasa Toraja yang rata-rata 77,8 persen menunjukkan bahwabahasa Duri cenderung lebih dekat ke kelompok bahasa Toraja, jikadibanding dengan persentasi kesamaan dengan bahasa Enrekang-Pattinjo yang hanya 75,7 persen. Selanjutnya. Mills (1975: 109)menguraikan bahwa bahasa Masserempulu adalah bahasa transisiantara bahasa Toraja-Saqdan dan bahasa Bugis.

Bagan 1.2. Matriks subfamili kelompok bahasa Massemempulu(Valkama 1987:129)

Bahasa Toraja. Penghuni sebagian besar wilayah Sulawesi Tengahdan sebagian daerah utara wilayah Sulawesi Selatan disebut sukuToraja (Salombe 1978:1). Oleh Adriani (Adriani-Kruyt 1950,1:3) sukuToraja tersebut dikelompokkan keda1am Toraja Timur yang bermukimdi daerah Tojo-Poso, Sulawesi Tengah, Toraja Barat yang bermukim didaerah Kaili-Parigi, juga di Sulawesi Tengah, dan Toraja Selatan yanglebih dikenal dengan sebutan Toraja Saqdan, yang bermukim diwilayah utara jazirah Sulawesi Selatan, sepanjang aliran sungaiSaqdan. Selanjutnya, bahasa Toraja Timur disebut bahasa Bareqe yangkemudian diubah menjadi bahasa Pamona. Bahasa Toraja Baratdisebut Bahasa Ulna, dan bahasa Toraja Selatan disebut bahasa Taeq.Semua nama bahasa tersebut berarti "tidak" (Salmer 1960: 114-115).

37

Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007

2 METODE PENELITIAN

Di bawah ini disajikan tiga hal, yakni, instrumen yang dipakai untukmelaksanakan penelitian, komputerisasi yang dilakukan untuk peme-taan bahasa, dan penggambaran peta.

2.1 Instrumen Penelitian

Instrumen yang merupakan perangkat bantu dalam memberikan danmembandingkan latar historis variasi bahasa di Kecamata. AlIa danMengkendek tersebut meliputi pokok-pokok berikut ini:

1) Peta bahasa dalam bentuk peta gambaran (displaymap) dan peta interpretasi (inlerpreli,'e map) diguna-kan untuk menginventarisasi dan mendistribusikangejala kebahasaan (Goosens 1977:69-72).

2) Isoglos untuk mengelompokkan semua gejala keba-hasaan (Chambers dan Trudgill 1980:103).

3) Dialektometri untuk mengukur secara statistik perbe-daan ma11pun persamaan aspek-aspek bahasa yangterdapat antara titik-titik pengamatan berdekatan danmembandingkannya dengan sejumlah bahan yang di-peroleh dari daerah yang diteliti (Ayatrohaldi 1985:59;Nothofer 1980:59-60).

2.1 Komputerisasi Pemetaan Bahasa

Pemetaan Data: Program pemetaan bahasa Duri dan bahasa Torajamenggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS, GeographycalInformation System) yang diterapkan dalam berbagai aspek kehidupansekarang int.

Spesifikasi Peralatan: Perangkat bantuan yang digunakan dalammelakukan visualisasi komputer peta bahasa ini terdiri atas perangkatkeras dan perangkat lunak. Perangkat keras yang digunakan untukmembuat peta bahasa dalam penelitian ini adalah: (a) dua unitkomputer personal, prosesor Intel Celeron 1,7 Gigahertz; RAM 256Megabytes, harddisc 30 Gigabytes dan (b) printer hp deskjet 1180c.

Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini: (a)Program spreadsheet yaitu program komputer yang mengatur databerupa angka ke dalam bentuk baris dan kolom pada layar monitoruntuk mengi11tung kalkulasi yang diinginkan dan membuat perbaikanberdasar data baru yang bernama Microsoft Excel 2000, dan (b)Program interpolasi pemetaan Surfer versi 8.0.

Pengolahan Data: Langkah-langkah pengolahan data tersebut adalah:(1) Input data: Input data dilakukan dengan mencatat data dalam kartuberian ke dalam worksheet data dalam program spreadsheet Ms Excel2000. Worksheet data tersebut terdiri atas kolom-kolom dan baris-barisdata yang disebut sel. Data dalam kartu berian disalin ke dalam kolom-

38

Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed

kolom dan baris-baris data tersebut Kolom data dalam programtersebut diisi dengan nama desa (lokasi), koordinat lokasi, kata dan artikata. Data yang dimasukkan terdiri atas 70 desa dan 532 kata. Iniberarti bahwa jika desa memiliki 3 parameter (nama desa; koordinat x;koordinat y) dan kata memiliki 2 parameter (kata; arti kata), serta kodetambahan (2 parameter), maka data yang diinput sebanyak (70 desa x532 kata x 7 parameter) 260.680 buah sel data.

Data mentah yang telah diinput kemudian disusun berdasarkanlokasi dan diberi 2 parameter tambahan sebagai kodiftkasi nama desa(id desa) clan kata (id kata) clan masih tetap menggunakan Ms Excel2000

Pengolahan data komponen peta

Ada dua macam data yang diolah, yakni, data isoglos dan datadialektometrik.

Pengolahan data isoglos. Penarikan berkas isoglos dilakukan denganbantuan perangkat lunak Surfer versi 8.0. Sebelum dilakukanpenarikan isoglos, terlebih dahulu kata yang akan ditarik berkasnyadiberi kode yang sama. Sementara itu, seluruh kata di luar kata tersebutdiberi kode yang berbeda. Metoda interpolasi yang dipilih dalamproses ini adalah metoda minimum curvature.

Pengolahan data dialektometri. Tahap pertama dalam pengolah~data dialektometri adalah membuat segitiga dialektometri, yaitu,menghubungkan sebuah desa dengan desa terdekat dengan sebuahgaris lurus. Setiap desa yang memiliki hubungan jarak terdekat akandihitung jarak kosakatanya berdasarkan persentase perbedaan arti kata,baik untuk setiap kategori maupun untuk seluruh kata. Penghitunganperbedaan arti kata dilakukan dengan memanfaatkan logika matema-tika IF da1am program Ms Excel. Logika ini membandingkan arti katadari kata yang sarna pada dua lokasi (desa) yang berbeda. Hasil logikaini akan menampilkan bilangan biner, yaitu, menampilkan nilai 0 (nol)jika sarna arti katanya atau nilai 1 (satu) jika beda arti katanya. Jumlah(SUM) dari seluruh nilai beda dibagi dengan jumlah seluruh kata yangdibandingkan dikalikan 100. Ini akan menghasilkan persentase perbe-daan arti kata yang dibandingkan. Persentase perbedaan inilah yangmenjadi jarak kosakata antardesa yang dibandingkan. Sementara itu,jarak lurus antardesa yang dibandirigkan dihitung berdasarkan koor-dinat posisi kedua desa tersebut. Perhitungannya memanfaatkan fungsimatematika akar kuadrat (SQRT) dan kuadrat (SQR) dalam programMs Excel 2000. Proses yang sama dilakukan juga untuk menghitungdialektometri dalam permutasi antar desa.

39

Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007

Contoh persamaan untuk menhitung jarak antara dua lokasi desa:d= (X2-X1)

2 +(Y2-Y1)2

dengan:d = jarak antara desa 1 dan desa 2x1 = koordinat geografis x (bujur) desa 1x2 = koordinat geografis x (bujur) desa 2y1 = koordinat geografis y (lintang) desa 1y2 = koordinat geografis y (lintang) desa 2

Contoh pernyataan (syntax) untuk menentukan jarak antara 2 desa:=SQRT( (Jarak!B1-J arak! B2) 2+( J arak! C1-Jarak! C2) ) 2)dengan:SQRT = akar kuadrat2 = SQR = kuadrat

Jarak!Bl = sel berisi koordinat geografis x (bujur) desa 1Jarak!B2 = sel berisi koordinat geografis x (bujur) desa 2Jarak!Cl = sel berisi koordinat geografis y (lintang) desa 1Jarak!C2 = sel berisi koordinat geografis y (lintang) desa 1

Contoh pernyataan (syntax) untuk menentukan nilai perbedaan artikata:=IF(A$l =A$2,O,1)dengan:A$l = sel berisi arti kata pada desa 1A$2 = sel berisi arti kata pada desa 2

Contoh pernyataan (syntax) untuk menentukan jarak kosa kata (D) :=SUM('Kekerabatan (1-21)'!X75+'Tutur Sapa (22-36)'!R75+'KDesa (37-50)'!Q75+'Bag Tubuh (51-113)'!BN75+'Rumah &Bangunan (114-140)'!AD75+'Alat Rumah Tangga (141-174)'!AK75+'MakAllan & Minuman (175-187)'!P75+'T Halaman &Pepohonan (188-229)'!AS75+'Binatang (230-272)'!AT75+'Musim& K Alam (273-314)' !AS75+'Penyakit (315-337)' !Z75+'Perangai(338-352)' !R75+'Mata Pencaharian (353-371)'!V75+'Pakaian(372-386)'!R75 +'Permainan (387-392)'!I75+'Gerak & Kerja (393-483)'! CP75 +'Bilangan (484-516)'!AJ75+'Sifat (517-532)'!S75/Jarak!$J$19) *IOO

dengan:SUM = jumlah'Kekerabatan (1-21)'!X75 = sel berisi nilai beda pada kategorikekerabatan, dstJarak!$J$19 = sel berisi jumlah kata yang dibandingkan

2.3 Penggambaran Peta

Ada dua macam peta dalam penelitian ini: peta isoglos dan petadialektometri.

40

Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed

Peta isoglos File grid dari hasil pengolahan data dapat ditampilkandalarn lembar plot pada menu Map dalam program Surfer 8.0. File inibisa ditampilkan sebagai peta me!alui sub menu Contour Map yangberupa berkas isoglos untuk salah satu arti kata dari sebuah katatertentu. Hal ini dilakukan untuk semua arti kata dari setiap kata yangakan dipetakan. Untuk menampilkan seluruh berkas isogloS yangdiinginkan dalam sebuah kategori kata, digunakan sub menu OverlayMaps dalam menu Map.

Peta dialektometri. Penggarnbaran peta dialektometri dilakukandengan menggambarkan garis lurus yang membagi antara dua lokasi(desa) yang berdekatan. Peta yang mengandung garis pembagi inidigambarkan dalam plot peta pada program Surfer 8.0. Garis-garispembagi ini bisa diubah-ubah tampilannya pada sub menu Propertiesdalam menu Edit.

Berdasarkan kategori dialektometri yang membagi menjadi 5tingkatan, maka properties garis pembagi ini juga dibagi menjadi 5jenis sesuai kategori jarak kosa kata antar desanya. Perbedaan tampilanterutama terlihat dalam hal ketebalan dan warna garis, sehingga lebihmudah diidentiftkasi dalam peta dialektometri yang ditampilkan.

3 PEMBAHASAN

Sesuai dengan pola penyajian yang telah kita pakai, maka pembahasandalam sub-bab ini akan juga mencakup dua topik, yakni, bahasan yangberkaitan dengan isoglos dan yang dialektometris.

3.1 Bahasan Berkas Isoglos

Garis isoglos berupa garis yang menghubungkan tiap titik pengamatanyang memiliki gejala kebahasaan yang sama. Dengan demikian. garisisoglos berfungsi menyatukan titik-titik pengamatan yang mengandunggejala kebahasaan yang serupa. Hal ini berbeda dengan garis heter-oglos yang diperkenalkan oleh Kurath, yang berfungsl memisahkantitik-titik pengamatan yang menampilkan gejala kebahasaan yangberbeda.

Semua peta yang berbentuk peta imij, peta kontour, danpermukaan bumi memerlukan jaringan untuk pengolahnnya dengansurfer. Jaringan tersebut berbentuk empat persegi panjang yang terdiriatas ruang dan kolom yang sama.

Proses penyatuan atau pengelompokan ditempuh denganmenggunakan sistem overlay. Kadang-kadang muncul pola berkasisoglos tetap yang mudah dibaca tetapi ada pula yang berpola sulitdibaca. Pola sebar 18 medan makna tersebut diuraikan secara detail dibawah ini.

a. Kekerabatan. Pada medan rnakna kekerabatan terdapat 21buah peta, yaitu, peta (01) SAYA, peta (02) IBU, peta (03) KAKEK,peta (04) NENEK, peta (05) ORANG TUA KAKEK/NENEK, peta

41

Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007

(06) ANAK, peta (07) CUCU, peta (08) ANAK CUCU, peta (09)ANAK KAKAK, peta (10) ABANG/KAKAK, peta (11) ADIK, peta(12) KAKAK PEREMPUAN, peta (13) ANAK ADIK, peta (14)SUAMI, peta (15) ISTRI, peta (16) ADIK/KAKAK DARI SUAMI/ISTRI, peta (17) MERTUA. peta (18) MENANTU, peta (19) ANAKDARI KAKAKNYA/ADIKNYA AYAH/IBU, peta (20) KAKAK/ADIK DARI AYAH/IBU, peta (21) BESAN.

3.2 Bahasan Dialekfometris

Cara penghitungan jarak kosakata adalah dengan rumus pendekatankuantitatif seperti berikut:

(s x 1.00) = d% (2)n

Keterangan:S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lainn = jumlah peta yang diperbandingkand = jarak kosakata dalam %

Persentase jarak kosakata di antara dua titik pengamatan dapatdipero1eh dengan mengalikan jumlah beda kosakata dengan 100kemudian dibagi dengan jumlah peta yang dibandingkan.

Persentase jarak kosakata di antara dua titik pengamatan yangmencapai di bawah 20 persen dianggap tidak mempunyai perbedaan;antara 21-30 persen dianggap beda wicara/tuturan (parler); antara 31 -50 persen dianggap beda subdia1ek (sousdia1ecte); antara 51-80persen dianggap beda dialek (dialecte); dan di atas 80 persen dianggapbeda bahasa (langue) (Francis 1983: 158).

Peta Hasil perhitungan dialektrometri medan makna seluruh kataT abet VI.19. Tabel Dialektometri medan makna seluruh kata bahasa

Duri dan bahasa Toraja

42

Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed

ANTARDESA

KELAS RENTANGANTARDESA

KELAS RENTANG

1 - 2 negligeable 0%-20% 14 - 15 negligeable 0%-20%

1 - 3 negligeable 0%-20% 14 - 22 dialecte 51%-80%

1 - 18 sousdialecte 31%-50% 15 - 20 sousdialecte 31%-50%

1 - 17 dialecte 51%-80% 15 - 22 dialecte 51%-80%

2 - 3 negligeable 0%-20% 15 - 26 dialecte 51%-80%

2 - 13 negligeable 0%-20% 16 - 17 sousdialecte 31%-50%

2 - 17 sousdialecte 31%-50% 16 - 18 sousdialecte 31%-50%

3 - 4 negligeable 0%-20% 16 - 20 sousdialecte 31%-50%

3 - 13 negligeab 0%-20% 16 - 19 dialecte 51%-80%

3 - 6 sousdialecte 31%-50% 16 - 21 dialecte 51%-80%

4 - 5 negligeable 0%-20% 17 - 18 negligeable 0%-20%

4 - 13 negligeable 0%-20% 18 - 19 negligeable 0%-20%

4 - 6 sousdialecte 31%-50% 19 - 21 dialecte 51%-80%

4 - 20 sousdialecte 31%-50% 19 - 27 dialecte 51%-80%

4 - 14 dialecte 51%-80% 19 - 28 dialecte 51%-80%

4 - 14 dialecte 51%-80% 20 - 21 sousdialecte 31%-50%

4 - 16 diatecte 51%-80% 20 - 26 dialecte 51%-80%

5 - 6 sousdialecte 31%-50% 21 - 26 dialecte 51%-80%

5 - 11 dialecte 51%-80% 21 - 27 dialecte 51%-80%

5 - 14 dialecte 51%-80% 22 - 24 sousdialecte 31%-50%

6 - 7 negligeable 0%-20% 22 - 26 sousdialecte 31%-50%

6 - 8 dialecte 51%-80% 23 - 24 negligeable 0%-20%

6 - 9 dialecte 51%-80% 23 - 31 sousdialecte 31%-50%

6 - 11 dialecte 51%-80% 23 - 67 dialecte 51%-80%

7 - 8 dialecte 51%-80% 24 - 25 sousdialecte 31%-50%

7 - 11 dialecte 51%-80% 24 - 26 sousdialecte 31%-50%

7 - 12 dialecte 51%-80% 24 - 31 sousdialecte 31%-50%

7 - 66 dialecte 51%-80% 25 - 26 sousdialecte 31%-50%

7 - 67 dialecte 51%-80% 25 - 29 sousdiarecte 31%-50%

8 - 9 dialecte 51%-80% 25 - 30 sousdialecte 31%-50%

8 - 10 dialecte 51%-80% 25 - 31 sousdialecte 31%-50%

8 - 64 dialecte 51%-80% 26 - 27 sousdialecte 31%-50%

8 - 66 dialecte 51%-80% 26 - 29 sousdialecte 31%-50%

9 - 10 sousdialecte 31%-50% 27 - 28 sousdiarecte 31%-50%

9 - 62 dialecte 51%-80% 27 - 29 negligeable 31%-50%

9 - 63 dialecte 51%-80% 28 - 29 sousdialecte 0%-20%

10 - 63 dialecte 51%-80% 28 - 30 sousdialecte 31%-50%

11 - 12 negligeable 0%-20% 28 - 35 sousdialecte 31%-50%

11 - 22 sousdialecte 31%-50% 28 - 34 dialecte 51%-80%

11 - 15 dialecte 51%-80% 28 - 39 dialecte 51%-80%

12 - 23 negligeable 0%-20% 29 - 30 sousdialecte 31%-50%

12 - 24 parler 21%-30% 30 - 31 sousdialecte 31%-50%

43

Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007

ANTARDESA

KELAS RENTANGANTARDESA

KELAS RENTANG

12 - 22 sousdialecte 31%-50% 30 - 33 sousdialecte 31%-50%

12 - 67 dialecte 51%-80% 30 - 34 dialecte 51%-80%

13 - 17 sousdialecte 31%-50% 31 - 32 parler 21%-30%

13 - 16 dialecte 51%-80% 31 - 33 sousdialecte 31%-50%

31 - 67 dialecte 51%-80% 46 - 51 sousdialecte 31%-50%

31 - 69 dialecte 51%-80% 47 - 48 negligeable 0%-20%

32 - 33 sousdialecte 31%-50% 48 - 49 negligeable 0%-20%

32 - 37 dialecte 51%-80% 48 - 50 negligeable 0%-20%

32 - 69 dialecte 51%-80% 49 - 50 negligeable 0%-20%

32 - 70 dialecte 51%-80% 49 - 51 sousdialecte 31%-50%

33 - 34 dialecte 51%-80% 50 - 51 sousdialecte 31%-50%

33 - 36 dialecte 51%-80% 51 - 52 dialecte 51%-80%

33 - 37 dialecte 51%-80% 51 - 54 dialecte 51%-80%

33 - 38 dialecte 51%-80% 52 - 53 sousdialecte 31%-50%

34 - 35 dialecte 51%-80% 52 - 54 sousdialecte 31%-50%

34 - 36 dialecte 51%-80% 53 - 54 sousdialecte 31%-50%

35 - 36 sousdialecte 31%-50% 53 - 55 sousdialecte 31%-50%

35 - 38 dialecte 51%-80% 54 - 55 negligeable 0%-20%

35 - 39 dialecte 51%-80% 54 - 57 negligeable 0%-20%

36 - 38 dialecte 51%-80% 54 - 60 langue 81%-100%

37 - 38 sousdialecte 31%-50% 55 - 56 negligeable 0%-20%

37 - 41 sousdialecte 31%-50% 55 - 57 negligeable 0%-20%

37 - 42 sousdialecte 31%-50% 56 - 57 negligeable 0%-20%

37 - 56 sousdialecte 31%-50% 56 - 58 sousdialecte 31%-50%

37 - 70 sousdialecte 31%-50% 56 - 70 sousdialecte 31%-50%

38 - 39 sousdialecte 31%-50% 57 - 58 sousdialecte 31%-50%

38 - 40 sousdialecte 31%-50% 57 - 59 sousdialecte 31%-50%

38 - 41 dialecte 51%-80% 57 - 61 sousdialecte 31%-50%

39 - 40 negligeable 0%-20% 57 - 60 sousdialecte 31%-50%

39 - 47 sousdialecte 31%-50% 58 - 68 negligeable 0%-20%

39 - 48 sousdialecte 31%-50% 58 - 59 sousdialecte 31%-50%

40 - 41 sousdialecte 31%-50% 58 - 69 sousdialecte 31%-50%

40 - 47 sousdialecte 31%-50% 58 - 70 sousdialecte 31%-50%

41 - 42 negligeable 31%-50% 59 - 61 sousdialecte 31%-50%

41 - 44 sousdialecte 31%-50% 59 - 67 sousdialecte 31%-50%

41 - 45 sousdialecte 31%-50% 59 - 68 sousdialecte 31%-50%

41 - 47 sousdialecte 31%-50% 59 - 66 dialecte 51%-80%

41 - 53 sousdialecte 31%-50% 59 - 65 dialecte 51%-80%

42 - 43 sousdialecte 31%-50% 60 - 61 sousdialecte 31%-50%

42 - 44 sousdialecte 31%-50% 60 - 62 sousdialecte 31%-50%

42 - 56 sousdialecte 31%-50% 61 - 62 sousdialecte 31%-50%

43 - 55 parler 21%-30% 61 - 65 sousdialecte 31%-50%

44

Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed

ANTARDESA

KELAS RENTANGANTARDESA

KELAS RENTANG

43 - 56 parler 21%-30% 62 - 63 negligeable 0%-20%

43 - 53 sousdialecte 31%-50% 62 - 65 negligeable 0%-20%

44 - 53 sousdialecte 31%-50% 53 - 64 negligeable 0%-20%

45 - 46 sousdialecte 31%-50% 63 - 65 negligeable 0%-20%

45 - 47 sousdialecte 31%-50% 64 - 65 negligeable 0%-20%

45 - 51 sousdialecte 31%-50% 64 - 66 negligeable 0%-20%

45 - 52 sousdialecte 31%-50% 65 - 66 negligeable 0%-20%

45 - 53 sousdialecte 31%-50% 66 - 67 sousdialecte 31%-50%

46 - 47 negligeable 0%-20% 67 - 68 sousdialecte 31%-50%

46 - 48 negligeable 0%-20% 67 - 69 sousdialecte 31%-50%

46 - 49 negligeable 0%-20% 68 - 69 sousdialecte 31%-50%

69 - 70 sousdialecte 31%-50%

Untuk penghitungan permutasi antardesa, langkah yangditempuh untuk mengetahui keberadaan ataupun ketidakberadaan matarantai pemahaman ialah dengan membandingkan jarak kosakata daridesa paling ujung dengan desa-desa lainnya sampai ke ujung terakhir.Dengan demikian, desa-desa yang dibandingkan ialah desa-desa yangberada di ujung utara dengan desa-desa yang terjauh di selatan; timurdengan barat; timur laut dengan barat daya, dan tenggara dengan baratlaut.

Tabel. Jarak kosakata antardesa Utara-Selatan

ANTARDESA KELAS RENTANGPERSENBEDA

JARAK(meter)

JARAK(kilometer)

Utara-Selatan

1~2 negligeable 0%-20% 0,38 2434 2,434

1~13 negligeable 0%-20% 5,26 4282 4,282

1~16 dialecte 51%-80% 53,20 4960 4,960

1~20 sousdialecte 31%-50% 49,62 7740 7,740

1~15 dialecte 51%-80% 53,57 8416 8,416

1~22 dialecte 51%-80% 57,52 11253 11,253

1~12 dialecte 51%-80% 58,83 14075 14,075

1~67 dialecte 51%-80% 70,86 19347 19,347

1~59 dialecte 51%-80% 73,50 23583 23,583

1~61 dialecte 51%-80% 71,99 26188 26,188

1~60 dialecte 51%-80% 71,05 27607 27,607

45

Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007

Grafik. Jarak kosakata antardesa Utara-Selatan

Tabel. Jarak kosakata antardesa Timurlaut-Baratdaya

ANTARDESA KELAS RENTANGPERSENBEDA

JARAK(meter)

JARAK(kilometer)

Timurlaut-Baratdaya

6~11 dialecte 51%-80% 57,71 5316 5,3166~12 dialecte 51%-50% 58,08 9724 9,7246~23 dialecte 51%-80% 57,52 10673 10,6736~31 dialecte 51%-80% 53,95 14203 14,2036~33 dialecte 51%-80% 56,39 18315 18,3156~38 dialecte 51%-80% 69,74 20672 20,6726~40 dialecte 51%-80% 67,86 24936 24,9366~47 dialecte 51%-80% 70,30 26236 26,2366~46 dialecte 51%-50% 70,30 28900 28,9006~49 dialecte 51%-80% 69,92 31494 31,4946~50 dialecte 51%-80% 70,11 32662 32,662

Jarak Kosa Kata Utara-Selatan

0.45.3

53.249.6

53.657.5 58.8

70.9 73.5 72 71.1

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1~2 1~13 1~16 1~20 1~15 1~22 1~12 1~67 1~59 1~61 1~60

(%)

1 15 1 22 1 12 1 6

Antardesa

46

Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed

Jarak Kosa Kata Utara-Selatan

70.5 69.4

57.7

70.365.8 69.265.6

0

20

40

60

80

100

8~66 8~67 8~69 8~32 8~37 8~38 8~39

(%)

Grafik. Jarak kosakata antardesa Timurlaut-Baratdaya

ANTARDESA KELAS RENTANGPERSENBEDA

JARAK(meter)

JARAK(kilometer)

Timur-Barat8~66 dialecte 51%-80% 65,60 4454 4,4548~67 dialecte 51%-50% 70,49 8326 8,3268~69 dialecte 51%-80% 69,36 11835 11,8358~32 dialecte 51%-80% 57,71 13587 13,5878~37 dialecte 51%-80% 70,30 15465 15,4658~38 dialecte 51%-80% 68,80 18834 18,8348~39 dialecte 51%-80% 69,17 22961 22,961

Jarak Kosa Kata Timurlaut-Baratdaya

57.7 58.1 57.553.9

56.4

69.7 67.9 70.3 70.3 69.9 71.1

0

20

40

60

80

100

6~11 6~12 6~23 6~31 6~33 6~38 6~40 6~47 6~46 6~49 6~50

(%)

31 6 33 6 38 6 40 6 4

Antardesa

Antardesa

47

Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007

Tabel. Jarak kosakata antardesa Tenggara- Baratlaut

ANTARDESA KELAS RENTANGPERSENBEDA

JARAK(meter)

JARAK(kilometer)

9~63 dialecte 51%-50% 54,14 4405 4,405

9~64 dialecte 51%-80% 54,51 8295 8,295

9~66 dialecte 51%-80% 54,70 12068 12,068

9~67 dialecte 51%-80% 59,59 15627 15,627

9~31 dialecte 51%-80% 52,63 21184 21,184

9~25 dialecte 51%-80% 54,14 23066 23,066

9~29 dialecte 51%-80% 55,83 25128 25,128

9~28 dialecte 51%-80% 56,02 28437 28,437

Grafik. Jarak kosakata antardesa Tenggara- Baratlaut

4 KESIMPULAN

Sejumlah data variasi kebahasaan yang didapat dari komunitas bahasadi wilayah Kecamatan Alla di Kabupaten Enrekang dan wilayahKecamatan Mengkendek di Kabupaten Tana Toraja terkumpul dari 70titik pengamatan. Data variasi yang diperoleh dari 532 buah katakemudian direkam ke dalam 532 peta sebagai syarat mutlak bagipenelitian geografi dialek. Dari hasil1kajian serta pendokumentasianunsur kebahasaan yang bersifat geografi horizontal ditariklahkesimpulan-kesimpulan sebagai berikut.

1. Hasil penelitian menunjukkan batas tingkat hubungan antarabahasa Duri dam bahasa Toraja di wilayah marginal KecamatanAlIa dan Kecamatan Mengkendek ditandai dengan adanya derajatkemiripan sistem bunyi yang cukup tinggi antara kedua bahasa.Di wilayah mr.rginal Kecamatan AlIa dan Kecamatan Meng-kendek ditemukan bahwa tingkat persamaan di antara dua variasibahasa cenderung sejalan dengan tingkat kepesatan komunikasi

Jarak Kosa Kata Tenggara-Baratlaut

54.5 54.759.6

52.6 54.1 55.8 5654.1

0

20

40

60

80

100

9~63 9~64 9~66 9~67 9~31 9~25 9~29 9~28

(%)

Antardesa

48

Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed

antarkomunitas bahasa tersebut. Gejala tersebut terlihat denganjelas pada berkas-berkas isoglos.

Berkas isoglos juga menunjukkan bahwa derajat prosesakomodasi antarbahasa di wilayah marginal ini cukup tinggidalam arti telah terjadi akomodasi jangka panjang di kalanganpenutur. Dalam hal ini telah terjadi proses konvergensi yangdapat ditelusuri melalui hal-hal yang berkaitan dengan pengadop-sian kosakata, penyelarasan pelafalan, maupun sikap bahasa.

2. Keberadaan tingkat frekuensi komunikasi bersemuka yang tinggi.dan diperkuat oleh proses akomodasi di kalangan penutur keduabahasa mengakibatkan derajat perbedaan kosakata pada desa-desa yang berdekatan menjadi relatif rendah. Walaupun demi-kian, faktor-faktor yang berciri supremasi dan yang berkaitandengan faktor sosial, budaya, dan ekonomi dalam skala keciltelah menimbulkan proses divergensi dalam perkembanganbahasa setempat. Penghitungan dialektometri persentase perbe-daan jarak kosa kata antardesa, penarikan berkas isoglos dandibantu oleh konsep mata rantai pemahaman timbal batik yangdigunakan secara optimal dalam penelitian ini mengungkapkanbahwa bahasa Duri dan bahasa Toraja di wilayah marginal beradapada derajat kekerabatan yang tinggi dalam arti bahwa derajatperbedaan kosakata yang dimiliki kedua hahasa relatif rendah.Berdasarkan prinsip kosakata dasar sebagai syarat yang tidakdapat ditawar-tawar dalam kehidupan sebuah bahasa, maka dapatdikatakan bahwa dari sudut kontras leksikal atau variasi leksikaldi wilayah marginal ini terdapat dua dialek utama, yaitu, dialekutara dan dialek selatan serta subdialek tenggara, subdialek timurtaut, dan subdialek barat daya.

3. Berdasarkan penghitungan dialektometri secara permutasi, dapatdikemukakan temuan-temuan berikut:Makin jauh letak antara titik pengamatan dan titik uji persentasejarak, makin rendah persentase perbedaan kosak8ta.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor jarak lokasitidak selamanya menjadi penentu tingkat perbedaan jarak kosakata. Hal ini berlawAllan dengan rumusan mengenai konsep matarantai pemahaman timbal batik bahwa makin jauh letak lokasititik pengamatan, makin tinggi persentase perbedaan kosa kata.Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa bahasa Duriyang diteliti di wilayah marginal ini masuk ke dalam kelompokbahasa Toraja. Hal ini jelas kontradiktif dengan pendapat seba-gian bahasawan dan anggota masyarakat yang mengklaim bahwabahasa Duri berada dalam kelompok Massenrempulu.

49

Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007

DAFTAR PUSTAKA

Abas, Husen, 1981. Hubungan antara Ekologi Bahasa dan LingkunganHidup; Perspektif dan Indikasinya pada masa datang. Makalahpada Seminar Lingkungan Hidup Universitas Tadulako.

Adriani, N., en Kruyt, Alb. C. 1950. De Bare'e Sprekende Torajas vanMidden Celebes deel I. Verhandelingen der koninklijkeNederlandsche Akademie van Wehllenchappen. AfdelingLetterkunde, Nieuwe Reeks, deel LIV. Amsterdam, NOORDHolandesche U itgeversmaatschhappi j.

Allen, Harold B. 1973. 1ne Linguistic Atlas of the Upper Midwest. 3vols, Minneapolis; Univ. of Minnesota Press.

Atwood, E. Bagby. 1955. The Phonological Division of the Belgo.Roman. Orb is, IV:367-389.

Ayatrohaedi. 1979. Dialektologi, Sebuah Pengantar. Jakarta: PusatPembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1985. Bahasa Sunda diDaerah Cirebon: Sebuah Kajian Lokabasa. Jakarta: BalaiPustaka.

Barr, Donald F., Sharon G. Barr clan Salombe. 1979. Langz:age ofCentral Sulawesi. Abepura: Percetakan UNCEN.

Bawa, I Wayan. 1983. Bahasa Bali di Daerah Propinsi Bali: SebuahAllalisis Geografi Dialek. Disertasi pada Faku1tas SastraUniver5itas Indonesia Jakarta.

Casad, Eugene H. 1974. Dialect Intelligibility Testing. Oklahoma:Summer Institute of Linguistics of the Univ. of Oklahoma.

Chambers, J.K. clan Peter Trudgill. 1980. Dialectology. London:Cambridge University Press.

Chomsky, Noam. 1957. Syntactic Structures. (Janua Linguanun, seriesminor 4). The Hague: Mouton.

Crystal1, David. 1997. A Dictionary of Linguistics and Phonetics.Oxford: Blackwell Publisher 2000. Language Death. GreatBritain: Cambridge University Press.

Danie, Julianus Akun. 1991. Kajian Geografi di Minahasa Timur Laut.Jakarta: Balai Pustaka.

Dhanawaty, Ni Made. 1980. Bahasa Bali di Kabupaten TabAllan:Sebuah Te1aah Geografi

Dialek. Denpasar srkripsi SarjAlla pada Fak. Sastra UniversitasUdayAlla.

_____. 2004. Teori Akomodasi dalam Penelitian Dialektologi, dalamL:inguistik Indonesia, Jurnal lliniah Masyarakat LinguistikIndonesia tho ke 22, Nomor 1 Februari 2004, hat 1-14.

Dyen, Isidore. 1965. Lexicostatistical Classification of the Austro-nesian Languages, dalam Supplement to International Journalof American Linguistics, Vol. 31, No.1. Francis, W. Nelson.1983. Dialectology: An Introduction. London: Longman.

50

Nurdin Yatim dan Hamzah Machmoed

Friberg, Timothy dan Barbara Friberg. 1989. A. Dialect Geography ofBugis, dalam Papers in Westrn Austronesian Linguistics, Hal303-330. Canberra: The Research School of Pasific StudiesAustralian National University.

Gillieron, Jules. 1915. Etude de Geographic Linguistique. Pathologieet Therapeutique Verbales. Paris: Edouard Champion.

Grijns, C. D. 1976. Bunga Rampai Mata Kuliah Dialektologi. Tahap 1Juli-Agustus 1976 di Tugu Bogor.

Grimes, Charles E. dan Barbara D. Grimes, 1987. Language of SouthSulawesi, dalam Pasific Linguistics, Seri D-N078. Canberra:The Research School of Pacific Studies, The AustralianNational University.

Hale, Ken. 1992 "Endangered languages: On endangered languagesand the safeguarding of diversity" dalamLanguage. Halaman1-3, Nomor 1. Volume 68.

Halim, Amran. 1976. Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia dalamAmran Halim (ed), Politik Bahasa Nasional I. Jakarta: PusatPembinaan dan Pengembangan Bahasa.

HAllafie, Sitti Hawang et al. 1983. Morfologi dan Sintaksis, BahasaMassenrempulu. Jakarta: Pusat Pembinaan dan PengembanganBahasa, Depdikbud.

Junaidi, Moha. 1977/1978. Bahasa Massenrempulu di Bara-BarayaKotamadya Ujung Pandang. Laporan Penelitian ProyekPengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah,Depdikbud.

Kontra, Miklos. Robert Phillipson. Tove Skutnabb-Kangas. dan TiborVarady. 1999. Language : a Right and a Resource, Approach-ing Linguistic Human Right. Budapest: Central EuropeanUniversity Press.

Kurath, Hans. 1974. Studies in Area Linguistics. Bloomington inLondon; Indiana University Press.

Lauder, Multamia RM.T. 1990. “Pemetaan dan Distribusi Bahasa-Bahasa di Tangerang”. Desertasi pada Fakultas SastraUniversitas Indonesia.

_____. 1996. "Isolated Tribes of Indonesia: Language Mapping Issues"Makalah pada The eleventh KITL V International Workshopon South-East Asian Studies dengan tema The Study ofEndangered Language and Literatures od South-East Asia,Leiden, Holland.

_____. 2001. "Obstacle to Inventory of Languages in Indonesia; adialectology perspective" Makalah pada The InternationalConfrence of UNESCO dengan tema Pasific: A LanguageTreasure. Melbourne, Australia.

_____. 2003. “Pengembangan dan Pemanfaatan Kajian Dialektologi diIndonesia”. Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru

51

Lenguistik Indonesia, Tahun ke 25, No.1, Februari 2007

Besar Tetap Fakultas Dmu Pengetahuan Budaya UniversitasIndonesia (8 Oktober 2003).

McKaughan, Howard. 1964. “A Study of Divergence in Four NewGuine Languages”. American Anthropologist.66:98-120.

Milis, R.F. 1971. “Proto South Sulawesi and Proto AustronesianPhonology”. Desertasi pada University of Michigan.

Nothofer, Bernd. 1980. Dialectgeographische Untersuchengen du inWest-Java und im Westichen Zentral-Java. Dua Jilid.Wiesbaden: Horrossowitz.

Salombe, C. 1992. “Bahasa Toraja Sagdan: Proses Morfemis KataKerja”. Seri ILDEP. Jakarta: Universitas Indonesia, PenerbitDjembatan.

Sandarupa, Stanislaus. 2004. “The Examplary Center: Poetic andPolitic of the Kingly Death Ritual in Toraja South Sulawesi,Indonesia”. Ph.D. Dissertation. University of Chicago. AnnArbor: UMI Dissertation Services.

Sande, J .S. et. al. 1976. Dialek Kesuq Sebagai Bentuk Baku BahasaToraja. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.

Sikki, Muhammad dkk 1989. “Struktur Bahasa Massenrempulu DialekMaiwa”. Laporan Penelitian Ujung Pandang.

Trudgill, Peter. 1975. Accept Dialect and the School. London: EdwardArnold.

_____. 1986. Dialect and Contact. New York.Valkama, Kari. 1987. UNHAS-SIL. “Sociolinguistics Survey: Kabupa-

ten Pinrang, Enrekang, Tana Toraja, Luwu, and Eastern Part ofPolewali Mamasa”. Dalam Friberg (ed) Workpaper inIndonesian Languages and Cultures. V 015.

_____. 1995. Person Marking in Duri, dalam Rene van den Berg (ed)SIlldies in Sulawesi Linguistics Part IV: NUSA volume 37halaman 47-95.

Valkama, Kari dan Susanne. 1990. “Duri Texts”. Dalam BarbaraFriberg (ed) Sulawesi Language Text,. hlmn 75-88.

Valkama, Susanne. 1995. “Notes on Duri Transitivity”. Dalam Renevan den Berg (ed). Studies in Sulawesi Linguistics part IV:NUSA, Volume 37, hlmn 2-45.

Weinreich Uriel. 1954. “Is a Structural Dialectology Possible?” Wordhlmn 388-400. Dicetaak ulang di J. Fishman (ed) Reading inthe Sociology of Language. The Hague: Mouton, 1968.

_____. 1968. Language in Contact. The Hague: Mouton.Wurm, Stephen A, 1984. “Language Atlas: Pacific Area”. Pasific

Linguistic Series C-66.Yamagiwa, Joseph K. 1967. “On Dialect Intelligibility in Japan”.

Anthropological Linguistic. Ix:1-17.Yatim, Nurdin. 1983. Subsistem Honorifik Bahasa Makassar: Sebuah

Analisis Sosiolinguistik. Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan Direktorat Pendidikan Tinggi.

53

KESANTUNAN BERBAHASA DALAMMENGUNGKAPKAN PERINTAH

Yeni Mulyani SupriatinBalai Bahasa Bandung

PENGANTAR

Sopan santun dapat ditunjukkan tidak hanya dalam bentuk tindakan, tetapi jugadalam bentuk tuturan. Membukakan pintu bagi seseorang jauh lebih sopandaripada membanting pintu di hadapan seseorang. Demikian juga dalam tuturan“Silakan masuk” lebih sopan daripada tuturan “Masuk!”. Sopan santun dalambentuk tuturan atau kesantunan berbahasa setidaknya bukan semata-matamotivasi utama bagi penutur untuk berbicara, melainkan merupakan faktorpengatur yang menjaga agar percakapan berlangsung dengan lancar,menyenangkan, dan tidak sia-sia karena sebagaimana dinyatakan oleh Leech(1993:38) bahwa manusia pada umumnya lebih senang mengungkapkanpendapat-pendapat yang sopan daripada yang tidak sopan.

Secara umum kesantunan berbahasa atau sopan santun dalam bertuturberhubungan dengan dengan dua orang pemeran serta yang boleh kita nama-kan(menurut istilah Leech, 1993:206) “diri” dan “lain”. Dalam percakapan “diri”diidentifikasi sebagai penutur dan “lain” diidentifikasi dengan petutur. Dariinteraksi antara “diri dan “lain” itu, yang berlaku secara umum menga-takanbahwa sopan santun lebih terpusat pada “lain” daripada pada “diri”.

Dengan kata lain, sopan santun terhadap petutur pada umumnya lebihpenting daripada sopan santun terhadap “diri” atau penutur. Hal itu tampak dariprinsip sopan santun yang cenderung berpasangan yang terpusat kepada petuturseperti di bawah ini:

(1) Kearifan: Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin dan keun-tunganorang lain sebesar mungkin.

(2) Kedermawanan: Buatlah keuntungaan diri sekecil mungkin dan keru-giaan diri sebesar mungkin.

(3) Pujian: Kecamlah orang lain sesedikit mungkin, pujilaah orang lainsebesar mungkin.

(4) Kerendahan hati: Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin dan kecamlahdiri sendiri sebanyak mungkin.

(5) Kesepakatan: Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dengan lainsebanyak mungkin.

(6) Simpati: Kurangilah rasa antipati antara diri dengan lain sekecil mung-kin, tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain.

54

Yeni Mulyani Supriatin

Prinsip sopan santun tersebut berlaku secara umum yang mengatakanbahwa sopan-santun lebih terpusat pada “lain” daripada pada “diri”. Sopan-santun terhadap petutur lebih penting daripada terhadap penutur.

Makalah ini tidak membahas sopan santun secara umum, artinya sopansantun dalam setiap tuturan yang menyatakan pernyataan, pertanyaan, danperintah, tetapi khusus kesantunan berbahasa dalam mengungkapkan perintah.Untuk itu, berikut ini akan dikemukakan kesantunan berbahasa dalam meng-ungkapkan perintah. Akan tetapi, sebelumnya perlu dipaparkan secara singkatbeberapa pandangan tentang pemakaian jenis kalimat yang menunjukkankesantunan berbahasa dalam mengungkapkan perintah.

1 ILOKUSI LANGSUNG DAN ILOKUSI TAKLANGSUNG

Lyons (1977:745) menyatakan bahwa dari sudut pandang daya ilokusipernyataan dihubungkan dengan kalimat deklaratif, pertanyaan dengan kalimatinterogatif, dan perintah dengan kalimat deklaratif. Dengan perkataan lain,pernyataan atau berita dapat diungkapkan melalui kalimat deklaratif, perta-nyaan melalui kalimat interogatif, dan perintah melalui kalimat imperatif. Ketigajenis kalimat itu sesungguhnya apabila dikaji secara pragmatik (makna dalamhubungannya dengan situasi ujar) dapat menghasilkan makna imperatif. Jadi,makna yang menyatakan imperatif dapat diungkapkan lewat kalimat deklaratif,kalimat interogatif, dan kalimat imperatif. Pemakaian ketiga jenis kalimat ituakan sangat bergantung pada situasi dan konteks. Misalnya, tuturan berikut.

(1) Pintunya masih terbuka.

Apabila tuturan (1) disampaikan kepada seseorang yang baru masuk ke ruang-an, sedangkan di luar udara sangat dingin atau suasana di luar sedang ributpadahal dalam ruangan itu sedang ada rapat, orang tersebut akan segeramengetahui bahwa tuturan itu bukan merupakan suatu pernyataan melainkansuatu perintah. Petutur diminta secara tidak langsung untuk menutup pintu.Petutur menginterpretasi tuturan (1) sebagai tuturan yang mengandung impli-katur bahwa penutur ingin agar petutur menutup pintu. Interpretasi ini tentubukan satu-satunya tafsiran dari kalimat (1), tetapi untuk situasi-situasi tertentuinterpretasi ini masuk akal. Mungkin saja kalimat (1) dituturkan tanpa tujuantertentu atau sekadar basa-basi dengan harapan agar petutur melakukan sesuatuuntuk mengurangi suasana ribut di luar. Contoh lain, misalnya kalimat (2)berikut.

(2) Punya korek api?

Pada umumnya kita tidak menangggapi tuturan (2) sebagai pertanyaan tentangapakah kita memiliki korek api, tetapi akan menafsirkannya sebagai permin-taantolong untuk meminta korek api. Petutur yang mendengar ujaran itu akanmelakukan tindakan yang diminta, yaitu,, meminjamkan korek api. Dengandemikian, permintaan itu disampaikan dalam bentuk sintaksis pertanyaan.

55

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No. 1, Februari 2007

Pada dua contoh kalimat (1) dan (2) tersebut tampak bahwa dari segigramatikal, ilokusi imperatif dapat berupa kalimat deklaratif dan kalimatinterogatif. Kalimat deklaratif dan kalimat interogatif yang memiliki daya im-peratif, imperatifnya tidak terdapat pada satuan lingual yang ada, tetapi padaimplikatur. Menurut Leech (1993:57) tuturan yang disampaikan secara tak-langsung disebut tindak ujar taklangsung atau ilokusi taklangsung. Tindak ujartaklangsung adalah tindak ilokusi yang dilakukan dengan tidak langsung, tetapimelalui tindak ilokusi lain. Jadi, suatu tindak ujar taklangsung dapat dianggapsebagai salah satu cara untuk melakukan suatu tindak ujar langsung. Tindakujar taklangsung itu sebagai bahan perbandingan dengan tindak ujar langsungatau ilokusi langsung, seperti yang terdapat pada contoh berikut.

(3) Pergi ke Jakarta sekarang!

Contoh (3) dapat dipandang sebagai tuturan langsung yang menyatakanperintah. Kalimat seperti pada contoh (3) dapat juga memakai verba per-formatif yang dapat menyatakan makna imperatif, seperti pada contoh (4)

(4) Saya perintahkan kamu pergi ke Jakarta sekarang.

Contoh (4) merupakan tuturan langsung yang disampaikan oleh petutur padawaktu mengujarkan kalimat itu.

Tuturan langsung dan tuturan taklangsung itu sesungguhnya berkaitandengan kesantunaan berbahasa. Tujuan yang mengandung perintah yang di-sampaikan secara langsung bertentangan dengan prinsip sopan-santun. Dalamprinsip sopan-santun tujuan-tujuan yang mengandung perintah harus disam-paikan dengan sopan, artinya tidak mengandung kata perintah.

Prinsip sopan santun sebagaimana dinyatakan oleh Leech (1993:123)secara umum dapat dirumuskan seperti berikut.

a. Dalam Bentuk Negatif

Kurangilah tuturan-tuturan yang tidak sopan atau gunakanlah sesedikit mungkintuturan-tuturan yang mengungkapkan pendapat yang tidak sopan menjadisesopan mungkin.

b. Dalam Bentuk Posiitif

Perbanyak atau gunakanlah sebanyak-banyaknya tuturan-tuturan yang meng-ungkapkan pendapat-pendapat yang sopan.

Baik dalam bentuk positif maupun negatif tuturan-tuturan yang sopanmenguntungkan petutur, sedangkan pendapat atau tuturan yang tidak sopanmerugikan petutur atau pihak ketiga. Hal itu sejalan dengan yang dikemukakanpada awal tulissan ini bahwa sopan-santun berbahasa lebih terpusat pada “lain”atau petutur.

Untuk lebih mengongkretkan tuturan-tuturan yang sopan dan tidaksopan dalam mengungkapkan perintah berikut ini akan dikaitkan tindak-tindakilokusi dengan kesantunan berbahasa.

56

Yeni Mulyani Supriatin

2 KESANTUNAN BERBAHASA DALAM MENGUNGKAPKANPERINTAH

Kearifan adalah salah satu prinsip sopan-santun yang dianggap penting dalammasyarakat bahasa Inggris. Demikian pula kearifan dalam mengungkapkanperinah dipandang sebagai sesuatu yang penting. Sementara itu, dalam masya-rakat bahasa Indonesia adanya kata-kata seperti coba, tolong, mari, ayo,silakan, sudikah, mohon, dan kata-kata lain yang sejenis dengan itu yangmengawali kalimat imperatif sebagai pemarkah kesantunan dapat menun-jukkanbahwa kearifan yang merupakan prinsip kesantunan dalam mengung-kapkanperintah juga dianggap penting.

Coba, tolong, dan silakan meskipun sama-sama digunakan untuk me-nyampaikan permintaan bantuan memiliki perbedaan terutama apabila dilihatdari situasinya. Kenyataan itulah yang mendorong Wolf dalam Kaswanti(1984:197) untuk berkesimpulan bahwa tolong dan coba merupakan bentukyang dipergunakan untuk minta bantuan, sedangkan silakan digunakan untukmenawarkan bantuan kepada pendengar. Perbedaan antara tolong dan cobaterletak hanya pada soal keresmian pemakaiannya saja; bentuk tolong lebihbersifat resmi (formal) dan dalam pemakaian menunjukkan rasa sedikit lebihhormat sedangkan coba terasa lebih informal karena digunakan pada situasiyang tidak resmi.

Perbedaan pemakaian bentuk tolong dan coba bukanlah kendala resmi-takresmi atau kendala sintaksis sebagaimana dikemukakan oleh KaswantiPurwo (1984:197–198), melainkan karena kendala makna (pragmatik). Kalimatimperatif dengan bentuk tolong, penutur menempatkan dirinya lebih rendahdaripada petutur. Kalimat imperatif dengan bentuk coba menempatkan penuturlebih tinggi daripada petutur. Pada kalimat imperatif dengan silakan, penuturmenempatkan dirinya sejajar dengan petutur sebagaimana dinyatakan olehLapoliwa (1998).

4. a. Tolong tunggu di sini.b. Coba tunggu di sini.c. Silakan tunggu di sini.

Pada contoh kalimat (4a) tampak penutur menempatkan dirinya lebihrendah daripada petutur; contoh (4b) penutur lebih tinggi daripada petutur, danpada contoh (4c) penutur sejajar dengan petutur. Pemakaian silakan, dipan-dang lebih arif dan sangat sopan daripada pemakaian bentuk tolong dan cobakarena penutur dan petutur berada pada tingkat yang sama, masing-masingtidak ada yang memandang tinggi atau pun rendah.

Sementara itu, pemakaian bentuk ayo dan mari sama-sama sebagaipemarkah kesantunan, tetapi dilihat dari situasi pemakaiannya juga menim-bulkan perbedaan. Bentuk mari dipandang lebih santun daripada ayo. Bentukmari digunakan oleh penutur untuk menyatakan ajakan kepada petutur yangdihormati oleh petutur, sedangkan bentuk ayo digunakan oleh penutur untuk

57

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No. 1, Februari 2007

menyatakan ajakan kepada petutur yang status sosialnya sejajar dengan pe-nutur.

Demikian pula dengan bentuk kalimat imperatif yang tidak diawalidengan pemarkah kesantunan apabila satu sama lain dibandingkan akan me-nunjukkaan kadar kesantunan berbahasa. Hal itu tergambarkan melalui skala“untung-rugi”, yaitu,, nilai-nilai yang dianggap menguntungkan atau merugikanpetutur. Perintah-perintah yang menguntungkan petutur dipandang lebih sopan,sedangkan perintah-perintah yang merugikan petutur dipandang kurang sopan.Bentuk kalimat imperatif berikut yang merupakan ilokusi langsung dapatmenyatakan perintah. Perintah tersebut, apabila diukur dengan skala sopan-santun yang digunakan oleh Leech (167), tampak seperti berikut.

Merugikan petutur kurang sopan1. Tulis surat itu!2. Ambilkan segelas air!3. Lihatlah itu!4. Nikmatilah liburanmu!5. Makanlah kue itu!6. Makanlah kue itu sepotong lagi!

Menguntungkan petutur lebih sopanDengan menggunakan bentuk imperatif seperti pada contoh (1—6)

penutur merasa yakin bahwa petutur akan melaksanakan perbuatan yang di-perintahkan. Penggunaan imperatif menyebabkan petutur tidak mempunyaipilihan lain kecuali menaati perintah. Hal itu dipandang merugikan petutur.Namun, pada contoh kalimat itu tampak nilai “untung-rugi” berubah dari rugibagi petutur menjadi untung bagi petutur. Dengan berubahnya nilai ini, padaskala sopan-santun derajat kesopanan pun berubah antara contoh (1) dan (6)derajat kesopanan meningkat.

Bentuk-bentuk kalimat baik yang merupakan ilokusi langsung maupunilokusi taklangsung yang menyatakan perintah dapat menggambarkan derajatkearifan. Contoh kalimat (1---6) meskipun menunjukkan derajat kearifan, tetapsaja dipandang tidak arif karena tuturan itu disampaikan secara langsung. Dan,tuturan yang disampaikan secara langsung bertentangan dengan prinsip kesan-tunan.

Sementara itu, pemakaian bentuk interogatif yang merupakan ilokusitaklangsung dianggap lebih sopan karena tidak mengandung kata perintah.Misalnya, pada contoh berikut.

Ketaklangsungan Kurang sopan7. Baca buku itu!8. Saya ingin kamu baca buku itu.9. Maukah Anda membaca buku itu?10. Apakah Anda keberatan membaca buku itu?11. Dapatkah Anda membaca buku itu? Lebih sopan

58

Yeni Mulyani Supriatin

Contoh (7), yang merupakan ilokusi langsung, menyatakan perintah bahwapenutur bermaksud agar petutur membaca buku itu. Contoh (7), apabiladibandingkan dengan contoh (8) yang merupakan pernyataan, dipan-dang lebiharif. Pada contoh (8) penutur menaati prinsip kearipan karena ia menuturkanpernyataan bukan perintah. Sebuah pernyataan dipandang lebih arif daripadasebuah perintah karena sebuah pernyataan tidak menuntut adanya responslangsung yang berupa tindakan sehingga petutur mempunyai pilihan untukmenuruti atau pun mengabaikan keinginaan penutur. Namun, di sisi lainpernyataan yang memiliki daya perintah seperti pada contoh (8) terasa bahwapenutur memanfaatkan kearifan untuk keuntungan diri sendiri. Sementara itu,ada bentuk pernyataan yang dimulai dengan anda harus, misalnya, Anda harusmembaca buku itu yang menyatakan perintah, mengungkapkan keyakinan padapenutur bahwa perbuatan yang diperintahkan akan dilaksanakan oleh petutur.Pemakaian bentuk pernyataan yang dimulai dengan anda harus dilakukansebagai alternatif dari pemakaian bentuk imperatif seperti pada contoh (7) Bacabuku itu apabila menggunakan bentuk imperatif masih ada kemungkinan bagipetutur untuk tidak menaati perintah, tetapi dengan menggunakan anda haruspenutur seakan-akan mempunyai dan menunjukkan wewenang serta menjaminbahwa petutur akan taat. Oleh karena itu, pernyataan yang dimulai dengan andaharus memperkuat daya imperatiff dan menjadi lebih tidak sopan daripadaimperatif langsung (Baca buku itu!). Dengan mengatakan anda harus tersiratpada diri penutur bahwa ‘saya pasti sekali bahwa anda akan menurut.

Bentuk kalimat pada contoh (9) Maukah Anda membaca buku itu?dipandang lebih sopan karena pertanyaan yang diawali dengan maukah memi-liki ilokusi tawaran, dan tawaran membaca dianggap sebagai suatu perbuatanyang menguntungkan petutur. Di samping itu, pertanyaan yang memerlukaanjawaban ya atau tidak dapat memberi kebebasan kepada petutur memilihrenspons untuk menjawab ya atau tidak. Meskipun demikian, tawaran yangdianggap kegiatan yang menyenangkan petutur itu cenderung dijawab dengan yakarena apabila dijawab dengan tidak, petutur dianggap tidak sopan. Apabila adapertanyaan seperti itu dan petutur menjawab dengan Saya tidak mau, berartipetutur lebih mementingkan keinginannya daripada keinginan penutur, padahalmembaca buku yang ditawarkan oleh penutur bagi petutur dianggap tidakbermanfaat. Hal itu merugikan petutur. Oleh karena itu, penggunaan sepertipada contoh (10) Apakah Anda keberatan membaca buku itu? Dipan-dang lebiharif . Kalimat seperti contoh (10) merupakan ilokusi tawaran yang sopan.Pemakaian kata keberatan mengandung adanya suatu dugaan terlak-sananyatindakan itu oleh petutur. Apabila petutur setuju dengan tawaran itu, jawabanyang logis adalah, tidak, saya tidak keberatan. Akan tetapi, jawaban seperti itutidak terlalu jelas, artinya, hanya mengandung makna ‘Saya tidak keberatan’.Dengan kata lain, petutur bukan tidak mau melakukan kegiatan yangditawarkan, tetapi ia tidak secara jelas mengungkapkan apakah petutur betul-betul mau dan akan melakukan perbuatan sebagaimana disarankan oleh penutur.

59

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No. 1, Februari 2007

Pertanyaan yang mulai dengan dapatkah sebagaimana pada contoh (11)merupakan alat yang cocok untuk melembutkan efek imperatif. Pada pertanyaanyang dimulai dengan dapatkah, penutur menanyakan kemampuan petutur untukmelakukan perbuatan. Dapatkah implikasinya adalah ‘Anda tidak harus’.Dengan demikian, pertanyaan dapatkah seolah-olah memberi kemungkinankepada petutur untuk mengabaikan usul penutur. Pertanyaan yang mulai dengandapatkah dianggap lebih arif karena dapat dianggap sebagai usul yangmenguntungkan petutur.

Dari contoh (7–11) dapat dikatakan bahwa penggunaan imperatifmenyebabkan petutur tidak mempunyai pilihan kecuali menaati perintah,sedangkan penggunaan kata tanya mengungkapkan adanya keraguan padapenutur apakah petutur akan melaksanakan tindakan yang diminta oleh penu-tur. Dengan bertambahnya unsur keraguan yang tampak pada contoh (8–11)semakin lemah juga keyakinaan penutur bahwa petutur akan melakukan tin-dakan yang diinginkan oleh penutur.

Sebagaimana telah dinyatakan bahwa kearifan yang merupakan salahsalah satu prinsip sopan-santun, yaitu,, dengan menghindari penggunaan im-peratif yang merugikaan petutur, dan berusaha menggunakan bentuk pernya-taan yang tidak memerlukan respons langsung atau menggunakan bentukpertanyaan yang memberi kebebasaan pada petutur untuk menolak keinginanpenutur, artinya, penutur menaati prinsip kesantunan dalam mengungkapkanperintah. Akan tetapi, ada beberapa ilokusi taklangsung yang merupakan perta-nyaan dan pernyataan yang tidak sopan atau bahkan melawan kearifan. Sepertiyang dicontohkan oleh Leech (1993:200) berikut ini.

12. Apakah kamu tidak bisa diam?

Pertanyaan dalam bentuk negatif atau jika dioposisikan dengan bentukpasangannya, yaitu, pertanyaan dalam bentuk positif, Dapatkah kamu diam?yang merupakan ilokusi taklangsung dianggap tidak arif atau melawan kearifankarena pertanyaan seperti itu tidak memberi pilihan jawaban pada petutur ataujawaban petutur menjadi berkurang. Ketaklangsungaan seperti itu cenderungdiinterpretasi sebagai ironi. Ironi ini mengesankan tindakan penutur yang tidaksopan melalui tuturan yang seakan-akan sopan. Dengan kata lain, ironi inimengimplikasikan adanya sopan-santun yang tidak tulus.

Bentuk pertanyaan lain yang merupakan ilokusi taklangsung yang tidakarif atau dianggap melawan kearifan adalah sebagai berikut.

(13) Apakah Anda mau mengetik surat-surat ini?

Tuturan pada contoh (13) mirip dengan tawaran, tetapi dimaksudkansebagai perintah mengesankann seakan-akan penutur bertindak sopan denganmenawarkan suatu kegiatan atau memberi kesempatan kepada petutur untukmelakukan sesuatu yang menyenangkan. Akan tetapi, tuturan itu akan diikutidengan tindakan pengetikan surat-surat sebagaimana yang ditawarkan oleh

60

Yeni Mulyani Supriatin

penutur. Tuturan pada contoh (13) tersebut dianggap tidak arif karena padakalimat itu terasa bahwa penutur mengandalkan stastusnya sebagai atasan,orang yang berkuasa. Dengan demikian, petutur harus menerima ‘tawaran’penutur. Demikian juga dengan contoh (14) berikut ini.

(14) Kamu, boleh pergi sekarang.

Tuturan (14) sepintas mengesankan perbuatan penutur yang sopandengan memberi kesempatan kepada petutur untuk melakukan sesuatu yangmenyenangkan. Sebagaimana contoh (13), tuturan (14) dianggap tidak sopankarena tuturan itu akan mengakibatkan petutur segera pergi. Tuturan (14)menggunakan kata modal boleh yang berhubungan dengan modalitas izin, tetapidimaksudkan sebagai perintah. Dalam hal ini penutur tampak sopan karena iamemberi pilihan kepada petutur untuk mengerjakan perbuatan atau tidak, dancara menawarkan pilihan tersebut memberi kesan seakan-akan perbuatan itumenyenangkan, tetapi sebenarnya tidak menyenangkan. Tuturan (13) dan (14)ini mengimplikasikan bahwa penutur berkuasa atas petutur sehingga petuturharus melakukannya.

Selain skala “untung-rugi” dan skala kelangsungan-ketaklangsungansebagaimana yang telah dikemukakan untuk menggambarkan kesantunanberbahasa dalam mengungkapkan perintah, terdapat skala yang sangat gayutdengan sopan-santun, yaitu, skala yang bertolak dari penjelassan Brown danGilman (dalam Leech 1993: 199). Skala yang dimaksud adalah untukmenentukan pilihan antara kata ganti sapaan yang akrab dengan kata gantisapaan yang hormat. Kedua skala ini dapat digambarkan sebagai grafik,berikut.

Jarak horizontal

Jarak vertikal

Sumbu vertikal mengukur jarak sosial menurut kekuasaan yang dimi-liki pemeran serta atas pemeran serta yang lain. Pada sumbu vertikal, sese-orang yang memiliki kekuasaan dapat menggunakan bentuk sapaan yang akrabkepada orang lain, tetapi orang yang disapa akan menjawab dengan bentuksapaan yang hormat. Dalam bahasa Indonesia berdasarkan parameter – statussosial, usia, dan keakraban – (Alwi, dkk. 1998) untuk menyatakan perintah,seseorang yang memiliki kekuasaan dapat menggunakan bentuk sapaan yangakrab atau kamu kepada orang yang diperintah, sedangkan orang yang tidakmemiliki kekuasaan dianggap tidak sopan apabila menggunakan sapaan yangakrab atau dengan sapaan kamu kepada atasannya, bentuk sapaan yang digu-nakan adalah bentuk sapaan yang hormat. Misalnya seperti berikut.

(15) Datanglah kamu ke pesta itu nanti malam!(16) Saya mohon, sudilah kiranya Bapak datang ke pesta

61

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25. No. 1, Februari 2007

itu nanti malam.

Pada contoh (15) seorang atasan dapat menyapa bawahannya dengan sapaan kamu, sedangkan pada contoh (16) seorang bawahan memakai pronomina persona pertama saya, bukan aku, waktu menyapa atasannya dengan sapaan hormat, yaitu, Bapak. Sumbu horizontal atau disebut dengan jarak ‘solidaritas’ atau dalam istilah Leech (1993:199) jarak social, derajat rasa hormat yang ada pada situasi ujar tertentu bergantung pada beberapa faktor, yaitu, status, usia, derajat keakraban, dan yang penting bergantung pada faktor sementara seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Misalnya, seorang dosen dapat menu-turkan seperti pada contoh (17) kepada mahasiswanya,

(17) Serahkan tugas itu minggu depan!

Pada situasi ujar seperti pada contoh (17) seorang dosen merasa ber-hak menggunakan kekuasaannya yang sah atas perilaku mahasiswa. Akan teta-pi, pada situasi ujar yang lain, ia tidak dapat menggunakan haknya lagi sebagai dosen, misalnya, menuturkan seperti pada contoh (18) berikut.

(18) Buatkanlah saya secangkir kopi.

Contoh (18) dipandang sebagai tuturan yang tidak sopan atau tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang dosen pada mahasiswa.

2 PENUTUP

Kesantunan berbahasa dalam mengungkapkan perintah terpusat kepada petu-tur, yaitu, orang yang mendapat perintah. Kesantunan berbahasa dalam meng-ungkapkan perintah itu berdasarkan skala untung-rugi, ketaklangsungan, dan skala pemakaian sapaan antara sapaan yang hormat dengan sapaan yang akrab; faktor kesementaraan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dalam situasi ujar memungkinkan kita dapat membedakan derajat kesopanan antara tuturan yang kurang sopan, sopan, dengan tuturan yang lebih sopan. Tuturan yang mengungkapkan perintah yang kurang sopan itu banyak bergantung pada jenis kalimat imperatif atau ilokusi langsung, yaitu, perintah yang disampaikan secara langsung sehingga merugikan petutur. Sementara itu, tuturan yang maksudnya perintah yang sopan atau lebih sopan banyak bergantung pada jenis kalimat deklaratif dan interogatif atau ilokusi taklangsung, yaitu, perintah yang disampaikan tidak secara langsung dan tidak mengandung kata perintah se-hingga menguntungkan petutur.

62

Yeni Mulyani Supriatin

DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. 1999. “Seputar Kalimat Imperatif Bahasa Indonesia”. Dalam

Telaah Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendi-dikan Nasional.

Alwi, Hsan, Soenjono Dardjowidjojo, dan Anton M. Moeliono. 1998. Tata Bahasa Bahasa Indonesia Baku. Jakarta: Balai Pustaka.

Austin, J.L.1962. How to Do thigs with Words. London: Oxford University Press.

Kaswanti Purwo, Bambang. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Lapoliwa, Hans. 1994. “Performatif pada Kalimat Imperatif” dalam Kongres Bahasa Indonesia V (Ed II). Jakarta: Pusat Bahasa.

Leech, Geoffrey. Terjemahan Oka, M.D.D. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Lyons, John. 1977. Semantics. Jilid 1 dan 2. Cambridge: Cambridge Uni-versity Press.

63

REFORMULASI PERANCANGAN PROGRAM ESPDI PERGURUAN TINGGI

KusniUniversitas Negeri Padang

AbstractThe present paper aims to show the needs of reformulating the designof English for specific purposes (ESP) courses for university studentswho do not major in English. The idea for the study was derived fromthe research on designing ESP programs that I conducted for two yearsfor my dissertation. Results from the survey conducted in three publicuniversities in Indonesia have indicated that there is a fundamentalmisunderstanding with the design of ESP courses which made theteaching of such courses ineffective and inefficient.

PENDAHULUAN

ESP (English for Specific Purposes) merupakan salah satu bidang linguistikterapan yang telah berkembang cukup lama, semenjak awal tahun 1970-an.Sejalan dengan perkembangannya, di Indonesia ESP juga sudah dikenal,namun masih terbatas pada kalangan akademisi tertentu yang berkecimpungdalam bidang pengajaran bahasa Inggris saja. Secara teoretis, program ESPmelibatkan beberapa pihak yang berkepentingan (stakeholders), namun pihaklain yang terkait langsung dengan praktek ESP yang seharusnya mengetahuibidang ini ternyata tidak mengenal ESP itu sendiri. Akibatnya, hingga tigadekade terakhir sangat jarang ditemukan adanya publikasi, seminar, lokakarya,dan diskusi ilmiah yang membahas praktik dan perkembangan ESP di Indo-nesia.

Tulisan ini merupakan laporan dari sebahagian hasil penelitian yangdilatarbelakangi oleh fenomena teoretis dan praktis. Fenomena teoretis me-nyangkut hasil pemahaman terhadap berbagai teori dan konsep dasar dalambidang ESP yang diramu dari berbagai pemikiran para ahli dalam bidang ESP.Di antara konsep dasar tersebut adalah pengertian, karakteristik yang mem-bedakan antara ESP dan EGP (English for general purposes), klasifikasi, pe-rancangan, pelaksanaan proses belajar mengajar, dan evaluasi dalam bidangESP. Konsep-konsep ini mengikuti gagasan yang dikemukakan oleh para ahliseperti Hutchinson dan Waters (1987), Jordan (1997), Dudley-Evans dan St.John (1998), McDonough dan Shaw (2000), dan McDonough (2002).

Dari sisi fenomena praktis, terdapat dua fakta yang menjadi pendorongpenelitian ini. Pertama, hasil-hasil penelitian dalam bidang ini yang telahdipublikasikan memberikan gambaran betapa bidang ini telah berkembangpesat dan menjadi salah satu objek penelitian yang menarik bagi banyak pihak.Kedua, status ESP pada berbagai PT di Indonesia menunjukkan kecenderung-an kurang menjadi perhatian dari berbagai pihak yang berkepentingan. Pada-

64

Kusni

hal, hampir semua program studi non-bahasa Inggris di berbagai jenis PTmenawarkan mata kuliah bahasa Inggris (MK-BING) yang berbau ESP kepadamahasiswanya.

Menyangkut fenomena praktis ke dua ini, dalam struktur kurikulumPT, pada awalnya, MK-BING hanya termasuk ke dalam kelompok mata kuliahdasar umum (MKDU) dengan bobot 2 SKS dan berisi bahasa Inggris umum.Kerancuan pemahaman terhadap MK ini sebagai bahasa Inggris umum ataubahasa Inggris untuk tujuan khusus berlangsung cukup lama hingga diga-ungkannya otonomi yang memberlakukan istilah kurikulum lokal dan kuri-kulum nasional. Pemberlakuan kedua kurikulum ini memungkinkan setiap PTuntuk menyusun kurikulum sendiri. Pergeseran memberi dampak bagi ber-ubahnya perlakuan terhadap mata kuliah BING, dari yang umum kepada ESP.Ada beberapa PT yang sudah memberi tajuk yang mencirikan bahwa MK-BING bukan lagi berisi bahasa Inggris umum melainkan ESP seperti Englishfor International Relations, Bahasa Inggris Hukum, Bahasa Inggris Kimia,Bahasa Inggris Teknik, dan berbagai tajuk ESP lainnya. Variasi ini tidak hanyaterjadi pada kelompok dan tajuknya saja, melainkan juga pada statusnya (wajibdan pilihan), jumlah mata kuliahnya (1-4 buah), jumlah total sks-nya (2-12sks), perancangannya, pelaksanaannya, dan evaluasinya.

Pemahaman terhadap kedua fenomena tersebut mendorong penulisuntuk melakukan kajian empiris secara lebih mendalam tentang bagaimanaMK-ESP dirancang?. Sejauh mana fase-fase program ESP telah diimplemen-tasikan dalam perancangan MK-ESP di PT? Survei yang melibatkan banyakpihak ini dijadikan dasar dalam menjawab pertanyaan ketiga: bagaimanaseharusnya model perancangan program ESP dalam konteks PT di Indonesia?

1 METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian survei yang menggunakangabungan antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif yang didasarkankepada pendapat para ahli untuk kedua jenis penelitian ini seperti Bogdan danBiklen (1982), Johnson (1992), dan Wray, Trott, dan Bloomer (1998). Peneliti-an survei ini mengambil kasus yang terjadi di Universitas Indonesia (UI),Universitas Padjadjaran (UNPAD), dan Universitas Andalas (UNAND).Masing-masing pada Fakultas Ekonomi (FE), Fakultas Hukum (FH), danFakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).

Sumber data penelitian ini berjumlah 355 orang yang terdiri dari limakelompok responden: 320 orang mahasiswa, 11 orang dosen pembina MK-ESP, 9 orang ketua PS, 9 dosen senior PS, dan 7 orang pakar TEFL diIndonesia. Empat kelompok pertama berasal dari ketiga universitas yang di-survei sementara kelompok yang terakhir diambil dari guru besar jurusanpendidikan bahasa Inggris Universitas Negeri Malang, Universitas PendidikanIndonesia, dan Universitas Negeri Padang. Kemudian, untuk penyelarasandata, peneliti juga menggunakan sumber data berbentuk dokumen berupasilabus MK, materi ajar, dan alat evaluasi yang digunakan dosen dalam MK-ESP. Penelitian ini menggunakan wawancara, kuesioner, dan analisis dokumen

65

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

sebagai alat pengumpul data yang didukung oleh banyak ahli sepertiOppenheim (1992) dan McDonough dan McDonough (1997). Wawancara semiterstruktur dilakukan dengan semua responden, kecuali mahasiswa. Instrumenyang berupa kuesioner diperuntukkan bagi mahasiswa. Kuesioner ini disusunberdasarkan berbagai rambu-rambu yang dikemukakan oleh Nunan (1999) danOppenheim (1992). Kuesioner yang terdiri dari 35 butir ini dimaksudkan untukmenjaring data tentang penilaian mahasiswa terhadap kebutuhan BING merekasendiri dan penilaian mereka terhadap bagaimana MK-ESP telah dirancang.

Data yang diperoleh dianalisis mengikuti prosedur seperti yang diha-ruskan untuk jenis penelitian yang merupakan gabungan antara kuantitatif dankualitatif ini. Data yang bersifat kuantitatif yang didapat dari kuesioner danwawancara dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif, yakni, denganmenghitung jumlah dan prosentase data dalam bentuk tabulasi. Khusus bagidata yang bertalian dengan pengurutan, analisis dilakukan melalui prosespembobotan pilihan terlebih dahulu. Data yang bersifat kualitatif dianalisissecara deskriptif-argumentatif. Pertama, data dikelompokkan menurut variabeldan subvariabel yang telah ditentukan sebelumnya. Kemudian, data tersebutdiverifikasi dengan cara membuang yang tidak signifikan. Selanjutnya, datayang dianggap penting diverifikasi ulang untuk digabung, dimaknai, dan ditaf-sirkan sesuai dengan unsur-unsur pembahasan yang ada.

2 TEMUAN PENELITIAN: PERANCANGAN ESP DI PT SETAKATINI

Temuan penelitian yang disampakan dalam tulisan ini hanyalah temuan pokokyang merupakan sebahagian dari temuan penelitian yang telah dilakukan.Pertanyaan penelitian yang diambil adalah: Bagaimana AK kebutuhan dilaku-kan? Bagaimana profesionalisme pembina MK-ESP? Sejauh mana kola-borasidalam perancangan MK-ESP telah dilakukan? Bagaimana MK-ESP telahdievaluasi? Semua pertanyaan penelitian ini disandarkan pada teori yangdikemukakan oleh banyak pakar ESP, antara lain, Hutchinson dan Waters(1987), Jordan (1997), Dudley-Evans dan St.John (1998), dan West (1999).Akumulasi dari pendapat mereka yang dirumuskan menjadi kerangka acuanteoretis menyatakan bahwa sebuah program ESP harus dirancang mengikutisejumlah fase kegiatan yang bersiklus yaitu analisis kebutuhan, penentuantujuan, pemilihan materi ajar, penetuan kegiatan belajar-mengajar, dan peren-canaan evaluasi. Kerangka ini pula yang telah diikuti oleh banyak penelitidalam bidang ESP ini dan telah menghasilkan berbagai temuan yang mendu-kung dan mengembangkan teori di bidang ini.

Hasil analisis data survei ini menunjukkan adanya beberapa per-masalahan pokok yang perlu menjadi perhatian semua pihak. Pertama, peran-cangan MK-ESP selama ini sama sekali belum diawali dengan adanya analisiskebutuhan (AK) yang saksama sebagai dasar dalam perancangan program.Kealpaan AK ini menjadi awal dari berbagai kekeliruan yang amat mendasardalam pelaksanaan MK ini seperti, penentuan tajuk yang tidak memberikanarah, bobot sks yang sangat bervariasi, tujuan MK yang tidak berfokus dan

66

Kusni

tidak menggambarkan ESP, dan pemilihan dan penggunaan materi ajar yangtidak sesuai dengan karakteristik dasar program ESP.

Kedua, MK-ESP tidak dibina dan diajarkan oleh pembina MK yangmemiliki profesionalisme sebagaimana seharusnya. Data menunjukkan bahwadosen yang ditunjuk sebagai pembina MK tidak memiliki bekal pelatihan danpendidikan yang memungkinkan mereka untuk menjadi pembina MK-ESP.Sebahagian besar mereka tidak memahami dengan baik, bahkan ada yang samasekali tidak mengenal bagaimana program ESP harus dirancang dan dilaksana-kan. Hal ini tidak hanya terjadi pada pembina MK-ESP yang sebahagian besarberasal dari dosen bidang ilmu, tetapi juga terjadi pada mereka yang berasaldari dosen bahasa Inggris. Kalaupun yang telah mengikuti pelatihan, pe-mahamannya terhadap ESP sangat jauh dari yang diharapkan karena ternyatawaktu dan intensitas pelatihan sangat terbatas. Di samping itu, tidak satu punpembina MK-ESP yang berupaya mengembangkan profesionalismenya, baikmengakses berbagai referensi tentang teori, hasil penelitian, dan praktek ESPmaupun pendalaman keterampilan mengajar bahasa Inggris.

Temuan pokok lainnya adalah ketiadaan koordinasi dan kolaborasiyang baik antara semua pihak yang dianggap sebagai stakeholders untuk MK-ESP. Data menunjukkan bahwa belum pernah terjadi adanya kolaborasi antarapembina MK-ESP yang berasal dari dosen BING dengan dosen senior danpakar bidang studi. Tidak pernah ada kolaborasi antara pembina MK-ESP yangberasal dari dosen bidang studi dengan dosen BING atau pakar TEFL yangmengenal ESP dalam merancang dan melaksanakan MK-ESP ini. Hal ini di-sebabkan oleh tidak adanya pemahaman yang baik terhadap MK-ESP. Tidakada yang merasa ikut bertanggungjawab terhadap MK ini selain pembina MK,termasuk pimpinan program studi dan pakar bidang ilmu yang semuanyamenyatakan bahwa penguasaan bahasa Inggris yang berkenaan dengan bidangilmu sangat penting bagi mahasiswa. Dengan demikian, MK-ESP selama initidak mendapat perhatian sebagaimana mestinya.

Temuan selanjutnya menunjukkan bahwa program ESP pada setiapprogram studi belum terjamah oleh evaluasi. Ketiadaan agenda untuk evaluasimenjadi penyebab tidak diketahuinya berbagai permasalahan sehubungan de-ngan efektifitas pelaksaan MK-ESP. Pimpinan PS dan fakultas tidak me-nyadari adanya kekeliruan mendasar bahwa MK-ESP yang telah dan sedangberjalan tidak berjalan menurut kaidah dan karakteristik ESP seperti telahdiungkapkan para ahlinya. Hal ini terjadi karena mereka juga tidak mengetahuibagaimana karakteristik dasar dari MK-ESP dan bagaimana seharusnya MKini dirancang dan diimplementasikan.

Temuan penelitian di atas sejalan dengan beberapa temuan hasilpeneliti-an terdahulu yang dilakukan oleh Tubtintong (1994) di universitasChulalong-korn, Thailand, Chia dll (1999) di Chung Shan Medical College,Taichung, Taiwan, dan Field (1999) di sebuah PT swasta di Yokohama,Jepang. Penelitian mereka membuktikan bahwa hasil AK merupakan dasardalam perancangan program dan menentukan keterampilan apa yang harusdikembangkan dalam program ESP. Hasil penelitian ini juga memperkokohtemuan Bosher dan Smalkoski (2002), Kavaliauskien (2002), dan Deutch

67

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

(2003) bahwa perancangan program memerlukan pengumpulan informasi darisemua pihak terkait. Beberapa temuan penelitian juga mendukung temuanpenelitian ini, seperti Daoud (2000), Holliday (1995), Quirke (1996), danDobson (1997).

Temuan penelitian ini mendorong lahirnya sebuah pemikiran untukmengadakan reformulasi perancangan MK-ESP di PT Indonesia. Inilah yangmenjadi inti pemikirian yang diungkapkan dalam tulisan ini. Bentuk danlangkah-langkah dari perancangan program ESP yang diusulkan untuk refor-mulasi dibahas dalam topik berikut ini.

3 REFORMULASI PERANCANGAN MK-ESP YANG DIUSULKAN

Untuk keluar dari berbagai permasalahan yang ditemukan dalam penelitiansurvei dan menata kembali MK-ESP di masa depan, saya mengusulkan sebuahmodel perancangan yang disebut sebagai Model Kolaborasi Kolektif (MKK).Yang saya maksud dengan model dalam tulisan ini adalah penggambaranproses perancangan program ESP dalam suatu rantaian beberapa elemen pokokfase kegiatan yang saling bertalian (McQuail dan Windahl, 1989). Istilah kola-borasi yang saya gunakan mengikuti pendapat para pakar ESP yang meng-ungkapkan bahwa kolaborasi berarti kerja sama. Kata kolektif digunakanuntuk mempertegas bahwa kolaborasi ini tidak hanya melibatkan kerja samaantara dua pihak, pembina MK dan dosen BS, tetapi kerja sama semua pihakyang berkepentingan (stakeholders) yaitu pembina MK-ESP, dosen atau pakarBS, pimpinan PS dan fakultas, pakar TEFL yang lebih memahami teori danpraktek ESP, alumni atau pasar kerja, dan mahasiswa. Kata kolektif juga me-nunjukkan adanya kerja sama dan negosiasi dalam bentuk berkumpul bersamamelalui diskusi, seminar, atau lokakarya untuk membahas berbagai hal yangmenyangkut perancangan program ESP. Pengambilan keputusan harus dilaku-kan secara bersama-sama, sehingga tercipta perancangan yang negosiatifseperti yang ditekankan oleh Breen dan Littlejohn (2000).

Dengan demikian, MKK berarti penggambaran proses perancanganMK-ESP yang dilakukan secara bersama-sama oleh enam pihak yang ber-kepentingan dalam suatu forum diskusi, seminar, lokakarya atau badan ad hoctertentu di bawah koordinasi pimpinan PS dan fakultas. Semua pihak memilikitanggung jawab atau akuntabilitas yang sama dalam menghasilkan rancanganMK-ESP ini.

Model ini menunjukkan bahwa ada serantaian kegiatan yang harus di-lakukan dalam bentuk kolaborasi kolektif dalam perancangan program ESP.Rantaian kegiatan yang dikemukakan para pakar, berlandaskan temuan pe-nelitian yang telah dilakukan ini, tidak serta merta dapat diterapkan karenapihak yang berkepentingan belum memahaminya. Dengan kata lain, AKsebagai langkah awal dalam perancangan ESP yang diikuti dengan langkah-langkah berikutnya belum dapat dilakukan bila konsep tentang itu belumdipahami.

68

Kusni

3.1 Diseminasi Konsep Dasar ESP Kepada Semua Stakeholders

Di dalam MKK ini, kegiatan awal yang harus dilakukan dalam perancanganMK-ESP adalah diseminasi konsep dasar ESP kepada semua pihak yangberkepentingan. Menurut saya, kegiatan ini sangat penting dan harus dilakukankarena, berdasarkan hasil penelitian, hampir semua pihak yang berkepentinganini belum mengenal secara baik konsep dasar ESP. Tanpa pemahaman yangmemadai terhadap konsep dasar ini tidak mungkin akan tercipta kolaborasiyang baik dalam perancangan ini. Kegiatan ini diinisiasi oleh pimpinanfakultas atau PS dengan menghadirkan pakar ESP sebagai nara sumber.Stakeholders lainnya diundang dan dilibatkan dalam bentuk seminar danlokakarya untuk menanamkan pemahaman tentang ESP. Kegiatan ini barudapat dianggap berhasil bila semua pihak telah sampai pada pemahaman yangbaik terhadap program ESP.

Setelah semua pihak memahami konsep dasar ini, tahapan-tahapanproses perancangan MK-ESP yang bersiklus dapat dilakukan. Tahapan pe-rancangan program ESP yang bersiklus ini adalah penentuan kebutuhan, pe-netapan informasi umum MK (tajuk, sks, sistem penawaran, dan deskripsiMK), penetapan tujuan, pemilihan materi ajar, perencanaan bentuk kegiatanbelajar mengajar, dan perencanaan evaluasi.

3.2 Kolaborasi Penentuan Kebutuhan (Assessing Needs)

Semua ahli ESP berendapat bahwa program ESP harus diawali dengan analisiskebutuhan. MK-ESP ini harus ditawarkan berdasarkan hasil AK yangdilakukan secara bersama-sama oleh semua pihak yang berkepentingan. Ke-terampilan dan penguasaan BING yang bagaimana yang dibutuhkan untuk di-kembangkan dalam MK-ESP harus disepakati. Secara teoretis, AK dapat di-lakukan dengan menggunakan instrumen tertentu seperti angket, kuesioner,atau wawancara, namun ini belum dapat dilakukan oleh praktisi yang adasehingga cukup dilakukan melalui kesepakatan dalam kolaborasi kolektif,tanpa harus menggunakan instrumen di atas.

3.3 Kolaborasi Penetapan MK-ESP

Penetapan MK dalam konteks ini adalah proses penentuan tajuk, kode, bobotatau kesetaraan SKS, kelompok atau status, deskripsi, dan sistem penawaranMK selama ini dimunculkan tanpa AK yang saksama oleh perumus kurikulum.Semua ini menjadi komponen dan informasi yang dimuat di dalam strukturkurikulum PS. Penetapan MK yang berbasis kolaborasi kolektif ini memung-kinkan semua pihak untuk berinteraksi, membicarakan, dan menetapkan semuaentitas tersebut sebagai implementasi dari proses AK. Apapun keputusan yangdiambil menyangkut tajuk, bobot sks, pengelompokkan MK-ESP, dan sistempenawaran MK-ESP akan mencerminkan bahwa penetapan awal MK inididasarkan atas hasil AK yang berupa kesepakatan yang di-lakukan bersama-sama oleh semua pihak yang berkepentingan setelah mereka memahami apadan bagaimana program ESP.

69

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

3.4 Kolaborasi Penetapan Tujuan MK-ESP

Pada tahap ini tim kolaborasi kolektif berdiskusi dalam merancang danmerumuskan tujuan MK. Patokan dasar yang harus difahami oleh semua pihakadalah bahwa, berdasarkan data penelitian survei, MK-ESP adalah sebuahmata kuliah yang diarahkan untuk membantu mahasiswa untuk kepentinganakademiknya, atau apa yang lebih dikenal sebagai EAP (English for AcademicPurposes). Untuk pengembangan keterampilan membaca, pemahaman adalahtujuan yang paling penting untuk dijadikan fokus. Di dalam perancangantujuan tersebut perlu disadari oleh semua tim kolaborasi bahwa yang akan di-kembangkan dalam kelas adalah strategi dan teknik membaca yang efektif danefisien yang termasuk dalam beberapa sub keterampilan membaca, pengem-bangan penguasaan kosakata yang bertalian dengan bidang ilmu, dan pe-ngembangan keterampilan belajar. Kemudian, anggota tim kolaborasi jugaharus menyadari bahwa perancangan tujuan untuk pengembangan keterampil-an bahasa yang lain (menyimak, berbicara, dan menulis) dan penguasaan tatabahasa terintegrasi dengan keterampilan membaca, tetapi tidak menjadi fokus.

3.5 Kolaborasi Pemilihan dan Penentuan Materi Ajar.

Pada tahap pemilihan dan penentuan materi ajar ini tidak semua tim kolaborasikolektif harus terlibat. Pada tahap perancangan materi ini, pakar TEFL, pembi-na MK-ESP, dan dosen atau pakar bidang studi membicarakan berbagaialternatif tentang materi ajar seperti sumber, isi, dan karakteristik materi yangakan digunakan. Pembahasan materi ajar dalam tim kolaborasi ini merupakanhal yang tidak mudah karena menyangkut kepentingan dari sudut pandangyang berbeda oleh unsur yang terlibat dalam kolaborasi. Namun demikian,harus diakui bahwa perancangan materi dengan cara berkolaborasi ini meru-pakan alternatif yang dianggap tepat mengingat pembina MK mem-butuhkangagasan dari dosen dan pakar bidang studi tentang materi yang mungkin lebihbaik digunakan. Materi ajar ESP harus otentik karena ini merupakan salah satuciri pokok program ESP. Pemilihan materi tersebut didasarkan pada sub-keterampilan bahasa yang ingin dikembangkan.

Dari sisi isi materi ajar, tim kolaborasi kolektif juga harus menyadaribersama bahwa materi ajar ESP harus mengandung dua unsur isi, real contentdan carrier content. Real content adalah materi untuk pengembangan ke-terampilan bahasa, sedangkan carrier content adalah materi yang bertaliandengan bidang ilmu yang menjadi spesialisasi mahasiswa. Dalam perancanganmateri ini tim kolaborasi juga harus mengetahui bersama bahwa materi ter-sebut harus memenuhi kriteria sebagai materi ajar ESP yang baik seperti yangdikemukakan oleh Tomlinson (1998) dan Donna (2000).

3.6 Kolaborasi Perencanaan Bentuk Kegiatan Belajar Mengajar (KBM

Ungkapan berbagai pakar pengajaran bahasa yang berbunyi: No one method isthe best adalah ungkapan yang paling tepat difahami dalam kola-borasikolektif dalam menentukan dan memberikan saran terhadap pembina MK

70

Kusni

tentang metode atau teknik mengajar yang akan digunakan. Pemilihan metodedan teknik mengajar sangat kontekstual. Perancangan KBM sangat ter-kaitdangan tujuan yang ingin dicapai dan materi ajar yang digunakan untukmencapai tujuan tersebut. Melalui keterampilan membaca pemahaman sebagaiprioritas, pengembangan pengetahuan bidang studi, pengetahuan kosakatayang bertalian dengan bidang ilmu, dan keterampilan belajar terintegrasi de-ngan itu.

Tim kolaborasi diharapkan memahami bahwa penggabungan berbagaibentuk ancangan pengajaran (multiple-based approach) seperti yang ber-pumpun pada pelajar (student-centered learning), berpumpun pada isi materi(content-based), berorientasi pada proses (process-based), dan berisi pem-berian tugas-tugas (task-based) sangat dianjurkan dalam MK-ESP. Hal initentu lebih dituntut untuk difahami dan dilaksanakan oleh pembina MK.Penerapan semua bentuk pengajaran ini akan mencerminkan keterlibatanmahasiswa secara aktif dalam kelas ESP melalui diskusi dan tugas-tugas yangberujung pada pengembangan keterampilan membaca, penguasaan unsurbahasa, keterampilan belajar, dan pengembangan pengetahuan bidang ilmuterkait.

3.7 Kolaborasi Perencanaan Bentuk Evaluasi.

Perancangan evaluasi memerlukan perhatian khusus tim kolaborasi. Di dalampertemuan semua stakeholders ini peserta dituntut untuk membicarakanbagaimana evaluasi akan dilakukan, baik evaluasi hasil belajar maupun eva-luasi program secara keseluruhan. Stakeholders yang paling perlu terlibatdalam perancangana evaluasi ini adalah pembina MK-ESP, pakar TEFL, pakarbidang studi, dan pimpinan PS. Atas bimbingan pakar TEFL semua anggotatim kolaborasi diharapkan melahirkan kesepakatan tentang berbagai hal yangmenyangkut penentuan hasil belajar mahasiswa dan evaluasi MK-ESP sebagaisuatu program.

3.8 Kolaborasi Penyusunan Silabus MK-ESP

Fase terakhir dalam model perancangan kolaborasi kolektif ini adalah penyu-sunan silabus MK yang juga dilakukan secara berkolaborasi oleh semua pihakyang berkepentingan. Hal ini dimaksudkan agar tujuan, materi ajar, bentukKBM, dan bentuk evaluasi yang telah dirumuskan dapat dieksplisitkan secararuntut dalam sebuah silabus MK. Format silabus ini dapat berbeda-beda sesuaidengan kesepakatan yang diambil oleh pimpinan PT. Yang perlu di-perhatikansemua pihak yang berkepentingan adalah bahwa silabus harus berisi semuahasil kesepakatan yang telah diambil dalam enam fase sebelumnya. Setelahsilabus MK ini tersusun secara baik, pembina MK akan sangat terbantu dalammelaksanakan proses belajar mengajar dan evaluasi hasil belajar mahasiswa.Setelah pelaksanaan PBM yang diikuti dengan pelaksanaan evaluasi hasilbelajar ini, pembina MK dapat menerapkan perancangan yang telah dibuatdalam mengevaluasi MK secara keseluruhan.

71

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

4 SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian survei adalah bahwa MK-ESP yang selama ini telah berjalan salah urus, salah arah, dan menyimpangdari teori ESP yang seharusnya menjadi dasar. Permasalahan tersebut harus di-upayakan untuk diselesaikan melalui penerapan teori ESP semaksimal mung-kin berdasarkan konteks yang ada. Untuk ini, solusi yang dipandang palingtepat dilakukan dalam perancangan MK-ESP adalah penerapan model kola-borasi kolektif. Untuk setakat ini, model ini harus dilakukan sebagai salah satuupaya untuk meningkatkan efektifitas MK-ESP di PT.

Ada beberapa saran atau rekomendasi sebagai hasil perenunganterhadap hasil penelitian ini. Pertama, Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris sudahwaktu-nya memikirkan untuk membuka program spesialisasi 1 tahun (setara20-40sks) khusus ESP guru memberikan sertifikasi kepada pembina MK-ESP.Kedua, perlu dibentuk suatu lembaga tertertentu yang khusus untuk bidangESP. Lembaga ini diharapkan dapat berfungsi sebagai wadah yang mengkaji,merancang, mengevaluasi, dan meneliti berbagai hal yang menyangkut pro-gram ESP serta menyebarluaskan berbagai informasi hasil penelitian, pe-ngalaman, dan kajian teori. Ketiga, sistem penawaran MK-ESP ini diusulkanuntuk diubah menjadi MK wajib dalam bentuk 0 sks yang dapat ditawarkandalam beberapa semester sesuai hasil AK. Mahasiswa yang akan mengambilkelas tertentu harus melalui suatu seleksi penempatan yang sesuai dengankemampuan awal bahasa Inggris mereka.

PUSTAKA ACUAN

Bogdan, R. C. dan S.K. Biklen. 1982. Qualitative Research for Education: AnIntroduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.

Bosher, S. dan K. Smalkoski. 2002. “From Needs Analysis to CurriculumDevelopment: Designing a Course in Health-care Communication forImmigrant Students in the USA”. English for Specific Purposes, 21:59–80.

Chia, H. U., R. Johnson, H. L. Chia dan F. Olive. 1999. “English for CollegeStudents in Taiwan: A Study of Perceptions of English Needs in aMedical Context”. English for Specific Purposes, 18: 107–120.

Daoud, M. 2000. “LSP in North Africa: Status, Problems, and Challenges”.Annual Review of Applied Linguistics. 20: 77–96.

Deutch, Y. 2003. “Needs Analysis for Academic Legal English Courses inIsrael: A Model of Setting Priorities”. Journal of English for AcademicPurposes, 2.2: 39–60

Dobson, G. 1997. “Development of an in-house ESP Course: A DescriptiveAnalysis”. Disertasi, tidak diterbitkan. www. les. aston. ac. uk/ lsu/diss/ vwarta. html.

72

Kusni

Donna, S. 2000. Teaching Business English. Cambridge: Cambridge Univer-sity Press.

Dudley-Evans, T. dan M. J.St. John. 1998. Developments in English forSpecific Purposes: A Multi-disciplinary Approach. Cambridge:Cambridge University Press.

Field, K. (ed.) . 2000. Issues in Modern Foreign Languages Teaching. London:Routledge Falmer.

Holliday, A. 1995. “Assessing Language Needs within an Institutional Context:An Ethnographic Approach”. English for Specific Purposes, 14: 115–126.

Hutchinson, T. dan A. Waters. 1987. English for Specific Purposes: ALearning-centred Approach. Cambridge: Cambridge University Press.

Johnson, D. M. 1992. Approaches to Research in Second Language Learning.London: Longman.

Jordan, R. R. 1997. English for Academic Purposes. A Guide and ResourceBook for Teachers. Cambridge: Cambridge University Press.

Kavaliauskien, G. 2002. „Aspects of Learning ESP at University“. English forSpecific Purposes World Web-based Journal. 1.1. Tersedia di: http//esp-world.7p.com.

McDonough, J. 2002. Applied Linguistics in Language Education. London:Arnold.

McDonough, J. dan C. Shaw. 2000. Materials and Methods in ELT: A TeacherGuide. Oxford: Blackwell.

Nation, I. S. P. 2001. Learning Vocabulary in Another Language. Cambridge:Cambridge University Press.

Nunan, D. 1999. Research Methods in Language Learning. Cambridge:Cambridge University Press.

Oppenheim, A. N. 1992. Questionnaire Design, Interviewing and AttitudeMeasurement. London: Pinter Publishers.

Quirke, T. 1996. “Teacher Roles in ESP Course Design: A Case Study forTask-based Teaching Units”. Disertasi, tidak diterbitkan. www. les.aston. ac. uk/ lsu/ diss/ vwarta. html.

Tubtimtong, W. 1994. “The Problems of Translating Communicative Needsinto Course Design and Implementation”. Dalam Khoo, R. (ed.). LSP:Problems and Prospects. Singapore: 123–131.

West, R. 1999. “Needs Analysis in Language Teaching”. Language Teaching,27.1.

Wray, A., K. Trott, A. Bloomer. 1998. Project in Linguistics: A PracticalGuide to Researching Language. London: Arnold.

73

TINJAUAN PRESKRIPTIF TERHADAP PEMAKAIANKATA DI MANA DALAM TULISAN MAHASISWA

I Dewa Putu WijanaUniversitas Gadjah Mada

AbstractThe goal of the present paper is to describe the errors on the use of dimana 'where' found in university students' papers and show how theword should be correctly used in Standard Indonesian. It is hopedthat this study can motivate researchers of Standard Indonesian toobserve and describe other types of errors that frequently crop up inuniversity students' papers.

PENDAHULUAN

Pada umumnya penutur-penutur bahasa Indonesia mengenal kata di manasebagai kata tanya yang digunakan untuk menanyakan tempat (lokasi) di dalamkalimat tanya informasi (Wijana, 1981; Ramlan 1983), seperti yang terdapatdalam kalimat (1) dan (2), atau sebagai konjungtor lokatif, seperti yang ter-dapat dalam kalimat majemuk subordinatif (3) dan (4).

(1) Di mana rumahmu?

(2) Di mana kamu membeli buku itu?

(3) Saya tidak tahu di mana ia tinggal.

(4) Saya sekarang tahu di mana ia biasa mengadu ayam.

Akan tetapi, bila diadakan pengamatan secara lebih saksama, maka di sampingbentuk pemakaian baku seperti (1) dan (2), dan sedikit tidak baku, seperti (3)dan (4) di atas, ada pula berbagai jenis kata di mana yang lain yang sama sekalidianggap tidak baku. Salah satu bidang pemakaian yang banyak memiliki per-soalan yang cukup menarik berkaitan dengan penggunaan kata di mana adalahkarya tulis atau karangan para mahasiswa. Dikatakan cukup menarik karena didalam karya tulis mahasiswa kata di mana tidak hanya difungsikan sebagaikata tanya atau substitutor lokatif, tetapi juga dimanfaatkan sebagai penandasatuan-satuan gramatikal yang lain. Fungsi-fungsi di mana yang lain ini belumbanyak dibicarakan oleh para linguis, baik yang berkecimpung dalam pe-nelitian deskriptif, maupun yang sekaligus juga menaruh perhatian padapermasalahan-permasalahan preskriptif mengenai pemakaian bahasa Indonesiayang baik dan benar dengan tolok ukur tata bahasa Indonesia baku. Se-hubungan dengan itu, tulisan ini akan berupaya mendeskripsikan kesalahan-kesalahan mahasiswa di dalam menggunakan kata di mana yang terdapat didalam karangan atau karya tulisnya, dan menunjukkan bagaimana seharusnyakata di mana itu diungkapkan dalam kalimat atau wacana bahasa Indonesiayang lebih baku, atau lebih “berbau” bahasa Indonesia. Penelitian ini diharap-

74

I Dewa Putu Wijana

kan dapat menarik minat peneliti-peneliti dan para pencinta bahasa Indonesiauntuk mengamati berbagai bentuk kesalahan lain yang lazim terdapat dalamkarya tulis atau karangan para mahasiswa, dan akhirnya secara bertahap dapatmemperbaiki kualitas pengajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu buku pelajaran bahasa Indonesia yang membahas masalahpenggunaan kata di mana yang tidak semestinya adalah karya Ramlan dkk.(1997). Dalam buku ini dikatakan bahwa di mana, di samping kata-kata yanglain seperti dalam mana, di dalam mana, dari mana, dan yang mana, me-rupakan pengaruh negatif dari bahasa Inggris. Khususnya di mana ditransferdari penanda klausa relatif where. Sementara itu, dalam mana dan di dalammana, dari mana, serta yang mana secara berturut-turut ditransfer dari inwhich, from which, dan which. Sejajar dengan ini Moeliono (1985, 121) jugamenduga kuat akan adanya pengaruh dari bahasa Inggris itu, bahkan bentuk-bentuk yang terpengaruh jauh lebih banyak dari itu, seperti atas mana, untukmana, kepada siapa, dan dengan siapa. Walaupun dikatakan penggunaan kon-jungsi pungutan ini mudah dihindari bila pola kalimat bahasa Indonesia yangmendasarinya dikenal (ibid), pengaruh negatif ini semakin lama terasa semakinmengganggu karena dampaknya tidak hanya terbatas pada jenis konjungsirelatif, tetapi juga telah merambah pada elemen sintaktik yang lain yang jelas-jelas bukan merupakan struktur bahasa asing, seperti yang ditemukan olehSugono (2003) dalam contoh (5) dan (6) berikut ini:

(5) Kepala desa sangat berterima kasih kepada warga di mana telahbersedia menjaga kebersihan di lingkungan masing-masing.

(6) Usaha ini akan dikembangkan terus di mana pemerintah jugaakan membantu menyediakan tenaga untuk melatih parapengelolanya.

Di mana dalam (5) dan (6) karena di dalam bahasa Inggris kata ini tidak sejajardengan where, tetapi dengan who atau because dan and yang bila diungkapkanke dalam bahasa Indonesia yang baku berpadanan dengan yang, karena, danlalu. Untuk ini dapat diperhatikan kalimat (7), (7a), dan (8) berikut:

(7) Kepala desa sangat berterima kasih kepada warga yang telahbersedia menjaga kebersihan di lingkungan masing-masing.

(7a) Kepala desa sangat berterima kasih kepada warga karena telahbersedia menjaga kebersihan di lingkungan masing-masing.

(8) Usaha ini akan dikembangkan terus, dan pemerintah juga akanmembantu menyediakan tenaga untuk melatih para pengelo-lanya.

3 LANDASAN TEORI

Secara teoretis perubahan bahasa yang terjadi di dalam berbagai tatarannya(fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon), pada garis besarnya disebabkan

75

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No., Februari 2007

oleh dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Sebab pertamabersumber dari bahasa itu sendiri, sedangkan faktor kedua bersumber dari luarbahasa bersangkutan sehubungan dengan adanya peminjaman (borrowing) baiksatuan lingual atau konsep dalam peristiwa kontak bahasa (Wardhaugh 1986).Dalam hubungan ini, faktor sosial dan kultural menjadi salah satu alasan utamadari peminjaman, dan kata-kata yang dipinjam umumnya memiliki kekhasankonsep. Sejauh butir-butir leksikal yang dipinjam dipandang sebagai inter-ferensi merupakan bentuk sederhana (simple word) dari sudut pandang dwi-bahasawan yang mengucapkannya, menurut Weinreich (1968, 47-50) ada tigatipe interferensi leksikal. Pertama kata-kata yang dipinjam secara langsung di-transfer ke bahasa peminjam tanpa perubahan bunyi. Misalnya saja dalambahasa Jerman holismok diambil dari bahasa Inggris holy smoke(s). Dalambahasa Italia ada kata azzoraiti yang dipungut dari bahasa Inggris that’s allright. Kedua, kosa kata bahasa peminjam mengalami perluasan pemakaiankarena pengaruh kata asing yang menjadi modelnya. Bila dua bahasa memilikikonsep makna (semantem) yang sebagian saja sama, maka interferensi akanberupa proses penyamaan atau penyesuaian agar semantem-semantem itu samaatau kongruen. Di dalam bahasa Rusia kata urcven mengandung konsep ‘per-mukaan’, baik abstrak mupun kongkret. Di dalam bahasa Yakut kata lahymterbatas untuk menunjuk ‘permukaan air’ saja. Karena adanya pengaruh daribahasa Rusia, kata lahym mengalami perubahan konsep yang tidak hanya me-nunjuk ‘tingkat permukaan air’, tetapi juga ‘tingkat perkembangan, kemampu-an’, dsb. Sering kali dua semantem, misalnya X dan Y dalam suatu bahasadigabung atas dasar bahasa yang mempengaruhinya, dan kombinasi semantemitu dilambangkan dengan satu kata Z yang merupakan salah satu lambangsemantem X atau Y, dan salah satu lambang semantem ini kemudian tidakdigunakan. Sebagai contoh dalam dialek bahasa Yiddish semantem ‘bridge’dan ‘floor’ digabungkan meniru model bahasa Belarusia most, dengan leksembrik dan kata yang lain yang mengacu ‘floor’ tidak digunakan. Ketiga, kata-kata yang dipungut mengalami perubahan bunyi menurut sistem bunyi bahasayang menerimanya tanpa adanya perubahan makna. Misalnya kata Europabahasa Spanyol dinaturalisasikan menjadi Uropa dalam bahasa Tampa, diFlorida, atau kata vakaisje ‘vacation’ diserap menjadi vekejsen dalam bahasaYiddish di Amerika. Dengan kerangka teori Weinreich tersebut, interferensikata bahasa Inggris where terhadap pemakaian kata di mana termasuk inter-ferensi leksikal tipe yang kedua. Masuknya pengaruh bahasa Inggris dalam halini menyebabkan meluasnya pemakaian kata di mana yang semula umumnyadigunakan sebagai kata tanya, kemudian meluas sebagai konjungsi relatif, kon-jungsi antarklausa, dan konjungsi antarkalimat dengan konsep yang bermacam-macam pula. Mungkin juga pengaruh itu menjadi sangat ekstrem, yakni sampaikepada pemakaian yang tidak ada di dalam bahasa Inggris. Sehubungan denganinilah studi preskriptif mendapatkan kedudukannya guna mencegah semakintidak terkontrolnya penggunaan kata di mana ini. Dengan kata lain, untukmenghindari kesan pembinaan yang tidak bersifat adatif, studi yang bersifatnormatif akan mencegah perluasan pemakaian yang bersifat negatif itu padabatas-batas yang dapat ditoleransi.

76

I Dewa Putu Wijana 4 METODE

Data yang disajikan dalam tulisan ini diambilkan atau bersumber dari hasil karangan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi swasta di Yogyakarta dalam rangka mereka mengerjakan soal mengarang sewaktu menghadapi ujian akhir semester. Pertama-tama Frase, kalimat, atau wacana yang mengandung kata di mana dikumpulkan, kemudian diklasifikasikan jenis-jenisnya berdasarkan fungsi gramatikalnya di dalam kalimat atau wacana bersangkutan. Akhirnya setelah hubungan semantis antar elemennya diidentifikasikan, data itu di-golong-golongkan berdasarkan makna yang diungkapkan. Sebelum disajikan data-data itu terlebih dahulu mengalami penyuntingan sedemikian rupa agar terbebas dari kesalahan-kesalahan linguistis yang lain sehingga seolah-olah hanya pada kata di mana-lah letak kesalahan kalimat atau wacana itu. Untuk lebih jelasnya bagaimana proses penyuntingan itu dilakukan dapat diperhati-kan kalimat (9) dan (10) berikut:

(9) Sejak tahun ini di mana pemerintah mencanangkan program teknologi ramah lingkungan ...

(10) Oleh karena itu pemerintah telah mencanangkan suatu program di mana program tersebut dapat mengatasi berbagai permasalah- an ekonomi yang melanda bangsa ini

Pada tahap pertama data (9) dan (10) diubah menjadi (11) dan (12). Setelah diidentifikasikan fungsi gramatikal kata di mana-nya, diterapkan teknik subs-titusi untuk menggantikan kata di mana tersebut dengan kata-kata yang lebih pantas. Karena di mana dalam (11) berfungsi sebagai penanda klausa relatif temporal, kata di mana di ganti dengan di saat, dan karena di mana dalam (12) berfungsi sebagai penanda klausa relatif penerang, kata ini diganti dengan yang sehingga didapatkan bentuk kalimat bakunya (13) dan (14).

(11) Tahun ini di mana pemerintah mencanangkan program teknologi ramah lingkungan ...

(12) Oleh karena itu, pemerintah telah mencanangkan suatu program di mana dapat mengatasi berbagai permasalahan ekonomi yang melanda bangsa ini.

(13) Tahun ini di saat pemerintah mencanangkan program teknologi ramah lingkungan ...

(14) Oleh karena itu, pemerintah telah mencanangkan suatu program yang dapat mengatasi berbagai permasalahan ekonomi yang melanda bangsa ini.

Data pemakaian di mana disajikan berdasarkan hirarkhi penandaan grama-tikalnya secara berurutan dari tataran yang terendah sampai dengan tataran yang tertinggi.

77

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No., Februari 2007 5 HASIL PENELITIAN

Setelah dilakukan pengamatan secara saksama, didapatkan ada sekurang-kurangnya 4 jenis kata di mana yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda di dalam kalimat atau wacana. Adapun keempat jenis itu adalah:

1. kata di mana yang berfungsi sebagai kopula 2. kata di mana yang berfungsi sebagai klausa relatif 3. kata di mana yang berfungsi sebagai penghubung antar klausa 4. kata di mana yang berfungsi sebagai penghubung antar kalimat 5.1 Kata Di mana Sebagai Kopula

Kopula adalah verba yang menghubungkan subjek dengan komplemennya (Kridalaksana 1993), seperti be, seem, dan become. Hanya saja, kopula dalam bahasa Indonesia, terutama yang bersifat statis tidak bersifat verbal (Verhaar 1996). Kata-kata yang berfungsi sebagai kopula dalam bahasa Indonesia misal-nya adalah, ialah, yakni, yaitu, dsb. Di dalam karangan mahasiswa seringkali ditemui pemakaian kata di mana yang fungsinya sejajar dengan kopula yakni atau yaitu sebagai penanda relasi ekuasional. Untuk jelasnya dapat dilihat kali-mat (15), (16), dan (17) berikut:

(15) Hutan adalah tempat kelangsungan hidup manusia yang di mana tempat berlindung sejak dahulu hingga sekarang.

(16) Pada bulan Januari tanggal 26 tahun 2004 Institut Pertanian Instiper mengadakan suatu kegiatan, di mana para mahasiswa dan mahasiswi menempuh mata kuliah wajib pada semester 8, yaitu KKN.

(17) Teknologi biodigester ini bisa diterapkan di lingkungan pen- duduk pedesaan yang mata pencahariannya beternak, di mana diterapkan tempat kandang ternak yang letaknya dekat dengan peternakan.

Sebagai kopula pemarkah hubungan ekuasional kata di mana dalam (15), (16), dan (17) dalam bahasa Indonesia yang lebih baku dapat diganti dengan me-rupakan, yaitu atau yakni. Untuk ini perhatikan (18), (19), dan (20) berikut:

(18) Hutan adalah tempat kelangsungan hidup manusia yang merupa- kan tempat berlindung sejak dahulu hingga sekarang.

(19) Pada bulan Januari tanggal 26 tahun 2004 para mahasiswa Institut Pertanian Instiper mengadakan suatu kegiatan, yakni para mahasiswa dan mahasiswi menempuh mata kuliah wajib pada semester 8, yaitu KKN.

(20) Teknologi biodigester ini bisa diterapkan di lingkungan pen-duduk pedesaan yang meta pencahariannya beternak, yakni di kandang yang letaknya dekat dengan peternakan.

78

I Dewa Putu Wijana

5.2 Kata Di mana Sebagai Penanda Klausa Relatif

Atribut sebuah frase endosentrik dapat berupa kata, frasa, atau klausa. Frasaendosentrik yang atributnya klausa lazim disebut klausa relatif. Klausa inibiasanya ditandai dengan sebuah penanda yang disebut perelatif (relativizer).Perelatif baku yang umum digunakan dalam bahasa Indonesia adalah yang,tempat, di saat, dsb., seperti pada orang yang membaca buku itu, Rumahtempat ia beristirahat, dan Tahun lalu di saat harga bensin melambung tinggi.Kata di mana yang dalam bahasa baku digunakan sebagai kata tanya jugaseringkali dipakai untuk menandai klausa relatif yang mengugkapkan maknalokatif. Salah satu contohnya adalah kata di mana dalam kalimat (21) berikut.

(21) Penggunaan teknologi ini banyak memanfaatkan zat kimia yangberdampak bagi lingkungan di mana kegiatan tani itu ber-langsung.

(22) Hutan merupakan suatu tempat di mana sehari-hari merekabekerja.

Dalam bahasa yang baku kata di mana dalam hal ini dapat diungkapkan men-jadi tempat sehingga dengan sedikit modifikasi (21) dan (22) menjadi (23) dan(24) berikut:

(23) Penggunaan teknologi ini banyak memanfaatkan zat kimia yangberdampak bagi lingkungan tempat kegiatan tani itu ber-langsung.

(24) Hutan merupakan suatu areal tempat sehari-hari merekabekerja.

Semakin besarnya pengaruh bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia meng-akibatkan semakin luasnya pula pemakaian kata di mana yang merupakaninterferensi bahasa internasional itu. Pada saat ini, dalam hubungannya denganpenanda klausa relatif, kata di mana tidak hanya digunakan untuk menandaihubungan lokatif, tetapi juga digunakan untuk menandai hubungan temporaldan penerang. Sebagai penanda temporal kata di mana dalam bentuk bakuharus diungkapkan dengan di saat, di waktu, dsb., sedangkan sebagai penandapenerang dalam bentuk bakunya harus diungkapkan dengan yang. Untuk itu,dapat diperhatikan kalimat (25) s.d. (28) berikut. Kalimat (25) dan (26) dapatdiubah menjadi (29) dan (30), sedangkan (27) dan (28) menjadi (31) dan (32).

(25) Sejak tahun ini di mana pemerintah mencanangkan programteknologi ramah lingkungan ...

(26) Dewasa ini di mana semua aspek kehidupan sudah mengguna-kan teknologi canggih dan modern, tetapi semuanya tidak dapatlepas dari penggunaan bahan baku yang membawa dampaknegatif terhadap lingkungan.

(27) Oleh karena itu, pemerintah telah mencanangkan suatu programdi mana program tersebut dapat mengatasi berbagai permasalah-an ekonomi yang melanda bangsa Indonesia.

79

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No., Februari 2007

(28) Teknologi pertanian merupakan salah satu bidang pertaniandi mana semua bidang pengajarannya dibimbing oleh seorangyang ahli dalam bidangnya.

(29) Sejak tahun ini di saat pemerintah mencanangkan programteknologi ramah lingkungan ...

(30) Dewasa ini di saat semua aspek kehidupan sudah menggunakanteknologi canggih dan modern, semuanya tidak dapat lepasdari penggunaan bahan baku yang membawa dampak negatifterhadap lingkungan.

(31) Oleh karena itu, pemerintah telah mencanangkan suatu programyang dapat mengatasi berbagai permasalahan ekonomi yangmelanda bangsa Indonesia.

(32) Teknologi pertanian merupakan salah satu bidang pertanian yangsemua bidang pengajarannya dibimbing oleh seorang yang ahlidalam bidangnya.

5.3 Kata Di Mana Sebagai Penanda Hubungan Antarklausa

Berdasarkan jumlah klausanya kalimat-kalimat secara sederhana dapat dibeda-kan menjadi dua jenis, yakni kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Peng-golongan ini tidak mengingkari adanya kalimat yang tidak berklausa, yaknikalimat-kalimat yang lazim disebut kalimat minor atau kalimat tak berklausa.Kalimat tunggal adalah kalimat yang terbentuk dari satu klausa, sedangkankalimat majemuk adalah kalimat yang terbentuk dari dua klausa atau lebih.Kalimat (33) adalah kalimat tak berklausa atau kalimat minor. Kalimat (34)adalah kalimat tunggal, dan kalimat (35) adalah kalimat majemuk.

(33) Pergi!

(34) Saya akan pergi.

(35) Saya akan pergi, tetapi ayah hanya di rumah saja.

Klausa-klausa yang menyusun kalimat majemuk lazimnya dihubungkan secaraeksplisit dengan sebuah konjungsi antar klausa, lebih-lebih di dalam ragam-ragam pemakaian yang formal. Dari data yang terkumpul ditemukan cukupbanyak kasus penggunaan kata di mana untuk menandai hubungan antarklausa, dan pertalian makna yang diungkapkannya pun ada bermacam-macam,bahkan sampai makna-makna yang bertentangan satu sama lain. Untuk jelas-nya, dapat diperhatikan (36), (37), (38), (39), dan (40) berikut:

(36) Di era informasi sekarang ini teknologi pertanian semakinterpuruk di mana para petani selalu resah akan keadaanpertanian di Indonesia.

(37) Selain hal itu, yang sedang digalakkan sekarang adalah programbiofarming di mana menciptakan pertanian organik.

(38) Pada era globalisasi saat ini sektor pertanian sangat berpengaruh

80

I Dewa Putu Wijana

terhadap pendapatan negara Indonesia di mana hasil produksipertanian kita sangat membantu negara kita sehingga harusditingkatkan kualitasnya.

(39) Para mahasiswa ditempatkan di Kabupatan Banjarnegara, dimana di Banjarnegara kami ditempatkan di sepuluh desaKecamatan Pejawaran.

(40) Manusia hendaknya dapat mengerti dan menyadari bahwa dalamhidup harus ada timbal balik. Di mana manusia menggunakan-nya, maka juga harus memeliharanya dengan baik.

Bila dicermati hubungan makna klausa-klausa yang membentuknya, kalimat(36) memiliki hubungan makna akibat, (37) memiliki hubungan makna tujuan,(38) memiliki hubungan makna sebab, (39) makna perturutan, dan (40) maknasyarat. Dengan demikian, kata di mana dalam kalimat-kalimat tersebut secaraberturut-turut dapat disubstitusi dengan sehingga, untuk, lalu, dan apabila.Jadi, bentuk baku (36) s.d. (40) di atas adalah (41) s.d. (45) berikut:

(41) Di era informasi sekarang ini teknologi pertanian semakinterpuruk sehingga para petani selalu resah akan keadaanpertanian di Indonesia.

(42) Selain hal itu, yang sedang digalakkan sekarang adalah programbiofarming untuk menciptakan pertanian organik.

(43) Pada era globalisasi saat ini sektor pertanian sangat berpengaruhterhadap pendapatan negara Indonesia karena hasil produksipertanian kita sangat membantu negara kita sehingga harusditingkatkan kualitasnya.

(44) Para mahasiswa ditempatkan di Kabupatan Banjarnegara, laludi Banjarnegara kami ditempatkan di sepuluh desa KecamatanPejawaran.

(45) Manusia hendaknya dapat mengerti dan menyadari bahwa dalamhidup harus ada timbal balik. Apabila manusia menggunakan-nya, maka juga harus memeliharanya dengan baik.

5.4 Kata Di Mana Sebagai Penanda Hubungan Antarkalimat

Sebuah paragraf lazimnya disusun oleh kalimat-kalimat yang satu sama lainberhubungan sehingga membentuk kesatuan yang bersifat kohesif dan koheren(Ramlan 1993). Kalimat-kalimat itu dipertalikan dengan berbagai piranti yangcukup banyak (tidak kurang dari 15) jenisnya (Verschueren 1999). Salah satualat pemadu kalimat-kalimat pembangun paragraf itu adalah penghubungantarkalimat atau lazim juga disebut ungkapan penghubung. Dalam kaitannyadengan perangkaian dengan penghubung antarkalimat, kata di mana yang me-rupakan penerjemahan langsung dari bahasa Inggris where juga menampakkanpengaruhnya. Mula-mula pengaruh ini ditengarai muncul pada register ilmu

81

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No., Februari 2007

tertentu, tetapi, lama-kelamaan pengaruh ini muncul pada register-register yanglain. Untuk ini dapat diperhatikan wacana (46) s.d. (49) berikut ini:

(46) Dalam dunia pertanian kita mengenal istilah ekstensifikasi danintensifikasi di mana istilah tersebut memiliki arti perluasanlahan dan pengolahan secara intensif lahan yang ada.

(47) Oleh karena itu, dalam upaya untuk membudidayakan tumbuh-tumbuhan dan hewan ternak manusia tidak dapat melepaskandiri dari pemanfaatan teknologi. Di mana teknologi yangdigunakan harus memiliki kualitas yang baik, dan orang yangmemanfaatkannya harus memiliki wawasan yang luas terhadapkelestarian lingkungan.

(48) Dengan kemajuan teknologi, pemupukan dapat dilakukandengan menggunakan alat penyemprot. Di mana pupuk yangdigunakan adalah pupuk buatan pabrik yang mengandungbanyak bahan kimia.

(49) Di era globalisasi saat ini teknologi pertanian yang ramahlingkungan sangat dibutuhkan untuk semua warga masyarakat.Di mana aspek-aspek teknologi pertanian ini harus mampumensejahterakan kehidupan mereka.

Dalam ekspresi yang lebih baku kata di mana dalam (46) s.d. (49) di atas dapatdiungkapkan dengan ungkapan penghubung dalam hal ini, dalam hubunganini, dsb. Dengan demikian, keempat kalimat terakhir di atas dapat diperbaikimenjadi (50) s.d. (53) berikut ini.

(50) Dalam dunia pertanian kita mengenal istilah ekstensifikasi danintensifikasi. Dalam hal ini, istilah tersebut memiliki artiperluasan lahan dan pengolahan secara intensif lahan yang ada.

(51) Oleh karena itu, dalam upaya untuk membudidayakan tumbuh-tumbuhan dan hewan ternak manusia tidak dapat melepaskandiri dari pemanfaatan teknologi. Dalam hal ini, teknologi yangdigunakan harus memiliki kualitas yang baik, dan orang yangmemanfaatkannya harus memiliki wawasan yang luas terhadapkelestarian lingkungan.

(52) Dengan kemajuan teknologi, pemupukan dapat dilakukandengan menggunakan alat penyemprot. Dalam hubungan ini,pupuk yang digunakan adalah pupuk buatan pabrik yangmengandung banyak bahan kimia.

(53) Di era globalisasi saat ini teknologi pertanian yang ramahlingkungan sangat dibutuhkan untuk semua warga masyarakat.Dalam hal ini, aspek-aspek teknologi pertanian ini harus mampumensejahterakan kehidupan mereka.

82

I Dewa Putu Wijana

Selain keempat jenis fungsi kata di mana di atas, ada pula jenis pemakaiankata di mana yang lain yang tidak begitu mudah diidentifikasikan sehubungandengan banyaknya kesalahan-kesalahan lain yang ada di dalam kalimat ber-sangkutan. Ada kata di mana yang sejajar dengan preposisi di dan sebagai,dan ada pula di mana yang kehadirannya bersifat opsional. Untuk ini dapat di-perhatikan (54) s.d. (56) berikut:

(54) Pertanian merupakan suatu usaha manusia dalam bercocoktanam di mana objeknya merupakan sebuah lahan kosong.

(55) Orang awam biasa menyebut hutan di mana ada kumpulanpohon-pohon yang cukup luas dan lebat tumbuh dan ber-kembang di areal yang cukup luas.

(56) Yang dimaksud dengan teknologi pertanian yang ramahlingkungan adalah di mana teknologi pertanian dilakukan olehsetiap manusia dengan sarana dan prasarana yang ada.

Di mana dalam (54) sejajar dengan di dan dalam (55) sejajar dengan sebagai.Sementara itu, di mana dalam (56) tidak memiliki imbangan apa-apa ataudapat dilesapkan. Dengan demikian ketiga kalimat terakhir di atas dapat di-perbaiki seperti (57), (58), dan (59) berikut ini:

(57) Pertanian merupakan suatu usaha manusia dalam bercocoktanam di sebuah lahan kosong.

(58) Orang awam biasa menyebut hutan sebagai kumpulan pohon-pohon yang cukup luas dan lebat yang tumbuh dan berkembangdi areal yang cukup luas.

(59) Yang dimaksud dengan teknologi pertanian yang ramahlingkungan adalah teknologi pertanian yang dilakukan olehsetiap manusia dengan sarana dan prasarana yang ada.

6 CATATAN PENUTUP

Suatu masyarakat bagaimana pun terisolirnya akan selalu berhubungan denganmasyarakat yang lain. Negara Indonesia sebagai negara yang sedang ber-kembang juga tidak dapat terhindar dari kebutuhan untuk berhubungan dengannegara lain dalam upaya mengembangkan dan menyetarakan kemampuan diri-nya dengan bangsa-bangsa lain, terutama dengan negara-negara yang notabenememiliki keunggulan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanyasaja, dalam persoalan pengaruh-mempengaruhi ini, masyarakat atau kelompokyang secara sosial, politik, dan ekonomi lebih kuat cenderung akan memberi-kan pengaruh yang luar biasa besarnya, dan pengaruh itu biasanya dipandangpositif oleh masyarakat penerimanya (Foley, 1997, 384). Sebaliknya pengaruhdari bahasa yang terdominasi tidak begitu besar, atau boleh dikatakan tidakada. Dalam upaya pembentukan jati diri bangsa, pengaruh atau ketergantunganini harus ditekan seminimal mungkin dengan berbagai kebijakan atau rekayasabahasa sehingga pengaruh itu hanya sebatas pada aspek-spek bahasa yangbenar-benar dibutuhkan. Untuk kepentingan inilah kebanggaan linguistik dan

83

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No., Februari 2007

kesadaran akan norma kebahasaan bahasa nasional memegang peranan yangsangat penting. Dengan demikian, kajian-kajian yang bersifat preskriptif harusselalu dikembangkan selaras dengan kajian-kajian yang bersifat deskriptif.

DAFTER PUSTAKA

Foley, A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford:Blackwell.

Kridalaksana, H. 1993. Kamus Linguistik. Edisi ke-3. Jakarta: GramediaPustaka Utama.

Moeliono, A. M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: AncanganAlternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan

Ramlan, M., I D. P. Wijana, Y. T. Mastoyo, dan Sunarso, 1997, BahasaIndonesia yang Salah dan yang Benar. Yogyakarta: Andi Offset.

Ramlan, M. 1983. Sintaksis. Yogyakarta: UB Karyono.Ramlan, M. 1993. Paragraf: Alur Pikiran dan Kepaduannya dalam bahasa

Indonesia. Yogyakarta: Andi.Sugono, D. 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Pusat Bahasa.Verschueren, J. 1999, Understanding Pragmatics. London: Arnold.Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.Wardhaugh, R. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil

Blackwell.Weinreich, U. 1970. Languages in Contact: Findings and Problem. Paris:

Mouton-The Hague.Wijana, I D. P. 1981. Kalimat Tanya dalam bahasa Indonesia. Tesis Sarjana

Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM Yogyakarta.

85

FUNGSI DAN BATAS KESEMENAAN URUTAN KATABAHASA RUSIA DALAM KAJIAN PERSPEKTIF

KALIMAT FUNGSIONAL

Mohd. Nasir LatiefUniversitas Indonesia

AbstractIn this paper it is shown that grammatical functions cannot fully explainapparent free word order in Russian. By applying the perspectives fromthe Prague School of Functional Linguistics, the paper attempts todescribe this inadequacy. Using this theory, it is demonstrated that anychange of the word order in sentences in Russian has its owncommunicative function.

PENDAHULUAN

Urutan kata di dalam bahasa Rusia sering disalahtafsirkan dengan kesemenaan(arbitrariness) (Bivon 1971). Anggapan ini bertolak dari kenyataan, bahwaurutan kata di dalam struktur kalimat bahasa Rusia memiliki sifat yang plastis.Bentuk flektif dari setiap komponennya mampu menjamin tetap terjaganyakegramatikalan konstruksi meskipun urutan kata tersebut dipermutasikan,seperti terlihat dalam contoh berikut.

(1a) Anton itaet kniguAnton membaca buku'Anton membaca buku.'

(1b) itaet Anton knigumembaca Anton buku'Anton membaca buku.'

(1c) Knigu itaet Antonbuku membaca Anton'Anton membaca buku.'

Dari sisi sintaksis, perubahan urutan kata pada contoh di atas sama sekali tidakberpengaruh pada kegramatikalan konstruksi tersebut yang terpelihara olehadanya bentuk flektif dari setiap komponennya. Tetapi jika dilihat dari tujuankomunikasi yang dibawakan oleh pembicara atau penulis, perubahan urutankata pada contoh di atas mampu menyatakan perubahan tujuan komunikasi.Contoh (1a) menyatakan tindakan Anton, itaet knigu, contoh (1b) menyatakanobjek yang dibaca Anton, knigu, sedangkan contoh (1c) menyatakan siapayang membaca buku, Anton.

Sebagai alat komunikasi, bahasa tidak terlepas dari maksud yang akandisampaikan oleh si pembicara atau penulis. Bahasa yang secara sistematik

86

Mohd. Nasir Latief

terstruktur melalui aturan-aturannya difungsikan sebagai alat untuk memenuhikebutuhan komunikasi (Firbas 1992).

Bertolak dari latar belakang tersebut di atas, makalah ini akan mencobamenganalisis fungsi dan batas kesemenaan urutan kata bahasa Rusia yangsecara sistemis terstruktur oleh kaidahnya di dalam sistem kebahasaannya,yaitu di dalam manifestasinya sebagai alat komunikasi. Makalah ini merupakanhasil penelitian terhadap komunitas penutur asli bahasa Rusia di Jakarta.

Kajian urutan kata Bahasa Rusia dari sudut pandang fungsionalpertama kali ditulis oleh I.P. Raspopov dalam bukunya Aktual’noe leneniePredloženija (Perspektif Kalimat Fungsional) pada tahun 1961. Perihal urutankata tidak ditelaah mendalam, hanya disinggung sebagai perbandingan antaraanalisis fomal dengan analis fungsional. Pada tahun 1967 Porjadok Slov vRusskom Jazyke (Urutan kata dalam Bahasa Rusia) karya O.A. Krylova danS.A. Xavronina (direvisi tahun 1984) membahas aturan urutan kata padatuturan emotif dan non emotif. Penekanan pada buku ini lebih bersifat edukatifdan mendasarkan pada karya-karya satra yang notabene adalah cerminanbahasa Rusia yang mewakili komunitas bahasanya. Eksplorasi terhadapkemampuan urutan kata itu sendiri (yang akan saya kemukakan dalam makalahini) tidak terbahas. Kepustakaan lain yang merinci dan menempatkanpermutasi urutan kata sebagai pokok bahasan dilakukan oleh Song (2001),hanya saja dari perspektif tipologi bahasa.

1 METODE

Penelitian ini menggunakan sudut pandang strukturalisme fungsional menurutpengertian Aliran Praha yang melihat bahasa sebagai sistem perangkat maknayang sarat ekspresi. Tuturan adalah perwujudan dari sistem bahasa itu sendiridan yang langsung dapat diobservasi (Mathesius 1961). Di dalam komunikasi,alat-alat leksikal dan gramatikal bahasa tidak bebas berdiri sendiri, tetapi salingterikat dan menjalankan fungsi-fungsi tertentu yang ditentukan oleh pemakaibahasa pada saat dituturkan. Dalam kaitannya dengan persyaratan konsituasi,yaitu persyaratan konteks dan situasi, unit-unit leksikal tersebut mendapatkanmakna-makna tertentu; sedangkan kalimat yang secara gramatikal terdiri atassubjek dan predikat, dibagi menjadi tema dan rema. Fungsi-fungsi tersebutselanjutnya membentuk suatu pola tersusun yang memperlihatkan suatuorganisasi kontekstual (contextual organization). Model telaah yang diajukanoleh Mathesius ini selanjutnya dikenal sebagai Analisis Fungsional Tuturan,atau lebih populer dengan istilah Perspektif Kalimat Fungsional (PKF). Karenaitu, bahasa kemudian diartikan sebagai sistem alat pengungkapan yangberorientasi pada tujuan. Untuk mengenali sistem tersebut hanya akan dapatdicapai me-lalui tuturan-tuturan tertentu yang dihasilkan oleh anggotakomunitas bahasa.

Belošapkova (1970) mengkaitkan perilaku sistem tuturan dengan aspekdinamis sintaksis (dinami eskij aspect sintaksisa). Aspek dinamis sintaksismelihat kalimat sebagai tuturan, yaitu sebagai satuan komunikasi yangmemiliki karakter intonasi dan (jika terdiri dari beberapa elemen kata) urutan

87

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

kata. Satuan tuturan tersebut kemudian dihubung-kan dengan konsituasituturan yang membatasi dan menentukan bagian yang diaktualisasi. Barangkaliakan lebih jelas jika kita melihat diagram yang diajukan oleh Mathesius (1961)yang menggambarkan tingkatan yang muncul di dalam realisasi tuturankomunikatif.

isi (amanat) pikirankeinginan menyatakan dengan bahasa

encoding (penyandian)keinginan menyatakan dengan

tulisan ujarantuturan tulis tuturan lisan

tuturan baca tuturan dengar

decoding (pengawasandian) pemahaman isi (amanat)

Pada diagram di atas, tahapan penyandian dan awasandi merupakan hal ter-penting yang perlu dicermati. Pada penyandian isi pikiran diperlukan dua ta-hapan. Pertama, kita menyeleksi elemen-elemen yang sesuai dengan keinginankita dan yang dapat diklasifikasikan oleh bahasa. Kedua, elemen-elementersebut kemudian disusun berdasarkan pada kaidah sintaksis, yang selanjutnyamembentuk struktur kalimat. Sebagai contoh, diandaikan ada kenyataan (fakta)seseorang sedang menulis di papan tulis. Untuk mengu-tarakan fakta tersebutdiperlukan seleksi elemen-elemen yang berdasarkan pada kaidah sintaksis.Dengan demikian jika pengutaraan maksud tersebut, misalnya dalam bahasaRusia, elemen-elemen yang didapat dan memungkinkan antara lain, u itel'guru', pisat 'menulis', dan doska 'papan tulis' dan tentunya dengan perangkatkaidah bahasa Rusia. Tahapan berikutnya, setelah elemen-elemen tersebutdiseleksi, elemen-elemen tersebut dioperasikan di dalam proses formasikalimat berdasarkan model abstrak yang definit, yaitu kaidah dari bahasa yangdiinginkan, dalam hal ini kaidah bahasa Rusia. Dari proses tersebut didapatsebuah tuturan: U itel’ pišet na doske 'Guru sedang menulis di papan tulis'.

Dari contoh di atas nampak, bahwa di dalam proses formasi kalimatterdapat aspek dinamis sintaksis, yaitu di dalam proses hubungan timbal balikelemen-elemen tersebut dalam rangka pencapaiannya menjadi bentuk tuturanaktual. Pada proses tersebut hubungan timbal balik itu tidak lagi meluluditentukan oleh kaidah leksiko-gramatikal dan persepsi linear tuturan (sepertiurutan kata gramatikal), tetapi sekaligus ditentukan oleh amanat luar bahasa,yaitu oleh konsituasi dan oleh sikap si pembicara terhadap amanat tersebut,serta sikapnya terhadap kawan bicaranya (Daneš 1966).

Dengan demikian ranah organisasi tuturan meliputi seluruh aspek yangberkaitan dengan proses tuturan. Di dalam sistem organisasi tuturan tersebutmemungkinkan kita untuk memahami fungsi semantik dan gramatikal di dalamkomunikasi nyata, yaitu pada saat struktur-struktur tersebut diperintahkan

88

Mohd. Nasir Latief

untuk menyampaikan beberapa realitas luar bahasa yang direfleksikan olehpikiran dan pada saat struktur-struktur tersebut dimunculkan di dalam perspek-tif yang memadai (Firbas 1962, dikutip dari Daneš 1966).

2.1 Tema dan Rema

Dari sudut pandang Perspektif Kalimat Fungsional (PKF), kalimat diartikansebagai tuturan komunikatif elementer yang dipergunakan oleh pembicara ataupenulis bereaksi terhadap kenyataan, baik konkret maupun abstrak, yangditampilkan dalam pola kalimat dari bahasa yang diinginkan dan yang secarasubjektif, yaitu dari sisi pandang pembicara atau penulis, dianggap lengkap(Mathesius 1929). Untuk hal tersebut, setiap kalimat dibagi menjadi duabagian. Bagian pertama, yaitu bagian tuturan yang membawa informasi barudan berisi tentang apa yang ditegaskan oleh kalimat, disebut dengan rematuturan, atau menurut istilah sebelumnya dikenal sebagai predikat psikologisuntuk membeda-kannya dengan predikat gramatikal. Bagian kedua dari kalimatitu berisi pokok tuturan yang disebut tema, atau subjek psikologis menurutistilah lama.Tema tuturan merujuk pada kenyataan atau fakta-fakta yang sudahdiketahui dari konteks sebelumnya, atau pada fakta-fakta yang kebenarannyadianggap benar, sehingga tidak menambah informasi yang diberikan olehkalimat tersebut dan dijadikan titik tolak pembicara atau penulis (Mathesius1961). Misalnya,

(2) Ja itaju kniguS P KSaya – sedang membaca – bukuS P K

Kalimat tersebut memiliki struktur leksiko-gramatikal tetap. S (subjek) diisioleh pronomina ja 'saya' berkasus nominatif. P (predikator) diisi oleh verbaberkala kini dan menyatakan orang pertama tunggal itaju 'sedang membaca'.K (komplemen) diisi oleh nomina berkasus akusatif dan berjenis kelaminfeminin knigu 'buku'.

Berdasarkan pada keperluan pengungkapan pembicara atau penulis,struktur itu difungsikan berdasarkan pada pembagian tema – rema. Misalnya,tujuan tuturan tersebut ingin mengungkapkan tindakan yang sedang dilakukan,maka struktur kalimat tersebut difungsikan menjadi (2a).

(2a) Ja itaju knigu S P K

T R‘Saya sedang membaca buku.’

Pada kondisi ini, terjadi persamaan antara subjek gramatikal dengan tematuturan, dan predikat gramatikal, yaitu predikator dan komplemen, dengan

89

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

rema tuturan. Namun jika tujuan tuturan ingin mengungkapkan objek daritindakannya, maka struktur tersebut difungsikan menjadi (2b).

(2b) Ja itaju knigu S P K

T R‘Saya sedang membaca buku.’

Tema-rema tidak lagi bertepatan dengan subjek-predikat. Subjek bersamadengan predikator difungsikan sebagai tema, dan komplemen sebagai rematuturan. Dari sudut PKF fungsi formal difungsikan sebagai penjamin kegra-matikalan pengungkapan pembicara atau penulis terhadap realitas luar bahasa,yaitu, melalui kalimat dari bahasa yang diinginkan, sedangkan fungsi fung-sional bertugas menyesuaikan fungsi-fungsi formal tersebut untuk keperluansesaat, yaitu, keperluan di dalam menyampaikan reaksi terhadap realitas luarbahasa. Dengan demikian, hubungan tema-rema dengan subjek-predikatmenjadi jelas. Tema tidak harus selalu sama dengan subjek gramatikal,demikian halnya antara rema dengan predikat gramatikal. Kedua-nya, menurutkonsep yang diajukan Daneš (1966:225-240), memiliki tingkatan yang berbedadi dalam sintaksis. Subjek-predikat berada pada tingkat struktur gramatikalkalimat, sedangkan Tema-rema berada pada tingkat organisasi tuturan. Padatingkat organisasi tuturan inilah fungsi struktur-struktur leksiko-gramatikaldapat dipahami di dalam komunikasi nyata. Dengan kata lain, melalui tuturanyang dihasilkan tersebut struktur-struktur leksiko-gramatikal yang memilikisifat tetap tersebut difungsikan untuk keperluan pengungkapan pembicara ataupenulis.

2.2 Fungsi Urutan Kata

Urutan kata merupakan faktor pokok dari struktur organisasi kalimat. Pengaruhfaktor tersebut tidak hanya berhenti pada ikatan dan hubungan gramatikalkomponen-komponen bentuk verbalnya, tetapi meluas ke hubungan timbal-balik antar komponen-komponen tersebut yang mampu membuka tabir per-spektif di dalam proses tuturan yang disampaikan (Raspopov 1984).

Atas dasar faktor-faktor tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa untukmengetahui fungsi urutan kata secara lengkap harus sekaligus memperhatikanikatan dan hubungan komponen-komponen tersebut baik sebagai bagian gra-matikal maupun sebagai bagian fungsional.

Menurut Raspopov (1984), terdapat tiga fungsi dasar urutan kata didalam bahasa Rusia:

(a) Sebagai penunjuk hirarki ikatan dan hubungan gramatikalkomponen-komponen kalimat dalam bentuk verbal, disebut FungsiSintaksis Konstruktif.

(b) Sebagai penunjuk perspektif kalimat komunikatif, disebut FungsiSintaksis Komunikatif atau Fungsi Perspektif Kalimat Fungsional.

90

Mohd. Nasir Latief

(c) Bersama dengan intonasi di dalam interrelasi tertentu dapatdigunakan sebagai alat pembentukan variasi stilistik yang beragamdari setiap jenis sintaksis komunikatif, disebut Fungsi Stilistik.

2.3 Pengertian Struktur Dinamis

Setiap struktur yang dihasilkan di dalam aspek dinamis sintaksis yang secarainheren memiliki tempat tekanan frasa dan urutan kata yang memadai disebutdengan struktur dinamis. Adamec (1966) menjelaskan bahwa struktur dinamismenampilkan dirinya sebagai generalisasi dari seluruh jajaran kalimat konkretyang selain memiliki konstruksi dari bagian-bagian sintaksisnya, juga urutankata dan tempat tekanan frasa yang memadai. Struktur dinamis ini kemudianmenjadi dasar pembentukan tipe-tipe PKF, yaitu tipe tuturan yang dibedakanberdasarkan atas pembagian 4 tipe informasi tuturan (Adamec 1966:26), yaitu(1) kalimat informatif lengkap (obš e-informativnoe predloženie), (2) kalimatinformatif tak-lengkap ( asno-informativnoe predloženie), (3) kalimat veri-fikatif lengkap (obš e-verifikativnoe predloženie), dan (4) kalimat verifikatiftaklengkap ( astno-verifikativnoe predloženie). Untuk memprediksi konsituasiatas keempat tipe tersebut saya mengadopsi klasifikasi pertanyaan yang di-ajukan Ch. Bally (dikutip dari Kovtunova 1976) yang membedakan 4 tipedasar pertanyaan di dalam tuturan, yaitu, (1) pertanyaan diktal lengkap (polnyjdiktal’nyj vopros), (2) pertanyaan diktal tak-lengkap ( astnyj diktal’nyjvopros), (3) pertanyaan modal lengkap (pol’nyj modal’nyj vopros), dan (4)pertanyaan modal tak-lengkap ( astnyj modal’nyj vopros). Jawaban darikeempat tipe pertanyaan tersebut adalah empat tipe tuturan di atas. Kalimatinformatif lengkap merupakan jawaban dari pertanyaan diktal lengkap, dan se-terusnya. Dengan demikian dari setiap struktur dinamis secara teoritis akandihasilkan 4 kemungkinan tipe PKF. Selanjutnya sistematisasi analisis akandiawali dengan mengelompokkan struktur dinamis yang didasarkan pada jum-lah komponen yang membentuknya. Pada permutasi struktur dinamis ini, per-mutasi hanya dilakukakan pada urutan kata, sedangkan tempat tekanan frasatidak dipermutasikan. Tekanan frasa selalu diletakkan pada posisi akhir denganasumsi bahwa tuturan tersebut terbebas dari muatan stilistika Dengan demi-kian, urutan tema – rema pada struktur dinamis dalam analisis ini adalah urutanobjektif, yaitu, tema ditempatkan di depan rema, sedangkan urutan subjektifyang bermuatan stilistika (tuturan emotif) tidak akan dibahas di dalam makalahini.

2.4 Permutasi

Telah disebutkan, bahwa secara konstruktif komponen-komponen kalimat didalam bahasa Rusia memiliki kebebasan di dalam penataannya. Perubahanurutan komponen-komponen di dalam suatu struktur yang sama, menurut isti-lah di dalam matematika disebut dengan permutasi (Behnke 1983:169):

n! = (n.n-1.n-2. … .1)

91

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

keterangan notasi“n!” = permutasi; “n” = jumlah komponen di dalam struktur“·” = perkalian; “- “ = pengurangan

dibaca: permutasi (n!) merupakan jumlah perkalian dari jumlah komponen didalam struktur (n) dikalikan hasil dari jumlah komponen di dalam strukturdikurangi satu (n-1) dikalikan hasil dari jumlah komponen di dalam strukturdikurangi dua (n-2) dan seterusnya dikalikan dengan hasil dari penguranganjumlah komponen di dalam struktur hingga jumlah pengurangan mencapaihasil satu ( … .1).

Dari 6 struktur dinamis berkomponen 3 tersebut berdasarkan tipe informasikalimat akan dihasilkan 24 struktur tipe PKF objektif. Dan jika letak tekananfrasa ikut dipermutasikan, yaitu kemungkinan dipindahkan ke tengah kon-struksi atau awal konstruksi, maka akan didapatkan tambahan 48 struktur tipePKF yang bersifat subjektif.

3 BAHASAN

Hasil dari data yang diperoleh, ternyata tidak semua dari setiap struktur dina-mis menghasilkan tipe-tipe PKF yang mampu direalisasikan. Hal ini dise-babkan selain oleh adanya batasan analisis yang menempatkan urutan katasebagai faktor utama tuturan dan tekanan frasa sebagai faktor penunjang, jugaoleh ambang batas logis bahasa yang membuat tipe-tipe tersebut tidak ber-kemungkinan untuk direalisasikan, meskipun secara teoritis struktur tersebutdapat dipermutasikan. Dari struktur dinamis berkomponen dua, yaitu, S dan P,hanya 5 tipe PKF yang mampu direalisasikan dari 8 kemungkinan permutasi,sebagaimana yang terdapat pada diagram berikut:

Struktur Dinamis

tipe informasi kalimatIL ITL VL VTL

S – P^ 1 + 2 º 3 ++ 4 ºP – S^ 5 + 6 + 7 º 8 ++

Keterangan notasi:

Bilangan 1, 2, 3, … menyatakan urutan penomoran tipe PKF; “IL” untukInformatif Lengkap; “ITL” untuk Informatif Tak-Lengkap; “VL” untuk Veri-fikatif Lengkap; dan “VTL” untuk Verifikatif Tak-Lengkap; “^” menyatakantempat tekanan frasa; “+” menyatakan tipe PKF dapat direalisasikan; “º”menyatakan tipe PKF tidak dapat direalisasikan; “++” menyatakan tipe PKFdapat direalisasikan dengan tekanan frasa kontrastif.

Berdasarkan pembagian tema-remanya, pada struktur berkomponen duatersebut tampak bahwa komponen yang mengisi gatra tema-rema tidak selalu

92

Mohd. Nasir Latief

berpadanan dengan pembagian formalnya, yaitu, pembagian S – P, sebagai-mana yang terlihat pada diagram berikut:

Struktur dinamis S – P^ P – S^Tipe kalimat tema rema tema rema

IL S P^ º (P – S^)ITL º º P S^

VL S P^ º ºVTL º º P S^

Pada diagram di atas tampak bahwa fungsi formal, yaitu, pembagian S dan Pdifungsikan berdasarkan tujuan komunikasi yang ingin disampaikan olehpembicara atau penulis, yaitu, berdasarkan pembagian tema-remanya. Pemba-gian S dan P berserta perangkat gramatikalnya hanya dipakai sebagai jaminanbahwa konstruksi tersebut sesuai dengan kaidah yang berlaku.

Pada struktur dinamis berkomponen tiga hanya 16 tipe PKF dari 24tipe PKF yang terealisasikan. 7 tipe PKF merupakan varian dari tipe PKFlainnya, sebagaimana yang terdapat pada diagram berikut:

Struktur Tipe informasi kalimatDinamis IL ITL VL VTLS – P – K^ 1+ 2+ 3º 4++S – K – P^ 5+ 6º 7++ 8ºK – S – P^ 9+ 5 10º 11++ 7 12º

K – P – S^ 13+ 14+ 15º 16++P – S – K^ 17+ 18+ 2 19º 20++

4P – K – S^ 21+ 17 22+ 14 23º 24++

16

keterangan notasi:

“^” menyatakan tempat tekanan frasa; “+” menyatakan tipe PKF dapatdirealisasikan; “¯” menyatakan tipe PKF tidak dapat direalisasikan; “++”menyatakan tipe PKF dapat direalisasikan dengan tekanan frasa kontrastif; dan“ ” menyatakan varian dari.

Berdasarkan pembagian tema-rema, komponen S, P dan K dikelompokkanseeperti terlihat di halaman berikut.

Dari kedua diagram di atas, dibaca sebagai berikut: PKF 1 adalahtuturan informatif lengkap dengan urutan S – P – K di mana tema diisi olehkomponen S dan rema diisi oleh komponen P dan K, demikian seterusnyahingga PKF 24.

93

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

St.dinamis

t.kalimat

S – P – K S – K – P K – S – P K – P – S P – S – K P – K - S

tema rema tema rema tema rema tema rema tema rema tema rema

IL S PK SK P KS P K PS º PSK º PKS

ITL SP K º º º º KP S PS K PK S

VL º º SK P KS P º º º º º º

VTL SP K º º º º KP S PS K PK S

Dari hasil data yang diperoleh, varian PKF yang terdapat padakonstruksi berkomponen 3 adalah:

PKF 9 ({K – S} – P) PKF 5 ({S – K} – P)

PKF 11 ({K – S} – P) PKF 7 ({S – K} – P)

PKF 18 ({P – S} – K) PKF 2 ({S – P} – K)

PKF 20 ({P – S} – K) PKF 4 ({S – P} – K)

PKF 21 ({P – K – S}) PKF 17 ({P – S – K})

PKF 22 ({P – K} – S) PKF 14 ({K – P} – S)

PKF 24 ({P – K} – S) PKF 16 ({K – P} – S)

Jika kita memperhatikan pada kontrastif tidaknya tekanan frasa pada setiap tipePKF objektif di atas, terlihat bahwa setiap tipe PKF yang berciri verifikatifmemiliki tekanan frasa kontrastif, sedangkan yang berciri informatif tekananfrasa tidak kontrastif. Hal ini dapat disimpulkan, bahwa intonasi tuturan bagipenutur asli bahasa Rusia, khususnya intonasi yang membedakan tuturan ber-ciri informatif dan verifikatif, bukan lagi dianggap suatu permasalahan, tetapisuatu hal yang sudah seharusnya demikian. Karena itu, sebagaimana Svedova(1970), Krylova (1984), Kovtunova (1974; 1976), dan Raspopov (1961; 1984)menyebutnya sebagai intonasi otomatis (avtomati eskaja intonacija) atausebagai intonasi logik (logi naja intonacija).

4 KESIMPULAN

Bertolak dari keseluruhan pembahasan dalam makalah ini, dapat ditarikkesimpulan dan beberapa catatan yang perlu disampaikan:

a. Sebagai salah satu alat untuk menyatakan hubungan sintaksis, dalam artiankonstruktif verbal, fungsi urutan kata mampu menutupi kekurangan pe-nunjuk flektif yang tidak mencukupi dalam menyatakan ikatan dan hu-bungan gramatikal komponen-komponen di dalam struktur bahasa Rusia.Di samping itu urutan kata berperan sebagai pembeda hirarki antar kom-ponen di dalam struktur konstruktif verbal bahasa Rusia.

b. Dengan mendasarkan telaah bahasa pada PKF, fungsi urutan kata men-dapat proporsi yang sebenarnya. Urutan kata mampu menampilkanfungsinya sampai batas maksimal (ambang batas logis bahasa) dalammemenuhi kebutuhan komunikasi. Adanya beberapa tipe PKF yang tidak

94

Mohd. Nasir Latief

dapat direalisasikan justru membuktikan adanya batas kesemenaan urutankata dalam bahasa Rusia. Pada kondisi tersebut peran utama urutan kataakan segera diambil alih oleh tekanan frasa (yang pada kondisi tertentujuga tidak dapat direalisasikan) untuk menutupi ketidak-mampuan urutankata dalam merealisasikan beberapa tipe PKF tersebut. Fungsi urutan katapada kondisi ini tidak lagi berperan sebagai pembeda tema – rema, tetapihanya menunjukkan hirarki atau tingkat gradasi di dalam tubuh tema ataurema.

c. Dalam hubungannya dengan butir (2) urutan kata mampu berperan sebagaiinspirator komponen-komponen dalam strukturnya. Dalam artian, sebagaialat untuk mewujudkan tipe-tipe kalimat tuturan, urutan kata memegangperanan penting dalam menggiring komponen-komponen tersebut masukke dalam kelompok tema atau rema. Hal ini membawa pengaruh besarterhadap makna leksiko-gramatikal komponen-komponen tersebut.

d. Pada hakekatnya, bahasa yang oleh para Fungsionalis dilihat sebagai sebu-ah sistem perangkat makna yang sarat ekspresi (Vachek 1983:77), harusbenar-benar dipahami, bahwa proses penyandian — awasandi yang diaju-kan Mathesius menempatkan kaidah bahasa sebagai suatu inata yangsecara alamiah melekat pada diri setiap anggota komunitas bahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Adamec, Pržemyls. 1966. Porjadok Slov V Sovremennom RusskomJazyke. Praha: Academia Nakladatelstvi eskoslovenské AkademieVed.

_____. 1974. “Aktual’noe lenenije, Glubinye Struktury Perifrazy” Didalam Daneš, ed. 1974:189-195.

_____. 1981. “Theme – Rheme Structure of Polyprepositi- onal SimpleSentences in Present-day Russian”. Di dalam Folia Linguistica XV/3– 4:223-256.

Akademi Nauk, SSSR. 1980. Russkaja Grammatika Tom II. Moskva:Izdatel’stvo Nauka.

Apresjan, Ju.D. 1964. “O Sil’nom Slabom Upravlenii”. Di dalamVoprosy Jazykoznanija XIII/3. Moskva: Izdatel’stvo Nauka.

_____. 1967. Eksperimental’noe Issledovanie Semantiki RusskogoJazyka. Moskva: Nauka.

_____. 1974. Leksi eskaja Semantika. Moskva: Nauka.Bakhtin, Mikhail, 1934. “Discourse in the Novel”. Di dalam Holquist, ed.

1981: 259-295.Barentsent, A.A., Jansen, A. Voogd. 1976. Russische Grammatica: Ten

Gebruike bij een Inleiding in de Russische Taal. Universiteit VanAmsterdam.

95

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

Barxudorova, A.M. Ed. 1980. Metodika Prepodavanija Russkogo JazykaInastrancam. Moskva:MGU

Behnke, H.F. Bachmann. 1983. Fundamentals of Mathematics. Vol 1.trans. Cambridge: The MIT Press.

Belošapkova, B.A. 1970. Složnoe Predloženie v Sovremennom RusskomJazyke. Moska: Nauka.

Bivon, R. 1971. Element Order: Studies in The Modern Russian Language.Cambridge: Cambridge University Press.

Daneš, F. ed. 1974. Papers on Functional Sentence Perspective. The Hague:Mouton.

Daneš, F. 1966. “A Three-Level Approach to Syntax.” Di dalam Travauxlinguistiques de Prague. Praha: Academia.

_____. 1974. “Some Aspect of the Czechoslovak Approach to problems offunctional sentence perspective”. Di dalam Daneš, ed. 1974:11-37

Dorofeeva, T.M. 1986. Sintaksi eskaja So etaemost’ Russkogo Glagola.Moskva: Russkij Jazyk.

Firbas, Jan. 1962. “Notes on the Function of the Sentence in the Act ofCommunication.” Di dalam SPFFBU A10:134-148.

_____. 1974. “Some Aspect of The Czechoslovak Approach to Problems OfFunctional Sentence Perspective.” Di dalam Daneš. ed. 1974:11-37.

_____. 1992. Functional Sentence Perspective in Written and spokenCommunication. Cambridge: Cambridge University Press.

Givón, T. 1984. Syntax: A Fuctional — Typological Introduction. Vol 1.Amsterdam: John Benjamin Publishing.

Halim, Amran. 1974. Intonation in Relation to Syntax in Bahasa Indonesia.Jakarta: Djambatan.

Halliday, M.A.K. 1961. “Categories of the theory of grammar”. Di dalamKress, ed. 1976:52-72.

_____. 1970. “Intonation and meaning”. Di dalam Kress, ed. 1976:215-234._____. 1974. “The Place of FSP in Linguistic Description.” Di dalam. Daneš.

Ed. 1974:43-53.Holden, K.T.dan M. Krupp. 1987. “Word Order in Russian Transitive

Sentences.” dalam Folia Slavica. Vol. 8 no. 2 – 3:254-271.Holquist, Michael. 1981. The Dialogic Imagination: Four Essays. Austin:

University of Texas Press.Kovtunova, I.I. 1969. Porjadok Slov v Russkom Literaturnom Jazyke XVIII

– pervoj treti XIX V. Moskva: Izdatel’stvo “Nauka”._____. 1974. “Aktual’noe lenenie Sistema Jazyka (na materiale russkogo

jazyka).” Di dalam Daneš, ed. 1974:142-151._____. 1976. Sovremennyj Russkij Jazyk: Porjadok Slov Aktual’noe lenenie

Predloženija. Moskva: Prosveš enie.Kress, G.R. 1976. Halliday: System and Function in Language. London:

Oxford University Press.Krylova, O.A. dan S.A. Xavronina. 1984. Porjadok Slov v Russkom Jazyke.

2nd ed. Moskva: Russkij Jazyk.

96

Mohd. Nasir Latief

Mathesius, Vilém. 1911. On the Potentiality of the Phenomena of Language”.Di dalam Vachek. Ed. 1983: 3-42.

_____. 1927. “New Currents and Tendencies in Linguistic Research”. Didalam Vachek, ed. 1983: 45-63.

_____. 1929. “Functional Linguistics.” Di dalam Vachek, ed. 1983:121-139._____. 1961. A Functional Analysis of Present Day English On a General

Linguistic Basis. ed. Josef Vachek, terj. Libusé Duškova. 1975.Mouton, The Hague Paris: Academia Publishing House of theCzechoslovak Academy of Sciences Prague.

Parret, Herman. 1974. Discussing Language. The Hague: Mouton.Raspopov, I.P. 1961. Aktual’noe lenenie Predloženija. Ufa.Raspopov, I.P. dan A.M. Lomov, 1984. Osnovy Russkogo Grammatiki:

Morfologija I Sintaksis. Voronež.Rassudova, O.P. 1967. “Vidy v Sisteme Russkogo Glagola Metodi Metodika

Raboty nad Vidami Glagola.” Di dalam Barxudorova. ed. 1980: 95-115.

Reformatskij, A.A. 1967. Vvedenie v Jazykoznanie. Moskva: Izdatel’stvoNauka.

Song, Jae Jung. 2001. Linguistic Tipology: Morphology and Syntax.Longman: London.

Svedova, N.Ju. 1964. “Determinirujuš ii ob”ekt determinirujuš eeobstojatel’stvo kak Samostojatel’nye Rasprostraniteli Predlože-nija.”Di dalam Voprosy Jazykoznanija XIII no. 6. Moskva: Izdatel’stvoNauka.

_____. 1970. Grammatika Sovremennogo Russkogo Literatur-nogo Jazyka.Moskva: Nauka.

Vachek, Josef. 1966. The Linguistic Shool of Prague. Bloomington: IndianaUniversity Press.

Vachek, Josef dan Libusé Duškova. Ed. 1983. Praguiana: Some Basic andLess Known Aspects of the Prague Linguistic Shool. (vol. 12LLSE) Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins PublishingCompany.

Voloshinov, Valentin. 1929/1973. Marxism and the Philosophy of Language.Seminar Press.

Zolotova, G.A. 1980. Komunikativnye Aspekty Russkogo Sintaksisa. Moskva:Nauka.

97

PERAN STEREOTIPE DALAM KOMUNIKASILINTAS BUDAYA: KASUS INDONESIA-JERMAN

Setiawati DarmojuwonoUniversitas Indonesia

Abstract

The ability to communicate interculturally refers to someone's abilityto exchange information efficiently and effectively with other peoplewho have different cultural backgrounds. In pragmatic studies, non-linguistic elements and culture have so often been taken for grantedthat they have not received a proper analysis. The present paperfocuses more on the speakers' and their interlocultors' culture thatforms a stereotype and influences the communication scheme. It willbe argued that being sensitive to one's own culture and one'sinterlocutor's culture is an important factor in determining whether ornot communication is successful. This is illustrated by two differentgroups of native speakers, namely, Indonesian and German, whoexperienced communication barriers because of different culturalbackgrounds.

PENDAHULUAN

Awal abad XXI ditandai dengan kemajuan pesat di bidang teknologi komu-nikasi yang ikut mempercepat proses globalisasi di banyak negara. Jaringankomunikasi yang semakin luas memungkinkan keterlibatan penutur yang ber-latar belakang budaya berbeda. Di bidang linguistik dan komunikasi keadaanini memunculkan gagasan-gagasan baru sebagai hasil kajian komunikasiantarbudaya.

Istilah “intercultural communication” dalam bahasa Indonesia di-padankan dengan komunikasi antarbudaya atau komunikasi lintas budaya.Saya menggunakan istilah komunikasi antarbudaya, sebab saya berpendapatistilah ini lebih tepat, karena dalam komunikasi antar penutur yang berbedalatar belakang budayanya pola komunikasi yang terbentuk merupakan satu polabaru sebagai sinergi pola komunikasi penutur dan mitra tutur.

Menurut Rogers dan Steinfatt (1999), kemampuan berkomunikasi an-tarbudaya merupakan kemampuan seseorang untuk bertukar informasi secaraefektif dan tepat dengan orang yang berlatar belakang budaya berbeda. Berlatarbelakang budaya berbeda berarti memiliki lingkup kehidupan yang tidak sama.

Lingkup kehidupan mencakup pandangan hidup, agama, etika, normahukum, teknologi, sistem pendidikan dan hasil kebudayaan yang bersifatmateri maupun non materi (Bolten 2001). Proses sosialisasi seseorang sangatdipengaruhi oleh lingkup kehidupannya. Kemampuan berkomunikasi antar-budaya merupakan salah satu tujuan pengajaran bahasa asing, namun dalampengajaran bahasa asing perhatian lebih dipusatkan pada pengungkapan verbal

98

Setiawati Darmojuwono

yang sesuai dengan pola komunikasi bahasa asing yang dipelajari, bukan pro-ses interaksi yang terjadi.

Dalam kajian linguistik, khususnya kajian pragmatik diteliti unsur-unsur bahasa yang dianggap memiliki konsep universal kemudian diban-dingkan pengungkapan verbal konsep-konsep tersebut, seperti bentuk bentukbahasa yang mengungkapkan kesantunan (mohon maaf, penolakan, bentuk-bentuk perintah, dan sebagainya). Hasil penelitian biasanya dikaitkan denganlatar belakang penuturnya untuk melihat kaitan antara bahasa dan budaya.Penelitian pragmatis yang telah dilakukan dapat dikembangkan ke arah prag-matik antarbudaya, seperti pendapat Ehrhardt (2003) yang menyatakan bahwapermasalahan kajian komunikasi antarbudaya bukan melihat hubungan antaraungkapan verbal dengan latar belakang budaya, namun lebih menitikberatkanpada interaksi yang terjadi, dan bagaimana persepsi penutur terhadap mitratutur dan sebaliknya, hal-hal ini kemudian dikaitkan dengan strategi berko-munikasi.

1 UNSUR-UNSUR YANG MEMPENGARUHI KOMUNIKASIANTARBUDAYA

Menurut Buhlmann, Fearns, dan Gaspardo (2003), komunikasi antarbudayadipengaruhi oleh unsur-unsur sebagai berikut (istilah dalam bahasa Jermanditerjemahkan oleh penyusun makalah):

agamasejarah

hirarkikekuasaan

individualisme-kolektivisme-

waktu

ruang

Maskulin- feminin

Unsurantarbudaya

Kepastianhukum

paraverbal

nonverbsl

verbal

hubunganantar

t

pesan

KOMUNIKASI

99

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

Komunikasi merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat dua arah dan meli-batkan penutur dan mitra tutur. Selain bahasa unsur paraverbal (seperti into-nasi, kecepatan berbicara dsb), unsur non verbal (gestik dan mimik), pesanyang akan disampaikan dan hubungan antar penutur merupakan faktor-faktorpenting dalam mengkaji komunikasi antarbudaya, namun karena keterbatasanruang, dalam kesempatan ini tidak dibahas. Pembahasan dalam makalah inimemfokuskan perhatian pada perbedaan lingkup kehidupan, stereotipe danskema yang mempengaruhi strategi komunikasi antarbudaya.

Menurut Hofstede (1993), yang dikutip oleh Buhlmann, Fearns, danGaspardo (2003), perbedaan dan persamaan lingkup budaya dapat diukur ber-dasarkan kriteria tempat, waktu, agama dan sejarah, hirarki kekuasaan, keter-ikatan antar individu, dominasi maskulin atau feminin dalam masyarakat dankepastian hukum.

Agama dan sejarah atau lebih tepat disebut ingatan kolektif suatu ma-syarakat menentukan nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam masyarakattersebut. Misalnya, penganut agama Kristen aliran Kalvinisme beranggapanbahwa sifat rajin, hati-hati, tanggung jawab, ulet, dapat dipercaya, efisiensidalam bekerja dan sederhana merupakan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggidalam kehidupan.

Konsep ruang mengatur jarak kedekatan antar individu. Di kota-kotabesar pada umumnya hubungan antar individu tidak seerat di pedesaan, demi-kian juga di Jerman pada umumnya orang lebih individualis dibandingkandengan Indonesia. Sebagai hasil penelitian Hofstede (1993) dilihat dari segiindividualitas, masyarakat Jerman menduduki peringkat 15 dari 53 negara yangditeliti, sedangkan Indonesia terletak pada urutan ke 47, berarti masyarakatJerman lebih individualis dibandingkan masjarakat Indonesia karena keter-ikatan antar individu lebih erat (kolektif) dan harmoni merupakan unsurpenting dalam kehidupan.

Konsep waktu yang bersifat monokronis seperti masyarakat Jermanberciri menggunakan waktu secara efisien dan perencanaan waktu merupakanhal yang penting, sedangkan masyarakat Indonesia memiliki konsep waktupolikronis ciri-cirinya dalam waktu yang bersamaan dapat mengerjakan be-berapa hal sekaligus, ketepatan waktu tidak begitu penting dan lebih fleksibel.

Hirarki kekuasaan dalam masyarakat Indonesia berada pada urutan ke8 sedangkan Jerman pada urutan ke 42 dari 53 negara yang diteliti. Dalammasyarakat yang mementingkan hirarki kekuasaan hubungan antara atasan danbawahan sangat formil dan tanggung jawab berada pada atasan, akibatnya si-kap kritis tidak dapat berkembang.

Dalam masyarakat yang maskulin terdapat pembagian peran yang jelasantara laki-laki dan perempuan, sedangkan dalam masyarakat yang bersifatfeminin pembagian peran tidak ketat dan perasaan serta kualitas hidup diuta-makan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, masyarakat Jerman mendudukiperingkat ke 9 sebagai masyarakat yang bersifat maskulin, sedangkan Indone-sia pada peringkat ke 30 dari 53 negara.

Kepastian hukum mempengaruhi tindakan spontan atau keragu-raguanseseorang jika terjadi sesesuatu yang dianggap mengancam muka, atau meng-

100

Setiawati Darmojuwono

hadapi suatu situasi baru. Masyarakat Jerman dalam hal ini terletak pada urutanke 29 sedangkan Indonesia ke 41.

Unsur-unsur antar budaya yang telah disebutkan dapat mempengaruhikomunikasi dalam bentuk stereotipe. Stereotipe merupakan generalisasi ten-tang sekelompok orang dengan mengabaikan realitas yang ada.

Stereotipe dapat positif maupun negatif. Misalnya, stereotipe tentangorang Jerman di banyak negara disebutkan sebagai orang yang disiplin, tepatwaktu, teliti, efisien, kaku (tidak fleksibel), sadar lingkungan, mengutamakannalar daripada perasaan (Buhlman, Fearns, dan Gaspardo 2003).

Stereotipe dapat dibedakan antara heterostereotipe (stereotipe tentangkelompok lain di luar kelompok sendiri) dan otostereotipe (stereotipe tentangkelompok sendiri). Otostereotipe orang Indonesia antara lain ramah-tamah, so-pan, tenggang rasa, fleksibel.

Setelah terjadinya bom Bali dan berbagai ledakan bom sertakerusuhan-kerusuhan di berbagai daerah Indonesia, berita-berita melalui mediamassa mengubah stereotipe tentang Indonesia di mata internasional. Stereotipetentang Indonesia di Jerman lebih bersifat negatif, seperti teroris, fundamen-talis, disertai heterostereotipe yang telah melekat pada Indonesia sebelum bomBali, seperti korupsi, birokrasi, tidak tepat waktu, sopan, tidak berterus terang,kedudukan pria lebih tinggi daripada wanita.

Sereotipe tentang mitra tutur merupakan persepsi awal penutur terha-dap mitra tuturnya, dengan demikian stereotipe mempengaruhi strategi berko-munikasi. Dilihat dari segi linguistik kognitif, strategi komunikasi meng-ikutipola-pola komunikasi yang tersimpan dalam otak manusia dalam bentuk ja-rringan mental dan berisi pola-pola komunikasi dalam berbagai situasi yangdisebut skema (Schwarze dan Chur 1993).

Proses komunikasi menurut Melenk (1979) dapat digambarkan seba-gai berikut (istilah dalam bahasa Jerman diterjemahkan ke dalam bahasaIndonesia oleh penyusun makalah dan diadakan perubahan pada bagan persepsipenutur):

ReaksiMitra tutur

TujuanKomunikas

Strategi Ungkapanverbal

Pema-haman

Persepsi

Inter-pretasi

Situasi komunikasi

Persepsi

Inter-pretasi

101

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

Peran penutur dan mitra tutur dalam bagan dapat berubah-ubah tergantungsiapa yang berbicara, karena komunikasi merupakan interaksi yang bersifatdua arah.Dalam komunikasi antarbudaya persepsi penutur tentang mitra tutursangat dipengaruhi oleh stereotipe, dan hal ini akan menentukan strategi ber-komunikasi yang berdampak pada keberhasilan atau kegagalan penyampaianpesan dalam suatu komunikasi.

Kemampuan berkomunikasi antarbudaya tentunya juga mensyaratkanketerampilan-keterampilan umum dalam berkomunikasi seperti kemampuansosial (antara lain empati, toleransi), kemampuan individual (seperti kemam-puan berbahasa, peran, pengalaman berinteraksi antarbudaya dan sebagainya),kompetensi di bidang tertentu (penguasaan pengetahuan dalam pembicaraanantar pakar), ketrampilan dalam strategi berkomunikasi (Bolten 2001).

Disamping keterampilan umum kepekaan terhadap budaya sendiri danbudaya mitra tutur merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu komu-nikasi.Dalam hal ini hambatan dalam berkomunikasi dapat terjadi karena per-sepsi yang keliru tentang mitra tutur (stereotipe tidak berlaku), atau karenapenutur menerapkan pola-pola komunikasi yang lazim dalam budayanya tapitidak lazim dalam budaya mitra tutur. Menurut von Baalen (2004), hambatandalam komunikasi dapat dikoreksi melalui Wiederherstellungsstrategien(repair), misalnya, dengan pernyataan minta maaf, sehingga komunikasi tidakterputus.

2 KOMUNIKASI ANTARBUDAYA INDONESIA – JERMAN

Berdasarkan kriteria yang digunakan untuk mengklasifikasikan unsur-unsurbudaya yang mempengaruhi komunikasi seperti telah disinggung dalam bagianPendahuluan, dapat disimpulkan perbedaan ciri-ciri masyarakat Indonesia danJerman sebagai berikut.

Jarak ruang antar individu dalam masyarakat Indonesia lebih dekat di-bandingkan Jerman, hal ini sesuai dengan sifat kolektif masyarakat Indonesia,sedangkan masyarakat Jerman lebih bersifat individualis. Konsep waktu yangmempengaruhi masyarakat Indonesia konsep poli-kronis, sedangkan masya-rakat Jerman dipengaruhi konsep waktu yang mono-kronis.

Agama Islam berpengaruh dalam etika dan norma-norma kehidupanmasyarakat Indonesia, sedangkan di Jerman pengaruh agama kristen lebih ber-bentuk ingatan kolektif masyarakatnya, yang dalam adat istiadat dan pan-dangan hidup secara sadar atau tidak sadar menjadi landasan.

Hirarki kekuasaan dalam masyarakat Indonesia masih lebih ketatdibandingkan masyarakat Jerman. Masyarakat Jerman lebih bersifat maskulindibandingkan dengan masyarakat Indonesia, hal ini menunjukkan bahwadominasi laki-laki dalam masyarakat Jerman lebih kuat dibandingkan denganIndonesia.

Kepastian hukum dapat dilihat dari banyaknya peraturan dan per-undangan yang menjamin hak-hak asasi manusia dalam satu negara, sehinggamasyarakatnya telah terbiasa untuk menyampaikan suatu pemikiran secaraterbuka tanpa rasa takut dan ragu. Masyarakat Jerrman dalam kesigapan

102

Setiawati Darmojuwono

berkomunikasi berada pada posisi yang lebih menguntungkan dibandingkanIndonesia, karena jaminan hukum yang lebih baik.

Berdasarkan beberapa penggalan percakapan sebagai hasil pengamatandalam pengumpulan data untuk suatu penelitian, di bawah ini dipaparkan bebe-rapa contoh komunikasi antarbudaya dan permasalahan yang dihadapi.

Percakapan I:

Situasi percakapan (A) seorang peneliti dari Indonesia berjenis kelaminperempuan akan meneliti di Jerman dan berbincang-bincang dengan guru besar(B) yang menjadi mitra di Jerman. Percakapan berlangsung pada awal keda-tangan (A).

B : Haben Sie einen schoenen Flug gehabt? 'Apakah perjalanan Anda menyenangkan?'A : Ja,danke. Ich wuerde gern ueber meinen Plan mit Ihnen sprechen. 'Terima kasih. Saya ingin berbicara dengan Anda tentang rencana

penelitian saya.'B : Ja natuerlich..Haben Sie eine Familie ? 'Ya, tentu saja. Apakah Anda memiliki keluarga?'A : Ja, wir haben einen Sohn, 12 Jahre alt.Haben Sie viele Mitarbeiter in

Ihrem Institut ? 'Kami mempunyai seorang anak, usianya 12 tahun. Berapa jumlah

pengajar di Institut Anda?'B : Ist Ihr Sohn alleine zu Hause ?

'Apakah anak Anda sendiri di rumah?'A : Nein, mein Mann ist ja da.

'Tidak sendiri, dengan suami saya.'B : Arbeitet er nicht ?

'Dia tidak bekerja?'A : Doch. Bis nachmittags ist unser Sohn in der Schule. Am Abend ist mein

Mann zu hause.. 'Dia bekerja. Anak kami biasanya sampai siang hari di sekolah dan pada petang hari suami saya di rumah.'

Penggalan percakapan di atas menunjukkan pengaruh stereotipe dalam polapercakapan. Skema percakapan A didasarkan pada stereotipe orang Jermanefisiensi waktu (percakapan langsung berkaitan dengan pekerjaan bukan hal-hal yang bersifat pribadi), karena ranah keluarga dan pekerjaan pada umumnyatidak dicampuradukkan, hal ini merupakan strategi berkomunikasi A yangmemanfaatkan pengetahuan tentang stereotipe orang Jerman. Sebaliknya B ju-ga mendasarkan komunikasinya pada stereotipe tentang orang Indonesia,seperti jarak antar individu yang dekat termasuk dalam keluarga. Stereotipelain yang mempengaruhi skema B adalah sifat masyarakat yang maskulin danfeminin.Nampaknya stereotipe yang dimiliki B dikaitkan dengan tradisi yangberlaku umum di Indonesia, yaitu, pembagian peran secara tegas antara laki-laki dan perempuan. Ranah keluarga adalah ranah perempuan dan ranah pe-kerjaan adalah ranah laki-laki.

103

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

Stereotipe yang terjalin dalam skema menyebabkan pelanggaran mak-sim relasi menurut Grice (1975), yaitu keinginan (A) untuk membahas rencanapenelitian belum mendapat tanggapan dari (B), bahkan topik pembicaraanberubah ke ranah keluarga. A tidak berhasil mengubah topik pembicaraan keranah pekerjaan.

Pada awal percakapan komunikasi tidak berjalan lancar, karena Amengikuti skema komunikasi yang dibentuk oleh stereotipe tentang orang Jer-man, sedangkan B menggunakan skema komunikasi yang dipengaruhi ste-reotipe tentang orang Indonesia. Setelah A dan B berhasil melepaskan ste-reotipe dari skema komunikasi maka interaksi berlangsung dengan lebihlancar.

Percakapan II :

Situasi percakapan antara dosen Jerman (C) dengan mahasiswa Indonesia (D)pada waktu bimbingan penulisan skripsi :

C : Analysieren Sie bitte die Daten Ihrer Untersuchung. Ich moechte dieErgebnisse Ihrer Analyse naechste Woche haben.'Analisislah data penelitian Anda. Minggu depan saya ingin melihathasilnya.'

D : Insya AllahC : Insya Allah ? Die Ergebnisse moechte ich am Donnerstag haben..

'Insya Allah ? Hari Kamis saya ingin memperoleh hasilnya.'D : Oh, Entschuldigung natuerlich am Donnerstag

'Maaf, tentu saja hari Kamis.'

Hambatan pada awal percakapan terjadi karena perbedaan interpretasi yangberkaitan dengan agama. Bagi C Insya Allah berarti jika Allah berkenan sayaakan menyerahkan pada hari Kamis. Ungkapan ini menunjukkan pengaruhagama dalam lingkup kehidupan seseorang, yaitu kepercayaan bahwa semuaakan terlaksana jika Allah mengijinkan, sedangkan bagi D ungkapan InsyaAllah lebih menunjukkan sikap menyerah pada nasib dan dianggap kurangberusaha. Bagi orang Jerman nalar lebih berperan dan menyerahkan tugas tepatwaktu tergantung dari usaha seseorang. D menyadari bahwa C tidak memilikikepekaan terhadap budaya D yang berkaitan dengan ranah agama, sehinggahambatan dalam komunikasi disingkirkan dengan permohonan maaf, hal inisesuai dengan pendapat van Baalen (2004).

Kesalahpahaman serupa juga ditemukan dalam penelitian Kniffka(2002) di kawasan Saudi Arabia, seperti terlihat dalam contoh percakapanberikut.

Percakapan III :

Situasi percakapan III terjadi dalam percakapan bisnis antara E (seorangpengusaha dari Indonesia) dengan F (mitra usaha di Jerman). F mengundangrombongan pengusaha dari Indonesia yang akan mengunjungi pabrik F yangmengekspor hasil produksinya ke Indonesia.

104

Setiawati Darmojuwono

F : Wir haben fuer Sie meine Damen und Herren ein gemuetliches Hotel aufdem Lande reserviert, damit Sie das Land, die Leute und die deutscheKultur kennenlernen.'Kami menyediakan sebuah hotel yang nyaman di alam pedesaan agar Ibudan Bapak dapat mengenal negara, penduduk dan budaya Jerman.'

E : Ich dachte, dass wir in einem 5 Sternen Hotel in der Stadt bleiben. 'Saya kira kita tinggal di hotel berbintang 5 di kota.'F : Oh tut mir leid, moechten Sie lieber ein Zimmer in der Stadt haben ?

'Maaf, Bapak lebih suka tinggal di kota?'

Hambatan dalam komunikasi terjadi karena E dan F memiliki konsep yangberbeda tentang hotel yang nyaman. Bagi F lingkungan yang asri merupakantempat yang nyaman, sedangkan bagi E kenyamanan identik dengan kemewah-an.

Kesalahpahaman ini dapat dihindari jika penutur dan mitra tuturmemiliki pengetahuan dan kepekaan terhadap lingkup keehidupan dua budaya.Masyarakat Jerman pada umumnya menghargai lingkungan yang asri dan ala-miah, sedangkan di Indonesia kesadaran lingkungan belum begitu me-ma-syarakat.

Ketiga contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa dalam komu-nikasi antarbudaya hambatan dapat terjadi bukan karena masalah bahasa, tetapipenyebabnya karena pengaruh stereotipe dalam penyusunan skema komunikasidan perbedaan lingkup kehidupan antar penutur.

Kemampuan berkomunikasi antarbudaya tidak hanya melibatkan ke-mampuan berbahasa, kemampuan sosial, kemampuan individual, wawasan danpengetahuan tentang topik percakapan namun juga harus memiliki kepekaantentang budaya sendiri dan budaya mitra tutur, sehingga peka terhadap pera-saan dan pemikiran mitra tutur yang berbeda lingkup kehidupannya.

Di bidang linguistik penelitian tentang komunikasi antarbudaya meru-pakan perluasan bidang kajian pragmatik ke arah pragmatik antarbudaya.

105

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

DAFTAR PUSTAKA

Bolten, J. 2001. Interkulturelle Kommunikation. Erfurt: LZT.Buhlmann, R., A. Fearns, dan N. Gaspardo. 2003. Praesentieren und

Verhandeln. Warschau: Poltext.Ehrhardt, C. 2003. “Diplomatie und Alltag.Anmerkungen zur Linguistik der

interkulturellen Kommunikation”. Dalam J. Bolten dan C. Ehrhardt(peny.) Interkulturelle Kommunikation. Sternfels: Wissenschaft undPraxis.

Grice, H.P. 1975. “Logic and Conversation”. Dalam P. Cole dan J.L. Morgan(peny.), Syntax and Semantics, 41-58. New York: Seminar Press.

Hofstede, G. 1993. Interkulturelle Zusammenarbeit. Wiesbaden: Gabler.Kniffa, H. 2002. “Sprach und Kulturkontakt: Linguistischen Perspektiven”.

Dalam E. Apeltauer (peny.), Interkulturelle Kommunikation.Tuebingen: Narr.

Melenk, H. 1979. “Alltagssprache”. Dalam R. Everett dan T.M. Steinfatt(peny.), Intercultural Communication. Illinois: Waveland Press.

Schwarz, M. dan J. Chur. 1993. Semantik. Tuebingen: Narr van Baalen.Christine. 2004. “Fremdverstehen, Interkulturelle Kompetenz semantisch-

pragmatisch betrachtet”. Dalam H. van Uffelen, C. van Baalen, dan J.Sommer (peny.), Sprachenpolitik und Integration. Wien: Wirtschaft-sabteilung der Universitaet Wien.

107

MASALAH RELASI GRAMATIKAL BAHASARONGGA: SEBUAH KAJIAN AWAL

J. Kosmas dan I Wayan ArkaUniversitas Udayana

Abstract

The article deals with the absence of affixation in the verbs ofRogga language and its other characteristics related to the isolationtype and the rlational changes of grammatical arguments from thepoint of view of Lexical-Functional Grammar (LFG). Ronggadistinguishes between semantic and grammatical relations. Thechanges of the grammatical relations in Rongga occurs throughconstructional changes such as word order in clauses, phrasemarkers, and serialization. There is evidence of an accusativepattern: A and S behave alike, different from P in its structuralposisition, control, and relativization. The lexical mapping modelnormally used in the Lexical Mapping Theory in LFG cannot beused entirely in Rongga due to: (a) the absence of morphologicalprocesses for the changes of the argument structure and (b) theemergence of the mapping effect resulting from the constrctionwhere it appears.

PENDAHULUAN

Bahasa Rongga (BR) merupakan bahasa minoritas (sekitar 4000 penutur) dikabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Walaupun BRtidak disinggung dalam Fernandez (1996) atau Blust (1993), BR tampaknyatergolong satu kerabat dengan bahasa-bahasa Flores, sub-kelompok FloresBarat, Malayo-Polinesia Tengah. Posisi BR dalam subkelompok ini saat inibelum jelas benar dan perlu penelitian yang mendalam.

Secara tipologi morfologis, BR tergolong bahasa isolasi karena bahasaini sangat miskin unsur morfologisnya. Kata-kata pada BR ini bersifat mono-morfemis (Comrie, 1981:39). Karena itu, realisasi diatesis, bila ada, misalnya,aktif-pasif, tidak dapat diukur melalui afiksasi verba, tetapi mengandalkan tataurutan kata (word order) pada tataran sintaksis, seperti konstruksi pasif dalambahasa Manggarai (Kosmas 2000; Arka dan Kosmas sedang diterbitkan).

Ketiadaan morfologi pada verba dan nomina pada bahasa isolasi seper-ti BR merupakan tantangan yang menarik untuk kajian linguistik, utamanyaanalisis relasi gramatikalnya. Relasi gramatikal, misalnya, SUBJ(ek) danOBJ(ek) pada bahasa bertipe aglutinasi, seperti bahasa Indonesia, umumnyabisa dipantau melalui penanda morfologis. Tidak demikian halnya denganbahasa-bahasa isolasi seperti pada BR. Pembuktian terhadap relasi gramatikaldan konstituen garamatikal lainnya pada bahasa ini tidak selalu mudah

108

J. Kosmas dan I Wayan Arka

diinterpretasikan. Misalnya, terdapat kesulitan untuk menentukan apakah peru-bahan tata urut dan kemunculan suatu partikel atau preposisi juga menye-bebabkan perubahan relasi gramatikal.

Makalah ini akan membahas permasalahan tadi, berdasarkan data awalyang dikumpulkan lewat penelitian lapangan. Dalam Seksi 1 akan dipaparkanpola-pola dasar klausa BR yang secara sementara memberikan gambaran relasigramatikal yang ada pada bahasa tersebut. Seksi 2 akan mencoba menerapkantes-tes yang umum digunakan untuk mengetahui relasi gramatikal seperti ke-beradaan SUBJ. Seksi 3 akan mendikusikan temuan pada seksi sebelumnyadari sudut Tatabahasa Leksikal-Fungsional (TLF). Simpulan dan arah peneli-tian lebih lanjut akan diberikan pada Seksi 4.

1 POLA-POLA DASAR KLAUSA BR

Pada dasarnya klausa tidak berbeda dengan kalimat, kecuali dalam hal intonasidan tanda baca. Baik klausa maupun kalimat kedua-duanya merupakan kon-struksi sintaksis yang memiliki unsur predikasi yang tidak terbatas pada verba,tetapi juga nonverbal. Tentu saja kalimat yang dimaksudkan di sini adalah kali-mat sederhana (simple sentence). Akan tetapi, secara hierarki klausa merupa-kan bagian dari sebuah kalimat karena kalimat dibangun atas beberapa klausa.Karena data klausa BR yang telah dihimpun masih sangat terbatas, maka pem-bahasan kalimat dalam artian hierarki belum dapat dilakukan dalam makalahini.

Klausa memiliki struktur dasar dan struktur alternasi atau struktur deri-vasi versi Teori Transformasi (Chomsky, 1965). Struktur dasar sangat eratkaitannya dengan istilah klausa dasar. Dalam hal ini, struktur dasar dipahamisebagai struktur atau konstrukti dasar dari klausa dasar yang belum mengalamirevaluasi struktur. Sebuah klausa disebut sebagai klausa dasar apabila memilikiciri-ciri: (1) terdiri atas satu klausa, (2) unsur-unsur intinya lengkap, (3) susu-nan unsur-unsurnya menurut urutan yang paling umum, dan (4) tidak me-ngandung pertanyaan atau pengingkaran.

Secara lintas bahasa, struktur dasar klausa terdiri atas dua unsur, yaitu,(1) sebuah argumen inti dan predikat, dan (2) dua argumen inti dan sebuahpredikat. Jenis klausa dasar dengan struktur dasar (1) mengisyaratkan bahwakalimat dasar tersebut adalah kalimat intransitif, yakni, kalimat yang hanyaterdiri atas sebuah argumen inti dan sebuah predikat. Satu-satunya argumen intipada klausa intransitif tersebut secara fungsional merupakan S (S = argumensubjek intransitif). Sebaliknya, klausa dasar dengan struktur dasar (2) meng-isyaratkan bahwa kalimat tersebut merupakan kalimat transitif, yakni, kalimatyang terdiri atas dua atau lebih argumen inti dan sebuah predikat. Uraian lebihlanjut tentang kedua jenis klausa/kalimat tersebut adalah seperti berikut.

1.1 Klausa Intransitif BR

Berdasarkan tata urut konstituennya, predikat pada klausa dasar intransitif BRkebanyakan mengikuti argumen inti S. Tata urut kanonis SV berdasarkanfrekuensi kemunculan pada tiga teks terlihat pada Tabel 1.

109

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

No. JenisKlausa

SV VS AVP V(P)S Jumlah

1. Intransitif 220(97.35%)

6(2.65%)

226(100%)

2. Transitif 180(96.26%)

7(3.74%)

187(100%)

Tabel 1: Frekuensi Kemunculan Tataurut Konstituen Klauasa BR

Argumen inti S dapat berupa agen maupun pasien, dan perbedaanperan semantis ini tidak mempengaruhi tata urut. Terlihat juga, tidak adaperbedaan permarkahan lain yang mencerminkan peran semantis dari S, sepertipada (1) dan dan (2) berikut. [Lihat juga Agen pada verba dasar transitif (1.2)]

(1) Kazhi nggoe3 T jatuh‘Dia jatuh’

(2) Mbu’e Marselina zhio one alo wae.Nona Nama mandi prep kali air.‘Nona Marselina mandi di kali’

Unsur tambahan lainnya seperti adjung biasanya muncul setelah pre-dikat, seperti pada (3). Adjung bisa juga muncul lebih dari satu unit dalamklausa (4) dan (5), dan bisa muncul sebelum S, seperti pada (6).

(3) Ja’o la’a zhele ndau1T pergi ke barat itu.‘Saya pergi ke sana.

(4) Pu’u romba kazhi to’o one azhi kazhi.Dari pagi 3T pergi ke adik 3T‘Pagi-pagi dia pergi ke adiknya’

(5) Pas romba ndau sadho ga ame Lai Ame Lewa.

Pada pagi itu datang sudah art nama‘Pada pagi hari itu datanglah Lai Ame Lewa’

(6) Pu’u romba kazhi mai.Dari pagi dia datang.‘Pagi-pagi dia datang’.

Selain kategori verba seperti pada (1-6), predikat klausa intransitif BRjuga dapat diisi oleh kategori nonverbal seperti nominal (7), adjektival,(8),preposisiona (9), dan numeral (10) berikut.

(7) Kami ata tani (N)1J orang tani

‘Kami petani’.

110

J. Kosmas dan I Wayan Arka

(8) Ana ndau balo tu’u.anak itu malas sangat‘Anak itu sangat malas/malas sekali’.

(9) Ema lau uma ndia.Ayahdi selatan kebun sekarang‘Ayah di kebun sekarang’

(10) Ana ja’o lima ata.Anaksaya lima orang‘Anaka saya lima orang’.

1.2 Klausa Transitif BR

Klausa dasar transitif mempunyai dua atau lebih argumen inti. Berdasarkanjumlah argumennya, predikat transitif dibedakan atas dua macam, yakni,predikat monotransitif (dua argumen inti) dan predikat ditransitif (lebih daridua argumen inti). Argumen predikat monotransitif terdiri atas A (agen) dan P(pasien). Tataurut klausa monotransitif adalah A-PRED-P, seperti pada (11).

(11) Kazhi kapu ana ito ndau..3T gendong anak kecil itu‘Dia menggendong anak kecil itu’.

Dari teks-teks yang dipakai sebagai sumber data, belum ditemukan Pmenempati posisi yang mendahului verba (P-A-PRED, P-PRED-A). Kalau punada, itu tampaknya bukan konstruksi transitif, seperti contoh (12), karena Ayang muncul di belakang verba dimarkahi oleh preposisi ne ‘oleh’. Konstruksi*Ana ndau polu kazhi tidak berterima untuk makna yang sama dengan (12).

(12) Ana ndau polu ne kazhi.(Elisitasi)Anak itu pelihara oleh dia.‘Anak itu dipelihara oleh dia (nya).

Sementara itu, predikat ditransitif dengan tiga argument (A, G(goal),dan T (theme), seperti dicontohkan pada (13), mempunyai tataurut A-PRED-G-T. Posisi G tidak selalu ketat setelah verba. Ini terbukti dari contoh (14) yangdikutip dari sebuah cerita yang menunjukkan G (ito ndia) datang setelah T.

(13) Kazhi ti’I ja’o ndoi3T beri saya uang‘Dia memberi saya uang’

(14) Ti'i ne apa ko ka ito ndia.Beri dengan apa PART makan anak itu‘(saya) beri makan apa anak kecil itu.

1.3. Konstruksi verba kompleks

Predikat BR dapat terdiri atas serangkaian verba yang merupakan konstruksiverba kompleks. Gambaran pasti tentang tipe-tipe konstruksi verba komplek

111

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

ini memerlukan penelitian lebih mendalam. Namun demikian, sejumlah dataawal memunculkan setidak-tidaknya ada dua verba yang frekuensi kemun-culannya sangat tinggi dalam konstruksi verba kompleks. Dalam seksi ini akandisodorkan contoh-contoh dan uraian singkat mengenai perilaku verba tau danmai.

1.3.1 Verba tau

Dalam pembentukan verba kompleks, verba tau ‘buat’ diikuti verba transitif,seperti wangga ‘kerja’ (tau wangga), niu ‘panggil’ (tau niu), ala ‘ambil’ (tauala) dan verba intransitif, seperti mbowo ‘bengkak’ (tau mbowo), danmai‘datang’ (tau mai). Salah satu contohnya adalah sepert pada (15) berikut.

(15) Ja’o mbau tau ala fai.1T tidak mau buat ambil isteri.‘Saya tidak mau beristeri’

1.3.2 Verba mai

Verba intransitif mai ‘datang’ tampaknya muncul dengan verba intransitif,seperti nangi ‘menangis’ (mai nangi) dan dengan verba transitif (kebanyakan),seperti songgo ‘pinjam’ (mai songgo), dengi ‘minta’ (mai dengi), zhenge‘dengar’ (mai zhenge), dan tendu ‘ikut’ (mai tendu). Salah satu contohnyaadalah seperti pada (16) berikut.

(16). Bhate ata mai songgo pare ne kazhi.Semua oranga datang pinjam padi dengan 3T‘Semua/banyak orang meminjam padi padanya’.

2 PERAN SEMANTIS VS FUNGSI GRAMATIKAL

Pada seksi sebelumnya, telah diidentifikasikan peran A, P/T, dan G untukpredikat transitif, dan S untuk intransitif. Walapun peran ini tidak sepenuhnyabersifat semantis (S bisa diinterpretasikan sebagai subjek intransitif), dalammakalah ini A, P/T, dan G bukan dianggap sebagai relasi gramatikal, tetapisebagai relasi peran (makro) semantis. Pertanyaan lebih jauh adalah apakah BRmemiliki relasi gramatikal, dan kalau ya, bagaimana relasi gramatikal tersebut?Pembahasan masalah ini sangat kompleks, dan dalam makalah ini akan difo-kuskan pada satu relasi gramatikal saja, yakni, keberadaan subjek gramatikal,selanjutnya SUBJ, dalam BR.

Konsepsi SUBJ yang diikuti adalah konsepsi menurut TLF. SUBJ me-rupakan salah satu fungsi gramatikal inti yang mempunyai ciri-ciri, di anta-ranya secara semantis tidak terbatas, [-r] (thematically unrestricted). Da-lambanyak bahasa, termasuk bahasa-bahasa Austronesia di Nusantara, SUBJ me-rupakan fungsi ‘tertinggi’ yang dapat dibuktikan dengan karakteristikeksklusifnya dalam beberapa perilaku sintaktis seperti kontrol, relativisasi, danrefleksif.

112

J. Kosmas dan I Wayan Arka

Karakteristik SUBJ tersebut di atas juga dijadikan sebagai parameterpenelaahan fungsi SUBJ dalam BR, di samping telaahan melalui posisi struk-turalnya.

Posisi preverbal merupakan posisi SUBJ pada BR. Ini terbukti darikendala kontrol yang diperlihatkan oleh contoh (17-19). Pada contoh (17), Aberada pada posisi preverbal dan bisa dikontrol, sedangkan pada (18), A tidakberada pada posisi preverbal dan tidak bisa dikontrol, terlepas dari apakah Adimarkahi oleh ne ‘oleh’ atau tidak. Lebih jauh, S yang berada pada posisipreverbal juga bisa dikontrol seperti pada (19).

(17) Ja’o zhapa [__ neku wae].1T coba [__ timba air]‘Saya mencoba timba air’.

(18) *Ja’o zhapa [wae neku (ne)__]1T coba [timba oleh __]‘Air coba ditimba oleh”

(19) Kazhi zhapa [__ pazhu]3T coba [__ lari]‘Dia mencoba lari’

Contoh (17) dan (18) menunjukkan bahwa A berperilaku sama denganS dalam hal kontrol. Pola kontrol S/A ini bersifat wajib karena argumen padaposisi ini tidak boleh dimunculkan. Misalnya, kalimat (17) (yang diulangsebagai 20) tidak berterima jika subjek ja’o ‘saya’ dimunculkna pada klausasematan:

(20) *Ja’o zhapa [ ja’o neku wae].1T coba [__ timba air]‘Saya mencoba timba air’.

P tampaknya sedikit berbeda dalam hal kontrol: P tidak wajib dikontrol(Contoh 21). (Masih tidak jelas betul apakah pada saat P tidak muncul, makakasus tersebut bisa dianalisis sebagai kontrol atau P adalah zero anaphora.).Tetapi bagaimanapun juga terlihat BR memperlakukan A=S dan berbedadengan P dalam hal kontrol. Selanjutnya, jika terjadi alternasi ‘pasif,’ maka Pberperilaku seperti S dan wajib dikontrol (contoh 22):

(21) Ja’o ndai [ dokter tau periksa (jao)]saya ingin dokter mau periksa (saya)‘Saya ingin dokter mau memeriksa saya’

(22) Ja’o ndai [ __/*jao tau periksa

ne dokter]saya ingin mau periksaoleh dokter‘Saya ingin diperiksa oleh dokter.’

113

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

Berbeda dengan P, Dalam contoh-contoh berikut A/S juga berperilakusama dalam kaitan dengan perelatifan. Kalimat (23) merelatifkan A, kalimat(24) merelatifkan S, dan keduanya berterima. Kalimat (25) merelatifkan P, dankalimatnya tidak berterima. Jika P beralaternasi menjadi S, dan A munculsetelah verba dimarkahi dengan ne ‘oleh’, seperti pada kalimat (26), makakalimatnya berterima.

(23) Joni ata wela ame Karolina to’o ga.Nama REL bunuh ART Nama pergi sudah.‘Joni yang membunuh Karolina, sudah pergi’.

(24) Ana [ata mai ] ndau bhako jaoanak REL datang itu keponakan saya‘Anak yang datang itu keponakan saya.’

(25) * Ana [ata meu tei __ ] ndau bhako ja’o.ana REL kamu lihat itu keponakan saya‘Anak yang datang itu keponakan saya’

(26) Ana [ata tei ne meu] ndau bhako ja’oanak REL lihat oleh kamu that keponakan sayaAnak yang kamu lihat itu keponakan saya

Bukti-bukti dari kontrol dan relatifisasi menunjukkan adanya alternasiyang menyebabkan perubahan relasi gramatikal A dan P. A yang muncul sete-lah verba bukan lagi berperilaku sebagai subjek, sementara P yang munculpreverbal berberilaku sebagai subjek. Karena alternasi ini menunjukkan ciritipikal pasifisasi, maka cukup beralasan kalau konstruksi yang berisi A denganmarkah ne dan P yang berfungsi sebagai subjek dikategorikan sebagai kon-struksi pasif dalam BR. Argumen A pada konstruksi ini secara sintaktis adalahoblik. Bahwa dia wajib dimarkahi oleh preposisi (ne) juga merupakan ciritipikal Agen oblik pada pasif.

Sementara itu, konstruksi transitif yang berisi A preverbal dan P yangpostverbal akan selanjutkan disebut kalimat aktif. A adalah subjek gramatikal(SUBJ) dan P adalah objek gramatikal (OBJ).

Perilaku objek pada konstruksi ditransitif memerlukan penelitian lebihjauh untuk mengetahui apakah kedua objek tersebut, yang secara semantisdiidentifikasi sebagai G dan T, berperilaku yang sama atau berbeda denganobjek verba monotransitif.

3 DISKUSI DAN PENELITIAN LEBIH LANJUT

Penelitian awal yang dipaparkan di atas sudah mengungkapkan setidak-tidaknya pandangan bahwa BR mempunyai relasi gramatikal SUBJ, OBJ, danOBL. SUBJ dan OBJ kedua-duanya muncul tidak bermarkah preposisi,sementara OBL pada konstruksi pasif muncul dengan pemarkah preposisi.Contoh (27) dan (28) berikut ini memperlihatkan OBL dengan peran semantisyang berbeda dan pemarkah preposisi yang berbeda:

(27) Senggu ne kazhi nipi ndau.

114

J. Kosmas dan I Wayan Arka

Buang oleh 3T mimpi itu.‘Dibuangnya mimpi itu’

(28). Ene weli buku ti’i azhi (Elisitasi).Ibu beli buku untuk adik.‘Ibu membeli buku untuk adik’.

Karena BR adalah bahasa isolasi, maka tidak ada penanda morfologispada verba yang menandai adanya alternasi gramatikal. Hal ini sudah terlihatpada alternasi aktif-pasif: verba yang sama dipakai pada kedua konstruksi yangberbeda. Yang membedakan kedua konstruksi aktif dari pasif adalah tataurutargumen dan pemarkahan A. Alteranasi lain yang dikenal pada bahasa-bahasalain yang juga dimarkahi pada verba adalah penambahan argumen sepertikausatifisasi dan aplikatifisasi. Penelitian pada tahap awal ini belum secaramendalam menelaah konstruksi yang ekuivalen dengan kedua proses ini padaBR. Tetapi dapat dikemukan secara sepintas bahwa, sama halnya seperti padapasifisasi, penambahan argumen tidak dimarkahi secara morfologis karenakendala tipologis bahasa ini yang bersihat isolatif. Seperti bahasa-bahasa iso-latif lainnya, penambahan argumen dicapai melalui konstruksi kompleks yangmelibatkan serangkaian verba yang dikenal dengan struktur serialisasi. Contoh(29) di bawah ini merupakan serialisasi kausatif dan (30) serialisasi denganditranstif ti’i ‘beri/kasi’.

(29) Ata ta mai nangi ja’o.orang orang datang menangis 1T‘Banyak orang menagisi Saya ‘

(30) Sarlin tau ti’i ema ko kopinama buat kasi ayah part kopi.‘Sarlin membuatkan ayah kopi’.

Identifikasi lebih jauh dan analisis persisnya konstruksi-konstuksi yangmelibatkan lebih dari satu verba ini merupakan salah satu prioritas dalampenelitian lebih jauh.

Permasalah teoretis yang juga mengemuka dalam kaitannya denganadanya alternasi diatesis aktif-pasif pada BR yang tidak melibatkan penandamorfologis pada verba adalah bagaimana konsepsi perubahan struktur argumenmesti dianalisis. Khususnya, dalam teori-teori yang bersifat leksikal sepertiTLF yang umumnya mengasumsikan perubahan struktur argumen adalah aki-bat dari afiksasi. Tetapi kenyataan empiris seperti pada BR (dan juga bahasaisolasi lainnya) adalah ketiadaan afiksasi, meskipun tetap ada perubahan argu-men. Hal ini perlu kajian ulang, atau setidak-tidaknya, kajian tentang konsepsiyang berbeda atas perubahan struktur argumen, dan alternasi pemetaan kestrukture lahir.

Alternatif analisis dari sudut TLF dalam kaitan dengan hal tadi dapatdiringkas sbb:

115

Linguistik Indonesia, Tahun ke 25, No. 1, Februari 2007

(a) Multi entri: setiap verba mempunyai struktur argumen yang multientri,misalnya, tei ‘lihat’ mempunyai entri struktur argument (i) <SUBJ,OBJ> dan (ii) <SUBJ, OBL>

(b) Derivasi zero: pemetaan leksikal bisa diadopsi tetapi dengan catatanterjadinya pemarkahan zero. Misalnya, tei didaftar pada entri leksi-kalnya sebagai transitif <SUBJ, OBJ>, dan terjadi alternasi pemetaanyang menurunkan <SUBJ, OBL>. Ini persis sama dengan afiksasipasifisasi, misalnya, dalam bahasa Indonesia dengan di-. Bedanya,dalam BR tidak ada pemarkahan afiks.

(c) Pemetaan konstruksi (sesudah leksikal): verba pada BR tidak munculdengan pementaan <SUBJ, OBJ> atau <SUBJ, OBL>. Tetapi efekpemetaan yang demikian diakibatkan oleh konstuksi tempat verba itumuncul.

Pemilihan analisis mana yang tepat membutuhkan kajian yang menda-lam mengenai konsekuensi yang terkait, baik secara internal teoretis pada TLF,maupun kelaziman tipologis analisis tersebut. Hal ini juga merupakan salahsatu aspek yang akan diteliti dan dibahas lebih lanjut.

4 SIMPULAN

Dari analisis yang telah disodorkan di atas, dapat disimpulkan seperti berikut:

1) BR memiliki relasi gramatikal SUBJ, OBJ dan OBL. SUBJ dan OBJmuncul tanpa pemarkahan, sedangkan OBL dengan pemarkahanpreposisi ne ‘oleh’.

2) Perubahan relasi gramatikal dalam BR terjadi melalui perubahantataurut konstituen klausa dan melalui mekanisme predikat kompleks.

3) Argumen A (transitif) dan S (intransitif) selalu muncul pada posisipreverbal dan P pada postverbal. Apabila A muncul pada posisi post-verbal, maka A pada posisi tersebut selalu dimarkahi dengan preposisine. Sementara itu, untuk P belum ditemukan data yang memperli-hatkan munculnya P pada posisi preverbal.

4) Model pemetaan leksikal berdasarkan konsepsi Teori Pemetaan Lek-sikal dalam TLF tidak dapat digunakan secara utuh dalam BR karenaverba pada BR tidak muncul dengan pemetaan <SUBJ, OBJ> atau<SUBJ, OBL>. Akan tetapi, efek pemetaan yang demikian diakibatkanoleh konstuksi tempat verba itu muncul.

DAFTAR PUSTAKA

Arka, I Wayan. 2003. “Bahasa-bahasa Nusantara: Tipologinya dan Tantangan-nya bagi Tata Bahasa Leksikal – Fungsional”. Dalam BambangKaswanti Purwo (Peny.). PELBA 16: 51 – 113. Jakarta: Pusat KajianBahasa dan Budaya, Unika Atmajaya

116

J. Kosmas dan I Wayan Arka

Arka, I Wayan. 2004. “Palatography in a Fieldwork Setting: Investigating andAnalysing Alveolar Continuant [r] and [�] in Rongga” dalam I WayanPastika dan I Nyoman Darma Putra.(Peny.). Wibawa Bahasa: 40 – 50Denpasar: Program Pascasarjana (S2 – S3) Linguistik, UniversitasUdayana dan Bali Mangsi.

Bresnan, Joan. 1998. Lexical-Functional Syntax Part III: InflectionalMorphology and Phrase Structure Variation. Stanford: StanfordUniversity Press.

Bresnan, Joan. 2001. Lexical-Functional Syntax. Massachusetts: Blackwell.Bresnan, Joan dan Lioba Moshi. 1998. Applicative in Kivonjo (Chaga):

Implications for Argument Structure and Syntax. California: Palo Alto.Comrie, Bernard. 1981. Language Universals and Linguistic Typology. Ox-

ford: Basil Blackwell.Dalrymple, Mary. 2001. Lexical Functional Grammar. San Diego: Academic

Press.Fernandez, Inyo Yos. 1996. Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores:

Kajian Historis Komparatif terhadap Sembilan Bahasa di Flores. Ende:Nusa Indah.

Foley, William A. dan Robert D. van Valin Jr. Functional Syntax andUniversal Grammar. Cambridge: Cambridge University Press.

Kroeger, Paul. 1993. Phrase Structure and Grammatical Relations in Tagalog.Stanford, California: CSLI.

Siewierska, Anna. 1991. Functional Grammar. London: Routledge.Spencer, A. 1991. Morphological Theory: An Introduction to Word Structure

in Generative Grammar. London: Blackwell.Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

117

Resensi Buku

Teaching and Researching Language and Culture oleh Joan Kelly Hall.London: Longman. 2002. 242 halaman, glosarium, indeks penulis, indekssubjek.

Diresensi oleh Rahayu Surtiati Hidayat, Universitas Indonesia

PENDAHULUAN

Pengajaran bahasa sering dipisahkan dari pengajaran budaya (culture), bahkanada yang menganggap bahwa bahasa tidak ada hubungannya dengan budaya.Memang diakui bahwa budaya penting untuk dipahami oleh pemelajar bahasa,namun pengajarannya sering terpisah dari pengajaran bahasa. Ancangan ke-mampuan komunikatif (communicative competence), misalnya, mempertim-bangkan aspek budaya dalam pemelajaran bahasa sehingga lebih menekankanpada penggunaan bahasa, tetapi dalam pelaksanaannya bahasa masih dianggapsebagai satu sistem homogen yang terpisah dari interaksi penutur dalam kehi-dupan sehari-hari.

Pengajaran dan penelitian juga sering dianggap sebagai dua kegiatanyang tidak berkaitan. Di Indonesia, cukup banyak pengajar bahasa --khususnya di perguruan tinggi -- yang menyatakan bahwa mereka hanya inginmengajar, tidak ingin meneliti. Mereka puas dengan menerapkan hasilpenelitian orang lain, buku ajar bahasa misalnya, atau menyusun kurikulumdan bahan ajar tanpa landasan hasil penelitian, padahal pengajar perguruantinggi wajib melakukan penelitian di samping pengajaran dan pengabdian padamasyarakat.

Dalam pemikiran itulah saya melihat bahwa buku ini memberi sum-bangan konsep baru dalam pengajaran dan penelitian bahasa dan budaya.Dalam bahasan selanjutnya, saya akan terlebih dahulu menguraikan isi buku,kemudian mendiskusikan beberapa konsep penting itu.

ISI BUKU

Buku yang terbit dalam seri Applied Linguistics in Action ini, yang disuntingoleh Christopher N. Candlin dan David R. Hall, lebih mirip buku ajar pergu-ruan tinggi daripada buku rujukan. Setiap bab dimulai dengan tujuan bab dandiakhiri dengan ringkasan (kecuali Bab 11) serta daftar bacaan lanjut yangberanotasi. Selain itu, uraiannya memudahkan pembaca karena semua kutipandiberi nomor dan judul, semua konsep penting juga diberi judul, tetapi tam-pilannya berbeda karena diletakkan dalam kotak. Terakhir, walaupun ini tidakkhas buku ajar perguruan tinggi, tersedia “Glosary” yang menjelaskan maknaberbagai istilah. Dalam lampiran, “Author Index” menyenaraikan semuapenulis -- sangat banyak -- yang diacu dan “Subject Index” memuat berbagaitopik yang dibahas.

Memang, dengan menggelar pemandangan yang luas itu, penulisberusaha menonjolkan beberapa situs kegiatan kontemporer di bidanglinguistik terapan, memetakan beberapa rute yang lazim dilalui untuk mencapai

118

Rahayu Surtiati Hidayat

situs itu, dan menunjukkan beberapa pemimpin ekspedisi yang paling dikenal(hlm 3). Sejalan dengan tujuannya menulis buku ini, ia membahas pemelajaranbahasa dan budaya yang mencakup bahasa ibu, bahasa kedua, dan bahasa asing.Selain itu, penulis juga memaparkan berbagai penelitian di bidang pemelajaranbahasa dan budaya. Untuk itu, ia membagi bahasannya menjadi empat bagian.

Bagian I merumuskan kembali bahasa dan budaya untuk menawarkanbeberapa asumsi paling signifikan tentang hakikat pemelajaran bahasa danbuda-ya dari sudut pandang tindakan manusia di lingkungan sosial budaya(selan-jutnya disingkat sosbud). Bagian ini berisi tiga bab: Bab 1 memaparkanpengkajian tentang penggunaan bahasa yang merupakan inti linguistik terapandengan menekankan dua aspeknya, yaitu, dialog dan tuturan tunggal sertaganda. Selain itu, dijelaskan budaya sebagai praktik sosbud, relativitas bahasa,dan ancangan yang disebut “linguistik yang dibentuk secara sosial” untukmeneliti bahasa dan budaya, serta etnografi kegiatan komunikatif. Terakhir,pengertian bahasa sebagai konteks diuraikan dalam rangka linguistik fung-sional dan sistemik. Bab 2 mengkaji dan menelusuri pengertian identitas danpenggunaan bahasa dari berbagai sudut pandang terkini, dan Bab 3 menyajikanpemahaman terkini tentang pemelajaran bahasa dan budaya dengan menga-itkannya pada temuan baru dari penelitian tentang perkembangan bahasa.

Bagian II, juga terdiri dari tiga bab, bertujuan menelaah bagaimanapemahaman terkini tentang bahasa dan budaya memengaruhi berbagai praktikpengajaran. Dalam Bab 4 diuraikan berbagai penelitian baru tentang latar ba-hasa dan budaya pemelajar, dan inovasi yang ditawarkan. Bab 5 membahaslingkungan sosbud di sekolah dan di kelas, sedangkan Bab 6 mengkaji kon-septualisasi mutakhir bahasa dan budaya dalam isi kurikulum serta berbagaiancangan pedagogis mutakhir.

Bagian III terdiri dari empat bab dan bertujuan untuk memperkenalkanberbagai hal yang telah diteliti dan diancang dalam pengkajian bahasa danbudaya. Dengan sejumlah contoh itu, diharapkan pembaca ingin tahu danmenjelajahi bidang pengajaran dan penelitian bahasa dan budaya. Bab 7 meng-ingatkan kembali konsep dasar penelitian -- kualitatif khususnya -- sedangkanBab 8 menjelaskan enam ancangan yang digunakan dalam pnelitian danpemelajaran bahasa dan budaya, yaitu, etnografi komunikasi, sosiolinguistikinteraksional, analisis percakapan, analisis wacana, analisis wacana kritis, danancangan mikrogenetik. Bab 9 merupakan panduan untuk merencanakan, me-laksanakan, dan mengevaluasi proyek penelitian. Sementara itu, Bab 10 me-nunjukkan benang merah berbagai proyek penelitian yang dapat dijadikankerangka kerja bagi pendatang baru atau mereka yang tidak akrab dengan sudutpandang sosbud.

Bagian IV merupakan penutup yang berisi “alat kerja” bagi pengajardan peneliti bahasa dan budaya. Itu sebabnya, Bab 11, satu-satunya bab yangmengisi bagian ini menyajikan daftar jurnal linguistik terapan beserta anota-sinya, kemudian daftar berbagai organisasi linguistik terapan beserta situswebnya, juga beranotasi. Terakhir, daftar sumber pengajaran dan penelitianbahasa dan budaya, masing-masing dilengkapi situs web.

119

Linguistk Indonesia, Tahun ke 25, No. 1. Februari 2007

2 DISKUSI

Dari “penerapan linguistik” ke linguistik terapan. Dengan jelas penulis meng-ingatkan bahwa segala ancangan dan metode pengajaran yang dianggapnyatradisional sebenarnya belum memberi kesempatan kepada pemelajar untukbelajar menggunakan bahasa dalam interaksi sosial. Di sinilah letak kebaruandalam karyanya karena ia merumuskan kembali konsep bahasa dan budayadengan menekankan pengkajian tentang bahasa dalam penggunaan, maknadalam penggunaan, dan tindak tutur yang konkret. Akibatnya, pemelajaranbahasa harus didukung oleh hasil penelitian psikologi kultural atau teori sosbudtentang perkembangan bahasa, antropologi linguistik, psikologi perkembangan,dan psikolinguistik.

Dari proses belajar-mengajar ke penelitian dalam proses belajar-mengajar. Stern (1983: 43 50) telah menekankan hubungan antara kegiatandalam pengajaran bahasa kedua dan penelitian dengan menyajikan sebuah mo-del bertingkat tiga. Pertama, landasan tempat para ahli teori menekuni berbagaiilmu yang mendukung linguistik terapan (“educational linguistics”), keduatingkat antara tempat para linguis terapan meneorikan pemelajaran, bahasa, danpengajaran, dan ketiga praktik pengajaran bahasa tempat guru memikirkanmetodologi dan organisasi pengajaran bahasa kedua. Jadi, ancangan multi-disiplin itu digunakan dalam hierarki, masing-masing yang terlibat mendapattempat tersendiri. Kebaruan Hall adalah memungkinkan peneliti, pengajar, danbahkan pemelajar terlibat dalam penelitian. Bab 4, misalnya, mengulas berba-gai eksperimen dan penelitian longitudinal yang dilakukan oleh pengajarbersama peneliti. Hasilnya, pengajar mampu membangun kurikulum pembe-lajaran bahasa yang berbasis sosial budaya karena lebih memahami perbedaanbudaya di antara berbagai komunitas. Sementara itu, melalui penelitian sosialberbasis kelas (classroom-based social research, h. 117), pemelajar dilibatkandalam penelitian tentang bagaimana mereka menggunakan bahasa di luar kelas.

Dari penelitian linguistik ke penelitian linguistik terapan. Sudutpandang sosbud merupakan kekuatan penulis dalam menawarkan sejumlah an-cangan dan metode penelitian yang tepat untuk penelitian tentang pemelajaranbahasa. Sekilas tampak bahwa sebagian besar tidak berbeda dari metodologipenelitian di bidang sosial budaya, tetapi kekayaan contohnya mampu meya-kinkan pembaca awam linguistik dan awam ilmu sosial bahwa dasar-dasarnyasangat mungkin digunakan untuk meneliti pemelajaran bahasa dan budaya.Tidak hanya berbagai proyek penelitian yang dibahas, tetapi juga perinciankegiatan penelitian sehingga buku ini mirip dengan panduan praktis bagipembacanya; apalagi bab terakhir memuat dan mengomentari secara kritisberbagai jurnal, organisasi profesi, dan lembaga yang berkaitan dengan peme-lajaran bahasa dan budaya.

Sebagai penutup ulasan ini, saya menganjurkan -- mengingat isinyayang begitu penting dan penyajiannya yang mudah dipahami -- agar buku inidibaca dengan cermat oleh para pengajar bahasa selain, tentu saja, mahasiswa,dosen, dan peneliti yang menekuni bahasa dan budaya.

120

Rahayu Surtiati Hidayat

ACUAN

Bright, William (Penyelia). 1992. International Encyclopedia of Linguistics.New York: Oxford University Press.

Damen, Louise. 1987. Culture Learning: The Fifth Dimension in the LanguageClassroom. Reading: Addison-Wesley Publishing Company.

Galisson, R. & D. Coste (Ed.). 1976. Dictionnaire de Didactique des Langues.Paris: Hachette.

Joyce, Bruce, Marsha Weil, dan Beverly Showers. 1992. Ed. ke-4. Models ofTeaching. Boston: Allyn and Bacon.

Littlejohn, Stephen W. 2001. Ed. ke-7. Theories of Human Communication.Stamford, A.S.: Wadsworth.

Richards, Jack C. & Richard Schmidt. 2002. Ed. ke-3. Longman Dictionary ofLanguage Teaching and Applied Linguistics. London: Longman.

Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. Oxford:Oxford University Press.

Wray, Alison, Kate Trott, Ailleen Bloomer, Shirley Reay, dan Chris Butler.1998. Projects in Linguistics. A Practical Guide to ResearchingLanguage. London: Arnold.