bm 3
DESCRIPTION
lTRANSCRIPT
![Page 1: BM 3](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022071804/563db79f550346aa9a8cc6c4/html5/thumbnails/1.jpg)
Ubah Kurikulum, Tambah Investasi RACIKAN KHUSUS - Edisi September 2006 (Vol.6 No.2)
Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat menelan investasi awal
yang tinggi. Dibutuhkan kreativitas dalam mencari sumber dana.
Keputusan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi tentang paradigma baru
pendidikan kedokteran di Indonesia, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi yang
tertuang dalam SK No. 138/D/T/2004 membuat penyelenggara pendidikan
kedokteran di Indonesia ‘sibuk’ mempersiapkan implementasi kurikulum yang
lebih menekankan kompetensi dalam menghasilkan output di bidang ahli medis.
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dilaksanakan dengan menggunakan
metode SPICES, yaitu Student Centre, Problem Based Learning, Integrated,
Community Based, Early Clinical Exposure, dan Structured. Dengan kurikulum
ini, mahasiswa dituntut untuk lebih aktif belajar, mempelajari ilmu kedokteran
berbasiskan problem kesehatan yang ada, dan metode yang terintegrasi antara
satu mata kuliah dan mata kuliah lain, yang pada kurikulum sebelumnya
dilakukan secara terpisah. Mahasiswa juga diprioritaskan mempelajari penyakit-
penyakit yang ada di masyarakat secara lebih dalam dan secara dini dikenalkan
dengan suasana klinik. Para calon ahli medis diharapkan dapat lebih
berkomunikasi dengan pasien dan mengembangkan empati.
Implementasi KBK membawa berbagai konsekuensi, yang salah satunya adalah
soal biaya. “Dengan sistem KBK, akan lebih dibutuhkan banyak ruangan untuk
kegiatan diskusi kelompok,” ujar Dr. Satya Juwana, Sp.KJ (K) dekan FK
Atmajaya. Akan dibuat kelompok-kelompok diskusi yang terdiri dari 8 hingga
10 orang mahasiswa tiap kelomoknya. Universitas Atmajaya, yang mulai
menerapkan KBK tahun ajaran 2006 ini, telah merenovasi sebagian bangunan
lama untuk memenuhi kebutuhan ruangan. Namun untuk selanjutnya, Atmajaya
berencana untuk membangun gedung baru. “Biaya yang dibutuhkan diperkirakan
lebih dari 13 milyar,” ujar Satya.
Lulusan kedokteran yang diharapkan memiliki keterampilan medik tertentu,
menuntut kebutuhan adanya laboratorium skill untuk melatih mahasiswa
menerapkan ilmunya. Misalnya, untuk mengambil darah pasien atau memasang
NAMA : RADITYA BAGAS W.
NIM : G1A011006
![Page 2: BM 3](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022071804/563db79f550346aa9a8cc6c4/html5/thumbnails/2.jpg)
infus, maka diperlukan manekin atau boneka untuk simulasi. Selain itu,
laboratorium komputer akan lebih dibutuhkan untuk menunjang proses belajar
mengajar mahasiswa.
“Kami juga mengadakan pelatihan bagi para dosen dan staf pengajar dalam
implementasi KBK ini,” ujar Satya. Staf pengajar akan lebih berperan sebagai
fasilitator dalam memandu mahasiswa yang mencari ilmu secara lebih aktif.
Satya mengungkapkan untuk mempersiapkan KBK, lembaganya telah
mengeluarkan investasi lebih dari Rp 5 milyar. Ia mengelak jika dikatakan
bahwa pihaknya menarik dana lebih dari mahasiswa terkait dengan persiapan
investasi sistem ini. Kenaikan dana sumbangan pendidikan yang dibebankan
pada mahsiswa baru, menurutnya, hanya menyesuaikan dengan tingkat inflasi
dan kenaikan harga bahan bakar minyak.
Dr. Menaldi Rasmin Sp.P (K) FCCP, dekan FKUI mengakui berbagai persiapan
untuk pelaksanaan KBK membutuhkan biaya besar. Persiapan dan pendanaan,
menurutnya satu kendala bagi penyelenggara pendidikan kedokteran dalam
menjalankan KBK. Modul dan materi ajar mengalami perubahan, dan hal
tersebut bukanlah pekerjaan mudah. “Kini materi ajar harus lebih siap, demikian
juga dengan materi pendukung,” ujar Menaldi.
Dengan sistem yang menekankan kemampuan daya jelajah mahasiswa untuk
mencari literatur ilmu kedokteran lewat internet, textbook, dan jurnal membuat
FKUI menyadari pentingnya perpustakaan dan laboratorium komputer.
“Perpustakaan kami buka selama 24 jam,” ujar Menaldi.
Untuk tahap awal persiapan KBK, FKUI telah menggelontorkan dana tak kurang
dari 5 milyar. “Biaya tersebut kami usahakan ditekan hanya di bawah 10
milyar,” ujar Menaldi.
FKUI pernah mencoba melakukan kurikulum berbasis kompetensi tahun 1995,
namun menghentikannnya karena belum siap. “Kegagalan tersebut karena
tahapan sosialisasi yang kurang,” ujar Menaldi. Untuk kali ini, persiapan secara
intensif dilakukan mulai tahun 2004 hingga 2005 hanya untuk sosialisasi . Tahap
sosialisasi telah dilaksanakan pada kelompok mahasiswa, staf pengajar di
Departemen, para Kodik S-1, forum Rapat Pimpinan Lengkap, Dewan Guru
Besar FKUI dan di hadapan Senat Akademik FKUI.
![Page 3: BM 3](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022071804/563db79f550346aa9a8cc6c4/html5/thumbnails/3.jpg)
Dengan terlaksananya kurikulum ini, tugas dosen dan staf pengajar, menurut
Menaldi, akan menjadi lebih berat. “Ilmu kedokteran adalah ilmu yang memiliki
kecepatan sangat tinggi. Staf pengajar setiap harinya menghadapi ratusan
mahasiswa yang menambah ilmunya dengan kecepatan masing-masing yang
berbeda-beda,” ujarnya. “Dosen tidak lagi tahu segalanya, tapi dia harus menjaga
agar proses belajar mengajar tidak keluar dari topik yang sedang dipelajari.”
Pengajar juga akan menjalani dua macam kriteria evalusi, yaitu oleh penanggung
jawab akademik dan evalusi oleh mahasiswa. “Mampukah dosen membuat
suasana belajar yang atraktif?” ujar Menaldi.
Mahasiswa juga bukan lagi dinilai hanya berdasar angka ujian dan praktikum,
tetapi juga dilihat dari proses belajar yang dilakukan. Pada tahun-tahun awal
mahasiswa kedokteran akan dituntut untuk memiliki ilmu biomedik yang kuat,
tapi telah memiliki ilmu klinik. Tahun-tahun selanjutnya, mahasiswa diharapkan
akan menguasai ilmu-ilmu klinik, dan biomedik menjadi dasar dari
pemikirannya.
Lulusan Kedokteran yang distandarkan
Dr. Titi Savitri P., MA, M,Med.Ed, PhD, Ketua Sub Pokja Pendidikan Dokter
Divisi Standar Pendidikan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengatakan
dengan KBK, output lulusan kedokteran Indonesia akan memiliki standar.
“Output lulusan kedokteran kini akan memiliki standar yang dirumuskan secara
nasional. Pada akhirnya lulusan fakultas kedokteran dari universitas manapun di
Indonesia, outputnya akan setara atau terstandar,” katanya.
KBK, sangat berbeda dengan KIPDI 2, yang menekankan pada aspek kognitif.
“Sekarang skill yang harus dimiliki dokter akan lebih dirinci. Ada daftar
keterampilan yang harus dikuasai, daftar penyakit, dan daftar masalah. Semua
sudah dirancang sejak awal,” ujar Titi.
Lebih lanjut Titi yang juga menjabat sebagai Kepala Bagian Pendidikan
Kedokteran FK Universitas Gadjah Mada mengatakan implementasi kurikulum
berbasis kompetensi dimulai dengan memformulasikan apa yang disebut
kompetensi dan merumuskan bagaimana lulusan kedokteran yang akan
![Page 4: BM 3](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022071804/563db79f550346aa9a8cc6c4/html5/thumbnails/4.jpg)
dihasilkan. Dalam kurikulum nasional, dijabarkan 7 kompetensi yang
diharapkan dicapai oleh lulusan kedokteran yaitu keterampilan komunikasi
efektif, keterampilan klinik dasar, keterampilan menerapkan dasar-dasar ilmu
biomedik, ilmu klinik, ilmu perilaku dan epidemiologi dalam praktek kedokteran
keluarga, keterampilan pengelolaan masalah kesehatan pada individu, keluarga
maupun masyarakat, keterampilan dalam memanfaatkan dan menilai secara kritis
teknologi informasi, mawas diri dan pengembangan diri dengan belajar
sepanjang hayat, dan kompeten dalam etika, moral, dan profesionalisme dalam
praktik.
Lulusan kedokteran diharapkan memiliki kompetensi pendukung yang
ditentukan oleh fakultas masing-masing. FKUI misalnya, diharapkan mencapai
kompetensi pendukung dalam bidang riset, pengelolaan kegawat-daruratan
kedokteran dan kesehatan, dan manajemen pelayanan kesehatan. Sedangkan FK
Atmajaya menekankan pada bidang enterpreneurship, paliative care, dan
pengobatan adiksi.
Titi mengakui bahwa fasilitas dapat menjadi hambatan dalam penerapan KBK.
“Tapi tidak perlu kecil hati dengan keterbatasan,” ujar Titi. Cara-cara tertentu
bisa dilakukan, misalnya untuk praktek pemasangan infus, jika manekin belum
terjangkau, bisa praktek antar mahasiswa. Cara lain, melakukan inovasi dengan
mengembangkan alat-alat kedokteran biological engineering yang terjangkau
tetapi mampu memenuhi kebutuhan dalam proses pembelajaran. “Atau, kita bisa
pesan sebuah produk dari luar negeri, lalu kita coba buat sendiri,” ujar Titi.
Sharing resources antar fakultas kedokteran juga dapat dimungkinkan untuk
menjadi alternatif.
Dengan investasi awal yang bisa menelan biaya tinggi, fakultas kedokteran, ujar
Titi, diharapkan lebih kreatif dalam mencari dana yang bisa bersumber dari luar
negeri, hibah, donor, ataupun kerjasama dengan industri.
(ika)
Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi September 2006 , Halaman: 38 (1230
hits)
Tips : Cara Belajar
NAMA : RADITYA BAGAS W.
NIM : G1A011006
![Page 5: BM 3](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022071804/563db79f550346aa9a8cc6c4/html5/thumbnails/5.jpg)
Technorati Tags: tips,belajar,tips belajar,cara belajar
Life is Learning atau Life is Education, itu mungkin semboyan-semboyan yang dianut oleh beberapa orang. Hidup memang penuh belajar dan perjuangan. Mulai dari bayi kita belajar duduk, merangkak, berdiri hingga akhirnya bisa berlari. Begitu pula dengan dunia nyata saat ini yang penuh dengan kompetisi.
Bagi kebanyakan orang seperti saya, buku merupakan sumber pembelajaran. Dengan buku kita mengetahui banyak hal. Tetapi terkadang kita malas sekali membuka atau membaca buku yang kita pelajari, apalagi jika isi buku tersebut tidak kita sukai tetapi kita harus membacanya seperti mau ujian misalnya.
Karena rasa terpaksa tersebut ada orang yang baru beberapa menit membaca suatu buku, sudah mengantuk dan tertidur. Mungkin juga ada yang baru mengingat harus membaca suatu buku ini, sudah langsung mengantuk.
Bagaimana cara mengatasi hal tersebut ? berikut ini beberapa tips yang mungkin bisa anda coba :
Selalu berpikiran positif bahwa buku atau ilmu yang kita pelajari akan bermanfaat bagi kita. Jangan dulu beranggapan negatif atau tidak suka atau mengatakan malas karena itu akan menurunkan semangat kita dalam mempelajari sesuatu
Ciptakan suasana yang nyaman untuk belajar. Jika tidak ingin mengantuk, jangan belajar di atas tempat tidur. Juga siapkan penerangan dan ventilasi udara yang baik. Penerangan yang kurang baik menyebabkan mata lelah dan mengantuk. Begitu pula dengan ventilasi udara yang kurang, menyebabkan oksigen udara yang beredar kurang dan otak pun kekurangan oksigen sehingga mudah mengantuk
Cari waktu yang baik untuk belajar. Waktu yang tenang / sepi dapat membantu kita dalam belajar seperti pada pagi hari (waktu subuh) tapi awas jangan sampai melamun. Waktu sore atau malam baik untuk mengulang pembelajaran di waktu pagi.
Makan makanan bergizi dan cukup minum air putih. Berpikir juga membutuhkan energi. Jadi kita harus cukup makan makanan bergizi (4 sehat 5 sempurna) tapi ingat jangan sampai kekenyangan karena kekenyangan akan membuat kita mengantuk akibat dari suplai darah ke otak dialihkan ke perut. Kurang minum (dehidrasi) juga dapat mengganggu konsentrasi, jadi minimal 2 liter ( 8 gelas) perhari disarankan untuk menjaga kecukupan cairan dalam tubuh kita.
Step by step, selangkah demi selangkah. Jika kita tidak biasa membaca, mulailah dengan membaca selama 5 menit jika masih mampu dilanjutkan dengan 5 menit berikutnya. Jika masih mengantuk dalam 5 menit pertama, istirahat sejenak dan coba lagi. jika masih gagal, cobalah membasuh wajah atau mandi sekalian dan coba lagi. Jika masih mengantuk juga, gantilah posisi. Mungkin dari posisi duduk ke berdiri. Jika masih mengantuk juga, awas nanti terjatuh, mungkin saatnya harus istirahat. Jika berhasil, anda bisa belajar hingga 3-4 jam sehari.
Konsisten. Dilakukan terus-menerus, setiap hari. Orang bijak mengatakan “lebih baik belajar satu jam sehari selama satu bulan daripada belajar delapan jam dalam sehari”.
Niat yang kuat. Orang bijak mengatakan “Jika anda ingin pintar, maka bacalah minimal 1000 kata dalam sehari”. Tentu saja dengan membaca buku yang bermanfaat.