bab iv hasil dan pembahasan 4.1 pengaruh...

47
49 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Daya Terhadap Rendemen Bubuk Tomat Apel 4.1.1 Rendemen Parsial Pembuatan Bubuk Tomat Apel Rendemen parsial merupakan salah satu parameter yang dihitung dalam penelitian ini, yang termasuk ke dalam rendemen parsial pada penelitian ini yaitu rendemen pemisahan kulit dan biji, pengejusan, pasteurisasi, thawing serta penghilangan biji kedua, pengeringan, penggilingan dan pengayakan. Perhitungan pada rendemen parsial yaitu dengan membandingkan massa akhir dengan massa awal setiap proses pengolahan bubuk tomat apel. Proses perhitungan rendemen ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kehilangan massa pada setiap proses pengolahan. Contoh perhitungan rendemen parsial terdapat pada Lampiran 2. Nilai rata-rata tiga kali ulangan rendemen parsial pembuatan bubuk tomat apel disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata Rendemen Parsial Perlakuan Rata-rata Rendemen Parsial (%) ± SD Pemisa- han kulit dan biji Penge- jusan Pasteuri- sasi Thawing dan penghi- langan biji kedua Pengon- disian bahan sebelum pengeri- ngan Pengeri- ngan Penggili- ngan Penga- yakan A 72,22 ± 2,588 13,80± 1,268 93,03± 9,300 84,54± 6,829 87,44± 3,393 9,59 ± 0,499 93,12± 2,590 92,49± 10,213 B 8,96 ± 0,588 94,56± 2,527 85,37± 12,177 C 9,27 ± 0,962 84,52± 10,055 83,26± 17,129 D 10,62 ± 0,209 94,30± 1,594 81,05± 8,294 E 10,64 ± 0,634 96,76± 3,869 79,01± 9,407 F 10,24 ± 0,746 94,93± 1,978 82,05± 12,623 Keterangan Perlakuan: A = Kontrol, Daya 30% B = Kontrol, Daya 50% C = Kontrol, Daya 70% D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30% E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50% F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

Upload: others

Post on 02-Jan-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

49

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh Daya Terhadap Rendemen Bubuk Tomat Apel

4.1.1 Rendemen Parsial Pembuatan Bubuk Tomat Apel

Rendemen parsial merupakan salah satu parameter yang dihitung dalam

penelitian ini, yang termasuk ke dalam rendemen parsial pada penelitian ini yaitu

rendemen pemisahan kulit dan biji, pengejusan, pasteurisasi, thawing serta

penghilangan biji kedua, pengeringan, penggilingan dan pengayakan. Perhitungan

pada rendemen parsial yaitu dengan membandingkan massa akhir dengan massa

awal setiap proses pengolahan bubuk tomat apel. Proses perhitungan rendemen ini

bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kehilangan massa pada setiap proses

pengolahan. Contoh perhitungan rendemen parsial terdapat pada Lampiran 2. Nilai

rata-rata tiga kali ulangan rendemen parsial pembuatan bubuk tomat apel disajikan

pada Tabel 6.

Tabel 6. Rata-rata Rendemen Parsial

Perlakuan

Rata-rata Rendemen Parsial (%) ± SD

Pemisa-

han kulit

dan biji

Penge-

jusan

Pasteuri-

sasi

Thawing

dan

penghi-

langan

biji

kedua

Pengon-

disian

bahan

sebelum

pengeri-

ngan

Pengeri-

ngan

Penggili-

ngan

Penga-

yakan

A

72,22 ±

2,588

13,80±

1,268

93,03±

9,300

84,54±

6,829

87,44±

3,393

9,59 ±

0,499

93,12±

2,590

92,49±

10,213

B 8,96 ±

0,588

94,56±

2,527

85,37±

12,177

C 9,27 ±

0,962

84,52±

10,055

83,26±

17,129

D 10,62 ±

0,209

94,30±

1,594

81,05±

8,294

E 10,64 ±

0,634

96,76±

3,869

79,01±

9,407

F 10,24 ±

0,746

94,93±

1,978

82,05±

12,623

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

50

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa nilai rendemen parsial pada

setiap proses beragam. Nilai rendemen dari proses pemisahan biji dan kulit serta

pengejusan seluruh perlakuan dijadikan nilai rata-rata, hal ini dilakukan karena

pada kedua proses tersebut belum mengalami perlakuan pembusaan. Rata-rata dari

nilai rendemen pemisahan kulit dan biji berdasarkan Tabel 6 sebesar 72,22% ±

2,588, nilai dari rendemen tersebut berbeda-beda pada setiap perlakuan, hal ini

dipengaruhi oleh jumlah biji dan lebar kulit yang beragam pada setiap tomat apel

yang digunakan. Tomat apel yang digunakan memiliki rongga-rongga pada daging

buah, sehingga masih terdapat beberapa biji yang tersisa pada daging buah ketika

pengejusan dilakukan. Ukuran tomat apel yang digunakan pada penelitian ini pun

lebih besar dibandingkan dengan tomat pada umumnya sehingga kulit yang dimiliki

lebih lebar. Faktor lain yang mempengaruhi nilai rendemen pada proses ini adalah

banyaknya air dan lendir yang terbuang pada tomat apel ketika dilakukan

pemisahan biji tomat. Air dan lendir ini terkandung di dalam selaput-selaput yang

melindungi biji tomat serta mengisi rongga pada tomat.

Rendemen pengejusan merupakan perbandingan antara massa ampas yang

dihasilkan dari proses pengejusan dengan massa awal bahan setelah pemisahan

kulit dan biji pada tomat. Kondisi awal tomat sangat mempengaruhi banyaknya

ampas yang dihasilkan, apabila semakin matang tomat apel yang digunakan maka

ampas tomat yang dihasilkan akan semakin sedikit, hal ini berkaitan dengan

keadaan daging buah yang semakin lembek seiring dengan meningkatkan kadar air

pada tomat tersebut. Berdasarkan Lampiran 2 nilai rendemen pengejusan

bermacam-macam, hal ini disebabkan beragamnya massa daging tomat, serta

kondisi kandungan air daging buah yang beragam. Kondisi mesin pengejus yang

digunakan berpengaruh pula pada jumlah ampas yang dihasilkan, berdasarkan

penelitian yang dilakukan ampas yang dihasilkan dari proses pengejusan bukan

dalam keadaan ampas kering melainkan masih mengandung jus, sehingga perlu

dilakukan penyaringan ampas setelah proses pengejusan. Berdasarkan keadaan

tersebut diperoleh nilai rata-rata rendemen pengejusan sebesar 13,80 % ± 1,268.

Rendemen pasteurisasi merupakan perbandingan antara massa ampas hasil

pasteurisasi dengan massa awal bahan setelah pengejusan. Tujuan dari pasteurisasi

adalah untuk membunuh mikroba patogen atau penyebab penyakit, namun bakteri

51

lain yang tahan panas akan tetap hidup sehingga setelah proses pasteurisasi, bahan

harus disimpan dalam suhu beku (T = -16ºC). Berdasarkan Tabel 6, nilai rata-rata

rendemen pasteurisasi adalah 93,03% ± 9,300. Terjadi pengurangan massa selama

proses pasteurisas hal ini diduga karena selama proses pemanasan terdapat

kandungan air yang terlepas dari ampas tomat tersebut, sehingga air tersebut perlu

disisihkan sebelum disimpan beku di dalam refrigerator, sehingga nilai rendemen

pasteurisasi tidak akan mencapai 100%.

Rendemen thawing dan penghilangan biji kedua merupakan perbandingan

antara massa ampas hasil thawing dan penghilangan biji kedua dengan massa ampas

hasil pasteurisasi. Proses penghilangan biji kedua dilakukan karena karakteristik

fisik tomat apel yang memiliki lebih banyak rongga dibandingkan dengan tomat

sayur pada umumnya, sehingga banyak biji yang masih menempel pada dinding

daging tomat ketika dihasilkan ampas tomat setelah proses pengejusan. Air yang

keluar dari ampas ditemukan selama proses thawing sehingga air tersebut harus

disisihkan. Berdasarkan Tabel 6, nilai rata-rata rendemen thawing dan

penghilangan biji kedua adalah 84,54% ± 6,829.

Ampas yang dihasilkan dari proses thawing dicampurkan dengan putih telur

15% (bb) yang telah dibusakan. Pembuatan busa putih telur dilakukan dengan

menggunakan mixer selama 5 menit sehingga terbentuk busa putih telur. Proses

pencampuran ampas dan busa putih telur dilakukan selama 15 menit menggunakan

mixer hingga didapatkan campuran yang merata. Bahan dikondisikan sebelum

masuk ke dalam proses pengeringan, sehingga terdapat rendemen pengondisian

bahan sebelum pengeringan dengan nilai rata-rata sebesar 87,44% ± 3,393. Ampas

serta campuran ampas tomat dan putih telur yang telah dikondisikan selanjutnya

dikeringkan dengan menggunakan oven gelombang mikro.

Nilai rendemen pengeringan didapatkan dari perbandingan massa lembaran

kering yang dihasilkan dari proses pengeringan dengan massa ampas tomat serta

campuran ampas tomat dan busa putih telur. Nilai rata-rata dari setiap perlakuan

berkisar antara 8,96 % ± 0,588 hingga 10,64 % ± 0,634. Berdasarkan Tabel 6, nilai

rendemen pengeringan akan semakin meningkat dengan penambahan putih telur,

hal ini berkaitan dengan proses pembusaan yang akan mempertebal lapisan ampas.

Semakin tebal lapisan ampas maka akan meningkatkan rendemen pengeringan.

52

Kadar air campuran akan mempengaruhi massa lembaran kering yang dihasilkan,

semakin tinggi kadar air campuran ampas dan putih telur maka akan semakin

rendah massa lembaran kering yang dihasilkan. Hal ini diduga karena massa air

yang menguap ketika pengeringan lebih banyak dibandingkan dengan massa

padatan, sehingga rendemen pengeringan yang dihasilkan rendah.

Nilai rendemen penggilingan dipengaruhi oleh massa lembaran kering

ampas tomat yang dihasilkan pada proses pengeringan dengan massa bubuk tomat.

Nilai rata-rata rendemen penggilingan berkisar antara 84,52% ± 10,055 hingga

96,76% ± 3,869, beragamnya nilai rata-rata rendemen penggilingan disebabkan

adanya kehilangan massa bubuk tomat. Bubuk tomat yang berukuran kecil

menyebabkan mudahnya kehilangan massa bubuk tomat akibat terbawa angin serta

adanya bubuk yang menempel pada bagian grinder.

Nilai rendemen pengayakan bubuk tomat dipengaruhi oleh massa bubuk

tomat hasil penggilingan dengan massa bubuk tomat hasil pengayakan. Rata-rata

rendemen pengayakan yang dihasilkan berkisar antara 79,01% ± 9,407 hingga

92,49 % ± 10,213. Nilai rata-rata rendemen pengayakan yang beragam dipengaruhi

dengan ukuran bubuk tomat yang dihasilkan pada proses penggilingan yang belum

seragam. Proses pengayakan dilakukan selama 5 menit, apabila pada saat proses

pengayakan berakhir namun masih ada bubuk tomat yang tersisa maka dilakukan

kembali proses penggilingan hingga sisa bubuk tomat yang tertahan sedikit. Proses

pengayakan tersebut tidak dapat dilakukan hingga bubuk tomat habis untuk

mendapatkan rendemen pengayakan 100%.

4.1.2 Rendemen Total Bubuk Tomat

Nilai rendemen total bubuk tomat apel didapatkan berdasarkan

perbandingan massa bubuk yang dihasilkan dengan massa awal tomat apel segar.

Semakin besar massa akhir bubuk tomat yang dihasilkan maka semakin tinggi nilai

rendemen total. Tomat apel memiliki rata-rata kadar air yang sangat tinggi sebesar

94,80% ± 0,299, sehingga rata-rata padatan ampas yang terkandung pada setiap

tomat hanya berkisar kurang lebih 5% dari berat utuh tomat apel, diduga hal ini

yang membuat rata-rata rendemen total bubuk yang dihasilkan rendah. Nilai rata-

rata rendemen total ampas tomat tersaji pada Gambar 7.

53

Gambar 7. Rata-rata Rendemen Total Bubuk Tomat Apel

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

Berdasarkan Gambar 7, nilai rata-rata rendemen total berkisar antara 0,41%

± 0,098 hingga 0,58% ± 0,130. Rata-rata rendemen total tertinggi terdapat pada

perlakuan kontrol dengan daya oven gelombang mikro sebesar 30% dan terendah

pada perlakuan kontrol dengan daya oven gelombang mikro sebesar 70%.

Berdasarkan Gambar 7, pada pengeringan dengan menggunakan oven gelombang

mikro semakin tinggi daya yang digunakan maka akan semakin rendah rendemen

total bubuk tomat, hal ini diduga karena gelombang mikro yang tinggi seiring

dengan meningkatnya daya yang digunakan akan mengakibatkan tidak meratanya

pengeringan yang dilakukan sehingga rendemen total yang dihasilkan pun rendah.

Penambahan putih telur pada pengeringan dengan daya 30% dan 50%

memiliki nilai rata-rata rendemen total yang lebih rendah dibandingkan dengan

perlakuan tanpa pembusaan, namun pada daya 70% terjadi peningkatan rata-rata

rendemen total dengan dilakukannya pembusaan, hal ini diduga karena waktu

pengeringan yang singkat. Berdasarkan Gambar 7, penambahan putih telur akan

menghasilkan nilai rata-rata rendemen total yang lebih besar dibandingkan dengan

perlakuan kontol, hal ini diduga menunjukkan bahwa putih telur dapat

meningkatkan total padatan pada bahan sehingga dengan penambahan putih telur

dapat meningkatkan rendemen total bahan yang dikeringkan seperti yang Kamsiati

0,58 ± 0,1300,56 ± 0,175

0,41 ± 0,098

0,56 ± 0,065 0,55 ± 0,0720,52 ± 0,041

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

A B C D E F

Rat

a-ra

ta R

end

emen

To

tal

(%)

Perlakuan

54

(2006) temukan pada penelitian pengeringan pembusaan pada pembuatan bubuk

sari tomat.

4.2 Pengaruh Daya Terhadap Kinerja Pengeringan

4.2.1 Laju Pengeringan Bubuk Tomat

Laju pengeringan menunjukkan jumlah massa air yang teruapkan dari dalam

bahan persatuan waktu, dengan mengukur laju pengeringan dapat tergambarkan

seberapa cepat proses pengeringan berlangsung. Hal yang diamati dalam penentuan

laju pengeringan adalah perubahan kadar air dalam interval waktu tertentu.

Perubahan nilai kadar air selama proses pengeringan bubuk tomat dan laju

pengeringan dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan Muchtadi dan

Ayustaningwarno (2010) terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi laju

pengeringan suatu bahan, diantaranya adalah luas permukaan, suhu, kecepatan

udara dan kelembaban udara. Laju pengeringan berpengaruh terhadap lama

pengeringan suatu bahan dan kadar air (%bb) awal dan akhir. Laju pengeringan

bubuk tomat dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rata-rata Lama Pengeringan, Kadar Air (%bb), dan Laju

Pengeringan Bubuk Tomat Apel

Perlakuan

Lama

pengeringan

(menit)

Kadar Air Awal

(%bb) ± SD

Kadar Air Akhir

(%bb) ± SD

Laju Pengeringan

(gram/menit) ±

SD

A 67 menit 91,27 ± 0,083 12,14 ± 1,748 1,68 ± 0,126

B 36 menit 91,85 ± 0,587 11,75 ± 1,131 2,73 ± 0,076

C 26 menit 92,06 ± 1,475 9,18 ± 0,580 4,19 ± 0,093

D 57 menit 90,78 ± 0,183 12,50 ± 0,211 1,43 ± 0,065

E 40 menit 90,72 ± 0,210 11,66 ± 0,518 2,73 ±0,190

F 21 menit 91,07 ± 0,270 11,77 ± 0,687 3.89 ± 0,193

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

Berdasarkan Tabel 7, lama pengeringan pada ampas tomat dengan

perlakuan kontrol membutuhkan waktu 26-67 menit untuk mengeringkan bahan

dengan kadar air awal bahan 91,27% - 92,06% (bb) hingga membentuk lembaran

55

kering ampas tomat dengan kadar air 9,18% - 12,14% (bb) dengan rata-rata laju

pengeringan oven gelombang mikro sebesar 1,68 gram/menit hingga 4,19

gram/menit. Penambahan putih telur pada perlakuan D, E dan F membutuhkan

waktu pengeringan selama 21-57 menit untuk mengeringkan bahan dengan kadar

air awal 90,72% - 91,07% (bb) hingga membentuk lembaran kering ampas tomat

dengan kadar air 11,66% - 12,50% (bb) dengan rata-rata laju pengeringan sebesar

1,43 gram/menit hingga 3,89 gram/menit.

Berdasarkan Tabel 7 dapat diduga bahwa daya yang digunakan selama

pengeringan berpengaruh terhadap laju pengeringan dan lama pengeringan,

semakin besar daya yang digunakan, maka akan semakin tinggi laju pengeringan

suatu bahan sehingga lama pengeringan berlangsung lebih cepat. Hal ini

dikarenakan daya pengeringan pada oven gelombang mikro yang tinggi akan sangat

cepat menguapkan air yang terkandung di dalam bahan. Kurva perubahan nilai

kadar air bahan dalam selang waktu pengeringan pada setiap dapat dilihat pada

Gambar 8.

Gambar 8. Kurva Hubungan Rata-rata Perubahan Kadar Air (bk) Akhir

terhadap Lama Pengeringan Bubuk Tomat

Pada Gambar 8, dapat terlihat bahwa hubungan antara perubahan kadar air

akhir pada bahan terhadap waktu atau lama pengeringan pada setiap perlakuan

memiliki pola yang berbeda, hal ini terjadi karena perbedaan waktu yang

dibutuhkan untuk mengeringkan bahan hingga mencapai kadar air akhir yang

56

diinginkan. Semakin tinggi daya yang digunakan maka akan semakin singkat waktu

yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan. Penurunan kadar air pada kurva 5

menit pertama terjadi cukup tajam, menurut Henderson dan Perry (1976) hal ini

terjadi karena pada saat tercapainya fase kejenuhan semu di permukaan bahan,

maka air pada permukaan bahan menguap dengan laju yang cepat dan cenderung

tetap.

Penambahan putih telur dapat mempersingkat waktu pengeringan bubuk

tomat. Hal ini diduga karena kadar air pada campuran ampas dan putih telur lebih

rendah dibandingkan perlakuan lainnya, sehingga jumlah padatan yang terkandung

dalam bahan lebih banyak. Semakin besar total padatan dalam bahan yang

dikeringkan, diduga akan menurunkan jumlah air yang harus diuapkan, sehingga

waktu yang digunakan untuk mengeringkan bahan tersebut menjadi lebih singkat.

Perlakuan pembusaan dapat memperluas permukaan bahan yang akan dikeringkan.

Hal ini diduga karena busa yang terbentuk dari pengocokan putih telur, sehingga

kontak permukaan bahan dengan gelombang mikro akan semakin luas dan air yang

teruapkan pun akan lebih banyak. Kurva laju pengeringan rata-rata pada semua

perlakuan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Kurva Hubungan Rata-rata Laju Pengeringan Terhadap Lama

Pengeringan Bubuk Tomat

Berdasarkan Gambar 9, ampas tomat serta campuran ampas tomat dan putih

telur yang dikeringkan dengan menggunakan oven gelombang mikro menunjukkan

57

setelah kurva pada fase transien yang terjadi hingga menit ke-6 dilanjutkan dengan

kurva laju pengeringan menurun, namun hanya berlangsung singkat dan pada menit

berikutnya kurva mengalami laju pengeringan yang cenderung meningkat, semakin

lama pengeringan rata-rata laju pengeringan semakin meningkat. Hal ini diduga

karena pengeringan dengan menggunakan oven gelombang mikro menurut Kalla

dan Devaraju (2017), energi panas terbentuk karena gelombang mikro di dalam

ruangan oven beragitasi langusung di dalam bahan akan menyebabkan terjadinya

perpindahan panas dengan memindahkan uap air di dalam bahan, perpindahan

panas terjadi karena perbedaan tekanan uap yang tinggi pada bagian dalam bahan

dengan lingkungan sehingga terjadi peningkatan suhu yang lebih cepat yang

menyebabkan laju pengeringan cukup besar.

Hal lain yang diduga mempengaruhi laju pengeringan yang semakin

meningkat adalah dalam pengukuran laju pengeringan ini adanya proses

penghentian proses pengeringan setelah satu menit pengeringan untuk menimbang

massa bahan yang dikeringkan, proses penghentian pengeringan tersebut

mempengaruhi kondisi oven gelombang mikro untuk kembali memulai

pengeringan dengan penyesuain gelombang mikro kembali pada kondisi awal

(tidak dapat melanjutkan kondisi pemanasan sebelumnya) sehingga seperti pada

keadaan awal, laju pengeringan pada bahan dengan pengeringan oven gelombang

mikro akan mengalami peningkatan kembali. Lampiran 4 menunjukkan lebih jelas

perubahan laju pengeringan yang terjadi pada setiap perlakuan hingga bahan

menjadi kering. Rata-rata kurva pada Lampiran 4 diakhir proses pengeringan

menunjukkan terjadi penurunan laju pengeringan, laju pengeringan menurun

menunjukkan permukaan bahan yang dikeringkan sudah jenuh dan mulai kelihatan

ada bagian yang mengering. Pengeringan dengan menggunakan oven gelombang

mikro ini dilakukan hingga mencapai kadar air yang diinginkan (±7% bk), ketika

mencapai atau mendekati kadar air yang diinginkan proses pengeringan dihentikan.

Persamaan laju pengeringan pembusaan ampas tomat apel dengan

menggunakan bantuan oven gelombang mikro didapatkan dengan cara memplotkan

data waktu kumulatif pengeringan (menit) sebagai variabel X dengan laju

pengeringan (gram/menit) sebagai variabel Y. Persamaan laju pengeringan rata-rata

dapat dilihat pada Tabel 8, dan kurva laju pengeringan terdapat pada Gambar 10

58

hingga Gambar 12, data tersebut didapatkan berdasarkan rata-rata laju pengeringan

pada Lampiran 3, serta gambar kurva laju pengeringan terhadap waktu pengeringan

dengan persamaan laju pengeringan pada setiap perlakuan terlampir pada Lampiran

3.

Gambar 10. Rata-rata Laju Pengeringan Perlakuan Penggunaan Daya 30%

Berdasarkan Gambar 10, terdapat dua kurva rata-rata laju pengeringan

dengan menggunakan daya 30% dengan perlakuan tanpa penambahan putih telur

(A) dan dengan penambahan putih telur 15% (D). Pada setiap kurva tersebut

menunjukkan dua persamaan yaitu persamaan pada fase transien dan fase

pengeringan menurun, namun setelah penurunan yang singkat terjadi peningkatan

kembali laju pengeringan. Kurva laju pengeringan perlakuan A menunjukkan pada

fase transien terjadi penyesuaian suhu pada bahan dari suhu ruangan hingga

mencapai suhu ruang pemanasan di dalam oven gelombang mikro, fase transien

pada pengeringan dengan menggunakan oven gelombang mikro berkisar selama 6

menit, dengan persamaan regresi kuadratik yaitu y = -0,0036x2 + 0,2956x -

0,0002.10-10 dengan nilai koefisien regresi (R2) sebesar 1. Fase selanjutnya hingga

pengeringan berakhir diwakili dengan menggunakan persamaan regresi kuadratik

yaitu y = -0,00009x2 + 0,011x + 1,4667 dengan nilai koefisien regresi (R2) sebesar

0,9103.

Kurva laju pengeringan pada perlakuan D merupakan perlakuan dengan

penambahan putih telur 15% dengan menggunakan daya pengeringan 30%. Fase

59

transien pada pengeringan ini terjadi berkisar selama 6 menit, dengan persamaan

regresi kuadratik yaitu y = -0,0322x2 + 0,4322x - 0,0002.10-10 dengan nilai koefisien

regresi (R2) sebesar 1. Pada fase selanjutnya hingga pengeringan berakhir diwakili

dengan menggunakan persamaan regresi kuadratik yaitu y = 0,0001x2 + 0,0034x +

1,4223 dengan nilai koefisien regresi (R2) sebesar 0,9454. Berdasarkan Gambar 10

dapat terlihat bahwa dengan pembusaan lama pengeringan menjadi lebih singkat

dibandingkan kontrol. Pengeringan pembusaan dengan bahan pembusa putih telur

pada penggunaan daya pengeringan 30% dapat mempersingkat lama pengeringan

sebesar 10 menit.

Gambar 11. Rata-rata Laju Pengeringan Perlakuan Penggunaan Daya 50%

Berdasarkan Gambar 11, terdapat dua kurva rata-rata laju pengeringan

perlakuan B merupakan perlakuan kontrol dan perlakuan E menggunakan putih

telur 15%. Kedua kurva tersebut merupakan rata-rata laju pengeringan dengan

pengeringan menggunakan daya 50%. Setiap kurva menunjukkan dua persamaan

yaitu persamaan pada fase transien dan fase pengeringan menurun selama 1 menit

lalu terjadi peningkatan kembali laju pengeringan hingga akhir pengeringan. Fase

transien pada pengeringan dengan menggunakan oven gelombang mikro terjadi

selama 6 menit pertama, dengan persamaan regresi kuadratik yaitu y = -0,0635x2 +

0,7883x - 0,0002.10-10 dengan nilai koefisien regresi (R2) sebesar 1. Pada fase

selanjutnya hingga pengeringan berakhir diwakili dengan menggunakan persamaan

60

regresi kuadratik yaitu y = -0,0005x2 + 0,0258x + 2,022 dengan nilai koefisien

regresi (R2) sebesar 0,9901.

Berdasarkan Gambar 11, kurva laju pengeringan pada perlakuan E

merupakan perlakuan dengan penambahan putih telur 15% dengan pengeringan

menggunakan daya 50%. Kurva menunjukkan dua persamaan yaitu persamaan

pada fase transien dan fase pengeringan menurun singkat lalu terjadi peningkatan

kembali laju pengeringan, penurunan dan peningkatan laju pengeringan ini

berlangsung beberapa saat hingga akhir pengeringan. Fase transien pada

pengeringan dengan perlakuan E dapat diwakilkan dengan persamaan regresi

kuadratik yaitu y = -0,0044x2 + 0,4214x - 0,0003.10-10 dengan nilai koefisien regresi

(R2) sebesar 1. Fase selanjutnya hingga pengeringan berakhir diwakili dengan

menggunakan persamaan regresi kuadratik yaitu y = -0,0002x2 + 0,0258x + 2,3643

dengan nilai koefisien regresi (R2) sebesar 0,9671.

Pengeringan dengan menggunakan daya 50% penambahan putih telur tidak

mempersingkat lama pengeringan, namun perbedaan waktu pengeringan pada

kedua perlakuan tersebut tidaklah terlalu besar sebesar 4 menit, hal ini diduga

karena kondisi bahan awal yang dikeringkan memiliki massa awal yang berbeda,

karena massa pun mempengaruhi lama waktu pengeringan bahan. Semakin banyak

massa awal bahan yang dikeringkan maka akan semakin lama juga waktu

pengeringan bahan tersebut walaupun telah diberikan bahan pembusa.

Gambar 12. Rata-rata Laju Pengeringan Perlakuan Penggunaan Daya 70%

61

Berdasarkan Gambar 12 terdapat dua kurva rata-rata laju pengeringan pada

perlakuan C merupakan perlakuan kontrol dengan pengeringan menggunakan daya

70% dan kurva pada perlakuan F dengan penambahan putih telur 15%. Pada kurva

pada perlakuan C menunjukkan dua persamaan yaitu persamaan pada fase transien

dan fase pengeringan menurun yang singkat lalu terjadi peningkatan kembali laju

pengeringan dan pada akhir pengeringan terjadi penurunan laju pengeringan. Fase

transien diwakilkan dengan persamaan regresi kuadratik yaitu y = -0,0492x2 +

0,927x - 0,0004.10-10 dengan nilai koefisien regresi (R2) sebesar 1. Fase selanjutnya

hingga pengeringan berakhir diwakili dengan menggunakan persamaan regresi

kuadratik yaitu y = -0,0028x2 + 0,1397x + 3,0031 dengan nilai koefisien regresi

(R2) sebesar 0,9872.

Berdasarkan Gambar 12, kurva laju pengeringan pada perlakuan F

merupakan perlakuan dengan penambahan putih telur serta pengeringan

menggunakan daya 70%. Fase transien diwakilkan dengan persamaan regresi

kuadratik yaitu y = -0,0892x2 + 1,1715x - 0,0004.10-10 dengan nilai koefisien regresi

(R2) sebesar 1. Fase selanjutnya hingga pengeringan berakhir diwakili dengan

menggunakan persamaan regresi kuadratik yaitu y = 0,0005x2 + 0,0247x + 3,6465

dengan nilai koefisien regresi (R2) sebesar 0,9407. Berdasarkan Gambar 12, pada

pengeringan dengan menggunakan daya 70% penambahan putih telur dapat

mempersingkat lama pengeringan.

Tabel 8. Persamaan Kurva Laju Pengeringan

Perlakuan y1 (kurva fase transien) y2

A y = -0,0036x2 + 0,2956x - 2.10-14

R2=1

y = -0,00009x2 + 0,011x +1,4667

R2=0,9103

B y = -0,0635x2 + 0,7883x - 2.10-14

R2=1

y = -0,0005x2 + 0,0258x + 2,022

R2=0,9901

C y = -0,0492x2 + 0,927x - 4.10-14

R2=1

y = -0,0028x2 + 0,1397x +3,0031

R2=0,9872

D y = -0,0322x2 + 0,4322x - 2.10-14

R2=1

y = 0,0001x2 - 0,0034x + 1,4223

R2=0,9454

E y = -0,0044x2 + 0,4214x - 3.10-14

R2=1

y = -0,0002x2 + 0,0258x +2,3643

R2=0,9671

F y = -0,0892x2 + 1,1715x - 4.10-14

R2=1

y = 0,0005x2 + 0,0247x + 3,6465

R2=0,9407

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

62

Berdasarkan Tabel 8, pada semua perlakuan persamaan yang didapatkan

diwakilkan dengan nilai regresi kuadratik, nilai regresi tersebut menunjukkan

pengaruh lama pengeringan (X) terhadap laju pengeringan (Y), semakin besar nilai

regresi yang didapatkan (mendekati atau sama dengan 1) maka akan semakin besar

pula pengaruh waktu terhadap laju pengeringan. Berdasarkan Gambar 10 hingga

12, nilai regresi pada fase transien, selama enam menit pertama, seluruh perlakuan

sama dengan 1, hal ini menunjukkan bahwa pada fase transien lama pengeringan

sangat berpengaruh terhadap laju pengeringan pada pengeringan dengan

menggunakan oven gelombang mikro. Fase selanjutnya pun nilai regresi kuadratik

yang dihasilkan berkisar antara 0,9103 hingga 0,9901, nilai tersebut masih

mendekati nilai 1 yang berarti lama pengeringan sangat berpengaruh pula pada laju

pengeringan pada semua perlakuan.

Berdasarkan Tabel 8, nilai regresi kuadratik tertinggi terdapat pada

pengeringan dengan menggunakan daya 50% baik dengan penambahan putih telur

maupun perlakuan kontrol, diduga bahwa pada pengeringan 50% lama pengeringan

sangat berpengaruh terhadap laju pengeringan yang terjadi, dugaan lain yang

didapatkan dari persamaan tersebut yaitu penggunaan daya pengeringan 50%

memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap laju pengeringan yang terjadi setiap

waktunya. Nilai regresi kuadratik pada pengeringan dengan tanpa menggunakan

putih telur fase transien memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan pada

campuran ampas tomat dan putih telur. Hal ini diduga bahwa pada fase kedua

hingga akhir proses pengeringan, waktu pengeringan tanpa perlakuan penambahan

putih telur memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap laju pengeringan yang

terjadi selama proses pengeringan. Hal ini diduga berkaitan dengan laju

pengeringan pada perlakuan kontrol (A, B dan C) yang memiliki nilai laju

pengeringan yang lebih besar dibandingkan dengan laju pengeringan bahan dengan

penambahan putih telur (D, E dan F).

4.2.2 Daya Teoritis Oven Gelombang Mikro

Daya memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan pengeringan.

Semakin besar daya yang digunakan pada saat pengeringan suatu bahan, maka akan

semakin cepat pula pengeringan berlangsung. Konsumsi daya akan berbanding

63

lurus dengan konsumsi energi listrik yang digunakan. Rata-rata daya teoritis oven

gelombang mikro tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9. Rata-rata Daya Teoritis Oven Gelombang Mikro

Perlakuan Qtotal (J) Waktu

pengeringan (s)

Daya teoritis

(Watt)

A 165314,72 4320 38,36 ± 1,736

B 190718,38 2540 75,59 ± 3,702

C 170702,09 1509 112,43 ± 8,109

D 160251,63 4080 39,26 ± 0,886

E 170026,19 2200 77,14 ± 2,987

F 152537,81 1460 104,53 ± 4,609

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

Berdasarkan Tabel 9, semakin cepat waktu pengeringan maka semakin

besar daya teoritis yang digunakan selama pengeringan. Daya teoritis hasil

perhitungan berdasarkan Tabel 9 berkisar antara 38,36% ± 1,736 hingga 112,43%

± 8,109. Daya teoritis yang dihasilkan dari perhitungan memiliki nilai yang lebih

rendah dibandingkan dengan daya teoritis yang dimiliki oven gelombang mikro

yaitu sebesar 700 Watt. Perbedaan besar antara kedua daya tersebut diduga karena

adanya nilai efisiensi selama pengeringan, selain itu diduga kondisi oven

gelombang mikro yang kurang optimal selama pengeringan menyebabkan

rendahnya daya teoritis yang didapatkan.

4.2.3 Efisiensi Pengeringan Oven Gelombang Mikro

Efisiensi pengeringan oven gelombang mikro bertujuan untuk mengetahui

seberapa efektif pengeringan bubuk tomat dengan mengetahui ukuran tingkat

penggunaan sumber daya listrik dalam oven gelombang mikro selama proses

pengeringan. Penggunaan sumber daya yang minimum selama proses pengeringan

maka semakin efisien proses pengeringan tersebut. Proses yang efisien ditandai

dengan perbaikan proses yang digunakan menjadi lebih baik hasil yang didapatkan,

proses berjalan dengan lebih cepat dan biaya produksi lebih murah. Hasil

perhitungan nilai efisiensi pengeringan ampas tomat dan campuran ampas tomat

64

dan putih telur dapat dilihat pada Lampiran 4, serta nilai rata-rata efisiensi

pengeringan ampas tomat dan campuran ampas tomat dan putih telur dari tiga kali

pengulangan pada setiap perlakuan tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10. Rata-rata Nilai Efisiensi Pengeringan Oven Gelombang Mikro

Perlakuan Rata-rata (%) ± SD

A 14,65 ± 3,487

B 26,64 ± 6,165

C 48,27 ± 18,567

D 13,66 ± 0,452

E 27,23 ± 1,786

F 37,72 ± 3,133

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

Berdasarkan Tabel 10, nilai rata-rata efisiensi pengeringan dengan

menggunakan oven gelombang mikro berkisar antara 13,66% ± 0,452 hingga

48,27% ± 18,567. Pengeringan dengan menggunakan daya 70% memiliki nilai

efisiensi tertinggi tanpa penambahan putih telur maupun dengan penambahan putih

telur dibandingkan dengan daya lainnya yaitu sebesar 48,27% ± 18,567 dan 37,72%

± 3,133. Hal ini diduga berkaitan dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

nilai efisiensi diantaranya adalah massa air yang teruapkan selama pengeringan dan

lama waktu pengeringan.

Daya disipasi oven gelombang mikro pada perhitungan efisiensi memiliki

nilai yang konstan pada semua perlakuan daya, sehingga tidak berpengaruh pada

besarnya nilai efisiensi oven gelombang mikro, namun penggunaan daya

pengeringan (30%, 50% dan 70%) akan memberikan pengaruh terhadap waktu

pengeringan. Waktu yang diperlukan untuk pengeringan dengan menggunakan

daya pengeringan 70% sangatlah singkat sehingga kalor yang terbentuk selama

pengeringan lebih besar dibandingkan dengan pengeringan yang berlangsung lebih

lama, selain itu gelombang mikro yang mengenai bahan selama pengeringan lebih

besar pada penggunaan daya pengeringan 70% sehingga pengeringan berlangsung

lebih efektif. Berdasarkan Tabel 10, semakin tinggi daya yang digunakan maka

65

akan semakin tinggi efisiensi pengeringan dengan menggunakan oven gelombang

mikro.

Penambahan putih telur ke dalam ampas tomat diduga memberikan

pengaruh pada efisiensi pengeringan dengan menggunakan oven gelombang mikro.

Berdasarkan Tabel 10, penambahan putih telur menghasilkan efisiensi pengeringan

yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol pada daya pengeringan

30% dan 70%. Hal ini diduga karena kalor dari air yang teruapkan serta kalor yang

dihasilkan dari dalam bahan pada perlakuan penambahan putih telur 15% memiliki

nilai kalor yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan

putih telur.

4.4 Pengaruh Daya Terhadap Karakteristik Mutu Bubuk Tomat

4.4.1 Pengukuran Warna

Salah satu parameter dalam penentuan mutu produk adalah warna.

Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer Hunterlab

ColorFlex EZ terhadap sampel berupa campuran ampas tomat dan putih telur,

lembaran kering dan bubuk tomat. Pengukuran warna ini karakteristik yang

dibutuhkan adalah nilai L*, a*, b*, Chroma dan Hue, lalu setelah mendapatkan

nilai-nilai tersebut dilakukan perhitungan lanjutan untuk mendapatkan nilai TCD

dan penyesuaian nilai Hue yang diperoleh dengan daerah kisaran warna kromatis.

Nilai rata-rata parameter warna yang didapatkan pada tomat segar dapat dilihat pada

Tabel 11 dibawah ini dan hasil pengukuran parameter warna pada tomat segar

terdapat pada Lampiran 5.

Tabel 11. Nilai Rata-rata Parameter Warna pada Tomat Segar

Sampel Parameter Warna

Warna L*± SD a*± SD b*± SD C± SD H± SD

Tomat

segar 27,09 ±

0,341

19,55 ±

0,515

15,11 ±

0,819

23,75 ±

1,800

34,77 ±

0,958 Red

Nilai L* yang terukur menunjukkan tingkat kecerahan yang ditampilkan

dalam positif, nilai yang terukur berkisar antara 0 (hitam) hingga 100 (putih).

Penggunaan spektrofotometer Hunterlab ColorFlex EZ dapat mengukur nilai

Chroma dan Hue secara langusung sehingga tidak diperlukan perhitungan manual

66

setelah mendapatkan nilai a* dan b*, namun untuk dapat mengetahui bagaimana

perhitungan manual untuk mendapatkan kedua nilai tersebut dilakukan perhitungan

seperti yang terlampir pada Lampiran 11. Berdasarkan Tabel 11, nilai rata-rata L*

pada tomat apel segar adalah 27,09 ± 0,341, dari nilai tersebut dapat dikatakan

bahwa warna segar tomat apel cukup cerah. Nilai a* memiliki nilai positif (+a) dan

negatif (-a), nilai positif berkisar antara 0-100 yang menunjukkan warna merah,

sedangkan nilai negatif berkisar antara 0-80 yang menunjukkan warna hijau.

Berdasarkan Tabel 11, nilai a* yang dimiliki oleh tomat apel segar adalah (+) 19,55

± 0,515, nilai positif ini menunjukkan bahwa warna tomat apel segar ini adalah

merah.

Nilai b* menunjukkan warna kromatik campuran antara warna biru dan

kuning. Sama halnya dengan nilai a*, nilai b* memiliki nilai positif (+b) dan negatif

(-b), nilai positif berkisar antara 0-70 yang menunjukkan warna kuning dan nilai

negatif berkisar antara 0 hingga -80 yang menunjukkan warna biru. Berdasarkan

Tabel 10, nilai rata-rata b* pada tomat segar adalah 15,11 ± 0,819, nilai positif yang

terukur menunjukkan bahwa warna tomat apel segar cenderung kuning. Nilai

Chroma merupakan nilai derajat intensitas suatu warna untuk mendefinisikan

kemurnian suatu warna yang cenderung grayish maupun cenderung dominan

(murni), berdasarkan pengukuran nilai rata-rata C pada tomat segar 23,75 ± 1,800.

Nilai Hue menunjukkan daerah kisaran warna kromatis, dari pengukuran terukur

nilai rata-rata H sebesar 34,77 ± 0,958, nilai ini menunjukkan bahwa warna tomat

apel segar yang digunakan selama penelitin ini masuk ke dalam kisaran warna

kromatis merah.

4.4.1.1 Warna Ampas dan Campuran Ampas Tomat dengan Putih Telur

Perubahan warna terjadi selama proses pengeringan, termasuk

pada saat tomat segar hingga menjadi ampas setelah mengalami proses

pengejusan serta setelah pencampuran dengan putih telur, hingga menjadi

bubuk kering ampas tomat setelah proses pengayakan. Nilai rata-rata

parameter warna pada ampas dapat dilihat pada Tabel 12 dan campuran

ampas tomat dengan putih telur dapat dilihat pada Tabel 13, dan warna

ampas dan campuran ampas dan putih telur tersebut dapat dilihat pada

67

Gambar 13. Hasil pengukuran warna ampas tomat pada seluruh perlakuan

terlampir pada Lampiran 6 dan hasil pengukuan campuran ampas dan putih

telur terdapat pada Lampiran 7.

Tabel 12. Nilai Rata-rata Parameter Warna pada Ampas Tomat

Sampel Parameter Warna

Warna L*± SD a*± SD b*± SD C± SD H± SD

A 26,71 ±

0,686

23,15 ±

2,216

15,68 ±

0,515

28,11 ±

1,754

34,56 ±

3,233 Red

B 26,18 ±

0,335

21,94 ±

1,362

15,59 ±

0,864

26,94 ±

0,600

35,45 ±

3,207 Red

C 26,14 ±

0,660

20,93 ±

1,676

14,45 ±

0,965

25,44 ±

1,878

34,65 ±

1,040 Red

Tabel 13. Nilai Rata-rata Parameter Campuran Ampas Tomat dan Putih

Telur

Sampel Parameter Warna

Warna L*± SD a*± SD b*± SD C± SD H± SD

D 32,99 ±

2,471

24,64 ±

3,828

17,17 ±

0,634

28,38 ±

0,276

37,24 ±

1,443 Red

E 32,69 ±

0,621

22,13 ±

4,158

17,33 ±

0,851

28,14 ±

3,561

38,37 ±

4,838 Red

F 34,35 ±

1,003

23,28 ±

1,510

19,83 ±

1,536

37,29 ±

11,010

40,43 ±

3,862 Red

A

B

C

D

E

F

Gambar 13. Penampakan Warna Campuran Ampas Tomat dan Putih Telur

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

Berdasarkan Tabel 12, pada perlakuan A, B, dan C warna yang

diuji merupakan warna dari ampas tomat, nilai rata-rata L* pada ampas

tomat berkisar antara 26,14 ± 0,660 hingga 26,71 ± 0,686. Berdasarkan

Tabel 13, pada perlakuan D, E dan F dilakukan penambahan putih telur

sehingga nilai rata-rata L* berkisar antara 32,69 ± 0,621 hingga 34,35 ±

68

1,003. Berdasarkan tabel-tabel tersebut terukur bahwa dengan penambahan

putih telur tingkat kecerahan menjadi meningkat, hal ini diduga karena busa

putih telur yang ditambahkan berwarna putih sehingga dengan adanya

pencampuran maka tingkat kecerahan dari ampas tomat menjadi meningkat.

Berdasarkan Tabel 12, nilai rata-rata a* pada ampas tomat adalah positif

berkisar antara 20,93 ± 1,676 hingga 23,15 ± 2,216, dan pada Tabel 13,

nilai rata-rata a* pada campuran ampas dan putih telur berkisar antara 22,13

± 4,158 hingga 24,64 ± 3,828 nilai positif ini menunjukkan bahwa warna

ampas dan campuran ampas dan putih telur setelah proses pencampuran

adalah merah. Penambahan putih telur tidak terlalu terlihat bepengaruh

terhadap nilai a* yang terukur, terlihat dari nilai sebelum dilakukan

penambahan putih telur dan sesudahnya, nilainya relatif sama.

Nilai rata-rata b* ampas tomat yang terukur pada Tabel 12 berkisar

antara 14,45 ± 0,965 hingga 15,68 ± 0,515 dan nilai rata-rata b* pada

campuran ampas tomat dan putih telur hasil pencampuran dalam Tabel 13

berkisar antara 17,17 ± 0,634 hingga 19,83 ± 1,536 memiliki nilai positif,

nilai tersebut menunjukkan bahwa ampas tomat dan campuran ampas tomat

dan putih telur hasil pencampuran memiliki warna yang cenderung kuning.

Nilai b* terbesar dimiliki oleh perlakuan F (penambahan putih telur 15%)

dengan nilai 19,83 ± 1,536 dan terkecil pada perlakuan C (tanpa

penambahan putih telur) 14,45 ± 0,965. Berdasarkan Tabel 12 pun terlihat

bahwa dengan penambahan putih telur meningkatkan nilai b* yang terukur

sehingga campuran ampas tomat dan putih telur hasil pencampuran

memiliki warna yang cenderung lebih kuning dibandingkan dengan warna

ampas tomat.

Nilai Chroma berdasarkan pengukuran nilai rata-rata C pada

ampas dalam Tabel 12 berkisar antara 25,44 ± 1,878 hingga 28,11 ± 1,754

dan campuran ampas dan putih telur setelah proses pencampuran memiliki

nilai rata-rata Chroma dalam Tabel 13 berkisar antara 28,14 ± 3,561 hingga

37,29 ± 11,010. Nilai Chroma tertinggi terdapat pada perlakuan F dengan

penambahan putih telur, semakin tinggi nilai Chroma suatu bahan maka

semakin rendah intensitas warna yang dimiliki bahan tersebut. Nilai Hue

69

pada ampas tomat dari pengukuran memiliki nilai rata-rata berkisar antara

34,56 ± 3,233 hingga 35,45 ± 3,207, sedangkan nilai Hue pada campuran

ampas tomat dan putih telur berkisar antara 37,24 ± 1,443 hingga 40,43 ±

3,862, nilai ini menunjukkan bahwa warna ampas dan campuran ampas dan

putih telur setelah proses pencampuran masuk ke dalam daerah kisaran

warna kromatis merah. Penampakan warna ampas tomat pada semua

perlakuan terlampir pada Lampiran 12 dan penampakan warna campuran

ampas dan putih telur terlampir pada Lampiran 13.

4.4.1.2 Warna Lembaran Kering Ampas Tomat

Pengukuran warna lemabaran kering ampas tomat dilakukan

karena adanya perubahan warna yang terjadi akibat proses pengeringan di

dalam oven gelombang mikro dalam lama waktu tertentu. Rata-rata nilai

parameter warna yang terukur pada lembaran kering ampas tomat dapat

dilihat pada Tabel 14, hasil pengukuran warna lembaran kering ampas tomat

pada seluruh perlakuan terlampir pada Lampiran 8. Penampakan warna

pada lembaran kering ampas tomat dapat dilihat pada Gambar 14 serta untuk

penampakan warna lembaran kering ampas tomat pada seluruh perlakuan

terdapat pada Lampiran 14.

Tabel 14. Nilai Rata-rata Parameter Warna Lembaran Kering Ampas Tomat

Sampel Parameter Warna

Warna L*± SD a*± SD b*± SD C± SD H± SD

A 35,14 ±

3,370

25,34 ±

2,523

23,34 ±

3,371

34,54 ±

2,932

40,07 ±

0,687 Red

B 40,15 ±

2,530

27,21 ±

4,408

25,18 ±

3,214

37,08 ±

5,418

42,87 ±

0,928 Red

C 38,66 ±

4,326

26,31 ±

1,025

27,15 ±

2,268

37,83 ±

1,782

45,84 ±

2,588 Red

D 41,69 ±

5,429

28,73 ±

1,427

24,86 ±

2,000

38,00 ±

2,205

40,84±

1,635 Red

E 37,02 ±

4,188

28,49 ±

4,650

23,01 ±

3,405

36,64 ±

5,493

38,99 ±

2,605 Red

F 43,40 ±

5,967

27,47 ±

0,587

27,86 ±

2,377

39,15 ±

1,439

45,34 ±

2,918 Red

70

A

B

C

D

E

F

Gambar 14. Penampakan Warna Lembaran Kering Ampas Tomat

Keterangan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

Berdasarkan Tabel 14, nilai rata-rata L* pada lembaran kering

ampas tomat berkisar antara 35,14 ± 3,370 hingga 43,40 ± 5,967. Nilai

tertinggi L* dimiliki oleh perlakuan F yaitu perlakuan dengan penambahan

putih telur, nilai rata-rata L* pada perlakuan dengan penambahan putih telur

pun memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa

penambahan, berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa dengan

penambahan putih telur dapat meningkatkan kecerahan pada lembaran

kering ampas tomat.

Berdasarkan Tabel 14 nilai rata-rata a* adalah positif berkisar

antara 25,34 ± 2,523 hingga 28,73 ± 1,427, nilai positif ini menunjukkan

bahwa warna lembaran kering adalah merah. Nilai a* pada lembaran kering

ampas tomat memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan warna

ampas dan campuran ampas dan putih telur, berdasarkan hal ini, dapat

dikatakan bahwa selama proses pengeringan dengan oven gelombang mikro

terjadi peningkatan warna merah pada bahan yang dikeringkan. Pada

pengeringan dengan menggunakan daya 70% terjadi penurunan nilai a*

dibandingkan dengan penggunaan daya 50% pada kedua perlakuan (tanpa

dan dengan penambahan putih telur), hal ini diduga terjadi karena energi

panas yang terlalu tinggi yang terserap ke dalam bahan pada daya 70%

sehingga terjadi penggelapan atau kecoklatan pada lembaran kering ampas

tomat.

Nilai b* yang terukur pada lembaran kering ampas memiliki nilai

positif dan rata-rata berkisar antara 23,01 ± 3,405 hingga 27,86 ± 2,377,

nilai tersebut menunjukkan bahwa lembaran kering ampas memiliki warna

yang cenderung kuning. Nilai b* terbesar dimiliki oleh perlakuan F

71

(penambahan putih telur 15% dengan daya 70%) dengan nilai 27,86 ±

2,377. Hal ini diduga karena energi panas yang terlalu tinggi pada daya 70%

serta penambahan putih telur selama proses pengeringan menyebabkan

proses pengeringan berlangsung lebih cepat dan pencoklatan yang terjadi

lebih cepat hasil lembaran kering ampas tomat memiliki warna yang

cenderung lebih kuning dibandingkan dengan warna lembaran kering ampas

tomat tanpa penambahan putih telur.

Nilai Chroma berdasarkan pengukuran nilai rata-rata C pada

lembaran kering ampas tomat berkisar antara 34,54 ± 2,932 hingga 39,15

± 1,439. Nilai Chroma tertinggi terdapat pada perlakuan F dengan

penambahan putih telur, semakin tinggi nilai Chroma suatu bahan maka

semakin rendah intensitas warna yang dimiliki bahan tersebut. Nilai Hue

dari pengukuran memiliki nilai rata-rata berkisar antara 38,99 ± 2,605

hingga 45,84 ± 2,588, nilai ini menunjukkan bahwa warna lembaran kering

ampas tomat masuk ke dalam daerah kisaran warna kromatis merah. Nilai

Hue tertinggi terdapat pada perlakuan C, perlakuan tanpa penambahan putih

telur dengan penggunaan daya 70%, lembaran kering ampas tomat yang

dihasilkan dari pengeringan ini memiliki warna yang cenderung lebih merah

dibandingkan dengan hasil lembaran kering ampas tomat perlakuan lainnya.

4.4.1.3 Warna Bubuk Tomat Hasil Pengayakan

Warna bubuk tomat hasil pengayakan memiliki warna yang lebih

cerah dibandingkan dengan warna lembaran kering ampas tomat yang

dihasilkan, hal ini disebabkan adanya proses penggilingan dan pengayakan

yang dilakukan untuk mendapatkan struktur bubuk. Nilai rata-rata

parameter warna pada bubuk tomat dapat dilihat pada Tabel 15 serta

penampakan bubuk tomat dapat dilihat pada Gambar 15. Hasil pengukuran

nilai parameter warna pada bubuk tomat terdapat pada Lampiran 9 dan

penampakan warna bubuk tomat pada seluruh perlakuan terlampir pada

Lampiran 15.

72

Tabel 15. Nilai Rata-rata Parameter Warna pada Bubuk Tomat

Sampel Parameter Warna

Warna L*± SD a*± SD b*± SD C± SD H± SD

A 52,36 ±

3,364

18,44

±2,014

30,09 ±

1,451

35,36 ±

0,833

58,46 ±

3,736

Yellow

red

B 52,76 ±

3,689

18,56 ±

0,604

31,24 ±

1,454

36,35 ±

1,143

59,25 ±

1,710

Yellow

red

C 50,84 ±

0,499

15,81 ±

1,655

30,02 ±

0,999

33,94 ±

1,352

62,25 ±

2,321

Yellow

red

D 53,47 ±

0,405

18,77 ±

0,383

32,21 ±

0,146

37,29 ±

0,204

59,73 ±

0,615

Yellow

red

E 54,31 ±

2,242

17,56 ±

1,278

31,62 ±

0,347

36,19 ±

0,365

60,98 ±

2,010

Yellow

red

F 55,40 ±

1,403

16,80 ±

0,802

31,34 ±

1,680

35,56 ±

1,847

61,79 ±

0,420

Yellow

red

A

B

C

D

E

F

Gambar 15. Penampakan Warna Bubuk Tomat

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

Berdasarkan Tabel 15, nilai rata-rata L* pada bubuk tomat berkisar

antara 50,84 ± 0,499 hingga 55,40 ± 1,403. Nilai tertinggi L* dimiliki oleh

perlakuan F yaitu perlakuan dengan penambahan putih telur dan

menggunakan daya 70% selama pengeringan dan nilai L* terendah terjadi

pada perlakuan C. Nilai rata-rata L* pada perlakuan dengan penambahan

putih telur pun memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa

penambahan putih telur seperti terlihat pada Gambar 15, bubuk dengan

perlakuan D, E dan F memiliki warna yang lebih terang dibandingkan

dengan A, B, dan C berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa dengan

penambahan putih telur dapat meningkatkan kecerahan pada bubuk tomat,

selain itu dengan diduga peningkatan daya pengeringan memberikan efek

pada peningkatan gelombang mikro yang terjadi selama proses pengeringan

dengan menggunakan oven gelombang mikro. Menurut Qadri dan

Srivastava (2014), peningkatan suhu akan meningkatkan koagulasi putih

73

telur sehingga menghasilkan bubuk tomat dengan nilai L* yang lebih tinggi

seiring dengan semakin tingginya daya pengeringan yang digunakan.

Berdasarkan Tabel 15, nilai rata-rata a* adalah positif berkisar

antara 15,81 ± 1,655 hingga 18,77 ± 0,383, nilai positif ini menunjukkan

bahwa warna bubuk tomat ini berwarna merah. Nilai a* pada bubuk tomat

memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan warna lembaran

kering ampas tomat, berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa selama

proses penggilingan dengan oven gelombang mikro terjadi penurunan

warna merah pada bubuk. Nilai a* terbesar terukur pada perlakuan D.

Berdasarkan hasil pengukuran, nilai b* pada bubuk tomat memiliki nilai

positif dengan kisaran antara 30,02 ± 0,999 hingga 32,21 ± 0,146 nilai

tersebut menunjukkan bahwa bubuk tomat memiliki warna yang cenderung

kuning. Nilai b* terbesar dimiliki oleh perlakuan D (penambahan putih telur

15% dengan daya 30%) dengan nilai 32,21 ± 0,146, seperti pada Gambar

15 bubuk pada perlakuan D memiliki warna yang lebih cenderung kuning

dibandingkan dengan warna bubuk lainnya.

Nilai Chroma berdasarkan pengukuran nilai rata-rata C pada

bubuk tomat berkisar antara 33,94 ± 1,352 hingga 37,29 ± 0,204. Nilai

Chroma tertinggi terdapat pada perlakuan D dengan penambahan putih

telur, semakin tinggi nilai Chroma suatu bahan maka semakin rendah

intensitas warna yang dimiliki bahan tersebut. Nilai Hue dari pengukuran

memiliki nilai rata-rata berkisar antara 58,46 ± 3,736 hingga 62,25 ± 2,321,

nilai ini menunjukkan bahwa warna bubuk tomat masuk ke dalam daerah

kisaran warna kromatis yellow red (jingga kemerahan). Nilai Hue tertinggi

terdapat pada perlakuan C, perlakuan tanpa penambahan putih telur dengan

penggunaan daya 70%.

Berdasarkan Gambar 15, bubuk tomat yang dihasilkan dari

pengeringan tanpa penambahan putih telur memiliki warna yang cenderung

merah dan bubuk dengan penambahan putih telur memiliki warna yang

cenderung lebih jingga kemerahan. Warna yang dimiliki oleh bubuk-bubuk

pada perlakuan ini sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Foodchem

74

International Corporation yaitu warna bubuk tomat berkisar antara jingga

hingga jingga kemerahan.

4.4.1.4 TCD Pembuatan Bubuk Tomat

TCD atau (Total Color Difference) pada pembuatan bubuk tomat

ini merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan warna yang terjadi

selama proses pembuatan bubuk tomat. Nilai TCD1 yang didapatkan dari

perhitungan parameter warna menunjukkan sejauh apa perbedaan warna

yang terjadi selama proses pengejusan, nilai dari TCD1 diwakili oleh nilai

rata-rata pada kedua kondisi ampas karena dalam kedua proses ini masih

belum dipengaruhi oleh perlakuan variasi daya. Perbedaan warna yang

terjadi selama proses pengeringan ditunjukkan oleh hasil perhitungan nilai

TCD2. Tahapan terakhir yang dilakukan pada pembuatan bubuk tomat ini

adalah tahap penggilingan dan pengayakan hingga terbentuk bubuk tomat,

untuk dapat mengetahui seberapa besar perbedaan warna yang terjadi

setelah mengalami kedua proses itu maka dapat dilakukan perhitungan nilai

TCD3, nilai dari TCD3 ini diwakili pula oleh nilai rata-rata.. Nilai TCDtotal

menunjukkan perubahan warna yang terjadi selama proses pembuatan

bubuk tomat. Nilai TCD1, TCD2, TCD3 dan TCDtotal dapat dilihat pada Tabel

16. Hasil pengukuran dan nilai TCD1, TCD2, TCD3 dan TCDtotal terlampir

pada Lampiran 10 dan contoh perhitungan warna bubuk tomat dan TCD

terdapat pada Lampiran 11.

Tabel 16. Nilai TCD1, TCD2, TCD3 dan TCDtotal

Perla-

kuan TCD1 Kategori TCD2 Kategori TCD3 Kategori

TCD

total Kategori

A

2,69 Agak

terlihat

11,60 Banyak

18,04 Sangat

banyak

32,33 Sangat

banyak

B 17,75 Sangat

banyak 38,48

Sangat

banyak

C 18,62 Sangat

banyak 39,35

Sangat

banyak

D

8,01 Banyak

12,31 Sangat

banyak 38,36

Sangat

banyak

E 11,25 Banyak 37,75 Sangat

banyak

F 12,80 Sangat

banyak 38,13

Sangat

banyak

75

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70% TCD1 = Perubahan warna dari tomat segar menjadi ampas tomat atau campuran ampas tomat dan

putih telur

TCD2 = Perubahan warna dari campuran ampas tomat dan putih telur menjadi lembaran kering tomat

TCD3 = Perubahan warna dari lembaran kering ampas tomat menjadi bubuk tomat

TCDtoal = Perubahan warna dari campuran ampas tomat dan putih telur menjadi bubuk tomat

Berdasarkan Tabel 16, nilai TCD1 pada perlakuan A, B dan C

(perlakuan tanpa penambahan putih telur) menghasilkan nilai rata-rata

sebesar 2,69, sementara pada perlakuan D, E dan F nilai rata-rata TCD1

sebesar 8,01. Nilai TCD1 pada perlakuan pembusaan (D, E, dan F) lebih

besar dibandingkan dengan nilai TCD1 pada kontrol, hal ini diduga karena

adanya penambahan putih telur yang akan menambahkan karakteristik

warna pada ampas dengan pembusaan, sehingga perbedaan warna yang

terjadi lebih besar. Nilai TCD1 pada perlakuan kontrol perbedaan warna

selama proses pengejusan agak terlihat, hal ini diduga walaupun perbedaan

agak terlihat saat dibandingkan dengan perhitungan antara warna tomat

segar dengan ampas namun tidak terlalu besar.

Berdasarkan Tabel 16, nilai TCD2 berkisar anatara 11,25 hingga

18,62, dari hasil tersebut menunjukkan pada proses pengeringan dengan

menggunakan oven gelombang mikro terjadi perubahan warna yang sangat

banyak kecuali pada perlakuan A dan E perubahan warna terjadi banyak.

Warna ampas dan campuran menjadi lebih merah ketika membentuk

lembaran kering selama proses pengeringan dengan menggunakan oven

gelombang mikro, namun karena energi panas yang berlangsung cukup

lama akan merubah warna merah tersebut menjadi lebih gelap dan pada saat

tertentu akan mengalami kecoklatan.

Perbedaan warna yang terjadi selama pengeringan pembusaan

dengan putih telur 15% dengan menggunakan oven gelombang mikro

memiliki perbedaan warna yang lebih rendah dibandingkan dengan

pengeringan pembusaan tomat dengan penambahan putih telur 5% dengan

menggunakan oven konveksi (Widyasanti dkk, 2018). Pengeringan dengan

menggunakan penambahan putih telur 15% dan pengeringan menggunakan

76

oven gelombang mikro memiliki TCD berkisar antara 11,25 hingga 12,80,

sedangkan dengan pengeringan menggunakan oven konveksi dan

penamabahan putih telur 5% memiliki nilai TCD sebesar 17,41. Hal ini

diduga karena semakin tinggi konsentrasi putih telur yang ditambahakan

maka akan memperendah perbedaan warna yang terjadi pada bahan yang

dikeringkan, hal ini berkaitan pula pada kelebihan penggunaan putih telur

sebagai zat pembusa menurut Kamsiati (2006), bahwa putih telur memiliki

kemampuan untuk membentuk lapisan berupa gelembung udara yang dapat

melindungi komponen penting seperti nutrisi pada bahan selama mengalami

kontak dengan udara atau energi panas selama pengeringan.

Berdasarkan Tabel 16, nilai TCD3 merupakan nilai rata-rata dari

keenam perlakuan, nilai rata-rata TCD3 sebesar18,04. Berdasarkan nilai

rata-rata tersebut perbedaan warna bubuk tomat saat proses penggilingan

dan pengayakan termasuk ke dalam kategori sangat banyak. Nilai TCDtotal

pembuatan bubuk tomat berkisar antara 32,33 hingga 39,35. Nilai TCDtotal

terkecil merupakan nilai TCDtotal terbaik, pada penelitian ini perlakuan A

merupakan nilai TCD total terbaik karena perbedaan warna yang terjadi

selama proses pembuatan bubuk tomat lebih kecil dibandingkan dengan

pada proses perlakuan lainnya.

Pengeringan dengan menggunakan oven gelombang mikro

melibatkan daya pengeringan yang digunakan sehingga penggunaan daya

pengeringan memiliki pengaruh pula terhadap perbedaan warna yang terjadi

selama proses pembuatan bubuk tomat. Menurut Qadri dan Srivastava

(2014) semakin tinggi daya yang digunakan maka perbedaan warna yang

terjadi menjadi semakin banyak. Berdasarkan Tabel 16, nilai TCDtotal

terendah pada ampas tanpa pembusaan berada pada perlakuan dengan

penggunaan daya 30%, sedangkan dengan pembusaan nilai TCDtotal

terendah berada pada daya 50%.

Berdasarkan Tabel 16, pada perlakuan kontrol, nilai TCDtotal

semakin meningkat seiring dengan kenaikan level daya yang digunakan.

Terjadi perbedaan warna yang sangat banyak ketika pengeringan dilakukan

dengan daya pengeringan daya 70%, namun apabila menggunakan daya

77

terendah (30%), maka perbedaan warna menjadi lebih sedikit namun masih

dalam kategori sangat banyak. Hal ini diduga karena energi panas pada

pengeringan dengan daya yang lebih rendah dibandingkan dengan daya

yang lebih tinggi sehingga perbedaan warna yang terjadi lebih banyak.

Menurut de Sousa et al (2008), bubuk tomat terbaik adalah bubuk

tomat dengan nilai L* yang tinggi, nilai b* yang rendah, dan nilai a* yang

tinggi. Nilai parameter warna L*, a* dan b* cenderung kenaikan dan

penurunan disetiap perlakuan yang diberikan, sehingga pada penelitian ini

kondisi terbaik bubuk tomat berdasarkan de Sousa et al (2008) tidak

ditemukan pada satu perlakuan. Pigmen karotenoid terutama likopen dan β-

karoten yang merupakan komponen yang mengindikasi kematangan buah

tomat segar, karotenoid yang terdapat pada buah tomat merupakan

kelompok pigmen berwarna merah tua dan jingga kemerahan. Warna

merupakan salah satu atribut yang paling penting dalam penentuan kualitas

yang berhubungan langsung dengan nilai jual buah tomat (Liu et al., 2008).

Kandungan tersebut yang menyebabkan warna tomat segar, amaps tomat,

lembaran kering dan bubuk tomat berada dalam kisaran daerah warna

kromatis merah hingga jingga kemerahan.

Proses termal selama pembuatan bubuk tomat terjadi pada proses

blansing, pasteurisasi dan pengeringan dengan menggunakan oven

gelombang mikro, lalu dilakukan pula proses pengecilan ukuran dengan

penggilingan dan pengayakan, menurut Hernandez et, al. (2015) proses-

proses tersebut dapat menurunkan bahkan merusak kandungan likopen

bahan, kontak langsung dengan udara dalam jangka waktu yang lama dapat

menyebabkan oksidasi sehingga kandungan likopen akan pecah dan

menyebabkan perubahan warna yang biasanya pada bubuk tomat dan ampas

tomat perubahan warna menjadi cenderung kecoklatan.

Perubahan kandungan likopen selama proses pembuatan bubuk

tomat ini dapat terlihat dari hasil pengukuran parameter warna a*

(menunjukkan tingkat kemerahan), dalam pengeringan dengan

menggunakan oven gelombang mikro nilai a* pada lembaran kering ampas

tomat lebih besar dibandingkan dengan nilai a* pada ampas dan campuran

78

ampas dan putih telur, berdasarkan hal tersebut diduga bahwa pengeringan

dengan menggunakan oven gelombang mikro dapat meningkatkan bahkan

menjaga kandungan likopen pada bahan selama pengeringan. Penurunan

nilai a* terjadi pada saat proses penggilingan dan pengayakan, pada kedua

proses ini warna bubuk tomat yang dihasilkan berada dalam daerah kisaran

warna kromatis jingga kemerahan (yellow red).

4.4.2 Foam Density Campuran Ampas Tomat dan Putih Telur

Foam density merupakan nilai perbandingan massa foam dengan volume

foam, dalam penelitian ini foam tersebut terkandung di dalam campuran ampas

tomat dengan busa putih telur yang telah dihomogenasi dengan menggunakan mixer

selama 15 menit. Nilai rata-rata foam density dapat terlihat pada Gambar 16 dan

contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 16.

Gambar 16. Rata-rata Foam Density Bubuk Tomat

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

Berdasarkan Gambar 16 nilai rata-rata foam density pada perlakuan kontrol

berkisar antara 0,99 gram/cm3 ± 0,011 hingga 1,01 gram/cm3 ± 0,021 dan dengan

penambahan putih telur nilai foam density berkisar antara 0,91 gram/cm3 ± 0,041

hingga 0,93 gram/cm3 ± 0,019. Berdasarkan hasil tersebut, penambahan putih telur

1,01

±0,021 0,99

±0,011

1,00

±0,020

0,92

±0,031

0,93

±0,019 0,91

±0,041

0.86

0.88

0.90

0.92

0.94

0.96

0.98

1.00

1.02

A B C D E F

Rata

-rata

Foam

Den

sity

(g/c

m3)

Perlakuan

79

menyebabkan menurunnya nilai foam density. Rendahnya nilai foam density

tersebut diduga karena sifat putih telur yang dapat memperluas volume dari foam

yang berakibat pada rendahnya nilai foam density bubuk tomat. Menurut Fernandes,

et al (2013) nilai foam density yang rendah akan memperluas luas permukaan bahan

yang dikeringkan sehingga dapat mempercepat penguapan air. Semakin cepat

penguapan air yang terjadi akan mempercepat proses peengeringan. Salah satu

faktor yang dapat mempengaruhi besarnya nilai dari foam density adalah waktu

pengocokan putih telur. Menurut Affandi, dkk (2017), nilai foam density dapat

meningkat apabila waktu pengocokan (whipping time) singkat. Menurut Fernandes,

et al (2013) waktu pengocokan terbaik yang digunakan untuk pengeringan tomat

dengan foam mat drying adalah 4,5 menit karena dapat menghasilkan busa putih

telur dengan kualitas terbaik.

4.4.3 Bulk Density Bubuk Tomat

Nilai bulk density merupakan perbandingan antara massa bubuk tomat yang

dihasilkan dengan volume bubuk tomat. Massa bubuk tomat yang terukur

merupakan massa partikel dan massa rongga udara yang berada diantara dua

partikel. Pengukuran bulk density menggunakan 10 gram bubuk tomat yang

dimasukkan ke dalam gelas ukur lalu dipadatkan hingga terukur volume dari bubuk

tomat tersebut. Rata-rata nilai dari bulk density bubuk tomat apel dapat dilihat pada

Gambar 17, dan contoh perhitungan bulk density pada setiap peralakuan dapat

dilihat pada Lampiran 17.

Gambar 17. Rata-rata Bulk Density Bubuk Tomat

0,63

±0,060

0,70

±0,104

0,65

±0,048 0,65

±0,044

0,71

±0,0440,68

±0,111

0.58

0.60

0.62

0.64

0.66

0.68

0.70

0.72

A B C D E F

Ra

ta-r

ata

Bu

lk D

ensi

ty

(g/c

m3)

Perlakuan

80

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

Berdasarkan Gambar 17, nilai bulk density bubuk tomat tanpa perlakuan

penambahan putih telur berkisar antara 0,63 g/cm3 ± 0,060 hingga 0,70 g/cm3 ±

0,104. Nilai bulk density pada perlakuan penambahan putih telur mengalami

peningkatan menjadi berkisar antara 0,65 g/cm3 ± 0,044 hingga 0,71 g/cm3 ± 0,044,

terjadinya peningkatan dengan penambahan putih telur menurut Mulyoharjo dan

Wijoyono (1988), penambahan konsentrasi busa putih telur dapat mempertebal

lapisan ampas dengan adanya rongga-rongga udara dari busa yang ditambahkan,

rongga tersebut dapat memperluas bidang permukaan yang akan dikeringkan.

Struktur berpori tersebut diduga dapat mempengaruhi nilai bulk density, dengan

penambahan putih telur maka akan membentuk struktur berpori yang lebih banyak

sehingga rongga udara yang terukur akan semakin banyak dan menghasilkan nilai

bulk density yang lebih tinggi dibandingkan dengan bubuk tomat tanpa penambahan

putih telur.

Nilai bulk density pada pengeringan menggunakan daya oven gelombang

mikro sebesar 50% menghasilkan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan

penggunakan daya lainnya. Nilai bulk density pada penggunaan daya 30% sebesar

0,63 g/cm3 ± 0,060, lalu pada saat pengeringan menggunakan daya 50% (B) terjadi

peningkatan nilai bulk density menjadi 0,70 g/cm3 ± 0,104 namun pada saat

penggunaan daya 70% (C) terjadi penurunan nilai bulk density menjadi 0,65 g/cm3

± 0,048, hal ini terjadi pula pada pengeringan tanpa menggunakan penambahan

putih telur. Hal ini diduga karena kondisi bubuk yang dihasilkan pada saat

pengeringan dengan menggunakan daya 70% memiliki massa padatan dan massa

rongga yang terukur yang lebih rendah yang disebabkan pemanasan dengan

gelombang mikro yang terlalu tinggi pada waktu yang singkat.

4.4.4 Kadar Air

Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven, prinsip dari

pengukuran kadar air ini adalah mengeluarkan air dari bahan dengan bantuan energi

panas dan didasarkan atas masa yang hilang. Pengukuran kadar air diperlukan

81

karena kadar air merupakan salah satu parameter yang harus diperhatikan pada

penentuan mutu suatu produk bahan hasil pertanian kering. Pengukuran kadar air

dilakukan pada tomat dalam keadaan segar, ampas tomat, campuran ampas tomat

dan putih telur hasil pencampuran, lembaran kering dan bubuk tomat.

4.4.4.1 Kadar Air Campuran Ampas Tomat dam Putih Telur

Pengujian kadar air pada tahapan ini dilakukan pada sampel A, B

dan C yang berupa ampas hasil pengejusan dan campuran ampas dan putih

telur hasil proses pencampuran dengan mixer pada sampel D, E dan F. Nilai

rata-rata kadar air ampas dan campuran ampas dan putih telur dapat dilihat

pada Gambar 18 dan contoh perhitungan kadar air terdapat pada Lampiran

18.

Gambar 18. Rata-rata Kadar Air Campuran Ampas Tomat dan Putih Telur

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

Berdasarkan Gambar 18, nilai rata-rata kadar air ampas tomat

sebesar 91,73% ± 0,406 dan rata-rata kadar air campuran ampas tomat dan

putih telur sebesar 90,86% ± 0,187. Kadar air pada ampas tomat pada

perlakuan A, B, dan C memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan

dengan kadar air ampas dengan pembusaan. Berdasarkan pengujian yang

dilakukan, penambahan putih telur pada ampas tomat diduga dapat

91,73±0,406

90,86±0,187

90.40

90.60

90.80

91.00

91.20

91.40

91.60

91.80

Ampas Campuran Ampas Tomat

dan Putih Telur

Kad

ar A

ir R

ata-

rata

(bb)

(%)

Perlakuan

82

menurunkan kadar air campuran ampas tomat dan putih telur. Menurut

Nakai dan Modler (1996) putih telur mengandung 86,7% air, sehingga

sisanya adalah padatan.Terjadinya penurunan kadar air pada perlakuan

pembusaan pada penelitian ini diduga karena busa putih telur mengandung

komponen-komponen tidak larut yang akan membentuk endapan, endapan

tersebut terbentuk selama proses pemansan dengan oven sehingga kadar air

pada campuran ampas tomat dan putih telur lebih rendah dengan adanya

penambahan endapan yang terbentuk, jumlah air yang teruapkan lebih

rendah.

4.4.4.2 Kadar Air Lembaran Kering Ampas Tomat

Pengujian kadar air pada tahapan ini dilakukan pada seluruh

sampel perlakuan yang telah dikenakan energi pemanasan selama proses

pengeringan dengan oven gelombang mikro. Lembaran kering ampas tomat

yang terbentuk setelah proses pengeringan diukur nilai kadar air dengan

metode oven pada suhu 105ºC. Nilai rata-rata kadar air lembaran kering

ampas tomat ini dapat dilihat pada Gambar 19 dan contoh perhitungan kadar

air terdapat pada Lampiran 18.

Gambar 19. Rata-rata Kadar Air Lembaran Kering Ampas Tomat

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

14,94±2,22913,91±0.461

15,45±3,51814,75±2,090

10,74±5,853

12,76±2,098

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

16.00

18.00

A B C D E F

Ka

da

r A

ir R

ata

-ra

ta L

emb

ara

n

Ker

ing

Am

pa

s T

om

at

(%)

Perlakuan

83

Berdasarkan Gambar 19, nilai rata-rata kadar air pada lembaran

kering ampas tomat berkisar antara 10,74% ± 5,853 hingga 15,45% ± 3,518.

Sama halnya dengan ampas tomat serta campuran ampas tomat dan putih

telur, kadar air perlakuan dengan penambahan putih telur pada lembaran

kering ampas tomat memiliki nilai kadar air yang lebih rendah dibandingkan

dengan tanpa penambahan putih telur. Kadar air lembaran kering ampas

tomat yang lebih rendah diduga karena busa yang terbentuk dari

penambahan putih telur dapat memperluas permukaan bahan yang

dikeringkan, sehingga kontak dengan energi panas semakin besar.

Berdasarkan standar UNECE (2007), tomat kering dengan kadar air kisaran

12-18% memiliki tekstur yang sangat keras.

Berdasarkan Gambar 19, daya pengeringan yang digunakan

diduga tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap kadar air bahan yang

dikeringkan, namun pada penggunaan daya 50% kadar air lembaran kering

ampas tomat lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan daya yang

lainnya. Hal ini diduga dengan pengeringan menggunakan daya

pengeringan 50% kandungan air yang diuapkan lebih intens dengan suhu

pengeringan yang tidak terlalu ekstrem sehingga proses pengeringan

berlangsung dengan menghasilkan lembaran kering ampas tomat dengan

kadar air yang rendah.

Perhitungan kadar air yang dituju (7%) terlebih dahulu dilakukan

sebelum melakukan proses perhitungan laju pengeringan dengan

menggunakan oven gelombang mikro, sehingga proses pengeringan pun

dihentikan ketika dianggap mencapai 7%, namun pada saat pengujian kadar

air pada lembaran kering pada seluruh perlakuan tidak ada yang mencapai

kadar air 7%. Hal ini diduga karena pemanasan dengan oven gelombang

mikro yang berlangsung hingga mencapai suhu yang sangat tinggi sehingga

pada saat lembaran kering dikeluarkan udara dengan cepat terserap kembali

ke dalam bahan sehingga nilai kadar air kembali meningkat sebelum proses

pengujian kadar air dilakukan.

Menurut Kalla dan Devaraju (2017), kelemahan terbesar dalam

pengeringan dengan menggunakan oven gelombang mikro adalah kesulitan

84

dalam mengatur suhu akhir bahan. Hal ini mengakibatkan sepanjang sudut

bahan mengalami suhu yang terlalu berlebihan atau tinggi dibandingkan

dengan bagian bahan lainnya pada tahapan terakhir pengeringan. Kejadian

ini seringkali menjadi penyebab pengeringan harus dihentikan walaupun

belum mencapai kadar air yang dituju, karena apabila pengeringan

dilanjutkan akan mengakibatkan kegosongan.

4.4.4.3 Kadar Air Bubuk Tomat

Pembuatan produk kering dari bahan hasil pertanian seperti pada

bubuk salah satu parameter yang harus diperhatikan adalah kadar air bubuk

tersebut. Kadar air pada bubuk bahan hasil pertanian berpengaruh pada

aktivitas enzim dan mikroba yang terkandung dalam bahan. Semakin kering

bahan (kadar air rendah) maka bahan akan menjadi lebih baik kondisinya

untuk penyimpanan dalam waktu lama sehingga mutu bahanpun menjadi

lebih baik. Kadar air bubuk tomat dinyatakan dalam persen (%) basis basah.

Nilai rata-rata kadar air bubuk tomat ini dapat dilihat pada Gambar 20 dan

contoh perhitungan kadar air terdapat pada Lampiran 18.

Gambar 20. Rata-rata Kadar Air Bubuk Tomat

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

12,14±1,74811,75±1,131

9,18±0,580

12,50±0,211

11,66±0,518 11,77±0,687

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

A B C D E FKa

da

r A

ir R

ata

-rata

Bu

bu

k A

mp

as

Tom

at

(%)

Perlakuan

85

Berdasarkan Gambar 20, kadar air bubuk tomat berkisar antara

9,18% ± 0,580 hingga 12,50% ± 0,211. Nilai kadar air pada bubuk tomat

lebih rendah dibandingkan pada lembaran kering ampas tomat, kecuali pada

perlakuan E mengalami kenaikan dari 10,74% menjadi 11,66%. Adanya

penurunan yang terjadi diduga karena proses penggilingan yang dilakukan,

adanya panas yang terjadi pada saat penggilingan terus menurus yang

diakibatkan perputaran pisau. Panas pada pisau tersebut menjadikan bahan

panas sehingga kadar air bubuk tomat menjadi menurun. Kenaikan kadar air

pada perlakuan E diduga karena kondisi lembaran kering ampas tomat

sebelum penggilingan memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan

kadar air lembaran kering setelah proses pengeringan. Terjadinya

peningkatan kadar air selama rentang waktu tersebut diduga karena proses

penyimpanan sementara yang kurang maksimal. Bubuk disimpan pada

plastik zipper dan ditambahkan silica gel sebagai upaya untuk menjaga

kadar air bubuk tomat sebelum dilakukan penggilingan dan pengujian kadar

air pada bubuk tomat, namun dapat pula diduga peningkatan terjadi selama

rentang waktu sebelum pengukuran kadar air bubuk tomat tersebut.

Kadar air pada bubuk tomat dengan penambahan putih telur

(perlakuan D, E dan F) memiliki nilai yang lebih tinggi berkisar 11,66% bb

hingga 12,50% bb dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan putih

telur, hal ini berbeda dengan keadaan kadar air awal pada saat ampas dan

campuran serta lembaran kering tomat. Berdasarkan Widyasanti dkk (2018)

kadar air bubuk tomat dengan perlakuan penambahan putih telur merupakan

perlakuan dengan kadar air tertinggi dibandingkan yang lainnya sebesar

15,28%. Nilai rata-rata kadar air pada semua perlakuan memiliki nilai yang

lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang diberikan Foodchem

International Corporation (<7%) serta pada penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya dengan metode yang sama dengan oven gelombang mikro

sebesar 6,44% (bb) (Qadri dan Srivastava, 2014), dapat dikatakan bahwa

bubuk tomat yang dihasilkan belum sesuai dengan standar bubuk tomat

komersial yang sudah ada.

86

4.4.5 Kadar Abu

Salah satu parameter dalam penentuan mutu suatu produk kering dalam hal

ini bubuk tomat yaitu kadar abu. Abu merupakan zat anorganik sisa hasil

pembakaran suatu zat organik, nilai kadar abu berkaitan dengan kandungan mineral

dalam suatu bahan (Sudarmadji dkk, 2010). Penentuan kadar abu dalam bubuk

tomat ini dilakukan dengan mengabukan bubuk tomat di dalam tanur selama 3 jam

dengan suhu tanur 600ºC. Semua bahan kecuali mineral akan terbakar habis dan

menguap hingga tersisa abu atau mineral bahan tersebut di dalam cawan porselen

yang digunakan selama proses pengabuan. Pengukuran kadar abu dilakukan pada

tomat dalam keadaan segar, ampas tomat, campuran ampas tomat dan putih telur

hasil pencampuran dan bubuk tomat.

4.4.5.1 Kadar Abu Ampas dan Campuran Ampas dan Putih Telur

Pengujian kadar abu pada tahapan ini dilakukan pada dilakukan

pada sampel A, B dan C yang berupa ampas hasil pengejusan dan campuran

ampas dan putih telur hasil proses pencampuran dengan mixer pada sampel

D, E dan F. Rata-rata nilai kadar abu ampas tomat dan campuran ampas

tomat dan putih telur terdapat pada Gambar 21, dan contoh perhitungan

serta nilai kadar abu tomat segar dan ampas serta campuran ampas tomat

terdapat pada Lampiran 19.

Gambar 21. Rata-rata Kadar Abu Ampas Tomat dan Campuran Ampas

Tomat dan Putih Telur

0,55±0,578

0,61±0,070

0.52

0.54

0.56

0.58

0.60

0.62

Ampas Campuran Ampas Tomat

dan Putih Telur

Kad

ar A

bu R

ta-r

ata

(%)

Perlakuan

87

Berdasarkan Gambar 21, nilai rata-rata kadar abu ampas tomat

memilki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai campuran dan

ampas tomat dan putih telur. Nilai rata-rata ampas tomat sebesar

0,55%±0,578 dan nilai rata-rata campuran ampas tomat dan putih telur

sebesar 0,61%±0,070. Meningkatnya nilai kadar abu dengan adanya

perlakuan penambahan putih telur diduga karena putih telur yang memiliki

nilai kadar abu 0,6% (Nakai dan Modler, 1996) sehingga ketika putih telur

tersebut ditambahkan ke dalam bahan maka akan meningkatkan nilai kadar

abu bahan tersebut.

4.4.5.2 Kadar Abu Bubuk Tomat

Pengujian kadar abu pada tahapan ini dilakukan pada seluruh

sampel perlakuan yang telah dikenakan energi pemanasan selama proses

pengeringan dengan oven gelombang mikro, proses penggilingan dan

pengayakan. Bubuk tomat diukur nilai kadar abu dengan pengabuan

menggunakan tanur listrik pada suhu 600ºC selama 3 jam. Rata-rata nilai

kadar abu bubuk tomat terdapat pada Gambar 22, dan contoh perhitungan

serta nilai kadar abu tomat segar dan ampas serta campuran ampas tomat

terdapat pada Lampiran 19.

Gambar 22. Rata-rata Kadar Abu Bubuk Tomat

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

6,43±0,257

6,20±0,618

6,43±1,410

5,48±0,753

6,10±0,067 6,10±0,107

5.00

5.20

5.40

5.60

5.80

6.00

6.20

6.40

6.60

A B C D E F

Rata

-rata

Kad

ar

Ab

u (

%)

Perlakuan

88

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

Berdasarkan Gambar 22, nilai rata-rata kadar abu bubuk tomat

berkisar antara 5,48% ± 0,75 hingga 6,43% ± 0,257. Nilai kadar abu bubuk

tomat cukup beragam, berdasarkan data diatas dapat terlihat bahwa daya

pada oven gelombang mikro selama pengeringan tidak memberikan

pengaruh terhadap nilai kadar abu bubuk tomat. Nilai rata-rata kadar abu

terbesar terdapat pada bubuk tomat dengan perlakuan A (tanpa penambahan

putih telur), sedangkan kadar abu bubuk terendah terdapat pada bubuk tomat

perlakuan D (dengan penambahan putih telur).

Penambahan putih telur diduga berpengaruh terhadap kadar abu

bubuk tomat yang dikeringkan menggunakan oven gelombang mikro.

Berdasarkan Gambar 22, penambahan putih telur dapat menurunkan nilai

kadar abu pada bubuk tomat yang dihasilkan. Hal ini diduga karena menurut

Nakai dan Modler (1996) putih telur memiliki nilai kadar abu 0,6%,

sehingga dengan adanya penambahan putih telur kepada ampas tomat akan

menghasilkan nilai kadar abu yang lebih rendah pada bahan campuran

tersebut bila dibandingkan dengan kadar abu pada ampas tomat. Hal ini

berbeda dengan kadar abu pada bubuk tomat dengan bahan awal

pengeringan adalah jus dan pulp tomat pada Widyasanti, dkk (2018), kadar

abu bubuk tomat dengan pengeringan pembusaan menggunakan oven

konveksi dengan penambahan putih telur 5% menghasilkan nilai kadar abu

yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan dengan penambahan

maltodekstrin, serta maltodekstrin dan putih telur.

Kadar abu bubuk tomat yang didehidrasi adalah 7,5% (Jayathunge

et al, 2012), sedangkan Srivastava dan Kulshrestha (2013), pada

penelitiannya kadar air bubuk tomat yang dihasilkan adalah 7,3%, dan pada

pengeringan campuran jus dan pulp tomat kadar abu bubuk tomat dengan

penambahan putih telur 5 % menghasilkan kadar abu sebesar 8,02%. Kadar

abu bubuk tomat terbesar dengan bahan tanpa penambahan putih bernilai

6,43% ± 0,257 dan dengan penambahan putih telur 15% sebesar 6,10% ±

0,067. Melihat standar dari Foodchem International Corporation (2015)

89

untuk bubuk tomat komersial, kadar abu bubuk tomat maksimal adalah 3%,

sedangkan pada penelitian ini kadar abu bubuk tomat bernilai lebih dari 3%

sehingga dapat dikatakan bahwa kadar abu bubuk tomat pada penelitian ini

belum memenuhi standar.

4.4.6 Indeks Penyerapan Air Bubuk Tomat

Pengukuran indeks penyerapan air dilakukan untuk mengetahui

kemampuan bubuk tomat untuk mengikat air. Pengukuran dilakukan terhadap

campuran 1 gram bubuk tomat dan 10 ml aquades yang disentrifugasi dengan

kecepatan 2000 rpm selama 15 menit, lalu dilakukan pemisahan atara residu dan

supernatan yang diperoleh, residu yang tertinggal pada tabung dipanaskan

menggunakan oven dengan suhu 50ºC selama 25 menit. Nilai indeks penyerapan

diperoleh dengan membandingkan berat awal bubuk tomat yang digunakan dengan

berat air yang terserap. Nilai rata-rata indeks penyerapan air terdapat pada Gambar

23 dan perhitungan nilai indeks penyerapan air terdapat pada Lampiran 20.

Gambar 23. Rata-rata Indeks Peyerapan Air Bubuk Tomat

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

Berdasarkan Gambar 23, nilai rata-rata indeks penyerapanair bubuk tomat

berkisar antara 19,11% ± 1,756 hingga 19,68% ± 1,094 untuk bubuk tomat tanpa

19,11

± 1,756

19,68

± 1,09419,18

± 0,121

15,50

± 0,756 14,20

± 0,139

15,23

± 0,916

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

A B C D E F

Rata

-rata

In

dek

s P

enyer

ap

an

Air

(%

)

Perlakuan

90

penambahan putih telur dan 14,20% ± 0,139 hiingga 15,50% ± 0,756 untuk bubuk

tomat dengan penambahan putih telur. Penambahan putih telur menyebabkan

menurunnya nilai indeks penyerapan air pada bubuk tomat. Hal ini diduga karena

protein yang terkandung dalam putih telur mengandung komponen-komponen tidak

larut yang akan membentuk endapan sehingga kemampuan bubuk tomat dengan

penambahan putih telur memiliki kemampuan untuk mengikat atau menyerap air

yang rendah. Menurut Haryanto (2016), komponen-komponen yang tidak larut

tersebut terbentuk karena denaturasi protein putih telur dalam jumlah besar selama

proses pengeringan produk.

4.4.7 Kandungan Vitamin C Bubuk Tomat

Buah tomat kaya akan vitamin C yang berperan sebagai antioksidan.

Vitamin C mudah mengalami kerusakan atau kehilangan kandungannya pada saat

terkena panas seperti pada saat proses pengeringan. Nilai rata-rata kadar vitamin C

dapat dilihat pada Gambar 24 dan contoh perhitungan kadar vitamin C dapat dilihat

pada Lampiran 21.

Gambar 24. Rata-rata Kadar Vitamin C Bubuk Tomat

Keterangan Perlakuan:

A = Kontrol, Daya 30%

B = Kontrol, Daya 50%

C = Kontrol, Daya 70%

D = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 30%

E = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 50%

F = Penambahan Putih Telur 15%, Daya 70%

117,02

±7,862118,03

±9,045

154,87

±4,414

102,48

±27,638 93,11

±8,021 83,54

±17,994

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

160.00

180.00

A B C D E F

Rat

a-ra

ta K

adar

Vit

amin

C

(mg/1

00g)

Perlakuan

91

Berdasarkan Gambar 24, bubuk tomat hasil pengeringan dengan

menggunakan oven gelombang mikro berkisar antara 83,54 mg/100g hingga

154,87mg/100g basis kering. Kandungan vitamin C tertinggi pada bubuk tomat

dengan perlakuan C, perlakuan tanpa penambahan putih telur dengan menggunakan

daya 70% selama pengeringan, dan kadar vitamin C terendah terdapat pada

perlakuan F, perlakuan dengan penambahan putih telur dan menggunakan daya

70%. Pengeringan bubuk tomat (perlakuan A, B,dan C) penggunaan daya berkaitan

dengan nilai kadar vitamin C. Semakin tinggi daya yang digunakan diduga akan

berakibat pada semakin tinggi pula kadar vitamin C yang dimiliki bubuk tomat

tersebut. Hal ini didukung oleh konsep dari kandungan nutrisi yang lebih sensitif

dengan waktu pengeringan dibandingkan dengan suhu yang digunakan (Qadri dan

Srivastava, 2014). Semakin tinggi daya yang digunakan waktu pengeringan

berlangsung lebih singkat, oleh karena ini kandungan vitamin C bubuk tomat pada

daya 70% memiki kandungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan

daya lainnya (30% dan 50%).

Rata-rata kadar vitamin C tomat segar sebesar 712,87 mg/100g basis kering,

selama pengeringan dengan oven gelombang mikro hingga menjadi bubuk tomat

mengalami penurunan kadar vitamin C seperti pada Gambar 26 dan Lampiran 11.

Penurunan kadar vitamin C tidak hanya pengaruh proses pengeringan (energi

panas) tetapi juga diduga akibat proses oksidasi yang terjadi. Berdasarkan Gambar

24, kadar vitamin C mengalami penurunan ketika bahan ditambahkan dengan putih

telur. Penambahan putih telur pada ampas tomat dapat memperluas permukaan

bahan yang dikeringkan sehingga kontak bahan dengan energi panas semakin

meningkat. Kontak dengan energi panas menyebabkan penurunan kadar vitamin C.

Nilai kadar vitamin C pada bubuk tomat hasil penelitian ini dengan

menggunakan oven gelombang mikro memiliki nilai yang lebih rendah

dibandingkan dengan pengeringan menggunakan oven konveksi dan tray dryer.

Pengeringan dengan menggunakan oven konveksi dengan penambahan putih telur

5% menghasilkan bubuk tomat dengan kadar vitamin C 318,35 mg/100g basis

kering (Widyasanti dkk, 2018) sedangkan dengan tray dryer menghasilkan bubuk

tomat berkadar vitamin C 125 mg/100g (Srivastava dan Kulshreshtha, 2013).

92

4.5 Rekapitulasi Perlakuan Terbaik

Diberikan tiga perlakuan yang berbeda terhadap dua kondisi ampas tomat,

perlakuan yang dilakukan adalah variasi daya pengeringan pada oven gelombang

mikro yaitu 30%, 50% dan 70%. Daya ini diterapkan pada kondisi ampas tomat

tanpa penambahan putih telur dan dengan penambahan putih telur 15%. Perlakuan

diberikan adalah untuk mengetahui penggunaan daya yang optimal untuk membuat

bubuk tomat dengan metode pengeringan pembusaan dengan bantuan oven

gelombang mikro. Rekapitulasi hasil terbaik bubuk tomat apel dapat dilihat pada

Tabel 17. Perlakuan optimal yang baik digunakan dalam proses pengeringan

pembusaan dengan menggunakan oven gelombang mikro pada ampas tomat dapat

diketahui dengan melakukan analisis terhadap rendemen, laju pengeringan,

efisiensi pengeringan, foam density dan bulk density bubuk tomat yang dihasilkan,

parameter mutu yang digunakan diantaranya adalah warna, kadar air, kadar abu,

indeks penyerapan air dan kadar vitamin C.

Berdasarkan Tabel 17, perlakuan terbaik yang dapat menghasilkan

rendemen yang tinggi, pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan daya

pengeringan 30%, namun untuk dapat menghasilkan bubuk tomat dengan

karateristik mutu yang baik dapat dilakukan pengeringan dengan menggunakan

daya 70% tanpa penambahan putih telur pada Perlakuan C. Perlakuan dengan

menggunakan daya pengeringan 70% merupakan perlakuan dengan nilai efisiensi

terbesar. Berdasarkan Tabel 17, nilai rendemen total terbesar adalah pada perlakuan

A sebesar 0,58% dengan perlakuan tanpa menambahkan putih telur (kontrol) dan

rendemen total sebesar 0,56% pada perlakuan D, kedua rendemen total terbesar ini

didapatkan pada pengeringan dengan menggunakan daya 30%.

Daya menjadi salah satu faktor yang dapat mempercepat laju pengeringan,

semakin tinggi daya yang digunakan maka laju pengeringan akan berlangsung

dengan lebih cepat seperti pada perlakuan C dengan laju pengeringan sebesar 4,19

gram/cm3. Nilai laju pengeringan bubuk tomat ini memiliki nilai laju pengeringan

yang lebih tinggi dibandingkan laju pengeringan pembusaan bubuk ampas tomat

yang dilakukan oleh Qadri dan Srivastava (2014) yaitu laju pengeringan mencapai

puncaknya pada 2,55 gram/menit dengan menggunakan daya pengeringan 800 W.

93

Tabel 17. Rekapitulasi Perlakuan Terbaik

Parameter Kontrol Penambahan Putih Telur

Kriteria yang dipilih

Kesesuaian

dengan

standar A B C D E F

Rendemen Total (%) 0,58 0,56 0,41 0,56 0,55 0,52 Tertinggi Kamsiati (2006)

17,8%

Laju Pengeringan (gram/menit) 1,68 2,73 4,19 1,43 2,73 3,89 Tertinggi Qadri dan Srivastava (2014)

2,55 gram/menit

Efisiensi (%) 14,65 26,64 48,27 13,66 27,23 37,72 Tertinggi Silvianur (2015)

98,66%

Warna

L* 52,36 52,76 50,84 53,47 54,31 55,40 Tertinggi Qadri dan Srivastava (2014)

27,24

a* 18,44 18,56 15,81 18,77 17,56 16,80 Tertinggi Qadri dan Srivastava (2014)

18,25

b* 30,09 31,24 30,02 32,21 31,62 31,34 Terendah Qadri dan Srivastava (2014)

27,29

TCD 32,33 38,48 39,35 38,36 37,75 38,13 Terendah Qadri dan Srivastava (2014)

12,74

Warna Yellow Red Yellow Red Yellow Red Yellow Red Yellow Red Yellow Red

Jingga hingga

jingga kemerahan

Foodchem (2015) Sesuai

Foam density (g/cm3) 1,01 0,99 1,00 0,92 0,93 0,91 Terendah Fernandes et al (2013)

0,32 g/cm3

Bulk density bubuk (g/cm3) 0,63 0,70 0,65 0,65 0,71 0,68 Tertinggi Goula dan Konstantinos

(2008) 0,005g/cm3

Kadar air bubuk (%) 12,14 11,75 9,18 12,50 11,66 11,77 Terendah Foodchem (2015)

<7% Tidak sesuai

Kadar abu bubuk (%) 6,43 6,20 6,43 5,48 6,10 6,10 Terendah Foodchem (2015)

<3% Tidak sesuai

Indeks Penyerapan Air (%) 19,11 19,68 19,18 15,50 14,20 15,23 Tertinggi Widyasanti dkk (2018)

11,36

Vitamin C (mg/100g) 117,02 118,03 154,87 102,48 93,11 83,54 Tertinggi Kamsiati (2006)

77,77 mg/100g

Total 3 2 6 3 2 3

Keterangan : Bagian yang diarsir kuning merupakan perlakuan terbaik

94

Efisiensi pengeringan terbesar terdapat pada pengeringan dengan

menggunkan daya pengeringan 70% dengan tanpa penambahan busa putih telur

15%. Parameter mutu bubuk tomat salah satunya adalah warna, pengukuran nilai

L*,a*, b* dan TCD dari bubuk tomat. Menurut de Sousa et al (2008), bubuk tomat

terbaik adalah bubuk tomat dengan nilai L* yang tinggi, nilai b* yang rendah, dan

nilai a* yang tinggi, dari ketiga parameter ini nilai terbaik berada pada perlakuan

yang berbeda-beda. Berdasarkan Tabel 17, L* tertinggi pada perlakuan F, a*

tertinggi ada pada perlakuan D dan b* terendah terdapat pada perlakuan C.

Berdasarkan hasil tersebut, diduga penambahan putih telur 15% dapat

meningkatkan nilai L* dan a* pada bubuk tomat.

Menurut Pramasari (2015), nilai TCD terbaik adalah ketika nilai TCD

tersebut merupakan nilai terendah pada suatu perlakuan, hal ini karena dengan

rendahnya nilai TCD menunjukkan bahwa perbedaan warna yang terjadi selama

proses pengeringan dengan penggunaan oven gelombang mikro sangatlah sedikit

sehingga warna yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan warna bahan segar.

Berdasarkan Tabel 17, nilai TCD terendah dimiliki oleh bubuk tomat perlakuan A

sebesar 35,01. Nilai TCD yang didapatkan pada penelitian ini masih cukup besar

bila dibandingkan dengan TCD bubuk ampas tomat dengan perlakuan penggunaan

daya 800 W oleh Qadri dan Srivastava (2014) sebesar12,74. Warna bubuk yang

dihasilkan pada semua perlakuan masuk ke dalam daerah kisaran warna kromatis

yellow red atau jingga kemerahan, warna tersebut masuk ke dalam standar yang

ditetapkan oleh Foodchem International Corporation.

Parameter penentuan perlakuan terbaik lainnya adalah kadar air dan kadar

abu bubuk tomat. Kadar air terbaik pada bubuk tomat adalah bubuk dengan nilai

kadar air terendah, yaitu pada perlakuan C sebesar 9,18% (bb), dan kadar abu

terbaikpun merupakan kadar abu dengan nilai teredah yaitu pada perlakuan D

sebesar 5,48% namun nilai kadar air dan kadar abu ini belum memenuhi standar

yang diterapkan oleh Foodchem International Corporation yang menentukan

bahwa nilai kadar air <7% dan kadar abu <3%.

Parameter mutu lainnya adalah kadar vitamin C yang terdapat pada bubuk

tomat, kadar vitamin C tertinggi berdasarkan Tabel 17 terdapat pada bubuk tomat

perlakuan C dengan perlakuan tanpa penambahan putih telur dan pengeringan

95

dengan daya 70% sebesar 154,87 mg/100g. Nilai kadar vitamin C terbaik yang

didapatkan pada penelitian ini memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan

penelitian mengenai bubuk ampas tomat dengan oven gelombang mikro yang

dilakukan oleh Qadri dan Srivastava (2014) sebesar 77,77 mg/100g. Nilai kadar

vitamin C pada bubuk tomat lebih rendah dibandingkan dengan bubuk tomat yang

berasal dari campuran jus dan pulp tomat pada penelitian yang dilakuan Widyasanti

dkk (2018) yaitu sebesar 318,35 mg/100gram. Nilai kadar vitamin C yang

dihasilkan pada penelitian ini memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan

kadar vitamin C dari sari buah tomat sebesar 35,17 mg/100 gram (Kamsiati, 2006)

Berdasarkan Tabel 17, dapat dikatakan bahwa untuk mendapatkan hasil

yang baik pengeringan ampas tomat dengan menggunakan oven gelombang mikro

dapat dilakukan tanpa penambahan ampas tomat dengan daya 70% untuk

menghasilkan karakteristik bubuk tomat yang baik serta kadar air bubuk tomat yang

rendah, diduga karena pengeringan yang dilakukan berlangsung singkat sehingga

karateristik bubuk tomat seperti nutrisi dan warna dapat lebih terjaga selama

pengeringan, sedangkan untuk dapat menghasilkan bubuk tomat dengan rendemen

yang besar dapat dilakukan dengan menggunakan daya pengeringan 30% tanpa

penambahan putih telur. Penambahan putih telur pada pengeringan dengan

menggunakan oven gelombang mikro dapat mempersingkat lama pengeringan.