bab_ii_fix_bgt

Upload: novrendi-pajaan

Post on 08-Jul-2018

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/19/2019 BAB_II_fix_bgt

    1/14

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Tinjauan Pustaka

    1. Infeksi Luka Operasi

    Infeksi yang timbul di tempat luka hasil dari prosedur

    infasive operasi disebut sebagai infeksi luka operasi. Keadaan klinis

    infeksi luka operasi sangatlah beragam, mulai dari luka yang timbul

    discharge tanpa komplikasi lebih jauh, sampai dengan keadaan yang

    mengancam jiwa (NICE, 2008). Munculnya infeksi luka operasi

    bergantung dari kontaminasi area luka pada akhir prosedur operasi,

    patogenitas dan adanya kolonisasi dari mikroorganisme, serta keadaan

    imunitas host. Mikroorganisme penyebab infeksi luka operasi bisa

    berasal dari endogenous dan exogenous . Infeksi endogenous berasal

    dari flora normal kulit ataupun traktus digestivus pada pembedahan

    appendisitis perforasi dan tifoid perforasi (Widjosena dan Gardjito,

    2005). Sedangkan infeksi eksogenous berasal dari instrumen atau

    lingkungan sekitar yang mengkontaminasi luka operasi yang masih

    terbuka. Penyebab lain infeksi luka operasi berasal dari implan yang

    terkontaminasi dan menyebar secara hematogen, tetapi sangat jarang

    ditemukan (NICE, 2008).

    a. Kriteria Infeksi Luka Operasi

    Kulit mempunyai beberapa flora normal yang bisa

    menyebabkan infeksi, sehingga untuk mendeteksi infeksi luka

    operasi tidak hanya dari pemeriksaan mikrobiologi tetapi juga perlu

    dilihat dari gejala klinis yang timbul (NICE, 2008).

    4

  • 8/19/2019 BAB_II_fix_bgt

    2/14

    5

    Menurut kriteria yang didefiniskan oleh Center for Disease

    Control and Prevention (CDC) (Horan et al., 1992), infeksi luka

    operasi di golongkan menjadi :

    1) Infeksi Luka Operasi Insisi Superfisial

    Infeksi timbul dalam 30 hari pascaoperasi dan infeksi

    hanya meliputi jaringan kutan dan subkutan setidak-tidaknya

    terdapat salah satu dari :

    a) Terdapat cairan purulen dengan ataupun tanpa

    pemeriksaan laboratorium yang berasal dari insisi

    superfisial.

    b) Terdapat organisme dari kultur cairan atau jaringan yang

    berasal dari insisi superfisial.

    c) Didapatkan minimial 1 dari gejala infeksi : nyeri, bengkak,

    kemerahan, atau panas walaupun kultur didapatkan

    negatif.

    d) Diagnosis insisi superfisial infeksi luka operasi ditegakkan

    oleh dokter bedah.

    2) Infeksi Luka Operasi Insisi Dalam

    Infeksi timbul dalam 30 hari pascaoperasi bila tidak

    terdapat implan, atau dalam 1 tahun apabila terdapat implan.

    Adanya hubungan antara infeksi dengan operasi yang

    dilakukan serta melibatkan jaringan lunak bagian dalam,

    seperti otot dan fasia. Ditambah sekurang-kurangnya terdapat

    satu dari :

    a) Cairan purulen dari insisi dalam tetapi bukan dari organ

    atau rongga di area insisi.

    b) Insisi dalam yang telah dilakukan secara spontan pecah atau

    dibuka secara hati-hati oleh dokter bedah ketika pasien

    setidak-tidaknya mengalami salah satu gejala : demam

    (>38 oC), nyeri yang terlokalisasi, walaupun kultur

    didapatkan negatif.

  • 8/19/2019 BAB_II_fix_bgt

    3/14

    6

    c) Terdapat abses atau ditemukan bukti infeksi lain saat

    dilakukan pemeriksaan, saat operasi ulang, atau dari

    pemeriksaan histopatologi maupun radiologi.

    d) Diagnosis infeksi luka operasi insisi dalam ditegakkan oleh

    dokter bedah.

    3) Infeksi Luka Operasi Organ/Rongga

    Infeksi timbul dalam 30 hari pascaoperasi apabila tidak

    terdapat implan atau dalam 1 tahun apabila terdapat implan.

    Adanya hubungan antara infeksi dengan prosedur operasi serta

    melibatkan organ atau rongga selain di tempat insisi yang telah

    dibuka atapun dimanipulasi saat prosedur operasi dilakukan.

    Ditambah sekurang-kurangnya terdapat satu dari :

    a) Terdapat cairan purulen yang berasal dari tempat

    dilakukannya penusukan ke organ/ rongga tersebut.

    b) Terdapat organisme dari kultur cairan atau jaringan yang

    berasal dari organ/rongga.

    c) Terdapat abses atau ditemukan bukti infeksi lain yang

    melibatkan rongga/organ saat dilakukan pemeriksaan, saat

    operasi ulang, atau dari pemeriksaan histopatologi maupun

    radiologi.

    d) Diagnosis infeksi luka operasi organ/rongga ditegakkan

    oleh dokter bedah.

    b. Faktor Risiko

    Risiko terkena infeksi luka operasi meningkat oleh faktor-

    faktor sebagai berikut (NICE, 2008):

    1) Meningkatnya risiko kontaminan secara endogen

    Risiko terkena infeksi luka operasi akan lebih tinggi bila

    dilakukan di bagian tubuh yang memiliki konsentrasi flora

    normal yang tinggi. Misalnya, dibagian dalam abdomen .

  • 8/19/2019 BAB_II_fix_bgt

    4/14

    7

    2) Meningkatnya risiko kontaminan secara eksogen

    Semakin lama prosedur operasi dilakukan, maka semakin

    lama jaringan yang terbuka terpapar di dunia luar. Ini

    menyebabkan risiko terkontaminasi menjadi lebih tinggi.

    Semakin lama pasien berada di rumah sakit sebelum ataupun

    sesudah operasi juga meningkatkan risiko untuk terjadinya

    infeksi luka operasi (De et al., 2013; Leong et al., 2006).

    3) Imuntas tubuh host yang menurun

    Menurunnya imunitas akan menyebabkan tubuh menjadi

    lebih rentan terkena infeksi. Penurunan daya tahan tubuh bisa

    terjadi di berbagai macam keadaan. Misalnya, pada penyakit

    diabetes mellitus. Hiperglikemia mempunyai beberapa efek

    terhadap fungsi sistem kekebalan tubuh, yang paling menonjol

    adalah terhadap fungsi neutrofil. Tidak terkontrolnya glukosa

    darah pada saat operasi ataupun sebelum operasi akan

    meningkatkan risiko infeksi luka operasi hingga sepsis (De et

    al., 2013). Keadaan lain yang bisa menurunkan fungsi daya

    tahan tubuh di antaranya malnutrisi, ataupun pada pasien yang

    sedang menjalani terapi imunosupresan dengan radioterapi,

    kemoterapi dan steroid. Daya tahan tubuh juga bisa mengalami

    penurunan pada respon secara lokal, sebagai contoh masuknya

    benda asing, jaringan yang mengalami kerusakan, dan

    terbentuknya hematoma.

    Faktor risiko yang telah disebutkan mungkin memiliki angka

    signifikansi yang berbeda di setiap prosedur operasi. Ini terjadi

    karena studi tentang faktor risiko pada infeksi luka operasi baru

    tersedia menggunakan jenis analisis regresi, sedangkan untuk RCT

    yang membutuhkan komparabilitas diantara kelompok-kelompok

    masih belum tersedia.

    Ketika pasien menjadi suspek infeksi luka operasi, apakah itu

    infeksi baru atau dikarenakan terapi yang gagal, maka pasien

  • 8/19/2019 BAB_II_fix_bgt

    5/14

    8

    tersebut harus diberikan antibiotik yang sesuai dengan organisme

    penyebab. Pemberian antibiotik juga harus mempertimbangkan

    pola resistensi lokal dan hasil dari uji mikrobiologi (NICE, 2008).

    c. Jenis Luka Operasi

    Klasifikasi jenis luka operasi merupakah hal yang krusial bagi

    pasien yang dilakukan prosedur pembedahan dikarenakan

    klasifikasi tersebut bisa memprediksi risiko untuk terjadinya infeksi

    luka operasi dan risiko lain terkait luka operasi. Informasi

    mengenai jenis luka pasien dikumpulkan oleh perawat yang

    bertugas dan didokumentasikan diakhir dari prosedure operasi.

    Sistem klasifikasi tersebut dibuat untuk membantu klinisi

    mengidentifikasi dan mendeskripsikan derajat dari kontaminasi

    bakteri pada luka operasi saat dilakukannya prosedur pembedahan.

    Berikut adalah klasifikasi dari luka operasi (Zinn et al., 2014) :

    1) Class I: Clean

    Luka operasi tidak terinfeksi dimana tidak ditemukan

    adanya inflamasi, serta prosedur pembedahan tidak memasuki

    wilayah traktus respiratorius, traktus gastrointestinal, dan

    traktur urogenital.

    2) Class II: Clean-contaminated

    Luka operasi yang dilakukan pembedahan pada wilayah

    traktus respiratorius, traktus gastrointestinal, dan traktur

    urogenital yang dilakukan pada kondisi terkontrol serta tanpa

    adanya kontaminasi dan infeksi atau adanya prosedur yang

    tidak steril pada proses operasi.

    3) Class III: Contaminated

    Luka terbuka yang baru dan insidental dari prosedur operasi

    dengan adanya tindakan yang tidak steril. Insisi dilakukan pada

    saat akut dan ditemukannya inflamasi nonpurrulent (termasuk

  • 8/19/2019 BAB_II_fix_bgt

    6/14

    9

    adanya jaringan nekrotik tanpa adanya bukti discharge yang

    purulen, contohnya gangren yang sudah mengering).

    4) Class IV: Dirty

    Luka traumatik yang lama tidak ditangani. Prosedur

    pembedahan dilakukan dengan adanya infeksi terlebih dahulu

    (discharge purulen sudah terdapat dalam luka) atau adanya

    perforasi dari visera.

    2. Bakteri Penghasil Extended Spectrum β -Lactamase (ESBL)

    a. Definisi ESBL

    Klasifikasi β -Lactamase umumnya didasarkan menurut 2

    skema : skema klasifikasi molekular Amblere (1991) dan sistem

    klasifikasi fungsional Bush-Jacoby-Medieros (1995). Pembagian

    menurut Amblere didasarkan pada protein homology (persamaan

    asam amino), dan bukan pada karakteristik fenotipnya.

    Pembagian digolongkan ke dalam empat kelas. A, C, dan D

    adalah serine β -lactamase . Sedangkan, kelas B adalah metallo- β -

    lactamase . Berbeda dengan Amblere, Bush-Jacoby-Medeiros

    mengklasifikasikan β -lactamase menurut kesamaan

    fungsionalnya (profil substrat dan inhibitor). Terdapat empat grup

    utama dan beberapa subgrup di sistem pengklasifikasian ini.

    Belum ada kesepakatan yang jelas tentang definisi dari

    ESBL. Biasanya definisi kerja yang digunakan adalah bahwa

    ESBL merupakan β -lactamase yang bisa menyebabkan bakteri

    resisten terhadap penisilin, generasi pertama, kedua, dan ketiga

    dari cephalosphorin, dan aztreonam (tidak dengan cephamycins

    atau carbapenem) melalui hidrolisis dari antibiotik, yang mampu

    di inhibisi oleh clavulanic acid (Paterson dan Bonomo, 2005).

    Dalam pengklasifikasian Bush-Jacoby-Medeiros, ESBL

    dimasukkan ke dalam grup 2be. Pengertian dari 2b adalah bahwa

    enzim yang dihasilkan diturunkan dari grup 2b (TEM-1, TEM-2,

  • 8/19/2019 BAB_II_fix_bgt

    7/14

    10

    dan SHV- 1). Sedangkan, e dari 2be dimaksudkan bahwa β -

    laktamase yang dihasilkan merupakan extended spectrum . Enzim

    yang berasal dari grup 2b mampu menghidrolisis penisilin dan

    ampisilin, dan beberapa carbenicillin atau cephalothin derajat

    rendah. Tetapi enzim tersebut tidak mampu menghidrolisis

    cephalosporin spektrum luas atau aztreonam. TEM-1 merupakan

    yang paling umum terdapat pada plasmid bakteri enterik basil

    gram negatif, contohnya E. Coli, sedangkan SHV-1 diproduksi

    paling banyak oleh K. Pneumoniae .

    ESBL merupakan turunan dari TEM-1, TEM-2, atau SHV-1

    yang berbeda sedikitnya 1 asam amino dari progenitornya.

    Sehingga, mengakibatkan perubahan dalam aktivitas enzimatik

    ESBL, menyebabkan ESBL bisa menghidrolisis cephalosporin

    generasi ketiga dan aztreonam (Paterson dan Bonomo, 2005) .

    b. Deteksi ESBL

    Metode untuk deteksi produksi ESBL secara laboratorium

    berdasar kepada National Committee for Clinical Laboratory

    Standards (NCCLS). Kleibsiella spp., E. coli dan P. Mirabilis

    yang menghasilkan ESBL secara klini bisa resisten terhadap

    penicilin, cephalosporin, atau aztreonam, walaupun secara in vitro

    sensitif terhadap antibiotik tersebut. Beberapa strain akan

    menunjukkan zona inhibisi di bawah dari populasi pada

    umumnya, tetapi di atas standard breakpoint untuk beberapa

    cephalosporin spektrum luas atau aztreonam. Strain tersebut harus

    dilakukan tes skrining karena berpotensi menghasilkan ESBL.

    Strain lainnya bisa menunjukkan hasil intermediate atau resisten

    menurut standard breakpoint terhadap antibiotik cephalosporin

    spektrum luas atau aztreonam (NCCLS, 2007). Deteksi ESBL

    bisa dilakukan melalui skrining terlebih dahulu menggunakan

    metode difusi dengan antibiotik cephalosporin generasi ketiga.

  • 8/19/2019 BAB_II_fix_bgt

    8/14

    11

    Lalu dilanjutkan dengan tes konfirmasi fenotip dengan metode

    difusi kombinasi cephalosporin/clavulanat ataupun dengan broth

    microdilution . Selain itu, secara komersil juga bisa menggunakan

    E test dan Vitek test (Paterson dan Bonomo, 2005).

    1) Metode difusi Kombinasi Cephalosporin/Clavulanat

    CLSI ( Clinical and Laboratory Standards Institute )

    menggunakan cefotaxime (30µg) atau cakram ceftazidime

    (30µg) dengan atau tanpa clavulanat (10µg) untuk konfirmasi

    fenotip adanya ESBL pada Klebsiella dan E. Coli . Media

    yang direkomendasikan adalah agar Mueller-Hinton. Apabila

    terdapat perbedaan ≥5mm pada agen antimikroba yang

    dikombinasikan dengan klavulanat terhadap agen

    antimikroba yang tanpa dikombinasikan klavulanat, maka

    merupakan konfirmasi fenotip adanya produksi ESBL

    (NCCLS, 2007).

    2) Vitek

    Tes ESBL dengan Vitek (bioMerieuxVitek, Hazelton,

    Missouri) menggunakan cefotazime dan ceftazidime saja dan

    kombinasi dengan asam klavulanat. Inokulasi yang dilakukan

    sama dengan reguler Vitek. Analisis dari sumur akan

    dilakukan secara otomatis ketika pertumbuhan di sumur

    kontrol mencapai ambang threshold (inkubasi 4-15 jam).

    Apabila ada hambatan pertumbuhan yang lebih besar di

    sumur yang berisi cefotaxime atau ceftazidime dengan asam

    klavulanat dibandingkan dengan pertumbuhan di sumur yang

    hanya mengandung cephalosporin, maka hal tersebut

    merupakan indikasi hasil yang positif. Sensitivitas metode

    vitek mencapai 90%. Deteksi ESBL dengan menggunakan

    Vitek lebih mudah karena bisa langsung terintegrasi dengan

  • 8/19/2019 BAB_II_fix_bgt

    9/14

    12

    alur kerja laboratorium yang sudah memakai Vitek (Paterson

    dan Bonomo, 2005).

    c. Terapi Infeksi Bakteri Penghasil ESBL

    Infeksi yang disebabkan bakteri penghasil ESBL

    menyebabkan kebingungan dalam terapi yang harus diberikan

    dikarenakan sangat terbatasnya pilihan antibiotik yang tersedia.

    ESBL menyebabkan bakteri resisten terhadap antibiotik beta-

    laktam termasuk cephalosporin spektrum luas, aztreonam, dan

    penicilin spektrum luas. Lebih jauh lagi, antibiotik seperti

    trimethoprim-sulfametoxazole dan aminoglikosida terutama

    gentamisin sering mengalami co-transferred resistensi plasmid,

    menghasilkan multidrug resisten .

    Carbapenem merupakan obat yang dijadikan pilihan untuk

    terapi berdasarkan studi kesensitivitasan secara in vitro serta dari

    pengalaman klinis. Studi observasional klinis telah menunjukkan

    mortalitas pasien bacterimia penghasil ESBL yang diterapi

    menggunakan carbapenem lebih rendah dibandingkan dengan

    antibiotik kombinasi lainnya. Fluoroquinolone juga bisa menjadi

    pilihan terapi pada infeksi bakteri penghasil ESBL yang lebih

    ringan seperti pada infeksi saluran kemih (MSIDC, 2001). Selain

    itu, terdapat pilihan terapi lain berupa antibiotik golong

    betalaktam dengan kombinasi inhibitor β -lactamase seperti

    cefoperazone/sulbactam dan amoxicillin/clavulanic acid

    (Stratchounski, 2002).

    3. Lidah Buaya ( Aloe vera L.)

    Aloe vera L. merupakan salah satu tanaman obat tertua yang

    telah diketahui manusia. Aloe vera L. pada awalnya dimasukkan ke

    dalam famili Liliaceae dan Aloeaceae atau bisa disebut juga

    Asphodelaceae. Tetapi APG III system (2009) Aloe vera L.

  • 8/19/2019 BAB_II_fix_bgt

    10/14

    13

    dimasukkan ke dalam famili Xanthorrhoeceaceae, subfamili

    Asphodeloideae. Nama Aloe diturunkan dari bahasa arab ‘alloeh’

    yang berarti ‘pahit’ karena cairan pahit yang ditemukan di daunnya.

    Menurut Nduka dalam Etusim et al. (2013) Aloe vera L. juga dikenal

    sebagai ‘lily of the desert’ karena tanaman ini tidak pernah mati dan

    juga sebagai alternatif tanaman obat.

    Aloe vera L. mempunyai berbagai nama sinonim dalam

    taksonominya, yaitu Aloe barbadensis Mill., Aloe humilis Blanco,

    Aloe indica Royle, nom. nud., Aloe perfoliata var. vera L., Aloe

    vulgaris (GRIN, 2002). Sedangkan dalam bahasa Indonesia biasa

    disebut lidah buaya atau lidah boyo (Untung et al., 2009)

    a. Anatomi

    Aloe vera L. merupakan tanaman yang berbentuk segitiga,

    dengan daun yang gemuk berdaging dan pinggiran yang bergerigi.

    Setiap daun terdiri dari tiga lapisan : (1) Bagian dalam berupa gel

    jernih yang mengandung 99% air dan sisanya terdiri dari

    glukomannan, asam amino, lemak, sterol dan viramin. (2) Lapisan

    tengah berupa latex berupa getah kuning yang pahit mengandung

    anthraquinon dan glikosida. (3). Lapisan terluar merupakan lapisan

    tebal terdiri dari 15-20 sel yang disebut kulit yang berfungsi

    sebagai pelindung dan mensintesis karbohidrat serta protein. Di

    dalam kulit ini juga terdapat xylem dan floem yang berfungsi

    sebagai alat transport air dan pati (Tyler, 1993).

    b. Habitat

    Aloe vera L. dapat hidup di cakupan tempat yang luas, mulai

    dari hutan, bebatuan, hingga pinggiran tebing. Aloe vera L. juga

    dapat hidup di berbagai ketinggian, mulai dari setinggi permukaan

    laut hingga 3500 di atas permukaan laut (Reynolds, 2004). Sangat

    http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?2518http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?2518http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?457425http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?457425http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?423718http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?423718http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?318686http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?318686http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?318686http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?318686http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?400019http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?400019http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?400019http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?400019http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?400019http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?318686http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?423718http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?457425http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?2518

  • 8/19/2019 BAB_II_fix_bgt

    11/14

    14

    baik apabila tumbuh dengan sinar matahari yang cukup. Aloe vera

    L. akan terhambat pertumbuhannya pada suhu di bawah 32 oF.

    c. Kandungan

    Aloe vera L. mengandung hingga 75 bahan aktif yang sangat

    potensial (Atherton 1998). Aloe vera L. mengandung vitamin A

    (beta-carotene), C dan E, yang mana vitamin ini merupakan zat

    antioksidan yang berfungsi menghilangkan radikal bebas. Aloe vera

    L. juga mengandung B12, asam folat, dan kolin. Selain itu, Aloe

    vera L. juga mengandung beberapa enzim : aliase, alkalin pospat,

    amilase, bradikinase, carboxypeptidase, catalase, cellulase , lipase,

    dan peroksidase. Bradikinase membantu mengurangi inflamasi

    pada kulit jika digunakan secara topikal, sedangkan enzim yang

    lain membantu pemecahan gula dan lemak. Zat mineral yang

    terkandung di Aloe vera L. berupa kalsium, kromium, tembaga,

    selenium, magnesium, mangan, potassium , sodium, dan zinc.

    Bahan mineral ini penting untuk fungsi enzim sehingga membantu

    proses metabolisme. Aloe vera L. juga mengandung monosakarida

    (glukosa dan fruktosa) yang merupakan turunan dari polisakarida

    yang biasa disebut mukopolisakarida. Monosakarida yang paling

    banyak dihasilkan adalah glukomannan. Belakangan, ditemukan

    glikoprotein anti alergi yang juga antiinflamasi yaitu C-glucosyl

    chromone (Ro et al., 2000). Aloe vera L. menghasilkan 12

    antraquinon yang merupakan komponen fenol yang dahulunya

    sering diapakai sebagai obat pencuci perut. Aloin dan emodoin

    bersifat sebagai analgesik, antibakteri, dan antivirus. Di samping

    itu, Aloe vera L. juga mengandug asam lemak berupa kolesterol,

    campesterol, β -sisosterol, dan lupeol yang berfungsi sebagai anti

    inflamasi, antiseptic, dan analgesik. Hormon uxin gibberelin yang

    juga membantu penyembuhan luka juga dihasilkan oleh Aloe vera

    L. Bahan lainnya, seperti asam salisilat yang berfungsi sebagai anti

  • 8/19/2019 BAB_II_fix_bgt

    12/14

    15

    inflamasi dan antibakteri, serta lignin yang jika di gunakan secara

    topikal akan menambah efek penetrasi ke dalam kulit. Serta

    terdapat saponin yang mempunyai efek pembersih dan juga

    antiseptik (Surjushe et al., 2008).

    d. Daya Antimikroba Aloe vera L.

    Efektivitas dari Aloe vera L. sebagai agen antibakteri

    menunjukkan cakupan yang luas terhadap bakteri gram positif

    maupun gram negatif. Agen antimikroba dari Aloe vera L.

    dilaporkan terbukti efektif membunuh ataupun menghambat

    pertumbuhan dari Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae,

    Streptococcus pyogenes, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia

    coli, Propionibacterium acne, Helicobacter pylori dan Salmonella

    typhi (Lawless dan Alan, 2000; Pugh et al., 2001; Reynolds dan

    Dweck, 1999; Urch, 1999).

    Kandungan pyroacethol yang merupakan phenol

    terhidroksilasi dikenal toksik terhadap mikroorganisme (Cowan,

    1999; Kametani et al., 2007). Banyaknya tempat hidroksilasi pada

    phenol diduga berpengaruh terhadap toksisitasnya, sehingga

    semakin banyak terhidroksilasi maka toksisitas terhadap

    mikroorgganisme semakin meningkat. Lebih jauh lagi, phenol juga

    berperan dalam denaturasi protein dan merusak membran sel.

    Phenol berperan sebagai disinfektan, tubercoloidal, yang efektif

    dalam penggunaan topikal bahkan setelah pemakaian yang lama

    (Lawrence et al., 2009).

    Kandungan lainnya adalah cinnamic acid yang diduga

    berperan dalam menghambat pengambilan glukosa dan produksi

    ATP pada bakteri (Kouassi dan Shelef, 1998). Aktivitas antibakteri

    dari pcoumaric acid dilaporkan meningkatkan phase-lag dari

    mikroorganisme (Baranowski, 1980) dan juga bisa menghambat

    aktivitas enzimatik bakteri (Weir et al., 2004). Ascorbic acid juga

  • 8/19/2019 BAB_II_fix_bgt

    13/14

    16

    diduga mampu menghambat mikroorganisme melalui membran sel,

    aktivitas enzim, atau mekanisme genetik (Frazier dan Westhoff,

    1995). Saponin juga memiliki sifat antibakteri dengan mekanisme

    penurunan tegangan permukaan membran sitoplasma sel bakteri

    sehingga menurunkan permeabilitas membran sel. Saponin mampu

    melarutkan lipid pada lipoprotein bakteri yang menyebabkan

    penurunan tegangan permukaan lipid sehingga bakteri menjadi

    tidak normal dan lisis (Robinson dan Trevor, 1995; Manito dan

    Paolo, 1992)

    B. Kerangka Pemikiran

    Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran

    Luka o erasi

    cephalosporingenereasi satu,dua, dan ketiga,serta aztreonam

    Pilihan antibiotikterbatas, sulit

    didapat, mahal(carbapenem)

    Keterangan:

    : Menghasilkan/Menyebabkan: Menghambat: Resistensi

    Pemakaianantibiotik yangtidak rasional

    Kontaminansecara endogen Menurunnya

    imunitas hostKontaminansecara eksogen

    Infeksi lukaoperasi

    Infeksi ESBL

    Perbaikan

    Pengambilanglukosa dan

    produksi ATPterganggu

    Aktivitasenzimatikterganggu

    Cinnamic acid

    Pcoumaric acid

    ascorbid acid

    Alternatif pengobatan yang

    murah dan mudah didapat

    (Aloe vera)

    Membran selrusak

    Saponin, pyroachetol,ascorbic acid

  • 8/19/2019 BAB_II_fix_bgt

    14/14

    17

    C. HipotesisAda aktivitas antibakteri ekstrak daun lidah buaya ( Aloe vera L.)

    terhadap pertumbuhan bakteri penghasil ESBL pada isolat infeksi luka

    operasi.