bahan buku

Upload: meta-orlanda-pradezi

Post on 12-Jul-2015

479 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Berjurnalisme Budaya di Ranah Budaya UNIT KEGIATAN PERS MAHASISWA UNIVERSITAS ANDALAS GENTA ANDALAS BUKITTINGGI, 21 26 NOVEMBER 2011 Pada zaman globalisasi, terjadi krisis identitas kebudayaan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran berbudaya dan sedikitnya informasi tentang budaya yang ada dimasyarakat. Dalam hal ini peranan media massa dirasakan sangat penting untuk memberikan informasi tentang kebudayaan. Pengetahuan kebudayaan dapat mengaktualisasi pekerjaan yang harus harus dilakukan dalam pembangunan. Untuk itu, Genta Andalas mengangkat acara PJTL yang bertemakan Jurnalisme Budaya. Pelatihan ini bertujuan agar peserta pelatihan mampu menuangkan nilainilai budaya yang dianut masyarakat ke dalam bentuk tulisan narasi yang menarik. PJTL diadakan selama 6 hari dengan empat materi, yaitu Pencarian Sumber Berita dan Teknik Wawancara, Narasi, Foto Jurnalistik, dan Indepth Reporting. Pelatihan ini difokuskan pada diskusi yang dibarengi dengan simulasi ke tempat-tempat wisata budaya di Bukittinggi seperti Lobang Jepang, Jam Gadang, Ngarai Sianok, dan Benteng Fort de Kock.

Bukittinggi, 20 November 2011 Ketua Panitia

(Eri Argawan)

Page 1

PJTL GENTA ANDALAS 2011 DESKRIPSI KEGIATAN

Jurnalisme Budaya

HARI PERTAMA, Senin, 21 November 2011 Pembukaan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut se-Indonesia Pembukaan kegiatan dilakukan di kampus Universitas Andalas, Limau Manis, Padang yang dimulai pada pukul 09.00 WIB. Kunjungan ke Rektorat dan keliling kampus Universitas Andalas. Peserta didampingi oleh panitia untuk melakukan kunjungan ke Rektorat Universitas Andalas serta berkeliling kampus guna mengenalkan kawasan kampus kepada peserta. Kunjungan Media ke Haluan Padang Setelah melakukan kunjungan ke Rektorat serta berkeliling di kampus Universitas Andalas, peserta dibawa menuju Haluan Padang, kunjungan ini bertujuan untuk mengenalkan Haluan Padang kepada peserta serta melakukan diskusi dan tanya jawab antara pihak Haluan dan peserta. HARI KEDUA, Selasa, 22 November 2011 (Oleh: Hendra Makmur, S.H) Pemberian materi pencarian sumber dan teknik wawancara. Pemateri mengarahkan peserta dalam pencarian narasumber dan teknik wawancara. Narasumber yang akan dicari harus relevan dengan berita yang diangkat oleh panitia. Dan pada saat wawancara, pemateri mengarahkan cara menggali data-data dari narasumber. Simulasi Peserta pergi ke lapangan untuk menerapkan ilmu yang didapat dari pemateri. Tempat yang akan dituju adalah Jam Gadang. Panitia mendampingi peserta dalam menentukan lokasi yang cocok dijadikan tempat pencarian sumber. Simulasi dijalankan selama dua jam. Presentasi hasil laporan Tiap kelompok peserta mempresentasikan hasil laporan dari lapangan. Untuk sesi presentasi tiap kelompok diwakili oleh satu orang atau koordinator kelompok. Setelah presentasi, pemateri mengevaluasi hasil laporan dari kelompok. HARI KETIGA, Rabu, 23 November 2011 (S. Metron Madison, S.S) Pemberian materi narasi berita dan feature Pemateri mengarahkan cara penyusunan berita secara prosesual atau mengalir. Hal ini mengenai penyusunan pernyataan-pernyataan dari narasumber. Penyusunan ini dimulai dari penempatan dan pengolahan data-data dari narasumber. Dari langkahlangkah ini peserta dapat menyusun data-data menjadi berita. Simulasi Peserta menyusun data-data hasil wawancara hari sebelumnya. Pada saat simulasi, peserta didampingi oleh panitia. Tempat simulasi diadakan di penginapan. Simulasi dijalankan selama dua jam. Presentasi Tiap kelompok peserta mempresentasikan hasil laporan dari lapangan. Untuk sesi presentasi tiap kelompok diwakili oleh satu orang atau koordinator kelompok. Setelah presentasi, pemateri mengevaluasi hasil laporan dari kelompok. HARI KEEMPAT, Kamis, 24 November 2011 (Maha Eka Swasta)

Page 2

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Pemberian materi photo jurnalistik Pemateri menjelaskan foto-foto yang bernilai jurnalistik dan menghubungkan dengan tema berita yang diangkat oleh panitia. Pengambilan foto tersebut mengenai teknis pengambilan gambar, komposisi, dan nilai berita. Simulasi Peserta pergi ke lapangan untuk menerapkan ilmu yang didapat dari pemateri. Tempat yang akan dituju adalah Jam Gadang. Panitia mendampingi peserta dalam menentukan lokasi yang cocok dijadikan tempat pencarian sumber. Simulasi dijalankan selama dua jam. Pencarian sumber Tiap kelompok peserta mempresentasikan hasil laporan dari lapangan. Untuk sesi presentasi tiap kelompok diwakili oleh satu orang atau koordinator kelompok. Setelah presentasi, pemateri mengevaluasi hasil laporan dari kelompok.

HARI KELIMA, Jumat, 25 November 2011 (Sofiardi Bachyul) Pemberian materi Indepth Reporting Pemateri mengarahkan tentang penulisan berita teknik reporting (mendalam). Hal ini mengenai cara memaparkan berita dengan mengkorelasikan data-data dan menyimpulkan dalam bentuk kepahaman yang mendalam. Simulasi Peserta menyusun data-data hasil wawancara hari sebelumnya. Pada saat simulasi, peserta didampingi oleh panitia. Tempat simulasi diadakan di penginapan. Simulasi dijalankan selama dua jam. Presentasi. Tiap kelompok peserta mempresentasikan hasil laporan dari lapangan. Untuk sesi presentasi tiap kelompok diwakili oleh satu orang atau koordinator kelompok. Setelah presentasi, pemateri mengevaluasi hasil laporan dari kelompok. HARI KEENAM, Sabtu, 26 November 2011 Fieldtrip se- Sumatera Barat Penampilan bakat per LPM

Page 3

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Pencarian Sumber Berita dan Teknik Wawancara Oleh: Hendra Makmur

Page 4

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 5

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 6

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 7

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 8

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 9

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 10

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 11

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 12

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Foto Jurnalistik Oleh: Maha Eka Swasta

Page 13

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 14

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 15

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Page 16

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

INDEPTH REPORTING Oleh: Syofiardi Bachyul Jb Bangunan-Bangunan Tua Kota Padang yang Hancur Akibat Gempa Oleh: Syofiardi Bachyul Jb (The Jakarta Post/ Padang) Gempa 7,9 SR yang mengguncang Sumatra Barat 30 September 2009 tak hanya menghancurkan rumah dan bangunan modern di Kota Padang, tapi juga sejumlah bangunan tua peninggalan era Kolonial Belanda bergaya Eropa yang berusia lebih 100 tahun. Bangunan-bangunan tersebut sebagian besar terletak di kawasan Padang Kota Lama. Eko Alvarez, Kepala Pusat Studi Konservasi Arsitektur (Pusaka) Universitas Bung Hatta menyebutkan, dari 244 bangunan lama yang didata lembaganya bersama Badan

Page 17

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Pelestarian Pusaka Indonesia, 119 bangunan rusak berat, 68 rusak sedang, 41 rusak ringan, dan hanya 16 yang tidak rusak. Bangunan lama yang kami data mulai dari Kantor Gubernur Sumatera Barat di kawasan Jalan Sudirman sampai ke kawasan Jalan Batang Arau, termasuk di dalamnya lebih 70 bangunan lama yang masuk daftar Bangunan Cagar Budaya Kota Padang, kata Eko kepada The Jakarta Post, Kamis (29/10/2009). Bangunan yang rusak termasuk sejumlah bangunan penting yang menjadi tapak sejarah Kota Padang. Bangunan-bangunan yang rusak berat, bahkan hancur tersebut di antaranya Mesjid Ganting, mesjid tertua Kota Padang yang didirikan 1815, Kelenteng See Hin Kiong yang didirikan 1861, SD Agnes sekolah Katolik tertua di Sumatra Barat didirikan 1900, Kapel Susteran SCIM nan indah yang diresmikan 1903, dan Gereja Katolik yang dibangun 1933. Sebagian bangunan tua berdinding tebal ini terawat dengan baik. Namun gempa terlalu kuat untuk ditahan bangunan-bangunan besar itu. Sementara, sebagian bangunan lain dengan mudah dihancurkan gempa karena kurang terawat dan sebagian kayunya lapuk. Bangunan yang lapuk ini sudah lama dibiarkan terbengkalai dan tanpa perkuatan, sebenarnya tidak ada gempa pun bangunan-bangunan ini bisa runtuh, kata Eko. Di antara bangunan ini yang terkenal adalah deretan bangunan di Jalan Batang Arau yang sekarang sebagian besar dijadikan gudang, deretan ruko di Pasar Mudik, Pasar Gadang atau Pasat Hilir, Jalan Pondok, dan kawasan Kampung Nias. Di Kampung Nias, tepatnya di Jalan Pasar Melintang sebuah bangunan pemukiman pinggir jalan (Street Settlement) yang dibangun 1902 merupakan bangunan lama yang memiliki arsitektur dan ornamen klasik di bagian puncak depan yang unik dan indah. Tapi bangunan yang sebelumnya tidak terawat ini hancur bagian depannya oleh gempa. Ornamennya yang indah hancur bersama runtuhnya bagian teras bangunan berlantai dua itu. Rusak dan hancurnya bangunan-bangunan yang telah menjadi bagian dari budaya kota dan pusaka kota ini perlu menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat Kota Padang, kondisinya sekarang sangat mengkhawatirkan dan penanganannya harus cepat dan diawasi, jika tidak renovasi sembarangan akan menghilangkan mereka semua, katanya. Saat ini sebagian bangunan yang dimiliki secara pribadi sudah mulai direnovasi pemiliknya. Eko mengingatkan agar pemerintah mengawasi renovasi tersebut. Jangan sampai usai gempa Kota Padang berubah wajahnya, karena itu masyarakat yang akan membangun bangunan-bangunan bersejarah harus diberi foto dan ukuran semula, juga dengan penanganan khusus, katanya. Menurut Eko, pihaknya sudah melaporkan assesment building bangunan-bangunan bersejarah tersebut kepada sejumlah pihak terkait, termasuk Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Menteri Perumahan Rakyat, dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Rekomendasi berisi anjuran agar merenovasi mengikuti kaidah konservasi, katanya. Wali Kota Padang Fauzi Bahar mengaku belum membuat planning khusus untuk merenovasi gedung-gedung yang diindungi. Kabarnya ada ahli yang bisa mengembalikan ke bentuk semula, tapi belum ada pembicaraan untuk memugarnya, katanya kepada The Jakarta Post.* (Tulisan Kedua) Runtuhnya Kebanggaan Kristen, Buddha, dan Islam Oleh: Syofiardi Bachyul Jb (The Jakarta Post/ Padang)

Page 18

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Bangunan ini sangat berarti bagi saya, karena di sinilah saya dipermandikan saat umur satu tahun pada 1967, kata Fernandus Alfian kepada The Jakarta Post di depan Kapel Susteran SCMM di Jalan Gereja yang rusak berat akibat gempa 7,9 SR. Alumnus Jurusan Arsitektur, Universitas Parahiyangan Bandung itu segera datang ke Padang sebagai relawan untuk menyelamatkan puing-puing bangunan tua tersebut. Ditemukan hari ketiga pasca gempa 30 September, Fernandes sedang sibuk mengkoordinir pembersihan bekas runtuhan. Kapel Susteran termasuk bangunan tua termegah di Kota Padang yang hancur akibat gempa. Bangunan yang diresmikan pemakaiannya pada 2 Februari 1903 itu hancur bagian belakangnya. Sementara bagian depan retak-retak. Atap genteng lama yang bertuliskan Stoom Pannen Fabriek van Echt di belakangnya berserakan di samping bangunan. Saya merasa bangunan ini begitu megah, bangunan kapel tertua di seluruh Indonesia, sayang sekali runtuh, padahal kami akan merayakan usianya ke-125 Februari tahun depan, kata Suster Leonarda SCMM sedih. Kapel Susteran St Leo merupakan kapel pertama Belanda di Sumatra, sebelum kapel Sibolga. Kapel ini digunakan sebagai gereja khusus suster atau biarawati. Namun karena keindahannya, para pengantin Katolik sering berfoto di depan kapel untuk pre wedding. Hampir seluruh material dan peralatan kapel berasal dari waktu pendirian. Kaca mozaik di jendela, kayu berukir di bawah plafon, hingga genteng, berasal dari abad ke-19. Termasuk kotak besi Tabernakel bertuliskan Deus Meus et Omnia, tempat menyimpan hosti (roti) dan anggur yang masih utuh meski tertimpa dinding. Rumah ibadah Katolik tak hanya kapel yang telah hancur itu. Juga Gereja Katedral dan bangunan gereja lama (kini Wisma Sukma Indah) yang terdapat di depan Gereja Susteran yang didirikan pada 1933. Kedua bangunan tidak bisa dipakai. Akibatnya misa terpaksa dilakukan di samping Katedral dan misa harian dipindahkan ke gedung lain. Pemeluk Buddha Padang juga berduka dengan hancurnya Kelenteng See Hin Kiong di Jalan Kalenteng, Kawasan Pondok. Sejak didirikan 1861 inilah gempa yang merusak kelenteng ini, sebelumnya gempa tidak pernah merusaknya, kata Indra, salah seorang pengurus See Hin Kiong. Kelenteng See Hin Kiong dijadikan tempat ibadah sejak 148 tahun lalu oleh umat Buddha, terutama warga Sumatra Barat keturunan Tionghoa. Gempa 30 September menghentikan aktivitas beribadah di sana. Acara pemindahan Arca Hoedijo dan ToapekongToapekong ke tempat sementara dilakukan Rabu (28/10/2009) lalu. Kami belum tahu akan diapakan kelenteng ini, apakah dijadikan museum atau dipugar, kalau dijadikan museum ini bisa untuk kenangan bagi generasi mendatang betapa dahsyatnya gempa 30 September, kata Indra. Bangunan kelenteng utama masih berdiri, meski tiang-tiangnya bergeser. Tapi atap bangunan kiri dan kanannya ambruk. Arca dewa terjatuh dan lukisan dinding yang dibuat sejak awal berdiri di dinding kiri dan kanan terkelupas bersama jatuhnya plesteran, terutama lukisan yang menggambarkan dewa kebaikan. Lebih 3 ribu umat buddha Padang kehilangan tempat ibadah yang bersejarah itu. Gempa juga merusak dua mesjid bersejarah Kota Padang. Mesjid Gantiang adalah mesjid pertama dan tertua di kota itu yang didirikan atas bantuan Pemerintahan Hindia Belanda pada 1815. Sebelum mesjid bergaya paduan arsitektur surau dengan klasik Eropa ini didirikan, di Kota Padang hanya ada surau-surau kecil. Mesjid bertiang 25 ini rusak sebagian tiangnya. Kerusakan lain adalah di ornament depan yang merupakan ciri khas bangunan itu. Ornamen itu jatuh dan hancur. Mesjid lain yang mengalami rusak sedang adalah Mesjid Muhammadan di Kawasan Kampung Keling, dekat Batang Arau.

Page 19

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Mesjid warisan kelompok Orang Keling, India yang tinggal di sana pada zaman Kolonial ini memiliki bangunan bersitektur gaya India yang dibangun pada awal abad ke-19. Meski mesjid ini masih bisa digunakan, retakan akibat gempa menganga di dinding dan lantai. Gempa 30 September tidak memilih tempat ibadah di Kota Padang . Semua pemeluk agama merasakan dahsyatnya.* (Ditulis 30 Oktober 2009, bahasa Inggris dimuat The Jakarta Post November 2009, bahasa Indonesia di PadangKini.com) Gempa dan Tsunami dalam Folklore Mentawai Oleh: Syofiardi Bachyul Jb (The Jakarta Post/ Padang) Jika gempa terjadi Yosep Sarokdok selalu ingat ucapan ayah atau ibunya di kampungnya Dusun Sarokdok, wilayah adat Sarereiket di pedalaman Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Waktu saya kecil kalau terjadi gempa pada pagi atau dini hari, orang tua saya akan berkata sipenanduk, kalau gempanya sore atau malam mereka berkata akan tumbuh udduat, kata Josep, 32 tahun, yang sekarang tinggal di Padang kepada The Jakarta Post, Sabtu (20/11/2010). Sipenanduk artinya panen buah durian. Orang tuanya (laki-laki) menyebutnya panengge atau gempa yang akan menyebabkan banyak buah durian jatuh. Pesan optimisnya kepada anak-anak, gempa menolong menjatuhkan buah durian yang lebat dan berbatang tinggi itu, kata aktivis NGO Yayasan Citra Mandiri Mentawai itu. Sedangkan udduat adalah jamur yang tumbuh di tanah dan enak dimakan. Orang tua Yosep akan menunjukkan satu tempat yang datar dan juga sedikit berbukit dekat rumah tempat biasa udduat tumbuh. Kalau gempa terjadi pada sore atau malam, kami selalu dipesan ayah atau ibu agar mengambil udduat di tempat itu, besoknya saya ke sana, memang banyak jamur yang bisa dipetik, sebagian baru tumbuh, sebagian sudah besar, jadi bisa direbus untuk makanan, ujarnya. Kisah lain yang diceritakan turun-temurun di Sarereiket adalah pesan kalau terjadi gempa besar maka larilah ke pohon atau kebun pisang. Sebagai kampung yang terletak di tengah hutan dengan banyak pohon besar, kebun pisang tentu lebih aman. Jika pohon pisang rubuh oleh guncangan gempa tentu tidak akan mematikan. Pesan itu terkait dengan pendirian uma atau rumah adat suku mentawai. Dikisahkan, dahulu kala saat mendirikan rumah adat berbentuk panggung itu, seorang anak laki-laki yatim-piatu bernama Ulu Taek disuruh menggali lubang untuk tiang utama oleh dua kakak angkatnya. Ketika kedua kakak angkat laki-lakinya yang tidak suka dengannya meletakkan tiang utama yang runcing itu, si Ulu Taek berhasil lari ke atas. Beberapa kali hal itu terjadi. Pada akhirnya si Ulu Taek berpesan kepada istri dan anaknya bahwa ia akan membuat gempa yang bisa menenggelamkan uma tersebut sebagian ke dalam tanah, karena itu ia menyuruh lari ke pohon pisang. Akhirnya ketika kedua kakaknya berusaha kembali membunuhnya, Ulu Taek menciptakan gempa yang menenggelamkan sebagian uma yang sedang mereka buat yang mengakibatkan kedua kakaknya tewas. Sedangkan istri dan anaknya selamat karena lari ke kebun. Pesan dari cerita ini kalau terjadi gempa besar maka lari ke pohon pisang, begitu yang dicerita turun-temurun, kata Yosep yang sekarang menjadi Koordinator Lumbung

Page 20

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Derma, lembaga koalisi lebih selusin NGO di Sumatera Barat untuk bantuan tsunami Mentawai. Pesan lain, kata Yosep, cara orang Mentawai membuat rumah adat dengan tidak meletakkan tiang di atas tanah, tapi memancangkannya dalam-dalam. Tujuannya agar rumah tidak rusak akibat gempa. Folklore lain adalah sebuah lagu tua yang dinyanyikan turun-temurun oleh suku mentawai di Siberut untuk menghibur anak-anak. Lagu berjudul Teteu Amusiat Loga itu kini terkenal karena dihubungkan dengan pesan mitigasi gempa dan tsunami: tingkah laku binatang sebelum terjadi gempa. Begini syair lagu itu dan artinya. Teteu Amusiat Loga Teteu... Teteu amusiat loga Teteu katinambu leleu Teteu girisit nyau-nyau Amagolu teteu tai pelebuk Arotadeake baikona Kuilak pai-pai gou-gou Lei-lei gou-gou Barasita teteu Lalaklak paguru sailet. Gempa Tupai Mencicit Gempa... Gempa tupai mencicit Gempa gemuruh datang dari bukit Gempa tanah longsor dan rusak Roh kerang laut sedang marah Karena pohon baiko (pohon yang kulitnya untuk bahan membuat cawat) telah ditebang Ekor ayam terlihat bergoyang Ayam-ayam berlarian Karena gempa bumi datang Orang-orang berlarian. Nikman Sanene, 30 tahun, mengaku sering mendengar orang-orang tua menyanyikan lagu itu ketika ia kecil. Itu ketika ia tinggal di kampungnya Desa Saibi Samokop, Pulau Siberut bagian Selatan hingga tamat SMA. Ini bahasa mentawai lama, makna tepatnya agak sulit dipahami, saya sepakat artinya berkaitan dengan gempa, hanya saja lagu ini biasa dibawakan dengan gembira, katanya. Masalahnya Teteu memiliki beberapa pengertian, tergantung konteks. Teteu bisa berarti Kakek atau Nenek, atau nenek makhluk halus, tapi bisa juga gempa. Banyak orang Mentawai setuju arti Teteu di lagu ini adalah gempa.

Page 21

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Yang menarik dari suku Mentawai yang jumlahnya hanya sekitar 50 ribu adalah memiliki kekayaan folk tale (dongeng rakyat). Dibandingkan dengan suku lainnya di Indonesia, Mentawai termasuk paling banyak memiliki folk tale. Bahkan mereka memiliki istilah sendiri terhadap cerita rakyat, yaitu pumumuan. Cerita rakyat Mentawai lain yang bisa dikaitkan dengan bencana gempa dan tsunami adalah dua kisah terkenal, kisah terbelahnya Pulau Pagai menjadi dua bagian, Utara dan Selatan, dan kisah menjauhnya Pulau Beriloga atau yang disebut orang luar Pulau Sanding. Kisah terbelahnya Pulau Pagai yang sekarang dipisah selat selebar 770 meter menurut pumumuan berawal dari sebatang pohon raksasa yang tumbuh di sebelah timur selat itu. Karena pohon itu dijadikan tempat bersarang seekor burung raksasa pemakan manusia, maka orang-orang pun menebangnya. Pohon itu akhirnya tumbang, membelah pulau menjadi dua sehingga air laut masuk. Sedangkan kisah menjauhnya Pulau Beriloga dari Pulau Siberut hingga kini terletak paling selatan Pulau Pagai (dekat Pulau Enggano) karena kesaktian seorang Paggetasabau, orang yang dianggap sebagai Sikerei (dukun) pertama di Mentawai. Keponakannya meminta sebuah tanjung dilepaskan seperti kapal ke tengah laut. Tanjung itu akhirnya benar-benar lepas dan menjauh sehingga menjadi pulau terpencil. Tentu saja kisah-kisah folklore tersebut tidak bisa diterima logika berkaitan dengan kejadian nyata. Tetapi simbol-simbol seperti kayu rubuh, daratan terbelah, air laut naik, pulau terpisah tidak tertutup kemungkinan tercipta karena kejadian di masa lampau. Namun yang aneh dari kehidupan suku Mentawai adalah kenyataan bahwa mereka di masa lalu tidak pernah mendirikan kampung di pinggir pantai. Cerita turun-temurun menyebutkan kampung orang Mentawai berasal dari pedalaman Pulau Siberut, yaitu Kampung Simatalu. Mereka berkembang dan diaspora ke pulau Siberut sendiri, lalu ke Pulau Sipora dan Pulau Pagai, juga mendirikan kampung-kampung di tengah hutan, jauh dari pantai. Pemindahan sejumlah kampung ke pantai dimulai awal 1914 oleh pemerintah Belanda dan Zending Protestan. Lalu besar-besaran melalui proyek PKMT (Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing) Departemen Sosial era Soeharto pada 1970-an. Sejumlah kampung dipindah paksa ke pesisir. Tentu ada alasan nenek moyang kami dulu tinggal jauh dari pantai padahal mereka hidup di pulau, kemungkinan mereka takut tsunami di masa lampau, kata Kortanius Sabeleake, tokoh Mentawai yang juga mantan Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai. Catatan sejarah pada 1797 gempa bersumber di pantai timur Pulau Siberut pernah menimbulkan tsunami dahsyat di Kota Padang dan Pariaman. Gempa dahsyat kedua pada 1833 yang juga menimbulkan tsunami. Namun tidak ada catatan apa yang terjadi di Kepulauan Mentawai pada kedua bencana itu. Setidaknya sebuah desa di Pagai Utara mencatat dengan nama yang diberikan masyarakat kepadanya, Silabu. Desa ini hancur oleh terjangan tsunami 25 Oktober 2010 yang menewaskan 7 orang. Silabu artinya pulau berbentuk labu di depan desa yang kemungkinan terbentuk akibat hantaman tsunami 1833. Sejarah tidak ditulis pada zaman dulu oleh masyarakat tradisional seperti Mentawai. Tetapi folklore seperti dongeng, nyanyian, nama tempat, dan kebiasaan hidup turun-temurun bisa mencatat kejadian masa lalu yang mestinya bisa dijadikan peringatan menghindari bencana. Juga tak kalah penting menjadi simbol hidup akrab dengan bencana. Apalagi bencana gempa dan tsunami yang mematikan selalu mengancam penduduk di Kepulauan Mentawai. *

Page 22

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Orang Mentawai Suka Mendongeng Orang mentawai memiliki banyak dongeng rakyat. Jika dibandingkan dengan sukusuku lainnya di Indonesia, suku ini termasuk memiliki dongeng terbanyak. Bahkan memiliki nama khusus untuk itu, yaitu Pumumuan. Bruno Spina, seorang pastor asal Italia yang pernah bertugas di Mentawai mengumpulkan 67 dongeng rakyat yang dicatatnya dari tuturan penduduk asli. Dongeng ini dibukukan dengan judul Mitos dan Legenda Suku Mentawai yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1981. Pada 2003 Yayasan Citra Mandiri Mentawai dan tabloid lokal Puailiggoubat mengadakan sayembara penulisan pumumuan. Sekitar 30 dongeng rakyat baru yang belum ditulis Bruno Spina muncul yang ditulis orang Mentawai sendiri. Ketua Aliansi Masyarakat Adat Peduli Mentawai, Urlik Tetubekket yang menjadi salah seorang juri sayembara mengatakan, sebenarnya masih banyak dongeng rakyat yang belum ditulis. Dongeng-dongeng ini sebenarnya bisa hilang seiring dengan meninggalnya orangorang tua mentawai yang lebih tahu banyak cerita, ujarnya kepada The Jakarta Post. Menurut Urlik yang juga seorang pendeta di gereja GKPM (Gereja Kristen Protestan Mentawai) Saurenuk, Sipora, orang-orang tua mentawai suka bercerita dengan anak dan cucunya, terutama jika sedang duduk-duduk di beranda uma atau rumah adat suku. Itulah yang membuat cerita rakyat tumbuh subur, katanya. Orang Mentawai memiliki lebih 50 nama suku (marga), misalnya Saleleubaja, Samaloisa, Tetubekket, Sakerebau, dan Satoko. Masing-masing memiliki dongeng nama dan terbentuknya suku. Mereka juga memiliki kisah terbentuknya kampung, bahkan juga kisah asal-usul orang Mentawai dan bahkan asal-usul manusia. Meski ini berkaitan dengan sejarah, namun kisahnya dibumbui dongeng yang kadangkala tidak masuk akal. Pumumuan di Mentawai memiliki tema yang sangat beragam yang berhubungan dengan aktivitas budaya dan lingkungan sekitar. Tak hanya tentang asal-usul aktivitas budaya seperti kebiasaan membuat tato, meruncing gigi, membuat sampan, uma, panah, dan sebagainya, juga legenda terbentuknya pulau, persahabatan antar manusia, manusia dengan binatang. Tentu tak ketinggalan kisah hubungan manusia dengan roh penguasa hutan dan laut. Yang menarik, orang mentawai juga memiliki fabel berbagai kisah binatang yang hidup di kepulauan itu. Fabel tentang burung, kura-kura, rusa, buaya, siput, hiu, monyet, ular, biawak tak kalah menarik dari kisah kancil di dunia Melayu. Pumumuan membuktikan orang-orang Mentawai memiliki budaya bercerita yang tinggi. Sayang tak banyak orang-orang dunia luar yang tahu. (syofiardi bachyul jb) (Tulisan ini dimuat versi bahasa Inggris di The Jakarta Post Desember 2010 dan versi bahasa Indonesia di PadangKini.com)

Jurnalisme Naratif (Narrative Journalism) Oleh: S. Metron Madison, S.SNarrative journalism merupakan bentuk cangkokan, hasil perkawinan silang antara keterampilan penuturan cerita dengan kemampuan seorang jurnalis dalam membuat drama, dan kegiatan mengamati segala orang, tempat, dan kejadian, yang nyata di banyak tempat

Page 23

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

dunia- Robert Vare, wartawan yang pernah jadi redaktur majalah The New Yorker dan The Rolling Stones Creative nonfiction. Dikenal juga dengan: Literary Journalism (jurnaslime sastrawi), Long Form Journalism (jurnalisme mendalam), New Journalism (jurnalisme baru). Jurnalisme ini tidak mengasumsikan bahwa pembaca robot (Mark Kramer). Pembaca memiliki sekarung emosi yang bisa diaduk-aduk. Merupakan bentuk tercanggih dari penulisan nonfiksi, terutama dalam mengontrol kekuatan fakta, untuk teknik pengontruksian fiksi yang dilakukan secara naratif: dalam menata adegan, lukisan multidimensi karakter, dan terlebih penting, penyampaikan sebuah kisah yang menghadirkan suara (voice) yang ingin didengar pembaca. (Tom Wolfe) 5W 1 H ala Jurnalisme Naratif Who = karakter What= plot When= kronologi Why= motif How = narasi (Where=lokasi) Yang membedakan dengan Jurnalisme Konvensional: 1. Pemakaian konstruksi adeganperadegan; 2. Pencatatan dialog secara utuh; 3. Pemakaian sudut pandang orang ketiga; dan 4. Catatan yang rinci terhadap gerak tubuh, kebiasaan, dan pelbagai simbol dari status kehidupan orangorang yang muncul dalam ceritanya. 5. Memiliki hubungan emosi dengan pembaca 6. Memiliki tujuan melalui: tema, aksi dan alasan Unsur penting dari jurnalisme naratif: isi akurat, informasi melalui penelitian, serta menarik untuk dibaca. memperlihatkan emosi manusia dan berada pada situasi pada nyata. Gaya ini menyuguhkan kisah pribadi di belakang kisah publik. Memadukan fakta reportase dengan gaya penulisan fiksi. immersion reporting (reportase mendalam) Kenapa penting? Argumentasi Narasi vs Argumentasi Konvensional 1. Beri pembaca berita yang mereka inginkan. Bukan, beri pembaca apa yang mereka butuhkan. (Givereaders the news they want. No, give them what they need. 2. Grafik adalah jawabannya. Bukan, penulisan adalah jawabannya. (Graphics are the answer. No, writing is the answer.) 3. Ini sebuah suratkabarnya para penulis. Bukan, ini sebuah suratkabar para editor. (This is a writers' paper. No, it's an editors' paper.) 4. Jurnalisme investigastif. Bukan, jurnalisme sipil (Investigative journalism. No, civic journalism.) 5. Kisah yang panjang. Bukan, kisah yang pendek. (Longer stories. No, shorter stories.) 6. Tekankan di penulisan. Bukan, reportase. (Concentrate on writing. No, reporting.)

Page 24

PJTL GENTA ANDALAS 20117.

Jurnalisme Budaya

Tingkatkan kualitas. Bukan, arahkan ke profit. (Improve quality. No, focus on profits.) (Roy Peter Clark) Problem terbesarnya: Bagaimana Menuliskannya? Lukiskan, bukan katakan Jika dalam penulisan berita yang diutamakan ialah pengaturan fakta-fakta, maka dalam penulisan naratif kita dapat memakai teknik ''mengisahkan sebuah cerita''. Penulis melukis gambar dengan kata-kata: ia menghidupkan imajinasi pembaca; ia menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita itu dengan membantunya mengidentifikasikan diri dengan tokoh utama. Jauhi Piramida Terbalik 'Piramida terbalik'' (susunan tulisan yang meletakkan informasi-informasi pokok di bagian atas, dan informasi yang tidak begitu penting di bagian bawah sehingga mudah untuk dibuang bila tulisan itu perlu diperpendek) sering ditinggalkan. Terutama bila urutan peristiwa sudah dengan sendirinya membentuk cerita yang baik. Hindari Kata Keterangan/Kata Sifat Narasi yang bagus memaparkan soal yang kongkret dan spesifik. Salah satu caranya adalah dengan menghindari kata-kata sifat seperti tinggi, kaya, cantik. Kata sifat adalah musuh bebuyutan kata benda, kata pujangga Prancis Voltaire. Menyapukan warna di atas kanvas (Show-Not-Tell) Bagaimana cara belajar membuat deskripsi yang kuat dan hidup? Ubahlah pernyataan yang kering dan kabur menjadi paragraf berisi ilustrasi memukau. Antara Agama dan Budaya Batak Parmalim, Bagaimana Status Mereka? Oleh: Andika Bakti Tahukah anda mengenai Parmalim? Agama ini merupakan sebuah kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang tumbuh dan berkembang di Sumatera Utara. Mereka percaya Tuhan Debata Mulajadi Nabolon adalah pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh "Umat Ugamo Malim" atau Parmalim. Parmalim berasal dari daratan Tapanuli Utara pada 21 April 1921. Parmalim, ini termasuk ke dalam kepercayaan yang minoritas di Sumatera Utara, begitu juga di Indonesia. Kini, masuknya ajaran agama, terutama Kristen yang diajarkan oleh Nomensen membuat kepercayaan ini semakin terpinggirkan. Keberadaan Parmalim memang hampir berlalu dari ingatan sejarah. Tak banyak lagi orang mengenal atau pernah mendengar Parmalim. Seperti laporan yang pernah ditulis oleh Ahmad Arif, seorang tokoh masyarakat di harian Kompas tentang ritual kaum Parmalim. Di Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, ternyata masih ada ribuan pengikut Parmalim. Mereka datang dari berbagai belahan nusantara. Mereka berkumpul di bale Partonggoan atau balai peribadatan dan melakukan upacara ritual mereka dibawah pimpinan raja Marnakok Naipospos (cucu raja Mulia Naipospos), sang pemimin spiritual umat Parmalim saat ini (Kompas 19 September 2005). Laporan tersebut mengingatkan kita dengan tanah Batak. Karena bagaimanapun, sekitar tahun 1883, selain mengandung muatan teologia dalam sejarahnya, Parmalim juga

Page 25

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

mengandung muatan lokal budaya Batak. Bahkan ia pun pernah menjadi suatu gerakan politik seperti gerakan Parhudamdam untuk melawan pemerintah kolonial Belanda. Parmalim hingga hari ini masih ada pengikutnya, meskipun sampai kini pemerintah belum mengakuinya sebagai agama resmi di Indonesia. Karenanya, tulisan saya ini tidak dalam posisi dukung-mendukung, kecuali hanya sebagai wacana dari sebuah ingatan sejarah. Jika pemerintah tidak mengakuinya sebagai agama resmi di Indonesia tentunya punya alasan kuat, sebagaimana mereka pun punya alasan mengapa sampai hari ini menjadi penganut Parmalim. Di Kota Medan, Sumatera Utara sendiri mencatat jumlah penganut Parmalim berjumlah 400 jiwa yang terdiri dari 90 kepala keluarga. Namun, tak semua dari penganut Parmalim ini bernasib baik untuk masalah status kependudukan. Adalah Pulung Sarait, warga asal Medan, Sumatera Utara. Ia harus melakukan sumpah pegawai, namun tidak mengatasnamakan ajaran agama Islam, Kristen, dan Budha saat itu hanya tiga agama yang diakui negara. Ia melakukan sumpah sesuai ajara yang dihayatinya, Parmalim. Sesuai Undang-Undang Kepegawaian No. 8 tahun 1974, Bab 3 Pasal 27, menjelaskan bahwa pegawai dapat melakukan sumpah tidak menggunakan tiga kepercayaan yang diakui negara. Oleh karena itu Pulung dapat melakukan sumpahnya sebagai karyawan Pegawai Negeri Sipil di salah satu instansi pemerintahan di Sorong , Irian Barat. Setiap warga negara wajib memiliki kartu identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP). Terdapat kolom agama di dalamnya, untuk mendapatkan satu lembar KTP, Ia harus memilih agama saat ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi di Jakarta. Kristen menjadi pilihan, bukan karena ingin mempelajari, memperdalam, atau pindah kepercayaan. Melainkan karena keharusan untuk mencantumkan agama di salah satu kolom. Parmalim bukan agama yang bisa dicantumkan. Hingga usai masa perkuliahnya, embel-embel Kristen terus bersamanya. begitu Ia diterima di salah satu lembaga pemerintahan di Sorong, Irian Barat, Ia harus bersumpah sesuai agama Kristen seperti yang tercantum pada KTP-nya. Namun mentah-mentah Ia menolaknya. Saya Parmalim, bukan Kristen. Tegas Pulung. Lantas kenapa di KTP Anda tercantum Kristen? Kisah Pulung menirukan pertanyaan pihak instansi. Ia meminta untuk dilakukan sumpah sesuai Parmalim, bukan Kristen. Setalah pihak instansi mendengar penjelasan Pulung, sumpah berlangsung dengan lancar. Sesuai harapannya untuk disumpah menggunakan kepercayaan yang dihayati, Parmalim. Hal serupa juga dialami Ruslina br Marpaung, ia mengatakan sempat mengalami kesulitan saat mengurus KTP di lingkungannya. Warga Jalan Seksama, Medan, Sumatera Utara ini juga mengaku sering mendapat cibiran dari tetangganya. Kini, kondisi tak lagi seburuk seperti yang pernah dialaminya beberapa tahun silam dalam pengurusan KTP. Pun ia tetap tidak bisa mencantumkan Parmalim pada kolom agama. Tanda () menjadi penggantinya. Sesuai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, Pasal 61 Ayat 2, tentang Administrasi Kependudukan. Bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan. Dari Undang-undang di atas, pelayanan seperti apa yang dimaksudkan? Dilayani sebatas pada administrasi? Kemudian bagaimana soal hak-hak dan kewajibannya sebagai bagian dari warga negara Indonesia? Apakah tetap sama atau mungkin diikutsertakan, namun dengan tanda (-) ini juga?.

Page 26

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

TTL ASAL LPM

: Sukaramai, 28 Mei 1991 : SUARA USU

UNIVERSITAS : Universitas Sumatera Utara

ANDIKA BAKTI

JABATAN FAK/JUR ALAMAT NO. TELP/HP E-mail

: Redaktur Foto : ISIP/Ilmu Komunikasi : Jl. Universitas No. 32 B : 0878 6840 0767 : [email protected]

Remaja Bermalam Minggu dengan Randai Opini Arjuna Nusantara, reporter LPM Suara Kampus Sekarang kita berada di zaman globalisasi. Mereka yang tidak hati-hati akan larut menghanyut di aliran zaman. Kesalahan dalam memaknai akulturasi budaya menjadi masalah. Menelusuri perjalanan budaya, bagi yang paham akan memekik menyaksikan. Budaya di Indonesia yang beragam dan menjadi ciri khas mulai terkikis. Apalagi Minangkabau, tidak bias dipungkiri. Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah (ABS-SBK) tenggelam dikubur zaman. Siapa yang berani membantah ini. Kita juga tidak menuntut perempuan limpapeh rumah gadang untuk memakai kain kuruang basibak. Tidak pula menuntut setiap pesta harus menghadirkan randai, saluang, rabab dan lainnya. Modernisasi penting. Tapi apakah modernisasi pakaian seperti kebanyakan remaja minang sekarang? Apakah pergaulan seperti yang kita saksikan? Bukan berpakaian setengah jadi yang sedang tren. Bukan pergaulan tak tahu malu. Merayaplah di balik cerup malam. Telusuri pantai purus. Deburan ombak seiring dengan deburan hasrat yang merekah di dada pasangan muda-mudi. Tidak hanya di bawah pondok payung, di bebatuan yang terbuka pun tak masalah. Atau naikilah bukit lampu yang remang, ada cerita mesum yang birahi. Jangan lupa singgah di pondok-pondok kecil pantai nirwana. Tempat yang mesra untuk bercinta. Tidak puas? Datanglah ke kafe Fellas, ada

Page 27

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

penari talanjang bulek. Memilukan memang. Itu realita, bukan cerita. Realita di ranah kita. Ranah minang. Ini tidak akan terjadi jika masyarakat tidak menyediakan payung-payung rendah di taplau. Tidak akan terjadi jika masyaraat mengusir pasangan muda-mudi yang bermesraan di batu-batu pantai. Tidak akan terjadi jika bukit lampu itu diurus dengan baik dan oleh orang baik-baik. Mengambil arti, nilai itu benar yang sudah tidak melekat dihati masyarakat. Tidak ada yang peduli. Dibuai kesusahan hidup. Kebutuhan hidup semakin berat. Segala cara dihalalkan. Meski kadang mengabaikan nilai budaya dan agama. Maka sediakanlah tempat mesum. Tempat tersuruk di tengah kampung. dengan ikhlas, pasangan muda-mudi keluarkan uang 25 ribu sampai 35 ribu untuk numpang bermesum. Aman. Penyedia tempat dapat uang, pasangan mesum puas. Tiada ujung jika kita bicara kasus. Itu hanya pekikan dari penulis sebagai anak bujang ranah ini. Miris melihat remaja yang suka hura-hura tak menentu. Masih adakah remaja minang yang kenal petatah-petitih? Atau dengan seluk beluk budaya ABS-SBK? Malu dengan budaya sendiri, itu yang kita baca. Bali diminati bukan sekedar keindahan alam. Budaya Bali yang hidup itu yang menjadi daya tarik. Ritual leluhur dan berpakaian. Kalau keindahan alam, Ranah Minang tak kalah indah. Remaja Bermalam Minggu dengan Randai Tapi kita boleh berbangga dengan apa yang dilakukan sekelompok remaja di Nagari Lansek larangan Sungai Duo kecamatan Sitiung kabupaten Dharmasraya. Di sini, remaja bermalam minggu dengan dendang minang dan cerita rakyat. Di saat remaja kampung sebelah merayap dengan sepeda motor kredit orang tuanya, remaja Sungai Duo malah menuju halaman mesjid. Malam minggu dengan hura-hura tidak laku di sini. Mereka membuat lingkaran, berputar, bersorak, menari dan bernyanyi. Peran datuak dan bundo kanduang dimainkan. Sesuai alur cerita. Cukup tiga jam. Dalam latihan, ada yang tersipu malu. Ada yang begitu lincah memukul kain di selangkangannya. Hepta, hepta. Menurut pengakuannya, remaja yang tergabung di grup randai ini tidak ada unsur paksaan. Mereka hanya ingin terjun langsung dalam melestarikan budaya. Mulia. Tapi bukan berarti semua remaja di nagari ini seperti itu. Setidaknya, ini patut dicontoh oleh remaja lainnya. Dan tugas pemerintah adalah memberi dukungan secara moril dan materil. Karena ini bisa mencegah terjadinya kasuskasus yang dikemukan di atas. Sekurang-kurangnya, remaja harus kenal dengan budayanya. Masih di sekitar kabupaten Dharmasraya, ada satu kampung, Sungai Atang namanya. Di kampung campuran Minang-Jawa ini, ada tempat yang nyaman untuk berduaan. Sehingga jadi objek pasangan muda-mudi untuk bermesra ria. Hebatnya, masyarakat tidak terima itu. Seringkali terdengar penangkapan pasangan mesum oleh warga di sini. Tidak main-main. Pasangan mesum diarak sepanjang kampung. tidak dilepas hingga orangtuanya datang. Jarang sekali yang tidak dinikahkan. Apakah masyarakat kota tidak bisa melakukan ini?

Page 28

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

TTL ASAL LPM

: Sungai Duo, 14 Maret 1991 : SUARA KAMPUS

ARJUNA NUSANTARA

UNIVERSITAS : IAIN Imam Bonjol Padang JABATAN FAK/JUR ALAMAT : Reporter : Dakwah / Jurnalistik

: Jln. M. Yunus Lubuak Lintah, Komplek IAIN Imam Bonjoll Padang NO. TELP/HP : 085356429142 E-mail : [email protected]

Kekerabatan Suku Batak Oleh : David Vandi Hutagalung Kebudayaan Batak Toba merupakan salah satu kebudayaan Indonesia, pada umumnya orang batak memiliki jiwa pemberani, keras dan cerdas. Jika kita perhatikan orang batak biasanya sangat mengutamakan pendidikan kepada anaknya. Orang batak Toba itu bersikap kasar dan keras tetapi pada umumnya orang batak hatinya tulus tidak ada yang tersembunyi didalam hati mereka, mereka tidak bisa menyimpan perasan mereka langsung mengungkapkan apa yang ada di dalam hati mereka, keterbukaan dan kejujuran yang mereka memiliki membuat mereka biasanya dapat dipercayai oleh orang lain. Orang batak mau bekerja keras untuk mencukupi pendidikan anaknya bahkan mereka mau menjual harta mereka dan hidup susah supaya anak mereka dapat memperoleh pendidikan supaya dapat membangkitkan taraf hidup keluarga mereka. Orang batak Toba memiliki rasa persaudaraan yang tinggi kepada orang batak lainnya terutama kepada se marga. Dalam kehidupan sosial budaya, mereka mengenal pengayoman. Bahwa dalam lingkungan masyarakat batak harus membentuk kelompok yang sifatnya mengayomi, melindungi, dan memberi kesejahteraan bagi anggotanya. Oleh karena itu, di mana pun orang batak berkumpul pasti membentuk sebuah persatuan.

Page 29

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak khususnya kaum laki-laki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga. Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, dengan memiliki rasa persaudaraan orang batak membentuk suatu organisasi se- marga. Hagabeon adalah ungkapan yang berarti orang semoga mempunyai banyak keturunan dan panjang umur. Istilah ini juga biasanya diucapkan kepada pengantin, agar dapat membangun rumah tangga. Hagabeon pada zaman dahulu diartikan agar orang batak dapat bertahan dalam peperangan dan mempunyai kekuatan kebersamaan. Saur Matuabulung mengharuskan mereka mempunyai keturunan yang banyak. Hasangapon merupakan ungkapan yang artinya orang batak mempunyai kemuliaan, karisma untuk meraih kejayaan. Orang batak berlomba untuk meraih kemuliaan dan kehormatan juga jabatan dalam rangka mewujudkan budaya Hasangapon. Hamoran adalah istilah untuk menyebut kekayaan. Orang batak diharuskan bekerja keras untuk memperoleh kekeayaan. Hamajuon adalah istilah untuk kemajuan orang Batak. Mereka akan berlomba untuk menuntut ilmu bahkan sampai merantau. Nilai budaya ini membentuk mereka menjadi masyarakat yang kuat dan cerdas. Mereka sanggup bermigrasi ke seluruh pelosok tanah air demi menuntut ilmu. Patik Dohot Ukum adalah aturan hukum adat yang berlalu dalam masyarakat batak toba. Hukum tersebut berlaku secara lokal. Dengan begitu suku batak Toba adalah suku yang mempunyai sifat kekerabatan yang tinggi terhadap silsilah atau pun se marga mereka, dengan begitu suku batak Toba menjadi suku yang kuat yang tidak dapat terpecah oleh suatu masalah, Sifat mereka yang keras dan fisik yang kuat membuat suku batak tetap bertahan hingga saat ini. Orang batak Toba menganggap satu marga mereka adalah seperti saudara kandung karena kebudayaan batak mengajarkan begitu bahwa sesama orang batak harus menjunjung tinggi rasa solidaritas, harga diri, berusaha keras dan bertekad kuat untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul, yang artinya dapat menjaga kedekatan dengan tetangga. Adat. Suku batak toba menyusun sistem kekerabatan tidak hanya berdasarkan hubungan darah saja, namun juga berdasar pada kasih sayang dan kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu, yaitu Hula-hula, Dongan tubu, Boru. yang artinya saling menghormati dan menyayangi serta menjaga kekerabatan dengan tetangga yang saling tolong menolong. Walaupun tidak bersaudara kandung mereka menganggap kekerabatan sangat penting dengan begitu jiwa kebersamaan dan persaudaraan tersebut dapat terbangun dan mereka mengajarkan hal tersebut kepada anak dan bahkan cucu mereka.

Page 30

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

DAVID VANDI HUTAGALUNGTTL ASAL LPM : Medan, 05 Agustus 1989 : Pers Mahasiswa Kreatif

UNIVERSITAS : Universitas Negeri Medan JABATAN FAK/JUR ALAMAT : Reporter : FIP / PLS : Jln.Binjai km 13,5 Pasar Kecil, Gg.Alwarib 20351 : 085762535063 : [email protected]

NO. TELP/HP E-mail

Menguak Situs dan Cagar Budaya Inhu Oleh: Didi Wirayuda Jarak kota Pekanbaru ke Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) sekitar 260 kilometer. Hampir enam jam perjalanan, kami sampai di Kecamatan Kota Lama, Inhu, dan rehat sejenak di depan sebuah gerbang bercat kuning tepat di sisi jalan Lintas Timur. Di gerbang itu tertulis Situs Lokasi Makam Raja-raja Indragiri Hulu, kami sepakat masuk. Dari gerbang, jaraknya sekitar dua kilometer ke lokasi pemakaman. Ada banyak pemukiman warga di sana. Suasana agak sepi saat masuk ke lokasi pemakaman. Tak ada orang berkunjung atau ziarah. Lokasinya cukup bersih, namun agak semak. Kata Guntur, penjaga makam, lokasi ini hampir mencapai 16,9 hektar, sedangkan lokasi makam sekitar 13 hektar. Semuanya ada sekitar 23 makam yang harus dirawat, katanya. ***

Page 31

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Awalnya cerita ini dimulai dari kerajaan Indragiri yang didirikan oleh Raja Kecik Besar Malikul Muluk, yaitu Sultan Kerajaan Malaka pada tahun 1298 Masehi. Saat itu, Raja Kecik Besar mengangkat seorang Putra Mahkota, namanya Raja Kecik Mambang alias Raja Marlang, menjadi sultan di tanah Indragiri. Ia memerintah kerajaan dari tahun 1289-1337 masehi. Setelah wafatnya Raja Kecik Mambang, maka dinobatkan Raja Iskandarsyah sebagai Sultan Indragiri kedua yang diberi gelar Narasinga I. Ia pimpin kerajaan dari tahun 13371440 masehi. Tiga tahun memerintah, Narasingan I wafat, naiklah Sultan Jamaluddin Inayatsyah sebagai Sultan Indragiri ketiga, gelarnya Raja Merlang II. Ia memerintah kerajaan dari tahun 1440-1473 masehi. Ketiga sultan tersebut masih menetap di Malaka, mereka hanya datang sesekali ke Indragiri. Sedangkan tampuk pemerintahan kerajaan, dilimpahkan pada Patih Perdana Menteri. Kurun waktu itu membuat Patih Perdana Menteri kewalahan memimpin kerajaan. Oleh karena itu, Patih Perdana Menteri bersama Datuk Tumenggung Kuning menjemput Paduka Maulana Sri Sultan Alaudin Iskandarsyah Johan Zikrullah Fil Alam, untuk menggantikan tampuk kesultanan. Menurut hikayatnya itu dijemput dengan rakit kulim, kata Saharan. Paduka Maulana Sri Sultan Alaudin Iskandarsyah Johan Zikrullah Fil Alam lebih dikenal dengan sebutan Narasinga II. Dalam perjalanannya dari Malaka ke Indragiri, Narasinga II ini singgah di Pekan Tua (Sekarang Indragiri Hilir). Di sinilah ia pertama kali mendirikan istana kerajaan. Ia sultan pertama yang bermukim di tanah Indragiri dan memerintah dari tahun 1473-1557 Masehi. Dimasa Paduka Maulana Sri Sultan Alaudin Iskandarsyah Johan Zikrullah Fil Alam, terjadi dua kali pemindahan istana atau pusat pemerintahan kerajaan, yaitu dari Pekan Tua pindah ke Kota Lama dan pindah lagi ke Japura. Ia meninggal dunia di Kota Lama pada tahun 1532 masehi, tampuk kekuasaan digantikan oleh Sultan Ussuluddin Hasansyah, sebagai Sultan Indragiri yang ke lima dengan masa pemerintahan dari tahun 1532-1557 masehi. Sejak tahun 1298 hingga 1945, tercatat sekitar 25 kesultanan yang pernah bertitah untuk menjalankan roda pemerintahan di tanah Indragiri. Kami tertarik melihat salah satu makam di situ, bentuknya unik dengan ukuran lebih panjang dari makam lain. Pagar yang mengitarinya hampir sama dengan pagar makam-makam lain. Pin-tunya digembok dan tertutup rapat. Di samping kiri pintu masuk ada tembok berkeramik hitam, disitu tertulis Makam Andi Sumpu Muhammad, gelarnya Panglima Jukse Besi, panglima Narasinga II. Ukuran awalnya kurang jelas, kata Guntur. Ada yang mengatakan panjangnya mencapai tujuh meter dengan mayat dilipat tiga. Tapi kata Saharan, perwakilan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, panjang makam itu sekitar 12 meter dengan diameter sekitar empat meter sekian. Itu tidak pernah berubah, katanya. Sayangnya kami tak banyak dapat informasi seputar makam itu. Menyinggung soal kebersihan lokasi Guntur enggan berbicara, Langsung aja tanya ke Dispora, katanya. Renovasi makam dimulai sejak tahun 2000. Masa Bupati Raja Tamsir. Namun hingga saat ini belum ada perkembangan. Untuk merawat lokasi, kata Guntur ada enam orang, mereka swadaya sendiri untuk perawatan makam dan lokasi sekitar. Kata Suparto, staf BP3, saat ini mereka terkendala dana. Pihaknya sudah coba ajukan anggaran ke pihak Dinas Pendidikan Olahraga dan Pariwisata (Dispora) untuk perawatan, namun kucuran dana tak kunjung ada. Meski demikian, mereka tetap jaga lokasi pemakaman semampunya. Dua minggu sekali kami gotong royong bersihkan makam, katanya. Menurut cerita Guntur, pernah dari pihak Pemerintah Provinsi pantau langsung ke lokasi, katanya ada anggaran untuk perawatan, tapi pihak Dispora mengaku belum ada dana. Inisiatif untuk melaporkan itu ke pemerintah pusat sempat terpikirkan. Namun mereka

Page 32

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

terkendala dengan sertifikat tanah, tak ada loporan secara khusus tentang legalitas tanah makam itu. Kami sudah minta kejelasannya, tambahnya. Setiap bulan mereka harus buat semacam laporan dan diajukan ke pemerintah setempat. Tahun 2000 pemerintah setempat membantu dalam proses pembangunan, seperti mushala, MCK, gerbang dan papan nama. Dari pihak BP3 tidak bisa memberikan bantuan lebih, mereka hanya mampu bantu dalam bentuk teknis dan peralatan kerja. Ada dua makam yang dibantu BP3 dua makam lainnya dibawah naungan Dispora. Ya kita ikhlas aja ngerjakan itu, tambah Suparto. Dari enam orang petugas kebersihan, hanya empat orang yang aktif. Penghasilan yang kurang menjadi alasan mereka untuk sibuk di luar. Saharan, mengatakan untuk perawatan mereka hanya membantu dalam berbentuk teknis, ini tergantung dari jumlah dana yang ada. Menurutnya, pemerintah daerah setempat punya kebijakan dan skala prioritas, mana yang lebih utama didahulukan. Seharusnya ada semacam kolaborasi kerja sama antara pemerintah dan BP3, untuk pengembangan dan perawatan lokasi, situs dan cagar budaya yang ada. Kata Saharan, peran masyarakat cukup dibutuhkan, Ini mengacu pada undang-undang no 10. Dimana masyarakat sebagai pelaku juga ikut menjaga dan melestarikan benda sejarah yang kita miliki, katanya. Ini cukup berpengaruh terhadap peningkatan perekonimian masyarakat setempat. H Mailiswin S. Sos, Kepala Bidang Kebudayaan Dispora mengatakan, sudah ada kebijakan yang dirancang dalam rangka menjaga kelestarian situs dan cagar budaya di daerah ini. Pihaknya sudah menunjuk beberapa petugas kebersihan untuk perawatan. Ada sekitar 20 benda yang sudah kita tunjuk untuk perawatannya, katanya. Selain itu pihak pemerintah lebih memfokuskan pada SDM dan pengetahuan tentang benda sejarah, dengan demikian mereka bisa memaparkan secara langsung kepada pengunjung. Kata Mailiswin, mereka sempat publikasikan situs dan cagar budaya ini, agar masyarakat tahu dan mau menjaga benda-benda pusaka yang tersimpan. Selain kekurangan tenaga, alokasi dana untuk perawatan lokasi tidak banyak. Kita bagi-bagilah anggaran itu. Namun itu tetap diajukan ke pemerintah daerah. Ia menambahkan, sejauh ini memang ada bantuan dari Pemerintah Provinsi, namun sifatnya tidak berkelanjutan. Daerah cukup luas, jadi dana yang ada harus diberdayakan semestinya, katanya. *** Jumat (15/4) pukul 08.00 pagi, kami sempat berkunjung ke Rumah tinggi. Letaknya di Kampung Besar Kecamatan Rengat. Halamannya dilapisi paving blok kusam dan sedikit ditumbuhi rumput liar. Bentuknya seperti bangunan tempo dulu dengan paduan cat warna kuning dan arsitektur melayu disekitar bangunan. Bangunan itu ada dua lantai, sekarang di lantai dasar difungsikan sebagai tempat tinggal penjaga, sedangkan lantai dua difungsikan sebagai musium. Dalamnya cukup luas, Kami sempat melihat benda peninggalan sejarah, seperti meriam, senapan dan beberapa foto raja tempo dulu yang dicetak hitam putih. Menurut sejarahnya Rumah ini adalah rumah Menteri Kerajaan Indragiri. Dibangun oleh Raja Haji Muhammad Saleh, gelarnya Raja Togok dimasa Kesultanan Isa pada tahun 1883-1902 masehi. Sultan Isa mengangkat Raja Haji Muhammad Saleh sebagai menteri kerajaan dengan daerah kekuasaan Kampung Laut, (Sekarang Concong, Indragiri Hilir) dan sekitarnya. Daerah ini merupakan penghasilan pajak terbesar bagi kerajaan. Oleh sebab itu beliau dapat mendirikan rumah menteri yang cukup megah. Rumah tinggi sengaja dibangun dua lantai yang disanggah oleh pilar-pilar kayu kulim. Bangunan itu masih berdiri kokoh. Dulu, lantai dua digunakan sebagai tempat kediaman menteri dan keluarganya, dan difungsikan untuk acara kebesaran Raja serta perayaan tradisi

Page 33

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

adat setempat. Sedangkan di lantai bawah, difungsikan sebagai tempat tinggal para pekerja dan pendayung perahu, jumlahnya lebih kurang 30 orang. Saat menuju ke Rumah Tinggi, kami melintasi Danau Raja. Disekitarnya ada anjungan tempat berteduh, hampir seperempat lokasi danau ditumbuhi teratai air, sampah plastik dan botol aqua berserakan. Mendengar cerita Arsyad, salah seorang warga setempat, saat musim hujan air danau tidak pernah melimpah, dan tak pernah kering saat musim kemarau. Di pinggir danau berdiri sebuah bangunan, meski warna cat agak memudar, bangunan ini masih terlihat megah. Ini adalah refleksi dari Istana Kerajaan Indragiri. Sedangkan bangunan aslinya tenggelam di sungai Indragiri karena longsor. Menurut Saharan, di Kabupaten Inhu tercatat lebih kurang 71 situs dan cagar budaya, itu tersebar di 14 kecamatan. Yaitu kecamatan Kuala Cinaku, Rengat, Rengat Barat, Lirik, Pasir Penyu, Kelayang, Rakit Kulim, Pranap, Batang Cinaku, Batang Gansal, Seberida dan beberapa kecamatan lain. Ada juga yang masih belum terjangkau, karena lokasi letaknya yang jauh di tengah hutan, katanya. Warisan ini masih dipengaruhi oleh kesakralan dan fanatisme masyarakat setempat. Banyak barang peninggalan sejarah yang disimpan oleh masyarakat. Mereka tidak mau barang itu diketahui pemerintah. Karena takut diambil. Saat ini sejumlah barang-barang peninggalan sejarah tersimpan di Museum Rumah Tinggi, itu mulai difungsikan sejak lima tahun terakhir. Ini salah satu bukti kejayaan kerajaan Indragiri dan menjadi salah satu cagar budaya di Indragiri Hulu. Silsilah kerajaan Indragiri ini masih ada hubunganya dengan museum rumah tinggi, tambah Saharan.TTL : Duri, 15 Juni 1990 ASAL LPM : Tabloid Gagasan Suska UNIVERSITAS : UIN Sultan Syarif Kasim Riau JABATAN : Wartawan Kru FAK/JUR : Dakwah dan Ilmu Komunikasi/ Ilmu Komunikasi ALAMAT : Jl Buluh Cina, Garuda Sakti, Panam Pekanbaru NO. TELP/HP : 081368052602 E-mail : [email protected]

DIDI WIRAYU DA

Randai, Keberadaanmu Kini... Oleh: Elvia Mawarni Randai merupakan salah satu kesenian tradisional Minangkabau yang dimainkan secara berkelompok dengan membentuk lingkaran, kemudian melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian. Randai yang menurut sejarahnya pernah dimainkan masyarakat Pariangan, Padang Panjang ini sarat akan nilai-nilai seni dan budaya Minangkabau. Dimana seni lagu, musik, tari, drama dan silat bergabung menjadi satu kesatuan yang apik dalam sebuah kesenian bernama Randai tersebut. Namun kenyataan yang kita temui sekarang, kesenian Randai sudah tak tampak lagi geliatnya ditengah-tengah masyarakat. Jika zaman dahulu randai bisa dijumpai pada setiap acara pernikahan, Hari raya Idul Fitri atau hari-hari besar lainnya, namun sekarang kekayaan

Page 34

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Rang Minang itu sudah hampir mati. Bermunculannya kesenian modern telah menyedot perhatian masyarakat kita dan lebih tragis lagi melupakan seni yang telah mendarah daging di tubuhnya. Hanya sebagian kecil pemuda sekarang yang mengerti soal randai. Dan tidak banyak pula dari mereka yang mau mengepakkan kembali sayap-sayap randai yang hampir patah tersebut. Alasan kebanyakan mereka hanya satu : Malu. Mereka malu memainkan kesenian yang mereka anggap sudah ketinggalan zaman di era serba modern sekarang ini. Jiwa mereka bukan randai, melainkan budaya modern kepunyaan orang lain yang mereka paksakan menjadi bagian hidupnya. Bayangkan, mana yang lebih memalukan ?!! Memang, inilah penyakit masyarakat kita, tidak bisa menghargai yang sudah ada. Namun jika sudah diambil orang lain, barulah berkobar-kobar untuk mempertahankannya. Wajar saja terjadi hal demikian, toh kita tidak pernah mengakui dan menunjukkan kepada publik bahwa kesenian itu kepunyaan kita, tidak salah jika sekiranya orang lain lebih dahulu mempatenkannya. Randai itu sendiri misalnya. Randai pernah menjadi kurikulum wajib di University of Hawaii selama 2000-2001, kata Budayawan Sumbar, Musra Dahrizal katik Rajo Mangkuto. Musra yang akrab disapa Mak Katik itu pernah mengajar kesenian randai di Universitas tersebut selama satu semester. Bisa kita lihat bagaimana betul pandangan dan antusiasme masyrakat di luar sana terhadap kesenian randai. Bahkan Dr Christine Pauka, seorang Doktor dari University of Manoa, Hawaii mengungkapkan pada tesisnya: Saya kagum pada Randai, sama seperti kekaguman saya pada karya-karya hebat William Shakespeare. Sebagaimana yang diketahui tentang sosok William Shakespeare, sastrawan sekaligus penulis teater terkenal dari Inggris yang telah menulis ratusan naskah teater yang mendunia seperti Romeo dan Juliet. Ungkapan Dr Christine Pauka merupakan sebuah apresiasi terhadap potensi untuk dipertunjukkannya randai di dunia Internasional. Lalu bagaimana dengan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Minangkabau ? Sekarang saatnya kita membuka mata untuk melihat kekayaan yang dimiliki sebuah kesenian randai. Barangkali kata-kata malu lebih tepat untuk digunakan disini. Saat masyarakat barat lebih mahir memainkan kesenian kita dan menampakkan kebanggaanya di mata dunia. Sedangkan kita sendiri, malah menutup mata darinya. Dan tidak tertutup kemungkinan suatu waktu kesenian Randai akan dipatenkan menjadi kebudayaan mereka. Apa yang bisa kita perbuat ? Menjilat ludah atau membiarkan begitu saja jiwa kita dirampas orang lain. Semua harus kita fikirkan sebelum kemungkinan buruk itu terjadi.ASAL LPM : Surat Kabar Kampus (SKK) GANTO UNIVERSITAS : UNP NO. TELP/HP : 081363582319

Surau dan Kehidupan Sosial Budaya Minangkabau Oleh: Endah Wulan Sari (Endah WP) Minangkabau merupakan salah satu suku yang terdapat di Indonesia yang memiliki kehidupan sosial dan budaya yang khas. Kebudayaan Minangkabau atau Minang tersebar di daerah Sumatra barat, sebagian daratan Riau, Bengkulu bagian utara dan bagian barat Jambi serta negeri sembilan di Malaysia (Wikipidia, 2011). Menurut A.A. Navis dalam Wikipidia, menerangkan Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam.

Page 35

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Minangkabau berkembang di surau karena sisi religiusitas masyarakat Minangkabau tidak dapat kita pisahkan dari kesehariannya. Surau atau musalla/mesjid ini di masyarakat luas, hanya di gunakan untuk tempat beribadah, tapi di masyarakat Minangkabau surau memiliki peran yang cukup banyak seperti belajar mengenai agama, akhlak, pantun, randai dan adat budaya Minangkabau lainnya bahkan di surau jugalah tempat pembentukan pribadi penerus generasi Minang yang siap menanggung bebean dan amanah dikemudian harinya. Bila membaca sejarah Minangkabau, maka akan ditemukan Kearifan adat dan budaya Minangkabau yang dilandasi dengan nilai-nilai keislaman telah menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau. Maka salah satu falsafah yang dikenal dari masyarakat Minangkabau adalah Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah (ABS SBK), Syara mangato, Adat mamakai. Falsafah ini seolah-olah telah mengukuhkan eksistensi agama Islam dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau dan menjadi hal yang tak terpisahkan dalam keseharian masyarakat Minangkabau. Tidah heran kalau dulunya masyarakat Minangkabau banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional yang berkiprah sampai ke tingkat internasional, itu semua di sebabkan oleh peran surau yang sangat strategis sehingga terbentuklah kepribadian yang tangguh dalam diri masyarakat minangkabau. Peranan surau dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Minangkabau hampirlah hilang. Padahal surau memiliki posisi yang strategis dalam pembentukan karakter masyarakat Minangkabau. Terkait dengan fungsi surau pada masa lalu di Minangkabau yang ternyata tidak hanya sebatas tempat ibadah saja, tetapi juga memainkan peranan yang cukup banyak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, maka tak salah kiranya apabila dikatakan surau sebagai salah satu pranata sosial di masyarakat Minangkabau. Pranata yang dikenal sebagai salah satu padanan kata untuk institusi, didefenisikan oleh Koendjaraningrat sebagai sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam masyarakat (Tomi Wardana,2010). Surau menyangkut fungsinya sebagai salah satu atau bagian dari pranata penting dalam masyarakat Minangkabau, telah memainkan peranannya untuk memenuhi berbagai keperluan masyarakat dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Sebut saja fungsi surau sebagai institusi pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak remaja di Minangkabau, selain itu surau juga memainkan fungsinya dalam sosialisasi berbagai informasi yang harus di ketahui masyarakat (Tomi Wardana, 2010). Pengarui globalisasi yang diikuti dengan kemajuan teknologi yang sangat berkembang pesat hingga modernisasi terjadi dimana-mana tidak hanya di kota-kota besar saja, tapi juga sampai ke kota-kota kecil. Dulu masyarakat Minangkabau terlebih generasi mudanya lebih senang meramaikan surau, menghabiskan waktu di surau, tapi sekarang dunia modern telah merubah segalanya. Kecanggihan teknologi telah mengalihkan dunia mereka, barang-barang itu lebih mengasikkan ketimbang ke surau. Banyak masyrakat luar yang kecewa sekarang ini, dulu mereka beranggapan masyarakat minang orang yang taat dan patuh adat, sehingga mereka menyekolahkan anaknya ke daerah Minang dengan tujuan anaknya kelak dapat pelajaran tambahan dari segi agamanya karana bergaul dengan masyarakat Minangkabau, tapi sekarang faktanya malah masyarakat Minangkabaulah yang banyak merubah semuanya Kalau kita tanya, masih adakah kepribadian yang tangguh itu dalam diri masyarakat Minangkabau? Masihkah pemikiran-pemikiran orang minangkabau itu dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat? Jawabanya tidak, buktinya tidak ada lagi masyarakat minangkabau

Page 36

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

yang menjadi tokoh nasional, kalaupun ada pasti dulunya beliau sempat merasakan kehidupan surau. Mana masyarakat minang yang dulu, yang memegang teguh adat dan agama, yang memiliki pepatah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah bukankah telah luntur di makan zaman baik dari segi agama maupun dari segi adat pun begitu. Tatanan kehidupan masyarakat Minangkabau pun telah bergeser dari adat istiadat yang di bentuk pemuka-pemuka adat terdahulu. Masyarakat Minangkabau tidak lagi menjadikan niniak mamak atau penghulu sebagai panutan dalam kehidupan sosial, alim ulama tidak lagi menjadi tempat bertanya, dan kemenakan pun tidak lagi menjadikan mamaknya sebagai tempat bermusyawarah dalam kehidupan. Kita tidak bisa menyalahkan itu semuanya, zaman telah berubah memanglah dulu dan sekarang berbeda, akan tetapi penyesuaian terhadap kondisi dan situasi saat ini yang penting dilakukan oleh masyarakat Minangkabau serta mengarahkan kembali generasi muda Minangkabau kembali ke surau. Sekarang bukanya tidak mungkin untuk membentuk kepribadian islami itu dalam diri masyarakat Minangkabau apalagi generasi mudanya, hanya saja peran surau tidak akan mungkin sestrategis dulu lagi. Salah satu upayanya dengan membentuk organisasi yang kegiatannya berlangsung di surau, seperti wirid remaja. Melalui gerakan wirid remaja diharapkan generasi muda Minangkabau akan lebih sering berada di surau, dan akan memakmurkan surau seperti dulu lagi.

ENDAH WULAN SARI

Baduy Dalam, Eksistensi Kaum Minoritas Oleh: Fajar Ismail Ada 90 rumah panggung atau suhunan beratap rumbia berdiri dan berjajar saling berhadapan dengan bentuk yang sama. Paku dan besi buatan pabrik pantang dipakai, semua suhunan hanya diikat dengan ijuk atau dipasak dengan bambu. Gelas dan ember pun terbuat dari bambu. Tidak ada piring di kampung ini. Masyarakat Baduy dalam hanya diperbolehkan menggunakan mangkuk. Kampung Cibeo adalah satu dari tiga kampung di Baduy Dalam (Baduy Kajeroan). Selain Cibeo, masih ada Kampung Cikartawana dan Kampung Cikeusik. Berjarak kurang lebih 120 kilometer dari Jakarta, kampung-kampung itu masih menjaga ketat adat istiadat,

Page 37

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

kampung-kampung di Baduy terletak di ketinggian 500-1.200 meter di atas permukaan laut dan berada di Pegunungan Kendeng yang merupakan daerah hulu Sungai Ciujung. Pintu masuk utama menuju Baduy Dalam adalah Desa Kanekes di Baduy Luar, jalur Kampung Kadu Keter pun boleh dicoba karena jarak tempuh akan lebih cepat ke Kampung Cibeo, setelah menempuh lima jam perjalanan melewati jalan setapak melintasi bukit-bukit, sungai, dan beberapa perkampungan Baduy Luar, sampailah kita di Kampung Cibeo. Tanda pembatas memasuki Kampung Cibeo hanyalah rumbai yang diikatkan pada pohon besar. Satu hal yang paling membedakan antara Baduy Dalam dengan Baduy Luar, adalah kebebasan. Masyarakat yang tinggal di Baduy Luar sudah terlepas dari aturan adat, seperti mendirikan rumah dengan menggunakan paku, begitu juga dengan barang-barang elektronik yang sudah masuk di Baduy Luar bahkan sudah menggunakan listrik dan mulai mendirikan kamar mandi ditiap rumah-rumah, sedangkan Baduy Dalam pantang menggunakan listrik dan tidak menggunakan air kecuali yang berasal dari sungai. Ketika tiba di Baduy Dalam, maka kita harus mengikuti semua aturan adat yang sudah diterapkan, salah satunya dilarang memotret. Namun, ironisnya masyarakat Baduy Dalam yang masih menjaga ketat segala aturan adatnya semakin terlihat tidak konsisten saja dalam menjaga dan mengikuti aturan adat yang berlaku. Satu contoh, beberapa bulan yang lalu saya berkesempatan berkunjung ke Baduy Dalam tepatnya di kediaman Kang Herman di Desa Cibeo, malam harinya penulis menyalakan handphone sebelum istirahat, tanpa disadari Kang Herman terntaya ingin juga belajar mengutak atik handphone, De, akang mau pinjam telponnya dong, mau liat-liat gambar kata Kang Herman meminta, dari satu contoh ini saja nampak bahwa pada dasarnya mereka juga ingin seperti kita dalam artian sedikit lebih maju dan modern. Selayaknya kaum minoritas seperti Baduy Dalam, seharusnya mereka tetap menjaga ketat aturan adatnya, rasa keingintahuan mereka akan dunia luar tidak seharusnya menyeret mereka keluar dari batas aturan adat, dengan catatan masyarakat adat baduy tetap menjunjung tinggi norma adat dan melestarikannya tanpa harus mereka tanggalkan atribut ideologisnya. Ironis, jika populasi masyarakat adat semakin kecil! Pada dasarnya masyarakat adat ini menjadi minoritas bukan semata-mata karena populasi mereka yang kecil, tetapi lebih banyak karena bersumber dari kondisi mereka sebagai kelompok yang memiliki ideologi, sistem sosial budaya dan politik yang khas dan bersifat lokal spesifik, baik yang dibangun atas kesamaan wilayah hidup bersama secara turun temurun. Dilihat dari kacamata global, pada awalnya masyarakat adat dapat bertahan hingga sejauh ini setelah mengalami banyak gelombang intervensi, jauh sebelum konsep negara kerajaan dan kesultanan dikenal diseluruh pelosok nusantara, mereka (masyarakat adat) telah hidup dan berkembang kesatuan-kesatuan sosial politik yang berdaulat, merekapun secara otonom mengatur dan mengurus sumber daya alam lainnya dihabitat masing-masing. Maka, lestarilah budaya,, Negeriku !TTL : Bekasi, 03 juli 1990 ASAL LPM : LPM INSTITUT UNIVERSITAS : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta JABATAN : Promosi dan Iklan FAK/JUR : Adab & Humaniora, Jur Tarjamah ALAMAT : Bekasi, Jl Demak no. 16 NO. TELP/HP : 089652227461 E-mail : [email protected]

Page 38

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

FAJAR ISMAIL

Naskah Batak, Warisan Bertuah tapi Tak Terjaga Oleh: Febrian Dahulu, kehidupan masyarakat Batak juga sarat dengan kealamian. Naskah menjadi panduan mereka melakukan rutinitas. Namun modernisasi mengakibatkan tak banyak yang paham dengan naskah Batak. Salah satu warisan berharga justru banyak yang dikoleksi di luar negeri. Sembilan jenis naskah Batak terletak di lemari pajangan yang semua dilapisi kaca. Dengan warna yang sudah kusam kecoklatan, menandakan ini sudah dibuat sejak ratusan tahun yang lalu. Di situ tertulis bahwa naskah ini ditulis dengan tinta yang terbuat dari jelaga kayu jeruk. Tak ada informasi pasti tahun pembuatan, dan siapa penulisnya. Semua naskah

Page 39

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

ini dipajang dalam keadaan terbuka. Terlihat isinya penuh dengan rangkaian huruf aksara Batak yang sangat unik. Hampir sama dengan penulisan aksara kuno lain di Indonesia seperti huruf aksara Jawa dan aksara Melayu. Naskah batak ditulis pada kulit kayu, dikenal sebagai pustaha (pustaka) atau laklak. Namun ada juga naskah yang ditulis di tulang, biasanya tulang kerbau dan bambu. Saat ini terdapat 192 naskah Batak yang tersimpan di Museum Daerah Sumatera Utara. Sangat sedikit dibanding jumlah naskah Batak yang dibawa ke luar negeri yang diperkirakan mencapai 1600 naskah. 1000 diantaranya dikoleksi di negeri Belanda. Ketika zaman penjajahan banyak orang eropa yang terkesan dengan isi naskah Batak. Mereka paham naskah Batak sarat dengan ilmu pengetahuan yang tidak dapat dijumpai di tempat lain. Tergiur dengan jumlah uang yang ditawarkan, masyarakat Batak banyak menjual naskah yang mereka miliki kepada orang Eropa. Mehamat, salah satu staf museum daerah Sumetera Utara menceritakan, pemerintah mulai mengusahakan pengembalian naskah-naskah yang tersebar di luar negeri. Momentumnya adalah sejak diresmikannya museum TB Silalahi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Januari lalu di Balige Tanuli Utara. Mehamat adalah sedikitnya orang yang pandai menerjemahkan isi naskah Batak. Baik itu naskah Batak Angkola, Mandailing, Toba, Pakpak Dairi, Karo dan Simalungun. Informasi yang ia dapatkan, ukuran naskah-naskah yang ada di luar negeri lebih besar dari yang pernah jumpai di Sumatera Utara. Bahkan ada yang seukuran meja makan dan itu terbuat dari kayu, tentu isinya juga menarik, ucapnya. Pengembalian naskah ini menurut Mehamat akan terkendala dengan keadaan museum-museum yang ada di Indonesia. Untuk menjaga naskah dari kerusakan harus diletakkan pada tempat dengan suhu yang teratur. Mehamat mengalami, selama bekerja di museum sering menemui beberapa naskah yang rusak akibat suhu lemari pajang yang tidak terkontrol. Ada juga yang rusak dihabisi rayap, makanya jika naskah itu ditarik dari luar negeri, museum di Indonesia harus mengikuti standar yang ada di luar negeri, tambah alumni Sastra Daerah USU ini. Sarat Unsur Kearifan Lokal Jamorlan Siahaan, dosen Departemen Sastra Daerah USU sudah lama akrab dengan naskah Batak. Membaca naskah Batak sudah sesuatu hal biasa baginya. Ia sudah dikenal sebagai penerjemah naskah Batak. Jamorlan bisa mendeteksi keaslian dari naskah-naskah yang ia diterjemahkan. Cukup memegang dan mencium naskah, Jamorlan tahu sebuah naskah asli atau tiruan meskipun dengan tampilan sempurna. Jamorlan mengungkapkan saat ia menerjemahkan naskah yang asli, ia merasakan adanya unsur-unsur mistis yang terkandung di dalamnya. Ini menandakan nenek moyang orang Batak yang menulis naskah adalah orang-orang yang mempunyai ilmu tinggi, ucapnya. Ceritanya untuk menulis naskah ini, nenek moyang orang Batak harus melakukan pertapaan di suatu tempat keramat kepercayaan mereka. Di sana mereka menuntut ilmu untuk kebaikan aktivitas hidup yang mayoritas bergantung kepada hasil alam. Ilmu yang mereka peroleh ini dituliskan di naskah. Ada yang ditulis di atas kayu, dedaunan, batu, kulit tumbuhan dan juga di tulang. Jamorlan ikut menyayangkan tidak ada data penulis dan tahun pembuatannya. Naskah ini sebagai bukti nenek moyang Batak mempunyai nilai sastra yang tinggi. Fokus penelitian yang pernah dilakukan Jamorlan adalah untuk naskah dari Batak Toba dan Mandailing. Ia mengatakan setiap naskah memiliki isi yang tidak jauh berbeda. Sebagian besar naskah Batak berisikan tentang norma dan etika, mengenai obat-obatan, penanggalan, ramalan cuaca, tata cara upacara adat hingga taktik perang.

Page 40

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Dulu sangat sedikit orang jahat, mereka sangat patuh dengan tata karma yang diajarkan di dalam naskah, bahkan dalam perang masih ada tata cara saling menghormati, terangnya. Tetapi menurut Mehamat, tidak semua naskah berisi hal-hal yang baik. ada juga naskah yang berisi ilmu hitam seperti cara pelet, dan mencelakai orang. Tapi kita sebaikanya mempelajari hal yang baik-baik aja, karena nenek moyang kita pasti menulis naskah untuk kebaikan anak cucunya juga, cetus Mehamat lagi. Terkikis Akibat Perkembangan Zaman Nenek moyang batak mayoritas menganut kepercayaan Parmalim. seluruh isi naskah yang ada masih lekat dengan kepercayaan nenek moyang terhadap roh-roh gaib. Mehamat berasumsi, masuknya pengaruh agama membuat Naskah versi yang asli mulai ditinggalkan. Masuknya berbagai agama ke Sumatera Utara, dibarengi dengan pola hidup masyarakat yang modern dan masyarakat Batak tidak lagi mengutamakan naskah sebagai pegangan hidup mereka. Hingga sekarang, hanya masyarakat di pedalaman penganut kepercayaan parmalim yang masih menjaga mengamalkan naskah Batak. Hal ini sangat disayangkan oleh Mehamat dan Jamorlan sebagai orang yang paham dengan naskah. Mehamat berujar naskah adalah pusaka berharga yang ditinggalkan nenek moyang. Kenapa orang eropa lebih tertarik dari pada orang bataknya sendiri, berarti kita yang tidak paham dengan naskah, ungkapnya. Di daerah tingkat II Sumatera Utara, siswa Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama memiliki mata pelajaran muatan lokal mempelajari baca tulis huruf aksara Batak. Saat meneliti, Jamorlan mengetahui tidak ada persamaan materi yang diajarkan mengenai aksara Batak. Hanya sebatas kemampuan sang guru untuk mengajarkan mata pelajaran tersebut. Jamorlan berpendapat, harusnya ada suatu panduan yang sama setiap tingakatan kelas mempelajari aksara Batak ini. Ia sempat berpikir untuk membuat buku dari hasil penelitiannya bersama Mehamat dan kawan-kawan. Sudah lama saya ingin membukukan hasil penelitian supaya dijadikan buku panduan belajar aksara dan naskah di sekolah-sekolah. Namun urung terlaksana karena kendala dana, terang Jamorlan, saat berdiskusi di kantin kampus Fakultas Ilmu Budaya, Sabtu (22/10).

FEBRIA N

TTL : Batusangkar,10 Februari 1991 ASAL LPM : Pers Mahasiswa SUARA USU UNIVERSITAS : Sumatera Utara JABATAN : Redaktur FAK/JUR : Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik USU ALAMAT : Jalan Jamin Ginting Gang Kamboja22 B NO. TELP/HP : 085274622252 Page E-mail : [email protected] 41

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Bahasa Bangun Kebudayaan Manusia Oleh: Fitrah Mardhatillah Husna Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Melalui bahasa manusia dapat saling berkomunikasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta kebudayaan dalam rangka membangun peradaban yang lebih baik. Bahasa menyimpan seluruh warisan peradaban manusia. Pencarian makna sejarah suatu bangsa dapat ditemui melalui bahasa, sebab di dalam bahasalah suatu bangsa tersebut menitipkan seluruh pesan, harapan, cita-cita dan pengalaman hidup mereka untuk generasi berikutnya. Seorang filsuf bahasa kenamaan Ludwig Wittgenstein menyatakan Die Grenze meiner Sprache bedeuten die Grenze meiner Welt (Batas bahasaku adalah batas duniaku).

Page 42

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Secara lebih bebas artinya adalah batas dunia manusia identik dengan batas bahasa logika yang dibangunnya. Lebih dari sekadar pernyataan biasa, ungkapan Wittgenstein menyiratkan makna bahwa kemampuan berbahasa seseorang sangat menentukan sejauh mana dia mampu menembus batas-batas dunianya sendiri. Bahasa merupakan realitas simbolik, maka kata hakikatnya adalah representasi realitas. Implikasinya, kalau realitas tidak ada, maka kata tidak tercipta. Bahasa dapat membedakan manusia dari makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Selain itu, bahasa juga menunjukkan kondisi psikologis dan intelektual seseorang. Orang yang pikirannya sedang kacau, bisa dipastikan bahasanya juga kacau. Menurut Samsuri (1998) kemampuan berbahasa menunjukkan kemampuan otak seseorang. Orang yang bahasanya kacau, baik lisan maupun tulis hampir bisa dipastikan kemampuan otaknya juga kacau. Mengutip seorang ahli bahasa terkemuka dari Amerika Tony Crowley, Samsuri (1998) menyatakan bahwa kekacauan berbahasa merupakan penyebab terjadinya kekacauan sosial. Kendati perannya begitu penting, bahasa sering disepelekan banyak orang. Buktinya, banyak warga masyarakat kita membuat kesalahan-kesalahan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi andaikan saja sadar bahwa bahasa menggambarkan citra sosial, emosional, psikologis bahkan dan intelektual penggunanya. Betapa salah ucap kata-kata yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang begitu jelas terjadi bukan hanya di kalangan kelas bawah, tetapi juga elit telah jauh dari penggunaan pengucapan EYD. Misalnya, pada kata publik diucapkan pablik, pasca dibaca paska, produk dibaca prodak, faks dibaca feks, psikologi diucapkan saikoloji, dapat dibaca dapet, semakin dilafalkan semangkin dan masih banyak lagi yang lain. Salah ucap istilah asing yang belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia malah lebih banyak lagi. Inilah cermin konkret perilaku berbahasa masyarakat kita. Menurut Kridalaksana (1999: 12), pengetahuan mengenai asal usul kata berikut ucapannya memang tidak harus dimiliki oleh setiap orang, tetapi bahasa manapun di dunia ini mempunyai konvensi lafal yang menjadi salah satu rambu kerjasama sosial. Untuk melafalkan unsur-unsur bahasa tidak diperlukan pengetahuan etimologi, karena sudah tersedia kamus yang siap untuk dirujuk setiap saat. Lafal yang tepat itu ibarat pakaian rapi yang memberi suasana nyaman dalam pergaulan manusia yang santun. Menurut pengkaji sosiolinguistik, salah ucap seperti itu tidak bisa dipandang sekadar slip of the tongue sebagaimana alasan yang biasanya dikemukakan ketika orang salah ucap, sehingga dianggap sederhana. Bukankah perilaku berbahasa menunjukkan siapa penggunanya baik secara sosial maupun intelektual. Menggunakan perspektif Chaika (1982) sebagaimana disebutkan di atas, maka dengan sangat mudah dikesankan bahwa apa yang terjadi pada masyarakat kita dari kekacauan berbahasa seperti itu. Dengan banyaknya ragam kata yang berhubungan dengan hajat hidup ini bisa ditafsir bahwa kita memang diajar untuk hidup. Karena itu, tidak boleh lapar, tetapi tidak diajarkan bagaimana mengisi kehidupan. Dalam falsafah Jawa kita kenal istilah pokoke urip (asal hidup). Tafsir ini tampaknya benar dengan merujuk teori hubungan antara bahasa, pikiran dan budaya Franz Boas (dalam Blount, 1974), bahwa setiap bahasa merepresentasikan klasifikasi pengalaman dan budaya masyarakat. Contoh sejenis menjadi panjang lagi lewat kajian Rosidi (2001: 38) yang menemukan betapa banyak kata atau istilah yang menggambarkan kekerasan, seperti tabok, pukul, jitak, tinju, jotos, bogem, tonjok, tunjek, sodok, tempeleng, gebuk, tampar, sikat, timpuk, dan hantam. Mengapa demikian banyak kata yang berhubungan dengan tindak kekerasan tersebut? Mengikuti teori Boas tentang hubungan bahasa dan budaya, bukankah itu semua

Page 43

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

menunjukkan dengan gamblang gambaran budaya masyarakat kita yang suka kekerasan? Dengan demikian jelas bahwa semula berbahasa adalah dorongan natural, namun sekaligus bahasa adalah fenomena kultural sehingga kemampuan berbahasa tidak bisa diwariskan secara genetik. Orangtua yang baik kemampuan berbahasanya tidak berarti anaknya juga akan baik. Demikian pula orangtua yang kebetulan bisu, tidak berarti anaknya menjadi bisu pula. Berbahasa selalu bersifat publik, artinya bahasa selalu tumbuh bersama di tengah masyarakat. Dalam teori Language Game-nya, Wittgenstein (Mulkhan, 2001: 42), menyatakan manusia memperlakukan bahasa bagaikan sebuah permainan di mana ada pemain, penonton dan wasit. Sebuah permainan selalu memiliki aturan yang disepakati. Demikian juga berbahasa, tak siapapun bisa dengan seenaknya dan secara anarkis memberi makna dan memahami kata apalagi memaksakan makna sesuai yang dikehendaki tanpa melalui proses konvensi yang merupakan ciri fundamental bahasa. Tanpa adanya aturan sebuah permainan dan komunikasi, bahasa akan menciptakan kekacauan yang urutannya bangunan ilmu pengetahuan dan tertib sosial juga akan ikut kacau. Berbahasa yang benar memang bukan sekadar menata kata menjadi kalimat dan kalimat menjadi paragraf sesuai aturan gramatika, melainkan pula harus menyiratkan makna dengan penuh kejujuran.

FITRAH MARDHATILLAH HUSNA

BTD (Baca-Tulis-Diskusi) adalah Budaya Mahasiswa Oleh : Haqqy Luthfita Kalau katanya mahasiswa itu agen perubahan. Maka membaca, menulis dan berdiskusilah jembatannya. (Hasil diskusi teman-teman Mahasiswa IAIN SU saat Apa Kabar Dinamika Kampus digelar Juli 2011) Mahasiswa diberi istilah dengan Agent of Change atau yang artinya Agen Perubahan. Istilah ini menjadi trend setelah perubahan kekuasaan Soeharto menyusut di tahun-tahun akhir jabatannya, dikarenakan gerakan bersatu mahasiswa di Jawa, yang berimbas di kotakota besar termasuk Medan dan sekitarnya.

Page 44

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Mei 1994 yang menghasilkan sebuah perubahan dimana mahasiswa berlagak membebaskan masyarakat dari kemelut kediktatoran seorang pemimpin. Mahasiswa tidak mau kalah dengna statusnya, karena mahasiswa lah sebagai ujung tombak penerus Negara. Namun, di luar dari itu apakah hal-hal tersebut bisa diterapkan kembali di zaman tanpa pengekangan sekarang ini? Jawabannya tentu tidak. Keadaan sekarang sudah berbeda. Berpikirlah. Apa yang dapat dilakukan mahasiswa? Dengan alih-alih akademik yang membuat mahasiswa memiliki tanggung jawab dasar BTD yaitu Baca-Tulis-Diskusi. Terapkan BTD untuk melestarikan Budaya Mahasiswa Membaca adalah makanan utamaku, dan menulis adalah minuman pelepas dahagaku. Itulah yang kulakukan setiap harinya dengan penuh komitmen dan konsisten. Tanpa itu, jangan harap diskusi dapat berjalan lancar. Walaupun BTD dapat dilakukan semua kalangan, namun mahasiswa lah harus bias menjalankan tanggung jawab ini. Zaman sudah berubah, kebebasan juga sudah ditangan. Bukan lagi musim berperang dengan senjata tajam, tetapi berperang dengan pena, kertas dan pemikiran. Baca-tulis-diskusi merupakan tiga kegiatan dasar yang tidak bisa terlepas dari mahasiswa. Label Mahasiswa bagi sebagian orang merupakan prestise tersendiri yang sulit disandang. Apa lagi pasca disahkannya Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang disinyalir sebagian pakar pendidikan menimbulkan kapitalisasi perguruan tinggi. Lalu, bagaimana kondisi aktual Mahasiswa sekarang? Apakah aktivitas mereka setali tiga uang dengan peran dan tanggung jawab sebagai corong perubahan? Menyusuri potret dinamika kampus hari ini, sungguh menyedihkan. Mahasiswa yang sejatinya berpredikat kaum intelektual dan terpelajar, justru jauh meninggalkan kultur akademik-ilmiahnya. Bisa dibuktikan, dari dua ribu mahasiswa yang terdaftar di kampus Institut Agama Negeri Sumatera Utara (IAIN SU), berapa yang menyukai dan sering mengikuti forum diskusi? Dengan contoh sederhana mungkin mahasiswa sadar. Membaca bukan lagi hal yang sebenarnya luar biasa di kalangan ini, teteapi sudah seharausnya menjadi makanan seharihari. Membaca bak sebuah kegiatan menelan ilmu pengetahuan. Membaca bukan lagi jendela ilmu yang anak sekolah dasar pun mengerti, tetapi membaca adalah sebuah kehidupan, sebuah perjuangan unutk hidup. Bahkan mahasiswa akan pincang tanpa membaca. Selanjutnya menulis. Akan sia-sia jadinya bila membaca tanpa menulis. Menulis ibarat memproses makanan yagn dapat bermanfaat ke seluruh tubuh. Menulis jug aibarat mengikat hasil bururan, tanpa diikat apa yang kit abaca, yang kita makan, yang kita buru akan sia-sia, dalam arti lepas. Dengna kata lain menulis adalah mengikat ilmu. Membaca dan menulis adalah pasangan yang tak dapat dipisahkan. Beginilah dilemma mahasiswa, mambuat makalah dengan keadaan pincang, terkadang dapat membaca tak mampu menuliskan. Di lain hal, mampu menulis tapi tak dibaca. Pikiran siapapun pasti berbeda, setelaha ada proses baca-tulis tidak afdhol rasanya jika tidak didiskusikan. Lebih baik berdiskusi dengan satu orang jenius dari pada belajar selama 3 tahun. Belajar adalah Proses Berfikir, Setiap Proses Butuh Jangka Waktu Lalu apa yang akan kita berikan kepada bangsa dan agama kita? Budaya yang seyogyanya menjadi konsumsi wajib bagi Mahasiswa tersebut, kini terancam punah. Sekarang berganti dengan gaya kupu-kupu alias kuliah pulang kuliah pulang. Bahkan ada image bahwa diskusi itu membosankan, membuang-buang waktu, dan tak ada

Page 45

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

gunanya. Inilah paradigma negatif yang perlu diubah oleh mahasiswa. Sebenarnya, manfaat diskusi tak sama seperti dengan manfaat bekerja nuking (kayu); yang tiap kemisan bisa langsung di tangan. Dengan kata lain, hasil manis yang kita peroleh dari diskusi bukanlah instan. Dengan membaca, menulis, dan berdiskusi, kita terlatih untuk mengkonstruk daya pikir agar lebih kreatif. Klimaksnya, kelak buah karya kita bernilai jual tinggi. Silahkan Mahasiswa berefleksi dan berenung atas provokasi ini. Akankah mahasiswa tidak lagi menampakkan taring-taring semangatnya. Jik amahasiswa mau menyadari mudahmudahan budaya ini tidak lekang dimakan zaman, tidak lekang dimakan pemikiranpemikiran dangkal. Maka berbuatlah! Hidup Mahasiswa!

HAQQY LUTHFITA

TTL ASAL LPM UNIVERSITAS JABATAN ASAL LPM UNIVERSITAS JABATAN FAK/JUR ALAMAT MEDAN NO. TELP/HP E-mail

: MEDAN 31 OKTOBER 1991 :LPM DINAMIKA IAIN SU : INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI :SEKRETARIS REDAKSI : Tabloid Gagasan Suska : UIN Sultan Syarif Kasim Riau : Wartawan Kru : TARBIYAH/ PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS : JL. MENTENG RAYA KOMP. PERISAI PRIBUMI NO. 115 : (061) 7323044 : loe2_potter772yahoo.com

Parmalim dan Budayanya Oleh: Ira Stefanie Medan, 22 Oktober 2011 suasana langit tidak mendukung dengan menunjukkan gejala-gejala gelap disiang hari yang biasanya menyengat kota Medan, meski sedikit berawan namun tanda-tanda untuk mengeluarkan tetes-tetes air langit belum akan turun ditanah yang kental dengan adat batak. Dengan bermodal angkutan umum (angkot) bernomor 46 biru yang disewa oleh beberapa peserta yang mengikuti workshop untuk menelusuri jalan Air Bersih Ujung, Bahagia by Pass.

Page 46

PJTL GENTA ANDALAS 2011

Jurnalisme Budaya

Dengan penuh sesak dan padat kendaraan bermotor yang tidak mau mengalah satu sama lain mengakibatkan macet lalu lintas yang memenuhi jalanan kota serta suasana sumpek dan pengap berhimpit-himpitan di dalam angkutan umum, disela gelak tawa dan nyanyian riang pengamen yang sengaja disewa untuk menghibur seisi penumpang angkot yang tak memperdulikan keringat bercucuran membanjiri tubuh masing-masing penumpang. Jalanan yang ditelusuri selain melewati padatnya kendaraan bermotor juga melewati berbagai jalan tidak rata belum di aspal. Sesampainya di air bersih bahagia by pass, tampak beberapa penduduk memasuki sebuah rumah dengan atap meruncing keatas layaknya sebuah rumah adat Batak namun telah mengalami modifikasi yang signifikan dibuktikan dari bangunan yang bergaya modern bercat kelabu yang biasa digunakan sebagai tempat peribadatan bernama Bale Persantian Ginomgom Ni - Bale Parsogit Partonggoan. Tampak beberapa pria melilitkan sarung (abit batak) di pinggang, berkemeja lengan panjang dan berjas rapi, mengalungkan ulos di leher serta berbalut kain putih di atas kepala. Para wanita yang telah menikah memasang sanggul, memakai kebaya dan mengenakan sarung tetapi khususnya untuk gadis perawan hanya memakai sarung. Anak-anak tertawa riang tampak berlarian dengan bertelanjang kaki di atas pasir putih di sekitaran persantian atau peribatan. Saat hendak memasuki tempat peribadatan maka wajib untuk melepaskan alas kaki sebatas pintu pagar sebagai tanda tempat tersebut adalah tempat yang disuci. Tidak diperbolehkan memakai alas kaki saat mendekati peribadatan maupun aula yang berada disamping peribadatan sebagai tempat berkumpulnya para jemaat untuk mendiskusikan berbagai hal dan membicarakan masalah administrasi keuangan Parmalim dalam s