blora selayang pandang.docx
TRANSCRIPT
HARTA KARUN BLORA, ALUN-ALUN, HUTAN JATI,
MINYAK BUMI DAN AKAR GEMBOL
Catatan studio MPWK UNDIP 2011-2012
Kesan pertama sedikit rame dibanding Jepara. Namun saat pagi ini menuju ke pasar untuk melihat geliat
aktifitas ekonomi mikronya terasa Jepara memang sedikit lebih dinamis, lebih konsumtif, terlihat relatif
sepinya para pengunjung. Memang kota ini sangat unik, ditengah himpitan belantara jati dan isu-isu
trend migas selama ini, Blora memang tetap harus bergerak.
Pagi ini sengaja bangun agak pagi,
mencoba melihat ke jalan pemuda, jalan
protokol yang notabene menjadi sumbu
yang mengarah langsung ke alun-alun
blora. Saya malah sangat tertarik dengan
bangunan bekas stasiun kereta api Blora
yang dengan sentuhan adaptive re-use
bisa dimanfaatkan untuk wadah aktifitas
barang dan jasa. Sebuah keberhasilan
tersendiri dari Pemerintah Kabupaten
sendiri tentunya.
Stasiun KA Yang Disulap Menjadi PertokoanSUMBER : http://farm5.staticflickr.com/4127/5203614456_c719412659_z.jpg
Oh ya, sedikit tentang alun-alun, sangat disayangkan penataan yang ada. Alun-alun yang mestinya
menurut saya dari sejarahnya sebagai tempat berkumpulnya rakyat sebelum menghadap ngarso dalem
pimpinan, saat ini sangat jauh memberikan ruang gerak pada masyarakat di dalamnya. Bagaimana tidak,
ruang gerak pedestrian di ring terluar habis untuk para PKL dengan segala jenis jajan dan makanan serta
wahana bermain anak-anak. Padahal sedikit ke arah selatan sudah tersedia pusat kuliner yang juga
menawarkan komoditas sejenis.
Hal ini bedalah dengan Jepara, yang membersihkan alun-alun dari aktifitas PKL, sehinggga kewibawaan
alun-alun sebagai halaman pendopo masih terjaga dengan kuat. Menarik mestinya untuk diteliti lebih
lanjut apakah gerak ekonomi mikro seperti ini sebetulnya yang diingini masyarakat. Pada kenyataanya,
mereka yang konsisten menjaga alun-alun mereka sebagai lapangan terbuka, aktifitas terbuka
masyarakat, dan sekaligus sebagai pusat kegiatan seremonial pemerintahan, lebih tertata wajah
kotanya. Masih tidak bisa membayangkan bagaimana Blora menggelar acara-acara seremonial
pemerintahan dan warga. Yang jelas siang hari mereka pun akan sulit melaksanakannya, karena dibagian
selatan malah ditanam vegetasi penduh dan palem-palem yang ditata cukup rapat. Pohon beringin besar
tepat di pusat alun-alun memang masih ada, namun sumbu yang mestinya tercipta akan semakin hilang,
seiring dengan semakin tingginya vegetasi yang ada. Kesan alun-alun yang sakral semakin hilang saat
aktifitas malam semakin bergerak. Ruang parkir tidak tersedia, kalo mau dikatakan semrawut juga tidak
mungkin, karena alun-alun mestinya adalah wajah kota yang utama. Apa mau mengatakan Blora
orangnya semrawut juga. Tentu tidak adil.
Sumbu yang tercipta memang agak unik, di sebelah utara, sebagaimana kebanyakan kota-kota yang
berada di bagian utara jawa terdapat pendopo sebagai pusta pemerintahan, sedangkan sebelah selatan
merupakan pusat perdagangan dan pasar. Yang unik masjid agung terletak di sebelah barat alun-alun,
mirip seperti konsep pada alun-alun Kebumen. Sumbu barat-timur ini langsung lurus dari masjid agung,
alun-alun serta koridor jalan Pemuda. Konsep pusat kota Jepara masjid berada di sebelah selatan,
sedangkan penjara di sebelah utara, pendopo di sebelah timur dan pasar berada di sebelah barat. Hal ini
jelas terlihat konsep mancapat, dengan sumbu gunung muria-pendopo-alun-alun-pasar sebagai hierarki
penataan. Jika kembali ke blora, konsep ini juga bisa dikatakan sama, jika melihat jajaran pegunungan
kendeng utara yang berada di bagian utara pendopo, kemudian alun-alun dan pasar hampir mirip.
Namun yang membedakannya adalah peletakan masjid agung yang berada di sebelah barat alun-alun.
Jika dibandingkan dengan kebumen, masjid memang ada di bagian barat, namun tidak berada dalam
sumbu garis lurus, karena bukaan alun-alun berada di sepanjang sudut yang ada.
Menarik juga adalah luasan alun-alun, berbeda-beda pada ketiganya, luas alun-alun Blora relative paling
kecil, sedangkan alun-alun di Kebumen hampir empat kali luas alun-alun di Blora. Luas alun-alun ini
memang semestinya tidak mengalami perkembangan yang berarti, apakah semakin mengicil ataupun
membesar, namun jika dari logika yang ada mestinya sebagai halaman muka sebuah pusat
pemerintahan akan sulit untuk dikurangi luasannya. Apakah seorang pimpinan dari jaman dulu sampai
sekarang rela, halamannya dikurangi luasannya. Kok agak sulit terjadi.
Yang jelas ada sesuatu yang menarik juga di sini tentang luasan alun-alun yang ada, apakah semakin
besar rakyatnya yang diundang membuat pemerintahan waktu itu membuat tempat yang besar berupa
alun-alun untuk menampung warganya, apakah hanya untuk menambah kesan kewibawaan, apakah
faktor-faktor geografiskah?
Kembali ke konsep sumbu alun-alun Blora. Sumbu timur-barat sedikit menimbulkan pertanyaan, dari
sejarah kota maupun saat diubah oleh pemerintahan colonial jika ada, tentunya mengandung maksud-
maksud tersirat. Sebelah timur merupakan akses langsung menuju ke hutan jati, kota pelabuhan Tuban
dan Surabaya, lalu dimanakah penjara berada? Dimanakah pos-pos Kolonial berada. Sudah tidak bisa
dipungkiri, Belanda di beberapa tempat membangun tempat operasional dan bermukimnya berada di
sumbu pendopo (pemerintahan) - alun-alun – pasar (rakyat). Biasanya mereka meletakkan benteng atau
loji dagangnya ditempat-tempat strategis diantara sumbu tersebut. Harapannya akan memecah
kesatuan konsep hierarkis yang ada, sekaligus melakukan coverage area terhadap perlawanan rakyat
yang mungkin terjadi. Dengan strategi seperti itu legitimasi pemerintahan akan bisa mereka control
setiap saat.
Jika konsep itu juga diberlakukan di Blora, mestinya banyak bangunan colonial yang ada di sebelah
selatan alun-alun Blora. Namun dari kasat mata yang terlihat ternyata tidak ada bekas-bekas
peninggalan colonial di sana. Hal inilah yang agak menimbulkan pertanyaan, lalu mereka membuatnya di
mana dengan tujuan apa?
Saya nampaknya harus membaca banyak tentang sejarah kota Blora, terutama tentang perilaku kolonial
di dalam penataan ruang yang ada. Saya masih memiliki kecurigaan besar terhadap keberadan potensi
alam terutama migas yang tersembunyi di balik hutan jati yang ada, apakah hutan jati tersebut sudah
ada sebelum ada pemerintahan dan masyarakat blora, mengingat secara geologis dan geografis
merupakan tanah berkapur, apakah kebijakan pemerintahan lokal yang menganjurkan rakyatnya untuk
menanam jati, ataukah ada andil kolonial untuk sengaja menanami dengan pohon tahunan untuk
menyembunyikan kandungan yang ada di dalamnya. Perlu diingat juga, sumur-sumur minyak sudah
banyak dioperasikan oleh Belanda juga waktu itu, mestinya mereka juga tahu jika ada kandungan
minyak di dalamnya.
Saya mencurigainya sebagai hal yang positif, di Jepara sudah banyak yang mengelola tambang feltspar
yang berada di bawah tanah milik Perhutani, sebuah BUMN yang notabene mestinya hanya mengelola
secara ekonomis dan menjaga kelestarian vegetasi yang ada di dalamnya. Secara administrative berada
di dalam wilayah sebuah administrative pemerintahan. Jika pengelolaan yang berada di dalam tanah
berupa hasil tambang, secara logika berfikir saya apakah adil jika hanya mendapatkan kontribusi berupa
retribusi galian C. Informasi tidak resmi, pemetaan terhadap potensi-potensi di bawah tanah ini sudah
ada dan tersimpan rapat oleh negara. Boleh jadi kecurigan saya sedikit memperoleh gambaran jika
dihubungkan dengan campur tangan kolonial waktu itu untuk sementara waktu menyembunyikan asset-
aset tersebut di dalam sebuah tatanan birokratif dengan dibalut isu-isu tentang pelestarian hutan.
Namun belakangan saya agak terkaget juga saat melihat kutipan berikut ini :
“…ada perbedaan mencolok yang bisa kita amati dari pengembang koloni Spanyol dan
pendudukan Belanda di negeri-negeri tropis. Sudah sejak awal abad 19, kekayaan mineral
dari negara-negara di bawah jajahan Spanyol. Tetapi, hingga 1850, sangat sedikit catatan
tentang kehadiran deposit mineral di Hindi Belanda. Ini antara lain bisa dijelaskan dengan
adanya perbedaan karakter yang amat berlainan dari kedua kaum penjajah itu. Para
conquistadores jelas bertujuan untuk mencari emas. Emas adalah hal yang pertama
mereka cari sebegitu mereka mendarat di tanah asing. Sedangkan orang-orang Belanda
memegang teguh pekerjaan tradisional mereka, yaitu berdagang. Mereka hanya bertujuan
untuk membeli dari penduduk setempat semua mata dagangan yang dibutuhkan di pasar
Eropa. Untuk mereka, tak ada insentif untuk melakukan prospecting secara aktif.”..( A.L.
ter Braake, Mining in the Netherlands East Indies,1944 dalam bukunya Bondan Winarno, Bre-X
Sebungkah Emas Di Kaki Pelangi, hal 4)
Ternyata VOC hanya berdagang, focus mencari rempah-rempah,
tidak mencari bahan tambang. Hal ini memang bisa sedikit dinalar,
karena sedikit banyak yang bisa dicari bukti keberhasilan mereka
dalam dunia pertambangan. Hanya dua tambang saja –
Rejanglebong dan Simau, keduanya di Bengkulu – yang terbukti
menguntungkan bagi kumpeni. Ketidakmampuan mereka
mengoptimalkan 350 tahun penjajahan menguras hasil alam
mungkin terbentur teknologi dan keahlian. Bisa jadi VOC tidak
memiliki bargaining position yang kuat di mata kerajaannya untuk
bisa memastikan bahwa di Indonesia sebetulnya kaya raya.
Kesalahan terbesar yang mungkin di sesali seumur hidup
Belanda,mungkin tambah membuat sesak dada mereka. Salah satu geolog mereka Jean-Jacques Dozy,
dalam ekspedisi Colijn (56 hari) di Ngga Pulu, yang merupakan puncak tertinggi di Papua (4906 dpl),
merupakan puncak tertinggi antara Himalaya dan Andes (setiap tahun mengalami penurunan) sebuah
ekspedisi yang awalnya bukan ekspedisi geologi, namun dalam menelusuri jejak rekam puncak es di
papua yang dilihat pelaut-pelaut dari Belanda. Dozy yang notabene seorang geolog melihat bukit hitam
setinggi 75 meter (3500 dpl) yang diyakininya sebagai sumber tembaga. Hal itu tercatat dalam
laporannya (1939) yang menulis betapa besarnya potensi yang mungkin terkandung di dalamnya, dan
betapa sulit medan yang harus ditempuhnya.
Baru kemudian Forbes Wilson, seorang geolog Freeport Sulphur (Louisiana, Amerika Serikat)
menemukan laporannya yang tertimbun debu di perpustakan Leiden. Bak menemukan sebuah harta
karun, ekspedisi pun di mulai tahun 1960 (17 hari), harta karun yang ada ternyata tidak hanya 75 meter,
namun 175 m dengan kedalaman kandungan diperkirakan 360 m. Hebatnya lagi tidak hanya tembaga,
namun kaya akan emas bermutu tinggi. Mulailah babak baru neokompenisme ala paklik sam dimulai.
Sebagai PMA pertama, pada masa Orde Baru memulai kontrak karya hingga saat ini.
Kembali ke Blora, saat ini juga masih bisa dilihat sisa-sisa eksplorasi migas nanggung yang dilakukan oleh
kumpeni. Mereka meninggalkan embrio-embrio sumur minyak tersebut, yang kemudiaan saat ini
dilanjutkan secara tradisional oleh mereka di pedesaan di tengah hutan. Benarkah Blora adalah Ngga
Pulu kedua yang merupakan harta karun ditengah lebatnya hutan jati. Alangkah malangnya Blora jika hal
tersebut terulang kembali. Saat ini yang saya tangkap Isu yang dikembangkan adalah Dana Perimbangan,
Recovery Cost dan hal-hal lain yang sangat membutuhkan tenaga dan bargaining yang panjang dan
melelahkan tentunya untuk mendapatkannya. Saya tidak begitu tahu persis hitung-hitungan dana
perimbangan yang diterima. Isu yang berkembang masih sebatas pada njomplangnya dana serupa yang
diterima oleh Bojonegoro. Tapi apakah itu masalah utamanya? Berapa PAD Blora sesungguhnya?
Sebagai sebuah sistem birokratif dengan pendanaan yang besar dan dituntut harus memiliki trend
kenaikan, baik berupa pembangunan fisik dan non fisik, dana yang diputar memang harus besar. Apalagi
kalau mengikuti trend, bisa-bisa semakin tinggilah ketergantungan mereka mengejar dana perimbangan.
Mbok yo sudahlah biarkan dana perimbangan itu dianggap sebagai harta karun, karena melibatkan
beberapa pelaku yang memiliki konsep tarik ulur yang mungkin selamanya akan mendapatkan
pembenaran di mata hukum. Paling tidak Perhutani atau Pertamina atau BUMN jenis apapun yang
terlibat di dalam konflik wilayah administrative mampu memberikan kontribusi positif pada induk
semang lokasi administrative terdekat.
Kabupaten Blora memiliki hutan yang luas dan produktif. Hutan di Kabupaten Blora terdiri dari
beberapa bagian yaitu hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan rakyat dan hutan Jati. Total luas
hutan di Kabupaten blora adalah 96.106,34 ha (sumber lain menyebutkan ± 90.416,52 Ha atau 49,1%
dari luas wilayah Kabupaten Blora – Perda Nomor 2 Tahun 2011), yang terdiri dari 68.272,36 ha hutan
produksi, 4.378,70 ha hutan produksi terbatas, 16.625,28 ha hutan rakyat, dan 6,830 ha hutan jati.
Kabupaten Blora tidak memiliki hutan lindung dan ataupun hutan suaka. Semua wilayah hutan
termanfaatkan untuk hutan produksi.
Baiklah, mungkin Perhutani dengan luasan hampir separo lebih pada wilayah administrative
Blora dengan konsep LMDH dan dana bagi hasil 25 % hasil tebangan, apakah mekanisme pemberian
dana bagi hasil tersebut sudah bisa diraskakan saat ini oleh masyarakat sekitar hutan. Lembaga
Masyarakat Desa Hutan merupakan wadah binaan Perhutani dengan konsep social forestry-nya
berusaha melibatkan secara langsung masyarakat di desa petak-petak terdekat perhutani di dalam
menjadi kelestarian hutan. Mereka dilibatkan langsung mulai dari proses pembenihan, pembibitan,
penanaman, penjagaan, hingga penebangan dan setiap tahunnya mereka mendapatkan bagi hasil
sebesar 25 % dari petak yang habis mereka panen. Sebagai sebuah proses sustainablying, konsep ini
berhasil dengan baik, tingkat pencurian diharapkan menurun karena adanya sense of belonging yang
cukup tinggi dari warga sekitar untuk menjaga hutannya dengan imbalan seperempat pemasukan
perhutani. Namun sense of belonging ini kemudian tidak berwujud apapun di dalam perbaikan sosial
ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Dulu pernah ada wacana mengganti konsep PHBM yang memberikan kontribusi 25% bagi hasil dengan
konsep “Management Regime” (MR) yang memberikan 40% bagi hasil kepada masyarakat sebagai
upaya Perhutani dalam menggandeng masyarakat setelah konflik berkepanjangan saat penjarahan
missal hutan Tahun 1998. Konsep MR ini kemudian malah hilang dengan sendirinya seiring dengan
dinamika konflik yang cukup berkepanjangan, (Silakan baca Konflik di http://bagas
askara.wordpress.com/2011/08/10/konflik-tiada-henti-studi-analisis-konflik-dalam-pengelolaan-hutan-
di-randublatung-blora-jawa-tengah/).
Data terakhir BPS 2011 Kabupaten Blora KPH Randublatung memiliki produksi kayu bundar
36.073,088 m3, KPH Cepu 45.252,04 m3 dan KPH Blora 5.643,939 m3. Jika ditotal jendral jumlah
produksi kayu bundar adalah 86.971.07 m3. Harga Kayu Jati pada lelang PERHUTANI terakhir (Februari
2010) untuk Jati kualitas medium adalah Rp.2,7juta/m3. Maka Jika dinominalkan kurang lebihnya Rp.
234,821,880,900.00 Jika konsep PHBM dimaksimalkan dijalankan maka potensi keuangan yang dimiliki
oleh LMDH se Blora adalah Rp. 58,705,470,225.00, hampir 60 milyar rupiah pertahunnya. Padahal jika
konsep MR dijalankan bisa tembus di angka 94 milyar di tahun 2010 kemaren.
Harga lelang Kayu Perhutani adalah paling murah, bisa dibandingkan dengan harga kayu jati gergajian di
Amerika Serikat $2,125 (Rp. 19.125.000) per meter kubik, sedangkan harga kayu jati gergajian kualitas 1
di Inggris Rp37.440.000 s/d Rp43.236.000 per meter kubik. (laporan International Tropical Timber
Organization/ ITTO - Februari 2008). Bisa dibayangkan potensi yang tersembunyi. Luar biasa sekali!!!
Namun yang sedikit menjadi pemikiran saya adalah Limbah eksploitasi/pemanenan hutan yang
merupakan bagian pohon yang sebenarnya dapat dimanfaatkan tetapi karena berbagai sebab terpaksa
ditinggalkan di hutan, dapat berupa kayu bulat yang merupakan bagian dari batang komersial, potongan
pendek, tunggak, cabang dan ranting. Besaran Limbah ini bisa mencapai 39,53% dari seluruh kayu yang
di eksploitasi. (CA Pramithasari – 2011, repository.ipb.ac.id). Dan potensi itupun belum termanfaatkan
secara maksimal
Saya sempat terhenyak dengan beberapa pengrajin akar jati, (maaf karena jobdesk saya
memang harus mewawancarai mereka) yang mengungkapkan keluh kesah mereka di dalam industry
yang mereka geluti. Semua yang saya temui ternyata buta teknologi. Pangsa pasar mereka, dengan
eksotisme ukiran akar berujud macam-macam fauna maupun patung-patung ekspresif layaknya
dikonsumsi oleh mereka yang tidak memiliki pohon jati di lingkungannya. Mereka sadar kalau karya
mereka dihargai sangat murah di sini. Mereka tahu itu, dan untuk membuat agar dapur terus mengepul
harga bisa dibanting sangat murahnya. Berapakah nilai sebuah karya seni untuk mereka. Tiga ratus
sampai dua juta rupiah rata-rata. Padahal mereka tahu di Luar Negeri harganya bisa dua puluh kali lipat.
Mereka banyak memasarkannya dengan membuka outlet-outlet di pinggir jalan mencoba menawarkan
kerajinannya dengan harapan akan dilirik oleh mereka yang melewati jalur Blora-Cepu. Padahal kalau
mau jujur, jika datang ke Blora pasti sudah tergambar kondisi lubang jalannya. Jika ada jalur lain pastilah
Blora menjadi alternative terakhir untuk disinggahi. Tidakkah mereka berfikir ke arah yang lebih smart di
dalam memasarkannya karyanya. Memakai teknologi internet misalnya. Hmmmm…Teknologi dan
globalisasi yang sangat cepat ternyata masih adem ayem di sini. Inilah menurut saya, benturan konsep
social forestry dengan konsep industry pemanfaatan hutan. Saya tidak tahu betul arah agro forestry
yang terdapat dalam Visi Misi Kabupaten Blora, apakah mereka sudah memikirkan industri hasil hutan
sebagai salah satu wujud nyata dari agro forestry. Apakah selamanya konsep social forestry tidak bisa
bersanding dengan pengembang industri hasil hutan. Phobia terhadap ekspansi industri yang bisa
menggeser kelestarian sebuah hutan mungkin menjadi alasan yang utama.
Saya kemudian larut dalam diskusi bersama mereka, saya hanya katakan :”panjenengan sebetulnya
memiliki potensi yang tidak main-main. Separuh luas kabupaten Blora adalah hutan jati, Bisa dihitung
secara kasar setiap jarak tanam 7 x 7 m pohon jati, berapa banyak akar jati yang dapat jenengan ambil
sebagai media ekspresi seni. Banyak sekali bukan. Bukankah akar jati itu limbah bagi Perhutani,
meskipun boleh diambil satu tahun berikutnya (lacak balak), tentunya tidak ada alasan bagi Perhutani
untuk tidak mengijinkan panjenengan mengambil akar tersebut. Mereka mestinya berterima kasih
karena panjenengan ikut membersihkan petak tanam mereka.”
Saya semakin beberapi-api berbicara, sedikit mengkompori. “Kerajinan akar jati ini khas Blora, kalo
batik, makanan, batu bata dan lain-lain di beberapa daerah ada. Jika berbicara tentang Branding Kota
dan City Marketing, salah satu yang menjadi factor penentu adalah kekhasan dan locality flavor yang
dimiliki Blora dari beberapa daerah yang memiliki potensi sejenis. Saya belum melihat sebuah kota yang
berani mem-branding kotanya dengan konsep kekuatan potensi budayanya. Jepara berani
membranding World Carving Centre, padahal semua tahu Jepara tidak memiliki bahan baku kayu yang
dijarah habis tahun 1997-1998.”
Blora memiliki kedekatan dengan sumber bahan baku, mereka memiliki pengrajin yang setia dengan
profesinya lebih dari 20 tahun, namun mereka tidak memiliki SDM yang mumpuni untuk mampu
mengelola itu semua. Mereka tidak mampu mengelola sebagai sebuah industri dari hulu maupun hilir.
Dari bahan baku hingga pemasaran.
INDUSTRI KERAJINAN AKAR JATI (GEMBOL)
Industri kerajinan akar jati atau lebih dikenal dengan sebutan Gembol memang merupakan salah satu
UKM unggulan yang ada di Blora. Ada beberapa yang lain seperti Batik Mustika, Makanan Kecil, Batu
Bata, Peternakan Sapi dan Kambing, serta usaha-usaha lainnya yang masih berkembang. Kerajinan Akar
Jati masuk dalam klaster Handycraft dan Meubel, sebagai usaha yang mengeksploitasi terhadap hasil
hutan yang ada di Blora. Sentra dari usaha ini berada di Jalan Raya Blora-Cepu, tepatnya di Desa Jepon,
Kecamatan Jepon, sekitar 10 km arah timur kota Blora. Dengan menempati tanah bengkok desa,
memanjang pada satu sisi jalan. Jenis komoditi yang dijual cukup beragam, dari mulai jenis patung,
meubel (meja, kursi, almari, dipan) serta handycraft yang ukurannya relative lebih kecil.
Aktifitas yang ada pada sentra ini memang lebih banyak pada aktifitas perdagangan, sedikit sekali
jumlahnya yang melakukan kegiatan produksi di dalamnya. Ibaratnya, sentra di Jepon ini merupakan
outlet dari klaster Handycraft dan Meubel. Pengrajin dari produk ini terletak tersebar di Kabupaten
Blora, namun yang bnyak ditemui adalah di sepanjang Jalur Jepon-Cabak.
Secara administrative letak pengrajin banyak berada di Kecamatan Jiken, dengan tersebar di beberapa
desa, yaitu desa Jiken,Cabak dan Nglebur. Pengrajin yang ada memang sangat sedikit, di ketiga desa
tersebut hanya bisa ditemui 13 pengrajin yang masih aktif berproduksi dengan perincian 3 buah di Desa
Jiken, 4 buah di Desa Cabak dan 6 buah di desa Nglebur. Ditambah ada 2 pengusaha asing yaitu dari
Belanda di Desa Cabak dan satu lagi WN Korea di Desa Genjahan. Untuk dikatakan sebagai sebuah
klaster bahkan sentra industri akar jati memang sulit jika dilihat dari jumlah dan persebaran pengrajin
yang ada.
Berdasarkan sejarahnya, memang tidak secara pasti diketahui siapa yang pertama kali mengembangkan
industri ini, namun setelah melalui beberapa wawancara dengan para pengrajin, didapatkan fakta
bahwa usaha yang mereka geluti ini sebenarnya usaha hasil ketrampilan autodidak. Rata-rata setelah
mereka tertarik dan mulai magang dan bekerja pada seorang pengrajin, setelah dirasakan mampu,
mereka kemudian membuka usaha sendiri di rumah. Dari hasil wawancara juga bisa ditelusuri sumber
pertama mereka belajar. Sampailah pada nama Pak Sugeng.
Pak Sugeng, seorang pria paruh baya, berusia sekitar 45 tahunan, boleh dikatakan sebagai pionir dari
usaha ini. Pria berambut gondrong, dengan tampilan mirip seniman ini memang ditengarai sebagai
pembawa virus kerajinan gambol. Pak Sugeng bukan asli dari Blora, namun dari Jogja, yang mulai pindah
ke Blora dan menetap di desa Cabak pada kurun waktu tahun 1995-an. Naluri seninya muncul saat
melihat eksotisme akar jati yang ditemui di hutan dekat beliau bertempat tinggal. Dengan menggali
sendiri akar jati yang ada, kemudian diolah sedemikian rupa menjadi bentuk patung dan ornament seni
lainnya. “Saya pertama datang, menggali dan mengangkat akar jati banyak yang menertawai mas”
kenang beliaunya. Setelah beberapa tahun ada beberapa anak muda yang tertarik dan mencoba belajar
padanya, termasuk di dalamnya Pak Kukuh yang mulai eksis tahun 1997-an yang saat ini memiliki 3 buah
rumah produksi di desa Jiken dengan asset mungkin miliaran, jika dilihat koleksi bahan mentah akar
serta barang jadi di outletnya.
Pak Sugeng saat itu juga berusaha menggandeng Karang Taruna Desa Cabak untuk dilatih dirumahnya.
“Saat itu, saya tidak menarik bayaran, bahkan setengah saya paksa pemuda di sini untuk menekuni
usaha akar jati, namun responnya kurang begitu bagus”lanjutnya. ”Bahkan pernah mas saya pameran di
Jakarta, saya ajak beberapa dari mereka, sudahlah ngaku saja kalian bisa mengerjakan seperti saya,
nanti kan ada yang tertarik”. Usahanya tdak berhenti di situ saja, belia pernah juga melibatkan pihak-
pihak dari Kabupaten Blora, namun memang belum bisa menggerakkan secara massif seperti yang
diharapkan. Pada tahun 2000-an, Beliau dan beberapa pengrajin didikannya pernah mendapatkan
bantuan dana modal sebesar 50 juta, dengan sistem mengangsur, dari Pertamina Cepu yang tertarik
pada karya-karyanya saat melintas di depan rumah beliau. Namun memang kelemahan mendasar
tentang Job Costing, yaitu detail perhitungan upah dan bahan baku produksi yang tidak dimilikinya,
membuat usahanya kembali stagnan. Pada akhirnya hingga sekarang, beliaunya hanya pasrah saja
menerima takdir sebagai seniman. Satu ucapan yang saya juga ikut prihatin :”saya yang buat, saya jual
patung ini hanya tiga juta pada mas Kukuh, pas hari itu juga ada pembeli yang tertarik, Mas Kukuh
langsung menawarkan harga tiga puluh juta pada sang calon pembeli. Berpindahlah patung itu seharga
tigapuluh juta, dihadapan saya!”
Saya hanya ikutan ketawa, kasihan juga!
BAHAN BAKU AKAR
Harga sebuah bahan baku akar berkisar antara tiga ratus ribu hingga jutaan rupiah tergantung besar
akar, umur akar dan eksotisme bentuknya. Memang harga tersebut untuk menebus tenaga dalam
proses pengambilan akar yang relative cukup sulit dengan teknologi sederhana yang mereka miliki.
Bahan baku yang mereka dapat saat ini juga harus beradu cepat dengan para pengumpul kayu bakar
untuk industri pembakaran batu bata atau industri lain yang membutuhkan pembakaran. Namun
mereka juga cukup selektif dalam mencari bahan baku. Akar dari tebangan basah biasanya berharga
murah karena akar pohon masih relative lebih muda, kurang eksotis dan cukup sulit di dalam proses
pengerjaannya. Beberapa dari pengrajin masih memiliki stok bahan yang melimpah, mereka sengaja
menunggu pemesan yang cocok dengan kondisi akar jati yang ada, ketimbang menjualnya berupa bahan
mentah. Bahan mentah berupa akar jati merupakan hal yang dihindari dalam transaksi penjualan
terutama jika sudah keluar dari Blora, karena terkait dengan legalitas asal muasal bahan yang sering
menjadi kontroversi. Dari beberapa pengrajin yang ditemui ada bebarapa versi tentang faktor legalitas
akar kayu jati. Ada yang bilang harus memperoleh stempel dari LMDH setempat sebelum bisa diambil,
ada yang mengatakan aman karena telah berstempel FRWK (Forum Rembug Warga Kluster), namun
semuanya mengakui kalau sekarang ini sebagian besar mereka mengambilnya dari para pedagang
khusus yang menjual akar kayu jati, “kalau dulu sih ngambil sendiri mas” ujar salah satu dari mereka.
Semuanya mengamini kalau mereka juga harus berbagi rejeki juga dengan para penjaga hutan untuk
memudahkan proses. Bahkan ada yang lebih ekstrem bilang begini :”ah…kalau larangan pengambilan
akar itu biasa mas, saat ada pergantian ADM Perhutani baru, nanti kalau dah beberapa bulan juga gak
apa-apa lagi….biasa itu mas”.
Dari beberapa yang bisa saya tangkap, memang ada sedikit ketidakikhlasan Perhutani dalam
pengambilan limbahnya berupa akar jati. Saya tidak tahu apakah itu dipicu nilai komersial akar jati yang
tinggi atau hal normative lainnya. Sayangnya saya belum bisa menemui pihak Perhutani sebagai
penyeimbang opini.
Saya kemudian sedikit berkhayal, andai saja ada kerjasama yang padu antara Perhutani, LMDH dan
Pengrajin Akar Jati, mereka membuat industri bersama. Dalam pengambilan bahan baku saja, peta
tanam dan strategi pemanenan ada di tangan perhutani, petak mana yang potensial untuk
mendapatkan hasil akar kayu. Pihak LMDH yang diberi kewenangan di dalam pengaturan teknis
pengambilan dan pemasaran akar jati, dengan dituntut untuk mengembangkan teknologi pengambilan
akar dan pemasaran yang semakin efektif dan efisien. Pihak pengrajin akan memiliki sumber bahan baku
yang terjaga kualitas dan kuantitasnya, yang bisa diakses dari seluruh LMDH se-Kabupaten Blora. Tapi
tentu saja akar jati masih dianggap komiditi limbah, jangan-jangan malah sekalian diberi tarif oleh
Perhutani sebagai asset hasil hutan juga jika memiliki pangsa industri nantinya.
SUMBER DAYA MANUSIA DAN PROSES PRODUKSI
Ternyata tidak semuanya yang terlibat di dalam industri ini adalah pengrajin murni. Sebagian juga adalah
pengusaha murni, mereka memiliki bengkel kerja dan tempat display dalam sebuah rumah. Mereka
tidak memiliki keahlian mengukir akar kayu, murni sebagai penjual. Dan ada perbedaan signifikan,
ternyata mereka jauh lebih maju dan ramai ordernya daripada yang murni pengrajin.
Memang hampir semuanya pengrajin adalah autodidak, mereka memiliki ketrampilan merupakan hasil
dari belajar sendiri menyerap ilmu dari pengrajin yang lebih senior. Setelah dirasa mumpuni, mereka
akan membuat bengkel kerja, dan membuka usaha sendiri. Saat ini rata-rata mereka memperkerjakan
antara 5-8 orang pekerja yang dibayar beragam, baik itu harian maupun borongan disesuaikan dengan
keahlian dan skill yang dimiliki oleh pekerja. Upah rata-rata harian adalah Rp. 25.000,00 – Rp. 45.000,00.
Memang keahlian yang dimiliki saat ini masih bersifat teknis, teroboson-terobosan pemasaran masih
menjadi kendala bagi mereka, terutama kesiapan untuk bersaing di pasar global.
Kerajinan akar jati ini bisa dikatakan cukup unik proses produksinya. Memang sebagian besar berupa
patung dan meubel. Biasanya jenis patung atau relief memiliki tingkat produksi yang jauh lebih rumit
daripada sebagai meubel meja dan kursi. Namun seiring permintaan pasar, meubel meja kursi akar jauh
lebih laku karena sesuai fungsinya perabot rumah tangga seperti meja kursi tentu saja dipandang lebih
mendesak dibutuhkan daripada sebuah patung yang hanya sebagai ornament pelengkap dalam sebuah
rumah. Dari beberapa pengrajin yang di kunjungi, hampir semuanya membuat dua jenis ini untuk
memenuhi permintaan pasar.
Secara garis besar ada dua macam proses produksi yang dilakukan, yaitu barang pesanan dan non
pesanan. Barang pesanan biasanya sudah ditentukan konsep barang yang akan dibuat, dengan tetap
mengandalkan kreatifitas sang pengrajin di dalam membentuk akar nantinya. Sedangkan barang non
pesanan, benar-benar murni ekspresi pengrajin terhadap bahan akar jati yang dimiliki.
Proses produksi kerajinan akar, terutama yang berjenis patung, ibarat menunggui kerja seorang seniman
tulen, dibutuhkan keahlian mumpuni untuk bisa menerjemahkan keinginan sang pengrajin dengan akar
kayu yang ada di hadapannya. Berasarkan pengakuan mereka, dari bentuk akar yang ada bisa langsung
terbayang imajinasi liar mereka terhadap hasil akhir nantinya, tidak perlu digambar dulu atau
direncanakan dalam media dua dimensi kertas misalnya. Bermodalkan coret-coretan kapur mereka
langsung memulai pekerjaannya. Peralatannya cukup beragam, mulai dari tatah, pisau ukir, palu,
gerinda, hingga gergaji mesin. Proses produksi juga tidak bisa diukur berapa lama akan selesai, tinggal
seberapa rumit desainnya.
Secara garis besar ada dua macam proses produksi yang dilakukan, yang pertama dari pre order atau
pesanan, biasanya mereka menginginkan untuk dibuat sebuah patung
Saya melihat beberapa hasil karya mereka yang separuh jadi tapi ditinggalkan begitu saja. Saya mencoba
menanyai,:”kenapa dengan patung-patung yang itu mas kok ndak jadi, lagi nggak mood kah?” Saya sok
tahu , saya pikir seperti arsitek yang kalo lagi moodnya ilang biasanya menelantarkan karyanya…
hehehehe. Dia bilang :”ah…itu jelek mas, kalo jelek separo jalan kita tinggal saja, kita ganti media baru”.
Ah…eman-eman sekali, padahal menurut saya gak jelek-jelek amat. Padahal akarnya dibeli juga dengan
uang. Apakah tidak ada pemikiran untuk memodifikasi lagi. Inilah sedikit gambaran perilaku antara
melimpahnya bahan baku dengan seorang seniman yang nanggung. Seniman dengan idialismenya tentu
saja bisa saja berargumen, :”saya sudah tidak mood lagi dengan karya saya yang ini!”, namun ini adalah
industri, yang harus diperhitungkan juga cost and benefit dari barang sekecil apaun yang terpakai.
PEMASARAN DAN PEMBINAAN INDUSTRI
Pemasaran yang ada saat ini memang hanya sekidar menjajakan dagangannya di pinggir jalan arteri, dan
rata-rata belum memperoleh koneksi tentang keseragaman harga. Keseragaman harga ini penting agar
tercipta iklim sehat di antara mereka.
Saya kemudian mencoba bertanya :”apakah pemerintah kabupaten tidak pernah memfasilitasi
memberikan pelatihan atau memberikan bantuan kepada panjenengan? Lha katanya ada FRWK, Forum
Rembug Warga Kluster bentukan BAPPEDA, bukankah sudah semestinya terwadahi aspirasinya? Lalu
UMKM atau Disnaker pernah memberikan bantuan tidak?” Saya semakin bertanya lagi :”PNPM atau
LMDH adakah yang pernah menyentuh program industri ini?”
Jawabannya sangat beragam, ada yang tidak tahu forum-forum seperti itu, ada yang malas-malasan,
meskipun diundang forum, bahkan ada yang antipati terhadap forum rembug seperti itu. “Mas, tidak
usah bicara di tingkat Kabupaten, di desa ini saja saya sulit untuk menggerakkan untuk mencoba mereka
menekuni usaha seperti kami, Kami di sini sudah terlalu bodoh, PNPM tidak pernah menyinggung kami,
program-program LMDH hanya memperbaiki infrastruktur desa. Pernah memang di tahun 2010 ada
pelatihan dari kami dikirim lewat UMKM untuk ke Bali dan Semarang, namun total waktunya Cuma 5
hari,habis itu kami dieri satu set bantuan peralatan kerja. Tahun-tahun sebelumnya belum ada.”
Sementara yang lainnya : “ kami akan membentuk paguyuban mas, namanya Paguyuban Payung Mas,
yang akan menyatukan kami ini mulai dari Jepon, Jiken, Cabak dan Nglebur. Saya ndak tahu itu ada
FRWK!”.
Ada yang lebih sedikit mengetahui tentang FRWK malah merasa bingung dengan kondisi pembinaan
yang ada di dalam birokrasi pemerintah. “ Saya sendiri jika diajak ikutan FRWK malah kebingungan
denga program kerja yang ada. Mestinya urusan pembinaan dan pemasaran ini mendapat tindak lanjut
dari dinas/SKPD terkait seperti UMKM dan Disnaker, namun seringan mereka sendiri kesulitan di dalam
aplikasinya, karena mungkin merasa tumpang tindih kewenangan.” Ujar salah satu pengrajin yang aktif
ikut FRWK. Sayang saya tidak bisa berkunjung ke UMKM dan Disnaker untuk mengklarifikasi hal
tersebut. Semoga di dalam indikasi program/kegiatan SKPD keduanya tersirat.
Pemasaran merupakan salah satu permasalahan utama yang dihadapi. Dengan kualitas SDM yang
rendah, dan tanpa koordinasi forum dan paguyuban, keberadaan industri akar kayu ini semakin sulit
berkembang. Para pengrajin sering mengeluhkan idialisme di antara mereka di dalam menjaga harga
barang. Harga Barang yang tidak terpatok secara bersama akan menimbulkan persaingan yang kurang
sehat dalam suatu industri bersama. Letak mereka yang berpencar semakin menyulitkan untuk
mendapatkan kesatuan persepsi tentang harga jual yang dipatok. Memang industri ini bukanlah industri
produksi masal, dan cenderung unik karna setiap pengrajin bisa memiliki produk yang berbeda.
Ketersediaan sarana promosi sama sekali kurang mendukung. Tidak ditemukan catalog produk, hanya
beberapa yang telah menyiapkan kartunama dan blog di dunia maya sebagai sarana promosi mereka.
Penanam Modal Asing (PMA) berdasarkan infomasi lisan juga hanya ada 2 orang, satunya dari Belanda
dan satunya WN Korea. Yang menarik, trend yang terjadi di Jepara, yaitu PMA menggunakan istrinya
dengan KTP lokal untuk melaksanakan bisnisnya, juga dilakukan disini. Yang disesalkan para pengrajin
lokal adalah penjualan bahan baku mentah langsung pada PMA. Mestinya agar industri lokal juga bisa
hidup, PMA harus menerima bahan dalam bentuk minimal setengah jadi, sehinga ada keterlibatan
industri lokal di dalamnya.
Saya sendiri semakin prihatin dengan kondisi yang ada. Di Jepara, Industri serupa, saat ini sedang
berusaha mencari diversifikasi bahan, pemasaran sudah relative lebih maju dengan konsep yang sedikit
lebih modern. PMA dengan pengusaha lokal bersaing secara sehat dalam iklim industri yang ketat.
Jepara bahkan sudah berkutat dalam ranah hak cipta. Sudah menjadi isu dalam beberapa tahun,
kreatifitas pengrajin Jepara terbelenggu oleh permintaan desain dari orang asing, bukan murni dari
kreatifitas mereka. Ternyata di luar negeri ada beberapa hasil kreatifitas pengrajin Jepara yang telah
dihak patenkan oleh WN Asing yang pernah berkecimpung di Jepara. Efeknya, pengrajin jepara saat ini
dituntut mesti kreatif menciptakan desain sendiri untuk diterbitkan Sertifikat Indikasi Geografis (SIG)
Kabupaten Jepara untuk melindungi dari pelanggaran hak kekayaan intelektual.
Pada akhirnya saya menjadi sangat yakin, bahwa sebenarnya Blora bisa berpotensi sebagai Ngga Pulu
kedua. Tanahnya kaya akan minyak, memiliki potensi pemanfaatan hasil hutan tinggi, namun belum
tersentuh secara maksimal. Saya hanya berharap, Blora bisa segera bangkit dari keterpurukannya dan
mulai menggali hartu karunnya, sebelum dimanfaatkan oleh PMA-PMA yang notabene identik dengan
kumpeni berkedok neovernakular, dengan menempelkan unsure-unsur lokal yang kemudian diakui
sebagai karyanya di negaranya.
Untuk membicarakan masalah Migas di Cepu, Saya tidak begitu tertarik membahasnya terlalu panjang,
karena melibatkan kekuatan-kekuatan yang sedemikian besarnya. UUD Pasal 33 jelas mengamanatkan
porsi negara di dalam menguasai kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Masalah
pemanfaatannya untuk kemaslahatan bersama itulah sumber polemiknya. Saya pernah membaca
sebuah artikel tentang sejarah pembentukan minyak yang katanya bukan dari berupa pembusukan fosil
alam yang terjadinya bisa ratusan dan ribuan tahun. Iya, dikatakan sebuah sumber sebetulnya minyak
yang diributkan saat ini pada dasarnya merupakan big playing game yan sedang dijalankan oleh
kekuatan tidak terlihat dinegara antah berantah sana. Para negara penghasilnya sengaja dibuat chaos,
dibuat seolah-olah minyak akan segera habis, harganya akan melambung tinggi, dipaksa untuk mengiisu-
kuti aturan main yang ada dan sebagainya.
Biarlah itu menjadi isu-isu penyeimbang yang memberikan sedikit kemampuan otak kita walau hanya
bisa mampu menggerakkan kepala naik turun, geleng-geleng dengan sedikit mulut monyong
“….ooooo….ealah….ternyata mengkono to”. Saya hanya tertarik merunut sesuatu berdasarkan hal-hal
yang logis dan tentu saja dengan keterbatasan sumber pengetahuan yang ada.
Memang perlu banyak hal yang harus dilihat dan diteliti, sebelum memberikan suatu komentar yang
rata-rata hanya mangguk-angguk, geleng-geleng terus berkomentar dengan ejakulasi intelektual yang
menggebu-gebu. Masih banyak hal yang perlu dilihat dari kacamata dan sisi yang lain.
TERAS HOTEL WIJAYA BLORA, 11 APRIL 2012