bab iv respons nzv dan para zendeling terhadap …

40
97 BAB IV RESPONS NZV DAN PARA ZENDELING TERHADAP KEBIJAKAN KOLONIAL PADA KOMUNITAS KRISTEN DI JAWA BARAT 1. Pengantar Setelah menelusuri konteks politik di negeri Belanda dan produk-produk hukum yang diterapkan di Hindia Belanda, serta penelusuran pada historiografi pekabaran Injil di Jawa Barat yang mengandalkan penuturan dari para zendeling dari periode 1860an sampai dengan 1950an, bab ini akan dipaparkan tinjauan korelasi-faktual pada kebijakan kolonial di Hindia Belanda terhadap komunitas Kristen di Jawa Barat. Tinjauan pada arsip-arsip Zending di Jawa Barat ini, sebagai sumber-sumber primer, menjadi titik tolak penelusuran respons Zending dan para zendeling terhadap kebijakan-kebijakan kolonial di Hindia Belanda, secara khusus dalam persinggungan dengan komunitas Kristen di Jawa Barat: di desa Cideres, Pangharepan, Palalangon, dan Tamiang. Tinjauan ini menjadi yang utama dalam tesis ini baik dalam kaitan respons Zending terhadap politik dan kebijakan kolonial Hindia Belanda terkait pekabaran Injil dan kepemilikan tanah, maupun dalam kaitan sikap dan relasi para zendeling terhadap para ambtenaar terkait keberadaan dan pengembangan desa-desa Kristen pada masyarakat Jawa Barat.

Upload: others

Post on 29-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

97

BAB IV

RESPONS NZV DAN PARA ZENDELING TERHADAP KEBIJAKAN

KOLONIAL PADA KOMUNITAS KRISTEN DI JAWA BARAT

1. Pengantar

Setelah menelusuri konteks politik di negeri Belanda dan produk-produk

hukum yang diterapkan di Hindia Belanda, serta penelusuran pada historiografi

pekabaran Injil di Jawa Barat yang mengandalkan penuturan dari para zendeling

dari periode 1860an sampai dengan 1950an, bab ini akan dipaparkan tinjauan

korelasi-faktual pada kebijakan kolonial di Hindia Belanda terhadap komunitas

Kristen di Jawa Barat. Tinjauan pada arsip-arsip Zending di Jawa Barat ini, sebagai

sumber-sumber primer, menjadi titik tolak penelusuran respons Zending dan para

zendeling terhadap kebijakan-kebijakan kolonial di Hindia Belanda, secara khusus

dalam persinggungan dengan komunitas Kristen di Jawa Barat: di desa Cideres,

Pangharepan, Palalangon, dan Tamiang. Tinjauan ini menjadi yang utama dalam

tesis ini baik dalam kaitan respons Zending terhadap politik dan kebijakan kolonial

Hindia Belanda terkait pekabaran Injil dan kepemilikan tanah, maupun dalam

kaitan sikap dan relasi para zendeling terhadap para ambtenaar terkait keberadaan

dan pengembangan desa-desa Kristen pada masyarakat Jawa Barat.

98

2. Hubungan Zending dengan Pemerintah Kolonial

Pada awal tahun 1860 NZV mengajukan permohonan kepada Pemerintah

Belanda, dengan salah satu syaratnya adalah menyusun peraturan umum. Dengan

tujuan tersebut, NZV berhasil menyusun “Peraturan Umum NZV yang

berkedudukan di Rotterdam” (Algemeene Bepalingen der Nederlandsche

Zendingsvereeniging, gevestigd te Rotterdam), yang tercetak tanggal 8 Agustus

1860. Dalam isi Pasal 1 peraturan umum tersebut, tertera: “Nederlandsche

Zendingsvereeniging, yang berkedudukan di Rotterdam, bertujuan membina dan

menerima para zendeling untuk diutus menyebarkan agama Kristen, terutama di

wilayah milik Belanda di Hindia Timur.” Dalam naskah pertama yang diajukan

kepada Pemerintah Belanda terdapat tambahan penjelasan kata-kata “di wilayah

milik Belanda di Hindia Timur di tengah penduduk non Kristen.” Dalam hal naskah

ini, Pemerintah Belanda menyatakan keberatan terhadap tambahan tersebut dan

mengusulkan perubahan menjadi “di wilayah milik Belanda di Hindia Timur di

tengah penduduk kafir.” Bagi Pemerintah Belanda wilayah Hindia Timur (Hindia

Belanda) antara wilayah yang berpenduduk “non Kristen” dan “kafir” jelas berbeda.

Dengan demikian, wilayah Jawa Barat, yang nanti diharapkan menjadi medan

pekabaran Injil NZV, tentu tidak terkategori wilayah berpenduduk “kafir” sebab

telah dihuni penduduk yang sebagian besar beragama Islam. Jika rumusan naskah

mula-mula itu tetap dipertahankan akan berindikasi NZV tidak akan mendapat

wilayah pekabaran Injil di Jawa Barat, tetapi justru di luar pulau Jawa seperti yang

diarahkan oleh pemerintah. Karena pertimbangan itulah, Pengurus Pusat NZV

99

memutuskan untuk mencoret kata-kata pada naskah yang pertama dan tidak

memasukkan juga rumusan sesuai dengan usulan Pemerintah Belanda, sehingga

rumusan Pasal 1 tetap menjadi seperti yang telah disebutkan di atas.1 Inilah untuk

pertama kalinya NZV mendapatkan pengakuan dari Pemerintah melalui Keputusan

Raja (Koninklijk Besluit) No. 53 tanggal 3 September 1860.

Baik Pengurus Pusat maupun para zendeling NZV enggan menjalin

hubungan dan berurusan dengan pemerintah kolonial. Hanya beberapa kali saja

Pengurus Pusat NZV menghubungi tokoh pemerintah atau Parlemen Belanda

(Tweede Kamer) untuk menyuarakan kepentingan Zending di Jawa Barat.

Hubungan NZV dengan haluan politik Konservatif di negeri Belanda sangat baik

karena di antara kaum Konservatif terdapat banyak orang Kristen ortodoks, seperti

yang ada dalam tubuh NZV. Misalnya, C. Albers dan S. Coolsma memelihara

hubungan erat dengan Gubernur Jenderal P. Mijer (1866-1872), yang termasuk

berhaluan politik Konservatif dan mendukung pekabaran Injil di Hindia Belanda.

Bahkan, Gubernur Jenderal P. Mijer dan keluarganya pernah turut menghadiri

perayaan Natal di Jemaat Bogor tahun 1869. NZV juga berelasi dengan kaum

Konservatif melalui tokoh GIUZ di Batavia bernama A.A.M.N. Keuchenius, yang

memiliki saudara bernama L.W.C Keuchenius yang pernah menjabat sebagai

anggota Parlemen, anggota dewan penasihat Gubernur Jenderal (1859-1877) dan

Menteri Daerah Jajahan (1888-1890). Begitupula, NZV mendapat dukungan dari

G. Groen van Prinsterer anggota Parlemen dan kaum ortodoks di NHK, kaum

1 Th. van den End, Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858-

1963 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 86.

100

Konservatif yang mengecam pemerintah kolonial Belanda yang terkadang

menentang pekabaran Injil di Pulau Jawa.

Akan tetapi, untuk kebijakan-kebijakan tertentu di Hindia Belanda (seperti

cultuurstelsel dan segala bentuk penindasan dan pemerasan di daerah jajahan),

NZV lebih mengharapkan dan mengandalkan dari kaum Liberal, namun tetap kritis

terhadap keberadaan tuan-tuan tanah dan perusahaan perkebunan. Para zendeling

NZV lebih menyukai kebijakan dari kaum Liberal dalam urusan kolonial. Bahkan,

NZV terbukti mendapat keuntungan dari kebijakan kaum Liberal. Melalui bantuan

L.D. Fransen van de Putte, yang pernah menjabat sebagai Menteri Daerah Jajahan

(1863-1866 dan 1972-1874), pada tahun 1864 dan 1865 para zendeling NZV yang

pertama memperoleh izin tinggal (buitengewone toelating) untuk wilayah Priangan.

Pada tahun 1866 dan 1869, zendeling A. Dijkstra (ARvdZ, 13-13)2 pernah

membandingkan antara kaum Konservatif dan kaum Liberal dalam pemerintahan.

Menurut Dijkstra, dalam kepentingan NZV melakukan aktivitas pekabaran Injil di

Hindia Belanda, baik kaum Konservatif maupun kaum Liberal memiliki pandangan

yang sama. Akan tetapi, untuk membawa perubahan yang signifikan bagi suatu

bangsa di Hindia Belanda, Dijkstra lebih mengandalkan sikap adil, jujur, dan baik

dari kaum Liberal. Terlebih lagi, Dijkstra lebih condong mendukung pemerintahan

dari kaum Liberal karena telah membuktikan jaminan perizinan bagi para zendeling

NZV yang berkarya di Priangan, yang tidak mampu dilakukan oleh pemerintahan

di bawah pengaruh haluan politik Konservatif. Meskipun demikian, sikap Dijkstra

terhadap kaum Liberal juga tetap kritis. Pada tahun 1873, Dijkstra melancarkan

2 van den End, Sumber-sumber Zending, 134.

101

kritiknya terhadap kaum Liberal yang hendak menghapuskan peran agama sebagai

prinsip liberalismenya.

Namun demikian, jikalau NZV dan para zendelingnya hanya bersikap

oportunis terhadap kepentingannya untuk melakukan pekabaran Injil di Jawa Barat,

tentu saja mereka akan sepaham dengan pemerintahan kaum Konservatif. Akan

tetapi, NZV dan para zendelingnya melampaui pandangan misionarisme sempit itu,

yaitu dalam semangat filantropisnya mereka lebih mengutamakan perubahan bagi

suatu kehidupan lebih baik dan sejahtera bagi penduduk Bumiputera, dan gagasan-

gagasan itu mereka dapati dari program-program yang terus diupayakan oleh

pemerintahan yang berhaluan politik Liberal. Meskipun demikian, terhadap

pemerintah kolonial dengan haluan politik baik Konservatif maupun Liberal, NZV

dan para zendelingnya mengambil sikap untuk tetap kritis, namun tetap loyal

terhadap kebijakan-kebijakan yang diberlakukan di Hindia Belanda secara umum,

dan Jawa Barat secara khusus.

3. Sikap Zending terhadap Regeringsreglement 1854

3.1. Terhadap Pasal-pasal Kebebasan Beragama dan Izin Kerja

Melalui pasal 119 Regeringsreglement 1854 – yang berbunyi: “Setiap orang

menganut agamanya dengan kebebasan penuh, dengan syarat adanya pengawasan

pada masyarakat dan umat-umatnya terhadap pelanggaran pada peraturan-peraturan

umum tentang hukum pidana” – pemerintah dengan begitu jelas memberikan

jaminan kepada penduduk di Hindia Belanda tentang kebebasan beragama. Sama

seperti hak-hak asasi lainnya yang menyangkut kehidupan politik penduduk,

102

kebebasan beragama pada abad ke-19 sudah dinikmati secara umum di Eropa dan

Amerika Utara. Karena itu, penyusunan Regeringsreglement 1854 tentu turut

menegakkan hak asasi semacam itu di Hindia Belanda.

Namun kemudian, dalam penjaminan hukum perihal kebebasan beragama

seperti ini muncul persoalan tentang usaha pemerintah kolonial dalam memberikan

pengawasan terhadap karya pekabaran Injil di Hindia Belanda. Muatan pasal 123

Regeringsreglement 1854 – yang berbunyi: “Para guru, pendeta, dan zendeling

Kristen harus diperlengkapi izin khusus yang diberikan oleh atau atas nama

Gubernur Jenderal untuk diperbolehkan melakukan tugas pelayanannya di salah

satu daerah tertentu di Hindia Belanda. Bilamana izin itu diketahui merugikan, atau

bila syarat-syaratnya tidak dipatuhi, izin itu dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal”

– memberikan kesan bagi badan-badan Zending bahwa pemerintah kolonial

melakukan pengawasan yang represif terhadap pekabaran Injil, daripada

pengawasan preventif. Dari sudut pandang pemerintah pemberlakuan permohonan

dan pemberian izin khusus menurut pasal 123 Regeringsreglement 1854 adalah

sistem pengawasan preventif terhadap pelaksanaan tugas kerja para guru, pendeta,

dan zendeling Kristen di Hindia Belanda. Seperti yang tersampaikan dalam Memori

Penjelasan dan Jawaban atas rancangan Regeringsreglement 1854, pada tahun 1853

Menteri Daerah Jajahan Ch. F. Pahud de Mortanges (1849-1856) memberikan

pendapatnya menyangkut soal keamanan dan ketertiban, bahwa untuk mencegah

gangguan keamanan yang timbul disebabkan gesekan antara aktivitas pekabaran

Injil dan fanatisme serta resistensi dari penduduk Islam, maka pengawasan

preventif memang sangat diperlukan. Bahwa kepentingan pemerintah menyusun

103

pasal 123 ini adalah untuk menjaga ketertiban di tengah-tengah penduduk

Bumiputera., yang dari sudut pandang Zending dan para zendeling dianggap

sebagai tindakan represif pemerintah kolonial terhadap pekerjaan Injil, yang

melanggar pasal 119 tentang kebebasan beragama.3

Namun demikian, sesungguhnya dalam pasal 123 Regeringsreglement 1854

tentang perlunya izin tugas bagi para guru, pendeta, dan zendeling Kristen tidak

memuat ketentuan ancaman pidana terhadap mereka yang kedapatan tidak

mempunyai izin khusus yang diperlukan. Dengan kata lain, tidak ada yurisprudensi

tentang kelayakan bagi siapa saja yang dianggap sebagai guru, pendeta, dan

zendeling, dan juga tidak ada penjelasan konkret tentang pekerjaan apa saja yang

dimaksud dengan jenis-jenis tugas dinasnya (dienstwerk). Hal lainnya, dalam

peraturan pemerintah ini tidak tercantum juga suatu kriteria tentang penolakan

pemerintah dalam memberikan izin khusus tersebut. Kewenangan pemberian izin

tetap ada di pihak pemerintah Hindia Belanda. Dalam menentukan keputusannya,

pemerintah Hindia Belanda mengambil sikap luwes terhadap Zending. Dalam arti

tidak akan melakukan penyelidikan dan pemberian syarat-syarat yang

memberatkan Zending dan para zendelingnya. Dalam polemik yang disulut oleh

keberadaan pasal 123 ini, pemerintah Hindia Belanda tidak mungkin meniadakan

pasal tersebut supaya tidak mendatangkan kebingungan di lapangan baik oleh para

zendeling dan para pegawai pemerintahan kolonial (Binnenlandsch Bestuur) yang

menegakkan peraturan tersebut.

3 S.C. Graaf van Randwijck, Oegstgeest: Kebijaksanaan Lembaga-lembaga Pekabaran

Injil yang Bekerjasama 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 203.

104

Dengan demikian, maka kesimpulan polemik ini adalah bahwa dalam pasal

123 Regeringsreglement 1854, yang menyangkut izin khusus itu tidak terlalu

penting untuk dipersoalkan baik bagi pemerintah Hindia Belanda maupun bagi

badan-badan Zending. Namun, bagi kaum Liberal yang berkuasa di pemerintahan

akan tetap mempertahankan pengawasan preventif itu, terutama untuk lebih

mencegah pekabaran Injil ganda (dubbele zending) daripada kekuatiran gesekan

dari penduduk Muslim. Bagi pemerintah, ketentuan tentang izin ini memberi

peluang untuk membendung kegiatan pekabaran Injil oleh Zending atau Misi

(Katolik) secara bersamaan, yang dianggap membahayakan ketertiban umum

karena perbedaan corak teologisnya atau justru akan menganggu karya lembaga-

lembaga Kristen yang sudah menetap lebih dahulu di suatu daerah tertentu. Hal

inilah yang tampak nyata di lapangan tentang asumsi tersebut, yang muncul dari

seorang pendeta Gereja Protestan (Indische Kerk) di Batavia bernama Pdt. A van

Davelaar, yang sempat menasihatkan pemerintah Hindia Belanda supaya tidak

memberikan izin tinggal kepada para zendeling NZV karena alasan haluan teologi

mereka yang bercorak ortodoks. Namun, setelah mengenal lebih lanjut, Pdt.

Davelaar justru melakukan sebaliknya memberikan saran kepada pemerintah untuk

mengizinkan para zendeling NZV memperoleh izin tinggal di Priangan.4

Sejak tahun 1870, hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dan Zending

jauh lebih positif. Semula daerah-daerah di Jawa yang sebagian besar penduduknya

beragama Islam, tertutup dan terlarang bagi Zending. Kemudian, sampai batas-

batas pertimbangan dan desakan dari Parlemen Belanda maka pemerintah kolonial

4 van den End, Sumber-sumber Zending, 100.

105

di Hindia Belanda akhirnya mengizinkan badan-badan Zending melakukan karya-

karya pekabaran Injil kepada penduduk Bumiputera.5 Bahkan, sekitar tahun 1930,

ketentuan tentang pembatasan daerah-daerah pekabaran Injil, yang hanya dapat

dilakukan oleh badan Zending Protestan, menjadi tidak relevan lagi, sehingga

badan Misi Katolik diperkenankan juga memasuki sejumlah daerah, seperti di

Sumba, Tanah Toraja, dan Tapanuli.

Meskipun secara umum, kebijakan pemerintah kolonial mengizinkan

badan-badan Zending dan para zendeling melakukan pekabaran Injil di Jawa Barat,

tetapi hambatan perizinan dan penolakan pekabaran Injil di Hindia Belanda,

terkadang muncul di lapangan justru dari para pegawai pemerintahan kolonial

Hindia Belanda. Hambatan bisa datang dari seorang residen, seperti yang terjadi di

Cirebon, yang menentang pemberian izin tinggal bagi zendeling van der Linden

untuk memulai karya pekabaran Injil di wilayah keresidenannya. Bahkan, dalam

catatan zendeling D.J. van der Linden (ARvdZ, 14-3), pegawai pemerintah

setingkat asisten residen, seperti yang terjadi di Bogor, mengintervensi segala

aktivitas keagamaan di dalam ibadah gereja.6

Peristiwa serupa juga terungkap dalam surat zendeling C. Albers kepada

Pengurus Pusat NZV di Rotterdam tanggal 25 Agustus 1863 (ARvdZ, 13-1). Saat

itu Albers menuliskan hasil percakapannya dengan seorang kontrolir, yang

mengemukakan sikap pemerintah terhadap pekabaran Injil di Hindia Belanda, yaitu

sebagai berikut:

5 Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2006), 79. 6 van den End, Sumber-sumber Zending, 106.

106

Ia (seorang kontrolir) ini menentang perluasan agama Kristen terutama karena pada hematnya penyebaran agama Kristen itu akan menyebabkan penduduk Hindia Belanda tidak mau menjadi hewan pekerja lagi… Maka rakyat harus tetap bodoh. Mereka harus yakin bahwa memang dengan selayaknya berlakulah keadaan yang demikian. Rakyat harus tetap dikuasai oleh para kepala mereka sendiri. Oleh karena itu, mereka harus tetap yakin bahwa jiwa dan raga mereka menjadi milik kepala-kepala itu, sehingga mereka wajib menyerahkan kepadanya apa saja yang dituntut atau diminta olehnya.7

Surat Albers ini turut mewakili pandangan NZV yang bukan hanya menolak sikap

pemerintah kolonial yang sangat menghambat pekabaran Injil di Hindia Belanda,

melainkan juga menolak Sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel) di Hindia

Belanda. Menjadi jelaslah gambaran bahwa kedatangan para zendeling NZV yang

pertama (1863) berada dalam masa-masa transisi pemberlakuan Sistem budidaya

tanaman (cultuurstelsel) di Hindia Belanda, sehingga masih sering dijumpai alih-

alih melarang pekabaran Injil sesungguhnya pemerintah tetap ingin melanggengkan

praktik cultuurstelsel, seperti yang tampak dalam pandangan seorang pegawai

negeri kolonial tersebut di atas.

Dengan demikian, sikap pemerintah kolonial di Den Haag dan Batavia

dalam pemberlakuan pasal 123 Regeringsreglement 1854 tentang aturan

mendapatkan izin tugas dinas dalam pekabaran Injil secara implementatif masih

ambigu.8 Di pulau Jawa kegiatan pekabaran Injil diperlambat untuk jangka waktu

yang lama, selama awal abad ke-19 sekitar tahun 1800-an sampai dengan tahun

1870-an. Selain disebabkan oleh faktor-faktor berlangsungnya perang Jawa atau

7 van den End, Sumber-sumber Zending, 104. 8 Th. van den End, “Zending, Gouvernement en Indonesosche nationale beweging” dalam

Huub Lems dan K. van Vliet, Geroepen tot Zending (Utrecht: Protestantse Kerk in Nederland, 2010), 88.

107

perang Diponegoro (1825-1830) dan pemberlakuan cultuurstelsel (1830-1870),

pemerintah kolonial kuatir ketika mengizinkan aktivitas pekabaran Injil di kalangan

penduduk Bumiputera yang beragama Islam akan menimbulkan masalah keamanan

dan itu berarti akan menganggu aliran uang cultuurstelsel dari tanah Jawa ke negeri

Belanda pada saat itu. Dalam konteks hambatan-hambatan seperti itu, NZV justru

mendapat dukungan dari pemerintah yang berhaluan Liberal, yang satu demi satu

mengubah arah kebijakan liberalisasi di Hindia Belanda dengan menghapus Sistem

budidaya tanaman (cultuurstelsel). Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa, van

de Putte turut campur tangan untuk pemberian izin pada para zendeling (1864-

1865) untuk bekerja di Priangan, yang termasuk daerah Islam yang kuat.9

3.2. Terhadap Pasal Kewenangan para Kepala

Melalui pasal 67 dan 71 Regeringsreglement 1854, pemerintah kolonial

mengakui dan mengawasi struktur kepemimpinan daerah dan setempat di seluruh

wilayah di Hindia Belanda. Secara demokratis dan tradisional, pemerintah

memperkenankan semua penduduk Bumiputera berada dalam pengawasan dan

pengarahan langsung dari para kepala tradisional mereka. Tentu hal ini dalam

rangka menjalankan pemerintahan yang bersifat dualistis, baik bertumpu pada

pemerintahan kolonial Eropa maupun pemerintahan feodal dalam masyarakat

Bumiputera. Pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa mereka adalah

pemerintahan asing sehingga pada hakikatnya berada di luar masyarakat

Bumiputera. Karena itu, untuk melindungi semua kepentingan dengan ketertiban

9 van den End, “Zending, Gouvernement”, 88.

108

dan keamanan, pemerintah Hindia Belanda perlu mempertahankan kedudukan para

kepala, bangsawan, dan aristokrat tradisional di daerah dan setempat. Kedudukan

itu berturut-turut ada pada pemerintahan tertinggi, yaitu Bupati yang mengepalai

kabupaten, Wedana mengepalai kewedanaan (distrik), Asisten Wedana mengepalai

kecamatan, dan para kepala desa di setiap desa, yang dikenal dengan sebutan Lurah,

Kuwu, atau Lebe. Namun selain para aristokrat, dalam masyarakat Bumiputera juga

terdapat peran para pemimpin dan kepala agama (para ulama dan pengurus/dewan

mesjid). Dalam hal ini keduanya, baik pemerintahan tradisional aristokrat maupun

para pemimpin agama Bumiputera, menjadi struktur kepemimpinan tradisional

yang sangat khas dan terus-menerus dipraktikkan di Jawa dan mungkin juga di

wilayah Hindia Belanda lainnya.10

Karena itu di Hindia Belanda, pemerintah kolonial melakukan pengawasan

ketat terhadap semua komunitas agama di tiap daerah, sejauh berurusan dengan

kehidupan publik meskipun tetap membiarkan mereka mempunyai kebebasan

dalam urusan keagamaan. Di wilayah Jawa, para bupati menyimpan daftar ulama

Muslim, dan tidak boleh ada warga Bumiputera menyandang suatu gelar

keagamaan tertentu tanpa otoritas formal dari para kepala Bumiputera. Menurut

pasal 124 Regeringsreglement 1854, para ulama setempat diangkat oleh bupati atau

kepala desa, dan di tingkat desa para ulama adalah anggota pemerintahan desa. Para

bupati dan kepala desa diwajibkan menjaga agar para ulama tidak melanggar

10 Koernia Atje Soejana, Peranan Pelayan Gerejawi Pribumi di Pasundan pada masa

Nederlandsche Zendingsvereeniging (Jakarta: Tesis di STT Jakarta, 1981), 29-43.

109

hukum dan hanya menjalankan fungsi mereka. Peraturan serupa diterapkan pada

umumnya terhadap agama-agama non-Muslim lainnya.

Sekitar tahun 1867, pemerintah berniat menjadikan para kepala Bumiputera

sebagai pegawai pemerintahan kolonial. Kemudian secara khusus di wilayah

Priangan, mulai tanggal 1 Juni 1871, para pegawai pemerintah kolonial Bumiputera

(termasuk Bupati-bupati) di kabupaten-kabupaten Priangan kehilangan wewenang

memungut upeti, dan seterusnya mereka menerima tunjangan dari kas negara.11

Pada sisi inilah, zendeling NZV bernama P.N. Gijsman menuliskan surat kepada

Pengurus Pusat NZV tanggal 2 Agustus 1875 (ARvdZ, 13-15) tentang peranan para

kepala Bumiputera terhadap kemandekan karya pekabaran Injil di Priangan,

sebagai berikut:

Namun, tidak dapat dibantah bahwa pemerintahan Belanda di negeri ini sejak semula tidak sanggup menegakkan ikatan seperti itu (orang Belanda dan penduduk Jawa – penulis). Akibatnya, bangsa yang menyegani dan menghormati para kepalanya, bangsa itu juga yang memandang rendah orang Belanda. Untunglah para kepala itu diberi kedudukan yang baik selaku pegawai pemerintah sehingga tidak begitu mudah bagi mereka itu merencanakan revolusi. Mereka tahu benar apa yang mereka punya, tapi tidak tahu apakah revolusi bagi mereka akan menghasilkan keuntungan atau kerugian. Mereka adalah perantara-perantara. Melalui mereka bangsa kita memerintah orang Bumiputera, dan demikianlah segalanya berjalan terus dengan tenang. Rakyat menerima saja kemauan para kepala, sedangkan kepala-kepala itu sadar bahwa usaha mempertahankan ketenteraman berkaitan erat dengan kepentingan mereka sendiri. – Mereka menjaga dengan sekuat tenaga agar jangan ada yang dapat meningkatkan kepercayaan dan keakraban, di antaranya terutama peralihan ke agama Kristen.12

11 van den End, Sumber-sumber Zending, 157. 12 van den End, Sumber-sumber Zending, 171.

110

Dari pernyataan Gijsman tersebut terungkap bahwa sesungguhnya penduduk

Bumiputera sangat menghormati otoritas-feodal para kepala tradisional mereka.

Sebaliknya, mereka tidak menghormati pemerintah kolonial yang adalah orang

asing itu. Meskipun demikian, penduduk Bumiputera tidak mampu melakukan

perlawanan terhadap pemerintah kolonial karena sengaja diredam oleh para kepala

mereka, yang sesungguhnya sedang menjaga kepentingan-kepentingan mereka

sendiri dari relasi yang terjadi seperti itu. Lagi pula para kepala Bumiputera,

meskipun sebagai perantara pemerintah kolonial, tetap mampu menjaga wibawa

mereka di atas penduduk Bumiputera dan mampu menjaga tujuan untuk

menghambat pekabaran Injil melalui kekuasaan formal pemerintahan di pundak

mereka. Dengan demikian, mudah sekali mereka melancarkan serangan tuduhan-

tuduhan terhadap pekabaran Injil NZV. Dengan sikap ambigu tersebut, para kepala

Bumiputera justru menempatkan para zendeling sebagai sumber masalah. Seperti

yang dituliskan oleh zendeling NZV bernama A. Geerdink kepada Pengurus Pusat

NZV tanggal 28 Mei 1876 (ARvdZ, 13-18):

Kalau orang mencari sebab-musabab terjadinya pemberontakan besar-kecil di Hindia ini, maka orang akan berkesimpulan bahwa yang menjadi sebab bukan kegiatan pekabaran Injil, melainkan kebencian terhadap penguasa asing, yang sering dicetuskan atau dikobarkan oleh tindakan kurang jitu seorang pegawai negeri. Lagipula, hampir mustahil menanamkan sikap patuh dan hormat terhadap Negara Kristen sebagai penjajah di dalam diri penganut agama Islam. – Pemerintah dan para kepala mendukung agama Islam dan bertindak melawan agama Kristen, sekalipun dengan cara tidak langsung. Tidak seorang pun memperoleh penghormatan kalau ia masuk Kristen, sebaliknya, ia akan memperoleh penghinaan dan kebencian. Kalau seorang Bumiputera masuk Kristen, di mata mereka hal itu sama saja dengan menjadi seorang Eropa, dan dengan demikian rasa bangga berdasarkan kebangsaan terusik.13

13 van den End, Sumber-sumber Zending, 181.

111

Dengan demikian, melalui sikap-sikap para zendeling NZV tersebut, maka

pemberlakuan pasal-pasal 67 dan 71 Regeringsreglement 1854 sesungguhnya

menimbulkan persoalan ketika pemerintah kolonial Belanda juga memberikan

kewenangan bagi para penguasa Bumiputera menjadi bagian dalam pemerintahan

kolonial di Hindia Belanda. Di satu sisi, para kepala Bumiputera mendapatkan

keuntungan pengakuan dari pemerintah kolonial, namun di sisi lain para kepala

Bumiputera sesungguhnya tidak memiliki rasa hormat terhadap pemerintah

kolonial Belanda dan justru menggunakan otoritas mereka untuk menghambat

aktivitas pekabaran Injil di Hindia Belanda, secara khusus di Jawa Barat.

Meskipun demikian, muatan yang terdapat dalam pasal 67 dan 71

Regeringsreglement 1854 dilihat secara berbeda oleh zendeling J. Verhoeven.

Menurutnya, pasal-pasal tersebut adalah peluang bagi Zending untuk membentuk

komunitas Kristen yang khas dengan wilayah teritorialnya sendiri dan di bawah

pengawasan dan arahan langsung para kepala daerah dan setempatnya sendiri,

sejauh mereka memiliki keyakinan yang sama. Dalam surat yang dituliskan

Verhoeven kepada Pengurus Pusat NZV tanggal 15 Desember 1884 (ONZV, XXV

tahun 1885)14 disebutkan bahwa sulit membiarkan umat Kristen tinggal sedesa

bersama dengan umat Islam. Penyebabnya adalah di satu sisi susunan pemerintahan

desa dan tatanan ekonomi desa Muslim adalah benteng yang kokoh yang tidak bisa

ditembus oleh kegiatan penyebaran agama Kristen. Di sisi yang lainnya, dengan

tetap tinggal bersama dengan umat Islam di suatu desa Islami tentu akan membuat

14 van den End, Sumber-sumber Zending, 119.

112

orang-orang Kristen tidak dapat bertumbuh secara rohani dan terjadi pembangunan

jemaat yang sehat dan kuat. Karena itu, Verhoeven mengusulkan suatu langkah

strategis berdasarkan peluang pasal 67 dan 71 Regeringsreglement 1854, yaitu

membuat permohonan kepada Gubernur Jenderal agar penduduk dan tanah-tanah

milik umat Kristen dijadikan sebagai suatu desa Kristen yang mandiri, yang

memiliki pemerintahan sendiri, dan diawasi pemerintahan Eropa setempat, yang

memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan desa-desa pada umumnya.15

Bahkan, menurut Hendrik Kraemer, Verhoeven menggunakan konstruksi hukum

tersebut untuk mencari suatu tempat di luar desa-desa Muslim yang sudah ada untuk

menghindari pengaruh negatif yang akan muncul dalam interaksi sosial-budaya

masyarakat di sekitarnya. Karena itu, Verhoeven berkesimpulan bahwa metode

pekabaran Injil dengan cara-cara sebelumnya mengalami kesia-siaan, sehingga

dengan mendirikan desa Kristen di Cideres orang-orang Kristen dapat menjadi

masyarakat yang merdeka tidak lagi berada di bawah kekuasaan para kepala yang

terikat oleh adat kebiasaan sosial keagamaan Islam.

Meskipun demikian gagasan seperti ini mengandung persoalan di kemudian

hari bahwa orang-orang Bumiputera yang menjadi Kristen menjadi terusir dari desa

dan komunitas di mana mereka telah dilahirkan. Dengan demikian, pendirian desa

Kristen dengan bentuk pemerintahan dari para kepalanya sendiri merupakan usaha

retensi terhadap sistem desa yang tertutup, yang sekaligus juga secara tidak

15 ONZV, XXIV. Selain zendeling Verhoeven menjadi kepala di Jemaat dan desa Kristen

Cideres, pada tahun 1883, ia pun meminta dan memperoleh pengakuan selaku pegawai catatan sipil luar biasa untuk mencatatkan semua peristiwa kelahiran dan kematian, serta perkawinan dan perceraian, khususnya untuk jemaat Kristen di Cideres. Lih. Catatan kaki dalam van den End, Sumber-sumber Zending, 166, 316.

113

langsung memisahkan dan mengucilkan diri untuk pembentukan identitas baru.

Dalam istilah yang digunakan Hendrik Kraemer adalah “they are isolating

themselves and are being isolated.”16

Meskipun Verhoeven memiliki kemampuan melihat jauh ke depan dan satu-

satunya seorang zendeling NZV yang mengerti dan menyadari susunan masyarakat

tradisional Bumiputera, ia terlibat juga dalam perjuangan keras untuk mengajukan

penghapusan pasal 71 bersamaan dengan pasal 123 dan 124 Regeringsreglement

1854. Dalam pemahaman Verhoeven, dengan penghapusan pasal-pasal tersebut, ia

melihat kemungkinan untuk menembus benteng pertahanan adat dan tradisi sosial-

keagamaan Bumiputera dalam pembentukan desa dan pembentukan struktur

pemerintahan desa. Menurut Verhoeven, setiap zendeling yang mampu melakukan

pembelian tanah-tanah perkebunan swasta dapat secara langsung mengajukan

kepada pemerintah untuk membentuk desa-desa Kristen yang mandiri. Dengan

demikian, dalam hak kebebasan penuh tidak ada satupun pejabat agama manapun

yang diizinkan duduk dalam administrasi desa di perkebunan yang telah ditebusnya

itu. Dalam ketentuan pasal 124 Regeringsreglement 1854, kewenangan yang berada

dalam kepemimpinan seorang Bupati beralih dan diserahkan hanya setingkat oleh

para kepala setempat. Dengan cara ini, Verhoeven berharap dapat mematahkan

kekuasaan formal-legalistik dari pasal 71 dan 124 bagi para bupati Bumiputera yang

Muslim itu.

Kritik Kraemer terhadap sikap dan pandangan Verhoeven ini adalah bahwa

Verhoeven adalah orang yang memiliki pengertian dan pemikiran yang mendalam

16 Kraemer, From Missionfield, 104.

114

– pandangannya dalam, tapi sesungguhnya kurang mendalam (he had a deep

insight, but not deep enough). Dengan mengandaikan penghapusan pasal-pasal

tersebut, Verhoeven terlalu mengharapkan bahwa akan ada netralitas pada

kebijakan pemerintah kolonial. Dalam anggapan Kraemer, Verhoeven melihat

dunia Timur menurut pandangan (worldview) dunia Barat, yang terbiasa dengan

adanya diferensiasi di berbagai kehidupan (agama, sosial, politik, dan ekonomi).

Dengan begitu ada dua kesimpulan17 Kraemer terhadap sikap dan pandangan

Verhoeven terhadap pembentukan desa Kristen (di Cideres), yaitu pertama,

pemahaman Verhoeven tentang struktur masyarakat adat Bumiputera gagal karena

ia tidak menganggapnya serius, atau dengan kata lain, karena pemikirannya tidak

sungguh-sungguh menyelami alam berpikir Bumiputera. Padahal, struktur

masyarakat adat Bumiputera sangat kompleks, karena antara sosial kemasyarakatan

dan nilai-nilai keagamaan (terutama Islam) sudah sangat berkelindan satu dengan

yang lain selama berabad-abad. Terlebih pula, masyarakat Bumiputera memiliki

tingkat kepercayaan dan penghormatan yang sangat tinggi terhadap para kepalanya

baik di tingkat bupati maupun sampai dengan di tingkat para kepala desa,

dibandingkan dengan para pegawai pemerintahan kolonial yang asing itu. Inilah

corak feodalistik-tradisional yang terpelihara di kalangan masyarakat Jawa dan

kaum Bumiputera di Nusantara. Kedua, pemahaman Verhoeven tentang netralitas

pemerintah kolonial juga gagal karena pemerintah menerapkan peraturan-peraturan

tersebut dengan alasan menjaga kepentingan politis-oportunistis, sehingga

pemerintah akan tetap menyesuaikan diri dalam konteksnya untuk menjaga

17 Kraemer, From Missionfield, 104.

115

kepentingannya terpenuhi di Hindia Belanda. Verhoeven tidak mampu secara

mendalam melihat kepentingan-kepentingan kolonial dalam produk hukum dan

kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial di Hindia Belanda. Dinamika politik

dalam Parlemen Belanda baik oleh kaum Konservatif maupun oleh kaum Liberal,

keduanya senantiasa sama-sama mengutamakan agenda-agenda kolonialisme

daripada pandangan ideologis konservatisme dan liberalismenya.

4. Sikap Zending terhadap Agrarisch Wet 1870

4.1. Peluang Kepemilikan Tanah Pemukiman dan Perkebunan

Berdasarkan arahan dari Pengurus Pusat NZV, para zendeling NZV di Jawa

Barat diperkenankan dalam karya pekabaran Injil membangun pos-pos pekabaran

Injil (zendingspost) melalui pembelian tanah dan bangunan, yang semuanya harus

didaftarkan sebagai milik NZV. Karena itu, para zendeling tidak diperkenankan

membeli tanah dan bangunan untuk miliknya pribadi, tanpa sepengetahuan

Pengurus Pusat NZV di Rotterdam. Hal ini tertuang dalam “Instruksi bagi para

zendeling NZV” pada Agustus 1862.18

Dalam bab terdahulu telah disebutkan bahwa zendeling Schilstra mendapat

gagasan untuk pengembangan pekabaran Injil NZV di Jawa Barat dengan cara

membuka atau menyediakan lahan bagi komunitas Kristen, seperti yang

dicanangkan sebelumnya oleh P. Jansz, seorang zendeling DZV berhaluan

Anabaptis/Menonit, yang direalisasikan oleh anaknya zendeling P.A Jansz dengan

mendirikan desa Margorejo (berarti ‘jalan atau sarana kesejahteraan’) sebagai desa

18 van den End, Sumber-sumber Zending, 92.

116

Kristen di Jawa Tengah bagian Utara.19 Gagasan Schilstra dalam suratnya kepada

Pengurus Pusat NZV tanggal 20 Januari 1876 (ARvdZ, 14-9), diperkuat dengan

mengutip pernyataan A. Geerdink terkait kebuntuan yang terjadi dalam komunitas

Kristen, sebagai berikut:

Umpamakan saja ada seorang yang cenderung beralih ke agama Kristen, maka dia segera akan mengalami tekanan dari pihak para kepala daerah dan kaum ulamanya, dan akan dihadapkan dengan beraneka ancaman. Maka orang Bumiputera yang lemah wataknya itu tentu akan surut karena ketakutan. Namun, sekiranya dia dapat mencari tempat berlindung pada zendeling, misalnya bila dapat disediakan sebidang tanah bagi dirinya, untuk memindahkan tempat pemondokannya ke sana, hal itu akan merupakan dukungan yang diperlukan olehnya.20

Kemudian, Schilstra pun menambahkan bahwa kesulitan dan hambatan yang

dihadapi oleh orang-orang Kristen Bumiputera akan teratasi dalam gambaran suatu

komunitas Kristen yang di dalamnya terdapat beberapa keluarga Kristen yang

saling mendukung dan tinggal bersama-sama dalam satu kawasan, hal ini akan

menjadi dukungan yang besar bagi penduduk Bumiputera yang telah berpindah

agama menjadi Kristen.21

Begitupula pada tahun 1877, zendeling P.N. Gijsman membentuk dana

jemaat dengan memakai uang-uang pemberian dari orang-orang Eropa di Jawa.

Dana tersebut dibelanjakan untuk membeli sawah-sawah yang menjadi milik

jemaat Sukabumi dan sebagai aset NZV. Sawah-sawah itu kemudian dibagikan

kepada anggota-anggota jemaat untuk digarap. Para penggarap membayar hasil

19 Th. van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an

sampai dengan sekarang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 232. 20 van den End, Sumber-sumber Zending, 176. 21 van den End, Sumber-sumber Zending, 176.

117

garapan dengan menyerahkan padi, yang disimpan menjadi cadangan di masa

paceklik atau dijual untuk kepentingan jemaat pula. Bahkan, para penduduk

Bumiputera di jemaat Sukabumi turut bekerja menguatkan dana jemaat lewat

pembayaran bunga tahunan.22

Pada tahun 1885 van Eendenburg menjelaskan alasan-alasan yang telah

mendorongnya mendirikan koloni pertanian/perkebunan di desa Pangharepan-

Cikembar. Hampir semua orang-orang Kristen Bumiputera termasuk golongan

miskin, ditambah lagi mereka telah diboikot oleh pemerintah dan masyarakat

desanya, sehingga dalam situasi seperti itu mereka bergantung sepenuhnya pada

zendeling NZV, yang dengan terpaksa mempekerjakan mereka sebagai tukang

kebun, koki, tukang kuda, dan pembantu rumah tangga. Akan tetapi, dalam

kesulitan-kesulitan seperti itu jika tidak dilakukan upaya untuk memberikan ladang

pekerjaan kepada mereka, ancamannya tidak akan tertahankan lagi bahwa anak-

anak mereka yang tumbuh dewasa terpaksa pindah ke tempat lain untuk mencari

nafkah, itu berarti mereka keluar dari lingkungan agama Kristen.

Zendeling J.L. Zegers kepada Pengurus Pusat NZV tanggal 24 Agustus

1888 (ARvdZ, 14-17) menyatakan dukungannya terhadap metode yang dilakukan

oleh Verhoeven dan van Eendenburg, demikian:

Tetapi apakah orang harus sungguh-sungguh merasa keberatan apabila mereka mengerahkan tenaga untuk mengerjakan ladang yang belum digarap seraya melaksanakan asas swasembada (self-support) mereka? Lagipula, apakah kita benar-benar menolak asas swasembada? Tidakkah kita pun memiliki kecenderungan, bahkan panggilan, untuk mengantar jemaat-jemaat dan pos-pos pekabaran Injil kita pada taraf swasembada? Tentu bukan seakan-akan kita mau membebankan semacam pajak kepada jemaat-jemaat itu. – Tentu

22 van den End, Sumber-sumber Zending, 199-200.

118

tidak seorang pun dari antara kami akan melaksanakan asas itu tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan situasi dan kondisi. Tetapi, manakala suatu jemaat mampu berswasembada untuk sebagian atau bahkan seluruhnya, apakah hal itu tidak sesuai dengan Alkitab kalau sang zendeling menuntun jemaat itu agar menempuh jalan itu? – Kalau penilaian saya tidak keliru, rekan-rekan saya Verhoeven, van Eendenburg, juga Jansz muda (DZV) bahkan J. Kreemer (NZG), berupaya ke arah tujuan yang sama, masing-masing di posnya sendiri dan menurut polanya sendiri, juga sedang menerapkan asas swasembada (self-support).23

Dengan demikian, beberapa zendeling NZV berkeyakinan pembukaan lahan untuk

pemukiman dan industri pertanian dan perkebunan bagi penduduk Bumiputera

Kristen adalah peluang yang didapati dalam konteks sosial politik kebijakan

kolonial Belanda menuju arah liberalisasi dan swastanisasi pertanahan akibat

pemberlakuan Agrarische Wet 1870. Dengan penetapan legislasi tersebut terbuka

kemungkinan untuk pengembangan pekabaran Injil dan mendirikan desa-desa

Kristen (de Christelijke dessavorming) di Jawa Barat di atas tanah hak guna usaha

(erfpacht), bahkan sampai memperoleh pengakuan hak milik (eigendom).24

Menurut beberapa zendeling NZV tersebut, ada dua hal yang saling terkait

dalam memandang kebijakan kolonial ini (Agrarisch Wet) bagi komunitas Kristen

Bumiputera. Pertama, kemiskinan menjadi wajah pertama yang terlihat ketika

terjadi peralihan agama atau konversi. Kemiskinan yang pertama adalah karena

mereka sesungguhnya kalangan miskin desa yang tidak memiliki tanah-tanah

pertanian dan perkebunan untuk mereka garap sendiri. Kemiskinan yang kedua

adalah karena mereka tidak mendapatkan akses yang leluasa dalam pengembangan

23 van den End, Sumber-sumber Zending, 242. 24 H.J. Roseboom, Na Vijftig Jaren: Gedenkboek van de Nederlandsche

Zendingsvereeniging (Rotterdam: D. van Sijn en Zoon, 1908), 135-139.

119

ekonominya setelah mengalami pengucilan dan terusir dari tengah-tengah

masyarakat desanya. Karena itu, perhatian para zendeling NZV ini adalah dengan

cara memberikan jalan keluar dan dukungan kepada penduduk Bumiputera Kristen

untuk memperoleh kehidupan yang layak. Kedua, jaminan keamanan dan

kesejahteraan menjadi langkah berikutnya untuk mengatasi persoalan kemiskinan-

kemiskinan tersebut. Pembentukan desa-desa Kristen akan memberikan jaminan

keamanan tempat tinggal bagi penduduk yang telah kehilangan akar tradisinya

tersebut. Kemudian, penyediaan lahan atau ladang pekerjaan akan memberikan

kesempatan untuk memiliki penghasilan tetap dan layak bagi penghidupan mereka

di tengah-tengah komunitas, selain juga membangun kehidupan rohani mereka.

Dengan demikian, para zendeling NZV ini melihat kemungkinan yang paling

realistis yaitu upaya pemberdayaan ekonomi atau swasembada melalui kepemilikan

tanah-tanah bagi komunitas Kristen Bumiputera baik melalui konstruksi hukum hak

guna usaha (erfpacht) maupun hak milik (eigendom).

4.2. NZV mempertimbangkan kembali Metode Pembukaan Tanah

Dasar pemikiran pembentukan desa Pangharepan-Cikembar oleh van

Eendenburg, mendapat kecaman dari zendeling H. Muller, yang menggantikan

Eendenburg menjabat sebagai zendeling NZV antara tahun 1896-1898 dan 1900-

1905. Muller dalam suratnya kepada Pengurus Pusat NZV tanggal 8 Februari 1897

(ARvdZ, 14-5), menyatakan:

Saya tidak akan pernah mendambakan lingkungan kerja seperti di sini! Bagi saya suasana di sini kurang wajar, terlampau mementingkan soal lahiriah, dan terlalu bersifat Kristiani yang dibuat-buat. Menurut anggapan saya warganya bukanlah orang

120

Kristen Sunda sejati. – Lagipula, adanya kedudukan rangkap jabatan selaku zendeling dan administrator perkebunan. Segala sesuatu berlangsung sesuai dengan ketentuan kontrak. Berdasarkan kontrak itu mereka wajib beribadah di hari Minggu. Berdasarkan kontrak itu mereka wajib menyekolahkan anak-anak. – Menurut penduduk desa-desa di sekitarnya, desa Pangharepan merupakan perkebunan padri, perkebunan tanpa pasar, tanpa gamelan, tanpa ronggeng, dan tanpa keramaian. Tempat itu sepi teuing (sepi sekali).25

Dalam surat tersebut, Muller hendak menyangsikan upaya untuk melakukan

swasembada jemaat Kristen seperti yang dipersepsikan oleh zendeling NZV yang

lain, padahal yang terjadi sesungguhnya adalah penduduk Bumiputera menjadi

tidak otentik dalam menghayati nilai-nilai keagamaannya yang baru, melainkan

semuanya dilakukan dengan motif ekonomi, yaitu materi dan kontrak kerja. Hal

yang rumit dan mengecewakan berikutnya bagi Muller adalah rangkap jabatan para

zendeling yang tidak hanya bertugas sebagai pemimpin agama, tetapi sekaligus

sebagai administrator perkebunan. Pada akhirnya, gambaran desa-desa Kristen di

tanah-tanah perkebunan menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan untuk

menjadi contoh dan daya tarik bagi desa-desa lain di sekitarnya dan untuk terjadinya

konversi di desa-desa sekitarnya.

Pada tahun 1901, A.A. Pennings, seorang zendeling di Banten (Bantam),

merencanakan juga melakukan pembukaan lahan dan pendirian sebuah desa Kristen

di Banten, tetapi ia tidak mau mendirikannya dengan menggunakan konstruksi

hukum pertanahan dengan status hak guna usaha (erfpacht), seperti di desa

Pangharepan, dengan mengutarakan beberapa alasan:26

25 van den End, Sumber-sumber Zending, 285-286. 26 van den End, Sumber-sumber Zending, 286.

121

1. Di tanah seperti itu, seorang zendeling terpaksa menjadi tuan tanah.

2. Karena penduduknya secara tidak langsung akan bebas dari rodi dari

perkebunan-perkebunan pemerintah sehingga orang luar akan tertarik

karena alasan yang kurang tepat.

3. Akhirnya, dengan demikian orang Kristen akan hidup terpisah dari orang-

orang Islam di sekitarnya.

Menurut Pennings, masih lebih ideal pendirian desa Kristen dilakukan seperti yang

terdapat di desa Cideres oleh Verhoeven, yang tinggal di atas tanah dengan hak

milik (eigendom), bukan hak guna usaha (erfpacht).

Pandangan tokoh yang hampir serupa dengan Pennings adalah zendeling

NZV bernama B.M. Alkema, yang menyatakan dalam suratnya kepada Pengurus

Pusat NZV tanggal 16 Juni 1897 (ARvdZ, 13-5), yang menyatakan bahwa:

Saya keberatan terhadap penyelenggaraan pekabaran Injil lewat pembukaan tanah, karena metode itu menimbulkan keadaan yang tidak sehat di kalangan masyarakat. Berkat upaya seorang zendeling, sebagian kecil orang memperoleh kesejahteraan, yang tidak terjangkau oleh rata-rata penduduk kampung lainnya. Oleh karena itu, menurut penilaian saya, pembentukan desa lebih baik daripada pembukaan tanah pertanian. Meskipun, menurut pendapat saya yang naif, sekarang pun sejarah sudah membuktikan di pos-pos pekabaran Injil kita di Pangharepan dan Cideres, bahwa metode-metode mereka pun bukan merupakan saran yang jitu.27

Pendapat Alkema berbeda dengan Pennings karena baik tanah dengan hak guna

usaha maupun hak milik seperti yang terjadi di Cideres dan Pangharepan,

keduanya tidak memberikan hasil atau dampak yang baik bagi perkembangan

pekabaran Injil di Jawa Barat.

27 van den End, Sumber-sumber Zending, 289.

122

Pada tanggal 4-7 Juli dan 14 Juli-8 Agustus 1927, NZV sungguh-sungguh

mempertimbangkan kembali metode pembukaan tanah baik untuk pemukiman

(desa-desa Kristen) dan pertanian/perkebunan. Melalui laporan perjalanan yang

dilakukan oleh K.J. Brouwer dan menjadi lampiran notula Pengurus Pusat NZV

bulan Januari 1928 (ARvdZ, 113-35-9), merekomendasikan sebagai berikut:

Metode yang dianut pada zaman dulu, yaitu memindahkan orang Kristen dari jemaat-jemaat yang sudah ada ke tanah yang baru dibuka dan sebagainya, mungkin bermakna sebagai siasat mengamankan orang Kristen itu, yang mungkin akan murtad seandainya mereka tetap tinggal di tempatnya yang lama. Namun, mengingat kenyataan yang digambarkan tadi, tidak boleh tidak orang menarik kesimpulan bahwa, dilihat dari sudut pandang Zending, metode itu memang keliru, sehingga cara itu sama sekali tidak boleh lagi dipakai di masa mendatang. Begitu terbentuk sekelompok Kristen yang demikian, lalu mereka tampil dengan membangun gedung gereja, umat Islam di Pasundan akan segera mengucilkan mereka dan seakan-akan mengurung golongan Kristen itu dengan membangun tembok kebencian dan pengucilan yang tak tertembus. Di dalam kurungan tembok itu jemaat Kristen hidup terus secara merana. Tidak mungkin lagi jemaat itu memperlihatkan daya penginjilan sedikit pun. Padahal, cepat atau lambat, apa yang tidak dapat dilakukannya itu tidak lagi merupakan kebutuhan yang hidup-hidup. Saya tidak memperoleh kesan seakan-akan jemaat-jemaat ini terbakar keinginannya untuk mengantarkan Injil ke luar lingkungan jemaatnya sendiri.28

Pernyataan Brouwer tersebut semakin menegaskan bahwa metode pembukaan

tanah untuk desa atau komunitas Kristen bukanlah cara yang efektif untuk

memperkenalkan Injil kepada penduduk Bumiputera, melainkan hanya dipakai

sebagai siasat “sementara” saja oleh para zendeling untuk memberikan jalan keluar

dari fenomena pengucilan penduduk Bumiputera yang telah melakukan konversi.

Akan tetapi, sesungguhnya yang dilakukan oleh para zendeling terhadap komunitas

28 van den End, Sumber-sumber Zending, 555.

123

Kristen adalah membangun “menara gading” dalam kontestasi identitas di tengah

masyarakat melalui simbol pendirian gedung gereja. Kontestasi semacam ini justru

akan memperlihatkan segregasi antara penduduk Kristen dan Islam, dan antara desa

Kristen dan desa Muslim. Fakta segregasi ini justru menyangkal harapan untuk

membangun kontak antara penduduk Bumiputera Kristen dengan penduduk

sebangsanya yang Muslim.

Karena itu, melalui berbagai laporan dan pertimbangan para zendeling

NZV, dan melalui Laporan Perjalanan Hendrik Kraemer pada tahun 1934, secara

umum NZV tidak akan menerapkan lagi upaya pembukaan tanah sebagai metode

mendirikan jemaat dan pekabaran Injil.29 Melalui metode pendirian desa Kristen

(de Christelijke dessavorming) di Jawa Barat, maka pekabaran Injil diperhadapkan

pada dua hal, yaitu: (1) Dipandang dari sudut pekabaran Injil, desa-desa Kristen itu

tidak memberi arti bagi masyarakat Bumiputera. Desa-desa Kristen tersebut sama

sekali tidak mempunyai hubungan dengan saudara sebangsanya. Oleh saudara

sebangsanya, penduduk desa-desa Kristen ini tidak dikenali lagi sebagai orang

Sunda. Mereka menjadi berubah kebangsaannya dan mengikuti aturan Belanda,

sebab mereka telah melepaskan adat Bumiputera, atau tidak memilikinya dan atau

tidak menaatinya. (2) Pekabaran Injil hanya berfokus pada masalah kemiskinan

orang-orang Kristen Bumiputera, sehingga menggunakan terlalu banyak dana

Zending untuk tujuan tersebut. Pekabaran Injil menjadi seperti praktik amalan

kepada penduduk Bumiputera. Kemiskinan menjadi “objek kasih”, sehingga anak

29 M. Lindenborn, Onze Zendingsvelden III: West Java als Zendingsterrein der

Nederlandsche Zendingsvereeniging (Utrecht: Zendingstudieraad, t.t.), 183.

124

yang dikasihi menjadi manja dan kurang memiliki daya juang. Mereka dibelikan

tanah, dan tidak cukup dengan itu saja Zending harus menyediakan dana untuk

biaya pembukaan tanah, untuk biaya pembajakan tanah, dan mendirikan pondok.

Pada hal-hal ini, akhirnya instruksi Pengurus Pusat NZV untuk mempersiapkan

suatu jemaat Kristen yang mandiri menjadi sulit direalisasikan. Pekerjaan tambahan

dalam pekabaran Injil di Jawa Barat adalah mengubah mental “kebergantungan”

terhadap NZV.

5. Sikap Zending terhadap Decentralisatie Wet 1903

5.1. Relasi dengan para Binnenlandsch Bestuur Eropa (ambtenaar)

Pada masa-masa pekabaran Injil di Jawa Barat, relasi Zending dan para

zendeling NZV dengan para pegawai pemerintahan (ambtenaren) Eropa dalam

Binnenlandsch Bestuur (Pemerintahan Dalam Negeri) kolonial Hindia Belanda,

seringkali mendapat advis negatif, sikap acuh tak acuh, bahkan permusuhan.

Kebuntuan aktivitas pekabaran Injil di Jawa Barat sejak tahun 1865, seringkali

disebabkan oleh perlakukan semena-mena para pegawai pemerintahan kolonial.

Tindakan kesewenang-wenangan para pegawai pemerintah kolonial, contohnya

terjadi terhadap desa di Citesbong dan Ngetuk di dekat Cirebon. Beberapa orang

Kristen mengalami tindakan penganiayaan oleh masyarakat lainnya dan oleh para

pamong praja setempat. Berulangkali zendeling Dijkstra memberitahukan hal

tersebut kepada residen Cirebon dengan surat resmi, ternyata residen tidak bersedia

mengambil tindakan apapun.30 Hal ini menunjukkan bahwa pegawai pemerintahan

30 van den End, Sumber-sumber Zending, 185.

125

kolonial tidak memberikan jaminan perlindungan hukum bagi orang-orang Kristen

Bumiputera dan melakukan pembiaran terhadap tindakan intimidatif dan

diskriminatif yang dilakukan oleh para pamong praja dan masyarakat. Zendeling

J.L. Zegers di Indramayu pada tahun 1887 juga menyangsikan bahwa para pejabat

pegawai pemerintahan kolonial di era Keuchenius, yang berhaluan Konservatif itu,

akan mampu memberikan perlindungan terhadap aktivitas pekabaran Injil,

sebaliknya mereka terkadang tidak simpatik terhadap kehadiran para zendeling

NZV di Jawa Barat.31

Meskipun demikian, sesudah reorganisasi tata pemerintahan di Hindia

Belanda tahun 1922, para pegawai pemerintahan kolonial tidak lagi mempunyai

peran yang strategis, terlebih ketika seorang Kontrolir dan Asisten Residen hanya

berwenang sebagai pegawai administratif, sehingga semakin sulit mendapat

jaminan perlindungan dari pihak-pihak yang menjadi representasi pemerintah

kolonial tersebut. Menurut zendeling A.K. de Groot salah satu kendala ini semakin

menyulitkan para zendeling untuk membangun kontak dengan para pegawai

pemerintahan kolonial Eropa dalam menyampaikan aspirasi dan kedudukan hukum

yang sama bagi komunitas Kristen Bumiputera.32 Dengan demikian, hal ini semakin

menunjukkan semakin jarang terjadi pertemuan dan kontak langsung dengan tokoh-

tokoh pemerintah kolonial berkebangsaan Eropa. Dengan tetap berasumi bahwa

para pegawai pemerintah menjaga jarak dengan para zendeling NZV untuk tidak

mendapatkan kesulitan dan terkadang untuk menjaga kepentingan jabatannya.

31 ARvdZ, 14-17. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 235-238. 32 ARvdZ, 9-20. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 536-539.

126

5.2. Relasi dengan para Pamong Praja Bumiputera (ambtenaar)

Begitupula pada masa-masa pekabaran Injil di Jawa Barat, relasi Zending

dan para zendeling NZV dengan para pamong praja (ambtenaren) Bumiputera

seringkali mendapat advis negatif, propaganda, dan permusuhan. Pada perannya

sebagai pegawai pemerintah kolonial, para pamong praja seringkali menghambat

karya pekabaran Injil di Jawa Barat. Seperti dalam catatan zendeling A. Geerdink,

yang menunjukkan pengaruh propaganda Bupati Bandung, yang turut menyebarkan

agama Islam dan yang memberikan tunjangan keuangan (dari zakat) kepada orang-

orang (sejumlah orang Indo-Eropa dan Tionghoa) yang telah berpindah agama

menjadi penganut Islam.33 Di sisi lainnya, kepada orang-orang Bumiputera di

Bandung yang berpindah agama menjadi beragama Kristen, para kepala

Bumiputera (ambtenaren) malah memboikot secara ekonomi dan sosial terhadap

mereka. Dalam kedudukan sosial-politis yang kuat dalam pemerintahan dan

masyarakat, sesungguhnya para kepala Bumiputera hanya memiliki dua tujuan dan

kepentingan, yaitu: tetap menjaga kepentingan dan kemakmuran mereka sendiri

dengan mengabaikan penderitaan rakyatnya sendiri, dan mengawasi dan

mengantisipasi terjadinya peralihan agama ke agama Kristen dengan cara memata-

matai relasi para zendeling dengan pegawai pemerintah kolonial (residen, asisten

residen, dan kontrolir) dan memberikan penilaian negatif untuk usaha perizinan

kepemilikan dan penguasaan tanah-tanah di daerahnya.34

33 van den End, Sumber-sumber Zending, 157. 34 van den End, Sumber-sumber Zending, 171-172.

127

Dalam pengalaman zendeling P.N. Gijsman di Sukabumi, para pamong

praja selalu merasa tidak senang dengan keberadaan orang-orang Eropa di sekitar

mereka. Jika mungkin mereka akan terus memberikan penilaian negatif, bila ada

seorang Eropa yang meminta izin menempati tanah kosong untuk membuka ladang

perkebunan.35 Pada tahun 1903 terjadi musibah kelaparan di wilayah Indramayu

disebabkan dua kali gagal panen. Peristiwa itu mendapat perhatian dari zendeling

C.J. Hoekendijk di Indramayu. Hoekendijk melaporkan peristiwa musibah tersebut

kepada pegawai pemerintah kolonial, namun mereka mengaku tidak mendapatkan

laporan yang sama dari para pamong praja di wilayah tersebut. Sampai kemudian,

dilakukan rapat para kepala (pamong praja) dengan Residen, Asisten Residen, dan

Kontrolir memutuskan bahwa para kepala (pamong praja) turut bertanggung jawab

untuk membenahi musibah kelaparan tersebut. Sejak saat itu, para pejabat dari

pamong praja mulai menentang bukan hanya kepada Hoekendijk, melainkan juga

kepada Zending.36 Hal serupa terjadi bahkan terasa dalam bentuk perlawanan

seperti yang dialami di desa Rehoboth-Tamiang, dalam catatan zendeling J. van de

Weg di Juntikebon tahun 1940 (ARvdZ, 115-39-11):

Beberapa waktu lalu sejumlah orang-orang Kristen Bumiputera ditahan karena mereka dianggap telah mengadakan “pertemuan umum” tanpa izin. Pada kenyataannya “pertemuan” itu adalah katekisasi (pembelajaran) di salah satu desa di sekitar Rehoboth-Tamiang, yang di dalamnya hanya ada seorang guru Kristen Bumiputera dan beberapa orang Kristen. Baik Kuwu maupun Lebe tidak berani mencampuri urusan itu, maka pada malam itu juga mereka dibebaskan lagi. Ketika kasus ini dibicarakan dengan asisten Wedana, kami jelas mengalami perlawanan dan ketidakmengertian.37

35 van den End, Sumber-sumber Zending, 172. 36 ARvdZ, 13-21. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 320-322. 37 van den End, Sumber-sumber Zending, 706.

128

Namun demikian, para zendeling NZV menyatakan bahwa sikap para

pamong praja (ambtenaren) terhadap pekabaran Injil juga ada yang positif atau

cenderung bersikap netral. Di Indramayu, tercipta suasana akrab dalam percakapan

antara zendeling van der Linden dengan Bupati Radhen Toemenggong Soera

Negara.38 Van der Linden berkunjung ke rumah Bupati Indramayu dalam rangka

mengucapkan terima kasih untuk bantuan peminjaman kereta kuda pada

pemakaman Ang Boeng Swi, seorang Kristen Tionghoa pertama yang dibaptis

tanggal 13 Desember 1858 di Indramayu. Sering pula bahwa orang-orang

Bumiputera, bahkan dari kalangan kepala-kepala desa (para pamong praja),

meminta nasihat zendeling S.A. Schilstra di Sumedang terhadap pelanggaran dan

penyalahgunaan wewenang dari orang-orang Eropa di sekitar mereka. Bahkan, ada

pula yang sering meminta bantuan menyusun surat permohonan resmi, yang tidak

bisa mereka buat sendiri, serta meminta pertolongan obat-obatan setelah gagal

melalui segala ilmu sihir.39 Narasi positif lainnya terjadi sekitar tahun 1870 ketika

seorang anak dari Bupati Cianjur, bernama Oping, menjadi murid dan anak asuh

dari zendeling C. Albers di Cianjur selama empat tahun. Melalui suratnya kepada

Pengurus Pusat NZV tanggal 23 November 1881 (ARvdZ, 13-2), Albers

mengungkapkan pengalaman kedukaannya:

– saya mendapat kabar bahwa anak Bupati Cianjur, Wedana Cikalong bernama Oping, telah terkena kolera. Oping pernah tinggal serumah dengan saya. Maka saya buru-buru berangkat ke rumah Bupati. Karena orang-orang Bumiputera kurang teliti dalam hal memberi obat, dan tidak suka akan obat-obatan Eropa, maka saya

38 ARvdZ, 14-3. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 117-120. 39 ARvdZ, 14-3. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 193-194.

129

menunggui Oping agar dapat memberikan obat-obatan itu. – Hari Sabtu siang pukul sebelas, ia meninggal. Kejadian ini betul-betul menyedihkan. Dengan meninggalnya anaknya itu, Bupati Cianjur kehilangan segala yang membuat hidup ini menyenangkan dan berharga baginya. – Dengan meninggalnya Oping, pemerintah kehilangan orang yang menurut kata-kata asisten residen adalah seorang ambtenaar yang memiliki ciri-ciri mulia dan banyak memberi harapan. Adapun saya, saya ditinggal mati seorang teman baik, yang tidak mengingkari saya, tetapi tetap mengakui saya sebagai mantan gurunya.40

Demikianlah, relasi-relasi akrab dan bersahabat para zendeling NZV dengan para

pamong praja Bumiputera yang dapat menjadi tolak ukur yang baik untuk

pembenahan metode pekabaran Injil di Jawa Barat.

Dalam laporan Kraemer yang disampaikan Pengurus Pusat NZV kepada

para zendeling NZV di Oegstgeest tanggal 1 Juni 1934 (ARvdZ, 97-8-16),

menyatakan bahwa “pekabaran Injil dengan menggunakan metode kontak diakui

mengandung arti besar sebagai tindakan persiapan upaya pekabaran Injil lebih

lanjut di Jawa Barat.41 “Metode Kontak” yang dimaksud ini telah sangat baik

dicontohkan oleh seorang zendeling NZV bernama B. Arps di Cianjur sejak tahun

1927. Arps mengisahkan pengalamannya saat melakukan studi tentang desa-desa

(Islam), yaitu di desa Nyalindung, dekat Cisaat, Sukabumi. Suatu studi mandiri

untuk mendalami dan menjalin kontak dengan desa-desa Islam, yang tidak dapat

dipungkiri ada di sekitar desa-desa Kristen. Arps tinggal dengan seorang kepala di

desa tersebut, menjalin kontak dengan mantri, guru, lurah, dan penduduk desa

40 van den End, Sumber-sumber Zending, 207-208. 41 van den End, Sumber-sumber Zending, 617.

130

lainnya, sambil mendalami bahasa dan budaya Sunda. Dalam pengalaman

melakukan studi di desa, Arps menyimpulkan bahwa:

Sehubungan dengan metode-metode pekabaran Injil yang perlu dipakai ada masalah penting lain lagi. Dari pengalaman yang dapat diambil dari pergaulan beberapa waktu lamanya dengan masyarakat Sunda Islam itu, kami mendapat kesan kuat bahwa dalam lingkungan masyarakat itu hanya satu saja metode yang subur dan kena – setidak-tidaknya untuk sementara waktu – yaitu metode perbuatan, dengan menjadi saksi Kristus lewat tingkah laku kita.42

Arps menanggap pengalaman di desa itu adalah usahanya untuk meninggalkan

jejak dan membangun kontak dengan desa-desa di sekitar jemaat Kristen. Bahkan,

dari pergaulannya dengan beberapa pamong praja (ambtenaar) Sunda, Arps

mendapat pemahaman tentang kebiasaan masyarakat Bumiputera memandang

pemimpinnya. Arps memberikan pandangannya berikut:

Lebih jelas lagi bahwa orang Sunda itu tidak mau memandang saya sebagai “Pandita” atau “Padri”. Sebaliknya, mereka memandang saya sebagai ‘kiai”, yaitu kiai orang Kristen. “Kiai” berarti “Guru”, guru di bidang keagamaan dan kehidupan rohani, tokoh yang “membimbing” orang lain masuk ke dalam kehidupan, dan dalam rahasia-rahasia ajaran mengenai kehidupan sejati. – Kalau kita bersikap seperti itu, seorang Sunda Islam pun dapat bersahabat dengan kita, asal saja “kiai” itu dapat menjadi sahabatnya “bukan untuk membawa dia ke tempat tujuan yang telah ditetapkannya, melainkan karena dirinya sendiri, sebagaimana adanya.” – Kita menjadi seorang Sunda di antara orang Sunda. Bukan “memberi setelah turun dari tempat kita yang tinggi” (Lindenborn), bukan juga “membongkok sedalam-dalamnya kepada mereka orang-orang Bumiputera” (Bavinck).43

Karena itu, Arps dalam pengalamannya yang lain terhadap desa Kristen Sukamanah

(Bojong Picung) di Cianjur menjelaskan bahwa ada kesempatan untuk membangun

42 ARvdZ, 9-14. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 539-542. 43 ARvdZ, 106-6-6. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 579-582.

131

kontak dengan desa-desa lain dan bergaul lebih banyak dan lebih mudah dengan

orang-orang Islam di sekitarnya. Peluang desa Sukamanah ini lebih baik daripada

desa Kristen Palalangon yang juga dekat dari sana bahwa desa ini telah membangun

relasi saling percaya dengan masyarakat Bumiputera dan kehadiran orang-orang

Kristen dapat berbaur di tengah lingkungannya.44 Dari pengalaman itu, Arps dan

istrinya telah mampu membangun hubungan yang erat dengan dunia kaum guru

Sunda, kepala sekolah HIS, bahkan dengan Raden Ayu (isteri Bupati Cianjur), dan

dengan pihak Paguyuban Pasundan di Cianjur, yang membuka beberapa kegiatan

bersama dalam pendidikan dan kegiatan sosial sebagai wujud kepedulian yang

sama antara para pamong praja dan Zending.

Peluang yang sangat terbuka ketika pemberlakuan Decentralisatie Wet

1903, yaitu pada tahun 1920-an telah bermunculan para pamong praja Bumiputera

yang terpelajar dan menginginkan perubahan dalam wilayah kabupatennya melalui

Dewan Kabupaten (Regentschapsraad). Melalui Dewan Kabupaten

(Regentschapsraad), yang kewenangannya berangsur-angsur menjadi besar, mulai

mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial di wilayahnya. Dewan Kabupaten

(Regentschapsraad) Cirebon berupaya melakukan pengelolaan koloni pengemis

dan orang miskin di wilayahnya, dan hendak melibatkan Muhammadiyah, lembaga

Islam yang modern saat itu, meskipun akhirnya rencana tersebut gagal.45

Begitupula, Dewan Kabupaten (Regentschapsraad) Bandung berupaya melakukan

kegiatan di bidang kesehatan, ketika pada tahun 1926 Bupati Bandung mendukung

44 ARvdZ, 115-39-9. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 549-552. 45 van den End, Sumber-sumber Zending, 706.

132

rencana Zending memperluas kegiatan di bidang kesehatan dengan mendirikan

rumah sakit cabang di Ciparay, Bandung.46 Dengan demikian, kebijakan

desentralisasi tata pemerintah di Hindia Belanda (Decentralisatie Wet 1903), sejak

tahun 1920-an membuka peluang kerja sama antara Zending (NZV) dan Pamong

Praja Bumiputera, baik dalam pengembangan wilayah setingkat kabupaten, dan

juga pengembangan desa-desa yang ada di Jawa Barat.

6. Kesimpulan

Hubungan antara Zending dan para zendeling NZV sebagai penyelenggara

pekabaran Injil dengan Pemerintah kolonial di Hindia Belanda sebagai pengawas

dan pelaksana kebijakan hukum, sosial, dan politik kolonial adalah relasi yang

saling mengendalikan, dalam hal ini tentu saja Pemerintah kolonial mengendalikan

Zending. Melalui kebijakan-kebijakan kolonialnya, Pemerintah mengambil sikap

netral terhadap segala bentuk kegiatan pekabaran Injil oleh Zending. Dari sikap

mendaku netral tersebut, sesungguhnya para zendeling banyak mengeluhkan sikap

tidak bersahabat dari para pegawai pemerintahan kolonial, secara khusus keragu-

raguan pemerintah untuk mengizinkan pekabaran Injil di Jawa Barat. Pemerintah

berpandangan bahwa langkah-langkah itu untuk melindungi penduduk Bumiputera

dari pengaruh asing. Namun sebaliknya, baik para pegawai pemerintah kolonial

maupun para pamong praja memberikan banyak rintangan terhadap pekerjaan para

zendeling NZV di Jawa Barat justru untuk melindungi kepentingan mereka sendiri.

46 van den End, Sumber-sumber Zending, 54.

133

Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang berlaku di Hindia Belanda,

seperti Regeringsreglement 1854, Agrarisch Wet 1870, dan Decentralisatie Wet

1906, menjadi tolak ukur konteks yang memperlihatkan relasi yang terjadi di antara

keduanya. Baik Zending maupun Pemerintah masing-masing berkepentingan untuk

memahami, menafsir, dan menerapkan isi dari pasal-pasal yang berkaitan dan yang

dirujuk. Bahkan, tarik-menarik kepentingan antara Zending dan Pemerintah

terhadap implementasi pasal-pasal tersebut menjadi catatan menarik dalam

reportase dan korespondensi para zendeling NZV di Jawa Barat. Dengan demikian,

semua deskripsi dan pemaparan para zendeling terungkap sikap dan pandangan

Zending terhadap kebijakan-kebijakan kolonial yang berlaku di Hindia Belanda,

dan secara khusus yang bersinggungan dengan keberadaan desa-desa Kristen di

Jawa Barat.

Dari penelusuran fakta-fakta dan data sejarah yang ada dalam arsip NZV

maka penulisan sejarah tersebut di atas dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal

penting:

1. Pemerintah kolonial sangat mengandalkan baik pasal 123 maupun pasal 124

Regeringsreglement 1854 dalam menjamin dan menjaga ketertiban dan

keamanan kawasan koloninya, sehingga segala bentuk penyebaran agama

oleh lembaga dan tokoh-tokoh agamanya diawasi dan dikendalikan, serta

perlu mendapatkan izin tugas dari pemerintah. Pemerintah kolonial di satu

sisi melakukan pengawasan dan pengendalian, tetapi di sisi lainnya

memberikan kebebasan beragama bagi semua pemeluk agama. Namun

134

dalam pandangan para zendeling NZV pasal-pasal ini menjadi penghambat

terhadap pekabaran Injil.

2. Sikap netral pemerintah kolonial terhadap urusan keagamaan dan tingginya

kewenangan para pegawai kolonial dalam pemerintahan daerah telah

melanggengkan tindakan-tindakan intimidatif dan diskriminatif bukan

hanya melibatkan masyarakat umum melainkan juga oleh para pegawai

pemerintah.

3. Tindakan initimidatif dan diskriminatif tersebut dialami oleh komunitas

Kristen Bumiputera yang berada di desa-desa Kristen di Jawa Barat. Namun

demikian, di satu sisi kesalahan dikenakan pada tindakan pemerintah yang

melakukan pembiaran dan pengabaian terhadap kasus-kasus tersebut.

Tetapi, di sisi lainnya, kesalahan tetap dievaluasi dari dasar-dasar dan motif-

motif pendirian desa-desa Kristen dan pembukaan tanah pertanian dan

perkebunan oleh Zending dan para zendeling NZV. Dengan demikian,

metode seperti ini tidak tepat untuk digunakan sebagai metode pekabaran

Injil di Jawa Barat, terlebih menggunakan konstruksi hukum berdasarkan

Agrarisch Wet 1870.

4. Meskipun demikian, ada peluang dalam perubahan tata pemerintahan

kolonial dari yang bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi dalam

konstruksi hukum Decentralisatie Wet 1906. Peran para kepala di daerah

dan dewan-dewan yang berwenang dalam kapasitasnya sebagai representasi

pemerintah menjadi lebih utama untuk kemajuan daerah dan desanya,

sehingga menjadi kesempatan bagi komunitas Kristen Bumiputera di desa-

135

desa Kristen dalam relasi yang setara, terutama dalam menyatukan misi

untuk bertindak dalam praktik etis melalui bidang Pendidikan dan

Kesehatan untuk menyejahterakan masyarakat Bumiputera. Dengan

demikian, perlu diupayakan lebih lanjut di tengah-tengah jemaat-jemaat

Kristen untuk membangun komunikasi dan kerja sama dengan para tokoh-

tokoh pemerintahan di daerah dan desa masing-masing.

Kontinuitasnya, beberapa desa Kristen tersebut masih ada hingga saat ini.

Desa-desa tersebut telah tumbuh dan menjadi mandiri sebagai gereja-gereja

(jemaat-jemaat), suatu lembaga keagamaan yang formal dan resmi diakui negara.

Dalam pertumbuhannya sebagai gereja yang mandiri, melekat juga pada dirinya

identitas kebangsaan sebagai kaum Bumiputera. Yang dalam masa-masa revolusi

menuju bangsa Indonesia, Zending, Gereja, dan umat telah mengambil sikapnya

yang tegas, yaitu turut serta membangun identitas kebangsaan dan gerakan

nasionalisnya. Meskipun demikian, di tempat-tempat tertentu masih saja kegiatan

pekabaran Injil (misionarisme) dianggap sebagai anak atau agen kolonialisme dan

imperialisme. Akan tetapi, sejarah gereja dan misi Kristen mencatat dan

membuktikan bahwa sikap-sikap para zendeling justru mendorong semangat

gerakan nasionalis. Bahwa melalui gerakan pekabaran Injil maka lahirlah gerakan

baru dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan politik dari orang-orang yang

dilahirkan oleh Zending dan para zendelingnya, juga dalam perjumpaan dan jalinan

kontak dengan tokoh-tokoh nasionalis di kota dan di desa. Relasi kontak dengan

para tokoh Bumiputera inilah yang memberi peluang terbuka juga bagi masa depan

136

Gereja dan desa-desa Kristen yang masih bertahan hingga hari ini di Gereja Kristen

Pasundan, yaitu di GKP jemaat Cideres, jemaat Cikembar, jemaat Palalangon, dan

jemaat Tamiang. Dengan belajar dari catatan-catatan sejarah ini maka terbuka

wawasan untuk memperbaiki pola komunikasi dan relasi pada jemaat-jemaat

Kristen di desa untuk membentuk pola dan metode baru dalam bereksistensi di Jawa

Barat, dan dalam persinggungan dengan konteks dan perundang-undangan yang

berlaku dalam ketentuan hukum Nasional Indonesia.