97
BAB IV
RESPONS NZV DAN PARA ZENDELING TERHADAP KEBIJAKAN
KOLONIAL PADA KOMUNITAS KRISTEN DI JAWA BARAT
1. Pengantar
Setelah menelusuri konteks politik di negeri Belanda dan produk-produk
hukum yang diterapkan di Hindia Belanda, serta penelusuran pada historiografi
pekabaran Injil di Jawa Barat yang mengandalkan penuturan dari para zendeling
dari periode 1860an sampai dengan 1950an, bab ini akan dipaparkan tinjauan
korelasi-faktual pada kebijakan kolonial di Hindia Belanda terhadap komunitas
Kristen di Jawa Barat. Tinjauan pada arsip-arsip Zending di Jawa Barat ini, sebagai
sumber-sumber primer, menjadi titik tolak penelusuran respons Zending dan para
zendeling terhadap kebijakan-kebijakan kolonial di Hindia Belanda, secara khusus
dalam persinggungan dengan komunitas Kristen di Jawa Barat: di desa Cideres,
Pangharepan, Palalangon, dan Tamiang. Tinjauan ini menjadi yang utama dalam
tesis ini baik dalam kaitan respons Zending terhadap politik dan kebijakan kolonial
Hindia Belanda terkait pekabaran Injil dan kepemilikan tanah, maupun dalam
kaitan sikap dan relasi para zendeling terhadap para ambtenaar terkait keberadaan
dan pengembangan desa-desa Kristen pada masyarakat Jawa Barat.
98
2. Hubungan Zending dengan Pemerintah Kolonial
Pada awal tahun 1860 NZV mengajukan permohonan kepada Pemerintah
Belanda, dengan salah satu syaratnya adalah menyusun peraturan umum. Dengan
tujuan tersebut, NZV berhasil menyusun “Peraturan Umum NZV yang
berkedudukan di Rotterdam” (Algemeene Bepalingen der Nederlandsche
Zendingsvereeniging, gevestigd te Rotterdam), yang tercetak tanggal 8 Agustus
1860. Dalam isi Pasal 1 peraturan umum tersebut, tertera: “Nederlandsche
Zendingsvereeniging, yang berkedudukan di Rotterdam, bertujuan membina dan
menerima para zendeling untuk diutus menyebarkan agama Kristen, terutama di
wilayah milik Belanda di Hindia Timur.” Dalam naskah pertama yang diajukan
kepada Pemerintah Belanda terdapat tambahan penjelasan kata-kata “di wilayah
milik Belanda di Hindia Timur di tengah penduduk non Kristen.” Dalam hal naskah
ini, Pemerintah Belanda menyatakan keberatan terhadap tambahan tersebut dan
mengusulkan perubahan menjadi “di wilayah milik Belanda di Hindia Timur di
tengah penduduk kafir.” Bagi Pemerintah Belanda wilayah Hindia Timur (Hindia
Belanda) antara wilayah yang berpenduduk “non Kristen” dan “kafir” jelas berbeda.
Dengan demikian, wilayah Jawa Barat, yang nanti diharapkan menjadi medan
pekabaran Injil NZV, tentu tidak terkategori wilayah berpenduduk “kafir” sebab
telah dihuni penduduk yang sebagian besar beragama Islam. Jika rumusan naskah
mula-mula itu tetap dipertahankan akan berindikasi NZV tidak akan mendapat
wilayah pekabaran Injil di Jawa Barat, tetapi justru di luar pulau Jawa seperti yang
diarahkan oleh pemerintah. Karena pertimbangan itulah, Pengurus Pusat NZV
99
memutuskan untuk mencoret kata-kata pada naskah yang pertama dan tidak
memasukkan juga rumusan sesuai dengan usulan Pemerintah Belanda, sehingga
rumusan Pasal 1 tetap menjadi seperti yang telah disebutkan di atas.1 Inilah untuk
pertama kalinya NZV mendapatkan pengakuan dari Pemerintah melalui Keputusan
Raja (Koninklijk Besluit) No. 53 tanggal 3 September 1860.
Baik Pengurus Pusat maupun para zendeling NZV enggan menjalin
hubungan dan berurusan dengan pemerintah kolonial. Hanya beberapa kali saja
Pengurus Pusat NZV menghubungi tokoh pemerintah atau Parlemen Belanda
(Tweede Kamer) untuk menyuarakan kepentingan Zending di Jawa Barat.
Hubungan NZV dengan haluan politik Konservatif di negeri Belanda sangat baik
karena di antara kaum Konservatif terdapat banyak orang Kristen ortodoks, seperti
yang ada dalam tubuh NZV. Misalnya, C. Albers dan S. Coolsma memelihara
hubungan erat dengan Gubernur Jenderal P. Mijer (1866-1872), yang termasuk
berhaluan politik Konservatif dan mendukung pekabaran Injil di Hindia Belanda.
Bahkan, Gubernur Jenderal P. Mijer dan keluarganya pernah turut menghadiri
perayaan Natal di Jemaat Bogor tahun 1869. NZV juga berelasi dengan kaum
Konservatif melalui tokoh GIUZ di Batavia bernama A.A.M.N. Keuchenius, yang
memiliki saudara bernama L.W.C Keuchenius yang pernah menjabat sebagai
anggota Parlemen, anggota dewan penasihat Gubernur Jenderal (1859-1877) dan
Menteri Daerah Jajahan (1888-1890). Begitupula, NZV mendapat dukungan dari
G. Groen van Prinsterer anggota Parlemen dan kaum ortodoks di NHK, kaum
1 Th. van den End, Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858-
1963 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 86.
100
Konservatif yang mengecam pemerintah kolonial Belanda yang terkadang
menentang pekabaran Injil di Pulau Jawa.
Akan tetapi, untuk kebijakan-kebijakan tertentu di Hindia Belanda (seperti
cultuurstelsel dan segala bentuk penindasan dan pemerasan di daerah jajahan),
NZV lebih mengharapkan dan mengandalkan dari kaum Liberal, namun tetap kritis
terhadap keberadaan tuan-tuan tanah dan perusahaan perkebunan. Para zendeling
NZV lebih menyukai kebijakan dari kaum Liberal dalam urusan kolonial. Bahkan,
NZV terbukti mendapat keuntungan dari kebijakan kaum Liberal. Melalui bantuan
L.D. Fransen van de Putte, yang pernah menjabat sebagai Menteri Daerah Jajahan
(1863-1866 dan 1972-1874), pada tahun 1864 dan 1865 para zendeling NZV yang
pertama memperoleh izin tinggal (buitengewone toelating) untuk wilayah Priangan.
Pada tahun 1866 dan 1869, zendeling A. Dijkstra (ARvdZ, 13-13)2 pernah
membandingkan antara kaum Konservatif dan kaum Liberal dalam pemerintahan.
Menurut Dijkstra, dalam kepentingan NZV melakukan aktivitas pekabaran Injil di
Hindia Belanda, baik kaum Konservatif maupun kaum Liberal memiliki pandangan
yang sama. Akan tetapi, untuk membawa perubahan yang signifikan bagi suatu
bangsa di Hindia Belanda, Dijkstra lebih mengandalkan sikap adil, jujur, dan baik
dari kaum Liberal. Terlebih lagi, Dijkstra lebih condong mendukung pemerintahan
dari kaum Liberal karena telah membuktikan jaminan perizinan bagi para zendeling
NZV yang berkarya di Priangan, yang tidak mampu dilakukan oleh pemerintahan
di bawah pengaruh haluan politik Konservatif. Meskipun demikian, sikap Dijkstra
terhadap kaum Liberal juga tetap kritis. Pada tahun 1873, Dijkstra melancarkan
2 van den End, Sumber-sumber Zending, 134.
101
kritiknya terhadap kaum Liberal yang hendak menghapuskan peran agama sebagai
prinsip liberalismenya.
Namun demikian, jikalau NZV dan para zendelingnya hanya bersikap
oportunis terhadap kepentingannya untuk melakukan pekabaran Injil di Jawa Barat,
tentu saja mereka akan sepaham dengan pemerintahan kaum Konservatif. Akan
tetapi, NZV dan para zendelingnya melampaui pandangan misionarisme sempit itu,
yaitu dalam semangat filantropisnya mereka lebih mengutamakan perubahan bagi
suatu kehidupan lebih baik dan sejahtera bagi penduduk Bumiputera, dan gagasan-
gagasan itu mereka dapati dari program-program yang terus diupayakan oleh
pemerintahan yang berhaluan politik Liberal. Meskipun demikian, terhadap
pemerintah kolonial dengan haluan politik baik Konservatif maupun Liberal, NZV
dan para zendelingnya mengambil sikap untuk tetap kritis, namun tetap loyal
terhadap kebijakan-kebijakan yang diberlakukan di Hindia Belanda secara umum,
dan Jawa Barat secara khusus.
3. Sikap Zending terhadap Regeringsreglement 1854
3.1. Terhadap Pasal-pasal Kebebasan Beragama dan Izin Kerja
Melalui pasal 119 Regeringsreglement 1854 – yang berbunyi: “Setiap orang
menganut agamanya dengan kebebasan penuh, dengan syarat adanya pengawasan
pada masyarakat dan umat-umatnya terhadap pelanggaran pada peraturan-peraturan
umum tentang hukum pidana” – pemerintah dengan begitu jelas memberikan
jaminan kepada penduduk di Hindia Belanda tentang kebebasan beragama. Sama
seperti hak-hak asasi lainnya yang menyangkut kehidupan politik penduduk,
102
kebebasan beragama pada abad ke-19 sudah dinikmati secara umum di Eropa dan
Amerika Utara. Karena itu, penyusunan Regeringsreglement 1854 tentu turut
menegakkan hak asasi semacam itu di Hindia Belanda.
Namun kemudian, dalam penjaminan hukum perihal kebebasan beragama
seperti ini muncul persoalan tentang usaha pemerintah kolonial dalam memberikan
pengawasan terhadap karya pekabaran Injil di Hindia Belanda. Muatan pasal 123
Regeringsreglement 1854 – yang berbunyi: “Para guru, pendeta, dan zendeling
Kristen harus diperlengkapi izin khusus yang diberikan oleh atau atas nama
Gubernur Jenderal untuk diperbolehkan melakukan tugas pelayanannya di salah
satu daerah tertentu di Hindia Belanda. Bilamana izin itu diketahui merugikan, atau
bila syarat-syaratnya tidak dipatuhi, izin itu dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal”
– memberikan kesan bagi badan-badan Zending bahwa pemerintah kolonial
melakukan pengawasan yang represif terhadap pekabaran Injil, daripada
pengawasan preventif. Dari sudut pandang pemerintah pemberlakuan permohonan
dan pemberian izin khusus menurut pasal 123 Regeringsreglement 1854 adalah
sistem pengawasan preventif terhadap pelaksanaan tugas kerja para guru, pendeta,
dan zendeling Kristen di Hindia Belanda. Seperti yang tersampaikan dalam Memori
Penjelasan dan Jawaban atas rancangan Regeringsreglement 1854, pada tahun 1853
Menteri Daerah Jajahan Ch. F. Pahud de Mortanges (1849-1856) memberikan
pendapatnya menyangkut soal keamanan dan ketertiban, bahwa untuk mencegah
gangguan keamanan yang timbul disebabkan gesekan antara aktivitas pekabaran
Injil dan fanatisme serta resistensi dari penduduk Islam, maka pengawasan
preventif memang sangat diperlukan. Bahwa kepentingan pemerintah menyusun
103
pasal 123 ini adalah untuk menjaga ketertiban di tengah-tengah penduduk
Bumiputera., yang dari sudut pandang Zending dan para zendeling dianggap
sebagai tindakan represif pemerintah kolonial terhadap pekerjaan Injil, yang
melanggar pasal 119 tentang kebebasan beragama.3
Namun demikian, sesungguhnya dalam pasal 123 Regeringsreglement 1854
tentang perlunya izin tugas bagi para guru, pendeta, dan zendeling Kristen tidak
memuat ketentuan ancaman pidana terhadap mereka yang kedapatan tidak
mempunyai izin khusus yang diperlukan. Dengan kata lain, tidak ada yurisprudensi
tentang kelayakan bagi siapa saja yang dianggap sebagai guru, pendeta, dan
zendeling, dan juga tidak ada penjelasan konkret tentang pekerjaan apa saja yang
dimaksud dengan jenis-jenis tugas dinasnya (dienstwerk). Hal lainnya, dalam
peraturan pemerintah ini tidak tercantum juga suatu kriteria tentang penolakan
pemerintah dalam memberikan izin khusus tersebut. Kewenangan pemberian izin
tetap ada di pihak pemerintah Hindia Belanda. Dalam menentukan keputusannya,
pemerintah Hindia Belanda mengambil sikap luwes terhadap Zending. Dalam arti
tidak akan melakukan penyelidikan dan pemberian syarat-syarat yang
memberatkan Zending dan para zendelingnya. Dalam polemik yang disulut oleh
keberadaan pasal 123 ini, pemerintah Hindia Belanda tidak mungkin meniadakan
pasal tersebut supaya tidak mendatangkan kebingungan di lapangan baik oleh para
zendeling dan para pegawai pemerintahan kolonial (Binnenlandsch Bestuur) yang
menegakkan peraturan tersebut.
3 S.C. Graaf van Randwijck, Oegstgeest: Kebijaksanaan Lembaga-lembaga Pekabaran
Injil yang Bekerjasama 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 203.
104
Dengan demikian, maka kesimpulan polemik ini adalah bahwa dalam pasal
123 Regeringsreglement 1854, yang menyangkut izin khusus itu tidak terlalu
penting untuk dipersoalkan baik bagi pemerintah Hindia Belanda maupun bagi
badan-badan Zending. Namun, bagi kaum Liberal yang berkuasa di pemerintahan
akan tetap mempertahankan pengawasan preventif itu, terutama untuk lebih
mencegah pekabaran Injil ganda (dubbele zending) daripada kekuatiran gesekan
dari penduduk Muslim. Bagi pemerintah, ketentuan tentang izin ini memberi
peluang untuk membendung kegiatan pekabaran Injil oleh Zending atau Misi
(Katolik) secara bersamaan, yang dianggap membahayakan ketertiban umum
karena perbedaan corak teologisnya atau justru akan menganggu karya lembaga-
lembaga Kristen yang sudah menetap lebih dahulu di suatu daerah tertentu. Hal
inilah yang tampak nyata di lapangan tentang asumsi tersebut, yang muncul dari
seorang pendeta Gereja Protestan (Indische Kerk) di Batavia bernama Pdt. A van
Davelaar, yang sempat menasihatkan pemerintah Hindia Belanda supaya tidak
memberikan izin tinggal kepada para zendeling NZV karena alasan haluan teologi
mereka yang bercorak ortodoks. Namun, setelah mengenal lebih lanjut, Pdt.
Davelaar justru melakukan sebaliknya memberikan saran kepada pemerintah untuk
mengizinkan para zendeling NZV memperoleh izin tinggal di Priangan.4
Sejak tahun 1870, hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dan Zending
jauh lebih positif. Semula daerah-daerah di Jawa yang sebagian besar penduduknya
beragama Islam, tertutup dan terlarang bagi Zending. Kemudian, sampai batas-
batas pertimbangan dan desakan dari Parlemen Belanda maka pemerintah kolonial
4 van den End, Sumber-sumber Zending, 100.
105
di Hindia Belanda akhirnya mengizinkan badan-badan Zending melakukan karya-
karya pekabaran Injil kepada penduduk Bumiputera.5 Bahkan, sekitar tahun 1930,
ketentuan tentang pembatasan daerah-daerah pekabaran Injil, yang hanya dapat
dilakukan oleh badan Zending Protestan, menjadi tidak relevan lagi, sehingga
badan Misi Katolik diperkenankan juga memasuki sejumlah daerah, seperti di
Sumba, Tanah Toraja, dan Tapanuli.
Meskipun secara umum, kebijakan pemerintah kolonial mengizinkan
badan-badan Zending dan para zendeling melakukan pekabaran Injil di Jawa Barat,
tetapi hambatan perizinan dan penolakan pekabaran Injil di Hindia Belanda,
terkadang muncul di lapangan justru dari para pegawai pemerintahan kolonial
Hindia Belanda. Hambatan bisa datang dari seorang residen, seperti yang terjadi di
Cirebon, yang menentang pemberian izin tinggal bagi zendeling van der Linden
untuk memulai karya pekabaran Injil di wilayah keresidenannya. Bahkan, dalam
catatan zendeling D.J. van der Linden (ARvdZ, 14-3), pegawai pemerintah
setingkat asisten residen, seperti yang terjadi di Bogor, mengintervensi segala
aktivitas keagamaan di dalam ibadah gereja.6
Peristiwa serupa juga terungkap dalam surat zendeling C. Albers kepada
Pengurus Pusat NZV di Rotterdam tanggal 25 Agustus 1863 (ARvdZ, 13-1). Saat
itu Albers menuliskan hasil percakapannya dengan seorang kontrolir, yang
mengemukakan sikap pemerintah terhadap pekabaran Injil di Hindia Belanda, yaitu
sebagai berikut:
5 Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006), 79. 6 van den End, Sumber-sumber Zending, 106.
106
Ia (seorang kontrolir) ini menentang perluasan agama Kristen terutama karena pada hematnya penyebaran agama Kristen itu akan menyebabkan penduduk Hindia Belanda tidak mau menjadi hewan pekerja lagi… Maka rakyat harus tetap bodoh. Mereka harus yakin bahwa memang dengan selayaknya berlakulah keadaan yang demikian. Rakyat harus tetap dikuasai oleh para kepala mereka sendiri. Oleh karena itu, mereka harus tetap yakin bahwa jiwa dan raga mereka menjadi milik kepala-kepala itu, sehingga mereka wajib menyerahkan kepadanya apa saja yang dituntut atau diminta olehnya.7
Surat Albers ini turut mewakili pandangan NZV yang bukan hanya menolak sikap
pemerintah kolonial yang sangat menghambat pekabaran Injil di Hindia Belanda,
melainkan juga menolak Sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel) di Hindia
Belanda. Menjadi jelaslah gambaran bahwa kedatangan para zendeling NZV yang
pertama (1863) berada dalam masa-masa transisi pemberlakuan Sistem budidaya
tanaman (cultuurstelsel) di Hindia Belanda, sehingga masih sering dijumpai alih-
alih melarang pekabaran Injil sesungguhnya pemerintah tetap ingin melanggengkan
praktik cultuurstelsel, seperti yang tampak dalam pandangan seorang pegawai
negeri kolonial tersebut di atas.
Dengan demikian, sikap pemerintah kolonial di Den Haag dan Batavia
dalam pemberlakuan pasal 123 Regeringsreglement 1854 tentang aturan
mendapatkan izin tugas dinas dalam pekabaran Injil secara implementatif masih
ambigu.8 Di pulau Jawa kegiatan pekabaran Injil diperlambat untuk jangka waktu
yang lama, selama awal abad ke-19 sekitar tahun 1800-an sampai dengan tahun
1870-an. Selain disebabkan oleh faktor-faktor berlangsungnya perang Jawa atau
7 van den End, Sumber-sumber Zending, 104. 8 Th. van den End, “Zending, Gouvernement en Indonesosche nationale beweging” dalam
Huub Lems dan K. van Vliet, Geroepen tot Zending (Utrecht: Protestantse Kerk in Nederland, 2010), 88.
107
perang Diponegoro (1825-1830) dan pemberlakuan cultuurstelsel (1830-1870),
pemerintah kolonial kuatir ketika mengizinkan aktivitas pekabaran Injil di kalangan
penduduk Bumiputera yang beragama Islam akan menimbulkan masalah keamanan
dan itu berarti akan menganggu aliran uang cultuurstelsel dari tanah Jawa ke negeri
Belanda pada saat itu. Dalam konteks hambatan-hambatan seperti itu, NZV justru
mendapat dukungan dari pemerintah yang berhaluan Liberal, yang satu demi satu
mengubah arah kebijakan liberalisasi di Hindia Belanda dengan menghapus Sistem
budidaya tanaman (cultuurstelsel). Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa, van
de Putte turut campur tangan untuk pemberian izin pada para zendeling (1864-
1865) untuk bekerja di Priangan, yang termasuk daerah Islam yang kuat.9
3.2. Terhadap Pasal Kewenangan para Kepala
Melalui pasal 67 dan 71 Regeringsreglement 1854, pemerintah kolonial
mengakui dan mengawasi struktur kepemimpinan daerah dan setempat di seluruh
wilayah di Hindia Belanda. Secara demokratis dan tradisional, pemerintah
memperkenankan semua penduduk Bumiputera berada dalam pengawasan dan
pengarahan langsung dari para kepala tradisional mereka. Tentu hal ini dalam
rangka menjalankan pemerintahan yang bersifat dualistis, baik bertumpu pada
pemerintahan kolonial Eropa maupun pemerintahan feodal dalam masyarakat
Bumiputera. Pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa mereka adalah
pemerintahan asing sehingga pada hakikatnya berada di luar masyarakat
Bumiputera. Karena itu, untuk melindungi semua kepentingan dengan ketertiban
9 van den End, “Zending, Gouvernement”, 88.
108
dan keamanan, pemerintah Hindia Belanda perlu mempertahankan kedudukan para
kepala, bangsawan, dan aristokrat tradisional di daerah dan setempat. Kedudukan
itu berturut-turut ada pada pemerintahan tertinggi, yaitu Bupati yang mengepalai
kabupaten, Wedana mengepalai kewedanaan (distrik), Asisten Wedana mengepalai
kecamatan, dan para kepala desa di setiap desa, yang dikenal dengan sebutan Lurah,
Kuwu, atau Lebe. Namun selain para aristokrat, dalam masyarakat Bumiputera juga
terdapat peran para pemimpin dan kepala agama (para ulama dan pengurus/dewan
mesjid). Dalam hal ini keduanya, baik pemerintahan tradisional aristokrat maupun
para pemimpin agama Bumiputera, menjadi struktur kepemimpinan tradisional
yang sangat khas dan terus-menerus dipraktikkan di Jawa dan mungkin juga di
wilayah Hindia Belanda lainnya.10
Karena itu di Hindia Belanda, pemerintah kolonial melakukan pengawasan
ketat terhadap semua komunitas agama di tiap daerah, sejauh berurusan dengan
kehidupan publik meskipun tetap membiarkan mereka mempunyai kebebasan
dalam urusan keagamaan. Di wilayah Jawa, para bupati menyimpan daftar ulama
Muslim, dan tidak boleh ada warga Bumiputera menyandang suatu gelar
keagamaan tertentu tanpa otoritas formal dari para kepala Bumiputera. Menurut
pasal 124 Regeringsreglement 1854, para ulama setempat diangkat oleh bupati atau
kepala desa, dan di tingkat desa para ulama adalah anggota pemerintahan desa. Para
bupati dan kepala desa diwajibkan menjaga agar para ulama tidak melanggar
10 Koernia Atje Soejana, Peranan Pelayan Gerejawi Pribumi di Pasundan pada masa
Nederlandsche Zendingsvereeniging (Jakarta: Tesis di STT Jakarta, 1981), 29-43.
109
hukum dan hanya menjalankan fungsi mereka. Peraturan serupa diterapkan pada
umumnya terhadap agama-agama non-Muslim lainnya.
Sekitar tahun 1867, pemerintah berniat menjadikan para kepala Bumiputera
sebagai pegawai pemerintahan kolonial. Kemudian secara khusus di wilayah
Priangan, mulai tanggal 1 Juni 1871, para pegawai pemerintah kolonial Bumiputera
(termasuk Bupati-bupati) di kabupaten-kabupaten Priangan kehilangan wewenang
memungut upeti, dan seterusnya mereka menerima tunjangan dari kas negara.11
Pada sisi inilah, zendeling NZV bernama P.N. Gijsman menuliskan surat kepada
Pengurus Pusat NZV tanggal 2 Agustus 1875 (ARvdZ, 13-15) tentang peranan para
kepala Bumiputera terhadap kemandekan karya pekabaran Injil di Priangan,
sebagai berikut:
Namun, tidak dapat dibantah bahwa pemerintahan Belanda di negeri ini sejak semula tidak sanggup menegakkan ikatan seperti itu (orang Belanda dan penduduk Jawa – penulis). Akibatnya, bangsa yang menyegani dan menghormati para kepalanya, bangsa itu juga yang memandang rendah orang Belanda. Untunglah para kepala itu diberi kedudukan yang baik selaku pegawai pemerintah sehingga tidak begitu mudah bagi mereka itu merencanakan revolusi. Mereka tahu benar apa yang mereka punya, tapi tidak tahu apakah revolusi bagi mereka akan menghasilkan keuntungan atau kerugian. Mereka adalah perantara-perantara. Melalui mereka bangsa kita memerintah orang Bumiputera, dan demikianlah segalanya berjalan terus dengan tenang. Rakyat menerima saja kemauan para kepala, sedangkan kepala-kepala itu sadar bahwa usaha mempertahankan ketenteraman berkaitan erat dengan kepentingan mereka sendiri. – Mereka menjaga dengan sekuat tenaga agar jangan ada yang dapat meningkatkan kepercayaan dan keakraban, di antaranya terutama peralihan ke agama Kristen.12
11 van den End, Sumber-sumber Zending, 157. 12 van den End, Sumber-sumber Zending, 171.
110
Dari pernyataan Gijsman tersebut terungkap bahwa sesungguhnya penduduk
Bumiputera sangat menghormati otoritas-feodal para kepala tradisional mereka.
Sebaliknya, mereka tidak menghormati pemerintah kolonial yang adalah orang
asing itu. Meskipun demikian, penduduk Bumiputera tidak mampu melakukan
perlawanan terhadap pemerintah kolonial karena sengaja diredam oleh para kepala
mereka, yang sesungguhnya sedang menjaga kepentingan-kepentingan mereka
sendiri dari relasi yang terjadi seperti itu. Lagi pula para kepala Bumiputera,
meskipun sebagai perantara pemerintah kolonial, tetap mampu menjaga wibawa
mereka di atas penduduk Bumiputera dan mampu menjaga tujuan untuk
menghambat pekabaran Injil melalui kekuasaan formal pemerintahan di pundak
mereka. Dengan demikian, mudah sekali mereka melancarkan serangan tuduhan-
tuduhan terhadap pekabaran Injil NZV. Dengan sikap ambigu tersebut, para kepala
Bumiputera justru menempatkan para zendeling sebagai sumber masalah. Seperti
yang dituliskan oleh zendeling NZV bernama A. Geerdink kepada Pengurus Pusat
NZV tanggal 28 Mei 1876 (ARvdZ, 13-18):
Kalau orang mencari sebab-musabab terjadinya pemberontakan besar-kecil di Hindia ini, maka orang akan berkesimpulan bahwa yang menjadi sebab bukan kegiatan pekabaran Injil, melainkan kebencian terhadap penguasa asing, yang sering dicetuskan atau dikobarkan oleh tindakan kurang jitu seorang pegawai negeri. Lagipula, hampir mustahil menanamkan sikap patuh dan hormat terhadap Negara Kristen sebagai penjajah di dalam diri penganut agama Islam. – Pemerintah dan para kepala mendukung agama Islam dan bertindak melawan agama Kristen, sekalipun dengan cara tidak langsung. Tidak seorang pun memperoleh penghormatan kalau ia masuk Kristen, sebaliknya, ia akan memperoleh penghinaan dan kebencian. Kalau seorang Bumiputera masuk Kristen, di mata mereka hal itu sama saja dengan menjadi seorang Eropa, dan dengan demikian rasa bangga berdasarkan kebangsaan terusik.13
13 van den End, Sumber-sumber Zending, 181.
111
Dengan demikian, melalui sikap-sikap para zendeling NZV tersebut, maka
pemberlakuan pasal-pasal 67 dan 71 Regeringsreglement 1854 sesungguhnya
menimbulkan persoalan ketika pemerintah kolonial Belanda juga memberikan
kewenangan bagi para penguasa Bumiputera menjadi bagian dalam pemerintahan
kolonial di Hindia Belanda. Di satu sisi, para kepala Bumiputera mendapatkan
keuntungan pengakuan dari pemerintah kolonial, namun di sisi lain para kepala
Bumiputera sesungguhnya tidak memiliki rasa hormat terhadap pemerintah
kolonial Belanda dan justru menggunakan otoritas mereka untuk menghambat
aktivitas pekabaran Injil di Hindia Belanda, secara khusus di Jawa Barat.
Meskipun demikian, muatan yang terdapat dalam pasal 67 dan 71
Regeringsreglement 1854 dilihat secara berbeda oleh zendeling J. Verhoeven.
Menurutnya, pasal-pasal tersebut adalah peluang bagi Zending untuk membentuk
komunitas Kristen yang khas dengan wilayah teritorialnya sendiri dan di bawah
pengawasan dan arahan langsung para kepala daerah dan setempatnya sendiri,
sejauh mereka memiliki keyakinan yang sama. Dalam surat yang dituliskan
Verhoeven kepada Pengurus Pusat NZV tanggal 15 Desember 1884 (ONZV, XXV
tahun 1885)14 disebutkan bahwa sulit membiarkan umat Kristen tinggal sedesa
bersama dengan umat Islam. Penyebabnya adalah di satu sisi susunan pemerintahan
desa dan tatanan ekonomi desa Muslim adalah benteng yang kokoh yang tidak bisa
ditembus oleh kegiatan penyebaran agama Kristen. Di sisi yang lainnya, dengan
tetap tinggal bersama dengan umat Islam di suatu desa Islami tentu akan membuat
14 van den End, Sumber-sumber Zending, 119.
112
orang-orang Kristen tidak dapat bertumbuh secara rohani dan terjadi pembangunan
jemaat yang sehat dan kuat. Karena itu, Verhoeven mengusulkan suatu langkah
strategis berdasarkan peluang pasal 67 dan 71 Regeringsreglement 1854, yaitu
membuat permohonan kepada Gubernur Jenderal agar penduduk dan tanah-tanah
milik umat Kristen dijadikan sebagai suatu desa Kristen yang mandiri, yang
memiliki pemerintahan sendiri, dan diawasi pemerintahan Eropa setempat, yang
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan desa-desa pada umumnya.15
Bahkan, menurut Hendrik Kraemer, Verhoeven menggunakan konstruksi hukum
tersebut untuk mencari suatu tempat di luar desa-desa Muslim yang sudah ada untuk
menghindari pengaruh negatif yang akan muncul dalam interaksi sosial-budaya
masyarakat di sekitarnya. Karena itu, Verhoeven berkesimpulan bahwa metode
pekabaran Injil dengan cara-cara sebelumnya mengalami kesia-siaan, sehingga
dengan mendirikan desa Kristen di Cideres orang-orang Kristen dapat menjadi
masyarakat yang merdeka tidak lagi berada di bawah kekuasaan para kepala yang
terikat oleh adat kebiasaan sosial keagamaan Islam.
Meskipun demikian gagasan seperti ini mengandung persoalan di kemudian
hari bahwa orang-orang Bumiputera yang menjadi Kristen menjadi terusir dari desa
dan komunitas di mana mereka telah dilahirkan. Dengan demikian, pendirian desa
Kristen dengan bentuk pemerintahan dari para kepalanya sendiri merupakan usaha
retensi terhadap sistem desa yang tertutup, yang sekaligus juga secara tidak
15 ONZV, XXIV. Selain zendeling Verhoeven menjadi kepala di Jemaat dan desa Kristen
Cideres, pada tahun 1883, ia pun meminta dan memperoleh pengakuan selaku pegawai catatan sipil luar biasa untuk mencatatkan semua peristiwa kelahiran dan kematian, serta perkawinan dan perceraian, khususnya untuk jemaat Kristen di Cideres. Lih. Catatan kaki dalam van den End, Sumber-sumber Zending, 166, 316.
113
langsung memisahkan dan mengucilkan diri untuk pembentukan identitas baru.
Dalam istilah yang digunakan Hendrik Kraemer adalah “they are isolating
themselves and are being isolated.”16
Meskipun Verhoeven memiliki kemampuan melihat jauh ke depan dan satu-
satunya seorang zendeling NZV yang mengerti dan menyadari susunan masyarakat
tradisional Bumiputera, ia terlibat juga dalam perjuangan keras untuk mengajukan
penghapusan pasal 71 bersamaan dengan pasal 123 dan 124 Regeringsreglement
1854. Dalam pemahaman Verhoeven, dengan penghapusan pasal-pasal tersebut, ia
melihat kemungkinan untuk menembus benteng pertahanan adat dan tradisi sosial-
keagamaan Bumiputera dalam pembentukan desa dan pembentukan struktur
pemerintahan desa. Menurut Verhoeven, setiap zendeling yang mampu melakukan
pembelian tanah-tanah perkebunan swasta dapat secara langsung mengajukan
kepada pemerintah untuk membentuk desa-desa Kristen yang mandiri. Dengan
demikian, dalam hak kebebasan penuh tidak ada satupun pejabat agama manapun
yang diizinkan duduk dalam administrasi desa di perkebunan yang telah ditebusnya
itu. Dalam ketentuan pasal 124 Regeringsreglement 1854, kewenangan yang berada
dalam kepemimpinan seorang Bupati beralih dan diserahkan hanya setingkat oleh
para kepala setempat. Dengan cara ini, Verhoeven berharap dapat mematahkan
kekuasaan formal-legalistik dari pasal 71 dan 124 bagi para bupati Bumiputera yang
Muslim itu.
Kritik Kraemer terhadap sikap dan pandangan Verhoeven ini adalah bahwa
Verhoeven adalah orang yang memiliki pengertian dan pemikiran yang mendalam
16 Kraemer, From Missionfield, 104.
114
– pandangannya dalam, tapi sesungguhnya kurang mendalam (he had a deep
insight, but not deep enough). Dengan mengandaikan penghapusan pasal-pasal
tersebut, Verhoeven terlalu mengharapkan bahwa akan ada netralitas pada
kebijakan pemerintah kolonial. Dalam anggapan Kraemer, Verhoeven melihat
dunia Timur menurut pandangan (worldview) dunia Barat, yang terbiasa dengan
adanya diferensiasi di berbagai kehidupan (agama, sosial, politik, dan ekonomi).
Dengan begitu ada dua kesimpulan17 Kraemer terhadap sikap dan pandangan
Verhoeven terhadap pembentukan desa Kristen (di Cideres), yaitu pertama,
pemahaman Verhoeven tentang struktur masyarakat adat Bumiputera gagal karena
ia tidak menganggapnya serius, atau dengan kata lain, karena pemikirannya tidak
sungguh-sungguh menyelami alam berpikir Bumiputera. Padahal, struktur
masyarakat adat Bumiputera sangat kompleks, karena antara sosial kemasyarakatan
dan nilai-nilai keagamaan (terutama Islam) sudah sangat berkelindan satu dengan
yang lain selama berabad-abad. Terlebih pula, masyarakat Bumiputera memiliki
tingkat kepercayaan dan penghormatan yang sangat tinggi terhadap para kepalanya
baik di tingkat bupati maupun sampai dengan di tingkat para kepala desa,
dibandingkan dengan para pegawai pemerintahan kolonial yang asing itu. Inilah
corak feodalistik-tradisional yang terpelihara di kalangan masyarakat Jawa dan
kaum Bumiputera di Nusantara. Kedua, pemahaman Verhoeven tentang netralitas
pemerintah kolonial juga gagal karena pemerintah menerapkan peraturan-peraturan
tersebut dengan alasan menjaga kepentingan politis-oportunistis, sehingga
pemerintah akan tetap menyesuaikan diri dalam konteksnya untuk menjaga
17 Kraemer, From Missionfield, 104.
115
kepentingannya terpenuhi di Hindia Belanda. Verhoeven tidak mampu secara
mendalam melihat kepentingan-kepentingan kolonial dalam produk hukum dan
kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial di Hindia Belanda. Dinamika politik
dalam Parlemen Belanda baik oleh kaum Konservatif maupun oleh kaum Liberal,
keduanya senantiasa sama-sama mengutamakan agenda-agenda kolonialisme
daripada pandangan ideologis konservatisme dan liberalismenya.
4. Sikap Zending terhadap Agrarisch Wet 1870
4.1. Peluang Kepemilikan Tanah Pemukiman dan Perkebunan
Berdasarkan arahan dari Pengurus Pusat NZV, para zendeling NZV di Jawa
Barat diperkenankan dalam karya pekabaran Injil membangun pos-pos pekabaran
Injil (zendingspost) melalui pembelian tanah dan bangunan, yang semuanya harus
didaftarkan sebagai milik NZV. Karena itu, para zendeling tidak diperkenankan
membeli tanah dan bangunan untuk miliknya pribadi, tanpa sepengetahuan
Pengurus Pusat NZV di Rotterdam. Hal ini tertuang dalam “Instruksi bagi para
zendeling NZV” pada Agustus 1862.18
Dalam bab terdahulu telah disebutkan bahwa zendeling Schilstra mendapat
gagasan untuk pengembangan pekabaran Injil NZV di Jawa Barat dengan cara
membuka atau menyediakan lahan bagi komunitas Kristen, seperti yang
dicanangkan sebelumnya oleh P. Jansz, seorang zendeling DZV berhaluan
Anabaptis/Menonit, yang direalisasikan oleh anaknya zendeling P.A Jansz dengan
mendirikan desa Margorejo (berarti ‘jalan atau sarana kesejahteraan’) sebagai desa
18 van den End, Sumber-sumber Zending, 92.
116
Kristen di Jawa Tengah bagian Utara.19 Gagasan Schilstra dalam suratnya kepada
Pengurus Pusat NZV tanggal 20 Januari 1876 (ARvdZ, 14-9), diperkuat dengan
mengutip pernyataan A. Geerdink terkait kebuntuan yang terjadi dalam komunitas
Kristen, sebagai berikut:
Umpamakan saja ada seorang yang cenderung beralih ke agama Kristen, maka dia segera akan mengalami tekanan dari pihak para kepala daerah dan kaum ulamanya, dan akan dihadapkan dengan beraneka ancaman. Maka orang Bumiputera yang lemah wataknya itu tentu akan surut karena ketakutan. Namun, sekiranya dia dapat mencari tempat berlindung pada zendeling, misalnya bila dapat disediakan sebidang tanah bagi dirinya, untuk memindahkan tempat pemondokannya ke sana, hal itu akan merupakan dukungan yang diperlukan olehnya.20
Kemudian, Schilstra pun menambahkan bahwa kesulitan dan hambatan yang
dihadapi oleh orang-orang Kristen Bumiputera akan teratasi dalam gambaran suatu
komunitas Kristen yang di dalamnya terdapat beberapa keluarga Kristen yang
saling mendukung dan tinggal bersama-sama dalam satu kawasan, hal ini akan
menjadi dukungan yang besar bagi penduduk Bumiputera yang telah berpindah
agama menjadi Kristen.21
Begitupula pada tahun 1877, zendeling P.N. Gijsman membentuk dana
jemaat dengan memakai uang-uang pemberian dari orang-orang Eropa di Jawa.
Dana tersebut dibelanjakan untuk membeli sawah-sawah yang menjadi milik
jemaat Sukabumi dan sebagai aset NZV. Sawah-sawah itu kemudian dibagikan
kepada anggota-anggota jemaat untuk digarap. Para penggarap membayar hasil
19 Th. van den End dan J. Weitjens, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an
sampai dengan sekarang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 232. 20 van den End, Sumber-sumber Zending, 176. 21 van den End, Sumber-sumber Zending, 176.
117
garapan dengan menyerahkan padi, yang disimpan menjadi cadangan di masa
paceklik atau dijual untuk kepentingan jemaat pula. Bahkan, para penduduk
Bumiputera di jemaat Sukabumi turut bekerja menguatkan dana jemaat lewat
pembayaran bunga tahunan.22
Pada tahun 1885 van Eendenburg menjelaskan alasan-alasan yang telah
mendorongnya mendirikan koloni pertanian/perkebunan di desa Pangharepan-
Cikembar. Hampir semua orang-orang Kristen Bumiputera termasuk golongan
miskin, ditambah lagi mereka telah diboikot oleh pemerintah dan masyarakat
desanya, sehingga dalam situasi seperti itu mereka bergantung sepenuhnya pada
zendeling NZV, yang dengan terpaksa mempekerjakan mereka sebagai tukang
kebun, koki, tukang kuda, dan pembantu rumah tangga. Akan tetapi, dalam
kesulitan-kesulitan seperti itu jika tidak dilakukan upaya untuk memberikan ladang
pekerjaan kepada mereka, ancamannya tidak akan tertahankan lagi bahwa anak-
anak mereka yang tumbuh dewasa terpaksa pindah ke tempat lain untuk mencari
nafkah, itu berarti mereka keluar dari lingkungan agama Kristen.
Zendeling J.L. Zegers kepada Pengurus Pusat NZV tanggal 24 Agustus
1888 (ARvdZ, 14-17) menyatakan dukungannya terhadap metode yang dilakukan
oleh Verhoeven dan van Eendenburg, demikian:
Tetapi apakah orang harus sungguh-sungguh merasa keberatan apabila mereka mengerahkan tenaga untuk mengerjakan ladang yang belum digarap seraya melaksanakan asas swasembada (self-support) mereka? Lagipula, apakah kita benar-benar menolak asas swasembada? Tidakkah kita pun memiliki kecenderungan, bahkan panggilan, untuk mengantar jemaat-jemaat dan pos-pos pekabaran Injil kita pada taraf swasembada? Tentu bukan seakan-akan kita mau membebankan semacam pajak kepada jemaat-jemaat itu. – Tentu
22 van den End, Sumber-sumber Zending, 199-200.
118
tidak seorang pun dari antara kami akan melaksanakan asas itu tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan situasi dan kondisi. Tetapi, manakala suatu jemaat mampu berswasembada untuk sebagian atau bahkan seluruhnya, apakah hal itu tidak sesuai dengan Alkitab kalau sang zendeling menuntun jemaat itu agar menempuh jalan itu? – Kalau penilaian saya tidak keliru, rekan-rekan saya Verhoeven, van Eendenburg, juga Jansz muda (DZV) bahkan J. Kreemer (NZG), berupaya ke arah tujuan yang sama, masing-masing di posnya sendiri dan menurut polanya sendiri, juga sedang menerapkan asas swasembada (self-support).23
Dengan demikian, beberapa zendeling NZV berkeyakinan pembukaan lahan untuk
pemukiman dan industri pertanian dan perkebunan bagi penduduk Bumiputera
Kristen adalah peluang yang didapati dalam konteks sosial politik kebijakan
kolonial Belanda menuju arah liberalisasi dan swastanisasi pertanahan akibat
pemberlakuan Agrarische Wet 1870. Dengan penetapan legislasi tersebut terbuka
kemungkinan untuk pengembangan pekabaran Injil dan mendirikan desa-desa
Kristen (de Christelijke dessavorming) di Jawa Barat di atas tanah hak guna usaha
(erfpacht), bahkan sampai memperoleh pengakuan hak milik (eigendom).24
Menurut beberapa zendeling NZV tersebut, ada dua hal yang saling terkait
dalam memandang kebijakan kolonial ini (Agrarisch Wet) bagi komunitas Kristen
Bumiputera. Pertama, kemiskinan menjadi wajah pertama yang terlihat ketika
terjadi peralihan agama atau konversi. Kemiskinan yang pertama adalah karena
mereka sesungguhnya kalangan miskin desa yang tidak memiliki tanah-tanah
pertanian dan perkebunan untuk mereka garap sendiri. Kemiskinan yang kedua
adalah karena mereka tidak mendapatkan akses yang leluasa dalam pengembangan
23 van den End, Sumber-sumber Zending, 242. 24 H.J. Roseboom, Na Vijftig Jaren: Gedenkboek van de Nederlandsche
Zendingsvereeniging (Rotterdam: D. van Sijn en Zoon, 1908), 135-139.
119
ekonominya setelah mengalami pengucilan dan terusir dari tengah-tengah
masyarakat desanya. Karena itu, perhatian para zendeling NZV ini adalah dengan
cara memberikan jalan keluar dan dukungan kepada penduduk Bumiputera Kristen
untuk memperoleh kehidupan yang layak. Kedua, jaminan keamanan dan
kesejahteraan menjadi langkah berikutnya untuk mengatasi persoalan kemiskinan-
kemiskinan tersebut. Pembentukan desa-desa Kristen akan memberikan jaminan
keamanan tempat tinggal bagi penduduk yang telah kehilangan akar tradisinya
tersebut. Kemudian, penyediaan lahan atau ladang pekerjaan akan memberikan
kesempatan untuk memiliki penghasilan tetap dan layak bagi penghidupan mereka
di tengah-tengah komunitas, selain juga membangun kehidupan rohani mereka.
Dengan demikian, para zendeling NZV ini melihat kemungkinan yang paling
realistis yaitu upaya pemberdayaan ekonomi atau swasembada melalui kepemilikan
tanah-tanah bagi komunitas Kristen Bumiputera baik melalui konstruksi hukum hak
guna usaha (erfpacht) maupun hak milik (eigendom).
4.2. NZV mempertimbangkan kembali Metode Pembukaan Tanah
Dasar pemikiran pembentukan desa Pangharepan-Cikembar oleh van
Eendenburg, mendapat kecaman dari zendeling H. Muller, yang menggantikan
Eendenburg menjabat sebagai zendeling NZV antara tahun 1896-1898 dan 1900-
1905. Muller dalam suratnya kepada Pengurus Pusat NZV tanggal 8 Februari 1897
(ARvdZ, 14-5), menyatakan:
Saya tidak akan pernah mendambakan lingkungan kerja seperti di sini! Bagi saya suasana di sini kurang wajar, terlampau mementingkan soal lahiriah, dan terlalu bersifat Kristiani yang dibuat-buat. Menurut anggapan saya warganya bukanlah orang
120
Kristen Sunda sejati. – Lagipula, adanya kedudukan rangkap jabatan selaku zendeling dan administrator perkebunan. Segala sesuatu berlangsung sesuai dengan ketentuan kontrak. Berdasarkan kontrak itu mereka wajib beribadah di hari Minggu. Berdasarkan kontrak itu mereka wajib menyekolahkan anak-anak. – Menurut penduduk desa-desa di sekitarnya, desa Pangharepan merupakan perkebunan padri, perkebunan tanpa pasar, tanpa gamelan, tanpa ronggeng, dan tanpa keramaian. Tempat itu sepi teuing (sepi sekali).25
Dalam surat tersebut, Muller hendak menyangsikan upaya untuk melakukan
swasembada jemaat Kristen seperti yang dipersepsikan oleh zendeling NZV yang
lain, padahal yang terjadi sesungguhnya adalah penduduk Bumiputera menjadi
tidak otentik dalam menghayati nilai-nilai keagamaannya yang baru, melainkan
semuanya dilakukan dengan motif ekonomi, yaitu materi dan kontrak kerja. Hal
yang rumit dan mengecewakan berikutnya bagi Muller adalah rangkap jabatan para
zendeling yang tidak hanya bertugas sebagai pemimpin agama, tetapi sekaligus
sebagai administrator perkebunan. Pada akhirnya, gambaran desa-desa Kristen di
tanah-tanah perkebunan menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan untuk
menjadi contoh dan daya tarik bagi desa-desa lain di sekitarnya dan untuk terjadinya
konversi di desa-desa sekitarnya.
Pada tahun 1901, A.A. Pennings, seorang zendeling di Banten (Bantam),
merencanakan juga melakukan pembukaan lahan dan pendirian sebuah desa Kristen
di Banten, tetapi ia tidak mau mendirikannya dengan menggunakan konstruksi
hukum pertanahan dengan status hak guna usaha (erfpacht), seperti di desa
Pangharepan, dengan mengutarakan beberapa alasan:26
25 van den End, Sumber-sumber Zending, 285-286. 26 van den End, Sumber-sumber Zending, 286.
121
1. Di tanah seperti itu, seorang zendeling terpaksa menjadi tuan tanah.
2. Karena penduduknya secara tidak langsung akan bebas dari rodi dari
perkebunan-perkebunan pemerintah sehingga orang luar akan tertarik
karena alasan yang kurang tepat.
3. Akhirnya, dengan demikian orang Kristen akan hidup terpisah dari orang-
orang Islam di sekitarnya.
Menurut Pennings, masih lebih ideal pendirian desa Kristen dilakukan seperti yang
terdapat di desa Cideres oleh Verhoeven, yang tinggal di atas tanah dengan hak
milik (eigendom), bukan hak guna usaha (erfpacht).
Pandangan tokoh yang hampir serupa dengan Pennings adalah zendeling
NZV bernama B.M. Alkema, yang menyatakan dalam suratnya kepada Pengurus
Pusat NZV tanggal 16 Juni 1897 (ARvdZ, 13-5), yang menyatakan bahwa:
Saya keberatan terhadap penyelenggaraan pekabaran Injil lewat pembukaan tanah, karena metode itu menimbulkan keadaan yang tidak sehat di kalangan masyarakat. Berkat upaya seorang zendeling, sebagian kecil orang memperoleh kesejahteraan, yang tidak terjangkau oleh rata-rata penduduk kampung lainnya. Oleh karena itu, menurut penilaian saya, pembentukan desa lebih baik daripada pembukaan tanah pertanian. Meskipun, menurut pendapat saya yang naif, sekarang pun sejarah sudah membuktikan di pos-pos pekabaran Injil kita di Pangharepan dan Cideres, bahwa metode-metode mereka pun bukan merupakan saran yang jitu.27
Pendapat Alkema berbeda dengan Pennings karena baik tanah dengan hak guna
usaha maupun hak milik seperti yang terjadi di Cideres dan Pangharepan,
keduanya tidak memberikan hasil atau dampak yang baik bagi perkembangan
pekabaran Injil di Jawa Barat.
27 van den End, Sumber-sumber Zending, 289.
122
Pada tanggal 4-7 Juli dan 14 Juli-8 Agustus 1927, NZV sungguh-sungguh
mempertimbangkan kembali metode pembukaan tanah baik untuk pemukiman
(desa-desa Kristen) dan pertanian/perkebunan. Melalui laporan perjalanan yang
dilakukan oleh K.J. Brouwer dan menjadi lampiran notula Pengurus Pusat NZV
bulan Januari 1928 (ARvdZ, 113-35-9), merekomendasikan sebagai berikut:
Metode yang dianut pada zaman dulu, yaitu memindahkan orang Kristen dari jemaat-jemaat yang sudah ada ke tanah yang baru dibuka dan sebagainya, mungkin bermakna sebagai siasat mengamankan orang Kristen itu, yang mungkin akan murtad seandainya mereka tetap tinggal di tempatnya yang lama. Namun, mengingat kenyataan yang digambarkan tadi, tidak boleh tidak orang menarik kesimpulan bahwa, dilihat dari sudut pandang Zending, metode itu memang keliru, sehingga cara itu sama sekali tidak boleh lagi dipakai di masa mendatang. Begitu terbentuk sekelompok Kristen yang demikian, lalu mereka tampil dengan membangun gedung gereja, umat Islam di Pasundan akan segera mengucilkan mereka dan seakan-akan mengurung golongan Kristen itu dengan membangun tembok kebencian dan pengucilan yang tak tertembus. Di dalam kurungan tembok itu jemaat Kristen hidup terus secara merana. Tidak mungkin lagi jemaat itu memperlihatkan daya penginjilan sedikit pun. Padahal, cepat atau lambat, apa yang tidak dapat dilakukannya itu tidak lagi merupakan kebutuhan yang hidup-hidup. Saya tidak memperoleh kesan seakan-akan jemaat-jemaat ini terbakar keinginannya untuk mengantarkan Injil ke luar lingkungan jemaatnya sendiri.28
Pernyataan Brouwer tersebut semakin menegaskan bahwa metode pembukaan
tanah untuk desa atau komunitas Kristen bukanlah cara yang efektif untuk
memperkenalkan Injil kepada penduduk Bumiputera, melainkan hanya dipakai
sebagai siasat “sementara” saja oleh para zendeling untuk memberikan jalan keluar
dari fenomena pengucilan penduduk Bumiputera yang telah melakukan konversi.
Akan tetapi, sesungguhnya yang dilakukan oleh para zendeling terhadap komunitas
28 van den End, Sumber-sumber Zending, 555.
123
Kristen adalah membangun “menara gading” dalam kontestasi identitas di tengah
masyarakat melalui simbol pendirian gedung gereja. Kontestasi semacam ini justru
akan memperlihatkan segregasi antara penduduk Kristen dan Islam, dan antara desa
Kristen dan desa Muslim. Fakta segregasi ini justru menyangkal harapan untuk
membangun kontak antara penduduk Bumiputera Kristen dengan penduduk
sebangsanya yang Muslim.
Karena itu, melalui berbagai laporan dan pertimbangan para zendeling
NZV, dan melalui Laporan Perjalanan Hendrik Kraemer pada tahun 1934, secara
umum NZV tidak akan menerapkan lagi upaya pembukaan tanah sebagai metode
mendirikan jemaat dan pekabaran Injil.29 Melalui metode pendirian desa Kristen
(de Christelijke dessavorming) di Jawa Barat, maka pekabaran Injil diperhadapkan
pada dua hal, yaitu: (1) Dipandang dari sudut pekabaran Injil, desa-desa Kristen itu
tidak memberi arti bagi masyarakat Bumiputera. Desa-desa Kristen tersebut sama
sekali tidak mempunyai hubungan dengan saudara sebangsanya. Oleh saudara
sebangsanya, penduduk desa-desa Kristen ini tidak dikenali lagi sebagai orang
Sunda. Mereka menjadi berubah kebangsaannya dan mengikuti aturan Belanda,
sebab mereka telah melepaskan adat Bumiputera, atau tidak memilikinya dan atau
tidak menaatinya. (2) Pekabaran Injil hanya berfokus pada masalah kemiskinan
orang-orang Kristen Bumiputera, sehingga menggunakan terlalu banyak dana
Zending untuk tujuan tersebut. Pekabaran Injil menjadi seperti praktik amalan
kepada penduduk Bumiputera. Kemiskinan menjadi “objek kasih”, sehingga anak
29 M. Lindenborn, Onze Zendingsvelden III: West Java als Zendingsterrein der
Nederlandsche Zendingsvereeniging (Utrecht: Zendingstudieraad, t.t.), 183.
124
yang dikasihi menjadi manja dan kurang memiliki daya juang. Mereka dibelikan
tanah, dan tidak cukup dengan itu saja Zending harus menyediakan dana untuk
biaya pembukaan tanah, untuk biaya pembajakan tanah, dan mendirikan pondok.
Pada hal-hal ini, akhirnya instruksi Pengurus Pusat NZV untuk mempersiapkan
suatu jemaat Kristen yang mandiri menjadi sulit direalisasikan. Pekerjaan tambahan
dalam pekabaran Injil di Jawa Barat adalah mengubah mental “kebergantungan”
terhadap NZV.
5. Sikap Zending terhadap Decentralisatie Wet 1903
5.1. Relasi dengan para Binnenlandsch Bestuur Eropa (ambtenaar)
Pada masa-masa pekabaran Injil di Jawa Barat, relasi Zending dan para
zendeling NZV dengan para pegawai pemerintahan (ambtenaren) Eropa dalam
Binnenlandsch Bestuur (Pemerintahan Dalam Negeri) kolonial Hindia Belanda,
seringkali mendapat advis negatif, sikap acuh tak acuh, bahkan permusuhan.
Kebuntuan aktivitas pekabaran Injil di Jawa Barat sejak tahun 1865, seringkali
disebabkan oleh perlakukan semena-mena para pegawai pemerintahan kolonial.
Tindakan kesewenang-wenangan para pegawai pemerintah kolonial, contohnya
terjadi terhadap desa di Citesbong dan Ngetuk di dekat Cirebon. Beberapa orang
Kristen mengalami tindakan penganiayaan oleh masyarakat lainnya dan oleh para
pamong praja setempat. Berulangkali zendeling Dijkstra memberitahukan hal
tersebut kepada residen Cirebon dengan surat resmi, ternyata residen tidak bersedia
mengambil tindakan apapun.30 Hal ini menunjukkan bahwa pegawai pemerintahan
30 van den End, Sumber-sumber Zending, 185.
125
kolonial tidak memberikan jaminan perlindungan hukum bagi orang-orang Kristen
Bumiputera dan melakukan pembiaran terhadap tindakan intimidatif dan
diskriminatif yang dilakukan oleh para pamong praja dan masyarakat. Zendeling
J.L. Zegers di Indramayu pada tahun 1887 juga menyangsikan bahwa para pejabat
pegawai pemerintahan kolonial di era Keuchenius, yang berhaluan Konservatif itu,
akan mampu memberikan perlindungan terhadap aktivitas pekabaran Injil,
sebaliknya mereka terkadang tidak simpatik terhadap kehadiran para zendeling
NZV di Jawa Barat.31
Meskipun demikian, sesudah reorganisasi tata pemerintahan di Hindia
Belanda tahun 1922, para pegawai pemerintahan kolonial tidak lagi mempunyai
peran yang strategis, terlebih ketika seorang Kontrolir dan Asisten Residen hanya
berwenang sebagai pegawai administratif, sehingga semakin sulit mendapat
jaminan perlindungan dari pihak-pihak yang menjadi representasi pemerintah
kolonial tersebut. Menurut zendeling A.K. de Groot salah satu kendala ini semakin
menyulitkan para zendeling untuk membangun kontak dengan para pegawai
pemerintahan kolonial Eropa dalam menyampaikan aspirasi dan kedudukan hukum
yang sama bagi komunitas Kristen Bumiputera.32 Dengan demikian, hal ini semakin
menunjukkan semakin jarang terjadi pertemuan dan kontak langsung dengan tokoh-
tokoh pemerintah kolonial berkebangsaan Eropa. Dengan tetap berasumi bahwa
para pegawai pemerintah menjaga jarak dengan para zendeling NZV untuk tidak
mendapatkan kesulitan dan terkadang untuk menjaga kepentingan jabatannya.
31 ARvdZ, 14-17. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 235-238. 32 ARvdZ, 9-20. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 536-539.
126
5.2. Relasi dengan para Pamong Praja Bumiputera (ambtenaar)
Begitupula pada masa-masa pekabaran Injil di Jawa Barat, relasi Zending
dan para zendeling NZV dengan para pamong praja (ambtenaren) Bumiputera
seringkali mendapat advis negatif, propaganda, dan permusuhan. Pada perannya
sebagai pegawai pemerintah kolonial, para pamong praja seringkali menghambat
karya pekabaran Injil di Jawa Barat. Seperti dalam catatan zendeling A. Geerdink,
yang menunjukkan pengaruh propaganda Bupati Bandung, yang turut menyebarkan
agama Islam dan yang memberikan tunjangan keuangan (dari zakat) kepada orang-
orang (sejumlah orang Indo-Eropa dan Tionghoa) yang telah berpindah agama
menjadi penganut Islam.33 Di sisi lainnya, kepada orang-orang Bumiputera di
Bandung yang berpindah agama menjadi beragama Kristen, para kepala
Bumiputera (ambtenaren) malah memboikot secara ekonomi dan sosial terhadap
mereka. Dalam kedudukan sosial-politis yang kuat dalam pemerintahan dan
masyarakat, sesungguhnya para kepala Bumiputera hanya memiliki dua tujuan dan
kepentingan, yaitu: tetap menjaga kepentingan dan kemakmuran mereka sendiri
dengan mengabaikan penderitaan rakyatnya sendiri, dan mengawasi dan
mengantisipasi terjadinya peralihan agama ke agama Kristen dengan cara memata-
matai relasi para zendeling dengan pegawai pemerintah kolonial (residen, asisten
residen, dan kontrolir) dan memberikan penilaian negatif untuk usaha perizinan
kepemilikan dan penguasaan tanah-tanah di daerahnya.34
33 van den End, Sumber-sumber Zending, 157. 34 van den End, Sumber-sumber Zending, 171-172.
127
Dalam pengalaman zendeling P.N. Gijsman di Sukabumi, para pamong
praja selalu merasa tidak senang dengan keberadaan orang-orang Eropa di sekitar
mereka. Jika mungkin mereka akan terus memberikan penilaian negatif, bila ada
seorang Eropa yang meminta izin menempati tanah kosong untuk membuka ladang
perkebunan.35 Pada tahun 1903 terjadi musibah kelaparan di wilayah Indramayu
disebabkan dua kali gagal panen. Peristiwa itu mendapat perhatian dari zendeling
C.J. Hoekendijk di Indramayu. Hoekendijk melaporkan peristiwa musibah tersebut
kepada pegawai pemerintah kolonial, namun mereka mengaku tidak mendapatkan
laporan yang sama dari para pamong praja di wilayah tersebut. Sampai kemudian,
dilakukan rapat para kepala (pamong praja) dengan Residen, Asisten Residen, dan
Kontrolir memutuskan bahwa para kepala (pamong praja) turut bertanggung jawab
untuk membenahi musibah kelaparan tersebut. Sejak saat itu, para pejabat dari
pamong praja mulai menentang bukan hanya kepada Hoekendijk, melainkan juga
kepada Zending.36 Hal serupa terjadi bahkan terasa dalam bentuk perlawanan
seperti yang dialami di desa Rehoboth-Tamiang, dalam catatan zendeling J. van de
Weg di Juntikebon tahun 1940 (ARvdZ, 115-39-11):
Beberapa waktu lalu sejumlah orang-orang Kristen Bumiputera ditahan karena mereka dianggap telah mengadakan “pertemuan umum” tanpa izin. Pada kenyataannya “pertemuan” itu adalah katekisasi (pembelajaran) di salah satu desa di sekitar Rehoboth-Tamiang, yang di dalamnya hanya ada seorang guru Kristen Bumiputera dan beberapa orang Kristen. Baik Kuwu maupun Lebe tidak berani mencampuri urusan itu, maka pada malam itu juga mereka dibebaskan lagi. Ketika kasus ini dibicarakan dengan asisten Wedana, kami jelas mengalami perlawanan dan ketidakmengertian.37
35 van den End, Sumber-sumber Zending, 172. 36 ARvdZ, 13-21. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 320-322. 37 van den End, Sumber-sumber Zending, 706.
128
Namun demikian, para zendeling NZV menyatakan bahwa sikap para
pamong praja (ambtenaren) terhadap pekabaran Injil juga ada yang positif atau
cenderung bersikap netral. Di Indramayu, tercipta suasana akrab dalam percakapan
antara zendeling van der Linden dengan Bupati Radhen Toemenggong Soera
Negara.38 Van der Linden berkunjung ke rumah Bupati Indramayu dalam rangka
mengucapkan terima kasih untuk bantuan peminjaman kereta kuda pada
pemakaman Ang Boeng Swi, seorang Kristen Tionghoa pertama yang dibaptis
tanggal 13 Desember 1858 di Indramayu. Sering pula bahwa orang-orang
Bumiputera, bahkan dari kalangan kepala-kepala desa (para pamong praja),
meminta nasihat zendeling S.A. Schilstra di Sumedang terhadap pelanggaran dan
penyalahgunaan wewenang dari orang-orang Eropa di sekitar mereka. Bahkan, ada
pula yang sering meminta bantuan menyusun surat permohonan resmi, yang tidak
bisa mereka buat sendiri, serta meminta pertolongan obat-obatan setelah gagal
melalui segala ilmu sihir.39 Narasi positif lainnya terjadi sekitar tahun 1870 ketika
seorang anak dari Bupati Cianjur, bernama Oping, menjadi murid dan anak asuh
dari zendeling C. Albers di Cianjur selama empat tahun. Melalui suratnya kepada
Pengurus Pusat NZV tanggal 23 November 1881 (ARvdZ, 13-2), Albers
mengungkapkan pengalaman kedukaannya:
– saya mendapat kabar bahwa anak Bupati Cianjur, Wedana Cikalong bernama Oping, telah terkena kolera. Oping pernah tinggal serumah dengan saya. Maka saya buru-buru berangkat ke rumah Bupati. Karena orang-orang Bumiputera kurang teliti dalam hal memberi obat, dan tidak suka akan obat-obatan Eropa, maka saya
38 ARvdZ, 14-3. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 117-120. 39 ARvdZ, 14-3. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 193-194.
129
menunggui Oping agar dapat memberikan obat-obatan itu. – Hari Sabtu siang pukul sebelas, ia meninggal. Kejadian ini betul-betul menyedihkan. Dengan meninggalnya anaknya itu, Bupati Cianjur kehilangan segala yang membuat hidup ini menyenangkan dan berharga baginya. – Dengan meninggalnya Oping, pemerintah kehilangan orang yang menurut kata-kata asisten residen adalah seorang ambtenaar yang memiliki ciri-ciri mulia dan banyak memberi harapan. Adapun saya, saya ditinggal mati seorang teman baik, yang tidak mengingkari saya, tetapi tetap mengakui saya sebagai mantan gurunya.40
Demikianlah, relasi-relasi akrab dan bersahabat para zendeling NZV dengan para
pamong praja Bumiputera yang dapat menjadi tolak ukur yang baik untuk
pembenahan metode pekabaran Injil di Jawa Barat.
Dalam laporan Kraemer yang disampaikan Pengurus Pusat NZV kepada
para zendeling NZV di Oegstgeest tanggal 1 Juni 1934 (ARvdZ, 97-8-16),
menyatakan bahwa “pekabaran Injil dengan menggunakan metode kontak diakui
mengandung arti besar sebagai tindakan persiapan upaya pekabaran Injil lebih
lanjut di Jawa Barat.41 “Metode Kontak” yang dimaksud ini telah sangat baik
dicontohkan oleh seorang zendeling NZV bernama B. Arps di Cianjur sejak tahun
1927. Arps mengisahkan pengalamannya saat melakukan studi tentang desa-desa
(Islam), yaitu di desa Nyalindung, dekat Cisaat, Sukabumi. Suatu studi mandiri
untuk mendalami dan menjalin kontak dengan desa-desa Islam, yang tidak dapat
dipungkiri ada di sekitar desa-desa Kristen. Arps tinggal dengan seorang kepala di
desa tersebut, menjalin kontak dengan mantri, guru, lurah, dan penduduk desa
40 van den End, Sumber-sumber Zending, 207-208. 41 van den End, Sumber-sumber Zending, 617.
130
lainnya, sambil mendalami bahasa dan budaya Sunda. Dalam pengalaman
melakukan studi di desa, Arps menyimpulkan bahwa:
Sehubungan dengan metode-metode pekabaran Injil yang perlu dipakai ada masalah penting lain lagi. Dari pengalaman yang dapat diambil dari pergaulan beberapa waktu lamanya dengan masyarakat Sunda Islam itu, kami mendapat kesan kuat bahwa dalam lingkungan masyarakat itu hanya satu saja metode yang subur dan kena – setidak-tidaknya untuk sementara waktu – yaitu metode perbuatan, dengan menjadi saksi Kristus lewat tingkah laku kita.42
Arps menanggap pengalaman di desa itu adalah usahanya untuk meninggalkan
jejak dan membangun kontak dengan desa-desa di sekitar jemaat Kristen. Bahkan,
dari pergaulannya dengan beberapa pamong praja (ambtenaar) Sunda, Arps
mendapat pemahaman tentang kebiasaan masyarakat Bumiputera memandang
pemimpinnya. Arps memberikan pandangannya berikut:
Lebih jelas lagi bahwa orang Sunda itu tidak mau memandang saya sebagai “Pandita” atau “Padri”. Sebaliknya, mereka memandang saya sebagai ‘kiai”, yaitu kiai orang Kristen. “Kiai” berarti “Guru”, guru di bidang keagamaan dan kehidupan rohani, tokoh yang “membimbing” orang lain masuk ke dalam kehidupan, dan dalam rahasia-rahasia ajaran mengenai kehidupan sejati. – Kalau kita bersikap seperti itu, seorang Sunda Islam pun dapat bersahabat dengan kita, asal saja “kiai” itu dapat menjadi sahabatnya “bukan untuk membawa dia ke tempat tujuan yang telah ditetapkannya, melainkan karena dirinya sendiri, sebagaimana adanya.” – Kita menjadi seorang Sunda di antara orang Sunda. Bukan “memberi setelah turun dari tempat kita yang tinggi” (Lindenborn), bukan juga “membongkok sedalam-dalamnya kepada mereka orang-orang Bumiputera” (Bavinck).43
Karena itu, Arps dalam pengalamannya yang lain terhadap desa Kristen Sukamanah
(Bojong Picung) di Cianjur menjelaskan bahwa ada kesempatan untuk membangun
42 ARvdZ, 9-14. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 539-542. 43 ARvdZ, 106-6-6. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 579-582.
131
kontak dengan desa-desa lain dan bergaul lebih banyak dan lebih mudah dengan
orang-orang Islam di sekitarnya. Peluang desa Sukamanah ini lebih baik daripada
desa Kristen Palalangon yang juga dekat dari sana bahwa desa ini telah membangun
relasi saling percaya dengan masyarakat Bumiputera dan kehadiran orang-orang
Kristen dapat berbaur di tengah lingkungannya.44 Dari pengalaman itu, Arps dan
istrinya telah mampu membangun hubungan yang erat dengan dunia kaum guru
Sunda, kepala sekolah HIS, bahkan dengan Raden Ayu (isteri Bupati Cianjur), dan
dengan pihak Paguyuban Pasundan di Cianjur, yang membuka beberapa kegiatan
bersama dalam pendidikan dan kegiatan sosial sebagai wujud kepedulian yang
sama antara para pamong praja dan Zending.
Peluang yang sangat terbuka ketika pemberlakuan Decentralisatie Wet
1903, yaitu pada tahun 1920-an telah bermunculan para pamong praja Bumiputera
yang terpelajar dan menginginkan perubahan dalam wilayah kabupatennya melalui
Dewan Kabupaten (Regentschapsraad). Melalui Dewan Kabupaten
(Regentschapsraad), yang kewenangannya berangsur-angsur menjadi besar, mulai
mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial di wilayahnya. Dewan Kabupaten
(Regentschapsraad) Cirebon berupaya melakukan pengelolaan koloni pengemis
dan orang miskin di wilayahnya, dan hendak melibatkan Muhammadiyah, lembaga
Islam yang modern saat itu, meskipun akhirnya rencana tersebut gagal.45
Begitupula, Dewan Kabupaten (Regentschapsraad) Bandung berupaya melakukan
kegiatan di bidang kesehatan, ketika pada tahun 1926 Bupati Bandung mendukung
44 ARvdZ, 115-39-9. Lih. van den End, Sumber-sumber Zending, 549-552. 45 van den End, Sumber-sumber Zending, 706.
132
rencana Zending memperluas kegiatan di bidang kesehatan dengan mendirikan
rumah sakit cabang di Ciparay, Bandung.46 Dengan demikian, kebijakan
desentralisasi tata pemerintah di Hindia Belanda (Decentralisatie Wet 1903), sejak
tahun 1920-an membuka peluang kerja sama antara Zending (NZV) dan Pamong
Praja Bumiputera, baik dalam pengembangan wilayah setingkat kabupaten, dan
juga pengembangan desa-desa yang ada di Jawa Barat.
6. Kesimpulan
Hubungan antara Zending dan para zendeling NZV sebagai penyelenggara
pekabaran Injil dengan Pemerintah kolonial di Hindia Belanda sebagai pengawas
dan pelaksana kebijakan hukum, sosial, dan politik kolonial adalah relasi yang
saling mengendalikan, dalam hal ini tentu saja Pemerintah kolonial mengendalikan
Zending. Melalui kebijakan-kebijakan kolonialnya, Pemerintah mengambil sikap
netral terhadap segala bentuk kegiatan pekabaran Injil oleh Zending. Dari sikap
mendaku netral tersebut, sesungguhnya para zendeling banyak mengeluhkan sikap
tidak bersahabat dari para pegawai pemerintahan kolonial, secara khusus keragu-
raguan pemerintah untuk mengizinkan pekabaran Injil di Jawa Barat. Pemerintah
berpandangan bahwa langkah-langkah itu untuk melindungi penduduk Bumiputera
dari pengaruh asing. Namun sebaliknya, baik para pegawai pemerintah kolonial
maupun para pamong praja memberikan banyak rintangan terhadap pekerjaan para
zendeling NZV di Jawa Barat justru untuk melindungi kepentingan mereka sendiri.
46 van den End, Sumber-sumber Zending, 54.
133
Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang berlaku di Hindia Belanda,
seperti Regeringsreglement 1854, Agrarisch Wet 1870, dan Decentralisatie Wet
1906, menjadi tolak ukur konteks yang memperlihatkan relasi yang terjadi di antara
keduanya. Baik Zending maupun Pemerintah masing-masing berkepentingan untuk
memahami, menafsir, dan menerapkan isi dari pasal-pasal yang berkaitan dan yang
dirujuk. Bahkan, tarik-menarik kepentingan antara Zending dan Pemerintah
terhadap implementasi pasal-pasal tersebut menjadi catatan menarik dalam
reportase dan korespondensi para zendeling NZV di Jawa Barat. Dengan demikian,
semua deskripsi dan pemaparan para zendeling terungkap sikap dan pandangan
Zending terhadap kebijakan-kebijakan kolonial yang berlaku di Hindia Belanda,
dan secara khusus yang bersinggungan dengan keberadaan desa-desa Kristen di
Jawa Barat.
Dari penelusuran fakta-fakta dan data sejarah yang ada dalam arsip NZV
maka penulisan sejarah tersebut di atas dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal
penting:
1. Pemerintah kolonial sangat mengandalkan baik pasal 123 maupun pasal 124
Regeringsreglement 1854 dalam menjamin dan menjaga ketertiban dan
keamanan kawasan koloninya, sehingga segala bentuk penyebaran agama
oleh lembaga dan tokoh-tokoh agamanya diawasi dan dikendalikan, serta
perlu mendapatkan izin tugas dari pemerintah. Pemerintah kolonial di satu
sisi melakukan pengawasan dan pengendalian, tetapi di sisi lainnya
memberikan kebebasan beragama bagi semua pemeluk agama. Namun
134
dalam pandangan para zendeling NZV pasal-pasal ini menjadi penghambat
terhadap pekabaran Injil.
2. Sikap netral pemerintah kolonial terhadap urusan keagamaan dan tingginya
kewenangan para pegawai kolonial dalam pemerintahan daerah telah
melanggengkan tindakan-tindakan intimidatif dan diskriminatif bukan
hanya melibatkan masyarakat umum melainkan juga oleh para pegawai
pemerintah.
3. Tindakan initimidatif dan diskriminatif tersebut dialami oleh komunitas
Kristen Bumiputera yang berada di desa-desa Kristen di Jawa Barat. Namun
demikian, di satu sisi kesalahan dikenakan pada tindakan pemerintah yang
melakukan pembiaran dan pengabaian terhadap kasus-kasus tersebut.
Tetapi, di sisi lainnya, kesalahan tetap dievaluasi dari dasar-dasar dan motif-
motif pendirian desa-desa Kristen dan pembukaan tanah pertanian dan
perkebunan oleh Zending dan para zendeling NZV. Dengan demikian,
metode seperti ini tidak tepat untuk digunakan sebagai metode pekabaran
Injil di Jawa Barat, terlebih menggunakan konstruksi hukum berdasarkan
Agrarisch Wet 1870.
4. Meskipun demikian, ada peluang dalam perubahan tata pemerintahan
kolonial dari yang bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi dalam
konstruksi hukum Decentralisatie Wet 1906. Peran para kepala di daerah
dan dewan-dewan yang berwenang dalam kapasitasnya sebagai representasi
pemerintah menjadi lebih utama untuk kemajuan daerah dan desanya,
sehingga menjadi kesempatan bagi komunitas Kristen Bumiputera di desa-
135
desa Kristen dalam relasi yang setara, terutama dalam menyatukan misi
untuk bertindak dalam praktik etis melalui bidang Pendidikan dan
Kesehatan untuk menyejahterakan masyarakat Bumiputera. Dengan
demikian, perlu diupayakan lebih lanjut di tengah-tengah jemaat-jemaat
Kristen untuk membangun komunikasi dan kerja sama dengan para tokoh-
tokoh pemerintahan di daerah dan desa masing-masing.
Kontinuitasnya, beberapa desa Kristen tersebut masih ada hingga saat ini.
Desa-desa tersebut telah tumbuh dan menjadi mandiri sebagai gereja-gereja
(jemaat-jemaat), suatu lembaga keagamaan yang formal dan resmi diakui negara.
Dalam pertumbuhannya sebagai gereja yang mandiri, melekat juga pada dirinya
identitas kebangsaan sebagai kaum Bumiputera. Yang dalam masa-masa revolusi
menuju bangsa Indonesia, Zending, Gereja, dan umat telah mengambil sikapnya
yang tegas, yaitu turut serta membangun identitas kebangsaan dan gerakan
nasionalisnya. Meskipun demikian, di tempat-tempat tertentu masih saja kegiatan
pekabaran Injil (misionarisme) dianggap sebagai anak atau agen kolonialisme dan
imperialisme. Akan tetapi, sejarah gereja dan misi Kristen mencatat dan
membuktikan bahwa sikap-sikap para zendeling justru mendorong semangat
gerakan nasionalis. Bahwa melalui gerakan pekabaran Injil maka lahirlah gerakan
baru dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan politik dari orang-orang yang
dilahirkan oleh Zending dan para zendelingnya, juga dalam perjumpaan dan jalinan
kontak dengan tokoh-tokoh nasionalis di kota dan di desa. Relasi kontak dengan
para tokoh Bumiputera inilah yang memberi peluang terbuka juga bagi masa depan
136
Gereja dan desa-desa Kristen yang masih bertahan hingga hari ini di Gereja Kristen
Pasundan, yaitu di GKP jemaat Cideres, jemaat Cikembar, jemaat Palalangon, dan
jemaat Tamiang. Dengan belajar dari catatan-catatan sejarah ini maka terbuka
wawasan untuk memperbaiki pola komunikasi dan relasi pada jemaat-jemaat
Kristen di desa untuk membentuk pola dan metode baru dalam bereksistensi di Jawa
Barat, dan dalam persinggungan dengan konteks dan perundang-undangan yang
berlaku dalam ketentuan hukum Nasional Indonesia.