bab_ii

25
BAB II BAB II AKHLAK DALAM KELUARGA (1) AKHLAK DALAM KELUARGA (1) A. Urgensi keluarga dalam Membangun Masyarakat Dalam kehidupan modern sekarang ini, terdapat suatu kecenderungan kuat di kalangan masyarakat khususnya generasi muda mengikuti gaya hidup sekuler dan “ke-Barat- barat-an”, baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Hal itu dapat diamati maupun dirasakan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa. Dalam konteks ini, seringkali terdengar orang mempertanyakan tentang relevansi kehidupan berkeluarga harus dengan pernikahan. Mengapa harus menikah? Elaborasi pertanyaan seperti ini biasanya lalu menghasilkan teori-teori transformatif yang berfungsi untuk menjelaskan dinamika yang sedang terjadi dan memberikan “insight” mengenai perubahan dan transformasinya. Kehadiran Modernisasi yang bernuansa Westernisasi dan Sekularisasi di samping berdampak pada tergencetnya agama secara institusional maupun intuitif, juga menawarkan nilai-nilai baru yang lebih rasional dan pragmatis dari pada nilai-nilai tradisional sebelumnya. Dalam kehidupan yang serba relatif atau didasarkan pada 23

Upload: m-novim-wildy-s

Post on 14-Nov-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jancok

TRANSCRIPT

DASAR-DASAR ISLAM

BAB II

AKHLAK DALAM KELUARGA (1)A. Urgensi keluarga dalam Membangun MasyarakatDalam kehidupan modern sekarang ini, terdapat suatu kecenderungan kuat di kalangan masyarakat khususnya generasi muda mengikuti gaya hidup sekuler dan ke-Barat-barat-an, baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Hal itu dapat diamati maupun dirasakan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa. Dalam konteks ini, seringkali terdengar orang mempertanyakan tentang relevansi kehidupan berkeluarga harus dengan pernikahan. Mengapa harus menikah? Elaborasi pertanyaan seperti ini biasanya lalu menghasilkan teori-teori transformatif yang berfungsi untuk menjelaskan dinamika yang sedang terjadi dan memberikan insight mengenai perubahan dan transformasinya.

Kehadiran Modernisasi yang bernuansa Westernisasi dan Sekularisasi di samping berdampak pada tergencetnya agama secara institusional maupun intuitif, juga menawarkan nilai-nilai baru yang lebih rasional dan pragmatis dari pada nilai-nilai tradisional sebelumnya. Dalam kehidupan yang serba relatif atau didasarkan pada nilai-nilai kenisbian, orang semakin bingung oleh cerita Romeo dan Juliet, seraya bertanya-tanya, Mengapa mereka berdua tidak pergi saja dan hidup bersama tanpa nikah (kumpul kebo), tapi yang dilakukan justru mengakhiri hidup dalam tragedi, penuh putus asa? Dalam apresiasi kasus ini memberikan kesan bahwa ada realitas paradoks yang diwarnai oleh nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai modern. Bagaimana Islam memberikan konsep mengenai kehidupan keluarga yang didambakan oleh semua orang ?

1. Pengertian dan Fungsi Keluarga

Secara sosiologis, menurut Reading (1983: 84) bahwa keluarga adalah dua orang atau lebih yang tinggal bersama dan terikat karena darah, perkawinan, dan adopsi. Sedang menurut J.R. Eshleman (1978: 86) bahwa yang disebut keluarga mengandung beberapa unsur sebagai berikut:

a. Keluarga lahir sebagai hasil perkawinan,

b. Keluarga terdiri atas orang-orang yang terikat karena perkawinan, darah, atau adopsi,

c. Anggota keluarga memiliki tempat tinggal yang sama,

d. Anggota-anggota keluarga mempunyai hak dan kewajiban timbal balik satu sama lain,

e. Keluarga mempunyai fungsi utama sosialisasi, terutama untuk anak-anak.

Adapun yang menjadi fungsi keluarga, menurut Rahmat (1991: 121) antara lain, disebutkan paling sedikit:

1. Fungsi ekonomis, yakni keluarga merupakan satuan sosial yang mandiri, di mana semua anggota keluarga tersebut mengkonsumsi barang-barang yang diproduksinya.

2. Fungsi sosial, yakni keluarga memberikan prestise dan status kepada anggota-anggotanya.

3. Fungsi edukatif, yakni keluarga memberikan pendidikan kepada anak-anak dan remaja.

4. Fungsi protektif, yakni keluarga melindungi anggota-anggotanya dari ancaman fisik, ekonomis, dan psiko-sosial.

5. Fungsi religius, yakni keluarga memberikan pengalaman keagamaan kepada anggota-anggotanya.

6. Fungsi rekreatif, yakni keluarga merupakan pusat rekreasi bagi anggota-anggotanya.

7. Fungsi afektif, yakni keluarga memberikan kasih sayang dan melahirkan keturunan

Menurut Muhammadiyah, keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat dan bangsa sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai ajaran Islam yang paling intensif dan menentukan. Oleh karena itu menjadi kewajiban setiap anggota keluarga untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah,mawaddah warahmah (Q. S. Ar-Rum [30]: 21), atau yang dikenal dengan Keluarga Sakinah. Keluarga selain berfungsi sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai ajaran Islam juga sebagai tempat kaderisasi , sehingga anak-anak tumbuh menjadi generasi Muslim yang dapat menjadi pelangsung dan penyempurna gerakan dakwah Islam di kemudian hari.

Keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah dituntut; Keteladanan /uswah hasanah dalam mempraktikan kehidupan yang Islami yakni tertanam ihsan/kebaikan dan bergaul dengan maruf, saling menyayangi dan mengasihi, menghormati hak hidup anak, saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, memberikan pendidikan akhlak yang mulia secara paripurna, menjauhkan segenap keluarga dari bencana siksa neraka, membiasakan bermusyawarah dalam menyelesaikan urusan, berbuat adil dan ihsan, memelihara persamaan hak dan kewajiban, dan menyantuni anggota keluarga yang tidak mampu.

2. Keluarga Sebagai Pilar Utama Masyarakat

Maju mundurnya suatu bangsa seringkali ditentukan oleh kualitas masyarakatnya, dan hal itu tidak dapat dilepaskan dari peranan yang dimainkan oleh keluarga-keluarga. Dengan demikian kesejahteraan dan kemakmuran maupun kebodohan dan keterbelakangan suatu bangsa sesungguhnya merupakan cerminan keadaan yang sebenarnya dari keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa tersebut. Hakikat tersebut adalah kesimpulan pandangan seluruh pakar dari berbagai disiplin ilmu, termasuk pakar-pakar agama Islam (Shihab, 1992: 253).

Begitu pentingnya kedudukan keluarga dalam menentukan masa depan suatu masyarakat dan bangsa, maka Islam memberikan perhatian yang sangat besar tentang masalah keluarga. Hal itu dapat dilihat bagaimana Allah Swt. telah menjadikan kehidupan berkeluarga sebagai peristiwa yang mengundang manusia untuk berfikir tentang tanda-tanda kebesaran Allah, mensyukuri nikmat-Nya, dan menghindari dari beriman kepada yang batil, serta memelihara diri dan kelurganya dari api neraka. Dalam al-Quran disebutkan:

(((((( (((((((((((( (((( (((((( ((((( ((((( ((((((((((( (((((((((( ((((((((((((((( ((((((((( (((((((( ((((((((( (((((((( (((((((((( ( (((( ((( ((((((( ((((((( ((((((((( ((((((((((((( ((((

Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah menjadikan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri ( manusia ) supaya kamu cenderung dan merasa tenteram terhadapnya dan dijalinnya rasa kasih dan sayang ( antara kamu sepasang ). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. ( Al-Rm [30]: 21 )

(((((( (((((( ((((( ((((( ((((((((((( (((((((((( (((((((( ((((( ((((( (((((((((((( ((((((( (((((((((( ((((((((((( ((((( ((((((((((((( ( ((((((((((((((((( ((((((((((( (((((((((((( (((( (((( ((((((((((( ((((

Allah menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari pasangan-pasangan itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberikan rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?. ( Al-Nahl [16]: 72)

Ditengah arus media elektronik dan media cetak yang makin terbuka, aktifitas keluarga-keluarga di lingkungan muhammadiyah (1) dituntut perhatian dan kesungguhan dalam mendidik anak-anak serta menciptakan suasana yang harmonis agar terhindar dari pengaruh negative dan tercipta suasana pendidikan positif sesuai dengan nilai-nilai Islam; (2) dituntut keteladanannya untuk menunjukkan penghormatan dan perlakuan yang ihsan terhadap anak-anak dan perempuan serta menjauhkan diri dari praktik-praktik kekerasan terhadap anggota keluarga dan penelantaran kehidupan mereka; (3) perlu memiliki kepedulian social dan membangun hubungan social yang ihsan, islah dan maruf dengan tetangga-tetangga sekitar maupun hubungan social yang lebih luas di masyarakat sehingga tercipta Qaryah Thayyibah dalam masyarakat setempat, (4) pelaksanaan sholat dalam kehidupan keluarga harus menjadi prioritas utama, dan kepala keluarga jika perlu memberikan sanksi yang bersifat mendidik.Gambaran aktifitas keluarga seperti diatas tidak dapat dijumpai dalam pengertian disiplin ilmu apapun, kecuali dalam Islam. Jika aktifitas tersebut dapat terpenuhi dengan baik dalam kehidupan keluarga muslim, maka jadilah kehidupan keluarga tersebut bagaikan di surga sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah Saw. tentang keluarganya. Tapi sebaliknya jika karakteristik tersebut tidak dapat terpenuhi, maka kehidupan keluarga tersebut bagaikan di dalam neraka.

Oleh sebab itu, hakikat mengenai suatu masyarakat dari berbagai sisinya sesungguhnya tidak lain merupakan cerminan dari realitas kehidupan masing-masing keluarga dalam masyarakat itu sendiri. Jika kehidupan keluarga itu baik dan benar, maka baik dan benarlah kehidupan masyarakatnya, demikian pula sebaliknya.

B. Pernikahan Sebagai Sarana Membangun Keluarga

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa kata pernikahan mengandung makna; (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) dan (2) perkawinan. Meskipun pengertian ini sejalan dengan al-Quran, tapi istilah yang digunakan agak berbeda, yakni dengan kata zawwaja yang berarti berpasangan antara dua jenis kelamin yang berbeda.

Berdasarkan karakteristik keluarga muslim, maka sesungguhnya pernikahan itu terjadi tidak hanya karena unsur cinta (kasih sayang) semata-mata, tapi juga karena taqwa dan akhlak karimah. Oleh karena itu, dalam kisah Umar ibn al-Khaththab ketika beliau menasihati seseorang yang ingin menceraikan istrinya karena cintanya telah memudar, beliau berkata : Sungguh jelek (niatmu). Apakah semua rumah tangga (hanya dapat) terbina dengan cinta? Di mana taqwamu dan janjimu kepada Allah? Di mana pula rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai sepasang suami istri, telah saling bercampur (menyampaikan rahasia) dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat ? (Shihab, 1992: 254).

Pernikahan yang berarti perkawinan atau berpasangan, sesungguhnya merupakan sunnatullah yang berlaku bagi semua makhluknya. Hal itu dijelaskan dalam al-Quran sebagai berikut:

((((( ((((( (((((( ((((((((( (((((((((( (((((((((( ((((((((((( ((((

Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari (kebesaran Allah). (Al-Dzariyt [51]:49 )

((((((((( ((((((( (((((( ((((((((((( ((((((( ((((( (((((((( (((((((( (((((( ((((((((((( ((((((( (( ((((((((((( ((((

Maha suci Allah yang telah menciptakan semua pasangan, baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan dari jenis mereka (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang tidak mereka ketahui. (Ysin [36]:36 ).

Dalam berkeluarga, mengapa harus menikah terlebih dahulu? Islam memberikan jawabannya seputar pernikahan sebagai berikut:

1. Berpasangan dan Bercinta adalah Fitrah Manusia.

Kecenderungan manusia untuk tertarik kepada lawan jenisnya, kemudian mencari pasangannya dan saling bercinta adalah merupakan fitrahnya yang mulia. Peristiwa tersebut seringkali dimulai oleh pertimbangan lahiriyah (jasmaniyah). Tahap ini dalam bahasa Arab disebut mahabbah, yang merupakan tingkatan paling rendah atau primitif yang dalam psikologi Freud berkaitan dengan libido, yakni lebih banyak merupakan hasrat untuk memenuhi kebutuhan biologis semata. Sedang tahap yang paling tinggi disebut mawaddah, yakni berpasangan atau bercinta yang tidak semata-mata karena faktor lahiriyah, melainkan karena adanya hal-hal yang lebih abstrak, seperti; kepribadiannya atau kepemimpinannya, dan seterusnya. Pada tingkatan mawaddah tersebut pada umumnya berpotensi untuk bertahan lebih kuat dan lama, karena memliki unsur kesejatian yang lebih mendalam, sehingga mampu memberi rasa bahagia yang lebih tinggi dari pada mahabbah. Dari tingkatan mawaddah dapat naik lagi menjadi tingkatan rahmah, yakni merupakan jenis kecintaan Ilahi, karena bersumber dari sifat Tuhan yang Rahman dan Rahim. Inilah suatu kualitas kecintaan yang tiada terbatas, sejalan dengan makna firman Allah: Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu ( Q. S. Al-Araf [7]:156 ).Dengan kualitas kecintaan yang mencapai tahap tertinggi, yakni rahmah, maka perkawinan yang sah akan dapat mencapai keluarga yang sakinah, yaitu keluarga yang mampu mencapai kebahagiaan hidup.

2. Sebuah Perjanjian yang Berat

Pernikahan yang seringkali menampakkan suasana kebahagiaan, karena telah terpadunya cinta secara sah antara sepasang manusia, ternyata juga menuntut adanya unsur kesadaran yang tinggi dan pemikiran yang mendalam. Kesadaran tersebut lahir dari suatu pemahaman tentang hakikat makna pernikahan yang merupakan perjanjian luhur antara suami-istri dan kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Sebagai ujung dari kesadaran yang tinggi tersebut adalah tercapainya jiwa taqwallah yang akan melahirkan akhlak al-karimah. Sedangkan pemikiran yang mendalam adalah terkait dengan hakikat di balik suatu pernikahan yang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah Swt. Dari pemikiran tersebut diharapkan mampu mencapai kesadaran baru tentang keyakinan terhadap penciptaan.

Tahapan jiwa taqwallah sangat urgen untuk dicapai oleh setiap pasangan suami-istri, karena hubungan keduanya membutuhkan akhlak al-karimah dalam mencapai kehidupan yang bahagia. Dan hal itu tidak dapat dicapai tanpa jiwa taqwallah tersebut. Adapun dari hasil pemikiran tentang pernikahan yang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah Swt. diharapkan tidak saja mencapai pengakuan akan kebenaran penciptaan, tapi juga mampu mencegah seluruh anggota keluarga dari siksa api neraka (Q. S. Al-Tahrm [66] :8).

Berikut penjelasan Nurcholis Madjid (1997: 105-109) mengenai pernikahan sebagai perjanjian berat yang didasarkan pada ayat-ayat al-Quran surat al-Nis [4]: 19-27.

Itulah petunjuk Allah tentang persolan pernikahan yang merupakan perjanjian berat bagi yang melakukannya. Dan dari penjelasan tersebut dapat ditangkap beberapa catatan penting sebagai berikut:

1. Dilarang mewarisi wanita secara paksa seperti terjadi pada zaman jahiliyah di Arabia.

2. Dilarang berlaku kasar kepada wanita hanya karena soal harta benda.

3. Keharusan menggauli wanita dengan cara yang baik dan benar.

4. Jika suami benci atas perilaku istri, maka janganlah terburu-buru mengambil keputusan negatif (menceraikan), karena mungkin di balik semua itu Allah menyediakan kebaikan yang banyak.

5. Jika harus berganti istri (dengan cara yang sah dan benar), maka harta yang telah diberikan kepadanya tidak boleh diminta kembali sedikitpun, sebab hal itu merupakan perbuatan jahat yang jelas dan juga keonaran.

6. Pernikahan yang sah adalah merupakan sebuah perjanjian yang berat, karena itu hubungan suami istri harus dijaga dengan baik dan tidak dianggap enteng, serta disikapi sembrono.

7. Telah dijelaskan siapa-siapa yang boleh dinikahi dan yang tidak boleh dinikahi. Ketentuan ini penting karena berkaitan dengan aspek hukum Islam yang lain, seperti; persoalan nasab, warisan dan kemanusiaan.

8. Hubungan lelaki-perempuan harus didasarkan pada pernikahan yang sah dan terbuka (diketahui umum), dan tidak boleh dilakukan dalam bentuk hubungan rahasia atau gelap.

9. Jika (zaman dahulu) tidak mampu kawin dengan wanita merdeka dan harus kawin dengan budak yang diperoleh secara sah sesuai ketentuan yang berlaku, maka dalam hal itu harus dilakukan dengan seijin keluarga wanita.

10. Dan budak perempuan itu pun harus dinikahi secara terbuka, dan tetap tidak boleh dilakukan sebagai hubungan gelap dalam bentuk hubungan tersembunyi atau sebagai wanita simpanan.

11. Jika diduga terjadi penyelewengan, maka hukuman tetap harus ditegakkan, bagi wanita budak mendapatkan separuh hukuman wanita merdeka, sesuai dengan kondisi sosial budaya pada waktu itu.

12. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perzinahan. Namun seseorang tidak perlu tergesa-gesa menuduh, dan lebih baik bersabar sampai ada bukti yang nyata.

13. Itu semua merupakan hukum hubungan lelaki-perempuan yang bersifat universal yang telah berlaku pada umat-umat terdahulu, dengan beberapa variasi.

Dari beberapa catatan tersebut, jika dicermati akan tampak jelas dari tujuan setiap pernikahan, yakni persoalan perlindungan hak-hak asasi, serta harkat dan martabat wanita.

Dalam al-Quran tidak ada penjelasan yang lebih rinci daripada persoalan pernikahan dan implikasi hukumnya, karena memang unit keluarga merupakan sendi utama masyarakat dan pilar negara. Jika kondisi setiap keluarga baik, maka baiklah masyarakat dan tegaklah negara dengan kokohnya.

3. Syarat Sah Pernikahan

Menurut Qurais Shihab (2003: 201-2003) bahwa para ulama/madzhab telah merumuskan sekian banyak rukun atau syarat tentang sahnya pernikahan, meskipun dalam rinciannya terdapat perbedaan antara mereka. Selanjutnya disebutkan atara lain, yakni:

a. Adanya calon suami dan istri,

b. Adanya wali (dari calon istri),

c. Adanya dua orang saksi (laki-laki),

d. Adanya mahar (maskawin ),

e. Terlaksananya ijab dan kabul (akad nikah).

Status seorang calon istri haruslah tidak sedang terikat oleh beberapa norma berikut ini:

1. Tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain,

2. Tidak sedang masa iddah, yakni masa menunggu, karena wafat suaminya, dan dicerai atau hamil,

3. Tidak termasuk wanita yang dilarang untuk dinikahi.

Adapun keberadaan seorang wali bagi calon suami tidak diperlukan, tetapi bagi calon istri dinilai mutlak keberadaannya maupun izinnya oleh kebanyakan ulama berdasarkan hadis Rasulullah Saw: Tidak sah pernikahan seseorang kecuali dengan (izin) wali. ( HR. Ahamd dari Abu Hurairah )

C. Beberapa Persoalan Seputar Pernikahan

a. Pernikahan Lintas Agama

Dalam hal pernikahan lintas agama, terdapat perbedaan pendapat sebagai berkut:

1. Perkawinan dengan orang musyrik dilarang/haram hukumnya berdasarkan firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah, ayat 221:

(((( (((((((((( ((((((((((((((( (((((( (((((((( ( (((((((( (((((((((( (((((( (((( (((((((((( (((((( (((((((((((((( ( (((( (((((((((( ((((((((((((((( (((((( ((((((((((( ( (((((((((( (((((((( (((((( (((( (((((((( (((((( (((((((((((( ( (((((((((((( ((((((((( ((((( (((((((( ( (((((( (((((((((( ((((( (((((((((( (((((((((((((((( ((((((((((( ( ((((((((((( ((((((((((( (((((((( (((((((((( ((((((((((((( (((((

Janganah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka. Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

2. Adapun pernikahan dengan Ahlul kitab, maka ada yang berpendapat haram hukumnya berdasarkan al-Quran:

a. Surat al-Maidah, ayat 72-73:

(((((( (((((( ((((((((( ((((((((( (((( (((( (((( ((((((((((( (((((( (((((((( ( ((((((( ((((((((((( ((((((((( (((((((((((( ((((((((((( (((( (((((( (((((((((( ( ((((((( ((( (((((((( (((((( (((((( (((((( (((( (((((((( (((((((((( ((((((((((( (((((((( ( ((((( ((((((((((((( (((( (((((((( (((( (((((( (((((( ((((((((( ((((((((( (((( (((( ((((((( ((((((((( ( ((((( (((( ((((((( (((( ((((((( ((((((( ( ((((( (((( (((((((((( ((((( (((((((((( (((((((((( ((((((((( ((((((((( (((((((( ((((((( ((((((( ((((

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putera Maryam, padahal Al-Masih (sendiri) berkata : Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang-orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah di neraka, dan tiadalah bagi orang-orang yang dzalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: Bahwasanya Allah salah satu dari tiga, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang merekan katakanitu, pasti orang-orang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.

b. Surat al-Baqarah [2]: 120:

((((( (((((((( ((((( ((((((((((( (((( (((((((((((( (((((( (((((((( (((((((((( ( (((( (((( ((((( (((( (((( (((((((((( ( (((((((( (((((((((( ((((((((((((( (((((( ((((((( (((((((( (((( (((((((((( ( ((( (((( (((( (((( ((( ((((((( (((( ((((((( (((((

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulahn petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjdi pelindung dan penolong bagimu.

c. Surat al-Bayyinah, ayat 1 dan 6:

(((( (((((( ((((((((( ((((((((( (((( (((((( ((((((((((( ((((((((((((((((( ((((((((((( (((((( (((((((((((( ((((((((((((( (((

Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (Al-Bayyinah [98]: 6)(((( ((((((((( ((((((((( (((( (((((( ((((((((((( ((((((((((((((((( ((( ((((( (((((((( (((((((((( ((((((( ( (((((((((((( (((( (((( (((((((((((( (((

Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni Ahlul kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahanam, mereka kekal didilamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (Al-Bayyinah [98]: 6)3. Sedang pendapat yang mengatakan bahwa pernikahan dengan Ahlul kitab adalah mubah hukumnya, didasarkan pada al-Quran :a. Surat al-Maidah [5]: 5:

(((((((((( (((((( (((((( ((((((((((((( ( ((((((((( ((((((((( (((((((( ((((((((((( (((( (((((( ((((((((((((( (((( (((((( ( ((((((((((((((((( (((( ((((((((((((((( ((((((((((((((((( (((( ((((((((( (((((((( ((((((((((( ((( (((((((((( (((((( (((((((((((((((( ((((((((((( ((((((((((( (((((( (((((((((((( (((( (((((((((( ((((((((( ( ((((( (((((((( (((((((((((( (((((( (((((( ((((((((( (((((( ((( (((((((((( (((( (((((((((((((( (((

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. ( Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan berzina dan tidak (pula) menjdikannya gundik-gundik.

b. Surat Ali Imran [3]: 113:

((((((((( (((((((( ( ((((( (((((( ((((((((((( (((((( (((((((((( ((((((((( (((((((( (((( ((((((((( (((((((( (((((( ((((((((((( (((((

Mereka itu tidak sama, di antara Ahlul kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud.

Menurut sementara ulama, meskipun ada ayat membolehkan perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahlul kitab (penganut agama Yahudi dan Nasrani), yakni surat al-Maidah [5]: 5, tetapi izin tersebut telah digugurkan oleh surat al-Baqarah [2]: 221 diatas. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pernikahan beda agama adalah haram hukumnya.b. Pernikahan Terlarang

Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam bukunya: Pedoman Hidup Seorang Muslim (1419 H: 666-673) menjelaskan, bahwa Rasulullah Saw. melarang jenis-jenis pernikahan seperti berikut ini:

1. Pernikahan Mutah, yakni pernikahan untuk sementara waktu. Misalnya; seorang laki-laki menikahi seorang wanita untuk waktu sebulan atau setahun. Hal itu didasarkan pada hadis dari Ali r.a., bahwa Rasulullah Saw. melarang pernikahan mutah serta daging keledai liar pada saat perang Khaibar (HR. Muslim).

Pernikahan mutah hukumnya tidak sah. Oleh sebab itu pernikahan tersebut harus dibatalkan, sedang mahar (mas kawin) tetap harus diberikan jika suami tersebut telah menggauli istrinya, tapi bila belum menggaulinya, maka tidak wajib memberikan mahar.

2. Pernikahan Sighr, yaitu pernikahan yang dilakukan sesama orang tua atas nama anak masing-masing yang masih kecil, baik keduanya saling memberi mahar atau hanya salah satunya saja, maka hal itu dilarang berdasarkan sabda Rasulullah Saw: Tidak ada nikah syighr dalam Islam ( HR. Muslim ). Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw. melarang nikah syighar. Adapun yang dimaksud dengan nikah syighar adalah seseorang berkata: Nikahkanlah aku dengan putrimu niscaya aku menikahkanmu dengan putriku, atau ia berkata : Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu niscaya aku menikahkanmu dengan saudara perempuanku ( HR. Muslim ).

Abdullah bin Umar r.a. berkata : Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang nikah syighar. Adapun nikah syighar ialah seorang bapak menikahkan seseorang dengan putrinya dengan syarat bahwa orang itu harus menikahkan dirinya dengan putrinya, tanpa mahar di antara keduanya. ( HR. Muttafaq alaih )

3. Pernikahan Muhallil, yaitu suatu pernikahan seorang wanita yang telah dithalaq tiga oleh suaminya, yang karenanya suaminya diharamkan untuk rujuk kepadanya. Hal itu berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 230:

((((( ((((((((( (((( (((((( ((((( (((( (((((( (((((( ((((((( ((((((( ((((((((( (

Kemudian jika suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.

Abdullah bin Masud r.a. berkata: Rasulullah Saw. melaknat muhallil (orang yang menikahi mantan istrinya) dan muhalli lahu (orang yang menjadi perantaranya. (HR. Al-Tirmidzi)4. Pernikahan orang yang ihram, yaitu pernikahan orang yang sedang melaksanakan ihram haji maupun umrah dan belum memasuki waktu tahallul. Hal itu didasarkan pada hadis Rasulullah Saw. sebagai berikut: Orang yang sedang menunaikan ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan (HR. Muslim ).5. Pernikahan dalam masa iddah, yaitu suatu pernikahan dimana sang istri sedang menjalani masa iddah (tunggu), karena penceraian atau suaminya meniggal dunia. Hal itu berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah, ayat 235.

6. Pernikahan tanpa wali, yaitu pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang wanita tanpa seizin walinya. Larangan itu berdasarkan hadits Rasulullah Saw. sebagai berikut: Tidak ada nikah tanpa wali ( HR. Ahmad ).

7. Pernikahan dengan wanita kafir selain wanita-wanita Ahlul kitab, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 221, Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.

Jadi seorang muslim haram menikahi wanita kafir dari kalangan agama majusi, komunis atau penyembah berhala. Demikian pula wanita muslimah haram menikah dengan laki-laki dari kalangan Ahlul kitab atau orang kafir dari non-ahlul kitab, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Mumtahanah [60]: 10 sebagai berikut: Mereka (wanitawanita muslimah) itu tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.

8. Menikahi Mahram (wanita yang haram dinikahi, sebagaimana telah tercantum dalam surat al-Nisa: 23-24 ).

c. Pacaran, Tunangan dan Nikah Siri Istilah pacaran , tunangan dan nikah siri dalam agama Islam tidak ada , istilah itu muncul karena budaya masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Karena pengaruh globalisasi yang begitu dasyat, maka pacaran, tunangan dan nikah siri jadi membudaya di lingkungan masyarakat kita. Ada dua potensi yang dimiliki setiap manusia dalam mengikuti tuntunan Islam, yaitu menolak/ingkar/kufur dan taat/iman/taqwa . Sikap ini ada dalam Al-Quran Surat Asy-syam (91) : 8 :

Artinya : Maka dia mengilhamkan kepada manusia kejahatan/keburukan dan ketaqwaan.

Agama Islam memberi tuntunan tersendiri bagi dua sejoli yang sedang dimabuk cinta dalam mewujudkan impinannnya dengan melalui taaruf ( saling mengenal/ pacaran yang Islami) yang sesuai dengan tuntunan Islam, misalnya kalau mau ketemuan/berpergian harus mengajak muhrim/teman yang dapat dipercaya untuk menemani sehingga tidak berduaan, dan kalau sekarang kan mudah dilakukan dengan melalui sms, facebook, chatting dll kalau ingin ngobrol atau ketemuan karena kangen . Ada prinsip yang harus ditaati yaitu jangan mendekati zina. Allah meninggikan kedudukan manusia agar tidak terjerumus dalam nafsu hewani atau binatang, dimana manusia harus punya rasa malu, karena ada hadits Nabi yang mengatakan bahwa Malu adalah bagian dari Iman. Perbuatan zina seharusnya bukan perbuatan manusia, akan tetapi perbuatan manusia yang mengikuti nafsu hewani sehingga tidak punya rasa malu khususnya pada diri sendiri dan pada Allah SWT. Biasanya setelah lama pacaran, akan dilanjutkan dengan tunangan atau ikatan yang disetujui oleh kedua belah pihak keluarga dengar berbagai cara, misalnya dengan tukar cincin. Ajaran Islam memberikan tuntunan dengan cara meminang/ melamar sebagai penghargaan bagi wanita , agar kedudukan wanita sebagai istri diakui secara hukum, sehingga punya hak dan kewajiban yang sama dengan suami. Sebagian masyarakat Islam masih ada yang mengikuti budaya diatas, sehingga sering kita lihat kalau sudah tunangan , boleh dibawa kemana-mana bahkan tidak pulangpun tidak mengapa, Inilah yang terjadi di masyarakat kita , oleh karena itu yang ada di dalam Islam bukan tunangan akan tetapi pinangan atau lamaran. Kemudian setelah pinangan atau lamaran , akan berlanjut ke pernikahan. Ajaran Islam menuntunkan bahwa dalam pernikahan/walimatul urus harus di syiarkan atau dipublikasikan agar tidak menimbulkan fitnah. Tetapi istilah nikah siri adalah pernikahan yang terjadi di masyarakat hanya dihadiri oleh keluarga kedua pihak atau didepan seorang yang dianggap kyai dan beberapa saksi tanpa tercatat di pemerintah sehingga tidak punya bukti secara syah ( buku nikah) menurut hukum Agama dan Negara. Dan apabila punya anak , tentu akan kesulitan dalam mendapatkan akte kelahiran bagi si anak, juga dalam pembagian hak waris apabila mau menuntut secara hukum maka si anak dan istri dalam posisi lemah secara hukum. Kondisi seperti ini hendaknya manjadi perhatian bagi para wanita, berfikirlah yang jernih dalam melangkah kearah pernikahan siri, meskipun secara agama sah, tetapi Muhammadiyah mengajak semua umat islam agar menghindari pernikahan siri, karena persoalan nikah siri ini terjadi karena ketidaktahuan atau dibuat tidak tahu oleh orang-orang yang punya kepentingan pribadi demi kesenangan sendiri dan sesaat. Q.S. An-Nisaa(4) : 19, 36, 128; Al Isra(17) : 23; Luqman (31) : 14

Q.S. Ar-Rum (30) 21

Q.S. Al- Anam ( 6) : 151; Al Isra (17) ;31

Q.S. Al-Akhzab( 33): 59

Q.S. At- Tahrim (56) : 6

Q.S. A-Baqarah (2) : 233; Ath-Thalaaq (65): 6

Q.S. Al-Maaidah (6) : 8; An-Nahl(16) : 90

Q.S. Al-Baqarah(2) :228; An-Nisaa(4):34

Q.S. Al-Isra(17) : 26; Ar-Rum(30) : 38

PAGE 25