bali dalam pelangirepository.undhirabali.ac.id/16/1/ok--buku bali dalam... · 2020. 2. 28. ·...
TRANSCRIPT
i
Bali dalam Pelangi
Opini dan Solusi
(Kumpulan Artikel Media Populer)
ii
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis ber
dasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata
tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
undangan. (Pasal 1 ayat [1]).
2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan ciptaan; b. Penggandaan
ciptaan dalam segala bentuknya; c. Penerjemahan ciptaan; d. Pengadaptasian,
pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; e. pendistribusian ciptaan
atau salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komunikasi
ciptaan; dan i. Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [3]).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [4]).
iii
Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA., MA.
Bali dalam Pelangi
Opini dan Solusi
(Kumpulan Artikel Media Populer)
iv
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
© Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA., MA.
Bali dalam Pelangi Opini dan Solusi/Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE.,
M.MA., MA.; -- Yogyakarta: Samudra Biru, 2018.
viii + 106 hlm. ; 160 x 24 cm.
ISBN : 978-602-5610-37-0
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau mem-
perbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun juga tanpa izin
tertulis dari penerbit.
Cetakan I, Januari 2018
Penulis : Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA., MA.
Editor : Alviana Cahyanti
Layout : Ardiansyah Mahmud
Diterbitkan oleh:
Penerbit Samudra Biru (Anggota IKAPI)
Jln. Jomblangan Gg. Ontoseno B.15 RT 12/30
Banguntapan Bantul DI Yogyakarta
Email/FB : [email protected]
website: www.cetakbuku.biz/www.samudrabiru.co.id
Phone: 0813-2752-4748/ 0811-264-4745
v
Prakata
Di dunia tulis-menulis, artikel koran tentu sangat dikenal secara akrab, sebab setiap hari selalu tersaji secara intensif beberapa artikel di
surat kabar yang terbit harian. Namun tidak semua orang mengatahui
bahwa banyak buku lahir dari kumpulan artikel seorang penulis yang
memberanikan diri menyulap kepingan-kepingan kliping tulisannya
menjadi sebuah buku.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan berupa opini yang pernah
diterbitkan oleh beberapa media populer seperti Bali Post, Pos Bali, Bali
Tribun, Majalah Bali Post, dan sebagainya.
Maksud dan tujuan artikel dan opini ini dibukukan adalah untuk
menampilkan perkembangan pemikiran penulis tentang Bali yang
terkait dengan permasalahan kepariwisataan, sumberdaya manusia dan
permasalahan lainnya yang dapat diamati dalam masyarakat.
Sebagaian opini yang ada pada buku ini telah menjadi sebuah
kebenaran karena terbukti sesuai apa yang telah diopinikan sebelumnya,
sebagiannya lagi belum terbukti. Walaupun demikian, buku ini dapat
vi
mengingatkan kita bersama bahwa permasalahan dalam masyarakat
akan terus ada, dan penulis berusaha memberikan solusi berupa opini.
Semoga buku ini dapat memotivasi lahirnya para penulis baru,
dan menginspirasi para stakeholders pembangunan untuk menerapkan
solusi yang telah ditawarkan pada setiap terbitan opini.
Terimakasih atas kesediaan para pengelola media yang telah
memberikan ruang dan waktu untuk berbagi opini dan solusi, semoga
Bali kedepan menjadi lebih maju dan berkelanjutan.
Penulis,
I Gusti Bagus Rai Utama
vii
Daftar Isi
Prakata ~ 5
Daftar Isi ~ vii
Keberlanjutan Pembangunan Pariwisata Bali ~ 1
Kejujuran Profesi Pendobrak Bobrok Moral Bangsa Menuju
Kebangkitan Iindonesia ~ 5
Perlu Rasionalisasi Pariwisata Bali di Tengah Paradoks Liberalisasi ~ 8
Terbebas dari Penghalang untuk Menjadi Warga Negara yang Baik~12
Wisata Kota, Persembahan untuk Generasi Emas ~ 15
Membersihkan Generasi Muda dari Virus Korupsi ~ 19
Pertanian dan Kedaulatan Bangsa ~ 23
Menguak Etos Buruk dan Bangkit dari Keterpurukan ~ 26
Ironi Pariwisata dan Komitmen Bali Ajeg ~ 29
Parasit di Tengah Pertumbuhan Indonesia ~ 33
Mewujudkan Generasi Berdaya Saing Tinggi 2020 ~ 36
Kualitas dan Kesinambungan Pariwisata Bali ~ 39
Memelihara Identitas Destinasi Bali ~ 43
viii
Dampak Positif dan Negatif Reklamasi ~ 47
Memilih Pejabat atau Pemimpin? ~ 51
Rekayasa Budaya Menuju Revolusi Mental ~ 54
MEA dan Pariwisata 57~
Keadilan dan Keserakahan ~ 60
Daya Tarik Pariwisata Bali ~ 63
Membentuk Etos Wirausaha ~ 66
Pariwisata Bali dalam Dikotomi Kualitas dan Kuantitas ~ 69
Pembangunan Pariwisata Pada Daerah Blank Spot Budaya ~ 73
Korupsi lebih Kejam dari Terorisme (1) ~ 76
Korupsi lebih Kejam dari Terorisme 2 ~ 80
Benih Kehancuran Bangsa ~ 84
Peran Lembaga Keuangan Sebagai Stimulator Gerakan Care For All
~ 87
Membentuk Harmoni: Terjangan Toko Berjejaring Versus Pasar
Tradisional ~ 90
Program e-KTP Berpotensi Gagal ~ 93
Perekonomian Bali Beresiko Tinggi ~ 96
Siapakah Marketplace Pariwisata Bali? ~ 99
Daftar Pustaka ~ 103
Biodata Penulis ~ 105
1
1 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Bali Post” yang berjudul “Keberlanjutan Pembangunan
Pariwisata Bali” Edisi Senin 13 Pebruari 2012
Keberlanjutan Pembangunan Pariwisata Bali
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
APAKAH pembangunan
Bali telah menerapkan prinsip-
prinsip pembagunan berkelanjutan?
Mengutip pendapat seorang tokoh
Bali (Manuaba), harus dapat
dibedakan antara ‘pembangunan
Bali’ dan ‘pembangunan di Bali’.
Pembangunan Bali mengidentifikasi
bahwa pembangunan dilakukan atas
inisiatif masyarakat Bali, dilakukan
oleh masyarakat,untuk kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat
Bali. Namun yang terjadi saat ini,
ada indikasi bahwa Masyarakat
Bali justru mulai tergusur. Jika
ada masyarakat Bali yang dapat
bersaing pada dunia bisnis, jumlahnya sangat kecil. Lahan-lahan hijau
atau persawahan dan pertanian produktif telah semakin menyempit
yang menandakan bahwa pengelolaan terhadap sumberdaya alam Bali
nyaris tanpa kendali. Pengelolaan terhadap kunjungan wisatawan pada
beberapa tempat wisata di Bali belum memiliki standar yang baik untuk
2
mendukung daya dukung dan keberlanjutan atas sumberdaya yang ada.
Sehingga, permasalahan pengelolaan masih terjadi di banyak tempat
wisata di Bali. Pembangunan akomodasi yang seolah-olah tanpa batas
dan tanpa mempertimbangkan daya dukung wilayah dan mengabaikan
asas pemerataan pembangunan wilayah masih tampak dengan jelas
seperti kesenjangan pembangunan pariwisata wilayah Bali Selatan
dengan Bali Utara misalnya.
Mestinya pembangunan pariwisata dapat diletakkan pada prinsip
pengelolaan dengan manajemen kapasitas, baik kapasitas wilayah,
kapasitas objek wisata tertentu, kapasitas ekonomi, kapasitas sosial,
dan kapasitas sumberdaya yang lainnya sehingga dengan penerapan
manajemen kapasitas dapat memperpanjang daur hidup pariwisata itu
sendiri sehingga konsepsi konservasi dan preservasi serta komodifikasi
untuk kepentingan ekonomi dapat berjalan bersama-sama dan
pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat diwujudkan.
Belum Jadi Subjek
Apakah pariwisata Bali telah menerapkan manajemen kapasitas
pada semua pengelolaan objek wisata saat ini? Bagaimanakah dengan
visi masyarakat Bali tentang pembangunan Bali? Jikalau dilakukan
penelitian pada tataran akar rumput, mungkin visi pembangunan Bali
belum dapat dipahami secara massal yang berarti masyarakat Bali
sebenarnya masih menjadi objek pembangunan dan bukan menjadi
subjek atau pelaku pembangunan itu sendiri. Keterwakilan masyarakat
pada parlemen belum dapat menyuarakan suara masyarakat secara utuh
dalam artian suara yang ada mungkin hanya merupakan suara beberapa
elite partai tertentu sehingga visi pembangunan untuk pemberdayaan
masyarakat secara massif masih sangat diragukan. Istilah ‘pagar makan
tanaman’ masih relevan untuk menggambarkan kondisi pembangunan
masyarakat Bali. Sebagai contoh nyata mengenai istilah ini, maraknya
pembangunan vila atau fasilitas akomodasi di beberapa tempat atau
area konservasi seperti yang terdapat di kawasan konservasi justru
diindikasikan telah dilakukan oleh beberapa tokoh atau elite penting di
pemerintahan dan di parlemen.
Bagaimana dengan kondisi pelibatan pemangku kebijakan dalam
pembangunan pariwisata Bali? Pelibatan semua pemangku kebijakan
memang telah menjadi perhatian serius pada setiap pembangunan di
Bali. Bahkan masyarakat Bali telah merasakan atmosfer kebebasan
demokrasi yang cukup baik, namun karena masih lemahnya pemahaman
masyarakat atas konsep pembangunan, akhirnya justru menjadi
3
penghalang pembangunan itu sendiri. Khususnya yang terjadi pada
beberapa kasus pembangunan, misalnya pembangunan pembangkit
listrik tenaga panas bumi di Kabupaten Buleleng, pembangunan jalan
layang untuk mengatasi masalah kemacetan. Munculnya kelompok baru
pada masyarakat tertentu, seperti kelompok yang mengatasnamakan diri
kelompok ‘Laskar AAA’, ‘Bala BBB’ dan lainnya juga menjadi potensi
kelompok pemangku kepentingan yang dapat mempengaruhi jalannya
pembangunan di Bali dan jika tidak dikelola dengan baik, akan dapat
menimbulkan konflik baru di masyarakat.
Masih terjadi pencatatan ganda kependudukan khususnya yang
berhubungan dengan penduduk pendatang lokal yang berasal dari
kabupaten lain di Provinsi Bali yang berimbas pada ketidakrapian
database kependudukan Provinsi Bali dan bahkan pencatatan secara
nasional. Masih terjadi konflik desa adat, perebutan lahan pada tapal
batas desa dan konflik kecil lainnya menandakan bahwa masyarakat
Bali semakin kritis dan jika tidak diberikan pemahanan yang cukup
baik, akan dapat menimbulkan konflik baru di masyarakat. Konsep
kepemilikan bersama atas alam ciptaan Tuhan, konsep kepemilikan
satu bumi untuk semua umat manusia akan menjadi relevan untuk
disosialisasikan bersama-sama.
Bagaimana dengan penerapan sertifikasi di Bali, sudahkan berjalan
dengan baik, bagaimanakah evaluasinya? Tiga pertanyaan yang menjadi
hal penting untuk dituangkan dengan alasan, bahwa program sertifikasi
sangat penting karena berhubungan dengan standar atau prosedur yang
dipakai atau pengakuan atas profesionalitas pelaku pada bidangnya.
Misalnya, seorang pramuwisata haruslah seseorang yang telah
tersertifikasi sesuai dengan kriteria global yang telah ditetapkan yang
dapat diterima oleh semua orang secara internasional. Pekerja hotel
yang memiliki keahlian di bidangnya yang ditunjukkan dengan sebuah
program sertifikasi yang dilakukan secara periodik dengan cara baik,
proses yang baik, dan dievaluasi secara periodik untuk menyesuaikan
dengan isu-isu pembangunan terkini dalam konteks pembangunan
pariwisata berkelanjutan.
Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah, sudahkan proses
sertifikasi tersebut dilakukan pada proses semestinya yang dilakukan
berdasarkan standar global? Siapa yang melakukan evaluasi atas program
sertifikasi tersebut, bagaimanakah yang telah terjadi di Bali? Tulisan ini
memerlukan penelitian yang bersifat evaluative untuk mendapatkan
gambaran tentang kondisi pariwisata Bali saat ini khususnya
yang berhubungan dengan program sertifikasi untuk mendukung
4
pembangunan pariwisata berkelanjutan. Penerapan program standar
global pada pariwisata Bali memang telah dilakukan oleh beberapa
perusahaan atau hotel tertentu di Bali namun jumlahnya masih sangat
kecil jika dibandingkan dengan harapan yang mestinya dapat dilakukan
di Bali untuk mendukung pembangunan pariwisata Bali berkelanjutan.
Seberapa banyak hotel-hotel di Bali yang telah tersertifikasi dengan
standar global? Pertanyaan ini menjadi introspeksi dan otokritik bagi
pariwisata Bali bahwa masih banyak hal yang dapat dilakukan untuk
mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan tersebut.
Satu kata kunci untuk dapat menerapkan program-program
pendukung pembangunan pariwisata berkelanjutan tersebut adalah
kata ‘kesungguhan’”. (Font, 2001). Idealnya ada pertemuan antara
sisi penawaran yang telah disepakai secara sungguh-sungguh oleh
semua pemangku kebijakan termasuk di dalamnya masyarakat lokal
dan industri bersinggungan harmonis dengan sisi permintaan yang
di dalamnya melibatkan unsur wisatawan sebagai penikmat produk
destinasi.
Kata kunci berikutnya adalah disiplin untuk mematuhi semua
aturan dan peraturan yang telah disepakati, kelompok industri mestinya
digerakkan oleh sikap disiplin untuk mematuhi aturan yang ada pada
sebuah destinasi. Para pemangku kebijakan yang taat pada aturan,
tidak ada lagi istilah ‘pagar makan tanaman’ sangat diperlukan untuk
mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Masyarakat
lokal yang senantiasa bersungguh-sungguh dalam memberikan
pelayanan dan sambutan bagi semua wisatawan yang datang sehingga
citra dan pencitraan keramahan penduduk lokal dapat memperkuat
citra dan branding destinasi pariwisata Bali.
Penulis, Dekan Fakultas Ekonomi dan Humaniora Universitas Dhyana
Pura Badung, Mahasiswa S-3 Pariwisata Udayana Bali.
5
2 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Bali Post” yang berjudul “Kejujuran Profesi Pendobrak
Bobrok Moral Bangsa” Edisi Kamis, 10 Mei 2012
Kejujuran Profesi Pendobrak Bobrok Moral Bangsa Menuju Kebangkitan Iindonesia
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Pada jaman modern saat ini,
hegemoni suku mayoritas, agama
mayoritas, politik mayoritas se-
benarnya tidak hangat lagi kita
bicarakan jikalau kita mampu me-
ngimplentasikan konsep Plato,
konsep Catur Warna ala Hindu,
konsep talenta dan karunia ala kaum
Kristiani. Dimana sebenarnya letak
mis-implentasinya? Padahal tingkat
pendidikan lebih tinggi secara
kuantitas jika kita bandingkan
dengan generasi sebelumnya pada
sebagaian besar masyarakat kita.
Plato telah mengajarkan sebuah
kebangkitan peradaban umat manusia akan penghormatan pada setiap
profesi pada sebuah masyarakat untuk menciptakan sebuah perdamaian.
Golongan pemerintah baiklah mereka dapat memerintah dengan baik
bukan berdagang, begitu juga kelompok prajurit baiklah mereka menjaga
keutuhan bangsanya tanpa harus ingin ikut memerintah, golongan
pedagang baiklah mereka berdagang tanpa harus ingin berpolitik,
6
begitu juga golongan petani baiklah mereka bekerja dengan baik untuk
sebuah pekerjaan mulia agar umat manusia ini dapat bertahan hidup
oleh buah tangannya. Sementara pada konsep catur warna sebenarnya
telah mengajarkan hal yang mulia untuk perdamaian dan kemakmuran
umat manusia namun sangat disayangkan implementasi konsep sebagus
catur warna tersebut berubah menjadi konsep buta warna dan eksistensi
warna semakin tidak jelas. Begitu juga konsep yang diajarkan oleh
Paulus nyaris sama dengan Plato dan Catur warna ala Hindhu, dimana
Paulus juga mengajarkan pada umat manusia agar setia terhadap talenta
dan karunia yang telah dianugerahkan kepada umat masing-masing;
seorang guru baiklah ia mengajar dengan bijaksana, seorang pendoa
baiklah ia dengan setia selalu mendoakan keselamatan seluruh umat
manusia tanpa harus memandang pahala material yang akan dia terima.
Ide-ide mengenai terbentuknya dan berkembangnya sebuah negara
tentu bukan sebuah tema yang menarik apabila dibandingkan dengan
kajian politik kontemporer seperti terbentuknya masyarakat madani
(civil society), demokratisasi, pelaksanaan rule of law, clean government
dan good governance, dan sebagainya (Fadil, 2012). Meningkatnya
jumlah politisi korup, hakim korup, politisi mesum, guru sesat, pendeta
berbisnis, polisi kriminil adalah sebuah gambaran bahwa mereka belum
memahami fungsi dan hakekat dari sebuah profesi atau talenta atau
karunia yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Bulan Mei ini adalah
bulan yang baik untuk kita jadikan bulan perenungan agar kita dapat
bangkit lagi menjadi sebuah bangsa yang terhormat layaknya ala zaman
Sri Wijaya ataupun Majapahit.
Setidaknya ada tiga gerakan yang dapat dipertimbangkan untuk
mewujudkan kebangkitan bangsa menuju cita-cita sebuah bangsa
yang terhormat, yakni; gerakan “enough is enough” artinya gerakan
penyadaran diri agar setiap kita umat manusia sadar bahwa setiap
manusia telah diberikan berkah yang telah disesuaikan dengan kerja
yang telah kita lakukan; gerakan berikutnya adalah “takut akan Tuhan”
yang dapat kita wujudkan dengan memupuk sesering mungkin kadar
keimanan kita kepada Tuhan melalui aktivitas keagamaan yang kita
anut masing-masing; gerakan selanjutnya adalah gerakan “kejujuran
profesi”.
Sementara Socrates menawarkan untuk muwudkan masyarakat
yang adil haruslah sebuah masyarakat dipimpin oleh seseorang yang
bijaksana artinya para pemimpin bijaksanalah yang akan mampu
mengarahkan masyarakatnya dengan baik dan optimal. Pemimpin
yang menghormati profesi dan kejujuran terhadap profesinya juga
7
dianggap mampu mendorong masyarakatnya untuk berlaku jujur dalam
setiap pekerjaannya. Pemimpin yang adil dan tidak berpihak pada yang
besar saja juga dianggap dapat mendorong terjadinya kebangkitan
akan kebanggaan pada sebuah profesi. Kelompok yang besar baiklah
mengayomi yang kecil, yang kuat baiklah ia mau memberdayakan yang
kecil.
Gerakan reformasi yang mulia ini hanya melahirkan sebuah
kontradiksi terhadap pembangunan manusia bangsa ini. Saat ini, justru
semakin sulit untuk dapat membedakan mana kaum militer, mana
kaum sipil, mana kaum pedagang, mana kaum buruh, dan sebagainya
karena mereka sama beringasnya, dan sama kejamnya. Peristiwa Mesuji
Lampung, peristiwa bentrok massa di Solo, peristiwa penyegelan rumah
ibadah di beberapa kota adalah bukti sebuah kontradiksi sebuah gerakan
reformasi.
Kebebasan demokrasi saat ini telah menciptakan manusia-
manusia yang pragmatis, karena pemahaman terhadap sebuah profesi
hanya dianggap sebagai sebuah keuntungan yang diharapkan dapat
memperkaya dan memegahkan diri secara lahiriah semata. Contoh
nyata, jangan harap akan ada pejabat masuk kampung dan mengunjungi
kelompok masyarakat miskin jikalau tidak digelar pemilu atau pilkada
misalnya sebagai sebuah kebobrokan masyarakat yang teramat parah.
Bantuan bencana alam yang dikorup sebuah ironi sifat luhur manusia
jauh dibawah level se-ekor binatang.
Lebih parah lagi, ada pemimpin bejad, korup, dan tirani pada
kelompok yang dianggap tak berdaya akhir-akhir ini juga menjadi
protret suram dan kelam masyarakat kita saat ini. Sebagai contoh
misalnya masih terjadinya pembiaran atas penyegelan rumah ibadah
pada kelompok minoritas tertentu telah menjadi gambaran bahwa
pemerintah kita hanya berpikir cari aman dan hanya menyelamatkan
kekuasaannya semata dan hal tersebut sangat jauh dari karakter seorang
pemimpin bijaksana. Gerakan pembangunan manusia seutuhnya yang
pernah kita dengar tempo dulu mungkin lebih baik kita gerakkan lagi
agar kita dapat menjadi manusia yang manusia, manusia yang tidak
memiliki sifat binatang, manusia yang selalu sadar bahwa manusia
harus utuh secara roh, jiwa, dan raga untuk dapat berkata dengan baik,
berpikir dengan akal sehat, dan bertindak dengan budi yang luhur.
Penulis: I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MMA., MA. adalah Dekan Fakultas
Ekonomika dan Humaniora Universitas Dhyana Pura Bali, Mahasiswa S3
Pariwisata Universitas Udayana Bali.
8
3 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Bali Post” yang berjudul “Perlu Rasionalisasi Pariwisata
Bali di Tengah Paradoks Liberalisasi” Edisi Selasa 29 Mei 2012
Perlu Rasionalisasi Pariwisata Bali di Tengah Paradoks Liberalisasi
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Mengkondisikan Pariwisata
Bali sebagai sebuah objek kajian
pada sisi-sisi negatifnya terkadang
membawa perdebatan yang tidak
pernah ada habisnya, namun
demikian kajian tersebut mestinya
seimbang dengan kajian terhadap
dampak positifnya yang terkadang
terlalu diagung-agungkan dan pada
akhirnya kita terjebak pada sebuah
paradok yang sulit untuk diatasi.
Liberalisasi cenderung ber-
buahkan enclave sehingga tidak
adanya interaksi antara pihak
yang seharus berinteraksi. Sebagai
contoh, kedatangan wisatawan
yang dikelola oleh biro perjalanan asing dari origin country di mana
mereka menggunakan maskapai penerbangan milik perusahaan mereka
sendiri, kemudian mereka menginap di sebuah hotel yang di miliki
oleh manajemen chain dari warga mereka sendiri, berwisata dengan
armada dari perusahaan chain milik pengusaha mereka sendiri, dan
9
dipramuwisatakan oleh pramuwisata dari negerinya sendiri, dan sebagai
akibatnya masyarakat lokal tidak memperoleh manfaat ekonomi secara
optimal atau bahkan tidak bermanfaat sama sekali. Kita mestinya
berhati-hati dengan dampak negative enclave ini karena sulit sekali
untuk diukur namun akibatnya sungguh lebih kejam dari sebuah tindak
korupsi karena sistemnya telah dikorupsi dan akibatnya sangat mungkin
kita akan hanya menjadi pononton di negeri sendiri. Coba kita telusuri
salah satu saja dari sekian banyak kemungkinan enclave, misalnya
seberapa banyak orang Bali yang bisa menjadi pramuwisata mandarin?
Di mana wisatawan China atau Taiwan biasanya berbelanja?, travel
mana yang mereka gunakan? Ke mana mereka berwisata selama di Bali?
Contoh lainnya, banyaknya vila liar yang menantakan rendahnya
rasionaliasi pembangunan di Bali akibat kebebasan terhadap investor
yang berselimut pada globalisasi dan kemampuan financial yang
cenderung menggusur masyarakat lokal.
Tanpa disadari ternyata pembangunan sektor pariwisata yang
berstandar internasional dapat menjadi beban biaya tersendiri bagi
pemerintah dan cenderung akan dibebankan pada sektor pajak dalam
artian untuk membangun infratruktur tersebut, pendapatan sektor pajak
harus ditingkatkan artinya pungutan pajak terhadap masyarakat harus
dinaikkan. Pembangunan pariwisata juga mengharuskan pemerintah
untuk meningkatkan kualitas bandara, jalan raya, dan infrastruktur
pendukungnya, dan tentunya semua hal tersebut memerlukan biaya yang
tidak sedikit dan sangat dimungkinkan pemerintah akan melakukan
re-alokasi pada anggaran sektor lainnya seperti misalnya pengurangan
terhadap anggaran pendidikan dan kesehatan.
Sekarang yang menjadi pertanyaannya, mana lebih penting?
Apakah pembangunan bandara kelas internasional lebih penting dari
pembangunan infrastruktur perdesaan? Sangat sulit kita tentukan dan
mungkin Bali berada pada kondisi ini jika kita bandingkan terhadap
ketimpangan pembangunan antara kabupaten. Bali selatan seolah-olah
terlalu maju dan modern, namun utara dan barat masih nampak melarat.
Peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa dari wisatawan
akan menyebabkan meningkatnya harga secara beruntun, inflasi yang
pastinya akan berdampak negatif bagi masyarakat lokal yang dalam
kenyataannya tidak mengalami peningkatan pendapatan secara
proporsional. Pembangunan pariwisata juga berhubungan dengan
meningkatnya harga sewa rumah, harga tanah, dan harga-harga property
lainnya sehingga sangat dimungkinkan masyarakat lokal tergusur ke
daerah pinggiran. Sebagai konsekuensi logis, biaya pendidikan, dan
10
harga-harga kebutuhan pokok lainnya justru akan menjadi sulit bagi
penduduk lokal. Hal ini juga sering dilupakan dalam setiap pengukuran
manfaat pariwisata terhadap perekonomian pada sebuah negara.
Bagaimana dengan Bali? Bisakah orang Bali membeli tanah di
tempat strategis? Jika ada, mungkin jumlahnya tidak terlalu banyak
dan kecenderungannya justru orang Bali yang menjual tanahnya yang
strategis kemudian pindah ke daerah pinggiran yang pastinya kurang
strategis.
Keanekaragaman industri dalam sebuah perekonomian
menunjukkan sehatnya sebuah negara. Jika ada sebuah negara yang hanya
menggantungkan perekonomiannya pada salah satu sektor tertentu
seperti pariwisata misalnya, sebagai akibatnya ketahanan ekonomi
menjadi sangat berisiko tinggi. Ketergantungan pada kedatangan orang
asing dapat diasosiasikan hilangnya sebuah kemerdekaan sosial dan pada
tingkat nasional, sangat dimungkinkan sebuah negara akan kehilangan
kemandirian dan sangat tergantung pada sektor pariwisata. Ketika Bali
mengalami tragedi bom, perekonomian kita nyaris tak berjalan normal
akibat terlalu mengandalkan industri pariwisata. Mestinya ada industri
alternatif lainnya seperti pertanian, atau perikanan atau apalah.
Campur Tangan Pemerintah
Diperlukan campur tangan pemerintah pada semua level struktur
yang memungkinkan terjadi dampak negatif tersebut. Pemerintah harus
waspada terhadap leakages, enclave dan neo-liberalisasi yang dibonceng
oleh globalisasi pariwisata, dan harus diatur sedemikian rupa untuk
meminimalkan terjadinya leakages atau enclave. Lebih lanjut dapat
diuraikan bahwa penanaman modal asing pada sektor pariwisata dan
kerja sama antara perusahaan-perusahaan domestik dan asing harus
dilakukan dalam hubungan regional, dan dilakukan secara selektif
untuk pembangunan yang bersifat keharusan seperti (1) modernisasi
yang dilakukan secara komprehensif pada sistem yang transparan
khususnya yang berkaitan dengan design dan engineering, equipment
dan supplies (2) Menghindari adanya peluang terjadinya tindak korupsi
pada contract manufacturing. (3) melakukan regulasi pembatasan dan
rasionalisasi. (4) melakukan legal protection khususnya untuk rekanan
perusahaan pariwisata asing pada marketing dan distrubusi dan logistik.
Pemerintah juga dapat meminimalkan terjadinya external leakages
dengan cara membuat model kontrak kerja sama bagi perusahaan
pariwisata dengan investor asing dan supplier dengan perjanjian atau
kesepakatan internasional yang berpihak pada sektor pariwisata regional
11
atau domestik. Pemerintah harus juga dapat menyediakan sistem yang
mendorong pemberdayaan tenaga kerja lokal, sehingga mendorong
adanya inovasi pada industri pariwisata. Pemerintah juga harus
dapat menjamin keberlanjutan pemasaran destinasi, pembangunan
infrastruktur fisik yang baik dapat menciptakan efisiensi distribusi barang
dan jasa dalam negeri dan menjamin iklim bisnis yang kondusif dengan
menjamin adanya stabilitas politik dan keamanan yang terjamin, dan
pada akhirnya pembangunan pariwisata harusnya dapat menciptakan
terwujudnya kualitas hidup yang lebih baik bagi semua stakeholder
pariwisata. Jika usaha-usaha tersebut telah dilakukan oleh pemerintah?
yang mesti dilakukan adalah pengawasan atas penerapannya.
Penulis, Dekan Fakultas Ekonomika dan Humaniora Universitas Dhyana
Pura, Mahasiswa S3 Pariwisata Unud
12
4 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Bali Post” yang berjudul “Terbebas dari Penghalang untuk
Menjadi Warga Negara yang Baik” Edisi Kamis, 20 September 2012
Terbebas dari Penghalang untuk Menjadi Warga Negara yang Baik
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Jabatan senantiasa dipere-
butkan dengan cara yang paling
bijak hingga paling kotor se-
kalipun. Pada kondisi seperti itu,
dapat ditunjukkan bahwa menjadi
pemimpin jauh lebih enak daripada
menjadi pengikut padahal dalam
kenyataannya tidak demikian.
Kenapa persoalan seperti itu bisa
terjadi? Minimnya pengetahuan
dan pembelajaran bagaimana men-
jadi pengikut yang baik nyaris tidak
mendapat porsi yang seimbang
dalam dunia pendidikan kita.
Persoalan terkini, identitas diri
sebagai seorang individu dalam se-
buah bangsa yang seharusnya memiliki self confident, rasa percaya diri telah
tergantikan dengan ketergantungan pada negara lain yang semestinya tidak
harus terjadi, ambil contoh misalnya ketergantungan bahan baku tempe dan
tahu yang harus kita impor kedelainya dari luar negeri padahal jikalau kita
percaya diri sebagai sebuah negara agraris, mestinya itu tidak harus terjadi.
13
Sebagai warga negara yang baik, mestinya kita memiliki integritas
yang tinggi terhadap pelaksanaan aturan dan undang-undang yang
telah ditetapkan oleh negaranya. Ambil contoh misalnya, dalam pemilu
atau pilkada seringkali sebagai warga negara yang baik mestinya kita
tidak mudah untuk menjual hak suara kita dengan sejumlah uang, atau
iming-iming janji yang tidak rasional. Tidak mau menyogok dan atau
disogok adalah bentuk kecil dari sebuah integritas diri.
Kita mestinya mampu hidup dalam kondisi multikultural dengan
sadar bahwa perbedaan dan persamaan ada dalam masyarakat, sehingga
moral dan etik harus dijunjung tinggi dalam masyarakat untuk
menghindari benturan-benturan sosial dalam bermasyarakat. Tidak
membedakan yang sama, dan atau tidak menyamakan yang berbeda
adalah bentuk multikultur yang seharusnya dapat kita pahami.
Kita harus mampu hidup tolong menolong, saling asah dan
asuh, servant interaction, karena itulah hakikat sebenarnya hidup
bermasyarakat. Tekun dan setia terhadap pekerjaan yang kita tekuni
sehingga akan terbentuk sebuah masyarakat yang heterogen dalam
profesi dapat saling melengkapi dan mendukung dalam mewujudkan
pembangunan masyarakat. Seorang hakim baiklah dia menghakimi
dengan seadil-adilnya, seorang pengacara baiklah dia membela hak-hak
kaum yang tertindas, itu adalah bentuk profesionalisme yang sebenarnya.
Sebagai warga negara, mestinya kita memiliki sikap proaktif
dan ikut serta dalam memberikan masukan atau usulan terhadap
terwujudnya cita-cita pembangunan dalam masyarakat, hadir dan
memberikan pendapat dalam sebuah rapat dalam masyarakat adalah
bentuk sikap proaktif yang paling sederhana.
Mestinya, sebagai warga negara, mampu berpikir dan bertindak
global tanpa harus melupakan kelokalan yang ada. Contoh paling
sederhana terhadap pemahaman sikap globally adalah dengan
melakukan adopsi teknologi yang mungkin akan berguna untuk
kemajuan masyarakat, filterisasi budaya asing yang mungkin tidak
sesuai dengan konteks bangsa kita.
Penghalang
Agar masyarakat kita dapat menjadi masyarakat follower yang baik,
mestinya mereka terbebas dari penghalang-penghalang untuk menjadi
warga negara yang baik. Minimal ada tiga penghalang yang semestinya
menjadi agenda pembangunan Bali ke depan, seperti, ketahanan pangan,
kesehatan dan pendidikan.
14
Pertama, ketahanan pangan. Jika masyarakat cukup pangan
menurut standar gizi dan nutrisi yang ideal maka masyarakat akan
hidup sehat. Artinya, pembangunan mestinya tetap diarahkan untuk
memenuhi pangan masyarakat, sehingga harus ada inovasi-inovasi
untuk menggerakkan sektor pertanian khususnya untuk ketahanan
pangan masyarakat. Jika masalah ketahanan pangan ini diabaikan pada
agenda pembangunan Bali ke depan, maka sangat dimungkinkan kita
akan berada pada kondisi yang sangat berisiko tinggi sebagai sebuah
entitas masyarakat Bali yang seharusnya mandiri secara ekonomi.
Persoalan kedua, bidang kesehatan masih kurang mendapat
perhatian yang serius. Karena masyarakat Bali telanjur bersentuhan
dengan internasionalisasi pariwisata, maka persoalan kesehatan,
hygiene dan sanitasi masyarakat tidak dapat dipisahkan dalam agenda
permasalahan pembangunan Bali ke depan.
Ketiga, masih kurangnya perhatian pemerintah pada bidang
pendidikan sangat terasa. Kurangnya fasilitas sekolah negeri, kurang
meratanya kualitas guru, merupakan imbas dari ketimpangan perhatian
pihak terkait. Mahalnya biaya sekolah, pengukuran kinerja sekolah yang
tidak sejujurnya juga menjadi masalah tersendiri terhadap integritas
pendidikan saat ini.
Tiga pokok permasalahan Bali tersebut, mestinya menjadi agenda
pembangunan Bali ke depan. Artinya, jika masyarakat kita terdidik dan
terlatih maka masyarakat akan dapat menjadi pengikut yang baik, dan
pada akhirnya pembangunan akan dapat dilakukan dengan baik. Jika
masalah ketahanan pangan dapat diatasi, maka perekonomian kita akan
stabil dan tidak berisiko tinggi sehingga masyarakat dapat berpikir dan
bertindak rasional dalam bermasyarakat, sementara masalah kesehatan
dan keamanan akan menjadi hal penting dan menjadi faktor kunci
dalam konteks Bali sebagai destinasi pariwisata internasional.
Penulis, Dekan Fakultas Ekonomika dan Humaniora Universitas Dhyana
Pura, kandidat Doktor Pariwisata Universitas Udayana
15
5 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Bali Post” yang berjudul “Wisata Kota, Persembahan untuk
Generasi Emas” Edisi Kamis, 11 Oktober 2012
Wisata Kota, Persembahan untuk Generasi Emas
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Pengembangan Kota Wisata
akan menjadi prospek yang men-
janjikan pada masa yang akan
datang untuk dikembangkan di
Indonesia dengan berbagai ala-
san yang rasional dan dapat di-
pertanggungjawabkan baik secara
ilmiah maupun non-ilmiah. Tidak
dapat disangkal lagi bahwa kota
selalu menjadi pusat perhatian
pembangunan termasuk juga pem-
bangunan sektor pariwisata.
Dari faktor sosial demografi
penduduk kota jauh lebih mudah
menerima isu-isu terkini yang
terkait modernisasi dan pember-
dayaan ekonomi karena memang kaum terpelajar lebih dominan berada
di daerah perkotaan. Sementara jika tren pertumbuhan wilayah, ada
kecenderungan jumlah kota semakin meningkat dari masa ke masa, dan
sementara perdesaan semakin menyempit karena arus modernisasi dan
konversi perdesaan menjadi daerah perkotaan baru.
16
Laporan dari The Comparative Urban Studies Project di Woldrow
Wilson 2006 menjelaskan bahwa telah terjadi pertumbuhan penduduk
perkotaan di dunia dengan sangat berarti sejak tahun 2000-an, 41 persen
dari penduduk dunia tinggal di perkotaan, dan pada tahun 2005 ada 50
persen penduduk dunia tinggal di perkotaan, sementara laporan terakhir
dari World Bank menjelaskan bahwa perkembangan jumlah penduduk
perkotaan relatif tinggi, dan bahkan diprediksi pada tahun 2050, terdapat
85 persen penduduk dunia akan hidup di daerah perkotaan.
Pada tahun 1980, persentase jumlah penduduk kota di Indonesia
adalah 27,29 persen dari jumlah penduduk seluruh Indonesia. Pada
tahun 1990, persentase tersebut bertambah menjadi 30,93 persen.
Diperkirakan pada tahun 2020, persentase jumlah penduduk kota di
Indonesia mencapai 50 persen dari jumlah penduduk seluruh Indonesia
(Nawir, 2008), persentase ini adalah prediksi yang sangat menarik bagi
pengembangan wisata kota di Indonesia. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik 2011, jumlah penduduk Indonesia 2010 usia muda lebih
banyak dibandingkan dengan usia tua. Jumlah anak kelompok usia 0-9
tahun 45,93 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun 43,55 juta jiwa.
Artinya perencanaan wisata kota Indonesia adalah persembahan untuk
generasi emas Indonesia.
Dari paparan empiris tersebut di atas, pengembangan wisata kota
nyaris di seluruh dunia akan menjadi tren yang relatif penting untuk
dipikirkan dalam tujuan pemberdayaan masyarakat.
Daya Tarik Daerah Perkotaan?
Coba kita rinci dari beberapa unsur, misalnya unsur aksesibilitas,
di mana bandara, infrastruktur jalan raya, fasilitas publik selalu kita
temukan lebih baik daripada daerah perdesaan. Sementara jika kita
lihat dari unsur atraksi atau daya tarik, hampir sebagian besar objek dan
atraksi wisata berada di daerah perkotaan. Lalu jika kita lihat dari unsur
amenitas, sangat jarang seorang pebisnis atau investor mau membangun
hotel atau restoran di daerrah perdesaan. Dan pada akhirnya jika kita
lihat dari unsur ensileri atau kelembagaan kepariwisataan, nyaris
sebagaian besar berpusat di daerah perkotaan.
Berikut Sumber daya yang melekat di sebuah kota yang dapat
dikemas menjadi daya tarik wisata. Balai Kota, hampir setiap kota
memiliki Balai Kota yang sengaja dibangun untuk digunakan sebagai
jantung pemerintahan kota. Bangunan ini biasanya dibangun dengan
arsitektur yang sangat indahnya dan memiliki karakteristik tertentu
sesuai ciri khas sebuah kota.
17
Kawasan jalan tertentu yang biasanya memiliki mitologi tertentu
seperti horor, nostalgia, historis, heroik, dan sebagainya yang biasanya
melekat dan menjadi ciri khas tersendiri bagi setiap kota.
Monumen Kota, yang memiliki pesan edukasi historis atau sosial
atau religius yang biasanya juga dimiliki oleh kota-kota di Indonesia.
Kuliner juga menjadi daya tarik tersendiri yang dapat dikemas oleh
setiap kota di Indonesia untuk menjadi daya tarik wisata.
Kampus atau universitas yang memang dirancang dan citrakan
sebagai aset kota yang dapat dijadikan daya tarik wisata edukasi, dan
ciri ini juga dimiliki hampir sebagian besar kota-kota di Indonesia.
Mal atau pusat perbelanjaan atau pasar tradisional juga menjadi ciri
khas bagi setiap kota dan akan menjadi daya tarik yang amat penting
untuk dikemas menjadi daya tarik wisata kota.
Alun-alun dan taman kota adalah ruang terbuka yang biasanya
menjadi daya tarik wisata kota dan juga melekat pada identitas sebuah
kota.
Museum kota juga dimiliki sebagian besar kota-kota di dunia yang
biasanya dikelola sebagai bagian dari wujud pelestarian terhadap benda-
benda purbakala warisan sebuah kota yang mungkin bernilai mitos atau
warisan budaya.
Pasar malam juga menjadi ciri khas sebuah kota dan pasar malam
merupakan denyut jantung perekonomian sebuah kota, dan jika dapat
dikelola secara profesional akan dapat menjadi daya tarik wisata kota.
Banyak lagi potensi daya tarik wisata kota yang dapat dikembangkan
seperti taman rekreasi dan sebagainya mengikuti kreativitas dan daya
inovasi pemerintah kota setempat.
Integrasi Unsur Terkait
Pengembangan wisata kota akan menjadi tren menarik pada masa
depan berdasarkan banyak alasan yang rasional. Namun, demikian
potensi yang bagus akan lebih berhasil jika dapat dikembangkan dan
dikelola dengan manajemen kota yang terintegrasi dalam konsep
totalitas produk wisata yang saling terkait dengan yang lainnya.
Minimal ada empat unsur yang harus diintegrasikan yakni unsur
atraksi atau daya tarik wisata, unsur amenitas atau infrastruktur dan
fasilitas pendukung, unsur aksesibilitas berupa publik transportasi yang
baik, manajemen transportasi yang efisien dan efektif. Integrasi yang
tidak kalah pentingnya adalah unsur ensileri yang merupakan software
dari totalitas produk wisata kota sebagai pengendali, pengoperasi, dan
18
evaluator. Unsur ensilari dapat dibentuk dalam sebuah badan khusus
atau komite atau apalah namanya yang penting ada yang merencanakan,
ada yang menjalankan, dan harus ada yang mengontrolnya agar apa
yang diharapkan dari pengembangan wisata kota dapat berhasil sebagai
persembahan untuk generasi emas Indonesia yang cerdas, cermat, dan
bijak dalam pengelolaannya.
”Laporan dari The Comparative Urban Studies Project di Woldrow
Wilson 2006 menjelaskan bahwa telah terjadi pertumbuhan penduduk
perkotaan di dunia dengan sangat berarti sejak tahun 2000-an, 41
persen dari penduduk dunia tinggal di perkotaan, dan pada tahun
2005 ada 50 persen penduduk dunia tinggal di perkotaan, sementara
laporan terakhir dari World Bank menjelaskan bahwa perkembangan
jumlah penduduk perkotaan relatif tinggi, dan bahkan diprediksi pada
tahun 2050, terdapat 85 persen penduduk dunia akan hidup di daerah
perkotaan”.
Penulis, Dekan Fakultas Ekonomika dan Humaniora Universitas Dhyana
Pura Bali, kandidat Doktor Pariwisata Universitas Udayana Bali
19
6 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Majalah Bali Post” yang berjudul “Membersihkan Generasi
Muda dari Virus Korupsi” Edisi 26 Oktober - 1 Nopember 2012
Membersihkan Generasi Muda dari Virus Korupsi
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MMA., MA.
Permasalahan Pemuda di Indonesia
Sangat mempri-
hatinkan, kurangnya
kesempatan kerja bagi
masyarakat khususnya
pemuda masih dianggap
menjadi tanggungjawab
pemerintah saja terbukti
masih rendahnya minat
kaum muda untuk
menjadi wirausahawan
atau menjadi pekerja
mandiri. Kita tidak
bisa menutup mata
terhadap kenyataan bangsa khususnya kondisi pemuda saat ini, bahwa
belakangan para pemuda mengalami degradasi dalam fungsinya sebagai
nasionalis muda yang semestinya siap mengambil tongkat estapet para
pendahulunya. Pemandangan penyedihkan justru marak kita lihat,
sangat bertentangan dengan nilai-nilai sumpah pemuda yakni persatuan
dan kesatuan pemuda sebagai sebuah bangsa yang utuh secara ideologi,
20
tanah air, dan tatanannya. Geng Motor, Tawuran, Ormas-ormasan yang
tidak jelas tujuannya, juga telah menjadi nila yang mengotori kemurnian
kebangkitan pemuda menuju bangsa yang besar dan beradab.
Kalau dulu musuh kita adalah para penjajah yakni Belanda, dan
Jepang, namun kini sungguh sangat sulit kita temui musuh seperti
apakah yang sedang kita hadapi?. Musuh bersama bangsa Indonesia
saat ini adalah kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan. Ketiga hal
tersebut tidak akan terjadi jika korupsi tidak merajalela di negeri kita.
Pada konteks korupsi, bukan banyak atau sedikit jumlah orang yang
terlibat atau berapa besar jumlah uang yang dikorupsi, tetapi lebih
pada akibat yang ditimbulkan bagi masyarakat luas adalah paling tepat
untuk mengukurnya. Meluasnya praktik korupsi di suatu negara akan
memperburuk kondisi ekonomi bangsa, misalnya harga barang menjadi
mahal dengan kualitas produk yang buruk, akses rakyat terhadap
pendidikan dan kesehatan menjadi sangat sulit, keamanan suatu negara
semakin terancam, kerusakan lingkungan hidup semakin parah, dan
citra pemerintahan yang semakin buruk di mata internasional sehingga
dapat menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal asing,
menyebabkan krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan pada kondisi
tersebut, negarapun menjadi semakin terperosok dalam kemiskinan dan
pembengkakan hutang negara yang berkepanjangan.
Catatan dari Transparansi Internasional (TI) Indonesia
menjelaskan bahwa, “Sekitar 30% sampai 40% dana menguap akibat
dikorupsi” 70% dari praktik korupsi terjadi pada pengadaan barang
dan jasa oleh pemerintah. Jika 40% dana APBN per tahun yang hilang
tersebut tidak terjadi, maka akan ada sekolah gratis sampai perguruan
tinggi, biaya kesehatan gratis, perumahan murah, kenaikan pendapatan,
listrik murah, modal usaha rakyat, air bersih siap minum, transportasi
umum bagus, jalanan dan jembatan bagus, rel kereta ganda seluruh
pulau besar, fasilitas umum dan sosial bagus, lebih banyak bandara dan
pelabuhan, industri tumbuh, jaminan sosial bagi seluruh rakyat, alutsista
cukup dan dalam kondisi baik dan baru, hutang negara bisa diselesaikan
dan lain-lain yang tentunya akan semakin menyejahterakan masyarakat,
yang pada akhirnya meningkatkan martabat bangsa.
Catatan Indonesia Corruption Perception Index 2012 bahwa
Index Korupsi di Indonesia semakin memburuk. Pada tahun 2009 CPI
Indonesia berada pada ranking 111, namun meningkat atau memburuk
menjadi 118 pada tahun 2012. BPS menyimpulkan bahwa pendidikan
berpengaruh cukup kuat pada semangat anti korupsi. Indeks Perilaku
Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2012 sebesar 3,55 dari skala 5 yang berarti
21
masyarakat Indonesia sebenarnya telah berada pada kecenderungan
anti korupsi. IPAK pada wilayah perkotaan sedikit lebih tinggi (3,66)
dibanding di wilayah perdesaan (3,46). IPAK cenderung lebih tinggi
pada responden usia kurang dari 60 tahun dibanding usia 60 tahun ke
atas. IPAK penduduk usia kurang dari 40 tahun sebesar 3,57, usia 40
sampai 59 tahun sebesar 3,58 dan 60 tahun ke atas sebesar 3,45. Hasil
survei tersebut menyiratkan bahwa semangat anti korupsi antara usia
tua dan usia muda tidak berbeda secara signifikan. Namun ada temuan
yang cukup menarik bahwa Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi
IPAK. Responden berpendidikan SLTP ke bawah sebesar 3,47, SLTA
sebesar 3,78 dan SLTA ke atas sebesar 3,93. Pendidikan berpengaruh
cukup kuat pada semangat anti korupsi (BPS, Mei 2013).
Budaya sebagai Benteng Terakhir Untuk Menumpas Korupsi
Perubahan Budaya adalah pilihan yang paling mungkin untuk
mengurangi tindak korupsi. Perubahan terhadap perilaku para pemuda,
para orangtua, guru, para pimpinan perusahaan, dan penerapan hukum
melekat pada sebuah budaya dalam masyarakat itu sendiri adalah metode
dan teknik yang mungkin sangat ampuh. Perubahan “mental software”
harusnya telah terbentuk sejak masa kanak-kanak dari apa yang pernah
dipelajari hingga seseorang bertumbuh menjadi dewasa. Sebenarnya
korupsi telah ada sejak dulu kala, sejak jaman kejayaan Kong Fu ze,
telah menganggap bahwa stabilitas dalam masyarakat akan terjadi jika
minimnya ketidakadilan, artinya semakin besar ketidakadilan maka
semakin besar pula kemungkinan stabilitas akan terganggu termasuk
stabitas keuangan sebuah negara. Selanjutnya, Plato berpendapat
bahwa untuk mewujudkan stabilitas harus dimulai terpenuhinya
kebutuhan pokok masyarakat bawah, dan juga tergantung pada cara
kelompok elit memimpin yang tercermin dari budaya memimpin dan
kepemimpinan sebagian besar masyarakat Indonesia yang cenderung
feodal harus segera dihapuskan, dan bila perlu melarang terjadinya
pengelompokan masyarakat dan kepemimpinan saat ini yang mengarah
pada “monarchism” atau keraja-rajaan.
Membangun Kejujuran Sejak Usia Dini
Korupsi saat ini telah mengalami mutasi, tidak hanya berbentuk
uang namun lebih daripada itu yakni berupa hal-hal kecil pada awalnya
seperti: “mengkatrol nilai siswa saat ujian padahal siswa tersebut
seharusnya belum lulus, mencatat miskin warga yang seharusnya sudah
tidak terkategori miskin, dan banyak hal yang tidak sesuai dengan
etika, moral, dan estetika dalam bermasyarakat yang beradab. Hukum
22
yang tidak mampu menghukum, Lembaga pemasyarakatan “LP” yang
tidak mampu lagi menyadarkan para penghuninya. Sudah saatnya kita
menambah lapis pertahanan dengan pendekatan budaya dan membangun
kejujuran. Karena begitu parahnya kondisi korupsi dan besarnya dampak
yang ditimbulkannya, sudah selayaknya semua komponen masyarakat
berpadu pacu untuk mencari jalan keluar mengurangi tindak korupsi.
Tentunya usaha yang terbaik adalah dimulai dari diri sendiri untuk tidak
toleran dengan hal-hal yang mengarah pada tindakan korupsi seperti
disuap, dan menyuap sekecil apapun bentuknya.
Penulis: Pengajar Matakuliah Pendidikan Anti-Korupsi tingkat Perguruan
Tinggi dan Wakil Rektor Bidang Akademik & Kemahasiswaan Universitas
Dhyana Pura Bali
23
7 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Bali Post” yang berjudul “Pertanian dan Kedaulatan
Bangsa” Edisi Senin, 21 Januari 2013
Pertanian dan Kedaulatan Bangsa
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Sebelum krisis ekonomi tahun
1998, Indonesia pernah menjadi
negara dengan kekuatan ekonomi
baru barada bersama-sama de-
ngan Malaysia dan Thailand.
Indonesia sempat menjadi model
pembangunan ekonomi yang
bekelanjutan khususnya untuk negara
sedang berkembang dengan per-
tumbuhan ekonomi yang cukup baik
(Tambunan, 2006). Saat ini sektor
pertanian masih memegang peranan
penting karena hampir 45% (41 juta)
penduduk Indonesia bekerja pada
sektor ini dari 100 juta angkatan kerja
yang ada. Rata-rata berkontribusi
17% terhadap GDP (DepTan Indonesia, 2005). Menurut ADB, masyrakat
miskin mayoritas bekerja sebagai petani, dan jika 45% penduduk Indonesia
adalah petani, berarti penduduk miskin Indonesia masih cukup tinggi.
Biro Pusat Statistik Indonesia juga menunjukkan bahwa sampai
Agustus 2010,jumlah tenaga kerja Indonesia di bidang pertanian,kehutanan
24
dan perikanan adalah 41,4 juta dari total angkatan kerja sebanyak 108,2 juta,
sedangkan sisanya terdistribusi dalam delapan bidang pekerjaan lain. Hal
ini menunjukkan bahwa bidang pertanian sesungguhnya paling potensial
dalam menyerap tenaga kerja. Persoalannya adalah bagaimana membuat
pasar tenaga kerja pertanian tersebut diisi oleh orang-orang yang benar-
benar potensial, mempunyai visi dan instink bisnis yang kuat sehingga
dapat menggerakkan investasi besar di bidang pertanian.
Menurut Yuwono (2011) membangun pertanian adalah
membangun citra dan kedaulatan Indonesia menuju kejayaan yang
pernah disandang oleh Indonesia sebagai negara agraris yang kuat, kaya
dengan sumber daya dan hasil pertanian yang berkualitas tinggi di mata
internasional. Sekarang yang menjadi persoalannya adalah, bagaimana
cara membangun dan membangkitkan gairah untuk membangun sektor
pertanian tersebut?
Dalam artikel berjudul Want to Make More than a Banker? Become
a Farmer!, Stephen Gandel menulis bahwa di Amerika Serikat saat ini
mulai timbul kesadaran bahwa menjadi petani adalah pekerjaan paling
bagus pada abad ke-21. Penghasilan petani meningkat tajam karena
kenaikan harga pangan. Meskipun ada keraguan di beberapa pihak,
namun Jim Rogers, seorang penulis terkenal mengenai investasi merasa
sangat yakin bahwa pertanian akan meningkat secara dramatis dalam
beberapa dekade ke depan, lebih cepat dibanding dengan industri-
industri yang lain, bahkan termasuk Wall Street sebagai kiblat investasi.
Beberapa tahun terakhir, karena adanya kenaikan bisnis biofuel, bisnis
pertanian telah tumbuh sangat meyakinkan. Pada saat ekonomi secara
keseluruhan hanya tumbuh pada laju 1,9%, penghasilan dari bidang
pertanian telah meningkat sebesar 27% tahun sebelumnya. Sementara
itu, harga-harga real estate telah jatuh lagi tahun tersebut. Saat ini bisnis
pertanian telah menjadi salah satu investasi paling panas di Wall Street.
Bagi Bali, dan juga Indonesia secara umum, jalan keluar untuk
membangkitkan sektor pertaian Indonesia, yakni mereka yang akan
berkecimpung dalam bidang pertanian, sebagai mahasiswa maupun
pengusaha pertanian, tentu memerlukan jaminan masa depan pertanian
dan pemerintah mesti memberikan dukungannya. Seperti contoh yang
terjadi di Amerika Serikat, booming bisnis pertanian telah memengaruhi
juga pasaran kerja, baik yang terkait dengan pertanian secara langsung
maupun industri lain, misalnya industri perangkat penyimpanan hasil
pertanian dan industri perumahan di daerah-daerah pertanian.
Tantangan yang harus dihadapi Indonesia untuk membuat
pertanian menjadi ladang investasi dan jaminan masa depan yang
25
menarik memang cukup berat karena persoalannya cukup kompleks,
meskipun banyak di antaranya lebih disebabkan oleh kebijakan
pemerintah yang setengah hati, misalnya kebijakan impor produk
pertanian yang bersaing langsung dengan produk lokal walaupun
demikian, tidak ada yang dapat memungkiri peranan pertanian bagi
tegaknya suatu negara. Kemampuan suatu negara untuk mencukupi
kebutuhan pangan bagi warganya merupakan faktor kritis yang
menentukan apakah suatu negara dapat menegakkan kedaulatannya
khususnya kedaulatan pangan. Oleh karena itu menempatkan pertanian
dalam posisi yang setara dengan bidang-bidang keilmuan dan usaha yang
lain, keteknikan, kedokteran, manajemen dan lain-lain, menjadi suatu
keharusan. Persoalannya adalah, apakah negara mampu meyakinkan
masyarakat bahwa belajar ilmu pertanian, atau berinvestasi di bidang
pertanian, dapat memberikan jaminan masa depan yang menjanjikan?
Meskipun demikian, masyarakat juga perlu membuka kesadaran diri
untuk memberikan penghargaan yang layak bagi petani dan usaha
tani dan tidak menempatkannya dalam posisi yang inferior dibanding
dengan bidang lain.
Menurut Pitana (2005),membangun pariwisata adalah membangun
sebuah citra suatu destinasi, dan wilayah yang akan dikembangkan
menjadi agrowisata mempunyai citra (image) tertentu,yang akan menjadi
“mental maps” seseorang terhadap suatu destinasi. Sektor pertanian
Indonesia telah menjadi Citra yang kuat bagi Indonesia sebagai negara
agraris kenapa kita tidak memanfaatkan citra tersebut untuk melakukan
kolaborasi dengan sektor yang lebih seksi semisal sektor pariwisata?
Para akademisi dan praktisi pariwisata telah mencoba untuk menolong
sektor pertanian yang nyaris mati suri ini dengan mengembangkan
agrowisata. Khusus di Bali, telah ada beberapa pengusaha lokal yang
peduli, semisal agrowisata di Pelaga dan Petang, agrowisata salak di
Karanggasem, dan juga agrowisata apel di Malang, dan sebagainya. Jika
agrowisata dapat dikembangkan secara masif di Indonesia, maka jalan
untuk mengentaskan masyarakat miskin dari kubangan kemiskinan
tersebut semakin menemui jalan terang setidaknya pariwisata dapat
menjadi penolong bagi program pengentasan kemiskinan tersebut dan
lambat laun sektor pertanian dapat dibangkitkan kembali seperti yang
terjadi di Amerika saat ini.
Penulis: Dekan Fakultas Ekonomika dan Humaniora Universitas Dhyana
Pura, Kandidat Doktor Pariwisata Universitas Udayana, Bali.
26
8 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Bali Post” yang berjudul “Menguak Etos Buruk dan Bangkit
dari Keterpurukan” Edisi Kamis, 21 Maret 2013
Menguak Etos Buruk dan Bangkit dari Keterpurukan
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Berita tentang korupsi, pem-
bunuhan, penipuan, seremonial yang
penuh protokoler,pegawai pemerintah
yang bekerja mengecewakan
masyarakat, hingga kawin-kawinan
“sirih” nyaris tidak pernah lepas dari
bidikan awak pencari berita. Bangsa
seperti apa sebenarnya kita ini?.
Cerita-cerita tentang kebesaran nenek
moyang kita, dari cerita Sri Wijaya
dan Majapahit nyaris terdengar hanya
sebuah dongeng belaka karena tidak
sedikitpun bersinggungan dengan
karakter bangsa Indonesia kekinian.
Kebobrokan etos bangsa ini telah
menggerogoti nyaris semua sendi-
sendi masyarakat saat ini. Oknum perwira yang korup, politisi yang ingkar
janji, hakim yang berjual-beli kasus, kesemuanya itu bukan menjadi rahasia
lagi. Semuanya itu terjadi karena buruknya etos kerja bangsa kita?
Menurut Lubis (1977), etos kerja orang Indonesia cenderung:
(1) Munafik karena lebih suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati;
27
(2) Enggan bertanggung jawab, lebih suka mencari kambing hitam;
(3) Berjiwa feodal lebih gemar upacara, suka dihormati daripada
menghormati dan lebih mementingkan status daripada prestasi;
(4) Percaya takhyul, lebih gemar hal keramat, mistis dan gaib; (5)
Berwatak lemah sehingga kurang kuat mempertahankan keyakinan,
dan gampang terintimidasi. Menurutnya, dari kesemuanya, hanya
ada satu yang positif, yaitu (6) Artistik; dekat dengan alam. Dengan
melihat keadaan saat ini, ini merupakan kenyataan pahit, yang
memang tidak bisa kita pungkiri, dan memang begitu adanya. Etos
kerja tersebut di atas merupakan gambaran mayoritas dari masyarakat
Indonesia yang seharusnya menjadi perhatian mulai dari pemerintah,
institusi, kelompok profesi dan individu pekerja itu sendiri. Etos
kerja merupakan komponen penting yang menentukan produktivitas
suatu organisasi yang secara nasional akan menentukan kualitas suatu
bangsa. Etos kerja sangat berhubungan dengan etika, baik individu,
kelompok, maupun institusi. Pengalamanan di beberapa negara yang
telah menjadi kuat dan maju cenderung dipicu oleh adanya perubahan
etos kerja yang diperkenalkan oleh pemimpin sebuah negara. Sebagai
misalnya, di India telah terjadi perubahan etos serta karakter bangsa dari
kekerasan menjadi cinta damai, dari ketergantungan menjadi percaya
diri. Sejatinya kita juga mendambakan seorang tokoh yang negarawan,
negarawan yang memimpin, pemimpin yang memimpin, pemimpin
yang bisa dijadikan teladan. Salah satu tokoh negarawan yang pernah
dikagumi oleh banyak orang hingga saat ini adalah Mahatma Gandhi.
Ketika India masih dijajah Inggris, Gandhi menjadi seorang pemimpin
yang berhasil membawa India keluar menjadi bangsa yang merdeka.
Gandhi percaya bahwa setiap orang harus dapat menjadi pembawa
perubahan untuk melihat apa yang mereka inginkan dapat terjadi di
dunia ini. Dia merupakan seorang pemimpin yang revolusioner, namun
ia membawa India menjadi bangsa yang merdeka tanpa memulai
sebuah revolusi. Bahkan ia melakukannya tanpa kekerasan sama sekali.
Gerakan Satyagraha yang dipimpinnya berhasil membawa perubahan
bagi sebuah bangsa yang dahulu terpuruk hingga saat ini menjadi
bangsa yang diperhitungkan dalam peta perdagangan dunia.
Sejatinya kita mendambakan pemimpin yang mampu menjadi
motivator untuk merubah etos buruk yang terlanjur tertanam pada generasi
kita saat ini. Etos kejujuran yang anti korupsi, Etos hidup sederhana, Etos
disiplin dalam segala hal, berintegritas dan setia bangsa, etos bertanggung
jawab, etos ksatria dan sportif, memiliki rasa malu, dan takut akan Tuhan
adalah esensi dari semua ajaran agama di dunia ini.Sejatinya kita merindukan
28
pemimpin yang berkarakter. Karakter dan kepemimpinan adalah dua hal
yang tidak dapat dipisahkan apabila seseorang ingin menjadi pemimpin.
Kepemimpinan bukan hanya berbicara hal-hal di luar dirinya, tetapi juga
hal-hal yang ada di dalam dirinya.
Solusi untuk keluar dari keterpurukan, mestinya dimulai dari
kesungguhan kita bersama membangun pendidikan karakter bangsa
sedari dini hingga peguruan tinggi, dan bila diperlukan sebagai syarat
kelulusan setiap jenjang pendidikan adalah terbentuknya standar
minimum pada setiap wisudawan yang berkarakter. Sudah terlalu banyak
kurikulum kita dijejali dengan pembentukan hardskills, dan cenderung
kita meremehkan pendidikan softskills, dan dampak buruknya telah
terlihat tatkala saat ini lebih banyak ditemukan para pemuda yang
lebih memilih bertahan dalam kehidupan yang serba metropolis yang
konsumtif. Fakta lainnya, sikap hedonisme yang tinggi pula yang justru
telah mendorong kaum muda untuk bergairah meraih kenikmatan
fisik, kenikmatan psikologis, dengan lebih mengutamakan egoisme,
dan pragmatis dalam mencapai tujuan hidupnya. Buah negatif lainnya,
para pemuda lebih cenderung memiliki sikap yang individualistis dan
egois. Tawuran antar pelajar, antar perguruan tinggi, antar warga, juga
bukan menjadi keheranan lagi. Dan akhirnya sangat sulit kita temukan
para pemuda berjiwa patriot dan nasionalis untuk dapat memikirkan
kebangkitan suatu bangsa dari keterpurukannya.
Kalau urusan santet dan sihir dapat kita buatkan RUU-nya, mestinya
urusan pendidikan karakter juga bisa. Hasil dari pendidikan karakter saat
ini, mungkin tidak bisa kita lihat buahnya saat ini juga, karena pendidikan
karakter itu setidaknya bermula dari kebiasaan, kemudian menjadi tradisi,
dan selanjutnya menjadi karakter, dalam artinya untuk membentuk
karakter diperlukan waktu yang cukup panjang. Setidaknya, parameter
pendidikan karakter bangsa kita, baru akan nampak 20 tahun yang akan
datang dengan parameter yang dapat kita ukur, misalnya berkurangnya
tingkat korupsi, meningkatnya prestasi olahraga di tingkat internasional,
meningkatnya kuantitas dan kualitas hasil penelitian para pelajar,
mahasiswa, guru, dan para dosen. Meningkatnya jumlah guru besar yang
menghasilkan karya tulis dan hak paten. Meningkatnya jumlah para
pelajar yang memenangi olimpiade ilmiah.
Penulis: Dosen Tetap dan Wakil Rektor Bidang Akademik & Kemahasiswaan
Universitas Dhyana Pura, Karyasiswa Program Doktor Pariwisata
Universitas Udayana.
29
9 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Bali Post” yang berjudul “Ironi Pariwisata dan Komitmen
Bali Ajeg” Edisi Senin, 13 Mei 2013
Ironi Pariwisata dan Komitmen Bali Ajeg
Oleh I Gusti Bagu Rai Utama
Walaupun, tidak seorangpun
dapat mengangkal bahwa pa-
riwisata Bali telah menjadi lo-
komotif pembangunan beberapa
tahun terakhir ini, namun loko-
motif itu sebaiknya tetaplah men-
jadi lokomotif dan harus dapat di-
kendalikan agar tetap pada jalur
idealisme yang sesungguhnya bagi
pembangunan Bali. Persoalan saat
ini tentang Bali adalah Sektor pa-
riwisata terlalu mendominasi untuk
menarik minat generasi muda,
dan bahkan cenderung melalaikan
sektor lainnya sebut saja misalnya
sektor pertanian dalam artian luas.
Ada anggapan bahwa pembangunan Bali kontradiktif dengan idealisme
Bali Ajeg khususnya berhubungan dengan budaya Bali yang sebenarnya
tidak bisa dipisahkan dari “agriculture” atau budaya bertani, dan
kondisi pembangunan yang terlalu mengandalkan sektor jasa sebagai
penerimaan utama adalah sangat beresiko tinggi.
30
Pariwisata Bali sebagai sektor utama bagi Bali dalam kenyataannya
ternyatatelahkehilanganidealisme.Ketikakapitalismetelahmendominasi
pulau ini, ketika kreativitas seni berubah kearah komersialisasi, ketika
orang Bali tidak merasa hidup dan tinggal di Bali lagi, pada saat itulah
kita sebenarnya telah kehilangan idealisme pembangunan. Ketika para
buruh bekerja pada hotel bertaraf internasional namun harus puas
dengan standar gaji lokal, ketika para pengerajin harus bekerja sebagai
buruh tidak lagi sebagai seniman, ketika para pemahat dan pelukis
bekerja bukan atas inspirasi dari jiwanya, maka pada saat itu juga Bali
sedang berada pada ujung kehancuran identitasnya. Dalam konteks ini,
unsur penunjang mestinya tidak melebihi daya dukung yang diperlukan
oleh Bali. Jika kita mengingat kembali konsep hidup orang Bali yang
amat luhur yakni Tri Hita Karana dan jika kita hubungkan dengan
konsep pembangunan berkelanjutan tentang keseimbangan ”people-
profit-planet” maka ada tiga masalah besar yang sedang dihadapi Bali.
Ironi Kemacetan dan Polusi: tidak satupun kota yang memiliki
idealisme agar terjebak pada masalah kemacetan dan polusi, termasuk
juga Bali, sejalan dengan hal ini, sudahkah pemerintah Bali memiliki
perencanaan untuk mengatasi kemacetan transportasi dan polusi?.
Sangat langka kita dengar, padahal isu-isu dan prediksi telah lama
disampaikan oleh para ahli transportasi, sementara masalah tersebut
telah mulai terjadi, pemerintah kurang memiliki respon untuk masalah
ini, jikalaupun ada perencanaan tentang program ini, biasa hanya
manis di atas kertas namun buruk pada pelaksanaan karena kurangnya
ketegasan dan akhirnya menyebabkan lemahnya disiplin masyarakat.
Program pembangunan dibuat berdasarkan selera siapa yang menjadi
pemimpin bukan menjadi rahasia lagi dan pastilah program semacam
ini sangat diragukan keberlanjutannya.
Ironi Kerusakan Lingkungan: Kebanyakan kota kota di Eropa,
sebut saja misalnya kota-kota di Belanda, masalah lingkungan mendapat
perhatian yang sangat serius, hal ini dapat kita lihat dari manajemen
pengelolaan sampah yang sangat profesional. Burung-burung hidup
dengan aman hidup berdampingan dengan manusia, telah menjadi
pemandangan yang sangat mengagumkan di negeri tersebut. Hal ini
dimungkinkan karena pemerintahnya yang sangat tegas, sehingga
mengharuskan masyarakat harus disiplin terhadap lingkungan patutlah
kita contoh untuk pembuatan program mengatasi kerusakan lingkangan
di pulau Bali ini. Hilangnya jalur hijau serta pertumbuhan daerah
”urban” yang berkembang bagaikan amuba sungguh akan memperparah
masalah lingkungan kedepan. Konservasi dan proteksi terhadap lahan-
31
lahan produktif untuk pertanian sangat perlu dilakukan, tidak mudah
untuk melakukan alih fungsi lahan, jikalapun ada sabaiknya diarahkan
untuk memberdayaan masyarakat lokal, dan tidak mudah meniru pola
pembangunan Nusadua dan Kuta yang terlanjur kapitalis.
Ironi Kerusakan tatanan sosial dan budaya: Ketika orang Bali
mulai terpingirkan secara ekonomi dan geografis, pada saat itulah kita
sebenarnya telah mengalami kerusakan tatanan sosial dan budaya. Orang
Bali yang sangat mudah menjual tanah-tanah mereka karena tergiur
mahalnya harga tanah juga telah mempercepat hancurnya tatanan sosial
dan budaya Bali. Ejekan bahwa ”orang Bali jual tanah untuk beli bakso
dan orang lain jual bakso untuk beli tanah” bisa menjadi kenyataan
yang menyakitkan bagi kita semua. Orang Bali yang berubah menjadi
masyarakat konsumer menjadi indikator kelemahan kita menghadapi
proses modernisasi dan globalisasi yang dibonceng oleh kemajuan sektor
pariwisata. Para generasi muda Bali yang sangat mudah terpengaruh
muatan negatif modernisasi yang dibawa oleh kemajuan pariwisata juga
telah mencirikan hilangnya idealisme pembangunan pariwisata Bali.
Kafe remang-remang yang bertumbuh dan bertebaran seantero pulau
Bali ini juga memberikan gambaran bahwa kita belum dewasa untuk
menentukan diri kita sendiri. Ketika semua aspek kehidupan diserahkan
pada mekanisme pasar, sebenarnya kita telah rela menjadi budak-budak
globalisasi yang amat jauh dari idealisme pembangunan Bali.
Pembangunan apapun bentuk dan programnya sebaiknya tetap
berpegang pada idealisme pembangunan Bali yang seharusnya telah
tertuang dalam visi dan misi pembangunan Bali kedepan berlandaskan
pada Tri Hita Karana. Harapannya tercipta kedamian dalam kehidupan
bermasyarakat, damai untuk memperoleh kesempatan berusaha, damai
dengan lingkungan dan pada akhirnya kualitas hidup orang Bali dapat
diwujudkan senyatanya. Mestinya Pembangunan Pariwisata Bali
dikelola dibawah lima aspek: keadilan, efektivitas, efisiensi, kredibilitas,
dan integrasi. Pembangunan yang adil adalah pembangunan untuk
semua orang Bali tanpa pilih kasih dan tanpa berpihak pada golongan
tertentu. Pembangunan yang efektif adalah pembangunan yang mampu
meminimalkan dampak negatif dan menghasilkan hal positif untuk
Bali Ajeg. Pembangunan yang efisien adalah pembangunan yang
mampu menjangkau masyarakat miskin sekalipun. Pembangunan
kredibel adalah pembangunan yang bertanggungjawab dan benar-benar
dibutuhkan untuk bangsa ini bukan ditentukan oleh kepentingan para
investor saja. Pembangunan yang terintegrasi adalah pembangunan
yang tersistem dan memiliki keterkaitan “linked system” dengan sektor
32
lainnya sehingga memiliki dampak pengganda bagi sektor lainnya untuk
berkembang, bukan mematikan sektor yang telah ada.
Penulis: Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas
Dhyana Pura, Karyasiswa Program Doktor Pariwisata Universitas
Udayana.
33
10 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Bali Post” yang berjudul “Parasit di Tengah Pertumbuhan
Indonesia” Edisi Kamis, 10 Oktober 2013
Parasit di Tengah Pertumbuhan Indonesia
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MMA., MA.
POTENSI yang dimiliki
Bangsa Indonesia luar biasa
besarnya. Hal tersebut dapat dilihat
dari beberapa indikator yakni
jumlah penduduk dominan berada
pada usia produktif, sumber daya
alam melimpah, dan wilayah yang
luas. Namun, disayangkan bahwa
tingkat pendidikan masyarakat
Indonesia masih kurang. Sekitar
92% pendidikannya masih SLTA
ke bawah, dan hanya 8% yang
kuliah. Jika dibandingkan dengan
Malaysia, tingkat pendidikan
masyarakat kita masih kalah. In-
dikator dan syarat untuk menjadi
negara besar akan dapat diwujudkan jika semua pihak memiliki mimpi
atau visi negara besar dan memiliki niatan untuk menjadi bangsa yang
besar dengan memanfaatkan elijibilitas yang telah dimiliki oleh bangsa
saat ini.
34
Namun sayang, pemandangan yang tidak mencirikan sebagai bangsa
yang besar bertolak belakang dengan elijibilitas bangsa dapat kita lihat
tatkala tiga lembaga pemangku kuasa negara yakni legislatif, eksekutif,
dan yudikatif sudah tidak lagi dapat dipercaya rakyat untuk menjadi
pemegang kedaulatan, dan ini menandakan pengelolaan negara ini
sedang dalam masalah besar yang secara tidak langsung telah menjadi
parasit pertumbuhan bangsa. Banyaknya pemimpin yang terjebak dalam
berbagai skandal mencirikan bahwa cita-cita menjadi negara besar harus
dipikir ulang. Jangan kita menjadi alergi jika diopinikan sebagai calon
negara bangkrut karena negara besar sekaliber Jerman pun pernah berada
di ambang kebangkrutan. Yunani sebagai bangsa yang pernah memiliki
peradaban paling maju pernah berada pada ambang kebangkrutan.
Setidak-tidaknya cita-cita reformasi yang diperjuangkan oleh para
pelopor bangsa ini nyaris tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada
era sebelumnya. Sebut saja misalnya utang luar negeri yang sudah berada
jauh di luar ambang batas kemampuan bayar keuangan negara, belanja
rutin negara yang jumlahnya amat besar melebihi pendapatan, APBN
tiap tahun selalu defisit, merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing, sebagian besar aset negara kini dikuasai swasta dan asing, negara
berada pada kendali asing seperti WTO, APEC, World Bank, ADB, IMF,
dan lain-lain instrumen kepentingan kapitalis asing, ketiadaan pemimpin
dapat ditiru dan memotivasi, korupsi pejabat negara yang merajalela, dan
tingginya angka golput pada Pemilu hingga mencapai 40%.
Lampu Kuning
Melihat beberapa signal tersebut, sebenarnya bangsa kita sedang
berada pada lampu kuning sebagai negara calon bangkrut. Jika
diibaratkan, sebagai sebuah mobil, maka signal-signal yang menyala
atau mengeluarkan bunyi-bunyi yang tidak wajar adalah pertanda baik
untuk melakukan perbaikan, setidaknya kita wajib melakukan introspeksi
sebagai sebuah bangsa, mencoba mencari jalan keluar sendiri, tanpa harus
menggantungkan atau tergantung oleh bangsa lain yang justru menambah
masalah baru. Jika kita selalu bermasalah dengan BBM kenapa tidak
mencari alternatif lain seperti gas, tenaga matahari, dan air.
Ada beberapa skenario yang masih layak untuk ditawarkan bagi bangsa
ini agar dapat keluar dari catatan sebagai negara calon bangkrut, yakni
pembatasan jumlah penduduk (Keluarga Berencana) dan peningkatan
pendidikan generasi muda. Pola pembangunan pertanian harus segera
diubah menjadi pola agribisnis. Untuk hal tersebut diperlukan lebih
banyak tenaga penyuluh pertanian yang kompeten secara ilmiah dan
35
praktis agribisnis. Struktur ekspor harus berupa produk barang jadi bukan
bahan mentah untuk memunculkan dampak pengganda yang lebih besar
di dalam negeri khususnya peningkatan produktivitas riil. Pemerataan
pembangunan dengan berbagai skema seperti transmigrasi, dan
pertukaran sumberdaya antar provinsi dan kabupaten dapat digalakkan
kembali. Kapitalisasi dan investasi yang disesuaikan dengan kapasitas
wilayah dan sumberdaya yang dimiliki sehingga partisipasi penduduk
lokal lebih dapat ditingkatkan dan harapannya masyarakat lokal tidak
menjadi objek pembangunan tetapi menjadi subjek pembangunan.
Gemerlapnya pembangunan fisik mungkin perlu melibatkan
partisipasi masyarakat lokal. Jumlah penduduk yang melimpah
dengan kualitas rendah mungkin akan lebih baik dijadikan prioritas
pembangunan bangsa ini. Rendahnya kualitas guru dan dosen akan
sangat relevan untuk dievaluasi karena madu dan racun, kebenaran dan
kesesatan, bangsa ini berawal dari para guru yang semestinya dapat
ditiru dan dijadikan model untuk membentuk generasi masa depan.
Visi negara agraris mesti dapat ditinjau kembali dan berani mencoba
mencari visi lain yang sesuai dengan kapasitas negara Indonesia dimana
luasan lautan lebih besar dari daratannya, misalnya visi maritim sebagai
acuan pembangunan ekonomi nasional, karena untuk membangun
Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, dan negara makmur, mesti
dapat menguasai lautan (NMC, 1963).
Setidaknya, proyeksi Indonesia menjadi negara maju dan kuat
2030 (BIN: 2013) akan dapat diwujudkan jika Indonesia berada pada
kondisi pertumbuhan ekonomi yang konsisten, pertumbuhan yang
ditopang oleh pasar domestik, pertumbuhan pada sektor industri dan
jasa, dan pertumbuhan yang didorong oleh produktifitas. Tanpa harus
pro pendekatan militeristik; kekuatan angkatan laut, udara, dan darat
sebuah bangsa akan menjadi syarat untuk menjaga bangsa kita terus
berada pada pertumbuhan ekonomi dan humaniora dapat berjalan
dengan kondusif sebagai sebuah bangsa yang berdaulat.
Jika masyarakat terdidik dan terampil, memiliki motivasi menjadi
bagian dari pelaku pembangunan bangsa, maka globalisasi, dan
liberalisasi perdagangan dunia akan menjadi peluang bagi kemajuan
bangsa Indonesia, dan pada akhirnya cita-cita menjadi bangsa dan
negara yang besar akan dapat terwujud.
Penulis, Wakil Rektor Bidang Akademik & Kemahasiswaan Universitas
Dhyana Pura, kandidat Doktor Pariwisata Universitas Udayana, Bali
36
11 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Bali Post” yang berjudul “Mewujudkan Generasi Berdaya
Saing Tinggi 2020” Edisi Selasa, 29 Oktober 2013
Mewujudkan Generasi Berdaya Saing Tinggi 2020
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama, S.E., M.MA., M.A.
SAATini,terdapatpeningkatan
Angka Partisipasi Kasar (APK)
Perguruan Tinggi untuk penduduk
usia 19-23 tahun pada tahun
2012, jika dibandingkan hanya 17
persen di tahun 2007 dan meingkat
menjadi 30 persen di tahun 2012.
Peningkatan ini mengindikasikan
bahwa persentase lulusan sekolah
menengah yang melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi
menjadi lebih besar. Namun sayang,
terdapat kendala ekonomi untuk
mengakses Perguruan Tinggi
Negeri. Sedangkan, pemerintah
mencatatkan terdapat bonus
demografi di tahun 2020-2030 yang berarti sebanyak 70 persen populasi
Indonesia akan berada pada usia angkatan kerja (15-64 tahun) di tahun
tersebut (Kemdikbud, 2013).
Jika kita merenung sejenak, ternyata masih tersisa waktu yang
37
sangat singkat yakni 7 tahun menuju tahun 2020. Jikalau tidak
disikapi dengan bijaksana, maka bonus demografi dapat berubah
menjadi bencana bagi keutuhan bangsa ini. Rasionalnya adalah, jikalau
pendidikan tidak dibenahi mulai saat ini, maka besar kemungkinan
kita akan dipimpin oleh generasi-generasi yang memiliki kualitas
yang rendah dari segi pendidikannya. Jikalau usia angkatan kerja tidak
memiliki tingkat pendidikan yang memadai, maka akan menjadi sulit
membentuk generasi yang terampil dan berdaya saing terhadap bangsa
lainnya padahal saat itu, kita akan telah berada pada era globalisasi. Di
sinilah peningkatan akses, dan kualitas pendidikan semakin mendesak
untuk ditempuh mulai saat ini karena pendidikan adalah kekuatan
untuk mengubah dunia.
Sebagai bahan pembanding, Jepang adalah salah satu contoh
negara yang mampu bangkit menjadi negara maju karena sadar bahwa
pembangunan pendidikan adalah pembangunan yang harus diutamakan
karena pendidikan mampu membentuk manusia berpikir kristis, kreatif,
dan inovatif. Setelah Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom
atom sekutu, Jepang dengan pasti berhasil bangkit, dan kebangkitannya
adalah karena berhasilnya pembangunan pendidikannya. Pendidikan
yang ditanamkan di Jepang ternyata lebih menonjol pada pendidikan
softskills atau karakter. Setidaknya terdapat 10 karaktertik pembangunan
pendidikan di Jepang yakni: etos kerja keras, tradisi malu, tradisi hidup
hemat, penanaman jiwa loyal, selalu berinovasi, pantang menyerah,
membudayakan membaca, membiasakan diri mampu bekerja dengan
tim, latihan kemandirian sejak dini, dan menjaga dan bangga akan
tradisi nenek moyangnya (Wahono, 2007).
Jika kita melihat satu per satu karakteristik yang dimiliki oleh
bangsa Jepang dan membandingkannya dengan bangsa kita, maka
beberapa hal yang nampak beda dan menjadi kendala untuk menjadi
bangsa yang besar dan maju. Kendala-kendala yang membuat kita
terpuruk adalah kita terlalu cepat menyerah begitu saja pada nasib, kita
terlalu konsumtif, dan serba instan untuk meraih apa yang kita inginkan.
Kita lebih mudah menyerahkan nasib bangsa kita pada mekanisme
pasar, lembaga asing yang berkedok membantu secara finansial namun
sebenarnya bak seokor ular membelit dan melilit generasi kita hingga
puluhan tahun bahkan mungkin ratusan tahun. Setidaknya kita akan
tersadar terbelit jika kita memiliki generasi yang terdidik. Jika saja
pengalokasian anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD setiap
kabupaten/kota dapat dijalankan dengan benar dan sungguh-sungguh,
maka akan menjadi langkah nyata yang mestinya dapat diharapkan
38
mempercepat upaya mewujudkan generasi yang berdaya saing tinggi
pada tahun 2020-2030.
Pembentukan Karakter
Pendidikan yang diperlukan adalah pendidikan pembentukan
karakter. Suatu bangsa akan berkembang dengan baik terlihat dari
kualitas karakter masing-masing individu (Channing). Pendidikan
karakter softskills menjadikan pendidikan karakter sangat mendesak dan
diperlukan di Indonesia. Saat ini, pendidikan Indonesia lebih mengarah
pada perkembangan aspek kognitifnya saja dan hanya melahirkan
generasi yang maju secara ilmu dan pengetahuan serta teknologi saja.
Mungkin tanpa adanya karakter yang baik, generasi ini akan terpengaruh
oleh perkembangan teknologi sehingga menciptakan generasi yang
cerdas namun tidak bermoral. Bukti kebobrokan pendidikan saat ini
dapat kita lihat dari banyaknya pejabat negara yang bependidikan tinggi
akhirnya terjebak pada skandal korupsi, ketidakadilan, kebohongan
publik, dan macam-macam keburukan yang dianggap bukan sebuah
kesalahan ataupun dosa.
Pendidikan karakter yang kita perlukan adalah pendidikan yang
mampu membentuk generasi mau dan mampu bekerja keras sehingga
kita akan menjadi bangsa yang produktif. Pendidikan tradisi malu
berbuat buruk sehingga kita akan berusaha selalu berorientasi prestasi
nyata. Pendidikan hidup hemat agar kita tidak terjebak menjadi
generasi yang konsumtif dan hedois. Penanaman jiwa loyalitas dan
kesetiaan sehingga kita mampu menjadi nasionalis yang sejati. Kreatif
dan inovatif untuk dapat mampu bertahan dan bersaing dengan bangsa
lainnya. Pantang menyerah agar kita tidak mudah menjadi bangsa
pecundang. Tradisi membaca kapan dan di mana pun agar mampu
menguasai informasi lebih cepat dan mampu menemukan solusi setiap
permasalahan yang sedang dihadapi. Pendidikan kemandirian agar kita
mampu menjadi bangsa yang tidak selalu tergantung terhadap bangsa
lainnya. Kemampuan bekerja dalam tim untuk membentuk bangsa
yang bersatu dan kuat. Pendidikan cinta tradisi nenek moyang agar kita
menjadi bangsa yang unik dan memiliki kebanggaan dan dibanggakan
oleh bangsa lainnya.
Penulis, dosen dan Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
Universitas Dhyana Pura, Bali
39
12 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Bali Post” yang berjudul “Kualitas dan Kesinambungan
Pariwisata Bali” Edisi Kamis, 16 Januari 2014
Kualitas dan Kesinambungan Pariwisata Bali
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama, S.E., M.MA., M.A.
Menurut catatan World Bank
(2013), sejak tahun 2004 hingga
2012 rata-rata kedatangan wi-
satawan secara internasional
berkisar 913.798.596 dan ber-
tumbuh dengan rata-rata 4%
pertahunnya. Pertumbuhan kun-
jungan wisatawan di tingkat
dunia tercermin juga pada angka
kunjungan ke Bali namun jum-
lah yang datang ke Indonesia
termasuk Bali terbilang kecil yang
menempatkan Indonesia pada
urutan ke 38 dari 214 negara, dan
masih kalah jauh dengan Negara
Malaysia yang dikunjungi lebih
dari 24 juta wisatawan pertahunnya. Perancis nampak sebagai negara
yang paling populer untuk dikunjungi dan terbukti secara kuantitatif
menerima wisatawan rata-rata hampir 80 juta setiap tahunnya. Jika
melihat jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia yang rata-rata
sebesar 6 jutaan, nampaknya Destinasi Bali telah berkontribusi lebih
dari 25% terhadap Indonesia sebagai sebuah negara yang terbilang besar.
40
Secara nasional, jika melihat kontribusi jumlah wisatawan tersebut, Bali
adalah destinasi pariwisata yang paling populer di Indonesia. Apakah
Destinasi Pariwisata Bali telah berkualitas?, Apakah minimnya jumlah
wisatawan mancangera ke Indonesia karena rendahnya kualitas? Atau
hanya sekedar masih lemahnya promosi?
Di beberapa negara seperti Perancis,Italia,dan Spanyol,pengeluaran
wisatawan telah mampu berdampak positif terhadap perekonomian
negaranya. Bagi masyarakat lokal Bali, saat ini mereka lebih banyak
berebut lahan penghidupan dari sektor informal ini dan artinya jika
sektor informal bertumbuh maka masyarakat lokal akan mendapat
manfaat ekonomi yang lebih besar. Sebagai contoh, peran pariwisata
bagi Provinsi Bali terhadap perekonomian daerah sangat besar bahkan
telah mengungguli sektor pertanian yang pada tahun-tahun sebelumnya
memegang peranan penting di Bali. Keberhasilan sektor pariwisata,
jika dilihat dari kajian dampak, semestinya berdampak searah positif
terhadap sektor pertanian yang merupakan pelestari alam dan budaya
Bali sebagai produk utama pariwisata Bali. Semestinya bertambahnya
hotel dan restoran memerlukan logistik bahan baku untuk pariwisata
Bali akan meningkat, namun peningkatan tersebut belum mampu
diperankan oleh sektor pertanian Bali, kenyataannya justru kontradiksi
terjadi padanya dengan semakin menyempitnya lahan produktif, dan
minimnya minat generasi muda Bali terhadap sektor pertanian.
Catatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali,
menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan mancanegara sejak
tahun 1994 sampai dengan 2013 telah menacapai rata-rata 1,7 juta
wisatawan walaupun beberapa tahun sempat mengalami penurunan
secara kuantitatif pada tahun 1998, 2003, dan 2006. Jika dilihat dari
konsep loyalitas, besar kemungkinan wisatawan yang berkunjung pada
tahun 1998, 2003, dan 2006 justru para wisatawan yang berkualitas
karena mereka memiliki loyalitas terhadap Bali. Dalam hal ini, konsep
‘loyalitas’ mengacu pada para wisatawan bersedia membayar mahalnya
resiko berwisata ke Bali dalam kondisi isu-isu yang sangat rentan dalam
dunia pariwisata seperti isu terorisme, dan gangguan keamanan sejenis.
Kondisi seperti ini, jarang sekali dipertimbangkan sebagai pengukuran
indikator kualitas wisatawan pariwisata Bali.
Dalam konteks pembangunan akomodasi, jika dilihat dari jumlah
akomodasi yang dibangun, maka Kabupaten Gianyar, Badung, Kodya
Denpasar, Buleleng, dan Kabupaten Karangasem dapat dikatakan layak
mengandalkan sektor pariwisata sebagai penggerak perekonomian
daerahnya. Dilihat dari jumlah hotel bintang 4 dan 5 yang ada pada
41
kabupaten dan kota di Bali, maka Kabupaten Badung nampak paling
popular, kemudian disusul Kota Denpasar, dan Gianyar. Sementara
Kabupaten Buleleng, Karangasem, dan Tabanan belum sepopuler
Badung, Denpasar dan Gianyar. Sayangnya, Kabupaten Jembrana,
Klungkung, dan Bangli masih belum menunjukkan tanda-tanda sebagai
kabupaten yang memiliki popularitas di sektor pariwisata sebagai
“leading sector” pembangunan di daerahnya. Apakah banyaknya hotel
berbintang dapat dijadikan ukuran untuk menunjukkan pembangunan
pariwisata lebih berkualitas dari daerah yang lebih sedikit hotel
berbintangnya? Tentu saja tidak demikian, karena indikator untuk
mengukur kualitas pariwisata hanya dapat dikatakan berhasil jika
masyarakat lokal berkualitas hidupnya meningkat akibat pembangunan
pariwisata (quality of life). Ukuran lainnnya adalah, para wisatawan
mendapatkan pengalaman yang berkualitas dari liburannya (quality
of experiences), dan para investor mendapatkan (quality of profit)
keuntungan yang berkualitas, dan sekaligus juga mengukur dampak
pengganda dan dampak negatifnya. Karena pentingnya peran Pariwisata
terhadap Bali, sehingga kualitas Pariwisata Bali perlu ditingkatkan dan
sudah sepantasnya Pariwisata Bali menerapkan manajemen destinasi
yang berbasis pada pengelolaan kualitas secara berkesinambungan
untuk menghindari terjadinya titik kejenuhan, bahkan pembangunan
Bali sudah sangat tergantung pada sektor pariwisata ini (Butler at al.
1998).
Peningkatan kualitas Pariwisata Bali, dapat menggunakan
pendekatan lima dimensi kualitas yang harus tetap diperhatikan oleh
para pengelola pariwisata Bali, kelimanya disajikan secara berurutan
berdasarkan nilai pentingnya menurut wisatawan sebagai pelanggan
yaitu: (1) bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, kelestarian
alam Bali perlu dipertahankan karena persepsi wisatawan terhadap
alam Bali hampir mendekati harapan wisatawan, manifestasi budaya
Bali juga masih sangat relevan untuk dipertahankan kualitasnya dengan
mempertahankan keunikan dan keragamannya, begitu juga dengan
pengelolaan daya tarik pantai harus terus ditingkatkan. (2) keandalan
(reliability), yakni kemampuan untuk memberikan pelayanan yang
dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan yakni citra (image)
atau nama besar Bali sesuai dengan harapan wisatawan. (3) daya tanggap
(responsiveness), kemampuan untuk membantu dan memberikan jasa
dengan cepat sehingga kenyamanan berwisata di Bali, dan kesempatan
luas untuk relaksasi sesuai harapan wisatawan. (4) jaminan (assurance)
mencakup pengetahuan, kesopanan dan kemampuan mereka untuk
42
menimbulkan keparcayaan dan keyakinan, dan pada destinasi Bali
ditemukan bahwa harga-harga produk wisata termasuk produk barang
dan pelayanan telah sesuai dengan harapan wisatawan sehingga perlu
dipertahankan. (5) empathy, meliputi kemudahan dalam melakukan
hubungan, komunikasi yang baik, perhatian, dan memahami kebutuhan
pelanggan, di mana keramahan penduduk Bali adalah bentuk empati
destinasi Bali yang dianggap telah semakin memudar dan perlu untuk
dilakukan perbaikan.
Penulis adalah Dosen Tetap pada program studi manajemen dan Wakil
Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Dhyana Pura,
Peserta Program Doktor Pariwisata Universitas Udayana.
43
13 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Majalah Bali Post” yang berjudul “Memelihara Identitas
Destinasi Bali” Edisi 11-17 Agustus 2014
Memelihara Identitas Destinasi Bali
Oleh Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, MA.
Masalah standar
dalam industri pariwisata
telah menjadi isu yang
sangat menarik untuk di-
utarakan sebagai upaya
untuk mewujudkan pem-
bangunan pariwisata
yang bertanggungjawab
dan berkelanjutan. Stan-
dar adalah dokumen
yang menetapkan dasar
dan prinsip untuk me-
nyesuaikan hal-hal yang
terkait dengan unit pengukuran yang seragam. Standar dapat berupa
kewajiban untuk menciptakan perbaikan kinerja bisnis sebagai bagian
dari upaya persiapan bersaing pada industri pariwisata global. Proposisi
yang ditetapkan pembahasan tentang standar adalah bahwa penetapan
standar dan sertifikasi adalah alat berharga untuk membantu membawa
para stakeholders menemukan sebuah kesepakatan bentuk penilaian
yang bertanggungjawab. Sertifikasi adalah proses yang bertujuan
untuk membantu meningkatkan standar industri dan merupakan
44
alat kebijakan untuk melakukan perbaikan secara sukarela di bawah
lima aspek, yakni aspek keadilan, efektivitas, efisiensi, kredibilitas dan
integrasi. Pada pengembangan strategi pariwisata dan kebijakan otoritas
yang bertanggung jawab, harus mempertimbangkan pandangan dari
sejumlah stakeholders termasuk industri, penduduk lokal, kelompok
khusus yang mewakili kepentingan lingkungan dan masyarakat, dan
harapan wisatawan itu sendiri.
Perhatian kita pada standar dan sertifikasi tidaklah keliru, tetapi
banyak di antara kita saat ini, terlalu sibuk dengan persiapan diri tentang
kesiapan sumberdaya manusia dengan segala kompetensi yang harus
dimiliki untuk menghadapi Era MEA, padahal ada hal yang bersifat
fundamental yang harus tetap dipertahankan, yakni keunikan destinasi
sebagai totalitas dari sebuah produk pariwisata yang dinamis.
Destinasi Pariwisata Bali, hingga saat ini masih dianggap memiliki
citra yang positif oleh sebagian besar wisatawan mancanegara khususnya
bagi wisatawan repeater. Citra tersebut adalah (1) Destinasi pariwisata
Bali dianggap memiliki keunikan budaya, (2) Destinasi pariwisata Bali
dianggap memiliki penduduk yang ramah, (3) Bali dianggap memiliki
infrastruktur pariwisata yang lengkap, dan (4) Destinasi pariwisata
Bali dianggap sebagai destinasi pariwisata yang memiliki suasana yang
nyaman untuk berwisata. Tetapi, ada sisi yang bertolak belakang tentang
destinasi pariwisata Bali. Sisi-sisi tersebut adalah penanganan berbagai
keluhan wisatawan nyaris tidak mendapat penanganan yang serius
dan mendasar. Keluhan-keluhan wisatawan masih seputar masalah
klasik yang sejak destinasi ini baru berkembang telah terjadi. Isu-
isu tersebut berupa: (1) wisatawan mancanegara amat peka terhadap
isu-isu pencemaran lingkungan, polusi udara dan air, perubahan
sosial dan budaya sehingga diperlukan pengelolaan destinasi yang
mempertimbangkan isu-isu tersebut. (2) perkembangan dan dinamika
destinasi pariwisata Bali telah melampau nilai-nilai budaya yang
mesti dipertahankan sehingga keunikan budaya Bali telah mengalami
penurunan yang ditandai maraknya pembangunan fasilitas wisata, hotel
atau berbagai jenis akomodasi yang tidak sesuai dengan ciri fisik budaya
Bali. (3) masalah sampah, kemacetan lalu lintas, pelayanan imigrasi
yang kurang maksimal, banyaknya pungutan di luar anggaran wisata,
dan maraknya penggunaan bahan-bahan yang berasal dari plastik,
Walaupun destinasi Bali masih memiliki citra yang baik, namun
kelemahan internal berupa buruknya tata kelola destinasi pariwisata
Bali dapat menjadi duri dalam daging bagi perkembangan destinasi
pariwisata Bali ke depan. Tanda-tanda tersebut telah ditunjukkan
45
oleh masih tajamnya perbedaan antara tata kelola antara kabupaten/
kota dengan provinsi yang mestinya menjadi regulator tata kelola di
pulau Bali, mengingat geografis Bali yang tidak terlalu luas ini. Kita
ambil sebuah contoh misalnya, pemerintah provinsi pengeluarkan
kebijakan moratorium pembangunan hotel, namun pemerintah kota/
kabupaten justru mengundang investor sebanyak mungkin untuk
melakukan investasi pada sektor yang sedang di moratorium tersebut.
Contoh lainnya adalah, belum adanya kebijakan yang mengikat
tentang keharusan mempertahankan ciri fisik budaya Bali, misalnya
pembangunan hotel dengan arsitektur asing, yang jika tidak ditertibkan
lambat laun akan merubah ciri fisik destinasi pariwisata Bali.
Jikalau pembangunan sumberdaya manusia telah memenuhi
standar MEA, tidaklah cukup untuk dapat bersaing karena pada saat
yang sama, semua SDM pariwisata di ASEAN memiliki standar yang
sama. Mesti ada hal yang berbeda antara Bali dengan destinasi lainnya
di ASEAN, untuk hal tersebut, mempertahankan citra destinasi
pariwisata Bali adalah sebuah keharusan saat ini, dan di masa yang
akan datang. Citra destinasi pariwisata Bali yang menjadi keunikan
Bali adalah budaya, keramahtamahan penduduk, sarana dan prasarana
pariwisata yang lengkap, dan kenyamanan suasana berlibur.
Strategi pemasaran global mesti segera dimulai. Strategi tersebut
adalah pembangunan sektor pariwisata yang rendah emisi karbon
atau green tourism, pariwisata yang ramah terhadap penduduk lokal,
pariwisata alternatif “nice market tourism” seperti elderly tourism, dan
sejenisnya.
Meskipun pembangunan pariwisata umumnya dianggap sebagai
sebuah sektor pembangunan yang kurang merusak lingkungan
dibandingkan dengan industri lainnya, tetapi jika kehadirannya dalam
skala luas akan menciptakan kerusakan lingkungan fisik dan sosial.
Jika semua kabupaten/kota di Provinsi Bali melakukan pembangunan
sektor pariwisata secara massive, maka kita akan semakin tergantung
dengan pariwisata itu sendiri, sementara dalam kenyataannya tidak
semua kabupaten di Provinsi Bali dapat eksis melalui sektor pariwisata
karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya.
Strategi pembangunan terintegrasi dan terpadu antara provinsi,
dan kabupaten kota di Bali mesti dapat segera dapat diwujudkan, dan
jika memungkinkan membuat zone peran masing-masing kabupaten/
kota tanpa harus merasa tertinggal secara ekonomi. Strategi tata kelola
destinasi pariwisata ini tidaklah ide yang baik bagi tata kelola untuk
semua sektor pada sistem otonomi daerah yang terpusat di kabupaten/
46
kota, tetapi harus dapat disadari bahwa berkaitan dengan tata kelola
pariwisata, strategi ini adalah bukan sebuah kemustahilan, setidaknya
untuk menghadapi gemburan Era MEA 2015 dan ke depan.
Penulis: Dosen Tetap, dan Wakil Rektor Bidang Akademik dan
kemahasiswaan Universitas Dhyana Pura.
47
14 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Bali Post” yang berjudul “Reklamasi, Bisnis Pariwisata
yang Meminggirkan Masyarakat Lokal”, Edisi 20 April 2015
Dampak Positif dan Negatif Reklamasi
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Perubahan pantai
karena reklamasi tidak
hanya bersifat lokal,
tetapi dapat meluas,
bahkan mendunia karena
bumi dan permukaannya
adalah satu dan sebidang.
Reklamasi dapat
berdampak positif dan
negatif bagi masyarakat,
ekosistem pesisir dan
laut. Dampaknya dapat
bersifat jangka pendek
maupun jangka panjang (Aryono, 2012). Dampak positif dari reklamasi
adalah memungkinkan terjadinya peningkatan kualitas dan nilai
ekonomi kawasan pesisir, mengurangi lahan yang dianggap kurang
produktif, penambahan luasan wilayah, perlindungan pantai dari erosi,
dan penyerapan tenaga kerja. Tanpa harus pro-reklamasi, terbukti di
beberapa tempat, reklamasi dapat memberikan keuntungan dalam
mengembangkan wilayah. Sebagai contohnya adalah kawasan industri
yang ada di Jurong Singapura, Palm Jumeirah, Palm Jebel Ali dan Palm
48
Deira di Dubai, jembatan terpanjang Colijnsplaat dan Zierikzee di
Belanda adalah beberapa contoh hasil reklamasi yang mensejahterakan
masyarakat dan negara.
Walaupun reklamasi berhasil dan sukses di beberapa negara,
namun jangan mudah untuk meniru karena belum tentu berhasil jika
dilakukan di Bali. Jikalau ada kecenderungan untuk menirunya, mesti
dapat dijawab beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan alasan
untuk melakukan reklamasi tersebut. Pertanyaannya adalah (1) apakah
Bali tidak memiliki lahan untuk pengembangan wilayah?, (2) apakah
benar reklamasi menjadi pilihan satu-satunya?, (3) apakah kita cukup
profesional mengelola lahan hasil reklamasi tersebut?.
Pada dasarnya kegiatan reklamasi tidak dianjurkan namun dapat
dilakukan dengan berbagai pertimbangan yang ketat, seperti (1)
merupakan kebutuhan pengembangan kawasan budi daya yang telah ada
di sisi daratan. (2) merupakan bagian wilayah dari kawasan perkotaan
yang cukup padat dan membutuhkan pengembangan wilayah daratan
untuk mengakomodasikan kebutuhan yang ada, (3) berada di luar
kawasan hutan bakau yang merupakan bagian dari kawasan lindung atau
taman nasional, cagar alam, dan suaka margasatwa, (4) bukan merupakan
kawasan yang berbatasan atau dijadikan acuan batas wilayah dengan
daerah/negara lain (Aryono, 2012). Keputusan Reklamasi harusnya juga
tidak bertentangan dengan RTRW, sudah melalui studi kelayakan, dan
adanya studi AMDAL kawasan maupun regional.
Jika kita menjawab pertanyaan yang pertama, sangatlah mudah
untuk mematahkannya menjadi sebuah jawaban lelucon para investor
yang haus akan ekploitasi kepopuleran pulau Bali ini. Masih banyak
lahan yang belum dan dapat dimanfaatkan sebagai kawasan bisnis, sebut
saja misalnya kawasan Bali Barat, Bali Utara, dan Bali Timur. Tentu
saja bahwa reklamasi tidak satu-satunya jalan untuk membangun dan
mensejahterakan masyarakat Bali, dan pastinya juga kita tidak cukup
profesional mengelola wilayah hasil reklamasi tersebut dengan terbukti
mengelola daratan saja kita belum profesional apalagi mengelola pulau
buatan dengan berbagai keterbatasannya. Pengalaman di beberapa
tempat yang kurang berhasil mengelola hasil reklamasi akan nampak
dampak negatifnya berupa erosi pantai, sedimentasi, peningkatan
kekeruhan, pencemaran laut, perubahan rejin air tanah, peningkatan
potensi banjir dan penggenangan di wilayah pesisir, dampak lainnya
secara biologis berupa terganggunya ekosistem mangrove, terumbu
karang, dan penurunan keaneka ragaman hayati.
Keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan reklamasi
49
adalah terletak pada kesanggupan menjawab terhadap tiga pertanyaan
di atas yang tercermin dari adanya kesepakatan pihak pemerintah yang
mungkin diwakili oleh presiden, gubernur, atau bupati. Pihak berikutnya
yang harus sepakat dan sepaham adalah masyarakat lokal yang mungkin
diwakili oleh DPR, atau DPRD, LSM, perguruan tinggi, dan juga
kesanggupan investor untuk menanamkan modal karena reklamasi
biasanya adalah sebuah mega-proyek dalam investasi jangka panjang.
Jika memang berdampak positif maka reklamasi dapat dilaksanakan,
namun sebaliknya jika lebih besar dampak negatif, semestinya tidak
perlu direncanakan.
Dalam sejarah pengembangan wilayah berupa reklamasi, banyak
pelaku bisnis yang mengabaikan biaya sosial dan lingkungan hidup
yang seharusnya juga diperhitungkan dalam perencanaan reklamasi.
Reklamasi pantai di Indonesia telah dilakukan dengan salah kaprah
karena hanya sukses dari sisi bisnis namun gagal dalam memelihara
keseimbangan lingkungan (Hadi, 2005). Kecenderungan reklamasi
perpandangan pada paradigma yang memposisikan suatu kota sebagai
kota multifungsi,dimana diharapkan mampu mendatangkan keuntungan
yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan warganya telah terbukti gagal
total dalam implementasinya di lapangan. Berbagai permasalahan sosial
dan lingkungan hidup dapat timbul dan sulit dipecahkan di daerah
reklamasi saat ini justru disebabkan oleh kesalahan paradigma tersebut.
Bagi Bali, reklamasi Teluk Benoa untuk membentuk kawasan
industri pariwisata yang baru belum menjadi keharusan karena Bali
masih memiliki banyak lahan atau kawasan alternatif dan jika melihat
pemerataan kawasan pembangunan pariwisata, sebaiknya kawasan
Bali Selatan sudah harus dimoratorium. Sebagai gantinya, mestinya
pembangunan fasilitas dan akomodasi pariwisata dapat diarahkan pada
kawasan yang lainnya seperti Bali Barat, Utara, dan Timur. Reklamasi
juga dianggap melanggar RTRW, belum melalui kajian yang akurat,
dan cenderung dapat mempertajam ketidakmerataan pembangunan
wilayah Provinsi Bali.
Hasil amatan, ketidak-merataan pembangunan di Bali justru
disebabkan oleh lemahnya aksesibilitas yang menghubungkan antar
kabupaten, antara kota, dan antar kawasan wisata, lemahnya SDM, dan
lemahnya komitmen pemerintah daerah untuk bersinergi membentuk
diri pada manajemen destinasi Bali yang utuh (one management tourism
destinastion on one island). Di negara maju, jarak antara Kota Denpasar
ke Gilimmanuk sebagai misalnya, mungkin dapat ditempuh hanya
kisaran sejam saja, namun dalam kenyataannya memerlukan waktu
50
lebih dari tiga jam, artinya kelemahannya ada pada faktor aksesibilitas.
Pemberdayaan sektor selain pariwisata mungkin akan lebih berarti bagi
Bali, jika dibandingkan melakukan ekploitasi besar-besaran pada sektor
sebidang pada kawasan yang semestinya telah layak dimoratorium
karena telah melebihi batas kapasitas. Sektor pertanian dan industri
kecil, kerajinan, dan industri kreatif lainnya sungguh masih layak untuk
digarap mengingat sektor tersebutlah yang berdampak secara langsung
terhadap pembangunan masyarakat Bali.
Penulis: Dosen Tetap Fakultas Ekonomika dan Humaniora Universitas
Dhyana Pura, Kandidat Doktor Pariwisata pada Universitas Udayana,
Bali.
51
15 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Bali Post”yang berjudul “Memilih Pejabat atau Pemimpin?”,
Edisi Rabu, 2 Desember 2015
Memilih Pejabat atau Pemimpin?
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Putra putri terbaik
Bali, pada hari Rabu,
9 Desember 2015 akan
menentukan nasib me-
reka sebagai bupati/
walikota, dan lima
tahun kemudian akan
membuktikan diri bahwa
mereka adalah hanya
seorang bupati ataukah
seorang pemimpin. Jika
hanya menjadi bupati,
maka mereka cenderung
akan berbangga dengan jabatannya, dan mungkin akan menindas
siapapun yang mengkritisinya, namun jika mereka seorang pemimpin,
maka mereka akan selalu hadir sebagai orang pertama yang akan
merasakan penderitaan rakyatnya.
Fakta di lapangan, gebrakan para calon justru terjadi hanya
menjelang pilkada, bukan setelah pilkada. Sebab, budaya kepemimpinan
kita memang telah berubah bukan lagi tulus dan ikhlas namun
penuh dengan maksud dan pamrih tertentu. Sepintas nampak nyata,
52
ada beberapa calon bupati terlalu ambisius dan terlihat cenderung
menghalalkan segala cara untuk memenangkan persaingan, entah apa
yang ingin dicapainya, padahal pemerintah dalam hal ini penyelenggara
pemilu telah menyediakan sarana dan prasarana untuk penyelenggaraan
pemilu tersebut. Masih amat nyata, terjadi pelanggaran yang cukup
nyata dan hampir merata dilakukan oleh setiap calon bupati/walikota.
Sebut saja misalnya, pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK) yang
tidak sesuai tempat, aturan, dan ketentuan yang telah ditetapkan. Masih
terindikasi terjadi politik uang, politik pengerahan massa melalui “social
power” seperti adat, struktur sosial lainnya, dan organisasi informal
lainnnya.
Melihat kondisi tersebut, apa yang dapat kita harapkan jika kelak
mereka menang? Hampir sebagian besar pejabat kita bangga dengan
pakaian kebesarannya, empuk kursi kerjanya, dan cenderung tidak peduli
pada realita di masyarakat. Jika ada kegagalan yang dibuatnya, selalu
melakukan pembelaan yang seharusnya dapat diakui secara kesatria. Jika
pejabat berjiwa makelar (broker) mereka akan cenderung menuntaskan
persoalaan secara matematis, bukan secara holistik. Artinya, pejabat ala
manajer bukan pahlawan, padahal yang kita perlukan bukan pejabat ala
manajer saja namun lebih daripada itu, bila perlu menjadi pemimpin
sebagai pahlawan-pahlawan baru.
Kalau dilihat dari persoalan yang ada, hampir merata di setiap
kabupaten di Bali, yakni persoalan kesejahteraan masyarakat, kesehatan,
pendidikan, juga persoalan kerohanian hendaknya selalu menjadi agenda
pokok setiap pemimpin baru hasil pilkada. Namun persoalan-persoalan
tersebut haruslah dituntaskan secara multidimensional. Misalnya,
kenapa masyarakat tidak sejahtera? Mungkin saja karena kesempatan
kerja sangat kurang, mungkin saja upah buruh yang sangat rendah,
mungkin saja hasil pertanian yang rendah dan tidak stabil. Kenapa
masih terjadi banyak penyakit mewabah di masyarakat? Mungkin saja
faktor lingkungan yang tidak layak, air yang telah tercemar, lingkungan
yang sudah tidak bersahabat.
Ada program dasar atau inti dan ada juga program opsi yang
seharusnya juga menjadi prioritas semua pejabat, baik pejabat politik
maupun pejabat karier yang menjabat di semua dinas di lembaga
pemerintahan. Masih banyak persoalan yang berhubungan dengan
pelayanan masyarakat yang sangat lambat dan cenderung menunjukkan
ketidakpedulian para pejabat. pelayanan Puskesmas yang tidak layak,
pelayanan kesehatan masyarakat yang tidak cepat dan tanggap, pelayanan
pajak yang seringkali bertolak belakang antara moto yang di iklankan
53
dengan realitas yang sebenarnya di masyarakat. Upah buruh yang tidak
cocok lagi dengan realitas pemenuhan kebutuhan minimum keluarga
yang sebenarnya. Semua yang disebutkan tersebut, sangat memerlukan
regulasi pemerintah setelah pilkada secara berkesinambungan, tersistem
serta melembaga dan membudaya sehingga siapa pun yang menjadi
pemimpin akan dapat memecahkan permasalahan dengan cepat, tepat
serta akurasinya dapat dipertanggungjawabkan.
Akhirnya, untuk dapat mewujudkan pembangunan masyarakat
secara holistik atau menyeluruh diperlukan pemimpin yang bukan
berjiwa makelar (broker) agar tidak terjadi habis jabatan habis juga
tanggung jawabnya. Kita memerlukan pemimpin yang memiliki karakter
integritas yang takut akan Tuhan sehingga mereka tidak berani korupsi,
tidak berani menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan masyarakat
kepadanya, memimpin dengan jiwa melayani secara horizontal atau
masyarakat dan melayani secara vertikal, takut berbuat curang karena
Tuhan selalu dapat melihat perbuatan kita yang tersembunyi sekalipun.
Semoga proses demokrasi ini menyadarkan kita semua akan pentingnya
masa depan Bali yang lebih baik. Nafsu keserakahan akan menjadikan
Bali menjadi neraka bagi rakyatnya. Sedangkan keikhlasan akan
membuat Bali sebagai surga bagi rakyatnya.
Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Ekonomika dan Humaniora,
Universitas Dhyana Pura, Badung.
54
16 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer “Pos Bali” yang berjudul “Rekayasa Budaya Menuju Revolusi
Mental” Edisi Rabu, 16 Juli 2016
Rekayasa Budaya Menuju Revolusi Mental
Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA., MA.
HASIL penelitian Thomas J.
Stanley, telah mengubah apa yang
kita percayai selama ini. Penelitian
yang dilakukannya, menunjukkan
bahwa dari 100 faktor yang
berpengaruh terhadap kesuksesan
seseorang, IQ hanya berada pada
urutan ke-21. Bersekolah di
sekolah favourite di urutan ke-23,
dan lulus dengan nilai terbaik cuma
berada faktor sukses di urutan ke-
30. Sepuluh factor yang dianggap
paling berpengaruh terhadap
kesuksesan seseorang adalah
kejujuran, kedisiplinan, kegaulan,
kemampuan berkomunikasi,
dukungan dari pasangan hidup, mampu bekerja lebih keras dari yang
lain, mencintai apa yang dikerjakan, kepemimpinan yang baik dan
kuat, memiliki semangat dan berkepribadian kompetitif, pengelolaan
kehidupan yang baik, dan kemampuan menjual gagasan dan produk.
55
Pada sisi lainnya, kita merasa menangis jika melihat realita yang ada
di negeri ini. Menurut Lickona (1992), terdapat 10 tanda-tanda zaman
sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, dan itu nampak jelas
terjadi di negeri ini. Tanda-tanda itu adalah meningkatnya kekerasan di
kalangan remaja, membudayanya ketidakjujuran, sikap fanatik terhadap
kelompok, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, semakin
kaburnya moral baik dan buruk, penggunaan bahasa yang semakin
memburuk, meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan
narkoba, alkohol, dan seks bebas, rendahnya rasa tanggung jawab
sebagai individu dan sebagai warga Negara, menurunnya etos kerja dan
adanya rasa saling curiga; serta kurangnya kepedulian di antara sesama.
Jika kita amati perjalanan bangsa Indonesia menuju bangsa yang
merdeka, adil dan makmur, rupanya tampak seperti seorang petinju
yang terseok-seok, baik untuk melawan lawannya, terlebih sulit lagi
melawan dirinya sendiri. Banyak peristiwa dilalui bangsa ini, dari
revolusi sosial untuk keluar dari tirani kolonial, revolusi politik untuk
menuju demokrasi, dan kini menuju revolusi mental untuk menuju
peradaban tinggi. Budaya merupakan hal yang penting dalam memahami
masyarakat dan kelompok manusia dalam waktu yang lama. Bangsa
Indonesia sebagai organisasi dapat didefi nisikan sebagai sekelompok
orang yang terikat secara formal dalam hubungan vertikal dan horizontal
dengan sesamanya yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama
pula ( Jones, 1998). Masalah budaya bangsa adalah bagian yang tak
terpisahkan dengan lingkungan internal bangsa karena keragaman
budaya yang ada dalam sebuah bangsa sama banyaknya dengan jumlah
individu yang ada pada bangsa ini terlebih lagi Indonesia yang sangat
heterogen. Dengan demikian, apakah kita masih tetap optimis dengan
revolusi mental? Apakah rekayasa budaya mampu menjadi jalan mulus
menuju revolusi mental? Mental yang seperti apakah yang kita harapkan?
Kita masih optimis dengan gerakan revolusi mental dengan berbagai
catatan yang menyelimuti dan mengharukan karena semakin massif dan
maraknya korupsi, terkikisnya rasa malu untuk berbohong, maraknya
para politikus menggunakan isuisu SARA untuk meraih simpati
dari para pengikutnya. Rupanya revolusi mental dapat kita wujudkan
dengan berbagai rekayasa budaya. Rekayasa budaya dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti (1) proses rekrutmen atau pemilihan calon
pejabat dan pemimpin yang terencana, jelas fi gure, jelas profi le, dan
jelas motivasinya; (2) penetapan sistem gaji dan pengupahan yang layak
dan bersaing dari tingkatan pejabat hingga para buruh pada tingkatan
terendah; (3) penciptaan lingkungan kerja yang menarik dan kondusif,
56
baik secara fi sik, intelektual, ataupun nasional; (4) program pendidikan
dan pelatihan para generasi muda yang terencana, jujur input, jujur
proses, dan jujur hasil; (5) adanya pembinaan kerohanian dan kegiatan
sosial yang didasarkan pada keiklasan; (6) penentuan tujuan dan sasaran
yang jelas pada semua lembaga atau organisasi yang ada di Republik
ini, jika tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 harusnya tidak
boleh berdiri di negeri ini. Sehingga dengan demikian, 10 atau 20 tahun
kedepan, kita akan melihat adanya hasil dari rekayasa budaya tersebut
untuk menuju revolusi mental.
Pendidikan karakter rupanya menjadi prioritas utama yang bukan
hanya berkaitan dengan penanaman nilai-nilai bagi generasi muda
namun merupakan sebuah usaha bersama untuk menciptakan sebuah
lingkungan pendidikan setiap individu dapat menghayati kebebasannya,
sebagai prasyarat bagi kehidupan moral yang bertanggungjawab dan
bernilai bagi sesamanya. Untuk menjadikan bangsa Indonesia menuju
peradaban yang tinggi, ada beberapa karakter yang harus dibangun sedini
mungkin, yakni: pembentukan “rasa percaya diri”, penanaman nilai-nilai
“kejujuran”, kerelaan dan toleransi terhadap “perbedaan”, pembentukan
jiwa “kreatif dan inovatif ”, pembentukan jiwa “kepemimpinan yang
melayani sesama”, pembentukan “kompetensi” yang sesuai dengan
talenta dan bakat, dan kesiapan untuk berinteraksi dengan dunia
“global”.
Rekayasa budaya menuju revolusi mental mestinya dilakukan dari
diri sendiri, dari PAUD hingga perguruan tinggi, dari kaum buruh,
petani, pedagang, pejabat, hingga rohaniawan. Rekayasa budaya mesti
menjadi tugas kita bersama. Jika kita sepakat melakukan rekayasa budaya
tersebut dengan konsisten, niscaya 10-20 kedepan kita akan menjadi
bangsa yang besar dengan peradaban yang tinggi menuju masyarakat
adil dan makmur sesuai Pancasila dan UUD 1945. (*)
Penulis adalah Dosen Tetap pada Fakultas Ekonomika dan Humaniora,
Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Dhyana Pura
Bali.
57
TAK pelak lagi, MEA
membawa Indonesia dalam
17 (2016) Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/
majalah populer “Pos Bali” yang berjudul “MEA dan Pariwisata”
Edisi 20 Juli 2016
MEA dan Pariwisata
Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA., MA.
kebimbangan antara hidup dan
mati, antara menerima atau
menolak, antara siap atau tidak
siap. Era MEA membawa kondisi
warga asing dari 169 negara bebas
visa masuk ke Indonesia termasuk
untuk berbisnis, yang berarti pula
warga asing boleh miliki properti
di Indonesia. Pihak asing juga
boleh kuasai 100% industri gula
dan karet di Indonesia, Asing juga
boleh kuasai 100% saham restoran
dan perusahaan jalan, Asing boleh
kuasai 85% saham modal ventura,
Asing bisa kuasai 100% saham di pembangkit listrik. Asing boleh kuasai
100% usaha bioskop di Indonesia. Asing juga bisa kuasai 35 bidang
usaha di Indonesia. Bagi Indonesia, sector yang dianggap paling siap
adalah sector pariwisata, apakah benar demikian?
58
Pengaruh positif pembangunan pariwisata sudah tidak perlu diragukan
lagi seperti pendapatan nilai tukar valuta asing, penerimaan devisa akibat
adanya konsumsi wisatawan, penyerapan tenaga kerja, pembangunan
infrastruktur pariwisata yang turut dinikmati oleh masyarakat lokal, dan di
beberapa destinasi pariwisata juga sebagai mesin penggerak pemberdayaan
perekonomian masyarakat lokal. Walaupun demikian, pembangunan
pariwisata juga dapat berpengaruh negatif seperti kebocoran ekonomi, infl
asi, tingginya pembiayaan infrastruktur dan fasilitas, dan ketergantungan
sektoral. Dari sekian banyak masalah negatif yang dapat ditimbulkan oleh
sektor pariwisata, kebocoran ekonomi dianggap masalah yang paling sulit
untuk diatasi. Kebocoran ekonomi dapat bersifat eksternal, internal, dan
tersembunyi. Kebocoran tidak dapat dihindari pada kondisi pasar bebas
seperti MEA dan jenis globalisasi lainnya.
Saat ini pembangunan pariwisata telah membuka proses liberalisasi
sehingga kemungkinan terjadinya kebocoran ekonomi pada setiap
aktivitas perekonomian yang terjadi juga sangat besar. Jika dilihat dari
aspek tingkat kebocoran devisa, sejumlah pendapat mengatakan
bahwa pariwisata Indonesia menciptakan kebocoran antara 50% hingga
80% (Kodhyat, 2003). Selain karena liberalisasi di atas, kebocoran
ekonomi dalam pembangunan pariwisata dapat disebabkan karena
lemahnya koordinasi pada aktivitas pariwisata dan lemahnya sistem
produksi lokal (Thapa, 2005). Kebocoran ekonomi dapat juga disamakan
dengan terjadinya kebocoran pendapatan dari aktivitas pariwisata yang
menyebabkan masyarakat lokal tidak mampu menikmatinya. Kondisi
lainnya, kebocoran ekonomi dapat disebabkan oleh penggunaan modal
asing, pembangunan fasilitas pada jaringan internasional khususnya
pembangunan hotel berbintang yang memicu banyaknya terjadinya
impor hotel supplies, bahan makanan, furniture, pembiayaan pekerja
asing, maskapai penerbangan asing, dan sebagainya (Holden, 2008).
Pada hakikatnya, terdapat dua jenis kebororan yakni eksternal dan
internal. Kebocoran eksternal ini terjadi akibat pengeluaran pada sektor
pariwisata yang terjadi di luar destinasi di mana pengeluaran tersebut
berhubungan dengan industri lokal. Kebocoran Eksternal dapat terjadi oleh
karena (1) investor asing membangun infrastruktur dan fasilitas pariwisata
pada negara sedang berkembang, sehingga profi t dan pembayaran terjadi
di luar negeri. (2) Arus uang bisnis pariwisata langsung terjadi di luar negeri
dikarenakan booking bisa dilakukan di luar negeri atau terjadi secara online,
wisatawan datang dengan maskapai penerbangan asing, cruise ship atau
kapal pesiar, atau bentuk usaha lain yang dimiliki oleh orang asing.
59
Kebocoran internal dominan disebabkan oleh penggunaan
komponen impor yang diukur secara domestik. Menurut (UNEP)
kebocoran internal dapat diukur dengan Tourism Salelite Accounts
(TSA) dan hal ini telah dilakukan oleh 44 negara yang memiliki database
update tentang kepariwisataannya (WTO). Kebocoran internal pada
negara berkembang terjadi pada rantai penyediaan suplies (goods and
services) pariwisata yang diimpor. Kebocoran internal pada beberapa
destinasi biasanya terjadi akibat permintaan atau tuntutan tingkat
kualitas terhadap pelayanan pariwisata dan hiburan pariwisata khususnya
terkait dengan produk-produk impor. Produk-produk yang dimaksud
misalnya pengadaan beberapa minuman beralkohol yang bermerek
internasional yang diproduksi di luar negeri. Hotel-hotel berjejaring
dengan standar internasionalnya juga menyebabkan kebocoran internal
yang cukup berarti karena mereka cenderung akan menuruti standar
yang telah ditentukan dan diharapkan oleh wisatawan.
Kebocoran yang lainnya adalah kebocoran tersembunyi yang adalah
hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendapatan dari sektor pariwisata
yang terjadi secara nyata namun sangat sulit untuk dicatat secara nyata tetapi
akan berpengaruh secara akumulatif. Aktivitas yang dapat menyebabkan
kebocoran tersembunyi misalnya: pajak, informal transaksi yang biasanya
tidak tercatat, serta tabungan dan investasi off-shore. Kebocoran tersembunyi
yang lainnya dapat berbentuk penggunaan sumberdaya alam yang tidak
dapat diperbaharui, kerusakan lingkungan, degradasi budaya, hilangnya
sejarah, dan rusaknya aset-aset pariwisata dalam jangka panjang sehingga
dapat menyebabkan menurunnya kualitas hidup masyarakat lokal.
Walau demikian kebocoran ekonomi dapat diminimalkan dengan
berbagai cara dan strategi. Strategi jitu untuk mengurangi kebocoran
ekonomi pada pembangunan pariwisata justru strategi yang berasal dari
kekuatan lokal yakni pengembangan pariwisata yang berbasis kekuatan lokal
(Community Based Tourism),skala usaha kecil dari pengusaha lokal,sehingga
pemberdayaan masyarakat lokal dengan segala komponen yang ada mesti
harus dilakukan dengan berbagai usaha seperti pembangunan pendidikan
dan pelatihan, penciptaan regulasi yang berpihak kepada masyarakat lokal.
Strategi ini akan berjalan dengan optimal pada pembangunan Daya Tarik
Wisata beserta amenitas pendukungnya yang dikembangkan dari kekayaan
lokal, oleh masyarakat lokal, dan untuk masyarakat lokal. (*)
Penulis adalah dosen tetap dan Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan
Universitas Dhyana Pura Bali, Alumnus Program Doktor Pariwisata
Universitas Udayana.
60
18 (2016) Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam
koran/majalah populer “Pos Bali” yang berjudul “Keadilan dan
Keserakahan” Edisi 25 Juli 2016
Keadilan dan Keserakahan
Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, MA.
MAJAPAHIT konon pernah
menjadi kerajaan besar karena Kasta
yang ada dalam masyarakatnya
dapat berjalan sesuai dengan tugas
dan fungsinya. Kasta menurut
pengertian leluhur Nusantara adalah
penggolongan masyarakat ke dalam
beberapa jenis berdasarkan tugas
dan aktivitasnya dalam masyarakat
yang sifatnya tidak turun menurun.
Kasta tercipta untuk menjamin
keadilan dalam masyarakat. Dalam
sistem ketata-negaraan Indonesia
dapat dikatakan terdapat tiga kasta
untuk menjamin keadilan dalam
masyarakatnya, yakni fungsi eksekutif
sebagai pelaksana, fungsi legeslatif untuk membuat undang-undang,
dan fungsi yudikatif sebagai lembaga pengawal serta pemantau jalannya
pemerintahan dengan menjadikan hukum sebagai acuan. Jika ketiga fungsi
tersebut semakin kabur maka lahirlah ketidakadilan dan yang tersisa adalah
keserakahan yang berbuahkan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
61
Kata keserakahan adalah kata kunci dari ketidakadilan. Dunia
ini tidak akan mampu memenuhi keingininan manusia yang serakah,
namun pasti mampu mencukupkan apa yang dibutuhkan oleh manusia
(Ghandi). Seorang yang adil dimaknai sebagai seseorang yang membatasi
dirinya pada kerja dan hidupnya disesuaikan dengan panggilan
kecakapan dan kesanggupan karmanya (Plato). Keadilan adalah tentang
diri manusia sehingga yang dapat dikatakan adil adalah seseorang yang
mampu mengendalikan diri dan perasaannya dengan akalnya. Jauh
sebelum lahirnya sistem demokrasi modern, konsep keadilan ini telah
lama berkembang dan hingga saat ini belum pernah terwujud secara
sempurna, bukti nyatanya adalah lahirnya kelompok mayoritas yang
semakin serakah, dan minoritas yang semakin dikerdilkan perannya
dalam masyarakat.
Untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat, ditawarkan
beberapa metode, diantaranya adalah dengan cara mengembalikan
masyarakat pada struktur aslinya. Misalnya jika seseorang berprofesi
sebagai guru baiklah tugasnya hanya mengajar saja, jika seseorang
sebagai prajurit baiklah tugasnya hanya menjaga kedaulatan negara,
jika seseorang sebagai pedagang baiklah tugasnya hanya dibidang
perniagaan saja, jika seseorang sebagai presiden baiklah tugasnya hanya
untuk memimpin negara dengan adil dan bijaksana. Pada keadaan
demikian, keadilan bukanlah mengenai hubungan antara individu,
melainkan hubungan antara individu dengan negaranya. Keadilan
dapat juga diwujudkan dengan memilih pemimpin dari putra terbaik
dalam masyarakat, sehingga dapat ditentukan pemimpin yang benar-
benar “manusia super” dari masyarakat tersebut, yang berarti pemimpin
negara seharusnya manusia super “the king of philosopher”.
Bagaimanakah keadaan kehidupan masyarakat yang adil tersebut?
Keadaan kehidupan masyarakat yang adil akan terlihat jika struktur
yang ada dalam masyarakatnya dapat menjalankan tugas dan fungsinya
masing-masing, serta elemenelemen fundamental dalam masyarakat
tetap dapat dipertahankan. Elemen-elemen dasar tersebut adalah:
adanya pemilahan tugas dan fungsi yang tegas dalam masyarakat,
para pemimpin dalam masyarakat harus diisi oleh orang-orang yang
memiliki kecakapan untuk menjadi pemimpin dan kesanggupan untuk
melayani “ngayah”. Adanya pengawasan yang ketat atas dominasi
serta kolektivitas kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dalam
masyarakat sehingga fungsi-fungsi masyarakat tetap berjalan sesuai
struktur aslinya.
62
Kelompok pada golongan penguasa “eksekutif ” tidak turut campur
dalam aktivitas perekonomian, terutama dalam mencari penghasilan,
namun kelompok tersebut tetap memiliki otoritas yang kuat atas tugas
dan fungsinya sehingga dalam hal ini harus “selfsuffi cient” atau mandiri
jika tidak demikian, para penguasa akan bergantung pada para pedagang
atau justru para penguasa itu sendiri menjadi pedagang.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan negara dan masyarakatnya
tidak mampu mewujudkan keadilan, karena pemimpinnya memiliki
ambisi yang berlebihan ”serakah” sehingga tidak mampu mengontrol
ambisi diri yang berlebihan tersebut, selalu merasa kurang, tidak pernah
merasa puas diri, dan akhirnya seseorang manjadi sangat rakus, tamak
dan pastinya tidak akan menciptakan sebuah keadilan. Pemimpin yang
terlalu mementingkan diri sendiri, dan jika manusia terjebak pada
sifat mementingkan diri sendiri, seseorang akan dengan mudah tidak
memenuhi janji-janji yang pernah di-ikrarkan dan cenderung berpihak
pada hal-hal yang dapat menguntungkan dirinya sendiri, dan wujud
nyatanya adalah maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme.
Peran negara kekinian semestinya dapat diarahkan untuk
mewujudkan keadilan dalam masyarakatnya. Konsep keadilan telah
lama dilupakan dalam usaha untuk mewujudkan makna sebuah
keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Para wakil
rakyat mestinya dapat menjadi legeslator yang baik. Para penegak
hukum mestinya dapat menjadi penegak keadilan yang bijaksana.
Para pemimpin mestinya dapat menjadi pemimpin yang kesatria, adil,
bijaksana, dan tidak tergiur untuk merampok uang negara sehingga
masyarakat dapat menjadi pengikut-pengikut yang se-hati dan se-visi
untuk mewujudkan cita-cita negara ini yakni masyarakat yang adil dan
makmur. (*)
Penulis adalah Dosen Tetap pada Fakultas Ekonomika dan Humaniora dan
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Dhyana
Pura, Bali.
63
19 (2016) Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam
koran/majalah populer “Pos Bali” yang berjudul “Daya Tarik
Pariwisata Bali” Edisi 24 Agustus 2016
Daya Tarik Pariwisata Bali
Oleh Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, MA.
Hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh beberapa peneliti
membuktikan bahwa daya tarik Bali
untuk dikunjungi sebagai destinasi
wisata adalah keunikan budaya dan
keindahan alamnya, sedangkan
kelengkapan fasilitas dan kemajuan
infrastruktur pariwisata adalah
faktor yang dianggap cenderung
dapat disediakan oleh semua
destinasi pariwisata dengan standar
yang sama.
Menurut Catatan Warisan
Dunia UNESCO yang saat ini
telah memiliki 981 situs, dengan
rincian: 759 berupa warisan budaya,
193 warisan alam, dan 29 campuran antara warisan budaya dan alam.
Dari sekian ratusnya, ternyata 13 warisan dunia berada di Indonesia dan
diklasifikasikan dalam tiga kelompok yakni warisan alam, bangunan
cagar alam, dan karya tak benda. Warisan alam Indonesia adalah
Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Komodo, Hutan
64
tropis Sumatera yang mencakup Taman Nasional Gunung Leuser, dan
Bukit Barisan. Sementara yang berupa bangunan cagar alam adalah
Candi Borobudur, Candi Prambanan, Situs Manusia Purba Sangiran,
sedangkan yang berupa Warisan Budaya Non Benda adalah wayang
kulit, keris, batik, angkung, subak, dan tari Saman. Komite Warisan
Budaya Tak Benda UNESCO pada sidangnya ke-10 di Windhoek,
Namibia, telah menetapkan tiga genre Tari Bali sebagai Warisan Budaya
Tak Benda yang terdiri atas sembilan Tari Tradisional Bali. Sembilan
tarian tersebut adalah Tari Rejang, Sanghyang Dadari, Baris Upacara,
Topeng Sidhakarya, Sendratari Gambuh, Sendratari Wayang Wong,
tari Legong Kraton, Joged Bumbung, dan Barong Ket “Kuntisraya”.
Melihat fakta yang ada, betapa kayanya bangsa Indonesia dengan
berbagai warisan budaya, dan kekayaan tersebut patut kita banggakan.
Langkah selanjutnya adalah bagaimana mengelola warisan tersebut
agar tetap lestari, dan juga bermanfaat bagi pariwisata, pendidikan,
dan kesejahteraan masyarakat?. Pengelolaan yang baik dan benar
adalah menyeimbangkan dua perbedaan prinsip mendasar yang sangat
sulit untuk dilakukan. Prinsip pertama adalah kecenderungan pada
pendekatan pengelolaan warisan budaya dengan berlatarbelakang
konservasi sedangkan prinsip kedua adalah pendekatan pariwisata yang
lebih cenderung mengganggap bahwa warisan budaya adalah sebuah
produk pada industri pariwisata. Kesulitan untuk membedakan kedua
prinsip pengelolaan tersebut akan berimplikasi pada sering terjadinya
kesalahan tentang pentingnya pengelolaan dan alasan pengelolaan
warisan budaya tersebut. Tatkala alasan konservasi diajukan sebagai
prinsip dasar pengelolaan, maka kendala yang paling dominan
adalah kendala pembiayaan, sedangkan alasan produk terkendala
oleh kekwatiran terhadap kelestarian warisan budaya tersebut. Untuk
menyatukan konsep yang berbeda inilah diperlukan pengelolaan yang
mampu memadukan kedua prinsip dasar tersebut sehingga antara tujuan
konservasi dan pemanfataan dapat bertemu dalam keseimbangan.
Kondisi nyatanya adalah pariwisata lebih digerakkan oleh pasar
industri yang lebih menekankan pada tujuan kemudahan untuk
wisatawan “permintaan” sementara budaya termasuk warisan budaya
menekankan pada produk serta aspek penawaran. Perbedaan inilah yang
menjadi pekerjaan sulit bagi pengelola warisan budaya dan pengelolaan
pariwisata untuk mencari titik temu yang ideal agar tercapainya
keseimbangan. Namun dalam kenyataannya, produk pendukung lainnya
yang disajikan oleh sebuah organisasi lebih menekankan pada usaha
penawaran dan pemasaran, sementara warisan budaya memerlukan dua
65
sentuhan yang berbeda yakni sentusan konservasi, dan kemanfaatannya
bagi masyarakat lokal sekitarnya.
Tantangan terbesar dalam pengembangan pariwisata budaya adalah
bagaimana mengelola secara bijaksana warisan budaya agar berhasil
menjadi produk pariwisata yang dapat dikonsumsi oleh wisatawan,
namun masih dapat dikelola oleh organisasi nirlaba lainnya seperti
Desa Adat misalnya. Pengelolaan warisan budaya yang baik sebenarnya
lebih menekankan pada hal-hal yang sifatnya non fisik daripada budaya
fisik, dan warisan budaya masyarakat lokal adalah elemen inti dari
pengelolaan tersebut. Prinsip ini menjelaskan bahwa warisan budaya
yang lestari adalah tatkala masyarakat lokal sekitarnya dilibatkan dalam
hal pemanfaatannya maupun pemeliharaannya. (Lowenthal, 1996).
Kita ambil tiga warisan budaya sebagai sebuah contoh perbandingan,
misalnya Ankor Wat di Kamboja mungkin akan lebih pendek umur
kelestariannya jika dibandingkan dengan Candi Prambanan di
Indonesia karena masyarakat lokal masih dilibatkan secara nyata
kekinian dan masih dapat dimanfaatkan pada ritual keagamaan pada
hari-hari tertentu. Jika masyarakat dapat memanfaatkannya sebagai
warisan budaya yang hidup, hidup aktivitasnya, hidup pengelolaannya,
hidup manfaatnya bagi masyarakat maupun wisatawan, maka warisan
dunia tersebut akan menjadi lebih lestari.
Kelestarian warisan budaya sangat memerlukan keseimbangan
pengelolaan, sehingga perlu kesepakatan bersama tentang tugas dan
tanggungjawab, siapa yang bertugas memelihara, siapa yang bertugas
mengatur aktivitasnya agar tidak melebihi daya tampung, dan siapa
yang mempromosikan warisan budaya tersebut. Warisan budaya yang
dikemas menjadi produk pariwisata sebagai daya tarik bagi wisatawan
adalah tentang bagaimana kita menjual pengalaman bukan menjual
wujud fisiknya, sehingga pengetahuan dan ketrampilan para pemandu
wisata sangat diperlukan khususnya tentang sejarah warisan budaya,
serta budaya masyarakat sekitar, dan tentu juga penguasaan ketrampilan
tentang budaya pariwisata, dan pariwisata budaya. Pemasarannyapun
mesti tersasar dengan jelas pada wisatawan yang benar-benar memiliki
minat dan ketertarikan yang tinggi terhadap pariwisata budaya sehingga
wisatawan tersebut juga akan peduli dengan kelestarian budaya, dan
keindahan alam Bali.(*)
66
20 (2017) Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam
koran/majalah populer “Pos Bali” yang berjudul “Membentuk Etos
Wirausaha, Makan untuk Bekerja” Edisi 20 Pebruari 2017
Membentuk Etos Wirausaha
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Zona Nyaman
Seorang pegawai
sebuah perusahaan swasta
dihadapkan pada sebuah
persoalan hidup, dimana
dia harus menentukan
pilihan pada suatu
situasi yang amat sulit.
Persoalan tersebut adalah
antara mempertahankan
pekerjaannya saat ini yang
selama 15 tahun nyaris
tidak menaikkan gajinya
secara seimbang dengan
situasi saat ini. Pada situasi yang sulit tersebut, ternyata dia telah menikah
dan penghasilannya hanya cukup menghidupi rumah tangganya hingga
tanggal 15 saja, dan setelahnya harus mencari subsidi sana-sini. Dengan
penuh keterpaksaan tersebut, akhirnya ia tidak mampu bertahan lagi
untuk lebih lama lagi bekerja diperusahaan tersebut, dan tercetuslah
niat untuk bekerja secara mandiri. Dengan penih keberanian di tengah
67
rasa takutnya, walaupun ia belum tentu akan langsung berhasil dengan
usaha baru yang ia akan jalankan, ia akhirnya terpaksa melakukannya.
Untuk melahirkan insan yang memiliki jiwa wirausaha adalah
dengan mengajarkan sesuatu yang membuat seseorang terpaksa untuk
berpikir dan pada akhirnya membentuk seseorang berpikir untuk
terpaksa, karena dengan keterpaksaan sajalah seseorang akan memiliki
jiwa wirausaha yang superdahsyat untuk melompati tembok persoalan
yang sedang dihadapinya. Sebagaian besar masyarakat Indonesia lebih
menyukai lapangan pekerjaan yang memiliki zona nyaman seperti
menjadi PNS atau pegawai BUMN, dan sejenisnya. Banyak orang
mengetahui apa yang seharusnya mereka perbuat, tetapi sedikit saja
yang benar-benar melaksanakan apa yang mereka ketahui. Seseorang
yang berpikir bahwa ia terpaksa, akan melihat segala sesuatu menjadi
sebuah peluang, sementara seseorang yang berada dalam zona nyaman,
akan berpikir sebaliknya.
Kecerdasan Sosial dan Spritual
Buzam (2002) menguraikan bahwa keberhasilan usaha bisnis
seseorang ditentukan oleh kecerdasan sosial, sikap, dan kemampuan
negosiasi, namun yang ditonjolkan oleh sekolah dari tingkat dasar
hingga perguruan tinggi lebih dominan menekankan pada kecerdasaran
intelektual saja. Lulusan perguruan tinggi dianggap sebagian besar
sebagai penyumbang angka pengangguran tertinggi di Indonesia.
Perguruan tinggi akhirnya dianggap gagal untuk menciptakan lulusan
yang siap untuk bekerja, begitu juga dianggap gagal memenuhi kualifikasi
dan kompetensi yang diperlukan oleh masyarakat industri karena
kurikulumnya yang tidak berseseuaian dengan apa yang diperlukan oleh
dunia kerja. Pada kondisi inilah, peran pemerintah dan perguruan tinggi
diharapkan mampu mendorong para lulusan perguruan tinggi untuk
berwirausaha atau bekerja secara mandiri.
Pada kondisi keterpaksaan, seseorang harus dilengkapi dengan
kecerdasan spiritual agar mereka tidak terjebak pada jebakan untuk
menghalalkan segala cara. Kecerdasan spiritual akhirnya dianggap
sebagai faktor penting dalam menentukan pembentukan jiwa wirausaha
yang mandiri secara luhur. Seseorang yang sepanjang hidupnya hanya
menjadi karyawan, maka sepanjang hidupnya pula ia hanya berpikir dan
berada pada kondisi hidup yang kurang bermakna yakni bekerja untuk
hidup, bukan hidup untuk bekerja. Seseorang yang bekerja untuk hidup
akan membawa kondisi bekerja hanya untuk makan, yang semestinya
makan untuk bekerja. Jika seseorang menjadi mandiri dalam hidupnya,
68
maka hidupnya menjadi lebih bermakna karena ia akan menjadi saluran
berkat bagi orang lain dan membawa pada posisi status sosial yang lebih
bermakna.
Membentuk Etos Kerja Mandiri
Untuk mewujudkan mental wirausaha, diperlukan rekayasa mental
yang dilaksanakan secara masif, terstruktur, dan sistematis dengan
menyentuh secara substantif melalui rekayasa kurikulum pendidikan dari
tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikan harus menekankan
pembangunan manusia seutuhnya, yakni utuh spritualitasnya,
sosialitasnya, dan intelektualitasnya secara seimbang. Pembangunan
persekolahan mestinya lebih diarahkan untuk melakukan rekayasa
mental dengan menggunakan model kompetisi, model simulasi, dan
permainan belajar yang kreatif dan inovatif sesuai talenta yang dimiliki
oleh masing-masing siswa.
Sekolah dan perguruang tinggi harus mampu menjadi saluran bakat
yang menyenangkan dengan memotivasi, menginspirasi, memfasilitasi,
dan mendukung para generasi muda sehingga dari program-program
tersebut akan terbentuk generasi yang memiliki rasa percaya diri yang
tinggi, jiwa kemandirian, dan optimisme yang cukup untuk bertarung
dalam bekerja dan berusaha secara mandiri. Bagi masyarakat Indonesia,
selain rekayasa mental, juga diperlukan rekayasa budaya untuk keluar
dari belenggu budaya kebangsawanan yang secara tidak sadar telah
menjadi faktor penghambat kemandirian bangsa. Rekayasa budaya
bangsawan ini diarahkan untuk menghapus budaya gengsi. Budaya
gengsi telah membelenggu generasi muda kita menjadi pilih-pilih
pekerjaan, cengeng, dan mudah menyerah pada situasi sulit.
Penulis adalah Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, dan
Dosen Tetap pada Fakutas Ekonomika dan Humaniora Universitas Dhyana
Pura, Bali
69
21 (2017) Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam
koran/majalah populer “Pos Bali” yang berjudul “Pariwisata dalam
Dikotomi Kualitas dan Kuantitas” Edisi 17 Maret 2017
Pariwisata Bali dalam Dikotomi Kualitas dan Kuantitas
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Kontribusi Pariwisata bagi Pembangunan Daerah
Pariwisata didaulat sebagai
salah satu mesin penggerak
perekonomian dunia yang terbukti
mampu memberikan kontribusi ter-
hadap kemakmuran sebuah negara.
Pembangunan pariwisata juga
mampu menggairahkan aktivitas
bisnis untuk menghasilkan manfaat
sosial, budaya, dan ekonomi yang
cukup nyata bagi suatu negara.
Keberhasilan sektor pariwisata yang
paling mudah untuk diamati adalah
bertambahnya jumlah kedatangan
wisatawan dari periode ke periode.
Pertambahan jumlah wisatawan
dapat terwujud jika wisatawan yang
telah berkunjung puas terhadap destinasi dengan berbagai atribut yang
ditawarkan oleh pengelolanya. Wisatawan yang puas akan cenderung
menjadi setia untuk mengulang liburannya dimasa mendatang dan
70
memungkinkan mereka juga bersedia merekomen teman-teman, serta
kerabatnya untuk berlibur ke tempat yang sama.
Dari perspektif ekonomi, dampak positif pariwisata khususnya bagi
pariwisata Bali dapat diamati dari beberapa hal, diantaranya adalah (1)
mendatangkan devisa bagi negara melalui penukaran mata uang asing,
(2) pasar potensial bagi produk barang dan jasa masyarakat Bali dan juga
Indonesia, (3) meningkatkan pendapatan masyarakat yang kegiatannya
terkait langsung atau tidak langsung dengan jasa pariwisata Bali, (4)
memperluas penciptaan kesempatan kerja yang terkait langsung seperti
perhotelan, restoran, agen perjalanan, maupun pada sektor-sektor yang
tidak terkait langsung seperti industri kerajinan, penyediaan produk-
produk pertanian, atraksi budaya, bisnis eceran, jasa-jasa lainnya, (5)
sumber pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak dan retribusi, dan (6)
merangsang kreaktivitas seniman, baik seniman pengrajin industri kecil
maupun seniman.
Dikotomi Kuantitas dan Kualitas
Segmentasi pariwisata Bali pada tahun 2016 mengindikasikan
bahwa wisatawan mancanegara yang berwisata ke Bali belum
menunjukkan wisatawan yang berkualitas dengan fakta emipiris bahwa
dari 4.927.937 orang, terdapat 23,20% mereka berasal dari Australia,
dan 20,11% dari Tiongkok (Disparda Bali, 2016). Bali saat ini memiliki
sekitar 130.000 kamar hotel dan dinilai sudah melebihi kebutuhan, pada
saat yang bersamaan Pemprov Bali mengambil kebijakan mencabut
moratorium pembangunan hotel. Pembangunan hotel di Kabupaten
Badung dapat dimulai pada 2016, dan wilayah Kota Denpasar boleh
dilakukan pada 2017 ini (Berita Bali, 2016). Ada apa dengan Bali?.
Ketika pariwisata direncanakan dengan baik, akan dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat lokal, para pelaku bisnis, dan
bagi wisatawan itu sendiri secara harmonis. Diskusi tentang pariwisata
bersama Forum Wartawan Pariwisata, dengan topik “kuantitas atau
kualitas”, terlihat dan nampak jelas masih terjadinya dikotomi yang
saling berbenturan, jika tidak mampu dikelola dengan baik, akan
memunculkan disharmoni antara masyarakat lokal, para pelaku bisnis,
dan bagi wisatawan itu sendiri (Pitana, 2017). Kasus pariwisata Bali,
banyak kalangan khususnya para pelaku bisnis akomodasi mengganggap
bahwa Bali sudah kelebihan suplai kamar, sementara para pelaku
bisnis perjanalan wisata mengganggap bahwa Bali masih kekurangan
wisatawan untuk mengisi kelebihan suplai akomodasi. Para pengelola
jasa pendidikan pariwisata berharap pembangunan pariwisata harus
71
tetap dilakukan disepanjang masa untuk dapat menampung calon
tenaga kerja yang dihasilkannya. Kesimpulannya adalah bahwa kita
masih memerlukan kedatangan wisatawan dan secara kualitas juga
mesti terus meningkat kuantitasnya. Apakah itu mungkin?. Faktanya,
Bali baru saja menerima sebuah penghargaan dari Travel Journal
Singapore sebagai “The best relaxation destination” (Pitana, 2017)
yang mengindikasikan bahwa Pulau Bali sebagai Destinasi Pariwisata
Internasional yang layak mempromosikan dirinya sebagai destinasi bagi
wisatawan yang berkualitas. Pada sisi yang bersamaan, Bali juga masih
memiliki potensi untuk mendatangkan wisatawan lebih banyak lagi
dari tahun sebelumnya karena ketersediaan akomodasi yang melimpah.
Tuntutan Pembangunan Berkelanjutan
Isu tentang moratorium pembangunan hotel di Bali telah lama
dikumandangkan, namun sejak diberlakukannya Undang-Undang
(UU) Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan atau
diganti menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah tentang hakekat otonomi pembangunan, maka secara tidak
langsung mengisyaratkan pemerintah daerah melakukan pembangunan
secara maksimal demi kemakmuran daerah masing-masing khususnya
kabupaten/kota. Bagi Pemerintah daerah, ini adalah kesempatan seluas-
luasnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, yang tidak
hanya mengandalkan dana perimbangan pusat dan daerah, tetapi juga
menggali potensi sumber-sumber pendapatan asli daerah dengan tetap
memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan termasuk
juga sektor pariwisata. Artinya moratorium pembangunan hotel di
Bali secara kebijakan amat sulit untuk dilakukan, namun akan berjalan
sesuai mekanisme pasar yakni sepanjang masih ada permintaan, akan
masih tetap ada pembangunan akomodasi. Begitu juga, sepanjang
masih melimpahnya suplai akomodasi, maka para pelaku bisnis
pariwisata masih akan melakukan kegiatan promosi yang bertujuan
untuk mendatangkan wisatawan sesuai targetnya.
Bali Perlu Pemerataan Pembangunan Pariwisata
Ada beberapa skenario dapat dilakukan untuk mengharmoniskan
dikotomi antara tuntutan kuantitas dan kualitas. Pertama adalah hanya
mengijinkan investasi pembangunan kepariwisataan di luar wilayah
yang sudah dianggap jenuh yakni Badung, Denpasar, dan Gianyar.
Kedua adalah menentukan zona wilayah sentra pariwisata, pendukung
pariwisata, dan penunjang pariwisata Bali dengan mempertimbangkan
keunggulan komparatif wilayah. Ketiga adalah dengan menyerahkan
72
seluruh kebijakan pembangunan kepariwisataan pada daerahnya
masing-masing dengan sistem dan mekanismenya masing-masing
secara adil dan bijaksana.
Penulis: Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Dosen Tetap
Program Studi Manajemen Perhotelan, Fakultas Ekonomika dan Hu-
maniora, Universitas Dhyana Pura, dan Alumni Program Doktor Pari-
wisata Universitas Udayana, Bali.
73
22 (2017) Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam
koran/majalah populer “Pos Bali” yang berjudul “Membangun
Pariwisata di Daerah Blank Spot” Edisi 22 Maret 2017
Pembangunan Pariwisata Pada Daerah Blank Spot Budaya
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Daerah-daerah yang tidak
memiliki budaya spesisfik ibaratnya
seperti jaringan komunikasi sering
disebut “blank spot area” akan ber-
hadapan dengan banyak kendala
dalam pembangunan pariwisata
budaya. Pada konteks pariwisata,
budaya seringkali dianggap
sebagai sebuah kekayaan yang di-
peruntukkan untuk konsumsi
para wisatawan, sehingga budaya
akhirnya mengalami komodifikasi.
Bali sebagai daerah tujuan wisata
dalam proses pengembangan bu-
dayanya, acapkali disesuaikan
dengan gaya masyarakat barat,
sehingga lambat laun budaya akan mengalami kehilangan keunikan
dan tidak mampu menunjukkan perbedaan dengan budaya lainnya
khususnya dengan budaya para wisatawan asing tersebut. Jika hal tersebut
terjadi, maka lambat laun minat wisatawan akan menurun. Persoalannya
adalah, bagaimanakah dengan daerah-daerah yang termasuk dalam
74
kategori blank spot budaya?. Sebut saja misalnya Daerah Jembrana,
Kepulauan Nusa Penida, dan Daerah Buleleng bagian barat, akan amat
sulit menemukan budaya asli daerah tersebut. Apakah daerah seperti
itu layak dikembangkan sebagai pariwisata budaya?. Model pariwisata
seperti apakah yang sesuai untuk daerah blank spot budaya?.
Hilangnya identitas budaya daerah
Penguatan identitas lokal dan kreatifitas etnis amat penting
karena dapat memberikan respon dan akibat terhadap perbedaan dan
keragamaan sebagai komoditas yang dikonsumsi oleh wisatawan.
Menurut Hitchcock (2000), etnisitas dapat dipahami sebagai
sumberdaya yang dapat digerakkan untuk memunculkan keunikan
budaya tertentu dalam konteks pembangunan pariwisata budaya. Begitu
juga Scott (1995), menganggap bahwa pariwisata memiliki peranan
yang penting untuk pembentukan identitas dan etnisitas dimana
perbedaan budaya adalah hal yang bisa dipasarkan sebagai sumber daya
destinasi pariwisata. Selanjutnya Burlo (1996), menjelaskan elemen
budaya dapat dikomodifikasi mengikuti pariwisata, tetapi hendaknya
tetap menghargai ke-tradisionalan budaya sebagai sesuatu proses
masyarakat lokal yang dapat menarik wisatawan dan dapat memberikan
kekuatan politik masyarakat sehingga dalam kontek ini, pariwisata dapat
mengurangi mariginaliasi masyarakat akibat adanya manipulasi politik.
Model pariwisata untuk daerah blank spot budaya
Strategi paling jitu untuk pemberdayaan daerah blank spot budaya
adalah tidak memaksakannya dibangun dalam model pariwisata budaya
seperti yang telah disampaikan oleh para ahli pariwisata budaya. Jikalau
demikian, kekayaan alamnya dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata
dan tentu saja diperlukan kemauan, harapan, kreatifitas, dan inovasi dari
semua pemangku kepentingan daerah secara sosial maupun politik. Model
komodifikasi budaya juga dapat dilakukan sepanjang kreator budaya mampu
menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan budaya aslinya untuk
menghindari konflik saling klaim dengan daerah lainnya. Apapun model
pariwisata yang dikembangkan, keterlibatan masyarakat memegang peranan
sangat penting sehingga pendekatan pembangunan pariwisata “community
based tourism” selalu diutamakan dan dipertimbangkan (Murphy, 1985).
Siapa itu masyarakat lokal?, definisi ini harus mengandung makna
pelibatan partisipasi masyarakat, harus melibatkan masyarakat yang berkuasa,
siapa yang termasuk masyarakat lokal, siapa yang seharusnya paling dilibatkan
untuk mengurangi konflik dikemudian hari dalam pembangunan pariwisata.
Antisipasi ini amat penting untuk mengindari terjadinya sebuah kebencian
75
terhadap pemandu wisata yang bukan merupakan penduduk lokal. Jikalau
dibangun pusat atau pasar oleh-oleh (souvenir shop) pada daerah tertentu,
mestinyalah menjual produk-produk masyarakat lokal di mana daya tarik
wisata itu ada. Regulasi dan pengaturan serta tata kelola pemanduan wisata
mesti dikelola berhirarki yang memungkinkan memberdayakan para
pemandu wisata lokal karena merekalah yang lebih mengetahui daerahnya.
Pembangunan pariwisata pada daerah blank spot budaya di Bali
Untuk daerah Blank Spot budaya seperti daerah Jembrana, mestinya
para pemangku kepentingan berani mengambil beberapa alternatif yang
berani dan kreatif untuk membangun kepariwisataan Jembrana seperti
mempromosikan destinasi halal karena sumberdaya manusia pendukungnya
memang melimpah. Begitu juga misalnya pengembangan wisata rohani
atau spritual Kristen dan Katolik mungkin akan menjadi faktor pembeda
dengan daerah lain dan sekaligus mengisi ruang blank spot budaya yang
ada. Daerah Buleleng bagian barat yang dulunya pernah dikenal sebagai
pelabuhan laut yang cukup maju, dapat dikembangkan sebagai daerah
wisata bahari atau pesiar karena daerah pantai utara memang sebenarnya
lalu lintas laut Nusantara yang cukup popular. Begitu juga halnya dengan
Kepulauan Nusa Penida yang saat ini mulai dikenal oleh para wisatawan
oleh karena keindahan alamnya. Namun, derah tersebut sebenarnya adalah
daerah blank spot budaya yang tidak ditemukannya sebuah budaya asli,
dan masih amat identik dengan budaya di daetah-daerah Bali Pulau pada
umumnya. Pada kondisi seperti inilah diperlukan kreatifitas dan inovasi
dari masyarakat lokal untuk membentuk faktor pembeda dan keunikan
dengan daerah-daerah Bali Pulau pada umumnya.
Pada beberapa kasus pengembangan pariwisata yang ada,
menunjukkan bahwa pada masyarakat yang berbeda memiliki
keterlibatan yang berbeda pula pada setiap inisiatif pembangunan.
Misalnya di Jembrana akan memungkinkan lebih banyak dikembangkan
daya tarik wisata buatan (man-made), namun di Kepulauan Nusa Penida
lebih banyak dikembangkan daya tarik wisata semi-buatan (semi-man
made), dan begitu juga dengan daerah Buleleng bagian barat diperlukan
lebih banyak sentuhan kreatifitas khususnya untuk mengatasi kelemahan
aksesibilitas misalnya dengan membangun bandara alternatif, dan
pelabuhan laut yang memungkinkan bersandarnya kapal pesiar.
Penulis: Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Dosen
Tetap Program Studi Manajemen Perhotelan, Fakultas Ekonomika dan
Humaniora, Universitas Dhyana Pura, dan Alumni Program Doktor
Pariwisata Universitas Udayana, Bali.
76
23 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah populer Tribun Bali yang berjudul “OPINI BERSERI: KORUPSI LEBIH KEJAM DARI TERORISME”
Korupsi lebih Kejam dari Terorisme (1)
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Bisa jadi, kini kata ”korupsi”
menjadi salah satu kata yang paling
banyak diucapkan di Indonesia.
Tiap hari kita mendengarnya di
media massa. Tapi sangat jarang
media memuat bagaimana cara
meminimalkan, menghingdari, atau
menolak tindakan korupsi. Tulisan
ini mencoba memarkan faktor-
faktor yang berhubungan dan yang
mungkin dapat memicu tindakan
korupsi.
Seharusnyalah kita, bangsa
Indonesia, malu memiliki negara
dengan tingkat korupsi tertinggi di
dunia. Korupsi di Indonesia sudah
sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk pada hampir seluruh
sendi kehidupan. Pernyataan ini dapat dijelaskan oleh fakta berdasarkan
corruption perception index 2009 Indonesia bertengger pada ranking
111 dengan skor 2,8 (padahal angka terbersih adalah 10) bersama negara
Djibouti, negara republik di Afrika timur laut, yang belum dikenal oleh
77
banyak orang. Lalu bagaimana corruption perception index 2012? Coba
anda tebak, apakah kita bertambah bersih atau malah kian korup?
Beberapa faktor penyebab tindak korupsi dapat dibedakan menjadi
faktor internal dan eksternal. Faktor internal sangat dimungkinkan oleh
sebab prilaku materialistis dan konsumtif manusia zaman kapitalis ini.
Hal itu menyebabkan orang-orang yang memiliki kuasa atau jabatan
menjadi semakin “tamak” dan “rakus”. Moral kurang kuat menghadapi
godaan juga menjadi menyebab yang cukup kuat seseorang berbuat
korup. Sifat malas namun ingin dapat hasil besar, kurangnya keteladanan
para pemimpin, nyaris menjadi tontotan tiap hari. Sementara rendahnya
gaji para pegawai negeri dan swasta juga dapat mendorong terjadi
tindakan korupsi, ditambah lagi mekanisme pengawasan yang kurang
ketat dalam organisasi pemerintahan atau swasta.
Kondisi lingkungan sebuah organisasi atau lembaga juga mendorong
terjadinya seseorang yang tidak memiliki hasrat untuk korupsi akhirnya
terpaksa terseret juga oleh arus lingkungannya yang terlanjur kompromi
terhadap kebiasaan korupsi. Fakta internal lainnya juga diindikasikan
oleh lemahnya keimanan, rendahnya kejujuran, kurannya rasa malu, dan
rendahnya penerapan etika berorganisasi atau bermayarakat.
Faktor external yang mendorong hasrat untuk melakukan
tindakan korupsi dapat disebabkan oleh money politic yang cenderung
menghasilkan pemimpin korup. Pemimpin yang terpilih karena uang
cenderung berusaha mendapatkan uang untuk mengembalikan yang
telah dikeluarkannya. Penegakan hukum yang lemah, serta perundang-
undangan yang dibuat asal-asalan juga menjadi faktor penyebab
dominan suburnya tindakan korupsi di Indonesia (DIKTI, 2012).
“Extra ordinary crime for corruption”
Korupsi identik dengan kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, suap, amoral, kotor, dan pastinya korupsi bukanlah
sebuah budaya malainkan sebuah tidakan yang tidak beradab yang lebih
kejam dari terorisme.
Meluasnya praktik korupsi di suatu negara akan memperburuk
kondisi ekonomi bangsa, misalnya harga barang menjadi mahal dengan
kualitas yang buruk, akses rakyat terhadap pendidikan dan kesehatan
menjadi sulit, keamanan suatu negara terancam, kerusakan lingkungan
hidup, dan citra pemerintahan yang buruk di mata internasional
sehingga menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal asing,
krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan negara pun menjadi semakin
terperosok dalam kemiskinan. Bukankah hal tersebut lebih kejam dari
78
terorisme?
Di Indonesia, dengan meminjam istilah kedokteran, korupsi telah
mamasuki stadium lanjut dan kronis, bahkan korupsi dianggap sebagai
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dengan dampak buruk yang
luar biasa pula, untuk itu kita memerlukan tindakan luar biasa (salah
satunya adalah KPK).
Pemberantasan korupsi dapat terdiri dari penindakan dan
pencegahan. Saat ini upaya pemberantasan korupsi belum menunjukkan
hasil yang optimal dan oleh karena itu perlu ditingkatkan dengan
pendekatan yang holistik dan simultan dengan melibatkan semua
elemen masyarakat. Kita semua harus menjadi subjek pemberantas
korupsi, dan menurut PP 71 Th. 2000 disebutkan bahwa peran serta
masyarakat adalah peran aktif yang dapat perorangan, ormas, atau
Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi. Pemberantasan korupsi adalah serangkaian
tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi
melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan-penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran serta
masyarakat (KPK).
Tidak dapat dimungkiri lagi, peran pemuda atau mahasiswa
telah tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai kelompok masyarakat
yang paling ampuh untuk dapat melakukan perubahan. Kebangkitan
Indonesia yang terkerucut dalam sumpah pemuda 1928 adalah tonggak
sejarah lahirnya NKRI, Lahirnya Orde Baru yang kala itu adalah baik
dan benar juga diperankan oleh kelompok pemuda atau mahasiswa.
Saat lahirnya Era reformasi lagi-lagi mahasiswa berada pada barisan
terdepan. Pada kondisi saat ini, peran perguruan tinggi menjadi sangat
penting karena perguruan tinggilah yang akan mencetak generasi yang
semestinya telah dibekali senjata anti korupsi. Pemberantasan korupsi,
terutama pencegahan, perlu melibatkan peran serta masyarakat,
termasuk. Mahasiswa mempunyai potensi besar untuk menjadi agen
perubahan dan motor penggerak gerakan anti korupsi.
Mestinya,perguruan tinggi menjadi pendorong gerakan pencegahan
korupsi, dan gerakan tersebut dapat diwujudkan dengan berbagai cara
dan metode, seperti pendidikan anti korupsi dengan mewajibkan
pemimpin mahasiswa untuk mengikuti pendidikan anti korupsi,
mendorong adanya pendidikan anti korupsi di kampus, mengadakan
seminar anti-korupsi, adanya materi pendidikan anti-korupsi untuk
perguruan tinggi. Sementara metode yang dapat digunakan adalah
dengan kampanye gerakan anti korupsi, melalui pembuatan media
79
prograganda seperti baliho, spanduk, dan poster, pembuatan media
on-line untuk mengkampanyekan ujian bersih, menanamkan nilai
kejujuran/ujian bersih pada tingkatan mahasiswa.
Dari mana memulainya? Tak seorang pun dapat mengubah dunia
ini jika tidak dimulai dari diri sendiri. Gerakan perubahan diri dapat
dimulai saat ini juga. Setidaknya gerakan anti korupsi dapat digerakkan
dari berbagai dimensi; dimensi budaya, hukum, politik, sosial, agama,
bahkan mungkin dari dimensi ilmu kedokteran, misalnya. edisi 1640
I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MMA., MA., Dekan Fakultas
Ekonomika dan Humaniora Universitas Dhyana Pura Bali.
80
24 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah populer Tribun Bali yang berjudul “OPINI BERSERI: KORUPSI LEBIH KEJAM DARI TERORISME”
Korupsi lebih Kejam dari Terorisme 2
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Pemberantasan Korupsi? Dari
mana memulainya? Tak seorang
pun dapat mengubah dunia ini
jika tidak dimulai dari diri sendiri.
Gerakan perubahan diri dapat
dimulai saat ini juga. Setidaknya
gerakan anti korupsi dapat dimuali
dari berbagai dimensi; dimensi
budaya, hukum, politik, sosial,
agama, bahkan mungkin dari
dimensi ilmu kedokteran, misalnya.
Kebiasaan toleran dan permisif
terhadap korupsi akan menjadi
akumulasi layaknya bola salju
yang menggelinding dan semakin
lama akan semakin besar. Korupsi
bahkan lebih kejam dari terorisme dan penyakit menular seperti HIV/
AIDS, dan tidak salah jika kakek/nenek kita menyebut penyakit kulit
yang menular disebut dengan penyakit kurap (Bahasa Belanda corruptie,
atau Bahasa Inggris corrupt).
81
Strategi Pemberantasan Korupsi adalah dengan memberikan
pendidikan anti korupsi yang terpadu dalam kurikulum sebagai sebuah
matakuliah wajib. Pemberian pendidikan anti korupsi paling mungkin
dimulai dari tingkatan perguruan tinggi dengan harapan agar mahasiswa
mampu menjelaskan arti kata dan definisi korupsi secara tepat dan
benar, mampu menjelaskan sejarah korupsi dan pemberantasan korupsi
di Indonesia dengan benar, mampu menjelaskan bentuk-bentuk korupsi
dan perilaku koruptif dengan benar, mampu membedakan bentuk tindak
pidana korupsi dan perilaku koruptif, mampu menganalisis perbuatan
korupsi dan perilaku koruptif di masyarakat, dan mampu mengevaluasi
dan memahami berbagai bentuk tindak korupsi dan perilaku koruptif.
“Jika korupsi adalah extra ordinary crime maka diperlukan
tindakan yang luar biasa”
Saat ini kita memerlukan kebangkitan nasional dalam bentuk
kebangkitan gerakan anti korupsi! Ucapkan selamat datang generasi
muda anti-korupsi, dan pastikan bahwa Indonesia akan lebih baik jika
tanpa korupsi.
Meluasnya praktik korupsi di suatu negara akan memperburuk
kondisi ekonomi bangsa, misalnya harga barang menjadi mahal dengan
kualitas yang buruk, akses rakyat terhadap pendidikan dan kesehatan
menjadi sulit, keamanan suatu negara terancam, kerusakan lingkungan
hidup, dan citra pemerintahan yang buruk di mata internasional
sehingga menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal asing,
krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan negara pun menjadi semakin
terperosok dalam kemiskinan.
Kerugian negara akibat korupsi mencapai 40% dari dana APBN
per tahun dan terjadi secara terus menerus tanpa terbendung. Siapa yang
menikmati? Transparansi Internasional (TI) Indonesia mencatat kalau
uang rakyat dalam praktik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
menguap oleh prilaku korupsi.
Dwipoto Kusumo dari Transparansi Internasional (TI) Indonesia
mengatakan mengatakan, “Sekitar 30 sampai 40 persen dana menguap
karena dikorupsi.” 70% dari praktik korupsi terjadi pada pengadaan
barang dan jasa oleh pemerintah (Bangkapost 30 Juli 2011). Lebih
lanjut dipaparkan, jika 40% dana APBN per tahun yang hilang tersebut
tidak terjadi, maka akan ada sekolah gratis sampai perguruan tinggi,
biaya kesehatan gratis, perumahan murah, kenaikan pendapatan, listrik
murah, modal usaha rakyat, air bersih siap minum, transportasi umum
82
bagus, jalanan dan jembatan bagus, rel kereta ganda seluruh pulau besar,
fasilitas umum dan sosial bagus, lebih banyak bandara dan pelabuhan,
industri tumbuh, jaminan sosial bagi seluruh rakyat, alutsista cukup
dan dalam kondisi baik dan baru, hutang negara bisa diselesaikan dan
lain-lain yang tentunya akan semakin menyejahterakan masyarakat,
yang pada akhirnya meningkatkan martabat bangsa.
Gerakan Simultan!
Gerakan Simultan Anti Korupsi dapat dilakukan dengan melakukan
monitoring dan evaluasi, melakukan kerjasama internasional antarnegara
dan International NGOs. Pembentukan lembaga anti korupsi di
beberapa negara seperti di Hongkong (Independent Commission against
Corruption – ICAC); di Malaysia ada the Malaysia Anti-Corruption
Comission (MACC); di Indonesia ada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK); Memperbaiki kinerja lembaga peradilan; Di tingkat departemen
pembentukan lembaga audit; Reformasi birokrasi dan reformasi
pelayanan publik; Pemantauan kinerja Pemerintah Daerah; Pemantauan
kinerja Parlemen (DPR dan DPRD).
Saat ini hukum di Indonesia anggap semakin mandul sehingga
tidak cukup hanya mengandalkan satu instrumen hukum yakni Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saja. Diperlukan
berbagai peraturan perundang-undangan atau instrumen hukum lainnya.
Peraturan perundang-undangan yang harus ada untuk mendukung
pemberantasan korupsi adalah Undang-Undang Tindak Pidana Money
Laundering misalnya, UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU yang
mengatur mengenai pers yang bebas. Pengembangan mekanisme untuk
masyarakat yang akan melaporkan tindak pidana korupsi; Pengaturan
penggunaan electronic surveillance. Untuk mendukung pemerintahan
yang bersih, perlu instrumen Kode Etik atau Code of Conduct yang
ditujukan untuk semua pejabat publik, baik pejabat eksekutif, legislatif,
maupun code of conduct bagi aparat lembaga peradilan seperti
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan LP (DIKTI, 2012).
Karena begiitu rumitnya permasalahan korupsi, upaya
pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhasil tanpa melibatkan
peran serta masyarakat. Sehingga diperlukan strategi pemberantasan
korupsi yang terdiri dari tiga unsur utama, yaitu: pencegahan,
penindakan, dan peran serta masyarakat.
Salah satu upaya pemberantasan korupsi adalah dengan sadar
melakukan suatu gerakan anti-korupsi di masyarakat dan gerakan
tersebut harusnya dimulai dari mahasiswa sebagai agen perubahan dan
83
kebangkitan bangsa karena di pundak mahasiswalah kekuasan dan
jabatan di masa depan dipertaruhkan. Dan sudah seharusnya gerakan
anti korupsi dipadukan dalam kurikulum di semua program studi secara
wajib mengingat masifnya kondisi korupsi di indonesia. edisi 1641
I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MMA., MA., Dekan Fakultas Ekonomika
dan Humaniora Universitas Dhyana Pura Bali.
84
25 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam opini/artikel populer Tribun Bali yang berjudul “Benih Kehancuran Bangsa”
Benih Kehancuran Bangsa
Oleh Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, MA.
Perkembangan media jejaring sosial dan teknologi informasi
telah menembus batas penghalang informasi untuk disampaikan
kepada masyarakat. Akhir-akhir ini konflik yang berbau-bau SARA
mencuat dan terjadi nyaris di sebagaian besar wilayah Indonesia dan
bahkan dunia. Permasalahan dan konflik SARA tidak saja terjadi
secara eksternal namun juga terjadi secara internalnya. Berbagai konflik
terjadi disebabkan oleh menguatnya egoism kelompok, etins, dan
penganut suatu agama itu sendiri, dan juga diidorong oleh melemahnya
kesadaran toleransi terhadap perbedaan. Faktor lainnya disebabkan oleh
menguatnya fanatisme yang belum dimbangi dengan pemahaman yang
benar tentang hakekat keragaman dan perbedaan. Faktor yang lebih lucu
lagi, adanya pencampur-adukan tentang agama dan budaya sehingga
beragama seperti layaknya sebuah penjajahan bangsa asing karena kita
tidak menyesuaikannya dengan budaya yang telah ada di Nusantara
ini. Harus diakui, amat sulit memang, membedakan antara agama dan
budaya yang menyertainya. Jika kita beragama Islam haruskah kita
menelan mentah-mentah budaya Arab yang menyertainya?, begitu juga
jika kita beragama Kristen haruskah dengan mudah meniru budaya
Eropa? , jika kita beragama Budha haruskah kita bergaya ala bangsa
Cina?, jika kita beragama Hindu haruskah kita menjadi orang India dan
sebagainya.
85
Nyaris 100% penduduk Indonesia tercatat beragama namun amat
disayangkan justru berbagai tindak kekerasan, kriminalisasi, korupsi, dan
penyalahgunaan narkoba tercatat cukup tinggi dan marak terjadi dan
nyaris merata di sebagian besar kota-kota di Indonesia. Pertanyaannya,
apa yang sebenarnya yang telah salah dengan agama-agama di
Indonesia? Jawaban sementara yang dapat diutarakan yakni semakin
melemahnya pemahaman beragama tentang hakekat agamanya, serta
terjadinya komersialisasi organisasi keagamaan, dan politisasi agama itu
sendiri untuk meraih kekuasaan dunia.
Ada sebuah ibarat bahwa beragama mirip dengan orang yang
memakai “celana dalam”, dimana celana dalam tersebut perlu kita
gunakan untuk kenyamanan diri, namun tidak harus kita pamerkan
merk ataupun warnanya. Mungkin akan menjadi sebuah ironi jika kita
ternyata memnggunakan celana dalam yang robek dan terlihat oleh
orang lainnya. Jika demikian, gunakanlah celana dalam yang nyaman
untuk diri kita dan tidak perlu memaksakannya untuk orang lainya.
Namun jangan terlalu berharap jika kita menggunakan celana dalam
yang baik dan tidak perlu harus dipuji-puji oleh orang lain karena apa
yang kita gunakan untuk kenyamanan kita sendiri bukan untuk orang
lain. Ada juga yang beribarat bahwa orang-orang yang beragama
berbeda dalam sebuah Negara, seperti sekumpulan orang yang sedang
menghisap sebatang rokok yang berbeda merk dan jenis tembakaunya.
Mereka semua dapat menikmati rokok tersebut dengan nikmatnya tanpa
harus memaksa orang lain untuk mengisap rokok yang sama dengan
dirinya. Inti dari perumpaan ini adalah apa yang kita anggap baik dan
benar belum tentu baik dan benar bagi orang lainnya. Silogisme yang
mesti kita bangun adalah pahami dan lakukan apa yang baik menurut
kita untuk diri kita sendiri bukan untuk orang lainnya.
Kita memang harus melestarikan budaya daerah kita masing-
masing tanpa harus resisten dengan budaya orang lain atau memaksa
orang lainnya untuk menjadi sama dengan diri kita. Kita boleh membuat
program peningkatan keimanan beragama kita masing-masing tanpa
harus menghakimi kelompok lainnya sebagai kelompok orang-orang
kafir atau kelompok orang-orang dalam kegelapan. Makna persatuan
tidaklah harus seragam karena kita bukan Negara komunis, namun
yang terpenting adalah kesepakatan untuk sepakat menerapkan nilai-
nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Para pelopor kemerdekaan
kita telah membangun bangsa ini dalam sebuah kenyataan bahwa kita
memang heterogen dalam berbagai hal seperti agama, etnis, suku,
aliran, bahasa daerah, warna kulit, potensi daerah dan sebagainya dan
86
itu sebuah kekayaan yang jika kita mampu kelola akan menjadi sebuah
daya tarik bagi bangsa lainnya untuk lebih mempercayai bangsa dan
Negara kita sebagai bangsa yang bermartabat dan berbudaya luhur.
Perlu kita catat bersama bahwa saat ini terlalu banyak pejabat kita
membuat perencanaan program kerja dengan target yang tinggi. Kita
ambil contohnya misalnya target pencapaian kunjungan wisatawan asing
berwisata ke Indonesia adalah 20 juta, mungkinkah?. Tentu saja target
tersebut akan terlalu kecil jika kita telah dianggap Negara yang memiliki
stabilitas politik, sosial, hukum, politik, dan keamanan yang dapat
dipercaya. Pembangunan apapun yang kita lakukan tanpa dukungan
faktor faktor tersebut, tidak mungkin dapat kita wujudkan. Akhirnya
dapat kita simpulkan bahwa untuk keberlanjutan pembangunan bangsa
ini, baiknya kita kembali kepada pengamalan nilai-nilai Pancasila dan
Bhineka Tunggal Ika yang telah kita sepakati bersama dan niscaya
bangsa kita akan menjadi bangsa yang besar, adil, sejahtera, makmur,
dan beradab.
Penulis adalah Dosen Tetap pada Fakultas Ekonomika dan Humaniora
Universitas Dhyana Pura, Bali, pemerhati masalah-masalah sosial dan
kepariwisataan
87
26 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer Tribun Bali yang berjudul “Peran Lembaga Keuangan
Sebagai Stimulator Gerakan Care For All”
Peran Lembaga Keuangan Sebagai Stimulator Gerakan Care For All
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Keterlibatan dan keaktifan sebuah perusahaan dalam pemberdayaan
masyarakat adalah sebuah idealisme dasar yang tercermin dari
dirumuskannya program Corporate Social Responsibility (CSR) secara
berkesinambungan. Idealisme tersebut sebenarnya sebuah kesadaran
yang semestinya bagi lembaga bisnis yang tidak hanya perduli pada
dirinya sendiri tetapi harus perduli pada masyarakat yang hidup
disekitarnya, perduli akan lingkungan oleh karenanya, keperdulian
tersebutnya sebuah perusahaan atau lembaga bisnis dapat dikatakan
profit yang senyata artinya profit yang tidak merampas hak masyarakat
untuk hidup, tidak merampas lingkungan untuk dapat menghidupi
manusia dan mahluk lainnya secara berkesinambungan, dan kesadaran
tersebut biasanya disebut dengan gerakan care for all.
Ada kesepakatan moral etis untuk membuat formula tentang
besaran anggaran sebuah perusahaan khususnya Multi National
Companies (MNC) atau perusahaan yang sudah go public untuk dapat
menjalankan gerakan CSR care for all tersebut sebesar 5% secara
konsisten dalam hal pendanaan maupun program-programnya. Gerakan
care for all dalam terminologi pembangunan berkesinambungan atau
corporate sustainability yang merupakan formula untuk menciptakan
equality antara people, planet, dan profit. Kesadaran akan pentingnya
88
pembangunan berkesinambungan ini sebenarnya masih dalam bentuk
campaign karena tidak semua perusahaan telah sadar. Propaganda
tersebut diawali oleh adanya pemanasan global, krisis pangan, krisis
energi, dan berbagai inequality antara belahan negara maju dan negara
ketiga.
Jika ada perusahaan yang telah tersadar akan hal tersebut,
adalah sebuah langkah awal menuju cita-cita pembangunan yang
berkesinambungan. Jika ada lembaga keuangan seperti Bank Indonesia
(BI) yang sebenarnya memiliki peran Regulator Sentral untuk semua
lembaga keuangan di negeri ini melakukan gerakan care for all adalah
sebuah gerakan yang patut diacungi jempol apalagi gerakan tersebut
dapat didasarkan pada kesadaran yang senyatanya secara konsisten.
Keberhasilan BI menjadi Stimulator pemberdayaan masyarakat
khususnya kaum muda seperti mahasiswa untuk menjadi lebih mandiri
siap menciptakan lapangan pekerjaan akan dapat di teladani oleh
lembaga keuangan lainnya. Apalagi jika BI dapat menuangkannya dalam
sebuah gerakan wajib dan bila perlu menjadi indikator tambahan untuk
mengukur kesehatan sebuah lembaga keuangan di bawah koordinasi
BI.
Program-program CSR yang dirumuskan oleh BI mestinya dapat
menjangkau masyarakat miskin. Menurut catatan ADB, ternyata
mayoritas masyarakat miskin Indonesia bekerja di sektor pertanian.
Fakta terbaru bahwa penduduk Indonesia yang masih bekerja di
sektor pertanian berjumlah 46 juta orang, kita dapat membayangkan
begitu banyaknya masyarakat Indonesia berada pada garis kemiskinan.
CSR mestinya diarahkan untuk menggairahkan sektor pertanian
khususnya pertanian rakyat (bukan perusahaan besar saja) masih sangat
dimarginalkan oleh pemerintah maupun oleh lembaga keuangan yang
ada saat ini masih menganggap tidak berkontribusi nyata terhadap
pertumbuhan ekonomi. Jikalau ada program beasiswa dari BI mestinya
diprioritaskan untuk anak-anak petani, buruh tani dan nelayan. Jikalau
ada program pendidikan kewirausahaan bisnis kecil, mestinya program
kewirausahaan tersebut diarahkan untuk kewirausahaan yang berkorelasi
langsung dengan sektor pertanian dan perikanan. Apapun programnya
mestinya dikorelasikan dengan masyarakat miskin, daerah perdesaan
dan sebagainya. Untuk kasus Bali, gerakan care for all BI lebih diarahkan
untuk menciptaan lebih banyak pariwisata yang berbasis perdesaan
“desa wisata”. Mestinya CSR tidak hanya berupa gerakan moral etis
tetapi lebih dari pada itu yakni gerakan care for all yang seharusnya
menjadi kewajiban semua perusahaan yang ada di dunia ini. Jika hal
89
tersebut dapat terwujud, maka life cycle perusahaan dapat bertumbuh
dan berkembang secara konsisten dan berkesinambungan.
I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MMA., MA., Dekan Fakultas Ekonomika
dan Humaniora Universitas Dhyana Pura Badung. Kandidat Doktor
Pariwisata Universitas Udayana, Bali.
90
27 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/
majalah populer Tribun Bali yang berjudul “Membentuk Harmoni:
Terjangan Toko Berjejaring Versus Pasar Tradisional”
Membentuk Harmoni: Terjangan Toko Berjejaring Versus Pasar Tradisional
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Pasar tradisional saat ini tidak hanya menghadapi permsalahan
internal namun juga masalah eksternal yang sangat mempengaruhi
perkembangan dan keberadaannya. Pada sisi eksternal, pasar tradisional
harus menghadapi bertumbuh pesatnya pasar ritel modern yang
pastinya dari sisi permodalan, kualitas, dan penampilan jauh lebih baik
daripada pasar tradisional. Di banyak tempat, pasar tradisional nyaris
ditinggalkan oleh konsumennya khususnya pasar tradisional pada
daerah perkotaan. Kondisi ini diperparah lagi oleh minimnya kesadaran
para pengelola pasar tradisional terhadap kebersihan, kenyaman, dan
keamanan. Menurut penelitian LIPI (2005), Untuk kasus di Indonesia
saat ini, jumlah pasar tradisional cenderung menurun sebesar 2,97%
berbanding terbalik dengan pasar ritel modern yang cenderung
mengalami peningkatan yang cukup berarti yakni sebesar 43,32%
jika dibandingkan tahun 1995, hal ini mengindikasikan bahwa pasar
tradisional cenderung semakin tidak menarik sementara pasar ritel
modern cenderung merajalela seolah-oleh tanpa ada rasionalisasi.
Jikalau pemeritah mau dan mampu mengkondisikan pasar
tradisional dengan mengucurkan dana renovasi fisik, hal tersebut hanya
berdampak sesaat saja, mengingat aspek budaya masyarakat pedagang,
pengelola, dan konsumen belum tersentuh secara nurani, dan akhirnya
menyebabkan pasar tradisional tidak pernah mendekati ideal “selalu
91
nampak kotor, sembrawut, tidak nyaman, dan tidak aman”. Namun
demikian, pasar tradisional harus tetap dipertahankan karena pasar
tradisional menjadi soko guru perekonomian Indonesia saat ini, pusat
aktivitas perekonomian masyarakat bawah, dan tumpuan perekonomian
masyarakat perdesaan yang terpinggirkan oleh derasnya arus liberalisasi
perdagangan dunia khususnya serbuan produk impor.
Ada ide menarik dari kesembrawutan pasar tradisional saat ini,
jikalau pengelolaan pasar tradisional saat ini dianggap tidak mampu
merubah pasar tradisional lebih menarik? Demikian peran pemerintah
sangat diperlukan karena otoritas yang dimilikinya, untuk membuat
regulasi dengan melakukan rasionalisasi keberadaan pasar ritel modern
atau took berjejaring dan tentu saja juga melakukan revitalisasi
terhadap pasar tradisional saat ini. Berikut regulasi yang mungkin dapat
dirumuskan oleh pemerintah adalah:
Rasionalisasi Ritel Modern Revitalisasi Pasar Tradisional
• Menentukan Rasio ideal
jumlah ritel modern setiap
kawasan.
• Perbaikan Fisik Pasar Tradisional
• Jam operasi 10.00-22.00 • Jam operasi bebas dengan tata
kelola yang baik
• Akses kepada petani dengan
kontrak dengan kelompok tani
atau koperasi untuk supply
produk pertanian, peternakan,
dan perikanan.
• Bebas dengan pengawasan,
jaminan kepuasan pelanggan,
pengawasan kesehatan dan sanitasi
yang memadai.
• Keharusan penerapan prinsip
manajemen modern yang
mengadopsi budaya setempat.
• Merekrut tenaga kerja dari
masyarakat lokal
• Perubahan budaya dan tata kelola dengan mengadopsi prinsip
manajemen modern, perencanaan,
pengelolaan, dan pengawasan
dengan regulasi khusus.
• Menghapus premanisme yang
masih melekat pada kebanyakan
pasar tradisional saat ini.
• Perijinan yang jelas dengan rasio berdasarkan berbagai
kesepakatan masyarakat
setempat
• Perbaikan Kemasan Produk
92
Rasionalisasi terhadap pasar modern dan revitalisasi terhadap pasar
tradisional tersebut adalah usaha untuk mengurangi fenomena atas
serbuan pasar modern berjejaring seperti supermarket, hypermarket
dan sejenisnya yang dikhawatirkan dapat mengancam keberlangsungan
usaha pedagang di pasar-pasar tradisional.
Selain hal di atas, ada hal mendesak yang harus dilakukan untuk
merevitalisasi pasar tradisional yakni dengan pendekatan paradigma
budaya.Jika pasar tradisional tidak ingin ditinggalkan oleh konsumennya,
mau tidak mau, suka tidak suka, harus berani berubah terhadap semua
aspek termasuk didalamnya perubahan budaya yakni: budaya bersih,
budaya berkualitas, budaya aman, budaya melayani dengan hati yang
semuanya dapat dikemas dalam tatakelola pasar tradisional berbasis
rantai pelayanan yang berkelanjutan “the service profit chain”. Tata
kelola pasar tradisional berbasis rantai pelayanan dengan melakukan
pendekatan dua kelompok yakni pengelola yang professional dan
konsumen yang terpuaskan. Jika dua hal tersebut telah tercipta, maka
pasar tradisional akan tetap eksis sepanjang masa. Idealisme revitalisasi
pasar tradisional tidaklah sekedar mengucurkan dana semata namun
lebih pada merubah sebuah budaya yang mestinya dapat ditiru dari tata
kelola pasar ritel modern yang tidak semuanya berdampak negatif jika
dapat dikelola dengan rasionalisasi yang jelas.
Sebenarnya pemunculan pasar modern tidak perlu kita risaukan
jika saja kita mampu dan mau merubah model pengelolaan pasar
tradisional dengan melakukan pendekatan mengelolaan modern tanpa
harus meninggalkan budaya lokal yang masih layak kita pertahankan,
sedangkan kebiasaan buruk yang selama ini masih melekat pada pasar
tradisional harus segera kita tinggalkan dan bila perlu dengan pendekatan
holistic dari berbagai aspek seperti politis, regulatif, dan budaya.
Penulis: Dekan Fakultas Ekonomika dan Humaniora Universitas Dhyana
Pura
93
28 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer Tribun Bali yang berjudul “Program e-KTP Berpotensi Gagal”
Program e-KTP Berpotensi Gagal
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Bali Tribune
Proyek e-KTP yang menelan dana Rp 5,9 triliun dan seharusnya
sudah dimulai pelaksanaannya Agustus 2011 lalu itu, berpotensi gagal
(ICW, 2011). Potensi kegagalan program e-KTP sangat besar khususnya
yang berhubungan dengan peran aksiologisnya, mengingat ketidaksiapan
sebagaian besar masyarakat terhadap peranan dan fungsi e-KTP tersebut.
Selain hal tersebut, otonomi kabupaten juga akan berpotensi mengurangi
peran dan fungsi e-KTP sebagai sebuah catatan kependudukan yang
mestinya berlaku secara nasional. Lalu apa kegunaan e-KTP tersebut?.
Mestinya pemerintah mampu menjelaskan arti penting dari e-KTP
dalam kaitannya interaksi masyarakat dalam berbisnis dan mendapatkan
pelayanan pada institusi pemerintah seperti rumah sakit, kantor pajak,
imigrasi, penerbangan dan institusi lainnya termasuk institusi swasta
yang berhubungan dengan funsgi e-KTP layaknya sebagai single identity
number. Akan menjadi sebuah pertanyaan bagi masyarakat, apakah
semua institusi tersebut memiliki sistem dan alat yang kompatibel dengan
e-KTP? Jika belum, apa solusinya, jika ya, apakah sistem pendukung
yang digunakan sudah dapat dipahami oleh semua pihak?
Saat ini, perkembangan sistem informasi telah menyebabkan
94
terjadinya perubahan yang cukup signifikan dalam pola pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh manajemen pemerintahan maupun swasta,
baik pada tingkat operasional maupun pimpinan pada semua jenjang.
Perkembangan ini juga telah menyebabkan perubahan-perubahan
peran dari para pimpinan di lembaga pemerintahan dalam pengambilan
keputusan, mereka dituntut untuk selalu dapat memperoleh informasi
yang akurat dan terkini agar dapat digunakannya dalam proses pengambilan
keputusan pembangunan. Pembentukan e-KTP diindikasikan hal
pertama yang mestinya harus direalisiakan dalam pengelolaan database
kependudukan.Ide,dan maksud bagus tidaklah cukup untuk mensukseskan
program e-KTP tersebut apalagi usaha ini baru kali pertama dilakukan
dalam artian potensi mengalamai kegagalan masih sangat besar. Sekarang
yang menjadi persoalan mendasar adalah persoalan aksiologis dari e-KTP
tersebut, apa fungsinya, untuk apa dan untuk siapa?
Untuk siapa e-KTP?. Secara teoritis, fungsi dari sebuah sistem
informasi agar setiap organisasi dapat memanfaatkan database dan
jaringan teknologi informasi untuk menjalankan berbagai aktivitasnya
secara elektronis, mestinya e-KTP juga diarahkan untuk fungsi tersebut.
Namun, mestinya semua masyarakat diberikan pemahaman agar mereka
memiliki satu pengertian tentang sistem informasi yang terkandung
pada e-KTP dan apa kegunaan dasar dari e-KTP tersebut. Jikalau hingga
batas akhir input data masih belum rampung juga, pihak yang diberikan
tugas dan wewenang harus dapat menguraikan hambatan-hambatannya
dan mampu mengidentifikasi struktur hirarki hambatan-hambatan
tersebut sehingga penundaan penerapan e-KTP dapat dipersingkat.
Dalam kondisi tertentu, sebagai aplikasi sebuah keterbukaan
pemerintah? Mestinya pemerintah yang terkait mampu menjelaskan
berbagai risiko khususnya terkait dengan kerentanan dan gangguan
teknologi informasi dalam sistem informasi terkait e-KTP dan mampu
menguraikan unsur-unsur pengendalian dalam sistem informasi untuk
meminimalkan kemungkinan terjadinya, kesalahan (errors), interupsi
pelayanan dan kejahatan terhadap pemanfaatan e-KTP tersebut.
Selain hal teknis tersebut, pemerintah juga dituntut untuk mampu
menjelaskan mengenai dampak perkembangan dan pemanfaatan
teknologi informasi yang berhubungan dengan e-KTP terhadap etika
dan lingkungan social masyarakat pengguna, memahami bagaimana
etika berhubungan dengan sistem informasi dan mengenali peran etika
dalam organisasi serta perlunya penerapan budaya etika.
95
Manfaat untuk pemerintah? Sudah pasti e-KTP tersebut sangat
bermanfaat bagi pemerintah dalam melakukan pengelolaan,pengendalian,
serta pengawasan terhadap database kependudukan, namun masih
mungkin kita ragukan apakah pemerataan SDM pengelola database
e-KTP telah memadai? Apakah system proteksi antivirus misalnya
telah memadai terhadap serangan para hacker? Mungkin kita masih
ingat jebolnya database pemilu atau amburadulnya database pemilu dan
sebagainya. Rasa pesimis ini hendaklah menjadi poin penting untuk
kita jadikan list point apakah kita telah menyiapkan hal-hal tersebut?
Bagaimana sistem backup databasenya? Indonesia dengan penduduk
ber-KTP lebih dari 100 juta adalah sebuah entitas database yang sangat
besar, pasti berbeda efektifitas alat dan system jika dibandingkan dengan
Negara Jerman misalnya yang berpenduduk tidak sebesar Indonesia.
Manfaat untuk untuk aktivitas bisnis? Sudahkan pemerintah
mempertimbangankan bahwa e-KTP bermanfaat untuk kegiatan bisnis
masyarakatnya,jika belum terjadi sinkronisasi,siapa yang harus menyesuaikan,
bagaimana metode penyesuaiannya? Apakah pemerintah mempunyai
anggaran yang cukup untuk itu? Jika tidak, apa solusinya. Misalnya saja, jika
semua perusahaan harus memiliki cardreader dan system pembaca e-KTP?
Siapa yang akan menyediakan? Jika hal-hal tersebut belum dapat diatasi,
peran e-KTP akan sama nasibnya dengan KTP konvensional saat ini yang
hanya memiliki peran sebagai kartu tanda penduduk saja.
Manfaat untuk masyarakat?. E-KTP mestinya berguna bagi
masyarakat secara komunitas maupun individu. Masyarakat belum
banyak memahami fungsi dan keguanaan dari e-KTP tersebut,
bagaimanakah jika terjadi kehilangan, bagaimana mekanisme dan
masa berlakunya? Apakah sistem e-KTP akan berbenturan dengan
sistem kendali krama/warga dalam wilayah desa pekraman tertentu?
Apakah e-KTP juga dapat berfungsi untuk keperluan lainnya seperti
kartu pemilih pada PILKADA atau PEMILU? Mestinya ya, sehingga
idealisme pembentukan dari e-KTP tersebut dapat mendekati kenyataan
yang pada akhirnya dapat pengurangi biaya atau belanja pemerintah
yang tidak perlu.
Penulis: I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MMA., MA. adalah Dekan
Fakultas Ekonomika dan Humaniora Universitas Dhyana Pura Badung,
Mahasiswa S3 Pariwisata Universitas Udayana Bali. (Pengampu
matakuliah Sistem Informasi Manajemen, Alumnus FE. IESP Konsentrasi
Ekonomi Kependudukan)
96
29 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah
populer Tribun Bali yang berjudul “Perekonomian Bali Beresiko
Tinggi”
Perekonomian Bali Beresiko Tinggi
Oleh: I Gusti Bagus Rai Utama
Keanekaragaman industri dalam sebuah perekonomian menunjukkan
sehatnya sebuah negara,jika ada sebuah negara yang hanya menggantungkan
perekonomiannya pada salah satu sektor tertentu seperti pariwisata
misalnya, sebagai akibatnya ketahanan ekonomi menjadi sangat beresiko
tinggi. Ketergantungan pada kedatangan orang asing dapat diasosiasikan
hilangnya sebuah kemerdekaan sosial dan pada tingkat nasional, dan
sangat dimungkinkan sebuah negara akan kehilangan kemandirian dan
sangat tergantung pada sektor pariwisata. Masih ingatkah kita? Ketika Bali
mengalami tragedi bom, perekonomian kita nyaris tak berjalan normal
akibat kita terlalu mengandalkan industri pariwisata saja, mestinya ada
industri alternatif lainnya seperti pertanian, atau perikanan atau apalah.
Dalam kondisi tertentu, sebuah negara kepulauan kecil dapat dikatakan
beresiko perekonomiannya jika mereka telah menggantungkan pada sebuah
sektor tertentu 10% lebih terhadap perekonomian totalnya. Beresiko dalam
pengertiannya ini adalah jika terjadi krisis atau kelesuan pada sektor tersebut,
konsekuensi logisnya adalah akan terjadi kelesuan terhadap perekonomian
totalnya. Idealnya adalah terjadinya sebaran merata atas sembilan sektor
yang biasa diukur dalam pengukuran PDRB yakni sektor pertanian cs,
pertambangan cs,industri pengolahan cs,energy cs,bangunan cs,perdagangan
(pariwisata) cs, pengangkutan cs, keuangan cs, jasa-jasa cs.
97
Coba kita bandingkan dua sektor yang dominan pada perekonomian
Bali, sektor pertanian cs mengalami penurunan secara rata-rata sebesar
0,5% sementara sektor pariwisata (Perdagangan, Hotel, dan Restoran)
mengalami peningkatan 0,5% setiap tahunnya terhadap total PDRB
Bali. Jika trend penurunan peran pertanian dan peningkatan peran
pariwisata terhadap PDRB tidak dicermati dan diantisipasi dengan
baik, maka sangat dimungkinkan pada suatu saat nanti kita akan
kehilangan kemandirian sebagai sebuah masyarakat Bali karena kita
terlalu tergantung pada pariwisata sementara modal kedaulatan mandiri
yakni sektor pertanian semakin lemah perannya.
Distribusi Persentase PDRB Provinsi Bali Atas Dasar Harga
Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 – 2009
Sektor 2006 2007 2008 2009 Trend
Pertanian, Peternakan,
Kehutanan, danPerikanan
21.54
20.85
19.87
19.86 Menurun 0,5%/
tahun
Perdagangan, Hotel, dan
Restoran
30.79
31.27
31.98
32.33 Meningkat
0,5%/tahun
Sumber: Bali Dalam Angka, 2010
Meski bukan lagi menjadi sektor yang paling dominan dalam
membentuk ekonomi Bali, namun peranan pertanian dalam kesejahteraan
penduduk Bali masih dapat dikatakan dominan. Hal ini berangkat dari
kenyataan dimana sebagian besar pekerja di Bali masih mengandalkan
pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Untuk itu, Nilai Tukar
Petani (NTP) yang merupakan salah satu indikator dalam melihat tingkat
kemampuan atau daya beli petani di daerah pedesaan, menjadi indikator
penting untuk diperhatikan (Bali Dalam Angka, 2010: 532).
Melihat kondisi di atas, sangat diperlukan adanya rasionalisasi oleh
pemerintah terhadap kedua sektor tersebut yakni dengan melakukan
pembatasan dan selektif terhadap pembangunan pariwisata. Infrstruktur
dan sektor pendukung pariwisata yang terlanjur ada sebaiknya dapat
ditingkatkan kualitasnya dengan berbagai program semisal sertiifikasi-
sertifikasi sembari melakukan . pemasaran destinasi yang selektif
yang memungkinkan mendatangkan wisatawan yang berkualitas pro
pariwisata yang bertanggungjawab. Pemerintah juga mulai memandang
secara serius sektor pertanian cs karena bagaimanapun sektor ini masih
menjadi tumpuan sebagian besar masyarakat Bali. Sektor pertanian harus
segera diberdayakan sebagai sebuah sambutan serius ditetapkannya
sistem “subak” sebagai “world heritage”. Harusnya pembangunan
pariwisata diarahkan pada pengembangan pariwisata pro rakyat semisal
desa wisata, agrowisata, dan sejenisnya yang dikelola secara serius
98
sehingga masyarakat desa benar-benar dapat diberdayakan.
Majalah Time, Amerika Serikat, dalam edisi 11 Juli 2011, menurunkan
sebuah laporan yang sangat menarik mengenai kecenderungan yang sekarang
berlangsung di Amerika Serikat mengenai pertanian. Pada sebuah artikel
berjudul Want to Make More than a Banker? Become a Farmer!, penulisnya
melaporkan bahwa di Amerika Serikat saat ini mulai timbul kesadaran bahwa
menjadi petani adalah pekerjaan paling bagus pada abad ke-21. Penghasilan
petani meningkat tajam karena kenaikan harga pangan. Pada saat ekonomi
secara keseluruhan hanya tumbuh pada laju 1,9%, penghasilan dari bidang
pertanian telah meningkat sebesar 27% tahun sebelumnya dan diramalkan
akan meningkat lagi sebesar 20% pada tahun berikutnya. Artinya, laporan
tersebut dapat menjadi gambaran bahwa negara sebesar Amerika Serikatpun
tidak rela mengabaikan sektor pertanian karena begitu nyatanya peran
sektor pertanian tersebut terhadap eksistensi dari sebuah negara. Coba kita
beranalogi sebagai berikut: jikalau tidak ada kunjungan wisatawan ke Bali
dan jika kita memiliki cadangan pangan yang cukup untuk masyarakat kita,
pastinya perekonomian Bali masih tetap bertahan, namun akan terjadi hal
sebaliknya jika kita tidak memiliki cadangan pangan yang cukup.
Tantangan yang harus dihadapi Bali adalah membuat pertanian
menjadi ladang investasi dan jaminan masa depan yang menarik,
memang cukup berat. Persoalannya cukup kompleks, meskipun banyak
di antaranya lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang setengah
hati, misalnya kebijakan impor produk pertanian yang bersaing langsung
dengan produk lokal, mau tidak mau kita harus menghasilkan produk
yang berkualitas. Sebuah ironis bahwa sekarang ini lebih mudah untuk
menemukan apel Washington, jeruk dari China, beras dari Vietnam,
dan lain-lain di pasar. Terlanjur berubahnya perilaku masyarakat Bali
kearah masyarakat konsumtif juga menjadi tantangan yang amat berat
untuk diatasi. Konsep sebagus Swadesi mesti kembali dipropagandakan
untuk menuju masyarkat yang mandiri atas kekuatan kelokalan yang
senyatanya. Jika tanah kita hanya menghasilkan jeruk masam kenapa kita
harus mempertontonkan jeruk manis yang bukan produksi kita sendiri?,
Perlu keragamanan sektor perekonomian sehingga perekonomian Bali
tidak terlalu beresiko, perlu kerjakeras semua stakeholder pembangunan
Bali untuk mewujudkan kemandiran perekonomian Bali ke depan.
Penulis: Dekan Fakultas Ekonomika dan Humaniora Universitas Dhyana
Pura, Mahasiswa S3 Pariwisata Unud.
99
30 Menghasilkan Publikasi pemikiran yang disajikan dalam koran/majalah/
artikel populer Tribun Bali yang berjudul “Siapakah Marketplace
Pariwisata Bali”
Siapakah Marketplace Pariwisata Bali?
Oleh I Gusti Bagus Rai Utama
Untuk memahami marketplace dalam pariwisata diberikan contoh
sebagai berikut: terdapat enam pasar besar wisatawan Hong Kong
yakni: Taiwan, China daratan, Singapura, Inggris, Amerika Serikat, dan
Australia, dari kelima pasar wisatawan tersebut, mereka memiliki selera
yang berbeda. Wisatawan western lebih menyukai aktivitas pariwisata
budaya, sementara wisatawan Asia memiliki ketertarikan yang lebih
rendah tentang pariwisata budaya jika dibandingkan wisatawan western.
Jika melihat Pariwisata Hong Kong di atas, yang katanya berbasis
budaya, maka idealnya marketplace-nya adalah para wisatawan yang
memiliki ketertarikan akan aktivitas pariwisata budaya.
Siapakah marketplace pariwisata Bali? Markerplace pariwisata Bali
dapat dilihat dari indikator pangsa pasar dominan yang ada beberapa
tahun terakhir. Jika dilihat dari trend kunjungan wisatawan asing yang
berwisata ke Bali berdasarkan kebangsaannya, maka dapat disusun 10
ranking utama wisatawan sebagaimana terpapar pada tabel berikut ini:
100
Tabel. Peringkat Utama Wisatawan Mancanegara ke Bali Berdasarkan Kebangsaannya
Rank
2007 2008 2009 2010 2011
1. Jepang Jepang Australia Australia Australia
2. Australia Australia Jepang Jepang China
3. Taiwan KorSel China China Jepang
4. KorSel Malaysia Malaysia Malaysia Malaysia
5. Malaysia China KorSel KorSel Taiwan
6. China Taiwan Taiwan Taiwan KorSel
7. Inggris Inggris Prancis Prancis Prancis
8. Jerman Jerman Inggris Inggris Singapura
9. Prancis Prancis Jerman Singapura Inggris
10. A mer ika A mer ika Belanda Jerman Amerika Serikat Serikat Serikat
Sumber : Kanwil Dep Kehakiman dan HAM Prov. Bali, 2012
Wisatawan yang berkebangsaan Australia adalah marketplace
terbaik dan konsisten bagi Bali karena menunjukkan trend yang semakin
meningkat rankingnya terhitung sejak tahun 2007 hingga tahun 2011.
Sementara wisatawan Jepang sebenarnya marketplace yang baik
bagi Bali namun tiga tahun terakhir menunjukkan trend yang menurun,
hal ini disebabkan besar kemungkinan oleh faktor dalam negeri Jepang
yakni krisis ekonomi dan bencana alam tsunami pada tahun 2011.
Wisatawan Korea Selatan juga menunjukkan kecenderungan yang
sama dengan wisatawan asal Jepang.
Marketplace wisatawan China cenderung mengalami trend yang
semakin meningkat bahkan menjadi semakin penting sepanjang lima
tahun terakhir. Trend wisatawan China cukup konsisten dan bertumbuh
positif begitu juga wisatawan Prancis dan Taiwan menunjukkan indikasi
yang sama dengan trend wisatawan China.
Daridatadiatas,dapatdigambarkanbahwa10negaratersebutmerupakan
marketplace pariwisata Bali saat ini, sehingga pemasaran yang efektif dapat
diarahkan untuk mempertahankannya. Keadaan yang berhubungan dengan
sepuluh negara tersebut mestinya menjadi pemantauan pihak manajemen
Destinasi Pariwisata Bali karena sepuluh negara tersebut adalah marketplace
yang baik yakni Australia, China, Jepang, Malaysia, Taiwan, KorSel, Prancis,
Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat.
101
Hampir sama dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh
Dinas Pariwisata Bali, tentang persepsi wisatawan terhadap pariwisata
Bali, menemukan bahwa wisatawan yang datang ke Bali dominan
berkebangsaan Australia yakni sebesar 24% dan Jepang sebesar 11%,
berikutnya adalah wisatawan Malaysia sebesar 8%, Korea Selatan
sebesar 7%, China sebesar 6%, Inggris sebesar 6%, dan Singapura
(4%). Secara empiris bahwa marketplace pariwisata Bali adalah
wisatawan Australia, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, China, Inggris,
dan Singapura. Sementara wisatawan dari kebangsaan lainnya adalah
marketplace potensial yang masih harus dikelola lebih lanjut agar terjadi
peningkatan kunjungan di masa yang akan datang. Wisatawan Jerman,
Prancis, Belanda merupakan marketplace yang potensial namun belum
optimal sehingga perlu adanya strategi pemasaran yang lebih internship
untuk menggarap marketplace wisatawan dari negara tersebut.
Apakah branding Pariwisata Budaya Bali memang merupakan
dominan interest dari wisatawan dari 10 negara tersebut? Masih belum
bisa dipastikan; namun jikalau tidak, berarti ada branding baru yang
telah terbentuk dari wisatawan yang berasal dari 10 negara tersebut,
dan bisa jadi misalnya menjamurnya fasilitas shoping, mall, dan tempat
hiburan malam justru menjadi branding yang mulai tertanam di benak
para wisatawan.
Bagi Destinasi Pariwisata Bali, memelihara loyalitas wisatawan
khususnya pada 10 pangsa pasar utama yang merupakan marketplace
pariwisata Bali jauh lebih penting jika dibandingkan mencari atau
menyasar marketplace baru. Memelihara hubungan baik dengan sepuluh
negara tersebut merupakan strategi yang mestinya harus dipertahankan
dan juga meningkatkan kualitas daya tarik destinasi pariwisata Bali
dengan cara melakukan komunkasi pemasaran terhadap marketplace
yang telah ada untuk mengantisipasi dinamika “need and want”
pelanggan dan tentu saja untuk memenangkan persaingan antara
destinasi khususnya di kawasan Asia Tenggara.
102
Daftar Pustaka
Utama, I Gusti Bagus Rai. 2017. Kumpulan Artikel Jurnal dan Seminar (2006-2017) pada http://orcid.org/0000-0002-1962-0707
Utama, I Gusti Bagus Rai. 2017. Editorial: Pariwisata, Sosial,
Humaniora, Politik, Pembangunan (2006-2017) pada https://
raiutama.wordpress.com/
Utama, I Gusti Bagus Rai. 2017. Editorial: Pariwisata, Sosial,
Humaniora, Politik, Pembangunan (2006-2017) pada https://
koranbali.wordpress.com/
Utama, I Gusti Bagus Rai. 2017. Editorial: Pariwisata, Sosial,
Humaniora, Politik, Pembangunan (2006-2017) pada https://
tourismbali.wordpress.com/
Utama, I Gusti Bagus Rai. 2017. Opini dan Artikel (2010-2016) pada
http://www.balipost.com/
Utama, I Gusti Bagus Rai. 2016. Opini dan Artikel (2010-2016) pada
https://www.posbali.id/
Utama, I Gusti Bagus Rai. 2012. Opini dan Artikel (2010-2012) pada
https://www.balitribun.com/
103
104
105
Biodata Penulis
Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA., MA. Negara, 10 Oktober 1970
Menamatkan Pendidikan
Program doktor (Dr) bidang
pariwisata di Universitas Udayana
Bali pada tahun 2014. Menamatkan
Pendidikan Master Agribisnis
(M.MA) di Universitas Udayana
pada tahun 2005. Pada tahun 2006
mendapat kesempatan melanjutkan
studi ke negeri Belanda untuk
mempelajari bidang pariwisata
(MA) dan tamat pada tahun
2007. Program Sarjana Ekonomi
diselesaikan pada tahun 2001
di Universitas Mahasaraswati,
Denpasar. Saat ini bekerja sebagai dosen tetap di Universitas Dhyana
Pura Bali. Adapun matakuliah yang diampu adalah: Metodologi
Penelitian, Manajemen Strategik, Statistik Bisnis, Pengantar Bisnis,
Sistem Informasi Manajemen, dan Pengantar Industri Pariwisata &
perhotelan. Penulis dapat dihubungi via Hp. 081337868577 dan email,
106
Judul Buku yang Pernah Ditulis
1. Pemasaran Pariwisata (2017), Penerbit Andi, Jogyakarta. ISBN:
978-979-29-6270-3 (Buku Ajar)
2. Agrowisata Sebagai Pariwisata Alternatif Indonesia (2015),
Penerbit Deepublish Yogyakarta CV. BUDI UTAMA. ISBN 978-
602-280-886-2 (Buku Referensi)
3. Agrotourism as an Alternative form of tourism in Bali Indonesia
(2014), ISBN-13: 978-3-639-66712-7, ISBN-10:3639667123,
EAN:9783639667127 (Scholar Press)
4. Pengantar Industri Pariwisata (2014), Penerbit Deepublish
Yogyakarta CV. BUDI UTAMA. 978-602-280-328-7 (Buku Ajar)
5. Metodologi Penelitian Pariwisata dan Perhotelan (2012), Penerbit
Andi, Jogyakarta. ISBN: 978-979-29-3463-2 (Buku Ajar)
6. The Market Power of Seniors Tourism in Bali Indonesia (2017),
ISBN: 978-620-2-30528-0 (Scholar Press)