bab iv hasil dan pembahasan 4.1 4.1
TRANSCRIPT
45
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur merupakan
Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bidang
pelestarian Cagar Budaya yang berada dibawah dan bertanggung jawab
kepada Direktorat Jenderal Kebudayaan. Balai Pelestarian Cagar Budaya
(BPCB) bertugas melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan
pemanfaatan cagar budaya dan yang diduga cagar budaya yang berada di
wilayah kerjanya. Adapun fungsinya berdasarkan Permendikbud No. 30
Tahun 2015 dari BPCB adalah melaksanakan penyelamatan dan
pengamanan, zonasi, pemeliharaan, pengembangan, pemanfaatan,
dokumentasi dan publikasi, pelaksanaan kemitraan di bidang pelestarian
cagar budaya dan yang diduga cagar budaya. Di Indonesia terdapat 12
wilayah kerja BPCB, salah satunya Balai Pelestarian Cagar Budaya
(BPCB) Jawa Timur terletak di Jl. Trowulan No. 1 Mojokerto, Jawa Timur
(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcb/). Wilayah kerja Balai
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur seluruh barang bersejarah
yang ada di Jawa Timur. Salah satunya adalah Museum Trinil merupakan
museum purbakala yang berada di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
4.1.2 Sejarah Museum Trinil
Museum Trinil terletak di Dukuh Pilang, Desa Kawu, Kecamatan
Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur atau 15 km dari Kota
46
Ngawi menuju Solo. Museum ini menempati lahan seluas ± 2,5 ha. Trinil
merupakan sebuah nama kawasan yang menjadi penemuan fosil dari masa
pliosen, sekitar 1,5 juta tahun yang lalu, hingga zaman pleistosen berakhir,
yaitu sekitar 10.000 tahun sebelum masehi. Kawasan tersebut tmeliputi tiga
desa yaitu, Desa Kawu, Desa Gemarang, dan Desa Ngancar (Tim Dinas
Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Pemerintah Kabupaten Ngawi, 2020).
Sejarah berdirinya Museum Trinil berawal dari penemuan fosil
Pithecantrhpus Erectus (pada saat ini dikenal dengan sebutan spesies Homo
Erectus) oleh Eugene Dubois, seorang pejabat kedokteran tantara kolonial
Belanda pada tahun 1891-1893. Selama penelitian tersebut, Eugene Dubois
juga menemukan banyak sisa tulang binatang antara lain tulang gajah purba
stegodon, Cervidae, bahkan Dubois menemukan spesies baru yang diberi
nama Duboisia. Guna memperingati kejadian tersebut dibuatlah tugu berisi
gambar anak panah dengan arah timur laut yang bertuliskan P.e. 175 m,
1891/95, yang memiliki arti Pithecanthropus erectus (P.e.) ditemukan
sekitar 175 meter dari monument tersebut,mengikuti arah tanda panah, pada
ekskavasi yang dilakukan dari tahum 1891 hingga 1895.
Gambar 4. 1 Tugu anak panah
47
Museum Trinil berdiri tidak lepas dari jasa Wirodiharjo
(Wirobalung) yang mengumpulkan temuan fosil di sekitar Bengawasan
Solo sejak tahun 1967. Temuan-temuan tersebut disimpan di rumahnya
hingga 1/3 bagian rumahnya terisi fosil-fosil. Pada tahun 1980/1981
Pemerintah Daerah Ngawi mendirikan museum mini untuk menampung
seluruh fosil yang berada di rumah Wirodiharjo (Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar
Budaya Mojokerto Wilayah Kerja Provinsi Jawa Timur, 2015).
Pemerintah Provinsi Jawa Timur selanjutnya mendirikan sebuah
bangunan di sekitar monumen temuan pertama Pithecantropus Erectus.
Bangunan yang diresmikan bertepatan dengan 100 tahun ditemukannya
Pitecantropus Erectus ini selanjutnya disebut Museum Trinil. Museum ini
diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur, Soelarso pada tanggal 20
November 1991. Museum ini terletak di bantaran Sungai Bengawasan Solo
sehingga mengingatkan para wisatawan bahwa di sekitar bantaran sungai
inilah dahulu manusia purba tinggal dan membangun kebudayaannya.
Gambar 4. 2 Denah Museum Trinil
48
4.1.3 Visi dan Misi Museum Trinil
a) Visi
Memberdayakan museum untuk mewujudkan peran museum sebagai
tonggak pelestarian cagar budaya”.
b) Misi
1. Meningkatkan kepedulian masyarakat tentang peran museum
menuju kemandirian ekonomi yang berdaulat untuk kepentingan
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap
mempertahankan kelestariannya;
2. Mewujudkan pengelolaan museum sesuai standar internasional;
3. Mewujudkan pelayanan prima;
4. Mewujudkan museum sebagai sarana edukasi dan rekreasi;
5. Mewujudkan pengkajian dan pengembangan museum yang
berkualitas.
4.1.4 Struktur Organisasi Museum Trinil
Gambar 4. 3 Struktur Organisasi Museum Trinil
Berikut ini tugas dan tanggung jawab dari masing-masing bidang
yang ada dalam struktur organisasi Museum Trinil yang sesuai dengan
Tenaga Administrasi Tenaga Teknis
Kepala Museum
49
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2015 tentang
Museum:
1. Kepala Museum, mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap
seluruh proses pengelolaan museum sesuai dengan visi dan misi
museum yang meliputi memimpin, mengawasi, mengkoordinasi dan
mengendalikan pelaksanaan museum sesuai wilayah kerjanya.
2. Tenaga Administrasi, mempunyai tugas mengelola ketenaga kerjaan,
surat menyurat, pengamanan, dan registrasi koleksi,
3. Tenaga Teknis, mempunyai tugas:
a) Melakukan kegiatan pencatatan dan pendokumentasian koleksi;
b) Melaksanakan tugas yang bertangung jawab dalam pengelolaan
koleksi;
c) Melakukan kegiatan pemeliharaan dan perawatan koleksi;
d) Melakukan kegiatan perancangan dan penataan museum;
e) Melakukan kegiatan edukasi dan penyampaian informasi koleksi;
dan;
f) Melakukan kegiatan komunikasi dan pemasaran program-program
museum.
4.1.5 Perlakuan Akuntansi Aset Bersejarah pada Museum Trinil
4.1.5.1 Pengakuan Aset Bersejarah Pada Museum Trinil
4.1.5.1.1 Pemahaman Aset Bersejarah Dalam Sudut Pandang
Informan
Pemahaman mengenai makna aset bersejarah
sangatlah penting dalam menganalisis penerapan akuntansi
50
pada Museum Trinil. Dikarenakan makna atau definisi aset
dapat mempengaruhi aspek pengakuan, penilaian, penyajian
dan pengungkapannya”. Para informan memiliki cara pandang
yang berbeda-beda mengenai makna aset bersejarah. Bapak
Agus selaku Pengelola Museum Trinil mengatakan bahwa:
“Aset bersejarah adalah aset yang wajib kita lindungi dari
hasil temuan-temuan masyarakat contohnya berupa fosil
tersebut yang sarat akan nilai sejarahnya nantinya dari
temuan tersebut diserahkan pemerintah yang akhirnya bisa
menjadi aset pemerintah yang wajib kita lindungi”.
Selanjutnya Bapak Sony selaku Unit Dokumentasi
Publikasi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa
Timur menjelaskan lebih detail mengenai dari aset bersejarah
sebagai berikut: “Aset bersejarah kalau bicara menurut
Undang-Undang ya ada Undang-Undang No. 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya dan Undang-Undang No. 05 Tahun
2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Yang dimaksud dengan
aset kebudayaan (aset bersejarah) semua tinggalan masa lalu
yang merupakan hasil dari cipta, rasa, karsa hasil karya
manusia. Aset itu mulai dari pra sejarah kemudian lanjut ke
masa klasik (masa kerajaan) lanjut lagi ke masa islam
kemudian lanjut ke masa kolonial. Aset-aset yang memang
usianya minimal 50 tahun”.
51
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Ibu Marlia
Yulianti Rosyidah selaku Analisis Pelestarian Manusi Purba
yang menyatakan: “Aset bersejarah adalah bukti kehidupan
masa lalu yang memiliki umur di atas 50 tahun yang
mengandung nilai sejarah, budaya, dan ilmu pengetahuan”.
Dari ketiga informan tersebut dapat diketahui bahwa
aset dikatakan sebagai aset bersejarah berupa temuan benda
yang berasal dari masa lampau yang memiliki minimal rentan
usia, dan sarat akan nilai sejarahnya yang secara khusus
mengacu pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya dan Undang-Undang No. 05 Tahun 2017
tentang Pemajuan Kebudayaan, peraturan tersebut berisikan
aturan untuk melindungi, memanfaatkan dan
mengembangakan kebudayaan Indonesia. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa para informan memiliki
pemahaman yang sama yaitu aset bersejarah sebagai aset.
4.1.5.1.2 Karakteristik Aset Bersejarah Pada Museum Trinil
Langkah selanjutnya yaitu mengetahui karakteristik
dari aset bersejarah pada Museum Trinil yang memiliki
koleksi benda bersejarah dalam jumlah yang banyak, beragam
bentuk, dan beragam jenis ”. Dimana aset ini sebagai barang
peninggalan bersejarah yang memiliki usia yang cenderung
sangat lama. Dalam kesempatan ini ketika ditanya mengenai
karakteristik aset bersejarah Bapak Agus selaku Pengelola
52
Museum Trinil menyatakan: “Aset bersejarah minimal
usianya 50 tahun ke atas, bahkan bisa lebih, itu nanti bisa
diakui sebagai aset negara atau benda cagar budaya yang
wajib dilindungi”.
Bapak Sony selaku Unit Dokumentasi Publikasi juga
mengutarakan pendapat yang sama mengenai karakteristik
asset bersejarah, sebagai berikut: “Sesuai undang-undang,
memiliki usia minimal 50 tahun, mewakili masa gaya yang
meliputi masa prasejarah, masa kolonial, masa klasik seperti
itu. Kemudian aset tersebut juga unik, secara fisik tidak bisa
diperbarui karena memang pembuatannya rentan waktu 50
tahun”.
Lebih lanjut Ibu Marlia Yulianti Rosyidah selaku
Analisis Pelestarian Manusi Purba menyatakan pendapat
mengenai karakteristik dari sebuah aset bersejarah, sebagai
berikut: “Yang kita lindungi itu kan cagar budaya kriteria
untuk dikategorikan sebagai cagar budaya memiliki usia
paling sedikit 50 tahun serta memiliki aspek pendidikan dan
pengetahuan”.
Dari ketiga informan tersebut dapat disimpulkan
bahwa karakteristik dari sebuah aset untuk dapat diakui
sebagai aset bersejarah haruslah memenuhi kriteria umur
seperti yang dicantumkan dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 2010 tentang cagar budaya. Sesuai hasil wawancara,
53
karakteristik asset bersejarah haruslah memenuhi
karakteristik yang diantaranya sebagai berikut:
1. Berusia 50 tahun atau lebih (≥50 tahun);
2. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun;
3. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
Pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan
4. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian
bangsa.
4.1.5.1.3 Perolehan Aset Bersejarah Pada Museum Trinil
Terkait perolehan aset bersejarah yang mana aset
tersebut memiliki bermacam-macam cara perolehannya ada
yang donasi, warisan, bahkan rampasan, berikut pernyataan
Bapak Sony selaku Unit Dokumentasi Publikasi: “Cara
perolehannya ada pelaporan, masyarakat melaporkan ada
objek bersejarah kemudian kita melakukan peninjauan, ada
juga yang melakukan penelitian disuatu lokasi dan disitu ada
indikasi penemuan yang sifatnya temuan lepas. Selanjutnya
ada juga yang sifatnya hibah, kalau hibah biasanya dimiliki
masyarakat dan masyarakat menyerahkan dengan sukarela”.
Dari pernyataan di atas diketahui bahwa ada beberapa
proses perolehan aset bersejarah yaitu melalui hibah maupun
proses penemuan (laporan). Lebih lanjut Bapak Agus selaku
Pengelola Museum Trinil menyebutkan bahwa: “Temuan
mengenai fosil kebanyakan dari hasil temuan masyarakat di
54
sekitar Museum Trinil yang tidak disengaja kemudian hasil
temuan tersebut diserahkan ke pihak museum”.
Sementara itu Ibu Marlia Yulianti Rosyidah selaku
Analisis Pelestarian Manusi Purba Menyatakan bahwa: “Ada
yang diserahkan dari penduduk dan juga ada kita
mendapatkan langsung. Saat kita mendapatkan langsung
beda dengan dari hasil penduduk karena informasi
arkeologisnya sudah berkurang karena kita tidak tahu benda
tersebut berada di lapisan apa padahal untuk mengetahui
usianya berapa itu melalui lapisannya tersebut”.
Dari ketiga informan diatas dapat disimpulkan bahawa
sebagian besar benda-benda bersejarah yang ada di Museum
Trinil bersumber dari laporan dan hibah. Selanjutnya benda-
benda tersebut dipilah-pilah oleh tim khusus guna untuk
memastikan keaslian benda dan untuk mengetahui usia dari
benda tersebut, sehingga dapat diketahui benda tersebut
sebagai aset bersejarah atau bukan setelah dilakukan
pendaftaran, verifikasi dan penetapan benda bersejarah.
4.1.5.1.4 Pengakuan Aset Bersejarah Pada Museum Trinil
Setelah mengetahui makna, karakteristik, dan cara
perolehan aset bersejarah berikutnya dapat dipastikan apakah
aset atau benda cagar budaya dapat diakui sebagai aset
bersejarah. Pengakuan aset bersejarah merupakan penetapan
secara resmi aset untuk digolongkan sebagai aset bersejarah”.
55
Menurut Bapak Sony selaku Unit Dokumentasi Pubilikasi
mengemukakan mengenai pengakuan aset bersejarah pada
Museum Trinil, sebagai berikut: “Kalau dibilang aset saya
rasa aset mbak, sementara ini masuk sebagai objek yang
diduga sebagai cagar budaya karena objek-objek itu belum
ditetapkan. Trinil itu sebagian besar dari masa pra sejarah
selain ada hasil kebudayaan berupa unit fosil-fosil yang
berasal dari hewan maupun tumbuhan. Memang sepertinya
belum masuk ke pencatatan kalau di kami namanya BMN tapi
sudah tercatat sebagai registrasi yang ada di BPCB”.
Lebih lanjut Ibu Marlia Yulianti Rosyidah selaku
Analisis Pelestarian Manusi Purba menyatakan: “Menurut
saya termasuk aset, karena koleksi-koleksi tersebut sebagai
benda cagar budaya yang ditetapkan untuk dilindungi dan
menjadi daya tarik bagi pengunjung baik dari aspek wisata,
pendidikan, dan pengetahuan”.
Dari argument di atas, dapat diketahui bahwa Museum
Trinil dapat diakui sebagai aset karena memenuhi kriteria
cagar budaya yang wajib dilindungi. Meskipun benda-benda
tersebut belum ditetapkan dan masih sebagai Objek Didga
Cagar Budaya tapi sudah tercatat sebagai registrasi di BPCB.
Suatu aset bersejarah akan dapat diakui sebagai aset
apabila berwujud dan memenuhi beberapa kriteria yang
terdapat dalam PSAP No. 07 Tahun 2010, sebagai berikut:
56
1. Memiliki manfaat dan masa manfaat
Dalam menentukan apakah suatu asset mempunyai
manfaat, maka suatu entitas harus menilai manfaat
ekonomi masa depan yang dapat diberikan oleh aset
tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk kegiatan operasional perusahaan”. Aset bersejarah
mempunyai daya tarik tersendiri yang memancing para
pengunjung untuk datang melihat dan mencari tahu apa
sejarah yang ada dibalik benda bersejarah tersebut. Sepeti
yang disampaikan oleh Bapak Agus selaku pengelola
Museum Trinil menyatakan: “Manfaatnya masyarakat
bisa mengenang sejarah dari Trinil sebelumnya
masyarakat belum tahu apa itu manusia purba semenjak
ada museum ini ada tahapan perkenalan terhadap
masyarakat. Dan juga ada manfaat ekonomi untuk
masyarakat disini”.
Manfaat dari aset bersejarah sudah dirasakan oleh
masyarakat luas, baik itu dalam bentuk manfaat ilmu
pengetahuan dimana asset bersejarah memberikan suatu
pengetahuan mengenai kejadian-kejadian penting di masa
lampau sebagai wujud memperbanyak ilmu pengetahuan,
dan manfaat ekonomi dalam bentuk tambahan pendapatan
bagi pedagang di area sekitarnya. Pada dasarnya aset
bersejarah merupakan barang yang langka, barang yang
57
harus dilindungi agar tidak rusak. Undang-undang Nomor
11 Tahun 2010 pasal 85 ayat 1 menjelaskan bahwa
pemerintah, pemerintah daerah dan setiap orang dapat
memanfaatkan cagar budaya untuk kepentingan agama,
social, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi,
kebudayaan, pariwisata. Memang pada dasarnya aset
bersejarah harus diperhatikan pengelolannya, karena
mempunyai manfaat untuk masyarakat luas. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa aset bersejarah
Museum Trinil memiliki manfaat baik secara langsung
maupun tidak langsung yaitu berupa wisata pendidikan
dan manfaat ekonomi untuk masyarakat sekitar”.
2. Biaya perolehan aset dapat diukur dengan andal
Barang berwujud yang memenuhi kualifikasi untuk
diakui sebagai aset dan dikelompokkan sebagai aset tetap,
pada awalnya harus diukur berdasarkan biaya
perolehannya. Bila aset tetap diperoleh dengan tanpa
nilai, biaya aset tersebut sebesar nilai wajar pada saat aset
tersebut diperoleh (PSAP No. 07 Tahun 2010 paragraf 23
dan 24).
Benda-benda bersejarah Museum Trinil
kebanyakan berasal dari hibah. Hibah merupakan
penyerahan aset dengan sukarela. Pemerintah hanya
memberikan sebatas imbalan jasa ke pada masyarakat
58
yang menermukan benda-benda bersejarah tersebut,
seperti yang diungkapkan Bapak Agus selaku Pengelola
Museum Trinil, sebagai berikut: “Temuan-temuan itu
nanti dari pemerintah memberikan kompensasinya, hal
seperti itu layak dihargai berapa”.
Lebih lanjut Bapak Sony Selaku Unit Dokumentasi
Publikasi BPCB Jawa Timur menyebutkan bahwa:
“Misalkan masyarakat menyerahkan temuannya, ada
namanya ganti untung berapa objek yang diserahkan ke
pihak BPCB tapi tetap saja itu bukan perolehan dari
benda bersejarah. Misalnya arca secara rupiah berapa,
terus logam mulia mas itu nilainya pasti lebih tinggi
daripada objek uang mungkin secara fisik serupa tapi
terbuat dari batu, itu ada tim penilainya sendiri”.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa
pemerintah hanya memberikan kompensasi atau ganti
untung kepada masyarakat yang menyerahkan temuannya.
Biaya yang dikeluarkan saat diperolehnya aset bersejarah
bukan menjadi harga dasar penentuan nilai perolehan
awal asset, tetapi diakui belanja tahunan instansi tersebut”.
3. Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal
entitas
Tujuan utama dari perolehan aset tetap adalah
untuk digunakan oleh pemerintah dalam mendukung
59
kegiatan operasionalnya dan bukan dimaksudkan untuk
dijual (PSAP No. 07 Tahun 2010 paragraf 17). Aset
bersejarah tidak untuk dijual dalam operasi normal entitas
maupun dalam keadaan tidak normal entitas karena
adanya hokum yang membatasi atau melarang
pelepasannya untuk dijual. Museum Trinil diharapkan
untuk dimiliki dalam waktu yang tak terbatas guna
generasi mendatang dapat menikmatinya”.
4. Diperoleh atau dibangun maksud untuk digunakan
Perolehan benda bersejarah dimulai sejak tahun
1967 dimana Wirodiharjo (Wirobalung) yang
mengumpulkan temuan fosil di sekitar Bengawan di
rumahnya hingga pemerintah daerah membuat museum
guna menampung semua temuan tersebut yang diberi
nama Museum Trinil. Benda-benda bersejarah Museum
Trinil diperoleh dengan maksud untuk dilestarikan,
dirawat, dipelihara, dan dipertahankan nilainya untuk
kepentingan publik. Sehingga seluruh benda yang dimiliki
dapat digunakan dalam bidang pendidikan dan
pengetahuan. Hal ini sesuai dengan karakteristik dari aset
bersejarah dimana aset bersejarah biasanya diharapkan
untuk dipertahankan untuk waktu yang lama (PSAP No.
07 Tahun 2010 paragraf 67).
60
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat
disimpukan bahwa koleksi-koleksi yang ada di Museum
Trinil dapat digolongkan sebagai aset bersejarah walaupun
masih masuk sebagai objek yang diduga sebagai cagar
budaya. Aset tersebut sebagai saksi bisu sejarah kehidupan
masa lampau yang memiliki peranan penting dalam
pengembangan sejarah dan ilmu pengetahuan aset tersebut.
Sehingga perhatian khusus dalam pengelolaan untuk aset
bersejarah harus diutamakan
4.1.5.2 Penilaian Aset Bersejarah Pada Museum Trinil
4.1.5.2.1 Penilaian Aset Bersejarah Pada Museum Trinil
Penilaian aset bersejarah tidak akan lepas dari
pengakuan aset bersejarah yang dilakukan oleh suatu entitas.
Penilaian aset bersejarah merupakan tahapan yang
dibutuhkan dalam menentukan harga dari suatu aset ”.
Penilaian aset bersejarah tidaklah mudah seperti penilaian
aset tetap lainnya. Dikarenakan aset bersejarah memiliki
banyak nilai yang terkandung didalamnya. Hal ini dibuktikan
dari hasil wawancara dengan Bapak Agus selaku Juru
Pelihara Museum Trinil yang menyatakan: “Tidak bisa
dinilai mbak, kalau difinansial barang-barang tersebut luar
biasa sebetulnya kalau ketahuan kolektor. Cuma karena dari
hasil temuan masyarakat diserahkan ke pemerintah
61
finansialnya adalah sebatas kita memberi kompensasi kepada
masyarakat”.
Ibu Marlia Yulianti Rosyidah selaku Analisis
Pelestarian Manusi Purba menyampaikan pendapat mengenai
penilaian asset bersejarah dalam satusn rupiah, sebagai
berikut: “Bisa saja, misalnya untuk pemberian kompensasi
untuk penemunya, asalkan ada semacam standar
penilaiannya”.
Standar penilaian aset bersejarah di Indonesia diatur
dalam PSAP No. 07 Tahun 2010 tentang akuntansi aset tetap.
Lebih lanjut mengenai penilaian aset bersejarah pada
Museum Trinil Bapak Sony selaku Unit Dokumentasi
Publikasi dalam wawancaranya menyatakan: “Tidak semua
objek dilakukan penilaian, kita lakukan penilaian hanya
ketika ada kegiatan, seperti penyerahan dari masyarakat
sebagai penghargaan untuk masyarakat. Tapi untuk menilai
sebuah objek secara rupiah berapa itu butuh tim appraisal
(Penilai) tersendiri. Macam-macam parameternya termasuk
nilai kejujuran itu juga termasuk, tetapi di dalam aset nama
BMN setahu saya keterangannya tidak ternilai, tidak ada
nilai rupiah disitu”.
Dari ketiga informan di atas, dapat dilihat bahwa
penilaian aset bersejarah pada Museum Trinil tidak ada
nilainya. Pemberian kompensai yang dikeluarkan saat
62
diperolehnya aset bersejarah bukan menjadi dasar penentuan
awal aset melainkan menjadi belanja yang dikeluarkan
pemerintah dan sebagai penghargaan untuk masyarakat yang
sudah menemukan aset tersebut.
Selanjutnya Ibu Heni selaku Pengelola Barang Milik
Negara (BMN) menyatakan: “Dihitung dari jumlahnya saja
karena belum ada tim penilai yang bisa menilai seberapa
tinggi sebarapa besaran nilai benda bersejarah itu. Jadi,
dalam Sistem Manajemen dan Akuntansi Barang Milik
Negara (SIMAK BMN) itu hanya dituangkan dalam
kuantitasnya saja”.
Tidak ada nilai rupiah yang melekat dari aset
bersejarah karena mengingat sifat dari aset bersejarah yang
lebih dikaitkan dengan nilai sejarahnya yang tidak di
moneteri. Penilaian pada aset bersejarah masih memiliki
kendala dalam penerapannya dilapangan. Diperlukannya tim
penilai khusus yang bisa menilai seberapa besar nilai yang
dilekatkan dalam suatu benda bersejarah. Salah satu faktor
yang menyebakan sulitnya menilai aset bersejarah adalah
adanya anggapan tabu mencampurkan sejarah dengan perihal
ekonomi bagi ahli sejarah, arkeologi, dan ahli ekonomi
sekalipun (Agustini dan Putra, 2011). Jika dinilai dalam
bentuk moneter maka tidak akan ada nilai nominal yang
mampu mewakili nilai dari suatu benda peninggalan sejarah”.
63
4.1.5.2.2 Penyusutan Aset Bersejarah Pada Museum Trinil
Penyusutan adalah alokasi yang sistematis atas nilai
suatu aset tetap yang dapat disusutkan selama masa manfaat
aset yang bersangkutan (Peraturan Pemerintahan Republik
Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan, 2012)”. Aset bersejarah diharapakan
dipertahankan untuk waktu yang tak terbatas, sehingga
penyusutan terhadap aset bersejarah tidak dapat dilakukan,
seperti penjelasan dari Bapak Sony selaku Unit Dokumentasi
Publikasi, berikut ini: “Kalau pendapat pribadi nilainya
semakin tinggi, anggap saja semakin lama suatu objek itu
nilai evaluasinya itu semakin tinggi makanya ketika di dalam
akuntansi di kami itu nilainya tidak ternilai atau tidak
terhitung. Kalo disusutkan kelihatannya tidak, kecuali seperti
aset bangunan itu mungkin, tapi kalau yang aset bersejarah
ini tidak mungkin”.
Pendapat yang sama juga diungkap oleh Ibu Heni
selaku Pengelola Barang Milik Negara (BMN), yaitu: “Aset
bersejarah tidak disusutkan, karena tidak bernilai nominal,
beda lagi untuk jenis aset bersejarah lainnya, seperti gedung
atau tempat ibadah kalau dilaporkan dalam akun bangunan
maka akan disusutkan”.
64
Pengelola Museum Trinil yaitu Bapak Agus
mengutarakan pendapat mengenai penyusutan pada asset
bersejarah, sebagai berikut: “Mungkin semakin lama semakin
berkembang ya mbak, nilai asetnya bertambah gitu”.
Sebagimana yang telah dijelaskan oleh ketiga
informan, penyusutan untuk aset bersejarah tidak dapat
dilakukan karena nilai dari aset bersejarah akan terus
meningkat, tidak ada nilai pasti yang menggambarkan aset
tersebut. Sesuai dengan pernyataan Aversano dan Ferrone
(2012) bahwa tidak perlu diletakkan tentang informasi
penyusutan aset bersejarah karena nilainya tidak berkurang
seiring waktu melainkan meningkat setiap tahun.
4.1.5.3 Penyajian dan Pengungkapan Aset Bersejarah Pada Museum
Trinil
Penyajian dan pengungkapan merupakan langkah akhir dalam
proses akuntansi yaitu menyampaikan informasi dalam bentuk laporan
keuangan untuk pihak-pihak yang berkepentingan dan membutuhkan.
Pemerintah kabupaten/kota bekerja sama dengan setiap orang dalam
melakukan pendaftaran terhadap benda, bangunan, struktur, dan
lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya meskipun tidak memiliki
ataupun menguasainya. Untuk hasil pendaftaran Cagar Budaya harus
dilengkapi dengan deskripisi dan dokumentasinya, jika Cagar Budaya
tersebut tidak didaftarkan oleh pemiliknya dapat diambil alih oleh
65
Pemerintah dan/Pemerintah Daerah (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya) ”.
Setelah dilakukan pendaftaran kemudian diserahkan kepada
Tim Ahli Cagar Budaya untuk dikaji kelayakannya sebagai Cagar
Budaya atau bukan Cagar Budaya, yang bertujuan untuk
mengidentifikasi dan mengklarifikasi terhadap benda, struktur, lokasi,
dan satuan ruang geografis yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai
Cagar Budaya. Tim Ahli Cagar Budaya dibantu oleh unit pelaksana
teknis atau satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab di
bidang Cagar Budaya. Selama proses tersebut benda, struktur, atau
lokasi hasil penemuan atau yang didaftarkan, dilindungi dan
diperlakukan seperti Cagar Budaya”.
Selanjutnya Bupati/wali kota mengeluarkan penetapan status
Cagar Budaya paling lama 30 hari setelah rekomendasi diterima dari
Tim Ahli Cagar Budaya. Setelah tercata dalam Register Nasional
Cagar Budaya, pemilik Cagar Budaya berhak memperoleh jaminan
hokum berupa surat keterangan status Cagar Budaya, dan surat
keterangan kepemilikan berdasarkan bukti yang sah ”.
Pencatatan yang dibuat untuk benda bersejarah yang ada di
Museum Trinil berupa Inventarisai sebagai Objek yang Diduga Cagar
Budaya yang dibuat oleh unit Dokumentasi Publikasi Balai
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Dinas Pariwisata
Pemuda dan Olahraga (DISAPARPORA) Kabupaten Ngawi yang
66
menaungi museum tidak menyajikan aset bersejarah Museum Trinil
dalam laporan keuangannya serta tidak melakukan pengungkapan.
Bapak Sony selaku Unit Dokumentasi Publikasi mengatakan,
“Disini ada kegiatan yang namanya inventarisasi objek, yang ada
disana kita lakukan pendataan, nanti secara berskala ada kegiatan
namanya verifikasi itu mungkin 5 tahun sekali kita lakukan
pengecekan ulang bagaimana kondisi yang ada disana”.
Tabel 4. 1 Potongan Data Fosil yang telah diinventarisasi dan dikonversai di Situs
Trinil Museum Trinil
No.
No. Inventaris
No.
Museum
Koleksi
Jenis
Ukuran (cm)
P L T ∅
1. 412/NGW/2016 491 Fr. Vertebrae Mamalia 6,91 3,99 2,98
2. 413/NGW/2016 492 Fr. Radius Bovidae 8,97 3,91 4,46
3. 414/NGW/2016 493 Fr. Tulang kaki Proboscidea 16,08 4,37 2,93
4. 415/NGW/2016 494 Fr. Tulang
Panjang
Mamalia 8,6 4,58 3,85
5. 416/NGW/2016 495 Fr. Vertebrae
Thoracalis
Bovidae 6,8 9,5 7,9
6. 417/NGW/2016 496 Fr. Proximal
Radius Sinistra
Bovidae 6.72 10,5 5,31
7. 418/NGW/2016 497 Fr. Vertebrae Mamalia 5, 47 3,87
8. 419/NGW/2016 498 Fr. Antler Cervus sp. 11,2 2,38
9. 420/NGW/2016 499 Fr. Tulang
Kaki
Mamalia 10,72 6,46 3,7
10. 421/NGW/2016 500 Metacarpal Felidae 18,17 3,63 2,36
Sumber: BPCB Jawa Timur
67
Dari tabel 4.1 menunjukkan dimana pemberian nomor
inventaris dilakukan secara berturut-turut dari awal fosil sudah di
indentifikasi, yang meliputi nomor inventaris (dengan format angka 3
digit, kode daerah ngawi yang disingkat “NGW”, dan tahun
pemberian nomor inventaris yaitu 2016), selanjutnya nomor museum,
nama koleksi, jenis fosil, terakhir ukuran fosil.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur selaku
pengelola aset bersejarah Museum Trinil mengakui museum Trinil
sebagai objek yang diduga cagar budaya dan tidak menyajikannya
dalam laporan keuangan manapun dalam catatan Barang Milik Negara
(BMN) dengan alasan belum ada laporan khusus dari pihak museum
sehingga pihak pengelola Barang Milik Negara (BMN) tidak berani
membuat laporan tersebut.
Lebih lanjut Ibu Heni selaku Unit Pengelola Barang Milik
Negara (BMN) mengatakan, “Kalau barang bersejarah itu masuk ke
dalam laporan barang bersejarah, tidak masuk neraca karena dicatat
kuantitasnya saja soalnya tidak ada nilainya. Untuk koleksi Trinil
dicatat dibagian Dokumentasi belum masuk BMN”.
Terlepas dari pencatatan yang telah dilakukan terhadap aset
bersejarah diatas, telah memberikan gambaran yang cukup bahwa
entitas pengelola telah melaporkan apa saja aset yang mereka miliki
seperti potongan inventarisasi di atas. Hal tersebut dilakukan untuk
melindungi secara fisik aset bersejarah agar dapat menjamin
68
pelestarian aset serta untuk membuktikan keberadaan dan penguasaan
aset”.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengakuan Aset Bersejarah
4.2.1.1 Pemahaman aset bersejarah dari sudut pandang informan
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, bahwa
pandangan tentang pemahaman aset bersejarah dapat dilihat dari
kasus Museum Trinil. Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan
mengenai definisi aset bersejarah, mereka menyakini bahwa aset
bersejarah adalah suatu benda yang memiliki nilai sejarah, dan ilmu
pengetahuan yang muncul pada masa lalu dikarenakan umur dan
kondisinya aset tersebut harus dilindungi. Nilai sejarah adalah
bagaimana asset bersejarah berkiprah sebagai bukti adanya kejadian
masa lampau yang penting. Ilmu pengetahuan asset bersejarah adalah
pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah lampau yang
memiliki kisah yang berarti dengan maksud untuk mempelajari
peristiwa tersebut”. Pernyataan dari ketiga informan tersebut erat
kaitannya dengan definsi cagar budaya, berdasarkan Undang-Undang
No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya bab 1 Pasal 1 menyatakan
bahwa: “Cagar Budaya adalah warisan budaya yang bersifat
kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar
Budaya di darat atau di air yang perlu dilestarikan keberadaanya
69
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”.
Dalam pemahaman asset bersejarah informan menjelaskan
terdapat beberapa masa asset bersejarah yang dimulai dari masa
prasejarah, masa klasik, masa islam dan masa kolonial. Masa
prasejarah dimana masa tersebut catatan sejarah yang tertulis belum
tersedia, dikatakan bermula dimana manusia mulai hidup, bukti-bukti
prasejarah diperoleh dari barang-barang dan tulang-tulang didaerah
penggalian situs sejarah. Masa klasik adalah masa kala masyarakat
Yunani dan Romawi mengembang dan memegang pengaruh yang
besar di seluruh Eropa, Afrika Utara, dan Timur Tengah, dimana
manusia baru mengenal alat/benda dan teknologi yang sederhana.
Masa islam adalah masa dimana sejarah tentang islam dan
berkembang pesat. Kemudian masa kolonial adalah masa penjajahan
oleh orang-orang asing karena ingin menguasai sumber daya negera
lain.
Dapat dipahami atas dasar tersebut bahwa aset bersejarah
merupakan aset dengan batasan umur yang memiliki unsur budaya,
sejarah, dan pendidikam atas kejadian peristiwa masa lalu. Maka dari
itu aset bersejarah ini patut untuk dilestarikan dan dilindungi oleh
pemerintah agar bermanfaat untuk generasi sekarang maupun
mendatang.
70
4.2.1.2 Karakteristik Aset Bersejarah Pada Museum Trinil
Aset bersejarah memang mempunyai karakteristik yang langka
dan unik. Terlepas dari karakteristik aset bersejarah yang telah
disampaikan oleh ketiga informan di atas menyebutkan bahwa suatu
aset haruslah berusia minimal 50 tahun untuk dapat dimasukkan ke
dalam kategori aset bersejarah, disamping itu informan menekankan
bahwa suatu aset bersejarah harus mewakili masa gaya yang meliputi
masa prasejarah, masa kolonial, masa klasik. Akan tetapi, aset tidak
dapat langsung di masukkan ke dalam kategori aset bersejarah,
walaupun suatu aset memiliki umur minimal 50 tahun dan mewakili
masa gaya, aset juga harus memenuhi karakteristik lainya seperti yang
diatur di dalam PSAP No. 07 Tahun 2010 paragraf 66 menyatakan
beberapa karakteristik yang dianggap sebagai ciri khas dari aset
bersejarah sebagai berikut”:
1) Nilai kultural, lingkungan, Pendidikan dan sejarahnya tidak
mungkin secara penuh dilambangkan dengan nilai keuangan
berdasarkan harga pasar
2) Peraturan dan hokum yang berlaku melarang atau membatasi
secara ketat pelepasannya untuk dijual
3) Tidak mudah untuk diganti dan nilainya akan terus meningkat
selama waktu berjalan walaupun kondisi fisiknya semakin
menurun
4) Sulit untuk mengestimasikan masa manfaatnya. Untuk beberapa
kasus dapat mencapai ratusan tahun.
71
Sementara itu, menurut Agustini dan Putra (2011) menyatakan
aset bersejarah memiliki karakteristik yang hampir sama dengan aset
tetap lainnya. Adapun kesamaan tersebut antara lain:
1. Berwujud
2. Berharga atau bernilai
3. Keduanya memiliki manfaat ekonomik atau potensi jasa
4. Timbul atas kejadian masa lalu
5. Dikuasi atau dikendalikan entitas
Dari persamaan tersebut, terdapat berberapa karakteristik aset
tetap yang tidak dapat ditemukan dalam karakteristik aset bersejarah
sebagaimana yang dijelaskan oleh informan mengenai karakteristik
aset bersejarah yaitu nilai penting berupa pendidikan dan
pengetahuan. Penjelasan tersebut merupakan bagian dari pengertian
benda cagar budaya dan salah satu kriteria benda cagar budaya yang
di atur di dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya”.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suatu aset
bersejarah merupakan bagian yang tidak dapat lepas dari istilah cagar
budaya. Karaktersitik umum aset bersejarah mungkin dapat
ditemukan pada aset tetap lainnya. Tetapi aset bersejarah memiliki
karakteristik khusus yang tidak dapat ditemukan pada aset tetap
lainnya yaitu nilai penting berupa nilai sejarah, ilmu pengetahuan,
agama, dan/kebudayaan.
72
4.2.1.3 Perolehan Aset Bersejarah Pada Museum Trinil
PSAP No. 07 Tahun 2010 paragraf 68 menyatakan pemerintah
mempunyai banyak aset berserjarah yang diperoleh selama bertahun-
tahun dengan cara perolehan beragam termasuk pembelian, donasi
(hibah), warisan, rampasan ataupun sitaan. Berdasarkan keterangan
dari ketiga informan, cara perolehan benda-benda bersejarah Museum
Trinil sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam PSAP No. 07 Tahun
2010. Koleksi-koleksi Museum Trinil diperoleh sebagian besar
berasal dari hibah, dimana masyarakat menyerahkan dengan sukarela
benda temuan kepada Museum dan ada juga cara perolehan melalaui
proses penemuan disuatu lokasi yang diindikasi terdapat objek
bersejarah.
Terkait proses penemuan benda bersejarah Undang-Undang
No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Pasal 23 ayat (1) dan (2)
menyatakan bahwa: “Setiap orang yang menemukan benda yang
diduga Benda Cagar Budaya, bangunan yang diduga Bangunan
Cagar Budaya, struktur yang diduga Struktur Cagar Budaya,
dan/atau lokasi yang diduga Situs Cagar Budaya wajib
melaporkannya kepada instansi yang berwenang di bidang
kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau
instansi terkait paling lama 30 hari sejak ditemukannya. Temuan
yang tidak dilaporkan oleh penemuannya dapat diambil alih oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah”.
73
Lebih lanjut, pemerintah berkewajiban unuk melakukan
pencarian benda bersejarah atau lokasi yang diduga cagar budaya.
Pencarian tersebut dapat dilakukan dengan penggalian, penyelaman,
dan pengangkatan di darat maupun di air. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa cara perolehan koleksi-koleksi Museum Trinil
sesuai dengan standard yang berlaku. Temuan tersebut sejalan dengan
Agustini dan Putra (2011) bahwa aset bersejarah tergolong asset yang
cukup khas karena cara perolehannya yang bermacam-macam, tidak
selalu dari hasil pembangunan tapi ada juga melalui pembelian,
donasi, warisan, rampasan dan sitaan.
4.2.1.4 Pengakuan Aset Bersejarah Pada Museum Trinil
“Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan
informan tentang bagaimana pengakuan aset bersejarah Museum
Trinil. Pengakuan aset bersejarah Museum Trinil sebagai barang
berwujud, mempunyai manfaat yang tidak terbatas dari segi ekonomi
untuk masyarakat sekitar dan pendidikan untuk wisatawan yang
berkunjung. Akan tetapi, nilai Museum Trinil tidak dapat diukur,
tidak ada nilai dimaksud agar benda-benda yang ada di Museum
Trinil tidak diperjual belikan.
Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan No. 07 Tahun
2010 paragraf 18 menyatakan bahwa, “Pengakuan aset tetap akan
andal bila aset tetap telah diterima atau diserahkan hak
kepemilikannya dan atau pada saat penguasaannya berpindah”.
74
Lebih lanjut Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan No.
07 Tahun 2010 paragraf 67 menjelaskan juga bahwa aset bersejarah
biasanya dibuktikan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku mengenai bagaimana aset dapat diakui lebih spesifik
dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 yang
berikaitan dengan karakteristik khusus dan penetapan benda-benda
cagar budaya”.
Apabila terdapat temuan benda bersejarah dan benda temuan
tersebut setelah diteliti oleh tim ahli dapat memenuhi karakteristik
aset bersejarah, maka benda bersejarah akan diakui sebagai aset
bersejarah oleh pemerintah setelah surat ketetapan oleh
Bupati/Walikota, Gubernur atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaam
telah turun. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
pasal 38 tentang penetapan cagar budaya menjelaskan koleksi yang
memenuhi kriteria cagar budaya dicatat di dalam Register Nasional
Cagar Budaya. Sesuai yang dijelaskan oleh informan bahwa benda-
benda bersejarah Museum Trinil memenuhi karakteristik aset
bersejarah dan telah tercatat pada Registrasi di BPCB Jawa Timur
dengan status sebagai Objek Diduga Cagar Budaya.
Dengan ditetapkannya suatu benda sebagai aset bersejarah
maka yang menjadi titik fokus adalah bagaimana aset ini dikelola
semaksimal mungkin untuk memberi pelayanan yang terbaik bagi
masyarakat. Agar hal ini dapat tercapai maka dibutuhkan kerjasama
antara pemerintah dan pihak pengelola untuk bersama-sama
75
melestarikan aset besejarah sebagai wujud kepedulian terhadap nilai-
nilai sejarah dan budaya.
4.2.2 Penilaian Aset Bersejarah Pada Museum Trinil
4.2.2.1 Penilaian Aset Bersejarah Pada Museum Trinil
Berdasarkan hasil wawancara dapat dilihat bahawa selain
pengakuan aset, penilaian juga salah satu aspek penting dalam
penerapan akuntansi untuk aset. Penilaian aset bersejarah pada
Museum Trinil sulit dilakukan walaupun PSAP No. 07 Tahun 2010
memberikan beberapa alternative mengenai penilaian aset bersejarah
yaitu dengan biaya perolehan atau nilai wajar pada aset tersebut
diperoleh. Infornan menjelaskan mengenai kesulitan menentukan nilai
dari aset bersejarah, seperti yang diungkapkan oleh informan bahwa
sampai sekarang belum ada yang dapat menentukan berapa nilai dari
aset bersejarah tersebut. Aset bersejarah memiliki nilai yang tak
ternilai yang berarti aset bersejarah bernilai sangat tinggi yang tak
terhingga nilainya atau nilai aset bersejarah tersebut tidak dapat
diukur berdasarkan perolehan awalnya. Maka, untuk mendukung
pernyataan dari imforman tersebut menurut (Ridha & Basri, 2018)
kesulitan dalam menentukan nilai dari aset bersejarah dikaitkan
dengan makna dari asset bersejarah adalah manfaat di masa yang akan
datang dalam bentuk nilai sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama dan kebudayaan yang terjadi akibat peninggalan sejarah.
Makna tersebut tidak langsung berkaitan dengan aspek ekonomi
76
sehingga tidak mudah untuk menilai besarnya jumlah rupiah yang
melekat pada aset bersejarah”.
Pemberian kompensai kepada penemu aset bersejarah bukan
menjadi dasar penentuan awal aset melainkan menjadi belanja yang
dikeluarkan pemerintah. Biaya yang dikeluarkan untuk perawatan aset
bersejarah juga akan dibebankan menjadi belanja pemerintah. Hal ini
sesuai dengan PSAP No. 07 Tahun 2010 paragraf 70, menyatakan:
“Biaya untuk perolehan, konstruksi, peningkatan, rekonstruksi harus
dibebankan dalam laporan operasional sebagai beban tahun
terjadinya pengeluaran tersebut. Beban tersebut termasuk seluruh
beban yang berlangsung untuk menjadikan aset bersejarah tersebut
dalam kondisi dan lokasi yang ada pada periode berjalan”.
Aset bersejarah lebih menonjolkan nilai-nilai ilmu pengetahuan
yang terkandung dari aset bersejarah tersebut dan nilai sejarah yang
mewakili peristiwa yang dihasilkan kolesi benda bersjarah khususnya
Museum Trinil. Sebagaimana yang dijelaskan dalam PSAP No. 07
Tahun 2010 paragraf 66 mengenai ciri khas suatu aset bersejarah
yakni: “Nilai kultural, lingkungan, pendidikan dan sejarahnya yang
tidak mungkin secara penuh dilambangkan dengan nilai keuangan
berdasarkan harga pasar”.
Jadi, perlakuan akuntansi mengenai penilaian aset bersejarah
pada Museum Trinil sesuai dengan standar yang berlaku yaitu PSAP
No. 07 Tahun 2010 bahwa aset bersejarah bukanlah aset yang tidak
77
memiliki nilai, tapi aset bersejarah lebih mengutamakan pada nilai
yang tak terlihat berupa nilai sejarahnya dan pendidikan.
Model penilaian lainnya diungkapkan dalam Financial
Reporting Statement (FRS) 30 yang menyatakan model penilaian aset
bersejarah yaitu: “Penilaian (valuation) aset bersejarah dapat
dilakukan dengan metode apapun yang tepat dan relevan”.
Jadi, Financial Reporting Statement (FRS) 30 tidak
memberikan persyaratan apapun untuk penilaian yang dilakukan
dalam menilai aset bersejarah. Financial Reporting Statement (FRS)
lebih menyarankan untuk menggunakan metode penilaian yang tepat
dan lebih bermanfaat untuk menghasilkan informasi yang relevan.
Penilaian aset bersejarah pada Museum Trinil dinilai tak ternilai
karena semakin lama umur dari aset bersejarah maka nilainya tak
terhingga serta sebagai perlindungan aset bersejarah agar tidak
diperjual belikan. Temuan ini sejalan dengan pendapat Aversano dan
Christianes (2014) yang berpendapat bahwa asset bersejarah berbeda
dengan asset pada umummya karena asset bersejarah tidak dapat
diproduksi ulang, digantikan, dan tidak memungkinkan kondisinya
untuk diperdagangkan.
4.2.2.2 Penyusutan Aset Bersejarah Pada Museum Trinil
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap
ketiga informan dapat dilihat bahwa, aset bersejarah pada Museum
Trinil tidak dilakukan penyusutan karena tidak ada nilainya meskipun
umur aset terus bertambah dan kondisi fisik menurun maka nilai dari
78
aset bersejarah tersebut semakin tinggi, sebagaimana dijelaskan
dalam PSAP No. 07 Tahun 2010 paragraf 66 menyatakan, “Tidak
mudah untuk diganti dan nilainya akan terus meningkat selama waktu
berjalan walaupun kondisi fisiknya semakin menurun; sulit untuk
mengestimasikan masa manfaatnya. Untuk beberapa kasus dapat
mencapai ratusan tahun”.
Informan juga mengungkapkan untuk aset bersejarah misalnya
gedung atau bangunan jika dilaporkan dalam akun bangunan maka
akan tetap dinilai dan disusutkan. Pernyataan tersebut sesuai dengan
PSAP No. 07 Tahun 2010 paragraf 71 yang menyatakan beberapa aset
bersejarah yang memberikan manfaat lainnya kepada pemerintah
selain nilai sejarahnya, sebagai contoh bangunan bersejarah yang
digunakan untuk ruang perkantoran. Maka aset tersebut akan
diterapkan prinsip-prinsip yang sama seperti aset tetap lainnya. Tidak
ada nilai dalam aset bersejarah membuat aset bersejarah tidak
dilakukan penyusutan kecuali aset bersejarah digunakan untuk
kegiatan operasional perusahaan dan dilaporkan bukan sebagai aset
bersejarah, maka akan diterapkan sesuai dengan standar.
4.2.3 Penyajian dan Pengungkapan Aset Bersejarah
Penyajian dan pengungkapan adalah unsur penting lainnya dalam
laporan keuangan. Melalui penyajian dan pengungkapan, entitas dapat
menyampaikan informasi penting bagi pihak yang membutuhkan
(Anggraini, 2014)”. Menurut PSAP No. 07 Tahun 2010 paragraf 65 dan 69
menyatakan: “Tidak mengharuskan pemerintah untuk menyajikan aset
79
bersejarah di neraca namun aset tersebut diungkapkan dalam Catatan
atas Laporan Keuangan. Aset bersejarah harus disajikan dalam bentuk
unit, misalnya jumlah unit koleksi yang dimiliki atau jumlah unit
monumen, dalam Catatan atas Laporan Keuangan dengan tanpa nilai”.
Selanjutnya Financial Reporting Standard (FRS) 30 paragraf 6
menyatakan, “Untuk aset bersejarah yang tidak dilaporkan di neraca,
alasannya harus dijelaskan dan Catatan atas Laporan keuangan harus
menjelaskan makna dan sifat dari aset bersejarah yang tidak dilaporkan di
neraca”.
Sebernarnya dari kedua standar standar tersebut tidak
mengharuskan untuk menyajikan aset bersejarah di neraca, tetapi harus
disajikan dan diungkapan secara detail pada Catatan atas Laporan
Keuangan. Sama halnya dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 06
Tahun 2017 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara Berupa Aset
bersejarah yang menyatakan, “Aset bersejarah tidak disajikan di neraca,
namun aset tersebut harus harus diungkapkan dalam CaLBMN maupun
CaLK. Aset bersejarah dicatat dalam kuantitasnya tanpa nilai, contoh:
jumlah unit koleksi yang dimiliki atau jumlah unit monument”.
Pernyataan tersebut sesuai yang dijelaskan oleh informan bahwa
cara penatausahaan di SIMAK BMN, barang bersejarah tidak masuk
neraca karena tidak ada nilainya dan dicatat keuantitasnya saja. Museum
Trinil merupakan aset bersejarah yang dikelola oleh dua instansi yaitu
Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (DISAPARPORA) Kabupaten
Ngawi dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Aset
80
bersejarah Museum Trinil tidak dicatat dalam laporan keuangan
DISAPARPORA Ngawi, berdasarkan keterangan dari pihak Kasubag
umum selaku staf Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten
Ngawi hanya mencatat aset-aset gedung Museum Trinil saja dalam
Laporan Keuangannya dan itu pun sudah melebur menjadi satu Laporan
Keuangan Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga se-Kabupaten Ngawi.
Sedangkan pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur
selaku pengelola aset-aset koleksi Museum Trinil hanya melakukan
Inventarisasi sebagai Objek Diduga Cagar Budaya. Tabel 4.1
menggambarkan contoh bagaimana Museum Trinil diungkapkan dalam
catatan Inventarisasi.
Meskipun pihak BPCB Jawa Timur tidak menyajikan museum
Trinil dalam laporan keuangan maupun dalam catatan BMN. Setidaknya
BPCB Jawa Timur sudah melaporkan aset tersebut dalam data
invemtarsasi objek. Dengan demikian tercapailah tujuan dari pelaporan
keuangan yaitu akuntabilitas kepada masyarakat atas pengelolaan yang
dilakukan, bukan untuk menunjukkan nilai dari aset bersejarah Museum
Trinil dan bagaimana metode penilainnya. Berikut ringkasan penjelasan
kesesuaian penerapan akuntansi aset bersejarah pada Museum Trinil
dengan Standar yang berlaku:
81
Tabel 4. 2 Kesesuaian Penerapan Akuntansi Aset Bersejarah pada Museum Trinil
Berdasarkan Klasifikasi Pengakuan Aset Bersejarah
No.
Klasifikasi
Standar Akuntansi
Aset Bersejarah
Penerapan akuntansi
aset bersejarah pada
Museum Trinil
Tingkat
Kesesuaian
Sesuai Tidak
sesuai
1. Pengakuan
aset bersejarah
PSAP No. 07 Tahun
2010 paragraf 18:
Pengakuan aset tetap
akan andal bila aset
tetap telah diterima atau
diserahkan hak
kepemilikannya dan
atau pada saat
penguasaannya
berpindah
PSAP No. 07 Tahun
2010 paragraf 15:
Untuk dapat diakui
sebagai aset tetap harus
dipenuhi kriteria sebagai
berikut:
a) Berwuujud,
b) Mempunyai masa
manfaat,
c) Biaya perolehan aset
dapat diukur secara
andal,
d) Tidak dimaksudkan
untuk dijual dalam
operasi normal
entitas.
Undang-Undang No.
11 Tahun 2010 tantang
cagar budaya pasal 5
tentang kriteria cagar
budaya:
a. Berusia 50 tahun
Aset bersejarah
Museum Trinil diakui
jika data-datanya
lengkap dan sudah
tercatat di Registrasi
BPCB Jawa Timur
sebagai Objek
Diduga Cagar
Budaya
Museum Trinil
sebagai barang
berwujud,
mempunyai manfaat
yang tidak terbatas
dari segi ekonomi
untuk masyarakat
sekitar dan
pendidikan untuk
wisatawan yang
berkunjung. Akan
tetapi, nilai Museum
Trinil tidak dapat
diukur, tidak ada nilai
dimaksud agar benda-
benda yang ada di
Museum Trinil tidak
diperjual belikan”
Karakteristik aset
bersejarah Museum
Trinil berusia
minimal 50 tahun dan
mewakili masa gaya
yang meliputi masa
√
√
√
82
atau lebih;
b. Mewakili masa gaya
paling singkat
berusia 50 tahun;
c. Memiliki arti khusus
bagi sejarah, ilmu
pengetahuan,
Pendidikan, agama,
dan/atau
kebudayaan; dan
d. Memiliki nilai
budaya bagi
penguatan
kepribadian bangsa.
prasejarah, masa
kolonial, masa klasik
Sumber: Standar Akuntansi Aset Bersejarah dan Data diolah, 2021
Berdasarkan tabel 4.2 pengakuan aset bersejarah, Museum Trinil
diakui sebagai aset bersejarah yang berwujud ,memiliki manfaat yang
harus dilindungi dan dipelihara dalam jangka waktu yang tidak terbatas
yang lebih terikat dengan data inventaris sebagai Objek Diduga Cagar
Budaya”. Karakteristik benda koleksi Museum Trinil memiliki usia 50
tahun lebih karena ditemukan pada masa pra sejarah serta memiliki arti
khusus bagi sejarah, dan ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai yang diatur oleh
PSAP No. 07 Tahun 2010 dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010.
Tabel 4. 3 Kesesuaian Penerapan Akuntansi Aset Bersejarah pada Museum Trinil
Berdasarkan Klasifikasi Penilaian Aset Bersejarah
No.
Klasifikasi
Standar Akuntansi
Aset Bersejarah
Penerapan akuntansi
aset bersejarah pada
Museum Trinil
Tingkat
Kesesuaian
Sesuai Tidak
sesuai
2. Penilaian aset
bersejarah
PSAP No. 07 Tahun
2010 paragraf 66:
Nilai kultural,
lingkungan, pendidikan
Sampai sekarang
belum ada yang dapat
menentukan berapa
nilai dari aset
√
83
dan sejarahnya yang
tidak mungkin secara
penuh dilambangkan
dengan nilai keuangan
berdasarkan harga
pasar
Financial Reporting
Statement (FRS) 30:
Penilaian (valuation)
aset bersejarah dapat
dilakukan dengan
metode apapun yang
tepat dan relevan
PSAP No. 07 Tahun
2010 paragraf 70:
Biaya untuk perolehan,
konstruksi,
peningkatan,
rekonstruksi harus
dibebankan dalam
laporan operasional
sebagai beban tahun
terjadinya pengeluaran
tersebut. Beban
tersebut termasuk
seluruh beban yang
berlangsung untuk
menjadikan aset
bersejarah tersebut
dalam kondisi dan
lokasi yang ada pada
periode berjalan
PSAP No. 07 Tahun
bersejarah. Tidak ada
nilai rupiah yang
melekat dari aset
bersejarah karena Aset
bersejarah lebih
menonjolkan nilai
ilmu pengetahuan dan
sejarahnya.
Penilaian aset
bersejarah pada
Museum Trinil dinilai
tak ternilai karena
semakin lama umur
dari aset bersejarah
maka nilainya tak
terhingga serta sebagai
perlindungan aset
bersejarah agar tidak
diperjual belikan
Imbalan jasa yang
diberikan kepada
masyarakat yang
menemukan benda
bersejarah sebagai
penghargaan kepada
masyarakat bukan
sebagai harga dasar
penentuan nilai
perolehan awal aset
tetapi sebagai belanja
tahunan pemerintah
Aset bersejarah
√
√
84
2010 paragraf 71:
Beberapa aset
bersejarah yang
memberikan manfaat
lainnya kepada
pemerintah selain nilai
sejarahnya, sebagai
contoh bangunan
bersejarah yang
digunakan untuk ruang
perkantoran. Maka aset
tersebut akan
diterapkan prinsip-
prinsip yang sama
seperti aset tetap
lainnya
Museum Trinil tidak
dilakukan penyusutan.
Kecuali aset
bersejarah yang
digunakan untuk
kegiatan operasional
dan dilaporkan bukan
sebagai aset bersejarah
maka dilakukan
penyusutan.
√
Sumber: Standar Akuntansi Aset Bersejarah dan Data Diolah, 2021
Berdasarkan tabel 4.3 dari segi penilaian aset bersejarah, pengelola
Museum Trinil tidak menerapkan metode penilaian apapun baik
menggunakan metode penilaian perolehan maupun nilai wajar. Akan
tetapi, hasil penelitian ini menunjukkan tidak semua aset bersejarah dapat
dinilai dengan satuan moneter karena yang dapat diambil dari aset
bersejarah ialah nilai manfaat dari sejarah tersebut. Selanjutnya biaya-
biaya yang dikeluarkan seperti biaya perolehan dan perawatan Museum
Trinil akan dibebankan menjadi belanja yang dikeluarkan pemerintah.
Penyusutan aset bersejarah Musem Trinil tidak dapat dilakukan karena
nilai dari aset bersejarah akan terus meningkat, kecuali aset bersejarah
misalnya gedung atau bangunan jika dilaporkan dalam akun bangunan
maka akan tetap dinilai dan disusutkan”. Ini berarti pihak pengelola
Museum Trinil telah menjalankan apa yang telah diatur dalam Standar
Akuntansi yang berlaku.
85
Tabel 4. 4 Kesesuaian Penerapan Akuntansi Aset Bersejarah pada Museum Trinil
Berdasarkan Kkasifikasi Penyajian dan Pengungkapan Aset Bersejarah
No.
Klasifikasi
Standar Akuntansi
Aset Bersejarah
Penerapan akuntansi
aset bersejarah pada
Museum Trinil
Tingkat
Kesesuaian
Sesuai Tidak
sesuai
3. Penyajian dan
pengungkapan
aset bersejarah
PSAP No. 07 Tahun
2010 paragraf 65:
Pernyataan ini tidak
mengharuskan
pemerintah untuk
menyajikan aset
bersejarah di neraca
namun aset tersebut
diungkapkan dalam
Catatan atas Laporan
Keuangan
PSAP No. 07 Tahun
2010 paragraf 69:
Aset bersejarah harus
disajikan dalam bentuk
unit, misalnya jumlah
unit yang dimiliki atau
jumlah unit monumen,
dalam Catatan atas
Laporan Keuangan
dengan tanpa nilai.
Financial Reporting
Standard (FRS) 30
paragraf 6:
Untuk aset bersejarah
yang tidak dilaporkan
di neraca, alasannya
harus dijelaskan dan
Catatan atas Laporan
keuangan harus
menjelaskan makna
dan sifat dari aset
bersejarah yang tidak
dilaporkan di neraca
Museum Trinil tidak
diungkapkan dalam
Catatan atas Laporan
Keuangan BPCB Jawa
Timur maupun Dinas
Pariwisata Pemuda
dan Olahraga
Kabupaten Ngawi
BPCB JawaTimur
maupun Dinas
Pariwisata Pemuda
dan Olahraga
Kabupaten Ngawi
tidak menyajikan
Museum Trinil dalam
Catatan atas Laporan
Keuangan dalam
bentuk unit.
Aset bersejarah
Museum Trinil tidak
dilaporkan dalam
laporan keuangan
BPCB Jawa Timur
dan Dinas Pariwisata
Pemuda dan Olahraga
Kabupaten Ngawi
√
√
√
86
PMK 06 Tahun 2017
tentang
Penatausahaan
Barang Milik Negara:
Aset bersejarah tidak
disajikan di neraca,
namun aset tersebut
harus diungkapkan
dalam CaLBMN
maupun CaLK. Aset
bersejarah dicatat
dalam kuantitasnya
tanpa nilai, contoh:
jumlah unit koleksi
yang dimiliki atau
jumlah unit monument
Aset bersejarah
Museum Trinil belum
masuk dalam
pencatatan BMN Balai
Pelestarian Cagar
Budaya Jawa Timur,
jadi tidak diungkapkan
dalam CaLBMN
maupun CaLK.
√
Sumber: Standar Akuntansi Aset Bersejarah dan Data Diolah, 2021
Berdasarkan tabel 4.4 penyajian dan pengungkapan aset bersejarah,
Museum Trinil diungkapkan di dalam data inventarisasi sebagai Objek
Diduga Cagar Budaya dan tidak disajikan dalam bentuk unit. Maka dari itu
dapat disimpulkan terkait penyajian dan pengungkapan pada Museum
Trinil yang diterapkan oleh pihak pengelola yaitu BPCB Jawa Timur tidak
sesuai dengan Penatausahaan Barang Milik Negara dan PSAP No. 07
Tahun 2010, yang mengamanatkan untuk mengungkapkan aset bersejarah
di dalam Catatan atas Laporan Keuangan dalam bentuk unit dengan tanpa
nilai”.