riset paper abk
TRANSCRIPT
i
KATA PENGANTAR
Seiring dengan semangat reformasi birokrasi Departeman Keuangan, BPPK
telah menggulirkan beberapa kebijakan tahunan yang dijadikan tema program kerja.
Dimulai pada tahun 2007 dengan Back to Basic yang menekankan pada compliance
sebagai lembaga pendidikan dan sebagai unit kerja pada Departeman Keuangan.
Langkah ini diarahkan pada pencitraan BPPK yang lebih baik. Dilanjutkan pada tahun
2008 dengan tema Revitalisasi yang berupaya menajamkan fungsi – fungsi pada
seluruh satuan kerja BPPK sebagai langkah optimalisasi pencapaiaan kinerja
organisasi. Pada tahun 2009 ini, BPPK mengusung tema Leap to Lead.
Tema Leap to Lead merupakan usaha untuk mewujudkan BPPK sebagai
rujukan utama pengelola diklat di bidang Keuangan Negara dan Akuntansi
Pemerintahan melalui kebijakan kajian akademik yang berkesinambungan. Dua topik
kajian yang menjadi tonggak pelaksanaan tema Leap to Lead adalah Performance-
based Budgeting d a n Accrual Basis Accounting. Kedua riset tersebut, yang
dilaksanakan oleh tim riset yang beranggotakan para Widyaiswara, merupakan hasil
karya BPPK sebagai lompatan untuk dapat menjadi yang terdepan dalam pengkajian
materi kediklatan.
Melalui kebijakan di atas, tema sentral 2010 yang mensyaratkan diklat
berbasis kompetensi dengan memanfaatkan teknologi informasi akan menjadi hal
yang lebih mudah untuk dicapai. Fungsi diklat sebagai solusi kesenjangan kompetensi
SDM Departemen Keuangan dan seluruh stakeholders BPPK dapat diwujudkan.
Dengan perancangan kurikulum berdasarkan kajian akan kebutuhan unit,
pengembangan materi berdasarkan kajian akademik, dan penetapan metode
pembelajaran dengan dukungan Teknologi Informasi, BPPK akan dapat
ii
bertransformasi menjadi ‘pusat pembelajaran’ dan bukan hanya sebatas sebagai
‘lembaga pendidikan dan pelatihan’.
Kepada tim riset khususnya, dan seluruh pihak terkait, saya menyampaikan
apresiasi yang setinggi – tinginya atas kinerja Saudara sekalian. Semoga semangat
ketulusan Saudara dapat mejadi inspirasi bagi kemunculan karya – karya berikutnya.
Terima kasih.
Jakarta, Januari 2009
Kepala BPPK
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar.....................................................................................................
Daftar Isi..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................
1.1. Latar Belakang..............................................................................................
1.2. Perumusan Masalah.......................................................................................
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian.....................................................................
1.4. Metode Penelitian.........................................................................................
1.5. Kerangka Penulisan........................................................................................
BAB II TEORI ANGGARAN BERBASIS KINERJA.......................................
2.1. Pengertian Anggaran Berbasis Kinerja..........................................................
2.2. Prinsip-prinsip Anggaran Berbasis Kinerja...................................................
2.2.1. Prinsip Value For Money...........................................................................
2.2.2. Prinsip Good Corporate Governance..........................................................
2.3. Elemen-elemen Anggaran Berbasis Kinerja..................................................
2.4. Unsur-unsur Pendukung Anggaran Berbasis Kinerja……………………...
2.4.1. Pengukuran Kinerja....................................................................................
2.4.2. Ganjaran dan Hukuman (Reward and Punishment)……………………..
2.4.3. Kontrak atas Kinerja……………………………………………………..
2.4.4. Kontrol Internal dan Esternal……………………………………………
2.4.5. Akuntabilitas Manajemen……………………………………………….
2.5. Prakondisi Anggaran Berbasis Kinerja Menurut Allen Shick……………..
2.6. Keuntungan Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja......................................
i
iii
1
1
2
3
3
4
5
5
6
7
8
10
14
15
17
18
18
19
19
22
iv
BAB III PENGALAMAN NEGARA LAIN DALAM PERSIAPAN DAN
PELAKSANAAN SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA........
3.1. Perubahan Budaya Manajemen dengan New Public Management................
3.1.1. Manajemen Kontrak………………………………………………………
3.1.2. Orientasi pada Hasil Kerja (Output)……………………………………...
3.1.3. Controlling……………………………………………………………….
3.1.4. Orientasi pada Masyarakat/Pelanggan…………………………………...
3.1.5. Personalia………………………………………………………………...
3.1.6. Teknik Informasi…………………………………………………………
3.1.7. Manajemen Mutu………………………………………………………...
3.2. Membangun Sistem Pemantauan dan Evaluasi……………………………
3.2.1. Kontribusi Sistem Pemantauan dan Evaluasi……………………………
3.2.2. Pengalaman Negara-negara terhadap Penggunaan Sistem Pemantauan
dan Evaluasi……………………………………………………………
3.2.2.1. Australia………………………………………………………………..
3.2.2.2. Inggris………………………………………………………………….
3.2.2.3. Amerika Serikat.......…………………………………………………...
3.2.2.4. Chile……………………………………………………………………
3.2.2.5. Kolumbia……………………………………………………………….
3.3. Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja……...………………………
3.3.1. Australia………………………………………………………………….
3.3.2. Inggris……………………………………………………………………
24
24
26
27
27
28
29
29
30
30
30
32
33
34
35
36
39
39
42
46
v
BAB IV IMPLEMENTASI SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS
KINERJA DI INDONESIA……........................................................................
4.1. Persiapan Penganggaran Berbasis Kinerja.....................................................
4.1.1. Penuangan dalam Peraturan Perundangan sebagai Landasan Hukum.......
4.1.2. Cascading Perencanaan Kinerja.................................................................
4.1.2.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)......................................
4.1.2.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).................................
4.1.2.3. Rencana Kerja Pemerintah.......................................................................
4.1.2.4. Visi dan Misi Kementerian Negara/Lembaga..........................................
4.1.2.5. Renstra Kementerian Negara/Lembaga...................................................
4.1.2.6. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga................
4.1.2.7. Klasifikasi Anggaran...............................................................................
4.1.3. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Sesuai Dengan Konsep New Public
Management..............................................................................................
4.1.4. Penerapan Good Corporate Governance....................................................
4.2. Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja………………………………
4.2.1. Evaluasi atas Sistem Pengukuran Kinerja………………………………
4.2.1.1. Indikator Kinerja dan Pengukurannya.....................................................
4.2.1.2. Standar Pelayanan Minimal (SPM)..........................................................
4.2.1.3. Analisis Standar Biaya (ASB)..................................................................
4.2.2. Evaluasi atas Pemberian Ganjaran dan Hukuman......................................
4.2.3. Evaluasi atas Pelaksanaan Kontrak Kinerja...............................................
4.2.4. Evaluasi atas Pengendalian Internal dan Eksternal.....................................
4.2.5. Evaluasi atas Cascading Perencanaan Kinerja (BPPK sebagai Ilustrasi)...
4.2.6. Evaluasi atas Penyusunan Dokumen Anggaran.........................................
47
47
47
54
54
57
58
59
60
62
63
67
67
71
73
73
73
78
78
81
81
82
84
91
vi
4.2.7. Evaluasi atas Pembahasan Anggaran.........................................................
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………..........
5.1. Kesimpulan....................................................................................................
5.2. Saran...............................................................................................................
Daftar Pustaka.......................................................................................................
96
97
97
100
102
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dengan berlakunya paket undang-undang di bidang Pengelolaan Keuangan
Negara yaitu Undang-undang N omor 1 7 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara telah mengubah secara drastis sistem penganggaran di
Indonesia. Paket undang-undang tersebut merupakan fondasi bagi pelaksanaan
reformasi di bidang keuangan. Reformasi terkait dengan berlakunya paket undang-
undang di bidang keuangan negara tersebut adalah:
1) Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting),
2) Penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term
Expenditure Framework/MTEF),
3) Penerapan Anggaran terpadu (Unified Budget).
Pada prinsipnya ketiga hal tersebut adalah jawaban atas semakin meningkatnya
tuntutan untuk terciptanya tranparansi, akuntabilitas dan profesionalitas dalam
pengelolaan APBN. Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan prinsip yang harus
dapat diterapkan dengan baik untuk menjawab harapan publik terhadap anggaran
pemerintah.
Dalam pelaksanaan sistem penganggaran di Indonesia dinyatakan ketiga
pendekatan tersebut telah diadopsi dan telah dilaksanakan, namun dalam
pelaksanaannya ditemui berbagai macam kendala yang masih sangat sulit untuk
dipecahkan. Penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah telah diadopsi dalam
penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga meskipun
2
masih belum sempurna begitu juga penerapan unified budget (penyatuan anggaran
rutin dengan anggaran pembangunan) juga telah diterapkan dan senantiasa terus
dipertegas dan dipertajam. Penerapan prinsip anggaran berbasis kinerja merupakan
hal yang paling sulit untuk diimplementasikan meskipun secara formal telah
dinyatakan berlaku namun semua pihak masih mengakui bahwa penerapan prinsip
tesebut masih jauh dari yang diharapkan.
Pengalaman negara-negara lain memerlukan waktu yang panjang untuk
menerapkan prinsip penganggaran berbasis kinerja, sehingga selalu menjadi dasar
permakluman apabila Indonesia sampai saat sekarang belum mampu melaksanakan
prinsip tersebut secara utuh. Research paper ini berusaha meninjau sejauh mana
prinsip tersebut telah diterapkan di Indonesia dan kendala apa yang dihadapi serta
saran dan usulan untuk mendukung pelaksanaan prinsip penganggaran berbasis
kinerja di Indonesia sehingga harapan terciptanya anggaran publik yang akuntabel,
transparan, profesional sesuai dengan best practice internasional dapat tercapai.
Secara teoritis ada tahapan-tahapan yang harus dilalui ketika suatu negara akan
melaksanakan penganggaran berbasis kinerja. Prakondisi yang tercipta sebelum
pelaksanaan pengganggaran berbasis kinerja akan menentukan keberhasilan
pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja tersebut. Untuk itu kajian singkat ini juga
akan menilai sejauh mana pemerintah Indonesia telah menciptakan prasyarat-
prasyarat bagi terlaksananya penganggaran berbasis kinerja secara optimal.
I.2. Perumusan Masalah
Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja di Indonesia secara formal telah
diterapkan sejak Tahun 2002, namun dalam pelaksanaannya masih ditemukan adanya
kesenjangan antara teori Anggaran Berbasis Kinerja yang telah diterapkan di berbagai
3
negara di dunia dengan penerapan penganggaran berbasis kinerja di Indonesia. Dari
kondisi tersebut dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Sejauh mana Indonesia telah mempersiapkan pelaksanaan Anggaran Berbasis
Kinerja;
2. Sejauh mana pencapaian Indonesia dalam pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja.
I.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Melakukan kajian secara umum terhadap penganggaran berbasis kinerja di
Indonesia dibandingkan dengan teorinya;
2) Mengidentifikasi persiapan dan pelaksanaan yang telah dilakukan Indonesia.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari kegiatan penelitian ini adalah:
1) Mendapatkan gambaran atas capaian persiapan dan pelaksanaan penganggaran
berbasis kinerja di Indonesia;
2) Menjadi dasar bagi penelitian lebih lanjut atas hal-hal yang belum dapat dicapai
atas persiapan dan pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja di Indonesia.
1.4. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara riset kepustakaan dan mengambil data-data
sekunder dari BPPK, berupa renstra, renja dan RKA-KL sebagai ilustrasi untuk
evaluasi atas perencanaan kinerja dan penuangannya dalam anggaran.
4
1.5. Kerangka penulisan
Kerangka penulisan dari laporan penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan, b erisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian dan kerangka penulisan.
Bab II Teori Sistem Penganggaran Berbasis Kinerja, berisi pengertian anggaran
berbasis kinerja, proses penyusunan anggaran berbasis kinerja, prasyarat
anggaran berbasis kinerja.
Bab III Pengalaman Negara Lain dalam Persiapan dan Pelaksanaan Anggaran
Berbasis Kinerja, berisi New Public Management, Sistem Pemantauan dan
Evaluasi dan penerapan Anggaran Berbasis Kinerja di beberapa negara.
Bab IV Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja di Indonesia, berisi pembahasan
persiapan dan perkembangan pelaksanaan ABK di Indonesia, evaluasi atas
prasyarat pelaksanaan ABK, evaluasi atas perencanaan kinerja, evaluasi
atas penyusunan anggaran dan evaluasi atas pembahasan anggaran.
Bab V Kesimpulan dan Saran.
5
BAB II
TEORI SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
2.1. Pengertian Anggaran Berbasis Kinerja
Seiring dengan semakin tingginya tuntutan masyarakat terhadap transparansi
penganggaran belanja publik, maka diperkenalkanlah sistem penganggaran yang
berbasis kinerja ( Performance Based Budgeting) sebagai pengganti sistem
penganggaran lama dengan sistem Line Item Budgeting. Dalam sistem Line Item
Budgeting penekanan utama adalah terhadap input, di mana perubahan terletak pada
jumlah anggaran yang meningkat dibanding tahun sebelumnya dengan kurang
menekankan pada output yang hendak dicapai dan kurang mempertimbangkan
prioritas dan kebijakan yang ditetapkan secara nasional.
Secara teori, prinsip anggaran berbasis kinerja adalah anggaran yang
menghubungkan anggaran negara (pengeluaran negara) dengan hasil yang diinginkan
(output d a n outcome) s e h i n g g a s e t i a p ru p i a h yang dikeluarkan d a p a t
dipertanggungjawabkan kemanfaatannya. Performance based budgeting dirancang
untuk menciptakan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas dalam pemanfaatan
anggaran belanja publik dengan output dan outcome yang jelas sesuai dengan prioritas
nasional sehingga semua anggaran yang dikeluarkan dapat dipertangungjawabkan
secara transparan kepada masyarakat luas. Penerapan penganggaran berdasarkan
kinerja juga akan meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memperkuat
dampak dari peningkatan pelayanan kepada publik. Untuk mencapai semua tujuan
tersebut, kementerian negara/lembaga diberikan keleluasaan yang lebih besar
(let’s the manager manage) untuk mengelola program dan kegiatan didukung
6
dengan adanya tingkat kepastian yang lebih tinggi atas pembiayaan untuk program
dan kegiatan yang akan dilaksanakan.
Performance Based Budgeting memperhatikan keterkaitan antara pendanaan
dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian
hasil dan keluaran tersebut sehingga prinsip-prinsip transparansi, efisiensi, efektivitas
dan akuntabilitas dapat dicapai. Kunci pokok untuk memahami Performance Based
Budgeting adalah pada kata “Performance atau Kinerja”. Untuk mendukung sistem
penganggaran berbasis kinerja yang menetapkan kinerja sebagai tujuan utamanya
maka diperlukan alat ukur kinerja yang jelas dan transparan berupa indikator kinerja
(performance indicators). Selain indikator kinerja juga diperlukan adanya sasaran
(targets) yang jelas agar kinerja dapat diukur dan diperbandingkan sehingga
selanjutnya dapat dinilai efisiensi dan efektivitas dari pekerjaan yang dilaksanakan
serta dana yang telah dikeluarkan untuk mencapai output/kinerja yang telah
ditetapkan. Perbedaan antara Line Item Budgeting dengan Performance Based
Budgeting dapat digambarkan pada Tabel 2.1.
2.2. Prinsip-Prinsip Anggaran Berbasis Kinerja
Secara umum prinsip-prinsip anggaran berbasis kinerja didasarkan pada
konsep value for money (ekonomis, efisiensi dan efektivitas) dan prinsip good
corporate governance, termasuk adanya pertanggungjawaban para pengambil
keputusan atas penggunaan uang yang dianggarkan untuk mencapai tujuan, sasaran,
dan indikator yang telah ditetapkan.
7
Tabel 2.1
Perbedaan Line Item Budgeting Dengan Performance Base Budgeting
2.2.1. Prinsip Value for Money
Dalam kaitan dengan penganggaran prinsip ini digunakan untuk menilai
apakah negara telah mendapatkan manfaat maksimal dari belanja yang dilakukan
serta pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Beberapa hal memang sulit untuk
diukur, tidak berwujud dan bersifat subyektif sehingga sering disalah artikan karena
itu dibutuhkan pertimbangan yang matang dalam menentukan apakah prinsip value
for money telah diterapkan dan dicapai dengan baik. Value for money tidak semata
mengukur biaya barang dan jasa melainkan juga memasukkan gabungan dari unsur
kualitas, biaya, sumber daya yang digunakan, ketepatan penggunaan, batasan waktu
dan kemudahan dalam menilai apakah secara bersamaan kesemua unsur tersebut
membentuk “value” (nilai) yang baik.
No Uraian Line Item Budgeting PerformanceBase Budgeting1 Sistem Anggaran Berimbang,inkremental Tidak harus berimbang,
incremental be rdasa rkan kinerja tahun sebelumnya
2 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Pendapatan,Belanja dan Pembiayaan
3 Belanja Rutin dan Pembangunan Unified budgeting (anggaran operasional dan anggaran modal
4 Pinjaman (loan) Bagian dari pendapatam Bagian d a r i s u m b e r pembiayaan
5 Tolok ukur kinerja(Performance measure)
Tidak dapat diterapkan Berfokus pada hasil, manfaat dan dampak
6 Pengorganisasian Cenderung terpusat Desentralisasi dan focus pada pelayanan publik
7 Laporan Laporan keuangan Laporan keuangan, laporan kinerja dan pelayanan
8
Pencapaian value for money sering digambarkan dalam bentuk tiga E, yaitu:
1. Ekonomis, yaitu meminimalkan biaya sumber daya untuk suatu kegiatan
(mengerjakan sesuatu dengan biaya rendah);
2. Efisien, yaitu melaksanakan tugas dengan usaha yang optimal (melakukan
sesuatu dengan benar);
3. Efektif, yaitu sejauh mana sasaran dicapai (melakukan hal yang benar).
2.2.2. Prinsip Good Corporate Governance
Prinsip good corporate governance telah diadopsi oleh hampir semua
pemerintahan yang mengaku menjalakan administrasi publik yang modern.
Good governance antara lain dipahami sebagai suatu kondisi yang mempunyai
delapan karakteristik utama yaitu partisipasi, rule of law, transparansi, responsiveness,
consensus orientation, equity and inclusiveness, effectiveness and efficiency dan
accountability. Selanjutnya diyakini ke delapan karakteristik utama tersebut akan
mampu menjamin terciptanya pemerintahan yang bebas dari KKN, melindungi kaum
minoritas dan suara masyarakat didengar dalam rangka pengambilan keputusan.
Masing-masing prinsip utama tersebut selanjutnya secara ringkas dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Participation, adanya partisipasi dari semua pihak, masyarakat luas termasuk
adanya jaminan kebebasan berserikat dan berekspresi dalam proses penganggaran
termasuk adanya pengawasan terhadap belanja publik oleh masyarakat luas;
b. Rule of law, dalam kaitan dengan sistem penganggaran prinsip ini merupakan
pusat dari proses penyusunan anggaran. APBN ditetapkan dengan Undang-
Undang begitu juga aturan-aturan pelaksanaan semua harus mengacu pada
Undang-undang.
9
c. Transparency, prinsip ini berlaku di berbagai fungsi dan tanggungjawab
pengelolaan keuangan pemerintah, termasuk dalam proses perencanaan, kebijakan
keuangan, pencatatan, audit keuangan dan pelibatan masyarakat dalam kegiatan
pengelolaan keuangan.
d. Responsiveness, sistem penganggaran harus mampu menampung semua
kebutuhan publik dalam waktu yang masuk akal.
e. Consensus orientation, penganggaran harus mengakomodir segala kepentingan
yang ada pada masyarakat luas atau juga dikenal dengan istilah anggaran
partisipatif. Penganggaran partisipatif didasarkan pada pemikiran partisipasi
masyarakat yang intensif dalam proses pengambilan keputusan anggaran. Hal ini
juga terkait dengan perspektif jangka panjang dalam rangka terciptanya
pembangunan sumber daya manusia dan bagaimana mencapai tujuan
pembangunan.
f. Equity and inclusiveness, kesamaan dan pengikutsertaan jika diterapkan dalam
sistem penganggaran maka semua keputusan dalam bidang keuangan dibuat demi
kepentingan seluruh masyarakat bukan hanya sebagian golongan. Sehingga
seluruh masyarakat merasakan bagian dari kebijakan penganggaran dan tidak
merasa seolah-olah anggaran yang dibuat oleh pemerintah hanyalah untuk
kepentingan pemerintah.
g. Effectiveness and efficiency, anggaran berbasis kinerja merupakan cerminan
kedua prinsip tersebut. Efektivitas adalah melakukan hal yang benar dan efisiensi
adalah melakukan sesuatu dengan benar. Keputusan anggaran harus memilih hal-
hal yang benar untuk dibiayai oleh dana masyarakat dan mengelola pengeluaran
dana-dana dan sumber daya tersebut untuk memastikan bahwa hal tersebut
dilaksanakan dengan benar.
10
h. Accountability, akuntabilitas merupakan inti dari proses anggaran. Akuntabilitas
m e m b u a t p e j a b a t y a n g m e n d a p a t t u g a s m e l a k s a n a k a n d a n
mempertangggungjawabkan anggaran harus dapat mengungkapkan bagaimana
dana masyarakat akan digunakan. Audit program dan keuangan akan dapat
menentukan apakah pejabat bersangkutan akuntabel dalam pelaksanaan anggaran
yang menjadi tanggungjawabnya.
2.3. Elemen-Elemen Penganggaran Berbasis Kinerja
Dalam rangka penerapan Anggaran Berbasis Kinerja terdapat elemen-elemen
utama yang harus harus ditetapkan terlebih dahulu yaitu:
1. Visi dan Misi yang hendak dicapai. Visi mengacu kepada hal yang ingin
dicapai oleh pemerintah dalam jangka panjang sedangkan misi adalah
kerangka yang menggambarkan bagaimana visi akan dicapai.
2. Tujuan . Tujuan merupakan penjabaran lebih lanjut dari visi dan misi. Tujuan
tergambar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang
menunjukkan tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam rangka mencapai visi
dan misi yang telah ditetapkan. Tujuan harus menggambarkan arah yang jelas
serta tantangan yang realisitis. Tujuan yang baik bercirikan, antara lain
memberikan gambaran pelayanan utama yang akan disediakan, secara jelas
menggambarkan arah organisasi dan program-programnya, menantang namun
realistis, mengidentifikasikan obyek yang akan dilayani serta apa yang hendak
dicapai.
3. Sasaran. Sasaran menggambarkan langkah-langkah yang spesifik dan terukur
untuk mencapai tujuan. Sasaran akan membantu penyusun anggaran untuk
mencapai tujuan dengan menetapkan target tertentu dan terukur. Kriteria
11
sasaran yang baik adalah dilakukan dengan menggunakan kriteria spesifik,
terukur, dapat dicapai, relevan, dan ada batasan waktu (specific, measurable,
achievable, relevant, timely/SMART) dan yang tidak kalah penting bahwa sasaran
tersebut harus mendukung tujuan (support goal).
4. Program. Program adalah sekumpulan kegiatan yang akan dilaksanakan
sebagai bagian dari usaha untuk mencapai serangkaian tujuan dan sasaran.
Program dibagi menjadi kegiatan dan harus disertai dengan target sasaran
output dan outcome. Program yang baik harus mempunyai keterkaitan dengan
tujuan dan sasaran serta masuk akal dan dapat dicapai.
5. Kegiatan. Kegiatan adalah serangkaian pelayanan yang mempunyai maksud
menghasilkan output dan hasil yang penting untuk pencapaian program.
Kegiatan yang baik kriterianya adalah harus dapat mendukung pencapaian
program.
Dalam menyusun anggaran berdasarkan kinerja, organisasi ataupun unit
organisasi tidak hanya diwajibkan menyusun anggaran atas dasar fungsi, program,
kegiatan, dan jenis belanja tetapi juga menetapkan kinerja yang ingin dicapai. Kinerja
tersebut antara lain dalam bentuk keluaran (output) dari kegiatan yang akan
dilaksanakan dan hasil (outcome) dari program yang telah ditetapkan. Apabila telah
ditetapkan prestasi (kinerja) yang hendak dicapai, baru kemudian dihitung
pendanaan yang dibutuhkan untuk menghasilkan keluaran atau hasil yang
ditargetkan sesuai rencana kinerja.
Rencana kerja Kementerian Negara/Lembaga ditetapkan berdasarkan
rencana strategis (renstra) yang telah disusun sebelumnya. Rencana strategis berisi
visi, misi, tujuan, kebijakan, program, dan kegiatan. Dalam rencana strategis juga
diperhitungkan hambatan-hambatan, baik dari dalam maupun dari luar yang akan
12
dapat menghalangi pencapaian tujuan serta struktur dari organisasi yang disusun
untuk mendukung perencanaan strategis dimaksud. Dari rencana strategis selanjutnya
diturunkan/disusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang bersifat operasional dan
penjabaran lebih lanjut dari rencana RKP tersebut maka dapat ditentukan kinerja yang
harus dicapai oleh masing-masing unit organisasi.
Dalam rencana kerja dapat ditemukan beberapa informasi tambahan yang belum
terlihat dalam perencanaan strategis, seperti indikator hasil/indikator keluaran yang
diharapkan, perkiraan sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan,
serta penanggung jawab dan pelaksana program prioritas yang telah ditetapkan.
Program sebagai turunan dari rencana strategis adalah penjabaran kebijakan
Kementerian Negara/Lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa
kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang disediakan untuk mencapai hasil
yang terukur sesuai dengan misi Kementerian Negara/Lembaga.
Masing-masing Kementerian Negara/Lembaga harus menyusun dan menetapkan
program berdasarkan prioritas. Beberapa kriteria yang dapat membantu dalam
penentuan skala prioritas suatu program, antara lain adalah program yang
direncanakan untuk mendukung pencapaian platform presiden terpilih, program yang
mendukung pencapaian misi Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan,
program yang cukup sensitif secara poli t is dan mendapat perhatian dari
masyarakat dan pengguna. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah
pentingnya menyusun target sasaran program prioritas yang jelas agar dapat dinilai
kinerja pelaksanaannya.
Selanjutnya juga harus ditetapkan sumberdaya yang dibutuhkan untuk
melaksanakan suatu program dan kegiatan yang terdiri dari: (i) anggaran yang
dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan, (ii) tenaga kerja yang dibutuhkan, baik
13
jumlah pegawai maupun jumlah jam kerja, (iii) aset pendukung seperti bangunan,
kendaraan dan aset-aset lainnya.
Suatu program diukur tingkat keberhasilannya atas pencapaian hasil
(outcomes) yang telah ditargetkan. Outcome merupakan sasaran pencapaian untuk
jangka menengah atau jangka panjang sebagai tanggung jawab politis dari
Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai pengguna anggaran. Sedangkan keberhasilan
suatu kegiatan diukur dari tingkat pencapaian kinerja berupa keluaran (output) yang
diproduksi baik berupa barang maupun jasa. Keluaran merupakan keseimbangan
antara komponen harga (anggaran), kuantitas, dan kualitas. Keberhasilan dari
kegiatan yang menghasilkan berbagai keluaran merupakan tanggung jawab dari
pimpinan satuan kerja sebagai tanggung jawab operasional.
Untuk penilaian keberhasilan suatu kinerja harus disusun indikator kinerja.
Dalam penetapan kinerja harus ditetapkan lebih dari satu indikator kinerja dengan
menekankan pada indikator kunci (key performance indicators) sehingga terhindar
dari indikator yang bersifat main-main atau asal-asalan. Penetapan indikator kinerja
umumnya terkait dengan kuantitas dan kualitas. Di samping itu dalam penyusunan
indikator harus jelas (clear), relevan (relevant) atau sejalan dengan pencapaian tujuan
organisasi, dapat tersedia dengan biaya yang ada (economic), mempunyai dasar yang
cukup untuk ditetapkan (adequate), dan dapat dimonitor keberhasilannya
(monitorable).
Dalam penetapan anggaran yang akan digunakan untuk mendukung suatu
kegiatan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam penerapan
penganggaran harus ditentukan metode perhitungan biaya untuk masing-masing unit
keluaran. Kedua, perlu memperhitungkan biaya bersama (common cost) yaitu biaya
yang diakibatkan oleh pemanfaatan fasilitas secara bersamaan untuk menghasilkan
14
beberapa keluaran. Dengan demikian dibutuhkan suatu standar akuntansi biaya
untuk sektor pemerintahan dalam menentukan standar biaya dimaksud.
Untuk mendukung siklus pengelolaan kinerja yang baik diperlukan suatu
sistem informasi yang dapat mendukung penilaian dan pengelolaan kinerja
(performance management) secara keseluruhan. Ada beberapa metode yang dapat
digunakan untuk mendukung sistem informasi dimaksud, antara lain dengan:
a) penyusunan survey kepuasan pelanggan (client survey) yang ditujukan untuk
mengukur indikator kualitas yang telah ditetapkan.
b) pelaksanaan perbandingan (benchmarking) yang ditujukan untuk membandingkan
seluruh kinerja yang dicapai dengan pencapaian kinerja penyedia barang/jasa
tertentu. Dalam menyusun perbandingan ini perlu menetapkan lembaga
pembanding yang seimbang dan memiliki kompetensi. Perbandingan dilakukan
tidak hanya dengan lembaga lain, tetapi juga dengan target kinerja, pencapaian
tahun yang lalu, dan standar kinerja di sektor swasta.
c) penentuan peringkat pencapaian kinerja antar instansi pemerintah yang
menyediakan barang dan jasa sejenis. Dengan membuat peringkat ini,
masing-masing instansi pemerintah berusaha untuk mencapai kinerja sesuai
dengan standar rata-rata, sehingga diharapkan ada keinginan untuk terus
memperbaiki tingkat pelayanan kegiatan dimaksud.
2.4. Unsur-unsur Pendukung Anggaran Berbasis Kinerja
Dalam rangka penerapan anggaran berbasis kinerja terdapat unsur-unsur yang
harus dipahami dengan baik oleh semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan
anggaran berbasis kinerja. Unsur-unsur pokok yang harus dipahami tersebut adalah
15
pengukuran kinerja, penghargaan dan hukuman, kontrak kinerja, kontrol eksternal dan
internal, akuntabilitas manajemen, serta prakondisi yang harus dipenuhi.
2.4.1. Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja adalah suatu proses yang obyektif dan sistematis dalam
mengumpulkan, menganalisis dan menggunakan informasi untuk menentukan
seberapa efektif dan efisien pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah mencapai
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Konsekuensi Anggaran Berbasis Kinerja
yang menghubungkan perencanaan strategis (tertuang dalam program) dengan
penganggaran (tertuang dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan) untuk
mencapai tujuan strategis adalah harus menentukan program dan kegiatan dengan
jelas. Pembiayaan dari masing-masing program, kegiatan dan keluaran juga harus
tergambar dengan jelas. Struktur pembiayaan yang jelas akan muncul apabila sistem
akuntansi yang dipakai berdasarkan akrual.
Dalam rangka pengukuran kinerja yang baik diperlukan adanya sistem
informasi yang mampu menghasilkan informasi yang memadai untuk menilai
pencapaian kinerja dari masing-masing lembaga/unit kerja yang bertanggung jawab
atas suatu kegiatan. Tingkat informasi dasar yang harus dikembangkan meliputi:
a) Ekonomis, sejauh mana masukan yang ada digunakan dengan sebaik-baiknya;
b) Efisiensi, sejauh mana perbandingan antara tingkat keluaran suatu kegiatan
dengan masukan yang digunakan;
c) Efektivitas, sejauh mana keluaran yang dihasilkan mendukung pencapaian hasil
yang ditetapkan.
Informasi yang dihasilkan juga harus dapat membandingkan kinerja yang
direncanakan dengan pencapaiannya. Pengukuran kinerja dilaksanakan oleh
16
masing-masing lembaga/unit kerja yang selanjutnya dikontrol mutunya serta
diverifikasi oleh instansi pusat serta lembaga audit. Agar tercapai penilaian yang
fair diperlukan peran dari pihak eksternal dalam mengukur kinerja secara lebih
independen. Pendekatan dalam mengukur kinerja akan bervariasi antar
lembaga/unit kerja, bergantung pada bentuk keluaran yang dihasilkan. Beberapa
teknik dan sumber informasi yang relevan yang digunakan antara lain:
a) Pengembangan biaya per unit: di mana kuantitas dan biaya dari keluaran
merupakan sesuatu yang menjadi pertimbangan;
b) Pembandingan (benchmarking) atas biaya dan standar pelayanan, baik itu antar
lembaga, antara wilayah, maupun antar negara;
c) Penentuan peringkat atas kinerja masing-masing lembaga:
d) Survey atas pengguna (client survey): dimana kualitas dan ketepatan waktu dari
pelayanan publik dinilai.
Pimpinan harus diyakinkan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat
yang sangat berguna untuk meningkatkan kinerja lembaga secara keseluruhan.
Dengan adanya pengukuran kinerja yang baik diharapkan terdapat peningkatan
keinginan dan kebutuhan untuk selalu memperbaiki kinerja lembaga, lebih
dari sekedar pengukuran secara formal dan pelaporan kinerja.
Pengukuran kinerja harus dilakukan secara efisien dan efektif dengan
membandingkan biaya dan manfaat atas sistem yang dibangun. Jadi harus
dipertimbangkan cost b e n e f i t dari sistem pengukuran kinerja yang akan
dikembangkan. Suatu sistem pengukuran kinerja sebaiknya hanya mengukur kinerja
yang strategis (key performance indicators), bukan menekankan tingkat komprehensif
dan birokratis atas kinerja yang disusun. (catatan: kinerja tidak diukur berdasarkan
17
jumlah surat masuk/keluar jumlah laporan yang dibuat/jumlah surat yang ditandatangani)
karena pengkuran seperti ini dapat menyesatkan.
2.4.2. Ganjaran dan Hukuman (Reward and Punishment)
Pelaksanaan penganggaran berdasarkan kinerja sulit dicapai dengan
optimal tanpa ditunjang dengan penerapan insentif atas kinerja yang dicapai
dan hukuman atas kegagalannya. Penerapan insentif di sektor publik bukan hal yang
mudah untuk dilaksanakan karena penerapan sistem insentif perlu didukung oleh
mekanisme non keuangan, terutama keinginan dan kebutuhan atas pencapaian
kinerja. Hal ini dapat tumbuh misalnya jika ada aturan bahwa lembaga/unit kerja yang
mencapai kinerja dengan baik dapat memperoleh prioritas atas anggaran berikutnya
walaupun alokasi anggaran telah ditentukan oleh prioritas kebijakan dan program.
Hal lain yang bisa menjadi insentif bagi pencapaian kinerja adalah bertambahnya
fleksibilitas bagi pihak manajer dalam mengelola keuangan publik dan kepastian
atas pendanaan suatu program dan kegiatan.
Pendekatan lain dalam pemberian insentif adalah berdasarkan kapasitas yang
dimiliki oleh suatu lembaga dalam mencapai suatu target kinerja. Apabila suatu
lembaga dapat mencapai target yang ditetapkan, dapat diberikan keleluasaan
yang lebih dalam mengelola anggaran yang dialokasikan sesuai dengan kapasitas
yang dimiliki. Hal ini memungkinkan setiap lembaga untuk maju dan berkembang
secara konsisten dengan kapasitas yang mereka miliki.
Bentuk lain untuk peningkatan kinerja melalui insentif atau disinsentif yaitu
penerapan efisiensi (savings). Hal ini dapat dilakukan untuk program dan kegiatan
yang bersifat pelayanan publik. Alokasi anggaran untuk setiap program dan kegiatan
dikurangi dengan jumlah tertentu untuk saving dalam rangka meningkatkan efisiensi
18
atas pelayanan yang diberikan. Selain itu dapat juga diterapkan penahanan atas
penerimaan yang diperoleh oleh suatu lembaga, hal ini dapat dilaksanakan dengan
suatu bentuk perjanjian antara lembaga pusat (central agency) dengan lembaga
bersangkutan dalam pembagian atas hasil yang diterima.
2.4.3. Kontrak atas Kinerja
Jika penganggaran berdasarkan kinerja telah dapat berkembang dengan baik,
kontrak atas kinerja dapat mulai diterapkan. Atas nama pemerintah, Departemen
Keuangan dapat melaksanakan kontrak atas pencapaian suatu kinerja dengan
kementerian negara/lembaga teknis lainnya, begitu juga antara menteri dengan unit
organisasi di bawahnya. Walaupun demikian, suatu sistem kontrak kinerja harus
didukung oleh definisi yang jelas terhadap pelayanan yang dikontrakkan dan
kewenangan yang ada bagi pihak kementerian negara/lembaga untuk mengelola sumber
daya yang ada. Kriteria tersebut dapat terlaksana apabila reformasi bidang pengelolaan
keuangan negara dapat menciptakan kondisi yang dapat meningkatkan keinginan dan
kebutuhan atas pencapaian kinerja.
2.4.4. Kontrol Eksternal dan Internal
Sistem kontrol eksternal terhadap penggunaan anggaran harus dilakukan oleh
badan di luar pengguna anggaran. Pengguna anggaran harus mendapat persetujuan
sebelum menggunakan anggaran mereka. Kontrol diarahkan pada kontrol input suatu
kegiatan, serta apa dan bagaimana pencapaian output. Untuk menciptakan kontrol yang
efektif harus memenuhi persyaratan:
(1) adanya pemisahan antara lembaga kontrol dan lembaga pengguna anggaran;
(2) kontrol dilakukan pada input dan output;
19
(3) kontrol dilakukan sebelum dan sesudah anggaran digunakan.
2.4.5. Akuntabilitas Manajemen
Bila sistem penganggaran yang lama menekankan pada kontrol terhadap
input, maka di dalam sistem penganggaran berbasis kinerja difokuskan pada output.
Dalam sistem ini manajer pengguna anggaran memperoleh kewenangan penuh
dalam merencanakan dan mengelola anggaran mereka. Belum banyak negara
yang melaksanakan sistem ini. Negara yang telah menerapkan sistem ini adalah
Inggris, Australia, New Zealand, Swedia. Prinsip dasar di dalam sistem ini adalah
manajer pengguna anggaran harus diberi kebebasan penuh bila akuntabilitas atas
pencapaian output yang ingin dicapai. Agar akuntabilitas dapat diwujudkan, maka
sistem ini didesain mengandung dua karakteristik dasar. Pertama, kontrol dilakukan
pada output. Hal ini menyebabkan manajer bertanggung jawab terhadap output
baik volume, waktu pengerjaan maupun kualitasnya. Kedua, dengan adanya
kebebasan bagi manajer, maka manajer dapat melakukan dan mengekspresikan
profesionalitas mereka dengan optimal.
2.5. Prakondisi Anggaran Berbasis Kinerja Menurut Allen Schick
Dalam memutuskan bentuk kontrol dan besaran pelimpahan kewenangan
kepada pengguna anggaran, Allen Schick mengingatkan bahwa terdapat beberapa hal
yang harus dipertimbangkan dan dipenuhi (prakondisi) sebelum memberi kewenangan
sepenuhnya kepada pengguna anggaran. Menurut Allen Schick konsep tersebut tidak
bisa diterapkan secara sekaligus bila prakondisinya tidak memenuhi. Prakondisi ini
merupakan prasyarat untuk melakukan reformasi belanja negara secara komprehensif.
20
Dalam working-paper-nya Allen Schick menyebutnya dengan istilah "the basics
right". Kondisi tersebut adalah:
a) Sebelum penganggaran berbasis kinerja diterapkan sebaiknya telah tercipta sebuah
lingkungan atau kondisi yang mendukung dan telah berorientasi pada kinerja.
b) Sebelum melakukan perubahan kepada kontrol terhadap output sebaiknya telah
terbentuk sistem kontrol terhadap input yang kuat.
c) Sebelum merubah sistem akuntansi menjadi sistem akrual, sebaiknya telah
berjalan sistem account for cash yang baik.
d) Sebelum merubah mekanisme kontrol menjadi sistem kontrol internal sebaiknya
telah terbentuk sistem eksternal kontrol yang baik dan untuk bergeser menjadi
mekanisme akuntabilitas manajerial (managerial accountability) diperlukan
sistem internal kontrol yang baik.
e) Telah beroperasinya sistem akuntansi yang handal sebelum diterapkannya sistem
keuangan yang terintegrasi (intregated financial management system).
f) Telah terbentuk sebuah mekanisme pengalokasian yang berorientasi pada output
sebelum difokuskan pada outcome.
g) Telah berjalannya mekanisme kontrak (formal contract) dengan baik di pasar
(perekonomian) sebelum diterapkannya mekanisme kontrak kinerja (performance
contracts).
h) Telah berjalannya sistem audit keuangan yang efektif sebelum audit kinerja
(performance audit) dilakukan.
i) Adanya budget negara yang realistis dan predictable sebelum menuntut para
manajer untuk bertindak efisien dan efektif dalam menggunakan anggarannya.
21
Oleh karena itu, pemberian kewenangan kepada pengguna anggaran menurutnya
perlu dilakukan secara bertahap. Penerapan harus dimulai terlebih dahulu dari
kontrol eksternal, kontrol internal, baru kemudian bergeser pada akuntabilitas
manajemen. Perpindahan dari satu sistem ke sistem lainnya sebaiknya dilakukan jika
sebuah sistem telah berjalan dengan baik.
a) Kontrol eksternal diharapkan telah memberikan landasan peraturan yang kuat.
Disamping itu para manajer pengguna anggaran telah terbiasa mengikuti
peraturan tersebut.
b) Jika hal ini telah berjalan dengan baik maka kontrol internal dapat dilakukan.
Kontrol internal merupakan sistem transisi di antara kontrol eksternal dan
akuntabilitas manajemen. Pemerintah harus memiliki mekanisme kontrol
eksternal yang baik sebelum dialihkan pada kontrol internal.
c) Jika kedua sistem sebelumnya belum berjalan baik maka akuntabilitas manajemen
akan sulit untuk berjalan dengan baik.
Budaya masyarakat, utamanya adalah aparatur negara, untuk taat pada aturan
juga sangat penting dalam penerapan akuntabilitas manajemen ini. Tanpa adanya
faktor tersebut sistem ini akan menjadi riskan di tengah fleksibilitas manajer untuk
melakukan dan merumuskan aturan sendiri. Dari pengalaman empiris, salah satu
negara yang sukses menerapkan akuntabilitas manajemen dalam desentralisasi
kewenangan pengguna anggaran adalah New Zealand. Menurut Schick, terdapat dua
faktor sukses dari sistem ini di New Zealand yaitu adanya pasar yang kuat (robust
market sector) serta adanya aturan/kepastian yang jelas atas sebuah kontrak (enforcing
contracts).
22
2.6. Keuntungan Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja
Penerapan anggaran berbasis kinerja akan memberikan manfaat dalam
pelaksanaan pengelolaan keuangan dalam rangka penyelenggaraan tugas
kepemerintahan, sebagai berikut:
a. Anggaran Berbasis Kinerja memungkinkan pengalokasian sumber daya yang
terbatas untuk membiayai kegiatan prioritas pemerintah sehingga tujuan
pemerintah dapat tercapai dengan efisien dan efektif. Dengan melihat anggaran
yang telah disusun dengan berdasarkan prinsip-prinsip berbasis kinerja akan
dengan mudah diketahui program-program yang diprioritaskan dan memudahkan
penerapannya dengan melihat jumlah alokasi anggaran pada masing-masing
program.
b. Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja adalah hal penting untuk menuju
pelaksanaan kegiatan pemerintah yang transparan. Dengan anggaran yang jelas,
dan juga output yang jelas, serta adanya hubungan yang jelas antara pengeluaran
dan output yang hendak dicapai maka akan tercipta transparansi. Karena dengan
adanya kejelasan hubungan semua pihak terkait dan juga masyarakat dengan
mudah akan turut mengawasi kinerja pemerintah;
c. Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja mengubah fokus pengeluaran pemerintah
keluar dari sistem line item menuju pendanaan program pemerintah dengan tujuan
khusus terkait dengan kebijakan prioritas pemerintah. Dengan penerapan
Anggaran Berbasis Kinerja maka setiap departemen dipaksa untuk fokus pada
tujuan pokok yang hendak dicapai dengan keberadaan departemen yang
bersangkutan. Selanjutnya penganggaran yang dialokasikan untuk masing-masing
departemen akan dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.
23
d. Organisasi pembuat kebijakan seperti kabinet dan parlemen, berada pada posisi
yang lebih baik untuk menentukan prioritas kegiatan pemerintah yang rasional
ketika pendekatan Anggaran Berbasis Kinerja. Parlemen dan lembaga perencana
serta departemen keuangan akan lebih mudah untuk menetapkan kebijakan,
menentukan alokasi anggaran untuk masing-masing departemen karena adanya
kejelasan dalam prioritas pembangunan, output yang hendak dicapai dan jumlah
penganggaran yang diusulkan dan dialokasikan oleh masing-masing departemen.
e. Meskipun terdapat perubahan kebijakan yang terbatas dalam jangka menengah,
kementerian tetap bisa lebih fokus kepada prioritas untuk mencapai tujuan
departemen meskipun hanya dengan sumber daya yang terbatas. Dengan
penetapan prioritas pekerjaan yang telah ditetapkan, pimpinan akan tetap fokus
untuk mencapai tujuan departemen yang dipimpin tidak perlu terganggu oleh
keterbatasan sumber daya.
f. Anggaran memungkinkan untuk peningkatan efisiensi administrasi. Dengan
adanya fokus anggaran pada output d a n outcome maka diharapkan tercipta
efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan pekerjaan. Hal ini sangat jauh berbeda
apabila dibandingkan dengan ketika fokus penganggaran tertuju pada input.
24
BAB III
PENGALAMAN NEGARA LAIN DALAM PERSIAPAN DAN
PELAKSANAAN SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
3.1. Perubahan Budaya Manajemen Dengan New Public Management
Reformasi menuju penganggaran yang berorientasi kepada hasil sudah menjadi
tren perkembangan di banyak negara sejalan dengan perkembangan budaya
pemerintahan yaitu budaya manajemen publik baru (the new public management) atau
mewirausahakan pemerintah (reinventing government) yang berorientasi kepada hasil,
pelayanan publik, dan akuntabilitas.
New Public Management merupakan sistem manajemen administrasi publik
yang paling aktual di seluruh dunia dan sedang direalisasikan di hampir seluruh
negara. Sistem ini dikembangkan di wilayah anglo Amerika sejak Tahun 1980-an dan
telah mencapai status sangat tinggi di Selandia Baru. Perusahaan-perusahaan umum
diprivatisasi, pasar tenaga umum dan swasta diregulasi, dan dilakukan pemisahan
yang jelas antara penetapan strategis wewenang negara oleh lembaga-lembaga politik
(apa yang dilakukan negara) dan pelaksanaan operasional wewenang oleh
administrasi (pemerintah) dan oleh penanggungjawab independen (swasta) terkait
baga imana wewenang t e r s e b u t dilaksanakan. Administrasi dan badan
penanggungjawab melaksanakan tugas yang diserahkan negara atas dasar perumusan
“order” secara kuantitatif dan kualitatif, lalu disepakatilah anggaran biaya untuk
pelaksanaan order tersebut.
Tujuan New Public Management adalah untuk mengubah administrasi yang
sedemikian rupa sehingga administasi publik sebagai penyedia jasa bagi masyarakat
harus sadar akan tugasnya untuk menghasilkan layanan yang efisien dan efektif,
25
namun tidak berorientasi kepada laba. Beberapa negara seperti Swedia, Belanda,
Selandia Baru, Amerika Serikat, Britania Raya, Amerika Latin dan beberapa negara
lainnya beberapa tahun lalu merasa harus melakukn reformasi terhadap kinerja
administrasi publik di negara mereka.
Penyusunan administrasi negara yang efisien di negara-negara Amerika Latin
merupakan prasyarat bagi peningkatan demokratisasi, pengembangan ekonomi dan
pengalokasian dana secara adil. Dalam kaitan ini reformasi manajemen memiliki
peran yang sangat penting guna memperbaiki efisensi penyelenggaraan pemerintahan.
Sebelumnya, jawatan publik di Amerika Latin sebagian besar tidak memiliki
administrasi yang profesional. Akses terhadap jawatan publik dan juga praktik
kenaikan pangkat (promosi) sangat dipolitisasi dan biasanya tidak berdasarkan
prestasi kerja dan kualifikasi. Ini terjadi baik di tingkat pimpinan maupun pada
sebagian besar karyawan di dinas pemerintahan. Jabatan dalam pemerintahan selalu
menjadi wadah bagi yang berkuasa untuk menciptakan lapangan kerja bagi aktivis
partai. Oleh karena itu, sangat mungkin setelah dilakukan analisis terhadap kebutuhan
pegawai untuk layanan-layanan yang dihasilkan, angkanya jauh di bawah angka riil
daripada jumlah pegawai yang saat itu ada. Menghadapi hal tersebut hanya ada dua
opsi, yaitu mengurangi jumlah personil jabatan publik sesuai kebutuhan yang ada
yang berarti akan terjadi PHK masal di mana hal ini secara politis tidak akan berhasil,
atau memperbanyak cakupan layanan sehingga pegawai yang ada menjadi produktif,
yang berarti harus mengeluarkan biaya untuk meningkatkan pendidikan dan
peningkatan kualifikasi pegawai.
Hambatan dalam pelaksanaan new public management di Amerika Latin adalah
terlalu banyaknya regulasi yang tidak jelas dan pelaksanaan yang semena-mena.
Regulasi tersebut lebih bersifat mengatur daripada memberikan arahan untuk kegiatan
26
layanan kepada masyarakat. Administrasi publik Amerika Latin cenderung mengatur
tata kehidupan warganya tapi tidak melayani masyarakat. Sedangkan New Public
Management menganggap segala bentuk kegiatan dalam administrasi publik yang
tidak memberikan kemanfaatan dan pelayanan terhadap masyarakat justru merupakan
tindakan pemborosan. Untuk itulah, dipandang sangat penting dan mendesak untuk
membenahi Amerika Latin dengan reformasi pemerintahan dengan memperbaiki
birokrasi untuk administrasi publik.
Langkah untuk menerapkan New Public Management bisa dilakukan dengan
syarat didukung oleh birokrat, politisi dan masyarakat. Adapun perangkat-perangkat
dari New Public Management adalah beberapa hal berikut ini.
3.1.1. Manajemen Kontrak
Yang dimaksud dengan manajemen kontrak adalah penyelenggaraan
administrasi melalui kesepakatan-kesepakatan tentang tujuan yang hendak dicapai.
Kesepakatan ini mencakup mulai dari tujuan yang hendak diraih sampai dengan
pengawasan terhadap proses pencapaian tujuan tersebut. Landasan manajemen
kontrak adalah kontrak atau perjanjian antara pihak politisi (Parlemen atau DPR)
dengan pihak yang akan memberikan layanan atau pemerintah sebagai pelaksana.
Kontrak ini menyangkut kesepakatan tujuan yang bersifat mengikat tentang jangka
waktu yang telah ditetapkan, yang mengandung unsur-unsur, yaitu ditetapkannya
produk atau kinerja yang harus dilakukan berdasarkan kuantitas dan kualitas serta
anggaran yang dibutuhkan. Si pemberi order menjelaskan produk yang diinginkan,
tetapi tidak menentukan bagaimana proses kerja tersebut dilakukan. Artinya,
bagaimana pihak pelaksana mengerjakan produk yang diinginkan oleh pemberi order
merupakan urusan mereka sendiri dengan diberikan kewenangan untuk menentukan
27
sendiri cara untuk menghasilkan produk yang diminta. Unsur lainnya yang
mendukung berfungsinya manajemen kontrak adalah penerapan sistem pelaporan
yang menyediakan seluruh informasi mengenai pelaksanaan kinerja kepada pihak
pemberi order dengan mendokumentasikan kemajuan kinerja sedemikian rupa
sehingga di dalam pembahasan didukung oleh data-data kinerja untuk kepentingan
evaluasi.
3.1.2. Orientasi pada Hasil Kerja (Output)
Administrasi hanya dapat dikendalikan secara efisien apabila titik tolak di dalam
penyelenggaraannya berorientasi pada hasil (output) kerja. Namun sampai dengan
hari ini masih banyak negara yang pengendalian administrasi publiknya masih
dilakukan melalui input, artinya melalui penjatahan sumber daya secara sentral.
Rancangan anggaran belanja mengatur berapa banyak uang yang boleh dikeluarkan
oleh administrasi dan bagaimana mereka harus menggunakan uang itu, namun tidak
ada bagian penjelasan atau keterangan dalam anggaran itu yang menyatakan dengan
jelas kinerja atau produk apa yang akan dihasilkan dengan uang itu dan apa yang
benar-benar diharapkan pemerintah dari anggaran tersebut.
3.1.3. Controlling
Controlling diartikan sebagai satu konsep terpadu guna mengendalikan
administrasi secara efisien dan ekonomis dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan oleh politik. Untuk bisa berfungsi, pengawasan harus menyediakan
informasi yang dibutuhkan pada saat yang tepat dengan tujuan mengendalikan proses.
Controlling sebagai pendukung manajemen sangat tergantung pada, pertama,
kalkulasi biaya dan produk kerja, dimana penerapan kalkulasi biaya kerja ini
28
merupakan beban yang berat dalam adminstrasi publik karena itu dibutuhkan
perombakan cara berpikir karena instrumen ini merupakan satu persyaratan untuk
mencapai efisiensi. Kalkulasi biaya administrasi memberikan data mengenai seberapa
jauh produksi yang hendak dilakukan dalam administrasi publik dan bidang apa saja
yang bisa diserahkan pada pihak swasta untuk dikerjakan, untuk dapat menekan biaya.
Kedua, adanya pelaporan. Keleluasaan yang muncul dengan adanya desentralisasi
dan pendelegasian wewenang harus dihubungkan oleh kewajiban membuat laporan
oleh pihak yang diberikan keleluasaan dan wewenang kepada si pemberi order
mengenai apa yang telah mereka lakukan dengan dana yang telah dipercayakan
kepada mereka dan apakah mereka telah mencapai tujuan dan standar mutu yang telah
ditetapkan sebelumnya. Ketiga adalah penganggaran. Penganggaran dalam konteks
new public management berangkat dari metode arus balik, di mana politik atau
parlemen menetapkan kerangka acuan bagi administrasi (pemerintah) untuk
menentukan anggarannya. Patokan anggaran yang ditetapkan secara top-down ini
diperbandingkan dengan anggaran departemen yang dibuat secara bottom-up dan
akhirnya baru dirundingkan suatu anggaran yang akan ditetapkan.
3.1.4. Orientasi pada Masyarakat/Pelanggan
Prinsip new public management menekankan bahwa “segala sesuatu yang tidak
bermanfaat bagi warga adalah pemborosan.” Kalimat ini mengandung makna bahwa
administrasi bukanlah tujuan akhir, mempunyai satu tugas yaitu memberikan layanan
kepada rakyat yang memang berhak mendapatkannya. Di beberapa negara pernah
dikembangkan apa yang disebut “citizen charta” (piagam warga) yang merangkum
hak-hak apa saja yang dimiliki warga sebagai warga pembayar pajak kepada negara.
Ini artinya, warga tidak dilihat sebagai abdi, melainkan sebagai pelanggan yang
29
karena pajak yang dibayarkannya, mempunyai hak atas layanan dalam jumlah dan
kuantitas tertentu. Jadi, negara dilihat sebagai suatu perusahaan jasa modern yang
kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tetapi di lain pihak, dalam bidang-
bidang tertentu memonopoli layanan jasa, dengan memberikan layanan dengan
kualitas maksimal sejalan dengan benchmarking dan administrasi-administrasi publik
lainnya. Tugas admistrasi (pemerintah) adalah menciptakan transparansi dan
tercapainya layanan, memberdayakan personil dalam melayani masyarakat, serta
menciptakan kondisi yang berorientasi pada pelayanan.
3.1.5. Personalia
Personalia merupakan faktor kunci bagi suksesnya sebuah proses modernisasi.
Modernisasi administrasi publik hanya akan berhasil apabila potensi sumber daya
manusia dimanfaatkan secara maksimal dan memperbaiki jika ada kekurangan.
Dalam proses modernisasi penting sekali melibatkan karyawan dengan menentukan
tujuan-tujuan yang jelas dan menunjukkan keuntungan apa saja yang mereka miliki
dengan tujuan yang jelas tersebut, meningkatkan kompetensi dan kualitas pegawai, di
mana proses untuk menjadi karyawan dalam kantor publik harus berdasarkan
kualifikasi dan reliabilitas.
3.1.6. Teknik Informasi
Prinsip-prinsip manajemen yang telah diuraikan di atas serta berbagai bentuk
pengendaliannya membutuhkan suatu sistem informasi yang sempurna.
Penggabungan informasi dan komunikasi yang cepat, pemadatan data untuk
pengendalian dan kemungkinan mengakses kumpulan data guna memenuhi keinginan
30
pelanggan, membutuhkan jaringan alat pengolahan data sehingga pekerjaan bisa
dilakukan dengan cepat, akurat dan dapat dipercaya.
3.1.7. Manajemen Mutu
Manajemen mutu di sini adalah bahwa ‘administrasi’ melakukan segala sesuatu
dalam rangka mengorganisir proses-proses produksi, standar dan sumber daya
bersama para pegawai. Tujuannya adalah merespon kebutuhan pelanggan (dalam hal
ini adalah masyarakat).
3.2. Membangun Sistem Pemantauan dan Evaluasi
Untuk dapat memperbaiki kinerja, beberapa negara menciptakan sistem
pemantauan dan evaluasi untuk mengukur dan membantu mereka dalam memahami
kinerja mereka. Sistem pemantauan dan evaluasi digunakan untuk mengukur kuantitas,
kualitas dan penargetan barang dan jasa (outputs) yang disediakan negara dan
mengukur dampak dari output tersebut. Sistem ini juga membantu pemerintah
memahami sebab-sebab bagi kinerja yang baik dan kinerja yang buruk. Pemantauan
dan evaluasi dapat memberikan informasi tentang kinerja kebijakan, program dan
proyek pemerintah. Pemantauan dan evaluasi dapat mengidentifikasi apa yang dapat
berfungsi, apa yang tidak, dan mengapa. Pemantauan dan evaluasi juga menyediakan
informasi tentang kinerja pemerintah, kinerja masing-masing kementerian dan
lembaga pemerintah, serta kinerja manajer dan staf mereka.
3.2.1. Kontribusi Sistem Pemantauan dan Evaluasi
Kontribusi Sistem Pemantauan dan Evaluasi untuk mewujudkan tata
pemerintahan yang baik adalah sebagai berikut:
31
a. Untuk mendukung pembuatan kebijakan terutama pembuatan keputusan di bidang
anggaran, yaitu penyusunan anggaran berbasis kinerja dan perencanaan nasional.
Proses ini berfokus pada prioritas pemerintah di antara tuntutan-tuntutan warga
negara dan kelompok-kelpompok dalam masyarakat. Informasi pemantauan dn
evaluasi dapat mendukung pembahasan pemerintah dengan menyediakan bukti
menyangkut kegiatan pemerintah yang paling efektif dari segi biaya, seperti
berbagai macam program penyediaan lapangan kerja, intervensi di bidang
kesehatan atau bantuan tunai bersyarat.
b. Untuk membantu kementerian-kementerian pemerintah dalam mengembangkan
kebijakan dan analisis kebijakan serta pengembangan program.
c. Untuk membantu kementerian dan badan pemerintah dalam mengelola kegiatan-
kegiatan pada tingkat sektor, program dan proyek. Hal ini mencakup penyediaan
layanan pemerintah dan staf, di mana pemantauan dan evaluasi mengidentifikasi
penggunaan paling efisien atas sumber daya yang tersedia. Pemantauan dan
evaluasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi kesulitan-kesulitan dalam
pelaksanaan. Indikator kinerja dapat digunakan untuk membuat perbandingan
biaya dan kinerja, pembuatan tolok ukur kinerja di tingkat satuan kerja, wilayah
dan distrik pemerintahan yang berbeda.
d. Untuk meningkatkan transparansi dan mendukung hubungan akuntabilitas dengan
memperlihatkan sejauhmana pemerintah telah mencapai sasaran-sasaran yang
diinginkan. Pemantauan dan evaluasi menyediakan bukti yang mendasar guna
menopang hubungan akuntabilitas, seperti hubungan akuntabilitas antara
pemerintah dengan parlemen atau kongres, dengan masyarakat sipil dan lembaga
donor.
32
3.2.2. Pengalaman negara-negara terhadap Penggunaan Sistem Pemantauan
dan Evaluasi
Kebanyakan pemerintah yang tergabung dalam OECD memberikan penekanan
besar pada empat cara penggunaan informasi pemantauan dan evaluasi, yaitu
mendukung pembuatan kebijakan berbasis-bukti (khususnya penyusunan anggaran
berbasis-kinerja), pengembangan kebijakan, manajemen, dan akuntabilitas.
Pemerintah-pemerintah anggota OECD secara kolektif memiliki banyak sekali
pengalaman menyangkut topik ini, di mana ada pemahaman umum bahwa agar
pemerintah dapat memperbaiki kinerjanya sendiri, maka pemerintah perlu
memberikan perhatian lebih pada upaya untuk mengukur kinerjanya. Sekretariat
OECD dan pihak-pihak lainnya telah menerbitkan berbagai survei dan analisis atas
kerja negara-negara anggota untuk memperkuat orientasi kinerja mereka. Hal ini
mencakup tinjauan yang ekstensif atas praktik-praktik dan pelajaran-pelajaran dari
evaluasi pemerintah, baik menyangkut pembangunan kapasitas dan pemanfaatan
evaluasi serta tinjauan atas praktik-praktik dan pelajaran-pelajaran dari penyusunan
anggaran berbasis kinerja.
Kekeliruan pemahaman yang umum terjadi adalah bukti mengenai kinerja yang
buruk menyebabkan pengurangan atau penghapusan sama sekali sebuah program.
Meskipun hal ini mungkin saja terjadi pada kegiatan-kegiatan pemerintah yang
memiliki prioritas rendah, namun sering kali lebih banyak dana yang harus
dikucurkan untuk suatu program yang dinilai berkinerja buruk dalam rangka
memperbaiki program tersebut, setidaknya dalam jangka waktu dekat. Misalnya,
temuan evaluasi bahwa pengeluaran untuk pendidikan dasar atau rumah sakit umum
sangat tidak efisien, hendaknya tidak membawa pada kesimpulan bahwa program-
program itu harus dihapus karena program-program tersebut dipandang penting.
33
Sebaliknya, penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kinerja
buruk dari program-program tersebut di mana hal ini harus diungkap melalui sebuah
evaluasi, dan harus segera ditangani.
3.2.2.1.Australia
Pada 1980-an pemerintah Australia menciptakan sistem evaluasi pemerintah
secara keseluruhan (whole-of-government evaluation system), yang dikelola oleh
Departemen Keuangan. Seluruh kementerian diharuskan mengevaluasi setiap program
mereka setiap tiga hingga lima tahun. Mereka juga diharuskan untuk mempersiapkan
rencana evaluasi portofolio (portfolio evaluation plans). Rencana tersebut
menguraikan secara terperinci evaluasi yang direncanakan untuk tiga tahun
berikutnya dan menunjukkan program-program yang akan dievaluasi, isu-isu yang
akan dibahas dalam setiap evaluasi, dan metode evaluasi yang akan digunakan.
Evaluasi tersebut dilakukan oleh kementerian lini, namun evaluasi itu ditinjau oleh
Departemen Keuangan dan departemen-departemen pusat lainnya. Sebagai hasilnya,
jumlah evaluasi yang dilakukan meningkat dengan pesat, dan hingga pertengahan
1990-an sekitar 160 evaluasi tengah dikerjakan. Penggunaan utama hasil-hasil
evaluasi tersebut adalah dalam proses anggaran tahunan. Setiap proposal pengeluaran
baru oleh kementerian lini harus secara jelas menerangkan sasaran dari proposal
tersebut dan harus menyajikan temuan-temuan evaluasi yang ada mengenai keadaan
sesungguhnya atau perkiraan kinerja dari kegiatan pemerintah. Serupa pula, opsi-opsi
penghematan, yakni usulan untuk memangkas pengeluaran pemerintah, yang
disiapkan baik oleh Departemen Keuangan maupun kementerian-kementerian lini,
diharuskan melaporkan setiap temuan evaluasi yang ada. Departemen Keuangan
memperkirakan bahwa pada Tahun 1994 sekitar 80 persen dari proposal pengeluaran
34
baru didasarkan atas temuan-temuan evaluasi, biasanya hingga tingkat yang cukup
signifikan. Sekitar dua pertiga dari opsi-opsi penghematan juga didasarkan atas
temuan-temuan evaluasi. Para pejabat Departemen Keuangan, yang menghadiri
pertemuan kabinet dalam rangka membahas proposal-proposal anggaran tersebut,
menilai bahwa informasi hasil evaluasi tersebut sangat mempengaruhi pembuatan
keputusan anggaran oleh kabinet. Kantor Audit Nasional Australia menemukan
bahwa departemen-departemen lini juga menggunakan informasi ini secara intensif,
terutama untuk membantu mereka dalam meningkatkan efisiensi operasional.
3.2.2.2.Inggris
Pada 1998 pemerintah Inggris menciptakan sebuah sistem target kinerja, yang
terkandung dalam Kesepakatan Sektor Publik (Public Sector Agreements) antara
kantor Bendahara dan masing-masing dari 18 departemen utama. Di dalam
Kesepakatan Sektor Publik itu dituangkan tujuan keseluruhan departemen
bersangkutan, sasaran prioritas dan target-target utama kinerja. Kini ada 110 target
bagi pemerintah secara keseluruhan, dan target-target itu terutama difokuskan pada
area-area yang menjadi prioritas, yakni pendidikan, kesehatan, transportasi dan
pengadilan kriminal. Target-target itu terutama dinyatakan dalam kerangka hasil
(bukan keluaran) yang akan dicapai. Sebanyak dua kali dalam setahun departemen-
departemen melaporkan secara terbuka jumlah evaluasi, sebagai bahan masukan bagi
pembuatan keputusan anggaran. Prioritas pengeluaran, pagu pengeluaran dan target
kinerja terkait ditetapkan dalam suatu sistem peninjauan terhadap pengeluaran tiga
tahunan. Kantor Audit Nasional Inggris melaporkan bahwa departemen-departemen
juga mengggunakan informasi kinerja dari Kesepakatan Sektor Publik untuk
35
kepentingan perencanaan internal dan akuntabilitas mereka; namun, informasi ini
kurang dimanfaatkan untuk kepentingan manajemen yang berkelanjutan.
3.2.2.3. Amerika Serikat
Pada 2002 pemerintah AS menciptakan Alat Pemeringkat Penilaian Program
(Program Assesment Rating Tool, PART), yang didasarkan pada upaya-upaya
terdahulu untuk mengukur kinerja pemerintah. Seluruh 1.000 program pemerintah
diberi peringkat dengan menggunakan metodologi PART, yang difokuskan pada
empat aspek kinerja program: (1) kejelasan sasaran dan rancangan program; (2)
kualitas perencanaan strategis dan jangkauan fokus pada target program; (3)
keefektifan manajemen program; dan (4) hasil-hasil aktual program yang dicapai.
Kriteria terakhir ini memiliki nilai bobot sebesar 50 persen dari pemeringkatan PART
bagi setiap program. Keempat kriteria di atas memberikan penekanan besar pada perlu
adanya bukti yang kuat mengenai kinerja program, yang didasarkan atas informasi
hasil pemantauan dan temuan temuan evaluasi.
Pemeringkatan disiapkan oleh Kantor Manajemen dan Anggaran (Office of
Management and Budget, OMB) yang merupakan departemen keuangan pada
pemerintah AS, bersama-sama dengan departemen-departemen dan badan-badan
pemerintah; namun, keputusan akhir pemeringkatan tersebut terletak di tangan OMB.
Pada tahun fiskal 2004, 44 persen program diberi peringkat “efektif” atau “cukup
efektif”; 24 persen program diberi peringkat “hasil yang tidak terbukti” karena
informasi Pemantauan & Evaluasi yang tidak memadai (angka ini turun tajam dari
tahun fiskal 2002, di mana 50 persen program diberi peringkat “hasil yang tidak
terbukti”). Pemeringkatan PART diharuskan untuk digunakan oleh departemen-
departemen ketika mereka mengajukan permintaan pendanaan anggaran tahunan
36
kepada OMB. Permintaan tersebut harus menyoroti pemeringkatan PART, saran-
saran untuk perbaikan kinerja program, dan target kinerja. Pada gilirannya OMB juga
menggunakan pemeringkatan PART sebagai satu masukan ketika menyiapkan
permintaan pendanaan anggaran kepada Kongres. Selain itu, OMB juga menggunakan
pemeringkatan PART untuk menyetujui atau memberlakukan syarat-syarat perbaikan
kinerja pada departemen-departemen. Kantor Akuntabilitas Pemerintah (Government
Accountability Office, GAO) AS menyimpulkan bahwa PART telah membantu OMB
untuk menganalisis informasi tentang kinerja program sebagai bagian dari tugas
analisis anggarannya. PART juga telah merangsang minat departemen-departemen
terhadap informasi kinerja anggaran. Namun, GAO menyimpulkan bahwa pihak
Kongres terus menggunakan pendekatan tradisional dalam pembahasan anggaran,
dengan hanya sedikit memberi penekanan pada informasi evaluasi.
3.2.2.4. Chile
Pengembangan sistem pemantauan dan evaluasi di Chile dipengaruhi oleh
tekanan-tekanan fiskal dan kebutuhan membatasi pengeluaran pemerintah secara
keseluruhan. Pengaruh lainnya adalah perubahan lanskap akibat reformasi sektor
publik. Sistem ini memiliki 6 komponen utama. Komponen pertama yang telah
berlangsung lama adalah analisis biaya-manfaat terhadap seluruh proyek investasi.
Komponen ini pertama kali diperkenalkan pada 1974, dan menjadi tugas Kementerian
Perencanaan. Seluruh komponen lain sistem pemerintah dipusatkan di Kementerian
Keuangan. Chile memiliki Kementerian Keuangan yang berperngaruh dan mumpuni.
Kementerian ini memainkan peranan yang dominan dalam proses anggaran dan dalam
sistem pemantauan dan evaluasi. Kementerian ini jauh lebih berpengaruh daripada
kementerian-kementerian dan badan-badan tingkat sektor. Komponen kedua Chile
37
adalah indikator kinerja, yang pertama kali dirintis pada 1994. Kementerian Keuangan
kini menghimpun sekitar 1.550 indikator kinerja untuk seluruh sektor. Komponen
ketiga, laporan manajemen komprehensif diperkenalkan pada 1996. Laporan ini
disiapkan setiap tahun oleh tiap-tiap kementerian dan badan, yang berisi laporan
tentang sasaran, pengeluaran dan kinerja mereka. Komponen keempat adalah evaluasi
terhadap program-program pemerintah, yang dimulai pada 1996. Evaluasi ini
mengikuti suatu format yang telah distandarkan dan berupa tinjauan cepat (rapid
reviews), yang meliputi analisis kerangka-kerja logis (logframe analysis) atas sebuah
program, tinjauan terhadap data sekunder (desk reivew), dan analisis terhadap data
yang sudah ada. Evaluasi dampak yang cermat (rigorous impact evaluation)
merupakan komponen yang kelima. Komponen ini diperkenalkan pada 2001, yang
mencakup pengumpulan dan analisis data primer yang biasanya didasarkan teknik-
teknik statistik yang canggih. Komponen keenam yang baru diperkenalkan pada 2002
adalah tinjauan pengeluaran yang bersifat menyeluruh (comprehensive spending
review). Tinjauan ini menganalisis seluruh program dalam wilayah fungsional tertentu
dan membahas isu seperti inefisiensi dan duplikasi program.
Di Chile Sistem Pemantauan & Evaluasi, yang merupakan tanggung jawab
Kementerian Keuangan, dikelola oleh divisi kendali manajemen kementerian tersebut.
Divisi ini bekerja sama erat dengan direktur anggaran, yang kepadanya divisi itu
melapor—dan yang memiliki kedudukan setara dengan kementerian serta merupakan
anggota Kabinet—dan juga dengan seksi-seksi anggaran yang bertanggung jawab
mengawasi keuangan dan kinerja seluruh kementerian sektor dan badan-badan
pemerintah. Indikasi-indikasi mengenai kinerja program yang buruk digunakan di
Chile sebagai satu pemicu untuk memberi pembenaran untuk dilakukannya
investigasi yang lebih mendalam terhadap sebab-sebab kinerja yang buruk itu, melalui
38
sebuah evaluasi formal: baik melalui evaluasi cepat ataupun evaluasi dampak yang
canggih. Direktorat anggaran Kementerian Keuangan memainkan peranan penting
dalam mengidentifikasi program program pemerintah yang perlu dievaluasi. Dalam
menyiapkan agenda evaluasi ini, Kementerian Keuangan berupaya mengantisipasi
kebutuhan informasi untuk anggaran mendatang. Agenda ini juga dibahas bersama
dengan kementerian di bawah Presiden dan Kementerian Perencanaan—bahkan
ketiga kementerian utama ini menjadi anggota dari komite antarkementerian yang
mengawasi seluruh evaluasi—dan dengan Kongres. Namun, jelas bahwa pemain
utamanya adalah Kementerian Keuangan. Kepala-kepala seksi anggaran di
Kementerian Keuangan juga diharuskan memberikan komentar terperinci mengenai
laporan evaluasi terkait dengan lembaga-lembaga yang menjadi tanggung jawab
mereka untuk awasi, dan evaluasi itu kemudian dibahas bersama dengan
direktur anggaran Kementerian Keuangan. Keputusan mengenai alokasi anggaran
mungkin diambil pada tahap ini. Selama proses anggaran, direktur anggaran bertemu
dengan para staf dari divisi kendali manajemen dan seksi-seksi anggaran untuk
membahas proposal anggaran masing-masing lembaga dan kinerja keseluruhan
lembaga bersangkutan. Laporan ini membahas laporan manajemen komprehensif
yang harus disediakan oleh masing-masing lembaga1 Laporan itu mencakup sasaran
lembaga, informasi keuangan dan kinerja, temuan-temuan evaluasi, dan kemajuan
yang dicapai dibandingkan dengan target-target kinerja yang ditetapkan pada saat
periode anggaran sebelumnya. Informasi Pemantauan dan Evaluasi tersebut menjadi
suatu masukan penting bagi pembuatan keputusan anggaran, namun itu hanya
merupakan salah satu di antara masukan-masukan lainnya. Meskipun demikian
jarang sekali terdapat hubungan yang bersifat otomatis dan langsung antara kinerja
baik atau buruk sebuah lembaga dan alokasi anggaran. Karena itu, dalam sebagian
39
kasus, kinerja buruk sebuah lembaga boleh jadi berakibat pada pengurangan anggaran,
atau penghentian sama sekali sebuah program. Namun, dalam sebagian kasus yang
lain, kinerja buruk sebuah program yang dianggap sebagai prioritas pemerintah dapat
saja mengharuskan peningkatan pembiayaan anggaran untuk jangka pendek guna
memperbaiki masalah-masalah yang telah diidentifikasi.
3.2.2.5.Kolumbia
Sistem Pemantauan dan Evaluasi pemerintah Kolumbia, SINERGIA, dikelola
oleh Departemen Perencanaan Nasional. Salah satu komponen utama sistem tersebut
adalah database informasi kinerja, yang berisi sekitar 500 indikator kinerja untuk
menelusuri kinerja pemerintah, dibandingkan dengan 320 tujuan yang ditetapkan oleh
presiden. Untuk tiap-tiap indikator kinerja, database yang tersedia untuk publik itu
merekam sasaran, strategi untuk mencapai sasaran tersebut, kinerja awal (baseline
performance), target tahunan, dan jumlah dana yang dibelanjakan oleh pemerintah.
Ketika target kinerja tidak tercapai, manajer yang bertanggung jawab untuk
memenuhi target ini diharuskan menyiapkan sebuah pernyataan yang menjelaskan
tentang mengapa target kinerja tersebut tidak tercapai. Presiden menggunakan
informasi ini dalam pertemuan kontrol manajemen setiap bulan dengan masing-
masing menteri dan dalam pertemuan mingguan di balai kota di kota-kota di seluruh
negara tersebut.
3.3. Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja
Mayoritas pemerintah anggota OECD telah berupaya mengalihkan penekanan
penyusunan anggaran dan manajemen dari masukan (inputs) kepada fokus pada hasil
(results), diukur dalam bentuk keluaran (outputs) dan/atau hasil (outcomes).
40
Sementara isi, tempo dan metode implementasi pembaruan ini bervariasi antarnegara
dan di sepanjang waktu, seluruh pembaruan itu memiliki fokus baru yang sama, yaitu
pada hasil yang dapat diukur. Di mayoritas negara anggota OECD, upaya-upaya
untuk menilai kinerja program dan kementerian kini dipandang sebagai bagian lazim
dari pemerintah. Negara-negara menempuh metode yang berbeda-beda untuk menilai
kinerja, termasuk dalam hal ukuran kinerja, evaluasi dan penolok-ukuran.
Penerapan penganggaran kinerja (Trisacti Wahyuni, 2006) dimulai dari
Australia dan New Zealand pada akhir tahun 1980-an, diikuti oleh Canada, Denmark,
Finlandia, Perancis, Belanda, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat pada awal sampai
pertengahan tahun 1990-an. Selanjutnya pada akhir tahun 1990-an sampai dengan
awal tahun 2000-an diterapkan di Austria, Jerman, dan Switzerland. Cara yang
digunakan dalam penganggaran kinerja di antara negara-negara tersebut ternyata
berbeda-beda. Amerika Serikat dan beberapa negara mengembangkan perencanaan
stratejik dan perencanaan kinerja yang berisi target-target kinerja. Negara lain seperti
Canada dan Inggris menggunakan kontrak kinerja (performance contract) antara
menteri dengan instansi di bawahnya. Dalam upaya mengaitkan kinerja dengan
anggaran, Australia mengintegrasikan data kinerja dalam dokumen utama
anggarannya. Perancis menyajikan informasi pemetaan kinerja dan keterkaitan
outcome dengan output sebagai lampiran dokumen utama anggaran. Sementara
Canada, Inggris, dan Amerika menggunakan dokumen kinerja yang terpisah dengan
dokumen anggaran.
Meskipun sebagian besar negara-negara tersebut telah memasukkan informasi
non keuangan dalam dokumen anggarannya, kenyataannya hanya sedikit yang benar-
benar melaksanakan anggaran kinerja dalam arti mengaitkan pengeluaran dengan
hasil, melaporkan kinerja atas target-target tersebut dan menggunakan informasi
41
kinerja untuk pengambilan keputusan alokasi anggaran pada masa mendatang, seperti
Australia dan New Zealand. Beberapa negara masih menghadapi kendala dalam
mengintegrasikan kinerja dalam dokumen anggaran, seperti Canada, Inggris, dan
Amerika. Perubahan menuju penganggaran kinerja memang merupakan proses yang
kompleks karena berkaitan dengan perubahan yang fundamental baik dalam sistem,
manajemen maupun perilaku manusianya. Selain itu, penganggaran kinerja
membutuhkan dukungan sistem manajemen kinerja, sistem akuntansi pemerintahan,
dan perhitungan biaya.
Penyusunan anggaran berbasis-kinerja melibatkan pemanfaatan informasi
pemantauan dan temuan-temuan evaluasi. Ada tiga pendekatan utama untuk
penyusunan anggaran berbasis-kinerja. Pertama adalah yang dikenal sebagai
penyusunan anggaran berbasis kinerja yang be r s i f a t l angsung (direct
performance budgeting). Dalam pendekatan ini terdapat hubungan yang bersifat
langsung, dan sering kali didasarkan atas suatu formula, sehingga alokasi anggaran
untuk sebuah program didasarkan atas kinerja program tersebut yang diukur dari hasil
yang dicapainya (yakni, keluaran [outputs] atau hasil [outcomes]). Contohnya adalah
pendanaan universitas yang didasarkan atas jumlah lulusan dari setiap bidang
keilmuan, seperti kedokteran atau kesenian.
Pendekatan kedua adalah penyusunan anggaran berbasis-kinerja yang bersifat
tidak langsung (indirect performance budgeting). Ini merupakan bentuk umum dari
penyusunan anggaran berbasis-kinerja. Informasi pemantauan dan temuan-temuan
evaluasi tentang hasil-hasil program menjadi masukan, tetapi hanya merupakan salah
satu masukan, bagi keputusan alokasi anggaran bagi sebuah program. Informasi
lainnya, serta prioritas kebijakan pemerintah (termasuk pertimbangan menyangkut
keadilan), juga memengaruhi alokasi anggaran.
42
Pendekatan ketiga adalah penyusunan anggaran berbasis-kinerja yang bersifat
penyajian (presentational performance budgeting) . Pemerintah menggunakan
informasi pemantauan dan temuan-temuan evaluasi untuk melaporkan kinerja aktual
(pada masa lalu) atau kinerja yang diharapkan (pada masa mendatang) dalam
dokumen anggaran yang dikirimkan kepada Parlemen atau Kongres. Informasi ini
mungkin saja tidak berpengaruh pada pembuatan keputusan menyangkut anggaran
dan merupakan bentuk paling lemah dari penyusunan anggaran berbasis kinerja.
3.3.1. Australia
Pada 1983 pemerintah berhaluan reformis terpilih di Australia. Saat itu
pemerintah menghadapi situasi makroekonomi yang sulit. Sebagai respons terhadap
situasi tersebut, pemerintah mengurangi total pengeluaran pemerintah, dari 30 persen
dari PDB pada 1983 menjadi 23 persen dari PDB pada 1989, suatu pengurangan yang
signifikan menurut ukuran internasional. Pada saat yang sama, pemerintah
menargetkan pengeluarannya secara lebih ketat untuk kelompok masyarakat yang
paling kurang diuntungkan. Pemerintah terlihat jelas berupaya mencapai nilai uang
yang lebih besar dari pengeluaran pemerintah, dan dengan tujuan itu pemerintah
merintis serangkaian program reformasi sektor publik yang inovatif, khususnya di
bidang manajemen keuangan dan reformasi anggaran. Secara keseluruhan, berbagai
reformasi tersebut menempatkan Australia di barisan terdepan negara-negara OECD
dari segi manajemen sektor publik. Berbagai reformasi tersebut memberikan otonomi
yang lebih besar bagi kepala-kepala departemen lini untuk mengelola penggunaan
anggaran mereka secara tepat di bawah filosofi “biarkan para manajer mengelola”.
Meskipun pada mulanya diharapkan bahwa berbagai reformasi itu akan mendorong
departemen-departemen untuk mengelola secara ketat dan mengukur kinerja mereka,
43
namun harapan itu tidak terwujud. Karena itu, dengan dukungan departemen-
depa r t emen u tama l a innya , Depar t emen K euangan yang berpengaruh
mengembangkan suatu strategi evaluasi pemerintah secara keseluruhan (a whole-of-
government evaluation strategy). Strategi ini memperoleh dukungan kuat kabinet
melalui suatu keputusan formal kabinet. Strategi ini mengikuti filosofi “membiarkan
para manajer mengelola”.
Negara yang terbilang paling maju dalam penganggaran kinerja adalah Australia
(Trisacti Wahyuni, 2006), karena telah mengintegrasikan sistem akuntansi dengan
sistem penganggarannya dan merestuktrukrisasi keduanya dengan berorientasi kepada
outcome. Dalam merencanakan kinerjanya, Australia mengembangkan outcomes-
outputs approach di mana pemerintah menetapkan pr ior i tas dan platform
kebijakannya, yang selanjutnya menjadi rujukan bagi menteri untuk merumuskan
outcome dan bagi unit kerja di bawahnya mengembangkan output untuk mendukung
outcome tersebut. Banyak unit kerja yang menggunakan pendekatan balance
scorecard dalam merumuskan outcome/output-nya. Agar tercapai keselarasan
kebijakan dengan outcome/output yang akan dihasilkan, penyusunan Government
Outcome Statement dan Agency Output dilakukan dengan konsultasi secara ekstensif
dengan berbagai pihak terkait, seperti stakeholders dan grup pelanggan. Keterkaitan
output u n i t k e r j a d e n g a n outcome menteri tergambar dengan jelas dan
terpetakan/terstruktur dengan baik dengan indikator yang spesifik dan terukur.
Pembahasan anggaran di parlemen dilakukan dengan mempertimbangkan kinerja
yang ditargetkan. Apropriasi anggaran didasarkan pada outcome yang dihasilkan.
Dalam dokumen anggarannya (Portfolio Budget Statement) tergambar secara jelas
alokasi anggaran per outcome dan output. Informasi mengenai kinerja berupa definisi
indikator, target, serta cara mengukur kinerja outcome dan output diuraikan secara
44
lengkap dalam dokumen anggaran tersebut. Outcome diukur dengan menggunakan
ukuran efektivitas, yaitu dengan melihat seberapa jauh program yang dilakukan dapat
mencapa i sasa ran da lam a r t i memenuh i harapan/memuaskan kepentingan
masyarakat/stakeholders. Sedangkan output diukur dari tiga hal, yaitu kuantitas,
kualitas, dan harganya.
Sebagai ilustrasi, Australian National Audit Office (ANAO) memiliki dua
outcome yaitu (1) memperbaiki administrasi publik dan (2) memberikan assurance
atas laporan keuangan, pengendalian dan akuntabilitas sektor publik. Outcome
tersebut diukur dengan menilai seberapa besar pengakuan parlemen atas nilai
kontribusi ANAO, pengakuan entitas sektor publik atas nilai tambah yang diberikan
oleh produk dan jasa ANAO serta tingkat kepuasan atas kualitas, ketepatan waktu dan
cakupan produk dan jasa ANAO. Capaian kinerja tersebut diukur melalui analisis atas
sejumlah pertanyaan (survai) yang dilakukan terhadap parlemen maupun klien
auditnya. Sedangkan, untuk mengukur output, misalnya untuk kegiatan jasa audit
tidak sekedar diukur dengan berapa jumlah opini audit yang diterbitkan, namun juga
diukur kualitas (ketepatan waktu dan kesesuaian dengan standar audit) dan harganya.
Setelah tahun anggaran berakhir, dibuat annual report yang selain melaporkan
realisasi penggunaan anggaran per outcome dan output, juga melaporkan realisasi
capaian kinerja per outcome atau output tersebut. Secara periodik dilakukan reviu atas
struktur outcome-output khususnya apabila terjadi perubahan pemerintahan, ada
kebijakan baru atau perubahan kondisi ekonomi. Selain itu, juga dilakukan pricing
review dengan metode activity based costing, market testing dan benchmarking untuk
memastikan bahwa harga produk atau jasa yang dilakukan instansi pemerintah adalah
harga yang kompetitif.
45
Departemen Keuangan memainkan peran yang sangat berpengaruh dalam proses
penyusunan anggaran di Australia. Departemen Keuangan menyiapkan analisis
kebijakan terhadap seluruh proposal pengeluaran yang diajukan oleh kementerian
kementerian sektor, dan berbagai analisis tersebut menyertai proposal-porposal
pengeluaran yang dikirimkan ke menteri-menteri kabinet sebagai bahan pertimbangan
bersama ketika membuat keputusan-keputusan menyangkut anggaran. Dengan
demikian Departemen Keuangan memberikan suatu analisis kebijakan yang
independen, yang biasanya merupakan kontra-pandangan terhadap pandangan
kementerian yang mengajukan proposal pengeluaran. Kerja seksi anggaran
Departemen Keuangan juga termasuk menyiapkan “opsi-opsi penghematan”: usulan
kebijakan untuk memangkas atau menghapus program-program pemerintah yang ada.
Proses penyusunan anggaran melibatkan semacam “pasar untuk menjajakan ide-ide”
(marketplace of ideas). Dalam situasi yang pada dasarnya diwarnai oleh persaingan
tersebut, memiliki temuan-temuan evaluasi mengenai kinerja program merupakan alat
penting untuk memastikan landasan bukti yang dapat diandalkan untuk membuat
keputusan-keputusan menyangkut anggaran. Evaluasi memiliki potensi untuk
memberikan keuntungan kompetitif bagi pihak-pihak yang menjadikan evaluasi
sebagai sandaran. Dengan demikian, seksi anggaran Departemen Keuangan perlu
terlibat sepenuhnya dalam perencanaan evaluasi yang dilakukan kementerian-
kementerian dan dalam pelaksanaan evaluasi-evaluasi besar. Hal ini guna memastikan
bahwa para pejabat bidang anggaran di Departemen Keuangan mengenal dengan baik
kualitas dan keterbatasan-keterbatasan evaluasi, menyadari sepenuhnya temuan-
temuan evaluasi dan rekomendasi-rekomendasi, dan dengan demikian mampu
menggunakan mereka dalam tugas analisis kebijakan mereka. Keterlibatan pejabat-
pejabat itu dalam evaluasi juga akan meningkatkan pengetahuan mereka tentang
46
tujuan program dan realitas lingkungan pelaksanaan program karena pemahaman ini
penting bagi kerja mereka.
3.3.2. Inggris
Penerapan sistem manajemen yang berorientasi pada hasil pada sektor publik di
Inggris di mulai sejak Tahun 1980-an yang menitikberatkan pada kampanye efisiensi
besar-besaran pada pengeluaran publik dengan cara melakukan pengaturan terhadap
sektor publik. Perhatian difokuskan pada menjamin tercapainya penghargaan terhadap
uang dengan menghasilkan kinerja yang tinggi dalam layanan publik. Kemudian
dilakukan perubahan yang semula fokus terhadap input dan proses menjadi fokus
kepada output dan selanjutnya outcome. Pemerintah Inggris mengkaitkan secara
eksplisit antara sumber daya dengan komitmen departemen dalam rangka pencapaian
target kinerja yang spesifik dan terukur. Pada Tahun 1998, Inggris memperkenalkan
Comprehensif Spending Review sebagai dokumen anggaran dan Public Service
Agreement yang merupakan dokumen kinerja, dengan harapan dapat menciptakan
proses penganggaran yang berorientasi pada multi kebijakan dan multi tahun. Selain
itu, Inggris juga melakukan perubahan dengan penerapan sistem akrual dalam
akuntansi dan penganggarannya. Hal ini ditujukan untuk mendorong pengelolaan
yang lebih efisien dan untuk tujuan akuntabilitas departemen terhadap parlemen.
Selanjutnya Inggris mengubah sistem pengelolaan sumber dayanya dengan anggaran
pengeluaran berbasis akrual menggantikan anggaran pengeluaran berbasis kas.
47
BAB IV
IMPLEMENTASI SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
DI INDONESIA
4.1. Persiapan Penganggaran Berbasis Kinerja
4.1.1. Penuangan dalam Peraturan Perundangan sebagai Landasan Hukum
Dalam rangka penerapan Anggaran Berbasis Kinerja di Indonesia yang pertama
kali dilakukan adalah memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan ABK di
Indonesia, yaitu paket peraturan yang terkait dengan Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional berikut ini.
NO PASAL ISI DAN PENJELASANUU NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL1 Pasal 2 (4) Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk:
a. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi
baik antardaerah, antarruang,antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,dan pengawasan;
d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dane. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara
efisien, efektif, berkeadilan, danberkelanjutan.
2 Pasal 3 (1) Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan:
a. rencana pembangunan jangka panjang;b. rencana pembangunan jangka menengah; danc. rencana pernbangunan tahunan.
3 Pasal 4(1) RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan
dibentuknya pernerintahan Negara Indonesia yang tercanturn dalarn Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah pernbangunan Nasional.
(2) RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan
48
program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
(3) RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, mernuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga, lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif
4 Pasal 14 (1) Menteri menyiapkan rancangan awal RPJM Nasional sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden ke dalam strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program prioritas Presiden, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal.
UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara1. Pasal 3 (1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
(2) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
2. Pasal 14 (1) Dalam rangka penyusunan RAPBN, menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun RKAKL tahun berikutnya.
(2) RKA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) RKA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang disusun.
(4) RKA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN.
(5) Hasil pembahasan RKA disampaikan kepada menteri keuangan sebagai bahan penyusunan RUU tentang APBN tahun berikutnya.
Kegiatan:- Kementerian/Lembaga menyusun RKAKL tahun berikutnya
berdasarkan prestasi kerja dan disertai prakiraan belanja untuk tahun berikutnya;
- Pembahasan RKAKL dengan DPR dalam pembahasan pendahuluan RAPBN.
49
7. Pasal 15 (5) APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
PP 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah1. Pasal 2 (1) RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat
rancangan kerangka ekonomi makro yang termasuk didalamnya arah kebijakan fiskal dan moneter, prioritas pembangunan, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
(2) Penyusunan rencana kerja dan pendanaannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menggunakan renja KL dan rancangan RKPD provinsi, kabupaten, dan kota sebagai bahan masukan.
2. Pasal 3 (1) Renja Kementerian/Lembaga disusun dengan berpedoman pada Renstra KL dan mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif serta memuat kebijakan, program dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
(2) Program dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disusun dengan berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu.
(3) Program sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari kegiatan yang berupa :a. Kerangka regulasi yang bertujuan untuk memfasilitasi,
mendorong, maupun mengatur kegiatan pembangunan yang dilaksanakan sendiri oleh masyarakat, dan/atau
b. Kerangka pelayanan umum dan investasi pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan masyarakat
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendekatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur tersendiri dalam PP mengenai penyusunan RKAKL.
3. Pasal 4 (1) Kementerian/Lembaga yang fungsinya mengatur dan/atau melaksanakan pelayanan langsung kepada masyarakat, menyusun standar pelayanan minimum berkoordinasi dengan kementerian perencanaan, kementerian keuangan, dan Kementerian/Lembaga terkait.
(2) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), digunakan sebagai bahan masukan dalam menyusun RKP.
4. Pasal 8 (1) Hasil program-program pembangunan harus secara sinergis mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional yang ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional.
(2) Keluaran dari masing-masing kegiatan dalam satu program harus secara sinergis mendukung pencapaian hasil yang diharapkan dari program yang bersangkutan
5. Pasal 9 (1) Menteri/pimpinan lembaga bertanggung jawab dari segi kebijakan atas pencapaian kinerja kementerian negara/lembaga.
(2) Kepala satuan kerja sebagai kuasa pengguna anggaran bertanggung jawab atas pencapaian kinerja berupa barang dan atas jasa dari kegiatan yang dilaksanakan satuan kerja yang bersangkutan.
50
(3) Kementerian/Lembaga membuat laporan kinerja triwulanan dan tahunan atas pelaksanaan rencana kerja dan anggaran yang berisi uraian tentang keluaran kegiatan dan indikator kinerja masing-masing program.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disampaikan kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan paling lambat 14 hari setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.
(5) Laporan kinerja menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi analisis dan evaluasi usulan anggaran tahun berikutnya yang diajukan oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
6. Pasal 10 (1) Kementerian/Lembaga melakukan evaluasi kinerja program paling sedikit 1 kali dalam 5 tahun berdasarkan sasaran dan atau standar kinerja yang telah ditetapkan.
(2) Perubahan terhadap program Kementerian/Lembaga didasarkan atas usulan menteri/pimpinan lembaga setelah dilakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan harus mendapat persetujuan dari Menteri Perencanaan setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
PP 21/2004 tentang Rencana Kerja Anggaran Kementerian Lembaga (RKA-KL)2. Pasal 3 (1) RKA-KL terdiri dari rencana kerja Kementerian/Lembaga dan
anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan rencana kerja tersebut.
(2) Di dalam rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diuraikan visi, misi, tujuan, kebijakan, program, hasil yang diharapkan, kegiatan, keluaran yang diharapkan.
(3) Di dalam anggaran yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diuraikan biaya untuk masing-masing program dan kegiatan untuk tahun anggaran yang direncanakan yang dirinci menurut jenis belanja, prakiraan maju untuk tahun berikutnya, serta sumber dan sasaran pendapatan Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
(4) RKA-KL sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi seluruh kegiatan satuan kerja di lingkungan Kementerian/Lembagatermasuk kegiatan dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
3. Pasal 4 RKA-KL disusun dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut :a. Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM)b. Penganggaran terpadu.c. Penganggaran berbasis kinerja.
6. Pasal 7 (1) Penyusunan anggaran berbasis kinerja dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.
(2) Dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja diperlukan indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan.
(3) Tingkat kegiatan yang direncanakan dan standar biaya yang ditetapkan pada permulaan siklus tahunan penyusunan anggaran
51
menjadi dasar untuk menentukan anggaran untuk tahun anggaran yang direncanakan dan prakiraan maju bagi program yang bersangkutan.
(4) Menteri Keuangan menetapkan standar biaya, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus bagi pemerintah pusat setelah berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait.
7. Pasal 8 (1) Dalam rangka penerapan anggaran berbasis kinerja, Kementerian/Lembaga melaksanakan pengukuran kinerja.
(2) Kementerian/Lembaga melakukan evaluasi kinerja kegiatan satuan kerja Kementerian/Lembaga setiap tahun berdasarkan sasaran dan/atau standar kinerja kegiatan yang telah ditetapkan sebagai umpan balik bagi penyusunan RKA-KL tahun berikutnya.
(3) Kementerian/Lembaga melakukan evaluasi kinerja program sekurang-kurangnya sekali dalam 5 tahun berdasarkan sasaran dan/atau standar kinerja yang telah ditetapkan.
Instruksi Presiden No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah1. Instruksi
KeduaPada tanggal 30 September 1999, setiap instansi pemerintahsampai tingkat eselon II telah mempunyai PerencanaanStrategis tentang program-program utama yang akan dicapaiselama 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahunan.
2. InstruksiKetiga
Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAmencakup:1. Uraian tentang visi, misi, strategi, dan faktot-faktor kunci
keberhasilan organisasi;2. Uraian tentang tujuan, sasaran, dan aktivitas organisasi;3. Uraian tentang cara mencapai tujuan dan sasaran
tersebut.
3. IntruksiKeempat
Pada setiap akhir tahun anggaran, mulai Tahun Anggaran2000/2001, setiap instansi menyampaikan laporanakuntabilitas kinerja instansi pemerintah kepada Presiden dansalinannya kepada Kepala Badan Pengawasan danPembangunan dengan menggunakan pedoman penyusunansistem akuntabilitas kinerja.
Lampiran Instruksi Presiden No. 7 tahun 1999 tentang Pedoman Penyusunan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah1. Poin II
Nomor 5Pelaksanaan penyusunan Sistem Akuntabilitas Kinerja InstansiPemerintah dilakukan dengan:a. mempersiapkan dan menyusun perencanaan strategis;b. merumuskan visi, misi, faktor-faktor kunci keberhasilan,
tujuan, sasaran, dan strategi instansi pemerintah;c. merumuskan indikator kinerja instansi pemerintah dengan
berpedoman pada kegiatan yang dominan, menjadi isu nasional, dan vital bagi pencapaian visi dan misi instansi pemerintah;
d. memantau dan mengamati pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dengan seksama;e. mengukur pencapaian kinerja dengan:
52
1. perbandingan kinerja aktual dengan rencana atau target;2. perbandingan kinerja aktual dengan tahun-tahun sebelumnya;3. perbandingan kinerja aktual dengan kinerja di negara-
negara lain, atau dengan strandar internasional.f. melakukan evaluasi kinerja dengan:
1. menganalisis hasil pengukuran kinerja;2. menginterpretasikan data yang diperoleh;3. membuat pembobotan (rating) keberhasilan pencapaian
program;4. membandingkan pencapaian program dengan visi dan misi instansi pemerintah.
Poin II Nomor 6
Alat untuk melaksanakan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah adalah Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Poin II Nomor 7
Mekanisme pelaksanaan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah sebagai berikut:a. Setiap pemimpin Departemen/Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Pemerintah Daerah, Satuan Kerja atau Unit Kerja didalamnya wajib membuat laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah secara berjenjang serta berkala untuk disampaikan kepada atasannya;
b. Laporan akuntabilitas kinerja tahunan dari tiapDepartemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, masing-masing Menteri/pemimpin Lembaga Pemerintah Non Departemen menyampaikannya kepada Presiden dan Wakil Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan aparatur Negara serta Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
c. Laporan akuntabilitas kinerja tahunan dari setiap Daerah Tingkat I disampaikan kepada Presiden/Wakil Presiden dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ;
d. Laporan akuntabilitas kinerja tahunan dari setiap daerah Tingkat II disampaikan kepada Gubernur/Kepala daerah yang
terkait dengan tembusan kepada Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
PP 8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah1. Pasal 2 Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, setiap
Entitas Pelaporan wajib menyusun dan menyajikan: a. Laporan Keuangan, danb. Laporan Kinerja
2. Pasal 17 (1) Laporan kinerja berisi ringkasan keluaran dari masing-masing kegiatan dan hasil yang dicapai dari masing-masing program sebagaimana ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan APBN/APBD.
(2) Bentuk dan Laporan Kinerja disesuaikan dengan bentuk dan isi rencana kerja dan anggaran sebagaimana ditetapkan dalam peraturan pemerintah terkait.
53
Peraturan Menteri Keuangan 105/PMK.02/2008 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-KL Dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan DIPA Tahun Anggaran 20091. Pasal 1 Dalam rangka pemyusunan dan pelaksanaan APBN Tahun Anggaran
2009, Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun RKA-KL dan DIPA Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya.
2. Pasal 2 (1) RKA-KL disusun berdasarkan pagu sementara yang ditetapkan Menteri Keuangan dengan mengacu pada Renja KL.
(2) Penyusunan RKA-KL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan pendekatan Penganggaran Terpadu, Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah dan Penganggaran Berbasis Kinerja.
3. Pasal 3 (1) RKA-KL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dibahas bersama antara Kementerian/Lembaga dan Komisi terkait di DPR.
(2) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran untuk dilakukan penelaahan dalam rangka meneliti kesesuian RKA-KL dengan :a. Surat Edaran Menteri Keuangan tentang Pagu Sementara.b. Prakiraan Maju yang telah disetujui tahun anggaran
sebelumnya.c. Standar Biaya yang telah ditetapkan dan/atau Kerangka Acuan
Kerja/Term of Reference (TOR) dan Rincian Anggaran Biaya (RAB) dalam hal Standar Biaya belum ditetapkan.
d. Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) untuk Badan Layanan Umum (BLU).
4. Pasal 6 (1) Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat menjadi dasar bagi penyusunan dan Pengesahan DIPA.
(2) DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat uraian fungsi/sub fungsi, program, sasaran program, rincian kegiatan/sub kegiatan, jenis belanja, kelompok mata anggaran/akun dan rencana penarikan dana serta perkiraan penerimaan Kementerian/Lembaga.
5. Pasal 7 (1) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran menunjuk Kuasa Penguna Anggaran Satker Pusat untuk menyusun Konsep DIPA Satker Pusat dan Konsep DIPA Tugas Pembantuan.
(2) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran menunjuk Kuasa Penguna Anggaran Satker Vertikal/UPT untuk menyusun Konsep DIPA Satker Vertikal.
(3) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran melalui Gubernur menunjuk Kuasa Penguna Anggaran SKPD untuk menyusun Konsep DIPA Dekonsentrasi.
(4) Kuasa Penguna Anggaran Satker sebagaimana pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) bertanggung jawab sepenuhnya terhadap penyusunan kegiatan dan perhitungan biaya dalam Konsep DIPA.
Peraturan Menteri Keuangan 64/PMK.02/2008 tentang Standar Biaya Umum Tahun Anggaran 20091. Pasal 1 Standar Biaya Umum adalah satuan biaya yang merupakan batas paling
tinggi yang penggunaannya bersifat lintas Kementerian/Lembaga,
54
dan/atau lintas wilayah.
2. Pasal 2 Standar Biaya Umum Tahun Anggaran 2009 digunakan sebagai pedoman bagi Kementerian/Lembaga dalam menyusun biaya kegiatan dalam RKA-KL Tahun Anggaran 2009.
3. Pasal 3 Standar Biaya Umum Tahun Anggaran 2009 terdiri dari satuan biaya masukan dan/atau satuan biaya keluaran.
4. Pasal 4 Standar Biaya Umum Tahun Anggaran 2009 adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.
Peraturan Menteri Keuangan 88/PMK.02/2008 tentang Standar Biaya Khusus Tahun Anggaran 20091. Pasal 1 Standar Biaya Khusus adalah satuan biaya yang digunakan untuk
kegiatan yang khusus dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga tertentu, dan/atau di wilayah tertentu.
2. Pasal 2 Standar Biaya Khusus Tahun Anggaran 2009 merupakan standar biaya tertinggi yang digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan RKA-KL Tahun Anggaran 2009.
3. Pasal 3 Standar Biaya Khusus Tahun Anggaran 2009 adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.
4.1.2. Cascading Perencanaan Kinerja
4.1.2.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan
landasan konstitusional penyelenggaraan negara telah mengalami 4 (empat) kali
perubahan. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 merubah pola pengelolaan pembangunan, diantaranya :
a) Penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
b) Ditiadakannya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman
penyusunan rencana pernbangunan nasional.
c) Diperkuatnya Otonomi Daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
55
GBHN yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR RI) berfungsi sebagai landasan perencanaan pembangunan nasional
sebagaimana telah dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan sebelumnya. Ketetapan
MPR RI ini menjadi landasan hukum bagi Presiden untuk dijabarkan dalam bentuk
Rencana Pembangunan Lima Tahunan dengan memperhatikan saran Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Selanjutnya Pemerintah bersama
DPR RI menyusun APBN.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengatur bahwa Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan tidak adanya
GBHN sebagai pedoman Presiden untuk menyusun rencana pembangunan maka
dibutuhkan pengaturan lebih lanjut bagi proses perencanaan pembangunan nasional.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dibentuk untuk mengatur Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
bertujuan untuk:
1) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan.
2) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah,
antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah.
3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan.
4) mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
5) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,
berkeadilan, dan berkelanjutan.
Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan
makro semua fungsi pernerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara,
56
terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Perencanaan Pembangunan
Nasional menghasilkan:
1) Rencana pembangunan jangka panjang (RPJP).
2) Rencana pembangunan jangka menengah (RPJM).
3) Rencana pembangunan tahunan.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) adalah dokumen perencanaan
untuk periode 20 (dua puluh) tahun. RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan
dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi,
misi, dan arah pembangunan Nasional. Penyusunan RPJP dilakukan melalui urutan:
1) penyiapan rancangan awal rencana pembangunan.
2) musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang).
3) penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Rancangan RPJP Nasional dalam penyusunannya disiapkan oleh Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Menteri PPN/Kepala Bappenas). Rancangan RPJP Nasional menjadi bahan
utama bagi Musrenbang. Musrenbang diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJP
dan diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara negara dengan mengikutsertakan
masyarakat. Musrenbang diselenggarakan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas.
Musrenbang Jangka Panjang Nasional dilaksanakan paling lambat 1 (satu) tahun
sebelum berakhimya periode RPJP yang sedang berjalan. RPJP Nasional ditetapkan
dengan Undang-Undang.
57
4.1.2.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) adalah dokumen perencanaan
untuk periode 5 (lima) tahun. RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi,
dan program presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang
memua t s t r a t eg i pembangunan nas iona l , keb i j akan umum, p rog ram
Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas
kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran
perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja
yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Penyusunan RPJM Nasional dan RKP dilakukan melalui urutan kegiatan:
a) penyiapan rancangan awal rencana pembangunan.
b) penyiapan rancangan rencana kerja.
c) musyawarah perencanaan pembangunan.
d) penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Penyusunan rancangan awal RPJM Nasional disiapkan ol e h Menteri
PPN/Kepala Bappenas sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program presiden ke
dalam strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program prioritas presiden,
serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal.
Menteri PPN/Kepala Bappenas menyusun rancangan RPJM Nasional dengan
menggunakan rancangan rencana strategis kementerian negara/lembaga (Renstra K/L)
dan berpedoman pada RPJP Nasional. Rancangan RPJM Nasional menjadi bahan bagi
Musrenbang Jangka Menengah. Musrenbang Jangka Menengah diselenggarakan
dalam rangka menyusun RPJM diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara negara dan
mengikutsertakan masyarakat. Musrenbang Jangka Menengah Nasional
58
diselenggarakan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas. Musrenbang Jangka Menengah
Nasional dilaksanakan paling lambat 2 (dua) bulan setelah presiden dilantik.
Menteri PPN/Kepala Bappenas menyusun rancangan akhir RPJM Nasional
berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Menengah Nasional. RPJM Nasional
ditetapkan dengan peraturan presiden paling lambat 3 (tiga) bulan setelah presiden
dilantik.
4.1.2.3. Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) merupakan Rencana Pembangunan Tahunan
Nasional. RKP adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun.
RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan,
rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga,
lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan
kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Rancangan awal RKP disiapkan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas sebagai
penjabaran dari RPJM Nasional. Pimpinan Kementerian/Lembaga menyiapkan
rancangan rencana kerja kementerian negara/lembaga (Renja-KL) sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya dengan mengacu kepada rancangan awal RKP dan berpedoman
pada Renstra-KL. Menteri PPN/Kepala Bappenas mengkoordinasikan penyusunan
rancangan RKP dengan menggunakan rancangan Renja-KL. Rancangan RKP
menjadi bahan bagi Musrenbang. Musrenbang dalam rangka penyusunan RKP diikuti
oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintahan.
Menteri PPN/Kepala Bappenas menyelenggarakan Musrenbang penyusunan
RKP. Musrenbang penyusunan RKP dilaksanakan paling lambat bulan April. Menteri
59
PPN/Kepala Bappenas menyusun rancangan akhir RKP berdasarkan hasil
Musrenbang. Rancangan RKP dibahas dalam Sidang Kabinet untuk ditetapkan
menjadi RKP paling lambat pertengahan bulan Mei. RKP menjadi pedoman
penyusunan RAPBN. RKP ditetapkan dengan Peraturan Presiden. RKP dipergunakan
sebagai bahan pembahasan kebijakan umum dan prioritas anggaran di DPR.
4.1.2.4. Visi dan Misi Kementerian Negara/Lembaga
Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dimulai dengan disusunnya visi dan
misi penyelenggara pemerintahan dan hasil-hasil yang diharapkan dalam suatu
perencanaan stratejik. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)
merupakan suatu sistem yang membentuk suatu siklus yang dimulai dari proses
penetapan visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi yang akan dicapai yang tercantum
dalam perencanaan stratejik organisasi; yang kemudian dijabarkan lebih lanjut
kedalam Rencana Kinerja Tahunan; kemudian ditetapkan dalam Penetapan Kinerja;
penetapan pengukuran kinerja; pengumpulan data untuk menilai kinerja; menganalisis,
mereviu dan melaporkan kinerja; serta menggunakan data kinerja tersebut untuk
memperbaiki kinerja organisasi pada periode berikutnya.
Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir
periode perencanaan. Visi adalah cara pandang jauh ke depan kemana instansi
pemerintah harus dibawa agar dapat eksis, antisipatif dan inovatif. Visi adalah
gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang diinginkan oleh instansi
pemerintah.
Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan
untuk mewujudkan visi. Misi adalah sustu yang harus dilaksanakan oleh instansi
pemerintah agar tujuan organisasi dapat terlaksana dan berhasil dengan baik. Dengan
60
pernyataan misi tersebut, diharapkan seluruh pegawai dan pihak yang berkepentingan
dapat mengenal instansi pemerintah, dan mengetahui peran dan program-programnya
serta hasil yang akan diperoleh dimasa mendatang.
Keluaran utama dari sistem akuntabilitas kinerja adalah Laporan Akuntabilitas
Kinerja. Laporan ini sangat penting untuk digunakan sebagai umpan balik bagi para
penyelenggara pemerintah. Hubungan antara SAKIP dengan penganggaran
digambarkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Hubungan Sistem AKIP dan Penganggaran
Sumber : Modul SAKIP – Kemenpan
4.1.2.5. Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga
Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) merupakan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga adalah dokumen
perencanaan kementerian/lembaga untuk periode 5 (l ima) tahun. Pimpinan
61
Kementerian/Lembaga menyiapkan rancangan Renstra-KL sesuai dengan tugas pokok
dan fungsinya dengan berpedoman kepada rancangan awal RPJM Nasional. Renstra-
KL ditetapkan dengan peraturan pimpinan Kementerian/Lembaga setelah disesuaikan
dengan RPJM Nasional. Penyusunan Renstra berpedoman pada Keputusan Kepala
LAN Nomor 589/IX/6/Y/99 tahun 1999 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan
AKIP. Adapun formulir yang digunakan dalam menyusun Renstra antara lain:
1) Formulir PS-1 yaitu formulir perencanaan untuk tahun ke-1 dari 5 tahun.
PERENCANAAN STRATEGIK-1Instansi :Tahun : Formulir PS-1
Rencana Strategis Instansi ... Tahun ...(tahun ke-1 dari 5 tahun)
Cara Mencapai Tujuan/SasaranNo. Bidang/Sektor/ Sub Sektor
Kebijaksanaan Nasional Stratejik Visi Misi Tujuan Sasaran Kebijaksanaan Program Kegiatan
Ket.
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
Jakarta, .................An. Menteri/Kepala Lembaga
2) Formulir PS-2 yaitu formulir perencanaan untuk tahun ke-2 sampai dengan ke-5.
PERENCANAAN STRATEGIK-2Instansi :Tahun : Formulir PS-2
Rencana Strategis Instansi ... Tahun ...(tahun ke-2/3/4/5 dari 5 tahun)
Cara Mencapai Tujuan/SasaranNo.Sasaran Kebijaksanaan Program Kegiatan
Ket.
(1) (2) (3) (4) (5) (6)Jakarta, .................An. Menteri/Kepala Lembaga
62
4.1.2.6. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL)
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya
disebut RKA-KL adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi
program dan kegiatan suatu kementerian negara/lembaga yang merupakan penjabaran
dari rencana kerja pemerintah dan rencana strategis kementerian negara/lembaga yang
bersangkutan dalam satu tahun anggaran serta anggaran yang diperlukan untuk
melaksanakannya. Penyusunan rencana kerja dan pendanaannya menggunakan
Renja-KL sebagai bahan masukan. Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga
(Renja-KL) adalah dokumen perencanaan kementerian negara/lembaga untuk untuk
periode 1 (satu) tahun.
Kementerian negara/lembaga menyusun RKA-KL berpedoman kepada rencana
kerja pemerintah. RKA-KL terdiri dari rencana kerja kementerian negara/lembaga
dan anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan rencana kerja tersebut. Di dalam
rencana kerja diuraikan visi, misi, tujuan, kebijakan, program, hasil yang diharapkan,
kegiatan, keluaran yang diharapkan. Di dalam anggaran yang diperlukan tersebut
diuraikan biaya untuk masing-masing program dan kegiatan untuk tahun anggaran
yang direncanakan yang dirinci menurut jenis belanja, prakiraan maju untuk tahun
berikutnya, serta sumber dan sasaran pendapatan kementerian negara/lembaga yang
bersangkutan. RKA-KL meliputi seluruh kegiatan satuan kerja di lingkungan
kementerian negara/lembaga termasuk kegiatan dalam rangka dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.
Penyusunan RKA-KL pada suatu satker pada dasarnya adalah penyusunan
informasi berupa: 1) Rencana kegiatan dan rincian belanjanya, 2) pendapatan yang
diterima satker, dan 3) rencana penarikan alokasi anggarannya. Form-form dalam
penyusunan RKA-KL antara lain :
63
1. Form Rincian (Form 1)
a. Rincian Kegiatan dan Keluaran (Form 1.1)
b. Rincian Anggaran Belanja per Kegiatan (Form 1.2)
c. Rincian Anggaran Belanja per Jenis Belanja (Form 1.3)
d. Rincian Anggaran Pendapatan per Akun Pendapatan (Form 1.4)
e. Rincian Perhitungan Biaya per Kegiatan (Form 1.5)
2. Form Uraian (Form 2)
a. Uraian Kegiatan dan Keluaran (Form 2.1)
b. Uraian Anggaran Belanja per Kegiatan (Form 2.2)
c. Uraian Anggaran Belanja per Jenis Belanja (Form 2.3)
d. Uraian Anggaran Pendapatan per Akun Pendapatan (Form 2.4)
3. Form Ringkasan (Form 3)
a. Ringkasan Kegiatan dan Keluaran (Form 3.1)
b. Ringkasan Anggaran Belanja per Kegiatan (Form 3.2)
c. Ringkasan Anggaran Belanja per Jenis Belanja (Form 3.3)
d. Ringkasan Anggaran Pendapatan per Akun Pendapatan (Form 3.4)
4.1.2.7. Klasifikasi Anggaran
Klasifikasi anggaran dibuat dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dan
dalam upaya mempermudah evaluasi dan pengukuran kinerja. Klasifikasi terdiri dari
3 kelompok yaitu :
a. Klasifikasi Fungsi.
Klasifikasi fungsi mengelompokkan anggaran ke dalam 11 (sebelas) fungsi,
kemudian dijabarkan dalam 79 (tujuh puluh sembilan) sub fungsi, selanjutnya
dijabarkan lagi ke dalam program, kegiatan dan sub kegiatan. Rincian belanja negara
64
menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan
keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan,
pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.
b. Klasifikasi Ekonomi
Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri
dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan
sosial, dan belanja lain-lain.
c. Klasifikasi Organisasi
Dalam klasifikasi ini, anggaran belanja diklasifikasi menurut organisasi
kemente r i an / l embaga sebaga i pemegang bag ian anggaran /pengguna
anggaran/pengguna barang. Selanjutnya dirinci ke dalam beberapa unit organisasi
sebagai kuasa pengguna anggaran/pengguna barang. Anggaran unit organisasi dirinci
lebih lanjut ke dalam anggaran satuan kerja.
d. Satuan Kerja
Satuan kerja (Satker) adalah bagian dari suatu unit organisasi kementerian
negara/lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program.
Satker merupakan unit terkecil dari klasifikasi organisasi yang bertanggung jawab
atas pelaksanaan satu atau lebih kegiatan dalam mencapai keluaran (output). Satker
yang dapat ditetapkan menjadi Kuasa Pengguna Anggaran dikelompokkan menjadi :
1) Satker Pusat
Satker Pusat adalah satker yang melakukan kegiatan pengelolaan anggaran yang
kewenangan dan tanggung jawabnya berada di kantor pusat kementerian
negara/lembaga sedangkan lokasinya dapat berada di pusat atau di daerah. Satker
Pusat terdiri dari unit eselon I dan eselon II yang langsung berada di bawah struktur
organisasi kantor pusat kementerian/lembaga. Satker pusat adalah satker yang
65
melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dan mengelola anggaran kantor pusat unit
organisasi Kementerian Negara/Lembaga.
Satker Pusat pada dasarnya adalah unit Eselon I, dalam hal tertentu Eselon II
dapat menjadi satker pusat dengan memenuhi alat kelengkapan sebuah satker
(mempunyai bagian yang menangani keuangan, akuntansi, dan pelaporan).
2) Satker Vertikal/Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Negara/Lembaga
Satker Vertikal/UPT adalah satker di daerah yang melaksanakan satu atau
beberapa kegiatan dan mengelola anggaran Kementerian Negara/Lembaga untuk
mencapai keluaran/output dalam rangka menunjang sasaran program Kementerian
Negara/Lembaga yang bersangkutan. Contoh : Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara (KPPN) sebagai instansi vertikal DJPBN.
3) Satker Khusus
Satker Khusus adalah satker yang ditetapkan untuk melaksanakan satu atau
beberapa kegiatan dan mengelola dana yang bersumber dari Bagian Anggaran (BA) di
luar anggaran Kementerian Negara/Lembaga atau Bagian Anggaran pembiayaan
Perhitungan, antara lain BA 69.
4) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
SKPD adalah satker yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dan
mengelola anggaran Kementerian Negara/Lembaga dalam rangka pelaksanaan azas
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Kegiatan-kegiatan yang pelaksanaanya melalui
mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan mengacu pada Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. SKPD penerima
dana dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan bertanggung jawab atas pelaporan
kegiatan dekonsentrasi/tugas pembantuan dan selanjutnya laporan dimaksud
disampaikan kepada K/L pemberi dana untuk dikonsolidasikan dengan bagian dari
66
laporan keuangan K/L yang bersangkutan. Sedangkan bagi Kementerian
Negara/Lembaga yang mendelegasikan kegiatannya melalui mekanisme
dekonsentrasi dan tugas pembantuan kepada SKPD agar mempertimbangkan ketaatan
dalam menyampaikan laporan keuangan tahun anggaran sebelumnya.
5) Satuan Kerja Sementara (SKS)
Dalam hal Kementerian Negara/Lembaga tidak dapat memanfaatkan satker
sebagaimana tersebut diatas maka dapat menggunakan satker sementara.
6) Satker Badan Layanan Umum (BLU)
Satker BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
e. Struktur Organisasi dalam Pengelolaan Keuangan
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut
meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus.
Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian
dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola
Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan,
serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang kementrian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai
pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial
Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan
lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operasional Officer (COO) untuk suatu
bidang tertentu pemerintahan.
67
1) Menteri Keuangan selaku CFO
Unit organisasi yang terlibat dalam mengurus proses penganggaran adalah :
b) Direktorat Jenderal Anggaran dalam hal penyusunan RKA-KL.
c) Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam hal pelaksanaan anggaran yaitu untuk
pengesahan dokumen anggaran (DIPA).
2) Menteri Teknis/Pimpinan Lembaga selaku COO
Struktur pengelola administrasi keuangan pada Kementerian/Lembaga adalah:
a) Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai Pengguna Anggaran.
b) Unit Eselon I/Satker sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.
c) Pejabat Pembuat Komitmen.
d) Pejabat Penguji Tagihan/Penerbit Surat Perintah Membayar (SPM).
e) Bendahara Pengeluaran.
4.1.3. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Sesuai Dengan Konsep New Public
Management
Demokrasi telah membuka pintu kebebasan dan akses masyarakat terhadap
lembaga publik dan entitas politik di negeri kita. Kesetaraan kedudukan rakyat secara
politis di hadapan negara sudah menjadi tuntutan bagi semua orang. Hal itu
diwujudkan melalui terbukanya akses rakyat kepada lembaga negara. Salah satu
wujud kebebasan akses rakyat kepada lembaga negara adalah proses pemilihan
langsung seorang kepala negara/kepala daerah secara demokratis. Memang tidak
sepenuhnya proses tersebut dapat berjalan sesuai konsep ideal sebuah negara
demokratis. Tuntutan publik atau masyarakat tentang perbaikan pengelolaan dan
pelayanan publik merupakan fenomena global di semua negara, terutama negara yang
sedang berkembang. Stereotip yang melekat kepada lembaga ini adalah sebagai
68
sumber penyelewengan atau yang lebih populer dengan KKN, serta rendahnya
performa pengelolaan sumber daya masyarakat yang cenderung boros, tidak efisien
dan efektif. Keberadaan lembaga publik mempunyai peran yang sangat vital dalam
masyarakat dan berpengaruh sangat kuat terhadap sektor privat. Kesalahan
manajemen publik akan mempengaruhi kinerja sektor privat. Dalam konteks ilmu
ekonomi gejala ini akan menimbulkan high cost economy sehingga menurunkan
tingkat daya dukung terhadap iklim investasi dan usaha, sehingga menurunkan
keunggulan dalam kompetisi.
Tuntutan global terhadap pengelolaan lembaga publik diakomodasi oleh
lembaga dunia dan berbagai pihak yang concern. Output yang dihasilkan adalah
paradigma baru pengelolaan lembaga publik yang disebut sebagai good governance.
Karakteristiknya terdiri dari partisipasi publik dalam pembuatan keputusan yang
berkaitan dengan kepentingannya, penerapan ru le of l aw secara konsisten,
transparansi informasi berkaitan dengan penyelenggaraan kepentingan publik,
kepekaan dalam pemberian pelayanan kepada publik, orientasi program yang
mengacu kepada kepentingan publik, equity atau keadilan yang diwujudkan dengan
adanya kesempatan sosial yang sama dalam mendapatkan pelayanan, efisiensi dan
efektivitas dalam pengelolaan sumber daya yang diamanahkan, akuntabilitas atas
aktivitas yang dilakukan dan visi strategis dalam penyelenggaraan kegiatan.
New Public Management memberi perhatian lebih besar terhadap pencapaian
kinerja dan akuntabilitas, dengan mengadopsi teknik pengelolaan sektor swasta ke
dalam sektor publik. Penerapan New Public Management dipandang sebagai suatu
bentuk reformasi manajemen, depolitisasi kekuasaan, atau desentralisasi wewenang
yang mendorong demokrasi. Perubahan dimulai dari proses rethinking government
dan dilanjutkan dengan reinventing government yang mengubah peran pemerintah,
69
terutama dalam hal hubungan pemerintah dengan masyarakat. Perubahan teoritis,
misalnya dari administrasi publik ke arah manajemen publik, pemangkasan birokrasi
pemerintah, dan penggunaan sistem kontrak telah meluas di seluruh dunia meskipun
secara rinci reformasinya bervariasi. Tren di hampir setiap negara mengarah pada
penggunaan anggaran berbasis kinerja, manajemen berbasis outcome (hasil), dan
pengunaan akuntansi accrual meskipun tidak terjadi dalam waktu bersamaan
menyatakan bahwa New Public Management merupakan fenomena global, akan tetapi
penerapannya dapat berbeda-beda tergantung faktor localized contingencies.
Walaupun penerapan New Public Management bervariasi, namun mempunyai tujuan
yang sama yaitu memperbaiki efisiensi dan efektivitas, meningkatkan responsivitas,
dan memperbaiki akuntabilitas manajerial.
Penerapan New Public Management di Indonesia diawali dengan reformasi di
bidang keuangan dengan lahirnya tiga paket undang-undang, yaitu Undang-Undang
No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara telah mengubah
secara drastis sistem penganggaran di Indonesia. Paket undang-undang tersebut
merupakan fondasi bagi pelaksanaan reformasi di bidang Keuangan. Dalam undang-
undang tersebut dimuat prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang mengubah
paradigma lama, antara lain mengubah sistem penganggaran ”dual budgeting” yang
potensi terjadinya tumpang tindih (DIK dan DIP) ke sistem penganggaran terpadu
(unified budget), dengan alasan:
1. Duplikasi antara belanja rutin dan belanja pembangunan oleh karena kurang
tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan proyek, khususnya
70
proyek-proyek non-fisik. Dengan demikian, kinerja sulit diukur karena alokasi
dana yang ada tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya.
2. Penggunaan “dual budgeting” mendorong dualisme dalam penyusunan daftar
perkiraan mata anggaran keluaran (MAK) karena untuk satu jenis belanja, ada
MAK yang diciptakan untuk belanja rutin dan ada MAK lain yang ditetapkan
untuk belanja pembangunan.
3. Analisis belanja dan biaya program sulit dilakukan karena anggaran belanja rutin
tidak dibatasi pada pengeluaran untuk operasional dan belanja anggaran
pembangunan tidak dibatasi pada pengeluaran untuk investasi.
4. Proyek yang menerima anggaran pembangunan diperlakukan sama dengan satuan
kerja, yaitu sebagai entitas akuntansi, walaupun proyek hanya bersifat sementara.
Jika proyek sudah selesai atau dihentikan tidak ada kesinambungan dalam
pertanggungjawaban terhadap asset dan kewajiban yang dimiliki proyek tersebut.
Hal ini selain menimbulkan ketidakefisienan dalam pembiayaan kegiatan
pemerintahan, juga menyebabkan ketidakjelasan keterkaitan antara
output/outcome yang dicapai dengan penganggaran organisasi.
Selanjutnya, sebagaimana diamanatkan oleh UU No.17 Tahun 2003, maka
sistem penganggaran mengacu pada praktek-praktek yang berlaku secara internasional.
Sistem penganggaran belanja negara secara implisit menggunakan sistem unified
budget, di mana tidak ada pemisahan antara pengeluaran rutin dan pembangunan,
sehingga klasifikasi menurut ekonomi akan berbeda dari klasifikasi sebelumnya.
Dalam hal ini, belanja negara menurut klasifikasi ekonomi dikelompokkan ke dalam
(1) kompensasi untuk pegawai; (2) penggunaan barang dan jasa; (3) kompensasi dari
modal tetap berkaitan dengan biaya produksi yang dilaksanakan sendiri oleh unit
organisasi pemerintah; (4) bunga hutang; (5) subsidi; (6) hibah; (7) tunjangan sosial
71
(social benefits); dan (8) pengeluaran-pengeluaran lain dalam rangka transfer dalam
bentuk uang atau barang, dan pembelian barang dan jasa dari pihak ketiga untuk
dikirim kepada unit lainnya.
Sejalan dengan amanat UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara akan
pula diterapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik, agar
pengguna anggaran tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan kegunaannya bagi
masyarakat. Jelas ada keinginan yang kuat dari pemerintah bahwa pengelompokan
atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan tidak boleh
dipergunakan lagi, karena telah menimbulkan peluang terjadinya duplikas i,
penumpukan, dan penyimpangan anggaran. Sejalan dengan rencana jangka menengah
sebagai penunjang penerapan perubahan format baru dan anggaran berbasis kinerja,
beberapa langkah penting yang akan ditempuh, yakni penyempurnaan mekanisme
penyusunan dan format anggaran. Jelas, pemerintah saat ini sedang giat-giatnya
melakukan reformasi yang siginifikan di bidang keuangan negara dalam upaya untuk
memberantas KKN, dan dimulai dari rumah tangganya sendiri. Upaya inilah yang
menunjukkan perubahan paradigma pengelolaan publik untuk menciptakan
pemerintah yang bersih dan transparan.
4.1.4. Penerapan Good Corporate Governance
Dalam tiga paket undang-undang ditegaskan pula keharusan untuk melaksanaan
tata kelola yang baik (good governance) untuk menuju pelaksanaan penyelenggaraan
kepemerintahan yang berorientasi kepada pelanggan/masyarakat. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa baik buruknya tata pemerintahan dijalankan mempunyai
hubungan kausualitas yang erat dengan hasil-hasil pembangunan. Bagi Indonesia,
relevansi konsep ini menjadi sangat tinggi setelah banyak pihak menyalahkan
72
‘bad/poor governance’ sebagai faktor penyebab utama negara ini menjadi yang
kondisi sosial ekonominya paling buruk di antara sekian banyak negara Asia yang
terkena krisis moneter 1997.
Good corporate governance mengarah pada tujuan pokok yaitu best value
adalah memodernisasi penilaian pengelolaan pemerintahan sehingga unit kerja yang
berwenang menyediakan layanan yang baik dan responsif terhadap kebutuhan
masyarakat sehingga layanan yang disediakan bukan berdasarkan dana yang tersedia
(pelayanan merupakan fungsi pendapatan), tetapi lebih pada apa yang dibutuhkan
masyarakat (pelayanan merupakan fungsi kebutuhan). Setiap unit kerja menentukan
target dan tujuan serta merefleksikannya ke dalam suatu performance plan yang
memberikan informasi mengenai jenis layanan yang disediakan, cara menyediakan
layanan, obyek pemakai layanan, kualitas layanan yang diharapkan, dan tindakan
yang diperlukan dalam menyediakan layanan. Best value menitikberatkan pada
pembangunan yang berkelanjutan, keseimbangan kualitas layanan yang disediakan
dengan biaya yang dikeluarkan, dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah dalam
menyediakan layanan publik. Dengan demikian, best value dapat dikatakan sebagai
konsep pengelolaan yang berfokus pada pelanggan dan kinerja.
Tata kelola yang baik menuntut lebih dari sekedar kapasitas pemerintah yang
memadai, akan tetapi juga mencakup kaidah aturan yang menciptakan suatu
legitimasi, kerangka kerja yang efektif dan efisien dalam melaksanakan kebijakan
publik. Tata kelola yang baik berimplikasi pada pengelolaan urusan masyarakat
dengan cara yang transparan, akuntabel, partisipatif dan berkesetaraan. Tata kelola
yang baik juga mencakup partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik yang efektif,
penegakan hukum dan sistem peradilan yang independen, checks and balances
melalui pemisahan kekuasaan secara horisontal dan vertikal, dan adanya lembaga-
73
lembaga pengawas yang efektif. Oleh karenanya, dorongan utama aktivitas-aktivitas
yang berbasis tata kelola adalah hadirnya manajemen birokrasi pemerintahan,
pengelolaan keuangan negara, modernisasi administrasi publik, dan privatisasi
BUMN yang baik dan sesuai dengan rule of the law. Pergeseran konsep tata kelola
menjadi tata kelola yang baik juga mencakup suatu dimensi normatif mengenai
kualitas tata kelola.
Secara legitimasi, keharusan melaksanakan tata kelola yang baik sudah dimiliki
oleh pemerintah Indonesia. Namun perwujudan tata kelola yang baik perlu dukungan
sistem yang memadai dan sumber daya manusia yang memiliki kemauan dan
kemampuan untuk melaksanakan sistem yang mendukung terwujudnya tata kelola
tersebut. Masih banyak layanan yang dilakukan oleh pemerintah yang perlu ditata
ulang agar mampu menghasilkan nilai baik (best value) dari masyarakat sebagai
pelanggan. Agaknya perhatian terhadap pengelolaan dan peningkatan kompetensi
para pegawai menjadi prioritas terkait dengan pencapaian good governance.
Pemerintah perlu menciptakan mekanisme pengelolaan SDM yang memberikan
kejelasan terkait dengan kompetensi yang dibutuhkan, kinerja yang diharapkan serta
sistem reward dan punishment yang jelas bagi para pegawai. Ketidakjelasan sistem
inilah yang memicu kelemahan SDM karena pegawai kurang bisa melihat hubungan
antara prestasi kinerja dengan imbalan atau penghargaan yang diberikan. Tentu saja
ini mendorong terjadinya inefisiensi karena produktivitas pegawai yang rendah.
4.2. Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja
4.2.1. Evaluasi atas Sistem Pengukuran Kinerja
4.2.1.1. Indikator Kinerja dan Pengukurannya
74
Pengukuran Kinerja merupakan hasil dari suatu penilaian yang sistematik dan
didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator-indikator
masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak. Penilaian tersebut tidak terlepas dari
proses yang merupakan kegiatan mengolah masukan menjadi keluaran atau penilaian
dalam proses penyusunan kebijakan/program/kegiatan yang dianggap penting dan
berpengaruh terhadap pencapaian sasaran dan tujuan. Pengukuran kinerja digunakan
sebagai dasar untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai
dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan
misi.
Format dokumen penyusunan anggaran di Indonesia baru terfokus pada
penjabaran nama program, kegiatan dan sub kegiatan dalam dokumen anggaran, tetapi
substansi ukuran kinerjanya belum diformulasikan dalam indikator kinerja yang
memadai. Padahal, dalam pengukuran kinerja perlu ditetapkan terlebih dahulu
kerangka pengukuran kinerja di mana pengukuran kinerja dilakukan dengan
menggunakan indikator kinerja kegiatan yang dilakukan dengan memanfaatkan data
kinerja yang diperoleh baik melalui data internal yang ditetapkan oleh instansi
maupun data eksternal yang berasal dari luar instansi. Pengukuran kinerja akan
menjadi masalah apabila indikator kinerja yang ditetapkan belum mencerminkan
sepenuhnya kinerja ideal yang sangat mungkin dicapai dalam kinerja aktual, apalagi
kalau disusun tanpa menggunakan data kinerja sebagai benchmarking. Ini yang masih
terjadi dalam penentuan indikator dalam penyusunan RKA-KL yaitu belum
memadainya indikator kinerja output, apalagi outcome.
Pengumpulan data kinerja dilakukan untuk memperoleh data yang akurat,
lengkap, tepat waktu, dan konsisten, yang berguna dalam pengambilan keputusan.
Pengumpulan data kinerja yang digunakan untuk indikator kinerja kegiatan yang
75
terdiri dari indikator-indikator masukan, keluaran, dan hasil, dilakukan secara
terencana dan sistematis setiap tahun untuk mengukur kehematan, efektivitas,
efisiensi, dan kualitas pencapaian sasaran. Sedangkan pengumpulan data kinerja
untuk indikator manfaat dan dampak dapat diukur pada akhir periode selesainya suatu
program atau dalam rangka mengukur pencapaian tujuan-tujuan instansi pemerintah.
Pengukuran kinerja mencakup kinerja kegiatan yang merupakan tingkat pencapaian
target (rencana tingkat capaian) dari masing-masing kelompok indikator kinerja
kegiatan dan tingkat pencapaian sasaran instansi pemerintah yang merupakan tingkat
pencapaian target (rencana tingkat capaian) dan masing-masing indikator sasaran
yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana kerja. Pengukuran tingkat pencapaian
sasaran didasarkan pada data hasil pengukuran kinerja kegiatan. Hal-hal inilah yang
belum secara nyata dilakukan oleh Kementerian Negara/Lembaga di dalam
pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan dalam anggaran sehingga pencantuman
indikator kinerja dalam anggaran tidak didasarkan pada hasil analisis atas data kinerja.
Selain itu, Sistem Pengukuran Kinerja belum sepenuhnya terealisasi karena
belum adanya kegiatan evaluasi untuk melakukan pengukuran terhadap hasil kinerja
yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil-hasil perhitungan pengukuran kinerja
kegiatan, seharusnya dilakukan evaluasi terhadap pencapaian setiap indikator kinerja
kegiatan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut tentang hal-hal yang mendukung
keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu kegiatan. Evaluasi bertujuan agar
diketahui pencapaian realisasi, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam rangka
pencapaian misi, agar dapat dinilai dan dipelajari guna perbaikan pelaksanaan
program/kegiatan di masa yang akan datang. Evaluasi kinerja dilakukan terhadap
analisis efisiensi dengan cara membandingkan antara output dengan input baik untuk
rencana maupun realisasinya. Evaluasi dilakukan pula pengukuran/ penentuan tingkat
76
efektivitas yang menggambarkan tingkat kesesuaian antara tujuan dengan hasil,
manfaat, atau dampak. Evaluasi juga dilakukan terhadap setiap perbedaan kinerja
yang terjadi, baik terhadap penyebab terjadinya kendala maupun strategi pemecahan
masalah yang telah dan akan dilaksanakan. Dalam melakukan evaluasi kinerja, perlu
juga digunakan pembandingan-pembandingan antara lain:
a. Kinerja nyata dengan kinerja yang direncanakan.
b. Kinerja nyata dengan kinerja tahun-tahun sebelumnya.
c. Kinerja suatu instansi dengan kinerja instansi lain yang unggul di bidangnya
ataupun dengan kinerja sektor swasta.
d. Kinerja nyata dengan kinerja di negara-negara lain atau dengan standar
internasional.
Terkait dengan analisis atas akuntabilitas kinerja dalam Sistem Pengukuran
Kinerja, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006, ditetapkan bahwa
setiap entitas pelaporan wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan dan
laporan kinerja, di mana hal ini menunjukkan telah adanya dukungan legalitas
terhadap Sistem Pengukuran Kinerja. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)
tersebut dipandang perlu untuk mengetahui kemampuan setiap instansi dalam
pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Pada praktiknya, LAKIP menggantikan
Laporan Tahunan yang harus diterbitkan oleh instansi pemerintah. Dalam Penjelasan
PP ini disebutkan bahwa UU 17/2003 merupakan langkah maju di mana
mengharuskan pencantuman informasi tambahan tentang kinerja pengguna anggaran
dalam laporan keuangannya. Pencantuman atau penambahan tersebut sejalan dengan
paradigma penganggaran yang harus dapat mengidentifikasikan keluaran (output) dari
setiap kegiatan dan hasil (outcome) dari setiap program yang didanai dengan
APBN/APBD.
77
Penjelasan PP 8/2006 juga mengakui belum terintegrasinya LAKIP dengan
laporan keuangan sehingga menetapkan perlunya penyusunan sistem akuntabilitas
kinerja instansi pemerintah (SAKIP) yang terintegrasi dengan sistem perencanaan
strategis, sistem penganggaran, dan sistem akuntansi pemerintahan (SAP). Dalam PP
8/2006 disebutkan bahwa SAKIP tersebut setidaknya dapat menginformasikan
perkembangan keluaran dari setiap kegiatan dan hasil dari setiap program
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran.
Berdasarkan UU 1/2004, dalam dokumen pelaksanaan anggaran, yang disusun oleh
menteri/pimpinan lembaga, diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program
dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan
rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan.
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) seharusnya
menyajikan data dan informasi relevan bagi pembuat keputusan agar dapat
menginterpretasikan keberhasilan dan kegagalan secara lebih luas dan mendalam.
Analisis akuntabilitas kinerja meliputi uraian keterkaitan pencapaian kinerja kegiatan
dengan program dan kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi yang
ditetapkan dalam rencana stratejik. Dalam analisis ini dijelaskan pula perkembangan
kondisi pencapaian sasaran dan tujuan secara efisien dan efektif, sesuai dengan
kebijakan, program, dan kegiatan yang telah ditetapkan. Analisis dilakukan dengan
menggunakan informasi/data yang diperoleh secara lengkap dan akurat, dan bila
memungkinkan dilakukan pula evaluasi kebijakan untuk mengetahui ketepatan dan
efektivitas baik untuk kebijakan itu sendiri maupun sistem dan proses pelaksanaannya.
78
4.2.1.2. Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat dengan SPM adalah
ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib unit
pemerintah, yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Adapun indikator
SPM merupakan tolok ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk
menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi dalam pencapaian suatu SPM
tertentu, berupa masukan, proses, hasil dan/atau manfaat pelayanan.
Masalah yang muncul dalam pelaksanaan anggaran berbasis kinerja adalah
bahwa belum seluruh kementerian negara/lembaga yang memberikan layanan mampu
merumuskan dan menyusun Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang dapat
digunakan sebagai dasar target outcome minimum. Padahal, konsep teoretis sistem
penganggaran berbasis kinerja mengharuskan keberadaan SPM. Namun demikian
secara legalitas, pemerintah telah menerbitkan peraturan tentang pedoman
penyusunan dan penerapan SPM, antara lain PP No. 65 Tahun 2005. Sehingga yang
terpenting dari kondisi yang terkait dengan SPM ini adalah bagaimana penetap
kebijakan mampu menekankan kepada unit layanan untuk dapat menyusun dan
merumuskan SPM sebagai dasar dalam persetujuan pengajuan anggaran mereka.
Caranya adalah dengan menekankan bahwa anggaran yang diajukan harus
berdasarkan pada kinerja layanan yang akan diberikan dalam SPM. Tanpa SPM
pengajuan anggaran akan menghadapi masalah karena tidak didukung dengan bukti-
bukti kinerja layanan.
4.2.1.2. Analisis Standar Biaya (ASB)
Masalah lain dalam pelaksanaan anggaran berbasis kinerja di Indonesia adalah
masalah penetapan ASB. Biaya (pengeluaran) yang digunakan untuk mendanai output
79
belum menggunakan metode penghitungan biaya yang memadai atau belum
menggunakan costing system yang jelas. Hal Ini juga didukung oleh kondisi yaitu
belum adanya suatu sistem akuntansi yang baik. Saat ini, akuntansi pemerintah masih
menggunakan basis cash toward accrual sebagaimana diatur dalam PMK
171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah
Pusat, padahal untuk dapat menghitung biaya sesuai dengan standard costing
diperlukan penerapan basis akrual. Ini berbeda dengan praktik yang ada di sektor
privat atau swasta, di mana penetapan harga standar bisa dihitung dari data masa lalu
yang dihasilkan oleh sistem akuntansi yang ada setelah disesuaikan dengan unsur lain
dengan menggunakan costing system, seperti Activity Based Costing.
Standar biaya umum dan standar biaya khusus per program dan kegiatan yang
harus disusun oleh masing-masing kementerian/lembaga, yang ada sekarang masih
berorientasi kepada input, misalnya uang lauk pauk per orang per hari, honor panitia
pengadaan per orang/bulan, pengadaan inventaris kantor per orang/tahun. Sebagian
besar kementerian negara/lembaga masih mengalami kesulitan dalam menyusun harga
standar biaya khusus per kegiatan dan program, karena tidak didukung oleh data base,
sistem akuntansi dan pencatatan yang baik. Ketiadaan standar biaya mengakibatkan
penyusunan anggaran per program dan kegiatan menjadi beragam sehingga sulit
diukur efisiensinya.
Untuk dapat menyusun standar biaya yang memadai perlu dilakukan
penyempurnaan terhadap sistem akuntansi dan pelaporan yang dilakukan oleh entitas
pelaporan. Basis akuntansi akrual nampaknya menjadi syarat untuk dapat
menentukan standar biaya secara layak. Sebenarnya keharusan untuk menerapkan
akuntansi berbasis akrual telah ditetapkan dalam UU No. 17 Tahun 2003, namun pada
kenyataan sampai dengan saat ini pemerintah menghadapi kendala untuk
80
melaksanakan basis akrual tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kajian dan
perumusan secara mendalam untuk dapat segera menerapkan akuntansi berbasis
akrual. Hal ini ditunjukkan oleh pengalaman dari beberapa negara, seperti Australia,
bahwa sistem akuntansi dan sistem penganggaran harus terintegrasi dengan
berorientasi pada basis akrual. Pengaplikasian accrual basis memberikan gambaran
kondisi keuangan secara menyeluruh (full picture), yang meliputi manajemen sumber
daya (resource management) dan manajemen utang (liability management), dan
menyediakan indikasi kekuatan fiskal jangka panjang dalam reformasi manajemen
keuangan dan reformasi manajemen lainnya. Penekanan penggunaan accrual basis
juga disyaratkan dalam GASB (1999) dan diterapkan bersama-sama dengan asumsi
dasar lainnya seperti going concern, consistency of presentation, materiality and
aggregation untuk mewujudkan comparative information (IFAC, 2000). Beberapa
negara telah mereformasi akuntansi sektor publik mereka, terutama perubahan dari
cash basis menjadi accrual basis. New Zealand merupakan contoh sukses dalam
menerapkannya. Namun, beberapa kasus menunjukkan bahwa perubahan yang
dilakukan tidak seluruhnya menjamin keberhasilan. Kasus di Italia menunjukkan
bahwa perubahan tersebut tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap
transparansi, efisiensi, dan efektivitas organisasi. Oleh karena itu, dalam mereformasi
suatu sistem perlu dilakukan analisis mendalam terhadap faktor lingkungan, salah
satunya adalah faktor sosiologi masyarakat. Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual
dilaksanakan selambat-lambatnya Tahun 2008. Selama pengakuan dan pengukuran
pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan
dan pengukuran berbasis kas. Dipertegas dalam PP No. 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan yang menyatakan bahwa laporan keuangan untuk
81
tujuan umum disusun dan disajikan dengan basis kas untuk pengakuan pos-pos
pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan, serta basis akrual untuk pengakuan
pos-pos aset, kewajiban, dan ekuitas dana.
4.2.2. Evaluasi atas Pemberian Ganjaran dan hukuman
Dalam pelaksanaan anggaran di Indonesia belum dikenal adanya reward and
punishment yang jelas dan tegas. Tidak ada penghargaan terhadap satuan kerja yang
dianggap berhasil mencapai target kinerja yang diharapkan. Belum ada lembaga yang
kredibel dan dapat memberikan penilaian atas keberhasilan satuan kerja dalam
mencapai kinerja. Diperlukan sistem informasi yang baik agar dapat dipakai sebagai
dasar penilaian pencapaian kinerja. Pemberian penghargaan atau hukuman dapat
diwujudkan dengan pemberian insentif atau disintensif bagi satuan kerja yang berhasil
atau gagal. Insentif dapat diberikan misalnya bagi satuan kerja yang mencapai kinerja
yang diharapkan diberikan prioritas anggaran, fleksibilitas yang lebih, pembayaran
gaji berdasarkan kinerja.
4.2.3. Evaluasi atas Pelaksanaan Kontrak Kinerja
Belum ada kontrak kinerja yang dilaksanakan. Atas nama pemerintah
Departemen Keuangan dapat melaksanakan kontrak atas pencapaian suatu kinerja.
Dalam pembuatan kontrak kinerja harus diperjelas pelayanan yang dikontrakkan.
Telah dicoba dengan pendirian Badan Layanan Umum, namun belum ada kejelasan
sampai sejauh mana pelayanan yang harus diberikan oleh BLU dan sebagian besar
organisasi mengajukan diri menjadi BLU lebih pada keinginan untuk mendapatkan
fleksibilitas dalam penggunaan dana APBN dan PNBP.
82
4.2.4. Evaluasi atas Pengendalian Internal dan Eksternal
Ketika keleluasaan penggunaan anggaran diberikan kepada kementerian negara/
lembaga maka agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian
wewenang dan keleluasaan harus diikuti dengan pengawasan dan pengendalian yang
kuat, serta pemeriksaan yang efektif. Pengawasan dilakukan oleh pihak luar eksekutif
(dalam hal ini DPR dan masyarakat); pengendalian, yang berupa pengendalian
internal dan pengendalian manajemen, berada di bawah kendali eksekutif
(pemerintah) dan dilakukan untuk memastikan strategi dijalankan dengan baik
sehingga tujuan tercapai. Sedangkan pemeriksaan (audit) sesuai dengan prinsip baru
pengelolaan APBN dilakukan oleh badan yang memiliki kompetensi dan
independensi yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Audit yang dilakukan bertujuan
untuk mengukur apakah kinerja eksekutif sudah sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan.
Penguatan fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPR
sebagai kekuatan penyeimbang antara eksekutif dengan masyarakat, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dan melalui LSM serta organisasi sosial
kemasyarakatan. Terdapat pemahaman yang yang salah dalam diri anggota DPR
ketika pengawasan DPR terhadap pihak eksekutif adalah pemeriksaan (audit) padahal
seharusnya pengawasan terhadap eksekutif adalah pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan yang telah digariskan. Pemeriksaan tetap harus dilakukan oleh badan atau
lembaga yang memiliki otoritas dan keahlian profesional seperti BPK.
Pada saat ini masih terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaan audit
pemerintah di Indonesia. Kelemahan pertama bersifat inherent sedangkan kelemahan
kedua bersifat struktural. Kelemahan pertama adalah tidak tersedianya indikator
kinerja yang memadai sebagai dasar mengukur kinerja pemerintah. Kelemahan kedua
83
adalah masalah kelembagaan audit Pemerintah Pusat dan Daerah yang overlapping
satu dengan lainnya, sehingga pelaksanaan pengauditan tidak efisien dan tidak efektif.
Reposisi lembaga pemeriksa diperlukan untuk menciptakan lembaga audit yang
efisien dan efektif dengan memisahkan tugas dan fungsi secara jelas ke dalam
kategori auditor internal dan eksternal agar tidak terjadi tumpang tindih dalam
pengawasan. Audit internal dilakukan oleh unit pemeriksa yang merupakan bagian
dari organisasi yang diperiksa. Sedangkan, audit eksternal dilakukan oleh unit
pemeriksa yang berada di luar organisasi yang diperiksa dan bersifat independen.
Dalam hal ini yang bertindak sebagai auditor eksternal pemerintah adalah BPK yang
merupakan lembaga independen dan merupakan supreme auditor sesuai dengan
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003. Permasalahan pada pemerintah Indonesia saat
sekarang adalah banyaknya auditor internal yang dimiliki yaitu: BPKP. Inspektorat
Jenderal Departemen, Inspektorat Wilayah Propinsi, Inspektorat Wilayah Kabupaten
dan yang terbaru khusus untuk Direktorat Jenderal Pajak terdapat Kepatuhan Internal
dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA)
Fokus pemeriksaan yang selama ini dilakukan kurang memperhatikan Value For
Money (VFM). Audit yang dilakukan seharusnya dapat menciptakan Good
governance dan hal ini akan tercapai jika lembaga pemeriksa berfungsi dan tertata
dengan baik. Perlu ada pengembangan dan perluasan cakupan audit, tidak hanya audit
keuangan (financial audit) tetapi juga performance audit (audit kinerja) termasuk
value for money audit. Audit kinerja merupakan suatu proses sistematis untuk
memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif, agar dapat melakukan penilaian
secara independen atas ekonomi dan efisiensi operasi serta efektivitas dalam
pencapaian hasil yang diinginkan, dan kepatuhan terhadap kebijakan, peraturan, dan
hukum yang berlaku, serta menentukan kesesuaian antara kinerja yang telah dicapai
84
dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, serta mengkomunikasikan hasilnya
kepada pihak-pihak pengguna laporan tersebut.
Secara lebih rinci, audit kinerja dibagi menjadi audit ekonomi dan efisiensi
(management audit) dan audit efektivitas (program audit). Audit ekonomi dan
efisiensi bertujuan untuk menentukan:
(1) apakah suatu entitas telah memperoleh, melindungi, dan menggunakan sumber
dayanya (seperti karyawan, gedung, dan peralatan kantor) secara hemat
(ekonomis) dan efisien;
(2) penyebab ketidakhematan dan ketidakefisienan, dan
(3) apakah entitas tersebut telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan kehematan dan efisiensi.
Audit efektivitas bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian hasil program,
efektivitas pelaksanaan program, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan program. Tujuan memperkuat
pelaksanaan value for money audit adalah meningkatkan akuntabilitas sektor publik.
Di masa mendatang DPR, menteri-menteri dan lembaga-lembaga pemerintahan, harus
memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat, dan akhirnya akuntabilitas
publik merupakan bagian penting dari sistem politik dan demokrasi.
4.2.5. Evaluasi atas Cascading Perencanaan Kinerja (BPPK sebagai ilustrasi)
Renstra merupakan analisis dan pengambilan keputusan stratejik tentang masa
depan organisasi untuk menempatkan dirinya pada masa yang akan datang. Renstra
memberikan petunjuk tentang mengerjakan sesuatu program/kegiatan yang benar
(doing the right things). Oleh karena itu, bahasa yang digunakan dalam perumusan
85
renstra haruslah jelas dan nyata serta tidak bermakna ganda sehingga dapat menjadi
petunjuk/arah perencanaan dan pelaksanaan kegiatan operasional.
Beberapa langkah yang biasa dilakukan dalam perencanaan stratejik yaitu,
merumuskan visi dan misi organisasi, melakukan analisis lingkungan internal dan
eksternal (environment scanning) dengan melihat lingkungan stratejik organisasi,
merumuskan tujuan dan sasaran (goal setting), dan merumuskan stratejik-stratejik
untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut.
Organisasi Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan merupakan salah satu
unit eselon satu di bawah Departemen Keuangan. Berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006 tanggal 22 Desember 2006 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Departemen Keuangan Bab XIV dijelaskan bahwa Badan Pendidikan
dan Pelatihan Keuangan (BPPK) mempunyai tugas melaksanakan pendidikan dan
pelatihan di bidang Keuangan Negara sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun fungsi BPPK :
1. Perumusan kebijakan Menteri Keuangan di bidang pendidikan dan pelatihan
keuangan negara dalam rangka pembinaan sumber daya manusia Departemen
Keuangan;
2. Pelaksanaan kebijakan Menteri Keuangan di bidang pendidikan dan pelatihan
keuangan negara dalam rangka pembinaan sumber daya manusia Departemen
Keuangan;
3. Penelaahan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan keuangan negara dalam rangka pembinaan sumber daya manusia
Departemen Keuangan;
86
4. Pengkajian dan pengembangan pendidikan dan pelatihan di bidang keuangan
negara;
5. Koordinasi pelaksanaan kerjasama pendidikan dan pelatihan dengan lembaga
pendidikan dalam dan luar negeri, lembaga pemerintah, dan lembaga
internasional;
6. Pelaksanaan administrasif badan
Saat ini Renstra Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan menggunakan
Renstra yang berlaku untuk tahun yang terakhir dari renstra lima tahunan 2004 -2009.
Visi:
Visi Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) berdasarkan dokumen
renstra adalah menjadi pusat unggulan bertaraf internasional dalam menghasilkan
manusia yang profesional di bidang keuangan negara
Misi :
1. Diklat dan Pengembangan
Meningkatkan kualitas manusia di bidang keuangan negara melalui pendidikan,
pelatihan, dan pengembangan
2. Pengkajian
Mengembangkan tradisi pengkajian di bidang pendidikan dan pelatihan yang
dapat diandalkan
3. Organisasi Belajar
Senantiasa memperbarui diri melalui proses organisasi belajar (Learning
Organization) sesuai dengan dinamika lingkungan internal dan eksternal
4. Sosial
Berpartisipasi dalam mengembangkan masyarakat yang sadar akan keuangan
negara
87
Kemudian Visi dan Misi tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam program-
program.
Program:
Perencanaan/pembuatan program menjelaskan hubungan garis organisasi secara
kolektif yang menunjukkan apa yang hendak dicapai dan bagaimana setiap rupiah
dialokasikan untuk memenuhi program dan sasaran. Program-program dasar yang
merupakan prioritas dan memenuhi tingkat pelayanan yang diharapkan sudah harus
diidentifikasikan dan disepakati untuk dilaksanakan, dan bila perlu kemudian dibagi
ke dalam subprogram. Pembiayaan seharusnya merupakan representasi dari usaha
pencapaian program yang ada.
Dalam Penyusunan RKA-KL BPPK dari Tahun 2008 sampai dengan 2009,
program yang digunakan adalah yang tercantum dalam RKP, di mana program yang
dimuat dalam RKP tersebut mengacu pada RPJMN yang berlaku selama 5 tahun.
Dalam RPJMN 2004-2009, program dan kegiatan dilaksanakan oleh satu atau lebih
Kementerian Negara/Lembaga, sehingga program dan kegiatan dimungkinkan untuk
digunakan bersama dengan Kementerian Negara/Lembaga yang lain. BPPK sebagai
bagian dari Departemen Keuangan dalam perencanaan dan penyusunan anggaran
Tahun 2008 dan 2009, telah menggunakan beberapa program, di mana ada beberapa
program yang tidak ada di Tahun 2008 kemudian muncul di Tahun 2009. Program
yang tertulis dalam Renstra 2005 sampai dengan 2009, adalah sebagai berikut:
1. Program Pendidikan kedinasan
2. Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur
Rencana kerja Tahun 2005 sampai dengan 2007 menggunakan dua program,
yaitu Program Pendidikan kedinasan dan Program Pengelolaan Sumber Daya
Manusia Aparatur. Sedangkan mulai Tahun 2009 Departemen Keuangan mulai
88
menyusun program yang spesifik untuk setiap Eselon 1. Program ini menjadi program
bayangan untuk Tahun 2009 karena program yang ada saat ini (yang tercantum dalam
RKA-KL) masih dipakai mengingat program tersebut masih berlaku sampai RPJM
periode saat ini yang berakhir Tahun 2009.
Rencana Kerja Anggaran Kementerian/lembaga Tahun 2008 membiayai empat
program antara lain program-program :
1. Program Penerapan Pemerintahan Yang Baik
2. Program Pengelolaan Sumberdaya Manusia Aparatur
3. Program Peningkatan sarana & Prasarana Aparatur Negara
4. Program Pendidikan kedinasan
RKA-KL Tahun Anggaran 2009 membiayai 5 program, 4 program sama dengan
tahun sebelumnya ditambah satu Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas
Aparatur Negara. Sebagai perbandingan tabel di bawah ini memperlihatkan program
yang dibiayai oleh RKA KL 2008 dan RKA KL 2009,
NO KODE PROGRAM 2008 20091
01.01.09***Program Penerapan Pemerintahan Yang Baik
V V
201.01.10***
Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara
- V
3 01.03.0313*01.01.0113**01.01.13***
Program Pengelolaan Sumberdaya Manusia Aparatur
V V
401.01.17
Program Peningkatan sarana & Prasarana Aparatur Negara
V V
5 10.06.01 Program Pendidikan kedinasan V V
Nilai Alokasi per program tahun 2008 dan 2009
No Kode Program 2008(dalam ribuan)
2009(dalam ribuan)
1 01.01.09 Program Penerapan Pemerintahan Yang Baik
58.703.834 58.808.915
2 01.01.10 Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas
9.999.745
89
Aparatur Negara3 01.01.13 Program Pengelolaan
Sumberdaya Manusia Aparatur230.694.599 118.330.445
4 01.01.17 Program Peningkatan sarana & Prasarana Aparatur Negara
82.265.064 111.295.064
5 10.06.01 Program Pendidikan kedinasan
12.522.353 64.700.585
Jumlah total 384.185.850 363.134.754
Nilai alokasi per program dalam prosentase Tahun Anggaran 2008 dan 2009
No Kode Program 2008(dalam ribuan)
2009(dalam ribuan)
1 01.01.09 Program Penerapan Pemerintahan Yang Baik
15,28 % 16,19 %
2 01.01.10 Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara
0 % 2,75 %
3 01.01.13 Program Pengelolaan Sumberdaya Manusia Aparatur
60,05 % 32,59 %
4 01.01.17 Program Peningkatan sarana & Prasarana Aparatur Negara
21,41 % 30,65 %
5 10.06.01 Program Pendidikan kedinasan
3,26 % 17,82 %
Jumlah total 100 % 100 %
Salah satu agenda utama dalam penganggaran berdasarkan pada perencanaan
strategis adalah mengintegrasikan prioritas pemerintah secara nasional sebagai
pedoman bagi hasil yang harus dicapai oleh kementerian negara/lembaga melalui
pelaksanaan kegiatan atau program. Setiap tahun pemerintah menetapkan prioritas
nasional sebagai pedoman kerja pemerintah secara umum. Prioritas nasional ini harus
dipahami sebagai pedoman bagi masing-masing departemen atau lembaga yang
terkait dalam proses pelaksanaan program dan kegiatan untuk mencapai tujuan
nasional yang dicitakan. Dengan kata lain harus tercipta sinkronisasi antara Rencana
Kerja Anggaran Kementerian atau Lembaga dengan Rencana Kerja Pemerintah.
Hubungan antara prioritas nasional dan rencana kerja badan diklat keuangan
tidak dapat dibantah memiliki hubungan yang erat karena program-program yang
90
dilaksanakan merupakan hasil singkronisasi antara prioritas nasional yang tertulis di
RKP dan prioritas Departemen Keuangan sebagai induk organisasi BPPK. Namun
bila kita mencari hubungan antara program yang tercantum dalam renstra sebagai
pedoman strategis BPPK dengan yang dibiayai seperti yang tercantum dalam RKA-
KL maka akan terjadi ketidaksingkronan. Seperti yang diungkapkan dalam data di
atas bahwa Rentra BPPK hanya mencantumkan 2 program sebagai pedoman kegiatan
sedangkan pembiayaan yang tercantum dalam RKA-KL diperuntukkan 4 program di
Tahun 2008 dan 5 program di Tahun 2009. Atau dengan kata lain terdapat program
yang tidak tercantum dalam Renstra tetapi dibiayai dan tercantum dalam RKA-KL
yaitu Program Penerapan Pemerintahan Yang Baik, Program Peningkatan Sarana &
Prasarana Aparatur Negara untuk Tahun 2008 ditambah Program Peningkatan
Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur. Simpulan umum yang dapat ditarik bila
tidak tercantum dalam Renstra tetapi dibiayai oleh RKA-KL adalah Badan Diklat
melakukan pembiayaan terhadap program yang sebelumnya tidak direncanakan.
Selanjutnya kita akan membahas satu persatu Program yang tidak tercantum dalam
renstra tersebut.
Program Penerapan Pemerintahan Yang Baik merupakan Program yang
menampung kegiatan seperti pengelolaan gaji, honorarium dan tunjangan
penyelenggaraan operasional dan pemeliharaan. Setiap Kementerian Negara/Lembaga
melaksanakan program ini sehingga sering kali banyak pendapat yang mengatakan
bahwa program ini bukanlah merupakan program strategik sehingga tidak wajib
dicantumkan dalam renstra karena dalam kondisi apapun akan tetap dilaksanakan
sebagai aktivitas rutin. Hal ini dapat menjadi pembenaran bagi tidak dicantumkannya
program generik ini dalam sebuah renstra organisasi pemerintahan.
91
Program berikutnya adalah Program Peningkatan sarana dan Prasarana Aparatur
Negara. Kegiatan yang tercantum dalam program ini antara lain kegiatan
pembangunan/pengadaan/peningkatan sarana dan prasarana, pengadaan tanah,
pengadaan kendaraan, pengadaan peralatan dan perlengkapan gedung. Program ini
juga merupakan program generik di mana setiap K/L bila melakukan kegiatan
semacam ini akan dikelompokkan dalam program yang sama. BPPK mengalokasikan
Program ini pada anggaran Tahun 2008 (RKA-KL) sebesar Rp82.265.064.000 atau
21,41 % dari keseluruhan anggaran Tahun 2008 dan sebesar Rp111.295.064.000 atau
30,65 % untuk anggaran Tahun 2009. Program Peningkatan sarana dan Prasarana
Aparatur Negara memiliki arti penting dari sisi hasil yang berupa aset tetap dan
jumlah yang dialokasikan. Dari sisi hasil yang berupa aset tetap maka akan
mempengaruhi kualitas tupoksi BPPK apabila aset tetap yang mendukung tupoksi
tersedia dengan baik sehingga standar layannan dapat ditingkatkan dan akan
sebaliknya bila aset tetap yang dibutuhkan tidak ada. Dari sisi alokasi amat mustahil
bila alokasi sebesar 21,41 % (2008) dan 30,65 % (2009) termasuk yang tidak
tercantum dalam rencana strategis lembaga.
Program berikutnya adalah program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas
Aparatur yang secara sebutan akan jadi pertanyaan apakah ini merupakan tupoksi
BPPK atau bukan? Dan bagaimana bila program ini juga baru muncul Tahun 2009
dan tidak terdapat dalam renstra. Dapat diduga ini merupakan program titipan dari
instansi lain.
4.2.6. Evaluasi Atas Penyusunan Dokumen Anggaran
Permasalahan yang senantiasa dikeluhkan oleh Kementerian/Lembaga selama
ini adalah bagaimana mungkin mencapai kinerja ideal, jika anggaran yang tersedia
92
tidak mencukupi? Disinilah mungkin permasalahan utama penyusunan anggaran di
negara kita. Ketika dana disadari sangat terbatas maka seharusnya prioritas anggaran
yarus lebih tajam, selama ini prioritas anggaran tidak dapat dibaca dengan jelas dan
masih banyak ketidakkonsistenan dalam penyusunan anggaran di mana seharusnya
anggaran prioritas diikuti dengan pembaiyaan yang terjamin untuk mencapai kinerja
yang diinginkan sedangkan kegiatan yang tidak prioritas seharusnya dapat dilewatkan
atau malahan dihilangkan. Ketika tidak ada kejelasan kegiatan prioritas maka keluhan
anggaran yang terbatas tidak akan pernah dapat diselesaikan. Fakta sampai dengan
Tahun 2008, meski sudah dibungkus dengan istilah berbasis kinerja, jiwa sistem
penganggaran tradisional tak seluruhnya bisa dihapuskan. Bukan hanya karena sistem
tradisional ini sudah mendarah daging selama tiga puluh tahun, namun juga karena
pola pikir yang ada tidak diubah. Kondisi ini dapat kita lihat, bagaimana anggaran
yang disusun lebih berorientasi pada kenaikan jumlah anggaran. Jarang sekali
anggaran suatu unit kerja disusun lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya. Jika
anggaran belanja cenderung membesar dari tahun ke tahun, yang dalam istilah lain
sering disebut sebagai sistem incremental, maka kesulitan justru menyangkut
anggaran pendapatan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita
senantiasa defisit karena tidak mampu mengejar pertambahan Anggaran pengeluaran
yang secara incremental terus bertambah dengan pesat.
Kesulitan lain dalam penyusunan anggaran adalah ketiadaan standar biaya.
Ketiadaan standar biaya mengakibatkan penyusunan anggaran per program dan
kegiatan menjadi beragam sehingga sulit diukur efisiensinya. PP No 20/2004 tentang
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan PP No 21/2004 tentang Penyusunan Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) sebagai operasionalisasi
kebijakan penganggaran kinerja. Dalam rangka penyusunan RKA KL Departemen
93
Keuangan telah membangun aplikasi program komputer RKA-KL dan sudah
digunakan oleh kementerian/lembaga. Tetapi, apakah kinerja benar-benar telah
menjadi basis dalam penyusunan anggaran dengan format RKA-KL tersebut?
Rasanya masih jauh dari harapan. Saat ini, format RKA-KL baru sekadar
menempelkan nama program, kegiatan dan sub kegiatan dalam dokumen anggaran,
namun substansi ukuran kinerjanya belum nampak dan proses penyusunannya belum
sesuai dengan prinsip-prinsip penganggaran kinerja.
Kementrian negara/lembaga dalam beberapa hal merasakan penyusunan
anggaran terlalu rinci dan kaku dan kurang fleksibel padahal paradigma baru yang
dikenalkan adalah let’s the manager manage. Hal ini sangat jauh dari esensi anggaran
kinerja yang mengaitkan kinerja dengan anggaran, menjanjikan fleksibilitas dalam
pelaksanaan anggaran, memberikan kebebasan dalam mengelola sumber daya (let’s
the managers manage), dan memiliki mekanisme pelaporan yang dapat memberikan
umpan balik untuk peningkatan kinerja.
Penerapan penganggaran kinerja harus dimulai dengan perencanaan kinerja,
baik pada level nasional (pemerintah) maupun level instansi (kementerian
negara/lembaga), yang berisi komitmen tentang kinerja yang akan dihasilkan, yang
dijabarkan dalam program-program dan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan.
Setiap instansi selanjutnya menyusun kebutuhan anggaran berdasarkan program dan
kegiatan yang direncanakan dengan format RKA-KL, yang selanjutnya dibahas
dengan otoritas anggaran (Departemen Keuangan, Bappenas, dan DPR). RKA-KL
dari keseluruhan kementerian/lembaga menjadi bahan penyusunan RAPBN bagi
pemerintah. Dalam praktik, masih banyak dijumpai kelemahan sejak perencanaan
kinerja, proses penyusunan dan pembahasan anggaran sampai dengan penuangannya
dalam format-format dokumen anggaran (RKA-KL dan APBN). Meski pemerintah
94
telah memiliki RKP, namun RKP ini hanya merupakan kompilasi berbagai usulan
program kementrian/lembaga dengan indikator yang juga beragam yang menjadikan
Bappenas mengalami kesulitan untuk merumuskan indikator kinerja nasional. Dalam
RKP belum terlihat dengan jelas apa kinerja yang spesifik dan terukur yang akan
dihasilkan dari program-program pemerintah.
Dalam RKP tercantum sasaran kinerja program, tetapi tidak jelas bagaimana
mengukurnya dan berapa target yang harus dicapai. Misalnya, Program Peningkatan
Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara sebagaimana telah disebutkan di
halaman 89, sasaran yang dirumuskan dalam RKP adalah terwujudnya sistem
pengawasan dan audit yang akuntabel di lingkungan aparatur negara. Tidak jelas apa
kriteria akuntabel dan bagaimana mengukur serta berapa targetnya.
Ketidakjelasan perencanaan kinerja pada level nasional berlanjut pada
ketidakjelasan rencana kinerja (Renja) masing-masing kementrian/lembaga.
Penamaan program dan kegiatan instansi juga belum menunjukkan core business dari
kementerian/lembaga karena masih banyak terpengaruh oleh penamaan program dan
proyek versi lama atau versi Daftar Isian Proyek (DIP). Banyak nama program yang
bersifat generik seperti Program Peningkatan Sarana dan Prasarana, Program
Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur, serta Program Penataan Kelembagaan
dan Ketatalaksanaan, yang terdapat pada hampir seluruh instansi. Untuk program
yang sama, tiap instansi mendefinisikan sendiri-sendiri apa sasaran programnya, yang
kemungkinan besar berbeda-beda yang pada akhirnya menyulitkan pendefinisian
ukuran kinerja nasional untuk program tersebut.
Dari sisi proses penyusunan dokumen anggaran, formulir-formulir RKA-KL
( f o r m u l i r 1 . 1 s . d f o r m u l i r 3 . 4 ) , belum m ampu menunjukkan k i n e r j a
kementerian/lembaga, baik kinerja hasil (outcome) program maupun keluaran (output)
95
kegiatan. Formulir-formulir RKA-KL lebih menonjolkan perhitungan detil anggaran
per kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja, dan akun belanja. Dalam formulir 1.1,
indikator keluaran dan hasil program dinyatakan secara naratif dan kualitatif tetapi
tanpa target yang terukur dan jelas. Contoh indikator keluaran untuk perjalanan dinas
dengan ‘Orang Hari (OH)’, untuk pengadaan barang dengan satuan ‘paket’, untuk
penyelenggaraan rapat dengan satuan ‘kali’ dan sebagainya.
Dalam formulir 1.5 kementerian/lembaga membuat perhitungan anggaran per
kegiatan tetapi perhitungan ini masih menggunakan pola lama yang mirip dengan
Lembaran Kerja yang terfokus kepada input, terinci per sub kegiatan, jenis belanja
dan akun belanja anggaran dengan mengalikan volume kegiatan dengan harga
satuannya. Hal ini mengakibatkan RKA-KL terlihat seperti dokumen yang berisi
angka-angka hasil perhitungan matematis. Indikator yang termuat dalam RKA-KL
tidak memenuhi kriteria SMART (spesific, measurable, achievable, relevan & time-
bound).
PP No. 21/2004 mensyaratkan perlunya standar biaya dalam penyusunan
anggaran berbasis kinerja, baik standar biaya umum yang harus disusun oleh Menteri
Keuangan maupun standar biaya khusus per program dan kegiatan yang harus disusun
oleh masing-masing kementerian/lembaga. Standar biaya umum yang ada sekarang
masih berorientasi kepada input, misalnya uang lauk pauk per orang per hari, honor
panitia pengadaan per orang/bulan, pengadaan inventaris kantor perorang/tahun.
Sebagian besar kementerian/lembaga masih mengalami kesulitan dalam menyusun
harga standar biaya khusus per kegiatan dan program, karena tidak didukung oleh
data base, sistem akuntansi dan pencatatan yang baik.
Ketiadaan standar biaya mengakibatkan penyusunan anggaran per program dan
kegiatan menjadi beragam sehingga sulit diukur efisiensinya. Terkait dengan standar
96
pelayanan minimal, belum semua Departemen memiliki SPM, padahal standar
pelayanan minimal seharusnya menjadi acuan awal dalam menentukan kinerja yang
harus dihasilkan.
4.2.7. Evaluasi Atas Pembahasan Anggaran oleh DPR
Kinerja belum dijadikan dasar alokasi dan acuan pembahasan anggaran di
pemerintah maupun DPR. Pola pembahasan masih menggunakan pola lama, yang
masih berfokus pada penentuan alokasi yang lebih besar didasarkan pada alokasi
tahun sebelumnya. Belum banyak anggota DPR yang concern dengan anggaran
kinerja dan mempertanyakan masalah kinerja pada saat membahas anggaran. Hal ini
sebagian karena keterbatasan data, karena adanya ketimpangan informasi (asymmetry
information). Ketimpangan informasi selain terjadi karena data perencanaan kinerja
(Renja) dan pelaporan kinerja (LAKIP) tidak sampai ke tangan DPR, juga karena
format RKA-KL yang dibahas dengan DPR tidak mampu berbicara mengenai kinerja
yang akan dihasilkan.
Dari perencanaan kinerja yang belum menunjukkan penjabaran yang jelas,
penyusunan RKA-KL dan pembahasan anggaran yang belum mengacu kepada kinerja,
maka dokumen anggaran nasional (APBN) dan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran) belum memperlihatkan kinerja, output dan outcome yang ingin dicapai.
Dalam pembahasan anggaran, seharusnya DPR lebih fokus pada output dan
outcome. Ketika bahan yang sampai ke DPR memuat pula detil rencana anggaran
sampai dengan daftar kegiatan maka banyak anggota DPR justru lebih berfokus ke
input dibandingkan output apalagi outcome.
97
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
a. Pemerintah Indonesia telah melakukan persiapan pelaksanaan Anggaran Berbasis
Kinerja tetapi belum sempurna.
1) Pemerintah Indonesia telah melakukan persiapan pelaksanaan Anggaran
Berbasis Kinerja terutama dengan mengeluarkan berbagai peraturan
perundang-undangan serta petunjuk teknis dan pelaksanaannya.
2) Berdasarkan paket undang-undang keuangan negara terjadi perubahan mindset
pengelolaan keuangan negara yang lebih mengedepankan efisiensi dan
efektivitas serta mendorong terwujudnya akuntabilitas dan transparansi.
Namun sampai saat ini pemerintah Indonesia belum mampu merubah mindset
pelaksana teknis penyelenggara pemerintahan sehingga pelaksanaan reformasi
pengelolaan keuangan negara belum berjalan dengan baik. Perubahan
paradigma baru seharusnya didukung oleh personalia atau sumberdaya
manusia yang handal, memiliki kompetensi yang sesuai dan memiliki kinerja
yang jelas dan terukur.
3) Format dokumen penyusunan anggaran di Indonesia baru terfokus pada
penjabaran nama program, kegiatan dan sub kegiatan dalam dokumen
anggaran, tetapi substansi ukuran kinerjanya belum diformulasikan dengan
baik. Hal ini dikarenakan belum dilakukan mekanisme pengumpulan data
kinerja (indikator masukan, keluaran, dan hasil) untuk mengukur kehematan,
efektivitas, efisiensi, dan kualitas pencapaian sasaran.
98
4) Hingga kini belum semua unit pemerintahan yang bertindak sebagai unit
layanan memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM yang ada belum
dapat digunakan sebagai dasar menetapkan target outcome minimum.
5) Biaya (pengeluaran) dalam analisis standar biaya (ASB) yang digunakan
untuk mendanai output belum menggunakan metode penghitungan biaya yang
memadai atau standard costing yang jelas.
6) Terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaan audit sehingga
pelaksanaannya tidak efisien dan efektif. Pertama, tidak tersedianya indikator
kinerja yang memadai sebagai dasar mengukur kinerja pemerintah. Kedua,
masalah kelembagaan audit yang overlapping satu dengan lainnya, contoh
BPK, BPKP, dan Itjen Departemen/Lembaga.
b. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan Anggaran Berbasis Kinerja tetapi
belum utuh dan konsisten.
1) Sudah terdapat peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai
dasar hukum bagi pelaksanaan anggaran berbasis kinerja. Tetapi belum semua
aturan tersebut diimplementasikan dengan baik dan konsisten.
2) Masih kurangnya pemahaman semua pihak tentang peraturan perundan-
undangan yang be r l aku dan mas ih l emahnya komi tmen u n t u k
melaksanakannya menjadikan implementasi anggaran berbasis kinerja belum
berjalan dengan baik.
3) Peraturan perundang-undangan yang ada dilaksanakan baru sekedar
memenuhi aspek legal formal dan masih jauh dari esensi yang diharapkan dari
penerapan anggaran berbasis kinerja.
99
4) Dalam rangka meningkatkan transparansi dan kejelasan dalam proses
anggaran dokumen anggaran dibuat rinci tetapi akibatnya dokumen anggaran
menjadi rumit dan berfokus pada sisi input. Hal ini menyebabkan waktu yang
diperlukan untuk persiapan dan pembahasan anggaran menjadi lama. D i
antara kerumitan penyusunan dokumen anggaran adalah klasifikasi anggaran
yang tidak sepenuhnya dipahami oleh satker.
5) Penyusunan program dan kegiatan belum sepenuhnya mempedomani
dokumen perencanaan strategis. Terdapat missing link antara Renstra, Renja,
Program, Kegiatan, dan RKA-KL. Muncul program dalam RKA-KL yang
tidak terdapat dalam Renstra.
6) Satker baik intern maupun antar Departemen/Lembaga tidak terkoordinasi
dalam penyusunan program/kegiatan dan penganggarannya . Ha l in i
mengakibatkan adanya duplikasi program/kegiatan dan pendanaannya serta
adanya program/kegiatan yang tidak tertampung di satker manapun.
7) Anggaran yang disusun lebih berorientasi pada kenaikan jumlah anggaran.
Anggaran belanja yang cenderung membesar (incremental) dari tahun ke
tahun mengakibatkan ketidakseimbangan antara anggaran belanja dengan
anggaran pendapatan.
8) Penyusunan anggaran per program dan kegiatan beragam dikarenakan belum
menggunakan metode penghitungan biaya yang memadai atau standard
costing yang jelas sehingga sulit diukur efisiensinya. Standar biaya yang ada
juga belum dilaksanakan secara konsisten.
9) Pembahasan anggaran di pemerintah maupun DPR belum sepenuhnya
berlandaskan penilaian atas kinerja. Pola pembahasan masih menggunakan
pola lama yang lebih terfokus pada penentuan alokasi anggaran. Banyak
100
anggota DPR yang tidak concern dengan anggaran kinerja pada saat
membahas anggaran. Dalam pembahasan anggaran seharusnya DPR lebih
fokus output dan outcome. Tetapi ketika dokumen penyusunan anggaran yang
disampaikan ke DPR memuat detil rencana anggaran sampai dengan daftar
kegiatan maka banyak anggota DPR justru lebih fokus ke input. Hal ini
mengakibatkan konsep fleksibiltas penganggaran yang mengarah pada prinsip
let’s the manager manage belum sepenuhnya diwujudkan.
10) Belum tersedia sistem monitoring dan evaluasi yang terintegrasi untuk
mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kinerja anggaran. Tidak adanya
sistem monitoring dan evaluasi juga menjadikan sulit untuk mendapatkan
feedback pelaksanaan anggaran.
5.2. Saran
a. Terkait dengan telah tersedianya landasan hukum yang telah dibuat untuk
memberikan landasan bagi penerapan anggaran berbasis kinerja maka diperlukan
adanya upaya yang konsisten dan terus-menerus untuk menerapkan aturan-aturan
tersebut. Konsistensi implemenrtasi aturan hukum tersebut harus diikuti dengan
upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman semua pihak untuk
tidak sekedar memenuhi syarat legal formal tetapi esensi dan tujuan adanya aturan
tersebut harus dipenuhi dan senantiasa terus ditingkatkan.
b. Perlu diperjelas dan dipertegas tugas pokok dan fungsi dari setiap satker di
kementerian/lembaga. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya duplikasi
perencanaan program/kegiatan dan pendanaannya termasuk urusan yang belum
ditampung di satker baik dalam intern kementerian/lembaga maupun antar
101
kementerian/lembaga. Disini peran Departemen Keuangan dan Bappenas
diperlukan untuk melakukan koordinasi di antara kementerian/lembaga.
c. Untuk dapat menyusun standar biaya yang baik maka diperlukan sistem akuntansi
berbasis akrual.
d. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengkaji tahapan-tahapan pelaksanaan
anggaran berbasis kinerja di negara lain dan di mana posisi Indonesia.
102
DAFTAR PUSTAKA
Allen, R. (1999) “New Public Management:’ Pitfalls for Centrals and EasternEurope.” Public Management Forum 1(4).
Bram Scheers, Miekatrien Sterck and Geert Bouckaert, “Lessons from Australian and British Reforms in Results –oriented Financial Management”, Vol 5 No.2 Th 2005.
Christopher Pollitt, “Public Management Reform: Reliable Knowledge and International Experience” , OECD Journal on Budgeting, Vol 3 No.3 Th 2003;
David Webber, “Managing the Public Money: From Outputs to Outcomes-and Beyond, OECD Journal on Budgeting, Vol 4 No.2 Th 2004;
Departemen Keuangan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2005 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;
Departemen Keuangan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan.
Directorate General of Budget, The Indonesian Budget 2008, Majalah Warta Anggaran, Directorate General of Budget,2008;
Direktorat Jenderal Anggaran, Reformasi Sistem Penganggaran “konsep Dan Implementasi 2005-2007”, Jakarta, 2006
Dunleavy, P., and C. Hood 1994. “From Old Public Administration to New Public Management.” Public Money and Management (July –Sept.): 9-16.
Hideaki Tanaka, OECD Journal on Budgeting, “Fiscal Consolidation and Mefium Term Fiscal Planning in Japan”, Vol 3 No.2 Th2003;
John R. Blondal, Chiara Goretti and Jens Kromann Kristensen, OECD Journal on Budgeting, “Budgeting in Brazil”, Vopl 3 No.1 Th2003;
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Penyusunan Penetapan Kinerja, Jakarta 2005;
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi (SAKIP) dalam Konstelasi Peraturan Perundangan Manajemen Sektor Publik, Jakarta 2005;
Ken Warren and Cheryl Barnes, “ The Impact of GAAP on Fiscal Decision Making: A Review of Twelve Years’ Experience with Accrual and Output-based Budgets in New Zealand”, OECD Journal on Budgeting, Vol 3 No.4 Th 2003;
103
Lembaga Administrasi Negara, Keputusan Kepala LAN No 589/IX/6/Y/99 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan AKIP;
Pemerintah (SAKIP) Dalam Konstelasi Peraturan Perundangan Manajemen Sektor Publik, Jakarta 2005;
Pemerintah Republik Indonesia Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Pemerintah Republik Indonesia, Instruksi Presiden RI nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah;
Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 21/2004 tentang Rencana Kerja Anggaran Kementerian Lembaga (RKA-KL);
Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM;
Pemerintah Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Pemerintah Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara;
Schick, A. “Sustainable Budget Policy: Concepts and Approaches”, OECD Journal on Budgeting, Vol 5 No.1 Th 2005;
Schick, A. 1996. The Spirit of Reform: Managing the New Zealand State Sector in aTime of Change. Wellington, New Zealand: State Services Commission.
Schick,A. “Twenty five Years of Budgeting Reform”, OECD Journal on Budgeting, Vol 4 No.1 Th 2004;
Schick,A. “The Role of Fiscal Rules in Budgeting:, OECD Journal on Budgeting, Vol 3 No.3 Th 2003;
Trisacti Wahyuni, Penganggaran Berbasis Kinerja Pada Kementerian/Lembaga : Masih Harus Banyak Berbenah diposting darihttp://www.bpkp.go.id/warta/index.php?view=688