bahan resistensi cdc
DESCRIPTION
sssssssssssssssssssssTRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Infeksi masih merupakan salah satu penyebab utama kematian dan
kesakitan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di Indonesia.
Infeksi merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu dan bayi baru lahir.
Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering dijumpai adalah infeksi oleh
bakteri. Pemberian antibiotik masih merupakan pilihan utama untuk mengatasi
infeksi saat ini (Kementerian Kesehatan RI, 2011a).
Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di
pelayanan kesehatan. Lebih dari seperempat anggaran rumah sakit dikeluarkan untuk
biaya penggunaan antibiotik (Smith et al., 1991). Di negara maju 13-37% dari seluruh
penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotik baik secara tunggal
maupun kombinasi, sedangkan di negara berkembang 30-80% penderita yang dirawat
di rumah sakit mendapat antibiotik (Thawani et al., 2006).
Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara
tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan
antibiotik. Pada penelitian tentang kualitas penggunaan antibiotik diberbagai bagian
rumah sakit ditemukan 30-80% tidak didasarkan pada indikasi yang tepat (Kementerian
Kesehatan RI, 2011b). Suatu survei yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat
(RSUP) Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa 76,8% penggunaan
antibiotik untuk profilaksis bedah tidak rasional dalam hal indikasi atau lama
pemberian. Survei serupa juga pernah dilakukan oleh tim peneliti Antimicrobial
-
2
Resistane in Indonesia (AMRIN-study) di RS Dr Soetomo Surabaya dan RSUP Dr
Kariadi Semarang yang menunjukkan 83% pasien mendapat antibiotik dan 60%
diantara penggunaan antibiotik tersebut tidak rasional. Hasil penilaian lebih lanjut
tentang kualitas penggunaan antibiotik di RSUP Dr Kariadi antara lain menunjukkan
19-76% tidak ada indikasi untuk diberikan antibiotik, 9-45% antibiotik yang
diberikan tidak tepat baik dosis, jenis dan lama pemberiannya, dan 1-8% tidak ada
indikasi penggunaan antibiotik untuk profilaksis. Di Bagian Bedah di rumah sakit
tersebut menunjukkan tingkat penggunaan antibiotik yang rasional kurang dari 20%
(Hadi et al., 2008).
Berbagai jenis antibiotik generasi baru telah banyak digunakan saat ini,
namun tidak jarang gagal dalam mengendalikan infeksi. Salah satu faktor
penyebab kegagalan tersebut adalah munculnya berbagai macam multi-drug
resistant organism (MDRO) tidak sensitif lagi terhadap antibiotik dalam melawan
infeksi, atau biasa disebut dengan fenomena resistensi antibiotik (Sjamsiah, 2007).
Infeksi oleh MDRO seringkali tidak merespon terhadap pengobatan standar
sehingga mengakibatkan perpanjangan penyakit dan lamanya waktu rawat inap,
meningkatkan risiko kematian dan bahkan menjadi sumber penularan infeksi bagi
pasien lain. Infeksi oleh MDRO sering memerlukan terapi antibiotik lini kedua
bahkan lini ketiga yang harganya lebih mahal (WHO, 2012).
Salah satu antibiotik lini ketiga dari golongan karbapenem yang masih
poten secara empirik dan definitif melawan infeksi serius yang disebabkan oleh
bakteri multi-drug resistant (MDR) adalah meropenem. Karena sifatnya yang
tidak mudah dirusak oleh betalaktamase, termasuk extended spectrum beta-
lactamase (ESBL) dan tipe Amp C chromosomal, meropenem aktif melawan
-
3
bakteri yang telah resisten terhadap sefalosporin generasi ketiga dan beberapa
bakteri MDR gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter
spp. Meropenem menjadi pilihan utama dan pertahanan terakhir untuk terapi
berbagai infeksi serius (Ayalew et al., 2003). Namun demikian, kini penggunaan
meropenem terancam oleh munculnya beberapa laporan kasus resistensi. Adanya
resistensi beberapa strain P. aeruginosa, Acinetobacter spp. dan
Enterobacteriaceae penghasil ESBL terhadap meropenem telah dilaporkan oleh
Hong et al. (2005) dan Wolter et al. (2008).
Centre for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan bahwa
resistensi terhadap antibiotik golongan karbapenem telah menyebar atau
berpindah dari satu tempat ke tempat lain di seluruh dunia. Infeksi oleh Klebsiella
pneumoniae carbapenemase yang resisten terhadap karbapenem, pertama kali
ditemukan pada tahun 2001 terbatas hanya di Amerika Serikat, namun sekarang
telah menyebar ke 37 tempat lain di dunia. Tipe Carbapenem resistant-
Enterobacteriaceae (CRE) yang lain, yakni NDM-1 (New Delhi metallo-beta-
lactamase), yang pertama kali teridentifikasi di India dan Pakistan, sekarang telah
pula ditemukan di Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Inggris dan Australia
(CDC, 2011b).
Resistensi bakteri yang terjadi secara cepat umumnya terjadi akibat
perilaku peresepan antibiotik dan perilaku petugas kesehatan yang masih jauh dari
rasional (Dwiprahasto, 2005). Penggunaan antibiotik yang tidak rasional seperti
penggunaan yang berlebihan, dosis yang tidak adekuat dan lama terapi yang tidak
tepat merupakan pemicu utama terjadinya resistensi antibiotik (CDC, 2011a;
-
4
WHO, 2012). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011) menyatakan
bahwa munculnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik disebabkan oleh
penggunaan antibiotik yang tidak bijak. Sementara beberapa studi juga
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan antibiotik yang tidak
tepat dengan kejadian resistensi antibiotik (Adisasmito dan Tumbelaka, 2006;
Fauziyah et al., 2011). Dampak akibat resistensi tersebut harus ditanggulangi
bersama dengan cara yang efektif, antara lain dengan menggunakan antibiotik secara
rasional, melakukan intervensi untuk mengoptimalkan penggunaan antibiotik dan
melakukan monitoring serta evaluasi penggunaan antibiotik terutama di rumah sakit
yang merupakan tempat paling banyak ditemukan penggunaan antibiotik
(Kementerian Kesehatan RI, 2011b).
Apoteker klinik di rumah sakit sebagai drug expert memiliki tanggung
jawab dan peran besar dalam hal rasionalitas pengobatan kepada pasien (ACCP,
2005). Apoteker tidak hanya bertanggung jawab atas obat sebagai produk dengan
segala implikasinya, melainkan juga bertanggung jawab terhadap efek terapetik
dan keamanan suatu obat agar mencapai efek yang optimal. Memberikan
pelayanan kefarmasian secara paripurna dengan memperhatikan faktor keamanan
pasien, antara lain dalam proses pengelolaan sediaan farmasi, melakukan
monitoring dan mengevaluasi keberhasilan terapi, memberikan pendidikan dan
konseling serta bekerja sama erat dengan pasien dan tenaga kesehatan lain
merupakan suatu peran penting Apoteker rumah sakit yang harus dilakukan
(Depkes, 2008). Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit
dijelaskan bahwa Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) wajib melakukan
-
5
pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan, dimana salah
satu kegiatannya adalah melakukan pengkajian penggunaan obat. Pengkajian
penggunaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur
dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai dengan
indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien dan bertujuan mendapatkan
gambaran penggunaan obat serta menilai pengaruh intervensi atas pola
penggunaan obat di rumah sakit (Depkes, 2004).
Beberapa studi menunjukkan bahwa Apoteker memiliki peran yang sangat
besar dalam keberhasilan terapi pasien rawat inap di rumah sakit. Dengan
melakukan berbagai kegiatan pharmacy on ward seperti ronde atau visite pasien
baik secara sendiri atau bersama dengan tenaga kesehatan lain, melakukan
skrining resep dan mengkaji penggunaan obat, maka Apoteker berperan
menurunkan angka kejadian medication error (Kaushal et al., 2008), mencegah
dan mengatasi terjadinya adverse drug reaction (ADR) serta mencegah dan
mengatasi terjadinya interaksi obat baik potensial maupun aktual. Bahkan
MacLaren et al. (2008) menemukan bahwa angka rata-rata mortalitas, lama masa
rawat inap atau length of stay (LOS) dan biaya obat pasien infeksi di ruang
intensive care unit (ICU) yang di dalamnya tidak ada Apoteker yang terlibat,
nilainya lebih besar dibanding di ruang ICU yang didalamnya terdapat Apoteker
klinik.
Pelayanan informasi obat merupakan salah satu kegiatan pelayanan
kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan yang wajib dilakukan oleh
farmasi rumah sakit sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
-
6
Indonesia Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi
Rumah Sakit. Pemberian informasi obat yang akurat, tidak bias, dan terkini yang
dilakukan oleh Apoteker baik kepada pasien, dokter dan tenaga kesehatan lain
diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengobatan yang efektif, aman,
rasional dan terjangkau oleh masyarakat (Depkes RI, 2004).
Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Jombang Jawa Timur,
tren penggunaan antibiotik meropenem kini semakin meningkat. Rata-rata lebih
dari 10 pasien menerima terapi meropenem setiap bulannya, namun sampai saat
ini belum ada data tentang rasionalitas penggunaannya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penelitian ini akan mengkaji kualitas
(ketepatan/rasionalitas) penggunaan antibiotik meropenem di RSUD Kabupaten
Jombang yang dinilai menggunakan alur kategori Gyssens serta menilai pengaruh
pemberian informasi obat oleh Apoteker kepada dokter pemberi terapi terhadap
kualitas penggunaan antibiotik tersebut. Metode penilaian menggunakan alur
kategori Gyssens dipilih sesuai dengan petunjuk evaluasi penggunaan antibiotik
secara kualitatif sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang pedoman
umum penggunaan antibiotik.
B. Perumusan Masalah
Penelitian ini akan mencari jawaban atas bagaimanakah kualitas
penggunaan antibiotik meropenem sebelum dan sesudah pemberian informasi
-
7
obat oleh Apoteker kepada dokter pemberi terapi di bangsal rawat inap RSUD
Kabupaten Jombang?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas
penggunaan antibiotik meropenem sebelum dan sesudah pemberian informasi
obat oleh Apoteker kepada dokter pemberi terapi di bangsal rawat inap RSUD
Kabupaten Jombang.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi rumah sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada tenaga
kesehatan di rumah sakit tentang bagaimana kualitas penggunaan antibiotik
meropenem serta menjadi bahan pertimbangan penggunaan antibiotik
meropenem yang tepat sebagai upaya pencegahan resistensi antibiotik dan
mendukung program patient safety.
2. Bagi apoteker
Dengan penelitian ini, diharapkan dapat menunjukkan peran apoteker dalam
sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang kajian kualitas penggunaan antibiotik meropenem di
RSUD Jombang terkait pemberian informasi obat belum pernah dilakukan.
-
8
Sepengetahuan peneliti berdasarkan penelusuran pustaka yang ada, penelitian
terkait yang pernah dilakukan adalah :
1. Prospective drug utilization evaluation of three broad-spectrum
antimicrobials : cefepime, piperacillin-tazobactam and meropenem yang
dilakukan oleh Raveh et al. (2006) di University-affiliated general hospital,
Jerusalem. Penelitian ini menyusun sebuah guideline atau pedoman
penggunaan tiga antibiotik yang diteliti, kemudian membandingkan ketepatan
atau rasionalitas penggunaannya pada dua fase penelitian, sebelum dan
sesudah pemberian edukasi menggunakan defined daily dose DDD/1000.
Perbedaan kualitas pada dua fase tersebut dianalisa menggunakan two-tailed
students t-test. Kedua data, sebelum dan sesudah educational intrvention,
diambil secara prospektif. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
rasionalitas berbeda secara signifikan antar departemen (p < 0,001) dan
diantara 2 fase (p < 0,05). Perbedaan mayor dari 2 survei yang dilakukan
adalah penurunan penggunaan meropenem (p < 0,05).
2. Pengaruh Pemberian Informasi Obat Berdasarkan Beers Criteria Terhadap
Pola Pemberian Obat Pada Pasien Usia Lanjut Rawat Inap Penyakit Dalam Di
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Periode Mei-Agustus 2010
yang dilakukan oleh Januar (2010). Pemberian informasi obat tentang beers
criteria diberikan kepada dokter yang bertugas di rawat inap penyakit dalam
menggunakan metode discussion grup. Hasil penelitian membuktikan bahwa
pemberian informasi obat berdasarkan beers criteria tabel I dan II
berpengaruh terhadap penurunan penggunaan obat-obat dalam cakupan beers
-
9
criteria pasien usia lanjut rawat inap masing-masing sebesar 20,27% dan
2,27%.
3. Pengaruh Pemberian Informasi Obat Terhadap Potensi Interaksi Obat pada
Pasien Rawat Inap Penyakit Dalam Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto Periode Mei-Agustus 2010 yang dilakukan oleh Sari (2010).
Pemberian informasi obat tentang interaksi obat diberikan kepada dokter yang
bertugas di rawat inap penyakit dalam menggunakan metode discussion grup.
Hasil penelitian membuktikan bahwa pelayanan informasi obat berpengaruh
menurunkan potensi interaksi obat 2,66% dimana sebelumnya sebesar
56,76% (n=259) dan 54,10% (n=366). Potensi interaksi obat sebelum dan
sesudah pelayanan informasi obat masing-masing 16,6% dan 15,3%.
4. Evaluasi Kualitatif Penggunaan Antibiotika Dengan Metode Gyssens Di
Ruang Kelas 3 Infeksi Departemen ilmu Kesehatan Anak RSCM Secara
Prospektif yang dilakukan oleh Pamela (2011). Penelitian ini mengevaluasi
pengaruh intervensi apoteker dalam meningkatkan kualitas penggunaan
antibiotik. Intervensi berupa rekomendasi diberikan kepada penulis resep atas
masalah ketidaktepatan penggunaan antibiotik yang ditemukan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa intervensi meningkatkan ketepatan
penggunaan antibiotik dari 0% menjadi 67,1%).
Sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini adalah melakukan kajian
kualitas penggunaan antibiotik meropenem yang dinilai menggunakan alur
kategori Gyssens sebelum dan sesudah adanya pemberian infromasi obat di
bangsal rawat inap RSUD Jombang, sehingga dapat dinyatakan bahwa penelitian
-
10
yang akan dilakukan ini berbeda dengan penelitian yang telah ada dalam hal
waktu, tempat dan metode penelitian yang digunakan.