bugisa

22
1 Provinsi Sulawesi Selatan (SULSEL) ber-Ibukota di Makassar Tarian Tradisional : Tari Bosara, Tari Kipas Rumah Adat : Rumah Tongkonan Senjata Tradisonal : Badik Lagu Daerah : Angin Mamiri, Pakarena, Sulawesi Parasanganta, Ma Rencong Suku : Mandar, Bugis, Toraja, Sa’dan, dan Makassar Julukan : Kota Daeng Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis. Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga banyak yang merantau ke mancanegara. Suku Bugis

Upload: setiadi-ridwan

Post on 27-Dec-2015

127 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: bugisa

1

Provinsi Sulawesi Selatan (SULSEL) ber-Ibukota

di Makassar

Tarian Tradisional : Tari Bosara, Tari Kipas

Rumah Adat : Rumah Tongkonan

Senjata Tradisonal : Badik

Lagu Daerah : Angin Mamiri, Pakarena, Sulawesi

Parasanganta, Ma Rencong

Suku : Mandar, Bugis, Toraja, Sa’dan, dan

Makassar

Julukan : Kota Daeng

Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri utama

kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan

Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan

pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.

Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar

enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia, seperti

Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang

Bugis juga banyak yang merantau ke mancanegara.

Suku Bugis

Page 2: bugisa

2

Sejarah Bugis

Bugis tidak banyak menerima pengaruh India di dalam kebudayaan mereka. Satu-

satunya pengaruh India yang jelas ialah tulisan Lontara yang berdasarkan skrip Brahmi,yang

berkembang melalui arus perdagangan. Kekurangan pengaruh India, tidak seperti di Jawa

dan Sumatra, mungkin disebabkan oleh komunitas awal ketika itu kuat menentang asimilasi

budaya luar.

Kata ‘Bugis’ berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Mereka menjuluki

dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah

ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading.

Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang

tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros, sebagian Kabupaten Pangkep,

Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang, sebagian kabupaten Enrekang,

sebagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten

Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan

Kabupaten Bantaeng. Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara

Lontara. Pada dasarnya, suku ini kebanyakan beragama Islam. Dari segi aspek budaya, suku

kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai

tulisan huruf Bugis yang disebut aksara Bugis. Aksara ini telah ada sejak abad ke-12 lagi

sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.

Sistem Ekonomi Kebudayaan Suku Bugis Makassar

Orang Bugis-Makassar yang tinggal di desa-desa daerah pantai bermata pencaharian

mencari ikan. Mereka akrab dengan laut dan berani mengarungi lautan luas. Mereka

menangkap ikan sampai jauh ke laut hanya dengan perahu layar. Dengan perahu layar bertipe

pinisi dan lambo, orang Bugis-Makassar mengarungi perairan nusantara sampai Srilanka dan

Filipina.

Page 3: bugisa

3

Mereka merupakan suku bangsa Indonesia yang telah mengembangkan kebudayaan

maritim sejak abad ke-17. Orang Bugis-

Makassar juga telah mewarisi hukum niaga

pelayaran. Hukum ini disebut

Ade’allopiloping Bicaranna Pabbalue

ditulis oleh Amanna Gappa pada lontar

abad ke-17. Sambil berlayar orang Bugis-

Makassar mengembangkan perdagangan

ke berbagai tempat di Indonesia.

Berbagai jenis binatang laut ditangkap dan diperdagangkan. Teripang dan

holothurioidea (sejenis binatang laut) ditangkap di kepulauan Tanibar, Irian Jaya, bahkan

sampai ke Australia untuk dijual kepada tengkulak. Melalui tengkulak binatang laut ini

diekspor ke Cina. Mulai abad ke- 19 sampai abad ke-20 ekspor teripang sangat maju.

Selain pertanian, penangkapan ikan, pelayaran dan perdagangan, usaha kerajinan

rumah tangga merupakan kegiatan orang Bugis-Makassar untuk memenuhi kebutuhan hidup

keluarga. Berbagai jenis kerajinan rumah tangga mereka hasilkan, seperti tenunan sarung

sutera dari Mandar, dan Wajo, serta tenunan sarung Samarinda dari Bulukumba.

Sistem Politik dan Masyarakat Kebudayaan Suku Bugis

Orang Bugis-Makassar lebih banyak mendiami Kabupaten Maros dan Kabupaten

Pangkajene. Desa-desa di kabupaten tersebut merupakan kesatuan-kesatuan administratif,

yaitu gabungan sejumlah kampung lama, yang disebut desa-desa gaya baru. Sebuah kampung

biasanya terdiri atas sejumlah keluarga yang mendiami antara 10 sampai 20 buah rumah.

Rumah-rumah itu biasanya terletak berderet menghadap ke selatan atau barat. Apabila ada

sungai, diusahakan membangun rumah membelakangi sungai. Pusat kampung lama ditandai

dengan sebuah pohon beringin besar yang dianggap sebagai tempat keramat (possi tana).

Page 4: bugisa

4

Susunan Lapisan Gelar-Gelar yang Terdapat pada Suku Bugis:

1. Datu

Datu adalah gelar yang diberikan kepada bangsawan Bugis yang memegang

pemerintahan daerah sekarang setingkat dengan Bupati.

2. Arung

Arung adalah gelar yang diberikan kepada bangsawan Bugis yang memegang

pemerintahan wilayah yang sekarang setingkat dengan camat.

3. Andi

Andi adalah gelar yang diberikan kepada bangsawan Bugis yang biasanya anak dari

perkawinan antara keturunan Arung dengan Arung.

4. Puang

Puang adalah Gelar yang diberikan kepada anak hasil perkawnn antara arung atau andi

yang mempunyai istri masyarakat biasa, dan begitu juga sebaliknya.

5. Iye

Iye adalah Gelar yang diberikan kepada masyarakat biasa yang masih memiliki silsilah

yang dekat dengan kerabat bangsawan.

6. Uwa

Uwa adalah kasta terendah dalam masyarakat Bugs, yaitu gelar yang diberikan kepada

masyarakat biasa.

Lapisan masyarakat Bugis-Makassar dari zaman sebelum kolonial Belanda terdiri atas:

1. Anakarung atau anak’kareang, yaitu lapisan kaum kerabat raja-raja.

2. To-maradeka, yaitu lapisan orang merdeka.

3. Ata, yaitu lapisan budak.

Page 5: bugisa

5

Pada permulaan abad ke-20 lapisan ata mulai hilang karena desakan agama, begitu

juga anak’arung atau to-maradeka. Gelar anak’arung seperti Karaenta, Puatta, Andi, dan

Daeng, walau masih dipakai, tidak mempunyai arti lagi, sudah digantikan oleh tinggi

rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi kepegawaian.

Sistem kekerabatan adat Bugis

Dalam sistem perkawinan adat Bugis, terdapat perkawinan ideal:

1. Assialang Maola

Assialang Maola adalah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak

ayah maupun ibu.

2. Assialanna Memang

Assialanna Memang adalah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari

pihak ayah maupun ibu.

3. Ripaddeppe’ Abelae

Ripadeppe’ Abelae adalah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari

pihak ayah maupun ibu atau masih mempunyai hubungan keluarga.

Perkawinan – perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (Salimara’):

1. Perkawinan antara anak dengan ibu atau ayah;

2. Perkawinan antara saudara sekandung;

3. Perkawinan antara menantu dan mertua;

4. Perkawina antara paman atau bibi dengan Keponakan;

5. Perkawinan antara kakek atau nenek dengan cucu.

Page 6: bugisa

6

Sistem Kepercayaan Suku Bugis Makassar

Masyarakat bugis juga masih percaya dengan satu dewa tunggal yang mempunyai

nama-nama sebagai berikut.

1. Patoto-e adalah dewa penentu nasib;

2. Dewata Seuwa-e adalah dewa tunggal;

3. Turie a'rana adalah kehendak tertinggi.

Sistem norma dan aturan-aturan adatnya yang keramat dan sakral yang

keseluruhannya disebut panngadderreng (panngadakkang). Sistem adat keramat dari orang

Bugis terdiri atas 5 unsur pokok, yaitu:

1. Ade

Ade terdiri dari:

a. Ade’ kkalabinengeng atau norma mengenai perkawinan serta hubungan kekerabatan

berwujud sebagai kaidah-kaidah perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan

mengenai hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga

dan sopan santun pergaulan antar kaum kerabat.

b. Ade’ Tana atau norma mengenai bernegara dan memerintah negara, berwujud sebagai

hukum negara dan hukum antar negara, serta etika dan pembinaan insan politik.

Pengawasan dan pembinaan ade’ dalam masyarakat orang Bugis biasanya

dilaksanakan oleh beberapa pejabat. Seperti: Pakka Tenniade’, Puang Ade’, Pampawa

Ade’, dan Parewa Ade’.

2. Bicara

Bicara adalah unsur yang mengenai semua aktivitas dan konsep-konsep yang

bersangkutan dengan keadilan, maka kurang lebih sama dengan hukum acara

menentukan prosedurnya serta hak-hak dan kewajiban seseorang yang mengajukan

kasusnya di muka pengadilan atau mengajukan gugatan.

Page 7: bugisa

7

3. Rapang

Rapang adalah contoh, perumpamaan, kias, atau analogi. Rapang menjaga

kepastian dan kontinuitas suatu keputusan hukum tak tertulis dalam masa lampau sampai

sekarang, dengan membuat analogi dari kasus masa lampau dengan kasus yang sedang

digarap sekarang.

4. Wari’

Melakukan klasifikasi dari segala benda, peristiwa, dan aktifitasnya dalam

kehidupan masyarakat menurut kategorinya. Misalnya untuk memelihara tata susunan

dan tata penempatan hal-hal dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat untuk

memelihara jalur garis keturunan yang mewujudkan pelapisan sosial,untuk memelihara

hubungan kekerabatan antara Raja suatu Negara dengan Raja dari Negara lain,sehingga

dapat ditentukan mana yang muda dan mana yang tua dalam tata acara kebesaran.

5. Sara’

Pranata dan hukum Islam dan yang melengkapkan keempat unsurnya menjadi

lima. Dalam kasusastraan Pasengyang memuat amanat-amanat dari nenek moyang, ada

contoh-contoh dari ungkapan-ungkapan yang diberikan kepada konsep Siri’ seperti:

a. Siri’ emmi rionrowang ri-lino, artinya hanya untuk siri’ sajalah kita tinggal di dunia.

Arti siri sebagai hal yang memberi identitas sosial dan martabat kepada seorang Bugis

b. Materi Siri’na artinya mati dalam Siri’ atau mati untuk menegakkan martabat dalam

diri, yang dianggap suatu hal yang terpuji dan terhormat.

c. Mate Siri’ artinya mati Siri’ atau orang yang sudah hilang martabatnya, seperti

bangkai hidup. Kemudian akan melakukan jallo atau amuk sampai dia mati sendiri.

Agama dari penduduk Sulawesi Selatan kira-kira 90% adalah Islam, sedangkan

10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik biasanya

pendatang dari Maluku, Minahasa, dan lain-lain.

Page 8: bugisa

8

Sistem Kesenian Suku Bugis

1. Rumah Adat Bugis

Bagian-bagian dari rumah adat bugis:

a. Rakkeang, adalah bagian diatas langit-langit (eternit). Dahulu biasanya berfungsi

sebagai tempat menyimpan hasil pertanian seperti padi, jagung, kacang dan hasil

perkebunan lainnya.

b. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik

sentral yang bernama pusat rumah. Ini adalah badan rumah yang terdiri dari lantai dan

dinding yang terletak antara lantai dan loteng. Pada bagian ini terdapat ruangan-

ruangan yang dipergunakan dalam aktivitas sehari-hari seperti menerima tamu, tidur,

bermusyawarah, dan berbagai aktifitas lainnya.

c. Awa Bola, adalah kolong yang terletak

pada bagian bawah, yakni antara lantai

dengan tanah. Kolong ini biasa pada

zaman dulu dipergunakan untuk

menyimpan alat pertanian, alat

berburu, alat untuk menangkap ikan

dan hewan-hewan peliharaan yang di

pergunakan dalam pertanian.

d. Lotang Ritenggah atau ruang tengah, berfungsi sebagai tempat tidur kepala keluarga

bersama isteri dan anak-anaknya yang belum dewasa, hubungan sosial antara sesama

anggota keluarga lebih banyak berlangsung disini.

e. Lontang Rilaleng atau ruang belakang, merupakan merupakan tempat tidur anak

gadis atau orang tua usia lanjut, dapur juga di tempatkan pada ruangan ini yang

dinamakan dapureng atau jonghe.

Rumah ini bisa berdiri tanpa mengunakan satu paku pun, orang daluhu kala

mengantikan fungsi paku besi menjadi paku kayu.

Page 9: bugisa

9

Rumah adat suku Bugis Makassar dapat dibedakan berdasarkan status sosial

orang yang menempatinya, Rumah Saoraja (Sallasa) berarti rumah besar yang di tempati

oleh keturunan raja (kaum bangsawan) dan bola adalah rumah yang di tempati oleh

rakyat biasa.

Topologi kedua rumah ini adalah sama-sama rumah panggung, lantainya

mempunyai jarak tertentu dengan tanah, bentuk denahnya sama yaitu empat persegi

panjang. Perbedaannya adalah saoraja dalam ukuran yang lebih luas begitu juga dengan

tiang penyangganya, atap berbentuk prisma sebagai penutup bubungan yang biasa disebut

timpak laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampai lima sesuai dengan kedudukan

penghuninya.

2. Pakaian Adat Suku Bugis

Pakaian adat biasanya identik dengan pakaian pengantin suatu daerah. Pakaian

pengantin pria dari Bugis-Makasar berupa baju jas model tertutup yang disebut baju bella

dada. Bawahannya kain sarung songket yang disebut rope. Terdapat juga keris yang

disebut tataroppeng, dan hiasan kepala bernama sigara.

Sedangkan pengantin wanita memakai baju bodo dan

rope. Kemudian sanggul pengantin wanita berhiaskan kembang

goyang dan ada perhiasan lainnya berupa kalung dan gelang

panjang bersusun. Baju bodo adalah pakaian tradisional

perempuan Bugis, Sulawesi, Indonesia. Baju bodo berbentuk segi

empat, biasanya berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian

siku lengan. Baju bodo juga dikenali sebagai salah satu busana

tertua di dunia.

Menurut adat Bugis, setiap warna baju bodo yang dipakai oleh perempuan Bugis

menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya.

Page 10: bugisa

10

Warna dan arti baju bodo:

Warna Pemakai

Jingga Anak perempuan berumur 10 tahun

Jingga dan Merah Gadis berumur 10-14 tahun

Merah Perempuan berumur 17-25 tahun

Putih Pembantu dan dukun

Hijau Perempuan bangsawan

Ungu Janda

Pakaian ini kerap dipakai untuk acara adat seperti upacara pernikahan. Tetapi

kini, baju bodo mulai direvitalisasi melalui acara lainnya seperti lomba menari atau

menyambut tamu agung.

Adat Naik Rumah Masyarakat Bugis Makassar

1. Barzanji

Barzanji atau nyanyian, puji-pujian kepada Allah dan Nabi besar Muhammad

SAW, untuk acara ini masyarakat sendiri menghdirkan para petua atau petinggi

masyrakat ataupun para petinggi yang dianggap petinggi agama, selanjutnya para

petinggi membaca dan mendo'akan rumah yang akan di masuki atau ditinggali dalam hal

ini rumah baru, selanjutnya, para tamu atau para petinggi agama di sajikan kue dan

minum.

Page 11: bugisa

11

2. Mappasili

Selanjutnya pemilik rumah menyiapkan daun passili, daun khusus yang biasanya

sengaja ditanam ataupun di simpan dan dibudidayakan oleh masyarakat, daun mappasili

kemudian di taruh pada wajan yang berisi air atau wadah yang berisi air yang sebelumnya

telah disiapkan atau di lafazkan bacaan tertentu.

3. Putara' Mattuliling Bola (berputar mengelilingi rumah)

Setelah menyediakan daun Passili sang pemilik rumah kemudian berjalan

megitari rumah dan memercik-mercikkan air daun passili ke arah rumah atau dinding

rumah.

4. Menre Bola

Menre bola adalah ritual selanjutnya yaitu para pemilik rumah,orang tua,ayah,ibu

dan anak menaiki rumah dengan harapan yang baik,tenang,aman,dan sejahtera.

5. Mappaluttu Manu

Mappaluttu manu adalah ritual selanjutnya, setelah menaiki rumah, atau masuk ke

dalam rumah ritual selanjutnya adalah menerbangkan ayam. Barang siapa yang ada diatas

rumah atau di dalam rumah yang berhasil menangkapnya menjadi pemilik atau yang

mendapatkannya, merupakan bentuk sumbangan sukarela dari pemilik rumah dengan

harapan mendapat ridha Allah.

6. Mappenre Tau

Ini adalah kegiatan terakhir, yaitu mengundang sanak keluarga, tetangga maupun

para masyarakat lainnya, untuk naik ke rumah dan disuguhkan kue dan minum teh.

Harapannya bisa membentuk keakraban dan sikap saling menghargai,dan menghormati

terutama sang empunya rumah sebagai penghuni di tempat atau kampung yang baru.

Page 12: bugisa

12

Budaya Bugis Budaya Siri’ Na Pacce

Budaya Siri' Na Pacce merupakan salah satu falsafah budaya Masyarakat Bugis-

Makassar yang harus dijunjung tinggi. Apabila Siri' Na Pacce tidak dimiliki seseorang, maka

orang tersebut dapat melebihi tingkah laku binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga

diri, dan kepedulian sosial. Mereka juga hanya ingin menang sendiri dan memperturutkan

hawa nafsunya. Istilah Siri' Na Pacce sebagai sistem nilai budaya sangat abstrak dan sulit

untuk didefenisikan karena Siri' Na Pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu.

Bagi masyarakat Bugis-Makassar, Siri' mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa

anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga

dan mempertahankan diri dan kehormatannya.

Siri' adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat

manusia, siri' adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam berinteraksi

dengan orang lain. Sedangkan, Pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian

sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan ini adalah salah satu konsep yang membuat suku

Bugis-Makassar mampu bertahan dan disegani diperantauan, pacce merupakan sifat belas

kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, kalau istilah dalam

bahasa Indonesia "Ringan sama dijinjing berat sama dipikul"

Dari aspek ontologi (wujud) budaya Siri' Na Pacce mempunyai hubungan yang sangat

kuat dengan pandangan Islam dalam kerangka spiritualitas, dimana kekuatan jiwa dapat

teraktualkan melalui penaklukan jiwa atas tubuh. Inti budaya Siri' Na Pacce mencakup

seluruh aspek kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, karena Siri' Na Pacce merupakan jati

diri dari orang-orang Bugis. Dengan adanya falsafah dan ideologi Siri' Na Pacce maka

keterikatan antar sesama dan kesetiakawanan menjadi lebih kuat, baik dengan sesama suku

maupun dengan suku yang lain. Konsep Siri' Na Pacce bukan hanya dianut oleh kedua suku

ini (Bugis dan Makassar), tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami daratan

Sulawesi seperti, suku Mandar dan Tator, hanya kosakata dan penyebutannya saja yang

berbeda, tetapi falsafah ideologinya memilikii kesamaan dalam berinteraksi dengan sesama.

Page 13: bugisa

13

Beradasarkan nilai-nilai yang terkandung budaya Siri' Na Pacce terbagi atas 3 yaitu:

1. Nilai Filosofis.

Nilai Filosofis Siri’ Na Pacce adalah gambaran dari pandangan hidup orang-orang Bugis

dan Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan yang meliputi watak orang Bugis

Makassar yang reaktif, militan, optimis, konsisten, loyal, pemberani dan konstruktif.

2. Nilai Etis.

Pada nilai-nilai etis Siri’ Na Pacce terdapat nilai-nilai yang meliputi: teguh pendirian,

setia, tahu diri, jujur, bijak, rendah hati, sopan, cinta dan empati.

3. Nilai Estetis

Nilai estetis dari Siri’ Na Pacce meliputi nilai estetis dalam non insani yang terdiri atas

benda alam tak bernyawa, benda alam nabati, dan benda alam hewani

Budaya Siri’ Na Pacce adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini, untuk

menjadi sebuah bangsa yang besar. Untuk itu diperlukan sosok-sosok muda yang memiliki

jiwa dan karakter yang mapan karena pemuda adalah calon pemimpin dan pemiliki bangsa

ini. Mereka harus memiliki Siri’ Na Pacce dalam diri mereka, dengan adanya budaya Siri’ Na

Pacce anak pemuda bangsa ini akan menjadi lebih peka terhadap segala macam persoalan

yang sedang melanda bangsa ini.

Perkawinan Bugis

Tata cara upacara pernikahan adat Bugis melalui berberapa tahapan yaitu:

1. A'jagang-jagang/Ma'manu-manu

Penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui

latar belakang pihak calon mempelai wanita.

Page 14: bugisa

14

2. A'suro/Massuro

Acara ini merupakan acara pinangan secara resmi pihak calon mempelai pria

kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan beberapa fase

dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.

3. Appa'nasa/Patenre Ada

Usai acara pinangan, dilakukan appa'nasa/patenre ada yaitu menentukan hari

pernikahan. Selain penentuan hari pernikahan, juga disepakati besarnya mas kawin dan

uang belanja. Besarnya mas kawin dan uang belanja ditentukan menurut golongan atau

strata sosial sang gadis dan kesanggupan pihak keluarga pria.

4. Appanai Leko Lompo (erang-erang)

Setelah pinangan diterima secara resmi, maka dilakukan pertunangan yang

disebut A'bayuang yaitu ketika pihak keluarga lelaki mengantarkan passio/passiko atau

Pattere ada (Bugis). Hal ini dianggap sebagai pengikat dan biasanya berupa cincin.

Prosesi mengantarkan passio diiringi dengan mengantar daun sirih pinang yang disebut

Leko Caddi. Namun karena pertimbangan waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan

dengan acara Patenre Ada atau Appa'nasa.

5. A'barumbung (mappesau)

Kegiatan tata upacara ini terdiri dari appasili bunting, a'bubu, dan appakanre

bunting. Prosesi appasili bunting ini hampir mirip dengan siraman dalam tradisi

pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin

sehingga saat kedua mempelai mengarungi bahtera rumah tangga, mereka akan mendapat

perlindungan dari Yang Kuasa dan dihindarkan dari segala macam mara bahaya. Acara

ini dilanjutkan dengan Macceko/A'bubu atau mencukur rambut halus di sekitar dahi yang

dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias). Tujuannya agar dadasa atau hiasan hitam

pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik. Setelah

usai, dilanjutkan dengan acara Appakanre Bunting atau suapan calon mempelai yang

Page 15: bugisa

15

dilakukan oleh anrong bunting dan orang tua calon mempelai. Suapan dari orang tua

kepada calon mempelai merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si

anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami si calon mempelai wanita.

6. Akkorongtigi/Mappaci

Upacara ini merupakan ritual pemakaian daun pacar ke tangan si calon mempelai.

Daun pacar memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian. Menjelang pernikahan

biasanya diadakan malam pacar atau Wenni Mappaci (Bugis) atau Akkorontigi

(Makassar) yang artinya malam mensucikan diri dengan meletakan tumbukan daun pacar

ke tangan calon mempelai. Orang-orang yang diminta meletakkan daun pacar adalah

orang-orang yang punya kedudukan sosial yang baik serta memiliki rumah tangga

langgeng dan bahagia. Malam mappaci dilakukan menjelang upacara pernikahan dan

diadakan di rumah masing-masing calon mempelai.

7. Assimorong/Menre'kawing

Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian

upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah calon

mempelai wanita yang disebut Simorong (Makasar) atau Menre'kawing (Bugis). Di masa

sekarang, dilakukan bersamaan dengan prosesi Appanai Leko Lompo (seserahan).

Karena dilakukan bersamaan, maka rombongan terdiri dari dua rombongan, yaitu

rombongan pembawa Leko Lompo (seserahan) dan rombongan calon mempelai pria

bersama keluarga dan undangan.

8. Appabajikang Bunting

Prosesi ini merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai. Setelah akad nikah

selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi Bugis-Makasar,

pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog

singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita.

Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa (saling

menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur untuk

mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang

Page 16: bugisa

16

dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal ini mengandung makna mempelai pria

sudah diterima oleh keluarga mempelai wanita

9. Alleka bunting (marolla)

Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu. Sehari sesudah pesta

pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke

rumah orang tua mempelai pria. Rombongan ini membawa beberapa hadiah sebagai

balasan untuk mempelai pria. Mempelai wanita membawa sarung untuk orang tua

mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini disebut Makkasiwiang.

Adat Panen

Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada

upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare atau appabenni ase sebelum

bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi

balla, sebuah tempat khusus terletak di pusat

rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak

satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual

itu dirangkai dengan massureq, membaca

meong palo karallae, salah satu epos Lagaligo

tentang padi. Dan ketika panen tiba digelarlah

katto bokko, ritual panen raya yang biasanya

diiringi dengan kelong pare. Setelah melalui

rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini

dikenal dengan appadekko, yang berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda.

Appadekko dan Mappadendang konon memang berawal dari aktifitas ini.

Bagi komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi

hidup petani pedesaan sehari-hari. Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk

manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh sesuatu

Page 17: bugisa

17

untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi

Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.

Mengenal Lebih Jauh Watak Orang Bugis

Tidak diketahui apa sebab orang Bugis terpaksa membunuh atau melakukan

pertumpahan darah, biarpun hanya perkara kecil. Jika ditanyakan kepada mereka apa

sebabnya terjadi hal demikian, jarang bahkan tak satupun yang dapat menjawab dengan pasti

sehingga dapat dimengerti dengan jelas apa penyebab ia menumpahkan darah orang lain atau

ia mau mati untuk seseorang.

Ahli sejarah dan budaya menyarankan untuk mengenal jiwa kedua suku bangsa ini

lebih dekat lagi dengan cara mempelajari dalil-dalil, pepatah-pepatah, sejarah, adat istiadat

dan kesimpulan-kesimpulan kata mereka yang dilukiskan dengan indah dalam syair-syair

atau pantun-pantunnya.

Apabila seorang pemuda ditolak pinangannya, maka ia merasa malu. Lalu ia berdaya

upaya agar sang gadis pujaan hati Erangkale (si gadis datang membawa dirinya kepada

pemuda), atau si pemuda itu berusaha agar gadis yang dipinangnya dapat dilarikannya

(silariang).

Apabila hal ini terjadi, maka dengan sendirinya pihak orang tua (keluarga) gadis itu

juga merasa mendapat "Malu Besar" (Mate Siri’). Mengetahui anak gadisnya silariang,

segera digencarkan pencarian untuk satu tujuan: membunuh pemuda dan gadis itu! Cara ini

sama sekali tidak dianggap sebagai tindakan yang kejam, bahkan sebaliknya, ini tindakan

terhormat atas perbuatan mereka yang memalukan. Oleh orang Bugis-Makassar menganggap

telah menunaikan dan menyempurnakan salah satu tuntutan tata hidup dari masyarakatnya

yang disebut adat.

Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku

ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau

martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu

Page 18: bugisa

18

keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang

ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak

ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih

dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan. Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya

masih diingat dan dipatuhi

Upacara Kematian pada Suku Bugis

Dari sekian banyak upacara adat yang dilaksanakan di kampung-kampung Bugis

terdapat satu upacara adat yang disebut Ammateang atau Upacara Adat Kematian yang dalam

adat Bugis merupakan upacara yang dilaksanakan masyarakat Bugis saat seseorang dalam

suatu kampung meninggal dunia. Keluarga, kerabat dekat maupun kerabat jauh, juga

masyarakat sekitar lingkungan rumah orang yang meninggal itu berbondong-bondong

menjenguknya. Pelayat yang hadir biasanya membawa sidekka (sumbangan kepada keluarga

yang ditinggalkan) berupa barang atau kebutuhan untuk mengurus mayat, selain itu ada juga

yang membawapassolo (amplop berisi uang sebagai tanda turut berduka cita).

Mayat belum mulai diurus seperti dimandikan dan seterusnya sebelum semua anggota

terdekatnya hadir. Barulah setelah semua keluarga terdekatnya hadir, mayat mulai

dimandikan, yang umumnya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memang biasa

memandikan mayat atau oleh anggota keluarganya sendiri.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan ketika memandikan mayat:

- Mabbolo, yaitu menyiramkan air ke tubuh mayat diiringi pembacaan do’a dan tahlil;

- Maggoso’, yaitu menggosok bagian-bagian tubuh mayat;

- Mangojo, yaitu membersihkan anus dan kemaluan mayat yang biasa dilakukan oleh salah

seorang anggota keluarga seperti anak, adik atau oleh orang tuanya;

- Mappajjenne’, yaitu menyiramkan air mandi terakhir sekaligus mewudhukan mayat.

Orang - orang yang bertugas tersebut diberikan pappasidekka (sedekah) berupa pakaian

si mayat ketika hidupnya lengkap dengan sarung, baju, celana, dan lain sebagainya.

Page 19: bugisa

19

Mayat yang telah selesai dimandikan kemudian dikafani dengan kain kaci (kain

kafan) oleh keluarga terdekatnya. Setelah itu imam dan beberapa pengikutnya

menyembahyangkan mayat menurut aturan Islam. Sementara diluar rumah, anggota

keluarganya membuat ulereng (usungan mayat) untuk golongan tau samara (orang

kebanyakan) atau Walasuji (untuk golongan

bangsawan) yang terbentuk 3 susun.

Bersamaan dengan pembuatan ulereng,

dibuat pula cekko-cekko, yaitu semacam

tudungan yang berbentuk lengkungan

panjang sepanjang liang lahat yang akan

diletakan diatas timbunan liang lahat

apabila jenazahnya telah dikuburkan. Dan

apabila, semua tata cara keislaman telah selesai dilakukan dari mulai memandikan,

mengafani, dan menyembahyangkan mayat, maka jenazahpun diusung oleh beberapa orang

keluar rumah lalu diletakan diatas ulereng.

Tata cara membawa usungan atau ulureng ini terbilang unik. Ulereng diangkat keatas

kemudian diturunkan lagi sambil melangkah ke depan, ini diulangi hingga 3 kali berturut-

turut, barulah kemudian dilanjutkan dengan perlahan menuju ke pekuburan diikuti

rombongan pengantar dan pelayat mayat. Iring-iringan pengantar jenazah bisa berganti-

gantian mengusung ulereng. Semua orang-orang yang berpapasan dengan iringan pengantar

jenazah harus berhenti, sedangkan orang-orang yang berjalan/berkendara dari belakang tidak

boleh mendahului rombongan pengantar jenazah hingga sampai di areal pekuburan.

Di pekuburan, sudah menanti beberapa orang yang akan bekerja membantu

penguburan jenazah. Sesampai di kuburan, mayat segera diturunkan kedalam liang lahat.

Imam atau tokoh masyarakat kemudian meletakkan segenggam tanah yang telah dibacakan

doa atau mantera-mantera ke wajah jenazah sebagai tanda siame’ (penyatuan) antara tanah

dengan mayat. Setelah itu, mayat mulai ditimbuni tanah sampai selesai. Lalu Imam

Page 20: bugisa

20

membacakan talkin dan tahlil dengan maksud agar si mayat dapat menjawab pertanyaan-

pertanyaan malaikat penjaga kubur dengan lancar.

Diatas pusara diletakan buah kelapa yang telah dibelah 2 dan tetap ditinggalkan diatas

kuburan itu. Diletakan pula payung dan cekko-cekko’. Hal ini juga masih merupakan warisan

kepercayaan lama orang Bugis, bahwa meskipun seseorang telah meninggal dunia, akan

tetapi arwahnya masih tetap berkeliaran. Karena itu, kelapa dan airnya yang diletakan diatas

kuburan dimaksudkan sebagai minuman bagi arwah orang yang telah meninggal, sedangkan

payung selain untuk melindungi rohnya, juga merupakan simbol keturunan.

Dalam adat Bugis, apabila salah seseorang meninggal dunia maka beberapa hari

kemudian, biasanya pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, hari keseratus atau kapanpun

keluarga jenazah mampu dilaksanakan satu upacara adat yang disebut mattampung, dalam

upacara adat ini dilakukan penyembelihan sapi.

Page 21: bugisa

21

Kesimpulan

Suku Bugis Makassar merupakan sebuah suku yang kaya akan kebudayaan abstrak

maupun kebudayaan konkrit. Persentase jumlah penduduk suku Bugis di Sulawesi Selatan adalah

sekitar 62,5% dan suku Makassar sekitar 26,7%.Bentuk desa di Sulawesi Selatan sekarang

merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung lama (desa gaya baru).

Sistem kekerabatan dalam kebudayaan Bugis-Makassar masih cukup kental, lapisan masyarakat

Bugis dan Makassar terdiri dari 3 yaitu anak arung atau lapisan kaum kerabat raja-raja, tom

aradeka atau lapisan orang merdeka, dan ata atau lapisan orang budak.

Sekitar 90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan

hanya10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Karena masyarakat Bugis dan

Makassar tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat

Bugis hidup sebagai petani dan nelayan.

Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Kemudian ada sisi

seni juga yang biasanya menjadi mata pencarian bagi sukuBugis dan Makassar, yakni pembuatan

sarung tenun sutra. Bahasa yang diucapkan oleh sukuBugis disebut bahas ugi sementara suku

Makassar disebut mangkasara. Adapun huruf yang dipakai dalam naskah Bugis maupun

Makassar yakni, aksara lontara. Diantara buku terpenting dalam kesusasteraan suku Bugis-

Makassar adalah buku sure galigo, suatu himpunan besar dari mitologi yang bagi kebanyakan

orang mempunyai nilai yang keramat.

Potensi paling besar bagi masyarakat Bugis-Makassar adalah dalam sektor pelayaran

rakyatdan perikanan, karena usaha-usaha ini sudah merupakan usaha-usaha yang telah dijalankan

sejak beberapa abad lamanya oleh orang Bugis-Makassar, sehingga dapat dikatakan telah

mendarah daging dalam alam jiwa mereka.

Page 22: bugisa

22

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Kadir. 2004, Masuknya Islam di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Ternggara. Makassar:

Balai Litbang Agama Makassar.

Garna, Judistira K. 1991. Sistem Budaya Indonesia. Bandung: Program Pascasarjana Universitas

Padjadjaran.

Mattuladda. 1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar: Berita Antropologi

No. 16, Fakultas Sastra UNHAS.

------------. 1975. Latoa, Suatu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar:

Disertasi.

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis

http://id.wikipedia.org/wiki/Baju_bodo

http://muarief-nr.blogspot.com/2012/07/sistem-sosial-budaya-bugis-makassar.html

http://bugiesmakassar.blogspot.com/#