bab v motif, kontribusi ekonomi, strategi survival...

62
207 BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) Urbanisasi di kota besar merupakan surga bagi para investor untuk menanamkan sahamnya dalam kegiatan ekonomi. Mereka bisa berpartisipasi dalam pembangunan perumahan atau real estate, menjadi pemegang saham utama bisnis mall atau pasaraya, menjadi promotor pembangunan tempat-tempat hiburan, atau mengembangkan bisnis perhotelan. Investasi dalam kegiatan sektor formal kebanyakan diterima dan difasilitasi oleh kepala daerah kabupaten atau kota. Alasan yang dikemukakan oleh kepala daerah adalah kabupaten atau kota mereka membutuhkan dana segar untuk memacu pembangunan di daerahnya. Bagi urban yang tidak memiliki modal dan keterampilan yang memadai terpaksa terjun menjalankan usaha sektor informal, entah menjadi tukang batu, tukang sol sepatu, tukang patri, penjual nasi, pedagang barang-barang bekas, dan pebisnis sektor informal lainnya. Para pekerja sektor informal ini menempati ruang-ruang publik yang terlarang menurut ketentuan peraturan daerah. Mereka terpaksa berdagang atau menjalankan aktivitas ekonomi informal, sebagai strategi untuk bertahan hidup. Bab ini menjelaskan tentang mengapa banyak pekerja yang memilih bekerja pada sektor informal, khususnya sebagai pedagang kaki lima (PKL). Selain motif menjadi PKL, bagian berikut juga menunjukkan data tentang kontribusi ekonomi PKL, baik terhadap keluarga, kelompok masyarakat marginal lainnya, maupun terhadap pendapatan asli daerah. Pada bagian akhir dipaparkan tentang seluk beluk kehidupan PKL di Semarang dan dijelaskan bahwa menjadi PKL merupakan salah satu strategi untuk bertahan hidup (survival).

Upload: trinhdien

Post on 25-Jul-2018

249 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

207 207

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Urbanisasi di kota besar merupakan surga bagi para investor

untuk menanamkan sahamnya dalam kegiatan ekonomi.

Mereka bisa berpartisipasi dalam pembangunan perumahan

atau real estate, menjadi pemegang saham utama bisnis mall

atau pasaraya, menjadi promotor pembangunan tempat-tempat

hiburan, atau mengembangkan bisnis perhotelan. Investasi

dalam kegiatan sektor formal kebanyakan diterima dan

difasilitasi oleh kepala daerah kabupaten atau kota. Alasan yang

dikemukakan oleh kepala daerah adalah kabupaten atau kota

mereka membutuhkan dana segar untuk memacu

pembangunan di daerahnya.

Bagi urban yang tidak memiliki modal dan keterampilan

yang memadai terpaksa terjun menjalankan usaha sektor

informal, entah menjadi tukang batu, tukang sol sepatu, tukang

patri, penjual nasi, pedagang barang-barang bekas, dan pebisnis

sektor informal lainnya. Para pekerja sektor informal ini

menempati ruang-ruang publik yang terlarang menurut

ketentuan peraturan daerah. Mereka terpaksa berdagang atau

menjalankan aktivitas ekonomi informal, sebagai strategi untuk

bertahan hidup.

Bab ini menjelaskan tentang mengapa banyak pekerja yang

memilih bekerja pada sektor informal, khususnya sebagai

pedagang kaki lima (PKL). Selain motif menjadi PKL, bagian

berikut juga menunjukkan data tentang kontribusi ekonomi

PKL, baik terhadap keluarga, kelompok masyarakat marginal

lainnya, maupun terhadap pendapatan asli daerah. Pada bagian

akhir dipaparkan tentang seluk beluk kehidupan PKL di

Semarang dan dijelaskan bahwa menjadi PKL merupakan salah

satu strategi untuk bertahan hidup (survival).

Page 2: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

208

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

A. Motif Pedagang Kaki Lima (PKL)

Sektor informal (PKL) perkotaan tumbuh dan berkembang

berkaitan dengan implementasi model pembangunan barat

yang tidak ramah terhadap masyarakat golongan bawah yang

miskin, tidak terampil (un-skill), dan berpendidikan rendah.

Menurut Sutomo (1993), munculnya sektor informal

perkotaan menunjukkan bahwa penerapan model

pembangunan di barat dimana pertumbuhan industri di kota

yang diharapkan dapat menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi

dan mampu menyerap kelebihan tenaga kerja yang berpindah

dari pedesaan, ternyata tidak cocok dengan kondisi Indonesia,

karena proses pembangunan yang terjadi, terbukti tidak disertai

dengan transformasi sektoral dari agraris ke sektor industri atau

formal.

Rachbini dan Hamid (1994:121) dalam penelitiannya

mengenai ekonomi informal perkotaan di Surabaya dan Jakarta,

menyimpulkan bahwa mereka yang terlibat dalam sektor

informal pada dasarnya berkaitan dengan etos kewirausahaan

yang mereka miliki. Ada tiga faktor yang menyebabkan mereka

masuk ke sektor informal.

Pertama, tiadanya prosedur resmi dalam pendirian usaha

sektor ini.

Kedua, persyaratan modal relatif kecil.

Ketiga, potensi keuntungan cukup baik. Penelitian

Rachbini dan Hamid (1994) juga menemukan bahwa banyak

dijumpai istri pegawai dan karyawan rendahan membuka usaha

sektor informal sebagai usaha sampingan keluarga untuk

memenuhi kebutuhan rumahtangga. Dalam hal ini tampak

bahwa usaha sektor informal yang dilakukan para ibu dan

karyawan rendahan, terbukti berperan sebagai penyangga

ekonomi keluarga di sektor formal yang subsisten.

Page 3: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

209

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Catatan Mustafa juga menunjukkan hal serupa. Sektor

informal menjadi tempat berlindung bagi komunitas penduduk

Suralaya yang mayoritas beretnik Betawi, yang telah

dimarginalisasi atau dipinggirkan oleh kekuatan dunia luar

yang dominan dan perubahan sosial yang tak dapat dihindari di

wilayah di mana mereka berdomisili (Mustafa 2008:102).

Alisjahbana (2006:3-9) dalam penelitiannya, mengemuka-

kan tujuh faktor yang menyebabkan atau melatarbelakangi

para urban memilih sektor informal sebagai aktivitas pekerjaan

untuk menggantungkan hidup.

Pertama, terpaksa atau tiada pekerjaan lain. Dengan segala

keterbatasan yang dimiliki, mau tidak mau dan suka tidak suka,

satu-satunya pilihan yang ada adalah bekerja di sektor informal.

Sebagian responden yang diwawancarai, menyatakan bahwa

mereka terjun di sektor informal bukan karena tertarik,

melainkan karena keadaan terpaksa demi untuk memenuhi

kebutuhan hidup. Pekerjaan ini merupakan satu-satunya

pekerjaan yang bisa digunakan untuk memperoleh penghasilan,

sehingga dilakukan oleh para PKL.

Kedua, dampak pemutusan hubungan kerja (PHK). Tidak

sedikit yang menjadi PKL karena terkena pemutusan hubungan

kerja (PHK) ketika terjadi krisis moneter. Dampak krisis

moneter 1997 yang berlanjut dengan krisis ekonomi dan krisis

lainnya menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar dan

memberhentikan sebagian besar karyawannya. Di antara

karyawan yang diberhentikan, ada yang memperoleh pesangon

dan ada juga yang tidak. Bagi mereka yang memperoleh

pesangon, dengan berbekal sedikit modal mereka terjun ke

jalan menjadi PKL. Pilihan menjadi PKL barangkali merupakan

pilihan sementara, tetapi ketika banyak diantara mereka yang

telah menikmati pekerjaan dan hasilnya, maka menjadi PKL

merupakan satu-satunya pilihan guna menyambung hidup.

Page 4: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

210

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Ketiga, mencari rezeki halal. Di mata golongan masyarakat

miskin perkotaan, gengsi tampaknya tidak lagi dihiraukan.

Ketika tidak ada upaya lain yang lebih baik, maka PKL menjadi

kunci penyelamat. Yang penting bagi mereka adalah mencari

rezeki secara halal sesuai dengan ketentuan agama, norma

hukum, dan tata tertib masyarakat. Daripada mereka

melakukan pekerjaan haram atau tidak patut, misalnya

meminta-minta, menipu, atau merampok, lebih baik mereka

bekerja sebagai pedagang kaki lima.

Keempat, mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain.

Banyak pekerja pabrik atau perusahaan yang memilih keluar

dari pekerjaannya dengan menekuni usaha sendiri. Mereka

yang memiliki keterampilan, misalnya membuat stempel

memilih menjadi PKL karena merasa tidak senang bekerja di

pabrik. Bagi mereka, bekerja dengan orang lain dipandang

hanya menjadi beban. Mereka melirik kaki lima sebagai tempat

mengais rezeki, di mana mereka bisa mengatur pekerjaannya

sendiri. Profit yang diperoleh bersifat langsung dan dapat

dinikmati segera. Hasil atau keuntungan tidak dapat dinikmati

segera, jika mereka bekerja di pabrik atau perusahaan. Bahkan

dengan melepaskan diri dari genggaman kaum kapitalis, para

PKL dapat meningkatkan etos kewirausahaannya.

Kelima, menghidupi keluarga. Sejumlah PKL banyak yang

berjualan VCD, kaset, striker, topi, kacamata, dan asesoris

lainnya. Berdagang barang-barang tersebut dipandang para PKL

sebagai pekerjaan satu-satunya yang bisa mereka lakukan.

Selain untuk mencukupi kebutuhan sendiri, umumnya hasil

atau keuntungannya digunakan untuk menghidupi keluarga,

membiayai sekolah anak-anaknya, membantu biaya sekolah

adik-adiknya, atau bahkan mengirimi uang kepada orangtua

yang ada di desa.

Hal ini sesuai dengan penelitian Sethuraman (1981) yang

menemukan bahwa sebanyak 72,29% pekerja sektor informal

Page 5: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

211

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

melakukan usahanya dalam rangka memenuhi kebutuhan

keluarga. Resmi (1995:63) menemukan hal yang sama bahwa

PKL bekerja tiap hari tidak lain untuk mencukupi kebutuhan

sehari-hari anggota keluarganya. Adanya tanggungan keluarga

yang harus dihidupi menjadi motivasi kuat mengapa para PKL

mampu bertahan di jalan menghadapi kekerasan dari aparat

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Keenam, pendidikan rendah dan modal kecil. Banyak orang

yang memilih menjadi PKL karena tidak membutuhkan

keahlian dan keterampilan khusus, sehingga siapapun dapat

masuk kesana. Sebagaimana diungkapkan Firdausy (1995:1),

bahwa sektor informal mempunyai karakteristik usaha yang

relatif tidak memerlukan modal besar, keterampilan tinggi,

relatif mudah dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat

beresiko kecil. Dengan demikian, para urban memilih menjadi

PKL, selain karena tidak membutuhkan syarat pendidikan,

keahlian, dan keterampilan khusus, juga tidak membutuhkan

modal yang besar. Justru semangat dan daya tahan yang tinggi

yang diperlukan bagi siapapun yang berhasrat masuk menjadi

PKL merupakan motif utama mengapa para urban tetap

bertahan di jalan.

Ketujuh, kesulitan kerja di desa. Langkanya kesempatan

kerja di desa dan tiadanya kesempatan kerja di kota bagi yang

tidak berpendidikan dan tidak terampil, menjadi alasan

mengapa para urban memilih bekerja sebagai PKL. Bagi kaum

urban atau migran, kota merupakan tujuan akhir ketika mereka

tidak dapat tertampung di desa, dan kota, meskipun padat,

masih bisa dicari titik celahnya, untuk dimasuki oleh para

urban dengan menjadi pedagang kaki lima (PKL). Hal ini

sejalan dengan apa yang dikemukakan Mustafa (2008:9) bahwa

kelompok migran ke kota bekerja di sektor informal, karena

ada daya dorong untuk kebutuhan atau aspirasi yang tidak

dapat dipenuhi di desa.

Page 6: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

212

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Tidak jauh berbeda dengan beberapa hasil penelitian

tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa para

urban bekerja di sektor informal, khususnya sebagai pedagang

kaki lima, motif para pedagang kaki lima (PKL) yang bekerja di

Semarang pun bervariasi. Dari hasil penelitian ditemukan tujuh

motif mengapa para urban memilih bekerja sebagai PKL, yaitu

(1) modal kecil atau terbatas, (2) ingin usaha mandiri, (3) tidak

ada lagi pekerjaan yang sesuai, (4) sudah menjadi tradisi

keluarga, (5) daripada menganggur, (6) bekerja lebih mudah,

dan (7) karena usia sudah tua.

Modal kecil atau terbatas menjadi motif dominan mengapa

pedagang kaki lima (PKL) bekerja pada sektor informal dan

nekat berdagang di daerah terlarang. Seperti diakui Minasat (49

tahun ), pedagang aneka loster atau ventilasi cor yang berlokasi

di Sampangan: “ya, bagaimana lagi ya mas, karena modal kecil

dan usaha ini lumayan besar keuntungannya, maka saya nekat

bekerja sebagai pedagang yang menempati tepi jalan ini”

(wawancara dengan Minasat, 20 Juni 2010).

Kecilnya modal sebagai alasan PKL berdagang di tepi jalan

juga dibenarkan bu Hermin (42 tahun): “modal saya kecil mas,

saya dan keluarga butuh hidup…sehingga terpaksa bekerja

sebagai pedagang nasi dengan membuka lapak di Sampangan”

(wawancara dengan bu Hermin, 20 Juni 2010).

Ketika ditanya, mengapa Satrio Wibowo (29 tahun) bekerja

sebagai pedagang kaki lima, jawabannya adalah karena ingin

usaha sendiri. Sebagai seorang pedagang, Satrio berkeinginan

untuk membuka rumah makan megah di tengah kota, sebuah

cita-cita yang bukan tidak mungkin akan dapat terwujud asal

keinginan tersebut didukung oleh kerja keras.

Mbah Sabar (60 tahun) yang sudah puluhan tahun

berdagang es tape santan di Basudewo memiliki modal yang

tidak begitu banyak untuk menjalankan usahanya. Modal

kerjanya hanya 1,5 juta rupiah dan yang menarik, mbah Sabar

Page 7: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

213

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

tidak pernah hutang. “Wis dicukup-cukupke mas, wong cilik yo ngene iki isane”, demikian tutur mbah Sabar. Menurut mbah

Sabar, berapa pun uang yang dipunyai akan habis, sehingga

dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

adalah bagaimana cara mengelola uang tersebut. “Kita harus

pandai-pandai mengaturnya”, kata mbah Sabar. Meskipun

memiliki penghasilan yang tidak seberapa, mbah Sabar dalam

berdagang es tape santan, dibantu seorang anak laki-laki dalam

melayani pembeli. Anak ini bukan anaknya sendiri, tetapi

mbah Sabar sangat memperhatikan kebutuhannya. Dalam

seharinya anak tersebut diberi upah Rp10.000,00, sedangkan

untuk makan, minum, dan tidur ditanggung oleh mbah Sabar.

Keinginan untuk mandiri dan tidak tergantung kepada

orang lain dalam bekerja, merupakan dorongan atau motif

mengapa banyak orang terjun ke sektor informal, khususnya

bekerja sebagai pedagang kaki lima (PKL). Mbah Sumiyati (65

tahun) misalnya, yang beralamat di jalan Dorowati 6, memilih

berjualan nasi gule di Kokrosono. Ketika ditanya mengapa

menjadi PKL yang beradagang nasi gule di Kokrosono, mbah

Sum, panggilan akrabnya, memberi jawaban demikian: “saya

sudah tua mas…mau kerja apalagi, bisanya ya jualan nasi,

modalnya tidak banyak, tetapi keuntungannya lumayan”

(wawancara dengan mbah Sum, Minggu, 3 Oktober 2010).

Pada awal memulai usahanya, mbah Sum membutuhkan

modal 3 juta rupiah, untuk beli gerobak 2 juta rupiah dan

peralatan lainnya 1 juta rupiah. Kata mbah Sum, “ini belum

termasuk biaya untuk bahan dagangan”. Modal tersebut tidak

pinjam, tetapi merupakan modal sendiri. Menurut mbah Sum,

dengan berjualan sendiri, meski ia dibantu seorang pelayan,

mbah Sum merasa seperti majikan, tidak harus tergantung

kepada orang lain, apalagi menjadi “suruhan” (pembantu) orang

lain. “Usaha mandiri lebih enak mas”, imbuh mbah Sum.

Page 8: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

214

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Mbah Salim (67 tahun) yang sebelumnya pernah menjadi

tukang becak, memilih bekerja sebagai pedagang kaki lima,

karena selain sudah tua umurnya, juga tidak ada pilihan lain.

“ya, bagaimana lagi mas, umur sudah tua…keterampilan tidak

ada, ya dagang saja mas. Begini ini mas, dagang kaca mata dan

barang rongsokan, meskipun hasilnya kecil…yang penting bisa

untuk hidup…(wawancara dengan mbah Salim, 3 Oktober

2010). Mbah Salim pasrah dengan nasibnya sebagai pedagang

kaki lima. Satu-satunya pekerjaan yang ia tekuni adalah sebagai

pedagang kaki lima, apalagi jualan di Kokrosono ramai pembeli.

Jika dilihat dari etos kewirausahaan yang demikian tinggi,

maka para PKL sesungguhnya dapat disebut sebagai pengusaha,

hanya saja mereka tidak tergolong pengusaha besar yang

memiliki modal besar, mempunyai jumlah karyawan ribuan,

tempat produksi barang-barang permanen, memiliki jaringan

ekonomi yang kuat, dan mempunyai akses terhadap birokrasi

pemerintah dan lembaga finansial. Para PKL memang memiliki

modal, itu pun jumlahnya tidak banyak, demikian pula alat-alat

produksi yang dimiliki juga tidak memadai. Para pedagang nasi

di Sampangan misalnya, alat-alat produksi yang dipunyai di

antaranya: meja, kursi, tempat nasi, sayur, dan lauk pauk,

kompor gas, piring, sendok, garpu, dan peralatan lain yang

mendukung usahanya.

Tidak seperti halnya pengusaha besar yang memiliki tanah

dan pabrik, para PKL yang berdagang nasi hanya mempunyai

lapak dan tanah untuk mendirikan lapak merupakan milik

pemerintah. Tanah yang mereka tempati pun tidak memiliki

alas hak. Di Sampangan terdapat seorang pedagang yang

menggunakan mobil untuk berdagang, yaitu penjual pakan

burung. Lainnya, menggunakan lapak yang mudah dibongkar

untuk menjalankan usahanya.

Para pengusaha besar mempunyai jumlah karyawan ribuan,

sedangkan para PKL hanya memiliki 2 hingga 3 orang yang

Page 9: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

215

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

membantu mereka berdagang atau menjalankan usahanya.

Banyak juga PKL yang tidak memiliki karyawan, karena

usahanya dilakukan secara mandiri atau sendiri tanpa bantuan

orang lain, seperti halnya PKL liar yang berdagang di

Kokrosono.

Tidak jauh berbeda dengan para PKL yang berdagang di

Sampangan, PKL yang menjalankan usaha di Basudewo dan

Kokrosono juga memiliki modal yang kecil. Rata-rata mereka

tidak memiliki kios. Sedikit di antara mereka yang memiliki

kios semi permanen untuk berjualan. Di Basudewo hanya ada 7

orang pedagang yang memiliki kios semi permanen, yakni

seorang pedagang nasi, dan 2 orang yang menjalankan usaha

bengkel sepeda motor, dan 4 orang pedagang mebel.

Dari sekian pedagang, ada di antara mereka yang

menggunakan mobil dan sepeda motor roda tiga merk Tossa

untuk tempat berdagang. Di Basudewo ada 2 pedagang yang

menggunakan mobil untuk berdagang, yakni pedagang

kebutuhan sehari-hari, seperti roti, snack, air mineral, gula,

rokok, dan lain-lain. Di Kokrosono hanya ada 1 orang yang

menggunakan mobil untuk berdagang dan 2 orang

menggunakan sepeda motor roda tiga untuk berjualan. Lainnya

menggunakan lapak yang mudah dibongkar. Di Kokrosono

kebanyakan pedagang berjualan dengan cara lesehan, yakni

menggelar tikar atau alas seadanya untuk menempatkan barang

dagangan.

Inilah tipikal PKL, yang oleh penguasa kota dipandang

sebagai pengganggu ketertiban, tetapi jika dilihat dari sisi

ekonomi, mereka adalah para pejuang dan entrepreneur yang

tangguh, sebab dengan modal kecil dan peralatan seadanya,

mereka tetap mampu bertahan hidup. Mereka tidak mengenal

krisis, seperti halnya para pengusaha besar di Indonesia yang

bangkrut gara-gara krisis moneter tahun 1997. Ini berarti

tingkat kompetisi dan keuletan para PKL tidak kalah

Page 10: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

216

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

dibandingkan para pengusaha besar, terbukti bisnis mereka

masih berlanjut meskipun harus hidup dalam suasana was-was,

karena sewaktu-waktu bisa mengalami penertiban dan

penggusuran dari Satpol PP.

Motif para pedagang kaki lima (PKL) menjalankan usaha

perdagangan dan jasa informal umumnya berkaitan dengan

aspek ekonomi. Yang dimaksudkan dengan ekonomi dalam

penelitian ini adalah bagaimana para pedagang kaki lima (PKL)

dengan sumber daya yang terbatas, seperti pendidikan yang

umumnya rendah, keterampilan tidak ada, dan modal usaha

(kapital) kecil, dapat memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus

tergantung kepada orang lain. Para pedagang kaki lima (PKL)

yang menjalankan usaha di Sampangan, Basudewo, dan

Kokrosono pada umumnya didorong untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan, minum, membeli

pakaian, dan lain-lain.

Kebutuhan keluarga tidak hanya untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan dan minum, tetapi

juga untuk biaya pendidikan anak-anak. Seperti dituturkan

pak Mulyono (47 tahun), pedagang alat-alat pertukangan,

pertanian dan rumah tangga yang sehari-hari berdagang di

Kokrosono, di bawah ini.

“saya berdagang di sini…ya terpaksa pak, kalau tidak untuk memenuhi kebutuhan keluarga tidak mungkin saya lakukan. Cari pekerjaan susah, saya sudah cukup tua, misalnya kerja di proyek…tenaga saya sudah tidak kuat lagi, apalagi saya pernah sakit lumpuh, pernah hampir mati…ya kerja jualan seperti ini saja pak. Saya dan istri harus menghidupi empat anak, semuanya sekolah, yang tiga sudah kuliah, sedangkan satunya yang paling kecil masih di SMA. Bapak tahu sendiri…bayar kuliah dan sekolah sangat mahal…untung otak anak saya encer pak dan tahu diri kalau orang tuanya tidak punya. Saya tidak pernah menabung, karena hasil penjualan, selain untuk kulakan, dipakai untuk makan sehari-hari dan memenuhi kebutuhan kuliah dan sekolah anak-anak. Untuk bayar

Page 11: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

217

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

uang gedung (sumbangan pembinaan lembaga) saja jutaan pak…saya harus utang dengan menggandaikan 6 sepeda motor yang saya miliki” (wawancara dengan Mulyono, tanggal 24 September 2011).

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 15. Pak Mulyono sedang melayani pembeli

Sebab-sebab, motif, kondisi, latar belakang, atau alasan

mengapa seseorang atau sekelompok orang terjun ke ekonomi

sektor informal sebagaimana sudah diuraikan di atas sebagian

besar berkaitan dengan masalah ekonomi dan sosial, misalnya

persoalan PHK, pengangguran, kemiskinan, kewirausahaan,

langkanya lapangan kerja, dan lain-lain. Para pedagang yang

bekerja sebagai PKL, rela berpanas-panas dan berhujan-hujan,

semata-mata karena untuk memenuhi kebutuhan ekonomi

keluarga.

Motif lain sebagaimana dilihat Hernando de Soto,

menghindari pajak misalnya, tidak terjadi di PKL yang diteliti.

Hernando de Soto sebagaimana dikutip Azuma and Grossman

(2008) menunjukkan bahwa di banyak negara berkembang

khususnya negara-negara miskin, beban pajak yang berat, fee,

kinerja birokrasi yang buruk, dan dorongan penyuapan,

Page 12: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

218

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

menyebabkan seorang pengusaha masuk ke sektor informal.

Demikian pula yang ditemukan Sookram and Watson (2008)

bahwa kebanyakan penghasilan yang tidak dilaporkan dari

sektor informal merupakan hasil dari upaya hati-hati untuk

menghindari pajak.

Sookram and Watson (2008) juga menyebutkan bahwa

beban pajak yang tinggi, regulasi pemerintah yang membebani,

dan pertimbangan waktu, menyebabkan pengusaha terlibat

dalam aktivitas sektor informal. Salah satu pedagang kaki lima

yang berjualan di Kokrosono, tepatnya di pinggir jalan dekat

dengan bantaran sungai Banjir Kanal Barat, tampaknya dapat

digolongkan dalam kategori yang disebutkan Soto, Sookram

dan Watson.

Sektor usaha ekonomi informal ini dilakukan oleh suami

isteri, dan kadang dalam aktivitas penjualan dibantu oleh

putrinya yang sedang kuliah di sebuah universitas besar di

Semarang. Di antara pedagang kaki lima yang lain, mereka

(suami isteri) secara sekilas, dapat digolongkan ke dalam

pedagang kaki lima (PKL) kaya, karena: (1) PKL tersebut

berdagang dengan menggunakan dua mobil yang sifatnya

mobile, dapat dipindahkan kemana saja, (2) barang

dagangannya, berupa peralatan rumah tangga, seperti pacul,

bendo, sabit, drei, cetok, kunci dan gembok almari dan pagar,

kuas, pisau, gunting, meteran, dan lain-lain.

Setelah dilakukan wawancara yang mendalam, ternyata

dugaan bahwa yang bersangkutan bekerja di jalanan adalah

untuk menghindari pajak, tidaklah benar. Orang Jawa

mengatakan, “nek ndelok uwong, ojo didelok lahire wae”,

artinya kalau melihat orang jangan dilihat lahiriahnya saja. Pak

Mul dan istri yang berdagang alat-alat pertukangan, pertanian,

dan peralatan rumah tangga lainnya ini, jika dilihat sepintas

dapat dikategorikan sebagai orang kaya, karena barang

dagangan ditempatkan di dua mobil bekas miliknya, sementara

Page 13: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

219

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

pedagang lainnya meletakkan barang-barang dagangannya di

atas tanah hanya dengan beralaskan tikar atau terpal. Pada saat

diwawancarai, pak Mul sedang ditagih seorang pengusaha Cina,

tetapi belum bisa bayar. “Nanti ya om, dagangannya baru sepi”,

kata pak Mul ketika ditagih pak Antoni, sang pemasok barang.

Pak Mul bisa membeli mobil, tetapi bukan mobil baru.

Mobil dibeli dengan harga 25 juta rupiah, yang satu harganya

15 juta rupiah dan satunya lagi 10 juta rupiah. Mobil ini

digunakan untuk mengangkut barang dagangan sekaligus untuk

“dasaran” atau tempat menjual barang.

“Panjenengan kalau melihat saya, pasti mengira saya orang kaya ya pak…Bapak percaya atau tidak, hingga kini saya belum punya rumah…rumah ada tetapi ngontrak pak. Saya punya 4 anak, 2 di antaranya kuliah, 1 orang sekolah di SMA, dan seorang lagi masih duduk di bangku SD. Penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anak. Utang saya banyak pak…tabungan uang saja saya tidak punya. Memang saya punya 6 sepeda motor…semuanya saya gadaikan 5 juta rupiah untuk membayar kuliah anak saya. Saya juga utang 10 juta rupiah untuk sewa kios di blok C Kokrosono. Untuk itu, saya harus utang rentenir, tiap bulannya harus membayar Rp1.250.000,00 selama 1 tahun. Bapak bisa bayangkan bagaimana beban yang harus saya tanggung” (wawancara dengan Mulyono, 24 September 2011).

Pedagang kaki lima jenis ini, juga dijumpai di wilayah

penelitian yang lain, yakni seorang pedagang pakan burung dan

ikan di Sampangan serta pedagang rokok dan makanan kecil di

Basudewo.

Di Semarang, pedagang yang menggunakan mobil untuk

berjualan juga banyak dijumpai di lokasi PKL Kartini, jalan

Kusumawardani, jalan Kelud Utara, dan beberapa tempat

lainnya. PKL yang berdagang dengan menggunakan mobil,

tidak hanya berdagang barang-barang peralatan rumah tangga

Page 14: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

220

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

dan pertanian, tetapi juga berdagang sayur-sayuran, pakaian

jadi, boneka, peralatan elektronika, dan yang lainnya.

Pedagang disebut terakhir ini, mulai marak di kota

Semarang, terutama setelah PKL yang berdagang atau

menjalankan usaha di sekitar bundaran Simpang Lima dan jalan

Pahlawan dipindahkan ke lokasi PKL jalan Menteri Soepeno

pada tahun 2010. Pada akhir tahun 2011, PKL tidak

terorganisasi yang biasa berjualan di jalan Menteri Soepeno

dipindah lagi ke lokasi baru, yaitu di depan Stadion

Diponegoro.

Sikap akomodatif pemerintah kota Semarang, terutama

sejak dipegang walikota yang baru, yaitu Soemarmo, membuat

para PKL leluasa berdagang apa saja dengan menggunakan

lapak atau sarana berdagang yang bermacam-macam. Satu di

antaranya adalah berdagang dengan menggunakan mobil untuk

berjualan. Para PKL yang menggunakan mobil sebagai sarana

berdagang dapat menjalankan usaha di lokasi PKL yang baru,

yakni di jalan Menteri Soepeno (yang kemudian pindah lagi ke

Stadion Diponegoro). Gambar berikut menunjukkan sepasang

suami istri penjual beras dengan mobil sebagai sarana dagang.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 16. Seorang penjual beras dengan mobilnya sedang melayani pembeli

Page 15: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

221

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 17. Para pengunjung yang berdesak-desakan di

sentra PKL jalan Menteri Soepeno pada hari Minggu

Dalam perkembangannya, PKL mobile bertambah banyak,

terutama yang menjalankan usaha berdagang sayur-sayuran. Di Semarang, mereka yang berdagang sayur-sayuran jumlahnya lebih dari 100 pedagang. “Benar pak, jumlahnya kurang lebih ada 100 pedagang”, kata Sunarto. Di Pasar Projo Ambarawa, Kabupaten Semarang, para pedagang sayur-sayuran tersebut jumlahnya kurang lebih 150 orang. Pagi sekali, sekitar jam 02.00 mereka sudah berkumpul di pasar untuk “kulakan” sayur-sayuran dan jam 04.00 atau 05.00 mereka sudah meluncur mendekati para pelanggannya.

Dalam dua atau tiga tahun terakhir, di Semarang muncul fenomena baru, yaitu PKL yang berdagang dengan menggunakan mobil untuk sarana berjualan. Mereka kebanyakan tidak termasuk PKL miskin yang bekerja sekedar untuk bertahan hidup. Mobil yang dipakai bervariasi, ada yang menggunakan mobil Toyota Kijang, mobil Avanza, mobil Suzuki Futura, mobil sedan, mobil Daihatzu Zebra, dan banyak di antaranya yang menggunakan motor roda tiga merek Tossa yang sudah diubah bentuknya untuk keperluan berdagang.

Page 16: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

222

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Dagangan yang mereka jual bervariasi, mulai dari sayur-sayuran, buah-buahan, makanan kering, minuman, beras, pakaian, hingga alat-alat perkakas rumah tangga dan pertanian.

Dari mobil yang digunakan, penampilan penjual, dan

volume barang dagangan, tampak bahwa para pedagang ini

tidak tergolong kelompok masyarakat miskin. Setidaknya

mereka membutuhkan modal besar untuk berdagang. Tidak

diketahui apakah mereka berjualan dengan menggunakan

mobil untuk mencari keuntungan semata-mata karena sulitnya

bersaing dengan pelaku usaha sektor formal atau ada suatu

strategi meraih untung tanpa dikenai pajak yang membebani

mereka. Jika mereka berdagang untuk mencari untung, dengan

menghindari pajak, maka benar kiranya apa yang diteliti oleh

Sookram dan Watson bahwa banyak pengusaha terjun ke sektor

informal agar dapat menghindari pajak.

Pedagang kaki lima mobile ini memiliki motif yang

bermacam-macam. PKL yang sarana berdagangnya

menggunakan mobil, umumnya didasari oleh motif untuk

mendekati konsumen (dalam arti ekonomi). Demikian juga PKL

sayur-sayuran yang menggunakan sepeda motor, motif

utamanya adalah “jemput bola”, yaitu mendekati konsumen

agar dagangannya cepat laku (Handoyo 2011). Selain karena

cepat laku, pedagang sayur berdagang berkeliling, juga

disebabkan oleh faktor lainnya, seperti mudah bergerak dari

satu tempat ke tempat lainnya, lebih bebas, tidak ada retribusi,

dan tidak terpengaruh oleh cuaca dagangan tetap laku.Lama

kelamaan karena sering datang ke perumahan, maka pedagang

sayur akhirnya memiliki pelanggan. Adanya pelanggan inilah

yang membuat kelangsungan usahanya tetap terjaga. Gambar

berikut menunjukkan seorang pedagang sayur keliling yang

sedang melayani pembeli di sebuah perumahan.

Page 17: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

223

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 18. Seorang Pedagang Sayur Keliling sedang melayani pembeli

B. Kontribusi Ekonomi Sektor Informal dan Pedagang Kaki

Lima (PKL)

Sektor informal, khususnya PKL, dalam sistem ekonomi

kontemporer (modern) bukanlah suatu gejala negatif

sebagaimana argumen yang menolak PKL, tetapi lebih sebagai

realitas ekonomi kerakyatan yang berperan cukup penting

dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan nasional

(Effendi 1997:1). Pedagang kaki lima (PKL) sebagai korban dari

kelangkaan kesempatan kerja produktif di kota, sehingga PKL

dipandang sebagai jembatan terakhir bersama berkembangnya

proses urbanisasi (Mustafa 2008:57).

Dukungan mengenai peran positif dari PKL disuarakan pula

oleh Morrell,dkk (2008:7) dalam kajiannya tentang sektor

informal di kota Surakarta dan Manado. Hasil penelitian di

Surakarta menunjukkan bahwa aktivitas sektor informal tidak

hanya mengisi fungsi ekonomi, tetapi juga memberikan

pendidikan, mobilitas sosial, dan meningkatkan jaminan bagi

Page 18: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

224

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

anak-anak mereka. Harris sebagaimana dikutip Amin (2005)

menunjukkan bukti bahwa efisiensi yang dimiliki oleh sektor

informal dapat mengurangi tingkat kemiskinan urban.

ILO juga menemukan bahwa sektor informal mampu

menyerap migran pedesaan (Amin 2005). Demikian pula,

Kutcha-Helbling sebagaimana dikutip Kayuni and Richard I.C.

Tambulasi (2009:81) dalam sebuah penelitian tentang pedagang

kaki lima di Malawi, Afrika, mengungkapkan bahwa sejumlah

besar sektor informal memiliki konsekuensi serius terhadap

aktivitas sektor privat, pertumbuhan ekonomi dan

pembangunan, serta konsolidasi demokrasi. Kayuni and

Richard I.C. Tambulasi (2009) pun yakin bahwa sektor informal

memainkan peran kritis dalam pembangunan sebuah bangsa.

Aspek positif dari sektor informal dan PKL khususnya,

dapat dilihat dari kontribusi nyata yang diberikan sektor

informal terhadap penyerapan tenaga kerja, GDP, dan lain-lain.

Meskipun banyak pihak yang memandangnya sebagai pencipta

kemacetan dan pengganggu ketertiban kota, namun sumbangan

positif sektor informal dan PKL tidak diragukan.

Menurut catatan Bromley (2000), pedagang kaki lima

(street vendors) berkontribusi pada aktivitas ekonomi dan

penyediaan layanan. Nirathron (2006) dalam penelitian tentang

PKL di Bangkok menghasilkan tiga temuan (1) PKL

menciptakan kesempatan untuk memerangi kemiskinan, (2)

PKL merupakan sarana untuk mengakumulasi modal, dan (3)

PKL mendukung penghasilan dan keterampilan kewirausahaan.

Pada tahun 1993 World Bank melaporkan bahwa sektor

formal hanya mampu menampung 32% dari populasi tenaga

kerja, sedangkan sisanya 68% ditampung di sektor informal.

Becker (2004:3) menunjukkan jumlah tenaga kerja sektor

informal adalah 70% di Sub Afrika Sahara, 62% di Afrika Utara,

60% di Amerika Latin, dan 59% di Asia. Ini menunjukkan

Page 19: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

225

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

bahwa sektor informal menampung angkatan kerja lebih

banyak daripada sektor formal.

Studi terbaru yang dilakukan oleh Schneider menunjukkan

bahwa sektor informal di negara-negara berkembang memberi

kontribusi kepada GDP sebesar 20% hingga 70% (Sookram and

Watson 2008). Di Amerika dan Jepang, sumbangan sektor

informal terhadap GDP hanya 10%, tetapi di negara-negara

berkembang seperti Meksiko dan Thailand sumbangannya

kepada GDP jauh lebih tinggi, yaitu masing-masing 50% dan

70% (Quintin 2008).

Gerxhani (2004) dalam penelitiannya, menunjukkan hasil

yang tidak jauh berbeda dengan studi Schneider dan Sookram

mengenai sumbangan sektor informal terhadap GNP. Di Asia,

sumbangan sektor informal terhadap GNP sebesar 35%, di

Amerika Latin sebesar 39%, dan di Afrika sumbangannya

sebesar 44%. Data yang dikumpulkan UNESCAP dan UN-

HABITAT (2008) menunjukkan bahwa di Asia, sekitar 65% dari

lapangan kerja non-agricultural adalah di sektor pertanian dan

kontribusi sektor informal terhadap PDRB Asia sebesar 31%.

Di India, mayoritas besar tenaga kerja bermatapencaharian

dari sektor informal (Saha 2009). Hal ini dapat dilihat dari

survai nasional terbaru yang menginformasikan bahwa pada

tahun 2004-2005 angkatan kerja sektor informal sebanyak 422

juta pekerja atau 92% dari total angkatan kerja sebesar 457 juta

orang. Dari jumlah angkatan kerja sektor informal tersebut,

mereka yang bekerja sebagai pedagang kaki lima sebanyak 10

juta orang, 250.000 orang diantaranya ada di Mumbai.

Pedagang kaki lima ini, menurut Saha (2009) memainkan peran

penting dalam perekonomian urban di India dengan

menyediakan pekerjaan, pendapatan, dan kontribusi lainnya.

Tidak jauh dengan data pekerja sektor informal di India, di

Venezuela pekerja yang terjun ke sektor informal lebih dari

Page 20: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

226

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

50% dan 30% di antaranya melakukan kegiatan perdagangan

(Jaffe, et al. 2007).

Di Vietnam, sektor informal berperan sebagai sumber

matapencaharian dan peningkatan pendapatan setelah krisis

keuangan tahun 1998 (Tran 2000). Di Bangkok, jumlah orang

yang bekerja di sektor informal diperkirakan 390.600 pekerja,

26.733 orang diantaranya bekerja sebagai pedagang makanan

jalanan (Nirathron 2006). Seperti halnya di Vietnam, selama

krisis ekonomi di Thailand, PKL dipandang sebagai solusi bagi

para penganggur dan biaya hidup yang tinggi. PKL dan sektor

informal lainnya berfungsi bagai busa (sponge) yang mampu

menyerap surplus tenaga kerja yang terlempar dari sektor

formal.

Beberapa kajian dan penelitian di atas memberikan bukti

bahwa sektor informal dan pedagang kaki lima (PKL)

merupakan pelaku ekonomi yang tidak bisa dipandang remeh

dan kontribusinya cukup besar dalam pembangunan ekonomi

suatu negara. Dalam perspektif makro, sektor informal dan

PKL memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi,

membuka kesempatan dan lapangan kerja bagi para migran

pedesaan maupun warga perkotaan, serta mengurangi atau

menekan kemiskinan. Dalam perspektif mikro, sektor informal

dan PKL meningkatkan pendapatan bagi pelakunya,

memberikan jaminan kehidupan bagi keluarga dan anak-

anaknya, serta memupuk dan mengembangkan jiwa

kewirausahaan.

Seperti halnya negara-negara dunia ketiga lainnya, sektor

informal di Indonesia masih mendominasi seluruh angkatan

kerja. Selama tahun 1980-an dan 1990-an, penduduk yang

menggantungkan diri pada sektor informal sebagai sumber

utama pekerjaan dan penghasilan diperkirakan 60% dari total

tenaga kerja (Suharto 2002:116).

Page 21: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

227

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Kontribusi ekonomi sektor informal cukup signifikan

sebagai pelumas ekonomi nasional. BPS menunjukkan bahwa

sektor informal menyumbang sekitar 74% terhadap kesempatan

kerja pada tahun 1985, meskipun pada tahun-tahun berikutnya

cenderung berkurang, yaitu 72% pada tahun 1990, 65% pada

tahun 1998, dan pada tahun 2002 turun lagi menjadi 49% dari

91.647.166 tenaga kerja (Mulyanto 2007).

Pada tahun 1993, persentase rumahtangga miskin yang

bekerja di sektor informal sangat tinggi, yakni 74% dari total

rumahtangga miskin (Suharto 2002). Sektor informal Indonesia

yang diwakili oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)

menyumbang 55,8 persen produk domestik bruto (PDB) tahun

2005 dan 19 persen dari total ekspor (Samhadi 2006:33).

Meskipun diindikasikan sebagai perusahaan berskala kecil,

tetapi kontribusi ekonomi sektor informal cukup signifikan.

Pada tahun 2004, BPS memperkirakan bahwa jumlah entitas

bisnis yang dikategorikan sebagai entitas non-legal (usaha

mikro, kecil, dan menengah) adalah 17 juta unit bisnis, dengan

total pekerja informal 30 juta dan total produksi senilai Rp537

milyar (Zen dan Restu Mahyuni (ed) (2007:42).

Kontribusi ekonomi pedagang kaki lima (PKL) terhadap

PDRB Surabaya pada tahun 2003 adalah sebesar

Rp292.363.548.750,00 atau 0,57% dari nilai total PDRB kota

Surabaya (Zakik 2006:103). Di kota Semarang, Dinas Pasar

menginformasikan bahwa pedagang kaki lima (PKL)

menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) sebesar 1,5 milyar

pada tahun 2004 dan tahun 2005 sumbangannya meningkat

menjadi 6 milyar rupiah (Simpul Semarang dalam

http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/inisiatif/artikel.php?aid

=22432).

Pada tahun 2009, Pemkot Semarang mentargetkan

pendapatan dari retribusi sewa lahan dan kebersihan PKL

sebesar Rp1.560.400.500,00 dan realisasinya sebesar

Page 22: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

228

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Rp1.394.308.200,00. Jika dibandingkan jumlah pendapatan asli

daerah (PAD) pada tahun yang sama sebesar

Rp1.369.670.792.942,00, maka persentase kontribusi ekonomi

PKL terhadap PAD sebesar 0,102%. Jumlah pendapatan dari

retribusi PKL pada tahun-tahun berikutnya mengalami

peningkatan. Data pendapatan dari retribusi PKL dapat dilihat

pada tabel di bawah ini.

Tabel 11. Pendapatan Pemkot Semarang dari Retribusi PKL

Tahun Target (dalam Rupiah) Realisasi (dalam Rupiah)

2009 1.560.400.500,00 1.394.308.200,00 2010 2.060.399.000,00 1.587.798.725,00 2011 2.517.949.401,00 1.684.885.650,00 2012 2.832.693.750,00 -

Sumber: Wawancara dengan Pak Azis (Ka.Sub. PKL Dinas Pasar Kota Semarang) tanggal 31 Januari 2012

Realisasi retribusi PKL tahun 2011 di atas lebih besar

daripada realisasi sumbangan ekonomi PKL tahun 2009 dan

2010. Realisasi retribusi PKL tersebut juga lebih tinggi daripada

realisasi retribusi PKL tahun-tahun sebelumnya. Sebagaimana

dilaporkan Kamal (2008), retribusi PKL tahun 2001 sebesar

Rp1,1 juta; tahun 2002 sebesar Rp1,3 juta; tahun 2003 sebesar

Rp1, 5 juta dan tahun 2004 sebesar Rp1,6 juta. Tahun 2004

retribusi PKL mencapai angka Rp1,6 juta melebihi realisasi

retribusi PKL tahun 2009 sebesar Rp1,4 juta. Namun dengan

mengabaikan pengecualian pada tahun 2009, sumbangan

ekonomi PKL terhadap pendapatan asli daerah kota Semarang

dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Ini artinya,

keberadaan PKL adalah riil memberi manfaat, sehingga fasilitasi

dan pembinaan terhadap PKL sangat diperlukan agar mereka

dapat mengembangkan usahanya, demi memenuhi kebutuhan

keluarga dan pada gilirannya memberi sumbangan positif bagi

perekonomian kota Semarang.

Sumbangan ekonomi PKL kepada pendapatan asli daerah

(PAD) Kota Semarang, tidak hanya berasal dari PKL yang sudah

terorganisasi atau dilegalisasi oleh Pemkot, tetapi juga ditarik

Page 23: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

229

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

dari PKL yang tidak terorganisasi atau liar. PKL Sampangan dan

Basudewo yang pada saat penelitian (tahun 2009-2011)

dipandang liar, sesungguhnya mereka memiliki izin untuk

berjualan yang dikeluarkan Camat setempat dan ditarik

retribusi sebesar Rp1.000,00 per hari. Retribusi ini dihentikan,

sejak ada kebijakan relokasi yang ditetapkan Pemkot pada

tahun 2009.

Selama tahun 2009-2011 terjadi beberapa kali penertiban

dan penggusuran di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono,

dengan tujuan supaya PKL bersedia pindah ke lokasi yang telah

disediakan Pemkot, namun kebijakan Pemkot tersebut

ditentang dan diabaikan oleh PKL. Untuk memudahkan proses

relokasi tersebut, Pemkot tidak menarik retribusi hingga

mereka bersedia pindah. PKL Basudewo yang akhirnya bersedia

direlokasi ke sentra PKL Kokrosono, kini sudah ditarik retribusi

oleh Pemkot. “Sejak pindah ke sini, kita sudah ditarik iuran

pak”, demikian ungkap pak Achmad (wawancara dengan pak

Achmad, Rabu, 8 Pebruari 2012).

Penarikan retribusi kepada PKL, baik yang sudah

terorganisasi maupun yang belum, menunjukkan bahwa PKL

memiliki kontribusi terhadap capaian pendapatan asli daerah

(PAD) kota Semarang meskipun jumlahnya tidak terlalu

signifikan.

Meskipun tidak sebesar kontribusi ekonomi PKL Surabaya,

tetapi sumbangan PKL Semarang cukup signifikan, karena

besaran retribusi PKL tersebut dapat dimanfaatkan pemerintah

kota untuk pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.

Ini menunjukkan, bahwa meskipun sikap pemerintah kota

terkadang ambivalen, tetapi keberadaan sektor informal,

khususnya PKL tetap diperhitungkan karena sumbangannya

terhadap pendapatan asli daerah (PAD) cukup signifikan.

Jikalau tidak memberikan sumbangan yang besar dan

signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) seperti yang

Page 24: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

230

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

diperlihatkan beberapa kota besar lainnya, namun penghasilan

PKL dapat digunakan oleh pedagang untuk memenuhi

kebutuhan keluarga dan mendukung kehidupan kelompok

marginal lainnya, seperti tukang parkir, pengemis, dan

pengamen. Keberadaan PKL juga tidak membebani anggaran

pemerintah kota, bahkan dilihat dari aspek penyerapan tenaga

kerja tidak terdidik, PKL memberi kontribusi dalam mengatasi

pengangguran dan menciptakan stabilitas ekonomi kota.

Dari penelitian di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono,

tampak bahwa kontribusi ekonomi PKL cukup signifikan untuk

membangun ekonomi keluarga dan masyarakat sekitar.

Kontribusi yang paling dominan adalah membangun ekonomi

keluarga. Yang dimaksud dengan membangun ekonomi adalah

bagaimana PKL yang secara sosiologis merupakan strata atau

lapisan kelas menengah ke bawah mampu memenuhi

kebutuhan keluarganya dengan menggunakan sumber daya

terbatas yang ia miliki.

Ekonomi adalah perilaku orang dan masyarakat dalam

memilih cara menggunakan sumber daya yang langka dan

memiliki beberapa alternatif penggunaan, dalam rangka

memproduksi berbagai komoditi untuk kemudian

menyalurkannya, baik saat ini maupun di masa depan kepada

para individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat

(Samuelson dan William D. Nordhaus 1994:5). Dalam konsep

ekonomi ini terdapat komponen penting, yakni (1) individu

atau kelompok memiliki sumber daya yang terbatas atau

langka, (2) keinginan dan kebutuhan individu atau kelompok

masyarakat tidak terbatas, (3) mereka dihadapkan pada berbagai

pilihan, (4) untuk menggunakan sumber daya serta melakukan

kegiatan produksi dan konsumsi.

Pedagang kaki lima (PKL) sebagai salah satu pelaku

ekonomi di sektor informal, dihadapkan pada keterbatasan

yang dimiliki, seperti pendidikan yang relatif rendah,

Page 25: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

231

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

keterampilan yang kurang, tidak memiliki sumber daya yang

memadai, misalnya tanah dan bangunan, sementara mereka

harus hidup dan menghidupi keluarganya, sehingga sesuai

dengan konsep ekonomi tersebut, mereka harus memilih tetap

berada di kota dengan segala keterbatasan yang dimiliki untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya atau harus kembali

ke desa asal tetapi dengan lapangan pekerjaan yang makin

sempit yang belum tentu dapat menampung mereka.

Ini adalah sebuah dilema sekaligus pilihan sulit bagi para

PKL. Umumnya para PKL sudah cukup lama tinggal di kota

Semarang dan sebagian besar telah berkeluarga dan mempunyai

tanggungan keluarga. Pilihan yang mungkin bagi mereka

adalah tetap tinggal di kota meskipun terpaksa harus mencari

pendapatan dengan memanfaatkan ruang publik yang dilarang

oleh pemerintah kota.

Sejak puluhan tahun yang lalu, utamanya setelah banyak

berdiri perguruan tinggi swasta di sekitar Sampangan, maka

daerah Sampangan, yakni pasar dan sekitarnya sangat ramai

menjadi lalu lintas kendaraan dan orang, tidak hanya pada pagi

hari tetapi juga pada malam hari. Ibarat sarang madu,

Sampangan menjadi pilihan bagi para pedagang untuk

berjualan, demi mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Sebelum terjadinya penggusuran besar-besaran pada bulan

Maret 2010, wilayah Sampangan, khususnya daerah pinggir

sungai Kaligarang, cukup banyak para pedagang yang

menjalankan aktivitas ekonomi, terutama adalah berdagang

nasi di malam hari. Jumlah pedagang pada saat penggusuran

tidak kurang dari 30 orang. Atas nama proyek pembangunan

normalisasi sungai Kaligarang dan Banjirkanal Barat,

pemerintah provinsi Jateng memberi perintah kepada

pemerintah kota untuk membersihkan wilayah Sampangan

yang padat dipenuhi para PKL. Alhasil, pada bulan Maret 2010,

PKL Sampangan digusur. Seluruh bangunan semi permanen

Page 26: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

232

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

dan lapak mereka diratakan dengan tanah, dan sejak itu mereka

pindah sementara ke arah selatan (bergeser sedikit, kurang

lebih 15 meter dari lokasi semula).

Pasca penggusuran, pedagang yang menjalankan usaha pada

malam hari tidak kurang dari 10 orang, tetapi dengan

berjalannya waktu kini sudah ada 15 orang yang masih

berdagang nasi dan usaha lainnya pada malam hari. Mereka

yang berdagang pada malam hari di antaranya adalah warung

tenda biru, warung sederhana, warung penyet monggo mampir,

warung lombok ijo mbak Tari, warung sate, warung ayam

goreng bang Zuri, warung bebek goreng pak Ragil, warung

penyet mbak Yani, depot ayam goreng, warung nasi gandul,

warung seafood Lamongan. Selain warung makan tersebut, juga

turut membuka usaha, yaitu penjual pakan burung dan penjual

kue terang bulan.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 19. Para PKL Sampangan yang berdagang pada

malam hari

Pada siang hari, lapak yang ada digunakan PKL untuk

berdagang gado-gado dan es cendol. Jumlah pedagang makanan

Page 27: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

233

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

dan minuman ini tidak banyak. Sebagian besar lapak

dimanfaatkan PKL untuk membuka usaha bengkel sepeda dan

sepeda motor, tambal ban, serta las listrik dan tukang drat.

Sesuai kesepakatan para PKL, mereka berbagi tempat dan

waktu.

Mereka yang berdagang dan menjual jasa di siang hari

boleh menggunakan lapak yang sama yang digunakan oleh

pedagang malam hari hanya sampai jam 15.00; sedangkan PKL

yang berdagang pada malam hari baru akan menyiapkan barang

dagangan sore setelah aktivitas PKL siang hari sudah selesai.

PKL yang berdagang pada malam hari biasanya selesai jam

23.00 atau ketika dagangannya sudah habis. Kebersihan lokasi

berdagang ditanggung bersama. PKL yang berdagang pada siang

hari, selesai berdagang segera membersihkan sampah supaya

PKL malam hari dapat berdagang dengan nyaman, begitu pula

sebaliknya, PKL malam hari selesai beraktivitas juga

membersihkan lokasi berdagang dan membuang sampah.

“kita memang sudah ada kesepakatan pak, lapak bisa digunakan bersama oleh pedagang, bahkan siapa pun yang ingin berdagang di sini…tentu tidak semuanya bisa tertampung…yang diutamakan adalah mereka yang dahulu digusur dan boleh berdagang di sini. Aturannya, yang pagi dan siang boleh berdagang sampai jam 15.00 dan mereka harus sudah membersihkan lapak, sedangkan malam harinya digunakan kita yang menjalankan usaha warungan” (wawancara dengan Agus, Minggu, 15 Januari 2012).

Pada malam harinya, mereka yang berdagang nasi tidak

pernah sepi dari pembeli, apalagi lokasi sentra PKL Sampangan

ramai dan padat lalu lintas. Di sekitar lokasi tersebut, terdapat

toko besar, seperti Super Swalayan yang juga tidak pernah sepi

dari pembeli. Toko-toko kecil juga ada, seperti toko alat tulis

kantor, toko mebel, toko penjual onderdil motor dan mobil,

toko afdruk dan cetak foto, toko sandal dan sepatu, dan toko-

Page 28: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

234

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

toko kecil lainnya. Di Sampangan juga terdapat Pusat

Kebugaran dan Hiburan Karaoke, yang ramai dikunjungi

pengunjung pada malam hari. Adanya pom bensin juga

menambah ramainya lokasi PKL Sampangan.

Lokasi PKL Sampangan yang strategis ini juga ditunjang

oleh keberadaan perguruan tinggi swasta di sekitar Sampangan,

seperti Akademi Sekretaris Santa Maria, Akademi Komputer

GEGA (ALFABANK), Stikubank Semarang, IKIP Veteran,

Sekolah Tinggi Farming Semarang, Akademi Pelayaran

Nasional (AKPELNI) Semarang, UNTAG Semarang, Akademi

Pariwisata (AKPARI) Semarang, dan Sekolah Tinggi Ekonomi

Semarang (dahulu bernama AKOP Semarang). Di Sampangan

dan sekitarnya juga terdapat warung makan yang ditata seperti

café selain warung tenda PKL. Jumlahnya juga cukup banyak,

mulai dari warung nasi ayam goreng hingga warung nasi

padang. Para mahasiswa yang berada di sekitar Sampangan

maupun mahasiswa Universitas Negeri Semarang dan Akademi

Kebidanan yang berada di Gunungpati turun ke Sampangan

untuk makan atau mencari pusat-pusat hiburan.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 20. Suasana PKL Sampangan yang padat lalu lintas

Page 29: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

235

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Sumber: Dokumen Pribadi.

Gambar 21. Para PKL Sampangan yang berjualan di siang hari

Selain untuk menghidupkan perekonomian di wilayah

Sampangan, usaha PKL Sampangan juga berkontribusi dalam

memenuhi kebutuhan keluarga PKL. Tukang parkir yang

jumlahnya lebih dari 5 orang juga dapat merasakan keuntungan

dari aktivitas perdagangan yang dilakukan para PKL.

Pak Muriman (56 tahun) merupakan salah seorang PKL

yang cukup berhasil di wilayah Sampangan. Ia telah menikah

dua kali. Istri pertama meninggal dunia ketika ia sedang

merintis usaha berdagang gado-gado. Dari pernikahan istri

pertama (meninggal dunia) dan istri kedua, ia dikaruniai 5

orang anak. Semuanya sudah sekolah, bahkan 2 di antaranya

sudah menikah. Bagi masyarakat Sampangan dan sekitarnya,

gado-gado pak Man, demikian panggilan akrabnya, terbilang

enak.

Pak Man sudah menjalankan usaha jualan gado-gado sejak

20 tahun yang lalu. Pendapatan bersih pak Man tidak kurang

dari Rp100.000,00 per hari. Itu terjadi sebelum krisis ekonomi

melanda Indonesia tahun 1997 yang lalu. Dari usaha berjualan

Page 30: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

236

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

gado-gado, pak Man bisa membeli mobil Katana seharga

Rp25.000.000,00, sebuah rumah di Gunung Talang, dan bisa

membelikan perhiasan bagi istrinya. Pada awal merintis usaha,

modal pak Man Rp5.000.000,00. Tanah tempat usahanya dibeli

dengan harga Rp800.000,00 dan ia dirikan warung

menghabiskan dana Rp5.000.000,00.

Sebelum krisis tahun 1997 aset pak Man tidak kurang dari

Rp100.000.000,00. Sebelum terjadi penggusuran pada tahun

2009, pak Man menjual mobil Katana dan menggantinya

dengan membeli mobil Kijang keluaran tahun 1980-an seharga

Rp10.000.000 dan dengan tambahan anggaran Rp10.000.000,00,

mobil tersebut disulap menjadi mobil yang dapat dipakai untuk

mengangkut barang dan gado-gado yang akan dijual. Ketika

ditanya mengapa mobil Katana dijual dan diganti mobil bekas

yang tahunnya lebih tua, pak Man menjawab seperti berikut.

”mobil Katana hanya bisa digunakan untuk mengangkut barang saja, setelah itu barang harus diturunkan, dimasukkan, dan ditata di dalam lapak…ini tidak efisien mas, karena itu saya jual dan sebagai gantinya saya membeli mobil kijang bekas…harganya sih murah hanya Rp10.000.000,00, tetapi saya desain menjadi tempat berdagang, jadinya kalau dihitung ya…mobil itu senilai Rp20 jutaan. Mobil kijang ini lebih bermanfaat mas, karena dapat saya gunakan untuk mengangkut barang sekaligus saya jadikan sebagai tempat untuk jualan, sehingga saya bisa menghemat tempat. Lagipula kalau ada penertiban, saya bisa langsung membawa pulang mobil tersebut beserta barang-barang dagangan saya” (wawancara dengan pak Muriman, 10 Desember 2010).

Setelah penggusuran pada bulan Maret 2009, pak Man yang

biasanya berjualan di tepi bantaran sungai Kaligarang, untuk

beberapa saat memindah lokasi berjualan ke arah selatan satu

kompleks dengan pasar Sampangan. Kios baru tersebut ia sewa

2 tahun senilai Rp10 juta. Untuk itu, ia harus menjual mobil

kijang dan laku Rp16 juta. Sepinya pembeli membuat pak Man

kembali lagi ke tempat semula hingga kini. “Sekarang ini,

Page 31: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

237

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

dagangan sepi mas…bisa dapat Rp50.000,00 per hari sudah

hebat”, demikian pengakuan pak Man.

Dari hasil berjualan gado-gado, pak Man bisa menabung

dan sebagian dibelikan sebidang tanah senilai Rp12 juta pada

tahun 2006. Dua anak sudah ia nikahkan, bahkan salah seorang

menantunya sekarang turut membantu usaha dagang pak Man.

Meskipun tidak seramai dahulu, pak Man tetap berdagang di

tepi bantaran sungai Kaligarang hingga kini. Warung yang

disewa pak Man kini sudah hancur rata dengan tanah sejak

kepindahan pasar Sampangan ke lokasi baru, sehingga pak Man

kembali berdagang di jalanan untuk sementara waktu. Satu-

satunya alasan mengapa pak Man tetap bertahan di jalanan,

adalah karena untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Dua puluh lima tahun yang lalu wilayah Sampangan tidak

begitu ramai. Perekonomian belum tumbuh seperti saat ini,

dikarenakan toko-toko besar dan kecil belum ada. Perguruan

tinggi yang ada di sekitar Sampangan baru ada tiga, yaitu

Stikubank, Akpari, dan AKA. Pom Bensin yang menjadi tempat

transit pengendara mobil dan sepeda motor belum dibangun.

Kini dengan telah berkembangnya toko-toko di Sampangan dan

sekitarnya serta makin banyaknya perguruan tinggi yang

didirikan di sekitar Sampangan, menjadikan Sampangan sebagai

sentra ekonomi penting selain pusat-pusat pertumbuhan

ekonomi di kota Semarang.

Perekonomian yang tumbuh di wilayah Sampangan,

dimungkinkan karena adanya pasar tradisional, Pom Bensin,

perguruan tinggi, dan puluhan toko di sekitarnya, selain

dinikmati para PKL, juga dirasakan manfaatnya oleh tukang

parkir.

Pada siang hari di wilayah Sampangan terdapat 6 tukang

parkir, seorang bekerja di depan toko Alfamart, 2 orang di

depan pasar, 1 orang di depan warung Soto pak Man, 1 orang di

depan toko Swalayan Super, dan seorang lagi mengais rezeki di

Page 32: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

238

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

depan PKL Sampangan di tepi bantaran sungai Kaligarang.

Tukang parkir yang berjaga pada pagi hari di area PKL

Sampangan tidak begitu ramai, karena pada siang hari PKL

yang berdagang hanya ada beberapa, seperti penjual gado-gado,

penjual minuman, penjual pakan burung, dan beberapa lainnya

menjalankan jasa las dan bengkel sepeda motor.

Wilayah Sampangan sangat ramai, terutama pada malam

hari. Pada saat ramai, tidak kurang dari 100 sepeda motor

diparkir di depan warung-warung makan di Sampangan.

Biasanya warung ramai selama tiga hari, yakni hari Sabtu,

Minggu, dan Senen. Jika hanya diambil 3 hari saja, maka

penghasilan tukang parkir per bulan adalah

3x4x100xRp1.000,00 = Rp1.200.000,00 sebuah penghasilan yang

lumayan besar dibandingkan harus bekerja sebagai pelayan

toko, yang pendapatan per bulan kurang dari Rp1.000.000,00.

Tanpa harus banyak kerja keras, dibandingkan para PKL yang

menjual nasi, makanan, dan minuman; tukang parkir hanya

bermodalkan seragam kuning dan peluit bisa memperoleh

penghasilan lebih baik. Sungguh ironi. Itulah kehidupan di

jalanan, yang terkadang jika dipahami rasanya tidak adil bagi

PKL yang harus kerja keras dan membutuhkan modal untuk

membuka usahanya. Meskipun demikian, para pedagang tidak

menaruh perasaan iri kepada tukang parkir. “Biarlah pak,

mereka juga butuh makan…rezeki sudah ada yang mengatur”,

demikian ungkap mas Agus.

Penghasilan tukang parkir yang berjaga pada siang hari

tidak sebesar pendapatan tukang parkir yang bertugas di malam

hari. Hal ini disebabkan (1) tidak semua lahan dipakai

pedagang, (2) jumlah tukang parkir pada siang hari lebih

banyak, dan (3) pada siang hari hanya ada 2 pedagang nasi dan

gado-gado, lainnya adalah penjual pakan burung, tukang tambal

ban, penjual minuman, tukang las, tukang drat, dan penjual

bahan bangunan, yang pengunjungnya tidak seramai pembeli

pada malam hari.

Page 33: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

239

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Bu Zuhri merupakan pedagang nasi ayam dan bebek goreng yang sudah cukup lama berjualan di Sampangan, yakni sejak tahun 1993. Ia dikaruniai 4 orang anak. Anak pertama, kedua, dan ketiga adalah perempuan, sedangkan bungsunya laki-laki. Dari empat anak tersebut, dua sudah menikah, sedangkan dua lainnya belum. Tahun 2000 suami bu Zuhri meninggal dunia, dan sejak saat itu ia harus menghidupi keluarganya sendirian. Dalam berdagang sehari-harinya, bu Zuhri dibantu oleh 2 orang anaknya dan seorang pembantu.

Penghasilan kotor bu Zuhri tiap harinya berkisar Rp600.000,00 hingga Rp700.000,00. Dari penghasilan kotor tersebut, ia dapat mengambil keuntungan bersih sebesar Rp200.000,00. Uang itu hanya cukup untuk mengontrak rumah, yang dihuni oleh bu Zuhri, kedua anaknya, dua cucunya, dan seorang pembantu. Harta benda yang dipunyai bu Zuhri tidak banyak, yakni satu sepeda motor untuk anak laki satu-satunya dan perhiasan. Dahulu sebelum tempat berdagangnya digusur, bu Zuhri memiliki mobil bak terbuka untuk mengangkut barang dagangan dan sepeda motor.

“Sebelum pindah ke sini, kita punya sebuah mobil bak terbuka…tidak baru sih pak dan sepeda motor Honda Mega-Pro, tetapi karena penggusuran, mobil dan honda dijual untuk membangun lapak di sini pak, ya saya mengalah akhirnya dibelikan sepeda motor butut ini”, kata Agus, anak laki-laki satu-satunya (wawancara dengan Agus, tanggal 17 Desember 2010).

PKL Basudewo memiliki karakteristik yang berbeda dengan PKL Sampangan. Para PKL menempati area persis di tepi sungai Banjir Kanal Barat, dari arah selatan dekat jembatan Lemahgempal menuju arah utara dekat jembatan Banjir Kanal Barat. Pedagang kaki lima (PKL) yang menjalankan usaha di Basudewo jumlahnya kurang lebih 65 orang PKL, 36 orang di antaranya berusaha sebagai pengrajin mebel, lainnya adalah penjual bambu, penjual es tape, penjual mie ayam, penjual bensin eceran, penjual nasi, penjual anak ayam dan burung, penjual rokok dan makanan kecil, dan beberapa di antaranya membuka usaha perbengkelan dan las mobil dan sepeda motor.

Page 34: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

240

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Sebelum terjadi penggusuran besar-besaran pada tahun 2010, aktivitas ekonomi di Basudewo berjalan seperti biasa. Para pengrajin mebel yang kebanyakan berasal dari Mranggen Demak sehari-harinya tidak pernah sepi dari pembeli. Selain harga mebel yang dijual relatif murah, juga kualitasnya tidak kalah dengan mebel yang dijual di toko-toko mebel di Semarang. Demikian pula, mereka yang berdagang nasi, mie ayam, dan rokok tidak pernah sepi dari pembeli. Hal ini dimungkinkan karena lokasi PKL Basudewo berada pada jalur lalu lintas ramai, yaitu berada di antara seberang perempatan Lemah Gempal dan perempatan Banjir Kanal Barat. Di sebelah timur jalan Basudewo juga terdapat beberapa pedagang nasi, pedagang pakan burung, penjual mebel, tukang cukur, show room mobil, dan sebuah Sekolah Dasar, yang keberadaannya turut mendukung keramaian suasana dan aktivitas di sekitar Basudewo.

Pak Achmad merupakan salah satu pedagang kaki lima (PKL) di Basudewo yang memiliki keuletan luar biasa. Sebelum terdampar sebagai PKL, pak Achmad sebelumnya merupakan seorang tukang jahit. Sebelum berdagang di Basudewo, ia merantau ke Jakarta dan menjadi tukang jahit dari perusahaan kain dan jahit ternama, yaitu Nyata Plaza. Dalam seminggunya, ia bisa mengantongi uang tidak kurang dari Rp10.000.000,00. Setelah tidak lagi dipakai Nyata Plaza, pak Achmad merantau ke Surabaya dan Wonogiri, sebelum akhirnya berjualan nasi bersama istrinya di Basudewo di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Warungnya dibuat semi permanen, separo bahannya adalah batu bata, dinding selebihnya dari bambu dan beratapkan genteng. Lantai warungnya bahkan sudah dikeramik. Untuk keperluan masak, mandi dan cuci, pak Achmad telah membuat sumur di belakang warung, tepatnya di tepi sungai.

Pak Achmad menjadikan warung sebagai tempat usaha, juga sekaligus sebagai tempat tidur dan beristirahat bersama istrinya. Penghasilan pak Achmad per hari adalah Rp100.000,00. Dari sisa-sisa tabungan dan usaha berjualan nasi, pak Achmad bisa membelikan sepeda motor untuk anak-anaknya. Ia juga memiliki beberapa rumah, namun uang untuk

Page 35: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

241

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

membeli rumah tersebut diambilkan dari tabungan selama ia bekerja sebagai penjahit di Jakarta. Rumah tersebut ditempati anak-anaknya, sedangkan ia dan istrinya rela berdesak-desakan tidur di warung.

Dari berjualan nasi, pak Achmad bisa menyekolahkan anak-anaknya. Dari tujuh anaknya, seorang sudah lulus perguruan tinggi (sekarang sudah menjadi guru), seorang kuliah di Undip, seorang lagi masih sekolah di SMA, dan lainnya sudah bekerja. Selain memiliki 7 anak kandung, pak Achmad juga mengasuh seorang anak yang sehari-harinya hidup menumpang bersama pak Achmad. Anak asuh inilah yang sehari-hari turut membantu usaha pak Achmad, selain berdagang anak ayam dan burung. Sikap pasrah, “nrimo ing pandum”, dan jiwa sosialnya yang tinggi, membuat pak Achmad memiliki banyak relasi dan masih bisa bertahan hidup sebagai PKL.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 22. Warung makan pak Achmad di Basudewo

Selain pak Achmad, seorang pedagang kaki lima yang memiliki daya tahan luar biasa di Basudewo adalah pak Suliman. Meskipun umurnya sudah 60 tahun, pak Suliman

Page 36: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

242

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

memiliki badan cukup kekar dan sehat. Pak “Leman”, panggilan akrabnya, adalah seorang pedagang lulusan SMEA, memiliki seorang istri dan seorang anak (sudah menikah). Selain sebagai pedagang bensin eceran dan makanan kecil, pak Leman juga bekerja sebagai mandor atau bas borong bangunan. Sebelum jadi PKL, jauh sebelumnya pak Leman sudah bekerja sebagai mandor bangunan, bahkan ia juga pernah menjadi penjual nasi. Ia menemani istri sebagai PKL di Basudewo kurang lebih selama 12 tahun.

Seperti halnya pak Achmad, pak Leman juga memiliki warung sederhana, terbuat dari papan dan tripleks, lantainya keramik bekas dan dindingnya dari genting bekas. Warung dibangun sendiri oleh pak Leman. Luas lahan yang ditempati 2x6 meter. Warung digunakan sebagai tempat usaha sekaligus juga tempat tidur, karena pak Achmad dan keluarga tidak memiliki rumah sendiri, hanya menumpang kepada mertuanya.

Untuk membuka usaha dagang, pak Leman membuka tabungan senilai Rp5.000.000,00. Penghasilan pak Leman dari berdagang bensin adalah Rp70.000,00 per hari. Dari bekerja sebagai pedagang, pak Leman bisa membeli sebuah sepeda motor merek Honda Megapro. Kebutuhan keluarga pak Leman bisa dipenuhi dari berjualan bensin dan makanan kecil, seperti diungkapkan berikut.

“dari jualan bensin dan usaha saya sebelumnya, selain bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, saya bisa membeli sepeda motor Mega-Pro merek Honda pak, …istri saya belikan kalung, gelang, dan cincin, tetapi karena ingin punya rumah sendiri, perhiasan istri saya jual dan laku Rp2.500.000,00, lalu pada tahun 1985 saya belikan tanah senilai Rp1.500.000,00; tetapi dasar nasib lagi sial pak…saya kena tipu, karena ternyata tanah yang dijual tersebut bukan milik penjualnya…ya hilanglah uang saya” (wawancara dengan pak Suliman, 11 Mei 2011).

Pak Leman termasuk salah seorang PKL Basudewo yang

cukup berani dan mungkin boleh dikata agak dablek. Tempat

berdagangnya sudah digusur, tetapi demi menghidupi

Page 37: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

243

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

keluarganya, pak Leman tetap berdagang di wilayah Basudewo,

meskipun harus pindah tempat di sebelah timur jalan Basudewo

tidak jauh dari tempat berdagangnya semula.

“Saya memang sudah diberi tempat di Kokrosono, tetapi jauh dari rumah dan belum tentu laku pak; sedangkan di sini sedikit-sedikit saya bisa dapat penghasilan…ya bisa untuk hiduplah pak”, kata pak Leman.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 23. Pak Suliman dengan barang-barang dagangannya

Tidak seperti halnya lokasi PKL di Sampangan dan

Basudewo yang cenderung agak rapi, lokasi PKL liar di

Kokrosono lebih semrawut. Lokasi PKL yang terletak di

seberang jembatan Banjir Kanal Barat tersebut, memang

terbilang strategis. Sebelah barat menuju jalan Siliwangi yang

sehari-hari ramai lalu lintasnya, ke arah timur menuju

Tugumuda juga ramai, dan demikian pula ke arah utara agak ke

timur menuju jalan Indraprasta juga padat lalu lintas. Lokasi

PKL Kokrosono menuju utara hingga ke perumahan padat

penduduk, seperti Surtikanti, Erowati, Tanggul Mas, Tanah

Page 38: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

244

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Mas, dan lain-lain. Lokasi PKL Kokrosono tiap harinya tidak

pernah sepi apalagi pada hari Sabtu dan Minggu.

Para PKL yang berdagang dan menjual jasa yang

menjalankan aktivitas ekonomi jumlahnya tidak kurang dari

100 orang (sebelum proyek normalisasi sungai Banjir Kanal

Barat dimulai). Kini, setelah proyek tersebut berjalan, jumlah

PKL berkurang, karena tepi jalan yang berbatasan dengan

sungai sudah dipagari seng, sehingga banyak di antara mereka

yang tidak beroperasi lagi.

Sumber:Dokumen Pribadi

Gambar 24. Suasana PKL Kokrosono sebelum proyek

normalisasi sungai dimulai

Page 39: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

245

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 25. Suasana PKL Kokrosono setelah proyek normalisasi sungai dimulai

Meskipun telah dimulai proyek normalisasi sungai Banjir

Kanal Barat, para PKL Kokrosono masih berdagang seperti

biasa. Mereka yang berjualan barang-barang bekas, seperti kaset

tape recorder bekas, kipas angin bekas, handphone bekas, dan

barang-barang elektronik lainnya masih berjualan meskipun

harus berbagi dengan proyek. Gambar di atas menunjukkan, di

pinggir jalan berdekatan bantaran sungai yang sudah dipagari

seng para pedagang tetap berjualan demi memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari.

Pak Haji Mustaqim Abdul Rasyid (60 tahun) merupakan

salah seorang dari pedagang kaki lima yang masih bertahan di

Kokrosono. Pak Haji yang sehari-hari berjualan ditemani sang

istri, bekerja dengan menjual alat-alat pertukangan, rumah

tangga dan pertanian, seperti arit, bendo, gergaji, kunci pagar,

gembok, drei, amplas, dan lain-lain. Dalam berdagang pak Haji

menggunakan sepeda motor roda tiga merk Tossa buatan China.

Page 40: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

246

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Pak Haji yang sudah berjualan kurang lebih 20 tahun

lamanya telah menikmati hasil yang luar biasa, yang tidak

diduga oleh orang kebanyakan. Meskipun hanya berdagang di

pinggir jalan, pak Haji bersama istri sudah 2 kali berangkat ke

tanah suci Mekah. Selain memiliki sebuah rumah, beliau juga

mempunyai harta benda lainnya, seperti 2 sepeda motor,

televisi, perhiasan emas, dan yang lain.

Dari bekerja sebagai PKL, pak Haji memperoleh

penghasilan kotor per hari tidak kurang dari Rp500.000,00 di

mana Rp100.000,00 ditabung, Rp35.000,00 untuk “sangu” (uang

jajan) 2 orang cucunya, dan sebagian lagi digunakan untuk

makan dan kulakan. Pak Haji juga menyisihkan sebagian

penghasilannya, yakni 10% untuk sedekah atau amal sholeh.

Berkaitan dengan amal sholeh ini, pak Haji menuturkan:

“Kerja memang sulit mas, dahulu kalau saya mau, saya bisa jadi tentara…mungkin jika berjalan lancar, pangkat saya sekarang sudah Letnan Kolonel. Karena saya lebih suka berdagang, ya akhirnya seperti ini mas…jualan di pinggir jalan, tetapi alhamdullilah bisa mencukupi kebutuhan istri, anak, dan cucu dan meskipun sedikit-sedikit saya bisa menabung, beli sepeda motor, membelikan perhiasan untuk istri, dan yang penting pula bisa menunaikan ibadah haji bersama istri ke tanah suci Mekkah. Rezeki saya lancar karena saya punya resepnya mas, yaitu harus berani bersedekah…”amal shodaqohe kudu lancar mas nek kepingin rezekine lancar”. Sampai hari ini pun saya masih bisa berjualan dan bisa memenuhi kebutuhan keluarga” (wawancara dengan pak Haji Mustaqim AR, 3 Agustus 2010).

Sosok pak haji Mustaqim dengan jiwa kedermawanannya

menunjukkan bahwa ia memiliki apa yang disebut dengan

modal spiritual, meskipun sifatnya individual. Modal spiritual

ini adalah kompetensi spiritual yang mengalirkan nilai-nilai,

seperti pelayanan, mementingkan orang lain, bijaksana,

berbudi, dan berbagai nilai yang dibangun secara implisit oleh

religi (Tjondro Sugianto 2011). Nilai spiritual seperti pelayanan

Page 41: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

247

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

dan mementingkan orang lain, dengan menyisihkan 10% dari

penghasilan yang diperoleh pak Haji merupakan realisasi dari

penghayatannya sebagai pemeluk agama Islam.

Modal spiritual sesungguhnya tidak mesti berkaitan atau

bersumberkan dari religi atau agama tertentu. Banyak juga

orang yang tidak menganut salah satu agama besar di dunia,

tetapi memiliki modal spiritual yang bermanfaat bagi

kehidupan masyarakat. Sebagaimana diyakini Jauhari (2007),

modal spiritual bukanlah masalah agama atau sistem

kepercayaan tertentu, melainkan merupakan suatu kecerdasan

hati nurani yang diawali dengan pemenuhan kebutuhan akan

aktualisasi diri. Sebagaimana modal sosial yang dikaji dalam

penelitian ini, modal spiritual juga memiliki peran dalam

peningkatan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana

diperlihatkan pak haji Mustaqim.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 26. Pak Haji Mustaqim dengan barang dagangannya

Page 42: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

248

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Dalam menjalankan usahanya, pak Haji Mustaqim tidak

mengalami kesulitan dalam mencari barang dagangan. Relasi

sudah dibangun sejak ia berdagang. Arit dan bendo misalnya,

bisa diperoleh hanya dengan menelepon pemasok ketika barang

habis terjual. Arit dan bendo ini biasanya dipesan dari Cepiring

Kendal dan Muntilan Magelang. Kunci, gembok, drei, gergaji,

dan barang-barang sejenisnya, ia beli dari seorang pemasok

yang berdomisili di Semarang. Pemasok barang mengantar

pesanan, setelah ditelepon pak Haji dan seketika itu pula

barang-barang dibayar lunas.

Kata pak haji,”hubungan saling percaya saja mas, begitu barang habis, saya telepon dan datang kiriman barang yang saya minta”.

Rantai permintaan (demand) dan penawaran (supply)

berlangsung dengan baik, tidak hanya ketika terjadi jual beli di

lokasi PKL, tetapi juga berlangsung pada saat pak haji kehabisan

barang dagangan. Tidak seperti halnya PKL yang lain, pak haji

Mustaqim dalam membeli barang dagangan tidak pernah

berhutang, semuanya dibayar dengan uang kontan.

Ketika ditanya, mengapa tidak berhutang saja, pak haji memberi jawaban lugas: “orang hutang itu membuat kita tidak bisa tidur mas, apalagi jika pada saat ditagih kita belum ada uang…wah bisa pusing dan stress kita”.

Pak Haji tergolong seorang PKL dengan jiwa wirausaha

yang tinggi. Berkali-kali ia pindah tempat berjualan. Sebelum

digusur, pak haji pernah punya tempat usaha permanen di tepi

sungai Banjir Kanal Barat. Namun sejak bangunan tersebut

diratakan, barang-barang dagangan pak haji ditempatkan di

kios atas (sentra PKL Kokrosono) dan disimpan di rumah.

Modal usaha yang digunakan untuk berjualan awalnya tidak

banyak, sedikit demi sedikit berkembang hingga akhirnya ia

memiliki sarana untuk berjualan. Misalnya, yang semula tidak

memiliki sarana motor roda tiga untuk berdagang, sejak tahun

2007 sudah bisa membelinya dengan harga Rp24 juta dan

Page 43: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

249

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

berkat keuletan dan sifat hematnya, pak haji juga memiliki stok

barang dagangan yang disimpan di rumah dan lokasi PKL

Kokrosono sebanyak 3 kios.

Selain pak haji Mustaqim, sosok lain yang juga cukup

berhasil dalam menjalankan aktivitas ekonomi di Kokrosono

adalah pak Mulyono (47 tahun). Pak Mul mempunyai seorang

istri dan dikaruniai 4 orang anak. Seorang anak telah

berkeluarga, seorang lagi masih kuliah di Undip, dan lainnya

masih sekolah di SMA dan SD. Pak Mul sudah bekerja cukup

lama di Kokrosono. Dua mobil bekas ia gunakan untuk tempat

berdagang. Bersama istrinya, ia menjual aneka peralatan rumah

tangga, pertanian dan pertukangan.

Dari usaha perniagaan tersebut, pak Mul memperoleh

penghasilan per harinya sekitar Rp300.000,00. Dari pendapatan

tersebut, Rp50.000,00 disisihkan untuk uang jajan anak-

anaknya. Selain memiliki mobil untuk berdagang, pak Mul juga

mempunyai 6 sepeda motor. Sepeda motor tersebut kini

digadaikan untuk pengembangan usaha. Dahulu pak Mul punya

sebuah rumah, tetapi karena usahanya hampir bangkrut, rumah

tersebut dijual dan kini ia bersama keluarganya mengontrak

rumah di Taru Polo Raya Kelurahan Drono Semarang.

Meskipun acapkali disepelekan keberadaannya dan tidak

jarang diusir ketika mereka menempati wilayah terlarang,

kontribusi ekonomi PKL tidak diragukan lagi. Contoh lain dari

kontribusi ekonomi pedagang kaki lima (PKL) adalah peran

ekonomi yang dimainkan oleh pedagang nasi pecel di lokasi

PKL jalan Menteri Soepeno (sejak tahun 2012 pindah ke tepi

Bundaran Simpang Lima). Salah satunya adalah warung pecel

mbok Sador.

Meskipun di tengah-tengah warung lain yang menjajakan

nasi yang mungkin banyak diminati para pembeli, seperti nasi

sop kaki kambing, nasi soto Makasar, nasi seafood, nasi ayam

dan bebek goreng, tetapi nasi pecel yang dijual mbok Sador

Page 44: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

250

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

tidak kalah disukai oleh para pembeli. Warung pecel mbok

Sador ini semula berlokasi di jalan Pahlawan dekat dengan

bundaran Simpang Lima. Program SETARA yang digulirkan

Walikota Semarang, membuat mbok Sador harus pindah

berdagang di lokasi baru, yaitu sentra PKL jalan Menteri

Soepeno dan pindah lagi ke sentra PKL bundaran Simpang

Lima. Foto berikut memperlihatkan bagaimana anak mbok

Sador berdagang.

Sumber: dokumen pribadi

Gambar 27. Anak Mbok Sador dan pembantunya sedang

melayani Pembeli

Kebijakan SETARA atau Semarang Sejahtera dari walikota

yang baru (Soemarmo), yang salah satu programnya adalah

memperindah dan mempercantik kota dengan menata ruang

publik kota agar bisa berperan sebagai city walk, maka jalan-

jalan dan trotoir, utamanya di sekitar bundaran Simpang Lima,

jalan Pahlawan, jalan Ahmad Yani, jalan Pandanaran, jalan

Gajahmada, jalan Pemuda hingga wilayah Tugu Muda, harus

dibenahi dan ditata supaya menjadi tempat yang nyaman bagi

warga kota. Demi keindahan kota, para PKL yang menempati

Page 45: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

251

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

tepi jalan protokol tersebut harus dipindah. Salah satu PKL

yang terkena dampak dari kebijakan tersebut adalah mbok

Sador.

Ketika masih berdagang di jalan Pahlawan, pelanggan mbok

Sador tidak kurang dari 100 orang per hari, padahal mbok Sador

buka dasar baru dimulai jam 17.30 dan berakhir jam 22.00 atau

23.00. Rata-rata pada jam tersebut, makanan yang dijual telah

habis. Dalam berdagang, mbok Sador dibantu seorang anak

perempuan, menantu, cucu, dan 3 orang pelayan (seorang pria

yang biasa melayani membuatkan minuman dan 2 perempuan

yang biasa melayani menyampaikan nasi pecel). Mbok Sador

sudah berdagang nasi pecel sejak tahun 1993. Sekarang

usahanya dilanjutkan oleh anak perempuannya.

Nasi yang dijual sesungguhnya tidak terlalu istimewa, yakni

nasi pecel ditambah beberapa lauk (daging sapi, paru-paru,

limpa, babat, telor, tahu, tempe, ikan asing (gereh), sate telur

puyuh, dan sate keong), serta krupuk dan bantal (sebutan bagi

martabak kecil buatan mbok Sador), namun karena rasanya

lumayan enak atau “pas di lidah” menurut penuturan beberapa

pelanggan dan harga yang dipatok relatif murah, maka

pembelinya banyak berdatangan ke warung pecel mbok Sador.

Para pelanggan mbok Sador tidak hanya dari kalangan kelas

bawah dan menengah, banyak di antaranya yang berasal dari

kelas atas (ekonomi). Pelanggan kelas atas ini dapat ditilik dari

mobil yang mereka kendarai, yang rata-rata tergolong mewah,

seperti Toyota Avanza, Honda CRV, dan mobil-mobil sedan

versi baru. Mereka yang membeli juga tidak hanya orang Jawa,

tetapi juga warga etnis Cina.

Penghasilan kotor mbok Sador per hari berkisar antara Rp

3.000.000,00 hingga Rp4.000.000,00. Salah seorang cucu mbok

Sador yang membantu berjualan, digaji Rp1.200.000,00. Dari

berdagang nasi pecel ini, mbok Sador bisa membeli 3 rumah,

sebuah sepeda motor dan sebuah sepeda motor roda tiga merek

Page 46: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

252

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Tossa. Daya tarik warung nasi pecel mbok Sador tidak hanya

bagi para pelanggannya, yang meskipun sudah pindah ke lokasi

lain tetap datang membeli, tetapi juga menjadi magnet bagi

tukang parkir, pengemis, pengamen, dan seorang penjual rokok

dan minuman.

Semula mereka bersama-sama mbok Sador menjalankan

aktivitas di jalan Pahlawan, namun setelah jalan Pahlawan

dipercantik, mereka pindah bersama-sama di jalan Menteri

Soepeno. Ketika mbok Sador pindah lagi ke Bundaran Simpang

Lima, mereka juga ikut pindah menyertainya. Ini menunjukkan

bahwa mbok Sador merupakan magnit pencari sekaligus

pemberi rezeki bagi tukang parkir, pengemis, dan penjual rokok

dan minuman.

Penghasilan tukang parkir dan pengemis yang menyertai

mbok Sador pun tidak jauh berbeda ketika mereka menyertai

mbok Sador di lokasi lama. Pendapatan tukang parkir per hari

tidak kurang dari Rp 100.000,00, demikian pula penghasilan

pengemis (seorang ibu tua) tidak kurang dari Rp 50.000,00 per

hari; padahal jam kerja mereka juga sama dengan jam dagang

mbok Sador. Kurang lebih 6 jam beraktivitas, tukang parkir bisa

membawa pulang Rp 2.700.000,00 per bulan setelah dikurangi

uang setoran ke pengelola parkir sebesar Rp10.000,00 per hari;

sedangkan pengemis tersebut memperoleh penghasilan per

bulan rata-rata Rp 1.500.000,00. Penghasilan tukang parkir

tersebut melebihi gaji pegawai negeri golongan IIIa yang

memiliki jam kerja 9 hingga 10 jam per harinya. Sementara itu,

penghasilan seorang pengemis tersebut jauh melebihi upah para

sales promotion girl (SPG) di pasar Swalayan dan Mall di

Semarang yang hanya Rp 900.000,00 hingga Rp1.000.000,00 per

bulan dengan jam kerja 9 hingga 10 jam per hari.

Keberadaan warung nasi pecel mbok Sador memang

memberikan tuah bagi tukang parkir dan pengemis tua.

Memang rasanya tidak adil, mbok Sador yang berjualan dengan

Page 47: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

253

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

modal uang, seperangkat alat untuk jualan, serta membayar

retribusi untuk Dinas Pasar dan Paguyuban PKL, memperoleh

penghasilan harus dibagi dengan para karyawannya; sementara

tukang parkir dan pengemis menikmati sendiri pendapatannya

(yang mendompleng dari warung mbok Sador), tetapi itulah sisi

kelebihan dari pedagang kaki lima, yang jika ramai

dagangannya memberikan sumbangan ekonomi yang tidak

kecil, tidak hanya bagi keluarganya, tetapi juga bagi orang lain,

seperti tukang parkir dan pengemis.

Sumbangan pedagang nasi kepada pendapatan asli daerah

(PAD) kota Semarang tidaklah terlalu signifikan, tetapi dengan

melubernya rezeki ke tukang parkir dan pengemis, berarti turut

menghidupkan kegiatan ekonomi orang kecil lainnya.

Simpulannya adalah jika PKL sungguh-sungguh berusaha dalam

mencari rezeki, ia akan dapat bertahan dan dampak ikutannya

adalah turut membangun ekonomi orang-orang di sekitarnya.

Perputaran uang di zona pedagang kaki lima bisa menjadi lebih

besar lagi jika tempatnya ditata lebih rapi oleh pemerintah,

pemasaran (marketing) dan iklan didukung oleh pemerintah,

dan kepada para PKL diberi kemudahan dalam mengakses

kredit untuk modal usaha.

Relasi tidak langsung antara pedagang kaki lima (mbok

Sador), tukang parkir dan pengemis, dapat dicermati pada

gambar berikut.

Gambar 28. Relasi segitiga antara PKL, tukang parkir, dan pengemis.

Pedagang Kaki Lima

Tukang Parkir Pengemis

Page 48: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

254

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Kisah sukses PKL dialami pula oleh mbak Sri. Ia yang

berjualan nasi kepala kakap di Jalan Kusumawardani Semarang

juga tergolong PKL yang memiliki kontribusi ekonomi cukup

penting bagi keluarganya. Kios yang pada tahun 1994 dibeli

ayah mertuanya seharga Rp3.000.000,00 dapat digunakan untuk

mencukupi kebutuhan keluarganya. Setelah ayah mertuanya

meninggal dunia, mbak Sri meneruskan usaha berdagang nasi

kepala kakap hingga kini.

Awal modal usaha untuk berdagang nasi tersebut tidak

kurang dari Rp10.000.000,00. Sekarang modal sehari-hari untuk

kulakan bahan dagangan berkisar antara Rp400.000,00 hingga

Rp500.000,00. Kios yang digunakan mbak Sri adalah kios

warisan ayah mertua, sehingga dari hasil berjualan nasi kepala

kakap tersebut ia harus membagi pendapatannya kepada ibu

mertua dan 3 bersaudara lainnya.

“kios ini bukan milik saya pak…tapi milik bersama ibu mertua, dan 3 saudara lainnya… hasil dari penjualan nasi ini kita bagi bersama…ibu mertua saya beri Rp125.000,00 per hari, sedangkan 3 saudara lainnya mendapat bagian per harinya Rp25.000,00, untuk kulakan Rp400.000,00 dan sisanya untuk saya dan suami…kalau misalnya pas ramai, saya dapat pendapatan kotor Rp1.000.000,00 per hari, maka saya dan suami dapat Rp400.000,00…lumayan pak bisa untuk menyekolahkan dua anak saya. Itu pas ramai pembeli, kalau sepi paling dapat Rp600.000,00 hingga Rp700.000,00…ya tentu bagian saya makin kecil” (wawancara dengan mbak Sri, Minggu, 13 November 2011).

Mbak Sri tidak sendirian berjualan di Jalan Kusumawardani

Semarang. Di wilayah tersebut tidak kurang dari 30 orang yang

menjalankan usaha kuliner. Selain mbak Sri yang berdagang

nasi kepala kakap, ada juga yang menjadi pedagang bakso,

pedagang mi ayam, pedagang makanan dan minuman, dan lain-

lain. Di lokasi PKL Kusumawardani ini juga terdapat fasilitas

WC umum. Hanya untuk parkir memang tidak terlalu lebar.

Page 49: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

255

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Di lokasi PKL ini terdapat seorang tukang parkir, yang

penghasilannya tidak terlalu signifikan jika dibandingkan

tukang parkir yang menyertai warung nasi pecel mbok Sador.

Pak Santoso, demikian panggilan tukang parkir tersebut,

mengaku penghasilannya per hari tidak lebih dari Rp30.000,00.

Dari penghasilan tersebut, Rp10.000,00 ia setorkan kepada

pihak pengelola parkir dan Dinas Perhubungan.

Terlepas dari berapa penghasilan tukang parkir tersebut,

tampak bahwa keberadaan pedagang nasi dan PKL lainnya di

Kusumawardani ini selain memberi kontribusi bagi pemenuhan

kebutuhan hidup keluarga mereka, juga memberi pendapatan

kepada tukang parkir. Relasi ekonomi pedagang kaki lima di

Kusumawardani dan tukang parkir ini hampir mirip dengan

relasi pedagang nasi pecel dengan tukang parkir dan pengemis,

hanya saja di wilayah Kusumawardani ini tidak ada pengemis

yang berkeliaran, apalagi menetap bersama para pedagang

seperti halnya yang terjadi pada pedagang nasi pecel di jalan

Menteri Soepeno.

Tidak seperti halnya di sentra PKL Sampangan, Basudewo,

dan Kokrosono yang tidak lagi memiliki kios permanen, kios di

Jalan Kusumawardani memiliki nilai ekonomi yang cukup

tinggi. Meskipun dahulu kios dibuatkan pemerintah, ternyata

pemilik kios dapat menyewakan kepada pihak lain.

Menurut mbak Sri, harga kios bisa mencapai angka puluhan juta. “kios sebelah mau disewakan pak, harganya tidak tanggung-tanggung…Rp25.000.000,00 per tahun, dan pemiliknya minta 3 tahun sekalian, wah mahal ya pak”, cetus mbak Sri.

Persoalan sewa dan jual beli kios bukan hal baru di

kalangan pedagang kaki lima. Di Sampangan, Basudewo,

Kokrosono, dan beberapa tempat lainnya juga terjadi peristiwa

serupa. PKL Basudewo yang pindah ke PKL Kokrosono pun

banyak yang menjual kiosnya, padahal kios tersebut bukan

miliknya. Harganya pun tidak mahal, ada yang dijual

Page 50: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

256

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Rp1.500.000,00 dan ada pula yang dijual dengan harga

Rp3.000.000,00. Persoalan jual beli kios ini dituturkan oleh pak

Achmad berikut ini.

“Salah satu anggota kita (pak Marlan) diusir oleh pedagang lainnya, karena yang bersangkutan berbuat ulah dengan menjual kios jatah anggota lainnya…tidak kurang dari 10 kios yang dijual kepada orang lain bukan anggota PKL Basudewo…karena ulahnya, ia sempat dipukuli orang yang kena tipu olehnya… sesungguhnya saya kasihan kepada pak Marlan, beliau juga sudah tua, usaha mebelnya bangkrut lagi…tapi ya bagaimana lagi pak…biar jadi pelajaran bagi dia” (wawancara dengan pak Achmad, Minggu, 3 September 2011).

Di jalan Menteri Soepeno terdapat dua orang pedagang

rujak. Dua-duanya adalah laki-laki. Semuanya berasal dari Jawa

Barat, namun sudah cukup lama berdagang di Semarang. Salah

satunya adalah pak Ewok. Pak Ewok sudah berjualan rujak di

Semarang selama 40 tahun. Ia mengontrak rumah bersama 10

orang pedagang seharga Rp6.000.000,00 per tahun.

Dalam berdagang rujak, pak Ewok menggunakan sarana

gerobak dorong. Pak Ewok termasuk pedagang yang ulet dan

memiliki etos kewirausahaan yang tinggi. Pak Ewok memiliki

seorang istri dan 4 orang anak. Tiga anak sudah menikah dan

seorang lagi yang masih berumur 22 tahun hidup bersama

ibunya di Kuningan Jawa Barat. Dari pendapatannya berjualan

rujak, pak Ewok bisa memodali istrinya membuka warung kecil

di kampung, membeli tanah, dan 2 sepeda motor. Tiap bulan

pak Ewok mengirimi istrinya uang Rp1.000.000,00.

“saya berjualan sudah cukup lama pak, kurang lebih 40

tahun…dari dahulu ya berdagang rujak tidak ada yang

lain..lumayan bisa untuk hidup, mengirim uang untuk

istri di kampung dan sedikit-sedikit bisa beli tanah dan

sepeda motor”, ungkap pak Ewok (wawancara dengan

pak Ewok, Minggu, 13 November 2011)

Page 51: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

257

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Jumlah pedagang kecil di Semarang yang memiliki

keuletan, etos kewirausahaan, dan pendapatan yang cukup

besar tentu masih banyak. Penelitian ini bukan penelitian

kuantitatif, sehingga pedagang yang diambil sebagai responden

tidak banyak. Dari beberapa pedagang (PKL) tersebut sudah

dapat disimpulkan bahwa PKL memiliki kontribusi ekonomi

yang cukup signifikan, setidaknya bagi keluarganya.

Pendapatan pedagang kaki lima (PKL) bervariasi, mulai dari

Rp70.000,00 hingga Rp4.000.000,00 per hari dan banyak di

antara mereka yang memiliki tabungan untuk kebutuhan

mendesak dan keperluan hari tua. Data tentang pendapatan dan

tabungan (investasi) PKL dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 12. Pendapatan dan Tabungan (Investasi) yang dimiliki PKL

No. Nama Pendapatan per Hari

(Rp)

Tabungan (Investasi)

Tempat Berjualan

1. Muriman 100.000,00 Rumah, tanah, mobil, perhiasan

Sampangan

2. Bu Zuhri 700.000,00 Mobil, sepeda motor, perhiasan

Sampangan

3. Achmad 100.000,00 Rumah, Sepeda motor, Perhiasan

Basudewo

4. Sulaiman (Leman)

70.000,00 Sepeda motor, perhiasan

Basudewo

5. Haji Mustaqim

500.000,00 Rumah, motor roda tiga, sepeda motor, televisi, uang, perhiasan

Kokrosono

6. Mulyono 300.000,00 Mobil, sepeda motor, perhiasan

Kokrosono

7. Bu Sador 3.000.000,00-4.000.000,00

Rumah, sepeda motor, motor roda tiga, perhiasan

Jalan Menteri Soepeno (pindah ke Simpang Lima)

8. Mbak Sri 700.000,00 Sepeda motor, perhiasan

Jalan Kusumawardani

9. Pak Ewok 500.000,00 Tanah, sepeda motor

Jalan Menteri Soepeno

Sumber: Data Primer

Page 52: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

258

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Dari data-data tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

sektor informal, utamanya pedagang kaki lima (PKL) memiliki

kontribusi ekonomi, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan

konsumsi sehari-hari, tetapi juga untuk biaya pendidikan bagi

anak-anak atau cucu. Banyak juga di antara mereka yang

memiliki tabungan dan sebagian hasil berjualan diinvestasikan

untuk membeli rumah, tanah, mobil, sepeda motor, dan

peralatan elektronik lainnya.

Keberadaan PKL juga memberi kontribusi ekonomi kepada

pihak lain, seperti tukang parkir, pengamen, bahkan juga

pengemis. Secara akumulatif, PKL juga memiliki kontribusi

positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan

pendapatan bagi penduduk kurang beruntung, bahkan juga

memberikan sumbangan terhadap PAD pemerintah lokal.

Sumbangan sektor informal, khususnya PKL kepada PAD bisa

lebih besar dari data yang dilaporkan, oleh karena diduga masih

banyak aktivitas sektor informal yang tidak terjangkau dan

tidak terdaftar oleh pemerintah lokal. Pendek kata, sektor

informal tidak hanya berkaitan dengan persoalan mencari

penghasilan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, dan

sumbangan kepada pendapatan daerah, tetapi lebih dari itu,

bagi masyarakat golongan miskin merupakan cara

mempertahankan kelangsungan hidup (survival strategy). Hal

ini sejalan dengan penelitian Sookram and Watson (2008) yang

menyimpulkan bahwa sektor informal, termasuk di dalamnya

pedagang kaki lima merupakan mekanisme survival khususnya

bagi kaum miskin.

C. Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai Survival Strategy

Strategi bertahan hidup merupakan ciri khas dari

kelompok, masyarakat, atau komunitas yang terpinggirkan.

Mereka yang hidupnya semata-mata tergantung dari pekerjaan

Page 53: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

259

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

tersebut akan mempertahankan mati-matian pekerjaan yang

mereka geluti termasuk jika harus menentang atau melawan

negara.

Banyak kasus orang-orang terpinggirkan atau yang

disingkirkan, mempertahankan rumahnya, tempat tinggalnya,

atau alat-alat produksi untuk memperoleh pendapatan. Para

petani mempertahankan ladang atau sawahnya, para pensiunan

(veteran perang) mempertahankan rumah dinas atau asrama

yang lama dihuninya, warga masyarakat mempertahankan

rumah tempat tinggal yang sudah bertahun-tahun ditempatinya

meskipun pada akhirnya terbukti bahwa tanah yang digunakan

selama ini ternyata bukan miliknya, para nelayan nekat melaut

pada musim yang tidak bersahabat dengannya meskipun sudah

dilarang oleh pemerintah setempat, penduduk dekat hutan

nekat mengambil umbi-umbian atau buah-buahan, karena

dengan cara itulah mereka bisa makan, dan para pedagang kaki

lima (PKL) tetap bersikukuh berdagang di tempat yang sudah

lama mereka gunakan untuk mengais rezeki meskipun sudah

dilarang bahkan digusur oleh pemerintah setempat.

Hal ini menunjukkan ada sesuatu yang membuat mereka

bertahan dan berani mengambil resiko betapa pun beratnya.

Hidup penuh resiko dan inilah yang membuat mereka

bertahan. Dengan segala keterbatasan yang mereka miliki,

seperti pendidikan yang kurang, modal pas-pasan, keterampilan

tidak ada, akses kredit juga tidak ada, maka satu-satunya jalan

bagi kelompok masyarakat seperti itu adalah “bonek”, bondo

nekat untuk berjuang mempertahankan hidupnya demi

keluarga yang mereka cintai. Situasi dan kondisi yang tertekan

dan menekan mereka, membuat kelompok masyarakat kurang

mampu ini bergerak keluar dari belenggu kemiskinan, sekadar

untuk “hidup”.

Terlepas dari persoalan kenekatan, pedagang kaki lima

(PKL) sebagai bagian dari kehidupan masyarakat marginal,

memiliki etos kewirausahaan yang tidak kalah tinggi

Page 54: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

260

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

dibandingkan dengan para pengusaha sektor formal.

Sebagaimana hasil penelitian Zakik (2006), para PKL yang

rendah pendidikannya, modal relatif kecil, serta manajemen

ekonomi bertumpu pada keluarga mampu mengangkat

hidupnya ke taraf kesejahteraan ekonomi yang lebih baik.

Sistem pemasaran yang digunakan adalah sistem jemput bola,

yakni mendekatkan diri dengan konsumen. Fakta demikian,

menurut Zakik (2006), menunjukkan bahwa PKL mempunyai

etos kewirausahaan yang tinggi, mandiri, dan tidak tergantung

kepada bantuan pihak lain.

Namun diakui bahwa hidup itu tidak mudah. Hidup itu

gampang-gampang susah, dan mencari penghasilan juga tidak

mudah. Namun sesulit apa pun asal “tangan gelem kemlawe”

(mau bekerja) pasti akan dapat diperoleh pendapatan. Hal ini

tergantung pada orientasi nilai seseorang atau masyarakat

mengenai sesuatu. Orientasi nilai dipahami sebagai suatu

konsepsi yang umum dan bersistem tentang alam, tentang

hubungan manusia dengan manusia dan tentang yang

seharusnya diinginkan dan tidak seharusnya diinginkan,

sebagaimana mereka itu dapat dikaitkan dengan hubungan

manusia-lingkungan dan antar manusia (Marzali 2005:122).

Konsep orientasi nilai ini dikembangkan oleh Kluckhohn

dan Strodtbeck, yang kemudian disingkat dengan K&S. Konsep

orientasi nilai ini oleh Koentjaraningrat diperkenalkan dalam

khasanah sosial antropologi di Indonesia dengan istilah

orientasi nilai budaya. Dalam orientasi nilai budaya ini, masalah

hidup dan bagaimana memandang hidup dipahami sesuai

dengan orientasi nilai budaya yang dipilih. Kerangka orientasi

nilai budaya tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 55: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

261

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Tabel 13. Kerangka Orientasi Nilai Budaya

Masalah Hidup

Orientasi Nilai Budaya

Hakikat dan sifat hidup

Hidup adalah buruk

Hidup adalah baik

Hidup adalah buruk, tetapi harus diperbaiki

Hakikat Kerja Kerja adalah untuk hidup

Kerja adalah untuk mencari kedudukan

Kerja adalah untuk menambah mutu karya

Hakikat kedudukan manusia dalam ruang waktu

Masa lalu Masa kini Masa depan

Hakikat hubungan manusia dengan alam

Tunduk pada alam

Mencari keselarasan hidup dengan alam

Menguasai alam

Hakikat hubungan manusia dengan manusia

Memandang kepada tokoh-tokoh atasan

Mementingkan rasa ketergantungan pada sesama

Mementingkan rasa tidak tergantung pada sesama

Sumber: Marzali (2005:125).

Bagi orang-orang tertentu, hidup itu baik dan kerja

dipahami sebagai cara untuk mencari kedudukan. Para politisi

atau pengusaha yang tidak puas dengan status dan

kedudukannya, berusaha untuk bekerja mengumpulkan

kekayaan dan berjuang agar dapat memasuki dunia politik,

bekerja di politik atau setidaknya mendukung aliran politik

tertentu, dengan harapan di kemudian hari dapat memperoleh

kedudukan sebagai wakil rakyat di Senayan, menjadi anggota

DPRD di daerah atau bisa menjadi Gubernur, Walikota, atau

Bupati.

Bagi orang-orang dari kelompok masyarakat menengah

bawah, misalnya pedagang kaki lima (PKL), mungkin

memahami hidup sebagai sesuatu yang buruk dan kerja mereka

pahami sebagai cara untuk hidup. Tidak bekerja berarti mereka

tidak hidup. Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia dan

Page 56: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

262

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

selama manusia hidup, dia harus bekerja (Anoraga 2001:24).

Para PKL “survive” karena mereka bekerja.

Dalam hal waktu, mereka tidak melihat masa lalu,

demikian pula masa depan kehidupannya akan jadi apa juga

tidak terpikirkan sebelumnya. Yang mereka pikirkan adalah

masa kini. Sekarang bekerja, mereka bisa makan. Sekarang

tidak bekerja, mereka tidak makan. “Siapa yang peduli dengan

kita”, demikian sering diucapkan para pedagang kaki lima yang

bekerja di jalanan. “Kalau bukan kita, siapa yang akan memberi

makan”, demikian ungkapan para pedagang kaki lima.

Hidup untuk kerja atau kerja untuk hidup inilah yang

menjadi motivasi pedagang bekerja sebagai pedagang kaki lima

(PKL). Responden yang diteliti menyatakan bahwa menjadi

pedagang kaki lima (PKL) merupakan pekerjaan satu-satunya.

Seperti diungkapkan mbah Salim (67 tahun), pedagang barang

rongsokan di Kokrosono, berikut ini.

“mboten wonten pekerjaan malih pak, nggih niki

ingkang saged kulo lampahi dados pedagang

kemawon…nopo malih kulo mpun sepuh…kolo mben

kulo nate narik becak taksih kiyat amargi tenogo saget

nglampahi, sakniki mpun mboten saget” (tidak ada

pekerjaan lainnya pak, ya ini yang bisa saya lakukan

sebagai pedagang saja…apalagi saya sudah tua…dahulu

pernah menjadi tukang becak karena tenaga masih

kuat, sekarang sudah tidak kuat lagi) (wawancara

dengan mbah Salim, Minggu, 10 Oktober 2010).

Hanya mengandalkan hidup dari berdagang, menurut

sebagian PKL tidaklah cukup. Masa depan yang tidak dapat

diprediksikan dengan baik, membuat mereka berpikir unuk

merancang pekerjaan lain atau bekerja sambilan. Kadang-

kadang bantuan istri untuk turut bekerja juga diperlukan. Satrio

Wibowo (29 tahun) misalnya, salah seorang PKL yang mengais

rezeki di Sampangan, dibantu istrinya dalam memenuhi

Page 57: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

263

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

kebutuhan keluarga, dengan bekerja di pabrik. Berikut ini

penuturan Satrio Wibowo.

“bekerja sebagai pedagang bukan satu-satunya

pak…saya pernah berjualan sate biawak dan

ular…sekarang ini jualan sate kambing…itu pun

menurut saya tidak cukup…untung istri mau mengerti

dan bekerja di pabrik…ya sekedar untuk menambah

penghasilan keluarga” (wawancara dengan Satrio,

Minggu, 17 Oktober 2010).

Ketika mengalami penggusuran, ada beberapa pedagang

kaki lima yang banting haluan untuk dapat menjaga

kelangsungan hidup keluarganya. Pak Armis (45 tahun),

pedagang yang cukup lama menempati lokasi Basudewo, adalah

salah satu contoh pekerja yang kreatif. Sebelum bekerja sebagai

pedagang bensin eceran sekaligus membuka usaha tambal ban

sepeda dan sepeda motor, pak Armis pernah bekerja pula

sebagai sopir. Setelah terjadi penggusuran besar-besaran di

Basudewo pada bulan Desember 2010, pak Armis akhirnya

pindah ke lokasi PKL Kokrosono dengan bekerja sebagai

pengrajin mebel.

“Saya ini seorang perantau pak…kerja apa saja pernah

saya jalani, jadi sopir, jualan pakaian keliling, jual

bensin, membuka usaha perbengkelan…sebenarnya

jual bensin sambil usaha tambal ban lumayan pak

hasilnya, per hari saya bisa dapat Rp75.000,00…bisa

menghidupi keluarga. Tapi pak…sejak lokasi usaha

digusur dan diratakan dengan alat-alat berat, saya

sempat bingung mau kerja apalagi…untung pak

Achmad, ketua PKL Basudewo bersedia mengalah mau

pindah ke Kokrosono dengan menempati kios di

gedung H, akhirnya saya memilih menjadi pengrajin

mebel…ternyata lumayan hasilnya mas dan mencari

bahan pembuatan mebel juga tidak susah” (wawancara

dengan pak Armis, Minggu, tanggal 17 April 2011).

Page 58: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

264

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Pak Armis memang seorang pekerja keras. Ia termasuk

orang yang tidak mudah putus asa. Pekerjaan apa saja pernah

dilakukan. Setelah digusur dari tempatnya berjualan, ia

memilih bekerja sebagai pengrajin mebel hingga kini. Ketika

ditanya, mengapa memilih sebagai pengrajin mebel, padahal

keterampilan untuk itu belum ia punyai, berikut jawabannya.

“sebelum digusur, sehari-hari saya berdagang kan

dekat dengan pengrajin meubel yang juga menjalankan

usaha di Basudewo, jadi tahu bagaimana mereka

membuat kursi, meja, dan almari…ya secara tidak

sengaja saya mengamati cara mereka bekerja pak…ee,

tidak tahunya saya tertarik pada pekerjaan tersebut,

ketika saya digusur…ya alhamdulillah…saya

bisa…Tuhan Maha Adil pak, ketika hambanya

membutuhkan…saya diberi jalan” (wawancara dengan

pak Armis, Minggu, tanggal 17 April 2011).

Situasi pasar yang tidak menentu, membuat PKL memilih

strategi dengan variasi jenis pekerjaan yang membuatnya dapat

bertahan hidup. Hal ini juga dialami pak Armis. Pekerjaan baru

sebagai pengrajin mebel ternyata juga belum menjanjikan

untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, karena sepinya

pembeli apalagi reputasi pak Armis sebagai pengrajin mebel

belum dikenal. Itulah sebabnya, pak Armis masih

mempertahankan pekerjaan lama, yaitu membuka bengkel

sepeda motor bersama adiknya di lokasi lama di Basudewo.

“Akhir-akhir ini pembeli sepi pak, maka supaya dapur tetap

“ngebul” (keperluan hidup terpenuhi) saya membuka usaha

lama, yaitu usaha bengkel sepeda motor bersama adik saya”,

demikian ungkap pak Armis.

Dalam kasus pedagang kaki lima di Semarang, ditemukan

suatu kenyataan bahwa setiap orang sesungguhnya dapat

menemukan cara untuk menghadapi tantangan agar dapat

bertahan hidup. Hal ini berkaitan dengan strategi survival.

Page 59: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

265

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

White sebagaimana dikutip Ibrahim dan Murni Baheram

(2009) menyebutkan tiga jenis strategi survival, yaitu:

1. strategi survival sebagai strategi untuk memenuhi

kebutuhan hidup pada tingkat minimum agar dapat

bertahan hidup,

2. strategi konsolidasi yaitu strategi untuk memenuhi

kebutuhan hidup, yang dicerminkan dari pemenuhan

kebutuhan pokok dan sosial,

3. strategi akumulasi, yaitu strategi pemenuhan kebutuhan

hidup untuk mencapai kebutuhan pokok, sosial, dan

pemupukan modal.

Strategi survival tersebut ditempuh individu atau kelompok

masyarakat, tergantung pada status sosial dan kondisi

ekonominya. Strategi apa yang ditempuh juga berkaitan dengan

kualitas sumber daya manusia dan lingkungan. Bagi kelompok

masyarakat marginal, termasuk di dalamnya PKL, jenis strategi

survival yang pertama dan kedua yang dipilih. Kalau pun ada

yang menempuh strategi ketiga, yaitu akumulasi, tidaklah

banyak.

Pak Haji Mustaqim merupakan contoh PKL sukses yang

mewakili strategi ketiga. Ia yang hanya bekerja sebagai

pedagang alat-alat pertanian, pertukangan, dan rumahtangga di

Kokrosono, tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan

keluarga, tetapi juga kebutuhan sosial, seperti berinteraksi

dengan tetangga dalam asosiasi rukun tetangga (RT) dan

menyisihkan sebagian penghasilannya untuk dana sosial dan

agama. Bahkan dari pekerjaan yang ditekuni tersebut, pak Haji

bersama istrinya dapat menabung dan membeli barang-barang

simbol status kelas menengah ke atas, seperti sepeda motor,

motor roda tiga, rumah, dan perhiasan.

Contoh lain adalah pak Muriman, pedagang gado-gado di

Sampangan, pak Mulyono pedagang alat-alat pertanian,

pertukangan, dan rumah tangga di Kokrosono, dan mbok Sador

Page 60: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

266

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

yang berjualan nasi pecel di bundaran Simpang Lima. Tentu

saja masih banyak PKL yang sukses dalam bisnisnya. Tidak

seperti halnya pak Haji Mustaqim, pak Muriman, pak Mulyono,

dan mbok Sador, sebagian besar pedagang kaki lima (PKL)

memiliki strategi pertama, yaitu survival dan strategi kedua,

yakni konsolidasi, yang semuanya ditempuh untuk menjaga

kelangsungan hidup.

Strategi survival atau bertahan hidup seseorang memang

bermacam-macam. Satrio misalnya, dibantu istrinya dalam

memenuhi kebutuhan keluarga. Ia sendiri ketika sebelum

digusur, bekerja sebagai penjual sate biawak dan ular, dan

setelah penggusuran, beralih menjadi penjual sate kambing. Pak

Armis, yang dahulu bekerja sebagai penjual bensin eceran dan

usaha tambal ban, sekarang ini bekerja sebagai pengrajin mebel.

Hal ini menunjukkan bahwa (1) pedagang kaki lima

memiliki daya tahan yang luar biasa ketika menghadapi

tantangan dan persoalan hidup serta mereka mampu keluar dari

kesulitan, (2) mata pencaharian baru yang mereka tekuni juga

tidak jauh dari usaha sebelumnya, yaitu di sekitar usaha

ekonomi sektor informal. Sesuai dengan sistem orientasi nilai

budaya Kluckhohn sebagaimana dikembangkan oleh

Koentjaraningrat, hidup memang dipahami para pedagang kaki

lima sebagai sesuatu yang buruk, tetapi masih bisa diperbaiki

kalau ingin tetap hidup. Demikian pula yang dialami para

pedagang kaki lima yang terkena proyek pembangunan.

Mereka tidak mudah putus asa, dan segera beralih pada

pekerjaan lainnya yang masih berada pada usaha sektor

informal.

D. Rangkuman

Hasil penelitian disertasi ini menunjukkan bahwa motif

atau faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa para urban

Page 61: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

267

BAB V

MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

bekerja di sektor informal atau menjadi pedagang kaki lima

(PKL) adalah (1) modal kecil atau terbatas, (2) ingin usaha

mandiri, (3) tidak ada lagi pekerjaan yang sesuai, (4) sudah

menjadi tradisi keluarga, (5) daripada menganggur, (6) bekerja

lebih mudah, dan (7) karena usia sudah tua.

Dalam berbagai data statistik pemerintah, tidak banyak

dilaporkan konstribusi ekonomi pedagang kaki lima (PKL) atau

pengusaha kecil yang menjalankan aktivitas ekonomi di sektor

informal. Kontribusi ekonomi pedagang kaki lima seolah

diabaikan, mungkin karena terlalu kecilnya sumbangan mereka

terhadap APBN, PDRB maupun PAD. Sementara itu,

sumbangan ekonomi sektor formal lebih besar dan mudah

diukur, sehingga statistik pemerintah akan menampakannya.

Kontribusi ekonomi PKL juga sulit ditemui dalam buku-buku

atau literatur ekonomi. Paling banter hanya data jumlah tenaga

sektor informal yang dapat ditemui pada statistik pemerintah

maupun literatur-literatur ekonomi.

Seperti halnya sektor formal, sektor informal, utamanya

pedagang kaki lima (PKL) juga memiliki kontribusi ekonomi,

tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari,

tetapi juga untuk biaya pendidikan bagi anak-anak atau cucu.

Banyak di antara mereka yang memiliki tabungan dan sebagian

hasil pendapatannya diinvestasikan untuk membeli rumah,

tanah, mobil, sepeda motor, dan peralatan elektronik lainnya.

Keberadaan PKL juga memberi kontribusi ekonomi kepada

pihak lain, seperti tukang parkir, pengamen, dan pengemis.

Secara akumulatif, PKL juga memiliki kontribusi positif

terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan

bagi penduduk kurang beruntung, bahkan juga memberikan

sumbangan terhadap PAD pemerintah lokal.

Sektor informal tidak hanya berkaitan dengan persoalan

mencari penghasilan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari,

dan sumbangan kepada pendapatan daerah, tetapi lebih dari itu,

Page 62: BAB V MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/737/6/D_902009006_BAB V.… · dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting

268

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

bagi masyarakat golongan miskin merupakan cara

mempertahankan kelangsungan hidup (survival strategy).

Pedagang kaki lima umumnya tergolong masyarakat

menengah ke bawah. Bagi orang-orang dari kelompok

masyarakat menengah bawah, seperti halnya pedagang kaki

lima (PKL), memahami hidup sebagai sesuatu yang buruk dan

kerja mereka pahami sebagai cara untuk hidup. Tidak bekerja

berarti mereka tidak hidup. Bekerja adalah hakikat kehidupan

manusia dan selama manusia hidup, dia harus bekerja.

Para PKL menyadari bahwa dengan segala keterbatasan

yang mereka sandang dan ketidakmampuannya mengakses

pekerjaan yang membutuhkan persyaratan tinggi, maka mereka

mau tidak mau memilih jalan dengan berdagang atau menjual

jasa di jalanan atau tempat-tempat umum. Di antara mereka ada

yang bekerja menjual makanan (nasi) dan minuman, menjual

alat-alat rumah tangga, pertanian dan pertukangan, membuka

bengkel, berdagang bensin, dan menjadi pengrajin mebel. Hal

itu dilakukan semata-mata untuk dapat memenuhi kebutuhan

keluarga. Para PKL “survive” karena mereka bekerja.

Menjadi PKL bagi kelompok masyarakat strata rendah,

merupakan pikihan satu-satunya. Kebanyakan PKL yang

diteliti, menjadi PKL merupakan jalan paling memungkinkan

untuk dapat menopang hidup mereka. Dari tiga strategi survival

yang dipilih, umumnya mereka memilih strategi survival dan

strategi konsolidasi. Strategi survival merupakan strategi untuk

memenuhi kebutuhan hidup pada tingkat minimum agar dapat

bertahan hidup, sedangkan strategi konsolidasi adalah strategi

untuk memenuhi kebutuhan hidup, yang dicerminkan dari

pemenuhan kebutuhan pokok dan sosial. Memang ada beberapa

PKL yang berada pada strategi akumulasi, yaitu strategi

pemenuhan kebutuhan hidup untuk mencapai kebutuhan

pokok, sosial, dan pemupukan modal, namun jumlah mereka

yang tergolong pada strategi akumulasi tidaklah banyak.