bencana dan ketahanan sosial
DESCRIPTION
Bencana Dan Ketahanan SosialTRANSCRIPT
Bencana dan Ketahanan Sosial
Oleh Yanuardi Syukur
Dosen Antropologi Sosial Universitas Khairun Ternate
Bencana demi bencana kembali melanda. Di beberapa tempat di Jawa terjadi banjir
bandang—termasuk di Donggala Sulawesi Tengah. Curah hujan yang turun massif (setelah
beberapa bulan kemarau) di Makassar mengakibatkan dinding pembatas sebuah perumahan
ambruk dan tidak hanya satu korban berjatuhan. Di Galela (Halmahera Utara), beberapa
warga dinyatakan meninggal dan hilang di laut akibat sebuah cuaca buruk. Erupsi Gamalama
yang mengeluarkan lahar dingin dan debu vulkanik juga membuat warga kota Ternate dibuat
panik.
Menghadapi bencana yang datang bertubi-tubi itu, ada baiknya agar kita memperkuat
ketahanan sosial. Ketahanan sosial secara mudah dipahami sebagai ketahanan dari
masyarakat baik di tingkat individu, keluarga, organisasi sosial, dan stakeholder sebuah
masyarakat. Untuk memperkuat ketahanan ini, maka semua unsur masyarakat perlu bahu
membahu saling membantu menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tahan terhadap
gempa.
Apa langkahnya agar ketahanan sosial menghadapi gempa itu ada? Pertama,
memperkuat ketahanan pribadi. Sebuah pepatah lama mengatakan “dalam tubuh yang kuat
terdapat jiwa yang sehat.” Mensana in corpore sana, begitu bahasa asingnya. Penguatan
ketahanan pribadi terkait sekali dengan kekuatan fisik dan non fisik. Secara fisik, masing-
masing kita haruslah menjaga kesehatannya dengan berbagai cara seperti berolahraga yang
rutin. Orang yang fisiknya kuat lebih mampu menahan beban hidup ketimbang fisiknya sakit-
sakitan. Selain fisik, faktor non fisik juga perlu mendapatkan perhatian. Ini terkait dengan
kesehatan mental yang dipengaruhi oleh pengalaman hidup, sikap diri, dan keyakinan.
Seorang yang yakin pada Tuhan cenderung lebih kuat ketimbang mereka yang tidak yakin.
Maka, penguatan kepercayaan pada Tuhan rasanya penting untuk konteks ini.
Kedua, menjauhi daerah rawan bencana. Dari pengalaman umumnya kita sudah tahu
di mana daerah yang rawan, mana yang tidak. Di daerah yang rawan itu ada baiknya kita
tidak tinggal secara permanen dengan membuat rumah. Lebih baik mencari tempat lain yang
relatif aman jika suatu saat terjadi bencana. Daerah yang berdekatan dengan turunnya lahar
sebaiknya tidak dijadikan tempat tinggal, karena untuk gunung yang masih aktif sangat
rentan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jika ada yang membuat rumah di sekitar daerah
rawan itu, maka tugas masyarakat bersama untuk mengingatkan, begitu juga pemerintah
untuk bertindak tegas sebagai langkah preventif jika suatu saat ada bencana.
Ketiga, menyiapkan antisipasi bencana. Pemerintah perlu mengantisipasi datangnya
bencana dengan menyiapkan beberapa keperluan seperti obat-obatan, masker, dan makanan
yang mudah siap sajinya. Artinya, harus ada alur koordinasi antara pemerintah dengan
masyarakat jika terjadi bencana. Kemana harus dievakuasi, bagaimana kondisi tempat
evakuasi, bagaimana agar tidak terjadi penyakit seperti infeksi saluran pernapasan perlu
dipikirkan. Ada kesan selama ini pemerintah bertindak “tiba masa tiba akal.” Saat bencana
sudah terjadi, barulah pemerintah terkaget-kaget. Seharusnya, hal ini sudah diantisipasi jauh-
jauh hari. Mengadakan pelatihan penanggulangan bencana perlu sekali di wilayah yang
rentan terjadi bencana.
Keempat, kerjasama antara masyarakat. Haruslah ada kerjasama antara masyarakat.
Jika terjadi bencana, maka kita perlu saling bahu membahu membantu. Jika di sebuah
wilayah cukup parah dan di wilayah kita tidak, maka ada baiknya dengan besar hati kita
bantu saudara-saudara yang menjadi pengungsi di dalam negeri sendiri itu. Rumah-rumah
yang besar ada baiknya tidak hanya menjadi pajangan atau kebanggaan personal. Alangkah
lebih baik jika rumah yang besar itu digunakan untuk membantu dan menjamu saudara kita
semasyarakat yang sedang kesusahan. Dalam bahasa sosiologi, manusia disebut sebagai
homo socius (makhluk sosial) yang membutuhkan socius (kawan). Tak mungkin kita bisa
sukses jika tidak ada bantuan dari berbagai macam orang.
Keempat hal di atas tentu saja sudah ada yang dilakukan oleh masyarakat, namun
tidak jarang kita kerap lupa. Saat bencana kita lebih mementingkan diri sendiri, dan kurang
memiliki kesadaran untuk membantu secara maksimal. Sebagai sesama masyarakat, maka
saling membantu dan membuka diri (bahkan menawarkan bantuan kepada yang kesusahan)
penting sekali untuk dibudayakan. Inilah sikap proaktif membantu dengan kesadaran bahwa
kita sama-sama manusia yang perlu (bahkan harus) saling membantu. ***