bab v analisis struktur dan isi a. struktur teks kifāyatu

56
102 BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu `l-‘Ibādah Teks Kifāyatu `l-Ibādah yang termasuk ke dalam jenis sastra kitab memiliki struktur yang khas, meliputi: struktur penyajian, gaya penyajian, pusat penyajian, dan gaya bahasa. 1. Struktur Penyajian Di dalam sastra kitab, struktur penyajian terdiri dari tiga bagian yang tetap, yaitu: pendahuluan, isi, dan penutup. Uraian mengenai struktur narasi akan dijelaskan sebagai berikut. a. Pendahuluan 1a: basmalah, hamdalah, selawat dan salam kepada Nabi Muhammad 1. Basmalah Teks Kifāyatu `l-‘Ibādah diawali dengan basmalah dalam bahasa Arab disertai artinya dalam bahasa Melayu, seperti dalam kutipan, “Bismi `l-Lāhi `r-Rahmāni `r-Rahīm. Kumulai kitab ini dengan nama Allah Yang Mahamurah pada memberi rezeki akan segala hamba-Nya mukmin dan kafir dalam negeri dunia ini, lagi Yang Amat Mengasih akan segala hamba-Nya dalam negeri akhirat ini” (Kifāyatu `l-‘Ibādah:1). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa teks Kifāyatu `l-‘Ibādah diawali dengan basmalah dalam bahasa Arab dan artinya dalam bahasa Melayu. library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

102

BAB V

ANALISIS STRUKTUR DAN ISI

A. Struktur Teks Kifāyatu `l-‘Ibādah

Teks Kifāyatu `l-Ibādah yang termasuk ke dalam jenis sastra kitab memiliki

struktur yang khas, meliputi: struktur penyajian, gaya penyajian, pusat penyajian,

dan gaya bahasa.

1. Struktur Penyajian

Di dalam sastra kitab, struktur penyajian terdiri dari tiga bagian yang

tetap, yaitu: pendahuluan, isi, dan penutup. Uraian mengenai struktur narasi

akan dijelaskan sebagai berikut.

a. Pendahuluan

1a: basmalah, hamdalah, selawat dan salam kepada Nabi Muhammad

1. Basmalah

Teks Kifāyatu `l-‘Ibādah diawali dengan basmalah dalam

bahasa Arab disertai artinya dalam bahasa Melayu, seperti dalam

kutipan, “Bismi `l-Lāhi `r-Rahmāni `r-Rahīm. Kumulai kitab ini

dengan nama Allah Yang Mahamurah pada memberi rezeki akan

segala hamba-Nya mukmin dan kafir dalam negeri dunia ini, lagi

Yang Amat Mengasih akan segala hamba-Nya dalam negeri akhirat

ini” (Kifāyatu `l-‘Ibādah:1). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa

teks Kifāyatu `l-‘Ibādah diawali dengan basmalah dalam bahasa Arab

dan artinya dalam bahasa Melayu.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 2: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

103

2. Hamdalah

Setelah basmalah, pembukaan dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah

dilanjutkan dengan hamdalah. Hamdalah ditulis dalam bahasa Arab,

dan disertai terjemahan dalam bahasa Melayu sesuai dengan kutipan

berikut, “Al-hamdu li `l-Lāhi `l-Lazī khalaqa ‘ibādatan ‘alā ‘ibādih.

Segala pu[ji]-pujian bagi Allah yang menjadi Ia akan segala ibadah

atas segala hamba-Nya” (Kifāyatu `l-‘Ibādah:1). Dari kutipan tersebut

dapat dibuktikan bahwa dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah terdapat

hamdalah dalam bahasa Arab disertai artinya dalam bahasa Melayu.

3. Selawat dan salam kepada Nabi Muhammad

Selawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw pada pembukaan

teks Kifāyatu `l-‘Ibādah ditulis dalam bahasa Arab disertai terjemahan

dalam bahasa Melayu. Pernyataan tersebut ditunjukkan dalam kutipan,

“Wa `sh-shalātu wa `s-salāmu ‘alā sayyidinā Muhammadin sayyidi `l-

anbiyā`i wa `l-mursalīn. Dan rahmat Allah dan salam Allah atas

penghulu kita Muhammad, yaitu penghulu segala anbiya dan segala nabi

mursal” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa

terdapat selawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw. dalam

pembukaan teks Kifāyatu `l-‘Ibādah yang ditulis dalam bahasa Arab

disertai artinya dalam bahasa Melayu.

2a: kata ammā ba’du

Kata ammā ba’du di dalam teks yang diterjemahkan menjadi

„adapun kemudian daripada itu‟ sesuai dengan kutipan “Ammā ba’du fa

innahu risālatun...” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1). Kata ammā ba’du dalam

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 3: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

104

teks Kifāyatu `l-‘Ibādah diterjemahkan menjadi „adapun kemudian

daripada itu‟ dalam bahasa Melayu. Kata tersebut merupakan ungkapan

tetap setelah doa dan pujian dalam sastra kitab.

3a: maksud penulisan karangan

Maksud penulisan teks Kifāyatu `l-‘Ibādah adalah sebagai

ringkasan ajaran yang dapat dibaca oleh masyarakat umum. Maksud

penulisan ini ditunjukkan dalam kutipan berikut, “Ammā ba’du fa innahu

risālatun mukhtasharatun wa sammaituhā Kifāyatu `l-‘Ibādah. Adapun

kemudian [dari] daripada itu maka inilah suatu ibarat risalah yang simpan

dan kunamai akan dia “Kifāyatu `l-‘Ibādah”” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1).

Kutipan di atas menunjukkan maksud penulisan teks Kifāyatu `l-‘Ibādah

yaitu sebagai ringkasan ajaran.

4a: judul karangan

Judul karangan secara tersurat di dalam teks yaitu Kifāyatu `l-

‘Ibādah. Judul tersebut berbahasa Arab dan tidak disertai arti dalam

bahasa Melayu seperti yang tertera dalam kutipan berikut “....fa innahu

risālatun mukhtasharatun wa sammaituhā Kifāyatu `l-‘Ibādah. Adapun

kemudian [dari] daripada itu maka inilah suatu ibarat risalah yang simpan

dan kunamai akan dia “Kifāyatu `l-‘Ibādah” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa judul karangan di dalam teks

adalah Kifāyatu `l-‘Ibādah yang ditulis secara tersurat. Judul tersebut

menggunakan bahasa Arab dan tidak diikuti terjemahan dalam bahasa

Melayu.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 4: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

105

b. Isi

1b: pasal kewajiban mukalaf

1. Pengertian mukalaf

Mukalaf merupakan laki-laki dan perempuan yang sudah

mencapai usia akil balig. Pengertian ini ditunjukkan oleh kutipan

berikut, “Fasal pada menyatakan permulaan wajib atas segala

mukalaf, yaitu orang yang akil lagi balig laki dan perempuan”

(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 2). Kutipan di atas menunjukkan bahwa

pengertian mukalaf adalah laki-laki atau perempuan yang balig dan

berakal.

2. Kewajiban mukalaf

Mukalaf merupakan laki-laki ataupun perempuan yang sudah

dikenai kewajiban. Berdasarkan teks, salah satu kewajiban bagi

mukalaf adalah mengucapkan dua kalimat syahadat dan

mentasdikkannya di dalam hati, serta mengetahui sifat wajib Allah.

Dua kalimat syahadat tersebut ditulis dalam bahasa Arab disertai

artinya dalam bahasa Melayu. Pernyataan ini dibuktikan dengan

kutipan:

Bahwasanya permulaan wajib atas segala mukalaf laki-laki dan

perempuan itu yaitu mengucap dua kalimah syahadat serta

mentasdikkan dalam hati mengenai keduanya. Kalimah itu yaitu

Asyhadu an lā Ilāha illā `l-Lāh. Saksi aku bahwasanya tiada

yang disembah, melainkan Allah. Wa asyhadu anna

Muhammada `r-rasūlu `l-Lāh. Dan saksi aku bahwasanya nabi

Muhammad itu pesuruhnya Allah. Bermula fardu atas segala

mukalaf itu mengetahui segala wajib pada Allah Taala (Kifāyatu

`l-‘Ibādah: 2).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 5: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

106

Kutipan di atas menunjukkan bahwa salah satu kewajiban mukalaf

yang paling awal adalah mengucap dua kalimat syahadat serta

mentasdikkannya. Dua kalimat syahadat tersebut ditulis dalam bahasa

Arab dan diikuti terjemahan dalam bahasa Melayu.

3. Sifat-sifat Allah

Sifat-sifat Allah terdiri dari dua puluh sifat wajib, satu sifat jaiz,

dan sifat-sifat mustahil yang merupakan lawan dari sifat wajib. Semua

sifat Allah harus diketahui oleh setiap mukalaf. Sifat wajib Allah

ditulis dalam bahasa Arab, dan disertai artinya dalam bahasa Melayu,

sesuai dengan kutipan berikut

Maka setengah daripada yang wajib pada Allah Taala itu dua

puluh sifat yaitu: Wujūd artinya „ada-Nya‟; Qidam artinya

[„tidak berpermulaan ada-Nya‟]; [Baqā artinya] „sedia yang

kekal zat-Nya‟; Mukhālafatuhu lil hawādis artinya „berselain Ia

dengan segala yang baru‟; Qiyā[muhu] bi nafsih artinya „berdiri

dengan sendiri-Nya; Wahdāniyah artinya „Esa‟. {Qudrat artinya

„kuasa‟}; {Iradāh artinya berkehendak}; [‘Ilmu artinya

„berpengetahuan‟]; Hayāt artinya „yang hidup‟; Sam’a artinya

„menengar‟; Bashar artinya „melihat‟; Kalām artinya „berkata-

kata‟; {Qadīran artinya yang kuasa}; {Murīdan artinya yang

berkehendak}; {‘Āliman artinya mengetahu}; {Hayyan artinya

yang hidup}; Samī’an artinya „yang menengar‟. Bashīran

artinya „yang melihat‟. Mutakallimun artinya „yang berkata-

kata‟. Itulah yang disebut dua puluh sifat (Kifāyatu `l-‘Ibādah:

2).

Kutipan di atas menjelaskan tentang dua puluh sifat wajib Allah.

Sifat- sifat tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disertai terjemahan

dalam bahasa Melayu.

Sifat jaiz Allah berjumlah satu. Sifat jaiz di dalam teks ini

dijelaskan dengan kutipam, “Bermula yang jaiz pada Allah Taala fi’lu

kulli mumkinin (aw) aw tarkuh. Artinya „bermula berbuat tiap-tiap

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 6: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

107

mumkin atau meninggalkan Dia‟” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 2). Sifat jaiz

menjelaskan bahwa Allah boleh melakukan sesuatu yang dikehendaki-

Nya.

Sifat mustahil Allah adalah lawan dari sifat wajib yang

berjumlah dua puluh, seperti dalam kutipan, “Bermula yang mustahil

pada Allah Taala segala lawan sifat dua puluh”(Kifāyatu `l-‘Ibādah:

3). Kutipan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki dua puluh

sifat mustahil yang merupakan lawan dari sifat wajib.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Allah memiliki

dua puluh sifat wajib, satu sifat jaiz, dan sifat mustahil yang

merupakan lawan dari sifat wajib. Sifat-sifat tersebut dijelaskan dalam

bahasa Arab, dan disertai artinya dalam bahasa Melayu. Setiap

mukalaf wajib mengimani sifat-sifat ini.

4. Identitas Nabi Muhammad

Identitas Nabi Muhammad yang wajib diketahui oleh mukalaf

meliputi asal keturunan, tempat lahir, hijrah, wafat, dan usia. Identitas

tersebut ditunjukkan dalam kutipan.

Demikian lagi fardu atas segala mukalaf menngetahui ia

bahwasanya nabi kita Muhammad itu laki-laki anak Abdullah,

anak Abdul Muthalib. Ialah ‘arabi lagi Quraisy, lagi Hasyim.

Negeri tempat jadinya di Mekah, kemudian berpindah ia ke

Medinah. Di sanalah wafatnya. Dan adalah umur nabi kita enam

puluh tiga tahun pada qaul yang \sahih\ (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3).

Kutipan di atas menunjukkan identitas singkat Nabi Muhammad Saw..

Nabi Muhammad merupakan putra Abdullah, cucu Abdul Muthalib. Ia

berasal dari suku Quraisy dan Bani Hasyim. Nabi Muhammad lahir di

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 7: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

108

Mekah, kemudian hijrah, hingga wafat di Medinah pada usia enam

puluh enam tahun.

2b: pasal hukum air

1. Pembagian air berdasarkan hukum untuk bersuci

Air dibagi menjadi empat macam berdasarkan hukum untuk

bersuci, yaitu: air suci yang mensucikan, air suci yang makruh, air

suci yang tidak mensucikan, dan air najis. Macam-macam air ini

terdapat dalam kutipan teks berikut.

Bahwasanya tiada sah menghilangkan najis, dan mandi junub,

dan mengambil air sembahyang, melainkan dengan air yang

mutlak, yaitu air yang suci lagi menyucikan. Maka air itu

terbahagi kepada empat bahagi: pertama air yang mutlak, kedua

air makruh, ketiga air mustakmal, keempat air najis (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 3).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa macam-macam air berdasarkan

fungsinya untuk bersuci dibagi menjadi empat, yaitu: air suci yang

mensucikan, air suci yang makruh, air suci yang tidak mensucikan,

dan air najis.

Air jenis pertama adalah air suci yang mensucikan atau biasa

disebut air mutlak. Macam-macam air mutlak meliputi tujuh macam,

yaitu: air hujan, air embun, air beku, air laut, air sungai, air mata air,

dan air telaga. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan berikut, “Maka

air yang mutlak itu yaitu tujuh bahagi: pertama air hujan, kedua air

embun, ketiga air beku, keempat [air] laut, kelima air sungai, keenam

air mata air, ketujuh air telaga” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3). Berdasarkan

kutipan di atas, terdapat tujuh macam air yang dapat digunakan untuk

bersuci atau disebut sebagai air mutlak.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 8: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

109

Air jenis kedua adalah air suci yang mensucikan, namun makruh

digunakan untuk bersuci. Air jenis ini meliputi tiga macam, seperti

ditunjukkan dalam kutipan berikut, “Dan air yang makruh itu yaitu

tiga perkara: pertama air yang sangat hangat, kedua air sangat sejuk,

ketiga air yang tercemar pada negeri yang sangat hangat” (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 3). Kutipan di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga jenis air

suci yang mensucikan, namun makruh, yaitu: air yang dipanaskan, air

yang terlalu dingin, dan air yang menjadi panas karena terkena sinar

matahari secara langsung.

Air jenis ketiga adalah air suci yang tidak mensucikan atau

disebut pula air mustakmal, yaitu air yang sudah digunakan untuk

bersuci dan akan digunakan lagi. Jenis air ini ditunjukkan dalam

kutipan berikut, “Dan air yang \mustakmal\ itu air yang sudah terpakai

pada segala basuh yang wajib”(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3). Kutipan di

atas menunjukkan bahwa air mustakmal merupakan air yang sudah

pernah digunakan untuk bersuci namun akan digunakan lagi. Air jenis

ini merupakan air suci yang tidak mensucikan.

Air jenis keempat adalah air najis, yaitu air yang memiliki

volume kurang dari dua qullah, dan terdapat najis di dalamnya. Hal ini

seperti ditunjukkan dalam kutipan, “Dan yang air najis itu yaitu air

yang kurang daripada dua qullah, maka dimasukkan najis ke

dalamnya, sama ada ia berubah atau tiada, maka air itu najislah jua

{hukumnya}” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3). Kutipan di atas menunjukkan

bahwa air najis adalah air yang sedikit dan kemasukan najis.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 9: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

110

2. Air bervolume dua qullah

Volume dua qullah diukur berdasarkan hasta orang dengan

tinggi yang pertengahan. Air tersebut berukuran enam jari dengan

kedalaman yang sama. Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan.

Sebermula air yang dua qullah itu jika ada banyak yang empat

persegi dan jika disukat pada tiap-tiap segi itu // ja[uh]nya enam

jari dengan hasta orang yang pertengahan, dan dalamnya pun

sekian jua. Dan jika bejana itu besar seperti telaga, maka

dalamnya dua hasta dan luas bagian sehasta. Dan jika disukat air

itu dengan air Negeri Aceh dua alapan telah segenang (Kifāyatu

`l-‘Ibādah: 3).

Kutipan di atas menjelaskan tentang volume air yang dapat

digunakan untuk bersuci, yaitu dua qullah. Pengukuran volume

didasarkan pada hasta orang denngan tinggi pertengahan, yaitu

berukuran panjang enam jari hasta orang yang pertengahan dengan

kedalaman dua hasta.

3b: pasal wudu

1. Sunah dan rukun wudu

Sunah-sunah wudu adalah membasuh kedua telapak tangan

sambil membaca basmalah, mendahulukan tubuh bagian kanan,

membasuh telinga, dan membaca doa sambil menghadap kiblat.

Rukun-rukun wudu adalah membasuh muka sambil membaca niat,

membasuh kedua tangan hingga siku, membasuh kepala, dan

membasuh kaki. Niat wudu dijelaskan dalam bahasa Arab, disertai

terjemahan dalam bahasa Melayu. Doa setelah wudu dijelaskan

dalam bahasa Arab tanpa disertai terjemahan dalam bahasa Melayu.

Pernyataan ini sesuai dengan kutipan.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 10: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

111

Fasal pada menyatakan [perintah pada mengambil air]

sembahyang itu mula-mula sunah membasuh kedua telapak

tangan hingga pergelangan serta mengucap bismi ‘l-Lāhi ‘r-

Rahmāni ‘r-Rahīm, dan serta menghadap kiblat. Setelah itu

maka wajib memasuh muka beserta dengan niat nawaitu raf’a

`l-had(a)s Artinya „sengaja kuangkatkan hadas‟. Setelah itu,

maka wajib memasuh kedua tangan hingga kedua si(gh) ku, dan

sunah didahulukan tangan kanan. Setelah itu, maka wajib

membasuh kepala jikalau sehelai rambut sekalipun. Setelah itu

maka sunnah memasuh dua telinga. Setelah itu, maka wajib

memasuh dua-dua kaki hingga mata kaki kedua. Itulah perintah

mengambil air sembahyang. Setelah sudah mengambil air

sembahyang maka sunah menghadap kiblat serta

mengangkatkan mata ke langit dan menengadahkan kedua tapak

tangan ke langit serta memaca asyhadu an lā Ilāha illā `l-Lāh.

Wahdahu lā syarīka lah. Wa asyhadu anna Muhammadan

‘abdu[hu] wa rasūluh. Allahumma ij’alnī mina `t-tawwābīna.

Wa ij’alnī mina `l-mutathahhirīn. Subhānaka `l-Lāhumma wa bi

hamdik. Wa asyhadu an lā Ilāha illa anta astaghfiruka wa atūbu

ilaik. Wa shala `l-Lāhu ‘alā [Muhammadin wa ‘alā] āli

Muhammadin wa sallam. Setelah itu maka dirahapkan kedua

tapak tangan itu ke muka (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 4).

Kutipan di atas menginformasikan tentang sunah dan wudu.

Penjelasan sunah dan rukun beserta niat dan doa sesudah wudu

dituliskan secara runtut. Niat wudu dijelaskan dalam bahasa Arab,

disertai terjemahan dalam bahasa Melayu. Doa setelah wudu

dijelaskan dalam bahasa Arab tanpa disertai terjemahan dalam bahasa

Melayu.

2. Sebab-sebab yang membatalkan wudu

Wudu dianggap batal dengan sebab-sebab berikut, yaitu: keluar

sesuatu dari salah satu diantra dua jalan, hilang akal, bersentuhan

dengan yang bukan mahram, menyentuh kubul atau dubur, dan tidur.

Hal ini dijelaskan dalam kutipan berikut

Bermula yang membatalkan air sembahyang ini ada lima

perkara: pertama // keluar salah satu daripada dua jalan

melainkan mani dirinya, kedua hilang akal, ketiga bersentuh

kulit laki-laki dengan perempuan yang harus nikah dengan dia,

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 11: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

112

keempat menjabat kubul atau dubur, kelima tidur (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 5).

Kutipan di atas menunjukkan sebab-sebab batalnya wudu di dalam

teks. Wudu dapat dianggap batal oleh hal-hal berikut, yaitu: keluar

sesuatu dari salah satu diantra dua jalan, hilang akal, bersentuhan

dengan yang bukan mahram, menyentuh kubul atau dubur, dan tidur.

3. Hal-hal yang diharamkan pada orang yang berhadas ashghar

Orang berhadas ashghar merupakan orang yang tidak sah

wudunya. Mereka tidak diperbolehkan untuk salat, tawaf, dan

menyentuh Alquran. Larangan-larangan ini sesuai dengan kutipan,

“Adapun haram pada orang yang hadas ashghar, yaitu orang yang

tiada berair sebahyang tiga perkara: pertama sembahyang, kedua

tawaf, ketiga menjabat mushaf atau barang yang suatu yang disurat

padanya quran” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 5). Kutipan di atas menunjukkan

larangan bagi orang berhadas ashghar, yaitu salat, tawaf, dan

menyentuh Alquran seperti yang diungkapkan di dalam teks.

4b: pasal tayamum

1. Sebab-sebab tayamum

Tayamum merupakan cara bersuci pengganti wudu dengan

menggunakan debu. Tayamum boleh dilakukan saat tidak ada air atau

ada anggota tubuh yang tidak dibolehkan terkena air. Wajibnya

tayamum ini sesuai dengan kutipan.

Fasal pada menyatakan tayamum. Ketahui olehmu bahwasanya

tayamum itu wajib jika tiada ada beroleh air, atau ada air itu

tiada dapat memakaikan air ini pada anggotanya, seperti karena

luka yang berobat, atau berbalut yang kesukaran pada

menghilangkan keduanya. Maka wajib tayamum itu akan ganti

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 12: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

113

air pada orang mandi yang wajib adanya, atau sunah, atau pada

orang mengambil sembahyang (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 5).

Tayamum boleh dilakukan apabila tidak memperoleh air yang dapat

digunakan untuk bersuci, atau adanya pantangan terkena air pada

kulit, seperti karena suatu penyakit. Sebab-sebab tersebut dijelaskan di

dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah.

2. Rukun tayamum

Tayamum memiliki empat rukun, yaitu: memindahkan tanah,

niat, mengusap wajah dan mengusap tangan hingga ke siku, dan tertib.

Rukun tersebut diungkapkan dalam kutipan berikut

Bermula rukun tayamum itu empat perkara: pertama

memindahkan tanah kemudian daripada menepuk dengan tangan

ke muka, kedua niat, dipersuratkan niat itu pada pertama-tama

tapak. Maka diniatkan oleh yang berhadas ashghar nawaitu

istibāhata fardhi `s-salāh artinya „sengaja aku memperharuskan

fardu sembahyang‟. Maka diniatkan oleh orang yang berhadas

akbar nawaitu fardlu tayamuma li `l-junubi fardu alā li `l-Lāhi

ta’āla. artinya „sengaja‟ aku fardu tayamum karena junub fardu

atasku karena Allah Taala, ketiga menyapu tangan serta

si(gh)ku, keempat tertib (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 5).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Tayamum memiliki empat rukun

sesuai dengan yang disebutkan di dalam teks. Keempat rukun tersebut

adalah memindahkan tanah, niat, menyapu wajah serta tangan sampai

siku, dan tertib.

5b: pasal haid

1. Masa haid

Masa haid perempuan dimulai sejak berusia sembilan tahun.

Rentang waktu masa haid adalah sehari semalam hingga lima belas hari

lima belas malam, namun umumnya masa haid bagi perempuan adalah

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 13: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

114

enam hari enam malam. Hal tersebut ditunjukkan oleh kutipan berikut,

“Bermula sekurang-kurang umur perempuan yang haid sembilan tahun

dan sekurang-kurang masa haid ini sehari semalam. Dan sebanyak-

banyak masa haid ini lima belas hari lima belas malam. Dan yang

banyaknya // perempuan itu enam hari enam malam” (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 5-6). Berdasarkan kutipan di atas rentang masa haid bagi

perempuan adalah sehari semalam hingga lima belas hari lima belas

malam, tetapi pada umumnya adalah enam hari enam malam.

2. Perbedaan haid, nifas, dan istihadah

Darah haid dan istihadah dibedakan atas sifat darahnya. Darah haid

berwarna kuning, keruh dan lengket, sementara darah istihadah cair dan

pekat. Sedangkan nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan.

Pernyataan ini sesuai dengan kutipan

Bermula darah yang kuning, lagi keruh, lagi lengket itulah darah

haid, dan jika sekurang-kurang masanya sehari semalam. Bermula

darah yang cair ini darah istihadah namanya, yaitu darah pekat.

Adapun wajib atas perempuan istihadah ini memasuh farji serta

darah yang di dalamnya. Dan mengambil air sembahyang atau

tayamum pada tiap-tiap fardu dalam waktu. Dan darah yang

kemudian daripada beranak itu darah nifas namanya (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 6)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa darah haid dan istihadah dibedakan

berdasarkan sifat darahnya. Sementara nifas dibedakan berdasarkan

definisinya.

3. Hukum wadi dan mazi.

Hukum wadi dan mazi bagi laki-laki sama halnya dengan hukum

istihadah. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan, “Syahdan bermula hukum

wadi, dan mazi ini seperti hukum istihadah jua” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 6).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 14: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

115

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa hukum pada mazi dan wadi adalah

sama dengan istihadah, yaitu wajib membasuh kemaluan beserta darah

yang ada di dalamnya, serta wajib melakukan salat fardu.

6b: Pasal salat

1. Azan dan ikamah

Azan terdiri dari dari lima belas kalimat, sementara ikamah terdiri

dari sebelas kalimat. Keduanya ditulis dalam bahasa Arab tanpa disertai

terjemahan dalam bahasa Melayu. Azan dan ikamah adalah panggilan

untuk melaksanakan salat. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan.

Fasal pada menyatakan segala perintah sembahyang yang

dipersuratkan dengan sunah dan wajib. Bermula awal-awal para

pekerjaan itu sunah bang yaitu lima belas kalimat. Demikian

bunyinya .Allāhu akbar. Allāhu akbar. Allāhu akbar. Allāhu akbar.

Kemudian dari itu maka diucap Asyhadu an lā Ilāha illā `l-Lāh dua

kali. Wa asyhadu anna Muhammada `r-rasūlu `l-Lāh dua kali

dengan perlahan-lahan. Kemudian maka mengucap pula dengan

barang Asyhadu anna Muhammad. Lā Ilāha illa `l-Lāh. Asyhadu an

lā Ilāha illā `l-Lāh. Wa asyhadu anna Muhammada `r-rasūlu `l-

Lāh. Wa asyhadu anna Muhammada `r-rasūlu `l-Lāh. Hayya ‘ala

`sh-shlāh. Hayya ‘ala `sh-shlāh. Hayya ‘ala `l-falāh. Hayya ‘ala `l-

falāh. Allāhu akbar. Allāhu akbar. Lā Ilāha illa `l-Lāh. Dan jika

yang subuh ditambah kemudian daripada hayya ‘ala `l-falāh. Ash-

shalātu khairun mina `n-naum dua kali. Kemudian daripada bang

maka sunah ikamah. Dan ikamah itu {sebelas} kalimah yaitu

Allāhu akbar. Allāhu akbar. Asyhadu an lā Ilāha illā `l-Lāh.

Asyhadu anna Muhammada `r-rasūlu `l-Lāh. Hayya ‘ala `sh-shlāh.

Hayya ‘ala // `l-falāh. Qad qāmati `sh-shalāh. Qad qāmati `sh-

shalāh. Allāhu akbar. Allāhu akbar. Lā Ilāha illa `l-Lāh (Kifāyatu

`l-‘Ibādah: 6-7)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa azan terdiri dari lima belas kalimat,

sementara ikamah terdiri dari sebelas kalimat. Azan dan ikamah ditulis

dalam bahasa Arab dan tidak diikuti terjemahan dalam bahasa Melayu.

Terdapat perbedaan azan dan ikamah pada salat subuh, yaitu pada

kalimat ash-shalātu khairun mina `n-naum.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 15: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

116

2. Sunah bagi yang mendengar azan dan ikamah

Sunah untuk yang mendengar azan dan ikamah adalah

mengucapkan lā haula wa lā quwwata illā bi `l-Lāhi `l-‘aliyyi `l-‘adzhīm

dan aqāmahā `l-Lāhu wa adamahā māza mina `s-samāwāti wa `l-ardli

fabi’alanī mina `sh-shālihīna ahlahā, serta shadāqatun wa bararah. Hal

ini dijelaskan dalam kutipan berikut.

Dan sunah yang menengar bang dan ikamah itu hendaklah

diucapnya seperti yang diucap oleh orang yang bang dan ikamah

melainkan pada hayya ’ala `sh-shalāh dan hayya ‘ala `l-falāh.

Maka diucap lā haula wa lā quwwata illā bi `l-Lāhi `l-‘aliyyi `l-

‘adzhīm. Dan pada ikamah salat maka diucapnya aqāmahā `l-Lāhu

wa adamahā māza mina `s-sam[ā]wāti wa `l-ardli fabi’alanī mina

`sh-shāli[hī]na ahlahā. Dan pada Ash-shalātu khairun mina `n-

naum maka diucap shadāqatun wa bararah (Kifāyatu `l-‘Ibādah:

7).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa lafal lā haula wa lā quwwata illā bi

`l-Lāhi `l-‘aliyyi `l-‘adzhīm diucapkan ketika hayya ’ala `sh-shalāh dan

hayya ‘ala `l-falāh, lafal aqāmahā `l-Lāhu wa adamahā māza mina `s-

samāwāti wa `l-ardli fabi’alanī mina `sh-shālihīna ahlahā diucapkan

ketika ikamah, serta lafal shadāqatun wa bararah diucapkan ketika ash-

shalātu khairun mina `n-naum.

3. Doa sesudah azan

Doa sesudah azan diucapkan bagi orang yang mendengar azan

dan ikamah. Lafal doa tersebut ditulis dalam bahasa Arab tanpa

disertai artinya dalam bahasa Melayu. Hal ini sesuai dengan kutipan.

Demikianlah sunah bagi orang yang bang dan ikamah. Dan bagi

menengar keduanya, kemudian daripada selesai keduanya

mengucap Allahumma shalli ‘alā Muhammad, wa ‘alā āli

Muhammad. Allahumma Rabba haazihi `d-d’awati `t-tāmmah. Wa

`sh-shalāti `l-qā`imah, āti Muhammadani `l-wasīlata wa `l-

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 16: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

117

fadlīlah. [Wa `d-darajata `l-‘āliyata `r-rafī’ah]. Wa ib’ashu

maqāman mahmūdani `l-lazi wa‘adtah (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 7).

Berdasarkan penjelasan di dalam kutipan, doa sesudah azan diucap

setelah selesai mendengar azan dan ikamah. Di dalam teks doa

sesudah azan ditulis dalam bahasa Arab dan tidak diterjemahkan

dalam bahasa Melayu.

4. Niat-niat dalam salat fardu

Niat salat fardu dimulai dengan ushallī diikuti dengan nama salat

dan jumlah rakaat. Niat-niat salat ini ditulis dalam bahasa Arab yang

diikuti terjemahan dalam bahasa Melayu. Hal ini dibuktikan dengan

kutipan.

Setelah selesai daripada ikamah maka sunah membaca lafaz niat

yaitu ushallī fardla `zh-zhuhri arba’a raka’ātin mustaqbila `l-

qiblati adā`an li `l-Lāhi ta’āla. Artinya 'kusembahyangkan fardu

zuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat nawaitu karena Allah

Taala‟. Dan jika asar ushallī fardla `l-‘ashri arba’a raka’ātin

mustaqbila `l-qiblati adā`an li `l-Lāhi ta’āla. Artinya

„kusembahyangkan fardu ashar empat rakaat dengan menghadap

kiblat nawaitu karena Allah Taala. Dan jika magrib ushallī fardla

`l-maghribi salāsa raka’ātin mustaqbila `l-qiblati adā`an li `l-Lāhi

ta’āla. (Allāhu akbar). Artinya kusembahyangkan fardu [magrib]

tiga rakaat dengan menghadap kiblat nawaitu karena Allah Taala.

Dan jika isya ushallī fardla `l-‘isyā`i arba’a // raka’ātin mustaqbila

`l-qiblati adā`an li `l-Lāhi ta’āla. (Allāhu akbar). Artinya

kusembahyangkan fardu isya empat rakaat dengan menghadap

kiblat nawaitu karena Allah Taala. Dan jika subuh ushallī fardla

`sh-shubhi [raka’ataini mustaqbila `l-qiblati adā`an li `l-Lāhi

ta’āla]. [Artinya „kusembahyangkan fardu subuh] dua rakaat

de[ngan] menghadap kiblat nawaitu karena Allah Taala (Kifāyatu

`l-‘Ibādah: 7-8).

Kutipan di atas menunjukkan niat-niat pada tiap salat fardu. Niat tersebut

dimulai dengan ushallī diikuti dengan nama salat dan jumlah rakaat.

Niat-niat salat ini ditulis dalam bahasa Arab yang diikuti terjemahan

dalam bahasa Melayu.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 17: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

118

5. Satu rakaat salat dalam salat fardu

Satu rakaat salat dimulai dengan takbiratulihram hingga bangkit

dari duduk istirahat Dalam satu rakaat salat terdapat rukun salat, bacaan-

bacaan yang dihukumi wajib dan dihukumi sunah. Hal ini dibuktikan

dengan kutipan berikut.

Kemudian dari itu maka wajib mengata Allāhu akbar, serta

diniatkan segala niat yang telah tersebut itu pada permulaan

\takbiratulihram\. Setelah itu maka sunah membaca wajjahtu

wajhiya li `l-Lazī fathara `s-samaawāti wa `l-ardla hanīfan

musliman wa maa an(ā) mina `l-musyrikīn. Inna shalātī, wa nusukī

wa mahyāya, wa mamāti li `l-lāhi Rabbi `l-ālamīn. Lā syarīkalahu

wa bizalika umirtu wa an(ā) mina `l-muslimīn. Kemudian dari itu

maka sunah membaca doa a’ūzu bi `l-Lāhi mina `syaithāni `r-

rajīm. Kemudian dari itu maka wajib membaca bismi `l-Lāhi `r-

Rahmāni `r-Rahīm, al-hamdu li `l-Lāhi rabbi `l-‘ālamīn hingga

akhirnya. Kemudian dari itu maka sunah membaca [ayat].

Kemudian dari itu maka rukuk serta berhenti dalamnya, maka

sunah membaca dalamnya subhāna rabbiya `l-azhīmi wa bi hamdi

tiga kali. Kemudian dari itu maka iktidal, yaitu bangkit daripada

rukuk kepada berdiri tegak serta berhenti dalamnya, Maka sunah

membaca dalamnya sami’a `l-Lāhu liman hamidah rabbanā laka

`l-hamdu mil`a `s-samawāti wa mil`a `l-`ardli wa mil`a māsyi`kta

min syai`in b’adu. Setelah itu maka sujud dengan tubuh lungkup

dan berhenti dalamnya, dan sunah ketika hendak sujud mengata

Allāhu akbar, dan sunah membaca dalam sujud itu subhāna

rabbiya `l-a’lā wa bi hamdi. Setelah itu maka bangkit kepada

duduk antara dua sujud serta mengata Allāhu akbar dan berhenti

dalamnya, dan sunah membaca dalam duduk itu rabbighfirlī

warhamnī wajburnī warfa’nī warzuqnī wahdinī // wa ‘āfini wa

i‘fuannī. Setelah itu maka sujud pula seperti yang dahulu. Setelah

itu maka bangkit pula kepada duduk istirahat. Maka dinamai akan

segala yang telah dikerja itu serakaat (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 8-9).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa satu rakaat salat dimulai dengan

takbiratulihram hingga duduk istirahat. Adapun bacaan yang wajib dalam

satu rakaat adalah Alfatihah dan Allahu akbar pada takbiratul ihram.

Sedangkan bacaan-bacaan yang lain dihukumi sunah. Adapun rukun salat

sesuai dengan kutipan di atas adalah niat, takbiratulihram, membaca

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 18: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

119

fatihah, rukuk, thuma’ninah, iktidal, thuma’ninah, sujud, thuma’ninah,

duduk diantara dua sujud, thuma’ninah, dan duduk istirahat. Perbedaan

rakaat pertama dan kedua terletak pada takbiratulihram.

6. Membaca tahyat awal

Tahyat awal dibaca ketika duduk iftirasy pada rakaat kedua kecuali

pada saat salat subuh. Hal tersebut sesuai dengan kutipan.

Setelah selesai daripada mengerjakan dua rakaat maka sunah duduk

iftirasy serta membaca tahyat awal, yaitu seperti tahyat akhir yang

lagi akan tersebut. Setelah selesai memaca tahyat awal maka

bangkit pula kepada dua rakaat dan lagi jika sembahyang itu duhur

dan asar dan isya. Dan jika sembahyang itu maghrib maka bangkit

pula serakaat lagi kemudian dari itu maka duduk tawaruk (Kifāyatu

`l-‘Ibādah: 9).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tahyat awal dibaca pada rakaat

kedua saat duduk iftirasy kecuali pada salat subuh. Setelah selesai

membaca tahyat awal maka bangkit untuk rakaat selanjutnya.

7. Doa qunut

Doa qunut dibaca pada rakaat kedua setelah iktidal pada salat

subuh. Doa qunut memiliki dua versi bacaan, yaitu versi panjang dan

versi pendek. Keduanya ditulis dalam bahasa Arab dan tidak disertai

terjemahan dalam bahasa Melayu. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan

berikut.

Kemudian daripada membaca samiallahu [hingga akhir] [setelah itu

maka memaca] Allahumma ihdīni fīman hadaīt. Wa ‘āfinī fīman

‘āfaīt. Wa tawallanī fīman tawallaīt. Wa bāriklī fīman a’thaīt. Wa

qīni syarramā qadlaīt. Fainnaka taqdlī wa lā yuqdlā ‘alaīk. Wa

innahu lā yazillu man wālaīt. Wa lā ya’izzu man ‘ādaīt. Tabārakta

rabbanā wa ta’ālaīt. Falaka ‘l-hamdu ‘alā mā qadlaīt.

Wastaghfiruka wa atūbu ilaīk. Wa shalla `l-Lāhu ‘alā

Muhammadin `n-nabiyyi `l-`umiyyi wa ‘alā ālihi wa shahbihi wa

sallam. Bermula sekurang-kurang membaca qunut itu allahumma

ighfirlī ghafūrun bi rahmatika yā arhama `r-rāhimīn. Wa shalla `l-

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 19: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

120

Lāhu ‘alā Muhammadin [wa ‘alā āli Muhammadin] wa shahbihi

wa bārikli wa sallam (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 9).

Kutipan di atas menunjukkan lafal doa qunut baik versi panjang ataupun

versi pendek. Doa qunut dibaca pada rakaat kedua salat subuh setelah

bacaan iktidal. Adapun doa qunut di dalam teks ditulis dalam bahasa

Arab dan tidak disertai terjemahan dalam bahasa Melayu.

8. Doa tahyat akhir

Lafal doa tahyat akhir ditulis dalam bahasa Arab dan tidak diikuti

dengan terjemahan bahasa Melayu. Hal ini sesuai dengan kutipan.

Kemudian sujud attahiyātu `l-mubārakatu `sh-shalawātu `th-

thayyibatu li `l-Lāh. Assalāmu ‘alaika ayyuha `n-nabiyyu wa

rahnatu `l-Lāhi wa barakātuh. Asslāmu ‘alainā wa ‘alā // ‘ibādi `l-

Lāhi `sh-shālihīn. Asyhadu an lā ilāha illa `l-Lāh. Wa asyhadu

anna Muhammada `r-rasūlu `l-Lāh. Allahumma shalli ‘alā

Muhammad. Wa ‘alā āli Muhammad. Dan sunah menambah kamā

shallaita ‘alā Ibrāhīm. Wa ‘alā āli Ibrāhīm. Fi `l-‘ālamīna innaka

hamīdummajīd. Allahumma ighfirlī mā qaddamtu wa mā akhartu

wa mā asrartu wa mā a’lantu wa mā asraftu wa ammā anta a’lamu

bihi minnī anta `l-muqaddamu wa anta `l-muakhkharu lā ilāha illā

anta, yā muqalliba `l-qulūbi sabbit qalbī ‘alā dīnika, subhānaka

innī kunta mina `zh-zhālimīn. Allahumma innī zhalamtu nafsī

zhulman kasīran wa lā yaghfiru `zunūba illā anta fā ighfirlī

maghfiratun min ‘indika wa irhamnī innaka anta `l-ghafūru `r-

rahīm (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 9-10)

Kutipan di atas menunjukkan lafal doa tahyat akhir ditulis dalam bahasa

Arab dan tidak diikuti dengan terjemahan bahasa Melayu

9. Salam sebagai akhir salat

Salat diakhiri dengan mengucap salam sambil menolehkan muka

ke kanan hingga terlihat punggung kanan. Setelah menoleh ke kanan,

salam disunahkan untuk menoleh ke kiri hingga terlihat punggung

kiri. Ucapan salam ditulis dalam bahasa Arab tanpa diikuti

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 20: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

121

terjemahan dalam bahasa Melayu. Pernyataan ini sesuai dengan

kutipan.

Setelah itu maka wajib memberi salam yaitu As-salāmu’alaikum

wa rahmatu `l-Lāh sekali kanan hingga kelihatan punggung

kanan serta meniatkan keluar daripada sembahyang, dan jika

ter[da]hulu niat itu daripada salam niscaya batallah sembahyang.

Dan sunah meniatkan memberi salam itu dengan dengan segala

malaikat dan mukmin dan jin dan [seka]li ke kiri hingga

kelihatan pundak kiri demikianlah kita kerjakan (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 10)

Salam merupakan tanda berakhirnya salat. Salam diucapkan sambil

menolehkan muka ke kanan hingga terlihat punggung kanan, dan

disunahkan menoleh ke kiri hingga terlihat punggung kiri. Salat

dianggap batal apabila meniatkan membatalkan terlebih dahulu

daripada mengucap salam.

7b: Sunah setelah selesai salat

1. Sunah imam

Imam disunahkan untuk duduk dan menghadap kepada

makmum setelah selesai salat. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan,

“Fasal pada menyatakan segala sunah yang dikerjakan kemudian

daripada sembahyang itu yaitu apabila selesailah daripada memberi

salam maka hendaklah imam dudukkan serta imam menganankan

makmum dan me(ng)ratakan mihrab (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 10).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa imam disunahkan duduk dan

menghadap kepada makmum setelah selesai salat.

2. Zikir setelah salat

Zikir dibaca setelah imam menghadap kepada makmum.

Diantara zikir-zikir yang dibaca adalah hamdalah, istighfar, doa

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 21: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

122

keselamatan, ayat kursi, dan selawat kepada Nabi Muhammad. Zikir

tersebut ditulis dalam bahasa Arab tanpa disertai terjemahan dalam

bahasa Melayu. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan.

Setelah itu maka mengucap al-hamdu li `l-Lāhi Rabbi `l-

‘ālamīna ‘alā kulli hālin tiga kali. Astghfiru `l-Lāha `l-‘azhīm.

Allazī lā ilāha illa huwa `l-hayyu `l-qayyūmu wa atūbu ilaīk.

Allahumma anta `s-salām wa minka `s-salām wa ilaika ya’ūdu

`s-salām fahayyinā rabbanā bi `s-salām wa adkhilna `l-jannata

dāra `s-salām tabārakta rabbanā // wa ta’ā laita yā zaljalāli wa

`l-ikrām. A’ūzu bi `l-Lāhi mina `sy-syaithāni `r-rajīm. Bismi `l-

Lāhi `r-Rahmāni `r-Rahīm hingga wa ilāhukum ilāhu wāhid lā

ilāha illā huwa `r-Rahmānu `r-Rahīm. Allāhu lā Ilāha illā huwa

`l-hayyu `l-qayyūm [lā] ta`kkhudzuhū sinatun wa lā naūm lahū

mā fi `s-samāwāti wa mā fi `l-ardli man za `l-lazī yasyfa’u

‘indahū illā biiznihī ya’lamu mā baina aidīhim wa mā

khalfahum wa lā yuhīthūna bi syai`in [min] ‘ilmihī illā bimā

syā`a wasi’a kursyyuhu `s-samāwāti wa `l-ardla wa Lā

ya`ūduhū hifzhuhumā wa huwa `l-‘alyyu `l-‘azhīm. Syahida `l-

Lāhu innahū lā ilāha illā huwa wa `l-malāikatu wa ūlu `l-‘ilmi

qāiman bi `l-qisthi lā ilāha illā huwa `l-‘azīzu `l-hakīm. Inna `d-

dīna ‘inda `l-Lāhi `l-islām. Quli `l-Lāhumma malika `l-mulki

tu`kti `l-mulka man tasyā`u [wa tanzi’u `l-mulka mimman

tasyā`u] wa t(ū)’izzu man tasyā`u wa tuzillu man tasyāu

biyadika `l-khaīru innaka ‘alā kulli syaiin qadīr. Tūliju `l-laila fi

`n-nahāri wa tūliju `n-nahāra fi `l-lail. Wa tukhriju `l-hayya

mina `l-mayyiti wa tukhriju `l-mayyita mina `l-hayyi, wa tarzuqu

man tasyā`u bighairi hisāb. Ilāhī yā rabbī subhana `l-Lāh tiga

puluh tiga kali. Subhāna `l-Lāhi `l-‘azhīmi wa bihamdika

dāiman al-hamdu li `l-Lāhi rabbi `l-‘ālamīn tiga puluh tiga kali.

Al-hamdu li `l-Lāhi rabbi `l-‘ālamīn ‘alā kulli hālin. Allāhu

akbar tiga puluh tiga kali. Allahu akbar kabīran. Lā ilāha illa `l-

Lāh wahdahu lā syarīkalah, lahu `l-mulku wa lahu`l-hamdu

yuhyī wa yumīt, wa huwa ‘alā kulli syaiin qadīr sepuluh kali.

Allahumma lā mani’a limā a’thaita. Wa lā mu’thiya limā

mana’ta wa lā yurādu limā qadlaita wa lā yanfa’u zi `l-jaddi

minka `l-jadda. Allahumma shalli ‘alā sayyidinā //

Muhammadin ‘abdika wa rasūlika `n-nabiyyi `l-ummiyyi wa

‘alā ālihi wa shahbihi wa sallim. Kullamā zakaraka `z-zakirūna,

wa ghafala zikraka `l-ghāfilūna wa sallim wa radliya `l-Lāhu

ta’alā ‘an sādatinā ashhābi sayyidinā rasūla `l-Lāhi ajma’īn

wa hasbuna `l-Lāhu wa ni’ma `l-wakīl, wa lā haula wa lā

quwwata illā bi `l-Lāhi `l-‘alyyi `l-‘azhīm. Astaghfiru `l-Lāhu yā

lathīfa yā kāfī yā lathīfa yā wafī yā rahīmu bi `l-Lāhi Lā illāha

illa `l-Lāh sepuluh kali. Lā illāha illa `l-Lāh Muhammadan

rasūlu `l-Lāh shalla `l-Lāhu ‘alaihi wa sallam ‘alaihā nuhyi wa

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 22: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

123

‘alaihā namūtu wa ‘alaihā nab’asu insyā Allahu ta’alā wa anta

āmina al-āminīna bi rahmatika `l-Lāhi wa karamah. Setelah itu

maka mendahkan tangan itu ke langit serta memaca barang doa

yang mahsyur daripada nabi shalla `l-Lāhu ‘alaihi wa sallam.

Dan yaitu amat baik pahalanya daripada Allah Taala, dan sunah

setengah daripadanya Allahumma innī asluka mūjibāta

rahmatika wa ‘azā`ima maghfiratika wa `s-salāmata min kulli

ismin wa `l-ghanīmata min kulli birrin wa `l-fauzi bi `l-jannatin

wa `n-najāti mina `n-nār. Allahumma innī ‘aūzubika mina `l-

hammi wa `l-khazni wa `l-kasli wa mina `l-jubni [wa `l-buhli]

wa `l-fasli wa min ghalabati `d-daini wa qahri `r-rijāl.

Allahumma innī a’uzubika min juhdi `l-balā`i wa darki `sy-

syiqā`i wa sū`i `l-qadlā`i wa syimātati `l-‘adā`i. Allahumma innī

a`ūzubika min juhdi `l-balā`i wa zikrika wa syukrika wa husni

‘ibādik. Rabbanā ātinā fi `d-dunyā hasanah [wa fi `l-ākhirati

hasanah] wa qinā ‘azāba `n-nār. Wa shalla `l-Lāhu ‘alā khairi

khalqihi Muhammadin // wa ‘alā ālihi wa shahbihi ajma’īn.

Subhana rabbika rabbi `l-‘izzati ‘ammā wa salāmun ‘ala `l-

mursalīna wa `l-hamdu li `l-Lāhi rabbi `l-‘ālamīn (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 10-13).

Kutipan di atas menjelaskan tentang zikir yang disunahkan dibaca

oleh imam setelah salat. Zikir-zikir tersebut diantaranya adalah

hamdalah, istighfar, doa keselamatan, ayat kursi, dan selawat kepada

Nabi Muhammad. Terdapat kalimat tasbih yang disunahkan dibaca

sebanyak tiga puluh tiga kali. Zikir-zikir tersebut ditulis dalam

bahasa Arab tanpa disertai terjemahan dalam bahasa Melayu.

3. Membaca Alfatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas

Setelah membaca selawat kepada Nabi Muhamma, zikir

dikanjutkan dengan membaca surat Alfatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq,

dan An-Nas. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan.

Setelah itu maka sunah merahapkan kedua tangan itu ke muka

kemudian memaca al-fātihah, lilhdlarati `n-nabiyyi `l-

mushthafā rasūli `l-Lāhi shalla `l-Lāhu wa sallam. A’ūzu bi `l-

Lāhi mina `sy-syaithāni `r-rajīm. Bismi `l-Lāhi `r-Rahmāni `r-

Rahīm. Al-hamdu li `l-Lāhi rabbi `l-‘ālamīn hingga akhir akan

nabi Allah dan akan barang siapa yang dikehendakinya. Dan

memaca qul huwa `l-Lāhu ahad sekali, dan qul ‘aūzu bi rabbi `l-

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 23: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

124

falaq sekali, dan qul ‘aūzu bi rabbi `n-nās sekali (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 13).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa surat yang disunahkan dibaca

saat zikir adalah Alfatihah, Al-Falaq, dan An-Nas sesuai dengan

yang tercantum di dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah.

8b: Sebab-sebab yang membatalkan salat

Salat dapat dinilai batal karena sebelas perkara, yaitu: berkata-kata,

melakukan gerakan selain gerakan salat, makan dan minum, tidak yakin

terhadap niat yang diucapkan, meniatkan memutus salat, memutus salat

karena sesuatu yang muhal, hadas sebelum salam, terkena najis, terbuka

aurat, tidak menghadap kiblat, dan murtad. Perkara-perkara yang

membatalkan salat ini sesuai dengan kutipan.

Bermula segala yang membatalkan sembahyang itu sebelas

perkara: pertama berkata-kata dengan \disengaja\ jikalau suatu

huruf yang tiada mafhum mengatanya sekalipun, atau menangis

atau ter[t]awa-tawa gelak atau mengembis dengan hidung, atau

dengan mulutnya. Tetapi sunah mengata subhāna `l-Lāh dalam

sembahyang serta maksudkannya akan zikir // karena mengikut

imam daripada lupanya, atau memberi ingat orang buat daripada

<daripada> suatu bahaya, atau memberi izin orang masuk ke

rumah, atau barang yakin dan tiada dimaksud akan zikir, serta niat

atau semata-mata akan zikir maka batallah sembahyangnya. Kedua

mengerjakan pekerjaan yang <banyak> banyak seperti melangkah

tiga langkah, dibilangkan banyak [jika berturut-turut] atau diulang-

ulang sedikit tetap batallah sembahyang dengan \lompat\ karena

sengaja jikalau lupa sekalipun. Ketiga makan dalam sembahyang

dan minum dengan disengaja jikalau sedikit atau dikakah orang

sekalipun batallah sembahyangnya, tetapi tiada mengapa jika

sedikit dengan lupanya. Keempat mengerjakan rukun qauli atau

fi’li beserta syak akan sah niat takbiratulihram. Kelima meniatkan

memutuskan sembahyang, tetapi tiada ngapa dengan sebab khusus .

Keenam (meninggalkan) memutuskan sembahyang dengan suatu

jikalau dengan yang muhal <sekali> sekalipun, seperti katanya,

jikalau aku terbang niscaya kubatalkan sembahyang karena tiada

tekad niatnya. Ketujuh hadas dahulu daripada salam yang pertama

dengan disengaja atau dengan lupa Kedulapan \terkena\ najis yang

tiada dimangapkan pada kain atau pada badannya, dan jikalau

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 24: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

125

kedalam hidung atau ke dalam mulut sekalipun. Kesembilan

terbuka aurat, tetapi jika ditiup angin lalu sukar ditutupinya tiada

mengapa. Kesepuluh memaling dada daripada kiblat jikalau

setengah dada sekalipun. Kesebelas murtad, yaitu orang yang

mengiktikadkan seperti iktikad yang jadi akan kafir, seperti

mengiktikadkan yang menjadi alam ini tiada atau fana (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 13-14).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa di dalam teks terdapat sebelas

perkara yang dapat membatalkan salat.

9b: pasal salat Jumat

1. Orang-orang yang difardukan salat Jumat

Salat Jumat adalah fardu laki-laki dan perempuan yang merdeka,

sedang tidak dalam perjalanan, dan sehat. Hal ini ditunjukan dalam

kutipan berikut, “Bermula sembahyang Jumat itu fardu ain atas tiap-tiap

mukalaf laki-laki dan perempuan yang merdehaka, lagi mukim pada

negeri, lagi sehat badan” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15). Kutipan tersebut

menunjukkan bahwa yang difardukan salat Jumat adalah laki-laki dan

perempuan merdeka, tidak dalam perjalanan, serta sehat jasmani.

2. Dalil salat Jumat

Dalil wajibnya salat Jumat di dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah

merupakan potongan ayat dari Alquran surah Al-Jumu‟ah ayat sembilan.

Potongan ayat tersebut ditulis dalam bahasa Arab disertai terjemahan

dalam bahasa Melayu, seperti pada kutipan.

Seperti firman Allah Taala, yāayyuha `l-ladzīna āmaū idzā nūdiya

li `sh-shalāti min yaumi `l-jumu’ati fas’au ilā zikri `l-Lāhi wa zaru

`l-bai’. Hai segala mereka itu yang percaya akan Allah, apabila

mukmin yang karena sembahyang pada hari Jumat, maka

hendaklah kamu pergi pada sembahyang tatkala itu tinggalkan

olehmu berniaga (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 25: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

126

Kutipan di atas menjelaskan tentang dalil salat Jumat berupa potongan

ayat dalam Alquran surah Al-Jumu‟ah ayat sembilan dalam bahasa Arab

disertai terjemahan dalam bahasa Melayu.

3. Niat salat Jumat

Niat salat Jumat di dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah ditulis dalam

bahasa Arab disertai terjemahannya dalam bahasa Melayu, seperti dalam

kutipan, “Dan lafal niat ushallī fardla `l-jumm’ati rak’ataini makmūman

li `l-Lāhi ta’āla. Artinya kusembahyangkan fardu Jumat dua rakaat

kuikuti imam karena Allah Taala” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15). Kutipan

tersebut menunjukkan niat salat Jumat dalam bahasa Arab disertai artinya

dalam bahasa Melayu.

4. Syarat wajib salat Jumat

Syarat wajib salat Jumat adalah bermukim, jamaah berrjumlah

empat puluh, dan telah masuk waktu salat Jumat, sesuai dengan kutipan,

“Bermula syarat wajib itu tiga perkara, pertama pada orang yang dalam

negeri, kedua genap empat puluh, ketiga sampai waktu” (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 15). Kutipan tersebut menunjukkan bahwa terdapat tiga syarat

wajib salat Jumat, yaitu bermukim, memiliki empat puluh jamaah, dan

telah masuk waktu salat Jumat.

5. Syarat sah salat Jumat

Syarat sah salat Jumat adalah membaca dua khotbah, duduk di

antara dua khotbah, dan melakukan salat dua rakaat, seperti dalam

kutipan, “Bermula fardu Jumat itu tiga perkara, pertama membaca dua

khotbah seraya berdiri, kedua duduk antara dua khotbah, ketiga

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 26: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

127

sembahyang dua rakaat berimam kemudian daripada membaca khotbah”

(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15). Kutipan di atas menunjukkan bahwa syarat sah

salat Jumat adalah membaca dua khotbah, duduk di antara dua khotbah,

dan melakukan salat dua rakaat.

10b: pasal salat mayit

1. Niat salat mayit.

Niat salat mayit adalah ushalli ‘alā hazihi `l-mayyti [arba’a

takbirātin] fardla `l-kifāyati makmūman li `l-Lāhi ta’ālā. Niat tersebut

ditulis dalam bahasa Arab disertai terjemahan dalam bahasa Melayu. Hal

tersebut ditunjukkan dalam kutipan, “Bermula sekurang-kurang

sembahyang mayit itu ushalli ‘alā hazihi `l-mayyti [arba’a takbirātin]

fardla `l-kifāyati makmūman li `l-Lāhi ta’ālā. Allahu akbar. Artinya

kusembahyangkan atas mayit ini fardu kifayah, kuikuti imam karena

Allah Taala”(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15). Kutipan tersebut menunjukkan

niat salat mayit dalam bahasa Arab disertai terjemahan dalam bahasa

Melayu.

2. Urutan salat mayit

Urutan salat mayit setelah niat adalah takbiratulihram, membaca

fatihah, takbir, membaca selawat, takbir, membaca doa salat mayit,

takbir, membaca doa salat mayit, dan salam. Kemudian disunahkan

membaca doa setelah salam. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.

.... Allahu akbar... Kemudian dari itu maka membaca fatihah.

Setelah selesai daripada membaca fatihah maka takbir sekali.

Setelah itu maka membaca Allahumma shalli ‘alā Muhammadin

wa ‘alā āli Muhammadin. Setelah itu maka takbir sekali. Setelah

itu maka maka memaca Allahumma arhamhu Allahumma

ighfirlahu. Setelah itu maka takbir sekali. Setelah itu maka

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 27: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

128

memaca Allahumma lā tahrimnā // ajrahu wa lā taftinnā

ba’dahu wa ighfirlanā wa lahu. Setelah itu maka memberi

salam yaitu Assalāmu ‘alaikum wa rahmatu `l-Lāh. Serelah itu

maka sunah memaca Allahumma ij’al qabrahu raudlatan min

riyādli `l-jannāti wa lā taj’al hafrahu min hafrati `n-nīrāni wa

shalla `l-Lāhu ‘alā khairi khalqihi Muhammadin wa ālihi wa

shahbihi ajma’īn, bi rahmatika yā arhama `r-rāhimīn (Kifāyatu

`l-‘Ibādah: 15-16).

Kutipan di atas menunjukkan urut-urutan salat mayit dengan empat

takbir beserta doa yang disunahkan setelahnya, yaitu setelah

takbiratulihram membaca alfatihah, kemudian takbir, kemudian

membaca selawat kepada Nabi Muhammad Saw., kemudian takbir,

kemudian membaca doa salat mayit, kemudian takbir, kemudian

membaca doa salat mayit, kemudian salam. Setelah salam

disunahkan membaca doa. Selawat dan doa untuk salat mayit di

dalam teks semuanya ditulis dalam bahasa Arab tanpa disertai

terjemahan dalam bahasa Melayu.

11b: pasal puasa

1. Orang-orang yang difardu puasa

Orang-orang yang difardukan berpuasa harus memenuhi tiga

syarat, yaitu: islam, berakal, dan mampu untuk berpuasa. Hal ini sesuai

dengan kutipan berikut, “Bermula yang menfardukan puasa itu tiga

perkara, pertama islam, kedua akil, ketiga kuasa ia puasa” (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 16). Kutipan di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga syarat

bagi yang difardukan puasa, yaitu: islam, akil, dan mampu untuk

berpuasa.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 28: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

129

2. Syarat sah puasa

Puasa memiliki tujuh syarat sah, yaitu: niat, menahan diri dari

hubungan intim, menghindari muntah secara sengaja, mencegah

masuknya benda ke dalam tubuh, islam, suci dari haid dan nifas, serta

berakal. Ketujuh syarat sah puasa tersebut ditunjukkan dalam kutipan

berikut.

Bermula syarat sah puasa itu tujuh perkara, pertama niat pada tiap-

tiap malamnya, kemudian daripada masuk matahari dahulu

daripada fajar. Dan lafal niat ashūmu ghadan min adā`i fardli

ramadlāni hāzihi `s-sanati li `l-Lāhi ta’ālā. Aku puasa esok hari

daripada memeri fardu ramadan pada tahun ini karena Allah Taala.

Dan sebagian \dibaca\ pada malam yang pertama ashūmu `sy-

syahran ‘an ramadlāna kullahu. Aku puasa esok hari sebulan

daripada bulan ramadan sekalinya tetap tiada niat itu lain daripada

malam yang pertama, kedua menahan diri daripada jamah dan

mengeluarkan mani jikalau dengan tangan sekalipun, ketiga

menahan diri daripada sengaja muntah, keempat menahan diri

daripada memasukkan suatu benda ke dalam segala batin jikalau

sedikit sekalipun, kelima menahan diri daripada murtad, keenam

suci daripada haid, dan nifas, dan beranak // daripada hari itu,

ketujuh menahan diri daripada hilang akal (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 16-

17).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa terdapat tujuh syarat sah puasa

seperti yang tertulis dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah yaitu: niat, menahan

diri dari mengeluarkan mani, menahan diri dari muntah yang disengaja,

tidak memasukkan benda ke dalam tubuh, menahan dari murtad, suci dari

haid, nifas, dan melahirkan, serta berakal.

3. Waktu diharamkan untuk berpuasa

Puasa tidak diperbolehkan pada tiga waktu berikut, yaitu lima hari

pertama hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, dan hari tasyrik. Waktu-

waktu tersebut dijelaskan dalam kutipan berikut, “Syahdan haram puasa

lagi tiada sah puasa itu pada lima hari pertama hari raya fitrah, kedua hari

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 29: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

130

raya qurban dan tiga hari kemudian daripada hari raya qurban yaitu hari

tasyrik” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 17). Terdapat tiga waktu diharamkannya

puasa, sesuai dengan penjelasan di dalam teks, yaitu: lima hari pertama

hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, dan hari tasyrik.

4. Doa berbuka puasa

Hukum membaca doa berbuka puasa adalah sunah berdasarkan teks

Kifāyatu `l-‘Ibādah. Doa berbuka puasa dijelaskan dalam bahasa Arab

tanpa disertai terjemahan dalam bahasa Melayu. Hal ini sesuai dengan

kutipan.

Sebermula sunah memaca tatkala berbuka puasa itu pada tiap-tiap

hari fardu adanya atau sunah Allahumma zahaba `zh-zhamāu

wabtallati `l-‘urūfu wa sabata `l-ajru insyā`a `l-Lāh. Lalu

menadahkan kedua tangan itu ke langit, serta membaca Allahumma

lakashumtu wa bika amantu wa ‘alā rizqika afthartu yā wāsi’a `l-

maghfirah (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 17).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa hukum membaca doa berbuka puasa

merupakan sunah. Doa berbuka puasa memiliki dua variasi yang dibaca

secara berurutan. Doa-doa tersebut dijelaskan dalam bahasa Arab tanpa

disertai terjemahan dalam bahasa Melayu.

c. Penutup

1c: selawat kepada Nabi Muhammad Saw.

Teks Kifāyatu `l-‘Ibādah diakhiri dengan selawat kepada Nabi

Muhammad dalam bahasa Arab namun tidak diikuti dengan terjemahan

dalam bahasa Melayu, sesuai dengan kutipan berikut, “Wa shalla `l-Lāhu

‘alā khairi khalqihi Muhammadin wa ‘alā [ālihi] wa shahbihi wa sallam”

(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 17). Kutipan di atas menunjukkan bahwa teks

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 30: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

131

Kifāyatu `l-‘Ibādah diakhiri dengan selawat kepada Nabi Muhammad

Saw. yang tidak diikuti dengan terjemahan dalam bahasa Melayu.

2c: kata tamat

Teks Kifāyatu `l-‘Ibādah diakhiri dengan kata tamat, sesuai dengan

kutipan berikut, “....wa shahbihi wa sallam. Amīn yā rabbi `l-‘ālamīn.

Tamat” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 17). Dari kutipan tersebut dapat diketahui

bahwa teks Kifāyatu `l-‘Ibādah diakhiri dengan kata tamat.

Bagan struktur narasi teks Kifāyatu `l-‘Ibādah adalah sebagai berikut.

Bagan 2

Struktur Penyajian teks Kifāyatu `l-‘Ibādah

a b

1a (1-2-3) – 2a – 3a – 3a – 4a 1b (1-2-3-4) – 2b (1-2) –

3b (1-2-3) – 4b (1-2) – 5b (1-2-3) – 6b (1-2-3-4-5-6-7-8-9) – 7b

c

(1-2-3) – 8b – 9b (1-2-3-4-5) – 10b (1-2) – 11b (1-2-3-4) 1c – 2c

2. Gaya Penyajian

Gaya penyajian teks Kifāyatu `l-‘Ibādah menggunakan bentuk

interlinier. Kalimat dengan bahasa Arab dikemukakan terlebih dahulu,

kemudian diikuti terjemahan dalam bahasa Melayu. Hal ini dapat dilihat

pada pendahuluan teks yang terdiri dari basmalah, hamdalah, dan selawat

dan salam kepada Nabi Muhammad yang ditulis dalam bahasa Arab

kemudian diikuti terjemahan dalam bahasa Melayu. Pernyataan di atas

sesuai dengan kutipan.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 31: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

132

Bismi `l-Lāhi `r-Rahmāni `r-Rahīm. Kumulai kitab ini dengan nama

Allah Yang Mahamurah pada memberi rezeki akan segala hamba-Nya

mukmin dan kafir dalam negeri dunia ini, lagi Yang Amat Mengasih

akan segala hamba-Nya dalam negeri akhirat ini. Al-hamdu li `l-Lāhi

`l-Lazī khalaqa ‘ibādatan ‘alā ‘ibādih. Segala pu[ji] -pujian bagi

Allah yang menjadi Ia akan segala ibadah atas segala hamba-Nya. Wa

`sh-shalātu wa `s-salāmu ‘alā sayyidinā Muhammadin sayyidi `l-

anbiyā`i wa `l-mursalīn. Dan rahmat Allah dan salam Allah atas

penghulu kita Muhammad, yaitu penghulu segala anbiya dan segala

nabi mursal (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa di dalam pendahuluan teks Kifāyatu `l-

‘Ibādah gaya penyajian menggunakan dua bahasa, yaitu Arab yang diikuti

terjemahan dalam bahasa Melayu. Maka dapat disimpulkan bahwa gaya

penyajian teks bersifat interlinier.

Bagian isi dimulai dengan pasal yang pertama kali diwajibkan bagi

mukalaf. Sebelumnya dijelaskan terlebih dahulu pengertian mukalaf, yaitu

laki-laki dan perempuan yang balig berakal. Mukalaf memiliki tiga

kewajiban yang pertama kali harus dilakukan, yaitu: mentasdikkan dua

kalimat syahadat, mengimani sifat-sifat Allah, dan mengetahui identitas

Nabi Muhammad. Hal ini dijelaskan secara interlinier di dalam teks, yaitu

dengan menyebutkan kewajiban diikuti dengan penjelasan dari kewajiban

tersebut. Seperti ditunjukkan dalam kutipan berikut, “Fasal pada

menyatakan permulaan wajib atas // segala mukalaf, yaitu orang yang akil

lagi balig laki dan perempuan” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1). Di dalam kutipan

tersebut termuat penjelasan mengenai pengertian mukalaf. Setelah

pengertian, isi teks dilanjutkan dengan kewajiban yang pertama yaitu

mentasdikkan dua kalimat syahadat, sesuai dengan kutipan.

Ketahui olehmu hai talib! Bahwasanya permulaan wajib atas segala

mukalaf laki-laki dan perempuan itu yaitu mengucap dua kalimah

syahadat serta mentasdikkan dalam hati mengenai keduanya. Kalimah

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 32: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

133

itu yaitu Asyhadu an lā Ilāha illā `l-Lāh. Saksi aku bahwasanya tiada

yang disembah, melainkan Allah. Wa asyhadu anna Muhammada `r-

rasūlu `l-Lāh. Dan saksi aku bahwasanya nabi Muhammad itu

pesuruhnya Allah (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 2).

Informasi mengenai kewajiban mukalaf untuk mentasdikkan dua kalimat

syahadat termuat dalam kutipan di atas. Teks ditulis secara interlinier

dengan mengemukakan bahasa Arab yang diikuti terjemahan dalam bahasa

Melayu.

Kewajiban kedua adalah mengetahui sifat-sifat Allah yang wajib

diketahui, meliputi: sifat wajib, jaiz, dan mustahil. Sifat-sifat tersebut sesuai

dengan kutipan.

Maka setengah daripada yang wajib pada Allah Taala itu dua puluh

sifat yaitu: Wujūd artinya „ada-Nya‟; Qidam artinya [„tidak

berpermulaan ada-Nya‟]; [Baqā artinya] „sedia yang kekal zat-Nya‟;

Mukhālafatuhu lil hawādis artinya „berselain Ia dengan segala yang

baru‟; Qiyā[muhu] bi nafsih artinya „berdiri dengan sendiri-Nya;

Wahdāniyah artinya „Esa‟. {Qudrat artinya „kuasa‟}; {Iradāh artinya

berkehendak}; [‘Ilmu artinya „berpengetahuan‟]; Hayāt artinya „yang

hidup‟; Sam’a artinya „menengar‟; Bashar artinya „melihat‟; Kalām

artinya „berkata-kata‟; {Qadīran artinya yang kuasa}; {Murīdan

artinya yang berkehendak}; {‘Āliman artinya mengetahu}; {Hayyan

artinya yang hidup}; Samī’an artinya „yang menengar‟. Bashīran

artinya „yang melihat‟. Mutakallimun artinya „yang berkata-kata‟.

Itulah yang disebut dua puluh sifat. Bermula yang jaiz pada Allah

Taala fi’lu kulli mumkinin (aw) aw tarkuh. Artinya „bermula berbuat

tiap-tiap mumkin atau meninggalkan Dia‟. Seperti memasukkan orang

yang mukmin ke dalam surga atau tiada memasukkan Dia. Dan

memasukkan kafir ke dalam neraka atau tiada memasukkan Dia.

Bermula yang mustahil pada Allah Taala // segala lawan sifat dua

puluh (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 2-3).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa sifat-sifat Allah dikemukakan secara

interlinier di dalam teks. Sifat-sifat diuraikan secara runtut mulai dari yang

wajib, jaiz, dan mustahil. Bahasa Arab dikemukakan terlebih dahulu,

kemudian diikuti terjemahan dalam bahasa Melayu.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 33: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

134

Kewajiban ketiga adalah mengetahui identitas Nabi Muhammad.

Identitas ini sesuai dengan kutipan.

Demikian lagi fardu atas segala mukalaf menngetahui ia bahwasanya

nabi kita Muhammad itu laki-laki anak Abdullah, anak Abdul

Muthalib. Ialah ‘arabi lagi Quraisy, lagi Hasyim. Negeri tempat

jadinya di Mekah, kemudian berpindah ia ke Medinah. Di sanalah

wafatnya. Dan adalah umur nabi kita enam puluh tiga tahun pada qaul

yang ashah (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa identitas minimal Nabi Muhammad

yang harus diketahui adalah asal keturunan, tempat lahir dan meninggal,

serta umur.

Setelah tiga kewajiban yang pertama kali dibebankan kepada mukalaf,

isi teks dilanjutkan dengan penjelasan mengenai bab ibadah. Ibadah dibagi

menjadi 9 macam, yaitu: hukum air, najis, wudu, tayamum, haid, salat, salat

Jumat, salat mayit, dan puasa. Setiap pergantian bahasan selalu diawali

dengan kalimat, “Fasal pada menyatakan...” seperti ditunjukkan pada

kutipan, “Fasal pada menyatakan hukum air” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3).

Kutipan tersebut menunjukkan permulaan bahasan mengenai hukum air.

Contoh lain ditunjukkan dalam kutipan, “Fasal pada menyatakan

sembahyang mayit” (Kifāyatu `l-‘Ibādah:15) yang menunjukkan permulaan

bahasan salat mayit.

Bagian penutup terdiri dari selawat kepada nabi dan kata tamat,

seperti ditunjukkan dalam kutipan “Wa shalla `l-Lāhu ‘alā khairi khalqihi

Muhammadin wa ‘alā [ālihi] wa shahbihi wa sallam. Amīn yā rabbi `l-

‘ālamīn. Tamat” (Kifāyatu `l-‘Ibādah:17). Kutipan tersebut menunjukkan

bahwa penutup teks Kifāyatu `l-‘Ibādah tidak menggunakan bentuk

interlinier.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 34: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

135

3. Pusat Penyajian

Pusat penyajian teks Kifāyatu `l-‘Ibādah menggunakan pusat

penyajian orang pertama dan orang ketiga. Pusat penyajian ini dapat dilihat

dari kata ganti yang muncul. Pusat penyajian orang pertama menggunakan

kata ganti aku, sedangkan pusat penyajian orang ketiga menggunakan kata

ganti mereka.

Tokoh “aku” muncul pada pendahuluan teks seperti dalam kutipan

berikut, “Kumulai kitab ini dengan nama Allah Yang Mahamurah pada

memberi rezeki akan segala hamba-Nya mukmin dan kafir dalam negeri

dunia ini, lagi Yang Amat Mengasih akan segala hamba-Nya dalam negeri

akhirat ini” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1). Kata “kumulai” sebagai kata ganti

orang pertama tunggal adalah kata yang pertama kali muncul setelah

basmalah. Kata tersebut menunjuk pada pengarang teks. Tokoh “aku”

tersebut sekaligus ingin menunjukkan bahwa pengarang terlibat dalam gaya

penyajian teks. Dengan begitu pengarang berperan sebagai orang yang lebih

tahu daripada pembacanya.

Selain orang pertama, teks Kifāyatu `l-‘Ibādah juga menggunakan

pusat penyajian orang ketiga lewat kata ganti “hai talib”, seperti yang

ditunjukkan oleh kutipan, “Ketahui olehmu hai talib! Bahwasanya tiada sah

menghilangkan najis, dan mandi junub, dan mengambil air sembahyang,

melainkan dengan air yang mutlak, yaitu air yang suci lagi menyucikan”

(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3). Kata ganti “hai talib” di dalam kutipan merujuk

pada kata “mereka” yang merupakan orang ketiga jamak. Kata “hai talib”

tersebut merujuk kepada pembaca yang ingin mengetahui kewajiban

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 35: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

136

mukalaf dan ajaran ibadah yang ada di dalam teks. Pembaca dianggap orang

yang belum mengetahui tentang kewajiban mukalaf dan ajaran ibadah

seperti yang dituliskan pengarang lewat tokoh “aku”.

4. Gaya Bahasa

Teks Kifāyatu `l-‘Ibādah merupakan teks sastra kitab yang bercirikan

memiliki gaya bahasa khusus. Ungkapan dalam bahasa Arab sering

digunakan untuk penyebutan istilah tertentu, terutama yang berkaitan

dengan Islam. Selain itu, kekhususan juga terlihat dalam hal sintaksis dan

gaya bahasanya.

a. Kosakata

Kosakata yang terdapat dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah meliputi

kosakata bahasa Arab yang sudah diserap dan kosakata bahasa Arab

yang belum diserap. Adapun kosakata bahasa Arab yang sudah

diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.

Tabel 13

Kosakata Arab yang Sudah Diserap

No Kosakata No Kosakata No Kosakata No Kosakata

1. Akbar 21. Istihadah 41. Najis 61. Tasdik

2. Akhirat 22. Isya 42. Niat 62. Tawaf

3. Akil 23. Jumat 43. Nifas 63. Tayamum

4. Allah 24. Junub 44. Puasa 64. Tertib

5. Anbiya 25. Kafir 45. Quran 65. Wadi

6. Asar 26. Khotbah 46. Rakaat 66. Wafat

7. Awal 27. Khusus 47. Rezeki 67. Wajib

8. Balig 28. Kiblat 48. Risalah 68. Zikir

9. Doa 29. Kubul 49. Rukuk 69. Zuhur

10. Dubur 30. Mafhum 50. Rukun

11. Fana 31. Magrib 51. Sahih

12. Fardu 32. Mani 52. Salam

13. Haid 33. Mayit 53. Subuh

14. Ibadah 34. Mazi 54. Sujud

15. Ibarat 35. Mukalaf 55. Sunah

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 36: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

137

16. Ikamah 36. Mukmin 56. Syahadat

17. Iktidal 37. Mursal 57. Taala

18. Iktikad 38. Mushaf 58. Takbiratulihram

19. Imam 39. Mustahil 59. Talib

20. Iman 40. Nabi 60. Tamat

Adapun kosakata bahasa Arab dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah yang

belum diserap ke dalam bahasa Indonesia dapat dilihat pada tabel

berikut ini.

Tabel 14

Kosakata Arab yang Belum Diserap

No Kosakata No Kosakata

1. ‘Āliman 17. Mutakallimun

2. ‘Arabi 18. Mutawassithah

3. Ashghar 19. Qadīran

4. Baqā 20. Qaul

5. Bashar 21. Qidam

6. Bashīran 22. Qiyāmuhu bi nafsih

7. Hayāt 23. Qudrat

8. Hayyan 24. Qullah

9. Iftirasy 25. Qunut

10. ‘Ilmu 26. Sam’a

11. Iradāh 27. Samī’an

12. Kalām 28. Wahdāniyah

13. Mughallazhah 29. Wujūd

14. Mukhaffafah

15. Mukhālafatuhu lil hawādis

16. Murīdan

b. Ungkapan Bahasa Arab

Ungkapan-ungkapan bahasa Arab yang dijumpai dalam teks

Kifāyatu `l-‘Ibādah dapat dilihat pada tabel berikut.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 37: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

138

Tabel 15

Ungkapan Bahasa Arab

No Ungkapam

1. Al-hamdu li `l-Lāhi Rabbi `l-‘ālamīn

2. Allāhu akbar

3. Assalāmu ‘alaikum wa rahmatu `l-Lāh

4. Astghfiru `l-Lāha `l-‘azhīm

5. Asyhadu an lā Ilāha illā `l-Lāh

6. Asyhadu anna Muhammada `r-rasūlu `l-Lāh

7. Bismi `l-Lāhi `r-Rahmāni `r-Rahīm

8. Fi’lu kulli mumkinin aw tarkuh

c. Sintaksis

Teks Kifāyatu `l-‘Ibādah merupakan teks sastra kitab dengan

struktur kalimat yang mendapatkan pengaruh dari bahasa Arab.

Pengaruh tersebut dapat dilihat dengan digunakannya kata “dan” dan

“maka” di awal kalimat. Padahal kedua kata ini berfungsi sebagai

konjungsi di dalam struktur kalimat bahasa Melayu. Penggunaan di

awal kalimat disebabkan oleh adanya kata wa dan fa dalam bahasa

Arab yang dapat diletakkan di awal kalimat bahasa Arab. Wa yang

berarti “dan”, dan fa yang berarti “maka” berfungsi sebagai kata

tumpuan dalam bahasa Melayu.

1) Dan

Struktur kalimat bahasa Melayu menggunakan “dan”

sebagai kata tumpuan yang dapat diletakkan di awal kalimat.

Struktur tersebut dapat dijumpai di dalam teks Kifāyatu `l-

‘Ibādah sesuai kutipan berikut, “Wa `sh-shalātu wa `s-salāmu

‘alā sayyidinā Muhammadin sayyidi `l-anbiyā`i wa `l-mursalīn.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 38: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

139

Dan rahmat Allah dan salam Allah atas penghulu kita

Muhammad, yaitu penghulu segala anbiya dan segala nabi

mursal” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1). Kutipan di atas membuktikan

bahwa kata “dan” digunakan sebagai kata tumpuan, tidak hanya

sebagai penghubung antarkalimat. Penggunaan kata tumpuan

didasarkan pada struktur kalimat bahasa Arab yang

menempatkan wa di awal kalimat.

2) Maka

Kata “maka” dalam bahasa Indonesia digunakan sebagai

penghubung, tetapi dalam bahasa Melayu kata tersebut

berfungsi sebagai kata tumpuan. Pernyataan tersebut sesuai

dengan kutipan, “Ammā ba’du fa innahu risālatun

mukhtasharatun wa sammaituhā Kifāyatu `l-‘Ibādah. Adapun

kemudian [dari] daripada itu maka inilah suatu ibarat risalah

yang simpan dan kunamai akan dia “Kifāyatu `l-‘Ibādah””

(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1). Kutipan di atas menunjukkan bahwa

kata “maka” berfungsi sebagai kata tumpuan. Hal ini disebabkan

oleh pengaruh bahasa Arab, yaitu kata fa yang diterjemahkan

menjadi “maka”.

d. Gaya Bahasa

Berdasarkan struktur kalimat yang digunakan, teks Kifāyatu `l-

‘Ibādah memiliki gaya pararelisme dan antitesis. Sementara itu,

sarana retorika yang terdapat dalam teks ialah polisindeton, asindeton,

eufemisme, dan litotes.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 39: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

140

1) Pararelisme

Gaya pararelisme adalah gaya berdasarkan struktur

kalimat yang berimbang di dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah. Gaya

tersebut dapat dilihat dalam contoh kutipan berikut, “Ketahui

olehmu bahwasanya tayamum itu wajib jika tiada ada beroleh

air, atau ada air itu tiada dapat memakaikan air ini pada

anggotanya, seperti karena luka yang berobat, atau berbalut

yang kesukaran pada menghilangkan keduanya” (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 5). Struktur gramatikal di dalam contoh kalimat

majemuk di atas adalah setara, yaitu antara “bahwasanya

tayamum itu wajib jika tiada ada beroleh air” dan “ada air itu

tiada dapat memakaikan air ini pada anggotanya, seperti karena

luka yang berobat, atau berbalut”. Dari struktur yang setara

inilah dapat dikatakan bahwa di dalam teks menggunakan gaya

pararelisme.

2) Antitesis

Gaya antitesis (pertentangan) yang terdapat dalam teks

Kifāyatu `l-‘Ibādah mempertentangkan dua sifat Allah, yaitu

sifat wajib dan sifat mustahil. Pertentangan ini dapat dilihat dari

kutipan berikut, “Bermula yang mustahil pada Allah Taala

segala lawan sifat dua puluh (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3). Kutipan

tersebut menginformasikan bahwa terdapat pertentangan antara

dua sifat Allah yaitu sifat wajib dan sifat mustahil. Antitesis

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 40: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

141

tersebut bertujuan untuk memperjelas keterangan bahwa sifat

mustahil Allah adalah lawan dari dua puluh sifat wajib.

3) Analitik

Gaya analitik (penguraian) di dalam teks Kifāyatu `l-

‘Ibādah dapat dilihat dari kutipan berikut,

Bermula rukun tayamum itu empat perkara: pertama

memindahkan tanah kemudian daripada menepuk dengan

tangan ke muka, kedua niat, dipersuratkan niat itu pada

pertama-tama tapak. Maka diniatkan oleh yang berhadas

ashghar nawaitu istibāhata fardhi `s-salāh artinya ‘sengaja

aku memperharuskan fardu sembahyang’. Maka diniatkan

oleh orang yang berhadas akbar nawaitu fardlu tayamuma li

`l-junubi fardu alā li `l-Lāhi ta’āla. artinya ‘sengaja’ aku

fardu tayamum karena junub fardu atasku karena Allah

Taala, ketiga menyapu tangan serta si(gh)ku, keempat tertib (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 5).

Kutipan di atas menginformasikan bahwa rukun tayamum

diuraikan secara jelas. Empat rukun tayamum tersebut adalah

memindahkan tanah dengan cara menepuk tangan ke muka, niat,

membasuh tangan dan siku, dan tertib.

4) Polisindeton

Gaya polisindeton yang terdapat pada teks Kifāyatu `l-

‘Ibādah ditandai dengan pemakaian kata sambung “dan”. Gaya

tersebut dapat dilihat pada kutipan, “Ketahui olehmu hai talib!

Bahwasanya tiada sah menghilangkan najis, dan mandi junub,

dan mengambil air sembahyang, melainkan dengan air yang

mutlak, yaitu air yang suci lagi menyucikan” (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 3). Kutipan di atas menunjukkan bahwa gaya bahasa

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 41: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

142

yang digunakan di dalam teks adalah polisindeton, yaitu dengan

menghubungkan beberapa kata dengan kata “dan”.

5) Asindeton

Gaya asindeton di dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah dapat

dilihat dari tidak adanya kata penghubung untuk kata-kata yang

sederajat. Sebagai gantinya, digunakan tanda koma seperti

dalam kutipan berikut, “Maka air yang mutlak itu yaitu tujuh

bahagi: pertama air hujan, kedua air embun, ketiga air beku,

keempat [air] laut, kelima air sungai, keenam air mata air,

ketujuh air telaga” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3). Kutipan di atas

menunjukkan bahwa untuk menghubungkan tiap frasa pada

kalimat digunakan tanda koma. Penulisan seperti itu sesuai

dengan gaya Asindenton.

6) Litotes

Gaya litoses di dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah bertujuan

untuk merendahkan diri seperti terlihat dalam kutipan berikut,

“Kumulai kitab ini dengan nama Allah Yang Mahamurah pada

memberi rezeki akan segala hamba-Nya mukmin dan kafir

dalam negeri dunia ini, lagi Yang Amat Mengasih akan segala

hamba-Nya dalam negeri akhirat ini” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 1).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa pengarang merendahkan

diri di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan menambahkan

kata Maha untuk menyebutkan kata Tuhan.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 42: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

143

B. Isi Ajaran Ibadah

Kifāyatu `l-‘Ibādah merupakan sastra kitab yang membahas ajaran fikih

sebagai pedoman tata-cara beribadah. Fikih yang termuat meliputi hukum air,

najis, wudu, tayamum, haid, salat, salat Jumat, dan puasa.

1. Hukum Air

Air menurut hukumnya untuk bersuci dibagi menjadi empat, yaitu: air

suci yang mensucikan, air suci yang mensucikan namun makruh, air suci

yang tidak mensucikan, dan air najis. Macam-macam air tersebut di dalam

teks ditunjukkan dalam kutipan, “Bahwasanya tiada sah menghilangkan

najis, dan mandi junub, dan mengambil air sembahyang, melainkan dengan

air yang mutlak, yaitu air yang suci lagi menyucikan. Maka air itu terbahagi

kepada empat bahagi: pertama air yang mutlak, kedua air makruh, ketiga air

mustakmal, keempat air najis” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3). Pembagian air

tersebut bertujuan untuk mengetahui jenis air yang dapat digunakan untuk

menghilangkan hadas.

a. Air Suci yang Mensucikan

Air suci yang mensucikan disebut pula air mutlak, yaitu air yang

suci karena tidak ada zat yang menjadikan najis (Zuhaili, 2012: 88).

Air tersebut dibagi menjadi tujuh golongan. Pernyataan ini sesuai

dengan kutipan, “Maka air yang mutlak itu yaitu tujuh bahagi:

pertama air hujan, kedua air embun, ketiga air beku, keempat [air]

laut, kelima air sungai, keenam air mata air, ketujuh air telaga”

(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3)

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 43: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

144

Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat

tujuh golongan air suci yang mensucikan, yaitu: air hujan, air embun,

air beku, air laut, air sungai, air mata air, dan air telaga. Pendapat ini

didasarkan pada fikih mazhab Imam Syafii yang menyatakan bahwa

air yang boleh digunakan untuk bersuci dibagi menjadi tujuh macam

(Zuhaili, 2012: 85).

Macam-macam air mutlak ditunjukkan oleh bebrapa dalil naqli,

diantaranya QS Al-Anfal (8): 11 yang menyatakan bahwa Allah

menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk menyucikan kalian

dengan hujan itu. Selain itu kesucian air salju dan air embun

didasarkan pada hadis tentang doa iftitah yang dibaca nabi, “Wahai

Allah, jauhkan aku dan dosa-dosaku sebagaimana engkau jauhkan

antara timur dengan barat. Wahai Allah bersihkanlah aku dari segala

dosa-dosa sebagaimana baju putih yang bersih dari kotoran. Wahai

Allah cucilah aku dengan air salju dan air embut” (HR Bukhari dan

Muslim).

b. Air Suci yang Mensucikan namun Makruh

Air suci yang makruh disebut pula air musyammas.

Menggunakan air musyammas untuk bersuci hukumnya adalah

makruh seperti ditunjukkan dalam kutipan, “Dan air yang makruh itu

yaitu tiga perkara: pertama air yang sangat hangat, kedua air sangat

sejuk, ketiga air yang tercemar pada negeri yang sangat hangat”

(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 44: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

145

Kutipan tersebut sesuai dengan fikih Imam Syafii. Zuhaili

menyatakan bahwa air musyammas adalah air yang menjadi panas

karena diletakkan di tempat yang disinari matahari langsung dalam

wadah berbahan logam. Hukum menggunakan air musyammas adalah

makruh tanzih. Hukum makruh tersebut dikenakan untuk penggunaan

air pada badan, sebab menurut dugaan penggunaan air musyammas

dapat menyebabkan penyakit kusta. Begitu pula menggunakan air

yang terlalu panas dan terlalu dingin (Zuhaili, 2012: 90).

c. Air Suci yang Tidak Mensucikan

Air musta’mal termasuk ke dalam jenis air suci yang tidak

mensucikan. Air tersebut merupakan air yang jumlahnya sedikit, dan

telah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis pada basuhan

pertama. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan, “Dan air yang

\mustakmal\ itu air yang sudah terpakai pada segala basuh yang

wajib” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3).

Kutipan tersebut sesuai dengan fikih mazhab Imam Syafii. Air

musta’mal tidak dikategorikan ke dalam air suci mensucikan.

Penyebabnya adalah karena air musta’mal merupakan air yang

jumlahnya sedikit. Jika air musta’mal itu ditambahi dengan air yang

suci hingga mencapai dua qullah maka secara otomatis hukumnya

berubah menjadi air suci mensucikan (Zuhaili, 2012: 88-89).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 45: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

146

d. Air Najis

Air dapat dikatakan sebagai najis dan tidak sah digunakan untuk

bersuci apabila berukuran kurang dari dua qullah dan terdapat najis di

dalamnya. Pernyataan ini dibuktikan dalam kutipan.

Dan yang air najis itu yaitu air yang kurang daripada dua qullah,

maka dimasukkan najis ke dalamnya, sama ada ia berubah atau

tiada, maka air itu najislah jua {hukumnya}. Dan jika ada air itu

dua qullah atau lebih, maka dimasukkan ke dalamnya tatkala itu

tiada berubah rasanya, atau baunya, atau warnanya, maka air itu

\suci menyucikan\ jua {hukumnya} (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 3).

Kutipan di atas diperkuat dengan pernyataan bahwa menurut mazhab

Syafii air najis merupakan air yang berjumlah kurang dari dua qullah

(air sedikit) yang sudah berubah sifatnya, baik rasa, warna, dan bau.

Air yang berjumlah lebih dari dua qullah juga dapat menjadi najis

apabila terdapat perubahan terhadap sifat-sifat air karena kemasukan

najis (Zuhaili, 2012: 91).

2. Wudu

Wudu berarti menggunakan air untuk bagian-bagian tubuh tertentu

sebagai syarat salat. Basuhan-basuhan di dalam wudu dapat dihukumi wajib

atau sunah. Wudu memiliki enam fardu dan basuhan selebihnya adalah

sunah. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan.

Fasal pada menyatakan ^perintah pada mengambil air^ sembahyang

itu mula-mula sunah membasuh kedua telapak tangan hingga

pergelangan serta mengucap bismi ‘l-Lāhi ‘r-Rahmāni ‘r-Rahīm, dan

serta menghadap kiblat. Setelah itu maka wajib memasuh muka

beserta dengan niat nawaitu raf’a `l-had(a)s. Artinya „sengaja

kuangkatkan hadas‟. Setelah itu, maka wajib memasuh kedua tangan

hingga kedua si(gh) ku, dan sunah didahulukan tangan kanan. Setelah

itu, maka wajib membasuh kepala jikalau sehelai rambut sekalipun.

Setelah itu maka sunnah memasuh dua telinga. Setelah itu, maka

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 46: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

147

wajib memasuh dua-dua kaki hingga mata kaki kedua. Itulah perintah

mengambil air sembahyang. Setelah sudah mengambil air

sembahyang maka sunah menghadap kiblat serta mengangkatkan mata

ke langit dan menengadahkan kedua tapak tangan ke langit (Kifāyatu

`l-‘Ibādah: 5)

Imam Syafii menyatakan bahwa wudu memiliki enam fardu, yaitu: niat

ketika membasuh muka, membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai

kedua siku, mengusap sebagian kepala, membasuh kedua kaki hingga mata

kaki, dan mengurutkan basuhan (Zuhaili, 2012: 141-148). Zuhaili (2012:

150) juga mengungkapkan tiga belas sunah wudu sesuai dengan fikih

mazhab Imam Syafii. Ketiga belas sunah tersebut adalah: mengucap

basmalah sebelum melakukan wudu; membasuh kedua telapak tangan

sebelum memasukkannya. ke wadah air dan membasuh muka; bersiwak;

berkumur; istinsyaq (menghirup air dengan hidung lalu menyemburkannya);

mengusap kepala sampai merata; mengusap kedua telinga; menyela-nyela

jenggot, jari-jari tangan dan kaki; mendahulukan anggota tubuh kanan;

menyempurnakan basuhan, yaitu pada batas muka dan batas kedua tangan;

menyegerakan membasuh anggota tubuh selanjutnya sebelum anggota tubuh

yang telah dibasuh menjadi kering; menghindari meminta bantuan untuk

menuangkan air ketika berwudu; dan berdoa setelah wudu.

Kutipan di atas bersesuaian dengan teori yang terdapat dalam fikih

mazhab Imam Syafii. Rukun dan sunah wudu yang dijelaskan di dalam

kutipan teks tersebut bersumber pada fikih mazhab Imam Syafii.

Di dalam kitab Fathul Qorib dijelaskan soal sebab-sebab yang

membatalkan wudu. Sebab-sebab tersebut ditunjukkan dalam kutipan,

“Bermula yang membatalkan air sembahyang ini ada lima perkara: pertama

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 47: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

148

// keluar salah satu daripada dua jalan melainkan mani dirinya, kedua hilang

akal, ketiga bersentuh kulit laki-laki dengan perempuan yang harus nikah

dengan dia, keempat menjabat kubul atau dubur, kelima tidur” (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 5-6).

Di dalam kitab Fathul Qorib (al-Ghazy, Ibnu Qasim, 1992: 71)

dijelaskan bahwa terdapat lima perkara yang dapat membatalkan wudu.

Perkara tersebut yaitu: pertama keluarnya sesuatu dari kubul atau dubur,

kedua tidur tidak dengan posisi duduk, ketiga hilang akal, keempat

bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, kelima

menyentuh kemaluan dengan telapak tangan. Kifāyatu `l-‘Ibādah memiliki

kesesuaian isi dengan ajaran fikih berdasarkan mazhab Imam Syafii. Wudu

yang dijelaskan dalam di dalam teks tersebut bersumber dari ajaran fikih

Imam Syafii.

3. Tayamum

Tayamum merupakan salah satu cara bersuci dengan mengusapkan

debu ke seluruh wajah dan kedua tangan sebagai pengganti wudu atau

mandi. Syarat-syarat dibolehkannya tayamum adalah ketika sedang tidak

ada air atau angsugota tubuh memiliki pantangan terkena air karena sebab

tertentu. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan.

Ketahui olehmu bahwasanya tayamum itu wajib jika tiada ada beroleh

air, atau ada air itu tiada dapat memakaikan air ini pada anggotanya,

seperti karena luka yang berobat, atau berbalut yang kesukaran pada

menghilangkan keduanya. Maka wajib tayamum itu akan ganti air

pada orang mandi yang wajib adanya, atau sunah, atau pada orang

mengambil ^air^ sembahyang (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 5).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 48: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

149

Imam Syafii mempersyaratkan tiga hal dibolehkannya tayamum. Syarat-

syarat tersebut adalah: ketiadaan air dalam jarak 6000 langkah, terdapat

hewan-hewan yang lebih membutuhkan air, dan sakit yang dikhawatirkan

akan bertambah parah apabila terkena air. (Zuhaili, 2012: 180-183). Ktipan

di atas memenuhi dua syarat diperbolehkannya tayamum berdasarkan

mazhab Imam Syafii.

Tayamum memiliki empat rukun, yaitu: memindahkan tanah, niat,

menyapu muka dan tangan sampai siku, dan tertib. Niat tayamum tersebut

dijelaskan dalam kutipan.

Bermula rukun tayamum itu empat perkara: pertama memindahkan

tanah kemudian daripada menepuk dengan tangan ke muka, kedua

niat, dipersuratkan niat itu pada pertama-tama tapak. Maka diniatkan

oleh yang berhadas ashghar nawaitu istibāhata fardhi `s-salāh artinya

„sengaja aku memperharuskan fardu sembahyang‟. Maka diniatkan

oleh orang yang berhadas akbar nawaitu fardlu tayamuma li `l-junubi

fardu alā li `l-Lāhi ta’āla. artinya „sengaja‟ aku fardu tayamum

karena junub fardu atasku karena Allah Taala, ketiga menyapu tangan

serta si(gh)ku, keempat tertib (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 5).

Zuhaili (2012: 186-188) memaparkan bahwa terdapat lima rukun tayamum,

yaitu: 1) memindahkan debu ke anggota tubuh, 2) niat, 3) mengusap wajah

dan kedua tangan melewati siku, 4) mengusap kedua tangan sampai kedua

siku setelah mengusap wajah, 5) Tertib. Meskipun memiliki perbedaan

dengan yang tercantum dalam pendapat di dalam mazhab Imam Syafii,

namun penjelasan mengenai rukun tayamum di dalam teks sudah sesuai.

Urut-urutan dan langkah-langkah dalam bertayamum di dalam teks

mengacu pada fikih mazhab Imam Syafii.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 49: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

150

4. Haid, Nifas, dan Istihadah

Haid merupakan siklus keluarnya darah dari dalam rahim perempuan

setelah balig, terhitung saat usia sembilan tahun. Penjelasan mengenai haid

ditunjukkan oleh kutipan berikut.

Bermula sekurang-kurang umur perempuan yang haid sembilan tahun

dan sekurang-kurang masa haid ini sehari semalam. Dan sebanyak-

banyak masa haid ini lima belas hari lima belas malam. Dan yang

banyaknya // perempuan itu enam hari enam malam. Bermula darah

yang kuning, lagi keruh, lagi lengket itulah darah haid, dan jika

sekurang-kurang masanya sehari semalam (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 5-6).

Imam Syafii menjelaskan bahwa haid dialami perempuan yang minimal

berusia sebilan tahun. Masa haid adalah sehari semalam hingga lima belas

hari lima belas malam, namun umumnya adalah enam hari enam malam

(Zuhaili, 2012: 197). Pendapat tersebut sesuai dengan yang tertulis di dalam

teks Kifāyatu `l-‘Ibādah.

Selain haid, perempuan juga mengalami nifas dan istihadah. Kedua

fase ini dibedakan berdasarkan waktu terjadinya, seperti ditunjukkan dalam

kutipan berikut, “Bermula darah yang cair ini darah istihadah namanya,

yaitu darah pekat. Adapun wajib atas perempuan istihadah ini memasuh farji

serta darah yang di dalamnya. Dan mengambil air sembahyang atau

tayamum pada tiap-tiap fardu dalam waktu. Dan darah yang kemudian

daripada beranak itu darah nifas namanya” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 6).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa nifas dan istihadah dibedakan

atas waktu. Darah nifas merupakan darah yang keluar setelah proses

melahirkan, sementara darah istihadah dapat keluar setelah masa haid atau

tidak (Zuhaili, 2012: 195-196). Penjelasan tersebut sesuai dengan kutipan

yang terdapat di dalam teks Kifāyatu `l-‘Ibādah.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 50: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

151

5. Salat

Rukun salat yang pertama kali diucapkan adalah niat. Niat salat antara

yang satu dengan yang lain dibedakan atas masuknya waktu dan jumlah

rakaat. Pernyataan ini dibuktikan dengan kutipan.

Setelah selesai daripada ikamah maka sunah memaca lafaz niat yaitu

ushallī fardla `zh-zhuhri arba’a raka’ātin mustaqbila `l-qiblati

adā`an li `l-Lāhi ta’āla. Artinya 'kusembahyangkan fardu zuhur empat

rakaat dengan menghadap kiblat nawaitu karena Allah Taala‟. Dan

jika asar ushallī fardla `l-‘ashri arba’a raka’ātin mustaqbila `l-qiblati

adā`an li `l-Lāhi ta’āla. Artinya „kusembahyangkan fardu ashar empat

rakaat dengan menghadap kiblat nawaitu karena Allah Taala. Dan jika

magrib ushallī fardla `l-maghribi salāsa raka’ātin mustaqbila `l-

qiblati adā`an li `l-Lāhi ta’āla. (Allāhu akbar). Artinya

kusembahyangkan fardu [magrib] tiga rakaat dengan menghadap

kiblat nawaitu karena Allah Taala. Dan jika isya ushallī fardla `l-

‘isyā`i arba’a // raka’ātin mustaqbila `l-qiblati adā`an li `l-Lāhi

ta’āla. (Allāhu akbar). Artinya kusembahyangkan fardu isya empat

rakaat dengan menghadap kiblat nawaitu karena Allah Taala. Dan jika

subuh ushallī fardla `sh-shubhi ^raka’ataini mustaqbila `l-qiblati

adā`an li `l-Lāhi ta’āla^. ^Artinya „kusembahyangkan fardu subuh^

dua rakaat de[ngan] menghadap kiblat nawaitu karena Allah Taala

(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 7-8)

Kutipan di ats menunjukkan bahwa salat diawali dengan niat, yaitu

menyengaja untuk melakukan suatu kegiatan. Dalam kitab Fathul Qarib

menjelaskan mengenai delapan belas fardu salat yang salah satunya adalah

niat. Gerakan dan bacaan salat yang tidak disebutkan dalam fardu dihukumi

sunah. Fardu-fardu salat tersebut ditunjukkan oleh kutipan-kutipan berikut.

Kemudian dari itu maka wajib mengata Allāhu akbar, serta diniatkan

segala niat yang telah tersebut itu pada permulaan \takbiratulihram\.

Setelah itu maka sunah memaca wajjahtu wajhiya li `l-Lazī fathara `s-

samaawāti wa `l-ardla hanīfan musliman wa maa anā mina `l-

musyrikīn. Inna shalātī, wa nusukī wa mahyāya, wa mamāti li `l-lāhi

Rabbi `l-ālamīn. Lā syarīkalahu wa bizalika umirtu wa anā mina `l-

muslimīn. Kemudian dari itu maka sunah memaca doa a’ūzu bi `l-Lāhi

mina `syaithāni `r-rajīm. Kemudian dari itu maka wajib memaca

bismi `l-Lāhi `r-Rahmāni `r-Rahīm, al-hamdu li `l-Lāhi rabbi `l-

‘ālamīn hingga akhirnya. Kemudian dari itu maka sunah memaca

^ayat^. Kemudian dari itu maka rukuk serta berhenti dalamnya, maka

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 51: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

152

sunah memaca dalamnya subhāna rabbiya `l-azhīmi wa bi hamdi tiga

kali. Kemudian dari itu maka iktidal, yaitu bangkit daripada rukuk

kepada berdiri tegak serta berhenti dalamnya, Maka sunah memaca

dalamnya sami’a `l-Lāhu liman hamidah rabbanā laka `l-hamdu mil`a

`s-samawāti wa mil`a `l-`ardli wa mil`a māsyi`kta min syai`in b’adu.

Setelah itu maka sujud dengan tubuh lungkup dan berhenti dalamnya,

dan sunah ketika hendak sujud mengata Allāhu akbar, dan sunah

memaca dalam sujud itu subhāna rabbiya `l-a’lā wa bi hamdi. Setelah

itu maka bangkit kepada duduk antara dua sujud serta mengata Allāhu

akbar dan berhenti dalamnya, dan sunah memaca dalam duduk itu

rabbighfirlī warhamnī wajburnī warfa’nī warzuqnī wahdinī // wa

‘āfini wa i‘fuannī. Setelah itu maka sujud pula seperti yang dahulu.

Setelah itu maka bangkit pula kepada duduk istirahat. Maka dinamai

akan segala yang telah dikerja itu serakaat (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 8-9).

Kitab Fathul Qarib (al-Ghazy, Ibnu Qasim, 1992: 171) menjelaskan bahwa

rukun salat dirincikan menjadi delapan belas. Selain niat pada awal

melakukan salat, rukun-rukun tersebut adalah: berdiri bagi yang mampu,

takbiratulihram sambil mengucap Allāhu akbar, membaca fatihah, rukuk,

thuma’ninah (tenang sejenak) di dalam rukuk, bangun dari rukuk dan iktidal

dengan berdiri pada posisi semula bagi yang mampu, thuma’ninah di dalam

iktidal, sujud dengan menyentuhkan kening ke tempat sujudnya dua kali

dalam setiap rakaat, thuma’ninah di dalam sujud, duduk antara dua sujud

dalam setiap rakaat, thuma’ninah di dalam duduk antara dua sujud, duduk

akhir yang diiringi salam, membaca tahiyyat saat duduk akhir, doa selawat

kepada Nabi Muhammad Saw. setelah selesai membaca tahiyyat, salam

yang pertama, niat keluar dari salat, tertib.

Selesainya salat diakhiri dengan salam, setelah sebelumnya membaya

tahyat akhir pada rakaat terakhir salat. Pernyataan tersebut dibuktikan

dengan kutipan.

Kemudian sujud attahiyātu `l-mubārakatu `sh-shalawātu `th-

thayyibatu li `l-Lāh. Assalāmu ‘alaika ayyuha `n-nabiyyu wa rahnatu

`l-Lāhi wa barakātuh. Asslāmu ‘alainā wa ‘alā // ‘ibādi `l-Lāhi `sh-

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 52: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

153

shālihīn. Asyhadu an lā ilāha illa `l-Lāh. Wa asyhadu anna

Muhammada `r-rasūlu `l-Lāh. Allahumma shalli ‘alā Muhammad. Wa

‘alā āli Muhammad. Dan sunah menambah kamā shallaita ‘alā

Ibrāhīm. Wa ‘alā āli Ibrāhīm. Fi `l-‘ālamīna innaka hamīdummajīd.

Allahumma ighfirlī mā qaddamtu wa mā akhartu wa mā asrartu wa

mā a’lantu wa mā asraftu wa ammā anta a’lamu bihi minnī anta `l-

muqaddamu wa anta `l-muakhkharu lā ilāha illā anta, yā muqalliba

`l-qulūbi sabbit qalbī ‘alā dīnika, subhānaka innī kunta mina `zh-

zhālimīn. Allahumma innī zhalamtu nafsī zhulman kasīran wa lā

yaghfiru `zunūba illā anta fā ighfirlī maghfiratun min ‘indika wa

irhamnī innaka anta `l-ghafūru `r-rahīm. Setelah itu maka wajib

memberi salam yaitu As-salāmu’alaikum wa rahmatu `l-Lāh sekali

kanan hingga kelihatan punggung kanan serta meniatkan keluar

daripada sembahyang, dan jika ter[da] hulu niat itu daripada salam

niscaya batallah sembahyang (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 9-10).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa bacaan tahyat akhir dan salam

digunakan untuk mengakhirkan salat. Salam yang wajib dilakukan ketika

salat membuat keluarnya salat atau terkena hadas sebelum salam membuat

salat tidak sah.

Syarat mengenai salat di atas juga merupakan syarat-syarat yang juga

tertuang dalam Kifāyatu `l-‘Ibādah. Hal ini menunjukkan bahwa isi teks

yang membahas soal salat menganut mazhab Imam Syafii dan ajarannya

masih relevan hingga sekarang.

6. Salat Jumat

Hukum salat Jumat adalah fardu. Hal ini sesuai dengan kutipan

berikut, “Bermula sembahyang Jumat itu fardu ain atas tiap-tiap mukalaf

laki-laki dan perempuan yang merdehaka, lagi mukim pada negeri, lagi

sehat badan” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15).

Kutipan di atas didasarkan pada pendapat Imam Syafii mengenai

fardu salat Jumat. Hukum salat Jumat adalah fardu ain bagi muslim

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 53: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

154

mukalaf, laki-laki, sedang tidak dalam perjalanan, sehat, dan terbebas dari

uzur di luar salat Jumat (Zuhaili, 2012: 360). Pernyataan dalam teks

Kifāyatu `l-‘Ibādah mengandung kesesuaian dengan pendapat Imam Syafii

tersebut. Pendapat ini juga diperkuat dengan kutipan QS Al Jumu‟ah (62): 9

yang menjadi dalil naqli difardukannya salat Jumat.

Kifāyatu `l-‘Ibādah menuliskan petikan ayat dari QS al Jumu‟ah (62):

9 dalam kutipan.

Seperti firman Allah Taala, yāayyuha `l-ladzīna āmaū idzā nūdiya li

`sh-shalāti min yaumi `l-jumu’ati fas’au ilā zikri `l-Lāhi wa zaru `l-

bai’. Hai segala mereka itu yang percaya akan Allah, apabila mukmin

yang karena sembahyang pada hari Jumat, maka hendaklah kamu

pergi pada sembahyang tatkala itu tinggalkan olehmu berniaga

(Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15).

Kutipan di atas menunjukkan nukilan QS Al-Jumu‟ah (62): 9 yang menjadi

dalil difardukannya salat Jumat. Kutipan ayat tersebut juga digunakan oleh

Imam Syafii sebagai dasar hukum salat Jumat. Zuhaili (2012: 360)

menjelaskan dalam kutipan berikut, “Wahai orang-orang yang beriman,

apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka

segeralah kalian mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang

demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” Kutipan di atas

merupakan terjemahan dari QS Al-Jumu‟ah (62): 9. Ayat tersebut dijadikan

dalil naqli untuk salat Jumat.

Salat Jumat memiliki tiga syarat wajib, yaitu: berada di daerah

pemukiman, dilaksanakan empat puluh orang atau lebih, dan sudah masuk

waktu salat. Syarat-syarat tersebut sesuai dengan kutipan, “Bermula syarat

wajib itu tiga perkara, pertama pada orang yang dalam negeri, kedua genap

empat puluh, ketiga sampai waktu” (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 54: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

155

Mazhab Syafii mensyaratkan tiga hal dalam pelaksanaan salat Jumat.

Syarat pertama adalah berada di daerah pemukiman yang menyelenggarakan

salat Jumat, baik itu di kota ataupun desa. Syarat kedua adalah jumlah

jamaah minimal empat puluh orang, termasuk imam. Syarat terakhir adalah

salat Jumat tersebut dilaksanakan sesuai waktunya, yaitu ketika masuk

waktu Zuhur (Zuhaili, 2012: 363-365).

Kutipan di dalam naskah menunjukkan kesesuaian dengan pendapat

Imam Syafii mengenai syarat salat Jumat. Kesesuaian tersebut menunjukkan

bahwa Kifāyatu `l-‘Ibādah merupakan naskah fikih berdasarkan mazhab

Imam Syafii.

7. Salat Jenazah

Hukum salat jenazah adalah fardu kifayah yang dipersyaratkan dengan

empat takbiratulihram. Pernyataan ini dijelaskan dalam kutipan berikut.

Fasal pada menyatakan sembahyang mayit. Bermula sekurang-kurang

sembahyang mayit itu ushalli ‘alā hazihi `l-mayyti [arba’a takbirātin]

fardla `l-kifāyati makmūman li `l-Lāhi ta’ālā. Allahu akbar. Artinya

kusembahyangkan atas mayit ini fardu kifayah, kuikuti imam karena

Allah Taala. Kemudian dari itu maka memaca fatihah. Setelah selesai

daripada memaca fatihah maka takbir sekali. Setelah itu maka

memaaca Allahumma shalli ‘alā Muhammadin wa ‘alā āli

Muhammadin. Setelah itu maka takbir sekali. Setelah itu maka maka

memaca Allahumma arhamhu Allahumma ighfirlahu. Setelah itu maka

takbir sekali. Setelah itu maka memaca Allahumma lā tahrimnā //

ajrahu wa lā taftinnā ba’dahu wa ighfirlanā wa lahu. Setelah itu maka

memberi salam yaitu Assalāmu ‘alaikum wa rahmatu `l-Lāh. Serelah

itu maka sunah memaca Allahumma ij’al qabrahu raudlatan min

riyādli `l-jannāti wa lā taj’al hafrahu min hafrati `n-nīrāni wa shalla

`l-Lāhu ‘alā khairi khalqihi Muhammadin wa ālihi wa shahbihi

ajma’īn, bi rahmatika yā arhama `r-rāhimīn (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 15-

16).

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 55: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

156

Imam Syafii menjelaskan bahwa rukun salat jenazah meliputi: niat, empat

kali takbir, membaca Alfatihah, membaca selawat nabi, mendoakan jenazah,

berdiri bagi yang mampu, sera mengucapkan salam setelah takbir keempat.

Niat salat jenazah tidak memerlukan penyebutan nama jenazah secara

spesifik. Mendoakan jenazah diberi batasan minimal yaitu memohon

ampunan dan rahmat bagi si mayit (Zuhaili, 2012: 419-420). Kutipan di atas

menjelaskan bahwa urut-urutan salat mayit adalah niat, takbir, membaca

alfatihah, takbir, membaca selawat nabi, takbir, membaca Allahumma

arhamhu Allahumma ighfirlahu, takbir, membaca Allahumma lā tahrimnā

ajrahu wa lā taftinnā ba’dahu wa ighfirlanā wa lahu, terakhir adalah salam.

Doa-doa yang tercantum di dalam teks adalah doa yang dipersyaratkan

minimal dalam fikih Imam Syafii. Oleh karena itu, teks tersebut ditulis

berdasarkan ajaran fikih Imam Syafii.

8. Puasa

Puasa memiliki tiga syarat wajib, yaitu: balig, berakal, dan mampu

untuk berpuasa, syarat-syarat wajib tersebut sesuai dengan kutipan,

“Bermula yang menfardukan puasa itu tiga perkara, pertama islam, kedua

akil, ketiga kuasa ia puasa (Kifāyatu `l-‘Ibādah: 16). Syarat-syarat tersebut

tertuang dalam fikih Imam Syafii. Zuhaili (2012: 483) menyatakan bahwa

puasa adalah kewajiban bagi orang berakal, balig, islam, dan mampu.

Orang-orang kafir, gila, dan orang tua yang dianggap tidak mampu tidak

diwajibkan untuk berpuasa.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Page 56: BAB V ANALISIS STRUKTUR DAN ISI A. Struktur Teks Kifāyatu

157

Puasa memiliki tujuh syarat sah. Ketujuh syarat tersebut dijelaskan

dalam kutipan.

Bermula syarat sah puasa itu tujuh perkara, pertama niat pada tiap-tiap

malamnya, kemudian daripada masuk matahari dahulu daripada fajar.

Dan lafal niat ashūmu ghadan min adā`i fardli ramadlāni hāzihi `s-

sanati li `l-Lāhi ta’ālā. Aku puasa esok hari daripada memeri fardu

ramadan pada tahun ini karena Allah Taala. Dan sebagian \dibaca\

pada malam yang pertama ashūmu `sy-syahran ‘an ramadlāna

kullahu. Aku puasa esok hari sebulan daripada bulan ramadan

sekalinya tetap tiada niat itu lain daripada malam yang pertama, kedua

menahan diri daripada jamah dan mengeluarkan mani jikalau dengan

tangan sekalipun, ketiga menahan diri daripada sengaja muntah,

keempat menahan diri daripada memasukkan suatu benda ke dalam

segala batin jikalau sedikit sekalipun, kelima menahan diri daripada

murtad, keenam suci daripada haid, dan nifas, dan beranak // daripada

hari itu, ketujuh menahan diri daripada hilang akal (Kifāyatu `l-

‘Ibādah: 16-17).

Puasa memiliki tujuh syarat sah. Ketujuh syarat tersebut adalah: pertama

niat puasa setiap hari, kedua menahan diri dari hubungan intim atau

mengeluarkan sperma, ketiga menghindari muntah secara sengaja, keempat

mencegah masuknya benda ke dalam lubang tubuh, kelima islam, keenam

suci dari haid dan nifas, ketujuh berakal sempurna (Zuhaili, 2012: 486-488).

Pendapat tersebut sesuai dengan yang tertera di dalam teks Kifāyatu `l-

‘Ibādah. Hal ini menunjukkan bahwa teks dituliskan berdasarkan fikih

mazhab Imam Syafii.

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id