between the lines -...

22

Upload: lequynh

Post on 14-Apr-2018

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Galeri Nasional Indonesia—Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan— menyam-but baik dan memberikan dukungan atas terselenggaranya Pameran Solo Triyadi Guntur Wiratmo “Between the Lines” pada 10–23 April 2017 di Galeri Nasional In-donesia. Pameran yang menampilkan karya-karya lukis Triyadi Guntur Wiratmo ini merupakan bentuk apresiasi Galeri Nasional Indonesia terhadap kreativitas dan ek-sistensi seorang Triyadi Guntur Wiratmo dalam dunia seni rupa Indonesia. Triyadi Guntur Wiratmo bukanlah sekedar pelukis, bukan juga hanya dikenal sebagai ilustrator. Lebih dari itu, ia adalah seniman yang memilih jalan kesenian untuk men-gasah kepekaan sosio–kultural tentang berbagai fenomena yang terjadi dalam mas-yarakat, kemudian menjadikannya sebagai ungkapan visual lewat karya-karya yang menyiratkan makna dan pesan.

Dengan mengapresiasi Pameran “Between the Lines”, dapat ditangkap keindahan visual sebuah karya seni sekaligus perjalanan dan pencapaian artistik seorang Triyadi Guntur Wiratmo. Selain itu, pameran ini juga menjadi sebuah media untuk men-genal lebih dekat profil Triyadi Guntur Wiratmo sebagai salah satu perupa Indone-sia. Melalui pameran ini, diharapkan masyarakat dapat memperoleh inspirasi dan motivasi dari perjalanan kesenimanan Triyadi Guntur Wiratmo. Perhelatan ini juga diharapkan dapat memberikan kesempatan pada publik untuk terus mengasah dan meningkatkan daya apresiasi seni, khususnya di bidang seni rupa.

Kepada Triyadi Guntur Wiratmo, Kurator Rizki A. Zaelani, Rachel Gallery, serta seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung terwujudnya pameran ini, kami mengu-capkan terima kasih atas kerjasama yang baik. Selamat berpameran, semoga sukses!

Jakarta, 10 April 2017

Tubagus ‘Andre’ Sukmana

SAMBUTAN KEPALA GALERI NASIONAL INDONESIA

Silence is one of the hardest arguments to refute”

- Josh Billings

CuratorialBETWEEN THE LINES

Lukisan-lukisan ‘potret’ yang dikerjakan Triyadi Guntur Wiratmo nampak tidak biasa dan darinya kita bisa mengenal beberapa sosok bersejarah: Che Guevara, R.A Kartini, Karl Marx, Chairil Anwar, Mao Zedong, atau Lauw Ping Nio (Nyonya Meneer), misalnya. Memang, mereka tidak digambarkan sebagaimana kebiasaan sebuah gambar potret biasa; mereka nampak dengan gestur tubuh khusus bahkan dengan pose sikap tubuh yang penuh makna. Semua ini menunjukkan sikap-sikap tubuh yang tengah ‘bercerita’, coba mengkomunikasikan sesuatu atau berbagai hal pada tiap-tiap orang yang mem-perhatikannya. Sikap-sikap itu, lebih jauh, bahkan bisa menggeser persepsi pengena-lan seseorang tentang para tokoh itu ke luar kebiasaan bagaimana mereka dikisahkan dalam narasi sejarah yang umum. Triyadi Guntur memang tertarik pada kisah-kisah sejarah, ia gemar mencermati narasi kemanusiaan yang diceritakan sejarah melalui gambaran para sosok pahlawan, idola, atau tokoh-tokoh. Bagi Guntur, soal sejarah tak hanya tentang [ilmu] pengetahuan tetapi juga soal pembentukan persepsi nilai dan karena itu akan selalu menampung misteri. Kisah-kisah sejarah memang selalu memi-hak, namun bukan soal pihak mana yang sedang dibela narasi sejarah yang menarik perhatian Guntur, ia justru tertarik karena sejatinya pengetahuan manusia akan selalu terbuka pada perubahan persepsi mengenai sejarah itu sendiri. Setiap orang tentu be-nar-benar memiliki realitas (yang dihidupinya) selain juga berbagai pengetahuan ten-tangnya—yang diantaranya diisi pengetahuan sejarah. Ekspresi Guntur, saya rasa, lebih berpihak pada realitas (sebagai suatu runtunan pengalaman yang hidup yang berkem-bang) dari pada soal narasi keberpihakan sejarah.

Karya-karya Triyadi Guntur memang bersifat ilustratif dan saya menganggapnya se-bagai cara dia yang unik untuk menggerakkan kekuatan komunikasi sebuah gambar (komunikasi visual). Persoalan ekspresi seni rupa memang bukan soal jelas atau tida-knya sebuah gambaran, atau perkara ekspresif-tidaknya dampak dari cara pengerjaan yang ditunjukkannya, melainkan lebih pada soal kemauan ekspresi seni tersebut me-masuki wilayah penghayatan realitas secara mendalam serta sublim. Seorang peneliti seni , Mary Anne Staniszewski, menjelaskan, bahwa:

“(t)he most powerful and obvious “truths” within culture are often the things that are not said and not directly acknowledged. In the modern era, this has been the case of Art. Everything that we know about ourselves and our world is shaped by our histories.

Nothing is “natural” in the sense that it can be outside of its particular time and place. When we see, feel, touch, think, remember, invent, create, and dream, we must use our cultural symbols and languages. Among these “languages,” Art holds a particular visible and privilaged place. By looking at Art, we can begin to under-stand the way our representations acquire meaning and power.”(1)

Lukisan-lukisan Guntur memiliki kecenderungan yang menekankan kekuatan gambar (drawing) meski pada karya-karya tersebut juga terdapat cara pengerjaan lain, yai-tu teknik melukis (dengan cat minyak) serta teknik sulaman benang. Penggabungan teknik-teknik tersebut menurutnya juga adalah suatu cara untuk menunjukkan kon-tras dimana gambar dengan kekuatan garis-garis memiliki peran yang penting. Guntur bekerja sebagai pengajar (di FSRD ITB) dan dikenal luas sebagai seorang ilustrator ber-pengalaman sehingga tak aneh jika karya-karyanya langsung terasa komunikatif dan mengundang pandangan seseorang untuk berdialog tentang berbagai situasi sosial-bu-daya masa kini. Meski seperti berkisah, saya pikir, karya-karya itu tetap tidak memiliki kepastian makna. Guntur justru secara atraktif mengundang respon (pengenalan dan pengetahuan) tiap orang yang menikmatinya agar turut meraih berbagai makna yang mungkin muncul darinya. Ia seakan mempersilahkan setiap orang untuk menemukan dan menikmati kesimpulannya sendiri. Bagi saya, ia sebenarnya sedang mengkomuni-kasikan sejenis pengertian, kesimpulan, atau cara-cara penerimaan tertentu menge-nai persoalan yang tengah berkembang kini yang tak mudah dijelas-jelaskan. Sebagai seorang seniman, Triyadi Guntur berusaha meraba fungsi penting ekspresi seni bagi kerangka kesadaran sosial dan kultural yang sejatinya bisa direnda secara bersama-sa-ma. Bahasa ekspresi seni memang tak biasa karena ia berusaha untuk melampaui pan-galaman hidup normal keseharian.

“[Pengalaman] seni”, kata Herbert Marcuse, “membuka dimensi yang tidak ter-jangkau oleh pengalaman lain yang tak sama dengan pengalaman biasa, yaitu suatu dimensi dimana manusia dan segala hal lainnya tak lagi dipahami dibawah aturan hukum prinsip realitas yang telah mapan. Tiap-tiap subyek dan obyek-obyek menemui suatu kemunculan otonomi [yang khas] yang menolak cara mereka hadir seperti biasanya dalam masyarakat tempat mereka berada. Perjumpaan dengan ‘kebenaran’ seni terjadi dalam suatu [praktek] pengasingan bahasa dan imej-imej, untuk kemudian menjadikannya teralami, terlihat, serta terdengar [kembali], se-mentara sebelumnya tak pernah atau tak lagi dialami, dikatakan, atau didengar dalam kehidupan sehari-hari.”(2)

Mengajar dan bekerja di bidang ilustrasi membuat Guntur terbiasa melakukan riset untuk mengenal setiap persoalan yang jadi subyek matter lukisan-lukisannya. Tak sama persis dengan kebiasaan para pelukis pada umumnya, ia justru menghindari terben-tuknya jejak tanda-tanda emosi yang terlalu menonjol, namun juga tetap menahan diri untuk tidak menjadikan hasil lukisannya bersifat menjadi karikatural. Lukisan-lukisan Guntur Triadi yang realistik ini jelas mengandung pesan-pesan kritis, ia coba mema-suki dimensi persoalan sejarah pun terkait pada medan penafsiran sosial-politik yang membutuhkan kemauan serta cara pemahaman yang intens. Meski karya-karyanya mengandung komentar sosial, Guntur tak sepenuhnya berminat untuk menyatakan pendapat politik; ia justru menghubungkan renungan sosialnya dengan bingkai pema-haman budaya, khususnya berkaitan dengan kekuatan budaya popular dan pengala-man keseharian hidup. Pokok soal yang menonjol dari lukisan-lukisan Guntur bukan melulu mengenai hasil pencapaian jejak keterampilan artistik yang dimaksudkan un-tuk jadi ciri ekspresi yang khas dan personal, tetapi soal usahanya untuk menemu-kan ‘cara-cara melihat’ (ways of seeing) terhadap sebuah persoalan secara berbeda. Staniszewski lebih jauh menjelaskan bahwa;

“(t)he most important artists of our time are visionary in that they continue to chal-lenge us to see the world differently. They represent our culture in enlightened and, at times, beautiful ways. Artists prepare the mind and the spirit for new ideas –new ways of seeing.”(3)

‘Cara melihat’ yang kita bicarakan adalah juga soal cara mengenal dan memahami suatu persoalan di balik hasil pengamatan kita secara visual.

Judul Between The Lines tak hanya bermakna ideomatik sebagai ‘sesuatu yang ter-sirat’, sebagaimana kita semua diundang untuk ‘melihat apa yang tak terlihat’ pada lukisan-lukisan Guntur tapi juga soal pengalaman menikmati ketertiban, harmoni, dan keterampilan menumpukkan garis-garis yang dilakukannya secara intens —sebagai hal ‘yang tersurat’ pada karya-karya tersebut. Ungkapan visual memang punya ciri kekua-tan penyampaian yang berbeda dengan cara ungkapan bahasa secara tekstual; pesan visual yang bersifat ikonik, berbentuk gambaran realistik tak hanya lebih cepat menun-jukkan maksud tapi juga sekaligus bersifat lebih terbuka dalam proses penafsirannya.

Bagi saya, komentar dari renungan persoalan sosial yang diajukan Guntur bersifat lebih membuka cara pemahaman kita karena dengan gambar tiap-tiap ‘pemahaman’ yang disampaikannya lebih dari pada sekedar kesimpulan arti yang bersifat pasti. Gambaran yang disajikan Guntur tak cukup hanya mengundang jawaban bahwa ‘ses-eorang telah mengenal dan mengetahui persoalannya’, karena ekspresi yang tersurat pada tiap-tiap karya justru terus memancing seseorang untuk mengenal dan mera-sakan apa yang tersirat di dalamnya. Dalam ruang keterbukaan makna itulah, saya rasa, kita bisa mengalami semacam ‘harmoni’ di dalam cara mengenal dan memaha-mi persoalan—karena di situ tetap terbuka kemungkinan-kemungkinan kesimpulan yang bersifat obyektif sekaligus juga subyektif. Di sini, ihwal memahami tak cukup disebut sebagai perkara ‘understanding’ tetapi justru sebagai soal interstanding. Pe-neliti Mark C Taylor dan Esa Saarinen menjelaskan,

“...bahwa interstanding itu lebih penting dari pada understanding… Dalam inter-standing pengetahuan dan kebenaran itu selalu bersifat “in between”, di antara beragam realitas yang mengelilingi. Unsur kebenaran yang [bersifat] interaktif di situ sangat ditekankan”(4)

Soal ‘pemahaman’ sebagai ‘interstanding’, menurut Taylor & Saarinen tak hanya ber-makna sebagai masalah idiomatik yang dibedakan dengan cara kita mengenal secara umum—’pemahaman’ sebagai understanding—, melainkan menyangkut hadirnya peran imajinasi yang mendorong seseorang untuk bersifat terbuka dalam cara dirinya membentuk kesimpulan (pemahaman). Imajinasi itulah yang memungkin terjadinya kait-hubungan antara sebuah hal dengan hal yang lain, bahkan menjadi cara kaitan yang tak terpikirkan sebelumnya. Melalui daya dan potensi imajinasi seseorang akan mampu menerobos batas-batas kemungkinan yang sebelumnya hanya terlitas terpikir-kan. Menurut Taylor dan Saarinen suatu pemahaman yang bersifat menyeluruh dan bernilai harmonis hanya akan terlahir jika seseorang mampu melampaui batas kemun-gkinan yang hanya dipikirkannya secara logis, sehingga bagi mereka

“understanding has become impossible because nothing stands under. Interstand-ing has become unavoidable because everything stands between.”(5)

Kekuatan gambar pada lukisan-lukisan Guntur, dengan demikian, tak bermaksud menyimpulkan juga jauh dari sikap menyarankan jawaban pasti tentang masalah so-sial-politik-budaya yang jadi renungan dan sumber inspirasinya karyanya.

Karya-karya Guntur pun bukan persoalan bagaimana ia mampu mengilustrasikan situ-asi yang tengah mengepung kehidupan kita saat kini, apakah terkait dengan gagasan nasionalisme, maraknya gaya hidup konsumerisme, atau perkara berkesejahteraan se-cara sosial. Diantara kegemarannya ‘menyusun’ model komunikasi visual yang unik, Guntur berusaha menempatkan potensi ekspresi seni diantara persepsi pemahaman seseorang dan kekuatan gambar. Ia seakan menyisipkan potensi yang mungkin mam-pu disumbangkan ekspresi seni bagi pertumbuhan pengetahuan manusia—termasuk melalui sejarah. Penjelasan peneliti sosial-budaya Terry Eagleton mungkin bisa men-dudukan apa yang telah Guntur upayakan ini secara teoritis. Eagleton menjelaskan, bahwa

“[a]rt could now model the good life not by representing it but simply by being itself, by what it showed rather than what it said, offering the scandal of its own

pointless self-delighting existence as a silent critique of exchange-value and instru-mental rationality”(6)

Mengamati karya-karya Triyadi Guntur, bisa jadi, kita terserap ke dalam model ko-munikasi yang humoristik meski juga berwatak satir. Penulis humor Amerika di abad ke-19, Henry Wheeler Shaw (dengan nama pena Josh Billings) suatu kali pernah men-gungkapkan penjelasan yang tepat mengenai hal ini. Ia mengatakan bahwa “membisu adalah salah satu argumentasi yang tersulit untuk disangkal”. Meski beberapa karya Guntur juga mengandung bentuk huruf namun secara keseluruhan tidak dimaksudkan sebagai sebuah keterangan tulisan tertentu yang menjelaskan—karya-karya itu tetap bisa dibedakan dari suatu paparan yang bersifat tekstual. Pendek kata, Triyadi Gun-tur Wiratmo ingin membiarkan sebagaimana sebuah gambar menceritakan seribu hal tanpa batasan dan keterangan yang bersifat pasti. Boleh jadi, gambar-gambar itu tak menyampaikan argumen setepat hasil-hasil analisa keilmuan tertentu di bidang so-sial, politik, atau budaya; namun dengan cara penyampaiannya yang khas itulah justru suatu gambar bermaksud mengajak seseorang untuk sampai pada kedalaman nilai suatu makna dan pemahaman —sebagai ‘interstanding’ dari pada ‘understanding’.

Bandung, 26 Febuari 2017Rizki A. Zaelani ǀ Kurator

ENDNOTES

1. Mary Anne Staniszewski, BELIEVING IS SEEING: Creating the Culture of Art (London: Penguin Books, 1995), h. 1.

2. Herbert Marcuse dikutip oleh Beardsley, lht. Monroe Beardsley, “Aesthetic Experi ence”, dalam The Aesthetic Point of View, ed.Michael Wreen and Donald Callen (Cornell: Cornell University Press, 1982) h.288-89

3. Staniszewski. op.cit.h.289.

4. Mark C Taylor & Esa Saarinen, Imagologies —Media Philosophy (London: Rout ledge, 1994), h. 2. dikutip H. Tedjoworo, Imaji dan Imajinasi: Suatu telaah filsafat Postmodern (Yogjakarta: Penerbit Kanisius, 2001), h.19, dan 108-109

5. Ibid.

6. Terry Eagleton, “The Version of Culture”, dalam The Idea of Culture (Maiden Mass: Blackwell Publisher Inc, 2000), h.16.

Triyadi Guntur WiratmoPada tahun 2013, Triyadi Guntur Wiratmo membuat sebuah pameran tunggal yang berjudul Emo Ergo Sum, dimana ia menggambarkan tokoh-tokoh dunia dengan berb-agai macam ideologi yang mereka lahirkan.

Tokoh tersebut digambarkan sedang dalam posisi berbelanja, sebagai simbol dari Kon-sumerisme yang telah berhasil mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat de-wasa ini.

Dalam karya-karyanya, Guntur kerap menyematkan gambar wajah yang terbingkai da-lam sebuah prangko. Hal ini berangkat dari keterlibatannya dalam perancangan ilustra-si prangko Indonesia dengan PT. Pos Indonesia, 2003. Keautentikan prangko sebagai penanda sejarah atau kejadian masa dalam sebuah pemerintahan, merupakan satu unsur kuat yang ingin digambarkan Guntur dalam sebuah ironi yang ia lukis di atas kan-vas. Salah satu contoh adalah karyanya yang berjudul Branded Believer Times, tahun 2015. Dalam karya tersebut terlihat antrean menuju Apple Store dengan Karl Marx se-bagai tokoh Komunisme, yang ia angkat untuk disandingkan dengan budaya konsumtif di masa ini, khususnya di generasi muda.

Guntur memainkan pola semiotik pada setiap karyanya; menghadirkan simbol-simbol, memilih kejadian dan tempat- tempat historikal, serta menyisipkan tokoh pergerakan dunia sebagai media untuk kritisisasi sejarah dan sosial-politik yang dikaitkan dengan pemahaman budaya khususnya budaya popular dan keseharianmasa kini.

Triyadi Guntur Wiratmo lahir di Kudus 1974, aktif sebagai seniman, peneliti dan juga dosen Desain Komunikasi Visual di Institut teknologi Bandung. Hingga tahun 2016 ini Guntur aktif berpameran di dalam dan luar negeri, di antaranya Manifesto; Percakapan Masa, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2010); Pameran Tunggal Emo Ergo Sum, Ele-ment Art Space, Singapore (2012); dan Art Stage Jakarta, Rachel Gallery, Jakarta (2016)

PROFILE SENIMAN

EDUKASI

2014Pelatihan Methodology Desain Visual Komunikasi Berdasarkan dari Warisan Budaya Tradisional dalam mendukung dan Mengembangkan Ekonomi keratif Indonesia | Re-inwardt Academy and Netherlands Museum Advisors Foundation | The Netherlands.

2003-2005S2 | Seni Rupa | FSRD Institut Teknologi Bandung

2001-2007Short Course Filsafat | Universitas Parahyangan

1993-1998S1 | Desain Kmunikasi Visual | FSRD – Institut Teknologi Bandung

Solo Exhibitions

2012 “Emo Ergo Sum”, Element Art Space, Singapore2011 "Historytopia Project", Gallery Rachel, Jakarta2009 "Indexical Friends", SIGIarts, Jakarta2005 Historia Komika, Gallery By The Way, Bandung

Group Exhibitions

2016 Art Stage Jakarta, Rachel Gallery, Jakarta

2015 “5th Anniversary: Element Art Space”, Element Art Space, Singapore “Artmoments Jogja 2015”, Jogja National Museum, Yogyakarta “Aku Diponegoro”, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta2012 Toyama International Art Camp 2012 Exhibition, Toyama City, Japan Inaugural Exhibition, Gallery Rachel, Jakarta

Lost in Fiction: Aku Cinta Padamu Tanah Airku100 x 160 cmAcrylic & Graphite on Canvas2017

Lost in Fiction: Getting Pretty, Dear Kamerad100 x 160 cmAcrylic & Graphite on Canvas2017

Lost in Fiction: Paris, Je t’aime100 x 160 cmAcrylic & Graphite on Canvas2017

Lost in Fiction: Unreal World Needs Real Hero100 x 160 cmAcrylic & Graphite on Canvas2017

Perjuangan: Kesadaran adalah Matahari120 x 240 cm (Diptych)Acrylic, Graphite, Thread on Canvas2017

Perjuangan: Kesabaran adalah Bumi120 x 240 cm (Diptych)Acrylic, Graphite, Thread on Canvas2017

Perjuangan: Keberanian Menjadi Cakrawala120 x 240 cm (Diptych)Acrylic, Graphite, Thread on Canvas2017

Perjuangan: Perjuangan adalah Pelaksanaan dari Kata-kata120 x 240 cm (Diptych)Acrylic, Graphite, Thread on Canvas2017

Untitled: Enjoy Your Instant Parties160 x 120 cmAcrylic & Graphite on Canvas2017

Untitled: Panggil Aku Fashionista Saja160 x 120 cmAcrylic & Graphite on Canvas2017

Postcard from the Past #131,5 x 37,5 cm / each, include frame Graphite and stamp on Canvas2010

Postcard from the Past #231,5 x 37,5 cm / each, include frame Graphite and stamp on Canvas2010

Postcard from the Past #331,5 x 37,5 cm / each, include frame Graphite and stamp on Canvas2010

Postcard from the Past #431,5 x 37,5 cm / each, include frame Graphite and stamp on Canvas2010

Postcard from the Past #531,5 x 37,5 cm / each, include frame Graphite and stamp on Canvas2010

Copyright © 2017 Rachel Gallery, All rights reserved

RACHEL GALLERYBack Office

Jl. Kelapa Puan Timur V Blok NB 5 No.26Kelapa Gading, North Jakarta, Indonesia 14240

Office: [email protected] - www.rachelgallery.com