bioetik 2001

12
BIOETIKA Budi Sampurna Etik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari moralitas. Etik harus dibedakan dengan sains yang mempelajari moralitas, yaitu etik deskriptif. Etik deskriptif mempelajari pengetahuan empiris tentang moralitas atau menjelaskan pandangan moral yang saat itu berlaku tentang issue-issue tertentu. Etik terbagi ke dalam etik normatif dan metaetik (etik analitik). Pada etik normatif, para filosof mencoba menegakkan apa yang benar secara moral dan mana yang salah secara moral dalam kaitannya dengan tindakan manusia. Pada metaetik, para filosof memperhatikan analisis kedua konsep moral di atas. Bioetika adalah salah satu cabang dari etik normatif di atas. Bioetik atau Biomedical ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran dan atau penelitian di bidang biomedis. Beberapa contoh pertanyaan di dalam bioetika adalah: Apakah seorang dokter berkewajiban secara moral untuk memberitahukan kepada seorang yang berada dalam stadium terminal bahwa ia sedang sekarat? Apakah membuka rahasia kedokteran dapat dibenarkan secara moral? Apakah aborsi ataupun euthanasia dapat dibenarkan secara moral? Pertanyaan bioetik juga dapat menyangkut tentang dapat dibenarkan atau tidaknya suatu hukum dilihat dari segi etik, seperti: Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menerima tindakan medis yang bersifat life-saving, meskipun bertentangan dengan keinginannya? Apakah dapat dibenarkan secara etik apabila dibuat suatu hukum yang mengharuskan memasukkan seseorang sakit jiwa ke dalam rumah sakit, meskipun bertentangan dengan keinginan pasien? Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan yang membolehkan tindakan medis apa saja yang diminta oleh pasien kepada dokternya, meskipun sebenarnya tidak ada indikasi? 1 Jakarta, 9 November 2001 1

Upload: achmad-mustika

Post on 11-Aug-2015

102 views

Category:

Documents


28 download

TRANSCRIPT

Page 1: BIOETIK 2001

BIOETIKABudi Sampurna

Etik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari moralitas. Etik harus dibedakan dengan sains yang mempelajari moralitas, yaitu etik deskriptif. Etik deskriptif mempelajari pengetahuan empiris tentang moralitas atau menjelaskan pandangan moral yang saat itu berlaku tentang issue-issue tertentu.

Etik terbagi ke dalam etik normatif dan metaetik (etik analitik). Pada etik normatif, para filosof mencoba menegakkan apa yang benar secara moral dan mana yang salah secara moral dalam kaitannya dengan tindakan manusia. Pada metaetik, para filosof memperhatikan analisis kedua konsep moral di atas.

Bioetika adalah salah satu cabang dari etik normatif di atas. Bioetik atau Biomedical ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran dan atau penelitian di bidang biomedis.

Beberapa contoh pertanyaan di dalam bioetika adalah: Apakah seorang dokter berkewajiban secara moral untuk memberitahukan kepada seorang yang berada dalam stadium terminal bahwa ia sedang sekarat? Apakah membuka rahasia kedokteran dapat dibenarkan secara moral? Apakah aborsi ataupun euthanasia dapat dibenarkan secara moral?

Pertanyaan bioetik juga dapat menyangkut tentang dapat dibenarkan atau tidaknya suatu hukum dilihat dari segi etik, seperti: Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menerima tindakan medis yang bersifat life-saving, meskipun bertentangan dengan keinginannya? Apakah dapat dibenarkan secara etik apabila dibuat suatu hukum yang mengharuskan memasukkan seseorang sakit jiwa ke dalam rumah sakit, meskipun bertentangan dengan keinginan pasien? Apakah dapat dibenarkan membuat suatu peraturan yang membolehkan tindakan medis apa saja yang diminta oleh pasien kepada dokternya, meskipun sebenarnya tidak ada indikasi? 1

What is right ( or wrong ) for one person in a given situation is similarly right ( or wrong ) for any other in an identical situation

(The Golden Rule)

Hubungan profesional kesehatan dengan pasien

Jenis hubungan profesional kesehatan (terutama dokter) dengan pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran, sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip moral profesi, yaitu autonomy (menghormati hak-hak pasien), beneficence (berorientasi kepada kebaikan pasien), non maleficence (tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien) dan (distributive) justice (meniadakan diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip utama; dan veracity (kebenaran = truthfull information), fidelity (kesetiaan), privacy, dan confidentiality (menjaga kerahasiaan) sebagai prinsip turunannya. 3

Sebagaimana layaknya hubungan antara profesional dengan klien pada umumnya, maka hubungan antara dokter dengan pasien juga mengikuti alternatif jenis hubungan yang sama. Pada awalnya hubungan dokter – pasien adalah hubungan yang

Jakarta, 9 November 2001 1

Page 2: BIOETIK 2001

bersifat paternalistik, dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Sifat hubungan paternalistik ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan moral (orang Barat) saat ini, sehingga berkembanglah teori hubungan kontraktual (sekitar tahun 1972-1975). Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori social contract di bidang politik. Veatch (1972) 4 mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggungjawab atas segala keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter (I’m confused by all these facts, doctor. What do you think I ought to do?).

Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontraktual, namun mengingat sifat praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut bukanlah hasil yang akan dicapai (resultaat verbintennis) melainkan upayanya yang sungguh-sungguh (inspanningsverbintennis). Hubungan kontrak semacam ini harus dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan mengacu kepada suatu standar atau benchmark tertentu. Leenen mengatakan bahwa standar profesi kedokteran tersebut memiliki 5 unsur, yaitu (1) teliti, seksama, berhati-hati; (2) sesuai dengan ukuran medik; (3) kemampuan rata-rata; (4) situasi dan kondisi yang sama; dan (5) upaya yang proporsional dengan tujuan. 5

Dalam menjaga hubungan dokter-pasien tersebut maka sejak sebelum Masehi telah ada Code of Hammurabi yang mengancam dengan pidana bagi dokter yang karena salahnya telah mengakibatkan cedera atau matinya pasiennya, dan Code of Hittites yang mewajibkan dokter untuk membayar ganti rugi kepada pasiennya yang terbukti telah dirugikan karena kesalahannya / kelalaiannya.

Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai hubungan dokter dengan pasien, maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih hubungan yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi hubungan dokter-pasien. Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter-pasien menjadi “peraturan” dan “kewajiban” saja, sehingga seseorang dokter dianggap “baik” bila ia telah melakukan kewajiban dan peraturan (followed the rules). Hubungan kontrak tidak lagi mengindahkan empathy, compassion, perhatian, keramahan, kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dll yang merupakan bagian dari virtue-based ethics (etika berdasar nilai kebajikan/ keutamaan). Pada hubungan dokter-pasien yang virtue-based dirumuskan bahwa hubungan itu bertumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak ada satu pun ketentuan yang ditentukan pada permulaan dapat menentukan masa depan. Baik dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja komunikasi yang baik tersebut membutuhkan prinsip-prinsip moral di atas, termasuk informed consent yang berasal dari prinsip autonomy. 4

Hak pasien dan kewajiban profesional kesehatan

Pada dasarnya hak-hak pasien terdiri dari dua hak utama, yaitu : (1) the Rights to health care dan (2) the Rights to self determination.

Jakarta, 9 November 2001 2

Page 3: BIOETIK 2001

The World Medical Association telah mengeluarkan Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient (1991), yaitu hak memilih dokter secara bebas; hak dirawat oleh dokter yang bebas dalam membuat keputusan klinis dan etis; hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat; hak untuk dihormati kerahasiaan dirinya; hak untuk mati secara bermartabat; dan hak untuk menerima atau menolak dukungan spiritual atau moral. 6

UU Kesehatan menyebutkan beberapa hak pasien, seperti hak atas informasi, hak atas second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak atas kerahasiaan, dan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Ditjen Yanmed Depkes RI mengeluarkan Surat Edaran No YM.02.04.3.5.2504 tahun 1997 yang berisikan Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumahsakit. Akhirnya dalam Muktamar IDI akhir Oktober 2000 telah dideklarasikan hak dan kewajiban pasien dan dokter, yang wajib untuk diketahui dan dipatuhi oleh seluruh dokter di Indonesia.

Salah satu hak pasien yang utama adalah hak untuk menentukan nasibnya sendiri (the right to self determination), yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hak menentukan nasibnya sendiri berarti hak memilih dokter, perawat dan sarana kesehatannya dan hak untuk menerima, menolak atau menghentikan pengobatan atau perawatan atas dirinya, tentu saja setelah menerima informasi yang lengkap mengenai keadaan kesehatan atau penyakitnya.

Hak pasien lainnya merupakan akibat dari standar pelayanan kedokteran dan kesehatan, seperti misalnya hak memperoleh pelayanan yang sebaik-baiknya, perawatan yang layak dan hak untuk tidak dibuka rahasianya kecuali atas sebab yang sah. Hak-hak tersebut berkembang sesuai dengan sifatnya, seperti hak atas informasi mengakibatkan munculnya hak untuk mengakses rekam medisnya dan hak atas pendapat kedua; hak menentukan nasib sendiri memunculkan hak untuk memilih cara pengobatan termasuk memilih perawatan minimal; dan hak atas rahasia kedokteran memunculkan hak atas privacy.

Sementara itu pasien juga memiliki kewajiban, yaitu memberikan informasi yang benar kepada dokter dengan itikad baik, mematuhi anjuran dokter atau perawat, baik dalam rangka diagnosis, pengobatan maupun perawatannya, kewajiban memberi imbalan jasa yang sesuai, dan menghargai harkat pribadi dokter dan kebebasan profesinya. Dalam hal ini pasien tidak diperkenankan memaksakan keinginannya, meskipun hal itu merupakan haknya, agar dilaksanakan oleh dokter apabila ternyata berlawanan dengan kebebasan dan keluhuran profesi dokter. Sebagai contoh adalah pasien tidak boleh memaksa dokter agar menggugurkan kandungannya atau melakukan euthanasia.

Hak pasien mengakibatkan kewajiban bagi dokter dan sebaliknya kewajiban pasien berkaitan dengan hak dokter. Masing-masing pihak juga memiliki hak untuk memutuskan hubungan hukum diantara keduanya apabila salah satu pihak mengingkari kewajibannya. Pemutusan hubungan harus dikemukakan secara jelas dan dilakukan dengan tanpa mengganggu hak pihak lainnya.

Kewajiban dokter lain adalah kewajiban umum dokter yaitu seperti yang tertuang di dalam Sumpah Dokter, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Standar Profesi Dokter IDI dan Standar profesi bidang spesialisasi yang terkait (standar perilaku dan standar pelayanan medis). Bila ia bekerja di dalam setting rumah sakit atau klinik, maka ia juga berkewajiban untuk mematuhi semua ketentuan di dalam institusi

Jakarta, 9 November 2001 3

Page 4: BIOETIK 2001

tersebut, yang merupakan kewajiban dalam kerangka hukum administrasi dan hukum disiplin. Dokter beserta institusi kesehatannya juga wajib melaporkan hal-hal tertentu kepada Departemen Kesehatan sebagaimana diatur dalam UU Karantina, UU Wabah dan Ketentuan tentang Penyakit Menular tertentu. Di bidang pidana dokter memiliki kewajiban membantu peradilan, pada semua tingkat, untuk memberikan keterangan atau pendapat keahliannya.7

Etik dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatanPenyelenggaraan pelayanan kesehatan adalah sesuatu layanan yang disediakan

oleh para profesional kesehatan yang sangat penting bagi suatu masyarakat, dan oleh karena itu perlu dilindungi dengan melembagakan “profesi” dengan segala aspeknya. Pada dasarnya suatu profesi memiliki 3 syarat utama, yaitu : diperoleh melalui pelatihan yang ekstensif, memiliki komponen intelektual yang bermakna dalam melakukan tugasnya, dan memberikan pelayanan yang penting kepada masyarakat. Selain itu juga memiliki 3 syarat umum, yaitu : sertifikasi, organisasi profesi, otonomi dalam bekerja. Pemberian sertifikasi dilakukan tidak sekali untuk selamanya, melainkan harus selalu memperoleh validasi melalui “proficiency check”. Otonomi mengakibatkan kelompok profesi ini menjadi “eksklusif” dan memerlukan self regulation dalam rangka menjaga tanggung-jawab moral dan tanggung-jawab profesinya kepada masyarakat. Mereka umumnya memiliki etika profesi dan standar profesi serta berbagai tatanan yang menunjang adanya upaya self regulation tersebut.

David T Ozar menggambarkannya sebagai kewajiban sosial para profesional kesehatan, yaitu (a) menjaga dan meningkatkan keahliannya, (b) mengendalikan praktek secara individual dan secara kolektif, (c) Menjaga hubungannya dengan klien, (d) Menentukan dan melestarikan nilai-nilai sentral profesinya, (e) sensitif terhadap dampak budaya, (f) mendistribusikan layanan dengan baik, dan (f) menentukan batas-batas kewajiban sosialnya.8

Di dalam praktek, peran profesional kesehatan – khususnya dokter – dapat terbagi ke dalam 3 model penjaga gawang, yaitu peran tradisional, peran negative gatekeeper dan peran positive gatekeeper.

Dalam peran tradisionalnya, dokter memikul beban moral sebagai penjaga gawang penyelenggaraan layanan kesehatan dan medis. Mereka harus menggunakan pengetahuan mereka untuk berpraktek secara kompeten dan rasional ilmiah. Petunjuknya harus diagnostic elegance (termasuk menggunakan cara yang memiliki tingkat ekonomi yang sesuai dalam mendiagnosis) dan therapeutic parsinomy (memberikan terapi hanya yang secara nyata bermanfaat dan efektif). Mereka harus mencegah adanya risiko yang tidak diperlukan kepada pasien yang berasal dari terapi yang meragukan dan menjaga sumber daya finansial pasien.

Dalam peran negative gatekeeper, yaitu pada sistem kesehatan pra-bayar atau kapitasi, dokter diharapkan untuk membatasi akses pasien ke layanan medis. Pada peran ini jelas terjadi konflik moral pada dokter dengan tanggung-jawab tradisionalnya dalam membela kepentingan pasien (prinsip beneficence) dengan tanggung-jawab barunya sebagai pengawal sumber daya masyarakat / komunitas. Meskipun demikian, peran negative gatekeeper ini secara moral mungkin masih dapat dijustifikasi.

Tidak seperti peran negatif yang banyak dideskripsikan secara terbuka, peran positive gatekeeper dokter sangat tertutup dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Dalam peran ini dokter diberdayakan untuk menggunakan fasilitas medis dan jenis layanan hi-tech demi kepentingan profit. Bagi mereka yang mampu membayar disediakan fasilitas diagnostik dan terapi yang paling mahal dan mutakhir,

Jakarta, 9 November 2001 4

Page 5: BIOETIK 2001

layanan didasarkan kepada “keinginan pasar” dan bukan kepada kebutuhan medis. Upaya meningkatkan demand atas layanan yang sophisticated dijadikan tujuan yang implisit, dan dokter menjadi salesmannya. Mereka berbagi profit secara langsung apabila mereka pemilik atau investor layanan tersebut, atau mereka memperoleh penghargaan berupa kenaikan honorarium atau tunjangan apabila mereka hanya berstatus pegawai atau pelaksana. 9

Tidak disangkal lagi bahwa peran positive gatekeeper telah “membudaya” bagi para dokter di kota-kota besar di Indonesia. Transaksi antara pasien dengan dokter menjadi transaksi komoditi biasa. Dokter menjadi enterpreneur atau sebagai agen dari sang enterpreneur. Etik para profesional kesehatan menjadi menurun hingga ke bottom line ethics dan bukan lagi menjunjung tinggi nilai-nilai keutamaan (virtue ethics). Pertanyaan “apa yang harus saya lakukan agar saya bebas dari tuntutan” menjadi dasar kerja dokter sebagai pengganti pertanyaan “apa yang harus saya lakukan agar pasien memperoleh manfaat dan layanan profesi yang optimal”. Orang yang sakit, dependen, gelisah, kurang pengetahuan dan vulnerable dieksploitasi untuk keuntungan pribadi orang-orang tertentu. Etik pada awal kehidupan

Persoalan yang berkaitan dengan awal kehidupan telah lama diperbincangkan dari sisi bioetiknya, namun bukannya terselesaikan – bahkan semakin menumpuk dan bertambah oleh karena semakin tinggi dan rumitnya iptek di bidang kedokteran. Apabila pada mulanya hanya dipersoalkan tentang kapan seseorang dinyatakan telah hidup – dikaitkan dengan issue aborsi, maka sekarang bertambah dengan isu: cloning pada manusia, status gamet dan embrio - serta seleksi embrio hasil teknologi bayi tabung, diagnosis pra-natal untuk mendeteksi kecacatan atau penyakit herediter tertentu – dikaitkan dengan isu eugenetik, dan lain-lain.

Teknologi kedokteran memang dapat diharapkan memenuhi harapan pasangan yang kebetulan infertil, namun dapat juga dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang melanggar etika. Oleh karena standar etik harus ditegakkan, yaitu bahwa orangtua genetik, orangtua gestasi dan orang tua sosial haruslah identik dan bahwa orangtua tersebut saat itu masih hidup, berada dalam waktu yang tepat dari siklus kehidupan dan memiliki sumber daya sosial dan psikologis yang adekuat. 10

Etik pada akhir kehidupanPersoalan yang dihadapi para profesional kesehatan pada akhir kehidupan

tidak kalah pelik dibanding dengan persoalan di awal kehidupan. Persoalan dapat berupa masalah sederhana seperti “bolehkah kita menghentikan terapi cairan dan nutrisi pada pasien?” hingga ke persoalan yang lebih rumit, seperti “seberapa jauh peran keluarga dalam membuat keputusan medis terhadap pasien?”, “apa sikap dokter bila pasien meminta terapi minimal?” yang kemudian dihubungkan dengan issu tentang letting die naturally, physician assisted suicide, physician assisted death, euthanasia, masalah futility dan brain death.

Tindakan medis yang diketahui sebagai tindakan sia-sia (futile) saat ini dipertimbangkan untuk tidak lagi dilanjutkan dan secara moral dapat dibenarkan apabila tindakan tersebut dihentikan. Pertimbangan ini sebenarnya bukan pertimbangan baru, melainkan pertimbangan yang telah ada pada jaman Hippocrates, yang dikenal sebagai anjuran “to refuse to treat those who are overmastered by their diseases, realizing that in such cases medicine is powerless”. Namun demikian keputusan bahwa sesuatu tindakan medis adalah tindakan sia-sia haruslah diambil dengan melalui pertimbangan yang ketat.

Jakarta, 9 November 2001 5

Page 6: BIOETIK 2001

Sebagai contoh adalah tindakan CPR, yang pada mulanya hanya ditujukan untuk henti jantung yang akut dan reversibel, namun dalam prakteknya CPR diterapkan pada setiap kasus henti jantung di rumah sakit – seolah-olah menjadi prosedur baku. Bahkan keluarga pasien masih dapat menuntut dokter apabila melihat dokter tidak melakukan CPR, meskipun sebenarnya oleh dokter telah dipertimbangkan futilitasnya.Berkaitan dengan itu Asosiasi Dokter Amerika (AMA) memutuskan bahwa dokter tidak memiliki kewajiban untuk memperoleh consent DNR (do not resuscitate) bila CPR dinilai sudah merupakan tindakan sia-sia. 11

Etik pada penelitian kedokteranBerkaitan dengan penelitian yang melibatkan subyek manusia World Medical

Association (WMA) telah mengeluarkan Deklarasi Helsinki, yang terakhir kali disempurnakan di Edinburgh tahun 2000. 6 Deklarasi ini mendasarkan pertimbangannya kepada Deklarasi Geneva (sumpah dokter) yang berbunyi “kesehatan pasien saya akan menjadi pertimbangan pertama saya” dan etik kedokteran yang berbunyi “dokter harus bertindak untuk kepentingan pasien dalam menjalankan profesi kedokterannya yang mungkin mengakibatkan melemahnya keadaan fisik dan mental pasien”.

Deklarasi ini memberikan 18 prinsip dasar bagi penelitian medis dan 5 prinsip tambahan bagi penelitian medis yang dikombinasikan dengan perawatan medis. Pada dasarnya penelitian medis haruslah benar-benar ilmiah, memiliki tujuan yang bermanfaat, menggunakan subyek yang sukarela dan mengetahui segala sesuatu tentang penelitian tersebut, mengutamakan kehidupan dan kesehatan subyek, mencegah atau mengantisipasi risiko yang berbahaya, serta menghormati privacy dan martabat subyek.

Mikro-alokasi pelayanan kedokteranDasar dari persoalan etis ini adalah salah satu prinsip etik kedokteran, yaitu

distributive justice, bila dokter dipaparkan kepada banyak pasien yang membutuhkan suatu layanan medis atau fasilitas medis dengan keterbatasan sumber daya yang dimilikinya. Keterbatasan ventilator, keterbatasan fasilitas bedah, keterbatasan donor dan berbagai keterbatasan sumber daya lain dapat menjadi masalah yang sukar dipecahkan oleh dokter.

Rescher mengusulkan tata laksana pemilihan siapa yang berhak memperoleh sumber daya tersebut. 12 Ia mengajukan 2 jenis kriteria, yaitu kriteria inklusi dan kriteria seleksi. Pada tahap pertama digunakan kriteria inklusi, dengan mempertimbangkan faktor konstituen, faktor progress-of-science, dan faktor prospect-of-success. Melalui kriteria ini dapat diharapkan terjadi penyaringan dan hanya mereka yang eligible saja yang lulus dari kriteria ini.Pada tahap berikutnya dilakukan pemilihan siapa diantara mereka yang akan menerima layanan, dengan melakukan seleksi menggunakan kriteria seleksi. Pada tahap ini dipertimbangkan faktor-faktor : relative-likelihood-of-success, life-expectancy, family role, potential-future-contribution (prospective service) dan past service-rendered (retrospective service). Dua faktor di depan adalah masih di lingkungan medis, sedangkan tiga faktor terakhir sudah bersifat sosial.Apabila dengan menggunakan kedua kriteria tersebut masih diperoleh lebih dari satu calon penerima layanan, maka dilakukan undian secara acak.

Jakarta, 9 November 2001 6

Page 7: BIOETIK 2001

Majelis Etik Rumah SakitKebijakan di bidang perumahsakitan di Indonesia telah menuju kembali ke

arah penegakan etik dengan akan dibentuknya Majelis Etik Rumah Sakit di setiap rumah sakit. Majelis ini diharapkan akan berperan di dalam : pendidikan bagi seluruh staf rumah sakit tentang pembuatan keputusan etik; tempat dilakukannya diskusi multi-disiplin dalam upaya mengklarifikasi sesuatu nilai atau pemecahan konflik; penentuan alokasi sumber daya guna mencapai kualitas pelayanan dalam upaya cost-containment; menemukan dan menjaga komitmen institusi sebagaimana tertulis dalam visi, misi, filosofi, dan image; memformulasikan kebijakan yang berkaitan dengan isu etik; dan menjadi tempat berkonsultasinya para dokter dalam memecahkan persoalan etis yang sulit.

KesimpulanBioetika bertujuan untuk mengenali isu etik, menyediakan cara-berpikir yang

sistematik untuk menyelesaikan isu-isu etik tersebut, dan membantu para profesional kesehatan dan para ilmuwan untuk mencapai keputusan yang benar.Bioetik harus tidak membatasi diri dengan hanya menganalisis kewajiban individu, melainkan juga memperluasnya ke arah analisis kewajiban institusi kepada individu dan kewajiban institusi kepada institusi lain.

Daftar Pustaka

1. Mappes T.A. and Zembaty JS. Biomedical Ethics. New York: McGraw-Hill Book Company, 1981

2. Beauchamp TL and Childress JF. Principles of Biomedical Ethics. 3 rd ed. New York: Oxford University Press, 1989

3. Bayles MD. Professional Ethics. Belmont : Wadsworth Inc, 1981.4. Veatch RM. Medical Ethics. 2nd ed. Boston : Jones and Bartlett Publ, 1997.5. Leenen H, Gevers S, Pinet G. The Rights of Patients in Europe. Deventer : Kluwer

Law and Taxation Publ, 19936. Amnesty International. Ethical Codes and Declarations Relevant to the Health

Professions. 4Th revised ed. 2000. 7. Sampurna B. bahan kuliah.8. Ozar DT. The social Obligations of Health Care Practitioners. In Monagle JF and

Thomasma DC (eds) Health Care Ethics. Maryland: An Aspen Publication, 1998.9. Pellegrino ED. Rationing Health Care : The Ethics of Medical Gatekeeping. In

Monagle JF and Thomasma DC (eds) Health Care Ethics. Maryland: An Aspen Publication, 1998.

10. Callahan S. The ethical challenge of the new reproductive technology. In Monagle JF and Thomasma DC (eds) Health Care Ethics. Maryland: An Aspen Publication, 1998

11. Truog RD, Frader JE, Brett AS. The problem with futility. In Monagle JF and Thomasma DC (eds) Health Care Ethics. Maryland: An Aspen Publication, 1998

12. Rescher N. The allocation of exotic medical lifesaving therapy. In Mappes T.A. and Zembaty JS (eds) Biomedical Ethics. New York: McGraw-Hill Book Company, 1981

13. Kuhse H and Singer P. Bioethics, an Anthology. Oxford: Blackwell Publisher, 1999

Jakarta, 9 November 2001 7

Page 8: BIOETIK 2001

DAFTAR RIWAYAT HIDUP SINGKAT

Nama : Budi Sampurna

Tempat tgl lahir : Bandung, Juli 1954

Alamat kantor : Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Mediko-legal Fakultas Kedokteran UI / RSCM Jl Salemba Raya 6 Jakarta Pusat Telp 3106976, Fax 3154626

Alamat email : [email protected]

Pendidikan : Dokter (FKUI), Spesialis forensik (FKUI) Sarjana Hukum (FHUI), DFM (clinical) – NSPH

Organisasi profesi : Ketua Kolegium Ilmu Kedokteran Forensik Ketua BP2A PB IDI Sekretaris MKEK DKI Wilayah DKI Jakarta

Jakarta, 9 November 2001 8