birokrasi.docx
TRANSCRIPT
BIROKRASI: Salah Satu Potret Kekuatan Politik di IndonesiaI Putu Dimas Bala Rena 071113064
Birokrasi berasal dari bahasa Inggris, bureaucracy yang diartikan sebagai suatu
organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang
berada di tingkat bawah daripada tingkat atas. Birokrasi merupakan salah satu dari kekuatan
politik yang memberi pengaruh pada sistem politik di Indonesia.1 Lalu bagaimanakah
perkembangan birokrasi jika dilihat dari perkembangan awal hingga sekarang? Bagaimanakah
pengaruh dan peran birokrasi dari masa pra kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga pasca
orde baru? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu penulis mencoba mengulasnya dalam
tulisan singkat berikut.
Ketika melihat sejarah, awal birokrasi modern di Indonesia dirintis sejak pemerintahan
kolonial dengan melakukan politisasi terhadap struktur pemerintahan lokal yang ada. Hal ini
membentuk format pemerintahan yang dualistik, yaitu di satu sisi penguasa lokal tetap menjadi
simpul pemerintahan bagi masyarakatnya (karena kepemilikan atas simbol-simbol kekuasaan
tradisional) dan di sisi lain sebagai pelayan pemerintahan kolonial.2 Birokrasi tidak berorientasi
untuk melayani masyarakat tetapi lebih kepada pelayanan raja dan pemerintah kolonial. Pada
saat itu birokrasi hanya dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingan
pemerintah kolonial sehingga mempermudah mereka untuk mengontrol tanah jajahan.3
Perubahan penting muncul pada saat era Orde Lama dimana mengurai orientasi birokrasi
tidak hanya menjadi alat kekuasaan bagi satu kelompok saja. Transformasi ini mengubah
birokrasi menjadi medan pertempuran kekuasaan antarkekuatan politik, khususnya partai
politik.4 Pada era demokrasi parlementer, birokrasi menjadi incaran dari berbagai kekuatan
politik yang ada bahkan antara tahun 1950-1959 birokrasi pemerintahan berada di bawah
kepemimpinan partai politik yang menjadi mayoritas di dalam parlemen. Namun disayangkan
1 Dijelaskan pada perkuliahan Agensi, Kuasa, dan Politik di Indonesia minggu ke-7 pada tanggal 9 April 20132 Umar Syadat Hasibuan, Muhammad. 2008. Revolusi Politik Kaum Muda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hal. 1273 Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal. 724 Umar Syadat Hasibuan, Muhammad. Log. Cit.
birokrasi menjadi lahan KKN partai politik pada saat itu.5 Terlebih birokrasi masa Soekarno
mengalami fragmentasi6. Sekalipun jumlahnya tidak terlampau besar, aparat pemerintah
bukanlah sebuah organisasi yang menyatu karena sudah terkapling-kapling kedalam partai-partai
politik yang bersaing dengan intensif guna memperoleh dukungan. Hal itu berjalan terus sampai
masa pemerintahan demokrasi terpimpin.7
Birokrasi dipandang sebagai arena persaingan politik pada masa Orde Lama dianggap
dapat memecah belah birokrasi dan menghambat proses pembangunan oleh Orde Baru. Oleh
sebab itu konsolidasi birokrasi perlu dilakukan untuk membersihkan politisasi birokrasi agar
terciptanya birokrasi yang professional dalam melakukan pelayanan publik. Namun, bukan
konsolidasi semacam ini yang dilakukan oleh Orde Baru, melainkan konsolidasi birokrasi
sebagai penyokong kekuatan politik tertentu, yaitu Golkar. Tak heran jika arah birokrasi kembali
digunakan sebagai instrumen kepentingan kelompok penguasa dengan mendayagunakan
birokrasi untuk menyukseskan program-program politik Golkar. 8 Presiden Soeharto pula
memanfaatkan hak prerogatifnya dalam membentuk kabinet yang menempatkan kroni-kroninya
yang menjadi pendukung setia Beliau.9 Proses kebijakan dalam birokrasi bersifat tertutup yang
menjadikannya gagal menyerap kebutuhan riil publik.
Perkembangan selanjutnya pada Orde Baru birokrasi diperlebar fungsi politiknya
sehingga sangat dominan perannya dalam pelembagaan politik di tigkat daerah dan pusat. Lalu
muncul dengan apa yang disebut Karl D. Jackson dengan istilah bureaucratic polity, yaitu sistem
politik di mana kekuasaan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan nasional terbatas pada
lingkungan pegawai pemerintah terutama militer dan petinggi birokrasi termasuk teknokrat.
Akibatnya partisipasi massa dan kontrol sosial melemah dimana kekuatan-kekuatan politik di
luar birokrasi, seperti pers, parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan tidak
5 Dikutip dari makalah yang berjudul Hubungan Birokrasi dan Politik di Indonesia Masa Orde Lama dan Orde Baru oleh Saifullah Ibnu6 Fenomena fragmentasi birokrasi di Indonesia telah terjadi sejak masa Orde Lama dimana puncaknya adalah pada saat dibentuknya Kabinet 100 Menteri. Dapat dibayangkan dengan jumlah menteri sebanyak itu betapa kompleksnya struktur birokrasi pada saat itu. Pembentukan Kabinet 100 Menteri bukanlah keinginan Presiden Soekarno untuk mengembangkan spesialisasi yang tinggi mengingat kondisi sosial ekonomi saat itu tetapi lebih merujuk pada keinginan untuk mengakomodasi sebanyak mungkin orang dalam kabinet dalam rangka mengukuhkan kekuasaannya dan dukungan politik. Lihat: Dwiyanto, Agus. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal. 1077 Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 2328 Umar Syadat Hasibuan, Muhammad. Op. Cit. hal. 127-1289 Dwiyanto, Agus. Op. Cit. hal. 107-108
mampu mengontrol birokrasi dan pada gilirannya dipaksa menyesuaikan diri dengan keputusan
politik yang menguntungkan birokrasi.10
Orde Baru, birokrasi ditandai oleh dua ciri utama. Pertama, birokrasi patrimonial, yaitu
birokrasi yang didasarkan pada kedekatan hubungan personal antara atasan dan bawahan. Kedua,
birokrasi yang menjadi pelaku aktif dari aktivitas bisnis, dan biasa disebut sebagai birokrasi
kapitalisme. Pada birokrasi patrimonial, pemilihan atau perekrutan orang ke dalam birokrasi
didasarkan pada kedekatan hubungan personal. Kedekatan personal ini mengabaikan kualitas
individu, namun lebih mengutamakan loyalitas kepada atasan. Pada birokrasi kapitalisme,
sejumlah birokrat secara aktif terlibat dalam aktivitas bisnis yang berkaitan dengan pelayanan
publik. Berbagai proyek pembangunan jatuh kepada sejumlah perusahaan yang punya
keterkaitan erat dengan pemangku jabatan di birokrasi pemerintahan.
Kombinasi dari ciri birokrasi patrimonial dan kapitalistik itu membuat birokrasi di jaman
Orde Baru menjadi ladang yang subur bagi tindak pidana penyuapan dan pemerasan. Seorang
birokrat menggunakan jabatannya untuk menerima suap dari sejumlah individu maupun
kelompok bisnis tertentu, sekaligus melakukan pemerasan agar pihak lain mengikuti aturan main
yang telah diatur oleh birokrat yang korup. Praktik semacam ini terjadi di hampir semua lapisan
birokrasi, baik itu dari level tertinggi sampai terendah, maupun dari pusat sampai ke pelosok-
pelosok Indonesia. 11
Semenjak kekuasaan Soeharto yang didukung oleh tiga kekuatan penting antara lain
Golkar, ABRI, dan Birokrasi sepremasi sipil yang menempatkan kedaulatan rakayat tidak
bernilai apa-apa. Hubungan birokrasi pemerintah dengan kekuasaan politik justru telah membuat
birokrasi sebagai kepanjangan tangan kekuasaan yang lalu berubah menjadi mesin politik dalam
menghimpun dukungan politik pada masyarakat samapai pada tingkat desa, sekalipun dengan
cara yang penuh manipulatif dan bengis dengan dukungan kebijakan monoloyalitas. 12
Salah satu perubahan penting dalam politik Indonesia pasca Orde Baru adalah reformasi
birokrasi yang dilakukan secara internal dan eksternal. Reformasi internal meliputi pembenahan
dan penguatan kelembagaan, serta meningkatkan kualitas aparat birokrasi sedangkan reformasi 10 Gusmian, Islah. 2004. Pantat Bangsaku: Melawan Lupa di Negeri Para Tersangka. Yogyakarta: Galang Press. Hal. 69-7011 Dikutip dari Perhimpunan Pendidikan Demokrasi edisi ke-12 April 200812 Mahfud MD, Moh. 1993. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Hal. 112-113
eksternal meliputi penegakan hukum (produk hukum dan aparat penegak hukum), struktur
politik, pembongkaran mitos budaya korupsi, dan adanya gerakan kewarganegaraan yang kuat.
Namun kondisi obyektif dirasakan masih belum optimal, misalnya dari jumlah pegawai yang
tidak merata, rendahnya etos kerja, kurangnya pemahaman tentang tugas atau jabatan yang
dipangkunya, kesejahteraan PNS yang masih rendah, dan belum adanya Standard Operational
Procedure , serta rendahnya efektivitas pengawasan.
Sejumlah pakar melihat karakteristik birokrasi pasca orde baru, yaitu terperangkap dalam
jaringan parkinsonisme, yaitu ciri birokrasi yang selalu ingin menambah jumlah satuan/unit kerja
dan jumlah pejabat atau pelaksanannya. Kebutuhan peningkatan keahlian bersifat elitis, karena
kebanyakan pelatihan itu ditujukan bagi kalangan menengah ke atas. Selain itu PNS yang
berkualitas tinggi cenderung berada di pusat dan propinsi.13
Birokrasi menjadi salah satu hambatan pembangunan yang dihadapi Indonesia saat ini.
Ini persoalan human capital yang harus ditingkatkan. Kebijakan yang sudah diputuskan
Presiden, kadang tak dijalankan oleh menteri atau Dirjen bahkan bisa dijegal di level direktur.
Saat ini reformasi birokrasi lebih identik dengan peningkatan insentif melalui remunerasi.
Namun faktanya, meski sudah ada kenaikan remunerasi, banyak kebijakan yang tidak jalan
implementasinya atau pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan. Birokrasi cenderung
membentengi diri. Ini tentu sangat berbahaya dan mengganggu proses pelayanan masyarakat.
Padahal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 547 triliun atau lebih dari
30% habis untuk membayar gaji aparatur. Reformasi birokrasi yang berjalan sejak akhir 2006
harus dievaluasi. Realita macetnya birokrasi atas kebijakan pusat perlu ada solusinya sehingga
birokrasi tidak lagi dijadikan alat politik. Birokrasi tak efektif karena Presiden kurang tepat
menempatkan orang terbaik seperti Menteri atau jajaran pimpinan birokrasi. Harusnya, the best
and the brightest (yang terbaik dan paling mampu) serta punya integritas yang dipilih di bidang
masing-masing. Hak prerogatif Presiden terbelenggu koalisi partai politik atau setgab. Kedua,
birokrasi seharusnya bersih dari kepentingan politik dan tidak boleh jadi alat politik partai
manapun karena pada hakikatnya birokrasi harus melayani rakyat.14
13 Perhimpunan Pendidikan Demokrasi. Log. Cit.14 okezone.com, Rabu, 13 Maret 2013 pada artikel “SBY Ngeluh ke Prabowo Soal Bawahannya”. Diakses pada 29 April 2013
KESIMPULAN
Pada masa Orde Lama belum atau tak terjadi kekompakan birokrasi sebab politisasi
birokrasi yang berwujud pengkaplingan departemen-departemen oleh parta-partai politik,
misalnya Depdagri dikapling oleh PNI, Depag oleh Partai NU. Tampak gejala politisasi birokrasi
oleh partai politik yang kuat, posisi-posisi birokrasi banyak diisi oleh orang-orang yang ditunjuk
partai politik sehingga profesonalisme dan kinerja birokrasi Orde Lama tak berjalan baik.
Di era Orde Baru tak jelas pemisahan antara jabatan politik dan jabatan administratif.
Tradisi politik Orde Baru memperlakukan semua jabatan seakan menjadi jabatan politik.
Pegawai negeri dikenakan kewajiban monoloyalitas terhadap Golkar. Para menteri kabinet
pembangunan, pegawai sipil yang terhimpun dalam Korps Pegawai Republik Indonesia
(KORPRI) menjadi aktor utama dalam masa ini. Terjadi gejala Bureacraty Polity, yaitu dominasi
birokrat dan militer dalam pembuatan kebijakan. Selain itu kuatnya tradisi birokratik patrimonial
yaitu hubungan patron-klien dalam birokrasi dan masyarakat dan birokrasi kapitalisme dimana
kombinasi dari ciri birokrasi patrimonial dan kapitalistik itu membuat birokrasi di jaman Orde
Baru menjadi ladang yang subur bagi tindak pidana penyuapan dan pemerasan.
Sedangkan pasca Orde Baru karakteristik birokrasi meliputi keterperangkapan dalam
jaringan parkinsonisme, yaitu ciri birokrasi yang selalu ingin menambah jumlah satuan/unit kerja
dan jumlah pejabat atau pelaksanannya. Kebutuhan peningkatan keahlian bersifat elitis, karena
kebanyakan pelatihan itu ditujukan bagi kalangan menengah ke atas. Selain itu PNS yang
berkualitas tinggi cenderung berada di pusat dan propinsi. Hal ini menjadikan reformasi yang
telah berjalan harus dievaluasi ulang.
REFERENSI
Dwiyanto, Agus. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik melalui Reformasi Birokrasi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Gusmian, Islah. 2004. Pantat Bangsaku: Melawan Lupa di Negeri Para Tersangka. Yogyakarta:
Galang Press
Ibnu, Saifullah. 2012. makalah: Hubungan Birokrasi dan Politik di Indonesia Masa Orde Lama
dan Orde Baru
Mahfud MD, Moh. 1993. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Yogyakarta: Liberty
okezone.com, Rabu, 13 Maret 2013 “SBY Ngeluh ke Prabowo Soal Bawahannya”. Diakses
pada 29 April 2013
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi edisi ke-12 April 2008
Umar Syadat Hasibuan, Muhammad. 2008. Revolusi Politik Kaum Muda. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.