buku acuan umum-cfhc ipe-2014

119
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

Upload: -

Post on 24-Dec-2015

123 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

berguna banget buat kalian anak rik yang pusing sama tugas komkes gajelas heheheheh muach gbu

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

1

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

Page 2: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

2

KONTRIBUTOR

dr.Ova Emilia,M.Med.Ed., PhD., SpOG(K)

Ilmu Kebidanan dan Kandungan

dr.Rossi Sanusi, MPH., PhD

Ilmu Kesehatan Masyarakat

Prof.DR.dr.Adi Heru Sutomo, DLSHTM, DCN

Ilmu Kessehatan Masyarakat

dr.Wahyudi Istiono,M.Kes

Ilmu Kesehatan Masyarakat

Dra.Yayi Suryo Prabandari, MSi., PhD

Ilmu Kesehatan Masyarakat

dr.Fatwasari Tetra Dewi, MPH., PhD

Ilmu Kesehatan Masyarakat

Alm. Mariyono Sedyowinarso, SKp., M.Si.

Prodi Ilmu Keperawatan

Totok Harjanto, S.Kep., Ns., M.Kes

Prodi Ilmu Keperawatan

dr. Suryono Yudha Patria, SpA(K)

Imu Kesehatan Anak

dr.Detty, MSc., PhD., SpOG(K)

Ilmu Kebidanan dan Kandungan

dr.Mora Claramita,MHPE., PhD

Bagian Pendidikan Kedokteran

dr.Citra Indriyani, MPH

Ilmu Kesehatan Masyarakat

dr.Hikmawati,MMed.Ed

Bagian Pendidikan Kedokteran

Dr.Nur Azid Mahardinata

Bagian Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Kedokteran

Dr.Emy Huriyati, M.Kes

Prodi Gizi Kesehatan

dr.Fitriana

Tim Kedokteran Keluarga/ Tim CFHC-IPE

dr.Fransisca Kurnia Chandra

Tim CFHC-IPE

dr.Dianing Pratiwi

Tim CFHC-IPE

Editor:

Dra.Yayi Suryo Prabandari, MSi., PhD

dr.Fatwasari Tetradewi, MPH, PhD

dr.Fitriana

Cover:

dr.Fitriana

dr.Fransisca Kurnia Chandra

Page 3: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

3

KATA PENGANTAR

Assalammu‟alaikum wr.wb

Puji syukur yang dalam kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, Yang Maha Pengasih dan

Penyayang atas segala anugerah dan berkah Nya, karena telah selesainya penyusunan buku

Panduan Umum CFHC-IPE bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran. Sebuah tim inter-disipliner

terdiri atas praktisi-praktisi yang berasal dari berbagai macam profesi yang berbeda, yang

berbagi populasi pasien yang sama dan tujuan pelayanan pasien yang sama, memiliki tugas dan

kewajiban yang saling mendukung dan bergantung antar profesi. Tim ini saling bergantung

secara aktif, dengan sarana komunikasi yang memadai diantara anggotanya dan dengan pasien

beserta keluarganya untuk memastikan bahwa semua aspek kebutuhan kesehatan pasien

tertangani secara komprehensif.

Pendidikan profesi kesehatan seringkali bersifat eksklusif sesuai dengan profesinya

masing-masing. Mahasiswa tidak memiliki banyak kesempatan untuk menimba ilmu mengenai

atau bersama-sama dengan mahasiswa dari profesi lain. Untuk dapat berfungsi secara efektif

sebagai sebuah tim, para anggota harus terlebih dahulu memahami peran serta tugas dan

kewajiban profesi lain.

Hubungan kelompok yang sudah terbangun dengan baik menjadi dasar dalam kegiatan di

kurikulum CFHC yang berbasiskan masyarakat dalam bentuk Family Attachment. Kegiatan

CFHC yang merupakan kegiatan longitudinal selama masa pembelajaran di S1 yang akan

menerapkan pembelajaran Patient Safety, Evidence Based Practice, Public Health, Ethic and

Professionalism, Family Medicine, Learning Skills, Clinical Skills Lab, Inter-professional

Education (IPE), Pengembangan Kepribadian, baik dari Pendidikan Dokter maupun Ilmu

Keperawatan dan Gizi Kesehatan.

Tim CFHC-IPE

Fakultas Kedokteran-Universitas Gadjah Mada

Page 4: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. 1

KONTRIBUTOR ....................................................................................................................... 2

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 3

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 4

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 5

BAB I Family Attachment-Biospychosocia ........................................................................ 7

BAB II Interprofesssional Education (IPE), Communication,

and Interprofesional Teamwork ............................................................................ 17

BAB III Need-Want-Demand ............................................................................................. 36

BAB IV Perjalanan Alamiah Penyakit ............................................................................... 39

BAB V Upaya Promosi dan Prevensi Kesehatan .............................................................. 46

BAB VI Keseimbangan Ekologis ........................................................................................ 57

BAB VII Epidemiology (Surveillance And Data Analysis) ................................................ 60

BAB VIII Occupational Health .............................................................................................. 65

BAB IX Menyadari Keterbatasan ......................................................................................... 76

BAB X Penyuluhan Pada Masyarakat, Intervensi Motivasional Sederhana ...................... 79

BAB XI Communication Action and Communication Empowerment,

Pendekatan dan Pemberdayaan Masyarakat untuk Kesehatan ............................... 98

BAB XII Sistem Rujukan .................................................................................................... 116

Page 5: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

5

PENDAHULUAN

Buku acuan umum CFHC-IPE merupakan rujukan keilmuan yang bersifat praktis. Buku

ini digunakan untuk menambah kejelasan tentang dasar-dasar keilmuan CFHC-IPE secara

sederhana. Untuk pendalaman diperlukan melihat rujukan-rujukan yang ditulis pada masing-

masing bab.

Isi buku ini menyangkut masalah dasar-dasar kerja profesional tenaga kesehatan di

tingkat pelayanan primer dengan pendekatan personal atau biopsiososial-kultur-spiritual; Inter

professional education, communication, and teamwork; need, want, dan demand; Upaya

penanggulangan penyakit; perjalanan alamiah penyakit; keseimbangan ekologis; epidemiologi;

occupational health; self awareness; penyuluhan masyarakat; communication action and

communication empowerment, pendekatan dan pemberdayaan masyarakat untuk kesehatan; dan

sistem rujukan.

Pada prinsipnya pelayanan primer akan berhasil bila melibatkan pasien sebagai personal

yang memiliki latar belakang biopsiososial-kultur-spiritual. Upaya personal dapat

dikelompokkan di dalam keinginan individu, kebutuhan, serta suatu upaya yang harus dipenuhi

(need, want, demand), maka hasil yang diharapkan dari upaya tersebut adalah tercapainya status

kesehatan individu, keluarga dan masyarakat yang optimal yaitu semua upaya sudah

dilaksanakan termasuk self awareness, penyuluhan masyarakat, communication action and

communication empowerment, pendekatan dan pemberdayaan masyarakat untuk kesehatan, serta

sistem rujukan.

Bagi mahasiswa yang sedang menjalankan pendidikan CFHC-IPE, acuan tersebut diatas

dapat digunakan untuk melaksanakan tugas lapangan baik secara individu maupun kelompok.

Kegiatan CFHC-IPE dilaksanakan secara kelompok karena realitas kegiatan di pelayanan primer

dilakukan oleh tim kesehatan baik dari profesi dokter, perawat, dietisen, dan lain-lain maka

diperlukan pendidikan interprofesi serta pembentukan teamwork seawal mungkin semenjak

mahasiswa semester satu sampai dengan selesai sarjana.

Page 6: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

6

Tujuan pembelajaran CFHC-IPE adalah pendekatan personal di dalam keluarga

dilanjutkan dengan pelayanan komunitas berbasis pada kerjasama tim, maka diperlukan

pengetahuan tentang upaya penanggulangan penyakit di tingkat primer yang meliputi berbagai

komponen antara lain pemahaman perjalanan alamiah penyakit, keseimbangan ekologis, dan

epidemiologi.

Ketua Koordinator CFHC-IPE

Page 7: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

7

BAB I

FAMILY ATTACHMENT-BIOPSYCHOSOCIAL

dr.Wahyudi Istiono, M.Kes

dr.Fransisca Kurnia Chandra

Totok Harjanto, S.Kep., Ns., M.Kes

dr.Emy Huriyati, M.Kes

Editor:

dr.Fatwasari Tetradewi, MPH, PhD dan dr.Fitriana

Biospikososial-kultur-spiritual merupakan suatu konteks dinamika kehidupan individu

terutama di lingkungan keluarga maupun lingkungan kerja. Prinsip pengelolaan kesehatan yang

berbasis pada individual atau personal menggunakan konteks tersebut di atas sebagai prosedur

spesifik keilmuan di bidang pelayanan primer (family medicine). Biopsikososial memberikan

dasar pemahaman menentukan penyakit, mengarahkan pada terapi yang tepat, dan pola

pelayanan kesehatan .

Pendekatan biopsikososial secara sistematis mempertimbangkan faktor biologi, psikologi,

dan sosial dan interaksi kompleks dalam memahami sehat, sakit (illness), dan penyampaian

pelayanan kesehatan. Pendekatan ini menggambarkan karakteristik personal yang lebih lengkap

dan lebih realistis sebagaimana kehidupan sehari-hari klien beserta keluarganya.

Dahulu, terminologi yang dipakai adalah biomedical, di mana kata tersebut hanya

menjelaskan tentang pikiran dan tubuh. Mengingat penyakit primer merupakan kegagalan tubuh

yang dihasilkan dari infeksi, keturunan atau semacamnya, konsekuensi dari pemakaian

terminologi biomedical hanya menjelaskan sebagian dari konsep sehat. Hal tersebut menjadikan

definisi sehat dari WHO menjadi sederhana, yaitu tidak adanya penyakit. Pada sebuah tulisan

yang dibuat oleh Engel, dikatakan paradigma biomedical dan konsep sosial dan psikologi

memberikan pemahaman proses sakit lebih baik. Beberapa tahun ini, model biopsikososial lebih

dipakai dan diterima. Secara umum sekarang sakit dan sehat merupakan hasil dari interaksi

antara faktor biologi, psikologi, dan sosial (Yolanda, 2004).

Tenaga kesehatan sebagai bagian intergral dari pelayanan kesehatan, ikut menentukan

menentukan mutu dari pelayanan kesehatan. Pelayanan tenaga kesehatan sebagai pelayanan

professional merupakan pelayanan yang bersifat humanistik, dilaksanakan berdasarkan ilmu dan

Page 8: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

8

kiat yang berorientasi pada kebutuhan objektif klien baik secara individu, keluarga, kelompok,

komunitas dan masyarakat yang dilandasi etika profesi.

Pengelolaan kesehatan personal juga mempertimbangkan konsep disease/sickness (yang

merujuk pada kesehatan biologis) dan illness (yang merujuk pada fungsi dan makna biologis

dalam kehidupan sehari-hari/psikososial, kultur dan spiritual) yang dirasakan individu dengan

pengertian subjektif. Identifikasi pengelolaan illness dan disease/sickness dapat dilihat dari

dokumen medical record yang informasinya dikelompokkan ke dalam identitas sosial demografi

dan identitas klinik (subjektif, objektif, assessment, dan plan).

Pendekatan pelayanan primer harus mempertimbangkan semua aspek di atas dengan

rincian sebagai berikut:

1. Untuk memahami masalah pada perseorangan atau individu perlu diketahui terlebih dahulu

masalah sosial demografi secara rinci. Output ini digunakan untuk mempertimbangkan faktor

risiko, pencegahan, pendampingan, dan pemberdayaan individu tatkala sakit.

2. Informasi subjektif sebagai hasil anamnesis mempertimbangkan respon pasien terhadap sakit

atau keluhan yang sedang diderita (illness). Respon tersebut digali dengan pendekatan

aktivitas psikologi individu, status sosial dan kegiatan sosial, kultur di lingkungan keluarga

maupun sosial sekitarnya, serta aktivitas spiritual. Indikator kejelasan informasi sakit atau

keluhan yang sedang diderita (illness) dapat berwujud semacam ide, harapan, perasaan, afek

dan fungsi.

3. Informasi objektif adalah upaya aktif pengelolaan pelayanan kesehatan yang berbasis pada

riwayat penyakit, pemeriksaan klinis maupun pemeriksaan laboratorium selama kontak

dengan pasien.

4. Assessment dilakukan untuk menganalisis hasil informasi subjektif maupun objektif berupa

diagnosis banding dan diagnosis utama yang bersifat holistik.

5. Plan merupakan suatu upaya mencari pemecahan atau penyelesaian komprehensif masalah

yang berbasis pada prevensi pada semua level perjalanan alamiah penyakit (five level

prevention of Klark). Plan juga dapat berarti penyelesaian masalah mulai dari faktor risiko

yang didapat pada konteks dinamika kehidupan individu, disease/sickness and illness yang

ditemukan.

Page 9: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

9

Pelayanan primer yang berbasis pada personal (patient center care) pada prinsipnya

mengelola problem individu, tujuan yang diharapkan dan aturan atau prosedur yang akan

diterapkan. Posisi pelayanan primer merupakan upaya pelayanan di tingkat kontak pertama.

Indikator pengelolaan diagnosis holistik dan penanganan yang komprehensif dapat

mengacu pada:

1. Anamnesis holistik :

a. Personal social history

b. Family assessment tool: genogram, family map, family life cycle, family lifeline, family

APGAR (Adaptation, Partnership, Growth, Affection, and Resolve), dan family

SCREEM (Social, Cultural, Religion, Economic, Education, and Medical).

c. Risk Factor

d. Disease and illness

2. Diagnosis holistik meliputi diagnosis psikososial, kultur, dan spiritual serta diagnosis medik.

3. Plan atau manajemen holistik meliputi:

a. intervensi psikososial

b. intervensi medik (diagnosa, treatment dan followup)

c. intervensi berbasis EBM

d. Upaya pencegahan diberbagai level perjalanan alamiah penyakit.

Kesadaran tenaga kesehatan akan dampak dari stres yang dirasakan pasien sangat

membantu dalam proses promosi kesehatan dan pengobatan yang tepat untuk pasien. Setiap

individu merupakan pribadi yang unik yang memiliki pengalaman pribadi, tingkat pendidikan,

perilaku, kultur, kepercayaan akan kesehatan, kelemahan pribadi. Hal unik tersebut yang

membuat pasien mendapatkan penanganan yang berbeda-beda.

Dokter memiliki kemampuan untuk menjadikan pasiennya memiliki kesehatan yang lebih

baik. Beberapa kemampuan yang dimiliki dokter:

a. Reward power

Dokter memiliki kemampuan memberi kepuasan kepada pasien melalui suatu hal yang riil.

Hal tersebut seperti obat untuk meringankan nyeri, mengobati penyakit, memberikan

perhatian, informasi dan jaminan.

Page 10: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

10

b. Coercive power

Dokter memiliki hak memberikan masukkan untuk kebaikan pasien, seperti memberikan obat

kepada pasien, memondokkan pasien dan menolak permintaan pasien.

c. Expert power

Walaupun informasi tentang penyakit dapat diperoleh dari banyak sumber, tetapi pasien tetap

menganggap bahwa dokter adalah orang yang paling mengetahui sakitnya.

d. Referent power

Pasien akan menjaga hubungan dengan dokter untuk memperkuat dan mendukung diri

sendiri.

e. Legitimate power

Seorang dokter diberi kuasa untuk memutuskan seseorang boleh atau tidak boleh melakukan

suatu tindakan karena pasien datang dan meminta saran dari dokter dan hal tersebut dilindungi

oleh pemerintah. Beberapa contohnya adalah seorang dokter dapat memberikan ijin pasien

tidak masuk kerja, memondokkan pasien ke rumah sakit jiwa.

Tindakan kolaborasi keperwatan dilakukan dengan tim kesehatan dalam pemberian

asuhan keperawatan, perencanaan terhadap upaya penyembuhan serta pemulihan kesehatan

klien. Kolaborasi keperawatan dapat juga dilakukan secara lintas sektoral untuk pengembangan

dan pelaksanaan program kesehatan dalam upaya peningkatan kesehatan individu, keluarga dan

masyarakat. Peran perawat secara umum adalah sebagai berikut:

1. Care provider, menerapkan keterampilan berfikir kritis dan pendekatan sistem untuk

penyelesaian masalah serta pembuatan keputusan keperawatan dalam konteks pemberian

askep yang komprehensif dan holistik berlandaskan aspek etik dan legal.

2. Community leader, menjalankan kepemimpinan di berbagai komunitas, baik komunitas

profesi maupun komunitas sosial

3. Educator, mendidik klien dan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya

4. Manager, mengaplikasikan kepemimpinan dan manajemen keperawatan dalam asuhan

klien

5. Researcher, melakukan penelitian keperawatan dengan cara menumbuhkan kuriositas,

mencari jawaban terhadap fenomena klien, menerapkan hasil kajian dalam rangka

membantu mewujudkan Evidance Based Nursing Practice (EBNP)

Page 11: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

11

Mendengarkan secara aktif merupakan salah satu kelebihan tenaga kesehatan dalam

menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi pasien baik biologi, psikologi, dan sosial. Hal

tersebut dapat terjadi karena beberapa hal:

1. Pasien mengharapkan bantuan

Seorang pasien yang datang untuk konsultasi dengan tenaga kesehatan selalu yakin

bahwa akan mendapat pertolongan dari mereka.

2. Hubungan terapetik

Walaupun seorang pasien meyakini bahwa seorang tenaga kesehatan dapat

menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, tetapi seorang pasien tetap dapat

mengggunakan pengetahuan, kemampuan, dan perilaku sehari-harinya untuk menentukan

cara yang digunakan dalam menyelesaikan masalah. Ikatan ini menciptakan hubungan

yang didasari oleh saling menjaga dan memperhatikan satu sama lain.

3. Obtaining an external perspective

Pasien selalu mengharapkan seorang tenaga kesehatan yang bijak dan berpengetahuan

luas agar dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

4. Encourage a corrective experience

Psikoterapi merupakan suatu pendekatan pengobatan pasien yang efektif. Psikoterapi

dapat mengubah fungsi, reaksi dan respon pasien terhadap suatu masalah.

5. Opportunity to test reality repeatedly

Tenaga kesehatan adalah seseorang yang bisa selalu menjadi tempat pasien berkeluh

kesah. Dokter bertanggungjawab untuk mendampingi pasien menghadapi masalah.

Permasalah klien juga mendapat perhatian dari perawat terhadap penyimpanan dan tidak

terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (bio-psiko-sosial dan spiritual) menjadi bidang garapan

dan fenomena yang menjadi objek kelimuan keperawatan yang mencakup seluruh siklus

kehidupan.

Kemampuan tenaga kesehatan dalam menggali masalah psikososial yang sedang dihadapi

pasien sangat penting. Pertanyaan yang diajukan harus sistematis mengingat waktu yang dimiliki

seorang tenaga kesehatan saat praktek sangat terbatas. Untuk mendapatkan hasil maksimal dalam

waktu yang tidak banyak, dapat digunakan akronim BATHE untuk melengkapi SOAP (subjektif,

objektif, assessment, dan plan) dalam rekam medis. BATHE ini dapat membuat hubungan

Page 12: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

12

terapetik yang kuat, sehingga bisa saja pasien tidak membutuhkan obat tetapi hanya edukasi.

Komponen BATHE meliputi:

i. Background, pertanyaan tentang tujuan pasien datang.

ii. Affect, pertanyaan tentang perasaan pasien saat ini.

iii. Trouble, pertanyaan yang berfokus pada masalah utama yang sedang dihadapi oleh pasien.

iv. Handling, pertanyaan tentang tindakan yang sudah dilakukan pasien dalam menghadapi

masalah.

v. Empathy, membuat pernyataan yang masuk akal bagi pasien

Penggalian masalah psikososial pasien yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tidak

menjadikan tenaga kesehatan tersebut ikut bertanggungjawab dalam masalah pasien, tetapi hal

ini bertujuan untuk membantu dokter menentukan terapi yang paling tepat untuk pasien. Dalam

hal ini tenaga kesehatan hanya mendampingi pasien menyelesaikan masalah dan memastikan

bahwa pasien mengetahui bahwa tenaga kesehatan akan membantu. Penting bagi tenaga

kesehatan untuk menentukan masalah yang sedang dihadapi oleh pasien lebih dominan biomedik

atau psikososial.

Seorang tenaga kesehatan tidak boleh mendikte pasien dalam memilih cara yang akan

dipakai untuk menyelesaikan masalah. Tenaga kesehatan hanya mendampingi pasien

menentukan masalah utama yang dihadapi dan memberikan beberapa macam alternatif

penyelesaian, pada akhirnya pasien yang akan menentukan pilihan. Hal ini lebih baik karena

dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan pasien dalam menganalisa alternatif mana yang

paling baik untuk dirinya.

Ketika seorang pasien sudah putus asa, tenaga kesehatan harus meyakinkan pasien bahwa

selalu ada penyelesaian untuk tiap masalah. Intervensi terapetik ini akan membantu pasien lebih

terbuka terhadap kemungkinan yang ada.

Terdapat beberapa cara dalam menghadapi masalah, seperti (Rakel, 2007):

1. Leaving, menyelidiki kemungkinan hasil terbaik dan terburuk dan merencanakan waktu yang

tepat untuk menentukan sikap.

2. Changing, hal ini membutuhkan investigasi terhadap masalah yang dapat dihadapi dan solusi

yang dimiliki.

3. Accepting, menjelaskan bahwa bila masalah yang dihadapi berubah, mereka harus bisa juga

berubah agar semua masalah dapat tertangani dengan baik.

Page 13: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

13

4. Reframing, menemukan cara menginterpretasikan bahwa suatu masalah merupakan

pengalaman positif dan dapat dipakai sebagai pembelajaran di masa yang akan datang.

Bekerja sama dengan keluarga merupakan dasar dari kedokteran keluarga. Keluarga yang

hidup dalam harmoni dapat menciptakan kesehatan mental yang baik untuk setiap anggota

keluarganya dan juga stabilitas sosialnya. Hampir semua keluarga memiliki masalah psikososial

salah satu contohnya seperti perceraian oleh karena itu dokter perlu mengetahui masalah

psikososial yang dialami oleh keluarga tersebut.

Family therapy paling baik dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal ini disebabkan oleh

karena tenaga kesehatan memiliki posisi untuk dapat melakukan perawatan keluarga dan

berkelanjutan. Dari sudut pandang family therapi, bekerjasama dengan keluarga bukan berarti

tenaga kesehatan dapat mendikte yang harus dilakukan oleh keluarga, bertanggungjawab dengan

apa yang keluarga butuhkan, dan menyebabkan keluarga menjadi bergantung pada tenaga

kesehatan. Dari sudut pandang family education, bekerjasama dengan tenaga kesehatan berarti

membantu keluarga mampu menerima perubahan yang baik maupun perubahan yang buruk.

Tenaga kesehatan perlu mengetahui karakteristik keluarga yang dibinanya agar dapat

menilai dan membantu melakukan dari prevensi, promosi, kurasi, dan rehabilitasi. Beberapa

karakteristik yang dimiliki keluarga adalah:

1. Komunikasi yang sehat, anggota keluarga bebas mengekspresikan perasaan dan emosi.

2. Otonomi, yang menunjukkan bahwa setiap anggota keluarga memiliki kesempatan

menentukan keputusan ataupun lainnya secara mandiri serta toleran terhadap kehidupan

anggota keluarga lainnya

3. Fleksibel, anggota keluarga dapat saling menerima perubahan yang terjadi satu sama lain.

4. Apresiasi, anggota keluarga saling mendukung dan memuji untuk membangun kepercayaan

diri.

5. Saling mendukung, tingkat stres seseorang dapat berkurang dengan adanya dukungan dari

keluarga.

6. Waktu keluarga, meluangkan waktu bersama keluarga dapat meningkatkan kebahagiaan

seseorang.

7. Ikatan keluarga, yang dicirikan dengan pola hubungan yang bervariasi misalnya genetic.

Satu atap, satu dapur, satu tempat tidur, serta satu ikatan formal perkawinan ataupun lainnya.

Page 14: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

14

8. Tumbuh, individu sebagai bagian dari keluarga maupun keluarga tersebut dapat dikatakan

berkembang dan menjalani pertumbuhan phisik maupun biopsiko social spiritualnya samapai

dengan fase tertentu akan mengalami kemunduran.

9. Nilai spiritual dan religius, keluarga yang memupuk nilai spiritual dan religius memiliki

tingkat kesehatan keluarga yang lebih baik.

Sebuah keluarga terkadang ditimpa oleh masalah seperti sakit, perceraian, dipecat, dan

lain-lain. Kondisi sakit yang terjadi pada salah satu anggota keluarga atau beberapa tidak hanya

mempengaruhi kehidupan yang mengalaminya, tetapi dapat juga mengganggu keseimbangan

sistem dalam keluarga. Tenaga kesehatan perlu meminta peran serta keluarga untuk membantu

pasien dalam menghadapi masalah sakitnya. menghadapi sakit pasien.

Untuk mengetahui manifestasi sakit pasien, tenaga kesehatan harus mengetahui respon

pasien terhadap stimulus stres baik yang berasal dari dalam (keluarga dan pekerjaan) maupun

dari luar (karakter personal).

Untuk memahami masalah yang sedang dialami oleh pasien, seharusnya seorang tenaga

kesehatan juga melihat latar belakang keluarganya sehingga diharapkan dapat memahami pasien

secara holistik. Untuk memahami permasalahan pasien, tenaga kesehatan seharusnya

mengevaluasi dinamika keluarga. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk

mengevaluasinya, seperti:

a. Mengobservasi interaksi antara anggota keluarga.

b. Lakukan konseling dengan seluruh anggota keluarga.

c. Lakukan kunjungan rumah.

d. Buatlah genogram untuk mengetahui struktur dan hubungan keluarga.

Konsep family life cycle dapat dipahami bila kita mengatahui dinamika dalam keluarga.

Beberapa tahapan family life cycle (John, 2011):

1. Meninggalkan rumah, menjadi pribadi yang mandiri dan mulai terpisah secara emosi

dengan orang tua.

2. Menikah, menjalin hubungan dengan suami atau istri, tahap ini membuat hubungan

emosi dengan orangtua menjadi lebih terpisah.

3. Belajar hidup bersama, memulai hidup baru dengan keluarga.

4. Mengasuh anak pertama, memiliki anggota keluarga baru dan menambah peran sebagai

orang tua.

Page 15: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

15

5. Hidup dengan remaja, meingkatkan fleksibiltas batasan-batasan dalam keluarga

6. Melepas anak yang telah dewasa, penyesuaian telah berakhirnya peran sebagai orang tua.

7. Pensiun, masa di mana sudah tidak memiliki penghasilan dan membangun hubungan baru

dengan anak, cucu, atau anggota keluarga lainnya.

8. Usia tua, belajar menerima bahwa semakin lemah dan bergantung pada orang lain, belajar

menerima kehilangan pasangan hidup, keluarga, atau teman.

Perawatan kesehatan keluarga adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan pada keluarga

sebagai unit pelayanan untuk mewujudkan keluarga yang sehat. Fungsi perawat membantu

keluarga untuk menyelesaikan masalah kesehatan dengan cara meningkatkan kesanggupan

keluarga melakukan fungsi dan tugas perawatan kesehatan keluarga.

Peran perawat dalam melakukan perawatan kesehatan keluarga adalah sebagai berikut:

1. Pendidik

Perawat perlu melakukan pendidikan kesehatan kepada keluarga agar keluarga dapat

melakukan program asuhan kesehatan secara mandiri dan bertanggung jawab terhadap

masalah kesehatan keluarga.

2. Koordinator

Koordinasi diperlaukan pada perawatan agar pelayanan komprehensive dapat dicapai.

Koordinasi juga diperlukan untuk mengatur program kegiatan atau terapi dari berbagai

disiplin ilmu agar tidak terjadi tumpang tindih dan pengulangan.

3. Pelaksana

Perawat dapat memberikan perawatan langsung kepada klien dan keluarga dengan

menggunakan metode keperawatan.

4. Pengawas kesehatan

Sebagai pengawas kesehatan harus melaksanakan home visite yang teratur untuk

mengidentifikasi dan melakukan pengkajian tentang kesehatan keluarga.

5. Konsultan

Perawat sebagai nara sumber bagi keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan. Agar

keluarga mau meminta nasehat kepada perawat, hubungan perawat dan klien harus terbina

dengan baik, kemampuan perawat dalam menyampaikan informasi dan kialitas dari

informasi yang disampaikan secara terbuka dan dapat dipercaya.

Page 16: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

16

6. Kolaborasi

Bekerja sama dengan pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan anggota tim kesehatan

lain untuk mencapai kesehatan keluarga yang optimal.

7. Fasilitator

Membantu keluarga dalam menghadapi kendala seperti masalah sosial ekonomi, sehingga

perawat harus mengetahui sistem pelayanan kesehatan seperti rujukan dan penggunaan

dana sehat.

8. Penemu kasus

Menemukan dan mengidentifikasi masalah secara dini di masyarakat sehingga

menghindarkan dari ledakan kasus atau wabah.

9. Modifikasi lingkungan

Mampu memodifikasi lingkungan baik lingkungan rumah maupun masyarakat agar tercipta

lingkungan yang sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Alonso, Y., 2004. The biopsychosocial model in medical research: the evolution of the health

concept over the last two decades. PubMed: 53(2): 239-44.

John, M., 2011. General practice/John Murtagh 5th

ed. McGraw-Hill Australia Pty Ltd.

Kaakinen, Joanna Rowe., 2010. Family Health Care Nursing: theory, practice, and research, 4th

edition

Konsil Kedokteran Indonesia., 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Konsil Kedokteran

Indonesia, Jakarta

PPNI, AIPNI & AIPDIKI., 2012. Standar Kompetensi Perawat Indonesia, Jakarta. (diunduh dari

www.hpeq.dikti.go.id)

PPNI, AIPNI & AIPDIKI., 2012. Naskah akademik sistem pendidikan keperawatan, Jakarta.

(diunduh dari www.hpeq.dikti.go.id)

Rakel, E.R., 1990. Textbook of Family Practice 4th

. McGraw-Hill, Mexico.

Rakel, R.E., 2007. Textbook of Family Medicine 7th

ed. Saunder Elsevier: Philadelphia

Riskesdas., 2013. Diambil dari: depkes.go.id

Page 17: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

17

BAB II

INTERPROFESSIONAL EDUCATION (IPE),

COMMUNICATION AND INTERPROFESSIONAL TEAMWORK

Alm. Mariyono Sedyowinarso, S.Kp., M.Si dan dr.Mora Claramita, MHPE., PhD

1. Interprofessional Education (IPE)

a. Definisi IPE

Menurut the Center for the Advancement of Interprofessional Education (CAIPE,

1997), IPE adalah dua atau lebih profesi belajar dengan, dari, dan tentang satu sama lain

untuk meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan. IPEmerupakan pendekatan

proses pendidikan dua atau lebih disiplin ilmu yang berbeda berkolaborasi dalam proses

belajar-mengajar dengan tujuan untuk membina interdisipliner/interaksi

interprofessional yang meningkatkan praktek disiplin masing-masing (ACCP, 2009).

Menurut Cochrane Collaboration, IPE terjadi ketika dua atau lebih mahasiswa profesi

kesehatan yang berbeda melaksanakan pembelajaran interaktif bersama dengan tujuan

untuk meningkatkan kolaborasi interprofessional dan meningkatkan kesehatan atau

kesejahteraan pasien.

b. Tujuan IPE

Secara umum IPE bertujuan untuk melatih mahasiswa untuk lebih mengenal peran

profesi kesehatan yang lain, sehingga diharapkan mahasiswa akan mampu untuk

berkolaborasi dengan baik saat proses perawatan pasien. Proses perawatan pasien secara

interprofessional akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan

kepuasan pasien. Menurut Cooper (2001) tujuan pelaksanaan IPE antara lain: 1)

meningkatkan pemahaman interdisipliner dan meningkatkan kerjasama; 2) membina

kerjasama yang kompeten; 3) membuat penggunaan sumberdaya yang efektif dan

efisien; 4) meningkatkan kualitas perawatan pasien yang komprehensif.

WHO (2010) juga menekankan pentingnya penerapan kurikulum IPE dalam

meningkatkan hasil perawatan pasien. Gambar berikut menunjukkan bahwa IPE

merupakan langkah yang sangat penting untuk dapat menciptakan kolaborasi yang

Page 18: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

18

efektif antar tenaga kesehatan profesional sehingga dapat meningkatkan hasil perawatan

pasien.

Sumber: Framework for action on interprofessional education & collaboration practice

(WHO, 2010)

c. Aplikasi Konsep Kurikulum IPE.

Kurikulum IPE tidak dapat dipisahkan dari bagian kolaborasi interprofesional.

Interprofessional education dapat meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan terhadap

praktik kolaborasi. Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan, sklill, attitute dan

perilaku terhadap kolaborasi interprofesi. Hal tersebut akan membuat tenaga kesehatan

lebih mengutamakan bekerjasama dalam melakukan perawatan pada pasien ditunjukkan

oleh gambar berikut:

Page 19: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

19

d. Metode Pembelajaran IPE

1) Kuliah klasikal

IPE dapat diterapkan pada mahasiswa menggunakan metode pembelajaran berupa

kuliah klasikal. Setting perkuliahan melibatkan beberapa pengajar dari berbagai

disiplin ilmu (team teaching) dan melibatkan mahasiswa dari berbagai profesi

kesehatan. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum terintegrasi dari berbagai

profesi kesehatan. Kuliah dapat berupa sharing keilmuan terhadap suatu masalah

atau materi yang sedang dibahas.

2) Kuliah Tutorial (PBL)

Setting kuliah tutorial dapat dilakukan dengan diskusi kelompok kecil yang

melibatkan mahasiswa yang berasal dari berbagai profesi kesehatan. Mereka

membahas suatu masalah suatu masalah dan mencoba mengindentifikasi dan

mencari penyelesaian dari masalah yang dihadapi. Modul yang digunakan adalah

modul terintegrasi. Dosen berupa team teaching dari berbagai profesi dan bertugas

sebagai fasilitator dalam diskusi tersebut.

Page 20: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

20

3) Kuliah Laboratorium

Kuliah laboratorium dilaksanakan pada tatanan laboratorium. Modul yang

digunakan adalah modul terintegrasi yang melibatkan mahasiswa yang berasal dari

berbagai profesi kesehatan.

4) Kuliah Skills Laboratorium

Skills Laboratorium merupakan metode yang baik bagi IPE karena dapat

mensimulasikan bagaimana penerapan IPE secara lebih nyata. Dalam pembelajaran

skills laboratorium, mahasiswa dapat mempraktekkan cara berkolaborasi dengan

mahasiswa dari berbagai profesi dalam memberikan pelayanan kesehatan pada

pasien.

5) Kuliah Profesi/Klinis-Lapangan

Pendidikan profesi merupakan pendidikan yang dilakukan di rumah sakit dan di

komunitas. Pada pendidikan profesi mahasiswa dihadapkan pada situasi nyata di

lapangan untuk memberikan pelayanan kepada pasien nyata. Melalui pendidikan

profesi, mahasiswa dapat dilatih untuk berkolaborasi dengan mahasiswa profesi lain

dalam kurikulum IPE.

2. Interprofessional Communication

a. Definisi komunikasi interprofesi

Komunikasi atau communication menurut bahasa inggris adalah bertukar pikiran, opini,

informasi melalui perkataan, tulisan ataupun tanda-tanda (Hornby et al, 2007).

Komunikasi interprofesi adalah bentuk interaksi untuk bertukar pikiran, opini dan

informasi yang melibatkan dua profesi atau lebih dalam upaya untuk menjalin

kolaborasi interprofesi.

b. Manfaat komunikasi interprofesi

Komunikasi interprofesi yang sehat menimbulkan terjadinya pemecahan masalah,

berbagai ide, dan pengambilan keputusan bersama (Potter & Perry, 2005). Bila

komunikasi tidak efektif terjadi di antara profesi kesehatan, keselamatan pasien menjadi

taruhannya. Beberapa alasan yang dapat terjadi yaitu kurangnya informasi yang kritis,

salah mempersepsikan informasi, perintah yang tidak jelas melalui telepon, dan

melewatkan perubahan status atau informasi (O‟Daniel and Rosenstein, 2008).

Page 21: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

21

c. Faktor yang mempengaruhi komunikasi interprofesi

Menurut Potter dan Perry (2005) keefektifan komunikasi interprofesi dipengaruhi oleh :

a) Persepsi yaitu suatu pandangan pribadi atas hal-hal yang telah terjadi. Persepsi

terbentuk apa yang diharapkan dan pengalaman. Perbedaan persepsi antar profesi yang

berinteraksi akan menimbulkan kendala dalam komunikasi; b) Lingkungan yang

nyaman membuat seseorang cenderung dapat berkomunikasi dengan baik. Kebisingan

dan kurangnya kebebasan seseorang dapat membuat kebingunan, ketegangan atau

ketidaknyamanan; c) Pengetahuan yaitu suatu wawasan akan suatu hal. Komunikasi

interprofesi dapat menjadi sulit ketika lawan bicara kita memiliki tingkat pengetahuan

yang berbeda. Keadaan seperti ini akan menimbulkan feedback negatif, yaitu pesan

menjadi akan tidak jelas jika kata-kata yang digunakan tidak dikenal oleh pendengar.

d. Upaya meningkatkan kemampuan komunikasi interprofesi

Menurut Wagner (2011), IPE merupakan langkah yang penting untuk dilakukan karena

melalui IPE, mahasiswa dapat melatih kemampuan komunikasi interprofesi pada situasi

yang tidak membahayakan pasien tetapi tetap mencerminkan situasi yang mendekati

situasi nyata. Kebutuhan akan strategi pembelajaran untuk meningkatkan komunikasi

interprofesi berkembang. Oleh karena itu, pendidik diharapkan mampu mengembangkan

metode dan strategi pembelajaran yang menggabungkan kemampuan komunikasi dan

budaya pasien serta keterampilan teknis sejak tahap akademik (Mitchell, 2010). Salah

satu model IPE yang dapat diterapkan adalah simulasi IPE. Melalui simulasi IPE

tersebut mahasiswa dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam

berkomunikasi dengan profesi yang lain. Selain itu mahasiswa juga lebih percaya diri

untuk berkomunikasi dengan profesi yang lain ketika berkolaborasi dengan profesi yang

lain karena mahasiswa sudah memiliki bekal pengalaman sebelumnya. Wagner (2011)

menjelaskan dalam penelitiannya yang berjudul “Developing Interprofessional

Communication Skills” bahwa simulasi IPE sangat efektif dan diterima dengan baik

sebagai inovasi dalam pembelajaran mahasiswa kesehatan. Simulasi tersebutmerupakan

langkah awal menuju pengembangan budaya yang menumbuhkan kerja sama tim

interprofessional dalam perawatan kesehatan. Selain itu, simulasi tersebut adalah cara

untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui pengembangan kolaborasi

Page 22: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

22

interprofesi, karena memberikan kesempatan setiap kelompok untuk belajar berinteraksi

dengan profesi yang lain.

Selain melalui simulasi IPE, pembelajaran IPE juga dapat menggunakan metode

tutorial yang mengintegrasikan berbagai profesi kesehatan. Metode IPE melalui diskusi

tutorial tersebut berpusat pada berbagai aspek peran profesi kesehatan dan komunikasi

antara dokter, tenaga keperawatan serta pasien dalam setting managemen perawatan.

Mitchell (2010) menjelaskan dalam penelitiannya yang berjudul “Innovation In Learning

– An Interprofessional Approach To Improving Communication”bahwa tutorial sangat

efektif untuk memberikan kesadaran akan pentingnya kolaborasi tim interprofesi dalam

perawatan pasien. Selain itu, diskusi yang terjadi selama tutorial dengan profesi yang

lain dapat melatih mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi

interprofesi.

Menurut Berridge (2010), komunikasi interprofesi merupakan faktor yang sangat

berpengaruh dalam meningkatkan keselamatan pasien, karena melalui komunikasi

interprofesi yang berjalan efektif, akan menghindarkan tim tenaga kesehatan dari

kesalahpahaman yang dapat menyebabkan medical error, sehingga perlu adanya

kurikulum pembelajaran IPE yang mampu melatih kemampuan mahasiswa dalam

sebuah kolaborasi interprofesi.

Berikut ini adalah karakter dalam komunikasi interprofesi kesehatan yang kami

temukan melalui serangkaian penelitian ilmiah bersama dengan profesi dokter, perawat,

apoteker dan gizi kesehatan dan telah mendapatkan validasi oleh pakar komunikasi dari

Indonesia maupun Eropa (Claramita, et.al, 2012):

1. Mampu menghormati (Respect) tugas, peran dan tanggung jawab profesi kesehatan

lain, yang dilandasi kesadaran/sikap masing-masing pihak bahwa setiap profesi

kesehatan dibutuhkan untuk saling bekerjasama demi keselamatan pasien (Patient-

safety) dan keselamatan petugas kesehatan (Provider-safety).

2. Membina hubungan komunikasi dengan prinsip kesetaraan antar profesi kesehatan.

3. Mampu untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif antar petugas kesehatan

yang berbeda profesi dalam

4. Berinisiatif membahas kepentingan pasien bersama profesi kesehatan lain.

5. Pembahasan mengenai masalah pasien dengan tujuan keselamatan pasien bisa

Page 23: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

23

dilakukan antar individu ataupun antar kelompok profesi kesehatan yang berbeda.

6. Mampu menjaga etika saat menjalin hubungan kerja dengan profesi kesehatan yang

lain.

7. Mampu membicarakan dengan profesi kesehatan yang lain mengenai proses

pengobatan (termasuk alternatif/ tradisional)

8. Informasi yang bersifat komplimenter/ saling melengkapi: kemampuan untuk

berbagi informasi yang appropriate dengan petugas kesehatan dari profesi yang

berbeda (baik tertulis di medical record, verbal maupun non-verbal).

9. Paradigma saling membantu dan melengkapi tugas antar profesi kesehatan sesuai

dengan tugas, peran dan fungsi profesi masing-masing.

10. Negosiasi: Kemampuan untuk mencapai persetujuan bersama antar profesi

kesehatan mengenai masalah kesehatan pasien.

11. Kolaborasi: Kemampuan bekerja sama dengan petugas kesehatan dari profesi yang

lain dalam menyelesaikan masalah kesehatan pasien.

3. Interprofessional Teamwork

a. Definisi kerjasama interprofesi

Kerjasama merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama untuk

mencapai suatu tujuan. Kerjasama interprofesi dapat diartikan sebagai suatu kolaborasi

yang terkoordinasi di antara berbagai profesi tenaga kesehatan dalam melaksanakan

pelayanan kesehatan kepada pasien untuk mengoptimalkan efektifitas kinerja, efisiensi

biaya dan meningkatkan kepuasan pasien. Praktik kerjasama interprofesi menekankan

tanggung jawab bersama dalam manajemen perawatan, dengan proses pembuatan

keputusan bilateral didasarkan pada masing-masing pendidikan dan kemampuan

praktisi.

Kemitraan tenaga kesehatan dalam kerjasama interprofesi dapat ditumbuhkan dari

hasil hubungan interpersonal yang baik. Kemitraan dapat diciptakan apabila kedua

profesi yang bermitra mampu memperlihatkan sikap saling mempercayai dan

menghargai, memahami dan menerima keberadaan disiplin ilmu masing-masing,

menunjukkan citra diri yang positif, masing-masing anggota profesi yang berbeda dapat

menunjukkan kematangan profesional yang sama yang timbul karena pendidikan dan

Page 24: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

24

pengalaman, adanya keinginan dan kesadaran untuk berkomunikasi dan negosisasi

dalam menjalankan tugas yang interdependen dalam pencapaian tujuan bersama. Kedua

profesi memiliki kompetensi klinik dan kemampuan interpersonal, menilai dan

menghargai pengetahuan yang berbeda dan saling melengkapi.

b. Kerjasama tim dalam proses kolaborasi

Proses kolaborasi memiliki ciri-ciri khas, di antaranya adalah kerjasama,

koordinasi, saling berbagi, kompromi, rekanan, saling ketergantungan dan

kebersamaan. Menurut Kozier (1997) hal-hal yang dapat dilakukan dalam penerapan

kolaborasi adalah: a) Kebersamaan dalam perencanaan, pengambilan keputusan,

pemecahan masalah, tujuan dan pertanggungjawaban, b) Bekerjasama dalam

memberikan pelayanan, c) Melakukan koordinasi dalam pelayanan, d) Keterbukaan

dalam komunikasi. Menurut Siegler & Whitney (2000) proses kolaborasi harus

memenuhi 3 kriteria berikut ini: a) harus melibatkan tenaga ahli dengan bidang keahlian

yang berbeda, yang dapat bekerjasama timbal balik secara mulus, b) anggota kelompok

harus bersikap tegas dan mau bekerjasama, c) kelompok harus memberikan pelayanan

yang keunikannya dihasilkan dari kombinasi pandangan dan keahlian yang diberikan

oleh setiap anggota tim tersebut.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerjasama tim interprofesi

Menurut Weaver (2008), fungsi kerjasama tim yang efektif dipengaruhi oleh

faktor anteseden, proses dan hasil. Faktor-faktor tersebut merupakan sesuatu yang dapat

meningkatkan maupun menghambat proses kerjasama dalam tim seperti ditunjukkan

oleh kerangka berikut.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kerjasama Interprofesi

Sumber: Weaver, T.E., 2008. Enhancing multiple disciplinary teamwork.

Page 25: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

25

1) Anteseden (Antecedents)

a) Pertimbangan sosial dan intrapersonal(social and intrapersonal consideration).

Dasar pertimbangan sosial berawal dari kesadaran bahwa seseorang harus

membentuk suatu kelompok agar dapat bekerja secara efektif dan efisien. Sifat

manusia sebagai makhluk sosial yang saling memerlukan dapat menjadi dasar

terbentuknya sebuah tim. Pertimbangan intrapersonal juga merupakan

komponen penting dalam menciptakan kolaborasi yang baik. Anggota tim

harus memiliki tipe kepribadian yang baik dan sikap untuk bekerjasama yang

baik. Selain itu, kolaborasi yang efektif akan tercapai apabila masing-masing

anggota tim kesehatan merupakan pakar dalam profesinya masing-masing,

artinya anggota tim dari profesi yang satu harus seimbang dengan profesi yang

lain baik dari segi pengetahuan, keterampilan, maupun pengalaman yang

dimiliki agar dapat saling berdiskusi secara efektif.

b) Lingkungan fisik (physical environment)

Lingkungan kerja dan kedekatan di antara anggota tim dapat

memfasilitasi atau menghambat kolaborasi. Lingkungan kerja yang baik harus

dapat mendukung kemampuan anggota tim untuk mendiskusikan beberapa ide

maupun menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi, sehingga dapat

meningkatkan ikatan dan diskusi penting yang mengarah pada pemahaman dari

perspektif yang berbeda dan dapat menyelesaikan masalah di dalam tim.

c) Faktor organisasional dan institusional (organizational and institutional factor)

Institusi dan kelembagaan sangat berperan dalam mengurangi hambatan

untuk kolaborasi lintas profesi. Kebijakan yang diterapkan oleh suatu institusi

ataupun kelembagaan kesehatan harus dapat mendorong terciptanya kerjasama

antar profesi kesehatan, kebijakan tersebut dapat berupa penerapan kurikulum

interprofessional education maupun penerapan standar pelayanan kesehatan

melalui kolaborasi interprofesi dalam memberikan pelayanan kesehatan di

rumah sakit.

Page 26: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

26

2) Proses

a) Faktor perilaku

Perilaku bekerjasama antar profesi kesehatan merupakan kunci untuk

mengatasi hambatan dalam proses kolaborasi. Kesadaran untuk bekerjasama

dan saling membutuhkan harus ditanamkan pada setiap anggota tim agar tidak

ada arogansi maupun egoisme profesi. Perilaku bekerjasama juga bertujuan

untuk meredakan ketegangan di antara profesi yang berbeda, selain itu juga

untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya perawatan pasien.

b) Faktor interpersonal

Interpersonal merupakan cara untuk berhubungan dengan orang lain,

dalam hal ini adalah profesi kesehatan yang lain. Dalam hubungan

interpersonal harus terdapat peran yang jelas. Setiap profesi harus mengetahui

peran profesi yang lain, sehingga mereka dapat berbagi peran sesuai dengan

kompetensi masing-masing profesi. Untuk membentuk hubungan interprofesi

yang baik sangat diperlukan adanya komunikasi interprofesi yang efektif.

Melalui komunikasi interprofesi, anggota tim dapat saling berbagi ide,

perspektif dan inovasi perawatan kesehatan sehingga kolaborasi dapat berjalan

dengan baik.

c) Faktor intelektual

Sebuah institusi pendidikan profesi kesehatan memegang peranan yang

sangat penting dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kolaborasi

interprofesi. Kolaborasi Interprofesi akan berjalan dengan baik apabila setiap

anggota tim mempunyai tingkat pengetahuan dan keterampilan yang setara.

3) Outcome and opportunity

Pengembangan kerjasama dan kolaborasi tim interdisiplin akan sangat

membantu dalam menciptakan ide-ide baru yang berhubungan dengan inovasi

pelayanan kesehatan. Kesadaran terhadap hambatan terbentuknya kerjasama yang

efektif harus ditekankan pada setiap anggota tim sehingga dapat tercipta model

integratis dalam sistem pelayanan kesehatan. Tuntutan terhadap peningkatan

kualitas pelayanan kesehatan memberikan peluang bagi tenaga kesehatan untuk

menerapkan kolaborasi interprofesi dalam sistem pelayanan kesehatan.

Page 27: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

27

c. Upaya meningkatkan kerjasama interprofesi

Kerjasama yang efektif oleh tenaga kesehatan dari berbagai profesi merupakan

kunci penting dalam meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan dan keselamatan

pasien (Burtscher, 2012). Fakta yang terjadi saat ini, bahwa sulit sekali untuk

menyatukan berbagai profesi kesehatan tersebut kedalam sebuah tim interprofesi. Hal

tersebut dikarenakan kurangnya kemampuan tenaga kesehatan untuk menjalin kerjasama

yang efektif seperti kurangnya keterampilan komunikasi interprofesi dan belum

tumbuhnya budaya diskusi bersama profesi lain dalam menentukan keputusan klinis

pasien. Untuk itulah diperlukan adanya kurikulum yang dapat melatih mahasiswa tenaga

kesehatan untuk berkolaborasi sejak masa akademik agar mereka terbiasa berkolaborasi

dengan profesi lain bahkan sampai ketika mereka berada didunia kerja (Reeves, 2011).

Sebuah rekomendasi dari WHO (2010) yang bertema “Framework For Action On

Interprofessional Education & Collaborative Practice” menjelaskan bahwa

interprofessional education (IPE) merupakan strategi pembelajaran inovatif yang

menekankan pada kerjasama dan kolaborasi interprofesi dalam melakukan proses

perawatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pasien. Lebih jauh WHO

(2010) menjelaskan bahwa kerjasama interprofesi merupakan kemampuan yang harus

selalu dipelajari dan dilatih melalui IPE. Kemampuan kerjasama interprofesi yang baik

dapat dilihat dari kemampuan mahasiswa untuk menjadi team leader dan mampu

mengatasi hambatan dalam kerjasama interprofesi.

d. Penerapan kerjasama interprofesi

Tim interprofesi dapat terdiri atas berbagai profesi kesehatan seperti konsultan,

dokter, perawat, dokter spesialis, dan fisioterapis dan tim ini dapat diterapkan pada

berbagai macam tatanan perawatan misalnya pada ruang operasi maupun pada perawatan

geriatri. Dalam penerapan kerjasama interprofesi, anggota tim interprofesi mungkin saja

mengalami konflik karena beragamnya latar belakang profesi. Oleh karena itu

dibutuhkan pemahaman tentang perawatan yang berfokus pada komunikasi dan sikap

yang mengacu pada keselamatan pasien yang merupakan prioritas utama. Selain itu

dibutuhkan kejelasan peran masing-masing profesi dalam menciptakan perawatan yang

optimal, yaitu meliputi peran mandiri tiap profesi dan peran tim interprofesi secara

Page 28: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

28

keseluruhan. Penerapan kerjasama tin interprofesi pada beberapa tatanan perawatan

pasien dijelaskan sebagai berikut:

Salah satu metode yang dapat digunakan dalam meningkatkan efektifitas

kerjasama tim adalah Team Mental Models (TMM). TMM didefinisikan sebagai metode

anggota timnya yang dapat saling berbagi pengetahuan maupun pemahaman terkait

kompetensi kinerja klinis tenaga kesehatan. Menurut DeChurch dan Mesmer-Magnus

(2010), TMM telah terbukti memberikan efek yang signifikan terhadap proses kinerja

tim. Berdasarkan kompleksitas kasus pasien, Ruang Operasi (OK) menjadi salah satu

setting yang paling cocok untuk penerapan TMM.

Secara umum, konsep TMM mengacu pada pembagian pemahaman maupun

pengetahuan yang relevan antar anggota dalam mewujudkan kerjasama tim yang efektif.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Burtscher (2012) menyatakan bahwa melalui

TMM, tenaga kesehatan dapat berbagi pengetahuan, sikap, dan pemahaman terkait

peningkatan keselamatan pasien (patient safety). Anggota tim interdisiplin dapat saling

mengidentifikasi peran dan tanggungjawab masing-masing profesi serta dapat

menentukan solusi masalah kerjasama yang mungkin terjadi berdasarkan diskusi tim.

Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak ditemukan potensi masalah di klinis

maupun di masyarakat mengenai perawatan kesehatan pasien, khususnya pada lansia.

Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama tim interdisiplin tenaga kesehatan dalam

mewujudkan perawatan geriatri yang optimal (Kagan, 2010). Sebuah tim interdisiplin

perlu meningkatkan dan mengimplementasikan pengetahuan maupun kompetensi asuhan

perawatan akut pada geriatri. Tidak seperti perawatan geriatri jangka panjang, perawatan

akut lebih menitikberatkan pada pemberian perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien.

Tenaga kesehatan akan membentuk suatu tim kesehatan yang terdiri atas dokter,

psikiatri, maupun perawat klinis. Kerjasama tim interprofesi pada perawatan geriatri akut

dapat dilakukan misalnya dengan cara perawat dapat memberikan asuhan keperawatan

langsung kepada pasien, dokter berperan dalam perawatan medis, dokter bedah dapat

merencanakan medikasi dan tindakan operatif sesuai indikasi, sedangkan pekerja sosial

dapat mengkoordinasikan discharge planning pasien pada saat akan dipulangkan ke

rumah. Di sisi lain, fisioterapis dapat memberikan intervensi kritis kepada pasien untuk

mengembalikan fungsi tubuh yang hilang (Benedict, 2006).

Page 29: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

29

Tantangan Hirarki Ilmu-Ilmu Kedokteran dan Kesehatan

Berikut ini adalah ilustrasi adanya hirarki dalam proses kerjasama antar profesi kesehatan. Kedua

ilustrasi ini merefleksikan kenyataan minimnya komunikasi antar profesi kesehatan

dalam upaya kerjasama interprofesi kesehatan (Claramita, et al. 2012). Harapan

kami, mahasiswa kedokteran dan tenaga kesehatan mampu belajar dari kedua

ilustrasi ini, sehingga ke depan akan melalukan kerjasama antar profesi yang jauh

lebih baik dari yang sudah diilustrasikan di dalam tulisan ini, demi upaya

menjunjung tinggi keselamatan pasien.

Ilustrasi 1: Kerjasama dan Komunikasi antar profesi kesehatan di tahun awal pendidikan

Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan

Pada sebuah pelatihan Komunikasi Antar Profesi Kesehatan yang diberikan oleh kedua penulis,

bagi mahasiswa tahun pertama, sesaat ketika selesai Pekan Orientasi Fakultas dan Universitas di

tahun 2011 di UGM, sebanyak total 60 mahasiswa dari berbagai profesi kesehatan berpartisipasi.

Sepuluh orang diminta maju ke depan dan memainkan peran sesuai masing-masing profesi

kesehatan yang akan dipelajarinya. Skenarionya adalah bahwa mereka dalam pekan orientasi

yang lalu, ada salah satu dari rekan mahasiswa tiba-tiba pingsan – kemudian mereka dipersilakan

merespon sesuai persepsi mereka tentang profesi kesehatan yang akan mereka pelajari.

Respon dari mahasiswa Keperawatan:

Secara otomatis, mengangkat mahasiswa yang pingsan, kemudian membawanya ke tempat yang

„teduh‟, melonggarkan pakaiannya, berusaha mengajak bicara, dan mendampingi mahasiswa

tersebut sampai ia siuman dan mampu kembali lagi ke kelompoknya.

Jangan lupa bahwa Tenaga Kesehatan adalah juga seorang individu

yang unik yang mempunyai berbagai macam

permasalahan hidup; yang juga adalah seorang pasien

Page 30: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

30

Respon dari mahasiswa Gizi Kesehatan:

Berusaha memberikan support kepada mahasiswa yang pingsan melalui usaha mengambilkan air

minum, menanyakan apakah sudah sarapan, berusaha memberikan semangkuk „soto‟ dan

menanyakan kebiasaan makan sehari-hari

Respon dari mahasiswa Kedokteran:

Berdiri dari tempatnya, memberikan instruksi bagi mahasiswa yang lain untuk mengambil ini

dan mengambil itu, dalam upayanya menolong mahasiswa yang pingsan. Berusaha menanyakan

ada masalah apa dan ketika mengetahui bahwa mahasiswa tersebut belum sarapan, segera

memberikan nasehat bahwa sarapan pagi itu sangat penting.

Catatan penulis;

Selama proses menolong mahasiswa yang pingsan tersebut terjadi, komunikasi yang terjalin

antar profesi kesehatan amat minimal, dan sebatas „instruksi‟ dari „dokter‟, dan tidak sampai

kepada diskusi bersama.

Ilustrasi 2: Kerjasama antar profesi kesehatan di tahun akhir pendidikan kedokteran dan

ilmu-ilmu kesehatan

Sejumlah 90 mahasiswa tingkat sarjana di tahun terakhir, baik dari Kedokteran maupun

Keperawatan dan Gizi Kesehatan, mengikuti pelatihan Komunikasi Antar Profesi Kesehatan

yang diadakan oleh penulis kedua, di FK UGM tahun 2011. Permainan peran diikuti oleh

masing-masing profesi. Skenario yang dibawakan oleh pasien simulasi adalah: Kasus Diabetes

Melitus Tipe II datang dengan luka di kaki yang tidak sembuh. Kasus kedua adalah Diare Akut

Cair. Pasien simulasi adalah seorang pria dewasa.

Respon dari mahasiswa Keperawatan:

Secara serta-merta, mahasiswa menyambut pasien simulasi, menanyakan keluhannya, merespon

kesakitan pasien, melakukan pengukuran vital sign dan membawanya ke meja „dokter‟. Ketika

pasien simulasi dalam proses anamnesis dan pemeriksaan dengan dokter, mahasiswa

Page 31: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

31

Keperawatan selalu memperhatikan mimik muka pasien, dan berusaha merespon permintaan dari

pasien. Namun, meskipun mahasiswa Keperawatan mampu berkomunikasi dengan baik dengan

pasien simulasi, selama proses konsultasi ini, mahasiswa Keperawatan tidak pernah berbicara

dengan “Dokter‟.

Respon dari Mahasiswa Gizi Kesehatan:

Mahasiswa Gizi Kesehatan terlihat menunggu giliran untuk mengekplorasi riwayat gizi penderita

dan memberikan penjelasan mengenai asupan gizi yang sesuai. Mahasiswa Gizi Kesehatan

terlihat ingin berkontribusi pada proses konsultasi, akan tetapi selalu tidak sempat dilakukan

karena baik eksplorasi riwayat gizi maupun edukasi gizi terlihat telah dilakukan mahasiswa

Kedokteran. Selama proses konsultasi ini, meskipun mahasiswa Gizi Kesehatan terlihat ingin

berpartisipasi dalam berkomunikasi dengan pasien, ia tidak mengutarakannya pada „Dokter‟.

Respon dari Mahasiswa Kedokteran:

Sebagai calon Dokter, mahasiswa Kedokteran terlihat melakukan profesinya dengan amat detil,

menanyakan seluruh riwayat penyakit, melakukan pemeriksaan yang dipdandang perlu, dan

memberikan edukasi selengkap mungkin. Selama proses konsultasi ini, mahasiswa Kedokteran

hampir tidak pernah meminta pendapat mahasiswa Keperawatan maupun mahasiswa Gizi

Kesehatan. Fokus perhatiannya adalah berkomunikasi dengan pasien.

Pedoman untuk refleksi dan didiskusikan bersama Dosen Pembimbing Lapangan/ Dosen

Pembimbing Kelompok Community and Family Attachment – Interprofessional Education:

1. Apakah yang sudah baik dilakukan oleh para mahasiswa dari berbagai profesi kesehatan di

atas? Tulis minimal 2 jawaban untuk masing-masing profesi

2. Apakah yang masih harus diperbaiki, dipelajari, dalam berkomunikasi antar profesi

kesehatan, dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi individu,

keluarga dan masyarakat? Tulis minimal 10 jawaban

3. Kapankah seharusnya berbagai profesi kesehatan tersebut saling berinisiatif

mengkomunikasikan kepentingan pasien, satu sama lain, demi keselamatan pasien? Jawab

dalam dua kalimat pendek.

Page 32: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

32

4. Bagaimana kira-kira ilustrasi kerjasama dan komunikasi antar profesi kesehatan (yang kita

harapkan) setelah masing-masing profesi melakukan praktek professional selama lebih dari

5 tahun, di seting Layanan Primer maupun di Rumah Sakit? Jawab dalam 2 kalmiat pendek.

5. Apa yang sebaiknya dilakukan dalam upaya meminimalisir „hirarki‟ yang ada diantara

petugas kesehatan dan mengubahnya menjadi paradigma “Saling Menghormati,

Berkolaborasi dan Saling Melengkapi” ?

Page 33: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

33

DAFTAR PUSTAKA

Barnsteiner, J.H., Disch, J.M., 2007. Promoting interprofessional education. Nursing outlook, 55

(3), pp.144-50. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17524802 [Accessed

September 5, 2011].

Benedict, L., Robinson, K., Holder, C., 2006. Clinical Nurse Specialist Practice Within The

Acute Care For Elders: Interdisciplinary Team Model. Clin Nurse Specialist.

Berridge, E.-J., Mackintosh, N.J. & Freeth, D.S., 2010. Supporting patient safety: examining

communication within delivery suite teams through contrasting approaches to research

observation. Midwifery, 26(5), pp.512-9. Available at:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20696506 [Accessed March 8, 2012].

Burtscher, M.J. & Manser, T., 2012. Team mental models and their potential to improve

teamwork and safety: A review and implications for future research in healthcare. Safety

Science, 50(5), pp.1344-1354. Available at:

http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0925753511003523 [Accessed April 6, 2012].

Claramita M, Sedyowinarso M, Huriyati E, Wahyuningsih MS. 2012. Interprofessional

Communication Guideline using principle of “Greet-Invite-Discuss”

CIHC. 2007. Interprofessional Education and Core Competencies, Literature Review. Canada.

DeChurch, L.A., Mesmer-Magnus, J.R., 2010. The cognitive underpinnings of effectiveteamwork: a

meta-analysis. Journal of Applied Psychology 95 (1), 32–53.

Fox, E., 2000. An audit of inter-professional communication within a trauma and orthopaedic

directorate. Journal of Advanced Nursing, pp.160-169.

Hall, P., Weaver, L., 2001. Interdisiplinary Education and Teamwork: a Long and Winding Road.

Medical Eduction, 35 : 867-875, Blackwell Science Ltd.

Kagan, S.H., 2010. Revisiting interdisciplinary teamwork in geriatric acute care. Geriatric

nursing (New York, N.Y.), 31(2), pp.133-6. Available at:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20381716 [Accessed April 6, 2012].

Lauder, W., Roxburgh, M., Atkinson, J., Banks, P., & Kane, H., 2011. The quality of on-line

communication in a national learning programme for newly qualified nurses, midwives

and allied health professionals. Nurse education in practice, 11(3), pp.206-10. Available

at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20951646 [Accessed March 25, 2012].

Page 34: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

34

Mitchell, A. M., Fioravanti, M., Founds, S., Hoffmann, R. L., & Libman, R., 2010. Using

Simulation to Bridge Communication and Cultural Barriers in Health Care Encounters:

Report of an International Workshop. Clinical Simulation in Nursing, 6(5), p.e193-e198.

Available at: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1876139909005477 [Accessed

March 25, 2012].

Mitchell, M., Groves, M., Mitchell, C., & Batkin, J., 2010. Innovation in learning – An inter-

professional approach to improving communication. Nurse education in practice, 10(6),

pp.379-84. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20561823 [Accessed

March 25, 2012].

Reeves, S., Lewin, S., Espin, S., Zwarenstein, M., & Ed, H. B., 2011. Interprofessional

Teamwork for Health and Social Care. , pp.32-33.

Remington, T.L., Foulk, M. A & Williams, B.C., 2006. Evaluation of evidence for

interprofessional education. American journal of pharmaceutical education, 70(3), p.66.

Available at:

http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1636959&tool=pmcentrez&renderty

pe=abstract.

Smith, a R. & Christie, C., 2004. Facilitating transdisciplinary teamwork in dietetics education: a

case study approach. Journal of the American Dietetic Association, 104(6), pp.959-62.

Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15175595 [Accessed April 6, 2012].

Wagner, J., Liston, B. & Miller, J., 2011. Developing interprofessional communication skills.

Teaching and Learning in Nursing, 6(3), pp.97-101. Available at:

http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1557308710001149 [Accessed March 25,

2012].

Weaver, T.E., 2008. Enhancing multiple disciplinary teamwork. Nursing outlook, 56(3), pp.108-

114.e2. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18501748 [Accessed April 6,

2012].

World Health Organisation., 2010. Framework for Action on Interprofessional Education &

Collaborative Practice.

Zwarenstein, M., Reeves, S., Russell, A., Kenaszchuk, C., Conn, L.G., Miller, K.L., Lingard, L.,

Thorpe, K.E., 2007. Structuring Communication Relationships for Interprofessional

Page 35: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

35

Teamwork (SCRIPT): a cluster randomized controlled trial. Journal of Nursing

Education, 8, p.23. Available at:

http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2045094&tool=pmcentrez&renderty

pe=abstract [Accessed August 15, 2011].

Page 36: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

36

BAB III

NEED-WANT-DEMAND

dr.Wahyudi Istiono, M.Kes

Kontributor: dr.Fransisca Kurnia Chandra dan dr.Fitriana

Wants

Wants adalah keinginan seseorang untuk menjadi lebih baik, lebih sehat dalam hidupnya.

Keinginanan tersebut berdasarkan evaluasi diri terhadap status kesehatannya. Dapat dimaklumi

bahwa sehat adalah modal pokok perseorangan maupun keluarga dalam aktivitas sehari –hari.

Keputusan mengenai keinginan ini umumnya lebih pada subjektif individu bersangkutan. Posisi

individu lebih bebas atau tidak terpaksa. Dimungkinkan bahwa hal-hal yang diinginkan belum

tentu dilaksanakan.

Demands

Demands yang dimaksud adalah permintaaan untuk lebih sehat yang diwujudkan dalam

perilaku mencari pertolongan tenaga kedokteran ( demand for health). Biasanya permintaan ini

sudah merupakan keputusan untuk bertindak lebih jauh yang diwujudkan dengan perilaku upaya

mencari pertolongan pihak lain. Sebagai konsekuensi logis bagi yang dimintai penyelenggaraan

pertolongan tenaga kedokteran, diperlukan persiapan kebutuhan pelayanan kedokteran (demands

for health care). Pada tahap ini upaya pelayanan kesehatan dapat direncanakan berdasarkan

jenis jenis permintaan tersebut.

Needs

Dengan mempertimbangkan jumlah penduduk dalam populasi yang tersebar dan karekteristik

gografis berbeda-beda, maka untuk menjawab kebutuhan pelayanan kedokteran diperlukan

sistem pelayanan kesehatan yang terjangkau, bermutu (kendali mutu) dan efisien (kendali

biaya). Sistem pelayanan yang dipilih adalah sistim pelayanan berjenjang mulai dari fasilitas

pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier.

Page 37: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

37

Faktor yang mempengaruhi kebutuhan pelayanan kesehatan

Banyak faktor berpengaruh secara kompleks dalam perencanaan penyedianan kebutuhan

pelayanan kedokteran, antara lain, evaluasi diri pasien, kebutuhan fisiologis, demografis,

epidemiologi, jumlah tenaga kedokteran, pembiayaan dan tingkat ekonomi, inflasi, kebijakan dan

teknologi kesehatan. Dua hal penting yang mendasari perecanaan kebutuhan kesehatan adalah

konsep prevensi dalam perjalanan alamiah penyakit dan rasio kebutuhan pasien terhadap jenjang

pelayanan pada populasi terpapar.

Determinan ketersediaan layanan kesehatan ditentukan oleh man, money, material, method,

machine, market, time dan teknologi informasi yang tersedia. Banyak variasi penggunaan

maupun penyelenggaraan pelayanan kesehatan namun determinan tersebut di atas banyak

dipakai dalam analisis kebutuhan pelayanan kesehatan yang diperlukan.

Gambar 1. Gambar 2. Pelayanan kesehatan dalam satu bulan di US

Page 38: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

38

Gambar 3.

Page 39: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

39

BAB IV

PERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT

dr.Ova Emilia,M.Med.Ed.,PhD,SpOG(K) dan dr.Rossi Sanusi, PhD

Peran profesi kesehatan dalam upaya pencegahan penyakit memerlukan pemahaman konsep

perjalanan alamiah penyakit, distribusi populasi dan cara mendeteksi kasus secara awal.

Metafora “iceberg of disease” mungkin merupakan perumpamaan yang tepat untuk

menggambarkan kasus yang datang ke klinisi. Di lapangan, sesungguhnya lebih banyak lagi

orang yang masih dalam fase preklinik. Juga perlu disadari bahwa pasien yang dijumpai di

rumahsakit oleh petugas kesehatan hanyalah sebagian kecil dari kasus yang ada. Sehingga secara

tidak langsung menunjukkan bahwa profesi kesehatan terutama yang nantinya bekerja di tingkat

layanan primer akan kurang mendapatkan gambaran kasus yang riil di masyarakat.

Kasus yang dijumpai oleh klinisi hanya sebagian

kecil saja.

Keluhan minor, atau kesakitan yang ringan mungkin

saja akan menimbulkan penyakit yang lebih serius.

Gambar 1.

Page 40: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

40

Gambar 2.

Gambar 3.

Page 41: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

41

Pemahaman tentang perjalanan alamiah penyakit akan membuat petugas kesehatan

mengantisipasi prognosis serta mengidentifikasi kegiatan pencegahan dan pengendalian.

Idealnya pencegahan dilakukan sebelum orang terkena suatu penyakit, sehingga program

pencegahan diberikan pada orang sehat di dalam suatu populasi. Untuk merancang program

demikian maka perlu pemahaman distribusi kondisi di populasi dan cara mengantisipasi kasus

selanjutnya.

Tahap-tahap Pencegahan

Pencegahan penyakit dapat diaplikasikan pada tahap sepanjang perjalanan alamiah penyakit

dengan tujuan mencegah berkembangnya penyakit menjadi lebih berat. Pada penjelasan ini

kegiatan pencegahan dibagi menjadi 4 tahap walaupun sesungguhnya di lapangan batas ini tidak

terlalu tegas.

Tahap pencegahan primordial mencakup kegiatan untuk mengurangi risiko kesehatan ke

depan selain juga mencegah faktor-faktor yang memungkinkan (lingkungan, faktor ekonomi,

faktor sosial, perilaku dan budaya) meningkatnya risiko penyakit. Tahap ini lebih menekankan

pada determinan kesehatan yang lebih luas dari percegahan paparan sisiko personal, misalnya

melarang pemakaian alkohol di beberapa negara merupakan pencegahan primordial, sedangkan

kampanye anti alkohol merupakan contoh pencegahan primer. Contoh lain misalnya

memperbaiki sanitasi (sehingga paparan agen penyebab infeksi tidak akan terjadi), membangun

masyarakat sehat, mempromosikan gaya hidup sehat pada anak (misalnya melalu program nutrisi

pranatal dan program dukungan pada balita) atau mengembangkan ke arah energi hijau.

Tahap pencegahan primer adalah mencegah onset penyakit tertentu melalui penurunan risiko:

misalnya dengan mengubah perilaku atau paparan yang dapat mengakibatkan ke suatu penyakit,

atau dengan meningkatkan dayatahan terhadap efek paparan agen penyakit. Contohnya adalah

berhenti merokok dan vaksinasi. Pencegahan primer menurunkan insidensi penyakit dengan

mengendalikan faktor risiko penyakit atau meningkatkan daya tahan. Beberapa program

melibatkan juga partisipasi aktif, seperti gosok gigi teratur untuk mencegah karies gigi. Program

yang lain bisa juga bersifat pasif misalnya menambahkan fluoride pada air minum penduduk

untuk mengatkan enamel gigi dan mencegah karies. Pencegahan primer ditujukan pada penyebab

spesifik dan faktor risiko spesifik penyakit, tetapi juga ditujukan untuk mempromosikan perilaku

sehat, memperbaiki daya tahan tubuh dan praktek lingkungan aman sehingga menurunkan risiko

penyakit. Konsep pencegahan ini juga dikaji dalam kajian model agen-host-lingkungan.

Page 42: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

42

Manajemen penyakit akan efektif bila manajemen masalah klinik baik, faktor risiko pasien

diketahui dan juga determinan yang berkaitan dapat diidentifikasi. Misalnya seorang pasien

dengan keluhan nyeri dada memerlukan terapi segera: terhadap nyeri dan risiko komplikasinya,

kemudikan faktor risiko: merokok dan kurang olahraga, dan determinannya: kemiskinan,

lingkungan, norma sosial. (lihat gambar di bawah)

Gambar 4: The Epidemiological Triad of agent, host, and environmental factor

Tahap pencegahan sekunder mencakup prosedur deteksi dan terapi proses patologik praklinik

sehingga mengendalikan berkembangnya penyakit. Prosedur skrining seperti mamografi

seringkali merupakan langkah awal untuk intervensi dini yang cost effective dibanding invensi

bila gejalanya sudah muncul. Pemeriksaan glukosa darah rutin pada orang usia lebih 40 tahun

merupakan contoh untuk mendeteksi awal diabetes. Skrining bisa dilakukan oleh petugas

kesehatan pada praktek sehari-hari atau melalui suatu program skrining yang dilakukan.

Bila suatu penyakit terlah terjadi dan sudah melalui fase klinik akut, maka dilakukan

pencegahan tersier untuk mengurangi dampak yang disebabkan oleh penyakit terhadap fungsi

tubuh pasien, usia dan kualitas hidupnya. Contohnya rehabilitasi kardiak pasca infark myokard,

mengubah perilaku untuk mengurangi kemungkinan infark ulang. Pencegahan tersier dapat

Page 43: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

43

berupa modifikasi faktor risiko seperti mendorong pasien jantung untuk menurunkan berat

badan, atau modifikasi lingkungan untuk menurunkan paparan alergen pasien asma. Bila

penyakit tidak bisa sembuh sempurna maka pencegahan tersier fokus pada rehabilitasi,

membantu pasien mengatasi keterbatasannya/hendayanya.

Contoh pencegahan primer, sekunder dan tersier dengan target pada individu dan

populasi

Penyakit Target Primer Sekunder Tersier

Kanker

Colorectal

Individu Konseling gaya hidup:

konseling diet pada yang

berisiko dll

Tes darah tinja

untuk deteksi

awal kanker

kolorektal

Pemeriksaan follow-up

unt identifikasi rekurensi

atau metastase:

pemeriksaan fisik, tes

enzim hepar, x-rays

dada, dll.

Populasi Kampanya ubah gaya

hidup unt mencegah

kanker colorectal;

promosi diet tinggi serat;

subsidi unt akses program

OR; kampanye anti rokok

Program skrining

kolonoskopi

Implementasi model

pelayanan kesehatan

yang meningkatkan

akses pada pelayanan

berkualitas

Penyakit

infeksi:

hepatitis C

Individu Konseling ttg pemakaian

obat yg aman untuk

mencegah penularan virus

hepatitis C (HCV);

konseling ttg seks aman

Skrining untuk infeksi HCV

bagi pasien

dengan riwayat

pemakaian injeksi

Terapi HCV untuk

mengobati infeksi dan

mencegah transmisi

Populasi Pencegahan HCV

meliputi perilaku seks

aman, program mencegah

berbagi jarum suntik, dll

Melakukan sistem tes

universal untuk

kelompok risiko

HCV

(Mirip pencegahan

primer): pengendalian

letak risiko tinggi seperti

salon tattoo yang

Page 44: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

44

dikaitkan dengan

kejadian luar biasa

Sindrom

Metabolik

Individu Konseling nutrisi dan

olahraga

Skrining diabetes Rujukan klinik

rehabilitasi kardiak

Populasi Menciptakan lingkungan

untuk transport aktif

(jalan, sepeda bukan naik

mobil)

Program turun berat badan

dan olahraga

untuk

mengendalikan

sindrom

metabolik

Implementasi klinik

multidisiplin

Implementing prevention, health protection and health promotion

Program pencegahan dapat dilakukan oleh berbagai pihak termasuk juga klinisi dalam praktek

seperti dokter, perawat, dan bidan. Program pencegahan yang ideal sebaiknya melibatkan

berbagai pihak, sehingga menghindari tumpang tindih program ataupun adanya kesenjangan

yang justru tidak digarap oleh semua pihak. Selain itu sebuah program haruslah

mempertimbangkan situasi lokal karena satu pendekatan belum tentu cocok untuk semuanya.

Istilah proteksi kesehatan adalah kegiatan kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk

menghilangkan pengaruh negatif, sehingga bisa mencakup pencegahan primordial dan primer.

Beberapa contoh upaya adalah menyediakan sulpai air bersih dan makanan aman, memberikan

pertimbangan pada badan POM, melingdungi dari ancaman lingkungan dan juga program

pengendalian penyakit infeksi. Contoh lain adalah penanganan makanan di restoran dan aturan

pengendalian rokok. Jadi jelas bahwa proteksi kesehatan adalah mengurangi pengaruh

lingkungan terhadap kesehatan penduduk baik faktor biologis, kemikalia atau fisik yang dapat

menyebabkan epidemi bila tidak dikendalikan. Program proteksi kesehatan juga bervariasi antar

daerah, karena ancaman yang ada juga bervariasi

Konsep lain yang berkaitan adalah promosi kesehatan yang lebih ditujukan untuk meningkatkan

kesehatan melalui kebijakan publik, lingkungan sehat dan ketahanan personal.

Page 45: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

45

"Health promotion includes strengthening the skills of individuals to encourage healthy

behaviours, and it also includes building the healthy social and physical environments to support

these behaviours. It involves any combination of health education and related organizational,

economic, and political interventions designed to facilitate behavioural and environmental

changes conducive to health."

Program promosi kesehatan bisa berupa intervensi spesifik seperti berhenti merokok tetapi

intervensi ini merupakan bagian dari program yang lebih besar seperti perubahan lingkungan dan

gaya hidup yang mendukung tanpa rokok. Tujuan umum program adalah untuk membuat orang

merasa bertanggungjawab terhadap kesehatannya sendiri. Rasa tanggungjawab ini penting dan

dirasakan tergerus akhir-akhir ini. Bahkan sebagian berpendapat bahwa menjadi sehat adalah

tanggungjawab negara. Mengingat perilaku sehat sulit berubah bila faktor lingkungan tidak

mendukung, maka promosi kesehatan menggunakan pendekatan ekologis dan memfokuskan

pada keterlibatan komunitas dan perubahan lingkungan untuk mengubah perilaku individu.

DAFTAR PUSTAKA

Beaglehole ,R., Bonita, R., Kjellström, T., 1993. Basic epidemiology. WHO: Geneva,

Switzerland.

Bhopal.R., 2002. Concepts of epidemiology. Oxford: Oxford University Press.

Green.L., 1979. National policy on the Promotion of Health. Int J Health Educ;22:161-168.

Porta.M., 2008. Dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press.

Starfield B, et al,. 2008. The concept of prevention: a good idea gone astray? J Epidemiol

Community Health;62:580-583.

Page 46: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

46

BAB V

UPAYA PROMOSI DAN PREVENSI KESEHATAN

Dra. Yayi Suryo Prabandari, MSi, PhD dan dr. Fatwa Sari Tetra Dewi, MPH, PhD

Pendahuluan

Memasuki abad ke dua puluh satu, Indonesia masih mempunyai masalah kesehatan yang

beragam. Mulai dari penyakit infeksi yang sampai saat ini masih juga tinggi angka kejadiannya

sampai pada penyakit-penyakit yang sebetulnya bisa dicegah atau ditunda. Selaras dengan

bergesernya pola penyakit, dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif, penyakit di Indonesia

pun mengikuti pola tersebut, meski penyakit infeksi masih juga menjadi masalah.

Berdasarkan literatur dan hasil penelitian, penyakit degeneratif sebetulnya bisa dicegah,

atau paling tidak ditunda kejadiannya. Telah dibuktikan dalam penelitian bahwa dengan

mengubah gaya hidup, beberapa kejadian penyakit ternyata dapat dicegah. Gaya hidup manusia

berkaitan erat dengan perilaku. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa berubahnya atau

bergesernya pola penyakit ditengarai karena berubahnya gaya hidup manusia. Selain itu, bila

kita melihat lebih ke dalam, munculnya beberapa penyakit infeksi dapat disebabkan lingkungan

ataupun hygiene perorangan yang kurang, yang sebetulnya juga berkaitan erat dengan perilaku

manusia.

Meskipun perilaku manusia hanya merupakan salah satu penyebab tidak sehat atau sakit,

namun dengan melihat kemunculan penyakit-penyakit yang sebetulnya bisa dicegah melalui

perubahan perilaku, maka masalah perilaku ini perlu mendapatkan perhatian. Selanjutnya, oleh

karena perilaku ini merupakan titik paling awal dalam kejadian penyakit, maka pencegahan

ataupun yang lebih awal lagi, yaitu kegiatan promosi kesehatan akan sangat berkaitan dengan

masalah perilaku.

Tulisan singkat ini akan didahului dengan kupasan tentang perjalanan alamiah penyakit

dan determinan kesehatan. Selanjutnya, di dalam tulisan ini akan dipaparkan peran perilaku di

dalam kesehatan. Pengertian tentang promosi kesehatan yang berkaitan erat dengan perilaku dan

perubahannya akan melengkapi pula tulisan ini. Pada bagian akhir, akan dipaparkan mengenai

kriteria dan setting promosi kesehatan.

Page 47: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

47

Perjalanan Alamiah Penyakit

Perjalanan alamiah penyakit telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya di Buku Acuan

Umum ini. Dalam perjalanan alamiah penyakit, terdapat tahapan perkembangan penyakit yang

diderita oleh seseorang mulai dari sehat hingga sembuh, mengalami kecacatan atau meninggal

dunia.

Di setiap tahapan tersebut, berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki status kesehatan

seseorang. Apabila diurutkan sesuai dengan perjalanan alamiah penyakit maka upaya perbaikan

kesehatan tersebut digolongkan menjadi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Perjalanan alamiah penyakit dan upaya perbaikan kesehatan

Sehat

Promotif dan Preventif

Disease or injury

Kuratif

Impairment

Rehabilitatif

Disability

Rehabilitatif

Dependency

Determinan Kesehatan

Definisi WHO (cit. Morton, Greene, & Gottlieb, 1995) tentang arti sehat adalah sebagai berikut:

“ Health is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the

absence of disease or infirmity”

Meskipun definisi WHO tersebut sudah dikenalkan sejak 55 tahun yang lalu atau tepatnya pada

tahun 1947, namun definisi tersebut masih berlaku hingga saat ini. Sehat berarti keadaan sehat

secara fisik, mental dan sosial, dan tidak hanya ketiadaan suatu penyakit. Selanjutnya, berdasar

Page 48: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

48

definisi tersebut, maka penentuan status kesehatan tidak hanya dengan angka kematian

(mortalitas) dan angka kesakitan (morbiditas) saja, tetapi dengan melihat pada angka kualitas

hidup. Berikut ini adalah pergeseran pengukuran kesehatan dari yang tradisional ke yang

inovatif.

Tabel 1. Pengukuran Kesehatan Tradisional dan Inovatif

Tradisional Inovatif

o Mortalitas

o Morbiditas

o Pengukuran kecacatan

o Angka harapan hidup

o Tahun hidup sehat (Years of Healthy

Life)

o Quality Adjusted Life Years

o Self-assessment of Health

o Health Risk Apprasial

Sementara itu Blum (cit. Morton, Greene & Gottlieb, 1995) menyebutkan bahwa kesehatan

manusia ditentukan oleh empat hal yang utama, yaitu :

o Genetik/biologi

Beberapa kejadian kesehatan dapat disebabkan atau dominasi dari keadaan biologis atau

unsure genetik

o Pelayanan kesehatan

Tersedianya pelayanan kesehatan beserta kuantitas serta kualitasnya turut serta

mempunyai distribusi terhadap keadaan kesehatan.

o Lingkungan

Lingkungan yang dimaksud di sini adalah lingkungan sosial (kebijaksanaan, hukum dan

adanya organisasi sosial baik pemerintah maupun swasta) dan fisik (kelembaban,

temperatur, kebisingan, polusi dsb.) juga turut menyumbang keadaan sehat atau sakit

o Perilaku

Pilihan gaya hidup yang dipengaruhi oleh perilaku, seperti misalnya pengaturan pola

makan, olah raga, istirahat, kebiasaan-kebiasaan lainnya diteliti mempunyai hubungan

yang erat dengan keadaan kesehatan.

Page 49: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

49

Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan, seperti:

a. Pendapatan dan status sosial

Pendapatan yang tinggi dan status sosial berhubungan dengan kesehatan yang lebih

baik. Semakin jauh jarak antara orang kaya dengan orang miskin, semakin jauh

tingkat kesehatannya.

b. Pendidikan

Level pendidikan yang rendah berhubungan dengan kesehatan yang buruk, stres yang

meningkat, dan tingkat kepercayaan diri yang rendah.

c. Lingkungan fisik

Air bersih, udara bersih, tempat kerja yang sehat, rumah yang aman, komunitas dan

jalan berkontribusi terhadap kesehatan yang baik. Pekerja yang sehat memiliki

kontrol yang pada pekerjaannya.

d. Jaringan sosial

Dukungan dari keluarga, teman, dan komunitas berhubungan dengan kesehatan yang

baik. Kultur, tradisi, dan kepercayaan dari keluarga dan komunitas utrut memberikan

dampak pada kesehatan.

e. Genetik

Genetik berperan dalam kejadian sakit, walaupun perilaku dan kemampuan

menghadapi masalah juga mengambil peran dalam kejadian sakit.

f. Pelayanan kesehatan

Akses dan penggunaan pelayanan kesehatan untuk mencegah dan mengobati

penyakit mempengaruhi kesehatan

g. Jenis kelamin

Laki-laki dan wanita dapat terkena jenis penyakit yang berbeda dan pada usia yang

berbeda.

Peran Perilaku dalam Kesehatan

Dalam tulisan Tolsma dan Koplan (dalam Donaldson, 1993) disebutkan bahwa merokok,

pengaturan pola makan (diet) dan konsumsi alcohol mempunyai berkontribusi sebesar 24% pada

kematian, 21% life years lost sebelum umur 65 tahun, 21% hospital days dan 16% biaya

kesehatan langsung. Selanjutnya juga disebutkan bahwa dua pertiga kematian di USA

Page 50: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

50

berhubungan dengan enam penyebab yang dapat dicegah, yaitu tembakau atau merokok,

konsumsi alcohol, resiko kecelakaan, tingginya tekanan darah, nutrisi yang berlebihan, dan gaps

pada prevensi primer. Merokok disebutkan sebagai penyebab yang terkuat dari kematian, jumlah

tahun hilang (life years lost) dan hari-hari rawat inap (hospital days). Empat penyebab yang

berhubungan erat dengan perilaku kesehatan personal yaitu pemakaian tembakau, tingginya

tekanan darah, nutrisi yang berlebihan dan konsumsi alcohol menyumbangkan kurang lebih 1

juta kematian yang dapat dicegah, 4 juta jumlah kehilangan tahun yang potensial dan 45.5 juta

hari rawat inap.

Dengan melihat eratnya hubungan perilaku dengan keadaan kesehatan, maka tujuan

promosi kesehatan, terutama di negara berkembang adalah untuk meningkatkan kualitas hidup,

menekan kesakitan dan meluaskan harapan hidup aktif. Penekanan kematian juga merupakan

tujuan, meskipun bukan prioritas.

Untuk memperjelas gambaran hubungan antara penyakit yang menyebabkan kematian,

faktor resiko perilaku dan faktor penentu perilakunya, pada tabel 2 akan dipaparkan beberapa

penyakit penyebab kematian yang faktor resikonya adalah perilaku.

Tabel 2. Penyakit Penyebab Kematian, Faktor Resiko dan Penentu Perilaku

Penyebab kematian

Faktor resiko Penentu perilaku/faktor

resiko fisiologis

Penyakit jantung Merokok, Aktivitas fisik,

Kolesterol tinggi,

Obesitas

Hipertensi

DM

Diet tinggi lemak

Diet tinggi kalori

Diet tinggigaram

Diet tinggi kalori

Malignant neoplasm Merokok

Diet tinggi lemak

Diet rendah serat

Aktivitas fisik

PMS

Perilaku seksual

Page 51: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

51

Penyakit serebrovaskuler Hipertensi

Aterosklerosis

Merokok

Diet tinggi garam

Diet tinggi lemak

Penyakit paru obstruktif kronis Merokok

Kecelakaan Alkohol

Menyetir ugal2an

Tak gnk seat belt

Penggunaan obat

Pneumonia & influenza Penggunaan obat

Status imunisasi

Malnutrisi

Diet

Kegagalan imunisasi

DM Aktivitas fisik

obesitas

Diet tinggi kalori

Bunuh diri Alkohol

Penggunaan senjata

Penggunaan obat

HIV Perilaku seksual

Penggunaan obat

Pembunuhan &

Pelanggaran hukum

Alkohol

Penggunaan senjata

Penggunaan obat

Promosi Kesehatan

Promosi kesehatan merupakan kombinasi proses perubahan yang ditujukan pada

pendidikan, organisasi, ekonomi dan lingkungan yang mendukung kesehatan (Grenn & Johnson,

cit. Morton, Greene, & Gottlieb, 1995). Selanjutnya Dwore & Kreuter (cit. Morton, Greene, &

Gottlieb, 1995) menyebutkan bahwa promosi kesehatan adalah proses advokasi kesehatan yang

dilaksanakan untuk meningkatan kemungkinan personal (individu, keluarga & masyarakat),

Page 52: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

52

swasta (profesional dan bisnis) serta pemerintah (nasional, propinsi, lokal) untuk mendukung

praktek kesehatan positif menjadi norma sosial.

Joint Committee of Public Health (cit. Morton, Greene, & Gottlieb, 1995) mendefinisikan

promosi kesehatan lebih spesifik, yaitu promosi kesehatan dan prevensi penyakit adalah

sejumlah kegiatan yang bertujuan dan dirancang untuk meningkatkan kesehatan personal dan

masyarakat melalui kombinasi strategi, termasuk implementasi perubahan perilaku, pendidikan

kesehatan, pengukuran proteksi kesehatan, deteksi resiko kesehatan, serta peningkatan dan

pemeliharaan kesehatan. WHO mendefinisikan promosi kesehatan sebagai berikut:

“ Health promotion is the process of enabling people to increase control over and improve, their

health”

(promosi kesehatan merupakan proses untuk mendorong orang meningkatkan kontrol dan

mengembangkan kesehatannya). Dari definisi tersebut fungsi promosi kesehatan sendiri adalah

untuk memberikan advokasi untuk sehat, mendorong dan membuat orang untuk mencapai

kesehatan yang potensial dan menjadi penengah minat masyarakat terhadap pencarian

kesehatan.

Berbagai konsep untuk memahami bagaimana seseorang berperilaku telah banyak dipelajari.

Konsep-konsep tersebut sebagai dasar pemikiran mengidentifikasi berbagai faktor yang

mempengaruhi seseorang berperilaku, juga sebagai dasar untuk memperdiksi bagaimana

seseorang akan berperilaku. Salah satu model yang menggambarkan hubungan konsep-konsep

perilaku yang banyak dipakai di bidang promosi kesehatan adalah health belief model (gambar

2). Health Belief Model (HBM), dikembangkan untuk menjelaskan mengapa seseorang

cenderung melakukan atau tidak melakukan tindakan pencegahan penyakit. Misalnya

kecenderungan seseorang untuk mevaksin atau tidak memvaksin BCG anaknya. Kecenderungan

melakukan tindakan pencegahan dipengaruhi oleh tiga variable utama yakni likelihood of action,

modifying factors dan individual perception. Individual perception terdiri dari persepsi

kerentanan terhadap penyakit dan persepsi bahaya penyakit. Semakin rentan seseorang untuk

sakit dan semakin berbahaya suatu penyakit menurut persepsi seseorang maka semakin tinggi

ancaman penyakit. Persepsi ancaman penyakit ini dipengaruhi juga oleh faktor-faktor

pemodifikasi yakni faktor demografis dan sosio-psikologis, variable structural serta faktor

pendorong tindakan. Faktor pemodifikasi mempengaruhi persepsi seseorang terhadap manfaat

Page 53: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

53

dan hambatan melakukan tindakan pencegahan, yang akan mempengaruhi kemungkinan

seseorang melakukan tindakan pencegahan

Gambar 2. Health Belief Model

Tujuan Promosi kesehatan

o Individual: pengetahuan, sikap, perilaku

o Individu dan kelompok: jaringan formal dan informal, termasuk dukungan sosial,

kelompok kerja dan kelompok sebaya

o Organisasi: kebijaksanaan, praktek, program, fasilitas, dan sumber

o Komunitas: kebijaksanaan, praktek, program, fasilitas, dan sumber

o Pemerintah : kebijaksanaan, program, fasilitas, sumber, koordinasi/ legistasi, peraturan

dan penguatan

Sementara itu pendidikan kesehatan diartikan sebagai praktek multidisiplin yang melibatkan diri

mulai dari perancangan, pelaksanaan dan evaluasi program pendidikan yang dapat menyebabkan

Health behaviour & Health belief

modelIndividual

PerceptionModifying

factors

Likelihood

of action

•Demografik

•Sosio-psikologis

•Variabel struktural

(pengetahuan penyakit

,penularan penyakit)•Persepsi

Kerentanan

thd penyakit

•Persepsi

bahaya penyakit

Pendorong tindakan:

Promosi media massaRadio

Iklan etc

Persepsi ancaman penyakit

•Persepsi manfaat

pencegahan•Persepsi hambatan

pencegaha

Keinginan melakukan/tak melakukan preventif

Health Belief

Model

Page 54: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

54

individu, keluarga, kelompok, organisasi dan komunikasi mempunyai peran aktif di dalam

mencapai, melindungi dan mempertahankan kesehatan .

Kriteria, Setting dan Lingkaran Promosi Kesehatan

Asosiasi Kesehatan Masyarakat menyebutkan (cit. Tolsma & Koplan, 1993) lima kriteria

untuk mengembangkan program promosi kesehatan, yaitu:

o Suatu program promosi kesehatan sebaiknya memfokuskan pada satu atau dua faktor resiko

yang secara hati-hati didefinisikan, dapat diukur dapat diubah dan prevalensinya cukup

tinggi di antara kelompok terpilih, dan merupakan faktor yang mengancam status kesehatan

serta kualitias hidup dari anggota kelompok terpilih

o Program promosi kesehatan sebaiknya merefleksikan pertimbangan dari karakteristik,

kebutuhan dan preferensi yang khusus dari kelompok target

o Program promosi kesehatan sebaiknya melibatkan intervensi yang akan mengurangi secara

jelas dan efektif pada faktur resiko target dan tepat ditujukan pada setting yang khusus.

o Suatu program promosi sebaiknya mengidentifikasi dan melaksanakan intervensi dengan

sumber yang tersedia secara optimum

o Dalam penyusunan dan pengembangannya, program promosi kesehatan sebaiknya

terorganisir, terencana dan dilaksanakan sebaik-baiknya, sehingga efek atau dampaknya

dapat dievaluasi.

Setting Promosi Kesehatan

Promosi kesehatan dapat dilaksanakan di beberapa tempat. Empat setting promosi

kesehatan adalah berikut:

1. Masyarakat

Sebagai contoh adalah promosi kesehatan untuk pencegahan DBD, adanya pemberantasan

sarang nyamuk melalui 3M

2. Sekolah

Dilaksanakannya latihan “menyatakan tidak” untuk merokok, penggunaan NAPZA

3. Tempat kerja

Promosi penggunaan masker untuk pekerja pabrik

Page 55: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

55

4. Pelayanan kesehatan

Keikutsertaan dokter dan petugas kesehatan lainnya untuk mengingatkan dan membantu

berhenti merokok.

Lingkaran Promosi Kesehatan

Dalam pelaksanaannya, program promosi kesehatan melalui beberapa tahapan. Dignan

dan Carr (1992) menyebutnya sebagai lingkaran promosi kesehatan. Promosi kesehatan dimulai

dari penentuan prioritas atau faktor resiko yang diawali dengan analisis terhadap masyarakat.

Dari analisis terhadap masyarakat, yang datanya bisa diambil secara langsung melalui penelitian

awal (kuantitatif ataupun kualitatif) ataupun tak langsung (data prevalensi atau insidensi

penyakit), akan dilakukan penilaian target, dalam arti pemilihan kelompok target. Baru setelah

kelompok target ditetapkan, maka dirancanglah perencanaan program. Setelah perencanaan,

program promosi kemudian dilaksanakan, untuk kemudian dievaluasi hasilnya. Evaluasinya

sendiri sebetulnya dapat dilaksanakan sejak awal, mulai dari hasil analisis masyarakat,

perencanaannya, kemudian pada proses pelaksanaannya, hingga akhirnya hasil atau dampak dari

pelaksanaan program promosi kesehatan. Cara untuk melakukan evaluasi dapat dilakukan

dengan secara kuantitatif atau kualitatif (gambar 3).

Page 56: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

56

Gambar 3. Tahapan Program Promosi Kesehatan

Targeted assessment

Program plan development

Implementation

Evaluation

Community analysis

Page 57: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

57

BAB VI

KESEIMBANGAN EKOLOGIS

Prof.DR.dr.Adi Heru Sutomo, MSc, DCN, DLSHTM, PKK

Kontributor: dr.Dianing Pratiwi dan dr.Fitriana

Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh ahli biologi pada abad ke-19 yang berarti ilmu

yang mempelajari hubungan antara organisme dengan lingkungannya. Ekosistem sendiri

merupakan sebuah komunitas organisme hidup (tumbuhan, hewan, mikroba) dengan komponen

non-hidup (udara, air, tanah mineral) dan berinteraksi sebagai sistem dalam sebuah lingkungan.

Pada abad ke-20, istilah ekologi manusia muncul dan berfokus pada populasi manusia, organisasi

sosialnya, karakteristik lingkungan tempat tinggalnya, dan teknologi yang mereka gunakan.

Ekologi manusia bertujuan untuk mempelajari interaksi antara manusia dengan lingkungan

sosial, fisik, dan biologisnya. Ilmu ini memberikan pengetahuan yang dapat digunakan untuk

menentukan tindakan yang bisa membawa keseimbangan dan harmoni dalam ekosistem dan

manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan, serta memberikan dasar kesehatan yang baik

(Eisenberg dan Sartorius, 1988).

Ekologi manusia tidak terbatas pada pertimbangan penyakit, kesehatan, gaya hidup, dan

lingkungan, tetapi menilainya bersama dengan determinan pada sistem dinamik. Tidak seperti

epidemiologi, ekologi manusia tidak membatasi diri pada mempelajari perubahan pola penyakit

pada populasi. Ekologi manusia berkaitan dengan sistem, bukan dengan komponennya saja. Ilmu

ini melihat penyakit sebagai bagian tak terpisahkan dari ekosistem dan tahu jika eradikasi

penyakit bisa mengganggu ekosistem secara signifikan dan membuat lebih banyak masalah

daripada penyakit itu sendiri: pemahaman ekologis mampu menghindari ini. Ekologi

menggunakan metode dan pengetahuan dari berbagi disiplin ilmu, salah satunya epidemiologi

(Eisenberg dan Sartorius, 1988).

Di edisi perdana pada tahun 1972, editor Human Ecology: An Interdisciplinary Journal

memberikan pengantar mengenai cakupan topik dalam ekologi manusia, yaitu:

1. Adaptasi genetik, fisiologis, dan sosial pada lingkungan dan perubahan lingkungan

2. Peran faktor sosial, kultural, dan psikologis pada pemeliharaan atau gangguan ekosistem

3. Efek kepadatan populasi pada kesehatan, organisasi sosial, atau kualitas lingkungan

Page 58: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

58

4. Masalah adaptif baru dalam lingkungan urban

5. Hubungan antara perubahan teknologi dan lingkungan

6. Pengembangan prinsip-prinsip yang mempersatukan studi adaptasi biologis dan kultural

7. Timbulnya maladaptasi pada evolusi biologis dan kultural manusia

8. Hubungan antara kualitas dan kuantitas makanan dengan kinerja fisik dan intelektual, serta

dengan perubahan demografis

9. Penerapan komputer, alat-alat penginderaan jauh, dan alat dan teknik baru yang lain (Steiner

dan Nauser, 1993).

Dari paparan di atas, tampak bahwa ekologi manusia mempelajari ekosistem manusia.

Ekosistem manusia ini hidup bersama-sama dengan ekosistem alami, bahkan merupakan bagian

dari ekosistem alami. Seperti ekosistem alami, ekosistem manusia juga memiliki batas-batas

untuk menjaga komponen yang berada di dalamnya.

Batas-batas ekosistem adalah zona-zona transisi antara dua habitat yang berdampingan.

Batas-batas ini terjadi secara alami di semua bioma, tetapi jangkauan dari batas-batas ini telah

meningkat banyak karena adanya modifikasi habitat manusia. Zona transisi ini dicirikan dengan

adanya perubahan besar pada komposisi komunitas tumbuhan dan hewan dan transisi tersebut

bisa drastis/tiba-tiba, gradual, maupun terjadi melalui serangkaian tipe habitat intermediet. Batas

ekosistem yang terjadi secara alami terkadang membentuk suatu habitat unik. Spesiesnya telah

beradaptasi secara spesifik, sedangkan batas ekosistem yang diciptakan manusia biasanya terdiri

dari campuran spesies dari kedua ekosistem yang berdampingan dan sering memberikan

pengaruh negatif pada habitat alami. Ekosistem yang berdampingan dihubungkan melalui aliran

energi, materi, dan organisme sepanjang batas ekosistem dan aliran ini dapat memberikan

pengaruh kuat pada fertilitas dan produktivitas ekosistem. Besarnya aliran lintas sistem ini

dimediasi oleh banyak variabel (Banks-Leite dan Ewers, 2009).

Lingkungan dapat berubah-ubah, untuk mencapai keseimbangan, ekosistem harus

beradaptasi. Oleh karena tidak ada lingkungan yang statis, maka perubahan dan adaptasi terus-

menerus harus dilakukan untuk mempertahankan keseimbangan tersebut. Di dalam ekologi

perubahan diketahui dan cara adaptasi dilakukan juga dipahami. Sesuai dengan poin-poin yang

dipaparkan editor Human Ecology: An Interdisciplinary Journal di edisi perdananya, tampak

bahwa perubahan dan adaptasi merupakan bagian besar. Adaptasi genetik, fisiologis, dan sosial

pada lingkungan dan perubahan lingkungan adalah hal yang disebutkan pertama kali. Peran

Page 59: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

59

faktor sosial, kultural, dan psikologis pada pemeliharaan atau gangguan ekosistem juga

merupakan faktor untuk pertahanan ekosistem. Kepadatan populasi memiliki efek pada

kesehatan, organisasi sosial, dan kualitas lingkungan pula, serta menghadirkan masalah adaptif

baru dalam lingkungan urban. Selain itu, perlu juga dikembangkan prinsip-prinsip yang

mempersatukan studi adaptasi biologis dan kultural. Hal ini berhubungan dengan maladaptasi

pada evolusi biologis dan kultural manusia. Keseimbangan ekologi juga dipengaruhi oleh

kualitas dan kuantitas makanan yang mana berhubungan dengan kinerja fisik dan intelektual,

serta dengan perubahan demografis. Kemudian, seiring dengan perkembangan teknologi,

lingkungan pasti mendapat pengaruh. Penerapan komputer, alat-alat penginderaan jauh, dan alat

dan teknik yang baru juga berhubungan dengan pencapaian keseimbangan ekologis.

DAFTAR PUSTAKA

Banks-Leite, C., Ewers, R. M., 2009. Ecosystem Boundaries. eLS.

Eisenberg, L.; Sartorius, N., 1988. Human Ecology in the Repertoire of Health Development.

World Health Forum,9

Steiner, D., Nauser, M., 1993. Human Ecology. Taylor&Francis e-Library: USA.

Page 60: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

60

BAB VII

EPIDEMIOLOGY (SURVEILLANCE AND DATA ANALYSIS)

dr.Citra Indriyani, MPH

Kontributor: dr.Dianing Pratiwi dan dr.Fitriana

Surveilans kesehatan adalah pengumpulan, analisis, dan interpretasi data kesehatan

sistematis yang terus-menerus yang esensial untuk merencanakan, mengimplementasikan, dan

mengevaluasi kegiatan kesehatan masyarakat. Cakupannya luas, mulai dari early warning system

untuk respon cepat pada kasus penyakit menular, hingga respon terencana pada kasus penyakit

kronis yang secara umum memiliki jeda waktu yang lebih lama antara paparan dan penyakit

(Bonita et al, 2006). Tujuan dari dilakukannya surveilans adalah untuk mempelajari pola

kejadian penyakit yang sedang ada dan potensial suatu penyakit pada suatu populasi, sehingga

kita dapat menginvestigasi, mengontrol, dan mencegah suatu penyakit secara efektif pada suatu

populasi (CDC, 1968).

Ada dua macam surveilans, yaitu:

Surveilans aktif, merupakan sistem yang beranggotakan staf yang secara rutin mengontak

petugas kesehatan atau populasi untuk mencari informasi mengenai kondisi kesehatan.

Surveilans aktif memberikan informasi yang akurat dan tepat waktu, tetapi mahal.

Surveilans pasif, terdapat sistem yang tim surveilansnya menerima laporan dari rumah sakit,

klinik, unit kesehatan umum, atau sumber-sumber lain. Surveilans pasif relatif tidak begitu

mahal dan dapat untuk mensiasati wilayah yang luas, serta memberikan informasi kritis untuk

memantau kesehatan masyarakat. Namun, karena surveilans pasif tergantung pada berbagai

macam orang dari institusi berbeda untuk mendapatkan data, kualitas data dan ketepatan

waktunya sulit dikendalikan (Nsubuga et al., 2006).

WHO juga memaparkan fungsi dari surveilans (Bonita et al., 2006):

a. mengenali kasus terisolasi atau terkelompok;

b. menilai pengaruh kejadian pada kesehatan masyarakat dan menilai tren;

c. mengukur faktor kausa suatu penyakit;

d. memantau keefektifan dan mengevaluasi pengaruh upaya pencegahan dan control, strategi

intervensi, dan perubahan kebijakan kesehatan; dan

Page 61: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

61

e. merencanakan dan memberikan pelayanan.

Selain memperkirakan besarnya suatu epidemi dan memantau trennya, data juga bisa digunakan

untuk:

a. memperkuat komitmen;

b. mobilisasi komunitas; dan

c. mengadvokasi sumber daya yang sufisien.

Dalam prosesnya, surveilans memiliki prinsip dasar, yaitu surveilans harus dirancang dan

diimplementasikan untuk menyediakan informasi yang valid (benar) kepada pengambil

kebijakan secara tepat waktu dengan biaya serendah mungkin3. Prinsip lain surveilans adalah

surveilans harus hanya mencakup kondisi yang mana surveilans tersebut dapat membawa pada

pencegahan secara efektif dan juga sistem suveilans itu harus mencerminkan beban penyakit

keseluruhan dalam komunitas (Bonita et al., 2006). Kriteria dalam memilih penyakit untuk

dilakukan surveilans di antaranya:

a. insidensi dan prevalensi;

b. indeks keparahan (case-fatality ratio);

c. tingkat mortalitas dan mortalitas premature;

d. indeks produktivitas yang hilang (bed-disability days);

e. biaya kesehatan yang diperlukan;

f. preventabilitas;

g. potensial epidemik;

h. kesenjangan informasi pada penyakit-penyakit baru.

Dalam pengambilan data pada surveilans, terdapat beberapa sumber yang dapat

digunakan, di antaranya:

a. laporan mortalitas,

b. laporan morbiditas,

c. laporan epidemic,

d. laporan penggunaan laboratorium (termasuk hasil uji laboratorium),

e. laporan investigasi kasus individu,

f. laporan investigasi epidemic,

g. survey khusus (contoh: admisi rumah sakit, register penyakit, dan survey serologi),

h. informasi mengenai reservoir dan vector hewan,

Page 62: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

62

i. data demografi,

j. data lingkungan (CDC, 1968).

Surveilans terdiri dari berbagai jenis:

1. Surveilans individu

Surveilans ini mendeteksi dan memonitor individu-individu yang mengalami kontak dengan

penyakit serius, misalnya pes, cacar, TB, sifilis, dan sebagainya. Surveilans individu

memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit

yang dicurigai dapat dikendalikan.

2. Surveilans penyakit

Surveilans penyakit melakukan pengawasan terus-menerus terhadap distribusi dan

kecenderungan insidensi penyakit melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi

terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Fokusnya adalah

penyakit dan bukan individu.

3. Surveilans sindromik

Surveilans sindromik melakukan pengawasan terus-menerus terhadap sindroma penyakit,

bukan masing-masing penyakit. Yang diandalkan adalah deteksi indikator-indikator kesehatan

individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum adanya konfirmasi diagnosis.

Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola perilaku,

gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber

sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.

4. Surveilans berbasis laboratorium

Surveilans berbasis laboratorium digunakan untuk mendeteksi dan memonitor penyakit

infeksi.

5. Surveilans terpadu

Surveilans terpadu menata dan memadukan semua kegiatan surveilans di suatu wilayah

yurisdiksi sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan

struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang

diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu

tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakit-penyakit tertentu.

Page 63: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

63

6. Surveilans kesehatan masyarakat global

Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan binatang serta

organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekuensinya, masalah-

masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa

dan bergayut. Timbulnya epidemik global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya

jejaring yang terpadu di seluruh dunia yang menyatukan para praktisi kesehatan, peneliti,

pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan

surveilans yang melintasi batas-bata- negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada

skala global, baik penyakit-penyakit yang baru muncul (seperti HIV/AIDS, flu burung, dan

SARS). Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk

pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi (Murti, 2003).

Mengetahui pola spesifik kejadian penyakit di dalam wilayah yurisdiksi institusi kesehatan

diperlukan untuk mengidentifikasi perubahan kejadian penyakit dan potensial penyakit, yang

nantinya akan memicu dilakukannya aksi kesehatan masyarakat. Pengetahuan ini dapat didapat

hanya dari proses kontinyu dan sistematis dari konsolidasi dan analisis data surveilans yang

sudah ada.

1. Waktu

Analisis dasar yang biasa dilakukan adalah mengenai waktu untuk mendeteksi perubahan akut

insidensi penyakit, misalnya adalah dengan membandingkan jumlah laporan kasus yang

diterima pada minggu ini dengan jumlah yang diterima tiap minggunya dalam empat minggu

terakhir. Data ini dapat disusun dan diatur dalam tabel, grafik, atau keduanya. Contoh lain

adalah dengan membandingkan jumlah kasus pada periode sekarang (misal bulan ini) dengan

jumlah yang dilaporkan selama periode yang sama dalam tiga tahun terakhir.

2. Tempat

Jika ditemukan peningkatan insidensi dalam analisis waktu, analisis selanjutnya yang bisa

dilakukan adalah analisis data berdasarkan tempat untuk menentukan di manakah kasus

tersebut terjadi. Di sisi lain, bahkan jika analisis waktu tidak cukup membantu, wabah local

dapat teridentifikasi jika data dianalisis berdasarkan tempat. Namun, dalam praktiknya

sebaiknya kedua analisis (waktu dan tempat) dapat dilakukan secara bersamaan. Untuk

menganalisis berdasarkan tempat, data disusun dan diatur dalam tabel, peta, maupun

keduanya.

Page 64: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

64

3. Karakteristik orang

Menganalisis data surveilans berdasar karakterisik orang yang terkena penyakit juga

membantu. Usia dan jenis kelamin paling banyak dipaparkan di sebagian besar laporan kasus.

Ras tidak selalu ada untuk dianalisis. Variabel lain seperti sekolah atau tempat kerja,

pemondokan di rumah sakit, dan faktor risiko penyakit spesifik (seperti perjalanan yang baru

saja dilakukan) bisa juga dilaporkan (CDC, 1968).

DAFTAR PUSTAKA

Bonita.R., Beaglehole, R., Kjellström, T., 2006. Basic Epidemiology, 2nd

ed. Geneva: WHO.

CDC., 1968. Principles of Epidemiology, 2nd

ed. Atlanta: CDC.

Murti, B., 2003. Available at:

http://fk.uns.ac.id/static/materi/Surveilans_-_Prof_Bhisma_Murti.pdf diakses 20 Juli 2014

Nsubuga, P., White, M.E., Thacker, S.B., Anderson, M.A., Blount., S.B., Broome, C.V., Chiller,

T.M., Espitia, V., Imtiaz, R., Sosin, D., Stroup, D.F., Tauxe, R.V., Vijayaraghavan, M.,

Trosle, M., 2006. Available at: http://www.dcp-3.org/sites/default/files/dcp2/DCP53.pdf

diakses 21 Juli 2014

Page 65: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

65

BAB VIII

OCCUPATIONAL HEALTH

dr.Luthfan Lazuardi, MPH, PhD

Kontributor: dr.Fransisca Kurnia Chandra dan dr.Fitriana

Kesehatan pekerja merupakan suatu hal yang penting untuk perkembangan sosial dan

ekonomi pada level global, nasional, dan lokal. Kesehatan dan keamanan di tempak kerja

tergantung dari pembuatan kebijakan yang di buat. Pendekatan terhadapap kesehatan dan

keamanan kerja di mulai sejak revolusi industri.

Definisi:

Kesehatan kerja merupakan aktivitas yang melibatkan multidisiplin dalam kedokteran layanan

primer dan bertujuan:

1. Melindungi dan mempromosikan kesehatan tenaga kerja dengan mencegah dan mengkontrol

penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan kecelakaan serta mengeliminasi faktor dan

kondisi yang membahayakan kesehatan dan keamanan kerja.

2. Pengembangan dan promosi kesehatan kerja, keamanan kerja, lingkungan kerja, dan

organisasi kerja.

3. Meningkatkan kesehatan fisik, mental, sosial tenaga kerja, sosial pekerja serta mendukung

pengembangan dan kapasitas kerja mereka

4. Mampu mengarahkan produktivitas sosial dan ekonomi pekerja

Interaksi antara pekerjaan dan kesehatan

Masalah sosial dan ekonomi penting untuk diperhatikan. Sebuah penelitian mengatakan

bahwa pekerjaan berperan penting dalam psikologi seseorang. Pekerjaan memberikan kekuatan

yang besar dalam membentuk jati diri seseorang.

Efek positif sehat dalam bekerja

1. Interaksi dua arah

Terdapat interaksi dua arah antara seseorang dengan fisik dan psikologis lingkungan kerja,

lingkungan kerja memungkinkan peningkatan kesehatan seseorang secara positif atau

negatif terhadap produktivitas. Pekerjaan yang berjalan dengan baik dapat menjadi faktor

Page 66: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

66

yang penting dalam promosi kesehatan. Contohnya pada orang yang memiliki disabilitas

tertentu dapat mendapat rehabilitasi fisik dan mental dari hasil pekerjaan yang mereka

lakukan.

2. Risiko kesehatan

Ketika pekerjaan berpengaruh terhadap risiko kesehatan, pekerjaan dapat menyebabkan

penyakit oleh kerja. Hal tersebut dapat menyebabkan banyak masalah dan menimbulkan

penyakit lainnya atau memperburuk kondisi sakit yang tidak ada hubungan dengan

perkerjaan yang sudah ada sebelumnya.

3. Kehilangan pekerjaan

Kehilangan pekerjaan dapat mempengaruhi kesehatan psikologis dan mental seseorang. Jika

keadaan ini berlarut-larut, kesehatan seseorang akan menurun terus menerus dan penyakit

kronis akan muncul. Stres mental dan finansial yang disebabkan oleh kehilangan pekerjaan

dapat merambah ke anggota keluarga yang lain. Sebagai tambahan, ternyata seseorang tang

memiliki taraf dan tingkat sosial yang baik bisa memperoleh informasi kesehatan dan

melakukan gaya hidup yang lebih sehat.

Lingkungan Kerja

Pendahuluan dan konsep dasar:

1. Occupational Hygiene

Praktek penilaian dan pengontrolan faktor lingkungan dan stres yang didapat dari

tempat kerja yang dapat menyebabkan cidera, sakit, penurunan kesehatan. Hal tersebut

meliputi: uji toksikologi, proses industri, kontaminasi udara oleh kimia dan perilaku fisik,

desain dan evaluasi sistem ventilasi, kontrol suara, perlindungan dari radiasi, efek bahaya

pekerjaan terhadap kesehatan.

2. Analisis tempat kerja

Prosedur ini sangat penting karena membantu menentukkan apa pekerjaan dan

tempat kerja yang berpotesi menimbulkan masalah. Analisis tempat kerja yang paling efektif

adalah dengan cara menganalisis semua pekerjaan, operasi dan aktivitas kerja. Petugas

kesehatan harus melakukan inspeksi, penelitian dan analisis bahan kimia atau risiko fisik

pada tempat kerja mempengaruhi kesehatan pekerja. Jika risiko terhadap kesehatan telah

ditemukan, harus dilakukan koreksi yang tepat.

Page 67: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

67

Bila petugas kesehatan atau petugas yang berwenang menemukan adanya

kontaminasi udara yang menyebabkan iritasi mata, hidung dan tenggorok. Petuags tersebut

harus menyarankan untuk dibuat ventilasi disekitar sumber kontaminasi dan jangan sampai

kontak dengan udara bebas.

Mengenali sumber resiko di tempat kerja

1. Inspeksi

Ini merupakan langkah awal evaluasi dan kontrol dan identifikasi material dan proses yang

berpotensi menyebabkan bahaya terhadap pekerja. Inspeksi tempat kerja merupakan

sumber data langsung yang paling relevan tentang resiko terhadap kesehatan.

2. Potensial berbahaya terhadap kesehatan

a Kontaminasi udara

Kontaminan partikel

i. Debu

ii. Asap

iii. Kabut

iv. Aerosol

v. Fiber

Kontaminan gas dan uap

I. Gas

II. Uap: bahan yang mudah menguap dari bentuk yang tadinya solid atau cair

karena suhu ruang atau tekanan.

b Bahaya kimia

Bahan kimia berbahaya dapat ada dalam bentuk solid, cair, gas, asap, debu,

kabut, bahan mudah menguap yang masuk ketubuh dengan inhalasi, absorpsi (kontak

langsung dengan kulit), atau terdigesti (makan atau minum).

c Bahaya biologis

i. Paparan bakteri, virus, jamur, dan organisme hidup lainnya yang dapat

menyebabkan infeksi akut atau kronis. Organisme itu masuk ke dalam tubuh dapat

secara langsung atau melalui kulit yang luka.

Page 68: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

68

ii. Pekerjaan yang berhubungan dengan tanaman, hewan, produk yang mereka

hasilkan, makanan, proses pembuatan makanan berpotensi besar terkenan bahaya

biologis.

iii. Petugas laboratorium dan petugas kesehatan berpotensi terkenan bahaya ini.

Orang yang bekerja dalam bidang-bidang tersebut dangan penting menjaga

kebersihan diri dan cuci tangan, mencegah luka minor dan goresan terutama

daerah tangan dan lengan.

iv. Rumah sakit harus menyediakan ventilasi yang sesuai, peralatan proteksi yang

memadai seperti sarung tangan dan masker.

d Bahaya fisik

Hal ini termasuk suara bising, vibrasi, cahaya dan suhu, dan radiasi

elektromagnet

Dapat dilakukan beberapa hal untuk menangani bahaya fisik.

i. Suara bising meliputi membuat peralatan yang tidak bersuara saat beroperasi,

stutupi alat yang menyebabkan kebisingan, pastikan peralatan mendapat kontrol

rutin, letakkan alat yang menimbulkan kebisingan di tempat tersendiri, jauhkan atau

batasi pekerja dari sumber suara bising, tutupi telinga pekerja.

ii. Radiasi ion meliputi turunkan intensitas terkena paparan, meningkatkan jarak

dengan sumber radiasi, gunakan pelindung

iii. Radiasi non ion, melindungi diri dari radiasi non ion tidak efektif seperti pada laser.

iv. Paparan panas meliputi menggunakan baju pelindung seperti pada pabrik baja.

e. Bahaya ergonomik

Banyak masalah ergonomik yang timbul sebagai hasil dari perubahan teknologi

seperti peningkatan kecepatan dan peningkatan gerakan berulang. Beberapa

masalah timbul karena buruknya konstruksi kerja. Kondisi tersebut dapat

menimbulkan bahaya seperti terlalu banyak getaran, suara bising, mata lelah,

gerakan berulang, mengangkat berat, buruknya desain peralatan atau area kerja.

Gerakan atau goncangan berulang dalam waktu lama dapat menyebabkan iritasi dan

inflamasi tendon tangan dan lengan seperti carpal tunnel syndrome. Bahaya

ergonomik dapat dicegah dengan membuat desain alat kerja atau area kerja sesuai

kebutuhan karyawan.

Page 69: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

69

Dengan melakukan analisa tempat kerja, dapat dilakukan perbaikan atau mengontol

bahaya ergonomik seperti:

Menggunakan kontrol teknik yang tepat, seperti mendesain tempat kerja,

pencahayaan, peralatan.

Melatih pegawai melakukan praktik kerja dengan benar, seperti membagi

pegawai pegawai menjadi beberapa kelompok kerja, menurunkan kebutuhan

produksi dan tingkatkan waktu istirahat.

Menyediakan dan melatih pegawai menggunakan peralatan proteksi jika

dibutuhkan.

f. Faktor psikososial

Faktor ini dapat meliputi kebosanan, pekerjaan yang diulang-ulang, tekanan

pekerjaan, stres, gaji rendah, dan kurangnya penghargaan.

g. Faktor kecelakaan

Penyebab utama dari kecelakaan adalah tidak amannya kondisi fisik dan

mekanis, perilaku, dan faktor personal.

3. Teknik mengenali bahaya terhadap kesehatan

Lakukan Inventaris terhadap bahan-bahan yang dipakai, dengan cara:

i. Mengetahui siapa yang melakukan inventaris terhadap barang tersebut

ii. Mencari informasi yang dibutuhkan seperti bahan pembuat barang tersebut

(komposisi, toksikologi), kegunaan bahan tersebut (penyimpanan, melakukan

prosedur tertentu), asal muasal bahan tersebut (pabrik pembuat bahan)

4. Evaluasi bahaya terhadap kesehatan

i. Evaluasi bahaya terhadap kesehatan meliputi pengukuran paparan (dan hal-hal yang

berpotensi), bandingkan paparan dengan standar yang sudah ada, dan

merekomendasikan pengontrolan jika diperlukan.

ii. Teknik pengukuran paparan dapat berdasar pada sumber bahaya dan cara kontaknya

terhadap pekerja, seperti: Uji sampel udara dapat menunjukkan konsentrasi partikel

racun, udara, dan bahan menguap yang terhirup oleh pekerja.

iii. Skin wipe dapat digunakan untuk mengukur derajat kontak kulit dengan materi racun

yang masuk ke dalam kulit

iv. Noise desimeters record untuk menentukan total paparan setiap hari.

Page 70: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

70

Occupational Disease (OD)

Occupational Disease merupakan kondisi sakit yang diberkaitan dengan paparan kerja

atau lingkungan kerja, seperti paparan:

a. Fisik: panas, suara, radiasi

b. Kimia: pelarut, pestisida, logam berat, debu

c. Biologi: tuberculosis, virus hepatitis B, HIV

d. Ergonimis: peralatan atau lingkungan kerja yang tidak sesuai, gerakan berulang

e. Stressor psikososial: kurangnya control terhadap kerja, kepribadian yang tidak adekuat.

f. Mekanik: lebih sering menyebabkan kecelakan dan luka daripada penyakit oleh kerja.

Karakteristik occupational disease

a. sebagian besar presentasi klinis dan patologis OD identik dengan penyakit yang tidak

disebabkan oleh OD, seperti: astma yang disebabkan oleh kapas pada pabrik pembuatan baju

tidak berbeda dengan asma yang disebabkan oleh hal lain.

b. OD dapat terjadi walaupun setelah berhenti terpapar. Seperti pada paparan oleh asbeston yang

menyebabkan kanker paru, baru muncul 30-40 tahun setelah paparan.

c. Manifestasi klinis OD berhubungan dengan dosis dan paparan, seperti reaksi racun pada

merkuri berlangsung akut dan dapat menyebabkan gagal napas walaupun pada dosis paparan

yang rendah.

d. Faktor pekerjaan dapat berkombinasi dengan faktor yang bukan pekerjaan, seperti paparan

asbestos saja dapat meningkatkan resiko kanker paru antara 50-70 kali.

Pencegahan occupational disease

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan menurunkan resiko sakit. Pada kondisi

seseorang masih bekerja, cara yang biasa dipakai adalah menurunkan besarnya paparan substansi

berbahaya sehingga resiko terhadap kesehatan menurun. Penurunan paparan ini dapat dilakukan

dengan menjaga keamanan diri dan mengubah proses produksi, seperti dibuat ventilasi khusus

untuk bahaya yang disebabkan dari menghirup substansi dalam proses pembuatan, memakai

masker khsusus, atau alat proteksi diri lainnya.

Page 71: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

71

Pencegahan sekunder, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi masalah kesehatan

sebelum penampilan klinisnya muncul. Seperti pada pekerja yang melaporkan merasa sakit dan

member intervensi agar efeknya minimal. Sebagai contoh dari pencegahan sekunder adalah

mengukur kadar logam dalam darah pada pekerja yang berhubungan dengan logam. Peningkatan

kadar logam dalam darah mengindikasikan gagalnya pencegahan primer tetapi masih dapat

dilakukan tindakan sebelum logam meracuni tubuh.

Pencegahan tertier, dapat dilakukan dengan meminimalkan efek klinis yang disebabkan

oleh paparan. Contoh pencegahan tertier adalah mengobati keracunan logam (sakit kepala, sakit

otot, sakit sendi, sakit perut, anemia, disfungsi ginjal) dengan memberikan chelating medicine.

Tujuannya adalah untuk meminimalkan gejala atau rasa tidak nyaman, meminimalkan luka pada

tubuh dan memaksimalkan fungsi.

Deteksi dini occupational disease (OD)

Untuk meminimalkan kerusakan yang disebabkan oleh OD, sebagai alternatif yang paling

baik dapat dilakukan deteksi dini perubahan patologi ketika masih reversibel. Tentu saja paparan

akibat kerja yang menyebabkan perubahan klinis, fungsi, biokimia, fisiologi, atau morfologi

ketika di deteksi lebih dini dapat reversible. Terdapat banyak pemeriksaan klinis dan

laboratorium yang dapat dilakukan untuk mengetahui perubahan dini. Hanya saja belum semua

OD dapat di deteksi saat masih reversibel seperti pada reaksi gas iritan ammonia, asam

hidrosianida, dan asbestosis.

Pemeriksaan rutin pada pekerja yang terkena paparan sangat dianjurkan untuk deteksi

dini. Pemeriksaan rutin tidak harus pemeriksaan lengkap. Pemeriksaan dapat dimulai dengan

pemeriksaan skrining dan bila hasil positif, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan komprehensif

untuk membuktikan apakah terdapat OD. Tes skrining harus mudah, sensitif, tidak mahal dan

tidak invasif. Tes skrining meliputi pemeriksaan untuk mendeksi:

a. Adanya bahan beracun pada sampel biologis, sebagai indeks paparan bahan bisa dibuktikan

oleh monitor lingkungan, seperti monitor kadar logam dalam darah

b. Adanya metabolit substansi beracun pada sampel biologis, seperti memonitor sulfat organik

dalam urin pada paparan fenol

c. Perubahan fungsi organ sebagai hasil paparan substansi, seperti fungsi ginjal, fungsi liver,

dan fungsi paru.

Page 72: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

72

d. Perubahan morfologi pada elemen darah bias merupakan indikasi aksiracun pada sistem

hemopoetik

e. Perubahan jaringan yang iriversibel, seperti katarak karena radiasi sinar merah.

f. Psikomotor dan fungus system saraf pusat, seperti tes yang digunakan untuk mengevaluasi

paparan substansi yang diketahui berefek pada fungsi saraf (magnesium, merkuri, karbon

disulfida).

Seberapa sering pemeriksaan tergantung dari tipe paparan, semakin progresif kondisi,

jarak antara pemeriksaan dapat ditingkatkan. Kondisi darah yang mencerminkan ada efek radiasi,

dapat dilakukan pemeriksaan setiap 1-6 bulan tergantung dari dosis paparan.

Deteksi dini occupational disease yang disebebkan oleh:

1. Faktor fisik

o Panas

tingkat keburukkan penyakit tergantung dari suhu, kelembaban, durasi paparan. Efek

panas pada tubuh adalah: tidak nyaman, performa bekerja menurun dan penurunan

konsentrasi, bercak-bercak, heat stroke, heat exhaustion

o Suara bising

Suara bising menyebabkan tuli dapat dideteksi dengan menggunakan audiometric.

o Vibrasi

o Vibrasi dapat menyebabkan gangguan pembuluh darah tangan dan perubahan pada

tulang lingkar tangan. Perubahan pembuluh darah sulit untuk diketahui, tetapi

perubahan pada tulang dapat dideteksi dengan menggunakan sinar X-ray.

o Tekanan atmosfer

Paparan pada peningkatan tekanan atmosfer (di bawah air) dapat menyebabkan nekrosis

tulang lutut, pinggul, dan bahu yang dapat di deteksi dengan X-ray.

o Radiasi sinar merah

Radiasi sinar merah dapat menyebabkan katarak. Komponen darah merupakan bagian

tubuh yang paling mudah terkena efek, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara

periodic. Hitung leukosit dapat dipakai sebagai pemeriksaan.

Page 73: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

73

2. Agen biologis

a. Tuberculosis paru, dapat dideteksi dengan menggunakan tes BTA, tes mantoux, dan

pemeriksaan X-ray dada.

b. Virus hepatitis B dan C

Dapat dideteksi dengan pemeriksaan serologi dan marker hepatitis

3. Bahan kimia

a. Logam dapat dilakukan pemeriksaan darah, magnesium dapat dilakukan pemeriksaan

urin, mangan dapat diketahui dari manisfestasi neuropsikiatri, arsen dapat dilakukan

pemeriksaan urin.

b. Pestisida, dapat diketahui dengan memeriksa tingkat aktivitas inhibisi kolin esterase

dalam darah.

Occupational ergonomic

Ergonomis mempelajari tentang hubungan antara aspek manusia, fisik, dan psikologi

dalam lingkungan kerja, kebutuhan kerja, dan metode kerja. Tujuan ergonomis adalah untuk

meningkatkan dan yang paling penting adalah memberikan kenyamanan, keamanan dan efisiensi

pekerja. Keuntungan menerapkan prinsip ergonomis adalah meningkatnya efisiensi, produktifitas

meningkat, penurunan waktu yang hilang saat bekerja karena sakit atau luka dan menurunkan

biaya asuransi.

Prinsip dari ergonomis diterapkan pada semua pekerjaan yang menyebabkan stres baik

fisik maupun mental. Selama stres masih di bawah limit, performa kerja tetap baik dan kesehatan

terjaga. Jika stres melebihi ambang, hal-hal yang tidak diinginkan dapat saja terjadi dalam

bentuk kesalahan pekerjaan, kecelakaan, luka, penurunan kesehatan fisik dan mental.

Contoh luka dan sakit yang berhubungan dengan ergonomis adalah cedera mata, sakit

kepala, penyakit musculoskeletal seperti nyeri kronis, nyeri leher dan bahu, cumulative trauma

disorder (CTDs), repetitive strain injury (RSIs) dan repetitive motion injuries (RSIs).

Contoh pencegahan pada:

1. Kecelakaan

i. Mendesain pelindung mesin sehingga membuat pekerja dapat mengoperasikan peralatan

dengan tenang dan nyaman.

Page 74: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

74

ii. Mempelajari biomekanik manusia berjalan untuk membedakan kekuatan dan gaya antara

lantai dengan alas kaki. Informasi ini dapat digunakan meningkatkan friksi permukaan

lantai dengan alas kaki, sehingga resiko tergelincir dan jatuh dapat minimal.

2. Kelelahan

i. Desain posisi komputer (peralatan dan furnitur) sebisa mungkin membuat mata dan

posisi pemakai tidak lelah.

ii. Evaluasi kebutuhan kebutuhan metabolism pekerjaan, suasana panas dan kelembaban

lingkungan direkomendasikan untuk menghindari heat stress.

3. Penyakit muskoloskeletal

i. Evaluasi pekerjaan yang berhubungan dengan mengangkat barang untuk mengetahui

biomekanik bawah dan mendesain alat pengangkat untuk memastikan bahwa cedera

punggung bawah tidak terjadi.

ii. Evaluasi peralatan yang dioperasikan dengan tangan untuk menurunkan resiko

cumulative trauma disorder (CTDs) seperti tendonitis, epikondilitis, tenosinovitis, dan

carpal tunnel syndrome.

Stres dan faktor psikologi dalam bekerja

Banyak hal dapat mempengaruhi seseorang dalam bekerja sehingga menjadi stres dan

psikologisnya dalam suasana kurang baik. Stres ini bisa dipengaruhi oleh dari dalam dirinya

sendiri seperti tidak bisa menerima perubahan kondisi, kemampuan komunikasi yang kurang

baik, dan konflik interpersonal. Konflik ini bisa juga dipengaruhi oleh perkembangan karir di

tempat kerja seperti kesempatan promosi kerja yang kurang, tugas yang lebih berat, tidak

bekerja. Bisa juga berasal dari pekerjaaan seperti terlalu banyaknya pekerjaan atau lingkungan

bekerja seperti masalah ergonomis, bekerja ditempat yang berbahaya, bising, dan berbau. Stres

ini dapat mempengaruhi fisiologi, psikologis seseorang, dan tingkah laku seseorang.

1. Fisiologi

a. Jangka pendek, seperti katekolamin, kortisol, dan tekanan darah meningkat.

b. Jangka panjang, seperti hipertensi, penyakit jantung, ulser, dan asma.

2. Psikologis

a. Jangka pendek, seperti cemas, rasa tidak puas, dan mass psychogenic illness.

b. Jangka panjang, seperti depresi dan mental disorder

Page 75: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

75

3. Tingkah laku

a. Jangka pendek, dapat berpengaruh pada pekerjaan seperti sering tidak masuk bekerja,

penurunan produktivitas dan partisipasi. Pada komunitas seperti tidak suka bergaul dan

pada diri sendiri seperti penggunaan alcohol, obat-obatan, dan rokok

b. Jangka panjang, seperti perasaan sendiri.

Pencegahan dan mengontrol stress

Untuk mengatasi stres, dapat dilakukan pencegahan dan kontrol seperti:

1. Individu

a. Pemberian obat, seperti hipertensi, nyeri punggung, depresi

b. Konseling

c. Program pendampingan pada pekerja yang menggunakan alcohol, obat, dan rokok

2. Psikologi individu

a. Konseling, baik perseorangan atau grup

b. Program pelatihan seperti relaksasi, medikasi, biofeedback

c. General support seperti rekreasi

3. Mengurangi stres di lingkungan kerja dengan membuat jadwal pekerjaan yang bervariasi

Prinsip mendesain pekerjaan

a. Jadwal kerja, hindari konflik kebutuhan dengan tanggungjawab di luar pekerjaan.

b. Partisipasi, pekerja harus mampu member masukkan dalam keputusan yang

diambil

c. Beban kerja, pekerjaan tidak boleh melebihi kapabilitas seseorang.

d. Peran dalam pekerjaan harus terinci dengan baik

e. Masa depan yang jelas

DAFTAR PUSTAKA

World Health Organisation., 2001. Occupational Health: A Manual for Primary Health Care

Worker.

Page 76: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

76

BAB IX

MENYADARI KETERBATASAN

Dra.Yayi Suryo Prabandari,MSi,PhD

Pendahuluan

Johari window menyatakan bahwa di dalam manusia terdapat empat kwadran seperti gambar

berikut

Gambar 1.Johari Window

Johari window di atas adalah jendela ideal.AT atau Area terbuka seharusnya adalah daerah yang

paling besar. Seseorang sebaiknya membukakan diri terhadap diri sendiri dan orang lain serta

memperkecil dunia gelap atau DG, area yang diri sendiri maupun orang lain tidak mengetahui.

Secara sederhana sebaiknya kita betul-betul memahami diri kita, menyadari keterbatasan dan

kelebihan diri, namun masih terbuka untuk meminta umpan balik dari orang lain, karena ada hal-

hal yang kita dilakukan namun tidak disadari.Seorang manusia memiliki keterbatasan, dan

membutuhkan orang lain untuk mengerjakan sesuatu atau sekedar memberikan umpan

balik.

AT = area terbuka sifat atau karakteristik yang

saya maupun orang lain tahu

ASB= area saya buta sifat atau karakteristik saya

yang tidak saya ketahui namun diketahui

orang lain

AMB = area mereka buta sifat atau karakteristik

saya yang hanya diketahui oleh saya dan

tidak diketahui orang lain

DG = dunia gelap sifat atau karakteristik saya yang

belum diketahui orang lain dan saya

sendiri

Page 77: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

77

Setelah mempelajari diri sendiri melalui Johari window, berikut adalah hal-hal yang perlu

dipahami untuk dapat memahami, mengenal dan mempelajari keterbatasan diri.

a. Sensitive line – garis kepekaan

b. Personal values and moral maturity – nilai personal dan kematangan moral

c. Learning style – gaya belajar

d. Orientation toward change – orientasi untuk perubahan

e. Interpersonal style – gaya interpersonal

Sensitive line – garis kepekaan

Merupakan titik saat seseorang menjadi defensif atau protektif ketika menjumpai informasi

tentang mereka terutama pada saat hal-hal yang “tidak disadari dilakukan/dikatakan” diumpan

balikkan ke mereka (pembukaan “area saya buta”)

Peningkatan pemahaman diri terjadi ketika:

a. Informasi dapat diverifikasi (dideskripsikan dengan perilaku dan kata-kata yang

dilakukan atau dikatakan), diramalkan dan dimonitor

b. Belajar untuk lebih terbuka, sehingga orang lain dan diri menjadi lebih paham tentang

perilaku yang dijalankan.

Value - nilai

Merupakan standar fundamental keinginan yang dipilih individu antara alternatif, asumsi dan

realitas alami

a. Belajar lebih awal, dan senantiasa mengembangkan diri

b. Pilihan terhadap dorongan dan perilaku

c. Berbeda didasarkan lingkungan dan budaya, dannilai budaya tersebut:

i. Luas, orientasi umum yang mewarnai kelompok besar

ii. Identifikasi cara yang menunjukkan setiap negara berbeda satu dengan yang lain

iii. Nilai budaya meramalkan nilai individu.

Kematangan

Menurut Kohlberg terdapat tiga tingkatan kematangan dengan enam langkah pengembangan,

yaitu:

a. Tingkat pemusatan diri (Self-centered) – (1) kepatuhan dan hukuman (2) orientasi egois

b. Tingkat konformitas – (3) orang baik, (4) mengerjakan tugas (“doing duty”)

c. Tingkatan Prinsip – (5) Legalistik kontraktual, (6) Kesadaran pada prinsip orientasi

Page 78: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

78

Gaya belajar

Dua dimensi kunci dalam belajar adalah a) perbuatan pada saat menerima informasi dan b) cara

untuk evaluasi dan menerima informasi.

Individu dalam menerima, menginterpretasi dan merespon informasi memerlukan cara tertentu:

a. Pengalaman nyata – belajar melalui pelibatan aktif

b. Konsepsualisasi – membangun teori berdasar logik, ide dan konsep

c. Experimentasi – mengubah situasi dan mempengaruhi orang lain untuk mengetahui yang

sedang terjadi

Kebutuhan Interpersonal

a. Kebutuhan untuk bekerja dengan orang lain dengan tujuan menyelesaikan pekerjaan

b. Kebutuhan untuk bekerja dengan orang lain untuk mengurangi kecemasan

c. Kebutuhan untuk bekerja dengan orang lain untuk mendefinisikan diri

d. Gaya penentu untuk bekerja dengan orang lain

Mengembangkan kesadaran diri

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, untuk mengembangkan dan mengaplikasikan kesadaran diri

mahasiswa perlu untuk berlatih di luar pembelajaran terjadwal FK UGM dengan:

a. Mengetahui dan mengasah garis kepekaan

b. Melakukan identifikasi nilai diri dan mengembangkan diri berdasar nilai tersebut

c. Mencari cara untuk mengembangkan dan memperluas diri

d. Melakukan identifikasi ketidakmampuan interpersonal

e. Melibatkan diri keterbukaan

Page 79: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

79

BAB X

PENYULUHAN PADA MASYARAKAT

Dra.Yayi Suryo Prabandari,MSi,PhD

Kontributor: dr.Dianing Pratiwi dan dr.Fitriana

Penyuluhan merupakan salah satu upaya promosi kesehatan. Promosi kesehatan adalah

segala bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait dengan ekonomi,

politik, dan organisasi, yang dirancang untuk memudahkan perilaku dan lingkungan yang

kondusif bagi kesehatan (Green, 1979).

WHO (1986) merumuskan promosi kesehatan sebagai proses untuk meningkatkan

kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Selain itu, untuk

mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental, dan sosial masyarakat harus

mampu mengenal, mewujudkan aspirasinya, kebutuhannya, serta mampu mengubah atau

mengatasi lingkungannya. Oleh karena itu, kesehatan merupakan sumber daya untuk kehidupan

sehari-hari dan bukanlah tujuan hidup itu sendiri. Kesehatan merupakan konsep positif yang

menekankan sumber daya sosial dan diri sendiri, serta kapasitas fisik. Dapat disimpulkan bahwa

promosi kesehatan adalah program-program kesehatan yang dirancang untuk membawa

perubahan (perbaikan), baik di dalam masyarakat sendiri, maupun dalam organisasi dan

lingkungannya (WHO, 1986).

Terdapat beberapa prinsip dalam promosi kesehatan. Prinsip-prinsip tersebut adalah

(Rootman et al., 2001):

1. Empowering: mendorong individu dan komunitas untuk mampu memiliki kendali lebih pada

faktor personal, sosioekonomi, dan lingkungan yang mempengaruhi kehidupannya.

2. Participatory: melibatkan semua pihak terkait pada seluruh tahap prosesnya.

3. Holistic: mencakup kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual

4. Intersectoral: melibatkan kolaborasi berbagai pihak dari sektor yang relevan.

5. Equitable: selalu diawasi kesetaraan dan keadilan sosialnya.

6. Sustainable: mampu membawa perubahan yang dapat dipertahankan oleh individu maupun

komunitas meski bantuan awal telah selesai.

Page 80: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

80

7. Multistrategy: menggunakan berbagai macam pendekatan, termasuk pengembangan

kebijakan, perubahan organisasi, pengembangan komunitas, legislasi, advokasi, edukasi, dan

komunikasi.

Sebelum memulai melakukan promosi kesehatan, terdapat beberapa langkah yang harus

dilakukan:

1. Menilai kebutuhan

Untuk menilai kebutuhan, diperlukan sumber-sumber dari:

a. data epidemiologi

b. informasi demografi dan sosioekonomi

c. kebutuhan yang dirasakan oleh audiens target

d. kebutuhan yang dinilai oleh profesional yang (pernah) bekerja dengan audiens target

e. asset yang sudah dimiliki audiens target yang dirasa perlu untuk dikembangkan

2. Menilik pada evidence base

Setelah menentukan kebutuhan atau asset yang ingin dikembangkan, sebaiknya kembali

menilik pada evidence base mengenai intervensi apa yang sebaiknya diberikan.

3. Mengidentifikasi sumber daya

Sumber daya yang dimaksudkan di sini adalah peralatan, finansial, dan manusia yang dapat

mendukung kegiatan.

4. Menentukan tujuan

Perlunya tujuan ditentukan dari awal (misal: peningkatan kesehatan, perubahan perilaku)

adalah agar perencanaan kegiatan lebih terarah dan lebih mudah dalam pengevaluasiannya.

5. Menentukan target

Target paling mudah ditentukan dengan numerik (misal penurunan perilaku merokok pada

anak perempuan usia 11-14 tahun sebesar 10% pada tahun 2015).

6. Menentukan tindakan untuk mencapai tujuan

Setelah menentukan tujuan dan target, langkah selanjutnya adalah menentukan tindakan

spesifik untuk mencapainya.

7. Menentukan metode

Metode di sini adalah teknik yang akan digunakan untuk melakukan tindakan untuk mencapai

tujuan.

Page 81: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

81

8. Mengevaluasi rencana yang disusun

Sebelum kegiatan dilakukan, rencana harus dievaluasi terlebih dahulu.

9. Menentukan sumber daya yang akan digunakan dan alokasi dana

Langkah terakhir adalah memutuskan sumber daya apa saja yang dapat digunakan dan

pengalokasian dana. Jika dana yang ada tidak sebesar yang dibutuhkan, maka diperlukan

adanya prioritasisasi kegiatan yang akan dilakukan (Davies dan Macdowall, 2006).

Metode penyuluhan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tercapainya suatu

hasil penyuluhan secara optimal. Semua metode akan baik bila digunakan secara tepat yaitu

sesuai dengan kebutuhan. Pada garis besarnya hanya ada dua jenis metode dalam penyuluhan,

yaitu (Lusiani, 2010):

1. Metode One Way Method

Menitikberatkan pendidik yang aktif, sedangkan pihak sasaran tidak diberi kesempatan

untuk aktif. Yang termasuk metode ini adalah metode ceramah, siaran melalui radio,

pemutaran film, penyebaran selebaran, dan pameran.

2. Metode Two Way Methode

Pada metode ini terjadi komunikasi dua arah antara pendidik dan sasaran.Yang termasuk

dalam metode ini adalah wawancara, demonstrasi, sandiwara, simulasi, curah pendapat,

permainan peran (role playing), dan tanya jawab. Berdasarkan jumlah sasaran, metode yang

dapat digunakan antara lain:

a. Kelompok Besar (lebih dari 15 orang), metode yang baik untuk kelompok besar ini

antara lain adalah ceramah, demonstrasi, dan seminar.

b. Kelompok Kecil (kurang dari 15 orang), metode yang baik untuk kelompok ini antara

lain diskusi kelompok, curah pendapat (brainstorming), memainkan peran (roleplay).

1. Ceramah

Ceramah merupakan suatu cara dalam menerangkan dan menjelaskan suatu ide, pengertian

atau pesan secara lisan kepada sekelompok sasaran disertai tanya jawab, sehingga

memperoleh informasi tentang kesehatan. Ciri-ciri metode ceramah: ada sekelompok sasaran

yang telah dipersiapkan sebelumnya, ada ide, pengertian dan pesan tentang kesehatan yang

akan disampaikan, tidak adanya kesempatan bertanya bagi sasaran, bila ada jumlahnya sangat

dibatasi dan menggunakan alat peraga untuk mempermudah pengertian. Keuntungan metode

ceramah ialah murah dan mudah menggunakannya, waktu yang diperlukan dapat

Page 82: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

82

dikendalikan oleh penyuluh, dapat diterima oleh sasaran yang tidak dapat membaca dan

menulis, penyuluh dapat menjelaskan dengan menekankan bagian yang penting. Kerugian

metode ceramah adalah tidak dapat memberikan kesempatan kepada sasaran untuk

berpartisipasi secara pro aktif (sasaran bersifat pasif), cepat membosankan jika ceramah yang

disampaikan kurang menarik sasaran, pesan yang disampaikan mudah untuk dilupakan oleh

sasaran, sering menimbulkan pengertian lain apabila sasaran kurang memperhatikan.

2. Demonstrasi

Demonstrasi adalah suatu cara untuk menujukkan pengertian, ide, dan prosedur tentang

sesuatu hal yang telah dipersiapkan dengan teliti untuk memperlihatkan bagaimana cara

melaksanakan suatu tindakan, adegan dengan menggunakan alat peraga. Metode ini

dipergunakan pada kelompok yang tidak terlalu besar jumlahnya. Ciri-ciri demonstrasi:

memperlihatkan pada kelompok tersebut prosedur untuk membuat sesuatu, dapat meyakinkan

peserta bahwa mereka dapat melakukannya, dan dapat meningkatkan minat sasaran untuk

belajar. Keuntungan demonstrasi: kegiatan ini dapat memberikan suatu keterampilan tertentu

kepada kelompok sasaran, dapat memudahkan berbagai jenis penjelasan karena penggunaan

bahasa yang lebih terbatas, membantu sasaran untuk memahami dengan jelas jalannya suatu

proses prosedur yang dilakukan. Kerugian demonstrasi adalah tidak dapat dilihat oleh sasaran

apabila alat yang digunakan terlalu kecil atau penempatannya kurang pada tempatnya, uraian

atau penjelasan yang disampaikan kurang jelas, waktu yang disediakan terbatas sehingga

sasaran tidak dapat diikutsertakan.

3. Praktik

Praktik adalah cara untuk melihat tindakan yang dilakukan seseorang apakah sudah sesuai

dengan yang diinstruksikan. Untuk mengetahui keterampilan murid dalam menyikat gigi yang

baik dan benar dilakukan praktik menyikat gigi secara bersama-sama (Lusiani, 2010).

Page 83: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

83

DAFTAR PUSTAKA

1. Green L., 1979. National Policy on the Promotion of Health. Int J Health

Education;22:161-168.

2. WHO. 1986. The Ottawa Charter for Health Promotion. Ottawa: WHO.

3. Rootman, I., et al. 2001. Evaluation in Health Promotion: Principles and Perspective.

WHO Regional Publications, European Series, No. 92.

4. Davies, M.; Macdowall, W. 2006. Health Promotion Theory. Berkshire: McGraw-Hill.

5. Lusiani, Y. 2010. Efektivitas Penyuluhan Yang Dilakukan Oleh Perawat Gigi Dan Guru

Orkes Dalam Meningkatkan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi Dan Mulut Pada

Murid Sd Negeri 060973 Di Kecamatan Medan Selayang. Medan: Universitas Sumatera

Utara.

Page 84: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

84

INTERVENSI MOTIVASIONAL SEDERHANA

Dra.Yayi Suryo Prabandari, MSi, PhD

Editor: Totok Harjanto, S.Kep., N.s.,M.Kes

Pendahuluan

Intervensi motivasional telah dikenalkan selama beberapa waktu di bidang kesehatan, terutama

dalam hubungan tenaga kesehatan dan pasien. Intervensi ini dikembangkan untuk mengatasi

keterbatasan waktu yang dimiliki tenaga kesehatan, sehingga tenaga kesehatan yang mempunyai

waktu yang singkat dapat melakukan intervensi ini sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Dalam praktek kesehariannya, tenaga kesehatan mempunyai kewajiban untuk melakukan edukasi

pada pasien. Edukasi pasien akan mempunyai dampak yang bermakna bila diberikan dengan

memasukkan unsur memberikan motivasi pada pasien agar pasien tahu, mampu dan mau

melakukan nasehat yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

Definisi dan pengertian

Intervensi motivasional didefinisikan sebagai:

“Therapeutic style intended to help clinicians work with patients to address the patient’s

fluctuation between opposing behaviors and thoughts.” (sumber Miller and Rollnick,

“Motivational Interviewing”, 1991).

Secara sederhana, intervensi motivasional merupakan langkah bagi tenaga kesehatan untuk

memotivasi pasien untuk mengikuti nasehat, terutama pasien yang belum mempunyai pikiran

dan keinginan untuk berubah (menuju keadaan sehat ). Sebagai contoh, pasien PTM (penyakit

tidak menular), seperti diabetes, diharuskan untuk mengikuti pola makan yang lebih sehat,

mengurangi gula, garam dan lemak. Tidak semua pasien akan langsung mengikuti nasehat tenaga

kesehatan untuk mengatur pola makan, karena makan dengan pengaturan tidak sederhana dan

belum tentu menyenangkan pasien. Oleh karena itu, pasien perlu dimotivasi.

Jenis Intervensi Motivasional

Dalam intervensi motivasional terdapat empat jenis intervensi, yaitu:

1. Cognitive Recognition of the problem (e.g., "I guess this is more serious than I thought.")

Page 85: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

85

Dalam hal ini seorang profesional kesehatan, untuk memberikan motivasi awal, perlu

mengenalkan pemahaman pasien mengenai penyakit dan keseriusan penyakitnya. Sebagian

pasien mempunyai pemahaman bahwa penyakitnya dan terutama kebiasaannya tidak

mempunyai dampak yang serius. Sebagai contoh, penting bagi seorang yang mempunyai

hipertensi untuk mengelola pola makan dan pola istirahat. Bila tenaga kesehatan mengatakan

bahwa pasien perlu atur makan dan istirahat, hal ini perlu dinyatakan dengan serius, sebagai

contoh (pernyataan dapat dikemukakan dengan berbagai variasi, tidak harus sama persis

dengan di bawah):

“Pak Adi, tekanan darah Bapak dalam 3 bulan ini tidak menurun meskipun sudah

minum obat. Meskipun saya akan meninjau kembali obatnya, namun saya perlu

memberitahu Bapak kalau Bapak harus mengatur pola makan dan mencoba untuk

mengurangi pekerjaan. Seperti saya jelaskan sebelumnya, bila tekanan darah tidak

terkendali, risikonya bisa serius, salah satunya adalah terkena serangan stroke. Bapak

nanti dapat pulih dari stroke, namun aktifitas Bapak tidak akan sama seperti sebelum

stroke. Hanya sebagian pasien stroke pulih seperti sediakala, namun setelah melalui

perjuangan yang panjang melalui fisioterapi yang intensif dan waktu yang tidak

singkat. Silakan pertimbangkan antara manfaat dan risikonya Pak Adi. Selain minum

obat secara teratur, Bapak perlu istirahat cukup dan mengatur makan. Saya akan

rujukkan ke ahli gizi supaya Bapak bisa memilih menu yang sesuai tanpa

menghilangkan makanan favorit Bapak. Memang di awal agak merepotkan, harus

memikirkan makan dan mengurangi perkerjaan, yang bisa juga mengurangi

pendapatan, namun manfaat ke depannya, tekanan darah terkendali dan keseriusan

penyakit dapat dicegah”

Untuk konteks kehidupan sehari-hari mahasiswa kedokteran yang diberi keluhan teman

tentang kondisi kesehatan, contoh berikut dapat dipelajari:

“Sebaiknya Rini pertimbangkan untuk pergi ke dokter, saya masih mahasiswa, belum

menjadi seorang dokter, masih ada keterbatasan dalam pemahaman tentang penyakit.

Dari cerita yang tadi Rini sampaikan, bahwa menstruasinya tidak teratur selama 2

Page 86: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

86

tahun terakhir, lebih baik Rini berkonsultasi ke dokter, apalagi Rini merencanakan 2

tahun lagi menikah dan ingin punya anak. Pikirkanlah risikonya kalau nanti

keadaannya tidak sesederhana yang Rini katakan bahwa hanya ketidakteraturan”

Upaya mengenalkan pasien atau teman pada keseriusan penyakit atau gejalanya diperlukan

agar mereka akhirnya juga menyatakan bahwa “jadi….sakit saya ini serius ya dok?”

2. Affective Expression of concern about the perceived problem (e.g., "I'm really worried

about what is happening to me.")

Dalam hal ini dokter perlu menimbulkan ekspresi perasaan untuk kemudian diharapkan

ekspresi perasaan tenaga kesehatan akan membawa pada sentuhan pada emosi pasien.

Contoh berikut ini menunjukkan ekspresi perasaan:

“Saya kuatir jika mas Rudy tetap melanjutkan kebiasaan merokoknya, sesak

nafasnya tidak akan berkurang, dan bahkan lebih parah”

Untuk konteks kehidupan mahasiswa, pernyataaan atau ekspresi perasaan dapat

dikemukakan seperti berikut:

“Wah senang sekali kalau Rizal bisa mencoba berhenti merokok, sebagai teman

yang kebetulan baru mendapat kuliah tentang akibat merokok, saya sekarang

sangat kuatir kalau melihat teman yang masih merokok”

Sebaliknya, pasien dapat mengatakan pada tenaga kesehatan kekuatiran mereka terhadap

sakitnya, dan intervensi motivasional yang dilakukan untuk pasien yang seperti ini adalah

menjelaskan tentang penyakitnya serta merefleksikan tentang kekuatiran mereka.

Penjelasan ada di bagian berikutnya tentang refleksi.

Page 87: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

87

3. A Direct or Implicit Intention to change behavior (e.g., "I've got to do something about

this.")

Tenaga kesehatan dapat memberikan pernyataaan yang mendorong pasien untuk

melakukan perubahan, sebagai contoh:

“Saya ingin membantu agar bu Riza bisa segera melakukan dietnya”

Contoh untuk konteks mahasiswa adalah sebagai berikut:

“Ayo saya temani Rina ke dokter, supaya Rina bisa tahu keadaan sebenarnya dan

sayapun sekalian belajar”

Dalam konteks pasien yang menyatakan niatnya untuk mengubah perilakunya, misalnya

saja pasien akhirnya ingin berhenti merokok, tenaga kesehatan dapat melakukan

penguatan untuk mempertajam niatnya dan mewujudkan niatnya, seperti contoh berikut

“Bagus sekali Bastian ingin berhenti merokok, kapan akan mulai berhenti?

Sebentar…dua hari lagi tahun baru, mengapa tidak mencoba berhenti di tahun

baru, sekalian melakukan resolusi?”

4. Optimism about one's ability to change (e.g., "I know that if I try, I can really do it.")

Tenaga kesehatan juga perlu meyakinkan pasiennya agar mereka dapat mewujudkan

keinginan untuk mengikuti nasehat tenaga kesehatan atau ingin berubah. Agar perilaku

dapat diubah, seseorang perlu mempunyai keyakinan diri (atau disebut sebagai “efikasi

diri”) untuk dapat berubah. Contoh berikut adalah melanjutkan contoh di uraian

sebelumnya

“Bastian pasti bisa berhenti merokok, bukankah tahun lalu pernah mencoba?

Sekali ini cobalah tetapkan niatnya, pikirkan manfaatnya yang lebih besar

daripada risiko bila Bastian meneruskan kebiasaan merokoknya. Saya yakin kalau

Bastian sudah menimbang antara manfaat dan risikonya, pasti Bastian juga yakin

bila bisa berhenti merokok”

Page 88: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

88

Bila pasien yang mengatakan bahwa dia yakin bisa mengubah perilakunya (sebagai

contoh, mengubah pola makannya), tenaga kesehatan tinggal menambah keyakinan

tersebut dengan menguatkan keyakinannya.

Tipe pasien yang resisten

Intervensi motivasional sebagian dilakukan untuk menghadapi beberapa pasien yang mempunyai

karakteristik ataupun ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien yang resisten. Penjelasan

tentang jenis pasien langsung di bagian ini, namun cara untuk menghadapi dipaparkan pada

bagian keterampilan motivasional. Ada empat jenis pasien resisten, yaitu:

1. Arguing

The patient contests the accuracy, expertise or integrity of the clinician.

Pasien dapat berargumentasi dengan tenaga kesehatan karena pasien meragukan keahlian

atau integritas mereka. Di era keterbukaan informasi dan teknologi, pasien di kota besar

yang sebagian berpendidikan menengah dan tinggi mempunyai akses terhadap informasi.

Semua penyakit dapat dicari informasinya secara virtual, meskipun sumbernya adalah

popular, sehingga terkadang mereka membawa informasi tersebut untuk

diargumentasikan ke dokternya. Sebagai contoh, pasien akan mengatakan berikut “Saya

kemarin mencari tahu di internet dok soal merokok ini, katanya justru merokok

dapat melindungi dari Alzheimer”, atau “Mengapa saya harus diet Dok?, bukankah

dokter sudah memberi saya obat pengendali gula darah dan saya sudah minta yang

terbaik?”

2. Interrupting

The patient breaks in and interrupts the clinician in a defensive manner.

Pasien jenis ini terkadang menyela dan melakukan interupsi pada saat tenaga kesehatan

sedang berbicara. Interupsi pasien dilakukan untuk pertahanan diri, sebagai contoh,

dokter sedang berbicara tentang bahaya asap rokok terhadap kondisi anak yang sedang

sakit “…maaf dokter, sejak dulu di keluarga kami banyak perokoknya, dan baru

anak saya yang sakit asma, mungkin diturunkan dari istri saya dok, bukan karena

asap rokok saya….”

Page 89: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

89

3. Denying

The patient expresses unwillingness to recognize problems, cooperate, accept

responsibility, or take advice

Pasien dengan tipe ini melakukan ekspresi ketidakinginannya untuk menjalankan nasehat

tenaga kesehatan atau memahami permasalahan yang dihadapi, dan tidak

koperatif.Sebagai contoh, pada saat dokter mendorong agar keduabelah pihak (suami dan

istri) diperiksa supaya dapat diketahui permasalahan dan dibantu penyelesaian masalah

untuk ingin anak, suami mengatakan berikut “Mengapa saya harus juga diperiksa

dok? Bukankah yang akan hamil istri saya? Ya istri saya saja dok yang mengikuti

pemeriksaan-pemeriksaan yang dokter sebutkan tadi, saya teratur berhubungan

dengan dia, saya sehat, tidak pernah merokok, tidak minum-minum, dan futsal

teratur, seminggu 2 kali”

4. Ignoring

The patient shows evidence of ignoring or not following the clinician.

Pasien jenis ini memperlihatkan bukti bahwa dia tidak mengikuti nasehat tenaga

kesehatan, bahkan terkadang terlihat “bangga” menunjukkan ketidakpatuhannya terhadap

nasehat tenaga kesehatan. Sebagai contoh adalah pasien berikut “Nah dok, tekanan

darah saya sudah turun dua minggu lalu, kebetulan saya mengantar istri ke

Puskesmas dan saya sekalian minta ditensi. Tekanan darahnya sudah tidak seperti

bulan lalu, padahal saya belum minum obat yang diberikan oleh dokter, saya lupa

terus untuk menebus di apotik, tapi saya coba mengurangi gorengan saja, begitu

saja sudah turun dok……..saya hari ini menemui dokter karena ingin supaya saya

tidak usah minum obat saja, em….saya paham kalau saya seharusnya minum

obat..tapi kalau hidup sehat bukankah tekanan darah dapat terkendali dok? ”

Page 90: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

90

Keterampilan Motivasional

Keterampilan motivasional dapat dilakukan dengan beberapa cara. Cara berikut akan

melanjutkan contoh pasien yang ada dalam bagian jenis pasien yang resisten.

1. Simple reflection

The simplest approach to responding to resistance is with nonresistance, by

repeating the patient's statement in a neutral form. This acknowledges and validates what

the patient has said and can elicit an opposite response.

Pendekatan terbaik untuk merespon resistensi adalah dengan melakukan yang disebut

non resisten, dengan cara mengulang pernyataan pasien dengan cara netral. Hal tersebut

untuk mengakui dan memvalidasi perkataan pasien dan kemudian tenaga kesehatan dapat

memberikan respon sebaliknya. Sebagai contoh untuk pasien yang arguing dan mengatakan

“Saya kemarin mencari tahu di internet dok soal merokok ini, katanya justru merokok

dapat melindungi dari Alzheimer”, dokter dapat mengatakan sebagai berikut :

“Bapak tadi mengatakan kalau telah mencari informasi tentang merokok di

internet dan menemukan bahwa merokok dapat melindungi dari Alzheimer. Saya

senang Bapak dapat mencari tahu tentang merokok dan akibatnya. Saya juga pernah

membaca hasil penelitian tersebut di jurnal ilmiah, dan memang demikian hasilnya,

namun penelitiannya masih memerlukan penelitian lanjutan. Saya mengingatkan

Bapak saja, bahwa baru satu penyakit tersebut yang terlindungi oleh perilaku

merokok, sementara masih banyak penyakit yang lebih dari puluhan diakibatkan oleh

perilaku merokok dan telah didukung oleh lebih dari ratusan ribu kajian ilmiah.

Bapak pertimbangkan saja, merokok melindungi satu penyakit, namun menyebabkan

lebih banyak penyakit”

2. Shifting focus

You can defuse resistance by helping the client shift focus away from obstacles and

barriers. This method offers an opportunity to affirm your client's personal choice

regarding the conduct of his own life.

Keterampilan lainnya untuk memotivasi adalah memindah. Tenaga kesehatan dapat

melebur resistensi dengan membantu fokus pasien jauh dari hambatan dan tantangan.

Metode tersebut akan menawarkan kesempatan untuk meneguhkan pilihan personal

pasien untuk hidupnya. Untuk pasien yang menyela dokter dan mengatakan berikut

Page 91: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

91

“maaf dokter, sejak dulu di keluarga kami banyak perokoknya, dan baru anak saya

yang sakit asma, mungkin diturunkan dari istri saya dok, bukan karena asap rokok

saya….”. Dokter bisa mengatakan sebagai berikut:

“Begini pak, saya tadi mengatakan tentang asap rokok dan saya hanya ingin

menjelaskan bahwa salah satu pemicu asma putra Bapak adalah asap rokok. Bapak

tentnnya ingin putra Bapak asmanya tidak sering kambuh. Bila Bapak belum ingin

untuk berhenti merokok, silakan Bapak merokok di luar rumah dan tidak di dekat

putra Bapak bila sedang di luar rumah. Bila tidak sering terpapar asap, putra

Bapak mudah-mudahan bisa sehat dan tidak kambuh lagi asmanya”

3. Reframing

A good strategy to use when a client denies personal problems is reframing--offering

a new and positive interpretation of negative information provided by the client. Reframing

acknowledges the validity of the client's raw observations, but offers a new meaning.

Dalam melakukan motivasi, keterampilan untuk reframing atau membingkai kembali

pernyataan, diperlukan. Strategi ini dapat digunakan pada saat pasien menyangkal

masalahnya dan dokter dapat menawarkan interpretasi baru dan positif dari informasi

negative yang diberikan pasien. Pembingkaian kembali merupakan pengakuan dari akurasi

pengamatan kasar pasien, namun menawarkan arti baru. Sebagai contoh untuk pasien yang

mengatakan berikut “Mengapa saya harus diet Dok?, bukankah dokter sudah memberi

saya obat pengendali gula darah dan saya sudah minta yang terbaik”, dokter dapat

mengatakan seperti contoh berikut :

“Bu Yayuk, saya bulan yang lalu telah memberikan obat pengendali gula darah

seperti yang Ibu inginkan, dan seperti juga telah saya katakan pada perjumpaan

bulan lalu, kadar gula dalam darah sebaiknya dikendalikan tidak hanya dengan

obat saja, tetapi juga hidup sehat, termasuk mengatur pola makan. Saya perlu

menjelaskan bahwa „diet‟ adalah pengaturan pola makan bu, dan nanti dengan

bantuan ahli gizi, yang lebih menguasai soal gizi daripada saya, Bu Yayuk akan

dapat mendiskusikan cara mengatur pola makan ini dengan tidak meninggalkan

makanan kesayangan Bu Yayuk dan disesuaikan dengan kebiasaan bu Yayuk yang

cukup sibuk. Obat pengendali gula darah akan mempunyai efek yang lebih optimal

bila disertai dengan menjalankan hidup sehat, yaitu mengatur pola makan, olah

Page 92: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

92

raga teratur dan terukur, serta menghindari asap rokok. Selain gula darah akan

terkendali, bu Yayuk akan lebih sehat dan bugar, dan bisa produktif dalam

bekerja”

4. Rolling with resistence

a. Momentum can be used to good advantage.

b. Perceptions can be shifted.

c. New perspectives are invited but not imposed.

d. The client is a valuable resource in finding solutions to problems.

Keterampilan berikutnya untuk melakukan intervensi motivasional adalah

memutarbalikkan resistensi dengan menggunakan “momentum” (misal, kekambuhan atau

alasan menemui dokter). Selain itu persepsi pasien bisa diubah dan perspektif baru

diperkenalkan, meski tidak dipaksakan, pasien dapat menjadi sumber penyelesaian

masalah. Untuk menghadapi pasien yang seperti contoh berikut “Mengapa saya harus

juga diperiksa dok? Bukankah yang akan hamil istri saya? Ya istri saya saja dok

yang mengikuti pemeriksaan-pemeriksaan yang dokter sebutkan tadi, saya teratur

berhubungan dengan dia, saya sehat, tidak pernah merokok, tidak minum-minum,

dan futsal teratur, seminggu 2 kali”. Dalam kasus ini, dokter dapat memberikan contoh

pernyataan sebagai berikut:

“Pak Kun merasa sehat dan telah menjalankan hidup sehat, semoga kebiasaan

makan dan istirahatnya juga demikian. Saya masih ada beberapa pertanyaan lagi,

namun sebelum saya bertanya, saya ingin mengatakan terima kasih Pak Kun telah

datang menemui saya bersama ibu. Pemeriksaan pada pasangan akan lebih akurat,

meskipun yang akan hamil adalah ibu, karena kehamilan bisa terjadi sebagai hasil

dari kolaborasi pasangan. Satu orang saja diperiksa belum dapat menyelesaikan

permasalahan.Kita lihat sisi yang menyenangkan dahulu pak Kun, kebersamaan

dalam menjalani pemeriksaan akan bisa berefek pada kerekatan hubungan Pak

Kun dan ibu, dan bila nanti ditemukan adanya permasalahan di salah satu

pasangan, penyelesaiannya dapat dijalani bersama, apalagi kalau Pak Kun bisa

mengajak ibu untuk menjalankan hidup sehat yang selama ini telah dijalani”

Page 93: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

93

5. Siding with the negative

One more strategy for adapting to patient resistance is to "side with the negative"-

-to take up the negative voice in the discussion. If your client is ambivalent, your taking

the negative side of the argument evokes a "Yes, but..." from the patient, who then

expresses the other (positive) side.

Strategi berikutnya untuk intervensi motivasional adalah mengatasi ambivalensi

pasien. Ambivalensi adalah kebingungan dalam memilih pilihan yang kadang-kadang

terjadi karena hambatan dalam melakukan nasehat dokter. Sebagai contoh, pasien tahu

bahwa dia harus mengatur pola makan, namun pekerjaannya menghambat dia untuk

dapat mengatur pola makan , sehingga dia mengatakan “ya…saya mengerti Dok kalau

saya seharusnya diet, namun……..”. Strategi ini mengangkat sisi negatif pasien dan

kemudian mengangkat sisi lainnya (sisi positif). Untuk menghadapi pasien yang

mengatakan seperti ini “Nah dok, tekanan darah saya sudah turun dua minggu lalu,

kebetulan saya mengantar istri ke Puskesmas dan saya sekalian minta ditensi.

Tekanan darahnya sudah tidak seperti bulan lalu, padahal saya belum minum obat

yang diberikan oleh dokter, saya lupa terus untuk menebus di apotik, tapi saya coba

mengurangi gorengan saja, begitu saja sudah turun dok……..saya hari ini menemui

dokter karena ingin supaya saya tidak usah minum obat saja, em….saya paham

kalau saya seharusnya minum obat..tapi kalau hidup sehat bukankah tekanan

darah dapat terkendali dok?”. Dokter disini dapat mengatakan seperti contoh berikut:

“Saya senang mendengar pak Wahyu sudah tidak makan gorengan lagi.

Memang tekanan darah Pak Wahyu dibanding sebulan yang lalu sudah turun pak

dan lebih bagus lagi kalau selalu dikendalikan. Pak Wahyu mengatakan kalau telah

memahami bahwa tekanan darah perlu dikendalikan dengan obat, karena semoga

masih ingat penjelasan saya bulan lalu, ada factor usia yang tidak bisa diubah dan

faktor lainnya selain mengatur makan dengan salah satunya menghindari

gorengan. Pak Wahyu bulan lalu tekanan darahnya sudah masuk kategori tinggi,

dan berdasarkan rekam medis yang ada di klinik perusahaan ini beberapa waktu

yang lalu tekanan darah pak Wahyu juga pernah dalam kategori tinggi. Bulan

depan pak Wahyu akan berusia 52 tahun, sebaiknya dikendalikan dulu dengan

obat. Menjalankan hidup sehat akan bisa memperkuat hasil kerja obat pak. Untuk

Page 94: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

94

mereka yang tekanan darahnya belum pernah dalam kategori tinggi, tidak

mengkonsumsi obat dan hanya menjalankan hidup sehat masih dapat dianjurkan”

6. Self efficacy

a. The belief that one can perform a behavior or accomplish a particular task

b. Belief in the possibility of change is an important motivator.

c. The client is responsible for choosing and carrying out personal change.

d. There is hope in the range of alternative approaches available.

Self efficacy atau efikasi diri merupakan keyakinan seseorang untuk dapat

melakukan tindakan atau menjalankan tugas. Keyakinan ini diperlukan untuk mengubah

perilaku karena keyakinan untuk dapat berubah adalah motivator utama. Dalam

intervensi motivasional, tenaga kesehatan perlu mendorong keyakinan pasien untuk dapat

mengikuti nasehat. Dorongan terhadap keyakinan disesuaikan dengan perubahan yang

diinginkan terjadi oleh pasien dan dipilih dari beberapa pendekatan. Sebagai contoh

adalah pernyataan dokter berikut:

“Saya yakin mas Heru dapat berhenti merokok, bukankah tadi mas Heru

mengatakan sudah sebulan ini berusaha dan berhasil mengurangi jumlah rokok,

dari 2 bungkus menjadi 1 bungkus. Dikuatkan kembali niatnya mas Heru, pelajari

hasil sebulan ini, kalau mengurangi sudah berhasil, berarti bukan tidak mungkin

mas Heru bisa menghentikan.Tadi mas Heru juga cerita kalau calon istri sangat

mendukung keputusan untuk berhenti merokok. Calon istri dapat diminta tolong

untuk selalu mengingatkan dan menjelang pernikahan, saya kira mas Heru akan

sibuk berdua dengan calon istri untuk mempersiapkan. Gunakan kesibukan

tersebut untuk melupakan rokoknya, momen yang tepat…mas Heru pasti bisa

berhenti merokok”

7. Avoiding arguments

Arguments are counterproductive.

Defending breeds defensiveness.

Resistance is a signal to change strategies.

Labeling is unnecessary.

Menghadapi pasien atau sesorang yang resisten dan berargumen, hindarilah

melawan argumentasinya, karena melakukan argumentasi yang cenderung debat kusir

Page 95: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

95

adalah counter productive .Mempertahankan diri mengembangkan sifat bertahan.Resisten

adalah tanda untuk mengubah strategi dan melakukan penyebutan (pasien ini pasti mau

bertahan, pasien ini pasti nanti menjawab bagini) adalah tidak perlu. Sebagai contoh

untuk mengatasi pasien atau seseorang yang tidak mau berhenti merokok dan

memberikan penjelasan panjang lebar mengenai alasan tetap merokoknya, dapat dihadapi

dengan memberikan pernyataan berikut:

“Sebagai seorang dokter (atau bila konteksnya mahasiswa – sebagai mahasiswa di

kesehatan) sudah merupakan kewajiban saya untuk mengingatkan pasien (atau

Anda) untuk berhenti merokok”

8. Open ended questions

Asking open-ended questions helps you understand your clients' point of view and

elicits their feelings about a given topic or situation. Open-ended questions facilitate

dialog; they cannot be answered with a single word or phrase and do not require any

particular response.

Dalam melakukan intervensi motivasional, meskipun sederhana, gunakanlah lebih

banyak pertanyaan terbuka. Pertanyaan terbuka akan dapat membantu memahami

pandangan pasien dan perasaan mereka terhadap satu topic atau situasi. Pertanyaan

terbuka juga dapat memfasilitasi dialog, karena tidak dapat dijawab hanya dengan kata

tunggal, ya atau tidak. Berikut adalah contoh pertanyaan terbuka:

“Bu Ruth tadi mengatakan kalau lebih baik olah raganya dikuatkan daripada diet,

apakah Bu Ruth dapat menjelaskan lebih lanjut?”

9. Listen reflectively

Reflective listening is a way of checking rather than assuming that you know what

is meant.

Mendengar secara reflektif adalah strategi dalam intervensi motivasional.

Menyampaikan paraphrase (menyatakan kembali perkataan lawan bicara dengan bahasa

kita sendiri) yang dikatakan oleh lawan bicara merupakan cara untuk menunjukkan

bahwa kita mendengarkan. Sebagai contoh untuk menyambung contoh “Mengapa saya

harus diet Dok?, bukankah dokter sudah memberi saya obat pengendali gula darah

dan saya sudah minta yang terbaik”.

Page 96: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

96

Dokter dapat menunjukkan mendengarkan secara reflektif dengan:

“Bu Retno menanyakan keharusan untuk diet karena saya telah memberikan obat

pengendali gula darah………………………..”

10. Expressing empathy

a. Empathy communicates acceptance, while supporting the process of change.

b. Acceptance facilitates change.

c. Clinician seeks to build up rather than tear down.

d. Skillful reflective listening is fundamental to expressing empathy.

Keterampilan untuk melakukan empati merupakan keterampilan dalam

memotivasi selanjutnya dan keterampilan ini akan dipelajari pada pembelajaran dan

skills lab. Oleh karena itu buku panduan ini membantu untuk memperkenalkan dan

untuk menguatkan. Tabel 1 menunjukkan tahapan empati dan contohnya untuk

memberikan motivasi sederhana.

Tabel 1. Tahapan empati dan contoh untuk memotivasi

Empathy level Penjelasan Contoh

0 Denial of patient

perspective,

Tidak merespon pasien

Menghindari

perspektif pasien

Mengalihkan pembicaraan pada saat pasien

mengatakan kalau sulit mengatur pola

makan

“Bu Rita bekerja dimana ya?

1 Perfunctory

recognition of

patient perspective

Merespon perspektif

pasien dengan sekilas

“oo begitu pak Soleh….”

2 Implicit recognition

of patient

perspective

Secara implisit

mengenali perspektif

pasien

“Sulit ya bu Rita untuk diet, bagaimana

usaha toko roti barunya bu?”

3 Acknowledgement Mengenali dan

mengapresiasi

perspektif pasien

“Saya bisa memahami kesulitan Pak

Radi untuk berhenti merokok, karena

pekerjaannya sebagai wartawan yang

dikelilingi oleh banyak perokok ”

4 Confirmation Mengakui atau “Memang tidak mudah untuk

Page 97: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

97

mengkonfirmasi meyakinkan pasangan agar bersedia

mengikuti pemeriksanaan bu Yuli, saya

bisa membayangkan reaksi Bapak

nanti”

5 Statement of shared

feeling or

experience

Memberikan

pernyataan tentang

rasa atau pengalaman

“Mengatur pola makan memang bukan

hal yang mudah bu Joko, beberapa

pasien saya juga menghadapi beberapa

kendala, dan mereka juga bercerita

panjang cara mengatasinya…kita bisa

mendiskusikannya bu

Joko….barangkali ada yang sesuai

dengan yang diinginkan bu Joko”

11. Affirm

When it is done sincerely, affirming your patient supports and promotes self-efficacy

Memberikan afirmasi atau menguatkan pasien dengan dukungan dan meyakinkan pasien

bahwa mereka bisa melakukan diperlukan untuk menutup intervensi motivasional

sederhana.

Page 98: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

98

BAB XI

COMMUNITY ACTION AND COMMUNITY EMPOWERMENT

dr.Hikmawati,M.Med.Ed.

Community and Family Health Care (CFHC) merupakan suatu kegiatan pembelajaran

berbasis pada masyarakat/komunitas. Secara tidak langsung, kegiatan ini hendaknya memberikan

manfaat bagi komunitas/masyarakat setempat. Banyak hal yang dapat diberikan kepada

masyarakat. Bab ini akan membahas mengenai empowering community dan strategi dalam

empowering community.

Empowering community atau pemberdayaan masyarakat adalah sebuah pengaturan

mendasar untuk mengatasi permasalahan sosial dan memperbaiki kondisi yang ada (Drier, 1996).

Dalam hal kesehatan, tujuan utama yang akan dicapai adalah perbaikan kesehatan pada

masyarakat, sehingga hal – hal yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat menjadi

komponen inti yang akan terlibat dalam kegiatan empowering community.

Stakeholder sebagai fasilitator dalam empowering community dapat membuat sebuah

kegiatan pemberdayaan masyarakat secara efektif dengan beberapa cara. Secara umum, Laverack

(2005) mengatakan bahwa kegiatan empowering community dapat dibagi menjadi sembilan

domain: peningkatan partisipasi masyarakat, mengembangkan kepemimpinan lokal,

meningkatkan kapasitas penilaian masyarakat, meningkatkan kemampuan dalam menanyakan

“mengapa”, membangun struktur organisasi yang efektif dan efisien, meningkatkan sumber-

sumber yang memiliki mobilitas tinggi, menguatkan hubungan antara organisasi dan masyarakat,

membuat sebuah hubungan eksternal dengan pihak-pihak luar tertentu, dan meningkatkan

kontrol terhadap manajemen program pemerintah. Namun, kunci sebuah program pemberdayaan

masyarakat dapat berhasil terletak pada masyarakat itu sendiri, sehingga “proses belajar”

masyarakat lah yang sangat diperlukan dalam setiap program pemberdayaan masyarakat. Dalam

mengenalkan masyarakat terhadap proses belajar mereka tidaklah mudah. Dua metode yang saat

ini sudah dikenal secara luas adalah PAR (Participated Action Research) dan PRA

(Participation Rural Appraisal).

Page 99: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

99

PAR (Participated Action Research) merupakan sebuah metode riset yang melibatkan

masyarakat. Secara spesifik, PAR merupakan sebuah metode berdasarkan pada refleksi, koleksi

data, dan aksi yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan menurunkan

ketidakpemerataan kesehatan dengan melibatkan personal yang kemudian diharapkan melakukan

sesuatu yang akan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Baum, MacDougall, & Smith,

2006). Secara umum, PAR merupakan bagian dari action research yang memiliki siklus. Siklus

tersebut merupakan siklus proses perbaikan secara terus menerus. Diawali dengan sebuah

analisis terhadap masalah yang ada dalam masyarakat, kemudian perumusan penyelesaian

terhadap permasalahan yang ada. Perumusan penyelesaian masalah itulah yang kemudian

menjadi sebuah riset. Apabila riset tersebut telah dilaksanakan maka sebuah proses evaluasi

terhadap permasalahan akan menjadi tahap selanjutnya, sehingga kekurangan dari riset akan

menjadi pembelajaran dan riset yang berkelanjutan. Namun, untuk menjadi sebuah pembelajaran

bagi sebuah komunitas/masyarakat, ada beberapa hal yang menjadi perhatian atau prasyarat.

Menjadi sebuah pembelajaran bagi sebuah masyarakat memerlukan atensi dan partisipasi

dari masyarakat itu sendiri. Dalam hal atensi, kebutuhan masyarakat dan self-belonging

masyarakat terhadap masyarakat itu sendiri menjadi kunci keberhasilan dalam meraih atensi

masyarakat, sehingga menyadarkan masyarakat terhadap permasalahan mereka sendiri menjadi

titik awal dari proses pembelajaran. Proses awal tersebut tidaklah mudah. Ada beberapa cara

yang dapat dilakukan,diantaranya keterlibatan tokoh masyarakat (ToMa) atau melibatkan

organisasi yang ada dalam masyarakat tersebut. Harapannya, ToMa yang terlibat merupakan

tokoh kunci pada struktur masyarakat yang dituju, sehingga dapat terlibat secara langsung dalam

menentukan penelitian yang akan dilaksanakan.

Selanjutnya, analisis dan refleksi terhadap hasil penelitian juga memegang peranan

penting. Analisis hendaknya dilakukan terhadap data penelitian dan penelitian itu sendiri,

sehingga didapatkan gambaran secara menyeluruh terhadap proses. Setelah itu, hasil analisis

tersebut ditelaah secara seksama oleh seluruh pihak yang terlibat, termasuk masyarakat.

Harapannya, masyarakat mampu merefleksikan dan mengambil sebuah pelajaran dari proses

penelitian tersebut. Kedua proses yang terletak diakhir ini merupakan kunci keberhasilan dari

empowering the community.

Page 100: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

100

Oleh karena itu, dalam menyelenggarakan PAR, beberapa tahap harus dilalui, di antaranya:

1. Penentuan masalah, isu, atau perubahan yang diinginkan secara bersama-sama, kemudian

membentuk sebuah komunitas penelitian yang anggotanya adalah tim peneliti dan beberapa

wakil masyarakat yang ditunjuk.

2. Pertemuan dalam mengkolaborasikan awal antara tim peneliti dan masyarakat setempat

untuk dapat merumuskan sebuah metode dan rencana penelitian yang akan dikerjakan secara

bersama-sama.

3. Merumuskan aksi-aksi yang sesuai dengan metode dan rencana penelitian.

4. Pelaksanaan aksi-aksi sehingga tampak outcome yang diharapkan yang kemudian

diobservasi baik oleh komunitas penelitian dan masyarakat yang tertarik dengan penelitian

ini.

5. Refleksi terhadap aksi dan outcome yang dihasilkan dari aksi yang telah dilakukan.

6. Refleksi ini mengarahkan kepada sebuah assessment yang akan menilai efektifitas aksi

pertama, kemudian akan berlanjut kepada fase awal siklus selanjutnya

7. Jikalau dalam refleksi menilai aksi yang pertama tidak berhasil ataupun kurang sesuai

dengan harapan, maka outcome yang dihasilkan dari aksi pertama akan menjadi

pertimbangan pada siklus berikutnya dengan merumuskan sebuah aksi yang baru dan

mungkin berbeda dengan aksi yang pertama.

8. Siklus ini akan terjadi terus menerus sehingga didapatkan hasil yang diinginkan secara

bersama-sama. (Walter, 2009)

Beberapa keuntungan dan kerugian dari metode PAR dipaparkan oleh Walter (2009).

Beberapa keuntungan dari PAR adalah PAR merupakan penelitian aplikatif yang dapat secara

langsung mengatasi permasalahan kesehatan yang ada pada masyarakat, sebuah penelitian

kolaboratif yang melibatkan masyarakat dan komunitas riset, penelitian berkomitment yang

memungkinkan masyarakat untuk mengenali dirinya sendiri-meningkatkan pengetahuan-

penambahan memori secara kolektif, sebuah penelitian yang langsung menyasar permasalahan

penting yang real pada masyarakat dan diagnosis secara independen oleh masyarakat itu sendiri.

Sedangkan kerugian dari metode PAR adalah sebagai berikut: tidak adanya pemimpin penelitian,

sehingga dalam prosesnya sangat mungkin mengarah kepada sebuah penelitian yang kompetitif,

penelitian mungkin sulit untuk diaplikasikan karena keterlibatan masyarakat yang minimal.

Page 101: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

101

Penelitian ini tidak memiliki agenda waktu yang jelas, sehingga sangat mungkin sulit untuk

menilai keberhasilan dari metode ini.

Salah satu contoh aplikasi metode adalah pengatasan permasalahan inklusivitas anak-

anak dengan disabilitas (Erwin, et al, 2012). Dengan adanya metode ini, diharapkan seluruh

masyarakat bersedia menerima dan memperlakukan anak dengan disabilitas tanpa ada perbedaan

yang mencolok. Namun, satu hal yang dipelajari dalam mengimplementasikan PAR pada kasus

ini adalah pentingnya partisipasi dari seluruh masyarakat yang ada.

PRA (Participation Rural Appraisal)

PRA (Participation Rural Appraisal) merupakan sebuah metode yang memberi

kesempatan bagi sebuah komunitas untuk bekerja sama dengan penyedia jasa resmi untuk

mengidentifikasi, menganalisis secara kritis permasalahan yang mereka hadapi sesuai dengan

kemampuan, dan nilai yang mereka miliki, sehingga perubahan itu bisa diaplikasikan secara

mandiri oleh komunitas itu sendiri (Bar-On & Prinsen, 1999). Perbedaan mendasar dengan PAR

adalah pada metode PRA masyarakat tidak terlibat secara langsung dalam penelitiannya. Dalam

artian, pada metode PRA ini penelitian dilakukan oleh sebuah organisasi resmi (baik NGO

ataupun non-NGO), sehingga topik, subjek, dan metode yang dipilih akan tergantung pada agen

yang telah ditunjuk.

Prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan PRA dapat dijabarkan ke dalam enam hal: belajar

aktif, triangulasi, fleksibilitas, fokus pada kekuatan, kecukupan pengetahuan, dan analisis

ditempat(Bar-On & Prinsen, 1999). Masyarakat dianggap sebagai pembelajar yang aktif,

sehingga identifikasi masalah yang didapatkan oleh organisasi yang masuk merupakan

kesimpulan yang sebenarnya dari masyarakat. Adanya triangulasi terhadap tiga komponen PRA:

partisipan, alat, dan observasi terhadap lingkungan/lokasi. PRA bersifat sangat dinamis, tujuan

penelitian yang diselenggarakan sangat menyesuaikan dari kebutuhan atau identifikasi pada saat

itu yang sangat mungkin berubah mengikuti waktu. Organisasi akan berfokus terhadap

kelebihan/kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat, tindakan aksi yang dipilih akan

memanfaatkan segala kelebihan atau kekuatan yang dimiliki sehingga kekurangan/kelemahan

atau permasalahan yang ada dapat diatasi. Kecukupan pengetahun sangat berpengaruh terhadap

proses penelitian yang ada karena proses penelitian tidak hanya akan berdasarkan pada data

Page 102: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

102

instrument namun pada aksi yang dilakukan. Analisis biasanya akan dilakukan pada saat itu juga.

sehingga menunjang proses belajar masyarakat yang cepat.

Oleh karena itu, untuk keberhasilan sebuah metode PRA, langkah-langkah yang harus

dilakukan adalahsebagai berikut:

1. Kunjungan awal

2. Identifikasi lokaldan pelatihan ko-fasilitator lokal

3. Koleksi data dan analisis

4. Pertemuan masyarakat

5. Identifikasi organisasi dan rencana aksi

6. Perencanaan implementasi aksi oleh organisasi

7. Evaluasi

8. Pertemuan akhir dengan komunitas/masyarakat (Robinson, 2002)

Salah satu contoh PRA adalah perbaikan sanitasi desa di Alaska (Berardi, 1998). Program

PRA dilaksanakan oleh suatu organisasi pemerintahan dalam upayanya untuk mengatasi

peningkatan biaya kesehatan yang ditimbulkan oleh buruknya sanitasi. Diangkatnya program ini

disebabkan oleh identifikasi permasalahan dari program yang sebelumnya. Dikatakan bahwa

sulitnya mengubah sanitasi desa di Alaska berkaitan dengan budaya, nilai, dan kondisi desa.

Keberhasilan program ini terletak pada kerja sama yang baik dari penduduk lokal Alaska dengan

organisasi pelaksana program.

Page 103: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

103

DAFTAR PUSTAKA

Baum, F., MacDougall, C., Smith, D.,2006. Participatory Action Research. Journal

Epidemiology Community Health,60:854–857, DOI: 10.1136/jech.2004.028662

Bar-On A.A., Prinsen, G.,1999. Planning, communities, empowerment: An Introduction of

Participatory Rural Appraisal. International Social Work, 42(3): 277 - 294

Berardi, G.,1998. Application of Participatory Rural Appraisal in Alaska. Human Organization,

57(4): 438 – 446

Drier, P.,1996. Community empowerment Strategies: The Limits and Potential of Community

Organizing in Urban Neighborhood. A Journal of Policy Development and Research, 2(2):

121 – 159

Erwin, E.J., Puig, E.I., Everson, E.L., Beresford, M., 2012. Community and Connection in

Inclusive Early Childhood Education: A Participatory Action Research. Young Exceptional

Children. DOI: 10.1177/1096250612451759

Laverack , G., 2006. Using a ‟domain‟ approach to build community empowerment. Oxford

University Press and Community Development Journal, 41(1): 4 - 12

Robinson,L.,2002. Participatory Rural Appraisal: A Brief Introduction. A Research and

Application Journal

Walter, M., 2009. Chapter 21: Participatory Action Research. In Social Research Methods (eds).

Page 104: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

104

PENDEKATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT UNTUK KESEHATAN

dr. Fatwa Sari Tetra Dewi, MPH, PhD

A. Pendekatan kepada Masyarakat

Pendekatan kepada masyarakat sangat penting dilakukan di awal kegiatan CFHC agar

kegiatan dapat berjalandengan optimal. Masyarakat memiliki karakter yang berbeda-beda,

ada yang relatif terbuka dan mudah untuk didekati ada juga yang relative tertutup sehingga

membutuhkan waktu lebih lama untuk didekati.

Apabila kita perhatikan tentang proses pendidikan pada masyarakat, sering kita

dapatkan keluhan petugas kesehatan yang menyatakan bahwa masyarakat sulit untuk

“diberitahu”. Sementara apabila kita mencoba mendengarkan suara masyarakat secara

seksama, kita banyak mendapatkan keluhan bahwa petugas kesehatan sangat suka

“menggurui”. Hal ini merupakan cerminan miskomunikasi antara petugas kesehatan dengan

masyarakat dengan persepsi mereka masing-masing. Telaah lebih lanjut tentang

miskomunikasi tersebut berasal dari perbedaan latarbelakang dan pola pikir dalam

memandang permasalahan kesehatan. Petugas kesehatan tumbuh dalam pola pikir kesehatan

ala Barat, sementara masyarakat tumbuh dalam pola pikir budaya setempat (adaptasi warga

dalam mengatasi masalah sehari-hari).

Ada beberapa tips untuk mendekati masyarakat:

1. Bersikap sebagaimana orang awam

Sebagai petugas kesehatan kita memiliki ilmu pengetahuan medis yang telah teruji secara

ilmiah, tetapi bahasa ilmiah tidak bisa kita berikan langsung kepada masyarakat. Jika kita

paksakan maka yang akan terjadi adalah kesan “menggurui”. Yang perlu dilakukan

adalah berusaha memahami pola pikir masyarakat dalam memandang suatu masalah

kesehatan tanpa perlu menghakimi “ini benar dan itu salah”. Setelah mengetahui pola

pikir masyarakat, identifikasi cara penyampaian ilmu kesehatan ilmiah sebisa mungkin

mengikuti alur pola pikir masyarakat.

2. Mendengarkan secara aktif dan kritis

Page 105: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

105

B. Peran Pemberdayaan Masyarakat dalam Pemecahan Masalah Kesehatan

Masyarakat didefinisikan sebagai: 1) kelompok dengan fungsi dasar kehidupan

masyarakat yang terpenuhi, 2) kelompok dengan interaksi sosial yang serupa, dan 3)

Kelompok dengan identitas simbolik spesifik (Minkler, 1997).

Pemberdayaan adalah proses interaksi yang memungkinkan partisipasi orang-orang,

organisasi, dan komunitas-komunitas dalam meningkatkan kontrol individu, ataupun

kelompok dalam meningkatkan kualitas hidup dan mencapai keadilan sosial (Minkler,

1997).

Pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan adalah proses interaksi sosial yang

memungkinkan partisipasi unsur-unsur dalam kelompok masyarakat untuk meningkatkan

kontrol individu-individu dalam masyarakat dalam memelihara kesehatan kelompoknya.

Pemberdayaan masyarakat ini tak bisa lepas dari pengembangan masyarakat. Pengembangan

masyarakat adalah suatu proses dalam masyarakat yang mengandalkan kekuatan masyarakat

untuk mengatasi masalah masyarakat. Tahap pengembangan masyarakat adalah

mengidentifikasi masalah, menjaga dan memanfaatkan sumber daya masyarakat yang

dimiliki dalam memecahkan masalahnya (Figueroa et al, 2002).

Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses dengan spektrum yang lebar. Dimulai

dari satu ekstrim di mana usaha perubahan dimotori oleh pihak luar agar masyarakat sasaran

menyetujui dan melakukan yang didentifikasikan perlu dilakukan. Kebalikannya adalah

masyarakat memiliki kebebasan penuh untuk mengambil keputusan mereka terkait dengan

penanganan masalah kesehatan, sementara pihak luar murni sebagai fasilitator (Reinke,

1988).

Sistem kesehatan didesain untuk memudahkan kontrol terhadap output ataupun

praktek yang terstandar. Karakter dalam system kesehatan adalah:

1. Partisipasi anggota sesuai dengan job description yang telah tertulis dengan jelas

sebelum pegawai bekerja dalam suatu system kesehatan

2. Hubungan antar anggota sesuai dengan struktur organisasi dengan garis komando yang

bersifat vertikal. Dengan struktur sedemikian rupa memungkinkan atasan mengontrol

bawahan dalam memproduksi praktek atau output yang terstandar.

3. Kegiatan tergantung pada kebutuhan konsumen dan klien.

Page 106: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

106

Sementara itu sistem dalam masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kontrol

anggota-anggota masyarakat terhadap masalah di dalam masyarakatnya. Sistem masyarakat

memiliki karakteristik:

1. Partisipasi anggota tergantung komitmen yang diinginkan oleh masing-masing

anggotanya

2. Hubungan antar anggota terdistribusi secara merata di antara anggota-anggota yang

berkomitmen.

3. Kegiatan tergantung pada kebutuhan anggota masyarakat tidak tergantung pada

konsumen.

Perbedaan karakter seperti tersebut di atas menimbulkan beberapa realita berikut ini:

1. Sistem kesehatan dan sistem pemberdayaan masyarakat merupakan dua alat yang

berbeda dengan tujuan yang berbeda.

2. Sistem kesehatan tidak mungkin dapat menggantikan pemberdayaan masyarakat,

demikian juga sebaliknya

3. Sangat berkembangnya system kesehatan akan melemahkan pemberdayaan masyarakat.

4. Lemahnya pemberdayaan masyarakt akan menurunkan partisipasi masyarakat dan pada

akhirnya akan menurunkan status kesehatan masyarakat. Oleh karena itu untuk

mencapai kesehatan masyarakat yang optimal dan terpelihara secara terus menerus

dibutuhkan kesetaraan antara system kesehatan dengan pemberdayaan masyarakat1.

C. Strategi Pemberdayaan Masyarakat

Ada lima tahap dalam proses pemberdayaan masyarakat yaitu:

1. Katalisasi

2. Dialog dalam masyarakat

3. Aksi kolektif

4. Perubahan individual dan perubahan Sosial

5. Dampak sosial

Page 107: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

107

Kelima tahap ini bersama sub-sub tahapnya digambarkan pada gambar 1. Penjelasan masing-

masing tahap dalam pemberdayaan masyarakat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Katalisasi

Adalah tahap persiapan dalam masyarakat untuk suatu perubahan. Tahap ini adalah

tahap awal dari suatu perubahan dalam masyarakat. Tahap ini dipengaruhi oleh

beberapa faktor sebagai berikut:

1.1. Kesadaran internal

Adanya suatu peristiwa yang tidak biasa terjadi di masyarakat memicu diskusi antar

warga masyarakat untuk merasakan adanya masalah di antara mereka.

1.2. Stimulus eksternal

Masalah terdeteksi bukan oleh warga setempat, yang selanjutnya digagas untuk

didiskusikan lebih lanjut di antara warga masyarakat. Kegiatan ini biasa disebut

sebagai pengenalan kebutuhan yang dirasakan masyarakat.

1.3. Inovasi, kebijakan, teknologi baru

Adanya suatu inovasi baru, misalnya tentang penemuan vaksin baru, memicu

diskusi dalam masyarakat tentang kemungkinan mengadopsi inovasi tersebut. Tak

beda dengan inovasi baru maka kebijakan baru dapat maupun teknologi baru

memicu masyarakat untuk meresponnya.

1.4. Media masa

Adanya pesan-pesan yang memang didesain untuk menstimulasi masyarakat agar

mengubah perilaku mereka, baik perilaku individu maupun perilaku masyarakat.

2. Dialog dalam masyarakat, terdiri atas tahap-tahap:

2.1. Pengenalan adanya masalah

Seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat mengenali adanya masalah di

sekeliling mereka.

2.2. Identifikasi dan keterlibatan pemimpin maupuan stakeholder

Penemu masalah akan berusaha mendiskusikan masalah tersebut dengan orang-

orang yang senasib (dipandang terancam oleh masalah tersebut), dengan pimpinan

masyarakat baik formal maupun informal, serta meminta pendapat ahli yang

dikenal. Dalam tahap ini masalah akan secara otomatis diperhatikan tidak hanya

pada tingkat kelompok tetapi sudah sampai pada tingkat masyarakat. Setelah

Page 108: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

108

menyadari adanya masalah, masyarakat kemudian akan berusaha memberi nama

masalah yang mereka hadapi.

2.3. Klarifikasi persepsi

Diskusi lebih jauh tentang masalah dan penyebabnya. Sangat mungkin terjadi

perbedaan persepsi antar individu maupun kelompok. Diperlukan satu usaha untuk

mencapai kesepakatan persepsi tentang masalah yang dihadapi. Kesepakatan ini

diperlukan untuk menemukan tindakan yang harus diambil bersama-sama dalam

mengatasi permasalahan tersebut.

2.4. Kebutuhan individual dan kebutuhan bersama

Seluruh unsur dalam masyarakat memiliki kesempatan untuk menyampaikan

pendapat dan kebutuhan yang terkait dengan pemecahan masalah. Sangat penting

untuk diingat bahwa seluruh unsur dalam masyarakat seharusnya dapat

menyampaikan pendapat mereka secara leluasa, tak merasa terancam. Sangat

mungkin timbul perbedaan pendapat dan ketidakpuasan antar individu dan antar

kelompok yang terkait dengan pemecahan masalah tersebut. Pemimpin dalam

masyarakat perlu mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh sebagian besar

masyarakat. Bilamana perlu dapat melibatkan pendapat-pendapat pimpinan

masyarakat baru atau stakeholder yang lainnya.

2.5. Visi masa depan

Adalah cita-cita masyarakat di masa yang akan datang. Visi tersebut

merupakan hasil dari kesepakatan masyarakat. Gambaran tentang cita-cita tersebut

harus mewakili seluruh unsur yang ada dalam masyarakat, sehingga tak ada satu

pihak pun yang merasa tak diikutsertakan dalam menyusun cita-cita tersebut.

Gambaran masa depan harus mengekspresikan semua perubahan dan manfaat yang

akan diperoleh oleh semua anggota masyarakat.

2.6. Penilaian kondisi terkini

Perlu dipahami kondisi masyarakat yang terkini, untuk dapat menentukan

tujuan kegiatan bersama. Hasil penilaian masalah terkini dapat menentukan baik

tujuan kegiatan yang akan dilakukan maupun indikator yang dapat dipakai untuk

mengukur keberhasilan tindakan yang akan dilakukan. Tentu saja penilaian kondisi

terkini yang terbaik adalah hasil pemikiran masyarakat itu sendiri.

Page 109: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

109

Penilaian kondisi masyarakat terkini dapat dilakukan dengan cara kuantitatif

maupun kualitatif. Penilaian kuantitatif dapat menggambarkan besarnya masalah

yang dihadapi pada situasi terkini, sedangkan penilaian kualitatif dapat

menggambarkan secara lebih detil jenis masalah yang dihadapi masyarakat pada

situasi terkini tersebut.

Contoh penilaian kuantitatif adalah berapa banyak penduduk yang ditengarai

menderita penyakit Malaria. Contoh penilaian kualitatif misalnya adalah Malaria

yang menjadi masalah di satu wilayah saat ini berbeda dengan Malaria yang dahulu

banyak dijumpai di masyarakat karena Malaria saat ini mengenai hampir semua

golongan umur baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan Malaria di masa lalu

hanya mengenai penduduk dewasa terutama laki-laki.

2.7. Penetapan tujuan

Berdasarkan hasil penilaian situasi terkini di masyarakat, ditetapkan tujuan

atau harapan yang dapat dicapai oleh masyarakat dalam rangka memecahkan atau

mengurangi ancaman masalah kesehatan masyarakat. Penetapan tujuan hendaknya

memperhitungkan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat, dan fleksibilitas

tujuan.

Tujuan yang terlalu sulit untuk dicapai menurunkan motivasi masyarakat

untuk berperan serta, karena masyarakat merasa tak mungkin mampu mencapai

tujuan tersebut. Sebaliknya tujuan yang terlampau mudah akan menurunkan

motivasi masyarakat untuk beperan, karena masyarakat merasa bahwa tanpa

berperan pun mereka akan mampu mencapai tujuan tersebut. Tujuan terbaik adalah

tujuan yang cukup sulit, sehingga mampu memotivasi anggota masyarakat untuk

berpartisipasi secara maksimal agar dapat mencapai tujuan yang pada akhirnya

menimbulkan manfaat bagi diri mereka dan lingkungan mereka.

2.8. Pilihan tindakan

Setelah menetapkan harapan bersama yang ingin dicapai, maka masyarakat

perlu mengidentifikasi sumber daya yang dimiliki dan yang mungkin diperoleh dari

pihak luar. Berdasarkan hasil identifikasi sumber daya yang dimiliki maka dapat

dibuat daftar pilihan kegiatan yang potensial dilakukan. Untuk selanjutnya

dilakukan penetapan pilihan berdasarkan prioritas yang paling mungkin, paling

Page 110: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

110

murah tetapi paling berhasil guna. Kegiatan penetapan prioritas kegiatan ini perlu

mendapatkan persetujuan dari seluruh unsur dalam masyarakat.

Kemungkinan akan muncul kembali konflik atau ketidakpuasan di antara

anggota masyarakat. Konflik dan ketidakpuasan perlu diatasi semaksimal mungkin,

sehingga penetapan prioritas pilihan tindakan dapat disetujui oleh mayoritas

anggota masyarakat.

Konflik yang terlalu meruncing dapat diredakan dengan berbagai cara

misalnya dengan melakukan “break” diskusi selama selama beberapa saat agar

seluruh anggota masyarakat dapat berpikir ulang secara lebih jernih dan

menurunkan ketegangan di masyarakat, membagi diskusi menjadi beberapa

kelompok yang lebih kecil, dan mengkaji ulang penetapan prioritas masalah secara

lebih teliti.

2.9. Konsensus tindakan

Langkah ini merupakan pemilihan tindakan berdasarkan prioritas yang telah

ditetapkan. Penetapan tindakan terpilih secara bersama-sama dalam masyarakat,

berarti diharapkan seluruh anggota masyarakat mau mengerahkan sumber daya

yang mereka miliki untuk disumbangkan demi keberhasilan kegiatan. Demikian

pula diharapkan keterlibatan aktivitas dari seluruh anggota masyarakat dalam

pelaksanaan kegiatan terpilih. Oleh karena itu penetapan tindakan terpilih

sebaiknya bersandar pada keinginan sebagian besar atau seluruh anggota

masyarakat.

2.10. Perencanaan kegiatan

Adalah tahap terakhir sebelum kegiatan dilaksanakan. Perencanaan kegiatan

ini mengupas lebih detil tentang pelaksanaan kegiatan. Secara garis besar detil yang

perlu digambarkan adalah siapa yang akan melakukan apa, bagaimana kegiatan

tersebut akan dilakukan, di mana kegiatan akan dilakukan, dan kapan kegiatan

akan dilakukan. Termasuk dalam perencanaan ini adalah anggaran yang dibutuhkan

dan sumber anggaran untuk pelaksanaan masing-masing sub kegiatan. Sangat

disarankan agar rencana monitoring dan evaluasi kegiatan juga ditetapkan pada

tahap ini agar semua pihak dapat turut melakukan pengawasan dan koreksi secara

bersama-sama.

Page 111: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

111

3. Aksi bersama

3.1. Pembagian tugas dan tanggung jawab

Pemimpin dalam masyarakat perlu menetapkan orang atau pihak yang diberi

tugas untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Orang atau pihak tertentu

mendapatkan tugas dan tanggung jawab tertentu. Apabila diperlukan maka

disusun tim tugas tersendiri untuk menyelesaikan tugas yang cukup besar, yang

tidak mungkin dilakukan oleh perorangan.

3.2. Mobilisasi organisasi

Media masa memegang peranan penting dalam tahap aksi bersama ini.

Media masa mampu memberikan informasi tentang pelayanan terbaru yang dapat

dimanfaatkan masyarakat, cara memanfaatkan pelayanan terbaru tersebut,

membantu masyarakat memperoleh legitimasi penguasa, memberikan umpan

balik kegiatan kepada masyarakat, serta memberikan penguatan positif terhadap

segala prestasi yang mampu dicapai oleh masyarakat.

3.3. Implementasi

Adalah pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan pembagian tugas dan

tanggung jawab. Setiap orang atau organisasi melakukan tugas sesuai dengan

waktu, cara dan tempat yang telah ditetapkan. Monitoring dilakukan pula dalam

tahap ini untuk mengetahui kemajuan dan kesesuaian implementasi program

dengan rencana program. Monitoring dilakukan oleh pimpinan masyarakat dan

anggota masyarakat yang tertarik untuk mengikuti jalannya kegiatan mereka

secara detil.

3.4. Hasil

Adalah tahap pengukuran dampak kegiatan terhadap permasalahan yang

telah disepakati sejak awal kegiatan. Observasi dan penghitungan kejadian

sebagai indikator masalah dilakukan untuk mengetahui pencapaian program.

3.5. Evaluasi partisipatif

Adalah kegiatan evaluasi yang melibatkan seluruh anggota masyarakat.

Dalam tahap ini masyarakat dapat membandingkan antara hasil kegiatan dengan

visi bersama dan tujuan yang telah disepakati sebelumnya. Evaluasi partisipatif

Page 112: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

112

menimbulkan efek penilaian ulang situasi masalah terkini yang ada di tengah

masyarakata serta penilaian ulang visi masa depan masyarakat. Kegiatan ini

meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan diri mereka dan

pada akhirnya memotivasi pengambangan diri secara berkelanjutan.

3.6. Hambatan dan dukungan eksternal

Adalah faktor-faktor di luar kendali masyarakat yang dapat mempengaruhi

kegiatan masyarakat, baik mendukung maupun menghambat. Sebagai contoh

hambatan eksternal adalah kondisi geografis yang sulit dilalui akan menghambat

masyarakat untuk menghadiri pertemuan. Adanya gedung sekolah milik

pemerintah memungkinkan pertemuan antar orangtua murid untuk membicarakan

permasalahan mereka, ini adalah salah satu contoh dukungan eksternal. Hambatan

dan dukungan faktor eksternal mempengaruhi kegiatan aksi bersama. Masyarakat

perlu dimotivasi untuk mengenali hambatan dan memanfaatkan dukungan

eksternal yang mungkin terjadi.

4. Perubahan individual

Salah satu dampak proses pemberdayaan masyarakat terhadap pengembangan

kemampuan sosial anggota masyarakat adalah meningkatnya pengetahuan, nilai,

kepercayaan, persepsi risiko, norma subyektif, respons emosional seperti perasaan

solidaritas, empati, kepercayaan, makin responsif terhadap situasi masyarakat, dan lebih

banyak memberi anjuran terhadap sesama anggota masyarakat lainnya. Makin

berkembangnya sikap mendukung terhadap perilaku baru, mempraktekkan perilaku

baru, dan memiliki ketrampilan untuk mempraktekkan perilaku baru.

5. Perubahan Sosial

Tampilnya pimpinan “model kepemimpinan partisipatif” dalam mengambil

kebijakan memberikan dampak yang luas dalam perubahan sosial. Meskipun

dibutuhkan proses yang panjang untuk mengatasi berbagai konflik yang terjadi, tetapi

setiap kali konflik dapat teratasi dengan adanya kesepakatan yang difasilitasi oleh

seorang pemimpin partisipatif, makin meningkat rasa percaya diri pempimpin tersebut,

dan makin tinggi kepercayaan masyarakat terhadap pimpinan tersebut. Semakin banyak

konflik yang dapat terselesaikan, dan semakin sering terjadinya konsensus di atara

masyarakat maka akan makin tinggi keterampilan pemimpin tersebut.

Page 113: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

113

Keberhasilan pemecahan masalah tersebut juga akan makin meningkatkan

derajat partisipasi masyarakat untuk mengatasi masalah yang telah disepakati.

Masyarakat memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi untuk menghadapi masalah lain

di masa akan datang. Akan tumbuh rasa memiliki kegiatan karena semua keputusan

ditetapkan bersama dengan masyarakat.

Sebagai hasil akhir perubahan sosial yang terjadi akibat dialog dan aksi kolektif

ini adalah meningkatnya kohesivitas masyarakat, berkurangnya kohesivitas kelompok-

kelompok atau grup-grup dalam masyarakat, dan terbentuknya norma sosial baru dalam

masyarakat dalam berdialog dan memulai aksi kolektif di kemudian hari.

6. Dampak sosial

Dampak sosial ini terdiri dari perubahan individu dan perubahan sosial.

Perubahan perilaku individu saja hanya berdampak sosial minimal. Sementara itu

perubahan perilaku sosial saja tanpa diikuti oleh perubahan perilaku individu hanya

menimbulkan dampak meningkatnya kemungkinan peningkatan kesehatan. Oleh karena

itu sangat penting adanya kedua perubahan tersebut baik di tingkat individu maupun

sosial, di mana akan timbul dampak peningkatan kesehatan yang berkesinambungan.

Sebaliknya tanpa adanya perubahan perilaku individu dan tidak adanya perubahan

perilaku sosial tidak akan mengakibatkan perubahan apapun di dalam masyarakat

(Reinke, 1988).

Kesimpulan:

1. Sistem kesehatan dan pemberdayaan masyarakat perlu dilaksanakan secara berimbang dalam

menciptakan dan memelihara kesehatan masyarakat.

2. Proses pemberdayaan masyarakat adalah proses yang lama dan dinamis. Proses

pemberdayaan masyarakat membutuhkan partisipasi masyarakat yang tinggi. Konflik dalam

melaksanakan proses pemberdayaan masyarakat sangat mungkin terjadi, yang penting adalah

bagaimana masyarakat mampu menangani konflik tersebut secara bersama-sama dengan

fasilitasi pimpinan yang berkepribadian partisipatif.

3. Keberhasilan dalam satu proses pemberdayaan masyarakat akan mampu meningkatkan

kompetensi ketrampilan sosial masyarakat, pimpinan masyarakat, serta anggota masyarakat.

Page 114: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

114

Sebagai dampak akhir adalah tingginya kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah

kesehatan masyarakat di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Figueroa, M.E., Kincaid, L.D., Rani, M., Lewis, G., 2002. Communication for Sosial Change:

An Integrated Model for Measuring the Process and Its Outcome. The Rockefeller

Foundation and JohnHopkinsUniversityCenter for Communication Programs. New York.

Glanz, K., Lewis, F.M., Rimer, B.K., 1997. Health Behavior and Health Education, Theory,

Research, and Practice, 2nd

edition. Jossey Bass Inc. Publishers, San Fransisco, California.

USA.

Minkler M., 1997. Community Organizing and CommunityBuilding for Health. Rutgers. The

StateUniversity. USA.

Reinke W.A., 1988. Health Planning for Effective Management. Oxford University press. New

York.

Page 115: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

115

KATALISATOR

DAFTAR PUSTAKA

Media masa

Inovasi Kebijakan Teknologi Stimulus

internal Stimulus

eksternal

DIALOG KOMUNITAS

AKSI KOLEKTIF

Penemuan

masalah

Identifikasi dan

keterlibatan

pimpinan dan

stakeholder

Kepentingan

individu dan

sharing

kepentingan

Klarifikasi

persepsi

Perencanaa

n Kegiatan

Konsensus

tindakan

Pilihan

tindakan

Penetapan

tujuan

Pembagian tugas dan tanggung jawab

Mobilisasi organisasi

Implementasi Hasil kegiatan

Evaluasi

p

a

r

t

i

s

i

p

a

s

i

Individu

Kelompok

Tim penggerak baru

lainnya

Media

Kesehatan

Pendidikan

Agama

Lainnya

PERUBAHAN INDIVIDU Ketrampilan, Intensi, Perilaku Penemuan ide:

Pengetahuan, sikap, persepsi risiko, norma subyektif,

Imaginasi diri, Emosi, Penghargaan diri, Pengaruh sosial, Adokasi personal

PERUBAHAN SOSIAL

Kepemimpinan

Derajat dan kesetimbangan partisipasi

Kesetimbangan informasi

Merasa memiliki

Kohesi sosial

Norma sosial

DAMPAK SOSIAL

Dikutip dari Figueroa, 2002

Gambar 1. Tahap-tahap Proses Pemberdayaan Masyarakat

Visi masa depan

Penilaian kondisi terkini

Page 116: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

116

BAB XII

SISTEM RUJUKAN (REFERRAL SYSTEM) DAN CASE REFERRAL IN COMMUNITY

dr.Yudha Patria,SpA(K) dan dr.Detty,MSc., PhD., SpOG(K)

Kontributor: dr.Fransisca Kurnia Chandra dan dr.Fitriana

Sistem rujukan kesehatan adalah tatacara pengelolaan strategis, pragmatis, dan

koordinatif untuk menjamin pemerataan pelayanan kesehatan paripurna dan komprehensif bagi

masyarakat Indonesia. Dengan sistem ini masyarakat Indonesia dimanapun mereka berada dan

dari golongan sosial-ekonomi manapun, dapat menjangkau layanan optimal sesuai masalahnya.

Pelayanan untuk kesehatan perorangan terdiri dari tiga tingkatan, yaitu:

1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama (puskesmas), merupakan pelayanan kesehatan dasar

yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama (non spesialistik) yang meliputi

pelayanan rawat jalan dan rawat inap (BPJS, 2013 dan Kementrian Kesehatan, 2013).

Rawat jalan tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non

spesialistik yang dilaksanankan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama untuk keperluan

observasi, diagnosis, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya. Rawat inap tingkat

pertama adalah pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik dan

dilaksanakan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama untuk keperluan observasi, perawatan,

diagnosis, pengobatan, dan/atau pelayanan medis lainnya. Di sini peserta dan/atau anggota

keluarganya dirawat inap paling singkat satu hari (Kementrian Kesehatan, 2013).

2. Pelayanan kesehatan tingkat kedua (RS tipe C dan D/RS Kabupaten), merupakan pelayanan

kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang

menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik (BPJS, 2013)

3. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga, merupakan Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (RS tipe

A/RS Pusat dan B/ RS Propinsi) merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik yang

dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang menggunakan

pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik (BPJS, 2013).

Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal. Rujukan

horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan

apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien

Page 117: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

117

karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau

menetap. Contoh dari rujukan horizontal adalah rujukan antara puskesmas atau antara rumah

sakit yang setipe.

Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda

tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang

lebih tinggi atau sebaliknya. Rujukan vertikal dilakukan apabila pasien membutuhkan pelayanan

kesehatan spesialistik atau subspesialistik dan perujuk tidak dapat memberikan pelayanan

kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/ atau

ketenagaan (BPJS, 2013). Pelayanan kesehatan dimulai dari fasilitas kesehatan primer. Jika

diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan

sekunder. Fasilitas kesehatan sekunder hanya dapat diberikan atas rujukan dari fasilitas

kesehatan primer. Fasilitas kesehatan tersier hanya dapat diberikan atas rujukan dari fasilitas

kesehatan sekunder dan fasilitas kesehatan primer. Pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan

primer yang dapat dirujuk langsung ke fasilitas kesehatan tersier hanya untuk kasus yang sudah

ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia

di fasilitas kesehatan tersier (Kementrian Kesehatan, 2013).

Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan yang

lebih rendah dilakukan apabila:

a. Permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang

lebih rendah sesuai dengan kompetensi;

b. Kewenangannya dan kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua

lebih baik dalam menangani pasien tersebut;

c. Pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan

kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan pelayanan jangka

panjang; dan/atau

d. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien

karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan (BPJS, 2013).

Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang ini dapat tidak dilakukan (tidak harus rujukan

dari fasilitas kesehatan primer) dalam kondisi:

a. Gawat darurat,

b. Bencana, kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah,

Page 118: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

118

c. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien

untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat

dilakukan difasilitas kesehatan lanjutan pertimbangan geografi

d. Pertimbangan ketersediaan fasilitas (BPJS, 2013).

Mekanisme rujukan berjenjang sangat bermanfaat dalam upaya mengurangi kecacatan,

komplikasi, dan kematian, meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, serta pemerataan dan

peningkatan mutu pelayanan kesehatan masyarakat.

Setiap institusi pelayanan kesehatan mempunyai unit yang mempunyai tanggung jawab

terhadap sistem rujukan. Minimal unit ini akan menyelenggarakan: a) surat rujukan dan yang

menerima rujukan, b) kartu anggota (misalnya BPJS), c) pencatatan yang tepat dan benar d)

kartu monitoring rujukan (misalnya untuk ibu bersalin dan bayi, untuk geritatri).

Jenis rujukan oleh pelayanan kesehatan yang akan melakukan rujukan bisa berupa

a. Rujukan medis, misalnya rujukan pasien, dan rujukan laboratorium atau bahan pemeriksaan.

b. Rujukan kesehatan, misalnya pengiriman tenaga kesehatan (dokter, perawat/bidan, tenaga

laboratorium, dsb) untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, teknologi dan ketrampilan.

c. Rujukan manajemen, misalnya pengiriman informasi diagnosis; kebutuhan obat, biaya,

tenaga, peralatan,; permintaan bantuan monitoring epidemiologi, mengatasi wabah (KLB),

dsb.

Sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial (BPJS) ditetapkan bahwa operasional BPJS Kesehatan dimulai sejak tanggal 1 Januari

2014. BPJS Kesehatan sebagai Badan Pelaksana merupakan badan hukum publik yang dibentuk

untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.Tujuan

diberlakukannya program Jaminan Kesehatan Nasional ini adalah untuk memenuhi kebutuhan

kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran

atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Masyarakat sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional

yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan stakeholder terkait tentu perlu mengetahui

prosedur dan kebijakan pelayanan dalam memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan

haknya (BPJS, 2011).

Sistem rujukan juga berlaku pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dengan

demikian tetap mewajibkan pasien datang ke puskesmas terlebih dulu, kemudian kalau tidak bisa

ditangani di puskesmas, akan dirujuk ke jenjang atasnya (RS kabupaten) demikian seterusnya.

Page 119: Buku Acuan Umum-CFHC IPE-2014

119

Hal ini berlaku bukan untuk kondisi darurat. Jika kondisi pasien dalam keadaan darurat, bisa

langsung datang ke rumah sakit. Pelayanan-pelayanan BPJS harus dilakukan atas pertimbangan

dan permintaan dokter, bukan atas permintaan pribadi pasien (BPJS, 2011).

Semua warga negara Indonesia disarankan menjadi peserta BPJS ini, termasuk karyawan

swasta, pegawai negeri sipil/TNI, penduduk miskin dan rentan yakni yang temasuk dalam data

kemiskinan BPS; penduduk yang tidak terdata BPS tapi mudah terkena dampak kebijakan

pemerintah dan belum memiliki asuransi; penduduk miskin yang diverifikasi petugas Dinas

Kesehatan; penghuni panti sosial dan rumah singgah yang direkomendasikan Kepala Dinas

Sosial; Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga; korban perdagangan orang; korban bencana.

Demikian juga masyarakat yang termasuk mendapatkan penghargaan yakni lansia; anggota

forum komunikasi dermawan daerah; anggota legiun veteran RI DKI; kader posyandu dan

jumantik yang sudah lima tahun mengabdi; tokoh agama; seniman dan budayawan daerah;

pengurus LMK, RW, dan RT yang masih aktif (BPJS, 2011).

DAFTAR PUSTAKA

BPJS., 2011., Undang-Undang republik Indonesia Nomor 24 tentang Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial

BPJS., 2013. Sistem Rujukan Berjenjang.

Kementrian Kesehatan., 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71

Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional.

Lampiran 1

- Untuk masyarakat di Propinsi DIY, terdapat Pergub yang mengatur tentang sistem

rujukan kesehatan ini, yaitu Peraturan Gubernur Daerah Istemewa Yogyakarta No 59

Tahun 2012 tentang Pedomam Pelaksanaan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan.

Pergub ini juga menjadi lampiran makalah ini.