bab v hasil dan pembahasan · gambar 3 komposisi tumbuhan berdasarkan famili di lokasi penelitian ....

26
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Vegetasi di Tahura R. Soerjo 5.1.1 Komposisi famili Komposisi vegetasi yang terdapat di Tahura R. Soerjo berdasarkan famili dapat dilihat pada Gambar 6 . Gambar 3 Komposisi Tumbuhan Berdasarkan Famili di lokasi penelitian Tahura R. Soerjo.

Upload: buikhanh

Post on 23-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Komposisi Vegetasi di Tahura R. Soerjo

5.1.1 Komposisi famili

Komposisi vegetasi yang terdapat di Tahura R. Soerjo berdasarkan famili

dapat dilihat pada Gambar 6 .

Gambar 3 Komposisi Tumbuhan Berdasarkan Famili di lokasi penelitian

Tahura R. Soerjo.

24

Hasil dari analisis vegetasi seperti pada Gambar 3 diketahui 39 famili yang

berhasil diidentifikasi di lokasi penelitian Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo.

Famili yang paling banyak spesiesnya jika dibandingkan dengan famili lainnya

adalah dari Euphorbiaceae dengan 4 spesies yang ditemukan yaitu ketupuk

(Claoxylon longifolium), kopian (Glochidion macrocarpum), tutup (Macaranga

sp.), dan patikan emas (Euphorbia hirta). Menurut Partomihardjo (1999) diacu

dalam Purwaningsih dan Yusuf (2008) sistem pemencaran biji atau buah dari

banyak spesies dalam suku Euphorbiaceae ini memiliki efektivitas yang tinggi dan

pada umumnya dapat dipencarkan oleh angin, burung dan mamalia. Selain itu,

menurut Riswan (1987) diacu dalam Purwaningsih dan Yusuf (2008) famili

Euphorbiaceae merupakan salah satu famili yang memiliki kemampuan yang

tinggi dalam beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan.

Famili selanjutnya yaitu Moraceae teridentifikasi 3 spesies yang terdiri dari

dampul (Ficus lepicarpa), kebek (Ficus padana), dan tritih (Ficus sp.). Selain itu

famili Rosaceae juga teridentifikasi sebanyak 3 spesies yang terdiri dari spesies

baros (Prunus cf. arborea ), ri bandel (Rubus chrysophyllus), dan sebra (Rubus

fraxinifolius).

5.1.2 Komposisi spesies

Komposisi spesies tumbuhan yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi

tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Daftar komposisi spesies berdasarkan tingkatan tumbuhan

No. Tingkat tumbuhan Jumlah spesies 1. Pohon 22 2. Tiang 22 3. Pancang 18 4. Semai 23 5. Tumbuhan bawah 25

Berdasarkan hasil analisis vegetasi seperti yang tersaji pada Tabel 1 tersebut

diperoleh hasil 50 spesies dari 39 famili. Namun, hanya 40 spesies (80 %) yang

berhasil diketahui sampai dengan spesiesnya sedangkan 10 spesies (20 %) belum

berhasil teridentifikasi. Menurut keterangan tabel 1 di atas jumlah spesies yang

paling banyak ditemukan adalah pada tingkat tumbuhan bawah sebanyak 25

25

spesies. Kemudian secara berurutan adalah semai 23 spesies, Tiang dan Pohon 22

spesies,dan pancang 18 spesies.

5.1.3 Komposisi tumbuhan berdasarkan habitus

Komposisi tumbuhan yang terdapat di Tahura R. Soerjo berdasarkan

habitusnya tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Komposisi Tumbuhan Berdasarkan Habitusnya di lokasi penelitian

Tahura R. Soerjo.

Berdasarkan hasil analisis vegetasi tumbuhan yang paling mendominasi di

dalam kawasan Tahura R. Soerjo adalah spesies yang berhabitus pohon dengan

jumlahnya sekitar 25 spesies (50 %). Spesies tumbuhan selanjutnya adalah

berhabitus semak dengan jumlah sekitar 12 spesies (24 %). Kemudian spesies

berhabitus terna dengan jumlah sekitar 13 spesies (26 %).

5.1.4 Dominansi vegetasi

Dominansi adalah proporsi antara luas bidang dasar yang ditempati oleh

spesies tumbuhan dengan total luas habitat. Nilai dari dominansi spesies

ditunjukkan dengan nilai INP (Indeks Nilai Penting) yang merupakan parameter

kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi tingkat

penguasaan (Mukrimin 2011). Menurut Soegianto (1994) diacu dalam Maisyaroh

(2010) Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menggambarkan tingkat

penguasaan yang diberikan oleh suatu spesies terhadap komunitas, semakin besar

nilai INP suatu spesies semakin besar tingkat penguasaan terhadap komunitas dan

sebaliknya. Menurut Abdiyani (2008) Indeks Nilai Penting menunjukkan peranan

26

suatu spesies dalam kawasan. Spesies yang memiliki nilai INP paling besar, maka

spesies tersebut mempunyai peranan yang penting di dalam kawasan tersebut.

Selain itu, spesies ini juga mempunyai pengaruh paling dominan terhadap

perubahan kondisi lingkungan maupun keberadaan spesies lainnya dalam

kawasan.

Semakin tinggi INP suatu spesies maka spesies tersebut adalah yang paling

dominan dari spesies yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan

yang berkaitan dengan persaingan antar spesies yang lain. Persaingan akan

meningkatkan daya juang untuk mempertahankan hidup, spesies yang kuat akan

menang dan menekan yang lain sehingga spesies yang kalah menjadi kurang

adaptif dan menyebabkan tingkat reproduksi rendah dan jumlahnya juga sedikit

(Syamsuri 1993 diacu dalam Maisyaroh 2010). INP tertinggi pada spesies

tumbuhan tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai INP tertinggi pada masing-masing tingkat tumbuhan

No. Nama jenis INP (%)

Pohon Tiang Pancang Semai

1. Pasang (Quercus sundaica) 78,86 - - -

2. Dampul (Ficus lepicarpa) - 42,65 - -

3. Kopian (Glochidion macrocarpum)

- - 34,30 51,40

4. Nyampuh gunung (Neonauclea excels)

- - - -

5. Endog-endogan (Fagraea blumei) - - - -

6. Tritih (Ficus sp.) - - - -

Berdasakan data pada Tabel 2 spesies yang memiliki nilai INP tertinggi

pada tingkat pohon adalah pasang (Quercus sundaica) yaitu sebesar 78,86 %. Hal

ini menunjukkan bahwa pada tingkat pohon spesies yang mendominasi adalah

pasang (Quercus sundaica). Sedangkan, spesies yang memliki nilai INP terendah

pada tingkat pohon adalah cemara gunung (Casuarina junghuhniana) 1,66 %;

tutup (Macaranga sp.) 2,20 %; nangkan (Litsea diversifolia) 1,53 %; putihan

(Buddleja asiantica) 1,81 %, dan katesan (Macropanax dispermus) 2,11 %.

Pada spesies tumbuhan tingkat tiang yang mendominasi adalah dampul

(Ficus lepicarpa) dengan nilai INP sebesar 42,65 %. Spesies yang memiliki INP

terendah pada tingkat tiang adalah bima (Symplocos lucida) dengan nilai INP

27

sebesar 0,78 %; anggrung (Trema Orientalis) 0,79 %; baros (Prunus cf. arborea)

0,87 %; putihan (Buddleja asiantica) 0,87 %; tutup (Macaranga sp.) 1,68 %.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai INP untuk tingkat pancang

yang tertinggi yaitu kopian (Glochidion macrocarpum) dengan nilai sebesar 34,3

%. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat pancang, spesies kopian (Glochidion

macrocarpum) adalah spesies yang paling dominan. Spesies yang memiliki nilai

INP terendah yaitu tutup (Macaranga sp.) 1 %, genitri (Elaeocarpus sphaericus) 1

%, kukrup (Engelhardia spicata) 2 %, kupu ketek (Astronia spectabilis) 4 %, dan

ketupuk (Claoxylon longifolium) dengan nilai INP 4,4 %. Menurut Kade et al.

(2006) tingkat pancang dapat dikatakan sebagai komponen permudaan yang

sangat penting karena kunci sukses tidaknya proses permudaan tersebut

berlangsung dapat dilihat pada fase ini. Banyak jenis pohon sangat sukses dalam

memproduksi semai namun secara lambat-laun semai tersebut akan mati karena

kondisi lingkungan yang tidak mendukung.

Nilai INP tertinggi untuk tingkat semai dimiliki oleh spesies kopian

(Glochidion macrocarpum) dengan nilai 51,40 %, hal ini menunjukkan bahwa

spesies tersebut yang mendominasi pada tingkat semai. Selain itu, hal tersebut

juga berarti bahwa frekuensi perjumpaan yang sering serta jumlah individu yang

lebih banyak dibandingkan spesies yang lain. Berdasarkan data pada Tabel 2

diketahui dominansi spesies pada tingkat semai berbeda dengan tingkat pohon.

Spesies yang dominan pada tingkat pohon adalah pasang (Quercus sundaica)

sedangkan pada tingkat semai adalah kopian (Glochidion macrocarpum). Keadaan

ini dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap regenerasi dari spesies pasang

(Q. Sundaica) karena jumlah semainya yang sedikit. Hal tersebut akan

mengakibatkan kelangkaan spesies pasang (Q. Sundaica) di Tahura R. Soerjo.

Spesies tumbuhan yang mempunyai nilai INP terendah pada tingkat semai

adalah kukrup (Engelhardia spicata) dengan nilai 0,9 %. Menurut Abdurrohim et

al. (2004) permudaaan untuk spesies kukrup (Engelhardia spicata) di alam jarang

dan tersebar jauh dari pohon induknya oleh karena itu dapat dilakukan permudaan

buatan dengan cara menyemaikan biji-biji dari spesies ini. Selanjutnya, spesies

yang memiliki INP terendah yaitu nangkan (Litsea diversifolia Blume),

lembayungan (Turpinia montana), dan kebek (Ficus padana) dengan nilai 0,9 %.

28

Selanjutnya, putihan (Buddleja asiantica) dan baros (Prunus cf. arborea) dengan

nilai 1,9 %.

Hasil analisis vegetasi tingkat tumbuhan bawah berhabitus semak dan terna

diketahui bahwa spesies yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah seperti yang

tercantum pada Tabel 6.

Tabel 3 Nilai INP tertinggi pada tingkat tumbuhan bawah di lokasi penelitian No Nama Spesies Nama Ilmiah INP (%)

1 Remejun Euphatorium riparium 74,91 2 Urang-rangan merah Elatostema latifolium 36,78 3 Paku-pakuan Pteris sp. 14,23 4 Jengkon merah Pilea sp. 14,04 5 Suruhan Piper miniatum 12,26

Spesies remejun (Euphatorium riparium) yang berhabitus semak memiliki

nilai INP yang paling tinggi yaitu sebesar 74,91 %. Hal ini menunjukkan bahwa

spesies tersebut adalah yang paling dominan dengan jumlah individu lebih banyak

dibandingkan spesies tumbuhan bawah lainnya. Setiap spesies tumbuhan

mempunyai suatu kondisi minimum, maksimum dan optimum terhadap faktor

lingkungan yang ada. Spesies yang mendominasi berarti memiliki batasan kisaran

yang lebih luas jika dibandingkan dengan spesies yang lainnya terhadap faktor

lingkungan, sehingga kisaran toleransi yang luas pada faktor lingkungan

menyebabkan spesies ini akan memiliki sebaran yang luas. Adanya spesies yang

mendominasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain persaingan antara

tumbuhan yang ada yaitu berkaitan dengan iklim dan mineral yang diperlukan.

Apabila iklim dan mineral yang dibutuhkan mendukung maka spesies tersebut

akan lebih unggul dan lebih banyak ditemukan (Syafei (1990) diacu dalam

Maisyaroh (2010)).

Tumbuhan bawah yang memiliki nilai INP terendah adalah temu ireng

(Curcuma aeruginosa), codo (Elaeagnus latifolia), anggrek (Macodes sp.) dengan

nilai INP sebesar 0,32%. Selanjutnya yaitu piji (Pinanga sp.) dengan nilai INP

0,67% dan patikan emas (Euphorbia hirta) dengan nilai INP 0,96 %.

5.5 Keanekaragaman spesies (H’)

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh keanekaragaman spesies untuk

semua tingkat spesies seperti yang tersaji pada Gambar 5.

29

Gambar 5 Keanekaragaman spesies pada semua tingkat tumbuhan di lokasi

penelitian Tahura R. Soerjo.

Berdasarkan Gambar 5, menunjukkan besarnya nilai keanekaragaman

spesies tumbuhan pada tingkat pohon sebesar 2,5; tiang dengan keanekaragaman

spesies sebesar 2,7; pancang dengan keanekaragaman spesies sebesar 2.6; semai

yang mempunyai nilai keanekaragaman sebesar 2,6 dan tumbuhan bawah dengan

keanekaragaman spesies sebesar 2,2. Apabila derajat keanekaragaman (H’) dalam

suatu komunitas <1 maka keanekaragamanya rendah, 1≤ H’ ≤3

keanekaragamannya sedang, dan H’>3 maka keanekaragamannya tinggi

(Shannon-Wiener (1963) diacu dalam Fachrul (2008)). Berdasarkan keterangan

tersebut, maka keanekaragaman spesies yang terdapat pada lokasi penelitian

tergolong memiliki tingkat keanekaragaman spesies yang sedang.

Tingkat keanekaragaman spesies menunjukkan tingkat kestabilan suatu

komunitas hutan. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman tersebut maka semakin

tinggi pula tingkat kestabilan suatu komunitas (Whitmore 1990 diacu dalam Kade

et al. 2006). Kestabilan yang tinggi juga menunjukkan kompleksitas yang tinggi.

Hal ini terjadi akibat adanya interaksi yang tinggi sehingga akan mempunyai

kemampuan yang lebih tinggi dalam menghadapi gangguan yang terjadi. Menurut

Odum (1993) diacu dalam Maisyaroh (2010) keanekaragaman spesies penyusun

komunitas tumbuhan pada suatu tempat merupakan hasil interaksi dari beberapa

faktor. Faktor yang pertama adalah waktu, keanekaragaman spesies dalam suatu

komunitas tumbuhan merupakan hasil dari evolusi sehingga keanekaragaman

spesies tergantung pada panjang waktu. Faktor kedua adalah heterogenitas ruang,

komunitas tumbuhan yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang

30

ada. Semakin heterogen dan kompleks suatu lingkungan maka keanekaragaman

spesies penyusun komunitas semakin meningkat. Faktor yang ketiga adalah

adanya persaingan diantara individu dalam suatu komunitas yang merupakan

salah satu bagian dari seleksi alam. Oleh karena itu, spesies penyusun komunitas

yang ada pada suatu waktu merupakan spesies yang mampu bersaing. Faktor yang

keempat adalah predasi, adanya spesies tertentu yang dimakan oleh herbivora

berarti akan mengurangi persaingan. Pemangsaan dan parasitisme dalam

lingkungan akan cenderung untuk membatasi kelimpahan spesies tertentu dan

dengan demikian akan mempersulit spesies untuk menambah kerapatan

populasinya. Faktor yang kelima adalah stabilitas lingkungan, pada lingkungan

yang stabil akan menghasilkan spesies yang lebih banyak. Oleh karena itu, pada

daerah tropis yang mempunyai iklim lebih stabil memiliki keanekaragaman

spesies yang lebih tinggi daripada daerah yang berilklim sedang dan kutub. Faktor

yang keenam adalah produktivitas, faktor ini berhubungan dengan stabilitas iklim.

Pada daerah yang mempunyai iklim stabil maka akan mempunyai produktivitas

yang tinggi dengan keanekaragaman yang tinggi pula.

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa keanekaragaman spesies di

Tahura R. Soerjo khusunya di lokasi penelitian memiliki keanekaragam spesies

yang sedang. Kondisi tersebut memungkinkan pada masa yang akan datang

Tahura R. Soerjo masih memiliki ketersediaan plasma nutfah. Hal ini dikarenakan

pohon-pohon yang ada sekarang masih mempunyai semai yang dapat berguna

bagi regenerasi spesies untuk masa kedepannya.

Disisi lain, tumbuhan pada tingkat semai mempunyai kerentanan yang

cukup tinggi terhadap gangguan baik dari manusia maupun alam. Gangguan dari

alam seperti angin, longsor, dan tumbangnya pohon sehingga menimpa semai

yang dapat menyebabkan semai mati. Masyarakat yang tinggal berdekatan dengan

kawasan Tahura R. Soerjo sering memanfaatkan rumput dan tumbuh-tumbuhan

lain sebagai pakan ternak. Hal ini akan berdampak buruk terhadap kondisi semai

di dalam kawasan karena kebanyakan masyarakat dalam mengambil rumput tidak

mengerti tentang tumbuhan yang mereka ambil. Oleh karena itu, diperlukan

tindakan dari petugas untuk mengambil keputusan yang lebih tegas.

31

5.6 Kemerataan individu spesies (Evenness)

Nilai indeks kemerataan individu di dalam spesies (Evenness) untuk

masing-masing tingkatan tumbuhan tersaji pada Gambar 6.

Gambar 6 Kemerataan spesies di lokasi penelitian Taman Hutan Raya R. Soerjo.

Indeks kemerataan digunakan untuk mengetahui kemerataan penyebaran

individu suatu spesies dalam komunitas. Berdasarkan hasil perhitungan seperti

yang tersaji pada Gambar 6 di atas diketahui nilai indeks kemerataan spesies pada

setiap tingkat tumbuhan di lokasi penelitian yaitu untuk tingkat pohon sebesar

0.809, tiang sebesar 0.873, pancang 0.899, semai sebesar 0.829, dan tingkat

tumbuhan bawah sebesar 0.683. Menurut Krebs (1978) nilai indeks kemerataan

yang mendekati satu menunjukkan bahwa suatu komunitas tumbuhan semakin

merata, sementara apabila semakin mendekati nol, maka semakin tidak merata.

Berdasarkan hal tersebut maka nilai indeks kemerataan yang paling tinggi terdapat

pada tingkat pancang sedangkan untuk indeks kemerataan yang paling rendah

yaitu pada tingkat tumbuhan bawah. Indeks kemerataan yang paling tinggi

menunjukkan bahwa individu-individu spesiesnya lebih merata dibandingkan

dengan tingkat tumbuhan yang lain. Sedangkan untuk tingkat tumbuhan yang

memiliki nilai indeks kemerataan rendah menunjukkan bahwa penyebaran

individu-individu spesiesnya kurang merata dan terkonsentrasi pada beberapa

tempat bila dibandingkan dengan tingkat tumbuhan yang lain.

32

5.2 Potensi Tumbuhan Berguna di Taman Hutan Raya R. Soerjo

Berdasarkan hasil analisis vegetasi teridentifikasi 37 (74 %) spesies dari 28

famili yang telah diketahui kegunaannya yaitu sebagai tumbuhan obat; tumbuhan

penghasil pangan; tumbuhan penghasil bahan bangunan; tumbuhan penghasil

pakan ternak; tumbuhan hias; tumbuhan penghasil pewarna dan tanin; tumbuhan

sebagai tali, anyaman dan kerajinan; tumbuhan penghasil pestisida nabati; dan

tumbuhan penghasil kayu bakar seperti yang tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil rekapitulasi kelompok kegunaan No. Kelompok Kegunaan Tumbuhan Jumlah

(Spesies) Habitus Famili

1. Tumbuhan penghasil obat 16 3 15 2. Tumbuhan sebagai pangan 14 3 12 3. Tumbuhan sebagai bahan bangunan 15 1 13 4. Tumbuhan tali, anyaman dan kerajinan 3 2 3 5. Tumbuhan kayu bakar 2 2 2 6. Tumbuhan penghasil warna dan tannin 4 2 4 7. Tumbuhan hias 4 3 4 8. Tumbuhan sebagai pestisida nabati 3 2 3 9. Tumbuhan penghasil pakan ternak 6 2 6

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa spesies yang ditemukan paling

banyak berguna sebagai tumbuhan obat yaitu sebanyak 16 spesies dari 15 famili

dan dengan 3 habitus. Sedangkan, spesies yang paling sedikit diketahui

kegunaannya yaitu sebagai kayu bakar dengan 2 spesies dari 2 famili dan dari 2

habitus. Hasil dari rekapitulasi ditemukan tumbuhan yang potensial yaitu suatu

spesies tumbuhan yang memiliki berbagai macam kegunaan (manfaat) yaitu

anggrung (Trema orientalis) dari famili Ulmaceae yang memiliki kegunaan untuk

bahan obat, bahan bangunan, pewarna dan tanin, bahan pangan, kayu bakar, untuk

anyaman, tali dan kerajinan. anggrung (T. orientalis) juga potensial untuk

dikembangkan karena tumbuhan ini merupakan salah satu spesies yang dapat

tumbuh dengan cepat.

5.2.1. Tumbuhan obat

Hasil dari analisis vegetasi diperoleh 16 spesies dari 15 famili yang

berpotensi mempunyai khasiat sebagai tumbuhan obat. Spesies-spesies tersebut

terdiri dari 3 habitus yaitu pohon, semak, dan terna. Pada spesies yang berhabitus

pohon tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai obat berjumlah 4 spesies yaitu

33

kukrup (Engelhardia spicata), genitri (Elaeocarpus sphaericus), pasang abang

(Lithocarpus elegans), dan anggrung (Trema orientalis). Spesies yang berhabitus

semak berjumlah 3 spesies yaitu remejun (Euphatorium riparium), suruhan

(Piper miniatum), dan sebra (Rubus fraxinifolius). Habitus Terna berjumlah 9

spesies yaitu terdiri dari spesies kacang-kacangan (Clitoria ternatea), corok

bathok (Bidens pilosa), pakis (Diplazium esculentum), temu ireng (Curcuma

aeruginosa), pelapis (Selaginella plana), kecutan (Oxalis corniculata), tebu sawur

(Polygonum chinense), patikan emas (Euphorbia hirta) dan lempuyangan (Globba

marantina). Contoh mengenai khasiat tumbuhan-tumbuhan tersebut sebagai bahan

obat hasil identifikasi berdasarkan Heyne (1987) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Daftar beberapa spesies tumbuhan berguna sebagai obat

No. Nama Spesies Bagian yang digunakan Jenis penyakit

1 Anggrung (Trema orientalis) Akar Penyakit saluran kencing Sakit perut

2 Kacang-kacangan (Clitoria ternatea) Akar Daun Bunga

Membersihkan darah Bisul Obat batuk berat

3 Corok bathok (Bidens pilosa) Akar Batang muda Daun

Sakit gigi Sakit mata Bisul

4 Pelapis (Selaginella plana) Seluruh bagian Pembekuan darah Pembersih darah Menguatkan lambung 5 Sebra (Rubus Fraxinifolius) Daun Disentri 6 Tebu sawur (Polygonum chinense) Batang (cairan)

Daun muda Obat mata

7 Lempuyangan (Globba marantina) Tunas (bulbil) Menambah nafsu makan

8 Temu ireng (Curcuma aeruginosa) Rimpang Akar

Perawatan setelah Melahirkan, Penyakit kulit

9 Pakis (Diplazium esculentum) Akar Menghilangkan bau keringat 10 Kecutan (Oxalis corniculata) Seluruh bagian Penyakit kulit, Sariawan, Bau

mulut, Obat mata, Sakit perut

Berdasarkan data pada Tabel 5 di atas diketahui spesies yang memiliki

khasiat menyembuhkan banyak penyakit yaitu spesies kecutan (Oxalis

corniculata) yang dapat menyembuhkan penyakit kulit, sariawan, bau mulut, sakit

mata, dan sakit perut. Cara penggunaan spesies ini untuk menyembuhkan penyakit

kulit adalah dengan menumbuk seluruh bagian tumbuhan kecutan (Oxalis

corniculata) selanjutnya dicampur dengan tepung beras kemudian digunakan

sebagai bedak pada biang keringat. Penyembuhan terhadap penyakit sariawan, bau

34

mulut dan sakit mata dapat dilakukan dengan cara spesies kecutan (Oxalis

corniculata) digerus dengan air dan diperas airnya, kemudian digunakan untuk

obat kumur. Menurut Kathiriya et al. (2010) ekstrak etanol dari tumbuhan Oxalis

corniculata efektif digunakan untuk menghambat pertumbuhan sel tumor. Selain

itu menurut Kathiriya et al. (2010) tanaman Oxalis corniculata mengandung

vitamin C dan dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kudis.

Remejun (Euphatorium riparium) merupakan salah satu tumbuhan obat

yang berkhasiat sebagai peluruh air seni. Menurut Heyne (1987) tumbuhan ini

merupakan spesies eksotik yang berasal dari Meksiko. Pada lokasi penelitian

spesies Euphatorium riparium merupakan spesies yang ditemukan dalam jumlah

yang paling banyak. Menurut Shen et al. (2005) spesies Euphatorium riparium

dapat digunakan sebagai obat antimalaria, antifungi, antiinflarmasi, antikanker,

antihistamin, hepatoprotektor, dan immunostimulan. Selanjutnya, menurut

Abdiyani (2008) spesies Euphatorium riparium mempunyai kemampuan

beradaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungannya karena tidak memerlukan

syarat kesuburan tanah yang tinggi. Selain itu, persebaran dari spesies ini

dilakukan dengan bantuan angin karena bijinya ringan dan banyak. Namun,

seringkali spesies ini mendesak spesies yang lain karena pertumbuhannya yang

sangat cepat.

Spesies tebu sawur (Polygonum chinense) dapat digunakan dalam

pengobatan terhadap gangguan pencernaan seperti diare dan disentri, selain itu

juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit pernafasan. Rebusan herba segar

digunakan sebagai obat kumur untuk mengobati penyakit sariawan dan rebusan

akarnya dapat bermanfaat untuk ibu yang sedang menyusui (Patil 2009).

Spesies anggrung (Trema orientalis) telah banyak digunakan sebagai obat

oleh rakyat di Afrika untuk penyakit asma, batuk, dysenteria, dan hipertensi (IWU

1993 diacu dalam Tchamo et al. 2001). Selain itu, spesies ini juga telah banyak

dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional Meru Betiri untuk

mengobati penyakit demam dan sakit perut dengan menggunakan bagian kulit

batang dan akarnya (Heriyanto & Subiandono 2007).

Spesies lain yang berguna sebagai tumbuhan obat yaitu temu ireng

(Curcuma aeruginosa). Menurut Nasrullah et al. (2010) rimpang temu ireng

35

(Curcuma aeruginosa) secara empiris digunakan sebagai obat tradisional yaitu

untuk mengobati penyakit rematik, asma, dan batuk. Sedangkan, menurut Balittro

(2006) temu ireng (Curcuma aeruginosa) dapat digunakan mengobati sel-sel hati

yang rusak pada penderita demam berdarah. Selain itu juga dapat dimanfaatkan

untuk mengobati luka lambung dan usus, asma, batuk, menambah nafsu makan,

mempercepat pengeluaran lokhia setelah melahirkan, mencegah obesitas, rematik,

antihelmintik, dan sebagai sumber tepung. Selanjutnya, di dalam temu ireng

(Curcuma aeruginosa) mengandung minyak atsiri (turmeron dan zingiberene),

kurkuminoid, alkaloid, saponin, pati, damar, dan lemak. Menurut Heyne (1987)

rimpang dari spesies Curcuma aeruginosa dapat digunakan untuk melancarakan

pembersihan pada wanita yang sedang nifas. Selain itu juga dapat digunakan

sebagai obat luar atau dalam terhadap penyakit kulit. Dalimartha (2003) juga

menambahkan bahwa rimpang temu ireng (Curcuma aeruginosa) juga dapat

digunakan sebagai obat peluruh kentut (karminatif).

Menurut Daisy dan Rajathi (2009) tanaman Clitoria ternatea dapat

digunakan untuk mengobati demam berdarah, bronkhitis, asma. Selain itu, spesies

ini juga digunakan sebagai penawar untuk gigitan ular dan kalajengking

menyengat. Selain itu, menurut Kelemu et al. (2004) diacu dalam Salhan et al.

(2011) tanaman Clitoria ternatea memiliki kegunaan sebagai antimikroba dan

insektisida, anti-depresan,anti-stres, anti-diabetes, dan penenang. Menurut Heyne

(1987) akar dari Clitoria ternatea dapat digunakan untuk membersihkan darah

yaitu dengan cara merebus akaranya kemudian diminum. Daun dan bunga yang

berwarna biru dari Clitoria ternatea dapat digunakan untuk mengobati bengkak

dan bisul supaya pecah setelah ditumbuk dan dicampur dengan gula jawa.

Spesies lain yang memiliki manfaat sebagai tumbuhan obat yaitu corok

bathok (Bidens pilosa) yang memiliki manfaat sebagai antiradang, antibiotik,

diuretik, dan antidiabetes (Brandão et al. 1998 diacu dalam Chiang et al. 2004).

Menurut Heyne (1987) spesies ini dapat digunakan untuk mengobati sakit mata,

sakit gigi, dan dapat memecahkan bisul. Selain itu, menurut Fauzi (2008) Bidens

pilosa dapat digunakan untuk melancarkan peredaran darah dan mempunyai sifat

khas mendinginkan. Spesies selanjutnya yaitu lempuyangan (Globba marantina)

yang menurut Verma et al. (2009) air dari ekstrak daun Globba marantina dapat

36

digunakan untuk obat tetes mata terhadap konjungtivitis berat. Manfaat lain dari

spesies Globba marantina menurut Heyne (1987) adalah digunakan untuk

menambah nafsu makan. Contoh spesies tumbuhan yang memiliki potensi sebagai

tumbuhan obat tersaji pada Gambar 7.

(a)

(c)

(b)

(d)

Gambar 7. Beberapa spesies tumbuhan obat (a) Tebu sawur (Polygonum chinense), (b) Kecutan (Oxalis corniculata), (c) Remejun (Euphatorium riparium), (d) Suruhan (Piper miniatum).

Dewasa ini, semakin banyak masyarakat yang menggunakan tumbuhan obat

sebagai bahan untuk mengobati penyakit. Hal ini merupakan prospek yang sangat

baik untuk mengembangkan industri pembuatan obat dari tumbuhan obat. Namun,

sampai saat ini kendalanya adalah bahan bakunya yang masih mengambil dari

alam. Jika hal ini berlangsung secara terus menerus maka besar kemungkinan

akan terjadi kesulitan mencari bahan baku karena persediaan di alam semakin

sedikit. Oleh karena itu, untuk pengembangan produksi pembuatan obat herbal

perlu dilakukan upaya budidaya tumbuhan obat. Menurut Hasanah dan Rusmin

(2006) perbanyakan tanaman obat dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu:

37

1. Menggunakan benih yang berasal dari biji (true seed) seperti pada tanaman

sambiloto (Andrographis paniculata), mahkota dewa (Phaleria macrocarpa),

dan lain-lain.

2. Menggunakan rimpang seperti pada jahe (Zingiber officinale), kunyit

(Curcuma domestica), kencur (Kaempheria galanga), dan lain-lain.

3. Menggunakan setek seperti pada sirih (Piper betle), katuk (Sauropus

androgynus), dan lain-lain.

4. Menggunakan anakan dan stolon seperti pada serai wangi (Andropogon

nardus) dan pegagan (Centella asiatica).

Spesies tumbuhan obat yang terdapat di Tahura R. Soerjo dapat diperbanyak

(dibudidayakan) dan kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan,

hal ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga masyarakat tidak

hanya mendapatkan pendapatan dari bercocok tanam di lahan yang lebih layak

dijadikan sebagai areal hutan. Namun, masyarakat juga bisa memproduksi obat

dari bahan tanaman obat yang sudah dibudidaya tersebut.

5.2.2 Tumbuhan penghasil pangan

Menurut Saparinto dan Hidayati (2006) pengertian pangan adalah segala

sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang

tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

manusia. Berdasarkan hasil analisis vegetasi di lokasi penelitian ditemukan 14

spesies terdiri dari 12 famili yang berpotensi sebagai bahan pangan. Spesies-

spesies yang telah teridentifikasi sebagai tumbuhan penghasil pangan terdiri dari

habitus yaitu pohon sebesar 35,71 %, terna 35,71 %, dan semak 28,58 %. Contoh

spesies yang memiliki potensi sebagai tumbuhan penghasil pangan hasil dari

identifikasi berdasarkan Heyne (1987) tercantum pada Tabel 6.

Tabel 6 Daftar spesies tumbuhan penghasil pangan

No. Nama Lokal Nama Spesies Bagian yang digunakan Keterangan

1 Ketupuk Claoxylon longifolium Daun tangkai muda

Diolah

2 Anggrung Trema orientalis Daun Diolah 3 Corok Bathok Bidens pilosa. Daun Dikonsumsi langsung 4 Gebut Aneilema nodiflorum Seluruh bagian Dikonsumsi langsung

38

Tabel 6 Lanjutan No. Nama Lokal Nama Spesies Bagian yang

digunakan Keterangan

5 Codo Elaeagnus latifolia Buah Dikonsumsi langsung 6 Sebra Rubus Fraxinifolius Buah Dikonsumsi langsung 7 Tebu sawur Polygonum chinense. Batang Dikonsumsi langsung 8 Patikan emas Euphorbia hirta Daun muda Dikonsumsi langsung 9 Pakis Diplazium esculentum Daun muda Diolah 10 Ri bandel Rubus chrysopyllus Buah Dikonsumsi langsung

Di dalam pemanfaatan spesies tumbuhan penghasil bahan pangan di atas

dapat di konsumsi secara langsung (tanpa pengolahan) atau dengan cara diolah

terlebih dahulu. Spesies yang dalam pemanfaatannya dapat langsung dikosumsi

adalah tebu sawur (Polygonum chinense) yang menurut French (2006)

mengandung vitamin c di dalam daunnya, gebut (Aneilema nodiflorum), corok

bathok (Bidens pilosa), patikan emas (Euphorbia hirta), codo (Elaeagnus

latifolia), sebra (Rubus Fraxinifolius), dan ri bandel (Rubus chrysopyllus).

Sedangkan spesies yang jika dikonsumsi diolah terlebih dahulu menjadi sayur

adalah ketupuk (Claoxylon longifolium), pakis (Diplazium esculentum), dan

anggrung (Trema orientalis). Menurut Heyne (1927) diacu dalam Setyawan

(2009) di wilayah Jawa Barat tunas muda dari spesies Selaginella plana dapat

dimakan sebagai sayuran dan untuk tujuan pengobatan.

Menurut Irawan et al. (2006) pakis (Diplazium esculentum) merupakan

sumber protein yang baik. Sedangkan menurut Handique (1993) diacu dalam

Irawan et al. (2006) daun muda Diplazium esculentum memilliki kandungan

vitamin C yang tinggi. Selain itu, daun muda dari spesies ini juga memiliki

kandungan lemak yang sangat rendah. Namun, kekurangan dari spesies ini adalah

kondisinya yang cepat rusak selama proses transportasi oleh karena itu dibutuhkan

pengemasan yang baik sehingga tidak terjadi kerusakan pada saat proses

transportasi .

Spesies ri bandel (Rubus chrysophyllus) memiliki rasa yang paling enak jika

dibandingan spesies dari famili Rosaceae lainnya. Hal ini membuat ri bandel

(Rubus chrysophyllus) mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai buah

yang dapat dikomersialkan. Selain Rubus chrysophyllus, ada juga spesies sebra

(Rubus fraxinifolius) dari famili Rosaceae yang menghasilkan buah walaupun

39

memiliki rasa yang tidak begitu manis. Namun, buah tersebut telah dimanfaatkan

oleh masyarakat Indonesia sehingga spesies ini juga potensial untuk

dikembangkan, spesies ini juga dapat sebagai bahan obat (Surya 2009).

Tumbuhan penghasil bahan pangan selanjutnya adalah anggrung (Trema

orientalis). Menurut Heyne (1987) daunnya dapat digunakan sebagai bahan

pangan. Selain itu, menurut Orwa et al. (2009) daun dan buah dari Trema

orientalis digunakan untuk makanan di Republik Demokratik Kongo. Selanjutnya,

di dalam daun Trema orientalis terdapat kandungan protein.

Spesies yang potensial dijadikan penghasil bahan pangan lainnya adalah

codo (Elaeagnus latifolia) dengan bagian yang digunakan adalah buah. Menurut

Patel et al. (2008) masyarakat di Meghalaya memanfaatkan buah dari Elaeagnus

latifolia sebagai buah segar. Selanjutnya, spesies Elaeagnus latifolia memiliki

kandungan vitamin, mineral, dan senyawa bioaktif lainnya. Selain itu, spesies ini

juga mengandung asam lemak esensial yang tidak biasa terdapat dalam buah.

Tanaman ini dapat ditanam pada lahan yang mengandung unsur hara yang kurang

baik dan masam. Berikut ini merupakan contoh beberapa tumbuhan yang

memiliki potensi sebagai bahan pangan tersaji pada Gambar 8.

(a) (b)

Gambar 8. Contoh spesies tumbuhan penghasil bahan pangan : (a) Ri bandel

(Rubus chrysophyllus), (b) Pelapis (Selaginella plana), 5.2.3 Tumbuhan untuk bahan bangunan

Berdasarkan hasil analisis vegetasi ditemukan 15 spesies dari 13 famili yang

berpotansi sebagai bahan bangunan. Spesies tersebut terdiri dari satu habitus yaitu

pohon. Contoh tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan bahan bangunan hasil

identifikasi kegunaan berdasarkan Heyne (1987) tersaji dalam Tabel 7.

40

Tabel 7 Daftar spesies tumbuhan penghasil bahan bangunan

No. Nama Lokal Nama Spesies Bagian yang digunakan Keterangan

1 Pasang Quercus sundaica Batang Bangunan rumah

2 Ketupuk Claoxylon longifolium. Batang Bangunan rumah

3 Cemara Gunung Casuarina junghuhniana Batang Bangunan rumah

4 Anggrung Trema orientalis Batang Digunakan untuk tiang penyangga atap

5 Nyampuh gunung Neonauclea excelsa Batang Digunakan untuk pintu dan jendela

6 Katesan Macropanax dispermus Batang Konstruksi rumah

Spesies tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan bangunan adalah pasang

(Quercus sundaica). Tumbuhan ini berhabitus pohon, di dalam hutan spesies ini

terkadang tumbuh berkelompok dan kadang-kadang tersebar. Spesies ini memiliki

kayu yang agak berat, agak keras dan terkadang digunakan sebagai bahan

pembangunan rumah. Di dalam pengerjaannya spesies pasang (Q. sundaica)

memiliki kayu yang agak keras, sukar digergaji dan diserut, namun mudah

dibelah. Kayu dari spesies ini cocok untuk balok pada bangunan perumahan dan

jembatan, selain itu juga cocok digunakan untuk papan dan tiang. Selanjutnya

spesies pasang juga dapat digunakan untuk batang cikar dan tangkai peralatan.

Spesies lain yang masih satu famili dengan spesies Quercus sundaica yang dapat

digunakan sebagai bahan bangunan yaitu pasang abang (Lithocarpus elegans)

yang menurut Martawijaya et al. (2005) memiliki kelas awet II-IV. Spesies

Lithocarpus elegans dapat digunakan sebagai balok pada bangunan perumahan

dan jembatan dan juga dapat digunakan untuk batang cikar dan tangkai peralatan

(Martawijaya et al. 2005). Menurut Mandang dan Pandit (2002) kayu dari spesies

Quercus sundaica dan Lithocarpus elegans memiliki berat jenis yang sedang

sampai berat dengan berat jenis rata-rata 0,83 (0,72-0,96) dan termasuk kayu yang

memiliki kelas awet II serta kelas kuat I-II. Kedua spesies ini dapat digunakan

sebagai bahan bangunan perumahan (tiang dan balok), jembatan, tangkai

peralatan, lantai, dan perabot rumah tangga.

Spesies lainnya adalah cemara gunung (Casuarina junghuhniana) yang sifat

kayunya masih baik jika digunakan dalam pertukangan. Kayu dari spesies ini

berwarna coklat mudaatau berwarna daging sampai agak merah tua kecoklat-

coklatan. Kayu dari Casuarina junghuhniana memiliki kelas kuat I-II dan kelas

41

awet I-I. Selain itu kayu dari spesies ini sulit dikerjakan, mudah sobek dan

mengkerut. Selanjutnya, kayu dari spesies ini tidak tahan terhadap serangan rayap

(Heyne 1987). Selanjutnya, spesies yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan

bangunan yaitu nyampuh gunung (Nauclea excelsa) yang merupakan spesies yang

memiliki kayu agak berat dan tingkat kekerasan sedang. Selain itu, kayunya

memiliki struktur yang rapat dan halus serta warnanya kuning cokelat muda

hingga warna daging. Kayu dari spesies ini sangat disukai untuk bahan bangunan

rumah dan perabot rumah terutama di wilayah Jawa Barat.

Spesies lain yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan yaitu kukrup

(Engelhardia spicata). Pohon dengan ciri batang utama berwarna abu-abu

kecoklatan dan sedikit beralur ini termasuk dalam kayu yang memiliki kelas kuat

III dan keterawetan II. Kayu ini dapat dibuat venir dengan hasil yang baik tanpa

perlu perlakuan pendahuluan untuk tebal venir 1,5 mm. Kayu dari spesies ini

dapat digunakan untuk bangunan ringan bawah atap, roda gerobak, alat pertanian,

moulding, barang bubutan, popor senapan, peti pengepak, krat dan kano. Selain

itu, kayu dari spesies ini juga dapat digunakan untuk kayu lapis yaitu dengan cara

merekatkan venir kayu Engelhardia spicata dengan urea formaldehida yang akan

menghasilkan kayu lapis tahan air dan memenuhi syarat Standar Nasional

Indonesia (SNI) (Abdurrohim et al. 2004). Contoh tumbuhan sebagai bahan

bangunan tersaji pada Gambar 9.

(a)

(b)

Gambar 9. Contoh spesies tumbuhan sebagai penghasil bahan bangunan : (a)

Katesan (Macropanax dispermus), (b) Anggrung (Trema orientalis).

5.2.4 Tumbuhan untuk tali, anyaman, dan kerajinan

Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh spesies yang berguna sebagai

tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan yaitu anggrung (Trema

42

orientalis) dari famili Ulmaceae. Kulit anggrung (Trema orientalis) yang liat dan

berair merupakan bahan yang dapat digunakan untuk membuat tambang. Selain

itu, kayu dari spesies ini juga dapat digunakan sebagai bahan pembuat kotak teh

dan kayu ini baik sekali untuk bahan membuat korek api. Spesies lain adalah

pandan (Pandanus sp.) dari famili Pandanaceae yang memiliki potensi untuk

dijadikan sebagai bahan pembuatan anyaman. Spesies lain yang berpotensi

sebagai bahan kerajinan yaitu tutup (Macaranga sp.) yang termasuk famili

Euphorbiaceae. Menurut Rahmanto (2000) diacu dalam Suita dan Nurhasybi

(2009) kayu dari Macaranga sp. tidak awet namun mudah dikerjakan sehingga

tanaman ini dapat digunakan untuk membuat sarung pisau, gagang pacul, dan

kelom-kelom kayu. Selain itu juga kayunya sering digunakan untuk konstruksi

sementara dan secara khusus pada bagian rumah yang tidak kontak dengan tanah.

Kayunya juga baik digunakan untuk papan, kotak, alat-alat pelampung, peti

kemas, korek api, dan kayu bakar. Tutup (Macaranga sp.) merupakan spesies

pioner yang mudah tumbuh pada lahan sekunder dan lahan terbuka. Contoh

tumbuhan penghasil tali,anyaman dan kerajinan tersaji pada Gambar 10.

(a) (b)

Gambar 10. Beberapa spesies tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan kerajinan :

(a) Pandan (Pandanus sp.), (b) Tutup (Macaranga sp).

5.2.5 Tumbuhan penghasil bahan pewarna dan tanin

Pewarna nabati adalah bahan pewarna yang berasal dari tumbuhan. Bahan-

bahan ini biasanya diekstak dengan jalan fermentasi, direbus, atau secara kimiawi,

dari sejumlah kecil zat kimia tertentu yang terkandung di dalam jaringan

tumbuhan. Sedangkan, Tanin nabati merupakan bahan dari tumbuhan, memiliki

rasa yang pahit dan kelat, seringkali tanin berasal dari ekstrak pepagan atau bagian

43

lain terutama daun, buah dan puru (galls). Tanin nabati dapat digunakan untuk

proses penyamakan dengan cara pengunaan langsung atau dipekatkan dengan cara

mengekstrak kembali bahan taninnya (Lemmens & Soetjipto 1999).

Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh spesies tumbuhan yang

mempunyai potensi untuk menghasilkan bahan pewarna adalah kacang-kacangan

(Clitoria ternatea), bima (Symplocos lucida), anggrung (Trema orientalis), dan

pasang (Quercus sundaica). Spesies kacang-kacangan (Clitoria ternatea) dapat

digunakan sebagai pewarna makanan atau barang anyaman dengan menggunakan

bunganya yang berwarna biru nila dan daunnya sebagai pewarna hijau (Pitojo &

Zumiati 2009). Selain itu, jika bunganya diremas-remas dengan menggunakan air

dan cuka dapat digunakan untuk mewarnai pakaian. Namun, kekurangan dari

pewarna ini jika digunakan untuk pewarna pada pakaian yaitu warnanya tidak

dapat bertahan lama (Heyne 1987).

Tumbuhan penghasil warna lainnya yaitu anggrung (Trema orientalis) yang

menghasilkan warna cokelat dari bagian kulitnya. Pewarna dari spesies ini

biasanya digunakan untuk menyamak jala. Selain itu, pewarna ini juga dapat

digunakan untuk mengawetkan tambang-tambang ikan terhadap air laut. Spesies

lain yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna adalah bima (Symplocos

lucida). Menurut Lemmens dan Soetjipto (1999) bagian daun dari spesies

Symplocos lucida (bima) dapat digunakan sebagai bahan pewarna dengan

menghasilkan warna kuning.

Spesies tumbuhan lain yang dapat digunakan sebagai bahan penyamak

adalah pasang (Quercus sundaica). Kadar bahan penyamak dari spesies ini tidak

terlalu tinggi sehingga proses penyamakan tidak dapat berjalan dalam jangka

waktu yang pendek. Namun, hasil dari penyamakan dengan menggunakan bahan

penyamak dari kulit pasang (Q. sundaica) lebih baik jika dibandingkan dengan

hasil penyamakan menggunakan kulit akasia.

5.2.6 Tumbuhan penghasil pestisida nabati

Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tanaman

atau tumbuhan (Sudarmo 2005). Hasil dari analisis vegetasi diketahui spesies

tumbuhan yang berpotensi menjadi bahan pestisida nabati yaitu lempuyangan

44

(Globba marantina), kacang-kacangan (Clitoria ternatea), remejun (Euphatorium

riparium). Spesies lempuyanan dan kacang-kacangan seperti yang terdapat pada

gambar di atas dapat digunakan sebagai racun ikan. Bagian tumbuhan dari spesies

kacang-kacangan (Clitoria ternatea) yang dapat dijadikan sebagai racun ikan

adalah tunas bunga. Sedangkan untuk spesies lempuyangan (Globba marantina)

bagian yang digunakan adalah bijinya. Ekstrak biji yang diencerkan dengan

perbandingan 1:2000 dapat beracun untuk ikan

Spesies remejun (Euphatorium riparium) dapat digunakan sebagai bahan

pestisida nabati untuk membunuh larva nyamuk Aedes aegypti. Menurut Yunita et

al. (2009) senyawa bioaktif yang terkandung di dalam ekstrak daun Euphatorium

riparium merupakan penyebab kematian larva Aedes aegypti karena senyawa

bioaktif tersebut dapat berfungsi sebagai toksikan. Senyawa bioaktif yang

terkandung di dalam ekstrak daun Euphatorium riparium adalah saponin, tanin,

steroid, dan kuinon. Menurut Hopkins dan Huner (2004) diacu di dalam Yunita et

al. (2009) saponin merupakan bahan yang mirip dengan deterjen mempunyai

kemampuan untuk merusak membran. Tanin berperan sebagai pertahanan

tanaman terhadap serangga dengan cara menghalangi serangga dalam mencerna

makanan karena tanin akan mengikat protein dalam sistem pencernaan yang

diperlukan serangga untuk pertumbuhan sehingga proses penyerapan protein

dalam sistem pencernaan menjadi terganggu. Senyawa tanin, kuinon, dan saponin

memiliki rasa yang pahit sehingga dapat menyebabkan mekanisme penghambatan

makanan pada larva. Rasa pahit yang menyebabkan larva tidak mau makan

sehingga larva akan kelaparan dan akhirnya mati (Yunita et al. 2009). Contoh

tumbuhan yang berpotensi sebagai pestisida nabati tersaji pada Gambar 11.

(a) (b)

Gambar 11. Contoh tumbuhan penghasil pestisida nabati : (a) lempuyangan

(Globba marantina) , (b) kacang-kacangan (Clitorea ternatea).

45

Saat ini, pestisida nabati banyak digunakan oleh petani karena mahalnya

harga pestisida kimia. Selain itu, penggunaan pestisida kimia dapat menimbulkan

pencemaran jika digunakan dalam dosis yang besar dan secara berulang-ulang.

Oleh karena itu, alternatif dari penggunaan pestisida kimia adalah dengan

menggunakan pestisida nabati. Penggunaan pestisida nabati dapat mengurangi

pencemaran lingkungan, selain itu harga dari pestisida nabati yang relatif lebih

murah jika dibandingkan dengan pestisida kimia.

Menurut Sudarmo (2005) keunggulan dari pestisida nabati adalah (1)

harganya yang lebih murah dan mudah dibuat oleh petani, (2) relatif aman

terhadap lingkungan, (3) tidak menyebabkan keracunan pada tanaman, (4) sulit

menimbulkan kekebalan terhadap hama, (5) kompatibel digabung dengan

menggunakan cara pengendalian yang lain, (6) menghasilkan produk pertanian

yang sehat karena bebas residu pestisida kimia. Namun, pestisida nabati juga

memiliki beberapa kekurangan bagi petani yaitu (1) daya kerja dari pestisida

nabati yang cenderung lambat, (2) tidak membunuh sasaran (hama) secara

langsung, (3) tidak tahan terhadap sinar matahari, (4) kurang praktis, (5) tidak

tahan disimpan dalam jangka waktu yang lama, (6) terkadang dalam

penggunaannya pestisida nabati harus disemprotkan berulang-ulang sehingga

kurang efisien dan praktis.

5.2.7 Tumbuhan penghasil pakan ternak

Bahan pakan (bahan makanan ternak) merupakan segala sesuatu yang dapat

diberikan kepada ternak (baik berupa bahan organik maupun anorganik) yang

sebagian atau seluruhnya dapat dicerna tanpa mengganggu kesehatan ternak.

Berdasarkan hasil analisis vegetasi, ditemukan 6 spesies penghasil pakan ternak

yaitu kopian (Glochidion macrocarpum), gebut (Aneilema nodiflorum), corok

bathok (Bidens pilosa), codo (Elaeagnus latifolia), tebu sawur (Polygonum

chinense), dan kacang-kacangan (Clitoria ternatea). Contoh tumbuhan yang

berpotensi sebagai pakan ternak tersaji pada Gambar 12.

46

(a)

(b)

Gambar 12 Contoh spesies tumbuhan penghasil pakan ternak : (a) gebut

(Aneilema nodiflorum), (b) kopian (Glochidion macrocarpum). 5.2.8 Tumbuhan hias

Hasil dari analisis vegetasi ditemukan spesies tumbuhan yang berpotensi

untuk tumbuhan hias yaitu kacang-kacangan (Clitoria ternatea). Tumbuhan ini

merupakan terna menahun yang membelit ke kiri, pada pangkalnya sering

berkayu. Spesies ini memiliki bunga yang berwarna biru nila sehingga sangat

bagus jika dijadikan sebagai tumbuhan hias. Spesies lain yang juga berpotensi

sebagai tumbuhan hias adalah anggrek (Macodes sp), sebra (Rubus fraxinifolius)

dan corok bathok (Bidens pilosa). Contoh tumbuhan yang berpotensi sebagai

tumbuhan hias tersaji pada Gambar 13.

(a) (b)

Gambar 13 Contoh spesies tumbuhan hias : (a) Anggrek (Macodes sp.), (b) Sebra

(Rubus fraxinifolius). 5.2.9 Tumbuhan penghasil kayu bakar

Hasil analisis vegetasi ditemukan spesies yang berguna sebagai penghasil

kayu bakar yaitu Trema orientalis (anggrung). Tumbuhan ini merupakan pohon

yang dapat tumbuh dengan cepat. Kayu yang dihasilkan dari spesies ini memiliki

sifat yang tidak terlalu awet dan ringan. Oleh karena itu, kayu tersebut sering

dicampur dengan kayu dari spesies pohon yang lain untuk digunakan sebagai kayu

bakar. Selain anggrung (Trema orientalis), tumbuhan penghasil kayu bakar

47

lainnya adalah codo (Elaeagnus latifolia). Tumbuhan ini merupakan semak kecil

memanjat dengan daun berbentuk lanset. Spesies ini mempunyai kayu yang

berwarna kuning dan kayunya cukup keras sehingga dapat digunakan sebagai

bahan bakar (kayu bakar). Salah satu contoh tumbuhan penghasil kayu bakar

sebagaimana tersaji pada Gambar 14.

Gambar 14 Codo (Elaeagnus latifolia).

5.3 Rekomendasi Kepada Pengelola Tahura R. Soerjo

Salah satu fungsi dari Tahura R. Soerjo adalah sebagai koleksi tumbuhan,

selain itu kawasan Tahura juga berfungsi untuk menunjang budidaya spesies

tumbuhan yang ada di dalamnya. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak pengelola

Tahura R. Soejo untuk membuat kebun benih dari spesies yang telah diketahui

manfaat atau kegunaannya yang kemudian dapat dikomersialkan. Dalam

pembuatan kebun benih ini pihak pengelola Tahura R. Soerjo dapat bekerja sama

dengan pihak perhutani atau instansi lain dalam hal penggunaan lahan untuk

kebun benih. Selain untuk tujuan komersial, pembuatan kebun benih ini juga

dapat dilakukan sebagai tindakan konservasi terhadap spesies tumbuhan agar tidak

langka dan cepat punah. Dalam pembuatan kebun benih, pihak pengelola dapat

melibatkan masyarakat sekitar kawasan Tahura R. Soerjo sehingga dapat

meningkatkan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kesadaran masyarakat

untuk menjaga dan melestarikan kawasan Tahura R. Soerjo.

Spesies tumbuhan yang potensial untuk dikembangkan menurut penulis

adalah spesies remejun (Euphatorium riparium) karena spesies tumbuhan ini

dapat digunakan untuk membunuh larva nyamuk Aedes aegypti yang dapat

menyebabkan penyakit demam berdarah. Apabila spesies ini dikembangkan maka

akan dapat menurunkan penggunaan pestisida kimia dalam upaya pemberantasan

nyamuk Aedes aegypti. Hal ini juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan

48

karena bahan pestisida nabati mudah dan cepat terdegradasi di alam dan

mempunyai dampak yang kecil terhadap lingkungan sehingga tidak berbahaya.

Spesies lain yang dapat dikembangkan yaitu anggrung (Trema orientalis)

karena memiliki berbagai manfaat atau kegunaan. Selain itu spesies ini juga telah

dimanfaatkan oleh banyak masyarakat sebagai tumbuhan obat dan juga kayunya

sangat baik digunakan untuk pembuatan korek api karena menurut Heyne (1987)

kayu dari spesies ini sudah digunakan oleh pabrik pembuatan korek api pertama

yang ada di Semarang.