bab v motif, kontribusi ekonomi, strategi survival...
TRANSCRIPT
207 207
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Urbanisasi di kota besar merupakan surga bagi para investor
untuk menanamkan sahamnya dalam kegiatan ekonomi.
Mereka bisa berpartisipasi dalam pembangunan perumahan
atau real estate, menjadi pemegang saham utama bisnis mall
atau pasaraya, menjadi promotor pembangunan tempat-tempat
hiburan, atau mengembangkan bisnis perhotelan. Investasi
dalam kegiatan sektor formal kebanyakan diterima dan
difasilitasi oleh kepala daerah kabupaten atau kota. Alasan yang
dikemukakan oleh kepala daerah adalah kabupaten atau kota
mereka membutuhkan dana segar untuk memacu
pembangunan di daerahnya.
Bagi urban yang tidak memiliki modal dan keterampilan
yang memadai terpaksa terjun menjalankan usaha sektor
informal, entah menjadi tukang batu, tukang sol sepatu, tukang
patri, penjual nasi, pedagang barang-barang bekas, dan pebisnis
sektor informal lainnya. Para pekerja sektor informal ini
menempati ruang-ruang publik yang terlarang menurut
ketentuan peraturan daerah. Mereka terpaksa berdagang atau
menjalankan aktivitas ekonomi informal, sebagai strategi untuk
bertahan hidup.
Bab ini menjelaskan tentang mengapa banyak pekerja yang
memilih bekerja pada sektor informal, khususnya sebagai
pedagang kaki lima (PKL). Selain motif menjadi PKL, bagian
berikut juga menunjukkan data tentang kontribusi ekonomi
PKL, baik terhadap keluarga, kelompok masyarakat marginal
lainnya, maupun terhadap pendapatan asli daerah. Pada bagian
akhir dipaparkan tentang seluk beluk kehidupan PKL di
Semarang dan dijelaskan bahwa menjadi PKL merupakan salah
satu strategi untuk bertahan hidup (survival).
208
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
A. Motif Pedagang Kaki Lima (PKL)
Sektor informal (PKL) perkotaan tumbuh dan berkembang
berkaitan dengan implementasi model pembangunan barat
yang tidak ramah terhadap masyarakat golongan bawah yang
miskin, tidak terampil (un-skill), dan berpendidikan rendah.
Menurut Sutomo (1993), munculnya sektor informal
perkotaan menunjukkan bahwa penerapan model
pembangunan di barat dimana pertumbuhan industri di kota
yang diharapkan dapat menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi
dan mampu menyerap kelebihan tenaga kerja yang berpindah
dari pedesaan, ternyata tidak cocok dengan kondisi Indonesia,
karena proses pembangunan yang terjadi, terbukti tidak disertai
dengan transformasi sektoral dari agraris ke sektor industri atau
formal.
Rachbini dan Hamid (1994:121) dalam penelitiannya
mengenai ekonomi informal perkotaan di Surabaya dan Jakarta,
menyimpulkan bahwa mereka yang terlibat dalam sektor
informal pada dasarnya berkaitan dengan etos kewirausahaan
yang mereka miliki. Ada tiga faktor yang menyebabkan mereka
masuk ke sektor informal.
Pertama, tiadanya prosedur resmi dalam pendirian usaha
sektor ini.
Kedua, persyaratan modal relatif kecil.
Ketiga, potensi keuntungan cukup baik. Penelitian
Rachbini dan Hamid (1994) juga menemukan bahwa banyak
dijumpai istri pegawai dan karyawan rendahan membuka usaha
sektor informal sebagai usaha sampingan keluarga untuk
memenuhi kebutuhan rumahtangga. Dalam hal ini tampak
bahwa usaha sektor informal yang dilakukan para ibu dan
karyawan rendahan, terbukti berperan sebagai penyangga
ekonomi keluarga di sektor formal yang subsisten.
209
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Catatan Mustafa juga menunjukkan hal serupa. Sektor
informal menjadi tempat berlindung bagi komunitas penduduk
Suralaya yang mayoritas beretnik Betawi, yang telah
dimarginalisasi atau dipinggirkan oleh kekuatan dunia luar
yang dominan dan perubahan sosial yang tak dapat dihindari di
wilayah di mana mereka berdomisili (Mustafa 2008:102).
Alisjahbana (2006:3-9) dalam penelitiannya, mengemuka-
kan tujuh faktor yang menyebabkan atau melatarbelakangi
para urban memilih sektor informal sebagai aktivitas pekerjaan
untuk menggantungkan hidup.
Pertama, terpaksa atau tiada pekerjaan lain. Dengan segala
keterbatasan yang dimiliki, mau tidak mau dan suka tidak suka,
satu-satunya pilihan yang ada adalah bekerja di sektor informal.
Sebagian responden yang diwawancarai, menyatakan bahwa
mereka terjun di sektor informal bukan karena tertarik,
melainkan karena keadaan terpaksa demi untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Pekerjaan ini merupakan satu-satunya
pekerjaan yang bisa digunakan untuk memperoleh penghasilan,
sehingga dilakukan oleh para PKL.
Kedua, dampak pemutusan hubungan kerja (PHK). Tidak
sedikit yang menjadi PKL karena terkena pemutusan hubungan
kerja (PHK) ketika terjadi krisis moneter. Dampak krisis
moneter 1997 yang berlanjut dengan krisis ekonomi dan krisis
lainnya menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar dan
memberhentikan sebagian besar karyawannya. Di antara
karyawan yang diberhentikan, ada yang memperoleh pesangon
dan ada juga yang tidak. Bagi mereka yang memperoleh
pesangon, dengan berbekal sedikit modal mereka terjun ke
jalan menjadi PKL. Pilihan menjadi PKL barangkali merupakan
pilihan sementara, tetapi ketika banyak diantara mereka yang
telah menikmati pekerjaan dan hasilnya, maka menjadi PKL
merupakan satu-satunya pilihan guna menyambung hidup.
210
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Ketiga, mencari rezeki halal. Di mata golongan masyarakat
miskin perkotaan, gengsi tampaknya tidak lagi dihiraukan.
Ketika tidak ada upaya lain yang lebih baik, maka PKL menjadi
kunci penyelamat. Yang penting bagi mereka adalah mencari
rezeki secara halal sesuai dengan ketentuan agama, norma
hukum, dan tata tertib masyarakat. Daripada mereka
melakukan pekerjaan haram atau tidak patut, misalnya
meminta-minta, menipu, atau merampok, lebih baik mereka
bekerja sebagai pedagang kaki lima.
Keempat, mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain.
Banyak pekerja pabrik atau perusahaan yang memilih keluar
dari pekerjaannya dengan menekuni usaha sendiri. Mereka
yang memiliki keterampilan, misalnya membuat stempel
memilih menjadi PKL karena merasa tidak senang bekerja di
pabrik. Bagi mereka, bekerja dengan orang lain dipandang
hanya menjadi beban. Mereka melirik kaki lima sebagai tempat
mengais rezeki, di mana mereka bisa mengatur pekerjaannya
sendiri. Profit yang diperoleh bersifat langsung dan dapat
dinikmati segera. Hasil atau keuntungan tidak dapat dinikmati
segera, jika mereka bekerja di pabrik atau perusahaan. Bahkan
dengan melepaskan diri dari genggaman kaum kapitalis, para
PKL dapat meningkatkan etos kewirausahaannya.
Kelima, menghidupi keluarga. Sejumlah PKL banyak yang
berjualan VCD, kaset, striker, topi, kacamata, dan asesoris
lainnya. Berdagang barang-barang tersebut dipandang para PKL
sebagai pekerjaan satu-satunya yang bisa mereka lakukan.
Selain untuk mencukupi kebutuhan sendiri, umumnya hasil
atau keuntungannya digunakan untuk menghidupi keluarga,
membiayai sekolah anak-anaknya, membantu biaya sekolah
adik-adiknya, atau bahkan mengirimi uang kepada orangtua
yang ada di desa.
Hal ini sesuai dengan penelitian Sethuraman (1981) yang
menemukan bahwa sebanyak 72,29% pekerja sektor informal
211
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
melakukan usahanya dalam rangka memenuhi kebutuhan
keluarga. Resmi (1995:63) menemukan hal yang sama bahwa
PKL bekerja tiap hari tidak lain untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari anggota keluarganya. Adanya tanggungan keluarga
yang harus dihidupi menjadi motivasi kuat mengapa para PKL
mampu bertahan di jalan menghadapi kekerasan dari aparat
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Keenam, pendidikan rendah dan modal kecil. Banyak orang
yang memilih menjadi PKL karena tidak membutuhkan
keahlian dan keterampilan khusus, sehingga siapapun dapat
masuk kesana. Sebagaimana diungkapkan Firdausy (1995:1),
bahwa sektor informal mempunyai karakteristik usaha yang
relatif tidak memerlukan modal besar, keterampilan tinggi,
relatif mudah dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat
beresiko kecil. Dengan demikian, para urban memilih menjadi
PKL, selain karena tidak membutuhkan syarat pendidikan,
keahlian, dan keterampilan khusus, juga tidak membutuhkan
modal yang besar. Justru semangat dan daya tahan yang tinggi
yang diperlukan bagi siapapun yang berhasrat masuk menjadi
PKL merupakan motif utama mengapa para urban tetap
bertahan di jalan.
Ketujuh, kesulitan kerja di desa. Langkanya kesempatan
kerja di desa dan tiadanya kesempatan kerja di kota bagi yang
tidak berpendidikan dan tidak terampil, menjadi alasan
mengapa para urban memilih bekerja sebagai PKL. Bagi kaum
urban atau migran, kota merupakan tujuan akhir ketika mereka
tidak dapat tertampung di desa, dan kota, meskipun padat,
masih bisa dicari titik celahnya, untuk dimasuki oleh para
urban dengan menjadi pedagang kaki lima (PKL). Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan Mustafa (2008:9) bahwa
kelompok migran ke kota bekerja di sektor informal, karena
ada daya dorong untuk kebutuhan atau aspirasi yang tidak
dapat dipenuhi di desa.
212
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Tidak jauh berbeda dengan beberapa hasil penelitian
tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa para
urban bekerja di sektor informal, khususnya sebagai pedagang
kaki lima, motif para pedagang kaki lima (PKL) yang bekerja di
Semarang pun bervariasi. Dari hasil penelitian ditemukan tujuh
motif mengapa para urban memilih bekerja sebagai PKL, yaitu
(1) modal kecil atau terbatas, (2) ingin usaha mandiri, (3) tidak
ada lagi pekerjaan yang sesuai, (4) sudah menjadi tradisi
keluarga, (5) daripada menganggur, (6) bekerja lebih mudah,
dan (7) karena usia sudah tua.
Modal kecil atau terbatas menjadi motif dominan mengapa
pedagang kaki lima (PKL) bekerja pada sektor informal dan
nekat berdagang di daerah terlarang. Seperti diakui Minasat (49
tahun ), pedagang aneka loster atau ventilasi cor yang berlokasi
di Sampangan: “ya, bagaimana lagi ya mas, karena modal kecil
dan usaha ini lumayan besar keuntungannya, maka saya nekat
bekerja sebagai pedagang yang menempati tepi jalan ini”
(wawancara dengan Minasat, 20 Juni 2010).
Kecilnya modal sebagai alasan PKL berdagang di tepi jalan
juga dibenarkan bu Hermin (42 tahun): “modal saya kecil mas,
saya dan keluarga butuh hidup…sehingga terpaksa bekerja
sebagai pedagang nasi dengan membuka lapak di Sampangan”
(wawancara dengan bu Hermin, 20 Juni 2010).
Ketika ditanya, mengapa Satrio Wibowo (29 tahun) bekerja
sebagai pedagang kaki lima, jawabannya adalah karena ingin
usaha sendiri. Sebagai seorang pedagang, Satrio berkeinginan
untuk membuka rumah makan megah di tengah kota, sebuah
cita-cita yang bukan tidak mungkin akan dapat terwujud asal
keinginan tersebut didukung oleh kerja keras.
Mbah Sabar (60 tahun) yang sudah puluhan tahun
berdagang es tape santan di Basudewo memiliki modal yang
tidak begitu banyak untuk menjalankan usahanya. Modal
kerjanya hanya 1,5 juta rupiah dan yang menarik, mbah Sabar
213
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
tidak pernah hutang. “Wis dicukup-cukupke mas, wong cilik yo ngene iki isane”, demikian tutur mbah Sabar. Menurut mbah
Sabar, berapa pun uang yang dipunyai akan habis, sehingga
dengan uang sedikit tidak menjadi soal, tetapi yang penting
adalah bagaimana cara mengelola uang tersebut. “Kita harus
pandai-pandai mengaturnya”, kata mbah Sabar. Meskipun
memiliki penghasilan yang tidak seberapa, mbah Sabar dalam
berdagang es tape santan, dibantu seorang anak laki-laki dalam
melayani pembeli. Anak ini bukan anaknya sendiri, tetapi
mbah Sabar sangat memperhatikan kebutuhannya. Dalam
seharinya anak tersebut diberi upah Rp10.000,00, sedangkan
untuk makan, minum, dan tidur ditanggung oleh mbah Sabar.
Keinginan untuk mandiri dan tidak tergantung kepada
orang lain dalam bekerja, merupakan dorongan atau motif
mengapa banyak orang terjun ke sektor informal, khususnya
bekerja sebagai pedagang kaki lima (PKL). Mbah Sumiyati (65
tahun) misalnya, yang beralamat di jalan Dorowati 6, memilih
berjualan nasi gule di Kokrosono. Ketika ditanya mengapa
menjadi PKL yang beradagang nasi gule di Kokrosono, mbah
Sum, panggilan akrabnya, memberi jawaban demikian: “saya
sudah tua mas…mau kerja apalagi, bisanya ya jualan nasi,
modalnya tidak banyak, tetapi keuntungannya lumayan”
(wawancara dengan mbah Sum, Minggu, 3 Oktober 2010).
Pada awal memulai usahanya, mbah Sum membutuhkan
modal 3 juta rupiah, untuk beli gerobak 2 juta rupiah dan
peralatan lainnya 1 juta rupiah. Kata mbah Sum, “ini belum
termasuk biaya untuk bahan dagangan”. Modal tersebut tidak
pinjam, tetapi merupakan modal sendiri. Menurut mbah Sum,
dengan berjualan sendiri, meski ia dibantu seorang pelayan,
mbah Sum merasa seperti majikan, tidak harus tergantung
kepada orang lain, apalagi menjadi “suruhan” (pembantu) orang
lain. “Usaha mandiri lebih enak mas”, imbuh mbah Sum.
214
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Mbah Salim (67 tahun) yang sebelumnya pernah menjadi
tukang becak, memilih bekerja sebagai pedagang kaki lima,
karena selain sudah tua umurnya, juga tidak ada pilihan lain.
“ya, bagaimana lagi mas, umur sudah tua…keterampilan tidak
ada, ya dagang saja mas. Begini ini mas, dagang kaca mata dan
barang rongsokan, meskipun hasilnya kecil…yang penting bisa
untuk hidup…(wawancara dengan mbah Salim, 3 Oktober
2010). Mbah Salim pasrah dengan nasibnya sebagai pedagang
kaki lima. Satu-satunya pekerjaan yang ia tekuni adalah sebagai
pedagang kaki lima, apalagi jualan di Kokrosono ramai pembeli.
Jika dilihat dari etos kewirausahaan yang demikian tinggi,
maka para PKL sesungguhnya dapat disebut sebagai pengusaha,
hanya saja mereka tidak tergolong pengusaha besar yang
memiliki modal besar, mempunyai jumlah karyawan ribuan,
tempat produksi barang-barang permanen, memiliki jaringan
ekonomi yang kuat, dan mempunyai akses terhadap birokrasi
pemerintah dan lembaga finansial. Para PKL memang memiliki
modal, itu pun jumlahnya tidak banyak, demikian pula alat-alat
produksi yang dimiliki juga tidak memadai. Para pedagang nasi
di Sampangan misalnya, alat-alat produksi yang dipunyai di
antaranya: meja, kursi, tempat nasi, sayur, dan lauk pauk,
kompor gas, piring, sendok, garpu, dan peralatan lain yang
mendukung usahanya.
Tidak seperti halnya pengusaha besar yang memiliki tanah
dan pabrik, para PKL yang berdagang nasi hanya mempunyai
lapak dan tanah untuk mendirikan lapak merupakan milik
pemerintah. Tanah yang mereka tempati pun tidak memiliki
alas hak. Di Sampangan terdapat seorang pedagang yang
menggunakan mobil untuk berdagang, yaitu penjual pakan
burung. Lainnya, menggunakan lapak yang mudah dibongkar
untuk menjalankan usahanya.
Para pengusaha besar mempunyai jumlah karyawan ribuan,
sedangkan para PKL hanya memiliki 2 hingga 3 orang yang
215
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
membantu mereka berdagang atau menjalankan usahanya.
Banyak juga PKL yang tidak memiliki karyawan, karena
usahanya dilakukan secara mandiri atau sendiri tanpa bantuan
orang lain, seperti halnya PKL liar yang berdagang di
Kokrosono.
Tidak jauh berbeda dengan para PKL yang berdagang di
Sampangan, PKL yang menjalankan usaha di Basudewo dan
Kokrosono juga memiliki modal yang kecil. Rata-rata mereka
tidak memiliki kios. Sedikit di antara mereka yang memiliki
kios semi permanen untuk berjualan. Di Basudewo hanya ada 7
orang pedagang yang memiliki kios semi permanen, yakni
seorang pedagang nasi, dan 2 orang yang menjalankan usaha
bengkel sepeda motor, dan 4 orang pedagang mebel.
Dari sekian pedagang, ada di antara mereka yang
menggunakan mobil dan sepeda motor roda tiga merk Tossa
untuk tempat berdagang. Di Basudewo ada 2 pedagang yang
menggunakan mobil untuk berdagang, yakni pedagang
kebutuhan sehari-hari, seperti roti, snack, air mineral, gula,
rokok, dan lain-lain. Di Kokrosono hanya ada 1 orang yang
menggunakan mobil untuk berdagang dan 2 orang
menggunakan sepeda motor roda tiga untuk berjualan. Lainnya
menggunakan lapak yang mudah dibongkar. Di Kokrosono
kebanyakan pedagang berjualan dengan cara lesehan, yakni
menggelar tikar atau alas seadanya untuk menempatkan barang
dagangan.
Inilah tipikal PKL, yang oleh penguasa kota dipandang
sebagai pengganggu ketertiban, tetapi jika dilihat dari sisi
ekonomi, mereka adalah para pejuang dan entrepreneur yang
tangguh, sebab dengan modal kecil dan peralatan seadanya,
mereka tetap mampu bertahan hidup. Mereka tidak mengenal
krisis, seperti halnya para pengusaha besar di Indonesia yang
bangkrut gara-gara krisis moneter tahun 1997. Ini berarti
tingkat kompetisi dan keuletan para PKL tidak kalah
216
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
dibandingkan para pengusaha besar, terbukti bisnis mereka
masih berlanjut meskipun harus hidup dalam suasana was-was,
karena sewaktu-waktu bisa mengalami penertiban dan
penggusuran dari Satpol PP.
Motif para pedagang kaki lima (PKL) menjalankan usaha
perdagangan dan jasa informal umumnya berkaitan dengan
aspek ekonomi. Yang dimaksudkan dengan ekonomi dalam
penelitian ini adalah bagaimana para pedagang kaki lima (PKL)
dengan sumber daya yang terbatas, seperti pendidikan yang
umumnya rendah, keterampilan tidak ada, dan modal usaha
(kapital) kecil, dapat memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus
tergantung kepada orang lain. Para pedagang kaki lima (PKL)
yang menjalankan usaha di Sampangan, Basudewo, dan
Kokrosono pada umumnya didorong untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan, minum, membeli
pakaian, dan lain-lain.
Kebutuhan keluarga tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan dan minum, tetapi
juga untuk biaya pendidikan anak-anak. Seperti dituturkan
pak Mulyono (47 tahun), pedagang alat-alat pertukangan,
pertanian dan rumah tangga yang sehari-hari berdagang di
Kokrosono, di bawah ini.
“saya berdagang di sini…ya terpaksa pak, kalau tidak untuk memenuhi kebutuhan keluarga tidak mungkin saya lakukan. Cari pekerjaan susah, saya sudah cukup tua, misalnya kerja di proyek…tenaga saya sudah tidak kuat lagi, apalagi saya pernah sakit lumpuh, pernah hampir mati…ya kerja jualan seperti ini saja pak. Saya dan istri harus menghidupi empat anak, semuanya sekolah, yang tiga sudah kuliah, sedangkan satunya yang paling kecil masih di SMA. Bapak tahu sendiri…bayar kuliah dan sekolah sangat mahal…untung otak anak saya encer pak dan tahu diri kalau orang tuanya tidak punya. Saya tidak pernah menabung, karena hasil penjualan, selain untuk kulakan, dipakai untuk makan sehari-hari dan memenuhi kebutuhan kuliah dan sekolah anak-anak. Untuk bayar
217
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
uang gedung (sumbangan pembinaan lembaga) saja jutaan pak…saya harus utang dengan menggandaikan 6 sepeda motor yang saya miliki” (wawancara dengan Mulyono, tanggal 24 September 2011).
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 15. Pak Mulyono sedang melayani pembeli
Sebab-sebab, motif, kondisi, latar belakang, atau alasan
mengapa seseorang atau sekelompok orang terjun ke ekonomi
sektor informal sebagaimana sudah diuraikan di atas sebagian
besar berkaitan dengan masalah ekonomi dan sosial, misalnya
persoalan PHK, pengangguran, kemiskinan, kewirausahaan,
langkanya lapangan kerja, dan lain-lain. Para pedagang yang
bekerja sebagai PKL, rela berpanas-panas dan berhujan-hujan,
semata-mata karena untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga.
Motif lain sebagaimana dilihat Hernando de Soto,
menghindari pajak misalnya, tidak terjadi di PKL yang diteliti.
Hernando de Soto sebagaimana dikutip Azuma and Grossman
(2008) menunjukkan bahwa di banyak negara berkembang
khususnya negara-negara miskin, beban pajak yang berat, fee,
kinerja birokrasi yang buruk, dan dorongan penyuapan,
218
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
menyebabkan seorang pengusaha masuk ke sektor informal.
Demikian pula yang ditemukan Sookram and Watson (2008)
bahwa kebanyakan penghasilan yang tidak dilaporkan dari
sektor informal merupakan hasil dari upaya hati-hati untuk
menghindari pajak.
Sookram and Watson (2008) juga menyebutkan bahwa
beban pajak yang tinggi, regulasi pemerintah yang membebani,
dan pertimbangan waktu, menyebabkan pengusaha terlibat
dalam aktivitas sektor informal. Salah satu pedagang kaki lima
yang berjualan di Kokrosono, tepatnya di pinggir jalan dekat
dengan bantaran sungai Banjir Kanal Barat, tampaknya dapat
digolongkan dalam kategori yang disebutkan Soto, Sookram
dan Watson.
Sektor usaha ekonomi informal ini dilakukan oleh suami
isteri, dan kadang dalam aktivitas penjualan dibantu oleh
putrinya yang sedang kuliah di sebuah universitas besar di
Semarang. Di antara pedagang kaki lima yang lain, mereka
(suami isteri) secara sekilas, dapat digolongkan ke dalam
pedagang kaki lima (PKL) kaya, karena: (1) PKL tersebut
berdagang dengan menggunakan dua mobil yang sifatnya
mobile, dapat dipindahkan kemana saja, (2) barang
dagangannya, berupa peralatan rumah tangga, seperti pacul,
bendo, sabit, drei, cetok, kunci dan gembok almari dan pagar,
kuas, pisau, gunting, meteran, dan lain-lain.
Setelah dilakukan wawancara yang mendalam, ternyata
dugaan bahwa yang bersangkutan bekerja di jalanan adalah
untuk menghindari pajak, tidaklah benar. Orang Jawa
mengatakan, “nek ndelok uwong, ojo didelok lahire wae”,
artinya kalau melihat orang jangan dilihat lahiriahnya saja. Pak
Mul dan istri yang berdagang alat-alat pertukangan, pertanian,
dan peralatan rumah tangga lainnya ini, jika dilihat sepintas
dapat dikategorikan sebagai orang kaya, karena barang
dagangan ditempatkan di dua mobil bekas miliknya, sementara
219
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
pedagang lainnya meletakkan barang-barang dagangannya di
atas tanah hanya dengan beralaskan tikar atau terpal. Pada saat
diwawancarai, pak Mul sedang ditagih seorang pengusaha Cina,
tetapi belum bisa bayar. “Nanti ya om, dagangannya baru sepi”,
kata pak Mul ketika ditagih pak Antoni, sang pemasok barang.
Pak Mul bisa membeli mobil, tetapi bukan mobil baru.
Mobil dibeli dengan harga 25 juta rupiah, yang satu harganya
15 juta rupiah dan satunya lagi 10 juta rupiah. Mobil ini
digunakan untuk mengangkut barang dagangan sekaligus untuk
“dasaran” atau tempat menjual barang.
“Panjenengan kalau melihat saya, pasti mengira saya orang kaya ya pak…Bapak percaya atau tidak, hingga kini saya belum punya rumah…rumah ada tetapi ngontrak pak. Saya punya 4 anak, 2 di antaranya kuliah, 1 orang sekolah di SMA, dan seorang lagi masih duduk di bangku SD. Penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anak. Utang saya banyak pak…tabungan uang saja saya tidak punya. Memang saya punya 6 sepeda motor…semuanya saya gadaikan 5 juta rupiah untuk membayar kuliah anak saya. Saya juga utang 10 juta rupiah untuk sewa kios di blok C Kokrosono. Untuk itu, saya harus utang rentenir, tiap bulannya harus membayar Rp1.250.000,00 selama 1 tahun. Bapak bisa bayangkan bagaimana beban yang harus saya tanggung” (wawancara dengan Mulyono, 24 September 2011).
Pedagang kaki lima jenis ini, juga dijumpai di wilayah
penelitian yang lain, yakni seorang pedagang pakan burung dan
ikan di Sampangan serta pedagang rokok dan makanan kecil di
Basudewo.
Di Semarang, pedagang yang menggunakan mobil untuk
berjualan juga banyak dijumpai di lokasi PKL Kartini, jalan
Kusumawardani, jalan Kelud Utara, dan beberapa tempat
lainnya. PKL yang berdagang dengan menggunakan mobil,
tidak hanya berdagang barang-barang peralatan rumah tangga
220
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
dan pertanian, tetapi juga berdagang sayur-sayuran, pakaian
jadi, boneka, peralatan elektronika, dan yang lainnya.
Pedagang disebut terakhir ini, mulai marak di kota
Semarang, terutama setelah PKL yang berdagang atau
menjalankan usaha di sekitar bundaran Simpang Lima dan jalan
Pahlawan dipindahkan ke lokasi PKL jalan Menteri Soepeno
pada tahun 2010. Pada akhir tahun 2011, PKL tidak
terorganisasi yang biasa berjualan di jalan Menteri Soepeno
dipindah lagi ke lokasi baru, yaitu di depan Stadion
Diponegoro.
Sikap akomodatif pemerintah kota Semarang, terutama
sejak dipegang walikota yang baru, yaitu Soemarmo, membuat
para PKL leluasa berdagang apa saja dengan menggunakan
lapak atau sarana berdagang yang bermacam-macam. Satu di
antaranya adalah berdagang dengan menggunakan mobil untuk
berjualan. Para PKL yang menggunakan mobil sebagai sarana
berdagang dapat menjalankan usaha di lokasi PKL yang baru,
yakni di jalan Menteri Soepeno (yang kemudian pindah lagi ke
Stadion Diponegoro). Gambar berikut menunjukkan sepasang
suami istri penjual beras dengan mobil sebagai sarana dagang.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 16. Seorang penjual beras dengan mobilnya sedang melayani pembeli
221
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 17. Para pengunjung yang berdesak-desakan di
sentra PKL jalan Menteri Soepeno pada hari Minggu
Dalam perkembangannya, PKL mobile bertambah banyak,
terutama yang menjalankan usaha berdagang sayur-sayuran. Di Semarang, mereka yang berdagang sayur-sayuran jumlahnya lebih dari 100 pedagang. “Benar pak, jumlahnya kurang lebih ada 100 pedagang”, kata Sunarto. Di Pasar Projo Ambarawa, Kabupaten Semarang, para pedagang sayur-sayuran tersebut jumlahnya kurang lebih 150 orang. Pagi sekali, sekitar jam 02.00 mereka sudah berkumpul di pasar untuk “kulakan” sayur-sayuran dan jam 04.00 atau 05.00 mereka sudah meluncur mendekati para pelanggannya.
Dalam dua atau tiga tahun terakhir, di Semarang muncul fenomena baru, yaitu PKL yang berdagang dengan menggunakan mobil untuk sarana berjualan. Mereka kebanyakan tidak termasuk PKL miskin yang bekerja sekedar untuk bertahan hidup. Mobil yang dipakai bervariasi, ada yang menggunakan mobil Toyota Kijang, mobil Avanza, mobil Suzuki Futura, mobil sedan, mobil Daihatzu Zebra, dan banyak di antaranya yang menggunakan motor roda tiga merek Tossa yang sudah diubah bentuknya untuk keperluan berdagang.
222
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Dagangan yang mereka jual bervariasi, mulai dari sayur-sayuran, buah-buahan, makanan kering, minuman, beras, pakaian, hingga alat-alat perkakas rumah tangga dan pertanian.
Dari mobil yang digunakan, penampilan penjual, dan
volume barang dagangan, tampak bahwa para pedagang ini
tidak tergolong kelompok masyarakat miskin. Setidaknya
mereka membutuhkan modal besar untuk berdagang. Tidak
diketahui apakah mereka berjualan dengan menggunakan
mobil untuk mencari keuntungan semata-mata karena sulitnya
bersaing dengan pelaku usaha sektor formal atau ada suatu
strategi meraih untung tanpa dikenai pajak yang membebani
mereka. Jika mereka berdagang untuk mencari untung, dengan
menghindari pajak, maka benar kiranya apa yang diteliti oleh
Sookram dan Watson bahwa banyak pengusaha terjun ke sektor
informal agar dapat menghindari pajak.
Pedagang kaki lima mobile ini memiliki motif yang
bermacam-macam. PKL yang sarana berdagangnya
menggunakan mobil, umumnya didasari oleh motif untuk
mendekati konsumen (dalam arti ekonomi). Demikian juga PKL
sayur-sayuran yang menggunakan sepeda motor, motif
utamanya adalah “jemput bola”, yaitu mendekati konsumen
agar dagangannya cepat laku (Handoyo 2011). Selain karena
cepat laku, pedagang sayur berdagang berkeliling, juga
disebabkan oleh faktor lainnya, seperti mudah bergerak dari
satu tempat ke tempat lainnya, lebih bebas, tidak ada retribusi,
dan tidak terpengaruh oleh cuaca dagangan tetap laku.Lama
kelamaan karena sering datang ke perumahan, maka pedagang
sayur akhirnya memiliki pelanggan. Adanya pelanggan inilah
yang membuat kelangsungan usahanya tetap terjaga. Gambar
berikut menunjukkan seorang pedagang sayur keliling yang
sedang melayani pembeli di sebuah perumahan.
223
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 18. Seorang Pedagang Sayur Keliling sedang melayani pembeli
B. Kontribusi Ekonomi Sektor Informal dan Pedagang Kaki
Lima (PKL)
Sektor informal, khususnya PKL, dalam sistem ekonomi
kontemporer (modern) bukanlah suatu gejala negatif
sebagaimana argumen yang menolak PKL, tetapi lebih sebagai
realitas ekonomi kerakyatan yang berperan cukup penting
dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan nasional
(Effendi 1997:1). Pedagang kaki lima (PKL) sebagai korban dari
kelangkaan kesempatan kerja produktif di kota, sehingga PKL
dipandang sebagai jembatan terakhir bersama berkembangnya
proses urbanisasi (Mustafa 2008:57).
Dukungan mengenai peran positif dari PKL disuarakan pula
oleh Morrell,dkk (2008:7) dalam kajiannya tentang sektor
informal di kota Surakarta dan Manado. Hasil penelitian di
Surakarta menunjukkan bahwa aktivitas sektor informal tidak
hanya mengisi fungsi ekonomi, tetapi juga memberikan
pendidikan, mobilitas sosial, dan meningkatkan jaminan bagi
224
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
anak-anak mereka. Harris sebagaimana dikutip Amin (2005)
menunjukkan bukti bahwa efisiensi yang dimiliki oleh sektor
informal dapat mengurangi tingkat kemiskinan urban.
ILO juga menemukan bahwa sektor informal mampu
menyerap migran pedesaan (Amin 2005). Demikian pula,
Kutcha-Helbling sebagaimana dikutip Kayuni and Richard I.C.
Tambulasi (2009:81) dalam sebuah penelitian tentang pedagang
kaki lima di Malawi, Afrika, mengungkapkan bahwa sejumlah
besar sektor informal memiliki konsekuensi serius terhadap
aktivitas sektor privat, pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan, serta konsolidasi demokrasi. Kayuni and
Richard I.C. Tambulasi (2009) pun yakin bahwa sektor informal
memainkan peran kritis dalam pembangunan sebuah bangsa.
Aspek positif dari sektor informal dan PKL khususnya,
dapat dilihat dari kontribusi nyata yang diberikan sektor
informal terhadap penyerapan tenaga kerja, GDP, dan lain-lain.
Meskipun banyak pihak yang memandangnya sebagai pencipta
kemacetan dan pengganggu ketertiban kota, namun sumbangan
positif sektor informal dan PKL tidak diragukan.
Menurut catatan Bromley (2000), pedagang kaki lima
(street vendors) berkontribusi pada aktivitas ekonomi dan
penyediaan layanan. Nirathron (2006) dalam penelitian tentang
PKL di Bangkok menghasilkan tiga temuan (1) PKL
menciptakan kesempatan untuk memerangi kemiskinan, (2)
PKL merupakan sarana untuk mengakumulasi modal, dan (3)
PKL mendukung penghasilan dan keterampilan kewirausahaan.
Pada tahun 1993 World Bank melaporkan bahwa sektor
formal hanya mampu menampung 32% dari populasi tenaga
kerja, sedangkan sisanya 68% ditampung di sektor informal.
Becker (2004:3) menunjukkan jumlah tenaga kerja sektor
informal adalah 70% di Sub Afrika Sahara, 62% di Afrika Utara,
60% di Amerika Latin, dan 59% di Asia. Ini menunjukkan
225
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
bahwa sektor informal menampung angkatan kerja lebih
banyak daripada sektor formal.
Studi terbaru yang dilakukan oleh Schneider menunjukkan
bahwa sektor informal di negara-negara berkembang memberi
kontribusi kepada GDP sebesar 20% hingga 70% (Sookram and
Watson 2008). Di Amerika dan Jepang, sumbangan sektor
informal terhadap GDP hanya 10%, tetapi di negara-negara
berkembang seperti Meksiko dan Thailand sumbangannya
kepada GDP jauh lebih tinggi, yaitu masing-masing 50% dan
70% (Quintin 2008).
Gerxhani (2004) dalam penelitiannya, menunjukkan hasil
yang tidak jauh berbeda dengan studi Schneider dan Sookram
mengenai sumbangan sektor informal terhadap GNP. Di Asia,
sumbangan sektor informal terhadap GNP sebesar 35%, di
Amerika Latin sebesar 39%, dan di Afrika sumbangannya
sebesar 44%. Data yang dikumpulkan UNESCAP dan UN-
HABITAT (2008) menunjukkan bahwa di Asia, sekitar 65% dari
lapangan kerja non-agricultural adalah di sektor pertanian dan
kontribusi sektor informal terhadap PDRB Asia sebesar 31%.
Di India, mayoritas besar tenaga kerja bermatapencaharian
dari sektor informal (Saha 2009). Hal ini dapat dilihat dari
survai nasional terbaru yang menginformasikan bahwa pada
tahun 2004-2005 angkatan kerja sektor informal sebanyak 422
juta pekerja atau 92% dari total angkatan kerja sebesar 457 juta
orang. Dari jumlah angkatan kerja sektor informal tersebut,
mereka yang bekerja sebagai pedagang kaki lima sebanyak 10
juta orang, 250.000 orang diantaranya ada di Mumbai.
Pedagang kaki lima ini, menurut Saha (2009) memainkan peran
penting dalam perekonomian urban di India dengan
menyediakan pekerjaan, pendapatan, dan kontribusi lainnya.
Tidak jauh dengan data pekerja sektor informal di India, di
Venezuela pekerja yang terjun ke sektor informal lebih dari
226
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
50% dan 30% di antaranya melakukan kegiatan perdagangan
(Jaffe, et al. 2007).
Di Vietnam, sektor informal berperan sebagai sumber
matapencaharian dan peningkatan pendapatan setelah krisis
keuangan tahun 1998 (Tran 2000). Di Bangkok, jumlah orang
yang bekerja di sektor informal diperkirakan 390.600 pekerja,
26.733 orang diantaranya bekerja sebagai pedagang makanan
jalanan (Nirathron 2006). Seperti halnya di Vietnam, selama
krisis ekonomi di Thailand, PKL dipandang sebagai solusi bagi
para penganggur dan biaya hidup yang tinggi. PKL dan sektor
informal lainnya berfungsi bagai busa (sponge) yang mampu
menyerap surplus tenaga kerja yang terlempar dari sektor
formal.
Beberapa kajian dan penelitian di atas memberikan bukti
bahwa sektor informal dan pedagang kaki lima (PKL)
merupakan pelaku ekonomi yang tidak bisa dipandang remeh
dan kontribusinya cukup besar dalam pembangunan ekonomi
suatu negara. Dalam perspektif makro, sektor informal dan
PKL memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi,
membuka kesempatan dan lapangan kerja bagi para migran
pedesaan maupun warga perkotaan, serta mengurangi atau
menekan kemiskinan. Dalam perspektif mikro, sektor informal
dan PKL meningkatkan pendapatan bagi pelakunya,
memberikan jaminan kehidupan bagi keluarga dan anak-
anaknya, serta memupuk dan mengembangkan jiwa
kewirausahaan.
Seperti halnya negara-negara dunia ketiga lainnya, sektor
informal di Indonesia masih mendominasi seluruh angkatan
kerja. Selama tahun 1980-an dan 1990-an, penduduk yang
menggantungkan diri pada sektor informal sebagai sumber
utama pekerjaan dan penghasilan diperkirakan 60% dari total
tenaga kerja (Suharto 2002:116).
227
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Kontribusi ekonomi sektor informal cukup signifikan
sebagai pelumas ekonomi nasional. BPS menunjukkan bahwa
sektor informal menyumbang sekitar 74% terhadap kesempatan
kerja pada tahun 1985, meskipun pada tahun-tahun berikutnya
cenderung berkurang, yaitu 72% pada tahun 1990, 65% pada
tahun 1998, dan pada tahun 2002 turun lagi menjadi 49% dari
91.647.166 tenaga kerja (Mulyanto 2007).
Pada tahun 1993, persentase rumahtangga miskin yang
bekerja di sektor informal sangat tinggi, yakni 74% dari total
rumahtangga miskin (Suharto 2002). Sektor informal Indonesia
yang diwakili oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
menyumbang 55,8 persen produk domestik bruto (PDB) tahun
2005 dan 19 persen dari total ekspor (Samhadi 2006:33).
Meskipun diindikasikan sebagai perusahaan berskala kecil,
tetapi kontribusi ekonomi sektor informal cukup signifikan.
Pada tahun 2004, BPS memperkirakan bahwa jumlah entitas
bisnis yang dikategorikan sebagai entitas non-legal (usaha
mikro, kecil, dan menengah) adalah 17 juta unit bisnis, dengan
total pekerja informal 30 juta dan total produksi senilai Rp537
milyar (Zen dan Restu Mahyuni (ed) (2007:42).
Kontribusi ekonomi pedagang kaki lima (PKL) terhadap
PDRB Surabaya pada tahun 2003 adalah sebesar
Rp292.363.548.750,00 atau 0,57% dari nilai total PDRB kota
Surabaya (Zakik 2006:103). Di kota Semarang, Dinas Pasar
menginformasikan bahwa pedagang kaki lima (PKL)
menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) sebesar 1,5 milyar
pada tahun 2004 dan tahun 2005 sumbangannya meningkat
menjadi 6 milyar rupiah (Simpul Semarang dalam
http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/inisiatif/artikel.php?aid
=22432).
Pada tahun 2009, Pemkot Semarang mentargetkan
pendapatan dari retribusi sewa lahan dan kebersihan PKL
sebesar Rp1.560.400.500,00 dan realisasinya sebesar
228
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Rp1.394.308.200,00. Jika dibandingkan jumlah pendapatan asli
daerah (PAD) pada tahun yang sama sebesar
Rp1.369.670.792.942,00, maka persentase kontribusi ekonomi
PKL terhadap PAD sebesar 0,102%. Jumlah pendapatan dari
retribusi PKL pada tahun-tahun berikutnya mengalami
peningkatan. Data pendapatan dari retribusi PKL dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 11. Pendapatan Pemkot Semarang dari Retribusi PKL
Tahun Target (dalam Rupiah) Realisasi (dalam Rupiah)
2009 1.560.400.500,00 1.394.308.200,00 2010 2.060.399.000,00 1.587.798.725,00 2011 2.517.949.401,00 1.684.885.650,00 2012 2.832.693.750,00 -
Sumber: Wawancara dengan Pak Azis (Ka.Sub. PKL Dinas Pasar Kota Semarang) tanggal 31 Januari 2012
Realisasi retribusi PKL tahun 2011 di atas lebih besar
daripada realisasi sumbangan ekonomi PKL tahun 2009 dan
2010. Realisasi retribusi PKL tersebut juga lebih tinggi daripada
realisasi retribusi PKL tahun-tahun sebelumnya. Sebagaimana
dilaporkan Kamal (2008), retribusi PKL tahun 2001 sebesar
Rp1,1 juta; tahun 2002 sebesar Rp1,3 juta; tahun 2003 sebesar
Rp1, 5 juta dan tahun 2004 sebesar Rp1,6 juta. Tahun 2004
retribusi PKL mencapai angka Rp1,6 juta melebihi realisasi
retribusi PKL tahun 2009 sebesar Rp1,4 juta. Namun dengan
mengabaikan pengecualian pada tahun 2009, sumbangan
ekonomi PKL terhadap pendapatan asli daerah kota Semarang
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Ini artinya,
keberadaan PKL adalah riil memberi manfaat, sehingga fasilitasi
dan pembinaan terhadap PKL sangat diperlukan agar mereka
dapat mengembangkan usahanya, demi memenuhi kebutuhan
keluarga dan pada gilirannya memberi sumbangan positif bagi
perekonomian kota Semarang.
Sumbangan ekonomi PKL kepada pendapatan asli daerah
(PAD) Kota Semarang, tidak hanya berasal dari PKL yang sudah
terorganisasi atau dilegalisasi oleh Pemkot, tetapi juga ditarik
229
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
dari PKL yang tidak terorganisasi atau liar. PKL Sampangan dan
Basudewo yang pada saat penelitian (tahun 2009-2011)
dipandang liar, sesungguhnya mereka memiliki izin untuk
berjualan yang dikeluarkan Camat setempat dan ditarik
retribusi sebesar Rp1.000,00 per hari. Retribusi ini dihentikan,
sejak ada kebijakan relokasi yang ditetapkan Pemkot pada
tahun 2009.
Selama tahun 2009-2011 terjadi beberapa kali penertiban
dan penggusuran di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono,
dengan tujuan supaya PKL bersedia pindah ke lokasi yang telah
disediakan Pemkot, namun kebijakan Pemkot tersebut
ditentang dan diabaikan oleh PKL. Untuk memudahkan proses
relokasi tersebut, Pemkot tidak menarik retribusi hingga
mereka bersedia pindah. PKL Basudewo yang akhirnya bersedia
direlokasi ke sentra PKL Kokrosono, kini sudah ditarik retribusi
oleh Pemkot. “Sejak pindah ke sini, kita sudah ditarik iuran
pak”, demikian ungkap pak Achmad (wawancara dengan pak
Achmad, Rabu, 8 Pebruari 2012).
Penarikan retribusi kepada PKL, baik yang sudah
terorganisasi maupun yang belum, menunjukkan bahwa PKL
memiliki kontribusi terhadap capaian pendapatan asli daerah
(PAD) kota Semarang meskipun jumlahnya tidak terlalu
signifikan.
Meskipun tidak sebesar kontribusi ekonomi PKL Surabaya,
tetapi sumbangan PKL Semarang cukup signifikan, karena
besaran retribusi PKL tersebut dapat dimanfaatkan pemerintah
kota untuk pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
Ini menunjukkan, bahwa meskipun sikap pemerintah kota
terkadang ambivalen, tetapi keberadaan sektor informal,
khususnya PKL tetap diperhitungkan karena sumbangannya
terhadap pendapatan asli daerah (PAD) cukup signifikan.
Jikalau tidak memberikan sumbangan yang besar dan
signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) seperti yang
230
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
diperlihatkan beberapa kota besar lainnya, namun penghasilan
PKL dapat digunakan oleh pedagang untuk memenuhi
kebutuhan keluarga dan mendukung kehidupan kelompok
marginal lainnya, seperti tukang parkir, pengemis, dan
pengamen. Keberadaan PKL juga tidak membebani anggaran
pemerintah kota, bahkan dilihat dari aspek penyerapan tenaga
kerja tidak terdidik, PKL memberi kontribusi dalam mengatasi
pengangguran dan menciptakan stabilitas ekonomi kota.
Dari penelitian di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono,
tampak bahwa kontribusi ekonomi PKL cukup signifikan untuk
membangun ekonomi keluarga dan masyarakat sekitar.
Kontribusi yang paling dominan adalah membangun ekonomi
keluarga. Yang dimaksud dengan membangun ekonomi adalah
bagaimana PKL yang secara sosiologis merupakan strata atau
lapisan kelas menengah ke bawah mampu memenuhi
kebutuhan keluarganya dengan menggunakan sumber daya
terbatas yang ia miliki.
Ekonomi adalah perilaku orang dan masyarakat dalam
memilih cara menggunakan sumber daya yang langka dan
memiliki beberapa alternatif penggunaan, dalam rangka
memproduksi berbagai komoditi untuk kemudian
menyalurkannya, baik saat ini maupun di masa depan kepada
para individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat
(Samuelson dan William D. Nordhaus 1994:5). Dalam konsep
ekonomi ini terdapat komponen penting, yakni (1) individu
atau kelompok memiliki sumber daya yang terbatas atau
langka, (2) keinginan dan kebutuhan individu atau kelompok
masyarakat tidak terbatas, (3) mereka dihadapkan pada berbagai
pilihan, (4) untuk menggunakan sumber daya serta melakukan
kegiatan produksi dan konsumsi.
Pedagang kaki lima (PKL) sebagai salah satu pelaku
ekonomi di sektor informal, dihadapkan pada keterbatasan
yang dimiliki, seperti pendidikan yang relatif rendah,
231
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
keterampilan yang kurang, tidak memiliki sumber daya yang
memadai, misalnya tanah dan bangunan, sementara mereka
harus hidup dan menghidupi keluarganya, sehingga sesuai
dengan konsep ekonomi tersebut, mereka harus memilih tetap
berada di kota dengan segala keterbatasan yang dimiliki untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya atau harus kembali
ke desa asal tetapi dengan lapangan pekerjaan yang makin
sempit yang belum tentu dapat menampung mereka.
Ini adalah sebuah dilema sekaligus pilihan sulit bagi para
PKL. Umumnya para PKL sudah cukup lama tinggal di kota
Semarang dan sebagian besar telah berkeluarga dan mempunyai
tanggungan keluarga. Pilihan yang mungkin bagi mereka
adalah tetap tinggal di kota meskipun terpaksa harus mencari
pendapatan dengan memanfaatkan ruang publik yang dilarang
oleh pemerintah kota.
Sejak puluhan tahun yang lalu, utamanya setelah banyak
berdiri perguruan tinggi swasta di sekitar Sampangan, maka
daerah Sampangan, yakni pasar dan sekitarnya sangat ramai
menjadi lalu lintas kendaraan dan orang, tidak hanya pada pagi
hari tetapi juga pada malam hari. Ibarat sarang madu,
Sampangan menjadi pilihan bagi para pedagang untuk
berjualan, demi mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Sebelum terjadinya penggusuran besar-besaran pada bulan
Maret 2010, wilayah Sampangan, khususnya daerah pinggir
sungai Kaligarang, cukup banyak para pedagang yang
menjalankan aktivitas ekonomi, terutama adalah berdagang
nasi di malam hari. Jumlah pedagang pada saat penggusuran
tidak kurang dari 30 orang. Atas nama proyek pembangunan
normalisasi sungai Kaligarang dan Banjirkanal Barat,
pemerintah provinsi Jateng memberi perintah kepada
pemerintah kota untuk membersihkan wilayah Sampangan
yang padat dipenuhi para PKL. Alhasil, pada bulan Maret 2010,
PKL Sampangan digusur. Seluruh bangunan semi permanen
232
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
dan lapak mereka diratakan dengan tanah, dan sejak itu mereka
pindah sementara ke arah selatan (bergeser sedikit, kurang
lebih 15 meter dari lokasi semula).
Pasca penggusuran, pedagang yang menjalankan usaha pada
malam hari tidak kurang dari 10 orang, tetapi dengan
berjalannya waktu kini sudah ada 15 orang yang masih
berdagang nasi dan usaha lainnya pada malam hari. Mereka
yang berdagang pada malam hari di antaranya adalah warung
tenda biru, warung sederhana, warung penyet monggo mampir,
warung lombok ijo mbak Tari, warung sate, warung ayam
goreng bang Zuri, warung bebek goreng pak Ragil, warung
penyet mbak Yani, depot ayam goreng, warung nasi gandul,
warung seafood Lamongan. Selain warung makan tersebut, juga
turut membuka usaha, yaitu penjual pakan burung dan penjual
kue terang bulan.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 19. Para PKL Sampangan yang berdagang pada
malam hari
Pada siang hari, lapak yang ada digunakan PKL untuk
berdagang gado-gado dan es cendol. Jumlah pedagang makanan
233
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
dan minuman ini tidak banyak. Sebagian besar lapak
dimanfaatkan PKL untuk membuka usaha bengkel sepeda dan
sepeda motor, tambal ban, serta las listrik dan tukang drat.
Sesuai kesepakatan para PKL, mereka berbagi tempat dan
waktu.
Mereka yang berdagang dan menjual jasa di siang hari
boleh menggunakan lapak yang sama yang digunakan oleh
pedagang malam hari hanya sampai jam 15.00; sedangkan PKL
yang berdagang pada malam hari baru akan menyiapkan barang
dagangan sore setelah aktivitas PKL siang hari sudah selesai.
PKL yang berdagang pada malam hari biasanya selesai jam
23.00 atau ketika dagangannya sudah habis. Kebersihan lokasi
berdagang ditanggung bersama. PKL yang berdagang pada siang
hari, selesai berdagang segera membersihkan sampah supaya
PKL malam hari dapat berdagang dengan nyaman, begitu pula
sebaliknya, PKL malam hari selesai beraktivitas juga
membersihkan lokasi berdagang dan membuang sampah.
“kita memang sudah ada kesepakatan pak, lapak bisa digunakan bersama oleh pedagang, bahkan siapa pun yang ingin berdagang di sini…tentu tidak semuanya bisa tertampung…yang diutamakan adalah mereka yang dahulu digusur dan boleh berdagang di sini. Aturannya, yang pagi dan siang boleh berdagang sampai jam 15.00 dan mereka harus sudah membersihkan lapak, sedangkan malam harinya digunakan kita yang menjalankan usaha warungan” (wawancara dengan Agus, Minggu, 15 Januari 2012).
Pada malam harinya, mereka yang berdagang nasi tidak
pernah sepi dari pembeli, apalagi lokasi sentra PKL Sampangan
ramai dan padat lalu lintas. Di sekitar lokasi tersebut, terdapat
toko besar, seperti Super Swalayan yang juga tidak pernah sepi
dari pembeli. Toko-toko kecil juga ada, seperti toko alat tulis
kantor, toko mebel, toko penjual onderdil motor dan mobil,
toko afdruk dan cetak foto, toko sandal dan sepatu, dan toko-
234
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
toko kecil lainnya. Di Sampangan juga terdapat Pusat
Kebugaran dan Hiburan Karaoke, yang ramai dikunjungi
pengunjung pada malam hari. Adanya pom bensin juga
menambah ramainya lokasi PKL Sampangan.
Lokasi PKL Sampangan yang strategis ini juga ditunjang
oleh keberadaan perguruan tinggi swasta di sekitar Sampangan,
seperti Akademi Sekretaris Santa Maria, Akademi Komputer
GEGA (ALFABANK), Stikubank Semarang, IKIP Veteran,
Sekolah Tinggi Farming Semarang, Akademi Pelayaran
Nasional (AKPELNI) Semarang, UNTAG Semarang, Akademi
Pariwisata (AKPARI) Semarang, dan Sekolah Tinggi Ekonomi
Semarang (dahulu bernama AKOP Semarang). Di Sampangan
dan sekitarnya juga terdapat warung makan yang ditata seperti
café selain warung tenda PKL. Jumlahnya juga cukup banyak,
mulai dari warung nasi ayam goreng hingga warung nasi
padang. Para mahasiswa yang berada di sekitar Sampangan
maupun mahasiswa Universitas Negeri Semarang dan Akademi
Kebidanan yang berada di Gunungpati turun ke Sampangan
untuk makan atau mencari pusat-pusat hiburan.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 20. Suasana PKL Sampangan yang padat lalu lintas
235
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Sumber: Dokumen Pribadi.
Gambar 21. Para PKL Sampangan yang berjualan di siang hari
Selain untuk menghidupkan perekonomian di wilayah
Sampangan, usaha PKL Sampangan juga berkontribusi dalam
memenuhi kebutuhan keluarga PKL. Tukang parkir yang
jumlahnya lebih dari 5 orang juga dapat merasakan keuntungan
dari aktivitas perdagangan yang dilakukan para PKL.
Pak Muriman (56 tahun) merupakan salah seorang PKL
yang cukup berhasil di wilayah Sampangan. Ia telah menikah
dua kali. Istri pertama meninggal dunia ketika ia sedang
merintis usaha berdagang gado-gado. Dari pernikahan istri
pertama (meninggal dunia) dan istri kedua, ia dikaruniai 5
orang anak. Semuanya sudah sekolah, bahkan 2 di antaranya
sudah menikah. Bagi masyarakat Sampangan dan sekitarnya,
gado-gado pak Man, demikian panggilan akrabnya, terbilang
enak.
Pak Man sudah menjalankan usaha jualan gado-gado sejak
20 tahun yang lalu. Pendapatan bersih pak Man tidak kurang
dari Rp100.000,00 per hari. Itu terjadi sebelum krisis ekonomi
melanda Indonesia tahun 1997 yang lalu. Dari usaha berjualan
236
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
gado-gado, pak Man bisa membeli mobil Katana seharga
Rp25.000.000,00, sebuah rumah di Gunung Talang, dan bisa
membelikan perhiasan bagi istrinya. Pada awal merintis usaha,
modal pak Man Rp5.000.000,00. Tanah tempat usahanya dibeli
dengan harga Rp800.000,00 dan ia dirikan warung
menghabiskan dana Rp5.000.000,00.
Sebelum krisis tahun 1997 aset pak Man tidak kurang dari
Rp100.000.000,00. Sebelum terjadi penggusuran pada tahun
2009, pak Man menjual mobil Katana dan menggantinya
dengan membeli mobil Kijang keluaran tahun 1980-an seharga
Rp10.000.000 dan dengan tambahan anggaran Rp10.000.000,00,
mobil tersebut disulap menjadi mobil yang dapat dipakai untuk
mengangkut barang dan gado-gado yang akan dijual. Ketika
ditanya mengapa mobil Katana dijual dan diganti mobil bekas
yang tahunnya lebih tua, pak Man menjawab seperti berikut.
”mobil Katana hanya bisa digunakan untuk mengangkut barang saja, setelah itu barang harus diturunkan, dimasukkan, dan ditata di dalam lapak…ini tidak efisien mas, karena itu saya jual dan sebagai gantinya saya membeli mobil kijang bekas…harganya sih murah hanya Rp10.000.000,00, tetapi saya desain menjadi tempat berdagang, jadinya kalau dihitung ya…mobil itu senilai Rp20 jutaan. Mobil kijang ini lebih bermanfaat mas, karena dapat saya gunakan untuk mengangkut barang sekaligus saya jadikan sebagai tempat untuk jualan, sehingga saya bisa menghemat tempat. Lagipula kalau ada penertiban, saya bisa langsung membawa pulang mobil tersebut beserta barang-barang dagangan saya” (wawancara dengan pak Muriman, 10 Desember 2010).
Setelah penggusuran pada bulan Maret 2009, pak Man yang
biasanya berjualan di tepi bantaran sungai Kaligarang, untuk
beberapa saat memindah lokasi berjualan ke arah selatan satu
kompleks dengan pasar Sampangan. Kios baru tersebut ia sewa
2 tahun senilai Rp10 juta. Untuk itu, ia harus menjual mobil
kijang dan laku Rp16 juta. Sepinya pembeli membuat pak Man
kembali lagi ke tempat semula hingga kini. “Sekarang ini,
237
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
dagangan sepi mas…bisa dapat Rp50.000,00 per hari sudah
hebat”, demikian pengakuan pak Man.
Dari hasil berjualan gado-gado, pak Man bisa menabung
dan sebagian dibelikan sebidang tanah senilai Rp12 juta pada
tahun 2006. Dua anak sudah ia nikahkan, bahkan salah seorang
menantunya sekarang turut membantu usaha dagang pak Man.
Meskipun tidak seramai dahulu, pak Man tetap berdagang di
tepi bantaran sungai Kaligarang hingga kini. Warung yang
disewa pak Man kini sudah hancur rata dengan tanah sejak
kepindahan pasar Sampangan ke lokasi baru, sehingga pak Man
kembali berdagang di jalanan untuk sementara waktu. Satu-
satunya alasan mengapa pak Man tetap bertahan di jalanan,
adalah karena untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dua puluh lima tahun yang lalu wilayah Sampangan tidak
begitu ramai. Perekonomian belum tumbuh seperti saat ini,
dikarenakan toko-toko besar dan kecil belum ada. Perguruan
tinggi yang ada di sekitar Sampangan baru ada tiga, yaitu
Stikubank, Akpari, dan AKA. Pom Bensin yang menjadi tempat
transit pengendara mobil dan sepeda motor belum dibangun.
Kini dengan telah berkembangnya toko-toko di Sampangan dan
sekitarnya serta makin banyaknya perguruan tinggi yang
didirikan di sekitar Sampangan, menjadikan Sampangan sebagai
sentra ekonomi penting selain pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi di kota Semarang.
Perekonomian yang tumbuh di wilayah Sampangan,
dimungkinkan karena adanya pasar tradisional, Pom Bensin,
perguruan tinggi, dan puluhan toko di sekitarnya, selain
dinikmati para PKL, juga dirasakan manfaatnya oleh tukang
parkir.
Pada siang hari di wilayah Sampangan terdapat 6 tukang
parkir, seorang bekerja di depan toko Alfamart, 2 orang di
depan pasar, 1 orang di depan warung Soto pak Man, 1 orang di
depan toko Swalayan Super, dan seorang lagi mengais rezeki di
238
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
depan PKL Sampangan di tepi bantaran sungai Kaligarang.
Tukang parkir yang berjaga pada pagi hari di area PKL
Sampangan tidak begitu ramai, karena pada siang hari PKL
yang berdagang hanya ada beberapa, seperti penjual gado-gado,
penjual minuman, penjual pakan burung, dan beberapa lainnya
menjalankan jasa las dan bengkel sepeda motor.
Wilayah Sampangan sangat ramai, terutama pada malam
hari. Pada saat ramai, tidak kurang dari 100 sepeda motor
diparkir di depan warung-warung makan di Sampangan.
Biasanya warung ramai selama tiga hari, yakni hari Sabtu,
Minggu, dan Senen. Jika hanya diambil 3 hari saja, maka
penghasilan tukang parkir per bulan adalah
3x4x100xRp1.000,00 = Rp1.200.000,00 sebuah penghasilan yang
lumayan besar dibandingkan harus bekerja sebagai pelayan
toko, yang pendapatan per bulan kurang dari Rp1.000.000,00.
Tanpa harus banyak kerja keras, dibandingkan para PKL yang
menjual nasi, makanan, dan minuman; tukang parkir hanya
bermodalkan seragam kuning dan peluit bisa memperoleh
penghasilan lebih baik. Sungguh ironi. Itulah kehidupan di
jalanan, yang terkadang jika dipahami rasanya tidak adil bagi
PKL yang harus kerja keras dan membutuhkan modal untuk
membuka usahanya. Meskipun demikian, para pedagang tidak
menaruh perasaan iri kepada tukang parkir. “Biarlah pak,
mereka juga butuh makan…rezeki sudah ada yang mengatur”,
demikian ungkap mas Agus.
Penghasilan tukang parkir yang berjaga pada siang hari
tidak sebesar pendapatan tukang parkir yang bertugas di malam
hari. Hal ini disebabkan (1) tidak semua lahan dipakai
pedagang, (2) jumlah tukang parkir pada siang hari lebih
banyak, dan (3) pada siang hari hanya ada 2 pedagang nasi dan
gado-gado, lainnya adalah penjual pakan burung, tukang tambal
ban, penjual minuman, tukang las, tukang drat, dan penjual
bahan bangunan, yang pengunjungnya tidak seramai pembeli
pada malam hari.
239
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Bu Zuhri merupakan pedagang nasi ayam dan bebek goreng yang sudah cukup lama berjualan di Sampangan, yakni sejak tahun 1993. Ia dikaruniai 4 orang anak. Anak pertama, kedua, dan ketiga adalah perempuan, sedangkan bungsunya laki-laki. Dari empat anak tersebut, dua sudah menikah, sedangkan dua lainnya belum. Tahun 2000 suami bu Zuhri meninggal dunia, dan sejak saat itu ia harus menghidupi keluarganya sendirian. Dalam berdagang sehari-harinya, bu Zuhri dibantu oleh 2 orang anaknya dan seorang pembantu.
Penghasilan kotor bu Zuhri tiap harinya berkisar Rp600.000,00 hingga Rp700.000,00. Dari penghasilan kotor tersebut, ia dapat mengambil keuntungan bersih sebesar Rp200.000,00. Uang itu hanya cukup untuk mengontrak rumah, yang dihuni oleh bu Zuhri, kedua anaknya, dua cucunya, dan seorang pembantu. Harta benda yang dipunyai bu Zuhri tidak banyak, yakni satu sepeda motor untuk anak laki satu-satunya dan perhiasan. Dahulu sebelum tempat berdagangnya digusur, bu Zuhri memiliki mobil bak terbuka untuk mengangkut barang dagangan dan sepeda motor.
“Sebelum pindah ke sini, kita punya sebuah mobil bak terbuka…tidak baru sih pak dan sepeda motor Honda Mega-Pro, tetapi karena penggusuran, mobil dan honda dijual untuk membangun lapak di sini pak, ya saya mengalah akhirnya dibelikan sepeda motor butut ini”, kata Agus, anak laki-laki satu-satunya (wawancara dengan Agus, tanggal 17 Desember 2010).
PKL Basudewo memiliki karakteristik yang berbeda dengan PKL Sampangan. Para PKL menempati area persis di tepi sungai Banjir Kanal Barat, dari arah selatan dekat jembatan Lemahgempal menuju arah utara dekat jembatan Banjir Kanal Barat. Pedagang kaki lima (PKL) yang menjalankan usaha di Basudewo jumlahnya kurang lebih 65 orang PKL, 36 orang di antaranya berusaha sebagai pengrajin mebel, lainnya adalah penjual bambu, penjual es tape, penjual mie ayam, penjual bensin eceran, penjual nasi, penjual anak ayam dan burung, penjual rokok dan makanan kecil, dan beberapa di antaranya membuka usaha perbengkelan dan las mobil dan sepeda motor.
240
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Sebelum terjadi penggusuran besar-besaran pada tahun 2010, aktivitas ekonomi di Basudewo berjalan seperti biasa. Para pengrajin mebel yang kebanyakan berasal dari Mranggen Demak sehari-harinya tidak pernah sepi dari pembeli. Selain harga mebel yang dijual relatif murah, juga kualitasnya tidak kalah dengan mebel yang dijual di toko-toko mebel di Semarang. Demikian pula, mereka yang berdagang nasi, mie ayam, dan rokok tidak pernah sepi dari pembeli. Hal ini dimungkinkan karena lokasi PKL Basudewo berada pada jalur lalu lintas ramai, yaitu berada di antara seberang perempatan Lemah Gempal dan perempatan Banjir Kanal Barat. Di sebelah timur jalan Basudewo juga terdapat beberapa pedagang nasi, pedagang pakan burung, penjual mebel, tukang cukur, show room mobil, dan sebuah Sekolah Dasar, yang keberadaannya turut mendukung keramaian suasana dan aktivitas di sekitar Basudewo.
Pak Achmad merupakan salah satu pedagang kaki lima (PKL) di Basudewo yang memiliki keuletan luar biasa. Sebelum terdampar sebagai PKL, pak Achmad sebelumnya merupakan seorang tukang jahit. Sebelum berdagang di Basudewo, ia merantau ke Jakarta dan menjadi tukang jahit dari perusahaan kain dan jahit ternama, yaitu Nyata Plaza. Dalam seminggunya, ia bisa mengantongi uang tidak kurang dari Rp10.000.000,00. Setelah tidak lagi dipakai Nyata Plaza, pak Achmad merantau ke Surabaya dan Wonogiri, sebelum akhirnya berjualan nasi bersama istrinya di Basudewo di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Warungnya dibuat semi permanen, separo bahannya adalah batu bata, dinding selebihnya dari bambu dan beratapkan genteng. Lantai warungnya bahkan sudah dikeramik. Untuk keperluan masak, mandi dan cuci, pak Achmad telah membuat sumur di belakang warung, tepatnya di tepi sungai.
Pak Achmad menjadikan warung sebagai tempat usaha, juga sekaligus sebagai tempat tidur dan beristirahat bersama istrinya. Penghasilan pak Achmad per hari adalah Rp100.000,00. Dari sisa-sisa tabungan dan usaha berjualan nasi, pak Achmad bisa membelikan sepeda motor untuk anak-anaknya. Ia juga memiliki beberapa rumah, namun uang untuk
241
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
membeli rumah tersebut diambilkan dari tabungan selama ia bekerja sebagai penjahit di Jakarta. Rumah tersebut ditempati anak-anaknya, sedangkan ia dan istrinya rela berdesak-desakan tidur di warung.
Dari berjualan nasi, pak Achmad bisa menyekolahkan anak-anaknya. Dari tujuh anaknya, seorang sudah lulus perguruan tinggi (sekarang sudah menjadi guru), seorang kuliah di Undip, seorang lagi masih sekolah di SMA, dan lainnya sudah bekerja. Selain memiliki 7 anak kandung, pak Achmad juga mengasuh seorang anak yang sehari-harinya hidup menumpang bersama pak Achmad. Anak asuh inilah yang sehari-hari turut membantu usaha pak Achmad, selain berdagang anak ayam dan burung. Sikap pasrah, “nrimo ing pandum”, dan jiwa sosialnya yang tinggi, membuat pak Achmad memiliki banyak relasi dan masih bisa bertahan hidup sebagai PKL.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 22. Warung makan pak Achmad di Basudewo
Selain pak Achmad, seorang pedagang kaki lima yang memiliki daya tahan luar biasa di Basudewo adalah pak Suliman. Meskipun umurnya sudah 60 tahun, pak Suliman
242
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
memiliki badan cukup kekar dan sehat. Pak “Leman”, panggilan akrabnya, adalah seorang pedagang lulusan SMEA, memiliki seorang istri dan seorang anak (sudah menikah). Selain sebagai pedagang bensin eceran dan makanan kecil, pak Leman juga bekerja sebagai mandor atau bas borong bangunan. Sebelum jadi PKL, jauh sebelumnya pak Leman sudah bekerja sebagai mandor bangunan, bahkan ia juga pernah menjadi penjual nasi. Ia menemani istri sebagai PKL di Basudewo kurang lebih selama 12 tahun.
Seperti halnya pak Achmad, pak Leman juga memiliki warung sederhana, terbuat dari papan dan tripleks, lantainya keramik bekas dan dindingnya dari genting bekas. Warung dibangun sendiri oleh pak Leman. Luas lahan yang ditempati 2x6 meter. Warung digunakan sebagai tempat usaha sekaligus juga tempat tidur, karena pak Achmad dan keluarga tidak memiliki rumah sendiri, hanya menumpang kepada mertuanya.
Untuk membuka usaha dagang, pak Leman membuka tabungan senilai Rp5.000.000,00. Penghasilan pak Leman dari berdagang bensin adalah Rp70.000,00 per hari. Dari bekerja sebagai pedagang, pak Leman bisa membeli sebuah sepeda motor merek Honda Megapro. Kebutuhan keluarga pak Leman bisa dipenuhi dari berjualan bensin dan makanan kecil, seperti diungkapkan berikut.
“dari jualan bensin dan usaha saya sebelumnya, selain bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, saya bisa membeli sepeda motor Mega-Pro merek Honda pak, …istri saya belikan kalung, gelang, dan cincin, tetapi karena ingin punya rumah sendiri, perhiasan istri saya jual dan laku Rp2.500.000,00, lalu pada tahun 1985 saya belikan tanah senilai Rp1.500.000,00; tetapi dasar nasib lagi sial pak…saya kena tipu, karena ternyata tanah yang dijual tersebut bukan milik penjualnya…ya hilanglah uang saya” (wawancara dengan pak Suliman, 11 Mei 2011).
Pak Leman termasuk salah seorang PKL Basudewo yang
cukup berani dan mungkin boleh dikata agak dablek. Tempat
berdagangnya sudah digusur, tetapi demi menghidupi
243
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
keluarganya, pak Leman tetap berdagang di wilayah Basudewo,
meskipun harus pindah tempat di sebelah timur jalan Basudewo
tidak jauh dari tempat berdagangnya semula.
“Saya memang sudah diberi tempat di Kokrosono, tetapi jauh dari rumah dan belum tentu laku pak; sedangkan di sini sedikit-sedikit saya bisa dapat penghasilan…ya bisa untuk hiduplah pak”, kata pak Leman.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 23. Pak Suliman dengan barang-barang dagangannya
Tidak seperti halnya lokasi PKL di Sampangan dan
Basudewo yang cenderung agak rapi, lokasi PKL liar di
Kokrosono lebih semrawut. Lokasi PKL yang terletak di
seberang jembatan Banjir Kanal Barat tersebut, memang
terbilang strategis. Sebelah barat menuju jalan Siliwangi yang
sehari-hari ramai lalu lintasnya, ke arah timur menuju
Tugumuda juga ramai, dan demikian pula ke arah utara agak ke
timur menuju jalan Indraprasta juga padat lalu lintas. Lokasi
PKL Kokrosono menuju utara hingga ke perumahan padat
penduduk, seperti Surtikanti, Erowati, Tanggul Mas, Tanah
244
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Mas, dan lain-lain. Lokasi PKL Kokrosono tiap harinya tidak
pernah sepi apalagi pada hari Sabtu dan Minggu.
Para PKL yang berdagang dan menjual jasa yang
menjalankan aktivitas ekonomi jumlahnya tidak kurang dari
100 orang (sebelum proyek normalisasi sungai Banjir Kanal
Barat dimulai). Kini, setelah proyek tersebut berjalan, jumlah
PKL berkurang, karena tepi jalan yang berbatasan dengan
sungai sudah dipagari seng, sehingga banyak di antara mereka
yang tidak beroperasi lagi.
Sumber:Dokumen Pribadi
Gambar 24. Suasana PKL Kokrosono sebelum proyek
normalisasi sungai dimulai
245
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 25. Suasana PKL Kokrosono setelah proyek normalisasi sungai dimulai
Meskipun telah dimulai proyek normalisasi sungai Banjir
Kanal Barat, para PKL Kokrosono masih berdagang seperti
biasa. Mereka yang berjualan barang-barang bekas, seperti kaset
tape recorder bekas, kipas angin bekas, handphone bekas, dan
barang-barang elektronik lainnya masih berjualan meskipun
harus berbagi dengan proyek. Gambar di atas menunjukkan, di
pinggir jalan berdekatan bantaran sungai yang sudah dipagari
seng para pedagang tetap berjualan demi memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
Pak Haji Mustaqim Abdul Rasyid (60 tahun) merupakan
salah seorang dari pedagang kaki lima yang masih bertahan di
Kokrosono. Pak Haji yang sehari-hari berjualan ditemani sang
istri, bekerja dengan menjual alat-alat pertukangan, rumah
tangga dan pertanian, seperti arit, bendo, gergaji, kunci pagar,
gembok, drei, amplas, dan lain-lain. Dalam berdagang pak Haji
menggunakan sepeda motor roda tiga merk Tossa buatan China.
246
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Pak Haji yang sudah berjualan kurang lebih 20 tahun
lamanya telah menikmati hasil yang luar biasa, yang tidak
diduga oleh orang kebanyakan. Meskipun hanya berdagang di
pinggir jalan, pak Haji bersama istri sudah 2 kali berangkat ke
tanah suci Mekah. Selain memiliki sebuah rumah, beliau juga
mempunyai harta benda lainnya, seperti 2 sepeda motor,
televisi, perhiasan emas, dan yang lain.
Dari bekerja sebagai PKL, pak Haji memperoleh
penghasilan kotor per hari tidak kurang dari Rp500.000,00 di
mana Rp100.000,00 ditabung, Rp35.000,00 untuk “sangu” (uang
jajan) 2 orang cucunya, dan sebagian lagi digunakan untuk
makan dan kulakan. Pak Haji juga menyisihkan sebagian
penghasilannya, yakni 10% untuk sedekah atau amal sholeh.
Berkaitan dengan amal sholeh ini, pak Haji menuturkan:
“Kerja memang sulit mas, dahulu kalau saya mau, saya bisa jadi tentara…mungkin jika berjalan lancar, pangkat saya sekarang sudah Letnan Kolonel. Karena saya lebih suka berdagang, ya akhirnya seperti ini mas…jualan di pinggir jalan, tetapi alhamdullilah bisa mencukupi kebutuhan istri, anak, dan cucu dan meskipun sedikit-sedikit saya bisa menabung, beli sepeda motor, membelikan perhiasan untuk istri, dan yang penting pula bisa menunaikan ibadah haji bersama istri ke tanah suci Mekkah. Rezeki saya lancar karena saya punya resepnya mas, yaitu harus berani bersedekah…”amal shodaqohe kudu lancar mas nek kepingin rezekine lancar”. Sampai hari ini pun saya masih bisa berjualan dan bisa memenuhi kebutuhan keluarga” (wawancara dengan pak Haji Mustaqim AR, 3 Agustus 2010).
Sosok pak haji Mustaqim dengan jiwa kedermawanannya
menunjukkan bahwa ia memiliki apa yang disebut dengan
modal spiritual, meskipun sifatnya individual. Modal spiritual
ini adalah kompetensi spiritual yang mengalirkan nilai-nilai,
seperti pelayanan, mementingkan orang lain, bijaksana,
berbudi, dan berbagai nilai yang dibangun secara implisit oleh
religi (Tjondro Sugianto 2011). Nilai spiritual seperti pelayanan
247
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
dan mementingkan orang lain, dengan menyisihkan 10% dari
penghasilan yang diperoleh pak Haji merupakan realisasi dari
penghayatannya sebagai pemeluk agama Islam.
Modal spiritual sesungguhnya tidak mesti berkaitan atau
bersumberkan dari religi atau agama tertentu. Banyak juga
orang yang tidak menganut salah satu agama besar di dunia,
tetapi memiliki modal spiritual yang bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat. Sebagaimana diyakini Jauhari (2007),
modal spiritual bukanlah masalah agama atau sistem
kepercayaan tertentu, melainkan merupakan suatu kecerdasan
hati nurani yang diawali dengan pemenuhan kebutuhan akan
aktualisasi diri. Sebagaimana modal sosial yang dikaji dalam
penelitian ini, modal spiritual juga memiliki peran dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana
diperlihatkan pak haji Mustaqim.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 26. Pak Haji Mustaqim dengan barang dagangannya
248
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Dalam menjalankan usahanya, pak Haji Mustaqim tidak
mengalami kesulitan dalam mencari barang dagangan. Relasi
sudah dibangun sejak ia berdagang. Arit dan bendo misalnya,
bisa diperoleh hanya dengan menelepon pemasok ketika barang
habis terjual. Arit dan bendo ini biasanya dipesan dari Cepiring
Kendal dan Muntilan Magelang. Kunci, gembok, drei, gergaji,
dan barang-barang sejenisnya, ia beli dari seorang pemasok
yang berdomisili di Semarang. Pemasok barang mengantar
pesanan, setelah ditelepon pak Haji dan seketika itu pula
barang-barang dibayar lunas.
Kata pak haji,”hubungan saling percaya saja mas, begitu barang habis, saya telepon dan datang kiriman barang yang saya minta”.
Rantai permintaan (demand) dan penawaran (supply)
berlangsung dengan baik, tidak hanya ketika terjadi jual beli di
lokasi PKL, tetapi juga berlangsung pada saat pak haji kehabisan
barang dagangan. Tidak seperti halnya PKL yang lain, pak haji
Mustaqim dalam membeli barang dagangan tidak pernah
berhutang, semuanya dibayar dengan uang kontan.
Ketika ditanya, mengapa tidak berhutang saja, pak haji memberi jawaban lugas: “orang hutang itu membuat kita tidak bisa tidur mas, apalagi jika pada saat ditagih kita belum ada uang…wah bisa pusing dan stress kita”.
Pak Haji tergolong seorang PKL dengan jiwa wirausaha
yang tinggi. Berkali-kali ia pindah tempat berjualan. Sebelum
digusur, pak haji pernah punya tempat usaha permanen di tepi
sungai Banjir Kanal Barat. Namun sejak bangunan tersebut
diratakan, barang-barang dagangan pak haji ditempatkan di
kios atas (sentra PKL Kokrosono) dan disimpan di rumah.
Modal usaha yang digunakan untuk berjualan awalnya tidak
banyak, sedikit demi sedikit berkembang hingga akhirnya ia
memiliki sarana untuk berjualan. Misalnya, yang semula tidak
memiliki sarana motor roda tiga untuk berdagang, sejak tahun
2007 sudah bisa membelinya dengan harga Rp24 juta dan
249
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
berkat keuletan dan sifat hematnya, pak haji juga memiliki stok
barang dagangan yang disimpan di rumah dan lokasi PKL
Kokrosono sebanyak 3 kios.
Selain pak haji Mustaqim, sosok lain yang juga cukup
berhasil dalam menjalankan aktivitas ekonomi di Kokrosono
adalah pak Mulyono (47 tahun). Pak Mul mempunyai seorang
istri dan dikaruniai 4 orang anak. Seorang anak telah
berkeluarga, seorang lagi masih kuliah di Undip, dan lainnya
masih sekolah di SMA dan SD. Pak Mul sudah bekerja cukup
lama di Kokrosono. Dua mobil bekas ia gunakan untuk tempat
berdagang. Bersama istrinya, ia menjual aneka peralatan rumah
tangga, pertanian dan pertukangan.
Dari usaha perniagaan tersebut, pak Mul memperoleh
penghasilan per harinya sekitar Rp300.000,00. Dari pendapatan
tersebut, Rp50.000,00 disisihkan untuk uang jajan anak-
anaknya. Selain memiliki mobil untuk berdagang, pak Mul juga
mempunyai 6 sepeda motor. Sepeda motor tersebut kini
digadaikan untuk pengembangan usaha. Dahulu pak Mul punya
sebuah rumah, tetapi karena usahanya hampir bangkrut, rumah
tersebut dijual dan kini ia bersama keluarganya mengontrak
rumah di Taru Polo Raya Kelurahan Drono Semarang.
Meskipun acapkali disepelekan keberadaannya dan tidak
jarang diusir ketika mereka menempati wilayah terlarang,
kontribusi ekonomi PKL tidak diragukan lagi. Contoh lain dari
kontribusi ekonomi pedagang kaki lima (PKL) adalah peran
ekonomi yang dimainkan oleh pedagang nasi pecel di lokasi
PKL jalan Menteri Soepeno (sejak tahun 2012 pindah ke tepi
Bundaran Simpang Lima). Salah satunya adalah warung pecel
mbok Sador.
Meskipun di tengah-tengah warung lain yang menjajakan
nasi yang mungkin banyak diminati para pembeli, seperti nasi
sop kaki kambing, nasi soto Makasar, nasi seafood, nasi ayam
dan bebek goreng, tetapi nasi pecel yang dijual mbok Sador
250
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
tidak kalah disukai oleh para pembeli. Warung pecel mbok
Sador ini semula berlokasi di jalan Pahlawan dekat dengan
bundaran Simpang Lima. Program SETARA yang digulirkan
Walikota Semarang, membuat mbok Sador harus pindah
berdagang di lokasi baru, yaitu sentra PKL jalan Menteri
Soepeno dan pindah lagi ke sentra PKL bundaran Simpang
Lima. Foto berikut memperlihatkan bagaimana anak mbok
Sador berdagang.
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 27. Anak Mbok Sador dan pembantunya sedang
melayani Pembeli
Kebijakan SETARA atau Semarang Sejahtera dari walikota
yang baru (Soemarmo), yang salah satu programnya adalah
memperindah dan mempercantik kota dengan menata ruang
publik kota agar bisa berperan sebagai city walk, maka jalan-
jalan dan trotoir, utamanya di sekitar bundaran Simpang Lima,
jalan Pahlawan, jalan Ahmad Yani, jalan Pandanaran, jalan
Gajahmada, jalan Pemuda hingga wilayah Tugu Muda, harus
dibenahi dan ditata supaya menjadi tempat yang nyaman bagi
warga kota. Demi keindahan kota, para PKL yang menempati
251
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
tepi jalan protokol tersebut harus dipindah. Salah satu PKL
yang terkena dampak dari kebijakan tersebut adalah mbok
Sador.
Ketika masih berdagang di jalan Pahlawan, pelanggan mbok
Sador tidak kurang dari 100 orang per hari, padahal mbok Sador
buka dasar baru dimulai jam 17.30 dan berakhir jam 22.00 atau
23.00. Rata-rata pada jam tersebut, makanan yang dijual telah
habis. Dalam berdagang, mbok Sador dibantu seorang anak
perempuan, menantu, cucu, dan 3 orang pelayan (seorang pria
yang biasa melayani membuatkan minuman dan 2 perempuan
yang biasa melayani menyampaikan nasi pecel). Mbok Sador
sudah berdagang nasi pecel sejak tahun 1993. Sekarang
usahanya dilanjutkan oleh anak perempuannya.
Nasi yang dijual sesungguhnya tidak terlalu istimewa, yakni
nasi pecel ditambah beberapa lauk (daging sapi, paru-paru,
limpa, babat, telor, tahu, tempe, ikan asing (gereh), sate telur
puyuh, dan sate keong), serta krupuk dan bantal (sebutan bagi
martabak kecil buatan mbok Sador), namun karena rasanya
lumayan enak atau “pas di lidah” menurut penuturan beberapa
pelanggan dan harga yang dipatok relatif murah, maka
pembelinya banyak berdatangan ke warung pecel mbok Sador.
Para pelanggan mbok Sador tidak hanya dari kalangan kelas
bawah dan menengah, banyak di antaranya yang berasal dari
kelas atas (ekonomi). Pelanggan kelas atas ini dapat ditilik dari
mobil yang mereka kendarai, yang rata-rata tergolong mewah,
seperti Toyota Avanza, Honda CRV, dan mobil-mobil sedan
versi baru. Mereka yang membeli juga tidak hanya orang Jawa,
tetapi juga warga etnis Cina.
Penghasilan kotor mbok Sador per hari berkisar antara Rp
3.000.000,00 hingga Rp4.000.000,00. Salah seorang cucu mbok
Sador yang membantu berjualan, digaji Rp1.200.000,00. Dari
berdagang nasi pecel ini, mbok Sador bisa membeli 3 rumah,
sebuah sepeda motor dan sebuah sepeda motor roda tiga merek
252
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Tossa. Daya tarik warung nasi pecel mbok Sador tidak hanya
bagi para pelanggannya, yang meskipun sudah pindah ke lokasi
lain tetap datang membeli, tetapi juga menjadi magnet bagi
tukang parkir, pengemis, pengamen, dan seorang penjual rokok
dan minuman.
Semula mereka bersama-sama mbok Sador menjalankan
aktivitas di jalan Pahlawan, namun setelah jalan Pahlawan
dipercantik, mereka pindah bersama-sama di jalan Menteri
Soepeno. Ketika mbok Sador pindah lagi ke Bundaran Simpang
Lima, mereka juga ikut pindah menyertainya. Ini menunjukkan
bahwa mbok Sador merupakan magnit pencari sekaligus
pemberi rezeki bagi tukang parkir, pengemis, dan penjual rokok
dan minuman.
Penghasilan tukang parkir dan pengemis yang menyertai
mbok Sador pun tidak jauh berbeda ketika mereka menyertai
mbok Sador di lokasi lama. Pendapatan tukang parkir per hari
tidak kurang dari Rp 100.000,00, demikian pula penghasilan
pengemis (seorang ibu tua) tidak kurang dari Rp 50.000,00 per
hari; padahal jam kerja mereka juga sama dengan jam dagang
mbok Sador. Kurang lebih 6 jam beraktivitas, tukang parkir bisa
membawa pulang Rp 2.700.000,00 per bulan setelah dikurangi
uang setoran ke pengelola parkir sebesar Rp10.000,00 per hari;
sedangkan pengemis tersebut memperoleh penghasilan per
bulan rata-rata Rp 1.500.000,00. Penghasilan tukang parkir
tersebut melebihi gaji pegawai negeri golongan IIIa yang
memiliki jam kerja 9 hingga 10 jam per harinya. Sementara itu,
penghasilan seorang pengemis tersebut jauh melebihi upah para
sales promotion girl (SPG) di pasar Swalayan dan Mall di
Semarang yang hanya Rp 900.000,00 hingga Rp1.000.000,00 per
bulan dengan jam kerja 9 hingga 10 jam per hari.
Keberadaan warung nasi pecel mbok Sador memang
memberikan tuah bagi tukang parkir dan pengemis tua.
Memang rasanya tidak adil, mbok Sador yang berjualan dengan
253
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
modal uang, seperangkat alat untuk jualan, serta membayar
retribusi untuk Dinas Pasar dan Paguyuban PKL, memperoleh
penghasilan harus dibagi dengan para karyawannya; sementara
tukang parkir dan pengemis menikmati sendiri pendapatannya
(yang mendompleng dari warung mbok Sador), tetapi itulah sisi
kelebihan dari pedagang kaki lima, yang jika ramai
dagangannya memberikan sumbangan ekonomi yang tidak
kecil, tidak hanya bagi keluarganya, tetapi juga bagi orang lain,
seperti tukang parkir dan pengemis.
Sumbangan pedagang nasi kepada pendapatan asli daerah
(PAD) kota Semarang tidaklah terlalu signifikan, tetapi dengan
melubernya rezeki ke tukang parkir dan pengemis, berarti turut
menghidupkan kegiatan ekonomi orang kecil lainnya.
Simpulannya adalah jika PKL sungguh-sungguh berusaha dalam
mencari rezeki, ia akan dapat bertahan dan dampak ikutannya
adalah turut membangun ekonomi orang-orang di sekitarnya.
Perputaran uang di zona pedagang kaki lima bisa menjadi lebih
besar lagi jika tempatnya ditata lebih rapi oleh pemerintah,
pemasaran (marketing) dan iklan didukung oleh pemerintah,
dan kepada para PKL diberi kemudahan dalam mengakses
kredit untuk modal usaha.
Relasi tidak langsung antara pedagang kaki lima (mbok
Sador), tukang parkir dan pengemis, dapat dicermati pada
gambar berikut.
Gambar 28. Relasi segitiga antara PKL, tukang parkir, dan pengemis.
Pedagang Kaki Lima
Tukang Parkir Pengemis
254
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Kisah sukses PKL dialami pula oleh mbak Sri. Ia yang
berjualan nasi kepala kakap di Jalan Kusumawardani Semarang
juga tergolong PKL yang memiliki kontribusi ekonomi cukup
penting bagi keluarganya. Kios yang pada tahun 1994 dibeli
ayah mertuanya seharga Rp3.000.000,00 dapat digunakan untuk
mencukupi kebutuhan keluarganya. Setelah ayah mertuanya
meninggal dunia, mbak Sri meneruskan usaha berdagang nasi
kepala kakap hingga kini.
Awal modal usaha untuk berdagang nasi tersebut tidak
kurang dari Rp10.000.000,00. Sekarang modal sehari-hari untuk
kulakan bahan dagangan berkisar antara Rp400.000,00 hingga
Rp500.000,00. Kios yang digunakan mbak Sri adalah kios
warisan ayah mertua, sehingga dari hasil berjualan nasi kepala
kakap tersebut ia harus membagi pendapatannya kepada ibu
mertua dan 3 bersaudara lainnya.
“kios ini bukan milik saya pak…tapi milik bersama ibu mertua, dan 3 saudara lainnya… hasil dari penjualan nasi ini kita bagi bersama…ibu mertua saya beri Rp125.000,00 per hari, sedangkan 3 saudara lainnya mendapat bagian per harinya Rp25.000,00, untuk kulakan Rp400.000,00 dan sisanya untuk saya dan suami…kalau misalnya pas ramai, saya dapat pendapatan kotor Rp1.000.000,00 per hari, maka saya dan suami dapat Rp400.000,00…lumayan pak bisa untuk menyekolahkan dua anak saya. Itu pas ramai pembeli, kalau sepi paling dapat Rp600.000,00 hingga Rp700.000,00…ya tentu bagian saya makin kecil” (wawancara dengan mbak Sri, Minggu, 13 November 2011).
Mbak Sri tidak sendirian berjualan di Jalan Kusumawardani
Semarang. Di wilayah tersebut tidak kurang dari 30 orang yang
menjalankan usaha kuliner. Selain mbak Sri yang berdagang
nasi kepala kakap, ada juga yang menjadi pedagang bakso,
pedagang mi ayam, pedagang makanan dan minuman, dan lain-
lain. Di lokasi PKL Kusumawardani ini juga terdapat fasilitas
WC umum. Hanya untuk parkir memang tidak terlalu lebar.
255
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Di lokasi PKL ini terdapat seorang tukang parkir, yang
penghasilannya tidak terlalu signifikan jika dibandingkan
tukang parkir yang menyertai warung nasi pecel mbok Sador.
Pak Santoso, demikian panggilan tukang parkir tersebut,
mengaku penghasilannya per hari tidak lebih dari Rp30.000,00.
Dari penghasilan tersebut, Rp10.000,00 ia setorkan kepada
pihak pengelola parkir dan Dinas Perhubungan.
Terlepas dari berapa penghasilan tukang parkir tersebut,
tampak bahwa keberadaan pedagang nasi dan PKL lainnya di
Kusumawardani ini selain memberi kontribusi bagi pemenuhan
kebutuhan hidup keluarga mereka, juga memberi pendapatan
kepada tukang parkir. Relasi ekonomi pedagang kaki lima di
Kusumawardani dan tukang parkir ini hampir mirip dengan
relasi pedagang nasi pecel dengan tukang parkir dan pengemis,
hanya saja di wilayah Kusumawardani ini tidak ada pengemis
yang berkeliaran, apalagi menetap bersama para pedagang
seperti halnya yang terjadi pada pedagang nasi pecel di jalan
Menteri Soepeno.
Tidak seperti halnya di sentra PKL Sampangan, Basudewo,
dan Kokrosono yang tidak lagi memiliki kios permanen, kios di
Jalan Kusumawardani memiliki nilai ekonomi yang cukup
tinggi. Meskipun dahulu kios dibuatkan pemerintah, ternyata
pemilik kios dapat menyewakan kepada pihak lain.
Menurut mbak Sri, harga kios bisa mencapai angka puluhan juta. “kios sebelah mau disewakan pak, harganya tidak tanggung-tanggung…Rp25.000.000,00 per tahun, dan pemiliknya minta 3 tahun sekalian, wah mahal ya pak”, cetus mbak Sri.
Persoalan sewa dan jual beli kios bukan hal baru di
kalangan pedagang kaki lima. Di Sampangan, Basudewo,
Kokrosono, dan beberapa tempat lainnya juga terjadi peristiwa
serupa. PKL Basudewo yang pindah ke PKL Kokrosono pun
banyak yang menjual kiosnya, padahal kios tersebut bukan
miliknya. Harganya pun tidak mahal, ada yang dijual
256
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Rp1.500.000,00 dan ada pula yang dijual dengan harga
Rp3.000.000,00. Persoalan jual beli kios ini dituturkan oleh pak
Achmad berikut ini.
“Salah satu anggota kita (pak Marlan) diusir oleh pedagang lainnya, karena yang bersangkutan berbuat ulah dengan menjual kios jatah anggota lainnya…tidak kurang dari 10 kios yang dijual kepada orang lain bukan anggota PKL Basudewo…karena ulahnya, ia sempat dipukuli orang yang kena tipu olehnya… sesungguhnya saya kasihan kepada pak Marlan, beliau juga sudah tua, usaha mebelnya bangkrut lagi…tapi ya bagaimana lagi pak…biar jadi pelajaran bagi dia” (wawancara dengan pak Achmad, Minggu, 3 September 2011).
Di jalan Menteri Soepeno terdapat dua orang pedagang
rujak. Dua-duanya adalah laki-laki. Semuanya berasal dari Jawa
Barat, namun sudah cukup lama berdagang di Semarang. Salah
satunya adalah pak Ewok. Pak Ewok sudah berjualan rujak di
Semarang selama 40 tahun. Ia mengontrak rumah bersama 10
orang pedagang seharga Rp6.000.000,00 per tahun.
Dalam berdagang rujak, pak Ewok menggunakan sarana
gerobak dorong. Pak Ewok termasuk pedagang yang ulet dan
memiliki etos kewirausahaan yang tinggi. Pak Ewok memiliki
seorang istri dan 4 orang anak. Tiga anak sudah menikah dan
seorang lagi yang masih berumur 22 tahun hidup bersama
ibunya di Kuningan Jawa Barat. Dari pendapatannya berjualan
rujak, pak Ewok bisa memodali istrinya membuka warung kecil
di kampung, membeli tanah, dan 2 sepeda motor. Tiap bulan
pak Ewok mengirimi istrinya uang Rp1.000.000,00.
“saya berjualan sudah cukup lama pak, kurang lebih 40
tahun…dari dahulu ya berdagang rujak tidak ada yang
lain..lumayan bisa untuk hidup, mengirim uang untuk
istri di kampung dan sedikit-sedikit bisa beli tanah dan
sepeda motor”, ungkap pak Ewok (wawancara dengan
pak Ewok, Minggu, 13 November 2011)
257
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Jumlah pedagang kecil di Semarang yang memiliki
keuletan, etos kewirausahaan, dan pendapatan yang cukup
besar tentu masih banyak. Penelitian ini bukan penelitian
kuantitatif, sehingga pedagang yang diambil sebagai responden
tidak banyak. Dari beberapa pedagang (PKL) tersebut sudah
dapat disimpulkan bahwa PKL memiliki kontribusi ekonomi
yang cukup signifikan, setidaknya bagi keluarganya.
Pendapatan pedagang kaki lima (PKL) bervariasi, mulai dari
Rp70.000,00 hingga Rp4.000.000,00 per hari dan banyak di
antara mereka yang memiliki tabungan untuk kebutuhan
mendesak dan keperluan hari tua. Data tentang pendapatan dan
tabungan (investasi) PKL dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 12. Pendapatan dan Tabungan (Investasi) yang dimiliki PKL
No. Nama Pendapatan per Hari
(Rp)
Tabungan (Investasi)
Tempat Berjualan
1. Muriman 100.000,00 Rumah, tanah, mobil, perhiasan
Sampangan
2. Bu Zuhri 700.000,00 Mobil, sepeda motor, perhiasan
Sampangan
3. Achmad 100.000,00 Rumah, Sepeda motor, Perhiasan
Basudewo
4. Sulaiman (Leman)
70.000,00 Sepeda motor, perhiasan
Basudewo
5. Haji Mustaqim
500.000,00 Rumah, motor roda tiga, sepeda motor, televisi, uang, perhiasan
Kokrosono
6. Mulyono 300.000,00 Mobil, sepeda motor, perhiasan
Kokrosono
7. Bu Sador 3.000.000,00-4.000.000,00
Rumah, sepeda motor, motor roda tiga, perhiasan
Jalan Menteri Soepeno (pindah ke Simpang Lima)
8. Mbak Sri 700.000,00 Sepeda motor, perhiasan
Jalan Kusumawardani
9. Pak Ewok 500.000,00 Tanah, sepeda motor
Jalan Menteri Soepeno
Sumber: Data Primer
258
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Dari data-data tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
sektor informal, utamanya pedagang kaki lima (PKL) memiliki
kontribusi ekonomi, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi sehari-hari, tetapi juga untuk biaya pendidikan bagi
anak-anak atau cucu. Banyak juga di antara mereka yang
memiliki tabungan dan sebagian hasil berjualan diinvestasikan
untuk membeli rumah, tanah, mobil, sepeda motor, dan
peralatan elektronik lainnya.
Keberadaan PKL juga memberi kontribusi ekonomi kepada
pihak lain, seperti tukang parkir, pengamen, bahkan juga
pengemis. Secara akumulatif, PKL juga memiliki kontribusi
positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan
pendapatan bagi penduduk kurang beruntung, bahkan juga
memberikan sumbangan terhadap PAD pemerintah lokal.
Sumbangan sektor informal, khususnya PKL kepada PAD bisa
lebih besar dari data yang dilaporkan, oleh karena diduga masih
banyak aktivitas sektor informal yang tidak terjangkau dan
tidak terdaftar oleh pemerintah lokal. Pendek kata, sektor
informal tidak hanya berkaitan dengan persoalan mencari
penghasilan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, dan
sumbangan kepada pendapatan daerah, tetapi lebih dari itu,
bagi masyarakat golongan miskin merupakan cara
mempertahankan kelangsungan hidup (survival strategy). Hal
ini sejalan dengan penelitian Sookram and Watson (2008) yang
menyimpulkan bahwa sektor informal, termasuk di dalamnya
pedagang kaki lima merupakan mekanisme survival khususnya
bagi kaum miskin.
C. Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai Survival Strategy
Strategi bertahan hidup merupakan ciri khas dari
kelompok, masyarakat, atau komunitas yang terpinggirkan.
Mereka yang hidupnya semata-mata tergantung dari pekerjaan
259
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
tersebut akan mempertahankan mati-matian pekerjaan yang
mereka geluti termasuk jika harus menentang atau melawan
negara.
Banyak kasus orang-orang terpinggirkan atau yang
disingkirkan, mempertahankan rumahnya, tempat tinggalnya,
atau alat-alat produksi untuk memperoleh pendapatan. Para
petani mempertahankan ladang atau sawahnya, para pensiunan
(veteran perang) mempertahankan rumah dinas atau asrama
yang lama dihuninya, warga masyarakat mempertahankan
rumah tempat tinggal yang sudah bertahun-tahun ditempatinya
meskipun pada akhirnya terbukti bahwa tanah yang digunakan
selama ini ternyata bukan miliknya, para nelayan nekat melaut
pada musim yang tidak bersahabat dengannya meskipun sudah
dilarang oleh pemerintah setempat, penduduk dekat hutan
nekat mengambil umbi-umbian atau buah-buahan, karena
dengan cara itulah mereka bisa makan, dan para pedagang kaki
lima (PKL) tetap bersikukuh berdagang di tempat yang sudah
lama mereka gunakan untuk mengais rezeki meskipun sudah
dilarang bahkan digusur oleh pemerintah setempat.
Hal ini menunjukkan ada sesuatu yang membuat mereka
bertahan dan berani mengambil resiko betapa pun beratnya.
Hidup penuh resiko dan inilah yang membuat mereka
bertahan. Dengan segala keterbatasan yang mereka miliki,
seperti pendidikan yang kurang, modal pas-pasan, keterampilan
tidak ada, akses kredit juga tidak ada, maka satu-satunya jalan
bagi kelompok masyarakat seperti itu adalah “bonek”, bondo
nekat untuk berjuang mempertahankan hidupnya demi
keluarga yang mereka cintai. Situasi dan kondisi yang tertekan
dan menekan mereka, membuat kelompok masyarakat kurang
mampu ini bergerak keluar dari belenggu kemiskinan, sekadar
untuk “hidup”.
Terlepas dari persoalan kenekatan, pedagang kaki lima
(PKL) sebagai bagian dari kehidupan masyarakat marginal,
memiliki etos kewirausahaan yang tidak kalah tinggi
260
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
dibandingkan dengan para pengusaha sektor formal.
Sebagaimana hasil penelitian Zakik (2006), para PKL yang
rendah pendidikannya, modal relatif kecil, serta manajemen
ekonomi bertumpu pada keluarga mampu mengangkat
hidupnya ke taraf kesejahteraan ekonomi yang lebih baik.
Sistem pemasaran yang digunakan adalah sistem jemput bola,
yakni mendekatkan diri dengan konsumen. Fakta demikian,
menurut Zakik (2006), menunjukkan bahwa PKL mempunyai
etos kewirausahaan yang tinggi, mandiri, dan tidak tergantung
kepada bantuan pihak lain.
Namun diakui bahwa hidup itu tidak mudah. Hidup itu
gampang-gampang susah, dan mencari penghasilan juga tidak
mudah. Namun sesulit apa pun asal “tangan gelem kemlawe”
(mau bekerja) pasti akan dapat diperoleh pendapatan. Hal ini
tergantung pada orientasi nilai seseorang atau masyarakat
mengenai sesuatu. Orientasi nilai dipahami sebagai suatu
konsepsi yang umum dan bersistem tentang alam, tentang
hubungan manusia dengan manusia dan tentang yang
seharusnya diinginkan dan tidak seharusnya diinginkan,
sebagaimana mereka itu dapat dikaitkan dengan hubungan
manusia-lingkungan dan antar manusia (Marzali 2005:122).
Konsep orientasi nilai ini dikembangkan oleh Kluckhohn
dan Strodtbeck, yang kemudian disingkat dengan K&S. Konsep
orientasi nilai ini oleh Koentjaraningrat diperkenalkan dalam
khasanah sosial antropologi di Indonesia dengan istilah
orientasi nilai budaya. Dalam orientasi nilai budaya ini, masalah
hidup dan bagaimana memandang hidup dipahami sesuai
dengan orientasi nilai budaya yang dipilih. Kerangka orientasi
nilai budaya tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
261
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Tabel 13. Kerangka Orientasi Nilai Budaya
Masalah Hidup
Orientasi Nilai Budaya
Hakikat dan sifat hidup
Hidup adalah buruk
Hidup adalah baik
Hidup adalah buruk, tetapi harus diperbaiki
Hakikat Kerja Kerja adalah untuk hidup
Kerja adalah untuk mencari kedudukan
Kerja adalah untuk menambah mutu karya
Hakikat kedudukan manusia dalam ruang waktu
Masa lalu Masa kini Masa depan
Hakikat hubungan manusia dengan alam
Tunduk pada alam
Mencari keselarasan hidup dengan alam
Menguasai alam
Hakikat hubungan manusia dengan manusia
Memandang kepada tokoh-tokoh atasan
Mementingkan rasa ketergantungan pada sesama
Mementingkan rasa tidak tergantung pada sesama
Sumber: Marzali (2005:125).
Bagi orang-orang tertentu, hidup itu baik dan kerja
dipahami sebagai cara untuk mencari kedudukan. Para politisi
atau pengusaha yang tidak puas dengan status dan
kedudukannya, berusaha untuk bekerja mengumpulkan
kekayaan dan berjuang agar dapat memasuki dunia politik,
bekerja di politik atau setidaknya mendukung aliran politik
tertentu, dengan harapan di kemudian hari dapat memperoleh
kedudukan sebagai wakil rakyat di Senayan, menjadi anggota
DPRD di daerah atau bisa menjadi Gubernur, Walikota, atau
Bupati.
Bagi orang-orang dari kelompok masyarakat menengah
bawah, misalnya pedagang kaki lima (PKL), mungkin
memahami hidup sebagai sesuatu yang buruk dan kerja mereka
pahami sebagai cara untuk hidup. Tidak bekerja berarti mereka
tidak hidup. Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia dan
262
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
selama manusia hidup, dia harus bekerja (Anoraga 2001:24).
Para PKL “survive” karena mereka bekerja.
Dalam hal waktu, mereka tidak melihat masa lalu,
demikian pula masa depan kehidupannya akan jadi apa juga
tidak terpikirkan sebelumnya. Yang mereka pikirkan adalah
masa kini. Sekarang bekerja, mereka bisa makan. Sekarang
tidak bekerja, mereka tidak makan. “Siapa yang peduli dengan
kita”, demikian sering diucapkan para pedagang kaki lima yang
bekerja di jalanan. “Kalau bukan kita, siapa yang akan memberi
makan”, demikian ungkapan para pedagang kaki lima.
Hidup untuk kerja atau kerja untuk hidup inilah yang
menjadi motivasi pedagang bekerja sebagai pedagang kaki lima
(PKL). Responden yang diteliti menyatakan bahwa menjadi
pedagang kaki lima (PKL) merupakan pekerjaan satu-satunya.
Seperti diungkapkan mbah Salim (67 tahun), pedagang barang
rongsokan di Kokrosono, berikut ini.
“mboten wonten pekerjaan malih pak, nggih niki
ingkang saged kulo lampahi dados pedagang
kemawon…nopo malih kulo mpun sepuh…kolo mben
kulo nate narik becak taksih kiyat amargi tenogo saget
nglampahi, sakniki mpun mboten saget” (tidak ada
pekerjaan lainnya pak, ya ini yang bisa saya lakukan
sebagai pedagang saja…apalagi saya sudah tua…dahulu
pernah menjadi tukang becak karena tenaga masih
kuat, sekarang sudah tidak kuat lagi) (wawancara
dengan mbah Salim, Minggu, 10 Oktober 2010).
Hanya mengandalkan hidup dari berdagang, menurut
sebagian PKL tidaklah cukup. Masa depan yang tidak dapat
diprediksikan dengan baik, membuat mereka berpikir unuk
merancang pekerjaan lain atau bekerja sambilan. Kadang-
kadang bantuan istri untuk turut bekerja juga diperlukan. Satrio
Wibowo (29 tahun) misalnya, salah seorang PKL yang mengais
rezeki di Sampangan, dibantu istrinya dalam memenuhi
263
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
kebutuhan keluarga, dengan bekerja di pabrik. Berikut ini
penuturan Satrio Wibowo.
“bekerja sebagai pedagang bukan satu-satunya
pak…saya pernah berjualan sate biawak dan
ular…sekarang ini jualan sate kambing…itu pun
menurut saya tidak cukup…untung istri mau mengerti
dan bekerja di pabrik…ya sekedar untuk menambah
penghasilan keluarga” (wawancara dengan Satrio,
Minggu, 17 Oktober 2010).
Ketika mengalami penggusuran, ada beberapa pedagang
kaki lima yang banting haluan untuk dapat menjaga
kelangsungan hidup keluarganya. Pak Armis (45 tahun),
pedagang yang cukup lama menempati lokasi Basudewo, adalah
salah satu contoh pekerja yang kreatif. Sebelum bekerja sebagai
pedagang bensin eceran sekaligus membuka usaha tambal ban
sepeda dan sepeda motor, pak Armis pernah bekerja pula
sebagai sopir. Setelah terjadi penggusuran besar-besaran di
Basudewo pada bulan Desember 2010, pak Armis akhirnya
pindah ke lokasi PKL Kokrosono dengan bekerja sebagai
pengrajin mebel.
“Saya ini seorang perantau pak…kerja apa saja pernah
saya jalani, jadi sopir, jualan pakaian keliling, jual
bensin, membuka usaha perbengkelan…sebenarnya
jual bensin sambil usaha tambal ban lumayan pak
hasilnya, per hari saya bisa dapat Rp75.000,00…bisa
menghidupi keluarga. Tapi pak…sejak lokasi usaha
digusur dan diratakan dengan alat-alat berat, saya
sempat bingung mau kerja apalagi…untung pak
Achmad, ketua PKL Basudewo bersedia mengalah mau
pindah ke Kokrosono dengan menempati kios di
gedung H, akhirnya saya memilih menjadi pengrajin
mebel…ternyata lumayan hasilnya mas dan mencari
bahan pembuatan mebel juga tidak susah” (wawancara
dengan pak Armis, Minggu, tanggal 17 April 2011).
264
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Pak Armis memang seorang pekerja keras. Ia termasuk
orang yang tidak mudah putus asa. Pekerjaan apa saja pernah
dilakukan. Setelah digusur dari tempatnya berjualan, ia
memilih bekerja sebagai pengrajin mebel hingga kini. Ketika
ditanya, mengapa memilih sebagai pengrajin mebel, padahal
keterampilan untuk itu belum ia punyai, berikut jawabannya.
“sebelum digusur, sehari-hari saya berdagang kan
dekat dengan pengrajin meubel yang juga menjalankan
usaha di Basudewo, jadi tahu bagaimana mereka
membuat kursi, meja, dan almari…ya secara tidak
sengaja saya mengamati cara mereka bekerja pak…ee,
tidak tahunya saya tertarik pada pekerjaan tersebut,
ketika saya digusur…ya alhamdulillah…saya
bisa…Tuhan Maha Adil pak, ketika hambanya
membutuhkan…saya diberi jalan” (wawancara dengan
pak Armis, Minggu, tanggal 17 April 2011).
Situasi pasar yang tidak menentu, membuat PKL memilih
strategi dengan variasi jenis pekerjaan yang membuatnya dapat
bertahan hidup. Hal ini juga dialami pak Armis. Pekerjaan baru
sebagai pengrajin mebel ternyata juga belum menjanjikan
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, karena sepinya
pembeli apalagi reputasi pak Armis sebagai pengrajin mebel
belum dikenal. Itulah sebabnya, pak Armis masih
mempertahankan pekerjaan lama, yaitu membuka bengkel
sepeda motor bersama adiknya di lokasi lama di Basudewo.
“Akhir-akhir ini pembeli sepi pak, maka supaya dapur tetap
“ngebul” (keperluan hidup terpenuhi) saya membuka usaha
lama, yaitu usaha bengkel sepeda motor bersama adik saya”,
demikian ungkap pak Armis.
Dalam kasus pedagang kaki lima di Semarang, ditemukan
suatu kenyataan bahwa setiap orang sesungguhnya dapat
menemukan cara untuk menghadapi tantangan agar dapat
bertahan hidup. Hal ini berkaitan dengan strategi survival.
265
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
White sebagaimana dikutip Ibrahim dan Murni Baheram
(2009) menyebutkan tiga jenis strategi survival, yaitu:
1. strategi survival sebagai strategi untuk memenuhi
kebutuhan hidup pada tingkat minimum agar dapat
bertahan hidup,
2. strategi konsolidasi yaitu strategi untuk memenuhi
kebutuhan hidup, yang dicerminkan dari pemenuhan
kebutuhan pokok dan sosial,
3. strategi akumulasi, yaitu strategi pemenuhan kebutuhan
hidup untuk mencapai kebutuhan pokok, sosial, dan
pemupukan modal.
Strategi survival tersebut ditempuh individu atau kelompok
masyarakat, tergantung pada status sosial dan kondisi
ekonominya. Strategi apa yang ditempuh juga berkaitan dengan
kualitas sumber daya manusia dan lingkungan. Bagi kelompok
masyarakat marginal, termasuk di dalamnya PKL, jenis strategi
survival yang pertama dan kedua yang dipilih. Kalau pun ada
yang menempuh strategi ketiga, yaitu akumulasi, tidaklah
banyak.
Pak Haji Mustaqim merupakan contoh PKL sukses yang
mewakili strategi ketiga. Ia yang hanya bekerja sebagai
pedagang alat-alat pertanian, pertukangan, dan rumahtangga di
Kokrosono, tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan
keluarga, tetapi juga kebutuhan sosial, seperti berinteraksi
dengan tetangga dalam asosiasi rukun tetangga (RT) dan
menyisihkan sebagian penghasilannya untuk dana sosial dan
agama. Bahkan dari pekerjaan yang ditekuni tersebut, pak Haji
bersama istrinya dapat menabung dan membeli barang-barang
simbol status kelas menengah ke atas, seperti sepeda motor,
motor roda tiga, rumah, dan perhiasan.
Contoh lain adalah pak Muriman, pedagang gado-gado di
Sampangan, pak Mulyono pedagang alat-alat pertanian,
pertukangan, dan rumah tangga di Kokrosono, dan mbok Sador
266
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
yang berjualan nasi pecel di bundaran Simpang Lima. Tentu
saja masih banyak PKL yang sukses dalam bisnisnya. Tidak
seperti halnya pak Haji Mustaqim, pak Muriman, pak Mulyono,
dan mbok Sador, sebagian besar pedagang kaki lima (PKL)
memiliki strategi pertama, yaitu survival dan strategi kedua,
yakni konsolidasi, yang semuanya ditempuh untuk menjaga
kelangsungan hidup.
Strategi survival atau bertahan hidup seseorang memang
bermacam-macam. Satrio misalnya, dibantu istrinya dalam
memenuhi kebutuhan keluarga. Ia sendiri ketika sebelum
digusur, bekerja sebagai penjual sate biawak dan ular, dan
setelah penggusuran, beralih menjadi penjual sate kambing. Pak
Armis, yang dahulu bekerja sebagai penjual bensin eceran dan
usaha tambal ban, sekarang ini bekerja sebagai pengrajin mebel.
Hal ini menunjukkan bahwa (1) pedagang kaki lima
memiliki daya tahan yang luar biasa ketika menghadapi
tantangan dan persoalan hidup serta mereka mampu keluar dari
kesulitan, (2) mata pencaharian baru yang mereka tekuni juga
tidak jauh dari usaha sebelumnya, yaitu di sekitar usaha
ekonomi sektor informal. Sesuai dengan sistem orientasi nilai
budaya Kluckhohn sebagaimana dikembangkan oleh
Koentjaraningrat, hidup memang dipahami para pedagang kaki
lima sebagai sesuatu yang buruk, tetapi masih bisa diperbaiki
kalau ingin tetap hidup. Demikian pula yang dialami para
pedagang kaki lima yang terkena proyek pembangunan.
Mereka tidak mudah putus asa, dan segera beralih pada
pekerjaan lainnya yang masih berada pada usaha sektor
informal.
D. Rangkuman
Hasil penelitian disertasi ini menunjukkan bahwa motif
atau faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa para urban
267
BAB V
MOTIF, KONTRIBUSI EKONOMI, STRATEGI SURVIVAL
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
bekerja di sektor informal atau menjadi pedagang kaki lima
(PKL) adalah (1) modal kecil atau terbatas, (2) ingin usaha
mandiri, (3) tidak ada lagi pekerjaan yang sesuai, (4) sudah
menjadi tradisi keluarga, (5) daripada menganggur, (6) bekerja
lebih mudah, dan (7) karena usia sudah tua.
Dalam berbagai data statistik pemerintah, tidak banyak
dilaporkan konstribusi ekonomi pedagang kaki lima (PKL) atau
pengusaha kecil yang menjalankan aktivitas ekonomi di sektor
informal. Kontribusi ekonomi pedagang kaki lima seolah
diabaikan, mungkin karena terlalu kecilnya sumbangan mereka
terhadap APBN, PDRB maupun PAD. Sementara itu,
sumbangan ekonomi sektor formal lebih besar dan mudah
diukur, sehingga statistik pemerintah akan menampakannya.
Kontribusi ekonomi PKL juga sulit ditemui dalam buku-buku
atau literatur ekonomi. Paling banter hanya data jumlah tenaga
sektor informal yang dapat ditemui pada statistik pemerintah
maupun literatur-literatur ekonomi.
Seperti halnya sektor formal, sektor informal, utamanya
pedagang kaki lima (PKL) juga memiliki kontribusi ekonomi,
tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari,
tetapi juga untuk biaya pendidikan bagi anak-anak atau cucu.
Banyak di antara mereka yang memiliki tabungan dan sebagian
hasil pendapatannya diinvestasikan untuk membeli rumah,
tanah, mobil, sepeda motor, dan peralatan elektronik lainnya.
Keberadaan PKL juga memberi kontribusi ekonomi kepada
pihak lain, seperti tukang parkir, pengamen, dan pengemis.
Secara akumulatif, PKL juga memiliki kontribusi positif
terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan
bagi penduduk kurang beruntung, bahkan juga memberikan
sumbangan terhadap PAD pemerintah lokal.
Sektor informal tidak hanya berkaitan dengan persoalan
mencari penghasilan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari,
dan sumbangan kepada pendapatan daerah, tetapi lebih dari itu,
268
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
bagi masyarakat golongan miskin merupakan cara
mempertahankan kelangsungan hidup (survival strategy).
Pedagang kaki lima umumnya tergolong masyarakat
menengah ke bawah. Bagi orang-orang dari kelompok
masyarakat menengah bawah, seperti halnya pedagang kaki
lima (PKL), memahami hidup sebagai sesuatu yang buruk dan
kerja mereka pahami sebagai cara untuk hidup. Tidak bekerja
berarti mereka tidak hidup. Bekerja adalah hakikat kehidupan
manusia dan selama manusia hidup, dia harus bekerja.
Para PKL menyadari bahwa dengan segala keterbatasan
yang mereka sandang dan ketidakmampuannya mengakses
pekerjaan yang membutuhkan persyaratan tinggi, maka mereka
mau tidak mau memilih jalan dengan berdagang atau menjual
jasa di jalanan atau tempat-tempat umum. Di antara mereka ada
yang bekerja menjual makanan (nasi) dan minuman, menjual
alat-alat rumah tangga, pertanian dan pertukangan, membuka
bengkel, berdagang bensin, dan menjadi pengrajin mebel. Hal
itu dilakukan semata-mata untuk dapat memenuhi kebutuhan
keluarga. Para PKL “survive” karena mereka bekerja.
Menjadi PKL bagi kelompok masyarakat strata rendah,
merupakan pikihan satu-satunya. Kebanyakan PKL yang
diteliti, menjadi PKL merupakan jalan paling memungkinkan
untuk dapat menopang hidup mereka. Dari tiga strategi survival
yang dipilih, umumnya mereka memilih strategi survival dan
strategi konsolidasi. Strategi survival merupakan strategi untuk
memenuhi kebutuhan hidup pada tingkat minimum agar dapat
bertahan hidup, sedangkan strategi konsolidasi adalah strategi
untuk memenuhi kebutuhan hidup, yang dicerminkan dari
pemenuhan kebutuhan pokok dan sosial. Memang ada beberapa
PKL yang berada pada strategi akumulasi, yaitu strategi
pemenuhan kebutuhan hidup untuk mencapai kebutuhan
pokok, sosial, dan pemupukan modal, namun jumlah mereka
yang tergolong pada strategi akumulasi tidaklah banyak.