biaya upah crew dan nelayan abk
TRANSCRIPT
BIAYA UPAH CREW DAN NELAYAN ABK
Dalam hal ini ada dua system, yakni system upah/gaji dan system bagi hasil.
1. Adapun system bagi hasil (provit sharing) ini sebagian besar dipraktikkan oleh para nelayan. Kedua system ini untuk masing-masing perusahaan maupun daerah nelayan adalah berlainan.
2. System upah /gaji ini baru terbatas pada perusahaan-perusahaan perikanan yang telah menggunakan system usahanya dengan baik dan umumnya memiliki skala usaha yang relatif besar.
1. system bagi hasil (provit sharing)
Sumber 1 :
Jurnal: Martruri, Y. Lopulalan dan S.R. Siehainenia. 2006. Alternatif Pola Bagi Hasil Nelayan Purse Seine (Studi Kasus Di Kecamatan Saparua). Ambon: Universitas Pattimura
Bagi hasil yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa proporsi pendapatan nelayan (ABK) selalu tetap dan cenderung sangat kecil bila dibandingkan dengan pendapatan juragan(pemilik). Pihak juragan sebagai pemilik kapal selalu memposisikan bahwa nelayan harus menanggung biaya investasi kepemilikan kapal, sementara juragan tidak memperhatikan bahwa setiap tahun kapal mengalami penurunan nilai investasi yang mengakibatkan biaya operasional menjadi meningkat.
Dalam upaya meningkatkantaraf hidup nelayan ABK serta untuk menghindari adanya perlakuan yang tidak adil dari nelayan pemilik, maka ditentukan mekanisme pembagian hasil usaha perikanan. Mekanisme ini sebenarnya telah diatur dalam UU No 16 tahun 1964 tentang bagi hasil perikanan, yang dikemukakan sebgai berikut:
Pasal 1: Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian yang diadakan dalam usaha penangkapan antara nelayan pemilik dan nelayan penggarap, menurut perjanjian mana mereka masing-masing menerima imbangan yang telah disetujui sebelumnya.
Pasal 3: Jika menggunakan perahu layar, nelayan buruh minimal mendapat 75% dari hasil bersih ( uang kotor dikurangi perbekalan, biaya operasional dan bea lelang). Jika menggunakan perahu motor, nelayan buruh minimal mendapat 40% dari hasil bersih
Pasal 4: Beban-beban yang menjadi tanggungan bersama dari nelayan pemilik dan pihak nelayan penggarap: ongkos lelang, uang rokok/jajan dan biaya perbekalan unutk para nelayan penggarap selama di laut, biaya untuk sedekah laut ( selamat bersama) serta iuran-iuran yang disahkan oleh pemerintah daerah Tingkat II yang bersangkutan seperti untuk koperasi, dan pembangunan perahu kapal, dana kesejahteraan dan kematian dan lain- lainnya.
Akantetapi banyak pihak nelayan yang tidak tahu tentang peraturan ini , sehingga para nelayan bukan pemilik kapal tetap akan dirugikan.
Beban beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik meliputi ongkos pemeliharaan dan perbaikan perahu/kapal serta alat-alat lain yang dipergunakan, penyusutan dan biaya eksploitasi usaha penangkapan, seperti untuk pembelian solar, minyak, es, lain sebagainya. (end)
(Pola pembagian hasil yang tertera diatas sudah ada sejak nenek moyang/turun temurun)
Cobtoh perbandingan pendapatan nelayan antara pola I dan II
2. Sistem upah/gaji
Sistem upah/gaji bagi para crew dan nelayan ABK di perusahaan antara lain terdiri atas :
Gaji pokok
Gaji lembur
Tunjangan jabatan/ijazah, premi atau komis dan tambahan lainnya. Untuk system bagi hasil di kapal-kapal nelayan perinciannya sebagai berikut:
C = H – E – P – L
Dimana
C = hasil bersih yang siap dibagikan
H = Hasil penjualan ikan tangkapan di pelelangan
E = Biaya eksploitasi Kapal
P = Biaya penusutan kapal dan alat
L = pungutan liar
Selanjutnya hasil bagi © tersebut dibagi antara majikan atau pemilik dengan nelayan menurut ketentuan atau perjanjian yang telah ditentukan . hasil bagian nelayan dibagi oleh nahkoda atau juru mudi kapalyang berangkutan menurut kebiasaan serta jabatan/tugas masing-masing nelayan.
Bagi perusahaan yang perhitungan biaya dock dan perbaikan kapal setiap tahunnya tidak dibebankan pada perhitungan biaya penyusutan seperti tersebut diatas, maka jumlah hasil per trip masih merupakan hasil kotor kapal.
Sumber 2:
Jurnal:
DAMPAK MODERNISASI ALAT TANGKAP IKAN TERHADAP SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DI DESA GEMPOLSEWU KECAMATAN ROWOSARI KABUPATEN KENDAL.
Oleh: A. Dwihendrosono (Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro) April 2009
Poin-poin yang bisa diambil:
1. Dalam organisasi kerja nelayan bagan, sesuai dengan organisasi dan cara kerja yang
relatif sederhana, sistem bagi hasilnya juga sederhana. Terlebih dahulu total hasil
penujualan itu dikurangi pengeluaran untuk retribusi ke TPI sebesar 3 persen
ditambah biaya untuk asuransi, tabungan kematian, dan tabungan paceklik. Setelah
itu dikurangi lagi untuk biaya perawatan dan pemeliharaan alat yang biasanya
disepakati 10 persen dari total hasil penjualan, dan dikurangi lagi untuk biaya
perbekalan selama kegiatan penagkapan. Sisanya kemudian dibagi dua antara pemilik
dan ABK, masing-masing mendapatkan 50 persen. Jika bagan itu merupakan usaha
bersama secara patungan, maka sisa itu dibagi sejumlah nelayan yang menanamkan
modalnya pada bagan itu.
2. Juragan sebagai pemilik berkewajiban menyediakan peralatan, perbekalan, dan
sangu. Peralatan terdiri dari alat tangkap (jaring), kapal beserta mesinnya, dan lampu
merkuri atau pertomaks. Perbekalan terdiri atas solar untuk mesin kapal, solar untuk
diesel yang digunakan untuk menyalakan lampu merkuri, jika menggunakan lampu
petromaks maka harus digunakan minyak tanah, dan oli. Sementara sangu merupakan
perbekalan untuk ABK, yang terdiri dari beras, bumbu, sayur, dan rokok.
3. Juru mudi mempunyai tanggung jawab untuk mengatur keseluruhan kegiatan
penangkapan dan memelihara alat tangkap. Keberhasilan kegiatan ini sangat
tergantung pada kemampuan juru mudi dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai
penanggung jawab, ia memiliki wewenuang penuh untuk merekrut ABK,
menentukan lokasi penangkapan, memberi tugas dan komando kepada ABK, dan
menentukan kapan jaring harus ditebarkan dan kapan harus ditarik. Juru mudi juga
bertugas mengamati lokasi di mana terdapat banyak ikan. Oleh karena itu ia biasanya
berada di bagian paling depan atau kadang-kadang dibagian atas kapal
dan juru lainnya yang termasuk ke dalam ABK.
Sistem bagi hasil dengan alat purse seine mini adalah hasil total dikurangi terlebih
dahulu dengan pengeluaran yang terdiri dari retribusi sebesar 3 persen ditambah biaya untuk
asuransi, tabungan kematian, dan tabungan paceklik. Setelah itu dikurangi biaya perbekalan
dan sangu serta untuk pemeliharaan alat sebesar 15 persen. Sisanya kemudian dibagi menjadi 2
yaitu 50 persen untuk juragan dan 50 persen untuk ABK.
Jumlah bagian 50 persen untuk ABK kemudian dibagi sejumlah ABK yang besarnya
ditentukan oleh kedudukan atau jabatahn mereka dalam organisasi kerja, yaitu sebagai berikut.
Juru mudi mendapatakan 5 bagian.
Juru mesin mendapatkan 2 bagian.
Juru gidang mendapatkan 2 bagian.
Juru tawur mendapatkan 2 bagian.
Juru batu mendapatkan 1,5 bagian.
Bocahan mendapatkan 1 bagian.
Juru arus mendapatkan 1 bagian.
ABK lain yang membantu juru tawur mendapat 1 bagian.
Jika juragan merangkap sebagai juru mudi, dengan sendirinya bagian sebesar 5 bagian untuk
jabatan ini menjadi hak juragan.
Simpulan: Keberpihakan pemerintah terhadap kehidupan nelayan tradisional, agaknya
harus ditinjau ulang mekanisme pelaksanaannya di lapangan. Hal ini berkaitan erat dengan
dampak yang ditimbulkannya. Disadari atau tidak, kebijakan mendasar pemerintah di dalam
usaha meningkatkan kualitas hidup nelayan tradisional, ternyata hanya menguntungkan
sekelompok orang saja. Kehidupan nelayan buruh / kecil masih tetap memerlukan perhatian
khusus. Hanya kelompok nelayan juragan-lah yang dapat menikmati keuntungan. Kehidupan
nelayan buruh / kecil masih tetap belum seperti yang diharapkan. Oleh karena itu perlu adanya
penguatan ekonomi dan pendidikan diantara kalangan nelayan buruh.