bencana dan ketahanan sosial

4
Bencana dan Ketahanan Sosial Oleh Yanuardi Syukur Dosen Antropologi Sosial Universitas Khairun Ternate Bencana demi bencana kembali melanda. Di beberapa tempat di Jawa terjadi banjir bandang—termasuk di Donggala Sulawesi Tengah. Curah hujan yang turun massif (setelah beberapa bulan kemarau) di Makassar mengakibatkan dinding pembatas sebuah perumahan ambruk dan tidak hanya satu korban berjatuhan. Di Galela (Halmahera Utara), beberapa warga dinyatakan meninggal dan hilang di laut akibat sebuah cuaca buruk. Erupsi Gamalama yang mengeluarkan lahar dingin dan debu vulkanik juga membuat warga kota Ternate dibuat panik. Menghadapi bencana yang datang bertubi-tubi itu, ada baiknya agar kita memperkuat ketahanan sosial. Ketahanan sosial secara mudah dipahami sebagai ketahanan dari masyarakat baik di tingkat individu, keluarga, organisasi sosial, dan stakeholder sebuah masyarakat. Untuk memperkuat ketahanan ini, maka semua unsur masyarakat perlu bahu membahu saling membantu menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tahan terhadap gempa. Apa langkahnya agar ketahanan sosial menghadapi gempa itu ada? Pertama, memperkuat ketahanan pribadi. Sebuah pepatah lama mengatakan “dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat.” Mensana in corpore sana, begitu bahasa asingnya. Penguatan ketahanan pribadi terkait sekali dengan kekuatan fisik dan non fisik. Secara fisik, masing-masing kita haruslah menjaga

Upload: fitta-amellia-lestari

Post on 04-Jan-2016

3 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Bencana Dan Ketahanan Sosial

TRANSCRIPT

Page 1: Bencana Dan Ketahanan Sosial

Bencana dan Ketahanan Sosial

Oleh Yanuardi Syukur

Dosen Antropologi Sosial Universitas Khairun Ternate

Bencana demi bencana kembali melanda. Di beberapa tempat di Jawa terjadi banjir

bandang—termasuk di Donggala Sulawesi Tengah. Curah hujan yang turun massif (setelah

beberapa bulan kemarau) di Makassar mengakibatkan dinding pembatas sebuah perumahan

ambruk dan tidak hanya satu korban berjatuhan. Di Galela (Halmahera Utara), beberapa

warga dinyatakan meninggal dan hilang di laut akibat sebuah cuaca buruk. Erupsi Gamalama

yang mengeluarkan lahar dingin dan debu vulkanik juga membuat warga kota Ternate dibuat

panik.

Menghadapi bencana yang datang bertubi-tubi itu, ada baiknya agar kita memperkuat

ketahanan sosial. Ketahanan sosial secara mudah dipahami sebagai ketahanan dari

masyarakat baik di tingkat individu, keluarga, organisasi sosial, dan stakeholder sebuah

masyarakat. Untuk memperkuat ketahanan ini, maka semua unsur masyarakat perlu bahu

membahu saling membantu menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tahan terhadap

gempa.

Apa langkahnya agar ketahanan sosial menghadapi gempa itu ada? Pertama,

memperkuat ketahanan pribadi. Sebuah pepatah lama mengatakan “dalam tubuh yang kuat

terdapat jiwa yang sehat.” Mensana in corpore sana, begitu bahasa asingnya. Penguatan

ketahanan pribadi terkait sekali dengan kekuatan fisik dan non fisik. Secara fisik, masing-

masing kita haruslah menjaga kesehatannya dengan berbagai cara seperti berolahraga yang

rutin. Orang yang fisiknya kuat lebih mampu menahan beban hidup ketimbang fisiknya sakit-

sakitan. Selain fisik, faktor non fisik juga perlu mendapatkan perhatian. Ini terkait dengan

kesehatan mental yang dipengaruhi oleh pengalaman hidup, sikap diri, dan keyakinan.

Seorang yang yakin pada Tuhan cenderung lebih kuat ketimbang mereka yang tidak yakin.

Maka, penguatan kepercayaan pada Tuhan rasanya penting untuk konteks ini.

Kedua, menjauhi daerah rawan bencana. Dari pengalaman umumnya kita sudah tahu

di mana daerah yang rawan, mana yang tidak. Di daerah yang rawan itu ada baiknya kita

tidak tinggal secara permanen dengan membuat rumah. Lebih baik mencari tempat lain yang

relatif aman jika suatu saat terjadi bencana. Daerah yang berdekatan dengan turunnya lahar

Page 2: Bencana Dan Ketahanan Sosial

sebaiknya tidak dijadikan tempat tinggal, karena untuk gunung yang masih aktif sangat

rentan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jika ada yang membuat rumah di sekitar daerah

rawan itu, maka tugas masyarakat bersama untuk mengingatkan, begitu juga pemerintah

untuk bertindak tegas sebagai langkah preventif jika suatu saat ada bencana.

Ketiga, menyiapkan antisipasi bencana. Pemerintah perlu mengantisipasi datangnya

bencana dengan menyiapkan beberapa keperluan seperti obat-obatan, masker, dan makanan

yang mudah siap sajinya. Artinya, harus ada alur koordinasi antara pemerintah dengan

masyarakat jika terjadi bencana. Kemana harus dievakuasi, bagaimana kondisi tempat

evakuasi, bagaimana agar tidak terjadi penyakit seperti infeksi saluran pernapasan perlu

dipikirkan. Ada kesan selama ini pemerintah bertindak “tiba masa tiba akal.” Saat bencana

sudah terjadi, barulah pemerintah terkaget-kaget. Seharusnya, hal ini sudah diantisipasi jauh-

jauh hari. Mengadakan pelatihan penanggulangan bencana perlu sekali di wilayah yang

rentan terjadi bencana.

Keempat, kerjasama antara masyarakat. Haruslah ada kerjasama antara masyarakat.

Jika terjadi bencana, maka kita perlu saling bahu membahu membantu. Jika di sebuah

wilayah cukup parah dan di wilayah kita tidak, maka ada baiknya dengan besar hati kita

bantu saudara-saudara yang menjadi pengungsi di dalam negeri sendiri itu. Rumah-rumah

yang besar ada baiknya tidak hanya menjadi pajangan atau kebanggaan personal. Alangkah

lebih baik jika rumah yang besar itu digunakan untuk membantu dan menjamu saudara kita

semasyarakat yang sedang kesusahan. Dalam bahasa sosiologi, manusia disebut sebagai

homo socius (makhluk sosial) yang membutuhkan socius (kawan). Tak mungkin kita bisa

sukses jika tidak ada bantuan dari berbagai macam orang.

Keempat hal di atas tentu saja sudah ada yang dilakukan oleh masyarakat, namun

tidak jarang kita kerap lupa. Saat bencana kita lebih mementingkan diri sendiri, dan kurang

memiliki kesadaran untuk membantu secara maksimal. Sebagai sesama masyarakat, maka

saling membantu dan membuka diri (bahkan menawarkan bantuan kepada yang kesusahan)

penting sekali untuk dibudayakan. Inilah sikap proaktif membantu dengan kesadaran bahwa

kita sama-sama manusia yang perlu (bahkan harus) saling membantu. ***