biogas s
DESCRIPTION
tentang biogasTRANSCRIPT
BAB III
BIOGAS
3.1 Biogas Sebagai Sumber Daya Energi
Biogas merupakan sumber daya energi bio, yang sebenarnya masih
termasuk dalam klasifikasi biomassa, yaitu hasil konversi energi biomassa secara
biologi dan kimiawi, yang terutama menghasilkan gas metan. Biogas bersumber
dari bahan-bahan organik, yang terdapat baik di dalam residu atau limbah
tumbuhan, hewan, dan bahkan manusia. Dengan demikian biomassa dapat dengan
mudah ditemui dalam bentuk antara lain: berbagai kotoran hewan, ekskremen
manusia, limbah tumbuhan, sampah makanan, sampai dengan kertas koran.
Sejak abad ke-18 orang sudah bisa membuat gas metan dari bahan-bahan
organik. Seorang fisikawan bernama Volta yang menemukan keberadaan gas
metan di alam, yang waktu itu disebutnya sebagai gas rawa. Disebut demikian
karena terbentuknya gas metan saat itu merupakan hasil proses pembusukan dari
limbah pertanian di dalam air rawa. Selanjutnya penelitian dan pengembangan
terus dilakukan sampai dengan pertengahan abad ini, dalam rangka menekan
biaya produksi gas yang bermanfaat bagi pembakaran tersebut.
Keberadaan gas metan secara bebas di alam terutama disebabkan oleh
terjadinya proses pembusukan limbah pertanian dan perkebunan, serta limbah
kotoran hewan dan manusia. Dengan demikian pembebasan gas metan di udara
turut memegang peranan atas peningkatan efek rumah kaca (tribe-house effect),
sama seperti terjadinya pembebasan karbon-dioksida (CO2) di atmosfir. Unsur-
unsur yang mengakibatkan terjadinya efek rumah kaca di atmosfir, ditunjukkan
dalam Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Penyebab terjadinya efek rumah kaca di atmosfir bumi
Sumber daya energi biogas rata-rata mengandung 60% gas metan (CH4),
lebih dari 36% karbon-dioksida (CO2), kurang dari 3% belerang (H2S), dan kurang
dari 1% hidrogen (H2). Satu meter kubik biogas memiliki tingkat panas/energi
sekitar 20-22MJ (= 6kWh). Tabel 3.1 berikut menunjukkan kesebandingan nilai
energi dari beberapa sumber energi komersial.
Tabel 3.1 Kesebandingan nilai energi biogas dengan sumber energi komersial
Bahan BakarNilai
EnergiBiogas (m3)
Gas alam (m3)
Solar (I) Bensin (I)Listrik (kWh)
1m3 Biogas 22,1 MJ 1,00 0,66 0,61 0,72 6,10
1m3 Gas alam 33,5 MJ 1,52 1,00 0,93 1,10 9,30
1 ltr Solar 36,0 MJ 1,63 1,07 1,00 1,18 10,00
1 ltr Bensin 30,5 MJ 1,38 0,91 0,85 1,00 8,50
1 kWh Listrik 3,6 MJ 0,16 0,11 0,10 0,12 1,00
Tabel 3.1 di atas dapat memperjelas kesebandingan nilai energi antara
biogas dengan beberapa sumber energi komersial lainnya. Sebagai ilustrasi, 1m3
biogas nilai energinya sama dengan 0,66m3 gas alam, atau 0,61 liter solar, atau
0,72 liter bensin, atau setara dengan 6,1 kwh listrik, dan bisa sebaliknya.
Sedangkan jika nilai energi biogas tersebut dibandingkan dengan sumber
energi tradisional lain, seperti: kayu bakar (kering), arang kayu, pupuk kandang,
limbah organik, angka kesebandingannya dapat dilihat dalam Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Kesebandingan nilai energi biogas dengan sumber energi tradisional
Sumber EnergiNilai
Energi Biogas (m3)
Kayu bakar (kg)
Arang kayu (kg)
Pupuk kandang
(kg)
Limbah organik
(kg)
1m3 Biogas 22,1 MJ 1,00 1,23 0,82 2,17 1,51
1kg kayu bakar 18,0 MJ 0,81 1,00 0,67 1,76 1,23
1kg arang kayu 27,0 MJ 1,22 1,50 1,00 2,65 1,85
1kg pukuk knd. 10,2 MJ 0,46 0,57 0,38 1,00 0,70
1kg limbah org. 14,6 MJ 0,66 0,81 0,54 1,43 1,00
Dari tabel 3.2 di atas dapat dilihat lebih jelas kesebandingan nilai energi
antara biogas dengan beberapa sumber energi tradisional lainnya. Sebagai
ilustrasi, 1m3 biogas nilai energinya sama dengan 1,23 kg kayu bakar, atau 0,82
kg arang kayu, atau 2,17 kg pupuk kandang, atau 1,51 kg limbah organik, dan bisa
sebaliknya.
3.2 Proses Pembentukan Biogas
Pada prinsipnya, proses biologi dan kimiawi (biokimia) pembentukan
biogas, terutama gas metan, merupakan proses peragian/pembusukan bahan
organik dengan tanpa aliran udara segar (anaerob), yang melalui 3 (tiga) tahapan
proses konversi, yaitu: penguraian, pembentukan asam, dan pembentukan gas
metan, seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.2.
Ikatan molekul tingkat tinggi
Gambar 3.2 Proses biokimia pembentukan biogas (gas metan)
(Sumber : Rehling, 1995)
Bahan baku:(umumnya berupa kotoran)
Protein lemak karbohidrat
Rantai molekul panjang
1. Konversi:Pencairan/pelunakan bahan baku melalui pemecahan enzim dan perendaman di dalam air
Asam asam mono dan Amino lemak disakarida peptid
Rantai molekul pendek
2. Konversi:Pembentukan asam (pengasaman)
Asam lemak, alkohol, aldehid, amoniak, karbon-dioksida, hidrogen, dan air
Satu molekul metan
3. Konversi:Pembentukan gas metan
Produk Akhir:Biogas dan pupuk,
metan, air, karbon-dioksida
H
C
H
HH CH4
Berdasar gambar 3.2, terlihat bahwa tahapan konversi pertama, dikenal
dengan istilah proses pencairan atau pelunakan. Pada tahap ini bahan baku,
umumnya berupa kotoran hewan, yang mengandung: protein, lemak, dan
karbohidrat, mengalami proses penghancuran dan penguraian di dalam air. Dalam
bahasa kimia dikenal sebagai proses reduksi polimer, melalui hidrolisis dan
fermentasi, ke dalam bentuk monomer. Akhir tahap pertama ini ditunjukkan
dengan terbentuknya rantai molekul panjang, dalam bentuk asam amino, asam
lemak, dan gula (mono dan disakarida).
Tahapan konversi kedua terjadi proses reduksi dari rantai molekul panjang
menjadi rantai molekul pendek, dengan bantuan bakteri. Rantai pendek ini berupa:
asam lemak, alkohol, karbon-dioksida, hidrogen, dan air.
Pada tahapan konversi ketiga, bakteri yang tumbuh tersebut selanjutnya
membongkar rantai molekul pendek menjadi molekul tunggal berupa gas metan,
yang juga dikenal sebagai biogas. Biogas yang dihasilkan ini tersusun atas: 60%
metan, lebih dari 36% karbon-dioksida, kurang dari 3% belerang, dan 1%
hidrogen. Limbah produksi biogas ini, berupa limbah organik encer yang
memiliki kandungan pupuk dengan kualitas sangat baik.
3.2.1 Rasio C/N
Pada prinsipnya gas metan (biogas) mengandung unsur karbon (C) dan
hidrogen (H). Dengan demikian semua bahan organik yang memiliki kandungan
kedua unsur di atas dapat digunakan sebagai bahan baku pembentukan biogas,
seperti: limbah makanan, kotoran hewan, dan sebagainya. Bahan organik yang
mengandung serat (lignin) tidak cocok sebagai bahan baku biogas, karena sukar
diuraikan oleh bakteri. Proses pembentukan biogas ini sangat bermanfaat merubah
limbah tanaman dan hewan menjadi sesuatu yang memiliki nilai manfaat lebih
tinggi, yaitu gas metan dan pupuk.
Unsur karbon (C) di dalam bahan organik sangat diperlukan sebagai
penyedia energi bagi bakteri anaerob (bakteri yang tidak memerlukan oksigen
untuk pertumbuhannya). Disamping unsur karbon tersebut, unsur lain yang
memegang peranan penting dalam proses ini adalah nitrogen (N), karena sangat
dibutuhkan bagi pertumbuhan/pembiakan bakteri.
Jika kandungan nitrogen pada suatu bahan organik terlalu rendah, maka
pertumbuhan bakteri menjadi terhambat, sehingga jumlah bakteri yang ada tidak
mampu menyerap unsur karbon yang ada, yang berarti tidak semua bahan organik
tersebut dapat diuraikan. Sebaliknya, jika unsur nitrogennya terlalu berlebihan,
sehingga tidak bisa diserap semua oleh bakteri, maka dari sisa nitrogen tersebut
akan terbentuk amoniak (NH3), yang justru menghambat bahkan mematikan
pertumbuhan bakteri.
Oleh sebab itu, dalam proses pembentukan biogas ini perbandingan antara
jumlah unsur karbon dan nitrogen sangat menentukan keberhasilan proses
pembentukan biogas. Perbandingan antara karbon dan nitrogen ini dikenal dengan
istilah “rasio C/N”. Secara empiris diketahui, bahwa rasio C/N yang paling
menguntungkan adalah pada kisaran 10-30. Jika rasio C/N terlalu tinggi, berarti
kandungan karbonnya tinggi, produksi biogas menjadi tidak optimal. Sebaliknya,
jika rasio C/N terlalu rendah (< 9) akan terbentuk amoniak yang akan
mengakibatkan proses penguraian tidak dapat berjalan secara optimal.
Tabel 3.3 berikut menunjukkan beberapa angka rasio C/N dari berbagai
macam bahan organik.
Tabel 3.3 Rasio C/N beberapa bahan organik
Bahan organik%C
(kering)%N
(kering)Rasio C/N
% kadar air (bahan segar)
Kotoran sapi 30,0 1,7 18 80-85
Kotoran kambing 83,6 3,8 22 75-80
Kotoran burung 87,5 6,6 14 70-80
Kotoran babi 76,0 3,8 20 75-80
Kotoran kuda 33,4 2,3 15 80-85
Kotoran angsa 54,0 2,0 27 70-80
Kotoran merpati 50,0 2,0 25 70-80
Kotoran unta 75,0 1,8 42 70-85
Kotoran gajah 60,0 1,3 46 70-85
Urin 15,0 15,0 1 90-95
Darah 36,0 12,0 3 90-95
Limbah ikan 56,0 7,0 8 55-75
Serbuk tulang 21,0 7,0 3 15-35
Limbah jagal hewan 64,0 8,0 8 55-75
Ekskremen manusia 48,0 6,0 8 75-80
Ekskr. Manusia + urin 70,0 7,0 10 80-85
Kulit kerang 37,5 1,5 25 50-70
Kertas koran 40,0 0,05 800 5-15
Rumput 48,0 4,0 12 40-60
Jerami padi 18,0 0,3 60 20-40
Tangkai + daun padi 55,0 1,0 55 25-40
Tangkai kacang tanah 40,0 2,0 20 25-40
Tebu 45,0 0,3 150 25-40
Kol atau kubis 43,2 3,6 12 40-50
Limbah sayuran 24,0 1,5 16 40-60
Pupuk kompos 42,0 3,0 14 75-80
(Sumber: Rehling, 1995)
Dari tabel 3.3 tampak bahwa tidak semua kotoran hewan memiliki rasio
C/N yang sesuai untuk proses pembentukan biogas. Demikian pula dari angka
rasio C/N-nya terbukti bahwa bahan organik berserat tidak sesuai untuk bahan
baku pembentukan biogas. Dalam kenyataan di lapangan, beberapa bahan organik
tersebut biasanya saling dicampur satu sama lain untuk mengoptimalkan ataupun
memperbaiki rasio C/N-nya.
Contoh kasus 3.1 berikut akan memperjelas keterangan tentang pencampuran
bahan organik di atas.
Apabila 100kg kotoran sapi dicampur dengan 50kg kotoran burung, dan kotoran
kambing 10kg (berat kering semua), berapa rasio C/N-nya?
Tabel 3.4 Ilustrasi perhitungan campuran bahan organik
Bahan organik Berat %C dan kg %N dan kg
Kotoran sapi 100 kg 30,0% = 30,0 kg 1,7% = 1,7 kg
Kotoran burung 50 kg 87,5% = 43,7 kg 6,6% = 3,3 kg
Kotoran kambing 10 kg 83,6% = 8,3 kg 3,8% = 0,4 kg
Jumlah 81,0 kg 5,4 kg
Dari kurva pada gambar 3.3 banya bahwa temperature yang paling
menguntungkan untuk keseluruhan proses terjadi pada 33oC.
Gambar 3.3 Temperatur penguraian dan biogas yang dihasilkan (Sumber: Baader, et.at, 1978)
3.2.3 Periode Penyimpanan (retention period)
Di samping temperatur, periode penyimpanan (retention period) juga
memiliki peran penting dalam proses produksi biogas. Pada prinsipnya, yang
dimaksud dengan periode penyimpanan (PP), atau lebih dikenal dengan istilah
“retention period” adalah lama waktu yang diperlukan oleh suatu bahan organik
di dalam tangki untuk menghasilkan sedikitnya 80% dari total gas yang bisa
dihasilkan. Dengan demikian setiap bahan organik boleh di kata memiliki periode
penyimpanan (PP) sendiri-sendiri. Pada prakteknya periode penyimpanan (PP)
tersebut berada di antara 30 sampai 60 hari, dan hanya pada kondisi klima yang
terkendali bisa mencapai 90 hari. Setelah batas periode penyimpanan tersebut
tercapai, perlu segera ditambahkan bahan organik baru ke dalam tangki. Gambar
3.4 berikut menunjukkan hubungan antara periode penyimpanan dengan volume
biogas yang dihasilkan per satuan berat (m3/kg)
Gambar 3.4 Periode penyimpanan dan volume biogas yang dihasilkan (Sumber: GATE-modul, tanpa tahun)
Proses penguraian dari setiap bahan organik memiliki durasi yang berbeda
satu dengan lainnya. Demikian pula dengan jumlah biogas yang dihasilkan dalam
jangka waktu tertentu, sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 3.5.
Tabel 3.5 Produksi biogas beberapa bahan organik
Bahan organik Durasi proses (hari)Produksi gas dalam 20 hari
(liter/kg, berat kering)
Kotoran kuda 112 300
Kotoran bagi 115 206
Kotoran sapi 117 158
Daun kol/lobak 105 235
Rumput 24 490
Jerami (2 cm) 80 347Sumber : Biogasgruppe, 1980
Dalam hubungannya dengan periode penyimpanan, yang dalam hal ini diambil
pedoman selama 50 hari, maka biogas yang bisa diproduksi atau dihasilkan oleh
beberapa bahan organik hewani, pada dasarnya dipengaruhi pula oleh ukuran
hewan dan kadar airnya, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 3.6.
Tabel 3.6 Produksi biogas beberapa bahan organik
Jenis hewanKotoran
harian (kg)
% kadar air (bahan segar)
Produk gas (l/Kg)
Produk Gas setelah 50 hr (liter)
Rasio air dan
kotorannya A:K
Sapi : 1 : 1
- Besar 15,00 80-85 40 600
- Sedang 10,00 80-85 40 400
- Kecil 8,00 80-90 40 320
- Muda 4,00 80-90 40 160
Kerbau : 1 : 1
- Besar 20,00 80-85 40 800
- Sedang 15,00 80-85 40 600
- Kecil 10,00 80-85 40 400
- Muda 5,00 85-90 40 200
Babi : 2 : 1
- Besar 2,00 75-80 70 140
- Sedang 1,50 75-80 70 100
- Kecil 1,00 75-80 70 70
Unggas : 3 : 1
- Besar 0,15 70-80 60 9
- Sedang 0,10 70-80 60 6
- Kecil 0,05 70-80 60 3
Kambing : 3 : 2
- Besar 5,00 75-80 50 250
- Sedang 2,00 75-80 50 100
- Kecil 1,00 75-80 50 50
Angsa 0,15 70-80 50 8 3 : 2
Merpati 0,05 70-80 50 3 3 : 1
Kuda 15,00 80-85 40 600 3 : 2
Unta 20,00 70-85 30 600 2 : 1
Gajah 40,00 70-85 20 800 3 : 2
Manusia : 7 : 3
- Dewasa 0,40 75 – 80 70 28
- Anak 0,20 75 – 90 70 14Sumber: Myles R.M, tanpa tahun
Contoh kasus 3.2 :
Berapa kg kotoran kambing yang yang diperlukan untuk memproduksi sekitar
3m3 biogas?
Dari tabel 3.6, setiap 1kg kotoran kambing menghasilkan 50 liter biogas, maka
untuk menghasilkan 1m3 (= 1000 liter) biogas diperlukan 20kg, sehingga untuk
3m3 biogas akan diperlukan 60kg kotoran kambing.
Jika dipilih kambing berukuran besar, kotorannya per hari seberat 5kg. Dengan
demikian, agar bisa diperoleh kotoran seberat 60kg per hari, dibutuhkan
setidaknya 12 (dua belas) ekor kambing.
Banyaknya air yang diperlukan untuk mencairkan kotoran dihitung dengan
melihat rasio A:K (pada kambing adalah 2:1). Artinya, untuk mencairkan
60kg kotoran diperlukan tambahan air seberat 120kg (= 120 liter), sehingga
total cairan kotorannya menjadi 180 liter per hari.
Jika periode penyimpanannya diasumsikan 50 hari, maka ke dalam tangki
harus dimasukkan cairan kotoran sebanyak 50 hari x 180 liter/hari atau sama
dengan 9.000 liter (= 9m3), agar setiap hari dapat diproduksi 3m3 biogas. Jadi
volume tangkinya (belum termasuk ruang penyimpan gas) setidaknya antara 9-
10m3. Catatan: penentuan volume yang harus disediakan untuk ruang
penyimpanan gas, perlu mempertimbangkan volume gas yang dimanfaatkan
setiap harinya serta bentuk dan tipe tangki yang digunakan.
Contoh kasus 3.3:
Jika diketahui bahwa: (a) sebuah lampu gas memerlukan ± 0,15 m3 per jam nyala,
(b) untuk memasak diperlukan 0,25 m3 biogas per orang per hari, dan (c) sebagai
penggerak mula (motor) memerlukan 0,6 m per kWh.
Sebuah keluarga (terdiri atas 3 orang dewasa dan 3 anak-anak), setiap harinya:
menggunakan 2 lampu gas, masing-masing dengan 3 jam nyala
memasak untuk 6 orang
menggunakan pompa air dengan daya 2,0 kW, dan dioperasikan selama 1 jam
setiap harinya.
Keluarga tersebut memiliki 4 ekor sapi dan 3 ekor kambing, yang semuanya
berukuran sedang.
Berapa banyak biogas yang diperlukan setiap harinya, dan berapa besar volume
tangki yang harus disediakan.
Total kebutuhan biogas per hari:
a. Penerangan : 2 lp x 0,15 m3 x 3 jam = 0,9 m3
b. Memasak : 6 org x 0,25 m3 = 1,5 m3
c. Pompa air : 2 kW x 0,6 m3 x 1 jam = 1,2 m3
Total kebutuhan harian = 3,6 m3
Potensi ketersediaan bahan organik untuk pembentukan biogas:
Sapi : kotoran dari setiap ekor 10 kg/hari 400 liter (0,4 m3) biogas
Jadi untuk 4 ekor diperoleh kotoran 40 kg/hari 1,6 m3/hari biogas
Kambing: kotoran dari setiap ekor = 2kg/hari 100 liter (0,1 m3) biogas
Jadi untuk 3 ekor diperoleh kotoran 6 kg/hari 0,3 m3/hari biogas
Manusia:
Dewasa : ekskremen per orang 0,4 kg/hari 28 liter (0,028 m3) biogas
Untuk 3 orang diperoleh ekskremen 1,2 kg/hari 0.084 m3/hari biogas
Anak: ekskremen per anak 0,2 kg/hari = 14liter (0,014 rnt) biogas
Untuk 3 orang diperoleh ekskremen 0,6 kg/hari 0,042 m3/hari biogas
Total biogas yang bisa diproduksi:
dari Sapi = 1,6 m3/hari
dari Kambing = 0,3 m3/hari
dari Manusia = 0,126 m3/hari
Total = 2,026 m3/hari hanya mencukupi untuk memasak + 1 lampu atau pompa air + 2 lampu.
Volume cairan kotoran (tinja) dapat dihitung sebagai berikut:
Sapi (rasio A:K = 1:1) 40 kg kotoran + 40 kg air
Kambing (rasio A:K = 3:2) 6 kg kotoran + 9 kg air
Manusia (rasio A:K = 7:3) 1,8 kg ekskrem + 4,2 kg air
Volume total harian 47,8 kg kotoran + 53,2 kg air
Volume cairan kotoran (tinja) harian total = 101 kg 100 liter
Jika diasumsikan periode penyimpanannya 50 hari, tangki yang disiapkan
minimal memiliki volume = 50 hari x 100 l/hari = 5.000 liter ( 5 m3)
3.3 Konstruksi Tangki Biogas
Secara teknis ketiga tahapan proses konversi energi secara biokimia pada
pembentukan biogas dapat dilakukan di dalam suatu tangki, yang konstruksinya
didesain dan dibuat sedemikian rupa berdasarkan beberapa kriteria dan
persyaratan tertentu. Hal ini dimaksudkan agar proses pembentukan biogas dapat
berjalan dengan sempurna, dalam arti volume gas yang dihasilkan bisa maksimal.
Pada dasarnya konstruksi tangki biogas terbagi menjadi dua bagian, bagian
bawah sebagai tempat terjadinya proses produksi, dan kubah tempat penyimpan
gas produk di bagian atas.
Tahapan dasar proses pembentukan biogas di dalam tangki pada prinsipnya
tidak berbeda antara tangki dengan kubah mengambang maupun dengan kubah
tetap. Pertama kali bahan organik dicampur air dengan perbandingan yang sesuai,
misal untuk kotoran sapi 1:1, kambing 2:3. Selanjutnya cairan kotoran tersebut
dimasukkan ke dalam tangki melalui pipa inlet (masukan) hingga volume optimal
tercapai.
Di dalam tangki akan terjadi proses pembusukan dan penguraian secara
anerob. Ketika pembentukan gas dimulai, gas yang terbentuk akan melayang di
bagian atas tangki. Dengan kata lain gas ditampung di dalam kubah (tempat
penyimpan gas), seiring dengan bertambahnya volume gas yang terbentuk,
tekanan gas di dalam kubah juga meningkat.
Setiap hari, ke dalam tangki ditambahkan cairan kotoran baru. Penambahan
harian ini mengakibatkan bahan organik di dalam tangki bergerak. Karena masa
jenis bahan yang baru lebih tinggi dari pada bahan lama yang sudah mengalami
proses penguraian, bahan lama tersebut secara bertahap akan terdorong ke atas,
kemudian secara perlahan kembali turun dan terus bergerak mendekati lubang
pembuangan, dan akhirnya keluar melalui pipa outlet (keluaran). Hubungan antara
pipa inlet (masukan) dan pipa outlet (keluaran) merupakan hubungan kapilaritas.
Periode pergerakkan bahan organik, sejak masuk ke dalam tangki sampai dengan
ke luar dari tangki, sesuai dengan lama periode penyimpanannya (retention time).
Di tinjau dari segi konstruksinya, tangki biogas dapat dibedakan menjadi 2
(dua) jenis, yaitu: (1) tangki dengan kubah tetap (fix dome), dan (2) tangki dengan
kubah mengambang (floating dome). Kedua jenis konstruksi tersebut masing-
masing memiliki kelebihan dan kekurangan, sebagaimana ditunjukkan dalam tabel
3.7.
Tabel 3.7 Perbandingan antara dua jenis konstruksi tangki biogas
Jenis kubah mengembang
(floating dome)
Jenis Kubah Tetap
(fix dome)
(-) Biaya investasi tinggi (+) Biaya investasi relatif rendah, dalam hubungannya dengan volume gas hasil
(-) Adanya tempat penyimpanan gas sendiri yang biasanya terbuat dari baja, perlu cara periodik, karena korositas
(+) Tidak memerlukan tempat penyimpanan gas secara khusus dari baja
(-) Biaya pemeliharaan relatif tinggi (+) Karena tidak ada bagian yang bergerak, biaya pemeliharaan relatif rendah.
(-) Usia guna tangki prosesnya > 30 tahun, tetapi penyimpan gasnya hanya 5-8 tahun
(+) Kedua bagian tersebut memiliki usia guna yang lebih panjang.
(-) Pengaruh temperatur rendah cukup besar
(+) Pengaruh temperatur rendah kecil saja
(+) Konstruksi bagian bawah relatif lebih mudah
(-) Konstruksi bagian kubah cukup rumit dan perlu keahlian dalam pengerjaannya.
(+) Kerusakan atau kebocoran kubah lebih mudah memperbaikinya
(-) Jika terjadi kerusakan atau kebocoran pada kubah, sulit perbaikannya
(+) volume pekerjaan penggalian relatif tidak rendah
(-) Volume pekerjaan penggalian relatif lebih tinggi
(+) Pengerjaan konstruksi secara keseluruhan relatif lebih mudah
(-) Pengerjaan konstruksi secara keseluruhan lebih sukar dan rumit
3.3.1 Tangki Jenis kubah mengambang (floating dome)
Gambar 3.5 Tangki jenis kubah mengambang (floating dome)(Sumber: Rehling, 1995)
Konstruksi sebuah tangki jenis kubah mengambang pada prinsipnya terdiri
atas: (1) tangki yang terpendam dalam tanah, (2) kubah, tempat menampung gas,
serta (3) saluran masukan dan keluaran.
Kotoran hewan yang telah dikumpulkan dimasukkan ke dalam bak dan
dicampur dengan air, sesuai perbandingan. Setelah bercampur, cairan kotoran
tersebut dimasukkan ke dalam tangki melalui pipa masukan. Di dalam tangki
terjadilah proses pembentukan biogas.
Gas yang dihasilkan akan mengambang di bagian atas tangki, atau
ditampung dalam kubah. Kubah mengambang tersebut biasanya terbuat dari
lembaran baja, yang dilengkapi dengan saluran pengeluaran gas. Kestabilan
tekanan gas yang dihasilkan dapat dipertahankan oleh gerakan naik turun dari
kubah.
3.3.2 Tangki jenis kubah tetap (fix dome)
Gambar 3.5 Tangki jenis kubah tetap (fix dome)(Sumber: Rehling, 1995)
Perbedaan paling mendasar konstruksi tangki jenis kubah tetap dengan
jenis kubah mengambang, terutama pada kubah tempat menampung biogas yang
dihasilkan. Pada jenis kubah tetap, konstruksi kubahnya menyatu dengan tangki,
dan biasanya terbuat dari material yang sama. Dengan konstruksi kubah jenis ini,
tekanan gas yang dihasilkan sukar dipertahankan.
Dewasa ini banyak macam konstruksi tangki yang biasa digunakan sebagai
tempat terjadinya proses pembentukan biogas, baik jenis konstruksi kubah
mengambang, maupun jenis kubah tetap, antara lain seperti: (Rehling, 1995).
a. Tangki silinder dengan kubah mengambang (floating dome) - Gambar 3.6
b. Tangki kubah mengambang dengan pipa outlet di dalam - Gambar 3.7
c. Tangki kubah mengambang dengan pipa outlet di luar - Gambar 3.8
d. Tangki dengan kubah tetap (fix dome) – Gambar 3.9
e. Tangki dengan kubah plastik tebal (terpendam) – Gambar 3.10
f. Tangki dengan kubah tetap tipe “Janata” (India) – Gambar 3.11
g. Tangki dengan kubah tetap tipe “Deenbandhu" (lndia) - Gambar 3.12
h. Tangki plastik tebal (di permukaan tanah) – Gambar 3.13
Keputusan memilih jenis tangki biogas yang akan dipergunakan sangat
bergantung pada antara lain: ketersediaan material, biaya, kemampuan dan
keahlian penduduk setempat. Beberapa kriteria berikut akan memudahkan dalam
pengambilan keputusan.
a. Kriteria umum
1. Tersediakah bahan organik yang cukup di tempat tersebut?
2. Apakah ukuran kebutuhan biogas kurang dari 20m3?
3. Tersediakah air yang cukup untuk pencampuran kotoran setiap hari?
4. Tersediakah tukang batu dan ahli konstruksi yang cukup?
5. Adakah bantuan teknis dari pihak lain?
6. Apakah material bahan bangunan tersedia cukup?
7. Adakah dukungan finansial dari pihak lain?
8. Siapa yang mengurus dan pengelola tangki tersebut?
9. Sudah tersediakah peralatan rumah tangga yang akan memanfaatkan gas
tersebut?
10. Adakah bantuan konsultansi dari pihak luar, baik dalam pembangunan
maupun operasionalnya?
b. Kriteria khusus (lokal)
Uraian Kubah tetapKubah
mengembang
Jika termasuk daerah bersuhu > 15oC
Jika di malam/dini hari suhu sangat dingin
Jika bahan logam tersedia banyak dan murah
Jika lebih mudah didapatkan semen & batu
Jika ada tukang las yang baik
Jika ada tukang bangunan yang bisa membuat kubah dengan baik
Jika tersedia material anti bocor untuk bangunan
Jika kubah dapat dicat setahun sekali untuk menghindar korosi
Konstruksi yang manakah yang mudah direalisasikan oleh para tukang setempat?
O kubah tetap atau O kubah mengambang
Pembangunan tangki dengan kubah yang mana, yang lebih murah biayanya?
O kubah tetap atau O kubah mengambang
Jenis tangki manakah yang sudah pernah dibuat sebelumnya?
O kubah tetap atau O kubah mengambang
Beberapa kondisi di lokasi pembangunan yang juga perlu menjadi perhatian,
antara lain:
Tangki jangan ditempatkan di daerah rendah, agar pada saat musim hujan
tidak tergenang air.
Jarak lokasi tangki dengan keberadaan kotoran hewan jangan terlalu jauh.
Usahakan lokasi tangki dekat dengan pemakai, sehingga pipa saluran gasnya
tidak perlu terlalu panjang.
Lokasi tangki sebaiknya dekat pula dengan sumber air yang akan digunakan
dalam pencampuran kotoran.
Perlu disediakan tempat lapang untuk pengeringan kotoran, maupun pupuk
yang dihasilkan.
Lokasi tangki sedikitnya berjarak 15-20 meter dari sumur atau sumber air
minum, dan sedikitnya 2-3 meter dari pondasi bangunan/rumah.
3.4 Aspek Sosio-kultur Biogas
Perkembangan pemanfaatan biogas, sebagai salah satu sumber energi bagi
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari sangat dipengaruhi pula oleh
aspek sosio-kultur, terutama karena proses pembentukan biogas ini berkaitan erat
dengan pemanfaatan limbah kotoran, baik hewan, tumbuhan, maupun manusia.
Mulai dari dataran Asia, termasuk Indonesia, sampai dengan daerah
pedesaan di Eropa, banyak masyarakat yang masih beranggapan bahwa kotoran
hewan dan manusia ini termasuk sesuatu yang di-“tabu”-kan, Khususnya masih
dianggap menjijikkan dan merupakan benda kotor yang tidak boleh disentuh,
apalagi diolah.
Kebanyakan masyarakat belum bisa menerima kenyataan bahwa, bagaimana
kotoran hewan tersebut dimasukkan ke dalam suatu tangki, kemudian dari dalam
tangki timbul suatu gas, dan gas tersebut harus mereka gunakan untuk memasak,
menerangi rumah, atau aktivitas lainnya. Ditambah lagi, pada beberapa wilayah
beberapa jenis binatang masih dianggap sebagai “hewan suci” yang tentunya
harus diperlakukan secara khusus. Lebih-lebih lagi pemanfaatan ekskremen
manusia. Banyak sekali masyarakat yang belum bisa menerima kenyataan bahwa
mereka harus memasak makanannya dengan sumber energi yang diperoleh dari
kotorannya sendiri. Di Indonesia pun pemanfaat biogas belum begitu bisa
diterima oleh masyarakat. Padahal dengan proses yang paling sederhana saja,
yaitu kotoran dikeringkan dan dipadatkan, sudah bisa dimanfaatkan untuk bahan
bakar sebagaimana kayu bakar.
Aspek sosio-kultur ini merupakan aspek non teknis yang sangat menentukan
perkembangan pemanfaatan biogas di masyarakat. Pada kelompok masyarakat
yang sudah bisa menerima kehadiran teknologi biogas sebagai teknologi alternatif
penyediaan sumber energi, masalah penempatan dan volume tangki bisa menjadi
polemik. Keberadaan tangki biogas di halamannya dianggap dapat meningkatkan
status sosial mereka, sehingga terjadi perebutan penempatan tangki biogas. Di
samping itu, makin besar tangki yang dibuat akan dapat makin meningkatkan
status sosial, sehingga pada akhirnya pemanfaatannya menjadi tidak optimal.
Padahal konsep pemanfaatan biogas di kalangan masyarakat, pada dasarnya
merupakan konsep penyediaan energi secara komunitas dan bukan secara
individual.
Pemanfaatan dan pengembangan teknologi biogas sebenarnya dimaksudkan
untuk bisa menggantikan kedudukan kayu bakar dan minyak tanah dan sekaligus
memungkinkan terwujudnya produksi pupuk organik berkualitas tinggi. Salah
satu dampak positif yang ditimbulkannya, adalah terjadinya pergeseran tugas
kaum perempuan, yang sebelumnya harus pergi meninggalkan rumah mencari
kayu bakar di hutan, dengan adanya unit biogas akan lebih meringankan tugas
mereka.
Permasalahan lain adalah kebiasaan masyarakat yang tidak selalu memberi
makan hewan peliharaannya di dalam kandang, melainkan membiarkannya atau
melepasnya di tanah lapang atau padang rerumputan. Hal ini mengakibatkan
hilangnya kotoran yang seharusnya terkumpul di dalam kandang sampai 60%-nya.
Ditambah lagi, apabila daerah tersebut merupakan daerah yang sulit air, maka
pencampuran air dengan kotoran menjadi tidak optimal, karena masyarakat lebih
membutuhkan air untuk memenuhi keperluan sehari-hari lainnya.
Permasalahan khas lainnya, yang biasa terjadi di daerah dengan beberapa
unit biogas, kotoran hewan, misalnya kotoran sapi akan menjadi bahan perebutan
diantara kelompok pemilik unit biogas. Pertanyaannya adalah “siapa pemilik
kotoran sapi?”. Ilustrasi di bawah ini memberikan gambaran lebih jelas tentang
pola kepemilikan kotoran hewan ternak, dalam hal ini sapi, berdasarkan kebiasaan
yang dilakukan oleh si pemilik atas hewan ternak tersebut.
Saat pagi hari, ketika sapi masih berada di dalam kandang, maka kotorannya
menjadi milik peternaknya. Menjelang pukul 09.00 pagi hari kedua ekor sapi
tersebut di bawa ke padang rumput untuk digembalakan oleh sang anak, dan di
padang rumput kotoran sapi ini akan menjadi milik siapapun yang
menemukannya. Pada siang atau sore hari sapi di bawa pulang kembali ke
kandang. Saat di perjalanan sang sapi mengeluarkan kotoran, jika saat itu tidak
langsung diambil oleh si penggembala, maka kembali kotoran tersebut menjadi
milik siapapun yang menemukannya. Dengan pola demikian, hanya sepertiga
volume kotoran yang benar-benar bisa dimanfaatkan oleh pemilik ternak.
Pada kehidupan keluarga sehari-hari, keuntungan yang bisa diperoleh dari
pemanfaatan biogas sebagai sumber energi, dibanding dengan sumber energi
konvensional lainnya, seperti kayu bakar dan arang, antara lain:
a. biaya lebih rendah dari pada pemakaian minyak tanah, juga kayu bakar
b. waktu yang dibutuhkan dalam memasak bisa lebih cepat
c. mengurangi waktu kaum ibu meninggalkan rumah, karena tidak lagi harus
mencari kayu di hutan untuk memasak
d. tidak menimbulkan asap
e. permukaan panci dan penggorengan tetap bersih
f. tidak terpengaruh musim, khususnya musim hujan
Sedangkan beberapa kerugiannya antara lain:
a. gas yang dihasilkan terkadang tidak mencukupi atau cepat habis,
b. tekanan gas terkadang tidak stabil,
c. lampu biogas, selain belum terdapat banyak di pasaran, juga tidak bisa seterang
lampu petromaks misalnya,
d. penghematan biaya pemakaian lampu tidak terlalu besar.
3.5 Aspek Ekonomi Biogas
Pemanfaatan biogas sebagai salah satu sumber energi bagi pemenuhan
kehidupan masyarakat sehari-hari, sangat dipengaruhi oleh pola perilaku dan
kehidupan masing-masing kelompok masyarakat atau keluarga. Dasar perbedaan
pola perilaku tersebut umumnya terletak pada tradisi, budaya, jumlah
kepala/orang, status sosial dan ekonomi. Ilustrasi pada gambar 3.14 berikut
menunjukkan komposisi pemanfaatan energi dari dua keluarga yang berbeda.
Gambar 3.14 Perbedaan pola perilaku kehidupan dua keluarga
Dari gambar 3.14 di atas bisa diprediksi bagaimana pola perilaku kehidupan
(kebiasaan) sehari-hari dari kedua keluarga tersebut. Keluarga A kemungkinan
tidak memiliki banyak anak yang masih sekolah, sehingga tidak memerlukan
banyak penerangan di malam hari. Keluarga ini juga memiliki kebiasaan makan
bersama pada setiap waktu makan, sehingga setiap kali perlu memasak atau
sekedar menghangatkan makanan.
Sedangkan keluarga B diprediksi sebagai keluarga yang memiliki beberapa
anak yang masih sekolah, sehingga membutuhkan penerangan cukup banyak di
malam hari, dan karena kesibukan masing-masing (suami-isteri bekerja), makan
bersama seluruh keluarga seringkali hanya dilakukan pada malam hari, sedangkan
di siang hari makanan hanya untuk anak-anak yang sudah datang dari sekolah,
tidak dipersiapkan secara khusus.
Perbedaan pola kebiasaan tersebut tentunya akan berdampak pula pada
penentuan kapasitas tangki biogas, jenis tangki, serta konstruksi tangkinya, yang
pada akhirnya bermuara pada penentuan biaya investasi dan operasional.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, sampai saat ini banyak ragam
konstruksi tangki yang digunakan untuk tempat terjadinya proses pembentukan
biogas. Untuk itu sebagai dasar tinjauan aspek ekonomi di sini, contoh yang
diambil adalah salah satu jenis tangki dengan kubah tetap tipe “Deenbandhu”,
yang berasal dari negara India. Tangki ini cukup sederhana dan mudah dalam
pembuatannya, sehingga banyak digunakan oleh masyarakat.
Material yang dibutuhkan untuk pembuatan tangki “Deenbandhu” antara
lain adalah: batu bata, semen, batu ceper, pasir, pasir kuarsa, pipa, dan pelengkap
lainnya. Tabel 3.8 menunjukkan kebutuhan material untuk beberapa dimensi
tangki.
Tabel 3.8 Kebutuhan material untuk berbagai dimensi tangki “Deenbandhu”
Ukuran tangki 1m3 2m3 3m3 4m3 6m3
Material Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Batu bata kelas 1 700 1.000 1.300 1.600 2.200
Semen (50kg) per zak 8 14 16 22 28
Batu ceper (m3) 0,9 1,1 1,4 1,7 2,3
Pasir (m3) 0,9 1,1 1,4 1,7 2,5
Pasir kuarsa (m3) 0,9 1,1 1,4 1,7 2,5
Pipa gas 0,5” + soket (m) 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
Pipa PVC 6” (m) 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0
Ukuran tangki 1m3 2m3 3m3 4m3 6m3
Material Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Plat baja 6mm (kg) 5 7 10 12 15
Cat bagian dalam (liter) 1,0 1,0 1,5 2,0 3,0
Tenaga penggali (org/hari) 8 10 14 18 24
Tukang (org/hari) 8 11 13 16 22
Tenaga konstruksi (org/hari) 16 22 26 30 44
Lain-lain (transportasi, dll) ls ls ls ls ls
(Sumber: AFPRO, 1989)
Apabila diasumsikan akan dibangun tangki biogas “Deenbandhu”
berkapasitas 2m3, dengan prediksi usia guna 10 tahun dan tingkat suku bunga
diperhitungkan 12% per tahun, komposisi biaya investasi, biaya depresiasi dan
biaya operasional, yang diperhitungkan secara tahunan berdasarkan analisis nilai
tahunan, ditunjukkan dalam Gambar 3.15.
Gambar 3.15 Komposisi biaya investasi, depresiasi dan operasional (2m3)
Sebagai pembanding, untuk tangki biogas “Deenbandhu” dengan kapasitas
6m3, berdasarkan prediksi usia guna dan tingkat suku bunga yang sama,
komposisi biaya investasi, biaya depresiasi dan biaya operasional, yang
diperhitungkan secara tahunan berdasarkan analisis nilai tahunan, ditunjukkan
dalam Gambar 3.16.
Gambar 3.16 Komposisi biaya investasi, depresiasi dan operasional (6m3)
Dari kedua gambar di atas tampak bahwa komposisi biaya investasi dan
biaya operasional antara tangki biogas berkapasitas kecil (2m3) dengan tangki
biogas berkapasitas sedang (6m3) adalah hampir sama. Di dalam pembahasan
aspek ekonomi ini tidak dibahas besaran pasti, mengingat harga material
bangunan sangat bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Mengingat dimensi tangki yang relatif cukup besar, maka akan lebih
ekonomis apabila pembuatan tangki biogas ini dilakukan dalam kelompok
keluarga yang saling berdekatan tempat tinggalnya, sehingga pemakaian bersama
bisa dimungkinkan. Atau seseorang yang membangun untuk dipergunakan pula
oleh tetangganya dengan cara memberikan kontribusi dana secara periodik atas
gas yang digunakannya.