bahan skenario 1
DESCRIPTION
gingivitis leukoplakiaTRANSCRIPT
Burning Mouth Syndrome, Sensasi Terbakar Pada Mulut & LidahPosted by habib on September 12th, 2011
Deskripsi
Burning mouth syndrome menyebabkan sensasi nyeri terbakar yang kronis di dalam rongga mulut. Rasa sakit dari burning mouth syndrome dapat mengenai lidah, gusi, bibir, pipi bagian dalam (mukosa bukal), langit-langit mulut, atau area luas di seluruh mulut. Nyeri dapat berat, seperti jika tersiram air panas di mulut.
Penyebab burning mouth syndrome seringkali sulit dipastikan. Penentuan penyebab yang tidak pasti seringkali menyulitkan pengobatan. Namun, jika dalam perawatan dokter, setidaknya burning mouth syndrome dapat terkontrol.Nama lain untuk burning mouth syndrome meliputi scalded mouth syndrome, burning tongue syndrome, burning lips syndrome, glossodynia dan stomatodynia. Penyebab sindrom mulut terbakar dapat diklasifikasikan menjadi primer atau sekunder.
Penyebab
1. Burning mouth syndrome primerKetika penyebab burning mouth syndrome tidak diketahui, kondisi ini disebut burning mouth syndrome primer atau idiopatik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa burning mouth syndrome primer berkaitan dengan masalah saraf sensorik dari sistem saraf perifer atau sentral.
2. Burning mouth syndrome sekunderKadang-kadang sindrom mulut terbakar disebabkan oleh kondisi medis atau penyakit yang mendasari, seperti kekurangan gizi. Dalam kasus ini, disebut burning mouth syindrome sekunder.
Kondisi yang mungkin dapat menyebabkan burning mouth, meliputi:
1. Kering mulut (xerostomia)Dapat disebabkan oleh berbagai obat atau penyakit.2. Infeksi jamur mulut (thrush), oral lichen planus atau lidah geografis.3. Faktor psikologisSeperti kecemasan, depresi atau kekhawatiran berlebihan.4. Kekurangan nutrisiSeperti kekurangan zat besi, seng, folat (vitamin B9), thiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), piridoksin (vitamin B6) dan cobalamin (vitamin B12).5. Gigi palsuGigi palsu dapat menekan beberapa otot dan jaringan mulut, menyebabkan nyeri mulut. Bahan yang digunakan dalam gigi palsu juga bisa mengiritasi jaringan dalam mulut.6. Kerusakan saraf yang mengendalikan rasa dan nyeri di lidah.7. Alergi terhadap makanan, penyedap makanan, bahan aditif makanan, wewangian, pewarna atau zat lainnya.8. Refluks asam lambung (gastroesophageal reflux disease) yang memasuki mulut dari saluran pencernaan bagian atas.
9. Obat-obat tertentuTerutama obat tekanan darah tinggi yang disebut angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor.10. Oral habitSeperti mendorong-dorongkan lidah ke gigi depan dan grinding gigi (bruxism).11. Kelainan endokrinSeperti diabetes dan hypothyroidism.12. Ketidakseimbangan hormonalSeperti yang terkait dengan menopause.13. Iritasi mulut yang berlebihanMungkin hasil dari menyikat lidah secara berlebihan, terlalu sering menggunakan obat kumur atau mengonsumsi minuman yang terlalu banyak asam.
Gejala
Gejala burning mouth syndrome, meliputii:1. Sebuah sensasi terbakar yang dapat mengenai lidah, bibir, gusi, langit-langit mulut, tenggorokan atau seluruh mulut.2. Kesemutan atau sensasi mati rasa di mulut atau di ujung lidah.3. Nyeri di dalam rongga mulut yang semakin memburuk.4. Sensasi mulut kering5. Semakin sering merasa haus6. Kehilangan selera makan7. Perubahan rasa, seperti rasa pahit atau rasa logam
Kapan perlu ke dokter?Jika mengalami rasa sakit atau nyeri pada lidah, bibir, gusi atau daerah lain dari mulut, berkonsultasilah dengan dokter atau dokter gigi sesegera mungkin. Perlu kerjasama yang baik antara pasien dengan dokter atau dokter gigi agar penyebab dapat ditentukan dan merencanakan pengobatan yang efektif.
Pengobatan
Tidak ada satu cara yang pasti untuk mengobati burning mouth syndrome primer. Pengobatan tergantung pada tanda dan gejala tertentu, serta kondisi atau penyakit yang mendasari yang mungkin menyebabkan burning mouth syndrome. Itulah pentingnya untuk mencoba menentukan penyebabnya terlebih dahulu. Apabila penyebabnya diobati, gejala-gejala burning mouth syndrome juga akan membaik.
Tidak ada obat khusus untuk burning mouth syndrome primer. Jika penyebabnya tidak dapat ditemukan, maka perlu mencoba beberapa metode pengobatan. Sehingga menemukan satu atau kombinasi yang sangat membantu dalam mengurangi rasa nyeri di dalam rongga mulut.
Pilihan pengobatan tersebut dapat mencakup:1. Bentuk lozenge dari jenis obat antikonvulsan clonazepam (Klonopin)2. Alpha-lipoic acid, sebuah antioksidan kuat yang dihasilkan secara alami oleh tubuh3. Obat sariawan4. Antidepresan5. Vitamin B6. Terapi perilaku kognitif7. Obat kumur8. Produk pengganti air liur9. Capsaicin, pereda nyeri yang berasal dari cabai
Sumber: MayoClinic
(ir/ir)Adelia Ratnadita – detikHealthhttp://www.detikhealth.com/read/2011/09/12/091257/1719981/770/burning-mouth-syndrome-sensasi-terbakar-pada-mulut-lidah?l991101755
Diabetes Mellitus ada Hubungannya Juga dengan Gigi dan Mulut, lho..! Anastasia Viandita, drg. | 07/11/2011 | 0 Comments
Setiap tahun, penderita Diabetes Mellitus (DM) meningkat di Indonesia. Jumlah penderita DM di Indonesia (USU)
pada tahun 2000 adalah 8,4 juta penderita. Diperkirakan, jumlah penderita mencapai 21,3 juta jiwa pada tahun
2030. Penyakit ini termasuk penyakit sistemik yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan penderita,
termasuk kesehatan gigi dan mulut.
Diabetes Mellitus (DM) adalah keadaan abnormal dimana produksi insulin dalam tubuh tidak mencukupi untuk
mengubah glukosa (yang dihasilkan darikarbohidrat) tidak dapat diubah menjadi glikogen. Glukosa tidak dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh tubuh. Yang berperan untuk metabolismedan cadangan energi bagi sel
adalah glikogen yang mengalir dalam pembuluh darah.
Pada pasien DM, sel yang kekurangan glikogen sebagai sumber makanannya, menggunakan lemak dan protein
untuk terus bertahan hidup. Akibatnya, badan sel membesar, karena lemak dan protein diperoleh dari bagian
luar sel. Namun demikian, bagian dalam sel yang terdiri dari pembuluh darah dan saraf justru mengecil
(mikroangiopati dan neuropati). Tidak terkecuali sel-sel dalam rongga mulut.
MULUT KERING (XEROSTOMIA) DAN SINDROMA MULUT TERBAKAR (BURNING MOUTH SYNDROME /
BMS)
Xerostomia dan BMS pada pasien DM diakibatkan karena berkurangnya produksi air liur. Keadaan ini biasanya
diikuti dengan gejala rasa haus,lidah terasa kering, keluhan perih, panas seperti terbakar, dan perubahan
pengecapan rasa. Keadaan ini dapat diatasi dengan memperbangak konsumsi air dan atau minuman yang
tidak mengandung gula, serta penggunaan obat kumur yang mengandung flouride untuk mengurangi rasa tidak
nyaman.
INFEKSI JAMUR (CANDIDIASIS) DAN GIGI RENTAN BERLUBANG (KARIES)
Dampak lebih lanjut dari berkurangnya produksi air liur adalah meningkatnya bakteri dan jamur. Bakteri dan
jamur adalah flora normal yang hidup dalam rongga mulut dan bersinergi dengan air liur untuk mempertahankan
keseimbangannya. Namun apabila jumlah jamur lebih dari normal, akan terjadi infeksi jamur yang disebut
candidiasis. Candidiasis dapat berupa perih dan luka pada kedua sudut mulut (cheilitis angularis), kemerahan
pada langit-langit mulut pada pengguna gigi palsu (denture sore mouth), atau bercak merah dan sakit yang sulit
dihilangkan pada lidah. Sedangkan jumlah bakteri yang berlebihan, terutama Streptococcus
aureus, menyebabkan gigi lebih mudah berlubang.
RASA SAKIT PADA GIGI, TANPA ADANYA GIGI YANG BERLUBANG (ODONTALGIA)
Pada penderita DM, terjadi pengecilan saraf yang berfungsi untuk menerima dan menghantarkan rangsangan.
Akibatnya, dapat terjadi odontalgia berupa rasa sakit yang berdenyut pada gigi, padahal tidak ada gigi yang
berlubang dalam rongga mulut pasien.
BAU MULUT SEPERTI BAU ASETON
Bau aseton menunjukkan adanya ketoasidosis atau keracunan keton, biasa terjadi bila
pada pemeriksaan ditemukan “trias biokimia”, yaitu : hiperglikemia (KGD > 200 mg/dL), asidosis (pH darah <
7,3), dan kadar bikarbonat < 15 mmol/L. Hal ini disebabkan karena penggunaan lemak yang berebihan tersebut
menghasilkan asam lemak dan benda keton. Ketoasidosis dapat dideteksi dari bau aseton pada mulut, urin
(ketonuria), dan darah (ketonaemia). Ketoasidosis dapat menyebabkan meningkatnya laju pernafasan
(hiperventilasi) yang berbahaya bagi tubuh.
GANGGUAN PENYEMBUHAN LUKA
Kemampuan penyembuhan luka pasien DM tidak sebaik pada pasien normal. Hal ini disebabkan karena
pembuluh darah yang mengecil, sehingga mengurangi aliran darah ke daerah luka. Akibat aliran darah yang
berkurang, sel-sel esensial dalam darah juga jumlahnya berkurang. Leukosit yang berperan untuk mencegah
infeksi, maupun hemaglobin untuk membantu pembekuan darah berkurang. Oleh sebab itu, perlu perhatian
khusus terhadap penderita DM yang ingin mendapatkan perawatan gigi dan mulut yang
menyebabkanpendarahan, seperti pencabutan (tooth extraction) dan pembersihan karang gigi(scalling).
Yang perlu diperhatikan pada pencabutan gigi pasien DM, antara lain :
1. Melakukan pemeriksaan gula darah (pada setiap pasien, tidak hanya pasien DM). Gula darah harus
dalam batas normal : gula darah puasa 70-110 mg/dL dan gula darah sewaktu 100-140 mg/dL. Apabila
didapatkan angka diluar batas normal, pencabutan harus ditunda, pasien dirujuk ke
dokter spesialis penyakit dalam (internist) untuk mengkontrol kadar gula darah sebelum pencabutan
dilakukan.
2. Pasien tidak dalam keadaan stress / tegang / takut, karena stress dapat mengakibatkan KGD meningkat.
3. Penggunaan bahan anestesi noradrenalin, bukan adrenalin. Karena adrenalin menyebabkan
vasokonstriktor yang dapat memperkecil pembuluh darah. Pada pasien DM, pembuluh darah akan
menjadi semakin kecil (mikroangiopati) menghambat aliran darah ke daerah luka. Padahal sirkulasi darah
yang baik dibutuhkan untuk menghantarkan Hemoglobin (Hb) pada sel darah merah, yang akan
membantu pembekuan darah.
4. Trauma pencabutan seminimal mungkin. Pada pasien DM disarankan hanya mencabut satu gigi pada
suatu kunjungan dan menjahit luka untuk mempercepat penyembuhan. Selain itu, pasien DM mudah
mengalami infeksi karena jumlah leukosit yang berkurang seiring dengan mengecilnya pembuluh darah
(mikroangiopati). Padahal, leukosit berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh alami terhadap
infeksi.
PENYAKIT GUSI DAN KERUSAKAN TULANG RAHANG
Keadaan gusi pasein DM umumnya pucat dan mudah berdarah. Hal ini diperparah dengan pendarahan yang
sukar berhenti karena pembuluh darah yang mengecil dan menurunkan kemampuan pembekuan darah. Pada
tulang rahang, terutama setelah pencabutan, tulang lebih mudah mengecil karena aliran darah yang berkurang
menyebabkan tulang kekurangan makanan untuk mempertahankan integritasnya. Akibatnya, pasien DM
pengguna gigi palsu akan merasa gigi palsunya mudah longgar. Apabila pasien merasa gigi palsu yang
digunakkannya longgar, hendaknya segera ke dokter gigi untuk melakukan perbaikan, sehingga kerusakan lebih
lanjut tidak terjadi.
Oleh sebab itu, penderita DM dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggunakan obat
kumur secukupnya, serta melakukan kontrol rutin ke dokter gigi sehingga dapat mencegah pendarahan dan
kerusakan gusi maupun tulang yang lebih parah.
Sumber :
1. Scully, C. 2010. Medical Problems in Dentistry. Ed. Ke-6. United Kingdom: Elsevier. Hlm. 138-45.
2. Jones, I. dan Harold, J. 1990. Oral Manifestation of Systemic Disease. Ed. Ke-2. Philadelphia:
W.B.Saunders. Hlm. 608-12.
3. Wray, D. Dan Lowe, G.D.O. 1999. Textbook of General and Oral Medicine. Ed. Ke-1. Edinburgh:
Churchill Livingstone. Hlm. 268-9.
Gastro Esofageal Refluks Disease (GERD)Posted on 14 February 2011 by ArtikelBedah
PENDAHULUAN
Penyakit Gastroesofageal refluks (Gastroesophageal refluks disease/GERD) adalah suatu keadaan
patologis sebagai akibat refluks cairan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang
timbul akibat keterlibatan esophagus, faring, laring, dan saluran nafas yang dapat menimbulkan
berbagai gejala di esophagus maupun ekstra esophagus, dari ringan sampai berat.
GEJALA KLINIS.
Keluhan rasa terbakar dan nyeri dada di bagian tengah, yang kemudian disusul dengan timbulnya rasa
seperti muntah dengan mulut masam (regurgitasi). Rasa terbakar tersebut dirasakan terutama pada
waktu makan, dan dirasakan sepanjang hari. Selain keluhan tersebut juga timbul rasa panas dan pedih
di ulu hati, mual, bahkan sering disusul dengan muntah. Walaupun demikian ada tiga keluhan utama
yang sering diajukan pada panderita, yaitu : rasa panas dan pedih di dada bagian tengah, regurgitasi,
dan disfagia. Penyebab dari keluhan tersebut di atas adalah sebagai akibat dari gangguan motilitas di
esophagus, dan di lambung. Gangguan motilitas di esophagus biasanya terjadi karena tonus sfingter
bagian distal esophagus menurun. Sedangkan gangguan motilitas di lambung karena berkurangnya
peristaltik terutama di antrum dan pylorus sehingga waktu pengosongan lambung menurun.
Sfingter esophagus bagian distal berperanan penting sebagai mekanisme anti refluks pada kardia. Jadi,
berkurangnya tonus sfingter esophagus bagian distal, maka peristaltik di kardia akan terganggu atau
lambat membuka, sehingga makanan / minuman terasa lambat turunnya, bahkan dapat menyebabkan
timbulnya refluks. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan berkurangnya tonus esophagus bagian
distal adalah : makan yang berlemak, merokok, obat – obatan diantaranya : antikholinergik, aminofilin,
benzodiazepine, nitrate.
Pada penderita dengan keluhan GER, tidak hanya terjadi sebagai akibat berkurangnya tonus sfingter
esophagus bagian distal, tetapi juga disertai berkurangnya peristaltik di antrum dan pylorus, sehingga
waktu pengosongan lambung menjadi lambat. Faktor esophagus dan lambung mempunyai peran
penting dalam terjadinya GER. Oleh karena itu selain timbulnya keluhan rasa terbakar atau rasa panas
dan pedih di dada bagian tengah terutama waktu makan atau minum, juga timbul keluhan lain yaitu
merasa panas dan pedih di hati, mual, muntah, mulut terasa masam atau pahit, dan merasa cepat
kenyang. Kadang – kadang GER dapat menimbulkan keluhan rasa nyeri di dada yang disertai rasa
seperti kejang yang menjalar ke tengkuk, bahu atau lengan sehinga menyerupai keluhan seperti angina
pektoris. Keluhan ini timbul sebagai akibat rangsangan kemoreseptor pada mukosa. Mungkin juga rasa
nyeri di dada tersebut disebabkan oleh dua mekanisme yaitu adanya gangguan motor esophageal dan
esophagus yang hipersensitif. Oleh karena itu kondisi demikian terdapat pada esophagus yang sensitif
mekanik. Yang jelas bahwa esophagus hanya sensitif pada satu faktor saja, yaitu pengaruh asam atau
rangsangan mekanik.
PATOGENESIS
Ada 4 faktor yang berperanan untuk terjadinya GER dan esofagitis – refluks :
1. Anti-Refluks Barrier
Esophagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi lower
esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat
terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat
sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus
LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg). Peran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES.
Menurunnya tonus LES menyebabkan refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan tekanan intra
abdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor – faktor
yang menurunkan tonus LES yaitu adanya hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin
rendah tonusnya), obat – obatan (antikolinergik, beta-adrenergik, theofilin, opiat, dan lain – lain), faktor
hormonal.
Pada pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus–kasus GERD dengan tonus LES yang normal
yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu
relaksasi LES yang bersifat spontan yang berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses
menelan.
Hubungan antara hernia hiatus dan GER masih controversial, meskipun 50–60% penderita dengan
hiatus hernia menunjukkan tanda esofagitis secara endoskopik, sekitar 90 % esofagitis disertai dengan
hiatus hernia. Ini menunjukkan bahwa hiatus hernia merupakan faktor penunjang terjadinya GER
karena kantong hernia mengganggu fungsi LES, terutama pada waktu mengejan. Dewasa ini LES
terbukti memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya GER. Namun harus diingat bahwa
refluks bisa saja terjadi pada tekanan SED yang normal. Ini yang dinamakan “Inappropriate”, atau
“Transient Sphincter Relaxation”, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar proses telan.
- Hernia hiatus → LES inkompeten → Erosif GERD
- Hiatus hernia → TLESRs lebih sering terjadi.
Faktor hormonal (cholecystokinin, secretin) dapat menurunkan tekanan LES seperti yang terjadi
setelah makan hidangan yang berlemak. Pada kehamilan dan pada penderita yang menggunakan pil KB
yang mengandung progesteron/-estrogen, tekanan LES juga turun.
2. Isi lambung dan pengosongannya
GER lebih sering terjadi sewaktu habis makan daripada keadaan puasa, oleh karena isi lambung
merupakan faktor penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung lebih sering terjadi refluks.
Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan menambah kemungkinan refluks tadi.
3. Daya perusak bahan refluks
Asam pepsin dan mungkin juga asam empedu/lysolecithin yang ada dalam bahan refluks mempunyai
daya perusak terhadap mukosa esophagus.
4. Esophageal Clearing
Bahan refluks dialirkan kembali ke lambung oleh kontraksi peristaltik esophagus dan pengaruh gaya
gravitasi. Proses membersihkan esophagus dari asam (esophageal acid clearance) ini sesungguhnya
berlangsung dalam 2 tahap. Mula – mula peristaltik esophagus primer yang timbul pada waktu menelan
dengan cepat mengosongkan isi esophagus, kemudian air liur yang dibentuk sebanyak 0,5 ml/menit
menetralkan asam yang masih tersisa.
Pemeriksaan penunjang
1. Kontras media barium
Pada pemeriksaan ini diberikan kontras media barium. Perlu diamati secara fluroskopi jalannya barium
di dalam esofagus perlu diperhatikan peristaltik terutama di bagian distal (sfingter esofagus bagian
distal = SED). Bila ditemukan refluks barium dari lambung kembali ke esofagus maka dapat dinyatakan
adanya GER. Kelainan struktur dari esophagus tersebut sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan
endoskopi dan biopsi. Sebaliknya bila ditemukan ada dugaan kelainan motilitas, sebaiknya dilakukan
manometri esofagus, selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan endoskopi.
2. Endoskopi.
Pemeriksaan endoskopi untuk menentukan ada tidaknya kelainan di esophagus, misalnya esofagitis,
tukak esophagus, akhalasia, striktura, tumor esophagus, varises di esophagus. Pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas merupakan Gold Standart untuk diagnosis GER dengan ditemukannya
mucosal break di esophagus.
A B C
Ket: A. esophagus normal; B. esophagus dengan erosive refluks esofagitis; C. eosinofil esofagitis.
Klasifikasi Los-Angeles
3. Pengukuran pH 24 jam dan tekanan esophagus.
Pengukuran pH dari esophagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya RGE, pH dibawah 4 pada
jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk GER. Pemeriksaan distribusi normal pH di dalam
esophagus telah menunjukkan bahwa pH esophagus jarang turun di bawah 4 atau naik di atas 7. Cara
lain adalah menggunakan alat yang mencatat secara terus – menerus selama 24 jam pH intra
esophagus dan tekanan manometrik esophagus. Selama rekaman penderita dapat memberi tanda
serangan dada yang dialaminya, sehingga dapat dilihat hubungan antara serangan dan pH esophagus /
gangguan motorik esophagus.
4. Manometri esophagus
Tes manometri akan memberi manfaat yang berarti jjika pada pasien – pasien dengan gejala nyeri
epigastrium dan regurgitasi yang nyata di dapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang normal.
Manometri esophagus dilakukan dengan kateter yang berisi air, melalui sisstem mikrokapiler
pneumohidrolik dengan kelenturan rendah, yang secara progresif ditarik dai esophagus.
Terapi
Tujuan pengobatan adalah untuk menyembuhkan lesi esophagus, mengurangi/menghilangkan
terjadinya refluks, menetralisir bahan refluks, memperbaiki tekanan LES, mempercepat pembersihan
esophagus, menghilangkan keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan
mencegah timbulnya komplikasi. Ada 2 macam pengobatan GERD, yaitu:
–Konservatif : Terapi medikamentosa dan perubahan pola makan.
–Operatif : Terapi pembedahan
1. Pengelolaan konservatif.
Setelah makan jangan cepat berbaring, Hindari mengangkat barang berat, Hindari pakaian yang ketat,
terutama di daerah pinggang, Penderita yang gemuk, perlu diturunkan berat badan, Biasakan tidur
dengan lambung yang tidak diisi penuh, Tempat tidur di bagian kepala ditinggikan, Sebelum tidur
jangan makan terlalu kenyang, Hindari makanan berlemak, Kurangi atau hentikan minum kopi, alkohol,
coklat, Jangan merokok.
Terapi medikamentosa.
• Antasida
Untuk menghilangkan rasa nyeri dan menetralisir asam lambung. Antasida kurang memuaskan karena
waktu kerjanya singkat dan tidak dapat diandalkan untuk menetralisir sekresi asam tengah malam. Ada
resiko terjadinya sekresi asam yang melambung kembali (rebound acid secretion), dan menimbulkan
efek samping diare atau konstipasi. Terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis:4×1
sendok makan sehari.
• Antagonis Reseptor H2
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa
komplikasi.
Dosis pemberian :
- Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg
- Ranitidin : 4 x 150 mg
- Famotidin : 2 x 20 mg
- Nizatidin : 2 x 150 mg
• Penghambat Pompa Proton (PPI)
- Drug of choice dalam pengobatan GERD
- Bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang
dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
- Sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada
esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2.
- Dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh :
* omeprazole : 2 x 20 mg * pantoprazole : 2 x 40 mg
* lanzoprazole : 2 x 30 mg * esomeprazole : 2 x 40 mg
• Obat – obat prokinetik
Obat prokinetik mempunyai sifat memperbaiki motilitas dan mempercepat peristaltik saluran makan, di
samping meninggikan tekanan LES.
- Betanechol : mempunyai sifat menigkatkan tonus LES, dan kontraksi lambung. Tetapi pada stasis
lambung tidak mempercepat pengosongan lambung, bahkan dapat menyebabkan kejang abdomen
meningkatkan frekuensi buang air kecil karena mengurangi kapasitas kendung kemih dan menambah
peristaltik ureter.
- Metoclopramid : merupakan senyawa golongan benzamid. Mekanismenya di saluran cerna yaitu untuk
potensiasi efek kolinergik, memberi efek langsung pada otot polos, dan menghambat dopamin. Secara
farmakodinamik, obat ini memperkuat tonus LES dan meningkatkan amplitude kontraksi esofagus. Di
lambung, memperbaiki koordinasi kontraksi antrum dan duodenum, sehingga mempercepat
pengosongan lambung. Dosis : 3 x 10 mg
- Domperidon : adalah derivate benzimidazol, dan merupakan antagonis dopamin perifer yang
merangsang motilitas saluran makan serta mempunyai khasiat anti muntah. Obat ini berkhasiat untuk
pengobatan refluks gastroesofageal, sindroma dyspepsia, gastroparesis, anoreksia nervosa. Pemberian
domperidon akan meningkatkan tonus LES. Di samping itu akan meningkatkan koordinasi antro-
duodenal, yaitu dengan jalan meningkatkan kontraktilitas serta menghambat relaksasi lambung,
sehingga pengosongan lambung lebih dipercepat. Efek samping domperidon lebih rendah daripada
metoclopramid karena tidak memperngaruhi reseptor saraf pusat. Dosis : 3 x 10 – 20 mg sehari
- Cisapride : merupakan derivate benzinamid, dan tergolong obat prokinetik baru yang memperbaiki
gangguan motilitas seluruh saluran makan. Jadi obat ini mempunyai spektrum luas. Dosis : 3 x 10 mg
sehari
• Sukralfat (aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCL
di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan
karena diberikan secara topikal (sitoprotektif). Dosis : 4 x 1 gram
KEUNTUNGAN KERUGIAN
STEP DOWN Gejala cepat hilang Potensial Over Treatment
Kegagalan Therapi Rendah
Mengurangi biaya Biaya awal tinggi
STEP UP Mencegah Over Threatmen Ada Keluhan Potensial
Biaya awal rendah
2. Terapi pembedahan
Indikasi:
1. Terapi medis gagal.
2. Adanya pembentukan striktur yang masih dini atau pembentukan cincin Schatzki merupakan
pernyataan adanya refluks jangka panjang dan mengharuskan suatu prosedur antirefluks.
3. Adanya metaplasia kolumnar pada esophagus distal, atau esophagus Barrett, mencerminkan keadaan
premalignan dengan dugaan etiologi akibat GERD yang mungkin juga mengharuskan terapi operatif.
Fundoplikasi baik melalui laparotomi atau torakotomi kini merupakan cara yang banyak digunakan
sampai sekarang karena memberikan hasil yang lebih baik lebih kurang 85% dan angka kekambuhan
refluks kecil (<10%), terdiri atas:
Mobilisasi esophagus untuk menempatkannya kembali ke dalam abdomen.
Memfiksasi dinding lambung sekitar esophagus distal (duplikasi).
Menyempitkan hiatus esophagus.
Abdomen di eksplorasi melalui insisi di garis tengah, mobilisasi lobus kiri hati dengan memotong lig.
Triangularis, lig.gastrohepatik untuk mobilisasi lengkap esofagus distal dan melihat hiatus esofagus.
Ligasi pembuluh darah gastrik yang pendek biasanya harus dihindari, karena terjadi peningkatan
insidensi splenektomisekunder karena cedera iatrogenik akibat prosedur ini.
Selanjutnya dilakukan traksi lambung secara berhati – hati dan mobilisasi esophagus secara tumpul
dilakukan dari atas ligamentum gastrohepatik yang dipotong dalam suatu bidang anterior dari
ligamentum akuata medial. Sebuah drain Penrose harus digunakan untuk mempertahankan retraksi
dan reduksi persambungan gastroesofagus ke dalam rongga abdomen.
Pada saat tersebut diseksi harus menemukan krura hiatus esofagus dan memungkinkan mobilisasi
posterior fundus lambung. Selanjutnya dilakukan pemasangan dilator Maloney ukuran 40 – 42 sebelum
aproksimasi krura dilakukan sampai hanya ujung jari telunjuk ahli bedah dapat dimasukkan bersama
dilator ke dalam reparasi hiatus. Tangan kanan ahli bedah digunakan untuk memasukkan fundus
lambung ke belakang esophagus sampai dapat diraih oleh klem Babcock. Aproksimasi selubung fundus
dilakukan dengan jahitan gastrik seromuskuler sutera 2-0 sepanjang kira – kira 4 cm. Jahitan yang
paling kaudal juga harus mengenai permukaan medial persmabungan esofagogstrik ke jahitan
terbawah dari selubung fundus harus menghalangi migrasi lambung distal ke sefalad dan mencegah
terbentuknya kantung lambung suprafundus. Saraf fagus harus dikenali, dilindungi, dan biasanya
dimasukkan ke dalam selubung fundus.
Setelah selesainya fundoplikasi, dilator dilepas dan diganti dengan selang nasogastrik untuk
mendapatkan dekompresi pascaoperasi yang terus menerus. Fundoplikasi juga harus memungkinkan
dimasukkannya jari ahli bedah ke dalam selubung untuk menjamin bahwa selubung tidak terlalu sempit
dan tidak bertindak sebagai obstruksi esophagus iatrogenik.
Fundoplikasi melalui pendekatan transtorakalis mengikuti cara yang sama sepert pendekatan
abdominal kecuali bahwa selubung fundus diselesaikan sebelum reparas krura. Pertimbangan utama
dilakukannya pendekatan torakalis adalah ditujukan pada pasien dengan esofagus distal yang imotil
atau esofagus yang pendek.
Diagnosis Banding
• Angina pektoris : suatu gejala klinik yang disebabkan oleh iskemia miokard yang sementara. Ini
adalah akibat dari tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan oksigen miokard dengan dan
kemampuan pembuluh dara hkoroner menyediakan oksigen secukupnya untuk kokntraksi mmiokard.
Gejalanya adalah sakit dada sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua
tangan, leher atau punggung.
Angina pektolris di jadikan diagnosis banding karena GER dapat menimbulkan keluhan rasa nyeri di
dada yang kadang – kadang disertai rasa seperti kejang yang menjalar ke tengkuk, bahu atau lengan
sehinga menyerupai keluhan seperti angina pektoris. Keluhan ini timbul sebagai akibat rangsangan
kemoreseptor pada mukosa. Mungkin juga rasa nyeri di dada tersebut disebabkan oleh dua mekanisme
yaitu adanya gangguan motor esophageal dan esophagus yang hipersensitif.
Komplikasi
• Barret esophagus
Merupakan penyakit GERD stadium akhir. Kondisi ini ditemukan pada 7 sampai 10 persen pasien
dengan GERD. Gangguan parah fungsi korpus esofagus, da npeningkatan jelas pemaparan asam
esovagus. Penyulit tipikal pada pasien Barret’s adalah ulseerasi pada segmen yang dilapisi epitel
kolumnar, pembentukan striktur, dan displasia kanker.
Penatalaksanaan GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)
Muhammad Begawan Bestari
Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung
ABSTRAK
Penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease, GERD) kurang umum dijumpai dan derajat keparahan
endoskopiknya lebih ringan di Asia dibandingkan di negara-negara Barat. Namun, data saat ini menunjukkan bahwa telah terjadi
peningkatan frekuensi penyakit tersebut di Asia. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna
atas. Sementara itu, tidak terdapat pemeriksaan baku emas untuk diagnosis penyakit refluks nonerosif (non-erosive reflux disease,
NERD) dan diagnosisnya mengandalkan gejala atau respons terhadap pengobatan proton pump inhibitor (PPI). Sasaran pengobatan
GERD adalah menyembuhkan esofagitis, memperingan gejala, mempertahankan pasien tetap bebas gejala, memperbaiki kualitas
hidup, dan mencegah komplikasi. Hingga saat ini, PPI merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif. Sesudah pengobatan
awal, terapi on-demand dapat efektif pada beberapa pasien penderita NERD atau esofagitis erosif ringan. Bedah anti-refluks oleh
dokter bedah yang kompeten dapat membuahkan hasil-akhir yang sama, dengan mortalitas operatif sebesar 0,1 – 0,8%. Keputusan
bergantung pada pilihan pasien dan ketersediaan dokter bedah yang berpengalaman. Pada penderita GERD yang tidak mengeluhkan
gejala peringatan (alarm symptoms) saat pemeriksaan di layanan primer, pengobatan dapat dimulai dengan PPI dosis standar selama
2 minggu. Bila responsnya sesuai, PPI dilanjutkan selama 4 minggu sebelum masuk ke terapi on-demand.
Kata kunci: GERD, PPI, terapi on-demand, endoskopi
Pendahuluan
Berdasarkan data epidemiologis, prevalensi GERD di Asia sekitar 2-5% dan esofagitis endoskopik sebesar 2-5%, lebih rendah
dibandingkan prevalensi di negara-negara 1-3 Barat. Derajat keparahan GERD di Asia-
Pasifik cenderung lebih ringan, dan secara endoskopik normal (non-erosive reflux disease, NERD); kalaupun didapatkan gambaran
esofagitis, sebagian besar kasus (90%) merupakan esofagitis Los Angeles (LA) 3 grade A atau B. Esofagus Barrett, striktur esofagus,
atau adenokarsinoma esofagus juga lebih jarang ditemukan pada pasien di Asia dibandingkan dengan pasien di negara Barat.
Sebaliknya, prevalensi infeksi Helicobacter pylori di Asia (30-60%) lebih tinggi dibandingkan di negara Barat.
GERD harus dibedakan dari penyakit saluran cerna atas yang terkait H. pylori, terutama ulkus peptikum dan kanker lambung.
Definisi
Berdasarkan Genval Workshop, definisi pasien GERD adalah semua individu yang terpapar risiko komplikasi fisik akibat refluks
gastroesofageal, atau mereka yang mengalami gangguan nyata terkait dengan kesehatan (kualitas hidup) akibat gejala-gejala yang
terkait dengan refluks. Secara sederhana, definisi GERD adalah gangguan berupa regurgitasi isi lambung yang menyebabkan
heartburn dan gejala lain.
Terdapat dua kelompok GERD. Yang pertama adalah GERD erosif (esofagitis erosif ), didefinisikan sebagai GERD dengan gejala
refluks dan kerusakan mukosa esofagus distal akibat refluks gastroesofageal. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis GERD erosif
adalah endoskopi saluran cerna atas.
Yang kedua adalah penyakit refluks nonerosif (non-erosive reflux disease, NERD), yang juga disebut endoscopic-negative GERD,
didefinisikan sebagai GERD dengan gejala-gejala refluks tipikal tanpa kerusakan mukosa esofagus saat pemeriksaan endoskopi
saluran cerna.
Saat ini, telah diusulkan konsep yang membagi GERD menjadi tiga kelompok, yaitu penyakit refluks non-erosif, esofagitis erosif, dan
esofagus Barrett.
Patogenesis
Tidak ada korelasi antara infeksi H. pylori dan GERD. Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa infeksi H. pylori mempunyai peran
patogenik langsung terhadap kejadian GERD.
Tidak terdapat korelasi antara infeksi H. pylori dan esofagitis, tetapi infeksi galur (strain) beruvirulen organisme tersebut, yang ditandai
oleh CagA positif, berbanding terbalik dengan esofagitis, esofagus Barrett (dengan atau tanpa displasia) dan adenokarsinoma
esofagus. Setiap pengaruh infeksi H. pylori pada GERD terkait dengan gastritis yang ditimbulkannya dan efeknya pada sekresi asam
lambung. Efek eradikasi H. pylori pada gejala refluks dan GERD bergantung pada dua faktor: (i) distribusi anatomis gastritis; dan (ii)
ada tidaknya GERD sebelumnya
Diagnosis
Adanya gejala klasik GERD (heartburn danregurgitasi), yang ditemukan melalui anamnesis yang cermat, merupakan patokan
diagnosis. Pada beberapa pasien, GERD perlu dibedakan dari kondisi lain, misalnya penyakit traktus bilier dan penyakit arteri koroner.
Pemeriksaan barium tidak dapat menegakkan diagnosis GERD. Sekitar 50% pasien GERD simtomatik memperlihatkan hasil pH-metri
yang normal, sementara hanya 25% penderita esofagitis erosif dan 7% penderita esofagus Barrett yang menunjukkan hasil pH-
metri normal. Pemeriksaan endoskopi pada esofagitis erosif menurut klasifikasi LA mempunyai korelasi positif yang bermakna dengan
pH-metri esofagus 24-jam dan gejala-gejala klinisnya.
Tes PPI
Beberapa uji klinis prospektif terkontrol meneliti penggunaan empiris PPI untuk GERD. Tes PPI adalah pengobatan PPI selama 2
minggu pada pasien yang mempunyai gejala GERD atau pasien yang mempunyai
manifestasi GERD atipikal/ekstraesofageal.
Dalam tes ini, PPI diberikan dua kali sehari; sensitivitas tes PPI sebesar 68- 80% untuk diagnosis GERD. Dari penelitian di Asia,
terungkap bahwa 93% penderita yang mempunyai gejala GERD tipikal dan endoskopinya normal ternyata responsif terhadap terapi PPI
selama 2 10 minggu tersebut.
Tes PPI merupakan sebuah modalitas diagnostik yang bermanfaat, tetapi perlu diingat bahwa respons positif terhadap tes PPI tidak
selalu sebanding dengan diagnosis GERD, begitu juga respons negatif tidak serta merta dapat menyingkirkan diagnosis GERD.
Gejala Peringatan (Alarm Symptoms)
Endoskopi saluran cerna atas pada pasien dengan gejala heartburn atau regurgitasi bukan keharusan bagi pasien GERD, mengingat
lebih dari 90% pasien GERD di Asia tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan endoskopi (endoscopic-negative). Selain itu,
karena mahalnya biaya pemeriksaan dan tidak semua daerah memiliki fasilitas endoskopi saluran cerna atas, penggunaan endoskopi
sebagai modalitas diagnostik masih terbatas di Indonesia. Setelah diagnosis klinis ditegakkan, PPI dosis standar dapat diberikan
selama 1 atau 2 mingu (tes PPI) pada penderita dengan gejala yang tipikal. Tes PPI bersifatsensitif dan spesifik untuk mendiagnosis
GERD yang mempunyai gejala tipikal; strategi ini dapat menghemat biaya secara nyata dan mengurangi penggunaan tes diagnostik
yang invasif. Jika responsnya sesuai, pasien harus melanjutkan pengobatansedikitnya selama 4 minggu. Setelah itu, direkomendasikan
untuk memberikan terapi on-demand mengingat sebagian besar pasien di Asia tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan
endoskopi.
Pasien harus dirujuk untuk menjalankan pemeriksaan endoskopi saluran cerna jika tidak responsif terhadap PPI, mengalami relaps
berulang, gejala atipikal, gejala berat, atau gejala peringatan (alarm symptoms). Gejala peringatan untuk rujukan dini endoskopi saluran
cerna atas meliputi penurunan berat badan, anemia, hematemesis atau melena, riwayat kanker lambung dan/ atau esofagus dalam
keluarga, penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid, disfagia progresif, odinofagia, dan usia >40 tahun di daerah prevalensi tinggi
kanker lambung.
Penatalaksanaan
• Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup tidak direkomendasikan sebagai pengobatan primer GERD. Penelitian objektif belum memperlihatkan bahwa
alkohol, diet, dan faktor psikologis berperan signifikan dalam GERD. Modifikasi gaya hidup dapat mengurangi episode refluks
individual; pasien yang mengalami eksaserbasi gejala refluks yang berhubungan dengan makanan atau minuman tertentu dapat
direkomendasikan untuk menghindari makanan atau minuman bersangkutan. Sebuah penelitian observasional menyatakan bahwa
merokok merupakan faktor risiko independen GERD simtomatik. Merokok terkait dengan peningkatan pajanan asam pada esofagus
(berdasarkan pemeriksaan pH-metri). Namun, tidak terdapat penelitian intervensional yang menunjang penghentian merokok
sebagai terapi primer GERD
Penelitian observasional lain memperlihatkan secara konsisten bahwa obesitas merupakan salah satu faktor risiko GERD. Namun, dari
sebuah penelitian yang menggunakan kontrol, belum terbukti bahwa penurunan berat badan dapat memperingan gejala menyebabkan
relaksasi sfingter esofagus bagian bawah ataupun
mengurangi pajanan asam pada esofagus.
• Terapi Medikamentosa
Sasaran pengobatan GERD adalah menyembuhkan esofagitis, meringankan gejala, mempertahankan remisi, memperbaiki kualitas
hidup, dan mencegah komplikasi. Terapi medikamentosa untuk memperingan gejala GERD mencakup pemberian antasida, prokinetik,
H2-receptor antagnists (H2-RA), dan PPI. Untuk mengontrol gejala dan penyembuhan esofagitis pada GERD erosif, saat ini PPI
merupakan pilihan yang paling efektif. Hanya satu penelitian yang memperlihatkan bukti efikasi antasida dalam pengobatan GERD. Uji
klinik yang menilai efikasi famotidine, cimetidine, nizatidine, dan ranitidine memperlihatkan bahwa H2-
RA lebih efektif dibanding plasebo dalam meringankan gejala GERD derajat ringan sampai sedang, dengan tingkat respons 18-20 60%
- 70%. Uji klinik PPI jangka pendek memperlihatkan penyembuhan yang lebih cepat dan perbaikan heartburn dibandingkan H2-RA atau
prokinetik pada penderita esofagitis erosif. Di antara berbagai PPI, pemberian omeprazole, lansoprazole, pantoprazole, dan
rabeprazole dosis standar menghasilkan kecepatan penyembuhan dan remisi yang sebanding pada kasus esofagitis erosif. Proton
pump
inhibitor juga efektif pada penderita esofagitis refluks yang resisten terhadap H2-RA. Dari penelitian jangka panjang (sampai 11 tahun),
penggunaan PPI relatif aman; insidens gastritis atrofik sebesar 4,7% pada pasien H. pylori-positif dan 0,7% pada pasien H. pylori-
negatif, serta tidak ditemukan displasia ataupun neoplasma.
Atas dasar efikasi dan kecepatan perbaikan gejala, PPI dosis standar dapat diberikan untuk pengobatan awal GERD erosif. Bedah
Anti-refluks Pembedahan, yaitu dengan funduplikasi, merupakan salah satu alternatif terapi di samping terapi medikamentosa dalam
upaya meringankan gejala dan menyembuhkan
esofagitis. Namun, morbiditas dan mortalitas pasca-operasi bergantung pada keterampilan dokter bedah. Karena itu, pilihan antara
terapi medikamentosa dan tindakan bedah berpulang pada keputusan pasien maupun ketersediaan dokter bedah.
Simpulan
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) merupakan kondisi yang insidensnya makin meningkat di Asia pada umumnya dan Indonesia
pada khususnya walaupun sebagian besar pasien di Asia hanya mengalami NERD atau esofagitis erosif ringan (grade LA A atau B).
Patofisiologi GERD perlu dimengerti lebih baik lagi. Pengobatan harus diarahkan pada faktor etiologi dan mekanisme patofisiologi,
bukan pada pengontrolan gejala.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kang JY, Ho KY. Different prevalences of reflux oesophagitis and hiatus hernia among dyspeptic patients in England and Singapore.
Eur J Gastroenterol Hepatol.
1999;11(8):845-50.
2. Goh KL, Chang CS, Fock KM, Ke M, Park HJ, Lam SK. Gastro-oesophageal reflux disease in Asia. J Gastroenterol Hepatol.
2000;15(3):230-8.
3. Wong WM, Lam SK, Hui WM, et al. Long-term prospective follow-up of endoscopic oesophagitis in southern Chinese--prevalence
and spectrum of the disease. Aliment
Pharmacol Ther. 2002;16(12):2037-42.
4. An evidence-based appraisal of reflux disease management--the Genval Workshop Report. Gut 1999;44 Suppl 2:S1-16.
5. Fock KM, Talley N, Hunt R, et al. Report of the Asia-Pacific consensus on the management of gastroesophageal reflux disease. J
Gastroenterol Hepatol. 2004;19(4):357-67.
6. Martinez SD, Malagon IB, Garewal HS, Cui H, Fass R. Non-erosive reflux disease (NERD)-acid reflux and symptom patterns. Aliment
Pharmacol Ther. 2003;17(4):537-45.
7. Lundell LR, Dent J, Bennett JR, et al. Endoscopic assessment of oesophagitis: clinical and functional correlates and further validation
of the Los Angeles classification. Gut
1999;45(2):172-80.
8. Kahrilas PJ. Diagnosis of symptomatic gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2003;98(3 Suppl):S15-23.
9. Fass R, Ofman JJ, Gralnek IM, et al. Clinical and economic assessment of the omeprazole test in patients with symptoms suggestive
of gastroesophageal reflux disease.
Arch Intern Med. 1999;159(18):2161-8.
10. Wu WC. Ancillary tests in the diagnosis of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterol Clin North Am. 1990;19(3):671-82.
11. Vicari JJ, Peek RM, Falk GW, et al. The seroprevalence of cagA-positive Helicobacter pylori strains in the spectrum of
gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology
1998;115(1):50-7.
12. Laheij RJ, Van Rossum LG, De Boer WA, Jansen JB. Corpus gastritis in patients with endoscopic diagnosis of reflux oesophagitis
and Barrett's oesophagus. Aliment
Pharmacol Ther. 2002;16(5):887-91.
13. Schwizer W, Thumshirn M, Dent J et al. Helicobacter pylori and symptomatic relapse of gastro-oesophageal reflux disease: a
randomised controlled trial. Lancet
2001;357(9270):1738-42.
14. Locke GR, 3rd, Talley NJ, Fett SL, Zinsmeister AR, Melton LJ, 3rd. Risk factors associated with symptoms of gastroesophageal
reflux. Am J Med. 1999;106(6):642-9.
15. Pandolfino JE, Kahrilas PJ. Smoking and gastro-oesophageal reflux disease. Eur J Gastroenterol Hepatol. 2000;12(8):837-42.
16. Kjellin A, Ramel S, Rossner S, Thor K. Gastroesophageal reflux in obese patients is not reduced by weight reduction. Scand J
Gastroenterol. 1996;31(11):1047-51.
17. Weberg R, Berstad A. Symptomatic effect of a low-dose antacid regimen in reflux oesophagitis. Scand J Gastroenterol.
1989;24:401–6.
18. Paul K, Redman CM, Chen M. Effectiveness and safety of nizatidine, 75 mg, for the relief of episodic heartburn. Aliment Pharmacol
Ther. 2001;15(10):1571-7.
19. Ciociola AA, Pappa KA, Sirgo MA. Nonprescription doses of ranitidine are effective in the relief of episodic heartburn. Am J Ther.
2001;8(6):399-408.
20. Galmiche JP, Shi G, Simon B, Casset-Semanza F, Slama A. On-demand treatment of gastro-oesophageal reflux symptoms: a
comparison of ranitidine 75 mg with cimetidine
200 mg or placebo. Aliment Pharmacol Ther. 1998;12(9):909-17.
21. Chiba N, De Gara CJ, Wilkinson JM, Hunt RH. Speed of healing and symptom relief in grade II to IV gastroesophageal reflux
disease: a meta-analysis. Gastroenterology
1997;112(6):1798-810.
22. Klok RM, Postma MJ, van Hout BA, Brouwers JR. Meta-analysis: comparing the efficacy of proton pump inhibitors in short-term use.
Aliment Pharmacol Ther.
2003;17(10):1237-45.
23. DeVault KR, Castell DO. Guidelines for the diagnosis and treatment of gastroesophageal reflux disease. Practice Parameters
Committee of the American College of
Gastroenterology. Arch Intern Med. 1995;155(20):2165-73.