bencana situ gintgung

Download Bencana Situ Gintgung

If you can't read please download the document

Upload: timur-abimanyu-shmh

Post on 23-Jun-2015

483 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

By Timur Abimanyu, SH.MH

PERSFEKTIF BENCANA SITU GINTUNG SEBAGAI AKIBAT PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 23 TH 1997 YANG BERINDIKASI UNSUR TINDAK PIDANA

Latar Belakang, sesuai dengan judul makalah kelompok yang telah diucapkan diatas, diman terjadinya bencana di Provinsi Banten, Jawa Barat yang mana penulisan makalah ini didasari oleh metode Pendekatan dan Fungsi Hukum, yan pada pokok pembahasannya adalah mengenai unsur-unsur dampak pencemaran terhadap lingkungan dengan berpegang kepada Pendekatan Intrumental, Pendekatan Hukum Alam, Karakteristik serta fenomena-fenomena alam akibat dampak pencemaran serta terhadap sangsi hukumnya akan dijatuhkan kepada pelakunya. Terhadap masalah-masalah, perlu dilakukan suatu pengkajian serta menganalisa secara mendalam dengan berkelanjutan, agar pencemaran terhadap lingkungan hidup dapat dicegah atau diperkecil proses terjadinya. Yang menjadi tolak ukur terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah tertuang didalam undang-undang Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997 dan Rancangan Perubahan UndangUndang Lingkungan Hidup dengan maksud untuk melindungi serta membatasi pencemaran terhadap Lingkungan Hidup yang semakin tidak terkendali. Akan tetapi walaupun terdapatnya peraturan-peraturan Lingkungan Hidup dengan disertai sangsinya, masih saja terjadi pelanggaran terhadap pencemaran Lingkungan Hidup, yang berakibat membawa bencana bagi kehidupan manusia di sekitar Tanggul Situ Gintung, yang mengakibatkan banyak korban yang meninggal dan rusaknya infrastruktur disekitar area Situ Gintung, karena bencana jebolnya tanggul yang mngakibatkan sunami kecil diwilayah Banten berupa banjir besar yang sangat kencang yang berasa dari tanggul Situ Gintung. Perlunya pengaturan yang lebih mendalam serta terperinci untuk menghindari tumpang tindihnya antara peraturan Pemerintah Pusat dn Pemerintah Daerah, karena sangat urgen sekali adalah terhadap sektor-sektor pencemaran Lingkungan Hidup yang berupa perundang-undangan tentang AMDAL, yang merupakan prodak Pemda maupun Pemerintah Pusat agar selaras dengan tata cara pemberlakukan serta terhadap penindakan pelaku-pelaku pencemaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan kepada permasalahan yang telah penulis jelaskan, ada beberapa permasalahan pokok yang menjadi perhatian penulisan disini, adalah terdapatnya beberapa permasalahan pokok yaitu sebagai berikut :

Bagaimanakah pendekatan Intrumental yang berupa undang-undang dan Pendekatan Alam akibat dampak pencemaran Lingkungan Hidup terhadap Jebolnya Tanggul Situ Gintung yang berakibat banyaknya korban yang meninggal dunia dan rusaknya ekosistem maupun infrastruktur diwilayah Situ Gintung tersebut ? Bagaimanakah upaya Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat, didalam upaya perawatan dan pencegahan dari dampak pencemaran terhadap lingkungan hidup disekitar Situ gintung ? Bagaimana caranya untuk memperkecil akibat dampak pencemaran Lingkungan Hidup, agar terhindar dari berbagai macam bencana yang sering terjadi ? Tujuan dan Maksud, berdasarkan tujuan dan maksud dari penulisan pemulisan makalah ini adalah untuk melakukan pembahasan dan menganalisa sampai sejauh manakah akibat pencemaran lingkungan hidup walaupun sudah diatur oleh undang-undang lingkungan hidup yang berupa Peraturan tentang AMDAL, Peraturan tentang Limbah B3, Peraturan tentang Pencemaran Air dan Peraturan tentang Pencemaran Udara. Ketentuan peraturan perundang-undangan ini adalah untuk membatasi terjadinya pencemaran terhadap lingkuingan hidup yang terjadi di Indonesia. Kerangka Teori dan Konsep, dengan didasari oleh Kerangka teori dan konsep tersebut diatas, penulis memakai kerangka teori dan konsep dari H.L.A. HART yang difinisinya adalah Bahwa suatu konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang berpusat kepada kewajiban tertentu didalam gejala hukum yang tampak dari kehidupan bermasyarakat. Kerangka dasar yaitu UU Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, TAP MPR IX/MPR/2001 Uraian 116 D dan 116 E, dan Peraturan Penerintah RI No.51 Tahun 1993 tentang analisis mengenai dampak lingkungan, PP No. 51 Tahun 1993 KEPMEN LH No. 10 Th 1994 tentang Analisis mengenai dampak lingkungan ( KEPMEN LH No. 11 Th 1994, KEPMEN LH No. 12 Th 1994, KEPMEN LH No. 13 Th 1994, KEPMEN LH No. 14 Th 1994, KEPMEN LH No. 15 Th 1994 ) ; KEPMEN LH No. 42 Th 1994, KEPKA BAPEDAL No. 056 Tahun 1994, KEPMEN LH No. 54 Th 1995, KEPMEN LH No. 55 Th 1995, KEPMEN LH No. 57 Th 1995, KEPMEN LH No. 39 Th 1996 dan KEPKA BAPEDAL No. 299/BAPEDAL/11/1996 tentang Pedoman Teknis Kajian Aspekl Sosial dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. LIMBAH B3 (bahan berbahaya dan beracun) : PP No. 19 Th 1995, PP 12 Th 1994 tentang perubahan PP No. 19 Th 1994 ; PENCEMARAN AIR : PP RI. No. 20 Th 1990, KEPMEN LH. No. 52/MENLH/101/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair, KEPMEN LH. No. 58/MENLH/12/1995, KEPMEN LH. No. 42/MENLH/101/1996 KEPMEN LH. No. 43/MENLH/101/1996, dan PENCEMARAN UDARA : KEPMEN LH. No. 35/MENLH/101/1993, KEPMEN LH. No. Kep13/MENLH/3/1995, KEPMEN LH. No. 50/MENLH/11/1996 dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Metode Penelitian, didalam penulisan makalah lingkungan hidup ini, penulis hanya menggunakan data primair yang terdiri dari bahan-bahan Peraturan Perundang-undangan yang diberlakukan Pemerintah Pusat dan Pemeritah Daerah dan bahan-bahan yang berasal dari situs yang membahas masalah lingkungan hidup yang berupa : Bahan Pengetahuan Hukum primair yaitu prodak-prodak hukum/peraturan perudang-undangan yang bersifat mengikat serta yang terdiri dari kaidah-kaidah dasar yaitu Undang Udang Dasar 1945

sebagai landasan hukum yang berlaku secara unifersal serta peraturan lain-lainnya yang berhubungan dengan dampak pencemaran lingkungan hidup. Bahan-bahan yang berasal dari artikel di internet dan media cetak yang terkait. Asumsi, untuk memfokuskan penulisan makalah ini, maka penulis menyusun suatu asumsi-asumsi yaitu sebagai berikut : Norma Hukum/kaidah Hukum Lingkungan Hidup dirasakan saling berbenturan yaitu antara Peraturan Pemerintah Pusat dengan Peraturan Pemerintah Daerah, hal ini terlihat pada peristiwa jebolnya tanggul Situ Gintung, dimana antara kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah saling menunggu melakukan ection, baru setelah tanggul tersebut jebol dan memakan banyak korban, mereka saling berlomba-lomba untuk melakukan action yang seolah-olah mereka peduli, sebenarnya langkah mereka adalah langkah-langkah yang sanat sia-sia, dimana terhadap pemikiran untuk membangun kembali tanggul yang memerlukan waktu yang sangat lama daripada merawat dan menjaga situ tersebut. Dampak pencemaran lingkungan hidup yang mengakibatan jebolnya tanggul Situ Gintung adalah sebagai perbuatan tidakan kelalaian dari manusia karena telah merusah eksosistem dan infrastruktur dari lingkungan hidup itu sendiri, dan yang bertanggung jawab dalam masalah tersebut adalah Pemeintah Daerah yang telah memberi izin kepada pengembang untuk membangun perumahan real estate disekitar Situ Gintung Tersebut, begitu pula terhadap Pemerintah Pusat yang dalam hal ini mempunyai kewengan adalah Menteri Lingkungan Hidup yang harus melakukan pengawasan terhadap segala kebijakan/kegiatan Pemerintah Daerah apakah, telah dengan benarbenar melaksanaan UU No.23 Tahun 1997 atau sebaliknya telah mengabikan undang-undang tersebut yaitu dengan mengizinkan para pengembang real state untuk membangun perumahan dengan tidak memperhatian akibat-akibat pembangunan tersebut, barulah setelah bencana jebolnya Tanggul Situ Gintung, barulah mereka berfikir untuk dan berupaya untuk membangun kembali infrastruktu disitu gintung, sangat jelas bahwa fenomena-fenomna apakah ini ! setelah terjadi peristiwa barulah mereka berusaha untuk memperbaikinya. Latar Belakang Lingkungan Hidup, melihat kepada fenomena lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia adalah sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan lingkungannya yang selaras dengan Wawasan Nusantara, didalam rangka mendayagunakan sumber daya alam serta untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UU Dasar 1945, untuk mencapai kebahagian hidup berdasarkan Pancasila yang perlu dilaksanakan dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional terpadu serta menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa akan datang. Atas dasar tersebutlah, perlu dilaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras dan seimbang guna menunjang terlaksannya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, dimana penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Berkaitan dengan masalah tersebut, sangat dibutuhkan dari kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup yang telah berkembang

demikian rupa, sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 1982 No. 12, Tambahan Lembaran Negara No. 3215) untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan Cq UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Pengertian Lingkungan hidup, menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahkluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain, dengan disertai pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Perlu dilakukannya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup sebagai upaya dasar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumber daya kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Oleh karenanya harus tersedianya sumber daya global yang merupakan sebagai unsur lingkungan hidup yang terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam baik hayati maupun non hayati dan sumber daya buatan. Dan untuk melakukan pencegahan terhadap pencemaran tersebut haruslah melihat kepada hal baku mutu lingkungan hidup, yang merupakan sebagai tolok ukur batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada/atau unsur pencemaran yang tenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Dimana pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi atau komponnen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Pendekatan Intrumental, didasari kepada asas, tujuan dan sasaran, dimana pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dimana bagi setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan tujuan untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, dimana pada setiap kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, karena mungkin saja pada setiap kegiatan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup tersebut. Berdasarkan masalah tersebut, perlunya suatu persyaratan pada setiap usaha atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan untuk memperoleh izin melakukan usaha dan kegiatan dengan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup. Dan atas dasar tersebut perlunya melakukan pengawasan dilaksanakan pengawasan terhadap setiap usaha atau kegiatan dengan menunjuk pejabat yang berwenang

melakukan pengawasan terhadap lingkungan hidup, dalam hal ini adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah, yang dibentuk khusus oleh Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah (Gubernur) berwenang melakukan paksaan perintah terhadap penanggung jawab terhadap kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, untuk melakukan penyelamatan dan wewenang tersebut dapat diserahkan kepada Bupati/Walikotamadya, dimana terhadap pelanggaran tersebut dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha atau kegiatannya. Sedangkan untuk melakukan peningkatan kinerja usaha atau kegiatan dalam hal ini Pemerintah Pusat mendorong penanggung jawab usaha atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup (dalam hal ini kewenangan Meteri Lingkungan Hidup). Dan untuk menyelesaikan terhadap Lingkungan Hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa, sedangkan penyelesaian sengketa diluar sidang tidak berlaku terhadap tidak pidana lingkungan hidup. Pendekatan Hukum Alam, dalam pendekatan hukum alam tidak terlepas dari Hukum Kehutanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil hutan, dimana menurut UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (LN.8/1967, TLN. 2832), Hutan adalah suatu lapangan bertumbuh pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya yang oleh Pemerintah ditetapkan sebagai hutan, industri, kayu baker, bambu, rotan, rumpu-rumputan dan hasil hewan seperti satwa buru, satwa elok. Berdasarkan Hukum Adat sebagai dasar pembangunan hukum, didalam mengadakan unifikasi hukum adalah tidak memilih Hukum Adat sebagai dasar utama pembangunan Hukum Tanah yang baru, yang secara sadar diadakan kesatuan hukum yang memuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur, baik yang terdapat dalam Hukum Adat maupun Hukum Baru/Perundang-undangan yang berlaku. Pada umumnya orang melihat dan mengartikan Hukum Adat hanya sebagai hukum positif yaitu sebagai hukum yang merupakan suatu rangkaian norma-norma hukum, yang menjadi pegangan bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut berbeda sekali dengan normanorma hukum tertulis, yang dituangkan dengan sengaja secara tegas oleh Penguasa Legislatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan, norma-norma Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis adalah rumusan-rumusan para ahli (hukum) dan hakim. Rumusan-rumusan tersebut bersumber pada rangkaian kenyataan mengenai sikap dan tingkah laku para anggota masyarakat hukum adat dalam menerapkan konsepsi dan asas-asas hukum, yang merupakan perwujudan kesadaran hukum warga masyarakat hukum adat tersebut dalam menyelesaikan kasus-kasus konkret/dampak akibat pencemaran lingkungan yang dihadapai dikawasan lingkungan hidup. Atas dasar penjelasan tersebut, penulis akan membahasan mengenai ketentuan Hukum Adat dan Undang Undang Pokok Agraria, karena kedua landasan hukum ini adalah merupakan landasan yang fudamental bagi ketentuan-ketentuan atau norma-norma/peraturan perundang-udangan Lingkungan Hidup, yang pada dasarnya tidak terlepas dari norma-norma Hukum Adat, Sosiologi dan Hukum Agraria. Ketentuan atau norma/perundang-undangan yang saling berhubungan serta berkaitan sangat erat sekali, karena yang pada umumnya yang menjadi objek kajiannya adalah mengenai penguasaan tanah, masyarakat, lingkungan hidup dan Pemerintah.

Kajian Hukum Lingkungan Hidup, adalah komponen aspek social yang perlu dikaji secara mendalam didalam menyusun analisis mengenai dampak lingkungan sehingga dampak negatif akibat suatu kegiatan terhadap komponen tersebut dapat dikelola dengan baik, dimana aspek social dalam analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) adalah telah yang dilakukan terhadap komponen demografi, dan budaya serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari komponen lain dalam penyusunan AMDAL. Dimana analisis mengenai dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1993 tentang analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) adalah hasil studi mengenai dampak penting suatu atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.Atas dasar tersebutlah bahwa pedoman teknis kajian aspek social menjadi penting dalam menyusun AMDAL dan ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kajian-kajian komponen lain dengan tujuan untuk memahami dan melakukan kajian mengenai aspek-aspek social dalam penyusunan Amdal, untuk memahami segala aspek biogeofisik dan social dalam AMDAL dan untuk membantu mempermudah proses penyusunan aspek social dalam studi AMDAL. Sedangkan pelingkup adalah merupakan proses awal untuk menentukan lingkup permasalahan dan mengindetifikasaikan dampak penting potensial yang timbul sebagai akibat rencana usaha atau kegiatan, yang diperlukannya dua hal dalam pelingkup AMDAL yaitu : 1). Indentifikasi Dampak Potensial, dimana dalam proses indentifikasi dampak potensial yang dapat dipergunakan sebagai beberapa daftar uji, matrik interaksi sederhana, bagan alir, penelaahan pustaka, pengamatan lapangan, analisis isi dan interaksi kelompok. 2). Evaluasi Dampak Potensial bertujuan menyeleksi dan menetapkan komponen dampak potensial aspek social yang relevan untuk ditelaah yaitu dengan menggunakan beberapa pertanyaan. 3) Pemusatan dampak penting (focusing) yang bertujuan untuk mengelompokkan/mengkatagorikan dampak penting yang telah dirumuskan sebelumnya agar diperoleh isu-isu pokok lingkungan hidup secara utuh dan lengkap dengan memperhatikan : a. Dampak rencana usaha atau kegiatan terhadap komponen lingkungan yang akan mengalami perubahan mendasar (dampak penting). b. Dampak rencana aspek social yang mengakibatkan timbulnya dampak penting pada aspek fisik, kimia dan biologi. c. Hubungan sebab akibat antar komponen dampak penting aspek social itu sendiri. Dalam mengkaji kebijakan Lingkungan Hidup, menggunakan metode pendekatan dan fungsi hukum dengan melihat kepada segala aspek dampak pencemaran, akibat pencemaran, hukum sebagai social control dan sanksi hukum terhadap lingkungan hidup, karena pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku kegiatan atau usaha sering melalaikan hal-hal yang dapat merugikan lingkungan hidup, yang sangat merugikan kehidupan manusia. Hal tersebut didasari oleh fenomena yang terjadi baru-baru ini tentang peristiwa jebolnya tanggul Situ Gintung yang menimbulkan jatuhnya korban yang meninggal dunia dan rusaknya infrastruktur yang mengakibatkan kerugian yang ratusan juta rupiah dan mungkin milyartan rupiah akibat bencan tersebut. Dampak Pencemaran Jebolnya Tanggul Situ Gintung, pembangunan tanggul Situ Gintung yang dilakukan oleh masa penjajahan Belandakurang lebih pada tahun 1938 dengan bertujuan untuk meningkatkan irigasi dan tatanan infrastruktur dilingkungan Situ Gintung agar dapat menampung curah hujan dan tidak mengakibatkan timbulnya banjir pada masa itu. Dimana pembangunan Situ Gintung dimasa penjajahan Belanda untuk meningkatkan Sumber Daya Alam

untuk pengairan tanah persawahan yang dapat meningkatkan swasembada pangan pada masa itu. Akan tetapi setelah tragedi/bencana jebolnya tanggul Situ Gintung pada hari Minggu, 29 Maret 2009, di Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat, Tangerang, Banten, pada Jumat dini hari yang sudah menewaskan 98 orang, yang mana bencana situ gintung adalah bukan bencana alam akan tetapi karena akibat kelalaian pemerintah, menurut Ketua Tim Kajian Likuifaksi dan Sumber Daya Air Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Adrin Tohari, yang menurutnya adalah disebabkan suatu kelalaian pada jajaran Pemerintah Daerah pusat selaku pihak yang bertanggung jawab atas tanggul tersebut dan Pemerintah Pusat dalam hal ini menteri Lingkungan Hidup selaku pengawas pusat terhadap Lingkungan Hidup diseluruh wilayah Indonesia. Sedangkan menurut Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Geologi Surono. "Jika teknologi (bangunan penyangga) Situ Gintung terawat dan terkontrol dengan baik, peristiwa itu dapat diantisipasi sebelumnya dengan perkataan lain adanya perawatan yang baik terhadap tanggung Situ Gintung tersebut. Akan tetapi didalam hal tanggung jawab tersebut, telah terjadinya lempar tanggung jawab antara Departemen PU, Pemprov Banten, dan Pemkab Tangerang saling lempar tanggung jawab soal jebolnya situ yang dibangun sejak zaman Belanda tersebut. Meskipun pemerintah pusat yang bertanggung jawab, Departemen PU mengatakan pengelolaan Situ Gintung dilimpahkan ke Pemprov Banten. Pemerintah Pusat melimpahkan tanggung jawab pemeliharaan ke Pemprov Banten. Terlihat adanya dua kewenangan hukum baik terhadap kebijakan dasar maupun terhadap kebijakan pemberlakuan yang saling berbenturan, dikarenakan kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakukan pemerintah pusat kurang tegas didalam pengaturan terhadap pengelolaan lingkungan hidup diwilayah situ gintung, yang mengakibatkan rusaknya ekosistem, infrastruktur dan menimbulkan korban yang meninggal dunia akibat sunami kecil diwilayah banten tersebut. Dengan menanggapi Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang telah menepis beberapa issu, dengan menyatakan sampai hingga kini pengelolaannya masih merupakan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Tangerang yang merawat dan mengelola situ gintung dan sebaliknya, telah disanggah oleh Pemda Tangerang bahwa terhadap pengelolaan Situ Gintung diserahkan kepada pusat provinsi, sanggah Bupati Tangerang. Yang mana selama ini Situ Gintung menjadi kawasan wisata dan merupakan kewenangan pusat provinsi/Pemerintah Provinsi. Terjadinya lempar tanggung jawab adalah membuktikan bahwa antara pemerintah kabupaten dan pusat provinsi tidak terjalinnya koordinasi, karena telah terjadinya benturan kewenangan tehadap kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakukan antara dua wilayah hukum yhang secara bertingkat. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Direktur Eksekutif Walhi DKI, menyatakan bahwa sudah seharusnya terjalin koordinasi antara instansi pusat dan daerah yang berjalan secara harmonis terhadap penanggulangan berbagai macam bencana agar dapat diantisipasi dengan secara cepat dan profesional. Dengan jebolnya tanggul Situ Gintung adalah disebabkan penyempitan areal di Situ Gintung, dimana daerah sebaran airnya semakin menyempit dari 28 hektare kini tinggal 21 hektare, hal ini disebabkan karena banyak berdirinya kawasan hunian mewah dan bertambahnya permukiman penduduk yang juga turut memberi beban berlebih terhadap waduk Situ Gintung. Dimana dana pembiayaan operasional dan pemeliharaan Situ Gintung pada tahun 2008 sebesar adalah sebesar Rp1,5 miliar dana tersebut diserahkan kepada Pemprov Banten. Jebolnya tanggul Situ Gintung berakibat/berdampak kepada wilayah Jakarta, oleh karenanya Situ Gintung harus dapat difungsikan kembali sebagai waduk alami yang sangat penting

bagi kota Jakarta, yaitu sebagai daerah tangkapan air untuk Jakarta dan untuk mengendalikan banjir di wilayah Jakarta Selatan. Berpengaruh bagi kepentingan kota jakarta, maka sudah seharusnyalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ikut bertanggung jawab agar Situ Gintung dapat berfungsi kembali, mengingat peran ekologis di situ gintung terhadap Jakarta sangat besar sekali pengaruhnya yaitu dengan menata kembali tata ruang di kawasan Situ Gintung disertai dengan sabuk pengaman 50-100 meter, dimana pada kawasan dalam radius 50 meter dari bibir situ harus dijadikan jalur hijau dan hutan kota. Oleh sebab itu permukiman yang ada dalam radius tersebut perlu direlokasi. Timbulnya berbagai Akibat Jebolnya Tanggul Situ Gintung, Pemerintah yang dinilai telah Lalai dan melanggar aturan terhadap alih fungsi lahan persawahan menjadi tempat pemukiman disekitar situ gintung, yang mndorong Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) akan menggugat pemerintah, karena dinilai telah lalai dalam pemeliharaan Situ Gintung di Kelurahan Cireundeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Provinsi Banten. Dimana 'Walhi akan mengajukan gugatan hukum legal standing atau memfasilitasi warga korban melakukan gugatan class action kepada Pemerintah Provinsi Banten dan departemen teknis terkait. Jebolnya tanggul Situ Gintung adalah murni merupakan kelalaian pemerintah dalam menerapkan UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya dan UU. No 42/2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, dan UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ketidak seriusan dari pemerintah dalam merawat Situ Gintung, adalah terbukti diabaikannya laporan masyarakat mengenai kerusakan kawasan danau ataupun tanggul situ gintung tersebut. Dalam hubungan kordinasi terkait antara ''Pemerintah, Departemen PU, dan Pemprov Banten tidak cukup pandai didalam menganalisa terhadap kondisi Situ Gintung yang dibangun tahun 1930 itu tak pernah diperbaiki, hanya dilakukan semacam pengerukan pada 2008. Akibat terjadinya alih fungsi lahan, harus melihat kepada koordinasi antara Pemda Tangerang, Pemprov Banten, Pemprov Jabar, dan Pemprov Jakarta yang sangat kurang baik didalam realisasainya, mengingat wilayah lintasan air di atas Situ Gintung meliputi daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung dan DAS Cisadane, adalah merupakan tanggung jawab dari para instansi terkait. Karena tedapatnya suatu akibat terhadap suatu kondisi yang terjadi dihulu, harus dilakukannya kordinasi antara Pemprov Jabar dan Jakarta karena pemulihan DAS dan tangkapan air berpengaruh terhadap hilir dan volume air hujan yang turun. Walhi mengusulkan moratorium atau penghentian segala alih fungsi lahan di kawasan situ, daerah aliran sungai (DAS), dan daerah tangkapan air, dimana ketiga daerah tersebut saling memengaruhi. Sebagai akibat jebolnya tanggul situ gintung, mengakibatkan rusaknya infrastruktur yang ada dan sebagai objek wisata dan sekarang sudak hancur, untuk memulihkan infrastruktur disekitar situ gintung memerlukan bertahun-tahun lamany agar berfungsi kembali seperti sedia kala. Berdasarkan data yang didapat penulis, dimana sebagai akibat terjadi jebolnya tanggung situ gintung yang telah menelan korban meninggal sebanyak 98 orang, terdiri dari perempuan 62 orang, laki-laki 33 orang dan 3 orang mahasiswa UMJ ( 2 perempuan dan 1 laki-laki). Mengenai korban yang hilang 115, Korban sakit 40 orang dan yang dirawat di Fakultas Kedokteran UMJ sebanyak 26 orang, di Rumah Sakit Fatmawati sebanyak 14 orang, terhadap bangunan/rumah yang

rusak sebanyak 316 di luar gedung UMJ dan beberapa ruang fakultas lain dan jumlah pengungsi sebanyak 368 jiwa dari hasil data yang didapat penulis. Hukum Sebagai Sosial Kontrol dan pelaksanaan Sangsi Pidana Sebagai Tindakan adanya Kelalaian Jebolnya Tanggul Situ Gintung, pada peristiwa jebolnya tanggul situ gintung disebabkan karena tidak terdapatnya sosial kontrol serta kurangnya penerapan sangsi pidana terhadap pelanggaran dari akibat dampak pencemaran Lingkungan Hidup dan berkaitan dengan masalah tersebut, Walhi sebagai wadah pengamat yang mempunyai tugas dan fungsi terhadap lingkungan hidup yang seharus lebih serius untuk mengamati gejala-gejala alam diseputar wilayah Republik Indonesia. Akibat terjadinya bencana situ gintung, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga akan mengajukan gugatan Legal Standing atau gugatan `Class Action` kepada pemerintah Provinsi Banten dan Departemen Teknis terkait, karena berindikasi adanya kelalaian dari pemerintah untuk melaksanakan ketentuann UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No7/2004 tentang Sumber Dyaa Air c.q PP No.42/2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air dan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU N0. 23 Tahun 1997. Sudah menjadi kewajiban dari Pemerintah terkait untuk merevitalisasi sekitar 200 situ yang ada di Jabodetabek untuk menampung air hujan dari daerah yang lebih atas, dan revitalisasi ini membutuhkan koordinasi yang cepat antara Bappenas, Departemen Keuangan selaku pemegang dana pemerintah, Departemen Pekerjaan Umum dan kepala daerah di wilayah Jabodetabek terutama situ dan bendungan yang daerah bawahnya terdapat permukiman penduduk yang terkena bencana tersebut, harus segera diperbaiki sebagai solusi sementara yaitu penghentian atau moratorium segala alih fungsi lahan di kawasan situ, DAS (daerah aliran sungai) dan daerah tangkapan air karena tiga daerah tersebut saling mempengaruhi dan berkaitan sesuai dengan fungsinya sebagai daerah resapan dan aliran sungai. Sedangkan untuk menuntutan sangsi pidana serta penuntuta ganti kerugian yang berdasarkan Undang-Undang N0. 23 Tahun 1997 tentang Lingkunga Hidup yang didalam pasal 29 ayat 5, yang berdasarkan hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan dokumen yang bersifat terbuka untuk umum, sebagai upaya perlindungan masyarakat karena itu harus diumumkan. Kemudian dalam pasal 30 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan untuk untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa, dengan maksud untuk mencegah terjadinya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup dan untuk menjamin kepastian hukum.Terhadap penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan melalui perundingan di luar pengadilan dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang berkepentingan, yaitu para pihak yang mengalami kerugian dan mengakibatkan kerugian, instansi pemerintah yang terkait dengan subyek yang disengketakan, serta dapat melibatkan pihak yang mempunyai kepedulian terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Terhadap tindakan tertentu di sini yang dimaksudkan adalah sebagai upaya memulihkan fungsi lingkungan hidup dengan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat (pasal 31). Terdapatnya upaya untuk melancarkan jalannya perundingan di luar pengadilan, para pihak yang berkepentingan dapat meminta jasa pihak ketiga netral yang dapat berbentuk ( pasal 32): 1. pihak ketiga netral yang tidak memiliki kewenangan mengambilkeputusan. Pihak ketiga netral ini berfungsi sebagai pihak yang memfasilitasi para pihak yang berkepentingan sehingga dapat dicapai kesepakatan.

2. Pihak ketiga netral ini harus : a.disetujui oleh para pihak yang bersengketa, b.tidak memiliki hubungan keluarga dan/atau hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa; c.memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan, d.tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya dan 2.pihak ketiga netral yang memiliki kewenangan mengambil keputusan berfungsi sebagai arbiter, dan semua putusan arbitrase ini bersifat tetap dan mengikat para pihak yang bersengketa. Didalam membantu penyelesaian sengketa tersebut terdapat Lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini dimaksudkan sebagai suatu lembaga yang mampu memperlancar pelaksanaan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa dengan mendasarkan pada prinsip ketidak berpihakan dan profesionalisme. Lembaga penyedia jasa yang dibentuk Pemerintah dimaksudkan sebagai pelayanan public (Pasal 33 ayat). Dan realisasi asas yang terapat dalam hukum serta undang-undang lingkungan hidup, disebut asas pencemar membayar, selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk : memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah/atau sejenisnya yang sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan, memulihkan fungsi lingkungan hidup, menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dan pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup ( Pasal 34 ayat 1 dan 2). Pertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian, sudah merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya, yang besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Mengenai maksud sampai batas tertentu, adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup (pasal 35 dan pasal 36) dan tindakan pihak ketiga adalah merupakan perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang dilakukan Pemerintah. Mengenai hak untuk mengajukan gugatan perwakilan adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan (calss action) atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, sedangkan terhadap gugatan yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup tidak dapat berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu (Pasal 37 dan Pasal 38):a. memohon kepada pengadilan agar seseorang diperintahkan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan tujuan pelestarian fungsi lingkungan hidup, b. menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena mencemarkan atau merusak lingkungan hidup, c. memerintahkan seseorang yang melakukan usaha dan /atau kegiatan untuk membuat atau memperbaiki unit pengolah limbah. Dimana tidak setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatas namakan lingkungan hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu dengan adanya persyaratan sebagaimana dimaksud di atas, maka secara selektif keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui memiliki ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup ke pengadilan, baik ke peradilan

umum ataupun peradilan tata usaha negara, tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan dalam memeriksa dan mengadili perkara yang dimaksud dalam Pasal 38. Sedangkan didakam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mengatur secara terperinci tentang sangsi hukuman terhadap kelalaian terhadap lingkungan, seperti misalnya pada bab III tentang pelanggaran terhadap enguasaan umum, pasal 521sampai dengan pasal 525 dimana terhadap pelanggaran ketentuan peraturan penguasa umum yang telah diumumkan mengenai pemakaian dan pembagian air dari perlengkapan air atau bangunan pengairan guna keperluan umum, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua belas hari, atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Dan barang siapa tanpa alasan yang sah membiarkan tidak dikerjakannya pekerjaan rodi, pekerjaan desa atau pekerjaan perusahaan kebun negara, diancam dengan pidana kurungan paling tinggi tiga hari atau pidana denda paling tinggi sepuluh rupiah. Dan terhadap pelanggaran yang belum lewat enam bulan sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, dapat diancam dengan pidana kurungan paling tinggi tiga bulan. Pengaturan dalam pasal 524 dapat diancam pidana pidana paling banyak sembilan ratus rupiah: 1. barangsiapa dalam perkara mengenai orang yang belum dewasa, atau orang yang sudah tahu akan di bawah pengampuan, atau orang yang akan atau sudah dimasukkan dalam rumah sakit jiwa, dipanggil untuk didengar selaku keluarga sedarah atau semenda, selaku suami/istri, wali atau wali pengawas oleh hakim atau atas perintahnya oleh kepala polisi, tidak datang sendiri maupun dengan perantaraan kuasanya jika itu dibolehkan, tanpa alasan yang dapat diterima. 2. barang siapa dalam perkara mengenai orang yang belum dewasa atau orang yang sudah atau akan di bawah pengampuan, dipanggil untuk didengar oleh kantor peninggalan harta atau atas permintaannya oleh kepala polisi, tidak datang sendiri maupun dengan perantaraan kuasanya jika itu dibolehkan, tanpa alasan yang dapat diterima; 3. barang siapa dalam perkara mengenai orang yang belum dewasa dipanggil untuk didengar oleh majelis perwalian atau atas permintaannya oleh kepala polisi, tidak datang sendiri atau dengan perantaraan kuasanya, tanpa alasan yang dapat diterima. Dan dalam pasal 525 adalah : 1. Barang siapa ketika ada bahaya umum bagi orang atau barang, atau ketika ada kejahatan tertangkap tangan diminta pertolongannya oleh penguasa umum tetapi menolaknya, padahal mampu untuk memberi pertolongan tersebut tanpa menempatkan diri langsung dalam keadaan yang membahayakan, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah; 2. Ketentuan ini tidak berlaku bagi mereka yang menolak memberi pertolongan karena ingin menghindari atau menghalaukan bahaya penuntutan bagi salah seorang keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus atau menyimpang, sampai derajat kedua atau ketiga, atau bagi suami (istri) atau bekas suaminya (istrinya). Dengan didasari sangsi pidana tersebut bahwa bencana situ gintung yang telah pendangkalan dan penyempitan yaitu dari luas awal + 28 hektare, yang saat ini hanya tinggal 21 hektare karena alih fungsi lahan. Alih fungsi disitu dengan dibangun semacam vila, restoran, kawasan wisata dan kawasan komersial lainnya, yang dibangun tidak memperhatikan fungsi ekologis dan keselamatan manusia, dapat diancam pidana penjara atau denda. Sangat jelas sekali bahwa telah terjadinya alih pungsi disekitar kawasan situ gintung, yang menunjukkan koordinasi

antara Pemda Tangerang, Pemprov Banten dan Pemprov Jabar serta Jakarta buruk karena wilayah lintasan air di atas Situ Gintung meliputi DAS Ciliwung dan DAS Cisadan, tidak terkoordinasi dengan baik oleh para instansi pemerintah terkait tersebut. Dan terhadap fungsi sosial kontrol yang harus dijalankan oleh Walhi, serta oleh perangkat pemerintah terkait tidak berjalan sesuai fungsi dan tugasnya, dimana pada subtansi pokok yaitu terjadinya bencana situ gintung yang menimbulkan kerugian yang tidak sedikit serta yang telah menelan koban jiwa yang sangat tragis sekali. Terhadap sangsi pidana yang terdapat didalam KUHP dan sangsi denda yang terdapat didalam KUH Perdata terlihat udah tidak rlefan lagi dengn ketentuan yang terdapat didalam pasal 23 Tahun 1997 yang dianggap sangsi yang daitaur didalam KUHP dan KUH Padata sangat terlalu ringan dan kurang meggit, berkaitan dengan hal tersebut bahwa ketentuan UU No. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup juga kurang membuat jera bagi para oknum tersebut, mengingat pemberian sangsi terhadap kelalaian atau perbuatan pencemaran lingkungan hidup yang pada khususnya di wilayah situ gintung masih terlalu sumir pengaturannya. Seharusnya ketentuan UU no. 23 Tahun 1997 yang mengatur tentang sangsi hukuman dan denda diselaraskan denda yang ketentuan yang terdapat didalam pasal-pasal pada KUHP dan KUH Padata, karena ketentuan tersebut, kurang relefan untuk tuntutan sangsi hukuman dan denda pada kasus lingkungan hidup, yang khususnya pada bencana situ gintung. Terdapatnya Pelanggara Hak Asasi Manusia sebagai akibat adanya pelanggaran terhadap Lingkungan Hidup di Situ Gintung, tragedi jebolnya bendungan Situ Gintung bak tsunami kecil Aceh yang terjadi di Jakarta dan secara kuantitas dampak serta tragedi jebolnya bendungan Situ Gintung termasuk tragedi terbesar sepanjang sejarah berdirinya Indonesia sejak 1945 dan sesuai dengan amanat UU Dasar 1945, bahwa Pemerintah selaku penyelenggaran negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak dan keamanan penduduk dan Pemerintah harus cepat menanggapi masalah-masalah yang berpotensi menyebabkan bencana besar hingga kematian manusia. Kewajiban Pemerintah adalah melakukan upaya preventif serta usaha penanggulangan, dampak ebuah bencana untuk dapat meminimalisasikan situasi/keadaan secara maksimal. (baca : Faktor Mempengaruhi Dampak Bencana). Sudah seharusnyalah Pemerintah melakukan tata ruang untuk daerah disekitar bendungan untuk memfungsikan kembali area hutan/pohon untuk daerah yang berfungsi sebagai penyerapan air ketika musim hujan. Jebolnya tanggul Situ Gintung adalah merupakan sebagai tindakan human error, karena perangkat-perangkat terkait tidak melakukan koordnasi yang sebagai mana ditentukan oleh Peraturan Perundang-undangan dan berdasarkan data yang didapat bahwa pada kasus Situ Gintung adalah merupakan suatu tindakan pidana dari para pejabat pemerintah yang terkait. Jika hal tersebut benar, jika pemerintah tidak menganggarkan dana untuk melakukan perawatan Situ Gintung secara tepat dan benar, maka sudah sepantasnya para pejabat pemerintah ini dibui/ ditahan, karena secara sadar maupun tidak sadar telah mengakibatkan kematian ratusan orang, kehancuran ratusan tempat tinggal dan kerugian puluhan bahkan ratusan miliar, akan tetapi untuk menyelesaikan hal tersebut harus ada payung hukum yang menaungi para korban Situ Gintung tersebut. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, di mana pada pasal 43 yang menyatakan bahwa (1). Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung dipilihnya dengan bebas,

menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan (3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan. Juga berdasarkan pasal 44 yang menyatakan kewajiban pemerintah adalah bahwa pada setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Didalam hal kewajiban dan tanggung jawab pemerintah pada pasal 71 menyatakan bahwa Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Kewajiban Pemerintah tersebut meliputi kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, adalah langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. Sedangkan pada Bab VII tentang Komnas HAM diatur dalam pasal 75 yang bertujuan a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asai manusia guma berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya dalam berbagai bidang kehidupan. Ditetapkan dengan ketentuan Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Bab I tentang Ketentuan Umum bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dan terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia dan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat, baik bagi setiap orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual denga dibantu oleh Penyelidikan yang merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan undang-undang Hak Asasi Manusia tersebut. Didalam Bab III tentang Lingkup Kewenangan pada Pasal 4 dan Pasal 5 bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaranhak asasi manusia yang berat, serta terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Didalam Pasal l 8 menyatakan Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara : a. membunuh anggota kelompok, b. mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, d. memaksakan tindakantindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Terhadap kejahatan kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah suatu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung. Dalam Hukum Acara bagian kesatu pasal 10, didalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana. Akibat Pencemaran Terhadap Lingkungan Hidup, mengenai akibat pencemaran terhadap lingkungan hidup harus melihat kepada ukuran dampak penting terhadap lingkungan yang perlu disertai dengan dasar pertimbangan yaitu sebagai berikut : terhadap penilaian pentingnya dampak lingkungan berkaitan secara relative dengan besar kecilnya rencana usaha atau kegiatan yang berhasil guna dan daya guna, apabila rencana usaha atau kegiatan tersebut dilaksanakan dengan didasarkan pada dampak usaha atau kegiatan tersebut terhadap salah satu aspek lingkungan atau dapat juga terhadap kesatuan dan atau kaitannya dengan aspek-aspek lingkungan lainnya dalam batas wilayah yang telah ditentukan. Perlu diketahui bahwa dampak terhadap lingkungan atas dasar kemungkinan timbulnya dampak positif atau dampak negative tidak boleh dipandang sebagai factor yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan harus diperhitungkan bobotnya guna dipertimbangkan hubungan timbul baliknya untuk mengambil keputusan. Sedangkan yang menjadi ukuran dampak penting terhadap lingkungan hidup adalah : a. Jumlah manusia yang akan terkena dampak tersebut adalah pengertian manusia yang akan terkena dampak mencakup aspek yang sangat luas terhadap usaha atau kegiatan, yang penentuannya didasarkan pada perubahan sendi-sendi kehidupan masyarakat dan jumlah manusia yang terkena dampaknya tersebut, dimana manusia yang secara langsung terkena dampak lingkungan akan tetapi tidak menikmati manfaat dari usaha atau kegiatan yang telah dilaksanakan. b. Terhadap luas wilayah persebaran dampak adalah merupakan salah satu factor yang dapat menentukan pentingnya dampak terhadap lingkungan, dimana rencana usaha atau kegiatan mengakibatkan adanya wilayah yang mengalami perubahan mendasar dari segi intensitas dampak atau tidak berbaliknya dampak atau segi kumulatif dampak. c. Lamanya dampak berlangsung dapat berlangsung pada suatu tahap tertentu atau pada berbagai tahap dari kelangsungan uasah atau kegiatan, dengan kata lain akan berlangsung secara singkat yakni hanya pada tahap tertentu siklus usaha atau kegiatan akan tetapi dapat pula berlangsung relative lama yang akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan lingkungan hidup didalam masyarakat/manusia dilingannya yang telah merusak tatanan dan susunan lingkungan hidup disekitarnya. d. Intensitas dampak mengandung pengertian perubahan lingkungan yang timbul bersifat hebat atau drastic serta berlangsung diareal yang luas dalam kurun waktu yang relative singkat, hal ini menyebabkan terjadinya perubahan yang mendasar pada komponen lingkungan hidup yang berdasarkan pertimbangan ilmiah serta dapat mengakibatkan spesies-spesies yang langka atau endemik terancam punah atau habitat alamnya mengalami kerusakan. e. Komponen lingkungan lain yang terkena dampak, akibat rencana usaha atau kegiatan menimbulkan dampak sekunder dan dampak lanjutan lainnya yang jumlah komponennya lebih atau sama dengan komponen lingkungan yang terkena dampak primer. f. Sifat kumulatif dampak adalah pengertian bersifat bertambah, menumpuknya atau bertimbun, akibat kegiatan atau usaha yang pada awalnya dampak tersebut tidak tampak atau tidak dianggap penting, akan tetapi karena aktivitas tersebut bekerja secara berulang kaliatau terus

menerus maka lama kelamaan dampaknya bersifat kumulatif yang mengakibatkan pada kurun waktu tertentu tidak dapat diasimilasikan oleh lingkungan alam atau social dan menimbulkan efek yang saling memperkuat (sinergetik) akaibat pencemaran. g. Berbalik dan tidak berbaliknya dampak ada yang bersifat dapat dipulihkan dan terdapat pula yang tidak dapat dipulihkan walaupun dengan upaya manusia untuk memulihkannya kembali, karena perubahan yang akan dialami oleh suatu komponen lingkungan yang telah tercemar dengan kadar pencemaran yang sangat tinggi, tidak akan dapat dipulihkan kembali seperti semula. Hukum Sebagai Sosial Kontrol Terhadap Pencemaran Lingkungan Hidup, sebagai social control terhadap akibat pencemaran lingkungan hidup, haruslah ada ketentuan peraturan dan perundang-undanag yang mengatur serta membatasi/ mencegah agar tidak terjadi pencemaran lingkungan hidup disegala aspek kehidupan manusia baik secara sadar atau tidak sadar pencemaran tersebut terjadi. Dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah sebagai koridor dan paying hukum sekaligus sebagai social control terhadap dampak lingkungan hidup yang terjadi akibat suatu usaha atau kegiatan dari berbagai sektor yang menimbulkan pencemaran berupa limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) telah dibatasi undang-undang yang mengatur tentang libah tersebut adalah sebagai berikut : PP No. 19 Th 1995, PP 12 Th 1994 tentang perubahan PP No. 19 Th 1994 dan undang-undang yang mengatur terhadap Penceman Air adalah : PP RI No. 20 Th 1990, KEPMEN LH. No. 52/MENLH/101/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair, KEPMEN LH. No. 58/MENLH/12/1995, KEPMEN LH. No. 42/MENLH/101/1996 KEPMEN LH. No. 43/MENLH/101/1996, serta Pencemaran Udara : KEPMEN LH. No. 35/MENLH/101/1993, KEPMEN LH. No. Kep13/MENLH/3/1995, KEPMEN LH. No. 50/MENLH/11/1996. Dengan berlakunya undang-undang lingkungan hidup tersebut diatas adalah merupakan sebagai payung hukum terhadap dampak pencemaan lingkungan hidup, mengingat undang-undang lingkungan hidup atas dasar kepada diberlakukan kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakuan yang berlaku secara internal maupun eskternal, untuk melindungi kehidupan masyarakat Indonesia serta alam lingkungan Negara Indonesia agar tidak tercemar, akibat segala kegiatan/usaha dari pelaku usaha disegala sektor tersebut. Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Lingkungan Hidup, dari apa yang telah dijelaskan yaitu mengenai hukum sebagai sosial kontrol, dan pengaturan sanksi hukumam terhadap bencana situ gintung tersebut dapat diancam hukuman sebagai mana yang diatur pelaku dalam UndangUndang No. 23 Tahun 1997 mengatur mengenai sangsi berupa sanksi Administrasi diatur oleh Pasal 25 sampai dengan Pasal 27 dan sanksi Pidana diatur oleh Pasal 41 sampai dengan Pasal 48. Dimana sangsi administrasi adalah merupakan sebagai hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku pelanggaran terhadap lingkungan hidup, yang berupa pencabutan perizinan usaha/kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan berakibat usaha/kegiatan tersebut berhenti secara total, dengan berkewajiban memulihkan kembali lingkungan hidup yang telah tercemar atau telah hancur akiban jebolnya tanggul situ gintung tersebut. Sedangkan sanksi pidana adalah merupakan sebagai hukuman yang dilakukan dengan sengaja, kealpaannya, kelalaian atau informasi palsu melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau pengrusakan akibat jebolnya tanggung dapat di ancama pidana penjara sekurangkurangnya 5 tahun atau sampai seberat-beratnya 15 tahun atau denda sekurang-kurangnya

Rp.100.000.000,- atau sampai sebesar Rp. 500.000.000,- sesuai dengan tingkat pelanggaran/kelalaian yang dilakukan oleh pelaku usaha lingkungan hidup dalam hal ini pemerintah terait. Sesuai penjelasan penulis tersebut diatas bahwa dampak jebolnya tanggul situ gintung adalah sebagai akibatkan tidak terealisasikannya landasan hukum serta social kontrol pengawasan terhadap tanggul situ gintung yang merupakan suatu mata rantai yang tidak terputus didalam kaitannya dengan lingkungan hidup, terutama pada instansi yang terkait. Jika masalahmasalah tersebut diabaiakan maka akan mengakibatkan bencana yang tidak dapat ditanggulangi atau dicegah oleh manusia, walaupun dengan tekhnologi yang modern sekalipun, mengingat pemulihan terhadap lingkungan hidup yang telah rusak akibat jebolnya tanggul situ gintung memerlukan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk melakukan serta menata ekosistem serta infrastruktur disekitar pemuliman situ gintung. Walaupun sudah ada pengaturan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup yang merupakan sebagai payung hukum untuk melandasai segala keguatan lingkungan hidup yang akan bendampak terhadap kehidupan manunusia dan pengaturan sanksi administrative dan sanksi pidananya, akan tetapi tetap harus diperhatikan pula dengan tidankan koordinasi antara pemerintah terkait yang juga harus didasari oleh surat keputusan bersama antara menteri lingkungan hidup, Menteri dalam negeri, menteri luar negeri dan Kapolri dan Pemerintah daerah untuk melakukan pemantauan terhadap lingkungan hidup. Dimana secara kebijakan internal merupakan kewenangan Menteri Lingkungan Hidup dengan UU No. 23 Tahun 1997, akan tetapi tidak terlepas dari faktor eksternal, dimana keikut sertaan dari instansi-instansi yang terkait lainnya akan pemeliharaannya benar-benar terjaga dengan sebaik mungkin untuk terciptanya keamanan dan ketentraman kehidupan masyarakat diwilaya situ gintung dan sekitarnya. Jika masalah tersebut dipantau oleh instansi-instansi terkait, yang masing-masing mempunyai tanggung jawab terhadap pencegahan pencemaran lingkungan hidup, maka akan dapat dimungkinkan akan terhindarnya dari berbagai macambencana seperti jebolnya tanggul situ gintung yang baru-baru ini telah menolan korban yang cukup banyak serta menimbulkan kerugian secara materiil dan inmateriil bagi masyarakat disekitar situ gintung. Menganalisa permasalah baik secara internal maupun secara eskternal terhadap permasalahan : - Bagaimanakah pendekatan Intrumental yang berupa undang-undang dan Pendekatan Alam akibat dampak pencemaran Lingkungan Hidup terhadap Jebolnya Tanggul Situ Gintung yang berakibat banyaknya korban yang meninggal dunia dan rusaknya ekosistem maupun infrastruktur diwilayah Situ Gintung tersebut ? - Bagaimanakah upaya Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat, didalam upaya perawatan dan pencegahan dari dampak pencemaran terhadap lingkungan hidup disekitar Situ Gintung ? - Caranya untuk memperkecil akibat dampak pencemaran Lingkungan Hidup tersebut, agar terhindar dari berbagai macam bencana yang sering terjadi ? Menganalisa permasalahan secara factor intermal adalah dengan melihat kepada instrumental kepada undang-undang lingkungan hidup sebagai payung hukum dan pendekatan alam sebagai landasan dasar, didasari kepada asas, tujuan dan sasaran, dimana pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dimana bagi setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pendekatan instrumental bertujuan untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, dimana pada setiap kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, karena mungkin saja pada setiap kegiatan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup tersebut. Dan untuk menjawan permasalahan Jebolnya Tanggul Situ Gintung yang berakibat banyak memakan korban yang meninggal dunia dan rusaknya ekosistem maupun infrastruktur diwilayah Situ Gintung tersebut, yang berkaitan dengan upaya Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat, didalam upaya untuk melakukan pengawasan, perawatan serta pencegahan terhadap peristiwa jebolnya tanggul situ gintung tersebut. Jika berdasarkan UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 1982 No. 12, Tambahan Lembaran Negara No. 3215) dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup, terlihat bahwa para instansi terkait diwilayah lingkungan provonsi Banten, Perintahan Daerah Tanggerah, Wali Kota Jakarta Selatan dan Dirjen PU serta Menteri Lingkungan Hidup, berkewajiban mempertanggung jawabkan sebagai akibat, kelalaian terhadap peristiwa jebolnya tanggul situ gintung, telah melan cukup banyak korban dan kerugian yang sangat besar sekali. Sedangkan dampak percemaran terhadap lingkungan hidup disekitar Situ gintung tersebut adalah terlihat dari jebolnya tanggul situ gintung, dimana terhadap perawatan dan pemeliharan situ gintung telah diabaikan oleh pemerintah terkait dalam hal ini Pemerintah daerah tanggerang, Pemerintah Provinsi Banten, walikota Jakarta Selatan , dinas PU dan lainnya serta yang terkait dengan pertanggung jawaban terhadap bencana tersebut. Sedangkan sebagai upaya Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat, didalam upaya perawatan dan pencegahan dari dampak pencemaran terhadap lingkungan hidup disekitar Situ gintung adalah suatu hal yang merupakan atau didasari oleh kesepakatan bersama antara instansi-instansi yang terkait, yang diataur oleh UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU no. 23 tahun 1997 tentang lingkungan hidup. Menganalisa permasalahan secara faktor eskternal, dengan melihat kepada instrumental perundang-undangan lingkungan hidup yang merupakan payung hukum, sangat dipengaruhi ketentuan perlindungan lingkungan yang berlaku secara internasional dengan tujuan untuk menjaga dan meletarikan danau-danau yang terdapat dilingkungan atau diwilayah kekuasaan negara anggota yang tergabung/ diwadahi oleh organisasi lingkungan hidup sedunia (Green Peace). Dimana sebenarnya Undang-Undang Lingkungan Hidup yang berlaku di Indonesia yang secara eksternal mengadopsi Undang-Undang Lingkungan Hidup Internasional seperti Rncangan Peraturan Presidengan dan Rancangan Peraturan Pemerintah yaitu seperti : 1. Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor ... Tahun 2007 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (versi 15 Agustus 2007), 2. Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor ... Tahun 2007 tentang Penetapan Status dan Tingkatan Bencana (versi 15 Agustus 2007), 3. Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor ... Tahun 2007 tentang Pengelolaan Bantuan Penanggulangan Bencana (versi 9 Agustus 2007), 4. Rancangan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor ... Tahun 2007 tentang Pengelolaan Dana Penanggulangan Bencana (versi 15 Agustus 2007), 5. Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor ... Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Rehabilitasi Pascabencana (versi 15 Agustus 2007) dan 6. Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor ... Tahun 2007 tentang Peran dan Kerja Sama Lembaga Internasional dalam Penanggulangan Bencana (versi 15 Agustus 2007) dengan (catatan: RPP dan RaPerpres mengenai PB ini sudah dalam bentuk pasal per pasal), semuanya itu mengaju kepada Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 dan undang-undang ini mengadopsi undang-undang lingkungan hidup Internasional yang tergabung didalam wadah lingkungan hidup Internasional. Seharusnya terhadap bencana Jebolnya Tanggul Situ Gintung yang berakibat banyaknya korban yang meninggal dunia dan rusaknya ekosistem maupun infrastruktur diwilayah Situ Gintung, tidak perlu terjadi jika kita mau belajar dari negara berkembang, karena sebenarnya undang-undang lingkungan hidup Indonesia mengadopsi dari undang-undang lingkungan hidup internasional dan kalau mau penjalankan dengan secara konsekwen maka bencana terbut tidak perlu terjadi. Yang secara faktor eksternal bahwa undang-undang lingkungan hidup adalah tergabung dari negaranegara didunia yang menaggungali berbagai macam peristiwa/bencana yang beraneka ragam didunia, atas dasar faktor eksternal tersebut yang seharusnya upaya Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat dalam tindakan untuk memperkecil akibat dampak pencemaran Lingkungan Hidup tersebut, serta agar terhindar dari berbagai macam bencana, Negara Indonesia perlu banyak belajar dengan negara-negara lingkungan hidup didunia, seperti salah satunya belajar dengan Negara Belanda yang memang ahli dibidang bendungan yang berkaitan dengan Bencana Situ Gintung.(Ruthscheeldiaz, Nuraini, Gatot subiantoro) KESIMPULAN 1. Kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup yang telah berkembang demikian rupa, sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 1982 No. 12, Tambahan Lembaran Negara No. 3215) untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan Cq UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Dan untuk melakukan pencegahan terhadap pencemaran tersebut haruslah melihat kepada hal baku mutu lingkungan hidup, yang merupakan sebagai tolok ukur batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada/atau unsur pencemaran yang tenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. 2. Dengan melakukan pendekatan intrumental serta pendekatan Hukum Alam yang didasari oleh Hukum Adat sebagai dasar pembangunan hukum, yang dituangkan dengan sengaja secara tegas oleh Penguasa Legislatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan, norma-norma Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis adalah rumusan-rumusan para ahli (hukum) dan hakim. 3. Aspek social dalam analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) adalah telah yang dilakukan terhadap komponen demografi, dan budaya serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari komponen lain dalam penyusunan AMDAL. Dimana analisis mengenai dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1993 tentang analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) adalah hasil studi mengenai dampak penting suatu atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. 4. Berkaitan dengan dampak Jebolnya Tanggul Situ Gintung adalah menenai pembangunan tanggul Situ Gintung yang dilakukan oleh masa penjajahan Belandakurang lebih pada tahun 1938 dengan bertujuan untuk meningkatkan irigasi dan tatanan infrastruktur dilingkungan Situ

Gintung. Setelah tragedi/bencana jebolnya tanggul Situ Gintung pada hari Minggu, 29 Maret 2009, di Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat, Tangerang, Banten, pada Jumat dini hari yang sudah menewaskan 98 orang, yang mana bencana situ gintung adalah bukan bencana alam akan tetapi karena akibat kelalaian pemerintah. 5. Adanya dua kewenangan hukum baik terhadap kebijakan dasar maupun terhadap kebijakan pemberlakuan yang saling berbenturan, dikarenakan kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakukan pemerintah pusat kurang tegas didalam pengaturan terhadap pengelolaan lingkungan hidup diwilayah situ gintung, yang mengakibatkan rusaknya ekosistem, infrastruktur timbul korban meninggal dunia akibat sunami kecil diwilayah banten tersebut. 6. Pemerintah Dinilai telah Lalai dan melanggar aturan terhadap alih fungsi lahan persawahan menjadi tempat pemukiman disekitar situ gintung, yang dinilai murni merupakan kelalaian pemerintah dalam menerapkan UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya dan UU. No 42/2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, dan UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. 7. Kewajiban dari Pemerintah terkait untuk merevitalisasi sekitar 200 situ yang ada di Jabodetabek untuk menampung air hujan dari daerah yang lebih atas, dan revitalisasi ini membutuhkan koordinasi yang cepat antara Bappenas, Departemen Keuangan selaku pemegang dana pemerintah, Departemen Pekerjaan Umum dan kepala daerah di wilayah Jabodetabek terutama situ dan bendungan yang daerah bawahnya terdapat permukiman penduduk yang terkena bencana tersebut, harus segera diperbaiki sebagai solusi sementara yaitu penghentian atau moratorium segala alih fungsi lahan di kawasan situ, DAS (daerah aliran sungai) dan daerah tangkapan air karena tiga daerah tersebut saling mempengaruhi dan berkaitan sesuai dengan fungsinya sebagai daerah resapan dan aliran sungai. 8. Sangsi pidana dan ganti kerugian menurut Undang-Undang N0. 23 Tahun 1997 tentang Lingkunga Hidup yang didalam pasal 29 ayat 5, bahwa hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan dokumen yang bersifat terbuka untuk umum, sebagai upaya perlindungan masyarakat karena itu harus diumumkan. Kemudian dalam pasal 30 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan untuk untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa, dengan maksud untuk mencegah terjadinya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup dan untuk menjamin kepastian hukum. 9. Pertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian, sudah merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya, yang besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Mengenai maksud sampai batas tertentu, adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup (pasal 35 dan pasal 36) dan tindakan pihak ketiga adalah merupakan perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang dilakukan Pemerintah. 10. Sangsi pidana yang terdapat didalam KUHP dan sangsi denda yang terdapat didalam KUH Perdata terlihat, sangat bertentangan dengan ketentuan yang terdapat didalam pasal 23 Tahun 1997, akan tetapi ketentuan UU No. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup tidak memberikan sangsi yang sangat tegas terhadap kelalaian atau perbuatan pencemaran lingkungan hidup yang pada khususnya di wilayah situ gintung. Atas dasar tersebutlah bahwa ketentuan UU no. 23 Tahun 1997 harus mengatur secara tegas tentang sangsi pidana maupun sangsi denda, karena ketentuan pasal-pasal yang terdapat didalam KUHP dan KUH Perdata

sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang, dimana pengantian kerugian yang terdapat didalam KUH Perdata dan KUH Pidana kurang relefan dengan keadaan sekarang. 11. Pada kasus Situ Gintung adalah merupakan suatu kegiatan yang merupakan sebagai tindakan pidana dari para pejabat pemerintah yang terkait, jika pemerintah tidak menganggarkan dana untuk melakukan perawatan Situ Gintung secara tepat dan benar, maka sudah sepantasnya para pejabat pemerintah ini dibui/ditahan, karena secara sadar maupun tidak sadar telah mengakibatkan kematian ratusan orang, kehancuran ratusan tempat tinggal dan kerugian puluhan bahkan ratusan miliar, akan tetapi untuk menyelesaikan hal tersebut harus ada payung hukum yang menaungi para korban Situ Gintung tersebut. 12. Bencana Situ Gintung juga dianggap telah melanggar Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, di mana pada pasal 43 yang menyatakan bahwa (1). Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan (3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan. Dengan didasari oleh Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Bab I tentang Ketentuan Umum bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 13. Yang menjadi ukuran dampak penting terhadap lingkungan hidup adalah : a. jumlah manusia, b. luas wilayah persebaran dampak, c. Lamanya dampak ber langsung dapat berlangsung pada suatu tahap tertentu atau pada berbagai tahap dari kelangsungan uasah atau kegiatan, d.Intensitas dampak mengandung pengertian perubahan lingkungan yang timbul bersifat hebat atau drastic serta berlangsung diareal yang luas dalam kurun waktu yang relative singkat, e.Komponen lingkungan lain yang terkena dampak, f. Sifat kumulatif dampak dan g. berbalik dan tidak berbaliknya dampak ada yang bersifat dapat dipulihkan dan terdapat pula yang tidak dapat dipulihkan walaupun dengan upaya manusia untuk memulihkannya kembali. 14. Pengaturan sanksi hukumam terhadap bencana situ gintung tersebut dapat diancam hukuman sebagai mana yang diatur pelaku dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 mengatur mengenai sangsi berupa sanksi Administrasi diatur oleh Pasal 25 sampai dengan Pasal 27 dan sanksi Pidana diatur oleh Pasal 41 sampai dengan Pasal 48, sangsi administrasi. 15. Secara factor intermal adalah dengan melihat kepada instrumental kepada undang-undang lingkungan hidup sebagai payung hukum dan pendekatan alam sebagai landasan dasar, didasari kepada asas, tujuan dan sasaran, dimana pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia. Didasari pendekatan instrumental bertujuan untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, dimana pada setiap kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, karena mungkin saja pada setiap kegiatan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup tersebut. 16. Pada permasalahan Jebolnya Tanggul Situ Gintung yang berakibat banyak memakan korban yang meninggal dunia dan rusaknya ekosistem maupun infrastruktur diwilayah Situ Gintung tersebut, yang berkaitan dengan upaya Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat, didalam

upaya untuk melakukan pengawasan, perawatan serta pencegahan terhadap peristiwa jebolnya tanggul situ gintung tersebut. Jika berdasarkan UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup, terlihat bahwa para instansi terkait diwilayah lingkungan provonsi Banten, Perintahan Daerah Tanggerah, Wali Kota Jakarta Selatan dan Dirjen PU serta Menteri Lingkungan Hidup, berkewajiban mempertanggung jawabkan sebagai akibat, kelalaian terhadap peristiwa jebolnya tanggul situ gintung, telah melan cukup banyak korban dan kerugian yang sangat besar sekali. 17. Permasalahan secara faktor eskternal, dengan melihat kepada instrumental perundangundangan tentang lingkungan hidup yang merupakan sebagai payung hukum, sangat dipengaruhi oleh ketentuan perlindungan lingkungan hidup yang berlaku secara internasional dengan tujuan untuk menjaga dan meletarikan danau-danau yang terdapat dilingkungan atau diwilayah kekuasaan negara anggota yang tergabung/diwadahi oleh organisasi lingkungan hidup sedunia (Green Peace). 18 Undang-Undang Lingkungan Hidup yang berlaku di Indonesia yang secara eksternal mengadopsi Undang-Undang Lingkungan Hidup Internasional seperti Racangan Peraturan Presidengan dan Rancangan Peraturan Pemerintah, yang semuanya itu mengaju kepada Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 dan undang-undang ini mengadopsi dari undang-undang lingkungan hidup Internasional yang tergabung didalam wadah lingkungan hidup Internasional.

DAFTAR PUSTAKA Adrin Tohari, Ketua Tim Kajian Likuifaksi dan Sumber Daya Air Pusat Penelitian (Puslit) Geoteknologi LIPI,"Ini tidak bisa dikatakan bencana alam karena bangunan itu dibangun manusia, bukan bangunan sim salabim yang tahu-tahu ada di situ. Jadi berada dalam kontrol manusia. Kalau longsorannya dari bukit mungkin bisa dikatakan bencana alam," Jumat (28/3/2009) malam. Andteas H. Roth. Sebagai yang dikutip oleh Gautama, Sudargo..Adanya kesepakatan Universal, bahwa suatu negara diperbolehkan tidak mengijinkan orang-oreang lain selain warganegaranya sendiri untuk memperoleh benda-benda tetap diwilayh kekuasaannya. Dimana Roth merumuskan Rule Number 6 yaitu yang berdasarkan Hukum Internasional. Keistimewaan yang diberikan kepada orang-orang asing untuk berparttisipasi dalam kehidupan ekonomi negara dimana ia bertempat tinggal, tidak sampai meliputi pemilikan semua atau benda-benda tertentu, baik benda bergerak maupun benda tetap. Dalam Advies der Agrarische Commisale yang tercetak, Landsdrukkerij 1930, terdapat segala sesuatu yang menurut pendapat saya merupakan kecaman sehat terhadap masalah ini. Keberatan-keberatan yang menentang advies tadi, adalah terdapat dalam verslag dari panitia untuk mempelajari Advoes Der Agrarische Commisale 1932, panitya mana dibentuk oleh perkumpulan Indie-Nederland. ------------Donald Black. Sociological Justice, (New York : Academic Pres, 1989).. ------------Donald Black.The Behavior of Law, ( New York,Academic Press, 1976) ------------Hadilusuma, Hilman. Sejarah Hukum Adat Indonesia. Penerbit Alumni, Bandung tahun1978. Hartono, Sunarjati. Capita Selecta Perbandingan Hukum. Alumni (Stensil) Bandung, 1970, hal. 21-23. Ilmu Kenyataan hukum dalam masyarakat, yaitu sosilogi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. -------------JAKARTA, KOMPAS - Senin, 30 Maret 2009 04:43 WIB -------------JAKARTA (Lampost): Minggu, 29 Maret 2009, Jebolnya Situ Gintung, Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat, Tangerang, Banten, pada Jumat (27-3) ----------Kartohadiprodjo, Soedirman. Hukum Nasional beberapa catatan, Bina tjipta, 1968, Koentjaraningrat. Rintangan-Rintangan mental dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Terbitan tak berkala, seri no. 12, Lembaga Reasearch Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1969, hal. 19. -------------KEPMEN LH No. 57 Tahun 1995 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Usaha atau Kegiatan Terpadu/Mulsektoral. -------------KEPMEN LH No. 39Tahun 1996 tentang Jenis Usaha atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. -------------KEPMEN LH No. 51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. -------------KEPMEN LH No. 52MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel. -------------KEPMEN LH No. 58MENLH/121995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Rumah Sakit. -------------KEPMEN LH No. 42ENLH/10/1996 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi.

-------------KEPMEN LH No. Kep-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. -------------KEPMEN LH No. Kep-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak.. -------------KEPMEN LH No. Kep-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan. -------------KEPMEN LH No. Kep-49/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Getaran. -------------KEPMEN LH No. Kep-50/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebauan. Media Cina, BEIJING -- Dua media terkemuka China, Xinhua dan Harian China, mengangkat berita bencana jebolnya Tanggul Situ Gintung di Ciputat, Tengerang sebagai berita, By Republika Newsroom,Minggu, 29 Maret 2009 pukul 00:52:00 Poesponoto, Soebakti. Asa-asas dan susunan Hukum Adat. Penerbit : Pradnya Paramita. Jakarta, 1976. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat Hukum Adat (87). Prof.DR.H.Zainuddi Ali,MA, Sosiologi Hukum. Penerbit : Yayasan Mayarakat Indonesia Baru. Palu. Prent K. Adisubrata, j. Porwadarminta. Kamus Latin Indonesia Yayasan : Kanisius. Semarang 1960. Hal.9 ( Buku . Prof. Budi Harsono). -------------PP. No. 51 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya. -------------PP. No. 12 Tahun 199 tentang Perubahan PP 19 Tahun 1994 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. -------------PP. No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air. -------------PP. No. 51 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya. -------------PP. No. 12 Tahun 199 tentang Perubahan PP 19 Tahun 1994 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. -------------PP. No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air. Roscoe Pound, Interpretation Of Legal History. (USA : Hlmes Heaxh, Florida, 1986). Reglement omtrent de Partikuliere Landerijen bewesten de Cimanuk op java (S.1912-422). Satjipto.R. Ilmu Hukum. (Bandung, Alumni, 1982),hal.310 dan R.Othe Salman, Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, (Bandung : Penerbit CV. ASrmico, 1992)hal.13. dan H.L.A, The Consept of Law, (London Oxford University Pres, 1961), hal 32. Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Remadja Karya, 1985). Soewardu. Sekitar Kodifikasi Hukum Nasional di Indonesia Jakarta, 1950, hal..60. Ceramah Koesano tentang Pembangunan Hukum Adat. Star Nauta Carsten, C- Verwer, J. Proe Advies Derde Juristen Conggres. Di Jakarta disertai Verwer J 1934. De Bataviasche Gronthuur, Een Europeesch Gewoonterechtelijke Opstalfiguur.NV.Drukkerij J.de Boer, Tegal, 1934. Subekti,R. ASEAN LAW ASSOCIATION. Harian Sinar Harapan tgl 25, Jakarta., 1984. di Singapura, bahwa dalam pembaharuan dan pembinaan Hukum Nasional, kita perlu belajar dari perkembangan Hukum Negara tetangga lain, namun diingatkan, dalam pembaharuan Hukum Nasional sebanyak-banyaknya, kita harus berpedoman kepada falsafah bangsa kita yaitu Pancasila dan UUD 1945. Ditegaskan bahwa para ahli Hukum kita tidak kalah dari para ahli Hukum dari negara-negara ASEAN yang lain. Dan sebagai bukti Prof. Subekti menunjuk kepada prodak Undang-Undang Pokok Agraria, yang dinilainya sebagai produk hukum yang hebat. Undang-Undang itu merupakan system hukum kita sendiri, yang dengan tegas membuang jauh-jauh hukum

tanah Belanda yang tercerai-berai, dan sekarang ini kita mempunyai Hukum Tanah yang seragam. Ter Haar, Bzn.B. Beginselen En Stelsel Van Het Adar Recht. J.B. Woters Groningen. Jakaarta, 1950. -------------Uraian, Sorjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum. (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1989), Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus Provinsi Papua (87). ------------UU Darurat No. 1 tahun 1952 ko UU No. 24 tahun 1954 tentang pemindahan hak tanahtanah dan barang-barang tetap lainnya yang bertakluk pada hukum barat (LN.1952-1 jo LN.1954-78. TLN.626). Untuk jawa dan madura, kecuali daerah swapraja : Agrarisch Besluit (S.1870-118) dan Ordonnantie.S.1872-237a jo S.1913-699). Untuk luar jawa dan madura, kecuali daerah swapraja : S.1874-94f (Sumatra) diganti dengan Erfpachts, S.1877-55 (keresidenan Menado) Ordonnantie Buitengewesten, S. 1888-58 (Zuider-en Oosterafdeking Borneo) (S.1914-367), S.1910-61 Wefpacht Ordonnantie Zelfberturende Landschappen Buitengewestenm S. 1915-474 Pemberian kewenangan kepada penguasa swapraja untuk memberikan hak-hak barat atas tanah (21). Ward, Barbara dan Rene, Dubos. Satu Bumi : Perawatan dan Pemeliharaan Sebuah Planet Kecil. Lembaga Ekologi Universitas Pajajaran dan Yayasan Obor. Jakarta :Gramedia, 1974. -------------www. Nusantaraku.com, 29 Maret 2009.