bab v mantap
DESCRIPTION
analisaTRANSCRIPT
BAB V
ANALISA DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisa Tahap Define
Metode six sigma yaitu ingin mengetahui nilai sigma yang terdapat pada di
perusahaan yang diteliti dan dapat memperbaiki untuk mendapatkan nilai sigma yang
lebih tinggi lagi. Metode six sigma dilakukan dengan tahapan DMAIC secara
berurutan yaitu tahap Define, Measure, Analyze, Improve, dan Control. Tahap
pertama adalah tahap define, dimana pada tahap ini menentukan masalah yang ada
pada produksi tinplate di ETL. Setelah diketahui ada masalah maka menentukan CTQ
(Critical to Quality) yang merupakan hal yang perlu didefinisikan berdasarkan input
dari customer terhadap kualitas yang diinginkan terhadap produk. Pada CTQ ini
terdapat karakteristik kualitas dan kriteria cacat produk. Karakteristik kualitas
dijabarkan lagi menjadi 3 bagian yaitu kondisi roll, kualitas strip, dan kualitas larutan.
Dari ketiga karakteristik kualitas ini sangat berpengaruh terhadap kualitas produk
yang dihasilkan. Selain karakteristik, pada tahap define ditentukan pula kriteria cacat
yang terjadi pada produksi tinplate. Produk dikatakan cacat jika terdapat surface
defect dan mechanical defect. Surface defect yang dimaksudkan adalah cacat yang
terjadi perubahan bentuk pada produk tinplate. Surface defect terdapat banyak
macamnya seperti dent, wringkle, abration, scratches, dan lain sebagainya.
Sedangkan mechanical defect yang dimaksudkan adalah cacat yang terjadi perubahan
mekanik pada produk tinplate. Mechanical defect juga terdapat banyak macamnya
seperti low current, high current, low coating, unmelted,dan lain sebagainya.
Sehingga untuk perhitungan pada tahapan selanjutnya penentuan CTQ
dipertimbangkan dari kebutuhan pelanggan kemudian dijadikan sebagai tolak ukur
kualitas yang akan memenuhi keinginan pelanggan. Sehingga CTQ (Critical to
Quality) untuk produk tinplate dilihat dari karakteristik kualitas terdapat 3 CTQ, yaitu
kondisi roll, kualitas TMBP, dan kualitas larutan.
5.2 Analisa Tahap Measure
Tahap kedua adalah tahap measure yang mengukur nilai DPMO (Deffect Per
Million Unit) dan nilai sigma. Setelah menentukan CTQ maka dapat dilanjutkan
dengan menghitung nilai DPMO dan nilai sigma yang ada di ETL (Electrolytic
Tining Line). Pada perhitungan ini diperlukan data jumlah produksi, jumlah cacat dan
jumlah CTQ. Kemudian dapat dicari nilai DPU (Defect per Unit), TOP (Total Per
Opportunities), DPO (Deffect per Opportunities). Setelah itu maka dapat dicari pula
nilai DPMO dan nilai sigma, sehingga didapatkan rata-rata nilai DPMO sebesar
24.136,792 dan rata-rata nilai sigma sebesar 3,511. Hal ini dapat dilihat bahwa nilai
sigma yang terdapat pada perusahaan masih jauh dari mendekati sempurna sebesar 6
sigma, karena nilai DPMO semakin besar dan nilai sigma semakin kecil maka
kualitas suatu produk semakin buruk, begitpun sebaliknya jika nilai DPMO semakin
kecil dan nilai sigma semakin besar maka kualitas suatu produk semakin baik. Nilai
sigma sebesar 3,511 dapat disebabkan karena jumlah cacat produk tinplate masih
tergolong cukup tinggi. Karakteristik kualitas pun mempengaruhi besarnya nilai
sigma suatu perusahaan.
5.3 Analisa Tahap Analyze
Nilai sigma yang sudah didapatkan sebesar 3,511 masih dikategorikan
kedalam kualitas yang cukup baik. Untuk mendapatkan kualitas yang lebih baik lagi
dan nilai sigma yang lebih besar, maka perlu analisa terhadap cacat yang terjadi
terutama yang cacat yang paling dominan terjadi. Dilihat dari gambar 4. 2 jenis cacat
yang paling dominan adalah jenis cacat dent, sehingga perlu dilakukannya analisa
terhadap jenis cacat dent terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
cacat dent. Cacat dent adalah jenis surface defect yang terjadi perubahan bentuk pada
bagian tinplate yang berupa titik. Pada tahap ini menggunakan tools diagram sebab
V-2
akibat atau disebut juga diagram fishbone, dengan kepala akibatnya cacat dent dan
faktor-faktor penyebabnya sebagai berikut.
1. Manusia
Berdasarkan faktor manusia disebakan oleh operator kurang disiplin yang karena
kurangnya operator dalam memahami SOP dalam bekerja sehingga kurang
tanggap dalam menanggulangi terjadinya cacat , dan kelalaian inspektor dalam
memonitoring yang disebabkan tidak fokus dalam bekerja karena sedang
kelelahan ataupun mengantuk.
2. Material
Berdasarkan faktor material disebabkan oleh TMBP kotor karena pencucian tidak
bersih yang karena keterlambatan operator menghidupkan polisher yang manual
sehingga polisher tidak jalan. Serta disebabkan oleh TMBP lolos dari inspeksi
entry section karena kotoran tidak terlihat secara signifikan.
3. Mesin
Berdasarkan faktor mesin disebabkan oleh roll kotor karena karet roll kotor dan
surface roll kotor. Karet roll kotor disebakan oleh kurangnya perawatan karena
tidak berjalannya perawatan secara efektif. Sedangkan surface roll kotor
disebabkan adanya kotoran debu atau timah yang masih menempel pada TMBP.
Kedua, disebabkan oleh roll pecah karena tidak adanya jadwal penggantian roll
sehingga lambat untuk mengganti roll dengan yang baru. Ketiga, dapat pula
disebabkan oleh mesin yang mati secara tiba-tiba karena umur mesin sudah tua
sehingga kinerja mesin menurun.
4. Metode
Berdasarkan faktor metode yang digunakan disebabkan oleh speed yang tidak
stabil karena adanya perubahan jadwal produksi yang lebih mengutamakan
produksi untuk customer yang urgent.
5. Lingkugan
Berdasarkan faktor lingkungan disebabkan oleh control room operator tidak
nyaman karena terdapat operator yang merokok di dalam ruangan. Hal tersebut
V-3
karena tidak ada larangan merokok di dalam ruangan operator, padahal jika
dilihat dari segi psikologi ruangan yang tidak nyaman karena asap rokok
membuat konsentrasi menjadi tidak baik.
Selain menggunakan diagram sebab akibat, pada tahap ini juga menggunakan
tools FMEA (Failure Mode Effect Analysis) dengan sebelumnya membuat CFME
(Cause Failure Modes Effect). CFME dibuat mirip dengan diagram sebab akibat.
Sedangkan FMEA terdapat perhitungan tersendiri berdasarkan rating FMEA pada
pengolahan data. Pada FMEA dijabarkan secara jelas sebab dan akibat dari masing-
masing kegagalan yang terjadi, serta penilaian subjektif dari orang yang bertanggung
jawab di divisi produksi terhadap kondisi saat ini dilihat dari frekuensi terjadinya
kegagalan, berpengaruh atau tidaknya kegagalan, dan terdeteksi atau tidaknya dari
kegagalan tersebut. Setelah penilaian subjektif tersebut kemudian menghitung RPN
(Risk Priority Number) dan mengurutkan rangking dari RPN yang paling besar.
Berdasarkan hasil yang didapat bahwa rangking pertama dengan nilai RPN sebesar
504 yaitu masih terdapat kotoran pada strip dengan penyebab masalah terbesarnya
yaitu surface roll kotor yang disebabkan oleh adanya kotoran debu atau timah yang
menempel di roll yang menyebabkan terbentuknya titik pada strip saat proses
penekanan berdasarkan hasil brainstorming.
5.4 Analisa Tahap Improve
Tahap improve ini adalah tahap terakhir dari penelitian ini. Karena penelitian ini
tidak sampai melakukan perbaikan hanya saja memberikan usulan untuk perbaikan
mengurangi cacat dent. Berikut adalah usulan perbaikan untuk mengurangi cacat
dent.
1. Untuk faktor roll kotor maka perlu dilakukannya membersihkan roll secara berkala
dan saat terjadinya dent langsung turun speed mesin kemudian dibersihkan pada
bagian yang kotor agar tidak terjadi penekanan titik pada strip yang terdapat
kotoran. Perbaikan ini tepat dilakukan oleh operator di divisi produksi pada setiap
hari kerja.
V-4
2. Untuk faktor TMBP kotor maka perlu dilakukan pengecekkan terhadap polisher
jalan atau tidak dan meurunkan speed lalu dibersihkan dengan cepat pada bagian
kotor jika terjadinya dent agar tidak ada kotoran menempel yang ikut kedalam
proses. Perbaikan ini tepat dilakukan oleh operator di divisi produksi pada setiap
hari kerja.
3. Untuk faktor kurang roll pecah maka perlu dilakukan pengecekkan roll secara rutin
dan roll diganti secara berkala sehingga pada saat mesin digunakan untuk proses
tidak rusak dan strip tidak putus pada saat diproses. Perbaikan ini tepat dilakukan
oleh karyawan maintenance di divisi perawatan setiap seminggu 2 kali.
4. Untuk faktor mesin mati secara tiba-tiba maka perlu melakukan perawatan yang
lebih intensif dan pengecekan terhadap fungsi mesin tersebut agar proses ETL
berhasil selesai dan produk memenuhi spesifikasi. Perbaikan ini tepat dilakukan
oleh operator di divisi produksi setiap seminggu 2 kali.
5. Untuk faktor inspektor lalai dalam memonitoring maka perlu adanya pengawasan
terhadap inspektor agar produk reject tertahan dari inspeksi. Perbaikan ini tepat
dilakukan setiap hari oleh shift leader di divisi produksi.
6. . Untuk faktor speed tidak stabil maka perlu membuat penjadwalan produksi yang
optimal agar tidak merusak kinerja mesin. Perbaikan ini tepat dilakukan setiap hari
oleh kabag produksi di divisi produksi.
7. Untuk faktor operator kurang disiplin maka perlu mengadakan evaluasi dan
memberikan pelatihan kepada operator dalam memahami SOP agar dapat menahan
produk yang terjadinya dent. Perbaikan ini tepat dilakukan 3bulan sekali oleh shift
leader di divisi produksi.
8. Untuk faktor Control room operator tidak nyaman maka membuat larangan
merokok di dalam ruangan operator agar dapat menahan produk yang terjadinya
dent. Perbaikan ini tepat dilakukan secepatnya (1 bulan mendatang) oleh kabag
produksi di divisi produksi.
V-5