barli

10
satu Bab “WELL, well, well,” seru sebuah suara maskulin di bela-kangku. “Susannah Simon rupanya.” Begini, aku tidak akan berbohong padamu. Kalau ada cowok keren menyapaku—dan kentara sekali dari suara-nya kalau cowok ini pasti keren; ketahuan dari nadanya yang penuh percaya diri saat mengucapkan well, well, well tadi, caranya yang lembut saat menyebut namaku—aku langsung memperhatikan. Itu tidak bisa dicegah. Bagaimanapun, aku kan cewek enam belas tahun. Hi-dupku tidak melulu memikirkan corak terbaru tankini rancangan Lilly Pulitzer atau inovasi apa pun yang di-buat oleh Bobbi Brown dalam 11

Upload: aldo-adigia-pradipta

Post on 01-Feb-2016

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Ahmad Barly Subalkan

TRANSCRIPT

Page 1: Barli

satu

Bab

“WELL, well, well,” seru sebuah suara maskulin di bela-kangku. “Susannah Simon rupanya.”

Begini, aku tidak akan berbohong padamu. Kalau ada cowok keren menyapaku—dan kentara sekali dari suara-nya kalau cowok ini pasti keren; ketahuan dari nadanya yang penuh percaya diri saat mengucapkan well, well, well tadi, caranya yang lembut saat menyebut namaku—aku langsung memperhatikan. Itu tidak bisa dicegah. Bagaimanapun, aku kan cewek enam belas tahun. Hi-dupku tidak melulu memikirkan corak terbaru tankini rancangan Lilly Pulitzer atau inovasi apa pun yang di-buat oleh Bobbi Brown dalam industri lip liner yang ta-han lama dan tidak meninggalkan bekas.

Jadi kuakui bahwa, walaupun aku punya pacar—mes-kipun istilah pacar itu agak terlalu optimistis untuk me-nyebutnya—saat berbalik untuk melihat siapa cowok keren yang menyapaku itu, aku sedikit mengibaskan rambutku. Mengapa tidak?

11

Page 2: Barli

Maksudku, mengingat ba-nyaknya produk yang kuoleskan ke rambutku tadi pagi, sebagai persiapan memasuki tahun ajaran baru—sekali-gus sebagai “senjata” menghadapi kabut laut yang sering membuat rambutku jadi acak-acakan—tatanan rambut-ku terlihat luar biasa.

Baru setelah mengibaskan rambut cokelat lebatku dan membalikkan badan, aku melihat bahwa cowok ganteng yang memanggil namaku tadi bukan cowok yang ku-sukai.

Bahkan, bisa dibilang aku punya alasan untuk takut setengah mati pada cowok itu.

Kurasa dia bisa membaca ketakutan di mataku—yang dirias sangat cermat dengan eye shadow kombinasi seri Mocha Mist—karena seringai yang merekah di wajah gantengnya sedikit miring di satu sisi.

“Suze,” katanya dengan nada mengecam. Bahkan ka-but tidak mampu memudarkan kilau di rambut ikal co-kelat gelapnya. Giginya juga putih cemerlang, kontras dengan kulitnya yang kecokelatan. “Saat ini aku sedang gugup karena menjadi anak baru di sekolah ini, tapi kau bahkan tidak menyapaku? Memangnya begitu caramu mempermalukan sobat lama?”

Aku terus saja memandanginya, tak mampu meng-ucapkan sepatah kata pun. Kau tidak bisa bicara, tentu saja, kalau muutmu mengering seperti... well, seperti ba-ngunan bata merah yang menjulang di depan kami.

Apa yang dilakukannya di sini? Apa yang dilakukannya di sini?

12

Page 3: Barli

Masalahnya, aku tidak bisa mengikuti insting per-tamaku yaitu berlari sambil berteriak-teriak menjauhi-nya. Orang kan cenderung gatal mulutnya kalau melihat seorang cewek yang berdandan sempurna seperi aku berlari sambil berteriak-teriak menjauhi cowok keren berusia tujuh belas tahun. Selama ini aku berhasil me-nyembunyikan bakatku yang tidak biasa dari teman-te-man sekelasku, maka aku tidak akan membocorkannya sekarang, walaupun aku—dan percayalah, aku benar-benar merasakannya—ketakutan setengah mati.

Tapi kalau aku tidak bisa berlari menjauh sambil ber-teriak-teriak, aku toh masih bisa melewatinya dengan menunjukkan sikap gusar tanpa mengucapkan sepatah kata pun, berharap dia tidak akan mengenali kegusaran-ku sebagai kedok untuk menyembunyikan perasaan hati-ku yang sebenarnya—ketakutan.

Entah apakah dia bisa mencium ketakutanku. Tapi je-las dia tidak menyukai sikapku yang sok belagu. Ta-ngannya melayang begitu aku mencoba melenggang melewatinya, dan tahu-tahu saja, jari-jarinya sudah men-cengkeram lengan atasku kuat-kuat.

Aku bisa, tentu saja, menepiskan tangannya dan me-ninjunya. Aku tidak mendapat predikat Cewek Yang Paling Mungkin Membuat Cacat Orang Lain di sekolah lamaku di Brooklyn dulu tanpa sebab, kan.

Tapi aku ingin mengawali tahun ajaran baru ini de-ngan benar—dengan riasan mata Mocha Mist dan celana kapri hitam Club Monaco baruku

13

Page 4: Barli

(dipadu sweter sutra pink yang kubeli dengan potongan harga lumayan di outlet Benetton di Pacific Grove)—bukan dengan per-tengkaran. Dan apa yang akan dipikirkan oleh teman-temanku dan murid-murid lain di sekolah—dan, karena mereka semua berkeliaran di sekeliling kami, sesekali menyapaku dengan seruan, “Hai, Suze,” dan memuji dandananku yang sempurna, mereka pasti bakal me-lihat—kalau aku tahu-tahu meninju si anak baru ini?

Belum lagi kenyataan, aku yakini benar, bahwa kalau aku meninju cowok itu, dia mungkin akan berusaha me-ninjuku balik.

Entah bagaimana aku berhasil mengeluarkan suara. Aku hanya berharap dia tidak menyadari kalau suaraku bergetar. “Lepaskan tanganku,” kataku.

“Suze,” ujarnya. Dia masih saja tersenyum, tapi seka-rang dia memandang berkeliling dan dengan nada sok tahu bertanya, “Ada masalah apa? Kelihatannya kau ti-dak senang bertemu denganku.”

“Karena kau tidak melepaskan tanganku,” aku meng-ingatkannya. Aku bisa merasakan dinginnya jemari co-wok itu—tampaknya dia benar-benar berdarah dingin, selain juga sangat kuat—menembus lengan baju sutraku.

Dia langsung menjatuhkan tangannya.“Dengar,” ujarnya. “Aku benar-benar minta

maaf. Tentang apa yang terjadi waktu kau dan aku terakhir kali bertemu, maksudku.”

14

Page 5: Barli

Terakhir kali aku dan dia bertemu. Ingatanku lang-sung melayang lagi ke koridor panjang—yang sangat sering kulihat dalam mimpi-mimpiku. Dipenuhi pintu yang berjajar di kanan-kirinya—pintu-pintu yang menuju entah ke mana—rasanya seperti lorong dalam sebuah ho-tel atau gedung perkantoran... tapi lorong ini tidak ber-ada di hotel atau gedung perkantoran yang pernah dilihat orang. Lorong itu bahkan tidak ada dalam dimensi kita sekarang.

Dan Paul berdiri di sana, terus tertawa meski tahu Jesse dan aku tidak tahu bagaimana cara keluar dair tem-pat itu. Hanya tertawa, seolah-olah kalau aku tidak se-gera kembali ke alamku dan mati, itu luar biasa lucu, sementara Jesse akan terperangkap di lorong itu selama-nya. Aku masih bisa mendengar tawa Paul terngiang-ngiang di telingaku. Dia terus saja tertawa... sampai Jesse menyarangkan tinju ke wajahnya.

Aku hampir-hampir tidak percaya ini terjadi. Bayang-kan, di pagi bulan September yang sangat normal di Carmel, California—yang berarti, tentu saja, ada gum-palan kabut tebal menggelayut di mana-mana tapi se-bentar lagi akan menguap dan menyingkap langit biru cerah tak berawan dan matahari yang bersinar kuning keemasan—dan aku berdiri di koridor luar Junipero Serra Mission Academy, berhadap-hadapan dengan orang yang selama berminggu-minggu menghantui mimpi burukku.

15

Page 6: Barli

Tapi ini bukan mimpi buruk. Aku tidak sedang tidur. Aku tahu aku tidak sedang tidur, karena dalam mimpiku teman-temanku, CeeCee dan Adam, tidak akan pernah melenggang mendekat sementara aku berhadapan dengan monster dari masa laluku ini, dan menyapa, “Hai, Suze,” seperti... well, seperti lazimnya teman yang kembali ber-temu pada hari pertama masuk sekolah sehabis libur musim panas.

“Maksudmu bagian saat kau mencoba membunuhku?” tanyaku dengan suara serak, setelah CeeCee dan Adam berada cukup jauh hingga tidak bisa mendengar per-kataanku. Kali ini, aku tahu dia mendengar suaraku ber-getar. Aku tahu karena dia tampak gelisah—walaupun mungkin itu karena tuduhanku. Pokoknya, dia mengang-kat tangannya yang agak besar dan berkulit kecokelatan itu lalu menyurukkannya ke rambutnya yang ikal.

“Aku tidak perna bermaksud membunuhmu, Suze,” bantahnya, terdengar agak sakit hati.

Aku tertawa. Tawaku meledak begitu saja tanpa bisakutahan. Jantungku seperti terangkut di kerongkongan, tapi aku tetap tertawa. “Oh,” ucapku. “Begitu ya.”

“Aku sungguh-sungguh, Suze,” katanya. “Tidak se-perti itu. Aku hanya... Aku hanya tidak bisa menerima kekalahan, itu saja.”

Kupandangi Paul. Tak peduli apa pun alasannya, po-koknya dia pernah mencoba membunuhku. Tapi yang lebih parah lagi, dia

16

Page 7: Barli

pernah berusaha sekuat tenaga me-nyingkirkan Jesse, dengan cara yang sama sekali tidak terduga. Dan sekarang dia berusaha berdalih bahwa se-mua itu hanya masalah sportivitas?

“Aku tidak mengerti,” tukasku, menggeleng. “Kalah apa? Kau kan tidak mengalami kekalahan apa-apa.”

“Benarkah begitu, Suze?” Dia menatapku lekat-lekat. Suaranya pernah kudengar berkali-kali dalam mimpi-mimpiku—menertawakanku sementara aku berjuang menemukan jalan keluar dari lorong gelap berkabut yang berujung pada jurang hitam pekat yang menganga, dan tepat sebelum aku terbangun, aku berada persis di bibir jurang. Suara yang sarat makna tersembunyi...

Hanya aku tidak tahu makna apa yang tersembunyi di balik suara itu, atau maksud tersirat di dalamnya. Pokok-nya yang aku tahu, cowok itu membuatku ketakutan.

“Suze,” ujar Paul sambil tersenyum. Saat tersenyum—dan bahkan mungkin saat merengut pun—dia terlihat mirip model baju dalam Calvin Klein. Dan bukan hanya wajahnya saja yang mirip. Soalnya, bagaimanapun, aku kan sudah pernah melihatnya hanya mengenakan celana renang.

“Dengar, jangan bersikap seperti ini,” pintanya. “Seka-rang kan tahun ajaran baru. Apa kita tidak bisa memulai dari awal lagi?”

“Tidak,” tolakku, senang suaraku tidak bergetar lagi kali ini. “Tidak bisa. Bahkan, kau—sebaiknya kau jauh-jauh dariku.”

17

Page 8: Barli

Tampaknya dia merasa perkataanku menggelikan se-kali. “Atau apa?” tanyanya, menyunggingkan senyum yang memamerkan hampir semua giginya yang putih dan rata—senyum seorang politisi, aku baru sadar.

“Oh, kau akan menyesalinya,” jawaabku, suaraku kem-bali bergetar.

“Oh,” ucap Paul, matanya yang gelap membelalak, berlagak ngeri. “Kau akan menyuruh pacarmu meng-hajarku?”

Aku tidak akan menjadikan itu bahan gurauan, kalau aku jadi Paul. Jesse bisa—dan mungkin akan, kalau dia mendapati bahwa Paul telah kembali—membunuhnya. Tapi sebenarnya aku bukan pacar Jesse, jadi bukan tu-gasnya melindungiku dari cowok-cowok menyeramkan seperti yang sedang berdiri di hadapanku sekarang.

Dari ekspresiku Paul pasti tahu bahwa status hu-bungan Suze dan Jesse sekarang masih tidak jelas, ka-rena dia tertawa dan berkata, “Oh, jadi begitu. Well, aku memang tidak pernah mengira kalau Jesse itu tipe cowok yang kausukai, tahu. Kau membutuhkan seseorang yang tidak begitu—“

Dia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena saat itu, CeeCee, yang tadi mengikuti Adam menuju lokernya—padahal tadi malam kami sudah saling ber-sumpah tidak akan mengawali tahun ajaran baru dengan mengejar-ngejar cowok—berjalan kembali ke arah kami, tatapan matanya tertuju pada cowok yang berdiri dekat sekali denganku.

18