bahan ajar/diktatkimia.unnes.ac.id/kasmui/kuantum/book/2. ba_kimia_kuantum_2019.pdf · hanya...
TRANSCRIPT
1
BAHAN AJAR/DIKTAT
KIMIA KUANTUM KODE 15P01797
2 SKS
PRODI PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG TAHUN 2019
2
VERIFIKASI BAHAN AJAR
Pada hari ini ......... tanggal ..... bulan ................... tahun ......... Bahan Ajar Mata Kuliah Kimia
Kuantum Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
telah diverifikasi oleh Ketua Jurusan/ Ketua Program Studi Pendidikan Kimia
Semarang, 26 Agustus 2019 Ketua Jurusan/ Ketua Prodi ...... Tim Pengampu
Dr. Nanik Wijayati, M.Si Drs. Kasmui, M.Si
NIP NIP. 131931625
3
BAB I
PERSAMAAN SCHRODINGER
1.1 Mengapa Mempelajari Mekanika Kuantum
Pada akhir abad 17, Isaac Newton mengembangkan mekanika yang membicarakan
hukum gerak bagi obyek makroskopik. Pada awal abad 20, para fisikawan menjumpai beberapa
fenomena fisik seperti radiasi benda hitam, efek foto listrik dan efek Compton yang tidak dapat
dijelaskan secara klasik dengan teori gelombang elektromagnit dan baru dapat diatasi setelah
Einstein menerapkan teori kuantum Planck. Pada saat yang hampir bersamaan juga dijumpai
gerak mikrospik yang tidak dapat dideskripsi secara benar oleh mekanika Newton. Sifat-sifat
gerak mikroskopik dideskripsi oleh himpunan hukum-hukum yang disebut mekanika kuantum.
Salah satu bidang ilmu kimia adalah Kuantum Kimia yang merupakan aplikasi mekanika
kuantum terhadap problem-problem kimia. Pengaruh kimia kuantum ini begitu terasa pada
hampir semua cabang kimia. Para ahli kimia fisik menggunakan kimia kuantum untuk
melakukan kalkulasi dalam termodinamika gas (disebut mekanika statistik, misal pada
perhitungan entropi dan kapasitas kalor), untuk menginterpretasi spektra molekul, yang
memungkinkan orang buat melakukan penafsiran eksperimental terhadap sifat molekul (seperti
panjang ikatan, sudut ikatan, momen dipole dan lain-lain), untuk melakukan perhitungan
terhadap keadaan transisi pada reaksi kimia sehingga orang dapat mengekstimasi tetapan laju
reaksi, untuk memahami gaya antar molekul, untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan
dengan ikatan pada padatan.
Para ahli kimia organik menggunakan kimia kuantum untuk mengestimasi stabilitas
relatif molekul, untuk kalkulasi sifat-sifat yang berhubungan dengan intermediate reaksi, untuk
menginvestigasi mekanisme reaksi, untuk memprediksi aromatisitas suatu senyawa dan untuk
analisis spektra NMR.
Para ahli kimia analitik menggunakan kimia kuantum untuk metode spektroskopi secara
luas. Frekuensi dan intensitas garis spektrum hanya dapat dipahami dan diinterpretasi melalui
mekanika kuantum.
Para ahli kimia anorganik menggunakan pendekatan kuantum mekanik untuk menyusun
teori medan ligan dalam rangka memprediksi sifat-sifat ion kompleks logam transisi.
4
Meskipun masih dengan kendala yang sangat banyak para ahli biokimia mulai menggunakan
pendekatan mekanika kuantum ini buat melakukan studi terhadap molekul biokimia, ikatan
enzim-substrat (enzyme substrate binding) dan solvasi terhadap molekul biologi.
Dalam rangka menguasai kimia kuantum yang begitu luas dan pentingnya bagi para
kimiawan itulah maka kita mau tidak mau harus mempelajari mekanika Kuantum.
1.2 Sejarah Mekanika Kuantum
Perkembangan mekanika kuantum diawali ketika Planck melakukan studi terhadap sifat-
sifat cahaya yang berasal dari sebuah padatan yang dipanaskan. Pada 1801, Thomas Young
menyatakan bahwa cahaya mempunyai sifat gelombang dan hal ini dibuktikan dengan adanya
sifat difraksi dan interferensi manakala cahaya dilewatkan pada dua buah lubang kecil yang
berdekatan.
Sekitar 1860, James Clerk Maxwell mengembangkan 4 buah persamaan (disebut persamaan
Maxwell) yang menggabungkan hukum-hukum kelistrikan dan kemagnetan. Persamaan
Maxwell memprediksi bahwa muatan listrik yang diakselerasi akan meradiasi energi dalam
bentuk gelombang elektromagnetik yang terdiri atas oscilasi selang-seling antara medan listrik
dengan medan magnet. Prediksi Maxwell terhadap laju gelombang elektromagnetik tersebut
sama dengan laju cahaya yang diperoleh secara eksperimen. Atas dasar ini Maxwell
menyimpulkan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik.
Pada 1888, Heinrich Hertz mendeteksi adanya gelombang radio apabila muatan listrik
diakselerasi melalui bunga api, sebagaimana diprediksi oleh persamaan Makwell. Hal ini lebih
membuat yakin para fisikawan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik.
Semua gelombang elektromagnetik melintas dengan laju c = 2,998 . 108 m/s dalam
ruang vakum. Hubungan antara laju (c), frekuensi () dan panjang gelombang () dinyatakan
oleh persamaan:
. = c (1-1)
Pada akhir 1800-an fisikawan mengukur intensitas cahaya yang diemisi oleh benda
hitam yang dipanaskan pada temperatur tertentu. Benda hitam adalah obyek yang mengabsorpsi
seluruh cahaya yang jatuh padanya. Jika para fisikawan menggunakan mekanika statistik dan
model gelombang elektromagnetik untuk memprediksi kurva intenlitas-dan-frekuensi bagi
emisi radiasi benda hitam, maka mereka memperoleh hasil yang sepenuhnya tidak sesuai
dengan kurva eksperimental, khususnya pada porsi frekuensi tinggi.
5
Pada 1900, Max Planck mengembangkan teori yang memberikan kesesuaian yang luar
biasa dengan kurva eksperimental radiasi benda hitam. Planck berasumsi bahwa atom-atom
dalam benda hitam tersebut dapat mengemisi energi cahaya dalam jumlah tertentu yaitu h,
dengan h adalah tetapan Planck = 6,63 . 1034 J.s sedang adalah frekuensi. Nilai h ini
memberikan kurva yang sangat sesuai dengan kurva radiasi benda hitam hasil eksperimen.
Hasil kerja Planck ini menengarai dimulainya mekanika kuantum.
Hipotesis Planck yang menyatakan bahwa hanya kuantitas tertentu saja yang dapat
diemisi oleh energi cahaya (jadi emisi energinya bersifat terkuantisasi atau diskrit) merupakan
pernyataan yang kontradiktif secara langsung pendapat para fisikawan sebelumnya. Menurut
pendapat klasik, energi gelombang cahaya ditentukan oleh amplitudonya. Karena amplitudo
dapat mempunyai sembarang harga dari nol ke atas maka energi (begitu menurut pendapat
klasik) harus dapat mempunyai sembarang harga yang kontinum dari nol ke atas. Tetapi,
kenyataan menunjukkan bahwa energi terkuantisasi seperti yang dinyatakan oleh Planck-lah
yang sesuai dengan kurva radiasi benda hitam.
Aplikasi kedua dari sifat energi terkuantisasi adalah pada efek foto listrik. Dalam kasus
efek foto listrik, cahaya yang dijatuhkan pada permukaan logam, menghasilkan emisi elektron.
Menurut pendapat klasik, energi gelombang adalah sebanding dengan intensitasnya dan tidak
berhubungan dengan frekuensinya, sehingga gambaran gelombang elektromagnetik seperti ini
menuntun orang untuk memperkirakan bahwa energi kinetik elektron meningkat sesuai dengan
peningkatan intensitas cahaya tidak peduli dengan frekuensinya. Ini berarti bahwa cahaya
dengan frekuensi berapapun seharusnya dapat menghasilkan foto listrik. Tetapi kenyataannya
hanya cahaya dengan frekuensi tertentu saja yang dapat menghasilkan foto listrik.
Pada 1905, Albert Einstein menunjukkan bahwa fenomena foto listrik itu dapat
dijelaskan melalui pemahaman bahwa cahaya merupakan sesuatu yang mirip materi (dan
disebut foton) yang masing-masing foton mempunyai energi:
Efoton = h . (1-2)
Ketika elektron logam mengabsorpsi foton, sebagian energi foton digunakan untuk melawan
gaya yang mengikat elektron dan sisanya, jika ada, akan muncul sebagai energi kinetik. Efek
foto listrik tidak akan terjadi manakala energi foton tidak cukup untuk melawan gaya yang
mengikat elektron.
Konservasi energinya adalah:
6
h . = + Ekinetik
dengan adalah energi minimum yang dibutuhkan untuk melepaskan elektron (biasa disebut
fungsi kerja) sedang Ekinetik adalah energi kinetik maksimum yang diterima oleh elektron yang
teremisi. Melalui fenomena foto listrik maka diyakini bahwa cahaya mempunyai sifat partikel
selain sifat gelombang seperti ditunjukkan oleh eksperimen difraksi dan interferensi.
Sekarang marilah kita membicarakan struktur materi.
Pada akhir abad 19, percobaan tabung lucutan muatan listrik radioaktivitas natural
menunjukkan bahwa atom-atom dan molekul merupakan partikel yang bermuatan. Elektron
mempunyai muatan negatif. Proton, mempunyai muatan positif, sebesar muatan elektron tetapi
berlawanan tanda sedang massanya 1836 kali massa elektron. Penyusun atom yang ketiga
adalah netron (diketemukan 1932), tidak bermuatan dan sedikit lebih berat dibandingkan
proton.
Berawal pada 1909, Rutherford, Geiger dan Marsden melakukan serangkaian percobaan
yang sangat terkenal yaitu hamburan partikel alfa. Kesimpulan eksperimen ini adalah bahwa
sebagian besar dari volume atom adalah ruang kosong (karena sebagian besar alfa tidak
mengalami pembelokan arah), sedang seluruh massa terpusat pada inti yang bermuatan positif..
Kesimpulan kedua diambil karena ada beberapa alfa yang arahnya membelok. Pembelokan
arah alfa diduga disebabkan oleh tolakan inti. Karena alfa bermuatan positif, maka tolakan
hanya terjadi jika inti juga bermuatan positif.
Jari-jari atom 1013 sampai 1012 cm, intinya terdiri atas sejumlah netron dan Z proton.
Z selanjutnya disebut nomor atom. Di luar inti atom terdapat Z elektron. Muatan-muatan
partikel berinteraksi sesuai dengan hukum Coulomb. Sifat kimia atom-atom dan molekul
ditentukan oleh struktur elektronnya.
Pada tahun 1911, Rutherford mengajukan model planet bagi atom. Tetapi kesulitan
muncul sehubungan dengan model ini. Menurut teori elektromagnetik klasik, partikel yang
bergerak melengkung dengan kecepatan konstan pasti memperoleh akselerasi dari waktu ke
waktu, karena arah vektor kecepatannya berubah terus menerus. Padahal jika partikel bermuatan
mengalami akselerasi maka ia akan meradiasi energi berupa gelombang elektromagnetik,
sehingga elektron sepanjang lintasannya akan kehilangan energi sehingga bentuk lintasannya
seharusnya adalah spiral dan pada akhirnya elektron akan jatuh ke dalam inti.
7
Salah satu kemungkinan untuk mengatasi kesulitan in, diajukan oleh Niels Bohr, ketika
ia menggunakan konsep energi terkuantisasi pada atom hidrogen. Bohr berasumsi bahwa energi
elektron atom hidrogen terkuantisasi, dan elektron bergerak hanya pada satu lintasan tertentu
yang diijinkan. Jika elektron berpindah dari satu orbit ke orbit yang lain maka akan terjadi emisi
atau absorsi foton menurut relasi:
Etinggi Erendah = h (1-3)
dengan Etinggi dan Erendah adalah tingkat energi.
Kesulitan mendasar yang muncul dalam model atom Bohr, adalah ketika ia
menggunakan mekanika Newton untuk mendeskripsi gerak elektron dalam atom. Fakta spektra
menunjukkan bahwa energi atom bersifat diskrit artinya hanya harga tertentu saja yang
diijinkan, padahal mekanika Newton mengijinkan rentang energi secara kontinum. Pemaksaan
aplikasi mekanika Newton merupakan kelemahan utama model Bohr.
Keadaan terkuantisasi terjadi pada gerak gelombang, misalnya frekuensi nada dasar dan
overton pada senar gitar. Oleh karena itu, De Broglie pada tahun 1923 mengajukan hipotesis
bahwa gerak elektron adalah gerak gelombang dengan panjang gelombang yang dinyatakan
dengan:
= h
m v =
p
h (1-4)
dengan p adalah momentum linear, m massa dan v kecepatan elektron. De Broglie
mengemukanan (1-4) melalui alasan dan analogi dengan foton. Menurut teori relativitas
Einstein, energi semua partikel (termasuk foton) dapat dinyatakan dengan E = m . c2 dengan
kecepatan cahaya. Untuk foton, E = h = h c/Penggabungan keduanya menghasilkan =
h/mc = h/p. Persamaan (1-4) adalah analogi dari yang dikenakan pada gerak elektron.
Pada tahun 1927, Davisson dan Germer secara eksperimen melakukan konfirmasi
terhadap hipotesis De Broglie melalui percobaan difraksi elektron. Pada 1932, Stern, melakukan
hal yang sama, kemudian melakukan verivikasi bahwa efek gelombang pada elektron adalah
sesuatu yang tidak mustahil, dan hal ini merupakan konsekuensi dari beberapa hukum gerak
bagi partikel mikroskopik.
Jadi, elektron dalam satu peristiwa menyerupai partikel dan pada peristiwa yang lain
menyerupai gelombang. Dengan demikian kita dihadapkan dengan munculnya kontradiksi yang
disebut “dualitas gelombang-partikel” pada materi (dan cahaya). Bagaimana mungkin, elektron
8
dapat berlaku sebagai partikel (yang bersifat terlokalisir) sekaligus juga berlaku sebagai
gelombang (yang bersifat takterlokalisir) ? Jawabnya adalah bahwa elektron adalah bukan
partikel dan bukan pula gelombang tetapi sesuatu yang lain. Pengilustrasian secara akurat
terhadap sifat-sifat elektron dengan menggunakan konsep fisika klasik tentang gelombang atau
partikel adalah sangat tidak mungkin. Konsep fisika klasik telah dikembangkan atas dasar
pengalaman dalam dunia makroskopis dan tidak ditujukan bagi dunia mikroskopis.
Meskipun foton dan elektron keduanya menunjukkan gejala dualitas, namun keduanya
tetap bukan merupakan sesuatu yang sejenis. Foton senantiasa bergerak dengan kecepatan c dan
massa diam nol, sedang elektron bergerak dengan v < c dan massa diamnya tidak nol. Foton
harus selalu ditangani secara relativistik sedang elektron yang berkecepatan rendah boleh
ditangani secara non relativistik.
1.3 Prinsip Ketidakpastian
Sekarang akan kita bahas efek yang ditimbulkan oleh dualitas gelombang-partikel terhadap
pengukuran secara simultan posisi dalam koordinat x dengan px (komponen x momentum
linear) dari sebuah partikel mikroskopik. Untuk itu ikuti uraian berikut:
Berkas partikel dengan momentum p, melintas searah sumbu y melalui celah sempit. Di
belakang celah tersebut dipasang plat fotografi.
p
p
A
w B
E
y D
Plat Foto
x
9
Keterangan:
A = ujung atas celah B = Pertengahan celah E = ujung bawah celah
D = difraksi minimum I bagian atas
Gambar 1.1: Difraksi elektron melalui celah
Partikel yang melalui celah yang lebarnya w mempunyai ketidakpastian w pada arah
koordinat x nya pada saat melintas melalui celah tersebut. Jika ketidakpastian arah x ini secara
umum disebut x, maka x = w.
Karena partikel mikroskopik mempunyai sifat gelombang, maka mereka didifraksi oleh
celah dan menghasilkan pola difraksi yang ditangkap oleh plat foto di balik celah. Ketinggian
grafik pada suatu titik di layar foto pada gambar 1-1, diukur berdasarkan banyaknya partikel
yang mencapai titik itu. Pola difraksi menunjukkan bahwa ketika partikel didifraksi oleh celah,
arah geraknya berubah sehingga partikel yang berubah arah itu momentumnya ditransfer ke
arah x. Arah momentum komponen x dinyatakan sebagai proyeksi vektor momentum pada arah
x. Partikel yang arahnya membelok ke atas (arah x positif) dengan sudut sebesar , mempunyai
px = p sin . Partikel yang arahnya membelok ke bawah (arah x negatif) dengan sudut sebesar
, mempunyai px = p sin . Karena semua partikel mengalami pembelokan dengan rentang
antara sampai dengan adalah sudut untuk minimum pertama dalam pola difraksi, maka
kita akan mengambil separuh sebaran nilai momentum di pusat puncak difraksi sebagai ukuran
ketidakpastian px, jadi px = p sin . Dengan demikian, pada, yaitu tempat dilakukannya
pengukuran,
x . px = p w sin 1-5
Besarnya sudut dapat diketahui lewat pengukuran. Untuk minimum yang pertama,
besarnya sudut diperoleh melalui pengukuran terhadap sudut yang dibentuk oleh lintasan
partikel yang membelok ke minimum pertama bagian atas dengan lintasan partikel yang tidak
mengalami pembelokan. Pada kondisi minimum pertama, perbedaan jarak tempuh partikel yang
mengalami pembelokan dengan yang tidak mengalami pembelokan adalah 1/2
Untuk melakukan kalkulasi terhadap difraksi minimum pertama perhatikan gambar 1-2.
Titik A adalah ujung atas celah, titik D adalah titik minimum difraksi pertama, E adalah ujung
bawah celah, titik B adalah pertengahan celah., titik C adalah titik yang diletakkan sedemikian
rupa sehingga jarak AD = CD dan BC merupakan selisih jarak BD dengan AD. Mengingat jarak
D
10
antara celah dengan plat foto relatif jauh tak terhingga dibandingkan dengan lebar celah, maka
garis AD dan BD relatif hampir paralel. Akibatnya titik C dan B hampir berimpit dan sudut
ACB praktis merupakan sudut lurus dan besarnya sudut BAC = sehingga panjang garis BC =
1/2w sin BC adalah selisih panjang lintasan partikel yang melalui pertengahan celah dan yang
melalui titik atas celah yang menuju ke titik minimum difraksi pertama D. Karena difraksi dapat
berlangsung, maka ini hanya mungkin jika selisih panjang lintasan itu yaitu BC = 1/2 , jadi w
sin = dan persamaan (1-5) boleh ditulis x.px = pKarena = h/p maka x . px = h.
Karena ketidakpastian tidak dapat didefinisikan secara persis maka penggunaan tanda =
dipandang kurang tepat dan diganti tanda , dan ketidakpastian itu ditulis:
x . px h (1-6)
Dalam pasal (5.1) akan kita bahas definisi statitikal terhadap ketidakpastian untuk
menggantikan (1-6).
Gambar 1.2: Kalkulasi difraksi minimum pertama
Meskipun yang telah kita tunjukkan untuk memperoleh (1-6) hanya dirancang untuk sebuah
eksperimen saja, namun validitasnya adalah general. Untuk materi yang memiliki dualitas
gelombang partikel, adalah tidak mungkin melakukan pengukuran secara simultan terhadap
posisi dan momentumnya. Artinya jika kita menentukan presisi yang sangat tinggi untuk posisi
maka ini akan berakibat berkurangnya akurasi penentuan momentum (Dalam gambar 1.1, sin
= /w, jadi makin kecil lebar celah, makin melebar pola difraksi). Fenomena ini disebut Prinsip
Ketidakpastian yang dikemukakan oleh Werner Heissenberg pada tahun 1927.
1.4 Persamaan Schrodinger Bergantung Waktu
A
B C
E
½ W
D
11
Mekanika klasik atau mekanika Newton sangat sukses dalam mendeskripsi gerak makroskopis,
tetapi gagal dalam mendeskripsi gerak mikroskopis. Gerak mikroskopis membutuhkan
mekanika khusus yang disebut mekanika kuantum. Karena gerak partikel mikroskopis adalah
gerak gelombang (menurut de Broglie) maka salah satu metode membangun mekanika kuantum
adalah dengan pendekatan gelombang, oleh karena itu maka mekanika kuantum juga disebut
mekanika gelombang.
Perbedaan mendasar antara mekanika klasik dengan mekanika kuantum adalah bahwa
dalam mekanika kuantum state ( posisi, kecepatan, momentum dan gaya yang bekerja) suatu
partikel pada saat tertentu dapat ditentukan secara eksak dengan menggunakan hukum Newton.
Sedang pada mekanika kuantum, karena adanya prinsip ketidakpastian pada pengukuran
momentum partikel, maka state suatu partikel tidak dapat ditentukan dengan pasti tetapi orang
hanya dapat menentukan kebolehjadian suatu partikel menempati state tertentu.
Dalam mekanika kuantum state suatu sistem dapat diperoleh manakala fungsi
gelombang partikel diketahui. Untuk mengetahui fungsi gelombang orang harus mempunyai
persamaan gelombang partikel mikroskopis. Karena persamaan gelombang ini diperoleh oleh
Schrodinger, maka persamaannya disebut persamaan Schrodinger.
Persamaan Schrodinger merupakan jantungnya mekanika kuantum, karena melalui
persamaan Schrodinger inilah fungsi gelombang dapat diperoleh. Untuk itu kita perlu
mengetahui apakah persamaan Schrodinger itu dan bagaimana persamaan Schrodinger itu
diperoleh?
Persamaan Schrodinger adalah persamaan yang menyatakan hubungan antara turunan
pertama fungsi gelombang terhadap waktu dengan turunan kedua fungsi tersebut
terhadap koordinat.
Dari definisi itu dapat disimpulkan fungsi gelombang merupakan fungsi koordinat dan
waktu. Agar pembahasannya tidak terlalu rumit maka kita akan mulai dengan membahas
bagaimana persamaan Schrodinger untuk gelombang sebuah partikel satu dimensi. Untuk
mendapatkan persamaannya Schrodinger menggunakan fungsi gelombang fisik yang telah
dikenal, misal fungsi rambatan gelombang harmonik satu dimensi, yaitu:
F(x , t) = A . e i ( kx t ) (1-7)
dengan:
12
k = 2 / dan = 2 ; = panjang gelombang ; = frekuensi gelombang
Turunan pertama terhadap t:
∂F(x,t) /∂t = i A . e i ( kx t ) = i F(x,t) (1-8)
Turunan kedua terhadap x:
∂2 F(x,t) / ∂x2 = k2 .A . e i ( kx t ) = k2 F(x,t) (1-9)
Jadi:
t
txF
),( =
2k
i
2
2
x
)t,x(F
(1-10)
Sampai saat ini kita masih berada di daerah fisika klasik. Sekarang kita akan masuk ke daerah
kuantum yaitu dengan menggunakan hubungan E = h jadi = E / h jadi:
= 2 = 2 E / h =
E (1-11)
Kita juga memanfaatkan dualisme de Broglie yaitu p = h / sehingga:
k = 2 / = 2 p / h =
p (1-12)
Subtitusi (1-11) dan (1-12) ke dalam (1-10) menghasilkan:
t
txF
),( = i
2p
E
2
2 ),(
x
txF
(1-13)
Karena sudah masuk ke daerah kuantum, maka notasi fungsi gelombangnya diganti (x,t)
sehingga (1-13) ditulis:
t
tx
),( = i
2p
E
2
2 ),(
x
tx
(1-14)
E adalah jumlah energi kinetik T dan energi potensial V, jadi:
t
tx
),( = i
2p
VT
2
2 ),(
x
tx
(1-15)
atau:
t
tx
),( = i
2p
T
2
2 ),(
x
tx
+ i
2p
V
2
2 ),(
x
tx
(1-16)
Jika T diganti p2/ 2m , maka: diperoleh:
13
t
tx
),( = i
m2
1
2
2 ),(
x
tx
+ i
2p
V
2
2 ),(
x
tx
(1-17)
atau:
it
tx
),( =
m2
2
2
2 ),(
x
tx
22
p
V
2
2 ),(
x
tx
(1-18)
Sebenarnya (1-18) tersebut sudah merupakan persamaan Schrodinger, tetapi yang lebih lazim
2
2 ),(
x
tx
di suku kedua ruas kanan diganti dengan k2 (x,t) yaitu analog dengan (1-9)
sehingga (1-18) boleh ditulis:
it
tx
),( =
m2
2
2
2 ),(
x
tx
22
p
V k2 (x,t) (1-19)
dan karena k = p / , maka (1-19) juga boleh ditulis:
it
tx
),( =
m2
2
2
2 ),(
x
tx
V (x,t) (1-20a)
Persamaan (1-20a) itu adalah persamaan gelombang Schrodinger bergantung waktu untuk
sebuah partikel dalam satu dimensi . Kadang-kadang beberapa buku menulis (1-20a) dalam
bentuk:
i
t
tx
),( =
m2
2
2
2 ),(
x
tx
V (x,t) (1-20b)
Apakah makna fisik Ruas Kiri Persamaan Schrodinger ?
Kita telah tahu bahwa sesuai dengan (1-8) maka:
t
tx
),( = i (x,t)
Jadi:
i
t
tx
),( = (x,t)
padahal = 2 jadi:
i
t
tx
),( = h (x,t)
Karena h = E, maka:
14
i
t
tx
),( = E (x,t) (1-21)
atau:
i
)t,x(
1
t
tx
),( = E (1-22)
Bagaimana makna fisik Ruas Kanan ?
Kita telah tahu bahwa makna fisik ruas kiri persamaan adalah E (x,t). Jadi ruas kananpun = E
(x,t)
Jadi:
m2
2
2
2 ),(
x
tx
V (x,t) = E (x,t) (1-23)
dengan demikian maka:
m2
2
2
2
x
V = E (1-24)
Dalam mekanika kuantum maka m2
2
2
2
x
V juga disebut operator energi. Jadi dikenal dua
macam operator energi yaitu i
t
dan
m2
2
2
2
x
V. Pada perkembangan berikutnya nanti
operator energi yang lebih populer adalah m2
2
2
2
x
V yang juga dikenal dengan nama
operator Hamilton atau H . Jadi:
H =
m2
2
2
2
x
V (1-25a)
atau:
E =
m2
2
2
2
x
V (1-25b)
15
Setelah kita tahu bahwa m2
2
2
2
x
V adalah operator untuk E padahal kita juga tahu bahwa
E = T + V maka sudah dapat dipastikan bahwa m2
1
2
2
x
adalah operator untuk T atau
operator energi kinetik. Jadi:
T =
m2
2
2
2
x
(1-26)
Tentang Fungsi Gelombang
Kata state suatu sistem mengacu pada kecepatan posisi partikel pada saat tertentu serta gaya
yang bekerja pada partikel tersebut. Dalam mekanika klasik, tepatnya menurut hukum Newton,
massa tepat state sistem dapat diprediksi secara eksak apabila state sistem saat ini diketahui.
Dalam mekanika kuantum, state sistem direpresentasikan oleh fungsi gelombang yang
merupakan fungsi koordinat dan waktu. Informasi masa depan suatu sistem dalam mekanika
kuantum dapat dikalkulasi dengan menggunakan persamaan Schrodinger, hanya saja karena
adanya prinsip ketidakpastian pada pengukuran posisi dan momentum, maka prediksi secara
eksak seperti yang terjadi pada mekanika klasik tidak dapat diberikan oleh fungsi gelombang.
Fungsi gelombang memuat semua informasi yang dapat kita ketahui mengenai sistem
yang didiskripsinya. Informasi apakah yang diberikan oleh mengenai hasil pengukuran
koordinat x partikel? tidak dapat memberikan informasi posisi secara tepat seperti yang
dilakukan oleh mekanika klasik. Jawaban yang benar terhadap pertanyaan tersebut diberikan
oleh Max Born beberapa saat setelah Schrodinger menemukan persamaan Schrodinger. Born
membuat postulat bahwa:
dxtx2
),( (1-27
merupakan peluang pada waktu t untuk menemukan partikel sepanjang sumbu x yang terletak
antara x dengan x + dx. Fungsi ( , )x t2
adalah fungsi kerapatan peluang (probability density)
untuk mendapatkan partikel di sembarang tempat sepanjang sumbu x. Sebagai contoh,
dianggap bahwa pada sembarang waktu tertentu t0 sebuah partikel didiskripsi oleh fungsi
gelombang a ebx
.
2
dengan a dan b adalah tetapan real. Jika kita mengukur posisi partikel pada
16
saat t0 , kita dapat memperoleh sembarang harga x sebab nilai rapat peluangnya yaitu
a ebx2 2
2
tidak nol, berapapun harga x-nya. Nilai x = 0 adalah lebih baik dibandingkan nilai x
yang lain karena di titik asal (x = 0), harga 2 mencapai maksimum.
Untuk membuat hubungan yang tepat antara 2 dengan hasil pengukuran
eksperimental, kita harus mengambil sejumlah sistem identik yang tidak saling berinteraksi,
masing-masing berada dalam keadaan yang sama. Kemudian kita dapat mengukur posisi
dalam masing-masing sistem. Jika kita mempunyai n sistem dan membuat n pengukuran, dan
jika dnx adalah banyaknya pengukuran yang dimana kita menjumpai partikel terletak antara x
dan x + dx, maka dnx/n adalah peluang mendapatkan partikel pada posisi antara x dan x + dx.
Jadi:
dn
nx =
2 dx
dan grafik (1/n)dnx /dx versus x adalah kerapatan peluang 2 .
Kuantum mekanik pada dasarnya dilandasi oleh sifat statistikal. Dengan memahami
keadaan sistem pada saat tertentu, kita tidak dapat memprediksi hasil pengukuran posisi secara
pasti. Kita hanya dapat memprediksi kemungkinan dari berbagai hasil yang mungkin. Teori
Bohr yang menyatakan bahwa elektron beredar pada lintasan yang berjarak pasti dari inti,
merupakan pernyataan yang tidak dapat diterima oleh mekanika kuantum.
1.5 Persamaan Schrodinger Tak Bergantung (Bebas) Waktu
Persamaan Schrodinger bergantung waktu (1-20a) tampak sangat menyeramkan.
Untungnya, dalam aplikasi mekanika kuantum dalam kimia, ternyata tidak perlu kita
berhadapan dengan persamaan tersebut dan sebagai gantinya kita cukup menggunakan
persamaan Schrodinger bebas waktu, yang untuk sebuah partikel dalam sistem satu dimensi,
persamaannya adalah:
0 )()V(E 2m
+ d
(x)22
)(2
xdx
x
(1-28)
Persamaan (1-28) dapat diturunkan dari persamaan (1-20a) melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
Perlu diketahui bahwa ( x , t ) adalah gabungan dari x dan t dan dinyatakan:
17
( x , t ) = x . t (1-29)
Jika (1-29) dimasukkan ke dalam (1-20a) diperoleh:
txtxtx
xmti
t)(x,2
22V +
2 =
(1-30)
Jika kita batasi bahwa fungsi energi potensial hanya merupakan fungsi x saja dan bebas waktu,
maka (1-30) ditulis:
txtxtx
xmti
(x)2
22
V + 2
=
atau:
tx(x)2x
2
t
2t
x V + dx
d
m2 =
dt
d
i
(1-31)
Jika (1-31) dibagi x setelah itu hasilnya dibagi t maka diperoleh:
(x)2
x2
x
2t
tV +
dx
d1
m2 =
dt
d1
i
(1-32)
Jika ruas kiri (1-32) dibandingkan dengan (1-22) maka ruas kiri (1-32) itu adalah E, jadi (1-32)
dapat ditulis:
E = V + 1
2 (x)2
22
dx
d
mx
x
atau
xx(x)2x
22E = V +
dx
d
m2
atau: 0 )x()V(E 2m
+ dx
d(x)22
)x(2
Persamaan diatas adalah persamaan (1-28) yang kita turunkan.
Selanjutnya untuk mengetahui penyelesaian t kita ikuti langkah berikut:
Seperti ruas kanan, ruas kiri (1-32) = E, maka:
= dt
d1
i t
t
E atau
E i=
1
tt
d dt
yang jika diintegralkan:
c + iEt
ln t
jadi:
/iEtCt e.e = A. e
iEt /
18
Konstanta A pada t dapat dilimpahkan pada x pada perkalian (1-29) sehingga:
t = eiEt /
(1-33)
Jika (1-33) dimasukkan kedalam (1-29) maka kita peroleh bentuk fungsi gelombang sebuah
partikel dalam sistem satu dimensi yaitu:
( x , t ) = eiEt /
. x (1-34)
Tampak bahwa fungsi gelombang partikel merupakan fungsi komplek, padahal kerapatan
peluang adalah 2
),( tx . Untuk fungsi komplek harga kuadrat absolutnya adalah hasil kali
fungsi itu dengan fungsi konjugatnya.
( , )x t2
= ( , )
*
x t. ( , )x t (1-35)
( , )
*
x tadalah fungsi konjugat dari ( , )x t yaitu ( , )x t yang i nya diganti i.
1.6 Probabilitas
Telah kita bicarakan bahwa kerapatan peluang = ( , )x t2
= ( , )
*
x t. ( , )x t sedang
peluang mendapatkan partikel pada segmen sepanjang dx yaitu dari x sampai x + dx adalah
( , )x t2
dx = *),( tx
. ( , )x t dx, maka untuk menentukan peluang untuk rentang tertentu misal
dari a sampai b, adalah menjumlahkan peluang dari segmen ke segmen sepanjang antara a dan
b. Penjumlahan seperti itu pada dasarnya adalah pengintegralan.
Jadi:
P( a < x < b ) = ( , )x t
b
a
dx2
= ( , )
*
x t
a
b
. ),( tx . dx (1-36)
Jika interval dari a sampai b tersebut dimulai dari ~ sampai + ~ maka peluang dijumpai
partikel pada interval tersebut pasti = 1 artinya kita pasti menjumpai partikel jika kita
mencarinya mulai dari posisi ~ sampai + ~. Jadi kita boleh menulis:
P( ~ < x < +~ ) = dx2
)t,x(
~
~
=
~
~
*)t,x(
. ( , )x t . dx = 1 (1-37)
Fungsi gelombang partikel yang memenuhi persamaan (1-37) disebut fungsi gelombang
ternormalisasi.
19
Soal-soal Bab 1
1. Hitunglah panjang gelombang de Broglie dari sebuah elektron yang melintas dengan
kecepatan 1/137 kali kecepatan cahaya. (dengan kecepatan tersebut, pendekatan relativistik
boleh diabaikan).
2. Fungsi kerja Na adalah 2,28 eV. Tentukan:
a. energi kinetik maksimum dari fotoelektron yang diemisi oleh Na , jika proses fotolistrik
tersebut menggunakan cahaya ultra violet yang panjang gelombangnya 200 nm.
b. berapa panjang gelombang cahaya maksimal yang masih dapat menghasilkan fotolistrik
terhadap Na ?
3. Ketika J.J Thomson melakukan investigasi terhadap elektron melalui eksperimen tabung
sinar katoda, ia melakukan pengamatan terhadap sifat-sifat elektron dengan menggunakan
pendekatan mekanika klasik.
a. Jika elektron diakselerasi dengan energi kinetik 1000 eV, dan melalui celah yang lebarnya
0,1 cm, berapakah besarnya sudut difraksi dalam gambar 1.1
b. Berapa lebar celah yang diperlukan agar elektron dengan energi kinetik 1000 eV
menghasilkan = 1o ?
4. Diketahui sebuah partikel dalam sistem satu dimensi yang dinyatakan oleh fungsi:
= / xm b- tb i- 2
e e a .
a dan b adalah konstanta dan m adalah massa patikel. Dengan menggunakan persamaan
Schrodinger bergantung waktu, tentukan fungsi energi potensial bagi sistem tersebut.
Diketahui sebuah partikel dalam sistem satu dimensi yang dinyatakan oleh fungsi:
x = b x 2 xce . Tentukan energi partikel tersebut jika diketahui:
Fungsi energi potensial = V = m/xc2 222
b = konstanta ; c = 2 nm2 ; m = 1,00 . 1030 kg
6. Pada saat tertentu, sebuah partikel dalam sistem satu dimensi, dideskripsi oleh
= (2 / b3 )1/2x.ex/ b . dengan b = 3 nm. Jika pada saat itu diadakan pengukuran
terhadap x , maka:
(a) Tentukan probabilitasnya agar hasil pengukurannya antara 0,9 dan 0,9001 nm (anggaplah
bahwa dx amat kecil dibandingkan dengan 0,9 nm)
20
(b) Tentukan probabilitasnya agar hasil pengukurannya antara 0 dan 2 nm.
(c) Untuk x bernilai berapakah, probabilitas akan minimum ? (tidak perlu dijawab secara
kalkulus)
(d) Buktikan bahwa ternormalisasi.
No. 7 sampai dengan selesai adalah tentang bilangan kompleks
7. Plot-lah bilangan kompleks berikut :
(a) z = 3 + 4 i (b) z = 4 i (c) z = 3 i (d) z = 4
8. Nyatakan bilangan kompleks berikut kedalam bentuk z = r ei :
(a) z = 3 + 4 i (b) z = 4 i (c) z = 3 i (d) z = 4
9. Nyatakan bilangan komplek berikut dalam bentuk z = x + y i dan buat plotnya:
(a) z = 4 e 3 i (b) z = 3 i /4
10. Tentukan komplek konjugasi dari bilangan kompleks berikut:
(a) z = 3 + 4 i (b) z = 4 i (c) z = 3 i (d) z = 4
(e) z = 4 e 3 i (e) z = 3 i /4
11. Buktikan bahwa
(a) 1/ i = i (b) e i = cos + i sin (c) sin = (e i e i ) / 2 i
12. Di antara bilangan-bilangan berikut, mana yang bilangan komplek:
(a) 3 + i4 (b) 5 + 3 i2 (c) i3 (d) 10 + 4 i5
21
Jawab:
1. Gelombang de Broglie :
p = h
p = m . v
Dengan memasukkan harga m dan v elektron, p dapat dihitung. Jika p sudah diketahui,
dapat dihitung.
2. Dalam fotolistrik berlaku
a. E foton = h . = h . c = + Ekinetik
dengan memasukkan harga dan dan fungsi kerja maka enegi kinetik dapat dihitung
b. Untuk menghirung ambang gunakan: h . c >
3. a. Untuk menghiutng sudut difraksi kita gunakan relasi:
p = p sin
p dihitung dari relasi : p . x = h dengan x = lebar celah
p dihitung dari energi kinetik elektron, ingat : Ek = p2 / 2m
b. solusinya merupakan kebalikan dari a. Kita telah tahu harga p, selanjutnya kita cari harga
p melalui p = p sin Selanjutnya x dapat dihitung.
4. Persamaan Schrodinger bergantung waktu adalah:
= + V(x,t)
i t m x
x t x tx t
( , ) ( , )( , )
2 2
22
(4-6)
Kita selesaikan dulu ruas kiri:
/ xm b - tb i-)t,x( 2
e e a ti
= ti
e dt
d
i e a tb i-/ xm b - 2 e
i b . i . e a tb i-/ xm b - 2
e . e a b tb i-/ xm b - 2 b
Dengan demikian persamaan (4-6) menjadi:
22
b ( x, t) )t,x(t)(x,2
)t,x(22
V + xm2
=
Selanjutnya kita selesaikan suku pertama ruas kanan:
m2
xm2
2
2
)t,x(22
/ xm b - tb i-
2
2 2
e e a x
/bmx2
2 tb i -
2 2
e dx
d e a .
m2
/bmx tb i -2 2
e dx
d .
dx
d e a .
m2
/bmx tb i -2 2
e 2bmx
- . dx
d e a .
m2
/bmx tb i -2 2
e . x dx
d e a
2bm .
m2
/bmx2 /bmx tb i -
2 22
e xm 2b
e e a 2bm
. m2
2 /bmx tb i -
2x
m 2b 1 e e a
2bm .
m2
2
xm 2b
1 2bm
. m2
22
xm 2b
1 . b 2
Sekarang persamaan Schrodinger menjadi:
b ( x, t) xm 2b
1 . b 2
( x, t) )t,x(t)(x,V +
atau:
b ( x, t) xm 2b
1 . b 2
( x, t) )t,x(t)(x,V +
atau:
b xm 2b
1 . b 2
t)(x,V +
23
Jadi fungsi energi potensialnya adalah:
t)(x,V = b xm 2b
1 . b 2
= b b + 22 xmb2
= 22 xmb2
5. Berbeda dengan soal no. 4 yang fungsi gelombangnya merupakan fungsi x dan t, maka
pada soal no. 5 ini fungsi gelombangnya hanya merupakan fungsi x, sehingga untuk
menyelesaikannnya kita gunakan persamaan Schrodinger tak bergantung waktu (Persamaan
5-1)
d +
2m (E V
2
(x)
( )) ( )
x
dxx
2 20
(5-1)
Jika V kita masukkan akan kita peroleh:
2m
+ dx
d
22
)x(2
(E m/xc2 222 ) ( x )
= 0
Kita selesaikan suku pertama ruas kiri:
dx
d
2
)x(2
dx
d.
dx
d
2 xce dx
d.
dx
d
2 xce dx
d
2 xce 2 xce
dx
d
2 xce 2 xce
2 xce
2 xce
2 xce
2 xce
Dengan demikian persamaan Schrodinger menjadi:
( 2m
2 m/xc2 222
atau:
2m
2 m/xc2 222
25
BAB II
PARTIKEL DALAM BOX
2.1 Pengantar
Elektron dalam atom dan molekul dapat dibayangkan (meski tidak persis benar) mirip
dengan partikel yang berada dalam box. Dalam kasus ini daerah di dalam box tempat partikel
tersebut bergerak, berpotensial nol, sedang daerah diluar box berpotensial tertentu atau tak
terhingga, jadi box dibayangkan sebagai ruangan dengan dindingnya adalah energi potensial..
Pada perkuliahan Fisika Modern sebelum ini, kita sudah membahas secara elementer mengenai
gerak partikel dalam box ini, sekarang kita akan membahasnya lagi secara lebih mendalam
karena banyak aspek filosofis yang belum kita bahas pada perkuliahan tersebut. Selain itu pada
bab ini kita juga akan membahas, bagaimana fungsi gelombang partikel yang berada di luar
box, dan bagaimana pula fungsi gelombang partikel bebas. Meskipun partikel dalam box yang
kita bicarakan ini sangat tidak realistik tetapi ternyata sebagai pola berfikir, ia banyak memberi
sumbangan untuk memahami fenomena-fenomena yang selama ini belum terjangkau nalar.
Pada uraian mengenai penurunan fungsi gelombang, kita akan membuat penyelesaian
persamaan Schrodinger. Karena persamaan tersebut adalah persamaan differensial orde dua
maka ada baiknya kita pelajari lagi bagian terpenting dari persamaan orde dua yaitu:
Bentuk umum persamaan orde dua adalah:
aY" + b Y' + cY = 0 atau:
a 0= Y c + dx
d b +
2
2
YYdx
d (2-1)
yang boleh ditulis: aD2Y + bDy + cY = 0 atau:
(aD2 + bD + c)y = 0 (2-2)
dan
aD2 + bD + c = 0 disebut persamaan karakteristik (2-3)
Penyelesaian umum persamaan differensial orde dua (2-1) tersebut
adalah:
26
Y = A . e + B . eD x D x1 2
A dan B adalah sembarang konstanta, sedang D1 dan D2 adalah akar-
akar persamaan karakteristik (2-3)
Contoh:
Tentukan bentuk umum penyelesaian 2Y" + 3Y' + 4Y = 0
Jawab:
Persamaan karakteristiknya : 2D2 + 3D + 4 = 0, akar-akarnya:
D1 . 2 =
4
21 3 = 3/4 + 5 1/4 i
Jadi Penyelesaiannya adalah:
Y = A . xe i /5 / 4
14
3 + B .
xe i /5 / 41
43
Hal lain yang perlu diingat ialah bahwa mekanika kuantum melibatkan tidak hanya bilangan
real tetapi juga bilangan komplek, jadi sifat-sifat bilangan komplek harus diingat kembali.
2.2 Partikel Dalam Box Satu Dimensi
Kita akan memperhatikan sebuah partikel yang bergerak dalam box satu dimensi. Yang
dimaksud dengan box satu dimensi adalah penggal garis yang panjangnya a yang terletak pada
sumbu x. Sepanjang sumbu x itu fungsi energi potensialnya tak terhingga kecuali pada
penggalan sepanjang a yang potensialnya 0. Jadi jika partikel berada di dalam box, maka energi
potensialnya adalah nol sedang jika berada di luar box, energi potensialnya tak terhingga.
Vx
I II III
x = 0 x = a
27
Gambar 2.1: Fungsi energi Potensial Partikel dalam Box satu Dimensi
Dari gb.2.1 tampak bahwa sumbu x terbagi atas tiga area, yaitu area I ( x < 0), area II (0< x <a)
dan area III ( x >a). Tugas kita adalah menentukan fungsi gelombang partikelnya dan
menentukan energi partikel pada masing-masing daerah tersebut. Untuk ini kita harus
menyelesaikan persamaan Schrodinger bebas waktu atau persamaan (5-1 Bab I)
0 )()V(E 2m
+ d
(x)22
)(2
xdx
x
(2-4)
Jika partikel berada di luar box (daerah I dan III) , Vx = , sehingga (EV) = dan
persamaan (2-4) dapat ditulis:
x2x
2
dx
d
(2-5)
Jadi:
x = 1
d
dx
x2
2
atau x = 0 (2-6)
Kesimpulan: Jika berada di luar box, partikel tidak bergerak gelombang.
Bagaimanakah jika partikel berada dalam box yaitu daerah II ?
Jika berada dalam box, V = 0 sehingga (2-4) dapat ditulis:
d
dx
mExx
2
2 2
2 + = 0
(2-7)
Persamaan (2-7) di atas adalah persamaan differensial orde dua yang persamaan
karakteristiknya adalah:
D2 + 2
2
mE
= 0
Sehingga akar-akar nya adalah:
D1.2 = + 2
2
mE
= + i (2 mE)1/2/
Bentuk umum penyelesaian persamaan Schrodinger satu dimensi:
= A. ei mE x( ) /
/2
1 2 + B . e
i mE x ( ) //
21 2
(2-8)
28
Agar bentuknya sederhana (2 mE)1/2 x / ditulis sehingga (2-8) ditulis:
(x) = A. e i i (2-9)
Menurut persamaan Euler : ei = cos + i sin dan i = cos i sin sehingga (2-9) dapat
ditulis:
(x) = A( cos + i sin ) + B. (cos i sin
= A cos + A i sin + B. cos i sin
= A cos + B. cos A i sin i sin
= (A + B) cos (A i i ) sin
(x) = P cos Q sin (2-10)
dengan P dan Q adalah tetapan sembarang yang baru. Dengan mengembalikan harga maka (2-
10) dapat ditulis:
(x) = P cos {(2 mE)1/2 x / } + Q sin (2 mE)1/2 x / } (2-11)
Untuk menentukan P dan Q kita gunakan kondisi khusus tertentu. Kita postulatkan bahwa
adalah kontinum, artinya tidak ada lompatan nilai jika x kontinum. Ini berarti diluar box,
nyambung dengan di dalam box ketika melalui dinding box (pada x = 0 atau x = a).
Padahal diluar box = 0 dimanapun termasuk di dinding box, jadi di dalam boxpun harus
bernilai nol ketika melalui dinding. Jadi, di dinding box ketika x = 0, maka pada (2-11)
adalah nol, jadi:
(x) = P cos {(2 mE)1/2 .0 / } + Q sin{(2 mE)1/2 .0 / }= 0
Jadi:
(x) = P cos 0 + Q sin 0 = 0
P + 0 = 0 jadi P = 0
Kalau P = 0, maka Q tidak mungkin 0 karena sin 0 sudah pasti 0 dan (2-11) menjadi:
(x) = Q sin (2 mE)1/2 x / (2-12)
Untuk menentukan harga P, kita gunakan x = a. Pada kondisi ini juga harus = 0. Jadi:
Q sin (2 mE)1/2 a / = 0
Karena Q pasti tidak nol, maka:
sin (2 mE)1/2 a / = 0 sehingga
(2 mE)1/2 a / = + n (2-13)
Jika kedua ruas dikuadratkan, maka:
29
2mE a2 / 2 = n22
Dari sini kita peroleh:
E = 2
222
a m2n
=
2
22
a m8
hn n = 1, 2, .... (2-14)
Mengapa harga n tidak dimulai dari nol ? Jika n = 0 diijinkan berarti pada keadaan itu E = 0. E
= 0 tidak mungkin, karena dengan demikian hanya terjadi jika partikel tidak bergerak. Untuk
partikel yang bergerak E = 0 tidak diijinkan, jadi n = 0 juga tidak diijinkan.
Jika E pada (2-14) kita masukkan pada (2-12), kita peroleh:
= Q sin
a
nx (2-15)
Untuk memperoleh Q, kita gunakan sifat fungsi ternormalisasi, yaitu bahwa fungsi normal,
harga total peluangnya = 1, jadi:
P( 0 < x < a ) = 2
0
l
dx = 1, jadi:
Q2 dx x a
nsin
a
0
2
= 1
Jadi:
Q = 2/1
a
2
Dengan demikian fungsi gelombang partikel dalam box satu dimensi diperoleh, yaitu:
(x) = 2/1
a
2
sin
a
nx (2-16)
Grafik Fungsi tersebut adalah:
n = 1 n = 2 n = 3
30
Gambar 2.2. Grafik fungsi gelombang Partikel Dalam Box Satu Dimensi
Gambar 2.3. Grafik 2 Partikel Dalam Box
2.3 Partikel Bebas Satu Dimensi
Sekarang kita akan membahas, bagaimana energi partikel bebas. Yang dimaksud dengan
partikel bebas adalah partikel yang tidak mendapat gaya sama sekali. Karena gaya adalah
turunan energi potensial terhadap koordinat x, berarti energi potensial pada partikel tersebut
bukan fungsi x tetapi hanya konstanta saja artinya berapapun harga x energi potensial partikel
tidak berubah. Besarnya energi potensial untuk partikel bebas disebut zero level energi yang
dengan bebas dapat kita tentukan. Seandainya kita pilih energi potensial V = 0, (Awas zero
level energi belum tentu nol joule) maka persamaan (1-28 Bab I) menjadi:
+ 2m
E = 02
d
dx
xx
2
2
Persamaan di atas sama dengan persamaan (2-7), jadi penyelesaiannya:
(x) = A. ei mE x( ) /
/2
1 2 + B . e
i mE x ( ) //
21 2
(2-17)
Selanjutnya kondisi batas yang bagaimana yang dapat kita gunakan untuk menentukan energi?
Harus kita ketahui, bahwa harus mempunyai harga tertentu (tidak tak terhingga) berapapun
harga x yang kita pilih, atau bahwa untuk < x < harga adalah terhingga. Atas dasar
hal ini, maka energi partikel bebas paling kecil adalah nol dan tidak mungkin berharga negatif
sebab jika E negatif maka :
i mE( )/
21 2
= i m E( )/
21 2
= i m E1 21 2
( )/
= ( )/
21 2
m E
akibatnya suku pertama persamaan (2-17) di atas akan menjadi jika pada x = . Hal ini
melanggar ketentuan bahwa berapapun harga x yang kita pilih, harga harus tidak tak
terhingga. Jadi untuk partikel bebas:
E 0 (2-18)
n = 1 n = 2 n = 3
31
Berbeda dengan partikel tak bebas yang energinya terkuantiasi (= diskrit = hanya mempunyai
harga tertentu saja), maka partikel bebas dapat mempunyai sembarang harga (kontinum) asal
tidak negatif.
Hal penting lain adalah bahwa fungsi gelombang partikel bebas tidak dapat
dinormalisasikan karena * dx
tidak mungkin = 1, padahal syarat ternormalisasi adalah
* dx
= 1.
2.4 Partikel Dalam box satu Dimensi (Lanjutan)
Pada pasal 2.2 bab ini kita membicarakan partikel dalam box satu dimensi berenergi
potensial nol yang dibatasi oleh dinding energi potensial yang besarnya . Yang akan kita
bicarakan sekarang adalah partikel dalam box satu dimensi berenergi potensial nol yang dibatasi
oleh dinding energi potensial yang besarnya tertentu yaitu V0. yang dikenal dengan istilah
partikel dalam box (kotak) rektangular satu dimensi atau one dimension rectangular well.
Perhatikan gambar 2.4. Energi potensial partikel adalah V = V0 untuk x < 0 (daerah I); V
= 0 untuk 0 < x <a (daerah II) dan V = V0 untuk x >a (daerah III).
Persamaan Schrodinger untuk daerah I dan III adalah:
0 )x()V(E 2m
+ dx
)x(d022
2
sehingga penyelesaiannya adalah:
(x) = A.
em V E x2 0
1 2( ) /
/ + B .
e
m V E x 2 01 2
( ) //
Sekedar membedakan antara penyelesaian I dan penyelesaian III maka untuk penyelesaian I kita
tulis:
(x) = C.
em V E x2 0
1 2( ) /
/ + D .
e
m V E x 2 01 2
( ) //
(2-19)
sedang penyelesaian III, kita tulis:
(x) = F.
em V E x2 0
1 2( ) /
/ + G .
e
m E V x 2 01 2
( ) //
(2-20)
Vx
I II III
x = 0 x = a
(a) (b)
(c)
32
Gambar 2.4: (a) Energi Potensial Untuk partikel dalam one dimension rectangular
well (b) Fungsi gelombang keadaan dasar (ground state) pada potensial
tersebut (c) Fungsi gelombang keadaan eksitasi pertama (first excited
state) pada
potensial tersebut
Bagaimana penyelesaian untuk daerah II ? . Karena V= 0 untuk daerah II maka penyelesaian
persamaan Schrodingernya adalah sama persis dengan yang sudah kita bicarakan pada pasal
2.2. Jadi persamaan (2-11) juga merupakan bentuk umum penyelesaian untuk daerah II. Jadi
untuk daerah II:
(x) = P cos {(2 mE)1/2 x / } + Q sin (2 mE)1/2 x / } (2-21)
Penuntasan (2-19) dan (2-20), sangat ditentukan oleh besar E dibandingkan V0 .
Penuntasan untuk E < V0 sangat berbeda dengan penuntasan untuk E > V0 (Inilah bedanya
dengan mekanika klasik. Secara klasik, E selalu lebih besar dari pada V sebab E = V + T
dengan T = energi kinetik yang selalu positif).
Bagaimana jika E < Vo ?
Untuk E < V0 maka (V0E)1/2 adalah bilangan real, positif. Dengan demikian nilai
daerah I akan jika x = . Padahal harus terhingga untuk sembarang harga x. Untuk
menghindari hal ini maka D harus nol. Jika D = 0, maka untuk x = harga = 0 dan ini
diijinkan. Analog dengan itu, pada Y daerah III, F juga harus nol, sehingga persamaan (2-19)
dan (2-20) berturut-turut menjadi:
(x)= C.
em V E x2 0
1 2( ) /
/ (2-21)
(x) = G .
em E V x 2 0
1 2( ) /
/ (2-22)
33
Untuk memperoleh harga C, maka kita terapkan kondisi batas, bahwa di x = 0, nilai daerah I
= daerah II, sedang untuk mencari F kita terapkan bahwa di x =a, nilai daerah II = dengan
daerah III. Jadi:
I = II ( x = 0) (2-23)
II = III (x =a) (2-24)
Ada 4 konstanta yang harus ditentukan yaitu C untuk I, G untuk III serta P dan Q untuk II.
Jadi hanya dengan (2-23) dan (2-24)saja, tidak mungkin kita menentukan 4 tetapan. Untuk itu
kita gunakan:
dI/dx = dII/dx ( x = 0) (2-25)
dII/dx = dIII/dx (x =a) (2-26)
Dari (2-23) kita peroleh C = P. Dari (2-25) kita peroleh Q = V E
EP0
1 2
/
. . Dari (2-24) kita
peroleh G yang dinyatakan dalam P. Selanjutnya P dihitung dengan normalisasi. Jika P, Q, C
dan G sudah diperoleh maka untuk masing-masing daerah dapat ditentukan dan baik di dalam
kotak maupun di luar kotak harga 0. Itu artinya betapapun kecilnya ada kemungkinan
menjumpai partikel di luar kotak jika dinding kotak berpotensial tidak tak terhingga.
Bagaimana Jika E > V0
Untuk membahas ini marilah kita tulis kembali (2-19) dan (2-20):
(x) = C.
em V E x2 0
1 2( ) /
/ + D .
e
m V E x 2 01 2
( ) //
(2-19)
(x) = F.
em V E x2 0
1 2( ) /
/ + G .
e
m E V x 2 01 2
( ) //
(2-20)
Jika E > V0 maka (V0E) negatif sehingga (V0E)1/2 imajiner, akibatnya:
2 01 2
m V E/ = i 2 0
1 2m V E
/
(x) = C.
ei m V E x2 0
1 2( ) /
/
+ D .
ei m V E x 2 0
1 2( ) /
/
(2-27)
(x) = F.
ei m V E x2 0
1 2( ) /
/
+ G .
ei m V E x 2 0
1 2( ) /
/
(2-28)
Ternyata bentuk persamaan (2-27) dan (2-28) ini identik dengan persamaan (2-17) yaitu fungsi
gelombang partikel bebas. Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk energi potensial V0 yang
terhingga dan E > V0 ternyata partikel dalam keadaan bebas dan kondisi ini disebut unbound
state. Dengan logika sebaliknya maka untuk E < V0 kondisinya disebut bound state.
34
Studi yang detail menunjukkan bahwa banyaknya bound state energi level dinyatakan
dengan persamaan:
N
h
.mV8 2/1o a
dengan m adalah massa partikel, Vo adalah energi potensial a adalah panjang box dan h adalah
tetapan Planck
2.5 Efek Terobosan (Tunnel Effect)
Untuk partikel dalam rectangular well (pasal 2.4), gambar 2-5 dan persamaan untuk I dan
III yaitu persamaan (2-21) dan (2-22) menunjukkan bahwa pada kondisi bound state (yaitu
jika energi partikel lebih kecil dari pada energi potensialnya yaitu V0 yang tidak tak terhingga)
peluang mendapatkan partikel di daerah I dan III adalah tidak nol. Sifat seperti ini ditolak oleh
logika klasik karena kondisi E < V ini sangat mustahil mengingat menurut logika klasik E = T +
V dengan T adalah energi kinetik yang selalu positif.
Sekarang, marilah kita perhatikan partikel yang berada dalam box satu dimensi dengan
tinggi dan ketebalan dinding tertentu. (Gambar 2.5). Secara klasik, partikel tidak mungkin dapat
menerobos dinding box manakala energi partikel itu tidak melebihi energi potensial dinding
yang besarnya V0 itu. Namun mekanika kuantum menunjukkan bahwa ada peluang yang
besarnya tertentu bagi sebuah partikel yang eneginya < V0 yang dijumpai berada di luar box.
Pengertian terobosan (tunelling) merupakan penetrasi partikel terhadap daerah yang
secara klasik merupakan daerah terlarang (forbidden region), atau lewatnya partikel melalui
penghalang energi potensial yang besarnya lebih dari energinya. Karena tunneling adalah efek
mekanika kuantum, maka kejadiannya adalah pada partikel-partikel kecil. Makin kecil massa
partikel, makin mudah ia melakukan terobosan. Terobosan elektron adalah yang paling besar
kemungkinannya. Terobosan hidrogen lebih mungkin dari pada atom-atom lain.
Emisi partikel dari inti radioaktif merupakan efek tunneling yang dimiliki oleh partikel
alfa menembus potensial penghalang yang ditimbulkan oleh gaya akibat interaksi antar partikel
inti. Mengapa molekul NH3 berbentuk piramid dan tidak planar sedang BF3 berbentuk planar
dapat dijelaskan melalui pemahaman terhadap efek ini. Ada sejumlah energi potensial yang
menghalangi konversi dari bentuk planar ke piramidal. Atom H nya amoniak (karena massanya
kecil dapat menembus potensial penghalang itu sehingga H tidak berada sebidang dengan N
35
sementara itu atom F yang ukurannya besar tidak mampu menembus potensial penghalang.
Efek terobosan elektron memberi sumbangan yang signifikan untuk menjelaskan terjadinya
reaksi oksidasi reduksi pada proses elektroda. Efek ini juga memberikan sumbangan pada
penentuan laju reaksi kimia yang melibatkan hidrogen. (R.P.Bell, 1990)
Gambar 2.5: Energi Potensial partikel dalam box satu dimensi
dengan ketinggian dan ketebalan tertentu.
Mikroskop jenis tertentu (disebut The scanning tunneling microscope yang ditemukan
pada 1981) memanfaatkan sifat terobosan elektron melalui ruang antara kumparan kawat logam
dengan permukaan padatan yang dapat menghantarkan arus listrik untuk menghasilkan image
atau gambaran masing-masing atom pada permukaan logam.
Soal-Soal Bab 2
1. Selesaikan Persamaan y'' + y' 2y = 0 dengan kondisi batas untuk x = 0, y = 0 dan untuk x =
0, y' = 1
2. Sebuah obyek makroskopik massanya 1 gram melintas dengan kecepatan 1 cm/s dalam kotak
satu dimensi yang panjangnya 1 cm. Tentukan bilangan kuantum n.
3. Elektron dalam atom atau molekul dapat secara ekstrim dipandang sebagai partikel dalam
box satu dimensi yang panjang boxnya mempunyai order ukuran atom atau molekul.
a) Untuk elektron yang berada dalam box yang panjangnya 1 Ao hitunglah selisih dua energi
level terendah
b) Hitunglah panjang gelombang foton yang setara dengan transisi kedua level energi
tersebut.
4. Ketika sebuah partikel yang massanya 9,1 x 1028 gram berada dalam box satu dimensi
mengalami transisi dari n = 5 ke n = 2, ia mengemisi foton dengan frekuensi 6,0 x 1014 s1.
Tentukan panjang box.
V0
x
36
5. Ketika sebuah elektron yang berada pada energi level tertentu mengalami transisi ke level
dasar dalam sebuah box satu dimensi yang panjangnya 2 Ao , ia mengemisi foton yang
panjang gelombangnya 8,79 x 109 m. Tentukan dari energi level ke berapa elektron tersebut
berasal ?
6. Elektron pi dalam molekul terkonjugasi, misal 1, 3 butadiena, dapat dipandang sebagai
elektron yang bergerak dalam kotak satu dimensi yang panjang sama dengan panjang
molekulnya. Dengan menggunakan aturan Pauli yang mengijinkan satu energi level dihuni
oleh sepasang elektron yang spinnya berlawanan, tentukan panjang gelombang foton yang
diserap jika elektron pi yang berada pada energi level tertinggi berpindah ke energi level
terendah yang kosong. (Panjang molekul = 10 Angstroom)
7. Tulis fungsi gelombang partikel bebas satu dimensi bergantung waktu.
8. Buatlah sket untuk n = 3, 4 dan 5
9. Sebuah elektron yang berada pada box satu dimensi dengan energi potensial 15 eV. Jika
panjang box 2 Angstroom, berapakah banyaknya bound state yang diijinkan ?
10. Jawablah betul atau salah pernyataan-pernyataan berikut:
a) Partikel yang berada dalam box satu dimensi dengan energi level dasar (Ground State
Energy Level, mempunyai bilangan kuantum n = 0
b) Fungsi gelombang stasioner dari sebuah partikel dalam kotak adalah diskontinus pada titik
tertentu.
c) Turunan pertama dari fungsi gelombang stasioner dari sebuah partikel dalam kotak adalah
diskontinus pada titik tertentu.
d) Probabilitas maksimum setiap partikel dalam box selalu terletak di pertengahan
panjangnya box.
e) Untuk partikel dalam box dengan n = 2, probabilitas pada posisi kuarter kiri =
probabilitas di kuarter kanan.
BAB III
OPERATOR
3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya
37
Sekarang kita akan mempelajari mekanika kuantum dalam tampilan yang lebih umum
dari pada sebelumnya. Kita mulai dengan memperhatikan persamaan Schrodinger satu dimensi
bebas waktu yaitu:
2
22m dxx E x
d + V
2
(x) ( ) ( ) (3-1)
Suku-suku yang berada di dalam kurung tersebut adalah operator.
Operator adalah lambang matematika, yang memberi isyarat untuk mengubah suatu
fungsi menjadi fungsi lain sesuai dengan operator yang dioperasikan. Contoh D
adalah
operator diferensial yang tugasnya menurunkan suatu fungsi terhadap variabel/koordinat x. Kita
menggunakan tanda sirkumpleks untuk menandai suatu operator. Pengoperasian D
terhadap
f(x) adalah D
f(x) = f ' (x). Sebagai contoh D
( 2x2 + 5x + 6) = 4x + 5. Jika dijumpai 3
, ini
adalah operator yang melipat tigakan suatu fungsi sehingga 3
(x2 + 5 e2x) = 3x2 + 15 e2x . Selain
itu masih ada operator-operator lain seperti operator akar, logaritma, operator trigonometri dan
lain-lain yang tugasnya mengubah suatu fungsi menjadi fungsi lain, Secara umum jika operatot
A
mengubah f (x) menjadi fungsi g (x), maka kita tulis A
f (x) = g (x).
Jumlah dan selisih dua buah operator A
dan B
didefinisikan oleh persamaan berikut:
)()()(
)()()(
xfBxfAxfBA
xfBxfAxfBA
(3-2)
Perkalian dua buah operator A
dan B
didefinisikan oleh persamaan berikut:
A
. B
f (x) = A
[ B
f (x) ] (3-3)
Dengan merujuk pada (3-3) berarti, yang beroperasi lebih terhadap fungsi adalah operator yang
paling kanan baru kemudian operator yang kiri. Sudah barang tentu jika kita jumpai penulisan:
B
. A
f(x) maka yang dioperasikan dulu harus A
baru kemudian B
. Yang perlu dipertanyakan
adalah samakah A
B
f(x) dengan B
A
f(x). Pada umumnya A
. B
B
. A
. Tetapi untuk
kasus-kasus khusus, dapat saja terjadi A
. B
= B
. A
. Untuk jelasnya perhatikan contoh berikut:
38
Contoh 1:
Diketahui A
= d/dx ; B
= 3
sedang f (x) = x2 + 5 . Akan kita selidiki apakah A
. B
= B
. A
jika dioperasikan pada f (x)
Jawab:
A
. B
f (x) = d/dx . 3
( x2 + 5) = d/dx . [ 3
( x2 + 5) ] = d/dx ( 3x2 + 15) = 6 x
B
. A
= 3
. d/dx ( x2 + 5) = 3
. [d/dx ( x2 + 5) ] = 3
( 2x) = 6 x
Tampak dari perhitungan tersebut A
. B
= B
. A
atau A
. B
B
. A
= 0
Contoh 2:
Diketahui A
= d/dx ; B
= 2x
sedang f (x) = x2 + 5 . Akan kita selidiki apakah A
. B
= B
. A
jika dioperasikan pada f (x)
Jawab:
A
. B
f (x) = d/dx . 2x
( x2 + 5) = d/dx . [ 2x
( x2 + 5) ] = d/dx (x4 + 5x2 ) = 4x3 + 10 x
B
. A
= 2x
. d/dx ( x2 + 5) = 2x
. [d/dx ( x2 + 5) ] = 2x
( 2x) = 2x3
Tampak dari perhitungan tersebut A
. B
B
. A
atau A
. B
B
. A
0
Commutator, Commute dan Non Commute
Jika kita mempunyai dua operator misal A
dan B
maka A
. B
B A
disebut commutator
A
dan B
dan ditulis B,
A . Jadi
B,
A = A
. B
B
. A
(3-4)
Dua buah commutator disebut commute jika B,
A = 0 dan disebut non commute jika
B,
A 0.
Contoh 3:
Diketahui 3 buah operator yaitu operator A
= d/dx (supaya praktis d/dx ditulis D) ; operatot
B
= x dan operator C
= 3
. Tentukan:
a. Commutekah operator A
dan B
b. Commutekah operator A
dan C
39
Jawab:
Untuk mengetahui commute tidaknya pasangan operator maka harus dicari dulu commutator
pasangan tersebut. Untuk soal (a) harus ditentukan dulu commutator B,
A . Untuk ini B,
A
dioperasikan terhadap sembarang fungsi gelombang misal fungsi F.
a. B,
A F = ABBA
.. F
= A
. B
F B
. A
F = D. x F x . DF
= F + x DF x DF = F
Jadi B,
A = 1 A
dan B
non commute.
b. C,
A F = ACCA
.. F
= A
. C
F C
. A
F = D . 3 F 3 D F
=3 DF 3 D F = 0 pasangan A
DAN C
commute
Contoh 4:
Tentukan harga kuadrat dari ( d/dx + x ).
Jawab:
Untuk menentukan ( d/dx + x )2 maka kita operasikan operator tersebut pada sembarang fungsi
F, dan supaya praktis d/dx ditulis D.
( D + x )2 F = ( D + x ) ( D + x ) F = ( D + x ) ( D F + x F )
= D2F + D x F + x D F + x2 F
= D2F + F Dx + x DF + x DF + x2
= D2F + F + 2 x DF + x2 F
= ( D2 + 2 x D + x2 + 1 ) F
Jadi: ( D + x )2 = ( D2 + 2 x D + x2 + 1 )
Catatan:
Dari contoh di atas tampak bahwa kuadrat jumlah operator tidak sama dengan kuadrat jumlah
pada operasi aljabar.
40
3.2 Fungsi Eigen dan Nilai Eigen
Jika operator A
mengubah fungsi f(x) menjadi fungsi baru yang merupakan kelipatan k
kali fungsi asalnya sehingga terdapat hubungan:
A
f(x) = k .f(x) (3-5)
dengan k adalah konstanta, maka f(x) disebut fungsi eigen dari operator A sedang k disebut
nilai eigen.
Contoh 5 :
Diketahui operator d/dx dan dua buah fungsi yaitu F(x) = sin 3x dan fungsi G(x) = A e3x.
Tentukan fungsi yang mana yang eigen terhadap operator d/dx ?
Jawab:
Kita selidiki dulu:
d/dx F(x) = d/dx (sin 3 x ) = 3 cos 3x
F(x) bukan fungsi eigen dari d/dx sebab fungsi hasilnya yaitu 3 cos 3 x tidak merupakan
kelipatan fungsi asalnya yaitu sin 3x.
Selanjutnya kita selidiki operasi d/dx terhadap G(x):
d/dx G(x) = d/dx (A e3 x ) = 3 A e3 x = 3 G(x)
Karena hasil operasi merupakan kelipatan fungsi asalnya, maka G(x) merupakan fungsi eigen
terhadap operator d/dx dengan nilai eigen = 3.
Contoh 6:
Diketahui bahwa F(x) adalah fungsi eigen dari operator A
dengan nilai eigen = c. Buktikan
bahwa fungsi cF(x) juga eigen terhadap operator A
dengan nilai eigen yang sama.
Jawab :
Dari pernyataan bahwa F(x) adalah fungsi eigen dari operator A
dengan nilai eigen = c maka
dapat ditulis:
A F(x) = c F(x)
Selanjutnya kita selidiki A cF(x):
A
c F(x) = c A
F(x) = c . c F(x) terbukti
41
3.3 Operator Mekanika kuantum
Beberapa jenis operator mekanika kuantum telah kita kenal di bab I, antara lain operator
Hamilton atau operator energi yaitu H
dan operator energi kinetik yaitu T
. Menurut
persamaan (1-25) dan (1-26) bab I:
H
= 2
22
dx
d
m2
+ V
T
= 2
22
dx
d
m2
Secara lehih umum d2/dx2 biasa ditulis 2 sehingga :
H
= 22
m2
+ V (3-6)
T
= 22
m2
(3-7)
Bagaimana ekspresi operator energi potensial dalam mekanika kuantum ? Ekspresi energi
potensial dalam mekanika kuantum tidak berbeda dengan ekspresinya dalam mekanika klasik,
karena energi potensial hanya merupakan fungsi koordinat dan sama sekali tidak berhubungan
dengan harga momentum, sehingga energi potensial tidak dipengaruhi oleh prinsip
ketidakpastian Heissenberg. Hanya besaran-besaran yang dipengaruhi oleh prinsip
ketidakpastian saja yang membutuhkan operator mekanika kuantum.
Selain dua jenis operator mekanika kuantum yang sudah kita kenal tersebut kita akan
membahas operator momentum linear satu dimensi yaitu px . Dalam mekanika klasik kita tahu
bahwa px = m vx dengan m adalah massa partikel dan vx kecepatan dalam arah x. Hubungan
antara energi kinetik T dengan px dalam mekanika klasik adalah:
T = m2
p2x atau:
px = mT2 (3-8)
Jika kita masukkan T
pada (3-7) menggantikan T pada (3-8) maka kita peroleh operator
momentum linear satu dimensi yaitu:
42
xp
= i dx
d (3-9)
Analog dengan (3-9) maka:
yp
= i dy
d (3-10)
zp
= i dz
d (3-11)
Untuk Apakah Operator-operator Kuantum itu ?
Dalam bab I telah kita bahas bahwa fungsi gelombang dapat memberikan informasi
mengenai gerak partikel yang diwakilinya. Bagaimana cara mendapatkannya ? Jika kita ingin
mendapatkan informasi mengenai momentum, maka kita operasikan operator momentum
terhadap ,. Jika ternyata merupakan fungsi eigen bagi operator momentum, maka nilai
eigennya adalah momentum yang kita cari. Jika kita butuh harga energi kinetik, maka kita
operasikan operator energi kinetik terhadap . Jika ternyata merupakan fungsi eigen
terhadap operator energi kinetik maka nilai eigennya adalah energi kinetik yang kita cari.
Masalahnya adalah, bagaimana jika tidak merupakan fungsi eigen bagi operator tertentu ?
Untuk ini maka informasi mengenai suatu besaran, dapat dicari dengan menghitung harga rata-
ratanya. Dipostulatkan bahwa jika Operator xp
adalah operator yang berhubungan dengan
besaran b, maka rata-rata harga b dinyatakan oleh:
< b > = d *space all
B
(3-11)
dengan * adalah konjugate dari . Untuk fungsi real * = sedang untuk fungsi kompleks,
* adalah yang i-nya diganti i.
Contoh 1: Dengan menggunakan fungsi gelombang partikel dalam kotak satu dimensi,
tentukan:
a) harga px
b) harga rata-rata 2xp
c) harga energi kinetik partikel
43
3.4 Persamaan Schrodinger 3 Dimensi Untuk Banyak Partikel
Telah kita kenal bahwa Persamaan Schrodinger Bebas Waktu 3 dimensi untuk sebuah partikel
adalah:
22
m2
+ V = E (3-12)
22
m2
+ V disebut operator Hamilton H , jadi:
H
= 22
m2
+ V (3-13)
dengan 2 adalah operator Laplace, yang dalam koordinat rektangular adalah:
2 = 2
2
+
2
2
y
+
2
2
(3-14)
sedang dalam koordinat polar adalah:
2 = 2r
1
r
r2
r
+
sinr
12
sin
+
sinr
122 2
2
(3-15)
Suku pertama ruas kanan persamaan Hamilton (3-14) disebut operator energi kinetik, yaitu:
T
= 22
m2
(3-16)
Persamaan Schrodinger yang kita bahas sampai saat ini adalah manakala sistemnya
terdiri atas sebuah partikel. Sekarang kita akan membahas sistem yang terdiri atas n partikel.
Kita misalkan partikel ke i mempunyai massa im dan koordinat iii z , y , x dengan i = 1, 2, 3, .
. . . n. Energi kinetik sistem adalah total dari energi kinetik masing-masing partikel, jadi:
T
= 21
1
2
m2
22
2
2
m2
23
3
2
m2
. . . . . 2
nn
2
m2
(3-17)
atau:
T
=
n
1i
2i
i
2
m2
(3-18)
Selanjutnya kita amati fungsi energi potensialnya. Kita tahu untuk 1 buah partikel 1 dimensi, energi potensialnya hanya ditentukan oleh koordinat x, jadi: V = V(x)
44
Untuk 1 partikel dalam 3 dimensi, energi potensial ditentukan oleh masing-masing sebuah
koordinat x, y dan z, jadi:
V = V ( x, y, z)
Jika sistem terdiri atas n partikel dalam 3 dimensi, maka energi potensialnya tentu ditentukan
oleh 3n koordinat, yaitu:
V = V( x1, y1, z1 , x2 , y2 , z2 . . . . . . xn , yn zn ) (3-19)
Dengan demikian operator Hamilton untuk n partikel dalam 3 dimensi adalah:
H =
n
1i
2i
i
2
m2
+ V (x1 . . . . zn ) (3-20)
Selanjutnya persamaan Schrodinger untuk sistem n partikel dalam 3 dimensi adalah:
)z . . . . . . (x V m2
n1
n
1i
2i
i
2
= E (3-21)
dengan adalah fungsi gelombang bebas waktu n partikel dalam 3 dimensi, jadi:
= (x1 . . . . . . . . . . . . . . . zn ) (3-22)
Sebagai contoh, untuk dua partikel yang koordinatnya (x1, y1 , z1 ) dan (x2 , y2 ,z2) sehingga
jaraknya adalah { (x1 – x2 )2 + (y1 – y2 )2 + (z1 – z2 )2 }1/2, maka energi potensialnya (berbanding
terbalik dengan jaraknya) adalah V =
2/1221
221
21 zzyy2xx
c
, jadi persamaan
Schrodinger bebas waktunya adalah:
22
2
22
2
22
2
2
2
21
2
21
2
21
2
1
2
zyx
m2
zyx
m2
2/12
212
212
1 zzyy2xx
c = E (3-23)
= (x1 , y1 , z1 , x2 , y2 , z2 )
Selanjutnya bagaimana ekspresi terhadap probabilitas kerapatannya ? Dipostulatkan oleh Bohr,
untuk sistem 1 partikel dalam 1 dimensi, probabilitasnya adalah:
45
dx)t,x(2
(3-24)
Untuk sistem 1 partikel dalam 3 dimensi, probabilitasnya adalah:
dzdy dx)t,z,y,x(2
(3-25)
Untuk sistem n partikel dalam 3 dimensi, probabilitasnya adalah:
n21112
n2111 dz . . . . . . . dx dz dy dx)t, z . . . . . x,z,y,x( (3-26)
Sedang kondisi normalisasinya adalah:
n21112
n2111 dz . . . . . . . dx dz dy dx)t, z . . . . . x,z,y,x(....... = 1 (3-27)
Dalam mekanika kuantum, (3-26) biasa ditulis:
d2 (3-28)
Sedang (3-27) biasa ditulis:
d2 = 1 (3-29)
Catatan:
Penulisan fungsi gelombang dengan psi kapital , berarti fungsi koordinat dan waktu,
sedang jika ditulis dengan psi huruf kecil atau , berarti fungsi gelombangnya hanya fungsi
koordinat saja dan tidak bergantung waktu.
Hubungan antara dan adalah:
= /iEte (3-30)
Fungsi gelombang disebut fungsi stasioner, jika:
= (3-31)
3. 5 Partikel Dalam Kotak 3 Dimensi
Fungsi Gelombang Partikel Dalam Kotak Tiga Dimensi
Dalam bab II kita telah menurunkan fungsi gelombang sebuah partikel dalam satu
dimensi yang panjang kotaknya a dengan energi potensial dalam kotak = 0, yaitu:
46
(x) = xa
n sin
a
21/2
dengan (x) adalah fungsi gelombang untuk arah x. Analog dengan ini maka untuk arah y dan
arah z yang panjang kotaknya berturut-turut adalah b dan c, fungsi gelombangnya adalah:
(y) = yb
n sin
b
21/2
(z) = zc
n sin
c
21/2
Sekarang dengan mudah kita dapat membuat fungsi gelombangnya dalam tiga dimensi, yaitu:
` (x , y , z) = zc
n siny
b
n sinx
a
n sin
abc
82/1
(3-32)
dengan n = 0, 1, 2 ....... dan seterusnya. Karena n untuk arah masing-masing tidak harus sama,
maka persamaan (3-32) sebaiknya ditulis:
` (x , y , z) = zc
n siny
b
n sinx
a
n sin
abc
8 zyz2/1
(3-33)
Jika kotaknya berbentuk kubus, jadi a = b = c, maka persamaan (3-33) dapat ditulis:
` (x , y , z) = za
n siny
a
n sinx
a
n sin
a
2 zyz2/3
(3-34)
Energi Partikel Dalam Kotak Tiga Dimensi dan Pengertian Degeneracy
Untuk menentukan energi Partikel Dalam Kotak Tiga Dimensi maka yang perlu kita lakukan
adalah memasukkan (x , y , z) ke dalam persamaan Schrodinger bebas waktu. Dengan
memasukkan V = 0 akan kita peroleh:
E =
2
2z
2
2y
2
2x
2
c
n
b
n
a
n
m8
h (3-35)
Jika kotak berbentuk kubus, jadi a = b = c, maka, persamaan (3-35) boleh ditulis:
E = 2z
2y
2x2
2nnn
ma8
h (3-36)
47
Terdapat kebiasaan orang menyatakan nx , ny dan nz sebagai indek untuk mengetahui state
dari fungsi gelombang yang bersangkutan. Sebagai contoh:
Jika nx = 1 ; ny = 1 dan nz = 1, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk
kubus)
111 dengan energi E = 2
2
ma8
h .3
Jika nx = 2 ; ny = 1 dan nz = 1, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk
kubus)
211 dengan energi E = 2
2
ma8
h . 6
Jika nx = 1 ; ny = 2 dan nz = 1, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk
kubus)
121 dengan energi E = 2
2
ma8
h . 6
Jika nx = 1 ; ny = 1 dan nz = 2, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk
kubus)
112 dengan energi E = 2
2
ma8
h . 6
dan seterusnya sehingga kita dapat membuat tabel energi sebagai berikut:
Fungsi Gelombang
Energi Fungsi Gelombang Energi
111 222
211 6 Eo 123
121 6 Eo 132 14 Eo
112 213 14 Eo
221 9 Eo 231 14 Eo
122 9 Eo 14 Eo
212 9 Eo 14 Eo
113 dan seterusnya
311 11 Eo
131 11 Eo
48
Catatan:
Dalam rangka kepraktisan maka dalam membuat tabel tersebut yang dimaksud dengan
Eo adalah h2/8ma2
Dari tabel di atas tampak bahwa ada fungsi-fungsi gelombang berbeda yang energinya
sama. Contoh yang energi levelnya 6 Eo ada 3 fungsi yaitu 112 , dan211 . Energi level 9
Eo dan 11 Eo juga dimiliki oleh 3 fungsi gelombang, sedang energi level 14 E0 terdiri atas 6
fungsi gelombang. Beberapa fungsi gelombang berbeda tetapi energinya sama disebut
degenerate. Sedang banyaknya fungsi gelombang untuk energi level tertentu disebut tingkat
degenerasi. Jadi tingkat degenerasi untuk energi level 6 Eo adalah 3 dan disebut three fold
degeneracy. Jika tingkat degenerasinya = 6 seperti pada energi level 14 Eo maka ia disebut six
fold degeneracy.
3.6 Kombinasi linear Fungsi-Fungsi Degeneracy dan Himpunan Linearly Independent
Marilah kita bahas, teorema yang berhubungan dengan fungsi-fungsi dari n fold
degenarate energy level. Teoremanya adalah sebagai berikut:
Jika terdapat n buah fungsi gelombang yang saling independen yaitu 1, 2 . . . . . . . . .n
yang mempunyai energi yang sama yaitu misal W. sehingga berlaku:
H1 = W 1
; H2 = W 2
; . . . . . . Hn = W n
(3-37)
maka sembarang kombinasi linear dari fungsi-fungsi tersebut juga mempunyai energi
level W.
Teorema di atas akan kita buktikan. Jika kita mempunyai n buah fungsi gelombang yaitu 1, 2
. . . . . . . . .n dan kombinasi linear dari fungsi-fungsi tersebut kita sebut , maka hubungan
antara
dengan 1, 2 . . . . . . . . .n adalah:
= c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn (3-38)
49
Kita harus membuktikan bahwa energi level juga W yang dalam bahasa mekanika kuantum
kita harus membuktikan bahwa H = W .
Bukti:
H
= H
(c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn )
= H
c11 + H
c22 + . . . . . . . . . H
cnn
= c1 H1 + c2 H
2 + . . . . . . . . . cn H
n
= c1 W1 + c2 W2 + . . . . . . . . . cn Wn
= W (c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn )
= W (terbukti)
Sebagai contoh, fungsi gelombang stasioner 112 , 121 dan 211 untuk partikel dalam kotak
berbentuk kubus adalah degenerate dengan energi level 6E0 dengan demikian maka kombinasi
linearnya yaitu c1112 + c2121 + c3 211 juga mempunyai energi yang sama yaitu 6Eo. Karena
c1 , c2 dan c3 adalah sembarang bilangan konstan, maka kita dapat membuat kombinasi linear
yang tak terhingga banyaknya, yang berasal dari ketiga fungsi gelombang tersebut. Meskipun
kita dapat membuat kombinasi linear yang tak terhingga banyaknya namun secara aktual kita
hanya tertarik pada kombinasi fungsi eigen yang linearly independent. Suatu himpunan n fungsi
f1, f2 . . . . fn adalah linearly independent jika c1. f1 + c2 f2 . . . . . + cn fn = 0 hanya dapat
dipenuhi manakala c1 = c2 = . . . . cn = 0. Dengan perkataan lain himpunan fungsi akan linearly
independent jika tidak ada salah satu fungsipun dari himpunan tersebut yang merupakan
kombinasi linear dari fungsi yang lain.
Contoh: Suatu himpunan fungsi terdiri atas f1 = 3x ; f2 = 5x2x dan f3 = x2 adalah bukan
linearly independent karena c1 f1 + c2 f2 + c3 f3 = 0 dapat dipenuhi oleh c1 = 1/3; c2 = 1 dan
c3 = 5. Padahal disebut linearly independen jika c1 = c2 = c3 = 0.
3.7 Persyaratan-persyaratan fungsi gelombang dalam Mekanika Kuantum
Fungsi gelombang pada dasarnya adalah fungsi matematik, tetapi harus diingat bahwa
tidak semua fungsi matematik adalah fungsi gelombang. Salah satu syarat yang harus dipenuhi
50
oleh fungsi gelombang adalah kontinus. Berikut ini akan kita bahas persyaratan-persyaratan
yang lain.
Bagi partikel yang berada dalam bound system, maka * d adalah probabilitas, yang
untuk mengevaluasinya kita harus mengintegralkan. Oleh karena itu harga * d harus
eksis (dapat dihitung). Jika integral tersebut eksis, maka dikatakan bahwa adalah
quadratically integrable, dan ini merupakan syarat yang kedua bagi fungsi gelombang partikel
dalam bound system. Dengan logika terbalik, maka dapat dinyatakan fungsi gelombang yang
tidak quadratically integrable adalah fungsi gelombang untuk partikel dalam unbound system
atau pada partikel bebas.
Kita telah tahu bahwa * adalah probabilitas kerapatan partikel, karenanya ia harus
bernilai tunggal (singled valued). Akan sangat membingungkan jika diperoleh dua harga
berbeda dalam perhitungan probabilitas menjumpai partikel pada titik tertentu. Karena *
harus bernilai tunggal, maka sebagai syarat ketiga fungsi harus bernilai tinggal.
Sebagai tambahan, biasanya juga disyaratkan bahwa selain harus kontinus, turunan-
turunannya juga harus kontinus.
Fungsi gelombang yang memenuhi persyaratan ini disebut well behaved. Jadi suatu
fungsi disebut well behaved jika (1) kurvanya dan kurva turunannya kontinus, (2) bersifat
quadratically integrable dan (3) bernilai tunggal.
51
Soal-Soal Bab 3:
1. Jika g = A f, tentukanlah g jika:
a) A = d/dx dan f = cos (x2 + 1) b) A = 5 dan f = sin x
c) A = ( )2 dan f = sin x d) A = exp dan f = ln x
e) A = d2 / dx2 dan f = ln 3x
2. Nyatakanlah entitas berikut, termasuk fungsi atau operator ?
a) A f(x) b) BA f(x) c) A
B d) f(x) A e) [ A , B] f) f(x) A
B g(x)
3) Jika D = d/dx buktikan bahwa ( D + x ) (
D x ) = D2 x2 1
4) a. Buktikan bahwa untuk sembarang operator berlaku ( A + B)2 = (
B + A )2.
b. Kapan ( A + B)2 = A
2 + 2 AB + B
2 ?
5) Apakah artinya, jika sebuah operator berpangkat nol ?
6) Buktikanlah commutator identitas [ A , B ] = [
B , A ]
7) Tentukanlah:
a) [ sin z , d/dz ] b) [d2/dx2 , ax2 + bx + c ] c) [d/dx , d2/dx2 ]
8. Manakah di antara fungsi-fungsi berikut yang merupakan fungsi-eigen dari d2/dx2 ?
a) ex b) x2 c) sin x d) 3 cos x e) sin x + cos x
Tentukan nilai eigennya, jika fungsinya adalah fungsi eigen.
9. Tentukan operator momentum untuk besaran fisik berikut:
a) 3xp b) x py y px c) (x py y px)2
10. Evaluasilah commutator berikut:
a) [ x , xp ] b) [ x , 2xp ] c) ) [ x , yp ] d) ) [ x , H ] dengan H adalah
operator Hamilton; e) ) [ x
y
z , 2
xp ]
52
11. Sebuah elektron berada dalam kotak tiga dimensi dengan a = 1 nm , b = 2 nm dan c = 5 nm.
Tentukan berapa probabilitasnya agar pada pengukuran posisinya akan dijumpai elektron
pada batas-batas 0 < x < 0,4 nm ; 1,5 nm < y < 2 nm dan 0 < z < 5 nm ?
12. Apakah fungsi gelombang partikel dalam kotak tiga dimensi, merupakan fungsi eigen
terhadap operator-operator berikut:
a) xp b) 2xp c) 2
zp d) x
13. Jika tak ternormalisasi, dan A adalah suatu bilangan konstan yang membuat A menjadi
ternormalisasi, maka tentukan A dinyatakan dalam . (Catatan: A disebut faktor normalisasi)
14. Dalam mekanika kuantum istilah state tidak sama dengan istilah energi level. Untuk partikel
dalam kotak berbentuk kubus tentukan ada berapa state dan ada berapa energi level yang
terletak pada rentang E < 15 h2/8ma2 ?
15. Jika h2/8ma2 disebut Eo, tentukan berapa tingkat degeneracy dari energi level:
a. 3 Eo b) 12 Eo c) 27 Eo ?
16. Mana di antara himpunan berikut yang merupakan himpunan fungsi independen secara
linear (Linearly independent function?
a) x ; x2 ; x6 b) 8, x , x2 , 3x21 ; c) sin x , cos x d) sin x , cos x , eix
===000====
BAB IV
OSILATOR HARMONIS
4.1 Osilator Harmonis Satu Dimensi
Dalam pasal ini akan kita bahas osilator harmonis yang merupakan model yang sangat
penting untuk memahami vibrasi molekul. Pembahasan secara klasik akan diulas lebih dulu
sebelum membahasnya secara kuantum.
4.1.1 Tinjauan Secara Mekanika Klasik
Osilator harmonis terjadi manakala sebuah partikel ditarik oleh gaya yang besarnya
sebanding dengan perpindahan posisi partikel tersebut. Gaya itu adalah:
F(x) = k x (4-1)
53
dengan k adalah tetapan gaya dan F(x) adalah gaya berarah x yang bekerja pada partikel. Jika (4-
1) dikorelasikan dengan Hukum Newton kedua, F = m a, maka:
md x
dt
2
2= k x atau m
d x
dt
2
2+ k x = 0 atau
d
dtk m x
2
/ = 0 (4-2)
Persamaan (4-2) adalah persamaan diferensial orde kedua, yang persamaan karakteristiknya
adalah: D2 + k/m = 0 sehingga akar-akarnya adalah D1..2 = + i (k/m)1/2
Jadi penyelesaian (4-2)
x = A1. ek m t( / )
/1 2
+ A2 . ei k m t ( / )
/1 2
= A1{ cos (k/m)1/2t + i sin(k/m)1/2t}+A2{ cos (k/m)1/2t isin(k/m)1/2t }
= (A1+A2){ cos (k/m)1/2t }+ i(A1 A2) sin(k/m)1/2t }
= (A'){ cos (k/m)1/2t }+ A" sin(k/m)1/2t } (4-3)
Untuk t = 0, maka pasti x = 0, jadi:
0 = A' cos 0 + A" sin 0
Suku kedua ruas kanan kana pasti 0 karena sin 0 = 0, sehingga A" pasti tidak nol. Karena suku
kedua nol, maka suku pertama harus 0. Karena cos 0 adalah 1, maka A' harus 0, sehingga (4-3)
ditulis:
x = A" sin (k/m)1/2 t
Karena A' sudah tidak ada, maka tanda " pada A" boleh tidak ditulis, hingga:
x = A sin (k/m)1/2 t (4-4)
Karena periode fungsi sinus adalah 2, maka akan mudah penerapannya nanti, jika
(k/m)1/2 dinyatakan dalam kelipatan 2= kelipatan periode = n . 2). :
(k/m)1/2 = n . 2 jadi: n = (1/2)(k/m)1/2
n tersebut adalah banyaknya periode jadi = banyaknya osilasi persatuan waktu, yang dalam
bahasa fisik disebut frekuensi dan lazimnya tidak diberi notasi n tetapi . Jadi:
(k/m)1/2 = (4-5)
Dengan demikian (4-4) ditulis
x = A sin 2t (4-6)
Selain dapat digunakan untuk menentukan x, (4-1) juga dapat digunakan untuk menentukan
energi potensial. Kita tahu bahwa hubungan antara gaya dengan energi potensial menurut
persamaan (4-5 bab I) adalah:
54
dV
dx = F(x)
= (k x ) = k x
jadi dV = k x dx
V = 1/2 k x2 (4-7)
Dengan menggunakan (4-5), maka k = 4m, energi potensial V dapat ditulis:
V = 22 2 m x2 (4-8)
Selanjutnya bagaimanakah energi kinetik T ? T = 1/2 mv2 dengan v = dx/dt, jadi:
T = 1/2 m (dx/dt)2
Dengan menggunakan x pada (4-6) kita peroleh:
T = 1/2 m (A 2 cos 2t)2 = 2 m22 A2cos2 2t (4-9)
Penentuan E (energi total osilator harmonis, diperoleh dengan menjumlah T dan V, jadi:
E = T + V = 1/2 m A2 cos2 2t + 1/2 k x2
= 12 m22 A2cos2 2t + 1/2 k A2 sin2 2t
= 1/2 k A2cos2 2t + 1/2 k A2 sin2 2t
= 1/2 k A2( cos2 2t + sin2 2t)
Jadi:
E = 1/2 kA2 = 2 m A2 (4-10)
4.1.2 Osilator Harmonis Dalam Tinjauan Mekanika Kuantum
Persamaan Schrodinger satu dimensi bebas waktu untuk osilator harmonis adalah seperti
persamaan (5-1 Bab I) tetapi V dimasukkan 1/2 kx2 (Ingat, bahwa V tidak bergantung pada
momentum angular p. Semua besaran fisik yang tidak bergantung pada p, operator kuantumnya
sama dengan nilainya dalam mekanika klasik). Jadi:
0 )x()xm2(E 2m
+ dx
d
22
)x(2
(4-11)
atau:
0 )x()xm4(2mE + dx
d 2222
)x(2
(4-12)
Agar penulisannya praktis 2m/ diganti sehingga (4-12) menjadi:
55
0 )x()x(2mE + dx
d 222
)x(2
(4-13)
atau:
0 )x()x(2mE + (x)'' 22 (4-14)
Untuk yang mendekati tak terhingga maka 2mE 2 boleh diabaikan sehingga (x) =
2x e merupakan penyelesaian dari (1.2-3). Berapapun harga , tetapi yang jelas (x) pasti
mengandung faktor 2x e , dan dengan demikian kita boleh memisalkan penyelesaian (1.2-3)
adalah:
(x) = 2x e . f(x) (4-15)
Jadi:
''(x) = 2x e (f '' 2 x f ' f + 2 x2 f) (4-16)
Jika (4-16) dan (4-15) dimasukkan ke dalam (4-13) maka akan diperoleh:
f '' 2 x f ' + (2mE 2 ) f = 0 (4-17)
Persamaan differensial orde dua di atas (4-17) tidak dapat diselesaikan secara konvensional
karena koefisien f ' masih mengandung x. Untuk itu penyelesaiannya menggunakan metode
deret.
Untuk itu kita misalkan:
f = c0 + c1 x + c2 x2 . . . . . cn xn =
0n
nn xc (4-18)
jadi:
f ' = 0 + c1 + c2 x1 . . . . . ncn xn1 =
0n
1nn xc n (4-19)
dan:
f '' = c2 + . . n (n1) xn2 =
2n
2nn xc)1n(n =
0n
n2n xc)1n)(2n( (4-20)
Substitusi (4-18) , (4-19) dan (4-20) ke dalam (1.2-6) menghasilkan:
56
0n
n2n xc)1n)(2n( 2 x
0n
1nn xc n + (2mE 2 )
0n
nn xc = 0
atau:
0n
n2n xc)1n)(2n( 2
1n
nn xc n + (2mE 2 )
0n
nn xc = 0
atau:
0n2nc)2n)(1n( 2 n cn + (2mE 2 ) cn nx = 0
Karena xn tidak mungkin nol, maka koefisiennya pasti nol, jadi
2nc)2n)(1n( 2 n cn + (2mE 2 ) cn = 0
Sehingga diperoleh:
2nc = 2)(n )1n(
mE2n2 2
nc (4-21)
Dengan persamaan (4-21), yang disebut relasi recursi, kita dapat menghitung c3 , c5 . . . . dan
seterusnya, jika kita tahu c1. Kita juga dapat menghitung c2 , c4 , . . . . dan seterusnya, jika c0
diketahui. Jika kita set c1 = 0, maka c3, c5 . . . dan seterusnya pasti nol, sehingga fungsi
gelombang osilator harmonis menjadi:
(x) = 2/x 2e . f(x) = 2/x 2
e
. . . 4, 2, ,0n
nn x c
= 2/x 2e
0p
p2p2 x c (4-22)
Jika c0 dibuat nol maka c2 , c4 , c6 . . . . dan seterusnya semua nol sehingga diperoleh
penyelesaian lain:
(x) = 2/x 2e
. . . 5 , 3 , 1n
nn x c = 2/x 2
e
0p
1p21p2 x c (4-23)
Bentuk umum penyelesaian persamaan Schrodinger bebas waktu untuk osilator harmonis satu
dimensi adalah kombinasi linear dari (4-22) dan (4-23) yaitu:
(x) = A 2/x 2e
0p
p2p2 x c + B 2/x 2
e
0p
1p21p2 x c (4-24)
57
dengan A dan B adalah tetapan sembarang.
Dengan memperhatikan (4-24) maka terlihat bahwa akan cenderung tak terhingga jika
x tak terhingga dan ini tidak diijinkan. Salah satu syarat fungsi matematik dapat diterima
sebagai fungsi gelombang adalah mempunyai harga yang tertentu, berapapun harga x nya.
Untuk memenuhi syarat ini, maka deret (4-24) harus berhenti pada suku tertentu, misal suku ke
v. Jika deret berhenti di suku v, ini berarti koefisien cv harus nol. Dengan menggunakan (4-21)
dan indek n diganti v maka (4-21) boleh ditulis:
2vc = 2)(n )1n(
mE2v2 2
vc
Jika cv harus nol maka 2vc juga harus nol, sehingga:
2)(n )1n(
mE2v2 2
vc = 0 atau: + 2 v 2 m E 2 = 0, jadi::
E = 1) v2(m2
2
(4-25)
Dengan menggunakan harga = 2m/ , maka diperoleh:
E = ( v + ½ ) h (4-26)
yang sering ditulis:
Ev = ( v + ½ ) h v = 0, 1, 2, 3 . . . . (4-27)
dengan Ev adalah energi level osilator harmonis, v = bilangan kuantum vibrasi, h tetapan Planck
dan adalah frekuensi vibrasi.
Ada perbedaan antara bilangan kuantum partikel dalam box dengan bilangan kuantum
vibrasi. Bilangan kuantum vibrasi mengijinkan harga nol, sedang bilangan kuantum partikel
dalam box tidak mengijinkan harga nol.
Energi ground state pada gerak vibrasi (osilator) adalah harga E untuk v = 0, yaitu Eo = ½ h
dan ini disebut zero point energy (Awas harga zero point energi tidak nol tetapi ½ h). Zero
point energi ini adalah energi masing-masing osilator harmonis yang merupakan bagian dari
sekelompok osilator harmonis, pada temperatur nol absolut.
Substitusi (4-27) ke dalam (4-21) menghasilkan relasi recursi yang baru, yaitu:
2nc =
nc2n 1n
vn2
(4-28)
58
4.2 Fungsi Genap dan fungsi Ganjil
Sebelum membahas fungsi gelombang osilator harmonis secara lebih detail ada baiknya
kita mengingat kembali pengertian fungsi genap dan fungsi ganjil. Jika f(x) mengikuti bentuk:
f (x) = f (x) (4-29)
maka f(x) adalah fungsi genap dari x. Jadi x2 dan 2 xbe keduanya adalah fungsi genap karena
(x)2x)( be =
2 xbe . Grafik fungsi genap adalah simetris terhadap sumbu x. Selanjutnya
untuk fungsi genap berlaku:
a
a
dx (x) f = a
0
dx (x) f2 (4-30)
Jika g(x) mengikuti:
g(x) = g(x)
maka g(x) adalah fungsi ganjil dari x. Contoh fungsi ganjil misalnya adalah x , 1/x , x2 xe . Grafik
fungsi ganjil dicerminkan oleh sumbu y kemudian dicerminkan lagi oleh sumbu x. Untuk fungsi ganjil
berlaku:
a
a
dx (x) g = 0 (4-31)
Hasil kali dua buah fungsi genap atau dua buah fungsi ganjil adalah fungsi genap, sedang hasil
kali fungsi genap dengan fungsi ganjil adalah fungsi ganjil.
4.3 Fungsi Gelombang Osilator Harmonis
Menentukan Fungsi Gelombang Dengan Relasi Recursi
Marilah kita lihat kembali persamaan (4-23) dan (4.24)
(x) = 2/x 2e
0p
p2p2 x c (4-23)
(x) = 2/x 2e
0p
1p21p2 x c (4-24)
59
Kedua fungsi itu adalah fungsi gelombang osilator harmonis genap dan ganjil. Persamaan (4-
23) dan (4-24) berturut- turut dapat ditulis:
(x) = 2/x 2e (c0 + c2 x2 + c4 x4 . . . . . . . .) (4-32)
(x) = 2/x 2e (c1x + c3 x3 + c5 x5 . . . . . . . .) (4-33)
Akan berhenti sampai dimana deret tersebut, ternyata ditentukan oleh bilangan kuantum v.
Jika v = 0, berarti fungsi genap dan berhenti sampai suku c0, sehingga fungsi gelombang
osilatornya adalah:
= 2/x 2e . c0 atau 0 = c0
2/x 2e
Jika v = 1, berarti fungsi ganjil dan berhenti sampai suku c1x, sehingga fungsi gelombang
osilatornya adalah:
= 2/x 2e . c1x atau 1 = c1 x
2/x 2e
Jika v = 2, berarti fungsi genap dan berhenti sampai suku c2x2 , sehingga fungsi gelombang
osilatornya adalah:
= 2/x 2e . ( c0 + c2x2
) atau 2 = c0 2/x 2
e + c2x2 2/x 2e
begitu seterusnya.
Selanjutnya kita akan memperhatikan 0 yang juga disebut fungsi ground state. Telah
kita tahu bahwa:
0 = c0 2/x 2
e (4-34)
Harga c0 dapat diperoleh melalui normalisasi, yaitu:
dx2o = 1 atau: (4-35)
1 =
dx e c2 x2
o =
0
x2o dx e c 2
2
Dengan menggunakan teknik error function, kita peroleh:
c0 = ( / )1/4 (4-36)
Sehingga fungsi gelombang ground state untuk osilator harmonis adalah:
0 = ( / )1/4 2/x 2e (4-37)
60
Fungsi gelombang (3-5) di atas juga disebut fungsi Gauss (Gaussian Function) yang grafiknya
dapat dilihat pada gambar (4-1a)/
Selanjutnya dengan cara yang sama, kita dapat akan membahas 1, yaitu:
1 = c1 x 2/x 2
e (4-38)
Dengan cara yang sama dengan cara menentukan c0, kita peroleh:
c1 = (4 3 / )1/ 4 (4-39)
sehingga diperoleh 1 yaitu:
1 = (4 3 / )1/4x 2/x 2
e (4-40)
Setelah harga c0 dan c1 diketahui maka kita dapat menghitung c2, c3, c4 dan seterusnya dengan
menggunakan (1.2-15). Dengan demikian kita dapat dengan mudah menentukan 2 , 3 , 4
dan seterusnya.Misal kita akan menentukan 2 . Pertama kita gunakan bentuk umum genap,
yaitu:
(x) = 2/x 2e (c0 + c2 x2 + c4 x4 . . . . . . . .) (4-33)
Untuk 2 deret dihentikan pada suku x2, jadi:
(a) v = 0 (b) v = 1
x
x
x
61
(c) v = 2 (d) v = 3
Gambar 4-1: Fungsi Gelombang Osilator Harmonis
2 = 2/x 2e (c0x + c2 x2 ) atau 2 = (c0x + c2 x2 ) 2/x 2
e
Dengan menggunakan (1.2-15), maka c2 dapat dihitung, yaitu:
cn+2 = nc
2n 1n
v)-(n 2
dengan memasukkan memasukkan n = 0 dan vs = 2, maka:
c2 = 0c
20 )10(
2-0 2
= 2 c0
Jadi:
2 = (c0 2c0 x2 ) 2/x 2e = c0 (1 2 x2 ) 2/x 2
e
Harga c0 dicari dengan normalisasi (Tidak menggunakan c0 pada persamaan (4-36)), dan
diperoleh:
2 = ( (2 x2 1) 2/x 2e
Menentukan Fungsi Gelombang Osilator Harmonis Dengan Polinomial Hermite
Ada cara lain untuk menentukan yaitu dengan memanfaatkan polinomial Hermit. Perlu diingat
bahwa sebagian dari faktor 2/x 2e pada fungsi gelombang osilator harmonis polinomial
Hermite yang sudah kita kenal di matematika. Hubungan antara fungsi gelombang osilator
harmonis dengan polinomial Hermite adalah:
)x(v = 2/1v ! v. 2 4/1
2x
2e
. vH
Dengan vH adalah polinomial Hermite, yaitu:
62
vH = v 1 22 z
j
jz e
dz
d e dengan:
z = x 2/1
Dengan cara ini, fungsi gelombang lebih mudah dapat diturunkan.
Tentang Harga x yang Mungkin Dalam Osilator Harmonis
Jika kita melihat solusi mekanika kuantum untuk osilator harmonis, maka tampak bahwa
berapapun harga x harga dapat diperoleh, artinya bahwa peluang keberadaan partikel ada di
sembarang harga x mulai dari x = sampai x = + . Padahal dalam mekanika klasik
partikel hanya dibatasi berada pada daerah yang energi potensialnya tidak melebihi energi
partikel (yaitu antara a sampai + a pada gambar 4-2), sebab dalam mekanika klasik energi
kinetik negatif tidak dikenal.
Ini berarti bahwa secara tinjauan kuantum partikel dapat berada di daerah terlarangnya
mekanika klasik, atau dalam mekanika kuantum bisa saja terjadi energi potensial V > E atau
dapat saja terjadi energi kinetik bernilai negatif. Kasus V > E ini sudah pernah kita bahas pada
bab II.
Gambar 4-2: Daerah yang diijinkan ( x < a) dan daerah terlarang ( x > a) untuk osilator
harmonis mekanika klasik
-a a
E
x
V
V
63
Gambar 4-3: Energi Potensial untuk vibrasi molekul (Kurva garis tak terputus-putus) dan untuk osilator harmonis (kurva titik-titik)
4.4 Vibrasi Molekul Diatomik
Osilator Harmonis yang telah kita bicarakan, sangat baik untuk dijadikan pendekatan
dalam memahami vibrasi molekul. Sudah barang tentu harus diadakan beberapa modifikasi.
Karena dalam molekul diatomis terdapat dua partikel dengan massa masing-masing m1 dan m2
maka m dalam persamaan Schrodinger diganti atau massa tereduksi dengan =
m1m2/(m1+m2).
Kita memperkirakan bahwa harga energi level vibrasi Evib sangat mendekati harga
energi level osilator harmonis yang sudah kita kenal, yaitu:
Evib (v + ½ ) h e v = 0, 1, 2, 3, . . . . . (4-41)
e = 2/1
k
2
1
; =
21
21
m m
m . m
; k =
eR R2
2
dR
Ud
(4-42)
e disebut frekuensi vibrasi (harmonis) ekuilibrium. Aproksimasi di atas sangat bagus untuk
energi level yang rendah. Untuk energi level yang tinggi, energi potensial vibrasi semakin
menyimpang dibandingkan dengan energi potensial osilator harmonis (Gambar 4-3).
Aproksimasi yang lebih akurat dalam rangka mengantisipasi penyimpangan dari keharmonisan
adalah:
Evib = (v + ½ ) h e (v + ½ )2 h e xe (4-43)
e xe disebut tetapan ketidakharmonisan yang untuk hampir semua kasus harganya positif.
64
Dengan menggunakan persamaan Schrodinger bergantung waktu, kita dapat
menentukan bahwa transisi vibrasi yang paling mungkin jika molekul diatomik diekspose ke
dalam radiasi elektromagnet adalah v berubah dengan + 1; selanjutnya agar dapat terjadi
absorpsi dan emisi dari elektromagnet (foton) maka vibrasi harus mengubah momen dipole
molekul. Oleh karena itu, maka molekul-molekul diatomik (H2 , N2 dan lain-lain yang sejenis)
tidak mungkin dapat mengalami transisi hanya dengan mengemisi atau mengabsorpsi radiasi
(Artinya transisi hanya dapat terjadi melalui tumbukan intermolekuler)
Jika terjadi transisi dari energi level tinggi E2 ke energi level rendah E1 maka akan
diemisi foton yang relasinya dinyatakan dengan:
Efoton = E2 E1 (4-44)
Karena Efoton = h maka:
foton = (E2 – E1) / h (4-45)
Jika kita menggunakan aproksimasi (4-41) maka:
foton = (E2 – E1) / h(v2 + ½ ) h e (v1 + ½ ) h e }/ h = (v2 – v1 ) e
Karena perubahan v yang paling mungkin adalah 1, maka:
foton =
Jika aproksimasi energi kita gunakan yang lebih akurat yaitu aproksimasi (4-43) maka akan
diperoleh:
foton = e 2 e xe ( v1 + 1) (4-47)
dengan v1 adalah bilangan kuantum vibrasi yang rendah dan j = 1.
Populasi relatif dari dua buah energi level molekul dinyatakan oleh distribusi Boltzmann (dapat
dilihat pada sembarang literatur Kimia fisik) yaitu:
Tk / )E (E
2
1
2
1 21e g
g
N
N (4-48)
N1 adalah banyaknya molekul yang berada pada energi level E1 , N2 adalah banyaknya molekul
yang berada pada energi level E2 , g1 dan g2 adalah degenerasi masing-masing molekul. Jika
molekulnya non degenerate, maka g = 1.
Dalam unit SI, satuan untuk frekuensi adalah hertz (Hz) dengan definisi 1 Hz = 1s1.
Pada absorpsi infra merah, orang sering menggunakan istilah bilangan gelombang yaitu
banyaknya gelombang persatuan panjang, yang didefinisikan:
= 1/ = / c (4-49)
65
dengan adalah panjang gelombang dalam vakum, dan c adalah laju cahaya adalah frekuensi
foton.
Contoh:
Gelombang infra merah terkuat dari molekul 12C16O terjadi pada = 2143 cm1 . Tentukan
tetapan gaya untuk molekul tersebut ?
Jawab:
Yang ditanyakan adalah k = 4 2 2e
Infra merah terkuat terjadi pada hubungan v = 0 1. Ini berarti transisi pada level rendah,
sehingga kita boleh menggunakan (4-46) untuk menghitung e , tidak usah dengan (4-47).
e = .
Menurut (4-49), = . c jadi:
e = . c
= ( 2142 cm1 ) (2,9979 . 1010 cm . s1)
= 6,424 . 1013 s1 .
Selanjutnya kita hitung = OC
OC
m.m
m.m
mC = massa 1 atom C = 12 amu
= 12 x 1,661 x 1027 kg = 19,932 . 1027 kg
= 1,9932 . 1026 kg
mO = 15,9949 amu
= 15,9949 x 1,661 . 1027 kg
= 26.5675 . 1027 kg
= 2,65675 . 1026 kg
jadi:
= (1,9932 .1026 kg x 2,65675 .1026 kg )/(1,9932 .1026 kg + 2,65675 .1026 kg
= (5,29543 . 1052 kg2 ) / ( 4,64995 . 1026)
= 1,1388143959 . 1026 kg
k = 4 2 2e
= 4 2 (6,424 . 1013 s1 )2 1,1388143959 . 1026 kg
66
= 1854 kg. s2
= 1854 N/m
Soal-soal Bab 4
1. Mana di antara fungsi-fungsi berikut yang merupakan fungsi genap ? Mana yang
merupakan fungsi ganjil ?
a) sin x ; b) cos x ; c) tan x ; d) xe ; e) 2 2 x ; f) ( 3 + x ) ( 3 x )
2. Buktikan bahwa (a) hasil kali fungsi genap dengan fungsi genap adalah fungsi genap (b)
hasil kali fungsi ganjil dengan fungsi ganjil adalah fungsi genap (c) hasil kali fungsi genap
dengan fungsi ganjil adalah fungsi ganjil
3. Tentukan fungsi gelombang untuk v = 2:
a ) dengan relasi recursi
b) dengan polinomial Hermite
4. Tentukan fungsi gelombang untuk v = 4:
a ) dengan relasi recursi
b) dengan polinomial Hermite
5. Sebutkan perbedaan-perbedaan antara fungsi gelombang satu dimensi untuk partikel dalam
box dan untuk partikel dalam osilator harmonis.
6 Untuk fungsi gelombang osilator harmonis dengan v = 1, tentukan harga x yang paling
mungkin.
7. Dengan analogi bahwa untuk sistem satu dimensi nilai eigen energinya adalah E = ( v + ½ )
h, bagaimanakah energi levelnya jika sistemnya 3 dimensi ?. Dalam sistem 3 dimensi
tersebut, tentukan derajad degenerasi mulai energi level terendah sampai ke empat ?
8. Jika Hj adalah polinomial Hermite, tentukan H0 ; H1 ; H2 ; H3 dan H4 !
9. Untuk osilator harmonis dengan bilangan kuantum v, berapakah rentang x yang diijinkan
oleh mekanika klasik ?
67
10. (a) Spektrum absorpsi infra merah dari 1H35Cl mempunyai berkas terkuat pada 8,65 x 1013
Hz. Hitunglah tetapan gaya dari ikatan molekul tersebut.
(b) Tentukan zero point energi vibrasi untuk 1H35Cl
(c) Prediksilah frekuensi infra merah terkuat untuk molekul 2H35Cl
Massa isotop 1H = 1,00783 amu 2H= 2,01410 amu 35Cl = 34,968853 amu
1 amu = 1,661 . 1024 gram
11. (a) Buktikan persamaan (4-47) dari (4-43)
(b) Turunkan persamaan sejenis untuk transisi dari v = 0 v2
12. (a) Transisi v = 0 1 untuk LiH terjadi pada 1359 cm1 . Hitunglah ratio populasi v = 0
terhadap v = 1, pada temperatur 200o C
(b) lakukan persis seperti (a) tetapi untuk molekul ICl yang transisi terkuatnya terjadi pada
381 cm1.
BAB V
MOMENTUM ANGULAR
5.1 Pengukuran Simultan Beberapa Properti
Pada bab ini kita akan membahas momentum angular dan pada bab berikutnya nanti kita akan
menunjukkan bahwa dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah
konstan. Sebelum membahas momentum angular, kita akan bahas lebih dulu, pengukuran secara
simultan beberapa properti dan untuk itu, kita harus mengetahui kriteria yang dapat kita gunakan untuk
menentukan properti apa saja dari suatu sistem yang nilainya dapat ditentukan secara simultan. Perlu
diingat bahwa dalam mekanika kuantum ada pasangan-pasangan properti yang pengukurannya tidak
dapat secara simultan sebagai contoh posisi dan momentum merupakan dua properti pengukurannya
tidak dapat secara simultan. Sementara itu ada pasangan-pasangan properti yang pengukurannya dapat
secara simultan, karena masing-masing mempunyai hasil pengukuran yang pasti.
Dalam bab III telah kita bahas bahwa jika fungsi adalah fungsi eigen dari operator A
dengan
nilai eigen a, maka a adalah nilai properti A. Sebagai contoh jika adalah fungsi eigen dari operator
energi kinetik T
dengan nilai eigen t, maka t adalah nilai dari energi kinetik T. Selanjutnya jika
68
secara simultan merupakan fungsi eigen dari dua buah operator yaitu A
dan B
dengan nilai eigen a dan
b sehingga dapat kita tulis A = a dan B
= b, maka kita dapat secara simultan mengetahui
secara pasti nilai properti A dan B, yaitu a dan b. Kapankah terjadi kemungkinan bahwa menjadi
fungsi eigen dari dua buah operator berbeda ? Fungsi akan secara simultan merupakan fungsi eigen
dari dua buah operator A
dan B
jika kedua operator tersebut adalah pasangan operator yang commute
atau jika [ A
, B
] = 0 (Akan dibuktikan di Bab 7). Dengan logika terbalik dapat dinyatakan bahwa, jika
dua buah operator A
dan B
adalah commute atau jika [ A
, B
] = 0, maka dapat menjadi fungsi
eigen bagi A
maupun B
.
Ingat kembali bahwa commutator A
dan B
adalah [ A
, B
] = A
B B
A
. Berikut ini
diberikan beberapa commutator identitas yang sangat membantu dalam mengevaluasi commutator.
[ A
, B
] = = [ B
, A
] (5-1)
[ A
, A n
] = 0 (5-2)
[k A
, B
] = [ A
, k B
] = k[ A
, B ] (5-3)
[ A
, A
+ C
] = [ A
, B
] + [ A
, C
] ;
[ A
+ B
, C
] = [ A
, C
] + [ B
, C
] (5-4)
[ A
, B
C
] = [ A
, B
] C
+ B
[ A
, C
] ;
[ A
B
, C
] = [ A
, C
] B
+ A
[ B
, C
] (5-5)
Contoh:
Buktikanlah bahwa x dam px tidak dapat diukur secara simultan.
Bukti:
Untuk membuktikan kita harus menguji bahwa [ x , xp
] 0
[ x , xp
] = [ x xp
xp
x ]
Jika dioperasikan pada sembarang fungsi :
[ x , xp
] = [ x xp
xp
x ]
= x xp
xp
x
Karena xp
= i x
, maka:
69
[ x , xp
] = x ( i x
) ( i
x
)x
i ( x x
x
x )
i { x x
(
x
x + x
x
) }
i { x x
( + x
x
) }
i { x x
x
x
}
i { x x
x
x
}
i { }
i
Jadi:
[ x , xp
] = i
Karena [ x , xp
] tidak = 0, maka tidak mungkin merupakan fungsi eigen simultan terhadap x dan xp
sehingga pengukuran x dan px harus secara simultan dan mengikuti prinsip ketidakpastian.
5.2 Momentum Angular Sistem Partikel Tunggal
Momentum Angular Dalam Mekanika Klasik
Jika sebuah partikel bermassa m melintas dan kita tinjau partikel itu dalam sistem koordinat
Cartessius dengan r adalah vektor dari titik acuan ke posisi partikel pada saat itu, maka hubungan antara
vektor r dengan komponen-komponennya adalah:
r = x i + y j + z k (5-6)
dengan x, y dan z adalah koordinat partikel sedang i, j, k adalah unit vektor berarah x, y dan x. Jika
vektor momentum linear adalah p maka hubungan antara vektor p dengan komponen-komponennya
adalah:
p = px i + py j + pz k (5-7)
dengan px = m vx ; py = m vy dan pz = m vz
Menurut mekanika klasik, vektor momentum angular L didefinisikan sebagai :
70
L = r x p = pppzyx
zyx
kji
= yz p.zp.y i xz zpxp j + xy ypxp k (5-8)
Karena hubungan antara vektor L dan komponen-komponennya adalah:
L = Lx i + Ly j + Lz k (5-9)
Maka kita peroleh:
yzx p.zp.yL
zxy p.xp.zL (5-10)
xyz p.yp.xL
Hubungan antara harga L dengan Lx , ly dan Lz adalah:
L2 = 2z
2y
2x LLL (5-11)
Operator Momentum Angular
Operator momentum angular diperoleh dari persamaan klasik (5-11) dan (2-10) setelah mengganti px , py
dan pz dengan operator xp
, yp
dan zp
yaitu:
xp
= x
i
yp
= y
i
(5-12)
zp
= z
i
sehingga:
xL
= i
yz
zy
yL
= i
zx
xz (5-13)
zL
= i
xy
yx
71
Selanjutnya kita tahu bahwa besarnya harga skalar L adalah:
L2 = 2z
2y
2x L L L
Jadi operator 2L
= 2xL
+ 2yL
+ 2zL
(5-14)
Commutator antara Momentum Angular dengan Komponen-komponennya
Selanjutnya karena pasangan commutator sangat penting untuk mengetahui apakah dua buah properti
dapat diukur secara simultan atau tidak, maka sekarang kita akan melihat bagaimana harga pasangan-
pasangan commutator antar komponen momentum angular, yaitu [ xL
, yL
] ; [ xL
, zL
] ; [ yL
, zL
]
dan juga pasangan commutator antara operator momentum angular 2L
dengan komponen-komponennya
yaitu commutator [ 2L
, xL
] ; [ 2L
, yL
] dan [ 2L
, zL
].
Pertama kita akan mengevaluasi commutator [ xL
, yL
]. Kita tahu bahwa:
[ xL
, yL
] = xL
yL
yL
xL
Jika dioperasikan pada sembarang fungsi F maka:
[ xL
, yL
] F = xL
yL
F yL
xL
F
= 2 {
yz
zy
zx
xz F
zx
xz
yz
zy F}
= 2 {
yz
zy
F
zxF
xz
zx
xz
F
yzF
zy }
F
yz
zxF
zxyF
yxzF
zxzyF
zyzxF
xyzF
zyxF
xz
zy
2
222
2222
2
22
F
yz
zxF
zxzyF
zyzxF
xz
zy
222
yzz
y
FxF
zxzyF
zyzx
xz
Fz
x
Fy
22222
F
yzxz
y
FxF
zxzyF
zyzxF
xx
Fyz
x
Fy
22222
y
Fx
x
Fy2 = F
yx
xy2
= i
zL F
72
Jadi:
[ xL
, yL
] = i zL
(5-15)
Analog dengan cara diatas maka diperoleh (Buktikan):
[ Ly , Lz ] = i xL
(5-16)
[ Lz ,
xL ] = i Ly (5-17)
Dari (2-11) tampak bahwa pasangan commutator antar komponen momentum angular adalah non
commute. Sekarang akan kita selidiki pasangan commutator antara operator momentum angular dengan
komponen-komponennya yaitu: [ 2L
, xL
] ; [ 2L
, yL
] dan [ 2L
, zL
]. Pertama akan kita selidiki dulu:
[ 2L
, xL
] dengan memanfaatkan sifat commutator identitas pada awal bab ini.
Karena: 2L
= 2
xL +
2
yL +
2
zL maka:
[ 2L
, xL
] = [2
xL +
2
yL +
2
zL , xL
]
= [2
xL , xL
] + [
2
yL , xL
] + [
2
zL , xL
]
Menurut sifat (5-2), [ 2L
, xL
] = 0, jadi:
[ 2L
, xL
] = [ 2L
, xL
] + [ 2L
, xL
]
atau:
[ 2L
, xL
] = [ yL
yL
, xL
] + [ zL
zL
, xL
]
Dengan menggunakan sifat (5-5) yaitu [ A
B
,C
] = [ A
, C
] B
+ A
[ B
, C
], maka:
[ 2L
, xL
] = [ yL
, xL
] yL
+ yL
[ yL
, xL
] + [ zL
, xL
] zL
+ zL
[ zL
, xL
]
= i zL
yL
i yL
zL
+ i yL
zL
+ i zL
yL
= 0
Jadi:
[ 2L
, xL
] = 0 (5-18)
Analog dengan cara di atas maka diperoleh:
[ 2L
, yL
] = 0 (5-19)
73
[ 2L
, zL
] = 0 (5-20)
Dari persamaan (5-18) sampai dengan (5-20) tampak bahwa operator momentum angular 2L
dan salah
satu komponen-komponen bersifat commute, jadi antara 2L
dengan salah satu xL
atau yL
atau
zL
mempunyai fungsi eigen yang sama.
Operator Momentum Angular dalam Koordinat Spherik
Persamaan (5-13) dan (5-14) itu adalah operator untuk menghitung Lx , Ly dan Lz dengan
menggunakan koordinat Cartessius. Mengingat momentum angular terjadi pada partikel yang bergerak
melengkung, maka penggunaan operator kuantum angular dalam koordinat bola, ternyata lebih
menguntungkan, oleh karena itu, kita perlu mengetahui, bagaimana pernyataan operator tersebut dalam
koordinat bola. Buku ini tidak akan membahas bagaimana penurunan operator tersebut dalam koordinat
bola, tetapi bagi yang ingin mengetahui penurunannya dianjurkan untuk membaca literatur mekanika
kuantum. Adapun dalam koordinat bola (Hanna, 1969: 137):
xL
= i
coscotsin
yL
= i
sincotcos (5-14)
zL
= i
Telah kita ketahui, bahwa hubungan antara suatu vektor dengan komponen-komponennya adalah
kuadrat vektor = jumlah kuadrat komponen-komponennya, jadi:
2z
2y
2x
2 LLLL
Dengan demikian diperoleh:
2L
=
2
2
22
sin
1sin
sin
1 (5-18)
atau:
2L
=
2
2
22
22
sin
1otc (5-19)
Fungsi Eigen Dan Nilai Eigen Momentum Angular Orbital Partikel Tunggal
74
Sekarang kita akan menurunkan fungsi eigen dari operator 2L
dan zL
. Dengan memperhatikan
bahwa operator tersebut melibatkan dan , maka fungsi tersebut kita sebut fungsi (,) yang
merupakan fungsi dan fungsi dalam relasi:
(,) = f() . f() (5-20)
Jika agar praktis f() ditulis T dan fungsi f() ditulis , maka:
(,) = T . (5-21)
Jika b adalah nilai eigen untuk zL
dan c adalah nilai eigen untuk 2L
, maka persamaan eigennya dapat
ditulis:
zL
= b (5-22)
2L
= c (5-23)
Kita selesaikan dulu (5-22). Dengan menggunakan operator zL
dan fungsi ditulis T. maka (5-22)
dapat ditulis:
i
T. = b T.atau: i T
d
d = b T.atau:
T
d
d = (b/ i ) T.atau:
d
d =
ib.atau:
1d
ib d atau: ln =
ib C atau:
= C /ibe = Ce /ibe = A /ibe (5-24)
dengan A adalah tetapan sembarang.
Apakah setiap (5-24) dapat menjadi fungsi eigen ? Jawabnya tidak. Karena tidak semua
bentuk (5-24) adalah bernilai tunggal (singled valued). Agar (5-24) singled valued maka jika ditambah
2 harga tidak berubah. Jadi (5-24) adalah fungsi eigen jika:
A /ibe = A /)2(ibe = A /ibe /2ibe sehingga:
/2ibe = 1 (5-25)
/2ibe adalah cos 2b/ + i sin 2b/ . Jadi:
cos 2b/ + i sin 2b/ = 1 (5-26)
Untuk memenuhi (5-26) maka :
75
2b/ harus = 2 m dengan m = 0, 1, 2, 3 . . . . . sehingga:
b = m m = 0, 1, 2, 3, 4, 5 . . . . . (5-27)
Karena b adalah nilai eigen dari operator zL
maka harga Lz pasti = b, atau:
Lz = m m = 0, 1, 2, 3, 4, 5 . . . . . . (5-28)
Jika harga b dimasukkan ke dalam (5-24) maka fungsi eigen diperoleh, yaitu:
= A ei m (5-29)
Dengan normalisasi, harga A diperoleh, yaitu A = 2/1
2
1
sehingga:
= 2/1
2
1
ei m (5-30)
dengan m adalah bilangan kuantum magnetik.
Sekarang kita akan menyelesaikan persamaan (5-23) yaitu 2L
= c yang dapat ditulis:
2
2
22
22
sin
1otc = c atau:
2
2
22
22
sin
1otc = c atau:
2
2
22
22
sin
1otc
2/1
2
1
ei m = c
2/1
2
1
ei m atau:
Tc
sin
m
d
dTcot
d
Td22
2
2
2
(Buktikan !) (5-31)
Untuk menyelesaikan (5-31) kita lakukan dengan melakukan manipulasi matematika, pertama diadakan
perubahan variabel bebas, dengan cara mensubstitusi:
cos = x (5-32)
Jika cos = x maka:
sin = (1 x2)1/2 (5-33)
i cot = x / (1 x2)1/2
76
Akibat perubahan variabel ini, maka terjadi transformasi fungsi T yang semula fungsi menjadi fungsi
x. Kita misalkan fungsi baru sebagai akibat transformasi itu adalah G(x) Jadi:
T = G(x) (5-34)
sehingga, dengan aturan berantai yaitu:
d
dT
d
dx.
dx
dG=
d
cosd.
dx
dG = sin
dx
dG= (1 x2)1/2
dx
dG (5-35)
Untuk mengevaluasi 2
2
d
Td
kita gunakan operator aljabar:
d
d = (1 x2)1/2
dx
d Jadi:
2
2
d
Td
= (1 x2)1/2
dx
d[(1 x2)1/2
dx
dG]
= (1 x2)1/2 dx
d[ (1 x2)1/2
dx
dG]
= (1 x2)1/2 {dx
d (1 x2)1/2 .
dx
dG + (1 x2)1/2
2
2
dx
Gd ]
= (1 x2)1/2 { (1/2) (1 x2)1/2 (2x). dx
dG + (1 x2)1/2
2
2
dx
Gd ]
= (1 x2)1/2 { (1/2) (1 x2)1/2 (2x). dx
dG + (1 x2)1/2
2
2
dx
Gd ]
= (1 x2)1/2 { x) (1 x2)1/2. dx
dG + (1 x2)1/2
2
2
dx
Gd ]
= x dx
dG + (1 x2)
2
2
dx
Gd Jadi:
2
2
d
Td
= (1 x2)
2
2
dx
Gd x
dx
dG (5-36)
Dengan menggunakan (5-32) s/d (5-36), maka (5-31) dapat ditulis:
(1 x2) 2
2
dx
Gd x
dx
dG+
2
2
2 x1
mc
G = 0 (5-37)
dengan x adalah 1 < x < +1 (Mengapa ?)
77
atau:
(1 x2) G'' x G'+
2
2
2 x1
mc
G = 0 (5-38)
Agar penyelesaiannya tidak rumit ketika kita melakukan penyelesaian dengan menggunakan metode
deret penyelesaian, maka kita nyata G kedalam fungsi x yang lain yaitu H(x) dengan relasi:
G = 2 / m 2x1 H (5-39)
Dari (5-39) kita cari G' dan G'' untuk disubstitusikan ke (5-38) dan setelah dibagi dengan 2 / m 2x1 ,
maka (5-38) menjadi:
(1 x2 ) H'' 2 1 m x H' + [ c 2 1 m m H = 0 (5-40)
Sekarang akan kita selesaikan (5-40) dengan metode deret, yaitu dengan memisalkan:
H =
0 j
jjxa (5-41)
Turunannya adalah:
H' =
0 j
1jjxa . j (5-42)
H'' =
2 j
2jjxa . j . )1j( =
0 j
j2j xa . 2j . )1j( (5-43)
Substitusi (5-41) s/d (5-43) ke dalam (5-40) menghasilkan::
j
0 jj
2222j xa m m c/ j m 2jja . 2)(j . )1j(
= 0
Karena x j pasti tidak nol maka koefisiennya yang nol jadi:
a m m c/ j m 2jja . 2)(j . )1j( j222
2j
= 0
dan diperoleh:
2ja =
j
2
a 1j 2j
c/ 1 m j m j
(5-44)
Sebagaimana dalam osilator harmonis, bentuk umum penyelesaian (5-40) adalah kombinasi linear dari
fungsi berpangkat genap (yang koefisiennya ditentukan oleh harga a0) dan fungsi berpangkat ganjil
78
(yang koefisiennya ditentukan oleh harga a1). Kedua fungsi penyelesaian ini tampak merupakan fungsi
berbentuk deret pangkat sampai tak terhingga, sehingga tidak merupakan well behaved eigenfunctions.
Namun seperti halnya yang sudah kita kenal pada osilator harmonis, kita dapat membuat salah satu deret
penyelesaian itu berhenti pada suku berpangkat tertentu, yaitu dengan membuat koefisien pada suku
tersebut berharga nol. Jika kita misalkan deret penyelesaian berhenti pada suku berpangkat k, artinya
jika kita mengganti j dengan k, maka koefisiennya suku itu, yang dapat dihitung dari (5-38) menjadi
berharga nol, sehingga kita akan memperoleh:
c = 2 m k 1 m k (5-45)
dan karena k adalah j, sedang j berharga 0, 1, 2, . . . ., maka k juga berharga 0, 1, 2, . . . .. Selanjutnya
karena m juga berharga 0, 1, 2, . . . . maka m k juga berharga 0, 1, 2, 3 . . .
yang untuk selanjutnya m k disebut bilangan kuantum azymuth atau bilangan kuantum angular
translasi dan diberi notasi jadi:
= m k (5-46)
dan dengan demikian maka (5-45) menjadi:
c = 2 ( +1) (5-47)
Karena menurut (5-23), c adalah nilai eigen dari operator momentum 2
L , maka dapat disimpulkan
bahwa harga skalar L2 adalah:
L2 = 2 ( +1) (5-48)
atau:
L = 1 (5-49)
Marilah kita amati lagi persamaan (5-46). Hal penting yang diperhatikan dari persamaan (5-45)
itu adalah bahwa harga m tidak melebihi , sebab jika m melebihi maka k akan negatif. Padahal
harus diingat bahwa k adalah j sedang j adalah pangkat x dari deret penyelesaian persamaan diferensial
orde dua, dengan harga paling kecil nol. Karena j paling kecil nol, maka k paling kecil nol. Kalau k
paling kecil nol, maka m paling besar = atau kita biasa menulis:
m < (5-50)
atau:
m = 0 , + 1, +2, +3, . . . . . . . . . . + (5-51)
79
Penurunan Fungsi
Menurut (5-34) fungsi nya adalah : T = G(x) dengan G = 2 / m 2x1 H (menurut 2-31)
sehingga:
T = 2 / m 2x1 H (5-52)
Karena x adalah cos , maka:
T = m
)(sin H (5-53)
Menurut (5-41), H =
0 j
jjxa , sehingga:
T = m
)(sin
0 j
jjxa (5-54)
Karena fungsi dikehendaki hanya sampai suku k dengan k = m , maka (5-54) dapat ditulis:
T = m
)(sin .
m
0 j
jjxa
(5-55)
Karena penyelesaian
0 j
jjxa pada dasarnya adalah salah satu kemungkinan genap, atau ganjil, maka
(5-55) dapat dipecah bentuknya menjadi:
T = m
)(sin .
m
. . 4 2, 0, j
jjxa
jika m genap (5-56) T =
m )(sin .
m
. . . . 3, 1, j
jjxa
jika m ganjil (5-57)
Jika x kita kembalikan ke asalnya yaitu cos , maka:
T = m
)(sin .
m
. . . . 4 2, 0, j
jj cosa
jika m genap (5-58)
T = m
)(sin .
m
. . . . 3, 1, j
jj cosa
jika m ganjil (5-59)
80
Koefisien a, mengikuti (5-44), yang setelah harga nilai eigen c, dimasukkan menjadi:
2ja =
ja 1j 2j
)1( 1) m j( )m j(
(5-60)
Setelah T diperoleh, maka (,) juga diperoleh, yaitu:
2/1
2
1
ei m
(5-61)
dengan T adalah salah satu dari (2-49). Karena (,) ditentukan oleh dan m, maka fungsi eigen
momentum angular juga sering ditulis )m,( , sehingga:
)m,( = 2/1
2
1
ei m
(5-62)
Contoh:
Sebuah partikel yang diperikan oleh bilangan kuantum = 3 dan m = 1, tentukan:
a) Komponen momentum Lz
b) Momentum angular L
c) Fungsi gelombang eigennya
Jawab:
a) Lz = m =
b) L = )1( = 6
c) karena = 3 dan m = 1, maka m = 2, jadi fungsi genap, dan untuk menentukan fungsi T kita
gunakan (5-58):
T = m
)(sin .
2
2. 0, j
jj cosa
= sin ( a0 + a2 cos2 )
a2 kita cari dari relasi:
2ja =
ja 1j 2j
)1( 1) m j( )m j(
2ja =
ja 1j 2j
)1( 1) m j( )m j(
81
a2 = 1)(0 )20(
1)3(31)1(0 )10(
a0 = a0
Jadi:
:T = sin ( a0 a0 cos2 ) = a0 sin (1 5cos2) = a0 sin (5cos21)
Harga a0 dicari dengan normalisasi:
0
* d T T = 1
d = r2 dr sin d d
Karena T hanya fungsi , maka :
0
* d sin T T = 1 atau:
0
* d sin T T = 1 atau:
0
22220 d sin )1(5cos sin a = 1
0
243 d )1cos10(25cos sin = 1/a02
25
0
34 d sincos 10
0
32 d sin cos +
0
3 d sin = 1/a02
25 (12/105) 10 (4/15) +4/3 = 1/a02
160/105 = 1/a02
a0 = +160
105= +
640
420 = + 42
8
1
Kita pilih a0 = 428
1, supaya fungsi T
Jadi:
T = 428
1 sin (5cos2)
Karena T sudah diperoleh maka orbital momentum angularnya adalah:
82
)m,( = 2/1
2
1
ei m
)1 , 3( = 428
1
2/1
2
1
sin (5cos2) ei
Cara lain menentukan fungsi T (fungsi )
Persamaan (5-38) sangat dikenal dalam matematika, dan disebut Persamaan Legendre terasosiasi, Yang
penyelesaiannya adalah:
m
P=
! . 2
1
(1 - cos
2)
m /2
m
m
)(cosd
d
(cos
2 - 1) (5-63)
Penyelesaian (5-62) di atas disebut Polinomial Legendre terasosiasi, m
P . Setelah m
P diperoleh,
fungsi tetha T diperoleh dengan cara sebagai berikut:
2/1
! m+ . 2
! m-1+2
mP (5-64)
Jika T sudah diperoleh maka ( ,m) segera diketahui.
Contoh: Sekarang kita akan mencoba menghitung 3,1) tetapi menggunakan Polinomial Legendre.
Jawab:
Kita hitung dulu m
P :
m
P =
! . 2
1
(1 - cos
2)
m /2
m
m
)(cosd
d
(cos
2 - 1)
= ! 3 .2
13
(1 - cos2) 2/1
4
4
)(cosd
d
(cos
2 - 1)3
= 48
1 sin
4
4
)(cosd
d
(cos
2 - 1)3
Kita selesaikan dulu 4
4
)(cosd
d
(cos
2 - 1)3
dan supaya tampak sederhana cos kita ganti x sehingga:
4
4
)(cosd
d
(cos
2 - 1)3
= 4
4
dx
d(x
2 1)3
83
= 4
4
dx
d(x6 3x4 + 3x2 1)
= 3
3
dx
d(6x5 12x3 + 6x)
= 2
2
dx
d(30x4 36x2 + 6)
=
dx
d(120x3 72x)
= (360x2 72) = (360 cos2 72) = 72 (5 cos2 1)
Jadi:
m
P = 48
1 sin
4
4
)(cosd
d
(cos
2 - 1)3
= 48
1 sin { 72 (5 cos2 1) }
= 2
3 sin (5 cos2 1)
Setelah itu, T dapat ditentukan:
2/1
! m+ . 2
! m-1+2
mP
2/1
! 4 . 2
! 2 7
2
3 sin (5 cos2 1)
2/1
48
14
2
3 sin (5 cos2 1)
428
1 sin (5 cos2 1)
Akhirnya ( 3, 1) diperoleh, yaitu:
)m,( = 2/1
2
1
ei m
( 3, 1) = 428
1
2/1
2
1
sin (5cos2) ei
84
Soal-soal Bab 5
1. Buktikan commutator identitas berikut:
(a) [ A
, B
] = = [ B
, A
] (5-1)
(b) [ A
, A n
] = 0 (5-2)
(c) [k A
, B
] = [ A
, k B
] = k[ A
, B
] (5-3)
(d) [ A
, B
+ C
] = [ A
, B
] + [ A
, C
] ;
[ A
+ B
, C
] = [ A
, C
] + [ B
, C
] (5-4)
(e) [ A
, B C
] = [ A
, B
]C
+ B
[ A
, C
] ;
[ A
B
, C
] = [ A
, C
] B
+ A
[ B
, C
] (5-5)
2. Buktikan [ xp
xp
, H
] = i
x
V
3. Buktikan [ x , xp
] = i
4. Dengan menggunakan [ x , xp
] = i dan commutator identitas, tentukan [ x , 2xp
]
5. Diketahui vektor A mempunyai komponen (3, 2, 6) dan vektor B komponennya (1,4, 4) .
Tentukan (a) harga skalar A dan B; (b) A + B ; (c) A B; (d) A . B (e) A x B;
(f) sudut antara A dan B.
6. Buktikan bahwa:
Jika f dan g masing-masing adalah fungsi koordinat, buktikan bahwa:
2 f . g = g 2 f + 2 f . g + f 2 g
7. Jika f = 2x2 5 xyz + z2 1, maka tentukan (a) gradien f ; (b) 2 f
8. Buktikan bahwa cross vektor L
x L
= i L
9. Tentukan [ 2L
, yL
]
10 . Tentukan koordinat polar dari titik-titik yang koordinat rektangularnya adalah:
(a) ( 1, 2, 0 ) ; (b) ( 1, 0, 3 ) ; (c) ( 3, 1, 2 ) ; (d) ( 1, 1, 1 )
85
Tentukan koordinat rektangular dari titik-titik yang koordinat polarnya adalah:
(a) ( 1, 2
, ) ; (b) ( 2,
4
; 0 )
12. Tentukan kemungkinan-kemungkinan sudut antara L dengan z, jika = 2.
13. (a) Jika kita mengukur Lz dari sebuah partikel yang bilangan kuantum momentum angularnya adalah
= 2, ada berapakah kemungkinan hasilnya ?
(b) Jika kita mengukur Lz dari sebuah partikel yang momentum angularnya adalah 12 , ada
berapakah kemungkinan hasilnya ?
14. Pada saat tertentu, sebuah partikel mempunyai fungsi = N . 2r ae 12 (,
(a) Tentukan berapa momentum angular L nya ? (b) berapa Lz nya ?
(c) Berapa sudut antara L dengan sumbu z ?
15. Fungsi orbital momentum angular sebuah partikel adalah:
= A sin2 cos i 2e
(a) Tentukan berapa momentum angular L nya ?
(b) berapa Lz nya ?
(c) Berapa sudut antara L dengan sumbu z ?
16. Jika = 3 dan m = 3, tentukan fungsi gelombang orbital momentum angularnya .
===000===
BAB VI
ATOM HIDROGEN
6.1 Persamaan Schrodinger Untuk Kasus Gaya Pusat
Kasus elektron dalam atom hidrogen adalah kasus gaya pusat yang bersifat sphericcaly
symetric. Oleh karena itu sebelum membahas Hidrogen, kita akan membahas kasus gaya pusat
ini secara lebih umum. Yang dimaksud dengan kasus gaya pusat adalah kasus-kasus yang
melibatkan partikel yang energi potensialnya hanya merupakan fungsi jarak, artinya energi
potensial hanya ditentukan oleh jarak partikel itu dari titik pusat peredaran, atau V = V( r) .Kita
tahu bahwa persamaan Schrodinger bebas waktu adalah:
H = E (6-1)
dengan H adalah:
86
H
= T
+V
= ( m2/2 ) 2 + V( r) (6-2)
Karena sifatnya yang spherically symetric, maka kita gunakan 2 dalam koordinat spherik,
yaitu:
2 = 2
2
2222
2 sinr
1 sin
sinr
1
rr
rr
1
(6-3)
atau :
2 =
2
2
22
2 sin
1 sin
sin
1
rr
rr
1 (6-4)
Dari Bab 5 kita tahu bahwa :
2L
=
2
2
22
sin
1sin
sin
1
Sehingga:
2
2
2sin
1sin
sin
1 = 2L
/ 2
Jadi (6-3) boleh ditulis:
2 =
2
22
2
1
L
rr
rr =
22
22
2
1
r
L
rr
rr (6-5)
Substitusi (6-5) ke dalam operator Hamilton diperoleh:
H
= m2
2
22
22
2
1
r
L
rr
rr + V( r) (6-6)
H
= 2
22
2
2
2
1
2 rm
L
rr
rrm
+ V( r) (6-7)
Persamaan Schrodinger untuk kasus gaya pusat diperoleh, yaitu dengan mensubstitusi
(6-7) ke dalam (6-1), jadi :
r
rrr
1
m22
2
2
+ 2
2
2
rm
L
+ V( r) = E (6-8)
87
Telah kita ketahui dari Bab 5, bahwa nilai eigen terhadap operator 2 L
adalah (+1) 2
sehingga persamaan eigennya dapat ditulis:
2L
(+ 1) 2 (6-9)
dan (6-8) dapat ditulis:
r
rrr
1
m22
2
2
+
2r m2
2 1 + V( r) = E (6-10)
Sekilas, tampaknya persamaan (6-9) hanya melibatkan satu variabel yaitu r, tetapi harus diingat
bahwa (+ 1) 2 adalah nilai eigen dari operator 2L
padahal seperti kita tahu, operator 2L
melibatkan variabel dan . Jadi sebenarnya persamaan (6-9) melibatkan tiga macam variabel,
yaitu r, dan , sehingga yang merupakan penyelesaian (6-9) harus (r,,) yang merupakan
gabungan dari ( r) , () dan (). Selanjutnya ( r) kita tulis R sedang menurut bab 5, ()
ditulis T dan () ditulis sehingga:
= R T (6-11)
Subtitusi (6-10) ke dalam (6-9) menghasilkan:
r
T R r
rr
1
m22
2
2
+ 2
2
2
)1(
rm
R T + V( r) R T = E R T (6-12)
atau:
1
T 2
22
2
r
Rr
rrm
+
2
2
2
)1(
rm
R T + V( r) R T = E R T
Jika dibagi dengan R T , hasilnya:
r
R r
rr
1
R
1
m22
2
2
+ 2
2
2
)1(
rm
+ V( r) = E (6-13)
atau:
r
R r
rr
1
m22
2
2
+ 2
2
2
)1(
rm
R + V( r) R = E R (6-14)
Perlu diketahui bahwa r
r
rr
1 22
=
rr
2
r2
2
sehingga (6-14) boleh ditulis:
88
R
r
2
2 2
22
rrm
+
2
2
2
)1(
rm
R + V( r) R = E R atau
r
2
2 2
22
r
R
r
R
m
+
2
2
2
)1(
rm
R + V( r) R = E R atau:
' r
2 ''
2
2
RR
m
+
2
2
2
)1(
rm
R + V(( r) R = E R (6-15)
Perlu ditegaskan bahwa bagi sembarang problem dengan fungsi energi potensial yang
spherically symetric V( r) , maka fungsi gelombangnya adalah = R T yang memenuhi
persamaan (6-15), dengan R = fungsi radial, T fungsi dan adalah fungsi . Fungsi T dan
fungsi sudah kita turunkan di bab 5.
Persamaan (6-15) adalah persamaan Schrodinger sebagai fungsi radial, untuk sembarang
problem yang melibatkan fungsi energi potensial yang spherically symetric V(r) .
6.2 Gerak Rotasi ( Rigid Rotor Dua Partikel )
Meskipun sebenarnya kita sudah dapat melanjutkan pembahasan dalam rangka
menyelesaikan persamaan Schrodinger untuk atom Hidrogen namun lebih dulu kita akan
menyelesaikan problema yang lebih sederhana yaitu rigid rotor dua partikel yaitu problema
tentang sistem dua partikel yang berada pada jarak yang tetap, dan dihubungkan oleh sebuah
batang kaku tanpa massa yang panjangnya d. Dalam kasus ini, karena jarak kedua partikel
tetap, maka gerak internal dalam bentuk vibrasi pasti tidak mungkin, sehingga satu-satunya
gerak internal adalah gerak rotasi. Seluruh energi dalam rotor adalah energi kinetik, jadi:
V = 0 (6-16)
sehingga operator Hamilton untuk gerak rotasinya adalah:
H
= 22
2
(6-17)
89
Dalam persamaan (6-17) di atas kita gunakan sebagai pengganti m, karena sistemnya terdiri
atas dua partikel, sehingga massa yang digunakan adalah massa tereduksi yang didefinisikan:
= 21
21
m m
m . m
(6-18)
dengan m1 dan m2 adalah massa masing-masing partikel. Operator 2 adalah operator 2
koordinat spherik seperti pada persamaan (6-5) yaitu:
2 =
22
2^L2
2 r
rr
rr
1
tetapi karena dalam rigid rotor, jari-jarinya konstan, maka turunan terhadap jari-jari = 0
2 =22
2^L
r
(6-19)
karena jarak antar partikel adalah d, maka: 2 =22
2
r
L sehingga operator Hamiltonnya
menjadi:
H =
2d 2
1
2^L (6-20)
2^L adalah operator momentum angular untuk gerak translasi yang melengkung, sedang yang
kita bicarakan adalah gerak translasi. Untuk membedakannya, maka 2^
L diganti 2^
J yaitu
operator momentum angular rotasi. Sehingga (6-20) ditulis:
H =
2d 2
1
2^J
Demikian persamaan Schrodinger untuk rigid rotor dua partikel:
2d 2
1
2^J = E (6-21)
Telah kita ketahui bahwa nilai eigen untuk terhadap 2^
L adalah ( + 1) 2 , jadi seharusnya
nilai eigen 2^
J adalah j ( j + 1) 2 , sehingga 2^
J = j (j + 1) 2 dan (6-21) ditulis:
90
2d 2
1
j (j + 1) 2 = E (6-22)
sehingga:
E =
2
2
d 2
1 j j
(6-23)
Selanjutnya d2 ditulis I sehingga (6-23) ditulis:
E =
I 2
1 j j 2 J = 0, 1, 2, . . . . . . . (6-24)
dengan I = momen Inertia, yang didefinisikan:
I = d2 (6-25)
Perbandingan antara L dan J
L adalah momentum angular translasi, harganya 1( dengan adalah bilangan
kuantum momentum angular translasi. J adalah momentum angular rotasi, harganya )1j(j
dengan j adalah bilangan kuantum momentum angular rotasi. L mempunyai komponen Lz =
m , maka J juga mempunyai komponen yang disebut Jz = m . Jika pada gerak translasi m
harganya mulai , (+1) . . . . . . + , maka m pada gerak rotasi mempunyai harga mulai
dari j , j+1, . . . . sampai dengan +j.
Apakah Energi rotasi mengalami degenerate ?
Kita tahu bahwa energi level rotasi hanya ditentukan oleh j. Jadi jika j = 2 misalnya
maka energinya I
3 2. Untuk j = 2, maka ada 5 harga m, yaitu 2 , 1, 0, 1, 2. Kita telah tahu
dari bab 5 bahwa fungsi eigen untuk operator momentum angular ditentukan oleh dan m.
Sudah barang tentu untuk gerak rotasi, fungsi eigennya ditentukan oleh j dan m. Karena untuk j
= 2 ada 5 harga m, itu artinya untuk j = 2, ada lima macam fungsi gelombang yaitu: -22
; -12 ;
91
02
; 12
dan 22
, yang kelima-limanya mempunyai energi yang sama yaitu I
3 2. Karena ada
5 fungsi gelombang berbeda yang energinya sama, maka dikatakan bahwa untuk j = 2, energi
level rotasi mengalami 5th fold degenerate.
6. 3 Gerak Rotasi Molekul Diatomik
Energi level rotasi molekul diatomik dapat diaproksimasi dengan menggunakan energi
level rigid rotor dua partikel (6-24). Telah diketahui bahwa ketika molekul diatomik
mengabsorpsi atau mengemisi energi, ternyata transisi rotasi murni yang mungkin adalah:
j = + 1 (6-26)
Perlu ditambahkan bahwa momen dipole molekul harus tidak nol untuk dapat menghasilkan
spektrum rotasi murni. Transisi rotasi disebut transisi murni jika hanya bilangan kuantum rotasi
saja yang berubah. Jika terjadi transisi rotasi dari E2 ke E1 maka E nya yaitu E2 E1 berubah
menjadi foton atau h, Jadi:
h = I2
)1j(j
I2
)1j(j 211
222
= I 8
h)1j(j )1j(j
2
21122
(6-27)
Jadi:
= I 8
h)1j(j )1j(j
21122
(6-28)
Jika dianggap j = 1, maka j2 = j1 + 1 sehingga. Jika j1 ditulis j saja, maka j2 = j + 1, jadi:
= I 8
h)1j( j )2j( ) 1j (
2
= 2 ( j + 1) B (6-29)
B = h / (82I) dan j = level yang rendah = 0, 1, 2, 3, . . . . . .
B disebut tetapan rotasi molekul.
Pengukuran terhadap frekuensi absorpsi rotasi, memungkinkan kita menghitung B. Dari B, kita
dapat menghitung momen inertia I, untuk selanjutnya jarak ikatan molekul d, dapat ditentukan.
92
Contoh:
Garis spektrum frekuensi terendah pad absorpsi rotasi murni molekul 12C32S terjadi pada 48991
MHz. Tentukan jarak ikatan.
Jawab:
Frekuensi terendah, berarti transisi dari j = 0 1, sehingga:
= 2 B jadi B = / 2
B = h / (82I) I = h / ( 8 2 B) = h / (4 2 )
I = d2 d2 = I / = h / (42 )
d = 24
h
= 21
21
mm
m.m
=
97207,3112
)97207,31(12
x 1,661 . 1024 gram = 1,44885 . 1023 gram
= 1,44885 . 1026kg
d = )kg10 x (1,44885 )s 48991((4,14) 4
s J10 x 62608,6
261-2
34
= 1,5377 x 1010 m = 1,5377 A
6.4 Atom Hidrogen
Atom hidrogen terdiri atas sebuah proton dan sebuah elektron. Jika e menyatakan
muatan sebuah proton ( e = + 1,6 x 1019 C ) maka muatan elektron adalah e. Kita akan
berasumsi bahwa elektron dan proton adalah titik massa yang interaksinya mengikuti hukum
Coulomb. Dalam membahas tentang atom atau molekul , kita biasanya akan memandangnya
sebagai sistem terisolasi, dengan mengabaikan interaksi antar atom dan antar molekul.
Pembahasan kita tentang Hidrogen ini akan kita buat lebih umum, yaitu tidak saja untuk atom
hidrogen, tetapi juga untuk atom yang mirip Hidrogen (Hidrogen liked atom) yaitu misal ion
He+ ; ion Li2+ dan lain-lain.
Pertama kita akan membicarakan gaya yang bekerja dalam sistem ini, yaitu gaya Coulomb:
F = 2
2
o r
Ze
4
1
(6-30)
93
yang merupakan gaya pusat. Hubungan antara energi potensial V dengan F yang bekerja adalah:
F = dV/dr (6-31)
dengan demikian maka:
dV/dr = 2
2
o r
Ze
4
1
, jadi:
V = r
Ze
4
1 2
o (6-32)
Supaya penulisannya ringkas (¼o)1/2e diganti e', sehingga (6-32) menjadi:
V = r
' Ze 2 (6-33)
Jika kita misalkan gerak internal dalam sistem itu diwakili oleh fungsi dengan adalah:
= R (6-34)
maka sebagai representasi dari kasus gaya pusat, harus mengikuti persamaan:
'R r
2 ''R
m2
2
+
2r m2
2
1 R + V(( r) R = E R (6-15)
Dengan memasukkan harga V = r
' Ze 2, dan m diganti (mengapa ?) maka (6-15) menjadi:
'R r
2 ''R
m2
2
+
2r 2
2
1
R
r
' Ze 2
R = E R
'R r
2 ''R
m2
2
+
2r 2
2
1
R
r
' Ze 2
R E R = 0
'R r
2 ''R
2
2
2r 2
2
1
R
2
2
r
' Ze 2
R 2
2
E R = 0
'R r
2 ''R
2r
1
R 2
2
r
' Ze 2
R 2
2
E R = 0
atau:
Jika 22 ' e / diganti a maka:
94
'R r
2 ''R
2r
1
R r a
Ze2
R 2 e' a
E 2 R = 0
atau
'R r
2 ''R
r a
Ze2
2 e' a
E 2
2r
1
R = 0 (6-35)
Persamaan (6-35) adalah persamaan Schrodinger untuk atom hidrogen dinyatakan dalam satu
variabel yaitu radial. Jika (6-35) diselesaikan, maka R diperoleh. Padahal T dan sudah kita
ketahui dari bab 5. Jadi Jika R diperoleh maka untuk atom mirip hidrogen yang merupakan
penggabungan (hasil kali) R T juga diperoleh.
Solusi Persamaan Radial
Untuk memperoleh R, sebenarnya kita dapat langsung menyelesaikan (6-35) dengan
menggunakan metode deret. Tetapi relasi recursi yang diperoleh akan terlalu rumit. Agar relasi
recursi yang diperoleh bentuknya sederhana maka kita akan melakukan beberapa langkah awal
yaitu dengan memasukkan r yang sangat besar. Jika r = , maka (6-35) menjadi:
R '' 2 e' a
E 2R = 0 (6-36)
dan penyelesaian-penyelesaiannya adalah:
r e' a / 2E i 2e (6-37).
Sekarang pembahasan akan kita fokuskan jika E positif. Untuk E positif, maka bilangan dalam
akar akan negatif, sehingga muncullah i sebagai faktornya r :
R r e' a / 2Ei 2e E > 0 (6-38)
atau, jika harga a dikembalikan ke asalnya maka:
R r / ) E 2( i e
E > 0 (6-39)
Simbol pada (4-9) menunjukkan bahwa R tersebut adalah R yang hanya berlaku untuk r yang
sangat besar, dan merupakan fungsi asymtotik terhadap R yang sesungguhnya.
Bentuk persamaan (6-39) tersebut mengingatkan kita kepada persamaan (6-26) pada bab III
mengenai partikel bebas. Ini berarti untuk r sangat besar dan E > 0 maka elektron atom
95
hidrogen berada dalam keadaan partikel bebas, atau dengan perkataan lain hidrogen dalam
keadaan ion positif.
Persamaan (4-9) belum memberikan faktor radial yang lengkap bagi fungsi radial
dengan E positif. Studi lebih lanjut mengenai hal ini (baca literatur Quantum Mechanics of One
and Two Electron Atoms , 1957 karangan Bethe dan Salpeter halaman 21-24) menunjukkan
bahwa fungsi radial dengan E positif harganya tertentu (terhingga) untuk sembarang harga r
berapapun harga E positifnya. Ini berarti, bahwa sebagai partikel bebas sembarang harga E
nonnegatif diijinkan atau untuk partikel bebas, energinya kontinum nonnegatif atau tidak energi
level bagi partikel bebas.
Karena kita mendapat energi positif yang kontinum, maka eigen fungsi yang bersangkutan
disebut continuum eigenfunctions. Sebagaimana lazimnya fungsi partikel bebas, maka fungsi
eigen kontinuumpun tak ternormalisasi.
Sekarang kita akan membahas bound state atom Hidrogen yaitu jika E < 0. Jika E
negatif maka bilangan di bawah tanda akar dalam (6-37) adalah positif. Karena berapapun harga
r, fungsi harus bernilai terhingga, maka kita pilih tanda minus untuk persamaan (6-37) tersebut
sehingga:
R r e' a / 2E 2e E < 0 (6-40)
Persamaan (6-40) menunjukkan bahwa R disitu adalah fungsi asymtotik bagi R yang
sesungguhnya. Karena (6-40) adalah asymtotik terhadap R sesungguhnya maka R
sesungguhnya pasti mengandung (6-40). Kita boleh memisalkan R dalam bentuk apapun asal
mengandung (6-40). Misal R sesungguhnya adalah:
R = K r e' a / 2E 2e (6-41)
dengan K adalah fungsi r atau K(r). [ Hati-hati dengan e dan e' pada (6-30). Ingat bahwa e disitu
adalah bilangan basis logaritma natural, tidak ada hubungannya dengan muatan proton sedang e'
ada hubungannya dengan muatan proton ].
Jika 2e' a / E2 dengan C, maka (6-41) menjadi:
R = K r C e (6-42)
96
dengan
C = 2e' a / E2 (6-43)
Penggunaan R dalam (6-43) dijamin tidak hanya berlaku untuk r sangat besar, tetapi untuk
sembarang harga r asal E negatif.
Proses selanjutnya, R pada (6-42), turunan pertamanya ( R') dan turunan keduanya (R'')
dimasukkan pada (6-35), maka (6-35) akan menjadi:
` r2 K '' + ( 2r Cr2 ) K ' + [ ( 2 Z a1 2 Cr ) (+1) ] R = 0 (6-44)
Sekarang, kita dapat memasukkan deret pangkat berbentuk:
K =
0k
kk r .c (6-45)
ke dalam (6-44). Jika kita benar-benar melakukannya, maka akan kita lihat bahwa beberapa
koefisien pada suku-suku yang awal dari deret penyelesaian itu adalah nol. Jika kita misalkan
koefisien pertama yang tidak nol adalah koefisien suku ke s atau cs , maka (6-45) boleh ditulis:
K =
sk
kk r .c ck 0 (6-46)
Jika k s diganti j maka: k = s diganti j = 0 dan k diganti j + s, sehingga (6-46) menjadi:
K =
0j
sjsj r .c =
0j
jsj
s r .cr cj+s 0 (6-47)
Selanjutnya cj+s diganti bj sehingga:
K =
0j
jj
s r .br bi 0 (6-48)
(Meskipun kita telah melakukan berkali-kali substitusi, tetapi substituennya adalah substituen
sembarang, jadi tidak mengubah prosedur standar penyelesaian persamaan diferensial dengan
metode deret). Dalam (6-47) s adalah bilangan bulat, yang nilai ditentukan pada saat
menyelesaikan persamaan diferensial. Selanjutnya kita buat fungsi radial baru yaitu M yang
harganya adalah K / rs Jadi:
K = sr M bi 0 (6-49)
97
M =
0j
jr .bj bi 0 (6-50)
Kita cari K' dan K'' dari (6-49) dan bersama (6-49) kita masukkan ke dalam (6-44), kita peroleh:
r2M'' + [(2s + 2 ) r 2C r2 ] M' + [ s2 + s + ( 2 Z a1 2 C 2 C s ) r (+1)] M = 0
(6-51)
Untuk mendapatkan harga s kita tempuh langkah-langkah sebagai berikut:
Masukkan r = 0 ke dalam (6-50) sehingga :
[ s2 + s (+1)] = 0 (6-52)
dan diperoleh:
s = dan s = 1 (6-53)
Dari dua harga s ini, mana yang akan dipergunakan ? Untuk itu ikuti uraian berikut:
Dari (6-42) , (6-49) dan (6-50) kita peroleh:
R = r Ce rs
0j
jj r b atau: (6-54)
R = r Ce rs M (6-55)
Ingat bahwa r Ce = 1 Cr + (Cr)2/ 2 ! . . . . . maka untuk r yang kecil, r Ce = 1, sementara
itu
0j
jj r b = b0 + b1 r + b2 r2 . . . . sehingga untuk r yang kecil,
0j
jj r b = b0, akibatnya untuk
r yang kecil, (4-24) menjadi:
R = b0 rs (6-56)
Untuk s = maka R = b0 r sedang untuk s = 1 , maka R = 1
o
r
b
yang akan menjadi tak
terhingga untuk r = 0. Padahal yang begitu tidak boleh. Jadi s = 1 dibuang, dan s =
dipergunakan. Dengan s = , persamaan (6-51) akan menjadi:
r2M'' + [(2 + 2 ) r 2C r2 ] M' + [ 2 + + ( 2 Z a1 2 C 2 C ) r (+1)] M = 0
r2M'' + [(2 + 2 ) r 2C r2 ] M' + ( 2 Z a1 2 C 2 C ) r M = 0
r2M'' + [(2 + 2 ) 2C r ] r M' + ( 2 Z 1 2 C 2 C ) r M = 0
jadi:
98
rM'' + [(2 + 2 ) 2C r ] M' + ( 2 Z a1 2 C 2 C ) M = 0 (6-57)
Sementara itu dengan s = Persamaan (6-55) menjadi:
R = r Ce r M (6-58)
dengan M adalah dinyatakan pada (6-50) yaitu:
M =
0j
jj r .b (6-59)
M' =
0j
1 jj r b . j =
1j
1 jj r b . j =
0k
k1k r b . 1)k( =
0j
j1j r b . 1)j(
M'' =
0j
2 jj r b . j )1j( =
1j
2 jj r b . j )1j( =
0k
1k1k r b . 1)k( )k( =
=
0j
1j1j r b . 1)j( )j(
Jika M, M' dan M'' disubstitusikan ke dalam (6-57), kita peroleh:
0j
jj1j1j r b j C 2 C2C2
a
Z2b1j 12b1jj = 0
Jadi:
jj1j1j b C 2 C2C2
a
Z2b1j 12b1jj = 0
dan diperoleh relasi recursi:
bj + 1 = j
1b
1j 121jj
Z2j C. 2 C2C2
(6-60)
Sekarang kita harus menguji sifat deret tak terhingga (6-50) untuk r yang besar. Karena untuk r
yang besar sifat deret ditentukan oleh suku-suku yang besar, maka kita akan menguji rasio
antara
bj + 1/ bj untuk j yang besar. Untuk j yang besar:
bj + 1/ bj = j
2C
j
j C 2
2 untuk j besar (6-60)
99
Marilah sekarang kita perhatikan seandainya kita mempunyai bentuk Cr2e . Jika bentuk Cr2e
ini kita nyatakan dalam bentuk deret pangkat, maka:
Cr2e = 1 + (2Cr) + ! 2
r)C2( 22 . . . . . +
! j
r)C2( jj +
! ) 1 j (
r)C2( 1j1j
. . . (6-61)
Rasio koefisien r dari sebuah suku dengan suku sebelumnya dari (6-61) tersebut adalah:
! ) 1j (
)C2( 1j
/
! j
)C2( j =
! ) 1j (
)C2( 1j
.
j)C2(
! j =
1j
C2
=
1j
C2
untuk j besar
yang ternyata sama dengan (6-60) untuk j besar. Hal ini mendorong kita untuk menyimpulkan
bahwa untuk j yang besar (6-50) sifatnya mirip Cr2e , sehingga kita boleh menuliskan:
M ~ Cr2e (6-62)
atau:
0j
jj r b ~ Cr2e (6-63)
dan selanjutnya maka (4-24) dapat ditulis:
R ~ r Ce rs
Cr2e atau
R ~ rs
Cre
Karena uraian kita ini tadi berangkat dari s = , maka:
R ~ r Cre (6-64)
Namun perlu diperhatikan bahwa (6-64) akan menjadi tak terhingga jika r tak terhingga dan ini
tidak boleh karena tidak quadratically integrable. Satu-satunya cara untuk mengatasi hal ini
adalah (seperti yang sudah kita kenal pada osilator harmonis) menghentikan deret (6-50) pada
suku tertentu, misal suku ke k. Ini berarti relasi recursi ( 4- 27) harus menjadi nol jika j = k,
jadi:
j
1b
1k 1k21kk
Za2k C. 2 C2C2
= 0 atau:
2C + 2C + 2 C k 2 Z a-1 = 0 atau
2C (1 + + k ) 2 Z a-1 k = 0 , 1 , 2 , . . . . (6-65)
100
karena dan k adalah bilangan bulat maka ( 1 + + k ) pasti adalah bilangan bulat yang baru
yang untuk selanjutnya disebut bilangan kuantum utama = n, jadi:
n = ( 1 + + k) (6-66)
Dari (6-65) maka hubungan antara (bilangan kuantum momentum angular ) dengan n
(bilangan kuantum utama adalah:
= n 1 k atau:
< n 1 (6-67)
Catatan:
Dalam pembahasan mengenai hidrogen ini mucul bilangan kuantum utama n. Pada
pembahasan mengenai momentum angular, kita telah mengenal dua bilangan kuantum
yaitu dan m. Karena momentum angular berlaku untuk semua gerak melengkung, dan
gerak elektron dalam atom adalah gerak melengkung maka dam m juga berlaku pada
gerak elektron dalam atom. Jadi sampai sejauh ini kita mengenal 3 macam bilangan
kuantum adalah atom yaitu n, dan m.
Energi Level
Jika kita masukkan (6-66) ke dalam (6-65) maka diperoleh:
C n = Z a1 (6-68)
Jika harga a = 22 ' e / dan C = 2e' a / E2 dimasukkan kembali, maka diperoleh:
E = 22
22
n 2
'eZ
atau: (6-69)
E = 2
2
2
2
n
Z
2
'e
atau: (6-70)
jika harga e' = (4o)-1/2 e dimasukkan kembali maka:
E = o4
1
2
2
2
2
n
Z
2
e
(6-71)
Untuk atom hidrogen:
E = o4
1
22
2
n
1
2
e
(6-72)
101
dengan =elektromproton
elektromproton
m m
m .m
= 0,9994557 melektron =9,1044318 . 10kg;
e =muatan proton=1,602177x1019 C ; Z = nomor atom dan 0 = permitivitas dalam vakum =
8,8541878 x 1012 C / N.m2
6.5 Fungsi Gelombang Atom Hidrogen
Fungsi Radial R
Dengan memanfaatkan (4-35) maka relasi recursi (6-60) menjadi:
bj + 1 = a n
Z2
jb )22j( 1j
n1j
(6-73)
Pada pembahasan penurunan (6-66) dinyatakan bahwa polinomial M = 0j
jjrb akan dihentikan
pada saat j = k, sehingga polinomialnya (dikenal dengan Polinomial Laguerre) menjadi:
M =
k
0j
jjrb (6-66
+)
Karena menurut (6-66), n = ( 1 + + k) maka k = n 1, sehingga (6-66+) menjadi:
M =
1n
0j
jjrb
(6-74)
Fungsi radialnya dinyatakan oleh (4-24 c) yaitu: R = r Ce rM. jadi
R = r Ce r
1n
0j
jjrb
atau: (6-75)
jika harga C dimasukkan maka diperoleh :
R = r r
a n
Z
e
1n
0j
jjrb
atau: (6-76)
R adalah salah bagian saja dari fungsi gelombanh Hidrogen. Perlu diketahui bahwa elektron
dalam atom hidrogen bergerak spherik, artinya pasti terjadi momentum angular. Oleh karena itu
selain fungsi radial, fungsi gelombang hidrogen pasti juga terdiri atas fungsi eigen momentum
angular yang sudah diturunkan pada bab V. Secara keseluruhan fungsi gelombang atom mirip
hidrogen adalah::
102
= R . T . (6-77)
dengan T dan dapat dilihat pada bab V tentang momentum angular.
Jika kita perhatikan persamaan (5-30) bab V, tampak bahwa ditentukan oleh bilangan
kuantum m. Dari (5-64) bab V, tampak bahwa T ditentukan oleh dan m, dan jika kita amati
persamaan (5-4) bab ini, maka tampak bahwa R ditentukan oleh n dan maka dapat
disimpulkan bahwa ditentukan oleh tiga macam bilangan kuantum yaitu n , dan m, sehingga
(6-77) biasa ditulis:
(n , , m ) = R( n, ) . T( , m) . (m) (6-78)
Contoh
Tentukan fungsi gelombang atom hidrogen dengan n = 3, = 1 dan m = 1.
Jawab:
Menentukan fungsi
Dengan menggunakan persamaan (5-30) bab V:
= 2/1
2
1
ei m
2/1
2
1
ei (6-79)
Menentukan T
Dengan menggunakan (5-64) bab V:
2/1
! m+ . 2
! m-1+2
mP
Kita hitung dulu m
P :dengan menggunakan (5-63) bab V:
m
P = ! . 2
1
(1 - cos 2 )
m /2m
m
)(cosd
d
(cos 2 - 1)
= ! 1 .2
11
(1 - cos 2 ) 2/1 2
2
)(cosd
d
(cos 2 - 1)1
= 2
1 (1 - cos 2 ) 2/1
2
2
)(cosd
d
(cos 2 - 1)1
103
Kita selesaikan dulu 2
2
)(cosd
d
(cos 2 - 1) dan supaya tampak sederhana cos kita ganti x
sehingga:
2
2
)(cosd
d
(cos 2 - 1)
= 2
2
dx
d(x 2 1)
= dx
d 2x = 2
Jadi:
m
P = 2
1 (1 - cos 2 ) 2/1 . 2 = sin
Setelah itu, T dapat ditentukan:
2/1
! m+ . 2
! m-1+2
mP
=
2/1
! 2 . 2
! 1 3
sin
2/1
4
3
sin (6-80)
Menentukan Fungsi Radial:
Dengan menggunakan (6-76) bab ini:
R = r r
a n
Z
e
1n
0j
jjrb
= r . r
a 3
1
e
1
0j
jjrb
= r . r
a 3
1
e
( bo + b1 r ) (6-81)
Koefisien b1 ditentukan dengan relasi recursi (6-73) bab ini:
bj + 1 = a n
Z2
jb )22j( 1j
n1j
jadi:
b1 = a 3
2ob
2) 2 (0 )10(
3110
=
a 6
1 ob
104
Harga b1 dimasukkan ke dalam (6-81):
R = r . r
a 3
1
e
( bo a 6
1 ob r ) = bo { r . (1
a 6
1 r )
r a 3
1
e
}
bo dicari dengan normalisasi:
0
* d RR = 1
0
2 d R =
0
22 dr r R = 2ob e r)
a 6
1(1r
0
2
a 3
1
r2 dr = 1
r e r) a 6
1(1r
0
2a 3
222
= 1/ 2ob
r e )r a 6
1 r
a 3
1(r
0
2a 3
24
2232
= 1/ 2ob
e )r a 6
1 r
a 3
1(r
0
a 3
26
2254
= 1/ 2ob
r der a 6
1 r der
a 3
1r der
0
a 3
26
220
a 3
25
0
a 3
24
= 1/ 2ob
4 !.5
2
a 3
a 3
1 ( 5 ! )
6
2
a 3
+
22 a 6
1 ( 6 ! )
7
2
a 3
= 1/ 2
ob
4. 3. 2. 35 . 25 a5 5. 4. 2. 36 26 a5 + 5 .4. 37 27 a5 = 1/ 2ob
36. 22 a5 5. 36 23 a5 + 5. 37 25 a5 = 1/ 2ob
4
36 a5
8
3 .5 6 a5 +
32
3 .5 7 a5 = 1/ 2
ob
16
3 .8 6 a5
32
3 .5 .4 6 a5 +
32
3 . 5 7 a5 = 1/ 2
ob
105
( 8 4 . 5 + 5 . 3) 32
36 a5 = 1/ 2
ob
3 32
36 a5 = 1/ 2
ob 2ob =
56 a.3 . 3
32 bo =
2/1
56 a.3 .3
32
=
2/1
56 a.3 .6
64
bo = 2/1
2 a.6
1
a 27
8
=
627
8 .
aa
1
2
Jadi:
R = bo { r . (1a 6
1 r )
r a 3
1
e
}
R = 627
8 .
aa
1
2 { r . (1
a 6
1 r )
r a 3
1
e
}
Akhirnya diperoleh yaitu:
(3, 1, 1) = R T = . . . . . . . . . . (masukkan)
Degenerasi
Apakah energi level atom hidrogen mengalami degenerate ? Untuk menjawab ini marilah kita
lihat persamaan (6-72). Dari persamaan tersebut tampak bahwa energi level atom hidrogen
hanya ditentukan oleh n, padahal fungsi gelombangnya ditentukan oleh 3 macam bilangan
kuantum, ini berarti dapat saja terjadi bahwa fungsi gelombang yang n sama mempunyai dan
m berbeda kecuali untuk n = 1. Sebab untuk n = 1, hanya ada satu kemungkinan harga dan m
yaitu = 0 dan m = 0, sehingga untuk n = 1 hanya adalah satu macam fungsi gelombang yaitu
(1, 0, 0 ) . Tetapi bagaimana untuk n = 2
Untuk lebih jelasnya kita buat tabel n, dan m serta fungsi gelombangnya.
Bil. Kuantum Utama n
Bil Kuant. Angular
Bil. Kuan. Magnetik m
Fungsi Gelombang
1 0 0 ( 1, 0, 0 )
106
2 0 0 ( 2, 0, 0 )
1 1 ( 2, 1, )
( 2, 1, 0 )
( 2, 1, 1 )
3 0 ( 3, 0, 0 )
1 ( 3, 1, )
( 3, 1, 0 )
( 3, 1, 1 )
2 ( 3, 2, )
( 3, 2, )
( 3, 2, 0 )
( 3, 2, 1 )
( 3, 2, 2 )
Dst
Dari tabel di atas tampak bahwa untuk n > 2, maka diperoleh n2 fungsi gelombang berbeda. Jadi
untuk n – 2 ada 4 fungsi gelombang yang berbeda yaitu ( 3, 1, ) , ( 3, 1, 0 ) , ( 3, 1, 1 ) dan ( 3, 2,
) . Karena n nya sama, maka ke empat fungsi gelombang tersebut mempunyai energi level
yang sama. Dengan demikian maka untuk n = 2 energi level atom hidrogen mengalami
degenerasi dengan derajat degenerate = 4.
Dengan penjelasan yang sama maka dapat kita ketahui bahwa ada 9 fungsi gelombang
yang energinya sama untuk n = 3 yaitu: ( 3, 0, 0 ) , ( 3, 1, )
, ( 3, 1, 0 ) , ( 3, 1, 1 ) , ( 3, 2, ) , ( 3,
2, ) ,
( 3, 2, 0 ) , ( 3, 2, 1 ) , dan ( 3, 2, 2 ).
6.6 Bilangan Kuantum Magnetik Spin
Sejauh ini, kita telah menurunkan 3 macam bilangan kuantum, yaitu bilangan kuantum
utama n, Bilangan kuantum momentum angular translasi dan bilangan kuantum orbital
momentum angular m. Bilangan kuantum utama menentukan energi dengan relasi:
107
E = o4
1
22
2
n
1
2
e
Bilangan kuantum utama juga berkorelasi dengan kulit lintas, yang hubungannya dapat dilihat
dari tabel berikut:
n 1 2 3 4 5 6 7
Kulit K L M N O P Q
Bilangan kuantum utama ini muncul ketika menentukan fungsi Radial
Bilangan kuantum momentum angular, menentukan momentum angular dengan relasi:
L = )1(
Bilangan kuantum ini juga menentukan bentuk lintasan. Bilangan muncul ketika kita
hendak menentukan fungsi . Dalam bahasa spektrum, bilangan berhubungan dengan nama-
nama orbital.
0 1 2 3 4 dst
Orbital s p d f g h
Bilangan kuantum yang ketiga adalah bilangan kuantum orbital momentum angular yang juga disebut bilangan kuantum magnetik translasi m. Bilangan ini merupakan penentu Lz yaitu proyeksi momentum angular L pada sumbu z. Hubungan antara Lz dan m adalah: Lz = m
Bilangan m ini juga dipandang sebagai penentu orientasi (arah) translasi elektron, karena jika
kita mengetahui m kita dapat mengetahui Lz. Jika kita mengetahui Lz, maka arah momentum
angular dapat diketahui, karena:
Lz = L cos
dengan adalah sudut arah L terhadap sumbu z. Jika arah L diketahui, maka dengan kaidah
tangan kanan, arah translasi elektron dapat diketahui.
Apakah dengan 3 macam bilangan kuantum sudah cukup ? Jika mengacu kepada
fenomena makroskopis, maka dapat diketahui bahwa kedudukan planet dalam tata surya
ditentukan oleh 4 macam tetapan, yaitu tetapan energi, tetapan momentum angular, tetapan
komponen momentum angular dan tetapan rotasi. Dua buah planet tidak pernah bertabrakan
karena tidak ada dua planet yang keempat tetapannya sama. Jika fenomena mikroskopik
108
dipandang sebagai miniatur dari fenomena makroskopik maka atom masih membutuhkan satu
tetapan lagi yang berasal dari gerak rotasi elektron. Kita tahu translasi elektron dalam atom
adalah lintasan sperik, oleh karena itu mempunyai momentum angular L. Karena gerak rotasi
juga bersifat spherik maka gerak rotasi juga harus mempunyai momentum angular yang disebut
momentum angular rotasi, notasinya S. Jika L ditentukan oleh dalam relasi L = )1(
Maka S ditentukan oleh s (bilangan kuantum angular spin) dalam relasi S = )1s(s . Kita
tahu bahwa L mempunyai komponen yang disebut Lz, maka S harus mempunyai komponen
yang disebut Sz. Jika Lz ditentukan m dalam relasi Lz = m maka penentu Sz adalah ms dalam
relasi:
Sz = ms
Kita tahu banyaknya harga m adalah 2+1 mulai dari , (+1) . . . . . .+ . Jika begitu
banyaknya harga ms harus 2s + 1 yaitu dari s sampai + s. Kita juga tahu bahwa m adalah
penentu arah translasi, maka ms pasti penentu arah rotasi. Karena hanya ada 2 macam arah
rotasi, maka tentu hanya ada dua macam harga ms. Padahal banyaknya harga ms = 2s + 1, jadi{
2s + 1 = 2 s = ½
Karena harga ms adalah s dan + s maka harga ms = + ½
Dan harga momentum angular rotasi S adalah:
S = )1s(s = 4/3 = 32
Selanjutnya ms = + ½ itulah yang dijadikan sebagai bilangan kuantum ke empat.
6.7 Pengaruh Momentum Angular Translasi Terhadap Energi (Efek Zeeman)
Telah kita ketahui bahwa energi hanya ditentukan oleh bilangan kuantum utama n. Hal
itu benar, manakala atom tidak berada di bawah pengaruh medan magnet eksternal. Tetapi jika
ada medan magnet eksternal maka momentum angular akan mengubah besarnya energi. Berapa
besar perubahan energi yang ditimbulkan oleh momentum angular jika atom berada dalam
medan magnet eksternal yang kuat medannya B, itulah yang akan kita bahas sekarang.
Jika elektron dalam atom bermassa m dan bermuatan e, membentuk lintasan spherik, maka
selain momentum angular L, juga terjadi momen magnet yang arahnya berlawanan dengan
109
arah L. Sedang arah L adalah arah ibu jari tangan kanan jika arah lintasan partikel (elektron)
ditunjukkan oleh keempat jari yang digenggamkan. Hubungan antara dan L adalah:
= m 2
e L (6-82)
tanda negatif tersebut menunjukkan bahwa arah L dab berlawanan. Menurut tinjauan
mekanika kuantum besarnya L = )1( , jadi :
= m 2
e)1( (6-83)
Jika sebuah atom dengan momen magnet berada dalam medan magnet eksternal yang kuat
medannya B, maka perubahan energi yang dialami atom itu adalah:
Em = . B = . B cos (6-84)
dengan adalah sudut antara dan B.
Substitusi (6-82) ke dalam (6-84) menghasilkan:
Em = m 2
eB . L cos (6-85)
L cos adalah Lz jadi:
Em = m 2
eB . Lz (6-86)
Kita juga tahu bahwa Lz = m jadi:
Em = m m 2
e B (6-87)
( m yang cetak miring adalah bilangan kuantum magnetik sedang m yang cetak tegak adalah
massa partikel/elektron).
Kuantitas m 2
e biasa ditulis , sehingga (6-87) juga boleh ditulis:
Em = m B (6-88)
= Bohr Magneton = 9,27402 . 1024 J/T
Dari Persamaan (6-88) itu tampak bahwa bilangan kuantum magnetik akan menentukan
perubahan energi orbital, manakala atom (hidrogen) berada di bawah pengaruh medan magnet
kecuali orbital-orbital yang m-nya nol.
110
Perubahan energi orbital itu dapat digambarkan sebagai berikut:
m B m B 3 mB 2 2 1 1 1 Em 0 0 0 0 1 1 1 Orbital s Orbital p Orbital d Orbital f
Gambar 6.1 : Splitting Energi orbital s, p , d dan f
Dari gambar (6-82) tersebut tampak bahwa selain orbital s, semua orbital mengalami
perubahan energi. Orbital p pecah menjadi 3 sub level magnetik, orbital d menjadi 5 dan orbital
f menjadi 7 sub level magnetik. Banyaknya sub level dalam sebuah orbital disebut komponen
Zeeman. Jadi komponen Zeeman orbital s, p, d dan f adalah 1, 3, 5 dan 7. Secara umum dapat
dinyatakan bahwa banyaknya komponen Zeeman adalah 2 +1.
===000===
Soal-soal Bab 6
1. Frekuensi absorpsi terkecil untuk molekul 12C16O adalah 115271 MHz. Hitunglah:
a) Jarak ikatan 12C16O
b) Prediksilah dua frekuensi serapan terkecil berikutnya
c) prediksilah frekuensi serapan terendah bagi 13C16O
2. Hitunglah panjang gelombang garis spektra yang muncul dari transisi n = 6 3 pada atom
hidrogen. Ulangi hal yang sama untuk He.
3. Hitunglah Tingkat energi dasar hidrogen dalam satuan eV.
4. Positron adalah partikel dengan massa sama dengan massa elektron tetapi bermuatan +e.
Tentukan berapa eV tingkat energi dasar atom positronium (atom ini terdiri atas 1 positron
dan 1 elektron.
5. Untuk atom mirip hidrogen dalam keadaan dasar, tentukan < r >
111
6. Tentukan < r > untuk 2p0 dari atom mirip hidrogen .
7. Tentukan < r2 > untuk 2p1 dari atom mirip hidrogen .
8. Tulislah fungsi radial 2s dan 2p untuk atom mirip hidrogen. Tulis pula fungsi gelombangnya.
9. Harga untuk orbital d = 2. Berapakah harga untuk orbital t ?
Catatan :Nama orbital adalah s, p, d, f. Setelah itu alphabetik, dengan j tidak dipergunakan.
10. Untuk atom hidrogen dalam keadaan ground state, tentukan probabilitas mendapatkan
elektron pada jarak lebih dari 2a ?
11. Tentukan, berapakah jari-jari ruang 1s atom hidrogen menggunakan batas probabilitas 90 %
?
12. (a) Tentukan < T > untuk atom hidrogen keadaan dasar. (b) Dengan < T > itu, tentukan
kecepatan elektron.
13. Tentukan populasi ratio gas atom hidrogen antara n = 2 dan n = 1 pada suhu:
(a) 25o C (b) 1000 K (c) 10 000 K
14. Tentukan fungsi gelombang atom hidrogen 3,2,1
15. Fungsi gelombang atom hidrogen didefinisikan sebagai:
= A r2 er / 3a sin2 e2 i
a) tentukan A
b) Tentukan n
c) Tentukan
d) Tentukan L
e) Tentukan Lz
===000===
BAB VII
TEOREMA MEKANIKA KUANTUM
7.1 Pengantar
Persamaan Schrodinger untuk atom yang hanya mepunyai satu elektron dapat kita
selesaikan secara pasti, tetapi tidak demikian halnya untuk atom yang berelektron banyak dan
juga molekul, karena dalam kedua sistem yang terakhir terjadi repulsi antara satu elektron
dengan elektron lain. Untuk itu kita butuhkan metode lain untuk menyelesaikan persamaan
112
Schrodinger untuk atom berelektron banyak dan molekul. Ada dua metode yang akan kita
bicarakan pada Bab VIII dan Bab IX, yaitu metode variasi dan teori perturbasi. Untuk dapat
memahami kedua metode tersebut kita harus mengembangkan lebih lanjut pemahaman kita
terhadap mekanika kuantum, yang secara garis besar telah kita pelajari. Jadi target bab ini
adalah membahas secara lebih mendalam mengenai teorema mekanika kuantum.
Sebelum mulai, marilah kita mengenal beberapa notasi integral yang akan dipergunakan.
Definit integral seluruh ruang atas operator sembarang yang terletak di antara dua buah fungsi
yaitu fm dan fn biasanya ditulis:
n* A ffm
d = n A ffm
= n A ffm
= nm A
(7-1)
Notasi (7-1) di atas diperkenalkan oleh Dirac, dan disebut notasi kurung. Bentuk integral di atas
juga sering ditulis:
n* A ffm
d = Am n (7-2)
Notasi untuk integral seluruh ruang atas dua buah fungsi fm dan fn ditulis:
nm ff * d = nm f f = nm f f = m n (7-3)
Karena ** ff nm = nm ff * d, maka:
m n * = m n (7-4)
dan dalam kasus khusus yaitu fm = fn maka (7-4) dapat ditulis : m m * = m m .
Hal-hal lain yang perlu diingat adalah:
1) nm ff * d = 1 jika fm = fn dan fungsinya disebut ternormalisasi. (7-5)
nm ff * d = 0 jika fm fn dan fungsinya disebut ortogonal (7-6)
Catatan:
nm ff * d juga boleh ditulis m n (Kronikle Delta) yang harganya = 0 jika fm fn dan
berharga 1 jika fm = fn
2) Jika : A = a dengan a bilangan konstan, maka disebut fungsi eigen sedang a disebut
nilai eigen atau: jika adalah fungsi eigen terhadap operator A
, maka berlaku hubungan:
d
113
A = a dengan a adalah nilai eigen. (7-7)
7.2 Operator Hermit
Untuk memahami operator ini, kita harus mengingat kembali pengertian operator linear
dan pengertian nilai rata-rata. Operator linear adalah operator yang mewakili besaran fisik,
misal operator energi, operator energi kinetik, operator momentum angular dan lain-lain.
Selanjutnya telah kita ketahui pula bahwa jika A
adalah operator linear yang mewakili besaran
fisik A, maka nilai rata-rata A dinyatakan dengan:
A = * A
d (7-8)
dengan adalah fungsi keadaan sistem. Karena nilai rata-rata selalu merupakan bilangan real,
maka:
A = A *
atau:
*A
d= *
A
d (7-9)
Persamaan (7-9) harus berlaku bagi setiap fungsi yang mewakili keadaan tertentu suatu
sistem atau persamaan (7-9) harus berlaku bagi setiap fungsi berkelakuan baik (well behaved
function). Operator linear yang memenuhi persamaan (7-9) itulah yang disebut operator Hermit.
Beberapa buku teks menulis operator Hermit sebagai operator yang mengikuti persamaan:
gAf* d =
*) A( fg
d (7-10)
untuk fungsi f dan g yang berkelakuan baik. Perlu dicatat secara khusus bahwa pada ruas kiri
persamaan (7-10), operator A
bekerja pada fungsi g sedang di ruas kanan, operator bekerja
pada fungsi f. Dalam kasus khusus yaitu jika f = g maka bentuk (7-10) akan tereduksi menjadi
bentuk (7-9).
Teorema yang berhubungan dengan Operator Hermit
Ada beberapa teorema penting sehubungan dengan operator Hermit, yaitu:
Teorema 1: Nilai eigen untuk operator Hermit pasti merupakan bilangan real.
114
Teorema 2: Dua buah function 1 dan 2 berhubungan dengan operator Hermit A
dan baik 1
maupun 2 adalah fungsi eigen terhadap operator A
dengan nilai eigen yang
berbeda, maka 1 dan 2 adalah ortogonal. Jika kedua fungsi tersebut
mempunyai nilai eigen yang sama atau degenerate (jadi tidak ortogonal), maka
selalu ada cara agar dijadikan ortogonal.
Pembuktian Teorema I:
Ada dua hal penting yang termuat dalam pernyataan teorema I yaitu bahwa operator
yang dipergunakan adalah operator Hermit jadi harus mengikuti (7-9) dan ada pernyataan eigen
value, ini berarti bahwa fungsi yang dibicarakan adalah fungsi eigen, jadi hubungan (7-7)
berlaku. Untuk ini kita misalkan fungsinya adalah , dan karena A
adalah operator hermit,
maka menurut (7-9):
*A
d = *
A
d
atau:
*A
d = ** A
d (7-11)
Menurut (7-7) :
A
= a dengan a adalah nilai eigen untuk
** A
= a* dengan a* adalah nilai eigen untuk
sehingga (7-11) dapat ditulis:
a * d = a* d
*
Menurut (7-5) nilai * d = d
* = 1, jadi:
a = a*
Harga a = a* hanya mungkin jika a bilangan real.
Pembuktian Teorema II:
Karena 1 dan 2 adalah fungsi eigen terhadap operator misal operator A
, maka berlaku:
A1 = a1 1 dan A
2 = a2 2 (7-12)
115
Karena A
adalah operator Hermit terhadap 1 dan 2 maka menurut (7-10) berlaku:
2*1 A
d = *
12 A
d
atau:
2*1 A
d = *1
*2 A
d (7-13)
Substitusikan (7-12) ke dalam (7-13), menghasilkan:
a2 1 2* d = a1
* 2 1
* d
Menurut teorema I, harga a* = a, jadi:
a2 1 2* d = a1 2 1
* d (7-14)
Menurut (7-4), 1 2* d = 2 1
* d , jadi persamaan (7-14) boleh ditulis:
a2 1 2* d = a1 1 2
* d
atau:
a2 1 2* d a1 1 2
* d = 0
atau:
(a2 a1 ) 1 2* d = 0 (7-15)
Jika a1 tidak sama dengan a2 maka dari (7-15) tersebut (a2a1) tidak mungkin nol, sehingga:
1 2* d = 0 (7-16)
Karena 1 2* d = 0, maka 1 dan 2 ortogonal.
Jadi terbukti, jika dua buah fungsi eigen mempunyai nilai eigen berbeda terhadap
operator tertentu, maka kedua fungsi tersebut ortogonal. Yang menjadi pertanyaan sekarang
adalah, mungkinkah dua buah fungsi eigen yang independen, mempunyai nilai eigen yang sama
? Jawabnya adalah ya. Ini terjadi pada kasus degenerasi. Pada kasus ini, beberapa fungsi eigen
yang independen, mempunyai nilai eigen yang sama. Untuk dua fungsi eigen yang degenerate
atau yang nilai eigen-nya sama, maka kedua fungsi tersebut tidak ortogonal. Dengan demikian,
116
maka kita hanya boleh mengatakan bahwa dua fungsi eigen yang berhubungan dengan operator
Hermit adalah ortogonal jika kedua fungsi eigen itu tidak degenerate.
Apakah Degenerate itu ?
Telah disinggung di atas bahwa jika dua atau lebih fungsi eigen yang independen
mempunyai nilai eigen sama, maka kasus seperti itu disebut degenerate. Untuk lebih memahami
masalah degenerate ini, marilah kita ingat kembali fungsi gelombang partikel dalam kotak yang
telah kita pelajari. Fungsi gelombang partikel dalam kotak 3 dimensi dinyatakan sebagai:
= x y z dengan :
x = 2 2
1 2
Lx
n
Lxx
/
sin
x ; y = 2 21 2
Ly
n
Ly
y
/
sin
y dan y = 2 21 2
Ly
n
Ly
y
/
sin
y
jadi:
= 8 2
1 2
Lx Ly Lz
n
Lxx
. .sin
/
x sin
2n
Ly
y y sin
2n
Ly
y y (7-17)
Jika operator Hermit, misal operator Hamilton dikenakan pada fungsi gelombang tersebut maka
nilai eigennya adalah energi yang besarnya:
E = Ex + Ey + Ez
dengan :
Ex = h n
mL
x
x
2 2
28
; Ey = h n
mL
y
y
2 2
28
dan Ez = h n
mL
z
z
2 2
28
(7-18)
sehingga:
E = h
m
n
L
n
L
n
L
x
x
y
y
z
z
2 2
2
2
2
2
28 + +
Jika kotaknya kubus dengan rusuk L:
E = h
m
n
L
x y z2 2 2 2
28
+ n + n
(7-19)
117
Jika kotaknya berbentuk kubus, maka menurut (7-19) harga nilai eigen E1-1-2 = E1-2-1 = E2-1-1 =
h
m L
2
28
6
meskipun eigen function-nya 1-1-2 1-2-1 2-1-1. Keadaan seperti itulah contoh
kasus degenerate. Untuk kasus degenerate tersebut, biasanya dikatakan bahwa derajad
degenerasinya = 3, karena ada 3 fungsi gelombang berbeda yang nilai eigen-nya sama yaitu 1-
1-2; 1-2-1 dan 2-1-1. Sudah barang masih tak terhingga banyak kasus degenerate untuk fungsi
gelombang partikel dalam kotak berbentuk kubus misal pasangan 1-1-3; 1-3-1 dan 3-1-1 dan
masih banyak lagi.
Satu hal yang penting dari keadaan degenerate itu ialah, bahwa jika fungsi-fungsi eigen
yang degenerate itu dikombinasi linearkan, maka akan terbentuk fungsi eigen yang baru.
Contoh:
Jika fungsi adalah kombinasi linear dari 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 yang dinyatakan dalam
bentuk:
= c1 1-1-2 + c2 1-2-1 + 2-1-1 (7-20)
Karena 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 adalah degenerate, maka pasti merupakan fungsi eigen yang
nilai eigennya sama dengan nilai eigen fungsi-fungsi penyusunnya.
Yang harus diingat adalah bahwa jika adalah kombinasi linear dari 1-1-2 dan 1-3-1
sehingga dapat ditulis:
= c1 1-1-2 + c2 1-3-1 (7-21)
maka bukan fungsi eigen karena nilai eigen 1-1-2 dan c2 1-3-1 pasti tidak sama.
Relasi (7-20) disebut degenerasi karena fungsi eigen penyusunnya degenerate sedang (7-21)
bukan degenerasi.
Jika kepada kita ditanyakan berapa energi pada (7-20) maka jawabnya adalah E =
h
m L
2
28
6
.
Ortogonalisasi
118
Misal kita mempunyai dua buah fungsi eigen yang degenerate, jadi nilai eigennya sama
maka menurut teorema 2 kedua fungsi tersebut tidak ortogonal. Pertanyaannya adalah dapatkah
kita membuatnya menjadi ortogonal ? Jawabnya adalah, dapat.
Sekarang kita akan menunjukkan bahwa dalam kasus degenerasi (yang fungsi-fungsinya
tidak ortogonal), dapat kita buat menjadi ortogonal. Kita misalkan kita mempunyai operator
Hermit A
dan dua buah fungsi eigen independen yaitu fungsi f dan fungsi G yang mempunyai
nilai eigen yang sama yaitu s, maka berarti:
A
f = s f ; A
G = s G
Karena nilai eigen keduanya sama, maka f dan G pasti tidak ortogonal. Agar diperoleh dua
fungsi baru yang ortogonal, ditempuh langkah sebagai berikut:
Kita buat fungsi eigen baru yaitu g1 dan g2 yang merupakan kombinasi linear f dan G
sehingga membentuk misalnya:
g1 = f dan g2 = G + c f dengan c adalah konstanta.
Kita harus menentukan harga c tertentu agar g1 dan g2 ortogonal. Agar ortogonal harus dipenuhi
syarat:
2*1 gg d = 0 atau:
) c + ( * f Gf d= 0 atau :
Gf * d + ff * c d = 0 atau :
Gf * d + c ff * d = 0 atau :
Jadi agar g1 dan g2 ortogonal, maka harga c harus:
c =
*
*
ff
Gf
Sekarang kita telah mempunyai dua fungsi ortogonal yaitu g1 dan g2 yaitu:
g1 = f dan g2 = G + c f dengan c =
*
*
ff
Gf
Prosedur yang telah kita tempuh ini disebut Ortogonalisasi Schmidt.
d
d
d
d
119
7.3 Ekspansi Sembarang Fungsi Menjadi Kombinasi Linear Fungsi Eigen
Setelah kita membicarakan ortogonalitas fungsi eigen dari operator Hermit, sekarang
akan kita bicarakan sifat penting lain dari fungsi tersebut; sifat ini mengijinkan kita untuk
mengubah bentuk sembarang fungsi F(x) menjadi kombinasi linear fungsi - fungsi eigen. Jika
kombinasi linear fungsi eigen itu adalah a11 + a22 + a33..... + ann, atau agar lebih singkat
kita tulis saja dengan bentuk an n1
~ , maka ekspansi fungsi yang dimaksud adalah:
F(x) = an n1
~ (7-22)
dengan :
an = n xall x
*( ) F dx (7-23)
Bagaimana mendapat (7-23) di atas ? Marilah kita ikuti langkah-langkah berikut:
Kedua ruas (7-22) kita kalikan dengan m* sehingga diperoleh:
m* F(x) = an n m *
~
1 (7-24)
Jika kedua ruas (7-24) diintegralkan maka diperoleh:
m* F(x) dx = an n m *
~
1
dx (7-25)
Telah kita ketahui bahwa :
m* dxn = m n (7-26)
sehingga (7-25) dapat ditulis:
m* F(x) dx = an . m n
1
~
(7-27)
Ruas kanan (7-27) adalah:
an . m n
1
~
= a1. m 1 + a2 m 2 + ....a m m m + a m +1 m (m+1) +...
120
= a1. + a2 + ....a m + a m +1 . +...
= am
Sehingga (7-27) dapat ditulis:
m* F(x) dx = am atau am = m
* F(x) dx (7-28)
Jika indek m pada (7-28) diganti n maka persamaan (7-23) yang dicari diperoleh yaitu:
an = n xall x
*( ) F dx
Contoh:
Diketahui: F(x) = x untuk 0 < x < a/2
F(x) = 1 x untuk a/2 < x < a
Ekspansilah F(x) ke dalam fungsi eigen untuk partikel dalam kotak satu dimensi yang panjang
kotaknya = a.
Jawab:
Fungsi gelombang partikel dalam kotak satu dimensi dengan panjang kotak = a adalah:
n = 2
1 2
a
n
a
/
sin
x (7-29)
Jadi bentuk ekspansinya menurut (7-22):
F(x) = an n1
~ =
21 2
1a
an
/ ~
sin n
a x
(7-30)
Menurut (7-23) :
an = n xall x
*( ) F dx
= 2
1 2
a
n
ax F x
/
( )sin
dx
= 2
1 2
a
n
ax F x
/
( )sin
dx
= 2
1 2
0
2
ax .
a
/ /
sinn
ax dx
+
21
1 2
2a
a
a
/
/
( ) x . sinn
ax dx
121
= 2
2
3 2
2 2
a
n
n/
sin
(7-31)
Jadi:
a1 = 2
3 2
2
a/
; a2 = 0 ; a3 =
2
3
3 2
2 2
a/
; a4 = 0 ; a5 =
2
5
3 2
2 2
a/
; a6 = 0 dan
seterusnya.
Kita masukkan (7-31) ke dalam (7-30), maka:
F(x) = 2
1 2
1a
an
/ ~
sin n
a x
= 2
3
3
5
51 2 3 2
2
3 2
2 2
3 2
2 2ax x x
/ ' ' '
2a
sin a
2a
sin a
2a
sin a
. . . .
= 2 3 5
1 2 3 2
2ax x x
/ '2a
1
1 sin
a
1
3 sin
a
1
5 sin
a . . . .
2 2 2
= 4 3 5
2
ax x x
1
1 sin
a
1
3 sin
a
1
5 sin
a . . . .
2 2 2
Pengertian Complete Set
Pada contoh ekspansi fungsi diatas, fungsi F(x) dapat diekspansi ke dalam bentuk kombinasi
linear fungsi gelombang partikel dalam kotak n dan dalam hal ini himpunan fungsi disebut
himpunan lengkap atau Complete Set. Apakah semua n dapat digunakan untuk mengekspansi
fungsi F, jawabnya ternyata tidak, hanya himpunan fungsi yang merupakan himpunan lengkap
saja yang dapat digunakan untuk mengekspansi fungsi F. Selanjutnya mengenai himpunan
lengkap, dibuat definisi sebagai berikut:
Himpunan fungsi dapat disebut sebagai Himpunan Lengkap jika himpunan fungsi tersebut dapat digunakan untuk mengekspansi sembarang fungsi F menjadi kombinasi linear dengan mengikuti
persamaan F(x) = an n1
~ dengan an adalah tetapan sembarang.
Contoh himpunan fungsi gelombang yang bukan himpunan lengkap adalah himpunan fungsi
gelombang elektron atom hidrogen yang sudah pernah kita pelajari. Meskipun kita tahu bahwa
122
fungsi gelombang elektron atom hidrogen yaitu (n, l, m ) adalah fungsi r,,, namun jika
seandainya kita mempunyai sembarang fungsi F(r,,) maka fungsi tersebut tidak dapat
diekspansi menjadi kombinasi linear , karena seperti kita ketahui bahwa hidrogen hanya
berhubungan dengan energi diskrit saja padahal energi elektron bisa saja kontinum, yaitu ketika
elektron dalam proses lepas dari sistem atom menjelang terjadinya ionisasi. Jadi n atom
Hidrogen bukan merupakan himpunan lengkap sehingga tidak mungkin kita mengekspansi
F(r,,) menjadi himpunan linear (n, l, m). Fungsi gelombang hidrogen baru disebut himpunan
fungsi lengkap jika menyertakan himpunan fungsi gelombang yang berkorelasi dengan energi
kontinum yang biasanya ditulis (E, l, m). Jika fungsi gelombang hidrogen sudah dinyatakan
secara lengkap seperti itu maka fungsi F(r,,) dapat diekspan, yaitu menjadi kombinasi linear
fungsi diskrit dan kombinasi linear fungsi kontinum.
Teorema 3:
Jika g1, g2... adalah himpunan lengkap fungsi eigen dari operator A
dan jika fungsi F
juga fungsi eigen dari operator A
dengan nilai eigen k (jadi A
F = k F) sedang F diekspansi
dalam bentuk F = i
iiga , maka gi yang ai nya tidak nol mempunyai nilai eigen k juga.
Jadi ekspansi terhadap F, hanya melibatkan fungsi-fungsi eigen yang mempunyai nilai
eigen yang sama dengan nilai eigen F.
Selanjutnya sebagai rangkuman dari sub-bab 7.2 dan 7.3 dapat dinyatakan bahwa
Fungsi-fungsi eigen dari operator Hermite, membentuk himpunan lengkap ortonormal dan nilai
eigennya adalah real.
7.4 Eigen Fungsi Dari Operator Commute
Jika fungsi secara simultan adalah fungsi eigen dari dua buah operator A
dan
B
dengan nilai eigen aj dan bj, maka pengukuran properti A menghasilkan aj dan pengukuran B
menghasilkan bj. Jadi kedua properti A dan B mempunyai nilai definit jika merupakan fungsi
eigen baik terhadap A
maupun B
.
123
Pada bab V sub bab 5.1 kita telah menyatakan bahwa suatu fungsi adalah eigen terhadap
A
dan B
jika kedua operator tersebut commute atau:
A = ai dan B
= bi Jika : (7-32)
[ A
, B
] = 0 (7-33)
Sekarang pernyataan pada bab V tersebut akan kita buktikan. Yang harus kita buktikan adalah:
[ A
, B
] = 0
Kita tahu:
[ A
, B
] = A
B
B
A
(7-34)
Jika dioperasikan pada i :
[ A
, B
]i = A
Bi B
Ai
= A
( Bi ) B
( Ai )
= A
bi B
ai i
= bi A ai B
i
= bi ai ai bi i
[ A
, B
] = bi ai ai bi = 0 (terbukti) (7-35)
Pembuktian di atas adalah pembuktian untuk teorema 4 yang bunyinya
Teorema 4: Jika Operator linear A
dan B
mempunyai himpunan fungsi eigen yang sama
maka A
dan B
adalah commute.
Perlu diingat A
dan B
yang dimaksud oleh teorema 4 hanya A
dan B
yang masing-
masing merupakan operator linear. Jika A
dan B
bukan operator linear maka keduanya bisa
tidak commute meskipun seandainya keduanya mempunyai fungsi eigen yang sama. Sebagai
contoh (,) yang kita bahas di bab V, adalah fungsi eigen dari operator xL
dan operator yL
tetapi kedua operator tersebut non commute.
Teorema 5 : Jika operator Hermite A
dan B
adalah commute, maka kita dapat memilih
himpunan lengkap fungsi eigen untuk kedua operator itu.
Pembuktiannya adalah sebagai berikut:
124
Anggap saja fungsi gi adalah fungsi eigen dari operator A
dengan nilai eigen ai maka
kita dapat menulis:
A
gi = ai gi (7-36)
Jika operator B
dioperasikan pada kedua ruas (7-36) di atas, maka:
B
( A
gi ) = B
(ai gi ) (7-37)
Karena A
dan B
commute dan karena B
linear maka:
A
( B
gi) = ai ( B
gi) (7-38)
Persamaan (7-38) di atas menyatakan bahwa fungsi B
gi adalah fungsi eigen terhadap operator
A
dengan nilai eigen ai, persis sama dengan fungsi gi yang juga fungsi eigen terhadap operator
A
dengan nilai eigen ai . Marilah kita untuk sementara menganggap bahwa nilai eigen dari
operator A
tersebut non degenerate, hingga untuk sembarang harga nilai eigen ai yang
diberikan berasal dari satu dan hanya satu fungsi eigen yang linearly independent. Jika ini
benar, maka kedua fungsi eigen gi dan B
gi yang mempunyai nilai eigen sama yaitu a i harus
linearly dependent, yaitu, fungsi yang satu harus merupakan kelipatan sederhana dari yang lain,
B
gi = ki gi (7-39)
dengan ki adalah konstan. Persamaan (7-39) itu menyatakan bahwa fungsi gi merupakan
fungsi eigen dari operator B
sebagaimana yang hendak kita buktikan.
Jadi, jika A
dan B
commute dan fungsi gi adalah fungsi eigen terhadap A
maka gi
juga merupakan fungsi eigen dari B
(Jadi Teorema 5 adalah kebalikan dari Teorema 4)
Teorema 6: Jika gi dan gj adalah fungsi eigen dari operator Hermite A
dengan nilai eigen
berbeda (misal A
gi = a i gi dan A
gj = a jgj dengan ai aj), dan jika B
adalah
operator linear yang commute terhadap A
, maka:
< gj Bgi > = 0 atau
rsj Bg ig
d = 0 (7-40)
dengan s-r adalah seluruh ruang. Pembuktiannya adalah sebagai berikut:
125
Karena A
dan B
commute, maka fungsi eigen terhadap A
adalah juga fungsi eigen
terhadap B
, meski dengan nilai eigen berbeda. Jadi gi juga fungsi eigen terhadap B
, yang jika
nilai eigennya dimisalkan ki maka:
B
gi = ki gi (7-41)
dengan demikian (7-40) boleh ditulis:
rs
iij g k g d = rs
iji g gk = ik . 0 = 0 (terbukti)
7.5 Paritas
Ada operator mekanika kuantum yang tidak dikenal dalam mekanika klasik, contohnya
adalah operator paritas. Marilah kita ingat kembali bahwa dalam osilator harmonis, kita
mengenal adanya fungsi genap dan ganjil. Akan kita lihat bagaimana sifat ini dikaitkan dengan
operator paritas.
Operator paritas,
dapat dilihat dari efeknya apabila ia bekerja pada sembarang fungsi.
Operator ini akan mengubah tanda semua koordinat Cartessius, sehingga kita boleh
mendefinisikan:
f ( x, y, z ) = f (x, y, z)
Contohnya:
( x2 2 x. e2y + 3 z3 ) = { (x)2 2 (-x). e2y + 3 (z)3 }
= x2 + 2 x e2y 3z3
Jika seandainya gi adalah fungsi eigen dari operator paritas dengan nilai eigen ai maka
kita dapat menulis:
gi = a i gi (7-42)
Sifat paling penting dari operator ini adalah kuadratnya:
2
f ( x, y, z ) =
f ( x, y, z ) =
f (x, y, z) = f ( x, y, z )
Karena f nya fungsi sembarang maka 2
adalah operator satuan (unit Operator), jadi:
2
= 1
(7-43)
126
Sekarang, bagaimana jika kita gunakan 2
untuk (7-42) ? Hasilnya adalah:
2
gi =
gi =
ai gi = a i
gi = 2ia gi (7-44)
Karena
adalah unit operator, maka (7-44) menjadi:
gi = 2i
a gi (7-45)
atau:
ai = + 1 (7-46)
Karena ai adalah nilai eigen untuk 2
, maka nilai eigen untuk 2
adalah 1 dan 1. Perlu
dicatat bahwa hal ini berlaku untuk semua operator yang kuadratnya merupakan operator
satuan.
Bagaimana fungsi eigen dari operator Paritas ? Kita lihat kembali persamaan (7-42)
gi = a i gi
Karena nilai eigen operator ini + 1, maka persamaan di atas dapat ditulis:
gi = + 1 gi (7-47)
Jika gi adalah g(x, y, z), maka:
g (x, y, z) = + 1 g(x, y, z ) atau (7-48)
g (x, y, z) = + 1 g(x, y, z ) (7-49)
Jika nilai eigennya +1, maka:
g (x, y, z) = g(x, y, z ) (7-50)
jadi g fungsi genap. Jika nilai eigen = 1, maka:
g (x , y, z) = g( x , y, z ) (7-51)
jadi g adalah fungsi ganjil.. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:
fungsi eigen dari operator paritas adalah semua
fungsi well behaved yang mungkin baik genap
maupun ganjil.
127
Bagaimana jika Operator Paritas Commute dengan operator Hamilton ?
Manakala operator paritas commute dengan operator Hamilton maka semua fungsi yang
eigen terhadap operator Hamilton pasti eigen juga dengan operator paritas. Kita ambil saja
himpunan fungsi i adalah fungsi eigen terhadap operator H
. Kemudian, jika operator paritas
dan Hamilton commute, kita boleh menulis:
[
, H
] = 0 (7-52)
dan juga boleh menyatakan bahwa i adalah fungsi eigen bagi operator paritas tidak peduli
fungsi tersebut ganjil atau genap. Untuk sistem partikel tunggal,
[ H
,
] = [ ( V xm2 2
22
),
] = [
xm2 2
22
,
] + [ V,
]
= m2
2[
x2
2
,
] + [ V,
] (7-53)
Harga [ x2
2
,
] adalah 0, ini dengan mudah dapat dibuktikan sebagai berikut:
[ x2
2
,
] F(x) = x2
2
F(x)
x2
2
F(x)
= x2
2
F(x)
x
x
F(x)
= x2
2
F(x)
x2
2
F(x) = 0
Dengan demikian (7-53) dapat ditulis:
[ H
,
] = [ V,
] (7-54)
Sekarang kita evaluasi ruas kanan (7-54):
[ V(x),
] F(x) = V(x)
F(x)
V(x)F(x)
= V(x) F(x) V(x)F(x) (7-55)
Nilai (7-55) ditentukan oleh fungsi energi potensial. Jika fungsi energi potensial adalah fungsi
genap, maka V(x) = V(x), maka (7-55) menjadi:
[ V(x),
] = 0 sehingga (7-54) menjadi:
128
[ H
,
] = 0 (7-56)
Ini berarti:
Teorema 7: Jika fungsi V adalah fungsi genap, maka H
dan
adalah commute, sehingga kita
dapat memilih sembarang fungsi gelombang stasioner baik genap maupun ganjil sebagai
fungsi eigen dari kedua operator tersebut.
Fungsi genap atau ganjil yang merupakan fungsi eigen bagi kedua operator Hamilton dan
paritas itu disebut fungsi definit paritas.
Jika semua energi levelnya adalah non degenerate ( umumnya memang benar untuk
sistem partikel tunggal) berarti hanya ada satu fungsi gelombang independen yang berhubungan
dengan masing-masing energi level. Jadi untuk kasus non degenerate, maka fungsi gelombang
stasioner yang fungsi energi potensialnya fungsi genap adalah definit paritas. Sebagai contoh
fungsi gelombang osilator harmonis adalah definit paritas karena fungsi energi potensialnya ½
kx2 (fungsi energi potensial genap).
Jika energi level degenerate, itu berarti tidak cuma satu fungsi gelombang independen
yang memiliki energi nilai eigen tersebut. Dengan demikian kita mempunyai banyak sekali
pilihan fungsi gelombang sebagai akibat dari kombinasi linear dari fungsi-fungsi degenerasi itu.
7.6 Pengukuran Dan Keadaan Superposisi
Mekanika kuantum dapat dipandang sebagai suatu cara untuk menghitung probabilitas
dari berbagai kemungkinan hasil pengukuran. Sebagai contoh, jika kita mempunyai fungsi
(x,t) maka probabilitas hasil pengukuran posisi partikel pada saat t berada antara x dan x + dx
dinyatakan oleh (x,t)2 dx
Sekarang kita akan memperhatikan pengukuran properti secara umum, misal besaran A.
Untuk ini yang dipertanyakan adalah bagaimana menggunakan untuk menghitung
probabilitas masing-masing hasil pengukuran A yang mungkin. Kita akan mengupas informasi
apa saja yang dikandung oleh yang merupakan jantungnya mekanika kuantum. Subyek
pembahasan kita adalah sistem n partikel dan menggunakan q sebagai simbol dari koordinat 3n.
Telah kita postulatkan bahwa hanya nilai eigen ai dari operator  lah yang merupakan
kemungkinan hasil pengukuran besaran A.
129
Dengan menggunakan gi sebagai fungsi eigen dari Â, maka kita boleh menulis:
 gi( q) = ai gi( q) (7-57)
Telah kita postulatkan pada sub bab 7.3 bahwa fungsi eigen dari sembarang operator Hermite
yang mewakili besaran fisik teramati, membentuk himpunan lengkap. Karena gi adalah
himpunan lengkap kita dapat mengekspansi fungsi dalam suatu deret yang suku-sukunya
adalah gi jadi:
(q,t) = i
qii gc )( (7-58a)
Agar dapat menggambarkan bahwa adalah fungsi waktu, maka koefisien ci harus merupakan
fungsi waktu sehingga (7-58a) lebih baik ditulis:
(q,t) = i
qiti gc )()( (7-58b)
Karena 2 adalah rapat peluang (probability density) maka:
∫* d = 1 (7-59)
Substitusi (7-58a) ke dalam (7-59) menghasilkan:
i i
itiiti gcgc )(**
)( d = i j
jtjiti gcgc )(**
)( d = 1 (7-60)
Karena pengintegralan hanya terhadap koordinat, maka:
j i
titj cc )(*
)( )q(i*jgg d = 1 (7-61)
Jika i = j, maka:
i i
)t(i*
)t(i cc = 1 atau:
2
iic = 1 (7-62)
Kita akan menguji signifikansi (7-62) secara singkat:
Ingat bahwa jika fungsi ternormalisasi, maka nilai rata besaran A adalah:
< A > = ∫ * Â d
Dengan menggunakan (7-58), maka:
< A > = j i
jtj gc **)( Â )q(i)t(i gc d =
j i)t(i
*)t(j cc ij gAg *
d
130
atau:
< A > = j i
)t(i*
)t(j cc ij gag i* d
j i)t(i
*)t(j cc ai ij gg * d
< A > = 2
iic ai (7-63)
Bagaimana menginterpretasi (7-63) ? Perlu diketahui, bahwa nilai eigen suatu operator adalah
kemungkinan dari bilangan-bilangan yang diperoleh jika kita melakukan pengukuran terhadap
besaran yang diwakili oleh operator tersebut. Dalam sembarang pengukuran terhadap besaran
A, kita akan memperoleh salah satu harga a i. Kemudian marilah kita ingat kembali teori
mengenai rata-rata yang kita pelajari dalam matematika. Jika kita mempunyai n buah data X
dengan rincian X1 sebanyak n1, X2 sebanyak n2 dan seterusnya maka, rata-rata X adalah :
< X > = n
.Xn...........Xn Xn ii 2211 = 1
1 Xn
n + 2
2 Xn
n..... i
i Xn
n
= P1 X1 + P2 X2...... Pi Xi Jadi:
< X > = i
ii X P (7-64)
Sekarang jika dari pengukuran terhadap besaran A diperoleh nilai-nilai eigen a1, a2... ai maka
rata-rata A adalah:
< A > = i
ii a P (7-65)
dengan Pi adalah probabilitas mendapatkan nilai a i pada pengukuran besaran A. Jika hanya ada
sebuah fungsi eigen independen untuk setiap nilai eigen (non degenerate) maka banyaknya
eigen fungsi sama dengan banyaknya nilai eigen. Selanjutnya dengan membandingkan (7-65)
terhadap (7-63) maka dapat dipastikan bahwa
ci2 = Pi (7-66)
yaitu probabilitas memperoleh harga a i ketika dilakukan pengukuran terhadap besaran A.
Teorema 8: Jika a i adalah nilai eigen non degenerate dari operator  dan gi adalah fungsi
eigen ternormalisasi ( Â gi = a i gi ) maka, manakala besaran A diukur dalam
sistem mekanika kuantum yang fungsi statenya pada waktu diadakan pengukuran
131
adalah , probabilitas mendapatkan hasil a i adalah ci2, dengan ci adalah
koefisien gi pada ekspansi = i ci gi . Jika nilai eigen ai degenerate, probabilitas
mendapatkan ai pada saat A diukur adalah jumlah dari ci2 fungsi-fungsi eigen
yang nilai eigennya a i.
Kapankah hasil pengukuran besaran A dapat diprediksi secara tepat ?. Kita dapat
melakukan itu jika semua koefisien pada ekspansi = i c i gi adalah nol kecuali satu koefisien
saja yaitu misalnya ck. Untuk kasus ini maka (7-66) menjadi ck2 = Pk = 1. Artinya peluang
untuk mendapatkan nilai eigen seharga ak = 1, artinya, nilai eigennya pasti ak.
Kemudian, untuk selanjutnya kita dapat memandang ekspansi deret = i c i gi sebagai
ekspresi bentuk umum fungsi yang merupakan superposisi dari fungsi eigen gi dari operator
Â. Masing-masing fungsi eigen gi berhubungan dengan nilai eigen ai milik besaran A.
Selanjutnya bagaimana cara menghitung koefisien ci sehingga pada akhirnya kita dapat
menghitung ci2 ? Caranya kita kalikan = i ci gi dengan g*j kemudian integralkan ke
seluruh ruang, sehingga diperoleh:
∫ g*j d = ∫g*
j i c i gi d = i c i∫g*j gi .d c ii ∫g*
j gid
Jika ortonormal:
∫g*j d = ci
atau:
c i = ∫ . g*j d g*
j (7-67)
Kuantitas g*j> disebut amplitudo probabilitas. Selanjutnya probabilitas mendapatkan nilai
eigen non degenerate ai pada pengukuran A adalah [lihat (7-66)]:
Pi = ci2 = ∫ . g*
j d g*
j (7-68)
Jadi jika kita mengetahui state sistem sebagaimana ditentukan oleh fungsi maka kita dapat
menggunakan (7-68) untuk memprediksi probabilitas dari berbagai kemungkinan hasil
pengukuran besaran A.
Teorema 9: Jika besaran B diukur dalam sistem mekanika kuantum yang fungsi statenya pada
saat pengukuran adalah , maka probabilitas dari pengamatan nilai eigen aj dari
132
operator  adalah <gj, dengan gj adalah fungsi eigen ternormalisasi yang
mempunyai nilai eigen aj .
Integral <gj∫g*jd akan mempunyai nilai absolut substansial jika fungsi
ternormalisasi gj dan berada pada daerah yang saling berdekatan dan dengan demikian
harganya di daerah tertentu dalam ruangan hampir sama. Jika tidak demikian maka bisa terjadi
gj terlalu besar sedang terlalu kecil (atau sebaliknya) sehingga hasil kali gj.selalu terlalu
kecil. Akibatnya absolut kuadratnya juga terlalu kecil sehingga probabilitas untuk mendapatkan
nilai eigen a i juga sangat kecil.
Contoh: Dilakukan pengukuran terhadap Lz elektron atom hidrogen yang fungsinya pada saat
diadakan pengukuran adalah fungsi 2px. Tentukan hasil-hasil pengukuran yang
mungkin dan tentukan pula probabilitas masing-masing hasil pengukuran.
Jawab: a) 2px adalah kombinasi linear dari 2p(+1) dan 2p(1). Jadi harga Lz yang mungkin
adalah dan karena Lz adalah m .
b) Untuk menentukan probabilitas masing-masing, kita ekspansi 2px atas fungsi-fungsi
penyusunnya:
2px = 21/2 2p(+1) + 21/2 2p(1). Persamaan diatas adalah bentuk ekspansi 2px atas
2p(+1) dan 2p(1) dengan koefisien c1 = c2 = 21/2. Menurut teorema 8, probabilitasnya
adalah:
P1 = 21/22 = ½ = P2
P1 adalah probabilitas mendapatkan Lz = sedang P2 adalah probabilitas mendapatkan
Lz =
Contoh: Akan dilakukan pengukuran terhadap energi (E) bagi partikel dalam box yang
panjangnya a dan pada saat pengukuran dilakukan partikel berada pada keadaan non
stasioner = 301/2a5/2x (ax) untuk 0 < x < a. Tentukan hasil-hasil pengukuran yang
mungkin dan tentukan pula probabilitas masing-masing hasil pengukuran
Jawab: Untuk partikel dalam box:
133
E = n2h2 /(8ma2)dengan n = 1, 2, 3,..... dan non degenerate (karena 1 dimensi) sedang
fungsi eigennya adalah n = (2/a)1/2 sin (n/a) x. Untuk menghitung probabilitasnya maka kita
ekspansi saat itu atas n, jadi:
= n cn n
Menurut (7-67)
c i = ∫ . g*j d
jadi:
cn = ∫ . n d= 301/2a5/2 (2/a)1/2 ∫ x (ax)}sin (n/a) x dx
= 33
2/1
n
240
[ 1 (1)n ] (Buktikan) (7-69)
Pn = cn2 = 66n
240
[ 1 (1)n ]2.
Catatan: Jika anda akan membuktikan (7-69) yang perlu dicatat adalah bahwa cos n = (1)n
7.7 Postulat-Postulat Mekanika Kuantum
Sepanjang perjalanan kita dalam mempelajari mekanika kuantum, kita telah mengenal
postulat-postulat mekanika kuantum. Sekarang ini, kita akan merangkumnya:
Postulat I. Keadaan (state) sistem dideskripsi oleh fungsi yang merupakan fungsi
koordinat dan waktu. Fungsi ini disebut fungsi keadaan atau fungsi
gelombang yang memuat semua informasi mengenai sistem. Selanjutnya juga
dipostulatkan bahwa harus bernilai tunggal, continous, ternormalisasi dan
quadratically integrable.
Postulat II. Setiap besaran fisik teramati, berhubungan dengan operator Hermite linear.
Untuk menurunkan operator ini, tulislah ekspresinya secara mekanika klasik
dalam koordinat Cartessius, dan hubungkanlah dengan komponen momentum
linearnya, kemudian gantilah setiap koordinat x dengan x dan setiap
komponen px dengan x
i
134
Postulat III. Nilai yang mungkin, yang dapat diperoleh dari besaran fisik A hanyalah
nilai eigen ai dalam persamaan  gi = ai gi dengan  adalah operator yang
berhubungan besaran fisik A dan gi adalah fungsi eigen yang well behaved.
Postulat IV. Jika  adalah operator Hermite linear yang mewakili besaran fisik teramati
tertentu, maka fungsi gi dari operator  membentuk himpunan lengkap.
Catatan:
Postulat IV di atas lebih bersifat sebagai postulat matematik artinya kurang bersifat
postulat fisik, karena tidak ada pembuktian matematik sama sekali terhadap postulat ini. Karena
tidak ada pembuktian matematik terhadap kelengkapan himpunan, maka kita harus berasumsi
terhadap kelengkapannya. Postulat IV mengijinkan kita untuk mengekspansi fungsi gelombang
untuk sembarang keadaan sebagai superposisi dari fungsi-fungsi eigen ortonormal dari
sembarang operator mekanika kuantum. Ekspansinya adalah dalam bentuk:
= i c i gi (7-70)
Postulat V. Jika (q,t) adalah fungsi ternormalisasi yang mewakili suatu sistem pada
saat t, maka nilai rata-rata besaran fisik A pada saat t, adalah:
< A > = ∫* d (7-71)
Postulat VI. Keadaan bergantung waktu dalam sistem mekanika kuantum dinyatakan
dengan menggunakan persamaan Schrodinger bergantung waktu:
ti
= H (7-72)
dengan H
adalah operator Hamilton (Energi) sistem itu
7.8 Pengukuran dan Interpretasi Mekanika Kuantum
Dalam mekanika kuantum perubahan suatu sistem terjadi melalui dua macam cara.
Yang pertama perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur dari waktu ke waktu (reversibel).
135
Perubahan jenis ini ditunjukkan oleh persamaan Schrodinger bergantung waktu (7-72). Cara
kedua adalah perubahan yang terjadi secara spontan (irreversibel), diskontinyu (tidak terus
menerus) dan probabilitas kejadiannya sangat fluktuatif dan ditentukan oleh sistem itu sendiri.
Jenis perubahan spontan ini tidak dapat diprediksi secara pasti karena hasil pengukurannya juga
tidak dapat diprediksi secara pasti; hanya probabilitas kejadiannya saja yang dapat diprediksi.
Perubahan spontan dalam disebabkan oleh pengukuran yang disebut reduksi fungsi
gelombang. Pengukuran terhadap besaran A yang menghasilkan ak berakibat mengubah fungsi
menjadi gk yaitu fungsi eigen operator  yang nilai eigennya ak. Untuk lebih jelasnya adalah
sebagai berikut: Misal kita melakukan dua kali pengukuran terhadap Lz elektron dalam atom
hidrogen. Pada pengukuran pertama dihasilkan Lz = 2 . Pada saat ini fungsi gelombangnya
tentu fungsi gelombang dengan m = 2, sehingga secara umum fungsi gelombangnya adalah ( n,
, 2) dengan > 2 dan n > +1. Selanjutnya misal pada pengukuran kedua diperoleh Lz = .
Pada pengukuran kedua ini, hasil pengukuran pasti berasal dari fungsi gelombang hidrogen
yang m = 1, sehingga fungsi gelombangnya adalah (n, ,1) dengan > 1 dan n > +1. Jadi
tampak adanya perubahan fungsi gelombang secara mendadak akibat adalah pengulangan
pengukuran. Inilah penjelasan dari reduksi fungsi gelombang.
Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian mengenai pengukuran adalah bahwa
dalam mekanika kuantum, pengukuran merupakan sesuatu yang sangat kontroversial.
Bagaimana dan kegiatan apa yang terjadi dalam kaitannya dengan reduksi pada saat terjadi
pengukuran sungguh sesuatu yang sangat-sangat tidak jelas. Ada fisikawan yang berpendapat
reduksi merupakan postulat tambahan bagi mekanika kuantum, sementara fisikawan lain
menyatakan bahwa reduksi merupakan teorema yang diturunkan dari postulat lain. Para ahli
saling berbeda pendapat mengenai reduksi ini (L.E Balentine, 2004). Balentine mendukung
interpretasi ansemble statistika pada mekanika kuantum, yang dikemukakan oleh Einstein, yang
menyatakan bahwa fungsi gelombang tidak mendeskripsi keadaan sistem tunggal (sebagaimana
dalam interpretasi ortodok) tetapi memberikan deskripsi statistikal terhadap sekelompok sistem
(dalam jumlah besar/ ansemble); dengan interpretasi seperti ini maka silang pendapat mengenai
reduksi fungsi gelombang tidak terjadi.
136
"Bagi sebagian besar fisikawan, problema untuk mendapatkan teori mekanika kuantum
yang berhubungan dengan pengukuran masih merupakan suatu persoalan yang belum ada
penyelesaiannya. Adanya perbedaan pendapat.... ketidakpastian dalam pengukuran kuantum...
dan lain-lain.... semua itu merefleksikan adanya ketaksepahaman dalam meng-interpretasi
mekanika kuantum secara global " (M. Jammer, 2003)
Sifat probabilistik dalam mekanika kuantum telah membuat para fisikawan bingung,
termasuk di antaranya Einstein, de Broglie dan Schrodinger. Sampai-sampai mereka
menyatakan bahwa mekanika kuantum belum memberikan deskripsi yang memuaskan bagi
realitas fisik. Selanjutnya, hukum probabilistik mekanika kuantum, secara sederhana dapat
dipandang sebagai refleksi dari hukum deterministik yang beroperasi pada level sub mekanika
kuantum dan yang melibatkan variabel tersembunyi (hidden variables). Sebuah analogi bagi
kasus ini diberikan oleh fisikawan Bohm, yaitu kasus gerak Brown partikel debu di udara.
Partikel-partikel bergerak di bawah kondisi fluktuasi random, sehingga posisi dan geraknya
tidak dapat ditentukan secara pasti oleh posisi dan kecepatannya. Secara analogis pula, gerak
elektron dapat ditentukan oleh variabel tersembunyi yang ada dalam level sub mekanika
kuantum. Interpretasi ortodok (sering disebut interpretasi Copenhagen) yang dikembangkan
oleh Heissenberg dan Bohr, menafikan adanya variabel tersembunyi dan menyatakan bahwa
hukum mekanika kuantum memberikan deskripsi lengkap bagi realitas fisik.
Pada tahun 1964 J.S. Bell membuktikan bahwa dalam eksperimen tertentu yang
melibatkan dua partikel yang terpisah jauh, yang pada awalnya berada pada daerah yang sama
dalam ruangan, orang harus membuat beberapa kemungkinan teori variabel tersembunyi untuk
memprediksi adanya perbedaan dengan yang dilakukan oleh mekanika kuantum. Dalam teori
lokal, dua partikel yang sangat berjauhan akan saling independen. Hasil beberapa eksperimen
sesuai dengan prediksi mekanika kuantum, dan hal ini memperkuat keyakinan mekanika
kuantum untuk melawan teori variabel tersembunyi lokal.
Selanjutnya analisis yang dilakukan oleh Bell dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
hasil eksperimen ini beserta prediksinya terhadap mekanika kuantum adalah tidak kompatibel
dengan pandangan dunia mengenai realisme dan lokalitas. Realisme (juga disebut obyektivitas)
adalah doktrin yang menyatakan bahwa realitas eksternal itu eksis dan sifat-sifat definitnya
137
adalah independen terhadap benar tidaknya realitas yang kita amati. Sedang lokalitas adalah ke-
instan-an aksi pada jarak yang memungkinkan sebuah sistem berpengaruh terhadap yang lain
ketika sistem itu harus melintas dengan kecepatan yang tidak melebihi kecepatan cahaya.
Teori kuantum memprediksi dan eksperimen mengkorfirmasi bahwa manakala
pengukuran dilakukan pada dua partikel yang pada mulanya berinteraksi dan kemudian
dipisahkan oleh jarak yang tak terbatas maka hasil pengukuran terhadap partikel yang satu
dipengaruhi oleh pengukuran partikel yang lain dan juga dipengaruhi oleh sifat kedua partikel
yang diukur. Hal ini membuat adanya pendapat bahwa mekanika kuantum adalah magic (D.
Greenberger, 2004).
Meskipun prediksi-prediksi eksperimen mekanika kuantum tidak arguabel, trtapi
ternyata interpretasi konseptualnya masih saja menjadi topik debat yang hangat dan menarik
bagi para ahli, bahkan sampai saat ini.
7.9 Matrik dan Mekanika Kuantum
Aljabar Matrik merupakan peralatan yang sangat penting dalam kalkulasi mekanika
kuantum modern. Matrik juga menjadi salah satu cara dalam memformulasikan beberapa teori
mekanika kuantum. Sub bab ini akan mereview ingatan kita tentang matrik dan hubungannya
dengan mekanika kuantum.
Matrik adalah penataan bilangan-bilangan dalam baris dan kolom. Bilangan-bilangan
yang menyusun matrik disebut elemen matrik. Seandainya matrik A terdiri atas m baris dan n
kolom, dan seandainya aij ( i = 1, 2, 3,...... m sedang j = 1, 2, 3,.....n) adalah pernyataan untuk
elemen baris i kolom j, maka:
A =
mv
n2
n1
2m
22
12
1m
21
11
a.....aa
.....
.....
.....
.....
a.....aa
a.....aa
A disebut matrik m x n. Jangan bingung antara matrik dengan determinan, Matrik tidak harus
bujur sangkar dan tidak sama dengan sebuah bilangan tunggal. Jika sebuah matrik hanya terdiri
atas sebuah baris saja, maka matrik itu disebut matrik baris atau matrik vektor. Sedang jika
sebuah matrik hanya terdiri atas sebuah kolom saja, maka matrik itu disebut matrik kolom.
138
Dua buah matrik A dan B adalah sama jika jumlah baris dan kolomnya sama serta
elemen-elemen yang seletak nilainya sama.
Dua buah matrik dapat dijumlahkan jika kedua matrik itu berdimensi sama.
Penjumlahan dilakukan dengan menggabungkan elemen yang seletak. Jika matrik C = A + B
maka elemen cij = aij+bij dengan i = 1, 2, 3.... m dan j = 1, 2, 3,.... n atau:
Jika C = A + B maka cij = aij + bij (7-73)
Jika sebuah matrik dikalikan dengan sebuah bilangan k yang konstan maka dihasilkan matrik
baru yang elemen-elemen adalah k kali elemen matrik semula, jadi:
C = kA maka cij = kaij (7-74)
Jika Am x n sedang Bn x p, maka perkalian matrik C = A x B adalah matrik berdimensi m
x p
Sebagai contoh:
A =
12/1 4
3 0 1 B =
10 6 2
35 0
82 1
Jika C = A x B, maka dimensi matrik C adalah 2 x 3, yaitu:
C =
34
25
23
2
116
0
1
Perkalian antar matrik bersifat non commutatif, artinya AB dan BA tidak harus sama. bahkan
untuk contoh kita di atas BA tak terdefinisi.
Matrik yang jumlah baris dan kolomnya sama disebut matrik square atau matrik bujur
sangkar. Matrik bujur sangkar disebut matrik diagonal jika selain elemen diagonal utama, nilai
elemen lain adalah nol. Dan matrik diagonal yang elemen diagonal utamanya 1, disebut matrik
satuan. Contoh matrik satuan orde 3:
100
010
001
Hubungan matrik dengan Mekanika kuantum
139
Pada sub bab 7.1, kita telah menjumpai bentuk ∫fi* Â fj d yang juga boleh ditulis <
fi*Âfj>. Bentuk integral tersebut dalam bahasa matrik adalah elemen ij dari matrik A, oleh
karena itu ia juga boleh ditulis Aij. Jadi jika kita mempunyai matrik A berikut:
A =
.....
.....
.....
.....
.....
.....AA
. . . . .
. . . . .AA
22
12
21
11
maka elemen-elemen:
A11 = < f1*Â f 1> ; A12 = < f1
*Âf2>
A21 = < f2*Â f 1> ; A22 = < f2
*Â f 2> dan seterusnya
Matrik tersebut di atas disebut matrik representatif dari operator linear  dengan basis {f i}.
Karena pada umumnya { fi } terdiri atas fungsi-fungsi yang banyaknya tak terhingga maka
matrik order A adalah tak terhingga.
Jika C
= Â + G
maka integral sebagai elemen matrik C adalah:
Cij = < fi*C
f j> = < fi
*Â + G fj> = ∫ fi
* (Â+G
) fj d
∫ fi* Â fj d∫ fi
* G
fj dij + Gij (7-75)
Jadi:
Jika C
= Â + G
maka Cij = Aij + Gij (7-76)
Dengan menggunakan logika dari (7-73) maka Cij = Aij + Gij pasti berasal dari penjumlahan
matrik C = A + B, sehingga:
Jika C
= Â + G
maka C = A + G (7-77)
dengan C, A dan G adalah matrik representatif dari operator linear C
, Â dan G
.
Hal yang sama, yaitu :
jika C
= k maka Cij = k Aij (7-78)
Selanjutnya jika: Â = C
G
maka:
Aij = ∫ fi* Â fj d∫ fi
* C
G
fj d (7-79)
Fungsi G
fj dapat diekspansi ke dalam suku-suku himpunan fungsi ortonormal {fk} menurut
persamaan :
140
G
fj = k ck fk dengan ck = ∫ fk G
fj d jadi:
G
fj = k∫ fk G
fj d. fk = k fkG fj> fk = k Gkj fk (7-80)
dan Aij menjadi:
` Aij =∫ fi* C
G
fj d∫ fi* Ck Gkj fk dk ∫ fi
* C
fk d Gkj
= k Cij Gij (7-81)
Jadi:
Jika  = C
G maka Aij = k Cij Gij (7-82)
Persamaan Aij = k Cij Gij adalah aturan perkalian matrik A = C. G, jadi:
Jika  = C
G maka A = C. G (7-83)
Selanjutnya kombinasi (7-79) dengan (7-82) menghasilkan aturan penjumlahan yang sangat
bermanfaat, yaitu:
k Cij Gij = ∫ fi* C
G
fj datau:
k < fi*C
fj> < fi
*G fj> = < fi
*C
G fj> (7-84)
Selanjutnya berangkat dari Aij = < fi*Â fj> kita dapat memperoleh:
Aij = < fi*Â fj> = Aij = ∫ fi
* Â fj d
Jika nilai eigen dari fj terhadap  adalah aj maka:
Aij = ∫ fi* aj fj d aj ∫ fi
* fj d aj < fi* fj> (7-85)
Satu hal yang sangat mendasar dari hubungan antara matrik dengan operator mekanika
kuantum adalah jika kita memahami matrik representatif A berarti kita juga mengenal
operator Â
7. 10 Fungsi Eigen Untuk Operator Posisi
Kita telah menurunkan fungsi eigen untuk operator momentum linear dan momentum
angular. Pertanyaan kita sekarang adalah, bagaimana fungsi eigen untuk operator posisi ?
Operator posisi ditulis x
yang operasinya adalah x kali atau
x
= x.
141
Jika fungsi eigen posisi kita misalkan g(x) dan nilai eigennya a, maka:
x
g(x) = a g(x) atau:
x g(x) = a g(x) atau (7-86)
(x a) g(x) = 0 (7-87)
Dari (7-87) dapat disimpulkan bahwa :
untuk x = a g(x) 0 (7-88)
untuk x a g(x) = 0 (7-89)
Kesimpulan di atas membawa kita kepada pemikiran mengenai sifat g(x), yaitu bahwa
seandainya fungsi state = g(x), dan jika dilakukan pengukuran terhadap x, maka kemungkinan
hasilnya adalah a, dan itu hanya benar jika probabilitas nya 2 adalah nol untuk x a agar
memenuhi (7-89).
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai fungsi g(x), akan diperkenalkan fungsi
Heaviside step H(x) yang definisinya (gambar 7-1)
Gambar 7.1: Fungsi Heaviside step
Dari gambar itu tampak bahwa:
H(x) = 1 untuk x > 0
H(x) = ½ untuk x = 0 (7-90)
H(x) = 0 untuk x < 0
Selanjutnya akan diperkenalkan fungsi Delta Dirac (x) yang merupakan turunan dari fungsi
Heaviside step.
(x) = d H(x) / dx (7-91)
Dari (7-90) dan (7-91) diperoleh:
1/2
1
H(x)
x
142
(x) = 0 untuk x 0 (7-92)
Karena pada x = 0 terjadi lompatan mendadak pada harga H(x), maka turunan tak terhingga,
jadi:
(x) = ~ untuk x = 0 (7-93)
Sekarang kita perhatikan (7-90). Jika x diganti x a, maka (7-90) akan menjadi lebih umum,
yaitu dalam bentuk:
H(x a) = 1 untuk (x – a) > 0
H(x a) = ½ untuk (x - a) = 0 (7-94)
H(x a) = 0 untuk (x – a )< 0
atau:
H(x a) = 1 untuk x > a
H(x a) = ½ untuk x = a (7-95)
H(x a) = 0 untuk x < a
Dengan demikian maka:
(xa) = 0 untuk x a ; (xa) = ~ untuk x = a (7-96)
Sekarang perhatikan integral berikut:
~
~f(x) (x-a) dx
Evaluasi terhadap integral tersebut menggunakan metode parsial ∫U dV = UV ∫V dU dengan
U = f(x) sedang dV = (x-a) dx sehingga dU = f '(x) dx dan mengacu (7-91), maka V = H(xa)
Jadi:
~
~f(x) (x-a) dx =
~
~a)-(x)( H
xf
~
~H(xa) f '(x) dx
~
~f(x) (x-a) dx = f (~)
~
~H(xa) f '(x) dx (7-97)
Karena H(x-a) hilang kalau x < a maka (7-97) menjadi:
~
~f(x) (x-a) dx = f (~)
~
a
H(xa) f '(x) dx (7-97)
143
Suku ~
a
H(xa) f '(x) dx pada (7-97) adalah ∫V dU jadi (7-97) menjadi:
~
~f(x) (x-a) dx = f(a) (7-98)
Jika kita bandingkan (7-98) dengan persamaan j Cj ij = Ci kita dapat melihat bahwa peran
fungsi delta Dirac dalam integral sama dengan peran Kronecker delta dalam jumlah atau
sigma.
Jadi dapat dipastikan:
~
~(x-a) dx = 1 (7-99)
Sifat (7-96) dari fungsi delta Dirac sama dengan sifat (7-88) dan (7-89), dari fungsi eigen posisi
g(x). Dengan demikian secara tentatif dapat dinyatakan bahwa fungsi eigen posisi adalah:
g(x) = (x-a) (7-100)
144
Soal-soal Bab 7
1. Apakah <fmÂfn> sama dengan <fmÂfn> ?
2. Apakah suatu operator Hermite dapat ditunjukkan oleh persamaan <mn> = <nm>* ?
3. Diketahui operator  dan G
adalah Hermitian dan c adalah bilangan konstan real.
a) buktikan bahwa c adalah Hermitian
b) Buktikan
bahwa Â+ G
adalah Hermitian
4. Dengan menggunakan fi = A sin nx dan fj = A' sin mx, buktikan bahwa operator d2/dx2 adalah
operator Hermitian.
5. Mana di antara operator-operator berikut yang dapat menjadi operator mekanika kuantum?
a) ( )1/2 b) d/dx c) d2/dx2 d) i(d/dx)
6. Tentukan nilai integral-integral dari sistem atom hidrogen berikut:
a) < 2 Âb) < 3Gc) < 3C
 adalah operator Lz, G
adalah operator momentum angular L2 dan C
adalah operator
Hamilton.
7. Jika F(x) = x (a – x ) untuk 0 < x < adalah fungsi gelombang partikel dalam box dan
n = (2/a)1/2sin(n/a) x adalah himpunan lengkap fungsi gelombang dalam box, tentukan:
a) ekspansi F(x) = n an n
b) E1, E2 dan E3
145
c) probabilitas mendapatkan E1, E2 dan E3
8. Jika
adalah operator paritas, tentukan N
jika n bilangan ganjil positif ? Bagaimana pula
jika n genap positif ? (Note: Terapkan
pada sembarang f(x, y, z)
9. Diketahui
adalah operator paritas dan i(x) adalah fungsi gelombang osilator harmonik
ternormalisasi. Didefinisikan bahwa elemen matrik ij adalah:
ij =
i*i ψψ
d
buktikan bahwa elemen matrik ij = 0 untuk i j dan ij = + 1
10. Jika  adalah operator linear dimana Ân = 1. Tentukan nilai eigen dari Â.
11. Buktikan bahwa operator paritas adalah linear. Buktikan pula bahwa operator paritas adalah
hermitian. (Pembuktian cukup dalam satu dimensi)
12. Karena operator
adalah Hermitian, maka dua fungsi eigen terhadap
yang mempunyai
nilai eigen berbeda pasti ortogonal. Buktikan !
13. Dengan menggunakan operator L2, sebuah fungsi gelombang mempunyai nilai eigen 6 .
Jika diadakan pengukuran terhadap Lz, tentukan harga-harga yang mungkin dan
probabilitasnya masing-masing.
14. Tentukan:
a)
~
~(x) dx b)
1
~(x) dx c)
1
1
(x) dx
15. ) Tentukan:
a)
~
~f(x)(x-5) dx Jika f(x) = x2 b)
~
0
f(x)(x-6) dx jika f(x) = ½ x2 + 5
16. Untuk matrik:
A =
3
1
0
2 B =
4
1
4
1
Tentukan:
146
a) AB b) BA c) A + B d) 3A e) A + 4B
===000===
bab viii
METODE VARIASI
8.1 Teorema Variasi
Problem sentral kimia kuantum sebenarnya adalah menentukan energi suatu sistem yang
pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara menyelesaikan persamaan Schrodinger. Untuk
sistem sederhana seperti partikel dalam box, gerak harmonis satu dimensi atau sistem atom
hidrogen penyelesaian persamaan Schrodinger telah pernah kita lakukan dan tidak
membutuhkan kalkulasi yang terlalu rumit. Namun untuk sistem yang terdiri atas banyak
partikel seperti pada atom berelektron banyak atau pada molekul penyelesaian persamaan
Schrodinger untuk sistem tersebut tidak sederhana atau bahkan merupakan sesuatu yang
mustahil. Untuk itu pada bab ini kita akan mempelajari salah satu metode aproksimasi
(pendekatan) yaitu metode variasi. Metode variasi ini didasari oleh teorema sebagai berikut:
Telah kita ketahui bahwa jika operator Hamilton H
adalah operator penentu energi
terendah E1 maka untuk sistem yang fungsi gelombangnya , berlaku:
1* EdH
dan untuk sembarang fungsi gelombang ternormalisasi yang berkelakuan baik dan kondisi
boundarynya sesuai dengan kondisi boundary maka berlakulah:
1* EdH
ternormalisasi (8-1)
dengan adalah fungsi gelombang partikel yang susungguhnya sedang adalah fungsi
gelombang aproksimasi atau fungsi variasi.
=====================================================
Pembuktian teorema (8-1):
Untuk membuktikan teorema tersebut, marilah kita perhatikan uraian berikut ini. Telah kita
ketahui bahwa suatu fungsi dapat diekspansi menjadi suatu kombinasi linear yang suku-
147
sukunya merupakan fungsi eigen. Untuk ini kita misalkan diekspansi ke dalam fungsi eigen
k sehingga:
= a k kk
(8-2)
dan karena adalah fungsi eigen maka padanya berlaku:
kkk EH
(8-3)
Substitusi (8-2) ke dalam ruas kiri (8-1) membuat ruas kiri ini menjadi:
dH * dHa j
kkk a
jj
**
Dengan menggunakan persamaan eigen (8-3), maka ruas kiri (8-1) menjadi::
dH * dEa jj
kkk a
jj
**
karena aj ; ak dan Ek adalah bukan fungsi, maka mereka dapat dikeluarkan dari tanda integral,
sehingga:
dH * da jk
k jk
*jj
* Ea = akjk
* a E j j kj
Perlu diingat bahwa kj berharga 1, jika k = j dan 0 jika k j sehingga ruas kiri (8-1) menjadi:
dH * ak
k
* a E k k ( kita juga boleh menyatakan: dH * a j
j
* a E j j
karena a a ak k k*
2 maka:
dH * a E k k
2
k (8-4)
Mengingat E1 adalah tingkat energi terendah, maka Ek pasta > E1 sehingga:
dH * a E k k
2
k > a E k 1
2
k atau:
dH * > E1 a k
2
k (8-5)
Karena adalah ternormalisasi maka * d 1 , dan jika ekspansi (8-2) dimasukkan ke
dalam kondisi normalisasi ini maka:
148
1 = *
d a dkjk
kj
* *
a j = akjk
* a j kj = ak2
k (8-6)
Jika ak2
k = 1, dimasukkan pada (8-5) maka diperoleh:
* ^
H d > E1 ternormalisasi (8-7)
Dengan demikian (8-1) terbukti.
========================================================
Teorema dengan pernyataan seperti pada persamaan (8-1) adalah jika ternormalisasi.
Bagaimana jika tidak ternormalisasi ?. Fungsi yang tak ternormalisasi akan menjadi
ternormalisasi, jika dikalikan dengan suatu bilangan yaitu A yang disebut faktor normalisasi,
sehingga (8-1) menjadi:
1*2 EdHA
(8-8)
Harga A dapat dihitung dari sifat fungsi ternormalisasi yaitu : 1 *2 dA jadi (8-2) dapat
ditulis:
1*
*
E
d
dH
(8-9)
Keberhasilan penggunaan metode variasi ini ditentukan oleh kemampuan memformulasi
berdasarkan data boundary condition.
Fungsi disebut fungsi variasi dan integral (8-1) atau integral (8-9) disebut integral
variasional. Untuk dapat memperoleh aproksimasi yang bagus terhadap energi ground state E1
kita harus mencoba beberapa fungsi variasi yang memberikan hasil terendah tetapi tidak lebih
rendah dari E1 yang sesungguhnya (yaitu E1 yang diperoleh melalui eksperimen). Salah satu
cara untuk mengetahui bahwa fungsi variasi yang kita pergunakan adalah salah, adalah jika
fungsi variasi itu menghasilkan integral variasional yang lebih rendah dari E1, manakala harga
E1 sesungguhnya dari sistem itu telah diketahui.
149
Marilah kita ambil 1 sebagai fungsi gelombang ground state yang sesungguhnya.
Dengan demikian:
111 E H
(8-10)
Jika secara kebetulan, kita dapat membuat fungsi variasi yang sama dengan 1, maka dengan
menggunakan (8-10) ke dalam (8-1) kita akan melihat bahwa integral variasional tepat sama
dengan E1. Jadi fungsi gelombang ground state menghasilkan integral variasional terendah
untuk suatu sistem.
Dalam praktek, orang sering memasukkan beberapa parameter ke dalam fungsi variasi
dalam rangka memperoleh integral variasional yang semakin mendekati energi ground state
yang sesungguhnya.
Contoh:
Turunkan fungsi variasi jika fungsi eksaknya merupakan fungsi partikel dalam kotak satu
dimensi yang panjangnya l, dengan kondisi batas berharga 0 jika x = 0 dan x = l .
Aproksimasilah E1.
Jawab:
Fungsi harus mempunyai sifat-sifat tersebut. Bentuk paling sederhana untuk yang
memenuhi sifat-sifat tersebut adalah:
= x ( l x ) untuk 0 < x < l (8-11)
Karena tidak ada pernyataan bahwa ternormalisasi, maka kita tidak menggunakan (8-1) tetapi
(8-9) dengan operator Hamilton H
= ( 22/ m) d2/dx2 (Ingat energi potensial partikel dalam
kotak satu dimensi adalah 0 untuk di dalam kotak).
Pembilang ruas kiri (8-9) adalah:
d *H
=
2
2mx x
d
dxx x( ) ( )l l
l
2
20
dx=
2
2m( ) ( )l l
l
x x xd
dxx2
2
2
2
0
dx
= m
l
6
32 (8-12)
Penyebut ruas kiri (8-9) :
150
* d = x x2 2
0
( )ll
dx = 30
5l.
Jika disubstitusikan pada (8-9) diperoleh:
ml
h22
2
4
5
> E1 (8-13
8.2 Fungsi Variasi Linear (Metode LCAO : Linear Combination Atomic Orbital)
Salah satu jenis fungsi variasi yang banyak aplikasinya dalam studi mengenai atom dan
molekul adalah fungsi variasi linear. Fungsi variasi linear adalah kombinasi linear dari fungsi-
fungsi f1 , f2 . . . . . fn yang saling independent :
= c1 f1 + c2 f2 + . . . . . . cn fn = a fj jj
n
1
(8-14)
dengan adalah fungsi variasi dan koefisien cj adalah parameter yang akan ditentukan. Fungsi
fj harus memenuhi kondisi boundary sistem. Kita akan membuat batasan sendiri yaitu bahwa
adalah fungsi real, sehingga cj dan fj semuanya juga harus real.
Sekarang kita akan gunakan teorema variasi persamaan (8-9). Harga:
d * =
n
kkk
n
jjj fcfc
11
* d =
d 1
*
1kjk
n
j
n
j ffck
c (8-15)
Supaya praktis integral overlap f f dj k* ditulis Sjk sehingga:
d * = c
k
c Sj
n
j
n
k jk
11
(8-16)
Perlu diingat bahwa untuk fungsi real berarti Sjk = dff kj .
Selanjutnya pembilang (8-9) menjadi:
dH * =
n
kkk
n
jjj fcHfc
11
d = c
k
cj
n
j
n
k
11 d kj fHf
Selanjutnya agar praktis d kj fHf
ditulis Hjk sehingga:
151
dH * = c
k
cj
n
j
n
k
11
Hjk (8-17)
Jika ruas kiri persamaan (8-9) kita sebut W (jadi W > 1) maka:
W =
*
*
d
dH
=
c c H
c c S
j k jkk
n
j
n
j k jkk
n
j
n
(8-18)
W c c Sj k jkk
n
j
n
= c c Hj k jkk
n
j
n
(8-19)
Selanjutnya W disebut integral variasional yang pada dasarnya adalah fungsi n buah variabel
bebas c1 , c2 , . . . . . . cn jadi:
W = W( c1 , c2 , . . . . cn )
Sekarang kita harus meminimalkan W agar W sedekat mungkin dengan E1. Kondisi yang
dibutuhkan untuk memperoleh W minimal terhadap variabel tertentu adalah turunan parsial
pertamanya terhadap variabel tertentu tersebut harus nol.
ic
W
= 0 c = 1, 2, 3 . . . . . . . . n (8-20)
Selanjutnya (8-19) didiferensialparsialkan terhadap ci untuk mendapatkan n buah persamaan:
c c Sj k jkk
n
j
n
.
W
ci
+ W .ic
c c Sj k jk
k
n
j
n
= ic
c c Hj k jk
k
n
j
n
i = 1, 2, 3 . . . . n (8-21)
Suku pertama ruas kiri (8-21) hilang karena ∂W/∂ci = 0, jadi:
W . ic
c c Sj k jk
k
n
j
n
= ic
c c Hj k jk
k
n
j
n
i = 1, 2, 3 . . . . n (8-22)
Karena ci adalah variabel-variabel bebas satu terhadap yang lain maka:
i
j
c
c
0 jika i j
= 1 jika i = j sehingga kalau begitu
i
j
c
c
= ij
Selanjutnya marilah kita evaluasi ic
c c Sj k jk
k
n
j
n
.
152
ic
c c Sj k jk
k
n
j
n
=
n
j
n
kjkkj
i
Sccc
=
n
j
n
k i
jjkk
c
cSc +
n
j
n
k i
kjkj
c
cSc
= c Sk jk ijk
n
j
n
+ c Sj jk ikk
n
j
n
(8-23)
Jika suku pertama ruas kanan (8-23) kita kembangkan j-nya mulai 1sampai n (k tidak
dikembangkan) maka ketika j = i harga ij = 1 sedang untuk harga i yang lain ij = 0 sehingga:
c Sk jk ijk
n
j
n
= c Sk ikk
n
(8-24)
Analog dengan itu jika suku kedua ruas kanan (8-23) kita kembangkan j-nya mulai 1sampai n
(k tidak dikembangkan) maka ketika j = i harga ik = 1 sedang untuk harga i yang lain ik = 0
sehingga:
c Sj jk ikk
n
j
n
= c Sj jij
n
(8-25)
Dengan memasukkan (8-24) dan (8-25) ke dalam (8-23) maka (8-23) menjadi:
ic
c c Sj k jk
k
n
j
n
= c Sk ikk
n
+ c Sj jij
n
(8-26)
Pada hakekatnya c Sk ikk
n
= c Sj jij
n
karena baik j maupun k mulai 1 sampai dengan n.
Dengan demikian maka (8-26) dapat ditulis:
ic
c c Sj k jk
k
n
j
n
= 2 c Sk ikk
n
(8-27)
Jika Sjk diganti Hjk maka:
ic
c c Hj k jk
k
n
j
n
= 2 c Hk ikk
n
(8-28)
Substitusi (8-27) dan (8-28) ke dalam (8-22) menghasilkan:
153
2W c Sk ikk
n
= 2 c Hk ikk
n
atau:
c Hk ikk
n
W c Sk ikk
n
= 0
atau:
( )H S Wik ik kk
n
c = 0 (8-29)
Persamaan (8-29) tersebut adalah himpunan yang terdiri atas n buah persamaan simultan, linear,
homogen dinyatakan dalam n buah variabel tak diketahui yaitu c1 , c2 . . . . . cn. Untuk n = 2,
persamaan (8-29) adalah:
(H11 – S11W)c1 + (H12 – S12W)c2 = 0
(H21 – S21W)c1 + (H22 – S22W)c2 = 0
Secara umum, untuk n fungsi, persamaan (8-29) menjadi:
(H11 – S11W)c1 + (H12 – S12W)c2 . . . . . .+ (H1n – S1nW)cn = 0
(H21 – S21W)c1 + (H22 – S22W)c2 . . . . . + (H2n – S2nW)cn = 0 (8-30)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
(Hn1 – Sn1W)c1 + (Hn2 – Sn2W)c2 . . . . . + (Hnn – SnnW)cn = 0
Penyelesaian (8-30) harus non trivial, artinya c1 sampai dengan cn ≠ 0, untuk itu determinan
koefisiennya harus nol, jadi det.(Hij SijW) = 0 atau:
.
WSH
....................
WSHWSH
...................
....................
...................
...................
WSH
....................
WSHWSH
WSH....................
WSHWSH
nnnn
n2n2
n1n1
1n1n
2121
1212
1n1n
2121
1111
= 0 (8-31)
Untuk n = 2, maka (8-31) menjadi:
0 WSH WSH
WSH WSH
22222121
12121111
(8-32)
154
Penyelesaian determinan (8-31) akan menghasilkan sebuah persamaan aljabar berderajat n
dalam W yang tidak diketahui. Persamaan itu mempunyai n akar yaitu W1 sampai Wn yang jika
ditata mulai yang nilainya terendah, urutannya adalah:
W1 < W2 < W3 <. . . . < Wn (8-33)
Jika kita menandai state sistem sesuai dengan urutan kenaikan energinya, maka kita peroleh:
E1 < E2 < . . . . . . < En < En+1 < . . . . . (8-34)
Kita tahu dari (8-9) bahwa:
E1 <
*
*
d
dH
Karena
*
^*
d
dH disebut W, pada W terdiri atas W1 , W2 . dst, maka kita dapat menuliskan:
E1 < W1 ; E2 < W2 ; . . . . . . . En < Wn (8-35)
dengan E1 adalah energi terendah sesungguhnya dari state (1), E2 adalah energi terendah
sesungguhnya dari state (2) dan seterusnya.
Dari uraian di atas maka kita tahu bahwa dengan metode variasi linear kita dapat
memperkirakan E1 sampai En dengan menggunakan W1 sampai dengan Wn. Apa bedanya
dengan teorema variasi pada pasal 8-1 ? Teorema variasi hanya dapat memperkirakan E1 saja.
Untuk mendapatkan aproksimasi energi yang akurat, maka kombinasi linear yang dibuat
tentu jangan hanya tiga atau empat suku saja, tetapi dapat ratusan, ribuan atau bahkan jutaan
suku kombinasi linear. Untuk itu, dukungan komputer sangat esensial untuk melakukan
kalkulasi numeriknya. Cara paling efisien untuk menyelesaikan (8-31) (yang biasa disebut
persamaan sekular) adalah dengan metode matrik.
Untuk memperoleh aproksimasi terhadap fungsi gelombang ground state-nya, kita
gunakan W1 untuk disubstitusikan pada (8-30), sehingga kita dapat memperoleh c1(1) ; c2
(1) ; c3(1)
; . . . . cn(1) . Superskrip (1) digunakan untuk menandai bahwa koefisien c1 sampai dengan cn
tersebut berhubungan dengan W1. Setelah harga c diperoleh maka kita masukkan ke dalam
fungsi aproksimasi:
155
1 = k
1
1 f
n
kkc (8-36)
Penggunaan W yang lebih tinggi (W2 , W3 dst) akan menghasilkan aproksimasi fungsi
gelombang tereksitasinya yaitu 2 3 dan seterusnya.
Contoh :
Gunakan fungsi x (a – x) untuk 0 < x < a, untuk menyusun fungsi variasi linear untuk partikel
dalam box satu dimensi. Tentukan pula energi dan fungsi gelombang state pertama sampai state
ke empat.
Jawab:
=
n
kkc
1
fk
Kita gunakan f1 = x ( a x) . Karena kita harus ingin mengaproksimasi sampai dengan n = 4
maka kita harus memilih f1 sampai dengan f4 yang harga memenuhi 0 < x < a . Tak terhingga
banyaknya f1 sampai dengan f4 yang dapat kita buat maka kita harus memilih yang peng-
integralnya sederhana. Untuk f2 kita pilih x2 (a – x)2 . Karena telah kita pilih fungsi genap untuk
f1 dan f2 maka kita harus memilih fungsi ganjil untuk f3 dan f4 agar pada pengintegralan banyak
yang hilang. kita ambil untuk f3 adalah x ( a – x ) ( ½ a – x ) dan f4 nya adalah x2( a – x )2( ½ a –
x ), jadi:
f1 = x ( a x) ;
f2 = x2 (a – x)2 ;
f3 = x ( a – x ) ( ½ a – x ) ;
f4 = x2( a – x )2( ½ a – x )
Karena f1 dan f2 genap sedang f3 dan f4 ganjil, maka:
S13 = S31 = 0 ; S14 = S41 = 0 ; S23 = S32 = 0 ; S24 = S42 = 0 (8-38)
H13 = H31 = 0 ; H14 = H41 = 0 ; H23 = H32 = 0 ; H24 = H42 = 0 (8-39)
Persamaan sekularnya adalah:
WSHWSHWSHWSH
WSHWSHWSHWSH
WSHWSHWSHWSH
WSHWSHWSHWSH
4444
3434
2424
1414
4343
3333
2323
1313
4242
3232
2222
1212
4141
3131
2121
1111
= 0
(8-37)
156
atau:
WSHWSH
00
WSHWSH
00
00
WSHWSH
00
WSHWSH
4444
3434
4343
33332222
1212
2121
1111
= 0 (8-40)
atau:
WSHWSH
WSHWSH
2222
1212
2121
1111
x WSHWSH
WSHWSH
4444
3434
4343
3333
= 0 (8-40a)
Jadi:
WSHWSH
WSHWSH
2222
1212
2121
1111
= 0 dan (8-41)
WSHWSH
WSHWSH
4444
3434
4343
3333
= 0 (8-42)
Untuk mengevaluasi W dari (8-41) dan (8-42) kita tentukan dulu masing-masing harga H dan S:
H11 = < f1 Hf1 > =
a
0
x(a – x)
m2
2
2
2
dx
d [x(a – x)] dx =
m6
a 22
S11 = < f1f1 > = a
0
[x(a – x)]2 dx = 30
a5
analog dengan itu kita peroleh:
H12 = H21 = a
0
x(a – x)
m2
2
2
2
dx
d [x2(a – x)2] dx = 2 a5/30m
H22 = 2 a7/105m ; H33 = 2 a5/40m ; H34 = H43 = 2 a7/280m
S12 = S21 = a7/140 ; S22 = a9/630 ; S33 = a7/840 ; S44 = a11/27720
S34 = S43 = a9/5040
Selanjutnya (8-41) menjadi:
W630
a
m105
a
W140
a
m30
a
W140
a
m30
a
W30
a
m6
a
972
752
752
532
= 0 (8-43)
Baris pertama dikalikan dengan 420m/a3 , baris kedua dikalikan dengan 1260m/a5 , maka (8-43)
menjadi:
157
Wa m2a12
Wa m3a14 Wa m 942
Wa m 1470 422
422
22
22
= 0 (8-44)
Jadi:
m2a4 W2 56 ma2 2 W + 252 4 = 0
sehingga (8-41) menghasilkan 2 harga W yaitu:
W = 0,1250018 2 /ma2 dan 1,293495 2 /ma2
Dengan cara yang sama, (8-42) juga menghasilkan 2 macam harga W yaitu:
W = 0,5002930 2 /ma2 dan W = 2,5393425 2 /ma2
Jika memperhatikan urutan harga W yang diperoleh, maka (8-41) menghasilkan W1 dan W3 jadi
(8-41) pasti berkorelasi dengan fungsi gelombang variasi 1 dan 3, sementara itu juga dapat
kita lihat bahwa (8-41) berhubungan dengan f1 dan f2, jadi 1 dan 3 pasti merupakan
kombinasi linear dari f1 dan f2 dan kita boleh menyatakannya dengan:
1 = 11
c f1 + 12
c f 2 3 = 31
c f 1 + 32
c f 2 (8-45)
Sementara itu, harga W yang diperoleh dari (8-42) adalah urutan ke 2 dan ke empat jadi (8-42)
menghasilkan W2 dan W4 yang pasti berkorelasi dengan fungsi gelombang variasi 2 dan 4.
Tampak pula bahwa (8-42) berhubungan dengan f3 dan f4, jadi 2 dan 4 pasti merupakan
kombinasi linear dari f3 dan f4 dan kita boleh menyatakannya dengan:
2 = 23c f 3 + 2
4c f 4 4 = 4
3c f3 + 44
c f 4 (8-46)
Catatan:
1) indek koefisien c menunjukkan fungsi f yang bersangkutan sedang superscripnya
menunjukkan energi W nya.
2) fungsi 1 adalah fungsi variasi yang berenergi W1 dan seterusnya.
Selanjutnya kita akan mengaproksimasi harga koefisien c dalam rangka menentukan fungsi
variasi. Persamaan sekular (8-41) yang berkorelasi dengan f1 dan f2 berasal dari kombinasi
persamaan:
0 cWSH0 cWSH
cWSHcWSH
22222
21212
12121
11111
(8-47)
Karena (8-47) berasal dari (8-41) maka harga W yang berhubungan adalah W1 dan W3 .
158
Untuk W = W1 maka: (8-47) menjadi:
0 H
0 H
H
H
1212222
1211212
1112121
1111111
cWS
cWS
cWS
cWS (8-48)
Untuk W = W3 maka: (8-47) menjadi:
0 H
0 H
H
H
3232222
3231212
3132121
3131111
cWS
cWS
cWS
cWS (8-49)
Jika semua harga H, S dan W yang dibutuhkan dimasukkan maka 11c ,
12c dapat diperoleh
dari (8-48) dan dari (8-49) kita dapat memperoleh harga 31
c dan 32
c sehingga
1 = 11
c f1 + 12
c f2 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)
3 = 31
c f1 + 32
c f2 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)
Harga c untuk 2 dan 4 diperoleh dengan cara yang sama tetapi bertolak dari (8-42).
Persamaan sekular (8-42) yang berkorelasi dengan f3 dan f4 berasal dari kombinasi persamaan:
0 cWSH0 4cWSH
cWS24HcWSH
44444
3434
343
33333
(8-50)
Karena (8-50) berasal dari (8-42) maka harga W yang berhubungan adalah W2 dan W4 .
Untuk W = W2 maka: (8-50) menjadi:
0 cWSH
0 cWSH
cWS24H
cWSH
2424444
2423434
23243
2323333
(8-51)
Untuk W = W4 maka: (8-50) menjadi:
0 cWSH
0 cWSH
c4WS24H
cWSH
4444444
4443434
4343
4343333
(8-52)
Jika semua harga H, S dan W yang dibutuhkan dimasukkan maka 23c , 2
4c dapat diperoleh
dari (8-51) dan dari (8-52) kita dapat memperoleh harga 43
c dan 43
c sehingga
2 = 23
c f3 + 24
c f4 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)
159
3 = 43
c f4 + 43
c f4 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)
8.3 Matrik, Nilai Eigen dan Vektor Eigen
Matrik diperkenalkan oleh ahli hukum dan matematisi Arthur Cayley untuk mencari
jalan pintas dalam menangani kombinasi fungsi linear dan transformasi linear dari sebuah
himpunan variabel menjadi himpunan yang lain.
Anggap saja kita mempunyai n buah persamaan linear dengan n buah variabel, yaitu:
a11x1 + a12x2 . . . . . . . . . . a1nxn = b1
a21x1 + a22x2 . . . . . . . . . . a2nxn = b2
a31x1 + a32x2 . . . . . . . . . . a3nxn = b3 (8-53)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
an1x1 + an2x2 . . . . . . . . . . annxn = bn
Dalam bahasa matrik himpunan (8-53) tersebut dapat ditulis:
n
3
2
1
n
3
2
1
nn
n3
n2
n1
2n
32
22
12
1n
31
21
11
b.......bbb
x.......xxx
a.......aaa
.......
.......
.......
.......
.......
a.......aaa
a.......aaa
(8-54)
A x= b (8-55)
dengan A adalah matrik koefisien sedang x dan b adalah matrik kolom. Kesamaan antara (8-53)
dan (8-54) dapat dengan mudah dibuktikan melalui perkalian matrik A dengan x. Matrik A
merupakan matrik bujur sangkar, sehingga determinannya dapat ditentukan, Jika det.A 0
maka A disebut nonsingular. Jika A1 adalah invers dari A, maka antara keduanya berlaku
hubungan:
AA1 = A1A = 1 (8-56)
Jika matrik A nonsingular, maka seandainya (8-55) dikalikan dengan A1 diperoleh A1 (Ax) =
A1b. Karena perkalian matrik bersifat asosiatif, maka A1 (Ax) = (A1A) x = x sehingga:
x = A1b (8-57)
Persamaan (8-57) merupakan solusi dari himpunan (8-53)
160
Metode variasi linear merupakan metode yang hampir selalu dipergunakan untuk memperoleh
aproksimasi fungsi gelombang molekul dan matrik menawarkan cara yang paling efisien untuk
mencari penyelesaian terhadap persamaan-persamaan dalam metode variasi.
Jika fungsi f1 , f2 . . . . fn dalam fungsi variasi linear =
n
1k
ck fk adalah ortonormal,
maka S1j = ij =
j i jika 1j i jika 0
sehingga persamaan (8-30) dapat ditulis:
H11c1 + H12c2 . . . . . . + H1ncn = Wc1
H21c1 + H22c2 . . . . . . + H2ncn = Wc2
H31c1 + H32c2 . . . . . . + H3ncn = Wc3 (8-58)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Hn1c1 + Hn2c2 . . . . . . + Hnncn = Wcn
dan dalam bahasa matrik (3-6) dapat ditulis:
n
3
2
1
n
3
2
1
nn
n3
n2
n1
2n
32
22
12
1n
31
21
11
c.......ccc
W
c.......ccc
H.......HHH
.......
.......
.......
.......
.......
H.......HHH
H.......HHH
(8-59)
B c = Wc (8-60)
dengan H adalah matrik bujur sangkar yang elemen matriknya Hij = < fiĤfj > dan c adalah
vektor kolom dari koefisien c1 , c2 , . . .cn. Dalam (8-60) H adalah matrik yang diketahui, c dan
W belum diketahui dan akan dicari penyelesaiannya.
Jika kita mempunyai relasi:
A c = c (8-61)
dengan A adalah matrik bujur sangkar dan c adalah vektor kolom yang paling tidak ada satu
elemennya yang tidak nol, dan adalah skalar, maka c disebut vektor eigen dari matrik A dan L
disebut nilai eigen dari matrik A.
Komparasi antara (8-60) dan (8-61) menunjukkan bahwa sebenarnya penyelesaian
problema variasi linear dengan Sij = ij adalah problema penentuan nilai eigen dan vektor eigen
dari matrik H yang nilai eigennya adalah W dan vektor eigennya adalah c.
161
Catatan: Jika c adalah vektor eigen dari matrik A, maka jelas bahwa k c pasti juga vektor eigen dari A (sudah tentu jika k konstan). Jika k dipilih sedemikian rupa sehingga:
n
1i
2ic = 1 (8-62)
maka vektor kolom c disebut ternormalisasi. Dua buah vektor kolom b dab c yang masing-masing mempunyai n elemen disebut ortogonal jika :
n
1ii
*i cb = 0 (8-63)
Sekarang marilah kita perhatikan persamaan eigen (8-60) yang mempunyai n nilai eigen yaitu
W1, W2 . . . . Wn dan mempunyai n vektor eigen yaitu c1 , c2 . . . . . . cn sedemikian rupa
sehingga:
Hc( i ) = Wic( i ) i = 1, 2, 3, . . . . . . n (8-64)
dengan c( i ) adalah vektor kolom matrik H yang elemen-elemennya adalah i1
c , i2
c . . . . inc .
Selanjutnya marilah kita buat matrik C yang elemen-elemennya adalah vektor eigen matrik H,
dan kita buat matrik W yang merupakan matrik diagonal yang elemen diagonalnya nilai eigen
matrik H. Jadi:
C =
nn
n
n
nn c
c
c
c
c
c
c
c
c
. . . . .
........
. . . . .
........
.........
. . . . .
. . . . .
2
1
2
22
21
1
12
11
W =
n
21
W. . . . .
00
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
0. . . . .
W0
0. . . . .
0W
(8-65)
Ternyata Himpunan persamaan nilai eigen (8-64) dapat ditulis:
HC = CW (8-66)
Jika masing-masing ruas (8-66) kita kalikan C1 maka diperoleh:
C1HC = W (8-67)
Beberapa Istilah Matrik:
1. Matrik Simetrik
162
Matrik bujur sangkar B adalah Matrik Simetrik jika elemen bij = bji. Contoh:
B =
0
i355
3i-5
3i2
527
2. Matrik Hermitian
Matrik bujur sangkar D adalah matrik Hermitian jika elemen d ij = d*ij . Contoh:
D =
0i35
5
3i-53i2i
5i2
7
3. Matrik ortogonal
Matrik ortogonal adalah matrik yang transposenya = inversnya
4. Unitary Matrix
Matrik yang inversnya sama dengan konjugate transposenya atau U1 = U†
Orang dapat membuktikan bahwa dua vektor eigen dari matrik Hermitian H yang
berhubungan dengan nilai eigen yang berbeda adalah ortogonal (Levine, 1998) Untuk vektor
eigen dari H yang nilai eigennya sama, orang dapat membuat kombinasi linear di antara mereka
untuk mendapatkan vektor eigen yang ortogonal bagi H. Lebih lanjut, vektor eigen yang tak
ternormalisasi dapat dikalikan dengan suatu bilangan konstan agar menjadi vektor eigen
ternormalisasi. Dengan demikian, vektor eigen dari matrik Hermitian dapat dipilih dan
dijadikan ortonormal. Jika vektor eigen yang dipilih adalah ortonormal, maka vektor eigen
matrik C dalam (8-65) unitary matrix, sehingga C1 = C†, sehingga (8-67) menjadi:
C† HC = W jika Ĥ Hermitian (8-68)
Dengan C† adalah transpose dari konjugate-nya C.
Jika Ĥ real dan simetrik maka berlaku hubungan:
C HC = W jika Ĥ real dan simetrik (8-69)
Berikut ini adalah beberapa istilah dan notasi matrik:
Nama Matrik Notasi Cara mendapatkannya
Transpose A A Mengubah semua baris matrik a menjadi kolom
kompleks konjugasi dari A A* Mengganti semua elemen matrik
163
A dengan kompleks konjugasinya
Konjugasi transpose atau Konjugasi Hermit
A�
(A dagger)
(A*) ; Dicari konjugasi A, lalu di transpose.
Adjoint A atau adjugasi A ^
adj A atau A
Semua elemen A diganti dengan kofaktornya kemudian ditranspose
Inversi A A1 Bagilah semua elemen dari adj. A
dengan det.A
Contoh:
Tentukan nilai eigen dari matrik Hermitian:
0
2
i 2-
3
iA .
Jawab: Persamaan karakteristik jika nilai eigennya dimisalkan menurut (8-61) adalah :
det ( aij - ij ) = 0. Jadi:
i 2 i 2-3 = 0
2 4 = 0 1 = 4 dan 2 = 1
Untuk 1 = 4, himpunan persamaan simultan (8-58) H dan W berturut-turut diganti dengan A
dan adalah:
(3 1))1(
1c + 2 i)1(
2c = 0
2i)1(
1c 1)1(
2c = 0
atau:
)1(
1c + 2 i)1(
2c = 0
2i)1(
1c )1(
2c = 0
sehingga:
)1(
1c = 2 i)1(
2c
Normalisasinya menghasilkan:
164
1 = 2)1(
1 c + 2)1(
2 c = 42)1(
2 c + 2)1(
2 c = 52)1(
2 c
2)1(
2 c = 5
1 ;
)1(2c = 5/1 ; 51/
)1(2 c
)1(
1c = 2 i)1(
2c = 5/2
Dengan cara yang sama untuk 2 = 1, diperoleh:
)2(
1c = 5/i ; 52/ )2(
2 c
Matrik vektor eigen ternormalisasinnya adalah:
51/
5 /2i )1(c ;
52/
5 /i )2(c
Soal Bab 8
1. Gunakan fungsi variasi = ecr untuk atom hidrogen; pilihlah parameter c untuk
meminimalkan integral variasi dan hitunglah % error integral variasional terhadap energi
ground state hidrogen yang sesungguhnya .
2. Jika fungsi variasi ternormalisasi = x2/13/3 untuk 0 x diaplikasikan pada sister
partikel dalam box, kita akan mendapatkan bahwa integral variasionalnya sama dengan nol,
dan ini berarti lebih kecil dari pada energi ground state yang sesungguhnya. Bagaimana
dengan hal ini ?
3. Untuk partikel dalam box tiga dimensi yang sisi-sisinya a, b dan c, tulislah fungsi variasi
yang merupakan perluasan dari fungsi satu dimensi = x x yang digunakan pada sub
bab 8.1. Gunakan integral (8-12) dan persamaan yang menyertainya untuk mengevaluasi
integral variasional pada kasus tiga dimensi. Tentukan % error-nya.
4. (a) Diketahui sebuah sistem partikel tunggal satu dimensi dengan energi potensial:
V = b untuk ¼ x ¾ dan V = 0 untuk 0 x ¼ dan ¾ x .
dan di luar itu V = (b konstan). Gunakan fungsi variasi 1 = x/sin/2 2/1 untuk
x0 untuk meng-estimasi energi ground state untuk b = 22 / m dan bandingkan
165
hasilnya dengan energi ground state yang sesungguhnya yaitu E = 5,750345 22 / m .
Untuk menghemat waktu dalam mengevaluasi integral, perlu diingat bahwa <1 H
1> =
<1 T
1> + <1 V 1> , dan jelaskan mengapa <1 T
1> persis sama dengan energi
ground state partikel dalam box yaitu 22 8/ mh .
(b) Untuk sistem dan kasus yang sama gunakan fungsi variasi = x x .
5. Sebuah partikel berada dalam box sperik yang radiusnya b, energi potensialnya V = 0 dan
untuk 0 r b dan V = untuk r > b. Gunakan fungsi variasi = b r untuk 0 r b
dan = 0 untuk r > b untuk mengestimasi energi ground statenya dan bandingkan dengan
nilai yang sesungguhnya yaitu 22 8/ mbh .
6. Sebuah osilator satu dimensi mempunyai V = cx2 dengan c konstan. Rancanglah fungsi
variasi dengan sebuah parameter untuk sistem itu, dan tentukan nilai optimum untuk
parameter itu untuk meminimalkan integral variasional, dan estimasilah energi ground state.
7. Untuk partikel dalam box yang panjangnya , gunakan fungsi variasi = kk xx untuk
0 r . Kita akan membutuhkan integral berikut:
)2(
1)(t )1( 1ts1
0
ts
sdxxx ts
dimana fungsi gamma mengikuti relasi (z + 1) = z(z). Adanya fungsi gamma tersebut,
tidak perlu membuat anda risau, karena fungsi gamma tersebut akan hilang sendiri.
(a) Buktikan bahwa integral variasionalnya adalah 12/4/ 222 kkkm
(b) Tentukan nilai optimum dari k dan tentukan pula % error terhadap energi ground state
untuk nilai k ini.
8. Gunakan fungsi variasi = )/(1 22 xa pada osilator harmonik satu dimensi. Pilihlah harga
a untuk meminimalkan integral variasional dan tentukan % errornya. Beberapa bentuk
integral yang dibutuhkan adalah:
03222 4a
1
dx
ax
;
05322 16a
3
1 dx
ax
166
0222
2
4a
dx
ax
x ;
05422
2
4a
dx
ax
x
9. Pada tahun 1971, melalui sebuah karya ilmiah dipublikasikan bahwa aplikasi fungsi variasi
ternormalisasi N. o22 cr/a / oabre untuk atom hidrogen dengan meminimalkan parameter b
dan c menghasilkan energi 0,7 % di atas energi ground state yang sesungguhnya. Tanpa
melakukan kalkulasi apapun berikan penjelasan bahwa pernyataan itu pasti salah.
10. Untuk atom hidrogen ground state, gunakan fungsi variasi Gauss = 22 / oacre . Tentukan
nilai optimum c dan % error energinya.
11. Dengan metode Gauss, selesaikan kombinasi persamaan linear berikut:
X1 X2 + 4 X3 + 2 X4 = 16
X1 X3 + 4 X4 =
X1 + X2 + X3 X4 = 8
4 X1 + 6 X2 + 2 X3 + X4 = 3
12. Tentukan A* , A dan A� dari:
A
241
212
037
i
ii
13. a) Tentukan nilai eigen dan vektor eigen ternormalisasi dari:
1
2
2
2 A
b) Apakah matrik A real dan simetrik ?
c) Apakah matrik A Hermitian ?
d) apakah matrik vektor eigen C ortogonal
e) buktikan bahwa C1AC adalah matrik diagonal yang elemennya nilai eigen.
14. Tentukan nilai eigen dan vektor eigen ternormalisasi dari matrik
167
A
242
050
201
===000===
BAB IX
METODE PERTURBASI
9.1 Pengantar
Sekarang kita akan membahas metode aproksimasi penting kedua dalam mekanika
kuantum setelah metode variasi yaitu metode perturbasi atau metode gangguan atau metode
Simpangan. Jika seandainya kita mempunyai sistem dengan Hamiltonian bebas waktu Ĥ dan
kita tidak mungkin menyelesaikan secara eksak persamaan Schrodinger:
Ĥn = En n (9-1)
untuk mendapatkan fungsi dan nilai eigennya, dan jika Ĥ hanya berbeda sedikit dengan operator
Hamilton Ĥ0 dari suatu sistem yang persamaan Schrodinger-nya yaitu:
Ĥ0 n(0) = E n
(0) n(0) (9-3)
yang dapat diselesaikan dengan pasti, maka sistem dengan Ĥ disebut sistem terperturbasi
sedang sistem dengan Ĥ0 disebut sistem takterperturbasi.
Sebagai contoh sistem perturbasi adalah sistem osilator takharmonis yang Ĥ nya adalah::
Ĥ = m2
2
2
2
dx
d + ½ k x2 + c x3 + d x4 (9-3)
Hamiltonian (9-3) tersebut tidak berbeda jauh dengan Hamiltonian dari sistem osilator
harmonis:
Ĥ0 = m2
2
2
2
dx
d + ½ k x2 (9-4)
168
Jika tetapan c dan d pada (9-3) itu kecil, maka diperkirakan bahwa fungsi dan nilai eigen dari
osilator takharmonis tidak terlalu jauh dengan yang harmonis. Jika perbedaan antara Ĥ dan Ĥ0
kita sebut Ĥ' . Perbedaan Hamiltonian ini kita sebut perturbasi. Jadi Perturbasi kita definisikan
dengan:
Ĥ' = Ĥ – Ĥ0 (9-5a)
jadi:
Ĥ = Ĥ0 + Ĥ' (9-5b)
(Awas tanda ' tidak berhubungan dengan differensial). Untuk contoh osilator takharmonis
dengan Hamiltonian (9-3), perturbasinya dikaitkan dengan osilator harmonis adalah:
Ĥ' = c x3 + d x4 (9-6)
Yang menjadi tugas kita adalah menyatakan fungsi dan nilai eigen dari sistem yang
terperturbasi (yang tidak diketahui) dinyatakan dalam fungsi dan nilai eigen sistem yang
takterperturbasi (yang dapat diketahui). Dalam menangani kasus ini, kita akan membayangkan
bahwa perturbasi berlangsung secara gradual, artinya perubahan dari takterperturbasi menjadi
terperturbasi berlangsung secara continous atau berangsur-angsur (tidak mendadak/spontan).
Secara matematika, hal seperti ini berarti memasukkan parameter kedalam Hamiltonian dalam
bentuk relasi sebagai berikut:
Ĥ = Ĥ0 + Ĥ' (9-7)
Jika = nol, maka kita mempunyai sistem takterperturbasi. Seiring dengan meningkatnya ,
maka perturbasi akan tumbuh semakin besar, dan jika = 1, maka dikatakan perturbasi aktif
secara penuh (fully turned on).
9.2 Teori Perturbasi Nondegenerate
Teori perturbasi untuk energi degenerate dan nondegenerate adalah berbeda. Sekarang
kita akan membahas yang nondegenerate lebih dulu. Jika n(0) adalah fungsi gelombang dari
sebuah partikel takterperturbasi nondegenerate dengan energi En(0), dan jika n adalah fungsi
169
gelombang terperturbasi menjadi n(0) , maka untuk sistem terperturbasi, persamaan
Schrodinger-nya adalah:
Ĥn = (Ĥ0 + Ĥ') n = En n (9-8)
Karena Hamiltonian (9-8) tersebut bergantung pada parameter , maka n dan En merupakan
fungsi . Jadi:
n = n(q) dan En = En()
dengan q adalah koordinat sistem. Sekarang n dan En akan kita ekspansi sebagai deret Taylor
dalam (artinya deret pangkat ).
n =
0k
k
0-k
nk
!k
d
d
= 0-n
+
0
n
d
d+
! 2d
d 2
02n
2
(9-9)
En =
0k
k
0-kn
k
!k
d
Ed
= 0-n E
+
0
n
d
E d+
! 2d
Ed 2
02n
2
(9-10)
Selanjutnya agar penulisannya ringkas, !k
k
0-
k
nk
d
dditulis n
(k) dan
!k
k
0-
kn
k
d
Edditulis En
(k) jadi:
Sehingga untuk k = 0, maka:
n(0) =
! 0d
d 0
00n
0
= 0-n
. (9-11a)
En(0) =
! 0d
Ed 0
00n
0
= 0-n E
(9-11b)
170
dan k = 1, 2, 3 . . . . .
n(k) =
!k
1
d
d
0k
nk
k = 1, 2 . . . . (9-12a)
En(k) =
!k
1
d
Ed
0kn
k
k = 1, 2, . . . (9-12b)
sehingga (9-9) dan (9-10) dapat ditulis:
n = n(0) + n
(1) + 2n(2) + 3 n
(3) + . . . .kn(4) + . . . . (9-13)
En = En(0) + En
(1) + 2En(2) + 3En
(3) + . . . . + kEn(k) + . . . . (9-14)
n(k) dan En
(k) disebut koreksi order k terhadap fungsi gelombang dan energi. Kita akan
mengasumsikan bahwa deret (9-13) dan (9-14) adalah konvergen untuk = 1 dan kita berharap
bahwa untuk perturbasi (simpangan) yang kecil, suku-suku awal deret akan memberikan
aproksimasi yang bagus bagi fungsi gelombang dan energi yang sesungguhnya.
Kita ambil n(0) ternormalisasi, jadi < n
(0) n(0)> = 1. Tanpa harus menganggap bahwa
n ternormalisasi, kita mensyaratkan agar:
< n(0) n> = 1
Jika n tidak mengikuti < n(0)n> = 1, maka hasil kali n dengan konstanta 1/<n
(0)n>
akan menghasilkan fungsi gelombang terperturbasi yang jauh dari properti seharusnya.
Kondisi < n(0) n> = 1 ini disebut normalisasi intermediate. Perlu dicatat bahwa hasil
kali n dengan konstanta tidak akan mengubah harga energi dalam persamaan Schrodinger :
Ĥn = Enn sehingga penerapan normalisasi intermediate tidak berpengaruh terhadap hasil
koreksi energi.
Substitusi (9-13) ke dalam normalisasi intermediate < n(0) n> = 1 menghasilkan:
1 = < n(0) n
(0) > + < n(0)n
(1) > + 2< n(0) n
(2) > + . . . . .
Karena < n(0) n
(0) > pasti = 1, maka < n(0)n
(1) > + 2< n(0) n
(2) > + . . . . .= 0. Karena
pasti tidak nol, maka:
< n(0)n
(1) > = < n(0) n
(2) > = 0 dst (9-15)
171
Dari (9-15) itu tampak bahwa koreksi pada fungsi gelombang n(k) adalah ortogonal terhadap
n(0) jika normalisasi intermediate dipergunakan.
Substitusi (9-13) dan (9-14) ke dalam (9-8) menghasilkan:
(Ĥ0 + Ĥ' ) (n(0) + n
(1) + 2n(2) + 3 n
(3) + . . .)
= (En(0) + En
(1) + 2En(2) + 3En
(3) + . . .) (n(0) + n
(1) + 2n(2) + 3 n
(3) + . . .)
Suku-suku yang pangkat nya sama dikumpulkan, hingga menjadi:
Ĥ0 n( 0) + ( Ĥ'n
(0) + Ĥ0n(1) ) + 2 ( Ĥ'n
(2) + Ĥ0n(1) ). . .
= En(0)n
(0) + (En(1)n
(0)+ En(0)n
(1) + 2 (En
(2)n(0) + En
(1)n(1) + En
(0)n(2)
) . . .
(9-16)
Sekarang (dengan asumsi konvergen) maka suku-suku yang berderajat sama dari kedua
ruas persamaan (9-16) bernilai sama untuk sembarang harga . Dari suku 0 diperoleh:
Ĥ0 n( 0)= En
(0)n( 0) (9-17)
Dari suku diperoleh:
( Ĥ'n(0) + Ĥ0n
(1) ) = (En(1)n
(0)+ En(0)n
(1) atau:
Ĥ0n(1) En
(0)n(1) = En
(1)n( 0) Ĥ'n
(0) (9-18)
Koreksi Energi Order Pertama
Untuk mendapatkan harga En(1) , kita kalikan (9-18) dengan m
(0)* kemudian
diintegralkan ke seluruh ruang, sehingga menjadi:
m(0)Ĥ0n
(1) > En(0) <m
(0)n(1)> = En
(1)<m(0)n
( 0)> <m(0)Ĥ'n
(0)>
(9-19)
Operator Ĥ(0) adalah Hermitian, sehingga suku pertama ruas kiri (9-19) adalah::
m(0)Ĥ0n
(1) > = n(1)Ĥ0m
(0)>* = n(1)Ĥ0m
(0)>*
= n(1)Em
(0)* m(0)>* = Em
(0)m(0) n
(1) > (9-20)
Substitusi (9-20) ke dalam (9-19) menghasilkan:
Em(0)n
(1)m(0)> En
(0) <m(0)n
(1)> = En(1)<m
(0)n( 0)> <m
(0)Ĥ'n(0) >
172
atau:
Em(0) En
(0) ) <m(0)n
(1)> = En(1)<m
(0)n( 0)> <m
(0)Ĥ'n(0) >
(9-21)
Jika m = n, maka ruas kiri (9-21) menjadi nol sedang <m(0)n
( 0)> = <n(0)n
( 0)> =
<m(0)m
( 0)> = 1, jadi:
0 = En(1) <n
(0)Ĥ'n(0) > atau:
En(1) <n
(0)Ĥ'n(1) > = ∫n
(0)* Ĥ'n(0) d H'nn (9-22)*b
Kesimpulan:
Koreksi order pertama terhadap energi diperoleh dengan merata-rata perturbasi Ĥ’
dengan mengacu pada fungsi takterperturbasi yang bersangkutan.
Jika koreksi terhadap energi sudah diperoleh maka energi sistem terperturbasi En adalah:
En = En(0) + En
(1) (9-23)
dengan En = energi sistem terperturbasi (yang diaproksimasi) ; En(0) = energi sistem tak
terperturbasi dan En(1) = koreksi energi order pertama.
Contoh:
Untuk osilator tak harmonis yang hamiltoniannya adalah Ĥ= 22
22kx
2
1
dx
d
m2
+ px3+
qx4, tentukan (a) koreksi order pertama untuk energi ground state, dan (b) tentukan energi
ground state untuk osilator tak harmonis tersebut.
Jawab:
a) Untuk osilator harmonis, energi ground state adalah E0 = ½ h . Koreksi order pertama untuk
energi ground sate yang ditanyakan adalah E0(1). Menurut (9-22):
En(1) =∫n
(0)* Ĥ'n(0) d jadi:
E0(1) =
~
~ 0
(0)* Ĥ'0(0) dx
173
dengan :
0(0)= fungsi gelombang tak terperturbasi (osilator harmonis) ground state =
(/)1/42 x)2/(e
Ĥ' = Ĥ – Ĥ0 = ( 22
22kx
2
1
dx
d
m2
+ px3+ qx4) – ( 2
2
22kx
2
1
dx
d
m2
) = px3+ qx4
jadi:
E0(1) =
~
~ (/)1/4
2 x)2/(e ( px3+ qx4 ) (/)1/4 2 x)2/(e dx atau
E0(1) =
~
~ ( px3+ qx4 ) (/)1/2
2 xe dx = (/)1/2
~
~ ( px3+ qx4 )
2 xe dx
= (/)1/2
~
~ px3
2 xe dx + (/)1/2
~
~ qx4
2 xe dx
~
~ px3
2 xe dx adalah integral fungsi ganjil dengan batas ~ s/d +~ = 0. jadi:
E0(1) = 0 + (/)1/2
~
~ qx4
2 xe dx
= 2q ~
0
x4 2 xe dx =
2 4
q3
Koreksi Fungsi Gelombang Order Pertama
Untuk m n, persamaan (9-21) menjadi:
( )()( on
om EE ) <m
(0)n(1)> = <m
(0) 'H
n(0) > m n (9-24)
Untuk memperoleh n(1), kita mengekspansinya ke dalam suku-suku yang terdiri atas himpunan
fungsi eigen tak terperturbasi m(0) dari operator hermitian oH
:
n(1) =
m
omnma , dengan 1
nom nma (9-25)
Dengan menggunakan 1n
om nma , persamaan (9-24) menjadi:
174
( )()( on
om EE ) nma = o
no
m H '
m n
atau:
nma = )()(
'
om
on
on
om
EE
H
=)()(
'o
mo
n
mn
EE
H
(9-26)
Koefisien nma pada ekspansi (9-25) dinyatakan dalam bentuk (9-26), kecuali untuk nna , yaitu
koefisien dari om . Dari persamaan kedua pada (9-25), dapat dinyatakan bahwa
)1()( no
nnna . Ingat bahwa pemilihan normalisasi intermediate untuk n , membuat
)1()( no
n = 0 [persamaan (9-15)]. Karena itu, )1()( no
nnna = 0, sehingga (9-25) dan
(9-26) memberikan koreksi order pertama terhadap fungsi:
nm
omo
mo
n
on
om
nEE
H)(
)()(
)1( '
(9-27)
Arti lambang nm
adalah kita menjumlah semua state tak terperturbasi kecuali state n.
Dengan menggunakan harga = 1 dalam (9-13) dan menggunakan koreksi fungsi
gelombang order pertama, kita mempunyai sebuah aproksimasi terhadap fungsi gelombang
perturbasi yaitu:
nm
omo
mo
n
on
omo
nnEE
H)(
)()()(
'
(9-28)
Secara ringkas dapat ditulis koreksi untuk orde pertama:
En = En(0) + H'nn = En
(0) + En(1)
nm
omo
mo
n
mnonn
EE
H )(
)()(
')( = )(o
nn )1(n
Contoh aplikasi Teori Perturbasi
Jika Hamilton Perturbasi Ĥ' adalah
Ĥ' = 1Va
x dan n =
a
xn
a
sin
22/1
,
175
Dimana V1 adalah ketinggian potensial pada x = a. Koreksi orde pertama pada energi level ke-n
persamaan (9-22)*b adalah
En(1) =
nn
a
Vx 1
= dxa
xn
ax
a
xn
aa
V a
sin
2sin
2
0
2/12/11
= 212
a
V dx
a
xnx
a
.sin.0
2
= 12
1V
Tampak untuk perturbasi orde pertama menaikkan energi semua level sebesar 12
1V
Jadi En = En(0) + H'nn = En
(0) + En(1) = En
(0) + 12
1V
Koreksi orde pertama fungsi gelombang diberikan oleh persamaan (9-26) dan untuk problem ini
amk=
00
012
sinsin2
km
a
EE
dxa
xm
a
xkxV
a
Denominatornya = 12222
2
2
8Ekmkm
ma
h
Untuk mengevaluasi integral kita gunakan relasi trigonometrik
coscos2
1sinsin
Kita substitusikan ke H'km
H'km =
012
coscos1
dyymkymkyV
= 12
1V
)(
0
)(
0 22cos
1cos
1 mkmkydyy
mkzdzz
mk
=
2212
221
mkmkV
== (k-m, k+m ganjil)
=
2212
112
mkmkV
176
H'km = 0 == (k-m, k+m genap)
Misal m adalah keadaan energi terendah 1 . Aplikasinya adalah
H'21 = 121
221218.0
9
16
1
1
3
12V
VV
H'31 = 0
H'41 = 121
22120144.0
225
32
3
1
5
12V
VV
H'51 = 0, dan seterusnya.
Perhatikan integral H'21 = -0,18V1, sedangkan denominatornya adalah
11220
201 3)21( EEEE
11220
401 15)41( EEEE
Sehingga
a12 =
1
1
1
1 06,03
18,0
E
V
E
V
a12 = a15 =…..= 0
a14 =
1
1
1
1 0096,015
0144,0
E
V
E
V
Sehingga
1 = 04
1
102
1
101 0096.006,0
E
V
E
V
Koreksi Energi Order Kedua
Jika koefisien 2 pada (9-16) disamakan, kita akan memperoleh:
'H )1(
n + oH )2(
n = )2(nE )(o
n + )1(nE )1(
n + )(onE )2(
n
atau:
oH )2(
n )(onE )2(
n = )2(nE )(o
n + )1(nE )1(
n 'H )1(
n (9-29)
Perkaliannya dengan *)(om , dilanjutkan dengan integrasi seluruh ruang, menghasilkan:
177
)2()( noo
m H
)(onE )2()( n
om
= )2(nE )()( o
no
m + )1(nE )1()( n
om ' )( Ho
m
)1(
n (9-30)
Integral )2()( noo
m H
dalam persamaan tersebut persis sama dengan integral dalam (9-20),
tetapi )1(n diganti dengan )2(
n . Penggantian )1(n oleh )2(
n , membuat persamaan (10-20)
menjadi:
)2()( noo
m H
= )(omE )2()( n
on (9-31)
Penggunaan (9-31) disertai dengan ortonormalitas fungsi tak terperturbasi pada (9-30)
menghasilkan:
)(omE )2()( n
on )(o
nE )2()( no
m
= )2(nE )()( o
no
m + )1(nE )1()( n
om ' )( Ho
m
)1(
n
atau:
( )(omE )(o
nE ) )2()( no
m
= )2(nE mn + )1(
nE )1()( no
m ' )( Hom
)1(
n (9-32)
Untuk m = n, ruas kiri (9-32) menjadi nol, dan kita memperoleh:
0 = )2(nE ' )( Ho
n
)1(
n
atau:
)2(nE = ' )( Ho
n
)1(
n (9-33)
Jika kita mengamati persamaan (9-33), maka tampaknya untuk dapat mengkalkulasi koreksi
order kedua untuk energi, kita harus sudah mempunyai koreksi order pertama untuk fungsi
gelombang. Namun fakta menunjukkan bahwa pemahaman akan )1(n sudah cukup pula untuk
menentukan )3(nE . Sehingga secara lebih umum dapat dinyatakan, bahwa jika kita sudah
mempunyai koreksi ke-k untuk fungsi gelombang, maka kita sudah dapat menentukan koreksi
ke (2k + 1) untuk energi (Bates, 1961).
178
Substitusi (9-27) untuk )1(n ke dalam (10-33) menghasilkan:
)2(nE = ' )( Ho
n
nm
omo
mo
n
on
om
EE
H)(
)()(
'
Karena
nmo
mo
n
on
om
EE
H
)()(
'
adalah ma dan nilainya konstan, tentu saja dapat dikeluarkan dari
tanda integral, sehingga :
(o)m
)(
)()(
)2( ' '
HEE
HE
nm
ono
mo
n
on
om
n
(9-34)
Karena H
bersifat hermitian, maka:
(o)n
)( ' Hom
(o)
m)( ' Ho
n
= (o)
n)( ' Ho
m
= 2(o)
n)( ' Ho
m
sehingga (9-34) menjadi:
nmo
mo
n
on
om
nEE
HE
)()(
2
)2( '
= nm
om
on
m
EE
H
)()(
2'n
(9-35)
yang merupakan pernyataan )2(nE yang diinginkan, yang dinyatakan dalam terminologi fungsi
gelombang dan energi.
Aplikasi )2(nE ke dalam (9-14) dengan = 1 adalah aproksimasi state energi perturbasi,
yaitu:
nm
nno
nn HHEE2'
n m'
)( (9-35)
yang integralnya meliputi fungsi gelombang tak terperturbasi yang ternormalisasi.
Formula untuk koreksi energi order yang lebih tinggi tidak dibahas dalam buku ini,
tetapi yang berminat dapat mempelajarinya dari Bates, 1961 halaman 181-185. Bentuk
perturbasi yang kita bahas dalam sub bab ini disebut teori perturbasi RayleighSchrodinger.
179
Diskusi. Persamaan (9-28) menunjukkan bahwa efek perturbasi pada fungsi gelombang )(on
diinfiltrasi oleh konstribusi dari state lain yaitu )(om , nm . Dengan adanya faktor
)/(1 )()( om
on EE , konstribusi terbesar terhadap fungsi gelombang terperturbasi datang dari state
energi terdekat dengan state n.
Untuk mengevaluasi koreksi order pertama untuk energi, kita cukup hanya dengan
mengevaluasi 'nn H , sedang untuk mengevaluasi koreksi energi order kedua, kita harus
mengevaluasi elemen matrik 'H
antara state ke-n dan seluruh state m yang lain, dan kemudian
malakukan penjumlahan sebagaimana (9-35). Dalam banyak kasus, adalah sangat tidak
mungkin untuk mengevaluasi koreksi energi order kedua secara eksak. Apalagi untuk order
ketiga atau yang lebih tinggi, tentu akan jauh lebih sukar, meski dengan bantuan komputer
sekalipun.
Penjumlahan dalam (9-28) dan (9-36) adalah jumlah meliputi state-state yang berbeda.
Jika beberapa level energi adalah degenerate, maka kita harus menjumlahkan semua fungsi
gelombang yang saling independen sehubungan dengan level degenerate tersebut.
Alasan mengapa kita melakukan penjumlahan sebagaimana (9-28) dan (9-36) adalah
karena kita memerlukan himpunan lengkap fungsi-fungsi untuk melakukan ekspansi (9-25) dan
oleh karena itu kita harus melibatkan semua fungsi gelombang linear independen dalam
penjumlahan. Jika problem tak terperturbasi melibatkan fungsi gelombang kontinum (misal
kasus atom hidrogen), maka kita juga harus menyertakan integrasi terhadap fungsi kontinum
itu. Jika )(o menyatakan fungsi gelombang kontinum tak terperturbasi dengan energi )(oE ,
maka (9-27) dan (9-35) menjadi:
nm
omo
mo
n
on
om
nEE
H)(
)()(
)1( '
+
)((o)
)()(
'n o
oon
E dEEE
H
)2(nE =
nmo
mo
n
m
EE
H
)()(
2'n
+
)(
)()(
'n o
oon
E dEEE
H
180
dengan (o)n
)((o)n ' HH o
E
. Integral pada persamaan-persamaan tersebut adalah meliputi
rentang state energi kontinum (misal dari nol sampai tak terhingga pada atom hidrogen).
Keberadaan state kontinum dalam problem tak terperturbasi membuat evaluasi terhadap )2(nE
menjadi lebih rumit lagi.
Aplikasi koreksi orde kedua
Jika fungsi )0(k dan )0(
m adalah real, integral H'km dan H'mk adalah sama. Ekspresi koreksi energi
untuk orde kedua adalah
)2(mE =
k km
mk
EE
H00
2
Dengan menggunakan harga elemen matriks yang didapat di atas kita dapat memperoleh koreksi E1 orde kedua
)2(1E =
1
21
1
21
15
)0144,0(
3
)180,0(
E
V
E
V
= 1
21
1
21 0000139,00109,0
E
V
E
V
-0,01091
21
E
V
Energi E1 adalah koreksi orde kedua, sehingga
E1 = E10 + 0,500V1 – 0,0109
1
21
E
V
Metode Variasi-Perturbasi
Metode variasi-perturbasi memungkinkan kita melakukan estimasi dengan hasil lebih
akurat terhadap )2(nE dan teori koreksi energi perturbasi order lebih tinggi untuk sistem ground
state. Metode ini dilandasi oleh pertidaksamaan:
u E (o)goHu
+ (o)
g(1)g E ' Hu
+ uH E ' (1)
g(o)g
)2(
gE (9-37)
dengan u adalah sembarang fungsi yang memenuhi syarat dan memenuhi kondisi boundary
sedang label g merujuk pada ground state. Pembuktian (9-37) dapat dilihat pada Hameka (1981)
sun bab 7-9. Dengan mengambil u sebagai fungsi variasi dengan parameter yang meminimalkan
181
ruas kiri (9-37), kita dapat mengestimasi )2(gE . Fungsi u dapat menjadi estimator terhadap )1(
g
yaitu fungsi gelombang ground state koreksi order kesatu dan dengan demikian, selanjutnya u
dapat digunakan untuk mengestimasi )3(gE yaitu energi ground state koreksi order ketiga.
Integral variasional yang sama dapat digunakan untuk memperoleh koreksi fungsi gelombang
dan energi order yang lebih tinggi.
9.3 Metode Perturbasi untuk Atom Helium Ground State
Atom helium terdiri atas sebuah inti bermuatan +2e dan dua buah elektron. Kita anggap
bahwa inti atom berada dalam keadaan diam pada posisi (0,0,0) dalam sistem koordinat.
Koordinat elektron 1 dan 2 berturut-turut adalah (x1, y1, z1) dan (x2, y2, z2); lihat gambar 9.1.
Jika kita mengambil muatan inti +Ze sebagai pengganti +2e, maka pembahasan kita
tidak hanya untuk atom helium, tetapi untuk semua partikel (atom atau ion) yang mirip helium
yaitu atom atau ion yang elektronnya dua seperti H, Li
, Be
2+, dan lain-lain. Operator
Hamiltoniannya adalah:
H
= 21
2
2
em
22
2
2
em
1
2'
r
Ze
2
2'
r
Ze
2 1
2'
r
e (9-38)
dengan em adalah massa elektron, r1 adalah jarak dari inti sampai elektron 1, r2 adalah jarak
dari inti sampai elektron 2 dan r1 2 adalah jarak antara elektron 1 terhadap elektron 2. Dua suku
yang pertama adalah operator untuk energi kinetik elektron; suku ketiga dan keempat adalah
energi potensial antara elektron dengan inti atom sedang suku terakhir adalah energi potensial
akibat repulsi antar elektron. Energi potensial suatu sistem yang terdiri atas partikel-partikel
yang saling berinteraksi tidak dapat ditulis sebagai jumlah dari energi potensial partikel
individual; energi potensial merupakan sifat sistem sebagai sebuah kesatuan.
e
e
+2e
r1r2
r1 2(x1 , y1, z1)
(x2 , y2, z2)
Gambar 9.1 Jarak antar partikel dalam atom helium
182
Persamaan Schrodinger untuk sistem mirip helium ini melibatkan enam variabel bebas.
Dalam koordinat spherik polar,
= 2 22 1 11 , , , , , rr (9-39)
Operator 21 adalah operator 2 , yang (r, , ) nya diganti dengan (r1, 1, 1) ; operator 2
2
adalah operator 2 , yang (r, , ) nya diganti dengan (r2, 2, 2); variabel r12 adalah:
r12 = [(x1 x2)2 + (y1 y2)2 + (z1 z2)2]½ , dan melalui transformasi dari koordinat
Cartesius ke dalam koordinat spherik polar, kita dapat menyatakan r12 dalam terminologi
koordinat (9-39), yaitu:
r12 = [(r1 sincos1 r1 sincos2)2 + (r1 sinsin1 r1 sinsin2)2
+ (r1cos1 r1cos2)2]½ ,
Karena adanya suku 1 / r12, akibatnya persamaan Schrodinger tidak dapat diselesaikan melalui
teknik pemisahan variabel, sehingga harus menggunakan metode aproksimasi. Untuk
menggunakan metode perturbasi, kita harus memisahkan H
menjadi dua bagian, yaitu oH
dan
'H
. oH
adalah Hamiltonian untuk problem yang dapat diselesaikan secara eksak. Biasanya
pemisahannya adalah sebagai berikut:
oH
= 21
2
2
em
22
2
2
em
1
2'
r
Ze
2
2'
r
Ze (9-40)
'H
= 2 1
2'
r
e (9-41)
Tampak bahwa (9-40) merupakan jumlah dari dua buah Hamiltonian mirip hidrogen, jadi:
oH
= oo HH 21
(9-42)
oH1
= 2
1
2
2
em
1
2'
r
Ze ; oH 2
= 2
2
2
2
em
2
2'
r
Ze (9-43)
183
Sistem helium disebut tak terperturbasi adalah jika kedua elektron dalam atom helium tersebut
tidak ada gaya sama sekali. Meskipun realita fisik seperti itu tidak pernah kita jumpai, namun
kita tetap menggunakannya semata-mata untuk jembatan dalam menuju kalkulasi final.
Karena Hamiltonian tak terperturbasi (9-42) adalah jumlah Hamiltonian untuk dua
partikel, maka dapat diperkirakan bahwa fungsi gelombang tak terperturbasinya merupakan
hasil kali fungsi tak terperturbasi dari masing-masing partikel. Sehingga dapat kita tulis:
)(o =
)(
2 ,2 ,2 ,1 ,1 ,1
o
rr = 1 11 , ,1 rF . 2 22 , ,2 rF (9-44)
dan energi tak terperturbasinya adalah:
)(oE = E1 + E2 (9-45)
Persamaan Schrodinger untuk masing-masing partikel adalah:
1111 F E F oH
dan 2222 F E F oH
(9-46)
Karena oH1
dan oH 2
adalah Hamiltonian untuk atom mirip hidrogen, tentu saja fungsi dan nilai
eigen (9-46) adalah fungsi dan nilai eigen untuk atom mirip hidrogen. Dari bab VI dapat kita
ketahui bahwa:
oa
e
n
ZE
2
'2
21
2
1 ; oa
e
n
ZE
2
'2
22
2
2 ; (9-47)
. . . . . . . . , 3 2, 1, 1n. . . . . . . . , 3 2, 1, 2n
2
'11 2
22
21
2)(
o
o
a
e
nnZE (9-48)
dengan oa adalah radius Bohr. Persamaan (9-48) merupakan energi order nol dari kedua
elektron yang terikat oleh inti atom.
Untuk level terendah, nilai 11 n , 12 n , dan fungsi eigen order nol-nya (lihat bab VI)
adalah:
2 1
2
2/1
2/1
2/1
2/1
)(
1
1.
1 ra
Z
o
ra
Z
o
o
s
oo ea
Ze
a
Z
(9-49)
Energi ground state tak terperturbasinya adalah:
o
o
s a
eZE
2
')2(
22)(
1 2 (9-50)
184
Kuantitas ½ e’2/ao adalah energi ground state untuk hidrogen yang nilainya sudah kita ketahui
yaitu 13,606 eV. Jadi untuk helium dengan Z = 2, adalah:
8,108)(
1 2 o
sE eV (9-51)
Bagaimana energi order nol ini dibandingkan dengan energi ground state helium yang
sesungguhnya? Berdasarkan eksperimen, energi ionisasi pertama helium adalah 24,6 eV. Energi
ionisasi kedua atom helium, berarti ionisasi terhadap ion He+. Karena ion He+ adalah partikel
mirip hidrogen, maka energi ionisasinya secara teoritik dengan mudah dapat dihitung, yaitu 22
(13,606 eV) = 54,4 eV. Jika kita anggap energi order nol adalah energi ionisasi total helium
[anggapan ini adalah implisit dalam (9-38)], maka energi ground state atom helium adalah
(26,6 + 54,4) eV = 79,0 eV. Jadi energi order nol mempunyai error 38%. Kesalahan ini
cukup besar, karena nilai terminologi perturbasi e’2/r12 tidak cukup kecil untuk diabaikan.
Langkah berikutnya adalah mengevaluasi koreksi perturbasi order pertama. Level
ground state tak terperturbasi adalah level yang non degenerate. Koreksi energi order pertama
adalah:
(o)oE 'H )()1(
)1(E =
2
0
2
0 0 0 2 1 0 0
2
2
62
26 1' 2 1
re
a
ez ra
Zr
a
Z
o
oo
x 2122112221
21 sin sin dddddrrdrr (9-52)
Evaluasi integral (9-52) dapat saja tidak usah diperhatikan dan kita bisa langsung melihat (9-55)
sebagai hasil evaluasi (9-52), tetapi bagi yang ingin mengikuti proses evaluasi integral (9-52),
langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
Yang pertama kali harus dilakukan adalah meng-ekspansi 1/r12 menjadi bentuk berikut
(Eyring, dkk., 1944):
2 1
1
r =
022111
),(*,(12
4
m
mm
r
r
(9-53)
Lambang r artinya lebih kecil dari pada r1 dan r2 sedang r lebih besar dari pada r1 dan r2.
Substitusi (9-53) ke dalam (9-52) menghasilkan:
185
)1(E =
2
0
2
0 0 0 022111
0 0
2
2
62
26
),(*),(12
4' 2 1
m
mmr
a
Zr
a
Z
o r
re
a
eZoo
x 2122112221
21 sin sin dddddrrdrr
)1(E =
2
0
2
0 0 0
221110 0
2
2
062
26
),(*),(12
14' 2 1 mm
ra
Zr
a
Z
mo r
re
a
eZoo
x 2122112221
21 sin sin dddddrrdrr (9-53a)
Selanjutnya (9-53a) dikalikan dengan *)( oo
oo dan kemudian dibagi *)( o
ooo = ¼, jadi
nilai (9-53a) tidak berubah, kemudian diadakan penataan ulang sehingga hasilnya adalah:
)1(E =
2
0
2
0 0 0 0
2
0
2
06
26 2 1
12
1'16 ra
Zr
a
Z
mo
oo eea
eZ
x 221111111,(*),( ).,(*),( mo
ooo
m
r
r
)
x 2122112221
21 sin sin dddddrrdrr (9-53a)
Persamaan (9-53a) ditata ulang, menjadi:
)1(E = 12
1'16
0 0
21
2
1
2
22
21
06
26 2 1
drdre
r
rerr
a
eZ ra
Zr
a
Z
mo
oo
x 111
2
0 0
1111 sin ).,(*),(
ddoo
m )
x 222
2
0 0
2222 sin ),(*),(
ddmoo ) (9-53b)
Selanjutnya, dengan ortonormalitas,
Integral fungsi harmonik sperik 111
2
0 0
1111 sin ).,(*),(
ddoo
m akan bernilai
1 untuk 0 m dan akan nol untuk harga dan m yang lain. Hal yang sama juga terjadi
186
pada integral fungsi sperik harmonik yang lain sehingga hanya untuk orbital dengan nilai
0 m , persamaan (9-53b) menjadi:
)1(E =
0 0
21
2
2
22
216
26 2 1 1'16drdre
rerr
a
eZ ra
Zr
a
Z
o
oo (9-53c)
Persamaan (9-53c) juga dapat ditulis sebagai berikut:
)1(E =
0 0
21
2
22
2
216
26 2 1
1'16
drdrerr
era
eZ ra
Zr
a
Z
o
oo (9-53d)
Jika integrasi akan dilakukan terhadap r1 lebih dulu, maka (9-53d) ditulis:
)1(E =
0
2
0
1
2
21
2
226
26
1'16 1 2
drdrr
erera
eZ ra
Zr
a
Z
o
oo (9-53e)
atau:
)1(E =
0
2
2
226
26 2 '16drIer
a
eZ ra
Z
o
o (9-53e)
dengan I =
0
1
2
21
11
drr
err
a
Z
o . Untuk mengevaluasi I, rentang integrasi dipecah menjadi dua
yaitu antara 0 sampai r2 dan antara r2 sampai , sehingga I dapat ditulis:
2
0
1
2
21
11 r r
a
Z
drr
er o +
2
1
1
2
21
1
r
ra
Z
drr
er o
Bagaimana dengan r
1? Untuk rentang 0 sampai r2, maka r> (baca: r besar) adalah r2 sedang
pada rentang r2 sampai tak terhingga, r> adalah r1, jadi I dapat ditulis:
2
0
12
2
21
11 r r
a
Z
drr
er o +
2
1
11
2
21
1
r
ra
Z
drr
er o
= 2
0
1
2
2
21
1 r r
a
Z
drer
ro +
2
1
1
2
1 r
ra
Z
drer o
187
Subtitusi I ke dalam (9-53d) menghasilkan:
)1(E =
0
21
2
10
1
2
2
21
2
226
26
2
1 1 2
'16 2
drdrerdrer
rer
a
eZ
r
ra
Zr ra
Zr
a
Z
o
ooo
atau:
)1(E =
0
2
0
1
2
21
2
26
26 2
'16 1 2
drdrerera
eZr r
a
Zr
a
Z
o
oo
+
0
2
r
1
ra
Z2
1
ra
Z2
226
o
26drdrerer
a
eZ16
2
oo ' 1 2
(9-54)
kita sederhanakan bentuknya menjadi:
)1(E =
0
21
2
26
26 2 '16drIer
a
eZ ra
Z
o
o
+
0
22
ra
Z2
226
o
26drIer
a
eZ16o
2 '
(9-54a)
dengan
2
0
1
2
211
1 r r
a
Z
drerI o dan
2
1
1
2
12
r
ra
Z
drerI o
Dengan menggunakan:
dxex bx2 =
32
2bx
b
2
b
x2
b
xe , diperoleh:
2
0
1
2
211
1 r r
a
Z
drerI o =
321
21
2
2
2
2
2
2
1
ooo
ra
Z
a
Z
a
Z
r
a
Z
re o
=
2
1o
r
0
3
3o
2
2o1o
21
ra
Z2
Z4
a
Z2
ar
Z2
are
=
3
3
3
3
2
22
22
2
4422
2
Z
a
Z
a
Z
ar
Z
are oooo
ra
Z
o
188
=
3
32
3
32
22
22
22
4422
222
Z
ae
Z
aer
Z
aer
Z
a or
a
Z
or
a
Z
or
a
Z
o ooo
Dengan menggunakan dxxebx = 1bxb
1e
2bx , diperoleh:
2
1
1
2
12 r
ra
Z
drerI o =
1ra
Z2
Z4
ae 1
o2
2o
ra
Z21
o
=
2
1o
r
2
2o
1o
ra
Z2
Z4
ar
Z2
ae =
2
2o
2o
ra
Z2
Z4
ar
Z2
ae0
2o
=
2
2o
2o
ra
Z2
Z4
ar
Z2
ae
2o =
2
o2
o
ra
Z2
2
2o
ra
Z2
2o e
Z4
aer
Z2
a
Selanjutnya I1 dan I2 dimasukkan ke dalam (9-54a):
)1(E =
0
23
32
3
32
22
22
22
2
26
26
4422
'16 2222
drZ
ae
Z
aer
Z
aer
Z
aer
a
eZ or
a
Z
or
a
Z
or
a
Z
or
a
Z
o
oooo
+
0
2
ra
Z2
2
2o
ra
Z2
2o
ra
Z2
226
o
26dre
Z4
aer
Z2
aer
a
eZ16 2o
2oo
2 '
=
0
2
2
23
34
23
32
222
24
326
26 2222
4422
'16drer
Z
aer
Z
aer
Z
aer
Z
a
a
eZ ra
Z
or
a
Z
or
a
Z
or
a
Z
o
o
oooo
+
0
2
ra
Z2
222
2o
ra
Z4
32
o6o
26drer
Z4
aer
Z2
a
a
eZ16 2o
2o
'
)1(E =
2
3
32
3
33
2
24
6
26
2.
4444!2
24!3
2
'16
Z
a
Z
a
Z
a
Z
a
Z
a
Z
a
Z
a
Z
a
a
eZ oooooooo
o
+
3
2
24
6
26
4 !2
44!3
2
'16
Z
a
Z
a
Z
a
Z
a
a
eZ oooo
o
189
)1(E =
5
4
5
6
5
6
5
86
26
2
1
2
1
2
1.3
2
1'16
Z
a
Z
a
Z
a
Z
a
a
eZ oooo
o
+
5
7
5
86
26
2
1.3.
2
1'16
Z
a
Z
a
a
eZ oo
o
)1(E =
7466
5
6
26
2
1
2
1
2
1
2
1'16
Z
a
a
eZ o
o
=
7777
5
6
26
2
1
2
8
2
2
2
2'16
Z
a
a
eZ o
o
=
7
5
6
26
2
5'16
Z
a
a
eZ o
o
Jadi:
)1(E =
oa
eZ 2'
8
5 (9-55)
Jika diaplikasikan pada helium, Z = 2, persamaan (9-55) menjadi:
)1(E =
oa
e 2'
8
10 =
oa
e
2
'
4
10 2
= eV 606,13.4
10= 34,0 eV
Jadi aproksimasi untuk helium ground dengan memperhitungkan sampai dengan koreksi order
pertama adalah:
)1()( EE o = 108,8 eV + 34,0 eV = 74,8 eV (9-56)
Dengan koreksi seperti itu, kesalahannya terhadap energi ground state yang sesungguhnya
adalah 5,3 %.
Kita telah berhasil menghitung koreksi order pertama untuk gelombang. Untuk
menghitung koreksi energi kedua dibutuhkan koreksi order pertama untuk fungsi gelombang,
yang dapat diperoleh melalui evaluasi terhadap elemen matrik dari 1/r12 mulai dari ground state
tak terperturbasi sampai dengan seluruh state tereksitasi termasuk state kontinum dan
melakukan penjumlahan serta integrasi. Tidak seorangpun yang telah berhasil menggambarkan
bagaimana mengevaluasi secara langsung semua konstribusi untuk 2E . Perlu dicatat bahwa
190
efek )1( ( koreksi fungsi order pertama), bercampur dengan fungsi gelombang dari konfigurasi
lain, selain 1s2; hal ini kita sebut konfigurasi interaksi. Memang, kontribusi terbesar yang
berpengaruh terhadap fungsi gelombang helium yang sesungguhnya, berasal dari konfigurasi
1s2, yang merupakan fungsi gelombang order nol tak terperturbasi.
)2(E untuk helium ground state telah dievaluasi dengan metode variasi-perturbasi
[persamaan (9-37)]. Untuk memperoleh aproksimasi dengan koreksi yang sangat akurat, Scherr
dan Knight (1963) menggunakan fungsi variasi yang terdiri atas 100 suku untuk memperoleh
koreksi (sampai order keenam) fungsi gelombang. Fungsi ini kemudian dipergunakan untuk
menghitung koreksi energi sampai order ke 13. Berdasarkan perhitungan yang pernah dilakukan
oleh J. Midtal (1965), besarnya koreksi energi order kedua )2(E = 4,3 eV sedang order ketiga
)3(E = +0,1 eV . Sampai dengan koreksi order ketiga, aproksimasi energi ground state untuk
helium adalah:
E = )3()2()1()( EEEE o
= 108,8 eV + 34,0 eV 4,3 eV + 0,1 eV = 79,0 eV
yang sesuai dengan nilai eksperimen yaitu 79,0 eV.
9.4 Metode Variasi Untuk Helium Ground State
Sebelum ini, telah kita nyatakan bahwa Hamiltonian untuk helium adalah 'HHH o dan
fungsi eigen untuk oH
adalah )(o sebagaimana dinyatakan dalam persamaan (9-49). Apakah
yang terjadi seandainya kita menggunakan fungsi gelombang ground state perturbasi order nol
)(og sebagai fungsi variasi dalam integral variasional?. Jika itu yang dilakukan, maka integral
variasional H
= H
menjadi:
H
= (o)g
o(o)g 'HH
= 'HH (o)
g(o)g
o(o)g
= 'HH (o)g
(o)g
(o)g
o(o)g
= )1()(
go
g EE (9-57)
191
Jadi dengan menggunakan )(og sebagai fungsi variasi dihasilkan energi yang sama dengan
yang dihasilkan oleh perturbasi sampai dengan order pertama.
Sekarang akan kita bahas fungsi variasi untuk atom helium ground state. Jika kita
menggunakan )(og sebagaimana (9-49), hasil yang diperoleh adalah sama dengan hasil
perturbasi order pertama yaitu 74,8 eV. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, marilah kita
masukkan sebuah parameter ke dalam (9-49). Kita akan mencoba menggunakan fungsi:
2 1
.1
3 ra
ra
o
oo eea
(9-58)
Persamaan (9-58) tersebut diadopsi dari (9-49) yang nomor atom Z diganti parameter
variasional (baca: zeta). Parameter mempunyai interpretasi fisik yang sederhana. Karena
sebuah elektron cenderung menghalangi yang lain dari inti atom, akibatnya muatan inti efektif
yang diterima oleh masing-masing elektron lebih kecil dari pada muatan penuh inti yaitu +Z.
Jika sebuah elektron, terhalang secara penuh dari inti, maka kita nyatakan bahwa muatan inti
efektif adalah Z1; karena kedua elektron dalam helium ground state berada pada orbital yang
sama, akibatnya maka tidak mungkin masing-masing saling menghalangi secara penuh, jadi
diperkirakan nilai berkisar antara Z1 sampai Z.
Sekarang kita akan mengevaluasi integral variasional. Untuk melancarkan hal ini, kita
tulis kembali Hamiltonian (9-39) dalam bentuk:
H
= 12
2
2
2
1
2
2
222
2
1
221
2 e'e'e'e'
2
e'
2 rrZ
rZ
rmrm ee
(9-59)
Masuknya parameter ke dalam (9-39) hingga membentuk (9-59) tidak mengubah nilai
Hamiltonian (9-39), artinya (9-59) adalah sama dengan (9-39). Suku-suku yang berada dalam
kurung kurawal adalah jumlah dari Hamiltonian mirip hidrogen untuk inti yang bermuatan ;
sementara itu, persamaan (9-58) adalah hasil kali dua fungsi 1s mirip hidrogen dengan muatan
inti .. Oleh karena itu, jika suku dalam kurung itu beroperasi pada , berarti kita mempunyai
sebuah persamaan eigen dan nilai eigen-nya adalah jumlah energi 1s mirip hidrogen dengan
muatan inti . Jadi:
192
2
222
2
1
221
2 e'
2
e'
2 rmrm ee
=
2
oa
e 2' (9-60)
Dengan menggunakan (9-59) dan (9-60), kita memperoleh:
d * H
= d *'22
oa
e +
d
r
*'')(
1
22
oa
eeZ
+
d r
*'')(
2
22
oa
eeZ +
d
r
*'
12
2e (9-61)
Kita ambil ƒ1 sebagai fungsi ternormalisasi dari orbital 1s mirip hidrogen dengan muatan inti
bertautan dengan elektron 1; dan kita ambil fungsi sejenis yaitu ƒ2 untuk elektron 2:
ƒ1 = 1
2/3
2/1
1 ra
o
oea
; ƒ2 =
2 2/3
2/1
1 ra
o
oea
(9-62)
dengan catatan = ƒ1.ƒ2. Selanjutnya kita evaluasi integral-integral yang berada dalam
persamaan (9-61)
d *
d r
*
1
= 1r
d1 d2 =
1
r d1 . d2 =
1
r d1 .
=
0
2
0
1
0
1112
11
2/3
2/1
2/3
2/1
sin
1.
1 1 1
dddrr
r
ea
ea
ra
o
ra
o
oo
=
0
2
0
1
0
111
2
1
3
sin1 1
dddrer
a
ra
o
o
=
2cos
2
101
23
o
o
a
a
=
22
2
123
o
o
a
a =
oa
Dengan cara yang sama diperoleh:
ƒ18ƒ1 ƒ2
8ƒ2 d1 d2 = 1
ƒ18ƒ1 ƒ2
8ƒ2 ƒ18ƒ1
ƒ28ƒ2
ƒ18ƒ1
193
d r
*
2
= oa
Akhirnya kita harus mengevaluasi
d r
*'
12
2e . Ini persis sama dengan (9-52), hanya Z
diganti , sehingga hasilnya analog dengan (9-55), yaitu:
d r
*'
12
2e =
oa
e 2'
8
5 (9-63)
Jadi integral variasional (9-61) mempunyai nilai:
d * H
= oa
eZ
22 '
8
52
(9-64)
Sebagai pengujian, jika kita menggunakan = Z dalam (9-64) akan kita peroleh bahwa nilai (9-
64) tepat sama dengan hasil teori perturbasi order pertama, (9-50) ditambah (9-55).
Sekarang kita mencari nilai parameter agar integral variasional bernilai minimal.
oa
eH
2'
8
5 2Z2 d *
= 0
= Z 5/16 (9-65)
Sebagai antisipasi, muatan inti efektif terletak antara Z dan Z1. Dengan menggunakan (9-65)
dan (9-64), kita peroleh:
d * H
= oa
eZZ
22 '
256
25
8
5
=
oa
eZ
22'
16
5
(9-66)
Dengan meletakkan Z = 2, kita memperoleh aproksimasi untuk energi helium ground state yaitu
(27/16)2e’2/ao = (729/128)e’2/2ao = 77,49 eV. Dibandingkan dengan nilai yang
sesungguhnya yaitu 79,0 eV , kesalahannya adalah 1,9 %. Jadi, dengan memasukkan
parameter , kesalahan yang semula 5,3% turun menjadi tinggal 1,9 %.
Bagaimana kita memperbaiki hasil integral variasional ? Kita dapat mencoba fungsi
yang mempunyai bentuk umum (9-58), yaitu perkalian dua fungsi, yaitu fungsi elektron 1 dan
fungsi elektron 2.
= u(1). u(2) (9-67)
194
Namun, kita dapat menggunakan berbagai bentuk u dalam (9-67) sebagai ganti dari bentuk
eksponensial tunggal sebagaimana digunakan pada (9-58). Prosedur sistematik untuk
memperoleh fungsi u yang menghasilkan nilai integral variasional terkecil akan dibahas di bab
XI. Prosedur itu menunjukkan bahwa pilihan terbaik untuk u dalam (9-67) menghasilkan
integral variasional 77,9 eV, yang masih mempunyai kesalahan 1,4 %. Hal ini menimbulkan
pertanyaan, mengapa (9-67) tidak dapat menghasilkan integral variasional yang tepat sama
dengan 79,0 eV ?. Jawabnya adalah, ketika kita menulis fungsi (9-67), dalam bentuk perkalian
dua fungsi terpisah untuk masing-masing elektron, kita telah membuat sebuah aproksimasi.
Perlu dicatat, bahwa terminologi Hamiltonian 122 /' re dalam persamaan Schrodinger untuk
helium merupakan kuantitas yang bersifat sebagai satu kesatuan dan tidak separabel. Untuk
dapat mencapai energi ground state yang sesungguhnya, kita membutuhkan fungsi yang tidak
sesederhana (9-67).
Model atom Bohr yang memberikan penjelasan mengenai energi secara tepat dan
memuaskan untuk atom hidrogen, ternyata gagal ketika diterapkan untuk helium. Kemudian,
pada hari-hari awal lahirnya mekanika kuantum, ada teori baru yang memberikan perlakuan
yang akurat untuk helium. Teori baru tentang helium ini diprakarsai oleh Hylleraas pada tahun
1928-1930. Dia menggunakan fungsi variasi yang memperhitungkan jarak antar elektron r12
secara eksplisit. Hal ini memungkinkan orang untuk membicarakan berapa besar efek yang
diberikan oleh sebuah elektron dalam pergerakannya, terhadap elektron yang lain. Fungsi yang
dipergunakan oleh Hylleraas adalah:
=
12 1.2 1
rbeeNr
ar
a oo
(9-68)
N adalah tetapan normalisasi, dan b adalah parameter variasional. Karena:
2/1221
221
22112 zzyyxxr (9-69)
akibatnya fungsi (9-68) bersifat tidak sesederhana bentuk perkalian fungsi (9-67). Minimalisasi
terhadap integral variasional terhadap masing-masing parameter, menghasilkan parameter =
1,849 dan b = 0,364/ao dan energi ground state 78,7 eV, yang artinya, kesalahannya 0,3 eV
195
atau 0,38 %. Dengan menggunakan fungsi yang lebih rumit (terdiri atas 6 suku dan
mengandung r12), Hylleraas berhasil memperoleh energi ground state helium dengan kesalahan
hanya 0,013 %.
Pekerjaan Hylleraas, dikembangkan oleh para ahli lain. Dengan menggunakan fungsi
variasi yang terdiri atas 1078 suku, Pakeris memperoleh energi ground state helium
2,903724375 )/'( 2oae . Dengan mempergunakan fungsi yang lebih disempurnakan, Schwartz
memperbaiki hasil kerja Pakeris, dan memperoleh energi ground state helium
2,903724375 )/'( 2oae . Hasil ini hanya berbeda dalam rentang 10
9)/'( 2
oae terhadap energi
ground state helium non relativistik yang sesungguhnya (Levine, 1998)
Kalkulasi variasional terhadap litium ground state menggunakan fungsi 60 suku dan
mengandung r12 , r23 dan r13 menghasilkan energi ground state )/'( 2oae . Bandingkan
dengan energi litium ground state yang sesungguhnya, 7,47807 )/'( 2oae . Kalkulasi
variasional dengan fungsi yang mengandung rij menjadi sangat rumit untuk atom berelektron
banyak karena akan melibatkan suku yang sangat banyak serta integral yang sangat rumit.
9.6 Teori Perturbasi untuk Level Energi Degenerate
Sekarang kita akan membahas level energi yang derajad degenerasinya adalah d. Tentu
saja kita mempunyai d fungsi gelombang tak terperturbasi yang linear independen. Kita akan
memberi label 1, 2, 3, . . .d untuk state dari level-level degenerate itu. Persamaan Schrodinger
tan terperturbasinya adalah:
)()()( on
on
on
o EH
(9-70)
dengan
)()(3
)(2
)(1 ...... o
dooo EEEE (9-71)
d * H
= d *'22
oa
e +
d
r
*'')(
1
22
oa
eeZ
+
d r
*'')(
2
22
oa
eeZ +
d
r
*'
12
2e (9-61)
196
Kita ambil ƒ1 sebagai fungsi ternormalisasi dari orbital 1s mirip hidrogen dengan muatan inti
bertautan dengan elektron 1; dan kita ambil fungsi sejenis yaitu ƒ2 untuk elektron 2:
ƒ1 = 1
2/3
2/1
1 ra
o
oea
; ƒ2 =
2 2/3
2/1
1 ra
o
oea
(9-62)
dengan catatan = ƒ1.ƒ2. Selanjutnya kita evaluasi integral-integral yang berada dalam
persamaan (9-61)
d *
d r
*
1
= 1r
d1 d2 =
1
r d1 . d2 =
1
r d1 .
=
0
2
0
1
0
1112
11
2/3
2/1
2/3
2/1
sin
1.
1 1 1
dddrr
r
ea
ea
ra
o
ra
o
oo
=
0
2
0
1
0
111
2
1
3
sin1 1
dddrer
a
ra
o
o
=
2cos
2
101
23
o
o
a
a
=
22
2
123
o
o
a
a =
oa
Dengan cara yang sama diperoleh:
d r
*
2
= oa
Akhirnya kita harus mengevaluasi
d r
*'
12
2e . Ini persis sama dengan (9-52), hanya Z
diganti , sehingga hasilnya analog dengan (9-55), yaitu:
d r
*'
12
2e =
oa
e 2'
8
5 (9-63)
Jadi integral variasional (9-61) mempunyai nilai:
ƒ18ƒ1 ƒ2
8ƒ2 d1 d2 = 1
ƒ18ƒ1 ƒ2
8ƒ2 ƒ18ƒ1
ƒ28ƒ2
ƒ18ƒ1
197
d * H
= oa
eZ
22 '
8
52
(9-64)
Sebagai pengujian, jika kita menggunakan = Z dalam (9-64) akan kita peroleh bahwa nilai (9-
64) tepat sama dengan hasil teori perturbasi order pertama, (9-50) ditambah (9-55).
Sekarang kita mencari nilai parameter agar integral variasional bernilai minimal.
Problem perturbasinya adalah:
nnn EH
(9-72)
'HHH o (9-73)
Apabila semakin mendekati nol, nilai eigen pada (9-72) semakin mendekati nilai eigen
(9-70); jadi kita mempunyai )(0lim o
nn EE . Ini juga berarti bahwa untuk mendekati 0,
fungsi eigen persamaan (9-72) mendekati fungsi eigen (9-70). Apakah ini berarti bahwa
0lim )(o
nn ? Jawabnya adalah, tidak harus demikian. Jika )(onE non degenerate, fungsi
)(on ternormalisasi yang berasal dari oH
dengan nilai eigen )(o
nE merupakan fungsi yang unik,
dan kita boleh yakin bahwa )(0lim o
nn EE . Namun, jika nilai eigennya berlevel d-fold
degenerate, maka solusi untuk persamaan (9-70) adalah kombinasi linear berikut:
)()(22
)(11 . . . . o
ddoo ccc (9-74)
dengan nilai eigen (9-71). Himpunan secara linear, fungsi ternormalisasi:
)()(2
)(1 . . . o
doo
yang kita gunakan sebagai fungsi eigen untuk state yang terdegenerate adalah fungsi yang tidak
unik karena akan ada d macam fungsi yang nilai eigennya sama. . Dengan menggunakan (9-74)
kita dapat menyusun himpunan-himpunan fungsi ternormalisasi berderajat degenerate d yang
banyaknya tak terhingga. Sebagai contoh, untuk state 2p atom hidrogen yang bersifat 3-fold
degenerate, kita dapat menggunakan fungsi 2p1, 2p0 dan 2p+1, atau fungsi 2px , 2py dan 2pz atau
himpunan 3 fungsi independen yang lain untuk disusun menjadi kombinasi linear. Untuk eigen
terperturbasi yang mengalami d-fold degenerate, dapat dinyatakan bahwa seandainya
mendekati nol, kombinasi linear yang dihasilkan adalah:
198
d
i
oiin c
1
)(
0lim
dn 1
Tugas kita yang pertama adalah menentukan fungsi gelombang order nol (9-75) untuk
perturbasi 'H
. Jika fungsi yang akan kita tentukan itu kita beri nama )(on , maka:
d
i
oii
on c
1
)()( dn 1 (9-76)
Masing-masing fungsi )(on dalam (9-76) mempunyai koefisien yang berbeda. Himpunan
fungsi order nol yang benar bergantung pada bentuk perturbasi 'H
.
Perlakuan terhadap level d-fold degenerate berlangsung sebagaimana perlakuan pada
non degenerate (sub bab 9.2), tentu saja kita gunakan )(on sebagai ganti untuk )(o
n .
Sebagaimana (9-13) dan (9-14), kita telah mempunyai:
n = d(0) + n
(1) + 2n(2) + 3 n
(3) + . . n = 1, 2, ...d (9-77)
En = Ed(0) + En
(1) + 2En(2) + 3En
(3) + . . . n = 1, 2, ...d (9-78)
dimana pada perlakuan ini (9-71) juga digunakan. Substitusi (9-77) dan (9-78) ke dalam
persamaan Schrodinger nnn EH
, menghasilkan:
)'( HH o n
(0) + n(1) + 2n
(2) + 3 n(3) + . .)
= (Ed(0) + En
(1) + 2En(2) + 3En
(3) + . . .)n(0) + n
(1) + 2n(2) + 3 n
(3) + . .)
Penyamaan suku yang mempunyai koefisien 0 pada persamaan tersebut, menghasilkan
)()( od
on
o EH )0(
n . Dengan teorema pada bab 3 sub bab 3.6, masing-masing kombinasi linear
)0(n (n = 1,2 . . . d) adalah fungsi eigen dari oH
dengan nilai eigen )(o
nE , dan persamaan
tersebut tidak memberikan informasi baru.
Penyamaan suku yang mempunyai koefisien 1 menghasilkan:
)()1()1()()()1( ' onnn
od
onn
o EEHH
)()()1()1()()1( ' on
onnn
odn
o HEEH
, n = 1,2, . . .d (9-79)
199
Selanjutnya (9-79) dikalikan dengan *)(om dan dintegralkan seluruh ruang dengan m adalah
salah satu state yang berada dalam level d-degenerate tak terperturbasi, jadi m terletak antara 1
dan d atau dm 1 .
)()()1(*)()1()()1(*)( ' on
onn
omn
odn
oom HEEH
Jika tanda * tidak ditulis dan diadakan penataan , diperoleh:
)()()()()1()1()()()1()( ' on
om
on
omnn
om
odn
oom HEEH
, dm 1
(9-80)
Dari persamaan (9-20) kita mempunyai )1()()()1()( no
mo
mnoo
m EH
= 0. Dari (9-
71) kita )()( od
om EE untuk dm 1 , jadi )1()()()1()( n
om
odn
oom EH
juga = 0,
sehingga (9-80) menjadi:
0 ' )()()1()()( on
omn
on
om EH
, dm 1 (9-80a)
Substitusi kombinasi linear (9-76) ke dalam (9-80a) menghasilkan:
0 ' 1
)()()1(
1
)()(
d
i
oii
omn
d
i
oii
om cEcH
atau:
0 ' )()(
1
)1()()(
1
oi
om
d
iin
oi
om
d
ii cEHc
(9-81)
Fungsi gelombang order nol )(oi (i – 1, 2, . . d) untuk level degenerate selalu dapat dipilih
yang ortonormal, sehingga berlaku:
mj)()( o
io
m (9-82)
untuk rentang m dan i antara 1 dan d. Jika (9-82) dimasukkan ke dalam (9-81) kita peroleh:
0c ' i1
mj)1(
1
)()(
d
in
d
i
oi
om EH
, m = 1, 2, . . .d (9-83)
200
Persamaan (9-83) ini merupakan himpunan d persamaan homogen linear dari d koefisien yang
tak diketahui. Jika agar tampak sederhana, )()( ' oi
om H
ditulis '
miH
, maka persamaan (9-
83) dapat dijabarkan menjadi:
0 )( . . . . . . H
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
84)-(9 0 H . . . . . . )(
0 H . . . . . . )(
)1('112
'd21
'1
'2d2
)1('111
'22
'1d2
'121
)1('11
dnd
dn
dn
cEHccH
ccEHcH
ccHcEH
Agar himpunan persamaan linear (9-84) memiliki solusi trivial, determinan koefisien himpunan
tersebut harus nol, jadi:
det mj)1()()( ' n
oi
om EH
= 0 (9-85)
86)-(9 0
)( . . . . . . H
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
H . . . . . . )(
H . . . . . . )(
)1(''d2
'1
'2d
)1('22
'21
'1d
'12
)1('11
nddd
n
n
EHH
EHH
HEH
Persamaan (9-86) disebut persamaan sekular, yang merupakan persamaan aljabar berderajat d
dinyatakan dalam )1(nE . Tentu saja persamaan ini mempunyai akar sebanyak d, yaitu
)1()1(2
)1(1 , . . . ,, dEEE , yang merupakan koreksi order pertama untuk level d-degenerate tak
terperturbasi.
Jika akar-akarnya semuanya berbeda, maka koreksi perturbasi order pertama memecah level d-
fold degenerate tak terperturbasi menjadi sebanyak d level energi perturbasi yang saling
berbeda yaitu:
)1(1
)( EE od ; )2(
1)( EE o
d ; . . . . . . )1()(d
od EE
Jika ada beberapa akar yang sama maka pemecahannya tidak lengkap menjadi sebanyak d level
perturbasi. Namun, untuk pembahasan kali ini, kita akan mengasumsikan bahwa akar-akar (9-
86) saling berbeda.
201
Setelah mendapatkan d macam nilai koreksi energi order pertama, kita akan kembali ke
(9-84) untuk mendapatkan nilai ci yang belum diketahui, yang merupakan penentu fungsi
gelombang order yang sesungguhnya. Untuk menentukan fungsi gelombang order nol :
)()(22
)(11
)( . . . . odd
ooon ccc (9-87)
yang energinya adalah akar )1(nE , kita harus menyelesaikan (9-84) untuk c2, c3, . . . cd
dinyatakan dalam c1 dan kemudian c1 dihitung melalui normalisasi. Penggunaan (9-87) ke
dalam 1 (o)n
)( on menghasilkan:
d
k 1
21 1 c (9-88)
Untuk setiap akar )1(nE , (n = 1, 2, . . ., d), kita mempunyai himpunan-himpunan koefisien c1
yang berbeda yang akan memberikan fungsi gelombang order nol sesungguhnya yang berbeda
juga. Dalam sub bab berikutnya akan ditunjukkan bahwa:
)1(nE = )()( ' o
no
n H
, n = 1, 2, . . ., d (9-89)
yang sama dengan formula untuk non degenerate (9-22), tetapi tentu saja hanya fungsi yang
dipergunakan.
Dengan prosedur yang sama dengan kasus degenerate itu, sekarang kita dapat
menghitung koreksi order pertama untuk fungsi gelombang order nol serta dengan demikian
juga dapat menghitung koreksi energi order kedua.
Sebagai contoh, akan kita lihat efek perturbasi 'H
terhadap level energi degenerate terendah
dari partikel dalam box tiga dimensi. Kita telah tahu bahwa tiga state terendahnya adalah
dan , )(2,1,1
)(1,2,1
)(1,1,2
ooo . Fungsi-fungsi tersebut ortonormal, dan persamaan sekular (9-86)
adalah:
0
' .' '
' ' '
' ' '
)1()(112
)(112
)(121
)(112
)(211
)(112
)(112
)(121
)1()(111
)(121
)(211
)(121
)(112
)(211
)(121
)(211
)1()(211
)(211
noooooo
oon
oooo
oooon
oo
EHHH
HEHH
HHEH
202
Penyelesaian persamaan tersebut menghasilkan koreksi energi order pertama:
11E ; 1
2E ; 13E (9-90)
Jadi melalui koreksi order pertama, level degenerate tripel tak terperturbasi, pecah menjadi tiga
level, yaitu:
11
22 )8/6( Emah ; 12
22 )8/6( Emah ; 13
22 )8/6( Emah
Dengan menggunakan akar-akar (9-90) kita akan memperoleh himpunan-himpunan persamaan
simultan (9-84). Jika masing-masing himpunan ini diselesaikan, akan kita peroleh tiga
himpunan koefisien yang membedakan ketiga fungsi gelombang order nolnya.
9.6 Penyederhanaan Persamaan Sekular
Penyelesaian persamaan sekular (9-86) akan lebih mudah jika elemen-elemen determinan selain elemen diagonal bernilai nol. Dalam sebagian besar kasus, elemen-elemen di luar elemen diagonal adalah nol, sehingga (9-86) dapat ditulis:
91)-(9 0
)( . . . . . . 0 0
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
0 . . . . . . )( 0
0 . . . . . . 0 )(
)1('
)1('22
)1('11
ndd
n
n
EH
EH
EH
1'1'22
1'11 . . . . . . . . nddnn EHEHEH = 0
'11
11 HE ;
'22
12 HE ; . . . . . . ;
'1ddd HE (9-92)
Sekarang kita akan menentukan fungsi gelombang order pertama. Kita akan mengasumsikan
bahwa akar-akar (9-92) masing-masing berbeda satu terhadap yang lain. Untuk akar '11
1 HEn ,
persamaan (9-84) menjadi: 0 = 0
'11
'22 HH
c2 = 0 . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
'11
' HH dd cd = 0
Karena kita mengasumsikan bahwa semua akar-akarnya berbeda, tentu saja nilai '11
'22 HH , . .,
'11
' HH dd , tidak mungkin nol. Dengan demikian,
c2 = 0, c3 = 0 , . . . . . cd = 0
203
Kondisi normalisasi pada (9-88) menghasilkan c1 = 1. Jadi fungsi gelombang order nol yang
sesungguhnya berdasarkan koreksi energi perturbasi order pertama '11H adalah [(persamaan 9-76)]:
0
10
1
Dengan cara yang sama, untuk akar '22H , diperoleh:
0
20
2
Dengan menggunakan akar-akarnya yang tersisa, dan dengan cara yang sama pula, diperoleh:
0
30
3 ,
. . . ., 0
d0 d
Jadi, jika determinan sekular berbentuk determinan diagonal, maka fungsi 01 ,
02 , . . .
0d yang
kita asumsikan merupakan fungsi gelombang terperturbasi order nol yang sesungguhnya. Kebalikan dari pernyataan di atas, juga benar. Jika fungsi-fungsi yang kita asumsikan ternyata adalah fungsi perturbasi
yang benar, maka determinan sekularnya merupakan determinan diagonal. Dari 0
10
1 , kita
koefisien pada ekspansi
d
iiic
1
001 adalah c1 = 1, dan c2 = c3 = . . . = cd = 0, jadi untuk n = 1,
himpunan persamaan simultan (9-84) menjadi:
001
'11 EH , 0'
21 H , .. . . . . . 0'1 dH
Aplikasi hal yang sama untuk fungsi 0n yang lain, membawa kita pada kesimpulan bahwa 0' miH
untuk mi . Dengan demikian, penggunaan fungsi order nol akan membuat determinan sekular menjadi determinan diagonal. Perlu diingat juga bahwa koreksi energi order pertama dapat diperoleh dengan cara menghitung rata-rata dengan menggunakan fungsi gelombang order nol, jadi:
00'1 ' nnnnn HHE
(9-93)
Pada umumnya, jika determinan sekular tidak berbentuk determinan diagonal, maka bentuknya adalah determinan blok. Sebagai contoh:
94)-(9 0
)( 0 0
. )( 0 0 .
0 0 )(
0 0 )(
)1(''43
'34
)1('31
)1('22
'21
'12
)1('11
ndd
n
n
n
EHH
HEH
EHH
HEH
Determinan sekular (9-94) mempunyai bentuk yang sama dengan persamaan sekular variasi linear (8-40) dengan Sij = ij. Dengan cara yang sama dengan yang digunakan untuk menunjukkan bahwa dua dari fungsi variasi adalah kombinasi linear dari f1 dan f2 dua yang lain adalah kombinasi linear dari f3 dan f4 [Persamaan (8-45) dan (8-46)], kita dapat menunjukkan bahwa dua fungsi gelombang order nol adalah
kombinasi linear dari 01 dan
02 sedang dua yang lain adalah kombinasi linear dari
03 dan
04 :
0
220
110
1 cc ,
204
0
2'0
1'1
02 2
cc
0
440
330
3 cc ,
0
4'4
03
'3
04 cc
dimana tanda absen digunakan untuk menunjukkan koefisien yang berbeda. Jika determinan sekular dari teori perturbasi degenerate adalah dalam bentuk determinan blok, maka persamaan sekular akan pecah menjadi dua atau lebih persamaan sekular yang lebih kecil, dan himpunan persamaan simultan (9-84) untuk koefisien ci pecah menjadi dua atau lebih himpunan persamaan simultan yang lebih kecil. Selanjutnya, bagaimana kita dapat memilih fungsi-fungsi gelombang order nol yang benar yang dengan
itu kita dapat melakukan simplifikasi terhadap persamaan sekularnya ?. Jika ada operator A
yang
kommute baik terhadap oH
maupun 'H
, maka kita dapat memilih fungsi tak terperturbasi yang
merupakan fungsi eigen dari operator A
. Karena A
yang kommute terhadap oH
maupun 'H
, dengan
demikian fungsi eigen pilihan kita itu akan membuat integral 'ijH bernilai nol jika
0i dan
0j
mempunyai nilai eigen berbeda terhadap A
(lihat teorema 6 bab 7). Jadi, jika nilai eigen A
untuk 00
20
1 , . . . . . . ,, d semuanya berbeda, maka determinan sekularnya akan berbentuk determinan
diagonal, dan kita akan memperoleh fungsi gelombang order nolnya. Jika beberapa nilai eigennya ada yang sama, maka yang kita peroleh adalah determinan blok. Pada umumnya, fungsi order nol merupakan kombinasi linear dari fungsi-fungsi tak terperturbasi yang mempunyai nilai eigen sama terhadap operator
A
. 9.7 Perturbasi Pada Helium Tereksitasi Kita telah membahas teori perturbasi untuk helium ground state. Sekarang kita akan membahas helium tereksitasi yang terendah. Energi tak terperturbasinya dapat dihitung dengan menggunakan (9-48). Tingkat eksitasi tak terperturbasi yang terendah mempunyai n1 = 1 dan n2 = 2 atau n1 = 2 dan n2 = 1, dan substitusinya pada (9-48) menghasilkan:
oa
eZE
220 '
8
5
=
oa
e
2
'2
8
20 2
= 5(13,606 eV) = 68,03 eV
(9-95) Ingat, bahwa level n = 2 untuk hidrogen adalah 4-fold degenerate karena untuk hidrogen 2s dan 2p mempunyai energi yang sama. Jadi level energi tak terperturbasi tereksitasi pertama adalah 8-fold degenerate; fungsi gelombang tak terperturbasinya adalah:
)2(2)1(101 ss
)2(2)1(105 yps
(9-96)
205
)1(2)2(102 ss
)1(2)2(106 yps
)2(2)1(103 xps
)2(2)1(107 zps
)1(2)2(104 xps
)1(2)2(108 zps
dengan 1s(1)2s(2) adalah perkalian antara fungsi hidrogen 1s untuk elektron pertama dengan fungsi
hidrogen 2s untuk elektron kedua. Sebagai contoh, bentuk eksplisit dari fungsi 08 adalah:
oo aZr
o
aZr
o
ea
Zer
a
Z /2/3
2/112/
1
2/5
2/1
08
211
.cos.24
1
Kita lebih memilih bentuk real untuk fungsi 2p dari pada bentuk kompleksnya. Karena level tak terperturbasinya adalah degenerate, kita harus menyelesaikan persamaan sekularnya.
Persamaan sekular (9-86) mengasumsikan bahwa fungsi 01 ,
02 , .......
08 adalah ortonormal.
Kondisi ini ternyata dipenuhi. Sebagai contoh:
d0
1*0
1 = 21 d d )2(2)1(1*)2(2*)1(1 ssss
=
22
12 2s(2) )1(1 dds = 1 . 1 = 1
d
02
*01 = 21 d d )1(2)2(1*)2(2*)1(1 ssss
=
21 )2(2)2(1 )1(2)1(1 dssdss = 0 . 0 = 0
Karena adalah 8 fungsi tak terperturbasi, jadi determinan sekularnya pasti mempunyai 82 = 64 elemen.
Operator 'H
adalah Hermitian, dan *''jiij HH
. Juga, karena 'H
dan
01 . . . . .
08 semuanya
real, kita mempunyai '*'jiij HH
, jadi ''
jiij HH
. Determinan sekular bersifat simetrik terhadap
diagonal utama. Hal ini membuat pekerjaan mengevaluasi integral menjadi terpotong sekitar separuhnya. Dengan menggunakan konsiderasi paritas, kita dapat menunjukkan bahwa sebagian besar integral bernilai nol.
Pertama, marilah kita lihat '13H
:
206
'13H =
22211112
2
)2(2)1(1'
)2(2)1(1 dzdydxdzdydxpsr
ess x
Fungsi s hidrogen hanya bergantung pada r = (x2 + y
2 + z
2)½ dan oleh karena itu merupakan fungsi
genap. Fungsi 2px(2) adalah fungsi ganjil terhadap x2, dan r12 dinyatakan oleh (9-69). Jika kita
menginversi ke enam koordinat, r12 tidak berubah: r12 = [(x1 +
x2)2 + (y1 + y2)
2 + (z1 + z2)
2 ] = r12
Kemudian, jika keenam koordinat pada '13H
diinversi, nilainya berubah menjadi minus nilai semula.
Jadi '13H
tersebut merupakan integral fungsi ganjil, sehingga kita boleh menyimpulkan bahwa '13H
= 0.
Dengan alasan yang sama kita peroleh '14H
= '15H
= '16H
= '17H
= '18H
= 0 dan
'23H
= '
24H
= '25H
= '
26H
= '27H
= '
28H
= 0. Sekarang kita akan mengevaluasi '35H
:
'35H
=
22211112
2
)2(2)1(1'
)2(2)1(1 dzdydxdzdydxpsr
eps yx
Perhatikan pengaruh perubahan x1 x2 dan x2 x2. Transformasi ini tidak mengubah harga r12. Fungsi 1s(1) dan 2py(2) tidak terpengaruh oleh perubahan ini, namun 2px(2) menjadi negatif terhadap
nilai semula. Dengan demikian secara keseluruhan nilai '35H
menjadi negatif terhadap transformasi ini,
dan dapat disimpulkan pula bahwa '35H
= 0. Dengan cara yang sama diperoleh '
36H
= '37H
= '
38H
= 0
dan '45H
= '
46H
= '47H
= '
48H
= 0. Dengan melakukan transformasi y1 y1 dan y2 y2 dapat
ditunjukkan bahwa '57H
= '
58H
= '67H
= '
68H
= 0. Dengan demikian persamaan sekularnya adalah:
00
b00
00b
00b
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
b00
b00
00
00b
88'78
'7877
66'56
'5655
44'34
'3433
22'12
'1211
bH
H
H
H
H
H
bH
H
= 0 (9-97a)
1' EHb iiii
i = 1, 2, ....., 8
Determinan sekularnya berbentuk determinan blok, dan hasilnya adalah perkalian empat buah
determinan yang masing-masing adalah determinan order dua. Dapat kita simpulkan bahwa
fungsi gelombang order nolnya mempunyai bentuk sebagai berikut:
207
022
011
01 cc , 0
220
110
2 cc
044
033
03 cc , 0
440
330
4 cc
066
055
05 cc , 0
660
550
6 cc
088
077
07 cc , 0
880
770
8 cc
dimana koefisien c berhubungan dengan akar pertama sedang c
berhubungan dengan akar
kedua.
Determinan yang pertama dari (9-97a) adalah:
1'
22'12
'12
1'11
EHH
HEH
= 0 (9-98)
Kita mempunyai:
2112
2'11 .dz . . . . . . . . dx )2(2)1(1
')2(2)1(1........... ss
r
essH
atau:
2112
222'
11 d d '
)2(2)1(1 r
essH
2112
222'
22 d d '
)1(2)2(1 r
essH
Variabel integrasinya merupakan variabel yang dapat diberi sembarang simbol. Marilah kita
sekarang melakukan pe-label-an ulang terhadap variabel dalam '22H
dengan ketentuan sebagai
berikut: Kita adakan pertukaran x1 dan x2, pertukaran y1 dan y2 serta pertukaran z1 dan z2.
Pelabelan ulang ini tidak mengubah nilai r12, jadi:
'1112
12
222'
22 d d '
)2(2)1(1 Hr
essH
(9-99)
Argumentasi yang sama menunjukkan bahwa '33H
= '
44H
, '55H
= '
66H
dan '77H
= '
88H
.
Selanjutnya '11H
diberi simbol ssJ 21 :
(9-97b)
208
2112
222
21'11 d d
')2(2)1(1
r
essJH ss
(9-100)
Bentuk (9-100) merupakan contoh integral Coulomb. Nama ini muncul karena adanya fakta
bahwa ssJ 21 sama dengan energi elektrostatik yang muncul dari repulsi antara elektron pertama
yaitu yang fungsi densitas probabilitasnya [1s]2 dengan elektron kedua. yang fungsi densitas
probabilitasnya [2s]2. Selanjutnya '12H
diberi simbol ssK 21 :
2112
2
21'12 d d )2(1)1(2
')2(2)1(1 ss
r
essKH ss
(9-101)
Ini disebut integral pertukaran karena fungsi yang letaknya sebelah menyebelah dengan e’2/r12
berbeda satu dengan yang lain hanya lantaran pertukaran elektron satu dengan dua. Definisi
umum untuk integral Coulomb ijJ dan integral pertukaran ijK adalah:
21'
2112
2
jijiij ffr
effj ; 21
'21
12
2
ijjiij ffr
effK (9-102)
Integrasinya dilakukan untuk seluruh rentang koordinat spasial dari elektron 1 dan 2 dan fi dan
fj adalah orbital spasial.
Substitusi (9-99) sampai (9-101) ke dalam (9-98) menghasilkan:
1
2121
211
21
EJK
KEJ
ssss
ssss
= 0 (9-103)
221
2121 ssss KEJ
ssss KEJ 21
121
ssss KJE 2121
1
`` ssss KJE 2121
11 ;
ssss KJE 21211
2 (9-104)
Sekarang kita dapat menghitung koefisien dari fungsi gelombang order nol yang berhubungan
dengan dua harga 1E tersebut.. Untuk ini kita gunakan (9-84). Jika hanya ada dua harga 1E ,
maka hanya ada dua harga koefisien c, sehingga (9-84) menjadi:
2'121
11
'11 cHcEH = 0
209
21
2'221
'21 cEHcH = 0
atau:
2211212121 )( cKcKjJ ssssssss = 0
2212121121 cKJJcK ssssssSS = 0
atau:
221121 cKcK ssss = 0
221121 cKcK ssSS = 0
Kedua persamaan tersebut sama, yaitu:
2121 ccK ss = 0
Karena ssK 21 pasti tidak nol, maka c1 + c2 = 0 atau c1 = c2. Dari normalisasi:
01
01 = 1, diperoleh:
022
011
022
011 cccc = 1
atau:
021
011
021
011 cccc = 1
02
02
21
01
02
21
02
01
21
01
01
21 cccc = 1
2
12
1 cc = 1 2
1c = ½ = 21, jadi:
2/11 2c
Substitusi c1 ke dalam (9-97b) menghasilkan dua fungsi order nol yaitu:
)2(1)1(2)2(2)1(12)(2 2/102
01
2/101 ssss (9-105)
)2(1)1(2)2(2)1(12)(2 2/102
01
2/102 ssss (9-106)
Tiga determinan yang lain dari (9-97a) adalah:
210
00
b00
00b
00b
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
b00
b00
00
00b
88'78
'7877
66'56
'5655
44'34
'3433
22'12
'1211
bH
H
H
H
H
H
bH
H
1'
33'34
'34
1'33
EHH
HEH
= 0 (9-107)
1'
55'56
'56
1'55
EHH
HEH
= 0 (9-108)
1'
77'78
'78
1'77
EHH
HEH
= 0 (9-109)
Perhatikan '33H dan '
55H :
'33H =
2112
2
............. )2(2)1(1'
)2(2)1(1......... dzdxpsr
eps xx
'55H =
2112
2
............. )2(2)1(1'
)2(2)1(1......... dzdxpsr
eps yy
Kedua integral tersebut adalah sama, hanya )2(2 xp diganti )2(2 yp , dan kedua orbital ini
sepenuhnya sama dan hanya berbeda orientasinya dalam ruangan. Selanjutnya, juga dapat
digunakan lasan yang sama untuk menyatakan bahwa '77H juga sama dengan '
33H dan '55H .
Ketiga integral ini disebut integral Coulomb psJ 21 . Jadi:
'33H = '
55H = '77H = psJ 21 = 21
12
2
)2(2)1(1'
)2(2)1(1 ddpsr
eps zz
Selanjutnya perhatikan '34H , '
56H dan '78H :
211
'34H =
2112
2
............. )1(2)2(1'
)2(2)1(1......... dzdxpsr
eps xx
'55H =
2112
2
............. )1(2)2(1'
)2(2)1(1......... dzdxpsr
eps yy
'78H =
2112
2
............. )2(2)1(1'
)2(2)1(1......... dzdxpsr
eps zz
Ketiga integral tersebut adalah sama dan ketiganya disebut integral pertukaran psK 21 . Jadi:
'34H = '
56H = '78H = psJ 21 = 21
12
2
)1(2)2(1'
)2(2)1(1 ddpsr
eps zz
Dengan demikian ketiga determinan (9-107) sampai (9-109) adalah identik dan mempunyai
bentuk:
1
2121
211
21
EJK
KEJ
psps
psps
= 0
Determinan ini mirip dengan (9-103), dan dengan analogi terhadap (9-104) (9-106), kita
memperoleh:
psps KJEEE 2121
17
15
13 (9-110)
psps KJEEE 2121
18
16
14 (9-111)
)1(2)2(1)2(2)1(12 2/103 xx psps
)1(2)2(1)2(2)1(12 2/104 xx psps
)1(2)2(1)2(2)1(12 2/105 yy psps
)1(2)2(1)2(2)1(12 2/106 yy psps
)1(2)2(1)2(2)1(12 2/107 zz psps
)1(2)2(1)2(2)1(12 2/108 zz psps
(9-112)
212
Ternyata bahwa repulsi e’2/r12 telah mengubah dugaan kita terhadap degenerasi. Semula diduga
bahwa energi level he tereksitasi adalah 8-fold denegerate.. Ternyata 8-ford hipotetis ini pecah
menjadi 2 buah level non degenerate 1s2s dan 2 buah level yang masing-masing 3-fold
degenerate yang berhubungan dengan konfigurasi 1s2p.
Untuk mengevaluasi integral Coulomb dan integral pertukaran dalam 1E pada
persamaan (9-104) dan (9-110) kita dapat menggunakan ekspansi 1/r12 sebagaimana telah kita
lakukan pada (9-53), dan hasilnya adalah (buktikan !):
o
ssa
ZeJ
2
21'
81
17 = 11,42 eV
ops
a
ZeJ
2
21'
243
59
= 13,21 eV
o
ssa
ZeK
2
21'
729
16 = 1,19 eV
o
psa
ZeK
2
21'
6561
112 = 0,93 eV
dengan menggunakan Z = 2. Ingat bahwa 0E = 68,08 eV. Jadi ada empat level energi
koreksi order pertama, yaitu (gambar 9.2):
eVKJEEE ssss 8,57212101
10
eVKJEEE ssss 4,55212101
20
eVKJEEE psps 7,53212101
30
eVKJEEE psps 9,53212101
40
(9-113)
Jp
Js
1s2p
1s2s
53,9 eV
55,4 eV
55,7 eV
57,8 eV
Kp
Ks
213
Gambar 9.2 : Level tereksitasi pertama dari atom helium
Koreksi energi order pertama menunjukkan bahwa level bawah dari 1s2p ternyata lebih rendah dari level atas pada konfigurasi 1s2s. Studi terhadap spektrum atom helium menunjukkan bahwa kenyataannya tidak seperti itu. Kesalahan ini akan terhapus jika dilakukan koreksi energi perturbasi dengan order yang lebih tinggi.
9.8 Perbandingan antara Metode Variasi dengan Perturbasi
Penggunaan metode variasi hanya terbatas untuk level ground state dari sebuah atom atau molekul yang merupakan state dari sebagian besar unsur atau senyawa kimia sedang metode perturbasi dapat diterapkan untuk seluruh state dalam atom dan molekul. Meskipun metode perturbasi, secara teoritik dapat digunakan untuk melakukan kalkulasi terhadap seluruh state, namun kenyataannya, adalah sangat rumit untuk melakukan kalkulasi penjumlahan terhadap state diskrit yang banyaknya tak terhingga dan kalkulasi integral untuk mengevaluasi koreksi order kedua atau yang lebih tinggi.
Dengan metode perturbasi, kita dapat mengkalkulasi energi dengan hasil yang sangat
akurat (sampai dengan koreksi order 2k+1) dengan menggunakan fungsi gelombang order k.
Sementara itu, meskipun metode variasi tidak dapat menghasilkan kalkulasi secara sangat
akurat, tetapi metode ini dapat digunakan untuk menghitung energi dengan fungsi gelombang
yang tidak harus akurat.
Meskipun hampir semua kalkulasi terhadap fungsi gelombang molekul telah dilakukan
orang dengan menggunakan metode variasi, namun ada baiknya dilakukan kembali kalkulasi
yang sama tetapi dengan metode perturbasi.
9.9 Teori Perturbasi Bergantung Waktu
Dalam spektroskopi, kita selalu bekerja dengan sistem dalam state stasioner, mengekspose-nya
menjadi radiasi elektromagnet (cahaya), dan kemudian melakukan pengamatan setelah sistem
mengalami transisi menjadi sistem stasioner yang baru. Radiasinya menghasilkan energi
214
potensial bergantung waktu pada operator Hamiltonian, jadi kita harus menggunakan persamaan
Schrodinger bergantung waktu. Metode pendekatan yang lazim dipergunakan dalam kasus ini
disebut teori perturbasi bergantung waktu.
Perhatikan sebuah sistem (atom atau molekul) dan kita misalkan sistem itu mempunyai
Hamiltonian bebas waktu oH
(dalam keadaan tidak ada radiasi maupun perturbasi bergantung
waktu yang lain) dan mempunyai perturbasi bergantung waktu 'H
. Persamaan Schrodinger
bebas waktu untuk problem tak terperturbasi adalah:
ok
ok
ok
o EH
(9-114)
dengan okE adalah energi stasioner dan o
k adalah fungsi gelombang. Selanjutnya, persamaan
Schrodinger bergantung waktu (dalam keadaan ada radiasi) adalah:
'HH
tio
(9-115)
dengan adalah fungsi gelombang bergantung pada koordinat spasial, koordinat spin (diberi
simbol q) dan bergantung waktu, jadi = (q,t).
Pada mulanya, kita anggap bahwa )(' tH
tidak ada (dianggap dalam keadaan tak
terperturbasi). Dengan demikian persamaan Schrodingernya (tak terperturbasi) adalah:
oH
ti
(9-116)
Kemungkinan bahwa sistem ini stasioner, diberikan oleh ok
tiEok
oke
/ , dengan o
k adalah
fungsi eigen dari oH
[persamaan (9-114)]. Tiap-tiap ok merupakan solusi dari (9-116).
Selanjutnya, kombinasi linear:
k
okk
o c =
k
ok
tiEk
okec
/ (9-117)
adalah solusi dari persamaan Schrodinger (9-116) . Tetapan kc adalah sebuah tetapan bebas
waktu.
Fungsi ok membentuk himpunan lengkap (karena mereka merupakan fungsi eigen dari
operator Hermitian oH
), sedemikian rupa sehingga setiap solusi (9-116) dapat dinyatakan
215
dalam bentuk (9-117). Dengan demikian (9-117) adalah solusi umum bagi persamaan
Schrodinger bergantung waktu (9-116), dan oH
bersifat bebas waktu.
Sekarang kita anggap bahwa )(' tH
sadah ada. Dalam keadaan ini, (9-117) tidak lagi
merupakan solusi persamaan Schrodinger bergantung waktu. Namun, karena fungsi tak
terperturbasi ok membentuk himpunan lengkap, akibatnya fungsi yang sesungguhnya dapat
berada di sembarang waktu yang diekspansi sebagai kombinasi linear dari fungsi ok menurut
relasi k
okk
o b . Karena H
bergantung waktu, tentu saja akan berubah terhadap waktu
dan ekspansi koefisien kb juga berubah terhadap waktu. Oleh karena itu:
=
k
ok
tiEk
oketb
/ (9-118)
Dalam kondisi limit )(' tH
0, ekspansi (9-118) akan tereduksi menjadi (9-117).
Substitusi (9-118) ke dalam persamaan Schrodinger bergantung waktu (9-115) dan
penggunaan (9-114) menghasilkan:
ok
tiE
k
koke
dt
db
i /
+ ok
tiE
kk
ok
okebE
/
= ok
ok
tiE
kk Eeb
ok
/
+ o
ktiE
kk Heb
ok '
/
ok
tiE
k
koke
dt
db
i /
= ok
tiE
kk Heb
ok '
/
Selanjutnya kita kalikan dengan *om dan diintegrasi ke seluruh koordinat spasial dan
spin. Dengan menggunakan sifat ortonomalitas dari fungsi gelombang tak terperturbasi, kita
peroleh:
ok
om
tiE
k
koke
dt
db
i
/ = o
kom
tiE
kk Heb
ok '
/
Karena faktor ok
om , semua suku pada ekspansi ruas kiri menjadi nol kecuali satu yaitu
jika m = k , sehingga:
216
/tiEk
oke
dt
db
i
= o
kom
tiE
kk Heb
ok '
/
Karena k = m, maka ruas kiri dapat ditulis /tiEkome
dt
db
i
, sehingga::
/tiEkome
dt
db
i
= ok
om
tiE
kk Heb
ok '
/
atau:
dt
dbk =
i
ok
om
tEEi
kk Heb
ok
om '
/ (9-119)
Marilah kita menganggap bahwa perturbasi )(' tH
diaplikasikan pada t = 0 dan bahwa sebelum
perturbasi diaplikasikan sistem berada dalam keadaan stasioner pada keadaan n dengan energi
.onE Oleh karena itu, fungsi pada t = 0 adalah o
ntiEo
ne / , dan pada t = 0 nilai dari
koefisien ekspansi pada (9-118) adalah )0(nb = 1 dan )0(kb = 0 untuk nk . Jadi:
knkb )0( (9-120)
Untuk memfasilitasi solusi (9-119), kita akan mengasumsikan bahwa perturbasi 'H
adalah kecil
dan hanya bekerja dalam waktu yang singkat. Dalam kondisi seperti itu, perubahan nilai
koefisien kb dari nilai asal pada saat perturbasi diaplikasikan adalah sangat kecil. Sebagai
aproksimasi, kita dapat mengganti koefisien ekspansi pada ruas kanan (9-119) dengan nilai
asalnya (9-120), sehingga:
dt
dbk =
i o
nom
tEEi Heon
om '/
Selanjutnya perturbasi 'H
diaplikasikan dari t = 0 sampai t = t’. Integrasi dari t = 0
sampai t = t’, dan dengan menggunakan (9-120) diperoleh:
'
0
/ ')'(t
on
om
tEEimnm dtHe
itb
on
om
(9-121)
Penggunaan hasil aproksimasi (9-121) untuk koefisien ekspansi dalam (9-118) memberikan
aproksimasi yang dikehendaki terhadap fungsi keadaan pada t = t’ pada kasus yang perturbasi
bergantung waktunya ( 'H
) diaplikasikan pada t = 0 untuk sistem dalam keadaan stasioner n.
217
Untuk t setelah t’, aksi perturbasi telah berhenti, dan 'H
= 0. Dengan demikian
persamaan (9-119) memberikan 0/ dtdbm untuk t > t’. Oleh karena itu, untuk t setelah
pencahayaan terhadap perturbasi, fungsi adalah [persamaan (9-118)]:
=
m
om
tiEm
ometb / ' untuk 'tt (9-122)
dengan 'tbm koefisien sebagaimana dinyatakan oleh (9-121). Dalam (9-122), adalah
superposisi dari om yaitu fungsi eigen operator oH
. Telah kita bahas dalam bab 7, bahwa
pengukuran energi sistem pada t setelah t’ akan menghasilkan sebuah nilai eigen omE yaitu nilai
eigen dari operator oH
, dan probabilitas memperoleh omE adalah sama dengan kuadrat dari
nilai koefisien ekspansi atau 2 ' tbm .
Perturbasi bergantung waktu mengubah fungsi dari on
tiEone / menjadi superposisi (9-
122). Kemudian, pengukuran energi mengubah menjadi salah satu energi fungsi eigen
om
tiEome / . Hasil bersihnya adalah transisi dari keadaan stasioner n menjadi keadaan stasioner
m, dengan probabilitas terjadinya transisi adalah 2 ' tbm .
Soal-Soal
1. Untuk osilator tak harmonik dengan Hamiltonian (9-3), evaluasilah )1(E untuk keadaan
tereksitasi pertama.
218
2. Sebuah partikel dalam sistem box satu dimensi mempunyai fungsi energi potensial sebagai
berikut:
V = b untuk ¼ l < x < ¾ l , V = 0 untuk 0 < x < ¼ l dan x > ¾ l
dan di luar itu V = tak terhingga, dengan b = 22 / ml . Perlakukan sistem sebagai partikel
terperturbasi dalam box.
(a) Tentukan koreksi energi order pertama untuk seluruh state stasioner dengan bilangan
kuantum n.
(b) Untuk ground state dan tereksitasi pertama, bandingkan )1()0( EE dengan energi yang
sesungguhnya yaitu 5,750345 22 / ml dan 20,23604 22 / ml .
3. Untuk partikel terperturbasi dalam box sebagaimana tersebut pada soal (2) di atas, tentukan
koreksi order pertama untuk fungsi gelombang yang stasioner pada keadaan dengan
bilangan kuantum n
4. Ketika Hylleraas memulai kalkulasinya pada helium, saat itu belum diketahui apakah ion
hidrida terisolasi (ion H
) merupakan entitas yang stabil atau tidak. Kalkulasilah energi
ground state ion H
, diprediksi dengan fungsi trial (9-58). Bandingkan hasilnya dengan
energi ground state atom hidrogen, yaitu 13,6 eV, dan tunjukkan bahwa fungsi variasi
sederhana ini mengindikasikan bahwa H
tidak stabil. (Dengan fungsi variasi yang lebih
kompleks, dihasilkan energi ground state H
adalah 14,35 eV).
5. Ada lebih dari satu cara untuk memisahkan Hamiltonian H
menjadi bagian tak terpertubasi
oH
dan bagian perturbasi 'H
. Selain yang dapat kita lihat pada (9-40) dan (9-41),
pemisahan Hamiltonian untuk atom helium adalah sebagai berikut:
oH
= 2
2
1
222
221
2 '
16
5'
16
5
22 r
eZ
r
eZ
mm ee
219
'H
= 12
2
2
2
1
2 e'
'
16
5'
16
5
rr
e
r
e
Bagaimana fungsi gelombang tak terperturbasinya ? Kalkulasilah )0(E dan )1(E untuk
ground state. (Lihat sub bab 9.4)
6. Sebagian besar (tetapi tidak semua) pengaruh gerak inti atom helium dapat dikoreksi dengan
cara mengganti em dengan massa tereduksi dalam menyatakan energi. Tentukan, energi
helium merupakan pangkat berapa dari em ? [Lihat persamaan (9-66)].
7. Kalkulasilah < 1r > untuk fungsi trial helium (9-58).
8. Tunjukkan bahwa persamaan sekular (9-85) dapat ditulis sebagai:
det )( ' )1()0()()(
nnmio
io
m EEH
= 0
220
DAFTAR PUSTAKA
Balentine, L.E., Am. J. Phys., 55, 785, 2004
Bates, D.R., Quantum Theory, Academic Press, New York, 1961
Bell, R.P., Tunnel Effect in Chemistry , Chapmann & Hall, London, 1990
Berry. R.S. J. Chem. Educ., 43, 283, (1966)
Bunge, C. F. , Phys. Rev. A.,14, 2003
Cohen, I., and Bustard, T., J. Chem. Educ., 43, 187, (1966).
De Witt B.S dan Graham, R.N. , Am.J.Phys., 39, 724 , (1971)
d'Espagnat, Conceptual Foundations of Quantum Mechanics, Wiley, New York (1974).
Eyring, H., Walter, J., Kimball, G.E., Quantum Chemistry, Wiley, New York, 1944
Greenberger, D. , Physics Today (dimuat dalam majalah N.D. Mermin, April 2004
Hameka, H.F., Quantum Mechanics, Wiley, New York, 1981
Jammer, M., The Philosophy of Quantum Mechanics, Wiley, New York, 2003
Kauzmann, W., Quantum Chemistry, New York, 1997 hal 703-713
Kush, P., Physics Today, ND Mermin, 1966
Levine, Ira N, Molecular Spectroscopy Prentice Hall, Inc., New Jersey, 1998
Levine, Ira N, Quantum Chemistry, Prentice Hall, Inc., New Jersey, 1991
Lowdin, P.O., Adv. Chem. Phys., 2, 207, (1959) . ; halaman 260-261
Midtal, J., Modern Physics, Academic Press, New York, 1965
Moore, C.E. , Ionization Potentials and Ionization Limits, NSRDS-NBS 34, National Bereau of Standards, 1970
Scherr, C.W., dan Knight, R.E., Revolution Modern Physics, 35, 436, 1963
Slater, J. C., Quantum Theory of Matter, edisi 2, Mc-Graw Hill, 1998
Zukav, G.,; An Overview of the New Physics, Morrow, New York (2001)