korea selatan emerging economy defining moment.docx

21
Dian Kartika Putri (071012090) Era Brilliana Largis (071012008) Yudo Satryo P. (070710177) Putri Kurniati (071012053) GQ 1, Kelompok 1. Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Airlangga Perkembangan Perekonomian Korea Selatan dan Penyebaran Korean Wave Korea Selatan merupakan salah satu negara di kawasan Asia Timur yang mengalami perkembangan ekonomi cukup pesat. Perekonomian Korea Selatan mulai tumbuh secara signifikan di era 1990-an pasca terjadinya krisis Asia tahun 1997. Setelah krisis, perekonomian Korea Selatan mulai berkembang sejak tahun 1998 melalui dana bantuan dari IMF serta program dari pemerintah yang berganti di tahun yang sama (Ito, 2007). Pergantian kepala pemerintah Korea Selatan ini kemudian tidak dapat dipisahkan dari proses pemulihan ekonomi Korea Selatan yang pesat jika dibandingkan dengan sejumlah negara yang terkena krisis pada tahun 1997. Jika dilihat dari data GDP negara Korea Selatan pada tahun 1996 sebesar 557 juta dolar yang kemudian menurun pada tahun 1997 menjadi 516 juta dolar dan semakin menurun pada tahun 1998 yang mencapai angka 345 juta dolar (http://data.worldbank.org/, t.t., diakses pada 8 Oktober 2013) maka dapat dilihat bagaimana krisis membuat

Upload: era-b-largis

Post on 01-Jan-2016

47 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Geoeconomics, defining moment of south korea emerging economies. indonesian language

TRANSCRIPT

Page 1: Korea selatan Emerging Economy defining moment.docx

Dian Kartika Putri (071012090)

Era Brilliana Largis (071012008)

Yudo Satryo P. (070710177)

Putri Kurniati (071012053)

GQ 1, Kelompok 1. Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Airlangga

Perkembangan Perekonomian Korea Selatan dan Penyebaran Korean Wave

Korea Selatan merupakan salah satu negara di kawasan Asia Timur yang mengalami

perkembangan ekonomi cukup pesat. Perekonomian Korea Selatan mulai tumbuh secara

signifikan di era 1990-an pasca terjadinya krisis Asia tahun 1997. Setelah krisis,

perekonomian Korea Selatan mulai berkembang sejak tahun 1998 melalui dana bantuan dari

IMF serta program dari pemerintah yang berganti di tahun yang sama (Ito, 2007). Pergantian

kepala pemerintah Korea Selatan ini kemudian tidak dapat dipisahkan dari proses pemulihan

ekonomi Korea Selatan yang pesat jika dibandingkan dengan sejumlah negara yang terkena

krisis pada tahun 1997. Jika dilihat dari data GDP negara Korea Selatan pada tahun 1996

sebesar 557 juta dolar yang kemudian menurun pada tahun 1997 menjadi 516 juta dolar dan

semakin menurun pada tahun 1998 yang mencapai angka 345 juta dolar

(http://data.worldbank.org/, t.t., diakses pada 8 Oktober 2013) maka dapat dilihat bagaimana

krisis membuat perekonomian Korea Selatan memburuk. Pasca pergantian presiden di awal

tahun 1998, diberlakukan sejumlah kebijakan untuk memulihkan kondisi ekonomi Korea

Selatan dan mempersiapkan Korea Selatan dalam kompetisi global.

Meski dalam hal ini tahun 1998 dipandang sebagai puncak dari perkembangan ekonomi

Korea Selatan bukan berarti kondisi ekonomi Korea Selatan tidak mengalami perkembangan

pada periode sebelumnya. Perekonomian Korea Selatan telah terlihat sejah periode tahun

1960-an (Chun, 2010). Pada masa tersebut, pertumbuhan GDP di Korea Selatan dari tahun ke

tahun bertahan pada angka di atas 5%. Hal tersebut terus terjadi hingga priode 1980-an.

Pertumbuhan ekonomi dalam periode tersebut tidak terlepas dari langkah pemerintah Korea

Selatan untuk melakukan perbaikan kondisi ekonomi Korea Selatan pasca Perang Korea.

Pada periode tersebut, industri di Korea Selatan mulai tumbuh.

Page 2: Korea selatan Emerging Economy defining moment.docx

Saat ini Korea Selatan adalah anggota G20, namun pada era tahun 1960, dengan tidak adanya

sumber daya alam atau industri, korea selatan merupakan salah satu negara miskin pada basis

pendapatan perkapita dibandingkan Irak, Liberia dan Zimbabwe. Dari semua negara Asia

yang cepat pertumbuhan ekonominya, Korea Selatan mengalami peningkatan terbesar dalam

GDP per kapita sejak pertengahan 1960-an (Schuman, 2010). Jika mengecualikan OPEC dan

centrally planned economy, Korea Selatan memiliki tingkat pertumbuhan GNP tertinggi

kelima di dunia pada tahun 1960an dan semakin meningkat pada 1970-an dan terjadi sedikit

penurunan pada 1980an (Sung, 1986 dalam Lau, 1990).

Menurut Cowen (2012) pertumbuhan ekonomi seperti Korea Selatan yang awalnya bukan

merupakan negara dengan tingkat perekonomian yang tinggi, tipe pertumbuhan ekonominya

bersifat catching up, dimana tipe pertumbuhan semacam ini tidak harus mempunyai ide,

teknologi, atau metode manajemen baru, akan tetapi hanya tinggal mengadopsi, belajar,

meningkatkan hal-hal (ide, teknologi, manajemen) yang telah dilakukan oleh negara yang

mempunyai perekonomian maju. Tujuan dari pertumbuhan tipe catching up ini adalah untuk

meutupi adanya kesenjangan ekonomi dengan negara maju (Cowen, 2012). Biasanya,

perubahan ekonominya disebabkan karena adanya perubahan pandangan dalam pemerintahan

terhadap kondisi ekonomi, kemudian berusaha memperbaikinya melalui kebijakan. Karena

kondisi ketersediaan modal pada masa tersebut sedikit maka pemerintah umumnya

mengambil kebijakan yang bersifat restrictive terhadap capital flow dan berusaha untuk

mengoptimalkan tabungan domestik melalui perubahan dalam sistem perbankan-nya (Cowen,

2012).

Keun Lee (2009) lebih jauh menjelaskan dalam artikelnya tentang proses catching up dari

perekonomian Korea Selatan yang terdiri dari beberapa fase yang bisa dikatakan hampir

serupa dengan fase pertumbuhan ekonomi milik W.W.Rostow. fase yang pertama adalah

tahun 1960an sampai pertengahan 1970an, dimana keadaan Korea Selatan pada waktu itu

masih mempunyai kapabilitas teknologi dan sumber daya manusia yang rendah (Lee,2009).

sehingga usaha untuk catching up pada masa itu adalah dengan melakukan peningkatan

dalam bidang pendidikan dan peningkatan human capital masyarakat Korea Selatan yang

ditunjukkan dengan adanya peningkatan tingkat pendidikan di tahun 1965, dan pada tahun

1972 pemerintah Korea Selatan mendirikan universitas KAIS (The Korean Advanced

Institute of Science) (World Bank, 2005 dalam Lee, 2009). Sedangkan pada bidang

teknologinya diusahakan awalnya melalui sistem import lisensi dan turnkey-based tecnology

Page 3: Korea selatan Emerging Economy defining moment.docx

untuk mulai mempelajari dan memperbaiki kemampuan dalam bidang teknologi dari negara

maju yang didukung oleh kebijakan pemerintah melalui Foreign Capital Inducement Act

1966 (Lee,2009).

Pada tahun 1961 juga, dalam segi pemerintahan Park Chung-hee memimpin kudeta militer

dan membentuk dasar intervensi negara yang bertujuan pada industrialisasi. Park memimpin

hingga terjadi pembunuhan tahun 1979, periode ini merupakan periode kunci di mana Korea

Selatan dipromosikan dari kelas ekonomi 'Dunia Ketiga'. Sepanjang periode itu, sampai

berbagai perubahan pada 1980-an dan 1990-an, negara merupakan mesin pertumbuhan

ekonomi dalam mengalokasikan sumber daya untuk investasi, terutama pada penetapan harga

dan modal investasi luar negeri (Amsden, 1989). Economic Planning Board (EPB) yang

merupakan badan perencanaan ekonomi negara diberi kekuasaan yang besar meskipun sistem

yang ada masih menggambarkan dirinya berdasarkan pasar bebas (Choi, 1987). Lima bulan

setelah kudeta, Park menasionalisasi sistem perbankan pemerintah dan pada tahun 1970 telah

menguasai 96,4% dari aset keuangan yang ada. Pengguasaan atas aset keuangan

menyebabkan EPB dapat lebih leluasa dalam perencana distribusi sumber daya untuk bidang

industri yang dianggap penting bagi pertumbuhan ekonomi (Woo, 1991).

Di periode 1960-an, industri baja di Korea Selatan mulai dikembangkan oleh pemerintah

melalui program rencana pembangunan lima tahunan periode kedua (Chun, 2010). Sebagai

bukti serius dari pemerintah kemudian dibentuk Korea International Steel Association

(KISA) pada tahun 1967 dan satu tahun kemudian disusul dengan pendirian Pohang Iron and

Steel Co., Ltd. (POSCO). Industri baja ini kemudian turut menyokong pertumbuhan dari

industri-industri lain di Korea Selatan seperti industri mobil dan pelayaran.

Industri lain yang menjadi sasaran program pemerintah Korea Selatan pada periode 1960-an

adalah industri pelayaran. Pada periode 1960-an, pemerintah melakukan sejumlah persiapan

dan rencana pengembangan industri ini yang kemudian membuat industri ini mulai berjalan

dengan dukungan dari pemerintah melalui kebijakan serta promosi bagi industri

pelayarannya. Industri ini semakin berkembang pesat seiring dengan masuknya perusahaan-

perusahaan swasta yang turut mengembangkan industri pelayaran Korea Selatan.

Pada awal 1970an, pemerintah Korea Selatan mulai meninggalkan manufaktur ringan menuju

manufaktur berat dan industri kimia. Perubahan menuju manufaktur berat dan industri kimia

dipengaruhi oleh faktor geopolitik. Pada masa itu Presiden Nixon menarik mundur divisi

Page 4: Korea selatan Emerging Economy defining moment.docx

tempur AS (sebesar 24 000 orang) dari tugas di Korea Selatan. Kemudian, Presiden Carter

menyatakan niatnya untuk menarik sisanya pada akhir decade. Pemilihan pada industri berat

dan Kimia sebagian besar berhubungan dengan pertahanan: baja dan petrokimia, logam,

elektronik dan pembuatan kapal (Bello & S Rosenfeld, 1992). Sebelumnya, bantuan AS

merupakan faktor penting bagi Korea Selatan. Bentuan AS kemudian menurun tajam pada

tahun 1960. Untuk mendanai industrialisasi yang pesat, pemerintah Park memberikan

penjaminan pembayaran Hukum Kredit pada bulan Juli 1962 yang mana pinjaman itu harus

disetujui terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan serta Gubernur Bank of Korea dan Bank

Rekontsruksi Korea. Akibatnya, aliran pinjaman luar negeri ke chaebol dipercepat dan

investasi naik hingga 36,6% pada awal 1970an (Chiu, 1992).

Lebih jauh dalam tulisannya ‘The state and the financing of industrialisation in East Asia’,

Chiu memberikan Contoh pada masa pemerintahan Park adalah bagaimana cara Foreign

Direct Investment secara khusus dibatasi dan diatur oleh negara. Basis kepemilikan industri

perekekonomian berada ditangan Korea Selatan. Sejak tahun 1966, sebagian besar FDI

terbatas pada sektor berorientasi ekspor dan industri berat, kimia serta batas kepemilikan

saham asing ditetapkan sebesar 50%. Pemerintah Park cenderung lebih terobsesi pada ekspor,

terkait dengan sistem militer, perusahaan besar diberikan target dan target ekspor dipandang

oleh perusahaan sebagai "perintah" atau "misi" (Song, 1994). Pada tahap pertama (1965-

1973) eksportir Korea Selatan diuntungkan oleh pasca-perang panjang di negara maju dan

dari perang Vietnam, yang keduanya menyediakan pangsa pasar. Terdapat keuntungan bagi

perusahaan swasta yang menunjukan prestasi baik, yaitu Antara 1961-1972 eksportir

mendapat pemotongan pajak 50% untuk pendapatan ekspor serta kemudahan kredit bagi

perusahaan besar (Bello & Rosenfeld, 1992).

Kemudian fase yang kedua pertengahan 1970an sampai pertengahan 1980an merupakan awal

dari fase catching up yang mulai diintensifkan (Lee,2009). Fase ini mempunyai karakterisitik

dengan aktifnya impor teknologi asing oleh perusahaan Korea Selatan yang mulai didominasi

para chaebol untuk kepentingan Imitative innovation (Kim, 1997 dalam Lee, 2009).pada

tahun 1980an, Korea Selatan juga mulai melakukan investasi terhadap perbaikan R&D

(research and development) untuk mengembangkan kemampuan teknologi Korea Selatan

sendiri sehingga tidak hanya mengadopsi dari teknologi lain, oleh karena itu kemudian Korea

Selatan mulai melakukan produksi dalam bidang elektronik (Lee,2009). Promosi ekspor 1973

bisa dipandang relatif mudah bagi pemerintah karena situasi eksternal yang kondusif, hal

Page 5: Korea selatan Emerging Economy defining moment.docx

yang berbeda terjadi pada sisa tahun 1970-an. Guncangan harga minyak dan resesi 1973-

1974 dan naiknya suku bunga pada akhir tahun 1970 menimbulkan masalah ekonomi bagi

Korea Selatan yang berbasis di ekspor dan pinjaman internasional (Amsden, 1989).

Dalam situasi yang lebih sulit, intervensi negara yang luas sangat penting untuk

mengakumulasi modal agar lebih cepat. Pada bulan Januari 1974, pemerintah dengan cepat

memperluas kredit dalam negeri, pinjaman keluar menjadi lebih besar dan menurunkan

kepemilikan cadangan devisanya. Hasilnya, pada saat sebagian besar negara-negara penghasil

non-minyak lainnya mengalami resesi yang serius, perekonomian Korea Selatan terus

mencatat pertumbuhan yang baik dengan tingkat pertumbuhan 7,7%-dari GNP pada tahun

1974, 6,9% pada tahun 1975 dan 14,4% pada 1976 (Amsden, 1989) . Bantuan Pemerintah

juga memberikan peran penting. Bantuan kepada perusahaan galangan kapal Hyundai Heavy

Industries (HHI) merupakan contoh penting. HHI mulai membangun kapal pertamanya di

bulan Maret 1973, tetapi mengalami kesulitan akibat pembatalan pesanan. Pemerintah,

sebagai satu-satunya pemilik kilang minyak di Korea Selatan merespons dengan meminta

semua pengiriman minyak mentah menggunakan kapal Korea Selatan yaitu dari Hyundai

Merchant Marine Company- yang kapalnya disediakan oleh HHI. Satu dekade kemudian

HHI menjadi perusahaan kapal terbesar di dunia (Amsden, 1989).

Dukungan untuk bisnis swasta sangat berbeda dengan negara berkembang lainnya atupun

dengan negara maju. Penghargaan diberikan bagi mereka yang menyesuaikan dan

menunjukan hasil baik dengan rencana negara, namun konsekuensi juga diberikan bagi

mereka yang tidak. Contoh tindakan pemerintah meliputi: produsen mobil Shinjin yang

asetnya milik pemerintah seperti bankir dipindahkan ke Daewoo Motors, Asia Motors yang

dibiarkan bangkrut, kelompok Taihan yang gagal pada divisi elektronik dipindahkan ke

Daewoo Electronics, dan konstruksi perusahaan Kyungnam dan Samho yang digabung

menjadi Daewoo dan diambil alih oleh Daelim Engineering (Amsden, 1989).

Hal ini kemudian menandakan fase ketiga catching up perekonomian Korea Selatan, yang

terjadi pada pertengahan 1980an dan 1990an yang disebut Keun Lee (2009) sebagai fase

rapid catch up. hal ini ditandai dengan mulai meningkatnya teknologi dan juga produk

teknologi yang dihasilkan Korea Selatan dan mulai dijual ke luar negeri terutama

Asia(Lee,2009). fase keempat adalah maturing of the cathing up, sekitar pertengahan 1990an

hingga sekarang. Ditandai dengan Korea Selatan telah memiliiki tingkat ekonomi yang tinggi

hingga masuk dalam salah satu negara OECD (Organization of Economic Cooperation and

Page 6: Korea selatan Emerging Economy defining moment.docx

Development) tahun 1997, dan bahkan perekonomiannya semakin meningkat paska krisis,

karena adanya restrukturisasi, liberalisasi pasar dan ekonomi yang terbuka (Lee,2009).

Lantas kemudian jika pada periode 1960-an catching up pertumbuhan ekonomi Korea

Selatan sudah terjadi mengapa titik pertumbuhan yang diambil adalah pada tahun 1998? Pada

pertumbuhan yang terjadi pada periode tahun 1960-an, terjadi sejumlah perubahan dalam

pemerintah Korea Selatan pada akhir periode 1980-an. Pada tahun 1987 hingga tahun 1992,

terjadi transisi demokrasi di Korea Selatan yang kemudian menjadikan pemerintah Korea

Selatan pada periode 1993-1998 yang dipimpin oleh Young-Sam Kim menjadi pemerintahan

pertama yang dipilih secara demokratis (Lee, 2009). Dalam periode kepemimpinan Kim ini,

peran chaebol di Korea Selatan meningkat. Hal tersebut kemudian membuat chaebol muncul

sebagai kekuatan baru di Korea Selatan yang berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah.

Namun pada akhir periode kepemimpinan Kim, terjadi krisis Asia yang turut berdampak pada

turunnya perekonomian Korea Selatan.

Pada tahun 1997, krisis yang melanda Korea Selatan pada awalnya ditandai dengan

menurunnya nilai tukar Won (Ito, 2007). Pada periode awal krisis, tercatat Korea Selatan

mengalami defisit sebesar 4% dengan pertumbuhan GDP yang telah menurun dari tahun

1994-1995 menjadi 6%. Hal tersebut kemudian disusul dengan kegagalan sejumlah institusi

finansial yang dikuasai oleh konglomerat Korea Selatan (chaebol). Kondisi krisis semakin

buruk hingga akhir tahun 1997. Hal tersebut kemudian memicu penolakan pinjaman terhadap

Korea Selatan dari institusi-institusi finansial. Banyaknya jumlah pinjaman jangka pendek

dari bank terhadap dana asing cadangan.

Pasca terpilihnya Kim Dae Jung sebagai presiden baru bagi Korea Selatan, sejumlah

perubahan dalam ekonomi Korea Selatan mulai terjadi. Pada awal terjadi krisis di Korea

Selatan, sejumlah institusi sulit untuk memberikan dana pinjaman bagi Korea Selatan dengan

dibayangi oleh sejumlah kekhawatiran seperti kekhawatiran mengenai kemampuan Korea

Selatan dalam mengembalikan dana tepat waktu dan isu-isu politik saat pemilihan presiden

yang menyebutkan bahwa Kim Dae Jung tidak terlalu berfokus pada urusan finansial (Ito,

2007). Namun hal tersebut kemudian runtuh dengan pemberian dana pinjaman dari IMF yang

digunakan untuk pemulihan kondisi krisis Korea Selatan. Kim Dae Jung ini kemudian

melakukan perubahan radikal dalam kebijakan ekonomi dengan mengadopsi neoliberal dan

memperkenalkan industri informasi dan industri informasi dan budaya.

Page 7: Korea selatan Emerging Economy defining moment.docx

Pada tahun 1998 Korea Selatan disebut mulai memasuki fase post-developmental state atau

market-driven state (Lee, 2009). Dalam fase ini, hubungan antara negara dan chebol

mengalami transisi menjadi satu hubungan yang mulai saling bergantung. Perubahan tersebut

dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari perubahan yang dilakukan pada periode

kepemimpinan Young-Sam Kim. Pada pemerintahan Kim, pemerintah Korea Selatan

memulai proyek KII (Korean Information Infrastucture). Proyek tersebut bertujuan untuk

mengubah perekonomian Korea Selatan berbasis pada pengetahuan (Lee, 2009). Proyek

tersebut dimulai pada tahun 1995 dan berakhir pada tahun 2005. Realisasi proyek ini pada

periode kepemimpinan Kim pada tahun 1995-1997 lebih mengrah pada pembentukan

jaringan dasar.

Fase kedua berlangsung pada tahun 1998-2000 pada pemerintahan Kim Dae Jong berfokus

pada penyelesaian jaringan yang dimulai pada fase sebelumnya (Lee, 2009). Pada

pemerintahan ini, diharapkan terjadi liberalisasi dan terciptanya masyarakat yang

berkompetisi dengan basis ilmu pengetahuan. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah

melanjutkan program KII dengan menjalankan Cyber Korea 21 yang diharapkan akan

berlanjut pada e-Korea Vision 2006. Tujuan utama dari program Cyber Korea 21 tersebut

adalah menciptakan lapangan kerja baru yang berbasis pada teknologi informasi. Sedangkan

tujuan dari e-Korea Vision 2006 adalah untuk meningkatkan infrastuktur teknologi informasi.

Melalui kebijakan yang dibuat, Kim Dae Jong berhasil mengubah pandangan mengenai

industri informasi dan budaya yang kemudian menjadi prioritas dalam perekonomian

nasional (Lee, 2009). Hal tersebut diwujudkan dengan melakukan pengembangan perangkat

lunak dan konten media. Keberadaan Cyber Korea 21 yang disebutkan sebelumnya kemudian

turut berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang berbasis pengetahuan, meningkatkan

persaingan nasional dan kualitas hidup masyarakat. Dengan implementasi tersebut, budaya

dan teknologi informasi kemudian semakin diyakini menjadi elemen penting dalam

meningkatkan dolar asing dan menciptakan lapangan pekerjaan baru.

Sejumlah alasan tersebut kemudian menjadikan alasan mengapa tahun 1998 dapat dikatakan

sebagai masa pertumbuhan ekonomi Korea Selatan. Pada masa tersebut, mulai tumbuh sektor

industri informasi teknologi dan budaya yang kemudian mampu mengatasi kondisi krisis.

Kerja sama antara pemerintah dengan chaebol sejak tahun 1998 turut mengubah pola

ekonomi Korea Selatan menjadi negara yang berbasis pada pasar. Keberadaan chaebol yang

Page 8: Korea selatan Emerging Economy defining moment.docx

menjadi kekuatan ekonomi pasca krisis tidak dapat dipisahkan pula dengan perbaikan

ekonomi Korea Selatan pasca Krisis 1997.

Selain terdapat peningkatan ekonomi setelah restrukturisasi paska krisis, ekonomi Korea

Selatan juga diikuti dengan adanya reevaluasi oleh pemerintah pada saat itu, mengenai

tingkat vulnerability dan keuntungan dari sistem ekonomi yang manufaktur terhadap krisis,

sehingga pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk juga mengembangkan sektor

industrinya melalu high value added culture industry (Yang, 2012). Perubahan pemikiran ini

disikapi pemerintah Korea Selatan dengan memberntuk Culture Industry Bureau dalam

kementrian budaya dan pariwisatanya pada tahun 1994 juga dengan adanya Motion Pictures

Promotion Law tahun 1995, yang akhirnya mebuat para Chaebol tertarik untuk berinvestasi

dalam industri budaya (Yang, 2012). Paska krisis 1997 juga menyebabkan sistem ekonomi

Korea Selatan menjadi lebih terbuka karena diadopsinya sistem Neoliberal, yang juga turut

merubah kebijakan ekonomi dari pemerintah. Adanya dorongan restrukturisasi, liberalisasi

dari badan badan internasionals seperti IMF dan World Bank dengan kondisi pasar dunia

yang semakin terbuka, membuat industri budaya (culture industry) yang di rancang oleh

pemerintah Korea Selatan, turut serta memberikan dorongan atas meningkatnya penyebaran

dari produk budaya Korea di dunia yang disebut dengan Korean wave atau Hallyu (Yang,

2012).

Hallyu atau Korean Wave merupakan terminologi yang dikemukakan oleh jurnalis di China

pada tahun 1997an atas pesatnya penyebaran produk budaya Korea Selatan seperti drama

televisi, musik pop (K-pop) dan juga Movies yang mulai banyak ditemukan di Asia Timur

pada saat itu (Yang, 2012). Hallyu ini ikut meningkatkan ekonomi Korea Selatan melalui

peningkatan turisme ke Korea Selatan, peningkatan permintaan dan penjualan produk-produk

yang berhubungan dengan Hallyu. Hallyu ini menurut Shim (2006) dan Kim (2009 dalam

Yang, 2012) merupakan bentuk dari industri budaya Korea yang mengambil kesempatan atas

adanya perubahan situasi dalam pasar dunia. Dikatakan juga sebagai versi Korea dari

American commercial culture yang merupakan perpanjangan dari industri ekspor Korea

(Cho-han, 2003 dalam Yang, 2012). Sehingga bisa dikatakan adanya peningkatan ekonomi

dari sektor industri budaya saat itu didukung tidak hanya oleh keadaan internasional paska

krisis, intervensi restrukturisasi dari IMF, dan diadopsinya neoliberal tetapi juga merupakan

akibat dari perubahan orientasi ekonomi dan sistem ekonomi domestik oleh Pemerintah

Korea Selatan.

Page 9: Korea selatan Emerging Economy defining moment.docx

Akan tetapi kemudian faktor kondisi yang telah disebutkan sebelumnya belum bisa secara

efektif menjelaskan mengapa peningkatan ekonomi dan produk budaya Korea Selatan terjadi

secara pesat, dan hanya dialami oleh Korea Selatan saja bukan negara yang lain. Hal ini

kemudian membuat beberapa ilmuwan melihat dari aspek budaya yang tersebar itu sendiri.

Pada awal 1997an Hallyu banyak tersebar di negara-negara Asia Timur seperti China, Jepang

dan Taiwan, hal ini dikatakan oleh Hong-xi Han (2005 dalam Yang, 2012) dan Yang (2012)

dapat dijelaskan karena aspek budaya yang tersebar mempunyai kesamaan elemen yaitu

elemen nilai tradisional dan nilai konfusius, terutama dalam produk Film dan Drama Korea.

Dimana penerimaan atas produk suatu budaya akan lebih mudah masuk jika negara yang

dituju mempunyai budaya yang hampir sama dibandingkan dengan negara yang budayanya

cukup berbeda (Yang, 2012). Dalam hal ini produk budaya Korea Selatan hampir

mempunyai kandungan etika Konfusius, nilai tradisional Asia Timur seperti menjunjung

tinggi kekeluargaan, berbasis kelompok, harmoni, moralitas yang kuat ditambah lagi ciri-ciri

rasial dan fisik yang sama akan menimbulkan sense of Asianness (Yun, 2009; Kim, 2007

dalam Yang, 2012). Selain itu, faktor lain yang membuat Hallyu ini terus menyebar ke

seluruh dunia, tidak lagi hanya di Asia Timur, tetapi juga ke negara-negara Asia lain seperti

Indonesia, Malaysia, Thailand walaupun mereka memliki nilai tradisional dan ciri fisik yang

berbeda adalah keunikan dari Hallyu yang merupakan budaya campuran antara budaya Barat

dan Asia, yang kemudian menyediakan alternatif bagi budaya barat yang dianggap modern

akan tetapi dengan tidak melepaskan budaya Asia-nya (Gim, 2007; Hong-Xi Han, 2005

dalam Yang, 2012).

Terbukanya Korea Selatan atas pengaruh dari budaya dunia luar yang kemudian

mempengaruhi percampuran produk budayanya tercermin dari terus meningkatnya jumlah

impor Movies dari Amerika Serikat dan negara lain, yang terus meningkat diiringi dengan

peningkatan Impor Korea Sendiri dari tahun 1999 sampai 2011 (KOFIC, 2011dalam Shim,

2008). Shim (2008) juga mengatakan bahwa ekspor film Korea Selatan mengalami

peningkatan sebanayak 525% dari tahun 1997 ke 1998 sebanyak 492,000 menjadi 3,073,750.

Di Jepang sendiri sebagai salah satu negara yang mengekspor film Korea, menunjukkan

bahwa Korea Selatan mempunyai market share atas film di Jepang, yang terus meningkat

dari tahun ke tahun, dari 3.8% di tahun 2000 hingga mencapai 10% pada 2004. Hallyu saat

ini juga sudah menyebar ke benua lain selain Asia, seperti Eropa, Amerika Serikat, Amerika

Utara dan beberapa negara di Afrika (Li, 2005 dalam Shim, 2008). Hal ini diperkuat dengan

data total ekspor dan impor program Televisi Korea ke seluruh dunia yang dilansir oleh

Page 10: Korea selatan Emerging Economy defining moment.docx

kementrian budaya dan pariwisata, dimana terjadi peningkatan besar-besaran dari tingkat

ekspornya dari US$5.5 juta tahun 1995 menjadi US$71,4 juta pada 2004 (Park, 2005 dalam

Shim, 2008).

Selain itu juga, adanya fenomena masuknya K-pop ke daftar lagu internasional bahkan dalam

website musik Billboard.com milik Amerika Serikat,pada tahun 2011 meluncurkan kolom

resmi bagi tangga lagu khusus K-pop (billboard.com, 2011). Belum lagi fenomena Youtube

Psy- Gangnam Style yang mencapai angka 1.5 Milliar viewers, menembus tangga lagu

internasional dan American billboard charts, dan record deal dengan Universal Public

records Amerika yang kemudian disebut oleh Kevin Chen et.all (2013) sebagai simbol

kesuksesan penyebaran Hallyu. Akan tetapi sebenarnya menurut Kevin Chen et.all (2013)

penghasilan yang didapat dari sektor ekspor showbiz (musik, Film, Broadcasting)

mempunyai sumbangan terhadap ekonomi nasional secara langsung tidak besar, hanya 0,1%

dari total ekspor barang dan Jasa walaupun Showbiz ekspornya telah mencapai $400 juta pada

2011 (Chen,2013). Hal ini bukan berarti hal tersebut menjadi tidak signifikan mempengaruhi

pertumbuhan ekonominya. Adanya Hallyu mempunyai spillover effect terhadap

perekonomian, dimana misalnya para Chaebol menjadi diuntungkan karena memberikan

sponsor terhadap Drama Korea, misalnya LG Debon yang berhasil meluaskan pasarnya ke

Vietnam karena ikut sebagai sponsor dalam salah satu pembuatan film (Chen, 2013).

Jika dihubungkan dengan penjelasan sebelumnya , maka momentum dari meningkatnya

produk budaya Korea Selatan atau dicerminkan melalui Hallyu, terjadi dan semakin

meningkat paska Krisis Asia 1997. Selain karena pada saat itu pengaruh ideologi dan kontrol

budaya dari Uni Soviet beserta komunismenya sudah hilang paska perang dingin, sehingga

menyebabkan neoliberalisme menjadi satu-satunya ideologi yang dainggap

mendominasi(Yang, 2012). Neoliberalisme selain menyebabkan perubahan dalam sistem

ekonomi, pasar yang lebih terbuka, juga merubah budaya Korea Selatan yang sebelumnya

tertutup menjadi lebih terbuka terhadap pengaruh-pengaruh modernisasi barat, sehingga

menyebabkan adanya Hybrid dalam budayanya (Yang, 2012). Ditambah lagi, dilihat dari segi

globalisasi budaya yaitu meningkatnya atau munculnya budaya global, munculnya budaya

populer barat, dominasi industri budaya multinasional dan meningkatnya pertukaran dan

interaksi budaya lintas negara (Held et al., 1999 dalam Yang, 2012). Adanya globalisasi

budaya disebutkan akan menyebabkan imperialisme budaya yang akan memunculkan tiga hal

yaitu keseragaman budaya, penemuan kembali budaya asli serta adanya budaya campuran

Page 11: Korea selatan Emerging Economy defining moment.docx

atau hybrid seperti yang terjadi di Korea Selatan (Appadurai, 1990; Pieterse 1995 dalam

Yang, 2012).

Sehingga bisa dikatakan momentum dari menyebarnya Hallyu ini dapat terjadi karena adanya

kontak dengan budaya lain yang dibarengi dengan adanya globalisasi budaya, yang terjadi

ketika Korea Selatan mulai terbuka terhadap budaya luar sekitar tahun 1992-1997. Sehingga

bisa disimpulkan bahwa peningkatan ekonomi Korea Selatan dan kemudian munculnya

Hallyu yang menjadi economic booster tampak jelas ketika krisis Asia 1997 berakhir. Hal ini

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu diadopsinya nilai Neoliberalisme paska perang dingin,

liberalisasi, keterbukaan dan restrukturisasi paska krisis yang didorong oleh IMF, perubahan

orientasi industri dan kebijakan ekonomi pemerintah Korea Selatan, serta masuknya

modernisasi dan nilai budaya barat.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan diatas adalah bisa dikatakan bahwa proses

dari pertumbuhan ekonomi Korea Selatan telah dipersiapkan dan dimulai sejak tahun 1960an

dan merupakan pertumbuhan ekonomi yang bersifat catching up dengan perekonomian

negara yang sudah maju. Terdapat beberapa fase yang mencerminkan perubahan yang

gradual dari proses tersebut dari tahun ketahun, yang kemudian mencapai titik keemasan

pada fase keempat atau pada tahun 1990an paska krisis Asia. Penulis mengambil tahun 1998

sebagai timing yang paling mencerminkan hasil dari perkembangan ekonomi Korea Selatan,

karena selain mencerminkan adanya peningkatan dalam bidang ekonomi,hasil produk budaya

Korea Selatan juga kemudian menjadi suatu aspek dan komoditas baru yang menjadi booster

ekonomi dimana pada fase sebelumnya belum terlalu menonjol.

Referensi:

Amsden, A, 1989. Asia’s Next Giant: South Korea and Late Industrial ization , New York:

Oxford University Press.

Bello & S Rosenfeld, 1992. Dragons in Distress: Asia’s Miracle Economies in Crisis,

London: Penguin.

Chun, Seung-Hun,2010. Strategy for Industrial Development and Growth of Major

Industries in Korea, [pdf] tersedia dalam diakses pada 8 Oktober 2013.

Page 12: Korea selatan Emerging Economy defining moment.docx

Chiu, S, 1992. ‘The state and the financing of industrialisation in East Asia: historical

origins of comparative divergences’ , PhD thesis, Princeton University, pp 86–87.

Choi, BS, 1989. ‘The structure of economic policy-making institutions in Korea and the

strategic role of the Eeconomic Planning Board (EPB)’, The Korean Journal of

Policy Studies, 2.

Cowen, Tyler et.all, 2012. “Modern priciples of MacroeconomiesS: Growth, Capital

Accumulation and the Economics of Ideas: Catching Up vs. the Cutting Edge”. Worth

Publishers.

Ito, Takatoshi, 2007. Asian Currency Crisis and the International Monetary Fund, 10 Years

Later: Overview, dalam Asian Economic Policy Review (2007) 2, pp.16–49.

Lee, Keun.2009. “How Can Korea be a Role Model for Catch-up Development?”. UNU

WIDER Research Paper No.2009/34.

Lee, Kwang-Suk,2009. A final flowering of the developmental state : the IT policy

experiment of the Korean information infrastructure, 1995-2005, dalam The

government information quarterly 26(4), 2009, pp.567-576.

Yang, Jonghoe, 2012. “The Korean Wave [Hallyu] in East Asia: A comparison of Chinese,

Japanese, and Taiwanese Audiences Who Watch Korean TV Dramas”. Development

and Society Journals. Vol. 41. No.1. June 2012. 103-147

Kim, Eun Mee & Jiwon Ryoo. 2007. “South Korean Culture Goes Global: K-pop and the

Korean Wave”.Korean Social Science Journal. No (1) 2007. 117- 152

Chen, Kevin et al., 2013. “Korean Showbiz Cluster”. Microeconomics competitiveness:

Harvard Business School

Shim, Doobo. 2008. “The Growth of Korean Cultura; Industries and the Korean Wave”. East

Asian Pop Culture. Hongkong University Press.

Page 13: Korea selatan Emerging Economy defining moment.docx

Song, BN, 1994. The Rise of the Korean Economy, Oxford: Oxford University Press.

Sung, YK, 1986. ‘The economic development of the Republic of Korea, 1965–1981’, in L Lau

1990, (ed), Models development in South Korea’, in White, Developmental States in

East Asia, San Francisco, CA: ICS Press.

World Bank, t.t.,GDP (Current US$), [online] tersedia dalam

http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?page=3 diakses pada 8

Oktober 2013.

World Bank, t.t.,GDP (Current US$), [online] tersedia dalam

http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?page=2 diakses pada 8

Oktober 2013.

Woo, JE, 1991. Race to the Swift: State and Finance in Korean Industrialization , New York:

Columbia University Press.