bagian i. dasar mekanika fluida · pdf filemekanika kontinum 3 untuk digunakan karena setiap...
TRANSCRIPT
1
Bagian I. DASAR MEKANIKA FLUIDA
Mekanika Kontinum 2
BAB
1 Mekanika Kontinum
1.1 Pendahuluan Tujuan utama dari bab ini adalah menurunkan persamaan-persamaan dasar yang
menjelaskan gerak dari sebuah ‘benda’ solid atau fluida dari prinsip-prinsip dasar fisika.
Dalam ilmu mekanika, gerak sebuah ‘benda kaku (rigid)’ dijelaskan atau diprediksikan
dengan menggunakan hukum Newton ke dua. Berbeda dengan ‘benda rigid’ di mana
tidak terdapat ‘gerakan relatif’ di antara bagian-bagian dari benda tersebut, ‘benda’ yang
akan dipelajari ini terdiri dari bagian-bagian yang dapat bergerak secara relatif.
‘Benda rigid’ ‘Benda yang akan dipelajari’
Di bawah ini adalah beberapa cara yang mungkin dipakai untuk mendapatkan
persamaan-persamaan yang menjelaskan gerak di ‘benda’ tersebut :
1. Dinamika molekuler (Molecular Dynamics):
Dalam metoda ini ‘benda’ dianggap terdiri dari molekul-molekul yang gerakannya
diatur oleh hukum Newton kedua. Metoda ini adalah metoda yang paling tepat
Mekanika Kontinum 3
untuk digunakan karena setiap benda terdiri dari molekul-molekul. Namun, metoda
ini sulit diterapkan karena alasan-alasan sebagai berikut
dt
xdmF i
ii
2
=
)(),( oioi txtx•
kondisi awal
Untuk menyelesaikan persamaan di atas dibutuhkan kondisi awal dari molekul i.
Untuk sebuah molekul, diperlukan enam kondisi awal (tiga posisi awal dan tiga
kecepatan awal). Untuk menjelaskan gerak sebuah benda yang terdiri dari N
molekul, dibutuhkan 6N kondisi awal. Namun untuk satu mol gas, misalnya,
terdapat sekitar 1020 molekul. Jadi tidak mungkin kita mengetahui kondisi awal dari
molekul-molekul yang membentuk benda tersebut. Sehingga persamaan di atas
tidak dapat diintegrasikan. Kesimpulan : walaupun metoda ini merupakan metoda
yang paling tepat untuk memodelkan ‘benda’ yang akan dipelajari, namun metoda
ini sangat sulit untuk diterapkan.
2. Mekanika Statistik :
Metoda ini menggunakan prinsip-prinsip statistik dan teori kemungkinan untuk
mengatasi persoalan banyaknya kondisi awal yang perlu diketahui, seperti yang
dijelaskan di atas. Dalam metoda ini sifat-sifat ‘benda’ dijelaskan dengan
menggunakan f: ‘statistical distribution function’ yang didefinisikan sebagai berikut.
);,...,;,...,( 11 tPPxxff nn= Pi : momentum i
=nn dPdPdxfdx ...... 11 kemungkinan molekul-molekul dalam sistem mempunyai
koordinat dan momentum antara xi, Pi dan xi + dxi, Pi + dPi (kemungkinan molekul
satu mempunyai koordinat antara x1 dan x1 + dx1 dan momentum antara P1 dan P1 +
dP1, molekul dua mempunyai koordinat antara x2 dan x2 + dx2 dan momentum
antara P2 dan P2 + dP2, … dan seterusnya).
Mekanika Kontinum 4
Evolusi dari f sendiri dijelaskan dengan persamaan
0);,...,;,...,( 11 =
dttPPxxdf nn (Teorema Louiville)
Fungsi distribusi f dapat digunakan untuk menghitung nilai rata-rata seperti,
∫= fdvn , ∫== fvdvn
uv 1 .
Nilai-nilai seperti n dan uv ≡ adalah nilai makroskopik atau nilai yang dapat diukur
secara langsung. Persamaan-persamaan makroskopik didapatkan dari persamaan
Louiville (mengambil ‘moment’ dari persamaan diatas) yaitu dengan mengalikan
persamaan Liouiville dengan vn (n = 0, 1, 2) kemudian mengintegrasikan hasilnya.
Namun, karena f merupakan fungsi dari seluruh molekul yang ada dalam sistem,
persamaan yang didapat sangatlah kompleks dan sulit untuk diintegrasikan.
Namun, untuk kasus ‘low density gas’ di mana interaksi antara molekul-molekul
dapat diabaikan sehingga ),( vxff = (f hanya fungsi dari koordinat dan kecepatan
dari sebuah molekul), persamaan yang didapat menjadi lebih sederhana. Persamaan
yang didapat disebut ‘persamaan Boltzmann’. Namun, sekali lagi persamaan ini
hanya dapat diterapkan untuk kasus ‘low density gas’.
3. Mekanika Kontinum (Continuum Mechanics)
Metoda ini adalah metoda yang akan kita pergunakan. Dalam metoda ini struktur
molekul dari zat atau ‘benda’ diabaikan dan ‘benda’ dianggap sebagai suatu
kesatuan yang kontinyu yang bagian-bagiannya dapat bergerak secara relatif.
Yang dimaksud dengan kontinyu disini adalah benda tersebut merupakan suatu
kesatuan apabila dilihat secara makroskopik. Contohnya adalah sebuah papan tulis
atau sekumpulan gas. Kita ketahui bahwa papan tulis yang dibuat dari kayu,
misalnya, terbentuk dari kumpulan molekul-molekul yang terpisah-pisah (diskrit).
Namun, mata kita tidak melihat kenyataan tersebut. Apa yang kita lihat adalah
suatu kesatuan yang kontinyu. Demikian pula dengan sekumpulan gas. Gas
tentunya terdiri dari molekul-molekul yang terpisah-pisah, namun kita tidak
merasakan hal tersebut. Udara yang sekarang ada disekitar kita, misalnya, “terasa”
Mekanika Kontinum 5
seperti sesuatu yang kontinyu. Dengan kata lain kita tidak merasakan benturan-
benturan setiap molekul secara terpisah-pisah.
Model continuum tidak dapat diterapkan apabila ukuran dari bagian ‘benda’ yang
dipelajari hampir sama dengan dimensi karakteristik dari molekul-molekul ‘benda’
tersebut. Dimensi karakteristik yang biasa dipakai dalam gas adalah ‘mean free
path’ . adalah jarak rata-rata yang dilalui sebuah molekul sebelum
bertumbukan dengan molekul lainya.
)(Λ Λ
ρ1
≈Λ . Jika tekanan gas sangat rendah,
seperti di atmosfer bagian atas, Λ dapat saja sebanding dengan gas yang dipelajari
dan model kontinum tidak dapat digunakan.
1.2 Kinematika Seperti dijelaskan di atas, model kontinum mengangap ‘benda’ sebagai sesuatu yang
kontinyu. Benda kontinum biasanya dianggap terdiri dari bagian-bagian yang disebut
‘material element’. Ukuran elemen-elemen ini sangat kecil, dari sudut pandang
makroskopik, tetapi didalamnya terdapat banyak sekali molekul sehingga walaupun
kecil elemen-elemen tersebut adalah sebuah kontinum.
Asumsi kontinum menganggap setiap titik dalam ruang yang dipelajari diduduki oleh
‘benda tersebut’. Sehingga terdapat ‘korespondensi satu-satu’ antara ruang dan benda
kontinum. Hal ini memungkinkan kita untuk menjelaskan harga dari sebuah variabel
dengan menggunakan dua sudut pandang yang berbeda. Contohnya misalkan kita
menyatakan kecepatan dari sebuah ‘material element’. Yang mempunyai kecepatan itu
adalah ‘material element’ tersebut. Tetapi karena setiap titik dalam ruang diduduki oleh
bagian dari benda kontinum, kita dapat meyatakan bahwa kecepatan dari ‘material
element’ tersebut adalah kecepatan pada sebuah titik dalam ruang yang diduduki oleh
‘materal element’ pada saat itu.
Hukum-hukum dasar fisika (seperti hukum Newton II) dituliskan untuk sebuah partikel
atau benda rigid yang seluruh elemen dari benda tersebut bergerak dengan kecepatan
Mekanika Kontinum 6
yang sama. Benda continuum yang akan kita pelajari adalah benda yang elemen-
elemennya atau bagian-bagiannya dapat bergerak dengan kecepatan yang berbeda (ada
gerakan relatif antarelemen-elemen di benda continuum). Oleh karena itu, kita harus
lebih berhati-hati dalam menerapkan persamaan-persamaan dasar fisika untuk benda
kontinum yang akan kita pelajari. Misalnya kita harus mengetahui apa artinya turunan
waktu )(dtd dari sebuah benda yang bagian-bagiannya dapat bergerak dengan kecepatan
yang berbeda. Hal-hal seperti itulah yang akan dibahas dalam bagian ini.
1.2.1 Sudut Pandang Lagrangian dan Eularian Karena adanya ‘korespondensi satu-satu’ antara benda kontinum dan ruang, maka gerak
benda kontinum dapat dijelaskan sebagai berikut :
Benda kontinum, kita bayangkan, terdiri dari bagian-bagian kecil yang kita sebut
‘material element’. Material element ini kita beri label ζ. Karena adanya
korespondensi satu-satu maka ada ‘mapping’ χ yang menghubungkan setiap ‘material
element’ ζ dengan setiap titik x dalam ruang. Sehingga dapat kita nyatakan :
)(ζχ=x dan )(1 x−= χζ
Artinya : titik x dalam ruang adalah titik yang diduduki oleh partikel ζ dan ζ adalah
material element yang berada di titik x dalam ruang.
Apabila kita perkenalkan sebuah sistem koordinat seperti di atas maka kita dapat
tuliskan persamaan di atas sebagai berikut :
)(ζχ=x , )(1 x−= χζ
Mekanika Kontinum 7
Artinya : posisi x dalam ruang adalah posisi yang diduduki oleh partikel ζ dan ζ adalah
material element yang berada di posisi x dalam ruang.
Gerak dari benda kontinum adalah :
),( tx ξχ= dan ),(1 tx−= χξ
hubungan diatas menjelaskan dimana posisi ( x ) dari ξ pada waktu t atau ξ adalah
partikel/material element yang berada di posisi x pada waktu t.
Posisi awal dari partikel )(ξξ dapat pula kita gunakan untuk alternatif penulisan
persamaan di atas,
),( tx ξχ= (2.1)
),(1 tx−= χξ (2.2)
Persamaan (2.1) menjelaskan deformasi dari sebuah material element yang awalnya
berada di posisi ξ sedang (2.2) adalah menelusuri posisi awal dari material element
yang yang pada waktu t berada di posisi x .
Asumsi : Dengan adanya 1−χ maka kita asumsikan bahwa gerakan benda kontinum
adalah gerakan yang kontinyu dan “single valued” (material element tidak
dapat dipecah dan menempati 2 tempat yang berbeda juga 2 material element
berbeda tidak dapat menempati posisi yang sama).
Persamaan (2.1) dan (2.2) menjelaskan 2 sudut pandangan berbeda yang dapat kita
gunakan dalam mempelajari mekanika benda kontinum. Apabila kita gunakan (2.1) kita
mengikuti gerak dari sebuah material element yang kita beri label ξ . Sudut pandang ini
disebut sudut pandang Lagrangian. Sudut pandang seperti inilah yang digunakan
apabila kita menuliskan hukum Newton II untuk sebuah partikel/benda rigid (kita ikuti
gerakan dari partikel/benda rigid tersebut).
Sedangkan (2.2) menjelaskan sesuatu yang sama dengan (2.1) tetapi dengan
menggunakan sudut pandang yang berbeda. Disini kita perhatikan sebuah titik dan
mengamati “material element” yang berada dititik tersebut pada waktu t. Untuk
Mekanika Kontinum 8
mengamati gerakan dari benda kontinum maka kita perlu mengamati seluruh titik dalam
ruang yang pada waktu tertentu diduduki oleh bagian-bagian berbeda dari benda
kontinum. Disini variabel yang independen adalah x dan t. Sudut pandang seperti ini
disebut sudut pandang Eulerian.
Dengan persamaan (2.1) dan (2.2) kita dapat menyatakan harga dari sebuah variabel F
dengan menggunakan 2 sudut pandang yang berbeda;
F(x,t) = F[x( ,t)] = F( ,t)ξ ξ
Artinya harga variabel F diposisi x pada waktu t adalah harga F dari partikel yang
berada di x pada waktu t.
Jadi kita dapat menyatakan harga F, yang sebenarnya merupakan sesuatu yang dimiliki
oleh partikel, adalah harga disuatu posisi pada ruang. Ini dimungkinkan karena adanya
korespondensi satu-satu yang merupakan konsekuensi dari asumsi bahwa “benda”
dianggap suatu yang kontinum.
1.2.2 Turunan Material Sekarang kita akan lihat konsekuensi dari kesamaan antara 2 sudut pandang,
Lagrangian dan Eulerian, dalam mengevaluasi turunan waktu dari sebuah kuantitas
),( tF ξ . Turunan waktu dari ),( tF ξ yang diobservasi oleh pengamat yang bergerak
bersama material element ξ adalah,
( )
tan
3
1
( , ) ( , ),kons
i
i i
dF F t F x t tdt t t
xF F F u Ft x t t
ξ
ξ
ξ ξ
=
∂ ∂ ⎡ ⎤≡ = ⎣ ⎦∂ ∂∂∂ ∂ ∂⎛ ⎞= + ∑ = + ⋅∇⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂⎝ ⎠
Di mana ξ
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
=txu (perubahan waktu dari koordinat partikel ξ ). Kuantitas F bisa
merupakan skalar, vektor, atau tensor dengan orde yang lebih tinggi lainnya. Sekarang
kita akan menuliskan kembali hasil di atas yaitu,
Mekanika Kontinum 9
( )Fu
tF
dtdF
∇⋅+∂∂
= (2.3)
Arti dari suku sebelah kiri telah dijelaskan di atas. Hukum-hukum dasar fisika biasanya
dituliskan dengan menggunakan turunan yang mengikuti benda yang bergerak ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ F
dtd .
Karena kita dapat menggunakan sudut pandang lainnya (Eulerian) maka turunan
tersebut yang juga disebut “turunan material” atau “turunan substansial” dapat
dituliskan seperti dalam persamaan (2.3). Suku pertama disebelah kanan berarti
turunan waktu dari F di sebuah titik. Suku inilah mempunyai harga nol dalam kasus
Steady. Suku kedua di sebelah kanan menjelaskan perubahan waktu dari F yang
diakibatkan oleh pergerakan material element di daerah di mana terdapat . F∇
1.2.3 Reynold Transport Theorem Di subbagian ini, kita akan mempelajari cara untuk mengevaluasi turunan material dari
integral volume dari sebuah kuantitas F. Ini akan sangat berguna pada waktu kita
membahas dinamika benda kontinum nanti.
Untuk generalitas, kita misalkan volume dapat berubah-ubah (V=V(t)) dan juga
permukaannya bergerak dengan kecepatan v . Jadi permasalahannya adalah
?),()(
=∫ dVtxFdtd
tV
Kita mulai dari definisi dtd :
⎪⎭
⎪⎬⎫
⎪⎩
⎪⎨⎧
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡−∆+
∆→∆= ∫ ∫∫
∆+ )( )()(
)()(10
lim),(
ttV tVtV
dVtFdVttFtt
dVtxFdtd
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
lim 1( ) ( ) ( ) ( ) ( )0V t V t t V t V t V t
d F t dV F t t dV F t t dV F t t dV F t dVtdt t +∆
⎧ ⎫⎡ ⎤⎪ ⎪= + ∆ − + ∆ + + ∆ −⎢ ⎥⎨ ⎬∆ → ∆ ⎢ ⎥⎪ ⎪⎣ ⎦⎩ ⎭∫ ∫ ∫ ∫ ∫
Mekanika Kontinum 10
Perhatikan 2 suku terakhir di sebelah kanan
[ ] [ ] dVtFdV
ttFttF
tdV
ttFttF
t tVtVtV∫∫∫ ∂
∂=
∆−+∆
→∆=
∆−+∆
→∆ )()()(
)()(0
lim)()(0
lim
Jadi
∫ ∫∫−∆+ ∂
∂+∆+
∆→∆=
)()( )()(
)(10
lim)(
tVttV tVtV
dVtFdVttF
ttdVtF
dtd
Di mana,
∫∫∫ ∆+−∆+≡∆+∆+−∆+ )()()()(
)()()(tVttVtVttV
dVttFdVttFdVttF
adalah perubahan F yang disebabkan oleh perubahan volume
Untuk mengevaluasi integral ini (disebabkan oleh perubahan V), kita perhatikan sketsa
di atas. Gambar pertama adalah volume pada waktu t dan yang kedua pada waktu
. Gambar yang paling kanan adalah kedua volume tersebut apabila kita
tumpukkan volume V(t) “di dalam” volume V
( tt ∆+ )( )tt ∆+ . Perbedaan antara kedua volume
tersebut adalah daerah yang bertitik-titik dan harga volume didaerah ini adalah
. Untuk mendapatkan volume di daerah ini, kita perhatikan bagian kecil
dari daerah tersebut dan ini digambarkan di bagian bawah dalam sketsa di atas. Dari
sketsa tersebut jelaslah bahwa volume daerah tersebut adalah
∫−∆+ )()( tVttV
dV
( )dStnv ∆⋅ ˆ . Dengan
demikian maka,
Mekanika Kontinum 11
∫∫∫ ⋅=⋅∆+→∆
=∆+∆→∆ −∆+ )()()()(
ˆ)(ˆ)(0
lim)(1
0lim
tStStVttV
dSnvtFdSnvttFt
dVttFtt
Akhirnya kita gunakan integral-integral ini dan hasilnya adalah
dSnvtxFdVT
txFdVtxFdtd
tStVtV
⋅+∂
∂= ∫∫∫
)()()(
),(),(),( (2.4)
Persamaan terakhir dikenal dengan sebutan Reynolds Transport Theorem.
Contoh: F = 1 ⇒ ( ) ( )∫∫∫ ∇=⋅=)()()(
.ˆtVtStV
dVvdSnvdVdtd
Apabila V(t) sangat kecil )()( tVtV δ→ maka
( ) VVdtd
V⋅∇=δ
δ1
1.2.4 Deformasi benda kontinum
Di subbagian berikut ini kita akan mempelajari deformasi dari sebuah benda kontinum.
Benda kontinum adalah benda yang tidak rigid. Jadi bagian-bagian dari benda ini dapat
bergerak secara relatif. Gerak relatif ini menyebabkan terjadinya deformasi benda
kontinum. Kita akan mempelajari deformasi dan laju perubahan dari deformasi
tersebut. Ini nantinya akan berguna dalam memahami gerakan benda kontinum dan juga
dalam menentukan persamaan konstitutif yang akan kita bahas nanti.
Untuk mempelajari deformasi kita akan amati 2 atau 3 titik didalam benda kontinum
(point P dan Q atau point P,Q,dan R) sebelum dan sesudah deformasi. Nanti akan
ditunjukkan bahwa perubahan bentuk atau deformasi dijelaskan oleh sebuah matrix C .
Sedangkan ‘rate’ dari deformasi dijelaskan oleh matrix D .
Deformasi itu sendiri menyebabkan perubahan panjang dari sebuah segmen dalam
kontinum. Selain itu deformasi juga menyebabkan terjadinya perubahan sudut antara
dua segmen.
Mekanika Kontinum 12
i) Deformation Gradien Tension : F
ξ3 , x3 Q: x (ξ + dξ,t) ε + dε
dx= dx l Q0
dξ = dξ L ξ + dξ P: x(ξ,t)
ε P0 ξ
ξ2 , x2
ξ1 , x1
l : unit vektor di arah p pada waktu t
L : unit vektor di arah QP • pada waktu 0=t
Untuk mempelajari deformasi benda kontinum, kita perhatikan 2 buah titik P dan Q di
dalam material. Pada Waktu t, titik P berada di posisi x dan Q berada di posisi xdx + .
Sedangkan pada waktu t = 0 (awalnya), titik P berada di posisi ξ, dan Q berada di posisi
ξξ d+ . Sekarang kita akan mempelajari hubungan antara dx dan dξ, yaitu vektor yang
menghubungkan titik P dan Q pada waktu t dan t = 0. Karena PQ sangat dekat, maka
untuk menentukan posisi Q pada waktu t, maka kita dapat menggunakan ekspansi
Taylor,
( ) ( ) ( ) ( )2,,, ξθξ
ξξ
ξξξ +⋅∂
∂+=+ d
txtxtdx .
Sehingga,
( ) ( ) ( )ξ
ξξ
ξξξ dtx
txtdxxd ⋅∂
∂=−+=
,,,
Mekanika Kontinum 13
Apabila kita definisikan ( )ξξ
∂
∂≡
txF
,, maka
ξdFxd ⋅= .
Tensor orde dua F disebut juga “Deformation Gradien Tensor”. Dengan
menggunakan invers dari F ,
ξξ ddFFxdF =⋅=⋅ −− 11
di mana x
F∂
∂=− ξ1
• Stretch Ratio
Sekarang kita akan lihat bagaimana panjang dari PQ , atau panjang dari sebuah
‘material line’ berubah karena deformasi. Pertama-tama kita tuliskan dx
( )LdFdFxd ˆξξ ⋅=⋅=
karena Ldd ˆξξ = (lihat gambar di atas!). Tetapi ldxxd ˆ= sehingga,
LFdxdl ˆ⋅=ξ
Sekarang, kita cari panjang PQ pada waktu t,
( ) ( ) ( )
LFFLddx
LFLFdx
ddLFlxdldx
T ⋅⋅=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
⋅⋅⋅=⋅⋅=⋅=
2
2
ξ
ξξ
atau
( )ˆ ˆL L Cλ = ⋅ ⋅ L di mana FFC T≡ dan ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛≡
ξλ
ddx
Dari persaman di atas dapat dilihat bahwa λ atau rasio dari panjang PQ pada waktu t
dan t = 0, dapat dihitung apabila F diketahui.
Mekanika Kontinum 14
• Perubahan Sudut
Mdd ˆ'' ξξ =
mdyyd ˆ=
Selain mengalami perubahan panjang, benda kontinum juga dapat mengalami
perubahan sudut antara 2 material line dan deformasi. Sekarang kita akan lihat
bagaimana sudut antara 2 material line ini berubah. Untuk itu, kita tampilkan sebuah
titik baru, yaitu titik R. Sudut antara PQ dan R pada waktu t adalah,
dyyd
dxxdml ⋅=⋅= ˆˆcosθ
Namun, ξdFxd ⋅= dan 'ξdFyd ⋅= . Kita dapat gunakan F yang sama untuk xd
dan yd , karena F adalah fungsiξ dan t atau harganya tergantung dari titik P. Dengan
demikian maka,
( ) ( ) ( )
( ) ( )
' '
'
ˆ ˆcos
ˆ ˆˆ ˆ
ˆ ˆ
T
TT
F dF d d dl m F F
dx dy dx dy
L F F Md dL F F Mdx dy L M
ξξ ξ ξθ
ξ ξλ λ
⋅ ⎛ ⎞⋅ ⎛ ⎞= ⋅ = ⋅ = ⋅ ⋅⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎝ ⎠ ⎝ ⎠
⋅ ⋅⎛ ⎞⎛ ⎞= ⋅ ⋅ =⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠ ⎝ ⎠
atau
( ) ( ) ( )ML
MCLML ˆˆ
ˆˆˆ,ˆcos
λλθ
⋅⋅=
Jadi, sama seperti perubahan panjang, perubahan sudut ditentukan oleh F .
R0
P0
Q0
Ф
dξ’
dξ
R
dy
ө dx
Q P
Mekanika Kontinum 15
ii) Velocity Gradient Tensor : u∇
Di i), kita telah pelajari deformasi dari material line. Sekarang kita akan pelajari ‘rate’
dari deformasi tersebut. Pertama-tama kita akan lihat turunan material dari F
( ) ( )ξξξξξ
ξ∂∂
∂∂
=∂
∂=
∂∂
=⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂
∂=
xxutxuu
dtdxtx
dtdF
dtd ,,
FuFdtd
∇=
• Rate Dari Perubahan Panjang ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
dtdx
Mari kita lihat turunan material dari vektor PQ
( ) ( ) ( ) ξξξ dFuddtFd
dFdtdxd
dtd
⋅∇=⋅=⋅=
Namun, karena ldxxd ˆ= , maka,
( ) ( )dtlddxl
dtdxdxd
dtd ˆˆ +=
sehingga,
( ) ( ) ξdFudtlddxl
dtdxd
⋅∇=+ˆˆ (D.B. 1)
Sekarang kita cari ( )dtdxd , dan ini kita dapatkan dengan mengambil dot product
persamaan di atas,
( ) ( ) dxlulxduldFulldtlddx
dtdxd ˆˆˆˆˆˆ
⋅∇⋅=⋅∇⋅=⋅∇⋅=⋅+ ξ
karena maka 1ˆˆ =⋅ ll
( ) 0ˆˆ2ˆˆ ==⋅
dtldlll
dtd atau 0
ˆˆ =dtldl
Jadi,
( ) luldtdxd
dxˆˆ1
⋅∇⋅=
Mekanika Kontinum 16
Dari persamaan di atas, kita lihat bahwa ‘rate’ dari perubahan panjang PQ tergantung
dari harga u∇ . Oleh karena itu, mari kita lihat u∇ secara lebih mendalam. Pertama-
tama u∇ dapat kita tuliskan sebagai berikut,
( )( ) ( )( )Ω
∇−∇+∇+∇=∇ T
D
T uuuuu21
21
Dari bentuknya, dapat dilihat bahwa matriks D adalah matriks yang simetrik dan Ω
adalah matriks antisimetrik.
Sekarang kita lihat xdxd ⋅Ω⋅2 ,
( )( )( )
0
2
=⋅∇⋅−⋅∇⋅=
⋅∇−∇⋅=⋅Ω⋅
xduxdxduxd
xduuxdxdxdT
T
ˆ ˆ 0l l⋅Ω ⋅ = .
Dengan demikian, maka ‘rate’ dari perubahan panjang adalah
( ) ( ) lDllDlluldtdxd
dxˆˆˆˆˆˆ1
⋅⋅=⋅Ω+⋅=⋅∇⋅=
atau
( ) lDldtdxd
dxˆˆ1
⋅⋅=
• Rate Dari Perubahan Sudut ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
dtdθ
Untuk melihat ‘rate’ dari perubahan sudut, kita ambil turunan material dari
. ml ˆˆcos ⋅=θ
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛⋅+⋅⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛=−= m
dtdlml
dtd
dtd
dtd ˆˆˆˆsincos θθθ
ml ˆˆsin ×=θ dan ldtd ˆ dapat ditemukan dengan mengambil dot product persamaan
(DB.1) dengan ldtd ˆ . Hasilnya adalah,
Mekanika Kontinum 17
( ) llulludtld ˆˆˆˆˆ
⋅∇⋅−⋅∇=
Dengan demikian, maka,
( ) ( ) ( ) ( )( ) [ ]muulmlmumlulmldt
d T ˆˆˆˆˆˆˆˆˆˆ
1⋅∇+∇⋅−⋅⋅∇⋅+⋅∇⋅
×
−=
θ
Dengan menggunakan Ω+=∇ Du dan 0ˆˆ =⋅Ω⋅ ll ,
( ) ( ) ( )[ ]mDlmlmDmlDlmldt
d ˆˆ2ˆˆˆˆˆˆˆˆ
1⋅⋅−⋅⋅⋅+⋅⋅
×
−=
θ
Jadi, sama seperti dtdx ,
dtdθ juga bergantung dari D . Sehingga dapat disimpulkan
bahwa kontribusi D di dalam u∇ adalah dalam perubahan panjang dan sudut. Jadi, D
menjelaskan gerakan relatif dari bagian-bagian benda yang membuat benda menjadi
tidak rigid.
Contoh :
1. PQ // sehingga 1e ledx
xd ˆ1 == . Jadi ( ) 11
1 Ddxdtd
dx=
* adalah perubahan waktu dari strain yang paralel dengan iiD 1e
2. yd // dan d1e x // sehingga dan 2e 2ˆˆ el = 0ˆˆˆˆ 1 =⋅⇒= mlem
212Ddtd
−=θ
* adalah 21D21 dari perubahan waktu dari sudut antara 2 segmen yang tadinya //
dengan dan axis. 1e 2e
• Rate of Rotation ( )Ω
Kita telah buktikan sebelumnya, bahwa apabila kita dekomposisikan tensor u∇ menjadi
Ω+=∇ Du , maka D menjelaskan bagaimana panjang sebuah segmen dan sudut
antara 2 buah segmen berubah. Sekarang kita akan lihat kontribusi dari Ω ,
Mekanika Kontinum 18
⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
−∂∂
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
−∂∂
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
−∂∂
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
−∂∂
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
−∂∂
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
−∂∂
=Ω
0
0
0
21
3
2
2
3
3
1
1
3
2
3
3
2
2
1
1
2
1
3
3
1
1
2
2
1
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
Dari matriks Ω di atas, jelaslah bahwa Ω hanya mempunyai 3 independen komponen.
Sekarang kita tuliskan dan perhatikan vektor u×∇≡ω .
32
1
1
22
1
3
3
11
3
2
2
3 ˆˆˆ exu
xu
exu
xu
exu
xu
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
−∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
−∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
−∂∂
=ω
Apabila kita perhatikan dengan seksama, maka jelaslah bahwa komponen-komponen
dari ω adalah komponen-komponen independent dari Ω . Bahkan, apabila kita
definisikan tensor maka seperti di bawah ini, maka kita dapatkan, ijk∈
kijkij ω∈−=Ω21
di mana
. ⎪⎩
⎪⎨
⎧
−
====∈
)(,1)231,312,123(,1
),,(,0
cyclictidakcyclicatau
ikkjji
ijk
Juga apabila A dan B adalah vektor, maka,
ikjijk eBABA ˆ∈=×
sehingga,
( ) xdxdxdud a ×⎟⎠⎞
⎜⎝⎛=×−=⋅Ω≡ ωω
21
21 .
Di mana ( )aud adalah salah satu suku dari, ( ) ( )as ududxdxdDxduud +≡⋅Ω+⋅=⋅∇=
Mekanika Kontinum 19
Dalam mekanika partikel, hubungan antara kecepatan partikel Q ( )Qu yang diamati dari
rangka acuan I (diam) dan II (bergerak dan berputar dengan Ω ) adalah,
IIdaridilihatIII QQQ xUU ×Ω+=
Jadi, du(α) adalah kecepatan relatif terhadap sebuah titik di mana ada "rigid body
rotation" dengan kecepatan angular ω21 .
u∇ : Kesimpulan tentang
Dengan mendekomposisikan u∇ menjadi D & Ω kita dapat melihat bahwa u∇
menjelaskan bagaimana benda kontinum (benda yang tidak rigid) bergerak. Bagian-
bagian dari benda kontinum dapat bergerak secara relatif (sudut antara 2 segmen dapat
berubah, panjang antar segmen dapat berubah) dan gerakan relatif ini dijelaskan oleh D.
Selain itu benda kontinum dapat juga berotasi seperti benda rigid. Rotasi ini dijelaskan
oleh Ω . Lebih tepatnya Ω menjelaskan perubahan waktu dari rotasi tersebut
(kecepatan angular).
• Strain Tensor
Seringkali dalam engineering, deformasi benda dijelaskan dengan menggunakan apa
yang disebut dengan “Strain Tensor”. Untuk itu kita perhatikan hal-hal berikut ini.
Pertama-tama perhatikanlah selisih antara panjang awal dan akhir yang dinyatakan
sebagai, 2 2 ( ) ( ) ( )Tds dS d x d x d d F d F d d d d F F I dξ ξ ξ ξ ξ ξ ξ− = ⋅ − ⋅ = ⋅ ⋅ ⋅ − ⋅ = ⋅ − ⋅ ξ
atau 1 1 1 12 2 ( ) ( ) ( ( ) )Tds dS d x d x d d d x d x F d x F d x d x I F F d xξ ξ − − − −− = ⋅ − ⋅ = ⋅ − ⋅ ⋅ ⋅ = ⋅ − ⋅
Green/Lagrangian Strain Tensor didefinisikan sebagai,
)(21 IFF T −=Σ
Sedangkan Almansi/Eulerian Strain Tensor didefinisikan sebagai,
))((21 11 −−−= FFI Tε
Mekanika Kontinum 20
Dari definisinya terlihat bahwa Green strain tensor adalah tensor yang berbanding
terbalik dengan panjang pada konfigurasi awal (dS), sedangkan Almansi strain tensor
berbanding terbalik dengan panjang pada konfigurasi saat itu (ds).
Definisi-definisi diatas dapat pula dituliskan dengan menggunakan vektor perpindahan ε
(lihat sketsa pada awal sub bagian ini) dimana,
ξε ddxd +=
sehingga,
1d x d x F d xxε −∂
= ⋅ + ⋅∂
atau d x F d d dεξ ξ ξξ
∂= ⋅ = ⋅ +
∂
Dari kedua persamaan terakhir dapat dilihat bahwa,
xIF
∂∂
−=− ε1 dan IF +∂∂
=ξε
Akhirnya Green dan Almansi strain tensor dapat dinyatakan seperti,
)(21
ξε
ξε
ξε
ξε
∂∂
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂∂
+∂∂
=ΣTT
dan )(21
xxxx
TT
∂∂
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
−⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
=εεεεε
Dari definisinya terlihat bahwa kedua tensor diatas adalah tensor orde 2 yang simetris.
Karena kedua tensor tersebut adaah fungsi dari F maka kedua strain tensor tersebut
menjelaskan deformasi dari benda kontinuum. Kedua strain tensor diatas sering
digunakan didalam mekanika solid.
Banyak kasus dalam engineering dimana gradien dari vektor perpindahan amatlah kecil
( 1<<∂∂ξε atau 1<<
∂∂
xε ). Kasus-kasus seperti ini dikenal dengan sebutan kasus small
strain dan untuk kasus ini suku-suku terakhir yang terdapat Green dan Almansi strain
tensor dapat diabaikan. Untuk kasus ini,
)(21
T
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂∂
+∂∂
=Σξε
ξε dan )(
21
T
xx ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
=εεε
Mekanika Kontinum 21
Lebih jauh, apabila deformasi sangatlah kecil maka kita dapat gunakan approximasi,
ε≈Σ
Untuk kasus-kasus seperti ini,
1 12 2
TTdd u u D
dt dt x x x xε ε ε
• •⎛ ⎞⎛ ⎞ ⎛ ⎞Σ ⎛ ⎞∂ ∂ ∂ ∂⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟= = + = + =⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂⎝ ⎠⎜ ⎟ ⎝ ⎠⎝ ⎠⎝ ⎠
Jadi turunan waktu dari Almansi Strain tensor pada kasus small strain adalah tensor D
yang menjelaskan gerakan relatif bagian-bagian benda kontinuum.
1.2.5 Rangka Acuan (Frame of Reference)
Untuk mempelajari fenomena mekanika, kita diharuskan memilih rangka acuan.
Rangka acuan adalah “tempat” di mana kita meletakkan koordinat sistem untuk
menentukan posisi dan juga “clock” untuk menentukan waktu/ kapan sebuah fenomena
terjadi. Dalam mekanika klasik (mekanika Newton), hukum alam yang didapatkan
umumnya akan berbeda apabila kita menggunakan rangka acuan yang berbeda. Namun
ada rangka-rangka acuan di mana hukum alam yang dituliskan relatif terhadap rangka-
rangka acuan tersebut mempunyai bentuk yang sama. Rangka acuan tersebut disebut
“inertial frame”. Dalam rangka acuan ini ruang menjadi homogenous dan isotropic,
sedangkan waktu menjadi homogenous. Dengan kata lain setiap waktu, posisi, dan
orientasi dalam ruang di rangka acuan tersebut adalah “sama” atau equivalen secara
mekanik.
Dalam mempelajari mekanika sebuah benda, kita harus memilih sebuah rangka acuan di
mana hukum-hukum mekanika yang dituliskan relatif terhadap rangka acuan tersebut
mempunyai bentuk yang paling sederhana. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari
hubungan umum antara rangka acuan satu dengan lainnya. Inilah yang akan menjadi
topik dalam subbagian ini.
Mekanika Kontinum 22
• Rangka acuan yang berputar
Hubungan yang pertama-tama kita akan pelajari adalah antara rangka acuan yang diam
(x1,x2,x3) dan yang berputar dengan kecepatan angular Ω (x1`,x2`,x3`). Misalnya kita
akan mempelajari gerakan dari partikel Q. Lebih spesifiknya kecepatan dari partikel Q.
Apabila unit vektor untuk rangka acuan (x1`,x2`,x3`) adalah (ê1, ê2, ê3) dan untuk rangka
acuan (x1,x2,x3) adalah (Ê1, Ê2, Ê3) maka posisi Q adalah :
xQ = x1Ê1 + x2Ê2 + x3Ê3 = x1’ ê1 + x2’ ê2 + x3’ ê3
Karena (x1’,x2’,x3’) berputar maka êi = ê(t) sehingga :
( ) ( )
dted
xdtedx
dtedxe
dtdx
edt
dxedtdxE
dxdx
Edt
dxEdtdx
dtxd
xxxx
Q 3'3
2'2
1'1
,,xdaridilihat Qkecepatan
3
'3
2
'2
1
'1
,,xdaridilihat Qkecepatan
33
22
11 ˆˆˆ
ˆˆˆˆˆˆ
321321
+++++=++=
Arti dari suku-suku dalam persamaan di atas, kecuali 3 suku terakhir, telah dituliskan.
Sekarang bagaimana dengan 3 suku terakhir? Untuk itu kita lihat hubungan antara ê1(t)
& ê1(t+∆t).
1
1
ˆtan
ˆ ( )de
d de t
θ θ≈ =
1 1ˆ ˆ ( )de e t dθ= sehingga 11
ˆ ˆde d edt dt
θ=
Karena arah dθ berlawanan dengan arah jarum jam, maka:
11 ˆ
ˆe
dted
×Ω= dimana ddtθ
Ω ≡
Hubungan serupa juga berlaku untuk dted
dted 12 ˆ
,ˆ
sehingga :
Mekanika Kontinum 23
ˆ ˆi
ide edt
= Ω× , i = 1, 2, 3
Dengan demikian maka:
( )1 1 2 2 3 3ˆ ˆ ˆI II
QQ Q
d xV V x e x e x e
dt′ ′ ′= = + Ω× + +
atau
I II IIQ Q Q Q
d x V V xdt
= = + Ω×
di mana:
IQV : Kecepatan Q relatif terhadap rangka acuan yang diam.
IIQV : Kecepatan Q relatif terhadap rangka acuan yang berputar.
IIQx : Posisi Q relatif terhadap rangka acuan yang berputar.
Dalam penurunan di atas, kita pilih sebuah vektor (XQ) yang menunjukkan posisi dari
titik Q. Namun, formula ini juga berlaku untuk sembarang vektor A yang merupakan
fungsi waktu. Sehingga hubungan antara turunan waktu A yang diamati dengan
menggunakan rangka acuan I & II adalah :
IIIII
AAdtdA
dtdA
dtd
×Ω+⎟⎠⎞
⎜⎝⎛=⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛= (FR.1)
• Rangka acuan yang bergerak secara umum
Sekarang kita beralih ke rangka acuan yang lebih umum. Misalnya rangka I diam dan
rangka II bergerak & berputar relatif terhadap rangka I. Kita lihat posisi titik Q dilihat
dari kedua rangka acuan tersebut.
Mekanika Kontinum 24
XI = X0 + XII di mana
XI : Posisi Q dilihat dari I
X0 : Posisi origin rangka II dilihat dari I.
XII : Posisi Q dilihat dari II
Untuk melihat kecepatan, kita ambil turunan waktu dari vektor-vektor di atas :
III xdtdx
dtdx
dtd
+= 0
dtd XII adalah perubahan waktu dari vektor yang dilihat dari rangka acuan II, yaitu
rangka acuan yang berputar. Dengan demikian maka menurut (FR.1),
II III Q Qd
Ix V x
dt= + Ω×
sehingga:
IIIQ o QV V V x
IIQ= + +Ω× (FR.2)
V0 : Kecepatan titik O/ origin dari frame II
IQV : Kecepatan Q relatif terhadap frame I (diam)
IIQV : Kecepatan Q relatif terhadap frame II
IIQx : Posisi Q relatif terhadap frame II
Terakhir kita akan lihat hubungan antara akselerasi titik Q yang diamati dari rangka I &
II. Kita ambil turunan waktu dari (FR.2) maka,
0I II II IIQ Q Q Qd d d d dV V V xdt dt dt dt dt
= + + Ω× + Ω× x
&IIQ
d dVdt dt IIQx adalah turunan waktu vektor-vektor yang relatif terhadap II, maka :
II II II II IIQ Q Q Q Qd dV a V dan x V xdt dt
≡ + Ω× = + Ω×IIQ
sehingga,
2 (I II II IIQ o Q Q Q Qa a a x V x= + + Ω× + Ω× + Ω× Ω× )
II (FR.3)
dimana,
Mekanika Kontinum 25
oa : Percepatan titik O yang merupakan origin dari rangka acuan II
IQa : Percepatan Q dilihat dari rangka acuan I (diam)
IIQa : Percepatan Q dilihat dari rangka acuan II
2 Ω × IIQV : “Gaya” coriolis
Ω × (Ω × IIQx ) : “Gaya” sentripetal
• Frame Indifference
Dua rangka acuan dinyatakan sebagai dua rangka yang “frame indifference” apabila
para pengamat yang berada dikedua rangka acuan tersebut setuju tentang:
1. jarak antara dua titik sembarang
2. orientasi
3. waktu antara dua kejadian
4. tahapan dari dua kejadian
Hubungan antara dua rangka acuan (vektor yang diamati dari rangka acuan I diberi
simbol dengan superscript * sedangkan ragka acuan II tanpa superscript) yang
memenuhi syarat-syarat di atas adalah:
x(t)Q(t)cx ⋅+=* , (FI) t-a t =*
dimana Q menjelaskan rotasi benda rigid sehingga,
TQQ =−1
Hubungan antara t dan t* jelas memenuhi syarat 3 dan 4. Sekarang kita akan buktikan
bahwa hubungan antara x dan x* memenuhi syarat 1 dan 2. Misalkan terdapat dua titik
yang posisinya,
xQ(t)cx* ⋅+= dan yQ(t)cy* ⋅+=
Jarak antara kedua titik tersebut adalah,
)yx(Qyx ** −⋅=−
sehingga
[ ] [ ] )yx(QQ)yx()yx(Q)yx(Qyx T** −⋅⋅−=−⋅⋅−⋅=−2
Mekanika Kontinum 26
Karena 1-T QQ = maka IQQT = dan
22yxyx ** −=−
Sehingga jarak antara dua titik tersebut adalah sama di dua rangka acuan tersebut.
Demikian pula orientasi dari vektor yang menghubungkan kedua titik tesebut.
Sekarang kita lihat bagaimana hubungan antara dua buah skalar, vektor dan tensor orde
2 yang memenuhi syarat-syarat di atas.
1. Frame indifferent skalar.
Apabila sebuah skalar, b, adalah frame indifferent maka harganya tidak berubah
apabila b diamati dari dua rangka acuan yang berbeda.
b b* =
Tentunya, ini berlaku untuk setiap skalar karena harga dari sebuah skalar tidak
bergantung dari rangka acuan.
2. Frame indifferent vektor, dx.
Ini telah kita lihat dalam pembuktian di atas. Sebuah vektor yang menghubungkan
dua titik adalah frame indifferent apabila,
VQV * ⋅=
Transformasi di atas juga memastikan arah dari V tidak berubah dengan adanya
transformasi (F.I). Ini dapat dilihat di bawah ∗∗∗ = ii eVV ˆ , iieVV ˆ=
iiT
ii eVeQQV)eQ()VQ(eV ˆˆˆˆ ⋅=⋅⋅=⋅⋅⋅=⋅ ∗∗
Dengan demikian komponen V* di rangka acuan * sama dengan komponen V di
rangka acuan yang satunya (misalnya, , , ). 11 VV =∗22 VV =∗
33 VV =∗
3. Frame indifferent tensor orde 2.
Sebuah tensor orde 2, T , adalah tensor yang frame indifferent apabila tensor
orde 2 tersebut mentransformasikan vektor yang frame indifferent menjadi vektor
yang frame indifferent. Misalkan V dan W adalah vektor-vektor yang frame
indifferent sehingga,
VQV ⋅=∗ , WQW ⋅=∗
Mekanika Kontinum 27
Apabila T adalah frame indifferent maka,
VTV ⋅= dan ∗∗∗ ⋅= WTV
Sekarang kita lihat bagaimana hubungan antara T dan ∗T yang memenuhi syarat ini
∗∗∗ ⋅= WTV
)WQ(TVQ ⋅⋅=⋅ ∗
( ) ( )Q T W T Q W Q T T Q∗ ∗⋅ ⋅ = ⋅ ⋅ ⎯⎯→ ⋅ = ⋅
Jadi T adalah frame indifferent apabila
TT QT Q∗ =
Sama seperti vektor, komponen ∗T di rangka acuan (*) sama dengan komponen T
di rangka acuan yang satunya.
( )jij
TTi
jT
iji
eTe e)QQTQQ(e
)eQ()QTQ(eQ)eT(e
ˆˆˆˆ
ˆˆˆˆ
⋅⋅=⋅⋅=
⋅⋅⋅⋅=⋅⋅ ∗∗∗
Ini berarti , ,...,dan seterusnya. 1313 TT =∗2323 TT =∗
Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa, prinsip frame indifferent memastikan
bahwa harga dari sebuah kuantitas tidak bergantung dengan kecepatan atau gerakan
pengamat. Tidak semua vektor atau tensor memenuhi persyaratan untuk sebuah vektor
atau tensor yang frame indiferent. Berikut ini adalah contoh-contoh dari vektor dan
tensor yang tidak frame indifferent.
Contoh: x(t)Q(t)cx* ⋅+=
1. uQxQcxdtdu ⋅+⋅+== ∗∗ → u tidak frame indifferent
2. ( ) ( ) FQxQξ
xQ(t)cξ
xξ
F ⋅=⋅∂∂
=⋅+∂∂
=∂∂
= ∗∗ → F tidak frame indifferent
FQFQF +=∗ , Fu
ξu
ξx
dtdF ∇=
∂∂
=∂∂
= → 1−=∇ FFu
Mekanika Kontinum 28
3. ( ) ( ) ( )
TTTT QuQQQQFFQQFFQ
)FQ)(FQFQ(FFFFu
∇+=+=
+===∇
−−
−∗−∗∗−∗
11
111
u∇∴ tidak frame indifferent
1.3 Dinamika
Dalam bab ini kita akan mulai mempelajari dinamika dari benda kontinum. Dengan
kata lain, kita akan mempelajari kenapa dan bagaimana benda kontinum bergerak.
Hukum-hukum yang akan didapatkan dari hukum-hukum dasar fisika seperti: hukum
kekekalan massa, momentum, energi (hukum termodinamika I), hukum termodinamika
II dan hukum kekekalan angular momentum. Dalam fisika dasar, hukum-hukum ini
dituliskan untuk sebuah benda rigid/ sistem yang tertutup yang mempunyai massa dan
bentuk yang tetap. Namun, dalam kasus benda kontinum, benda tersebut dapat
berubah-ubah bentuknya.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan persamaan-persamaan dasar gerak benda kontinum
dari hukum-hukum dasar fisika, kita akan gunakan sebuah volume atur yang khusus.
Volume atur ini dapat berubah-ubah volumenya, namun selalu terdiri dari material
element-material element yang sama. Volume atur seperti ini disebut material volume
(Vm).
Selain itu, hukum-hukum dasar fisika akan selalu berbentuk sama apabila dituliskan
dengan menggunakan rangka acuan inersial (inertial frame). Oleh karena itu dalam
Mekanika Kontinum 29
menurunkan persamaan-persamaan dasar kita akan gunakan rangka acuan yang diam.
Setelah persamaan-persamaan dasar tersebut didapatkan, tentunya kita dapat tuliskan
persamaan-persamaan tersebut dalam rangka acuan yang bergerak dengan
menggunakan (FR.3).
1.3.1 Hukum Kekekalan Massa (Persamaan Kontinuitas)
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kita akan menggunakan volume atur yang disebut
material volume. Karena volume atur ini selalu terdiri dari elemen-elemen material
yang sama, maka kita dapatkan hukum kekekalan massa yaitu:
Massa dari sebuah “material volume” selalu tetap
Sekarang kita akan tuliskan prinsip dasar ini secara matematis. Pertama-tama kita
defenisikan apa yang disebut dengan massa jenis (ρ). Massa jenis sebuah material
element i didefinisikan sebagai,
limi
ii V
i
mVε
ρ∆ →
∆≡
∆ sehingga ∫=
)(tVm
dVm ρ
di mana m adalah massa dari material volume Vm(t). Ini dilakukan karena tidak mudah
mendapatkan massa dari benda kontinum seperti fluida namun ρ dapat ditentukan
dengan lebih mudah. Dengan definisi di atas maka hukum kekekalan massa dapat
dituliskan secara matematis menjadi,
0=mdtd ⇒ 0
)(
=∫ dVdtd
tV m
ρ
Mekanika Kontinum 30
Dengan menggunakan Reynold’s transport theorem.,
∫ ∫∫ =⋅+∂∂
=)( )()(
0ˆtV tStV m mm
dSnudVt
dVdtd ρρρ
v dalam transport theorem. telah diganti menjadi u atau kecepatan material element. Ini
disebabkan karena permukaan Sm(t) diduduki oleh material element yang bergerak
dengan kecepatan u. Apabila ρ & u adalah fungsi yang kontinyu (ini berlaku selama
tidak terdapat diskontinuitas dalam material volume. Contoh di mana fungsi ρ & u
tidak kontinyu adalah apabila terdapat shock wave & ini akan kita bahas nanti) maka
(*)&(**) dapat digunakan sehingga,
dVudVt
dSnudVt
dVdtd
tVtV tS tVtV mm m mm
∫∫ ∫ ∫∫ ⋅∇+∂∂
=⋅+∂∂
=)()( )( )()(
ˆ ρρρρρ
Sehingga, hukum kekekalan massa menjadi,
∫ =⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ ⋅∇+
∂∂
)(
0tvm
dVut
ρρ
Dengan menggunakan (**),
0utρ ρ∂
+ ∇ ⋅ =∂
(2.5.a)
Apabila kita jabarkan suku kedua sebelah kanan dalam persamaan terakhir didapatkan,
0=⋅∇+∇⋅+∂∂ uu
tρρρ
Akhirnya dengan menggunakan (2.3) persamaan terakhir dapat dituliskan seperti dibawah ini.
0d ud t
ρ ρ+ ∇ ⋅ = (2.5.b)
Persamaan (2.5.a) memungkinkan kita untuk memodifikasi Reynold’s transport theorem
seperti di bawah ini,
∫
∫ ∫∫∫
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ ⋅∇+
∂∂
+=
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ ⋅∇+
∂∂
=⋅+∂∂
=
)(
)( )()()(
ˆ
tV
tV tVtStV
dVut
FdtdF
uFtFdSnuFFdV
tFdV
dtd
ρρρ
ρρρρρ
Mekanika Kontinum 31
Dengan demikian maka kita dapatkan sebuah teorema yang menyatakan bahwa untuk ρ & F yang kontinyu,
∫∫ = dVdtdFFdV
dtd
tV
ρρ)(
.....(***)
1.3.2 Hukum Kekekalan Momentum (Hukum Newton II)
Sekarang kita akan tuliskan hukum II Newton untuk benda kontinum. Hukum ini
menjelaskan gerak dari benda kontinum & bunyinya adalah:
Perubahan waktu dari momentum sebuah “volume material” sama dengan gaya-gaya
yang beraksi dipermukaan dan bagian dalam material volume tersebut.
Sebelum kita tuluskan prinsip diatas secara matematis, kita lihat bagaimana kita
menuliskan momentum dari “material volume”. Pertama-tama kita tuliskan momentum
untuk sebuah material element. Dari definisinya momentum sebuah material element
adalah-:
iii umM ∆≡
di mana Mi adalah momentum dari material element i. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, biasanya kita gunakan ρ untuk menggantikan m dalam benda kontinum.
iiii Vuv
M ∆→∈∆
= ρlim
sehingga
dVuMtVm
∫=)(
ρ
di mana M adalah momentum dari Vm(t).
Mekanika Kontinum 32
Sekarang kita tuliskan secara matematis prinsip di atas :
dVFdVudtdM
dtd
tVtV mm
∫∫ ==)()(
ρ
di mana F adalah gaya / unit volume yang beraksi di permukaan & dalam V(t). Dalam
mekanika kontinum, dVFtVm
∫)(
biasanya dipecah menjadi 2 yaitu, FB & FS. FB adalah
gaya yang mempunyai aksi jarak jauh dan bereaksi secara langsung di dalam setiap
material element dalam V(t). Aksi gaya ini tidak disebabkan oleh interaksi antar
molekul. Gaya ini juga tidak membutuhkan medium untuk bereaksi (dapat bereaksi
dalam vakum). Contoh dari FB, adalah gaya gravitasi dan gaya elektromagnetik. Gaya-
gaya ini biasanya dituliskan,
dVGFtV
B
m
)(
∫= ρ
FS adalah gaya-gaya interaksi antar molekul-molekul. Gaya ini adalah gaya yang
memenuhi hukum Newton III yaitu aksi = reaksi. Oleh karenanya, kontribusi total dari
bagian dalam material volume adalah nol. Yang tersisa adalah kontribusi dari
permukaan material volume. Dengan demikian maka gaya ini dapat dituliskan menjadi,
dSTFtS
ns
m
∫=)(
)ˆ(
di mana T( ) n adalah gaya / unit area. Karena FS adalah gaya interaksi antar molekul,
gaya ini hanya beraksi jarak dekat (short range force).
Dengan demikian maka hukum Newton II untuk sebuah material volume adalah,
∫ ∫∫ +=)( )(
)ˆ()( tV tS
ntV m mm
dSdVGdVudtd Tρρ
Sekarang kita akan lihat ‘traction force’ T( ) n secara lebih mendalam. Dari diskusi
diatas, dapat dilihat bahwa T( ) n = T( ) n ( txn ,,ˆ ). Yaitu, selain fungsi dari posisi &
waktu, T juga fungsi dari arah permukaan di mana T beraksi. Jadi T( n ) ˆ sedikit berbeda
dengan variabel-variabel lain seperti ρ,u,G yang merupakan fungsi x & t saja.
Mekanika Kontinum 33
Untuk melihat ketergantungan nT terhadap n , kita
tuliskan hukum Newton II untuk lapisan tipis dibawah ini
ˆ
( ) ( )
( )∫
++∈+=∈∈
=
−∫∫∫∫∫
sn dST
sn
sn
css
dSTdSTdlTdSGdSudtd
ˆˆ
ˆ
ρρ
Dimana C adalah keliling dari S. Sekarang kita ambil 0 lim∈→ maka,
0)( )ˆ()ˆ( =+ −∫ dsTT ns
n sehinga )ˆ()ˆ( nn TT −=−
Jadi ‘traction force’ yang beraksi di satu sisi dari sebuah lapisan tipis adalah negatif dari
‘traction force’ yang beraksi di sisi yang berlawanan.
Langkah berikutnya adalah melihat
bagaimana )ˆ(nT berubah apabila (x,t) tetap
dan berubah. Untuk itu, kita lihat
sebuah titik dalam lapisan diatas.
Kemudian titik tersebut kita potong
sedemikian rupa sehingga membentuk
‘tetrahedron’ yang terlihat di gambar
sebelah. Karena ‘tetrahedron’ ini adalah
representasi sebuah titik maka
n
)ˆ(nT , )1(−T , )2(−T , )3(−T adalah gaya-gaya traction di titik tersebut dan bukan merupakan
fungsi x dan t lagi. Dari hasil di atas telah kita lihat bahwa 0)ˆ( =∫ dsTs
n atau traction
force berada dalam keadaan equilibrium secara lokal. Sekarang kita gunakan kondisi
‘local equilibrium’ ini untuk tetrahedron diatas.
03)3(2)2(1)1()ˆ( =+++ −−− dsTdsTdsTdsT n
Karena )()( ii TT −=− maka,
03)3(2)2(1)1()ˆ( =−−− dsTdsTdsTdsT n
ds1, ds2, ds3 dapat dituliskan dengan menggunakan ds karena ds = ds sehingga, n
Mekanika Kontinum 34
ˆ ˆi i ids e nds n ds= ⋅ =
di mana ni adalah komponen-komponen dari atau n 332211 ˆˆˆˆ enenenn ++= . Dengan
menggunakan hubungan ini maka,
dsnTnTnTdsT n )( 3)3(2)2(1)1()ˆ( ++= atau ∑=
=3
1)()ˆ(
jjijn nTT
di mana i: komponen di arah , dan j: arah permukaan. ie
Dari hasil ini maka kita dapat mengambil beberapa kesimpulan. Pertama : dari
hubungan terakhir di atas dapat dilihat bahwa T(j)i adalah sebuah tensor orde dua
(matriks) dan matriks ini disebut ‘stress tensor’. Dengan demikian kita dapat
mendefinisikan jiijT σ≡)( dimana σ adalah ‘stress tensor’. Kedua : T(1), T(2), T(3)
adalah ‘traction’ di permukaan yang normal terhadap . Dengan demikian maka eeee ˆ,ˆ,ˆ 21
σ bukan merupakan fungsi namun fungsi xn dan t (karena T(1), T(2), T(3) adalah
traction di titik tertentu pada t tertentu). Jadi ketergantungan )ˆ(nT terhadap dapat
didekomposisikan dengan menggunakan
n
σ sehingga,
ntxtxnT Tn ˆ),(),,ˆ()ˆ( ⋅= σ atau jjiin nT σ=)ˆ(
(Catatan : 23σ adalah ‘traction’ (stress) yang beraksi di permukaan dua dan merupakan
komponen dari ‘traction’ tersebut di arah tiga).
Dengan menggunakanσ , kita dapat tuliskan hukum Newton II seperti,
∫ ∫∫ ⋅+=)( )()(
ˆtV tS
T
tV m mm
dsndVGdVudtd σρρ
Apabila σρ ,,, Gu adalah fungsi-fungsi yang kontinyu maka kita dapat gunakan (***),
(*), dan (**) sehingga,
∫ ∫∫ ⋅∇+=)( )()( tV tVtV m mm
dVdVGdVdtud σρρ
0)()(
=⋅∇−−∫ dVGdtud
tVm
σρρ
Mekanika Kontinum 35
Dengan menggunakan (**),
σρρ ⋅∇+= Gdtud
(2.6.b) atau
( )u uu Gt
ρ ρ ρ∂ σ+ ∇ ⋅ = + ∇ ⋅∂
(2.6.a)
Kedua persamaan terakhir adalah persamaan konservasi momentum yang harus
dipenuhi disetiap titik didalam kontinum apabila tidak terdapat diskontinuitas didalam
kontinuum tersebut.
1.3.3 Hukum kekekalan momentum sudut
Berikutnya kita akan tuliskan hukum kekekalan momentum sudut (angular momentum).
Bunyi dari hukum ini adalah:
Perubahan waktu dari angular momentum sebuah ‘material volume’ sama dengan total
moment yang beraksi di permukaan dan di bagian dalam ‘material volume’ tersebut.
Sekarang bagaimana menuliskan momentum sudut dari material volume. Kita mulai
dari definisi momentum sudut dan tuliskan definisi ini untuk sebuah material element i,
lim limi i
oi i i i i i iV VL x m u x u
ε εViρ
∆ → ∆ →= × ∆ = × ∆
dimana Loi adalah momentum sudut. Dengan demikian maka momentum sudut dari
Vm(t) adalah,
∫ ×=)(tVm
dVuxL ρ
Dari mekanika kita ketahui bahwa untuk sebuah benda rigid,
Mekanika Kontinum 36
VmxL ×≡ dan FxVm
dtdxVmx
dtdL
dtd
×=×+×=
Oleh karena itu, prinsip kekekalan momentum untuk benda kontinum adalah,
∫ ∫ ∫ ×+×=×)( )( )(
)ˆ(tV tV tS
n
m m m
dSTxdVGxdVuxdtd ρρ (AM)
Integran di dalam integral terakhir dapat dituliskan seperti,
ilkljijkT
n enxnxTx ˆˆ)ˆ( σεσ =⋅×=×
(lihat subbagian rate of rotation untuk definisi ijkε ). Dengan demikian maka, suku
terakhir dalam persamaan (AM) menjadi,
ˆ( )( ) ( ) ( )
,( )
( ) ( )
ˆ ( ),
( )
( )
n ijk j kl l i ijk j kl ls t s t V t
ijk jl kl ijk j kj lV t Z
V t V t
x T ds x n e ds x dV
x dV
ZdV x dV
ε σ ε σ
ε δ σ ε σ
σ
× = =
= +
= + × ∇ ⋅
∫ ∫ ∫
∫
∫ ∫
Perlu diingat bahwa kita telah menggunakan (*) dalam penurunan diatas sehingga
hubungan tersebut hanya dapat digunakan untuk σ yang kontinyu. Untuk u,ρ yang
kontinyu,
dVdtudxdVux
dtddVux
dtd
tVtV tV mm in
∫∫ ∫ ×=×=×)()( )(
)( ρρρ
Hubungan terakhir dapat dituliskan karena
udtdxuudVux
dtd
×+×=× )( .
Dengan demikian maka prinsip kekekalan momentum sudut menjadi,
∫∫ =⋅∇−−×)()(
)(tVtV mm
dVZdVGdtudx σρρ
Menurut prinsip kekekalan momentum,integral disebelah kiri = 0 sehingga, 0)(
=∫ dvZtVin
Dengan demikian maka,
Mekanika Kontinum 37
Z = Єijkσkj = = 0 ⎪⎭
⎪⎬
⎫
⎪⎩
⎪⎨
⎧
−−−
21
13
32
12
31
23
σσσ
σσσ
sehingga
σij = σji atau T
=== σσ .
Jadi prinsip kekekalan momentum angular menyatakan bahwa stress tensor =σ haruslah
simetrik.
Dalam menuliskan hukum kekekalan angular momentum di atas, kita secara implisit
telah menggunakan asumsi bahwa material tidak mempunyai ‘body torque’ dan ‘surface
torque’. Material yang tidak mempunyai ‘body torque’ dan ‘surface torque’disebut
“non-polar medium”. Medium ini adalah medium yang torsinya hanya disebabkan oleh
momen dari gaya-gaya yang beraksi dalam material tersebut.
Untuk ‘polar medium’, terdapat torsi yang disebabkan apabila terjadi kontak dengan
bagian lain (surface torque) dan juga torsi yang disebabkan oleh bagian di luar material
volume dan external torque lainnya (body torque). Untuk medium ini
Z ≠ 0 sehingga T
==≠ σσ . Kebanyakan material adalah “non-polar” dan medium seperti
inilah yang akan kita bahas di bab-bab setelah ini.
1.3.4 Analisa Stress
Pada subbagian ini, kita akan mempelajari stress lebih mendalam. Hal pertama yang
perlu kita perhatikan adalah stress adalah sebuah tensor. Oleh karena out, transformasi
harga stress dari satu sistem koordinat ke sistem lainnya harus mengikuti aturan-aturan
tertentu. Untuk itu, kita akan perhatikan beberapa hal di bawah ini. Apabila xi, g,
adalah harga-harga dari komponen vektor x(xi) dan unit vektor (gi) dari vektor x di
sistem koordiant yang baru sedangkan XI, GI adalah hal yang sama di sistem koordinat
yang lama maka harga sebuah vektor x adalah, i I
Iix x g X G= =
Mekanika Kontinum 38
Hubungan di atas memastikan bahwa x adalah vektor yang sama walaupun diamati dari
dua sistem koordinat yang berbeda dan ini adalah syarat dari sebuah kuantitas untuk
menjadi tensor. Oleh karena itu maka,
( )i II Ii i
I ix x g X G g X A= ⋅ = ⋅ =
di mana iI I i
A G g≡ ⋅ . Jadi hubungan antara komponen dari sebuah vektor di 2 buah
sistem koordinat yang berbeda adalah i i
IIx A X=
Sekarang, bagaimana hubungan antara kedua unit vector GI dan gi. Karena
i
i I i II Ii i
x
x g X G A X g= = maka,
iI I i
G A g=
Berikutnya kita lihat bagaimana hubungan antara komponen dari sebuah tensor orde 2
(stress, misalnya) yang dituliskan terhadap 2 sistem koordinat yang berbeda (tij dan TIJ).
Apabila T adalah sebuah tensor orde 2 maka,
IJ ijI J i j
T T G G t g g= =
sehingga IJ i j ij
I J i j i jT A A g g t g g= .
Dengan demikian maka hubungan yang kita cari adalah, ij i j IJ
I Jt A A T=
sehingga apabila IJσ dan ijσ adalah stress komponen di 2 sistem koordinat yang
berbeda maka hubungan antara keduanya adalah, IJ I J ij
i jA Aσ σ=
Principle Stress
Hukum kekekalan momentum sudut untuk kontinum nonpolar menyatakan bahwa stress
adalah tensor yang simetris, Tσ σ= . Dari matematika kita ketahui bahwa untuk
matriks yang simetris, terdapat sebuah basis (“principle axis”) di mana matriks tersebut
Mekanika Kontinum 39
di basis itu adalah matriks diagonal. Selain itu, kita ketahui bahwa untuk menentukan
komponen-komponen dari matriks diagonal tersebut kita harus melakukan “eigenvalue
analysis”. Komponen dari matriks diagonal tersebut adalah nilai eigen dari matriks
original. Sedangkan vektor-eigen-nya membentuk basis untuk “principle axis”.
Jadi secara matematis apabila ( )nT adalah gaya yang bekerja di sebuah permukaan maka
(di mana adalah arah normal dari permukaan), n
( )ˆ ˆnT nσ= ⋅ atau ( )ˆ ij jn iT nσ= .
Namun, apabila adalah “principle axis”, maka tidak ada tegangan geser di permukaan
tersebut sehingga,
n
( ) 0ij j ij j
ij ij j
n n
n
σ σδ
σ σδ
=
− =
Karena nj adalah komponen dari arah principle axis, maka nj ≠ 0 sehingga persamaan di
atas menyatakan bahwa
0ij ijσ σδ− =
Apabila kita jabarkan maka persamaan terkahir adalah, 3 2
1 2 3 0I I Iσ σ σ− + − =
di mana
( )( )
( )
1
2
3
tr
12
det
ii
ii jj ij ij
ij
I
I
I
σ σ
σ σ σ σ
σ σ
= =
= −
= =
Solusi dari persamaan polinomial orde 3 di atas adalah 3 principle stress (σ(1), σ(2), σ(3))
yang merupakan komponen dari matrix diagonal. Sedangkan principle axis adalah
solusi dari persamaan,
( )( ) ( ) 0kij ij jk nσ σ δ− = .
Menyatakan komponen-komponen dari σ relatif terhadap principle axis tentunya
sangat membantu, karena relatif terhadap sistem koordinat ini hanya terdapat tegangan
Mekanika Kontinum 40
normal (tegangan geser tentunya sama dengan nol karena 0ijσ = apabila i di sistem
koordinat ini).
j≠
Harga Maksimum atau Minimum dari Shear Stress
Apabila gaya di sebuah peermukaan kita tuliskan
komponennya relatif terhadap arah normal dan
tengensial dari permukaan tersebut maka
tegangan tangensial atau shearing stress dapat
dituliskan seperti (lihat gambar),
( ) ( )2 2
ˆ ˆn ns NT Tσ σ= ⋅ −
Apabila axis yang kita gunakan adalah principle axis maka,
( ) 1 1ˆ 1nT nσ= , T n( ) 2 2ˆ 2n , T n( ) 3 3ˆ 3n σ= σ=
di mana axis telah kita pilih sedemikian rupa sehingga, σ1 > σ2 > σ3. Dari ( )ˆ ˆnT nσ= ⋅ ,
kita lihat bahwa σN adalah
( )2 2
ˆ 1 1 2 2 3 3ˆnN T n n n nσ σ σ= ⋅ = + + 2σ
Dengan demikian maka σs2 menjadi,
( )22 2 2 2 2 2 2 2 2 21 1 2 2 3 3 1 1 2 2 3 3s n n n n n nσ σ σ σ σ σ σ= + + − + + .
Sekarang kita akan mencari harga minimum dan maksimum dari σs. Namun, perlu
diingat bahwa, 2 2 21 2 3 1n n n+ + =
Dengan demikian maka untuk menentukan harga-harga minimum dan maksimum, kita
dapat gunakan metode “Lagrange Multipliers”. Seperti kita ketahui prosedur dalam
metode ini adalah membentuk sebuah fungsi,
( )2 2 21 2 3sF n nσ λ= − + + 2n
di mana λ adalah sebuah multiplier. Karena persamaan di atas adalah fungsi dari n1, n2,
n3, maka untuk menentukan harga minimum dan maksimum kita ambil
Mekanika Kontinum 41
1
0Fn
∂=
∂,
3
0Fn
∂=
∂,
2
0Fn
∂=
∂.
Apabila ini dilakukan maka didapatkan,
( )( )( )
2 2 2 21 1 1 1 1 2 2 3 3
2 2 2 22 2 2 1 1 2 2 3 3
2 2 2 23 3 3 1 1 2 2 3 3
2 0
2 0
2 0
n n n n
n n n n
n n n n
σ σ σ σ σ λ
σ σ σ σ σ λ
σ σ σ σ σ λ
⎡ ⎤− + + +⎣ ⎦⎡ ⎤− + + +⎣ ⎦⎡ ⎤− + + +⎣ ⎦
=
=
=
Selain itu, . 123
22
21 =⊕⊕ nnn
Keempat persamaan terakhir dapat diselesaikan untuk mendapatkan n1, n2, n3, dan λ.
Satu set solusi adalah,
1ˆ 0
0n
±⎧ ⎫⎪ ⎪= ⎨ ⎬⎪ ⎪⎩ ⎭
, 0
ˆ 10
n⎧ ⎫⎪ ⎪= ±⎨ ⎬⎪ ⎪⎩ ⎭
, 0
ˆ 01
n⎧ ⎫⎪ ⎪= ⎨ ⎬⎪ ⎪±⎩ ⎭
Untuk harga-harga ini, n 0sσ = . Ini tentunya adalah harga minimum dari σs. Satu set
solusi lagi adalah,
( )2 3
01ˆ di mana 221
2
sn σ σσ
⎧ ⎫⎪ ⎪⎪ ⎪ −⎪ ⎪= ± =⎨ ⎬⎪ ⎪⎪ ⎪±⎪ ⎪⎩ ⎭
( )3 1
12
ˆ 0 di mana 21
2
sn σ σσ
⎧ ⎫±⎪ ⎪
−⎪ ⎪= =⎨ ⎬⎪ ⎪
±⎪ ⎪⎩ ⎭
( )1 2
12
1ˆ di mana 220
sn σ σσ
⎧ ⎫±⎪ ⎪
−⎪ ⎪= ± =⎨ ⎬⎪ ⎪⎪ ⎪⎩ ⎭
Karena σ1 > σ2 > σ3 maka yang terakhir adalah yang memberikan harga σn n s yang
tertinggi (maksimum).
Mekanika Kontinum 42
1.3.5 Hukum Kekekalan Energi ( Hukum Termodinamika I)
Berikutnya kita akan tuliskan hukum termodinamika I untuk benda kontinum. Hukum
ini berbunyi,
Untuk sebuah “material volume” yang merupakan sistim tertutup,
perubahan waktu dari energi dalam dan energi kinetik sama dengan
perubahan waktu dari kerja yang dilakukan terhadap “material volume”
oleh gaya-gaya yang beraksi di permukaan dan dalam “material volume”
ditambah dengan perubahan waktu dari panas yang diberikan kepada
“material volume” tersebut.
Berikut ini adalah penjelasan tentang apa yang disebut dengan energi dalam (internal
energy). Energi dalam adalah total energi dari molekul-molekul. Energi ini mencakup:
energi kinetik translasi dan rotasi , energi dari vibrasi (vibrational energy), dan energi
elektronik yang disebabkan oleh pergerakan elektron disekitar nukleus dari molekul.
Energi kinetik translasi dan rotasi di sini adalah energi kinetik di luar energi kinetik
makroskopik. Walaupun dalam model kontinum kita mengabaikan struktur-struktur
molekul, energi-energi ini harus diikutisertakan di dalam penulisan hukum kekekalan
energi. Namun, energi-energi tersebut disatukan menjadi apa yang disebut dengan
energi dalam. Untuk sebuah material element, energi dalamnya adalah,
lim
limi
i
i iV
i i iV
e m
e V
iε
ρ∆ →∈
∆ →∈
= ∆
= ∆ di mana adalah energi dalam per unit massa. ie
total energi dalam di dalam material volume adalah,
( )edV
tVm
∫ ρ
Mekanika Kontinum 43
Berikutnya adalah energi kinetik (makroskopik). Definisi dari energi kinetik dari sebuah
material element adalah, 2
lim 2 lim
2 2i i
i ii V i V
m uKE u Vρ∆ →∈ ∆ →∈
∆= = i
i∆
Dengan demikian maka energi kinetik dalam Vm(t) adalah,
dVu
tVm
∫)(
2
2ρ
Sekarang kita beralih ke perubahan waktu dari kerja. Definisi dari power untuk sebuah
material element adalah,
ii iW F uδ ≡ ⋅
sehingga,
( ) dSundVuGdVuGdSuTdVuGWtS
T
tVtVtSn
tV mmmmm
∫∫∫∫∫ ⋅⋅+⋅+⋅=⋅+⋅=)()()()(
)ˆ()(
ˆσρρρδ
Karena ( ) ( ) nuunT ˆˆ ⋅⋅=⋅⋅ σσ maka,
( ) dSnudVuGWtStV mm
∫∫ ⋅⋅+⋅=)()(
ˆσρδ
Yang terakhir adalah perubahan waktu dari panas ( ). Ada 2 tipe perpindahan panas
dalam mekanika kontinum :
Qδ
i. Konduksi Panas: ini adalah perpindahan energi dari bagian yang lebih energetik
ke bagian tetangganya yang kurang energetik. Perpindahan energi ini
disebabkan oleh interaksi antar molekul. Sama seperti “surface fence” yang juga
disebabkan oleh interaksi antar molekul, konduksi panas dituliskan sebagai
integral permukaan,
∫ ⋅−)(
ˆtS
dSnq
Tanda minus di depan integral diatas digunakan untuk menjamin apabila panas
masuk ke dalam sistem maka adalah positif sesuai konvensi dalam
termodinamik.
Qδ
ii. Radiasi : Apabila panas diberikan kepada zat maka “energy state” dari atom-
atom dan molekul-molekul naik ke “excited state”. Namun, ada kecenderungan
Mekanika Kontinum 44
dari atom-atom molekul-molekul tersebut untuk kembali ke “energy state” yang
lebih rendah. Ini dilakukan dengan emisi energi. Energi ini dipindahkan oleh
gelombang elektromagnetik dan tidak membutuhkan medium. Perpindahan
energi seperti ini disebut radiasi dan langsung dapat dirasakan oleh setiap
material element dalam V(t). Contohnya adalah radiasi dari sinar matahari.
Perubahan energi ini dituliskan seperti di bawah ini,
∫)(tV
QdVρ
di mana Q : Energi radiasi (rate)/unit massa.
Sekarang kita telah siap untuk menuliskan hukum termodinamika I untuk benda
continuum. Hukum ini adalah,
( ) ( )dVQuGdSnuqdVuedtd
tVtStV mmm
∫∫∫ +⋅+⋅⋅+−=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+
)()()(
2
ˆ2
ρσρ
Apabila ,,,,,, Gque σρ dan Q kontinyu maka dengan menggunakan (***) dan (*),
( ) ( )[ ]dVQuGuqdVuedtd
tVtV mm
∫∫ +⋅+⋅+−⋅∇=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+
)()(
2
2ρσρ
Terakhir kita gunakan (**) untuk mendapatkan ,
( ) QquGuuedtd ρρσρ +⋅∇−⋅+⋅⋅∇=⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+
2
2
2.6.b)
atau dengan menggunakan persamaan kontinuitas,
( ) QquGuuueuet
ρρσρρ +⋅∇−⋅+⋅⋅∇=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+⋅∇+⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+
∂∂
22
22
2.6.a)
1.3.6 Hukum Termodinamika II
Dalam termodinamika, hukum ke II untuk sebuah sistem tertutup dapat dituliskan secara
matematis seperti di bawah ini,
σδ+=
TQdS , 0≥σ
dimana S adalah entropi. Hubungan diatas dapat pula dinyatakan sebagai
Mekanika Kontinum 45
σδ ~1
+= QTdt
dS , 0~ ≥σ
Harga dari σ dan σ~ adalah positif untuk proses yang “irreversible” dan nol untuk
proses yang internally reversible.
Sekarang kita akan tuliskan prinsip ini untuk benda kontinum. Untuk sebuah material
element, iiiii VssmS ∆=∆≡∆ ρ . Dengan demikian maka untuk sebuah material volume,
( )V t
S sρ= ∫ dV
di mana s: entropi / unit mass. Kita telah lihat bahwa perubahan waktu dari panas
adalah,
∫∫ +⋅−=)()(
ˆtVtS
QdVdSnqQ ρδ
Dengan demikian maka hukum termodinamika II untuk benda kontinum adalah,
( ) ( ) ( )
ˆ
V t S t V t
q nd QsdV dS dVdt T T
ρρ σ⋅
= − + +∫ ∫ ∫ , 0~ ≥σ
atau
( ) ( ) ( )
ˆ0
V t S t V t
q nd QsdV dS dVdt T T
ρρ⋅
+ − ≥∫ ∫ ∫
Apabila ρ dan s adalah fungsi yang kontinyu maka (**) dapat digunakan sehingga,
( ) ( ) ( )
ˆ0
V t S t V t
q nds QdV dS dVdt T T
ρρ⋅
+ − ≥∫ ∫ ∫
Pertidaksamaan ini memberitahukan kita proses-proses mana yang tidak reversible.
Seperti telah dipelajari dalam termodinamika, proses irreversible menyebabkan
terjadinya disipasi dari energi (“hilangnya” energi) dari sistem dan lingkungan.
Selanjutnya kita lihat “bentuk lokal” dari pertidaksamaan di atas. Seperti biasa, kita
asumsikan ,,,, Tqsρ dan Q adalah fungsi-fungsi yang kontinyu dan kita gunakan (*),
(**), (***) untuk mendapatkan,
2
1 1 0ds Qq q Tdt T T T
ρρ + ∇ ⋅ − ⋅∇ − ≥ (2.7.a)
Mekanika Kontinum 46
Bentuk lain dari pertidaksamaan di atas (bentuk yang lebih berguna) didapat dengan
mengganti suku . Dari persamaan energi (2.6.6), q.∇
2
( ) ( ) (2
d uq u Q G u edt
σ ρ ρ∇ ⋅ = ∇ ⋅ ⋅ + + ⋅ − + )
Apabila kita ambil perkalian dot antara u dan persamaan momentum didapatkan,
2
( )2
d u u Gdt
ρ σ uρ= ⋅ ∇ ⋅ + ⋅
Dari kedua persamaan terakhir didapatkan,
( ) deq u Qdt
σ ρ ρ∇ ⋅ = ⋅∇ ⋅ + −
Sekarang kita perhatikan suku ( ) uσ ⋅∇ ⋅ ,
1( ) ;2
ji iij ij ji ij ji
j j i
uu uux x x
σ σ σ σ σ⎛ ⎞∂∂ ∂
⋅∇ ⋅ = = + =⎜ ⎟⎜ ⎟∂ ∂ ∂⎝ ⎠σ
1( )2
:
jiij
j i
ij ij
uuux x
D D
σ σ
σ σ
⎛ ⎞∂∂⋅∇ ⋅ = +⎜ ⎟⎜ ⎟∂ ∂⎝ ⎠
= =
di mana perkalian ‘ : ‘ didefinisikan seperti,
jiij BABA ≡: .
Selain itu, kita telah gunakan hasil dari konservasi momentum sudut yaitu Tσσ = (Jadi
hanya berlaku untuk non–polar medium. Dengan demikian maka ,
: deq D Qdt
σ ρ ρ∇ ⋅ = + −
Sekarang kita subtitusikan hasil terakhir ke dalam pertidaksamaan dan hasilnya adalah:
1: .ds deT D qdt dt T
ρ ρ σ⎡ ⎤⎛ ⎞− − − ∇ ≥⎜ ⎟⎢ ⎥⎝ ⎠⎣ ⎦0T (2.7.b)
Pertidaksamaan terakhir sangat berguna untuk mendapatkan persamaan–persamaan
tambahan untuk melengkapi sistem persamaan kontinum.
Mekanika Kontinum 47
Contoh: Kontinum di mana internal energi e mempunyai bentuk ( , )e e sε= .
Banyak benda kontinum mempunyai e seperti ini. Elastik solid dan Simple
Compressible Subtance (seperti gas, misalnya) mempunyai ε seperti di atas. Karena
),( see ε= , maka ,
: :s s
dde e e ds e e dsDdt dt S dt s dtε ε
εε ε
⎛ ⎞ ⎛ ⎞∂ ∂ ∂ ∂⎛ ⎞ ⎛ ⎞= + = +⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎝ ⎠ ⎝ ⎠
Berikutnya σ dinyatakan sebagai,
viseq σσσ +=
dimana visσ adalah viscous stress dan eqσ adalah equilibrium stress (seperti tekanan p,
misalnya). Dengan demikian maka (2.7.b) menjadi :
1: :eq vis
s
e ds eT Ds dt Tε
ρ σ ρ σε
⎛ ⎞⎛ ⎞ ⎛ ⎞∂ ∂⎛ ⎞ ⎜ ⎟− + − + − ⋅∇⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎝ ⎠ ⎝ ⎠0D q T ≥
Pertidaksamaan ini harus berlaku untuk proses apapun. Untuk memastikan ini maka,
eTs ε
∂⎛ ⎞= ⎜ ⎟∂⎝ ⎠, eq
s
eσ ρε
⎛ ⎞∂= ⎜⎜ ∂⎝ ⎠
⎟⎟ , 01: ≥∇⋅− TqT
Dvisσ
Untuk fluida sederhana misalnya, dari termodinamika kita ketahui bahwa,
dE TdS pdV= −
Namun dari definisi ε terlihat bahwa iidVdV ε= sehingga,
ii ij ijdE TdS pVd TdS pV dε δ ε= − = −
dan
ij
Sij
pVE δε
−=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂∂
Karena dan dE mde≡1V
m ρ= maka,
ijij s
e p δε ρ
⎛ ⎞∂= −⎜ ⎟⎜ ⎟∂⎝ ⎠
Mekanika Kontinum 48
Dengan demikian maka,
ij
Sij
eq pe δε
ρσ −=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂∂
=
sedangkan persamaan eTs ε
∂⎛ ⎞= ⎜ ⎟∂⎝ ⎠ akan memberikan kita persamaan keadaan.
Akhirnya pada subbagian transport phenomena nanti, kita akan lihat bahwa
pertidaksamaan ,
1: 0vis D q TT
σ − ⋅∇ ≥
akan memberikan kita hubungan antara ,
( )vis vis Dσ σ= dan ( )q q T= ∇
Dengan demikian, pertidaksamaan 2.7.b dan ( ),e e s ε= membantu kita untuk
mendapatkan hubungan – hubungan konstitutif yang diperlukan untuk melengkapi
sistem persamaan kontinum.
1.3.7 Catatan tentang Termodinamika Benda Kontinum
Dalam menuliskan persamaan-persamaan dasar kontinum, kita telah gunakan variabel-
variabel seperti T, p, s, e dan lain lain. Variabel-variabel ini adalah variable-variabel
Termodinamika yang didefinisikan untuk sistem yang berada dalam keadaan setimbang.
Secara global, aliran fluida, misalnya, bukanlah suatu sistem yang setimbang menurut
definisi Termodinamika. Namun kita tetap dapat menerapkan prinsip-prinsip
termodinamika pada sistem fluida untuk keadaan yang lokal dan sesaat. Penjelasannya
adalah sebagai berikut:
Apabila dalam sistem terjadi ketidaksetimbangan , sistem tersebut memerlukan waktu
τ (relaxation time) untuk mencapai kesetimbangan kembali. Apabila waktu ( ) yang
dibutuhkan untuk suatu perubahan dalam fluida memenuhi kriteria ,
t∆
1τ>>∆t
Mekanika Kontinum 49
maka fluida dapat dianggap dalam keadaan stimbang secara lokal. Kriteria ini berlaku
di hampir setiap masalah yang dipelajari dalam mekanika kontinum karena 1τ , yang
merupakan sifat zat, mempunyai harga yang sangat kecil ( ,
misalnya).
sNntranslatio1010
2
−≈τ
Apabila kriteria di atas tidak terpenuhi, seperti dalam khusus aliran di belakang shock
wave dalam aliran hypersonic misalnya. Untuk kasus seperti ini maka kita harus
menggunakan “non-equilibrium thermodynamics”.
1.3.8 Bentuk Integral dari Persamaan-persamaan Dasar untuk Volume Atur Sembarang
Persamaan-persamaan integral yang telah didapatkan sebelum ini diturunkan dengan
menggunakan material volume di mana volume ini selalu terdiri dari elemen-elemen
yang sama. Dalam praktik, penggunaan persamaan-persamaan tersebut kadangkala
lebih mudah untuk menerapkan prinsip-prinsip dasar untuk sebuah daerah makroskopik
(volume atur) yang bukan material volume.
Misalkan volume atur tersebut (V(t)) yang dibatasi dengan permukaan S(t) dan bergerak
dengan kecepatan v. Sekarang kita tuliskan perubahan waktu dari momentum didalam
V(t),
( )∫∫∫ ⋅+
∂∂
=∂∂
)()()(
ˆtStVtV
dSnvudVtudVu
tdtd ρρρ (I.1)
Di mana di atas telah digunakan Reynolds Transport Theorem
Sekarang kita tuliskan hukum kekekalan momentum yang telah kita dapatkan untuk
“material volume” Vm(t),
∫∫∫∫∫ ⋅+=⋅+∂
∂=
)()()()()(
ˆˆtS
T
tVtStVtV mmmmm
dSndVGdSnuudVtudVu
dtd σρρρρ (I.2)
Mekanika Kontinum 50
Kemudian kita pilih material volume Vm(t) yang pada suatu saat (instantaneous) sama
dengan V(t) atau volume atur kita tadi yang bergerak dengan kecepatan v. Karena pada
waktu t kedua volume atur ini sama, maka:
V(t) = Vm(t) dan S(t) = Sm(t)
Tetapi ini tidak berarti perubahan waktu dari kedua volume atur tersebut sama, dengan
kata lain,
∫∫ ≠)()( tVtV m
udVdtdudV
dtd ρρ
Dengan demikian maka persamaan (I.2) dapat dituliskan menjadi,
∫∫∫∫ ⋅+=⋅+∂
∂
)()()()(
ˆˆtS
T
tVtStV
dSnGdVdSnuudVtu σρρρ (I.3)
Namun dari persamaan (I.1)
∫∫∫ ⋅−=∂
∂
)()()(
ˆtStVtV
dSnvudVudtddV
tu ρρρ
Dengan menggabungkan kedua hasil diatas, (I.3) menjadi,
∫∫∫∫ ⋅+=⋅−+)()()()(
ˆˆ)(tS
T
tVtStV
dSndVGdSnvuudVudtd σρρρ
Dengan cara yang sama, kita dapat lakukan hal yang sama untuk persamaan integral
kontinuitas, energi, dan pertidaksamaan entropi. Sehingga untuk volume atur V(t) yang
bergerak dengan kecepatan v,
o 0ˆ)()()(
=⋅−+ ∫∫tStV
dSnvudVdtd ρρ …………………………………………... (A)
o ∫∫∫∫ ⋅+=⋅−+)()()()(
ˆˆ)(tS
T
tVtStV
dSndVGdSnvuudVudtd σρρρ …………………… (B)
o ∫∫
∫∫
⋅−⋅++⋅=
⋅−+++
)()(
)(
2
)(
2
ˆ)()(
ˆ))(2
()2
(
tStV
tStV
dSnqudVQuG
dSnvuuedtddVue
dtd
σρ
ρρ……… (C)
o 0ˆ
ˆ)()()()()(
≥−⋅
+⋅−+ ∫∫∫∫tVtStStV
dVTQdS
Tnq
dSnvussdVdtd ρρρ …….…………. (D)
Mekanika Kontinum 51
1.3.9 Diskontinuitas dalam benda kontinum (Jump Condition)
Dalam menurunkan persamaan-persamaan dasar dalam bentuk differensial, diasumsikan
bahwa u, ρ , σ , e, q dll adalah fungsi-fungsi yang kontinyu sehingga (*) & (**) dapat
dipergunakan. Namun dalam praktik seringkali ditemui persoalan-persoalan di mana
variabel-variabel tersebut tidak memenuhi asumsi di atas. Umumnya dalam persoalan-
persoalan tersebut asumsi di atas tidak terpenuhi hanya di sebuah permukaan (singular
surface) di dalam atau yang merupakan bagian benda kontinum. Untuk mendapatkan
pesamaan-persamaan yang menjelaskan gerak dari kontinum kita harus menggunakan
persamaan dalam bentuk integral. Bentuk general dari persamaan-persamaan tersebut
adalah:
0ˆ)()(
)()()()(
∫∫∫∫ =+−⋅−+tS
ntVtStV
dSPPdVdSnvudVdtd ρρπρπ ………(J)
dimana,
Persamaan π P P(n)
Massa 1 0 0
Momentum u G ( ) nT Tn ˆˆ ⋅= σ
Momentum sudut x x u x x G ( )nTx ˆ×
Energy 2
2ue + QuG +⋅ ( ) nquT n ˆˆ ⋅−⋅
Entropy s TQ
Tnq ˆ⋅−
Mekanika Kontinum 52
Persoalan semacam ini digambarkan di atas. Di daerah (1) & (2), u, ρ , σ , e, q dan
lain-lain adalah fungsi-fungsi kontinyu. Namun di permukaan Λ (Singular Surface)
terjadi lompatan harga-harga dari variabel-variabel di atas sehingga untuk daerah V2 U
V1 U (U adalah union) variabel-variabel tersebut bukanlah fungsi-fungsi yang
kontinyu. Untuk mendapatkan persamaan-persamaan yang menjelaskan hubungan
antara variabel-variabel di daerah (1) & (2) maka kita gunakan volume atur yang
bergerak bersama
Λ
Λ dengan kecepatan v. Karena Λ adalah permukaaan yang sangat
tipis maka ketebalan dari volume atur dapat kita pilih sedemikian rupa sehingga limit.t
0 (lihat gambar). Apabila ini dilakukan maka V1 & V2 0 (integral volume dalam
persamaan (J) adalah 0) sehingga kita dapatkan (juga S1 & S2 Λ ),
( ) ∫ =−⋅−)(
ˆ 0ˆ)(tS
n dsPnvuρπ
Sekarang kita tinggal mengevaluasi integral di atas dengan mengingat bahwa
permukaan (1) adalah negatif dari permukaaan (2) atau
n
n 12 ˆˆˆ nnn −== . Dengan
demikian maka,
( ) ( ) ( ) ( ) 012 111222 =+⋅−−−⋅−∫
Λ
dsPnvuPnvu nn πρπρ
(suku memiliki tanda positif karena ( )1nP nn ˆˆ1 −= )
Jadi
( ) ( )( ) ( ) ( )( ) 012111222 =−−⋅−−⋅− nn PPnvunvu πρπρ
atau
( ) ( )[ ] 0ˆ =−⋅− nPnvuρπ
di mana
[ ] 12 φφφ −≡
nvnuw ⋅−⋅≡ .
Apabila kita masukkan π dan untuk persamaan massa, momentum, energi dan
pertidaksamaan entropi maka,
( )nP
Mekanika Kontinum 53
[ ] 0=wρ ………………………………………………………………………… [a]
( )[ ] 0=− nTuwρ ………………………………………………………………… [b]
( ) 02
2
=⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⋅+⋅−⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+ nquTuew nρ …………………………………………… ... [c]
0≥⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡ ⋅+
Tnq
wsρ ……………………………………………………………… ..[d]
nvnuw ⋅−⋅≡ , [ ] 12 φφφ −≡
1.4 Hubungan Konstitutif
Sampai saat ini, kita tidak pernah membahas hal-hal yang berhubungan dengan sifat
(behaviour) dari material (zat) yang kita pelajari. Persamaan persamaan yang
didapatkan bisa digunakan untuk zat apapun juga. Namun, intuisi kita memahami
bahwa udara dan besi, misalnya, akan mempunyai “response” yang berbeda terhadap
gaya yang sama. Bagaimana sebuah material merespon sebuah gaya, misalnya,
haruslah diikutsertakan dalam penulisan persamaan momentum (yang menjelaskan
gerak benda tersebut). Demikian juga “response” dari material apabila terjadi/ terdapat
perbedaan temperatur di dalam material tersebut, haruslah diikutsertakan di dalam
persamaan energi. Respon material seperti yang dijelaskan di atas sebenarnya telah ada
di dalam beberapa suku dalam persamaan-persamaan yang telah kita dapatkan. Lebih
tepatnya respon material terdapat dalam suku-suku yang menjelaskan interaksi dalam
material tersebut, seperti σ dan q .
Fenomena interaksi antar molekul ini sangat tergantung dari struktur molekul-molekul
yang membentuk meterial tersebut. Oleh karenanya bentuk dari σ dan q tergantung
dari apakah benda yang kita pelajari itu adalah benda padat atau benda fluida (liquid &
gas). Selain itu keadaan material juga menentukan harga dari σ dan q . Harga σ dan
q akan berbeda untuk benda/ material yang berada dalam keadaan setimbang dengan
Mekanika Kontinum 54
benda yang dalam keadaan tidak setimbang. Oleh karena itu, untuk mendapatkan σ
dan q kita harus mengetahui sifat-sifat dari material yang akan kita pelajari.
Pada umumnya, persamaan untuk σ dan q yang disebut juga persamaan konstitutif
haruslah memenuhi prisnsip-prinsip dasar di bawah ini :
a. Principle of Determination
Prinsip ini menyatakan bahwa σ dan q ditentukan oleh “sejarah” dari gerak
yang telah dilakukan oleh material tersebut dan tidak ditentukan oleh gerak yang
akan dilakukan.
b. Principle of Local Action
Prinsip ini menyatakan bahwa gerakan material diluar “neighbourhood” dari
material point ξ dapat diabaikan dalam menentukan persamaan konstitutif.
c. Principle of Frame Indifference
Persamaan konstitutif untuk σ dan q haruslah tidak berubah “invariant”
apabila terjadi perubahan rangka acuan (Lihat subbagian tentang frame
indifference).
Seperti telah dikatakan sebelumnya, untuk mendapatkan persamaan konstitutif kita
perlu mengenal sifat-sifat dari material yang akan kita pelajari lebih mendalam. Inilah
yang akan kita lakukan di tiga sub-bagian berikutnya. Karena buku ini adalah buku
tentang mekanika fluida, kita akan melakukan pembahasan ini khususnya untuk fluida.
1.4.1 Gaya antar molekul
Setiap benda yang ada di dalam alam semesta ini terbentuk oleh atom-atom. Atom-atom
ini sendiri terbentuk dari sebuah nukleus, yang terdiri dari proton dan neutron, yang
dikelilingi oleh elektron-elektron. Biasanya atom bergabung dengan atom-atom lainnya
baik yang sejenis maupun tidak sejenis, untuk membentuk molekul. Apakah sebuah
material itu solid, liquid atau gas tergantung dari struktur molekul-molekul yang
membentuknya.
Mekanika Kontinum 55
Dalam solid, molekul satu berada pada jarak yang sangat dekat dengan molekul lainnya.
Selain itu, setiap molekul menduduki posisi tertentu dan posisi molekul-molekul ini
sangat teratur. Molelul-molekul di dalam solid hanya dapat bergerak (berosilasi) di
sekitar posisi tetapnya tersebut masing-masing. Kerapatan jarak antarmolekul juga
terdapat di dalam liquid. Namun, berbeda dengan solid, molekul-molekul liquid dapat
bergerak bebas. Gas mempunyai struktur molekul yang sangat berbeda. Jarak antara
molekulnya relatif sangat jauh bila dibandingkan dengan solid dan liquid.
Di dalam setiap material, terdapat gaya-gaya yang beraksi antar molekul. Gaya ini
disebut “intermolecullar force”. Apabila kita isolasi sepasang molekul, maka gaya yang
dirasakan oleh molekul satu akibat adannya molekul lainnya adalah fungsi dari jarak
antara kedua molekul tersebut (r). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa gaya tersebut
kurang lebih digambarkan di sketsa di bawah ini.
Apabila jarak antar molekul tersebut (r) < r0 maka gaya antar molekul tersebut adalah
gaya repulsive (Saling mendorong). Apabila r > r0 maka gaya tersebut adalah gaya
attractive (saling tarik menarik). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa r untuk solid
dan liquid adalah sekitar r0 (r~ r0), sedangkan untuk gas r~ 10 r0. Karena untuk gas r~
10 r0 gaya antarmolekul sangat lemah sehingga gas sering kali diasumsikan sebagai
“gas ideal” di mana gaya antar molekulnya dapat diabaikan.
Mekanika Kontinum 56
1.4.2 Material dalam keadaan equilibrium Apabila sebuah material dalam keadaan equilibrium maka benda tersebut secara
makroskopik berada dalam keadaan diam dan setiap titik dalam benda tersebut
mempunyai temperatur (T) yang sama. Apabila sebuah solid dalam keadaan
equilibrium kemudian diberikan gaya luar, maka selama gaya luar tersebut tidak terlalu
besar, solid tersebut akan mencapai keadaan equilibrium yang kedua dan solid tersebut
akan berada dalam keadaan diam secara makroskopik. Apa yang terjadi secara
mikroskopik dapat dilihat dalam sketsa di bawah:
Misalkan solid tersebut mempunyai struktur seperti di sebelah kiri dalam sketsa di atas.
Kemudian solid tersebut di”tekan” dengan gaya Fluar. Bentuk solid tersebut akan
berubah seperti gambar di kanan. Dalam keadaan equilibrium baru ini rAC < ro sehingga
terdapat gaya repulsive antara A dan C. Sedangkan rAB > ro sehingga terdapat gaya
attractive antara A dan B. Gaya-gaya antar molekul ini “melawan” deformasi yang
diakibatkan Fluar sedemikian rupa sehingga ada kecenderungan untuk “mengembalikan”
molekul-molekul tersebut keposisi semula. Gaya-gaya antarmolekul inilah yan disebut
“stress” (σ ) dalam solid dan dari contoh di atas dapat dilihat bahwa ( )Fσ σ= di mana
F adalah “deformation gradient” yang disebabkan oleh Fluar. Selain itu, dalam
keadaan equilibrium molekul-molekul dalam solid dapat berosilasi/ bergetar di sekitar
posisinya. Getaran ini akan bertambah dengan naiknya temperature, T. Pada T tertentu
getaran yang terjadi sedemikian rupa sehingga menyebabkan perubahan r yang cukup
signifikan. Ini tentunya akan menyebabkan gaya antar molekul. Oleh karena itu, σ
dapat dinyatakan sebagai ( , )F Tσ σ= untuk T yang cukup tinggi.
Mekanika Kontinum 57
Hal yang sangat berbeda terjadi pada fluida (liquid dan gas) dan di sini lah perbedaan
yang mendasar antara kedua tipe material tersebut. Apabila fluida diberikan Fluar maka
fluida tersebut akan terus bergerak sampai Fluar berhenti beraksi. Dengan kata lain
fluida yang diberikan Fluar tidak akan berada dalam keadaan diam. Oleh karena itu
untuk mempelajari sifat equilibrium dari fluida, kita lihat fluida yang diam tanpa ada
gaya-gaya luar. Berbeda dengan solid, molekul-molekul fluida dapat bergerak dengan
leluasa. Dalam keadaan equilibrium, molekul-molekul ini bergerak secara acak dan
“isotropic” (tidak mempunyai kecenderungan arah) sehingga secara makroskopik fluida
tersebut dalam keadaan diam. Apabila kita letakkan sebuah benda di dalam fluida maka
molekul-molekul dari fluida tersebut akan bertumbukkan dengan benda itu. Di bawah
ini adalah sketsa di mana “box yang sangat kecil” diletakkan di dalam gas. Titik-titik
hitam dalam gambar adalah molekul-molekul gas dan tanda panah menunjukkan arah
pergerakan molekul tersebut.
Ketika molekul-molekul ini bertumbukkan dengan “box”
tersebut, molekul-molekul ini “memberikan” momentum
kepada “box”. Perubahan waktu dari momentum per unit
area ini adalah “tekanan” (p) yang dirasakan oleh “box”
tersebut. Karena molekul-molekul gas, dalam keadaan
equilibrium, bergerak secara isotropic maka tekanan yang
dirasakan oleh sisi kiri, kanan, atas, bawah, depan, dan belakang adalah sama.
Hubungan antara p dengan ρ dan T dapat dilihat dari penjelasan di atas. Kita ketahui
bahwa T adalah “ukuran makroskopik” dari kinetik energi molekul-molekul. Apabila T
bertambah maka kinetik energi juga bertambah sehingga tumbukan terjadi lebih sering.
Demikian pula dengan ρ yang merupakan “ukuran kerapatan” molekul-molekul. Jadi
dapat disimpulkan bahwa secara umum p = p(ρ,T).
Sedikit perbedaan terjadi apabila “box” di atas diletakkan dalam liquid. Dalam gas,
gerakan molekul yang menuju atau meninggalkan permukaan box tersebut independen
dari gerakan molekul lainnya (ideal gas). Dalam liquid ini tidak terjadi dan terdapat
gaya interaksi antar molekul sehingga gerakan sebuah molekul dipengaruhi oleh
gerakan molekul lainnya. Misalkan, karena sebuah molekul bertumbukan dengan
Mekanika Kontinum 58
permukaan “box” maka jarak antara molekul tersebut dengan molekul tetangganya
berubah (r<ro, misalnya) dan ini menyebabkan gaya repulsive terhadap molekul tersebut
yang memberikan kontribusi kepada harga p di permukaan.
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan bahwa σ fluida dalam keadaan diam
adalah pIσ = − karena p adalah gaya/ unit area yang disebabkan oleh “interaksi”
(tumbukan) antarmolekul. Tanda negatif di atas ditambahkan karena gaya ini
berlawanan (gaya kompresif) dengan arah normal dari permukaan tersebut.
1.4.3 Material Dalam Keadaan Non-equilibrium (Transport Phenomena)
Sebuah sistem yang berada dalam keadaan non-equilibrium mempunyai kecenderungan
untuk “membawa” sistem tersebut ke keadaan equilibrium. Dalam material ini
dilakukan dengan “menyebarkan matter”, momentum, dan energi dari daerah di dalam
sistem yang mempunyai “kelebihan” “matter”, momentum, dan energi ke daerah yang
kekurangan. Fenomena penyebaran ini disebut “transport phenomena”. Proses
“penyebaran” ini adalah proses yang irreversible sehingga menyebabkan disipasi
energi. Di bawah ini kita akan bahas fenomena-fenomena transport yang terjadi di
dalam fluida.
i) MomentumTransport
Untuk mempelajari momentum transport, misalkan kita mempunyai gas yang diletakkan
di antara 2 pelat A dan B. Pelat B dapat digerakkan dengan kecepatan U. Apabila U = 0
dan gas di antara kedua pelat tersebut berada dalam keadaan equilibrium maka gas
Mekanika Kontinum 59
tersebut terlihat diam secara makroskopik. Meski demikian kita tahu bahwa molekul-
molekul gas bergerak terus menerus secara sembarang. Namun, karena gerakan-
gerakan molekul-molekul gas tersebut acak maka kecepatan rata-rata gas di arah x, y,
dan z adalah nol (gas dalam keadaan diam).
Sekarang kita gerakkan pelat B ke kanan dengan kecepatan U. Molekul-molekul yang
berada di sekitar pelat B (lapisan I) dan telah bertumbukkan dengan pelat tersebut
mendapatkan “tambahan” momentum di arah x. molekul-molekul ini kemudian
bergerak ke arah lapisan II dan melintasi perbatasan antara lapisan I dan II. Di lapisan
II sebagian molekul yang mempunyai kelebihan momentum di arah x ini akan
bertumbukan dengan molekul-molekul di lapisan ini dan dengan demikian “kelebihan”
momentum di arah x tadi ditransfer (transport) ke lapisan ke-II. Molekul-molekul yang
sekarang berada di lapisan II sebagian akan bergerak ke lapisan I dan sebagian lagi
bergerak ke lapisan III dan men-transport-kan kelebihan momentum tadi ke lapisan III.
Demikianlah proses ini berlanjut ke lapisan-lapisan seterusnya dan momentum
di”transport”kan ke lapisan-lapisan tersebut. Secara makroskopik, efek dari transfer
momentum ini menghasilkan gradien kecepatan seperti terlihat di sisi kiri dalam gambar
di atas. Dalam kasus ini ada 2 hal yang memberikan kontribusi terhadapσ . Yang
pertama adalah tekanan p (seperti dalam keadaan equilibrium) dan yang kedua adalah
“interaksi” antarmolekul yang disebabkan oleh “penyebaran” momentum seperti yang
dijelaskan di atas. Stress yang kedua ini disebut “viscous stress”. Viscous stress ini
adalah manifestasi dari “perlawanan” gas terhadap ketidaksetimbangan yang disebabkan
oleh pergerakan dari pelat B. Dalam banyak hal, viscous stress ini mirip dengan gaya
gesek yang terjadi apabila kita menggeser sebuah benda diatas sebuah pemukaan.
Pergeseran lapisan-lapisan fluida dalam gambar di atas, misalnya, dapat
diinterpretasikan sebagai akibat adanya gaya gesek antara lapisan satu dengan lainnya.
Penjelasan di atas diberikan untuk gas. Apabila fluida diantara pelat A dan B adalah
liquid maka selain “penyebaran” momentum seperti dijelaskan di atas terdapat pula
transport momentum yang disebabkan oleh gaya intermolecular. Misalnya, molekul-
molekul di lapisan I mempunyai kecenderungan untuk bergerak ke kanan karena adanya
“ekstra” x-momentum seperti dalam kasus di atas. Gerakan molekul-molekul di lapisan
Mekanika Kontinum 60
I ini dapat meyebabkan pergerakan molekul-molekul di lapisan II ke arah yang sama
walaupun, karena suatu hal, molekul-molekul di lapisan I tidak “menyeberang” ke
lapisan II. Ini disebabkan karena adanya “intermolecular force” yang kuat di antara
molekul-molekul liquid tersebut (gaya ini gaya yang attractive) sehingga molekul-
molekul di lapisan II mendapatkan ekstra “x-momentum” dan proses ini berlanjut ke
lapisan berikutnya. Jadi, fenomena momentum dalam liquid lebih kompleks
dibandingkan dengan fenomena yang sama yang terjadi di dalam gas. Selain ada
momentum transport yang disebabkan oleh pergerakan molekul antarlapisan, terdapat
pula transport yang disebabkan “intermolecular force” seperti dijelaskan sebelumnya.
Namun, secara makroskopik apa yang terjadi mirip dengan transport momentum dalam
gas, yaitu adanya kontribusi dari viscous stress di dalam σ .
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum σ dapat dinyatakan
sebagai pIσ τ= − + , di mana τ adalah viscous stress yang tidak memberikan
kontribusi apa pun apabila fluida berada di dalam keadaan equilibrium. Karena τ
disebabkan oleh adanya gradien dari kecepatan ( u∇ ) maka τ dapat dinyatakan sebagai
( )u∇= ττ .
ii) Energy Transport
Sekarang kita akan beralih ke fenomena transport yang berikutnya yaitu energy
transport. Untuk itu, kita perhatikan gas di antara 2 pelat seperti sebelumnya. Apabila
TB=TA maka gas berada dalam keadaan equilibrium. Dalam kondisi ini temperatur di
setiap titik dalam gas adalah sama (T=TA). Karena temperatur adalah “ukuran” dari
Mekanika Kontinum 61
)
rata-rata kinetik energi dari molekul-molekul di dalam gas maka dalam keadaan
equilibrium energi kinetik molekul-molekul tersebut secara rata-rata adalah sama.
Sekarang kita ubah temperatur pelat B menjadi TB>TA misalnya. Secara makroskopik
perubahan temperatur TB menyebabkan perubahan temperatur gas yang berada di dekat
pelat B (lapisan I). Dengan kata lain, naiknya TB menyebabkan bertambahnya energi
kinetik dari molekul-molekul di lapisan I. Seperti yang terjadi dalam kasus momentum
transport, ketika molekul-molekul ini “menyeberang” ke lapisan II dan bertumbukkan
dengan molekul-molekul lainnya, molekul-molekul ini “memindahkan” ekstra energi
yang diperoleh karena TB yang lebih tinggi, ke molekul-molekul lainnya di lapisan II.
Sekarang sebagian dari molekul-molekul di lapisan II bergerak ke lapisan III dan
sebagian lagi kembali ke lapisan I. Molekul-molekul yang bergerak ke lapisan III akan
bertumbukkan dengan molekul-molekul di lapisan ini dengan demikian “ekstra” energi
kinetik yang diperoleh dari oleh molekul-molekul ini ditransfer ke molekul-molekul di
lapisan III. Demikianlah proses “penyebaran” ekstra energi kinetik ini berlanjut ke
lapisan-lapisan berikutnya dan dengan demikian secara makroskopik akan terdapat
gradien temperatur ( di dalam gas tersebut. Proses ini mirip dengan proses
momentum transport yang dijelaskan sebelumnya, namun proses ini tidak harus
menyebabkan adanya gerakan makroskopik di dalam gas. Dengan kata lain proses in
dapat terjadi di dalam gas yang diam. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Bertambahnya energi kinetik berarti molekul-molekul tersebut bergerak lebih cepat.
Namun, molekul-molekul yang bergerak lebh cepat ini tetap bergerak secara acak
(random) karena proses ini tidak menyebabkan bertambahnya momentum di satu arah
saja melainkan bertambahnya momentum di semua arah (yang bertambah adalah
T∇
222zyx uuuu ++= ). Karena molekul-molekul ini tetap bergerak secara acak maka
secara makroskopik gas tersebut dapat saja berada dalam keadaan diam. Namun apabila
yang ditimbulkan cukup tinggi tentu saja gas tersebut akan mulai bergerak (dari
daerah yang mempunyai T yang tinggi ke daerah dengan T yang lebih rendah)
T∇
Apabila fluida di antara pelat A dan B ini adalah liquid maka proses yang sama akan
terjadi namun, tentunya, lebih kompleks karena adanya “intermolecular force”.
Mekanika Kontinum 62
Misalnya, sebuah molekul mempunyai kelebihan energi kinetik dan bergerak lebih
cepat. Karena adanya gaya tarik menarik yang kuat maka molekul ini akan menarik
beberapa molekul di sekitarnya. Sehingga molekul-molekul tersebut mendapatkan
“ekstra” energi kinetik.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa transfer atau transport dari energi
antarmolekul yang dijelaskan oleh q secara umum dapat dinyatakan sebagai ( )Tqq ∇=
karena energy transport ini secara makroskopik disebabkan adanya T∇ di dalam fluida.
iii) Mass Transport
Selain transport momentum dan energi, ada satu fenomena transport lagi yang terjadi di
dalam ”fluida campuran”(fluida yang terdiri dari beberapa “species”). Misalkan fluida
tersebut terdiri dari 2 species (titik hitam dan titik putih) seperti dalam gambar di atas.
Misalkan juga salah satu species (hitam) di lapisan I lebih banyak daripada species
lainnya (putih). Karena molekul-molekul dalam fluida (baik gas maupun liquid)
bergerak secara acak, baik putih maupun yang hitam, maka secara umum akan terdapat
flux dari salah satu species yang melewati perbatasan antara lapisan-lapisan tersebut
(misalnya flux dari molekul hitam dari lapisan I ke lapisan II dan flux dari molekul
putih dari lapisan II ke I). Pergerakan molekul-molekul ini sedemikian rupa sehingga
terdapat kecenderungan untuk “meratakan” komposisi dari kedua jenis molekul tersebut
di setiap lapisan. Proses ini disebut juga proses difusi dan seperti telah dijelaskan
sebelumnya, adalah akibat dari adanya gerakan acak dari molekul-molekul dalam fluida.
Karena secara makroskopik proses ini terjadi akibat adanya gradien dari konsentrasi (Ci)
dari salah satu “species” maka flux ini ( )i
j dapat dinyatakan sebagai ( )iiiCjj ∇=
Mekanika Kontinum 63
iv) General Transport Phenomena
Dari penjelasan di atas (i s.d. iii) kita telah lihat bahwa fenomena transport disebabkan
oleh adanya gradien-gradien. Misalnya adanya u∇ menyebabkan momentum transport,
menyebabkan energy transport. Namun, secara umum adanya satu gradien tidak
hanya mengakibatkan terjadinya satu jenis transport tetapi dapat menyebabkan berbagai
jenis transport. Contohnya, misalkan terdapat
T∇
T∇ di dalam sistem, selain
menyebabkan energy transport, T∇ dapat pula menyebabkan terjadinya proses difusi
(mass transport). Proses ini disebut juga “sorret effect”. Contoh lainnya adalah energy
transport yang disebabkan oleh adanya C∇ (dufour effect). Jadi secara umum, ∇ dapat
menyebakan “direct effect”, seperti T∇ menyebabkan energy transport, dan “coupled
effect”, seperti yang menyebabkan mass transport. T∇
Untuk fenomena-fenomena transport, kita dapat gunakan “thermodynamics of
irreversible process” untuk mendapatkan persamaan konstitutif. Prosedur dari
“thermodynamics of irreversible process” adalah sebagai berikut. Pertama, kita cari σ~
dari pertidaksamaan entropi. σ~ yang didapat harus dimanipulasi sedemikian rupa
sehingga berbentuk,
011~ ≥⋅=⋅= ∑ XJT
XJT i
iiσ
di mana komponen-komponen J adalah flux-flux seperti τ , q , i
j dan komponen-
komponen X adalah gradien-gradien yang menyebabkan flux J tersebut, misalnya
u∇ , , . T∇ C∇
Contoh: untuk fluida satu species
⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
≡q
Jτ
dan ⎭⎬⎫
⎩⎨⎧∇∇
≡Tu
X
Gradien-gradien ini dianggap tidak terlalu besar (fluida tidak terlalu jauh dari
equilibrium) sehingga ekspansi Taylor dapat digunakan. Dengan demikian maka kita
dapat nyatakan,
( ) ( ) ......0;,,;,, +∂∂
== XCTpXJXCTpJJ ii
Mekanika Kontinum 64
( J adalah fungsi p, T, Ci karena variabel-variabel ini adalah variable keadaan untuk
keadaan equilibrium). Apabila kita definisikan
XJ
∂∂
≡Ω
maka
XJ ⋅Ω=
di mana ( )iCTp ,,Ω=Ω .
Salah satu teorema fundamental dalam “thermodynamics of irreversible process” adalah TΩ=Ω atau jiij Ω=Ω .
Hubungan ini disebut juga “Onsager reciprocal relation”. Selain itu terdapat sebuah
prinsip penting yang disebut “Curie’s principle” yang menyatakan bahwa,
Tidak ada “coupling” antara tensor orde ganjil dengan tensor orde genap untuk
hubungan linear seperti XJ ⋅Ω=
Metode “thermodynamics of irreversible process” hanya dapat digunakan untuk
mendapatkan persamaan konstitutif untuk proses yang irreversible. σ untuk elastic
solid, misalnya, adalah proses yang reversible sehingga metode ini tidak dapat
digunakan untuk mendapatkan persamaan konstitutif untuk kasus tersebut. Selain itu,
bentuk dari XJ ⋅Ω= haruslah memenuhi prinsip-prinsip dasar untuk persamaan
konstitutif (a, b, c).
Catatan: Komponen-komponen dari Ωij secara umum adalah tensor yang ordenya dapat
berbeda-beda karena komponen-komponen J dan X adalah tensor-tensor
dengan orde yang berbeda.
Contoh : Fluida homogen (satu species)
Kita akan lihat di bab berikutnya bahwa untuk fluida homogen,
( ) 011~ ≥⋅∇⋅+⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ ∇
⋅−= uTT
TqT
τσ .
Mekanika Kontinum 65
Dari sini dapat diidentifikasikan bahwa,
⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
≡q
Jτ
dan ⎭⎬⎫
⎩⎨⎧∇∇
≡Tu
X
dengan demikian maka persamaan konstitutif adalah ( )XJ ⋅Ω= ,
Tu ∇⋅Ω+∇Ω=1211
:τ dan Tuq ∇⋅Ω+∇⋅Ω=2221
.
“Onsager reciprocal relation” menyatakan bahwa Ω12 = Ω21. Namun, τ adalah tensor
orde genap sedangkan adalah vektor atau tensor orde satu (ganjil). Oleh karena itu,
menurut “Curie’s principle” tidak ada ada coupling antara
T∇
τ dan T∇ dan juga dengan
q atau u∇ . Dengan demikian maka,
02112
=Ω=Ω
sehingga
u∇Ω= :11
τ dan Tq ∇⋅Ω=22
Hubungan antara τ dan u∇ dan q dengan T∇ di atas telah memenuhi prinsip dasar a
dan b. Akan kita lihat nanti bahwa prinsip dasar c mengharuskan 2211
& ΩΩ adalah
tensor-tensor yang isotropic.
1.4.4 Persamaan konstitutif untuk fluida (“satu spesies”)
Di subbagian ini kita akan lihat contoh dari penerapan prinsip-prinsip dasar untuk
persamaan konstitutif. Contoh yang akan dibahas adalah untuk fluida yang homogen
(hanya terdiri satu species sehingga ( 0=∇ iC ). Fluida inilah yang akan kita bahas
dalam buku ini.
i) Persamaan untuk heat conduction ( ) −q
Dari penjelasan di subbagian sebelum ini dapat disimpulkan bahwa untuk fluida yang
homogen dapat dinyatakan sebagai );,( TTpqq ∇=−−
. Penulisan sebagai fungsi p,
T, seperti di atas jelaslah telah memenuhi prinsip a) & b) (principle of determinism
−q
T∇
Mekanika Kontinum 66
& local action). Sekarang kita akan lihat bagaimana bentuk dari yang memenuhi
prinsip c) (principle of material frame indifference).
Karena adalah sebuah vektor maka untuk memenuhi c) haruslah, (lihat subbagian
frame indifference)
−q
−q
qQq ⋅= (c.1)
Karena adalah fungsi dari p, T,−q T∇ kita harus cek apakah variabel-variabel ini
memenuhi prinsip c). Karena p & T adalah skalar maka, p* = p, T* = T, sekarang
bagaimana dengan T∇
**
*** ˆ)ˆ()( ii
i
exTe
xTT
∂∂
=∂∂
=∇
Kita telah lihat sebelumnya bahwa T*=T dan ii eQe ˆˆ* ⋅= . Juga xi adalah skalar sehingga
x*i = xi. Dengan demikian maka,
TQexTQeQ
xTT i
ii
i
∇⋅=∂∂
⋅=⋅∂∂
=∇ ˆ)ˆ()( ** .
Jadi,
);,())(;,( **** TQTpqTTpqq ∇⋅=∇=
sehingga persamaan (c.1) menjadi
);,();,( TTpqQTQTpq ∇⋅=∇⋅
Namun persamaan di atas adalah definisi dari fungsi yang isotropik untuk sebuah
vektor. Dengan demikian maka prinsip c) mengharuskan adalah sebuah fungsi yang
isotropik. Fungsi isotropik yang paling umum adalah
TTTpkq ∇∇= );,(~
Hukum konduksi Fourier yang kita kenal adalah kasus spesial dari hubungan di atas.
Hubungan inilah yang biasanya digunakan untuk fluida yang dibahas dalam subbagian
ini. Jadi
Mekanika Kontinum 67
TTpkq ∇−=
−),( (Fourier’s Law of heat conduction)
ii) Persamaan untuk σ (Newtonian Fluid)
Dari diskusi sebelumnya kita ketahui bahwa untuk fluida yang dibahas di sini σ dapat
dinyatakan sebagai,
);,( uTp ∇= σσ
Seperti halnya , penulisan −q σ seperti di atas telah memenuhi prinsip a) & b).
Sekarang kita lihat bagaimana bentuk dari σ yang memenuhi prinsip c). Untuk
memenuhi c) maka σ haruslah (lihat subbagian frame indifference)
TQQσσ =* (c.2)
Karena σ adalah fungsi dari p, T & u∇ , kita harus cek bagaimana bentuk dari *)( u∇
(kita telah lihat sebelum ini bahwa T* = T & p* = p). Dari salah satu contoh di
subbagian frame indifference, TT QuQQQu ⋅∇+=∇ *)( .
Karena Ω+=∇ Du maka *)( u∇ dapat dituliskan seperti,
TTT QQQDQQQu Ω++=∇ *)(
Dari kedua persamaan terakhir di atas, jelaslah bahwa secara umum u∇ tidak memenuhi prinsip c). u∇ akan memenuhi c) apabila 0=Q atau apabila kita pilih Ω−= QQ .
Untuk sementara kita pilih Ω−= QQ dan kita akan lihat nanti apa implikasi dari pilihan
ini. Dengan pilihan Q ini maka, TQDQu =∇ *)(
Dengan demikian maka, TQDQuTpuTp ,)(;,())(;( ***** ∇=∇= σσσ
sehingga persamaan (c.2) menjadi, TT QDTpQQDQTp );,(),,( σσ = .
Mekanika Kontinum 68
Namun, persamaan di atas adalah definisi dari fungsi yang isotropik dari sebuah tensor
orde 2. Dengan demikian, sekali lagi prinsip c) mengharuskan hubungan konstitutif
untuk sebuah fungsi yang isotropik. Fungsi isotropik yang paling umum untuk sebuah
tensor orde 2 adalah ,
DDDI .210 ηηησ ++= & ),,,,( DDDii IIIIIITPηη = .
DDD IIIIII ,, adalah koefisien dari persamaan untuk “principle value” D yaitu,
0)det( 23 =+++=+ DDD IIImIImImDmI
( apabila 0,, =DDD IIIIII 0=D ).
Fluida dengan persamaan konstitutif seperti diatas disebut juga fluida: “Rainner- Rivlin”
. Karena D adalah simetrik maka σ seperti di atas secara otomatis memenuhi
konservasi momentum sudut ( Tσσ = ).
Dari penjelasan fisis yang telah diberikan di bagian sebelumnya kita ketahui apabila
0=∇u ( 0=D ) maka Ip−=σ atau σ untuk fluida yang diam adalah tekanan (p).
Dengan demikan maka σ dapat dinyatakan sebagai,
DDDIp .)( 210 υυυσ +++−=
dimana
),,,,( DDDii IIIIIITpυυ =
Sekarang kita akan kembali untuk melihat kembali interpretasi fisis dari pilihan kita
untuk Q . Dengan memilih Ω−= QQ , kita dapatkan persamaan (c.3). Dalam
persamaan ini tidak terdapat Ω dan kita telah lihat sebelumnya, bahwa Ω menjelaskan
rotasi benda rigid. Jadi dengan kata lain pilihan kita menyatakan bahwa Ω tidak
menyebabkan adanya stress (σ ). Ini tentunya sesuai dengan kenyataan fisis yang
sebenarnya karena rotasi benda rigid tidak menyebabkan adanya gerakan relatif antara
lapisan-lapisan dalam fluida. Dengan demikian maka pilihan kita tadi bukanlah pilihan
sembarang melainkan pilihan yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Mekanika Kontinum 69
Persamaan (c.3) adalah bentuk umum untuk material (fluida) yang mempunyai
)( u∇= σσ . ”Fluida Newtonian” adalah kasus spesial dari (c.3) di mana hubungan
antara σ & D adalah hubungan yang linier. Untuk Fluida Newtonian,
DIuIp µλσ 2)( +⋅∇+−=
Di mana ),( Tpλλ = disebut “second viscosity coefficient”
),( Tpµµ = disebut “shear viscosity coefficient”
Model “Fluida Newtonian” ini dapat digunakan untuk hampir semua fluida yang alami
seperti udara, air, dan gas& liquid lannya. Namun, terdapat pula fluida alami seperti
darah yang tidak dapat dimodelkan sebagai “Fluida Newtonian”.
Hubungan antara koefisien seperti µλ &,k dengan p & T biasanya didapatkan dari
eksperimen. Untuk gas, koefisien ini dapat dihubungkan dengan properti–properti
mikroskopik dengan menggunakan teori kinetik. Kenyataan bahwa harga µλ &,k
tidak didapatkan dari sistem persamaan adalah konsequensi dari penggunaan metode
kontinum.
Dasar Mekanika Fluida 70
BAB
2 Dasar Mekanika Fluida
2.1 Sistem persamaan diferensial untuk fluida
Di subbagian sebelum ini, kita telah mendapatkan persamaan konstitutif untuk fluida.
Persamaan konstitutif ini menjelaskan hubungan antara tegangan (stress) untuk fluida
dengan u∇ (deformasi). Apabila kita akan masukkan ekspresi untuk σ ini ke dalam
persamaan-persamaan dasar kontinum maka akan kita dapatkan sistem persamaan yang
menjelaskan gerak fluida.
Persamaan yang pertama dalam sistem persamaan ini adalah persamaan kontinuitas.
Karena dalam persamaan ini tidak terdapat σ maka persamaan ini tidak berubah, yaitu,
0=⋅∇+ udtd ρρ
(a)
Persamaan yang kedua adalah persamaan momentum. Di sini terdapat
τσ +−= Ip
dimana τ adalah,
( ) DIuuuuI T µλµλτ 2)()()( +⋅∇=∇+∇+⋅∇= .
Apabila kita substitusikan σ di atas ke dalam persamaan momentum untuk benda
kontinum, maka hasilnya adalah,
Dasar Mekanika Fluida 71
[ ]DIupG
dtud µλρρ 2)( +⋅∇⋅∇+∇−= (b)
Persamaan diatas disebut juga persamaan Navier-stokes. Seringkali, dalam mempelajari
aliran fluida kita dapat gunakan asumsi µ dan λ adalah konstan. Apabila asumsi ini
dapat digunakan maka τ⋅∇ menjadi,
[ ][ ]uuu
uuu T
2)()(
)()()(
∇+∇⋅∇+⋅∇∇=
∇⋅∇+∇⋅∇+⋅∇∇=⋅∇
µλ
µλτ
Sehingga persamaan (b) menjadi,
uupGdtud 2)()( ∇+⋅∇∇++∇−= µµλρρ
Sekarang kita beralih ke persamaan energi. Selain terdapat σ , dalam persamaan ini
juga terdapat q (heat conduction). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, q untuk fluida
adalah,
Tkq ∇−=
Dengan demikian maka persamaan energi menjadi, 2
( ) ( ) ( ) (2
d ue G u Q q pudt
ρ ρ+ = ⋅ + − ∇ ⋅ − ∇ ⋅ + ∇ ⋅ ⋅ )uτ
atau
( ) )2()()()()()2
(2
uDuuupTkQuGuedtd
⋅⋅∇+⋅∇⋅∇+⋅∇−∇⋅∇++⋅=+ µλρρ (c)
Persamaan energi mempunyai beberapa bentuk alternatif. Salah dari bentuk alternatif
adalah persamaan yang menjelaskan perubahan waktu dari entropi sebuah fluid element.
Persamaan ini seringkali digunakan untuk menggantikan persamaan energi. Untuk
mendapatkan persamaan ini kita harus melakukan beberapa manipulasi terhadap
persamaan momentum dan energi. Dalam melakukan manipulasi itu, kita juga akan
mendapatkan persamaan yang menjelaskan laju perubahan energi kinetik dan energi
dalam dari sebuah fluid element. Kita mulai mulai proses manipulasi ini dengan
mengambil dot product persamaan (b) dengan ( ))(buu ⋅ dan hasilnya adalah,
Dasar Mekanika Fluida 72
)(2
2
τρρρ ⋅∇⋅+⋅+∇⋅−==⋅ uuGpuudtd
dtudu (KE)
Persamaan di atas adalah persamaan untuk energi kinetik.
Persamaan energi (c) dapat dijabarkan lebih lanjut,
uupuupqQuGuedtd
⋅∇⋅+⋅∇⋅+∇⋅−∇−∇−+⋅=+ )()()()2
(2
ττρρ
Berikutnya persamaan ini akan kita kurangi persamaan (KE) dan hasilnya adalah,
uqupQdtde
⋅∇⋅+⋅∇−⋅∇−= )(τρρ
Dari persamaan (a), dtdu ρ
ρ1
−=⋅∇ sehingga,
uqdtdpQ
dtde
⋅∇⋅+⋅∇−+= )(τρρ
ρρ (IE)
Persamaan di atas adalah persamaan untuk energi dalam (internal energy). Namun,
apabila kita mengingat hasil termodinamika, persamaan untuk perubahan waktu dari
internal energy dapat diturunkan dengan cara lain. Pertama-tama, hasil dari
termodinamika menyatakan bahwa untuk proses yang reversible,
ρρ
ρρdpdsTdpdsTde +=⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−= 1
Sehingga,
dtdp
dtdsT
dtde
rev
ρρ
ρρ +=⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
di mana subscript “rev” adalah untuk mengingatkan kita bahwa hasil di atas adalah
untuk proses yang internally reversible. Apabila kita substitusikan hasil ini untuk dtdeρ
di persamaan (IE) maka hasilnya adalah,
uqQdtdsT ⋅∇⋅+⋅∇−= )(τρρ
atau,
Tu
Tq
TQ
dtds ⋅∇⋅
+⋅∇
−=)(τρρ (d)
Dasar Mekanika Fluida 73
Persamaan di atas menjelaskan perubahan waktu dari entropi (s). Masih banyak lagi
bentuk alternatif dari persamaan energi selain ketiga persamaan diatas (energi kinetik,
energi dalam, dan entropi). Bentuk-bentuk alternatif lainnya akan diturunkan di 2.2.1.
2.1.1 Konsekuensi Hukum Termodinamika II (Energy Dissipation)
Di subbagian sebelum ini kita telah mendapatkan persamaan yang menjelaskan laju
perubahan entropi untuk sebuah fluid element. Sekarang kita akan gunakan hasil
tersebut untuk melihat konsekuensi dari Hukum Termodinamika II untuk fluida.
Pertama-tama, mari kita ambil integral dari persamaan (d). Apabila ρ, s, Q, T, k, u , dan
τ adalah fungsi-fungsi yang kontinu dan dapat didiferensialkan maka (*) dan (**) dapat
digunakan dalam mengambil integral dari persamaan (d). Hasilnya adalah,
dVT
udV
TTkdV
TQdV
dtds
tVtVtVtV∫∫∫∫
∇⋅+
∇⋅∇+=
)()()()(
)()( τρρ (x)
di mana V(t) adalah volume material dan kita telah subtitusikan Tkq ∇−= .
Sekarang kita tuliskan Hukum Termodinamika II untuk benda kontinuum.
0ˆ
)()()(
≥−⋅
+ ∫∫∫ dVTQdS
Tnq
dVdtds
tVtStV
ρρ
Berikutnya substitusikan Tkq ∇−= ke dalam Hukum Termodinamika II diatas dan
ubah menjadi integral volume dengan menggunakan (*) sehingga suku kedua dalam
integral diatas menjadi,
dVT
TkTkT
dVT
TkdVTq
dST
nq
tVtVtVtS∫∫∫∫ ⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ ∇+∇⋅∇−=⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛ ∇−
⋅∇=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∇=
⋅
)(2
2
)()()(
)()(1ˆ
Dengan demikian maka Hukum Termodinamika II menjadi,
0)()(
)()(2
2
)()(
≥−∇
+∇⋅∇
− ∫∫∫∫ dVTQdV
TTk
TTkdV
dtds
tVtVtVtV
ρρ
Sekarang kita substitusikan persamaan (x) ke dalam pertidaksamaan di atas dan hasilnya
adalah
Dasar Mekanika Fluida 74
0)()(
)()(2
2
≥⋅∇⋅
+∇
∫∫ dVT
udV
TTk
tVtV
τ (xx)
Hasil di atas menjadi persamaan untuk proses reversible dan pertidaksamaan untuk
proses irreversible. Seperti telah kita ketahui dari termodinamika, proses irreversible
merupakan proses yang menyebabkan adanya energi yang hilang atau “terdisipasi” di
dalam sistem (material volume). Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa q dan τ adalah
sesuatu yang menyebabkan terjadinya disipasi (hilangnya) energi dalam sistem fluida.
Sebab apabila q = 0 dan τ = 0, maka proses menjadi reversible dan tidak ada energi
yang hilang.
Selain memberitahukan apa yang menyebabkan terjadinya disipasi energi, Hukum
Termodinamika II juga memberikan batasan terhadap harga-harga koefisien λ, µ, dan k.
Untuk melihat batasan ini kita akan jabarkan suku ))( u⋅∇⋅τ seperti di bawah ini,
( )
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂
∂−
∂∂
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂
∂+
∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂
∂+
∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
=
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂
∂−
∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂
∂+
∂∂
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂
∂+
∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
=
∂∂
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂
∂+
∂∂
+∂∂
=∂∂
=⋅∇⋅
i
j
j
i
i
j
j
i
i
j
j
i
k
k
i
j
j
i
i
j
j
i
i
j
j
i
k
k
j
i
i
j
j
iij
k
k
j
iij
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
u
µµλ
µλ
µδλττ
21
21
21
22
2
Penulisan di atas menggunakan “notasi Einstein” untuk mempersingkat penulisan.
Apabila kita gunakan notasi vektor maka hasil di atas dapat dituliskan seperti:
( )
( ) Φ+⋅∇=
⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢
⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂
∂−⎟
⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∂
∂+
∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
=⋅∇⋅
=
==
Φ≡
===∑∑∑
2
22
2
0
3
1,1
22
skalar adalah
23
1,1
23
1
µλ
µµλτ
u
xu
xu
xu
xu
xu
uji i
j
j
i
ji i
j
j
i
k k
k
di mana 0≥Φ
Apabila kita substitusikan hasil di atas ke dalam pertidaksamaan (xx), maka,
Dasar Mekanika Fluida 75
( ) ( )
∫∫∫ ≥Φ+⋅∇
+∇
)()(
2
)(
2
02tVtVtV
dVdVTudV
TTk µλ
Karena T ≥ 0 dan ≥ 0 maka dapat dilihat dari pertidaksamaan di atas bahwa, Φ
k, λ, µ > 0
Ini menunjukkan bagaimana Hukum Termodinamika II mengharuskan koefisien-
koefisien (k, λ, µ) untuk selalu positif.
2.2 Persamaan-persamaan Pelengkap Sistem Persamaan Fluida
Persamaan-persamaan (a), (b), dan (c) adalah persamaan dasar untuk fluida. Dari sistem
persamaan ini, dapat dilihat bahwa kita perlu mengetahui variabel (ρ, u , p, e, T, k, λ,
dan µ) untuk menjelaskan gerak fluida (G dan Q adalah variabel-variabel eksternal
yang biasanya diberikan dan tidak harus didapatkan dari sistem persamaan untuk
fluida). Sedangkan jumlah persamaan (a) sampai dengan (d) hanyalah 5 (enam)
persamaan (persamaan (b) adalah persamaan vektor yang mempunyai 3 komponen).
Jadi hanya terdapat 5 persamaan untuk mendapatkan 10 variabel yang tidak diketahui
(ρ, u , p, e, T, k, λ, dan µ)
Jadi jelaslah bahwa persamaan (a) sampai dengan (c) tidak cukup untuk menyelesaikan
permasalahan ini. Kita membutuhkan lima persamaan lagi untuk melengkapi “sistem
persamaan” fluida. Dua persamaan ini didapatkan dari persamaan termodinamika, yaitu
persamaan keadaan seperti:
( ) ( ), & ,e e p T p Tρ= = (e)
Sedangkan 3 persamaan lagi adalah persamaan yang menjelaskan hubungan antara λ, µ,
k dengan variable-variable termodinamika seperti p dan T.
( ) ( ) ( ), , , , ,p T k k p T p Tλ λ µ µ= = = (f)
Dengan adanya persamaan (e) dan (f), maka lengkaplah sistem persamaan yang kita
miliki untuk menyelesaikan permasalahan mekanika fluida (persamaan (a), (b), (c), (e),
Dasar Mekanika Fluida 76
dan (f) ). Bentuk eksplisit dari persamaan (e) dan (f) sendiri tergantung dari jenis fluida
tersebut (misalnya fluida ideal atau benda cair).
Contoh: untuk perfect gas persamaan (e) adalah:
tan
,
konsTeC
RTp
vv =⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
=
= ρ
sehingga tankonsTCe v +=
Catatan: Sistem persamaan (a) sampai dengan (f) adalah sistem persamaan untuk
fluida yang homogeneous. Dengan kata lain fluida dianggap sejenis dan
tidak terjadi reaksi kimia. Apabila fluida tidak homogeneous dan komposisi
dari species yang membentuk fluida tersebut berbeda di setiap titik-titik,
maka dibutuhkan lagi persamaan tambahan untuk melengkapi sistem
persamaan, misalnya persamaan yang menjelaskan konsentrasi (Ci) dari
setiap species fluida tersebut. Dalam aerodinamika kasus fluida yang tidak
homogeneous terjadi dalam aliran hypersonic. Dalam aliran hypersonic dapat
terjadi proses disosiasi dan ionisasi di daerah-daerah yang mempunyai
temperatur, T, yang sangat tinggi.
2.2.1 Bentuk alternatif dari persamaan energi.
Dalam kasus-kasus tertentu, persamaan (c) bukanlah bentuk yang terbaik untuk
digunakan. Dalam kasus-kasus seperti ini kita dapat gunakan persamaan energi dalam
bentuk lain; yaitu dengan menggunakan variabel h (entalphi) untuk menggantikan
variabel e (internal energy). Definisi entalphy adalah:
ph eρ
= +
Sehingga,
2
1 pdh de dp dρρ ρ
= + −
dan
Dasar Mekanika Fluida 77
dh de dp p ddt dt dt dt
ρρ ρρ
= + −
Sekarang kita substitusikan persamaan untuk dtde dan hasilnya adalah:
( )dh dpQ k T udt dt
ρ ρ τ= + ∇ ⋅ ∇ + ⋅∇ ⋅ + (g)
Selain bentuk persamaan energi seperti di atas, ada lagi bentuk alternatif dari persamaan
energi, yaitu persamaan untuk laju perubahan temperatur dari sebuah fluid element.
Bentuk alternatif persamaan energi seperti ini digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan perpindahan panas. Selain itu bentuk persamaan energi seperti ini juga
lebih nyaman untuk digunakan karena variabel temperatur adalah variabel yang dapat
langsung digunakan (tidak seperti energi dalam dan entalpi, misalnya).
Untuk mendapatkan bentuk alternatif persamaan energi ini kita mulai dari persaman
untuk energi dalam,
( ) ( ) ( )de k T u p u Qdt
ρ τ ρ= ∇ ⋅ ∇ + ⋅∇ ⋅ − ∇ ⋅ +
Sekarang kita akan ubah ekspresi untuk e dalam persamaan di atas dengan
menggunakan hasil dari termodinamika.
dvpvsTdT
TsTdvpdsTde
v⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
+⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
=−=
Turunan parsial untuk s dalam persamaan di atas dapat diubah dengan menggunakan
definisi untuk Cv dan Helmholtz potensial ψ.
vv v v v
e e s sC TT s T T
∂ ∂ ∂ ∂⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞≡ = =⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠d pdv sdt , ψ = − −
sehingga
, sTT v
pvψ ψ∂ ∂⎛ ⎞ ⎛ ⎞= − = −⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠
Karena vTTv ∂∂
∂=
∂∂∂ ψψ 22
maka,
Dasar Mekanika Fluida 78
v T
p sT v
∂ ∂⎛ ⎞ ⎛ ⎞=⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠
Jadi persamaan untuk energi dalam dapat dituliskan seperti,
( ) ( ) ( )vv
dT p dvC k T u Q p u T pdt T dt
ρ τ ρ ρ⎛ ⎞∂⎛ ⎞= ∇ ⋅ ∇ + ⋅∇ ⋅ + − ∇ ⋅ − −⎜ ⎟⎜ ⎟∂⎝ ⎠⎝ ⎠
Karena ρ1
≡v maka udtd
dtdv
⋅∇=−=ρ
ρρ
112 , maka persamaan untuk energi dalam
menjadi:
( ) ( )vv
dT pC k T u T udT T
Qρ τ ρ∂⎛ ⎞= ∇ ⋅ ∇ + ⋅∇ ⋅ − ∇ ⋅ +⎜ ⎟∂⎝ ⎠ (h)
Bentuk persamaan energi di atas (g), lebih mudah digunakan karena bentuk ini kita
gunakan variabel T (bukan e atau h seperti sebelumnya) karena kondisi batas biasanya
diberikan dalam bentuk T = Twall atau walln
T⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
Satu lagi bentuk alternatif untuk persamaan energi, yaitu bentuk lain dari persamaan (g).
dari termodinamika kita tahu bahwa: dh Tds vdp= + .Apabila kita nyatakan
maka persamaan tersebut menjadi,
( )Tpss ,=
dpvpsTdT
TsTdh
Tp⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
=
Sekarang,
pp p p
dh h s sC TdT s T T
∂ ∂ ∂⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞≡ = =⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ p
juga kita ketahui untuk hubungan diferensial untuk Gibbs potential (g):
dq vdp sdT= − atau Tp
qv ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
= dan PT
qs ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
=
sehingga
TT pv
ps
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
dengan demikian persamaan untuk dh menjadi:
Dasar Mekanika Fluida 79
dpp
TdTCdh
dpp
TdTCdh
Tp
T
p
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
−+=
⎟⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜⎜
⎝
⎛
+⎟⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜⎜
⎝
⎛
∂
⎟⎠⎞⎜
⎝⎛∂
+=
ρρ
ρρ
ρρρρ
1
11
Dengan menggunakan hubungan di atas, persamaan (g) menjadi:
( ) ( )pT
dT T dpC Q k T udt p dt
ρρ ρ τρ
⎛ ⎞∂= + ∇ ⋅ ∇ + ⋅∇ ⋅ + ⎜ ⎟∂⎝ ⎠
(i)
2.2.2 Kondisi batas yang harus dipenuhi
Untuk menyelesaikan sistem persamaan fluida dibutuhkan kondisi awal (initial
conditions) dan kondisi batas (boundary conditions). Kondisi-kondisi ini ditentukan
oleh permasalahan yang kita pelajari. Namun untuk kondisi batas kita dapat lebih
spesifik.
Untuk persamaan momentum (b), kondisi batasnya adalah :
( ),wall wallu x x t U= = ( =wallx posisi benda)
apabila terdapat benda di dalam aliran yang bergerak dengan kecepatan wallU . Dengan
kata lain kondisi batas ini menyatakan bahwa lapisan fluida yang berbatasan dengan
permukaan benda bergerak dengan kecepatan benda tersebut.
Untuk persamaan energi, kondisi batasnya biasanya diberikan untuk temperatur (T).
Seperti telah kita lihat bentuk alternatif dari persamaan energi dapat dituliskan dengan
menggunakan T (persamaan (h) atau (i)). Apabila terdapat benda dalam aliran, maka
kondisi batas untuk persamaan energi adalah :
( ) wallwall TtxxT == ,
atau
( ),ˆ ˆwall
wall
T Tk x x t kn n
∂ ∂⎛ ⎞= = ⎜ ⎟∂ ∂⎝ ⎠
Dasar Mekanika Fluida 80
Kondisi batas yang pertama menyatakan bahwa T dari lapisan fluida yang berbatasan
dengan benda adalah T benda. Sedangkan yang kedua menyatakan flux dari T di arah
(normal terhadap benda) dari lapisan fluida yang berbatasan dengan benda adalah flux
dari T di arah yang “keluar/masuk” benda tersebut. Karena
n
n Tkq ∇−= , kondisi batas
yang kedua menjelaskan proses perpindahan panas atau heat transfer dari atau ke
permukaan benda.
Pada kasus-kasus tertentu, kedua kondisi batas untuk persamaan energi ini di gunakan
secara bergantian. Misalnya, kita mempelajari kasus dimana sebuah benda panas
dimasukkan kedalam suatu aliran fluida dengan temperatur yang lebih rendah. Dari
pengalaman sehari-hari kita ketahui bahwa pada saat-saat awal, temperatur benda
tersebut tidak banyak berubah sehingga pada saat-saat tersebut kondisi batas yang
digunakan adalah ( ),wall wallT x x t T= = . Namun, setelah selang waktu tertentu, mulai
ada transfer panas dari benda ke fluida sehingga temperatur benda (Twall) turun. Pada
saat ini kondisi batas yang kita gunakan adalah ( ),ˆ ˆwall
wall
T Tk x x t kn n
∂ ∂⎛ ⎞= = ⎜ ⎟∂ ∂⎝ ⎠. Transfer
panas ini terus berlangsung sampai pada akhirnya terjadi kesetimbangan antara
temperatur benda dan temperatur fluida disekitarnya dan pada saat itu proses
perpindahan panas berhenti sehingga kondisi batasnya adalah ( ), 0ˆ wallTk x x tn
∂= =
∂.
Kondisi dimana qwall = 0 ini disebut Adiabatic wall condition.
2.3 Bentuk-bentuk non dimensional dari persamaan fluida
Persamaan-persamaan fluida dapat ditulis dalam bentuk nondimensional. Untuk itu,
pertama-tama kita definisikan variabel yang tidak berdimensi dibawah ini :
oρρρ ≡~ ,
ouuu ≡~ ,
oppp ≡~ ,
oTTT ≡~ ,
0
~ttt ≡ , τ
µτ
oo
o
uL
≡~ ,
oLxx ≡~ ,
okkk ≡
~ , po
ov
vo
vv C
CCCC γ
=≡~ ,
ogGG ≡
~ , vo
poo C
C≡γ
Dasar Mekanika Fluida 81
Variabel-variabel di atas yang bersubscript “o” adalah variabel-variabel acuan, misalnya
adalah kecepatan “freestream”, adalah panjang dari benda (chord length dari
airfoil) dan lain-lain. Sekarang apabila kita ganti variabel-variabel misalnya
ou oL
oρρρ ~= ,
dan seterusnya kedalam persamaan (a) dan (b), maka kita dapatkan :
( ) 0~~.~~~1
=∇+∂∂ u
tSt
ρρ ( )a~
( )1 1 1
t u e
u u u pS t R R F
1
r
Gρ ρ∂+ ⋅∇ = − ∇ + ∇ ⋅ +
∂τ ρ ( )b~
di mana
∇=∂∂
=∂∂
=∇ ~1~
oo LxLx
Untuk persamaan energi, kita akan menggunakan persamaan (h) dan kita akan lakukan
ini untuk kasus besar Q = 0
( ) ( ) ( )vv
T pC u T k T u Tt t
ρ τ∂ ∂⎧ ⎫ ⎛ ⎞+ ⋅∇ = ∇⋅ ∇ + ⋅∇ ⋅ − ∇⋅⎨ ⎬ ⎜ ⎟∂ ∂⎩ ⎭ ⎝ ⎠u .
Apabila kita subsitusikan variabel di atas ke dalam persamaan ini dan hasilnya lalu
dikalikan oopoo
oo
uTCL
ργ
, maka :
( ) ( ) 0. .1 . (. . .o r o r
v vvt e r u r
)B BT pC C u T k T T uS t R P R P T R P
γ γ γρ ρ τ∂ ∂⎛ ⎞+ ⋅∇ = ∇⋅ ∇ − ∇⋅ + ⋅∇ ⋅⎜ ⎟∂ ∂⎝ ⎠ e r
u ( )c~
di mana :
o
oot L
utS ≡ (Bilangan Strouhal),
o
oou P
uR2ρ
≡ (Bilangan Ruark)
o
oooe
LuRµ
ρ≡ (Bilangan Reynolds),
oo
or Lg
uF2
≡ (Bilangan Froude)
o
oPor k
CP µ≡ (Bilangan Prandtl),
oo
oor Tk
uB2µ
≡(Bilangan Brinkman)
Selain angka-angka di atas kadangkala digunakan juga :
ere RPP .≡ (Bilangan Peclet), r
rc P
BE ≡ (Bilangan Eckert)
Dasar Mekanika Fluida 82
Catatan : Dapat dilihat dari definisi di atas bahwa harga tergantung dari jenis fluida
dan tidak bergantung dari aliran.
rP
Persamaan dasar fluida dalam bentuk nondimensional ini (persamaan ( )a~ -
persamaan ( )c~ )sangat berguna dalam hal-hal berikut :
1. Menyederhanakan persamaan tersebut. Misalnya apabila aliran yang dipelajari
mempunyai Re yang tinggi ( )∞→eR , maka dapat dilihat dari persamaan ( )b~ ,
suku yang menjelaskan viscous stress dapat diabaikan. Juga karena Pr
biasanya mempunyai harga sekitar 1, maka suku yang menjelaskan konduksi
panas dan viscous dissipation dapat diabaikan dalam persamaan ( )c~ .
2. Biasanya dalam melakukan eksperimen untuk mensimulasikan aliran di sekitar
benda kita membuat model yang lebih kecil daripada dimensi benda yang
sebenarnya. Persamaan ( ) ( )ca ~~ − memberitahu kita bahwa eksperimen dengan
model yang lebih kecil ini akan berhasil mensimulasikan aliran dengan tepat
apabila harga-harga parameter : rrreut BPFRRS ,&,,,,,γ adalah sama seperti
pada aliran yang sebenarnya. Ini disebabkan variabel yang terdapat dalam
persamaan ( ) ( )ca ~~ − tidak berdimensi. Jadi apabila ada dua persoalan (aliran
disekitar benda dan aliran disekitar model), maka solusi dari persamaan
( ) ( )ca ~~ − untuk kedua aliran tersebut adalah sama apabila harga dari
parameter-parameter tersebut sama
2.3.1 Kasus Perfect Gas
Dalam aerodinamika biasanya kita mempelajari aliran udara. Udara dapat diasumsikan
sebagai perfect gas. Untuk perfect gas, kita dapat menggunakan parameter lain yang
lebih umum digunakan dalam aerodinamika seperti M (Mach number). Pertama-tama
kita mulai dari definisi Ru
00
2000
0
200
Pu
Pu
Ru γργρ
=≡
Dasar Mekanika Fluida 83
Untuk perfect gas 2 0 0
00
Pa γρ
= sehingga,
2002
0
200 M
au
Ru γγ
== .
Sekarang kita lihat 20
0 0
rc
r P
UBP C T
ε ≡ =
Untuk perfect gas 10
00 −
=γγ R
C p sehingga,
2002
0
20
0000
20 )1()1()1( M
au
RTu
c −=−=−= γγγγ
ε .
Dengan demikian maka persamaan-persamaan (ã) s/d (ĉ) untuk perfect gas menjadi :
20 0
20 0 0 0 u⋅0
1 ( ) 0
1 1 1 1( )
( 1)1 ( ) ( ) ( 1) ( )
t
t e r
v vt e r e
uS t
u u u p GS t M R F
MTC C u T k T P uS t R P R
ρ ρ
ρ ρ τ ργ
γ γ γρ ρ γ τ
∂+ ∇ ⋅ =
∂∂
+ ⋅∇ = − ∇ + ∇ ⋅ +∂
−∂+ ⋅∇ = ∇ ⋅ ∇ − − ∇ ⋅ + ⋅∇
∂
( )d~
Dari persamaan ( )d~ dapat dilihat bahwa parameter-parameter “Aerodynamics
Similarity” untuk perfect gas adalah : St, Re, Fr, Pr, Mo, γ.
Catatan: Dalam ( )d~ suku T~
υ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂Tp~~
didalam persamaan energi telah diubah sebagai
berikut:
TpRT
pRTp ~~0
0ρρ =⇒=
ppp
pRT
pRT
TTpT
TpT ~~
~~~
~~~
000
0 ≡===⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
=⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂ ρρ
ρυ
Dasar Mekanika Fluida 84
2.4 Diskontinuitas dalam fluida
Pada bab I kita telah membahas bagaimana mendapatkan persamaan-persamaan
continuum apabila terdapat diskontiniutas. Persamaan-persamaan itu, untuk fluida
Newtonian adalah :
[ ] 0=wρ ........................................................................................ (a)
[ ] 0n)( =⋅+−− τρ Ipuw …………………………………………(b)
( ) 0n2
2
=⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⋅−⋅+−−⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+ quupuew τρ …………………………(c)
ˆ0
q nρws
T⋅⎡ ⎤
+ ≥⎢⎣ ⎦
⎥ ………………………………………………...(d)
dimana nv-nuw ˆˆ ⋅⋅≡
Diskontiniutas dapat digolongkan menjadi 2 jenis :
i) Tangensial Discontiunity
Untuk jenis ini tidak ada massa yang melewati permukaan diskontiniutas sehingga:
( ) ( ) nvunvu 0ˆˆ 21 =⋅−=⋅− atau 0=w
Untuk kasus ini persamaan (a) lansung terpenuhi. Persamaan (b) dan (c) menjadi :
( ) ( )( )[ ] ( )[ ] nquτI-pnquτI-p
nτI-pnτIp
ˆˆ
ˆˆ
22221111
2211
⋅−⋅+=⋅−⋅+
⋅+=⋅+−
dan persamaan (d) menjadi :
0ˆ1
1
2
2 ≥⋅⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛− n
T
q
T
q atau 0ˆ
2
2
1
1 ≤⋅⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛− n
T
q
T
q
Apabila asumsi inviscid dan adiabatic dapat digunakan maka,
1 2p p= (T.D.I)
dan dari definisi kasus ini maka : ( 0≡w )nunu ˆˆ 21 ⋅=⋅ (T.D.2)
Dasar Mekanika Fluida 85
Catatan:
a) Apabila kita gunakan (T.D.I) dan kembali ke persamaan (b) maka kita dapatkan :
[ ] 0=uw ρ
karena maka persamaan di atas menyatakan bahwa 0≡w [ ]uρ tidak harus sama
dengan nol. Sedangkan persamaan (d), [ ] 0=ρw , jadi [ ]ρ tidak harus sama dengan
nol. Jadi ada 2 macam tipe tangential discontinuity:
1. Di mana 21 ρρ ≠ tetapi 21 uu = . Discontiniuty tipe ini dinamakan contact
discontinuity.
2. ( 21 )ρρ = tetapi 21 uu ≠ . Karena nunu ˆ0ˆ 21 ⋅==⋅ maka discontinuity jenis
ini berarti komponen kecepatan yang sejajar dengan permukaan diskontiniutas
( IIu )diskontinyu atau 21 IIII uu ≠ . Discontinuity jenis ini disebut slip surface.
b) Untuk (d) ketidaksamaan menjadi persamaan [ ] 0=sw ρ , jadi untuk kedua tipe di
atas ( 1) dan 2) ), S1 tidak harus sama dengan S2.
ii) Normal Discontinuity
Untuk jenis ini ada mass flux ( )0≠w . Untuk discontinuity jenis ini persamaan-
persamaan terpenuhi apabila
( ) ( )
1 1 2 2
1 21 1 1 2 2 21 2
2 21 2
1 1 2 21 1 1 1 2 2 2 11 21 2
2 12 2 2 1 1 1
2 1
ˆ ˆ( ) ( )
ˆ ˆ.2 2
ˆ ˆ
w ww u p I n w u p I n
u uw e p u u q n w e p u u q n
q n q nw s w s
T T
ρ ρρ τ ρ τ
ρ τ ρ τ
ρ ρ
=− − + ⋅ = − − + ⋅
⎛ ⎞ ⎛ ⎞+ − − + ⋅ − ⋅ = + − − + ⋅ −⎜ ⎟ ⎜ ⎟
⎝ ⎠ ⎝ ⎠⋅ ⋅
+ ≥ +
Karena adalah unit vector yang menunjukkan arah normal dari permukaan
diskontiniutas maka komponen persamaan kedua di atas yang sejajar dengan permukaan
diskontinuitas adalah,
n
1 1 //1 2 2 // 2w u w uρ ρ=
atau
Dasar Mekanika Fluida 86
//1 // 2u u= .
Jadi untuk normal discontinuity komponen kecepatan yang sejajar dengan permukaan
(u//) diskontiniutas harganya kontinyu. Apabila asumsi inviscid dan adiabatic dapat
digunakan maka persamaan di atas menjadi,
2211 ww ρρ = (ND.1)
npuwρnpuwρ ˆˆ 22221111 +=+ (ND.2)
nupu
ewρnupu
ewρ ˆ2
ˆ2 22
22
22211
21
111 ⋅+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+=⋅+⎟
⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+ (ND.3)
2 2 2 1 1 1w s w sρ ρ≥ (ND.4)
2.5 Effect dari Surface Tension
Apabila kita teteskan air di atas meja maka tetesan air tersebut akan membentuk
“setengah bola” seperti sketsa sebelah kiri di atas. Apabila kita mempunyai tabung
yang diisi oleh air maka permukaan air tersebut akan melengkung seperti sketsa di
sebelah kanan. Fenomena-fenomena ini disebabkan oleh apa yang disebut “surface
tension”.
Secara mikroskopik efek ini disebabkan oleh ketidakseimbangan gaya antar molekul
yang dialami oleh molekul-molekul disekitar permukaan. Misalkan dalam kasus tetesan
air (sketsa kiri). Kita ketahui bahwa “intermolecular force” dari molekul-molekul
tersebut saling tarik menarik. Molekul-molekul di sekitar permukaan mengalami gaya
tarik yang disebabkan oleh molekul-molekul air di satu sisi. Namun, di sisi lain terdapat
Dasar Mekanika Fluida 87
molekul-molekul udara yang mempunyai gaya tarik yang sangat lemah. Oleh karena itu
molekul-molekul di sekitar permukaan (titik-titik hitam dalam sketsa diatas) akan
“ditarik” oleh molekul-molekul air (lihat sketsa ditengah) dan permukaan air akan
membentuk “setengah bola”
Secara makroskopik, “tertarik”-nya molekul-molekul di sekitar permukaan ke salah satu
sisi dirasakan dengan adanya “surface tension”, yaitu gaya yang parallel dengan
permukaan. Sekarang kita lihat kesetimbangan gaya-gaya dipermukaan antara 2 fluida
yang berbeda. Permukaan antara 2 fuida yang berbeda adalah “tangential
discontinuity” dan apabila tidak terdapat “surface tension” maka kesetimbangan gaya-
gaya di permukaan yang membatasi 2 fluida ini dijelaskan oleh persamaan yang paling
atas dalam persamaan (TD) yaitu
∫∫ ⋅+−=⋅+−SS
dSnIpdsnIp ˆ)( ˆ)(2211 ττ
atau (1) (2) ˆ( )
S
F F n dS 0− ⋅ =∫
di mana
iii IpF τ+−≡)(
Apabila terdapat “surface tension” maka kita perlu tambahkan lagi satu gaya lagi
kedalam persamaan kesetimbangan diatas. (1) (2) ˆˆ ˆ( )
S C
F F n dS t n dlσ 0− ⋅ + × =∫ ∫ (ST.1)
Di mana τ : surface tension coefficient, : unit vektor arah normal dan : unit vektor
di arah yang sejajar dengan kurva c (sejajar dengan dl).
n t
Dasar Mekanika Fluida 88
Sekarang kita akan ubah integral garis diatas menjadi integral area dengan
menggunakan salah satu versi dari stokes theorem yaitu
[ ]∫∫∫ ⋅∇−⋅∇=×=×SCC
dSnAnAdltAldA ˆ)(ˆ)(
Dengan menggunakan teorema ini maka (ST.1) menjadi, )ˆ ( nA σ−=
( )(1) (2) ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ( ) ( ) ( ( )) S
F F n n n n n dSσ σ− ⋅ +∇ ⋅ − ∇⋅ =∫ 0
Sehingga,
nnnnnFF ˆ)ˆ (ˆ))ˆ ((ˆ)( )2()1( ⋅∇−⋅∇=⋅− σσ (ST.2)
Sekarang kita akan jabarkan suku kanan dari (ST.2) lebih lanjut
( )( ) ( ) ( ) ( ) ( )ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ ˆn n n n n n n n n n nσ σ σ σ σ σ∇ ⋅ − ∇ ⋅ = ∇ ⋅ + ∇ ⋅ − ∇ + ∇ ⋅ .
Karena dan n n maka suku pada ruas kiri menjadi
=
ˆ ˆ 0n n⋅∇ = ˆ ˆ 1⋅ =
( ) ( )ˆ ˆ ˆ ˆn n n nσ σ∇ ⋅ + ∇ ⋅ − ∇σ . Apabila kita gunakan aturan untuk “triple product”:
maka, ( ) ( )BACCABCBA ⋅−⋅=××
( ) ( )ˆ ˆ ˆ ˆn n n nσ σ σ∇ ⋅ − ∇ = − ×∇ ×
sehingga ruas kiri menjadi
( ) ( )ˆ ˆ ˆ ˆn n n nσ σ∇ ⋅ − ×∇ ×
Namun n∇ ⋅ adalah “mean curvature”
(kelengkungan rata-rata dari permukaan) atau
1 2
1 1nR R
⎛ ⎞κ∇ ⋅ = +⎜ ⎟
⎝ ⎠≡
Dengan demikian maka kesetimbangan gaya-gaya
di permukaan (ST.2) menjadi
( ) ( )( ) ( )1 2 ˆ ˆ ˆF F n n n nσκ σ ˆ− ⋅ = − ×∇ × (ST)
dengan ( )iiF PI iτ= − + dan untuk kasus seperti sketsa di atas. 0κ >
Dasar Mekanika Fluida 89
Suku terakhir di kanan dalam persamaan (ST) mempunyai arah yang sejajar dengan
permukaan. Untuk kasus inviscid, suku kiri dalam (ST) adalah ( )npp ˆ12 − dan ini
adalah vektor di arah normal sama seperti nσκ . Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa untuk kasus inviscid ( ) , 0iτ = ( )ˆ ˆ 0n nσ×∇ × = .
Apabila fluida 1 dan 2 dalam keadaan diam maka 0iτ = . Dengan demikian maka
persamaan (ST) menjadi:
σκ=− 12 pp (Laplace Formula)
Sekarang kita akan lihat rumus di atas secara mendalam dengan mengamati kasus-
kaasus di bawah ini:
1) Pemukaan yang datar: Untuk permuakaan yang datar sehingga
. Dengan demikian untuk permukaan datar kesetimbangan dijelaskan
oleh:
1 2,R R→ ∞ → ∞
0κ →
12 pp =
2) : positif apabila kelengkungan permukaan yang membatasi kedua fluida
adalah seperti dalam sketsa di bawah. Apabila positif
(
0κ > κ
κ
σ selalu positif) maka (tekanan lebih tinggi di
fluida dengan permukaan yang konvex)
2 1P P>
3) Apabila tidak terdapat gaya eksternal (seperti gaya gravitasi) maka adalah
konstan. Oleh karena itu,
2 &P P1
1 2
1 1 tankonsR R
⎛ ⎞+ =⎜ ⎟
⎝ ⎠
Untuk “permukaan bebas” seperti yang terdapat dalam kasus tetesan air hasil
diatas berarti berbentuk bola.
4) Apabila 1 adalah udara dan 2 adalah fluida yang berada dalam pengaruh gravitasi
maka: = konstan dan = kostan - 1P 2P gzρ , \dimana 2 adalah koordinat vertikal.
Dasar Mekanika Fluida 90
Untuk kasus ini kondisi equilibrium yang dijelaskan oleh persamaan Laplace
menjadi:
1 2
1 1 tangz konsR R
ρσ
+ + =
2.6 Asumsi – asumsi yang Sering Digunakan
Telah kita saksikan bahwa persamaan–persamaan dasar fluida adalah persamaan–
persamaan yang sangat kompleks. Persamaan momentum, misalnya adalah persamaan
diferensial yang nonlinier. Oleh karena itu persamaan tersebut sangat sulit untuk
diselesaikan secara analitik. Apabila kita ingin menyelesaikan persamaan–persamaan
tersebut. Secara analitik maka kita harus menyederhanakan persamaan–persamaan
tersebut dengan mengasumsikan sesuatu. Berikut ini adalah asumsi-asumsi yang sering
digunakan.
2.6.1 Steady : Asumsi ini menyatakan bahwa variabel–variabel aliran ( dllTpeu ,,,,,ρ ) di setiap titik
dalam aliran tidak berubah dengan waktu sehingga 0=
∂∂t . Perlu diingatkan asumsi ini
tidak menyatakan bahwa 0=dtd .
2.6.2 Inviscid : Asumsi ini menyatakan bahwa suku yang menjelaskan efek viskos dalam persamaan–
persamaan dapat diabaikan. Asumsi ini dapat digunakan apabila Re sangat tinggi.
Untuk kasus Re tinggi apabila kita lihat persamaan ( ) & ( ) maka suku-suku ~b
~c
τ~Re1 ~
⋅∇ & uBr o ~)~~(
PrRe
⋅∇⋅τγ
(Pr ~ 1)
menjadi sangat kecil & dapat diabaikan .
Dasar Mekanika Fluida 91
Selain itu apabila harga Re cukup tinggi, suku–suku dalam persamaan ( )~c , yaitu
)~~(PrRe
qo ⋅∇γ
menjadi sangat kecil & dapat diabaikan ( karena Pr ~ 1). Karena
)( u∇= ττ dan )( Tqq ∇= maka asumsi ini tidak dapat digunakan di daerah di mana
terdapat u∇ dan T∇ yang tinggi seperti daerah di dekat permukaan benda & dalam
shockwave.
Untuk aliran inviscid, persamaan momentum dan energi menjadi jauh lebih sederhana,
Gpdtud ρρ +−∇= (persamaan Euler)
2
( ) ( ) (2
d ue G u Qdt
ρ ρ+ = ⋅ + − ∇ ⋅ )pu
Apabila kita bandingkan dengan persamaan umum untuk momentum persamaan Euler
adalah satu orde (di x ) lebih rendah. Oleh karena itu persamaan ini tidak memenuhi
kondisi batas (boundary condition) wallwall Utxxu == ),( . Kondisi batas kondisi batas
yang harus dipenuhi oleh persamaan Euler hanyalah sebagian dari kondisi batas yang
dipenuhi oleh persamaan Navier-stokes, yaitu
ˆ ˆ( , )wall wallu x x t n U n= ⋅ = ⋅
Sedangkan, kondisi batas lainnya yang menyatakan bahwa kecepatan aliran fluida
didekat permukaan benda yang mempunyai arah sejajar dengan permukaan benda
haruslah sama dengan kecepatan benda diarah tersebut tidak dapat dipenuhi. Dengan
kata lain, perbedaan kecepatan tangensial antara benda dan fluida didekat benda tersebut
(kondisi slip) diperbolehkan dalam aliran inviscid.
2.6.3 Adiabatik: Asumsi ini menyatakan bahwa tidak ada panas yang masuk kedalam sistem. Dengan
demikian maka suku yang menjelaskan radiasi termal (ρQ) dapat diabaikan dalam
Dasar Mekanika Fluida 92
persamaan energi. Selain itu asumsi ini juga berarti bahwa transfer panas dibatas-batas
fluida juga dapat diabaikan.
2.6.4 Isentropik:
Asumsi isentropic menyatakan bahwa aliran fluida adalah aliran yang inviscid &
adiabatic. Sehingga, untuk aliran isentropic persamaan (d) menjadi,
0=dtdsTρ atau 0=
dtds
Persamaan ini dapat digunakan untuk menggantikan persamaan energi dalam aliran
isentropic. Persamaan ini menyatakan bahwa entropi dari “fluid element” adalah
konstan sepanjang pergerakannya. Bentuk alternatif dari persamaan ini dapat dituliskan
sbb. Dari termodinamik, dpdρ1 Tdsh += sehingga
dtdp
dsdtdsT
dtdh 1
+= karena 0=dtds
maka ,
dtdp
dtdh
ρ1
=
2.6.5 Konstan S (Homentropik):
Asumsi ini menyatakan bahwa entropi (s) adalah kontan di mana pun sehingga .
Karena
0=∇s
dpdρ1 Tdsh += maka )0(;11
=∇∇=∇+∇=∇ sTppsThρρ
.
Dengan demikian untuk aliran ini persamaaan momentum menjadi,
GhGpdtdu
+−∇=+∇−=ρ1
Asumsi ini digunakan apabila entropi setiap fluid element mempunyai harga yang sama
pada daerah asal aliran (aliran dengan freestream yang seragam, misalnya) dan aliran
juga dapat diasumsikan sebagai aliran isentropic. Untuk aliran yang homentropik ada
sebuah teorema yang sangat berguna yaitu “Kelvin's Theorem”. Untuk mendapatkan
teorema ini kita mulai dari definisi “Circulation”( Γ ).
Dasar Mekanika Fluida 93
ldu ⋅=Γ ∫ di mana lintasan dalam integral adalah lintasan di dalam fluida. Sekarang
kita lihat turunan material dari Γ ,
∫ ∫ ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ ⋅+⋅=⋅= )Γ l
dtduld
dtduldu
dtd
dtd (d .
Apabila kita perhatikan sketsa di sebelah dan
ingat bahwa ld berada dalam fluida maka,
uddt
xdddt
ld== )()( d
dtlddld
dtd
== ()()
Dengan demikian maka,
02
)(2
=⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛=⋅=⋅∫ ∫ ∫ ududuld
dtdu ,
karena integral tertutup dari sebuah total differential adalah nol. Oleh karena itu maka
persamaaan untuk dtdΓ menjadi,
∫ ∫ ⋅⎟⎠⎞
⎜⎝⎛×∇=⋅=
Γ
s
dsndtudld
dtdu
dtd ˆ
di mana persamaaan ini didapatkan dengan menggunakan teorema Stokes untuk aliran
yang homentropik & G adalah gaya yang konservatif (G = - ψ∇ ) sehingga
)()( hhGhdtud
−∇≡+−∇=+−∇= ψ .
Dengan demikian maka ∫ =⋅∇×∇−=Γ 0 ˆ)( dsnh
dtd , karena 0=∇×∇ A untuk setiap
skalar A. Jadi kita telah dapatkan sebuah teorema
0=Γ
dtd (Teorema Kelvin).
Sekali lagi lintasan dalam definisi Γ adalah lintasan di dalam fluida & daerah di dalam
lintasan tersebut hanya terdapat fluida (tidak ada benda lain). Apabila kita lihat definisi
dari & kita gunakan Stokes Theorem maka, Γ
( ) ∫∫ ∫ ⋅=⋅×∇=⋅≡Γss
dsnwdsuuldu ˆˆ
Dasar Mekanika Fluida 94
Jadi pengertian dari teorema Kelvin adalah sebagai berikut. Apabila kita ikuti sebuah
kontur tertutup yang di dalamnya hanya berisi fluida & pada awalnya fluida tersebut
tidak mempunyai vortisitas, maka bagian–bagian dalam fluida tersebut tidak akan
mempunyai vortisitas seterusnya (apabila aliran fluida tersebut diasumsikan sebagai
aliran homentropik & G adalah konservatif ).
Kegunaan teorema ini adalah dalam mempelajari aliran uniform yang melewati sebuah
benda. Karena aliran jauh didepan benda tersebut adalah seragam maka aliran tersebut
tidak mempunyai ω pada awalnya. Jadi menurut teorema Kelvin pada saat bagian dari
fluida tersebut melewati benda maka ω – nya tetap nol & fluida tetap tidak mempunyai
ω . Kondisi 0=×∇= uω dapat digunakan untuk mengganti persamaan momentum
untuk kasus– asus seperti ini. Teorema ini juga membawa kita kepada asumsi
selanjutnya yaitu asumsi irrotasional.
2.6.6 Aliran Irrotasional (aliran potensial) & Rotasional :
Asumsi irrotasional menyatakan bahwa ω = 0. Dari pembahasan di 2.6.5 dapat dilihat
bahwa asumsi ini berlaku apabila aliran dapat diasumsikan sebagai aliran homentropik
dan tidak mempunyai vortisitas pada daerah asal aliran (freestream yang seragam,
misalnya). Dengan kata lain aliran irrotasional pasti aliran homentropik tetapi aliran
homentropik belum tentu aliran irrotasional. Karena aliran irrotasional pastilah aliran
yang homentropik maka asumsi irrotasional hanya dapat digunakan dalam kasus Re
yang tinggi dan setiap fluid element mempunyai harga entropi yang seragam pada
daerah asal aliran.
Persamaan momentum untuk aliran yang homentropik dapat dituliskan seperti di bawah
ini dengan menggunakan vector identity: 2
2uu u uω⋅∇ = × + ∇ (****)
Dengan identitas ini maka persamaaan momentum untuk aliran homentropik & G yang
konservatif menjadi,
Dasar Mekanika Fluida 95
)2
(2
Ψ++−∇=×+∂∂ uhu
tu ω (R)
Sekarang kita akan gunakan persamaan (R) utk mendapatkan persamaan energi untuk
aliran irrotational & rotational.
a) Aliran Irrotational (ω = 0)
Karena u×∇== 0ω & untuk setiap skalar φ , 0)( =∇×∇ φ maka untuk aliran
irrotational u dapat dinyatakan sebagai φ∇=u dimana φ disebut “potensial”.
Dengan definisi u ini maka persamaan (R) menjadi,
0))(21( 2 =Ψ+∇++
∂∂
∇ φφ ht
sehingga,
)()(21 2 tfh
t=Ψ+∇++
∂∂ φφ
Fungsi f(t) dapat kita masukkan ke dalam φ karena apabila kita redefinisikan,
maka )('' tf+= φφ uu =∇=∇= φφ '' . Jadi persamaan diatas menjadi
Ψ+∇⋅∇++∂∂ φφφ
21h
t= konstan di manapun didalam fluida
Persamaan di atas adalah persamaan energi untuk aliran irrotational atau dikenal
juga dengan “aliran potensial”.
b) Aliran Rotational )0( ≠ω
Untuk aliran yang steady maka persamaan (R) menjadi, )2
(2
Ψ++−∇=×uhuω
Sekarang kita ambil dot product persamaan di atas dengan u,
)2
()(2
Ψ++∇⋅−=×⋅uhuuu ω
Karena u tegak lurus dengan u×ω maka,
)2
(02
Ψ++∇⋅−=uhu
Dasar Mekanika Fluida 96
Sekarang kita definisikan unit vector sebagai ˆu
u∇
≡ˆ
Dengan definisi ini maka,
)2
()2
(ˆ022
Ψ++∂∂
=Ψ++∇⋅=uhuh
Tetapi adalah unit vector yang menunjukkan arah streamline (lihat definisi ˆ ). ˆ
Maka persamaan di atas menjadi,
Η≡Ψ++2
2uh = konstan sepanjang streamline (Bernoulli Eqn)
Sekilas persamaan di atas sama dengan persamaan energi untuk aliran irrotational.
Namun, konstan di sebelah kanan dari kedua persamaan tersebut berbeda. Dalam
kasus irrotational konstan tersebut adalah konstan dimanapun!!!. Sedangkan dalam
kasus aliran rotasional konstan tersebut hanyalah konstan sepanjang streamline.
Persamaan Bernoulli di atas adalah persamaan Bernoulli yang lebih umum dari
persamaan Bernoulli untuk aliran incompressible yang kita kenal selama ini. Kita
dapat menggunakan persamaan di atas untuk mendapatkan persamaan Bernoulli
untuk kasus incompressible seperti yang dilakukan di bawah ini. Dari termodinamik,
dtdp
dtds
dtde ρ
ρρ1
−Τ=
Karena 0=dtds & persamaan kontinuitas maka
)( updtde
⋅∇=ρ
Untuk kasus incompressible, 0=⋅∇ u sehingga 0=dtde atau e adalah konstan
sepanjang streamline. Karena =+=ρpeh (konstan sepanjang streamline)
ρp
+ maka
persamaan Bernoulli di atas menjadi,
=Ψ++2
2upρ
konstan sepanjang streamline.
Dasar Mekanika Fluida 97
Persamaan di atas adalah persamaan Bernoulli yang kalian kenal selama ini.
2.6.7 Aliran incompressible
Dalam mekanika fluida, seringkali digunakan asumsi incompressible. Asumsi ini
menyatakan bahwa perubahan massa jenis terhadap waktu dari sebuah fluid element
adalah nol (massa jenis setiap fluid element adalah konstan selama pergerakannya).
Secara matematis, asumsi ini dapat dinyatakan seperti,
01=
dtdρ
ρ atau 0=⋅∇ u
di mana versi sebelah kanan diambil dengan memanfaatkan hukum kekekalan massa
(kontinuitas).
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah kapan asumsi ini dapat digunakan? Untuk itu,
kita perhatikan persamaan keadaan yaitu, ),( Τ= pρρ sehingga,
dtd
dtdp
pdtd Τ
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
Τ∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
=ΡΤ
ρρ
ρρ
ρρ
111
dtd
dtdp
dtd Τ
−= βαρρ1
dimana dari termodinamika kita ketahui bahwa,
Τ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
≡pρ
ρα 1 (α = isothermal compressibility)
Ρ
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
Τ∂∂
−≡ρ
ρβ 1 ( β = coefficient of thermal expansion)
Sekarang kita nondimensionalkan persamaan diatas. Untuk itu selain nondimensional
variable , ρ~ t~ , p , Τ~ yang telah diperkenalkan sebelumnya, kita definisikan, 0
~α
αα ≡
& 0
~β
ββ ≡ .
Dengan menggunakan variabel-variabel tersebut, persamaan menjadi
tdd
tdpdp
tdd
~~~
~~~
~~
~1
0000Τ
Τ−= ββααρρ
(a.i.1)
Dasar Mekanika Fluida 98
Dari termodinamik,
ve eC
ν ρ
∂ ∂⎛ ⎞ ⎛ ⎞≡ =⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂Τ ∂Τ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ & de ds pdv= Τ −
sehingga
v
e es s ρ
∂ ∂⎛ ⎞ ⎛ ⎞= = Τ⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠
Namun, properti dari partial derivative menyatakan,
( )11v
e s se s Cρ ρ ρ
⎛ ⎞∂Τ ∂ ∂ ∂⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞= = ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂ ∂Τ ∂Τ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎝ ⎠ ρ
Τ
sehingga,
ρ
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
Τ∂∂
Τ=sCv
Berikutnya kita perhatikan manipulasi matematis dibawah ini,
,s
s sd ds dT ds ds ρ
ρ ρρ ρρΤ Τ
⎛ ⎞∂ ∂ ∂ ∂⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞= + = +⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂Τ ∂ ∂Τ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎝ ⎠dT
dTdTsdss
ds
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
Τ∂∂
+⎪⎭
⎪⎬⎫
⎪⎩
⎪⎨⎧
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
Τ∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
=ΤΤ
ρρρ
ρρρ
dTss
dss s ⎭
⎬⎫
⎩⎨⎧
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
Τ∂∂
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
+⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
Τ∂∂
=⎪⎭
⎪⎬⎫
⎪⎩
⎪⎨⎧
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
−ΡΤΤΤ
ρρρρ
ρ1
1−=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂Τ∂
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
Τ∂∂
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
Τ s
ss ρρ
ρ
.
Dengan demikian maka,
vS T
S SC T TT Tρ
ρρ
⎛ ⎞∂ ∂⎛ ⎞ ⎛ ⎞= = − ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠
∂∂
Apabila kita lakukan hal serupa untuk CP maka,
pP S T
h pC TT T
⎛ ⎞∂ ∂⎛ ⎞ ⎛ ⎞= = − ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠
Sp
∂∂
Dasar Mekanika Fluida 99
Sekarang kita perkenalkan VP CC≡γ ,
2
2S T
S T
aS T
p STT p p a
pSTT
ργ ραρρ
ρ
⎛ ⎞∂ ∂⎛ ⎞− ⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂ ⎛ ⎞⎛ ⎞∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠= = ⎜ ⎟⎜ ⎟∂ ∂⎛ ⎞∂ ∂⎛ ⎞ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠− ⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠
=
Dengan demikian maka,
2o
ooo a
γαρ =
Sedangkan dari definisi Ru dan Br , 2
o oo
u
UpR
ρ= &
2 Pr
o
oo
P
UTC Br
=
Akhirnya, apabila kita kembali ke (a.i.1),
21 1 Pro o
d dpMdt Ru dt Br dtρ γ α β
ρ⎛
= −⎜⎝ ⎠
dTB⎞⎟ (a.i)
di mana
oo
o
UMa
≡ & 2 Pr Pr
o o
o o o
o P o o P
aBC Br C Brβ β
γ α β
⎛ ⎞≡ = ⎜ ⎟⎜ ⎟
⎝ ⎠.
Dari (a.1) dapat dilihat bahwa asumsi incompressible terpenuhi apabila
(bilangan Mach dari aliran sangat rendah). Dari definisi bilangan Mach, maka jelaslah
bahwa asumsi ini terpenuhi apabila harga a
12 <<oM
0 sangat tinggi. Karena, s
pa ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
=ρ0 maka
harga a0 akan tinggi apabila perubahan massa jenis yang disebabkan oleh perubahan
tekanan sangatlah kecil.
Untuk aliran incompressible di mana , 12 <<oM ( )Tµµ = & , apabila
perbedaan temperatur di daerah-daerah dalam fluida relatif kecil (ini biasanya terpenuhi
dalam aliran incompressible) maka,
( )Tkk =
tankons=µ & tankonsk =
Dasar Mekanika Fluida 100
Apabila asumsi inkompresibel dapat digunakan, maka persamaan-persamaan fluida
menjadi lebih sederhana. Persamaan-persamaan (a) dan (b) untuk kasus inkompresibel
adalah:
0=⋅∇ u (I.1)
1u pu u Gt
τρ ρ
⎛ ⎞∂+ ⋅∇ = −∇ + + ∇ ⋅⎜ ⎟∂ ⎝ ⎠
di mana ( ) ( )( )TI u u uτ λ µ= ∇ ⋅ + ∇ + ∇ .
Karena (I.1), maka τ menjadi,
( )( )Tu uτ µ= ∇ + ∇
sehingga
2 2
0
u uτ µ µ=
⎛ ⎞⎛ ⎞∇ ⋅ = ∇ + ∇ ∇ ⋅ = ∇⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠⎝ ⎠
u .
Substitusikan ke persamaan momentum maka,
uvGpuutu 2. ∇++⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−∇=∇+
∂∂
ρ (I.2)
di mana ρµ
≡v .
Karena ρ adalah konstan, maka untuk kasus ini yang tidak diketahui adalah u1, u2, u3
dan p. Sedangkan ρ, G, µ(ν) diketahui. Jadi persamaan (I.1) dan (I.2) (4 persamaan)
adalah persamaan yang harus diselesaikan untuk mendapatkan u1, u2, u3 dan p. Dengan
kata lain, persamaan energi biasanya tidak dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus
inkompresibel. Persamaan energi hanya dibutuhkan dalam kasus aliran yang
dipanaskan secara tidak uniform misalnya dan kasus-kasus konduksi lainnya.
2.7 Garis-garis aliran
Pemahaman secara fisis dari solusi persamaan-persamaan dasar bisasanya dilakukan
dengan bantuan garis-garis aliran. Selain membantu memahami fisik aliran, garis-garis
aliran juga sangat berguna dalam visualisasi eksperimen. Secara umum terdapat 3 tipe
Dasar Mekanika Fluida 101
garis-garis aliran yang biasa digunakan. Ketiga tipe ini adalah “streamline” (garis arus),
“pathline”(jejak arus) dan “streakline”. Di subbagian ini kita akan bahas ketiga garis-
garis aliran ini satu persatu.
2.7.1 Streamline
Streamline adalah garis-garis yang di mana pun sejajar dengan vektor kecepatan.
Konsep streamline sangat berguna untuk memahami fisik dari aliran steady. Konsep ini
tidak terlalu berguna dalam aliran unsteady karena vektor-vektor kecepatan berubah-
ubah setiap saat.
Dari penjelasan di atas, streamline dl didapatkan dengan mengevaluasi
0u dl× =
Apabila kita gunakan koordinat kartesian maka persamaan di atas menjadi,
2 3 3 2 0u dx u dx− = , 3 1 1 3 0u dx u dx− = , 1 2 2 1 0u dx u dx− =
atau
31 2
1 2 3
1uu udx dx dx ds
= = ≡
di mana s adalah parameter yang diperkenalkan untuk memudahkan integrasi persamaan
di atas. Solusi dari persamaan di atas untuk streamline yang melewati titik 0x x= pada
waktu mepunyai bentuk 0t =
( )0 , ,x x x t s=
2.7.2 Pathline Pathline adalah garis yang menjelaskan jejak dari sebuah partikel fluida. Karena
partikel fluida bergerak bersama fluida yang mempunyai kecepatan u, maka pathline
haruslah memenuhi
d x udt
=
Dasar Mekanika Fluida 102
Persamaan untuk pathline yang melintasi titik x0 pada waktu t0 adalah solusi persamaan
di atas yang memenuhi kondisi awal ( )0t 0x x= = . Secara umum solusi ini mempunyai
bentuk
( )0 ,x x x t=
2.7.3 Streakline Streakline adalah garis yangmenjelaskan jejak dari partikel-partikel fluida yang
melewati sebuah titik x0 pada waktu t = τ (setiap partikel melewati titik ini pada waktu
yang berbeda). Dengan demikian persamaan untuk streakline didapatkan dengan
menyelesaikan persamaan
( ) 0, td x u x xdt τ== = .
Streakline adalah garis yang terlihat apabila kita melakukan visualisasi aliran dengan
menggunakan asap atau “dye”
Catatan: Untuk kasus steady, streamline, pathline, dan streakline menghasilkan garis-
garis yang sama.
Contoh: Aliran 2-D (unsteady) yang mempunyai kecepatan
( )1 1
2 2
3
1 2
0
u x tu xu
= +
==
yang melewati titik (1,1)
a. Streamline
11
dx uds
= , 22
dx uds
=
substitusikan u1 dan u2 kemudian integrasikan didapatkan
1sx e= dan 2
sx e=
sehingga persamaan untuk streamline adalah
1 2x x=
Dasar Mekanika Fluida 103
b. pathline
11
dx udt
= , 22
dx udt
=
( )11 1
t tx c e += , 2 2tx c e=
Apabila partikel fluida ini melewati (1,1) pada t = 0 maka, c1 = c2 = 1 ( )1
1t tx e += , 2
tx e=
Sehingga persamaan untuk pathline adalah 21 ln1 2
xx x +=
c. streakline
Untuk kasus ini kondisi awalnya adalah
x1 = 1, x2 = 1, pada waktu t = τ
hasilnya adalah, ( ) ( )1 1
1t tx e τ τ− + − += dan 2
tx e τ−= yang pada waktu t = 0 menjadi 21 ln1 2
xx x −=
2.8 Aliran 2-D dan Fungsi Arus ( stream function)
Untuk kasus aliran 2-D, persamaan kontinuitas dapat dituliskan menjadi,
1 2
1 2
0u ux x
ρ ρ∂ ∂+ =
∂ ∂
Persamaan ini akan selalu terpenuhi apabila kita definisikan
12
uxψρ ∂
=∂
dan 21
uxψρ ∂
= −∂
(SF)
( 1 2, )x xψ disebut “fungsi arus “ atau “stream function” dan fungsi ini sangat membantu
kita dalam menyelesaikan permasalahan aliran 2D.
Untuk kasus aliran incompressible, persamaan kontinuitas menjadi,
1 2
1 2
0u ux x
∂ ∂+ =
∂ ∂
Untuk kasus ini fungsi arus didefinisikan sebagai,
Dasar Mekanika Fluida 104
12
uxψ∂
=∂
dan 21
uxψ∂
= −∂
Persamaan “momentum” (I.4) dapat kita manipulasi untuk mendapatkan persamaan
diferensial untuk ψ karena,
( ) ( ) ( ) ( )00
u u u u uω ω ω ω==
⎛ ⎞∇× × = ∇ ⋅ + ⋅∇ − ⋅∇ − ∇ ⋅⎜ ⎟⎜ ⎟
⎝ ⎠ω
maka persamaan (I.4) menjadi,
( ) ( ) 2u utω ω ω ν∂
+ ⋅∇ − ⋅∇ = ∇∂
ω .
Karena uω = ∇× maka persamaan di atas hanya terdapat satu variabel yaitu u.
Sekarang kita substitusikan (SF) untuk u di dalam persamaan di atas dan hasilnya
adalah,
( ) ( ) ( )2 2 2
1 2 2 1
0vt x x x x
4ψ ψψ ψ ψ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ψ∇ − ∇ + ∇ − ∇∂ ∂ ∂ ∂ ∂
= (SF 2)
Dari persamaan terakhir terlihat bahwa apabila kita mempelajari kasus aliran 2D dan
kita gunakan fungsi arus, kita tidak perlu bersusah-payah untuk menyelesaikan
persamaan kontinuitas dan cukup menyelesaikan persamaan (SF 2) untuk satu variable,
yaitu ψ. Ini tentunya disebabkan oleh definisi dari fungsi arus yang secara otomatis
telah memenuhi persamaan kontinuitas.
Sekarang kita akan melihat lebih dalam arti fisik dari fungsi arus. Pertama-tama,
streamline untuk aliran steady dapat ditemukan dengan menggunakan ψ . Definisi
stream line adalah garis yang paralel dengan u atau 0=× uld . Untuk aliran 2-D
persamaan 0=× uld menjadi ( 1 1 2 2ˆ ˆdl dx e dx e= + ),
02112 =− dxudxu
Substitusikan (SF) untuk u1 dan u2 ,
022
11
=∂∂
−∂∂
− dxx
dxx
ψψ atau 022
11
=∂∂
+∂∂
= dxx
dxx
d ψψψ
Dasar Mekanika Fluida 105
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ψ = konstan adalah kurva-kurva yang menjelaskan
streamline.
Sekarang kita akan hitung “mass flux” Q yang melintasi 2 streamline seperti dalam
sketsa di atas.
∫∫ ∫ =+−==B
A
B
A
ddxudxudlnuQ ψρρρ )()ˆ.( 2112
)( ABQ ψψρ −=
Jadi selisih dari harga ψ antara 2 streamline proporsional dengan “mass flux” Q yang
melewati kedua streamline tersebut.
2.9 Contoh-contoh solusi persamaan Navier Stokes untuk aliran incompressible
Di dalam subbagian ini kita akan pelajari beberapa aliran viscous incompressible. Dua
kasus yang akan dibahas adalah aliran Couette dan aliran Poiseuille.
2.9.1 Aliran Poiseuille (aliran di dalam pipa) 2-D Aliran ini biasanya terjadi di dalam pipa di mana terdapat gradien dari tekanan. Untuk
mempelajari aliran ini perhatikanlah sketsa di bawah ini. Karena pipa ini paralel dengan
x1 maka u2 = 0.
Dasar Mekanika Fluida 106
Selain itu karena pipa ini sangat panjang maka kecepatan aliran tidak mungkin berubah
di arah x1. Apabila variabel-variabel berubah di arah x1 maka kecepatan kecepatan ini
akan mempunyai harga tak berhingga di x1 → ∞. Dengan demikian maka dapat
disimpulkan bahwa u1 = u1 (x2). Dari observasi ini maka persamaan kontinuitas dapat
dituliskan menjadi,
01
1 =∂∂
xu
sehingga u1 ≠ u1(x1). Hasil ini mengkonfirmasikan observasi di atas.
Persamaan x2 – momentum menjadi,
222
2 2
0du p dpudt x dx
ρ µ∂= − + ⋅∇ ⇒ =
∂
sehingga p = p(x1). Sekarang kita lihat persamaan x1–momentum. Karena aliran ini
aliran steady maka, 2 2
1 1 11 2 2 2
1 2 1 1
u u p u uu u 1
2x x x x xρ µ
⎛ ⎞ ⎛∂ ∂ ∂ ∂ ∂+ = − + +⎜ ⎟ ⎜∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎝ ⎠ ⎝
⎞⎟⎠
sehingga, 2
12
1 2
p ux x
µ∂ ∂=
∂ ∂= konstan
Persamaan di atas = konstan karena di sebelah kiri p = p(x1) dan di sebelah kanan
u1 = u1(x2) dan tanda “=” hanya mungkin apabila suku kiri dan kanan adalah konstan.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa, 1
dpdx
= konstan dan persamaan di atas
dapat diintegrasikan 2 kali sehingga.
21 2 1
1
12
dpu x C xdx
µ⎛ ⎞
= +⎜ ⎟⎝ ⎠
2 2C+
Dasar Mekanika Fluida 107
di mana C1 dan C2 adalah konstan integrasi. C1 dan C2 dapat ditentukan dengan
menggunakan kondisi batas: u1(x2 = 0) = 0 dan u1(x2 = D) = 0
dan hasilnya adalah
C2 = 0 dan C1 = 1
12
dp Ddxµ
⎛ ⎞− ⎜ ⎟
⎝ ⎠
Dengan demikian maka solusi untuk u1 adalah,
21 2
1
1 (2
dpu xdxµ
⎛ ⎞= ⎜ ⎟
⎝ ⎠2 )Dx− (PF)
Dari solusi ini kita dapat hitung kecepatan maksimum dan shear stress di dinding.
Kecepatan maksimum dapat ditentukan dengan mencari 2
1
xu
∂∂
= 0 (titik di mana ini
terjadi). Apabila ini dilakukan, maka akan didapat x2 = 2D
sehingga,
2
1max18
D dpudxµ
⎛ ⎞= − ⎜ ⎟
⎝ ⎠
Shear stress di dinding adalah
wallxwall dx
u
=
⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛ ∂=
22
1µτ
Dengan mengambil turunan parsial x2 dari (PF) dan masukkan x2 = 0 didapatkan
12wallD dp
dxτ
⎛ ⎞= − ⎜ ⎟
⎝ ⎠
2.9.2 Aliran Couette
Aliran ini adalah aliran di antara 2 dinding seperti aliran Poiseuille tetapi dalam aliran
ini tidak terdapat gradien tekanan. Aliran ini dihasilkan dengan menggerakkan salah
satu dinding dengan kecepatan V (lihat sketsa di bawah).
Dasar Mekanika Fluida 108
Dinding atas mempunyai T = T0 dan digerakkan dengan kecepatan U. Dinding bawah
mempunyai T = Twall dan tidak bergerak. Seperti halnya dengan aliran Poiseuille, karena
dinding ini sangat panjang di arah x1, 01
1 =∂∂
xu
, 1
0px
∂=
∂, 0
1=
∂∂xT
. Karena kedua dinding
ini paralel maka u2 = 0 dan u3 = 0. Dengan demikian maka persamaan kontinuitas
menjadi,
)(0 2111
1 xuuxu
=⇒=∂∂
Sedangkan persamaan momentum diarah x2 dan x3 menjadi,
2
0px
∂=
∂
3
0px
∂=
∂
Karena 1
0px
∂=
∂ maka dapat disimpulkan bahwa p = konstan untuk aliran ini. Dengan
demikian persamaan x1-momentum menjadi
022
12
=∂∂
xu
µ
Apabila kita integrasikan persamaan ini dan gunakan kondisi batas u1(x2 = 0) = 0 dan
u1(x2 = D) = 0 maka didapat
21
xu UD
⎛= ⎜⎝ ⎠
⎞⎟ (CT.1)
Dari hasil ini kita dapat hitung wall
wall xu ⎟
⎠
⎞⎜⎝
⎛
∂∂
=2
1µτ dan hasilnya adalah,
Dasar Mekanika Fluida 109
wall
UD
τ µ= .
Sekarang kita beralih ke permasalahan “heat transfer“ untuk kasus ini. Untuk itu kita
gunakan persamaan (i) yang untuk kasus ini,
21
1 2 3 21 2 3 20 0
0
PT T T TC u u u k
2
ux x x x
ρ τ= =
=
⎛ ⎞⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂ ∂
+ + = +⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂∂⎜ ⎟⎝ ⎠
x
atau
02
2
12
2
2
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
xu
xTk
µ
Dari (CT.1), 1
2
u Ux D
∂=
∂ sehingga persamaan di atas menjadi,
22
22
T Uk Dxµ∂ ⎛ ⎞= − ⎜ ⎟∂ ⎝ ⎠
Apabila kita integrasikan persamaan ini didapatkan, 2
22 1 22
UT x ck D
µ ⎛ ⎞= − + +⎜ ⎟⎝ ⎠
2x c (CT.2)
di mana adalah konstan–konstan dari integrasi. 21 & cc
Sekarang kita lihat solusi ini untuk dua kasus penting yaitu,
(1) & (2)( ) ( ) wallTxTDxT ==== 022 02
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂xT atau disebut juga adiabatic wall.
1. ( ) ( ) wallTxTDxT ==== 022
Apabila kita gunakan kondisi batas ini untuk (CT.2), solusi untuk T adalah, 2
2 2 2
2 wallx xT U T
k D Dµ ⎛ ⎞⎛ ⎞= − +⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠⎝ ⎠
Dengan mengingat definisi k
CP p
r
µ= maka,
22
2 2
2r
wallp
U P x xTC D D
⎡ ⎤⎛ ⎞ ⎛ ⎞= −⎢ ⎥⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎢ ⎥⎣ ⎦
T+ (CT.3)
Dasar Mekanika Fluida 110
Selain itu kita juga dapat hitung heat transfer di dinding,
221 2
2T U xq ky D D
µ∂ ⎛ ⎞= − = −⎜ ⎟∂ ⎝ ⎠.
Di dinding ( 2 0 &x D= ),
2
2 2wall wallU UqD
µ τ= =
2. 02
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
wallxT (adiabatic wall condition) & awwall TT = . Dengan menggunakan
kondisi batas ini di = 0 didapat, 2x
22
22 awUT x
k Dµ ⎛ ⎞= − +⎜ ⎟
⎝ ⎠T
atau 22
2
2r
awp
PU xT TC D
⎛ ⎞= − ⎜ ⎟⎝ ⎠
(CT.4)
awT dapat dihitung dengan mengevaluasi (CT.4) di di mana 02 =x
DTDxT == )( 2 .
2
2aw D rp
UT T PC
= + (CT.5)
awT disebut juga “ adiabatic wall temperature “. dapat dihubungkan dengan
(total temperature) sebagai berikut.
awT
oT
Pertama – tama kita gunakan definisi dari di 0T Dx =2 .
2
0 2Dp
UT TC
= + (CT.6)
Dari persamaan (CT.5) dapat dilihat bahwa secara umum dapat dinyatakan
sebagai
awT
2
2aw Dp
UT T rC
= + (CT.7)
Dasar Mekanika Fluida 111
di mana r adalah “ recovery factor “. Sekarang kita eliminasi dari (CT.6) &
(CT.7) hasilnya adalah :
DT
( ) ( )2
0 12aw
p
UT T rC
− = −
Namun, 2
2 p
UC
menurut (CT.6) adalah sama dengan ( )DTT −0 jadi,
D
Daw
TTTT
r−−
=0
Dari hasil di atas dapat dilihat bahwa “r“ adalah ukuran dari perubahan yang
disebabkan oleh di dinding
0T
0q 02 =x .
2.10 Aliran dengan harga bilangan Reynold yang Rendah
Fluida yang bergerak dengan kecepatan yang sangat rendah mempunyai harga Re yang
sangat rendah. Untuk aliran semacam ini persamaan momentum dapat disederhanakan
seperti di bawah ini. Pertama-tama kita kalikan setiap suku dalam persamaan (b~ )
dengan Re dan hasilnya adalah
( ) GFr
pRu
uutu
St~~Re~~~~Re~~~~Re~
~~Re
0
ρτρρ +⋅∇+∇−=∇⋅+∂∂
Dengan definisi Re, St, Ru, dan Fr persamaan di atas menjadi,
( ) GU
Lgp
ULp
uutu
tL ~~~~~~~~~~Re~
~~00
2000
00
00
00
200 ρ
µρ
τµ
ρρµρ
+⋅∇+∇−=∇⋅+∂∂
Apabila kita ambil lim Re→0 maka suku kedua dari persamaan di atas hilang. Dengan
demikian maka persamaan momentum dalam bentuk dimensional menjadi,
Gptu ρτρ +⋅∇+−∇=
∂∂
Untuk aliran yang sangat lambat, perubahan ρ yang disebabkan oleh perubahan p sangat
kecil sehingga aliran dapat diasumsikan sebagai aliran incompressible. Untuk aliran ini,
Dasar Mekanika Fluida 112
u2∇=⋅∇ µτ (lihat subbagian aliran incompressible) sehingga persamaan kontinuitas
dan momentum menjadi,
Guptu
u
+∇+∇−=∂∂
=⋅∇
210
υρ
(LRE 1)
Apabila ψ−∇=G (G konservatif) dan kita ambil ( )momentum×∇×∇ maka hasilnya
adalah ( untuk setiap skalar A), 0=∇×∇ A
( ) ( )( )uut
×∇×∇∇=×∇×∇∂∂ 2ν
dari vektor analisis diketahui bahwa
( ) ( )( )uuu 2∇−⋅∇∇=×∇×∇
Apabila kita gunakan hubungan terakhir dan gunakan persamaan kontinuitas, persamaan
diatas menjadi,
utu 42 ∇=
∂∂
∇ ν (LRE)
Persamaan (LRE) adalah persamaan diferensial untuk kasus ini. Persamaan ini
diselesaikan dengan boundary condition,
( ) wallwall Utxxu == ,
Untuk kasus steady dan 0G = , persamaan (LRE) menjadi lebih sederhana. Selain itu
kita juga bisa dapatkan persamaan differensial untuk p dengan mengambil
, ( )momentum⋅∇
4 0u∇ = dan 02 =∇ p (LRE steady)
Persamaan (LRE) dan (LRE steady) adalah persamaan-persamaan yang relatif cukup
sederhana dan dapat diselesaikan secara analitik.
Dasar Mekanika Fluida 113
2.10.1 Drag dari bola yang bergerak dengan Kecepatan U
Salah satu solusi dari persamaan (LRE steady) adalah aliran di sekitar bola (sphere)
yang bergerak dengan kecepatan U =konstan. Apabila persoalan ini dilihat oleh
pengamat yang bergerak dengan kecepatan U maka aliran menjadi aliran steady.
Persoalan ini diselesaikan oleh G.G. Stokes pada tahun 1851. Solusi didapatkan dengan
(dengan menggunakan “Spherical Coordinate System”) melihat persoalan steady (aliran
di sekitar bola yang diam) dan hasilnya adalah,
( ) ( )rrrr eUueUr
RrRUu ⋅+≡⋅+⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡+−=′ 3
3
2231cosθ
( ) ( )3
3
3sin 14 4R Ru U U e u U er rθ θ θ θθ
⎡ ⎤′ = − − + + ⋅ ≡ + ⋅⎢ ⎥
⎣ ⎦
Rr
nUpp 20 23 ⋅
−= ν
Apabila dan di atas dikurangi ru′ θu′ reU ⋅ dan θeU ⋅ kita kembali ke persoalan semula.
Solusi ini dapat dicek dengan melihat apakah solusi ini memenuhi (LRE steady) dan
kondisi batasnya adalah: ( ) pp( ) 0== Rru , ( ) 0=∞u , =∞ 0
Dari solusi ini kita dapat menghitung drag dari benda ini. Ini didapatkan dengan
mengambil integral : n⋅σ di permukaan sphere, ( )τσ +−=⋅ Ipn .
( )∫ ∫ −+−=⋅−=sphere
rrr dSpdsnD θτθτθσ θ sincoscos
Dasar Mekanika Fluida 114
dimana
r
rrr
U∂
∂= µτ 2 dan ⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−
∂∂
+∂
∂=
rUUU
r r
rr
θθ
θθ µτ 1
di permukaan sphere,
0=rrτ dan 3 sin2r U
Rθµτ θ= −
sehingga hasil integral di atas adalah,
RUD πµ6= (Stoke’s Formula)
Untuk melihat limitasi dari formula di atas kita kembali ke sistem koordinat yang
bergerak bersama sphere. Dalam sistem koordinat ini, θθ eueuU rru ++= . Di daerah
yang agak jauh dari sphere, Uu ≈ sedangkan ( ) 2reueuu rr ≈+∇=∇ θθ
UR . Dengan
demikian maka 2rRUuu ≈∇⋅
2
dan 32
rURu νν ≈∇ . Asumsi di atas menyatakan bahwa
uuu ∇⋅>>∇ 2ν atau 23 rRU
rUR
>>2
ν sehingga U
r ν<< .
Jadi untuk U
r ν≈ atau
Ur ν
> hasil di atas tidak lagi valid. Untuk mendapatkan u di
daerah yang jauh dari sphere kita perlu memasukkan kembali suku u . Karena di
daerah ini maka suku ini dapat diaproksimasikan sebagai
u⋅∇
≈ Uu U u⋅∇ . Dengan
demikian maka persamaan momentum menjadi
upuU 21∇+∇−=∇⋅ ν
ρ
Dasar Mekanika Fluida 115
Persamaan momentum di atas disebut juga Oseen Improvement. Dengan persamaan ini,
apabila kita selesaikan dan hitung drag dari sphere maka didapatkan,
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ +=
ννπµ8316 RURD
Jadi dengan aproksimasi ini suku tambahan dalam formula untuk drag sebesar ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
ν83UR
2.11 Strategi penyelesaian aliran Re tinggi di sekitar benda
Dalam aerodinamika kita biasanya dihadapi oleh permasalahan seperti yang
digambarkan di atas. Sebuah benda rigid diletakkan di dalam aliran. Aliran jauh di
depan benda tersebut adalah aliran yang uniform atau seragam. Sekarang kita akan
mencoba menggunakan asumsi-asumsi yang telah dibahas sebelum ini untuk
menyederhanakan persamaan (a), (b), dan (c). Dalam subbagian ini hanya akan
dijelaskan strategi untuk menyelesaikan persoalan seperti yang digambarkan di atas.
Pertama-tama karena Re sangat tinggi kita dapat gunakan asumsi inviscid di luar lapisan
batas. Apabila kita juga bisa menggunakan asumsi adiabatik, maka di luar lapisan batas
kita dapat menggunakan asumsi isentropic. Karena keadaan awal freestream seragam
(uniform) maka di luar lapisan batas alirannya adalah aliran homentropic.
Dasar Mekanika Fluida 116
Karena aliran di luar lapisan batas adalah aliran homentropik maka kita bisa gunakan
teorema Kelvin yang menyatakan bahwa 0=Γ
dtd . Karena dsnw
∧
∫=Γ . untuk reducible
circuit c yang bergerak bersama fluida maka apabila kita mempunyai freestream yang
seragam/ uniform ( 0=ω ) ; seperti dalam kasus di atas, aliran di luar lapisan batas juga
mempunyai ( 0=ω ) . Dengan kata lain kita bisa gunakan asumsi irrotational untuk
aliran di luar lapisan batas.
Sekarang permasalahan yang digambarkan di atas menjadi permasalahan aliran
potensial di sekitar benda &lapisan batas. Jadi sekarang untuk sementara kita bisa
lupakan lapisan batas & menyelesaikan masalah aliran potensial di sekitar benda yang
permukaannya lapisan batas dari benda tersebut (lihat gambar).
Distribusi tekanan di “benda baru“ ini sama dengan distribusi tekanan untuk benda yang
asli. Ini disebabkan karena hasil dari teori lapisan batas yang menyatakan bahwa
0dpdy
= . Namun, hasil yang didapatkan/ solusi dari permasalahan aliran potensial di
sekitar “benda baru“ masih bermasalah seperti yang dapat kita lihat di bawah ini.
Apabila kita hitung dengan menggunakan circuit yang reducible yang menutupi
benda tersebut maka
Γ
∫∫ ===Γ∧
0.. dsnxduc
ω . Dengan kata lain benda tersebut tidak
mempunyai lift karena menurut teorema Kutta-Jukowski 0uρ ∞= Γ = (kita akan
pelajari teorema ini di BAB 5). Jadi ada sesuatu yang tidak benar dengan strategi kita
dalam menyelesaikan masalah ini.
Dasar Mekanika Fluida 117
Kesalahan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Tadi kita gunakan teorema Kelvin
untuk mengambil kesimpulan bahwa streamline yang awalnya tidak mempunyai
vortisitas akan seterusnya tidak mempunyai vortisitas (karena Γ konstan sepanjang
streamline). Namun, kita sebenarnya tidak dapat mengambil kesimpulan seperti di atas
untuk streamline yang menempel pada benda baru tadi. Karena kita tidak dapat
menggambarkan sebuah reducible circuit yang hanya menutupi fluida untuk streamline
yang menempel di “benda baru“ ( lihat gambar ).
Oleh karena itu, untuk streamline ini kita mengetahui apakah streamline tersebut
rotasional & inilah yang sebenarnya terjadi. Lebih tepatnya terjadi “flow separation” di
mana streamline tersebut “terlepas” dari permukaan “benda baru” (lihat gambar). Jadi di
daerah bagian belakang (wake) “benda baru” ada daerah di mana alirannya aliran
rotasional.
Sekarang apabila kita hitung untuk circuit c seperti gambar di atas, maka untuk yang
wake sangat tipis
Γ
12212121.. φφφφ −==∇=≈Γ ∫∫∫ −−− ccc
dxdxdu
Wake sangat tipis apabila benda tersebut benda slender (benda langsing) seperti airfoil.
Jadi tidak sama dengan nol atau “benda baru” kita mempunyai liftΓ . “Flow
separation” itu sebenarnya terjadi di dalam lapisan batas & disebabkan karena
0baru benda
permukaan di>⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛
dxdp . Posisi dari flow separation dapat ditentukan apabila kita
mengetahui property dari lapisan batas.
Dasar Mekanika Fluida 118
Catatan: Di BAB 5 kita akan pelajari bahwa untuk benda 2 dimensi, untuk
mendapatkan solusi yang unik dari permasalahan aliran potensial di sekitar
benda kita harus memasukkan pembatas (“barrier”) tipis seperti wake tadi.
Setelah ditambahkan “barrier” maka untuk mendapatkan solusi yang unik, kita
harus memberikan harga Γ . Dalam thin airfoil theory harga Γ diberikan di
“trailing edge” sesuai dengan apa yang disebut dengan kondisi Kutta.
Dalam praktik kita awalnya tidak mengetahui bentuk boundary layer & titik-titik di
mana ada flow separation. Namun, untuk mendapatkan solusi di lapisan batas kita
harus mengetahui distribusi tekanan di luar lapisan batas yang merupakan hasil dari
potential flow. Jadi permasalahan ini harus diselesaikan secara iteratif seperti berikut :
1. selesaikan masalah aliran potensial di sekitar benda
2. hasil dari 1 digunakan untuk menyelesaikan masalah lapisan batas sehingga
kita dapatkan bentuk “benda baru”
3. selesaikan masalah aliran potensial di sekitar benda baru
4. kembali ke 2 dan lanjutkan iterasi
Untuk benda yang tidak slender atau ‘bluff body’, flow separation terjadi lebih awal dari
pada yang terjadi pada slender body (lihat gambar). Sehingga “wake” benda tersebut
cukup tebal.
Untuk mengetahui atau mempelajari aliran sekitar ‘bluff body’ maka kita perlu
menghitung aliran dalam wake tersebut dengan menggunakan persamaan Navier-
Stokes.
Catatan: Karena wake dari ‘bluff body’ relative tebal maka drag benda tersebut lebih
disebabkan perbedaan tekanan antara bagian muka dan belakang. Drag yang
Dasar Mekanika Fluida 119
disebabkan oleh efek viscous tidak terlalu penting untuk benda seperti ini. Hal
sebaliknya terjadi untuk benda slender. Untuk benda ini mempunyai wake
yang tipis sehingga drag yang disebabkan oleh tekanan sangat kecil dan
kontribusi terbesar untuk drag didapatkan dari friction.
.
Vortisitas 120
BAB
3 Vortisitas
3.1 Pendahuluan
Kita telah lihat disubbagian sebelum ini bahwa ada bagian-bagian dalam aliran dimana
0≠×∇ u atau bagian-bagian ini mempunyai vortisitas (vorticity). Bagian-bagian ini
sangat penting karena, seperti akan kita lihat nanti, vortisitas akan terbentuk pada setiap
aliran disekitar benda. Vortisitas juga menentukan besar gaya-gaya yang beraksi
apabila fluida mengalir disekitar benda. Oleh karena itu di bab ini kita akan
mempelajari vortisitas lebih mendalam.
3.2 Kinematika Vortisitas
Seperti telah kita lihat sebelumnya vortisitas ( )ω didefinisikan sebagai curl dari
kecepatan atau, u×∇≡ω . Karena definisi ini, vortisitas mempunyai sifat-sifat
tertentu. Untuk setiap vektor, A, yang kontinu, ( ) 0=×∇⋅∇ A . Karena definisi dari ω
di atas maka,
( ) 0=×∇⋅∇=⋅∇ uω atau 0=⋅∇ ω
Vortisitas 121
Hasil ini menunjukkan tidak mungkin terdapat “source/ sink” dari vortisitas di dalam
fluida itu sendiri (persamaan diatas serupa dengan persamaan kontinuitas untuk aliran
inkompresibel).
Sekarang kita akan gunakan hasil di atas untuk mempelajari sifat-sifat dasar dari
vorticity. Untuk itu pertama-tama kita perkenalkan apa yang disebut dengan “vortex
line”. Vortex line adalah garis yang sejajar dengan arah dari ω . Kumpulan dari
beberapa vortex line membentuk “vortex tube”. (lihat gambar di bawah).
Sekarang kita akan ambil integral volume ω⋅∇ , dimana volume V merupakan volume
dari vortex tube dalam gambar di atas.
dVV∫ ⋅∇= ω0 = dSn
S
ˆ⋅∫ω
atau
∫∫ ⋅+⋅=21
ˆˆ0 21A
dSndSnA
ωω
sehingga,
∫ ∫ ⋅−=⋅2 1
ˆˆ 12A A
dSndSn ωω .
Namun,
∫ ∫ Γ≡⋅=⋅S
ldudSnω
sehingga,
∫ ⋅−=Γ1
ˆ11A
dSnω dan ∫ ⋅=Γ2
ˆ22A
dSnω
Vortisitas 122
Dengan demikian maka hasil di atas menyatakan bahwa,
21 Γ=Γ
atau sirkulasi (circulation) dari sebuah vortex tube adalah konstan sepanjang vortex tube
tersebut. Karena menjelaskan kekuatan dari vortex maka hasil ini berarti : Γ
1. Kekuatan dari sebuah vortex tube (vortex line) adalah konstan disetiap “cross-
section” –nya sepanjang vortex tube (line) tersebut.
2. Vortex tube (vortex line) tidak dapat berakhir di fluida (apabila berakhir difluida
maka dan ini bertentangan dengan hasil di atas). Vortex tube (vortex line)
harus membentuk kurva tertutup (closed loop) atau berakhir di ∞ .
0=Γ
Kedua hasil di atas disebut juga Helmholtz vortex theorem ke I dan II. Kedua teorema
ini berlaku umum (tidak ada asumsi aliran inviscid, isentropik dll dalam mendapatkan
hasil-hasil di atas).
3.3 Dinamika Vortisitas
Setelah melihat kinematika dari vorticity, sekarang kita akan mulai mempelajari
dinamika dari vortisitas. Untuk itu kita membutuhkan persamaan diferensial yang
menjelaskan gerak dari vortisitas. Kita mulai dari persamaan momemtum,
( σρ
ω ⋅∇+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛Ψ+−∇=×+
∂∂ 1
2
2uutu ) (V.1)
di mana telah diasumsikan conservative body force Ψ−∇=G dan telah digunakan
“vector identity” 2
2uuuu ∇+×=∇⋅ ω .
Sekarang kita ambil curl dari persamaan di atas ( )( )1.V×∇ ,
( ) ( ) ( )σρ
σρρ
ωω⋅∇×∇+⋅∇×∇−=××∇+
∂∂ 11
2ut
.
Dari analisis vektor,
( ) ( ) ( ) ( ) ( )ωωωωω ⋅∇−∇⋅−∇⋅+⋅∇=××∇ uuuuu .
Vortisitas 123
Jadi persamaan untuk ω di atas menjadi,
( ) ( ) ( ) ( ) ( )σρ
σρρ
ωωωω
ω
⋅∇×∇+⋅∇×∇−=⋅∇+∇⋅−∇⋅+∂∂ 11
2uuut
dtd
Persamaan di atas dapat disederhanakan dengan menggunakan persamaan kontinuitas
(persamaan (a)) karena,
( )udtd
dtd
dtd
dtd
⋅∇+=−=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ρωω
ρρ
ρωω
ρρω 11
2
Dengan demikian persamaan untuk ω menjadi,
( ) ( ) ( σρρ
σρ
ωρωρ ⋅∇×∇−⋅∇×∇+∇⋅=⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛2
11udtd ) (V)
Persamaan (V) menyatakan bahwa perubahan waktu dari vortisitas sebuah fluid
element (perubahan ini dilihat oleh pengamat yang bergerak bersama fluid element
tersebut) disebabkan oleh ketiga suku di sebelah kanan tanda “ = “. Sekarang kita lihat
arti fisik dari suku–suku tesebut .
a) ⋅ω u∇
ωωω e= di mana ωe adalah unit vector di arah ω
Dengan demikian maka, ( )ueu ∇⋅=∇⋅ ωωω ˆ . Namun, kita ketahui bahwa ( ue ∇⋅ω )
adalah perubahan u diarah ωe . Telah kita lihat sebelumnya bahwa u∇
menjelaskan deformasi dan rotasi dari sebuah material element (fluid element).
Apabila kita lihat sebuah “vortex line“ maka deformasi yang akan dialaminya adalah
perubahan panjang (stretching) sedangkan rotasinya berupa “tilting“. Jadi u∇⋅ω
menjelaskan bagaimana “ vortex line “ dalam aliran tersebut mengalami “stretching“
dan “tilting“. Oleh karena itu suku u∇⋅ω disebut juga “vortex stretching term“
b) ( )σρρ
⋅∇×∇2
1
Suku ini tidak sama dengan nol apabila terdapat gradient ρ dan gradient ini tidak
sejajar dengan ( σ⋅∇ ). Kita ketahui bahwa σ⋅∇ adalah gaya/ unit volume yang
Vortisitas 124
beraksi pada permukaan fluid element. Adanya ρ∇ berarti distribusi massa dalam
fluid element tidak seragam. Ini berarti “ center of mass “ tidak berada pada titik
yang sama dengan “geometric center“ dari fluid element tersebut. Apabila ρ∇
tidak sejajar dengan σ⋅∇ maka akan terjadi rotasi dari fluid element tersebut,
sehingga fluid element tersebut mempunyai vortisitas. Untuk lebih memperjelas,
perhatikan dua sketsa di bawah ini).
Sketsa pertama memperlihatkan kasus dimana ρ∇ sejajar dengan . Dari gambar
tersebut jelaslah bahwa kasus ini tidak akan menghasilkan rotasi dari fluid element
dan fluid element hanya terdorong ke bawah.
p∇
Sketsa berikutnya memperlihatkan kasus dimana ρ∇ tidak sejajar dengan .
Dari sketsa tersebut jelaslah bahwa kasus ini akan menghasilkan rotasi dari fluid
element.
p∇
c) ( )σρ
⋅∇×∇1
Karena τσ ⋅∇+−= Ip dan 0=∇×∇ p maka kontribusi yang sesungguhnya dari
suku ini adalah ( τρ
⋅∇×∇1 ) . Suku ini tidak sama dengan nol apabila terdapat
gradien di arah yang tidak sejajar dengan arah dari ( τ⋅∇ ). Jadi suku ini
menjelaskan torque dari fluid element yang diakibatkan oleh stress yang mempunyai
Vortisitas 125
“spatial variation“ di arah tertentu. Apabila kita perhatikan segumpal fluida ,
tentunya kontribusi dari torque di dalam segumpalan itu adalah nol. Rotasi
gumpalan ini hanya disebabkan oleh torque ( )σ⋅∇×∇ di permukaan gumpalan
tersebut .
Dari diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan waktu dari vortisitas yang juga
menjelaskan perubahan waktu dari rotasi sebuah fluid element disebabkan oleh tiga hal
yaitu: stretching dan tilting dari vortex line; adanya ρ∇ yang tidak sejajar dengan
σ⋅∇ ; dan adanya distribusi stress yang mempunyai variasi spatial tertentu. Karena
“stretching“adalah deformasi dan rotasi dari vortex line, maka suku ini bukanlah suku
yang menghasilkan vortisitas. Suku ini hanya memodifikasi distribusi vortisitas yang
sudah ada. Namun ( )σρ ⋅∇×∇ dan ( )σ⋅∇×∇ adalah suku yang menyebabkan
timbulnyanya vortisitas. Torque yang dirasakan oleh fluid element karena adanya ρ∇
yang tidak sejajar dengan σ⋅∇ disebut “Baroclinic torque“ Apabila ρ∇ sejajar
dengan σ⋅∇ maka fluida tersebut dikatakan sebagai “ Barotropic fluid“.
3.3.1 Hubungan antara ω dan s∇
Di dalam subbagian ini kita akan dapatkan hubungan antara vortisitas dan gradien dari
entropi. Pertama–tama kita asumsikan aliran inviscid. Dengan asumsi ini persamaan
momentum menjadi,
ψρρ ∇−−∇= pdtud di mana ψ−∇=G
apabila kita gunakan ( **** ) maka persamaan ini menjadi ,
21 2upu
tu
∇−∇−∇−=×+∂∂ ψ
ρω
Dari termodinamik, dpTdsdhρ1
+= sehingga,
HsTuhsTudtu
∇−∇=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛++∇−∇=×+
∂ ψω2
2
Vortisitas 126
di mana ψ++=2
2uhH . Banyak kasus di mana H = konstan , termasuk dalam kasus
di mana terdapat shock wave. Untuk kasus di mana H = konstan atau dikenal dengan
sebutan kasus homenergetic,
sTudtu
∇=×+∂ ω
Apabila aliran adalah aliran steady maka,
sTu ∇=×ω (Teorema Crocco)
Hasil ini menyatakan bahwa apabila dalam aliran terdapat gradien entropi ( ) maka
aliran tersebut adalah aliran rotational (
s∇
ω 0≠ ). Namun dalam aliran rotasional tidak
harus terdapat . Contohnya adalah kasus di mana s∇ 0=× uω sehingga . 0=∇s
3.3.2 Persamaan Vortisitas Untuk Aliran Homentropik
Untuk aliran homentropik persamaan momentum adalah,
)( ψ+−∇=+−∇= hGhdtud di mana ψ−∇=G .
Apabila kita ambil curl dari persamaan momentum ini maka didapatkan ,
0)( =××∇+∂∂ u
tωω
atau
( ) ( ) 0=⋅∇+∇⋅− uudtd ωωω
di mana telah digunakan hasil–hasil dari vector analysis yang juga digunakan dalam
menurunkan persamaan umum untuk ω . Dengan menggunakan persamaan kontinuitas
persamaan di atas menjadi,
udtd )()( ∇⋅=
ρω
ρω
(V.2)
Persamaan ini tentunya dapat pula didapatkan dari persamaan (V) dengan menggunakan
Ip−=σ untuk kasus homentropik dan ( ) ( )ρρ pSpp == , karena . konstan=s
Vortisitas 127
Apabila harga awal dari ω dan ρ diketahui maka persamaan (V.2) dapat diselesaikan.
Pertama–tama kita tuliskan
jj
ii Cxξρ
ω∂∂
= atau FC ⋅=ρω ,
ξ∂∂
=xF
di mana C adalah sebuah vektor dan F adalah deformation gradient tensor. Sekarang
kita subtitusikan ρω ini ke (V.2)
jijjkjk
ijijj
ijjij
i CFCFxu
CFCdt
dFCF
dtd
dtd
+∂∂
=+== )()(ρω
di mana telah digunakan FudtFd
∇= (lihat subbagian deformasi dan rotasi benda
kontinum).
Namun, (V2) menyatakan bahwa:
k
ijkj
k
iki
xuCF
xu
dtd
∂∂
=∂∂
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ρ
ωρ
ω
Dengan demikian maka :
k
ijkjjij
k
ijkj x
uCFCFxuCF
∂∂
=+∂∂
atau 0=dt
dCF j
ij
Karena 0≠F maka
0== CdtCd atau konstan=C
Berikutnya, misalkan oω atau oρ adalah harga awal dari ω atau ρ untuk sebuah fluid
element. Karena ( ) IFtF ===0
0 maka,
CFCo
o
o =⋅=ρω
Dengan demikian maka, FFCo
⋅=⋅=ρω
ρω sehingga solusi dari (V.2) adalah
Fo
o ⋅=ρω
ρω (V.3)
Vortisitas 128
Dari solusi ini kita dapatkan Helmholtz theorem yang ke-3 :
” Untuk aliran homentropik, vortex line adalah material line atau vortex
bergerak bersama fluida.”
Bukti: misalkan pada awalnya sebuah material line dξ sejajar dengan vortex line (ω0)
atau dξ = ω0 .dσ di mana dσ adalah sebuah skalar dengan dimensi [ ]L [ (contoh : m.s
atau ft.s) karena vortex line ini bergerak maka panjangnya berubah menjadi
]S
σρρ
ωσωξ ddFdFxd ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=⋅=⋅= 0
0
Dengan demikian maka vortex line pada waktu t (sejajar dengan ω ) tetap sejajar
dengan material line ( )xd
(V.3) juga menyatakan apabila pada awalnya sebuah fluid element tidak mempunyai
( 00 = )ωω maka fluid element tersebut seterusnya tidak akan mempunyai ω . Jadi (V.3)
adalah sama dengan Teorema Kelvin.
3.3.3 Persamaan vortisitas untuk aliran incompressible
Untuk aliran incompressible, ρ dapat dianggap konstan sehingga 0=∇ρ . Dengan
demikian maka persamaan (V) menjadi :
( ) ( )τρ
ωω⋅∇×∇+∇⋅=
1udtd
Karena untuk kasus ini u2∇=⋅∇ µτ maka persamaan menjadi,
( ) ωυωω 2∇+∇⋅= udtd
(V.4)
Dalam kasus aliran 2-D, ( ) 0=∇⋅ uω karena ω tegak lurus dengan u∇ dalam kasus ini.
Dengan demikian maka untuk kasus ini (V.4) menjadi
ωυω 2∇=dtd
Karena untuk kasus 2D, ω hanya mempunyai satu arah,
Vortisitas 129
ωυω 2∇=
dtd
Persamaan terakhir adalah persamaan difusi (bandingkan dengan persamaan untuk
difusi massa dan konduksi panas). Jadi suku ωυ 2∇ menjelaskan proses difusi dari
vortisitas yang dilakukan oleh viscosity.
Dengan pengertian fisis dari suku ωυ 2∇ ini kita kembali ke (V.4). Persamaan ini
menjelaskan bahwa dalam aliran incompressible perubahan waktu dari vortisitas sebuah
fluid element disebabkan oleh “ stretching dan tilting” serta proses difusi. Kedua proses
ini bukanlah proses yang “membangkitkan” vortisitas melainkan hanya mengubah
distribusi dari vortisitas.
3.4 Sumber dari vortisitas
3.4.1 Pendahuluan
Setelah mendapatkan persamaan yang menjelaskan perubahan waktu dari vortisitas, kita
akan pelajari bagaimana vortisitas itu sendiri dibangkitkan. Untuk itu kita lihat kasus
aliran di sekitar benda di mana aliran “freestream-nya” seragam, maka setiap fluid
element di dalam aliran ini pada awalnya tidak mempunyai vortisitas. Untuk aliran
homentropik, ini berarti fluid element–fluid element ini seterusnya tidak akan
mempunyai vortisitas selama pergerakannya (ini menurut (V3)). Namun, tentunya
aliran yang “sebenarnya” tidak dapat diasumsikan sebagai aliran homentropik diseluruh
domain fluida dan fluid element yang pada awalnya irotasional dapat menjadi rotasional
( )0≠ω .
Vortisitas 130
3.4.2 Sumber vortisitas didalam aliran
Untuk kasus aliran freestream yang supersonic, fluid element menjadi rotasional ketika
melintasi shock wave apabila shock yang terbentuk adalah “bow shock wave” atau shock
wave yang melengkung. Untuk kasus ini aliran di luar lapisan batas dan shock wave
dapat diasumsikan sebagai aliran inviscid. Oleh karenanya teorema Crocco berlaku
sehingga ,
sTu ∇=×ω
Akan kita lihat di bab tentang shock wave bahwa untuk shock wave yang “lurus”
(entropi di belakang shock) adalah konstan. Namun, untuk shock yang melengkung,
adalah fungsi β di mana β adalah sudut antara shock dan free stream (lihat gambar
di atas). Dengan demikian maka untuk kasus bow shock wave terdapat sehingga
( )2s
( )2s
s∇
0≠× uω . Karena aliran di depan shock adalah aliran irotasional 0=ω , maka jelaslah
bahwa fluid element menjadi rotational ketika melewati shock tersebut.
Pembentukan vortisitas dalam kasus ini
disebabkan oleh baroclinic torque yang terjadi di
dalam shock wave. Akan kita lihat di bab shock
wave bahwa untuk kasus ini tekanan “lebih peka”
terhadap β dibandingkan dengan ρ. Oleh karena
itu garis-garis yang menjelaskan konstan p akan
melintasi garis-garis konstan ρ di dalam shock wave (lihat gambar di atas!). Dengan
demikian maka ρ∇ tidak sejajar dengan p∇ sehingga 0≠∇×∇ ρp dan fluid element
mendapatkan baroclinic torque sehingga menjadi rotasional.
Untuk kasus aliran freestream yang mempunyai 1<<M dan ρ = konstan kita telah
saksikan bahwa vortisitas sebuah fluid element berubah hanya disebabkan oleh
“stretching” dan difusi (persamaan (V.4)). Apabila sebuah fluid element yang pada
awalnya tidak mempunyai vortisitas, tentunya pada elemen tersebut tidak akan terjadi
“vortex stretching”. Jadi dalam kasus aliran di mana ρ = konstan satu-satunya proses
Vortisitas 131
yang merubah vortisitas sebuah fluid element adalah proses difusi. Proses difusi ini
adalah proses “penyebaran” vortisitas dari daerah di mana ω tinggi ke daerah di mana
ω rendah. Jadi dalam kasus ini ω itu sendiri tidak terbentuk di tengah-tengah aliran,
seperti dalam kasus “ bow shock wave”. Tetapi ω terbentuk di daerah lain kemudian
didifusikan oleh viskositas ke tengah-tengah aliran. Untuk kasus ini, satu-satunya
kemungkinan adalah ω terbentuk di permukaan benda. Jadi “source of vorticity” dalam
kasus ini adalah permukaan benda.
Pada umumnya permukaan benda adalah source of vorticity, baik dalam aliran 1<<M ,
1<M maupun 1>M . Selain permukaan benda, ”permukaan bebas” atau
“freesurface” juga merupakan source of vorticity. Contoh dari permukaan bebas adalah
permukaan air di sebuah kolam atau permukaan pembatas dua fluida yang berbeda.
3.4.3 Sumber vortisitas di permukaan benda
Dalam pembahasan di subbagian sebelumnya telah kita lihat bahwa permukaan benda
adalah salah satu “source of vorticity” atau sumber dari vortisitas. Dalam kasus aliran
di mana ρ =konstan, permukaan benda adalah satu-satunya source of vorticity. Oleh
karena itu vortisitas dibangkitkan di atas permukaan benda. Untuk mempermudah
diskusi kita akan pelajari kasus di mana konstan=ρ dan permukaan benda adalah
permukaan yang datar.
Persamaan vortisitas untuk kasus ini adalah permukaan (V.4) yaitu,
ωνωω 2).( ∇+∇= udtd
Apabila kita evaluasi persamaan ini di permukaan benda maka,
( )[ ] ( ) ( )[ ] 00000
)( ωνωωνωω∇−⋅∇−∇⋅=∇⋅∇+∇⋅=⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛ uu
dtd
( )[ ]00
0
Juwdtdw
⋅∇−∇⋅=⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ (V.6)
Vortisitas 132
di mana telah didefinisikan
000.)( JwJ ∇−≡ ν disebut juga vorticity flux di permukaan.
Selain itu subscript “0” dalam suku-suku di persamaan di atas menandakan harga dari
suku tersebut di permukaan benda.
Sekarang kita akan lihat harga dari suku-suku sebelah kanan (V.6). Permukaan adalah
permukaan datar yang bergerak dengan kecepatan )(0 tU . Karena kondisi batas untuk
kasus ini adalah )(),0( 01 tUtxu == maka,
0201
0 ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
==⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
xu
xu
(permukaan benda berada di bidang 21 xx − . Karena setiap titik dalam bidang ini
bergerak dengan kecepatan yang sama maka tidak ada gradien kecepatan di arah x1 dan
x2).
Persamaan kontinuitas untuk aliran konstan=ρ adalah 0=∇u . Apabila kita evaluasi
persamaan ini di permukaan maka didapatkan,
002
2
1
1
03
3 =⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
−=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
xu
xu
xu
Jadi ( )0u∇ adalah,
0)( u∇ =
⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
∂∂∂∂
000
00
00
3
2
3
1
xuxu
Sedangkan
⎪⎩
⎪⎨
⎧
⎪⎭
⎪⎬
⎫=
02
1
0 ωω
ω
( 03 =ω karena 02
1
1
23 =
∂∂
−∂∂
=xu
xu
ω )
Vortisitas 133
Dengan demikian maka harga 0).().( 000 =∇=∇ uu ωω , sehingga persamaan vortisitas
di permukaan untuk kasus ini (kasus 3-D) mirip dengan kasus 2-D yaitu,
00
Jdtd
⋅−∇=⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ ω
Sekarang kita perhatikan 0
J . 0
J adalah source of vorticity dalam kasus ini karena 0
J
adalah flux yang keluar dari permukaan maka flux of vorticity dalam kasus ini adalah
0030)(
100
ˆˆ ωυ ∇⎪⎭
⎪⎬
⎫
⎪⎩
⎪⎨
⎧−=⋅=⋅ JeJn
Untuk mendapatkan 0
ˆ Jn ⋅ , kita perlu melihat 0)( ω∇
Seperti telah kita lihat, 21
0xu
xu
∂∂
==∂∂ dan 0
3
3 =∂∂
xu
. Oleh karena itu maka,
032
12
31
22
23
12
32
12
31
12
23
22
32
22
31
22
0
00
)(
⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂−
∂∂∂
∂∂
∂∂∂
∂∂∂
∂∂
−∂∂
∂−
∂∂∂
−
=∇
xxu
xxu
xu
xxu
xxu
xu
xxu
xxu
ω
Dengan demikian maka
⎪⎪⎪
⎩
⎪⎪⎪
⎨
⎧
⎪⎪⎪
⎭
⎪⎪⎪
⎬
⎫
∂∂∂
−∂∂
∂∂∂∂∂
−
−=⋅
32
12
31
22
23
12
23
22
0ˆ
xxu
xxu
xuxu
Jn υ (V.7)
Jadi inilah vorticity flux yang keluar dari permukaan. Sekarang yang menjadi
pertanyaan adalah apa yang menyebabkan adanya vorticity flux di permukaan. Dengan
kata lain apa sumber vortisitas di permukaan benda.
Vortisitas 134
Untuk mencari “asal” dari vorticity flux ini, kita lihat persamaan momentum.
updtud 21
∇+∇−= υρ
Karena )(),0( 01 tUtxu == maka di permukaan,
⎪⎪⎪
⎩
⎪⎪⎪
⎨
⎧
⎪⎪⎪
⎭
⎪⎪⎪
⎬
⎫
∂∂∂∂
−
+∇−=
0
)(1ˆ)(ˆ2
3
12
23
22
030
3 xuxu
pxedt
tUdxe υ
ρ (V.8)
di mana telah digunakan 21
0xu
xu
∂∂
==∂∂ dan 0
3
3 =∂∂
xu
. Apabila kita bandingkan suku
terakhir (V.8) dengan suku kanan (V.7), komponen dan dari kedua suku tersebut
sama. Namun, kedua persamaan tersebut tidak mempunyai komponen yang sama.
Apabila kita bisa samakan kedua suku tersebut maka kita dapatkan source of vorticity
dari kasus ini.
1e 2e
3e
Untuk menyamakan kedudukan komponen di kedua suku ini, kita perhatikan 3e 0)(τ
0)(τ =
⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
∂∂
∂∂
+∂∂
∂∂
+∂∂
∂∂
+∂∂
∂∂
∂∂
+∂∂
∂∂
+∂
∂∂
+∂∂
∂∂
3
3
3
2
2
3
3
1
3
3
2
3
3
2
2
2
2
1
1
2
1
3
3
1
1
2
2
1
1
1
2
2
2
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
xu
dxu
xu
xu
xu
µ
=
⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
∂∂
∂∂
∂∂∂∂
0
00
00
3
2
3
1
3
2
3
1
xu
xu
xuxu
µ
Sekarang kita lihat gaya-gaya viscous, SnT )ˆ( , di permukaan
Vortisitas 135
( )( ) ( ) ( )
⎪⎪⎪
⎭
⎪⎪⎪
⎬
⎫
⎪⎪⎪
⎩
⎪⎪⎪
⎨
⎧
∂∂∂∂
=⋅=⋅≡
0
ˆˆ3
2
3
1
3000ˆ xuxu
enT sn µττ
Karena ( )0)ˆ(
SnT hanya mempunyai komponen di dan saja maka dalam kasus ini
hanya terdapat “tangential stress”. Sekarang kita lihat,
1e 2e
( )( ) 332
12
31
22
223
12
123
22
0ˆ ˆˆˆ1 exx
uxx
ue
xu
exu
T sn ⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂−
∂∂∂
+∂∂
+∂∂
−=×∇µ
Apabila kita perhatikan hasil di atas maka terlihat bahwa komponen dari hasil di atas
mirip dengan komponen dalam (V.7) dan komponen ini lah yang kita cari. Dengan
demikian maka,
3e
3e
( )( )0ˆ3
32
12
31
22
ˆ1 snTe
xxu
xxu
×∇⋅=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂−
∂∂∂
ρυ
Sehingga apabila kita gabungkan hasil ini dengan (V.8)
( ) ( )( )
⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
∂∂∂
−∂∂
∂
∂∂
−
∂∂
−
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ ×∇⋅+∇×+×
32
12
31
22
23
12
23
22
0ˆ3303
03 ˆˆ1ˆˆ
xxu
xxu
xu
xu
Teepe
dtUd
esn ν
ρρ
Apabila kita bandingkanpersamaan terakhir dengan (V.7) maka,
( ) ( )( )0ˆ
330
0303
ˆˆ1ˆˆ snT
eep
dtUd
eJe ×∇⋅−⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡∇+×−=⋅
ρρ
atau dengan menggunakan n , ˆ
( ) ( )( )0ˆ0
00
ˆˆ1ˆˆ snTnnp
dtUd
nJn ×∇⋅−⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡∇+×−=⋅
ρρ (V.9)
Vortisitas 136
Hasil terakhir ini sangat penting. Hasil ini menyatakan bahwa “source of vorticity”
dalam aliran di mana ρ = konstan adalah :
1. akselerasi permukaan benda,
2. pressure gradient di permukaan benda,
3. tangential stress di permukaan benda.
Sekali lagi diingatkan bahwa (v.9) didapatkan untuk aliran di mana ρ = konstan dan
permukaan yang datar. Untuk kasus yang lebih umum di mana terdapat variasi harga ρ
dan permukaan yang melengkung,
( ) ( )( )[ ] ( )( )[ ]0ˆ
02
22
1
11
00ˆ
00
00
ˆˆ1
0
ˆ1ˆˆ11ˆˆ sn
sn Tnn
x
x
nTnnpdtUd
nJn ×∇⋅⋅∇+
⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
∂∂∂∂
×+×∇⋅−⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡∇+×−=⋅
ρτ
τ
ρρρ
di mana ρ0 adalah ρ di permukaan benda. Dua suku terakhir dalam persamaan ini
adalah kontribusi dari kompresibilitas (ρ≠konstan)dan kelengkungan permukaan.
Lapisan Batas 137
BAB
4 Lapisan Batas
4.1 Pendahuluan
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, aliran di sekitar benda untuk kasus di mana harga
Re sangat tinggi dapat diasumsikan sebagai aliran inviscid dan efek viskos pada
persamaan momentum dapat diabaikan. Selain persamaan momentum, efek viskos juga
terdapat pada persamaan energi. Pada persamaan tersebut, bilangan-bilangan yang
merupakan koefisien dari suku yang menjelaskan efek viskos adalah Re dan Pr dimana,
0
00Prk
Cp µ= . Karena cp, µ, dan k adalah fungsi dari temperatur maka Pr juga fungsi dari
temperatur. Untuk gas harga dari Pr adalah selalu di sekitar satu (Pr~1)). Untuk liquid
harga Pr dapat lebih besar dari 1 bahkan untuk glycerine yang temperaturnya 20oC, Pr
= 7250. Namun ada juga liquid yang harga Pr-nya lebih kecil dari 1 seperti mercury
yang temperaturnya 20oC, Pr = 0.0044 .
Dari contoh-contoh harga Pr di atas dapat dilihat bahwa untuk aliran yang mempunyai
Re sangat tinggi maka harga RePr juga pada umumnya sangat tinggi. Oleh karena RePr
sangat tinggi maka suku ( ) u~~~ ⋅∇⋅τ pada persamaan energi dapat diabaikan karena suku
Lapisan Batas 138
ini proporsional dengan 1Re Pr
. Tentunya, pengabaian ini hanya dapat dilakukan di
daerah dimana harga u~~∇ tidak terlalu tinggi. Suku lain yang juga proporsional dengan
1Re Pr
dalam persamaan energi (c) adalah suku q~~ ⋅∇ . Suku ini juga dapat diabaikan di
luar daerah di mana ada ∇T yang tinggi (karena Tkq ∇−= ). Apabila aliran juga dapat
diasumsikan sebagai aliran adiabatic (Q = 0 dan 0boundary
q = ), maka suku-suku yang
menjelaskan perpindahan panas dan disipasi energi didalam persamaan (c) dapat
diabaikan kecuali didaerah dimana terdapat ∇T dan ∇u yang tinggi.
Asumsi inviscid tidak dapat digunakan di daerah yang berdekatan dengan benda karena
adanya kondisi-kondisi batas untuk persamaan-persamaan momentum dan energi yang
menyatakan bahwa u = Uwall, dan untuk persamaan energi, ada dua tipe kondisi batas
yaitu:
1. T = Twall (T= temperatur)
2. wallon
qnT
=⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
∂∂
=
(n = unit normal terhadap permukaan benda)
Karena u dan T atau nT
∂∂ ditentukan oleh permukaan benda, maka akan selalu ada
gradien u dan T yang cukup tinggi di daerah ini. Oleh karena itu, asumsi inviscid tidak
dapat digunakan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aliran di sekitar benda di mana harga Re
sangat tinggi, maka asumsi inviscid hanya dapat digunakan di luar daerah tipis di sekitar
benda tersebut. Lapisan di dekat permukaan benda di mana terdapat ∇T dan ∇u yang
tinggi sehingga asumsi inviscid tidak dapat digunakan disebut boundary layer atau
lapisan batas.
Secara fisik lapisan batas adalah daerah didalam aliran dimana efek viskositas cukup
dominan. Kita telah lihat di Bab-bab sebelumnya bahwa efek viskositas menyebar
kedalam aliran melalui proses difusi. Seberapa jauh proses penyebaran ini tentunya
juga ditentukan oleh proses konveksi yang juga terdapat didalam aliran. Pada aliran
Lapisan Batas 139
dengan Re yang tinggi, dimana efek inersia jauh lebih dominan dari pada efek
viskositas, proses konveksi lebih dominan dari pada proses difusi. Dengan demikian
efek viskos yang menyebar “keluar” dari permukaan benda tidak dapat tersebar cukup
jauh karena “terdorong” (dikonveksikan) oleh aliran. Ini mengakibatkan efek viskositas
terkonsentrasi pada daerah tipis di dekat permukaan benda (daerah lapisan batas).
Di Bab 3, kita melihat bahwa permukaan merupakan sumber dari vortisitas dalam
aliran. Kemudian viskositas menyebarkan vortisitas dari permukaan, tempat vortisitas
dibangkitkan, ke dalam aliran. Dari apa yang telah dibahas diatas, jelaslah bahwa pada
aliran dengan Re yang tinggi, vortisitas tidak dapat menyebar jauh dari permukaan
benda. Pada aliran dengan freestream yang seragam dimana harga Re cukup tinggi,
vortisitas hanya terdapat didalam lapisan batas. Dengan demikian maka aliran diluar
lapisan batas dapat di asumsikan sebagai aliran irrotasional.
Hal serupa juga berlaku pada proses perpindahan panas yang disebabkan oleh adanya
perbedaan temperatur. Dalam proses ini, panas dikonveksikan dan di difusikan oleh
aliran sehingga apa yang telah dijelaskan sebelumnya juga berlaku pada kasus ini.
Secara umum, daerah dimana ∇T mempunyai harga yang signifikan berbeda dengan
daerah dimana terdapat ∇u yang tinggi. Dengan kata lain, ketebalan lapisan batas yang
disebabkan oleh adanya ∇T yang cukup tinggi berbeda dengan lapisan batas yang
disebabkan oleh adanya ∇u yang tinggi. Lapisan batas yang dsebabkan oleh adanya
harga ∇u yang cukup tinggi disebut momentum boundary layer sedangkan yang
disebabkan oleh adanya ∇T yang tinggi disebut thermal boundary layer. Sekali lagi
ketebalan dari kedua lapisan batas ini tidak harus sama seperti terlihat dalam sketsa
dibawah ini. Dalam bab ini kita akan mempelajari sifat-sifat aliran di dalam lapisan ini.
----- Thermal boundary layer
Momentum boundary layer
Lapisan Batas 140
4.2 Persamaan lapisan batas untuk aliran steady 2-D pada
permukaan datar
Karena lapisan batass adalah lapisan yang sangat tipis, maka persamaan momentum (b)
dan persamaan energi (c) dapat disederhanakan sebagai berikut:
≡uδ tebal lapisan batas kecepatan
≡Tδ tebal lapisan batas termal
Asumsinya adalah uδ «L dan Tδ «L di mana L adalah panjang karakteristik dari
benda. Juga, permukaan benda adalah permukaan datar yang sejajar dengan x1 (lihat
gambar di halaman 11). Persamaan kontinuitas (2-D):
022
11
=∂∂
+∂∂ u
xu
xρρ (BL.1) (Steady 0=
∂∂t
)
Sekarang, kita akan bandingkan besar suku-suku pada persamaan tersebut. Dalam
pembahasan dibawah ini simbol ~ menyatakan order of magnitude (estimasi besarnya
harga) suatu variabel/suku.
Karena ~ L dan ~ 1x 2x uδ dan u1 ~ U, maka,
LU ~
u
uδ
2 atau ~ 2u UL
u ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ δ
jadi « U atau « . 2u 2u 1u
x1
x2
Lapisan Batas 141
Persamaan momentum diarah x1 dan x2 (untuk kasus 2-D) adalah,
x1:
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+⋅∇∂∂
+∂∂
−=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
2
1
1
2
21
1
112
12
1
11 2
xu
xu
xxu
uxx
pxu
uxu
u µµλρ (BL.2)
x2:
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+⋅∇∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
∂∂
+∂∂
−=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
2
2
22
1
1
2
122
22
1
21 2
xu
uxx
uxu
xxp
xu
uxu
u µλµρ (BL.3)
Di dalam lapisan batas, persamaan di atas dapat di sederhanakan dengan menggunakan
estimasi di bawah ini untuk membandingkan bagian-bagian atau suku-suku dalam
persamaan di atas
Uu ~1 , Lx1~
1∂∂ , U
Luu δ~2 ,
ux δ1~
2∂∂ , Lu <<δ
Untuk persamaan momentum di arah x1:
2222
22
2~u
ULU
LU
LU
Lp
LU
LU
δµµµλρ ++++−⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+
atau
222
2
~u
ULU
LU
Lp
LU
δµµλρ +++−
Karena Lu <<δ maka 22u
ULU
δ<< sehingga (BL.2) dapat disederhanakan menjadi,
2
1
212
12
1
11 x
uxx
pxu
uxu
u∂∂
∂∂
+∂∂
−=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
µρ (BL.4)
Untuk persamaan momentum di arah x2: 2 2
2~ 2u u
u u u
U U p U U U UL L L L L L L L
δ δρ µ µ λu
µδ δ δ
⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞⎛ ⎞⎛ ⎞ ⎛ ⎞⎛ ⎞+ − + + + +⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎝ ⎠⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠δ
Lapisan Batas 142
pada persamaan di atas dapat dilihat bahwa besar dari suku-suku sebelah kanan “sama
dengan” adalah u
Lδ kali dari suku yang sama dalam x1 momentum. Karena u
Lδ << 1,
maka suku-suku ini dapat diabaikan. Hal yang sama juga dapat dilakukan untuk suku
kedua di sebelah kiri tanda “sama dengan”. Namun, suku pertama di sebelah kiri tanda
sama ”dengan” sangat besar (karena uδ
1 ) sehingga suku ini tidak dapat diabaikan.
Sedangkan suku-suku lain yan tersisa didalam persamaan tersebut mempunyai
orde ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛=
LU
LU u
uu
δδδ 2~ . Apabila dibandingkan dengan suku terakhir dalam persamaan
x1 momentum (suku yang tidak kita abaikan), maka besar suku-suku ini adalah u
Lδ kali
lebih kecil dan karena itu dapat diabaikan. Dengan demikian persamaan x2 momentum
menjadi,
2
0px
∂≅
∂ (BL.5)
Untuk persamaan energi, kita dapat gunakan persamaan enthalpi (h) yang dituliskan
seperti di bawah ini,
( ) qudtdp
dtdh
⋅∇−⋅∇⋅+= τρ (h)
atau bentuk alternatifnya (persamaan (i)),
( ) qudtdp
dtdT
dtdTc
Tp ⋅∇−⋅∇⋅+⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛= τρ
ρρ (i)
Untuk aliran steady 2-D, persamaan (h) dan (i) menjadi
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂∂
+Φ+∂∂
+∂∂
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
221122
11
22
11 x
Tkxx
Tkxx
puxpu
xhu
xhuρ
dan
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂∂
+Φ+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
221122
11
22
11 x
Tkxx
Tkxx
puxpu
pT
xTu
xTuc
Tp
ρρ
ρ
di mana,
Lapisan Batas 143
( )2
2
1
1
2
2
2
2
2
1
1
2
2
2
1
1 2 ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
+⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
=⋅∇⋅≡Φxu
xu
xu
xu
xu
xuu µµλτ .
Sekarang kita bandingkan suku-suku dalam Φ .
2
22
2
2
2
2
2
2
2~δ
µδµµλ ULL
UL
UL
U+⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛++Φ
Jadi suku yang terbesar di dalam Φ adalah 22
2
1 ~ ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
δµµ U
xu .
Sedangkan untuk ( )Tkq ∇⋅∇=⋅∇ ,
22 δkT
LkT
<<
sehingga yang terbesar adalah
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂∂
22 xTk
x
Untuk suku pu ∇⋅ ,
pLU
xpu ~1
1 ∂∂ dan 0
22 ≈
∂∂xpu
(karena persamaan x2 momentum menyatakan 02
≅∂∂xp ).
Jadi di dalam lapisan batas persamaan energi ((h) atau (i)) menjadi,
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
22
2
2
1
11
22
11 x
Tkxx
uxpu
xhu
xhu µρ (BL.6.a)
atau 2
11 2 1
1 2 1 2 2p
T
T T T p u Tc u u u k2x x p x x x
ρρ µρ
⎛ ⎞⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛⎛ ⎞∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂+ = + +⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜⎜ ⎟⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎝ ⎠⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝⎝ ⎠ x
⎞⎟⎠
(BL.6.b)
Persamaan (BL.6.a.) biasanya digunakan dalam kasus aliran kompresibel sedangkan
(BL.6.b.) dapat digunakan dalam kasus kompresibel maupun inkompresibel.
Lapisan Batas 144
Sekarang persamaan-persamaan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan peersoalan
aliran dalam lapisan batas telah didapatkan. Persamaan-persamaan tersebut adalah :
02
2
1
1 =∂
∂+
∂∂
xu
xu ρρ
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂∂
+∂∂
−=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
2
1
212
12
1
11 x
uxx
pxu
uxu
u µρ
02
=∂∂xp
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
22
2
2
1
11
22
11 x
Tkxx
uxpu
xhu
xhu µρ
ATAU 2
11 2 1
1 2 1 2 2p
T
T T T
2
p u Tc u u u kx x p x x x
ρρ µρ
⎛ ⎞⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛⎛ ⎞x
⎞∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂+ = + +⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜⎜ ⎟⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂⎝ ⎠⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝⎝ ⎠
∂⎟⎠
Dengan kondisi batas:
( )( ) benda
in
UxuUxu
=→=∞→
02
21
( )
( ) wallx
wall
in
qxTTxT
TxT
=∂∂
=→
=∞→
=022
2
2
katau 0
( , )p Tµ µ= ( ),k k p T= ( ),h h p T=
di mana Uin adalah U di luar lapisan batas (solusi permasalahan aliran inviscid di
sekitar benda tersebut)
Catatan:
1. 02
=∂∂xp , ini berarti tekanan di sebuah x1 di dalam lapisan batas = tekanan di
posisi x1 yang sama di daerah di luar lapisan batas di mana aliran dapat
diasumsikan inviscid dan adiabatic. Dengan kata lain tekanan di dalam lapisan
batas adalah sama dengan tekanan, p(x1), di luar lapisan batas.
Lapisan Batas 145
2. Di bagian teratas dari lapisan batas, u1 menjadi sama dengan Uin(x1) (kecepatan
di luar lapisan batas), di mana Uin(x1) adalah solusi dari persamaan Euler (di luar
lapisan batas aliran adalah aliran inviscid).
1 1
1in pUinx xρ
∂ ∂= −
∂ ∂U (BL.7)
Untuk kasus aliran inkompresibel, persamaan di atas menjadi 2
1 12inU p
x x ρ⎛ ⎞ ⎛∂ ∂
= − −⎜ ⎟ ⎜∂ ∂ ⎝ ⎠⎝ ⎠
⎞⎟ sehingga ( )2
2inU x
p ρ+ = konstan.
Persamaan (BL.7) dapat disubstitusikan ke persamaan momentum di arah x1
( )11
1 1
( ) inin
dU xp U xx d
ρ⎛ ⎞∂
=⎜ ⎟∂⎝ ⎠x
3. Dari diskusi di atas dapat dilihat bahwa solusi dari persamaan (BL) tergantung
dari keadaan di luar lapisan batas (Uin(x)). Oleh karena itu, untuk mendapatkan
solusi yang tepat kita harus lakukan iterasi “inviscid ⇔ lapisan batas”.
4 Persamaan (BL) diturunkan untuk kasus aliran di dekat permukaan datar (plane
wall). Namun, dapat ditunjukkan bahwa persamaan (BL) juga dapat digunakan
untuk aliran 2-D secara umum (misalnya untuk aliran di dekat permukaan yang
melengkung, dll).
Untuk kasus permukaan melengkung dengan 1<<Rδ maka dapat ditunjukkan
bahwa satu-satunya perubahan terjadi adalah pada persamaan x2– momentum
yang menjadi,
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
=2
21 1
xp
Ru
ρ.
Jadi untuk kasus 1>>R , 02
≈∂∂xp (sama seperti kasus permukaan datar).
Lapisan Batas 146
4.3 Lapisan batas inkompresible
Untuk kasus aliran inkompresible, persamaan (BL) dapat disederhanakan lebih lanjut
karena untuk kasus ini ρ = konstan dan µ = konstan dan k = konstan sehingga persamaan
BL menjadi,
1 2
1 22
1 1 11 2 2
1 2 1 22 2
11 2 2
1 2 2
0
inin
u ux x
dUu u uu u Ux x dx x
T T uCp u u k2
Tx x x
ν
ρ µ
∂ ∂+ =
∂ ∂
∂ ∂ ∂+ = +
∂ ∂ ∂
⎛ ⎞ ⎛ ⎞∂ ∂ ∂ ∂+ = +⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂ ∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠ x
(BLI)
Kondisi-kondisi batas yang harus dipenuhi:
( )( )( )
( ) wallx
wall
in
wall
in
qxTkatauTxT
TxTUxu
Uxu
=∂∂
=→
=∞→=→
=∞→
=022
2
2
21
2
0
0
Catatan: dalam persamaan di atas 0=∂∂
yp telah diintegrasikan ke dalam suku,
dxdU
U inin
Persamaan (BLI) adalah 3 persamaan untuk mencari 3 variabel yang tidak diketahui: u1,
u2, T. Dalam persamaan tersebut, persamaan energi (persamaan yang terakhir)
“terpisah” dari persamaan yang pertama dan kedua. Dengan kata lain persamaan energi
tidak dibutuhkan untuk menyelesaikan persamaan kesatu dan kedua (untuk u1 & u2). Ini
berbeda dengan kasus kompresible di mana persamaan-persamaan massa, momentum
dan energi harus diselesaikan secara bersamaan. Dalam kasus kompresible, persamaan
energi dibutuhkan dalam persamaan x- momentum karena µ = µ(T). Oleh karena itu,
untuk mempelajari velocity boundary layer hanya diperlukan persamaan pertama dan
kedua saja.
Lapisan Batas 147
Apabila persamaan pertama dan kedua dinondimensionalkan dengan variabel-variabel
di bawah ini :
U~UU 0in = , 11~Lxx = , Re/~L 22 xx = , 101 u~Uu = , Re/u~Uu 202 =
maka hasilnya adalah ;
22
12
12
12
1
11
2
2
1
1
~~
~U~U~~
~~~~~
0~~
~~
xu
xdd
xuu
xuu
xu
xu
∂∂
+=∂∂
+∂∂
=∂∂
+∂∂
( )ILB ~~~
Dalam persamaan di atas tidak terdapat viskositas!!! Ini berarti solusi dari persamaan-
persamaan tersebut tidak bergantung pada Reynolds Number, (Re), ( 21 u~dan u~ bukan
fungsi Re). Jadi apabila kita mempunyai sebuah benda dengan bentuk tertentu, maka
kita cukup mendapatkan satu solusi untuk lapisan batas dari benda tersebut dengan
menggunakan persamaan (BLI). Solusi tersebut valid untuk Re berapapun selama
lapisan batas masih lapisan batas. laminar. Karena 1~x ~ ( )1O , ~ 2x uδ , ~ 2x Re/L
maka
uδ ~ Re/L
Lapisan batas pelat datar (semi infinite)
Untuk kasus ini, = konstan. Karenanya ( ) ∞= UUin x 0U
1
=∞
dxd . Untuk kasus ini
persamaan BL.1 menjadi,
22
12
2
12
1
11 x
uxuu
xuu
∂∂
=∂∂
+∂∂
υ dan 02
2
1
1 =∂∂
+∂∂
xu
xu ( )1 BLI.
Dari persamaan ( )ILB ~~~ dapat dilihat bahwa solusi dari persamaan (BL) harus
mempunyai bentuk ,
( 211
1~, ~~ xxf
Uuu
in
== ) & ( )υ∞
===U
LuxxgU
uuin
2212
2~,~Re~
Lapisan Batas 148
Karena pelat adalah semi infinite, maka tidak ada panjang karakteristik L dalam kasus
ini. Karenanya inV
u1 haruslah fungsi dari kombinasi 21~dan ~ xx yang tidak terdapat L
sehingga,
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
1
21~
~~
xxf
Uu
in
, ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
1
212 ~
~~~x
xgxu , 1
21
2~
~
xU
xx
x in
ν=
Untuk menyelesaikan (BLI. 1), dapat kita gunakan fungsi arus ψ di mana,
21 x
u∂∂
=ψ ,
12 x
u∂∂
−=ψ , ~ 2x δ ~
∞Ux1ν
Dengan sifat-sifat u1 dan u2 seperti dijelaskan di atas, maka bentuk ψ haruslah
(ψ ~ δ∞V ~ ( )ξf ),
( )ξυψ fUx in1= , 1
2 xU
x in
υξ =
sehingga,
( )ξ'1 fUu
in
= , ( )ffx
Uu in −= '
2 21 ξ
υ
di mana ξd
dff ≡'
Apabila u1 dan u2 disubstitusikan ke dalam (BLI. 1) maka hasilnya adalah,
0''' 2 '' =+ fff (BLI.2)
Kondisi batas untuk kasus ini adalah
• , 01 =u 02 =u pada 02 =x
• pada ∞= Uu1 ∞→2x
atau ,
( ) 00' =f , ( ) 00 =f , ( ) 1' =∞f (BLI.3).
Dalam contoh ini, persamaan diferensial parsial (BLI. 1) diubah menjadi persamaan
diferensial biasa (BLI. 2) dengan menggunakan “Similarity Transformation” (dengan
menggunakan ξψ dan ). Persamaan (BLI.3) dapat diselesaikan secara numerik. Hasil-
Lapisan Batas 149
hasil penting yang dapat diambil dari solusi ini adalah: Shear-Stress distribution ( )wτ ,
CD, dan ketebalan lapisan batas ( )δ .
( ) ( ) ( ) ( )0''1
3
0,22
2
0,2
11 f
xU
xxu
x xxw υµψµµτ ∞=
∂∂
=∂∂
≡
( ) ( ) ''
10''2''2
21
11
0102
11
2dx
xUxfdxx
UxxU
FC
xx
wD
d ∫∫∞∞
===∞
υ
τρρ
Solusi numerik dari persamaan (BLI. 3) memberikan ( ) 322.00'' ≈f sehingga,
( )xx
wf
f
UC
Re664.0
Re0''2
21 2
==≡
∞ρ
τ
xdC
Re328.1
=
Dari hasil numerik, pada posisi ∞= UU 99.01 5=ξ
Sehingga,
5==
∞Uxυ
δξ , xx Re
5=
δ
Sekarang kita akan beralih ke persamaan energi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
dalam kasus lapisan batas untuk aliran inkompresible, persamaan energi tidak
mempengaruhi solusi dari persamaan momentum ( ). Namun, solusi dari persamaan
energi tergantung dari (solusi persamaan momentum). Sekarang kita tuliskan
persamaan energi,
−u
−u
2
2
12
2
2
22
11 ⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
xu
CxT
Ck
xTu
xTu
PP ρµ
ρ
Dengan menggunakan variabel ξ , persamaan di atas menjadi,
( )22
2
2
''Pr2Pr f
CUf
ddT
dTd
P
∞−=+ξξ
Lapisan Batas 150
di mana Pr adalah Prandtl Number. Kondisi batas persamaan ini adalah,
( ) ∞=→ TT 1ξ ( ) wallTT =→ 0ξ atau wallqyTk =
∂∂
→0ξ
solusi dari persamaan di atas biasanya dinyatakan sebagai superposisi dari 2 solusi,
( ) ( ) ( ) ( )ξθξθξ 2
2
1 2 Pwall C
VTTTT ∞∞∞ +−+=
Di mana 1θ adalah solusi dari persamaan,
0'Pr21'' 11 =+ θθ f dengan ( ) 101 =θ , dan ( ) 01 =∞θ
dan 2θ adalah solusi dari persamaan,
( )222 ''Pr2'Pr
21'' ff −=+ θθ dengan ( ) 00'2 =θ , dan ( ) 02 =∞θ
Dengan kata lain 1θ adalah solusi dari persoalan lapisan batas di mana “Viscous
Dissipation” diabaikan dan terdapat perubahan temperatur (yang ditentukan!!!) antara
dinding dan aliran di luar lapisan batas. Sedangkan 2θ adalah solusi dari persoalan
lapisan batas di atas pelat yang diinsulasi sehingga 02
=∂∂xT
Solusi untuk 21 dan θθ adalah fungsi dari turunan (solusi untuk persamaan
momentum). Kita ketahui bahwa,
f
''f'''f2
f -=
Sekarang kita atur ulang persamaan untuk , 1θ
''flndd
Pr'lndd
1 ξθ
ξ= .
Apabila kita integrasikan maka, . Kemudian kita integrasikan sekali lagi
maka didapatkan,
Pr''1
'1 )f(c=θ
∫∫∞
0
Pr
∞ Pr
1d)''f(
d)''f(=
ξ
ξθ ξ
Lapisan Batas 151
Apabila kita atur ulang persamaan untuk maka, 2θ
Pr-22
Pr2 )''(
Pr-
)''(' )()( f
cU
fdd
p
∞=θ
ξ
sehingga,
ητθξ
ηddff
cU
p∫ ∫
∞= ][
0
Pr-2Pr2
2 )''()''(Pr )( ∞
Contoh: untuk kasus dimana Pr = 1
'f-1=1θ dan )'-1(
Pr21 )( 2
2∞ f
cU
p
=θ
Terlihat bahwa solusi umum untuk kasus ini (lapisan batas termal di atas pelat) akan
didapatkan apabila f telah ditemukan.
4.4 Lapisan batas kompresible
Untuk kasus lapisan batas di mana efek kompresibilitas tidak dapat diabaikan, sistem
persamaan lapisan batas harus diselesaikan secara serempak. Seperti telah dikatakan
sebelumnya, dalam kasus ini adalah fungsi dari temperatur. Sehingga untuk
menyelesaikan persamaan momentum kita memerlukan persamaan energi yang
merupakan persamaan yang menjelaskan tentang perubahan T. Namun kita tahu bahwa
untuk menyelesaikan persamaan energi kita memerlukan u yang perubahannya
dijelaskan oleh persamaan momentum. Jadi jelaslah untuk kasus ini ketiga persamaan
tersebut (massa, momentum, energi) harus diselesaikan secara bersamaan. Dengan
demikian kasus ini menjadi lebih rumit bila dibandingkan dengan kasus inkompressibel.
Dalam bagian ini kita akan lihat salah satu contoh dari lapisan batas kompresible, yaitu
aliran kompresible di sekitar plat.
Lapisan batas pelat datar (kompresible)
Sama seperti kasus inkompresible, dalam kasus pelat datar konstan=∞p sehingga
01
=dxdp . Oleh karenanya sistem persamaan yang harus diselesaikan adalah,
Lapisan Batas 152
0=x∂u∂
+x∂u∂
2
2
1
1 ρρ (CBL. 1)
)()(2
1
22
12
1
11 x∂
u∂x∂∂
=x∂u∂
u+x∂u∂
u µρ (CBL. 2)
)()()(22
2
2
1
22
11 x∂
Τ∂k
x∂∂
+x∂u∂
=x∂h∂
u+x∂h∂
u µρ
02
=dxdp (CBL. 3)
Kondisi batas yang kita pilih untuk kasus ini adalah:
∞==∞→ UUxu in)( 21 , ∞2 T=)∞→x(T
0)0→( 2 =xu , wall2 T=)0→x(T
(pelat yang tidak bergerak dengan temperatur permukaan Twall)
Untuk lebih memudahkan penyelesaian kasus ini, kita rubah persamaan energi menjadi
persamaan untuk total enthalpy ( )212
10 u+h≈h . Pertama-tama kita kalikan persamaan
momentum x1 dengan u1,
)()(2
1
21
21
22
21
11 x∂
u∂x∂∂
u=2
ux∂∂
u+2
ux∂∂
u µρ
Kemudian persamaan ini kita tambahkan dengan persamaan energi (enthalpy) hasilnya
adalah,
)()()()(22
2
2
1
2
1
21
2
02
1
01 x∂
Τ∂k
x∂∂
+x∂u∂
+x∂u∂
x∂∂
u=x∂h∂
u+x∂h∂
u µµρ
Untuk perfect gas: dh = cp dT atau )u2
-h(dc1
=dT 210
p
ρ sehingga persamaan energi
menjadi,
)()()()( )u21
-h(x∂∂
ck
x∂∂
+x∂u∂
+x∂u∂
x∂∂
u=x∂h∂
u+x∂h∂
u 210
2p2
2
2
1
2
1
21
2
02
1
01 ρµµρ
Kita dapat sederhanakan persamaan ini lebih lanjut dan hasilnya adalah:
][)(2
11
2
0
22
02
1
01 x∂
u∂u)
Pr1
-1(+x∂h∂
Prx∂∂
=x∂h∂
u+x∂h∂
u µµ
ρ (CBL. 4)
Lapisan Batas 153
Persamaan inilah (CBL. 4) yang harus diselesaikan bersama-sama dengan persamaan
(CBL. 1) s/d (CBL. 3) untuk mendapatkan solusi dari lapisan batas kompresibel untuk
pelat datar. (catatan: 212
10 u+h≈h karena 2
122 u<<u )
Untuk menyelesaikan sistem persamaaan di atas, kita tranformasikan persamaan-
persamaan tersebut dengan menggunakan “similarity variabel”,
1∞∞∞≡ xU µρξ , ∫2
0 2∞
2≡
xdxU
ρξ
η , f 2= ξψ
sehingga,
∞
=≡Uu
ddff 1'ξ
dan ∞0
0
hh
≡g
Hasil transformasi tersebut adalah,
0' )'''(∞∞
=+ fffµρ
ρµ (momentum x1)
0] ')Pr1-1[(' ''
Pr1 ')(
∞∞0∞
2∞
∞∞
=⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎠⎞
⎜⎝⎛++ f ''f
hU
gfgµρ
ρµµρ
ρµ
Kondisi batas-nya menjadi,
0)0(f =→η , 0)0→(' =ηf , , , wallg)0→(g =η 1)→('f =∞η 1)∞→(g =η
Apabila kita lihat koefisien dari suku ke 3 persamaan energi, 2 2
220
2 22
1 1 1 11 1 11 12 2 ( -1) 22 ( -1) 2
p
U Uh c T RT Mh h vv vU
γγ γ
∞
∞ ∞
∞ ∞ ∞∞∞ ∞
∞ ∞∞
= = = = =+ + ++ +
Solusi dari persamaan di atas tentunya harus diselesaikan dengan menggunakan
komputer. Namun kita lihat bahwa parameter-parameter yang terdapat dalam
persamaan-persamaan dan kondisi batas di atas adalah )Pr,,,(∞
∞ TT
danM wγ sehingga
dapat disimpulkan bahwa
)TTPr,,M,(cc∞
w∞ff γ= dan )
TTPr,,M,(∞
w∞γδδ =
Lapisan Batas 154
4.5 Solusi keserupaan Falkner-Skan (Incompressible)
Kita telah lihat bahwa sangat sulit untuk menemukan solusi dari persamaan (BL) atau
(BLI). Untuk kasus yang paling sederhana yaitu kasus lapisan batas dari pelat datar
untuk kasus aliran incompressible, kita dapat mengubah persamaan diferensial parsial
menjadi persamaan diferensial biasa dengan mencari “similiarity solution” dari
persamaan x,momentum. Karena persamaan yang menjelaskan lapisan batas untuk
kasus ini adalah persamaan diferensial biasa maka kasus ini menjadi mudah untuk
diselesaikan walaupun harus diselesaikan secara numerik. Jadi dari kasus ini kita dapat
simpulkan bahwa kasus-kasus dimana peramaan diferensial parsial dapat diselesaikan
dengan menggunakan “similiarity solution” adalah kasus-kasus yang relatif mudah
secara matematis. Disubbagian ini kita akan lihat kasus-kasus apa saja yang dapat
diselesaikan dengan menggunakan “similarity solution’ untuk aliran inkompresible.
Kita mulai dengan mengasumsikan bahwa ,
1 1 2
1
( , ) '( )( )in
u x x fU x
ξ= di mana 2
1( )xx
ξδ
=
Karena, 2 2
1 22
20 0 0
( ) '( )x x
in inin
u xdx U d U f dx U
ξψψ δ δδ
∂= = =
∂∫ ∫ ∫ ξ ξ
( ( ) (0))inU f fψ δ ξ= −
Karena 0=ψ di x2=0 maka,
f(0) = 0 & ( )inU fψ δ ξ= .
Dengan menggunakan ψ ,maka untuk kasus aliran incompressible 2-D persamaan
kontinuitas selalu terpenuhi secara otomatis. Oleh karena itu,maka persamaan untuk
lapisan batas adalah, 2
1 11 2 2
1 2 1 1
inin
dUu uu u Ux x dx
1ux
ν∂ ∂ ∂+ = +
∂ ∂ ∂ (FS.1)
12
uxψ∂
=∂
, 21
uxψ∂
= −∂
Lapisan Batas 155
Dari ( )inU fψ δ ξ= , kita dapat tuliskan u2 sebagai fungsi dari Uin , δ , f dan turunan-
turunannya.
[ ]' ' '2
1in inu f U U
xfψ δ ξ δ∂
= − = − +∂
Apabila kita subtitusikan U1 dan U2 ke persamaan (FS.1) maka didapatkan, ''' '' '2(1 ) 0f ff fα β+ + − = (FS.2)
di mana
1
( ind U
dx)δα δ
ν≡ dan
2
1
indUdx
δβν
≡ .
Untuk kasus di mana terdapat similarity solution, persamaan (FS.2) hanya tergantung
dari ξ . Dengan kata lain,untuk kasus-kasus ini maka α dan β haruslah konstan (bukan
fungsi x1). Sekarang kita akan gunakan kenyataan ini untuk menemukan kasus-kasus apa
saja yang dapat diselesaikan dengan menggunakan “similarity solution”.
Dari definisi βα & , kita lihat bahwa
2
1
12 ( ind U
dxα β δ
ν− = )
sehingga,
21 0
1(2 )( ) inx x Uα β δν
− − = .
Apabila koordinat axis kita letakan sedemikian rupa sehingga 0=δ di x1 = 0 maka
00 =x
dan
1
in
K xUνδ =
dimana K βα −≡ 2 =konstan.
Sekarang kita pilih K=1 apabila Uin dan x1 searah dan K=-1 apabila Uin dan x1
berlawanan.
Lapisan Batas 156
Dengan pilihan ini maka,
1
in
xUνδ ±
= (FS.3)
Apabila kita subtitusikan δ ke definisi untuk β (2
1
)indUdx
δβν
≡ maka,
1
1
in
in
dUxU dx
β = ± atau 1
1
in
in
dUdxx U
β = ±
Karena β adalah konstan maka persamaan terakhir dapat diintegrasikan & hasilnya
adalah,
10 ( )m
inxU UL
= (FS.4)
U0 = konstan, L = konstan. Dalam hubungan diatas,
1
2
, apabila & searah- , apabila & berlawanan arah
in
in
U xm
U xβ
β⎧
= ⎨⎩
Dengan menggunakan (FS.3)&(FS.4),persamaan(FS.2) dapat dituliskan menjadi,
0)'1('')1(21''' 2 =−+++ fmffmf (FS)
Persamaan ini diselesaikan dengan menggunakan kondisi batas,
( )1 2 inu x U→ ∞ = & 2( 0) 0xu = = atau,
(0) 0f = '(0) 0f ='(1) 1f =
Jadi hasil ini kita dapat kita simpulkan sebagai berikut . Apabila solusi inviscid dari
aliran sekitar benda adalah
1 1( ) ~ minU x x
Lapisan Batas 157
maka lapisan batas benda tersebut dijelaskan oleh persamaan (FS). Persamaan (FS)
disebut juga persamaan Falkner-Skan.
Untuk kasus di mana m>0 terdapat beberapa solusi:
a) m = 0 : kasus ini adalah kasus aliran disekitar pelat datar yang telah kita pelajari
sebelumnya
b) 0<m<1: Ini adalah kasus aliran di sekitar wedge.
c) 1<m<2 : Ini adalah kasus aliran menuju sebuah sudut.
d) m=1:Aliran stagnasi
4.6 Persamaan dalam bentuk integral untuk lapisan batas
Kita telah lihat bahwa untuk mendapatkan solusi dari persamaan-persamaan untuk
lapisan batas secara analitik bukanlah hal yang mudah. Dalam praktik, permasalahan
lapisan batas biasanya diselesaikan dengan menggunakan metoda aproksimasi. Metoda-
metoda ini berbasis dari “perasamaan integral” dari lapisan batas dan ini yang akan kita
dapatkan di dalam subbagian ini.
Kita mulai dari persamaan kontinuitas. Apabila kita ambil integral dari persamaan ini
dengan limit dari s/d 02 =x δ=2x maka
Lapisan Batas 158
0202
220
1
1 =∂
∂+
∂∂
∫∫ dxxu
dxxu δδ ρρ
12 20
1
0inin
u dx Ux
δ ρ ρ∂+ =
∂∫ (karena 021 == uu di ) 02 =x
di mana inρ dan adalah harga 2inU ρ dan di 2u δ=2x . Kemudian ke dalam persamaan
di atas kita tambah dan kurangi ( )0 in in
d U dxdx
δρ∫ , sehingga menjadi
( ) ( )1 2 2 20 01 1
0inin in in in in
du U dx U dx Ux dx
δ δρ ρ ρ ρ∂
− + +∂∫ ∫ = .
Karena inρ , , bukan fungsi maka inU 1x 2x
( )12 20
1 1
1 0inin in in in in
in in
d u dU dx Udx U dx
δ ρρ ρρ
⎡ ⎤⎛ ⎞Uδ ρ− + +⎢ ⎥⎜ ⎟
⎝ ⎠⎣ ⎦∫ =
Apabila kita definisikan * 120
1in in
u dxU
δ ρδρ
⎛ ⎞≡ −⎜
⎝ ⎠∫ ⎟ maka
( ) ( )*2
1 1
0inin in in in in
d dU U Udx dx
ρ δ ρ ρ δ+ − = (IM.1)
Dari (IM.1), apabila δ , , dan *δ in inUρ diketahui, maka dapat dihitung. Informasi
ini diperlukan untuk menentukan modifikasi dari kondisi batas untuk persamaan
Euler yang disebabkan karena adanya lapisan batas (lihat pembahasan di 4.6.2).
2inU
( 2inU )
Berikutnya kita beralih ke persamaan momentum.
( ) ( )
( )( ) ( )( )
21 11 2 1 1 2
1 1 1 2
1 1 2 1 1 21 2 1
in inin in
u uu u u u ux x x x
U Uu u U u u U u u2x x x
ρ ρ ρ ρ
ρ ρ ρ
∂ ∂ ∂ ∂+ = +
∂ ∂ ∂ ∂∂ ∂∂ ∂
= − + − + +∂ ∂ ∂ x
ρ∂
Lapisan Batas 159
Sekarang kita ambil integral dari 02 =x s/d δ=2x , dari persamaan momentum. 1x
( )( ) ( )( )1 1 2 2 1 2 1 2 2 20 0 0 01 2 1 1
inin in
dU dpu u U dx u u U dx u dx dx dxx x dx dx x
δ δ δ δ
02
δρ ρ ρ∂ ∂
− + − + = − +∂ ∂∫ ∫ ∫ ∫ τ∂
∂∫
di mana 1
2
ux
τ µ ∂≡
∂. Karena
2
0dpdx
= , maka 1
dpdx
bukan fungsi x2. Selain itu ( )20x δτ = =
sehingga,
2 12 1 2
1 10 0
1 inin in wall
in in in
dUd u u dpU dx u dxdx U U dx dx
δ δρ
1
ρ ρ δρ
⎛ ⎞− + = − −⎜ ⎟
⎝ ⎠∫ ∫ τ
di mana ( )2 0wall xτ τ == .
Apabila kita definisikan,
* 1 120
1in in in
u u dxU U
δ ρθρ
⎛ ⎞= −⎜ ⎟
⎝ ⎠∫
maka persamaan di atas dapat kita tuliskan menjadi,
2 *10
1 1 1
inin in wall
dUd dU u dxdx dx dx
δ pρ θ ρ δ− −∫ τ=
Sekarang kita jabarkan 20 1dxu∫δ
ρ
( )1 2 1 2 20 0 0
120
*
1
in in in in
in in in inin in
in in in in
u dx u U dx U dx
uU dxU
U U
δ δ δ
δ
ρ ρ ρ ρ
ρ Uρ ρ δρ
ρ δ ρ δ
= − +
⎛ ⎞= − +⎜ ⎟
⎝ ⎠= − +
∫ ∫ ∫
∫
Akhirnya persamaan integral momentum dapat dituliskan
2 * *
1 1 1
in inin in in in in in wall
dU dUd dU U Udx dx dx dx
ρ
1
ρ θ ρ δ δ ρ τ⎛ ⎞
+ − +⎜ ⎟⎝ ⎠
=
Namun, untuk aliran inviscid di luar lapisan batas,
1 1
inin in
dUdp Udx dx
ρ= −
Sehingga akhirnya persamaan di atas menjadi
2 * *
1 1
inin in in in wall
dUd U Udx dx
ρ θ ρ δ τ+ = (IM.2)
Lapisan Batas 160
Kita lanjutkan dengan persamaan energi. Persamaan yang paling baik untuk digunakan
di sini adalah persamaan untuk total enthalpi (lihat subbagian tentang compressible BL).
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂∂
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+∂∂
22
2
2
1
2
1
21
2
02
1
01 x
Tkxx
uxu
xu
xh
uxh
u µµρ
Kedua suku pertama di sebelah kanan “sama dengan” dapat digabung menjadi,
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂∂
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
∂∂
12
1
2
2
2
1
2
1
21 u
xu
xxu
xu
xu µµµ
Dengan menggunakan persamaan kontinuitas dan definisi 2dx
Tkq∂∂
−≡ dan 2
1
xu
∂∂
= µτ ,
maka persamaan untuk total enthalpi menjadi,
( ) ( ) ( )qux
uhx
uhx
−∂∂
=∂∂
+∂∂
12
202
101
τρρ
Sekarang kita ambil integral dari persamaan di atas. Dengan mengingat bahwa
( ) 02 =→ δτ x dan , hasilnya adalah, ( ) 0021 =→xu
( ) ( ) wallqhudxhux in
=+∂∂
∫ 020 2011
δδ
δρρ (IM)
karena ( ) 02 =→ δxq dan ( ) wallqxq ≡→ 02 .
Di luar lapisan batas, biasanya konstan (kasus normal shock wave pun konstan
apabila shock diam). Oleh karena itu
inh0 in
h0
( ) ( )( ) 11
00011
011
ux
hhhux
hux inin
ρρρ∂∂
+−∂∂
=∂∂
Dari persamaan kontinuitas,
( ) 22
00
001
101
1
1 ux
hhh
hux
hux in
in
inρρρ
∂∂
−⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−
∂∂
=∂∂
sehingga,
( ) ( )01 11 0 2 0 2 0 20 0
1 1 0
1in in q
in
in in qin in
hd uu h dx U h dx h ux dx U h
δ δ ρρ ρρ
⎡ ⎤⎛ ⎞∂= −⎢ ⎥⎜ ⎟⎜ ⎟∂ ⎢ ⎥⎝ ⎠⎣ ⎦
∫ ∫ ρ− .
Apabila kita substitusikan ke persamaan (IM), maka hasilnya adalah
Lapisan Batas 161
( )*0
1inin in h wall
d U h qdx
ρ θ = − (IM.3)
dimana telah didefinisikan
* 01 120
0
1in
hin in
hu dxU h
δ ρθρ
⎛ ⎞≡ − −⎜ ⎟⎜ ⎟
⎝ ⎠∫
Persamaan-persamaan (IM.1), (IM.2), (IM.3) adalah persamaan untuk , 2inU wallτ , dan
sebagai fungsi dari , , dan . Metoda approximasi biasanya memberikan
approximasi untuk , , dan . Dari sini harga ,
wallq *hθ *θ *δ
*hθ *θ *δ 2in
U wallτ , dan dapat
diestimasikan.
wallq
4.6.1 Interpretasi dari dan *δ θ Di subbagian sebelah kita telah diperkenalkan dengan quantitas dan . disebut
“displacement thickness”. Sekarang kita akan lihat apa arti fisis dari dan . Sekali
lagi dan telah kita definisikan seperti
*δ *θ *δ*δ *θ
*δ *θ
*2* 1
201
x
in in
u dxU
ρδρ
⎛ ⎞≡ −⎜ ⎟
⎝ ⎠∫
*2* 1 1
201
x
in in in
u u dxU U
ρθρ
⎛ ⎞≡ −⎜ ⎟
⎝ ⎠∫
Dimana adalah sebuah titik dalam aliran yang berjarak dari permukaan
benda (definisi ini adalah definisi yang lebih umum, sebelumnya kita ambil sebagai
).
*2x *
22 xx =
*2x
δ=*2x
Lapisan Batas 162
Untuk melihat arti fisis dari , kita lihat mass flow *δ ( )m yang melintasi permukaan
(garis) dari s/d dalam gambar (A) di atas. 02 =x *22 xx =
*2
1 20
xm uρ= ∫ dx
Apabila aliran ini tidak mempunyai lapisan batas (asumsi aliran inviscid digunakan
mulai dari permukaan benda), maka mass flow-nya ( )invm adalah *2
20
x
inv in inm Uρ= ∫ dx
Jadi, lapisan batas menyebabkan berkurangnya mass flow sebesar
( )*2
1 20
x
inv in inm m m U u dxρ ρ∆ = − = −∫
Apabila kita tuliskan seperti m∆ in inm Uρ∆ = Υ , maka
*2 1
201
x
in in
u dxU
ρρ
⎛ ⎞Υ = −⎜ ⎟
⎝ ⎠∫
Namun, ini adalah definisi dari ( )** δδ =Υ . Jadi, “ adalah ketinggian yang
proporsional dengan berkurangnya (mass flow) akibat adanya lapisan batas”.
*δ
m
Interpretasi lain dari adalah sebagai berikut. Di dalam gambar (B) terdapat sebuah
streamline, di luar lapisan batas, yang melintasi titik (1) dan (2). Sekarang kita hitung
di titik (1) dan (2).
*δ
m
( )
*2
21 0
x
in inm Uρ= ∫ dx
y
( )
*2
1 22 0
x
in inm u dx Uρ ρ= +∫
Karena titik (1) dan (2) dilintasi oleh garis ψ =konstan yang sama (streamline yang
sama), maka sehingga ( ) ( )21 mm =
* *2 2
2 1 20 0
x x
in in in inU dx u dx U yρ ρ ρ= +∫ ∫
*2 1
201
x
in in
uy dU
ρρ
⎛ ⎞= −⎜ ⎟
⎝ ⎠∫ x
Namun, ini adalah definisi dari ( )* y *δ δ= . Oleh karena itu, maka “ adalah jarak
terdorongnya “external inviscid flow” yang disebabkan oleh adanya lapisan batas”.
*δ
Lapisan Batas 163
Dengan kata lain, bentuk effective yang harus kita gunakan dalam menghitung aliran
inviscid diluar lapisan batas adalah permukaan benda +δ* (lihat gambar dibawah)
Sekarang kita ke interpretasi dari θ*. Untuk itu kita kembali ke gambar (A) & hitung
“momentum flux” yang melintasi garis dari x2 = 0 s/d x2 = x2*. Momentum flux yang
melintasi garis dx2 adalah,
( ) 21 1 2 1 1dM dmu u dx u u dxρ ρ= = = 2
Apabila aliran dianggap seluruhnya inviscid (tidak ada lapisan batas) maka “momentum
flux” untuk “mass flux” dm yang sama adalah
1 2inv in indM dmU u U dxρ= = .
Dengan demikian, berkurangnya momentum flux untuk aliran dengan massa sebesar dm
yang disebabkan oleh adanya lapisan batas adalah
( )1 1( ) inv ind M dM dM u U u dxρ∆ = − = − 2
2
atau *2
1 10
( )x
inM u U u dxρ∆ = −∫
Apabila M∆ kita nyatakan seperti 2in inM U yρ∆ ≡ maka,
*2 1 1
20(1 )
x
in in in
u uY dU U
xρρ
= −∫
Namun, ini adalah definisi dari *θ sehingga Y=θ . Dengan demikian maka *θ dapat
kita interpretasikan sebagai “jarak yang proporsional dengan berkurangnya momentum
flux yang diakibatkan oleh adanya lapisan batas”.
Lapisan Batas 164
*θ adalah salah satu kuantitas penting dalam teori lapisan batas karena *θ proporsional
dengan . Sebagai contoh adalah kasus aliran disekitar pelat datar (inkompresible).
Untuk kasus ini, persamaan (IM.inkompresible) menjadi,
dC
2
1
*in wall
dUdxθρ τ=
karena Uin = konstan. Drag untuk pelat datar ini adalah *
2 21 1
10 0
*l
wall in indD dx U dx Udx
θ θτ ρ ρ= = =∫ ∫ θ
Karena untuk kasus ini Uin = U∞ maka, 2
22
2 * 212
dD UC
U l lU l
*ρ θ θρρ
∞
∞∞
= = = atau 2 *dC
lθ
=
Jadi Cd dari kasus ini dapat kita hitung apabila *θ diketahui.
4.6.2 Interaksi Viscous-inviscid
Dalam praktiknya, permasalahan aliran disekitar benda yang mempunyai harga Re yang
tinggi diselesaikan dengan melakukan proses iterasi. Ini disebabkan karena solusi
persamaan lapisan batas tergantung dari solusi aliran inviscid diluar lapisan batas
melalui Uin. Sedangkan solusi aliran inviscid tergantung dari kondisi batas yang harus
dipenuhi pada permukaan dimana asumsi inviscid dapat digunakan. Permukaan ini
yang tentunya berubah dengan adanya lapisan batas. Proses iterasi ini dapat dipahami
dengan memperhatikan pembahasan di paragraf berikut.
Pertama-tama, lapisan batas dianggap tidak ada dan aliran inviscid disekitar benda
diselesaikan untuk mendapatkan Uin. Kemudian Uin ini digunakan untuk menyelesaikan
persamaan lapisan batas. Namun, dengan adanya lapisan batas maka permukaan
dimana kondisi batas inviscid harus dipenuhi berubah (luas daerah inviscid berkurang
karena adanya lapisan batas) dan Uin juga tentunya berubah. Ada dua cara untuk
memodifikasi kondisi batas aliran inviscid:
Lapisan Batas 165
• Mengubah permukaan benda dengan menambahkan *δ sehingga kondisi batas
inviscid ˆin wallu n U n⋅ = ⋅ dipenuhi di *δ seperti yang dibahas di 4.6.1.
• Mengubah kondisi batas inviscid yang harus dipenuhi dipermukaan benda
menjadi 2ˆininu n U⋅ = dimana adalah u2in
U 2 di x2 = δ yang didapatkan dari solusi
persamaan lapisan batas (misalnya, dari (IM.1)).
Dengan menggunakan kondisi batas baru ini, permasalahan aliran inviscid diselesaikan
lagi untuk mendapatkan yang baru, yang kemudian digunakan untuk menyelesaikan
persamaan lapisan batas. Iterasi “viscous-inviscid” ini terus dilakukan sampai
mendapatkan solusi yang konvergen (
inU
*δ tidak berubah atau tidak berubah). 2inU
4.7 Metoda Aproximasi untuk Lapisan Batas
Di subbagian ini kita akan membahas contoh dari metoda approximasi untuk
menyelesaikan permasalahan lapisan batas. Basis dari metoda ini adalah persamaan
integral lapisan batas. Karena kasus yang kita akan bahas di sini adalah kasus2
incompresible maka persamaan integral yang menjadi basis adalah persamaan (IM
incompresible).
4.7.1 Metoda Karman – Pohlhausen
Dalam metoda ini u1 diasumsikan mempunyai bentuk,
2 3 41 ...........( )in
u a b c d e k pU
ξ ξ ξ ξ= + + + + −
di mana
)( 1
2
xx
δξ =
Lapisan Batas 166
Koefisien2 a, b, c, d, e, ditentukan dengan menggunakan kondisi2 batas. Karena ada 5
koefisien maka kita perlukan 5 kondisi batas untuk u1. Dua kondisi batas pertama adalah
kondisi batas yang biasa kita gunakan yaitu,
0)0,( 11 =xu , 1 1 1( , ) ( )inu x U xδ =
Kondisi batas ketiga didapatkan dengan mengevaluasi persamaan x1–momentum di
. 02 =x
21 1
1 2 21 2 1 2
inin
dUu uu u Ux x dx
1ux
ν∂ ∂ ∂+ = +
∂ ∂ ∂
di x2 = 0 , u1 = 0 , u2 = 0 sehingga: 2
11,2
2 1
( 0) in inU dUu xx dxυ
∂= −
∂
Dua kondisi batas terakhir didapatkan dengan memastikan bahwa tidak akan terjadi
diskontinuitas di x2 = δ . Kondisi-kondisi ini adalah:
11,
2
( )u xx
δ∂ 0=∂
dan 2
1,22
( )uu xx
δ∂ 0=∂
.
Dengan kondisi batas ini a, b, c, d, e menjadi:
0=a6
2 Λ+=b
6∆
−=c 2
2 Λ+−=d
61 Λ
−=e
di mana 2
11
( ) indUxdx
δν
Λ ≡ .
Dengan koefisien-koefisien ini, maka 1
in
uU
dalam (K – P) menjadi
( )( )
1 1
33
( , ) ( ) ( )
(1 )1 (1 )(1 )6
in in
FG
u u F GU U
ξξ
ξ ξ ξ
ξ ξξ ξ
= Λ = + Λ
−= − + − + Λ
Apabila kita gambarkan grafik F(ξ ) vs ξ dan )(ξG vs ξ hasilnya dapat dilihat di
sketsa (A) dibawah ini.
Lapisan Batas 167
Apabila kita pilih beberapa harga Λ dan gambarkan grafik 1
in
uU
v ξ maka kita
dapatkan hasil seperti digambarkan disketsa (B). Untuk kasus 12Λ > , 1 1in
uU
> dan ini
tentunya tidak mungkin. Untuk kasus Λ <-12, 1 0in
uU
< dan ini adalah kasus dimana
terjadi separasi dari lapisan batas. Aliran di daerah setelah titik separasi x1 = xs tidak
dapat diselesaikan dengan persamaan (BLI). Dari penjelasan ini maka untuk lapisan
batas harga haruslah: Λ
-12< Λ <12
walldanτθδ **, dapat dituliskan sebagai fungsi dari Λ .
11 2
01 2
1 1 2
0
111, 0
2
3* (1 ) ( )10 120
37* (1 ) ( )315 945 9072
( / )( 0) (26
in
in in
in in inwall
u xdU
u u xdU U
U u U Uu xx ξ
δ δ δδ
θ δ δδ
µτ µ µδ ξ δ=
Λ⎛ ⎞= − = −⎜ ⎟⎝ ⎠
Λ Λ⎛ ⎞= − = − −⎜ ⎟⎝ ⎠
∂∂ Λ= = =
∂ ∂
∫
∫
)+
(K- P.1)
Persamaan (K-P1) tentunya belum berguna sampai harga δ diketahui. Diperlukan
hubungan tambahan untuk menentukan harga2 wallτθδ *,*, . Hubungan ini didapatkan
dari persamaan momentum (IM.2) yang untuk kasus incompressible dapat dituliskan
seperti:
2 2
1 1
** * *1 ( ) (2 )2 *in wall
inin
dUdUdx dx U
τ θθ δ θν θ ν µ
+ + =
Lapisan Batas 168
Sekarang kita perkenalkan definisi-definisi berikut ini,
22 *
1
* indUdx
θ θλν δ
⎛ ⎞≡ = Λ⎜ ⎟
⎝ ⎠, , *wall
in
lU
τ θµ
≡ **
H δθ
≡
Dengan menggunakan definisi-definisi diatas, persamaan integral momentum dapat
dituliskan menjadi,
1
1
1 (2 )2 inin
dU ldUdxdx
λ H λ
⎛ ⎞⎜ ⎟⎜ ⎟ = − +⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠
(K-P.4)
Perlu ditekankan disini bahwa persamaan (K-P.4) kita dapatkan langsung dari
persamaan integral momentum untuk lapisan batas incompressible hanya dengan
menggunakan definisi-definisi diatas. Dengan kata lain (K-P.4), hanyalah bentuk lain
dari persamaan integral momentum untuk aliran incompressible dan persamaan ini
berlaku umum.
Sekarang kita akan lihat bentuk dari λ, l, dan H, apabila kita gunakan metoda Karman –
Pohlhausen, dimana u1 diaproksimasikan dengan menggunakan persamaan (K-P).
Dalam aproksimasi ini,
2237315 945 9072
λ⎛ ⎞Λ Λ
= − −⎜ ⎟⎝ ⎠
Λ
2
310 120
37315 945 9072
H
Λ⎛ ⎞−⎜ ⎟⎝ ⎠=
⎛ ⎞Λ Λ− −⎜ ⎟
⎝ ⎠
2
26
37315 945 9072
l
Λ⎛ ⎞+⎜ ⎟⎝ ⎠=
⎛ ⎞Λ Λ− −⎜ ⎟
⎝ ⎠
Lapisan Batas 169
Karena Uin = Uin (x1) sedangkan H = H( Λ ),λ = λ ( Λ ) dan l = l( Λ ) maka (K-P.4) adalah
persamaan diferensial yang solusinya adalah 1( )xΛ = Λ
( )
. Dengan demikian maka,
prosudur penyesaian permasalahan lapisan batas menggunakan metoda ini adalah
sebagai berikut:
1. Subtitusikan Uin (x1) ke dalam (K-P.4) dan selesaikan persamaan diferensial
tersebut untuk mendapatkan 1xΛ = Λ .
2. Gunakan definisi 2
1
indUdx
δν
Λ ≡ dan hasil dari 1.) untuk mendapatkan 1( )xδ .
3. Subtitusikan 1( )xΛ dan 1( )xδ ke dalam (K-P.1) untuk mendapatkan
walldanτθδ **,
(2 )l H
.
4.7.2 Metoda Thwaits
Persamaan (K-P.4) yang diturunkan di 4.7.1 adalah bentuk lain dari persamaan integral
momentum untuk aliran incompressible dan persamaan ini berlaku umum. Dalam
metoda Karman Pohlhausen kita lihat bahwa suku-suku sebelah kanan dari persamaan
ini, λ− + , adalah fungsi dari Λ sedangkan Λ adalah fungsi dari λ. Dengan kata
lain, hasil sebelumnya menunjukkan bahwa l dan H adalah fungsi dari λ.
Thwaits meneliti hasil-hasil experimen dari lapisan batas yang berbeda-beda dan
menemukan bahwa ketergantungan l dan H terhadap λ juga terjadi pada kasus lapisan
batas lainnya. Lebih spesifiknya ia menemukan bahwa untuk setiap lapisan batas yang
ia teliti,
( )2 (2 ) 0.45 6l H λ λ− + ≈ − .
Dengan demikian maka persamaan (K-P.4) dapat diaproksimasikan menjadi,
2
1
* 0.45 6indU
dxθ λν
⎛ ⎞≈ −⎜ ⎟
⎝ ⎠
Lapisan Batas 170
Dengan menggunakan definisi λ, persamaan diatas dapat dituliskan menjadi,
2 65
1
* 0.45inin
Ud Udx
θν
⎛ ⎞=⎜ ⎟
⎝ ⎠ (Thwaits)
Persamaan diatas dapat diselesaikan untuk mendapatkan θ* apabila Uin diketahui.
Namun, untuk mengintegrasikan persamaan ini kita perlu mengetahui kondisi awal dari
θ*. Setelah θ* didapatkan, λ dapat dihitung dengan menggunakan definisinya yaitu,
2
1
* indUdx
θλν
≡
Kemudian harga λ ini digunakan untuk mendapatkan l dan H (ingat kedua variabel ini
adalah fungsi λ) dari grafik atau rumus-rumus dibawah ini:
Apabila 0< λ <0.1 Apabila -0.1< λ <0
2
2
0.22 1.57 1.82.61 3.75 5.24
lH
λ λ
λ λ
= + −
= − +
* 0.0180.22 1.4020.107
* 0.07312.088* 0.14
wall
in
lU
H
τ θ λλµ λδθ λ
≡ = + ++
≡ = ++
Dengan diketahuinya harga l dan H, harga wallτ dan δ* dapat dihitung.
Contoh 1: Lapisan batas pelat datar
Untuk kasus ini, Uin = U∞ = konstan sehingga persamaan Thwaits menjadi, 2
1
* 0.45dUdx
θν∞
⎛ ⎞=⎜ ⎟
⎝ ⎠
Integrasikan persamaan diatas,
21 1
1
0.450.45 0.67Rex
1x x xU U x
νθ ν∗
∞ ∞
= = =
Karena Uin = konstan, λ = 0, l = 0.22, dan H = 2.61. Dari hasil-hasil ini maka,
11.75Rex
xδ ∗ = , 212
0.657Re
wallf
in x
CU
τρ
= =
Lapisan Batas 171
Hasil-hasil ini sangat dekat dengan hasil-hasil yang kita dapatkan dengan solusi
numerik ( lihat : flat plate Lapisan batas (incompressible)).
Contoh 2: Lapisan batas yang dimulai dari titik stagnasi
x1
x2
Untuk kasus ini kecepatan aliran inviscid disekitar titik stagnasi didapatkan dengan
melakukan ekspansi Taylor disekitar titik x1 = 0.
1
'1 1
1 0
( ) ....in
inin
x
dUU x x U xdx
=
+ ≡ 1
Subtitusikan ke persamaan Thwaits didapatkan,
65
2 ' 6' 51
11
* 0.45inin
U xd U xdx
θν
⎛ ⎞=⎜ ⎟⎜ ⎟
⎝ ⎠.
Integrasikan persamaan terakhir,
65
2 ' 6' 61
1* 0.075 tanin
inU x U x konsθν
= +
Untuk menapatkan harga konstanta dan ketebalan lapisan batas di titik stagnasi (θ0), kita
evaluasi persamaan diatas di x1 = 0 dimana θ* = θ0 sehingga didapatkan,
Konstan = 0 dan 0 '
0.075
inUνθ =
Lapisan Batas 172
4.8 Separasi Aliran (Inkompresible)
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk aliran Re tinggi di sekitar benda, aliran di
luar lapisan batas dapat diasumsikan sebagai aliran potensial. Namun dalam praktek
sehari-hari, kita ketahui bahwa di bagian belakang dari benda selalu terdapat daerah di
mana 0ω ≠ .
Karena kita telah ketahui bahwa ω digenerasikan/ di”produksi” di permukaan benda
(daerah didalam lapisan batas) maka ω yang terdapat di daerah belakang haruslah
berasal dari lapisan batas. Dengan kata lain vortisitas yang berada di dalam lapisan
batas “keluar” dari lapisan tipis ini dan menembus ke daerah luar. Oleh karena itu
dalam proses ini terdapat streamlines yang meninggalkan permukaan dan menembus
daerah interior fluida. Fenomena inilah yang disebut flow separation atau ’’separasi
aliran’’.
Kita telah lihat di bagian sebelumnya bahwa di dalam lapisan batas, u2 << u1. Apabila
kondisi ini terpenuhi sepanjang permukaan benda maka fluida di dalam lapisan batas
akan selalu berada di dekat permukaan benda (lapisan batas) dan separasi tidak akan
terjadi. Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat untuk terjadinya separasi adalah
u2 (setidaknya) ~ u1
Secara matematis, syarat ini berarti bahwa titik di mana separasi terjadi adalah titik
“singularity” dari persamaan (BL). (Titik singular dari sebuah persamaan adalah titik di
mana persamaan tersebut tidak lagi memberikan solusi yang mempunyai arti fisik yang
berarti. Persamaan (BL) mempunyai solusi yang berarti di daerah di mana u2 << u1
Lapisan Batas 173
karena persamaan tersebut didapatkan dengan menggunakan asumsi u2 << u1). Karena
di dalam lapisan batas
1
2
uu ~
Re1
maka untuk “keluar” dari permukaan maka u2 harus naik sebesar kurang lebih Re .
Untuk kasus Re tinggi ini berarti u2 harus naik menjadi infinite.
Sekarang kita akan gunakan kenyataan bahwa titik separasi adalah titik di mana
persamaan (BL) menjadi singular untuk mempelajari fenomena separasi. Pertama-tama
kita definisikan titik di mana separasi terjadi adalah titik (xs , 0). Jadi daerah x1 < xs
adalah daerah di depan titik separasi. Kondisi yang harus dipenuhi u2 di xs adalah
∞=),( 22 xxu s (FS.1)
karena (FS.1) maka
1
2
2sx x
ux
=
⎛ ⎞∂= ∞⎜ ⎟∂⎝ ⎠
Dari persamaan kontinuitas 02
2
1
1 =∂∂
+∂∂
xu
xu ,
∞=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
= sxxxu
11
1 atau 01
1
1 =⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
= sxxux (FS.2)
Sekarang kita definisikan :
us (x2) ≡ u1 (xs,x2).
Didaerah yang sangat dekat dengan xs, kita dapat gunakan expansi Taylor untuk
mendapatkan,
( ) ( )
( )( )1 1
221 1
1 1 21 1
21 1 1
1 ...2
s s
s s sx x x x
s s
x xx x u u u uu u
x x f x u u
= =
⎛ ⎞ ⎛ ⎞∂ ∂1− = − + −⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ ∂⎝ ⎠ ⎝ ⎠
− = −
+
atau
( ) ( ) ( )1221 xxxxuu ss −+= α (FS.3)
di mana
( )( )2
21xf
x ≡α
Lapisan Batas 174
( )
( )1
2
1
1
2
2
2 xxx
xu
xu
s −=
∂∂
−=∂∂ α
sehingga,
( )( )1
22 xx
xu
s −=
β (FS.4)
di mana
( ) ( )2 2
2 2d x x
dxβ α
≡ (FS.5)
Sekarang akan kita gunakan persamaan momentum untuk lapisan batas inkompresible,
1222
21
1 dxxxx ρ∂∂∂1
211 1 dpuuuuu ν −
∂=
∂+
∂
Dari persamaan (FS.3) dapat dilihat bahwa di x1 = xs ,
1
12 22 2 2
s
sx x
22 21 suu x x berhinggaα⎛ ⎞ ∂∂ ∂
= ⊕ − =x x x
=
⎜ ⎟∂ ∂
Selain itu,
∂⎝ ⎠
1
1dxdp
ρ juga berhingga. Tetapi
1
11 x
uu
∂∂ dan
2
12 x
uu
∂∂ adalah tak berhingga
, xxs
>> suku kanan) sehingga,
(karena 2u → tak berhingga).
Jadi di daerah dekat x
( )2
1 = xs (suku kiri
02
21
1 ∂∂ xx11 ≈
∂+
∂ uuu
u
Dari persamaan kontinuitas,
01
2
2
21
2
12
2
21 =⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
=∂∂
−∂∂
uu
xu
xu
uxu
u
Karena u1 ≠ 0 maka , 01
2
2
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
uu
x atau
( )21
2
uu
≠ xfungsi (FS.6)
Lapisan Batas 175
Dari persamaan (FS.3) dan (FS.4),
( )( ) ( )12
2
1u2
xxxuxu
ss −=
β
(suku yang terdapat α mempunyai koefisien xs-x1 yang jauh lebih kecil dari
( )1sx x− sehingga diabaikan). Karena (FS.6) menyatakan 1u 22u ≠ fungsi (x ) ,maka :
( )( ) s
s
AAxux
21
21konstan2 =⇒≡= β
β u2
Jadi,
( )( )1
22 2 xx
xAuu
s
s
−= (FS.7)
Dari (FS.5), :,2
sehinggadxdu
A s=α
( ) ( ) ( )12
221 xx
dxxdu
Axuu ss
s −+= (FS.8)
Persamaan (FS.7) dan (FS.8) memberikan u1 & u2 sebagai fungsi x1 di dekat titik
parasi (x1). Dari kedua persamaan tersebut dapat dilihat bahwa solusi persamaan (BL) se
(persamaan Prandt’l) tidak memiliki arti fisik di daerah x1 >xs karena 1xxs − menjadi
imajiner. Artinya: solusi dari persamaan Prandt’l hanya berlaku hingga x1 = xs.
Dari kondisi batas kita ketahui bahwa :
u1(x1,0) = 0 & u2(x1,0) = 0
maka dari persamaan (FS.7) dan (FS.8),
( )2
2 0
0 0, 0sduu⎛ ⎞
sxdx
=
= = (FS) ⎜ ⎟⎝ ⎠
Kedua kondisi ini harus dipenuhi di titik separasi!!!
presible telah disimpulkan bahwa
lusi dari persamaan (BL) adalah “serupa”/ ”similar” untuk seluruh Re selama aliran
dalam lapisan batas adalah aliran laminar. Jadi, posisi xs adalah sama untuk seluruh Re
Dari diskusi di bagian tentang lapisan batas inkom
so
Lapisan Batas 176
karena solusi dari persamaan (BL) tidak mengalami perubahan variabel x1 untuk setiap
perubahan Re. Karena kondisi batas menyatakan u(x1,0) = 0, di permukaan benda,
persamaan momentum (x1) untuk lapisan batas menjadi,
01022
12
22
1
==⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
xdxdp
xu
ρν
012 =
⎟⎟⎠
⎞⎛ dp⎜⎜⎝ xdx
sama dengan “sign” Oleh karena itu “sign” dari 2
22
12
xxu
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂ .
sama x2 d aka : Karena u1 > 0 & u1 naik ber i daerah di depan xs, m
00
22
12
2
>⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛∂∂
=xxu di sekitar x1 = xs
Sehingga dapat disimpuilkan bahwa,
0> 1
1⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
= sxxdxdp
Karena persamaan x2 momentum untuk lapisan batas adalah
02
=dxdp maka dapat
isimpulkan bahwa separasi aliran (separation flow) akan terjadi apabila: d
0>dxdp atau
11
0indUdx
<
(di luar lapisan batas 1
1 indUdp U= − ) indx dxρ
Di daerah di luar lapisan batas di m sial. Karena solusi
untuk aliran potensial di sekitar benda selalu terdapat 2 titik stagnasi, di depan dan
elakang, maka dapat disimpulkan bahwa separasi aliran akan terjadi di setiap kasus
ana alirannya adalah aliran poten
b
aliran di sekitar benda yang memiliki Re tinggi (pada titik stagnasi, u = 0. Apabila
terdapat 2 titik stagnasi, maka harus ada daerah di mana 0dUdx
< , yaitu di daerah
bagian belakang benda). Karena aliran di dalam lapisan batas lebih lambat dari di luar
maka ada daerah di dekat permukaan benda di mana u1 = 0 dan titik ini terdapat
Lapisan Batas 177
sebelum titik di mana U =0. Secara matematis ini berarti 02
1 =∂∂xu di titik tersebut
sehingga terjadi separasi aliran di sebuah titik x1 = xs < x1 dimana Uin = 0.
4.9 Titik-titik kritis pada permukaan Benda
Kita telah lihat bahwa di titik (kasus 2-D) atau di garis (kasus 3-D) di permukaan di
mana separasi aliran terjadi u x1 S( ,0) 0= dan 1
2dx( ,0) 0Sdu x
= . Karena “no-slip condition”
i permukaan benda maka kondisi pertama selalu terpenuhi di mana pun di permukaan
secara prinsip, prosedur untu
separasi adalah sbb. Dari persamaan (BL) atau (BLI), kita dapatkan solusi
d
benda. Namun, kondisi kedua hanya terpenuhi di titik–titik di permukaan di mana
terjadi flow separation. Jadi k menentukan posisi dan titik
dan 2 1 2( , )u x x . Dari solusi ini kita dapat hitung
1 1 2( , )u x x
).( 102
1
2
xfxu
x
=∂
∂
=
Kemudian apabila
kita nyatakan 0)( 1 =xf maka solusi dari persamaan ini memberikan kita t
separ ).S
itik–titik
asi 1( ,x x Perlu juga diingat bahwa 1 1
2
( ,0) .wallτ = gan demikian maka du xdx
µ Den
separasi alir ana harga an terjadi di m .0=wallτ
ukan secara prinsip
sangat sulit untuk dilakukan karena, seperti telah kita lihat, solusi dari persamaan (BL)
a itu informasi tentang titik
parasi dan separasi aliran biasanya didapat dengan melakukan “surface flow
Prosedur yang dijelaskan di atas dapat dilak . Namun, dalam praktik
atau (BLI) tidak dapat dicari secara analitik. Oleh karen
se
visualisation”, baik secara numerik maupun secara eksperimental. Oleh karena itu kita
perlu mempelajari aspek kualitatif dari separasi aliran karena dari aspek kualitatif inilah
kita dapatkan informasi tentang separasi aliran. Lebih spesifiknya kita perlu pelajari
“motif–motif” streamline di permukaan atau “wall-streamline pattern”, karena
informasi inilah yang kita dapatkan dari eksperimen.
Lapisan Batas 178
Di dalam subbagian ini kita akan gunakan koordinat axis seperti digambarkan di atas di
man 1 2&x x sejajar dengan permukaan sedangkan 3x adalah tegak lurus dengan
permukaan. Dalam koordinat sistem seperti ini separasi aliran terjadi di titik di mana
3
0x
=∂
atau u∂ 03
=∂∂
=xwall µτ
i dekat permukaan benda, “no-slip condition”
u
D3( 0)( 0)xu = = memungkinkan kita untuk
menyatakan, ( )13 3
lim konstan 0 di
0 wall su x x
x xτ
⎛ ⎞= = = =⎜ ⎟→ ⎝ ⎠
di mana dalam hubungan di
L’Hospital rule” karenaatas telah digunakan “ 3( 0) 0xu = = dan 3 0x = . Oleh karena
hubungan di atas, maka kita dapat tuliskan 3
ux
secara lokal sebagai ekspansi Taylor di x
koordinat atau,
3
u
u⎧ ⎫1
31 1 1 1
22 2 2 2
3
3 3 3 33
3
...
...
C xx
x a b c xu a b c xx
a b c xux
= • +
⎪ ⎪ ⎡ ⎤ ⎧ ⎫⎪ ⎪⎪ ⎪ ⎪ ⎪⎢ ⎥= +⎨ ⎬ ⎨ ⎬⎢ ⎥⎪ ⎪ ⎪ ⎪⎢ ⎥⎣ ⎦ ⎩ ⎭⎪ ⎪⎪ ⎪⎩ ⎭
(WSL. 1)
Ini dapat dilakukan apabila solusi dari persamaan Navier-Stokes di permukaan adalah
“regular” (tidak singular) dan ini adalah asumsi yang kita gunakan di sini. Koefisien –
koefisien s/d dapat kita tuliskan dengan menggunakan variabel aliran apabila
SL.1) kita subtitusikan ke dalam persamaan kontinuitas dan Navier–Stokes. Untuk
1a 3c
(W
aliran yang steady, kedua persamaan ini dapat dituliskan seperti (untuk aliran
inkompresible),
Lapisan Batas 179
0u∇ ⋅ = ,dan 2u u p uρ µ⋅∇ = −∇ + ∇
Namun, ada vector identity yang menyatakan bahwa,
( ) ( ) 2u u u∇× ∇× = ∇ ∇ ⋅ − ∇
Oleh karena itu, kedua persamaan tersebut dapat digabung sehingga,
( )( )u u p uρ µ ω⋅∇ + ∇ ∇ ⋅ − ∇×= −∇
u u P ν ω⋅∇ = −∇ − ∇× (WSL.2.a)
di mana .pP ρ≡
Apabila kita nyatakan
ξω η
ζ
⎧ ⎫⎪ ⎪≡ ⎨ ⎬⎪ ⎪⎩ ⎭
(WSL.2.b)
usikan (WSL.1) ke (WSL.2) didapatkan, maka dengan mensubtit
( )2 13 3 30, 0, 2a b c
11 1 1 2 1
2 1 2 2 2
, , 2
, , 2
Pa b c
a b
η η ν
ξ ξ νξ η
⎫= = =
2Pc
⎪⎪⎪= − = − ⎬= (WSL.3) ⎪
− ⎪= = =⎪⎭
di mana “subscript” menyatakan turunan parsial di arah tertentu seperti, 11x
ηη ∂≡
∂,
22x
ξξ ∂≡
∂, dll.
“Wall-streamline” adalah garis–garis yang paralel terhadap vektor 3 3
lim0x
ux
⎛ ⎞ Denga
demikian maka arah dari wall-streamline (streamline di permukaan) dapat ditentukan
dengan m aan,
⎜ ⎟→ ⎝ ⎠n
enyelesaikan persam
3
3
2
32 2 2 1 2 2
11 1 1 1 1 203 0
WSl xx
uxdx u a x b x N
udx u a x b x Dx=
=
⎛ ⎞⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎜ ⎟ +
= = = ≡⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ +⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎜ ⎟⎝ ⎠
Lapisan Batas 180
Dari hubungan di atas, terlihat bahwa streamline mempunyai arah yang “well-defined”
apabila N dan D tidak sama dengan nol. Di titik–titik di mana N = 0 = D disebut
“critical points” (pada titik–titik ini 2 10u u
3 3x x= = ). Pada titik-titik tersebut arah
streamline menjadi tak menentu atau “indeterminate”. Dari definisi “critical points”
maka jelaslah bahwa titik–titik separasi dan stagnasi adalah “critical points” (di titik
separasi, 3 3
lim0
0 wallu
x xτ= =
→). Sekarang kita akan lihat kemungkinan–kemungkinan
permukaan benda
pola garis aliran atau “streamline pattern” di permukaan di sekitar “critical points”. Di
( )1 2 x x plane− ,
1
3 1 1 1 1
2 2 2 22
x a b x xA
a b x xu
⎪ ⎪
3
u
x
⎧ ⎫⎡ ⎤ ⎧ ⎫ ⎛ ⎞⎪ ⎪ = ≡ ⋅⎨ ⎬ ⎨ ⎬ ⎜ ⎟⎢ ⎥⎣ ⎦ ⎩ ⎭ ⎝ ⎠⎪ ⎪
⎪ ⎪
Karena u aka persamaan di atas adalah,
⎩ ⎭
x= dan m1 1 2 2u x=
1x⎧ ⎫⎪ ⎪
3 1 1 1 1
2 2 2 22
3
x a b x xA
a b x xxx
⎡ ⎤ ⎧ ⎫ ⎧ ⎫⎪ ⎪ = ⋅⎨ ⎬ ⎨ ⎬ ⎨ ⎬⎢ ⎥=⎣ ⎦ ⎩ ⎭ ⎩ ⎭⎪ ⎪
⎪ ⎪⎩ ⎭
(WSL.4)
Pola dari wall-streamline dapat kita temukan apabila kita dapat menemukan solusi dari
WSL.4).
Dari matematika kita ketahui bahwa apabila ( )det 0A ≠ maka eigenvalue dari ( )1 2,A λ λ
tidak sama dengan nol dan matriks tersebut dapat ‘‘di diagonalkan’’. Dengan kata lain
terdapat matriks T sehingga,
1J T AT−= di mana 1
0J
2
kasus A
0λλ
⎡ ⎤= ⎢ ⎥
⎣ ⎦ , atau 1
0J
1
kasus B
1λ⎡ ⎤
λ= ⎢ ⎥
⎣ ⎦
Kasus A atau Kasus B ditentukan oleh apakah
A memiliki 2 atau 1 “linearly
independent eigenvectors”. Dengan adanya T , maka (WSL.4) dapat kita
Lapisan Batas 181
transformasikan sebagai berikut. Misalkan x T u= ⋅ di mana 1
2
xxx
⎧ ⎫≡ ⎨ ⎬
⎩ ⎭ dan 1
2u⎩ ⎭
maka ( WSL.4) m njadi :
uu⎧ ⎫
= ⎨ ⎬
e
3
1 x A xx
= ⋅ ⇒ ( )3
1 T u A T ux
⋅ = ⋅ ⋅ atau,
( )1 1
3
1 u T A T u T AT u J ux
− −= ⋅ ⋅ = ⋅ = ⋅
Dengan demikian maka persamaan yang harus diselesaikan menjadi lebih sederhana
yaitu,
11 1
3
uxu λ= , 2
2 23
u ux
λ= (Kasus A )
atau,
11u uλ 1 2
3
ux
= 21 2
3
u ux
λ=+ , (Kasus B ).
Dengan demikian maka pola dari wall-streamline di “bidang u1-u2” ditentukan oleh,
22 3 2
11 1 1
2
uxd uu
ud uuλλ
⎛ ⎞⎜ ⎟⎛ ⎞
= =⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎝ ⎠ ⎜ ⎟
( Kasus A )
3x⎝ ⎠
22 3 1 2
1 11 1 1 23 2
1
1
uxd uu
u ud uux u
λλ 1u
λ
⎛ ⎞⎜ ⎟⎛ ⎞
= = =⎜ ⎟ ⎜ ⎟ +⎝ ⎠ ⎜ ⎟⎝ ⎠
( Kasus B )
Kasus A :
+
2 2 Solusi dari 1 1d uu
κ=⎜ ⎟⎝ ⎠
adalah d uu⎛ ⎞
2 1u c u κ= *
atau apabila di mana 2 0u =1
0u = 2
1
κ λλ
≡ dan c adalah konstan integrasi.
a) 1 2dan Rλ λ ∈ (λ1, λ2 adalah bilangan riil )
Untuk kasus ini maka apabila,
Lapisan Batas 182
κ>1:
κ =1:
0<κ<1: 1
1 21 uu c
κ= di mana 1 0κ
> . Jadi streamline untuk kasus ini sama dengan
kasus κ>1 dengan axis yang dibalik .
κ < 0: 1
1
cu
u κ=
b) 1 2 & Cλλ 1∈ (λ λ2 adalah bilangan komplek)
Untuk kasus ini
dan
12λ λ= . Apabila 1 iλ α β≡ + maka,
( )11
3
u i ux
α β= + , ( )22
3
u i ux
α β= − (WSL.5)
Sekarang kita definisikan ,
( ) ( )1 211 1i u i uv ≡ + + −
( ) ( )1 22 1 1i u i uv ≡ − + +
Lapisan Batas 183
Dengan definisi ini maka ( WSL.5 ) menjadi,
11 2
3
21 2
3
v v vxv v vx
α β
β α
= −
= +
Dari dua persamaan terakhir,
1 22 1
1 1
2
2
v vdv v vdv v v
αβ
1 2v v
κβκαβ
⎛ ⎞+⎜ ⎟ +⎝ ⎠= =
β−⎛ ⎞
−
⎜ ⎟⎝ ⎠
di mana ακβ
≡ rang kita . Seka tuliskan v dengan menggunakan (r,θ)
koordinat.
1 dan v2
2 sinv r θ= cosr θ= dan 1v
Apabila kita cari dan maka, 1v 2v
11 2
vv r v
rθ= − dan 2
2 1vv r vr
θ= +
Dengan demikian maka,
1 221 2
11 2 1 2
1
1
drv vv v dv r ddrdvv v v v
r d
κ θκ
θ
⎛ ⎞+ ⎜ ⎟+ ⎝ ⎠= =− ⎛ ⎞ −⎜ ⎟
⎝ ⎠
Dari persamaan di atas maka jelaslah bahwa,
1 drr d
κθ
= atau ir ce θκ= (WSL.6 )
κ = 0: r = u lingkaran dengan radius c. c ata
Lapisan Batas 184
κ ≠ 0: (WSL.6) adalah persamaan untuk “spiral”:
Kasus B
Untuk kasus ini 1
Rλ ∈ . Solusi dari persamaan,
11
1 22
1du ud uu λ
⎛ ⎞⎜ ⎟ = +⎜ ⎟⎝ ⎠
adalah 1 2 2
1
1 ln *c cu u u uλ
= +2
. Apabila kita gambarkan streamline
di u1-u2 plane maka bentuknya seperti,
Apabila pola-pola dibidang u1-u2 atau bidang v1-v2 ini kita transformasikan lagi ke
bidang x1-x2 lagi maka pola dibidang x1-x2 akan serupa dengan pola di bidang u1-u2.
atu-satunya perbedaan adalah untuk “saddle point” misalnya, perbedaan di kedua
ebut adalah seperti di sketsa di bawah ini.
S
bidang ters
Lapisan Batas 185
Jadi dapat disimpulkan bahwa solusi dari (WSL.4) di sekitar “critical point”, yang
memberikan kita “wall-streamline pattern” di sekitar critical point ini, dapat berbentuk
node, focus, sadlle point, centre. Bentuk-bentuk yang didapatkan tergantung dari harga
λ1- λ2. Dari matematika harga λ1- λ2 dapat dihubungkan dengan matriks A karena,
( ) ( ) ( )( )1
2 21,2
1 4det2
tr A tr A Aλ⎧ ⎫⎪ ⎪⎡ ⎤= − ± −⎨ ⎬⎣ ⎦⎪ ⎪⎩ ⎭
(WSL)
di mana tr adalah “trace” dari A ”.
Sekarang hasil-hasil yang kita dapatkan dari matematika tadi dapat kita simpulkan di
dalam diagram di bawah ini,
Jadi apabila kita ketahui harga-harga dari komponen-komponen matriks A disekitar
ol ari wall-streamline di sekitar titik tersebut dapat kita
etahui dari diagram di atas.
asil dari “surface flow visualization”, apabila kita melihat
ola-pola seperti dalam diagram di atas maka kita dapat simpulkan bahwa titik di sekitar
pola tersebut adalah “critical point”. Kita tinggal tentukan apakah “critical point”
tersebut adalah titik stagnasi atau separasi.
sebuah “critical point” maka p a d
k
Dalam menginterprestasikan h
p
Lapisan Batas 186
4.9.1 Struktur-Struktur di Sekitar Critical Points
Di subbagian ini, kita akan lihat beberapa contoh dari penggunaan apa yang kita pelajari
di subbagian sebelah. Khususnya kita akan pelajari struktur-struktur di sekitar titik
separasi.
Separasi 2-D
Sebagai contoh pertama, kita akan melihat
separasi yang terjadi di aliran 2-D (“plane
flow”). Di sebelah, telah digambarkan apa
yang terjadi di sekitar titik separasi
menurut “teori lapisan batas” (gambar B)
dan “Navier Stokes” (gambar A). Menurut
3
Jadi kejadian yang sebenarnya tentunya dijelaskan oleh
lusi dari persamaan Navier-Stokes”. Di subbagian sebelah kita telah dapatkan “solusi
η = 0, P1 = 0, ξ1 = 0
teori lapisan batas, aliran di dekat permukaan secara tiba-tiba dibelokkan ke arah x .
Namun, perlu diingatkan di sini bahwa teori lapisan batas adalah aproksimasi dari
persamaan Navier-Stokes.
so
local” persamaan Navier-Stokes di sekitar “critical point” (WSL.1). Sekarang kita akan
gunakan solusi tersebut untuk menentukan sudut θ dalam gambar A.
Karena kasus ini adalah kasus 2-D, maka
Dengan demikian (WSL.1) menjadi,
⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
⎥⎥⎥
⎦⎢⎢⎢
⎣
=
⎪⎪⎭
⎪⎬
⎪⎪⎩
⎪⎨
3
2
2
2
3
3
3
20
2xx
xux
ξν
⎤⎡−⎪⎫
⎪⎧
22 Puξ
θ engambil, dapat kita dapatkan dengan mSlope dari “separation streamline” (s) atau
22
32
2
32
2232
32
0 2
2
2
2
ξν
ξ
ξν
ξ
−
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
=−
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
=
= xxP
xx
xxP
x
3
2
3
3
02
3
2
3
1
1 ⎟⎟⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜⎜⎜
⎝
⎛
=⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
= xu
xu
uu
dxdx
xxSL
Lapisan Batas 187
karena di 01 =x , θtan2
3
2
3 =≈⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛xx
dxdx
SL
maka persamaan di atas menjadi,
θξ
ν
ξ
θ
tan2
2tan22
2
−
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
= P atau 2
23tanPνξθ =
Dengan demikian apabila kita mempunya solusi dari lapisan batas maka ξ2 & P2 dapat
θ. Informasi tentang θ adalah sangat penting
karena θ adalah slope dari “sep “Separation streamline” adalah
aliran rotasional (di antara streamline tersebut
dengan permukaaan) dengan aliran irrotasional (di atas streamline tersebut).
ditentukan sehingga kita dapat tentukan
aration streamline”.
streamline yang memisahkan antara
wallτ
sendiri sama dengan nol hanya di “titik separasi” ( 1 = xs) dan dari titik inilah
“separation streamline” keluar meninggalkan permukaan membawa fluid element
dengan
x
0ω ≠ keluar lapisan batas.
Separasi yang terjadi di permukaan benda umumnya bukan separasi 2-D, seperti yang
dibahas di sebelah, namun separasi 3-D. Untuk mengerti perbedaan antara kedua jenis
separasi ini kita lihat contoh-contoh yang disketsakan di bawah ini :
Separasi 3-D
dua
Dalam kasus di mana terdapat “separation bubble” ini, terdapat dua titik “critical
points”, yaitu titik separasi xS dan titik “attachment” xA. Dalam gambar C, 2 wall-
streamline bertemu di xS untuk membentuk “separation streamline” (s). Streamline s
ini kemudian kembali lagi ke permukaan (di titik xA) kemudian terpecah menjadi
Lapisan Batas 188
ne ya ne s2).
dan attachment yang disketsakan dalam gambar C adalah kasus separasi
-D. Gambar D tidak mungkin menggambarkan separasi 2-D karena fluida diantara s1
r kearah x1. Oleh
karena itu kasus ini adalah kasus 3-D.
Selain perbedaan di atas, terdapat pula perbedaan tentang bagaimana vortisitas di
transportkan kedalam bubble. Untuk kasus 2-D, vortisitas dari lapisan batas hanya
dapat dipindahkan ke dalam “bubble” melalui cara difusi. Sebaliknya untuk kasus
separasi 3-D, vortisitas dapat masuk ke dalam “bubble” melalui konveksi yang terjad
arena terdapat fluida yang masuk langsung ke dalam bubble (fluida diantara s1 dan s2).
ational dengan aliran irrotattional. Dalam
asus separasi 3-D, kita butuhkan sebuah permukaan untuk memisahkan kedua daerah
hment seperti dalam contoh diatas. Gambar E
dalah pola disekitar critical point xS. Dari gambar ini terlihat bahwa terdapat “saddle
point” di dekat xS untuk kasus ini.
wall-streamline yang meninggalkan titik xA. Hal yang berbeda terjadi di gambar D.
Dalam gambar ini, streamline yang meninggalkan xS (streamline s1) berbeda dengan
streamli ng menuju xA (streamli
Kasus separasi
2
dan s2 akan terus menerus masuk ke dalam “bubble”. Dalam aliran 2-D ini tidak
mungkin terjadi karena ini akan melanggar kontinuitas. Agar tidak melanggar prinsip
kontinuitas maka, untuk aliran steady, fluida tersebut harus kelua
i
k
Untuk aliran dengan Re yang tinggi, proses konveksi jauh lebih dominan daripada
proses difusi. Oleh karena itu untuk aliran Re yang tinggi, proses separasi biasanya
diikuti dengan terbentuknya vortex-vortex. Separasi 2-D hanya terlihat dalam kasus-
kasus aliran dengan Re yang relative rendah.
Dalam kasus separasi 2-D terdapat sebuah streamline yaitu “separation streamline”
yang memisahkan antara daerah aliran rot
k
ini. Permukaan ini disebut “separation streamsurface”. Apabila dalam kasus separasi
2-D terdapat titik separasi (separation point) maka untuk separasi 3-D terdapat garis
separasi atau “separation line”.
Sekarang kita akan lihat “wall-streamline pattern” yang terdapat di dekat “critical
points” untuk kasus separasi dan attac
a
Lapisan Batas 189
Terlihat pula bahwa, hanya terdapat dua streamline yang mencapai titik xS yaitu s1 dan
s2. Kedua streamline inilah yang kemudian bergabung di xS untuk membentuk
streamline yang meninggalkan permukaan. Wall-Streamline lainnya (selain s1 & s2),
hanya menuju”separation line”. Dari contoh ini maka jelaslah bahwa kita dapat
identifikasikan “separation line” sebagai kurva yang dituju oleh wall-streamline.
Sepanjang “separation line” (kecuali di xS), τwall ≠ 0. Gambar F menunjukkan pola
wall-streamline” di sekitar critical point xA. Penjelasan untuk gambar ini serupa “
dengan penjelasan untuk gambar E namun arah dari tanda panah perlu diubah. Jadi
dalam gambar ini kita dapat identifikasikan “attachment line” sebagai kurva yang
ditinggalkan oleh wall-streamline.
Streamline yang terdapat di separation streamsurface disketsakan di gambar G. Di sini
terlihat bahwa seluruh streamline pada separation stream-surface ini berawal di titik xS
(critical point). Streamline di permukaan ini harus berawal di titik xS karena kita harus
memenuhi prinsip kontinuitas.
Lapisan Batas 190
Selain “saddle point”, dapat pula terlihat “focus” di sekitar critical point. “Focus” di
permukaan benda menunjukkan bahwa terdapat sebuah vortex yang berawal di
permukaan benda tersebut.
Gambar H adalah contoh di mana terdapat dua critical point di permukaan yaitu xS1
(saddle point) dan xS3 (focus). Bentuk dari streamline-streamline di separation
streamsurface juga digambarkan di sebelah kanan. Selain separation streamsurface,
juga terdapat apa yang disebut “open reattachment” (S2). Di permukaan benda, pola
wall-streamline untuk reattachment s2 tidak terdapat critical point yang jelas.
Reattachment atau separation yang seperti inilah yang disebut “open reattachment atau
separation.