bab iv hasil dan pembahasan 4.1 karakteristik …
TRANSCRIPT
Universitas Agung Podomoro | 51
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Persetujuan Diam-Diam dalam Perjanjian Sewa Menyewa
Rumah
Definisi “Karakteristik” menurut KBBI Badan Bahasa adalah “Mempunyai
sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu”. Untuk dapat memahami suatu
karakteristik Persetujuan Diam-Diam haruslah dilihat dari segi persetujuan dan
makna “diam-diam” dalam suatu hubungan sewa menyewa. Definisi persetujuan
diam-diam secara implisit terdapat dalam Pasal 1347 KUHPer “Hal-hal yang,
menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam
dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan”113. Penulis
berpendapat persetujuan diam-diam adalah bentuk kesepakatan pada masa
perjanjian telah berakhir namun para pihak masih menjalankan hak dan kewajiban
dalam perjanjian selayaknya perjanjian tersebut belum berakhir.
Penulis mengambil 2 macam teori yang melandasi dan mendukung
Persetujuan Diam-Diam dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah. Yakni Teori
Penawaran dan Penerimaan, serta Teori Kehendak.
1. Teori Penawaran dan Penerimaan (Offer and Acceptance)
Aspek-aspek hukum utama dalam offer adalah syarat offer,
invitation to treat, dan berakhirnya offer. Sedangkan aspek-aspek
hukum utama dalam acceptance adalah syarat acceptance, cara
melakukan acceptance, postal rule serta penggunaan kontrak
standar.114 Offer merupakan pernyataan yang mengandung syarat-
syarat yang diajukan oleh offeror kepada oferee sebagai dasar
perjanjian, di dalamnya juga terdapat janji-janji baik secara tegas
maupun diam-diam yang harus dipatuhi apabila syarat-syarat yang
diajukan diterima.115 Melalui proses tersebut terjadilah consensus in
idem atau meeting of the minds dari para pihaknya, dan saat inilah lahir
113 Loc. cit. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1347. 114 Natasya Yunita Sugiastuti, “Formasi/Terjadinya Hubungan Kontraktual Menurut Sistem Hukum Inggris”, Jurnal Hukum PRIORIS, Vol.4 No.2 Tahun 2014. 115 Ibid.
Universitas Agung Podomoro | 52
suatu kontrak.116 Dengan adanya penawaran yang diajukan oleh
pemberi sewa sebagai penawar kepada penyewa sebagai penerima
secara tertulis maupun lisan sebagai suatu kontrak sewa menyewa
rumah, maka timbulah hak dan kewajiban secara diam-diam yang
merupakan hasil apabila diterimanya penawaran tersebut. Kontrak
sewa menyewa termasuk dalam kontrak timbal balik atau bilateral.
Kontrak timbal balik adalah kontrak yang dilakukan para pihak yang
menimbulkan hak dan kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa
menyewa.117 Dalam persetujuan diam-diam melihat penawaran sebagai
suatu kontrak unilateral. Kontrak unilateral adalah penawaran yang
membutuhkan tindakan saja karena berisi suatu janji dari satu pihak
saja.118 Dalam kontrak unilateral, offeror dalam offer nya berjanji
memberikan hadiah bila suatu perbuatan tertentu dilakukan.119 Yang
dimaksud dengan “hadiah” disini adalah apa yang ditawarkan oleh
penawar. Acceptance terjadi bila perbuatan tersebut telah sepenuhnya
selesai dilakukan.120 Bahwa penerimaan telah terjadi apabila perbuatan
yang ditawarkan oleh pihak penawar telah dilakukan oleh pihak
penerima. Selama offeree belum sepenuhnya melaksanakan perbuatan
tersebut maka offeror berhak mencabut offer nya.121 Apabila pihak
penerima belum melakukan tindakan sebagai bentuk penerimaan akan
tawaran, pihak yang menawarkan berhak mencabut tawarannya.
Namun demikian dalam kontrak unilateral harus dianggap tidak boleh dicabut manakala offeree telah memulai melaksanakan perbuatan yang diminta, atau setidaknya harus diperhatikan sifat offer tersebut, juga kehendak pihak-pihaknya.122
Sehingga persetujuan diam-diam memiliki karakteristik selayaknya suatu
kontrak unilateral, adanya suatu penawaran dan penerimaan dan tidak dapat
ditariknya penawaran apabila pihak penerima telah melakukan tindakan
116 Natasya Yunita Sugiastuti, Loc. cit. 117 H.M. Fauzan dan Baharuddin Siagian, Kamus Hukum dan Yurisprudensi, Cet.1 (Depok : Kencana, 2017), 428-429. 118 Ibid, hlm. 429. 119 Natasya Yunita Sugiastuti, Loc. cit. 120 Ibid. 121 Ibid. 122 Ibid.
Universitas Agung Podomoro | 53
penerimaan atas tawaran tersebut. Penawaran ini adalah suatu bentuk yang
menyatakan bahwa rumah tersebut masih tersedia (available) untuk disewa oleh
pemberi sewa, sehingga penerimaan tersebut masih dapat dilakukan oleh penyewa.
Penyewa rumah dalam hal ini mengetahui masih tersedianya oleh pemberi sewa
oleh karena tidak ada pemberitahuan akan tidak adanya ketidaktersediaan, sehingga
dengan menjalankan kewajibannya, seperti membayar uang sewa, menjadikan hal
tersebut sebagai bentuk sah telah terjadinya penerimaan. Pernyataan diam-diam
dapat terjadi dalam kontral unilateral di mana oferee tidak perlu menyatakan
kehendaknya untuk melaksanakan permintaan offeror.123
Penawaran dapat dirumuskan sebagai pernyataan kehendak yang
mengandung usul untuk mengadakan perjanjian; unsur ini mencakup unsur
esensialia (unsur yang mutlak harus ada, yaitu barang dan harga).124 Disanalah teori
penawaran dan penerimaan memperkuat persetujuan diam-diam terhadap sewa
menyewa yang mengandung unsur esensialia berupa barang dan harga.
2. Teori Kehendak
Van Dunne mengatakan, bahwa latar belakang cara pengamatan penyusun Code Civil dan BW adalah menurut ajaran kehendak yang berkuasa ketika itu, perbuatan hukum didasarkan atas dasar kehendak (psykhis) dari pihak yang bertindak.125
Bila ada dua pihak dalam perkara itu seperti demikian halnya
pada perjanjian menurut definisinya, maka dasar dari perbuatan hukum yang timbal balik itu, adalah kehendak dari kedua pihak, dengan kata lain kesamaan kehendak (kesepakatan) diantara mereka.126
Teori kehendak disini menyatakan bahwa kesepakatan tidak
mungkin terjadi apabila tidak ada kesamaan kehendak diantara kedua
pihak. Bahwa sebenarnya kehendak antara satu pihak dengan yang
lainnya tidak sama, melainkan apa yang dikehendaki adalah “sama
dalam kebalikannya”. “Sama dalam kebalikannya” dalam suatu
123 Natasya Yunita Sugiastuti, Loc. cit. 124 Ilham Akbar, “Akibat Hukum Cacat Kehendak Terkait Hakikat Benda Pada Perjanjian Jual Beli Batu Akik Bongkahan”, Jurnal Hukum dan Pemikiran Syariah, Vol.16 No. 2, Tahun 2016. 125 Saptono, “Teori-Teori Hukum Kontrak Bersumber dari Paham Individualisme”,Jurnal Repertorium Univeristas Sebelas Maret (UNS), Edisi 1 Tahun 2014. 126 Ibid.
Universitas Agung Podomoro | 54
perjanjian sewa menyewa rumah, pemberi sewa memiliki kehendak
untuk menyewakan rumahnya, sedangkan penyewa berkehendak
menyewa rumah. Sehingga peristiwa sewa menyewa rumah ini sudah
pasti memerlukan kehendak kedua pihak yang salik berkebalikan agar
terjadi suatu perjanjian sewa menyewa.
Menurut Pitlo, “dalam ajaran kehendak, perbuatan hukum adalah perbuatan yang bertujuan menimbulkan akibat hukum (contoh perjanjian merupakan peristiwa hukum, suatu peristiwa oleh hukum diberi akibat hukum).”127
Teori kehendak atau teori hukum kontrak klasik yang berasal dari
prinsip private autonomy, kemudian bermakna bahwa kehendak para
pihak yang menentukan hubungan hukum kontrak mereka. Prinsip yang
demikian memiliki beberapa konsekuensi sebagai berikut128:
1. Hukum yang berlaku bagi mereka tersebut semata-mata berkaitan dengan maksud yang sebenarnya dari pihak yang berjanji;
2. Maksud para pihak harus “bertemu” pada saat sebelum dibuatnya kontrak;
3. Hakim tidak memiliki kewenangan untuk mengisi celah dalam suatu kesepakatan dan tidak berdaya menghadapi kemungkinan hal yang tidak terduga;
4. Pihak yang berjanji bebas mengungkapkan kemauannya
Keterkaitan antara kehendak dan kesepakatan ini terkait dengan syarat sah
lahirnya perjanjian, Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan salah satu teori
mengenai lahirnya perjanjian tersebut, yaitu Wilstheorie (teori kehendak) yang
menjelaskan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima
dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.129 Oleh karena ada suatu tindakan
yang dilakukan pihak penerima untuk menyatakan kehendaknya, sehingga dalam
hubungan sewa menyewa, terjadi tindakan yang menyatakan bahwa sewa menyewa
tersebut akan tetap berlanjut, contohnya dengan tetap membayar uang sewa sebagai
bentuk penerimaan dan menyatakan kehendak akan sewa lanjutan meskipun tidak
ada bentuk pernyataan, karena perjanjian dalam KUHPer tidak mencantumkan
syarat kesepakatan tersebut wajib dilakukan secara tertulis maupun secara lisan.
127 Saptono, Loc.cit. 128 Ibid. 129 Mariam Darus Badrulzaman (B), Loc.cit, hlm. 75.
Universitas Agung Podomoro | 55
Teori kehendak ini sangat berpengaruh terhadap persetujuan diam-diam,
silent consent artinya menyampaikan kehendaknya melalui tindakan yang
menyetujui. Bahwa kehendak ini tidak perlu disampaikan secara langsung, dapat
juga secara tidak langsung maupun diam-diam. Kehendak yang disampaikan secara
langsung melalui komunikasi secara langsung dengan jelas menyampaikan apa
yang dimaksudkan atau yang dikehendaki. Bentuk penyampaian secara tidak
langsung dapat melalui orang ketiga yang diberikan kuasa, melalui email, atau
perantara lainnya. Penyampaian kehendak secara diam-diam ini bukan berarti tidak
melaksanakan apapun, menurut Pasal 1234 KUHPer berbunyi “Tiap-tiap perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat
sesuatu.”130 Sehingga pernyataan kehendak secara diam-diam sangat
memungkinkan terjadinya perikatan.
Meskipun pernyataan kehendak tidak diharuskan secara tegas tapi kehendak ini tetap harus ditunjukkan dengan cara yang lain, ketika kehendak atau keinginan disimpan dalam hati, tidak mungkin diketahui oleh pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan suatu perjanjian.131
4.1.1 Cacat Kehendak dalam Perjanjian
Dalam berlakunya suatu perjanjian dimungkinkan bahwa kesepakatan
tersebut dibentuk berdasarkan cacat kehendak. Perjanjian yang ditutup
dibawah pengaruh kesesatan dapat dibatalkan132, perjanjian sewa menyewa
tetap sah karena karena telah di sepakati oleh para pihak, pihak yang cacat
kehendaknya baru mengetahui terdapat ketidasesuaian tesebut setelah terjadi
kesepakatan. Cacat kehendak diatur dalam Pasal 1321 KUHPer yang
menyatakan, “Tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan
kepada kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.133
Subekti menyatakan bahwa kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan, pernyataan ini dapat dilakukan secara tegas atau secara diam-diam, cara yang belakangan ini sangat lazim dalam kehidupan kita sehari-hari.134
130 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1234 KUHPer. 131 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014), 6. 132 J.H Niewenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih (Surabaya: s.n. 1985), 5. 133 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1321 KUHPer. 134 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1996), 135.
Universitas Agung Podomoro | 56
Akibat hukum apabila suatu perjanjian terdapat salah satu unsur cacat
kehendak, maka pihak yang merasa yang dirugikan dapat mengajukan
gugatan pembatalan perjanjian ke pengadilan secara perdata sesuai dengan
Pasal 1449 KUHPer.
Cacat Kehendak dalam KUHPer dibagi menjadi 3 (tiga) hal yakni
sebagai berikut :
1. Kesesatan atau dwaling (Pasal 1322 KUHPer)
Terdapat kesesatan apabila terkait dengan “hakikat kebendaan
atau orang” dan pihak lawan harus mengetahui bahwa sifat atau
keadaan yang menimbulkan kesesatan bagi pihak lain sangat
menentukan (terkait syarat dapat dikenali atau diketahui;
keenbaarheidsvarieste).135
Dengan demikian, mengenai kesesatan terhadap hakikat benda yang dikaitkan dengan keadaan yang akan datang, karena kesalahan sendiri atau karena perjanjian atau menurut pendapat umum menjadi resiko sendiri, tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak.136
2. Paksaan atau dwang (Pasal 1323-1327 KUHPer)
Paksaan timbul apabila seseorang tergerak untuk menutup
kontrak (memberikan kesepakatan) di bawah ancaman yang bersifat
melanggar hukum.137
3. Penipuan atau bedrog (Pasal 1328 KUHPer)
Herlien Budiono menjelaskan bahwa penipuan terjadi jika seseorang dengan kehendak dan pengetahuan (willens en wetens) serta kesengajaan (opzet), menyesatkan orang lain, menyembunyikan fakta tertentu, memberikan informasi secara keliru, atau tipu daya lainnya.138
Untuk berhasilnya dalil penipuan disyaratkan bahwa gambaran
yang keliru itu ditimbulkan oleh rangkaian tipu daya (kunstgrepen)139
135 Ilham Akbar, Loc. cit. 136 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana, 2010), 171. 137 Ilham Akbar, Loc. cit. 138 Ibid. 139 Agus Yudha Hernoko, Loc. cit, hlm. 171.
Universitas Agung Podomoro | 57
4. Penyalahgunaan Keadaan atau Misbruik van omstandigheden
Sampai saat ini, KUHPer belum mengatur secara spesifik tentang
penyalahgunaan keadaan. Namun penerapan teori penyalahgunaan
keadaan ini dapat ditemui dalam putusan Mahkamah Agung RI No.
3641K/Pdt/2001, tanggal 11 September 2002 yang memuat kaidah
hukum bahwa keadaan penyalahgunaan keadaan dimana salah satu
pihak dalam perjanjian tersebut berada dalam keadaan dimana salah
satu pihak dalam perjanjian tersebut berada dalam keadaan tidak bebas
untuk menyatakan kehendaknya, maka perjanjian tersebut batal.
Bahwa segala perjanjian yang dibentuk dengan adanya cacat kehendak tidak
dapat diakui sehingga menjadi batal demi hukum, sehingga perjanjian tersebut tidak
memiliki konsekuensi hukum. Dalam kaitannya dengan persetujuan diam-diam,
penulis telah menjelaskan ada 2 teori yang menjadi landasan adanya persetujuan
diam-diam, yakni teori penawaran dan penerimaan serta teori kehendak. Bahwa
persetujuan diam-diam memiliki unsur-unsur yang terbentuk dari penyampaian
kehendak dan atau terjadinya penawaran dan penerimaan. Bahwa cacat kehendak
sebagaimana yang telah dijelaskan diatas tidak menjadikan alasan bahwa
persetujuan diam-diam menjadi batal demi hukum. Kekhilafan atau keliru sangat
tidak memungkinkan untuk dijadikan alasan batalnya suatu persetujuan diam-diam
oleh karena hal tersebut merupakan konsekuensi hukum kedua pihak saat
kesepakatan atau perjanjian tersebut telah terjadi, yang dimaksudkan adalah
persetujuan diam-diam lahir dengan adanya suatu perjanjian pokok. Sama seperti
perjanjian pada umumnya, persetujuan diam-diam tidak dapat terjadi apabila
terdapat penegasan konkrit atau perjanjian tersebut telah mengesampingkan pasal
dalam KUHPer tentang terjadinya perjanjian secara diam-diam. Hal ini
membuktikan bahwa kekeliruan dapat menyebabkan terjadinya perubahan
perjanjian karena tidak terjadinya pertemuan kehendak.
Dalam hal penipuan, paksaan, maupun penyalahgunaan keadaan, persetujuan
diam-diam ini tidak terlepas dari hukum adat dan kebiasaan yang menjadi dasar
Universitas Agung Podomoro | 58
terbentuknya suatu perjanjian, sehingga unsur tiap-tiap cacat kehendak harus dapat
dibuktikan.
Selain hal tersebut, penyampaian kehendak dapat dilaksanakan secara bebas
dalam menjalankan isi perjanjian sewa. Penulis berpendapat bahwa persetujuan
diam-diam bukanlah bentuk dari penyalahgunaan keadaan oleh karena KUHPer
telah menyatakan keberadaan perjanjian tidak tertulis yakni secara diam-diam.
Oleh karena fokus penelitian ini adalah persetujuan diam-diam dalam
perjanjian sewa menyewa rumah, maka cacat kehendak ini pasti akan selalu
terhubung pada setiap perjanjian dibawah hukum di Indonesia. Bahwa sangat
memungkinkan terjadinya cacat kehendak dalam suatu perjanjian, namun menurut
penulis, cacat kehendak dalam persetujuan diam-diam dalam suatu perjanjian sewa
menyewa rumah yang telah berlangsung sangat sulit dibuktikan pada bagian mana
terjadinya suatu cacat kehendak karena khilaf, penipuan, paksaan ataupun
penyalahgunaan keadaan.
Dalam analisis ini penulis akan mengenyampingkan keadaan bahwa
persetujuan diam-diam merupakan cacat kehendak perjanjian karena telah diatur
bahwa perjanjian dapat dibentuk secara tertulis, lisan ataupun secara diam-diam,
melainkan cacat kehendak dapat terjadi apabila memang dapat dibuktikan. Penulis
tidak sependapat bahwa persetujuan diam-diam adalah suatu perjanjian dengan
unsur cacat kehendak, cacat kehendak merupakan suatu unsur yang dapat
menyebabkan batalnya suatu perjanjian. Sama seperti perjanjian pada umumnya,
persetujuan diam-diam dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dapat
dibuktikan. Beban pembuktian ini berada pada pihak yang merasa dirugikan oleh
keberadaan perjanjian tersebut, dalam penelitian ini, baik pemberi sewa maupun
penyewa dapat bertindak dan menggugat di Pengadilan apabila dirugikan atas
perjanjian sewa yang terdapat suatu unsur cacat kehendak, dan dibebankan untuk
membuktikan keberadaan cacat kehendak tersebut.
Universitas Agung Podomoro | 59
4.1.2 Unsur Sewa Menyewa Rumah
Menurut Pasal 1 angka (3) PP No. 44/1994, “Sewa menyewa rumah
adalah keadaan dimana rumah dihuni oleh bukan pemilik berdasarkan
perjanjian sewa menyewa.”140
Unsur sewa menyewa terdapat dalam Pasal 1548 KUHPer, berikut
penjelasannya:
1. Perjanjian
Perjanjian sewa menyewa harus memenuhi seluruh unsur
perjanjian pada umumnya seperti yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPer. Perjanjian sewa menyewa secara tertulis terdapat dalam Pasal
1570 KUHPer, “Jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu
berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau,
tanpa diperlukannya sesuatu pemberhentian untuk itu.”141 Sedangkan
perjanjian sewa menyewa secara lisan terdapat dalam Pasal 1571
KUHPer
“Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.”142
Perjanjian sewa menyewa secara diam-diam terdapat dalam Pasal
1573 KUHPer “Jika, setelah berakhirnya suatu penyewaan yang dibuat dengan tulisan, si penyewa tetap menguasai barang yang disewa dan dibiarkan menguasainya, maka terjadilah dengan itu suatu sewa baru, yang akibat-akibatnya diatur dalam pasal-pasal yang mengenai penyewaan-penyewaan dengan lisan.”143
Definisi yang terkandung dalam Pasal 1573 KUHPer ini akan
menjadi pokok atau sumber pembahasan dalam penelitian ini.
2. Kenikmatan suatu barang
Barang atau benda yang dapat disewakan menurut Pasal 1549
KUHPer “Semua jenis barang, baik yang tak bergerak, baik yang
140 Loc.cit, Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1994, Pasal 1 angka 3. 141 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1570. 142 Ibid, Pasal 1571. 143 Ibid, Pasal 1573.
Universitas Agung Podomoro | 60
bergerak dapat disewakan.”144 Benda bergerak diatur dalam Pasal 509-
518 KUHPer, dan benda tidak bergerak diatur dalam Pasal 506-508
KUHPer.
Rumah adalah benda tidak bergerak sebagaimana terdapat dalam Pasal 507 angka (2) “Karena peruntukannya, termasuklah dalam paham kebendaan tak bergerak : dalam perumahan : cermin-cermin, lukisan-lukisan dan perhiasan lain-lainnya, sekedar barang-barang itu dilekatkan pada papan atau pasangan batu yang merupakan bagian dinding, pagar atau plesteran ruangan, pun sekiranya barang-barang itu tak terpaku”.145
Mengenai penyerahan benda bergerak terdapat dalam Pasal 612
KUHPer, sedangkan penyerahan benda tak bergerak terdapat dalam
Pasal 616 KUHPer “Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak
bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan
dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 620 KUHPer.”146
Penyerahan atau levering ini menentukan kapan mulainya unsur
“kenikmatan suatu barang” terjadi.
3. Waktu tertentu
Unsur waktu tertentu menentukan sejak kapan dan sampai kapan
suatu perjanjian sewa menyewa berlangsung. Bahwa seperti yang
terdapat dalam Pasal 1570 KUHPer tentang perjanjian sewa tertulis,
maka terdapat jangka waktu dalam perjanjian. Apabila tidak, maka
akan mengacu pada peraturan tertulis mengenai jangka waktu sewa
terhadap objek tertentu.
4. Suatu harga
Menurut KBBI Badan bahasa, Harga adalah nilai barang yang ditentukan atau dirupakan dengan uang; jumlah uang atau alat tukar lain yang senilai, yang harus dibayarkan untuk produk atau jasa, pada waktu tentu dan di pasar tertentu.147
144 Ibid, Pasal 1549. 145 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 507 angka 2. 146 Ibid, Pasal 616. 147 Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Harga” diakses Feb 20 2020, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Rumah.
Universitas Agung Podomoro | 61
Dalam Pasal 1569 KUHPer menjelaskan mengenai unsur harga
dalam sewa menyewa, “Jika terjadi perselisihan tentang harga suatu penyewaan, yang dibuat dengan lisan, yang sudah dijalankan, dan tidak terdapat suatu tanda pembayaran, maka pihak yang menyewakan harus dipercaya atas sumpahnya, kecuali apabila si penyewa memilih untuk menyuruk menaksir harga sewanya oleh orang-orang ahli.”148
Pasal tersebut menjelaskan apabila terjadi perselisihan akan harga
sewa apabila sewa menyewa terjadi secara lisan, kondisi ini dapat juga
terjadi apabila suatu sewa menyewa terjadi secara tidak tertulis seperti
yang dimaksud dalam Pasal 1571 KUHPer tentang “sewa tidak dibuat
dengan tulisan”.
Pasal 1 angka (4) PP No. 44/1994, “Harga sewa adalah jumlah ataupun nilai baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lain yang telah disepakati oleh pemilik dan penyewa, dan oleh penyewa dibayarkan kepada pemilik sebagai pembayaran atas penghunian untuk jangka waktu tertentu.”149
Unsur perjanjian sewa menyewa memiliki unsur esensial yang wajib ada
dalam perjanjian sewa, yakni unsur barang dan harga. Ketika kedua unsur tersebut
ada dalam perjanjian sewa, maka akibat-akibat hukum sebagai perjanjian sewa
dapat diberlakukan. Sehingga dalam perjanjian sewa menyewa rumah, unsur
barang terletak pada objek sewa yaitu rumah. Unsur harga menjadi kesepakatan
kedua belah pihak, baik dihargai dengan barang, uang ataupun bentuk lainnya yang
dapat dikategorikan sebagai harga.
4.1.3 Karakteristik Persetujuan Diam-Diam dalam Perjanjian Sewa
Menyewa Rumah
Dalam menganalisis karakteristik ini, penulis akan mejabarkan secara
runtut agar mengerti pemenuhan karakteristik persetujuan diam-diam
terhadap perjanjian sewa menyewa rumah, dimulai pemenuhan unsur-unsur
Pasal 1320 KUHPer, Pasal 1548 KUHPer dan unsur diam-diam itu sendiri.
148 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1569. 149 Loc.cit, Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1994, Pasal 1 angka 4.
Universitas Agung Podomoro | 62
1. Memenuhi unsur perjanjian pada umumnya
Perjanjian pada dasarnya dapat dibuat oleh siapa saja, asalkan
memenuhi syarat-syarat yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPer, yaitu (1)
sepakat, (2) cakap, (3) obyek tertentu, dan (4) kausa yang diperbolehkan.
Pasal 1320 KUHPer menyimpulkan sepakat sebagai salah satu syarat sah
perjanjian yakni berlakunya asas konsensualisme sebagai syarat subjektif.
KUHPer tidak menyebutkan bahwa suatu perjanjian wajib dilakukan
secara tertulis ataupun secara lisan agar dapat menjadi undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Teori penawaran dan penerimaan serta teori
kehendak adalah suatu landasan bahwa terjadinya persetujuan diam-diam
sangat memungkinkan.
C.S.T. Kansil menyatakan sebagai berikut: “Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri harus secara bebas. Adanya kebebasan bersepakat para subjek hukum dapat terjadi dengan: a. Secara tegas, baik dengan mengucapkan kata atau tertulis; b. Secara diam-diam, baik dengan suatu sikap atau dengan isyarat”150
Bahwa menurut C.S.T Kansil, kesepakatan dapat terjadi secara diam-
diam, dengan suatu sikap atau dengan isyarat. Kata sepakat ialah kecocokan
antara kehendak/kemauan kedua belah pihak yang akan mengadakan
persetujuan.151 Sehingga dalam Buku III KUHPer menganut sistem terbuka.
Pasal 1313 KUHPer berbunyi “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.152
Van Dunne menyatakan “Pendirian tersebut sangat ketat bila dikatakan bahwa selama tidak ada sekaligus dua kehendak tidak ada perjanjian” definisi Pasal 1313 KUHPer tersebut lebih menekankan pada unsur pertama adanya perjanjian yaitu penawaran.153
Disinilah letak teori penawaran dan penerimaan ada dalam unsur
terjadinya suatu perjanjian. Sehingga apabila tidak adanya penawaran, tidak
mungkin terjadi suatu bentuk kesepakatan. Pasal 1313 KUHPer menyatakan
150 C.S.T. Kansil, Modul: Hukum Perdata I (Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata), (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1990), 224. 151 R.M. Suryodiningrat, Loc.cit, hlm. 86. 152 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1313. 153 Saptono, Loc.cit.
Universitas Agung Podomoro | 63
cara lahirnya suatu perjanjian, melebihi definisi itu sendiri. Perjanjian itu
sendiri baru dapat diketahui apabila sudah ada pertemuan antara penawaran
dan penerimaan sehingga menjadi terikat.154
Dalam hal ini, dapat kita pahami bahwa suatu perjanjian diam-diam
wajib memenuhi unsur dalam Pasal 1320 KUHPer.
2. Memenuhi unsur perjanjian sewa menyewa dalam Pasal 1548 KUHPer
Pasal 1548 KUHPer “Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak”.155
Perjanjian sewa menyewa selain diatur dalam KUHPer, terdapat dalam
Pasal 4 ayat (1) PP No. 44/1994, “Penghunian rumah dengan cara sewa
menyewa didasarkan kepada suatu perjanjian tertulis antara pemilik dan
penyewa”.156 Namun nyatanya, dalam KUHPer, terdapat sewa menyewa
yang dilakukan secara tulisan ataupun tidak tertulis. Hal ini akan dijelaskan
dalam rumusan masalah 4.2
Dalam bagian 4.1.3, telah dijelaskan mengenai unsur sewa menyewa
dalam Pasal 1548 KUHPer. Bahwa dalam perjanjian sewa menyewa rumah
harus memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam sewa menyewa dengan
objek rumah, dijelaskan sebagai berikut:
a) Para Pihak : Pemberi Sewa (selaku pemilik rumah) dan Penyewa
Dalam hal objek sewa adalah rumah, maka pemberi sewa sebagai
pemilik rumah yang berhak untuk menyewakan rumahnya. UUPA menganut
asas pemisahan horizontal, yang dimaksud adalah bahwa pemilik tanah dan
rumah dapat berbeda subjek hukum. Pemberi Sewa haruslah yang memiliki
objek rumah dan pada prakteknya selalu diidentikkan bahwa pemilik rumah
154 Ibid. 155 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1548. 156 Loc.cit, Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1994, Pasal 4 angka 1.
Universitas Agung Podomoro | 64
adalah pemilik tanah walaupun hukum pertanahan di Indonesia menganut
asas pemisahan horizontal. Hal tersebut terjadi karena adanya kekosongan
hukum akan tidak adanya bukti kepemilikan rumah sehingga bukti
kepemilikan suatu bangunan rumah selalu diidentikkan dengan bukti
kepemilikan tanah.
Pemberi sewa atau pihak yang menyewakan disamakan sebagai pemilik
dalam Pasal 1 angka (5) PP No. 44/1994, “Pemilik adalah orang atau badan
yang mempunyai hak atas rumah”.157 Hal ini diperlengkap dalam Pasal 2
angka (1) PP No. 44/1994, “Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah
apabila ada persetujuan atau izin pemilik”.158 Selanjutnya dalam Pasal 28 ayat
(2) PP No.14/2016, “Penghunian Rumah dengan cara sewa menyewa atau
dengan cara bukan sewa menyewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dan huruf c hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik Rumah”.159
Dalam hal ini berarti pemilik adalah pemberi sewa atas rumah atau sesuai
dengan izin tertulis pemilik tanah.
b) Barang : Rumah (sebagai objek sewa, termasuk benda tidak bergerak)
Pasal 1 angka (1) PP No. 44/1994 memberikan definisi rumah, “Rumah
adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan
sarana pembinaan keluarga”.160 Rumah sebagai objek sewa diatur secara
khusus dalam perjanjian sewa menyewa rumah menurut Bab VII Bagian
Ketiga Pasal 1581-1587 KUHPer yang meliputi rumah dan perabot rumah.
Rumah sebagai benda tidak bergerak diatur dalam Pasal 506-508 KUHPer,
cara penyerahan rumah atau levering dalam sewa menyewa adalah melalui
suatu perjanjian, baik akta notaris atau akta bawah tangan seperti apa yang
telah diatur dalam pasal 616-620 KUHPer.
c) Waktu : Masa Sewa
157 Loc.cit, Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1994, Pasal 1 angka 5. 158 Ibid, Pasal 2 angka 1. 159 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, PP No. 14 Tahun 2016, TLN No. 5883, Pasal 28 ayat (2). 160 Loc.cit, Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1994, Pasal 1 angka 1.
Universitas Agung Podomoro | 65
Dalam hal sewa menyewa rumah, Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1992 (UU No. 4/1992) tentang Perumahan dan Permukiman dinyatakan
masih berlaku apabila tidak bertentangan dengan UU Perumahan, bahwa
dalam Pasal 12 ayat (6) UU 4/1992,
“Sewa menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa batas waktu yang telah berlangsung sebelum undang-undang ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah berlakunya undang-undang ini.”161
Berikut juga dalam Pasal 21 PP No. 44/1994 dan Yurisprudensi
MA No. 3280/K/Pdt/1995, sehingga apabila jangka waktu tertulis maka
akan berakhir sesuai dengan perjanjian tersebut, itulah yang merupakan
unsur waktu tertentu. Bahwa selanjutnya akan dijelaskan dalam analisis
analisis bagaimana unsur waktu ini menempatkan persetujuan diam-
diam dalam berlangsungnya perjanjian sewa menyewa.
d) Harga : Nilai yang perlu dibayar oleh penyewa kepada Pemberi Sewa.
Unsur harga sewa menyewa rumah ini dapat berupa uang dan bentuk
lainnya sesuai dengan kesepakatan, sesuai dengan asas kebebasan
berkontrak.
Perjanjian Sewa Menyewa Rumah harus memuat unsur esensial yakni barang
dan harga. Apabila tidak terdapat jangka waktu sewa menyewa, maka berlakulah
peraturan bahwa perjanjian sewa menyewa rumah berakhir dalam waktu 3 tahun,
hal ini akan dibahas dalam rumusan masalah 4.2. Selain itu tentunya harus
memenuhi unsur-unsur perjanjian pada umumnya seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Perjanjian yang ditutup dan pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari berlaku sebagai penerimaan meskipun tidak dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak untuk melakukan perjanjian.162
Dalam Pasal 28 ayat (5) PP No. 14/2016, “Perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) sekurang-kurangnya mencantumkan ketentuan mengenai 161 Indonesia, Undang-Undang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 4 Tahun 1992, LN Tahun 1992 No. 23, Pasal 12 ayat (6). 162 J.H Niewenhuis, Loc.cit, hlm.2.
Universitas Agung Podomoro | 66
hak dan kewajiban, jangka waktu sewa menyewa, dan besarnya harga sewa serta kondisi force majeur.”163
Dalam peraturan pelaksana UU Perumahan ini, memberikan unsur-unsur apa
saja yang harus terdapat dalam perjanjian sewa menyewa tertulis. Hal ini berarti
dalam PP tersebut, pemerintah memberikan pengaturan lebih lanjut tentang unsur
sewa menyewa rumah, berupa hak dan kewajiban antara penyewa dan pemberi
sewa, jangka waktu sewa, harga sewa dan kondisi force majeur.
3. Memenuhi unsur diam-diam
Dalam suatu persetujuan diam-diam, perjanjian ini terjadi setelah berakhirnya
masa perjanjian sewa-menyewa telah berakhir. Timbul suatu hubungan perjanjian
sewa menyewa diam-diam, dan timbulah hak dan kewajiban sebagai pihak
penyewa dan pemberi sewa tanpa dilandasi oleh perjanjian tertulis maupun lisan.
Hal tersebut terjadi oleh karena para pihak masih menjalankan hak dan kewajiban
seperti layaknya perjanjian sewa menyewa belum berakhir.
Bahwa berdasarkan definisi perjanjian sewa menyewa menurut Pasal 1548
KUHPer, terdapat dua pihak yang saling setuju, untuk memberikan kenikmatan
suatu barang, dengan waktu dan harga tertentu. Dengan demikian maka yang akan
menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah
pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua pihak.164
Undang-undang berpangkal pada asas konsensualisme, namun untuk menilai
apakah telah tercapai konsensus, kita terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan
yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak.165 Sehingga para pihak tidak dituntut
untuk melaksanakan kehendak yang tidak pernah dinyatakan. Pernyataan berupa
penyampaian kehendak dalam persetujuan akan menjadi hak dan kewajiban para
pihak.
Persetujuan diam-diam diperkuat dengan adanya Yurisprudensi Mahkamah
Agung No. 1284/K/Pdt/1998 tertanggal 18 Desember 2000 yang memberikan
kaidah hukum sebagai berikut:
163 Loc. cit, PP No. 14 Tahun 2016, Pasal 28 ayat (5). 164 Loc. cit, Ilham Akbar. 165 Ibid.
Universitas Agung Podomoro | 67
“Dibenarkan adanya suatu perjanjian yang diucapkan saja atau perjanjian diam-diam atau silent agreement artinya walaupun tidak ada suatu perjanjian namun kenyataan peristiwa tersebut ada maka kenyataan tersebut disebut perjanjian diam-diam.”
Hal ini juga sejalan dengan pendapat Arrest Hode Raad, HR. 29 Desember
1939, NJ. 1940, 27, dengan kaidah hukum,
“Bahwa disepakatinya suatu perjanjian bisa terjadi atas dasar perilaku para pihak. Untuk menilai apakah dalam suatu peristiwa tertentu para pihak secara diam-diam telah memberikan sepakatnya untuk memperpanjang perjanjian yang telah berakhir, bisa dilihat dari perilaku para pihak waktu sebelum maupun sesudah perjanjian lama berakhir.”
Dari kedua kaidah hukum tersebut, Pasal 1347 KUHPer telah mengatur
secara implisit mengenai persetujuan diam-diam. Sedangkan, persetujuan diam-
diam dalam perjanjian sewa menyewa rumah telah diatur dalam Pasal 1573
KUHPer, yakni sebagai berikut :
“Jika setelah berakhirnya suatu penyewaan yang dibuat secara tulisan, si penyewa tetap menguasai barang yang disewa dan dibiarkan menguasainya, maka terjadilan dengan itu suatu sewa baru, yang akibat-akibatnya diatur dalam pasal-pasal yang mengenai penyewaan-penyewaan secara lisan”.166
Unsur persetujuan diam-diam dalam perjanjian sewa menyewa rumah sesuai
dengan Pasal 1573 KUHPer adalah :
1) Berakhirnya perjanjian sewa menyewa secara tulisan
2) Penyewa tetap menguasai barang yang disewa
3) Pemberi sewa membiarkan penyewa menguasainya
4) Terjadi suatu sewa baru, akibatnya sesuai dengan penyewaan lisan
(hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam Rumusan Masalah 4.2)
4.1.4 Analisis Kasus
Dalam putusan No. 551/PK/Pdt/2000 tentang sewa menyewa rumah yang
permohonan peninjauan kembali oleh penyewa ditolak oleh karena novum (bukti
baru) tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Bahwa dalam kasus tersebut,
baik penyewa sebagai tergugat dan pemberi sewa sebagai penggugat, tidak
mengetahui bahwa sewa menyewa dapat terjadi secara diam-diam. Konsekuensi
166 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1573.
Universitas Agung Podomoro | 68
hukum karena adanya bentuk “availability” atas rumah sehingga (sebagai
penawaran), merupakan bentuk persetujuan diam-diam yang di terima oleh pemberi
sewa (sebagai penerimaan) oleh karena tidak adanya pemberitahuan atau somasi
sebagai landasan iktikad baik kepada penyewa. Dalam putusan tersebut, dinyatakan
bahwa penyewa masih tetap membayar uang sewa, iuran rumah serta pajak bumi
bangunan sebagai bapak rumah tangga yang baik.
Unsur-unsur perjanjian sewa menyewa rumah terpenuhi dalam kasus
tersebut, yakni :
- Unsur perjanjian : terjadi kesepakatan tanggal 20 Desember 1959 antara
pemilik rumah dengan tergugat tentang sewa menyewa rumah tanpa
jangka waktu, sewa menyewa rumah dimulai tanggal 1 Januari 1960.
Terjadi pengalihan kepemilikan rumah yakni rumah pemilik kepada
penggugat.
- Unsur kenikmatan suatu barang : rumah di Jalan Besar No. 65 Jalan
Jenderal Achmad Yani No. 121 Purworejo, rumah ini adalah rumah
yang disewakan oleh Penggugat.
- Unsur jangka waktu : bahwa dalam kesepakatan awal tidak terdapat
jangka waktu sewa, namun faktanya, dalam putusan terdapat
pernyataan bahwa masa sewa berakhir tanggal 10 Maret 1995, sehingga
penulis berpendapat bahwa telah terjadi perjanjian sewa menyewa
tertulis.
- Unsur harga sewa : bahwa pada tanggal 20 Desember 1959 tergugat
telah membayar uang kunci sebelum menghuni rumah kepada pemilik
rumah. Dan faktanya, uang sewa tergugat dikonsinyasikan di
Pengadilan Negeri Purworejo. Hal tersebut menjadi bukti bahwa
terdapat harga sewa dalam perjanjian sewa menyewa.
Unsur diam-diam telah sesuai dengan Pasal 1573 KUHPer dalam putusan No.
551/PK/Pdt/2000 :
- Berakhirnya perjanjian sewa menyewa tertulis yakni tanggal 10 Maret
1995
- Penyewa tetap menguasai rumah yang disewanya
Universitas Agung Podomoro | 69
- Pemberi sewa membiarkan penyewa menguasainya, bahwa dalam
putusan pemberi sewa menyatakan telah memberi peringatan namun
penyewa tidak pernah menerima peringatan/somasi. Hakim tidak
menelusuri bukti ini dimana hal ini sangat relevan dan titik penentuan
apakah pemberi sewa membiarkan penyewa menguasai rumah tersebut
atau tidak. Penulis berpegang prinsip bahwa pemberi sewa tidak
beriktikad baik dalam memberikan peringatan, bahwa faktanya
penyewa telah menyewa rumah sejak tahun 1959 sampai 1995 (36
tahun), terbukti bahwa penyewa berikiktikad baik dan melihat bahwa
penawaran akan sewa menyewa rumah tetap berlangsung (dilihat dari
lamanya penyewa telah tinggal dalam rumah tersebut).
- Terjadi sewa baru : berakhirnya sewa menyewa pada tanggal 10 Maret
1995, sehingga terjadi suatu sewa baru pada tanggal 11 Maret 1995
sampai pada saatnya Penggugat berkehendak untuk mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri Purwojero, bahwa faktanya Pemberi
sewa yakni Penggugat memiliki alasan mengapa ia tidak ingin
memperpanjang perjanjian sewa menyewa tersebut, serta tidak ingin
menyatakan sewa baru telah terjadi, oleh karena pemberi sewa ingin
menempati sendiri rumahnya sehingga memutuskan sewa menyewa
dengan iktikad buruk. Hal ini dilarang oleh Pasal 1579 KUHPer yakni
Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan
menyatakan hendak memakai sendiri barang yang disewakan, kecuali
jika diperjanjikan sebelumnya. Bahwa faktanya, tidak ada perjanjian
mengenai hal tersebut, yakni klausul seperti “setelah masa sewa habis,
rumah akan digunakan kembali oleh Pemberi Sewa.” dan apabila telah
diperjanjikan sebelumnya, berlakulah Pasal 1580 KUHPer, yang pada
intinya apabila rumah tersebut ingin digunakan sendiri oleh Pemberi
Sewa harus menyampaikan kehendaknya untuk menghentikan
sewanya sebegitu lama sebelumnya, hal ini merujuk pada Pasal 1578
mengenai peringatan penyewa sekian lama sesuai adat kebiasaan
setempat. Dan apabila dilihat bahwa lamanya jangka waktu sewa
selama 36 tahun tersebut, dapat ditarik makna bahwa peringatan
Universitas Agung Podomoro | 70
tersebut harus diberikan secara formal, jelas dan sekian lamanya
sebelum masa waktu berakhir. Maka dari itu, hakim seharusnya melihat
aspek somasi atau peringatan sebagai fakta yang tidak dapat
dihindarkan dalam menghasilkan putusan.
- Akibat hukum yakni perjanjian sewa menyewa secara lisan (hal ini akan
dibahas lebih lanjut dalam rumusan masalah 4.2) : Hasil putusan sewa
menyewa tersebut memenangkan pemberi sewa, dan menurut penulis
pembuktiannya sangat lemah karena hakim hanya melihat dari unsur
kapan berakhirnya sewa tersebut, dan menutup mata pada fakta yang
dapat memengaruhi lainnya. Bahwa dalam hal ini, persetujuan diam-
diam sewa menyewa rumah telah timbul sejak tidak adanya
pemberitahuan atau somasi mengenai jangka waktu berakhir sewa
sekian lamanya sesuai dengan kebiasaan setempat, oleh karena
KUHPer telah memberikan alasan sebagai bentuk iktikad baik para
pihak, termasuk tidak memungkiri bahwa pemberi sewa berniat untuk
menempati sendiri rumah tersebut dengan iktikad buruk.
Menurut penulis dalam analisa putusan tersebut, terdapat banyak aspek dan
bukti yang tidak dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan.
Oleh karena banyak pasal dalam KUHPer yang menjadi landasan hubungan sewa
menyewa tidak dijadikan dasar keberlakukan perjanjian sewa menyewa antara
penggugat dan tergugat. Dan faktanya, bahwa terjadi perjanjian yang awal dengan
pemilik awal rumah tanpa jangka waktu, hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa
hal tersebut tidak diindahkan oleh pemilik baru yakni penggugat? Mengapa hakim
tidak menelusuri seluruh bukti nyata? Bahwa ternyata terdapat jangka waktu yang
di claim Penggugat berakhir 20 Maret 1995? Bahwa hakim juga tidak melihat
adanya iktikad baik dari penyewa dan putusannya tidak berdasarkan KUHPer,
Hakim hanya melihat segelintir bukti dan sisanya dikesampingkan atau tidak
dijadikan pertimbangan.
Bahwa uraian diatas memberikan penjelasan bahwa perjanjian sewa
menyewa tersebut terdapat persetujuan sewa menyewa secara diam-diam, oleh
karena penyampaian kehendak tidak jelas atau kabur atas pemberhentian masa sewa
Universitas Agung Podomoro | 71
yang dilakukan Penggugat, dan terjadinya penawaran yang terbuka atas rumah
sebagai objek sewa dan pembayaran uang sewa sebagai bentuk penerimaan, dan
dengan iktikad tidak baik, penggugat ingin menggunakan sendiri atau ingin
menempati rumah tersebut tanpa adanya peringatan dengan jelas sesuai dengan
kebiasaan, hal ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tidak
disampaikannya penyampaian kehendak secara jelas dan sesuai dengan adat
kebiaaan juga melanggar ketentuan Pasal 1572 KUHPer yang menyatakan
“Jika pihak yang satu telah memberitahukan kepada pihak yang lainnya bahwa ia hendak menghentikan sewanya, maka si penyewa, meskipun ia tetap menikmati barangnya, tidak dapat memajukan tentang adanya suatu penyewaan ulang secara diam-diam”.167
Bahwa berdasarkan analisis penulis, putusan hakim kurang
mempertimbangkan bukti nyata apakah terjadi pemberitahuan oleh pihak pemberi
sewa kepada penyewa? Apabila hal ini dipertimbangkan dengan baik, sewa
menyewa ini sangat memungkinkan tidak terjadi secara diam-diam seperti apa yang
terdapat dalam Pasal 1572 KUHPer, namun nyatanya, penyewa atau tergugat
menyatakan bahwa tidak terdapatnya penyampaian kehendak oleh Pemberi
sewa. Penjelasan penulis diatas telah menguraikan mengenai seluruh unsur sewa
menyewa secara diam-diam yang diatur dalam Pasal 1573 KUHPer. Hal tersebut
sejalan dengan Yurisprudensi MA No. 1284/K/Pdt/1998 yang membenarkan bahwa
suatu perjanjian dapat terbentuk secara diam-diam.
4.1.5 Hasil Analisis Persetujuan Diam-Diam dalam Sewa Menyewa
Rumah
Dari uraian tersebut, dapat penulis garis bawahi bahwa karakteristik
persetujuan diam-diam dalam perjanjian sewa menyewa rumah adalah
terpenuhinya syarat-syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPer, terpenuhi unsur-
unsur perjanjian sewa menyewa dalam Pasal 1548 KUHPer (dilengkapi dengan
Pasal 28 PP No. 14/2016) dan unsur diam-diam dalam Pasal 1573 KUHPer.
167 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1572.
Universitas Agung Podomoro | 72
Karakteristik Persetujuan Diam-Diam dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah
harus setidaknya memuat:
1) Persetujuan Diam-Diam terjadi dengan adanya perjanjian sewa
menyewa rumah yang sudah berlaku lebih dahulu, sehingga baik
penyewa dan pemberi sewa dapat secara diam-diam melaksanakan
bagian dari perjanjian sebagai bentuk persetujuan.
2) Persetujuan diam-diam wajib mengandung keempat unsur menurut
Pasal 1573 KUHPer, dan dilakukannya secara diam-diam. Hal ini
bukan berarti tidak bertindak atau berdiam diri. Melainkan bertindak
atau melakukan sesuatu sebagai bentuk persetujuan. Hal ini
dimaksudkan agar ada pertemuan kehendak antara pemberi sewa dan
penyewa.
3) Persetujuan diam-diam adalah bentuk perjanjian sewa menyewa baru
yang sah dan berkekuatan hukum sehingga menimbulkan akibat
hukum. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam analisa berikutnya.
Universitas Agung Podomoro | 73
4.2 Akibat Hukum Persetujuan Diam-Diam dalam Perjanjian Sewa Menyewa
Rumah
4.2.1 Definisi Akibat Hukum
Soeroso mendefinisikan akibat hukum sebagai suatu tindakan yang
dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan
yang diatur oleh hukum.168 Tindakan tersebut adalah sebuah tindakan hukum.
Sehingga akibat hukum adalah hasil dari suatu tindakan hukum.
Wujud dari akibat hukum dapat berupa169:
1. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum. Contoh : usia menjadi 21 tahun, akibat hukumnya berubah dari tidak cakap menjadi cakap hukum
2. lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua atau lebih subjek hukum, di mana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban yang lain. Contoh : A mengadakan perjanjian jual-beli dengan B, maka lahirlah hubungan hukum antara A dan B. sesudah dibayar lunas, hubungan hukum tersebut menjadi lenyap
3. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum. Contoh : seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari perbuatan si pencuri tersebut mengambil barang orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum.
Dari uraian diatas, penulis berpendapat bahwa akibat hukum terjadi atas suatu
tindakan hukum, bahwa suatu peristiwa hukum menyebabkan terjadinya suatu
akibat hukum. Sehingga dalam perjanjian sewa menyewa rumah, melahirkan suatu
hubungan hukum yakni timbulnya hak dan kewajiban antara pemberi sewa dengan
penyewa.
4.2.2 Akibat Hukum Perjanjian Sewa Menyewa
Suatu perjanjian pada pokoknya akan melahirkan suatu hak dan
kewajiban yang dijalankan oleh para pihak pembuatnya. Menurut asas
kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUHPer bahwa semua perjanjian
168 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) 169 Sovia Hasanah, “Arti Perbuatan Hukum, Bukan Perbuatan Hukum dan Akibat Hukum”, diakses May 5 2020, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ceb4f8ac3137/arti-perbuatan-hukum--bukan-perbuatan-hukum-dan-akibat-hukum/.
Universitas Agung Podomoro | 74
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Perjanjian sewa menyewa terdiri atas unsur-unsur sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 1548 KUHPer, yakni adanya persetujuan atau
perjanjian, kenikmatan suatu barang, waktu tertentu dan harga sewa. Dalam
PP No. 14/2016 juga memberikan unsur-unsur dalam perjanjian sewa
menyewa tertulis. Bahwa terbentuknya perjanjian sewa menyewa yang telah
sesuai dengan unsur esensial yakni ada barang dan harga, maka akan
menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum terhadap perjanjian sewa
menyewa rumah telah diatur secara khusus dalam KUHPer, yakni sebagai
berikut :
1. Pasal 1550 sampai dengan Pasal 1580 KUHPer tentang aturan-aturan
yang sama-sama berlaku terhadap penyewaan rumah dan penyewaan
tanah
Bahwa dalam pasal 1550 sampai pasal 1580 KUHPer telah
mengatur beberapa hal sebagai akibat terbentuknya perjanjian sewa
menyewa rumah, yakni mengenai hak dan kewajiban pemberi sewa
dengan penyewa. Hak dan kewajiban pemberi sewa diatur dalam Pasal
1551 sampai dengan Pasal 1558 KUHPer, sedangkan hak dan kewajiban
penyewa diatur dalam Pasal 1559 sampai dengan Pasal 1587 KUHPer,
berikut poin penjelasan yang berkaitan dengan rumah sebagai objek
sewa.
i. Hak dan Kewajiban Pemberi Sewa
a. Pasal 1550 KUHPer
Ayat (1e) : menyerahkan rumah sebagai objek sewa diserahkan
kepada penyewa.
Ayat (2e) : memelihara rumah agar dapat digunakan sesuai dengan
peruntukannya, yakni hunian atau tempat tinggal.
Ayat (3e) : memberikan penyewa kenikmatan yang tenteram selama
masa sewa berlangsung
Universitas Agung Podomoro | 75
b. Pasal 1551 KUHPer : menyerahkan rumah kepada penyewa
dalam kondisi yang terpelihara dan melakukan pembetulan-
pembetulan
c. Pasal 1552 KUHPer : menanggung atas secara cacat atas rumah
apabila rumah tersebut tidak dapat digunakan walaupun tidak
diketahui saat perjanjian sewa dibuat, dan apabila menyebabkan
kerugian pemberi sewa wajib mengganti rugi.
d. Pasal 1553 KUHPer : apabila rumah musnah maka perjanjian
sewa menyewa gugur, apabila rumah musnah sebagian maka
dapat diberikan pengurangan harga sewa, ganti rugi dan atau
batalnya perjanjian sewa menyewa rumah.
e. Pasal 1554 KUHPer : dilarang mengubah tatanan atau susunan
barang dalam rumah
f. Pasal 1555 KUHPer : apabila selama masa sewa terpaksa
diperlukan adanya pembetulan maka ini merupakan kewajiban
penyewa, namun jika pembetulan terhadap rumah tersebut lebih
dari 40 (empat puluh) hari, maka harga sewa dikurangi dengan
waktu dan bagian barang tersebut. Apabila rumah tidak dapat
dihuni maka dapat dilakukan pemutusan hubungan sewa.
g. Pasal 1556 KUHPer : pemberi sewa tidak diwajibkan
memberikan jaminan.
h. Pasal 1557 KUHPer : apabila penyewa diganggu dengan masalah
kepemilikan saat menikmati rumah yang disewa, maka penyewa
dapat meminta pengurangan harga sewa. Namun hal ini harus
diberitahukan kepada pemilik.
i. Pasal 1558 KUHPer : apabila terdapat gugatan yang
menyebabkan kewajiban untuk mengosongkan atas sebagian atau
seluruh rumah, maka penyewa wajib memberitahu kepada
pemberi sewa untuk dikeluarkan dari perkara.
ii. Hak dan Kewajiban Penyewa
Universitas Agung Podomoro | 76
a. Pasal 1559 KUHPer : dilarang mengulang sewakan rumah sewa
kepada orang lain apabila tidak dizinkan oleh pemilik rumah.
Apabila tidak dizinkan maka dapat dibatalkannya sewa, ganti rugi
bentuk biaya, rugi & bunga. Pemberi sewa tidak diwajibkan
untuk menaati perjanjian ulang sewanya. Penyewa dapat juga
menyewakan sebagian rumahnya kepada orang lain apabila tidak
dilarang dalam perjanjian.
b. Pasal 1560 KUHPer
Ayat (1e) : memakai barang sebagai bapak rumah tangga yang
baik, sesuai dengan tujuan dalam perjanjian sewa, apabila tidak
ada perjanjian tertulis, maka akan dipersangkakan atau sesuai
dengan keadaan.
Ayat (2e) : membayar harga sewa pada waktu yang diperjanjikan
c. Pasal 1561 KUHPer : Apabila penyewa menggunakan rumah
tidak sesuai dengan tujuan saat menyewakan sehingga
menimbulkan suatu kerugian, maka pemberi sewa dapat meminta
pembatalan perjanjian.
d. Pasal 1562 KUHPer : Penyewa wajib menyerahkan barang dalam
kondisi semula apabila ada pratelan tentang barang yang
disewakan, kecuali barang tersebut musnah atau harganya
berkurang, tuanya barang dan atau force majeur. Sehingga
pemberi sewa dapat membuat pratelan dalam perjanjian sewa.
e. Pasal 1563 KUHPer : Penyewa dianggap telah menerima rumah
yang disewa dalam kondisi baik kecuali dibuktikan sebaliknya.
Dalam hal ini tidak dibuat suatu pratelan.
f. Pasal 1564 KUHPer : Penyewa bertanggung jawab atas segala
kerusakan atas barang yang disewa selama waktu sewa, kecuali
dibuktikan kalau kerusakan itu bukan salahnya.
g. Pasal 1565 KUHPer : Penyewa tidak bertanggung jawab atas
terjadinya kebakaran kecuali pemberi sewa membuktikan
sebaliknya.
Universitas Agung Podomoro | 77
h. Pasal 1566 KUHPer : Penyewa bertanggung jawab atas segala
kerusakan dan kerugian, oleh kawan serumah atau kepada siapa
ia telah mengoperkan sewa.
i. Pasal 1567 KUHPer : Penyewa dapat membongkar dan
membawa barangnya sendiri asal tidak merusak rumah yang
disewa.
j. Pasal 1569 KUHPer : Perselisihan harga sewa secara perjanjian
lisan apabila sudah dijalankan dan tidak ada bukti bayar maka
akan melalui sumpah pemberi sewa dan atau penyewa menyuruh
orang menaksir harga sewa oleh ahli.
k. Pasal 1570 KUHPer : sewa dengan tulisan berakhir demi hukum
sesuai dengan waktu yang ditentukan.
l. Pasal 1571 KUHPer : sewa tidak dengan tulisan, tidak berakhir
pada waktu yang ditentukan, apabila ingin menghentikan sewa
harus menurut kebiasaan setempat.
m. Pasal 1572 KUHPer : apabila telah disampaikan penghentian
sewa, maka penyewa tidak dapat melanjutkan sewanya secara
diam-diam.
n. Pasal 1573 KUHPer : Sewa menyewa terjadi secara diam-diam
maka berakhirnya sewa secara tulisan, penyewa tetap menguasai
rumah yang disewa, pemberi sewa membiarkan penyewa
menguasainya, sehingga terjadi suatu sewa baru akibatnya adalah
penyewaan secara lisan.
o. Pasal 1575 KUHPer : Ketika pihak pemberi sewa meninggal hal
ini tidak menghapus sewa.
p. Pasal 1576 KUHPer : Jika rumah yang disewa tersebut dijual,
sewa menyewa tidak terputus kecuali telah diperjanjikan saat
menyewa rumah. Apabila diperjanjikan secara tegas maka tidak
perlu ganti rugi kepada penyewa, namun apabila baru muncul
suatu janji baru, maka dapat diberikan suatu ganti rugi kepada
penyewa.
Universitas Agung Podomoro | 78
q. Pasal 1577 KUHPer : Jika ada seorang pembeli rumah, tidak
dapat memaksa penyewa mengosongkan rumah sebelum lewat
tenggang waktu sewa.
r. Pasal 1578 KUHPer : Pembeli rumah yang hendak menggunakan
kekuasaan yang diperjanjikan dalam perjanjian sewa, wajib
memperingati penyewa sekian lama sebelumnya untuk
mengosongkan rumahnya.
s. Pasal 1579 KUHPer : Pemberi sewa tidak dapat menyatakan
hendak memakai rumah tersebut untuk dirinya sendiri kecuali
telah diperjanjikan.
t. Pasal 1580 KUHPer : Apabila telah diperjanjikan bahwa pemberi
sewa dapat menempati rumahnya sendiri, kehendaknya ini wajib
diberitahukan sebegitu lama sebelumnya sebagaimana terdapat
dalam Pasal 1578 KUHPer.
2. Pasal 1581 sampai dengan Pasal 1587 KUHPer tentang aturan-aturan
yang khusus berlaku bagi sewa rumah dan perabot rumah
a. Pasal 1581 KUHPer : Penyewa harus melengkapi sebuah rumah
yang disewanya dengan perabot rumah karena perabot rumah
dijadikan jaminan untuk pembayaran uang sewa.
b. Pasal 1583 KUHPer : Pembetulan-pembetulan terhadap rumah
yang disewa adalah kewajiban dari penyewa.
c. Pasal 1584 KUHPer : Menjaga kebersihan bagian-bagian rumah
d. Pasal 1587 KUHPer : Jika penyewa setelah berakhir jangka waktu
sewanya masih tetap menguasai rumah dan pemberi sewa
membiarkannya, maka pihak penyewa masih dapat dianggap
menguasai barang yang disewanya dan penyewa tidak dapat
meninggalkan barang sewa, kecuali jika ada pemberitahuan
tentang penghentian sewa.
Akibat hukum dari perjanjian sewa menyewa adalah apa yang dikemukakan
dalam KUHPer sebagaimana telah dijelaskan diatas. Akibat hukum ini sifatnya
Universitas Agung Podomoro | 79
otomatis ada dalam suatu perjanjian kecuali telah dikesampingkan secara khusus
dalam perjanjian tersebut. Hal ini dikarenakan perjanjian sewa menyewa adalah
perjanjian konsensual, yang berarti perjanjian tersebut telah sah dan mengikat pada
saat tercapainya kata sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan
harga. Para pihak dalam perjanjian sewa menyewa yakni pemberi sewa dan
penyewa memiliki hak dan kewajiban yang telah memiliki syarat sesuai dengan
KUHPer dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, selain
daripada itu dapat ditetapkan juga dalam perjanjian karena dianutnya asas
kebebasan berkontrak yang dapat menentukan isi perjanjian sewa itu sendiri namun
harus mengikuti syarat sah perjanjian. Perjanjian sewa menyewa juga menganut
asas Pacta Sunt Servanda bahwa setelah perjanjian sewa dibuat, sejauh tidak
bertentangan dengan hukum maka kontrak tersebut telah mengikat para pihak.
Akibat hukum yang timbul atas suatu perjanjian sewa haruslah telah
mengikuti seluruh ketentuan dalam peraturan perundang-undangan berikut dengan
asas-asas yang berlaku dalam perjanjian. Dalam bab sebelumnya (Bab 4.1), telah
diuraikan unsur-unsur dalam suatu perjanjian sewa menyewa, sehingga apabila
seluruh unsur esensial yakni barang dan harga terpenuhi, barulah muncul suatu
akibat hukum atas perjanjian sewa tersebut. Dengan kata lain, dengan adanya suatu
perjanjian tertulis maupun tidak tertulis dalam sewa menyewa rumah, maka timbul
akibat hukum berupa hak dan kewajiban berdasarkan perjanjian itu sendiri dan oleh
karena undang-undang. Pasal 1233 KUHPer menyatakan bahwa perikatan dapat
timbul dari perjanjian dan atau oleh undang-undang.
Dari uraian diatas, dapat penulis tarik bahwa akibat hukum dari perjanjian
sewa menyewa adalah timbulnya hak dan kewajiban antara pemberi sewa dan
penyewa yang didasari oleh perjanjian sewa itu sendiri, dan peraturan perundang-
undangan. Selanjutnya akan dijelaskan bagaimana aspek kebiasaan dan atau adat
dapat memengaruhi secara signifikan terhadap perjanjian sewa itu sendiri, serta
bagaimana PP No. 14/2016 dilaksanakan dalam perjanjian sewa menyewa rumah.
Universitas Agung Podomoro | 80
4.2.3 Hukum Adat dan Kebiasaan
Menurut Van Vollen Hoven, hanya adat yang bersanksi mempunyai
sifat hukum serta merupakan adat.170 Sanksinya berupa reaksi masyarakat
hukum yang bersangkutan. Van Vollen Hoven juga menyatakan bahwa
terdapat 2 (dua) unsur didalam hukum adat. Pertama adalah unsur kenyataan
bahwa adat itu dalam keadaan yang diindahkan oleh rakyat. Kedua adalah
unsur psikologis bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat
dimaksud mempunyai kekuatan hukum dan punya sanksi yang mengikat.
Dengan dua unsur tersebut maka menimbulkan suatu kewajiban hukum
(opinio yuris neccessitatis).171
Hukum tidak tertulis, berkedudukan sebagai pendamping hukum tertulis (UU) terkait, serta berfungsi sebagai pengisi kekosongan dan pelengkap hukum tertulis (UU) yang bersangkutan dan merupakan satu kesatuan sistem hukum yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.172
Dasar hukum berlakunya hukum adat dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 (selanjutnya disebut “UU No.
35/2009”) tentang Kekuasaan Kehakiman, “Hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”173, begitu juga dalam dekrit presiden
tanggal 5 Juli 1959 yang menjadi landasan berlakunya Undang-Undang Dasar
(UUD) Republik Indonesia tahun 1945, aturan peralihan Pasal II UUD 1945
dan Pasal 24 UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam bagian
penjelasan umum UU No. 35/2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum adat. Salah satu sumber hukum
adat adalah kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat. Sehingga hakim dalam
putusannya wajib mempertimbangkan unsur kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat sebagai dasar putusannya. Berikut pendapat C. Asser tentang
perikatan yang bersumber dari hukum tidak tertulis.
170 Zulfadli Fadli, “Pengertian Hukum Adat Menurut Para Ahli”, diakses Mei 13 2020, https://www.academia.edu/29898250/Pengertian_Hukum_Adat_Menurut_Para_Ahli. 171 Ibid. 172 Hidjazie Kartawidjaja, “Hukum Nasional Indonesia Berdasar UUD 1945”, Jurnal Imposium Universitas Janabadra, Tahun 1995. 173 Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 35 Tahun 2009, TLN No. 5076, Pasal 5 ayat (1).
Universitas Agung Podomoro | 81
Pendapat C. Asser mengenai perikatan:
“Ketentuan undang-undang, bahwa semua perikatan dilahirkan atau dari suatu persetujuan/ kesepakatan, atau dari undang-undang, adalah tidak tanpa dapat dicela. Meskipun hal berlawanan ini dapat dimengerti, karena bentuk dan isi dari “perikatan dari persetujuan/kesepakatan” terjadi dari kehendak kedua belah pihak, dan “perikatan dari undang-undang” diambil dari undang-undang, ini sebetulnya tidak murni betul: dalam pasal 1269 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada 2 kesatuan yang tidak sebanding diperhadapkan. Untuk terjadinya sesuatu perikatan selalu diperlukan baik suatu kenyataan maupun suatu peraturan hukum. Lagipula peraturan ini tidak lengkap, karena disatu pihak selain dari persetujuan/kesepakatan, juga perbuatan-perbuatan hukum lain yang dapat melahirkan perikatan, dan di lain pihak ada perikatan-perikatan yang bersumber pada hukum tidak tertulis.174
Terdapat 2 (dua) faktor yang berpengaruh dalam terbentuknya suatu
hukum yakni faktor idiil dan faktor riil. Asas-asas kekeluargaan, gotong-
royong, dan tolong menolong merupakan asas yang hukum adat yang
merupakan faktor idiil dalam pembentukan hukum kontrak nasional,
sedangkan asas rukun, kepatutan atau kepantasan dan laras (harmoni)
merupakan asas hukum adat yang merupakan faktor riil dalam pembentukan
hukum kontrak.175 Sehingga hukum kebiasaan atau adat sangat
mempengaruhi bagaimana cara melaksanakan suatu prestasi dalam
perjanjian.
Soepomo, dalam rancangan penjelasan UUD 1945 yang menyatakan
bahwa :
1) Hukum adat adalah hukum non statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil saja hukum Islam. Hukum adat inipun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan di mana ia memutuskan perkara.176
2) Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis, memberikan pengertian hukum adat agak luas. Hukum adat digunakan sebagai
174 C.Asser, Loc.cit, hlm. 64. 175 Paripurna P Sugarda, Posisi Hukum Adat dalam Hukum Kontrak Nasional Indonesia, Jurnal Yustisia Univeristas Gadjah Mada, Vol. 4 No. 3, Tahun 2015. 176 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Perpustakaan, (Bandung : Alfabeta, 2008), 16.
Universitas Agung Podomoro | 82
sinonim hukum yang tidak tertulis didalam peraturan legislatif (unstatutory law), meliputi peraturan-peraturan yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi tetap ditaati oleh rakyat berdasarkan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Hukum yang hidup sebagai konvensi pada badan-badan hukum negara (Parlemen). Hukum yang timbul karena keputusan hakim (judge made law). Hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota-kota maupun desa-desa (customary law). Semua ini yang merupakan hukum adat atau hukum adat yang tidak tertulis, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UUDS 1950.177
Berdasarkan Pasal 44 UUPA menjelaskan mengenai hak sewa untuk
bangunan, bahwa subjek hukumnya adalah seseorang atau badan hukum.
Masyarakat adat adalah termasuk suatu badan hukum yang memiliki
kekuasaan untuk mengelola.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan badan hukum adalah badan yang disamping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan juga mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.178
Sehingga masyarakat hukum adat termasuk suatu badan hukum sebagai
suatu lembaga sosial keagamaan179, karena memiliki wilayah adat dan dapat
melakukan perbuatan hukum serta hubungan hukum.180
Hukum kebiasaan dalam sewa menyewa di Indonesia
Penerapan hukum perjanjian sewa menyewa sangat berkaitan erat dengan
hukum kebiasaan atau hukum yang tidak tertulis. Bahkan KUHPer sendiri telah
mengindahkan hukum kebiasaan sebagai tolak ukur berlakunya suatu kewajiban
atau prestasi. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1347 KUHPer, bahwa secara
tidak langsung hal-hal yang menurut kebiasaan secara diam-diam dianggap
terkandung dalam suatu perjanjian. Akibat hukum perjanjian sewa menyewa dapat
terjadi baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
Dalam Pasal 1570 KUHPer menyatakan sebagai berikut “Jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan 177 Tolib Setiady, Loc.cit, hlm. 16. 178 Chidir Ali, Badan Hukum, cet.1, (Bandung : Alumni, 1998), 19. 179 Ayu Agung Dewi Utami, “Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Adat di Desa Pakraman Sukawati Propinsi Bali” (Tesis Universitas Dipenogoro, 2012), 10. 180 Chidir Ali, Loc.cit, hlm. 19.
Universitas Agung Podomoro | 83
telah lampau, tanpa diperlukannya sesuatu pemberhentian untuk itu”181, selanjutnya dalam Pasal 1571 KUHPer “Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”.182
Dapat dilihat bahwa akibat hukum dalam perjanjian sewa menyewa, selain
menimbulkan hak dan kewajiban, juga menimbulkan akibat hukum lainnya, berupa
tenggang waktu atau masa sewa dalam sewa menyewa rumah.
Menurut Pasal 1571 KUHPer, perjanjian sewa menyewa tertulis akan
otomatis habis tanpa diperlukannya suatu pemberhentian untuk itu. Sehingga akibat
hukum perjanjian sewa menyewa tertulis adalah masa waktu sewa tersebut otomatis
akan selesai sesuai dengan apa yang diperjanjikan secara tertulis. Namun hal ini
dilengkapi dengan apa yang dinyatakan dalam Pasal 1573 KUHPer,
“Jika, setelah berakhirnya suatu penyewaan yang dibuat dengan tulisan, si penyewa tetap menguasai barang yang disewa dan dibiarkan menguasainya, maka terjadilah dengan itu suatu sewa baru, yang akibat-akibatnya diatur dalam pasal-pasal yang mengenai penyewaan-penyewaan secara lisan.”183
Bahwa perjanjian sewa menyewa rumah secara diam-diam terjadi sebagai
akibat hukum penguasaan rumah oleh penyewa setelah selesainya masa waktu sewa
dalam perjanjian tertulis, hal ini diakui keberadaannya dalam pasal tersebut. Atas
penguasaan rumah oleh penyewa dan pemberi sewa membiarkan hal tersebut
terjadi, maka perjanjian sewa menyewa secara diam-diam ini berakibat hukum yang
sama halnya dengan suatu perjanjian sewa menyewa lisan, yakni seperti apa yang
dinyatakan dalam Pasal 1571 KUHPer tentang sewa menyewa secara lisan.
Pasal 1571 KUHPer menjelaskan mengenai akibat hukum perjanjian sewa
menyewa secara lisan, bahwa salah satu pihak wajib menyatakan kehendak untuk
menghentikan sewanya sesuai dengan tenggang waktu menurut kebiasaan
setempat. Inilah mengapa persetujuan diam-diam dalam sewa menyewa
memberlakukan hukum adat dan atau kebiasaan yang ada dalam masyarakat,
karena kebiasaan-kebiasaan tersebut secara diam-diam termasuk dalam perjanjian.
Bahwa kewajiban terpenuhinya good faith atau iktikad baik dalam KUHPer selaras
181 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1570. 182 Ibid, Pasal 1571. 183 Ibid, Pasal 1573.
Universitas Agung Podomoro | 84
dengan asas-asas yang dianut dalam hukum adat. Apabila terdapat suatu pernyataan
kehendak atas penghentian sewa menyewa rumah, berlakulah Pasal 1572 KUHPer
yang menyatakan,
“Jika pihak yang satu telah memberitahukan kepada pihak yang lainnya bahwa ia hendak menghentikan sewanya, maka si penyewa, meskipun ia tetap menikmati barangnya, tidak dapat memajukan tentang adanya suatu penyewaan ulang secara diam-diam”184
Maka pernyataan kehendaknya lah yang menjadi sangat penting, apakah
persetujuan diam-diam dapat berlaku menjadi suatu perjanjian sewa secara diam-
diam. Pasal 50 UU Perumahan mengatur tentang penghunian, isinya sebagai
berikut,
“(1) Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal atau menghuni rumah. (2) Hak untuk menghuni rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa : a. Hak Milik; atau b. Sewa atau bukan dengan cara sewa. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghunian dengan cara sewa menyewa dan cara bukan sewa menyewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dengan Peraturan Pemerintah.”185
Terdapat 2 Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai sewa menyewa
rumah di Indonesia. Yang pertama adalah PP No. 44/1994 tentang Penghunian
Rumah oleh Bukan Pemilik dan PP No.14/2016 tentang Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman. PP No. 44/1994 dibentuk untuk
menyelenggarakan UU Perumahan.
Bahwa terbentuknya PP No. 44/1994, khususnya dalam Pasal 4 ayat (1),
mengatur bahwa penghunian rumah dengan cara sewa menyewa harus
dilaksanakan dengan perjanjian tertulis adalah tidak sejalan dengan KUHPer,
yang mengindahkan perjanjian sewa menyewa terlaksana secara tertulis maupun
tidak tertulis. Hukum tidak tertulis, yakni keberadaan hukum adat di Indonesia, hal
ini menjadi sangat tidak sesuai. Perjanjian sewa menyewa dapat terjadi selayaknya
suatu perjanjian pada umumnya, dengan terpenuhinya unsur esensialia, harga dan
barang. Perjanjian sewa menyewa dalam PP No.44/1994 membatasi keberlakuan
sewa menyewa berdasarkan adat, seperti adanya uang teh dalam masyarakat adat
berarti sepakat untuk menyewa rumah yang dilakukan secara tidak tertulis.
184 Loc. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1572. 185 Loc. cit, UU No. 1 Tahun 2011, Pasal 50.
Universitas Agung Podomoro | 85
Keberadaan PP No.44/1994 mengatur bahwa sewa menyewa secara
tertulislah yang sesuai dengan PP tersebut, namun Pasal 21 PP No. 44/1994
memberikan perlindungan terhadap perjanjian tidak tertulis. Dalam Pasal 21 ayat
(1) PP No. 44/1994 menyatakan bahwa,
“Sewa menyewa rumah baik dengan perjanjian tertulis maupun dengan perjanjian tidak tertulis yang tidak menetapkan batas waktu dan telah berlangsung sebelum berlakunya UU No. 4/1992, dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya UU tersebut”.186
Keberlakuan Pasal 21 PP No.44/1994 ini menyatakan bahwa segala bentuk
sewa menyewa baik tertulis dan tidak tertulis yang tidak terdapat batasan waktu,
mengakibatkan sewa menyewa berakhir demi hukum dalam jangka waktu 3 tahun
sejak UU No. 4/1992 diundangkan (saat ini telah dicabut dan digantikan dengan
UU Perumahan). Peraturan ini telah diterapkan juga dalam Putusan MA No.
1823/K/Pdt/2004, tentang perjanjian sewa menyewa secara lisan yang habis masa
sewa nya setelah 3 (tiga) tahun.
Hal ini membingungkan oleh karena kondisi keberadaan hukum adat yang
tidak mempermasalahkan eksistensi jangka waktu dalam perjanjian lisan. Dalam
Pasal 28 ayat (2) PP No.14/2016, “Penghunian Rumah dapat berupa (a) hak milik
sesuai dengan ketenguan peraturan perundang-undangan; (b) cara sewa menyewa;
atau (c) cara bukan sewa menyewa.”187 Selanjutnya dalam Pasal 28 ayat (3)
menyatakan bahwa, “Penghunian rumah dengan cara sewa menyewa atau bukan
sewa menyewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan
berdasarkan perjanjian tertulis antara pemilik dan penyewa.”188 Hal ini sejalan
dengan PP No.44/1994 yang menyatakan bahwa perjanjian sewa menyewa rumah
harus dilakukan dengan suatu perjanjian tertulis.
Sewa menyewa secara adat dan kebiasaan ini akan bergantung pada subjek
hukum atau masyarakat adat yang melaksanakan perjanjian sewa menyewa.
Sebagai perbandingan terhadap sewa menyewa secara adat dapat dilihat dalam tesis
penelitian tentang sewa menyewa tanah adat, menghasilkan hasil penelitian sebagai
berikut;
186 Loc. cit, PP No. 44 Tahun 1994, Pasal 21 ayat (1). 187 Loc. cit, PP No. 14 Tahun 2016, Pasal 28 ayat (2). 188 Ibid, Pasal 28 ayat (3).
Universitas Agung Podomoro | 86
“Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pemindah tanganan dalam hal perjanjian sewa menyewa tanah adat di Desa Pakraman Sukawati, dilakukan secara tunai dan nyata karena dilakukan dihadapan klian banjar dan terjadi setelah dilunasinya uang sewa.”189
Bahwa berdasarkan hasil penelitian terhadap sewa menyewa tanah adat, dapat
dilihat bahwa di Desa Pakraman Sukawati memiliki cara khusus seperti cara
pembayaran secara tunai dan nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa sewa
menyewa diterapkan secara adat. Hal yang sama berlaku juga dalam sewa menyewa
rumah, yang menurut KUHPer, masih bergantung dengan adat atau kebiasaan
masyarakat. Oleh karena kebiasaan masyarakat adat masih kental dengan kebiasaan
yang dijadikan suatu hukum atau norma, sewa menyewa rumah pun dapat terjadi
secara diam-diam, sebagaimana KUHPer menjelaskan.
Persetujuan diam-diam terhadap sewa menyewa rumah juga tidak terlepas
dari asas-asas perjanjian pada umumnya. Bahwa kebiasaan dan atau adat sangat
menentukan bagaimana perjanjian sewa menyewa rumah diberlakukan. Hal ini
sejalan dengan asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1320 KUHPer, yang
menjelaskan bahwa para pihak dalam perjanjian bebas menentukan bentuk
perjanjiannya, baik tertulis maupun tidak tertulis. Asas konsensualisme juga
terdapat dalam Pasal 1320 KUHPer, menyatakan perjanjian terbentuk atas
bertemunya kehendak para pihak, melalui teori Kehendak dan juga teori Penawaran
dan Penerimaan. Asas Pacta Sunt Servanda, menyatakan bahwa perjanjian yang
dibuat itu mengikat para pihak yang membuatnya sesuai dengan hukum dan
kebiasaan yang berlaku. Asas personalitas, menyatakan bahwa perjanjian berlaku
bagi para pihak yang membuatnya. Yang terakhir, asas iktikad baik dalam Pasal
1338 ayat (3) KUHPer, menyatakan bahwa para pihak harus mengutamakan
kejujuran atau bebas dari niat yang buruk dalam melaksanakan suatu perjanjian.
Berdasarkan asas-asas yang dikemukakan diatas, maka konsep persetujuan
diam-diam sebagaimana dinyatakan dalam KUHPer semestinya dapat dijalankan
karena sesuai dengan adat dan atau kebiasaan dalam melaksanakan sewa menyewa,
baik dalam bentuk tertulis, secara lisan maupun secara diam-diam, karena
perjanjian sewa menyewa berlaku tidak hanya dalam bentuk tertulis.
189 Ayu Agung Dewi Utami, “Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Adat di Desa Pakraman Sukawati Propinsi Bali” (Tesis Universitas Dipenogoro, 2012), abstract.
Universitas Agung Podomoro | 87
PP No. 44/1994 dan PP No. 14/2016 yang mengatur bahwa sewa menyewa
rumah dilakukan secara tertulis, tidak sejalan dengan asas-asas perjanjian pada
umumnya, begitu tidak sesuai dengan Pasal 1347 KUHPer yang tegas menyatakan
bahwa hal-hal menurut kebiasaan dianggap telah dicantumkan dalam perjanjian.
Sehingga menjadi tidak selaras dengan KUHPer serta hukum kebiasaan tentang
sewa menyewa.
4.2.4 Hasil Analisis Akibat Hukum Persetujuan Diam-Diam dalam
Perjanjian Sewa Menyewa Rumah
Dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48/2009 menjelaskan bahwa hakim sebagai
hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam penjelasan tersebut
dikemukakan bahwa dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis,
hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang ada di
masyarakat.190 Maka dari itu, hakim wajib mengetahui kondisi kehidupan
masyarakat untuk memberikan putusan demi keadilan. Hukum adat dan atau
kebiasaan dalam masyarakat menjadi sumber hukum di Indonesia, dalam
menentukan akibat hukum terhadap suatu peristiwa hukum. Akibat hukum
perjanjian sewa menyewa baik tertulis maupun tidak tertulis telah tertuang dalam
KUHPer.
Persetujuan diam-diam dalam perjanjian sewa menyewa rumah merupakan
salah satu bentuk dari perjanjian tidak tertulis, namun perjanjian sewa secara diam-
diam ini memiliki akibat hukum yang sama seperti perjanjian sewa menyewa secara
lisan sebagaimana diatur dalam Pasal 1573 KUHPer. Perjanjian sewa menyewa
secara diam-diam ini lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 1587 KUHPer,
“Jika si penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya waktu sewa, yang ditentukan dalam suatu perjanjian tertulis, tetap menguasai barang yang disewa, sedangkan pihak yang menyewakan tidak melawannya, maka dianggaplah si penyewa itu tetap memegang barang yang disewakan atas dasar syarat-syarat yang sama, untuk waktu yang ditentukan oleh kebiasaan setempat, dan tak dapatlah ia meninggalkan barang yang disewa, maupun dikeluarkan dari situ, melainkan
190 Bella Lies Dyana, “Kebiasaan Sebagai Sumber Hukum” diakses Mei 14 2020, http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/kebiasaan-custom-sebagai-sumber-hukum-1.
Universitas Agung Podomoro | 88
sesudahnya suatu pemberitahuan tentang pehentian sewa, yang dilakukan menurut kebiasaan setempat.”191
Sekali lagi, asas kebebasan berkontrak sangat berpengaruh dalam berlakunya
suatu perjanjian konsensual, seperti dalam sewa menyewa ini.
Perjanjian sewa secara diam-diam ini memiliki akibat hukum sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1573 KUHPer dan secara khusus diatur dalam Pasal 1587
KUHPer tentang perjanjian sewa menyewa rumah secara diam-diam. Pasal 1587
KUHPer, hanya melengkapi Pasal 1573 KUHPer, karena Pasal 1573 KUHPer
hanya menjelaskan suatu akibat hukum atas perjanjian diam-diam yang timbul
setelah suatu perjanjian tertulis, yakni berlakunya syarat-syarat sewa menyewa
secara lisan. Namun pasal 1587 KUHPer berlaku agar rumah sebagai objek dari
perjanjian sewa ini tetap dibawah tanggung jawab seorang penguasa, sehingga tidak
terjadi kekosongan kekuasaan atas rumah tersebut. Dinyatakan bahwa akibat
hukum atas perjanjian sewa menyewa diam-diam tersebut adalah berlakunya
syarat-syarat yang sama seperti perjanjian tertulisnya dan dengan waktu
sesuai kebiasaan setempat, sampai terdapat pernyataan kehendak tentang
penghentian sewa. Hal ini tidak terlepas pada apa yang dicantumkan dalam Pasal
1347 KUHPer bahwa hal-hal menurut kebiasaan juga dianggap tercantum dalam
perjanjian. Maka dari itu, dalam persetujuan diam-diam terhadap perjanjian sewa
menyewa rumah, kebiasaan tersebut adalah tindakan persetujuan yang dilakukan
dari pihak pemberi sewa yang menyewakan rumah, dan tindakan penyewa yang
masih membayar uang sewa. Namun, tidak terbatas hanya pada tindakan tersebut
yang menjadikannya suatu kebiasaan.
191 Op. cit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1587.