penanggulangan bencana sosial ekonomi pasca gempa sumbar 30 september 2009
DESCRIPTION
Penanggulangan Bencana Sosial Ekonomi Pasca Gempa Sumbar 30 September 2009TRANSCRIPT
TUGAS PAPER MATA KULIAH MANAJEMEN RESIKO BENCANA
PENANGGULANGAN BENCANA PASCA GEMPA SUMATERA BARAT 30 SEPTEMBER 2009 TERHADAP DAMPAK SOSIAL DAN EKONOMI
Oleh ARMAIKI YUSMUR
(A153140031)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
1
PENDAHULUAN
Sejarah Gempa di Sumatera Barat 30 September 2009
Tanggal 30 September 2009 pukul 17:16:09 WIB seluruh wilayah Sumatera Barat
merasakan guncangan gempa bumi yang sangat kuat, guncangan yang
disebabkan oleh gempabumi tersebut juga dirasakan di kota-kota Sumatera
lainnya, bahkan guncangan tersebut terasa sampai ke Singapura, Malaysia,
Thailand dan juga di Jakarta dengan intensitas III MMI. Gempabumi dengan
kekuatan 7.9 SR dengan kedalaman 71 km dan pusat gempa pada 0.84 LS – 99.65
BT ini kurang lebih sekitar 57 Km Barat Daya Pariaman, Sumatera Barat, gempa
ini telah memporak-porandakan hampir seluruh wilayah Sumatera Barat
khususnya wilayah pantai Barat Sumbar (gambar 1).
Gambar 1. Gambaran dampak gempa Sumatera Barat
(sumber : https://rovicky.wordpress.com)
Dampak bencana gempa bumi Padang teras hampir merata di semua
kabupaten/kota di Sumatera Barat. Sebanyak 16 Kabupaten/Kota di Provinsi
Sumatera Barat yang mengalami dampak gempa tersebut. Jumlah korban
tersebar hampir di seluruh kabupaten tersebut (gambar 2). Gempabumi tersebut
telah menyebabkan sedikitnya 1100 orang meninggal, 2180 orang luka-luka dan
2650 bangunan rumah rusak berat/ringan termasuk gedung-gedung kantor,
sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, pasar, jalan, dan jembatan (lampiran 1).
Kerusakan paling parah yang terjadi di sepanjang pantai Barat Sumatera Barat
juga telah menyebabkan jaringan listrik dan komunikasi terputus. Sebagian besar
korban meninggal disebabkan karena tertimpa reruntuhan bangunan
dikarenakan kontruksi bangunan yang tidak aman. Akibat gempa juga terjadi
eksodus besar-besaran warga yang tinggal disekitar pantai ke tempat lain karena
adanya isu akan datangnya gelombang tsunami.
Gambar 2. Peta jumlah korban jiwa akibat gempa di Provinsi Sumatera Barat
Sumber: Pranoto, 2011
Payung Hukum Penanggulangan Bencana Yang Berdampak kepada Bidang
Sosial dan Ekonomi di Sumatera Barat
Banyaknya bencana alam yang terjadi di wilayah Indonesia, membuat
pemerintah pusat mengesahkan peraturan mengenai kebencanaan yang
berimplikasi secara signifikan terhadap pemerintah di semua jajaran, dan juga
terhadap pemerintah daerah. Adapun peraturan pemerintah yang telah disahkan
mengenai penanggulangan bencana yang terkait kepada bidang sosial dan
ekonomi di Sumatera Barat diantaranya adalah :
3
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang
Pedoman Umum Mitigasi Bencana
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 38 Tahun 2008 tentang Penerimaan
dan Pemberian Bantuan Organisasi Kemasyarakatan dan Kepada Pihak
Asing
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang
Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana
Daerah
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2008 tentang
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2008 tentang
Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2008 tentang
Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah
dalam Penanggulangan Bencana
9. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 360-1394-2009 tanggal 1
Oktober 2009 tentang Surat Pernyataan Gubernur Sumatera Barat
tentang Bencana Alam di Provinsi Sumatera Barat, yang isinya antara lain
tentang pernyataan terjadinya Bencana Alam Gempa Bumi dengan
kekuatan 7,9 SR dan 6,2 SR pada hari Rabu tanggal 30 September 2009
jam 17.18 WIB yang mencakup 11 daerah Kabupaten/Kota di Sumatera
Barat yaitu: Kota Padang, Kota Pariaman, Kota Padang Panjang, Kota
Bukittingi, Kota Solok, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir
Selatan, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten
Pasaman, dan Kabupaten Solok yang mengakibatkan jatuhnya korban
jiwa, harta benda, dan kerusakan fisik sarana serta prasarana umum
10. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 360-1390/SK-2009 tanggal 1
Oktober 2009 tentang Pelaksanaan Kegiatan Tanggap Darurat dan
Recovery Penanggulangan Bencana Gempa Bumi di Provinsi Sumatera
Barat
11. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 360/32/Satkorlak PB-2009
tanggal 3 Oktober 2009 tentang Alokasi Distribusi Bantuan Bencana Alam
Gempa Bumi 30 September 2009 di Sumatera Barat, yang isinya
menyatakan ketentuan alokasi distribusi bantuan sebagai berikut:
- Kota Padang : 30%
- Kabupaten Padang Pariaman : 25%
- Kabupaten Agam : 10%
- Kota Pariaman : 10%
- Kabupaten Pesisir Selatan : 10%
- Cadangan atau lain Kab/Kota : 15%
12. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 360-1391/SK-2009 tanggal 1
Oktober 2009 tentang Pemberian Bantuan untuk Korban Meninggal
Dunia, Bantuan Lauk Pauk, dan Bantuan Transportasi bagi Petugas Posko
Bencana Alam Gempa Bumi 30 September 2009, yang isinya antara lain
tentang kriteria bantuan untuk dampak gempa sebagai berikut:
- Bantuan korban meninggal dunia sebesar Rp2.500.000,00;
- Bantuan biaya perawatan di Rumah Sakit untuk korban luka berat;
- Uang lauk pauk sebesar Rp5.000,00/hari/kk untuk korban rumah
rusak berat;
- Bantuan operasional (transportasi) petugas posko sebesar
Rp30.000,00/orang/hari.
13. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 360-51-2009 tanggal 17
Oktober 2009 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Sumatera
Barat Nomor 360-1391/SK-2009 tanggal 1 Oktober 2009 tentang
Pemberian Bantuan untuk Korban Meninggal Dunia, Bantuan Lauk Pauk,
dan Bantuan Transportasi bagi Petugas Posko Bencana Alam Gempa Bumi
30 September 2009, yang isinya menyatakan bahwa: kriteria bantuan
untuk dampak gempa dirubah sebagai berikut:
- Bantuan bagi korban yang meninggal dunia sebesar
Rp2.500.000,00;
- Bantuan bagi korban yang mengalami luka berat diberikan biaya
perawatan selama dirawat di Rumah Sakit;
- Bantuan Uang Lauk Pauk untuk korban yang rumahnya rusak
berat sebesar Rp5.000,00 per jiwa dan maksimal 5 jiwa per KK;
- Bantuan operasional bagi petugas posko penanggulangan bencana
diberikan bantuan transportasi sebesar Rp30.000,00/orang/hari.
14. Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 360-459-2009
Tanggal 31 Oktober 2009 tentang Penghentian Pelaksanaan Tanggap
Darurat Penanggulangan Bencana Gempa Bumi di Provinsi Sumatera
Barat.
Adanya Peraturan dan Keputusan Gubernur tentang bantuan sosial dan ekonomi
untuk masyarakat diturunkan sampai kepada Keputusan Bupati dan Walikota
dalam penangulangan bencana. Contohnya di Kabupaten Pariaman. Keputusan
Bupati Padang Pariaman Nomor 109/KEP/BPP/2009 tanggal 8 Oktober 2009
tentang Bantuan Beras dan Uang Lauk Pauk (ULP) bagi Korban Bencana Gempa
5
Bumi tanggal 30 September 2009 di Kabupaten Padang Pariaman. Penerbitan
Surat Keputusan diperuntukkan bagi korban bencana gempa 30 September 2009
yang rumahnya rusak berat/total/roboh dengan memberikan bantuan beras
sebesar 400 gram dan Uang Lauk Pauk (ULP) sebesar Rp5.000,00 per
penduduk/hari selama 6 (enam) hari.
Munculnya beragam peraturan pemerintah mengenai kebencanaan ini didorong
oleh keprihatinan masyarakat sipil, kerawanan terhadap bencana alam,
lemahnya penanganan bencana alam dan yang lebih kentara karena terjadinya
beragam bencana besar semenjak tahun 2004. Kondisi bahwa di Indonesia yang
rawan terhadap bencana alam, penduduknya yang rentan pasca bencana alam,
sementara kapasitas pemerintah dalam penanggulangan bencana juga masih
lemah. Hal-hal tersebut yang mendasari pentingnya payung hukum yang secara
legal dipergunakan untuk menangani beragam bencana alam di Indonesia.
Pelaksanaan Penanggulangan Bencana di Sumatera Barat
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019 dibentuk untuk
mendorong terlaksananya penyelenggaraan penanggulangan bencana di
Indonesia secara terarah, terkoordinasi dan terpadu sebagaimana diamanatkan
oleh tujuan penanggulangan bencana Pasal 4 UU No. 24/2007. Dalam rangka
memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan penanggulangan
bencana, disusunlah Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana yang
pada prinsipnya mengatur tahapan bencana meliputi pra bencana, saat tanggap
darurat dan pasca bencana.
UU No. 24/2007 menjelaskan bahwa kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta
melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Selanjutnya, tanggap darurat
bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat
kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang
rneliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta
pemulihan prasarana, dan sarana.
UU No. 24/2007 dan peraturan penjabarannya yaitu PP No. 21/2008 secara
konsisten menjabarkan jenis-jenis penyelenggaran kesiapsiagaan. Termasuk
dalam penyelenggaraan kesiapsiagaan tersebut antara lain melalui (1)
penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana, (2)
pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini, (3)
penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar, (4)
pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap
darurat, (5) penyiapan lokasi evakuasi, (6) penyusunan data akurat, informasi,
dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana, dan (7) penyediaan
dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan
prasarana dan sarana.
Sedikit berbeda, Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana (Perka BNPB No. 4/2008) menegaskan pilihan tindakan
penyelenggaraan kesiapsiagaan. Termasuk penyelenggaraan kesiapsiagaan
antara lain melalui (1) pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur
pendukungnya, (2) pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sektor
penanggulangan bencana berupa search and rescue, sosial, kesehatan, prasarana
dan pekerjaan umum, (3) inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan, (4)
penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik. (5) penyiapan sistem
informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna mendukung tugas
kebencanaan, (6) penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini,
(7) penyusunan rencana kontinjensi, dan (8) mobilisasi sumber daya personil
maupun prasarana dan sarana peralatan.
BNPB belum membuat peraturan yang secara langsung dapat menjadi acuan
atau kerangka kerja delapan kegiatan kesiapsiagaan seperti disebutkan di atas,
serta belum mengembangkan sebuah mekanisme kesiapsiagaan yang lebih
terstruktur. Namun demikian, BNPB telah menerbitkan peraturan-peraturan
yang secara tidak langsung dapat mendorong penyelenggaraan kesiapsiagaan
dengan lebih baik. Peraturan-peraturan tersebut antara lain Pedoman
Pengelolaan Bantuan Logistik pada Saat Keadaan Darurat, Pedoman Pengelolaan
Data dan Informasi Bencana Indonesia, Pedoman Manajemen Logistik dan
Peralatan, Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana, Standarisasi Data
Kebencanaan, Pedoman Pergudangan, Pedoman Bantuan Peralatan, Pedoman
Bantuan Logistik, Pedoman Standarisasi Logistik Penanggulangan Bencana, serta
Pedoman Standarisasi Peralatan Penanggulangan Bencana.
Upaya penyelenggaraan PB untuk operasi tanggap darurat bencana ini juga
mendapatkan perhatian serius dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Dalam
arahan Presiden pada 12 September 2007 di Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi
Sumatera Barat pada saat gempabumi Bengkulu dan Sumatera Barat (7,9 SR)
antara lain (1) Pemerintah daerah kabupaten/kota menjadi penanggung jawab
utama penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya, (2) Pemerintah
daerah provinsi segera merapat ke daerah bencana serta mengerahkan seluruh
sumberdaya yang ada di tingkat provinsi, (3) Pemerintah memberi bantuan
sumberdaya yang secara ekstrim tidak tertangani daerah, (4) Melibatkan TNI dan
7
POLRI, dan (5) Melaksanakan PB secara dini untuk menyelamatkan lebih banyak
jiwa manusia.
Hal penting yang harus dilakukan sebelum melakukan tanggap darurat adalah
menyatakan status darurat seperti dimandatkan oleh Pasal 51 UU No. 24/2007.
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa skala atau tingkat bencana
ditetapkan oleh pimpinan daerah yang bersangkutan, sedang untuk skala
nasional ditetapkan oleh Presiden. Keharusan ini selanjutnya diatur oleh
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana (Perka BNPB No.
10/2008). Payung hukum "pembeda" skala ini belum tersusun sehingga banyak
tanggap darurat yang dilakukan bersifat "abu-abu".
Dampak Sosial dan Kesehatan Pasca Gempa Bumi di Sumatera Barat
Dampak negatif. Jumlah penduduk di Sumatera Barat dan kepadatan
penduduknya dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui
kecenderungan penyebaran penduduk di Sumatera Barat. Jumlah penduduk
yang besar cenderung mengelompok pada pusat-pusat kota tertentu sehingga
menyebabkan pola penyebaran bervariasi. Kepadatan penduduk yang tinggi
pada umumnya dapat dijumpai pada daerah-daerah yang mempunyai aktifitas
tinggi, adanya sarana transportasi yang memadai dan keadaan sosial ekonomi
yang lebih baik. Sebaliknya kepadatan penduduk yang rendah pada umumnya
terdapat di daerah-daerah yang aktifitas ekonomi yang relatif masih rendah dan
keadaan sarana transportasi yang masih sulit.
Berdasarkan data jumlah penduduk tahun 2010 dari BPS, jumlah penduduk
Provinsi Sumatera Barat adalah 4.846.909 jiwa yang tersebar di 19 kabupaten
dan Kota. Dari jumlah tersebut sebanyak 2.404. 377 jiwa adalah laki-laki dan
2.442.532 jiwa adalah perempuan. Jika dibandingkan dengan data pada akhir
tahun 2009 yang tercatat sebagai penduduk Provinsi Sumatera Barat sebanyak
4.795.202 jiwa, artinya dalam setahun terakhir telah terjadi penambahan jumlah
penduduk sebanyak 51.707 jiwa. Dengan luasan wilayah 42.297,30 km2, maka
kepadatan penduduk Provinsi sumatera Barat pada tahun 2010 adalah 115 jiwa
per km2.
Kerusakan dan kerugian bidang sosial yang timbul akibat kejadian bencana
gempa bumi di Provinsi Sumatera Barat, sesuai hasil penilaian yang dilakukan
intansi-instansi berwenang, di bawah koordinasi BNPB menunjukan nilai Rp. 1,5
triliun yang beliputi sub-sektor pendidikan sebesar Rp. 588,7 miliar; sub-sektor
kesehatan Rp. 611,5 miliar; sub-sektor agama dan budaya Rp. 307,2 miliar; serta
sub-sektor sosial sendiri mencapai Rp. 18,9 miliar. Dari distribusi nilai kerusakan
dan kerugian tersebut (tabel 1), terlihat bahwa yang paling terkena dampak
akibat terjadinya gempa bumi adalah sub-sektor pendidikan, dan sub-sektor
kesehatan pada urutan berikutnya. Akibat yang ditimbulkan dari rusaknya
infrastruktur sektor sosial adalah terhentinya kegiatan pelayanan pendidikan dan
kesehatan terhadap masyarakat.
Tabel 1. Penilaian Kerusakan dan Kerugian Sektor Sosial (milyar) Sektor
Dampak Bencana Kepemilikan Kerusakan Kerugian Total Swasta Pemerintah
Sosial 1.454,1 72,3 1.526,3 633,9 892,2
Pendidikan 563,7 25 588,7 103,5 485,1
Kesehatan 569,1 42,4 611,5 223 388,4
Budaya&Agama 304,2 3,1 307,2 300,5 6,7Lembaga Sosial 17,1 1,8 18,9 6,9 12
Sumber: Penilaian Kerusakan dan Kerugian, BNPB; 2009
Akibat kejadian ini memberikan dampak juga terhadap kemiskinan. Seiring
dengan terjadinya penurunan jumlah lapangan pekerjaan dan kehilangan
pendapatan, diperkirakan akan berpengaruh terhadap jumlah kemiskinan. Faktor
lainnya yang mempengaruhi adalah meningkatnya harga kebutuhan pokok akibat
inflasi. Sekitar 10% rumah tangga di Provinsi Sumatera Barat hidup di bawah
garis kemiskinan, sementara lebih dari itu yang hidup di atas garis kemiskinan
akan sangat rentan terhadap dampak bencana gempa bumi. Kehilangan
pekerjaan dan pendapatan diperkirakan dapat menyebabkan peningkatan angka
kemiskinan sebesar 1,5% menjadi 11% pada tahun 2010. Diharapkan upaya-
upaya rehabilitasi dan rekonstruksi serta bantuan pemulihan mata pencaharian
dapat sesegera mungkin terlaksana, sehingga dapat menekan peningkatan
jumlah kemiskinan sampai dengan 0,5%. Di samping itu, prioritas utama
pelaksanaan pemulihan ditujukan pada masyarakat miskin dan kelompok rentan
di daerah yang terkena dampak paling parah. Jumlah kerusakan rumah
dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin dapat dilihat pada tabel 2.
9
Tabel 2. Perbandingan Kondisi Kependudukan Sebelum Terjadi Bencana dengan
Jumlah Kerusakan Bidang Perumahan Pasca Gempa Bumi 30
September 2009 di Provinsi Sumatera Barat
Gambaran umum potensi peningkatan kemiskinan akibat terjadinya bencana
gempa bumi di Provinsi Sumatera Barat seperti dalam tabel 2 adalah dengan
membandingkan antara kondisi kependudukan sebelum terjadi bencana dengan
jumlah kerusakan bidang perumahan. Hasil yang ditunjukkan dalam tabel
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Potensi peningkatan jumlah penduduk miskin terjadi pada
kabupaten/kota yang paling terkena dampak akibat terjadinya bencana
gempa bumi dengan melihat perbandingan antara persentase jumlah
rumah non permanen, persentase penduduk miskin sebelum bencana
dengan persentase jumlah rumah rusak berat akibat bencana. Terdapat 4
kabupaten/kota yang berpotensi terjadi peningkatan kemiskinan akibat
tingginya jumlah kerusakan rumah, antara lain Kabupaten Padang
Pariaman; Kota Pariaman; Kota Padang; dan Kabupaten Agam.
2. Terjadinya potensi peningkatan jumlah masyarakat miskin dapat
diakibatkan karena hilangnya harta benda akibat rusaknya rumah, serta
akibat terputusnya akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar serta
akses terhadap layanan dasar, seperti akses terhadap pangan, akses
terhadap pemenuhan tempat tinggal yang layak, akses terhadap
kebutuhan air bersih, serta akses terhadap kebutuhan lainnya.
No. Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk
Sangat Miskin + Miskin
% Jumlah Penduduk
Sangat Miskin + Miskin / Jumlah
Penduduk
Kepadatan Penduduk (Jiwa/KM2)
Jumlah Rumah
Jumlah Rumah Rusak Berat
% Jumlah Rumah Rusak Berat / Jumlah
Rumah
1 Pasaman Barat 347.051 65.445 18,9% 90 75.580 3.240 4,3% 2 Agam 455.591 52.557 11,5% 204 97.907 11.796 12,0% 3 Padang Pariaman 388.098 48.837 12,6% 249 91.069 57.931 63,6% 4 Tanah Datar 344.143 31.153 9,1% 256 82.717 28 0,0% 5 Pesisir Selatan 458.515 81.972 17,9% 77 102.903 1.156 1,1% 6 Pasaman 245.862 61.806 25,1% 59 53.925 197 0,4% 7 Kep. Mentawai 75.379 57.838 76,7% 12 16.191 3 0,0% 8 Solok 358.602 58.878 16,4% 106 80.211 145 0,2% 9 Kota Padang 777.893 79.116 10,2% 1.437 150.421 33.597 22,3% 10 Kota Padang Panjang 47.824 2.108 4,4% 4.470 9.177 17 0,2% 11 Kota Solok 53.563 4.231 7,9% 825 11.234 2 0,0% 12 Kota Pariaman 78.920 5.595 7,1% 730 15.154 6.685 44,1%
TOTAL 3.631.441 549.536 15,1% 8.516 786.489 114.797 14,6%
Sumber: Data Podes; tahun 2008 dan Hasil Verifikasi Kerusakan Bidang Perumahan, BNPB; tahun 2009
Peningkatan potensi kemiskinan diperkuat lagi dengan hasil penilaian kebutuhan
pemulihan yang menggambarkan bahwa isu mendasar yang paling dirasakan
secara luas akibat terjadinya gempa bumi 30 September 2009 di Provinsi
Sumatera Barat adalah keresahan akan hilang/berkurangnya pendapatan,
ancaman fisik, rumah hilang/rusak, pemenuhan kebutuhan pangan, air bersih
dan masalah kesehatan.
Gempa di Sumatera Barat membawa dampak yang signifikan terhadap berbagai
aspek kebutuhan dasar manusia di wilayah-wilayah yang terkena dampak
bencana. Secara garis besar, hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Akses terhadap Makanan - Akses korban bencana ke makanan telah
terganggu tetapi tidak sampai pada tingkat di mana mereka menganggap
diri mereka berada pada risiko besar kelaparan. Dukungan pemulihan
awal bagi akses terhadap makanan sangat dibutuhkan karena
terganggunya pola makan masyarakat, yang diperburuk oleh menurunnya
tingkat pendapatan mereka.
2. Kesetiakawanan Sosial - Keeratan sosial di dalam masyarakat menjadi hal
yang penting untuk diperhatikan, khususnya yang menyangkut potensi
konflik akibat perebutan sumber daya air pasca terjadinya gempa.
3. Akses ke Air Bersih, Sanitasi dan Kebersihan - Tergantung pada seberapa
cepat pemerintah daerah bisa memulihkan kembali pelayanan dasar
mereka termasuk penyediaan air bersih, rumah tangga perkotaan yang
membutuhkan dukungan untuk memastikan keberlanjutan akses mereka
ke air bersih. Keterbatasan akses dan ketersediaan fasilitas sanitasi juga
perlu mendapat perhatian.
4. Akses terhadap Hunian - Dalam jangka pendek, hunian
sementara/tempat tinggal sementara sangat diperlukan untuk
memungkinkan rumah tangga yang terkena dampak dapat memperoleh
perlindungan dan melaksanakan fungsi produktif.
5. Akses terhadap Mata Pencaharian - Dua pertiga dari rumah tangga yang
disurvei menyatakan bahwa mata pencaharian mereka telah terganggu
dengan adanya gempa bumi yang terjadi meskipun tingkatannya
bervariasi. Perlu adanya dukungan intervensi terhadap mata pencaharian
masyarakat pada skema pemulihan awal seperti hibah, pinjaman lunak,
dukungan teknis/ pemasaran atau pelatihan ulang terutama pada wilayah
yang terkena dampak gempa bumi terparah seperti Kabupaten Padang
Pariaman dan Kabupaten Agam.
6. Akses terhadap Pendidikan - Bahwa gedung sekolah sementara yang
tersedia tidak cukup aman untuk melanjutkan kegiatan sekolah. Hal ini
serupa dengan pola kerusakan gempa nasional, di mana sepertiga sampai
11
setengah dari semua sekolah runtuh seluruhnya atau tidak bisa dipakai.
Untuk itu, dibutuhkan adanya sekolah sementara yang memenuhi
persyaratan keamanan agar proses belajar mengajar dapat terus
berlangsung.
7. Lingkungan yang aman dan berkelanjutan - Sebagian besar responden
menyatakan bahwa bahaya lingkungan terbesar adalah adanya puing-
puing bangunan yang berbahaya bagi mereka. Untuk itu, diperlukan
adanya dukungan bagi mereka dalam menangani puing-puing yang
diakibatkan oleh gempa tersebut. Di sisi lain, gempa juga telah
menyebabkan peningkatan dalam penggunaan kayu sebagai sumber
bahan bakar. Hal ini perlu diantisipasi sejak dini agar tidak menimbulkan
kerusakan lebih lanjut terhadap lingkungan sekitar.
8. Akses ke Fasilitas/ Prasarana Komunitas - Sepertiga dari rumah tangga
yang disurvei mengatakan bahwa fasilitas keagamaan seperti mesjid desa
(Surau) adalah pusat kegiatan masyarakat yang memerlukan perbaikan
atau rekonstruksi mendesak. Disamping itu, tiga jenis infrastruktur yang
juga perlu segera mendapat perbaikan/penggantian atau pembangunan
kembali adalah sumber air dan jaringannya (termasuk irigasi), jalan
setapak desa dan jembatan serta pembangkit listrik di desa.
9. Akses terhadap Pelayanan Publik - Secara garis besar, masyarakat
menginginkan: peran fasilitasi dari Pemerintah Daerah; kejelasan
informasi mengenai jenis-jenis bantuan yang tersedia; adanya
keterbukaan akses mengenai informasi tentang upaya penanggulangan
bencana dan pemulihan; kesempatan berpartisipasi dalam proses
perencanaan kegiatan pemulihan.
Dampak Positif. Perubahan penghidupan yang dialami masyarakat setelah
kejadian gempabumi berpengaruh positif terhadap perubahan sikap dan tingkah
laku dalam kehidupan sosial secara lokal (Tara, 2013). Seperti pada Kelurahan
Kampung Pondok di Kota Padang, masyarakat lebih bersosialisasi dan saling
tolong menolong antar tetangga dibandingkan sebelum gempa bumi, sehingga
mempengaruhi percepatan dalam waktu pemulihan kehidupan masyarakat.
Dampak terhadap aset, akses dan aktivitas adalah pada saat situasi setelah
gempabumi pada kelurahan ini, dimana semua menata kembali aset yang
mereka miliki dan memanfaatkan kelima modal utama yang mereka miliki yaitu
modal alam, finansial, sosial, manusia, fisik sehingga menunjang terhadap
aktivitas dan akses yang ada.
Usaha dan cara bertahan hidup yang dilakukan pada Kelurahan Kampung Pondok
adalah melelang barang dagangan, memberikan potongan harga barang,
peminjaman modal kredit dan usaha, membuka lapangan usaha baru,
memanfaatkan jaringan sosial yang ada, menjual barang-barang berharga yang
dimiliki serta hutang/bon di warung-warung terdekat.
Strategi pemulihan penghidupan yang dilakukan oleh masyarakat adalah dengan
cara pemanfaatan asuransi, kredit/pinjaman, pemanfaatan tabungan serta
pemanfaatan organisai social, peralihan mata pencaharian dan pekerjaan
sampingan serta pemanfaatan organisasi dan pemanfaatan wanita/istri untuk
mencari nafkah.
Dampak Ekonomi Pasca Gempa Bumi di Sumatera Barat
Dampak Negatif. Pada sektor ekonomi nilai kerugian lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai kerusakan, yang salah satu penyebabnya adalah terhentinya
kegiatan ekonomi di wilayah yang terkena dampak gempa bumi 30 September
2009. Yang paling parah terkena dampak gempa bumi adalah sub- sektor
perdagangan dengan nilai kerusakan dan kerugian mencapai Rp. 1,1 triliun akibat
rusaknya prasarana perdagangan seperti pasar. Rentetan akibat dari tidak
berfungsinya prasarana perdagangan adalah terhentinya kegiatan ekonomi
masyarakat yang bepengaruh kepada kondisi perekonomian daerah.
Selain sub-sektor perdagangan, sub-sektor lainnya yang terkena dampak
bencana gempa bumi adalah, pertanian, perikanan, peternakan, keuangan dan
perbankan serta pariwisata dengan tingkat kerugian yang cukup besar (tabel 3).
Berkurangnya aktivitas perekonomian sebagai dampak bencana gempa bumi
tersebut, diperkirakan akan mengakibatkan sekitar 27.000 tenaga kerja akan
kehilangan pekerjaan. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran diperkirakan
akan mengalami dampak paling parah dengan perkiraan kehilangan lapangan
pekerjaan pada sektor ini sekitar 16.000. Sektor pertanian yang menyerap sekitar
44% tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat diperkirakan akan kehilangan
lapangan pekerjaan sebesar 1% akibat kerusakan lahan pertanian. Sementara
dampak terhadap industri besar (industri semen dan pengolahan minyak kelapa
sawit) tidak terlalu berpengaruh, walaupun sempat mengalami gangguan operasi,
namun saat ini sudah beroperasi dengan normal. Dari 100.000 lebih UMKM yang
ada di Provinsi Sumatera Barat, hanya sebagian kecil yang mengalami kerusakan
(peralatan produksi dan tempat usaha) dan diperkirakan akan membutuhkan
waktu yang lebih lama agar pulih pada keadaan semula.
13
Tabel 3. Penilaian Kerusakan dan Kerugian Sektor Produktif (Milyar) Sektor
Dampak Bencana Kepemilikan
Kerusakan Kerugian Total Swasta Pemerintah
Sektor Produktif 773,8 1519 2.292,7 1.942,9 349,7
Pertanian 56,1 223 279,1 228,8 50,3
Tanaman 0,6 172 172,6 172,6 0
Peternakan 5,2 2 7,2 4,4 2,8
Perikanan 6,8 49 55,8 51,8 4
Irigasi 43,5 0 43,5 0 43,5
Perdagangan 567,8 574,7 1.142,40 1.094,2 48,2
Industri 10,9 114,8 125,6 125,6 0
Bisnis & Keuangan 68 230,2 298,3 64,5 233,8
Bank 63,6 152,2 215,9 61,1 154,8
Non-Perbankan 4,4 78 82,4 3,4 79
Pariwisata 71 376,3 447,3 429,8 17,4Sumber: Penilaian Kerusakan dan Kerugian, BNPB; 2009
Kerusakan yang timbul akibat bencana alam gempa bumi di Provinsi Sumatera
Barat paling banyak terjadi pada rumah-rumah penduduk yang kerusakan ini
bervariasi dari kerusakan berat hingga rusak ringan. Berdasarkan data dari Badan
Nasional Penanggulangan Bencana pada tahun 2014, secara keseluruhan
sebanyak 119.005 rumah penduduk mengalami rusak berat dan 152.535 rumah
penduduk mengalami rusak ringan. Selain itu, kerusakan fasilitas umum cukup
banyak terjadi pada fasilitas pendidikan dengan jumlah fasilitas yang rusak
mencapai 4.625 unit. Fasilitas kesehatan juga banyak mengalami kerusakan
dengan jumlah sebanyak 400 unit. Dalam hal transportasi, kerusakan yang terjadi
pada jembatan dan jalan menyebabkan akses yang terputus pada beberapa
wilayah, yaitu sepanjang 296 km.
Di sisi lain masyarakat Provinsi Sumatera Barat menerima beberapa bantuan
untuk kegiatan tanggap darurat seperti penyediaan tempat berlindung,
pengadaan alat rumah tangga dan fasilitas air bersih. Beberapa bantuan yang
diterima adalah dari Komisi Eropa sebesar 8 juta euro yang disalurkan melalui
enam organisasi internasional. Selain itu masyarakat juga menerima
bantuandaripemerintah Qatar sebesar 10 miliar rupiah berupa bahan makanan,
obat-obatan dan pakaian. Pemerintah Jepang menyalurkan dana hibah melalui
JICA sebesar 6.15 juta USD untuk membangun fasilitas pendidikan yang tahan
gempa. Chevron menyumbang sebesar 14.7 juta USD untuk pemulihan pasca
bencana jangka panjang.Sedangkan pemerintah Indonesia telah menyalurkan
total 12,18 triliun melalui BNPB dari tahun 2009 hingga 2014.
Dampak positif. Keseluruhan upaya pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi
dapat juga membawa pengaruh positif terhadap ekonomi suatu wilayah
pascabencana alam. Berbeda dengan pandangan yang selama ini berkembang
dalam penanganan dampak bencana alam, banyak ekonom yang menganggap
bahwa selain memberikan dampak kerusakan dalam jangka pendek, bencana
alam juga membawa dampak positif terhadap ekonomi yang disebabkan oleh
terjadinya ekskalasi besar pembangunan sektor konstruksi dan peningkatan
kualitas dan kuantitas infrastruktur dan teknologi yang berperan dalam
peningkatan produktivitas ekonomi suatu wilayah.
Survei literatur mengenai dampak positif pascabencana alam dilihat dari sudut
pandang ekonomi telah dilakukan beberapa peneliti. Salah satu tulisan paling
mendasar dan berpengaruh yang mengaitkan bencana dengan pertumbuhan
ekonomi jangka panjang adalah penelitian Skidmore & Toya (2002) dalam Zein et
al. (2014) yang meneliti data bencana di 89 negara dan menemukan bahwa
negara yang mengalami bencana alam menunjukkan percepatan pertumbuhan
ekonomi. Lebih lanjut, Toya & Skidmore (2005) Zein et al. (2014) kembali
melakukan pengujian terhadap bagaimana peningkatan ekonomi pascabencana
alam mengurangi dampak finansial bencana dimana negara-negara yang
memiliki pendapatan besar, tingkat pendidikan masyarakat yang tinggi, memiliki
keterbukaan ekonomi dan kelengkapan sistem keuangan serta pemerintahan
yang ramping mengalami kerugian finansial yang lebih rendah dibanding negara
yang memiliki karakter sebaliknya.
Horwich (2000) dalam Zein et al. (2014) meneliti dampak ekonomi akibat gempa
bumi di Kobe tahun 1995 dimana tingkat kesejahteraan suatu masyarakat sangat
berpengaruh terhadap respon negara terhadap pemulihan pascabencana alam.
Albala-Bertrand (1999) dalam Zein et al. (2014) menunjukkan bahwa masyarakat
yang paling mengalami dampak akibat bencana alam rata-rata memiliki kondisi
ekonomi dan politik yang lemah. Menggunakan data bencana alam yang
dikeluarkan Center for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED), Kahn
(2003) Zein et al. (2014) menunjukkan bahwa jumlah korban dan tingkat
pengungsi akibat bencana alam menurun seiring dengan peningkatan
pendapatan, dan juga melihat bahwa negara yang memiliki demokrasi yang lebih
baik juga mengalami korban bencana alam yang lebih sedikit.
Dalam konteks ekonomi pembangunan, para peneliti bidang ekonomi mencoba
menjelaskan fenomena hubungan antara kejadian bencana alam dan
pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Teori model pertumbuhan
ekonomi neoklasik tradisional Solow-Swan dan Model pertumbuhan kelas
dengan Ramsey-Cass-Koopman menunjukkan bahwa kemajuan teknik sebagai
15
variabel luar (exogenous variable). Kedua model tersebut menunjukkan bahwa
kerusakan modal (fisik dan manusia) tidak akan mempengaruhi tingkat
peningkatan teknologi dan bahkan hanya membuka prospek pertumbuhan
ekonomi jangka pendek suatu negara karena membawa negara tersebut kepada
kondisi pertumbuhan ekonomi yang baru dan lebih stabil. Tingkat kerugian
akibat bencana alam juga akan membawa percepatan akumulasi modal dan pada
akhirnya membawa suatu negara mencapai tingkat keseimbangan pertumbuhan
yang baru dan stabil.
Model pertumbuhan ekonomi yang menggunakan pendekatan teori Creative
Destruction oleh Schumpeter menghasilkan prediksi peningkatan pertumbuhan
ekonomi sebagai hasil dari goncangan negatif yang disebabkan oleh bencana
alam. Goncangan tersebut dianggap menjadi faktor percepatan sebagai akibat
penerapan teknologi baru yang mendorong peningkatan produktivitas ekonomi
khususnya dalam jangka panjang. Namun demikian, Cuaresma (2008) mencoba
melakukan investigasi terkait dengan teori Creative Destruction dengan
melakukan studi empiris dengan menggunakan pengujian terhadap evolusi
sektor penelitian dan pengembangan serta bagaimana sektor tersebut
dipengaruhi oleh resiko bencana alam. Hasil penelitian Cuaresma (2008)
menunjukkan bahwa dinamika teori Creative Destruction hanya terjadi di wilayah
negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi, sementara untuk negara
berkembang, keterkaitan bencana identik dengan dampak ikutan yang tidak
terlalu besar dan berkurangnya teknologi baru yang diperkenalkan.
Dalam tulisan ini, Zein et al. (2014) melakukan pengujian teori Creative
Destruction dalam konteks kawasan rawan bencana alam seperti Provinsi
Sumatera Barat dengan memperhatikan perhitungan terhadap kondisi sektor-
sektor yang berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah
bencana tahun 2009. Hal ini akan didukung oleh analisis terhadap pertimbangan
karakteristik pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Barat untuk
membandingkan dengan analisis terhadap temuan Cuaresma (2008). Analisis per
sektor juga akan dilakukan untuk menunjukkan sektor yang memiliki dampak
pengungkit pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan yang mirip dengan yang
telah dilakukan oleh Cuaresma namun dengan sektor yang berbeda.
Data-data yang diuji di dalam tulisan ini merupakan data-data sekunder yang
diperoleh dari tinjauan terhadap beberapa literatur. Literatur yang digunakan
sebagian besar diperoleh dari Bank Indonesia, yaitu Kajian Ekonomi Regional
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010 Triwulan IV dan Kajian Ekonomi Regional
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 Triwulan IV. Selain itu, data-data kuantitatif
tersebut diperolah dari Badan Pusat Statistik kabupaten/kota setempat, seperti
Badan Pusat Statistik Kota Padang dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang
Pariaman.
Metode yang digunakan untuk mengolah data-data yang telah diperoleh untuk
melakukan pengujian terhadap teori Creative Destruction adalah metode analisis
statistik deskriptif. Data-data yang telah dikumpulkan diolah dengan
menggunakan metode analisis statistik deskriptif menjadi sebuah grafik. Hal ini
bertujuan untuk menunjukkan dinamika jumlah dan pertumbuhan PDRB Provinsi
Sumatera Barat maupun kabupaten/kota yang terkena dampak bencana alam
pada sebelum dan setelah terjadi bencana gempa bumi pada tahun 2009, yaitu
dengan rentang waktu dari tahun 2008 hingga tahun 2012.
Gambar 3. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Provinsi Sumatera Barat
Tahun 2008-2012 (Juta Rupiah).
Sumber: BPS Sumatera Barat, 2013
Secara keseluruhan, jumlah PDRB Provinsi Sumatera Barat meningkat setiap
tahunnya dari tahun 2008 hingga tahun 2012. Jumlah PDRB Provinsi Sumatera
Barat terus meningkat dari 35.176.632,42 juta rupiah pada tahun 2008 menjadi
43.911.916,62 juta rupiah pada tahun 2012. Berdasarkan pada gambar 3,
bencana gempa bumi yang menimpa Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2009
tidak memberikan pengaruh negatif pada jumlah PDRB Provinsi Sumatera Barat
yang dilihat per tahun. Hal ini diungkapkan karena tidak terlihat adanya
penurunan jumlah PDRB Provinsi Sumatera Barat setelah tahun 2009.
17
Gambar 4. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Provinsi Sumatera
Barat Berdasarkan Triwulan Tahun 2008-2010 (Miliar Rupiah)
Sumber: Bank Indonesia, 2009, 2011
Jumlah PDRB Provinsi Sumatera Barat yang ditinjau per triwulan memberikan
gambaran lebih rinci terhadap perubahan yang terjadi di antara tahun 2008
triwulan I dan tahun 2010 triwulan IV. Berdasarkan pada Gambar 4, jumlah PDRB
Provinsi Sumatera Barat terus mengalami peningkatan sebelum terjadinya
bencana, yaitu dari tahun 2008 triwulan I (8.517,32 miliar rupiah) hingga pada
tahun 2009 triwulan III (9.369,09 miliar rupiah) yang merupakan puncak
peningkatan. Setelah terjadi bencana gempa bumi yang terjadi pada tahun 2009
triwulan III tepatnya pada bulan September, jumlah PDRB Provinsi Sumatera
Barat pengalami penurunan sebesar 230,23 miliar rupiah pada tahun 2009
triwulan IV menjadi 9.138,85 miliar rupiah. Akan tetapi, penurunan ini
mengalami peningkatan yang lebih curam setelah tahun 2009 triwulan IV
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Gambar 5 Pertumbuhan PDRB Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008-2012 (%)
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Pariaman, 2013
Perekonomian di Provinsi Sumatera Barat terus mengalami peningkatan mulai
dari tahun 2008 hingga tahun 2012. Hal ini ditunjukan oleh grafik pada Gambar 4
yang menunjukkan angka PDRB Provinsi Sumatera Barat yang selalu meningkat
setiap tahunnya. Akan tetapi, pertumbuhan PDRB ini ternyata tidak
menunjukkan angka yang terus meningkat. Pada Gambar 5 terlihat bahwa
pertumbuhan PDRB ini sempat mengalami penurunan di tahun 2009 menjadi
4,28%. Angka pertumbuhan PDRB ini berada di bawah rata-rata angka
pertumbuhan PDRB Provinsi Sumatera Barat antara tahun 2008-2012. Namun,
penurunan ini langsung disertai dengan peningkatan angka pertumbuhan PDRB
di tahun 2010 hingga tahun 2012 yang terus meningkat hingga mencapai angka
6,35% pada tahun 2012.
Gambar 6. Pertumbuhan PDRB Domestik Bruto Provinsi Sumatera Barat Year
Over Year Berdasarkan Triwulan Tahun 2008-2010 (%)
Sumber: Bank Indonesia, 2009, 2011
Timbulnya bencana gempa bumi besar pada akhir bulan September 2009
diasumsikan telah memberikan dampak penurunan angka pertumbuhan PDRB di
Provinsi Sumatera Barat. Dapat dilihat pada Gambar 6, bahwa angka
pertumbuhan PDRB pada tahun 2009 triwulan IV mencapai titik terendah
dibandingkan dengan triwulan-triwulan lainnya antara tahun 2008 dan tahun
2010, yaitu mencapai angka sebesar 1,35%. Penurunan ini ternyata hanya
bersifat sementara, karena hanya teijadi pada satu triwulan saja. Pada triwulan
berikutnya, pertumbuhan PDRB justru mengalamin mengalami peningkatan
cukup drastis hingga mencapai puncaknya pada tahun 2010 triwulan IV dengan
angka 10,15%.
Secara keseluruhan, keadaan ekonomi di Provinsi Sumatera Barat terus
meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi
19
Sumatera Barat, PDRB provinsi ini terus meningkat dari tahun 2008 hingga tahun
2012 sekitar 1.500.000 juta rupiah hingga 2.500.000 juta rupiah setiap tahunnya.
Dapat dilihat pada Gambar 7 bahwa seluruh lapangan usaha yang terdapat di
dalam PDRB mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga tahun 2012. Tidak
terdapat penurunan PDRB di masing-masing lapangan usaha meskipun sempat
teijadi bencana gempa bumi yang melanda Provinsi Sumatera Barat pada tahun
2009. Terdapat beberapa lapangan usaha yang justru mengalami peningkatan
yang lebih signifikan setelah terjadi bencana gempa bumi mulai tahun 2009
hingga tahun 2012, antara lain pertanian; perdagangan, hotel, dan restoran;
pengangkutan dan komunikasi; bangunan; serta jasa.
Gambar 7. Pertumbuhan PDRB Provinsi Sumatera Barat Year Over Year Menurut
Lapangan Usaha Berdasarkan Triwulan Tahun 2008-2010 (%)
Sumber: Bank Indonesia, 2009, 2011
Secara keseluruhan, semua lapangan usaha di dalam PDRB Provinsi Sumatera
mengalami peningkatan jumlah setiap tahunnya. Bahkan beberapa lapangan
usaha mengalami peningkatan jumlah PDRB per tahun yang cukup signifikan
setelah terjadi bencana. Gambar 10 menunjukkan dinamika perekonomian
Provinsi Sumatera Barat menurut lapangan usaha yang lebih spesifik dengan
meninjau dari pertumbuhan PDRB per triwulan. Dapat dilihat pada gambar ini
bahwa hampir semua lapangan usaha mengalami peningkatan jumlah PDRB
setiap triwulan yang ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan PDRB dengan
nilai positif dari tahun 2008 triwulan I hingga tahun 2009 triwulan III, kecuali
lapangan usaha listrik, gas, dan air bersih. Kejadian bencana gempa bumi pada
September 2009 memberikan variasi baru pada dinamika perekonomian di
Provinsi Sumatera Barat dengan melihat grafik dari tahun 2009 triwulan IV
hingga tahun 2010 triwulan IV pada Gambar 10. Ditunjukkan bahwa terdapat
beberapa lapangan usaha yang mengalami perlambatan laju PDRB tepat satu
triwulan setelah terjadi bencana, yaitu tahun 2009 triwulan IV, akan tetapi
perlambatan laju PDRB ini kemudian langsung mengalami peningkatan yang
sangat signifikan. Beberapa lapangan usaha yang mengalami kondisi ini antara
lain lapangan usaha bangunan; perdagangan, hotel, dan restoran; jasa;
pengangkutan dan komunikasi; industri pengolahan; dan listrik, gas, dan air
bersih.
KESIMPULAN
Bencana gempa bumi pada 30 September 2009 di Sumatera Barat terasa hampir
merata di semua kabupaten/kota di Sumatera Barat. Jumlah korban tersebar
hampir di seluruh kabupaten tersebut. Gempabumi tersebut telah menyebabkan
sedikitnya 1100 orang meninggal, 2180 orang luka-luka dan 2650 bangunan
rumah rusak berat/ringan termasuk gedung-gedung kantor, sekolah, rumah sakit,
tempat ibadah, pasar, jalan, dan jembatan.
Adanya peraturan pemerintah mengenai kebencanaan ini didorong oleh
keprihatinan masyarakat sipil, kerawanan terhadap bencana alam, lemahnya
penanganan bencana alam dan yang lebih kentara karena terjadinya beragam
bencana besar yang terjadi semenjak tahun 2004. Kondisi bahwa di Indonesia
yang rawan terhadap bencana alam, penduduknya yang rentan pasca bencana
alam, sementara kapasitas pemerintah dalam penanggulangan bencana juga
masih lemah mendasari pentingnya payung hukum yang secara legal
dipergunakan untuk menangani beragam bencana alam di Indonesia.
Bencana alam yang terjadi di Sumatera Barat memberikan dampak positif dan
negative terhadap kehidupan sektor sosial dan ekonomi. Pada bidang sosial,
dampak negatif yang terjadi yaitu kerusakan dan kerugian di sektor sosial,
pendidikan, kesehatan, budaya dan agama dan lembaga sosial yang mencapai
1,5 triliun. banyaknya jumlah penduduk dan perbandingan jumlah penduduk
miskin dan sangat miskin, ditambah dengan banyaknya kerusakan rumah
menyebabkan terjadinya potensi berjumlahnya angka kemiskinan. Namun secara
lokal, dampak bencana ini dapat memberikan efek positif yaitu meningkatkan
strategi penghidupan masyarakat dan perubahan sikap dan tingkah laku dalam
kehidupan sosial.
Pada sektor ekonomi, dampak negative yang ditimbulkan adalah terhentinya
kegiatan ekonomi di wilayah yang terkena dampak gempa bumi. Sub-sektor
perdagangan mengalami nilai kerusakan dan kerugian terbesar akibat rusaknya
prasarana perdagangan seperti pasar. Dampak positif di sektor ekonomi adalah
terjadinya pertumbuhan ekonomi dalam jangka waktu tertentu. Bencana alam
justru dapat menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
pascabencana alam.
21
DAFTAR PUSTAKA
BNPB. 2015. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019. Prioritas
Nasional Penanggulangan Bencana. 2015.
BAPPENAS. 2010. Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca
Bencana Gempa Bumi di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2009-2011.
[online] dari http://dokumen.tips/documents/renaksi-rr-sumbar-2009-
2011.html , tanggal 29 November 2015
Pranoto, S. (2011). Lessons Learned Pembelajaran Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pasca Gempa di Sumatra Barat 30 September 2009 Building Back Better.
Padang: Badan Nasional Penanggulangan Bencana. [online] dari
http://books.google.co.id/books?id=QBHotuSPnT4C&lpg=PA74&dq=gempa
bumi 2009 sumatera barat&pg=PR2#v=onepage&q&f=false, tanggal 27
November 2015
Putrohari R. 2009. Gempa Padang 30 September 2009, Jangan tunggu laporan !.
[online] dari https://rovicky.wordpress.com/2009/10/01/gempa-padang-
30-september-2009-jangan-tunggu-laporan/ . Tanggal 27 November 2015.
Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops PB) BPBD Sumatera Barat. 2015. Review
Gempabumi Sumatera Barat 30 September 2009 Sebagai Upaya Mitigasi
Bencana. online] dari http://pusdalopspbsumbar.blogspot.co.id
/2015/09/review-gempabumi-sumatera-barat-30.html, tanggal 27
November 2015.
Tara AM, Baiquni M. 2013. Strategi Penghidupan Masyarakat Pasca Bencana
Alam Gempabumi 30 September 2009 Di Kota Padang. Thesis. Univeritas
Gajah Mada.
Yustiningrum E. 2010. Strategi Penanganan Pasca Bencana Alam di Indonesia:
Dampak Tehadap Kelompok Rentan. Laporan Akhir Program Insentif
Peneliti dan Perkayasa LIPI. 2010.
Zein C.A, Nababan M, Wahyudi AR, Suryandari D. 2014. Penilaian Dampak
Bencana Alam Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Jangka Pendek
(Studi Kasus: Provinsi Sumatera Barat Pascabencana Gempa Bumi Tahun
2009). Working Paper Series No. 12, September 2014. Resilience
Development Initiative.