bab v karakteristik tifoid

Upload: dwinda-aulia-aslam

Post on 03-Mar-2016

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

skripsi

TRANSCRIPT

BAB VHASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil PenelitianPenelitian ini dilaksanakan di RSUD Lasinrang Kabupaten Pinrang. Pengumpulan data dilakukan melalui data rekam medik. Data yang telah dikumpulkan kemudian ditabulasi dan diinput kemudian dianalisis dengan program SPSS. Hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel disertai dengan penjelasan.1. Analisis UnivariatAnalisis univariat digunakan untuk mengetahui sebaran karakteristik responden yaitu jenis kelamin, umur, waktu (bulan), gejala klinis, tes widal, dan proporsi pengobatan.1) Kelompok UmurDistribusi responden berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada tabel 1.Tabel 1Distribusi Responden Menurut Kelompok UmurRSUD Lasinrang Kab. PinrangTahun 2015

Kelompok UmurJumlahPersen

1-4 tahun810.4

5-14 tahun2532.5

15-24 tahun2127.3

25-44 tahun1519.5

45-64 tahun67.8

65+ tahun22.6

Total77100.0

Sumber : Data Primer, 2015

Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah berada pada kelompok umur 5-14 tahun sebanyak 25 orang (32.5%) dan proporsi terendah pada kelompok umur 65+ tahun yaitu sebanyak 2 responden (2.6%).2) Jenis KelaminDistribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 2.Tabel 2Distribusi Responden Menurut Jenis KelaminRSUD Lasinrang Kab. PinrangTahun 2015

Jenis KelaminJumlahPersen

Laki-laki3849.4

Perempuan3950.6

Total77100.0

Sumber : Data Primer, 2015

Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah jenis kelamin perempuan sebanyak 39 orang (50.6%) dan proporsi terendah adalah jenis kelamin laki-laki sebanyak 38 responden (49.4%).3) Waktu (Bulan)Distribusi responden berdasarkan waktu (bulan) kejadian dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3Distribusi Responden Menurut Waktu (Bulan)RSUD Lasinrang Kab. PinrangTahun 2015

Waktu (BulanJumlahPersen

Januari810.4

Februari810.4

Maret33.9

April67.8

Mei1114.3

Juni79.1

Juli1013.0

Agustus56.5

September67.8

Oktober33.9

November56.5

Desember56.5

Total77100.0

Sumber : Data Primer, 2015

Tabel 3 menunjukkan bahwa mayoritas responden penderita tifoid tertinggi pada bulan Mei yaitu 11 orang (14.3%) sedangkan proporsi terendah jumlah kejadian tifoid pada bulan Maret dan Oktober yaitu sebanyak 3 orang (3.9%).4) Gejala KlinisDistribusi responden berdasarkan gejala klinis dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4Distribusi Responden Menurut Gejala KlinisRSUD Lasinrang Kab. PinrangTahun 2015

Gejala KlinisJumlahPersen

Demam77100.0

Mual5673.0

Badan Lemas3748.6

Muntah3545.9

Anoreksia3242.2

Sakit Kepala2330.3

Batuk1215.7

Diare1215.7

Sakit Perut1215.7

Perut Lambung45.4

Lidah Tifoid34.3

Konstipasi22.7

Sumber : Data Primer, 2015

Tabel 4 menunjukkan bahwa mayoritas responden penderita tifoid 100% mengalami demam sedangkan proporsi terendah jumlah kejadian tifoid yang mengalami konstipasi sebanyak 2 orang (2.7%).5) Tes WidalDistribusi responden berdasarkan tes widal dapat dilihat pada tabel 5.Tabel 5Distribusi Responden Menurut Tes WidalRSUD Lasinrang Kab. PinrangTahun 2015

Tes WidalJumlahPersen

Positif 5571.5

Negatif1722.4

Tidak ada/Tidak Tercatat56.1

Jumlah77100.0

Sumber : Data Primer, 2015

Tabel 5 menunjukkan bahwa mayoritas responden penderita tifoid berdasarkan pemeriksaan Widal di RSUD Lasinrang yang paling banyak ditemukan adalah penderita dengan hasil positif (Widal positif) sebanyak 55 orang (71.5%), kemudian widal negative sebanyak 17 orang (22.4%), dan hasil widal yang tidak ada/tidak tercatat sebanyak 5 orang (6.1%).6) Proporsi Pengobatan berdasarkan AntibiotikDistribusi responden berdasarkan proporsi pengeobatan dengan antibiotik dapat dilihat pada tabel 6.Tabel 6Distribusi Responden Menurut Proporsi Pengobatan (Antibiotik)RSUD Lasinrang Kab. PinrangTahun 2015

AntibiotikJumlahPersen

Kloramfenikol3546.1

Kotrimoksazol45.2

Ampisilin/Amoksilin3140.6

Siprofloksasin33.3

Sefalosporin44.8

Jumlah77100.0

Sumber : Data Primer, 2015

Tabel 6 menunjukkan bahwa mayoritas responden penderita tifoid berdasarkan pengobatan di RSUD Lasinrang yang paling banyak adalah kloramfenikol sebanyak 35 orang (46.1%), kemudian siprofloksasin merupakan proporsi terendah sebanyak 3 orang (3.3%).

7) Lama PerawatanDistribusi responden berdasarkan lama perawatan dapat dilihat pada tabel 7.Tabel 7Distribusi Responden Menurut Lama PerawatanRSUD Lasinrang Kab. PinrangTahun 2015

Lama Perawatan (Hari)

Rata-rata4.55

Standar Deviasi2.40

Median4.00

Minimum1.00

Maksimum13.00

Sumber : Data Primer, 2015

Tabel 7 menunjukkan bahwa lama rawatan rata - rata penderita demam tifoid adalah 4.55 hari (5 hari), Standar Deviasi (SD) 2.40, lama rawatan minimum adalah 1 hari dan lama rawatan maksimum adalah 13 hari.

B. Pembahasan1. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa penderita demam tifoid yang berada pada golongan umur 5-14 tahun (32.5%) lebih besar bila dibandingkan dengan golongan umur lain. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa proporsi penderita demam tifoid berdasarkan umur dan jenis kelamin tertinggi pada golongan umur 5-24 tahun 21,4% dengan laki-laki 12,4% dan perempuan 9,0% (Nainggolan, 2009), sedangkan hasil ini berbeda dengan hasil penelitian menyatakan bahwa proporsi kelompok umur terbanyak yaitu >40 tahun (32,3%) (Aswita, 2005). Dari hasil dapat dilihat bahwa semakin tinggi umur maka semakin sedikit angka kejadan penyakit demam tifoid. Angka kejadian demam tifoid tertinggi pada umur 5-14 tahun, ini dapat dijelaskan karena pada umur -umur tersebut biasanya banyak kegiatan yang dilakukan di luar rumah sehingga penderita sering mengkonsumsi makanan dari luar yang tentu saja tidak terjamin kualitasnya (Ningsih, 2013).Kelompok umur ini berisiko untuk mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi (Aswita, 2005), selain itu sesuai dengan hasil penelitian Pramitasari (2013) bahwa kasus demam tifoid terbanyak diderita oleh pasien berumur lebih dari 5 tahun.Berdasarkan jenis kelamin dapat kita lihat bahwa proporsi penderita demam tifoid laki-laki (49.4%) lebih rendah daripada penderita perempuan (50.6%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya dimana dari 152 penderita demam tifoid 65,1% (99 orang) perempuan. Hasil penelitian lainnya dinyatakan bahwa proporsi penderita demam tifoid laki-laki lebih tinggi (61%) dibandingkan perempuan (39%). Berkaitan bahwa laki -laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah yang memungkinkan beresiko lebih besar untuk terkena infeksi Salmonella typhi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh Salmonella typhi (Hasibuan, 2009), selain itu pria juga lebih banyak mengkonsumsi makanan siap saji atau makanan warung yang biasanya banyak mengandung penyedap rasa dan kehigiennisan yang belum terjamin, dibanding wanita yang lebih suka memasak makanan sendiri sehingga lebih memperhatikan komposisi dan kebersihan makanannya. Kebiasaan ini menyebabkan pria lebih rentan terkena penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti tifoid bila makanan yang dibeli kurang higienis. Berdasarkan pembahasan tersebut dilihat dari segi pola makanan pria lebih rentan terkena penyakit daripada wanita (Pramitasari, 2013).Menurut hasil penelitian Nia (2012) menunjukkan angka kejadian demam tifoid lebih banyak terjadi pada perempuan (60%) dari pada laki -laki (40%). Berbeda lagi dengan penelitian Yap (2007) yang mendapatkan perbandingan jenis kelamin laki-laki dan perempuan 1:1 dari 54 subyek yang diteliti.Dengan adanya perbedaan belum bisa menentukan pengaruh jenis kelamin dalam insidensi demam tifoid. Menurut beberapa literatur, jenis kelamin sama sekali tidak berpengaruh terhadap kejadian demam tifoid (Nia, 2012). Dari hasil penelitian, penderita demam tifoid paling banyak terjadi pada laki-laki dengan umur 20 -39 tahun yaitu 36 orang dan penderita paling sedikit adalah perempuan dengan umur 50-59 tahun yaitu 3 orang. Pada penelitian Nainggolan (2010) penderita demam tifoid terbanyak adalah laki-laki dengan umur 21-30 tahun yaitu 12,4% atau 18 dari 84 pasien. Pada perempuan demam tifoid tertinggi juga terdapat pada umur 11 -20 tahun yaitu 10,4%. Dan penderita demam tifoid pada umur diatas 50 tahun sangat sedikit. 2. Gambaran Klinis Penderita Demam Tifoid Pada minggu pertama gejala klinis penyakit demam tifoid ini ditemukan keluhan atau gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, anoreksi, muntah, diare atau konstipasi, perasaan tidak enak diperut, batuk, dan lainnya (Widodo, 2006). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa semua penderita demam tifoid mengalami gejala demam. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sitohang (2005) bahwa semua penderita demam tifoid mengalami demam (100%) dan hasil penelitian bahwa dari 77 penderita demam tifoid semuanya mengalami gejala demam. Hal ini menunjukkan bahwa sensitivitas gejala klinis penderita demam tifoid adalah gejala demam (Hasibuan, 2009).Gejala demam merupakan gejala utama penderita demam tifoid yang terjadi yang terjadi karena Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang (Hasibuan, 2009). Gejala demam umumnya berangsur-angsur naik selama minggu pertama terutama sore dan malam hari, pada minggu kedua dan ketiga demam terus tinggi kemudian turun (Astuti, 2013).Gejala muntah pada penderita demam tifoid juga terjadi pada 35 orang (45.9%). Pada penelitian sebelumnya juga didapatkan gejala muntah sebagai gejala urutan ketiga terbanyak yaitu dengan sensitivitas 38,6%, maksudnya dari 100 penderita demam tifoid terdapat 39 orang mengalami gejala muntah (Nainggolan, 2009).Selain itu demam dengan muntah dan mual pada penelitian lainnya merupakan urutan gejala kedua terbanyak dengan sensitivitas 30,1% yaitu 62 dari 206 penderita demam tifoid (Ningsih, 2013). Gejala nyeri perut terjadi pada 4 orang (5.4%). Pada hasil penelitian di Rumah Sakit PT Pelabuhan Indonesia menunjukkan gejala nyeri perut merupakan gejala yang sering pada penderita demam tifoid. Terdapat 71 dengan keluhan nyeri perut pada 206 penderita demam tifoid (34, 5%) (Ningsih, 2013), bahkan penelitian Amdani (1996) dalam Pawitro (2000) gejala klinis yang terbanyak adalah nyeri perut disertai demam yaitu 76%.Proporsi penderita demam tifoid dengan gejala batuk adalah 15.7% atau 12 orang. Pada penelitian Hasibuan (2009) didapatkan gejala batuk 20,3%.Pada hasil penelitian ini gejala diare tampak lebih sedikit terjadi pada penderita demam tifoid jika dibandingkan penelitian sebelumnya. Gejala diare terjadi pada 19 orang dari 76 penderita demam tifoid atau 25%, sedangkan penelitian yang dilakukan Herawati (1999) dalam Pawitro (2000) di RSCM Jakarta, gejala klinis yang terbanyak adalah diare (83%).Anoreksia terjadi pada 32 atau 42.2%. Pada penelitian Nainggolan (2009), proporsi gejala anoreksia adalah gejala yang terkecil didapatkan pada penderita demam tifoid yaitu 0,7% atau 1 dari 145 pasien. Lain halnya menurut Bhutta (1996) terdapat 70% yang mengalami anoreksia dan ini termasuk tiga besar gejala tersering pada penderita demam tifoid yang dirawat di rumah sakit.

3. Hasil Laboratorium Penderita Demam Tifoid Dari hasil laboratorium pemeriksaan uji widal, proporsi penderita demam tifoid dengan uji widal positif adalah 71.5% yang menunjukkan dari 77 penderita demam tifoid terdapat 55 orang dengan uji widal positif. Pada penelitian sebelumnya ditemukan uji widal positif 53,7% yaitu 66 orang dari 123 penderita demam tifoid (Nainggolan, 2009).4. Lama perawatanBerdasarkan perhitungan rata-rata lamanya dirawat yaitu 4.55 hari, hal ini berbeda pendapat dengan Kaspan F dkk yag menyatakan bahwa seorang penderita rawat inap demam tifoid paling sedikit harus dirawat selama 8 hari.Perbedaan ini dapat disebabkan karena pada saat ini pelayanan kesehatan sudah lebih baik dan pengobatan terhadap penderita demam tifoid sudah lebih maju sehingga tidak lagi memerlukan waktu perawatan di rumah sakit yang begitu lama. Penggunaan jenis antibiotika lain disamping kloramfenikol juga dapat mempercepat penyembuhan penderita sehingga tidak memerlukan waktu perawatan yang lama di rumah sakit. Selain itu penentuan diagnosa demam tifoid yang hanya berdasarkan gejala klinis saja dapat menyebabkan tdak seluruhnya kasus adalah demamam tifoid dengan kata lain demam-demam biasa yang bukan demam tifodi dapat saja didiagnosa menjadi demam tifod, dimanan demam biasa tidak memerlukan perawatan yang lama di rumah sakit sehingga hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar penderita diwarat di rumah sakit dalam waktu < 7 hari.5. Proporsi Pengobatan (Antibiotik)Dari table 6 dapat dilihat bahwa antibiotika jenis kloramfenikol (46,1%) lebih sering digunakan untuk pengobatan demam tifoid daripada antibiotika jenis ampisilin/amoksilin (40,6%), kotrimoksazol (5,2%), sefalosporin (4,8%) dan siprofloksasin (3,3%). Hal ini sesuai dengan pendapat Azhar Tandjung dan Kariman Soedin yang mengatakan bahwa kloramfenikol masih merupakan drug of choice atau sekurang-kurangnya the first choice untuk pengobatan demam tifoid karena harganya yang murah dan tidak menimbulkan efek samping. Walaupun di beberapa negara seperti di India (1970), Mexico (1972), Thailand (1984), China (1987), Pakistan (1988), Bahrain (1990), Malaysia (1991), Vietnam dan Mesir (1993) telah dilaporkan adanya kasus resistensi Salmonella typhi terhadap kloramfenikol, ampisilin/amoksilin dan kotrimoksazol, namun berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 19901994 di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta, ditemukan tidak ada satu kasuspun yang resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin/amoksilin, maupun kotrimoksazol, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini obat-obatan jenis kloramfenikol, ampisilin/amoksilin, dan kotrimoksazol masih merupakan obat pilihan utama yang dapat digunakan untuk pengobatan demam tifoid di Indonesia. Namun karena sifat antibiotika ini adalah bakteriostatik meskipun penderita demam tifoid sembuh, namun kemungkinan untuk menjadi earner lebih besar karena kuman Salmonella typhi yang ada di dalam tubuh penderita tidak dimatikan melainkan hanya dilemahkan.Selain jenis kloramfenikol, ampisilin/amoksilin dan kotrimoksazol, dari hasil penelitian ini diperoleh juga penggunaan antibiotika jenis lain seperti siproftoksasin dan sefalosporin, namun proporsinya sangat kecil. Walaupun beberapa penelitian telah membuktikan keunggulan-keunggulan dari kedua jenis antibiotika tersebut, namun kedua jenis antibiotika ini belum begitu sering dipakai untuk pengobatan demam tifoid karena antibiotika jenis siprofloksasin dan sefalosporin ini tergolong masih baru jika dibandingkan dengan jenis kloramfenikol, ampisilin/amoksilin dan kotrimoksazol.