bab iv pengaturan agama dan penganut agama, … · 2017. 7. 25. · 1. pengaturan tentang...

58
69 BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, KEPERCAYAAN DAN PENGANUT KEPERCAYAAN DI INDONESIA Bab ini akan menjelaskan muatan materi beberapa peraturan perundang- undangan yang tidak melindungi penganut kepercayaan. Melalui peraturan perundang-undangan tersebut negara melakukan intervensi terhadap kebebasan berkeyakinan dan membatasi hak penganut kepercayaan. Berikutnya akan dijelaskan mengenai pertentangan muatan materi dalam peraturan perundang- undangan tersebut dengan asas/prinsip kesamaan hak penganut agama dan kepercayaan. Terakhir akan dijelaskan preskripsi mengenai peraturan perundang- undangan yang seyogyanya dalam melindungi penganut kepercayaan. Hal prinsip yang penulis pertahankan adalah bagaimana supaya peraturan perundang-undangan tersebut memosisikan secara sejajar antara penganut agama dan penganut kepercayaan. A. Intervensi Negara terhadap Kebebasan Menganut Kepercayaan Melalui Peraturan Perundang-undangan Peraturan perundang-undangan yang mengatur keyakinan (belief) di Indonesia membuat dikotomi „agama‟ dan „kepercayaan‟. Adanya dikotomi tersebut berakibat pada perlakuan yang berbeda dari negara terhadap penganut „kepercayaan‟ dan „agama‟. Bagi penganut agama diluar „agama resmi‟ negara, pelayanan administrasinya dimasukan pada penghayat kepercayaan. Sehingga penganut kepercayaan dan penganut agama diluar „agama resmi‟ negara tidak

Upload: others

Post on 18-Nov-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

69

BAB IV

PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, KEPERCAYAAN

DAN PENGANUT KEPERCAYAAN DI INDONESIA

Bab ini akan menjelaskan muatan materi beberapa peraturan perundang-

undangan yang tidak melindungi penganut kepercayaan. Melalui peraturan

perundang-undangan tersebut negara melakukan intervensi terhadap kebebasan

berkeyakinan dan membatasi hak penganut kepercayaan. Berikutnya akan

dijelaskan mengenai pertentangan muatan materi dalam peraturan perundang-

undangan tersebut dengan asas/prinsip kesamaan hak penganut agama dan

kepercayaan.

Terakhir akan dijelaskan preskripsi mengenai peraturan perundang-

undangan yang seyogyanya dalam melindungi penganut kepercayaan. Hal prinsip

yang penulis pertahankan adalah bagaimana supaya peraturan perundang-undangan

tersebut memosisikan secara sejajar antara penganut agama dan penganut

kepercayaan.

A. Intervensi Negara terhadap Kebebasan Menganut Kepercayaan Melalui

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan perundang-undangan yang mengatur keyakinan (belief) di

Indonesia membuat dikotomi „agama‟ dan „kepercayaan‟. Adanya dikotomi

tersebut berakibat pada perlakuan yang berbeda dari negara terhadap penganut

„kepercayaan‟ dan „agama‟. Bagi penganut agama diluar „agama resmi‟ negara,

pelayanan administrasinya dimasukan pada penghayat kepercayaan. Sehingga

penganut kepercayaan dan penganut agama diluar „agama resmi‟ negara tidak

Page 2: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

70

dilayani oleh Kementerian Agama. Pemerintah dengan alasan menjalankan

peraturan perundang-undangan kerap melakukan tindakan yang membatasi,

bahkan merampas hak-hak dasar penganut kepercayaan.

Penganut kepercayaan juga mendapatkan perlakuan intoleran dari

masyarakat dan tokoh agama (enam agama yang diakui negara). Para tokoh agama

kerap menstigma miring dengan memberikan label sesat terhadap penganut

kepercayaan. Akibat pelabelan sesat itu, penganut kepercayaan terancam

keselamatannya dengan bayang-bayang penyerangan. Pelabelan sesat tak lepas dari

peraturan perundang-undangan yang mengatur agama dan kepercayaan di

Indonesia. Pengaturan mengenai agama dan kepercayaan memberi celah kepada

warga mayoritas untuk bertindak intoleran dan diskriminatif terhadap penganut

kepercayaan.

1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama

berdampak buruk terhadap penganut kepercayaan. Muatan materi dalam UU No.

1/PNPS Tahun 1965 mengancam hak/kebebasan menganut kepercayaan dan

menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan. Pengaturan tersebut membuat

penganut kepercayaan berada dibawah bayang-bayang ancaman penodaan agama.

Pasal 1 UU a qua menyatakan “setiap orang dilarang dengan sengaja di

muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum,

untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau

melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan

Page 3: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

71

keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-

pokok ajaran agama itu”.1

Pasal 2 ayat (1) “barang siapa melanggar ketentuan pasal 1, diberi perintah

dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya melalui keputusan

bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Ayat

(2) menyatakan “apabila pelanggaran dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau

sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden dapat membubarkan organisasi itu dan

menyatakan aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, setelah Presiden

mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri

Dalam Negeri”.2

Pasal 3 menyatakan “apabila telah dilakukan tindakan oleh Menag bersama

Jaksa Agung, dan Mendagri/Presiden, terhadap orang/organisasi aliran

kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan pasal 1, maka

orang/penganut, pengurus organisasi dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara

1 Penjelasan: dengan kata "dimuka umum" dimaksudkan apa yang diartikan dalam

KUHPidana. Agama-agama yang dipeluk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha

dan khong Cu (Confusius). Kecuali enam agama itu, mendapat jaminan seperti dalam pasal 29 ayat

2 UUD 1945. Terhadap badan/aliran kebatinan, pemerintah berusaha menyalurkannya kearah

pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan

MPRS No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6. Kata "kegiatan keagamaan"

dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran

sebagai Agama, mempergunakan istilah dalam mengamalkan ajaran kepercayaannya. Lihat, UU

Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 2 Penjelasan: sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap penganut kepercayaan

maupun Pengurus Organisasi yang melanggar larangan dalam pasal 1, untuk permulaannya cukup

diberi nasehat seperlunya. Apabila penyelewengan dilakukan oleh organisasi atau penganut

kepercayaan dan mempunyai effek yang cukup serius bagi masyarakat yang beragama, maka

Presiden berwenang untuk membubarkan organisasi itu dan untuk menyatakan organisasi aliran

terlarang dengan akibat-akibatnya (jo pasal 169 KUHP).

Page 4: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

72

selama-lamanya lima tahun.”3 Pasal 4 menyatakan ”pada KUHPidana diadakan

pasal baru yang berbunyi; pasal 156a ”dipidana dengan pidana penjara selama-

lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan

perasaan atau melakukan perbuatan:

a. Pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, selain

yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”4

UU di atas menimbulkan diskriminasi karena seseorang/kelompok

penganut kepercayaan bisa divonis melakukan penyalahgunaan atau penodaan

terhadap „agama resmi‟ negara. Peraturan ini tidak berpihak bagi penganut agama

„diluar agama resmi‟ yang dikelompokan kedalam penganut kepercayaan.

Pengaturan di atas hanya melindungi penganut „agama resmi‟ negara, sementara

penganut kepercayaan tidak terlindungi bahkan terancam pidana.

2. Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan

Pelayanan administrasi penganut kepercayaan diatur dalam UU No. 24

Tahun 2013 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan. Berawal dari undang-undang inilah terjadi pembedaan perlakuan

3 Penjelasan: ancaman pidana ini adalah tindak lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap

mengabaikan peringatan dalam pasal 2. Karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai

bentuk organisasi, maka mengenai aliran kepercayaan, penganutnya yang masih terus melakukan

pelanggaran dapat dikenakan pidana, sedang pemuka aliran sendiri yang menghentikan kegiatannya

tidak dapat dituntut. Mengingat sifat idiil dari tindak pidana dalam pasal ini, maka ancaman pidana

5 tahun dirasa sudah wajar. 4 Penjelasan: Huruf a, tindak pidana disini ialah pada pokoknya ditujukan kepada niat untuk

memusuhi atau menghina. Huruf b, yang melakukan pidana disamping mengganggu ketentraman

orang beragama, pada dasarnya menghianati sila pertama dari negara secara total, dan oleh karena

perbuatannya itu dipidana sepantasnya.

Page 5: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

73

negara terhadap penganut agama dan penganut kepercayaan. Negara membedakan

pelayanan administrasi penganut kepercayaan dengan penganut agama mengenai

identitas agama di KTP, kewajiban mendaftarkan organisasi, dan pencatatan

perkawinan yang berimplikasi pada pembuatan akta kelahiran, pembuatan Kartu

Keluarga (KK), pengesahan dan pengakuan anak.

2.1. Pengaturan tentang Mengakui dan tidak Mengakui Agama (Identitas Agama di

KTP)

Pengaturan tentang mengakui dan tidak mengakui agama menjadi pintu

perlakuan diskriminasi terhadap penganut kepercayaan. Diskriminasi semakin jelas

dilakukan negara dengan adanya keharusan mencantumkan identitas agama di

KTP. Penganut keyakinan diluar enam „agama resmi‟ negara dikosongkan

identitas agamanya di KTP. Sementara penganut enam „agama resmi‟ negara

dicantumkan sesuai dengan agama masing-masing.

UU No. 24 Tahun 2013 pasal 8 ayat (4) menyatakan “...., persyaratan dan

tata cara pencatatan peristiwa penting bagi penduduk yang agamanya belum diakui

sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada peraturan

perundang-undangan”.5 Pasal 64 ayat (1) menyatakan “KTP-el mencantumkan......,

“agama”.......”. Ayat (5) menyatakan “data penduduk tentang agama bagi penduduk

yang agamanya belum diakui atau bagi penghayat kepercayaan „tidak diisi‟ tetapi

tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”.

2.2. Pengaturan tentang Tata Cara dan Syarat Pencatatan Perkawinan

5 Lihat, UU No. 24 Tahun 2013 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan.

Page 6: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

74

Pengaturan tentang pencatatan perkawinan penganut kepercayaan

berdampak diskriminasi bagi kelompok kepercayaan yang tidak memiliki pemuka

penghayat kepercayaan. Syarat untuk memiliki pemuka kepercayaan, harus ada

surat Keterangan Terdaftar (SKT) organisasi kepercayaan. Artinya bagi penganut

kepercayaan yang tidak memiliki SKT, maka perkawinannya tidak bisa dicatatkan.

Perkawinan yang tidak bisa dicatatkan maka tidak mendapat akta perkawinan

sehingga berdampak pada pembuatan akta kelahiran, KK, pengesahan anak,

bahkan berdampak pada perkawinan sang anak dikemudian hari.

Pencatatan perkawinan bagi penganut „agama resmi‟ negara diatur dalam

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sahnya perkawinan diatur dalam pasal

2 yang menyatakan “perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya itu”. PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 2 ayat (2) menyatakan

“pencatatan perkawinan bagi penganut agama dan kepercayaan selain agama

Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil.”6

Peraturan perundang-undangan di atas sama sekali tidak mengatur perkawinan

penganut kepercayaan.

Pengaturan pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan diatur dalam

PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU 24/2003 tentang Adminduk. Pasal

81 ayat (1) menyatakan “perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan

pemuka penghayat kepercayaan”. Ayat (2) “pemuka penghayat kepercayaan,

6 Lihat, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Page 7: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

75

ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan7 tugasnya mengisi

dan menandatangani surat perkawinan”.8 Ayat (3) menyatakan “pemuka penghayat

kepercayaan, didaftar pada kementerian yang tugasnya secara teknis membina

organisasi kepercayaan”.9

Pencatatan perkawinan berimplikasi pada pengangkatan anak dan

pengesahan anak. UU Adminduk pasal 49 ayat (2) menyatakan “pengakuan anak

hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah

menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara”. Pasal 50 ayat

(2) menyatakan “pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya

telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum negara.10

2.3. Pengaturan tentang Keharusan Mendaftarkan Organisasi Kepercayaan

Peraturan perundang-undangan yang mengharuskan organisasi kepercayaan

didaftarkan di pemerintahan substansinya membatasi hak penganut kepercayaan.

Keharusan mendaftar ini bertentangan dengan prinsip bahwa “setiap orang bebas

berserikat”, tanpa harus diformalkan oleh negara. Negara ini terlalu latah terhadap

kebiasaan yang ada di masyarakat bahwa sebuah perserikatan harus diformalkan.

7 Penjelasan ayat (2): “yang dimaksud dengan organisasi penghayat kepercayaan adalah suatu

wadah penghayat kepercayaan yang terdaftar pada instansi di kementerian yang membidangi

pembinaan teknis kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”. 8 Lihat, Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU 24/2003

tentang Administrasi Kependudukan. 9 Pasal 82 menyatakan “peristiwa perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (2)

wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana paling lambat 60 (enam

puluh) hari dengan menyerahkan: a. Surat perkawinan penghayat kepercayaan; b. Foto kopi KTP; c.

Pas foto suami dan istri; d. Akta kelahiran; dan e. Paspor suami dan/atau istri bagi orang asing. 10

Hal ini ada kaitannya dengan penjelasan ayat (1) yang menyatakan ”yang dimaksud dengan

"pengesahan anak" merupakan pengesahan status seorang anak yang lahir dari perkawinan yang

telah sah menurut hukum agama, pada saat pencatatan perkawinan dari kedua orang tua anak

tersebut telah sah menurut hukum negara.

Page 8: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

76

Pengakuan negara terhadap sebuah perserikatan seharusnya tidak sebatas pada

formalitas.

Selain itu, persyaratan supaya bisa terdaftar sebagai organisasi di

pemerintah sulit dipenuhi karena sangat eksklusif bagi penganut kepercayaan.

Salah satu syaratnya harus memiliki cabang organisasi yang sudah terdaftar ditiga

kabupaten/kota. Bagi penganut kepercayaan yang tidak memiliki cabang ditiga

kabupaten/kota tidak bisa terdaftar.

Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 5

ayat (1) menyatakan “gubernur menerbitkan SKT organisasi penghayat

kepercayaan tingkat provinsi. Ayat (2) “penerbitan SKT dengan persyaratan

sebagai berikut: ....., d. SKT minimal di 3 (tiga) Kabupaten/Kota; ....., k. surat

keterangan domisili ditandatangani oleh lurah dan camat; l. surat kontrak/izin

pakai tempat bermaterai cukup; ......”.11

Pasal 6 ayat (1) “bupati/walikota

menerbitkan SKT organisasi penghayat kepercayaan tingkat kabupaten/kota”. Ayat

(2) “penerbitan SKT dengan persyaratan sebagai berikut: ......., d. SKT minimal di

3 (tiga) Kabupaten/Kota; ......., k. surat keterangan domisili ditandatangani oleh

lurah dan camat; l. surat kontrak /izin pakai tempat bermaterai cukup;.......”.

3. Pengaturan tentang Pendirian Rumah Ibadah, Pemakaman dan Hak

Pendidikan Penganut Kepercayaan

Peraturan perundang-undangan mengenai pendirian tempat ibadah/sanggar,

pemakaman dan hak pendidikan agama bagi penganut kepercayaan menimbulkan

11

Lihat, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata

No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan

Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Page 9: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

77

diskriminasi bagi penganut kepercayaan. Ketiga persoalan ini merupakan fasilitas

publik yang harus dipenuhi oleh negara tanpa perlakuan yang berbeda.

3.1. Pengaturan tentang Fasilitas Pemakaman

Pengaturan mengenai fasilitas pemakaman bagi penganut kepercayaan

tidak kondusif karena memberikan celah bagi kelompok mayoritas bertindak

intoleran terhadap penganut kepercayaan. Muatan materi tersebut menjadi celah

melakukan penolakan pemakaman. Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan

No. 41 Tahun 2009, pasal 8 ayat (1) menyatakan “penghayat kepercayaan yang

meninggal dunia dimakamkan pemakaman umum”. Ayat (2) “jika pemakaman

penghayat kepercayaan ditolak di pemakaman umum yang berasal dari tanah

wakaf, pemerintah daerah menyediakan pemakaman umum”. Ayat (3) “lahan

pemakaman umum dapat disediakan oleh penghayat kepercayaan”. Ayat (4)

“bupati/walikota memfasilitasi administrasi penggunaan lahan yang disediakan

oleh penghayat kepercayaan, untuk menjadi pemakaman umum”.

3.2. Pengaturan Mengenai Pendirian Rumah Ibadah/Sanggar

Teknis dan tata cara persyaratan pendirian tempat ibadah/sanggar bagi

penganut kepercayaan mengacu pada Perber Mendagri dan Menbudpar. Sementara

persyaratannya merujuk pada SKB dua menteri yakni Menteri Agama dan

Mendagri tentang kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah. Syarat

utama supaya bisa membuat rumah ibadah dalam peraturan bersama itu adanya 90

tanda tangan dan foto kopi KTP pengguna rumah ibadah dan 60 tanda tangan dan

Page 10: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

78

foto kopi KTP warga sekitar. Syarat ini tentu sangat memberatkan penganut

kepercayaan karena mereka kelompok minoritas.

Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 9

ayat (1) menyatakan “penyediaan sanggar didasarkan atas keperluan nyata dan

sungguh-sungguh bagi penghayat kepercayaan”. Ayat (2) “penyediaan sangggar,

dapat berupa bangunan baru atau bangunan lain yang dialih fungsikan”. Pasal 10

“pembangunan sanggar, harus memenuhi persyaratan administrasi dan teknis

bangunan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal

11 ayat (1) “penghayat kepercayaan mengajukan permohonan ijin mendirikan

bangunan untuk penyediaan sanggar dengan bangunan baru, kepada

bupati/walikota”. Ayat (2) “bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat

90 hari sejak diterimanya permohonan pendirian sanggar yang telah memenuhi

persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Pasal 12 ayat (1) “penyediaan sanggar yang telah mendapat ijin

sebagaimana mendapat penolakan dari masyarakat, pemerintah daerah

memfasilitasi pelaksanaan pembangunan sasana sarasehan dimaksud”. Ayat (2)

“ketika pemerintah daerah dalam memfasilitasi tidak berhasil, pemerintah daerah

berkewajiban memfasilitasi lokasi baru untuk pembangunan sanggar”. Pasal 13

menyatakan ”bupati/walikota memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan

gedung sanggar yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena perubahan

rencana tata ruang wilayah”.

3.3. Tidak Diaturnya Pendidikan bagi Penganut Kepercayaan di Sekolah Umum

Page 11: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

79

Pengaturan tentang Sistem Pedidikan Nasional (Sisdiknas) membuat siswa

penganut kepercayaan tidak mendapat pendidikan kepercayaan di sekolah umum.

Sekolah-sekolah umum12

tidak menyediakan guru dan mata pelajaran kepercayaan

sebagai pengganti mata pelajaran agama. UU Sisdiknas hanya mengatur mengenai

guru dan mata pelajaran bagi penganut agama „resmi negara‟.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 12 ayat (1) menyatakan

“setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan

pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh

pendidik yang seagama……..”.13

UU ini, sama sekali tidak menyinggung

mengenai pendidikan „agama‟ bagi penganut kepercayaan. UU tentang pendidikan

ini berlaku diskriminatif bagi penganut kepercayaan. Padahal setiap orang berhak

mendapatkan pengajaran dan pendidikan termasuk pendidikan agama.

4. Pengaturan tentang Menempatkan Kepercayaan pada Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan

Peraturan yang tidak kondusif mengatur penganut kepercayaan tidak hanya

dari sisi substansi muatan materinya. Kebijakan pemerintah memindahkan

kepercayaan dari Departemen Agama ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

juga bermasalah. Adanya pengaturan itu membuat posisi kepercayaan

tersubordinasi oleh agama. Penghayat kepercayaan dinyatakan bukan agama

sehingga ditempatkan pada kementerian budaya dan pariwisata dan diawasi pula

12

Kenapa sekolah umum? Karena sekolah umumlah yang wajib menerima semua anak bangsa

bersekolah. Apabila sekolah-sekolah yang berada dibawah yayasan berhaluan agama, akan sangat

sulit bagi penganut kepercayaan untuk sekolah di sekolah tersebut. 13

Lihat, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 12: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

80

oleh Mendagri. Kepercayaan diposisikan sebagai ajaran atau budaya bangsa, bukan

agama yang disejajarkan dengan „agama resmi‟ negara.

Pada tahun 1975 penghayat kepercayaan dimasukan pada Kanwil Depag

(Kemenag) pada tingkat Propinsi. Berdasarkan Instruksi Menag No. 13 Tahun

1975, pembinaan penganut kepercayaan dialihkan pada sub Bagian Umum Tata

Usaha, Menag. Pada tahun 1978, pelayanan penganut kepercayaan dialihkan pada

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dibawah Direktorat Bina Hayat

Kepercayaan berdasarkan Keppres No. 40 Tahun 1978.

Alasan mendasar penghayat kepercayaan tidak dibawah naungan Depag

karena penghayat keperayaan dinilai bukan merupakan agama. Atas dasar itu,

Perpres No. 14 Tahun 2015 pasal 19 mengatur bahwa ”dalam melaksanakan

tugasnya, Direktorat Jenderal Kebudayaan menyelenggarakan fungsi: ....., d.

Melakukan pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,

……”.14

Sebagai turunannya dibuatlah Permendikbud No. 73 Tahun 2012 tentang

Bantuan Sosial Untuk Komunitas Budaya. Pasal 1 ayat 13 menyatakan ”komunitas

kepercayaan adalah kesatuan sosial genealogis, memiliki keyakinan dan pandangan

kosmologis yang terikat oleh kekuatan adi kodrati, mempunyai kitab yang

dijadikan rujukan, orang yang terpilih sebagai penerima ajaran, ada upacara

peribadatan”. Pasal 4 menyatakan ”bantuan sosial diberikan kepada: ......, b.

14

Lihat, Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan.

Page 13: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

81

komunitas kepercayaan, yang terdiri atas organisasi penghayat kepercayaan yang

terdaftar di pemerintah”.15

5. Pengaturan tentang Pengawasan dan Pembinaan terhadap Penganut

Kepercayaan

Pembinaan dan pengawasan kementerian secara berlebihan mengakibatkan

penganut kepercayaan mendapat perlakuan diskriminatif dan intoleran. Penganut

kepercayaan seakan kelompok keyakinan yang membahayakan sehingga harus

diawasi dan harus dibina.

Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 15

ayat (1) menyatakan “Mendagri melakukan pembinaan dan pengawasan umum

atas pelayanan kepada penghayat kepercayaan. Ayat (2) “pembinaan itu dilakukan

dengan mengoordinasikan gubernur dalam pelayanan kepada penghayat

kepercayaan dan pembinaan kepada bupati/walikota dalam pelayanan kepada

penghayat kepercayaan”. Ayat (3) “pengawasan umum itu dilakukan dengan

memantau gubernur dalam pelayanan kepada penghayat kepercayaan dan

pembinaan kepada bupati/walikota dalam pelayanan kepada penghayat

kepercayaan”.

Pasal 16 ayat (1) menyatakan “Menbudpar melakukan pembinaan dan

pengawasan teknis atas pelayanan kepada penghayat kepercayaan”. Ayat (2)

“pembinaan teknis itu meliputi: a. pemberian pedoman; b. pemberian bimbingan

teknis, konsultasi, supervisi; dan c. dokumentasi dan publikasi. Ayat (3)

15

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 73 Tahun 2012 tentang Bantuan Sosial

Untuk Komunitas Budaya.

Page 14: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

82

“pengawasan teknis itu dilakukan dengan pemantauan dan evaluasi terhadap

pelayanan penghayat kepercayaan”.

Kemudian pasal 17 menyatakan “gubernur melakukan pembinaan dan

pengawasan terhadap bupati/walikota dalam pelayanan penghayat kepercayaan”.

Pasal 18 ayat (1) “bupati/walikota melaporkan tugas pelayanan penghayat

kepercayaan di kabupaten/kota kepada gubernur”. Ayat (2) “gubernur melaporkan

tugas pelayanan penghayat kepercayaan di provinsi kepada Mendagri dan

Menbudpar”. Ayat (3) “laporan sebagaimana yang dimaksud disampaikan setiap 6

(enam) bulan sekali pada bulan Januari dan Juli atau sewaktu-waktu jika

diperlukan”.

Bukan hanya ‟dibina‟ oleh Kemendagri dan Kemendikbud, penganut

kepercayaan juga diawasi oleh Kejaksaan melalui lembaga Bakor Pakem. UU No.

16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan16

pasal 30 ayat (3) menyatakan “......, dalam

bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan

kegiatan:…….. d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan

masyarakat dan negara; e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

……”.17

UU di atas menjadi landasar Kejaksaan membuat Surat Keputusan Jaksa

Agung RI No. KEP004/J.A/01/1994 tentang Bakor Pakem. Pasal 2 ayat (4) 59:

a. Ketua merangkap anggota: Kepala Kejaksaan Negeri. Susunan dan

Keanggotaan Pakem Tingkat 2 adalah:

b. Wakil Ketua merangkap anggota: Kepala Seksi Intel

16

UU tentang Kejaksaan sudah mengalami beberapa kali perubahan sejak pertama kali

dibentuk pada tahun 1961. 17

UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Page 15: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

83

c. Anggota-anggota dari wakil: Pemda tingkat II, Kemenag, Polres, Kodim,

Pendidikan dan Kebudayaan dan lainnya.”18

Pasal 3 ayat (1) 60: tugas tim Pakem menurut pasal 3 Keputusan Jaksa

Agung bertugas:

a. Menerima dan menganalisa laporan dan atau informasi tentang aliran

kepercayaan di Masyarakat;

b. Meneliti dan menilai secara cermat perkembangan suatu aliran kepercayaan

untuk mengetahui dampak-dampaknya bagi ketertiban dan ketentraman

umum;

c. Dapat mengambil langkah-langkah preventif dan represif sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Melihat peraturan perundang-undangan di atas, negara telah turut campur

dalam keyakinan individu penganut kepercayaan. Hak-hak dasar penganut

keperayaan dibatasi oleh UU tentang penodaan agama, keharusan mencantumkan

identitas agama di KTP, pelayanan administrasi kependudukan, dan pembentukan

Bakor Pakem. Pengaturan itu merugikan hak-hak dasar penganut kepercayaan

bahkan pada beberapa kasus, seseorang dipidana karena dianggap telah menodai

agama. Artinya peraturan perundang-undangan tersebut di atas tidak kondusif

dalam mengatur kepercayan.

18

Keputusan Jaksa Agung RI No. :KEP004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi

Pakem.

Page 16: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

84

B. Pengaturan tentang Kepercayaan Bertentangan dengan Hakikat Konsep

Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak

Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Peraturan perundang-undangan tentang kepercayaan pada bagian A di atas

bertentangan dengan asas/prinsip hukum universal yang melindungi hak-hak dasar

setiap individu manusia (lihat; bab II). Pengaturan tersebut juga bertentangan

dengan hakikat kesamaan agama dan kepercayaan (lihat; bab III) dimana sejatinya

penganut agama dan penganut kepercayaan posisinya sejajar dimata hukum. Tak

hanya dari sisi muatan materiilnya, peraturan perundang-undangan tersebut juga

bertentangan dengan syarat formil pembentukan peraturan perundang-undangan di

Indonesia.

1. Inkoherensi19

Pengaturan tentang UU Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan,

serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut

Kepercayaan

Materi muatan dalam UU No. 1/PNPS 1965 bertentangan dengan UUD

NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2015. Substansi

undang-undang tersebut juga bertentangan dengan prinsip non-intervensi, prinsip

non-diskriminasi, dan prinsip toleransi (lihat; bab III) terhadap menganut

kepercayaan. UU tersebut hanya melindungi penganut „agama resmi‟ negara.

Sementara penganut kepercayaan tidak dilindungi, bahkan posisinya terancam

19

Inkoherensi merupakan istilah dalam dunia sikologi. Inkoherensi didefinisikan untuk

menggambarkan pembicaraan yang tidak logis, dimana kata- kata yang diucapkan tidak dapat

dimengerti. Pikiran sangat cepat sehingga kata- kata yang diucapkan tidak mempunyai hubungan

atau tanpa tata bahasa yang menyebabkan disorganisasi. Dalam dunia hukum, inkoherensi

didefinisikan untuk menggambarkan ketidaksesuaian antara peraturan yang satu dengan lainnya

padahal mengatur objek yang sama.

Page 17: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

85

pidana. Ancaman ini terbukti dengan adanya beberapa pimpinan kelompok

agama/kepercayaan yang dipidana karena dianggap menodai agama.

Padahal, kebebasan menganut agama atau kepercayaan serta beribadah

sesuai dengan yang diyakini dijamin dan dilindungi UUD NRI 1945. Pasal 28E

ayat (1) menyatakan ”setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya.” Ayat (2) ”setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan

sesuai dengan hati nuraninya.” Pasal 28I ayat (1) “kebebasan beragama dan

berkeyakinan adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi

dalam keadaan apa pun”. Pasal 29 ayat (2) menyatakan ”negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan

untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”20

Prinsip kebebasan beragama ditegaskan juga dalam UU No. 39 Tahun 1999

pasal 4 yang menyatakan “....., hak beragama, ...... adalah hak asasi manusia yang

tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.21

Pasal 22 ayat

(1)”setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah

menurut agamanya dan kepercayaanya itu.” Ayat (2) ”negara menjamin

kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.22

Begitu juga dengan UU No. 12 Tahun 2005 pasal 18 ayat (1) menyatakan

”setiap orang berhak atas kebebasan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk

20

Lihat, perubahan keempat UUD NRI 1945. 21

Lihat, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. 22

Jimly Asshiddiqie, Toleransi dan Intoleransi Beragama di Indonesia Pasca Reformasi,

makalah, 2 September 2015.

Page 18: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

86

menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan

kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di

tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya

dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan pengajaran”.

Ayat (2) menyatakan ”tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu

kebebasannya untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaannya sesuai

dengan pilihannya. Ayat (3) ”kebebasan untuk mengejawantahkan agama atau

kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum,

dan apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan dan atau

moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.23

Pengaturan kebebasan beragama di Indonesia tidak kondusif lantaran

adanya UU No. 1/PNPS Tahun 1965 (lihat; Bab IV bagian A point 1). UU ini tidak

kondusif melindungi hak kebebasan menganut kepercayaan, bahkan mengancam

pidana. Muatan materi penjelasan pasal satu misalnya, secara eksplisit menyatakan

bahwa agama-agama yang dipeluk penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen,

Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Apabila suatu kelompok

kepercayaan melakukan kegiatan/ibadah mirip dengan ritual agama di atas, , maka

bisa saja melanggar UU No. 1/PNPS Tahun 1965.

Ancaman ini bukan isapan jempol belaka, di Indonesia terdapat beberapa

putusan pengadilan yang memidana seseorang karena keyakinannya. Bukan hanya

sangsi pidana, kebijakan pemerintah yang menghentikan kegiatan organisasi

23

Lebih lengkapnya mengenai isi pasal-pasalnya, lihat ICCPR/UU No. 12/2005 tentang Hak-

hak Sipil dan Politik.

Page 19: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

87

keagamaan nyata terjadi di Indonesia. Hasil investigasi Amnesty Interbasional

merilis beberapa kasus yang berujung pemidaan terhadap penganut kepercayaan.

Salah satunya menimpa Andreas Guntur Wisnu Sarsono, pemimpin

kepercayaan Amanat Keagungan Ilahi (AKI), sekte keagamaan di Jawa Tengah.

Andreas dipenjara empat tahun karena dianggap menodai agama. Andreas dituntut

berdasarkan Pasal 156(a) KUHP tentang penodaan agama. Melalui putusan

Pengadilan PN Klaten No. 3/Pid.B/2012/PN.Klt24

Andreas dijatuhi hukuman

empat tahun penjara pada Maret 2012. Keputusan itu juga dipertahankan oleh

Pengadilan Tinggi Semarang pada April 2012 dengan Putusan No.

98/PID/2012/PT.SMG25

dan putusan Mahkamah Agung No. 1115 K/Pid/201226

pada Agustus 2012.

Pada akhir laporannya, Amnesty International merilis daftar 106 nama

penganut kepercayaan dan penganut sekte „agama resmi‟ yang secara individu

telah dipenjara karena undang-undang penodaan agama.27

Putusan-putusan

pengadilan tentang penodaan/penghinaan terhadap agama, menjadi landasan bagi

Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara uji materi KUHP jo UU No.

24

Lebih lengkapnya mengenai saksi-sakis, buki-bukti dalam persidangan serta pertimbangan

hakim, lihat Putusan PN Klaten No. 3/Pid.B/2012/PN.Klt. 25

Lebih lengkapnya mengenai pertimbangan hakim, saksi-saksi, serta bukti dalam persidangan

lihat Putusan No. 98/PID/2012/PT.SMG. 26

Lihat juga Putusan Mahkamah Agung No. 1115 K/Pid/2012. Putusan ini menguatkan

putusan PN Klaten dan PT Semarang. 27

Laporan Amnesty Internasional, dipublikasikan pertama kali pada tahun 2014 oleh Amnesty

International Ltd, Peter Benenson House, 1 Easton Street London WC1X 0DW United Kingdom,

Mengadili Keyakinan Undang-Undang Penodaan Agama IndonesiaHlm. 22-24

Page 20: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

88

1/PNPS Tahun 1965. Melalui putusan No. 84/PUU-X/2012,28

MK menolak

seluruh permohonan para pemohon. Sebelumnya, pada tahun 2009 MK juga telah

menolak permohonan Uji Materi UU No. 1/PNPS Tahun 1965 terhadap UUD NRI

1945. Permohonan para pemohon yang diwakili perorangan termasuk salah

satunya KH Abdurrahman Wahid (alm) dan beberapa LSM pegiat HAM, ditolak

majelis hakim melalui putusan No. 140/PUU-VII/2009.29

Melihat fakta hukum tersebut, UU tentang penodaan agama sangat

bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak konsisten dengan norma hukum

kebebasan beragama dan perlindungan hak asasi manusia sebagai ciri negara

hukum (lihat bab I). Analisis penulis di atas sejalan dengan pandangan dissenting

opinion Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dalam putusan No. 140/PUU-

VII/2009. Maria berpendapat pasal 1 UU No. 1/PNPS Tahun 1965, apabila

dihubungkan dengan penjelasannya maka negara hanya menjamin, melindungi,

dan memberikan bantuan secara penuh hanya kepada enam agama di Indonesia,

(Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu (Confusius).

Sedangkan terhadap agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarasustrian,

Shinto, Taoism tidak dilarang di Indonesia asalkan tidak melanggar ketentuan-

ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundangan lain”. Demikian pula

dengan penganut aliran kepercayaan “pemerintah berusaha menyalurkannya ke

28

Lebih lengkapnya mengenai saksi dan bukit serta pendapat hakim, lihat, putusan Mahkamah

Konstitusi (MK) No. 84/PUU-X/2012 mengenai uji materi UU No. 1/PNPS Tahun 1965 dan KUHP

terhadap UU NRI 1945. 29

Lebih lengkapnya mengenai saksi-saksi, bukti, pendapat ahli dan pertimbangan hakim, lihat

putusan No. 140/PUU-VII/2009. Dalam putusan ini, semua tokoh-tokoh agama terlibat menjadi

saksi ahli.

Page 21: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

89

arah pandangan yang sehat dan ke arah ke-Tuhanan Yang Maha Esa ...”. Melalui

ayat itu, pemerintah diberikan wewenang untuk menyalurkannya penganut

kepercayaan ke arah „pandangan yang sehat‟ dan ke arah ke-Tuhanan Yang Maha

Esa. Seakan, penganut kepercayaan diasumsikan dalam kondisi tidak sehat (tidak

sehat keyakinannya atau apanya?)

Terhadap pasal 2, Maria berpendapat bahwa rumusan pasal 2 dan

penjelasannya terdapat perbedaan dari segi adressat (subjek) norma yang dituju.

Dalam ayat (1) yang menjadi adressat (subjek) norma adalah “barangsiapa ...”

yang dalam bahasa peraturan perundang-undangan biasanya dimaknai dengan

setiap orang atau badan hukum (korporasi). Sedangkan pada ayat (2) yang menjadi

adressat (subjek) norma adalah “organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan.”

Dengan demikian ketentuan pasal 2 sebenarnya hanya ditujukan terhadap “orang

ataupun penganut suatu kepercayaan atau pengurus organisasi, atau aliran

terlarang”. Bukankah negara tidak dapat ikut campur terhadap keyakinan

seseorang?

Terhadap pasal 3 yang mengatur “apabila telah dilakukan sesuai pasal 2

masih melanggar ketentuan pasal 1, maka orang/anggota atau pengurus organisasi

dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun”, Maria berpendapat

bahwa terdapat perbedaan dari segi adressat (subjek) norma yang dituju. Dalam

pasal tersebut yang menjadi adressat, yang dapat dijatuhi pidana penjara lima

tahun adalah ”pengurus organisasi atau badan aliran kepercayaan” sedangkan

dalam penjelasannya “penganut aliran kepercayaan saja”.

Page 22: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

90

Terhadap rumusan pasal 4, Maria berpendapat bahwa pengaturan yang

memerintahkan penambahan suatu pasal ke dalam UU lain adalah sesuatu yang

tidak lazim dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Pendapat

tersebut boleh saja dapat dikesampingkan, dengan alasan karena pada saat

terbentuknya UU itu belum terdapat pedoman yang mengatur tentang pedoman

penyusunan peraturan perundang-undangan.

Atas dasar itu, Maria Farida Indrati menyimpulkan bahwa, UU No. 1/PNPS

Tahun 1965 merupakan produk masa lampau, meskipun berdasarkan aturan

peralihan pasal I UUD 1945 secara formal masih berlaku (validity).30

Namun

secara substansial mempunyai berbagai kelemahan karena adanya perubahan yang

sangat mendasar terhadap UUD NRI 1945 khususnya pasal-pasal yang

menyangkut hak-hak asasi manusia. Merujuk penjelasan di atas, muatan materi UU

No. 1/PNPS Tahun 1965 jelas bertentangan dengan norma hukum UUD NRI 1945,

UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun 2015, dan UU No. 12 Tahun 2015.

Negara melakukan pembatasan yang berlebihan, melebihi ketentuan syarat-

syarat pembatasan forum eksternum (lihat: bab III). UU a quo juga bertentangan

dengan prinsip non-diskriminasi negara, karena negara telah membeda-bedakan

status agama yang diakui dan tidak diakui. Agama yang tidak diakui dan penganut

kepercayaan tersubordinasi dan menjadi tidak setara dengan agama yang diakui

negara. UU a quo juga bertentangan dengan prinsip toleransi sehingga memicu

30

Berdasarkan pasal 2 dan Lampiran IIA UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai

penetapan presiden dan peraturan presiden sebagai UU, ditetapkanlah Penetapan Presiden Nomor 1

Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebagai suatu UU.

Sehingga sejak saat itu berlakulah UU No. 1/PNPS/1965 sebagai suatu UU (yang biasa disebut

dengan Undang-Undang Kondisional). Lihat putusan putusan No. 140/PUU-VII/2009, hlm. 314.

Page 23: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

91

terjadinya tindakan intoleransi sesama warga negara dengan label sesat dan

menyesatkan.

2. Inkoherensi Pengaturan Administrasi Kependudukan dengan Hakikat

Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak

Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Pengaturan mengenai pelayanan administrasi kependudukan yang

dimaksud pada pembahasan ini yakni pencantuman identitas agama di KTP,

pencatatan perkawinan, dan keharusan mendaftar sebagai organisasi kepercayaan.

Ketiga pengaturan tentang administrasi kependudukan ini inkonsisten dengan

hakikat konsep kesamaan antara agama dan kepercayaan dan bertentangan juga

dengan konsep hukum kesamaan hak penganut agama dan penganut kepercayaan.

Adanya peraturan perundang-undangan tersebut, membuat penganut kepercayaan

terdiskriminasi bahkan kerap mendapat cap/label sesat dari kelompok agama

mayoritas.

2.1. Inkoherensi Pengaturan tentang Mengakui/Tidak Mengakui Agama dengan

Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan

Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Pengaturan tentang diakui dan tidak diakuinya agama jelas merupakan

bentuk diskriminasi terhadap penganut kepercayaan. Diskriminasi itu bermula dari

keharusan mencantumkan identitas agama di KTP. Bagi penganut kepercayaan

harus mengosongkan identitas agamanya. Sementara penganut agama diisi sesuai

dengan agama yang mereka yakini. Muatan materi yang diskriminatif ini

bertentangan dengan UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12

Tahun 2005 yang menghendaki perlakuan sama terhadap penganut agama dan

Page 24: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

92

kepercayaan. Keharusan mengisi kolom agama di KTP juga bertentangan dengan

prinsip non-intervensi, non-diskriminasi, dan prinsip toleransi yang menghendaki

semua orang hidup selaras, sejajar, saling menghargai dan harmonis.

Kesetaraan hak pelayanan administrasi penganut agama dan penganut

kepercayaan dapat dirunut mulai UUD NRI 1945. Pasal 28D ayat (1) menyatakan

“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Pasal 28E ayat (1)

menyatakan “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya, ……”. Ayat (2) “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini

kepercayaan, .......”. Pasal 28H ayat (2) menyatakan “setiap orang berhak

mendapat, ........., kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan

dan keadilan”.

Selanjutnya, pasal 28I ayat (1) menyatakan “hak untuk hidup, hak tidak

disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,......, adalah hak

asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Ayat (2) “setiap

orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan

berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”.

Pengaturan tentang kesetaraan hak juga diatur dalam UU No. 12 Tahun 2005.

Pasal 18 ayat (2) menyatakan “tidak seorangpun dapat dipaksa untuk menganut

atau memilih agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya”.

Kesetaraan hak setiap manusia juga termaktub dalam UU No. 39 Tahun

1999. Pasal 22 ayat (1) menyatakan “setiap orang bebas memeluk agamanya

Page 25: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

93

masing-masing dan beribadah menurut agamnya dan kepercayaanya itu”. Ayat (2)

“negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing

dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. Merujuk pada

peraturan perundang-undangan di atas, negara tidak berhak untuk mengakui dan

tidak mengakui agama.

Sayangnya norma hukum di atas tidak koheren dengan norma hukum UU

No. 24 Tahun 2013 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 khususnya pasal yang

mengatur pencantuman identitas agama di KTP dan pembedaan pelayanan

adminduk (lihat; Bab IV bagian A point 2). Padahal, sesuai dengan pemaparan di

atas setiap orang berhak bebas dari tindakan diskriminas. Artinya negara telah

menabrak prinsip hukum kesetaraan hak penganut agama dan penganut

kepercayaan.

Pencantuman identitias agama dalam KTP tidak sebatas persoalan

perbedaan tulisan, kosong dan tidak kosong dalam KTP. Jauh dari itu,

pencantuman identitas agama dalam KTP menyangkut substansi hak sebagai warga

negara Indonesia. Warga Indonesia yang agamanya tidak diakui dan penganut

kepercayaan ketika hendak membuat KTP harus susah payah menjelaskan

keyakinan yang dipeluknya.

Setelah menjelaskan panjang lebar, mereka kadang tidak dibuatkan KTP

karena dianggap kelompok komunis-ateis. Mereka yang tidak mau susah berurusan

dengan petugas pembuat KTP, akhirnya mereka merelakan KTP-nya diisi dengan

Page 26: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

94

agama resmi negara. Padahal, ibadah mereka sehari-hari tidak berdasarkan „agama

resmi‟ negara, melainkan sesuai dengan agama/kepercayaan mereka sendiri.

Atas dasar inilah, penganut kepercayaan kerap disangka melakukan

penodaan agama terhadap „agama resmi‟ negara. Disinilah lertak kekeliruan negara

mengharuskan mencantumkan kolom agama dalam KTP. Singkat kata, negara

harus menyamakan hak pencantuman identitas mereka tanpa adanya pembedaan.

Hal ini sejalan dengan prinsip non-diskriminasi negara dan kesamaan hak penganut

agama dan kepercayaan (lihat; bab III).

2.2. Inkoherensi Pengaturan mengenai Keharusan Mendaftarkan Organisasi

Kepercayaan dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan

serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Pengaturan tentang keharusan mendaftar sebagai organisasi kepercayaan

supaya mendapat Surat Keterangan Terdaftar (SKT), bertentangan dengan prinsip

non-intervensi negara. Negara tidak berhak memaksa sebuah organisasi atau

perserikatan supaya mendaftar di pemerintahan. Untuk mengakui, memenuhi, dan

melindungi penganut kepercayaan, tidak hanya sebatas pada kelompok yang

memiliki SKT. Karena itu, syarat formil muatan materi tentang keharusan

mendaftar sebagai organisasi tidak terpenuhi.

Berkenaan dengan itu, UUD NRI 1945 pasal 28J ayat (1) menyatakan

“setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. UU No. 12 Tahun 2005

pasal 21 menyatakan “hak untuk berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada

pembatasan yang dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang

Page 27: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

95

ditentukan sesuai dengan hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat

demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan politik publik,

atau ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat,

atau perlindungan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain”.

Senada dengan itu, UU No. 39 Tahun 1999 pasal 69 ayat (1) menyatakan

“setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan

tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Ayat (2)

menyatakan “setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar

dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik

serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, meneggakan, dan

memajukannya”.

Kehendak mulia dalam peraturan perundang-undangan di atas tidak

konsisten dengan muatan materi Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No.

41 Tahun 2009 utamanya mengenai kewajiban mendaftarkan organisasi

kepercayaan (lihat; Bab IV bagian A point 2). Pada intinya, pasal-pasal dalam

Perber di atas tidak memenuhi syarat formil pembuatan peraturan perundang-

undangan. Untuk melindungi, memenuhi, serta menghormati penganut

kepercayaan, negara tidak perlu mengharuskan penganut kepercayaan

mendaftarkan diri di pemerintahan.

Merujuk pada pemaparan di atas, pengaturan tentang kengharuskan

kelompok kepercayaan mendaftar sebagai organisasi tidak sejalan dengan UUD

NRI 1945, UU No. 12 Tahun 2005, dan UU No. 39 Tahun 1999 (lihat; bab III).

Page 28: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

96

Selain itu pasal-pasal yang menjadi persyaratan tidak ramah bagi penganut

kepercayaan, karena aturan tersebut terlalu memberatkan penganut kepercayaan

terkhusus mengenai keharusan adanya SKT di tiga kabupaten/kota dan keharusan

adanya tanda tangan dari lurah dan camat. Padahal, apabila tidak bisa mendaftar

sebagai organisasi, maka hak-hak administrasi kepercayaan tidak bisa dilayani

utamanya dalam pencatatan perkawinan.

2.3. Inkoherensi Pengaturan Pencatatan Perkawinan dengan Hakikat Konsep

Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut

Agama dan Penganut Kepercayaan

Pengaturan tentang pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan

mengandung norma yang diskriminatif utamanya bagi yang tidak memiliki pemuka

penghayat kepercayaan. Pemuka penghayat kepercayaan yang bisa mencatatkan

perkawinan hanya yang memiliki izin menikahkan dari pemerintah. Syarat supaya

mempunyai pemuka kepercayaan yang memiliki izin mengawinkan, organisasinya

sudah memiliki SKT. Bagi kelompok kepercayaan yang tidak memiliki SKT secara

otomatis tidak memiliki pemuka penghayat kepercayaan yang mendapat „lisensi‟

mengawinkan dari negara.

Padahal, hak untuk membentuk keluarga yang sah amat fundamental

sehingga UUD NRI 1945 mengaturnya. Pasal 28B ayat (1) menyatakan “setiap

orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

yang sah. Begitu juga dengan UU No. 39 Tahun 1999 pasal 10 ayat (1) yang

menyatakan “setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan

keturunan melalui pernikahan yang sah”. Ayat (2) “perkawinan yang sah hanya

Page 29: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

97

dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang

bersagkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Senada dengan itu, UU No. 12 Tahun 2005, pasal 23 ayat (1) menyatakan

“keluarga adalah sendi dasar masyarakat yang dialami dan mendasar yang berhak

atas perlindungan dari masyarakat dan negara”. Ayat 2 menyatakan “hak laki-laki

dan perempuan dewasa untuk menikah dan membentuk suatu keluarga harus

diakui”. Penjelasan ayat ini menyatakan “pengakuan atas hak laki-laki dan

perempuan usia kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk

keluarga, prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas

dan sepenuhnya dari para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan”.

Sayangnya, kehendak bebas melakukan perkawinan seperti dalam

pengaturan di atas bertentangan dengan PP No. 37 Tahun 2007 khususnya

mengenai pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan (lihat; Bab IV bagian

A point 2). Muatan materi dalam PP tersebut berintikan bahwa dapat dicatatkan

atau tidaknya perkawinan penganut kepercayaan ditentukan oleh pemuka

penghayat kepercayaan. Pemuka penghayat kepercayaan tersebut harus mendapat

lisensi mengawinkan dari pemerintah.

Konsekuensi tidak mempunyai pemuka kepercayaan yang mendapat izin

mengawinkan, maka perkawinannya tidak bisa dicatatkan. Problem tidak

mempunyai akta perkawinan ini tampak jelas berimbas pada pencatatan

perkawinan keturunan mempelai selanjutnya dikemudian hari. Ketika orang tua

Page 30: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

98

anak tidak memiliki akta perkawinan maka keturunannya tidak bisa dicatatkan

perkawinannya.

Padahal Perpres No. 25 Tahun 2008 pasal 52 ayat (1) mengatur syarat

bahwa pencatatan kelahiran penduduk WNI....., dilakukan dengan memenuhi

syarat berupa: a. ….., c. KK orang tua; d. KTP orang tua; dan e. Kutipan akta

nikah/akta perkawinan orang tua”. Ekses hukum tidak mempunyai akta

perkawinan, dalam akta kelahiran tertulis „anak luar kawin‟ bukan anak dari

„pasangan suami istri‟. Status „anak luar kawin‟ ini diasumsikan anak yang lahir

dari hubungan gelap atau lahir dari hubungan yang bukan suami istri. Stigma

negatif „anak luar kawin‟ akan melekat pada anak dan timbul persoalan ketika sang

anak hendak mendaftar pekerjaan atau hendak mendaptar sekolah.

Persoalan selanjutnya mengenai hak pelayanan Kartu Keluarga akibat tidak

adanya akta perkawinan. Perpres No. 25 Tahun 2008 pasal 12 ayat (1) menyatakan

“penerbitan KK baru bagi penduduk dilakukan setelah memenuhi syarat berupa: a.

......., b. Foto kopi atau menunjukkan Kutipan Akta Nikah/Kutipan Akta

Perkawinan;.......”. Penganut kepercayaan yang tidak memiliki akta perkawinan,

mereka bisa mendapatkan KK dari Dinas Catatan Sipil namun dengan catatan

„kepala keluarga‟ perempuan.31

Status hukum administrasi ini menjadi kebalik-balik dan tidak mengandung

norma kepastian hukum. Akibat dari kepala keluarga perempuan, penganut Sedulur

31

Kasus demikian menimpa penganut Sedulur Sikep (Samin) di Kabupaten Kudus. Lihat, Tedi

Kholiludin (ed.), Jalan Sunyi Pewaris Tradisi....

Page 31: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

99

Sikep Kudus pernah ditolak meminjam uang oleh salah satu bank karena dianggap

tidak akan mampu membayar utang jika kepala keluarganya perempuan.

Fakta demikian tentu sangat bertentangan dengan UUD NRI 1945, UU No.

39 Tahun 1999 dan UU No. 12 Tahun 2005 yang menghendaki setiap orang dan

setiap warga negara sejajar dihadapan hukum. UU yang mengatur tentang

pencantuman identitas agama di KTP, keharusan mendaftar sebagai organisasi, dan

pencatatan perkawinan penganut kepercayaan, jelas bertentangan dengan prinsip

non-intervensi negara, prinsip non-diskriminasi negara, dan prinsip toleransi

negara terhadap penganut kepercayaan. Padahal prinsip-prinsip itu merupakan

kunci untuk menyamakan hakikat konseptual agama dan menyamakan hak

penganut agama dan penganut kepercayaan.

3. Inkoherensi Pengaturan Pendirian Tempat Ibadah, Pemakaman dan

Pendidikan Agama/Kepercayaan dengan Hakikat Konsep Kesamaan

Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama

dan Penganut Kepercayaan

Pengaturan mengenai pendirian rumh ibadah/sanggar, pemakaman dan hak

pendidikan merupakan fasilitas fundamental bagi setiap warga negara. Namun

pengaturan mengenai pendirian tempat ibadah, pemakaman, serta hak pendidikan

bagi penganut kepercayaan bermasalah. Akibatnya, penganut kepercayaan tidak

dapat beribadah dengan leluasa dalam sanggarnya, mereka kerap mendapat

penolakan pemakaman di makam umum, penolakan pembangunan sanggar, dan di

sekolah siswa penganut kepercayaan tidak mendapat pengajaran sesuai dengan

ajaran yang mereka yakini.

Page 32: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

100

3.1. Inkoherensi Pengaturan Pemakaman dengan Hakikat Konsep Kesamaan

Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan

Penganut Kepercayaan

Pengaturan tentang pemakaman bagi penganut kepercayaan memberikan

celah bagi kelompok mayoritas untuk berbuat intoleran. “jika ditolak di

pemakaman yang berasal dari tanah wakaf” menjadi celah bagi masyarakat untuk

menolak pemakaman penganut kepercayaan. Penganut agama mayoritas selalu

beralasan bahwa pemakaman umum adalah berasal dari tanah wakaf sehingga

penganut kepercayaan sah jika ditolak pemakamannya.

Mengenai hak pemakaman yang layak berkaitan dengan UUD NRI 1945

pasal 28A yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak

mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28H ayat (1) menyatakan

“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan”. Hal itu berkaitan juga dengan UU No. 39 Tahun 1999 pasal

9 ayat (2) “setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera

lahir dan batin. Ayat (3) “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat”.

Peraturan perundang-undangan di atas menjadi landasan untuk mendapat

fasilitas pemakaman yang layak karena menyangkut kehidupan yang sejahtera lahir

dan batin, serta mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi kerabat

korban yang ditinggalkannya. Materi muatan dalam UUD NRI 1945 ini bertolak

Page 33: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

101

belakang dengan Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009

khususnya mengenai pengaturan pemakaman (lihat; Bab IV bagian A point 3).

Mencermati frasa “mengenai adanya penolakan pemakaman” betul-betul

dijadikan pijakan kelompok mayoritas untuk betul-betul menolak jenazah penganut

aliran kepercayaan. Terdapat beberapa kasus penolakan pemakaman penganut

kepercayaan, sementara pemerintah tidak juga kunjung memberikan fasilitas

pemakaman bagi penganut kepercayaan secara merata. Sehingga dengan terpaksa

jenazah penganut kepercayaan harus dimakamkan di pekarangan rumah.

Kondisi demikian tentu tidak ramah dan tidak memihak bagi penganut

kepercayaan. Bagi jenzah sendiri memang tidak mengetahui apa yang terjadi,

termasuk mendapat penolakan, namun yang merasakan pelanggaran ini adalah

kerabatnya yang masih hidup. Kerabat yang mendapat musibah tidak mendapat

penghidupan sejahtera lahir dan batin seperti yang dijamin dalam UUD NRI 1945.

3.2. Inkoherensi Pengaturan Mengenai Pendirian Sanggar dengan Hakikat Konsep

Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Hukum Kesamaan Hak

Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan

Pengaturan tentang pendirian rumah ibadah bagi penganut kepercayaan

substansinya sama dengan penganut „agama yang diakui‟ negara. Baik penganut

agama maupun penganut kepercayaan untuk mendirikan rumah ibadah harus ada

90 tanda tangan serta bukti foto kopi KTP calon jemaah dan 60 tanda tangan serta

foto kopi KT warga sekitar. Syarat ini yang menjadi pokok persoalan untuk

mendirikan rumah ibadah bagi penganut kepercayaan yang notabene kelompok

minoritas.

Page 34: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

102

Penekanan pada kebebasan untuk mengejawentahkan keyakinannya

menjadi landasan bahwa semua kelompok kepercayaan bebas untuk mendirikan

rumah ibadah. UUD NRI 1945 pasal 28E menyatakan “setiap orang berhak

memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.......”. Pasal 29 ayat (2)

menyatakan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu”.

Senada dengan itu, UU No. 12 Tahun 2005 pasal 18 ayat (1) menyatakan

“setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan beragama. Hal ini

mencakup kebebasan untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas

pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama

dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan

agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan

pengajaran”.

Begitu juga dengan UU No. 39 Tahun 1999 pasal 22 ayat (1) menyatakan

“setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah

menurut agamnya dan kepercayaanya itu. Ayat (2) “negara menjamin

kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Sayangnya, pengaturan di atas tidak

koheren dengan adanya Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41

Tahun 2009 khususnya mengenai pembangunan sanggar (lihat; Bab IV bagian A

Page 35: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

103

point 3). Persyaratan pembangunan sanggar penganut kepercayaan di atas hanya

mengatur teknis mengenai proses perizinan pembangunan rumah ibadah.

Syarat-syaratnya dikembalikan kepada peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang pendirian rumah ibadah, yakni; Perber Menag dan Mendagri No.

9 dan No. 8 Tahun 2006. Pasal 14 ayat (2) menyatakan “....., pendirian rumah

ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan KTP

pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat

setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagalmana dimaksud dalam pasal

13 ayat (3); b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang

disahkan oleh lurah/kepala desa.

Bagi penganut kepercayaan akan sangat kesulitan mendapatkan tanda

tangan dan bukti KTP seperti yang ditentukan di atas, karena mereka kelompok

minoritas dan di lapangan kerap terjadi tekanan hebat dari perangkat desa.

Pengaturan ini tidak lazim “melemparkan kebijakan kepada rakyat”. Adanya syarat

90/60 merupakan kebijakan yang sejatinya ada di tangan rakyat, bukan ditangan

pemerintah. Selain itu, juga terdapat klausula mengenai penolakan dan pemerintah

daerah harus memfasilitasi ketika ada persoalan dengan warga sekitar. Muatan

materi ini bermasalah karena memberikan ruang terjadi tindakan intoleransi berupa

penolakan perizinan pembuatan sanggar bagi penganut kepercayaan.

Pengaturan demikian jelas bertentangan norma hukum UUD NRI 1945, UU

No. 12 Tahun 2005, dan UU No. 39 Tahun 1999 yang menghendaki setiap orang

bebas memeluk agama dan bebas untuk beribadah sesuai dengan yang mereka

Page 36: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

104

yakini. Dengan demikian, jelas bahwa beberapa kejadian tentang penolakan dan

pembakaran sanggar penganut kepercayaan merupakan pelanggaran HAM dan

bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi dan prinsip toleransi negara terhadap

penganut kepercayaan.

3.3. Inkoherensi Pengaturan Pendidikan Agama dengan Hakikat Konsep Kesamaan

Agama dan Kepercayaan serta Konsep Hukum Kesamaan Hak Penganut

Agama dan Penganut Kepercayaan

Pendidikan merupakan hak dasar setiap orang yang harus dipenuhi oleh

negara. Hak untuk memperoleh pendidikan agama yang layak tidak boleh

direnggut oleh siapa pun termasuk negara. Sayangnya UU tentang pendidikan

nasional tidak mengatur pendidikan kepercayaan bagi siswa-siswi penganut

kepercayaan. Muatan materi UU tersebut tidak mengatur pendidikan kepercayaan

dan guru mata pelajaran kepercayaan. Sehingga hak pendidikan kepercayaan tidak

dipenuhi sebagaimana hak pendidikan agama bagi penganut agama „resmi negara‟.

Padahal UUD NRI 1945 Pasal 28C ayat (1) menyatakan “setiap orang

berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak

mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, ......”. Pasal

28E ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat

menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, .......”. Pasal 31 ayat (1)

menyatakan ”setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Ayat (5)

“pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi

nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta

kesejahteraan umat manusia”. Senada dengan itu, UU No. 39 Tahun 1999 pasal 12

Page 37: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

105

menyatakan “setiap orang berhak, ..... memperoleh pendidikan, ......... sesuai

dengan hak asasi manusia”.

Sayangnya fundamentalnya hak pendidikan setiap orang, tidak diimbangi

dengan pengaturan pendidikan ‟agama‟ bagi penganut kepercayaan. UU No. 20

Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 12 ayat (1) menyatakan “setiap peserta didik

pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai

dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.32

Dalam undang-undang tersebut, hak pendidikan kepercayaan siswa penganut

kepercayaan sama sekali tidak diatur.

UU Sisdiknas ini sama sekali tidak mengakomodir hak pendidikan

kepercayaan bagi siswa yang menganut kepercayaan. Padahal, siswa penganut

„agama resmi negara‟ disediakan mata pelajaran sekaligus gurunya. Siswa

penganut kepercayaan telah terdiskriminasi dengan tidak diaturnya pendidikan

penganut kepercayaan di sekolah. Adanya peraturan itu, mengakibatkan siswa

penganut kepercayaan kerap mendapatkan diskriminasi di sekolah berupa

pemaksaan pengajaran pendidikan agama. Banyak kasus di sekolah dimana siswa

penganut kepercayaan dipaksa untuk mengikuti pelajaran agama, utamanya

pelajaran agama Islam.

Melihat kondisi demikia, peraturan perundang-undangan tersebut

bertentangan dengan UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12

Tahun 2005. UU Sisdiknas bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi dan

32

Lihat, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 38: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

106

prinsip toleransi yang harus dibangun oleh peraturan perundang-undangan untuk

melindungi semua warga negaranya.

4. Inkoherensi Pengaturan tentang Penempatan Kepercayaan pada

Kemendibud dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan

Kepercayaan serta Konsep Hukum Kesamaan Hak Penganut Agama

dan Penganut Kepercayaan

Kesetaraan status dimata hukum merupakan hak setiap warga negara dan

setiap orang. Sayangnya prinsip ini tidak dirasakan penganut kepercayaan karena

tidak dilindungi oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana penganut

„agama resmi‟ negara. Penganut kepercayaan dilayani oleh Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan sementara Penganut Agama dilayani oleh

Kementerian Agama. Alasan pembedaan pelayanan ini karena kepercayaan

dianggap bukan agama, padahal antara agama dan kepercayaan hakikatnya sama.

Adanya pembedaan ini berakibat pada perlakuan yang setara pada penganut

kepercayaan.

Berkaitan dengan itu, UUD NRI 1945 pasal 28D ayat (1) menyatakan

“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Pasal 28H ayat (2)

menyatakan “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus

untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan

dan keadilan”. Senada dengan itu, UU No. 39 Tahun 1999 pasal 3 ayat (1)

menyatakan “setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia

yang sama dan sederajat, ........”. Ayat (2) “setiap orang berhak atas pengakuan,

Page 39: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

107

jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian

hukum dalam semangat di depan hukum. Ayat (3) “setiap orang berhak atas

perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia, tanpa diskriminasi”.

Selanjutnya pasal 4 menyatakan “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,

hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum,

dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Begitu juga dengan UU No. 12 Tahun 2015 pasal 18 ayat (1) menyatakan “setiap

orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan beragama. Hal ini mencakup

kebebasan untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas pilihannya

sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang

lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau

kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan pengajaran”.

Muatan materi di atas tidak koheren dengan kebijakan pemerintah yang

menempatkan kepercayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada

tahun 1978, pelayanan penganut kepercayaan dialihkan dari Depag kepada

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dibawah Direktorat Bina Hayat

Kepercayaan berdasarkan Keppres No. 40 Tahun 1978. (lihat; Bab IV bagian A

point 4). Atas dasar Perpres itu, kemudian dibuatlah Peraturan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan No. 73 Tahun 2012 tentang Bantuan Sosial Untuk Komunitas

Budaya.

Page 40: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

108

Inti dari peraturan perundang-undangan di atas yakni penghayat

kepercayaan bukanlah agama. Sehingga tidak dinaungi oleh Departemen Agama

yang sekarang menjadi Kementerian Agama. Masalah muncul ketika sekarang

penganut kepercayaan meminta status yang sama kepada negara dalam pengisian

identitas agama di KTP. Penghayat kepercayaan meskipun secara formalitas

berbeda (yakni agama/kepercayaan) namun mereka menuntut hak-hak yang sama

dari negara. Hak administrasi publik, perkawinan, pendidikan, hak beribadah di

rumah ibadah, penganut kepercayaan menuntut supaya negara menyamakan

dengan hak penganut agama.

Kondisi demikian menjadi persoalan hukum tata negara yang tidak sesuai

dengan hakikat konseptual agama dan kepercayaan, serta kesamaan hak penganut

agama dan penganut kepercayaan. Kebijakan menempatkan kepercayaan pada

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan jelas bertentangan dengan UUD NRI

1945, UU No. 39 1999 dan UU No. 12 Tahun 2005, konsep kesamaan hak

penganut agama dan kepercayaan, serta bertentangan dengan prinsip non-

intervensi, non-diskriminasi, dan toleransi negara terhadap kepercayaan. Ketiga

prinsip ini dilanggar oleh peraturan perundang-undangan tersebut karena

memosisikan kepercayaan tidak sejajar dengan penganut agama. Padahal hakikat

agama dan kepercayaan sama dan memiliki hak hukum yang sama.

5. Inkoherensi Pengaturan tentang Pengawasan dan Pembinaan terhadap

Penganut Kepercayaan dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan

Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan

Penganut Kepercayaan

Page 41: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

109

Peraturan perundang-undangan tentang pembinaan dan pengawasan

terhadap penganut kepercayaan sangat eksklusif. Akibatnya penganut kepercayaan

tidak bebas melakukan ibadah, pengamalan, dan pengajaran tentang kepercayaan.

Adanya peraturan perundang-undangan tersebut membelenggu kebebasan

berekspresi penganut kepercayaan karena berada dalam bayang-bayang

penyesatan. Adanya Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakor

Pakem) setidaknya membuat tiga kelompok kepercayaan/agama dinyatakan sesat

dan harus dibubarkan. Kondisi peraturan perundang-undangan demikian

bertentangan dengan prinsip bahwa agama dan kepercayaan hakikatnya sama

sehingga harus mendapatkan hak-hak yang sama.

Hal itu senada dengan spirit UUD NRI 1945 Pasal 28E ayat (1) yang

menyatakan “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya, .......”. Ayat (2) menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan

meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati

nuraninya”. Ayat (3) menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,

berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Pasal 28I ayat (1) menyatakan “........., hak beragama, ....., adalah hak asasi

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Ayat (2) “setiap

orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan

berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif

itu”. Pasal 29 ayat (2) menyatakan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

Page 42: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

110

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu”.

Kebebasan beragama, beribadah, berkumpul dan berserikat juga diatur

dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 22 ayat (1) menyatakan “setiap

orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut

agamnya dan kepercayaanya itu”. Ayat (2) menyatakan “negara menjamin

kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.

Senada dengan itu, UU No. 12 Tahun 2005 Pasal 18 ayat (1) menyatakan

”setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan beragama. Hal ini

mencakup kebebasan untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas

pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama

dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan

agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan

pengajaran”. Selanjutnya ayat (2) menyatakan ”tidak seorangpun dapat dipaksa

sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau memilih agama atau

kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

Sayangnya pengaturan di atas bertentangan dengan Perber Mendagri dan

Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 khususnya mengenai pembinaan dan

pengawasan penganut kepercayaan (lihat; Bab IV bagian A point 5). Pengaturan

yang koheren di atas juga bertentangan dengan adanya UU No. 16 Tahun 2004

Page 43: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

111

tentang Kejaksaan khususnya mengenai pengawasan aliran kepercayaan dan SK

No. KEP004/J.A/01/1994 tentang Bakor Pakem (lihat; bab IV bagian A point 5).

Adanya beberapa contoh kasus pelarangan dan penyesatan yang menimpa

penganut kepercayaan di Indonesia menjadi bukti bahwa pengawasan dan

pembinaan terhadap penganut „kepercayaan diluar agama‟ membuat kebebasan

beragama terlanggar. Negara telah masuk dalam keyakinan individu yang melekat

pada setiap orang. Akibat intervensi negara melalui pengaturan di atas

mengakibatkan seseorang penganut kepercayaan kerap dituduh sesat. Kondisi

hukum demikian tentu bertentangan dengan hakikat kesamaan konseptual agama

dan kepercayaan dan kesamaan hak penganut agama dan penganut kepercayaan.

Pengaturan mengenai pengawasan dan pembinaan terhadap kepercayaan di

atas jelas bertentangan norma hukum yang terkandung dalam UUD NRI 1945, UU

No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2005 utamanya yang mengatur

kebebasan beragama, beribadah, mengamalkan ajarannya. Peraturan perundang-

undangan a quo juga bertentangan dengan prinsip non-intervensi negara, prinsip

non-diskriminasi, dan prinsip toleransi negara (lihat: bab III) terhadap penganut

kepercayaan.

C. Preskripsi Pengaturan tentang Kepercayaan yang Sesuai dengan Prinsip

Kesamaan Hak antara Penganut Agama dan Kepercayaan di Indonesia

Berdasarkan penjelasan pada bagian B di atas kesalahan utamanya

berpangkal karena negara „mengakui dan tidak mengakui agama‟. Pangkal

permasalahan peraturan perundang-undangan itu menimbulkan tidak terpenuhinya

Page 44: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

112

hak-hak dasar penganut kepercayaan. Karena itu, preskripsi yang dipertahankan

dalam penelitian ini, utamanya negara tidak perlu „mengakui‟ suatu agama.

Negara tidak berhak menentukan keyakinan seseorang/kelompok masuk

pada kategori agama atau kepercayaan. Yang paling berhak menentukan bahwa

suatu keyakinan masuk kriteria agama atau kriteria kepercayaan adalah hanya

individu masing-masing. Karena itu peraturan perundang-undangan yang tidak

tepat mengatur kepercayaan harus dirubah bahkan harus dihapus karena tidak

memenuhi syarat formil supaya hak dasar penganut kepercayaan sejajar dengan

penganut agama.

1. Kesalahan Praktik Pemerintah dalam Hubungan Agama-Kepercayaan

Menelaah beberapa peraturan perundang-undangan di atas yang tidak

kondusif mengatur kepercayaan, pangkal persoalannya pada UU No. 1/PNPS

Tahun 1965, UU No. 24 Tahun 2013, dan PP No. 37 Tahun 2007 yang secara

substansi mengatur „mengakui dan tidak mengakui agama‟. Permasalahan utama

dari segala permasalahan yang dialami penganut kepercayaan karena negara

melakukan praktik diskriminatif dengan hanya mengekaui „enam agama resmi

negara‟. Padahal, berdasarkan asas/prinsip hukum kesetaraan (equality) dan

keadilan (justice), negara tidak berhak menjustifikasi suatu kelompok keyakinan

masuk pada kategori agama atau masuk pada kategori kepercayaan.

Negara tidak boleh membuat perundang-undangan untuk mengatur

„mengakui dan tidak mengakui‟ agama. Asas/prinsip yang harus dipegang negara

dalam hubungannya agama dan negara adalah prinsip non-intervensi, prinsip non-

Page 45: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

113

diskriminasi, dan prinsip toleransi (lihat: bab III). Keyakinan adalah wilayah forum

internum yang tidak bisa dibatasi dalam keadaan apa pun termasuk dengan

perundang-undangan. Keyakinan seseorang merupakan wilayah yang sangat privat,

inheren, dan melekat pada setiap individu manusia. Ketika negara membuat

kebijakan berupa mengakui enam agama, maka yang terjadi adalah penganut

kepercayaan terlanggar hak-hak dasarnya. Pemenuhan hak dasar penganut

kepercayaan tidak setara dengan hak yang didapat penganut „enam agama resmi

negara‟.

Merunut pangkal persoalan peraturan perundang-undangan tentang

penganut kepercayaan, dapat dimulai dari persoalan administrasi kependudukan

yang paling riil menimpa penganut kepercayaan. Persoalan administrasi

kependudukan yang dialami penganut kepercayaan adalah frasa „anak luar‟ kawin

dalam akta kelahiran, perempuan menjadi kepala keluarga dalam KK, tidak bisa

mengesahkan status anak, dan identitas agama di KTP.33

Persoalan-persoalan

tersebut merupakan „efek domino‟ karena perkawinan penganut kepercayaan tidak

bisa dicatatkan.

Perkawinan penganut kepercayaan dapat dicatatkan dengan syarat telah

dinikahkan oleh pemuka penghayat kepercayaan yang memiliki „lisensi‟

menikahkan dari pemerintah. Syarat supaya memiliki pemuka penghayat

kepercayaan yang mendapat „lisensi‟ dari pemerintah, organisasi kepercayaan

harus terdapatar di pemerintahan sebagai organisasi kepercayaan. (lihat: PP No.

33

Lebih lengkapnya lihat, Tedi KH dkk, Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa

Tengah Tahun 2014, (Semarang, elsa pers, 2014), hlm 18.

Page 46: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

114

37/2007). Syarat mendaftar sebagai organisasi kepercayaan merupakan penjabaran

dari kebijakan negara yang hanya mengakui enam „agama resmi‟ negara. Jadi,

pangkal persoalan administrasi kependudukan penganut kepercayaan ketika

dirunut pengaturannya, persoalan utamanya karena negara “mengakui dan tidak

mengakui agama‟.

Persoalan selanjutnya mengenai hak pendidikan kepercayaan di sekolah

umum. Siswa penganut kepercayaan tidak mendapatkan mata pelajaran

kepercayaan di sekolah karena UU Sisdiknas hanya mengatur pendidikan agama

bagi siswa yang menganut enam „agama resmi‟ negara (lihat: UU No. 20/2005).

Begitu juga dengan hak fasilitas pemakaman, negara telah membeda-bedakan dan

akibatnya banyak kasus penolakan pemakaman.34

Pengaturan pemakaman dengan

adanya frasa „jika mengalami penolakan” (lihat: Perber Mendagri dan Menbudpar

No. 43/41 Tahun 2009) merupakan pengejawentahan dari peraturan perundang-

undangan tentang penyalahgunaan dan penodaan agama.

Persoalan nyata akibat negara mengakui „enam agama‟ resmi negara adalah

adanya lembaga Bakor Pakem. Adanya Bakor Pakem merupakan turunan dari UU

tentang Kejaksaan yang mempunyai tugas untuk mengawasi aliran kepercayaan

(lihat: UU No. 16/2004 dan SK Jaksa Agung No.KEP004/J.A/01/1994). UU

Kejaksaan merupakan pengejawentahan dari peraturan pemerintah yang

memindahkan pelayanan penganut kepercayaan dari Kementerian Agama ke

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Alasan dipindahkannya pelayanan

34

Lihat, Tedi KH dkk, Laporan Kebebasan Beragama Tahun 2014, (Semarang, elsa pers, 2014)

hlm. 17.

Page 47: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

115

penganut kepercayaan ke Kemendikbud karena kepercayaan dianggap bukan

agama dan negara hanya mengakui „enam agama resmi‟ negara.

Berdasarkan uraian tentang pokok-pokok persoalan hukum yang menimpa

penganut kepercayaan di atas, jelaslah bahwa persoalan utamanya adalah negara

„mengakui dan tidak mengakui agama‟. Negara telah masuk pada wilayan

internum individu yang sangat privat. Negara seharusnya menciptakan peraturan

perundang-undangan yang mendorong terciptanya toleransi dalam menyikapi

perbedaan. Sementara itu, tidak akan terjadi kondisi toleransi dan saling

menghargai selama ada peraturan perundang-undangan di atas, justru yang akan

terjadi mendorong intoleransi.

2. Pengaturan tentang Kepercayaan yang Sesuai dengan Prinsip Kesamaan

Hak antara Penganut Agama dan Kepercayaan

Preskripsi pengaturan tentang agama dan kepercayaan yang sesuai dengan

asas/prinsip kesamaan hak antara penganut agama dan penganut kepercayaan

adalah negara „tidak mengaturnya‟. Pilihan terbaik pengaturan relasi antara agama

dan negara adalah negara tidak mengintervensi agama/kepercayaan dengan cara

tidak mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan. Negara tidak perlu

mengatur keyakinan (baik agama, kepercayaan, atau sebutan lainnya) karena

merupakan wilayah privat-individu dengan „sesuatu yang dianggap melebihi

dirinya yang lazimnya disebut Tuhan‟. Ketika wilayah „privat‟ diatur, yang terjadi

justru banyak hak-hak dasar penganut kepercayaan (minority belief) yang dirampas

oleh negara.

Page 48: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

116

Berdasarkan hasil pembahasan di atas yang seharusnya sebagai preskripsi,

penulis merekomendasikan perlunya;

Pertama, peraturan perundang-undangan tentang agama/kepercayaan yang

secara substansial bertentangan dengan prinsip non-intervensi negara maka harus

dicabut/dibatalkan secara keseluruhan. Peraturan perundang-undangan tersebut

yakni; UU No. 1/PNPS Tahun 1965, Kepres No. 40 Tahun 1978, Perber Mendagri

dan Menbudpar No. 43/41 Tahun 2009.

Kedua, ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan tentang

agama/kepercayaan harus dihapus atau diperbaiki. Pengaturan tersebut yakni; UU

No. 24 Tahun 2013, PP No. 37 Tahun 2007 tentang Administrasi Kependudukan,

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan.

2.1. Pembatalan/Penghapusan Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama

UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama harus dibatalkan. Alasan dibatalkannya UU a quo karena muatan

materinya bertentangan dengan kesamaan hakikat dan kesamaan hak penganut

agama dan penganut kepercayaan. Penulis sejalan dengan pandangan dissenting

opinion Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dalam putusan MK No. 140/PUU-

VII/2009. Maria berpendapat bahwa permohonan para pemohon yang

menginginkan UU a quo dibatalkan, seharusnya dikabulkan.

Selain merujuk pada pendapat Maria, UU a quo juga bertentangan syarat

formil dan materiil pembuatan peraturan perundang-undangan. Materi muatan UU

Page 49: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

117

tersebut bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan utamanya pasal 5 yang menyatakan “dalam

membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas

yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; ……, c. kesesuaian antara jenis,

hierarki, dan materi muatan; ……., f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan”.

Selanjutnya pasal 6 ayat (1) menyatakan “materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan asas; a. pengayoman; b. kemanusiaan;

c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g.

keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban

dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”.35

Melihat syarat formil pembuatan peraturan perundang-undangan di atas,

jelas bahwa UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tidak memenuhi persyaratan. Ketika UU

tentang penodaan agama dihapus, tidak akan terjadi lagi kasus penganut

kepercayaan dipidana karena „dianggap„ menodai „agama resmi‟ negara. Tiadanya

UU tersebut akan menciptakan kesetaraan status penganut agama dan penganut

kepercayaan dimata hukum.

Pendapat yang menyatakan bahwa UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tidak perlu

dibatalkan karena suatu waktu bisa diterapkan tidak tepat, karena secara

substansial muatan materi ini bertentangan dengan konstitusi. Ketika ada sengketa

mengenai agama atau kepercayaan maka negara tidak lagi menggunakan delik

penodaan agama. Namun, negara bisa memberlakukan pasal hate speech atau

35

Lebih jelasnya mengenai syarat-syarat pembentukan peraturan perundang-undangan, lihat,

UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Page 50: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

118

anjuran kebencian atas dasar Sara yang sejatinya sudah diatur dalam UU No 12

tahun 2005.

2.2. Pembatalan Keppres yang Menempatkan Kepercayaan pada Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan

Keppres No. 40 Tahun 1978 yang isinya “memindahkan pelayanan

penganut kepercayaan dari Depag ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan”

harus dicabut. Konsekuensi dicabutnya Keppres di atas, maka Perpres No. 14

Tahun 2015, pasal 19 yang mengatur penyelenggaraan pembinaan terhadap

lembaga kepercayaan” harus dicabut. Demikian juga dengan Permendikbud No. 73

Tahun 2012, pasal 1 ayat 13 yang isinya mendefinisikan kepercayaan dengan

“kesatuan sosial-genealogis yang memiliki keyakinan dan pandangan kosmologis,

terikat kekuatan adi kodrati, mempunyai kitab pedoman, mempunyai orang sebagai

penerima ajaran, ada upacara peribadatan” serta pasal 4 yang menyatakan ”bantuan

sosial diberikan kepada komunitas kepercayaan, yang terdiri atas organisasi

penghayat kepercayaan” harus dihapus.

Dicabutnya Kepres No. 40 Tahun 1978 di atas, maka peraturan perundang-

undangan yang mengatur teknis pelayanan kepercayaan oleh Depdikbud harus

dihapus. Pelayanan kepercayaan harus dikembalikan kepada Kementerian Agama,

supaya hak-hak dasarnya sejajar dengan penganut enam „agama resmi‟ negara.

Konsekuesninya, maka Kementerian Agama harus berubah nama menjadi

„Kementerian Agama dan Kepercayaan‟.

Penulis cenderung memilih mengganti „nama kementerian agama‟ menjadi

kementerian keyakinan supaya mencakup semua sistem keyakinan, yang ada di

Page 51: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

119

Indonesia. Bahkan ada solusi yang lebih ekstrem yakni Kementerian Agama dan

MUI serta „embel-embel agama‟ dalam lembaga resmi negara harus dihapus.

Negara ini memang membingungkan dari sisi ketata negaraan, negara bukan

negara agama, namun terdapat lembaga negara yang mengurus agama. Hemat

penulis, jika masih ada lembaga negara yang mengatur agama, maka negara ini

negara agama.

Sejatinya, Indonesia tidak masalah jika sekalian menjadi negara agama,

asalkan hak-hak dasar kelompok minoritas kepercayaan dipenuhi, dilindungi, dan

dihormati. Jadi, Indonesia boleh menjadi negara agama, namun penganut

kepercayaan bebas mendirikan rumah ibadah, bebas menyebarkan ajaran

kepercayaan, serta tidak ada lagi gejolak intoleran seperti penoalakn dan

penyesatan. Kondisi ini akan lebih baik daripada Indonesia mengaku „negara

Pancasila‟ namun penganut kepercayaan dieksklusi oleh peraturan hak-hak

dasarnya.

Berdasarkan analisis penulis, secara „organisasi‟ Indonesia bisa tetap

mempertahankan keberadaan Kementerian Agama. Namun keberadaannya hanya

sebagai pengayom, pemenuhan, dan perlindungan umat beragama. Tiga pilar ini

pernah dilakukan Presiden ke-4 KH. Abdur Rahman Wahid yang telah gigih

memperjuangkan supaya terpeliharanya keberagaman di Indonesia. Karena itu,

seorag Presiden atau seorang Menteri Agama harus sepemikiran dengan Gus Dur.

Seorang menteri agama atau Presiden Indonesia wajib meniru keberanian Gus Dur

Page 52: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

120

dalam memimpin negara yang multi agama, ras, etnis, budaya ini. Dengan itu,

spirit kebersamaan, toleransi, dan perdamaian tetap terjaga.

2.3. Pembatalan Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009

tentang Pedoman Pelayanan bagi Penganut Kepercayaan

2.3.1. Penghapusan Pengaturan tentang Pemakaman Penganut Kepercayaan

Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 8

ayat (2) dan (3) yang mengatur tentang “pemakaman penganut kepercayaan yang

ditolak di pemakaman umum harus dibuatkan pemakaman khusus penganut

kepercayaan” harus dihapus. Adanya pengaturan tersebut menjadi celah bagi

penganut agama mayoritas untuk bertindak intoleran dengan menolak pemakaman

penganut kepercayaan. Preskripsi tersebut yang hanya menghapus pasal

merupakan alternatif dengan mempertimbangkan realitas di masyarakat. Solusi

tersebut tidak substansial karena tidak sesuai dengan asas/prinsip kesamaan hak

penganut agama dan penganut kepercayaan.

Preskripsi yang sesuai dengan prinsip kesamaan hak penganut agama dan

penganut kepercayaan adalah Perber No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 secara

keseluruhan harus dihapus secara keseluruhan. Merujuk pada asas pembuatan

peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam pasal 5 dan 6 UU No. 12

Tahun 2011, perber tersebut tidak memenuhi syarat formil pembuatan peraturan

perundang-undangan. UUD NRI 1945 pasal 28J ayat (2) menyatakan bahwa setiap

pembatasan hak asasi harus dengan UU, bukan dengan Peraturan Meneteri, karena

itu, Perber sudah selayaknya dihapus.

2.3.2. Penghapusan Pengaturan tentang Pendirian Sanggar

Page 53: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

121

Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 9,

10, 11, 12, dan 13 yang mengatur tentang pendirian sanggar harus dihapuskan.

Selama ini, pengaturan tentang pendirian rumah ibadah diatur dalam Perber Menag

dan Mendagri No. 9/8 yang salah satu syaratnya harus ada 90 tanda tangan dan

KTP pengguna tempat ibadah dan 60 tanda tangan dan KTP warga sekitar. Pasal

ini harus dihapuskan karena sudah dipastikan penganut kepercayaan tidak akan

mendapat izin mendirikan sanggar jika syarat 90/60 tersebut masih ada.

Jadi, pengaturan tentang pendirian rumah ibadah bagi penganut

kepercayaan harus disamakan dengan pengaturan pendirian rumah ibadaha bagi

penganut „enam agama‟ resmi negara, dengan catatan, bahwa syarat 90/60 harus

dihapuskan. Penulis bahkan, cenderung untuk menghapus segala peraturan tentang

pendirian rumah ibadah, karena tidak sesuai dengan asas pembuatan peraturan

perundang-undangan dan spirit kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan

keyakinan dan agamanya masing-masing. Seseorang/kelompok yang hendak

menghadap Tuhannya, tidak perlu mendapat izin dari pemerintah yang rumit dan

memberatkan kelompok minoritas.

2.3.3. Penghapusan Pengaturan tentang Syarat Mendaftar sebagai Organisasi

Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 5

dan 6 yang isinya “mengatur tata cara dan syarat pendaftaran organisasi

kepercayaan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota” harus dihapuskan. Pasal ini

tidak memenuhi syarat materiil dan melanggar asas/prinsip pembentukan peraturan

peundang-undangan. Preskripsi di atas yang hanya menghapus beberapa pasal,

Page 54: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

122

merupakan pilihan moderat karena mempertimbangkan realita di masyarakat.

Preskripsi tersebut tidak sesuai dengan asas/prinsip kesamaan hak penganut agama

dan penganut kepercayaan. Preskripsi yang tepat sesuai dengan asas/prinsip di atas

maka Perber No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 harus dibatalkan. UUD NRI 1945

sendiri mengatur bahwa pembatasan hak dan kebebasan harus dengan UU, bukan

dengan peraturan bersama menteri.

Hal itu sesuai dengan pasal 28J ayat (2) menegaskan bahwa dalam menjalankan

hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan

dengan undang-undang. Alasan logis setiap pembatasan hak dan kebebasan harus dengan

UU karena dalam pembentukannya melibatkan wakil rakyat. Sementara dalam pembuatan

Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009, tidak ada keterlibatan

wakil rakyat, sehingga tidak merefresentasikan kebutuhan penganut kepercayaan. Karena

itu, organisasi kepercayaan tidak perlu diatur supaya didaftarkan di pemerintahan karena

justru akan menjadikan penganut kepercayaan „tidak diatur‟.

2.4. Penghapusan pasal tentang Pengawasan dan Pembinaan terhadap Penganut

Kepercayaan dan Pencabutan SK Bakor Pakem

UU No. 16 Tahun 2004 pasal 30 ayat (3) yang mengatur pengawasan terhadap

penganut kepercayaan” harus dihapus. Konsekuensi dihapusnya pasal di atas, maka SK

Jaksa Agung RI No. KEP004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Bakor Pakem harus

dicabut. Dicabutnya SK Kejagung, secara otomatis Bakor Pakem harus dibubarkan.

Bubarnya Bakor Pakem, akan membuat penganut kepercayaan leluasa dalam beribadah

dan mengajarkan keyakinan karena tidak dibayang-bayangi penyesatan dan pelarangan.

Dengan demikian, maka hak dasar penganut kepercayaan untuk beribadah dan

Page 55: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

123

mengajarkan kepercayaan sama dengan hak dasar penganut agama untuk beribadah dan

mengajarkan agama.

2.5. Penghapusan pasal dalam UU tentang Administrasi Kependudukan

2.5.1. Penghapusan pengaturan tentang Mengakui dan tidak Mengakui Agama (Identitas

Agama di KTP)

Muatan materi dalam UU Adminduk yang mengatur „mengakui dan tidak

mengakui agama‟ serta pasal yang memuat tentang pencantuman identitas agama di KTP

harus dihapuskan. UU No. 24 Tahun 2013 pasal 8 ayat (2), (3) dan (4) yang mengatur

“tempat pencatatan perkawinan antara penganut agama Islam dan penganut agama non-

Islam/kepercayaan” serta “pencatatan perkawinan penganut kepercayaan diatur lebih

lanjut dalam perundang-undangan” harus dihapus. Pasal 8 di atas, merupakan pangkal

pembedaan perlakuan terhadap penganut agama Islam dan penganut agama diluar

Islam/penganut kepercayaan.

Begitu juga dengan pasal 64 ayat (1) yang mengatur “mencantumkan identitas

agama di KTP” harus dihapus. Pasal tersebut merupakan pangkal terjadinya diskriminasi

layanan publik bagi penganut kepercayaan. Pasal ini tidak mencerminkan asas/prinsip

dalam pembentukan perundang-undangan yang termuat dalam pasal 5 dan 6 UU No. 12

Tahun 2011. Dihapusnya identitas agama di KTP dan frasa „agama belum diakui‟, menjadi

pintu sejajarnya hak penganut agama dan penganut kepercayaan. Tiadanya identitas agama

di KTP, akan menyejajarkan status agama dan kepercayaan. Tidak ada lagi keyakinan

yang superior dan inferior, semua terlindungi, dihormati, dan dipenuhi hak-hak dasarnya

secara sejajar.

2.5.2. Penghapusan Syarat Pemuka Penghayat Kepercayaan dalam Pencatatan Perkawinan

Salah satu syarat pencatatan perkawinan penganut kepercayaan diharuskan adanya

pemuka penghayat kepercaayaan yang sudah mendapat „lisensi‟ menikahkan dari

pemerintah. Ayat ini yang harus dihapus, karena tidak semua organisasi kepercayaan

Page 56: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

124

memiliki pemuka kepercayaaan yang sudah mendapat sertifikat izin mengawinkan dari

pemerintah. PP No. 37 Tahun 2007 pasal 81 ayat (3) yang mengatur “perkawinan

penganut kepercayaan harus dihadapan pemuka penghayat kepercayaan yang terdaftar di

pemerintahan” harus dihapus.

Jadi, pasal 81 cukup sampai ayat (1) dan (2) yang menyatakan “perkawinan

penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan” dan

“pemuka penghayat cukup ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan.36

Ketentuan

dalam ayat (3) yang mengharuskan pemuka penghayat ditetapkan oleh negara merupakan

bentuk intervensi negara terhadap penganut kepercayaan. Karena itu, harus dihapus supaya

semua perkawinan penganut kepercayaan bisa dicatatkan.

2.6. Penghapusan Pasal tentang Pendidikan Agama dalam UU Sisdiknas

Hak pendidikan tentang kepercayaan juga harus didapatkan oleh siswa penganut

kepercayaan. Sementara dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tidak

mengautrnya. Karena itu, pasal 12 ayat (1) yang mengatur “setiap peserta didik berhak

mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh

pendidik yang seagama harus dihapus”. Preskripsi di atas sesuai dengan substansi

asas/prinsip kesamaan hakikat dan hak penganut agama dan penganut kepercayaan.

Artinya, sekolah umum tidak menyediakan mata pelajaran agama/kepercayaan.

Pendidikan tentang agama/kepercayaan harus dikembalikan kepada pemuka agama dan

pemuka kepercayaan masing-masing, artinya disediakan pada internal masing-masing

lembaga keagamaan atau kepercayaan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengaturan yang tepat mengenai relasi

antara agama dan negara adalah negara tidak mengintervensi agama/kepercayaan dengan

36

Penjelasan ayat (2): “yang dimaksud dengan organisasi penghayat kepercayaan adalah suatu

wadah penghayat kepercayaan yang terdaftar pada instansi di kementerian yang membidangi

pembinaan teknis kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Page 57: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

125

cara tidak mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan. Negara tidak perlu

mengatur keyakinan (baik agama, kepercayaan, atau sebutan lainnya) karena itu

merupakan wilayah antara privat-individu dengan „sesuatu yang dianggap melebihi

dirinya‟ (umumnya disebut Tuhan). Ketika wilayah privat diatur, maka yang terjadi

banyak hak-hak dasar penganut kepercayaan yang dirampas oleh negara melalui peraturan

perundang-undangan.

Negara kaitannya dengan agama/kepercayaan, harus patuh pada rambu-rambu

prinsip non-intervensi negara. Prinsip itu harus dipegang negara untuk menciptakan

kondisi kehidupan yang non-diskriminasi dan toleransi terhadap penganut kepercayaan.

Selama ini, ada pinsip yang keliru dimana segala sesuatu hubungan individu dan negara

harus daitur. Tidak mengatur, bukan berarti negara absen dalam hal agama/kepercayaan.

Sesuai dengan teori kebijakan publik, negara tidak membuat kebijakan pun, itu merupakan

kebijakan terbaik dari ngegara. Karena itu, pilihan terbaiknya adalah negara membuat

kebijakan yang membatasi hak penganut kepercayaan.

Perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan terhadap penganut agama dan

penganut kepercayaan tidak dibutuhkan pengaturan secara khusus tentang agama dan

kepercayaan. Negara dalam melakukan pemenuhan hak dasar, harus berpedoman pada

UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 12 Tahun 2005, dan UU No. 11 Tahun

2005. Peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan prinsip non-intervensi

negara, non-diskriminasi, dan toleransi. Adanya pengaturan tentang agama dan

kepercayaan justru menimbulkan diskriminasi dan toleransi terhadap penganut

kepercayaan serta umumnya terhadap penganut agama minoritas.

Pengaturan tentang agama dan kepercayaan menjadi landasan perlakuan

diskriminatif baik secara langsung dan tidak langsung. Pengaturan itu menjadi sponsor

tindakan intoleran kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Umpanya mengenai

Page 58: BAB IV PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, … · 2017. 7. 25. · 1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

126

pembangunan rumah ibadah, Perber Menag dan Mendagri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006,

menjadi „sponsor‟ perilaku intoleran bahkan kekerasan berupa penolakan dan pembakaran

rumah ibadah. Karena itu, preskripsi yang tepat mengenai pengaturan agama dan

kepercayaan adalah negara tidak mengaturnya.