bab iv hak, kewajiban dan fungsi istri …digilib.uinsby.ac.id/908/7/bab 4.pdf146 yang...

46
144 BAB IV HAK, KEWAJIBAN DAN FUNGSI ISTRI MENURUT AL-QUR’AN A. Hak dan Kewajiban Istri Menurut Al-Qur’an Dalam Kamus Bahasa Indonesia hak diartikan dengan milik, kepunyaan 1 , sedangkan dalam Kamus Ilmiyah Populer hak diartikan dengan kepunyaan sah. 2 Adapun kewajiban diartikan sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan. 3 Dengan demikian yang dimaksud dengan hak istri adalah hal-hal yang menjadi kepunyaan sah bagi seorang istri, sedangkan kewajiban istri adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan oleh seorang istri. Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai hak dan kewajiban berkenaan dengan tanggung jawab pribadinya sebagai bagian dari komunitas masyarakat. Hak-hak dan kewajiban itu meskipun tidak tertulis semuanya dalam undang-undang, namun sudah menjadi ketentuan umum apabila hak dan kewajiban itu diabaikan, maka akan terjadi disharmonisasi dalam diri manusia itu sendiri dalam masyarakatnya. Laki-laki dan perempuan sama- sama membutuhkan kehidupan dalam komunitas masyarakat. Masyarakat sendiri merupakam tempat berkumpulnya manusia yang didalamnya terdapat sistem hubungan, aturan serta pola-pola hubungan dalam memenuhi kebutuhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibn Khaldun yang mengatakan 1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, 503. 2 Pius A.Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, 211. 3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, 1613.

Upload: dinhtram

Post on 02-May-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

144

BAB IV

HAK, KEWAJIBAN DAN FUNGSI ISTRI MENURUT AL-QUR’AN

A. Hak dan Kewajiban Istri Menurut Al-Qur’an

Dalam Kamus Bahasa Indonesia hak diartikan dengan milik,

kepunyaan1, sedangkan dalam Kamus Ilmiyah Populer hak diartikan dengan

kepunyaan sah.2 Adapun kewajiban diartikan sesuatu yang wajib

dilaksanakan, keharusan.3 Dengan demikian yang dimaksud dengan hak istri

adalah hal-hal yang menjadi kepunyaan sah bagi seorang istri, sedangkan

kewajiban istri adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan oleh seorang istri.

Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai hak dan kewajiban

berkenaan dengan tanggung jawab pribadinya sebagai bagian dari komunitas

masyarakat. Hak-hak dan kewajiban itu meskipun tidak tertulis semuanya

dalam undang-undang, namun sudah menjadi ketentuan umum apabila hak

dan kewajiban itu diabaikan, maka akan terjadi disharmonisasi dalam diri

manusia itu sendiri dalam masyarakatnya. Laki-laki dan perempuan sama-

sama membutuhkan kehidupan dalam komunitas masyarakat. Masyarakat

sendiri merupakam tempat berkumpulnya manusia yang didalamnya terdapat

sistem hubungan, aturan serta pola-pola hubungan dalam memenuhi

kebutuhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibn Khaldun yang mengatakan

1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, 503. 2 Pius A.Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, 211. 3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, 1613.

145

bahwa adanya masyarakat yang bercirikan demikian ini merupakan suatu

keharusan, karena menurut wataknya, manusia adalah makhluk sosial.4

Demikian halnya dengan istri, dikarenakan istri juga manusia, maka

sudah pasti ia mempunyai hak-hak dan kewajiban yang berkenaan dengan

tanggung jawabnya sebagai istri dan penentu dalam kehidupan rumah tangga.

Kehidupan rumah tangga akan bermasalah jika salah satu diantara komunitas

rumah tangga mengabaikan kewajibannya atau diabaikan haknya. Oleh

karena itu, perlu diketahui apa saja hak-hak yang harus diterima oleh istri dan

kewajiban apa yang harus dilakukan istri menurut al-Qur’an, sehingga tidak

terjadi disharmonisasi antara suami dan istri yang pada akhirnya akan tercipta

kehidupan rumah tangga yang penuh dengan kasih dan sayang.

a. Hak Istri Menurut Al-Qur’an

Banyak fakta tak terbantahkan bahwa hak-hak istri seringkali

diabaikan oleh para suami. Suami seringkali lebih menuntut hak yang harus

dilakukan oleh seorang istri dibandingkan dengan upaya untuk melakukan

intropeksi diri, apakah ia telah melaksanakan kewajibannya atau belum,

sebelum ia menuntut haknya. Pada hal jika kita runut, percikan konflik dalam

rumah tangga berakar dari diabikannya hak-hak istri/suami oleh pasangan

mereka. Dalam al-Qur’an banyak disebutkan hal-hal yang menjadi hak

seorang istri yang tentunya menjadi kewajiban seorang suami. Apabila hak

seorang istri ini diabaikan oleh seorang suami, maka akan terjadi masalah

yang menyebabkan terjadinya disharmonisasi dalam kehidupan rumah tangga

4 Ibn Khaldun, Filsafat Islam tentang Sejarah, terj. M. Hashem, dari judul asli Society and History, (Bandung: Mizan, 1986), 15.

146

yang ujung-ujungnya akan berakhir dengan perceraian dalam meja

pengadilan agama sebagaimana banyak terjadi ditahun-tahun terakhir ini.

Secara umum al-Qur’an menginformasikan bahwa istri mempunyai

hak seimbang yang harus dipenuhi oleh suami dengan cara ma’ruf

sebagaimana suami juga mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh seorang

istri. Dalam surat al-Baqarah:2:228 Allah swt. Berfirman berkenaan dengan

hak bersama antara istri dan suami sebagai berikut:

...

...dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.5

Menurut Muhammad ‘Abduh ayat di atas merupakan ayat yang sangat

ringkas, namun apabila dijabarkan akan membutuhkan pembahasan yang

sangat luas. Ayat ini merupakan kaidah universal yang menyatakan bahwa

perempuan mempunyai hak-hak yang sama dengan laki-laki kecuali satu hal

yang ditungkan dalam ayat lanjutannya, yaitu: ǦDZǿǻ ȸȾɆȲȝ ȯǠDZȀȲȱȿ .

Menurutnya derajat yang diberikan oleh Allah swt. kepada perempuan ini

merupakan derajat tinggi yang sebelumnya, bahkan bangsa Eropa pun

peradabannya lebih maju dan berhasil mengangkat derajat perempuan dengan

cara memulyakannya dan memperhatikan pendidikan dan pengajaran dengan

berbagai macam ilmu, itu masih tidak seberapa dibandingkan dengan derajat

5 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 55.

147

yang diusung agama Islam dalam mengangkat derajat dan martabat

perempuan.6

Al-T>}abari mengutip sumber yang otoritatif bahwa maksud dari ayat di

atas adalah apabila seorang istri telah taat kepada Allah swt. dan suaminya,

maka hak bagi seorang istri yang harus dilakukan oleh seorang suami adalah

menggauli dengan sebaik-baiknya, mencegah perbuatan yang dapat

menyakitkan seorang istri dan memberikan nafkah sesuai dengan

kemampuannya.7

Al-Ima>m Abu> ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Ans}ari al-

Qurt}ubi menyatakan terkait dengan tafsir ayat di atas bahwa para istri

memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus

dipenuhi oleh istrinya. Oleh karena itulah Ibnu ‘Abas rad>iya Allah ‘anh

berkata, “Aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia

berdandan untukku, saya mempunyai hak yang harus dilakukannya, demikian

juga ia pun punya hak yang harus aku lakukan, karena Allah yang Maha

Tinggi sebutan-Nya berfirman: ȣȿȀȞƫǠǣ ȸȾɆȲȝ ɃǾȱǟ ȰǮȵ ȸƬȿ.8

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Islam sangat

memperhatikan hak-hak seorang istri. Perhatian Islam terhadap hak istri ini

merupakan upaya untuk mengangkat derajat dan martabatnya yang belum

pernah dilakukan oleh pemeluk agama lain sebelumnya. Bahkan upaya yang

6 Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Vol. II, 297-298. 7 Al-T>abari>, Ja>mi’ al-Baya>n, Vol. IV, 531. 8 Al-Qurt}ubi>, Ja>mi’ al-Ah}ka>m, Vol. III, 123.

148

telah dilakukan bangsa Eropa pun tidak sebanding dengan apa yang telah

diperintahkan oleh agama Islam dalam rangka mengangkat martabat

perempuan. Upaya syari’at Islam dalam mengankat martabat perempuan ini

dapat dilihat dengan adanya perhatian yang sangat besar dalam memberikan

hak yang sama antara suamin dan istri, sehingga segala hal yang menjadi hak

seorang suami itu, maka hal itu juga menjadi hak seorang istri.

Meskipun demikian, Allah SWT. juga menyatakan bahwa suami

mempunyai derajat satu tingkat lebih tinggi dibandingkan seorang istri. Hal

ini dikarenakan seorang suami telah diberikan keistimewaan oleh Allah SWT.

sebagai pemimpin dalam rumah tangga, sehingga sudah menjadi kewajiban

seorang suami, sesuai dengan kapasitasnya sebagai pemimpin, untuk

mendidik seorang istri hingga mereka mampu untuk melaksanakan

kewajiban-kewajibannya.9

Oleh dikarenakan kewajiban istri sangat berat meliputi ketaatan

kepada Allah SWT. Dan suaminya, mendidik anak dan mengatur rumah

tanggal, maka untuk dapat menunaikan kewajiban yang sangat berat ini

seorang istri mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suami. Hak-hak inilah

yang kemudian penulis istilahkan dengan hak bersama antara suami dan istri

yang sudah barang tentu hal ini juga menjadi kewajiban bersama. Selain hak-

hak bersama ini, istri juga mempunyai hak khusus yang hanya menjadi

kewajiban suami sebagai pemimpin rumah tangga, dan sekaligus hal itu juga

menjadi kewajiban seorang istri. Dengan demikian, maka hak-hak istri terbagi

9 Muh}ammad Ra>shi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Vol. II, 299.

149

menjadi dua, yaitu hak bersama antara istri dan suami, dan hak khusus bagi

istri. a. Hak sama antara suami dan istri. Adapun hak bersama yang dijelaskan

dalam al-Qur’an diantaranya yaitu :

1) Mendapatkan kenikmatan hubungan seksual, sebagaimana dijelaskan

dalam Q. S. al-Baqarah:2:222 dan 223 berikut :

...

….apabila mereka telah suci, maka campurillah meraka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.10

Istri –istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.11

Terdapat beberapa riwayat yang mejelaskan tentan sebab

diturunkannya Q.S. al-Baqarah:223 tersebut di atas. Imam Muslim

meriwayatkan hadist yang bersumbrer dari Jabir sebagi berikut:

10 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 54. 11 Ibid, 54.

150

njȸŁȝ ǠŁȽnjȀłǣłǻ ŃȸŇȵ łȼŁǩLjǕŁȀŃȵǟ NJȰłDZʼnȀȱǟ ɂŁǩLjǕ ǟLjǽnjǙ NJȯɀNJȪŁǩ łǻɀłȾŁɆǐȱǟ ŇǨŁȹǠLjȭ NJȯɀNJȪŁɅ ǟńȀǣǠŁDZ ŁȜŇȶŁȅ njǿŇǼLjȮŃȺłȶǐȱǟ njȸŃǣǟ

ŃȴłǪǐǞŇȉ ɂʼnȹLjǕ ŃȴNJȮLjǭŃȀŁǵ ǟɀłǩǐǖLjȥ ŃȴNJȮLjȱ džǫŃȀŁǵ ŃȴNJȭłǗǠŁȆnjȹ ŃǨLjȱŁȂŁȺLjȥ LjȯŁɀŃǵLjǕ łǼLjȱŁɀǐȱǟ LjȷǠLjȭ ǠŁȾŇȲłǤNJȩ ɂŇȥ 12

Diriwayatkan dari Ibn al-Munkadar, ia mendengar jabir berkata bahwa orang Yahudi beranggapan apabila laki-laki menggauli istrinya dari arah belakang dalam kelaminnya, maka anaknya akan lahir dari keadaan juling. Maka turunlah ayat tersebut diatas ( Q.S al-Baqarah:223 ).

Hadis di atas juga dikuatkan dengan hadis Imam Bukhari yang

meriwayatkan hadis dari sumber yang sama meskipun dengan teks yang

berbeda terkait dengan sebab diturunkan ayat di atas sebagi berikut :

ǟLjǽnjǙ NJȯɀNJȪŁǩ łǻɀłȾŁɆǐȱǟ ŇǨŁȹǠLjȭ LjȯǠLjȩ Û łȼŃȺŁȝ łȼƋȲȱǟ ŁɄŇȑŁǿ Û ǟńȀnjǣǠŁDZ łǨŃȞŇȶŁȅ njǿŇǼLjȮŃȺłȶǐȱǟ njȸŃǣǟ njȸŁȝ

ɂʼnȹLjǕ ŃȴNJȮLjǭŃȀŁǵ ǟɀłǩǐǖLjȥ ŃȴNJȮLjȱ džǫŃȀŁǵ ŃȴNJȭłǗǠŁȆnjȹ ŃǨLjȱŁȂŁȺLjȥ LjȯŁɀŃǵLjǕ łǼLjȱŁɀǐȱǟ ĆǒǠŁDZ ǠŁȾŇǝǟŁǿŁȿ ŃȸŇȵ ǠŁȾŁȞŁȵǠŁDZ

ŃȴłǪǐǞŇȉ13

Diriwayatkan dari Ibn al-Munkadar, ia mendengarkan Ja>bir berkata bahwa orang-orang Yahudi beranggapan apabila laki-laki menggauli istrinya dari arah belakang dalam kelaminnya, maka anaknya akan lahir dalam keadaan juling. Maka tuntulah ayat tersebut di atas (Q.S. al-Baqarah:223 ).

Dalam riwayat Abu Dawud yang bersumber dari Ibn ‘Abba>s juga

dijelaskan sebagai berikut :

12 Muslim bin al-H}ajja>j al-Naisa>bu>ri>, S}ah}i>h} Muslim, (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, t.tp.), Vol. VI, 29. 13 Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h}, (Damaskus, Da>r T}uq al-Na>jah, 1422 H.), Vol. VI, 29.

151

ŁȸŇȵ ŊɂŁǶǐȱǟ ǟLjǾŁȽ LjȷǠLjȭ ǠŁȶʼnȹnjǙ ŁȴŁȽŃȿLjǕ łȼLjȱ łȀŇȦŃȢŁɅ łȼƋȲȱǟŁȿ ŁȀŁȶłȝ ŁȸŃǣǟ ƋȷnjǙ LjȯǠLjȩ LJȃǠʼnǤŁȝ njȸŃǣǟ njȸŁȝ

LJȸLjǭŁȿ NJȰŃȽLjǕ ŃȴłȽŁȿ njǿǠŁȎŃȹĆɉǟ LjȷŃȿŁȀŁɅ ǟɀłȹǠLjȭŁȿ LJǡǠŁǪŇȭ NJȰŃȽLjǕ ŃȴłȽŁȿ ŁǻɀłȾŁɅ ŃȸŇȵ ōɂŁǶǐȱǟ ǟLjǾŁȽ ŁȜŁȵ

njȰŃȽLjǕ njȀŃȵLjǕ ŃȸŇȵ LjȷǠLjȭŁȿ ŃȴnjȾŇȲŃȞŇȥ ŃȸŇȵ LJƘŇǮLjȮnjǣ LjȷȿłǼŁǪǐȪŁɅ ǟɀłȹǠLjȮLjȥ njȴǐȲŇȞǐȱǟ ɂŇȥ ŃȴnjȾŃɆLjȲŁȝ DŽɎŃȒLjȥ ŃȴłȾLjȱ

LjǽŁȿ ňȣŃȀŁǵ ɂLjȲŁȝ ƋɍnjǙ ĆǒǠŁȆōȺȱǟ ǟɀłǩǐǖŁɅ Ljɍ ǐȷLjǕ njǡǠŁǪŇȮǐȱǟ ǟLjǾŁȽ LjȷǠLjȮLjȥ NJǥLjǕŃȀŁȶǐȱǟ NJȷɀNJȮŁǩ ǠŁȵ łȀŁǪŃȅLjǕ ŁȬŇȱ

LjȷɀłǵŁȀŃȊŁɅ LJȈŃɅŁȀNJȩ ŃȸŇȵ ŊɂŁǶǐȱǟ ǟLjǾŁȽ LjȷǠLjȭŁȿ ŃȴnjȾŇȲŃȞŇȥ ŃȸŇȵ ŁȬŇȱLjǾnjǣ ǟȿNJǾŁǹLjǕ ŃǼLjȩ njǿǠŁȎŃȹĆɉǟ ŁȸŇȵ ŊɂŁǶǐȱǟ

ŁǪŃȆłȵŁȿ ňǧǟŁȀnjǣŃǼłȵŁȿ ňǧLjɎnjǤǐȪłȵ ʼnȸłȾŃȺŇȵ LjȷȿNJǽƋǾLjȲŁǪŁɅŁȿ ǟńȀLjȮŃȺłȵ ǠńǵŃȀŁȉ ĆǒǠŁȆōȺȱǟ ŁȳŇǼLjȩ ǠʼnȶLjȲLjȥ ňǧǠŁɆŇȪǐȲ

ŁȬŇȱLjǽ ǠŁȾnjǣ łȜŁȺŃȎŁɅ ŁǢŁȽLjǾLjȥ njǿǠŁȎŃȹĆɉǟ ŁȸŇȵ DŽǥLjǕŁȀŃȵǟ łȴłȾŃȺŇȵ džȰłDZŁǿ ŁǯʼnȿŁȂŁǩ LjǦŁȺɅŇǼŁȶǐȱǟ LjȷȿłȀnjDZǠŁȾłȶǐȱǟ

ʼnǪŁǵ ɂnjȺŃǤnjȺŁǪŃDZǠLjȥ ƋɍnjǙŁȿ ŁȬŇȱLjǽ ŃȜŁȺŃȍǠLjȥ ňȣŃȀŁǵ ɂLjȲŁȝ ɂŁǩŃǘłȹ ǠʼnȺNJȭ ǠŁȶʼnȹnjǙ ŃǨLjȱǠLjȩŁȿ ŇȼŃɆLjȲŁȝ łȼŃǩŁȀLjȮŃȹLjǖLjȥ ɂ

ŇȼƋȲȱǟ LjȯɀłȅŁǿ ŁȬŇȱLjǽ LjȠLjȲŁǤLjȥ ǠŁȶłȽłȀŃȵLjǕ ŁɁnjȀŁȉ - ƋȰŁDZŁȿ ʼnȂŁȝ łȼƋȲȱǟ LjȯŁȂŃȹLjǖLjȥ ȴȲȅȿ ȼɆȲȝ ǃǟ ɂȲȍ

ňǧǠŁɆŇȪǐȲŁǪŃȆłȵŁȿ ňǧǟŁȀnjǣŃǼłȵŁȿ ňǧLjɎnjǤǐȪłȵ ŃɁLjǕ ŃȴłǪǐǞŇȉ ɂʼnȹLjǕ ŃȴNJȮLjǭŃȀŁǵ ǟɀłǩǐǖLjȥ ŃȴNJȮLjȱ džǫŃȀŁǵ ŃȴNJȭłǗǠŁȆnjȹ

ŇǼLjȱŁɀǐȱǟ ŁȜŇȑŃɀŁȵ ŁȬŇȱLjǾnjǣ ɂnjȺŃȞŁɅ.14

Dari Ibn Abbas, ia berkata : sesungguhnya Ibn Umar semoga Allah mengampuninya, ia telah melakukan suatu kesalahan. Sesungguhnya terdapat sebuah kampung Ans}a>r yang merupkana para penyembah berhala, hidup bersama kampung Yahudi yang merupakan Ahli kitab. Dan mereka memandang bahwa orang-orang Yahudi memiliki keutamaan atas mereka dalam hal ilmu. Dan mereke mengikuti kebanyakan perbuatan orang-orang Yahudi. Diantara keadaan Ahli kitab adalah bahwa mereka tidak menggauli istri mereka kecuali dengan satu cara, dan hal tersebut lehih menjaga rasa malu seorang wanita. Dan orang-orang Ans}a>r ini mengikuti perbuatan mereka dalam hal tersebtu. Sementara orang-orang Quraish menggauli isteri –isteri mereka dengan cara yang mereka ingkari, orang-orang Quraish menggauli mereka dalam keadaan menghadap dan membelakangi

14 Abu> Da>wu>d, Sunan Abu> Da>wud, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, t.tp.), Vol. II, 249.

152

serta dalam keadaan terlentang. Kemudian tatkala orang-orang Muhajirin datang ke Madinah, salah seorang diantara mereka menikahi seorang wanita Ans}a>r. Kemudan ia melakukan hal tersebt. Kemudian wanita Ans}a>r tersebut mengingkarinya dan berkata ; sesungguhnya kami didatangi dengan satu cara, maka lakukan hal tersebut, jika tidak maka jauhilah aku! Hingga tersebar permasalahan mereka, dan hal tersebut sampai kepada Rasulullah SAW. Kemudian Allah SWT. Menurunkan ayat : “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” Yakni dalam keadaan menghadap (saling berhdapan) membelakangi dan terlentang, yaitu pada tempat diperolehnya anak (farj).

Hadis-hadis di atas secara s}ari>h (tegas )menyatakan tentan sebab

diturunkan ayat dan semuanya merupakan hadis yang sahih. Oleh karena

hadis-hadis di atas tidak saling bertentangan, maka yang berbaik adalah

mengkompromikan antara hadis-hadis tersebut. Dengan demikan dapat

disimpulkan bahwa Q.S al-Baqara:223 ini turun setelah terjadi dua buah

sebab sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis di atas, karena jarak

waktu diantara kedua sebab itu berdekatan.15

Kedua ayat di atas secara eksplisit menjelaskan tentang kebutuhan

biologis yang menjadi hak suami. Meskipun ayat tersebut secara implisit

mengarah kepada suami, namun dikarenakan istri cenderung lebiih besar

keinginannya untuk melakukan hubungan seksual16 dan ayat tersebut juga

terkena keumuman ayat ȣȿȀȞƫǠǣ ȸȾɆȲȝ ɃǾȱǟ ȰǮȵ ȸƬȿ, maka kebutuhan

biologis itu tidak lagi hanya menjadi hak suami, tetapi sudah menjadi hak

bersama antara suami dan istri.

15 Lihat, Manna> Qat}t{a>n, Maba>h}ith, 89. 16 Ah}mad al-S}a>wi> al-Ma>liki>, H}a>shiyah al-S}a>wi>, Vol. I, 104.

153

Namun demikian pemenuhan hubungan seksual tidak serta merta

dapat dilakukan dalam situasi kapan saja dan kondisi apapun, akan tetapi

ada waktu -waktu dan tempat-tempat tertentu yang tidak deperbolehkan

untuk melakukan hubungan seksual. Oleh karena itu dalam ayat 222 surat

al-Baqarah di atas Allah SWT. Membatasi diperbolehkannya melakukan

hubungan seksual dengan kalimat ǃǟ ȴȭȀȵǟ ǬɆǵ ȸȵ yang mempunyai arti

bahwa hubungan seksual hanya dapat dilakukan di tempat yang

dipertintahkan Allah. Adapaun kondisi yang tidaka diperbolahkan

melakukan hubungan seksual dalam al-Qur’an adalah ketika berbpuasa

disiang hari, i’tikaf dalam masjid, pada waktu melakukan ibadah haji dan

haid.

a) Tidak diperbolehkan berhubungan seksual pada waktu puasa di siang

hari, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Bagarah:2:187 sebagai

berikut :

187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu...17

Ayat di atas menyatakan bahwa menggauli istri pada siang hari

diperbolehkan. Ayat ini diturunkan untuk mengganti hukum syari’at yang

17 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 45.

154

berlaku pada permulaan Islam dimana pada waktu itu orang yang berpuasa

diperbolehkan berbuka dengan makan, minum dan menggauli istri dengan

syarat mereka tidak tidur dan belum melakukan sholat ‘Isha>’. Apabila

telah tidur atau telah melakksanakan shalat ‘Isha>’, maka semua itu sudah

diharamkan sampai malam berikutnya. Pada suatu ketika Umar melakukan

hubungan seksual dengan istrinya setelah sholat ‘Isha>’, maka setelah

mandi ia menangis dan mencela dirinya kemudian datang kepada Nabi

Muhammad SAW. Dan pada waktu itu juga beberapa orang laki-laki

berdiri dan mengaku telah melakukan apa yang telah dilakukan Umar, lalu

turunlah ayat tersebut.18

Berdasarkan dari sabab nuzul ayat diatas dapat disimpulkan bahw

tidak diperbolehkan menggauli istri terbatas hanya pada waktu berpuasa di

siang hari. Kesimpulan ini juga dapat diambil dari pemahaman terbalik

(mafhu>m mukha>lafah) dari ayat tersebut dia atas.

b) Tidak diperbolehkan berhubungan seksual pada waktu i’tikaf di dalam

masjid sebagaimana firman Allah swt. Q.S. al-Baqarah:2:187 sebagai

lanjutan dari ayat tersebut di atas, yaitu :

18 Muh}ammad bin ‘Umar al-Nawawi> al-Ja>wi>, Mirah Lubaid li Kashf Ma’na al-Qur’an al-Maji>d, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H.), Lihat, Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a<n al-‘Az}i>m, (t.t. Da>r al-T}aibah al-Nashr wa al-Tauzi>’, 1999), Vol. I, 510-512.

155

Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangakan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.19

Ayat di atas secara jelas menyatakan bahwa orang yang sedang

i’tikaf di dalam masjid tidak diperbolehkan melakukan hubungan seksual

baik pada waktu siang hari, malam hari, baik berpuasa maupun tidak

selama ia belum selesai melakukan i’tikaf.20

c) Tidak diperbolehkan berhubungan seksual pada waktu melakukan

ibadah haji sebagaimana firman Allah swt. Q.S. al-Baqarah:2:197

berikut:

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan dji dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dn bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.21

Ayat diatas menjelaskan bahwa orang yang telah melaksanakan

ibadah haji atau umrah yang ditandai dengan melakukan ihram, maka

diharamkan melakukan hubungan seksual atau hal-hal yang menjadi 19 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 45. 20 Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Vol. I, 519. 21 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 48.

156

pemicu terjadinya hubungan seksual seperti mencium istri dan lain-

lainnya. Demikian juga diharamkan berbicara tentang hal-hal yang

berkenaan dengan hubungan suami istri dihadapan orang-orang

perempuan.22

d) Tidak diperbolehkan berhubungan seksual pada istri dalam keadaan

haid sebagaimana firman Allah swt. Q.S. al-Baqarah:2:222 berikut :

...

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah : “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendakalah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati merkea, sebelum merka suci….23

Ayat di atas dengan jelas menyatakan bahwa wajib hukumnya

menjauhi istri ketika ia daalm keadaan haid. Ibn Kathir mengatakan bahwa

yang harus dijauhi dalam konteks ayat di atas adalah kelamin istri/farji

atau dengan kata lain yang harus dijauhi adalah bersetubuh. Sedangkan

yang selain farji (bersetubuh) masih diperbolehkan.24

Selain kondisi tertentu yang tidak diperbolehkan melakukan

hubungan seksual sebagaimana uraian diatas, dalam ayat 223 surah al-

22 Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Vol. I, 543. 23 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 54. 24 Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Vol. I, 585.

157

Baqarah tersebut juga menjelaskan tentang apa yang diperbolehkan untuk

digauli dan bagaimana cara menggauli istri.

Dalam ayat diatas bahwa istri-istri itu adalah harth (ibarat tanah

tempat bercocok tanam) yang pengolahannya diserahkan sepenuhnya

kepada suami. Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi mengatakan bahwa

yang dimaksudkan harth pada di atas adalah tempat yang dapat

menumbuhkan (tanaman). Oleh karena perintah Allah swt. Adalah

mendatangi harth, maka tempat yang tidak dapat menumbuhkan tidak

boleh untuk didekati. Dengan demikian apabila terdapat sebagian orang

yang memahami bahwa ayat di atas menjelaskan tentan diperbolehkannya

menggauli istri di tempat mana saja, maka pemahaman itu salah karena

harth yang dimaksud kan adalah temapt yang menugmbuhkan tanaman,

sementara tanaman apabila dihubungkan dengan perempuan dan laki-laki,

maka maksudnya adalah anak. Oleh dikarenakan tempat yang dapat

menumbuhkan anak itu adalah tempat yang menjadi jalan keluarnya anak,

maka tempat yang diperbolehkan untuk disetubuhi adalah temapt yang

menjadi jalan keluarnya anak.25

Al-T}abari mengutip dari beberapa sumber yang otoritatif terkait

dengan penafsiran ayat di atas, bahwa menggauli istri diperbolehkan

dengan cara apapun juga, baik dalam keadaan berdiri, berhadap-hadapan,

dengan posisi miring, atau dari arah belakang, selama tidak diarahkan pada

25 Muhammad Mutawlli al-Sha’rawi>, Tafsi>r al-Sha’rawi>, (t.t. Mat}a>li’ Akhba>r al-Yawm, 1997), Vol. I, 968.

158

dubur (homoseksual) seperti yang dilakukan kaum Nabi Lut} atau istri

dalam keadaan haid.26

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa melakukan hubungan

seksual boleh dilakukan dengan cara bagaimanapun sesuai dengan kondisi

dan selera kedua pasangan selama tidak melakukan homoseksual

sebagaimana yang dilakukan kaum Nabi Lut}.

2) Mendapat pergaulan dengan cara ma’ruf dan akhlak yang mulia

sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Nisa>’:4:19 berikut :

…dan berrgaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila

kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan kepada kebaikkan yang banyak.27

Ayat di atas menjelaskan bahwa mu’a>sharah bi al-ma’ru>f

merupakan kewajiban bersama dan sekaligus merupakan hak bersama

antara suami dan istri. Menurut Muhammad ‘Abduh kata mu’a>sharah

mengandung arti musha>rakah ( saling timbal balik) dan arti musa>wah

(saling menyamakan/ada persamaan). Oleh karena itu laki-laki harus

bergaul dengan cara yang baik kepada istri, demikian juga sebaliknya istri

26 Al-T}abari>, Ja>mi’ al-Baya>n, Vol. IV, 398-399. 27 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 119.

159

harus bergaul dengan cara yang baik dengan suami. Dengan itu semua hak

dan kewajiban bersama antara suami dan istri akan saling terpenuhi.

Kata bi al-ma’ru>f di atas juga mengindikasikan tentang keharusan

bergaul sesuai dengan cara yang baik. Al-ma’ru>f atau cara yang baik ini

menurut Muhammad ‘Abduh adalah cara yang sesuai dengan budaya

lokal, sesuai dengan watak seorang istri, tidak bertentangan dengan

tuntunan syari’at, dan tidak menurunkan martabat dan harga diri. Oleh

karena itu mempersulit pemberian nafkah, menyakiti hati baik dengan

kata-kata maupun perbuatan, sering menampakkan wajah yang suram dan

mengerutkan dahi ketika bertemu itu merupakan hal-hal yang bertentangan

dengan mu’a>sharah bi al-ma’ru>f.28

Rasulullah saw. secara tegas menjelaskan bahwa orang yang paling

baik adalah orang yang baik kepada keluarganya, sebagaimana yang

diriwayatkan Ibn Ma>jjah bersumber dari Ibn ‘Abb>as berikut :

njȸŃǣǟ njȸŁȝ ǠŁȹLjǕŁȿ ŇȼŇȲŃȽĆɉ ŃȴNJȭłȀŃɆŁǹ ŃȴNJȭłȀŃɆŁǹ LjȯǠLjȩ ŁȴƋȲŁȅȿ ŇȼŃɆȲŁȝ ǃǟ ɂƋȲŁȍ ōɄnjǤʼnȺȱǟ njȸŁȝ LJȃǠʼnǤŁȝ

ɄŇȲŃȽĆɉ ŃȴNJȭłȀŃɆŁǹ.29

Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas dari Nabi Muhammad saw. Bersabda, “ Sebaik-baik kalian semua adalah sebaik-baik kalian kepada keluarganya, saya adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku”.

28 Muhammad Ra>shi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Vol. IV. 373. 29 Ibn Ma>jjah, Sunan Ibn Ma>jjah, (t.t. Da>r al-Risa>lah al-‘Alamiyah, 2009), Vol. III, 148.

160

Hadis di atas diperkuat lagi dengan hadis yang bersumber dari

‘Abdullah bin ‘Amr sebagai berikut:

LjȯǠLjȩ Û ȿLJȀŃȶŁȝ njȸŃǣ Ĉǃǟ ŇǼŃǤŁȝ ŃȸŁȝ :NJȯɀłȅŁǿ LjȯǠLjȩ ŁȴƋȲŁȅȿ ŇȼŃɆȲŁȝ ǃǟ ɂƋȲŁȍ Ĉǃǟ : ŃȴNJȭłǿǠŁɆŇǹ

ŃȴnjȾŇǝǠŁȆnjȺŇȱ ŃȴNJȭłǿǠŁɆŇǹ.30

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap istri-istrinya”.

Berdasarkan ayat dan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa istri

mempunyai hak untuk dipergauli dengan cara yang ma’ru>f sesuai dengan

budaya lokal, sesuai dengan watak seorang istri, tidak bertentangan

dengan tuntunan syari’at, dan tidak menurunkan martabat dan harga diri.

3) Hak saling mendapat waris akhibat dari perkawinannya yang sah,

sebagimana dijelaskan dalam Q.S. al-Nisa>’:4:12 berikut :

...

30 Ibid, Vol. III, 148.

161

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat sepermpat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yagn kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tingglkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) susah dibayar hutang-hutangmu…31

Ayat di atas menjelaskan bahwa suami mempunyai hak waris

setengah dari harta yang ditinggal istri apabila istri tidak meninggalkan

anak, dan apabila istri meninggalkan anak maka suami hanya mendapat

bagian seperempat, sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau sesudah

dibayar hutangnya. Demikian juga halnya istri juga mempunyai hak waris

dari suami apabila meninggal dan tidak meninggalkan anak maka istri

mendapat bagian seperempat, namun jik meninggalkan anak maka istri

hanya mendapatkan seperdelapan tentunya sesudah dipenuhi wasiat yang

mereka buat atau sesudah dibayar hutangnya. Dari ayat ini dapat

disimpulkan bahwa masing-masing suami dan istri mempunyai hak yang

sama dalam masalah warisan. Oleh karena itu memperoleh wariasan

adalah hak bersama antaran suami dan istri.

b. Hak khusus seorang istri. Diantaranya hak khusus istri yang disebutkan

dalam al-Qur’an adalah :

31 Depag RI, Al-qur’an dan Terjemahnya, 117.

162

1) Mendapat maskawain (mahar) sebagaimana dijelaskan Allah swt. dalam

Q.S. al-Nisa>’:4:4 dan 24 berikut :

4.berikanlah maskawain (mahar) kepada wanita (yang kamu Nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.32

... ...

… Maka isteri-isteri ayg telah kamu nikamati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…33

Kedua ayat diatas menjelaskan tentang hak seorang isteri yang

harus dilakukan oleh seoran suami adalah maskawin atau mahar yang

disebutkan dengan kata nih}lah. Ibn Kath>ir mengutip beberapa sumber

yang otoritatif bahwa makna nih}lah menurut ‘Aisah adalah kewajiban,

bahkan Ibn Juraij menambahkan kewajiban yang ditentukan.34 Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa seorang isteri mempunyai hak untuk

mendapatkan mahar yang telah ditentukan sebagai kewajiban seorang

suami.

32 Ibid, 115. 33 Ibid, 120. 34 Ibn KathI>r, Tafsi>r al-Qur’a>n, Vol. II, 213. Bandingkan, Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Vol. IV, 280.

163

2) Mendapatkan nafkah sesuai kemampuan suami sebagaimana di jelaskan

dalam Q.S. al-Baqarah:2:233 berikut :

...

...

... dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya…35

Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang suami wajib memberikan

rizki dan pakaian kepada istri dengan cara ma’ruf. Menurut al-T}abari>

yang dimaksud dengan al-rizq dalam ayat di atas adalah sesuatu yang

menjadi makanan pokok dan tentunya juga tidak terlepas dari lauk-pauk

dan makanan penunjang lainnya yang dibutuhkan sebagai kekuatan.

Sedangkan al-ma’ru>f diartikan dengan sesuatu yang wajib sesuai dengan

kemampuan orang sekelas suami dan layak bagi orang sekelas istri. Hal

ini dikarenakan Allah swt. telah mengetahui bahwa keadaan suami

berbeda-beda, ada yang kaya dan ada yang miskin. Oleh karenanya Allah

swt. memerintahkan suami untuk memberikan nafkah kepada istri dan

anak yang menjadi tanggung jawabnya dengan sekadar kemampuannya.36

Untuk itu dalam ayat yang lain Allah swt. menegaskan bahwa

seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istri sesuai dengan

kemampuannya sebagaimana dijelas dalam Q.S. al-Tala>q:65:7 sebagai

berikut : 35 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 57. 36 Al-T}abari>, Ja>mi’ al-Baya>n, Vol. V, 44.

164

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.37

Selain ayat diatas al-Tirmiz}i> juga meriwayatkan sebuah hadis yang

berkaitan dengan hak istri mendapatkan nafkah sebagai berikut :

ǦDzǵ ǼȾȉ ȼȹǕ ŸǕ ƗǭǼǵ ȯǠȩ ȋɀǵɉǟ ȸǣ ȿȀȶȝ ȸǣ ȷǠȶɆȲȅ ȸȝ Ȝȵ țǟǻɀȱǟ

Ž ȀȭǾȥ Șȝȿȿ Ȁȭǽȿ ȼɆȲȝ ƖǭǕȿ ǃǟ ǼȶǶȥ ȴȲȅ ȿ ȼɆȲȝ ǃǟ ɂȲȍ ǃǟ ȯɀȅǿ

ȄɆȱ ȴȭǼȺȝ ȷǟɀȝ ȸȽ Ǡƴǚȥ ǟƘǹ ǒǠȆȺȱǠǣ ǟɀȍɀǪȅǟȿ ɍǕ ȯǠȪȥ ǦȎȩ ǬɅǼƩǟ

Ž ȸȽȿȀDzȽǠȥ ȸȲȞȥ ȷǚȥ ǦȺɆǤȵ ǦȊǵǠȦǣ ƙǩǖɅ ȷǕ ɍǙ Ȭȱǽ Ƙȡ ǠǞɆȉ ȸȾȺȵ ȷɀȮȲƢ

ȞȕǕ ȷǚȥ dzƎȵ Ƙȡ ǠǣȀȑ ȸȽɀǣȀȑǟȿ ȜDZǠȒƫǟ ȷǙ ɍǕ ɎɆǤȅ ȸȾɆȲȝ ǟɀȢǤǩ Ɏȥ ȴȮȺ

ȸǞȖɅ Ɏȥ ȴȮǝǠȆȹ ɂȲȝ ȴȮȪǵ Ǡȵǖȥ ǠȪǵ ȴȮɆȲȝ ȴȮǝǠȆȺȱȿ ǠȪǵ ȴȮǝǠȆȹ ɂȲȝ ȴȮȱ

ȷǕ ȴȮɆȲȝ ȸȾȪǵȿ ɍǕ ȷɀȽȀȮǩ ȸƫ ȴȮǩɀɆǣ Ž ȷǽǖɅ ɍȿ ȷɀȽȀȮǩ ȸȵ ȴȮȉǟȀȥ

37 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 946.

165

ȸȾȵǠȞȕȿ ȸőɀȆȭ Ž ȸȾɆȱǙ ǟɀȺȆƠ ɂȆɆȝ ɀǣǕ ȯǠȩ ǴɆǶȍ ȸȆǵ ǬɅǼǵ ǟǾȽ

ȼȱɀȩ ƖȞȵȿ Ž ɁȀȅǕ ƗȞɅ ȴȭǼȺȝ ȷǟɀȝǕȴȮɅǼɅ 38

Di ceritakan dari Sulaiman bin Amr bin al-Ahwas berkata : telah menceritakan kepadaku Bapakku bahwa dia melaksanakan haji wada’ bersama Nabi s}allallahu ‘alaih wa sallam. Beliau bertahmid dan memuji Allah, beliau memberi pengingatan dan nasehat. Beliau menuturkan cerita dalam haditsnya, lantas bersabda : “Ketahuilah, berbuat baiklah terhadap wanita, karena mereka adalah tawanan kalian. Kalian tidak berhak atas mereka lebih dari itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka melakukannya, jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Jika kemudian mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Ketahuilah, kalian memiliki hak atas istri kalian dan istri kalian memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas istri kalian ialah dia tidak boleh memasukkan orang yang kalian benci ke tempat tidur kalian. Ketahuilah; hak istri kalian atas kalian ialah kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan (kepada) mereka. “Abu ‘Isa> berkata; “Ini merupakan hadits hasan shahih. Arti dari ‘Awa>nun yaitu ; mereka adalah tawanan kalian.”

Dari uraian kedua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa istri selain

mempunyai kewajiban terhadap suami, ia pun juga mempunyai hak khusus

mendapatkan nafkah yang harus dipenuhi oleh suami. Namun demikian

istri tidak diperbolehkan menuntun nafkah dan pakaian diluar batas

kemampuan suami dan kelayakan bagi dirinya.

3) Mendapatkan perlakuan adil apabila istri di madu, sebagaimana dijelaskan

oleh Allah swt. dalam Q.S. al-Nisa>’:4:3 berikut :

38 Al-Tirmi>z}>, Sunan al-Tirmi>z}i>, (Mesir: Shirkah Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa> al-Ba>bi> al-H}alabi>, 1975), Vol. III, 459.

166

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terdadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.39

Ayat diatas menjelaskan tidak diperbolehkannya berpoligami bagi

suami apabila ia mengkhawatirkan dirinya untuk tidak bisa berbuat adil.

Dengan demikian dapat dipahami melalui mafhu>m mukha>lafah bahwa

apabila suami berpoligami maka istri mempunyai hak untuk meperoleh

keadilan.

Wahbah al-Zuhaili seorang penafsir kontemporer menyatakan

bahwa al-khawf (khawatir) yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah

al-‘ilm (mengetahui). Dengan demikian maksud dari ayat di atas adalah

apabila diantara para suami mengetahui dirinya tidak mampu untuk

berbuat adil, maka tidak diperbolehkan bagi mereka untuk melakukan

poligami. Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa kekhawatiran untuk tidak

dapat berbuat adil ini mencakup al-z}ann (prasangka/dugaan) dan al-shakk

(keraguan) untuk dapat berbuat adil. Adapun keadilan yang menjadi hak

istri yang diperintahkan al-Qur’an ini adalah keadilan yang berbentuk

39 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 115.

167

materi diantaranya adalah pembagian secara merata dalam masalah mabi>t

(gilir bermalam), menyamakan nafkah lahir semisal makanan, minuman,

pakaian dan rumah. Sedangkan keadilan yang bersifat maknawi atau hal-

hal yang ada dalam hati seperti kenderungan hati dan kecintaan suami

terhadap salah satu diantara istri, tidak dituntut untuk berbuat adil, karena

keadilan dalam hal itu merupakan sesuatu yang diluar batas kemampuan

manusia.40 Oleh karena itu Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah

hadisnya :

LjǦŁȊŇǝǠŁȝ ŃȸŁȝ : ȴȲȅȿ ȼɆȲȝ ǃǟ ɂȲȍ ŇȼƋȲȱǟ NJȯɀłȅŁǿ LjȷǠLjȭ ŃǨLjȱǠLjȩ, NJȯɀNJȪŁɅŁȿ NJȯŇǼŃȞŁɆLjȥ łȴĈȆǐȪŁɅ

łȬŇȲŃȵLjǕ LjɍŁȿ łȬŇȲŃȶŁǩ ǠŁȶɆŇȥ ɂnjȺŃȶNJȲŁǩ LjɎLjȥ łȬŇȲŃȵLjǕ ǠŁȶɆŇȥ ɂŇȶŃȆLjȩ ǟLjǾŁȽ ʼnȴłȾƋȲȱǟǻȿǟǻ ɀǣǟ ȯǠȩ ɂnjȺŃȞŁɅ

ŁǢǐȲLjȪǐȱǟ. 41

Dari Aisyah, ia berkata : Rasulullah s}alla Allah ‘alaih wa salam memberikan pembagian dan berbuat adil dalam membagi, dan beliau berkata : “ Ya Allah, inilah pembagianku yang aku mampu, maka janganlah engkau cela aku pada sesuatu yang engaku mampu dan aku tidak mampu.” Abu Dawud berkata : yaitu hati.

Dengan demikian, maka perintah untuk berbuat adil terhadap para

istri itu sebagaimana ayat diatas tidak bertentangan dengan firman Allah

swt. Pada ayat 129 surat al-Nisa>’ sebagi berikut :

40 Wahbah al-Zuh}aili>, al-Tafsi>r al-Muni>r, Vol. IV, 234-235. 41 Abu> Dawud, Sunan Abu> Da>wud, Vol. II, 242.

168

Dan kamu sekalian tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain tekatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), mka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lah Maha Penyanyang.42

Ayat di atas memang menyatakan bahwa suami tidak akan mampu

untuk berbuat adil meskipun mereka sangat berambisi untuk berbuat

demikian, akan tetapi adil yang dimaksudkan dalam surat al-Nisa>’ ayat

129 ini adalah keadilan yang bersifat maknawi atau keadilan dalam hal-

hal yang bersifat hati sebagaimana penjelasan di atas. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa istri apabila dimadu mempunyai hak keadilan

dari sisi materi baik berupa makanan, minuman, giliran, rumah dan

pakaian. Sedangkan dalam hal-hal yang bersifat maknawi atau hati, istri

tidak diperbolehkan utnuk menuntut keadilan, karen itu merupakan hal-hal

yang diluar batas kemampuan manusia.

Berbeda dengan pendapat Wahbah Zuh}aili>, Sir Syed mengatakan

sebagimana dikutip oleh Asghar Ali Engineer bahwa mengeluarkan

persamaan akan cinta (equality of love) dari konsep keadilan terhadap

42 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 33.

169

semua istri adalah salah besar. Sungguh, dalam hubungan perkawinan

cinta adalah yang paling fundamental. Oleh karena itu, cinta merupakan

hal yang paling penting sejauh kita memandang masalah keadilan yang

sama, dan hal itu tidak dapat dikeluarkan dari konsep keadilan terhadap

semua istri. Ia mengutip Q.S. al-Ru>m:30:21 untuk membuktikan

pendapatnya. Ayat tersebut memberikan tekanan terhadap ketenangan

pikiran, cinta, dan belas kasihan antara suami dan istri. Oleh karena itu,

Sir Syed berfikir bahwa cinta harus dimasukkan dalam konsep keadilan.

Kemudian ia merujuk kepada Q.S. al-Nisa>’:4:129, dia mengatakan bahwa

ayat ini juga membuatnya jelas bahwa cinta harus dimasukkan dalam

konsep keadilan dalam perkawinan. Ayat tersebut mengatakan bahwa

kamu tidak dapat berbuat adil, bahkan jikapun kamu menginginkan

melakukannya. Jika keadilan hanya merujuk pada pemberian nafkah hidup

saja maka hal tersebut tidaklah sulit, bahkan untuk jiwa yang biasa

sekalipun. Mereka dapat membagi nafkah hidup secara sama, tetapi

mustahil adalah cinta yang sama terhadap kepada semua istri. Karena

keadilan yang sama terhadap semua istri tidaklah mungkin bagi makhluk

hidup biasa. Oleh karena itu, normanya harus hanya satu istri saja, tetapi

dalam keadaan tertentu seseorang dapat beristri lebih dari satu.43

43 Sir Syed adalah seorang modernis dan kampium masalah pendidikan modern dikalangan ummat Islam India. Sir Syed dikenal sebagai pendiri Anglo-Mohammadun Oriental College di Aligarh yang menjadi Aligarh Muslim University pada tahun 1920, jauh setelah meninggalnya sang pendiri. Dia banyak menterjemahkan karya-karya ilmiyah ke dalam bahasa-bahasa India, sehingga karya-karya tersebut dapat dibaca oleh orang-orang India. Dia dekat dengan kalangan Mu’tazilah (Rasionalis Islam) dalam memahami al-Qur’an. Disisi lain dia juga dekat dengan kalangan Syah Waliyullah, seorang alim besar dan penulis terkenal pada abad ke-18 di India. Sir Syed dengan bangga mengutip Syah Waliyullah dalam menafsirkan pelbagai ayat al-Qur’an. tetapi Ia dengan senang juga mengutip Tafsi>r al-Kabi>r karya Fakhr al-Di>n, al-Ra>zi> untuk menjelaskan sejumlah

170

Menurut penulis kesimpulan yang diambil Sir Syed ini terlihat

inkonsisten. Ketika ia mengharuskan cinta masuk dalam konsep keadilan

mestinya dalam situasi apapun seorang suami tidak diperbolehkan

melakukan poligami, karena bagaimanapun juga keadilan dalam masalah

cinta harus tetap dilakukan sebagaimana konsep yang ia tawarkan. Akan

tetapi, dalam satu sisi ia menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu

seorang suami boleh melakukan poligami seperti ketika seorang

perempuan itu mandul dan laki-laki ingin sekali mempunyai anak, maka

dalam kasus ini laki-laki diperbolehkan berpoligami karena apabila

dilarang akan menyebabkan degenerasi moral.44 Yang menjadi pertanyaan

penulis, apaka dalam kasus di atas, suami dapat melakuakan keadilan

dalam cinta, atau justru suami lebih mencintai istri yang dapat

memberikan anak? Dari jawaban pernyaan ini dapat disimpulkan bahwa

konsep yang ditawarkan Sir Syed tersebut tidak dapat diterapkan secara

general, dan ketika sebuah konsep tidak dapat berlaku secara general,

� � � � � �� � � � � � � � � �औ �� penulis konsep tersebut tidak

tidak dapat dipertanggung jawabkan.

4) Mendapatkan pendididkan sebagaimana yang dipahami secara kontekstual

pada Q.S. al-Nisa’:4:34 berikut:

ayat-ayat al-Qur’an. Jadi, akan kelihatan bahwa Sir Syed sangatlah cakap dalam berbagai hal dan mempunyai pengetahuan yang mendalam dalam menafsirkan al-Qur’an. Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, 249. 44 Ibid, 247.

171

...

34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...45

Ayat di atas menyatakan bahwa seorang suami di berikan

keistimewaan oleh Allah swt. sebagai pemimpin dalam rumah tangga.

Al-Suyuti mengutip sumber yang berasal dari Muja>hid bahwa yang

dimaksudkan dengan al-Qawwa>m pada ayat di atas adalah dalam masalah

mendidik dan mengajar.46 Sejalan dengan penafsiran di atas al-Tantawi

menyatakan bahwa seorang laki-laki (suami) menguasai sepenuhnya atas

semua keperluan perempuan (istri) dengan cara menjaga, mengawasi,

memberikan nafkah, mendidik dan segal sesuatu yang dapat menjadikan

kemalaslahatan bagi istri.47

Muhammad ‘Abduh menyatakan bahwa kewajiban perempuan

untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan akidah agama, cara

beribadah merupakan sesuatu yang sudah pasti. Namum demikian lebih

dari itu, seorang istri juga harus mengetahui hal-hal yang berkenaan

dengan tata cara mengatur rumah tangga, mendidik anak bahkan juga

45 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 123. 46 Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Durr al-Manthu>r, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.tp.), Vol. II, 513. 47 Muh}ammad Sayyid T}ant}awi>, al-Tafsi>r al-Wasi>t} li al-Qur’a>n al-Kari>m, (Kairo: Da>r Nahd}at Misr li al-T}iba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’, 1997), Vol. III, 136.

172

harus mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan perkara keduniaan seperti

masalah pekerjaan dan lain sebagainya.48

Selain ayat diatas Allah swt. juga berfirman dalam Q.S. al-

Ahzab:33:34 sebagai berikut :

34. dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.49

Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa istri-istri Nabi

Muhammad saw. telah mendapatkan pendidikan dengan dibacakannya al-

Qur’an dan hikmah dirumah. Hal ini menunjukkan bahwa istri

mempunyai hak mendapatkan pendidikan yang wajib dilakukan oleh

suami.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan

kapasitasnya sebagai pemimpin, maka suami mempunyai kewajiban untuk

mendidik seorang istri hingga mereka mampu untuk melaksanakan

kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian, maka istri mempunyai hak

mendapatkan pendidikan, baik pendidikan yang berkaitan dengan syari’at

agama maupun yang berkaitan dengan masalah dunia sepanjang hal itu

mendukung terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

2. Kewajiban istri menurut al-Qur’an 48 Muhammad Rashi>d Rid}a>, al-Tafsi>r al-Mana>r, Vol. II, 299. 49 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 672.

173

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa fakta membuktikan bahwa hak-

hak istri sering kali diabaikan oleh para suami sehingga sering kali

menimbulkan percikan konflik dalam rumah tangga yang ujungnya berakhir

pada perceraian. Demikian juga halnya dengan istri, fakta membuktikan

bahwa sering kali istri mengabaikan kewajiban utumanya sebagai seorang

istri. Hal ini sangat dimungkinkan karena pengaruh isu kesetaraan jender

yang diusung oleh aktivis feminis yang telah melampaui batas, sehingga

kesetaraan yang dinginkan adalah kesamaan antara suami dan istri dalam

segala hal. Pada hal al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa lelaki

mempunyai derajat satu tingkat lebih tinggi dibandingkan derajat istri.

Pengabaian terhadap kewajiban inilah yang seringkali menimbulkan percikan

api dalam bahtera rumah tangga sehingga terjadilah disharmonisasi antara

suami dan istri yang pada akhrinya berujung di meja pengadilan agama.

Seperti halnya hak istri, kewajiban seorang istri juga terbagi menjadi

dua, yaitu: pertama, kewajiban bersama antara istri dan suami, kedua,

kewajiban khusus bagi istri. Adapaun kewajiban bersama antara istri dan

suami itu juga merupakan hak bersama antara istri dan suami. Dengan kata

lain, bahwa ketika istri dan suami secara bersama mempunyai hak, maka hal

itu juga menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suami dan istri

bersama-sama. Oleh karena hak bersama antara istri dan suami telah

dijelaskan, maka kewajiban bersama antara keduanya tidak perlu dijelaskan

karena secara tidak langsung hal itu juga telah dijelaskan.

174

Sedangkan kewajiban istri secara khusus yang dijelaskan dalam al-

Qur’an diantaranya adalah :

a. Menyadari sepenunya denga ikhlas bahwa kaum laki-laki adalah

pemimpin kaum perempuan dan kedudukan suami setingkat lebih tinggi

daripada istri, sebagamana di jelaskan dalam Q.S. al-Nisa’:4:34 dan Q.S.

al-Baqarah:2:228 sebagai berikut :

34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.50

...

...akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.51

Kedua ayat di atas sebagaimana penjelaskan sebelumnya

menyatakan bahwa laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi perempuan

50 Ibid, 123. 51 Ibid, 55.

175

(istri) dan kedudukannya satu tingkat lebih tinggi dariapada kedududkan

perempuan (istri). Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab

terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga sebagaimana

dijelaskan dalam surat al-Nisa>’ ayat 34. Muhammad ‘Ali> al-S}a>bu>ni

seorang penafsir kontemporer menyatakan bahwa maksud dari ayat di atas

adalah laki-laki itu pemimpin yang mempunyai tugas memerintah,

melarang, memberikan nafkah dan mengarahkan seperti halnya seorang

pemimpin pemerintahan memimpin rakyatnya. Hal itu dikarenakan Allah

swt. Telah memberikan anugerah kepada laki-laki kelebihan akal dan

memapuan mengatur, bahkan Allah swt. Memberikan kemampuan khusu

berupa bekerja dan memberikan nafka. Oleh karenanya laki-laki

bertanggung jawab untuk menjaga, melindungi, memberikan nafkah dan

mendidik. Lebih lanjut al-S}a>bu>ni mengutip pernyataan Abu> Sa’u>d bahwa

keutamaan bagi laki-laki dikarenakan mereka diberi kesempurnaan akal,

baik dalam mengatur, ketenangan berfikir dan kelebihan kekuatan.52

Namun demikian menurut Muhammad ‘Abduh bukan berarti suami

mempunyai hak otoriter terhadap istri, sehingga istri dipaksa harus selalu

mengikuti segala kemauan suami, istri tidak diperbolehkan beraktifitas

kecuali atas arahan suami, karena keberadaan seorang pemimpin itu

bertugas untuk menjujukkan dan mengawasi supaya orang yang dipimpin

dapat melaksanakan hal-hal ditunjukkan.53

52 Muh}ammad ‘Ali> al-S}a>bu>ni>, S}afwat al-Tafa>si>r, (Kairo: Da>r al-S}a>bu>ni> li al-}ba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’, 1997), Vol. I, 251. 53 Muh}ammad Ra>shi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Vo. V, 56.

176

Lebih lanjut Muhammad ‘Abduh mengatakan bahwa

diutamakannya suami atas istri mengindikasikan jika istri dan suami

diibaratkan posisi anggota tubuh dari tubuh seseorang. Suami posisinya

sebagai kepala, sedangkan istri posisinya sebagai badan. Oleh karena itu

tidak layak seorang suami menyombongkan diri karena kelebihannya atas

istri, dan demikian juga istri pun tidak layak merasa berat untuk mengakui

keutamaan suami dan merasa bahwa hal itu akan menurunkan derajatnya.

Sesungguhnya tidak menjadikan aib seseorang, jika kepalanya lebih utama

daripada tangannya dan hatinya lebih mulya daripada perutnya, karena

pada kakikatnya diutamakannya sebagian anggota tubuh atas anggota

tubuh yang lain dengan dijadikannya sebagian menjadi pemimpin atas

yang lain itu tidak lain hanyalah untuk kemaslahatan seluruh tubuh, tidak

satupun ada yang dirugikan bahkan semua itu semata-mata hanya untuk

kemanfaatan anggota tubuh. Demikian juga halnya dengan diutamakannya

laki-laki atas perempuan dari sisi kekuatan, dan kemampuan untuk bekerja

dan menjaga, itu dimaksudkan agar istri dapat lebih mudah melaksanakan

tugas pokoknya yaitu hamil, melahirkan, dan mendidik anak, karena ia

yang mendapatkan kepercayaan terhadap kebutuhan anak.54

Berdasarkan dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

masing-masing suami dan istri harus menyadari atas kewajibannya. Suami

harus menyadari akan kewajibannya sebagai pemimpin, demikian juga

istri harus menyadari sepenuhnya atas kepemimpinan suami. Hal ini

54 Ibid, Vol. V, 56-57.

177

sangat diperlukan karena apabila tidak ada kesadaran dari istri tentang hal

ini, lebih-lebih karena ia telah sukses dalam berkarir, maka mustahil

kewajiban taat suami yang sudah menjadi harga mati dapat dilaksanakan

oleh seorang istri. Oleh karena itu penulis menamasukkan item ini dalam

kategori kewajiban istri karena akhir-akhir ini banyak keluarga bermasalah

akibat istri sukses yang tidak memperdulikan suami.

b. Istri wajib mentaati suaminya selama bukan untuk kemaksiatan sebagaimana

firman Allah dalam Q.S. al-Nisa<’:4:34 sebagai berikut:

... .....

...Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri etika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)...55

Ayat di atas menyatakan bahwa istri yang shaleh adalah istri yang

qa>nita>t (taat). Sebagaimana pembahasan sebelumnya yang dimaksud dengan

qa>nita>t adalah istri yang taat kepada Allah dan taat kepada suaminya. Oleh

karenanya, jelaslah bahwa istri mempunyai kewajiban taat kepada suami

selama ketaatan itu tidak diperuntukkan melaksanakan perbuatan maksiat

yang melanggar norma-norma agama.

c. Menjaga kehormatannya dan harta suaminya.

Ayat 34 surat al-Nisa>’ di atas, selain menjelaskan tentang kewajiban

istri untuk taat kepada suami juga menjelaskan tentang kewajibannya

55 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 123.

178

menjaga kehormatannya dan harta suaminya sebagaimana penjelasan

sebelumnya.

d. Menjaga rahasia suami sebagaimana dapat dipahami secara kontekstual

dalam Q.S. al-Tah}ri>m:66:3 sebagai berikut:

3. dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah

seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan Peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan Menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."56

Ayat di atas menjelaskan bahwa Rasulullah pernah membicarakan

rahasia kepada H}afs}ah, namun kemudian H}afs}ah pun menceritakan itu

kepada ‘A>ishah, akhirnya Rasulullah saw. diberitahukan kejadian itu oleh

Allah swt. Ketika H}afs}ah diberitahu Rasulullah tentang pembicaraannya

dengan ‘A>ishah, maka H}afs}ah menjadi heran karena hanya ‘A>ishah yang

diberitahu, namun Rasulullah saw. mengetahuinya. Oleh karena

56 Ibid, 950.

179

keheranannya itu H}afs}ah bertanya kepada Nabi Muhammad saw. “siapakah

yang memberitahukan hal itu, Nabi pun menjawab bahwa yang memberitahu

adalah Allah swt.

Menurut kesimpulan dari Wahbah al-Zuh}aili> bahwa ayat tersebut

dapat dijadikan dasar bahwa perempuan itu sulit untuk menyimpan rahasia.57

Selain kesimpulan itu, Ibn ‘A>shu>r juga menyimpulkan bahwa dengan

pertanyaan ”siapakah yang memberitahukan hal itu” menunjukkan bahwa

H}afs}ah masih meyakini jika ‘A>ishah tidak akan membocorkan rahasia itu.

Ayat ini semestinya cukup mengingatkan H}afs}ah bahwa menyebarluaskan

rahasia suami merupakan kesalahan besar dari sisi budi pekerti. Kesalahan

ini terjadi karena H}afs}ah sangat ingin menyenangkan ‘A>ishah dan

kekagumannya yang berlebihan terhadap tindakan nabi saw. yang

mengharamkan Ma>riyah hanya karena ‘A>ishah, sehingga semua itu

menjadikan H}afs}ah tidak mampu untuk merahasiakan hanya karena ingin

memberikan kabar gembira dan ingin membantu kepada sahabat karibnya.

Jika saja H}afs}ah sadar akan hal itu, niscaya jelas bagi dia bahwa tuntutan

untuk menutupi rahasia suami lebih lerat daripada sekedar ingin

menyenangkan sahabat karib, karena ikatan suami istri itu lebih kuat

dibanding dengan ikatan persahabatan, dan kewajiban ihlas kepada

Rasulullah saw. itu lebih diutamakan daripada ihlas hanya sekedar untuk

sahabat karib.58

57 Wahbah al-Zuh}aili>, al-Tafsi>r al-Muni>r, Vol. XXVIII, 312. 58 Ibn ‘A>shu>r, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, Vol. XXVIII, 354.

180

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bersumber

dari Abu> Sa’i>d al-Khudri>, Rasulullah bersabda:

ŇȼƋȲȱǟ NJȯɀłȅŁǿ LjȯǠLjȩ ǠNJȱɀNJȪŁɅ ʼnɃnjǿŃǼłǺǐȱǟ ňǼɆŇȞŁȅ ǠŁǣLjǕ łǨŃȞŇȶŁȅ LjȯǠLjȩ ňǼŃȞŁȅ łȸŃǣ njȸŁȶŃǵʼnȀȱǟ łǼŃǤŁȝ ǠŁȺLjǭʼnǼŁǵ

ɄŇȒǐȦłɅ LjȰłDZʼnȀȱǟ ŇǦŁȵǠŁɆŇȪǐȱǟ ŁȳŃɀŁɅ DŽǦLjȱnjȂŃȺŁȵ ŇȼƋȲȱǟ ŁǼŃȺŇȝ njȃǠʼnȺȱǟ ōȀŁȉLjǕ ŃȸŇȵ ƋȷnjǙ ŁȴƋȲŁȅŁȿ ŇȼŃɆLjȲŁȝ łȼƋȲȱǟ ɂƋȲŁȍ njǙ ɂLjȱ

ǠŁȽʼnȀŇȅ łȀłȊŃȺŁɅ ʼnȴNJǭ ŇȼŃɆLjȱnjǙ ɄŇȒǐȦłǩŁȿ ŇȼŇǩLjǕŁȀŃȵǟ 59

Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Sa'd dia berkata; Saya mendengar Abu Sa'id Al Khudri berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada Hari Kiamat ialah seseorang yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami menyebarkan rahasia istrinya."

Berdasarkan uraian para mufassir dan hadis di atas dapat disimpulkan

bahwa menjaga dan menutupi rahasia suami merupakan kewajiban bagi

seorang istri.

B. Fungsi Istri Menurut Al-Qur’an

Dalam Kamus Ilmiyah Populer kata fungsi dengan jabatan,

kedudukan, peranan, guna, kegunaan, manfaat.60 Sedangkan dalam Kamus

Bahasa Indonesia fungsi diartikan dengan jabatan (pekerjaan) yang

dilakukan.61 Dengan demikian, yang penulis maksud dengan fungsi istri

adalah peranan penting atau pekerjaan penting yang dilakukan oleh istri.

59 Muslim bin al-H}ajja>j al-Naisa>bu>ri>, S}ah}ih} Muslim, (Beirut: Da>r al-Jail, t.tp.), Vol. IV, 157. 60 Pius A. Partanto, M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, 191. 61 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, 420.

181

Segala syari’at yang telah ditentukan oleh Allah swt. melalui

Rasulullah saw. semua tidak akan lepas dari faedah dan manfaat yang

nantinya akan dapat dirasakan oleh ummatnya. Tidak satupun syari’at yang

tanpa ada manfaatnya sebagaimana firman allah swt. Q.S. Ali> ‘Imra>n:3:191

dan Q.S. al-Ma>idah:5:6 berikut:

191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk

atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.62

...

... Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.63

Kedua ayat di atas menyatakan bahwa sesuatu yang diciptakan oleh

Allah swt. tidak ada yang sia-sia, semua tidak lepas dari manfaat. Selain itu,

apa yang disyari’atkan oleh Allah swt. juga tidak akan membuat hamba-Nya

mendapat kesulitan, namun semua itu disyari’atkan supaya nikmat yang

dilimpahkan menjadi sempurna sehingga hamba-hamba-Nya mensyukurinya. 62 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 110. 63 Ibid, 159.

182

Termasuk diantara syari’at yang dimaksud di atas adalah syari’at

pernikahan. Pernikahan disyari’atkan oleh Allah swt. tentu ada manfaat dan

faedah. Manfaat dan faedah ini akan didapatkan secara maksimal manakala

unsur-unsur yang terlibat dalam pernikahan tersebut (suami dan istri),

masing-masing menjalankan hak dan kewajibannya sebagaimana dijelaskan

di atas, agar dapat meraih manfaat dan faedah yang maksimal dari adanya

syari’at pernikahan seorang istri harus berbuat sesuai dan sejalan dengan

fungsinya. Namun demikian istri akan dapat berjalan sesuai fungsinya secara

maksimal, manakala hak dan kewajiban masing-masing suami istri dapat

terpenuhi. Adapun fungsi istri yang disebutkan dalam al-qur’an sebatas

penelitian penulis, diantaranya adalah sebagai berikut;

1. Pelindung, penjaga rahasia, penghias dan motivator terhadap suami.

Fungsi istri tersebut di atas diisyaratkan al-Qur’an dalam surat al-

Baqarah:2:187 sebagai berikut:

... ...

...mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka...64

Muhammad ‘Abduh mengatakan bahwa didatangkannya kalimat ini

untuk menjelaskan tentang sebab terjadinya hukum dalam arti ketika antara

suami dan istri terdapat unsur saling memakai (mula>basah) dan saling

bercampur (mukha>lat}ah), maka menjauhi istri itu adalah sesuatu yang sulit,

64 Ibid, 45.

183

oleh karenanya diperbolehkan bagi laki-laki untuk menggauli istri pada

malam puasa. Ia pun juga mengutip pendapat sebagian ulama bahwa ayat di

atas merupakan kata kiasan dari menutupi (al-satr) yang menjadi fungsi

utama dari pakaian. Hal ini dikarenakan masing-masing dari suami-istri akan

menutupi dan menjaga satu sama lain. Kalimat di atas dengan diartikan

menggauli atau berhubungan intim merupakan kata kiasan dari aktifitas inti

dari suami-istri.65 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> menyatakan bahwa diserupakan istri

dengan pakaian terdapat beberapa kemungkinan, pertama, ketika suami dan

istri saling merangkul kemudian masing-masing saling menyatukan jasad

kepada yang lain (istri) sehingga masing-masing dari suami-istri, maka

seakan-akan menjadi pakaian yang dipakai oleh salah satu diantara keduanya,

oleh karenanya masing-masing dinamakan pakaian. Kedua, suami istri

dikatakan pakaian karena masing supaya saling menutupi dari hal-hal yang

tidak diperbolehkan untuk diperlihatkan. Ketiga, kemungkinan yang

dimaksudkan dari ayat di atas bahwa dengan adanya istri, suami dapat

tertutupi/terlindungi dari segala kerusakan yang terjadi dirumah jika istri

berada dirumah, sebagaimana ditutupinya manusia dari panas dan dingin

dengan adanya pakaian.

Dari beberapa penafsiran di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi istri

bagi suami selain untuk berhubungan seksual, istri juga harus berfungsi

sebagaimana pakaian. Pertama, jika pakaian dapat berfungsi menutupi aurat,

maka istri juga harus dapat menutupi hal-hal yang tidak diperbolehkan untuk

65 Muhammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r, Vol. II, 142.

184

diperlihatkan, dengan kata lain istri harus dapat menjaga rahasia atau aib

suami. Kedua, jika pakaian berfungsi untuk melindungi manusia dari panas

dan dingin, maka istri juga harus dapat melindungi suami dan harta dari

kerusakan yang terjadi di dalam rumah tangga. Selain dua fungsi yang

diambil dari kesimpulan para mufassir di atas, ada satu lagi ungsi pakaian

menurut hemat penulis, yaitu menjadi penghias dan menambahkan percaya

diri bagi pemakainya. Semakin bagus dan serasi pakaian yang dipakai

seseorang, maka semakin menambah ketampanan dan kecantikan serta rasa

percaya diri bagi pemakainya. Oleh karena itu, jika pakaian dapat berfungsi

sebagai penghias dan motivasi untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada

pemakainya, maka istri pun juga harus dapat menjadi penghias dan motivator

bagi suami. Dengan kata lain, istri harus dapat menjadi sesuatu yang

membanggakan bagi suami pada suatu sisi, dan pada sisi yang lain istri juga

harus dapat memotivasi dan memberikan dorongan kepada suami agar lebih

percaya diri dalam meraih dan mewujudkan cita-cita hidup berkeluarga yaitu

meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

2. Menciptakan ketentraman dan menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang,

sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Ru>m:30:21 sebagai berikut:

21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih

185

dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.66

Selain ayat di atas, dalam surat al-A’ra>f ayat 189 Allah swt. juga telah

berfirman:

...

189. Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya...67

Ibn Kathi>r seorang tokoh penafsir era klasik mengatakan bahwa

seandainya Allah swt. menjadikan keturunan Adam laki-laki semua, dan

perempuannya diciptakan dari makhluk lain, baik dari bangsa jin ataupun

hewan, niscaya tidak akan didapatkan sebuah ketenangan diantara laki-laki

dan istrinya.68

Mutawalli> al-Sha’rawi> mengatakan bahwa menciptakan ketenangan

atau ketentraman inilah merupakan fungsi utama pernikahan, dalam arti

masing-masing suami istri harus dapat menenangkan atau menentramkan

pasangannya. Tenang tidak akan terjadi kecuali berawal dari gerak. Demikian

juga, suami sepanjang harinya selalu bergerak untuk bekerja dan mencari

mata pencaharian dengan bekerja keras dan susah payah, lalu diakhir siang ia

berharap mendapatkan ketenangan dari orang yang dapat menghibur dan

membantunya, dan itu tidak ia temukan kecuali dari istri. Dengan ketenangan

66 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 644. 67 Ibid, 253. 68 Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Vol. VI, 309.

186

inilah suami dapat beristirahat dan kembali menjadi giat pada keesokan

harinya.

Oleh karena itu jika suami pulang dalam keadaan lelah, lalu ia tidak

menemukan ketenangan dan ketentraman, bahkan istri yang mestinya menjadi

tempat ketenangan dan tempat istirahat justru menambah kelelahan dan

merisaukan pikiran, maka alangkah baiknya bagi seorang istri supaya

memahami arti sakan (ketentraman) dalam ayat ini, dan supaya memenuhi hal

yang terpenting bagi dirinya agar masalah kehidupan berjalan lurus.69

Ketentraman dengan arti di atas oleh Fakhr al-Di>n al-ra>zi> diistilahkan

dengan al-Suku>n al-Qalbi>, karena menurutnya kalimat sakan apabila

disandarkan dengan kata ‘inda, maka maksudnya adalah al-suku>n al-jasma>ni>

(ketenangan jasmani), dan bila disandarkan dengan kata ila>, maka maksudnya

adalah al-suku>n al-Qalbi>. (ketenangan hati).70

Selanjutnya al-Sha’rawi> juga menyatakan bahwa fungsi pernikahan

tidak hanya terbatas pada ketentraman, namun juga dapat menimbulkan rasa

mawaddah. Menurutnya mawaddah adalah cinta yang saling timbal balik

antara suami dan istri. Suami bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan

hidup dan istri pun juga bersusah payah untuk mengatur rumah tangga dan

mendidik anak. 71 Sedangkan Muh}ammad al-Nawa>wi> seorang penafsir

ternama dari nusantara mendefinisikan mawaddah dengan mah}abbah

(kecintaan), sedangkan rah}mah didefinisikan dengan al-shafaqah (sayang). Ia

69 Mutawalli> al-Sha’rawi>, Tafsi>r al-Sha’rawi>, Vol. XVIII, 11360. 70 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, Vol. XXV, 91. 71 Mutawalli>, al-Sha’rawi>, Tafsi<r al-Sha’rawi>, Vol. XVIII, 11360.

187

juga mengutip sebuah pendapat bahwa mawwadh itu untuk yang kecil atas

yang tua, dan al-rah}mah itu untuk yang tua atas yang kecil.72

Lebih lanjut al-Sha’rawi> menyatakan bahwa diakhirkannya kata al-

rah}mah dalam deretan kata sakan, mawaddah, baru kemudian rah}mah, karena

manusia pada umumnya selalu mengalami perubahan. Banyak sekali diantara

keadaan mereka yang berubah dari yang kuat menjadi lemah, semula kaya

menjadi miskin, perempuan cantik karena usianya berubah menjadi jelek.

Oleh karena itu al-Qur’an mengarahkan puikiran kita bahwa dalam keadaan

yang demikian, dimana terkadang manusia kehilangan ketentraman dan

kecintaan, kasih sayang masing memungkinkan untuk diwujudkan. Maka

dalam keadaan yang demikian itu, suami harus tetap mempunyai kasih

sayang terhadap istrinya meskipun ia tidak mampu memenuhi kewajibannya,

sebaliknya istri juga harus mempunyai kasih sayang jika suami mengalami

musibah sakit ataupun yang lain sehingga tidak dapat memenuhi

kewajibannya. 73

Selain penafsiran di atas, perlu juga penulis sampaikan bahwa dalam

ayat di atas terdapat kata ȨȲǹ dan ȰȞDZ yang kedua-duanya mempunyai

makna yang berbeda. ȰȞDZ mempunyai beberapa makna, diantaranya yang

sesuai dengan konteks ayat di atas adalah ǼDZȿǟ (mewujudkan) yang

mempunyai satu obyek ( ɀȞȦȵ ȯȼǣ ). Perbedaan antara ȨȲǹ (menciptakan) dan ȰȞDZ (mewujudkan) adalah bahwa kata khalaqa bermakna menciptakan

72 Muh}ammad bin ‘Umar al-Nawa>wi> al-Ja>wi>, Mira>h} Lubaid, Vol. II, 228. 73 Mutawalli>, al-Sha’rawi>, Tafsi<r al-Sha’rawi>, Vol. XVIII, 11360.

188

dengan mengandung arti taqdi>r (ketentuan dari Allah) serta tanpa ada contoh

sebelumnya dan tidak didahului dengan materi atau sebab indrawi.74 Dengan

demikian ayat di atas dapat dipahami bahwa jodoh atau istri adalah

merupakan taqdi>r dari allah yang manusia tidak bisa ikut campur tangan.

Berbeda dengan mawaddah dan rah}mah, karena penggunaan katanya

memakai ja’ala, maka dapat dipahami bahwa cinta dan kasih sayang ada

apabila terjadi perjodohan suami istri yang dapat menumbuhkan rasa

ketentraman, dan sebaliknya apabila rasa ketentraman sebagai fungsi

perjodohan tidak dapat diwujudkan, maka mawddah wa rah}mah juga tidak

dapat terwujud. Oleh karena itu perlu upaya keras bagi suami atau istri untuk

menyayangi pasangannya bila diantara keduanya dalam kondisi tidak ada

ketentraman sebagaimana disampaikan al-Sha’rawi> pada keterangan di atas.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa diantara fungsi

istri adalah untuk menciptakan ketentraman dan menumbuhkan rasa cinta dan

kasih sayang. Ketentraman didapatkan karena Allah swt. telah menciptakan

pasangan manusia berasal dari bangsanya sendiri, selain itu harapan suami

untuk mendapatkan ketentraman dari orang yang dapat menghibur dan

membantunya itu tidak ditemukan kecuali dari istri. Kecintaan didapatkan

dengan adanya rasa timabal balik dimana suami telah bersusah payah

memenuhi kebutuhan hidup dan istri pun juga bersusah payah untuk

74 Manna>’ Qat}t}a>n, Maba>h}ith, 212-213.

189

mengatur rumah tangga dan mendidik anak. Kecintaan dan kasih sayang akan

dapat diwujudkan, manakala