bagian 1

Upload: dewida-dewet-maulidatu

Post on 15-Oct-2015

33 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

hjj

TRANSCRIPT

KASUS 1TAKUT TUA

Seorang perempuan berusia 50 tahun datang ke dokter untuk berkonsultasi semasa mudanya ia adalah seorang wanita yang energik dan menarik. Ia khawatir penampilannya akan terganggu dengan munculnya keriput dikulitnya. Selain itu ia pernah melihat orang yang seusianya ada yang menggunakan tongkat untuk berjalan. Ia juga khawatir akan menjadi seperti tetangganya yang berusia 70 tahun yang sakit-sakitan dan sering sekali berobat terkadang karena batuk terus menerus, atau sakit perut, bahkan pernah di bawa oleh keluarganya ke unit gawat darurat karena mengeluh nyeri dada.

STEP 1(Tidak ada)

STEP 21. Bagaimana klasifikasi usia lanjut?2. Jelaskan tipe kepribadian lansia!3. Bagaimana terjadinya proses penuaan?4. Perubahan apa saja yang terjadi pada lanjut usia?5. Jelaskan tentang sindrom geriatri!6. Bagaimana penegakan diagnosis pada usia lanjut?

STEP 31. Klasifikasi usiaa. WHO : - pertengahan Lanjut usia Lanjut usia tua Sangat tua

b. UU No.13 1998 Bab 1 Pasal 1Lansia > 60 tahunc. Depkes RI Masa virilitas Masa prasenium Masa senescrus

d. Fase subklinikFase transisiFase klinik2. Tipe kepribadian lansiaa. Konstruktifb. Kertergantunganc. Defensifd. Bermusuhane. Membenci atau menyalahkan diri sendiriTipe :a. Bijaksanab. Tidak puasc. Pasrahd. Bingung3. Proses penuaana. Teori radikal bebasb. Teori glikosilasic. Teori DNA repaird. Pemendekan telomerMenurut geriatri USU :a. Pemendekan telometerb. Radikal bebasc. Glikosilasi4. Perubahan :a. Biologis : sistem organb. Psikologis : kejiwaanc. Fisiologis : perubahan homestenusis5. Sindrom geriatri:a. Demensiab. Malnutrisic. Inkontinensiad. Mobilee. Immobilef. Instabilitasg. Pneumoniah. Gangguan pendengaran dan penglihatani. Iatrogenikj. Insomniak. Defisiensi imunl. Irritable colon diseasem. Kemiskinann. Depresi6. Penegakan diagnosis :a. Anamnesisb. Pemeriksaan fisik

STEP 41. Pengelompokan LansiaMenurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lanjut usia meliputi: usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) kelompok usia 60 74 tahun, lanjut usia tua (old) kelompok usia 75 90 tahun, usia sangat tua (very old) kelompok usia 90 tahun.Menurut Jos Masdani (Psikologi UI) lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa, dan menurut Koesoemato Setyonegoro pengelompokan lanjut usia sebagai berikut: usia dewasa muda (elderly adulhood) : 18 atau 20 25 tahun, usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas : 25 60 atau 65 tahun ( Nugroho, 2000 ).Batasan batasan lanjut usia menurut WHO :1. Usia pertengahan ( middle age ),ialah kelompok usia 45-59 thn.2. Lanjut usia ( elderly ) = antara 60 dan 74 tahun.3. Lanjut usia tua ( old ) = antara 75 dan 90 tahun. 4. Usia sangat tua ( very old ) = di atas 90 tahun( nugroho , 2000 ).Depkes RI : Masa virilitas: 45 54 tahun Masa prasenium: 55 74 tahun Masa senescrus: > 65 tahunFase : Subklinik: 25 35 tahun Transisi: 35 45 tahun Klinik: > 45 tahun

2. Tipe Kepribadian lansiaMenurut Kuntjoro dalam Azizah (2011) adalah sebagai berikut :1) Tipe kepribadian konstruktif (constraction personality)Orang ini memiliki integritas baik, menikmati hidupnya, toleransi tinggi dan fleksibel. Biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua, bisa menerima fakta proses menua dan menghadapi masa pensiun dengan bijaksana dan menghadapi kematian dengan penuh kesiapan fisik dan mental.2) Tipe kepribadian mandiri (independent personality)Pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power syndrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi.3) Tipe kepribadian tergantung (dependent personality)Tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi sedih yang mendalam. Tipe lansia ini senang mengalami pensiun, tidak punya inisiatif, pasif tetapi masih tau diri dan masih dapat diterima oleh masyarakat.4) Tipe kepribadian bermusuhan (hostile personality)Lanjut usia pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang tidak diperhitungkan sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menurun. Mereka menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalan, selalu mengeluh dan curiga. Menjadi tua tidak ada yang dianggap baik, takut mati dan iri hati dengan yang muda.5) Tipe kepribadian defensiveTipe ini selalu menolak bantuan, emosinya tidak terkontrol, bersifat kompulsif aktif. Mereka takut menjadi tua dan tidak menyenangi masa pensiun.6) Tipe kepribadian kritik diri (self hate personality)Pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya. Selalu menyalahkan diri, tidak memiliki ambisi dan merasa korban dari keadaan.

3. Teori Proses Menuaa. Teori Biologis Teori GenetikTeori genetik clock, teori ini merupakan teori intrinsik yang menjelaskan bahwa didalam tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan proses penuaan. Teori ini menyatakan bahwa menua itu telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu. Setiap spesies didalam inti selnya memiliki suatu jam genetik/jam biologis sendiri dan setiap spesies mempunyai batas usia yang berbeda-beda yang telah diputar menurut replikasi tertentu sehingga bila jenis ini berhenti berputar, dia akan mati.Manusia mempunyai umur harapan hidup nomor dua terpanjang setelah bulus. Secara teoritis, memperpanjang umur mungkin terjadi, meskipun hanya beberapa waktu dengan pengaruh dari luar, misalnya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit dengan pemberian obat-obatan atau tindakan tertentu.Teori mutasi somatic, menurut teori ini, penuaan terjadi karena adanya mutasi somatik akibat pengaruh lingkungan yang buruk. Terjadi kesalahan dalam proses transkripsi DNA atau RNA dan dalam proses translasi RNA protein/enzim. Kesalahan ini terjadi terusmenerus sehingga akhirnya akan terjadi penurunan fungsi organ atau perubahan sel menjadi kanker atau sel menjadi penyakit. Setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi, sebagai contoh yang khas adalah mutasi sel kelamin sehingga terjadi penurunan kemampuan fungsional sel (Suhana, 2000). Teori nongenetikTeori penurunan sistem imun tubuh (auto-immune theory), mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Mutasi yang merusak membran sel, akan menyebabkan sistem imun tidak mengenalinya sehingga merusaknya. Hal inilah yang mendasari peningkatan penyakit auto-imun pada lanjut usia (Goldstein, 1989).Proses metababolisme tubuh, memproduksi suatu zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Sebagai contoh, tambahan kelenjar timus yang pada usia dewasa berinvolusi dan sejak itu terjadi kelainan autoimun.Teori kerusakan akibat radikal bebas (free radical theory), teori radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas dan di dalam tubuh, karena adanya proses metabolisme atau proses pernapasan di dalam mitokondria. Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang tidak stabil karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif mengikat atom atau molekul lain yang menimbulkan berbagai kerusakan atau perubahan dalam tubuh. Tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan organik, misalnya karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini menyebabkan sel tidak dapat bergenerasi (Halliwel, 1994).Radikal bebas dianggap sebagai penyabab penting terjadinya kerusakan fungsi sel. Radikal bebas yang terdapat dilingkungan seperti: Asap kendaraan bermotor Asap rokok Zat pengawet makanan Radiasi Sinar ultraviolet yang mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada proses menua.

b. Teori SosiologisTeori Sosiologis tentang proses menua yang dianut selama ini antara lain: Teori Interaksi SosialTeori ini mencoba menjelaskan mengapa lanjut usia bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Kemampuan lanjut usia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci mempertahankan status sosial berdasarkan kemampuan bersosialisasi.Pokok-pokok sosial exchange theory antara lain: Masyarakat terdiri atas aktor sosial yang berupaya mencapai tujuannya masing-masing. Dalam upaya tersebut, terjadi interaksi sosial yang memerlukan biaya dan waktu. Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, seorang aktor mengeluarkan biaya.

Teori aktivitas atau kegiatan Ketentuan tentang semakin menurunnya jumlah kegiatan secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan banyak ikut serta dalam kegiatan sosial. Lanjut usia akan merasakan kepuasan bila dapat melakukan aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut selama mungkin. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup lanjut usia. Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan sampai lanjut usia.

Teori kepribadian berlanjut (continuity theory)Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan gabungan teori yang disebutkan sebelumnya. Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seorang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas yang dimilikinya. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lanjut usia. Pengalaman hidup seseorang suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat dia menjadi lanjut usia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah, walaupun ia telah lanjut usia.

Teori pembebasan/penarikan diri (disangagement theory)Teori ini membahas putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan kemunduran individu dengan individu lainnya. Pokok-pokok disangagement theory Pada pria, kehilangan peran hidup utama terjadi masa pensiun. Pada wanita, terjadi pada masa peran dalam keluarga berkurang, misalnya saat anak menginjak dewasa dan meninggalkan rumah untuk belajar dan menikah. Lanjut usia dan masyarakat menarik manfaat dari hal in karena lanjut usia dapat merasakan tekanan sosial berkurang, sedangkan kaum muda memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik.

4. Perubahan pada Lansiaa. Perubahan fisik Sistem InderaLensa kehilangan elastisitas dan kaku, otot penyangga lensa lemah, ketajaman penglihatan dan daya akomodasi dari jarak jauh atau dekat berkurang, penggunaan kacamata dan sistem penerangan yang baik dapat digunakan. Sistem pendengaran, presbiakusis (gengguan pada pendengaran) oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam (Nugroho, 2008). Sistem MuskuloskeletalPerubahan pada kolagen merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok, berjalan dan hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Azizah, 2011). Sistem Kardovaskuler dan Respirasi Masa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan ikat, konsumsi oksigen pada tingkat maksimal berkurang sehingga kapasitas paru menurun (Azizah, 2011). Paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik napas lebih berat, ukuran alveoli melebar dan jumlahnya berkurang, reflex dan kemampuan untuk batuk berkurang (Nugroho, 2008). Sistem PerkemihanMenurut Ebersole dan Hess dalam Azizah (2011), pola berkemih tidak normal, seperti banyak berkemih di malam hari, sehingga mengharuskan mereka pergi ke toilet sepanjang malam. Hal ini menunjukkan inkontinensia urin meningkat.

Sistem SarafLansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Koordinasi keseimbangan, kekuatan otot, reflek, perubahan postur dan peningkatan waktu reaksi (Surini dan Utomo dalam Azizah, 2011).

Sistem ReproduksiPerubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atrofi payudara. Pada lakilaki testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur (Watson dalam Azizah, 2011).

b. Perubahan Kognitif Memori (Daya Ingat, Ingatan)Kenangan jangka panjang, beberapa jam sampai beberapa hari yang lalu dan mencakup beberapa perubahan. Kenangan jangka pendek atau seketika (0-10 menit). Kenangan buruk (bisa kearah demensia) (Nugroho, 2008).

Intelegentia Quocient (IQ)IQ tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal. Penampilan, persepsi, dan keterampilan psikomotor berkurang. Terjadi perubahan pada daya membayangkan kerena tekanan faktor waktu (Nugroho, 2008).

Perubahan PsikososialPerubahan psikososial menurut Azizah (2011) meliputi : Pensiun Perubahan aspek kepribadian Perubahan dalam peran sosial di masyarakat Perubahan Minat dan penurunan fungsi dan potensi seksual

5. Sindrom Geriatri (SB)6. Penegakan diagnosis lansia (SB)

GERIATRI

Perubahan :BiologiFisiologispsikologisPenegakan diagnosisProses penuaanTipe kepribadian lansiaSindrom geriatriKlasifikasi usia

STEP 51. Sindrom Geriatri2. Penegakan diagnosis lansia

STEP 6 (Belajar Mandiri)

STEP 71. Sindrom GeriatriIstilah geriatri (geros = usia lanjut, iatreia = merawat/merumat), pertama kali digunakan oleh Ignas Leo Vascher, seorang dokter Amerika pada tahun 1909. Tetapi ilmu geriatri ini baru dikatakan berkembang dengan nyata pada tahun 1935 di Inggris oleh seorang dokter wanita, Marjorie Warren dari West-Middlesex Hospital yang dianggap sebagai pelopornya. Dokter ini mulai menerapkan pelaksanaan pengobatan terpadu yang lebih aktif terhadap penderita-penderita lanjut usia dilengkapi dengan latihan fisik dan rehabilitatif dengan sistematik, yang ternyata banyak berhasil baik. (Rejeki, 2011)Salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari harapan hidup penduduknya. Demikian juga Indonesia sebagai suatu negara berkembang, dengan perkembangan yang cukup baik, makin tinggi harapan hidupnya, diproyeksikan dapat mencapai lebih dari 70 tahun pada tahun 2010. (Rejeki, 2011)Menua (menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan- lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. (Rejeki, 2011)Dengan begitu secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan makin banyak terjadi distorsi metabolik dan struktural yang disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus dan kanker). (Rejeki, 2011)Sifat penyakit pada usia lanjut tidaklah sama dengan penyakit dan kesehatan pada golongan populasi usia lainnya, yaitu dalam hal: Penyakit pada usia lanjut cenderung bersifat multipel, merupakan gabungan antara penurunan fisiologik/alamiah dan berbagai proses patologik/penyakit. Penyakit biasanya berjalan kronis, menimbulkan kecacatan dan secara lambat laun akan menyebabkan kematian. Usia lanjut juga sangat rentan terhadap berbagai penyakit akut, yang diperberat dengan kondisi daya tahan yang menurun. Kesehatan usia lanjut juga sangat dipengaruhi oleh faktor psikis, sosial dan ekonomi. Pada usia lanjut seringkali terjadi penyakit iatrogenik, akibat banyak obat-obatan yang dikonsumsi (polifarmasi). (Rejeki, 2011)

Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering dijumpai baik mengenai fisik atau psikis penderita usia lanjut. Masalah-masalah kesehatan ini tergantung dari sudut pandang berbagai ahli geriatri diberi nama (istilah) sendiri-sendiri, misalnya: Menurut Cape dkk: (Rejeki, 2011)The O complex, yang terdiri dari Fall Incontinence Impaired homeostasis Confusion Iatrogenic disorders Menurut Coni dkk: (Rejeki, 2011)The Big Three yang terdiri dari Intelectual failure Instability / immobility Incontinence Menurut Solomon dkk: (Rejeki, 2011)The 13 i yang terdiri dari Immobility Instability Intelectual impairement Incontinence Isolation Impotence Immuno-deficiency Infection Inanition Impaction Insomnia Iatrogenic disorder Impairement of hearing, vision and smell Menurut Brocklehurst dkk: (Rejeki, 2011)The Geriatrics Giants yang terdiri dari Cerebral syndromes Autonomics disorders Falls Mental confusion Incontinence Bone disease and fractures Pressure soresSemua ini merupakan sindroma (kumpulan gejala) yang sering ditemukan dalam bidang ilmu penyakit lanjut usia, sehingga disebut sebagai sindroma geriatrik. (Rejeki, 2011)

1) InkontinensiaA. Inkontinensia Urina) DefinisiInkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007).

b) EtiologiPenyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Setiati dan Pramantara, 2007).Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel.a. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, demensia dan lain-lain.b. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang tidak memadai/jauh, dan sebagainya.Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi: (Setiati dan Pramantara, 2007).a. Inkontinensia akut.Biasanya reversibel, terkait dengan sakit yang sedang diderita atau masalah obat-obatan yang digunakan (iatrogenik). Inkontinensia akan membaik bila penyakit akut yang diderita sembuh atau jika obat-obatan dihentikan. Penyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang merupakan kependekan dari : D : DeliriumR : Retriksi, mobilitas, retensiI : Infeksi, inflamasi, impaksi fesesP : Pharmacy (obat-obatan), poliuri(Setiati dan Pramantara, 2007).

Golongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut termasuk diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, anti-kolinergik, agonis dan antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel blockers. Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan Pramantara, 2007).b. Inkontinensia persisten/kronik/menetap.Tidak terkait penyakit akut atau obat-obatan. Inkontinensia ini berlangsung lama. Inkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masing-masing dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan. Inkontinensia persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000): Tipe stressKeluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi karena terdapat kelemahan jaringan sekitar muara VU dan uretra. Sering pada wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai tindakan pembedahan. (Pranarka, 2000) Tipe urgensiPengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu sensasi penuhnya VU diterima oleh pusat berkemih. Terdapat gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor VU. Inkontinensia tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya stroke, demensia, sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis. (Pranarka, 2000) Tipe luapan (overflow)Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah sedikit, karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat teregang. Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain: (Pranarka, 2000) Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan penyempitan jalan keluar urin. Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya pada diabetes mellitus. Tipe fungsionalKeluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun bermacam hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe ini. (Pranarka, 2000)

c) PatofisiologiInkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:a. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria (Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter ekternal relaksasi,yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya retensi urine. Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan adalah terjadinya kontrasi kandung kemih tanpa disadari. Wanita lansia, terjadi penurunan produksi esterogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar. (Pranarka, 2000)b. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin. (Pranarka, 2000)

d) DiagnosisEvaluasi inkontinensia urin pada pasien usia lanjut merupakan upaya pendekatan klinis yang bertujuan: 1. Menetapkan ada dan tidaknya inkontinensia urin beserta tipenya, 2. Mengidentifikasi faktor penyebab yang bersifat sementara, 3. Mengidentifikasi kondisi pasien yang menghendaki rujukan ke spesialis lain, 4. Mengidentifikasi penyebab yang persisten. (Pranarka, 2000)

e) PenatalaksanaanPengelolaan inkontinensia pada penderita lanjut usia, secara garis besar dapat dikerjakan sebagai berikut:a. Program rehabilitasi antara lain Melatih respons VU agar baik lagi Melatih perilaku berkemih Latihan otot-otot dasar panggul Modifikasi tempat untuk berkemih (urinal, komodo)b. Kateterisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indwelling)c. Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi VU, estrogend. Pembedahan, misalnya untuk mengangkat penyebab sumbatan atau keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-laine. Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia. (Pranarka, 2000)

B. Inkontinensia Alvia) DefinisiInkontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air besar, menyebabkan tinja (feses) bocor tak terduga dari dubur. Inkonteinensia tinja juga disebut inkontinensia usus. Inkontinensia tinja berkisar dari terjadi sesekali saat duduk hingga sampai benar-benar kehilangan kendali. (Sudoyo, 2009)

b) Etiologi Inkontinensia alvi akibat konstipasiKonstipasi bila berlangsung lama menyebabkan sumbatan/impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Skibala akan menyumbat lubang bawah anus dan menyebabkan perubahan besar sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul, tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar. Skibala juga mengiritasi mukosa rectum, kemudian terjadi produksi cairan dan mukus, yang keluar melalui sela-sela dari feses yang impaksi, yang menyebabkan inkontinensia alvi. (Sudoyo, 2009)Langkah pertama penatalaksanaan adalah pemberian diit tinggi serat dengan cairan yang cukup dan meningkatkan aktivitas/mobilitas. Saat yang teratur untuk buang air besar dengan menyesuaikan dengan refleks gaster-kolon yang timbul beberapa menit setelah selesai makan harus dimanfaatkan, dengan mengatur posisi buang air besar pada waktu tersebut. Tempat buang air besar yang tenang dan pribadi juga akan mendukung. (Sudoyo, 2009) Inkontinensia alvi simtomatikDapat merupakan penampilan klinis dari berbagai kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia alvi simtomatik ini antara lain gastroenteritis, diverticulitis, proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulseratif, karsinoma kolon/rectum. Penyebab lain misalnya kelainan metabolik, contohnya diabetes mellitus, kelainan endokrin, seperti tirotoksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi operasi haemorrhoid yang kurang berhasil, dan prolapsis rekti. (Sudoyo, 2009)Pengobatan inkontinensia alvi simtomatik adalah terhadap kelainan penyebabnya, dan bila tidak dapat diobati dengan cara tersebut, maka diusahakan terkontrol dengan obat-obatan yang menyebabkan konstipasi. (Sudoyo, 2009)

Inkontinensia alvi neurogenikTerjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan/distensi rectum. Distensi rectum, akan diikuti relaksasi sfingter interna. Pada orang dewasa normal, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rectum karena ada hambatan/inhibisi dari pusat di korteks serebri. Bila buang air besar tidak memungkinkan, hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari terhadap kontraksi rectum dan sfingter eksternanya. Pada lanjut usia, kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang. (Sudoyo, 2009)Karakteristik tipe ini tampak pada penderita dengan infark serebri multiple, atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong feses yang sudah terbentuk di tempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan. (Sudoyo, 2009)Pengelolaan inkontinensia alvi neurogenik, dengan menyiapkan penderita pada suatu komodo (commode), duduk santai dengan ditutup kain sebatas lutut, kemudian diberi minuman hangat, relaks, dan dijaga ketenangannya sampai feses keluar. (Sudoyo, 2009) Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks analTerjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot seran lintang. Pada tipe ini, terjadi pengurangan unit-unit yang berfungsi motorik pada otot-otot daerahh sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps dari rectum. Pengelolaan tipe ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya. (Sudoyo, 2009)

c) PatofisiologiDefekasi merupakan proses fisiologis yang melibatkan (Pranarka, 2000): Koordinasi SSP dan perifer serta sistem refleks Kontraksi yang baik dari otot-otot polos dan seran lintang yang terlibat Kesadaran dan kemampuan untuk mencapai tempat buang air besarHal penting untuk mekanisme pengaturan buang air besar, yang bertugas mempertahankan penutupan yang baik dari saluran anus, yaitu (Pranarka, 2000):a. Sudut ano-rektal, yang dipertahankan pada posisi paling ideal, dibawah 100 oleh posisi otot-otot pubo-rektal.b. Sfingter anus eksterna yang melindungi terutama terhadap kenaikan mendadak dari tekanan intra-abdominal, misalnya batuk, bersin, olahraga, dan sebagainya.c. Bentuk anus sendiri yang seakan menguncup berbentuk katup, dengan otot-otot serta lipatan-lipatan mukosa yang saling mendukung.

d) DiagnosisBerat ringannya gejala inkontinensi alvi / fekal dapat dinilai dengan menggunaan skor. Beratnya inkontinensi alvi / fekal sangat berkorelasi dengan dampak kondisi ini terhadap kualitas hidup. Kebocoran dari feses padat mencerminkan kelemahan dubur yang lebih parah dari kebocoran feses cair saja. Namun, pasien biasanya lebih terganggu dengan kebocoran cairan dari feses padat. (Sudoyo, 2009)Setelah anamnesis diperoleh kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik inspeksi dubur dilanjutkan dengan pemeriksaan rektal secara digital untuk menilai fungsi otot sfingter dan puborektalis.

Tabel 1 Skala keparahan gejala Inkontinensia fekal

Skor dari 1-6, 7-10, dan 11-13 dikategorikan sebagai fecal incontinence ringan, sedang dan berat.

e) Penatalaksanaan

2) Jatuha) DefinisiJatuh adalah suatu kejadian yang di laporkan penderita atau saksi mata, dimana seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka. (Sudoyo, 2009)Jatuh sering terjadi dan dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor berperan di dalamnya, baik faktor intrinsik dalam diri lansia tersebut seperti gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkop dan dizziness, serta faktor ekstrinstik seperti lantai yang licin dan kurang rata, terantuk benda-benda yang menghalangi, penglihatan kurang karena cahaya kurang terang dan sebagainya. (Sudoyo, 2009)

b) EtiologiUntuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh: Sistem sensorikYang berperan di dalamnya adalah: visus, pendengaran, fungsi vestibuler, dan proprioseptif. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia, diduga karena perubahan fungsi vestibuler akibat proses menua. Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher dapat menganggu fungsi proprioseptif. (Sudoyo, 2009) Sistem saraf pusat (SSP)SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, parkinson, hidrosefalus dengan tekanan normal, yang diderita oleh lansia akan menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input sensorik. (Sudoyo, 2009) KognitifPada beberapa penelitian, demensia diasosiasikan dengan meningkatnya risiko jatuh. (Sudoyo, 2009) MuskuloskeletalFaktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang spesifik milik lansia, dan berperan besar terhadap terjadinya jatuh. Gangguan muskuloskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait) dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain di sebabkan oleh: Kekakuan jaringan penghubung. Berkurangnya massa otot. Perlambatan konduksi saraf. Penurunan visus/lapang padang. Kerusakan proprioseptif (Sudoyo, 2009)

Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang pendek, penurunan irama dan pelebaran langkah kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah. Perlambatan reaksi mengakibatkan seseorang susah/terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung atau kejadian mendadak, sehingga memudahkan jatuh. (Sudoyo, 2009)Secara singkat faktor risiko jatuh pada lansia di bagi dalam dua golongan besar, yaitu: Faktor-faktor intrinsik (faktor dari dalam). Faktor-faktor ekstrinsik (faktor dari luar),

c) PenatalaksanaanTujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang dan mengobati komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik, serta mengembalikan kepercayaan diri penderita yang biasanya mengalami trauma, takut jatuh lagi. Anxiety of falling akan menyebabkan imobilitas dan ketergantungan bertambah serta menambah risiko untuk jatuh lagi. (Sudoyo, 2009)Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau mengeliminasi faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik dan lain-lain), sosiomedik dan ahli lain yang terkait serta keluarga penderita. (Sudoyo, 2009)Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena perbedaan faktor-faktor yang mengakibatkan jatuh. Bila penyebab merupakan penyakit akut penanganannya menjadi lebih mudah, dan langsung menghilangkan penyebab jatuh serta efektif. Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktoral sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi dan perbaikan lingkungan. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan bepergian, penggunaan alat bantu gerak dan sebagainya. (Sudoyo, 2009)

d) Pencegahana. Identifikasi faktor resikoSetiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari faktor instrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan assessment keadaan sensorik, neurologis, muskuloskeletal yang sering menyebabkan jatuh. (Sudoyo, 2009)Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapat bergerser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat aktivitas lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak licin sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding. (Sudoyo, 2009)b. Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait)Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi. Bila goyangan badan pada saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi medis. Penilaian gaya berjalan juga harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat kelainan/penurunan. (Sudoyo, 2009)c. Mengatur/ mengatasi faktor situasional.Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita lanjut usia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara periodik. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan , faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak boleh melampaui batasan yang diperbolehgkan baginya sesuai hasil pemeriksaan kondisi fisik. Maka di anjurkan lanjut usia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadinya jatuh.(Sudoyo, 2009)

3) Depresia) DefinisiDepresi merupakan suatu gangguan mood. Mood adalah suasana perasaan yang meresap dan menetap yang dialami secara internal dan yang mempengaruhi perilaku seseorang dan persepsinya terhadap dunia (Kaplan, 2010). Depresi ialah suasana perasaan tertekan (depressed mood) yang dapat merupakan suatu diagnosis penyakit atau sebagai sebuah gejala atau respons dari kondisi penyakit lain dan stres terhadap lingkungan. Depresi pada lansia adalah depresi sesuai kriteria DSM-IV. Depresi mayor pada lansia adalah didiagnosa ketika lansia menunjukkan salah satu atau dua dari dua gejala inti (mood terdepresi dan kehilangan minat terhadap suatu hal atau kesenangan) bersama dengan empat atau lebih gejala-gejala berikut selama minimal 2 minggu: perasaan diri tidak berguna atau perasaan bersalah, berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi atau membuat keputusan, kelelahan, agitasi atau retardasi psikomotor, insomnia atau hipersomnia, perubahan signifikan pada berat badan atau selera makan, dan pemikiran berulang tentang kematian atau gagasan tentang bunuh diri. (Kaplan, 2010).

b) EtiologiKaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial. (Kaplan, 2010).a. Faktor biologi Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010). Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin biogenik sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak diteliti. Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010)Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH (Kaplan, 2010).Pada orang lanjut usia terjadi penurunan produksi hormon estrogen. Estrogen berfungsi melindungi sistem dopaminergik negrostriatal terhadap neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan methamphetamin. Estrogen bersama dengan antioksidan juga merusak monoamine oxidase (Kaplan, 2010).Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat mengalami kehilangan secara selektif pada sel sel saraf selama proses menua. Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di dalam lokus seroleus, substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius (Kaplan, 2010).Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di dalam otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada umur 80-an tahun dibandingkan dengan umur 60-an tahun (Kaplan, 2010). b. Faktor Genetik Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot (Kaplan, 2010).Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik. (Kaplan, 2010).c. Faktor Psikososial Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2010).Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010)

c) DiagnosisGangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III) yang merujuk pada ICD 10. Gangguan depresi dibedakan dalam depresi berat, sedang, dan ringan sesuai dengan banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap fungsi kehidupan seseorang (Maslim,2000). Gejala Utama Perasaan depresif Hilangnya minat dan semangat Mudah lelah dan tenaga hilang Gejala Lain Konsentrasi dan perhatian menurun Harga diri dan kepercayaan diri menurun Perasaan bersalah dan tidak berguna Pesimis terhadap masa depan Gagasan membahayakan diri atau bunuh diri Gangguan tidur Gangguan nafsu makan Menurunnya libido

Tabel 2 Tingkatan depresi

d) Penatalaksanaana. Farmakologi Tricyclic Antidepressants Obat ini membantu mengurangi gejala-gejala depresi dengan mekanisme mencegah reuptake dari norephinefrin dan serotonin di sinaps atau dengan cara megubah reseptor-reseptor dari neurotransmitter norephinefrin dan seroonin. Obat ini sangat efektif, terutama dalam mengobati gejala-gejala akut dari depresi sekitar 60% pada individu yang mengalami depresi. Tricyclic antidepressants yang sering digunakan adalah imipramine, amitryiptilene, dan desipramine (Kaplan, 2010). Monoamine Oxidase InhibitorsObat lini kedua dalam mengobati gangguan depresi mayor adalah Monoamine Oxidase Inhibitors. MAO Inhibitorsmenigkatkan ketersediaan neurotransmitter dengan cara menghambat aksi dari Monoamine Oxidase, suatu enzim yang normalnya akan melemahkan atau mengurangi neurotransmitter dalam sambungan sinaptik. (Kaplan, 2010).MAOIs sama efektifnya dengan Tricyclic Antidepressants tetapi lebih jarang digunakan karena secara potensial lebih berbahaya. (Kaplan, 2010). Selective Serotonine Reuptake InhibitorsObat ini mempunyai struktur yang hampir sama dengan Tricyclic Antidepressants, tetapi SSRI mempunyai efek yang lebih langsung dalam mempengaruhi kadar serotonin. Pertama SSRI lebih cepat mengobati gangguan depresi mayor dibandingkan dengan obat lainnya. Pasien-pasien yang menggunakan obat ini akan mendapatkan efek yang signifikan dalam penyembuhan dengan obat ini. (Kaplan, 2010).Kedua, SSRI juga mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat-obatan lainnya. Ketiga, obat ini tidak bersifat fatal apabila overdosis dan lebih aman digunakan dibandingkan dengan obat-obatan lainnya. Dan yang keempat SSRI juga efektif dalam pengobatan gangguan depresi mayor yang disertai dengan gangguan lainnya seperti: gangguan panik, binge eating, gejala-gejala pramenstrual (Kaplan, 2010). Terapi Elektrokonvulsan Terapi ini merupakan terapi yang paling kontroversial dari pengobatan biologis. ECT bekerja dengan aktivitas listrik yang akan dialirkan pada otak. Elektroda-elektroda metal akan ditempelkan pada bagian kepala, dan diberikan tegangan sekitar 70 sampai 130 volt dan dialirkan pada otak sekitarsatu setengah menit. (Kaplan, 2010).

b. Non-Farmakologi Terapi Kognitif Terapi kognitif merupakan terapi aktif, langsung, dan time limited yang berfokus pada penanganan struktur mental seorang pasien. Struktur mental tersebut terdiri ; cognitive triad, cognitive schemas, dan cognitive errors (C. Daley, 2001). Terapi Perilaku Terapi perilaku adalah terapi yang digunakan pada pasien dengan gangguan depresi dengan cara membantu pasien untuk mengubah cara pikir dalam berinteraksi denga lingkungan sekitar dan orang-orang sekitar. Terapi perilaku dilakukan dalam jangka waktu yang singkat, sekitar 12 minggu (Reus, V.I., 2004). Terapi Interpersonal Terapi ini didasari oleh hal-hal yang mempengaruhi hubungan interpersonal seorang individu, yang dapat memicu terjadinya gangguan mood (Reus, V.I., 2004). Terapi ini berfungsi untuk mengetahui stressor pada pasien yang mengalami gangguan, dan para terapis dan pasien saling bekerja sama untuk menangani masalah interpersonal tersebut (Reus, V.I., 2004).

4) DemensiaA. Demensia Alzheimera) DefinisiDefinisi Demensia menurut Whitbourne adalah suatu penyakit penurunan fungsi kognitif, gangguan intelektual, daya ingat yang semakin lama semakin memburuk (progresif) dan tidak dapat diubah (irreversible). Sedangkan menurut John W. Santrock, Alzheimer adalah suatu gangguan otak yang progresif dan tidak dapat dibalik, yang dicirikan dengan kemorosotan secara perlahan dari ingatan, penalaran, bahasa, dan tentunya fungsi fisik. (Sudoyo, 2009)Oleh karena itu, demensia Alzheimer adalah demensia yang disebabkan oleh Alzheimer, yang berarti demensia yang disertai oleh perubahan patologis di otak penderitanya dengan waktu penyebaran sekitar 5 sampai 20 tahun yang diakhiri dengan kematian. (Sudoyo, 2009)

b) EtiologiPenyebab penyakit Alzheimer sampai saat ini masih belum pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diperkirakan dan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bukti yang sejalan, yaitu: (Sudoyo, 2009) UsiaBertambahnya usia memang menjadi salah satu faktor resiko paling penting seseorang menderita penyakit Alzheimer. Walaupun begitu penyakit Alzheimer ini dapat diderita oleh semua orang pada semua usia. Namun 96% diderita oleh individu yang berusia 40 tahun keatas. (Sudoyo, 2009) GenetikFaktor genetik merupakan faktor resiko penting kedua setelah faktor usia. Individu yang memiliki hubungan keluarga yang dekat dengan penderita beresiko dua kali lipat untuk terkena Alzheimer. Pada penderita early onset umumnya disebabkan oleh faktor turunan. Tetapi secara keseluruhan kasus ini mungkin kurang dari 5% dari semua kasus Alzheimer. Sebagian besar penderita Downs Syndrome memiliki tanda-tanda neuropatholigic Alzheimer pada usia 40 tahun. (Sudoyo, 2009) Jenis kelaminBerdasarkan jenis kelamin, maka prevalensi wanita yang menderita Alzheimer lebih banyak tiga kali lipat dibandingkan pria. Hal ini mungkin disebabkan karena usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan dengan pria. (Sudoyo, 2009) PendidikanSeseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki faktor pelindung dari resiko menderita Alzheimer, tetapi hanya untuk menunda onset manifestasi klinis. Hal ini disebabkan karena edukasi berhubungan erat dengan intelegensi, oleh karena itu ada juga penderita dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Tetapi beberapa ahli mengatakan bahwa kemampuan linguistik seseorang lebih baik dalam hal menjadi prediktor daripada edukasi. (Sudoyo, 2009) Trauma kepalaBeberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara penyakit Alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles. (Sudoyo, 2009)

c) Patofisiologia. Faktor genetikBeberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer iniditurunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garispertama pada keluarga penderita alzheimer mempunyai resiko menderitademensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol normal. Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familialearly onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximallog arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokuspada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrom memempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahunterdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan penurunan Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer. (Sudoyo, 2009)Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyakit alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer. (Sudoyo, 2009)b. Faktor infeksiAda hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluargapenderita alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat, kronik dan remisi. (Sudoyo, 2009)Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer. Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain, manifestasi klinik yang sama, tidak adanya respon imun yang spesifik, adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat, timbulnya gejala mioklonus, adanya gambaran spongioform (Sudoyo, 2009)c. Faktor lingkunganEkmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antar alain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum (Sudoyo, 2009)adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas. (Sudoyo, 2009)Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks) danmenyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron. (Sudoyo, 2009)d. Faktor traumaBeberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles. (Sudoyo, 2009)e. Faktor neurotransmiterPerubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting seperti asetilkolin, noradrenalin, dopamin, serotonin, MAO (Monoamine Oksidase). (Sudoyo, 2009)

d) Diagnosis Terdapatnya gejala demensia Onset bertahap dengan deteriorasi lambat.Onset biasanya sulit ditentukan waktunya yang persis tiba-tiba orang lain sudah menyadari adanya kelainan tersebut. Dalam perjalanan penyakitnya dapayt terjadi suatu taraf yang stabil secar nyata. Tidak adanya bukti klinis atau temuan dari pemeriksaan khusus yang menyatakan bahwa kondisi mental itu dapat disebabkan ooleh penyakit otak atau penyakiat sistemik lainnya yang dapat menimbulkan demensia (misalnya hipotiroidisma, hiperkalsemia, defesiensi vitamin B12, defesiensai niasin, neurosifilis, hidrosefalus bertekanan normal, atau hematoma subdural) Tidak adanya serangan apoplektik yang mendadak atau gejala neurologic kerusakan otak fokal seperti hemiparesis, hilangnya hendaya sensoroik, defek lapang pandang mata, dan inkoordinasi yang terjadi dalam masa dini dari gangguan itu.(Sudoyo, 2009)

e) PenatalaksanaanPengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dankeluarga. (Sudoyo, 2009)Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan. Inhibitor kolinesteraseBeberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untukpengobatan simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimerdidapatkan penurunan kadar asetilkolin.Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan antikolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA(tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaikimemori danapraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa penelitimenatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburukpenampilan intelektual pada orang normal dan penderita alzheimer. (Sudoyo, 2009) ThiaminPenelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkanpenurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate(75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal padanukleus basalis. Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hariselama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsikognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama. (Sudoyo, 2009) NootropikNootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaikifungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian4000 mg pada penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna. (Sudoyo, 2009) KlonidinGangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkankerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yangmerupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2mg peroral selama 4 minggu, didapatkan hasil yang kurang memuaskanuntuk memperbaiki fungsi kognitif. (Sudoyo, 2009) HaloperiodolPada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi,halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita alzheimer menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline25-100 mg/hari). (Sudoyo, 2009) Acetyl L-Carnitine (ALC)Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam miktokomdriadengan bantuan enzym ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase.Pada pemberian dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan,disimpulkan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitaskerusakan fungsi kognitif. (Sudoyo, 2009)

B. Demensia Vasculara) DefinisiDemensia vaskular adalah penurunan kognitif dan kemunduran fungsional yangdisebabkan oleh penyakit serebrovaskuler, biasanya stroke hemoragik dan iskemik, jugadisebabkan oleh penyakit substansia alba iskemik atau sekuale dari hipotensi atau hipoksia. (Sudoyo, 2009)Baru-baru ini terdapat kontroversi dalam diagnosis demensia vaskuler. Pada abad ke 20,demensia pada orang lanjut usia diduga berasal dari vaskular tetapi penelitian autopsi danneuroimaging menunjukkan banyak kasus demensia pada orang lanjut usia di Eropa danAmerika Utara adalah dampak dari penyakit Alzheimer. Walaupun begitu, beberapa individumengalami gangguan kognitif sebagai akibat dari stroke. Kebanyakan dari pasien inimenunjukkan tanda klinis seperti afasia atau disfungsi visual dan defisit neurologis ini jarangdikelirukan dengan penurunan kognitif karena demensia. (Sudoyo, 2009)Banyak orang lanjut usia dengan penurunan kognitif yang progresif mempunyai vaskularyang patologi dan perubahan yang berhubungan dengan Alzheimer secara bersamaan. Padapasien ini, terdapat kombinasi patologi penyakit Alzheimer dan vaskular sehingga sukar untukmenentukan penyebab prinsip dari demensia. (Sudoyo, 2009)

b) EtiologiPenyebab utama dari demensia vaskular adalah penyakit serebrovaskular yang multipel, yangmenyebabkan suatu pola gejala demensia. Gangguan terutama mengenai pembuluh darahserebral berukuran kecil dan sedang, yang mengalami infark menghasilkan lesi parenkimmultipel yang menyebar pada daerah otak yang luas. Penyebab infark termasuklah oklusipembuluh darah oleh plak arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh sepertikatup jantung. Pada pemeriksaan, ditemukan bruit karotis, kelainan funduskopi, atau pembesarankamar jantung. (Sudoyo, 2009)Selain itu, faktor resiko demensia vaskular adalah: Usia lanjut Hipertensi Merokok Penggunaan alkohol kronis

c) PatofisiologiSemua bentuk demensia adalah dampak dari kematian sel saraf dan/atau hilangnyakomunikasi antara sel-sel ini. Otak manusia sangat kompleks dan banyak faktor yang dapatmengganggu fungsinya. Beberapa penelitian telah menemukan faktor-faktor ini namun tidakdapat menggabungkan faktor ini untuk mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana demensiaterjadi. Pada demensia vaskular, penyakit vaskular menghasilkan efek fokal atau difus pada otak danmenyebabkan penurunan kognitif. Penyakit serebrovaskular fokal terjadi sekunder dari oklusivaskular emboli atau trombotik. Area otak yang berhubungan dengan penurunan kognitif adalahsubstansia alba dari hemisfera serebral dan nuklei abu-abu dalam, terutama striatum danthalamus.Mekanisme demensia vaskular yang paling banyak adalah infark kortikal multipel, infarksingle strategi dan penyakit pembuluh darah kecil. (Sudoyo, 2009)

Gambar 1 sel otak pada Demensia

Demensia multi-infark: kombinasi efek dari infark yang berbeda menghasilkanpenurunan kognitif dengan menggangu jaringan neural Demensia infark single: lesi area otak yang berbeda menyebabkan gangguan kognitifyang signifikan. Ini dapat diperhatikan pada kasus infark arteri serebral anterior, lobusparietal, thalamus dan satu girus Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan dua sindrom major, penyakit Binswanger danstatus lakunar. Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan dinding arteri,pengembangan ruangan Virchow-Robin dan gliosis parenkim perivaskular Penyakit lakunar disebabkan oleh oklusi pembuluh darah kecil dan menghasilkan lesikavitas kecil di otak akibat dari oklusi cabang arteri penetrasi yang kecil. Lakunae ini ditemukan lebih sering di kapsula interna, nuklei abu-abu dalam, dan substansia alba.Status lakunar adalah kondisi dengan lakunae yang banyak, mengindikasikan adanyapenyakit pembuluh darah kecil yang berat dan menyebar Penyakit Binswanger (juga dikenal sebagai leukoencephalopati subkortikal) disebabkanoleh penyakit substansia alba difus. Pada penyakit ini, perubahan vaskular yang terjadiadalah fibrohialinosis dari arteri kecil dan nekrosis fibrinoid dari pembuluh darah otakyang lebih besar.(Sudoyo, 2009)

d) Diagnosisa. Anamnesis Riwayat kesehatanDitanyakan faktor resiko demensia. Misalnya untuk demensia vaskular ditanyakan riwayat seperti hipertensi, diabetes melitusdan hiperlipidemia. Juga riwayat stroke atau adanya infeksi SSP. (Sudoyo, 2009) Riwayat obat-obatan dan alkoholAdakah penderita peminum alkohol yang kronik atau pengkonsumsi obat-obatanyang dapat menurunkan fungsi kognitif seperti obat tidur dan antidepresangolongan trisiklik. (Sudoyo, 2009) Riwayat keluargaAdakah keluarga yang mengalami demensia atau riwayat penyakitserebrovaskular. (Sudoyo, 2009)b. Pemeriksaan fisikPada demensia, daerah motorik, piramidal dan ekstrapiramidal ikut terlibat secara difus maka hemiparesis atau monoparesis dan diplegia dapat melengkapkan sindromdemensia. Apabila manifestasi gangguan korteks piramidal dan ekstrapiramidal tidaknyata, tanda-tanda lesi organik yang mencerminkan gangguan pada korteks premotorikatau prefrontal dapat membangkitkan refleks-refleks. Refleks tersebut merupakanpetanda keadaan regresi atau kemunduran kualitas fungsi. (Sudoyo, 2009)c. Pemeriksaan MMSEAlat skrining kognitif yang biasa digunakan adalah pemeriksaan status mentalmini atau Mini-Mental State Examination (MMSE). Pemeriksaan ini berguna untukmengetahui kemampuan orientasi, registrasi, perhatian, daya ingat, kemampuan bahasadan berhitung. Defisit lokal ditemukan pada demensia vaskular sedangkan defisit globalpada penyakit Alzheimer. (Sudoyo, 2009)

e) Penatalaksanaana. Tatalaksana komprehensif Terapi SuportifBerikan perawatan fisik yang baik, misalnya nutrisi yang bagus, kacamata, alat bantu dengar, alat proteksi (untuk anak tangga, kompor, obat-obatan) dan lain-lain. Sewaktu-waktu mungkin perlu pembatasan/pengekangan secara fisik. (Sudoyo, 2009)Pertahankan pasien berada dalam lingkingan yang sudah dikenalnya dengan baik, jika memungkinkan. Usahakan pasien dikelilingi oleh teman-teman lamanya dan benda-benda yang biasa ada di dekatnya. Tingkatkan daya pengertian dan partisipasi anggota keluarga. (Sudoyo, 2009)Pertahankan keterlibatan pasien melalui kontak personal, orientasi yang sering (mengingatkan nama hari, jam, dsb). Diskusikan berita aktual bersama pasien. Pergunakan kalender, radio, televisi. Aktifitas harian dibuat terstruktur dan terencana. (Sudoyo, 2009)Bantulah untuk mempertahankan rasa percaya diri pasien. Rawatlah mereka sebagai orang dewasa (jangan perlakukan sebagai anak kecil, jaga dignity dari pasien-komentar penerjemah). Rencana diarahkan kepada kekuatan/kelebihan pasien. Bersikaplah menerima dan menghargai pasien. (Sudoyo, 2009)Hindari suasana yang remang-remang, terpencil; juga hindari stimulasi yang berlebihan. Terapi SimtomatikKondisi pasien psikiatrik memerlukan obat-obatan dengan dosis yang sesuai : Ansietas akut, kegelisahan, agresi, agitasi: Haloperidol 0,5 mg per oral 3 kali sehari (atau kurang); Risperidon 1 mg peroral sehari. Hentikan setelah 4-6 minggu. Ansietas non psikotik, agitasi: Diazepam 2 mg per oral dua kali sehari, venlafaxin XR. Hentikan setelah 4-6 minggu. Agitasi kronik: SSRI (misal Fluozetine 10-20 mg/hari) dan atau Buspiron (15 mg dua kali sehari); juga pertimbangkan Beta Blocker dosis rendah. Depresi: pertimbangkan SSRI dan anti depresan baru lainnya dahulu; dengan Trisiklik mulai perlahan-lahan dan tingkatkan sampai ada efek misal Desipramin 75-150 mg per oral sehari. Insomnia: hanya untuk penggunaan jangka pendek.(Sudoyo, 2009) Terapi Khusus:Identifikasi dan koreksi semua kondisi yang dapat diterapi. Tidak ada terapi obat khusus untuk demensia yang ditemukan bermanfaat secara konsisten, walaupun banyak yang sedang diteliti (misal vasodilator serebri, antikoagulan, stimulan metabolik serebri, oksigen hiperbarik). Perubahan perilaku dan berbagai aspek psikologis pada orang dengan demensia merupakan problem tersendiri bagi keluarga. Tidak jarang hal ini membuat suasana kacau dan mengakibatkan stres bagi pelaku rawat (caregiver). Untuk itu perlu adanya strategi penanganan yang tepat agar gangguan perilaku pada demensia seperti agitasi, wandering, depresi, delusi paranoid, apatis, halusinasi, dan agresivitas (verbal/fisik) dapat diatasi. Strategi tatalaksana meliputi pengembangan program aktivitas dan pemberian obat bila perlu. Program aktivitas meliputi stimulasi kognitif, mental, dan afektif yang dikemas dalam bentuk yang sesuai untuk pasien tersebut. (Sudoyo, 2009)Tatalaksana demensia harus disesuaikan dengan tahapan demensia, kondisi lingkungan, dan sumber-sumber dukungan yang ada (fisik maupun finansial), sarana terapi yang tersedia, serta harapan pasien dan keluarganya. (Sudoyo, 2009)b. Prevensi dan RehabilitasiDi tingkat sekunder, pencegahan progresivitas penyakit dilakukan dengan pemberian obat yang dapat menahan laju perkembangan demensia. Dalam hal ini diperlukan keteraturan dan kesinambungan obat dalam jangka waktu lama. (Sudoyo, 2009)Pada tingkat tersier, upaya pencegahan perburukan fungiskognitif dilakukan dengan program aktivitas dan stimulasi (jangan berlebihan atau di luar batas kemampuan individu), terapi kenangan (reminiscence), validation, snoezelen, penyesuaian lingkungan dan latihan orientasi realitas. Rehabilitasi kognitif dalma hal ini bererti mengawetkan (preserve) fungsi-fungsi (aset) kognitif yang masih ada, bukan mengembalikan kepada fungsi semula. (Sudoyo, 2009)

5) Imobilisasia) DefinisiImobilisasi adalah keadaan tidak bergerak atau tirah baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat fungsi fisiologik. Imobilisasi seringkali tidak bisa dicegah, namun beberapa komplikasi akibat imobilisasi dapat dicegah. (Sudoyo, 2009)

b) Etiologi

100

Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Rasa lemah seringkali disebabkan oleh malnutrisi, gangguan elektrolit, tidak digunakannya otot, anemia, gangguan neurologis atau miopati. (Sudoyo, 2009)Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan otot pada usia lanjut. Penyakit Parkinson, arthritis gout, dan obat-obatan antipsikotik dapat menyebabkan juga kekakuan otot pada usia lanjut. Rasa nyeri baik darii tulang (osteoporosis, osteomalasia, Pgets disease, metastase kanker tulang, trauma), sendi (arthritis rheumatoid dan gout), otot (polimalgia) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi. (Sudoyo, 2009)Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi tentu sangat penting menyebabkan terjadinya imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan juga dapat menyebabkan terjadinya imobilisasi. (Sudoyo, 2009)Efek samping pada obat dapat menyebabkan gangguan pada mobilisasi, namun biasanya tidak termodifikasi oleh petugas kesehatan. (Sudoyo, 2009)

c) Komplikasi TrombosisTrombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vakular perifer yang penyebabnya bersifat multifaktorial, meliputi faktor genetic dan lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan risiko thrombosis vena dalam yaitu adanya luka di vena dalam karena trauma atau pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan berbagai kondisi yang menyebabkan meningkatnya risiko pembekuan darah. (Sudoyo, 2009)Imobilisasi akan menyebabkan terjadinya akumulasi leukosit teraktivasi dan akumulasi trombosit yang teraktivasi. Kondisi tersebut menyebabkan gangguan pada sel endotel dan juga memudahkan terjadinya thrombosis. Selan itu, imobilisasi yang menyebabkan timbulnya hipoksia local pada sel endotel yang selanjutnya akan menimbulkan activator faktor X dan merangsang akumulasi leukosit dan trombosit. (Sudoyo, 2009) Emboli ParuEmboli paru dapat diakibatkan oleh banyak faktor seperti emboli air ketuban, emboli udara, dan sebagainya. Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu reflex tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan napas berhenti secara tiba-tiba. Emboli paru sebagai akibat thrombosis merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada psien di rumah sakit, terutama pasien usia lanjut. (Sudoyo, 2009) Kelemahan OtotImobilisasi yang lama akan mengakibatkanatrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan otot. Penurunan otot diperkirakan 12% sehari. Kelemahan otot aibat imobilisasi seringkali terjadi berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh. Terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan atrofi otot yaitu perubahan biologis proses menua itu sendiri, akumulasi penyakit akut dan kronik, serta malnutrisi. (Sudoyo, 2009) Osteoporosis Osteoporosis timbul akibat ketidakseimbangan antara reorpsi tulang dan pembentukan tulang, meningkatkan kadar kalsium serum, menghambat sekresi PTH, dan produksi D3 aktif. Faktor utama yang menyebabkan kehilangan massa tulang pada imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi tulang. Massa tulang menurun tetapi komponen rasio antara matriks inorgenik dan organic tidak berubah. (Sudoyo, 2009) Ulkus DekubitusPasien imobilisasi umumnya tidak bergerak pada malam hari karena tidak adanya gerakan aktif maupun pasif. Tekanan akan memberikan pengaruh pada daerah kulit sacral etika Dalam posisi berbaring. Aliran darah akan terhambat pada daerah kulit yang tertekan menghasilkan anoksia jaringan dan nekrosis. Tekanan yang menyebabkan kompresi pembuluh darah dalam waktu lama akan menyebabkan thrombosis intra-arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan pada keadaan tersebut mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan pada akhirnya akan terbentuk luka akibat tekanan. (Sudoyo, 2009)

Gambar2. Stadium luka tekan pada imobilisasi.Untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30 derajat, penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. (Sudoyo, Aru W. 2009)

Gambar 3. Tempat yang sering megalami ulkus dekubitus.

d) DiagnosisAnamnesis riwayat penyakiit dan pemeriksaan fisik sangatt penting dilakukan dalam mengkaji pasien imobilisasi. Beberapa informasi yang perlu diketahui diantaranya berapa lamanya mengalami disabilitas yang menyebabkan imobilisasi, penyakit yang mempengaruhi mobilisasi, dan pemakaian obat-oabatan untuk mengeliminasi masalah iatrogenesis yang menyebabkan imobilisasi. Adanya keluhan nyeri perlu dikaji secara rutin. Pengkajian faktor psikologis, eperti deprsei, rasa takut, serta pengkajian lingkungan penting untuk dilakukan. Pemeriksaan terhadap kulit penting untuk dilakukan karena untuk mengidentifikasi adanya ulkus dekubitus. (Sudoyo, 2009)Status kardiopulmonal, khususnya volume intravascular dan perubahan tekanan darah dan nadi akibat perubahan posisi penting untuk diketahui sebagai dasar untuk penatalaksanaan imobilisasi. Pengkajian musculoskeletal secara rinci seperti evaluasi kekuatan dan tekanan otot, gerakan sendi, serta adanya masalah pada kaki (lesi dan deformitas pada kaki) penting juga untuk dilakukan. (Sudoyo, 2009)

6) Insomniaa) DefinisiDalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth edition (DSM-IV), insomnia didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk mengawali tidur, mempertahankan tidur, bangun terlalu dini atau tidur yang tidak menyegarkan. (Sudoyo, 2009)

b) EtiologiPertambahan umur menyebabkan terjadinya perubahan pola tidur. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya insomnia akan tetapi pertambahan umur tidak menjadi faktor mutlak timbulnya insomnia pada usia lanjut. Perubahan pola tidur yang terkait dengan usia terjadi pada Sleep Architecture dan Ritme sirkadian. (Sudoyo, 2009) Sleep Architecture Tidur normal terdiri dari 5 tahap yaitu tahap 1 sampai 4 adalah non-rapid eye movement (NREM) dan tahap yang terakhir adalah Rapid eye movement (REM) . Tahap 1 dan 2 disebut tidur ringan sedangkan tahap 3 dan 4 disebut tidur dalam/slow wave sleep/delta sleep. Dari tahap 1-4 akan terjadi peningkatan kedalaman tidur. REM memiliki perbedaan dengan NREM karena pada REM terdapat peningkatan aktivitas simpatetik, pergerakan mata yang cepat, bermimpi dan peningkatan kedalaman serta frekuensi nafas. Tidur normal diawali dengan tidur NREM dilanjutkan dengan tidur REM. Siklus NREM dan REM berulang secara periodik setiap 90-120 menit. (Sudoyo, 2009)Pertambahan umur menyebabkan terjadinya perubahan dalam tahapan tidur. Pada kenyataanya, meskipun mereka mempunyai waktu yang cukup untuk tidur tetapi terjadi penurunan kualitas tidur. Pada usia lanjut terjadi penurunan tidur tahap 3, tahap 4, tahap REM dan REM laten tetapi mengalami peningkatan tidur tahap 1 dan 2. Perubahan ini menimbulkan beberapa efek yaitu: kesulitan untuk mengawali tidur, menurunnya total sleep time, sleep efficiency, transient arousal dan bangun terlalu dini. (Sudoyo, 2009) Ritme sirkadian Fungsi dari sistem organ makhluk hidup diatur oleh ritme sirkadian selama 24 jam. Ritme sirkadian mengatur siklus tidur, suhu tubuh, aktivitas saraf otonum, aktivitas kardiovaskuler dan sekresi hormon. Pusat pengaturan ritme sirkadian adalah suprachiasmatic nucleus (SCN) di hipotalamus. Faktor yang mempengaruhi kerja dari SCN adalah cahaya, aktivitas sosial dan fisik.4 Pada saat cahaya masuk ke retina maka neuron fotoreseptor SCN akan teraktivasi. SCN akan merangsang pineal gland untuk mensekresikan melatonin, yang menimbulkan rasa lelah.1 Penurunan fungsi dari SCN berkaitan dengan pertambahan umur. Pada usia lanjut yang mengalami penurunan fungsi SCN akan menyebabkan terjadinya gangguan pada ritme sirkadian.4 Gejala akibat gangguan ritme sirkadian adalah ketidakmampuan untuk tidur meskipun terdapat rangsangan. Hal ini menyebabkan pasien bangun dan tidur pada waktu yang tidak tepat, peningkatan resiko insomnia dan peningkatan frekuensi tidur. Penurunan fungsi SCN diduga disebabkan oleh penurunan paparan cahaya, aktivitas fisik dan sosial saat memasuki usia lanjut (Sudoyo, 2009)Insomnia pada usia lanjut bersifat multifaktorial, selain faktor biologik diatas ada beberapa faktor komorbid yang dapat menyebabkan terjadinya insomnia pada usia lanjut. Insomnia sekunder pada usia lanjut dapat disebabkan oleh faktor komorbid yang terdiri dari : nyeri kronis, sesak nafas pada penyakit paru obstruktif kronis, gangguan psikiatri (gangguan cemas dan depresi), penyakit neurologi (Parkinsons disease, Alzheimer disease), dan obat-obatan (beta-bloker, bronkodilator, kortikosteroid dan diuretik) (Sudoyo, 2009)

c) Patofisiologi

d) PenatalaksanaanEvaluasi klinik terhadap pasien usia lanjut dengan gangguan pola tidur memerlukan pemeriksaan yang komprehensif dan upayaterintegrasi dari semua tim pelayanan kesehatan. Unsur-unsur dari riwayat yang lebih rinci memerlukan data dari pasien, pasien lain, keluarga dan petugas kesehatan. (Sudoyo, 2009)Terapi untuk gangguan pola tidur pada usia lanjut sebaiknya secara konservatif dengan penekanan pada meminimalkan penanganan terhadap pasien. Setiap intervensi merupakan bahaya yang akan dikerjakan terhadap pasien.Setiap intervensi merupakan bahaya yang potensial dan pemeliharaan terhadap kondisi fungsional pasien merupakan tujuan dari terapi. Manipulasi lingkungan dan penyebab eksternal yang potensial merupakan pendekatan yang terbaik. Berbagai tindakan non-spesifik yang disebut higiene tidur dapat memperbaiki pola tidur. Konseling diperlukan untuk mewujudkan latihan higiene tidur yang dapat mengurangi terapi menggunakan obat-obatan. Terapi menggunakanobat dapat diberikan setelah menentukan diagnosis pasien usia lanjut. Untuk insomnia jangka pendek (short term) dapat diberikan Triazolam 0,125 0,25 mg atau jenis benzodiazepin lainnya yang bekerja cepat dan hilang cepat dari tubuh. Sedangkan untuk insomnia jangka panjang (long term) diberikan neuroleptika dengan dosis kecil seperti klorpromazin, levomepromazin dan tioridazin. Pada pasien usia lanjut dengan insomnia dan depresi, diberikan antidepresan jenis tetrasiklik, serotonin selective receptor inhibitor (SSRI), dan monoamino oxisidase inhibitor (MAOI), misalnya Maprotiline 10 25 mg, Fluxetine 20 mg pada pagi hari atau Moclobemide dua kali 150 mg. Penyerapan, pengolahan dan ekskresi obat pada usia lanjut mengalami perlambatan. Oleh karena itu perlu diperhatikan agar obat yang diberikan selalu dimulai dengan dosis efektif terkecil sehingga tidak menimbulkan efek kumulatif yang berbahaya. (Sudoyo, 2009)

7) Pneumoniaa) DefinisiPneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pneumonia termasuk dalam infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) dan merupakan ISNBA yang paling sering ditemukan. (Sudoyo, 2009)Pneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi penularan, yaitu komunitas, rumah sakit (nosokomial) atau pusat perawatan kesehatan (nursing home). Pneumonia yang berasal dari pusat perawatan kesehatan tidak dimasukan dalam golongan pneumonia nosokomial karena pada pusat perawatan kesehatan memiliki penghuni yang bervariasi dimana terdapat penghuni yang masih berfungsi secara penuh hingga penghuni yang hanya terbaring ditempat tidur. (Sudoyo, 2009)

b) EtiologiTerdapat lebih dari 100 mikroba (bakteri, virus, jamur, protozoa, dan parasit lainnya) yang dapat menyebabkan pneumonia komunitas. S. Pneumoniae adalah penyebab tersering dari Pneumonia komunitas pada lansia, dengan presentasi > 50% dari seluruh kasus pneumonia. (Sudoyo, 2009)Streptococcus Pneumoniae adalah penyebab tersering dari Pneumonia komunitas pada lansia. Lebih dari 50% kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme ini, dan 60% kasus yang disebabkan oleh S. Pneumoniae ini membutuhkan perawatan di rumah sakit. Masalah yang dihadapi oleh petugas medis saat ini adalah merawat pasien dengan pneumonia komunitas yang disebabkan oleh S. Pneumoniae yang sudah resisten terhadap berbagai macam obat. Apabila pada hasil kultur didapatkan S. Pneumoniae yang resisten terhadap penicilin (MRSA) maka bakteri tersebut memiliki kemungkinan resisten terhadap tiga atau lebih kelas obat. Saat ini, 12-25% S. Pneumoniae yang dikultur di amerika utara telah resisten terhadap penisilin. Di komunitas lain, tingkat resistensi dari penisilin jauh lebih tinggi. Di amerika serikat dan kanada diperkirakan 20% S. Pneumoniae telah resisten terhadap eritromisin dan makrolid lainnya. (Sudoyo, 2009)

c) PatofisiologiTerdapat tiga rute masuknya patogen ke dalam parenkim paru yaitu, hematogen, airborne, dan mikroaspirasi. Rute tersering adalah melalui mikroaspirasi. Penyebaran secara hematogen mungkin disebabkan akibat adanya infeksi saluran kemih pada lansia. Patogen berupa bakteri biasanya masuk ke dalam paru melalui aspirasi flora di mulut atau melalui inhalasi droplet kecil (diameter 28x/menit menandakan pneumonia. Foto rontgen dada dapat sulit dinilai pada pasien lansia, terutama bila foto dalam posisi AP. Terdapat setidaknya 25% kemungkinan perbedaan hasil penilaian foto antara ahli radiologi dan dokter yang memeriksa. CT scan dada sangatlah akurat untuk menentukan diagnosis dari pneumonia, akan tetapi tidak dapat dilakukan pada seluruh pasien yang diduga mengalami pneumonia.Tabel Frequency of Various Signs and SymptomsAdults withCommunity-Acquired Pneumonia

Symptoms and Signs%

Respiratory SignsCough Dyspnea Sputum production Pleuritic chest pain Hemoptysis8575735720

Non-Respiratory SignsFatigue Fever Anorexia Chills Sweats Headache Myalgia+ Nausea Sore throat Confusion Vomiting Diarrhea Abdominal pain 90827372705045402938323029

SignsAltered mental status*Respiratory rate (30/min)Heart rate (125/min)Temperature