bab iv hasil penelitian dan pembahasaneprints.ums.ac.id/73260/5/fix_bab iv.pdfindeks mengalami...
TRANSCRIPT
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menyajikan gambaran umum hubungan kurs USD/IDR, suku
bunga, harga emas, dan harga minyak terhadap pergerakan IHSG (Indeks Harga
Saham Gabungan) pada tahun 2013-2017 dengan data pengujian diambil setiap
bulannya. Metode yang digunakan berupa analisis statistik deskriptif dan
kuantitatif dalam pemaparan regresi linear berganda sebagai alat pengujian
hubungan variabel dependen dan variabel independen.
A. Gambaran Umum Variabel Penelitian
1. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Indeks harga saham Gabungan (IHSG) adalah indeks yang
dihasilkan dari perhitungan seluruh saham yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia (BEI) (Suharno dan Indarti, 2014). Sejak diterbitkan pertama
kali sebagai indikator pergerakan harga saham di BEJ (Bursa Efek Jakarta
sekarang BEI) yang mencakup seluruh pergerakan saham biasa dan saham
preferen di mana perkembangannya berfluktuasi. Kenaikan dan
penurunan IHSG dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari makro
ekonomi, kondisi politik Indonesia, pengaruh indeks saham lain dan
banyak lagi baik dari dalam maupun luar negeri. Berikut paparan
perkembangan IHSG mulai tahun 2013-2017:
50
Gambar 4.1 Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tahun
2013-2017 (Sumber: Bursa Efek Indonesia, 2018, data
diolah)
Berdasarkan Gambar 4.1 terpapar pergerakan IHSG yang
berfluktuasi dari tahun 2013-2017. Setiap bobot transaksi saham di bursa
(BEI) akan mempengaruhi bobot indeks. Pada awal tahun 2013 poin
indeks mengalami penguatan pada angka 4.795,79 namun pada
perjalanannya angka kembali menurun hingga akhir tahun pada angka
4.418,75. Menurunnya IHSG tahun 2013 0.98% dari tahun sebelumnya
dipengaruhi laju indeks sektoral yang mayoritas melemah, dimulai dari
indeks perkebunan dan di ikuti indeks aneka industri dan keuangan.
Penyebab lain dari penurunan ini didapat dari imbas lonjakan
inflasi pada pertengahan tahun, ekspektasi kenaikan BI-Rate, masih
melemahnya nilai rupiah (Laporan Perekonomian Indonesia 2013). Pada
tahun 2014 poin IHSG mulai menguat kembali, kapitalisasi pasar di BEI
mencapai Rp. 5.228 triliun naik 23,92% dari kapitalisasi pasar terakhir
tahun 2013. Bersamaan dengan perubahan suhu politik dari pelaksanna
pemilihan umum, tidak mempengaruhi investor dalam melakukan trading
02000400060008000
2013_1
3013_4
2013_7
2013_10
2014_1
2014_4
2014_7
2014_10
2015_1
2015_4
2015_7
2015_10
2016_1
2016_4
2016_7
2016_10
2017_1
2017_4
2017_7
2017_10
Satu
an P
oin
Bulan
51
saham dimana pertumbuhan IHSG tahun 2014 lebih tinggi dari indeks-
indeks saham acuan di Asia (Laporan Perekonomian Indonesia 2014).
Pergerakan IHSG di tahun 2015 terkoreksi naik sebesar 12,13%
dari tahun sebelumnya. Perubahannya sendiri sangat berfluktuasi dari
pencapaian rekor tertinggi 5.518,68 dan terendah ada level 4.033,59. Hal
ini bukan tanpa sebab yaitu dari tekanan dalam negeri berupa ketidak
harmonisan pemerintah hingga rendahnya penerimaan pajak dan tekanan
dari luar negeri berupa kenaikan suku bunga Fed sampai melambatnya
perekonomian dunia terutama China. Penyebab lainnya yaitu masuknya
15 emiten saham baru dan tiga emiten obligasi serta rata-rata turunnya
transaksi harian mencapai 3,9%.
Tren positif terlihat pada perkembangan IHSG tahun 2016, dimana
meningkat 15,45% pada penutupan akhir tahun. Di dasari oleh
keberhasilan pemerintah dalam menjalankan progam tax amnesti,
menguatnya nilai tukar di tengah kenaikan Fed Fund dan fluktuasi harga
minyak. Tercatat bahwa total penawaran umum selama 2016 sebesar Rp
194,74 triliun atau naik 68,94% dari tahun sebelumnya. Peguatan tren
positif masih berlanjut pada 2017, dengan perolehan poin tertinggi pada
angka 6.605,63 yang juga merupakan sejarah bagi perkembangan IHSG.
Pasar saham di warnai sentimen positif mulai dari dampak
kenaikan suku bunga bank sentral AS, kenaikan pada sektor finansial,
dampak dari pengumuman pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal I
2017, sampai pada penurunan suku bunga BI 7-day Repo Rate oleh bank
52
Indonesia. Meningkatnya kepercayaan para Investor terhadap pasar saham
di Indonesia merupakan bukti bahwa perbaikan perekonomian Indonesia
yang semakin stabil dan membaik.
2. Kurs USD/IDR
Kurs (nilai tukar) merupakan nilai yang menunjukkan jumlah nilai
mata uang dalam negeri yang diperlukan untuk mendapatkan satu unit
mata uang asing (Sukirno, 2002). Pergerakan kurs mata uang setiap
negara berfluktuasi dengan tingkat apresiasi dan depresiasi yang berbeda-
beda. Perjalanan Kurs rupiah diwarnai dengan berbagai gejolak hingga
pada angka nilai tukar sekarang. Gambaran perubahan Kurs USD/IDR
sebagai berikut:
Gambar 4.2 Perkembangan Kurs USD/IDR tahun 2013-2017 (Sumber:
Bursa Efek Indonesia, 2018, data diolah)
Gambar 4.2 menunjukkan gejolak perubahan nilai Kurs USD/IDR
pada tahun 2013-2017. Perubahan ini didasari oleh banyak faktor baik
dari segi internal maupun eksternal. Awal pembukaan tahun 2013 nilai
tukar rupiah berada pada Rp. 9.698 per US dollar dan ditutup pada akhir
tahun dengan angka Rp. 12.189 per US dollar turun 25,89%. Depresiasi
0
5000
10000
15000
20000
2013_1
3013_4
2013_7
2013_10
2014_1
2014_4
2014_7
2014_10
2015_1
2015_4
2015_7
2015_10
2016_1
2016_4
2016_7
2016_10
2017_1
2017_4
2017_7
2017_10
Ru
pia
h
Bulan
53
nilai rupiah yang semakin memburuk disebabkan adanya defisit neraca
pembayaran khususnya neraca berjalan (current account), ketidak pastian
dari krisis utang di Eropa yang membuat investor cenderung mencari
save-haven hingga likuiditas valas yang semakin terbatas (Laporan
Perekonomian Indonesia, 2013).
Keterpurukan nilai rupiah masih berlanjut pada tahun 2014, angka
penutupan diakhir tahun berada pada Rp.12.440 per US dollar. Penyebab
kondisi ini diperkirakan oleh wacana pengurangan stimulus moneter oleh
Bank Sentral Amerika Serikat, faktor lainnya berupa kekhawatiran
investor dalam perkembangan ekonomi di negara-negara emerging market
terutama China, India, dan Brazil yang nantinya berdampak pada
perekonomian di pasar internasional hingga gejolak harga minyak dunia
akibat kondisi geopolitik di negara Timur Tengah (Laporan
Perekonomian Indonesia, 2014).
Pelemahan nilai rupiah mencapai rekor tertinggi pada tahun 2015
yang mencapai angka Rp. 14.657 per US dollar, hingga penghujung tahun
rupiah terdepresiasi sebesar 10,58% dari tahun sebelumnya. Kelanjutan
krisis yang berkepanjangan di Yunani hingga pemuliah ekonomi AS
berdampak pada melemahnya nilai rupiah, faktor lainnya merujuk pada
masa transisi kepemimpinan pemerintahan Indonesia (Laporan
Perekonomian Indonesia, 2015). Pertumbuhan kurs USD/IDR selama
tahun 2016-2017 cenderung kondusif, dari awal tahun 2016 nilai rupiah
berangsur-angsur mengalami penguatan hingga menyentuh angka
54
Rp.12.998 per US dollar kondisi ini dipicu kenaikan harga komoditas
yang membantu negara-negara bersangkutan mengalami sedikit
penguatan. Namun hal ini hanya terjadi sebentar karena adanya tekanan
dari eksternal yaitu pemilihan presiden di Amerika Serikat yang
menghasilkan Pemenang dari kadidat Donald Trump berimbas pada dollar
menguat dan euforia pasar saham meningkat (Laporan Perekonomian
Indonesia, 2016).
Hingga tahun 2017 pergerakan kurs rupiah cenderung stabil,
meskipun pada awal tahun terdepresiasi 0,78 persen sudah menunjukkan
angka yang bagus dimana volatilitas rata-rata yang terjadi tahun 2016
sebesar 8 persen. Sedikit tekanan pada kuartal ke IV dari sisi eksternal
yaitu rencana perpajakan AS dan ketidakpastian posisi Janet Yellen
sebagai pimpinan Bank Sentral Amerika Serikat. Penutuan tahun 2017
nilai tukar rupiah berada pada level Rp. 13.415 per US dollar (Laporan
Perekonomian Indonesia, 2017).
3. Suku Bunga
BI-Rate sebagai suku bunga acuan yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia mencerminkan sikap kebijakan moneter yang ada di Indonesia.
BI-Rate berubah sesuai dengan pertimbangan faktor-faktor ekonomi
seperti inflasi, kebijakan moneter kedepan dan makro ekonomi lainnya.
BI-Rate dalam implementasi operasi moneter BI dilakukan melalui
pengelolaan likuiditas di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional
kebijakan moneter.
55
Gambar 4.3 Pergerakan suku bunga (BI-Rate) tahun 2013-2017 (Sumber:
Bank Indonesia, 2018, data diolah)
Gejolak perubahan suku bunga diwarnai berbagai pertimbangan.
BI-Rate sebagai acuan penentuan bunga berfluktuasi mengikuti kondisi
perekonomian Indonesia. Awal tahun 2013 Bank Indonesia menetapkan
sebesar 5,75%. Tingkat suku bunga ini dinilai masih konsisten dengan
sasaran inflasi untuk dua tahun kedepan. Namun seiring waktu Bank
Indonesia mulai meningkatkan suku bunga hingga poinnya mencapai
7,50%, hal ini bertujuan sebagai back up perubahan kondisi yang berbeda
dari peramalan (Publikasi Bank Indonesia,2013).
Kondisi suku bunga tetap teguh pada tingkat 7,50% kemudian
menjelang di akhir tahun suku bunga naik menjadi 7,75% dan kembali
turun ke angka 7,50% pada tahun 2015. Keputusan Bank Indonesia
didasari oleh keyakinan akan inflasi tetap terkendali rendah dan upaya
Bank Indonesia untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan pada
tingkat yang sehat. Kondisi makro ekonomi stabil atas koordinasi
pemerintah dengan Bank Indonesia serta kondisi pemulihan perekonomian
global meskipun tidak merata (Publikasi Bank Indonesia, 2015).
0
2
4
6
8
10
2013…
3013…
2013…
2013…
2014…
2014…
2014…
2014…
2015…
2015…
2015…
2015…
2016…
2016…
2016…
2016…
2017…
2017…
2017…
2017…
%
Bulan
56
Selama satu tahun penuh tanpa perubahan, awal bulan 2016 suku
menurun menjadi angka 7,25% dan terus berjalan menurun. Pada awal
pembukaan kuartal ke II Bank Indonesia mengumumkan BI 7-Day
(Reverse) Repo Rate sebagai pengganti BI-Rate pada tingkat 5,5%. Hal ini
merupakan kondisi yang biasa terjadi pada bank sentral di berbagai negara
untuk mengganti kebijakan guna meningkatkan kinerja dan kestabilan
perekonomian. Stabilnya kondisi makro ekonomi membuat Bank
Indonesia kembali menurunkan suku bunganya hingga 4,75% sampai
akhir tahun 2016 (Publikasi Bank Indonesia, 2016). Perkembangan suku
bunga pada tahun 2017 tetap stabil, hingga mulai kuartal ke III Rapat
Dewan Gubernur (RGB) Bank Indonesia memutuskan menurunkan BI 7-
Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps.
Hingga akhir tahun BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 4,25%
penurunan yang terjadi di dasari perkiraan inflasi yang rendah, risiko
eksternal terkait rencana kebijakan Fed Funds Rate (FFR) dan normalisasi
neraca Bank Sentral Amerika telah diperhitungkan. Kebijakan ini
diharapkan dapat mendukung perbaikan intermediasi perbankan dan
pemulihan perokonomian domestik yang sedang berlangsung (Publikasi
Bank Indonesia, 2017).
4. Harga Emas
Pasar London Gold Fixing Ltd adalah pasar yang menentukan
harga emas yang dijadikan acuan atau disebut London Gold Fixing.
Penentuan harga emas sendiri dilakukan melalui penawaran anggota dari
57
pasar tersebut dimana penawaran dilakukan dua kali dalam sehari.
Pertumbuhan harga emas baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat menarik investor dalam mengalihkan dananya pada pasar yang lebih
menguntungkan atau sekedar berada pada save-haven. Pergerakan dari
harga emas tahun 2013-2017 digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.4 Pergerakan harga emas tahun 2013-2017 (Sumber: London
Gold Fixing, 2018, data diolah)
Satuan yang biasanya dipublikasikan pada pasar emas berupa
ounce/oz, namun satuan tersebut tentunya dapat dikonversikan dalam
satuan lain. Perkembangan harga emas menguat dan melemah seiring tren
yang terjadi di pasar serta kondisi makro ekonomi yang ada. Selama
periode 2013-2017 kisaran harga tertinggi berada pada tahun 2013 dengan
angka US$1664,75/oz. Pada bulan selanjutnya harga emas mengalami
penurunan, kondisi ini di indikasikan akibat adanya krisis keuangan di
Siprus sehingga menyebabkan investor melakukan save-haven terhadap
emas, efek kepanikan dari krisis keuangan ini merambat pada tekanan
euro.
0,00
500,00
1.000,00
1.500,00
2.000,00
2013_1
3013_4
2013_7
2013_10
2014_1
2014_4
2014_7
2014_10
2015_1
2015_4
2015_7
2015_10
2016_1
2016_4
2016_7
2016_10
2017_1
2017_4
2017_7
2017_10
US$
/oz
Bulan
58
Faktor lainnya berupa inflasi yang membuat harga berfluktuasi
(Publikasi Trading Pasar Global, 2013). Pencapaian tertinggi pada tahun
2014 US$1.379,00/oz dan terendah pada angka US$1.042,36/oz.
Menurunnya harga emas hingga penghujung akhir tahun 2014 disebabkan
rencana The Fed akan mengurangi stimulus dan sentimen ekonomi global
akan semakin membaik seiring perbaikan perekonomian AS (Publikasi
Trading Pasar Global, 2014).
Harga emas rata-rata pada tahun 2015 berada di kisaran
US$1.151,48/oz pertumbuhan secara keseluruhan terbilang menurun.
Setelah Cina memangkas suku bunga yang bertujuan memulihkan pasar
global berbanding terbalik dengan harga emas lebih dari satu persen.
Perlemahan logam mulia berlanjut pasca data kepercayaan konsumen AS
menyentuh level tertinggi serta kemungkinan adanya kenaikan suku
bunga oleh The Fed (Publikasi Trading Pasar Global, 2015). Menguatnya
harga emas di awal tahun 2016 sebesar 4,6% dari tahun lalu menjadi
US$1.111,80/oz tren harga naik juga diperlihatkan pada bulan berikutnya.
Harga tertinggi selama 2016 terjadi pada akhir kuartal ke III sebesar
US$1.342,00/oz.
Penguatan harga emas diuntungkan oleh melemahnya dollar AS,
serta potensi emas sebagai aset save-haven di tengah kondisi geopolitik
global yang tidak pasti. Dipenghujung akhir tahun 2016 harga emas
semakin menurun hingga lebih dari satu persen hingga mencapai harga
US$1.159,10/oz (Publikasi Trading Pasar Global, 2016).
59
Harga emas sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga
terutama kebijakan dari The Fed dalam mengelola suku bunga untuk
mengatasi perekonomian AS. Penyebab perubahan harga emas di tahun
2017 masih sama yakni mulai dari keuntungan atas melemahnya dolar AS
serta ketidakpastian politik diseluruh dunia. Angka tertinggi ditahun 2017
hanya sebesar US$1.311,75/oz turun sebesar 2,25% dari harga tertinggi
tahun sebelumnya (Publikasi Trading Pasar Global, 2017).
5. Harga Minyak
Harga minyak dunia yang dijadikan standar adalah West Texas
Intermediate (WTI), namun harga minyak yang ditawarkan di WTI
sendiri tergolong lebih tinggi dari harga yang ditetapkan OPEC karena
kualitas minyak mentah yang ditawarkan berada pada level tertingggi.
Perubahan harga minyak sangat berpengaruh terutama bagi perusahaan
pertambangan dan indutri perusahaan lain yang berkaitan. Gejolak
perubahan harga minyak ini baik secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh terhadap transaksi yang berjalan di pasar modal. Seringkali
para investor mempertimbangkan kenaikan harga minyak dan berdampak
pada kelesuan transaksi di pasar modal.
Pergerakan harga minyak selama tahun 2013-2017 tergambar
sebagai berikut:
60
Gambar 4.5 Pergerakan harga minyak tahun 2013-2017 (Sumber: West
texas Intermediate (WTI) www.kitco.com, 2018, data diolah)
Dapat dikatakan selama masa lima tahun terakhir pergerakannya
sangatlah fluktuatif, berbagai faktor yang menekan pergerakan harga
minyak dari pasar antar benua sampai kondisi geopolitik di berbagai
negara terutama negara-negara di timur tengah. Pergerakan harga minyak
tahun 2013 naik turun tidak menentu, awal tahun minyak berada kisaran
harga US$97,49/barel. Dibulan kedua turun ke harga US$92,05/barel
selanjutnya naik lagi 5,67%. Titik terendah tahun 2013 mencapai harga
US$91,97/barel dan meningkat drastis hingga pencapaian tertinggi pada
harga US$107,65/barel dan terus berfluktuasi.
Faktor yang menyebabkan pergerakan harga minyak tahun 2013
adalah pertumbuhan ekonomi negara-negara khususnya kawasan Asia,
adanya cuaca ekstrim yang di khawatirkan mengganggu produksi minyak
mentah serta masalah geopolitik yang berlangsung diwilayah timur
tengah. Pegerakan tahun 2014 masih sama dengan kisaran tertinggi harga
minyak berada pada harga US$105,37/barel.
0
20
40
60
80
100
120
2013_1
3013_4
2013_7
2013_10
2014_1
2014_4
2014_7
2014_10
2015_1
2015_4
2015_7
2015_10
2016_1
2016_4
2016_7
2016_10
2017_1
2017_4
2017_7
2017_10
US$
/Bar
el
Bulan
61
Masih mengacu pada ketidakstabilan kondisi makro ekonomi
berpengaruh pada pergerakannya, harga rata-rata minyak mentah WTI
2013 kisaran harga US$89,08/barel (Publikasi Trading Pasar Global,
2013). Jatuhnya harga minyak dimulai pada pertengahan tahun 2014 dan
masih berlangsung sampai tahun 2015. Di awali dengan harga
US$48,24/barel pada tahun 2015 dengan kondisi yang belum membaik.
Di kuartal ke III kondisi pasar mulai menguat namun kembali menurun
seiringnya waktu.
Melemahnya harga minyak hingga dibawah angka US$50/barel
disebabkan oleh jumlah persediaan yang ada melampaui permintaan
(Publikasi Trading Pasar Global, 2015). Pada tahun 2016 pertumbuhan
harga minyak masih melemah hingga mencapai harga US$33,62/barel
tetapi terdapat indikasi menguat dan berangsur membaik. Dengan upaya
dari negara timur untuk meredupkan konflik geopolitik yang berlangsung
sehingga tidak mengurangi produksi minyak mentah (Publikasi Trading
Pasar Global, 2016).
Tahun 2017 harga minyak semakin menguat, harga berada diatas
US$40/barel dan terus bergerak naik. Indikasi faktor yang mempengaruhi
kenaikan harga adalah peningkatan produksi minyak mentah disejumlah
negara terutama Amerika Serikat. Sebelumnya terjadi pembatasan
produksi yang dilakukan oleh negara-negara OPEC dan non-OPEC
namun tampaknya harga minyak masih menunjukkan tren positif. Kondisi
yang berhubungan dengan harga minyak terfokus pada pemotongan
62
produksi dan cadangan minyak, pasar masih rapuh pada kebijakan yang
dilakukan oleh OPEC (Publikasi Trading Pasar Global, 2017).
B. Pengujian Asumsi Klasik
Pengujian asumsi klasik perlu dilakukan sebelum melakukan pengujian
hipotesis, sebagai salah satu syarat dalam menggunakan regresi linear
berganda adalah terpenuhinya asumsi klasik. Pengujian data dengan asumsi
klasik diharapkan dapat menghasilkan data pemeriksa yang tidak bias dan
efisien atau BLUE (Best Linear Unbias Estimator) dari satu persamaan
regresi linear berganda dengan metode kuadrat terkecil. Persyaratan asumsi
klasik yang harus terpenuhi adalah uji normalitas, multikolinearitas,
heterokedastisitas, dan autokorelasi.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah distribusi sebuah data
mendekati distribusi normal, hasil pengujian penting sebagai persyaratan
uji eksistensi model (uji F) uji validitas pengaruh variabel independen (uji
T) dan estimasi nilai variabel dependen. Metode yang digunakan dalam
menguji normalitas data adalah Uji Kolmogorov Smirnov, dengna
ketentuan apabila hasil Kolmogorov Smirnov lebih besar dari 0,05 (5%)
maka berdistribusi normal dan apabila sebaliknya maka berdistribusi tidak
normal.
63
Tabel 4.1
Uji Normalitas
Sumber : Lampiran (data diolah)
Hasil pengujian menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,754 >
0,05, sehingga asumsi normalitas terpenuhi.
2. Uji Multikolinearitas
Masalah multikolinearitas muncul jika terdapat hubungan yang
sempurna atau pasti diantara satu atau lebih variabel independen dalam
model, kondisi ini harus dianggap sebagai suatu kelemahan yang dapat
mengurangi keyakinan dalam uji signifikansi konvensional terhadap
penaksiran kuadrat terkecil. Masalah multikolinearitas dapat terdeteksi
dengan melihat VIF (Value Inflation Factor), jika nilai VIF > 10 maka
terjadi multikolinearitas dan sebaliknya apabila VIF < 10 maka tidak
terjadi multikolinearitas.
Hasil pengujian multikolinearitas didapatkan nilai VIF sebagai
berikut:
64
Tabel 4.2
Uji Multikolinearitas Value Inflation Factor (VIF)
Hasil pengujian menampilkan hasil VIF variabel kurs USD/IDR,
suku bunga, harga emas, dan harga minyak masing-masing adalah sebesar
2,616; 2,017; 2,862; dan 2,055 semua nilainya kurang dari 10. Dengan
demikian berdasarkan nilai VIF tidak ditemukan adanya masalah
multikolinearitas diantara variabel independen dalam model statistik
terpilih.
3. Uji Heteroskedastisitas
Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual suatu pengamatan ke
pengamatan lainnya. Jika variance dan residual dari satu pengamatan ke
pengamatan yang lain tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika
berbeda maka disebut heterokedastisitas. Model regresi yang baik adalah
yang tidak mengalami heterokedastisitas. Pengujian yang dapat dilakukan
dilakukan untuk mengetahuinya dapat berupa uji grafik, uji Spearman,
rank correlation atau uji Lagrange Multiplier (LM test). Berikut tersaji
data pengujian dengan metode LM Test:
Sumber : lampiran, data diolah SPSS
65
Tabel 4.3
Uji Heterokedastisitas
Hasil pengujian menunjukkan angka sebesar 0,011 sedangkan
N dari penelitian sebanyak 60, maka LM = x n (0,011 x 60 = 0,66).
Dikarenakan nilai LM lebih kecil dari 9,2 (0,66 < 9,2) maka disimpulkan
bahwa model regresi ini standart error (e) tidak mengalami gejala
heterokedastisitas.
4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk melihat apakah ada korelasi antara
anggota serangkaian observasi menurut waktu dan ruang. Autokorelasi
merupakan keadaan dimana terdapat tren didalam variabel yang diteliti,
sehingga mengakibatkan e juga mengandung tren. Adanya autokorelasi
dapat diuji menggunakan uji Durbin-Watson dengan ketentuan jika nilai d
tepat sama dengan 2 maka tidak terjadi autokorelasi sempurna, bila nilai d
diantara angka 1,5 sampai 2,5 maka data tidak mengalami autokorelasi,
jika nilai d sama dengan 0 sampai 1,5 maka mengalami autokorelasi
positif dan jika nilai d lebih dari 2,5 sampai 4 maka memiliki autokorelasi
negatif.
Hasil pengujian autokorelasi dari penelitian sebagai berikut:
Sumber : lampiran, data diolah SPSS
66
Tabel 4.4
Uji Autokorelasi Awal
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan memperoleh angka
DW sebesar 0,273 yang menyatakan adanya permasalahan asumsi klasik
khususnya uji autokorelasi, angka yang diperoleh menyatakan model
memiliki autokorelasi positif dan memerlukan penyembuhan. Metode
penyembuhan yang digunakan yaitu dengan mentransformasi data dengan
menghitung nilai ρ menggunakan nilai estimasi error dan kemudian di
regresi dari hasil tranformasi lag satu. Setelah dilakukan penyembuhan
diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.5
Uji Autokorelasi Penyembuhan (The Coachrane-Orcutt)
Berdasarkan tabel 5 pada uji autokorelasi dapat diketahui bahwa
nilai DW sebesar 1,571, maka jika dibandingkan dengan ketentuan
Durbin-Watson d Stastistic dimana nilai d berada diantara 1,5 < 1,571 <
Sumber : lampiran, data diolah SPSS
Sumber : lampiran, data diolah SPSS
67
2,5 hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi autokorelasi antar variabel
independen, sehingga model regresi layak digunakan.
C. Analisis Data dan Interpretasi
1. Analisis Regresi Linear Berganda
Dalam pengolahan data menggunakan analisis regresi linear
berganda, dilakukan dengan beberapa tahap untuk menguji hubungan
antara variabel independen kurs USD/IDR ( ), suku bunga ( ), harga
emas ( ), dan harga minyak ( ) terhadap variabel dependen Indeks
Harga Saham Gabungan (Y), didapatkan hasil regresi sebagai berikut:
Tabel 4.6
Uji Regresi Linier Berganda
Model regresi yang dihasilkan dari pengujian variabel dependen dan
independen adalah:
Y = a + + + + + e
Y = 3871,432 + 0,057 – 225,462 + 3,243 + 0,176 + e
Hasil interpretasi dari persamaan tersebut adalah:
a. a = 3871,432
Sumber : lampiran, data diolah SPSS
68
Nilai a merupakan nilai konstanta, yaitu estimasi dari Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG), nilai konstanta menunjukkan bahwa
apabila tidak ada variabel Kurs USD/IDR ( ), suku bunga ( ),
harga emas ( ), dan harga minyak ( ), maka nilai Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) sebesar 3871,432.
b. = 0,057
Nilai koefisien regresi menunjukkan apabila setiap variabel Kurs
USD/IDR ( ) meningkat 1% maka nilai Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) akan meningkat sebesar 0,057 poin, dengan asumsi
variabel yang lain tetap.
c. = – 225,462
Nilai koefisien regresi menunjukkan apabila setiap variabel suku
bunga ( ) meningkat sebesar 1% maka nilai Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) akan menurun sebesar 225,462 poin, dengan
asumsi variabel yang lain tetap.
d. = 3,243
Nilai koefisien regresi menunjukkan apabila setiap variabel harga
emas ( ) meningkat sebesar 1% maka nilai Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) akan meningkat sebesar 3,243 poin, dengan
asumsi variabel yang lain tetap.
e. = 0,176
Nilai koefisien regresi menunjukkan apabila setiap variabel harga
minyak ( ) meningkat sebesar 1% maka nilai Indeks Harga Saham
69
Gabungan (IHSG) akan meningkat sebesar 0,176 poin, dengan
asumsi variabel yang lain tetap.
2. Hasil pengujian Hipotesis
a. Uji Signifikansi Simultan (Uji statistik F)
Uji F bertujuan untuk melihat pengaruh Kurs USD/IDR ( ), suku
bunga ( ), harga emas ( ), dan harga minyak ( ) terhadap Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) secara bersama-sama (simultan).
Hasil output regresi akan dilihat dari F-hitung dan nilai signifikannya,
apabila probabilitas tingkat kesalahan F-hitung lebih kecil dari tingkat
signifikan tertentu (signifikan 5%) maka variabel , , dan
secara simultan mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat
Tabel 4.7
Uji Signifikansi Simultan (Uji statistik F)
Dilihat dari hasil nilai F hitung sebesar 16,673 dengan tingkat
signifikansi 0,000. Karena probabilitasnya (0,000) lebih kecil dari
0,05 maka model regresi dapat dipakai dalam memprediksi
pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Artinya variabel
kurs USD/IDR ( ), suku bunga ( ), harga emas ( ), dan harga
Sumber : lampiran, data diolah SPSS
70
minyak ( ) berpengaruh secara simultan terhadap Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) sehingga uji model diterima.
b. Uji Parsial ( Uji Statistik t)
Pengujian secara parsial menunjukkan apakah secara individual
(parsial) nilai kurs USD/IDR ( ), suku bunga ( ), harga emas ( ),
dan harga minyak ( ) terhadap Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG). Hasil uji T ditunjukkan dengan nilai probabilitas atau
signifikansi t hitung hasil perhitungan masing-masing variabel bebas
pada derajat keyakinan 95% atau α = 5%, hasil uji parsial yang
didapatkan sebagai berikut :
Tabel 4.8
Uji parsial (Uji Statistik t)
1) Variabel kurs USD/IDR terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG)
Berdasarkan tabel 7 diperoleh hasil nilai koefisien regresis
variabel kurs USD/IDR 0,057 dan t hitung sebesar 0,911
dengan tingkat signifikansi lebih besar dibandingkan taraf
signifikan yang ditetapkan (0,366 > 0,05) maka diterima
Sumber : lampiran, data diolah SPSS
71
dan ditolak. Berdasarkan analisis ini maka hipotesis yang
menyatakan variabel kurs USD/IDR tidak berpengaruh
signifikan terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG).
2) Variabel suku bunga terhadap Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG)
Berdasarkan tabel 7 diperoleh hasil nilai koefisien regresis
variabel suku bunga – 225,462 dan t hitung sebesar – 4,146
dengan tingkat signifikansi lebih kecil dibandingkan taraf
signifikan yang ditetapkan (0,000 > 0,05) maka ditolak
dan diterima. Berdasarkan analisis ini maka hipotesis yang
menyatakan variabel suku bunga berpengaruh signifikan
terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
3) Variabel harga emas terhadap Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG)
Berdasarkan tabel 7 diperoleh hasil nilai koefisien regresis
variabel harga emas 3,243 dan t hitung sebesar 1,653 dengan
tingkat signifikansi lebih besar dibandingkan taraf signifikan
yang ditetapkan (0,104 > 0,05) maka diterima dan
ditolak. Berdasarkan analisis ini maka hipotesis yang
menyatakan variabel harga emas berpengaruh tidak signifikan
terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
72
4) Variabel harga minyak terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG)
Berdasarkan tabel 7 diperoleh hasil nilai koefisien regresis
variabel harga minyak 0,176 dan t hitung sebesar 0,587 dengan
tingkat signifikansi lebih besar dibandingkan taraf signifikan
yang ditetapkan (0,560 > 0,05) maka diterima dan
ditolak. Berdasarkan analisis ini maka hipotesis yang
menyatakan variabel harga minyak berpengaruh tidak
signifikan terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG).
c. Koefisien determinasi
Koefisien determinasi bertujuan untuk mengukur seberapa besar
atau proporsi sunbangan dari variabel independen (X) pada model
regresi terhadap variabel dependen (Y). Hasil pengujian diperoleh :
Tabel 4.9
Koefisien determinasi
Hasil perhitungan didapatkan nilai adjusted sebesar 0,515,
berarti bahwa pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
sebesar 51,5% dapat dijelaskan oleh variabel kurs USD/IDR, suku
Sumber : lampiran, data diolah SPSS
73
bunga, harga emas, dan harga minyak. Sementara sisanya sebesar
48,5% dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
D. Pembahasan
1. Pembahasan hasi pengujian parsial
a. Variabel kurs USD/IDR berpengaruh positif terhadap Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suku bunga berpengaruh
positif tidak signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) yang artinya bahwa setiap kenaikan pada kurs USD/IDR akan
diikuti kenaikan IHSG. Koefisien 0,057 mengindikasikan bahwa
setiap kenaikan sebesar 1 pada kurs USD/IDR dengan asumsi suku
bunga, harga minyak, dan harga emas tetap maka IHSG akan
meningkat sebesar 0,057. Hasil ini didukung penelitian oleh
Handiyani (2014) meneliti hubungan nilai tukar USD/IDR terhadap
IHSG berpengaruh positif dan sejalan dengan penelitian oleh
Manurung (2016) dan Taufik (2016).
Reaksi pergerakan harga saham terhadap nilai tukar hanya
tergantung pada tingkat neraca perdagangan yaitu perbedaan antara
ekspor dan impor (Adesanmi dan Jatmiko, 2017) oleh karena itu
dampak positif menunjukkan depresiasi rupiah Indonesia akan
menyebabkan meningkatnya permintaan untuk produksi negara. Oleh
karena itu dampak positif diharapkan mencerminkan arus kas
perusahaan yang mengarah pada peningkatan laba dan akhirnya
74
menghasilkan kenaikan harga saham. Pernyataan ini juga didukung
penelitian oleh Abonoori (2006) dimana depresiasi nilai tukar
menyebabkan peningkatan pendapatan perusahaan ekspor dan
meningkatkan harga saham. Penelitian yang dilakukan oleh Dyani
(2009) juga menghasilkan nilai positif pada penelitian tentang
pengaruh nilai tukar rupiah terhadap IHSG serta penelitian oleh
Sunardi dan Ula (2017) menghasilkan nilai positif tidak signifikan.
b. Variabel suku bunga berpengaruh negatif terhadap Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suku bunga berpengaruh
negatif signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
yang artinya bahwa tingkat bunga akan mempengaruhi IHSG secara
berlawanan. Saat tingkat bunga mengalami kenaikan maka harga
saham akan turun dan sebaliknya saat suku bunga turun maka harga
saham akan naik, hal ini sesuai dengan pendapat Tandelilin (2001)
menyatakan bahwa perubahan suku bunga akan mempengaruhi harga
saham secara terbalik, ceteris paribus. Saat suku bunga naik maka
return investasi terkait dengan suku bunga juga naik, kondisi tersebut
akan menarik pihak investor untuk mengalihkan investasinya dari
saham ke deposito dan tabungan. Jika sebagian besar investor
melakukan tindakan yang sama dalam arti menjual sahamnya, maka
rata-rata harga saham akan turun.
75
Hasil ini didukung penelitian oleh Astuti et, al(2013) menemukan
hubungan negatif signifikan antara tingkat suku bunga terhadap IHSG.
Penelitian oleh Hismendi et,al (2013) juga menemukan hasil negatif
signifikan atas pengaruh SBI terhadap pergerakan IHSG.
c. Variabel harga emas terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga emas berpengaruh
positif tidak signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) yang artinya bahwa setiap peningkatan harga emas akan
diikuti peningkatan IHSG. Konstanta 3,243 mengindikasikan setiap
kenaikan harga emas sebesar 1 dengan asumsi kurs USD/IDR, suku
bunga, harga minyak tetap maka akan diikuti kenaikan IHSG sebesar
3,243.
Emas masih menjadi jalan dalam save-haven yang digemari
investor dalam bertansaksi pada pasar ditengah gejolak geopolitik
yang tengah terjadi. Hal ini membawa dampak pada kenaikan harga
emas dunia serta mendorong kenaikan harga saham sektor
pertambangan dimana permintaannya semakin tinggi, sehingga
berdampak pada meningkatnya nilai IHSG. Meski mempengaruhi
saham namun di indikasikan tidak signifikan atau pengaruhnya tidak
nyata, bisa dilihat perbandingan jumlah perusahaan yang berkaitan
langsung dengan emas jumlahnya sedikit dibandingkan dengan
keseluruhan jumlah perusahaan yang terdaftar di BEI.
76
Hasil ini didukung oleh penelitian Silim (2013), Gumilang et,al
(2014), Witjaksono (2010), dan Handiyani (2014) menguji hubungan
harga emas dunia terhadap IHSG memiliki dampak positif.
d. Variabel harga minyak terhadap Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga minyak berpengaruh
positif tidak signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) yang artinya bahwa setiap peningkatan harga minyak akan
diikuti peningkatan IHSG. Konstanta 0,176 mengindikasikan setiap
kenaikan harga emas sebesar 1 dengan asumsi kurs USD/IDR, suku
bunga, harga emas tetap maka akan diikuti kenaikan IHSG sebesar
0,176.
Pergerakan dari harga minyak berfluktuasi naik turun dalam
perkembanganya, namun permintaan terhadap minyak sendiri masih
bagus. Serta membaiknya kondisi gepolitik yang sempat terjadi
mendorong kepercayaan investor akan stabilnya harga minyak dan
mendorong kenaikan harga saham pada sektor pertambangan.
Kenaikan harga saham pada sektor pertambangan tentunya secara
umum akan menaikkan IHSG. Pengaruh yang tidak nyata
diindikasikan juga berhubungan dengan presentase perusahaan
pertambangan migas dibandngkan jumlah keseluruhan perusahaan
yang terdaftar di BEI sehingga pengaruhnya tidak nyata.
77
Hasil ini didukung penelitian Chabachib dan Witjaksono (2011),
Sutanto (2013), Salviarindi (2011) serta Suharno dan Indarti (2014),
menghasilkan hasil positif atas hubungan harga minyak terhadap
IHSG, hasil yang sama juga diperoleh penelitian oleh Aijaz et,al
(2016) yang menganalisis pengaruh harga emas terhadap KSE 100
Indeks menghasilkan hubungan positif.