bioetanol nira

15
1 BIOETANOL BERBASIS NIRA AREN : TINJAUAN KEEKONOMIAN 1 R. Wisnu Ali Martono 2 [email protected] Abstrak Menghadapi kenaikan harga minyak bumi dunia yang mencapai USD 140 per barrel pada banyak pihak yang kembali menyarankan untuk membuat bahan bakar nabati. Jika pada Keppres no 10 tahun 2006 (tentang Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati Untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan Dan Pengangguran) boleh dikatakan bertumpu pada pembuatan biodiesel berbasis minyak jarakpagar, kemudian muncul keinginan untuk menghasilkan bioetanol berbasis nira. Walaupun tidak dikeluarkan dalam konteks Keppres, namun saran pembuatan bioetanol ini juga dimaksudkan untuk mengatasi dua masalah sekaligus: kekurangan bahan bakar dan menaikkan kesejahteraan petani. Makalah ini mencoba menelusuri keekonomian program bioetanol berbasis nira Aren, untuk melihat apakah dua tujuan yang ingin dicapai dalam program bioetanol inii akan dapat mencapai sasarannya. Sebagai perbandingan, dihitung keekonomian pembuatan gula merah dan gula semut. Keduanya adalah produk tradisional dari pengolahan nira Aren. I. PENDAHULUAN Dari lima sektor pengguna energi (industri, rumahtangga, komersial, transportasi dan sektor lain) sektor transportasi bukan merupakan sektor yang paling banyak mengkonsumsi energi. Data dari ESDM (2009) 3 menyebutkan pada tahun 2008 urutan penggunaan energi komersial (energi yang diperdagangkan, tidak termasuk biomasa) per sektor adalah sebagai berikut: -sektor industri : 316.452.732 (BOE, barrel oil equivalent) -sektor rumahtangga : 84.788.576 BOE -komersial : 26.689.775 BOE -transportasi : 191.257.453 BOE -lain-lain : 24.842.951 BOE Sektor transportasi menggunakan cukup banyak energi, mengalahkan sektor rumahtangga. Kecenderungan ini tidak berubah selama bertahun-tahun. Kebutuhan bahan bakar di sektor transportasi selalu meningkat seiring dengan peningkatan sektor industri maupun sektor komersial. 1 Dimuat dalam Jurnal Ekonomi Lingkungan (terbitan KLH) No 13/2/2009. 2 Ekonom Sumberdaya Alam, bekerja pada PTISDA- BPP Teknologi 3 ESDM, Handbook Economic and Energy Statistics of Indonesia, 2009.

Upload: edi-susanto

Post on 22-Nov-2015

43 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pembuatan bioetanol

TRANSCRIPT

  • 1

    BIOETANOL BERBASIS NIRA AREN : TINJAUAN KEEKONOMIAN1 R. Wisnu Ali Martono2

    [email protected] Abstrak Menghadapi kenaikan harga minyak bumi dunia yang mencapai USD 140 per barrel pada banyak pihak yang kembali menyarankan untuk membuat bahan bakar nabati. Jika pada Keppres no 10 tahun 2006 (tentang Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati Untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan Dan Pengangguran) boleh dikatakan bertumpu pada pembuatan biodiesel berbasis minyak jarakpagar, kemudian muncul keinginan untuk menghasilkan bioetanol berbasis nira. Walaupun tidak dikeluarkan dalam konteks Keppres, namun saran pembuatan bioetanol ini juga dimaksudkan untuk mengatasi dua masalah sekaligus: kekurangan bahan bakar dan menaikkan kesejahteraan petani. Makalah ini mencoba menelusuri keekonomian program bioetanol berbasis nira Aren, untuk melihat apakah dua tujuan yang ingin dicapai dalam program bioetanol inii akan dapat mencapai sasarannya. Sebagai perbandingan, dihitung keekonomian pembuatan gula merah dan gula semut. Keduanya adalah produk tradisional dari pengolahan nira Aren. I. PENDAHULUAN Dari lima sektor pengguna energi (industri, rumahtangga, komersial, transportasi

    dan sektor lain) sektor transportasi bukan merupakan sektor yang paling banyak

    mengkonsumsi energi. Data dari ESDM (2009)3 menyebutkan pada tahun 2008

    urutan penggunaan energi komersial (energi yang diperdagangkan, tidak termasuk

    biomasa) per sektor adalah sebagai berikut:

    -sektor industri : 316.452.732 (BOE, barrel oil equivalent)

    -sektor rumahtangga : 84.788.576 BOE

    -komersial : 26.689.775 BOE

    -transportasi : 191.257.453 BOE

    -lain-lain : 24.842.951 BOE

    Sektor transportasi menggunakan cukup banyak energi, mengalahkan sektor

    rumahtangga. Kecenderungan ini tidak berubah selama bertahun-tahun.

    Kebutuhan bahan bakar di sektor transportasi selalu meningkat seiring dengan

    peningkatan sektor industri maupun sektor komersial.

    1 Dimuat dalam Jurnal Ekonomi Lingkungan (terbitan KLH) No 13/2/2009. 2 Ekonom Sumberdaya Alam, bekerja pada PTISDA- BPP Teknologi 3 ESDM, Handbook Economic and Energy Statistics of Indonesia, 2009.

  • 2

    Di sektor transportasi sendiri, bahan bakar yang dipergunakan terdiri dari berbagai

    jenis, tergantung jenis angkutanya. Jenis bahan bakar sektor angkutan itu antara

    lain solar (HSD- high speed diesel untuk angkutan darat dan MFO marine fuel oil

    untuk angkutan laut), bensin Premium4 dan bensin dengan nilai oktan lebih tinggi5

    dan BBG6 (bahan bakar gas) untuk angkutan darat, Avgas7 dan Avtur8 untuk

    angkutan udara. Dibandingkan dengan jenis-jenis bahan bakar lain untuk

    keperluan transportasi, bahan bakar Premium memberikan kontribusi terbesar,

    seperti tercermin dalam tabel berikut.

    Tabel 1.1. Konsumsi Energi Sektor Transportasi di Indonesia

    Jenis Gas Avgas Avtur Premium Bioprem Biopertmx PertmxPlus Biosolar Satuan MMSCF KL KL KL KL KL KL KL

    2003 599.00 3,556.00 1,929,351.00 13,746,726.00 - - 107,441.00 - 2004 471.00 3,416.00 2,437,923.00 15,337,655.00 - - 121,966.00 - 2005 238.00 3,070.00 2,322,634.00 16,621,765.00 - - 99,326.00 - 2006 233.00 3,390.00 2,428,078.00 15,941,837.00 1,624.00 16.00 128,289.00 217,048.00 2007 273.00 2,163.00 2,520,040.00 16,962,198.00 55,970.00 9,956.00 158,070.00 877,457.00 2008 691.00 2,003.00 2,635,670.00 18,653,344.00 44,016.00 16,200.00 114,783.00 929,393.00

    *MMSCF = million standard cubic feet, KL = kilo liter Sumber: ESDM, Handbook Economic and Energy Statistics of Indonesia, 2009.

    Di tengah terus meningkatnya kebutuhan bahan bakar untuk berbagai sektor,

    Sebagai negara pengimpor netto bahan bakar minyak, Indonesia selalu

    terpengaruh oleh kenaikan harga minyak dunia. Tabel berikut menunjukkan

    supply dan demand minyak mentah, di mana produksi (dan impor) dikurangi

    ekspor harus menutup kebutuhan pengilangan. Tanpa adanya impor, kebutuhan

    kilang (untuk diproses menjadi bahan bakar minyak) tidak akan tercukupi.

    4 Bensin dengan nama dagang Premium adalah bahan bakar mesin non-diesel dengan nilai oktan 90. Bahan bakar serupa dengan nilai oktan 92 produksi Pertamina dikenal sebagai Pertamax dan dengan nilai oktan 95 dikenal sebagai Pertamax Plus. 5 Pertamax untuk produksi Pertamina, Super untuk produk Shell, dan 92 untuk Petronas, semua untuk bahan bakar oktan 92. Pertamax Plus, Super Extra dan 95 untuk bahan bakar dengan nilai oktan 95. 6 Bahan Bakar Gas (BBG) merupakan bahan bakar dengan komposisi sebagian besar terdiri dari gas metana dan etana lebih kurang 90% dan selebihnya adalah gas propana, buthana, nitrogen dan karbondioksida. BBG lebih ringan dari udara dengan berat jenis sekitar 0,6036 dan mempunya nilai oktan 120. 7 Avgas (Aviation Gas) adalah bahan bakar untuk pesawat bermesin piston. 8 Aviation Turbine Fuel (AVTUR) atau secara internasional lebih dikenal dengan nama Jet A-1 adalah bahan bakar untuk pesawat terbang jenis jet atau turbo jet (baik tipe jet propulsion atau propeller). Bahan bakar ini merupakan fraksi minyak tanah.

  • 3

    Tabel 1.2. Supply dan Demand Minyak Mentah Indonesia (dalam ribuan Barrell)

    Tahun Produksi Ekspor Impor Kilang Kilang 2003 419,255.00 189,095.00 137,127.00 358,519.00 986.90 2004 400,554.00 178,869.00 148,490.00 366,033.00 1,002.80 2005 386,483.00 159,703.00 164,007.00 357,656.00 979.90 2006 367,049.00 134,960.00 116,232.00 333,136.00 912.70 2007 348,348.00 135,267.00 115,812.00 330,027.00 904.20 2008 357,501.00 134,872.00 83,982.00 307,023.00 841.20

    *kolom 2 + kolom 4 kolom 3 harus mencukupi kolom 5 dan 6. Apabila terus terjadi peningkatan kebutuhan bahan bakar minyak, terutama di

    sektor transportasi, sementara produksi minyak mentah tidak dapat dinaikkan,

    dapat diduga harus dilakukan impor minyak mentah (atau bahan bakar minyak)

    untuk mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri, dengan jumlah yang semakin

    meningkat setiap tahunnya.

    Di tengah kesadaran bahwa semakin lama Indonesia semakin banyak mengimpor

    minyak mentah (maupun bahan bakar minyak), pada tanggal 24 Juli 2006

    pemerintah telah mengeluarkan Keppres No 10 tahun 2006 tentang Tim Nasional

    Pengembangan Bahan Bakar Nabati Untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan

    Dan Pengangguran Presiden Republik Indonesia. Timnas BBN yang diberikan

    mandat untuk bekerja selama dua tahun ini sebenarnya mengajukan dua jenis

    bahan bakar nabati untuk diproduksi, yaitu bioetanol(untuk menggantikan bahan

    bakar jenis Premium) dan biodiesel (untuk menggantikan bahan bakar jenis High

    Speed Diesel atau solar). Akan tetapi dalam perkembangannya nampak bahwa

    titik berat program didasarkan pada produksi biodiesel berbasis jarakpagar

    (jatropha curcass).

    Keppres No 10 tahun 2006 sendiri secara legal merupakan penjabaran lebih lanjut

    dari Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang

    Penyediaan Dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan

    Bakar Lain, di mana presiden memerintahkan sejumlah menteri dan Kepala

    Daerah agar mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan percepatan

  • 4

    penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar

    Lain.

    Ketika mandat Timnas BBN berakhir di bulan Juli 2008, boleh dikata program

    pembuatan biodiesel berbasis jarakpagar telah gagal. Salah satu penyebabnya,

    menurut Wisnu Ali Martono (2007)9 adalah kurangnya perhatian terhadap analisa

    keekonomian, yang sebenarnya program ini sangat merugikan petani jika

    dilanjutkan.

    II. NIRA AREN SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL Sebenarnya potensi nira sebagai bahan baku untuk pembuatan bioetanol sudah

    disinggung dalam berbagai kajian tanaman untuk bahan baku BBN (bahan bakar

    nabati). Akan tetapi, selain program biodiesel nampak lebih diunggulkan oleh

    Timnas BBN (dibanding program bioetanol), dalam kelompok bioetanol pun nira

    kalah populer dibandingkan dengan singkong, tebu (tetes tebu), atau jagung. Hal

    ini nampak seperti tabel di bawah ini, yang tercantum dalam Roadmap produksi

    BBN, yang diajukan oleh Timnas BBN.

    Dalam tabel ini tergambar bahwa jarakpagar secara ekonomi dianggap paling baik

    dalam memberikan keuntungan finansial untuk petani yang menanamnya, dan

    dalam rangka pembuatan bahan bakar nabati. Perhitungan yang dilakukan oleh

    Wisnu Ali Martono (lihat Daftar Pustaka) menunjukkan kebalikan, bahwa

    penanaman jarakpagar bukan alternatif yang menguntungkan bagi petani

    penanamnya.

    Ketertarikan orang untuk memanfaatkan air nira dari pohon Aren sebagai bahan

    baku bioetanol mulai muncul belakangan ini, dari beberapa daerah yang memiliki

    tanaman tersebut secara meluas, seperti Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara

    9 Wisnu Ali Martono, Program BBN Berbasis Jarakpagar: Tinjauan Apsek Ekonomi, dalam Jurnal Ekonomi Lingkungan Edisi 22 thn 2007.

  • 5

    Timur. Salah satu kandidat presiden dalam Pilpres10 lalu juga mempunyai program

    untuk mengubah 4 juta11 lahan terlantar menjadi kebun Aren untuk dimanfaatkan

    air niranya sebagai bahan baru bioetanol. Tujuan utama program ini mirip dengan

    Keppres 10/2006, yaitu menambah pasokan bahan bakar minyak sekaligus

    mengangkat kesejahteraan jutaan petani.

    Tabel 2.1. Perbandingan Keuntungan Produksi BBN dengan Berbagai Tanaman Uraian Satuan Sawit (30 thn)Jarak (50 thn) Tebu (1 thn) Produktivitas per ha Ton/Ha/tahun 17 10 80 Rendemen minyak % 22 35 7 Hasil minyak/ha/thn Ton/Ha/tahun 3.74 3.50 5.60 Pendapatan petani : - Harga TBS/tebu/biji Rp/ton 600,000 500,000 200,000 - Pendapatan/ha/thn Rp/ton/tahun 10,200,000 5,000,000 16,000,000 Biaya-Biaya - TB/ha Rp/ha/tahun 5,810,556 1,500,000 2,000,000 - TBM1/ha Rp/ha/tahun 2,839,224 600,000 2,580,000 - TBM2/ha Rp/ha/tahun 4,145,511 600,000 4,500,000 - TBM3/ha Rp/ha/tahun 2,606,820 600,000 2,000,000 - TM1/ha Rp/ha/tahun 2,750,000 600,000 1,108,000 Total 15,402,111 3,900,000 12,188,000 Pendapatan/biaya Petani - Pendapatan Rp/ha/tahun 10,200,000 5,000,000 16,000,000 - Biaya Rp/ha/tahun 5,830,422 600,000 12,188,000 Hasil bersih Petani Rp/ha/tahun 4,369,578 4,400,000 3,812,000

    Sumber: www.jarakpagar.com Makalah ini dimaksudkan untuk memberi hitungan keekonomian, untuk melihat

    apakah pembuatan bahan bakar nabati (bioetanol) berbasis nira Aren merupakan

    pilihan yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Adanya perhitungan

    ini diharapkan dapat menghindarkan kesalahan yang sama dengan program BBN

    berbasis jarakpagar sebelumnya.

    10 Lihat , Bioetanol dari Pohon Lontar, dalam harian Suara Pembaruan 31 Oktober 2008 yang diupload dalam http://202.169.46.231/News/2008/11/07/Iptek/ipt01.htm, di mana disebutkan bahwa Ketua HKTI Prabowo Subianto mengatakan pohon Aren memilki banyak keunggulan sebagai bahan baku BBN dibanding tanaman lain. 11 Program ke enam dalam Delapan Program Aksi Partai Gerindra adalah Kemandirian Energi dengan cara membuka 2 juta hingga 4 juta Ha hutan aren - dengan sistim tanam tumpangsari - untuk produksi bahan bakar etanol, sebagai pengganti BBM impor. Pembukaan lahan ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor bahan bakar nabati setelah 7 tahun masa tanam (4 juta Ha hutan aren menghasilkan sekitar 56 juta mt etanol/tahun). Program ini kemudian diadopsi oleh pasangan Mega-Prabowo sebagai salah satu bagian dari Visi Misi mereka.

  • 6

    2.1. Arenga Pinnata Menurut Pusat Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman

    Perkebunan12, Aren (Arenga pinnata) merupakan tanaman serba guna.Tanaman

    palma daerah tropis basah ini beradaptasi baik pada berbagai agroklimat, mulai

    dari dataran rendah hingga 1.400 m di atas permukaan laut. Luas pertanaman

    aren di Indonesia pada tahun 2006 adalah 62.120 ha, terutama terdapat di

    Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa

    Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Tabel

    berikut menunjukkan sebaran tanaman Aren di Indonesia, beserta produksi gula

    merahnya.

    Tabel 2.2. Enam Besar Propinsi Penghasil Aren di Indonesia Tahun 2006 Daerah Luas Area (Ha) Produksi Gula Merah (ton)

    Jawa Barat* 13.878 7.866

    Sulawesi Utara 5.928 5.846

    Sumatera Utara 4.708 3.752

    Sulawesi Selatan 4.520 2.503

    Jawa Tengah 2.638 2.454

    Bengkulu 3.388 2.058 Sumber : Statistik Perkebunan Tahun 2006, hal 8, * Jawa Barat termasuk Banten.

    Walaupun sudah dikenal lama dan dimanfaatkan hasilnya, tanaman aren belum

    dibudidayakan dan sebagian besar diusahakan dengan menerapkan teknologi

    yang minim. Produk utama tanaman aren adalah nira, yaitu cairan yang disadap

    dari bunganya, yang biasanya diolah menjadi gula aren dan tuak. Hasil lainnya

    antara lain buah kolang-kaling, ijuk, dan tepung.

    Setiap pohon dapat menghasilkan 15 liter nira per hari dengan rendemen gula

    12%. Selain nira, aren juga menghasilkan ijuk rata-rata 2 kg/pohon/tahun,

    kolangkaling 100 kg/pohon/tahun, dan tepung 40 kg/pohon bila tanaman tidak

    12 Lihat : Aren, Sumber Energi Alternatif, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 31 No 2 (2009).

  • 7

    disadap niranya. Kayu aren dapat diolah menjadi mebel atau kerajinan tangan,

    seperti halnya kayu kelapa.

    Selain diminum begitu saja, nira juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai produk,

    antara lain gula merah, gula semut. Jika difermentasikan, nira dapat dirubah

    menjadi minuman beralkohol atau menjadi bioetanol. Untuk menghasilkan satu

    liter bioetanol diperlukan 15 liter nira. Bila setiap pohon menghasilkan 15 liter nira

    per hari dan dalam satu tahun aren dapat disadap 200 hari maka produksi nira

    mencapai 3.000 liter per pohon per tahun. Dengan demikian, setiap pohon dapat

    menghasilkan 200 liter bioetanol per tahun.

    Bila populasi tanaman tiap hektar 100 pohon dan hanya 10% yang diolah menjadi

    bioetanol, maka tiap tahun akan dihasilkan lebih dari 0,95 juta kiloliter bioetanol

    atau 4,75 juta kiloliter dalam 5 tahun.

    Sebagai bahan baku bioetanol, aren dianggap lebih unggul dibandingkan dengan

    singkong dan tebu. Kedua tanaman ini biasanya dipanen tiga-empat bulan sekali,

    sedangkan aren dapat dipanen sepanjang tahun. Usia panen aren adalah enam

    sampai delapan tahun setelah ditanam. Setiap satu hectare lahan dapat ditanami

    75-100 pohon aren. Dengan demikian, setiap hektare bisa menghasilkan 1.000

    liter nira dan 100 liter etanol per hari.

    Berikut adalah diagram alir yang menunjukkan potensi pemanfaatan pohon Aren.

    Jika dilihat dari diagram ini, pohon Aren memang sangat bermanfaat. Jika tidak

    ditebang untuk diambil tepung maupun kayunya, pohon Aren dapat memberikan

    manfaat dalam jangka waktu lama.

  • 8

    Diagram 2.1. Potensi Pemanfaatan Tanaman Aren13

    2.2. Proses Produksi Bioetanol dari Nira Proses pengolahan nira menjadi etanol sama dengan pengolahan pati atau

    selulosa menjadi etanol. Pengolahan bahan berpati (starchy biomass) atau

    berselulosa (cellulosic biomass) dapat menggunakan cara enzimatis, tetapi untuk

    nira digunakan cara fermentasi. Diagram alir fermentasi nira Aren menjadi

    bioetanol 99,5% disajikan pada Gambar 1. Rasio konversi bioetanol dari nira aren

    adalah 7%. Untuk menghasilkan satu liter bioetanol diperlukan tidak kurang dari

    15 liter air nira.

    13 Sumber: Sistem Informasi Pola Pembiayaan/ Lending Model Usaha Kecil, USAHA GULA AREN, diakses dari http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=53301&idrb=48701

  • 9

    Nira Ekstraksi Fermentasi Etanol (10% v/v)

    Destilasi Etanol (10% v/v) Dehidrasi Etanol (95% v/v)

    Gambar 2.2.Diagram Alir Proses Pembuatan Bioetanol Nira Aren14 2.3. Proses Produksi Gula Merah Dan Gula Semut dari Nira

    Secara tradisional, nira telah lama diolah menjadi gula merah. Pembuatan gula

    merah secara tradisional umumnya hanya sampai pada pencetakan saja. Akan

    tetapi, proses produksi gula merah ini dapat dilanjutkan menjadi gula kristal. Waktu

    pembuatan gula semut memang lebih lama (sekitar 4 jam lebih lama)

    dibandingkan dengan pembuatan gula merah, tetapi harganya juga lebih mahal.

    Di tingkat petani harga gula semut dapat mencapai Rp 9.000 per kg. Gula semut

    banyak diminati di luar negeri, khususnya Jerman dan Jepang terutama industri

    perhotelan, supermarket, serta pabrik kecap hingga pabrik anggur. Harga

    ekspornya Rp50.000/kg dan di tingkat konsumen di Belanda Rp90.000/kg.

    Tahapannya sama, pertama pengambilan nira. Untuk setiap 5 liter nira kelapa,

    ditambahkan kapur 0,5 gr atau setengah sendok teh. Kedua, pembersihan nira.

    Selanjutnya, nira disaring dan secepatnya dimasak pada suhu 60 C (untuk gula

    merah). Saat dimasak, ditambahkan air kapur sekitar 6,5 pH selama 5-10 menit.

    Kemudian nira yang sudah dimasak diangkat dan dibiarkan selama 10-25 menit

    agar kotoran mengendap. Busa yang terbentuk selama pengendapan dibuang

    dengan saringan bambu atau kawat yang halus. Ketiga, perebusan. Nira yang 14 Aren, Sumber Energi Alternatif, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 31 No 2 (2009).

  • 10

    sudah bersih direbus kembali sambil diaduk-aduk yang kuat. Apabila nira sudah

    agak kental, api dikecilkan sampai akhirnya betul-betul masak. Keempat,

    pencetakan.

    Untuk pembuatan gula semut, nira dimasak sampai suhu 120C. Pemasakan

    diakhiri apabila tetesan nira pada air dingin berbentuk benang yang tidak terputus.

    Nira yang sudah masak dimasukkan ke dalam tempat yang berbentuk silinder dari

    kayu dan drum bekas. Tempat tersebut dilengkapi dengan poros putaran berupa

    garu (sisir) dari logam atau kayu. Poros tersebut diputar dengan tenaga manusia.

    Pemutaran harus dilakukan dengan cepat ketika keadaan nira masih panas.

    Setelah gula menjadi remah pemutaran diperlambat.atau diproses lebih lanjut men

    jadi gula semut. Proses pembuatan gula merah sendiri sangat sederhana, yaitu

    dengan pemasakan untuk menguapkan airnya hingga bisa dicetak. Jika proses ini

    dilanjutkan, akan terbentuk gula semut (palm sugar). Diagram berikut

    menggambarkan proses pembuatan gula merah dan gula semut dari nira15. Rasio

    konversi dalam proses produksi gula merah adalah 14%16

    Ada dua metode produksi pembuatan gula semut berbasis nira Aren, yaitu untuk

    skala industri rumahtangga (Gambar 2.3.) dan skala sentra industri (Gambar 2.4.).

    Diagram alir kedua proses tersebut nampak seperti berikut ini. Pada skala sentra

    industri, beberapa petani bergabung menjadi satu untuk menjalankan proses

    produksi yang lebih akurat.

    15 Sumber: Sistem Informasi Pola Pembiayaan/ Lending Model Usaha Kecil, USAHA GULA AREN: Aspek Produksi,, diakses dari http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=53315&idrb=48701 16 Sumber: http://kebunaren.blogspot.com/2009/08/menyongsong-hadirnya-aren-dan.html

  • 11

    Gambar 2.3. Diagram Alir Proses Pembuatan Gula Merah dan Gula Semut Nira Aren Skala Industri Rumahtangga

    Gambar 2.4. Diagram Alir Proses Pembuatan Gula Merah dan Gula Semut Nira Aren Skala Sentra Industri

  • 12

    III. Perbandingan Keekonomian Dengan berbagai perbedaan proses produksi dan harga produk berbasis nira

    Aren, di atas, dapat dilakukan perbandingan apakah tujuan mensejahterakan

    petani dengan melibatkan mereka dalam proses produksi bioetanol (sebagai

    pemasok nira) akan mensejahterakan mereka, dibanding dengan pembuatan

    produk tradisional lain (yaitu gula merah atau gula semut).

    Tabel di bawah ini membandingkan produksi bioetanol, gula merah dan gula

    semut. Yang harus diperhatikan adalah pada harga berapa nira akan dibeli untuk

    masing-masing produk.

    Perhitungan ini mengasumsikan bahwa biaya bahan baku nira merupakan 50%

    harga produk akhir. Harga produk bioetanol setara dengan harga bensin Premium

    di tingkat SPBU (stasiun pengisian bahanbakar umum), harga gula merah dan

    gula semut setara dengan harga di pasar.

    Hasil perhitungan menunjukkan pada harga jual produk seperti dalam tabel

    (Premium Rp 4300/liter, gula merah Rp 6000/kg dan gula semut Rp 9000/kg) dan

    persentase biaya bahan baku 50% dari harga produk, pembuatan bioethanol

    hanya dapat menawarkan harga nira Aren sebesar Rp 150,50/liter, Rp 355/liter

    (pembuatan gula merah) dan Rp 887,50/liter (pembuatan gula semut).

    Tabel 3.1. Ekivalensi Harga Nira Untuk Berbagai Produk

    Jenis Produk Bioetanol Gula Merah

    Gula Semut

    Rasio Nira Thd Produk (%) 7.00 14.20 14.20 Berat Jenis Produk 0.90 1.20 1.20 Satuan Produk liter kg kg Kebutuhan Nira (liter/satuan Produk) 14.29 8.45 8.45 Harga Produk 4,300.00 6,000.00 15,000.00 Biaya Bahan Baku (%) 50.00 50.00 50.00 Harga Bahan Baku 2,150.00 3,000.00 7,500.00 Perkiraan Harga Nira (Rp/liter) 150.50 355.00 887.50 Perbandingan Harga Nira 1.00 2.36 5.90

  • 13

    Berdasarkan simulasi, untuk menyamai harga nira dalam proses pembuatan gula

    semut (Rp 887,50/liter), bioetanol yang diproduksi harus dijual dengan harga Rp

    25.000/liter. Sebagai gambaran, kelompok petani di Tomohon (Sulawesi Utara)

    yang tergabung dalam koperasi pembuatan gula semut untuk keperluan ekspor

    menerima harga nira Rp 2000/liter17. Harga nira ini, dalam simulasi di atas, dapat

    dicapai pada harga gula semut Rp 34.000/kg. Harga ini sangat mungkin tercapai

    apabila gula semut diperuntukkan pasar ekspor.

    Dilihat dari perbandingan harga beli nira, pembuatan gula semut menawarkan

    harga beli 5,9k kali lebih bagus, dibandingkan untuk keperluan pembuatan

    bioetanol.

    17 Potensi besar Agribisnis Aren, diakses dari http://ceds.wordpress.com/category/agribisnis/

  • 14

    IV. Kesimpulan Dari hasil perhitungan di atas, nampak jelas bahwa keinginan untuk meningkatkan

    kesejahteraan petani aren melalui pembuatan bioetanol justru akan menurunkan

    penghasilan yang secara tradisional (dengan membuat gula merah) mereka

    peroleh selama ini.

    Jika tujuan pembuatan bioetanol merupakan sesuatu yang tidak bisa dirubah,

    sekaligus mempertahankan kesejahteraan petani, harus ada kemauan untuk

    menaikkan harga bioetanol sampai Rp 25.000/liter. Sebaliknya, jika tujuan utama

    adalah mensejahterakan petani penanam Aren, nampaknya pembuatan bioetanol

    berbasis nira Aren bukan merupakan pilihan yang tepat. Membuat gula semut

    yang masih memiliki peluang ekspor bagus dan harganya bagus merupakan

    alternatif terbaik.

    Akan halnya dengan pemenuhan energi untuk sektor transportasi, pemakaian

    BBG harus lebih ditingkatkan, mengingat rendahnya pemakaian bahan bakar yang

    dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar Premium dan turunannya ini.

    Selain itu, perbaikan mutu angkutan umum juga harus dilakukan agar masyarakat

    tertarik untuk meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan umum.

    Daftar Pustaka Anonim, Bioetanol dari Pohon Lontar, dalam harian Suara Pembaruan 31 Oktober 2008, dalam http://202.169.46.231/News/2008/11/07/Iptek/ipt01.htm. Anonim, Aren, Sumber Energi Alternatif, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 31 No 2 (2009).

    Anonim, Potensi Besar Agribisnis Aren, diakses dari internet dengan situs http://ceds.wordpress.com/category/agribisnis/

    Anonim, Visi Misi dan Program Mega-Prabowo 2009 2014, diakses dari internet.

    ESDM, Handbook Economic and Energy Statistics of Indonesia, 2009.

  • 15

    Sistem Informasi Pola Pembiayaan/ Lending Model Usaha Kecil, USAHA GULA AREN: Aspek Produksi,http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=53315&idrb=48701 Wisnu Ali Martono, Program BBN Berbasis Jarakpagar: Tinjauan Aspek Ekonomi, dalam Jurnal Ekonomi Lingkungan Edisi 22 thn 2007. http://kebunaren.blogspot.com/2009/08/menyongsong-hadirnya-aren-dan.html