blue economy : studi literatur pemahaman dan …
TRANSCRIPT
BLUE ECONOMY : STUDI LITERATUR PEMAHAMAN DAN APLIKASI
OLEH :
EPAFRAS BUDIAWAN
232011047
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan-persyaratan untuk Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi
FAKULTAS : EKONOMIKA DAN BISNIS
PROGRAM STUDI : AKUNTANSI
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
Jalan Diponegoro 52-60
Telp : (0298) 21212, 311881
Telex 22364 ukwsa ia
Salatiga 50711 – Indonesia
Fax. (0298) 213433
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Epafras Budiawan
NIM : 232011047
Program Studi : AKUNTANSI
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir,
Judul : Blue Economy : Studi Literatur Pemahaman dan Aplikasi
Pembimbing : Mitha Dwi Restuti, SE.,M.Si., CMA.
Tanggal diuji : 24 April 2015
adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain
yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol
yang saya akui seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan tanpa
penulis aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahwa saya ternyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan
orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sanksi sesuai
peraturan yang berlaku di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana,
termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Salatiga,
Yang memberi pernyataan
EPAFRAS BUDIAWAN
MOTTO
Even the smallest of faith can move mountains.
Jarrid Wilson (Matthew 17:20)
Do not conform to the pattern of this world.
Romans 12:2
Simplicity is natures first step, and the last of art.
Philip James Bailey
Nothing is permanent in this world not even our troubles.
Charlie Chaplin
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mendedikasikan halaman ini untuk mengucapkan rasa terimakasih nya kepada:
Tuhan Yesus Kristus, yang mengijinkan segala hal terjadi dan berkatNya terhadap rancangan
hidup yang Ia berikan.
Kedua orang tua, Eko Budiono dan Endah Sumerahati, adik Epafroditus Budiawan untuk
dukungannya dalam doa dan sarana, nasihat berharga, serta kebebasan dalam
mengekspresikan diri di dunia akademik.
Ibu Like Soegiono, SE.,M.Si. Terhadap saran – saran dan bimbingannya selama proses kuliah
selaku Wali Studi.
Ibu MI Mitha Dwi Restuti, SE., M.Si., CMA. Untuk curahan waktu, pikiran, dan tenaga selama
proses bimbingan sehingga proses penulisan tugas akhir ini terus berjalan kedepan
hingga dapat terselesaikan.
Seluruh staf pengajar UKSW khususnya FEB yang mana penulis terlibat dalam proses belajar
mengajar selama tiga tahun kebelakang. Atas dedikasinya memperkaya pola pikir dan
menanamkan prinsip pada penulis selama studinya.
Seluruh staf Tata Usaha FEB UKSW untuk bantuannya terhadap penulis dalam melengkapi
persyaratan administrasi selama perkuliahan.
Keluarga di BPMF FEB UKSW, Fitra (2008), Ferdianto Kangsotrisno (2009), Phylipus Rion
Mayonice (2009), Rendi Satria (2009), Floranssia Hayu Ristikasari (2009), Charles Budi
S. (2009), Fanny Novalieta (2010), Beny Wrista B.P (2010), Devitia Putri (2010), Karina
Crist (2010), Chiquita (2010), Georgina (2010), Joko Setiawan (2010), Efratian K. (2011),
Giovania K. (2011), Christina Raida (2011), Stevano Andreas (2011), Stephen Boenardi
(2011), Amalia Hidayanti (2011), Gilang P. Handoko (2011), Marshall S. (2012), Andre
Kurnia (2012), Beta Ubaya (2012), Meliana (2012), Widya (2012), Krisna Adi P. (2013),
Dominicus Aditya (2013), Agnes Yohanna (2013), Anthony S. (2013), Andre P.
(2013)untuk kerjasamanya selama tiga tahun dalam organisasi, nasihat seputar
perkuliahan, dan dedikasinya untuk berbagi pengalaman sebagai teman dan sahabat.
Teman – teman seperjuangan kuliah dan diskusi Bucek Jalu Prasetyo, Adhitia Toria, Venny
Arviana, David Setiawan, Chriscintya Jolita, Tjan Puput Wulandari, Ardy, Redya Purna,
Noriega Lekatompessy, Yulius Ongky, Hans Christian, Daniel Eka P. Siahaan,
Laurensia Chintia, Frisca Avriliyani, Arron Daud Unas, Olinda Christina, Lucky
Wijaya, Ray Kevin Joeng, Thomas Lee, Navika A., Anggita Filadelfia, Mesakh
Yolando, Bayu R.B, Aditya Dwiki, Dionysius Ananta, Andes R, dan teman – teman lain
yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Ucapan terimakasih khususnya untuk
kebersamaan dan bantuannya selama proses kuliah serta menjadi sahabat sekaligus teman
diskusi selama tiga tahun kebelakang.
Teman-teman seperjalanan Baskara Dwi Harnantio (FEB-UGM), Ronny Aditya Tampake (FBS-
UKSW), Bob Liem Wilopo (FTI-UKSW), Euodia Yudo Prabowo (FTI-Atma Jaya
Yogjakarta), Irvan (FTI-Atma Jaya Yogyakarta) untuk kebersamaannya ditengah
kesibukkan masing-masing.
Dan ucapan terimakasih secara khusus kepada:
NN, MM, dan JO. “You meet the best people and they are always far away”.
Mata kuliah Akuntansi Manajemen Stratejik (AMS), atas ilmu yang diberikan sehingga
menjadi salah satu sumber inspirasi utama penulis dalam penulisan tugas akhir ini.
DAFTAR ISI
Halaman Judul..............................................................................................................i
Surat Pernyataan Keaslian Tugas Akhir.......................................................................ii
Halaman Penrsetujuan/Pengesahan..............................................................................iii
Ucapan Terima Kasih...................................................................................................iv
Halaman Motto dan Persembahan................................................................................vi
Abstract.........................................................................................................................vii
Saripati.........................................................................................................................viii
Kata Pengantar..............................................................................................................ix
Daftar Isi.......................................................................................................................x
Daftar Lampiran...........................................................................................................xi
Daftar Tabel..................................................................................................................xii
PENDAHULUAN.......................................................................................................1
GREEN ECONOMY...................................................................................................3
KRITIK TERHADAP GREEN ECONOMY..............................................................6
Pajak Karbon...................................................................................................7
TRIPLE BOTTOM LINE REPORTING……………………………..................….11
EKONOMI HIJAU DAN BIRU………………………………………....................11
PEMBAHASAN………………………………………………………....................20
Pemanfaatan Padatan Kotoran Kering (Dried Manure Solids)
di Peternakan Sapi: Contoh Kasus…………………………….....................26
Mengapa teknik pembaringan diperlukan?....................................................27
Aplikasi dari Sudut Pandang Kos dan Produksi………………....................28
Skema Implementasi Green Economy & Blue Economy………..................34
Pembebanan Kos dan Pengambilan Keputusan………………....................36
Dampak Finansial………………………………………………..................37
Dampak Sosial…………………………………………………..................38
Dampak Lingkungan……………………………………………................38
Pelaporan Tiga Aspek…………………………………………..................39
KESIMPULAN………………………………………………………..............…..40
IMPLIKASI……………………………………………………………..................40
KETERBATASAN PENELITIAN……………………………………..................42
SARAN……………………………………………………………….................... 42
REFERENSI........................................................................................................... .44
LAMPIRAN............................................................................................................ .47
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.................................................................................57
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rancangan Proses Transformasi Green Economy..................................................7
Tabel 2. Masalah dari Aplikasi Pajak Karbon.....................................................................10
Tabel 3. Hasil Pengolahan Data dari Energy Information Administration (EIA) mengenai
Dampak dari Pajak Karbon.....................................................................................11
Tabel 4. Rangkuman Hasil Perumusan Prinsip Green Economy dari Beberapa
Lembaga..................................................................................................................14
Tabel 5. Prinsip – prinsip Blue Economy............................................................................18
Tabel 6. Rangkuman Prinsip Blue Economy......................................................................19
Tabel 7. Perbandingan Konsep Green Economy dan Blue Economy.................................26
Tabel 8. Kelebihan dan Kelemahan Konsep Green Economy............................................27
Tabel 9. Kelebihan dan Kelemahan Konsep Blue Economy..............................................27
Tabel 10. Poin Penting Manfaat Pembaringan pada Sapi...................................................28
Tabel 11. Daftar Perusahaan Ternak Objek Penelitian.......................................................29
Tabel 12. Daftar Informasi yang Digunakan Untuk Pengukuran Kos................................29
Tabel 13. Total Kos dan Pengembalian dari Penggunaan Dried Manure Solids sebagai
Pembaringan dari 5 (lima) Perusahaan Ternak.......................................................31
Tabel 14. Total Kos dan Pengembalian dari Penggunaan Dried Manure Solids sebagai
Pembaringan dari 5 (lima) Perusahaan Ternak.......................................................33
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Publikasi Pelaporan Kos pada Produksi Pembaringan..........................47
PENDAHULUAN
Perusahaan didirikan dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu untuk semua
pemangku kepentingan. Dalam mencapai tujuan tersebut, perusahaan selalu berinteraksi dengan
lingkungannya sebab lingkungan memberikan andil dan kontribusi bagi perusahaan atau
organisasi (Suartana 2010). Namun, perusahaan dan manajer seringkali menganggap bahwa kos
lingkungan bukan merupakan hal yang signifikan dalam operasi bisnisnya (UNIDO 2001). Dengan
peralihan fokus sosial terhadap kelestarian lingkungan, perusahaan didorong untuk
memperhatikan dengan cara pandang yang lebih luas dan melihat dampak yang mereka timbulkan
pada dunia sekitar mereka (Jackson et al 2011). Selain itu, tekanan sosial tentang kesadaran
lingkungan dan praktek bisnis yang berkelanjutan telah meningkat popularitasnya dalam beberapa
tahun ini. Penting bagi perusahaan untuk ikut terlibat dalam hal kesadaran lingkungan, karena
pesaing mereka juga mulai berpartisipasi secara aktif dalam hal ini (Stephenson dan Rodriquez
2010). Perusahaan saat ini dituntut untuk tidak hanya melaporkan kinerja keuangannya saja,
melainkan juga dampak dari aktivitasnya terhadap aspek sosial dan lingkungan (Brown dan Dillard
2009). Tingkat kesuksesan sebuah perusahaan tidak lagi hanya diukur dari sisi finansial, namun
tanggung jawabnya terhadap aspek sosial dan lingkungan juga merupakan faktor penentu
kesuksesan perusahaan (Norman dan MacDonald 2003).
Di berbagai daerah di belahan dunia, banyak pihak yang mencoba mengkaji bagaimana
menghasilkan aktivitas ekonomi yang dapat memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan
bersamaan dengan penggunaan sumber daya alam dengan lebih efisien (Center for Community
Innovation 2008). Dengan turut sertanya pemerintah mencari cara yang efektif untuk membuat
negaranya keluar dari krisis di bidang energi, pangan, dan keuangan sembari mempertimbangkan
keterbatasan sumber daya alam, green economy mulai diusulkan dengan tujuan untuk
mempercepat pembaharuan kebijakan pembangunan nasional serta kerjasama dan dukungan
internasional untuk pengembangan berkelanjutan (UNDESA 2012).
Green Economy memberikan kesan mengenai sebuah ekonomi yang ramah terhadap lingkungan,
peka terhadap kebutuhan untuk mempertahankan sumber daya alam, meminimalisasi polusi dan
limbah yang merusak lingkungan dalam proses produksi, dan memproduksi barang dan jasa yang
keberadaan dan konsumsinya tidak membayakan lingkungan (Khor, 2011). Namun, beberapa
penelitian tentang penerapan green economy menunjukkan hal yang berbeda, Pramono (2011)
dalam penelitiannya mengatakan bahwa green economy justru membuat mekanisme yang
memungkinkan praktik ekonomi tercemar terus berlangsung, sepanjang membayar kegiatan
konservasi ataupun pengurangan emisi di tempat atau negara lain. Green (2011) dalam
penelitiannya juga mengemukakan bahwa penerapan dari green economy mengakibatkan
berkurangnya lapangan pekerjaan, kenaikan harga kebutuhan rumah tangga di Jerman, serta tarif
listrik tinggi yang memecahkan rekor uni eropa di Denmark. Green mengatakan penyebab dari
fenomena ini merupakan akibat dari pelaksanaan program “hijau” pemerintah yang sumber
pendanaannya bersumber dari perusahaan-perusahaan konvensional atau yang disebut dengan
istilah “tidak hijau”. Masalah yang lain adalah, penerapaan dari konsep ini menyebabkan kenaikan
kos produksi pada perusahaan terutama yang berkaitan dengan listrik dan transportasi (CBO 2013).
Adanya pertentangan dengan hasil penelitian ini, menyebabkan lahirnya sebuah konsep baru yang
menawarkan alternatif bagi dunia bisnis dalam hal pelestarian lingkungan dan pengembangan
berkelanjutan. Dari beberapa kritik yang telah dijabarkan diatas, maka timbul sebuah inisiasi dari
Gunter Pauli tentang konsep Blue Economy. Konsep ini masih termasuk baru, oleh karena itu
penulis merasa tertarik untuk mengkaji konsep ini lebih dalam untuk mengetahui potensi manfaat
dan penerapannya dalam perusahaan.
Blue Economy lahir sebagai model dan konsep bisnis komprehensif yang ditemukan oleh Gunter
Pauli dan terus diinspirasi oleh dirinya dan ratusan rekan yang terlatih (De Mees 2013). Diklaim
dalam bukunya yang berjudul “The Blue Economy” Gunter Pauli mengenalkan beberapa inovasi
lingkungan yang melayani pasar pada kos yang lebih rendah, dan pada waktu yang sama tidak
menghasilkan limbah dan juga menguntungkan bagi perusahaan (Varga et al 2013). Varga et al
menyebut Blue Economy sebagai sebuah teknologi yang menggunakan produk tertentu yang secara
normal dianggap limbah sebagai input produksi. Varga et al juga mengatakan bahwa Blue
Economy sebagai sebuah inovasi yang dapat mengurangi produksi limbah dan kebutuhan bahan
baku untuk proses lainnya. Uhl dan Hanslik (2012) mengatakan bahwa Blue Economy mengikuti
analogi ekosistem, yang tidak menimbulkan limbah maupun emisi dan membekali diri hanya
dengan sumber daya lokal.
Di Indonesia sendiri, penerapan Blue Economy banyak menyasar pada industri kelautan dan
perikanan. Berdasarkan Memorandum saling Pengertian (MoU) antara Kementrian Kelautan dan
Perikanan (KKP) dengan Food and Agricultural Organization (FAO), Kabupaten Lombok Timur,
Nusa Tenggara Barat ditetapkan menjadi kawasan pelaksanaan pengembangan Blue Economy
(www.lombokita.com). Indonesia semakin menjadi pusat perhatian dalam penerapan konsep Blue
Economy, pada tanggal 13-15 April 2015 yang lalu Indonesia menjadi tuan rumah kongres Blue
Economy ke-9 yang bertempat di Surabaya. Kongres ini merupakan kelanjutan dari kongres di
Madrid, Spanyol pada tahun 2013 silam. (www.centuryrealtime.com).
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui manfaat apa saja yang bisa perusahaan rasakan
melalui penerapan konsep Blue Economy. Studi literatur akan digunakan sebagai pendekatan
konseptual untuk lebih memahami potensi dari konsep ini terhadap perusahaan. Pemahaman
secara konseptual dimaksudkan agar pembaca memiliki dasar yang memadai sehingga
mendapatkan gambaran yang jelas tentang kedua konsep. Selain itu, penelitian ini dimaksudkan
untuk mengetahui bagaimana dampak yang ditimbulkan dari aktivitas penerapan konsep Blue
Economy sebagai alat untuk pengembangan bisnis yang berdampak pada sosial, lingkungan, dan
keuntungan. Contoh kasus penelitian akan dijabarkan lebih mendalam untuk mengintegrasikan
antara teori dan penerapan yang terjadi di lapangan sehingga manfaat dari konsep ini dapat lebih
mudah untuk dipahami.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan tentang konsep Blue Economy,
pembaca diharapkan bisa mendapatkan gambaran tentang manfaat penerapan konsep Blue
Economy dalam dunia bisnis. Masih banyak kalangan baik awam maupun dari kalangan bisnis
yang belum mengerti konsep dari Blue Economy, meskipun dalam praktik di bidang usaha ada
beberapa hal yang sudah diterapkan. Bagi pelaku bisnis, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai dampak positif penerapan Blue Economy, sehingga dapat
menjadi motivasi tersendiri untuk membangun model bisnis yang berbasis Blue Economy.
Penelitian ini akan melakukan studi literatur mengenai konsep Blue Economy dan Green Economy.
Lalu dilanjutkan dengan penjabaran contoh penerapan konsep Blue Economy. Pemahaman
mengenai konsep diperlukan guna memberikan pengetahuan mendasar kepada pembaca, sehingga
pembaca dapat mengetahui cara pendekatan kedua konsep untuk mencapai tujuannya.
Penelitian ini menggunakan literatur mengenai Green Economy, Blue Economy, serta Triple
Bottom Line. Pengumpulan data literatur diambil dari jurnal penelitian, publikasi dari beberapa
lembaga, artikel dari beberapa pengamat dan kritikus. Pengambilan data dilakukan dengan cara
mengunduh dari situs publikasi jurnal penelitian, situs lembaga terkait pada menu publikasi, serta
tautan situs online yang berisi artikel terkait. Untuk sumber literatur Green Economy, pengambilan
data akan dimulai dari data mengenai konferensi Rio +20 pada tahun 2012 disertai dengan
beberapa jurnal dan artikel dari para peneliti, pengamat, dan kritikus hingga tahun 2013. Untuk
sumber literatur Blue Economy, akan diambil data dari tahun 1994 mengenai pembentukan ZERI
disertai dengan beberapa jurnal dan artikel dari para peneliti, pengamat, dan kritikus hingga tahun
2013. Sedangkan untuk sumber literatur Triple Bottom Line akan diambil dari beberapa jurnal
penelitian mulai dari tahun 2003 hingga tahun 2011.
Adapun langkah-langkah penelitian akan dijabarkan pada poin-poin berikut ini:
1. Hasil pengumpulan data dari literatur Green Economy dan Blue Economy diolah kemudian
ditentukan prinsip-prinsip yang mendasari masing-masing konsep. Setelah prinsip-prinsip
dasar diketahui, cara kerja konsep untuk mencapai tujuan dalam prinsip-prinsip dijabarkan
menurut sudut pandang para peneliti, pengamat dan kritikus.
2. Menganalisis kelebihan serta kekurangan kedua konsep dari sudut pandang para peneliti,
pengamat dan kritikus. Kelebihan serta kelemahan yang ditemukan dari analisis diatas
terhadap kedua konsep dijabarkan pada sebuah tabel.
3. Menjabarkan contoh penerapan konsep Blue Economy.
4. Membuat skema produksi dari kedua konsep, untuk kemudian dianalisis melalui
pendekatan konsep Triple Bottom Line yaitu aplikasinya pada aspek people, planet, profit.
5. Membuat kesimpulan dan saran, serta menentukan keterbatasan penelitian atas analisis
yang telah dilakukan.
GREEN ECONOMY
Pada dasarnya, green economy adalah ekonomi dengan energi yang ramah lingkungan, didalamnya
berisi 4 sektor utama: energi terbarukan (contohnya: sinar matahari, angin, suhu bumi); bangunan
dan teknologi; infrastruktur dan transportasi; daur ulang dan konversi limbah menjadi energi yang
efisien penggunaan energi nya alam (Gordon dan Hays 2008). Green economy juga merupakan
sebuah teknologi proses produksi yang ramah lingkungan sehingga dapat mengurangi dampak
lingkungan dan meningkatkan pemakaian sumber daya alam (Buffa et al. 2008).
Green economy sendiri menurut Kennet dan Heinemann (2006) bertujuan untuk menciptakan
displin ilmu baru yang bermanfaat bagi semua aspek dalam lingkungan (orang dan benda hidup
maupun seluruh benda mati). Selain itu, tujuan green economy adalah untuk menciptakan ide
dalam memberantas ketidakadilan dan kemiskinan.
Environmental Carrers Organization Canada (ECO Canada) (2010) dalam studi mereka
menuturkan bahwa pemahaman Green Economy adalah tentang agregat dari semua aktivitas
operasi dengan tujuan utama mengurangi tingkat konsumsi sumber daya yang lazim, bahan
buangan berbahaya, dan meminimalisasi segala bentuk dampak lingkungan. Green Economy
dalam penuturan ini termasuk di dalamnya input, aktivitas, output, dan akibat sebagaimana hal –
hal tersebut terkait dengan produksi green products and services.
ECO Canada (2010) juga mendefinisikan 3 kriteria sebagai dasar untuk memahami aktivitas green
economy, ketiga definisi kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sudut Pandang Teknikal
Sudut pandang ini mendefinisikan green economy melalui aplikasi secara kuantitatif dan
analitis yang mengukur secara pasti mengenai produk, proses atau jasa yang termasuk
golongan “green” dan untuk tingkat apa.
2. Sudut Pandang Ekonomi
Sudut pandang ini berkaitan dengan karakteristik aktivitas untuk mengkategorikan sistem
klasifikasi ekonomi dari sekotor, industri, dan pekerjaan. Kriteria dalam sudut pandang
ekonomi ini dapat menilai apakah barang dan jasa berkontribusi untuk mengurangi dampak
dari efek rumah kaca, atau apakah barang dan jasa tersebut melibatkan sumber daya yang
berkelanjutan dalam proses manufakturnya.
3. Sudut Pandang Pembangunan
Sudut pandang ini mengidentifikasikan dimana siklus pembangunan “green job” dari
sebuah barang atau jasa, mulai dari riset hingga ke tahap desain, pengiriman, implementasi,
pemakaian dan perawatan berjalan.
IHDP (2012) juga merumuskan definisi Green Economy sebagai sebuah sesuatu yang fokus untuk
memungkinkan orang di seluruh dunia untuk mengejar dan mencapai kehidupan yang bermakna
bagi mereka, sembari meminimalisasi dampak negatif manusia terhadap lingkungan. Ia adalah
ekonomi yang diukur berdasarkan tolok ukur kesejahteraan manusia dan basis produktifnya. Ia
adalah ekonomi yang dikumandangkan oleh semangat keadilan dan perayaan atas kecerdasan.
UNEP (2012) mempublikasikan 3 (tiga) indikator utama dari Green Economy adalah sebagai
berikut:
1. Transformasi Ekonomi
Green Economy berbicara tentang transformasi dari cara ekonomi bertumbuh. Saat ini,
pertumbuhan ekonomi dicerminkan dari bentuk investasi pada aktivitas yang tinggi emisi,
berpolusi berat, menimbulkan limbah, penggunaan sumber daya yang intensif, dan
merusak lingkungan. Dalam Green Economy, investasi tersebut dirubah menjadi investasi
yang ramah lingkungan (rendah karbon, limbah dengan tingkat yang minimum,
penggunaan sumber daya yang efisien, serta aktivitas yang memperkaya ekosistem.
2. Efisiensi Sumber Daya
Salah satu manfaat yang dirasakan dalam transformasi ekonomi pada indikator pertama
yaitu efisiensi sumber daya secara secara relatif atau nyata. Hal ini terkait dengan
penggunaan bahan baku, air, tanah, perubahan ekosistem, produksi limbah, limbah dari zat
– zat berbahaya dalam aktivitas ekonomi.
3. Kemajuan dan Kesejahteraan
Green Economy dapat berkontribusi bagi kemajuan sosial dan kesejahteraan masyarakat
melalui dua hal. Pertama, mengarahkan investasi kepada barang dan jasa “hijau” dapat
membantu kebutuhan dasar dari kalangan kurang mampu seperti energi dan air yang bersih,
dan fasilitas sanitasi yang memadai. Yang kedua, mengarahkan investasi untuk
memperkuat modal sosial dan masyarakat.
Tabel 1. Rancangan Proses Transformasi Green Economy
KRITIK TERHADAP GREEN ECONOMY
Kemunculan Blue Economy sendiri didasarkan pada kegagalan di dalam Green Economy, seperti
yang diungkapkan oleh Gunter Pauli (2009) bahwa green business model telah gagal mencapai
visi dan tujuannya. Mengambil contoh pada proses pembuatan baterai, yang selama prosesnya
menggunakan bahan-bahan beracun hingga ke tangan konsumen; solusinya selama ini adalah
mengganti bahan baku dengan bahan yang lebih sedikit kandungan racunnya. Pada praktiknya,
perusahaan harus mengeluarkan investasi berjumlah bilyunan dollar hanya untuk memproduksi
baterai yang lebih rendah kadar racunnya dan lebih tahan lama, meskipun begitu bahan yang
mereka gunakan tetap bersumber dari bahan tambang (yang tidak terbarukan) dan racun kimia,
dan ketika dibuang, tetap saja baterai tersebut akan meracuni lingkungan sekitar dan mengancam
kesehatan dalam jangka panjang. Gunter Pauli mengkritik konsep green economy tentang “do less
bad” sebagai sesuatu yang sama sekali tidak ada bedanya dengan keburukan itu sendiri.
Kritik terhadap Green Economy juga diungkapkan oleh Green (2011), studi kasus yang dijabarkan
dalam penelitiannya memaparkan hasil yang mengejutkan; Green programs yang dicanangkan
oleh pemerintah di Spanyol menghancurkan 2.2 lapangan pekerjaan untuk setiap 1 green job yang
diciptakan. Teknologi yang mengandalkan tenaga angin dan sinar matahari menyebabkan
kenaikan harga pada pemakaian energi di rumah tangga sebesar 7.5% di Jerman, dan tak kalah
hebat lagi, implementasi kebijakan Green Economy di Denmark mencatatkan rekor dengan
menjadi negara yang memiliki harga listrik tertinggi di Uni Eropa. Green mengatakan bahwa
penyebab kegagalan ini bersumber dari intervensi pemerintah untuk mensubsidi perusahaan baru
berbasis green economy yang mereka “ciptakan” menggunakan dana dari penarikan pajak besar-
besaran kepada perusahaan yang beroperasi secara konvensional. Dikatakan lebih lanjut, dalam
hal ini pemerintah sama sekali tidak “menciptakan” lapangan kerja, apa yang ada selama ini
merupakan proses alami inisiatif penawaran investasi modal oleh pengusaha, disandingkan dengan
permintaan konsumen atas barang dan jasa. Akibatnya, perusahaan berbasis green economy yang
“diciptakan” oleh pemerintah dinilai kurang efisien dalam penggunaan modalnya dibandingkan
lapangan pekerjaan yang diciptakan secara alami dari penawaran dan permintaan pasar. Tingkat
produktifitas perusahaan buatan tersebut rendah dibandingkan dengan lapangan pekerjaan alami
yang telah ada sebelumnya, pun berkontribusi minim terhadap pertumbuhan ekonomi negara
tersebut.
Wilson (2013) menulis kritik keras tentang konsep bisnis di dalam green economy, beliau menulis
perumpamaan bahwa dalam green economy, kita berhak untuk membeli udara segar, air bersih,
dan tanah yang subur, sepanjang kita memiliki cukup uang di tabungan kita. Itu sama saja dengan
kita menjual “sumber” nya, tidak hanya “buah” yang diproduksi saja.
Selanjutnya, Wilson merumuskan 5 masalah utama yang menurutnya menjadi kelemahan green
economy karena gagal untuk diatasi, yaitu:
1. Barang dan jasa yang dihasilkan dari ekosistem sudah sejak awal sulit untuk diukur dengan
harga.
2. Pertimbangan terhadap rebound effect yang kurang memadai.
3. Lebih mengutamakan aspek ekonomi ketimbang lingkungan.
4. Pasar menawarkan perlindungan yang minim kepada orang yang paling tidak mampu.
5. Mekanisme pasar saat ini yang gagal mencapai tujuannya menjaga lingkungan.
Schuit (2014) mengemukakan bahwa Blue Economy berjuang untuk menjadikan masyarakat dan
lingkungan yang bahagia dan sehat melalui apa yang dapat kita temukan di lingkungan sekitar kita.
Menurut Schuit, dengan berproduksi secara lokal, masyarakat memiliki kontrol lebih terhadap
dampak lingkungan yang ditimbulkan. Schuit memberi contoh, sabun ramah lingkungan yang
sepintas menjadi solusi bagi masyarakat barat sebenarnya dibuat dari minyak kelapa sawit, yang
berasal dari perkebunan hasil dari menghancurkan hutan tadah hujan untuk membuat lahan di
negara-negara seperti Indonesia.
Pajak Karbon
Bentuk penerapan konsep green economy pada perusahaan memunculkan sebuah kebijakan yang
disebut pajak karbon. Pettinger (2013) menjabarkan tujuan dibalik fenomena pajak karbon, ditulis
bahwa pajak karbon merupakan buntut dari pertemuan internasional Rio Summit pada tahun 1992.
Tujuan utama dari pajak karbon adalah untuk “menginternalisasi eksternalisasi”, ini berarti bahwa
harga akhir dari barang harus sudah termasuk kos eksternal tidak hanya kos internal. Pettinger juga
mengaitkan pengartian ini dengan “pelaku polusi yang membayar” (“polluter pays principle”).
UNESCO (1992) mempublikasikan hasil deklarasi Rio Summit 1992 tentang lingkungan dan
pengembangan yang berisi beberapa prinsip, adapun prinsip nomor 16 (enam belas) menyatakan
sebagai berikut :
Principle 16: “National authorities should endeavor to promote the internalization of
environmental costs and the use of economic instruments, taking into account the approach
that the polluter should, in principle, bear the cost of pollution, with due regard to the public
interest and without distorting international trade and investment.”
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka prinsip diatas akan berbunyi sebagai berkut:
Prinsip 16: “Otoritas nasional harus berusaha keras untuk mempromosikan internalisasi dari kos
lingkungan dan manfaat dari instrument ekonomi, mempertimbangkan pendekatan bahwa pelaku
polusi harus, pada prinsipnya, menanggung kos dari polusi, dengan memperhatikan kepentingan
umum dan dengan tanpa mengganggu investasi dan perdagangan internasional.”
Kalimat bercetak tebal pada prinsip diatas menunjukkan bahwa telah adanya kesepakatan untuk
membebankan kos dari dampak polusi secara langsung kepada pelaku sumber polusi tersebut, yang
dalam prosesnya mengharuskan adanya intervensi dari pemerintah kepada pelaku polusi. Lebih
lanjut Pettinger (2013) menjelaskan bahwa dalam teorinya, prinsip tersebut membuat perusahaan
atau konsumen membayar kos sosial secara keseluruhan, tidak hanya kos pribadi yang dikeluarkan
saat menjual atau membeli produk tertentu, rumus persamaan untuk praktik ini adalah sebagai
berikut :
Social cost = private cost + external cost
Secara sederhana, hal ini berarti siapa saja yang menyebabkan timbulnya kos lingkungan harus
dibuat untuk membayar kos sosial secara utuh sebagai konsekuensi dari perbuatannya. Sebagai
kesimpulan dari artikel, Pettinger menjabarkan masalah yang muncul dari aplikasi Pajak Karbon
dalam tabel berikut :
Tabel 2. Masalah dari Aplikasi Pajak Karbon
1. Produksi akan dapat berpindah ke negara dengan tanpa atau rendah pajak
karbonnya (“bandar polusi”) (“pollution havens”).
2. Kos dari pengelolaan pajak dapat menjadi sangat mahal dan mengurangi tingkat
efisiensinya.
3. Sulit untuk mengetahui tingkat kos eksternal dan seberapa banyak nominal pajak
yang seharusnya.
4. Kemungkinan terjadinya penghindaran pajak (tax evasion). Pajak yang tinggi
dapat mendorong perusahaan untuk menyembunyikan emisi karbon.
5. Jika permintaan termasuk “price inelastic”, pajak dapat menjadi sangat tinggi
untuk mengurangi permintaan secara signifikan. Dalam jangka pendek,
perusahaan dapat menyadari bahwa mereka tidak memiliki banyak alternatif.
Meskipun seiring berjalannya waktu permintaan akan menjadi lebih elastis seiring
dengan lebih banyaknya alternatif yang dihasilkan.
6. Konsumen tidak menyukai komponen pajak baru dan seringkali tidak percaya
bahwa mereka akan menjadi subjek pendapatan yang netral. Ini bukan argumen
ekonomi, namun merupakan realitas politik dan merupakan penjabaran mengapa
hal itu seringkali sulit untuk diimplementasikan.
7. Pajak karbon global dapat mengurangi aktivitas ekonomi di negara berkembang
yang miskin karena mereka tidak mampu menanggung peningkatan dalam jumlah
kecil terkait dengan kos energi, namun negara maju dapat dengan mudah
membayarnya.
Sumber : Pettinger (2013)
Daftar masalah ini diperkuat dengan hasil penelitian dari Kreutzer dan Loris (2013), dalam
meneliti dampak dari pajak karbon terhadap ekonomi mereka mengolah hasil analisis
perbandingan yang dirilis oleh Energy Information Administration (EIA) Amerika Serikat tentang
implementasi pajak karbon pada beberapa aktivitas yang dimulai dari tarif sebesar $25 dan
meningkat sebesar 5% per tahun (setelah disesuaikan dengan inflasi) dibandingkan dengan tanpa
adanya pajak karbon, hasil pengolahan tersebut menunjukkan hasil sebagai berikut :
Tabel 3. Hasil Pengolahan Data dari Energy Information Administration (EIA) mengenai
Dampak dari Pajak Karbon
1. Memangkas pendapatan dalam keluarga dengan jumlah 4 (empat) orang
sebesar $1,900 per tahun pada tahun 2016 dan menyebabkan kerugian rata-
rata sebesar $1,400 per tahun sampai dengan 2035;
2. Meningkatkan tagihan energi keluarga dengan jumlah 4 (empat) orang lebih
dari $500 per tahun (belum termasuk kos bahan bakar);
3. Menyebabkan harga bahan bakar meningkat hingga sebesar $0.50 per
gallon, atau sebesar 10 persen pada harga rata – rata per gallon; dan
4. Mengakibatkan kerugian agregat lebih dari 1 (satu) juta pekerjaan hanya
dalam tahun 2016 saja.
Sumber : Kreutzer dan Lois (2013)
Congressional Budget Office (CBO) Amerika Serikat (2013) juga menjelaskan adanya dampak
negatif dari pajak karbon terhadap ekonomi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dengan
menaikkan kos pemakaian bahan bakar fosil, pajak karbon akan cenderung meningkatkan kos
produksi dari barang dan jasa terutama yang berkaitan dengan listrik dan transportasi, yang ikut
ambil andil dalam besarnya jumlah emisi CO2. Peningkatan kos tersebut digunakan oleh
perusahaan untuk merubah sistem manufaktur produk mereka denga cara yang menyebabkan
tingkat emisi lebih sedikit. Imbasnya, kos produksi yang tinggi juga menyebabkan tingginya harga
barang dan jasa yang diproduksi dengan frekuensi emisi yang intensif, sehingga pada akhirnya
membuat masyarakat untuk beralih kepada barang dan jasa yang lebih murah.
TRIPLE BOTTOM LINE REPORTING
Triple Bottom Line (TBL) Reporting adalah metode yang digunakan dalam akuntansi bisnis untuk
memperluas lebih lanjut pengetahuan para pemegang kepentingan perusahaan. (TBL) melampaui
aspek keuangan tradisional dan mengungkapkan dampak perusahaan di dunia sekitarnya. Ada tiga
fokus utama TBL: “people, planet, and profit” (Global Reporting Initiative 2006). TBL muncul
sebagai konseptualisasi populer dan sarana pelaporan untuk menyinambungkan korporasi sosial,
lingkungan, dan performa ekonomi dan mendapatkan perhatian penting terkait hubungannya
dengan efikasi dan kecukupan sebagai sarana untuk melaporkan sejauh mana sebuah organisasi
memenuhi tanggung jawab sosial perusahaan (Brown, Dillard dan Marshall 2006). Ide dibalik
paradigma TBL adalah tingkat akhir kesuksesan atau kesehatan perusahaan dapat dan harus diukur
tidak hanya oleh financial bottom line tradisional, tapi juga oleh performa etika / sosial dan
lingkungan perusahaan (Norman dan MacDonald 2003). TBL menghubungkan pelaporan
keuangan dengan aktivitas harian bisnis dengan jalan memberikan kesadaran yang lebih luas
terhadap dampak bisnis kepada masyarakat. Informasi harus secara akurat dan terus - menerus
dicatat untuk memperkuat manfaat pengambilan langkah – langkah untuk menjadi perusahaan
yang berkelanjutan (Jackson et al 2011).
EKONOMI HIJAU DAN BIRU
Jika anda menelusuri “green economy” di Google, anda akan mendapatkan berjuta-juta hasil
pencarian. Hal tersebut menjelaskan bahwa pengamat ekonomi, lingkungan, pembuat keputusan,
cendekiawan, dan bahkan masyarakat umum tertarik untuk terlibat dalam pergerakan ekonomi
global menuju sesuatu yang lebih baik dan sesuatu lebih mendukung kelestarian planet
(International Human Dimensions Programme on Global Environmental Change 2012).
Penjabaran bagaimana prinsip yang mendasari kedua konsep terbentuk sangat penting untuk
diketahui pembaca. Untuk itu sumber masukkan dan latar belakang literatur terbentuknya konsep
Green Economy dan Blue Economy akan ditelaah dalam beberapa bagian dibawah ini.
UNDESA (2012) menulis bahwa green economy sendiri telah mendapatkan perhatian dunia ketika
menjadi sebuah alat semasa krisis keuangan tahun 2008, dan kembali mencuat pada tahun 2012
saat United Nations mengadakan konferensi internasional bertajuk Rio+20. Hal ini memicu
kebutuhan akan penerapan konsep green economy di lingkup internasional.
Dalam konferensi Rio+20, UNDESA (2012) mendokumentasikan beberapa prinsip green
economy yang disusun oleh lembaga-lembaga lingkungan internasional. Konferensi ini bertujuan
untuk menyatukan lingkup dan strategi penerapan Green Economy baik di lingkup bisnis, maupun
kebijakan pemerintah, dan mengadopsinya untuk pengembangan berkelanjutan serat memberantas
kemiskinan. Adapun rangkuman prinsip – prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Prinsip yang pertama kali dikemukakan oleh UNEMG (2011) bertujuan untuk memberikan
karakteristik sederhana tentang green economy untuk dimasukkan sebagai bahan diskusi
dalam konferensi Rio+20. UNEMG sendiri cenderung lebih menekankan pada
karakteristik green economy untuk memberantas kemiskinan.
2. International Chamber of Commerce (Commission on Environment and Energy), atau
yang selanjutnya disebut ICC (2012) mempublikasikan panduan bagi pemerintah untuk
bagaimana membangun bisnis di daerahnya berdasarkan green economy. Fokus mereka
adalah bagaimana mengurangi dampak lingkungan dari rantai nilai perusahaan, efisiensi
energi dan sumber daya, serta investasi pada sumber daya yang terbarukan dan mengurangi
limbah.
3. The International Trade Union Confederation (ITUC) (2012) menawarkan 10 prinsip
green economy untuk memfasilitasi keadilan sosial dan pekerjaan yang layak. Didukung
oleh serikat buruh internasional untuk menciptakan konsep green economy yang dapat
berlaku untuk semua kalangan sosial.
4. Northern Alliance for Sustainability (ANPED) (2012) mengusung beberapa prinsip yang
berfokus pada keadilan ekonomi dan menjadikannya selaras dengan green economy.
5. The Danish 92 Group (2012), kelompok pengembangan lingkungan, juga
mempublikasikan usulan prinsip green economy yang berdasarkan keadilan, selaras
dengan yang diusulkan oleh ITUC (2012) sebelumnya. Prinsip ini menekankan pada
keadilan dalam pelaksanaan kebijakan dan pengambilan keputusan pasar, sehingga green
economy dapat berkontribusi pada pengembangan yang berkelanjutan.
6. The Green Economy Coalition (2012), yang merupakan organisasi multi dimensi untuk
percepatan transisi green economy membangun prinsip berdasarkan ITUC (2012), ICC
(2012), dan ANPED (2012). Prinip yang dibuat berfokus pada tiga aspek utama yaitu
ekonomi, sosial, dan lingkungan.
7. The United Nations Secretary‐General’s High‐Level Panel on Global Sustainability
(Global Sustainability Panel (GSP) (2011)) memeberikan usulan yang menjadi kunci
utama dalam pembahasan di konferensi Rio+20. Meskipun tidak secara eksplisit
disebutkan, publikasi tersebut memberikan panduan yang jelas tentak karakteristik dari
green economy (UNDESA 2012).
Dari beberapa prinsip dan karakteristik yang telah dipublikasikan, konferensi Rio+20 merangkum
poin-poin prinsip dan karakteristik yang memiliki persamaan dan sering diusulkan dalam publikasi
diatas. Poin tersebut dirumuskan ke dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4. Rangkuman Hasil Perumusan Prinsip Green Economy dari Beberapa Lembaga
1. Green Economy adalah cara untuk mencapai pengembangan berkelanjutan.
2. Green Economy harus menciptakan pekerjaan yang layak dan lapangan pekerjaan yang hijau.
3. Green Economy merupakan efisiensi sumber daya dan energi.
4. Green Economy mengatasi keterbatasan ekologi atau kelangkaan.
5. Green Economy menggunakan pengambilan keputusan yang terintegrasi.
6. Green Economy mengukur kemajuan melebihi GDP dengan menggunakan indikator / metrik yang
sesuai.
7. Green Economy merata, adil, dan bijak – antar dan bersama negara – negara dan antar generasi.
8. Green Economy melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem.
9. Green Economy menghasilkan penurunan angka kemiskinan, kesejahteraan, mata pencaharian,
perlindungan sosial, dan akses kepada pelayanan inti.
10. Green Economy meningkatkan peraturan hukum dan pemerintahan. Ia inklusif, demokratis, ikut
turut serta, akuntabel, transparan, dan stabil.
11. Green Economy menginternalisasi eksternalisasi.
Sumber: UNDESA (2012)
Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan, Sunoto (2013), menjabarkan esensi dari Green
Economy sebagai sebuah sistem ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan manusia dan
di saat yang bersamaan mengurangi resiko lingkungan dan kerusakan ekologi melalui efisiensi
sumber daya alam, pemakaian karbon yang rendah, dan aksi kepedulian sosial. Sunoto lebih lanjut
menuturkan bahwa dalam sistem tersebut pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan serta
penyerapan tenaga kerja didukung oleh investasi publik dan swasta kedalam aktivitas yang mampu
mengurangi emisi karbon, mengembangkan energi dan efisiensi sumber daya alam, dan
melindungi keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem dari kerusakan.
The World Congress on Zero Emissions yang diadakan di Hawai’i Convention Center pada tanggal
13-17 September 2010 memiliki tujuan untuk mengumpulkan tokoh-tokoh dunia yang memiliki
impian untuk mengubah dunia dimana bisnis mengarahkan aktivitas mereka dengan cara yang
menghasilkan manfaat untuk semua orang, daripada hanya sekedar memaksimalkan keuntungan
dan menyisihkannya sebagian untuk golongan yang tidak mampu. Konferensi ini fokus pada
pembahasan mengenai konsep “tanpa limbah” dan “tanpa emisi” (zero waste and zero emissions),
yang dalam pelaksanaanya lebih kepada mengambil cara kerja alam. Di dalam alam semua produk
sampingan atau yang sering kita sebut sebagai limbah selalu digunakan dalam siklus lainnya.
Menurut konsep ini, limbah yang diciptakan manusia lah yang tidak dapat digunakan dalam siklus
lain. Maka dari itu, hal ini perlu ada perubahan (Curtis 2010).
Pauli (2011) menulis awal dari kemunculan Blue Economy. Diawali dari konsep Deep Ecology,
yang menurut Johnstone (2012) merupakan pendekatan holistik guna menghadapi masalah –
masalah di dunia dengan menyatukan pemikiran, perasaan, spiritualitas, dan tindakan. Ada tiga
poin penting dalam Deep Ecology yang menjadi landasan dalam penciptaan konsep tersebut.
1. Bahwa umat manusia merupakan bagian dari alam,
2. prinsip “no waste can be wasted”,
3. dan apapun yang dianggap limbah oleh satu pihak merupakan makanan untuk kingdom
lainnya.
Kingdom dalam hal ini mengacu pada karya dari Prof. Dr. Lynn Margulis (1938-2011) dalam
tulisannya yang berjudul “The 5 Kingdoms of Nature” (www.zeri.org)
ZERI (Zero Emissions Research and Initiatives) (1994) merumuskan beberapa inisiatif konkrit ke
seluruh penjuru dunia dengan mendemonstrasikan bahwa ada kemungkinan untuk menargetkan
sistem produksi bersih tanpa limbah (zero waste). Rumusan tersebut terangkum dalam 5 prinsip
utama yaitu:
1. Tidak ada satupun spesies yang mengkonsumsi limbahnya sendiri; apapun yang
menjadi limbah untuk satu pihak, adalah makanan untuk spesies lainnya dalam
kingdom lain.
Dalam konteks bisnis, hal ini berarti bahwa limbah dari satu industri harus digunakan
sebagai input bernilai tambah untuk industri lainnya.
2. Apapun yang beracun untuk spesies dalam satu kingdom akan jadi netral, atau
nutrisi, bagi spesies lain setidaknya dalam satu kingdom lainnya.
Secara sederhana, kita tidak dapat secara pasti mengartikan racun hanya dari sudut pandang
manusia (kingdom animals), kita harus menilai pentingnya racun dari semua spesies dalam
lima kingdom yang ada.
3. Kapanpun ekosistem kompleks tingkat tinggi beroperasi, berbagai macam virus
harus tetap tidak aktif dan bahkan lenyap tanpa menimbulkan bahaya yang melewati
setidaknya dua kingdom lainnya.
Mengambil contoh dari industri peternakan, pemberantasan virus sapi gila dengan cara
merebus limbah daging dan memberikannya sebagai makanan untuk ternak lain tidak akan
bekerja dengan baik (lihat prinsip pertama). Untuk memberantas virus tersebut, limbah
daging yang tersisa harus tersebar kedalam lima kingdom lainnya. Tindakan represif seperti
pemakaian antibiotik dapat merusak efisiensi kinerja dari intestinal flora (bakteri baik yang
ada di dalam usus), teknologi chemotherapy dapat mengatasi masalah tetapi
menghancurkan sistem pencernaan.
4. Semakin beranekaragam dan lokal sebuah sistem, semakin efisien dan tangguh
operasinya. Ketika sistem semakin efisien dan tangguh, semakin beranekaragam dan
semakin lokal mereka beroperasi.
Dikaitkan dengan ekonomi global, kita dapat melihat bahwa kita mulai menginginkan
segala sesuatu dari manapun di tiap tempat dan waktu. Akibatnya, kerapuhan sistem
semakin meningkat, ketika satu atau dua sistem putus, seluruh sistem akan jatuh.
Perusahaan sedang berada di dalam pencarian persediaan yang lokal, dan integrasi yang
lebih baik kedalam ekonomi lokal. Meskipun kontrak tenaga kerja (outsourcing) global,
rantai nilai persediaan, dan hubungan dengan konsumen telah diakui merupakan komponen
kunci dari bisnis yang sukses, kapasitas untuk menjadi lokal secara global membutuhkan
gerakan baru dari strategi yang kreatif dan inovatif.
5. Seluruh kombinasi, integrasi, dan pemisahan kingdom memiliki dampak pada suhu
dan tekanan lingkungan.
Dalam alam, tidak ada satupun yang tahu bagaimana caranya membuat api atau
berkehendak merubah tekanan, meskipun begitu produk dari alam masih lebih baik dari
artefak buatan manusia. Industri telah menciptakan manajemen rantai nilai yang mampu
menghasilkan komponen dengan pengukuran yang sangat akurat dan seragam. Semua
proses tersebut membutuhkan suhu dan tekanan yang tinggi, menyebabkan polusi dan
entropi. Di sisi lain, telah diakui bahwa penggunan bahan kimia, suhu dan tekanan dapat
mempercepat produksi dan memfasilitasi standarisasi. Kreatifitas dan inovasi merupakan
satu-satunya cara untuk menjembatani dua dunia tersebut. Jika industri berusaha menyamai
semua pendekatan inklusif dari alam, industri akan mampu untuk berpoduksi lebih efisien,
dengan kebutuhan energi yang lebih rendah.
Dalam sudut pandang lingkungan, ZERI memahami eliminasi limbah sebagai solusi akhir
untuk mengatasi masalah polusi yang mengancam ekosistem baik di tingkat lokal maupun global.
Pemanfaatan terhadap bahan baku langsung (raw materials) dirasa dapat mengembalikan
pemakaian sumber daya alam kepada titik optimalnya. Sedangkan dalam konteks industri, Zero
Emissions memiliki arti kompetitif yang tinggi dan menggambarkan keberlanjutan perusahaan
dalam tujuannya mencapai sebuah tingkat efisiensi dalam produksi. Mulai dari produktivitas
tenaga kerja dan modal, hingga penggunaan bahan baku langsung secara optimal, sehingga dapat
memproduksi dalam jumlah lebih dengan input bahan baku yang minimal. Zero Emissions juga
dapat dipandang sebagai sebuah standar efisiensi, seperti hal nya Total Quality Management (zero
defects) dan Just-In-Time (zero inventory). Dari sisi pemerintah, penggunaan bahan baku langsung
secara utuh dapat menciptakan industri dan lapangan kerja baru yang berjalan secara seimbang
dengan produktivitasnya. Dan kedepannya, hal ini dapat menyejahterakan masyarakat tanpa harus
menghancurkan potensi kesejahteraan tersebut di generasi mendatang.
Pauli (2011) kemudian mencetuskan pemahaman yang dianut oleh ZERI kedalam suatu inisiatif
tindakan yang disebut Blue Economy. Pauli menyusun beberapa prinsip baru yang bertujuan untuk
memberikan landasan konseptual mengenai konsep Blue Economy, prinsip yang disusun oleh Pauli
sendiri memiliki keterkaitan yang erat dengan sistem kerja alam. Hal ini tidak lepas dari filosofi
ZERI tentang bagaimana sebuah permasalahan harus dapat dipahami secara luas sebagai sebuah
kesatuan yang memiliki dampak terhadap beberapa aspek secara langsung. Blue Economy sendiri
dibangun berdasarkan 21 prinsip sebagai berikut:
Tabel 5. Prinsip – prinsip Blue Economy
NO PRINSIP
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Solutions are first and foremost based on physics. Deciding factors are Pressure and Temperature as found
on site.
Substitute something with Nothing – question any resource regarding its necessity for production.
Natural systems cascade nutrients, matter and energy – waste does not exist. Any by-product is the source for
a new product.
Nature evolved from few species to a rich biodiversity. Wealth means diversity. Industrial standardization is
the contrary.
Nature provides room for entrepreneurs who do more with less. Nature is contrary to monopolization.
Gravity is main source of energy, solar energy is the second renewable fuel.
Water is the primary solvent (no complex, chemical, toxic catalysts).
In nature the constant is change. Innovations take place in every moment.
Nature only works with what is locally available. Sustainable business evolves with respect not only for local
resources, but also for culture and tradition.
Nature responds to basic needs and then evolves from sufficiency to abundance. The present economic model
relies on scarcity as a basis for production and consumption.
Natural systems are non-linear.
In Nature everything is biodegradable – it is just a matter of time.
In natural systems everything is connected and evolving towards symbiosis.
In Nature water, air, and soil are the commons, free and abundant.
In Nature one process generates multiple benefits.
Natural systems share risks. Any risk is a motivator for innovations.
Nature is efficient. So sustainable business maximizes use of available material and energy, which reduces
the unit price for the consumer.
Nature searches for the optimum for all involucrated elements.
In Nature negatives are converted into positives. Problems are opportunities.
19
20
21
Nature searches for economies of scope. One natural innovation carries various benefits for all.
•Respond to basic needs with what you have, introducing innovations inspired by nature,
generating multiple benefits, including jobs and social capital, offering more with less: This is the
Blue Economy.
Sumber : Pauli (2011)
A. Bogdan et al (2014) menyebut Blue Economy sebagai konsep yang berdasar pada aplikasi
mekanisme alam dan prinsipnya untuk pengembangan umat manusia. Untuk lebih memahami inti
dari prinsip yang telah dijabarkan pada tabel diatas, beberapa prinsip dalam konsep ini dirangkum
oleh R.S. Serea (2013) sebagai berikut:
Tabel 6. Rangkuman Prinsip Blue Economy
1. Alam dapat memenuhi kebutuhan dasar kita, namun tetap dapat
mengembangkan dirinya menjadi semakin berkelimpahan, ketika model
ekonomi saat ini bergantung pada sumber daya yang langka sebagai dasar
dari produksi dan konsumsi.
2. Alam hanya bekerja dengan memanfaatkan apa yang ada disekitarnya,
karena bisnis yang berkelanjutan berkembang dengan tidak hanya
memperhatikan sumber daya lokal, namun juga tradisi dan budaya.
3. Alam berkembang dari beberapa spesies menjadi keanekaragaman hayati
yang kaya, memaknai kekayaan secara beragam, ketika standar industri
menyatakan yang sebaliknya.
4. Sistem alam menyediakan nutrisi, zat dan energi – limbah tidak ada dan tiap
materi lain yang dihasilkan sebuah produk merupakan input untuk produk
baru.
5. Di alam suatu proses dapat menghasilkan berbagai macam manfaat, karena
Alam itu efisien, sehingga bisnis yang berkelanjutan dapat memaksimalkan
penggunaan bahan baku dan energi yang tersedia, yang dapat mengurangi
harga jual produk untuk konsumen.
Sumber : R.S Serea (2013)
Laporan lingkungan kuarter kedua (Q2) yang diterbitkan oleh Asian Pulp Paper (2012)
mengemukakan bahwa Green Economy dan Blue Economy secara fundamental tidaklah berbeda.
Namun secara aplikasi terdapat perbedaan yang cukup mendasar, diiajukan oleh ekonom Britania
David Pearce (1989), Green Economy bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara
pengembangan ekonomi dan penggunaan sumber daya alam untuk mencegah kelangkaan sumber
daya, yang pada akhirnya menghalangi perngembangan ekonomi itu sendiri. Sedangkan untuk
Blue Economy, dikemukakan bahwa konsep yang dipublikasikan oleh Gunter Pauli (2010) ini
berjalan lebih jauh daripada hanya sekedar konservasi sumber daya dan pelestarian lingkungan,
namun bertujuan untuk menciptakan keuntungan ekonomi sembari memproteksi, mengatur, dan
menambahkan nilai kepada ekosistem alami.
Perbedaan mendasar disini dapat dilihat sebagai wujud strategi aplikasi pada dunia bisnis,
merangkum dari apa yang dijabarkan oleh Sunoto (2013). Meskipun secara umum memiliki tujuan
yang sama yaitu pengembangan berkelanjutan (Sustainable Development), pada pelaksanaannya
Green Economy menekankan kewajiban pada suatu bentuk investasi yang berasal dari publik dan
swasta sebagai input awal pengadaan teknologi yang ramah lingkungan (rendah karbon). Hal ini
menimbulkan masalah ketika perusahaan ditekan terus-menerus untuk berinvestasi pada aktivitas
pelestarian lingkungan, seperti yang ditulis juga pada laporan lingkungan Asian Pulp Paper
(2012), seiring berjalannya bisnis pada akhirnya perusahaan terpaksa membebankan kos tambahan
kepada konsumen, sebagai imbas tingginya kebutuhan investasi terhadap perlindungan
lingkungan, fenomena ini diakui perusahaan sebagai tantangan yang cukup berat, baik saat
pertumbuhan ekonomi baik dan semakin menekan perusahaan saat pertumbuhan ekonomi
menurun.
Namun dalam penerapannya, konsultan pelayaran dan perikanan Aji Sularso (2012)
mengemukakan bahwa masih sangat sulit untuk menerapkan industrialisasi produk yang murni
berdasarkan Blue Economy. Kondisi sumber daya manusia serta iklim yang berbeda memerlukan
adanya modifikasi terhadap konsep perencanaan. 100 inovasi yang diluncurkan oleh Blue
Economy sebagian besar masih dalam bentuk prototype dan sebagian lagi merupakan hasil dari
penelitian yang teruji, meskipun begitu masih memerlukan riset lanjutan dalam penciptaan produk
baru yang siap dipasarkan.
PEMBAHASAN
Setelah prinsip-prinsip yang mendasari konsep Green Economy dan Blue Economy ditelaah serta
diolah secara ringkas, pada bagian ini akan ditelaah lebih lanjut mengenai kaitan kedua konsep
dalam mencapai tujuannya, penjabaran tentang kelebihan dan kelemahan akan disajikan untuk
memberi pengetahuan dan penilaian tersendiri terhadap kedua konsep tersebut. Green Economy
dan Blue Economy memiliki tujuan dan kerangka yang mendasari cara mencapai tujuan tersebut.
Namun, penjabaran awal mula, prinsip yang dibangun, dan bentuk aplikasi dari kedua konsep
tersebut menimbulkan beberapa hal yang dapat dikaji lebih lanjut. UNDESA (2012) merekam
dengan baik bagaimana konferensi nasional bertajuk Rio Summit +20 memberikan input yang
beragam sebagai proposal untuk membangun ketentuan dan dasar dari konsep Green Economy,
penyatuan dari beberapa input menghasilkan poin – poin prinsip yang menjadi pondasi bagi
pelaksanaan program dalam bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kedua konsep (green
economy dan blue economy) memiliki tujuan dasar yang sama yaitu kelestarian lingkungan, hal ini
ditunjukkan oleh komitmen green economy untuk mengurangi konsumsi sumber daya yang tidak
terbarukan, meningkatkan efisiensi nya (ECO Canada 2010), serta meminimalisasi dampak negatif
manusia terhadap lingkungan (IHDP 2012), blue economy dengan jelas mengumumkan tujuannya,
yaitu produksi tanpa limbah (zero emissions) (Pauli 2010; Varga et al 2013; Uhl dan Hanslik
2013).
Muncul nya konsep Triple Bottom Line melahirkan indikator baru bagi perusahaan dalam
mengklaim sejauh mana tingkat kesuksesan mereka, pihak manajemen mulai dituntut untuk
mengakomodir tidak hanya aspek finansial saja dalam pengambilan keputusannya. Pengambilan
keputusan dalam perusahaan sudah harus mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan untuk
keberlanjutan perusahaan, pemenuhan tanggung jawab sosial perusahaan mulai menjadi aspek
dalam pelaporan perusahaan (Brown dan Dillard 2006; Jackson et al 2011; Boswell 2011; Davis
2011). Dengan adanya fenomena tersebut dalam dunia bisnis, maka jika dilihat dari tujuan utama
sebuah konsep, konsep green economy dan blue economy dapat digunakan sebagai alat yang tepat
untuk membantu perusahaan memenuhi tiga aspek dalam bisnis, karena pada dasarnya, kedua
konsep ini memiliki fokus pada pencapaian pengelolaan sumber daya yang efisien dan aktivitas
produksi yang lebih bersih.
Pada praktiknya dalam dunia bisnis, green economy memiliki cara dalam mencapai tujuannya, 2
(dua) poin penting dalam pelaksanaan konsep ini adalah fokus pada pengembangan teknologi
produksi, serta memiliki indikator untuk mengarahkan investasi kepada sistem produksi yang
ramah lingkungan, kriteria ramah lingkungan dalam konteks ini menurut UNEP (2012) adalah
proses produksi yang rendah karbon, minim limbah, serta penggunaan sumber daya yang efisien.
Diharapkan dari hasil investasi ini dapat melahirkan barang dan jasa "hijau" untuk kebutuhan
dasar rumah tangga, serta memperkuat modal sosial dan masyarakat, sedangkan blue economy,
seperti yang dijabarkan oleh ZERI (1994), berfokus kepada bagaimana penggunaan bahan baku
menjadi optimal dan berkelanjutan, tindakan ini diharapkan dapat mengembalikan sistem produksi
menjadi bersih tanpa limbah sama sekali. Produksi bersih tanpa limbah dapat tercapai jika,
sekumpulan limbah produksi dapat dimanfaatkan kembali menjadi input bahan baku untuk sistem
produksi yang lain.
Ketika fokus green economy adalah pengembangan teknologi produksi, maka pada skala besar
perusahaan dapat saja dianjurkan untuk mengubah teknologi yang sudah ada dan beroperasi
dengan perhitungan produksi yang matang untuk memenuhi tuntutan produksi yang ramah
lingkungan, hal ini telah dikatakan sebelumnya oleh CBO (2013). Pengembangan teknologi dalam
internal perusahaan juga dapat menimbulkan alokasi dana tambahan di bidang riset dan
pengembangan, penambahan dana ekstra ini belum tentu sesuai dengan perencanaan awal
manajemen terutama terkait dengan spesifikasi produk serta harga akhirnya, hal inilah yang
disebut oleh Wilson sebagai kelemahan dari green economy, yaitu bahwa barang dan jasa yang
dihasilkan sulit diukur oleh harga.
Pettinger mengkonfirmasi hal ini dengan mengacu pada poin 11 (sebelas) tabel prinsip dasar dari
green economy yang berbunyi “menginternalisasi eksternalisasi”, interprestasi poin tersebut
mengacu pada pasal 16 dari hasil konferensi Rio Summit yang berbunyi sebagai berikut,
Prinsip 16: “Otoritas nasional harus berusaha keras untuk mempromosikan internalisasi dari kos
lingkungan dan manfaat dari instrument ekonomi, mempertimbangkan pendekatan bahwa pelaku
polusi harus, pada prinsipnya, menanggung kos dari polusi, dengan memperhatikan kepentingan
umum dan dengan tanpa mengganggu investasi dan perdagangan internasional.” – UNESCO,
1992
Prinsip ini kemudian menjadi populer disebut dengan isitlah “polluter pays principle”, ketika
perusahaan dianjurkan untuk mengembangkan sedemikian rupa teknologi produksi nya sesuai
dengan spesifikasi yang ramah lingkungan, tentu saja hal ini tidak bisa serta merta dapat dijalankan
dalam waktu singkat, namun pasal 16 telah menegaskan secara ringkas bahwa barangsiapa yang
menjadi pelaku polusi, dia yang bertanggungjawab untuk menanggung kos polusi dari produk
tersebut.
Fakta tersebut disadari oleh regulator, dalam hal ini pemerintah sesuai yang disebutkan pada pasal
16, serta pada prinsip nomor 10 yang tercantum sebagai berikut,
10. Green Economy meningkatkan peraturan hukum dan pemerintahan. Ia inklusif,
demokratis, ikut turut serta, akuntabel, transparan, dan stabil. – UNDESA, 2012
yang kemudian mengakibatkan munculnya kebijakan baru yang disebut “pajak karbon”,
pemerintah dalam hal ini berperan sebagai pengukur tingkat polusi dan limbah perusahaan sebagai
objek yang diukur, perusahaan akan dituntut sesuai dengan kalkulasi tertentu dengan nominal uang
berbanding lurus dengan besarnya kontribusi perusahaan tersebut dalam menyumbang polusi,
pajak karbon seakan menjadi solusi praktis bagi pemerintah untuk memberikan efek jera bagi para
pelaku polusi dengan harapan bahwa mereka akan mempercepat perubahan sistem produksi nya
menjadi lebih efisien dan ramah lingkungan.
Dampak ini dikatakan kembali oleh CBO (2013), perusahaan yang dianggap sebagai penyebab
polusi memiliki posisi yang sangat tidak menguntungkan, selagi dituntut untuk mengubah
teknologi produksi mereka, kompensasi terhadap kos lingkungan yang dibebankan kepada
perusahaan menyebabkan kos tersebut pada akhirnya dibebankan langsung kepada produk, hasil
akhir dari aktivitas produksi ini akan menghasilkan produk dengan harga yang mahal serta
konsumen yang berpaling ke produk lain yang dirasa lebih murah, di sisi lain, pengembangan
teknologi produksi baru yang belum siap untuk beroperasi akan terus memangkas pendapatan
perusahaan sebagai alokasi pada riset dan pengembangan.
Blue Economy memiliki fokus yang berbeda, ketika green economy menargetkan pengembangan
teknologi sistem produksi menjadi lebih ramah lingkungan, maka blue economy sendiri
menganjurkan perusahaan untuk dapat memanfaatkan limbahnya secara optimal dengan harapan
dapat mengeliminasi limbah hasil proses produksi secara total. ZERI (1994) sebagai landasan awal
kerangka konseptual yang turut berperan melahirkan konsep ini memiliki sudut pandang yang
lebih luas ketika berbicara mengenai limbah, ZERI beranggapan bahwa dalam suatu ekosistem
alam kita tidak dapat menilai suatu bentuk produk sebagai limbah dari satu sisi saja, jika dibawa
kedalam konteks bisnis, ini berarti bahwa jika sebuah perusahaan menghasilkan sisa produksi,
bukan berarti perusahaan dapat serta – merta disebut sebagai penyumbang polusi. Dalam blue
economy, hal ini disebutkan melalui prinsip sebagai berikut,
3. Alam berkembang dari beberapa spesies menjadi keanekaragaman hayati yang kaya,
memaknai kekayaan secara beragam, ketika standar industri menyatakan yang
sebaliknya. - R.S Serea (2013).
kalimat “memaknai kekayaan secara beragam” ini dapat dipahami sebagai bentuk netralitas cara
pandang sebuah konsep terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan, bahwa penilaian produk
di tiap industri adalah berbeda, dan harus dipahami bahwa aspek kesejahteraan tidak dapat dicapai
dari satu cara pandang saja, “kekayaan” disini dapat dimaknai bahwa apapun yang dihasilkan oleh
perusahaan merupakan sumber daya yang potensial dan dapat digunakan untuk menjalankan
aktivitas yang bermanfaat bagi perusahaan.
Produk yang dianggap limbah bagi satu pihak, misalnya perusahaan A, bisa saja merupakan input
bahan baku utama bagi perusahaan B, sebagai contoh sederhana yang sudah banyak diterapkan,
perusahaan ternak sapi menghasilkan kotoran sapi maka mereka akan menilai produk ini sebagai
limbah karena tidak berkontribusi terhadap produk mereka (daging dan susu), namun bagi
perusahaan pupuk organik misalnya, kotoran sapi menjadi sumber bahan baku utama bagi proses
produksi mereka. Hal ini menjadikan posisi perusahaan ternak sapi bukan sebagai penyumbang
polusi, melainkan sebagai distributor bahan baku bagi industri lain, sebuah posisi yang
menguntungkan ketika perusahaan berperan sebagai distributor karena akan terjadi transaksi
perdagangan bahan baku dalam hal ini perusahaan ternak sapi sebagai penjual dan perusahaan
pupuk sebagai pembeli.
Dengan cara pandang seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, secara mendasar Pauli (2011)
melandaskan prinsipnya pada sebuah istilah dalam Deep Ecology yang disebut “no waste can be
wasted”. Isitilah ini dituangkan secara jelas kedalam prinsip blue economy yang telah dirangkum
sebagai berikut,
4. Sistem alam menyediakan nutrisi, zat dan energi – limbah tidak ada dan tiap materi
lain yang dihasilkan sebuah produk merupakan input untuk produk baru. - R.S Serea
(2013).
Prinsip diatas menegaskan bahwa konsep blue economy dapat digunakan sebagai sebuah alat untuk
mencapai pengembangan berkelanjutan melalui teknik pengelolaan limbah yang
berkesinambungan sampai pada titik dimana limbah bukan lagi disebut sebagai limbah. Hal ini
berpotensi melahirkan kerjasama positif antar industri, oleh karena sudut pandang yang luas maka
potensi pemanfaatan sumber daya akan menjadi semakin beragam.
5. Di alam suatu proses dapat menghasilkan berbagai macam manfaat, karena Alam
itu efisien, sehingga bisnis yang berkelanjutan dapat memaksimalkan penggunaan
bahan baku dan energi yang tersedia, yang dapat mengurangi harga jual produk untuk
konsumen. - R.S Serea (2013).
Perusahaan yang mampu mengolah limbahnya secara produktif akan melahirkan produk baru
untuk dapat dijual kepada masyarakat, perusahaan dapat memiliki kontrol penuh terhadap
produktivitas pengelolaan limbah nya sehingga dapat merancang spesifikasi tertentu dengan
memperhatikan minat masyarakat terhadap sebuah produk, investasi yang dialokasikan untuk
memulai produksi pengolahan limbah menjadi lebih jelas dan terukur, perusahaan menjadi lebih
fleksibel dalam menentukan besarnya dana investasi yang dirasa tidak membebani keuangan
perusahaan dengan tetap menjaga target pencapaian perusahaan tersebut. Dengan kendali internal
terhadap produktivitas pengolahan limbah yang kuat perusahaan dapat menciptakan produk
dengan kos yang rendah dan dapat dijangkau oleh masyarakat, perusahaan yang belum mampu
mengelola limbah dapat menjualnya sebagai bahan baku bagi perusahaan di industri yang berbeda
dan tetap dapat menghasilkan keuntungan dari aktivitas tersebut.
Dari sisi pemerintah, penggunaan bahan baku langsung secara utuh dapat menciptakan industri
dan lapangan kerja baru yang berjalan secara seimbang dengan produktivitasnya. Dan
kedepannya, hal ini dapat menyejahterakan masyarakat tanpa harus menghancurkan potensi
kesejahteraan tersebut di generasi mendatang. – ZERI (1994).
Kerjasama dalam hal pengolahan limbah tidak berhenti hanya sebatas antar industri saja, berbeda
dengan peran pemerintah dalam prinsip green economy, dalam pemaparan diatas menjelaskan
bahwa posisi pemerintah disini adalah sebagai fasilitator, fokus blue economy adalah bagaimana
mengelola limbah sebagai bahan baku untuk industri baru. Pemerintah dapat turut serta
menyumbangkan ide dan pikirannya dalam penciptaan industri produktif yang padat karya serta
mengimplementasikannya dalam bentuk pendanaan fasilitas produksi, pemerintah dalam peran ini
bukan lagi menjadi momok menakutkan bagi perusahaan seperti hal nya ketika pemerintah
berperan mejadi regulator yang mengukur pembebanan kos lingkungan pada implementasi
sebelumnya. Perusahaan dapat menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan
pemerintah ketika pemerintah memposisikan dirinya sebagai fasilitator ide dan pelaksanaan
industri pengolahan limbah produktif.
Dari penjabaran kedua teori diatas, jika dirangkum berdasarkan poin-poin utama pada tiap
penjelasan maka hasilnya dapat dilihat kedalam tabel berikut ini;
Tabel 7. Perbandingan Konsep Green Economy dan Blue Economy
Indikator Green Economy Blue Economy
Posisi Perusahaan Penyumbang polusi. Produsen bahan baku dan/atau
barang baru.
Posisi Pemerintah Regulator. Fasilitator.
Fleksibilitas Perusahaan wajib
membayar pajak karbon.
Perusahaan memiliki pilihan
pengambilan keputusan
pengolahan limbah.
Kendali Internal 1. Fokus pada riset
dan pengembangan
teknologi produksi
utama serta
pengelolaan pajak
karbon.
2. Pajak dikelola oleh
pemerintah.
1. Pengelolaan limbah yang
produktif secara internal.
2. Alokasi dana untuk
investasi dapat ditentukan
sendiri.
Sumber Masukkan
(Input)
Dana dari hasil
pengumpulan pajak
karbon.
1. Limbah produksi sendiri.
2. Alokasi dana investasi
dari perusahaan.
Kalimat Kunci 1. Polluter Pays
Principle
2. Do less bad
1. No Waste can be Wasted
2. Do no bad
Sumber: Literatur diolah (2015)
Tabel 8. Kelebihan dan Kelemahan Konsep Green Economy
Green Economy
Kelebihan Kelemahan
1. Memacu perkembangan pada teknologi
sistem produksi yang lebih ramah
lingkungan.
2. Menciptakan alur pengawasan polusi yang
sistematis dengan campur tangan
pemerintah.
3. Mampu mengurangi resiko lingkungan
akibat aktivitas produksi.
4. Memperhatikan kebutuhan masyarakat
dengan pembuatan green product untuk
konsumsi masyarakat.
1. Perubahan teknologi sistem produksi
membutuhkan investasi dengan dana
yang besar.
2. Implementasi dalam bentuk pajak karbon
memberatkan finansial perusahaan.
3. Terkesan memberi ijin pada aktivitas
yang berpolusi tinggi selama mampu
membayar dampaknya.
4. Green product seringkali lebih mahal
harganya.
Sumber: Literatur diolah (2015)
Tabel 9. Kelebihan dan Kelemahan Konsep Blue Economy
Blue Economy
Kelebihan Kelemahan
1. Menargetkan sistem produksi yang
tanpa limbah (zero waste).
2. Pengolahan limbah diarahkan
menjadi aktivitas yang produktif.
3. Mampu menjaga kelestarian
lingkungan sembari menambah
keuntungan perusahaan.
4. Mampu menyerap tenaga kerja
dalam aktivitas pengolahan limbah.
1. Tidak bisa lepas dari kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi,
perancangan sistem pengolahan
limbah yang produktif butuh
dukungan pengetahuan dan
teknologi yang memadai.
2. Satu konsep pengolahan limbah
yang sama, akan berbeda
penerapannya di lokasi yang
berbeda. Dibutuhkan modifikasi
perencanaan yang memadai.
3. Tingkat kesuksesan penerapan
tergantung dari seberapa optimal
perencanaan dan sumber daya
perusahaan.
4. Konsep yang masih baru,
membutuhkan waktu untuk
mencapai pemahaman yang baik.
Sumber: Literatur diolah (2015)
Pemanfaatan Padatan Kotoran Kering (Dried Manure Solids) di Peternakan Sapi : Contoh
Kasus
Ketersediaan sumber bahan baku untuk alas pembaringan (bedding) hewan ternak sapi semakin
menipis, dan jika ada, harganya akan sangat mahal. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya
konsumsi bahan baku alas ternak untuk digunakan sebagai bahan baku produksi biofuel, biofuel
sediri dibuat dari tanaman pertanian yang dikembangkan di berbagai negara (biofuelguide.net
2008). Meskipun pasir dapat dipertimbangkan sebagai bahan baku pembaringan ideal untuk sapi
perah, tidak semua produsen mau dan mampu untuk mengkonversinya menjadi pembaringan
karena akan menimbulkan masalah baru terkait pengelolaan kotoran sapi (Endres 2012),
sedangkan masih ada cukup banyak kotoran sapi yang dihasilkan di peternakan sapi itu sendiri.
Ditambah fakta lain, United Nations’ Food and Agricultural Organization (FAO 2006) melaporkan
bahwa sektor peternakan, yang mayoritas merupakan peternakan sapi, menghasilkan lebih banyak
gas efek rumah kaca dengan pengukuran setara CO2, 18 persen lebih banyak daripada sektor
transportasi. Hal ini mendorong E. Harrison et al (2008) dari Cornwell Waste Management
Institute (CWMI) untuk melakukan percobaan untuk mengolah kotoran sapi menjadi alas
berbaring. CWMI mengklaim bahwa kotoran ternak, jika diproses dengan teknik tertentu, akan
dapat menghasilkan fungsi yang serupa dengan alas berbaring ternak pada umumnya.
Mengapa teknik pembaringan diperlukan?
Endres (2012) merumuskan beberapa poin penting tentang teknik pembaringan, dalam
publikasinya, beliau menuliskan poin-poin sebagai berikut:
Tabel 10. Poin Penting Manfaat Pembaringan pada Sapi
1. Sapi memerlukan permukaan yang lembut, kering, dan nyaman untuk
beristirahat sehingga tetap sehat dan produktif.
2. Pembaringan merupakan sebuah faktor penting yang mempengaruhi
keyamanan sapi dan waktu beristirahat, dan oleh karena itu dapat
mempengaruhi tingkat produksi susu dan profitabilitas perusahaan ternak.
3. Pembaringan juga merupakan bahan pertimbangan ekonomi di industri susu.
4. Kandang dengan tempat pembaringan yang mendalam menyediakan
kenyamanan yang lebih baik daripada matras, dengan jumlah pembaringan
yang sedikit.
Penelitian oleh E. Harrison et al (2008) dari Cornwell Waste Management Institute (CWMI) ini
mengambil objek sebanyak 5 (lima) perusahaan ternak sebagai media untuk mengaplikasikan
proses pengolahan kotoran ternak dengan 5 (lima) teknik berbeda, adapun ke-5 (lima) perusahaan
ternak tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 11. Daftar Perusahaan Ternak Objek Penelitian
Nama Perusahaan Nama Pemilik Perusahaan El-Vi Farms
Noblehurst Farms
Patterson Dairy
Twin Birch Farm
NY
Ted Peck and George Anderson
Rob and Terri Noble
Connie Patterson, Jon Patterson and Rob Church
Dirk Young, and Pat Kehoe
Dr. John Ferry, Veterinarian, Adams
Sumber : Cornell Waste Management Institute (2010)
Aplikasi dari Sudut Pandang Kos dan Produksi
Dari pertanyaan penelitian yang mereka susun, dapat diketahui bahwa penelitian oleh E. Harrison
et al (2008) dari Cornwell Waste Management Institute (CWMI) ini dilakukan secara menyeluruh
dari berbagai aspek dan disiplin ilmu. Mulai dari konsentrasi bakteri dalam penggunaannya,
dampak penggunaan teknik pembaringan terhadap tingkat produksi susu, dampaknya terhadap
keseimbangan nutrisi di peternakan, dan juga implikasi ekonomi dari 5 (lima) teknik pembaringan
yang diuji. Penelitian dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun dimulai dari bulan Maret tahun
2007 dan berakhir pada bulan April tahun 2008. Analisis ekonomi dilakukan sejalan dengan
berlangsungnya penelitian dengan menghitung annual cost dengan satuan per hundred weight of
milk yang dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh saat itu. Adapun informasi berikut ini
merupakan indikator yang menjadi tolok ukur dasar perhitungan annual cost:
Tabel 12. Daftar Informasi yang Digunakan Untuk Pengukuran Kos
Total Kos Produksi Dried Manure Solid (DMS)
Kos operasi permesinan dan jasa per jam untuk konstruksi, termasuk persiapan
tempat, gradasi, dan desain.
Kos operasi permesinan per jam untuk operasi dan total operasi peralatan per jam.
Kos tenaga kerja per jam.
Kos persiapan dalam beberapa jam.
Total kos pengambilalihan fasilitas dan peralatan.
Kos dan Tingkat Pengembalian (Returns) dari Pemakaian DMS
Total pendapatan dari penjualan DMS
Pengurangan beban dalam bentuk pengangkutan pupuk dan pembelian pembaringan.
Total beban variabel (variable expenses) termasuk didalamnya permesinan, pencatatan,
listrik, perbaikan, dan tenaga kerja.
Total beban tetap (fixed expenses) termasuk didalamnya asuransi, depresiasi fasilitas,
depresiasi peralatan dan rata – rata total bunga investasi.
Sumber : Cornell Waste Management Institute (2010)
Daftar informasi yang diambil guna melakukan analisis juga disertai dengan keterangan tambahan
sebagai batasan pengukuran sehingga dapat diperoleh hasil yang akurat dan mencerminkan
aktivitas operasi dari perusahaan ternak yang dijadikan objek penelitian. Beberapa keterangan
tersebut yaitu dimulai dari kos secara umum, dilaporkan bahwa kos dan pengembalian yang
disajikan hanya yang berkaitan langsung dengan proses produksi DMS sendiri, namun untuk kos
yang terjadi sebelum produksi DMS berjalan juga diikutsertakan untuk menyajikan gambaran
beban yang lebih akurat guna mengevaluasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan setiap
perusahaan ternak itu sendiri. Sedangkan untuk kategori kos operasi permesinan diukur dari rata
– rata kos industri dalam satuan per jam untum peralatan yang digunakan dalam proses produksi
DMS, data penggunaan per jam didapatkan langsung dari data perusahaan ternak. Untuk
perhitungan depresiasi bangunan dan peralatan non – mesin digunakan strata atau kategori kelas
aset berdasarkan MARCS (Modified Accelerated Cost Recovery System). Metode depresiasi ini
lazim digunakan di industri peternakan dan juga telah digunakan dalam bisnis dan investasi
properti yang berdiri setelah tahun 1986, aset secara spesifik akan dikategorikan ke dalam 1 (satu)
dari 8 (delapan) kelas, adapun pengukuran menggunakan metode depresiasi ini tidak dipengaruhi
oleh nilai guna nyata atau praktis di dalam bisnis pemilik itu sendiri (Bennet dan Ward 2010).
Untuk beberapa aset spesifik lainnya digunakan metode garis lurus dalam jangka waktu tahunan
sesuai dengan umur ekonomis aset tersebut. Tambahan kos asuransi juga dimasukkan ketika proses
pembangunan fasilitas yang terkait dengan produksi DMS berjalan.
Tabel 13. Total Kos dan Pengembalian dari Penggunaan Dried Manure Solids sebagai
Pembaringan dari 5 (lima) Perusahaan Ternak
Sumber : Cornell Waste Management Institute (2010)
Dari hasil pengujian teknik DMS pada 5 perusahaan ternak, dapat ditinjau dari perhitungan annual
cost diatas bahwa terdapat penghematan dengan satuan cent per hundred weight of milk (cwt)
dengan nominal yang bervariasi antara satu perusahaan dengan perusahaan lain, hal ini
dikarenakan perbedaan teknik penggunaan DMS sebagai bagian dari pengujian menyeluruh dalam
penelitian ini, seperti yang telah dituliskan sebelumnya bahwa penyesuaian teknik penggunaan
DMS dilakukan dengan merujuk pada kebutuhan setiap perusahaan ternak itu sendiri. Perhitungan
ini dilakukan atas dasar bahwa telah terjadi peristiwa penghematan anggaran terkait dengan kos
pengangkutan kotoran ternak dari kandang (kolom (b)) dan telah terjadi penghematan terhadap
kos pembelian produk pembelian alas pembaringan jadi ke produsen eksternal perusahaan.
Penghematan ini dialokasikan sebagai beban untuk proses pengembangan teknik DMS, adapun
total beban untuk setiap perusahaan ternak dilaporkan lebih kecil ketika memproduksi sendiri
pembaringannya dengan teknik DMS dibandingkan jika perusahaan membeli langsung
pembaringan dalam bentuk barang jadi (Total Returns (d) dibandingkan dengan Total Expenses
(e)), sebagai contoh, perusahaan B memiliki modal dari penghematan dengan total sebesar $62,690
per tahun yang didapatkan dari penghematan kos angkut sebesar $5,490 ditambah dengan
penghematan kos pembelian pembaringan jadi sebesar $57,200. Dengan teknik DMS yang
diaplikasikan kepada perusahaan B, didapatkan total beban produksi DMS sebesar $51,750. Maka
jika dikalkulasikan dengan jumlah penghematan dari kos angkut kotoran ternak dan kos pembelian
pembaringan jadi, didapatkan penurunan kos produksi yang berdampak pada proses produksi
perusahaan ternak secara keseluruhan sebesar $10,940, nominal penghematan ini kemudian
diperinci lagi sesuai dengan satuan yang digunakan dalam pengujian yaitu cent per hundred weight
of milk (cwt), hal ini dilakukan dengan cara membagi total penurunan kos ke setiap pounds susu
yang terjual per tahun, sehingga dengan satuan tersebut dilaporkan terjadi penurunan kos sebesar
$0,05 cwt.
Hal yang menarik adalah, untuk pengujian terhadap perusahaan ternak F terdapat komponen
pemasukkan dari penjualan DMS, disamping penghematan kos angkut dan kos pembelian, data ini
menunjukkan bahwa jika diolah dengan teknik yang optimal, perusahaan ternak yang
memproduksi DMS dapat menghasilkan surplus produksi pembaringan yang memiliki nilai jual di
pasaran, berdasarkan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa proses produksi DMS merupakan
aktivitas yang bernilai tambah (value added activity), sebagai referensi, Hansen dan Mowen (2008)
menjelaskan suatu aktivitas diperlukan untuk bertahan di dalam sebuah bisnis jika aktivitas
tersebut 1) Menghasilkan perubahan kondisi; hal ini terpenuhi karena dengan teknik DMS,
perusahaan tidak hanya menjual susu yang telah menjadi produk utama perusahaan, namun juga
menjual produk tambahan yaitu alas pembaringan ternak, perubahan dari penjual produk ke multi-
produk ini menunjukkan perubahan kondisi, 2) Tidak dapat dicapat melalui proses sebelumnya;
perusahaan mengeluarkan investasi untuk pembangunan proses produksi pembaringan DMS yang
berbeda dari sistem produksi susu harian mereka, produksi DMS tidak dapat terjadi jika mereka
menggunakan fasilitas untuk memproduksi susu. 3) Memunculkan aktivitas lainnya; proses
produksi dan infrastruktur yang berbeda memungkinkan mereka untuk menyelenggarakan
aktivitas yang sama sekali berbeda dari aktivitas produksi susu, hal ini termasuk dalam pelaporan
kos diatas termasuk bahan baku, tenaga kerja, overhead, pemeliharaan dan depresiasi mesin
menunjukkan bahwa aktivitas produksi DMS berbeda dengan aktivitas produksi susu. Dan poin
penting dari kriteria aktivitas bernilai tambah yang dijabarkan oleh Hansen dan Mowen (2008)
adalah mengeliminasi limbah dan mengurangi kos, telah dilaporkan pada tabel diatas bahwa
aktivitas produksi DMS dapat mengeliminasi limbah yang berupa kotoran ternak dan dengan
mengolahnya menjadi pembaringan, terjadi penurunan kos pada produksi susu secara keseluruhan.
Sesuai dengan esensi Blue Economy yang dijabarkan oleh Gunter Pauli (2010) bahwa aktivitas
bisnis harus dapat memproteksi lingkungan sembari menambah keuntungan perusahaan, hal ini
dibuktikan dengan jalan memanfaatkan kembali limbah kotoran ternak sebagai bahan baku dasar
(raw material) sehingga menggenapi proses produksi yang tanpa limbah (zero waste) sembari
menghasilkan produk yang dapat dijual kembali untuk menambah keuntungan perusahaan
disamping keuntungan produksi, dan memiliki nilai manfaat bagi konsumen. Hasil dari kalkulasi
menunjukkan penurunan kos produksi perusahaan per tahun yang cukup signifikan yaitu sebesar
$67,343, hal ini tentu berdampak pada ongkos produksi per unit (cwt) yang mengalami penurunan
cukup besar dibandingkan 4 perusahaan ternak lainnya yaitu sebesar $0.26 cwt.
Dengan adanya penjualan DMS, hal ini juga berpotensi memiliki dampak yang sama pada
konsumen yang membeli produk DMS dari peternakan F. Jika diasumsikan konsumen DMS
tersebut adalah juga perusahaan ternak, maka dapat terjadi penghematan pada kos pembelian
pembaringan yang tentunya berdampak pada kos produksi perusahaan secara keseluruhan. Efek
domino positif ini mungkin tidak akan terjadi jika perusahaan mengaplikasikan sistem dari
penerapan Green Economy yaitu dengan menganut kebijakan pajak karbon (Carbon Tax) dari
pemerintah, dalam prosesnya perusahaan akan memenuhi tuntutan pajak sesuai dengan tingkat
polusi yang perusahaan hasilkan kepada pemerintah, untuk selanjutnya dialokasikan oleh
pemerintah untuk menciptakan “perusahaan hijau” yang memproduksi barang dan jasa berlabel
“green” dan “organik” serta belum tentu memiliki manfaat, nilai jual serta pangsa pasar yang tinggi
di masyarakat. Pajak karbon mengurangi total pendapatan bersih dari perusahaan tanpa
menghasilkan keuntungan tambahan sehingga menghasilkan tekanan pada pihak internal
perusahaan. Selanjutnya, jika data diatas diolah lebih lanjut dengan tambahan perhitungan
penjualan per tahun, maka didapatkan hasil seperti berikut:
Tabel 14. Total Kos dan Pengembalian dari Penggunaan Dried Manure Solids sebagai
Pembaringan dari 5 (lima) Perusahaan Ternak
Sumber : Cornell Waste Management Institute (2010)\
Farm Annual Cost/cwt of
milk (a)
Pounds of Milk
Sold/Year (b)
Annual cwt of milk (c)
= b/100
Cost or Savings to Produce
Milk (d) = a*c
B -$0.05 24,000,000 240,000 -$12,000
C -$0.08 36,500,000 365,000 -$29,200
D -$0.01 22,478,997 224,790 -$2,248
E -$0.20 38,325,000 383,250 -$76,650
F -$0.26 25,520,000 255,200 -$66,352
Dari laporan diatas, dampak penghematan kos produksi secara keseluruhan didapatkan dari hasil
perkalian penghematan per cwt dikalikan dengan jumlah produksi susu dalam satu tahun ((d) =
a*c), sebagai contoh, laporan perusahaan B menunjukkan adanya penghematan sebesar $0.50 per
cwt per tahun dan mampu memproduksi dan menjual susu sebesar 24,000,000 pounds per tahun,
dikonversi dalam satuan cwt maka hasil produksi dan penjualan akan menjadi 240,000. Hasil
kalkulasi antara penghematan dan total penjualan menunjukkan adanya penghematan kos produksi
sebesar $12,000 pada tahun tersebut.
Penghematan terbesar terjadi pada kasus perusahaan ternak E sebesar $76,650, meskipun
perusahaan F dilaporkan memiliki penjualan DMS sebesar $15,000 pada tabel sebelumnya namun
hal ini tidak terlepas dari jumlah penjualan susu per tahun oleh karena dampak penghematan dari
penggunaan DMS turut berpengaruh juga pada kos produksi perusahaan secara keseluruhan.
Jumlah produksi susu untuk tiap perusahaan ternak pada laporan ini menunjukkan adanya
peningkatan setelah menggunakan teknik pembaringan DMS, menurut hasil perhitungan statistik
yang dipublikasikan dalam laporan ini menunjukkan adanya penurunan produksi susu sebesar
0.002 lbs/sapi/hari sebelum menggunakan teknik DMS, ketika menggunakan DMS hasil
perhitungan statistik menunjukkan rata – rata produksi susu per bulan meningkat sebesar 0.015
lbs/sapi/hari. Hasil perhitungan statistik tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah tidak
hanya berdampak pada aspek lingkungan atau sosial saja, melainkan juga mampu memberi
dampak positif kedalam internal perusahaan sendiri yang dalam kasus ini adalah peningkatan
jumlah produksi, penghematan kos pembelian dan pengangkutan, penghematan kos produksi
secara keseluruhan.
Konsep Penerapan di Industri Kelautan dan Perikanan Indonesia
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo (2012) selaku Ketua Harian Dewan Kelautan
Indonesia, menerbitkan laporan mengenai kebijakan ekonomi kelautan dengan model Blue
Economy. Hal ini dilakukan karena Indonesia sendiri belum memiliki kebijakan yang secara
spesifik mengatur laut serta sumber daya alam laut yang ada didalamnya, kaitan yang kuat dengan
pembangunan sektor ekonomi memungkinkan Indonesia untuk mengembangkan konsep Blue
Economy ke dalam pembangunan bidang kelautan. Pembangunan dalam bidang kelautan
diharapkan dapat memacu program Pembangunan Nasional.
Lebih lanjut Sutardjo (2012) mengungkapkan bahwa, melalui sektor ekonomi kelautan yang
dikembangkan berdasarkan Blue Economy, terdapat 8 (delapan) strategi pengembangan yaitu pada
sektor perhubungan laut, industri kelautan, perikanan, pariwisata bahari, energi dan sumber daya
mineral, bangunan kelautan, jasa kelautan, dan lintas sektor bidang kelautan. Sutardjo (2012) juga
menyadari bahwa isi laporan ini masih merupakan konsep awal rancangan pengembangan dalam
ekonomi kelautan yang berdasarkan konsep Blue Economy.
Adapun bentuk dasar dari perancangan strategi pengembangan ekonomi kelautan digambarkan ke
dalam pilar berikut ini:
Sumber: Kebijakan Ekonomi Kelautan dengan Model Ekonomi Biru (2012)
Presiden Republik Indonesia Dr. H. Bambang Susilo Yudhoyono (2012) dalam konferemsi
Rio+20 secara tegas mengatakan bahwa Blue Economy merupakan grand design pembangunan
nasional masa depan, khususnya untuk negara kepulauan seperti Indonesia. Hal ini semakin
menekankan bahwa sumber daya kelautan harus dibangun secara optimal serta dapat dipadukan
dengan pembangunan di darat.
Tabel 15. Distribusi Presentase Produk Domestik Bruto Bidang Kelautan periode tahun
2001 – 2005.
Sumber: Data Badan Pusat Statistik (BPS), diolah oleh Dewan Kelautan Indonesia
Faktor lain yang mendasari pernyataan ini adalah, dari 8 (delapan) sektor yang menjadi sasaran
strategi pengembangan sebelumnya, 7 (tujuh) diantaranya berhasil menyumbangkan kontribusi
terhadap produk dosemtik bruto (PDB) nasional sebesar 22,42% pada tahun 2005. Nilai kontribusi
yang cukup signifikan ini dapat memacu peningkatan daya serap tenaga kerja, sehingga diharapkan
dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Jumlah kontribusi yang cukup stabil, bahkan
cenderung meningkat dalam periode 5 (lima) tahun menunjukkan bahwa sektor kelautan memiliki
potensi yang cukup besar jika dapat diintegrasikan dengan lebih optimal. Lebih lanjut dikatakan
bahwa, diperkirakan nilai potensi ekonomi sektor kelautan mencapai US$ 1,2 triliun per tahun dan
mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 40 juta orang.
Dewan Kelautan Indonesia (2012) mengungkapkan, untuk dapat menerapkan konsep Blue
Economy di sektor kelautan, terlebih dahulu harus membangun integrasi yang kuat antara 8
(delapan) sektor tersebut. Hal ini diyakini akan menciptakan sistem produksi yang jauh lebih
efisien dan optimal dibandingkan jika dilaksanakan secara terpisah atau sektoral. Integrasi yang
optimal antar sektor dapat memberi jalan atas terciptanya industri turunan di sektor kelautan yang
baru, sebagai contoh, pengolahan limbah dari industri pengolahan udang, dapat memberikan input
bahan baku bagi industri tepung ikan dan pupuk dengan memanfaatkan limbah bagian kepala dan
insang udang. Industri kedua dapat dibangun juga yaitu industri chitin dan chitosan yang
memanfaatkan limbah cangkang udang sebagai input bahan bakunya. Disamping sektor industri,
dengan berkembangnya produk industri pengolahan udang juga dapat meningkatkan permintaan
komoditi udang, terutama untuk bagan konsumsi pada sektor pariwisata.
Dewan Kelautan Indonesia (2012) dalam laporannya merangkum beberapa contoh penerapan
konsep Blue Economy di sektor strategi pengembangan ekonomi kelautan kedalam beberapa
gambar di bawah ini:
Contoh Implementasi Bisnis Sektor Perhubungan Laut dengan Model Ekonomi Biru
Sumber: Kementrian Perhubungan (2012).
Industri maritim pada hakekatnya memiliki cakupan yang luas dan bersifat integral dengan
industri lain di daratan, seperti industri galangan kapal, mesin kapal, pengolahan minyak dan
gas. Oleh karena itu, kebijakan pengembangan industri maritim harus dipandang dalam
perspektif holistik dan terpadu, artinya antara satu sektor dengan sektor lain yang memiliki
keterkaitan, baik secara vertical maupun horizontal dan antar daerah. – Dewan Kelautan
Indonesia (2012).
Melalui gambar rancangan transportasi laut yang berdasarkan konsep Blue Economy, menjadi awal
pengembangan industri sektor kelautan, dapat dipahami bahwa sektor ini memiliki konflik
kepentingan didalamnya, baik dari kalangan pengusaha industri, maupun masyarakat serta
kalangan pengelola sektor pariwisata. Adanya integrasi yang optimal dapat menjadi dasar yang
kuat sehingga pemerintah dapat memfasilitasi ruang masyarakat dengan adil dan hasil akhirnya
diharapkan dapat menciptakan produk baru yang kompetitif.
Contoh Impementasi Bisnis Sektor Industri Maritim dengan Model Ekonomi Biru
Sumber: Kementrian Perhubungan (2012).
Contoh implementasi bisnis sektor industri maritim dengan model Ekonomi Biru adalah:
penggunaan berbagai bahan baku/material dan komponen kapal yang ramah lingkungan,
pemanfaatan berbagai produk sampah (waste material) untuk penciptaan produk lainnya yang
bermanfaat, penggunaan plat baja dan berbagai komponen berbahan baku logam dari material
daur ulang logam, pemanfaatan sinar matahari (solar cell) sebagai sumber energi listrik,
penggunaan alat pengolah limbah cair/oli, minyak dan lain-lain untuk menghasilkan oli daur
ulang, penggunaan cat dan anti fouling yang tidak menghasilkan pencemaran pada lingkungan
laut dan lain-lain. – Kementrian Perhubungan (2012).
Dari pernyataan diatas, dapat dilihat bahwa konsep Blue Economy sebenarnya belum bisa terlepas
seutuhnya dari apa yang sudah dibangun oleh konsep pendahulunya, Green Economy. Pengolahan
limbah di sektor industri maritim seperti yang dijabarkan pada poin diatas membutuhkan
pengetahuan dan keahlian dalam bidang teknologi yang memadai. Riset dan pengembangan untuk
hal tersebut membutuhkan tenaga kerja ahli dan jumlah investasi yang memadai pula. Kementrian
Kelautan dan Perikanan (2012) juga menjabarkan beberapa contoh penerapan di bidang perikanan
dalam gambar di bawah ini:
Contoh Implementasi Bisnis Sektor Perikanan dengan Model Ekonomi Biru untuk Produk
Rumput Laut
Sumber: Kementrian Kelautan dan Perikanan (2012).
Contoh Implementasi Bisnis Sektor Perikanan dengan Model Ekonomi Biru berupa
Silvofishery
Sumber: Kementrian Kelautan dan Perikanan (2012).
Dalam penjabarannya, kedua gambar contoh implementasi konsep Blue Economy diatas
membutuhkan pengetahuan dan keahlian terhadap teknologi industri yang memadai, hal ini
diperkuat dengan penjabaran teknis dari gambar di atas:
Teknologi alat tangkap ikan yang efisien, efektif, ramah lingkungan, dan mampu menjamin
kualitas ikan hasil tangkapan, pengembangan instalasi pendingin yang menggunakan tekanan air
laut sebagai penggerak, instalasi produksi es balok/ice cube dengan bahan baku air laut,
penggunaan fish finder yang dihubungkan dengan jaringan satelit yang dapat menghemat route
pelayaran kapal ikan, penggunaan teknologi inovatif penyediaan benih unggul yang
mengembangkan spesies baru, penggunaan teknologi budidaya yang berbasis trophic level,
sirkulasi limbah keluaran yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri lainnya, pengolahan
rumput laut terpadu, mulai sebagai bahan baku (turunan awal) hingga untuk untuk berbagai
produk turunan lainnya seperti: untuk produk farmasetika, bahan makanan, dan lain-lain. –
Kementrian Kelautan dan Perikanan (2012).
Industri pariwisata tentunya tidak luput dari perhatian pemerintah Indonesia, lebih lanjut
dijabarkan bahwa, dengan kondisi geografis negara Indonesia yang berbentuk kepulauan, potensi
pariwisata harus juga diintegrasikan sehingga dapat beroperasi secara optimal. Dalam hal industri
pariwisata, konsep Blue Economy mengenai kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan melalui
penyerapan tenaga kerja pariwisata yang melibatkan penduduk lokal, sehingga dapat memberikan
kesempatan kerja bagi masyarakat sembari turut melakukan pengawasan atas keberlanjutan dan
kelestarian objek pariwisata. Perencanaan tersebut tertuang dalam gambar berikut ini:
Contoh Implementasi Bisnis Sektor Wisata Bahari dengan Model Ekonomi Biru
Sumber: Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2012).
Skema Implementasi Green Economy & Blue Economy
Green Economy:Pajak Karbon
Sumber : UNESCO (1992), ECO Canada (2010), UNEP (2012), UNDESA (2012), Pettinger (2013).
(ZERI) : Blue Economy
Sumber : Pauli (2010), Uhl dan Hanslik (2012), A. Varga et al (2013), De Mees (2013)
Dari hasil tinjauan penjabaran konsep Green Economy dari beberapa organisasi internasional
(UNEP 2012, ECO Canada 2010, UNDESA 2012), publikasi prinsip utama dari pertemuan Rio
Summit 1992 yang dirangkum oleh UNESCO (1992), serta artikel yang dipublikasikan oleh
Pettinger (2013) tentang implementasi prinsip utama yang telah dirangkum UNESCO (1992)
sebelumnya. Jika disusun kedalam sebuah skema, maka didapatkan sebuah bentuk implementasi
yang dihasilkan dari konsep Green Economy yaitu Pajak Karbon (Carbon Tax), skema tersebut
dapat dilihat sebagai solusi untuk mengontrol limbah dan polusi dengan kendali dari pemerintah,
yang pada akhirnya memposisikan perusahaan sebagai dalang polusi dan mewajibkan perusahaan
untuk membayar kepada pemerintah dalam bentuk pajak. Hal tersebut tentu saja akan semakin
Aktivitas Produksi Perusahaan
Aktivitas Produksi Menghasilkan
Limbah
Kalkulasi Pajak Karbon oleh
Pemerintah Kepada Perusahaan
Perusahaan Menyetor Pajak Karbon Sesuai
Kalkulasi Kepada Pemerintah
Alokasi Pajak Karbon Kepada
Perusahaan berbasis "green
product"
"Green Product" dijual ke
masyarakat
Aktivitas Produksi Perusahaan
Aktivitas Produksi Menghasilkan Limbah
Perusahaan Memikirkan Ide untuk Pengolahan Limbah Secara Internal
Alokasi Dana untuk Investasi dalam
Pengolahan Limbah
Aktivitas Pengolahan Limbah Sebagai Aktivitas
Baru Diluar Aktivitas Produksi
Aktivitas Baru Menghasilkan Produk Baru
Produk Baru Dijual ke Masyarakat
Limbah Pemakaian (Raw Material)
membuat posisi perusahaan lemah dan tertekan baik dari segi finansial, reputasi perusahaan dari
segi sosial, dan kinerja tanggungjawab perusahaan dari segi lingkungan.
Menempatkan perusahaan sebagai pihak yang bersalah dapat menyebabkan tingkat kepercayaan
publik dan investor semakin menurun, tekanan yang sama juga dapat terjadi dari segi produksi
perusahaan, dengan diberi label sebagai penyumbang polusi maka produk yang mereka hasilkan
dapat kehilangan pangsa pasar dan mengakibatkan pendapatan menurun, sedangkan komponen
pajak karbon hanya melihat dari aspek pengukuran polusi bersamaan dengan masih adanya
kewajiban pajak finansial. Penetapan tarif pajak karbon yang sulit diukur (Pettinger 2013),
proyeksi kenaikan kos rumah tangga (Kreutzer dan Loris 2013) akibat implementasi pajak karbon,
akan memaksa perusahaan untuk menaikkan kos produksi sebagai imbas dari peningkatan pajak
terhadap sumber daya yang tidak terbarukan (CBO 2013). Penetapan tarif pajak karbon yang sulit
diukur memberikan perusahaan ketidakpastian tentang kewajiban yang harus dibayar, kenaikkan
kos produksi menjadi satu-satunya cara untuk melindungi perusahaan dari kerugian yang
diakibatkan oleh ketidakpastian tarif pajak karbon. Di sisi lain, jika proyeksi kenaikan kos rumah
tangga benar-benar terjadi, maka daya beli rumah tangga akan menurun sedangkan harga produk
sudah terlebih dahulu dinaikkan oleh perusahaan, hal tersebut akan membuat kedua belah pihak
dalam mekanisme pasar tidak diuntungkan. Perusahaan terancam bangkrut, dan kebutuhan
konsumen tidak terpenuhi karena harga jual yang meningkat.
Blue Economy sebagai bentuk aplikasi dari ZERI menawarkan solusi alternatif yang berjalan
sesuai dengan ekosistem alam, yaitu dengan memanfaatkan sumber daya yang ada disekitar (lokal)
untuk dijadikan keuntungan tambahan bagi perusahaan (Pauli 2010), De Mees 2013). Konsep ini
menganjurkan perusahaan untuk melakukan investasi dalam pengolahan limbah dengan tujuan
mencari keuntungan tambahan sembari mengeliminasi limbah di perusahaan, jika berhasil
diterapkan maka permasalahan karbon pajak sebelumnya dapat terselesaikan. Perusahaan akan
dikenakan tarif pajak karbon yang rendah karena limbah yang mereka hasilkan berhasil dieliminasi
dan di sisi lain memperoleh keuntungan tambahan dari hasil pengolahan limbah menjadi produk
baru. Strategi ini memberikan alternatif bagi perusahaan untuk mengatasi tekanan terhadap kinerja
perusahaan baik dari segi finansial, sosial, dan lingkungan. Hasil produksi dari aktivitas baru
dalam perusahaan dapat menjadi produk akhir bagi konsumen atau sumber bahan baku bagi
perusahaan lainnya (Varga et al 2013), hasil tersebut akan menjadikan penerapan konsep Blue
Economy menjadi sebuah siklus yang tidak terputus karena setiap limbah yang dihasilkan baik dari
perusahaan maupun konsumen akhir akan menjadi bahan baku baru untuk menciptakan produk
baru dan menambah keuntungan, cara kerja ini menganut analogi ekosistem yang
berkesinambungan (Pauli 2010; Uhl dan Hanslik 2012).
Pembebanan Kos dan Pengambilan Keputusan
Blue Economy tidak membebankan kos lingkungan ke dalam produk, jenis produk yang dihasilkan
oleh perusahaan tetap pada klasifikasi awalnya, namun pemanfaatan limbah nya lah yang
menghilangkan efek negatif terhadap pembebanan kos lingkungan. Hal ini dimungkinkan karena
perusahaan tidak dituntut untuk berkorban dengan menyetor pajak karbon sebagai akibat dari
limbah yang dihasilkan selama proses produksi, efek ketidakpastian penetapan tarif pajak karbon
yang sulit diukur dapat menyebabkan perusahaan mematok pembebanan kos yang berlebih
terhadap produk mereka. Dengan diterapkannya konsep Blue Economy pada perusahaan,
dibandingkan dengan menyetor langsung kewajiban pajak karbon pada pemerintah, perusahaan
dapat mengalokasikan kelebihan pembebanan kos tersebut menjadi sebuah investasi dalam hal
pengolahan limbah menjadi produk baru. Dalam publikasi mengenai 5 (lima) perusahaan ternak
diatas, pengolahan limbah kotoran ternak menjadi produk baru terbukti memiliki dampak yang
positif terhadap penghematan kos produksi perusahaan secara keseluruhan, bahkan satu
perusahaan mampu memperoleh keuntungan dari hasil penjualan produk baru mereka. Perusahaan
dapat memiliki beberapa pilihan dalam pengambilan keputusan, dalam kasus ini, pengambilan
keputusan membeli atau memproduksi sendiri pembaringan, pengambilan keputusan mengolah
limbah atau tidak, menjual produk pembaringan atau menggunakannya untuk perusahaan sendiri.
Keputusan yang diambil oleh 5 (lima) perusahaan ternak pada publikasi diatas yaitu mengolah
limbah dan membuat produk pembaringan sendiri dari limbah kotoran ternak yang dihasilkan
mendatangkan penghematan secara langsung dari kos pembelian pembaringan jadi dan kos
pengangkutan limbah kotoran ternak keluar perusahaan. Fleksibilitas pengambilan keputusan akan
sulit didapatkan apabila perusahaan hanya sekedar menyetor kewajiban pajak karbon mereka
kepada pemerintah, hal menyetor pajak karbon hanya akan menjadi langkah penyelamatan citra
perusahaan terkait dengan lingkungan dan kepentingan politik terkait regulasi pemerintah yang
diwajibkan oleh hukum. Namun tidak mendatangkan timbal balik yang sepadan terhadap
pertumbuhan finansial perusahaan.
Dampak Finansial
Perusahaan dapat menekan harga seminimal mungkin sehingga tetap dapat dijangkau oleh
konsumen, hal ini diperkuat bukti bahwa terjadinya penurunan kos produksi secara keseluruhan
sebelumnya, bersamaan dengan didapatkannya hasil penjualan produk pembaringan yang dibuat
oleh perusahaan. Di sisi lain, pemanfaatan limbah menjadi produk baru dapat mendatangkan
keuntungan tambahan bagi perusahaan, ketika perusahaan membuat produk baru. Dengan adanya
tambahan keuntungan diluar produksi utama, pendapatan perusahaan tidak akan banyak
terpangkas oleh kewajiban pajak karbon yang diterapkan oleh pemerintah. Keputusan untuk
mengolah limbah juga dapat dialokasikan ke dalam akun investasi, bukan lagi hanya menjadi
komponen beban kos lingkungan yang dibebankan pada produk, bertambahnya komponen sumber
pendapatan dalam perusahaan dapat meningkatkan kepercayaan pemegang saham bahwa
perusahaan akan terus berkomitmen untuk meningkatkan keuntungan dengan cara yang tidak
merugikan. Perusahaan akan dapat dengan mudah menyusun laporan keuangan yang positif
berdasarkan hasil akvititas yang mereka lakukan terkait dengan menambah pendapatan dan
meningkatkan laba perusahaan, beban perusahaan secara tidak langsung akan menyebar ke proyek
yang dihasilkan dari pengolahan limbah sehingga tidak membebani kos produksi utama.
Dampak Sosial
Masalah limbah kotoran ternak dapat menimbulkan polusi terhadap indera penciuman dan
penglihatan, jika perusahaan memutuskan untuk membuang limbah keluar perusahaan (yang
termasuk dalam kos pengangkutan kotoran ternak), maka dampak yang ditimbulkan dari aroma
dan bentuk fisik kotoran ternak akan menganggu aktivitas sosial disekitar perusahaan hingga ke
tempat pembuangan limbah. Strategi ini dapat mengakibatkan perusahaan mendapatkan citra
buruk dari masyarakat karena dianggap menganggu kenyamanan warga setempat, pengolahan
yang tidak jelas karena dialihkan ke pihak diluar perusahaan serta keluhan masyarakat sekitar
dapat mengancam kredibilitas perusahaan di mata umum. Namun ketika perusahaan memutuskan
untuk mengolah limbahnya sendiri, hal ini dapat memperketat kontrol internal dari perusahaan
terhadap limbah dan dampak yang dapat ditimbulkan dari sudut pandang sosial dan masyarakat,
pengolahan limbah sesuai konsep Blue Economy dapat menghasilkan produk baru melalui aktivitas
baru. Aktivitas baru yang berupa produksi produk dari limbah dapat menyerap tenaga kerja baru
yang diperoleh dari masyarakat sekitar, hal tersebut dapat menaikkan citra perusahaan dalam
kontribusinya dengan cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan tenaga
kerja lokal. Dukungan yang kuat dari masyarakat dapat menjadi komponen penting dalam
keberlanjutan perusahaan sehingga dapat terus melanjutkan aktivitas produksinya tanpa terhambat
tuntutan masyarakat terkait dampak yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut.
Dampak Lingkungan
Perusahaan ternak, dalam pembahasan ini adalah ternak sapi, menghadapi tekanan publik dan
pemerintah yang tinggi karena hasil laporan polusi menyatakan bahwa kentut sapi menghasilkan
18 (delapan belas) persen gas rumah kaca lebih banyak daripada sektor transportasi (FAO 2006),
dalam kasus ini akan sangat sulit bagi perusahaan melarang sapi untuk membuang angin. Selain
mengalami tekanan dari hasil publikasi laporan tersebut, masalah perusahaan bertambah dengan
adanya limbah kotoran ternak yang keberadaannya juga tidak dapat dicegah. Fakta tersebut dapat
mengancam aktivitas produksi perusahaan ternak karena jika pemerintah mulai mengkalkulasi
pajak karbon berdasarkan 2 (dua) faktor tersebut, sedangkan perusahaan tidak memiliki alternatif
lain untuk mengeliminasi limbah, perusahaan akan dibebani pajak yang begitu tinggi sembari turut
berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan akibat limbah kotoran ternak dan emisi gas rumah
kaca akibat kentut sapi. Ketika perusahaan mampu mengolah limbahnya dengan optimal, dalam
publikasi laporan 5 (lima) perusahaan ternak tersebut perusahaan setidaknya mampu
mengeliminasi limbah yang berbentuk fisik yaitu kotoran ternak, dengan adanya penghematan dari
pengolahan dan penjualan produk baru, memungkinkan perusahaan untuk bertahan dalam
menghadapi tuntutan pajak karbon atas kentut sapi dengan pemasukkan tambahan dari pengolahan
kotoran ternak menjadi produk baru.
Pelaporan Tiga Aspek
Berbekal hasil penjabaran manfaat Blue Economy dalam 3 (tiga) aspek tersebut, dalam hal
pelaporan kinerja perusahaan akan dapat menyajikan laporan yang memenuhi ketiga aspek dalam
pelaporan yaitu “people, planet, and profit” dengan turut menyajikan kinerja keuangan yang
meningkat oleh karena adanya sumber pemasukkan baru hasil pengolahan produk dari limbah
perusahaan. Laporan kinerja perusahaan yang transparan dan positif dapat memberikan citra yang
baik bagi perusahaan serta dapat menarik minat investor untuk berinvestasi pada perusahaan
tersebut, kesanggupan perusahaan dalam memenuhi 3 (tiga) tanggungjawab perusahaan dengan
hasil yang positif dapat mengurangi inisiatif perusahaan untuk menggunakan cara ilegal dalam
melaporkan kinerjanya, seperti yang disebutkan oleh Pettinger (2013) bahwa perusahaan akan
berpotensi melakukan tindak kecurangan seperti penghindaran pajak (tax evasion) akibat
membengkaknya kewajiban pajak karbon dengan cara menyembunyikan limbah yang dihasilkan
oleh perusahaan, perusahaan juga akan terbebani dengan kos pengolahan pajak yang mahal akibat
ditambahkannya komponen pajak karbon sehingga dapat mengurangi efisiensi dari kinerja
perusahaan tersebut. Dampak sosial yang dinilai baik oleh masyarakat dapat memudahkan
perusahaan untuk melakukan ekspansi ke daerah-daerah yang dirasa strategis sesuai dengan
perencanaan perusahaan, karena dari aktivitas pengolahan limbah yang produktif dapat menyerap
tenaga kerja lokal serta memanfaatkan sumber daya lokal dengan optimal untuk menyejahterakan
masyarakat dan perusahaan sendiri.
KESIMPULAN
Penggunaan konsep Blue Economy dapat membantu meningkatkan efisiensi yang terkait dengan
sistem produksi, pengolahan limbah yang produktif mampu menghasilkan keuntungan finansial
sembari tetap menjaga kelestarian lingkungan dan membantu kesejahteraan sosial dari sisi tenaga
kerja sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam mengelola limbah disekitarnya. Blue Economy
juga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan ide-ide kreatif yang bertujuan untuk
mengoptimalisasi penggunaan sumber daya lokal di setiap tempat. Blue Economy merupakan alat
yang adil untuk mencapai kesejahteraan dan kelestarian serta dapat mengakomodasi berbagai
kepentingan dalam dunia bisnis.
Perusahaan yang menerapkan konsep Blue Economy dapat meningkatkan produktivitasnya,
sehingga target penjualan dapat tercapai; mampu mengeliminasi limbah secara produktif, sehingga
menambah keuntungan perusahaan; mampu memberdayakan masyarakat sekitar, memberi
lapangan kerja; yang pada akhirnya akan mendatangkan citra baik bagi perusahaan, citra yang baik
di masyarakat memberikan posisi tawar yang lebih kuat terhadap pemerintah sehingga perusahaan
dapat melakukan ekspansi dengan lebih mudah karena dampak positif yang ditimbulkan oleh
kehadiran perusahaan ditengah masyarakat; mengurangi beban perusahaan atas tuntutan kos
lingkungan, sehingga dapat mengurangi kos diluar produksi yang memberikan tekanan finansial
tambahan pada perusahaan yang pada akhirnya dapat berujung pada harga akhir sebuah produk.
Namun, konsep Blue Economy belum bisa sepenuhnya terlepas dari apa yang telah dibangun oleh
konsep Green Economy. Dalam hal pengolahan limbah, perusahaan harus tetap didukung oleh
ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai. Investasi dalam bidang teknologi masih perlu
dilakukan oleh perusahaan dalam prosesnya menuju proses produksi yang tanpa limbah.
IMPLIKASI
1. Dari segi teoretis, penelitian ini turut memperkaya literatur khususnya mengenai konsep
Blue Economy. Dalam penelitian ini dijabarkan dengan lebih mendalam bagaimana konsep
Blue Economy lahir, serta latar belakang yang mendasari munculnya konsep tersebut.
Konsep ini sejatinya masih termasuk baru sehingga perlu adanya pengenalan secara dasar
maksud dan tujuan dari konsep Blue Economy ini. Contoh kasus penerapan yang disajikan
dapat memberikan gambaran yang lebih jelas bagaimana implementasi dari dasar konsep
Blue Economy yang telah dijabarkan sebelumnya.
2. Dari segi akuntansi, pemahaman tentang konsep Green Economy dan Blue Economy dapat
memberikan referensi tambahan dalam pengambilan keputusan dalam perusahaan,
perencanaan kebijakan stratejik yang memberi dampak positif kepada ketiga aspek people,
planet, profit memungkinkan perusahaan untuk menjaga keberlanjutan usahanya.
Pemahaman yang baik terhadap kedua konsep diatas dapat membantu perusahaan
menyusun perencanaan finansial dan sosial yang tetap menguntungkan bagi perusahaan.
3. Terkait dengan efisiensi sistem produksi, hal ini berarti bahwa dalam satu siklus produksi
yang berjalan dapat menghasilkan lebih dari satu produk yaitu produk utama dan produk
sampingan dari hasil pengolahan limbah. Produk sampingan tersebut dapat mengeliminasi
limbah perusahaan dan mempekerjakan masyarakat dalam proses pengolahan limbah. Dari
satu siklus produksi perusahaan telah dapat memenuhi tanggungjawab dari ketiga aspek
“people, planet, profit”. Implikasi dari hasil ini adalah (a) Perusahaan seharusnya mulai
mengembangkan sistem produksi internal terhadap limbah, sehingga tidak perlu
menyerahkan pengolahan limbah ke pihak eksternal yang tidak mendatangkan keuntungan
bagi perusahaan. (b) Riset perusahaan seharusnya dapat dikembangkan tidak hanya dalam
aspek teknologi produksi saja, namun juga melibatkan aspek kesejahteraan sosial dan
kontribusi nya terhadap lingkungan.
3. Sebagai dasar pengembangan ide-ide kreatif, hal ini berarti bahwa penggunaan konsep
Blue Economy tidak hanya sebatas pada perusahaan saja, masyarakat dan pemerintah
juga perlu berpartisipasi untuk mengoptimalisasi penggunaan sumber daya lokal yang ada
di daerahnya. Implikasi dari hasil ini adalah (a) Masyarakat dapat menyusun ide untuk
kemudian difasilitasi dengan dana dan fasilitas oleh pemerintah sehingga diharapkan dapat
melahirkan industri baru yang padat karya, dan sebaliknya, pemerintah dapat melakukan
riset untuk pengembangan ide dan sumber dana untuk mengoptimalisasi potensi produktif
masyarakat di daerahnya. (b) Alternatif lain, perusahaan dapat memberikan ide dan
fasilitasnya kepada masyarakat dan/atau ide perencanaan aktivitas produktif pada
pemerintah yang pada akhirnya akan dieksekusi oleh masyarakat.
4. Blue Economy merupakan sebuah alat yang adil, hal ini berarti bahwa dengan proses
pengolahan limbah yang baik, tuntutan masyarakat terhadap dampak lingkungan dapat
terjawab dengan hasil yang positif, hal ini juga dapat mengurangi tuntutan pemerintah
terhadap perusahaan terkait kos lingkungan, bagi perusahaan, terpenuhinya tuntutan
masyarakat terhadap dampak lingkungan dapat menaikkan citra perusahaan, rendahnya
tuntutan pemerintah terhadap kos lingkungan dapat mengurangi tekanan finansial pada
perusahaan, harga produk dapat ditekan seminimal mungkin sehingga dapat
dijangkau oleh masyarakat. Implikasi dari hasil ini adalah (a) Perusahaan seharusnya
juga menggunakan konsep ini dengan tujuan untuk mengurangi kos lingkungan tanpa harus
melalukan tindakan ilegal seperti penghindaran pajak karbon dengan cara
mengintegrasikan siklus proses produksi dengan siklus produksi pengolahan
limbah. (b) Perusahaan seharusnya mulai melakukan sosialisasi terhadap masyarakat
mengenai proses pengolahan limbah secara produktif, berkoordinasi dengan tokoh
masyarakat setempat untuk menggerakkan partisipasi tenaga kerja lokal. Sosialisasi ini
secara tidak langsung dapat digunakan sebagai ajang promosi untuk menaikkan citra
perusahaan dimata masyarakat.
KETERBATASAN PENELITIAN
Beberapa hal yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sumber literatur yang terkait dengan konsep Blue Economy dirasa masih terbatas, hal ini
dikarenakan kemunculan konsep Blue Economy yang masih baru serta penyebutan konsep
dengan istilah Blue Economy masih jarang dikalangan peneliti maupun praktisi, meskipun
inti dari konsep ini sudah banyak dipraktikkan secara umum.
2. Fokus penelitian ini hanya mengarah kepada pemahaman konsep secara dasar,
implementasi dalam bentuk kebijakan dan implementasi produksi secara praktis saja.
Implementasi pengolahan laporan keuangan secara teknis, penyusunan laporan keuangan
dan lingkungan sesuai standar yang berlaku, serta kendala dalam aktivitas operasional
belum dikaji dalam penelitian ini.
SARAN
Terkait dengan keterbatasan penelitian diatas, maka untuk penelitian mendatang dapat dikaji
mengenai hal-hal berikut :
1. Mengkaji lebih lanjut terkait dengan analisis laporan keuangan pada perusahaan yang
menerapkan konsep Blue Economy, dampak riil nya ketika laporan tersebut dirilis ke
publik.
2. Mengkaji reaksi investor, pemerintah, dan masyarakat terhadap pencapaian perusahaan
dalam menerapkan konsep Blue Economy.
3. Mengkaji tentang kendala penerapan dan bagaimana pengaruhnya terhadap pengambilan
keputusan stratejik perusahaan.
4. Yang terakhir adalah, mengkaji tentang hubungan ketiga aspek bisnis (perusahaan,
pemerintah, masyarakat) dalam kolaborasinya membangun kelestarian lingkungan.
Dalam penerapannya, pertama, perusahaan dapat memulai untuk mengidentifikasi apa saja yang
merupakan limbah dan yang berpotensi menjadi limbah dalam sistem produksi. Kedua, perusahaan
dapat mengembangkan ide dan pikiran untuk mengelola limbah tersebut menjadi sebuah produk
baru atau bahan baku bagi industri lainnya. Ketiga, ide dan pikiran tersebut kemudian dituangkan
kedalam sebuah perencanaan keuangan dan produksi, strategi pemasaran digunakan untuk
mengidentifikasi jenis produk yang dapat dibuat dengan mempertimbangkan pangsa pasar serta
kebutuhan masyarakat pada umumnya. Perusahaan dapat menentukan seberapa besar investasi
yang akan dikeluarkan untuk mendanai aktivitas tersebut. Keempat, perusahaan dapat memulai
sosialisasi program dengan terjun langsung di masyarakat sekitar lokasi untuk mengenalkan
aktivitas pengelolaan limbah serta keuntungannya bagi masyarakat, langkah ini dapat dilakukan
sembari membangun fasilitas produksi dan pengolahan limbah pada poin ketiga. Kelima,
perusahaan dapat berkolaborasi dengan pemerintah dalam perencanaan ide dan pembangunan
fasilitas serta pendanaan aktivitas pengolahan sumber daya lokal di masyarakat. Dan yang terakhir
adalah, menjadikan konsep Blue Economy sebagai dasar alternatif dalam pengambilan keputusan
bisnis yang berkelanjutan.
REFERENSI
Asian Pulp Paper. 2012. Paper Contract With China Second Quarter Report. APP: 1-4.
Bogdan, A et al. 2014. New Holistic Approach of Bioeconomics and Ecoeconomics
Theories, Practical Bridging from the Green Economy to Blue Economy, Trough New
Integrated and Innovative Paradigm about “Bio-eco-geo-economy”. Procedia Economics
and Finance Volume 8: 83–90.
Buffa et al. 2008. California’s Global Warming Solutions Act of 2006 – A Background Paper
for Labour Unions. CA: Center for Labor Research and Education, UC- Berkeley.
Brown, D., Dillard, J., & Marshall, S. 2009. Triple Bottom Line: A Business Metaphor for
a Social Construct. In J. Dillard, M. King, & V. Dujon (Eds.), Understanding the social
dimension of sustainability: 211-230.
Congressional Budget Office (CBO). 2013. Effects of a Carbon Tax on the Economy and the
Environment. Congress of The United States (May).
Curtis, H. 2013. http://www.disappearednews.com/2010/09/holistic-agriculture.html
(Diakses tanggal 20 Februari 2015 Pukul 18.50 WIB).
De Mess, T. 2013. On Gunter Pauli’s Strategic Business Model of the Blue Economy. The
General Science Journal (January): 1-4.
Dewan Kelautan Indonesia. 2012. Kebijakan Ekonomi Kelautan dengan Model Ekonomi Biru.
Kementrian Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan
Indonesia: 1-80.
Eco Canada. 2010. Defining the Green Economy. Labour Market Research Study: 3-6.
Endres, M.I. 2012. Bedding Options for Dairy Cows. Western Canadian Dairy Seminar
Advances in Dairy Technology Volume 24: 361-369.
Food and Agriculture Organization of The United Nation (FAO). 2006. Livestock's Long
Shadow: Environmental Issues and Options. Animal Production and Health
Division: 4-14.
Green, K.P. 2011. The Myth of Green Energy Jobs: The European Experience. American
Enterprise Institute for Public Policy Research No.1 (February): 1-6.
Gordon, K., Hays, J. 2008. Green-Collar Jobs in America’s Cities: Building Pathways out of
Poverty and Careers in the Clean Energy Economy. Apollo Alliance and Green for All.
Global Reporting Initiative. 2013. G4 Sustainability Reporting Guidelines. Global Reporting
Initiative: 50-65.
Harrison, E., Bonhotal, J., Schwarz, M. 2008. Using Manure Solids as Bedding: Final Report.
Cornwell Waste Management Institute (CWMI) Departement of Crop and Soil Sciences (June):
69-71.
Hansen, D.R., Mowen, M.M. 2006. Managerial Accounting. South-Western College Pub; 8
edition: 489-490.
http://www.heritage.org/research/reports/2013/01/carbon-tax-would-raise-unemployment-
not-revenue (Diakses tanggal 26 Februari 2015 Pukul 20:05 WIB).
http://www.thegreenfuse.org/johnstone.htm (Diakses tanggal 5 Januari 2015 Pukul 16.35 WIB).
http://www.zeri.org/ZERI/Five_Design_Principles.html (Diakses tanggal 16 November 2014
Pukul 13.25 WIB).
http://www.theblueeconomy.org/blue/Principles.html (Diakses tanggal 18 September 2014
Pukul 15.30 WIB).
http://biofuelguide.net/ (Diakses tanggal 10 Februari 2015 Pukul 11.55 WIB).
http://www.lombokita.com/index.php/ekonomi-bisnis/industrialisasi-kelautan-dan-
perikanan-berbasis-blue-economy (Diakses tanggal 4 Mei 2015 Pukul 19.45 WIB).
http://www.centuryrealtime.com/berita-analisis/rekomendasi/22
news/vibeconominbusiness/7684Indonesia%20Terapkan%20Konsep%20Blue%20
Economy (Diakses tanggal 6 Mei 2015 Pukul 20.05 WIB).
International Human Dimensions Programme on Global Environmental Change (IHDP). Green
Economy and Sustainability: A Societal Transformation Process. Summary for Decision-
Makers. Bonn: UNU-IHDP.
Jackson, A., Boswell, K., Davis, D. 2011. Sustainability and Triple Bottom Line Reporting
– What is it all about?. International Journal of Business, Humanities and Technology
Volume 1 No.3 (November): 55-59.
Khor, M. 2011. Risks and Uses of The Green Economy Concept In The Context of
Sustainable Development, Poverty and Equity. The South Centre Reserach Paper 40
(July): 1-5.
Kennet, M., Heinemann, V. 2006. Green Economics: Setting The Scene. Aims, Context, and
Philosophical Underpinning of The Distinctive New solutions Offered by Green Economics.
International Journal of Green Economics Vol.1, No.1/2: 68 - 102.
Norman, W., MacDonald, C. 2003. Getting to the Bottom of "Triple Bottom Line." Business
Ethics Quarterly: 19.
Pauli, G. 2009. Building the Blue Economy: Nature Itself Shows Us How to Innovate,
Generate Wealth and Create Jobs. Copenhagen Climate Change Conference. Special
Issue 63 (December).
Pauli, G. 2011. From Deep Ecology to The Blue Economy. A review of the main concepts
related to environmental, social and ethical business that contributed to the creation
of The Blue Economy (Februari): 1-17.
Pettinger, J. 2013. http://www.economicshelp.org/blog/2207/economics/carbon-tax-pros- and-
cons/ (Diakses tanggal 20 Januari 2015 Pukul 18.30 WIB).
Pettinger, J. 2013. http://www.economicshelp.org/blog/6955/economics/polluter-pays-
principle-ppp/ (Diakses tanggal 20 Januari 2015 Pukul 19.45 WIB).
Pramono, T. 2011. Kapitalisme Hijau http://www.spi.or.id/?p=5434 (Diakses tanggal 13
Februari 2015 Pukul 19.45 WIB).
Suartana, I.W. 2010. Akuntansi Lingkungan dan Triple Bottom Line Accounting :
Paradigma Baru Akuntansi Bernilai Tambah. Jurnal Bumi Lestari Volume 10 No. 1
(Februari): 105 - 112.
Sunoto. 2013. Menuju Pembangunan Kelautan dan Perikanan Berkelanjutan Dengan
Konsep Blue Economy. Kementrian Kelautan dan Perikanan (Juni).
Stephenson S.S., N. Rodriquez. 2014. Eco-friendly or Eco-frenzy? A cost-benefit analysis
of companies’environmental decisions. Journal of Sustainability and Green
Business Volume 2 (December).
Schuit, C. 2014. Blue economy: An interesting strategy for Texel? http://www.being-
here.net/page/6818/blue-economy--an-interesting-strategy-for-texel (Diakses tanggal
10 Maret 2015 Pukul 21.35 WIB).
Sularso, A. 2011. http://ajisularso.com/industrialisasi-vs-blue-economy/ (Diakses tanggal 4
Mei 2015 Pukul 19.30 WIB).
http://www.lombokita.com/index.php/ekonomi-bisnis/industrialisasi-kelautan-dan-perikanan-
berbasis-blue-economy (Diakses tanggal 4 Mei 2015 Pukul 19.45 WIB).
The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). 1992. The
Rio Declaration on Environment and Development.
UN Division for Sustainable Development. 2012. A guidebook to the Green Economy: 9- 33.
Uhl, A., Hanslik, o. 2012. Blue Economy – Innovations for a New Level of Competition. 360° -
The Business Transformation Journal 5: 16-21.
United Nations Division for Sustainable Development (UNDESA). 2012. A Guidebook to
the Green Economy. Issue 2: exploring green economy principles: 5-21.
United Nation Industrial Development Organozation (UNIDO). 2001. Annual Report 2001:
11-14.
Varga, A. et al. 2013. Blue Economy Innovation Impact Assessment with the GMR-Europe Model.
Scientific Research Technology and Investment Vol. 4 (November): 213-223.
Wilson, M. 2013. The Green Economy: The Dangerous Path of Nature Commoditization
Consilience. The Journal of Sustainable Development Vol. 10: 85–98.